pedagang kaki lima di bawah kaki pasar modern: penelitian di kecamatan jebres kota surakarta

53
BAB I PENDAHULUAN A. Judul Penelitian Pembelaan Kepada Pedagang Kaki Lima terhadap Dominasi Pemerintah Kota dan Pasar-pasar Modern : Studi Kritis di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. B. Latar Belakang Kuatnya laju pertumbuhan ritel-ritel modern di Indonesia yang tidak dibarengi dengan perlindungan serius kepada pedagang kaki lima, secara kasat mata tentu menampakkan ketimpangan persaingan diantara keduanya. Sehingga menurut Managing Director Econit Advisory Group, yakni Hendri Saparini (dalam bataviase.co.id: 2010) mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan bisnis ritel paling liberal. Selain bebas menentukan lokasi untuk membuka gerai, keberadaan investor asing juga tidak diatur. Padahal di negara-negara maju yang notabene liberal sejati, seperti Inggris, Jepang, dan Korea Selatan itu ada pembatasan penguasaan asing di sektor ritel dengan penguasaan pangsa pasar hanya 1 hingga 3 persen saja, namun paradok di Indonesia yang mengaku sebagai negara dengan sistem ekonomi kerakyatan,

Transcript of pedagang kaki lima di bawah kaki pasar modern: penelitian di kecamatan jebres kota surakarta

BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul Penelitian

Pembelaan Kepada Pedagang Kaki Lima terhadap

Dominasi Pemerintah Kota dan Pasar-pasar Modern :

Studi Kritis di Kecamatan Jebres Kota Surakarta.

B. Latar Belakang

Kuatnya laju pertumbuhan ritel-ritel modern di

Indonesia yang tidak dibarengi dengan perlindungan

serius kepada pedagang kaki lima, secara kasat mata

tentu menampakkan ketimpangan persaingan diantara

keduanya. Sehingga menurut Managing Director Econit

Advisory Group, yakni Hendri Saparini (dalam

bataviase.co.id: 2010) mengatakan bahwa Indonesia

merupakan salah satu negara dengan bisnis ritel

paling liberal. Selain bebas menentukan lokasi untuk

membuka gerai, keberadaan investor asing juga tidak

diatur. Padahal di negara-negara maju yang notabene

liberal sejati, seperti Inggris, Jepang, dan Korea

Selatan itu ada pembatasan penguasaan asing di sektor

ritel dengan penguasaan pangsa pasar hanya 1 hingga 3

persen saja, namun paradok di Indonesia yang mengaku

sebagai negara dengan sistem ekonomi kerakyatan,

tetapi penguasaan ritel asing hampir mencapai pangsa

pasar di atas 13 persen.

Perkembangan pesat ritel modern di banyak tempat,

sebut saja Hypermart, Carrefour, Matahari, hingga

minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang jauh

masuk ke pelosok-pelosok desa menimbulkan banyak

permasalahan besar. Pasalnya ketika ritel-ritel

modern itu berdiri dan mengalami laju pertumbuhan

yang signifikan, justru membuat pedagang kaki lima

yang tergusur dan gulung tikar. Akibatnya,

marjinalisasi dan kemiskinan menjadi fenomena yang

tak terbantahkan. Hal ini juga tidak terlepas dari

kebijakan pemerintah yang mana dengan mudah

memberikan ijin kepada ritel-ritel modern di

Indonesia untuk mendirikan atau membuka gerai dan

juga belum ada pembatasan untuk investor asing yang

juga ingin mendirikan gerai di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, mungkin juga adanya

perubahan masyarakat ke arah yang liberal dan

konsumtif, kini fenomena menjamurnya ritel-ritel

modern yang berdiri berada di pusat jantung kota

hingga berekspansi sampai pelosok-pelosok desa dan

kesemuanya mengalami pertumbuhan yang luar biasa.

Beberapa bentuk ritel-ritel modern itu menurut

www.organisasi.org (dalam Arifardhanin.d., h. 90)

diantaranya adalah: (1). Department Stores (contohnya

seperti Matahari, Luwes, Centro, dan sebagainya);

(2). Convenience Stores (contohnya mini market Alfamart

dan Indomaret); (3). Supermarket (Contohnya Giant,

Superindo); (9). Hipermarket (contohnya hipermarket

Lotte Mart, Hypermart dan Carrefour). Fenomena

merebaknya ritel-ritel modern sudah menghancurkan

toko-toko kelontong atau pasar tradisional di

sekitarnya, yang pada akhirnya menghancurkan

perekonomian suatu regional karena uang tidak

berputar di daerah tersebut. Pada kenyataannya,

masyarakat sebagai konsumen lebih milih membelanjakan

uang mereka di indomaret atau alfamart dan

supermarket/hypermarket besar karena nyaman dan

banyak yang lebih murah, lagi pula toko dan pasar

tradisional biasanya tidak nyaman dan tidak lengkap.

Dan akhirnya pasar dan toko tradisional bakalan mati,

sehingga mematikan perekonomian suatu regional.

Efeknya adalah perputaran uang di kalangan bawah

menurun drastis, yang berarti meningkatkan angka

kemiskinan yang berakibat kriminalitas, dan efek

negatif lain dari kemiskinan.

Kemudian lebih memfokuskan pembahasan di kota

Surakarta, menjamurnya pasar modern yang terjadi

menjadikan keberadaan pedagang kaki lima semakin

terkikis, sekaligus juga dengan adanya desakan dari

pemerintah kota yang sedikit demi sedikit

mengeluarkan kebijakan yang memarjinalan PKL sebagai

suatu badan usaha informal yang tidak memiliki izin

untuk mendirikan bangunan dagangan mereka. Kebijakan

tersebut berupa penggusuran atau relokasi PKL ke

wilayah yang sepi penduduknya. Kebijakan seperti

itulah yang mematikan keberadaan PKL di Kota

Surakarta. Oleh karena itu dengan dilakukannya

penelitian kritis ini diharapkan mampu menggerakkan

PKL yang ada di Kota Surakarta untuk menuntut hak-hak

mereka agar tetap mampu mendirikan usaha dagang

mereka tanpa ada dominasi dari pasar-pasar modern dan

juga desakan-desakan dari Pemerintah Kota Surakarta.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa permasalahan Pedagang Kaki Lima di kecamatan

Jebres dalam kaitannya dengan kebijakan Pemerintah

Kota Surakarta ?

2. Apa permasalahan Pedagang Kaki Lima dalam

kaitannya dengan keberadaan pasar-pasar modern di

kecamatan Jebres ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dengan diadakan penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui permasalahan Pedagang Kaki Lima

di kecamatan Jebres dalam kaitannya dengan

kebijakan Pemerintah Kota Surakarta.

2. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi

Pedagang Kaki Lima dalam kaitannya dengan

keberadaan pasar-pasar modern di kecamatan Jebres.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dengan dilakukan penelitian ini ialah :

1. Manfaat Teoritis

a. Mengembangkan teori sosiologi terutama

teori dari Antonio Gramsci mengenai teori

hegemoni, dalam penelitian ini ialah

Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Jebres

Kota Surakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah Kota Surakarta,

Dengan diadakan penelitian ini

diharapkan memberikan kesadaran kepada

Pemerintah Kota Suarakarta dalam

menentukan kebijakan terkait dengan

keberadaan PKL agar lebih pro aktif kepada

Pedagang Kaki Lima. Selain itu agar

Pemerintah Kota Surakarta dapat memberikan

batasan mengenai keberadaan pasar-pasar

modern yang berada di Kota Surakarta.

b. Bagi Pedagang Kaki Lima

Dengan diadakan penelitian ini

diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran

sekaligus memberikan dukungan kepada

Pedagang Kaki Lima yang berada di Kota

Surakarta agar tetap mampu mempertahankan

keberadaannya dalam menghadapi pasar-pasar

modern dan juga menuntut hak-hak mereka

untuk tetap mendirikan usaha PKL kepada

Pemerintah Kota Surakarta.

c. Bagi Masyarakat

Dengan dilakukan penelitian ini

diharapkan dapat memberikan hasil berupa

kesadaran masyarakat mengenai penggunaan

barang dan jasa PKL dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari dibandingkan denggan

penggunaan barang atau jasa yang

disediakan pasar-pasar modern.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. TEORI HEGEMONI ,ANTONIO GRAMCI (1891-1937)

Realitas terstruktur adalah teori yang cukup

mengejutkan dari Louis Althrusser, sekaligus kritik

atas Marx, yang menurutnya terlalu terpukau dengan

kaluasul ekonomi sebagai faktor mekanisme

terjadinya kekuasaan. Louis Althusser cukup

berhasil menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk

ideology (ideology di sini dalam arti negative)

disosialisasikan kepada masyarakat luas. Tapi ada

beberapa hal krusial yang membuat bagaimana

mekanisme ideology bisa tersebar luas dengan sangat

efektif, yaitu teori Hegemoni. Istilah Hegemoni asal

bahasa Yunani, Hegeishtai

 Istilah yang berarti memimpin,

kepemimpinan atau Kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang

lain. Konsep Hegemoni menjadi nge-trend setelah

digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran

(Antonio) Gramci, yang dipahami sebagai ide yang

mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.

Adapun teori Hegemoni yang dicetuskan Gramci

adalah:

“.. Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang

dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan

disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional

maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa,

kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta

seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna

intelektual dan moral..”.

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan

sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas

bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide

kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak

dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan

masyarakat yang dikuasai. 

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai

masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis

pikiran,kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif

masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran

masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola

kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat

dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk

menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang

berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan

masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai

berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas

bawah menggunakan ideologi.

Masyarakat Kelas Dominan merekayasa kesadaran

masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari

mereka rela dan mendudukan kekuasaan kelas dominan.

Sebagi contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas

dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran

kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan

para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta

intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan

seni.

John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk

mengacu kepada proses sebagai berikut:

“…sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya

mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui

pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni

terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat

konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang

besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan

menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang

mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan

yang ada...”

Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana

kita bisa merasa rela saat ada orang lain membeli

tanah sawah (tanah resapan), yang akan dibangun mall

atau perumahan elit. Dan kita merasa lumrah

sekaligus berkata demikian: “Ya wajarlah dia punya

duit”

Konsep Hegemoni

Istilah hegemoni berasal dari istilah

yunani, hegeisthai. Konsep hegemoni banyak digunakan

oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya

usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak

penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak

hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah).

Hegemoni bisa didefinisikan sebagai: dominasi

oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan

atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang

didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok

yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar

(common sense). Lihat juga definisi dibawah ini:

Hegemony is the dominance of one group over other groups,

with or without the threat of force, to the extent that, for instance, the

dominant party can dictate the terms of trade to its advantage; more

broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant

group. Hegemony controls the ways that ideas become “naturalized” in

a process that informs notions of common

sense (http://en.wikipedia.org/wiki/Hegemony)

“…Dominant groups in society, including fundamentally but not

exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the

‘spontaneous consent’ of subordinate groups, including the working

class, through the negotiated construction of a political and

ideological consensus which incorporates both dominant and

dominated groups.”(Strinati, 1995: 165).

Dapat kita simpulkan bahwa:

Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi

berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk

menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari

kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang

berkuasa). Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang

wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat

menyebar dan dipraktekkan. Nilai-nilai dan ideologi

hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh

pihak dominan sedemikian sehingga pihak yang

didominasi tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan

kelompok penguasa.

Hegemoni bisa dilihat sebagai strategi untuk

mempertahankan kekuasaan

“…the practices of a capitalist class or its representatives to gain

state power and maintain it later.” (Simon, 1982: 23).

Jika dilihat sebagai strategi, maka konsep

hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa.

Maksudnya, kelompok manapun bisa menerapkan konsep

hegemoni dan menjadi penguasa. Sebagai contoh

hegemoni, adalah kekuasaan dolar Amerika terhadap

ekonomi global. Kebanyakan transaksi internasional

dilakukan dengan dolar Amerika.

Pembentukan Hegemoni

Gramsci (1891-1937) merupakan tokoh yang

terkenal dengan analisa hegemoninya. Analisa Gramsci

merupakan usaha perbaikan terhadap konsep determinisme

ekonomi dan dialektika sejarah Karl Marx (lihat Das

Capital Marx). Dalam dialektika sejarah Marx, sistem

kapitalisme akan menghasilkan kelas buruh dalam

jumlah yang besar dan terjadi resesi ekonomi. Pada

akhirnya, akan terjadi revolusi kaum buruh

(proletar) yang akan melahirkan sistem sosialisme.

Dengan kata lain, kapitalisme akan melahirkan

sosialisme. Namun, hal ini tidak terjadi.

Gramsci mengeluarkan argumen bahwa kegagalan

tersebut disebabkan oleh ideologi, nilai, kesadaran

diri, dan organisasi masyarakat bawah tenggelam oleh

hegemoni kelompok penguasa. Hegemoni ini terjadi

melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui

khotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan

indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru

bagi masyarakat bawah. Daripada melakukan revolusi,

masyarakat bawah malah berpikir untuk meningkatkan

statusnya ke kelas menengah, mampu mengikuti budaya

populer, dan meniru perilaku atau gaya hidup kelas

borjuis. Ini semua adalah ilusi yang diciptakan kaum

penguasa agar kaum yang didominasi kehilangan

ideologi serta jatidiri sebagai manusia merdeka.

Agar masyarakat bawah dapat menciptakan

hegemoninya, Gramsci memberikan 2 cara (Strinati,

1995), yaitu melalui :

1.      “war of position” (perang posisi)

2.      “war of movement” (perang pergerakan).

Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh

dukungan melalui propaganda media massa, membangun

aliansi strategis dengan barisan sakit hati,

pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang

meningkatkan kesadaran diri dan sosial.

