PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN RAWAN BENCANA DI INDONESIA (PRA BENCANA, TANGGAP DARURAT DAN...

16
T T E E O O R R I I P P E E R R E E N N C C A A N N A A A A N N L L A A N N J J U U T T P P L L 5 5 2 2 0 0 1 1 PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN RAWAN BENCANA DI INDONESIA (PRA BENCANA, TANGGAP DARURAT DAN PASCA BENCANA) Disusun Oleh : Irma Yusfida NIM. 25413037 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN (SAPPPK) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2014

Transcript of PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN RAWAN BENCANA DI INDONESIA (PRA BENCANA, TANGGAP DARURAT DAN...

TTEEOORRII PPEERREENNCCAANNAAAANN LLAANNJJUUTT

PPLL 55220011

PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN

RAWAN BENCANA DI INDONESIA

(PRA BENCANA, TANGGAP DARURAT DAN

PASCA BENCANA)

Disusun Oleh :

Irma Yusfida NIM. 25413037

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN (SAPPPK)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2014

PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN RAWAN

BENCANA DI INDONESIA (PRA BENCANA, TANGGAP

DARURAT DAN PASCA BENCANA)

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah sebuah negara yang rawan bencana hal ini dikarenakan letak geografis

Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik menyebabkan negara ini rentan terhadap gunung

meletus. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah gunung berapi aktif terbanyak di

dunia Posisi geografis yang terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia: Eurasia, Indo-

Australia dan Pasifik, Indonesia menyebabkan Indonesia rentan pula terhadap resiko

ancaman gempa dan tsunami.

Selain bencana-bencana berskala besar yang pernah tercatat dalam sejarah, Indonesia juga

tidak lepas dari bencana besar yang terjadi hampir setiap tahun yang menimbulkan kerugian

tidak sedikit. Banjir yang hampir setiap tahun menimpa Jakarta dan wilayah sekitarnya, kota-

kota di sepanjang daerah aliran sungai Bengawan Solo dan beberapa daerah lain di Indonesia

menimbulkan kerugian material dan non-material senilai triliunan rupiah. Demikian pula

kekeringan yang semakin sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia, selain mengancam

produksi tanaman pangan juga kian mempermiskin penduduk yang mata pencahariannya

tergantung pada pertanian, perkebunan dan peternakan.

Berdasarkan Kementerian PU, korban terbesar dari bencana adalah masyarakat yang tinggal

di kawasan rawan bencana. Masyarakat pula yang secara langsung menghadapi bencana.

Menurut Zamroni (2011), Lemahnya kapasitas warga menjadikan kerentanan (vulnerability)

semakin tinggi sehingga jika terjadi bencana sekecil apapun maka warga akan lebih mudah

terperosok dalam ketidakberdayaan (exposure).

Oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana

(PP 21 Tahun 2008). Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran

dan kapasitas masyarakat dalam tahap pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.

Masyarakat yang siap dan waspada terhadap bencana dapat mengurangi, mencegah bahkan

menghilangkan resiko bencana. Berdasarkan hal tersebut di atas maka disusunlah paper

tentang “Partisipasi Masyarakat Pada Kawasan Rawan Bencana Di Indonesia (Pra Bencana,

Tanggap Darurat Dan Pasca Bencana”. Tujuan dari penulisan paper ini adalah mengetahui

praktek partisipasi masyarakat di Indonesia pada tahap pra bencana, tanggap darurat dan

pasca bencana.

II. TINJAUAN KONSEP DAN KEBIJAKAN

2.1 Definisi Rawan Bencana

Rawan Bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah

kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial,

budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pasa satu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang

mengurangi kemampuan mencegah, merendam, mencapai kesiapan, dan mengurangi

kemapuan untuk mengagapi dampak buruk bahaya tertentu.

2.2 Konsep Pengurangan Resiko Bencana

Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma bantuan darurat menuju

paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga paradigma pembangunan. Karena setiap

upaya pencegahan dan mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksinya telah diintegrasikan

dalam program-program pemabngunan di berbagai sektor.

