KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN ...
KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN
ABRASI PANTAI DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR
Risk Analysis of Extreme Wave Disaster and Coastal Abrasion in the Coastal Areas of Makassar City
JASMANI
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iii
KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN
ABRASI PANTAI DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu
Disusun dan diajukan oleh
JASMANI
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Jasmani
Nomor Mahasiswa : P4600214004
Program studi : Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Terpadu
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, November 2017
Yang menyatakan
Jasmani
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala
atas selesainya penyusunan tesis ini.
Gagasan yang melatar belakangi tajuk permasalahan ini timbul dari
hasil pengamatan penulis terhadap fenomena bencana gelombang ekstrim
dan kajadian abrasi pantai yang terjadi di wilayah pesisir kota Makassar.
Penulis bermaksud menyumbangkan konsep untuk kegiatan pengurangan
risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah kajian
berdasarkan hasil penelitian ini.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini. namun semuanya dapat dilalui berkat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak yang mendukung penyelesaian tesis ini.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus ingin menyampaikan terima
kasih kepada Dr. Ahmad Faizal, ST.,M.Si sebagai ketua komisi penasihat
dan Dr. Mahatma Lanuru, ST., M.Si sebagai anggota komisi penasihat atas
bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari perencanaan
penelitian, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kota Makassar, Dinas Perikanan dan Pertanian Kota
Makassar, para sahabat penulis di Pondok st Rahma Nur (terkhusus
saudaraku Firman) dan nelayan kel. Buloa yang telah banyak membantu
dalam rangka pengumpulan data dan informasi penelitian. Terima kasih
vi
juga penulis sampaikan kepada saudara Sukri, ST (anggota SAR Unhas)
yang telah banyak membantu penulis dalam pengolahan data. Dan yang
terakhir ucapan terima kasih juga sampaikan kepada mereka yang
namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
Penulis
Jasmani
vii
ABSTRAK
JASMANI. Kajian Risiko Bencana Gelombang Ekstrim dan Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir Kota Makassar (dibimbing oleh Ahmad Faizal dan Mahatma Lanuru).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai, (2) tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir, (3) tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai, dan (4) rekomendasi strategi untuk pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, hasil penelitian dipaparkan berdasarkan analisis deskriptif. Pengambilan data dilakukan melalui pengukuran parameter oseanografi, digitasi peta citra, survei lapang, dan wawancara semi-terstruktur dengan stakeholder terkait. Data dianalisis menggunakan tabel analisis risiko bencana yang bersumber dari peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 dan 2 tahun 2012 yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan kondisi lokasi penelitian. Pengolahan data menggunakan Microsoft excell 2013 sedangkan olah data spasial menggunakan software QGIS 2.18.11.
Hasil penelitian menunjukan bahwa wilayah pesisir kota Makassar memiliki tingkat ancaman bencana, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas kategori tinggi (>2,34), sedang (1,67-2,34) dan rendah (<1,67). Ancaman bencana kategori tinggi terdapat di pesisir kec. Tamalate dengan nilai total ancaman 3,00; kategori sedang terdapat di kec. Wajo, kecamatan Ujung Tanah, dan kec. Tallo dengan kisaran nilai ancaman sebesar 1,70-2,20; sedangkan Kategori rendah terdapat di kec. Biringkanaya, kec. Tamalanrea, dan kec. Mariso dengan kisaran nilai ancaman sebesar 1,3-1,6. Nilai kerentanan kategori tinggi terdapat di kec. Mariso; kategori sedang terdapat di kec. Tallo, Ujung Tanah, Wajo dan Ujung Pandang; sedangkan kategori rendah terdapat di kec. Biringkanaya, Tamalanrea, dan Tamalate. Tingkat kapasitas Kategori sedang terdapat di kec. Biringkanaya, Tamalanrea, Tallo, Ujung tanah, Wajo, Ujung Pandang dan Mariso, sedangkan kategori rendah terdapat di kec. Tamalate. Hasil analisis risiko bencana menggambarkan, kec. Tamalate memiliki nilai risiko bencana kategori tinggi dengan nilai risiko sebesar 3,30; kategori sedang terdapat di kec. Wajo dan kec. Tallo dengan kisaran nilai risiko sebesar 2,13-2,20 sedangkan kategori rendah terdapat di kec. Biringkanaya, kec. Tamalanrea, kec. Ujung Pandang, dan kec. Mariso dengan kisaran nilai risiko sebesar 0,81-1,7. Strategi pengurangan risiko bencana dapat dilakukan melalui perbaikan stabilitas pantai dengan membangun bangunan pemecah gelombang dan menanam vegetasi pantai yang sesuai.
Kata kunci: Wilayah Pesisir, Risiko Bencana, Gelombang Ekstrim, Abrasi
ix
DAFTAR ISI
PRAKATA .................................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................. vii
ABSTRACT .............................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ....................................... xviii
BAB I .......................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Rumusan Masalah ............................................................................. 6
Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
Defenisi dan Istilah ............................................................................ 9
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 11
Sistematika Penulisan ..................................................................... 11
BAB II ....................................................................................................... 13
x
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir .............................................. 13
Gambaran Umum Bencana ............................................................. 14
Bencana di Wilayah Pesisir ............................................................. 15
Gelombang Ekstrim dan Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir ............... 16
Kerentanan Wilayah Pesisir ............................................................ 19
Kapasitas Wilayah Pesisir ............................................................... 24
Risiko Bencana Wilayah Pesisir ...................................................... 26
Kerangka Pikir ................................................................................. 28
BAB III ...................................................................................................... 29
METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 29
Rancangan Penelitian ..................................................................... 29
Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 30
Alat dan Bahan ................................................................................ 31
Prosedur Kerja................................................................................. 32
1. Persiapan Awal .............................................................. 32
2. Pengambilan Data Indeks Ancaman Bencana .............. 33
3. Pengambilan Data Indeks Kerentanan .......................... 38
4. Pengambilan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan ....... 40
xi
Analisis Data ................................................................................... 41
BAB IV ..................................................................................................... 50
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................. 50
A. Pengumpulan Data Indeks Ancaman .............................................. 50
B. Analisis Parameter Indeks Ancaman ............................................... 60
C. Penilaian Tingkat Ancaman Bencana .............................................. 66
D. Pengumpulan Data Indeks Kerentanan ........................................... 72
E. Analisis Indeks Kerentanan ............................................................. 78
F. Penilaian Tingkat Kerentanan ......................................................... 85
G. Pengumpulan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan ....................... 88
H. Analisis Parameter Indeks Kapasitas/Ketangguhan ........................ 91
I. Penilaian Tingkat Kapasitas/Ketangguhan ...................................... 96
J. Analisis Risiko Bencana .................................................................. 98
K. Rekomendasi Strategi Pengurangan Risiko Bencana ................... 104
BAB V .................................................................................................... 110
PENUTUP .............................................................................................. 110
A. Kesimpulan .................................................................................... 110
B. Saran ............................................................................................. 111
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 113
xii
LAMPIRAN............................................................................................. 114
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1. Kerangka alur pemikiran yang digunakan pada penelitian ..... 28
Gambar 2. Lokasi penelitian .................................................................... 31
Gambar 3. Titik pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus
................................................................................................ 36
Gambar 4. Bentuk Garis Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar ............. 56
Gambar 5. Tingkat ancaman bencana wilayah pesisir kota Makassar .... 69
Gambar 6. Tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar ................ 87
Gambar 7. Tingkat kapasitas wilayah pesisir Kota Makassar .................. 98
Gambar 8. Peta risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai Kota
Makassar .............................................................................. 101
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1. Lokasi penelitian ........................................................................ 30
Tabel 2. Lokasi pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus
................................................................................................ 35
Tabel 3. Parameter Penilaian Indeks Ancaman Bencana ........................ 42
Tabel 4. Klasifikasi tingkat ancaman bencana ......................................... 43
Tabel 5. Parameter Penilaian Indeks Kerentanan.................................... 44
Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Kerentanan ................................................... 45
Tabel 7. Parameter Penilaian Indeks Kapasitas ...................................... 46
Tabel 8. Klasifikasi tingkat kapasitas bencana ......................................... 47
Tabel 9. Tinggi gelombang wilayah pesisir Kota Makassar. .................... 51
Tabel 10. Data kecepatan arus wilayah pesisir Kota Makassar ............... 52
Tabel 11. Kerapatan mangrove di wilayah pesisir utara Kota Makassar .. 54
Tabel 12. Bentuk Garis Pantai Kota Makassar ........................................ 57
Tabel 13. Karakteristik Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar ................ 59
Tabel 14. Analisis parameter tinggi gelombang ....................................... 61
Tabel 15. Analisis parameter kecepatan arus .......................................... 62
Tabel 16. Analisis parameter kerapatan vegetasi mangrove ................... 63
Tabel 17. Analisis parameter bentuk garis pantai .................................... 64
Tabel 18. Analisis parameter karateristik pantai ...................................... 65
Tabel 19. Nilai total ancaman bencana .................................................... 67
xv
Tabel 20. Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi ...... 68
Tabel 21. Kepadatan penduduk kecamatan pesisir Kota Makassar ........ 72
Tabel 22. Kelompok rentan di kelurahan pesisir Kota Makassar ............. 74
Tabel 23. Jumlah kepala keluarga miskin di wilayah pesisir Kota Makassar.
................................................................................................ 75
Tabel 24. Kepala keluarga nelayan di pesisir Kota Makassar. ................. 76
Tabel 25. Kepadatan Bangunan di wilayah Pesisir Kota Makassar ......... 77
Tabel 26. Luas mangrove di wilayah pesisir Kota Makassar ................... 78
Tabel 27. Skoring Indikator kepadatan penduduk .................................... 79
Tabel 28. Skoring parameter Indikator kelompok rentan ......................... 80
Tabel 29. Skoring parameter kepala keluarga miskin .............................. 81
Tabel 30. Skoring parameter kepala keluarga nelayan ............................ 82
Tabel 31. Skoring Parameter kepadatan bangunan ................................. 83
Tabel 32. Skoring parameter luas vegetasi mangrove ............................. 84
Tabel 33. Nilai kerentanan wilayah pesisir ............................................... 85
Tabel 34. Tingkat kerentanan wilayah pesisir Kota Makassar ................. 86
Tabel 35. Sebaran pembangunan mitigasi struktural diwilayah pesisir Kota
Makassar. ............................................................................... 90
Tabel 36. Skoring analisis parameter kapasitas aturan dan lembaga
penanggulangan bencana ....................................................... 91
Tabel 37. Skoring analisis parameter kapasitas pengkajian risiko bencana
................................................................................................ 92
xvi
Tabel 38. Skoring analisis parameter kapasitas pembangunan sistim
peringatan dini ........................................................................ 93
Tabel 39. Skoring analisis parameter kapasitas kegiatan mitigasi bencana
................................................................................................ 94
Tabel 40. Skoring analisis parameter kapasitas pendidikan dan pelatihan
kebencanaan .......................................................................... 95
Tabel 41. Nilai total kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar
................................................................................................ 96
Tabel 42. Tingkat kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar
................................................................................................ 97
Tabel 43. Hasil analisis resiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai di wilayah pesisir Kota Makassar ................................. 99
Tabel 44. Tingkat risiko bencana masing-masing Kecamatan ............... 100
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1. Form penilaian kapasitas untuk jenis bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai kota Makassar .............................. 118
Lampiran 2. Data bangunan pemukiman kelurahan pesisir kota Makassar
.............................................................................................. 119
Lampiran 3. Peta geologi dan jenis tanah kota Makassar ...................... 120
Lampiran 4. Data arus wilayah pesisir kota Makassar ........................... 121
Lampiran 5. Data penduduk wilayah pesisir kota Makassar .................. 122
Lampiran 6. Kelompok rentan wilayah pesisir kota Makassar ............... 123
Lampiran 7. Lokasi stasiun pengambilan data ekosistem mangrove ..... 124
Lampiran 8. Kepala keluarga nelayan wilayah pesisir kota Makassar ... 125
Lampiran 9. Tabel analisis data ancaman bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai ......................................................................... 126
Lampiran 10. Contoh analisis data dan compilasi data penelitian.......... 127
Lampiran 11. Analisis data parameter kerentanan wilayah pesisir ........ 128
Lampiran 12. Analisis data parameter kapasitas/ ketangguhan wilayah
pesisir .................................................................................... 129
Lampiran 13. Dokumentasi penelitian .................................................... 130
Lampiran 14. Karakteristik wilayah pesisir kota Makassar ..................... 131
Lampiran 15. Fenomena abrasi di pantai Tanjung Bayang, kecamatan
Tamalate ............................................................................... 134
xviii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan Keterangan
QGIS Quantum Geographic Information System
m Meter, satuan panjang
s Second, Satuan waktu
Ha Hektar, satuan luas lahan
No. Nomor
Kec. Kecamatan
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
PERKA Peraturan Kepala
PU Pekerjaan umum
BAPPEDA Badan perencanaan dan pembangunan daerah
BPS Badan pusat statistik
UU Undang-undang
KKP Kementerian kelautan dan perikanan
Perpres Peraturan presiden
EWS Early Warning System
H Hazard, bermakna ancaman
V Vulnerability, bermakna kerentanan
C Capacity, bermakna kapasitas
R Risk, bermakna risiko
BMKG Badan meteorologi, klimatologi dan geofisika
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat
dan lautan yang dipengaruhi oleh perubahan di darat maupun di laut (UU
No.27/2007). Secara umum, batasan wilayah pesisir kearah darat meliputi,
bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi
oleh sifat-sifat laut seperti, pasang surut, angin laut, dan perembesan air
asin (intrusi), sedangkan ke arah lautan meliputi, wilayah laut yang
mendapat pengaruh dari proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi, aliran air tawar maupun aktivitas manusia seperti
pengundulan hutan dan pencemaran lingkungan (Diposaptono, 2003).
Wilayah pesisir memiliki karateristik yang unik baik secara fisik
maupun ekologi. Secara fisik, wilayah pesisir merupakan wilayah yang
strategis untuk berbagai aktivitas manusia seperti pemukiman, pendidikan,
pelabuhan, wisata, budidaya dan industri. Sedangkan secara ekologi,
wilayah pesisir, memiliki beragam ekosistem laut maupun payau seperti
beragam jenis ikan, Crustacea, maupun hamparan ekosistem mangrove
sebagai hutan payau yang memiliki manfaat fisik sebagai stabilisator garis
pantai (Pramudji, 2000).
2
Wilayah pesisir juga menjadi wilayah yang rentan dan terancam
ketika terjadi perubahan aktifitas hidro-oseanografi di lautan maupun
aktifitas manusia (human activity) di daratan. Perubahan aktifitas hidro-
oseanografi di lautan yang menjadi pemicu terjadinya bencana alam,
umumnya disebabkan oleh efek pemanasan global (global warming).
Pemanasan global (global warming) memicu naiknya muka air laut (sea
level rise) dan perubahan kecepatan angina yang pada keadaan tertentu
mampu menyebabkan badai dan terjadinya gelombang ekstrim di lautan
(Ristianto, 2011). Gelombang ekstrim yang terjadi dapat menimbulkan
dampak susulan berupa abrasi pada daratan pantai. Energi gelombang laut
yang besar menghantam wilayah pesisir secara terus-menerus
menimbulkan perpindahan sedimen dan material pantai ketempat lain (Fajri
dkk, 2012).
Fenomena naiknya muka air laut (sea level rise) dan gelombang
ekstrim serta abrasi pantai telah dirasakan terjadi di wilayah pesisir
Indonesia. Menurut Hidayat (2012), fenomena kenaikan muka air laut di
Kota Makassar pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 0,8 - 1 cm/tahun.
Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2100 diprediksikan, seluruh
kawasan lama Kota Makassar yang memiliki ketinggian tanah <1,5 m akan
tergenang air dengan total daratan yang hilang seluas 69,70 Ha. Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika pada akhir tahun 2016 merilis
ancaman gelombang ekstrim di perairan Sulawesi. Gelombang tinggi dan
angin kencang yang terjadi disebabkan oleh adanya pertemuan siklon tropis
3
(angin) dan low pressure (cikal bakal siklon tropis) yang terjadi di bagian
bawah pulau Bali. Jika low pressure meningkat menjadi siklon tropis maka
kecepatan angin dapat mencapai kecepatan diatas 100 km/jam yang
sangat berbahaya untuk aktivitas pelayaran (Koran Fajar, 2016). Menurut
Diposaptono (2003), terdapat 17 propinsi dan 68 lokasi pantai telah
mengalami abrasi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius.
Fenomena kejadian abrasi dapat dilihat pula pada pesisir pantai kecamatan
Mallusetasi dan Tanete Rilau kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada
masing-masing pesisir Kecamatan ini, telah terjadi abrasi sejauh 210 meter
dan 165 meter (Saru, 2013).
Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi dapat
memberikan berbagai dampak negatif khususnya menurunnya kualitas
lingkungan di wilayah pesisir (Rosyidie, 2006). Tercatat lebih dari 100 juta
penduduk dan 80% industri di Indonesia berada dan beraktivitas di wilayah
pesisir (Rosyidie, 2006 dan Pratiwi, 2011). Pertambahan penduduk memicu
meningkatnya konversi hutan mangrove di wilayah pesisir untuk kawasan
pemukiman, aktivitas perindustrian, kepelabuhanan, dan lahan budidaya.
Konversi yang dilakukan secara langsung menghilangkan fungsi fisik hutan
mangrove sebagai peredam gelombang dan stabilitasor pantai (Pramudji,
2000).
Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir, dapat memicu
peningkatan kepadatan penduduk, kemiskinan dan peningkatan
pemukiman nelayan. Kepadatan penduduk berpotensi menimbulkan
4
besarnya jumlah korban jiwa, ketika suatu wilayah terdampak bencana.
Kawasan pemukiman yang memiliki jumlah dan tingkat kepadatan
penduduk tinggi berpotensi menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang
besar (Rosyidie, 2006). Menurut Dahuri (2008), wilayah pesisir telah
menjadi kantong kemiskinan di Indonesia karena sebagian besar penduduk
hidup dibawah garis kemiskinan. Masyarakat miskin dan nelayan, akan
sangat berat merasakan dampak ketika terjadi bencana. Kerusakan fasilitas
perumahan dan terhambatnya aktivitas mata pencaharian menyebabkan
masyarakat miskin dan nelayan akan semakin terpuruk dan sulit untuk
bangkit memperbaiki keadaan ekonominya.
Kota Makassar merupakan salah satu Kota di Indonesia yang
terletak pada wilayah pesisir. Terletak di pesisir pantai barat Propinsi
Sulawesi Selatan yang berada pada koordinat geografis 119018’28’’-
119032’03’’ BT dan 05003’18’’-05013’26’’ LS dan memiliki 14 wilayah
administrasi pemerintahan kecamatan, 8 kecamatan diantaranya
merupakan kecamatan pesisir karena berhadapan langsung dengan selat
Makassar. Memiliki luas wilayah 175.77 km2 terdiri dari 17.437 Ha wilayah
daratan (99,2%) dan 140 Ha (0,8%) wilayah kepulauan. Memiliki panjang
garis pantai ± 32 km dengan total jumlah penduduk sebesar 1.449.401 jiwa
dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,41 persen per tahun (BPS,
2016). Kota Makassar dijuluki sebagai kota metropolitan di kawasan timur
Indonesia karena berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat
kegiatan industri, pusat aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan dan
5
kesehatan, serta merupakan jalur pelayaran nasional dan internasional
yang menghubungkan beberapa wilayah di Indonesia (DKP3 Makassar,
2011).
Sebagai kawasan kota metropolitan, kota Makassar terus
mengalami peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi
setiap tahunnya. Petumbuhan penduduk memicu perluasan kawasan
pemukiman baru. Salah satu wilayah yang strategis untuk kawasan tersebut
adalah wilayah pesisir. Hal ini dapat dilihat dari geliat pembangunan
perumahan elit di wilayah pantai Tanjung Bayang, kecamatan Tamalate dan
pembangunan pemukiman nelayan di kelurahan Tallo dan Buloa,
kecamatan Tallo yang terus menjorok kelaut. Berdasarkan keberadaannya,
wilayah tersebut, berpotensi menerima dampak perubahan iklim secara
langsung.
Dampak perubahan iklim di wilayah pesisir Kota Makassar dapat
dilihat dari kejadian gelombang ektrim yang dirilis oleh BMKG wilayah IV
Makassar pada akhir tahun 2016. Gelombang ekstrim terjadi di selat
Makassar bagian selatan, termasuk perairan Kota Makassar. Ketinggian
gelombang mencapai 3 meter dan nelayan dilarang untuk melaut (Koran
Fajar, 2016). Sedangkan kejadian abrasi pantai ditemukan terjadi pada
wilayah pesisir bagian selatan Kota Makassar, yaitu pantai Tanjung Bunga
dan pantai Barombong, Kecamatan Tamalate. Kejadian abrasi
menyebabkan beberapa bangunan pantai rusak, diantaranya tugu layar
6
putih yang terletak di Selatan Tanjung Bunga kini telah hilang (Koddeng,
2011).
Melihat tingginya potensi ancaman gelombang ekstrim dan abrasi
pantai, serta pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk di
wilayah pesisir Kota Makassar, maka diperlukan strategi dan upaya
penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah
pesisir Kota Makassar berdasarkan karakteristik bencana tersebut.
Karakteristik bencana dapat diketahui melalui kajian dan penilaian risiko
bencana suatu wilayah dengan mempertimbangkan aspek ancaman
bencana, aspek kerentanan wilayah maupun masyarakat dan aspek
kapasitas dalam penanganan bencana (Perka BNPB No. 2 tahun 2012).
Berdasarkan hal tersebut maka, penelitian kajian risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar perlu
dilaksanakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan strategi
penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah
pesisir Kota Makassar.
Rumusan Masalah
Ancaman gelombang ekstrim dan abrasi pantai, kondisi kerentanan
dan kapasitas yang dimiliki oleh wilayah serta masyarakat pesisir Kota
Makassar perlu menjadi bahan analisis dalam pengkajian risiko bencana.
Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah:
7
1. Bagaimana tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai di wilayah pesisir Kota Makassar ?
2. Bagaimana tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir kota
Makassar dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai.?
3. Bagaimana tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
di wilayah pesisir Kota Makassar ?