Karakteristiknya: Perjuangan panjang. Mengutamakan

perjuangan dalam system. Perjuangan diarahkan kepada

dominasi budaya dan ideology. Perang pergerakan

dilakukan dengan serangan langsung (frontal),

tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan

bisa dilakukan setelah perang posisi dilakukan, bisa

juga tidak.

Meskipun analisa Gramsci berkisar pada perang

kelas ekonomi, konsep hegemoni dapat diperluas ke

wilayah sosial dan regional. Misalnya, undang-undang

subversif pada zaman orba. Di kampus, kita bisa

lihat hegemoni KM ITB, hegemoni rektorat.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma teori kritis,

di mana melalui paradigma ini peneliti berupaya untuk

membangkitkan kesadaran dan pembebasan (emansipasi)

yang dihadapi oleh masyarakat. Teori kritis berupaya

untuk memperlihatkan dan membuka ideologi kekuasaan,

menunjukkan kesalahan dalam pandangan yang dimiliki

dan bagaimana pandangan itu ikut melanggengkan

tatanan sosial yang tidak adil dan menindas.

Menurut Lubis (2006), teori kritis pertama-tama

berupaya untuk memberikan pencerahan dalam arti

menyadarkan masyarakat tentang faktor-faktor yang

menghimpit dan menindas mereka, serta mereka harus

berupaya untuk membebaskan diri dari faktor tersebut,

sesuai dengan teori.

Ini berarti teori yang digunakan harus dibahasakan

secara sederhana, teori harus mampu berbicara kepada

perasaan masyarakat. Oleh karena itu dalam penelitian

ini peran komunikasi antara peneliti dengan subjek

penelitian menjadi bagian yang sangat penting. Morrow

(1994) menegaskan bahwa dalam teori kritis hubungan

antara peneliti dengan tineliti bersifat dialektikal

dan mengakui adanya hubungan hermeunetik peneliti

sosial.

Paradigma teori kritis klasik ditentukan oleh dua

faham fundamental, yakni gaya pemikiran historis dan

gaya pemikiran materialis (Suseno 2006). Gaya

pemikiran historis ini menyatakan bahwa realitas

sosial yang sekarang hanya bisa dipahami dengan

melihatnya sebagai sebuah sejarah penindasan yang

diselubungi secara ideologis oleh ilmu-ilmu positif

sehingga realitas saat ini tampak sebagai

obyektivitas yang wajar.

Teori kritis bertugas membuka selubung ideologis

tersebut dan membuka kemungkinan pembebasan dari

penghisapan dan penindasan yang diciptakan manusia.

Gaya pemikiran materialis ini menyatakan bahwa

sejarah penindasan tersebut terwujud dalam bidang

produksi prasyarat-prasyarat material hidup manusia

dan dalam bidang ekonomi.

Teori kritis juga memiliki peran edukasi, di mana

fungsi penelitian sosial bukan hanya memberikan

pengetahuan tentang fenomena sosial dan menjelaskan

fenomena sosial yang manipulatif, akan tetapi juga

menimbulkan kesadaran kepada para pelaku sosial,

sehingga dengan menyadari kondisi dan situasi sosial

yang mereka alami, mereka dapat mengubah sendiri

kondisi yang diinginkan tersebut.

Jadi senantiasa diperlukan dialog antara peneliti

dengan masyarakat dalam rangka pencerahan dan

penentuan arah tindakan yang diharapkan dapat

mengubah dan memenuhi tuntutan mereka sendiri.

Sejalan dengan pandangan di atas, Kincheloe dan Mc

Laren (2000), menyatakan bahwa melalui penelitian

dengan paradigma teori kritis seorang peneliti bukan

hanya mempelajari tentang kehidupan masyarakat,

tetapi juga membantu mereka secara bersama

memecahkan persoalan agar mereka mampu menyusun

strategi untuk memecahkan masalah tersebut.

Permasalahan-permasalahan yang dipecahkan ini

terutama berkaitan dengan masalah kekuasaan dan

keadilan yang terkait dengan faktor ekonomi, ras

(etnis), kelas sosial, gender, ideologi, pendidikan,

kepercayaan dan institusi sosial lainnya yang

berinteraksi dengan dinamika kebudayaan yang

membentuk suatu sistem sosial.

Lebih lanjut juga diungkapkan oleh Lubis (2006),

teori kritis berpandangan bahwa dominasi (dalam

masyarakat) bersifat struktural. Artinya kehidupan

masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi

sosial yang lebih besar seperti : politik, ekonomi,

budaya, ideologis, diskursus, etnis, ras dan gender.

Teori sosial kritis berupaya untuk mengungkap

struktur yang mendominasi untuk membantu

individu/masyarakat dalam memahami akar global dan

rasional penindasan yang mereka alami.

Penelitian ini juga mencoba untuk melihat

bagaimana proses interaksi antara pengetahuan lokal

dengan sains yang dalam perjalan sejarah modernisasi

pertanian sering menciptakan dominasi. Dengan

demikian rentetan waktu menjadi faktor penting dalam

penelitian ini. Seperti yang dikemukakan oleh Tar

(1997), bahwa teori kritis mendasarkan kajiannya

terhadap masyarakat dalam konteks proses dan

penjalanan sejarah secara keseluruhan. Melalui

paradigma teori kritis ini maka kegiatan penelitian

ini lebih banyak ditujukan pada kritik, transformasi,

pemulihan, dan emansipasi. Sehingga tujuannya bukan

hanya sekedar pemahaman dan rekonstruksi atau

pengembangan pengetahuan praktis maupun prediksi dan

kontrol (Lincoln and Guba 2000).

Secara ontologi, teori kritik mendasarkan pada

realisme historis (historical realism). Realitas yang

dapat diamati merupakan realitas semu yang dibentuk

oleh sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis dan

nilai-nilai gender, dan mengkristalisasi kedalam

serangkaian struktur sebagai kenyataan alami yang

bertahan (bersifat srtruktural). Untuk semua tujuan

praktis struktur tersebut adalah ada secara semu atau

kenyataan sejarah. Secara epistemologi, bersifat

transaksionalitas dan subjektif. Peneliti dan

tineliti saling berinteraksi dan nilai- nilai

peneliti serta situasi lainnya mempengaruhi

penelitian. Hubungan antara peneliti dan tineliti

dijembatani oleh nilai-nilai tetentu (value mediated

findings). Secara metodologi, bersifat dialogis dan

dialektik. Penelitian dibangun melalui dialog antara

peneliti dengan tineliti, di mana dialog bersifat

dialektikal secara alamiah untuk merubah

ketidaktahuan dan salah pengertian menjadi kesadaran

atau sebagai bentuk transformasi intelektual.

Menurut Morrow (1994), implikasi metodologis teori

kritis yang membedakannya dengan pendekatan empiris

antara lain :

1. Pemilihan dan cara menggunakan metode (logis

dalam penggunaannya) tidak dapat dipisahkan

dari metode teori informasi dan klarifikasi

permasalahan.

2. Teori kritis bersifat dialektikal dalam hal

ini mengakui adanya hubungan hermeunetik

peneliti sosial, oleh karena itu

struktur sosial ditegaskan melalui

perantaraan manusia.