Menurut BNPB (2008) Paradigma Pengurangan Resiko Bencana yang merupakan rencana

terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek sosial, ekonomi dan

lingkungan. Dalam implementasinya kegiatan pengurangan resiko bencana nasional akan

disesuaikan dengan rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat regional dan

internasional. Dalam paradigma pengurangan resiko ini diperkenalkan bagaimana cara

mengurangi ancaman (hazards) dan kerentanan (vulnerability) yang dimiliki serta

meningkatkan kemampuan (capacity) masyarakat dalam menghadapi setiap ancaman. Secara

skematis, hubungan antara ancaman, kerentanan, risiko dan kejadian bencana yang dapat

digambarkan sebagai berikut .

Gambar 1 Bahaya, Kerentanan, Resiko dan Bencana

a. Bahaya (Hazards)

Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi

mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.

Berdasarkan United Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN-

ISDR), bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu :

1) Bahaya beraspek geologi : gempa bumi, tsunami, gunungapi. longsor.

2) Bahaya beraspek hidrometerologi : banjir, kekeringan, angin topan, gelombang

pasang.

3) Bahaya beraspek biolog : wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman.

4) Bahaya beraspek teknologi : kecelakaan transportasi, kecelakaan industri,

kegagalan teknologi.

5) Bahaya beraspek lingkungan : kebakaran hutan, kerusakan lingkungan,

pencemaran limbah.

b. Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang

mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sabagai salah satu faktor

yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila

"bahaya" terjadi pada "kondisi yang rentan". seperti yang dikemukakan Awotona

(1997:1-2) dalam Bappenas : " .... Natural disaster are the interaction between

natural hazard and vulnerable condition". Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari

kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi.

Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur)

yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat

dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun;

kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio

panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA. Wilayah

permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan

karena persentasi kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi

darurat di perkotaan sangat tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio panjang

jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA sangat rendah.

c. Resiko Bencana (Disaster Risk)

Resiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman

bahaya (hazard) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap

karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman

muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan

daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut

semakin meningkat.

Jika ketiga variabel tersebut digambarkan adalah sebagai berikut :

Gambar 2 Hubungan Variabel Bahaya, Kerntanan dan Ketidamampuan

Sumber : BNPB, 2008

Hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat dituliskan dengan

persamaan berikut:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)

Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut

terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau

penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi

tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dalam

kaitannya dengan pengurangan resiko bencana maka upaya yang dapat dilakukan adalah

melalui pengurangan tingkat kerentanan, karena hal tersebut relatif lebih mudah

dibandingkan dengan mengurangi/memperkecil bahaya/hazard.

2.3 Penyelenggaraan Bencana

Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian

upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,

kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus penanggulangan bencana

adalah sebagai berikut :

Gambar 3 Siklus Penanggulangan Bencana

Sumber : BNPB

Pada dasarnya penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni :

1. Pra bencana yang meliputi:

- situasi tidak terjadi bencana

- situasi terdapat potensi bencana

2. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana

3. Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana

2.4 Definisi Partisipatif

Berdasarkan Purnamasari, 2008 secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa inggris

“participation” yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus lengkap Bahasa

Indonesia dijelaskan “partisipasi” berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan,

keikutsertaan, peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam

pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut

membuat keputusan dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan termasuk di

dalamnya memutuskan tentang rencana-rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat

yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.

Adanya partisipasi masyarakat yang optimal dalam perencanaan diharapkan dapat

membangun rasa pemilikan yang kuat dikalangan masyarakat terhadap hasil-hasil

pembangunan yang ada. Geddesian (dalam Soemarmo 2005 :26) mengemukakan bahwa pada

dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif sejak tahap awal penyusunan rencana.

Keterlibatan masyarakatdapat berupa: (1) pendidikan melalui pelatihan, (2) partisipasi aktif

dalam pengumpulan informasi, (3) partisipasi dalam memberikan alternatif rencana dan

usulan kepada pemerintah.