4. Bagaimana rekomendasi strategi untuk pengurangan risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka yang menjadi tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengkaji dan memetakan tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar.
2. Mengkaji dan memetakan tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah
pesisir kota Makassar dalam menghadapi ancaman bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
3. Mengkaji dan memetakan tingkat kapasitas wilayah pesisir kota
Makassar dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai.
4. Mengkaji dan memetakan tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar.
8
5. Menyusun rekomendasi strategi pengurangan risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat
ancaman, tingkat kerentanan, tingkat kapasitas dan tingkat risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar.
Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak, yaitu:
1. Untuk pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu
referensi dan rujukan untuk menyusun program kegiatan
penanggulangan bencana dan upaya-upaya pengurangan risiko
bencana di wilayah pesisir kota Makassar.
2. Untuk masyarakat, dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dan
pertimbangan sebelum melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan
dan aktivitas penangkapan di wilayah pesisir kota Makassar.
Masyarakat juga dapat terlibat dalam upaya-upaya pengurangan risiko
bencana sesuai kemampuan yang dimilikinya.
3. Untuk dunia usaha, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah
satu referensi untuk menyusun program dan kegiatan pengabdian
masyarakat melalui penyaluran dana CSR (Corporate Social
Responbility) membantu upaya-upaya pengurangan risiko bencana di
wilayah pesisir kota Makassar.
9
Defenisi dan Istilah
Beberapa istilah digunakan dalam penelitian ini sehingga perlu
dijabarkan agar terdapat kesamaan pemahaman mengenai istilah yang
digunakan. Adapun defenisi dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Ancaman bencana adalah kejadian atau peristiwa yang berpotensi
menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan asset atau kehancuran
lingkungan hidup
2. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
ancaman bencana
3. Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan
tindakan pengurangan tingkat ancaman dan tingkat kerugian akibat
bencana
4. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat
5. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan
gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan
menganalisis tingkat ancaman, tingkat kerentanan dan kapasitas daerah.
6. Tingkat risiko adalah perbandingan antara tingkat kerugian dengan
kapasitas daerah untuk memperkecil tingkat kerugian dan tingkat
10
ancaman akibat bencana
7. Tingkat kerugian adalah potensi kerugian yang mungkin timbul akibat
kehancuran fasilitas kritis, fasilitas umum dan rumah penduduk pada zona
ketinggian tertentu akibat bencana
8. Peta risiko bencana adalah gambaran tingkat risiko bencana suatu
daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana
suatu daerah
9. Rencana penanggulangan bencana adalah rencana penyelenggaraan
penanggulangan bencana suatu daerah dalam kurun waktu tertentu yang
menjadi salah satu dasar pembangunan daerah
10. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu kawasan untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu
11. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
12. Badan nasional penanggulangan bencana, yang selanjutnya disingkat
dengan BNPB, adalah lembaga pemerintah non-departemen sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
13. Badan penanggulangan bencana daerah, yang selanjutnya disingkat
dengan BPBD, adalah badan pemerintah daerah yang melakukan
11
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah
14. Peta adalah kumpulan dari titik-titik, garis-garis, dan area-area yang
didefinisikan oleh lokaisnya dengan sistem koordinat tertentu dan oleh
atribut non-spasialnya
15. Geographic Information System, selanjutnya disebut GIS, adalah sistem
untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis,
dan penayangan data yang mana data tersebut secara spasial
(keruangan) terkait dengan muka bumi.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup indeks ancaman, indeks
kerentanan, indeks kapasitas, dan risiko bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai yang terjadi di wilayah pesisir Kota Makassar berdasarkan
pengambilan data tahun 2016 dan 2017.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan suatu penjabaran secara
deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis secara garis besar terdiri dari
bab I, bab II, bab III, bab IV dan bab V. Sistematika penulisan ini mengikuti
panduan pedoman penulisan tesis yang dikeluarkan oleh pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Pada bab I menjelaskan informasi yang melatar
belakangi dilakukannya penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian, serta sistematika
12
penulisan yang terdapat dalam tesis. Informasi pada bab II mengenai studi
pustaka yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian yang menjelaskan
tentang kawasan dan definisi wilayah pesisir, bencana di wilayah pesisir,
kerentanan di wilayah pesisir, kapasitas di wilayah pesisir, kajian risiko di
wilayah pesisir, dan alur pikir penelitian. Bab III menjelaskan informasi
tentang rancangan penelitian, waktu dan lokasi penelitian, alat dan bahan,
prosedur penelitian, serta analisis data yang digunakan untuk mengolah
data primer dan sekunder yang telah didapatkan. Bab IV menjelaskan
tentang hasil dan pembahasan penelitian mengenai ancaman bencana,
kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir serta risiko bencana di wilayah
pesisir. Bab V menjelaskan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir
Secara umum batasan dan defenisi wilayah pesisir belum ada yang
dibakukan. Para ahli memiliki pendapat yang berbeda mengenai batasan
wilayah pesisir (coastal zone). Namun, terdapat kesepakatan di dunia
bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan
dan lautan (Dahuri, 2013). Supriharyono (2009), mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan, ke arah darat
wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air,
yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut,
dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup
wilayah laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena
kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran. Jika
ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki dua
macam batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross-shore)
(Diposaptono, 2003).
Wilayah pesisir meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut
dan daratan yang sempit, yaitu dari garis 200 m ke arah darat dan ke arah
14
laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata pasang terendah. Namun jika
ditinjau dari kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir ke arah darat
dapat ditetapkan atas dua jenis, yaitu batas untuk wilayah perencanaan
(planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau
pengelolaan keseharian (day to day management). Wilayah perencanaan
sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan
manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata
terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir (Diposaptono, 2003).
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan darat dan laut. Untuk kepentingan
pengelolaan, ruang lingkup wilayah pesisir ke arah darat mencakup wilayah
administrasi pemerintah kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas)
mil laut yang diukur dari garis pantai.
Gambaran Umum Bencana
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU
No. 24 Tahun 2007). Berdasarkan faktor penyebab terjadinya, bencana
dibedakan atas 3 jenis sebagai berikut:
15
1. Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan
dan tanah longsor.
2. Bencana non-alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan aksi
teror.
Bencana di Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah yang berpotensi
terdampak ketika terjadi bencana. Dalam peraturan pemerintah No. 64
Tahun 2010, bencana alam di wilayah pesisir diartikan sebagai kejadian
yang disebabkan oleh peristiwa alam atau karena perbuatan manusia yang
menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan
mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan faktor penyebabnya, bencana di
wilayah pesisir terbagi atas 2 jenis bencana yaitu:
1. Bencana yang disebabkan oleh fenomena alam yaitu gempa bumi,
tsunami, gelombang ekstrim, gelombang laut berbahaya, letusan
16
gunung api, banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah longsor, erosi
pantai, angin puting beliung.
2. Bencana yang disebabkan oleh ulah manusia yaitu banjir, kenaikan
paras muka air laut, tanah longsor, dan erosi pantai
Menurut Diposaptono (2003) menyatakan bahwa, bencana di
wilayah pesisir terbagi atas beberapa jenis, baik yang disebabkan oleh ulah
manusia maupun terjadi secara alami karena fenomena alam antara lain
tsunami, banjir, gelombang ekstrim, abrasi pantai.
Gelombang Ekstrim dan Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir
Gelombang adalah gerakan naik turunnya permukaan air laut yang
berlangsung secara periodik dan umumnya disebabkan oleh angin
(Hutabarat, 2014). Gelombang pada umumnya bergerak menuju pantai
hingga pecah dan mempengaruhi geomorfologi pantai. Pecahnya
gelombang ketika sampai ke pantai dipengaruhi oleh gesekan dasar laut
perairan dangkal yang mereduksi gerakan melingkar dari partikel-partikel
paling bawah dari gelombang. Ada dua bentuk utama pecahnya gelombang
yaitu:
1. Spilling breakers, yang berhubungan dengan gelombang yang curam
yang dihasilkan oleh lautan ketika timbul badai. Begitu bagian atas
gelombang tertumpah ke bawah ke depan puncak gelombang dan
proses ini merupakan proses yang terjadi secara perlahan-lahan dan
17
kekuatan gelombang yang tidak teratur terjadi untuk periode yang relatif
lama.
2. Plunging breakers, yang berhubungan dengan gelombang besar (swell)
dan karena itu mereka cenderung untuk terjadi beberapa hari setelah
badai atau tidak seberapa jauh dari pusat badai itu sendiri. Pecahnya
gelombang disini mempunyai bentuk cembung ke belakang tetapi
puncak gelombang melengkung ke depan berbentuk cekung ke arah
muka. Proses tertumpahnya gelombang jenis ini ke bawah disertai
dengan tenaga yang sangat besar, walaupun mereka kemungkinan
tampaknya kurang dahsyat jika dibandingkan dengan spiling breakers.
Tenaga yang dihancurkan mereka meliputi daerah yang kecil dan jenis
gelombang ini mampu menimbulkan kehancuran yang hebat
(Hutabarat, 2014).
Gelombang dapat dipengaruhi oleh kecepatan angin esktrim yang
sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman bencana. Ketika gelombang telah
menjadi bencana maka dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian di
wilayah pesisir baik hilangnya harta benda, penghambatan aktivitas
manusia maupun kerusakan serius di wilayah pantai. Adapun bencana
yang disebabkan oleh perubahan gelombang sebagai berikut:
1. Gelombang Ekstrim
Gelombang dapat menjadi ekstrim ketika dibangkitkan oleh angin
badai yang terjadi di perairan laut. Gelombang dikatakan ekstrim
18
berdasarkan dampak kerusakan yang ditimbulkan, berupa rusaknya
bangunan pantai, menyebabkan abrasi pantai dan dapat pula ditinjau dari
penghambatan aktivitas pelayaran, perikanan yang umumnya sehari-hari
berlangsung di suatu perairan tertentu. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dalam Perka BNPB No.2 tahun 2012 menyatakan, tinggi
gelombang diatas satu meter ditetapkan sebagai gelombang yang memiliki
ancaman sedang dan tinggi.
2. Abrasi Pantai
Abrasi pantai merupakan suatu proses pengikisan material pantai,
pada umumnya diakibatkan oleh gelombang dan arus laut. Selain itu dapat
pula disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konstruksi bangunan pada
pantai, penambangan pasir pada pantai, dan penebangan ekosistem
pelindung pantai. Abrasi pantai merupakan permasalahan di daerah pantai
yang dapat menimbulkan kerugian akibat dari rusaknya pemukiman dan
fasilitas-fasilitas yang ada di kawasan pantai (Triatmodjo, 2012). Faktor-
faktor yang mempengaruhi kecepatan abrasi pada suatu kawasan pesisir
adalah (Prawiradisastra, 2003) :
a. Besar dan arah gelombang atau arus laut.
b. Kecepatan sedimentasi material dari daratan.
c. Struktur vegetasi wilayah pesisir.
d. Kedalaman laut di lepas pantai.
e. Keterbukaan pantai terhadap serangan ombak.
19
f. Stabilitas posisi garis pantai akibat adanya penghalang.
Kerentanan Wilayah Pesisir
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam
menghadapi bencana (Perka BNPB No.2/2012). Kerentanan dapat
meningkatkan ancaman dan risiko bencana di wilayah pesisir. Kerentanan
di wilayah pesisir dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik yang
disebabkan oleh keadaan penduduk maupun kondisi fisik lingkungan.
Keadaan penduduk yang mempengaruhi kerentanan di wilayah pesisir
berupa tingkat kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi masyarakat,
dan keberadaan kelompok rentan sedangkan kondisi fisik lingkungan
berupa kondisi vegetasi pantai, kepadatan pemukiman dan jarak
pemukiman dari pesisir pantai.
1. Kepadatan Penduduk
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah
geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau
mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk
menetap. Kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk yang
mendiami suatu area tertentu (BPS, 2016). Kepadatan penduduk
menjadi faktor yang menyebabkan wilayah pesisir rentan terhadap
ancaman bencana. Padatnya jumlah penduduk Indonesia yang
mendiami suatu wilayah pesisir sekitar 140 juta jiwa (60%) (dengan
20
pertumbuhan rata-rata 2% per tahun), menjadi faktor tingginya jiwa
terpapar dan korban jiwa ketika terjadi bencana.
2. Kelompok Rentan
Rentan merupakan keadaan dimana seseorang tidak berdaya
menghadapi ancaman bencana. Kelompok rentan merupakan semua
komponen masyarakat yang terpapar bencana alam baik itu kelompok
usia produktif maupun tidak produktif. Pada dasarnya suatu kelompok
dapat dikategorikan menjadi kelompok rentan ketika memenuhi kriteria
berikut (Yustiningrum, 2016) :
a. Rentan secara kesehatan: sakit dan kurang gizi, perempuan hamil
dan menyusui, balita, dan lanjut usia.
b. Rentan secara sosial: perempuan kepala rumah tangga tunggal,
anak-anak tanpa orang tua, dan orang cacat.
c. Rentan secara ekonomi: kaum miskin atau kelompok masyarakat
yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya suatu wilayah
d. Rentan secara politik: Internally Displaced Person (IDP) pengungsi,
kelompok etnis minoritas, aktivis hak asasi manusia dan
kemanusiaan
3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang berhubungan
dengan kerentanan di wilayah pesisir berupa kemiskinan dan mata
pencaharian penduduk. Kerentanan karena factor kemiskinan dan mata
pencaharian penduduk dipaparkan sebagai berikut:
21
a. Kemiskinan merupakan kondisi deprivasi materi dan sosial yang
menyebabkan individu suatu masyarakat hidup di bawah standar
kehidupan yang layak (Hall dan Midgley, 2014). Badan pusat statistik
mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau
masyarakat dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Kemiskinan masyarakat di Indonesia umumnya didominasi oleh
masyarakat pesisir. Dari hasil kajian Kementerian kelautan dan
perikanan (KKP), jumlah warga miskin di wilayah pesisir mencapai
7,9 juta jiwa atau 25 persen dari total jumlah penduduk miskin di
Indonesia (http://www.kabarbisnis.com). Gelombang ekstrim dan
abrasi pantai dapat merusak aset dan rumah penduduk miskin serta
lahan yang dimanfaatkan untuk usaha produktif (Taylor, 2013).
b. Mata pencaharian penduduk yang menjadi kerentanan di wilayah
pesisir berupa penduduk yang bermatapencaharian sebagai
nelayan. Nelayan merupakan orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan di laut (UU No. 45/2009). Nelayan
dinilai rentan disebabkan aktivitas mata pencaharian yang dilakukan
berhubungan dengan aktivitas di laut. Ketika terjadi gelombang
ekstrim, nelayan tidak dapat melakukan penangkapan ikan yang
berdampak pada kerugian secara ekonomi karena hilangnya
penghasilan. Selain itu, gelombang ekstrim dapat pula merusak alat
yang digunakan untuk menangkap ikan.
22
4. Kondisi Vegetasi Pantai di Wilayah Pesisir
Salah satu vegetasi yang tumbuh subur di wilayah pesisir adalah
ekosistem mangrove. Menurut Onrizal (2008), hutan mangrove dapat
didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang
tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Pada kondisi
yang sesuai ekosistem mangrove akan membentuk hutan yang
ekstensif dan produktif. Mangrove sering juga dinamakan hutan pantai,
hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau karena hidup di
dekat pantai.
Hutan mangrove memiliki multi fungsi baik secara ekologi,
ekonomi maupun secara fisik. Secara fisik, perakaran mangrove yang
kuat dan rapat mampu meredam energi gelombang sehingga energi
gelombang yang mengenai wilayah pesisir menjadi berkurang. Hutan
mangrove dapat berfungsi sebagai stabilisator garis pantai, dapat
mencegah erosi akibat pukulan ombak dan juga berperan menambah
lahan pantai. Tipe perakaran dari Rhizophora sp., avicennia sp. dan
sonneratia sp. dapat meredam hantaman gelombang dan sekaligus
berperan sebagai penghimpun atau pengikat lumpur yang dibawa oleh
aliran sungai (Pramudji, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan di teluk
Grajakan, Banyuwangi, Jawa timur menunjukan bahwa keberadaan
ekosistem mangrove dapat mereduksi tinggi gelombang sebesar
23
0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E)=19635,26 joule
(Hermon, 2015)
Berkurangnya ekosistem mangrove menjadi ancaman tersendiri
bagi stabilitas wilayah pesisir. Wilayah pesisir akan rentan mendapatkan
hantaman gelombang tinggi, penelitian yang dilakukan oleh
Diposaptono (2005), menemukan fakta bahwa pesisir Aceh yang
memiliki ekosistem mangrove yang baik mengalami tingkat kerusakan
yang lebih rendah dibanding pesisir yang tidak memiliki ekosistem
mangrove atau ekosistem mangrovenya telah rusak.
5. Kepadatan Pemukiman dan Jarak Pemukiman dari Pesisir Pantai
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri
atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana,
sarana, fasilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain
di kawasan perkotaan atau pedesaan (Undang-undang Nomor 1 Tahun
2011). Kepadatan pemukiman di wilayah pesisir menjadi faktor
pendukung tingginya potensi jumlah kerugian fisik ketika terdampak
bencana. Selain itu, pemukiman yang padat akan menyulitkan proses
evakuasi korban bencana karena tidak tersedianya jalur evakuasi yang
memadai, sehingga menambah tingginya kerentanan wilayah pesisir
dalam menghadapi ancaman bencana. Kawasan pemukiman yang
mempunyai kepadatan tinggi akan menimbulkan kerugian yang besar
terutama bila kondisi pemukiman kurang kuat (Rosyidie, 2006).
24
Selain kepadatan pemukiman, kerentanan wilayah pesisir juga
didukung oleh jarak pemukiman dari pesisir pantai. Semakin dekat
dengan pesisir pantai maka, potensi terdampak dan tingkat kerusakan
akan semakin tinggi. Pemerintah telah mengatur batas aman
pemukiman penduduk di wilayah pesisir dengan diaturnya batas
sempadan pantai pada Perpres No. 51 Tahun 2016. Sempadan pantai
adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 (seratus) meter dari
titik pasang tertinggi ke arah darat. Pengaturan wilayah sempadan
pantai dimaksudkan untuk menjaga kehidupan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil dari ancaman bencana alam.
Kapasitas Wilayah Pesisir
Kapasitas adalah kemampuan daerah atau masyarakat untuk
melakukan tindakan pengurangan ancaman dan tingkat kerugian akibat
dampak bencana (Perka BNPB No. 2/2012). Kemampuan masyarakat
dalam menghadapi bencana menjadi faktor penting mengurangi jumlah
korban dan tingkat kerusakan ketika terjadi bencana. Kapasitas masyarakat
dan lingkungan dapat dilihat melalui beberapa kegiatan yang melibatkan
para pihak baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha untuk
mengurangi dampak bencana, yaitu:
25
1. Regulasi pemerintah daerah yang mengatur tentang lembaga
penanggulangan bencana dan berbagai mekanisme penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
2. Penyusunan perencanaan penanganan tanggap darurat bencana yang
didasari dengan kajian ilmiah dan mendalam tentang jenis bencana
yang sedang dihadapi dan berpotensi terjadi.
3. Membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana berupa
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna.
4. Menyusun sistem peringatan dini tanggap darurat bencana, yaitu
berupa serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
5. Melaksanakan kegiatan mitigasi struktural maupun non-struktural
sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik, rehabilitasi lingkungan pesisir, maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman
bencana serta kemampuan beradaptasi terhadap ancaman bencana.
Wacano (2013), menjelaskan beberapa bentuk adaptasi masyarakat
pesisir demak dalam menghadapi ancaman bencana kepesisiran yaitu
relokasi pemukiman, peninggian lantai bangunan, pengurugan tanah,
konstruksi bangunan rumah panggung, rehabilitasi mangrove dan
26
perubahan mata pencaharian penduduk. Menurut Triatmodjo (2012)
beberapa cara dapat dilakukan untuk melindungi pantai dari ancaman
gelombang yaitu memperkuat atau melindungi pantai agar mampu
menahan serangan gelombang, mengubah laju transport sedimen
sepanjang pantai, mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai
dan mereklamasi pantai dengan tambahan suplai sedimen.
Peran masyarakat pesisir sangat strategis mengurangi dampak
bencana melalui kegiatan pastisipatif pengurangan risiko bencana berbasis
masyarakat. Hal ini dilihat pada peran masyarakat pesisir dalam merusak
sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan pesisir. Menurut Huda (2008),
bahwa kerusakan mangrove hampir 50% di pesisir Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Jambi disebabkan oleh konversi lahan hutan mangrove
menjadi kawasan permukiman dan pemanfaatan kayu hutan mangrove
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar.
Risiko Bencana Wilayah Pesisir
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat
(Perka BNPB No. 2/2012). Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah
pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin
timbul akibat suatu bencana yang akan terjadi. Potensi dampak negatif
27
yang timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas suatu
kawasan yang meliputi jumlah jiwa yang terpapar bencana, kerugian harta
benda dan kerusakan lingkungan. Pengkajian risiko bencana
menggambarkan hubungan antara tiga komponen yang saling terkait yaitu
komponen ancaman yang melanda suatu kawasan, komponen kerentanan
baik manusia dan wilayah maupun komponen kapasitas suatu kawasan
tertentu. Apabila elemen kerentanan tinggi bertemu dengan bahaya tinggi
maka akan menyebabkan dan meningkatkan risiko bencana (Jaswadi,
2012).
28
Kerangka Pikir
Gambar 1. Kerangka alur pemikiran yang digunakan pada penelitian
Pemanasan Global dan
perubahan Iklim
Mempengaruhi aktivitas hidro-
oseanografi
Pertambahan jumlah penduduk
(antropogenik)
Kepadatan Penduuduk,
kemiskinan, alih fungsi lahan Mangrove,
Undang-undang penanggulangan
bencana di Indonesia
Paradigma masyarakat dan pemerintah
menghadapi bencana
Mengancam wilayah pesisir Kota Makassar
Menimbulkan kerentanan di wilayah pesisir Kota Makassar
Kapasitas/ketangguhan Kota Makassar dalam menghadapi bencana
Mempengaruhi tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
di wilayah pesisir Kota Makassar
Analisis parameter bencana
Kajian risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah
pesisir Kota Makassar
Beresiko sedang
dan Tinggi.?