3. Aspek metodologi neo-empiris dibentuk oleh

komponen-komponen eksplisit dari penelitian

praktis.

4. Karena penelitian dalam suatu masyarakat

yang sudah terbentuk tidak dapat menggunakan

ideologi netral, maka legitimasi untuk

mensahkan rasionalitas didefinisikan dari

bentuk panduan penelitian melalui pemikiran

kritik-pembebasan.

5. Dimensi metodologi empiris dibedakan menjadi

ekstensif dan intensif, lebih dari sekedar

kuantitatif dan kualitatif, dan metode

intensif merupakan pertimbangan utama untuk

memahami pembentukan teori sosial dalam

terminologi interpretatif strukturalis.

6. Desain penelitian intensif dan ekstensif

dapat dibedakan dari perhatian terhadap fokus

pada level proses sistem integrasi, integrasi

sosial dan mediasi sosial budaya.

B. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,

yaitu penelitian yang berusaha mendapatkan informasi

selengkap mungkin mengenai nasib Pedagang Kaki Lima

yang didominasi oleh Pemerintah Kota dan Pasar-pasar

Modern.

C. Teknik Pengambilan Sampling

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik

purposive sampling, pengambilan jenis teknik sampling

ini berdasar atas tujuan dari penelitian, yang

dijadikan sebagai sampel antara lain:

- Pedagang Kaki Lima yang pernah direlokasi

ataupun baru mendapatkan sosialisasi mengenai

relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota

Surakarta.

- Pedagang Kaki Lima yang berdagang di sekitar

pasar-pasar modern di Kecamatan Jebres Kota

Surakarta (alfamart, indomaret, dll).

D. Tempat dan Waktu Penelitian

1.Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Jebres

Kota Surakarta.

2. Waktu Penelitian

Aktivitas penelitian ini secara keseluruhan

telah dilaksanakan selama dua minggu, yaitu 14

November 2013 hingga 28 November 2013.

Tabel 1

No

.

Tahapan

Kegiatan

Waktu Pelaksanaan14 -

20

Nov13

21 –

24

Nov13

25

Nov1

3

26

Nov1

3

27

Nov13

( Pag

i )

27

Nov13

( Sor

e )1 Persiapan2 Observasi3 Dokumenta

si4 Wawancara5 Draft

Laporan6 Aksi7 Laporan

Akhir

8 Konsultas

i

E. Sumber Data

1. Data Primer

Dalam penelitian ini, data primer diperoleh

melalui observasi lingkungan di Kecamatan Jebres

Kota Surakarta Serta wawancara dengan Pedagang

Kaki Lima di Kecamatan Jebres dan tokoh masyarakat

Kota Surakarta yang berkaitan langsung dengan tema

penelitian.

2. Data Sekunder

Peneliti mendapatkan data sekunder berupa

deskripsi lokasi Kota Surakarta yang berisi peta

wilayah.

Gambar 1. Peta Wilayah Kota Surakarta

(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/

thumb/4/49/Peta_Solo_per_kecamatan.svg/300px-

Peta_Solo_per_kecamatan.svg.png).

B. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data

yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa

Pedagang Kaki Lima yang pernah direlokasi

ataupun baru mendapatkan sosialisasi mengenai

relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota

Surakarta. Dan juga Pedagang Kaki Lima yang

berdagang di sekitar pasar-pasar modern di

Kecamatan Jebres Kota Surakarta (alfamart,

indomaret, dll).

Sekaligus kepada tokoh masyarakat, dalam

penelitian ini ialah Ketua Paguyuban Pedagang

Kaki Lima Kota Surakarta, atau Aliansi Pedagang

Surakarta (APS).

2. Observasi

Observasi dilakukan di daerah Kecamatan

Jebres Kota Surakarta. Hasil observasi berupa

gambar atau photo.

Gambar 2. Salah satu pasar modern di Kelurahan

Jebres.

Gambar 3. Tulisan larangan untuk mendirikan

bangunan ( PKL ) di tembok belakang UNS.

Gambar 4 dan 5. Keadaan tempat relokasi di

Pasar Panggung Rejo

C. Instrument Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen

utama ialah peneliti sendiri yang terdiri dari

mahasiswa Sosiologi B 2011 Fisip UNS.

Serta instrumen tambahan berupa:

- catatan lapangan (field notes).

- Recorder Handphone, digunakan untuk

merekam wawancara.

- Kamera, digunakan untuk mengambil gambar.

- Daftar pertanyaan (Interview guide). Dengan

point-point sebagai berikut:

Untuk PKL:

1. Apa saja syarat untuk mendirikan usaha

PKL di sini ?

2. Setelah dibangunnya pasar modern di

sekitar tempat anda berjualan, apakah

mempengaruhi penghasilan ?

3. Bagaimana hubungan keseharian anda

dengan pasar modern dan pemerintah

kota ?

4. Apa saja kebijakan yang sudah dilakukan

pemerintah kepada PKL ?

5. Apa harapan anda terhadap keberadaan

pasar modern (Alfamart, Indomart, dll)

di sekitar anda berdagang ?

6. Apa harapan anda terhadap pemerintah

kota Surakarta ?

Untuk Paguyuban PKL :

1.Mengapa dibentuk paguyuban PKL ?

2.Apa saja program kerja dari paguyuban

ini ?

3.Apa saja yang telah dilakukan selama ini

?

4.Bagaimana kebijakan Pemkot Surakarta

selama ini ?

5.Bagaimana pendapat anda mengenai

menjamurnya pasar modern (alfamart,

indomart, dll) ?

Dan apa dampaknya terhadap keberadaan PKL

sendiri ?

D. Teknik Analisis Data

Menurut Lincoln dan Guba (2000) secara metodologis

teori kritis bersifat dialogis dan dialiktik,

sehingga penelitian dibangun melalui dialog antara

peneliti dengan subjek penelitian. Dialog yang

bersifat dialektikal secara alamiah bertujuan untuk

merubah ketidaktahuan dan salah pengertian menjadi

kesadaran atau sebagai bentuk transformasi

intelektual.

Pengumpulan data dan analisis data berlangsung

secara simultan. Data dalam penelitian ini merupakan

pemahaman bersama antara penelti dengan tineliti.

Oleh karena itu pengetahuan terdiri atas serangkaian

pemahaman struktur/historis yang akan

ditransformasikan. Pengetahuan bukan merupakan

akumulasi yang mutlak; melainkan, tumbuh dan berubah

melalui suatu proses dialektikal revisi historis yang

secara terus-menerus menghilangkan salah pengertian

dan ketidaktahuan dan memperluas pengertian tentang

informasi yang diberikan secara lebih mendalam.

Glaser dan Strauss (1985) analisis data dilakukan

dalam bentuk pengkodean (coding) yang merupakan

proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan

kembali dengan cara baru. Langkah-langkah dalam

analisis ini diawali dengan pengkodeaan terbuka (open

coding) yang terdiri atas pelabelan fenomena,

penemuan dan penamaan kategori, penyusunan kategori.