Adapun bentuk lain dari partisipasi masyarakat adalah seperti yang dikemukakan oleh Robert

(dalam Soemarmo, 2005) bahwa partisipasi masyarakat pada dasarnya diperlukan sejak awal

dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan partisipatif menurut Robert dibagi atas

perencanaan sebagai aktivitas perencana dan aktivitas Masyarakat, digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 4 Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Penentuan Alternatif Kebijakan dan Program

Berdasarkan gambar di atas, partisipasi masyarakat berada pada tahap pemilihan alternatif

kebijakan dan program sementara penetapan tujuan, dan sasaran kebijakan dilakukan secara

bersama dengan perencana. Adanya partisipasi masyarakat dalam penetapan tujuan, sasaran

dan kebijakan secara bersama antara asyarakat dan perencana menurut Mc Connel (dalam

Soemarmo, 2005) merupakan input sekaligus sebagai ekspresi dan aspirasi masyarakat.

Alexander Abe (2002:81) mengemukakan pengertian perencanaan partisipatif sebagai

berikut: “perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan

kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung

maupun tidak langsung) tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan

untuk kepentingan rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan

sangat sulit dipastikan bahwa rumusan akan berpihak pada rakyat.”

Adapun menurut Adimiharja (2004), Perencanaan partisipatif dapat dilakukan jika praktisi

pembangunan tidak berperan sebagai perencana untuk masyarakat tetapi sebagai pendamping

dalam proses perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat.

2.5 Langkah-langkah Perencanaan Partisipatif

Menurut Abe dalam Purnamasari, 2009 dikemukakan bahwa langkah-langkah dalam

perencanaan partisipatif yang disusun dari bawah yang dapat digambarkan sebagai tangga

perencanaan sebagai berikut:

Gambar 5 Langkah-langkah Perencanaan Partisipatif

Sumber : Abe dalam Purnamasari, 2009

Langkah-langkah di atas, dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut:

a. Penyelidikan, adalah sebuah proses untuk mengetahui, menggali dan mengumpulkan

persoalan-persoalan bersifat local yang berkembang di masyarakat.

b. Perumusan masalah, merupakan tahap lanjut dari proses penyelidikan.

c. Data atau informasi yang telah dikumpulkan diolah sedemikian rupa sehingga

diperoleh gambaran yang lebih lengkap, utuh dan mendalam.

d. Identifikasi daya dukung, dalam hal ini daya dukung diartikan sebagai dana konkrit

(uang) melainkan keseluruhan aspek yang bisa memungkinkan target yang telah

ditetapkan.

e. Rumusan Tujuan. Tujuan adalah kondisi yang hendak dicapai, sesuatu keadaan yang

diinginkan (diharapkan), dan karena itu dilakukan sejumlah upaya untuk

mencapainya.

f. Langkah rinci. Penetapan langkah-langkah adalah proses penyusunan apa saja yang

akan dilakukan. Proses ini merupakan proses membuat rumusan yang lebih utuh,

perencanaan dalam sebuah rencana tindak.

g. Merancang anggaran, disini bukan berarti menghitung uang, melainkan suatu usaha

untuk menyusun alokasi anggaran atau sumber daya yang tersedia.

Perencanaan partisipatif dapat dilakukan di pembangunan wilayah, pembangunan desa,

pembangunan sosial melalui pemberdayaan masyarakat maupun pembangunan pasca bencana

karena pembangunan lebih secara langsung bersinggungan dengan masyarakat sehingga

masyarakat dapat berperan lebih banyak dalam perencanaan.

2.6 Partisipasi Masyarakat di Kawasan Rawan Bencana

Menurut Mercer (2009), perencana harus melibatkan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan

untuk mengurangi resiko bencana. Dalam hal ini peran masyarakat sangatlah vital karena

masyarakat pribumi yang harus aktif berpartisipasi untuk mengurangi kerentanan komunitas

dan bahaya lingkungan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Zamroni (2011) bahwa

gaya hidup masyarakat Jawa mengutamakan sikap nrimo, sabar, waspada –eling andhap asor

dan Prasaja (Molder, 1983 dalam Zamroni). Sikap ini tercermin dari masa tanggap darurat

Merapi pada tahun 2010 dimana solidaritas sosial orang jawa tersebut dapat diamati secara

jelas dan nyata. Rakyat bergerak lebih cepat daripada pemerintah yang menunjukkan

komunitas lokal memiliki kecerdasan lokal sehingga lebih tanggap terhadap bencana.