Upaya preventif menghadapi risiko
bencana
Rekomendasi strategi pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai
Ya
Tidak
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, hasil
penelitian dipaparkan menggunakan analisis deskriptif. Pengambilan data
dilakukan melalui pengukuran parameter oseanografi, digitasi peta citra,
survei lapang, dan wawancara semi-terstruktur dengan stakeholder terkait.
Data dianalisis menggunakan tabel analisis risiko bencana yang bersumber
dari peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1
dan 2 tahun 2012 yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan kondisi lokasi
penelitian. Pengolahan data menggunakan Microsoft excell 2013
sedangkan olah data spasial menggunakan software QGIS 2.18.11. Hasil
analisis data di klasifikasi ke dalam tiga kelas yaitu kategori rendah, sedang
dan tinggi yang menggambarkan perbedaaan tingkat ancaman bencana,
tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas serta tingkat risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai pada masing-masing kecamatan.
Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel hasil analisis dan peta hasil
analisis.
30
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan
bulan Mei 2017 bertempat di delapan kecamatan pesisir kota Makassar.
Pada masing-masing kecamatan dipilih wilayah kelurahan yang berbatasan
langsung dengan laut sebagai lokasi pengambilan data penelitian. Adapun
lokasi penelitian disajikan pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Lokasi penelitian
No. Kecamatan Lokasi pengambilan
data Luas (Km2)
Panjang garis pantai (Km)
1. Biringkanaya Untia 2,93 6,73
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 19,3 7,29
3. Tallo Tallo, Buloa 2,97 9,48
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
0,96 7,24
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
1,43 1,88
6. Ujung Pandang
Bulogading, Maloku, Losari
0,83 3,47
7. Mariso Panambungan 0,71 0,8
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
16,14 18,35
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Makassar, 2016
Untuk keperluan analisis data spasial dan penggambaran hasil
penelitian pada peta maka, pada masing-masing kecamatan diberi satu
simbol lingkaran (polygon). Simbol lingkaran mewakili dan menggambarkan
kondisi wilayah kecamatan pesisir secara umum berdasarkan hasil
31
penelitian. Pengambaran lokasi penelitian disajikan sebagai berikut
(gambar 2) :
Gambar 2. Lokasi penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (global
positioning system) untuk menentukan titik koordinat lokasi penelitian,
layangan arus yang dimodifikasi untuk mengukur kecepatan arus,
stopwatch yang digunakan untuk menghitung waktu, patok skala untuk
mengukur tinggi gelombang, roll meter untuk pengukuran plot pengambilan
data mangrove, kamera untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian,
alat tulis menulis untuk mencatat pengambilan data, buku Makassar dalam
angka 2016 untuk melihat data kependudukan di wilayah pesisir Kota
Makassar, softcopy Buku PU dalam Angka 2015 untuk melihat jumlah
32
bangunan pemukiman di masing-masing kelurahan, data shapefile Batas
administrasi Kota Makassar dari BPBD Kota Makassar yang digunakan
untuk analisis data, Software SAS 16.07 untuk pengambilan data citra
google, microsoft excell 2013 yang digunakan untuk menginput data dan
Software QGIS 2.18.11 yang digunakan untuk menganalisis data dan
membuat peta hasil penelitian.
Prosedur Kerja
Prosedur penelitian ini meliputi persiapan awal, pengambilan data
primer, pengambilan data sekunder, analisis data, dan interpretasi data.
Pengambilan data primer dilakukan dengan cara pengukuran dan survei
langsung dilapangan serta wawancara dengan stakeholder terkait.
Sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan dengan mengunjungi
instansi terkait. Pengambilan data meliputi pengambilan data ancaman,
data kerentanan, dan data kapasitas. Prosedur kerja penelitian sebagai
berikut:
1. Persiapan Awal
Persiapan awal penelitian dilakukan dengan cara kunjungan
lapangan dan studi pustaka. Kunjungan lapangan dilakukan untuk melihat
karakteristik wilayah dan lokasi pengambilan data penelitian, sedangkan
studi pustaka dilakukan untuk menentukan indeks ancaman, kerentanan,
dan indeks kapasitas serta mempelajari hasil penelitian terdahulu.
Penentuan indeks ancaman, kerentanan dan kapasitas menggunakan
33
panduan kajian risiko bencana yang diterbitkan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Perka BNPB Nomor 1 dan 2
tahun 2012 yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan karakteristik lokasi
penelitian.
2. Pengambilan Data Indeks Ancaman Bencana
Data ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
meliputi data tinggi gelombang, kecepatan arus, kerapatan mangrove,
bentuk garis pantai, dan karakteristik pantai Kota Makassar. Data ini
digunakan untuk menghitung indeks ancaman bencana (Tabel.3). Adapun
metode pengambilan masing-masing data ancaman adalah sebagai
berikut:
a. Pengukuran Tinggi Gelombang
Pengukuran tinggi gelombang dilakukan dengan cara mengukur
tinggi muka air saat puncak dan saat lembah dengan menggunakan
tiang gelombang (tiang skala). Selisih puncak dengan lembah
merupakan tinggi gelombang. Jumlah pengukuran puncak dan lembah
yaitu 51 kali (puncak dan lembah) dan waktunya disesuaikan sampai
pengukuran puncak dan lembah mencapai 51 kali.
Selain pengambilan data tinggi gelombang di lapangan,
pengukuran tinggi gelombang diperoleh dari hasil prediksi gelombang
yang dihitung berdasarkan data kecepatan angin, arah angin, dan
panjang wilayah bertiupnya angin tanpa hambatan (fetch). Panjang
fetch adalah panjang laut yang dibatasi oleh pulau pada kedua
34
ujungnya. Data fetch efektif dihitung berdasarkan tiap-tiap arah dalam
delapan arah mata angin utama dengan menggunakan persamaan
matematis (Triatmodjo, 2012):
𝐹𝑒𝑓𝑓 =∑ 𝑋𝑖 cos 𝑎
∑ 𝐶𝑜𝑠 𝑎
Keterangan :
Feff = Fetch rerata efektif
Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi
gelombang ke ujung akhir fetch
α = deviasi pada kedua sisi arah angin dengan menggunakan
pertamabahan 60 sampai sudut sebesar 420 pada kedua sisi
dari arah angin
Data kecepatan, arah dan periode angin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data angin selama 5 tahun (2011-2015) yang
diperoleh dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
wilayah IV Makassar.
b. Pengukuran Kecepatan Arus
Kecepatan arus diukur dengan menggunakan layangan arus
yang dimodifikasi yang terdiri atas layangan dan tali dengan panjang 5
meter. Kecepatan arus dihitung dengan melihat banyaknya waktu yang
dihabiskan sampai tali layangan arus menegang lurus. Pengukuran
kecepatan arus dilakukan dengan cara melepaskan layangan arus pada
titik yang telah ditentukan. Ujung tali yang digunakan sebagai jarak
tempuh layangan arus dan stopwatch yang digunakan untuk
35
menghitung waktu sampai tali menegang dihidupkan bersamaan
dengan dilepaskannya layangan arus. Kecepatan arus dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝑉 =𝑆
𝑡
Keterangan:
V= Kecepatan arus (m/s)
s = panjang tali sampai menegang lurus (m)
t = waktu yang tercatat ketika tali menegang (s)
Lokasi pengambilan data gelombang dan arus diambil
berdasarkan kesamaan karakteristik wilayah. Titik pengambilan data
gelombang dan arus terdapat pada satu titik pada setiap kecamatan
tetapi dapat mewakili kelurahan lainnya yang memiliki karateristik pesisir
yang sama. Jumlah titik pengambilan data tinggi gelombang dan
kecepatan arus terdiri dari 8 titik. Adapun lokasi pengambilan data tinggi
gelombang dan kecepatan arus disajikan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Lokasi pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus
No Titik Kecamatan Kelurahan
1. I Biringkanaya Kel. Untia
2. II Tamalanrea Kel. bira
3. III Tallo Kel. Tallo
4. IV Ujung Tanah Kel. Gusung
5. V Wajo Kel. Mampu
6. VI Ujung Pandang Kel. Losari
7. VII Mariso Kel. Panambungan
8. VIII Tamalate Kel. Tanjung Merdeka
Sumber: observasi lapangan, 2016
36
Lokasi dan titik pengambilan data tinggi gelombang dan
kecepatan arus disajikan pada gambar 3.
Gambar 3. Titik pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus
c. Pengukuran Kerapatan Mangrove
Kerapatan merupakan jumlah individu dalam satuan luas tertentu
(Hotden, 2014). Kerapatan mangrove merupakan penghitungan jumlah
jenis tegakan eksosistem mangrove dalam suatu area plot. Kerapatan
mangrove yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nilai kerapatan total
seluruh jenis mangrove dalam suatu plot. Untuk mendapatkan
kerapatan total maka terlebih dahulu menghitung kerapatan jenis
mangrove menggunakan persamaan sebagai berikut (Odum, 1993):
𝑅 = 𝑛𝑖
𝐴
37
Keterangan:
R = Kerapatan
ni = jumlah tegakan jenis i
A = Luas Plot (10 m x 10 m)
Selain pengukuran langsung di lapangan, data kerapatan
mangrove untuk masing-masing lokasi kajian diperoleh melalui data
sekunder yang bersumber dari Dinas Perikanan dan Pertanian Kota
Makassar dan hasil penelitian sebelumnya.
d. Bentuk Garis pantai
Bentuk garis pantai diperoleh melalui peta raster digital Rupa
Bumi Indonesia (RBI) Kota Makassar skala 1: 50.000 cetakan tahun
2013 yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial. Peta raster digital
Kota Makassar digeoreferensi dengan menggunakan software QGis
2.18.11 untuk memberikan definisi koordinat pada peta berdasarkan
koordinat grid dari peta rupa bumi. Setelah peta raster digital
digeorefensi, selanjutnya wilayah pantai Kota Makassar digitasi untuk
mendapatkan bentuk garis pantai masing-masing kelurahan.
Bentuk garis pantai Kota Makassar diperoleh pula melalui citra
Google Maps yang didownload menggunakan software SAS Planet
160707 dengan resolusi 4,76 m/pixel. Peta citra yang didownload
menggunakan software SAS planet 160707 tidak perlu dikoreksi
koordinat karena peta citra yang dihasilkan telah sesuai dengan
koordinat grid pada peta rupa bumi.
38
e. Karateristik Pantai
Pendataan karateristik pantai Kota Makassar menggunakan data
jenis tanah di wilayah pesisir Kota Makassar. Jenis tanah diperoleh
melalui peta geologi kota Makassar yang bersumber dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Makassar (Lampiran 3). Selain
itu, pendataan karateristik pantai Kota Makassar dilakukan dengan
survei dan pendataan langsung ke lapangan untuk melihat pantai yang
telah ditutupi bangunan pelindung pantai dan kegiatan reklamasi pantai.
3. Pengambilan Data Indeks Kerentanan
Data indeks kerentanan (Tabel. 6) yang dibutuhkan berupa data
kepadatan penduduk, jumlah kelompok rentan, jumlah nelayan, jumlah
kepala keluarga miskin, kepadatan bangunan pemukiman dan
pendataan luas vegetasi mangrove. Adapun metode pangambilan data
sebagai berikut :
a. Kepadatan Penduduk
Pengambilan data kepadatan penduduk di wilayah pesisir Kota
Makassar menggunakan analisis data sekunder yang bersumber dari
Badan Pusat Statistik Kota Makassar tahun 2016. Untuk menghitung
kepadatan penduduk suatu wilayah, dapat menggunakan persamaan:
𝐾𝑝𝑑𝑡 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 (𝐽𝑖𝑤𝑎)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑘𝑚2)
39
b. Persentase Kelompok Rentan
Kelompok rentan merupakan salah satu objek kajian untuk
melihat kerentanan pesisir. Jenis kelompok rentan yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk lanjut usia dan
penduduk difabel (kelompok cacat). Pendataan kelompok rentan dalam
penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari Dinas Sosial Kota
Makassar tahun 2015. Jumlah kelompok rentan didapatkan melalui total
dari penduduk lansia dan penduduk difabel. Untuk mendapatkan
persentase kelompok rentan suatu wilayah maka dapat menggunakan
persamaan:
% 𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐾𝑎𝑗𝑖𝑎𝑛 × 100 %
c. Persentase Jumlah Nelayan
Pendataan persentase jumlah kepala keluarga nelayan di
wilayah pesisir Kota Makassar menggunakan data jumlah nelayan yang
dikeluarkan oleh dinas perikanan dan pertanian Kota Makassar. Untuk
mendapatkan persentase nelayan maka dapat menggunakan
persamaan:
% 𝐾𝐾 𝑁𝑙𝑦 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑁𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐾𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐿𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐾𝑎𝑗𝑖𝑎𝑛 × 100 %
d. Persentase Kepala Keluarga Miskin
Pendataan persentase jumlah kepala keluarga miskin di wilayah
pesisir Kota Makassar menggunakan data jumlah kepala keluarga
miskin yang dikeluarkan oleh badan pusat statistik Kota Makassar.
40
Untuk mendapatkan persentase nelayan maka dapat menggunakan
persamaan:
% 𝐾𝐾 𝑀𝑠 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑀𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐾𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐿𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐾𝑎𝑗𝑖𝑎𝑛 × 100 %
e. Kepadatan bangunan pemukiman
Pendataan kepadatan bangunan pemukiman di wilayah pesisir
Kota Makassar menggunakan jumlah bangunan (unit) yang dikeluarkan
oleh dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat Kota Makassar
tahun 2015. Untuk mendapatkan kepadatan bangunan masing-masing
wilayah kajian menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝐾 𝐵𝑔𝑛 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 (𝑢𝑛𝑖𝑡)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑘𝑚2)
f. Pendataan Luas Mangrove
Penghitungan luasan mangrove menggunakan data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari citra satelit google maps yang
didownload menggunakan software SAS Planet 160707 dengan
resolusi 4,76 m/pixel. Kawasan dan luasan mangrove pada masing-
masing kelurahan didigitasi menggunakan perangkat QGis 2.18.11.
Selain data primer, data luasan mangrove Kota Makassar juga
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari dinas perikanan dan
pertanian Kota Makassar dan hasil penelitian sebelumnya.
4. Pengambilan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan
Data kapasitas merupakan data untuk menilai ketangguhan
suatu wilayah dalam menghadapi bencana. Kapasitas suatu wilayah
41
dinilai dengan menggunakan indikator ketangguhan yang dikeluarkan
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Perka No. 2
tahun 2012. Data kapasitas diperoleh melalui wawancara semi-
terstruktur bersama stakeholder terkait dalam hal ini Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Makassar.
Wawancara dilakukan menggunakan kuisioner yang berisi daftar
pertanyaan berdasarkan indikator kapasitas (Tabel 7). Adapun
kuisioner yang digunakan sebagaimana terlampir.
Analisis Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya diinput ke Microsoft excell
2013 dan dianalisis menggunakan analisis statistik dan dikonversi menjadi
data spasial menggunakan perangkat QGis 2.18.11 (Mahardy, 2014 dan
Rauf, 2012) untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis indeks ancaman,
kerentanan, dan kapasitas menggunakan Perka No. 1 dan No. 2 tahun 2012
yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan studi literatur dan kondisi lokal
lokasi penelitian.
1. Analisis Indeks Ancaman
Analisis data indeks ancaman gelombang ekstrim dan abrasi
pantai di wilayah pesisir meliputi data oseanografi yakni tinggi
gelombang dan kecepatan arus; data ekologi yakni kerapatan vegetasi
mangrove; dan lingkungan fisik yakni bentuk garis pantai dan
karakteristik pantai. Analisis data menggunakan tabel analisis penilaian
42
ancaman bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dalam Perka No. 2 tahun 2012. Tabel
analisis indeks ancaman dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 3. Parameter Penilaian Indeks Ancaman Bencana
No Komponen Indikator Kelas Indeks Bobot
Rendah (1)
Sedang (2)
Tinggi (3) (%)
1. Hidro-Oceanografi
Tinggi gelombang (m)
< 1 1 - 2 > 2 30
Kecepatan arus (m/s)
0 - 0.05 0.06 - 0.09 > 0.09 30
2. Ekologi
Kerapatan vegetasi mangrove (%)
> 10 1 - 10 Tidak ada 15
3. Lingkungan
fisik
Bentuk garis pantai
Berteluk berteluk-
lurus Lurus 15
Karateristik pantai
Bangunan permanen
berbatu-berpasir/berlumpur
berpasir, berlumpur
10
Sumber: Perka BNPB No. 2 tahun 2012
Untuk menghitung tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar, maka masing-masing
parameter dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut
(Perka BNPB No.2/2012):
𝐻𝑇𝑜𝑡 = ∑ 𝐻𝑖 = 𝐻1 + 𝐻2 + 𝐻3 + 𝐻4 + 𝐻5
5
𝑖 =1
𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∶ 𝐻𝑖 = 𝑆𝑖 × 𝐵𝑖
Keterangan:
HTot = Total nilai ancaman
H1 = Parameter tinggi gelombang
43
H2 = Parameter kecepatan arus
H3 = Parameter kerapatan Mangrove
H4 = Parameter bentuk garis pantai
H5 = Parameter karakteristik pantai
Si = Nilai kelas parameter i
Bi = Bobot indikator i
Klasifikasi tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai di masing-masing kecamatan pesisir kota Makassar menggunakan
tabel klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 4. Klasifikasi tingkat ancaman bencana
No. Rentang Nilai H total Kelas
1. 1,0 - 1,66 Rendah
2. 1,67 - 2,34 Sedang
3. 2,35 - 3,0 Tinggi
Sumber: Perka BNPB No.2 Tahun 2012
2. Analisis Indeks Kerentanan
Indeks kerentanan wilayah pesisir dalam penilaian risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir terdiri dari
komponen penduduk yakni kepadatan penduduk dan kelompok rentan;
komponen ekonomi yakni keluarga miskin dan nelayan; komponen fisik
berupa kepadatan bangunan, dan komponen ekologi berupa luas vegetasi
mangrove. Analisis data indeks kerentanan menggunakan tabel penilaian
kerentanan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dalam Perka No. 2 tahun 2012 yang dimodifikasi oleh penulis.
44
Analisis penilaian indeks kerentanan wilayah pesisir dalam menghadapi
bencana gelombang ekstrim dan abrasi disajikan pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 5. Parameter Penilaian Indeks Kerentanan
No. Komponen Indikator Kelas Indeks Bobot
Rendah (1)
Sedang (2)
Tinggi (3)
(%)
1. Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
< 10.000 10.000-20.000
> 20.000
30
Kelompok rentan (%)
< 20 20 -30 > 30 20
2. Ekonomi KK Miskin (%) < 15 15-30 > 30 15
KK nelayan (%) < 5 5 -15 > 15 10
3. Fisik Kepadatan Bangunan (Unit/km2)
< 1.500 1.500-3.000
> 3.000 10
4. Ekologi/ling
kungan luas Vegetasi
Mangrove (Ha) > 30 30-10 < 10 15
Sumber: Perka BNPB No. 2 tahun 2012 yang dimodifikasi
Untuk menghitung tingkat kerentanan masing-masing wilayah kajian,
maka parameter-parameter indeks kerentanan dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut (Perka BNPB No.2/2012):
𝑉𝑇𝑜𝑡 = ∑ 𝑉𝑖 = 𝑉1 + 𝑉2 + 𝑉3 + 𝑉4 + 𝑉5 + 𝑉6
6
𝑖 =1
𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∶ 𝑉𝑖 = 𝑆𝑖 × 𝐵𝑖
Keterangan:
VTot = Total nilai kerentanan
V1 = Parameter kepadatan penduduk
V2 = Parameter kelompok rentan
45
V3 = Parameter KK miskin
V4 = Parameter KK nelayan
V5 = Parameter kepadatan bangunan
V6 = Parameter luas mangrove
Bi = Bobot Indikator i
Si = Nilai Kelas Parameter i
Klasifikasi tingkat kerentanan masing-masing lokasi kajian terhadap
ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai disajikan pada
tabel sebagai berikut:
Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Kerentanan
No. Rentang Nilai V total Kelas
1. 1,0 - 1,66 Rendah
2. 1,67 - 2,34 Sedang
3. 2,35 - 3,0 Tinggi
Sumber: Perka BNPB No.2 Tahun 2012
3. Analisis Indeks Kapasitas/ Ketangguhan
Indeks kapasitas wilayah pesisir dalam kajian risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai terdiri dari komponen regulasi berupa
peraturan, kelembagaan penanggulangan bencana dan pembangunan
sistim peringatan dini bencana, komponen upaya mitigasi bencana dan
komponen kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Analisis indeks
kapasitas wilayah pesisir terhadap bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai, menggunakan tabel penilaian kapasitas yang dikeluarkan oleh
46
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Perka No. 1 tahun 2012
yang dimodifikasi oleh penulis. Analisis penilaian indeks kapasitas wilayah
pesisir dalam menghadapi bencana disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 7. Parameter Penilaian Indeks Kapasitas
No. Komponen Indikator Kelas indeks bobot
Rendah (1)
Sedang (2) Tinggi (3) (%)
1. Regulasi
Aturan dan lembaga penanggulangan bencana
belum ada sudah
menjadi draft kebijakan
aturan dan lembaga PB
sudah disahkan
25
Penyusunan dokumen Kajian risiko bencana
belum ada
sudah ada draft kajian
risiko bencana
draft kajian telah
disahkan 20
2. Mitigasi bencana
pembangunan sistim peringatan dini
belum ada sistim
peringatan dini
ada perencanaan
sistim peringatan
dini
ada sistim peringatan dini yang
digunakan untuk
bencana
10
Pembangunan mitigasi struktural dan non struktural
ada rencana
pembangunan
mitigasi
ada pembanguna
n mitigasi struktural
ada pembanguna
n mitigasi structural
berkonsep PRB
30
3. Kesiapsiaga
an
Pendidikan dan pelatihan kebencanaan
belum ada pelatihan
aparat pemerintah dan warga
mulai mengikuti pelatihan
ada praktek simulasi,
logistik dan peralatan untuk PB
15
Sumber: Perka BNPB No. 1 tahun 2012 yang dimodifikasi
Untuk menghitung tingkat kapasitas masing-masing lokasi kajian
dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai, menggunakan persamaan sebagai berikut (Perka BNPB No.2 tahun
2012):
47
𝐶𝑇𝑜𝑡 = ∑ 𝐶𝑖 = 𝐶1 + 𝐶2 + 𝐶3 + 𝐶4 + 𝐶5
5
𝑖 =1
𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∶ 𝐶𝑖 = 𝑆𝑖 × 𝐵𝑖
Keterangan:
CTot = Total nilai kapasitas
C1 = Parameter perda penanggulangan bencana
C2 = Parameter dokumen kajian risiko bencana
C3 = Parameter sistim peringatan dini bencana
C4 = Parameter kegiatan mitigasi bencana
C5 = Parameter pendidikan dan pelatihan bencana
Bi = Bobot Indikator i
Si = Nilai Kelas Parameter i
Klasifikasi tingkat kapasitas masing-masing lokasi kajian dalam
menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 8. Klasifikasi tingkat kapasitas bencana
No. Rentang Nilai C total Kelas
1. 1,0 - 1,66 Rendah
2. 1,67 - 2,34 Sedang
3. 2,35 - 3,0 Tinggi
Sumber: Perka BNPB No.2 Tahun 2012
48
4. Analisis Risiko Bencana
Indeks risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di
wilayah pesisir menggunakan komponen ancaman bencana, komponen
kerentanan dan komponen kapasitas wilayah pesisir. Masing-masing
komponen memberi pengaruh besar terhadap tingginya risiko bencana
yang terjadi pada suatu wilayah. Analisis risiko bencana menggunakan
persamaan analisis risiko yang dikeluarkan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana nomor 2 Tahun 2012. Analisis risiko bencana
menggunakan hasil analisis indeks ancaman, indeks kerentanan, dan
indeks kapasitas yang dihitung menggunakan persamaan berikut (Perka
BNPB No.2 Tahun 2012):
𝑅𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 𝐵𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 (𝑅) = 𝐴𝑛𝑐𝑎𝑚𝑎𝑛 (𝐻) ×𝐾𝑒𝑟𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑎𝑛 (𝑉)
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 (𝐶)
Klasifikasi tingkat risiko bencana dilakukan dengan membagi nilai
risiko berdasarkan rentang dan interval kelas. Untuk menghitung interval
kelas menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝐼 =𝑅𝑚𝑎𝑥 − 𝑅𝑚𝑖𝑛
𝑛
Keterangan :
I = Interval
Rmax = Nilai risiko tertinggi
Rmin = Nilai risiko terrendah
n = Banyaknya kelas
49
Sehingga pengklasifikasian tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai dapat menggunakan interval kelas berikut :
Rmin ≤ Rendah ≤ Rmin + I
Rmin + I < Sedang ≤ Rmin + 2. I
Rmin + 2. I < Tinggi ≤ Rmax
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Risiko bencana merupakan keadaan dimana terdapat indeks
ancaman bencana, indeks kerentanan dan indeks kapasitas/ketangguhan
suatu wilayah dalam menghadapi bencana. Indeks ancaman bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir meliputi faktor hidro-
oseanografi, keadaan fisik lingkungan pesisir dan keadaan vegetasi di
wilayah pesisir. Indeks kerentanan meliputi keadaan atau karakteristik
bilogis, geografis, ekonomi yang dapat mengurangi kemampuan
masyarakat untuk mencegah, meredam dan menanggulangi ancaman
bencana sedangkan indeks kapasitas berhubungan dengan ketersediaan
sumberdaya, pengetahuan, ketrampilan dan kekuatan yang dimiliki
seseorang atau masyarakat yang dapat digunakan untuk mempertahankan
diri, mempersiapkan diri, mencegah dan menanggulangi dampak buruk dari
bencana (Perka BNPB No.1 tahun 2012).
