KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN ...

152
KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN ABRASI PANTAI DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR Risk Analysis of Extreme Wave Disaster and Coastal Abrasion in the Coastal Areas of Makassar City JASMANI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN ...

KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN

ABRASI PANTAI DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR

Risk Analysis of Extreme Wave Disaster and Coastal Abrasion in the Coastal Areas of Makassar City

JASMANI

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

ii

iii

KAJIAN RISIKO BENCANA GELOMBANG EKSTRIM DAN

ABRASI PANTAI DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu

Disusun dan diajukan oleh

JASMANI

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Jasmani

Nomor Mahasiswa : P4600214004

Program studi : Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Terpadu

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, November 2017

Yang menyatakan

Jasmani

v

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala

atas selesainya penyusunan tesis ini.

Gagasan yang melatar belakangi tajuk permasalahan ini timbul dari

hasil pengamatan penulis terhadap fenomena bencana gelombang ekstrim

dan kajadian abrasi pantai yang terjadi di wilayah pesisir kota Makassar.

Penulis bermaksud menyumbangkan konsep untuk kegiatan pengurangan

risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah kajian

berdasarkan hasil penelitian ini.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka

penyusunan tesis ini. namun semuanya dapat dilalui berkat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak yang mendukung penyelesaian tesis ini.

Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus ingin menyampaikan terima

kasih kepada Dr. Ahmad Faizal, ST.,M.Si sebagai ketua komisi penasihat

dan Dr. Mahatma Lanuru, ST., M.Si sebagai anggota komisi penasihat atas

bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari perencanaan

penelitian, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kota Makassar, Dinas Perikanan dan Pertanian Kota

Makassar, para sahabat penulis di Pondok st Rahma Nur (terkhusus

saudaraku Firman) dan nelayan kel. Buloa yang telah banyak membantu

dalam rangka pengumpulan data dan informasi penelitian. Terima kasih

vi

juga penulis sampaikan kepada saudara Sukri, ST (anggota SAR Unhas)

yang telah banyak membantu penulis dalam pengolahan data. Dan yang

terakhir ucapan terima kasih juga sampaikan kepada mereka yang

namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan tesis ini.

Penulis

Jasmani

vii

ABSTRAK

JASMANI. Kajian Risiko Bencana Gelombang Ekstrim dan Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir Kota Makassar (dibimbing oleh Ahmad Faizal dan Mahatma Lanuru).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai, (2) tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir, (3) tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai, dan (4) rekomendasi strategi untuk pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, hasil penelitian dipaparkan berdasarkan analisis deskriptif. Pengambilan data dilakukan melalui pengukuran parameter oseanografi, digitasi peta citra, survei lapang, dan wawancara semi-terstruktur dengan stakeholder terkait. Data dianalisis menggunakan tabel analisis risiko bencana yang bersumber dari peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 dan 2 tahun 2012 yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan kondisi lokasi penelitian. Pengolahan data menggunakan Microsoft excell 2013 sedangkan olah data spasial menggunakan software QGIS 2.18.11.

Hasil penelitian menunjukan bahwa wilayah pesisir kota Makassar memiliki tingkat ancaman bencana, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas kategori tinggi (>2,34), sedang (1,67-2,34) dan rendah (<1,67). Ancaman bencana kategori tinggi terdapat di pesisir kec. Tamalate dengan nilai total ancaman 3,00; kategori sedang terdapat di kec. Wajo, kecamatan Ujung Tanah, dan kec. Tallo dengan kisaran nilai ancaman sebesar 1,70-2,20; sedangkan Kategori rendah terdapat di kec. Biringkanaya, kec. Tamalanrea, dan kec. Mariso dengan kisaran nilai ancaman sebesar 1,3-1,6. Nilai kerentanan kategori tinggi terdapat di kec. Mariso; kategori sedang terdapat di kec. Tallo, Ujung Tanah, Wajo dan Ujung Pandang; sedangkan kategori rendah terdapat di kec. Biringkanaya, Tamalanrea, dan Tamalate. Tingkat kapasitas Kategori sedang terdapat di kec. Biringkanaya, Tamalanrea, Tallo, Ujung tanah, Wajo, Ujung Pandang dan Mariso, sedangkan kategori rendah terdapat di kec. Tamalate. Hasil analisis risiko bencana menggambarkan, kec. Tamalate memiliki nilai risiko bencana kategori tinggi dengan nilai risiko sebesar 3,30; kategori sedang terdapat di kec. Wajo dan kec. Tallo dengan kisaran nilai risiko sebesar 2,13-2,20 sedangkan kategori rendah terdapat di kec. Biringkanaya, kec. Tamalanrea, kec. Ujung Pandang, dan kec. Mariso dengan kisaran nilai risiko sebesar 0,81-1,7. Strategi pengurangan risiko bencana dapat dilakukan melalui perbaikan stabilitas pantai dengan membangun bangunan pemecah gelombang dan menanam vegetasi pantai yang sesuai.

Kata kunci: Wilayah Pesisir, Risiko Bencana, Gelombang Ekstrim, Abrasi

viii

ABSTRACT

ix

DAFTAR ISI

PRAKATA .................................................................................................. v

ABSTRAK ................................................................................................. vii

ABSTRACT .............................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ....................................... xviii

BAB I .......................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

Latar Belakang .................................................................................. 1

Rumusan Masalah ............................................................................. 6

Tujuan Penelitian ............................................................................... 7

Manfaat Penelitian ............................................................................. 8

Defenisi dan Istilah ............................................................................ 9

Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 11

Sistematika Penulisan ..................................................................... 11

BAB II ....................................................................................................... 13

x

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir .............................................. 13

Gambaran Umum Bencana ............................................................. 14

Bencana di Wilayah Pesisir ............................................................. 15

Gelombang Ekstrim dan Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir ............... 16

Kerentanan Wilayah Pesisir ............................................................ 19

Kapasitas Wilayah Pesisir ............................................................... 24

Risiko Bencana Wilayah Pesisir ...................................................... 26

Kerangka Pikir ................................................................................. 28

BAB III ...................................................................................................... 29

METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 29

Rancangan Penelitian ..................................................................... 29

Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 30

Alat dan Bahan ................................................................................ 31

Prosedur Kerja................................................................................. 32

1. Persiapan Awal .............................................................. 32

2. Pengambilan Data Indeks Ancaman Bencana .............. 33

3. Pengambilan Data Indeks Kerentanan .......................... 38

4. Pengambilan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan ....... 40

xi

Analisis Data ................................................................................... 41

BAB IV ..................................................................................................... 50

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................. 50

A. Pengumpulan Data Indeks Ancaman .............................................. 50

B. Analisis Parameter Indeks Ancaman ............................................... 60

C. Penilaian Tingkat Ancaman Bencana .............................................. 66

D. Pengumpulan Data Indeks Kerentanan ........................................... 72

E. Analisis Indeks Kerentanan ............................................................. 78

F. Penilaian Tingkat Kerentanan ......................................................... 85

G. Pengumpulan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan ....................... 88

H. Analisis Parameter Indeks Kapasitas/Ketangguhan ........................ 91

I. Penilaian Tingkat Kapasitas/Ketangguhan ...................................... 96

J. Analisis Risiko Bencana .................................................................. 98

K. Rekomendasi Strategi Pengurangan Risiko Bencana ................... 104

BAB V .................................................................................................... 110

PENUTUP .............................................................................................. 110

A. Kesimpulan .................................................................................... 110

B. Saran ............................................................................................. 111

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 113

xii

LAMPIRAN............................................................................................. 114

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Kerangka alur pemikiran yang digunakan pada penelitian ..... 28

Gambar 2. Lokasi penelitian .................................................................... 31

Gambar 3. Titik pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus

................................................................................................ 36

Gambar 4. Bentuk Garis Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar ............. 56

Gambar 5. Tingkat ancaman bencana wilayah pesisir kota Makassar .... 69

Gambar 6. Tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar ................ 87

Gambar 7. Tingkat kapasitas wilayah pesisir Kota Makassar .................. 98

Gambar 8. Peta risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai Kota

Makassar .............................................................................. 101

xiv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1. Lokasi penelitian ........................................................................ 30

Tabel 2. Lokasi pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus

................................................................................................ 35

Tabel 3. Parameter Penilaian Indeks Ancaman Bencana ........................ 42

Tabel 4. Klasifikasi tingkat ancaman bencana ......................................... 43

Tabel 5. Parameter Penilaian Indeks Kerentanan.................................... 44

Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Kerentanan ................................................... 45

Tabel 7. Parameter Penilaian Indeks Kapasitas ...................................... 46

Tabel 8. Klasifikasi tingkat kapasitas bencana ......................................... 47

Tabel 9. Tinggi gelombang wilayah pesisir Kota Makassar. .................... 51

Tabel 10. Data kecepatan arus wilayah pesisir Kota Makassar ............... 52

Tabel 11. Kerapatan mangrove di wilayah pesisir utara Kota Makassar .. 54

Tabel 12. Bentuk Garis Pantai Kota Makassar ........................................ 57

Tabel 13. Karakteristik Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar ................ 59

Tabel 14. Analisis parameter tinggi gelombang ....................................... 61

Tabel 15. Analisis parameter kecepatan arus .......................................... 62

Tabel 16. Analisis parameter kerapatan vegetasi mangrove ................... 63

Tabel 17. Analisis parameter bentuk garis pantai .................................... 64

Tabel 18. Analisis parameter karateristik pantai ...................................... 65

Tabel 19. Nilai total ancaman bencana .................................................... 67

xv

Tabel 20. Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi ...... 68

Tabel 21. Kepadatan penduduk kecamatan pesisir Kota Makassar ........ 72

Tabel 22. Kelompok rentan di kelurahan pesisir Kota Makassar ............. 74

Tabel 23. Jumlah kepala keluarga miskin di wilayah pesisir Kota Makassar.

................................................................................................ 75

Tabel 24. Kepala keluarga nelayan di pesisir Kota Makassar. ................. 76

Tabel 25. Kepadatan Bangunan di wilayah Pesisir Kota Makassar ......... 77

Tabel 26. Luas mangrove di wilayah pesisir Kota Makassar ................... 78

Tabel 27. Skoring Indikator kepadatan penduduk .................................... 79

Tabel 28. Skoring parameter Indikator kelompok rentan ......................... 80

Tabel 29. Skoring parameter kepala keluarga miskin .............................. 81

Tabel 30. Skoring parameter kepala keluarga nelayan ............................ 82

Tabel 31. Skoring Parameter kepadatan bangunan ................................. 83

Tabel 32. Skoring parameter luas vegetasi mangrove ............................. 84

Tabel 33. Nilai kerentanan wilayah pesisir ............................................... 85

Tabel 34. Tingkat kerentanan wilayah pesisir Kota Makassar ................. 86

Tabel 35. Sebaran pembangunan mitigasi struktural diwilayah pesisir Kota

Makassar. ............................................................................... 90

Tabel 36. Skoring analisis parameter kapasitas aturan dan lembaga

penanggulangan bencana ....................................................... 91

Tabel 37. Skoring analisis parameter kapasitas pengkajian risiko bencana

................................................................................................ 92

xvi

Tabel 38. Skoring analisis parameter kapasitas pembangunan sistim

peringatan dini ........................................................................ 93

Tabel 39. Skoring analisis parameter kapasitas kegiatan mitigasi bencana

................................................................................................ 94

Tabel 40. Skoring analisis parameter kapasitas pendidikan dan pelatihan

kebencanaan .......................................................................... 95

Tabel 41. Nilai total kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar

................................................................................................ 96

Tabel 42. Tingkat kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar

................................................................................................ 97

Tabel 43. Hasil analisis resiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai di wilayah pesisir Kota Makassar ................................. 99

Tabel 44. Tingkat risiko bencana masing-masing Kecamatan ............... 100

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Form penilaian kapasitas untuk jenis bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai kota Makassar .............................. 118

Lampiran 2. Data bangunan pemukiman kelurahan pesisir kota Makassar

.............................................................................................. 119

Lampiran 3. Peta geologi dan jenis tanah kota Makassar ...................... 120

Lampiran 4. Data arus wilayah pesisir kota Makassar ........................... 121

Lampiran 5. Data penduduk wilayah pesisir kota Makassar .................. 122

Lampiran 6. Kelompok rentan wilayah pesisir kota Makassar ............... 123

Lampiran 7. Lokasi stasiun pengambilan data ekosistem mangrove ..... 124

Lampiran 8. Kepala keluarga nelayan wilayah pesisir kota Makassar ... 125

Lampiran 9. Tabel analisis data ancaman bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai ......................................................................... 126

Lampiran 10. Contoh analisis data dan compilasi data penelitian.......... 127

Lampiran 11. Analisis data parameter kerentanan wilayah pesisir ........ 128

Lampiran 12. Analisis data parameter kapasitas/ ketangguhan wilayah

pesisir .................................................................................... 129

Lampiran 13. Dokumentasi penelitian .................................................... 130

Lampiran 14. Karakteristik wilayah pesisir kota Makassar ..................... 131

Lampiran 15. Fenomena abrasi di pantai Tanjung Bayang, kecamatan

Tamalate ............................................................................... 134

xviii

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan Keterangan

QGIS Quantum Geographic Information System

m Meter, satuan panjang

s Second, Satuan waktu

Ha Hektar, satuan luas lahan

No. Nomor

Kec. Kecamatan

BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah

BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana

PERKA Peraturan Kepala

PU Pekerjaan umum

BAPPEDA Badan perencanaan dan pembangunan daerah

BPS Badan pusat statistik

UU Undang-undang

KKP Kementerian kelautan dan perikanan

Perpres Peraturan presiden

EWS Early Warning System

H Hazard, bermakna ancaman

V Vulnerability, bermakna kerentanan

C Capacity, bermakna kapasitas

R Risk, bermakna risiko

BMKG Badan meteorologi, klimatologi dan geofisika

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat

dan lautan yang dipengaruhi oleh perubahan di darat maupun di laut (UU

No.27/2007). Secara umum, batasan wilayah pesisir kearah darat meliputi,

bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi

oleh sifat-sifat laut seperti, pasang surut, angin laut, dan perembesan air

asin (intrusi), sedangkan ke arah lautan meliputi, wilayah laut yang

mendapat pengaruh dari proses alami yang terjadi di darat seperti

sedimentasi, aliran air tawar maupun aktivitas manusia seperti

pengundulan hutan dan pencemaran lingkungan (Diposaptono, 2003).