Menurut Ganapati (2009), masyarakat harus aktif dilibatkan dalam perencanaan pasca

bencana sehingga masyarakat tidak dianggap sebagai penerima manfaat saja. Selain itu

Pemda dan Organisasi Berbasis Masyarakat hendaknya dilibatkan dalam proses perencanaan

melalui diskusi dan konsultasi. Pendekatan yang dilakukan dalam rekonstruksi sebaiknya

tidak berbasis proyek sehingga lemahnya kapasitas lokal. Masyarakat sebaiknya dilibatkan

sebelum rencana ditetapkan sehingga aspirasi masyarakat dapat tertampung dalam rencana.

Selain itu berdasarkan Lutfiana (2013), pemerintah lebih fokus dalam pemulihan fisik pasca

bencana seperti rekonstruksi perumahan dan infrastruktur sehingga pemulihan kondisi sosial

ekonomi terkadang terabaikan. Sedangkan menurut Wimbardana (2009) pembangunan fisik

lebih diutamakn karena bentuknya jelas dan dapat berdampak luas terhadap komunitas dalam

jangka waktu pendek. Pemulihan sosial ekonomi dapat dilakukan melalui pemantapan sosial

ekonomi komunitas seperti yang terjadi di Gunung Merapi.

Partisipasi masyarakat pasca bencana juga melibatkan masyarakat luas tidak hanya di lokasi

bencana seperti yang dituliskan oleh Andayani (2011) dimana dana masyarakat yang

dikumpulkan oleh media massa cetak maupun elektronik melalui pembukaan rekening amal.

Keterlibatan masyarakat di daerah bencana juga diaktifkan dalam pemulihan dini dalam

bentuk program padat karya dan gotong royong sehingga masyarakat mendapatkan ruang

berpartisipasi dan mendapatkan kesempatan bangkit kembali dari kehidupannya.

Adapun berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan

Bencana, Pengurangan Risiko Bencana dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut :

a. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;

b. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;

c. Pengembangan budaya sadar bencana;

d. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan

e. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

III. PEMBAHASAN

Ancaman bencana merupakan hal yang harus dihadapi secara bersama. Seluruh pihak ikut

bertanggung jawab dalam mempersiapkan kondisi masyarakat dan lingkungan yang peka dan

waspada terhadap bencana. Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan

memerlukan koordinasi antar sektor (perencanaan kolaboratif). Secara garis besar dapat

diuraikan peran dan potensi masyarakat menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun

2008 adalah sebagai berikut :

1) Masyarakat

Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana

harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana

tidak berkembang ke skala yang lebih besar.

2) Swasta

Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup menonjol pada

saat kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan darurat. Partisipasi yang lebih luas

dari sektor swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam

menghadapi bencana.

3) Lembaga Non-Pemerintah

Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki fleksibilitas dan kemampuan

yang memadai dalam upaya penanggulangan bencana. Dengan koordinasi yang baik

lembaga Non Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya

penanggulangan bencana mulai dari tahap sebelum, pada saat dan pasca bencana.

4) Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian

Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan penerapan

ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran

dari para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian.

5) Media

Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Untuk itu peran

media sangat penting dalam hal membangun ketahanan masyarakat menghadapi bencana

melalui kecepatan dan ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa

peringatan dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya, serta pendidikan

kebencanaan kepada masyarakat.

6) Lembaga Internasional

Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari lembaga internasional, baik pada

saat pra bencana, saat tanggap darurat maupun pasca bencana. Namun demikian harus

mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan pada tahap tahap prabencana, saat tanggap darurat,

dan pascabencana karena masyarakat yang berhadapan langsung dengan bencana. Dalam

kaitannya dengan pengurangan resiko bencana maka upaya yang dapat dilakukan adalah

melalui pengurangan tingkat kerentanan, karena hal tersebut relatif lebih mudah

dibandingkan dengan mengurangi/memperkecil bahaya/hazard.

Gambar 6 Konsepsi Pengurangan Resiko Bencana

Selanjutnya partisipasi masyarakat di kawasan rawan bencana berdasarkan jenis kegiatan

menurut Peraturan Kepala BNPB No.4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana

Penanggulangan Bencana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Partisipasi masyarakat dibagi

berdasarkan tahapan yaitu pra bencana berupa kegiatan pencegahan dan mitigasi, Pra bencana

saat terdapat Potensi bencana berupa kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pasca bencana

(rehabilitasi dan rekonstruksi).