A. Pengumpulan Data Indeks Ancaman
Data indeks ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
di wilayah pesisir kota Makassar dijelaskan sebagai berikut:
1. Tinggi Gelombang
Tinggi gelombang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
tinggi gelombang maksimum. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi
51
gelombang di lokasi kajian, tinggi gelombang yang didapatkan kurang
mewakili keadaan gelombang wilayah pesisir kota Makassar. Sehingga
tinggi gelombang yang digunakan dalam analisis adalah tinggi gelombang
berdasarkan perhitungan effective fetch dari data kecepatan angin. Data
kecepatan angin diperoleh dari BMKG Wil. IV Makassar selama periode
2011 – 2015. Adapun tinggi gelombang masing-masing wilayah pesisir Kota
Makassar disajikan pada tabel berikut:
Tabel 9. Tinggi gelombang wilayah pesisir Kota Makassar.
No Kecamatan Tinggi gelombang (m)
1. Biringkanaya 1.69
2. Tamalanrea 1.68
3. Tallo 1.67
4. Ujung Tanah 1.66
5. Wajo 1.68
6. Ujung Pandang 0.54
7. Mariso 0.35
8 Tamalate 2.1
Sumber : data primer, 2017
Tinggi gelombang umumnya dipengaruhi oleh kecepatan angin.
Beradasarkan hasil pengamatan, gelombang yang terjadi di wilayah pesisir
Kota Makassar berasal dari barat daya perairan selat Makassar. Perbedaan
tinggi gelombang dipengaruhi oleh jarak rambat gelombang dan
penghalang datangnya gelombang. Untuk wilayah Makassar pada bagian
selatan yakni kecamatan Tamalate, memiliki kedekatan dengan arah
datangnya gelombang dan kondisi perairan yang terbuka sehingga
keadaan tinggi gelombangnya cukup tinggi dibanding kecamatan lainnya
52
pada bagian utara Kota Makassar. Perairan Kota Makassar pada bagian
utara memiliki penghambat datangnya gelombang yakni pulau lae-lae dan
kayangan sehingga keadaan gelombang yang sampai kepantai cenderung
lebih kecil.
2. Kecepatan Arus
Kecepatan arus dipengaruhi oleh perpindahan masa air yang
disebabkan oleh pengaruh pasang surut dan kecepatan angin. Kecepatan
arus yang diukur dalam penelitian ini adalah kecepatan arus yang
dipengruhi oleh pasang surut air laut yang menyusur pantai. Kecepatan
arus inilah yang sangat berpengaruh memindahkan sedimen pantai
ketempat lain. Data kecepatan arus masing-masing lokasi kajian disajikan
pada tabel sebagai berikut :
Tabel 10. Data kecepatan arus wilayah pesisir Kota Makassar
No Kecamatan Kecepatan arus (m/s)
1. Biringkanaya 0.03
2. Tamalanrea 0.03
3. Tallo 0.03
4. Ujung Tanah 0.05
5. Wajo 0.07
6. Ujung Pandang 0.05
7. Mariso 0.03
8. Tamalate 0.13
Sumber : data primer, 2016
Kecepatan arus perairan pesisir Kota Makassar umumnya berkisar
antara 0,03 m/s sampai dengan 0,13 m/s. hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh arifin (2012) yang menyatakan kisaran arus diwilayah
53
pesisir Kota Makassar berkisar 0,002 m/s sampai dengan 0,012 m/s. pada
wilayah pesisir dengan keadaan perairan yang terbuka kecepatan arus
didapatkan lebih tinggi dibanding wilayah perairan yang terlindung oleh
pulau. Kecepatan arus di perairan pesisir Kota Makassar dipengaruhi oleh
topografi dasar laut dan keberadaan pulau. Wilayah perairan Makassar
pada bagian utara yakni kecamatan Tamalanrea dan kecamatan
Biringkanaya, cenderung memiliki topografi dasar laut yang landai dan dan
dangkal sehingga kecepatan arus lebih rendah dibanding perairan wilayah
pesisir Kota Makassar pada bagian selatan. Pada wilayah Kota Makassar
bagian selatan yakni kecamatan Tamalate, topografi dasar laut cenderung
curam dan dalam sehingga pola kecepatan arus lebih tinggi.
3. Kerapatan Vegetasi Mangrove
Kenampakan ekosistem mangrove di kota Makassar umumnya
terdapat pada pesisir bagian utara sedangkan pada wilayah selatan kota
Makassar tidak ditemukan kawasan mangrove yang berhadapan langsung
dengan laut. Ekosistem mangrove di wilayah utara kota makassar tumbuh
subur disebabkan oleh faktor lingkungan yang sesuai, juga kesadaran
masyarakat untuk memanfaatkan mangrove sebagai pelindung pantai dari
ancaman gelombang laut cukup baik. Umumnya mata pencaharian
masyarakat kota Makassar bagian utara didominasi oleh petambak udang
dan ikan sehingga keberadaan mangrove sangat mendukung
keberlangusungan usaha budidaya di wilayah mereka. Karateristik
perakaran mangrove yang cenderung rapat dibandingkan tumbuhan pada
54
umumnya, dimanfaatkan masyarakat untuk melindungi pematang tambak
dari hantaman gelombang laut.
Pada penelitian ini vegetasi mangrove merupakan salah satu
parameter penentu ancaman gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
Pengukuran kerapatan mangrove menggunakan stasiun yang mewakili
beberapa lokasi. Stasiun yang digunakan berjumlah 16 stasiun. Selain data
primer, penghitungan kerapatan mangrove juga menggunakan data
sekunder yang berasal dari penelitian sebelumnya. Adapun kondisi
kerapatan mangrove di wilayah pesisir utara Kota Makassar disajikan pada
tabel sebagai berikut:
Tabel 11. Kerapatan mangrove di wilayah pesisir utara Kota Makassar
Kecamatan Stasiun Tegakan Luas
Stasiun Kerapatan
(Tegakan/m2) %
Biringkanaya 1 50 100 0.5 50
2 29 100 0.29 29
Tamalanrea
3 16 100 0.16 16
4 33 100 0.33 33
5 34 100 0.34 34
6 31 100 0.31 31
7 40 100 0.4 40
8 21 100 0.21 21
9 29 100 0.29 29
Tallo 10 12 100 0.12 12
11 5 100 0.05 5
Ujung Tanah 12 0 100 0 0
Wajo 13 0 100 0 0
Ujung Pandang
14 0 100 0 0
Mariso 15 0 100 0 0
Tamalate 16 0 100 0 0
Sumber : Data Sekunder, 2016
55
Kondisi kerapatan ekosistem Mangrove pada wilayah pesisir utara
Kota Makassar tidak lebih dari 50 tegakan pada setiap stasiun. Pola
kerapatan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pola
pemanfaatan mangrove oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat di
kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Biringkanaya memanfaatkan
mangrove sebagai lahan tambak budidaya dan pemanfaatan secara
langsung kayu Mangrove. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bando (2016) yang menyatakan bahwa, ekosistem
Mangrove di pesisir utara Kota Makassar, dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai lahan tambak budidaya, selain itu pemanfaatan Mangrove juga
dilakukan dengan pengambilan kayu secara langsung dan digunakan
sebagai areal penangkapan udang, ikan, kepiting dan kerang. Pembuatan
lahan tambak budidaya dan pengambilan kayu akan memicu penebangan
pohon mangrove yang berpengaruh pada kerapatan mangrove yang
menurun.
Kerapatan Mangrove paling rendah terdapat di kecamatan Tallo
yakni kelurahan Buloa dan kelurahan Tallo. Di wilayah ini, ekosistem
mangrove banyak dikonversi menjadi kawasan pemukiman penduduk dan
industri. Ekosistem mangrove hanya tumbuh pada beberapa titik di wilayah
pantai dan dimanfaatkan sebagai pangkalan kapal-kapal nelayan ketika
berhenti melaut. Ekosistem mangrove dapat melindungi kapal nelayan dari
hantaman gelombang laut.
56
4. Bentuk Garis Pantai
Bentuk garis pantai wilayah pesisir kota Makassar sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pergerakan arus, hantaman
gelombang laut, dan aktivitas pembangunan wilayah pesisir berupa
reklamasi. Pendataan garis pantai wilayah pesisir Kota Makassar
menggunakan peta citra google yang didownload dengan perangkat SAS
14.7 tahun 2016. Citra yang didownload kemudian digeoreferensi untuk
mendapatkan titik koordinat pasti dan dapat diolah pada perangkat QGis.
Selanjutnya dilakukan digitasi garis pantai berdasarkan kondisi aktual.
Selain itu, data garis pantai Kota Makassar diperoleh dari peta Badan
Informasi Geospasial tahun 2013. Adapun bentuk garis pantai wilayah
pesisir Kota Makassar dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
Gambar 4. Bentuk Garis Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar
57
Penilaian bentuk garis pantai dilakukan secara visual, dengan
melihat bentuk dominan dari garis pantai. Garis pantai yang dominan
membentuk huruf “U” dianggap sebagai garis pantai berteluk, sedangkan
yang berkelok hampir lurus dianggap sebagai garis pantai yang berbentuk
lurus. Data garis pantai Kota Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 12. Bentuk Garis Pantai Kota Makassar
No Kecamatan Bentuk garis pantai
1. Biringkanaya lurus
2. Tamalanrea lurus, berteluk
3. Tallo lurus, berteluk
4. Ujung Tanah lurus, berteluk
5. Wajo lurus
6. Ujung Pandang lurus, berteluk
7. Mariso berteluk
8. Tamalate lurus
Sumber: data primer, 2017
Bentuk garis pantai wilayah pesisir Kota Makassar banyak
dipengaruhi oleh aktivitas pembangunan pelabuhan, pemukiman, reklamasi
dan pelabuhan perikanan. Pada bagian tengah wilayah pesisir Kota
Makassar yakni kecamatan Wajo memiliki bentuk garis pantai yang
cenderung lurus. Hal ini disebabkan, pantai yang dimanfaatkan sebagai
kawasan pelabuhan peti kemas, sandaran kapal penumpang dan kapal
industri. Sedangkan pada wilayah pesisir bagian selatan Kota Makassar,
yakni kecamatan Tamalate, pantai banyak direklamasi untuk pembangunan
kawasan pemukiman elit. Bentuk reklamasi yang dibuat cenderung lurus
58
dan dibatasi dengan bangunan dinding pantai. Pada wilayah utara
Makassar yakni kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Biringkanaya
bentuk garis pantai cenderung berteluk-lurus karena dipengaruhi oleh
kawasan ekosistem mangrove yang tumbuh subur dan membentuk daratan
baru. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bando (2016)
yang menyatakan rehabilitasi dan penanaman mangroeve akan memicu
timbulnya lahan baru akibat sedimentasi. Pelabuhan perikanan yang
terdapat di kecamatan ujung Tanah, memanfaatkan groin untuk meredam
gelombang agar tidak menggangu aktivitas bongkar muat hasil perikanan
dan tempat berlabuh kapal-kapal nelayan. Pada kawasan ini bentuk garis
pantai membentuk teluk sehingga pengaruh gelombang laut tidak langsung
sampai ke pantai. Sama halnya di kecamatan mariso, dimana bentuk garis
pantai membentuk teluk akibat reklamasi yang menutup kawasan pesisir.
5. Karateristik Pantai
Pantai adalah daerah antara muka air surut terrendah dengan muka
air pasang tertinggi (perpres 51 tahun 2016). Pantai memiliki fungsi yang
dominan dalam menyangga dan melindungi tempat hunian didaratan dari
hantaman gelombang laut (Solihuddin, 2006). karakteristik pantai umumnya
bersifat dinamis dan berbeda-beda sesuai dengan stuktur penyusunya baik
yang masih bersifat alami maupun yang telah mengalami perubahan oleh
aktivitas manusia (reklamasi, bangunan pantai, dan penambangan pasir)
59
Pada penelitian ini, pendataan karateristik pantai kota Makassar
dilakukan dengan melihat jenis tanah wilayah pesisir pada peta Geologi
Kota Makassar tahun 2013. Selain itu, dilakukan survei langsung ke
lapangan untuk melihat karateristik pantai yang berubah akibat
perkembangan pembangunan. Adapun karateristik pantai wilayah pesisir
Kota Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 13. Karakteristik Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar
No Kecamatan Karakteristik pantai
1. Biringkanaya lumpur-berpasir ditumbuhi mangrove
2. Tamalanrea lumpur-berpasir ditumbuhi mangrove
3. Tallo berlumpur ditumbuhi mangrove dan sebagian ditutupi susunan batu
4. Ujung Tanah berpasir, ditutupi bangunan pantai
5. Wajo berpasir ditutupi bangunan pantai
6. Ujung Pandang berpasir ditutupi bangunan pantai
7. Mariso berpasir ditutupi bangunan pantai
8. Tamalate berpasir dan cenderung terbuka
Sumber : Survei lapangan, 2016 dan olah data sekunder
Berdasarkan peta geologi kota Makassar, wilayah pesisir kota
Makassar didominasi oleh jenis tanah alluvium yang memiliki resistensi
rendah terhadap serangan gelombang. Jenis tanah alluvium dicirikan
dengan endapan pasir, kerikil dan lumpur. Pada wilayah pesisir utara Kota
Makassar, karateristik pantainya didominasi oleh lumpur sehingga pada
wilayah ini banyak ditumbuhi oleh ekosistem mangrove, Sedangkan pada
wilayah tengah dan selatan Kota Makassar, karateristik pantainya
didominasi oleh pasir yang sebagian telah ditutupi oleh bangunan pantai
60
dan susunan batu alam. Pada wilayah ini, pantai banyak dimanfaatkan
sebagai pelabuhan, pemukiman dan kawasan wisata pantai.
B. Analisis Parameter Indeks Ancaman
Data parameter indeks ancaman yang terkumpul, ditabulasi
menggunakan Microsoft Excell 2013 menjadi tabel data ancaman. Penilian
skoring dan pembobotan parameter serta analisis indeks ancaman
menggunakan tabel penilaian ancaman. Hasil skoring dan pembobotan
serta analisis ancaman dikonversi menjadi data shapefile menggunakan
perintah Join pada QGIS 2.18.11. Layer join data ancaman berupa polygon
lingkaran perwakilan yang digunakan sebagai titik perwakilan untuk
menggambarkan kondisi lokasi penelitian pada masing-masing kecamatan.
Analisis data parameter ancaman dijelaskan sebagai berikut :
1. Tinggi Gelombang
Untuk mendapatkan tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai berdasarkan indikator tinggi gelombang maka dilakukan
skoring dan pembobotan data tinggi gelombang masing-masing lokasi
kajian berdasarkan tabel analisis. Hasil skoring dan pembobotan data tinggi
gelombang masing-masing lokasi kajian selanjutnya diklasifikasi kedalam
tiga kelas yaitu kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil skoring dan
pembobotan serta klasifikasi parameter tinggi gelombang ancaman
bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota
Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut :
61
Tabel 14. Analisis parameter tinggi gelombang
No. Kecamatan Tinggi
gelombang Skor
indeks Bobot Nilai Kategori
1. Biringkanaya 1.69 2 0,3 0,6 Sedang
2. Tamalanrea 1.68 2 0,3 0,6 Sedang
3. Tallo 1.67 2 0,3 0,6 Sedang
4. Ujung Tanah 1.66 2 0,3 0,6 Sedang
5. Wajo 1.68 2 0,3 0,6 Sedang
6. Ujung Pandang
0.54 1 0,3 0,3 Rendah
7. Mariso 0.35 1 0,3 0,3 Rendah
8. Tamalate 2.1 3 0,3 0,9 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan klasifikasi penilaian tinggi gelombang didapatkan hasil
bahwa, Kecamatan Tamalate memiliki pengaruh gelombang kategori tinggi;
kategori sedang terdapat di kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya, Ujung
tanah, Tallo dan Kecamatan Wajo, sedangkan kategori rendah terdapat di
kecamatan Mariso dan kecamatan Ujung Pandang. Tinggi gelombang
sangat berpengaruh terhadap ancaman bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai. Gelombang yang tinggi dapat menimbulkan kerusakan dan
menyebabkan terjadinya bencana. Berdasarkan hal tersebut, maka
kecamatan Tamalate memiliki potensi yang besar dilanda bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
2. Kecepatan Arus
Skoring dan pembobotan data kecepatan arus menggunakan tabel
penilaian parameter indeks ancaman. Adapun skoring parameter
kecepatan arus disajikan pada tabel sebagai berikut:
62
Tabel 15. Analisis parameter kecepatan arus
No Kecamatan Kecepatan
arus Skor
indeks Bobot Nilai Kategori
1. Biringkanaya 0.03 1 0,3 0,3 Rendah
2. Tamalanrea 0.03 1 0,3 0,3 Rendah
3. Tallo 0.03 1 0,3 0,3 Rendah
4. Ujung Tanah 0.05 1 0,3 0,3 Rendah
5. Wajo 0.07 2 0,3 0,6 Sedang
6. Ujung Pandang
0.05 1 0,3 0,3 Rendah
7. Mariso 0.03 1 0,3 0,3 Rendah
8. Tamalate 0.13 3 0,3 0,9 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter kecepatan arus
didapatkan hasil bahwa, kecepatan arus kategori tinggi terdapat di
kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di kecamatan Wajo,
sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Tamalanrea,
Biringkanaya, Ujung Tanah, Tallo, Ujung pandang, dan Kecamatan Mariso.
Kecepatan arus dapat mempengaruhi perpindahan material pantai ke
tempat lain. Semakin cepat arus yang dimiliki suatu wilayah maka potensi
material pantai yang terbawa akan lebih cepat pula. Berdasarkan hasil
skoring, kecamatan Tamalate memiliki potensi kejadian abrasi yang lebih
besar dibanding kecamatan lainnya.
3. Kerapatan Vegetasi Mangrove
Skoring dan pembobotan kerapatan vegetasi mangrove disajikan
pada tabel sebagai berikut :
63
Tabel 16. Analisis parameter kerapatan vegetasi mangrove
No. Kecamatan Kerapatan Mangrove
Skor Indeks
Bobot Nilai Kategori
1. Biringkanaya 39,5 1 0,15 0,15 Rendah
2. Tamalanrea 29,14 1 0,15 0,15 Rendah
3. Tallo 8,5 2 0,15 0,3 Sedang
4. Ujung Tanah 0,0 3 0,15 0,45 Tinggi
5. Wajo 0,00 3 0,15 0,45 Tinggi
6. Ujung Pandang
0,00 3 0,15 0,45 Tinggi
7. Mariso 0,00 3 0,15 0,45 Tinggi
8. Tamalate 0,00 3 0,15 0,45 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter kerapatan vegetasi
mangrove di wilayah pesisir kota Makassar didapatkan hasil bahwa,
kerapatan mangrove kategori tinggi terdapat di kecamatan Biringkanaya
dan kecamatan Tamalanrea, sehingga pengaruh ancaman gelombang
ekstrim yang sampai ke pesisir kecamatan Biringkanaya dan kecamatan
Tamalanrea menjadi rendah. Kerapatan mangrove kategori sedang
terdapat di kecamatan Tallo. Pada bagian selatan Kota Makassar tidak
terdapat kawasan mangrove maka kategori ancaman gelombang akibat
tidak adanya ekosistem mangrove menjadi tinggi.