Wilayah pesisir memiliki karateristik yang unik baik secara fisik

maupun ekologi. Secara fisik, wilayah pesisir merupakan wilayah yang

strategis untuk berbagai aktivitas manusia seperti pemukiman, pendidikan,

pelabuhan, wisata, budidaya dan industri. Sedangkan secara ekologi,

wilayah pesisir, memiliki beragam ekosistem laut maupun payau seperti

beragam jenis ikan, Crustacea, maupun hamparan ekosistem mangrove

sebagai hutan payau yang memiliki manfaat fisik sebagai stabilisator garis

pantai (Pramudji, 2000).

2

Wilayah pesisir juga menjadi wilayah yang rentan dan terancam

ketika terjadi perubahan aktifitas hidro-oseanografi di lautan maupun

aktifitas manusia (human activity) di daratan. Perubahan aktifitas hidro-

oseanografi di lautan yang menjadi pemicu terjadinya bencana alam,

umumnya disebabkan oleh efek pemanasan global (global warming).

Pemanasan global (global warming) memicu naiknya muka air laut (sea

level rise) dan perubahan kecepatan angina yang pada keadaan tertentu

mampu menyebabkan badai dan terjadinya gelombang ekstrim di lautan

(Ristianto, 2011). Gelombang ekstrim yang terjadi dapat menimbulkan

dampak susulan berupa abrasi pada daratan pantai. Energi gelombang laut

yang besar menghantam wilayah pesisir secara terus-menerus

menimbulkan perpindahan sedimen dan material pantai ketempat lain (Fajri

dkk, 2012).

Fenomena naiknya muka air laut (sea level rise) dan gelombang

ekstrim serta abrasi pantai telah dirasakan terjadi di wilayah pesisir

Indonesia. Menurut Hidayat (2012), fenomena kenaikan muka air laut di

Kota Makassar pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 0,8 - 1 cm/tahun.

Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2100 diprediksikan, seluruh

kawasan lama Kota Makassar yang memiliki ketinggian tanah <1,5 m akan

tergenang air dengan total daratan yang hilang seluas 69,70 Ha. Badan

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika pada akhir tahun 2016 merilis

ancaman gelombang ekstrim di perairan Sulawesi. Gelombang tinggi dan

angin kencang yang terjadi disebabkan oleh adanya pertemuan siklon tropis

3

(angin) dan low pressure (cikal bakal siklon tropis) yang terjadi di bagian

bawah pulau Bali. Jika low pressure meningkat menjadi siklon tropis maka

kecepatan angin dapat mencapai kecepatan diatas 100 km/jam yang

sangat berbahaya untuk aktivitas pelayaran (Koran Fajar, 2016). Menurut

Diposaptono (2003), terdapat 17 propinsi dan 68 lokasi pantai telah

mengalami abrasi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius.

Fenomena kejadian abrasi dapat dilihat pula pada pesisir pantai kecamatan

Mallusetasi dan Tanete Rilau kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada

masing-masing pesisir Kecamatan ini, telah terjadi abrasi sejauh 210 meter

dan 165 meter (Saru, 2013).

Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi dapat

memberikan berbagai dampak negatif khususnya menurunnya kualitas

lingkungan di wilayah pesisir (Rosyidie, 2006). Tercatat lebih dari 100 juta

penduduk dan 80% industri di Indonesia berada dan beraktivitas di wilayah

pesisir (Rosyidie, 2006 dan Pratiwi, 2011). Pertambahan penduduk memicu

meningkatnya konversi hutan mangrove di wilayah pesisir untuk kawasan

pemukiman, aktivitas perindustrian, kepelabuhanan, dan lahan budidaya.

Konversi yang dilakukan secara langsung menghilangkan fungsi fisik hutan

mangrove sebagai peredam gelombang dan stabilitasor pantai (Pramudji,

2000).

Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir, dapat memicu

peningkatan kepadatan penduduk, kemiskinan dan peningkatan

pemukiman nelayan. Kepadatan penduduk berpotensi menimbulkan

4

besarnya jumlah korban jiwa, ketika suatu wilayah terdampak bencana.

Kawasan pemukiman yang memiliki jumlah dan tingkat kepadatan

penduduk tinggi berpotensi menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang

besar (Rosyidie, 2006). Menurut Dahuri (2008), wilayah pesisir telah

menjadi kantong kemiskinan di Indonesia karena sebagian besar penduduk

hidup dibawah garis kemiskinan. Masyarakat miskin dan nelayan, akan

sangat berat merasakan dampak ketika terjadi bencana. Kerusakan fasilitas

perumahan dan terhambatnya aktivitas mata pencaharian menyebabkan

masyarakat miskin dan nelayan akan semakin terpuruk dan sulit untuk

bangkit memperbaiki keadaan ekonominya.

Kota Makassar merupakan salah satu Kota di Indonesia yang

terletak pada wilayah pesisir. Terletak di pesisir pantai barat Propinsi

Sulawesi Selatan yang berada pada koordinat geografis 119018’28’’-

119032’03’’ BT dan 05003’18’’-05013’26’’ LS dan memiliki 14 wilayah

administrasi pemerintahan kecamatan, 8 kecamatan diantaranya

merupakan kecamatan pesisir karena berhadapan langsung dengan selat

Makassar. Memiliki luas wilayah 175.77 km2 terdiri dari 17.437 Ha wilayah

daratan (99,2%) dan 140 Ha (0,8%) wilayah kepulauan. Memiliki panjang

garis pantai ± 32 km dengan total jumlah penduduk sebesar 1.449.401 jiwa

dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,41 persen per tahun (BPS,

2016). Kota Makassar dijuluki sebagai kota metropolitan di kawasan timur

Indonesia karena berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat

kegiatan industri, pusat aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan dan

5

kesehatan, serta merupakan jalur pelayaran nasional dan internasional

yang menghubungkan beberapa wilayah di Indonesia (DKP3 Makassar,

2011).

Sebagai kawasan kota metropolitan, kota Makassar terus

mengalami peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi

setiap tahunnya. Petumbuhan penduduk memicu perluasan kawasan

pemukiman baru. Salah satu wilayah yang strategis untuk kawasan tersebut

adalah wilayah pesisir. Hal ini dapat dilihat dari geliat pembangunan

perumahan elit di wilayah pantai Tanjung Bayang, kecamatan Tamalate dan

pembangunan pemukiman nelayan di kelurahan Tallo dan Buloa,

kecamatan Tallo yang terus menjorok kelaut. Berdasarkan keberadaannya,

wilayah tersebut, berpotensi menerima dampak perubahan iklim secara

langsung.

Dampak perubahan iklim di wilayah pesisir Kota Makassar dapat

dilihat dari kejadian gelombang ektrim yang dirilis oleh BMKG wilayah IV

Makassar pada akhir tahun 2016. Gelombang ekstrim terjadi di selat

Makassar bagian selatan, termasuk perairan Kota Makassar. Ketinggian

gelombang mencapai 3 meter dan nelayan dilarang untuk melaut (Koran

Fajar, 2016). Sedangkan kejadian abrasi pantai ditemukan terjadi pada

wilayah pesisir bagian selatan Kota Makassar, yaitu pantai Tanjung Bunga

dan pantai Barombong, Kecamatan Tamalate. Kejadian abrasi

menyebabkan beberapa bangunan pantai rusak, diantaranya tugu layar

6

putih yang terletak di Selatan Tanjung Bunga kini telah hilang (Koddeng,

2011).

Melihat tingginya potensi ancaman gelombang ekstrim dan abrasi

pantai, serta pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk di

wilayah pesisir Kota Makassar, maka diperlukan strategi dan upaya

penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah

pesisir Kota Makassar berdasarkan karakteristik bencana tersebut.

Karakteristik bencana dapat diketahui melalui kajian dan penilaian risiko

bencana suatu wilayah dengan mempertimbangkan aspek ancaman

bencana, aspek kerentanan wilayah maupun masyarakat dan aspek

kapasitas dalam penanganan bencana (Perka BNPB No. 2 tahun 2012).

Berdasarkan hal tersebut maka, penelitian kajian risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar perlu

dilaksanakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan strategi

penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah

pesisir Kota Makassar.

Rumusan Masalah

Ancaman gelombang ekstrim dan abrasi pantai, kondisi kerentanan

dan kapasitas yang dimiliki oleh wilayah serta masyarakat pesisir Kota

Makassar perlu menjadi bahan analisis dalam pengkajian risiko bencana.

Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian ini adalah:

7

1. Bagaimana tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai di wilayah pesisir Kota Makassar ?

2. Bagaimana tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir kota

Makassar dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai.?

3. Bagaimana tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

di wilayah pesisir Kota Makassar ?

4. Bagaimana rekomendasi strategi untuk pengurangan risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka yang menjadi tujuan

dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mengkaji dan memetakan tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar.

2. Mengkaji dan memetakan tingkat kerentanan dan kapasitas wilayah

pesisir kota Makassar dalam menghadapi ancaman bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

3. Mengkaji dan memetakan tingkat kapasitas wilayah pesisir kota

Makassar dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai.

4. Mengkaji dan memetakan tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar.

8

5. Menyusun rekomendasi strategi pengurangan risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat

ancaman, tingkat kerentanan, tingkat kapasitas dan tingkat risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar.

Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak, yaitu:

1. Untuk pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

referensi dan rujukan untuk menyusun program kegiatan

penanggulangan bencana dan upaya-upaya pengurangan risiko

bencana di wilayah pesisir kota Makassar.

2. Untuk masyarakat, dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dan

pertimbangan sebelum melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan

dan aktivitas penangkapan di wilayah pesisir kota Makassar.

Masyarakat juga dapat terlibat dalam upaya-upaya pengurangan risiko

bencana sesuai kemampuan yang dimilikinya.

3. Untuk dunia usaha, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah

satu referensi untuk menyusun program dan kegiatan pengabdian

masyarakat melalui penyaluran dana CSR (Corporate Social

Responbility) membantu upaya-upaya pengurangan risiko bencana di

wilayah pesisir kota Makassar.

9

Defenisi dan Istilah

Beberapa istilah digunakan dalam penelitian ini sehingga perlu

dijabarkan agar terdapat kesamaan pemahaman mengenai istilah yang

digunakan. Adapun defenisi dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Ancaman bencana adalah kejadian atau peristiwa yang berpotensi

menimbulkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan asset atau kehancuran

lingkungan hidup

2. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat

yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi

ancaman bencana

3. Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan

tindakan pengurangan tingkat ancaman dan tingkat kerugian akibat

bencana

4. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana

pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa

kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,

kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat

5. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan

gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan

menganalisis tingkat ancaman, tingkat kerentanan dan kapasitas daerah.