Tabel 1 Analisis Partisipasi Masyarakat

Tahap

Kegiatan (Peraturan

Kepala BNPB No.4

Tahun 2008)

Tinjauan Literatur

(Jurnal) Bentuk Partisipasi Masyarakat Analisis

Contoh

Lokasi

Pra Bencana Pencegahan dan

Mitigasi

Mitigasi Pasif

Penyusunan peraturan,

Pembuatan Peta Rawan

Bencana, Analisis

Resiko dan Bahaya,

Litbang, Pembentukan

forum masyarakat

Mitigasi Aktif

Penempatan tanda

peringatan, Penyuluhan,

Pelatihan dasar

kebencanaan,

Pengembangan SDM.

Pratiwi (2013) menyebutkan

Perencanaan di kawasan pasca

bencana dapat menciptakan

lingkungan permukiman yang

antisipatif terhadap

kemungkinan bencana.

Mercer (2009), perencana harus

melibatkan kearifan lokal dan

ilmu pengetahuan untuk

mengurangi resiko bencana.

a. Masyarakat penyuluhan

dalam mempersiapkan diri

dan lingkungannya

menghadapi bencana

b. Masyarakat ikut serta dalam

memberikan informasi sesuai

dengan kearifan lokal daerah

masing-masing guna

mewujudkan lingkungan yang

antisipatif terhadap bencana

meliputi desain bangunan,

bahan bangunan dll.

c. Akademisi dan Peneliti

melakukan penelitian terkait

lingkungan permukiman yang

antisipatif terhadap

kemungkinan bencana

Pemerintah mengamanatkan pelaksanaan persiapan

masyarakat pada pra bencana pada daerah-daerah

yang rawan bencana. Hal ini diharpkan dapat

meningkatkan kapasitas masyarakat yang tanggap

terhadap bencana sehingga dapat mengurangi

besarnya resiko bahaya. Jalur evakuasi, bangunan

dan bukit evakuasi beserta penunjuk arahnya sudah

disediakan tetapi ternyata pada prakteknya di Aceh

masih ditemui permasalahan misalnya sempitnya

jalur evakuasi. Semakin bertambah waktu Indonesia

menjadi semakin lebih baik persiapannya pada pra

bencana. Bahkan saat ini telah disusun Rencana

Pengurangan Resiko Bencana di kawasan-kawasan

Rawan Bencana oleh KemenPU. Tetapi idak kalah

penting yaitu perlunya arahan dan kontrol supaya

pelasanaan rencana tersebut berjalan optimal.

Selain itu dalam merencanakan lingkungan juga

harus memperhatikan kearifan dan budaya lokal

karena pada umumnya masyarakat pribumi

memiliki pengetahuan tidak tertulis terkait

pengurangan resiko bencana.

Aceh, DIY,

Kep.

Mentawai

Pra bencana

saat terdapat

Potensi

bencana

Kesiapsiagaan

Pembentukan POSKO,

pelatihan siaga/

simulasi, peringatan,

rencana kontingensi,

mobilisasi sumber daya

dll.

a. Masyarakat membentuk posko

peringatan bencana dan

melakukan pembagian job desk

terhadap anggota posko dan

menyusun rencana kontingensi

b. Masyarakat mengikuti pelatihan

bencana secara berkala seperti

yang telah dilakukan di Aceh

dengan mengikuti petunjuk

yang telah ditentukan.

Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari

jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan

berubahnya tata kehidupan masyarakat. Masyarakat

secara rutin telah mengikuti pelatihan

siaga/simulasi sehingga diharapkan masyarakat

lebih tanggap terhadap bencana dan mengetahui

langkah-langkah apa yang harus dilakukan ketika

terjadi bencana.