4. Bentuk Garis Pantai
Skoring dan pembobotan bentuk garis pantai Kota Makassar
menggunakan penilaian parameter ancaman yang ditunjukan pada tabel
sebagai berikut:
64
Tabel 17. Analisis parameter bentuk garis pantai
No. Kecamatan Bentuk garis
pantai Skor
indeks Bobot Nilai Kategori
1. Biringkanaya lurus 3 0,15 0,45 Tinggi
2. Tamalanrea lurus, berteluk
2 0,15 0,30 Sedang
3. Tallo lurus, berteluk
2 0,15 0,30 Sedang
4. Ujung Tanah lurus, berteluk
2 0,15 0,30 Sedang
5. Wajo lurus 3 0,15 0,45 Tinggi
6. Ujung Pandang
lurus, berteluk
2 0,15 0,30 Sedang
7. Mariso berteluk 1 0,15 0,15 Rendah
8. Tamalate lurus 3 0,15 0,45 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter bentuk garis pantai
didapatkan hasil bahwa, kecamatan Tamalate, kecamatan Wajo dan
kecamatan Tamalanrea memiliki nilai garis pantai kategori tinggi. Kategori
sedang terdapat di kecamatan Tamalanrea, kecamatan Tallo, kecamatan
Ujung Tanah dan kecamatan Ujung Pandang, Sedangkan kategori rendah
terdapat di kecamatan Mariso. Garis pantai yang berbentuk teluk akan sulit
mendapatkan pengaruh gelombang tinggi dibanding garis pantai yang
berbentuk lurus. Sehingga potensi ancaman bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai cenderung besar terjadi pada pantai yang berbentuk lurus
dan terbuka. Berdasarkan hasil skoring, kecamatan Mariso memiliki potensi
yang rendah, terancam bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
Sedangkan kecamatan Tamalate memiliki potensi yang besar terancam
65
gelombang ekstrim dan abrasi. Potensi ancaman bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai dapat pula terjadi pada kecamatan yang memiliki
bentuk garis pantai kategori sedang.
5. Karakteristik Pantai
Karateristik pantai merupakan indikator penting untuk menilai suatu
wilayah pesisir berpotensi terancam abrasi pantai. Pantai yang berbatu atau
berstruktur keras dan memiliki vegetasi pesisir akan sulit mengalami abrasi.
Skoring dan pembobotan karakteristik pantai wilayah pesisir kota Makassar
disajikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 18. Analisis parameter karateristik pantai
No. Kecamatan Karakteristik
Pantai Skor
Indeks Bobot Nilai Kategori
1. Tamalanrea Lumpur,berpasir
ditumbuhi mangrove
1 0,1 0,1 Rendah
2. Biringkanaya Lumpur, berpasir
ditumbuhi mangrove
1 0,1 0,1 Rendah
3. Ujung Tanah berpasir, d
itutupi bangunan pantai
2 0,1 0,2 Sedang
4. Tallo berlumpur
sebagian ditutupi susunan batu
2 0,1 0,2 Sedang
5. Tamalate berpasir terbuka 3 0,1 0,3 Tinggi
6. Wajo berpasir ditutupi bangunan pantai
1 0,1 0,1 Rendah
7. Ujung Pandang
berpasir ditutupi bangunan pantai
1 0,1 0,1 Rendah
8. Mariso berpasir ditutupi bangunan pantai
1 0,1 0,1 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
66
Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter karakteristik pantai di
dapatkan hasil bahwa, karateristik pantai kategori tinggi terdapat di
kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di kecamatan Ujung Tanah
dan Kecamatan Tallo, sedangkan kategori rendah terdapat di Tamalanrea,
kecamatan Biringkanaya, kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Pandang,
dan kecamatan Mariso. Karateristik pantai yang didominasi oleh pasir dan
umumnya terbuka serta secara langsung mendapat pengaruh tinggi
gelombang tanpa penghalang akan berpotensi mengalami abrasi.
Berdasarkan hasil penilaian, maka kecamatan Tamalate memiliki potensi
yang besar mengalami kejadian abrasi pantai. Sedangkan kecamatan yang
memiliki vegetasi pantai dan bangunan pantai, memiliki potensi yang
rendah untuk mengalami abrasi akibat rendahnya transport sedimen. Selain
itu, bangunan pantai dan vegetasi pesisir berfungsi meredam energi
gelombang sehingga gelombang yang sampai kepantai tidak memiliki daya
rusak yang tinggi.
C. Penilaian Tingkat Ancaman Bencana
Penilaian tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai dilakukan dengan menjumlahkan hasil skoring dan pembobotan
masing-masing parameter. Penjumlahan dilakukan untuk mendapatkan
total nilai indeks ancaman. Nilai total indeks ancaman, selanjutnya akan
digunakan untuk menentukan tingkat ancaman masing-masing lokasi
kajian. Hasil penjumlahan analisis skoring dan pembobotan parameter
67
ancaman gelombang ekstrim dan abrasi pantai disajikan pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 19. Nilai total ancaman bencana
No. Kecamatan H1 H2 H3 H4 H5 HTotal
1. Biringkanaya 0,6 0,3 0,15 0,45 0,1 1,60
2. Tamalanrea 0,6 0,3 0,15 0,30 0,1 1,45
3. Tallo 0,6 0,3 0,30 0,30 0,2 1,70
4. Ujung Tanah 0,6 0,3 0,45 0,30 0,2 1,85
5. Wajo 0,6 0,6 0,45 0,45 0,1 2,20
6. Ujung Pandang
0,3 0,3 0,45 0,30 0,1 1,45
7. Mariso 0,3 0,3 0,45 0,15 0,1 1,30
8. Tamalate 0,9 0,9 0,45 0,45 0,3 3,00
Sumber: analisis data, 2017
Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
pada masing-masing lokasi kajian diperoleh melalui klasifikasi nilai total
ancaman bencana. Nilai total ancaman bencana yang diperoleh dari hasil
analisis dapat disimpulkan dan digeneralisasi sebagai nilai ancaman
bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai yang dimiliki oleh masing-
masing lokasi kajian. Klasifikasi nilai total ancaman bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai diwilayah pesisir kota Makassar disajikan pada
tabel sebagai berikut :
68
Tabel 20. Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
No. Kecamatan Nilai ancaman
(HTotal) Kategori
1. Biringkanaya 1,6 Rendah
2. Tamalanrea 1,45 Rendah
3. Tallo 1,7 Sedang
4. Ujung Tanah 1,85 Sedang
5. Wajo 2,2 Sedang
6. Ujung Pandang 1,45 Rendah
7. Mariso 1,3 Rendah
8. Tamalate 3 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Dari hasil klasifikasi parameter tingkat ancaman bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar diperoleh hasil
bahwa, tingkat ancaman bencana yang memiliki kategori tinggi terdapat di
wilayah pesisir kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di wilayah
pesisir kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Tanah, dan kecamatan Tallo.
Sedangkan yang memiliki tingkat ancaman bencana kategori rendah
terdapat di wilayah pesisir kecamatan Mariso, kecamatan Ujung Pandang,
kecamatan Tamalanrea, dan kecamatan Biringkanaya. Masing-masing
kategori tingkat ancaman bencana diberi simbol warna untuk melihat
perbedaan ketika ditampilkan dalam bentuk peta. Perbedaan tingkat
ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai masing-masing
kecamatan dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
69
Gambar 5. Tingkat ancaman bencana wilayah pesisir kota Makassar
Fenomena gelombang ekstrim dan abrasi pantai telah lama terjadi di
wilayah pesisir Kota Makassar dan sering menyisakan beberapa kerugian
dan korban jiwa. Umumnya gelombang ekstrim terjadi pada setiap musim
penghujan diikuti dengan curah hujan tinggi yang menyebabkan badai di
perairan selat Makassar. Dari hasil analisis ancaman bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar, kecamatan
Tamalate merupakan kecamatan dengan tingkat ancaman bencana tinggi.
Hal ini disebabkan, pesisir kecamatan Tamalate memiliki tinggi gelombang
dan kecepatan arus yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya. Fajri
70
(2012) menyatakan bahwa penyebab utama dari proses abrasi adalah
pengaruh gelombang laut yang besar dan pergerakan arus perairan. Tinggi
gelombang yang besar menghasilkan arus menyusur pantai dengan
kecepatan yang tinggi dan mampu menggerus material pantai dengan
proses transport sedimen yang berlangung dengan cepat. Faktor lain yang
berpengaruh adalah bentuk garis pantainya yang cenderung lurus. Istijono
(2013), menyatakan kejadian abrasi pantai di kawasan pantai padang
disebabkan oleh bentuk pantai yang relatif lurus. Tidak adanya vegetasi
pantai (mangrove) yang berfungsi sebagai peredam gelombang dan
karakteristik pantai yang didominasi oleh pasir (Tejakusuma, 2011),
semakin menambah laju abrasi pantai di wilayah pesisir kecamatan
Tamalate. Solihuddin (2011), menyatakan jenis litologi daerah pesisir yang
didominasi oleh endapan alluvium (berpasir) memiliki resistensi rendah
terhadap pengikisan oleh gelombang dan arus laut. Sedangkan krisyanto,
dkk (2013) dan Taufiqurohman (2014) menyatakan keberadaan ekosistem
mangrove sebagai ekosistem alami pesisir, mampu mereduksi energi
gelombang laut sebelum sampai ke pantai.
Hasil analisis ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai diperkuat dengan hasil penelitian Koddeng (2011) yang menemukan
bahwa fenomena garis pantai di kecamatan Tamalate telah berubah akibat
abrasi pantai. Bangunan-bangunan yang sebelumnya berada di wilayah
pantai, saat ini telah hilang. Selain itu, bangunan pemukiman penduduk
yang dijadikan sebagai jasa penginapan wisata, kini mundur ke arah darat
71
menghindari ancaman kerusakan, pengaruh dari abrasi yang mengancam
keberadaannya. Fenomena abrasi yang menyebabkan bangunan pantai
dapat hilang terjadi pula di pesisir Kota Semarang. Hakim (2012) dalam
penelitiannya menjelaskan kejadian abrasi pantai yang dipengaruhi
gelombang tinggi menyebabkan posisi bangunan-bangunan pantai telah
berada di tengah laut.
Ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai kategori
sedang terdapat di pesisir kecamatan Wajo dan kecamatan Tallo,
sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,
kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung Pandang dan kecamatan
Mariso. Hal ini disebabkan karakteristik wilayah pesisir pada kecamatan
tersebut banyak ditumbuhi oleh ekosistem mangrove dan sebagian wilayah
pantainya telah ditutupi dengan bangunan pantai untuk menjaga kestabilan
garis pantai. Selain itu pada kecamatan tersebut kurang mendapat
pengaruh energi gelombang akibat keberadaan pulau Lae-lae dan pulau
kayangan didepannya. Umar (2011), menyatakan gelombang akan
mengalami defraksi ketika melewati rintangan berupa pulau atau bangunan
pemecah gelombang. Keberadaan ekosistem mangrove dan bangunan
pantai menjadikan pesisir kecamatan tersebut, cukup stabil menghadapi
pengaruh gelombang dan abrasi pantai. Prawiradisastra (2003)
menyatakan stabilitas posisi garis pantai akibat adanya penghalang pantai
menjadi faktor yang mengurangi kejadian abrasi.
72
D. Pengumpulan Data Indeks Kerentanan
1. Kepadatan Penduduk
Penduduk merupakan objek dari dampak terjadinya bencana.
Semakin besar jumlah penduduk yang terpapar atau terdampak bencana
maka bencana yang dimaksud dianggap besar dan mengancam.
Pengambilan data kepadatan penduduk pada penelitian ini menggunakan
data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kota Makassar
dalam buku Makassar dalam Angka Tahun 2016. Adapun kepadatan
penduduk lokasi penelitian disajikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 21. Kepadatan penduduk kecamatan pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Kelurahan lokasi
penelitian Luas (Km2)
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan (Jiwa/ Km2)
1. Biringkanaya Untia 2.93 2367 808
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 19.3 18378 952
3. Tallo Tallo, Buloa 2.97 38843 13078
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
0.96 17017 17726
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
1.43 17857 12487
6. Ujung Pandang
Bulogading, Maloku, Losari
0.83 7281 8772
7. Mariso Panambungan 0.71 12136 17093
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
6.14 45479 2818
Sumber : BPS Kota Makassar dan Olah data, 2017
2. Kelompok Rentan
Rentan bencana merupakan faktor yang menyebabkan seseorang
tidak berdaya atau kesulitan menyelamatkan diri ketika terjadi bencana.
73
Dalam makna lain, kelompok rentan dipahami sebagai kelompok yang
masih membutuhkan pihak-pihak lain untuk dapat menyelamtkan diri ketika
terjadi bencana. Suatu kelompok dapat dikatakan rentan akibat kondisi fisik
yang dimiliki dapat berupa kodisi fisik yang lemah maupun kondisi alat indra
dan alat gerak tubuh yang terbatas sehingga menyulitkan dirinya untuk
beraktifitas. Akibat dari kesulitan beraktifitas inilah, ketika terjadi bencana,
kelompok rentan kesulitan menyelamatkan diri dibanding kelompok
manusia pada umumnya. Dalam penelitian ini, penulis mengambil dua
kategori kelompok rentan yaitu:
1. Penduduk lanjut usia, sering mengalami kekurangan gizi akut, kesulitan
berkomunikasi, mudah mengalami tekanan fisik dan psikologis
2. Kelompok difabel baik tunanetra, tuna wicara, lumpuh yang
membuatnya sulit berkomunikasi dan bergerak seperti manusia normal
pada umumnya.
Pendataan kelompok rentan pada penlitian ini menggunakan data
sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Dinas Kesehatan,
dan Dinas Sosial Kota Makassar. Data kelompok rentan masing-masing
kelurahan lokasi kajian dijumlahkan untuk memudahkan analisis lebih
lanjut. Adapun data kelompok rentan masing-masing lokasi penelitian
disajikan pada tabel sebagai berikut:
74
Tabel 22. Kelompok rentan di kelurahan pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Kelurahan lokasi
Penelitian Kelompok Rentan
(Jiwa)
1. Biringkanaya Untia 559
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 2742
3. Tallo Tallo, Buloa 10312
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
2347
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
3332
6. Ujung Pandang
Bulogading, Maloku, Losari
1848
7. Mariso Panambungan 1555
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
7581
Sumber : Data BPS Kota Makassar, 2016
3. Keluarga Miskin (Pra Sejahtera)
Pendataan keluarga miskin berasal dari data Badan Pusat Statistik
Kota Makassar. Keluarga miskin menjadi indikator kerentanan disebabkan
oleh keadaan ekonomi yang sulit akan semakin sulit bila terdampak
bencana. Keluarga miskin akan sulit pulih untuk mendapatkan penghasilan
ketika terjadi bencana. Secara ekonomi, keluarga miskin membutuhkan
bantuan pihak lain untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Semakin
tinggi jumlah keluarga miskin dalam suatu wilayah, maka semakin rentan
wilayah tersebut terhadap ancaman bencana. Jika dibandingkan dengan
kelurahan yang berpenduduk miskin sedikit, kelurahan yang memiliki
keluarga miskin lebih banyak, akan membutuhkan lebih banyak bantuan
dan membutuhkan penanganan korban bencana yang lebih besar.
75
Adapun jumlah kepala keluarga miskin di wilayah pesisir Kota
Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 23. Jumlah kepala keluarga miskin di wilayah pesisir Kota Makassar.
No. Kecamatan Kelurahan lokasi Penelitian KK MIskin
1. Biringkanaya Untia 23
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 655
3. Tallo Tallo, Buloa 2704
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
303
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
356
6. Ujung Pandang
Bulogading, Maloku, Losari 95
7. Mariso Panambungan 744
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
1807
Sumber : data BPS Kota Makassar, 2016
4. Keluarga Nelayan
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang menghabiskan
sebagian besar aktivitas mata pencahariannya dengan mencari dan
membudidaya ikan di laut. Karena aktivitas ekonomi yang banyak dilakukan
di perairan laut, nelayan menjadi komunitas yang mudah terdampak ketika
terjadi bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai. Tingginya
gelombang ekstrim menyebabkan nelayan tidak bisa melaut sehingga
kehilangan penghasilan. Selain kehilangan penghasilan, gelombang
ekstrim menyebabkan kapal-kapal nelayan dapat tenggelam, hanyut,
bahkan rusak.
76
Pendataan kepala keluarga nelayan menggunakan data sekunder
yang bersumber dari Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makasssar tahun
2016. Adapun jumlah nelayan di masing-masing kelurahan pesisir Kota
Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 24. Kepala keluarga nelayan di pesisir Kota Makassar.
No. Kecamatan Kelurahan lokasi Penelitian KK Nelayan
1. Biringkanaya Untia 97
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 160
3. Tallo Tallo, Buloa 693
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
542
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
0
6. Ujung Pandang Bulogading, Maloku, Losari 427
7. Mariso Panambungan 321
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
698
Sumber : Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar, 2016
5. Kepadatan Bangunan Pemukiman
Bangunan yang berada di sekitar pantai akan mudah terdampak
bencana. Semakin padat bangunan suatu wilayah maka akan semakin
banyak bangunan yang terdampak dan semakin tinggi kerugian yang
dihasilkan. Kepadatan bangunan juga meyulitkan suatu wilayah dalam
penanganan bencana, dikarenakan kesulitan mencari jalan evakuasi yang
sesuai untuk dilewati kendaraan evakuasi.
77
Data jumlah bangunan diperoleh dari data sekunder Dinas
Pekerjaan Umum Kota Makassar tahun 2015. Adapun jumlah bangunan
kelurahan pesisir Kota Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 25. Kepadatan Bangunan di wilayah Pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Kelurahan lokasi penelitian Bangunan (Unit)
1. Biringkanaya Untia 401
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 4141
3. Tallo Tallo, Buloa 6306
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
3166
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
3156
6. Ujung Pandang Bulogading, Maloku, Losari 1319
7. Mariso Panambungan 1931
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
10128
Sumber : Dinas PU Kota Makassar, 2016
6. Luas vegetasi mangrove
Ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam menjaga
stabilitas pantai di wilayah pesisir. Keberadaan mangrove dapat menunjang
wilayah pesisi terhindar dari hantaman gelombang laut yang merusak.
Perakaran mangrove yang rapat dan massif dapat mengurangi energi
gelombang laut yang sampai ke pesisir pantai. Semakin luas mangrove
yang terhampar di wilayah pesisir maka akan semakin sedikit pengaruh
gelombang laut yang sampai ke pantai.
Pengukuran luas vegetasi mangrove pada penelitian ini
menggunakan citra google yang didownload menggunakan perangkat SAS
78
14.7. Citra yang telah didownload selanjutnya digitasi dan dihitung luasnya
menggunakan perangkat QGIS 2.18.11 dengan memilih bagian yang
terdapat ekosistem mangrove pada masing-masing kelurahan pesisir.
Selain data digitasi citra, luas mangrove juga didapatkan dari data sekunder
hasil penelitian sebelumnya. Adapun luas mangrove diwilayah pesisir Kota
Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 26. Luas mangrove di wilayah pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Kelurahan Luas mangrove
(Km2)
1. Biringkanaya Untia 10,93
2. Tamalanrea Bira, Parangloe 37,19
3. Tallo Tallo, Buloa 3,55
4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya
0,00
5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende
0,00
6. Ujung Pandang
Bulogading, Maloku, Losari 0,00
7. Mariso Panambungan 0,00
8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala
0,00
Sumber: data primer, 2016
E. Analisis Indeks Kerentanan
Data kerentanan yang terkumpul selanjutnya diinput dengan
menggunakan Microsoft Excell menjadi satu tabel data kerentanan. Skoring
dan pembobotan serta analisis indeks kerentanan menggunakan tabel
analisis kerentanan. Hasil skoring dan pembobotan serta analisis indeks
kerentanan dikonversi menjadi data shapefile menggunakan perintah “Join”
pada QGIS 2.18.11. Layer join data kerentanan berupa titik lingkaran
79
perwakilan yang menggambarkan kondisi lokasi penelitian pada masing-
masing kecamatan. Skoring dan pembobotan parameter indeks kerentanan
di paparkan sebagai berikut:
1. Kepadatan Penduduk
Skoring dan pembobotan kepadatan penduduk menggunakan tabel
penilaian parameter kerentanan sebagai berikut:
Tabel 27. Skoring Indikator kepadatan penduduk
No. Kecamatan Kepadatan penduduk
Nilai skor indeks
Nilai Kategori
1. Biringkanaya 807 1 30 Rendah
2. Tamalanrea 952 1 30 Rendah
3. Tallo 13078 2 60 Sedang
4. Ujung Tanah 17726 3 90 Tinggi
5. Wajo 12487 2 60 Sedang
6. Ujung Pandang 8772 1 30 Rendah
7. Mariso 17092 3 90 Tinggi
8. Tamalate 2817 1 30 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Dari skoring kepadatan penduduk didapatkan hasil bahwa,
kecamatan Ujung Tanah memiliki kepadatan penduduk kategori tinggi.
Sedangkan kecamatan Tamalanrea yang meliputi kelurahan Bira dan
Parangloe, kecamatan Biringkanaya berupa kelurahan Untia memiliki
kepadatan penduduk rendah. Kepadatan penduduk suatu wilayah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luas wilayah kelurahan dan
sebagian besar wilayah kelurahan didominasi oleh lahan pertambakan dan
industri.