6. Tingkat risiko adalah perbandingan antara tingkat kerugian dengan

kapasitas daerah untuk memperkecil tingkat kerugian dan tingkat

10

ancaman akibat bencana

7. Tingkat kerugian adalah potensi kerugian yang mungkin timbul akibat

kehancuran fasilitas kritis, fasilitas umum dan rumah penduduk pada zona

ketinggian tertentu akibat bencana

8. Peta risiko bencana adalah gambaran tingkat risiko bencana suatu

daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana

suatu daerah

9. Rencana penanggulangan bencana adalah rencana penyelenggaraan

penanggulangan bencana suatu daerah dalam kurun waktu tertentu yang

menjadi salah satu dasar pembangunan daerah

10. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,

hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

teknologi pada suatu kawasan untuk jangka waktu tertentu yang

mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan

mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya

tertentu

11. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai

upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

12. Badan nasional penanggulangan bencana, yang selanjutnya disingkat

dengan BNPB, adalah lembaga pemerintah non-departemen sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

13. Badan penanggulangan bencana daerah, yang selanjutnya disingkat

dengan BPBD, adalah badan pemerintah daerah yang melakukan

11

penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah

14. Peta adalah kumpulan dari titik-titik, garis-garis, dan area-area yang

didefinisikan oleh lokaisnya dengan sistem koordinat tertentu dan oleh

atribut non-spasialnya

15. Geographic Information System, selanjutnya disebut GIS, adalah sistem

untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis,

dan penayangan data yang mana data tersebut secara spasial

(keruangan) terkait dengan muka bumi.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup indeks ancaman, indeks

kerentanan, indeks kapasitas, dan risiko bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai yang terjadi di wilayah pesisir Kota Makassar berdasarkan

pengambilan data tahun 2016 dan 2017.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan suatu penjabaran secara

deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis secara garis besar terdiri dari

bab I, bab II, bab III, bab IV dan bab V. Sistematika penulisan ini mengikuti

panduan pedoman penulisan tesis yang dikeluarkan oleh pascasarjana

Universitas Hasanuddin. Pada bab I menjelaskan informasi yang melatar

belakangi dilakukannya penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian, serta sistematika

12

penulisan yang terdapat dalam tesis. Informasi pada bab II mengenai studi

pustaka yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian yang menjelaskan

tentang kawasan dan definisi wilayah pesisir, bencana di wilayah pesisir,

kerentanan di wilayah pesisir, kapasitas di wilayah pesisir, kajian risiko di

wilayah pesisir, dan alur pikir penelitian. Bab III menjelaskan informasi

tentang rancangan penelitian, waktu dan lokasi penelitian, alat dan bahan,

prosedur penelitian, serta analisis data yang digunakan untuk mengolah

data primer dan sekunder yang telah didapatkan. Bab IV menjelaskan

tentang hasil dan pembahasan penelitian mengenai ancaman bencana,

kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir serta risiko bencana di wilayah

pesisir. Bab V menjelaskan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Secara umum batasan dan defenisi wilayah pesisir belum ada yang

dibakukan. Para ahli memiliki pendapat yang berbeda mengenai batasan

wilayah pesisir (coastal zone). Namun, terdapat kesepakatan di dunia

bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan

dan lautan (Dahuri, 2013). Supriharyono (2009), mendefinisikan wilayah

pesisir sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan, ke arah darat

wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air,

yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut,

dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup

wilayah laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat

seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena

kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran. Jika

ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki dua

macam batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai

(longshore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross-shore)

(Diposaptono, 2003).

Wilayah pesisir meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut

dan daratan yang sempit, yaitu dari garis 200 m ke arah darat dan ke arah

14

laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata pasang terendah. Namun jika

ditinjau dari kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir ke arah darat

dapat ditetapkan atas dua jenis, yaitu batas untuk wilayah perencanaan

(planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau

pengelolaan keseharian (day to day management). Wilayah perencanaan

sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan

manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata

terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir (Diposaptono, 2003).

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 mendefinisikan wilayah

pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

dipengaruhi oleh perubahan darat dan laut. Untuk kepentingan

pengelolaan, ruang lingkup wilayah pesisir ke arah darat mencakup wilayah

administrasi pemerintah kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas)

mil laut yang diukur dari garis pantai.

Gambaran Umum Bencana

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat

yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU

No. 24 Tahun 2007). Berdasarkan faktor penyebab terjadinya, bencana

dibedakan atas 3 jenis sebagai berikut:

15

1. Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa

gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan

dan tanah longsor.

2. Bencana non-alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,

gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan aksi

teror.

Bencana di Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah yang berpotensi

terdampak ketika terjadi bencana. Dalam peraturan pemerintah No. 64

Tahun 2010, bencana alam di wilayah pesisir diartikan sebagai kejadian

yang disebabkan oleh peristiwa alam atau karena perbuatan manusia yang

menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan

mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan faktor penyebabnya, bencana di

wilayah pesisir terbagi atas 2 jenis bencana yaitu:

1. Bencana yang disebabkan oleh fenomena alam yaitu gempa bumi,

tsunami, gelombang ekstrim, gelombang laut berbahaya, letusan

16

gunung api, banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah longsor, erosi

pantai, angin puting beliung.

2. Bencana yang disebabkan oleh ulah manusia yaitu banjir, kenaikan

paras muka air laut, tanah longsor, dan erosi pantai

Menurut Diposaptono (2003) menyatakan bahwa, bencana di

wilayah pesisir terbagi atas beberapa jenis, baik yang disebabkan oleh ulah

manusia maupun terjadi secara alami karena fenomena alam antara lain

tsunami, banjir, gelombang ekstrim, abrasi pantai.

Gelombang Ekstrim dan Abrasi Pantai di Wilayah Pesisir

Gelombang adalah gerakan naik turunnya permukaan air laut yang

berlangsung secara periodik dan umumnya disebabkan oleh angin

(Hutabarat, 2014). Gelombang pada umumnya bergerak menuju pantai

hingga pecah dan mempengaruhi geomorfologi pantai. Pecahnya

gelombang ketika sampai ke pantai dipengaruhi oleh gesekan dasar laut

perairan dangkal yang mereduksi gerakan melingkar dari partikel-partikel

paling bawah dari gelombang. Ada dua bentuk utama pecahnya gelombang

yaitu:

1. Spilling breakers, yang berhubungan dengan gelombang yang curam

yang dihasilkan oleh lautan ketika timbul badai. Begitu bagian atas

gelombang tertumpah ke bawah ke depan puncak gelombang dan

proses ini merupakan proses yang terjadi secara perlahan-lahan dan

17

kekuatan gelombang yang tidak teratur terjadi untuk periode yang relatif

lama.

2. Plunging breakers, yang berhubungan dengan gelombang besar (swell)

dan karena itu mereka cenderung untuk terjadi beberapa hari setelah

badai atau tidak seberapa jauh dari pusat badai itu sendiri. Pecahnya

gelombang disini mempunyai bentuk cembung ke belakang tetapi

puncak gelombang melengkung ke depan berbentuk cekung ke arah

muka. Proses tertumpahnya gelombang jenis ini ke bawah disertai

dengan tenaga yang sangat besar, walaupun mereka kemungkinan

tampaknya kurang dahsyat jika dibandingkan dengan spiling breakers.

Tenaga yang dihancurkan mereka meliputi daerah yang kecil dan jenis

gelombang ini mampu menimbulkan kehancuran yang hebat

(Hutabarat, 2014).

Gelombang dapat dipengaruhi oleh kecepatan angin esktrim yang

sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman bencana. Ketika gelombang telah

menjadi bencana maka dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian di

wilayah pesisir baik hilangnya harta benda, penghambatan aktivitas

manusia maupun kerusakan serius di wilayah pantai. Adapun bencana

yang disebabkan oleh perubahan gelombang sebagai berikut:

1. Gelombang Ekstrim

Gelombang dapat menjadi ekstrim ketika dibangkitkan oleh angin

badai yang terjadi di perairan laut. Gelombang dikatakan ekstrim

18

berdasarkan dampak kerusakan yang ditimbulkan, berupa rusaknya

bangunan pantai, menyebabkan abrasi pantai dan dapat pula ditinjau dari

penghambatan aktivitas pelayaran, perikanan yang umumnya sehari-hari

berlangsung di suatu perairan tertentu. Badan Nasional Penanggulangan

Bencana dalam Perka BNPB No.2 tahun 2012 menyatakan, tinggi

gelombang diatas satu meter ditetapkan sebagai gelombang yang memiliki

ancaman sedang dan tinggi.

2. Abrasi Pantai

Abrasi pantai merupakan suatu proses pengikisan material pantai,

pada umumnya diakibatkan oleh gelombang dan arus laut. Selain itu dapat

pula disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konstruksi bangunan pada

pantai, penambangan pasir pada pantai, dan penebangan ekosistem

pelindung pantai. Abrasi pantai merupakan permasalahan di daerah pantai

yang dapat menimbulkan kerugian akibat dari rusaknya pemukiman dan

fasilitas-fasilitas yang ada di kawasan pantai (Triatmodjo, 2012). Faktor-

faktor yang mempengaruhi kecepatan abrasi pada suatu kawasan pesisir

adalah (Prawiradisastra, 2003) :

a. Besar dan arah gelombang atau arus laut.

b. Kecepatan sedimentasi material dari daratan.

c. Struktur vegetasi wilayah pesisir.

d. Kedalaman laut di lepas pantai.

e. Keterbukaan pantai terhadap serangan ombak.

19

f. Stabilitas posisi garis pantai akibat adanya penghalang.

Kerentanan Wilayah Pesisir

Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau

masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam

menghadapi bencana (Perka BNPB No.2/2012). Kerentanan dapat

meningkatkan ancaman dan risiko bencana di wilayah pesisir. Kerentanan

di wilayah pesisir dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik yang

disebabkan oleh keadaan penduduk maupun kondisi fisik lingkungan.

Keadaan penduduk yang mempengaruhi kerentanan di wilayah pesisir

berupa tingkat kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi masyarakat,

dan keberadaan kelompok rentan sedangkan kondisi fisik lingkungan

berupa kondisi vegetasi pantai, kepadatan pemukiman dan jarak

pemukiman dari pesisir pantai.

1. Kepadatan Penduduk

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah

geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau

mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk

menetap. Kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk yang

mendiami suatu area tertentu (BPS, 2016). Kepadatan penduduk

menjadi faktor yang menyebabkan wilayah pesisir rentan terhadap

ancaman bencana. Padatnya jumlah penduduk Indonesia yang

mendiami suatu wilayah pesisir sekitar 140 juta jiwa (60%) (dengan

20

pertumbuhan rata-rata 2% per tahun), menjadi faktor tingginya jiwa

terpapar dan korban jiwa ketika terjadi bencana.

2. Kelompok Rentan

Rentan merupakan keadaan dimana seseorang tidak berdaya

menghadapi ancaman bencana. Kelompok rentan merupakan semua

komponen masyarakat yang terpapar bencana alam baik itu kelompok

usia produktif maupun tidak produktif. Pada dasarnya suatu kelompok

dapat dikategorikan menjadi kelompok rentan ketika memenuhi kriteria

berikut (Yustiningrum, 2016) :

a. Rentan secara kesehatan: sakit dan kurang gizi, perempuan hamil

dan menyusui, balita, dan lanjut usia.

b. Rentan secara sosial: perempuan kepala rumah tangga tunggal,

anak-anak tanpa orang tua, dan orang cacat.

c. Rentan secara ekonomi: kaum miskin atau kelompok masyarakat

yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya suatu wilayah

d. Rentan secara politik: Internally Displaced Person (IDP) pengungsi,

kelompok etnis minoritas, aktivis hak asasi manusia dan

kemanusiaan

3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang berhubungan

dengan kerentanan di wilayah pesisir berupa kemiskinan dan mata

pencaharian penduduk. Kerentanan karena factor kemiskinan dan mata

pencaharian penduduk dipaparkan sebagai berikut:

21

a. Kemiskinan merupakan kondisi deprivasi materi dan sosial yang

menyebabkan individu suatu masyarakat hidup di bawah standar

kehidupan yang layak (Hall dan Midgley, 2014). Badan pusat statistik

mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau

masyarakat dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar

makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Kemiskinan masyarakat di Indonesia umumnya didominasi oleh

masyarakat pesisir. Dari hasil kajian Kementerian kelautan dan

perikanan (KKP), jumlah warga miskin di wilayah pesisir mencapai

7,9 juta jiwa atau 25 persen dari total jumlah penduduk miskin di

Indonesia (http://www.kabarbisnis.com). Gelombang ekstrim dan

abrasi pantai dapat merusak aset dan rumah penduduk miskin serta

lahan yang dimanfaatkan untuk usaha produktif (Taylor, 2013).

b. Mata pencaharian penduduk yang menjadi kerentanan di wilayah

pesisir berupa penduduk yang bermatapencaharian sebagai

nelayan. Nelayan merupakan orang yang mata pencahariannya

melakukan penangkapan ikan di laut (UU No. 45/2009). Nelayan

dinilai rentan disebabkan aktivitas mata pencaharian yang dilakukan

berhubungan dengan aktivitas di laut. Ketika terjadi gelombang

ekstrim, nelayan tidak dapat melakukan penangkapan ikan yang

berdampak pada kerugian secara ekonomi karena hilangnya

penghasilan. Selain itu, gelombang ekstrim dapat pula merusak alat

yang digunakan untuk menangkap ikan.

22

4. Kondisi Vegetasi Pantai di Wilayah Pesisir

Salah satu vegetasi yang tumbuh subur di wilayah pesisir adalah

ekosistem mangrove. Menurut Onrizal (2008), hutan mangrove dapat

didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang

surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang

tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang

komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Pada kondisi

yang sesuai ekosistem mangrove akan membentuk hutan yang

ekstensif dan produktif. Mangrove sering juga dinamakan hutan pantai,

hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau karena hidup di

dekat pantai.

Hutan mangrove memiliki multi fungsi baik secara ekologi,

ekonomi maupun secara fisik. Secara fisik, perakaran mangrove yang

kuat dan rapat mampu meredam energi gelombang sehingga energi

gelombang yang mengenai wilayah pesisir menjadi berkurang. Hutan

mangrove dapat berfungsi sebagai stabilisator garis pantai, dapat

mencegah erosi akibat pukulan ombak dan juga berperan menambah

lahan pantai. Tipe perakaran dari Rhizophora sp., avicennia sp. dan

sonneratia sp. dapat meredam hantaman gelombang dan sekaligus

berperan sebagai penghimpun atau pengikat lumpur yang dibawa oleh

aliran sungai (Pramudji, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan di teluk

Grajakan, Banyuwangi, Jawa timur menunjukan bahwa keberadaan

ekosistem mangrove dapat mereduksi tinggi gelombang sebesar

23

0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E)=19635,26 joule

(Hermon, 2015)

Berkurangnya ekosistem mangrove menjadi ancaman tersendiri

bagi stabilitas wilayah pesisir. Wilayah pesisir akan rentan mendapatkan

hantaman gelombang tinggi, penelitian yang dilakukan oleh

Diposaptono (2005), menemukan fakta bahwa pesisir Aceh yang

memiliki ekosistem mangrove yang baik mengalami tingkat kerusakan

yang lebih rendah dibanding pesisir yang tidak memiliki ekosistem

mangrove atau ekosistem mangrovenya telah rusak.