Berikutnya dilanjutkan dengan pengkodean terporos

(axial coding), yakni penempatan data kembali dengan

cara-cara baru dengan membuat kaitan antar kategori.

Tahap selanjutnya adalah pengkodean terpilih

(selective coding) yakni memilih kategorisasi inti

dan menghubungkan kategori-kategori lain pada

kategori inti.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi

1. Kota Surakarta

Secara geografis Kota Surakarta dan

sekitarnya terletak pada posisi 110 45’ 15”-110

45’35” Bujur Timur dan antara 70 31’ 43”- 70

35’28” Lintang Selatan. Luas daerah administrasi

44,06 km2. Terdiri dari 5 wilayah Kecamatan, yaitu

Kecamatan Laweyan yang terdiri dari 11 Kelurahan,

Kecamatan Serengan yang terdiri dari 7 Kelurahan,

Kecamatan Jebres yang terdiri dari 11 Kelurahan,

Kecamatan Pasar Kliwon yang terdiri dari 9

Kelurahan, Kecamatan Banjarsari yang terdiri dari

13 Kelurahan.

Batas-batas administrasi dari wilayah kota

Surakarta dan sekitarnya adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Karanganyar dan

Kabupaten Boyolali

Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar dan

Kabupaten Sukoharjo

Sebalah Selatan : Kabupaten Sukoharjo

Sebalah Barat : Kabupaten Karanganyar dan

Kabupaten Sukoharjo

(sumber: www.surakarta.go.id)

2. Kecamatan Jebres

Kecamatan Jebres mempunyai luas wilayah

12,58 km2dengan jumlah penduduk sebanyak 147.258

jiwa per Agustus 2013. Wilayah Jebres meliputi

perempatan panggung ke timur sampai depan Rumah

Sakit Dr. Moewardi, ke selatan berbatasan dengan

kampung Ngemingan. Kecamatan Jebres terdiri dari

11 Kelurahan, yaitu Kelurahan Kepatihan Kulon,

Kelurahan Kepatihan Wetan, Kelurahan Surodiprajan,

Kelurahan Gandekan, Kelurahan Sewu, Kelurahan

Pucangsawit, Kelurahan Jagalan, Kelurahan

Purwodiningratan, Kelurahan Tegalharjo, Kelurahan

Jebres, Dan Kelurahan Mojosongo.

Jumlah penduduk di Kecamatan Jebres 147.258

jiwa dengan jumlah penduduk WNRI sebanyak 147.128

jiwa dan WNA sebanyak 130 jiwa. Jumlah kepala

keluarga sebanyak 41.500 jiwa. Jumlah penduduk di

Kelurahan Jagalan sebanyak 12.435 jiwa, Kelurahan

Tegalharjo sebanyak 6.130 jiwa, Kelurahan Jebres

sebanyak 32.109 jiwa, Kelurahan Mojosongo 49.150

jiwa.

B. Permasalahan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan

Jebres dalam Kaitannya dengan Kebijakan Pemerintah

Kota Surakarta.

Sebelum memasuki pembahasan mengenai hasil

penelitian berupa permasalahan yang dihadapi langsung

oleh PKL, peneliti akan memaparkan terlebih dahulu

mengenai hasil wawancara peneliti dengan seorang

Ketua Paguyuban PKL Surakarta yang bernama Pak

Marbandi, saat diwawancarai beliau sedang berada di

bengkel miliknya. Pak Marbandi merupakan koordinator

APS di Paguyuban Rukun Makmur Solo. Paguyuban PKL

Kota Solo didirikan pertama kali pada tahun 1999 yang

diberi nama FORKOP (Forum Komunikasi Para Pedagang)

meski sempat vakum dalam perjalanan organisasi

tersebut, pada tahun 2009 paguyuban PKL ini bergerak

kembali dan berganti nama menjadi APS (Aliansi PKL

Surakarta). APS itu sendiri terdiri dari 23 paguyuban

di kota Solo. Paguyuban PKL di Solo ini dibentuk

untuk menghadapi Peraturan daerah mengenai larangan

berjualan yang sangat merugikan para pedagang. Dengan

adanya larangan dari peraturan daerah yang dibuat

pemerintah, PKL ini seakan tak mau tinggal diam

dengan dibuatnya peraturan daerah sandingan karena

perda yang dibuat oleh pemerintah sangat merugikan

para PKL. Menurut beliau pada tahun 2009-2010

paguyuban berjalan lancar dan aktif, namun saat masuk

tahun 2011 hingga 2013 ini organisasi ini memudar dan

semakin pasif atau bisa dibilang tinggal nama.

Marbandi khawatir dengan keadaan ini, menurutnya PKL

akan tersaingi dengan Indomaret padahal sebenarnya

hal tersebut merupakan tantangan apalagi dengan

adanya pemudaran keaktifan para anggota paguyuban

saat ini. Marbandi bercerita sedikit tentang demo

yang terjadi pada tahun 2009-2010 di Gedung Depnaker.

Pak Marbandi mengemukakan perlunya didirikan

Paguyuban PKL ini adalah karena jika tidak

dibentuknya paguyuban PKL akan lemah bila mendapat

tekanan dari pemerintah. Paguyuban PKL ini juga

didirikan untuk menyatukan para PKL seluruh Kota Solo

agar terjalin kerja sama antar sesama PKL, dengan

adanya penyatuan para PKL, akan tercipta dengan

sendirinya kebersamaan dan mempersatukan nasib antar

sesama PKL. Dengan bersatunya para PKL dalam

paguyuban ini, kemungkinan untuk melawan dan

menentang Perda yang melarang PKL untuk berjualan.

Paguyuban PKL ini mempunyai beberapa program kerja

yang telah dibuat oleh para pengurus, diantara lain

program kerja yang dibuat adalah mempersatukan PKL

seluruh Surakarta dalam organisasi ini, laluprogram

kerja yang selanutnya adalah mengumpulkan ketua-ketua

paguyuban untuk rapat mengenai masalah-masalah yang

dihadapi di setiap wilayah. Setiap bulannya diadakan

pertemuan di YAPHI ketika masih aktif. Penentangan

terhadap peraturan daerah pun tak luput dari program

yang mereka canangkan.

Peranan Pemkot dalam masalah paguyuban PKL ini

adalah belum meratanya perhatian pemerintah terhadap

seluruh paguyuban dalam arti masih ada paguyuban di

wilayah-wilayah yang belum tersentuh tangan

pemerintah kota untuk disosialisasikan, diarahkan,

maupun berita perelokasian tempat berjualan. Seperti

halnya dipaguyuban PKL untuk daerah Kota Barat, Solo.

Marbandi mengutarakan harapannya dengan kondisi

seperti ini, beliau mengharapkan adanya kebebasan

dalam bejualan dan tetapi masih mengingat kenyamanan

sekitar dan tidak mengganggu fasilitas umum. Pada

kenyataannya pemkot justru menginginkan adannya

relokasi untuk para PKL, misalnya saja para PKL di

sekitaran UNS direlokasi ke Pasar Panggungrejo.