Kawasan

Rawan

Bencana :

Aceh, Nias,

DIY, Jateng

Tanggap

Darurat

Pernyataan Bencana,

Bantuan Darurat

Rakyat bergerak lebih cepat

daripada pemerintah yang

menunjukkan komunitas lokal

a. Pemberian bantuan darurat

oleh sektor swasta, NGO

b. Solidaritas sosial warga dalam

Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap

penindakan atau pengerahan pertolongan untuk

membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna

Solidaritas

Sosial di

DIY, Jawa

Tahap

Kegiatan (Peraturan

Kepala BNPB No.4

Tahun 2008)

Tinjauan Literatur

(Jurnal) Bentuk Partisipasi Masyarakat Analisis

Contoh

Lokasi

memiliki kecerdasan lokal

sehingga lebih tanggap terhadap

bencana (Zamroni, 2011)

Dana masyarakat yang

dikumpulkan oleh media massa

cetak maupun elektronik melalui

pembukaan rekening amal

menolong sesama pada masa

tanggap darurat

menghindari bertambahnya korban jiwa.

Masyarakat saling menolong setelah terjadinya

bencana seperti yang terjadi di DIY dimana rakyat

bergerak cepat menolong sesama yang

menunjukkan budaya gotong royong. Selain itu

kepedulian masyarakat di wilayah lain juga

ditunjukkan melalui aksi bantuan melalui media

massa baik cetak maupun elektronik, bantuan dari

swasta serta NGO.

Tengah

Pasca

Bencana

Kaji Bencana,

Rehabilitasi dan

Rekonstruksi

Ganapati dan Ganapati

(2009), masyarakat harus

aktif dilibatkan dalam

perencanaan. Selain itu

Pemda dan Organisasi

Berbasis Masyarakat

hendaknya dilibatkan dalam

proses perencanaan melalui

diskusi dan konsultasi.

Pendekatan yang dilakukan

dalam rekonstruksi sebaiknya

tidak berbasis proyek

sehingga lemahnya kapasitas

lokal.

a. Masyarakat sudah dilibatkan

melalaui program

REKOMPAK JRF yang

dikelola oleh Kementerian

PU. Program ini melibatkan

partisipasi total masyarakat

dalam rekonstruksi dan

rehabilitasi perumahan pasca

bencana.

b. Selain itu masyarakat juga

diberdayakan untuk lebih

peduli terhadap

lingkungannya, dan

berinovasi untuk

pengembangan

lingkungannya.

Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan

rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap

rehabilitasi adalah untuk mengembalikan

kondisi daerah yang terkena bencana yang serba

tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik,

agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat

berjalan kembali. Sedangkan tahap rekonstruksi

merupakan tahap untuk membangun kembali sarana

dan prasarana yang rusak akibat bencana secara

lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu

pembangunannya harus dilakukan melalui suatu

perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari

berbagai ahli dan sektor terkait. Masyarakat sudah

berperan aktif dalam program rekonstruksi dan

rehabilitasi pasca bencana. Adapun pendekatan

yang dilakukan tidak berbasis proyek tetapi

pemberdayaan. Anggaran REKOMPAK JRF ini

dalam bentuk bantuan sosial bukan belanja modal

(berbasis proyek). Metode yang digunakan pada

umumnya menggunakan Participatory Research

Appraisal (PRA) dimana masyarakat yang

menentukan tujuan dan sasaran, mengidentifikasi

potensi masalah dan daya dukung, menyusun

rencana dan strategi serta menyusun prioritas.

Aceh, DIY,

Jateng,

Pangandaran

(Jabar)

Sumber : Hasil Analisis, 2014

Berdasarkan tabel di atas maka sudah terlihat adanya tanda partisipasi (Arnstein,1969 dalam

Ganapati, 2009). Proses partisipasi sudah diupayakan untuk dilaksanakan pada tahapan pra

bencana, saat terjadi potensi bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Tanda partisipasi

ditunjukkan melalui peran serta masyarakat pada pra bencana berupa keikutsertaan

masyarakat dalam memberikan informasi dan aspirasi dalam perencanaan kawasan rawan

bencana berdasarkan kearifan lokal. Selain itu dalam tahap pasca bencana juga terdapat tanda

partisipasi berupa keikutsertaan warga dalam rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana

dimana masyarakat aktif dalam penyusunan rencana permukiman, pembangunan dan

pengelolaan lingkungan seperti yang terjadi DIY dan Jawa Tengah. Tetapi intensitas

partisipasi warga juga tergantung pada kearifan lokal di wilayah rawan bencana dan

pengalaman serta pengetahuan masyarakat terkait bencana (kesiapsiagaan). Terkadang

partisipasi masyarakat tidak optimal di beberapa wilayah karena budaya masyarakat yang

berbeda dan faktor kesiapsiagaan.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penulisan paper dengan judul “Partisipasi Masyarakat Pada Kawasan Rawan