5. Kepadatan Pemukiman dan Jarak Pemukiman dari Pesisir Pantai

Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri

atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana,

sarana, fasilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain

di kawasan perkotaan atau pedesaan (Undang-undang Nomor 1 Tahun

2011). Kepadatan pemukiman di wilayah pesisir menjadi faktor

pendukung tingginya potensi jumlah kerugian fisik ketika terdampak

bencana. Selain itu, pemukiman yang padat akan menyulitkan proses

evakuasi korban bencana karena tidak tersedianya jalur evakuasi yang

memadai, sehingga menambah tingginya kerentanan wilayah pesisir

dalam menghadapi ancaman bencana. Kawasan pemukiman yang

mempunyai kepadatan tinggi akan menimbulkan kerugian yang besar

terutama bila kondisi pemukiman kurang kuat (Rosyidie, 2006).

24

Selain kepadatan pemukiman, kerentanan wilayah pesisir juga

didukung oleh jarak pemukiman dari pesisir pantai. Semakin dekat

dengan pesisir pantai maka, potensi terdampak dan tingkat kerusakan

akan semakin tinggi. Pemerintah telah mengatur batas aman

pemukiman penduduk di wilayah pesisir dengan diaturnya batas

sempadan pantai pada Perpres No. 51 Tahun 2016. Sempadan pantai

adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional

dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 (seratus) meter dari

titik pasang tertinggi ke arah darat. Pengaturan wilayah sempadan

pantai dimaksudkan untuk menjaga kehidupan masyarakat pesisir dan

pulau-pulau kecil dari ancaman bencana alam.

Kapasitas Wilayah Pesisir

Kapasitas adalah kemampuan daerah atau masyarakat untuk

melakukan tindakan pengurangan ancaman dan tingkat kerugian akibat

dampak bencana (Perka BNPB No. 2/2012). Kemampuan masyarakat

dalam menghadapi bencana menjadi faktor penting mengurangi jumlah

korban dan tingkat kerusakan ketika terjadi bencana. Kapasitas masyarakat

dan lingkungan dapat dilihat melalui beberapa kegiatan yang melibatkan

para pihak baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha untuk

mengurangi dampak bencana, yaitu:

25

1. Regulasi pemerintah daerah yang mengatur tentang lembaga

penanggulangan bencana dan berbagai mekanisme penyelenggaraan

penanggulangan bencana.

2. Penyusunan perencanaan penanganan tanggap darurat bencana yang

didasari dengan kajian ilmiah dan mendalam tentang jenis bencana

yang sedang dihadapi dan berpotensi terjadi.

3. Membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana berupa

serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana

melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan

berdaya guna.

4. Menyusun sistem peringatan dini tanggap darurat bencana, yaitu

berupa serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin

kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada

suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

5. Melaksanakan kegiatan mitigasi struktural maupun non-struktural

sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui

pembangunan fisik, rehabilitasi lingkungan pesisir, maupun penyadaran

dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman

bencana serta kemampuan beradaptasi terhadap ancaman bencana.

Wacano (2013), menjelaskan beberapa bentuk adaptasi masyarakat

pesisir demak dalam menghadapi ancaman bencana kepesisiran yaitu

relokasi pemukiman, peninggian lantai bangunan, pengurugan tanah,

konstruksi bangunan rumah panggung, rehabilitasi mangrove dan

26

perubahan mata pencaharian penduduk. Menurut Triatmodjo (2012)

beberapa cara dapat dilakukan untuk melindungi pantai dari ancaman

gelombang yaitu memperkuat atau melindungi pantai agar mampu

menahan serangan gelombang, mengubah laju transport sedimen

sepanjang pantai, mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai

dan mereklamasi pantai dengan tambahan suplai sedimen.

Peran masyarakat pesisir sangat strategis mengurangi dampak

bencana melalui kegiatan pastisipatif pengurangan risiko bencana berbasis

masyarakat. Hal ini dilihat pada peran masyarakat pesisir dalam merusak

sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan pesisir. Menurut Huda (2008),

bahwa kerusakan mangrove hampir 50% di pesisir Kabupaten Tanjung

Jabung Timur, Jambi disebabkan oleh konversi lahan hutan mangrove

menjadi kawasan permukiman dan pemanfaatan kayu hutan mangrove

yang dilakukan oleh masyarakat sekitar.

Risiko Bencana Wilayah Pesisir

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat

bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa

kematian, luka, sakit, jiwa terancam hilangnya rasa aman, mengungsi,

kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat

(Perka BNPB No. 2/2012). Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah

pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin

timbul akibat suatu bencana yang akan terjadi. Potensi dampak negatif

27

yang timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas suatu

kawasan yang meliputi jumlah jiwa yang terpapar bencana, kerugian harta

benda dan kerusakan lingkungan. Pengkajian risiko bencana

menggambarkan hubungan antara tiga komponen yang saling terkait yaitu

komponen ancaman yang melanda suatu kawasan, komponen kerentanan

baik manusia dan wilayah maupun komponen kapasitas suatu kawasan

tertentu. Apabila elemen kerentanan tinggi bertemu dengan bahaya tinggi

maka akan menyebabkan dan meningkatkan risiko bencana (Jaswadi,

2012).

28

Kerangka Pikir

Gambar 1. Kerangka alur pemikiran yang digunakan pada penelitian

Pemanasan Global dan

perubahan Iklim

Mempengaruhi aktivitas hidro-

oseanografi

Pertambahan jumlah penduduk

(antropogenik)

Kepadatan Penduuduk,

kemiskinan, alih fungsi lahan Mangrove,

Undang-undang penanggulangan

bencana di Indonesia

Paradigma masyarakat dan pemerintah

menghadapi bencana

Mengancam wilayah pesisir Kota Makassar

Menimbulkan kerentanan di wilayah pesisir Kota Makassar

Kapasitas/ketangguhan Kota Makassar dalam menghadapi bencana

Mempengaruhi tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

di wilayah pesisir Kota Makassar

Analisis parameter bencana

Kajian risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah

pesisir Kota Makassar

Beresiko sedang

dan Tinggi.?

Upaya preventif menghadapi risiko

bencana

Rekomendasi strategi pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai

Ya

Tidak

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, hasil

penelitian dipaparkan menggunakan analisis deskriptif. Pengambilan data

dilakukan melalui pengukuran parameter oseanografi, digitasi peta citra,

survei lapang, dan wawancara semi-terstruktur dengan stakeholder terkait.

Data dianalisis menggunakan tabel analisis risiko bencana yang bersumber

dari peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1

dan 2 tahun 2012 yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan kondisi lokasi

penelitian. Pengolahan data menggunakan Microsoft excell 2013

sedangkan olah data spasial menggunakan software QGIS 2.18.11. Hasil

analisis data di klasifikasi ke dalam tiga kelas yaitu kategori rendah, sedang

dan tinggi yang menggambarkan perbedaaan tingkat ancaman bencana,

tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas serta tingkat risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai pada masing-masing kecamatan.

Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel hasil analisis dan peta hasil

analisis.

30

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan

bulan Mei 2017 bertempat di delapan kecamatan pesisir kota Makassar.

Pada masing-masing kecamatan dipilih wilayah kelurahan yang berbatasan

langsung dengan laut sebagai lokasi pengambilan data penelitian. Adapun

lokasi penelitian disajikan pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Lokasi penelitian

No. Kecamatan Lokasi pengambilan

data Luas (Km2)

Panjang garis pantai (Km)

1. Biringkanaya Untia 2,93 6,73

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 19,3 7,29

3. Tallo Tallo, Buloa 2,97 9,48

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

0,96 7,24

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

1,43 1,88

6. Ujung Pandang

Bulogading, Maloku, Losari

0,83 3,47

7. Mariso Panambungan 0,71 0,8

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

16,14 18,35

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Makassar, 2016

Untuk keperluan analisis data spasial dan penggambaran hasil

penelitian pada peta maka, pada masing-masing kecamatan diberi satu

simbol lingkaran (polygon). Simbol lingkaran mewakili dan menggambarkan

kondisi wilayah kecamatan pesisir secara umum berdasarkan hasil

31

penelitian. Pengambaran lokasi penelitian disajikan sebagai berikut

(gambar 2) :

Gambar 2. Lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (global

positioning system) untuk menentukan titik koordinat lokasi penelitian,

layangan arus yang dimodifikasi untuk mengukur kecepatan arus,

stopwatch yang digunakan untuk menghitung waktu, patok skala untuk

mengukur tinggi gelombang, roll meter untuk pengukuran plot pengambilan

data mangrove, kamera untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian,

alat tulis menulis untuk mencatat pengambilan data, buku Makassar dalam

angka 2016 untuk melihat data kependudukan di wilayah pesisir Kota

Makassar, softcopy Buku PU dalam Angka 2015 untuk melihat jumlah

32

bangunan pemukiman di masing-masing kelurahan, data shapefile Batas

administrasi Kota Makassar dari BPBD Kota Makassar yang digunakan

untuk analisis data, Software SAS 16.07 untuk pengambilan data citra

google, microsoft excell 2013 yang digunakan untuk menginput data dan

Software QGIS 2.18.11 yang digunakan untuk menganalisis data dan

membuat peta hasil penelitian.

Prosedur Kerja

Prosedur penelitian ini meliputi persiapan awal, pengambilan data

primer, pengambilan data sekunder, analisis data, dan interpretasi data.

Pengambilan data primer dilakukan dengan cara pengukuran dan survei

langsung dilapangan serta wawancara dengan stakeholder terkait.

Sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan dengan mengunjungi

instansi terkait. Pengambilan data meliputi pengambilan data ancaman,

data kerentanan, dan data kapasitas. Prosedur kerja penelitian sebagai

berikut:

1. Persiapan Awal

Persiapan awal penelitian dilakukan dengan cara kunjungan

lapangan dan studi pustaka. Kunjungan lapangan dilakukan untuk melihat

karakteristik wilayah dan lokasi pengambilan data penelitian, sedangkan

studi pustaka dilakukan untuk menentukan indeks ancaman, kerentanan,

dan indeks kapasitas serta mempelajari hasil penelitian terdahulu.

Penentuan indeks ancaman, kerentanan dan kapasitas menggunakan

33

panduan kajian risiko bencana yang diterbitkan oleh Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Perka BNPB Nomor 1 dan 2

tahun 2012 yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan karakteristik lokasi

penelitian.

2. Pengambilan Data Indeks Ancaman Bencana

Data ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

meliputi data tinggi gelombang, kecepatan arus, kerapatan mangrove,

bentuk garis pantai, dan karakteristik pantai Kota Makassar. Data ini

digunakan untuk menghitung indeks ancaman bencana (Tabel.3). Adapun

metode pengambilan masing-masing data ancaman adalah sebagai

berikut:

a. Pengukuran Tinggi Gelombang

Pengukuran tinggi gelombang dilakukan dengan cara mengukur

tinggi muka air saat puncak dan saat lembah dengan menggunakan

tiang gelombang (tiang skala). Selisih puncak dengan lembah

merupakan tinggi gelombang. Jumlah pengukuran puncak dan lembah

yaitu 51 kali (puncak dan lembah) dan waktunya disesuaikan sampai

pengukuran puncak dan lembah mencapai 51 kali.