Saat adanya Perda, adanya aturan bahwa PKL baru

harus meminta izin dan mendapatkan tempat yang ilegal

yang kapan saja bisa diusir. Istilahnya, PKL lama

dipertahankan, sedangkan PKL baru tidak diizinkan dan

dipersulit. Pemerintah ingin PKL di kota Solo ini

tidfak berkembang dan tidak boleh menjamur. Sementara

itu, adanya pajak retribusi yang dipungut kepada para

PKL, itupun membuiat para PKL ini resah karena

pemerintah tidak transparan pajak retribusi itu untuk

apa.

Menjamurnya pasar modern seperti Alfamart,

Indomaret, dll, jug amenjadi keresahan bagi para PKL

khususnya warung kelontong yang sebagian besar

barang-barang yang diperjualkan persis juga

diperjualkan di pasar modern tersebut. Marbandi

berpendapat bahwa masyarakat jaman sekarang inginnya

berbelanja di temopat yang bersih, dingin, dan bagus.

Indomaret ataupun Alfamart bersifat kapitalis,

Marbandi menambahkan pernyataan tentang kapitalisme

yang terjadi dalam ruang lingkup PKL ini bahwa apapun

yang bersifat kapitalis akan mematikan usaha kecil

juga sangat merugikan dan seharusnya tidak boleh

berkembang. Dengan adanya pasar-pasar modern tersebut

pendapatan para PKL menurun drastis, padahal para

pengusaha kecil tersebut harus mencukupi kebutuhan

untuk keluarga.

Pak Marbandi mengutarakan beberapa kasus yang

telah terjadi, akibat dari perelokasian para PKL

banyak PKL yang berganti profesi seperti beralih

menjadi buruh, tukang batu, dll. Selanjutnya

berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti

lakukan, peneliti menemukan permasalahan yang

dihadapi oleh PKL kecamatan Jebres dalam

keterkaitannya dengan kebijakan pemkot Surakarta,

antara lain :

1. Relokasi yang Tidak Tepat.

Mengenai permasalahan relokasi, peneliti

memulai penelitian di Pasar Panggung Rejo kepada

beberapa pedagang yang masih bertahan di tempat

relokasi tersebut. Para pedagang menuturkan bahwa

banyak dari tetangga berjualan mereka yang sudah

menyerah untuk bertahan menempati pasar dikarenakan

lokasi pasar Panggung Rejo sendiri yang terisolasi

atau jauh dari keramaian masyarakat khususnya

mahasiswa yang paling dekat di lokasi pasar.

Gambar 6. Pasar Panggung Rejo, 7. Banyaknya kios

yang tutup.

Selain lokasi pasar yang kurang strategis, para

pedagang juga menuturkan mengenai ketidaktepatan

sistem dalam pembagian kios-kios dagangan, salah

satunya seperti yang diutarakan oleh Mbah Minah,

beliau mengkisahkan mengenai seorang tukang tambal

ban, yang setelah direlokasi oleh Pemerintah Kota

Surakarta beliau mendapatkan kios di lantai dua di

dalam pasar. Dalam kasus tersebut tukang tambal ban

tersebut menolak langsung, tetapi tidak ada tindak

lanjut dari Pemerintah Kota Surakarta, hingga

akhirnya tukang tambal ban tersebut memilih untuk

tidak menempati kiosnya. Selanjutnya selama

beberapa tahun berlalu, dari tahun 2007-2008

dimulainya relokasi, situasi di pasar Panggung Rejo

dalam keseharianya nampak begitu sepi, yang

terlihat hanya beberapa pedagang yang tetap

berjuang keras dalam usaha berjualan mereka,

padahal jumlah kios yang berada dalam pasar

tersebut ialah 160 kios sendiri, dan dari kesemua

itu hanya 30an kios yang nampak dipakai untuk

berusaha.

Dalam hal ini nampak Pemerintah Kota Surakarta

dalam program relokasi yang dilakukannya tidak

tepat, yang dilakukan hanyalah penyediaan tempat

untuk berjualan, tanpa melihat prospek dari lokasi

baru tersebut apakah tetap dapat memberi

penghidupan bagi pedagang yang berada di pasar

Panggung Rejo, tidak ada sosialisasi mengenai

keberadaan Pasar Panggung Rejo sebagai suatu pasar

pusat belanja yang di dalamnya bercampur para

pedagang dengan beraneka macam jenis jualannya.

Mbak Minah, usia beliau ialah 56 tahun, beliau

merupakan pedagang relokasi di pasar Panggung Rejo.

Sebelum di relokasi oleh Pemerintah Kota beliau

berjualan di seberang gapura kapal ISI, tepatnya di

depan PDAM, sebagai pedagang kelomtong. Walaupun

telah mendapatkan tempat usaha dagang dari

Pemerintah Kota berupa pasar relokasi, beliu

menuturkan tidak mungkin akan bertahan hidup jika

hanya berjualan di pasar relokasi tersebut,

dikarenakan pasar yang terisolasi dari lalu lintas

pembeli karena jauh dari jalanan, dan sekaligus

beliau mendapatkan lokasi dilantai tiga dan bagian

belakang dari Pasar Panggung Rejo, oleh harena itu

beliau dalam kesehariannya harus berdagang secara

asongan untuk membawa barang dagangannya ke jalan

dengan cara dibopong agar barang dagangannya

tersebut dapat terjual habis.

“..yen ora mlayu ning ndalan, wetenge kulo luwe mas..”

Gambar 8. Mbah Minah dan kios dagangannya.

Kemudian dijumpai pula keadaan di lapangan,

yaitu di jalan Kolonel Soetarto tepatnya di daerah

RSUD Dr Moewardi. Dahulunya di depan RSUD tersebut

banyak PKL yang membuka dagangannya, namun karena

adanya kebijakan pemerintah mengenai RSUD Dr

Moewardi sebagai rumah sakit rujukan daerah

provinsi Jawa Tengah dan sebagai citra bahwa RSUD

Dr Moewardi sebgai rumah sakit yang bersih,

akhirnya Pemerintah Kota Surakarta melakukan

penertiban kepada PKL yang berjualan tepat di depan

rumah sakit yang mana PKL yang dahulunya mendirikan

bangunan permanen, diubah menjadi bangunan semi

permanen dan hanya diizinkan buka dari sore sampai

malam hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan baru

yang mana wilayah di depan RSUD Dr Moewardi harus

steril dari adanya PKL. Pada akhirnya, para PKL

direlokasi di seberang jalan RSUD Dr. Moewardi.

Namun seiring berjalannya waktu setelah

dilakukannya relokasi, pada akhir-akhir ini tepat

di daerah depan rumah sakit mulai datang pedagang-

pedagang baru yang menjajakan barang dagangannya,

mulai dari angkringan, warung makan, kelontong,

dll. Hal tersebut merupakan pelanggaran kesepakatan

antara Pemerintah Kota Surakarta dengan para PKL

lama yang dulunya telah direlokasi. Tentu ini akan

membuat PKL lama pendapatannya akan berkurang

karena pelanggan yang biasanya membeli di PKL lama

akan berpindah pada PKL baru yang berada tepat di

depan RSUD Dr Moewardi yang lebih dekat jaraknya

daripada harus menyebrang jalan untuk membeli di

PKL lama.