80
2. Kelompok Rentan
Skoring dan pembobotan parameter kelompok rentan menggunakan
tabel penilaian kerentanan sebagai berikut:
Tabel 28. Skoring parameter Indikator kelompok rentan
No. Kecamatan Persentase
kelompok rentan Nilai Skor
indeks Nilai
bobot Kategori
1. Biringkanaya 23.62 3 60 Tinggi
2. Tamalanrea 14.92 1 20 Rendah
3. Tallo 26.54 3 60 Tinggi
4. Ujung Tanah 13.79 1 20 Rendah
5. Wajo 18.66 2 40 Sedang
6. Ujung Pandang 25.38 3 60 Tinggi
7. Mariso 12.81 1 20 Rendah
8. Tamalate 16.77 2 40 Sedang
Sumber: analisis data, 2017
Dari hasil skoring kelompok rentan didapatkan hasil bahwa
kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Pandang memiliki kelompok rentan
kategori tinggi. Kategori sedang terdapat dikecamatan Wajo dan
kecamatan Tamalate. Sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan
Ujung Tanah, Kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Mariso. Kelompok
rentan secara fisik mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri. Ketika
terjadi bencana, potensi jatuhnya korban jiwa akibat kesulitan
menyelamatkan diri, akan banyak dimiliki oleh wilayah yang memiliki
keberadaan kelompok rentan kategori tinggi. Berdasarkan hasil skoring,
kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Pandang memiliki potensi jumlah
korban kelompok rentan lebih tinggi dibanding kecamatan lainnya.
81
3. Kepala Keluarga Miskin
Skoring dan pembobotan kepala keluarga miskin menggunakan
tabel penilaian kerentanan sebagai berikut:
Tabel 29. Skoring parameter kepala keluarga miskin
No. Kecamatan Persentase KK miskin
Nilai skor indeks
Nilai bobot
Kategori
1. Biringkanaya 4.66 1 15 Rendah
2. Tamalanrea 12.87 1 15 Rendah
3. Tallo 32.78 3 45 Tinggi
4. Ujung Tanah 8.35 1 15 Rendah
5. Wajo 9.04 1 15 Rendah
6. Ujung Pandang 6.01 1 15 Rendah
7. Mariso 25.54 2 30 Sedang
8. Tamalate 17.99 2 30 Sedang
Sumber: analisis data, 2017
Dari hasil skoring parameter kepala keluarga miskin didapatkan hasil
bahwa, kecamatan Tallo merupakan kecamatan dengan keberadaan
kepala keluarga miskin kategori tinggi. Kategori sedang terdapat di
kecamatan Mariso dan kecamatan Tamalate, sedangkan kategori rendah
terdapat di kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea, kecamatan
Ujung Tanah, kecamatan Wajo dan kecamatan Ujung Pandang.
Keberadaan kepala keluarga miskin sangat mempengaruhi tingkat
kerentanan penduduk suatu wilayah. Masyarakat miskin secara ekonomi,
akan sangat berat merasakan dampak bencana. kesulitan ekonomi akibat
penghasilan minim dan pekerjaan tidak tetap, menjadikan masyarakat
miskin kesulitan memulihkan diri ketika terjadi bencana.
82
4. Kepala Keluarga Nelayan
Skoring dan pembobotan kepala keluarga nelayan menggunakan
tabel penilaian kerentanan sebagai berikut :
Tabel 30. Skoring parameter kepala keluarga nelayan
No. Kecamatan Persentase KK nelayan
Nilai skor indeks
Nilai bobot
Kategori
1. Biringkanaya 19.64 3 30 Tinggi
2. Tamalanrea 3.14 1 10 Rendah
3. Tallo 8.4 1 10 Rendah
4. Ujung Tanah 14.94 2 20 Sedang
5. Wajo 0 0 0 Rendah
6. Ujung Pandang 26.99 3 30 Tinggi
7. Mariso 11.02 2 20 Sedang
8. Tamalate 6.95 1 10 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Dari hasil skoring parameter kepala keluarga (KK) Nelayan
didapatkan hasil bahwa kecamatan Biringkanaya dan kecamatan Ujung
Pandang memiliki kepala keluarga nelayan kategori tinggi. Kategori sedang
terdapat di kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Mariso. Sedangkan
kategori rendah terdapat di kecamatan Tamalanrea, kecamatan Tallo, dan
kecamatan Tamalate. Kecamatan Wajo, tidak memiliki kepala keluarga
nelayan. Hal ini disebabkan karena Kecamatan yang dimaksud merupakan
kawasan bisnis dan perdagangan yang mata pencaharian penduduknya
sebagai pedagang.
83
5. Kepadatan Bangunan
Pengklasifikasian kepadatan bangunan menggunakan tabel
penilaian kerentanan sebagai berikut:
Tabel 31. Skoring Parameter kepadatan bangunan
No. Kecamatan Kepadatan bangunan
Nilai skor indeks
Nilai bobot
Kategori
1. Biringkanaya 137 1 10 Rendah
2. Tamalanrea 215 1 10 Rendah
3. Tallo 2123 2 20 Sedang
4. Ujung Tanah 3298 3 30 Tinggi
5. Wajo 2207 2 20 Sedang
6. Ujung Pandang 1589 2 20 Sedang
7. Mariso 2720 3 30 Tinggi
8. Tamalate 628 1 10 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Dari hasil skoring parameter kepadatan bangunan didapatkan hasil
bahwa, kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Mariso memiliki
kepadatan bangunan kategori tinggi. Kategori sedang terdapat di
kecamatan Tallo, kecamatan Wajo dan kecamatan Ujung Pandang.
Sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,
kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Tamalate. Kepadatan bangunan
memberi pengaruh besar terhadap potensi kerusakan fisik pemukiman dan
tingginya kerugian suatu wilayah ketika terdampak bencana. wilayah
dengan tingkat kepadatan bangunan tinggi, akan lebih tinggi mengalami
tingkat kerusakan dan kerugian dibanding wilayah yang memiliki kepadatan
bangunan kategori rendah.
84
6. Luas Vegetasi Mangrove
Luas vegetasi mangrove masing-masing Kecamatan diklasifikasi
dengan menggunakan tabel parameter penilaian kerentanan sebagai
berikut:
Tabel 32. Skoring parameter luas vegetasi mangrove
No. Kecamatan Luas mangrove
(Km2) Nilai skor
indeks Nilai
bobot Kategori
1. Biringkanaya 10,93 1 15 Rendah
2. Tamalanrea 37,19 1 15 Rendah
3. Tallo 3,55 2 30 Sedang
4. Ujung Tanah 0,00 3 45 Tinggi
5. Wajo 0,00 3 45 Tinggi
6. Ujung Pandang 0,00 3 45 Tinggi
7. Mariso 0,00 3 45 Tinggi
8. Tamalate 0,00 3 45 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan hasil skoring parameter luas vegetasi mangrove
didapatkan hasil bahwa kecamatan Biringkanya dan Tamalanrea memiliki
luas mangrove kategori tinggi sehingga nilai kerentanannya rendah.
Sedangkan Kecamatan Tallo memiliki luas mangrove kategori rendah
sehingga nilai kerentanannya sedang. Kecamatan lainnya tidak memiliki
kawasan mangrove sehingga memiliki nilai kerentanan tinggi. Tingginya
luasan mangrove akan menurunkan nilai kerentanan wilayah pesisir dalam
menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
Keberadaan ekosistem mangrove dapat meredam ancaman dan
menurunkan kerentanan.
85
F. Penilaian Tingkat Kerentanan
Penilaian tingkat kerentanan dilakukan dengan cara menjumlahkan
seluruh nilai skoring indikator yang berpengaruh pada indeks kerentanan.
Nilai total dari hasil penjumlahan indikator kerentanan merupakan nilai
kerentanan wilayah kajian terhadap ancaman bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai. Hasil penjumlahan dan nilai total kerentanan wilayah
pesisir dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai disajikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 33. Nilai kerentanan wilayah pesisir
No. Kecamatan V1 V2 V3 V4 V5 V6 VTotal
1. Biringkanaya 0,3 0,6 0,15 0,3 0,1 0,15 1,6
2. Tamalanrea 0,3 0,2 0,15 0,1 0,1 0,15 1,0
3. Tallo 0,60 0,6 0,45 0,1 0,2 0,3 2,25
4. Ujung Tanah 0,9 0,2 0,15 0,2 0,3 0,45 2,2
5. Wajo 0,60 0,4 0,15 0 0,2 0,45 1,8
6. Ujung Pandang 0,30 0,6 0,15 0,3 0,2 0,45 2,0
7. Mariso 0,90 0,2 0,3 0,2 0,3 0,45 2,35
8. Tamalate 0,30 0,4 0,3 0,1 0,1 0,45 1,65
Sumber: analisis data, 2017
Nilai total kerentanan yang didapatkan, selanjutnya dianalisis dan
diklasifikasi kedalam tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Klasifikasi
dilakukan untuk mendapatkan perbedaan kerentanan masing-masing
kecamatan dalam menghadapi ancaman bencana geombang ekstrim dan
abrasi pantai. Hasil analisis dan klasifikasi nilai kerentanan wilayah pesisir
kota Makassar disajikan pada tabel sebagai sebagai berikut :
86
Tabel 34. Tingkat kerentanan wilayah pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Nilai Kerentanan
(Vtotal) Kategori
1. Biringkanaya 1,6 Rendah
2. Tamalanrea 1 Rendah
3. Tallo 2,25 Sedang
4. Ujung Tanah 2,2 Sedang
5. Wajo 1,8 Sedang
6. Ujung Pandang 2 Sedang
7. Mariso 2,35 Tinggi
8. Tamalate 1,65 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Klasifikasi tingkat kerentanan wilayah pesisir terhadap ancaman
bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai, menggambarkan wilayah
pesisir kota Makassar memiliki tingkat kerentanan yang berbeda. Kisaran
nilai kerentanan berdasarkan hasil analisis yaitu antara 1,0-2,35. Tingkat
kerentanan Kategori tinggi terdapat di kecamatan Mariso dengan total nilai
kerentanan sebesar 2,35. Kategori sedang terdapat di kecamatan Ujung
Tanah, kecamatan Tallo, kecamatan Wajo dan kecamatan Ujung Pandang
dengan total nilai kerentanan berkisar antara 1,8-2,25. Sedangkan kategori
rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea dan
kecamatan Tamalate dengan nilai total kerentanan berkisar 1,0-1,65.
perbedaan tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar terhadap
ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai ditunjukan pada
gambar sebagai berikut :
87
Gambar 6. Tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar
Nilai kerentanan sedang dan tinggi suatu wilayah tinggi dipangaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu tingginya kepadatan penduduk dan kelompok
rentan, tingginya jumlah kepala keluarga miskin dan kelompok nelayan,
tingginya kepadatan pemukiman dan minimnya luasan vegetasi wilayah
pesisir dalam menghadapi ancaman bencana. Kecamatan mariso memiliki
kategori nilai kerentanan tinggi disebabkan oleh kepadatan penduduk dan
pemukiman serta keberadaan kelompok rentan. Disisi lain, vegetasi pesisir
di kecamatan Mariso telah rusak dan beralih fungsi menjadi kawasan
reklamasi sehingga semakin menambah nilai kerentanan wilayah.
88
Sedangkan kecamatan Tallo, memiliki tingkat kerentanan sedang karena
memiliki kepadatan penduduk dan jumlah kepala keluarga miskin lebih
tinggi dibanding kecamatan Mariso, tetapi kecamatan Tallo memiliki
vegetasi wilayah pesisir yang dapat mengurangi ancaman bencana
sehingga nilai kerentanannya sedikit berkurang. Tingginya kepadatan
penduduk dan pemukiman menjadi salah satu faktor tingginya potensi
jumlah jiwa terpapar ketika terjadi bencana diwilayah pesisir (Rosyidie,
2006). Nilai kerentanan rendah terdapat dikecamatan Biringkanaya,
kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Tamalate. Kecamatan
Biringkanaya dan kecamata Tamalanrea memiliki luas vegetasi mangrove
yang tinggi sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan pemukiman sangat
rendah sehingga nilai kerentanan yang dimiliki juga rendah.
G. Pengumpulan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan
Kapasitas atau ketangguhan adalah sumber daya, pengetahuan,
keterampilan, dan kekuatan yang dimiliki seseorang atau masyarakat yang
memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri,
mencegah, dan memitigasi, menanggulangi dampak buruk, atau dengan
cepat memulihkan diri dari bencana. Kapasitas masyarakat dalam
menghadapi bencana manjadi faktor penting untuk mengurangi risiko
bencana, baik mengurangi jumlah jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan
dan kerugian yang ditimbulkan ketika terjadi bencana.
89
Dalam penelitian ini penulis mengambil beberapa paremeter untuk
menghitung tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir. Diantaranya adalah
peraturan daerah Kota Makassar yang mengatur tentang penanggulangan
bencana beserta dokumen mendukung untuk kebencanaan. Selain itu,
pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana, infrastruktur
lingkungan yang dibangun untuk mengurangi dampak bencana dan
pelatihan serta sistim peringatan dini yang digunakan ketika menghadapi
bencana termasuk kategori untuk menilai kapasitas suatu wilayah.
Pengambilan data kapasitas dilakukan dengan survei langsung ke
lapangan dan wawancara dengan beberapa stakeholder terkait. Adapun
data kapasitas masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada tabel sebagai
berikut :
1. Peraturan daerah yang mengatur tentang penanggulangan bencana
telah ada di Kota Makassar ditandai dengan terbentuknya badan yang
menangani kebencanaan yakni Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Kota Makassar.
2. Dokumen kajian risiko bencana telah disusun oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, tetapi terkhusus kajian risiko gelombang
ekstrim belum disahkan dalam peraturan daerah.
3. Seluruh kecamatan pesisir kota Makassar, belum ada yang membangun
sistim peringatan dini menghadapi bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai.
90
4. Beberapa kecamatan telah membangun mitigasi struktural dan non-
struktural berupa pembangunan beton/dinding pantai, susunan batu
alam, dan penanaman mangrove. Adapun data kecamatan yang telah
membangun mitigasi struktural maupun non-struktural disajikan pada
tabel sebagai berikut :
Tabel 35. Sebaran pembangunan mitigasi struktural diwilayah pesisir Kota Makassar.
No. Kecamatan Jenis Mitigasi Kegiatan
1. Biringkanaya Struktural dan Non-struktural
Bangunan pantai, penanaman dan pemeliharaan mangrove
2. Tamalanrea Non-Struktural Penanaman, pemeliharaan Mangrove
3. Tallo Struktural dan non-struktural
Susunan batu, bangunan pantai dan penanaman mangrove
4. Ujung Tanah Struktural Bangunan Pantai
5. Wajo struktural Bangunan dinding pantai
6. Ujung Pandang
struktural Bangunan dinding pantai, groin
7. Mariso struktural Bangunan dinding pantai
8. Tamalate belum ada (tahap perencanaan)
-
Sumber: Data primer, 2017
5. Pelatihan dan pendidikan kebencanaan pernah dilakukan dengan
menghadirkan pemerintah Kecamatan Ujung Pandang dan Kecamatan
Tallo, sedangkan kecamatan lainnya belum dilakukan pelatihan dan
pendidikan kebencanaan.
91
H. Analisis Parameter Indeks Kapasitas/Ketangguhan
Data kapasitas yang diperoleh di lapangan dengan metode
wawancara stakeholder dan survei visual, selanjutnya diskoring dengan
menggunakan tabel kapasitas. Adapun hasil analisis parameter kapasitas
disajikan pada tabel sebagai berikut:
1. Aturan dan Lembaga Penanggulangan Bencana
Tabel 36. Skoring analisis parameter kapasitas aturan dan lembaga penanggulangan bencana
No. Kecamatan
Peraturan dan Lembaga Penanggulangan Bencana
Nilai Skor
Indeks
Nilai Bobot
Kategori
1. Biringkanaya
Perwali No. 2 Tahun 2010 Tentang Pembentukan BPBD
3 75 Tinggi
2. Tamalanrea 3 75 Tinggi
3. Tallo 3 75 Tinggi
4. Ujung Tanah 3 75 Tinggi
5. Wajo 3 75 Tinggi
6. Ujung Pandang 3 75 Tinggi
7. Mariso 3 75 Tinggi
8. Tamalate 3 75 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Hasil pendataan dan wawancara dengan stakeholder terkait
didapatkan hasil bahwa aturan dan lembaga penanggulangan bencana di
Kota Makassar telah terbentuk pada tahun 2010 melalui peraturan waliKota
Makassar No. 2 tahun 2010 tentang pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kota Makassar yang memiiliki tugas pokok
penanggulangan bencana dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah
92
kecamatan di Kota Makassar termasuk kecamatan pesisir. Berdasarkan hal
tersebut, maka seluruh wilayah pesisir Kota Makassar termasuk kapasitas
dalam kategori tinggi.
2. Pengkajian risiko bencana
Tabel 37. Skoring analisis parameter kapasitas pengkajian risiko bencana
No. Kecamatan
Dokumen Kajian risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi
Nilai skor
Indeks
Nilai Bobot
Kategori
1. Biringkanaya
Belum ada pengesahan
dokumen
1 20 Rendah
2. Tamalanrea 1 20 Rendah
3. Tallo 1 20 Rendah
4. Ujung Tanah 1 20 Rendah
5. Wajo 1 20 Rendah
6. Ujung Pandang 1 20 Rendah
7. Mariso 1 20 Rendah
8. Tamalate 1 20 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Hasil analisis pengkajian risiko bencana terkhusus bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai belum masuk pada tahap pengesahan
dokumen kajian. Badan Penanggulangan Bencana Daerah kota Makassar
belum, memiliki program khusus pengkajian risiko bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai. Berdasarkan hal tersebut, maka kapasitas
wilayah pesisir ditinjau dari aspek kajian dan dokumen kajian risiko bencana
termasuk dalam kategori rendah. Dokumen kajian risiko merupakan aspek
penting untuk merencanakan kegiatan pengurangan risiko bencana.
93
3. Pembangunan sistim peringatan dini
Peringatan dini merupakan sistematika dan peralatan yang
digunakan untuk mengantisipasi datangnya suatu jenis bencana.
Peringatan dini dapat menggambarkan tanda-tanda datangnya bencana
maupun karateristik bencana yang akan terjadi. Peringatan dini, memiliki
manfaat yang besar untuk mengurangi jumlah korban terpapar ketika terjadi
bencana karena masyarakat memiliki kesiapan diri yang matang untuk
menyelamatkan diri dan melakukan evakuasi ketika terjadi bencana.
Skoring parameter peringatan dini disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 38. Skoring analisis parameter kapasitas pembangunan sistim peringatan dini
No. Kecamatan EWS Nilai skor
Indeks Nilai
Bobot Kategori
1. Biringkanaya belum ada 1 10 Rendah
2. Tamalanrea belum ada 1 10 Rendah
3. Tallo belum ada 1 10 Rendah
4. Ujung Tanah belum ada 1 10 Rendah
5. Wajo belum ada 1 10 Rendah
6. Ujung Pandang belum ada 1 10 Rendah
7. Mariso belum ada 1 10 Rendah
8. Tamalate belum ada 1 10 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Dari hasil survei dan analisis, sistem peringatan dini bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai untuk wilayah pesisir kota Makassar
belum ada yang disahkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kota Makassar. Hal ini berpengaruh pada tingkat kapasitas wilayah pesisir
94
Kota Makassar ketika ditinjau dari aspek pembangunan sistim peringatan
dini termasuk dalam kategori rendah.
4. Kegiatan Mitigasi Bencana
Tabel 39. Skoring analisis parameter kapasitas kegiatan mitigasi bencana
No. Kecamatan Kegiatan mitigasi
Nilai skor indeks
Nilai bobot
Kategori
1. Biringkanaya ada, kegiatan 2 60 Sedang
2. Tamalanrea ada, kegiatan 2 60 Sedang
3. Tallo ada, kegiatan 2 60 Sedang
4. Ujung Tanah ada, kegiatan 2 60 Sedang
5. Wajo ada, kegiatan 2 60 Sedang
6. Ujung Pandang ada, kegiatan 2 60 Sedang
7. Mariso ada, kegiatan 2 60 Sedang
8. Tamalate perencanaan 1 30 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Kegiatan mitigasi bencana dibeberapa wilayah pesisir Kota
Makassar telah dilakukan namun sebagian wilayah seperti kecamatan
Tamalate belum sepenuhnya dilakukan, namun yang menjadi tujuan
pembangunan mitigasi bukan untuk menangkal datangnya bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai tetapi lebih secara umum untuk
mitigasi bencana. Kegiatan mitigasi yang dilakukan terdiri dari mitigasi
struktural dan non-struktural berupa penanaman dan rehabiltasi vegetasi
pesisir dalam hal ini ekosistem mangrove. Mitigasi struktural berupa
pembangunan dinding pantai, pembanguan groin dan pemasangan batu
alam. Berasarkan hasil analisis sebagian besar kecamatan pesisir Kota
Makassar memiliki kapasitas sedang jika ditinjau dari aspek kegiatan
95
mitigasi bencana. Terkecuali kecamatan Tamalate, memiliki kapasitas
rendah karena pembangunan mitigasi untuk penanggulangan bencana
abrasi pantai masih kurang dilaksanakan seperti kecamatan lainnya.
5. Pendidikan dan pelatihan kebencanaan
Tabel 40. Skoring analisis parameter kapasitas pendidikan dan pelatihan kebencanaan
No. Kecamatan Pelatihan dan
pendidikan kebencanaan
Nilai skor indeks
Nilai bobot
Kategori
1. Biringkanaya belum pernah 1 15 Rendah
2. Tamalanrea belum pernah 1 15 Rendah
3. Tallo pernah 2 15 Sedang
4. Ujung Tanah belum pernah 1 15 Rendah
5. Wajo belum pernah 1 15 Rendah
6. Ujung Pandang pernah 2 15 Sedang
7. Mariso belum pernah 1 15 Rendah
8. Tamalate belum pernah 1 15 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Pendidikan dan pelatihan kebencanaan terkhusus bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai, belum sepenuhnya dilakukan oleh
Badan Penanggulangan Bencana Kota Makassar. Dari hasil wawancara
bersama stakeholder terkait, pelatihan kebencanaan pernah dilakukan
dengan melibatkan pemerintah kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung
Pandang. Namun, hanya sebatas materi pelatihan, tidak sampai kepada
praktek penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan hasil bahwa tingkat kapasitas
wilayah pesisir Kota Makassar yang ditinjau dari aspek pendidikan dan
96
pelatihan kebencanaan termasuk dalam kategori rendah dan sedang.