Selain pengambilan data tinggi gelombang di lapangan,

pengukuran tinggi gelombang diperoleh dari hasil prediksi gelombang

yang dihitung berdasarkan data kecepatan angin, arah angin, dan

panjang wilayah bertiupnya angin tanpa hambatan (fetch). Panjang

fetch adalah panjang laut yang dibatasi oleh pulau pada kedua

34

ujungnya. Data fetch efektif dihitung berdasarkan tiap-tiap arah dalam

delapan arah mata angin utama dengan menggunakan persamaan

matematis (Triatmodjo, 2012):

𝐹𝑒𝑓𝑓 =∑ 𝑋𝑖 cos 𝑎

∑ 𝐶𝑜𝑠 𝑎

Keterangan :

Feff = Fetch rerata efektif

Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi

gelombang ke ujung akhir fetch

α = deviasi pada kedua sisi arah angin dengan menggunakan

pertamabahan 60 sampai sudut sebesar 420 pada kedua sisi

dari arah angin

Data kecepatan, arah dan periode angin yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data angin selama 5 tahun (2011-2015) yang

diperoleh dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

wilayah IV Makassar.

b. Pengukuran Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan layangan arus

yang dimodifikasi yang terdiri atas layangan dan tali dengan panjang 5

meter. Kecepatan arus dihitung dengan melihat banyaknya waktu yang

dihabiskan sampai tali layangan arus menegang lurus. Pengukuran

kecepatan arus dilakukan dengan cara melepaskan layangan arus pada

titik yang telah ditentukan. Ujung tali yang digunakan sebagai jarak

tempuh layangan arus dan stopwatch yang digunakan untuk

35

menghitung waktu sampai tali menegang dihidupkan bersamaan

dengan dilepaskannya layangan arus. Kecepatan arus dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝑉 =𝑆

𝑡

Keterangan:

V= Kecepatan arus (m/s)

s = panjang tali sampai menegang lurus (m)

t = waktu yang tercatat ketika tali menegang (s)

Lokasi pengambilan data gelombang dan arus diambil

berdasarkan kesamaan karakteristik wilayah. Titik pengambilan data

gelombang dan arus terdapat pada satu titik pada setiap kecamatan

tetapi dapat mewakili kelurahan lainnya yang memiliki karateristik pesisir

yang sama. Jumlah titik pengambilan data tinggi gelombang dan

kecepatan arus terdiri dari 8 titik. Adapun lokasi pengambilan data tinggi

gelombang dan kecepatan arus disajikan pada tabel 2 berikut :

Tabel 2. Lokasi pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus

No Titik Kecamatan Kelurahan

1. I Biringkanaya Kel. Untia

2. II Tamalanrea Kel. bira

3. III Tallo Kel. Tallo

4. IV Ujung Tanah Kel. Gusung

5. V Wajo Kel. Mampu

6. VI Ujung Pandang Kel. Losari

7. VII Mariso Kel. Panambungan

8. VIII Tamalate Kel. Tanjung Merdeka

Sumber: observasi lapangan, 2016

36

Lokasi dan titik pengambilan data tinggi gelombang dan

kecepatan arus disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Titik pengambilan data tinggi gelombang dan kecepatan arus

c. Pengukuran Kerapatan Mangrove

Kerapatan merupakan jumlah individu dalam satuan luas tertentu

(Hotden, 2014). Kerapatan mangrove merupakan penghitungan jumlah

jenis tegakan eksosistem mangrove dalam suatu area plot. Kerapatan

mangrove yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nilai kerapatan total

seluruh jenis mangrove dalam suatu plot. Untuk mendapatkan

kerapatan total maka terlebih dahulu menghitung kerapatan jenis

mangrove menggunakan persamaan sebagai berikut (Odum, 1993):

𝑅 = 𝑛𝑖

𝐴

37

Keterangan:

R = Kerapatan

ni = jumlah tegakan jenis i

A = Luas Plot (10 m x 10 m)

Selain pengukuran langsung di lapangan, data kerapatan

mangrove untuk masing-masing lokasi kajian diperoleh melalui data

sekunder yang bersumber dari Dinas Perikanan dan Pertanian Kota

Makassar dan hasil penelitian sebelumnya.

d. Bentuk Garis pantai

Bentuk garis pantai diperoleh melalui peta raster digital Rupa

Bumi Indonesia (RBI) Kota Makassar skala 1: 50.000 cetakan tahun

2013 yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial. Peta raster digital

Kota Makassar digeoreferensi dengan menggunakan software QGis

2.18.11 untuk memberikan definisi koordinat pada peta berdasarkan

koordinat grid dari peta rupa bumi. Setelah peta raster digital

digeorefensi, selanjutnya wilayah pantai Kota Makassar digitasi untuk

mendapatkan bentuk garis pantai masing-masing kelurahan.

Bentuk garis pantai Kota Makassar diperoleh pula melalui citra

Google Maps yang didownload menggunakan software SAS Planet

160707 dengan resolusi 4,76 m/pixel. Peta citra yang didownload

menggunakan software SAS planet 160707 tidak perlu dikoreksi

koordinat karena peta citra yang dihasilkan telah sesuai dengan

koordinat grid pada peta rupa bumi.

38

e. Karateristik Pantai

Pendataan karateristik pantai Kota Makassar menggunakan data

jenis tanah di wilayah pesisir Kota Makassar. Jenis tanah diperoleh

melalui peta geologi kota Makassar yang bersumber dari Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kota Makassar (Lampiran 3). Selain

itu, pendataan karateristik pantai Kota Makassar dilakukan dengan

survei dan pendataan langsung ke lapangan untuk melihat pantai yang

telah ditutupi bangunan pelindung pantai dan kegiatan reklamasi pantai.

3. Pengambilan Data Indeks Kerentanan

Data indeks kerentanan (Tabel. 6) yang dibutuhkan berupa data

kepadatan penduduk, jumlah kelompok rentan, jumlah nelayan, jumlah

kepala keluarga miskin, kepadatan bangunan pemukiman dan

pendataan luas vegetasi mangrove. Adapun metode pangambilan data

sebagai berikut :

a. Kepadatan Penduduk

Pengambilan data kepadatan penduduk di wilayah pesisir Kota

Makassar menggunakan analisis data sekunder yang bersumber dari

Badan Pusat Statistik Kota Makassar tahun 2016. Untuk menghitung

kepadatan penduduk suatu wilayah, dapat menggunakan persamaan:

𝐾𝑝𝑑𝑡 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 (𝐽𝑖𝑤𝑎)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑘𝑚2)

39

b. Persentase Kelompok Rentan

Kelompok rentan merupakan salah satu objek kajian untuk

melihat kerentanan pesisir. Jenis kelompok rentan yang digunakan oleh

penulis dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk lanjut usia dan

penduduk difabel (kelompok cacat). Pendataan kelompok rentan dalam

penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari Dinas Sosial Kota

Makassar tahun 2015. Jumlah kelompok rentan didapatkan melalui total

dari penduduk lansia dan penduduk difabel. Untuk mendapatkan

persentase kelompok rentan suatu wilayah maka dapat menggunakan

persamaan:

% 𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐾𝑎𝑗𝑖𝑎𝑛 × 100 %

c. Persentase Jumlah Nelayan

Pendataan persentase jumlah kepala keluarga nelayan di

wilayah pesisir Kota Makassar menggunakan data jumlah nelayan yang

dikeluarkan oleh dinas perikanan dan pertanian Kota Makassar. Untuk

mendapatkan persentase nelayan maka dapat menggunakan

persamaan:

% 𝐾𝐾 𝑁𝑙𝑦 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑁𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐾𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐿𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐾𝑎𝑗𝑖𝑎𝑛 × 100 %

d. Persentase Kepala Keluarga Miskin

Pendataan persentase jumlah kepala keluarga miskin di wilayah

pesisir Kota Makassar menggunakan data jumlah kepala keluarga

miskin yang dikeluarkan oleh badan pusat statistik Kota Makassar.

40

Untuk mendapatkan persentase nelayan maka dapat menggunakan

persamaan:

% 𝐾𝐾 𝑀𝑠 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑀𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐾𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐿𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐾𝑎𝑗𝑖𝑎𝑛 × 100 %

e. Kepadatan bangunan pemukiman

Pendataan kepadatan bangunan pemukiman di wilayah pesisir

Kota Makassar menggunakan jumlah bangunan (unit) yang dikeluarkan

oleh dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat Kota Makassar

tahun 2015. Untuk mendapatkan kepadatan bangunan masing-masing

wilayah kajian menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐾 𝐵𝑔𝑛 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 (𝑢𝑛𝑖𝑡)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ (𝑘𝑚2)

f. Pendataan Luas Mangrove

Penghitungan luasan mangrove menggunakan data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari citra satelit google maps yang

didownload menggunakan software SAS Planet 160707 dengan

resolusi 4,76 m/pixel. Kawasan dan luasan mangrove pada masing-

masing kelurahan didigitasi menggunakan perangkat QGis 2.18.11.

Selain data primer, data luasan mangrove Kota Makassar juga

menggunakan data sekunder yang diperoleh dari dinas perikanan dan

pertanian Kota Makassar dan hasil penelitian sebelumnya.

4. Pengambilan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan

Data kapasitas merupakan data untuk menilai ketangguhan

suatu wilayah dalam menghadapi bencana. Kapasitas suatu wilayah

41

dinilai dengan menggunakan indikator ketangguhan yang dikeluarkan

oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Perka No. 2

tahun 2012. Data kapasitas diperoleh melalui wawancara semi-

terstruktur bersama stakeholder terkait dalam hal ini Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Makassar.

Wawancara dilakukan menggunakan kuisioner yang berisi daftar

pertanyaan berdasarkan indikator kapasitas (Tabel 7). Adapun

kuisioner yang digunakan sebagaimana terlampir.

Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya diinput ke Microsoft excell

2013 dan dianalisis menggunakan analisis statistik dan dikonversi menjadi

data spasial menggunakan perangkat QGis 2.18.11 (Mahardy, 2014 dan

Rauf, 2012) untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis indeks ancaman,

kerentanan, dan kapasitas menggunakan Perka No. 1 dan No. 2 tahun 2012

yang dimodifikasi oleh penulis berdasarkan studi literatur dan kondisi lokal

lokasi penelitian.

1. Analisis Indeks Ancaman

Analisis data indeks ancaman gelombang ekstrim dan abrasi

pantai di wilayah pesisir meliputi data oseanografi yakni tinggi

gelombang dan kecepatan arus; data ekologi yakni kerapatan vegetasi

mangrove; dan lingkungan fisik yakni bentuk garis pantai dan

karakteristik pantai. Analisis data menggunakan tabel analisis penilaian

42

ancaman bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional

Penanggulangan Bencana dalam Perka No. 2 tahun 2012. Tabel

analisis indeks ancaman dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 3. Parameter Penilaian Indeks Ancaman Bencana

No Komponen Indikator Kelas Indeks Bobot

Rendah (1)

Sedang (2)

Tinggi (3) (%)

1. Hidro-Oceanografi

Tinggi gelombang (m)

< 1 1 - 2 > 2 30

Kecepatan arus (m/s)

0 - 0.05 0.06 - 0.09 > 0.09 30

2. Ekologi

Kerapatan vegetasi mangrove (%)

> 10 1 - 10 Tidak ada 15

3. Lingkungan

fisik

Bentuk garis pantai

Berteluk berteluk-

lurus Lurus 15

Karateristik pantai

Bangunan permanen

berbatu-berpasir/berlumpur

berpasir, berlumpur

10

Sumber: Perka BNPB No. 2 tahun 2012

Untuk menghitung tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar, maka masing-masing

parameter dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut

(Perka BNPB No.2/2012):

𝐻𝑇𝑜𝑡 = ∑ 𝐻𝑖 = 𝐻1 + 𝐻2 + 𝐻3 + 𝐻4 + 𝐻5

5

𝑖 =1

𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∶ 𝐻𝑖 = 𝑆𝑖 × 𝐵𝑖

Keterangan:

HTot = Total nilai ancaman

H1 = Parameter tinggi gelombang

43

H2 = Parameter kecepatan arus

H3 = Parameter kerapatan Mangrove

H4 = Parameter bentuk garis pantai

H5 = Parameter karakteristik pantai

Si = Nilai kelas parameter i

Bi = Bobot indikator i

Klasifikasi tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai di masing-masing kecamatan pesisir kota Makassar menggunakan

tabel klasifikasi sebagai berikut:

Tabel 4. Klasifikasi tingkat ancaman bencana

No. Rentang Nilai H total Kelas

1. 1,0 - 1,66 Rendah

2. 1,67 - 2,34 Sedang

3. 2,35 - 3,0 Tinggi

Sumber: Perka BNPB No.2 Tahun 2012

2. Analisis Indeks Kerentanan

Indeks kerentanan wilayah pesisir dalam penilaian risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir terdiri dari

komponen penduduk yakni kepadatan penduduk dan kelompok rentan;

komponen ekonomi yakni keluarga miskin dan nelayan; komponen fisik

berupa kepadatan bangunan, dan komponen ekologi berupa luas vegetasi

mangrove. Analisis data indeks kerentanan menggunakan tabel penilaian

kerentanan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Bencana dalam Perka No. 2 tahun 2012 yang dimodifikasi oleh penulis.