Gambar 9. Ibu Amijati ketika sedang

diwawancarai.

2. Menjamurnya Pasar-pasar Modern

Pemerintah Kota Surakarta nampaknya tengah

gencar untuk menawarkan daerah dalam kotanya

sebagai tujuan-tujuan investor. Hal ini terasa

dengan begitu banyak dan menjamurnya pasar-pasar

modern, sejenis Indomaret dan Alfamart—terkhusus

untuk kecamatan Jebres.

Indomaret adalah toko mini yang menjual bahan

pokok kebutuhan sehari-hari dengan kualiatas tinggi

dan terjangkau untuk semua kalangan sehingga

jaringannya pun luas ke seluruh Indonesia bahkan

beberapa ada yang masuk hingga pedesaan. Indomaret

didirikan pada tahun 1988 dengan nama Indomart

(Indonesia Marketing Retail) namun pada saat itu

pemerintah orde baru mewajibkan nama semua produk

menggunakan bahasa Indoensia yang benar (EYD)

sehingga namanya diubah menjadi Indomaret. Saat ini

Indomaret dikelola oleh PT Indomarco Primastama.

Sedangkan Alfamaret didirikan pada 27 juni 1999

oleh PT Alfa Mitramart Utama. Namun sekarang

alfamart dikelola oleh PT Sumber Alfaria Trijaya.

Gambar 10. Indomaret dan Alfamart di Jagalan

yang lokasinya hanya saling berseberangan

jalan.

Salah satu indomaret ialah di sebelah timur

RSUD Dr Moewardi, tepatnya jarak 50 hingga 100

meter. Selain indomaret di sekitar RSUD Dr

Moewardi, indomaret atau alfamart yang lainnya

adalah di daerah Kelurahan Jagalan yang mana

indomaret dan alfamart berada berseberangan atau

berhadap-hadapan. Ada juga alfamart yang berada di

depan Rumah Sakit Dr. Oen. Dalam keseharian tanpa

disadari, keberadaan pasar modern tersebut

merupakan masalah tersendiri bagi pedagang kaki

lima (PKL) yang berada di Kecamatan Jebres.

“.Indomaret di samping RSUD Dr Moewardi yang menyerap banyank

pembeli untuk belanja di sana, penghasilan kami harus turun drastis

dan kesedot oleh Indomaret..”

C. Permasalahan Pedagang Kaki Lima dalam kaitannya

dengan keberadaan pasar-pasar modern di kecamatan

Jebres

Indomaret yang berada di sekitar RSUD Dr. Moewardi

berdiri baru saja, kurang dari satu tahun yang lalu

tetapi memberikan dampak yang begitu signifikan bagi

menurunnya jumlah konsumen dan pendapatan PKL dan

yang berada di sekitar RSUD Dr Moewardi.

Seperti yang dikemukakan oleh salah satu PKL

kelontong yaitu Mbak Asih:

“Ya dulu pas belum ada indomart itu pampers seminggu habis 1 pak, sekarang 1

pak 2 atau 3 minggu baru habis. Dulu aqua kartonan 2 hari habis, sekarang

seminggu baru habis.”

Selain itu indomaret yang berada disana baru-baru

ini melanggar perda yang telah dibuat oleh pemerintah

Kota Surakarta yang mana telah di tetapkan dalam

Perda no.5 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan

Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Salah satunya

pengaturan jam kerja diatur pada pasal 13 yaitu: jam

kerja hypermarket, department store dan supermarket pada

hari senin-jumat pukul 10.00-22.00 dan pada hari

weekend pukul 10.00-23.00 dan jam kerja minimarket

pukul 10.00-24.00. Diluar jam tersebut atau jika

terjadi penyimpangan, dapat dilakukan dengan izin

Walikota.

Namun pada kenyataannya indomaret yang berada di

RSUD Dr Moewardi ini melanggar jam buka karena

indomaret tersebut buka 24 jam padahal dalam Perda

jelas sudah diatur bahwa minimarket hanya boleh buka

sampai pukul 24.00. Hal ini tentu tidak sesuai dengan

tujuan diberlalukannya jam operasional pasar modern

sesuai Perda nomor 5 tahun 2011 yaitu agar pasar

tradisional tidak pudar akibat kehilangan konsumen

yang beralih berbelanja ke pasar modern seperti

minimarket. Seperti yang diketahui bahwa kota Solo

merupakan kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai

lokalitas dan kebudayaan. Pasar tradisional harus

mempunyai eksistensinya sebagai komoditas dalam pola

jual-beli.

BAB V

ANALISIS TEORI HEGEMONI TERHADAP PERMASALAHAN PKL DI

KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA

A. Analisis Permasalahan PKL di Kecamatan Jebres

terhadap Teori Hegemoni Antonio Gramsci

Dalam penelitian ini, dominasi dari pihak

Pemerintah Kota Surakarta yang mengeluarkan beragam

kebijakan yang menindas pedagang kaki lima (PKL)

sebagai masyarakat kelas bawah merupakan bentuk

hegemoni yang nyata, dimana hegemoni yang terjadi

dalam Realitas terstruktur adalah teori yang cukup

mengejutkan dari Louis Althrusser, sekaligus kritik

atas Marx, yang menurutnya terlalu terpukau dengan

ekonomi sebagai faktor mekanisme terjadinya

kekuasaan.

Dalam pemahaman Gramsci, hegemoni yang terjadi

merupakan suatu proses penguasaan kelas dominan

(dalam penelitian ini ialah Pemerintah Kota

Surakarta) terhadap kelas bawah, yaitu pedagang kaki

lima, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide

kelas dominan. Penguasaan yang dilakukan oleh

Pemerintah Kota tidak melalui kekrasan, melainkan

melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang

dikuasai.

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai

masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis

pikiran,kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif

masyarakat melalui consensus (kebijakan pemerintah kota

Surakarta) yang menggiring kesadaran

masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola

kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat

dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk

menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang

berkuasa.

Masyarakat Kelas Dominan merekayasa kesadaran

masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari

mereka rela dan mendudukan kekuasaan kelas dominan.

Dalam permasalahan ini ialah ketika Pemerintah Kota

Surakarta mengeluarkan suatu kebijakan yang

bertujuan untuk menaikkan citra RSUD Dr Moewardi

sebagai rumah sakit daerah pusat provinsi Jawa

Tengah maka harus bersih dari PKL, upaya kelas

dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran

kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan

para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta

intervensi melalui lembaga-lembaga lainnya.

Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana

kita bisa merasa rela ataupun tidak rela ketika

Pemerintah melakukan relokasi kepada PKL, yang akan

dibangun pasar-pasar modern atau untuk alasan

tertentu dari Pemerintah Kota Surakarta agar program

kerjanya dapat dianggap berhasil, padahal dalam

kenyataannya kebijakan-kebijakan dari pemerintah

tidak 100 persen berhasil, terkhusus pada wilayah

Jebres lebih tepatnya strategi pemerintah kota malah

gagal.