Kecamatan yang memiliki tingkat kapasitas sedang adalah kecamatan Tallo
dan Kecamatan Ujung Pandang.
I. Penilaian Tingkat Kapasitas/Ketangguhan
Untuk mendapatkan nilai kapasitas/ketangguhan suatu wilayah
pesisir, maka hasil analisis dan skoring parameter indeks kapasitas
dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total kapasitas. Nilai total kapasitas
selanjutnya akan diklasifikasi untuk menentukan tingkat kapasitas masing-
masing kecamatan. Adapun hasil analisis parameter indeks kapasitas dan
nilai total nilai kapasitas masing-masing kecamatan di wilayah pesisir kota
makassar disajikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 41. Nilai total kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Nilai indeks parameter kapasitas
CTotal
C1 C2 C3 C4 C5
1. Biringkanaya 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
2. Tamalanrea 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
3. Tallo 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
4. Ujung Tanah 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
5. Wajo 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
6. Ujung Pandang 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
7. Mariso 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8
8. Tamalate 0,75 0,2 0,1 0,3 0,15 1,5
Sumber: analisis data, 2017
Untuk melihat perbedaan tingkat wilayah pesisir kota Makassar
dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
97
pantai, maka nilai total kapasitas masing-masing kecamatan di klasifikasi
kedalam tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil analisis dan
kategorisasi tingkat kapasitas wilayah pesisir kota Makassar disajikan pada
tabel sebagai berikut:
Tabel 42. Tingkat kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Nilai total indeks kapasitas (Ctotal)
Kategori
1. Biringkanaya 1,8 Sedang
2. Tamalanrea 1,8 Sedang
3. Tallo 1,8 Sedang
4. Ujung Tanah 1,8 Sedang
5. Wajo 1,8 Sedang
6. Ujung Pandang 1,8 Sedang
7. Mariso 1,8 Sedang
8. Tamalate 1,5 Rendah
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan hasil analisis dan klasifikasi parameter indeks
kapasitas, sebagian besar wilayah pesisir Kota Makassar termasuk
kedalam kapasitas dengan kategori sedang. Kecamatan yang memiliki
tingkat kapasitas sedang adalah kecamatan Tamalanrea, Kecamatan
Biringkanaya, kecamatan Tallo, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan
Ujung Pandang, kecamatan Wajo dan Kecamatan Mariso. Kecamatan
dengan tingkat kapasitas rendah adalah Kecamatan Tamalate. Adapun
perbedaan kapasitas masing-masing kecamatan di wilayah pesisir Kota
Makassar dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai disajikan pada gambar sebagai berikut :
98
Gambar 7. Tingkat kapasitas wilayah pesisir Kota Makassar
J. Analisis Risiko Bencana
Analisis risiko bencana merupakan sebuah perhitungan untuk
memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu
potensi bencana yang akan terjadi. Potensi dampak negatif yang timbul
dihitung berdasarkan tingkat ancaman yang melanda, tingkat kerentanan
yang dimiliki oleh masyarakat dan wilayah, serta kapasitas penanganan
bencana suatu daerah. Potensi dampak negatif yang timbul dapat dilihat
99
berdasarkan potensi jumlah jiwa yang terpapar bencana, kerugian harta
benda, dan kerusakan lingkungan. Untuk mendapatkan nilai risiko bencana
suatu wilayah pesisir maka nilai ancaman, nilai kerentanan dan nilai
kapasitas telah dianalisis dan diketahui tingkatannya masing-masing.
Analisis risiko bencana dilakukan dengan mengoverlay nilai
ancaman, kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir Kota Makassar untuk
mendapatkan total nilai risiko. Adapun hasil analisis risiko bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar
disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 43. Hasil analisis resiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar
No. Kecamatan Ancaman
(H) Kerentanan
(V) Kapasitas
(C) Risiko
(R)
1. Biringkanaya 1,60 1,60 1,80 1,42
2. Tamalanrea 1,45 1,00 1,80 0,81
3. Tallo 1,70 2,25 1,80 2,13
4. Ujung Tanah 1,85 2,20 1,80 2,26
5. Wajo 2,20 1,80 1,80 2,20
6. Ujung Pandang 1,45 2,00 1,80 1,61
7. Mariso 1,30 2,35 1,80 1,70
8. Tamalate 3,00 1,65 1,50 3,30
Sumber: analisis data, 2017
Nilai risiko masing-masing lokasi kajian diklasifikasi berdasarkan
nilai tertinggi dan nilai terrendah dan dibagi kedalam tiga kelas yaitu
kategori risiko tinggi (2,47-3,30), kategori risiko sedang (1,64-2,47) dan
kategori risiko rendah (0,81-1,64). Hasil klasifikasi risiko bencana
100
gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar
disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 44. Tingkat risiko bencana masing-masing Kecamatan
No. Kecamatan Nilai risiko Kategori
1. Biringkanaya 1,42 Rendah
2. Tamalanrea 0,81 Rendah
3. Tallo 2,13 Sedang
4. Ujung Tanah 2,26 Sedang
5. Wajo 2,20 Sedang
6. Ujung Pandang 1,61 Rendah
7. Mariso 1,70 Rendah
8. Tamalate 3,30 Tinggi
Sumber: analisis data, 2017
Berdasarkan analisis risiko bencana, didapatkan hasil bahwa risiko
bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai kategori tinggi terdapat di
kecamatan Tamalate dengan total nilai risiko sebesar 3,30; kategori sedang
terdapat di kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Wajo
dengan nilai risiko masing-masing 2,13; 2,20 dan 2,26, sedangkan kategori
rendah terdapat di kecamatan Mariso, kecamatan Ujung Pandang,
kecamatan Tamalanrea, dan kecamatan Biringkanaya dengan kisaran nilai
risiko sebesar 0,81-1,70. Perbedaan risiko masing-masing lokasi kajian
bergantung pada nilai ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi
yang dimiliki, nilai kerentanan penduduk dan wilayah dalam menghadapi
bencana serta nilai kapasitas yang dimiliki sebagai faktor pengurang risiko
bencana. Hasil klasifikasi risiko bencana masing-masing lokasi kajian
disajikan pada gambar sebagai berikut :
101
Gambar 8. Peta risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai Kota Makassar
Tingginya risiko bencana di wilayah pesisir Kota Makassar,
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tingginya pengaruh ancaman
gelombang ekstrim dan abrasi pantai, tingginya kerentanan yang dimiliki
suatu wilayah, dan rendahnya kapasitas untuk menghadapi ancaman
bencana. Berdasarkan hasil kajian, kecamatan Tamalate memiliki risiko
bencana kategori tinggi. Hal ini disebabkan oleh tingginya indeks ancaman
bencana dan rendahnya kapasitas yang dimiliki dalam menghadapi
ancaman bencana. Namun nilai kerentanan yang dimiliki kecamatan
102
Tamalate termasuk dalam kategori rendah. Kerentanan rendah dipengaruhi
oleh kepadatan penduduk rendah dan kurangnya jumlah kelompok rentan,
sehingga jumlah jiwa yang terpapar sedikit. Namun di sisi lain, risiko
bencana tinggi menggambarkan kerugian yang ditimbulkan ketika terjadi
bencana. Kecamatan Tamalate telah mengalami kejadian abrasi sehingga
beberapa bangunan pemerintah maupun masyarakat mengalami
kerusakan. Keadaan pantai kecamatan Tamalate yang terbuka dan
besarnya pengaruh gelombang serta kecepatan arus yang sampai kepantai
menyebabkan peluang terjadinya abrasi semakin tinggi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Prawiradisastra (2003) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kecepatan abrasi pantai adalah besarnya gelombang dan
arus laut serta keterbukaan pantai terhadap serangan gelombang.
Kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Wajo
memiliki tingkat risiko bencana kategori sedang. risiko bencana sedang
menggambarkan adanya potensi jumlah jiwa terpapar dalam suatu wilayah
yang dipengaruhi oleh tingginya kepadatan penduduk dan pemukiman,
banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, dan tingginya
angka kemiskinan. Kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Tanah memiiki
tingkat kepadatan penduduk dan pemukiman tinggi serta sebagian besar
penduduk berada pada kategori miskin. Bencana gelombang ekstrim dapat
menyebabkan masyarakat yang berekonomi lemah (miskin) dan yang
berprofesi sebagai nelayan mengalami kesulitan ekonomi. Gelombang laut
yang ekstrim mengganggu aktivitas mata pencaharian para nelayan,
103
sehingga menyebabkan hilangnya penghasilan. Risiko bencana sedang
menggambarkan bahwa, kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah dan
kecamatan Wajo memiliki kapasitas yang sedang dalam menghadapi
bencana. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik pantai yang telah ditutupi
oleh bangunan pantai sehingga potensi terdampak abrasi secara langsung
sangat kecil.
Kecamatan yang memiliki tingkat risiko bencana rendah adalah
kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung
Pandang dan kecamatan Mariso. Penggambaran risiko rendah disebabkan
oleh tingkat ancaman bencana di kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan
Biringkanaya termasuk dalam kategori rendah, di sisi lain tingkat kapasitas
yang dimiliki cukup tinggi dengan adanya kawasan mangrove yang tumbuh
pada sepanjang wilayah pesisir. Ekosistem mangrove berperan meredam
energi gelombang laut sehingga tingkat ancaman bencana gelombang
ekstrim dan abrasi dapat berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Pramudji (2000) yang menyatakan, hutan mangrove yang memiliki tipe
perakaran yang rapat dan kuat dapat meredam hantaman gelombang laut
sehingga garis pantai dapat stabil. Tingkat risiko bencana dengan kategori
rendah yang dimiliki oleh Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan
Biringkanaya, didukung pula dengan tingkat kepadatan penduduk yang
rendah dan kurangnya jumlah kelompok rentan, karena sebagian besar
wilayahnya didominasi oleh kawasan pertambakan sehingga potensi
jumlah jiwa terpapar juga rendah.
104
Kecamatan Ujung Pandang dan kecamatan Mariso memiliki tingkat
risiko bencana kategori rendah, hal ini disebabkan letak pesisir kecamatan
ini cenderung berbentuk teluk dan perairan lautnya tenang karena
keberadaan kelurahan pulau Lae-lae di depannya. Kecamatan Mariso dan
Kecamatan Ujung Pandang kurang mendapat pengaruh gelombang laut
tinggi dari laut lepas. Selain itu, bentuk morfologi pantai yang ditutupi oleh
bangunan Pantai Losari menyebabkan Kecamatan Ujung Pandang dan
Kecamatan Mariso memiliki ketahanan tinggi untuk menghadapi abrasi.
K. Rekomendasi Strategi Pengurangan Risiko Bencana
Kajian risiko bencana suatu wilayah dapat menjadi acuan dasar
untuk menyusun program kebijakan pengurangan risiko dan dampak
bencana. Hal ini dimaksudkan agar dampak bencana tidak terus berlanjut
sehingga kerugian dapat diminimalisir. Berdasarkan hasil kajian, wilayah
pesisir kota Makassar telah terdampak bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai, sehingga perlu dengan segera mendapat perhatian serius
dari stakeholder terkait untuk melakukan program kegiatan pengurangan
risiko bencana. Berdasarkan hal tersebut, penulis memberi beberapa
rekomendasi strategi pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar, yaitu sebagai berikut:
1. Strategi pengurangan risiko bencana kategori sedang dan tinggi
Untuk mengurangi risiko dan dampak bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai kategori sedang dan tinggi dapat dilakukan dengan cara
105
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) gelombang ekstrim
dan abrasi pantai. Dalam undang-undang No. 24 tahun 2007, penyusunan
rencana penanggulangan bencana merupakan tindak lanjut dari proses
penyusunan kajian risiko bencana yang wajib dimiliki setiap daerah dengan
tingkat risiko bencana sedang dan tinggi.
Rencana penanggulangan bencana merupakan dokumen kajian
yang memuat program kegiatan dan strategi yang saling terkait yang
digunakan untuk mengurangi risiko bencana di wilayah pesisir kota
Makassar dengan program dan kegiatan sebagai berikut:
1. Kegiatan Meredam Ancaman Bencana
Kegiatan meredam ancaman bencana dapat dilakukan melalui
pembangunan mitigasi struktural dan non-struktural untuk mengurangi
dampak bencana yaitu dengan memperkuat bangunan pelindung pantai
pada lokasi-lokasi strategis. Kegiatan mitigasi struktural dapat dilakukan
pada wilayah yang belum tersentuh upaya mitigasi namun telah mengalami
dampak bencana. Kecamatan Tamalate termasuk wilayah yang telah
terdampak abrasi, perlu membangun mitigasi struktural untuk
mempertahankan stabilitas pantai berupa bangunan penahan sedimentasi
sejajar pantai (groin), peredam abrasi (bank revetment) dan bangunan
pemecah gelombang untuk mengurangi laju abrasi pantai yang terjadi di
kelurahan Tanjung bayang. Selain bangunan struktural, mitigasi dampak
abrasi dapat juga dilakukan dengan menanam tanaman vegetasi yang
sesuai dengan karakteristik pantai berpasir.
106
2. Pengurangan Kerentanan Kelompok Rentan
Kegiatan pengurangan kerentanan dapat dilakukan dengan
meningkatkan pemahaman masyarakat terkhusus kelompok rentan dan
kelompok nelayan miskin melalui kegiatan pelatihan dan sosialisasi akan
adanya potensi ancaman bencana, faktor pendorong terjadinya, dan risiko
yang mungkin terjadi. Kegiatan pengurangan kerentanan dapat dilakukan
di Kecamatan Mariso dan kecamatan Tallo dengan tingkat kerentanan
tinggi dan sedang. sosialisasi potensi ancaman gelombang ekstrim bagi
para nelayan sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan
dalam menghadapi ancaman bencana. Sosialisasi dapat dilakukan dengan
mengundang nelayan pada kegiatan penaggulangan bencana.
3. Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Kegiatan peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan
membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan membangun budaya siaga
bencana bagi masyarakat wilayah pesisir melalui peningkatan pengetahuan
terkait upaya penyelamatan diri dan upaya pengurangan risiko bencana.
Peningkatan kapasitas dapat dilakukan pada kecamatan dengan tingkat
risiko bencana sedang dan tinggi untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa
dan kerugian materil. Peningkatan kapasitas dapat melibatkan stakeholder
terkait yang memiliki peran kunci dimasyarakat pesisir. Peningkatan
kapasitas dapat dilakukan kepada masyarakat yang bermukim dan
107
melakukan kegiatan wisata pantai seperti yang terdapat di pantai tanjung
bayang, tanjung bunga, kelurahan barombong agar tidak melakukan
aktivitas pembangunan pemukiman pada wilayah rawan abrasi.
4. Membangun sistim peringatan dini menghadapi bencana
Sistim peringatan dini merupakan aspek penting dalam
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman
bencana. Dengan adanya peringatan dini, kejadian bencana gelombang
ekstrim, dapat lebih awal diketahui masyarakat sehingga jatuhnya korban
jiwa dan kerugian materil dapat diminimalisir. Mekanisme peringatan dini
dapat disepakati oleh masyarakat bersama pemerintah melalui keputusan
badan penanggulangan bencana daerah kota Makassar dan diprioritaskan
pada wilayah pesisir kecamatan yang memiliki tingkat ancaman bencana
sedang dan tinggi yakni pesisir kecamatan Tamalate, kecamatan Wajo dan
kecamatan Tallo. Peringatan dini yang dibuat, tetap memperhatikan
informasi iklim dan curah hujan yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika wil. IV Makassar mengenai peringatan tinggi
gelombang dan cuaca buruk yang berbahaya bagi pelayaran.
5. Mensosialiasikan kegiatan pengurangan risiko bencana kepada
masyarakat pesisir
Program kegiatan pengurangan risiko bencana perlu disebarluaskan
kepada masyarakat terkhusus kelompok rentan, para nelayan dan
masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir, yang menerima dampak
108
langsung bencana gelombang ekstrim dan abrasi. Hal ini dimaksudkan
untuk menggalang dukungan dari para pihak agar ikut terlibat dan
bekerjasama dalam upaya penanggulangan bencana di wilayah pesisir.
Selain itu, sosialisasi juga bertujuan untuk mengurangi upaya dan kegiatan
pembangunan yang dapat meningkatkan ancaman bencana diwilayah
pesisir. Sosialisasi kegiatan pengurangan risiko bencana dapat dilakukan
dengan beberapa cara diantaranya:
- Pemasangan papan informasi bahaya bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai di wilayah yang memiliki tingkat ancaman dan risiko
bencana tinggi termasuk papan informasi peringatan dini tanda-tanda
datangnya bencana.
- Pemasangan berita pada media cetak dan elektronik mengenai
bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai yang mengancam
wilayah pesisir kota Makassar dan berbahaya bagi nelayan yang
melakukan aktivitas penangkapan di perairan kota Makassar.
- Pemerintah kota makassar dalam hal ini badan penanggulangan
bencana kota Makassar dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi
untuk melakukan kajian-kajian kebencanaan khususnya bencana
gelombang ekstrim dan abrasi pantai.
2. Strategi preventif untuk risiko bencana kategori rendah
langkah pencegahan (preventif) dapat dilakukan untuk menghadapi
bencana, sekalipun risiko bencana yang didapatkan termasuk kategori
109
rendah. Pencegahan bencana dapat dilakukan dengan mempertahankan
faktor peredam ancaman bencana yaitu:
a. Peningkatan kualitas lingkungan pesisir dengan menjaga dan
memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah ada, dan merencanakan
pembangunan masyarakat yang mengedepankan adaptasi. Perbaikan
ekosistem pesisir dapat dilakukan melalui rehabilitasi ekosistem.
Kegiatan rehabilitasi ekosistem dapat dilakukan dengan membangun
kerjasama antara pemerintah Kota Makassar dan perguruan tinggi yang
memiliki disiplin ilmu tentang hutan mangrove. Wilayah pesisir
kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Tallo
dapat dijadikan sebagai laboratorium lapangan untuk mengkaji tentang
ekologi ekosistem mangrove dan mengkaji bencana yang terjadi di
wilayah pesisir.
b. Penegakan peraturan terkait perlindungan ekosistem pesisir, dapat
dilakukan dengan penetapan luasan sabuk hijau (ekosistem Mangrove)
di wilayah pesisir oleh pemerintah kota Makassar. Penegakan peraturan
ini perlu melibatkan masyarakat sebagai perpanjangan tangan
pemerintah untuk menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove,
termasuk mempertahankan dan menjaga luasan sabuk hijau (green
belt) dari oknum individu yang ingin merusak ekosistem mangrove.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian kajian risiko bencana gelombang
ekstrim dan abrasi pantai berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana nomor 1 dan nomor 2 tahun 2012 ini adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
kategori tinggi terdapat di pesisir kecamatan Tamalate; kategori sedang
terdapat di kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Tanah, dan kecamatan
Tallo, sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,
kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung pandang dan Kecamatan
Mariso.
2. Tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar yang memiliki
kategori tinggi terdapat di kecamatan Mariso; kategori sedang terdapat
di kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah, kecamatan Wajo, dan
kecamatan Ujung Pandang, sedangkan kategori rendah terdapat di
kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea, kecamatan Wajo dan
kecamatan Tamalate.
111
3. Tingkat kapasitas wilayah pesisir kota Makassar yang memiliki kategori
rendah terdapat di kecamatan Tamalate, sedangkan kecamatan lainnya
termasuk dalam kategori sedang.
4. Risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai kategori tinggi
terdapat di kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di
kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Tallo,
sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,
kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung Pandang, dan kecamatan
Mariso.
5. Strategi pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi
pantai kategori sedang dan tinggi, berupa perbaikan stabilitas pantai
melalui pembangunan fisik pemecah gelombang dan menanam
vegetasi pantai yang sesuai, sedangkan kategori risiko rendah dapat
melakukan upaya preventif berupa peningkatan kualitas lingkungan
pesisir dan penegakan aturan terkait perlindungan ekosistem pesisir.
B. Saran
Adapun saran yang berkembang berdasarkan hasil penelitian ini
adalah:
1. Untuk menerapkan rekomendasi yang tertulis dalam tesis ini, diperlukan
penelitian lebih lanjut dan lebih detail mengenai titik dan lokasi tingkat
ancaman bencana dan wilayah terdampak bencana gelombang ekstrim
dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar.
112
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik mengkaji
tentang laju abrasi pantai dan transport sedimen yang terjadi di wilayah
pesisir kota Makassar.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pembangunan fisik
(struktural) penanggulangan abrasi yang sesuai dengan karateristik
masing-masing wilayah kecamatan pesisir kota Makassar.
4. Jika upaya penanggulangan bencana pada wilayah yang memiliki
tingkat risiko bencana tinggi sudah tidak dapat dilakukan melalui
perbaikan (rehabilitasi) ekosistem pesisir maka, kegiatan
penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai dapat
dilakukan melalui pembangunan fisik (struktural) peredam gelombang.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Taslim., Yulius dan M. Furqon Azis Ismail. 2012. Kondisi arus pasang surut di perairan Pesisir Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Depik Vol. 1, hal. 183-188.