44

Analisis penilaian indeks kerentanan wilayah pesisir dalam menghadapi

bencana gelombang ekstrim dan abrasi disajikan pada tabel sebagai

berikut:

Tabel 5. Parameter Penilaian Indeks Kerentanan

No. Komponen Indikator Kelas Indeks Bobot

Rendah (1)

Sedang (2)

Tinggi (3)

(%)

1. Penduduk

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)

< 10.000 10.000-20.000

> 20.000

30

Kelompok rentan (%)

< 20 20 -30 > 30 20

2. Ekonomi KK Miskin (%) < 15 15-30 > 30 15

KK nelayan (%) < 5 5 -15 > 15 10

3. Fisik Kepadatan Bangunan (Unit/km2)

< 1.500 1.500-3.000

> 3.000 10

4. Ekologi/ling

kungan luas Vegetasi

Mangrove (Ha) > 30 30-10 < 10 15

Sumber: Perka BNPB No. 2 tahun 2012 yang dimodifikasi

Untuk menghitung tingkat kerentanan masing-masing wilayah kajian,

maka parameter-parameter indeks kerentanan dihitung dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut (Perka BNPB No.2/2012):

𝑉𝑇𝑜𝑡 = ∑ 𝑉𝑖 = 𝑉1 + 𝑉2 + 𝑉3 + 𝑉4 + 𝑉5 + 𝑉6

6

𝑖 =1

𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∶ 𝑉𝑖 = 𝑆𝑖 × 𝐵𝑖

Keterangan:

VTot = Total nilai kerentanan

V1 = Parameter kepadatan penduduk

V2 = Parameter kelompok rentan

45

V3 = Parameter KK miskin

V4 = Parameter KK nelayan

V5 = Parameter kepadatan bangunan

V6 = Parameter luas mangrove

Bi = Bobot Indikator i

Si = Nilai Kelas Parameter i

Klasifikasi tingkat kerentanan masing-masing lokasi kajian terhadap

ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai disajikan pada

tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Kerentanan

No. Rentang Nilai V total Kelas

1. 1,0 - 1,66 Rendah

2. 1,67 - 2,34 Sedang

3. 2,35 - 3,0 Tinggi

Sumber: Perka BNPB No.2 Tahun 2012

3. Analisis Indeks Kapasitas/ Ketangguhan

Indeks kapasitas wilayah pesisir dalam kajian risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai terdiri dari komponen regulasi berupa

peraturan, kelembagaan penanggulangan bencana dan pembangunan

sistim peringatan dini bencana, komponen upaya mitigasi bencana dan

komponen kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Analisis indeks

kapasitas wilayah pesisir terhadap bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai, menggunakan tabel penilaian kapasitas yang dikeluarkan oleh

46

Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Perka No. 1 tahun 2012

yang dimodifikasi oleh penulis. Analisis penilaian indeks kapasitas wilayah

pesisir dalam menghadapi bencana disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 7. Parameter Penilaian Indeks Kapasitas

No. Komponen Indikator Kelas indeks bobot

Rendah (1)

Sedang (2) Tinggi (3) (%)

1. Regulasi

Aturan dan lembaga penanggulangan bencana

belum ada sudah

menjadi draft kebijakan

aturan dan lembaga PB

sudah disahkan

25

Penyusunan dokumen Kajian risiko bencana

belum ada

sudah ada draft kajian

risiko bencana

draft kajian telah

disahkan 20

2. Mitigasi bencana

pembangunan sistim peringatan dini

belum ada sistim

peringatan dini

ada perencanaan

sistim peringatan

dini

ada sistim peringatan dini yang

digunakan untuk

bencana

10

Pembangunan mitigasi struktural dan non struktural

ada rencana

pembangunan

mitigasi

ada pembanguna

n mitigasi struktural

ada pembanguna

n mitigasi structural

berkonsep PRB

30

3. Kesiapsiaga

an

Pendidikan dan pelatihan kebencanaan

belum ada pelatihan

aparat pemerintah dan warga

mulai mengikuti pelatihan

ada praktek simulasi,

logistik dan peralatan untuk PB

15

Sumber: Perka BNPB No. 1 tahun 2012 yang dimodifikasi

Untuk menghitung tingkat kapasitas masing-masing lokasi kajian

dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai, menggunakan persamaan sebagai berikut (Perka BNPB No.2 tahun

2012):

47

𝐶𝑇𝑜𝑡 = ∑ 𝐶𝑖 = 𝐶1 + 𝐶2 + 𝐶3 + 𝐶4 + 𝐶5

5

𝑖 =1

𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∶ 𝐶𝑖 = 𝑆𝑖 × 𝐵𝑖

Keterangan:

CTot = Total nilai kapasitas

C1 = Parameter perda penanggulangan bencana

C2 = Parameter dokumen kajian risiko bencana

C3 = Parameter sistim peringatan dini bencana

C4 = Parameter kegiatan mitigasi bencana

C5 = Parameter pendidikan dan pelatihan bencana

Bi = Bobot Indikator i

Si = Nilai Kelas Parameter i

Klasifikasi tingkat kapasitas masing-masing lokasi kajian dalam

menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 8. Klasifikasi tingkat kapasitas bencana

No. Rentang Nilai C total Kelas

1. 1,0 - 1,66 Rendah

2. 1,67 - 2,34 Sedang

3. 2,35 - 3,0 Tinggi

Sumber: Perka BNPB No.2 Tahun 2012

48

4. Analisis Risiko Bencana

Indeks risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di

wilayah pesisir menggunakan komponen ancaman bencana, komponen

kerentanan dan komponen kapasitas wilayah pesisir. Masing-masing

komponen memberi pengaruh besar terhadap tingginya risiko bencana

yang terjadi pada suatu wilayah. Analisis risiko bencana menggunakan

persamaan analisis risiko yang dikeluarkan oleh Badan Nasional

Penanggulangan Bencana nomor 2 Tahun 2012. Analisis risiko bencana

menggunakan hasil analisis indeks ancaman, indeks kerentanan, dan

indeks kapasitas yang dihitung menggunakan persamaan berikut (Perka

BNPB No.2 Tahun 2012):

𝑅𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 𝐵𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 (𝑅) = 𝐴𝑛𝑐𝑎𝑚𝑎𝑛 (𝐻) ×𝐾𝑒𝑟𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑎𝑛 (𝑉)

𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 (𝐶)

Klasifikasi tingkat risiko bencana dilakukan dengan membagi nilai

risiko berdasarkan rentang dan interval kelas. Untuk menghitung interval

kelas menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐼 =𝑅𝑚𝑎𝑥 − 𝑅𝑚𝑖𝑛

𝑛

Keterangan :

I = Interval

Rmax = Nilai risiko tertinggi

Rmin = Nilai risiko terrendah

n = Banyaknya kelas

49

Sehingga pengklasifikasian tingkat risiko bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai dapat menggunakan interval kelas berikut :

Rmin ≤ Rendah ≤ Rmin + I

Rmin + I < Sedang ≤ Rmin + 2. I

Rmin + 2. I < Tinggi ≤ Rmax

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Risiko bencana merupakan keadaan dimana terdapat indeks

ancaman bencana, indeks kerentanan dan indeks kapasitas/ketangguhan

suatu wilayah dalam menghadapi bencana. Indeks ancaman bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir meliputi faktor hidro-

oseanografi, keadaan fisik lingkungan pesisir dan keadaan vegetasi di

wilayah pesisir. Indeks kerentanan meliputi keadaan atau karakteristik

bilogis, geografis, ekonomi yang dapat mengurangi kemampuan

masyarakat untuk mencegah, meredam dan menanggulangi ancaman

bencana sedangkan indeks kapasitas berhubungan dengan ketersediaan

sumberdaya, pengetahuan, ketrampilan dan kekuatan yang dimiliki

seseorang atau masyarakat yang dapat digunakan untuk mempertahankan

diri, mempersiapkan diri, mencegah dan menanggulangi dampak buruk dari

bencana (Perka BNPB No.1 tahun 2012).

A. Pengumpulan Data Indeks Ancaman

Data indeks ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

di wilayah pesisir kota Makassar dijelaskan sebagai berikut:

1. Tinggi Gelombang

Tinggi gelombang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

tinggi gelombang maksimum. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi

51

gelombang di lokasi kajian, tinggi gelombang yang didapatkan kurang

mewakili keadaan gelombang wilayah pesisir kota Makassar. Sehingga

tinggi gelombang yang digunakan dalam analisis adalah tinggi gelombang

berdasarkan perhitungan effective fetch dari data kecepatan angin. Data

kecepatan angin diperoleh dari BMKG Wil. IV Makassar selama periode

2011 – 2015. Adapun tinggi gelombang masing-masing wilayah pesisir Kota

Makassar disajikan pada tabel berikut:

Tabel 9. Tinggi gelombang wilayah pesisir Kota Makassar.

No Kecamatan Tinggi gelombang (m)

1. Biringkanaya 1.69

2. Tamalanrea 1.68

3. Tallo 1.67

4. Ujung Tanah 1.66

5. Wajo 1.68

6. Ujung Pandang 0.54

7. Mariso 0.35

8 Tamalate 2.1

Sumber : data primer, 2017

Tinggi gelombang umumnya dipengaruhi oleh kecepatan angin.

Beradasarkan hasil pengamatan, gelombang yang terjadi di wilayah pesisir

Kota Makassar berasal dari barat daya perairan selat Makassar. Perbedaan

tinggi gelombang dipengaruhi oleh jarak rambat gelombang dan

penghalang datangnya gelombang. Untuk wilayah Makassar pada bagian

selatan yakni kecamatan Tamalate, memiliki kedekatan dengan arah

datangnya gelombang dan kondisi perairan yang terbuka sehingga

keadaan tinggi gelombangnya cukup tinggi dibanding kecamatan lainnya

52

pada bagian utara Kota Makassar. Perairan Kota Makassar pada bagian

utara memiliki penghambat datangnya gelombang yakni pulau lae-lae dan

kayangan sehingga keadaan gelombang yang sampai kepantai cenderung

lebih kecil.

2. Kecepatan Arus

Kecepatan arus dipengaruhi oleh perpindahan masa air yang

disebabkan oleh pengaruh pasang surut dan kecepatan angin. Kecepatan

arus yang diukur dalam penelitian ini adalah kecepatan arus yang

dipengruhi oleh pasang surut air laut yang menyusur pantai. Kecepatan

arus inilah yang sangat berpengaruh memindahkan sedimen pantai

ketempat lain. Data kecepatan arus masing-masing lokasi kajian disajikan

pada tabel sebagai berikut :

Tabel 10. Data kecepatan arus wilayah pesisir Kota Makassar

No Kecamatan Kecepatan arus (m/s)

1. Biringkanaya 0.03

2. Tamalanrea 0.03

3. Tallo 0.03

4. Ujung Tanah 0.05

5. Wajo 0.07

6. Ujung Pandang 0.05

7. Mariso 0.03

8. Tamalate 0.13

Sumber : data primer, 2016

Kecepatan arus perairan pesisir Kota Makassar umumnya berkisar

antara 0,03 m/s sampai dengan 0,13 m/s. hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh arifin (2012) yang menyatakan kisaran arus diwilayah

53

pesisir Kota Makassar berkisar 0,002 m/s sampai dengan 0,012 m/s. pada

wilayah pesisir dengan keadaan perairan yang terbuka kecepatan arus

didapatkan lebih tinggi dibanding wilayah perairan yang terlindung oleh

pulau. Kecepatan arus di perairan pesisir Kota Makassar dipengaruhi oleh

topografi dasar laut dan keberadaan pulau. Wilayah perairan Makassar

pada bagian utara yakni kecamatan Tamalanrea dan kecamatan

Biringkanaya, cenderung memiliki topografi dasar laut yang landai dan dan

dangkal sehingga kecepatan arus lebih rendah dibanding perairan wilayah

pesisir Kota Makassar pada bagian selatan. Pada wilayah Kota Makassar

bagian selatan yakni kecamatan Tamalate, topografi dasar laut cenderung

curam dan dalam sehingga pola kecepatan arus lebih tinggi.

3. Kerapatan Vegetasi Mangrove

Kenampakan ekosistem mangrove di kota Makassar umumnya

terdapat pada pesisir bagian utara sedangkan pada wilayah selatan kota

Makassar tidak ditemukan kawasan mangrove yang berhadapan langsung

dengan laut. Ekosistem mangrove di wilayah utara kota makassar tumbuh

subur disebabkan oleh faktor lingkungan yang sesuai, juga kesadaran

masyarakat untuk memanfaatkan mangrove sebagai pelindung pantai dari

ancaman gelombang laut cukup baik. Umumnya mata pencaharian

masyarakat kota Makassar bagian utara didominasi oleh petambak udang

dan ikan sehingga keberadaan mangrove sangat mendukung

keberlangusungan usaha budidaya di wilayah mereka. Karateristik

perakaran mangrove yang cenderung rapat dibandingkan tumbuhan pada

54

umumnya, dimanfaatkan masyarakat untuk melindungi pematang tambak

dari hantaman gelombang laut.

Pada penelitian ini vegetasi mangrove merupakan salah satu

parameter penentu ancaman gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

Pengukuran kerapatan mangrove menggunakan stasiun yang mewakili

beberapa lokasi. Stasiun yang digunakan berjumlah 16 stasiun. Selain data

primer, penghitungan kerapatan mangrove juga menggunakan data

sekunder yang berasal dari penelitian sebelumnya. Adapun kondisi

kerapatan mangrove di wilayah pesisir utara Kota Makassar disajikan pada

tabel sebagai berikut:

Tabel 11. Kerapatan mangrove di wilayah pesisir utara Kota Makassar

Kecamatan Stasiun Tegakan Luas

Stasiun Kerapatan

(Tegakan/m2) %

Biringkanaya 1 50 100 0.5 50

2 29 100 0.29 29

Tamalanrea

3 16 100 0.16 16

4 33 100 0.33 33

5 34 100 0.34 34

6 31 100 0.31 31

7 40 100 0.4 40

8 21 100 0.21 21

9 29 100 0.29 29

Tallo 10 12 100 0.12 12

11 5 100 0.05 5

Ujung Tanah 12 0 100 0 0

Wajo 13 0 100 0 0

Ujung Pandang

14 0 100 0 0

Mariso 15 0 100 0 0

Tamalate 16 0 100 0 0

Sumber : Data Sekunder, 2016

55

Kondisi kerapatan ekosistem Mangrove pada wilayah pesisir utara

Kota Makassar tidak lebih dari 50 tegakan pada setiap stasiun. Pola

kerapatan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pola

pemanfaatan mangrove oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat di

kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Biringkanaya memanfaatkan

mangrove sebagai lahan tambak budidaya dan pemanfaatan secara

langsung kayu Mangrove. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Bando (2016) yang menyatakan bahwa, ekosistem

Mangrove di pesisir utara Kota Makassar, dimanfaatkan oleh masyarakat

sebagai lahan tambak budidaya, selain itu pemanfaatan Mangrove juga

dilakukan dengan pengambilan kayu secara langsung dan digunakan

sebagai areal penangkapan udang, ikan, kepiting dan kerang. Pembuatan

lahan tambak budidaya dan pengambilan kayu akan memicu penebangan

pohon mangrove yang berpengaruh pada kerapatan mangrove yang

menurun.