Bencana Di Indonesia (Pra Bencana, Tanggap Darurat Dan Pasca Bencana” anatara lain

sebagai berikut :

a. Masyarakat sudah aktif dilibatkan dalam tahapan pra bencana, saat terjadi potensi

bencana, tanggap darurat dan pasca bencana di kawasan rawan bencana. Tanda

partisipasi ditunjukkan melalui peran serta masyarakat pada pra bencana berupa

keikutsertaan masyarakat dalam memberikan informasi dan aspirasi dalam perencanaan

kawasan rawan bencana berdasarkan kearifan lokal, kepedulian saling menolong

sesama melalui bantuan sosial, gotong royong dll.

b. Masyarakat yang berperan aktif tersebut meliputi masyarakat di daerah rawan bencana

(korban bencana), media massa, akademisi (perguruan tinggi), swasta dan NGO.

c. Perlunya koordinasi yang efektif dan kerjasama antar pihak (Kementerian/Lembaga dan

OPD) di semua tingkatan dan lintas sektor dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan

mitigasi, kesiapsiagaan tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi.

d. Bencana merupakan permasalahan bersama maka diperlukan koordinasi yang efektif

dan efisien = perencanaan kolaboratif yang melibatkan seluruh stakeholder baik

pemerintah dan swasta di kawasan rawan bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka. 2004. Participatory Research Appraisal dalam Pengabdian Kepada

Masyarakat. Bandung : Humaniora

Bappenas. 2006. Rencana Aksi Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana

Gempa Bumi Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Provinsi Jawa Tengah

Ganapati, Sukumar & Ganapati. 2009. Enabling Participatory Planning After Disasters : A

Case Study of The World Bank’s Housing Reconstruction in Turkey. Journal of The

American Planning Association, Winter 2009, Vol. 75 No.1

Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Pedoman Pendampingan Penanganan Kawasan Rawan

Bencana Longsor. http://www.rekompakjrf.org/download/Pedoman%20Pendampingan

%20Penanganan%20Kawasan%20Rawan%20Bencana%20Longsor%20Rekompak%20

JRF.pdf diakses 12 Mei 2014

Lutfiana, Dian. 2013. Exploring Social Capital Role To Restore Community Resilience After

West Java Earthquake: Case Study Pangalengan Sub-District, Bandung Region, West

Java. Disampaikan dalam Planocosmo 2013, SAPPK ITB

Mercer, Jessica, Ilan Kelman, Lorin Taranis and Sandie Suchet-Pearson. 2006. Framework

for integrating indigenous and scientific knowledge for disaster risk

reduction.http://web.mit.edu/.../Mercer-DRR-CC-Reiven..Diakses 12 Mei 2014

Purnamasari, Irma. 2008. Studi Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Di

Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Thesis. Magister Ilmu Administrasi,

Universitas Diponegoro, Semarang. http://eprints.undip.ac.id/17845/1/

IRMA_PURNAMASARI.pdf diakses 12 Mei 2014

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Resiko Bencana

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana

Pratiwi, Wiwik. D. 2012. Perencanaan perumahan dan permukiman untuk antisipasi bencana.

Disampaikan dalam Planocosmo 2012, SAPPK ITB

Soemarmo, 2005, Analisis Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif Pada Proses Perencanaan

Pembangunan Di Kota Semarang (Studi Kasus Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi

Masyarakat Di Kecamatan Banyumanik), Tesis, Magister Administrasi Publik,

Universitas Diponegoro, Semarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan

Bencana

Wimbardana, Ramanditya. 2013. Assessing Community’s Socio-Economic Enhancement in

Post Disaster Recovery: Case Study of Mount Merapi. Disampaikan dalam Planocosmo

2013, SAPPK ITB