Bando, AR. 2016. Kajian Strategis Pengelolaan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Utara Kota Makassar untuk Kepentingan Mitigasi Bencana Akibat Kenaikan Muka Air Laut. Universitas Brawijaya: Malang
Badan Pusat Statistik. 2016. Makassar dalam Angka. Kota Makassar
Dahuri, Rokhmin. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita: Jakarta
Diposaptono, Subandono. 2003. Mitigasi Bencana Alam di wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alami.Vol. 8 No. 2:1-8
Fajar. 23 desember. BMKG Minta Nelayan Tidak Melaut. 2016. Hal 1 dan 11
Fajri, F., Rifardi dan Afrizal Tanjung. 2012. Studi Abrasi Pantai Padang Kota Padang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 17,2 : 36-42
Hakim, A.B, dkk. 2012. Efektifitas Penanggulangan Abrasi Menggunakan Bangunan Pantai di Pesisir Kota Semarang. Universitas Diponegoro: Semarang
Hall, Anthony dan Midgley, James. 2004. Social Policy For Development. Sage Publications ltd: London
Hermon, Dedi. 2014. Geografi Bencana Alam. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Hidayat, Arief. 2012. Analisis Pengembangan Kawasan Pesisir Berbasis Mitigasi Sea Level Rise (Kenaikan Muka Air Laut) Studi Kasus Kawasan Lama Kota Makassar. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia. Vol. 1 No. 1: 87-100
Hotden, Khairijon dan Mayta Novaliza Isda. 2014. Analisis Vegetasi Mangrove di Ekosistem Mangrove Desa Tapian Nauli I Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. JOM FMIPA Volume 1 No.2
114
Huda, Nurul. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Wilayah Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Universitas Diponegoro: Semarang
Hutabarat, S dan Stewart M. Evans. 2014. Pengantar Oseanografi. UI Press: Jakarta
Istijono, B. 2013. Tinjauan Lingkungan dan Penanggulangan Abrasi Pantai Padang-Sumatra Barat. Jurnal rekayasa Sipil, 9: 42-49
Jaswadi, R. Rijanta dan Pramono Hadi. 2012. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Risiko Banjir di Kecamatan Pasarkliwon Kota Surakarta. Majalah Geografi Indonesia Vol. 26 No. 1
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. 25% penduduk miskin tinggal dikawasan pesisir, (online). (http://www.kabarbisnis.com/read/2847678/25--penduduk-miskin-tinggal-di-kawasan-pesisir, diakses 17 Juni 2017).
Koddeng, Baharuddin. 2011. Zonasi Kawasan Pesisir Pantai Makassar Berbasis Mitigasi Bencana. Group Teknik Arsitektur. Vol. 5
Krisyanto, A, Armono H.D.,& Soemarno. 2013. Kemampuan Hutan Mangrove Rumpun Rhizophora SP dan Avicenia SP dalam Meredam Gelombang Laut. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 9: 173-178
Mahardy, A. Ikmal. 2014. Analisis dan Pemetaan Daerah Rawan Banjir di Kota Makassar berbasis Spatial. Jurusan Sipil FT Unhas : Makassar
Odum, EP., 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke III. Terjemahan Thahjo Samingan. Gadjah Mada Press: Yogyakarta
Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan Mangrove. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Sumatra Utara.
Pemerintah Kota Makassar. 2011. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah
Pesisir, Laut dan Pulau- Pulau Kecil Kota Makassar 2011-2030. Pemerintah Kota Makassar : Makassar
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 01 Tahun 2012 Tentang Indikator Ketangguhan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana : Jakarta
115
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana : Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai
Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana. Vol. XXV, No.1 : 13-20
Pratiwi, D. Resti. 2011. Adaptasi Penataan Ruang Terhadap Risiko Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise) di Jakarta Utara. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 22, No.2 : 129-144
Prawiradisastra, Suryana. 2003. Permasalahan Abrasi di Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu. Alami. Vol.8 No.2 : 42-46
Rabung, F. 2012. Pola Angin Pembangkit Gelombang Yang Berpengaruh Atas Morfologi dan Bangunan Pantai di Sekitar Makassar. ResearchGate. Universitas Hasanuddin: Makassar
Rauf. S. 2012. Pemetaan Drainase Berbasis Quantum Gis Open Source di Kota Makassar. Jurnal Teknik Sipil Unhas. Vol. 6
Ristianto. 2011. Kerentanan Wilayah Pesisir Terhadap Kenaikan Muka Laut (Studi Kasus Wilayah Pesisir Utara Jawa Barat). Universitas Indonesia: Depok
Rosyidie, Arief. 2006. Dampak Bencana Terhadap Wilayah Pesisir : Belajar dari Tsunami Aceh. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol 17 No.3 :63-81
Saru, Amran. 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau di Wilayah Pesisir. Masagena Press: Makassar
Solihuddin, Tb. 2006. Karakteristik Pantai dan Potensi Bencana Geologi Daerah Bilungala, Gorontalo. Jurnal Segara. Vol. 2 Nomor 1
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Taufiqurohman, A. 2014. Pemodelan Tinggi Gelombang Akibat adanya Hutan Mangrove di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Jurnal Akuatika, V:1-7
116
Taylor, John, Omar saracho dan Ahmad Rifai. 2013. Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Kota Makassar. UNDP Indonesia : Jakarta
Tejakusuma, Iwan.G. 2011. Pengkajian Kerentanan Fisik Untuk Pengembangan Pesisir Wilayah Kota Makassar. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol. 13. No.2:82-87
Triatmodjo, Bambang. 2012. Perencanaan Bangunan Pantai. Beta Offset Yogyakarta:Yogyakarta
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan
Undang-Undang No. 01 Tahun 2011 Tentang Pemukiman penduduk
Umar. 2011. Kajian Pengaruh Gelombang Terhadap Kerusakan Pantai Matang Danau, Kabupaten Sambas. Jurnal Teknik Sipil UNTAN, 11:93-102
Wacano, Dhandhun. dkk. 2013. Adaptasi Masyarakat Pesisir Kabupaten Demak dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Bencana Wilayah Kepesisiran. Kanisius: Yogyakarta
Yustiningrum, Emilia RR. dkk. 2016. Bencana Alam, Kerentanan dan Kebijakan di Indonesia. Calpulis :Yogyakarta
118
Lampiran 1. Form penilaian kapasitas untuk jenis bencana gelombang ekstrim dan
abrasi pantai kota Makassar
Kelurahan :
Kecamatan :
Tanggal Penilaian :
No. Kategori Indikator Indeks Kapasitas Nilai
( 1, 2, 3)
1. Regulasi
Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan bencana
1 Belum ada aturan Kelembagaan PB
2 Sudah menjadi draft Kebijakan
3 Aturan dan kelembagaan PB sudah disahkan
Penyusunan Kajian dan Dokumen Risiko bencana
1 Belum ada kajian dan dokumen risiko bencana
2 Sudah ada draft kajian risiko bencana
3 Adanya dokumen kajian risiko bencana yang telah disahkan
2.
Penyelenggaraan Penanggulangan bencana
Pembangunan sistim peringatan dini bencana
1 Belum ada sistim peringatan dini yang dibangun
2 Ada perencanaan pembangunan sistim peringatan dini bencana
3 Ada sistem peringatan dini yang digunakan untuk PB
Pembangunan Mitigasi struktral dan Non struktural
1 Ada rencana pembangunan mitigasi bencana
2 Ada pembangunan mitigasi struktural dan non strukural
3
Ada pembangunan mitigasi structural dan non structural yang berkonsep pengurangan risiko bencana gelombang, abrasi
3. Kesiapsiagaan Pendidikan dan Pelatihan kebencanaan
1 Belum ada pelatihan untuk pemerintah kecamatan dan warga
2
Aparat pemerintah dan warga kelurahan mulai mengikuti pelatihan PB gelombang ekstrim dan abrasi pantai
3
Ada praktek simulasi bencana, penggunaan peralatan, dan logistik untuk Penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi Pantai
Total
119
Lampiran 2. Data bangunan pemukiman kelurahan pesisir kota Makassar
Sumber : PU Kota Makassar, 2015
No. Kecamatan Kelurahan Bangunan
(Unit)
1. Kec. Ujung Tanah Kel. Totaka 462
2. Kec. Ujung TanaH Kel. Ujung Tanah 195
3. Kec. Ujung Tanah Kel. Tamalabba 540
4. Kec. Ujung Tanah Kel. Gusung 704
5. Kec. Ujung Tanah Kel. Cambaya 1265
3166
6. Kec. Wajo Kel. Mampu 517
7. Kec. Wajo Kel. Melayu Baru 691
8. Kec. Wajo Kel. Butung 534
9. Kec. Wajo Kel. Pattunuang 701
10. Kec. Wajo Kel. Ende 713
3156
11. Kec. Tallo Kel. Tallo 1499
12. Kec. Tallo Kel. Buloa 1133
13. Kec. Tallo Kel. Kaluku Bodoa 3674
6306
14. Kec. Ujung Pandang Kel. Bulogading 447
15. Kec. Ujung Pandang Kel. Maloku 448
16. Kec. Ujung Pandang Kel. Losari 424
1319
17. Kec. Mariso Kel. Panambungan 1931
18. Kec. Tamalate Kel. Barombong 3762
19. Kec. Tamalate Kel. Maccini Sombala 3177
24. Kec. Tamalate Kel. Tanjung Merdeka 3189
10128
20. Kec. Tamalanrea Kel. Bira 2203
22. Kec. Tamalanrea Kel. Parangloe 1938
4141
23. Kec. Biringkanaya Kel. Untia 401
120
Lampiran 3. Peta geologi dan jenis tanah kota Makassar
Sumber : Bappeda Kota Makassar dan Olah Data Sekunder,2016
121
Lampiran 4. Data arus wilayah pesisir kota Makassar
Sumber : data primer, 2016
No Kecamatan Kelurahan Kecepatan Arus
(m/s)
1
Kec. Ujung Tanah
Kel. Totaka 0,07
2 Kel. Ujung Tanah 0,07
3 Kel. Tamalabba 0,07
4 Kel. Gusung 0,03
5 Kel. Cambaya 0,03
6
Kec. Wajo
Kel. Mampu 0,08
7 Kel. Melayu Baru 0,08
8 Kel. Butung 0,07
9 Kel. Pattunuang 0,07
10 Kel. Ende 0,07
11 Kec. Tallo
Kel. Tallo 0,03
12 Kel. Buloa 0,03
13 Kel. Kaluku Bodoa 0,07
14 Kec. Ujung Pandang
Kel. Bulogading 0,05
15 Kel. Maloku 0,05
16 Kel. Losari 0,05
17 Kec. Mariso Kel. Panambungan 0,05
18
Kec. Tamalate
Kel. Barombong 0,08
19 Kel. Maccini Sombala
0,05
20 Kel. Tanjung Merdeka
0,13
21 Kec. Tamalanrea
Kel. Bira 0,03
22 Kel. Parangloe 0,03
23 Kec. Biringkanaya Kel. Untia 0,03
122
Lampiran 5. Data penduduk wilayah pesisir kota Makassar
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Makassar, 2016
Kelurahan Luas
Wilayah (Km2)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Jumlah Kepala
Keluarga (KK)
Jumlah Kepala Keluarga
Prasejahtera (KK)
Kel. Totaka 0,25 2972 708 70
Kel. Ujung Tanah 0,26 1081 304 15
Kel. Tamalabba 0,2 2994 735 25
Kel. Gusung 0,15 3140 476 61
Kel. Cambaya 0,1 6830 1406 142
Kel. Mampu 0,22 3296 733 93
Kel. Melayu Baru 0,22 3362 726 62
Kel. Butung 0,19 2416 533 65
Kel. Pattunuang 0,56 3176 728 35
Kel. Ende 0,24 3240 723 78
Kel. Tallo 0,55 8226 1825 720
Kel. Buloa 0,92 8032 1837 740
Kel. Kaluku Bodoa 1,5 22585 4586 1244
Kel. Bulogading 0,38 2751 619 35
Kel. Maloku 0,2 2498 591 50
Kel. Losari 0,25 2091 372 10
Kel. Panambungan 0,71 12136 2913 744
Kel. Barombong 8,31 12771 2977 235
Kel. Maccini Sombala
3,44 21727 4964 1447
Kel. Bira 8,67 11651 2737 306
Kel. Parangloe 10,63 6727 2354 349
Kel. Untia 2,93 2367 494 23
Kel. Tanjung Merdeka
4,39 10981 2104 125
123
Lampiran 6. Kelompok rentan wilayah pesisir kota Makassar
Sumber : Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2015
No Kecamatan Kelurahan Difabel Lansia Total
1 Kec. Ujung Tanah Kel. Totaka 2 512 514
2 Kec. Ujung Tanah Kel. Ujung Tanah 7 159 166
3 Kec. Ujung Tanah Kel. Tamalabba 9 452 461
4 Kec. Ujung Tanah Kel. Gusung 2 573 575
5 Kec. Ujung Tanah Kel. Cambaya 16 615 631
6 Kec. Wajo Kel. Mampu 1 567 568
7 Kec. Wajo Kel. Melayu Baru 12 552 564
8 Kec. Wajo Kel. Butung 9 521 530
9 Kec. Wajo Kel. Pattunuang 6 570 576
10 Kec. Wajo Kel. Ende 1 534 535
11 Kec. Tallo Kel. Tallo 3 3043 3046
12 Kec. Tallo Kel. Buloa 2 1773 1775
13 Kec. Tallo Kel. Kaluku Bodoa 13 5478 5491
14 Kec. Ujung Pandang Kel. Bulogading 3 695 698
15 Kec. Ujung Pandang Kel. Maloku 2 613 615
16 Kec. Ujung Pandang Kel. Losari 1 534 535
17 Kec. Mariso Kel. Panambungan 3 1552 1555
18 Kec. Tamalate Kel. Barombong 11 919 930
19 Kec. Tamalate Kel. Maccini Sombala 26 2355 2381
20 Kec. Tamalate Kel. Tanjung Merdeka 14 4256 4270
21 Kec. Tamalanrea Kel. Bira 8 1344 1352
22 Kec. Tamalanrea Kel. Parangloe 9 1381 1390
23 Kec. Biringkanaya Kel. Untia 12 547 559
125
Lampiran 8. Kepala keluarga nelayan wilayah pesisir kota Makassar
Sumber: BPS Kota Makassar, 2016 dan dinas Perikanan , 2016
No Kecamatan Kelurahan Jumlah Kepala
Keluarga Nelayan
1 Ujung Tanah Kel. Totaka 1
2 Ujung Tanah Kel. Gusung 13
3 Ujung Tanah Kel. Cambaya 528
4 Tallo Kel. Tallo 212
5 Tallo Kel. Buloa 152
6 Ujung Pandang Kel. Kaluku Bodoa 58
7 Ujung Pandang Kel. Losari 1
8 Mariso Kel. Panambungan 137
9 Tamalate Kel. Barombong 331
10 Tamalate Kel. Maccini Sombala 177
11 Tamalanrea Kel. Bira 73
12 Tamalanrea Kel. Parangloe 143
13 Biringkanaya Kel. Untia 117
14 Tamalate Kel. Tanjung Merdeka 66
126
Lampiran 9. Tabel analisis data ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai
No Kecamatan Kerapatan Mangrove
Skor Indeks
Bobot Nilai (H4)
Bentuk Garis Pantai
Skor Indek
s Bobot Nilai (H5) HTotal
1 Biringkanaya 39,5 1 0,15 0,15 lurus 3 0,15 0,45 1,60
2 Tamalanrea 29,14 1 0,15 0,15 lurus, berteluk 2 0,15 0,3 1,45
3 Tallo 8,5 2 0,15 0,3 lurus, Berteluk 2 0,15 0,3 1,7
4 Ujung Tanah 0,0 3 0,15 0,45 lurus, berteluk 2 0,15 0,3 1,85
5 Wajo 0,00 3 0,15 0,45 lurus 3 0,15 0,45 2,2
6 Ujung Pandang 0,00 3 0,15 0,45 lurus, berteluk 2 0,15 0,3 1,45
7 Mariso 0,00 3 0,15 0,45 berteluk 1 0,15 0,15 1,3
8 Tamalate 0,00 3 0,15 0,45 lurus 3 0,15 0,45 3
No Kecamatan Tinggi
Gelombang
Skor Indeks
Bobot Nilai (H1)
Kecepatan Arus
Skor Indeks
Bobot Nilai (H2)
Karakteristik Pantai Skor
Indeks Bobot
Nilai (H3)
1 Biringkanaya 1.69 2 0,3 0,6 0.03 1 0,3 0,3 Lumpur, berpasir ditumbuhi mangrove
1 0,1 0,1
2 Tamalanrea 1.68 2 0,3 0,6
0.03 1 0,3 0,3 Lumpur,berpasir ditumbuhi mangrove
1 0,1 0,1
3 Tallo 1.67 2 0,3 0,6 0.03 1 0,3 0,3 berlumpur ditutupi susunan batu 2 0,1 0,2
4 Ujung Tanah 1.66 2 0,3 0,6 0.05 1 0,3 0,3 berpasir, Ditutupi bangunan pantai 2 0,1 0,2
5 Wajo 1.68 2 0,3 0,6 0.07 2 0,3 0,6 berpasir ditutupi bangunan pantai 1 0,1 0,1
6 Ujung Pandang 0.54 1 0,3 0,3 0.05 1 0,3 0,3 berpasir ditutupi bangunan pantai 1 0,1 0,1
7 Mariso 0.35 1 0,3 0,3 0.03 1 0,3 0,3 berpasir ditutupi bangunan pantai 1 0,1 0,1
8 Tamalate 2.1 3 0,3 0,9 0.13 3 0,3 0,9 berpasir terbuka 3 0,1 0,3
127
Lampiran 10. Contoh analisis data dan compilasi data penelitian
Contoh : analisis data ancaman bencana Gelombang ekstrim dan Abrasi Pantai untuk satu lokasi kecamatan
H1 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)
= 2 x 30 % = 2 x 0,3 = 0,6 ……………………………………………………. (1)
H2 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)
= 1 x 30 % = 1 x 0,3 = 0,3 ……………………………………………………. (2)
H3 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)
= 1 x 10 = 1 x 0,1 = 0,1 ..………………………………………………….. (3)
H4 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)
= 1 x 15 % = 1 x 0,15 = 0,15 …………………………………………….. (4)
H5 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)
= 3 x 15 % = 3 x 0,15 = 0,45 ……………………………………………. (5)
HTotal = H 1 + H2 + H3 + H4+ H5
= 0,6 + 0,3 + 0,1 + 0,15 + 0,45 = 1,60 ……………………………………. (6)
128
Lampiran 11. Analisis data parameter kerentanan wilayah pesisir
No Kecamatan Kepadatan bangunan
Nilai skor
indeks Bobot
Nilai (V4)
Luas Mangrove
Nilai Skor Indeks
Bobot Nilai (V5)
Persentase Nelayan
Nilai skor
Indeks Bobot Nilai
(V6) V Total
1 Biringkanaya 137 1 0,1 0,1 10,93 1 0,15 0,15 19.64 3 0,3 0,9 1,6
2 Tamalanrea 215 1 0,1 0,1 37,19 1 0,15 0,15 3.14 1 0,1 0,1 1,0
3 Tallo 2123 2 0,2 0,4 3,55 2 0,3 0,6 8.4 1 0,1 0,1 2,25
4 Ujung Tanah 3298 3 0,3 0,9 0,00 3 0,45 1,35 14.94 2 0,2 0,4 2,2
5 Wajo 2207 2 0,2 0,4 0,00 3 0,45 1,35 0 0 0 0 1,8
6 Ujung Pandang
1589 2 0,2 0,4 0,00 3 0,45 1,35 26.99 3 0,3 0,9 2,0
7 Mariso 2720 3 0,3 0,9 0,00 3 0,45 1,35 11.02 2 0,2 0,4 2,35
8 Tamalate 628 1 0,1 0,1 0,00 3 0,45 1,35 6.95 1 0,1 0,1 1,65
No Kecamatan Kepadatan Penduduk
Skor Indeks
Bobot Nilai (V1)
Persentase kelompok
rentan Skor
indeks Bobot Nilai
(V2) Persentase KK Miskin
skor indeks
Bobot Nilai (V3)
1 Biringkanaya 807 1 0,3 0,3 23.62 3 0,6 1,8 4.66 1 0,15 0,15
2 Tamalanrea 952 1 0,3 0,3 14.92 1 0,2 0,2 12.87 1 0,15 0,15
3 Tallo 13078 2 0,6 1,2 26.54 3 0,6 1,8 32.78 3 0,45 1,35
4 Ujung Tanah 17726 3 0,9 2,7 13.79 1 0,2 0,2 8.35 1 0,15 0,15
5 Wajo 12487 2 0,6 1,2 18.66 2 0,4 0,8 9.04 1 0,15 0,15
6 Ujung Pandang
8772 1 0,3 0,3 25.38 3 0,6 1,8 6.01 1 0,15 0,15
7 Mariso 17092 3 0,9 2,7 12.81 1 0,2 0,2 25.54 2 0,3 0,6
8 Tamalate 2817 1 0,3 0,3 16.77 2 0,4 0,8 17.99 2 0,3 0,6
129
Lampiran 12. Analisis data parameter kapasitas/ ketangguhan wilayah pesisir
No Kecamatan
Peraturan dan Lembaga
Penanggulangan Bencana
Skor Indeks
Bobot Nilai (C1)
Dokumen KRB gelombang ekstrim
dan abrasi
Skor Indeks
Bobot Nilai (C2)
EWS Skor
Indeks Bobot
Nilai (C3)
1 Biringkanaya
Perwali No. 2 Tahun 2010 Tentang
Pembentukan BPBD
3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
2 Tamalanrea 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
3 Tallo 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
4 Ujung Tanah 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
5 Wajo 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
6 Ujung Pandang 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
7 Mariso 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
8 Tamalate 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1
No Kecamatan Kegiatan Mitigasi Skor
Indeks Bobot
Nilai (C4)
Pelatihan dan Pendidikan Kebencanaan
Skor Indeks
Bobot Nilai (C5)
Ctotal
1 Biringkanaya ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8
2 Tamalanrea ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8
3 Tallo ada, kegiatan 2 0,6 1,2 pernah 2 0,15 0,3 1,8
4 Ujung Tanah ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8
5 Wajo ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8
6 Ujung Pandang ada, kegiatan 2 0,6 1,2 pernah 2 0,15 0,3 1,8
7 Mariso ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8
8 Tamalate Perencanaan 1 0,3 0,3 belum pernah 1 0,15 0,15 1,5
130
Lampiran 13. Dokumentasi penelitian
Survei Lapangan bersama nelayan kel. Buloa
Pengambilan data kecepatan arus
Pengukuran tinggi gelombang
131
Lampiran 14. Karakteristik wilayah pesisir kota Makassar
Aktivitas kapal di pesisir kelurahan Gusung
Mitigasi abrasi di kel. Kaluku Bodoa
Kawasan Mangrove di Kecamatan Tallo
132
Dinding pantai di kecamatan Ujung Pandang
Dinding pantai di kecamatan Ujung Tanah
Dinding pantai di kecamatan Wajo
133
Pesisir kel. Tanjung Merdeka kecamatan Tamalate
Pesisir kel. Maccini sombala kecamatan Tamalate
Aktivitas pelabuhan di kecamatan Wajo