Kerapatan Mangrove paling rendah terdapat di kecamatan Tallo

yakni kelurahan Buloa dan kelurahan Tallo. Di wilayah ini, ekosistem

mangrove banyak dikonversi menjadi kawasan pemukiman penduduk dan

industri. Ekosistem mangrove hanya tumbuh pada beberapa titik di wilayah

pantai dan dimanfaatkan sebagai pangkalan kapal-kapal nelayan ketika

berhenti melaut. Ekosistem mangrove dapat melindungi kapal nelayan dari

hantaman gelombang laut.

56

4. Bentuk Garis Pantai

Bentuk garis pantai wilayah pesisir kota Makassar sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pergerakan arus, hantaman

gelombang laut, dan aktivitas pembangunan wilayah pesisir berupa

reklamasi. Pendataan garis pantai wilayah pesisir Kota Makassar

menggunakan peta citra google yang didownload dengan perangkat SAS

14.7 tahun 2016. Citra yang didownload kemudian digeoreferensi untuk

mendapatkan titik koordinat pasti dan dapat diolah pada perangkat QGis.

Selanjutnya dilakukan digitasi garis pantai berdasarkan kondisi aktual.

Selain itu, data garis pantai Kota Makassar diperoleh dari peta Badan

Informasi Geospasial tahun 2013. Adapun bentuk garis pantai wilayah

pesisir Kota Makassar dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Gambar 4. Bentuk Garis Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar

57

Penilaian bentuk garis pantai dilakukan secara visual, dengan

melihat bentuk dominan dari garis pantai. Garis pantai yang dominan

membentuk huruf “U” dianggap sebagai garis pantai berteluk, sedangkan

yang berkelok hampir lurus dianggap sebagai garis pantai yang berbentuk

lurus. Data garis pantai Kota Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 12. Bentuk Garis Pantai Kota Makassar

No Kecamatan Bentuk garis pantai

1. Biringkanaya lurus

2. Tamalanrea lurus, berteluk

3. Tallo lurus, berteluk

4. Ujung Tanah lurus, berteluk

5. Wajo lurus

6. Ujung Pandang lurus, berteluk

7. Mariso berteluk

8. Tamalate lurus

Sumber: data primer, 2017

Bentuk garis pantai wilayah pesisir Kota Makassar banyak

dipengaruhi oleh aktivitas pembangunan pelabuhan, pemukiman, reklamasi

dan pelabuhan perikanan. Pada bagian tengah wilayah pesisir Kota

Makassar yakni kecamatan Wajo memiliki bentuk garis pantai yang

cenderung lurus. Hal ini disebabkan, pantai yang dimanfaatkan sebagai

kawasan pelabuhan peti kemas, sandaran kapal penumpang dan kapal

industri. Sedangkan pada wilayah pesisir bagian selatan Kota Makassar,

yakni kecamatan Tamalate, pantai banyak direklamasi untuk pembangunan

kawasan pemukiman elit. Bentuk reklamasi yang dibuat cenderung lurus

58

dan dibatasi dengan bangunan dinding pantai. Pada wilayah utara

Makassar yakni kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Biringkanaya

bentuk garis pantai cenderung berteluk-lurus karena dipengaruhi oleh

kawasan ekosistem mangrove yang tumbuh subur dan membentuk daratan

baru. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bando (2016)

yang menyatakan rehabilitasi dan penanaman mangroeve akan memicu

timbulnya lahan baru akibat sedimentasi. Pelabuhan perikanan yang

terdapat di kecamatan ujung Tanah, memanfaatkan groin untuk meredam

gelombang agar tidak menggangu aktivitas bongkar muat hasil perikanan

dan tempat berlabuh kapal-kapal nelayan. Pada kawasan ini bentuk garis

pantai membentuk teluk sehingga pengaruh gelombang laut tidak langsung

sampai ke pantai. Sama halnya di kecamatan mariso, dimana bentuk garis

pantai membentuk teluk akibat reklamasi yang menutup kawasan pesisir.

5. Karateristik Pantai

Pantai adalah daerah antara muka air surut terrendah dengan muka

air pasang tertinggi (perpres 51 tahun 2016). Pantai memiliki fungsi yang

dominan dalam menyangga dan melindungi tempat hunian didaratan dari

hantaman gelombang laut (Solihuddin, 2006). karakteristik pantai umumnya

bersifat dinamis dan berbeda-beda sesuai dengan stuktur penyusunya baik

yang masih bersifat alami maupun yang telah mengalami perubahan oleh

aktivitas manusia (reklamasi, bangunan pantai, dan penambangan pasir)

59

Pada penelitian ini, pendataan karateristik pantai kota Makassar

dilakukan dengan melihat jenis tanah wilayah pesisir pada peta Geologi

Kota Makassar tahun 2013. Selain itu, dilakukan survei langsung ke

lapangan untuk melihat karateristik pantai yang berubah akibat

perkembangan pembangunan. Adapun karateristik pantai wilayah pesisir

Kota Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 13. Karakteristik Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar

No Kecamatan Karakteristik pantai

1. Biringkanaya lumpur-berpasir ditumbuhi mangrove

2. Tamalanrea lumpur-berpasir ditumbuhi mangrove

3. Tallo berlumpur ditumbuhi mangrove dan sebagian ditutupi susunan batu

4. Ujung Tanah berpasir, ditutupi bangunan pantai

5. Wajo berpasir ditutupi bangunan pantai

6. Ujung Pandang berpasir ditutupi bangunan pantai

7. Mariso berpasir ditutupi bangunan pantai

8. Tamalate berpasir dan cenderung terbuka

Sumber : Survei lapangan, 2016 dan olah data sekunder

Berdasarkan peta geologi kota Makassar, wilayah pesisir kota

Makassar didominasi oleh jenis tanah alluvium yang memiliki resistensi

rendah terhadap serangan gelombang. Jenis tanah alluvium dicirikan

dengan endapan pasir, kerikil dan lumpur. Pada wilayah pesisir utara Kota

Makassar, karateristik pantainya didominasi oleh lumpur sehingga pada

wilayah ini banyak ditumbuhi oleh ekosistem mangrove, Sedangkan pada

wilayah tengah dan selatan Kota Makassar, karateristik pantainya

didominasi oleh pasir yang sebagian telah ditutupi oleh bangunan pantai

60

dan susunan batu alam. Pada wilayah ini, pantai banyak dimanfaatkan

sebagai pelabuhan, pemukiman dan kawasan wisata pantai.

B. Analisis Parameter Indeks Ancaman

Data parameter indeks ancaman yang terkumpul, ditabulasi

menggunakan Microsoft Excell 2013 menjadi tabel data ancaman. Penilian

skoring dan pembobotan parameter serta analisis indeks ancaman

menggunakan tabel penilaian ancaman. Hasil skoring dan pembobotan

serta analisis ancaman dikonversi menjadi data shapefile menggunakan

perintah Join pada QGIS 2.18.11. Layer join data ancaman berupa polygon

lingkaran perwakilan yang digunakan sebagai titik perwakilan untuk

menggambarkan kondisi lokasi penelitian pada masing-masing kecamatan.

Analisis data parameter ancaman dijelaskan sebagai berikut :

1. Tinggi Gelombang

Untuk mendapatkan tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai berdasarkan indikator tinggi gelombang maka dilakukan

skoring dan pembobotan data tinggi gelombang masing-masing lokasi

kajian berdasarkan tabel analisis. Hasil skoring dan pembobotan data tinggi

gelombang masing-masing lokasi kajian selanjutnya diklasifikasi kedalam

tiga kelas yaitu kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil skoring dan

pembobotan serta klasifikasi parameter tinggi gelombang ancaman

bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota

Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut :

61

Tabel 14. Analisis parameter tinggi gelombang

No. Kecamatan Tinggi

gelombang Skor

indeks Bobot Nilai Kategori

1. Biringkanaya 1.69 2 0,3 0,6 Sedang

2. Tamalanrea 1.68 2 0,3 0,6 Sedang

3. Tallo 1.67 2 0,3 0,6 Sedang

4. Ujung Tanah 1.66 2 0,3 0,6 Sedang

5. Wajo 1.68 2 0,3 0,6 Sedang

6. Ujung Pandang

0.54 1 0,3 0,3 Rendah

7. Mariso 0.35 1 0,3 0,3 Rendah

8. Tamalate 2.1 3 0,3 0,9 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan klasifikasi penilaian tinggi gelombang didapatkan hasil

bahwa, Kecamatan Tamalate memiliki pengaruh gelombang kategori tinggi;

kategori sedang terdapat di kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya, Ujung

tanah, Tallo dan Kecamatan Wajo, sedangkan kategori rendah terdapat di

kecamatan Mariso dan kecamatan Ujung Pandang. Tinggi gelombang

sangat berpengaruh terhadap ancaman bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai. Gelombang yang tinggi dapat menimbulkan kerusakan dan

menyebabkan terjadinya bencana. Berdasarkan hal tersebut, maka

kecamatan Tamalate memiliki potensi yang besar dilanda bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

2. Kecepatan Arus

Skoring dan pembobotan data kecepatan arus menggunakan tabel

penilaian parameter indeks ancaman. Adapun skoring parameter

kecepatan arus disajikan pada tabel sebagai berikut:

62

Tabel 15. Analisis parameter kecepatan arus

No Kecamatan Kecepatan

arus Skor

indeks Bobot Nilai Kategori

1. Biringkanaya 0.03 1 0,3 0,3 Rendah

2. Tamalanrea 0.03 1 0,3 0,3 Rendah

3. Tallo 0.03 1 0,3 0,3 Rendah

4. Ujung Tanah 0.05 1 0,3 0,3 Rendah

5. Wajo 0.07 2 0,3 0,6 Sedang

6. Ujung Pandang

0.05 1 0,3 0,3 Rendah

7. Mariso 0.03 1 0,3 0,3 Rendah

8. Tamalate 0.13 3 0,3 0,9 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter kecepatan arus

didapatkan hasil bahwa, kecepatan arus kategori tinggi terdapat di

kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di kecamatan Wajo,

sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Tamalanrea,

Biringkanaya, Ujung Tanah, Tallo, Ujung pandang, dan Kecamatan Mariso.

Kecepatan arus dapat mempengaruhi perpindahan material pantai ke

tempat lain. Semakin cepat arus yang dimiliki suatu wilayah maka potensi

material pantai yang terbawa akan lebih cepat pula. Berdasarkan hasil

skoring, kecamatan Tamalate memiliki potensi kejadian abrasi yang lebih

besar dibanding kecamatan lainnya.

3. Kerapatan Vegetasi Mangrove

Skoring dan pembobotan kerapatan vegetasi mangrove disajikan

pada tabel sebagai berikut :

63

Tabel 16. Analisis parameter kerapatan vegetasi mangrove

No. Kecamatan Kerapatan Mangrove

Skor Indeks

Bobot Nilai Kategori

1. Biringkanaya 39,5 1 0,15 0,15 Rendah

2. Tamalanrea 29,14 1 0,15 0,15 Rendah

3. Tallo 8,5 2 0,15 0,3 Sedang

4. Ujung Tanah 0,0 3 0,15 0,45 Tinggi

5. Wajo 0,00 3 0,15 0,45 Tinggi

6. Ujung Pandang

0,00 3 0,15 0,45 Tinggi

7. Mariso 0,00 3 0,15 0,45 Tinggi

8. Tamalate 0,00 3 0,15 0,45 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter kerapatan vegetasi

mangrove di wilayah pesisir kota Makassar didapatkan hasil bahwa,

kerapatan mangrove kategori tinggi terdapat di kecamatan Biringkanaya

dan kecamatan Tamalanrea, sehingga pengaruh ancaman gelombang

ekstrim yang sampai ke pesisir kecamatan Biringkanaya dan kecamatan

Tamalanrea menjadi rendah. Kerapatan mangrove kategori sedang

terdapat di kecamatan Tallo. Pada bagian selatan Kota Makassar tidak

terdapat kawasan mangrove maka kategori ancaman gelombang akibat

tidak adanya ekosistem mangrove menjadi tinggi.

4. Bentuk Garis Pantai

Skoring dan pembobotan bentuk garis pantai Kota Makassar

menggunakan penilaian parameter ancaman yang ditunjukan pada tabel

sebagai berikut:

64

Tabel 17. Analisis parameter bentuk garis pantai

No. Kecamatan Bentuk garis

pantai Skor

indeks Bobot Nilai Kategori

1. Biringkanaya lurus 3 0,15 0,45 Tinggi

2. Tamalanrea lurus, berteluk

2 0,15 0,30 Sedang

3. Tallo lurus, berteluk

2 0,15 0,30 Sedang

4. Ujung Tanah lurus, berteluk

2 0,15 0,30 Sedang

5. Wajo lurus 3 0,15 0,45 Tinggi

6. Ujung Pandang

lurus, berteluk

2 0,15 0,30 Sedang

7. Mariso berteluk 1 0,15 0,15 Rendah

8. Tamalate lurus 3 0,15 0,45 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter bentuk garis pantai

didapatkan hasil bahwa, kecamatan Tamalate, kecamatan Wajo dan

kecamatan Tamalanrea memiliki nilai garis pantai kategori tinggi. Kategori

sedang terdapat di kecamatan Tamalanrea, kecamatan Tallo, kecamatan

Ujung Tanah dan kecamatan Ujung Pandang, Sedangkan kategori rendah

terdapat di kecamatan Mariso. Garis pantai yang berbentuk teluk akan sulit

mendapatkan pengaruh gelombang tinggi dibanding garis pantai yang

berbentuk lurus. Sehingga potensi ancaman bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai cenderung besar terjadi pada pantai yang berbentuk lurus

dan terbuka. Berdasarkan hasil skoring, kecamatan Mariso memiliki potensi

yang rendah, terancam bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

Sedangkan kecamatan Tamalate memiliki potensi yang besar terancam

65

gelombang ekstrim dan abrasi. Potensi ancaman bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai dapat pula terjadi pada kecamatan yang memiliki

bentuk garis pantai kategori sedang.