Kemudian lebih parahnya lagi ketika Pemerintah

Kota Surakarta malah lebih mengutamakan kepentingan

kapitalis-kapitalis pasar modern untuk menanamkan

modal mereka di lahan yang seharusnya diusahakan

oleh rakyat kelas bawah, yaitu pedagang kaki lima.

Dapat secara frontal dikatakan pemerintah disini

melakukan pembunuhan secara perlahan kepada PKL

dengan cara direlokasikan di daerah yang ridak

strategis dan dengan cara atau sistem yang tidak

tepat. Kemudian daerah kota yang strategis akan

dibangun pasar-pasar modern sejenis indomart ataupun

alfamart yang hanya mengutamakan kepentingan

kelompok tertentu yaitu kaum kapitalis.

Dalam permasalahan ini begitu jelas bahwa

pemerintah Kota Surakarta juga melakukan penanaman

ideologi kepada masyarakat secara luas yang sebagai

konsumen baik dari barang ataupun jasa agar

mengkonsumsi produk-produk kapitalis.

Agar masyarakat bawah dapat menciptakan

hegemoninya, Gramsci memberikan 2 cara (Strinati,

1995), yaitu melalui :

1.      “war of position” (perang posisi)

2.      “war of movement” (perang pergerakan).

Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh

dukungan melalui propaganda media massa, membangun

aliansi strategis dengan barisan sakit hati,

pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang

meningkatkan kesadaran diri dan sosial.

Karakteristiknya: Perjuangan panjang. Mengutamakan

perjuangan dalam system. Perjuangan diarahkan kepada

dominasi budaya dan ideology. Perang pergerakan

dilakukan dengan serangan langsung (frontal),

tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan

bisa dilakukan setelah perang posisi dilakukan, bisa

juga tidak.

Yang selanjutnya dari hasil penelitian kritis

ini peneliti melakukan aksi berupa penyadaran dan

penanaman jiwa solidaritas para Pedagang Kaki Lima

agar mereka mampu bersatu dan memperjuangkan hak-hak

mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan

kebebasan berjualan tanpa adanya hegemoni dari

Pemerintah Kota Surakarta ataupun dari Pasar-pasar

modern.

Aksi yang dilakukan masih pada tahap war position

(perang posisi), Perang posisi dilakukan dengan cara

memperoleh dukungan melalui propaganda media massa,

membangun aliansi strategis dengan barisan sakit

hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah

yang meningkatkan kesadaran diri dan sosial.

Karakteristiknya: Perjuangan panjang. Mengutamakan

perjuangan dalam system. Perjuangan diarahkan kepada

dominasi budaya dan ideology. Dalam aksi peneliti,

dibuat suatu pendekatan yang dapat menampung suara

PKL, yaitu melalui penampungan suara aspirasi PKL

yang berisi mengenai permasalahan dan harapan mereka

di dalam melakukan aktifitas berjualan sehari-hari.

Nantinya dari suara-suara tersebut akan

ditampung dan dibicarakan bersama dan kemudian

diajukan kepada pihak terkait, yang pertama ialah

Paguyuban Pedagang Kaki Lima se-Surakarta, dan

selanjutnya akan disuarakan kepada Pemerintah Kota

Surakarta. Aksi yang dilakukan diberi nama : “KUMPUL

REMBUK AGAWE SANTOSO”. Yang berarti mengumpulkan

suara-suara aspirasi pedagang kaki lima agar dapat

diproses kepada pihak terkait sehingga nantinya akan

menghasilkan suatu kebijakan yang menjadikan kaum

PKL menjadi sentosa.

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Permasalahan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan

Jebres dalam Kaitannya dengan Kebijakan Pemerintah

Kota Surakarta.

- Ralokasi yang tidak tepat.

- Menjamurnya pasar-pasar modern (alfamart,

indomaret).

2. Permasalahan Pedagang Kaki Lima dalam kaitannya

dengan keberadaan pasar-pasar modern di kecamatan

Jebres.

Menjamurnya pasar modern seperti Alfamart,

Indomaret, dll, juga amenjadi keresahan bagi para

PKL khususnya warung kelontong yang sebagian besar

barang-barang yang diperjualkan persis juga

diperjualkan di pasar modern tersebut. Marbandi

berpendapat bahwa masyarakat jaman sekarang

inginnya berbelanja di tempat yang bersih, dingin,

dan bagus. Indomaret ataupun Alfamart bersifat

kapitalis, Marbandi menambahkan pernyataan tentang

kapitalisme yang terjadi dalam ruang lingkup PKL

ini bahwa apapun yang bersifat kapitalis akan

mematikan usaha kecil juga sangat merugikan dan

seharusnya tidak boleh berkembang. Dengan adanya

pasar-pasar modern tersebut pendapatan para PKL

menurun drastis, padahal para pengusaha kecil

tersebut harus mencukupi kebutuhan untuk keluarga.

Beberapa kasus yang telah terjadi, akibat

dari perelokasian para PKL banyak PKL yang

berganti profesi seperti beralih menjadi buruh,

tukang batu, dll.

B. SARAN

Harapan dari PKL agar Pemerintah Kota Surakarta

mempersulit izin untuk menjamurnya Indomaret ataupun

Alfamart, karena usaha seperti itu membunuh PKL, yang

kebanyakan dari PKL itu menambatkan kehidupan sehari-

harinya dari hasil usaha mereka berdagang.

Selain itu juga seyogyanya Pemerintah Kota

Surakarta mampu untuk memberikan batasan dalam

kaitannya mengenai jam operasional pasar-pasar

modern.

Dan juga keinginan nyata dari para PKL ialah untuk

dapat betjualan dengan tenang tanpa ada penggusuran

dari Pemerintah Kota Surakarta, dan apabila memang

harus dilakukan relokasi, diharapkan agar lokasi

relokasi yang strategis dan juga Pemerintah Kota

Surakarta ada tindak lanjut lagi mengenai adanya

suatu tempat baru (hasil relokasi) untuk

disosialisasikan kepada masyarakat umum sebagai

konsumen.

Karena dari menjadi PKL itulah masyarakat kelas

bawah dapat terpenuhi kebutuhan sehari-harinya,

Pemerintah seharusnya lebih mampu untuk pro-aktif

kepada Pedagang Kaki Lima dari pada mengutamakan

keuntungan bagi kelompok kapitalis semata.

Daftar Pustaka

Gitlin, Todd (1979), ‘Prime time ideology: the

hegemonic process in television entertainment’, in

Newcomb, Horace, ed. (1994), Television: the critical view – Fifth

Edition, Oxford University Press, New York.

Simon, Roger (1991), Gramsci’s Political Thought: An

introduction, Lawrence and Wishart, London.Strinati,

Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture,

Routledge, London.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik

Sampai Perkembangan Terakhir Postmodernisme Edisi

Kedelapan. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR.

Media :

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/4/49/Peta_Solo_per_kecamatan.svg/300px-Peta_Solo_per_kecamatan.svg.png).

Jurnal : Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket

dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan Pasar

Tradisional dalam Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM nomor

1 tahun 1 2006