5. Karakteristik Pantai

Karateristik pantai merupakan indikator penting untuk menilai suatu

wilayah pesisir berpotensi terancam abrasi pantai. Pantai yang berbatu atau

berstruktur keras dan memiliki vegetasi pesisir akan sulit mengalami abrasi.

Skoring dan pembobotan karakteristik pantai wilayah pesisir kota Makassar

disajikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 18. Analisis parameter karateristik pantai

No. Kecamatan Karakteristik

Pantai Skor

Indeks Bobot Nilai Kategori

1. Tamalanrea Lumpur,berpasir

ditumbuhi mangrove

1 0,1 0,1 Rendah

2. Biringkanaya Lumpur, berpasir

ditumbuhi mangrove

1 0,1 0,1 Rendah

3. Ujung Tanah berpasir, d

itutupi bangunan pantai

2 0,1 0,2 Sedang

4. Tallo berlumpur

sebagian ditutupi susunan batu

2 0,1 0,2 Sedang

5. Tamalate berpasir terbuka 3 0,1 0,3 Tinggi

6. Wajo berpasir ditutupi bangunan pantai

1 0,1 0,1 Rendah

7. Ujung Pandang

berpasir ditutupi bangunan pantai

1 0,1 0,1 Rendah

8. Mariso berpasir ditutupi bangunan pantai

1 0,1 0,1 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

66

Berdasarkan klasifikasi penilaian parameter karakteristik pantai di

dapatkan hasil bahwa, karateristik pantai kategori tinggi terdapat di

kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di kecamatan Ujung Tanah

dan Kecamatan Tallo, sedangkan kategori rendah terdapat di Tamalanrea,

kecamatan Biringkanaya, kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Pandang,

dan kecamatan Mariso. Karateristik pantai yang didominasi oleh pasir dan

umumnya terbuka serta secara langsung mendapat pengaruh tinggi

gelombang tanpa penghalang akan berpotensi mengalami abrasi.

Berdasarkan hasil penilaian, maka kecamatan Tamalate memiliki potensi

yang besar mengalami kejadian abrasi pantai. Sedangkan kecamatan yang

memiliki vegetasi pantai dan bangunan pantai, memiliki potensi yang

rendah untuk mengalami abrasi akibat rendahnya transport sedimen. Selain

itu, bangunan pantai dan vegetasi pesisir berfungsi meredam energi

gelombang sehingga gelombang yang sampai kepantai tidak memiliki daya

rusak yang tinggi.

C. Penilaian Tingkat Ancaman Bencana

Penilaian tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai dilakukan dengan menjumlahkan hasil skoring dan pembobotan

masing-masing parameter. Penjumlahan dilakukan untuk mendapatkan

total nilai indeks ancaman. Nilai total indeks ancaman, selanjutnya akan

digunakan untuk menentukan tingkat ancaman masing-masing lokasi

kajian. Hasil penjumlahan analisis skoring dan pembobotan parameter

67

ancaman gelombang ekstrim dan abrasi pantai disajikan pada tabel sebagai

berikut:

Tabel 19. Nilai total ancaman bencana

No. Kecamatan H1 H2 H3 H4 H5 HTotal

1. Biringkanaya 0,6 0,3 0,15 0,45 0,1 1,60

2. Tamalanrea 0,6 0,3 0,15 0,30 0,1 1,45

3. Tallo 0,6 0,3 0,30 0,30 0,2 1,70

4. Ujung Tanah 0,6 0,3 0,45 0,30 0,2 1,85

5. Wajo 0,6 0,6 0,45 0,45 0,1 2,20

6. Ujung Pandang

0,3 0,3 0,45 0,30 0,1 1,45

7. Mariso 0,3 0,3 0,45 0,15 0,1 1,30

8. Tamalate 0,9 0,9 0,45 0,45 0,3 3,00

Sumber: analisis data, 2017

Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

pada masing-masing lokasi kajian diperoleh melalui klasifikasi nilai total

ancaman bencana. Nilai total ancaman bencana yang diperoleh dari hasil

analisis dapat disimpulkan dan digeneralisasi sebagai nilai ancaman

bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai yang dimiliki oleh masing-

masing lokasi kajian. Klasifikasi nilai total ancaman bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai diwilayah pesisir kota Makassar disajikan pada

tabel sebagai berikut :

68

Tabel 20. Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

No. Kecamatan Nilai ancaman

(HTotal) Kategori

1. Biringkanaya 1,6 Rendah

2. Tamalanrea 1,45 Rendah

3. Tallo 1,7 Sedang

4. Ujung Tanah 1,85 Sedang

5. Wajo 2,2 Sedang

6. Ujung Pandang 1,45 Rendah

7. Mariso 1,3 Rendah

8. Tamalate 3 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Dari hasil klasifikasi parameter tingkat ancaman bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar diperoleh hasil

bahwa, tingkat ancaman bencana yang memiliki kategori tinggi terdapat di

wilayah pesisir kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di wilayah

pesisir kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Tanah, dan kecamatan Tallo.

Sedangkan yang memiliki tingkat ancaman bencana kategori rendah

terdapat di wilayah pesisir kecamatan Mariso, kecamatan Ujung Pandang,

kecamatan Tamalanrea, dan kecamatan Biringkanaya. Masing-masing

kategori tingkat ancaman bencana diberi simbol warna untuk melihat

perbedaan ketika ditampilkan dalam bentuk peta. Perbedaan tingkat

ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai masing-masing

kecamatan dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

69

Gambar 5. Tingkat ancaman bencana wilayah pesisir kota Makassar

Fenomena gelombang ekstrim dan abrasi pantai telah lama terjadi di

wilayah pesisir Kota Makassar dan sering menyisakan beberapa kerugian

dan korban jiwa. Umumnya gelombang ekstrim terjadi pada setiap musim

penghujan diikuti dengan curah hujan tinggi yang menyebabkan badai di

perairan selat Makassar. Dari hasil analisis ancaman bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar, kecamatan

Tamalate merupakan kecamatan dengan tingkat ancaman bencana tinggi.

Hal ini disebabkan, pesisir kecamatan Tamalate memiliki tinggi gelombang

dan kecepatan arus yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya. Fajri

70

(2012) menyatakan bahwa penyebab utama dari proses abrasi adalah

pengaruh gelombang laut yang besar dan pergerakan arus perairan. Tinggi

gelombang yang besar menghasilkan arus menyusur pantai dengan

kecepatan yang tinggi dan mampu menggerus material pantai dengan

proses transport sedimen yang berlangung dengan cepat. Faktor lain yang

berpengaruh adalah bentuk garis pantainya yang cenderung lurus. Istijono

(2013), menyatakan kejadian abrasi pantai di kawasan pantai padang

disebabkan oleh bentuk pantai yang relatif lurus. Tidak adanya vegetasi

pantai (mangrove) yang berfungsi sebagai peredam gelombang dan

karakteristik pantai yang didominasi oleh pasir (Tejakusuma, 2011),

semakin menambah laju abrasi pantai di wilayah pesisir kecamatan

Tamalate. Solihuddin (2011), menyatakan jenis litologi daerah pesisir yang

didominasi oleh endapan alluvium (berpasir) memiliki resistensi rendah

terhadap pengikisan oleh gelombang dan arus laut. Sedangkan krisyanto,

dkk (2013) dan Taufiqurohman (2014) menyatakan keberadaan ekosistem

mangrove sebagai ekosistem alami pesisir, mampu mereduksi energi

gelombang laut sebelum sampai ke pantai.

Hasil analisis ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai diperkuat dengan hasil penelitian Koddeng (2011) yang menemukan

bahwa fenomena garis pantai di kecamatan Tamalate telah berubah akibat

abrasi pantai. Bangunan-bangunan yang sebelumnya berada di wilayah

pantai, saat ini telah hilang. Selain itu, bangunan pemukiman penduduk

yang dijadikan sebagai jasa penginapan wisata, kini mundur ke arah darat

71

menghindari ancaman kerusakan, pengaruh dari abrasi yang mengancam

keberadaannya. Fenomena abrasi yang menyebabkan bangunan pantai

dapat hilang terjadi pula di pesisir Kota Semarang. Hakim (2012) dalam

penelitiannya menjelaskan kejadian abrasi pantai yang dipengaruhi

gelombang tinggi menyebabkan posisi bangunan-bangunan pantai telah

berada di tengah laut.

Ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai kategori

sedang terdapat di pesisir kecamatan Wajo dan kecamatan Tallo,

sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,

kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung Pandang dan kecamatan

Mariso. Hal ini disebabkan karakteristik wilayah pesisir pada kecamatan

tersebut banyak ditumbuhi oleh ekosistem mangrove dan sebagian wilayah

pantainya telah ditutupi dengan bangunan pantai untuk menjaga kestabilan

garis pantai. Selain itu pada kecamatan tersebut kurang mendapat

pengaruh energi gelombang akibat keberadaan pulau Lae-lae dan pulau

kayangan didepannya. Umar (2011), menyatakan gelombang akan

mengalami defraksi ketika melewati rintangan berupa pulau atau bangunan

pemecah gelombang. Keberadaan ekosistem mangrove dan bangunan

pantai menjadikan pesisir kecamatan tersebut, cukup stabil menghadapi

pengaruh gelombang dan abrasi pantai. Prawiradisastra (2003)

menyatakan stabilitas posisi garis pantai akibat adanya penghalang pantai

menjadi faktor yang mengurangi kejadian abrasi.

72

D. Pengumpulan Data Indeks Kerentanan

1. Kepadatan Penduduk

Penduduk merupakan objek dari dampak terjadinya bencana.

Semakin besar jumlah penduduk yang terpapar atau terdampak bencana

maka bencana yang dimaksud dianggap besar dan mengancam.

Pengambilan data kepadatan penduduk pada penelitian ini menggunakan

data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kota Makassar

dalam buku Makassar dalam Angka Tahun 2016. Adapun kepadatan

penduduk lokasi penelitian disajikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 21. Kepadatan penduduk kecamatan pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Kelurahan lokasi

penelitian Luas (Km2)

Penduduk (Jiwa)

Kepadatan (Jiwa/ Km2)

1. Biringkanaya Untia 2.93 2367 808

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 19.3 18378 952

3. Tallo Tallo, Buloa 2.97 38843 13078

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

0.96 17017 17726

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

1.43 17857 12487

6. Ujung Pandang

Bulogading, Maloku, Losari

0.83 7281 8772

7. Mariso Panambungan 0.71 12136 17093

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

6.14 45479 2818

Sumber : BPS Kota Makassar dan Olah data, 2017

2. Kelompok Rentan

Rentan bencana merupakan faktor yang menyebabkan seseorang

tidak berdaya atau kesulitan menyelamatkan diri ketika terjadi bencana.

73

Dalam makna lain, kelompok rentan dipahami sebagai kelompok yang

masih membutuhkan pihak-pihak lain untuk dapat menyelamtkan diri ketika

terjadi bencana. Suatu kelompok dapat dikatakan rentan akibat kondisi fisik

yang dimiliki dapat berupa kodisi fisik yang lemah maupun kondisi alat indra

dan alat gerak tubuh yang terbatas sehingga menyulitkan dirinya untuk

beraktifitas. Akibat dari kesulitan beraktifitas inilah, ketika terjadi bencana,

kelompok rentan kesulitan menyelamatkan diri dibanding kelompok

manusia pada umumnya. Dalam penelitian ini, penulis mengambil dua

kategori kelompok rentan yaitu:

1. Penduduk lanjut usia, sering mengalami kekurangan gizi akut, kesulitan

berkomunikasi, mudah mengalami tekanan fisik dan psikologis

2. Kelompok difabel baik tunanetra, tuna wicara, lumpuh yang

membuatnya sulit berkomunikasi dan bergerak seperti manusia normal

pada umumnya.

Pendataan kelompok rentan pada penlitian ini menggunakan data

sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Dinas Kesehatan,

dan Dinas Sosial Kota Makassar. Data kelompok rentan masing-masing

kelurahan lokasi kajian dijumlahkan untuk memudahkan analisis lebih

lanjut. Adapun data kelompok rentan masing-masing lokasi penelitian

disajikan pada tabel sebagai berikut:

74

Tabel 22. Kelompok rentan di kelurahan pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Kelurahan lokasi

Penelitian Kelompok Rentan

(Jiwa)

1. Biringkanaya Untia 559

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 2742

3. Tallo Tallo, Buloa 10312

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

2347

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

3332

6. Ujung Pandang

Bulogading, Maloku, Losari

1848

7. Mariso Panambungan 1555

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

7581

Sumber : Data BPS Kota Makassar, 2016

3. Keluarga Miskin (Pra Sejahtera)

Pendataan keluarga miskin berasal dari data Badan Pusat Statistik

Kota Makassar. Keluarga miskin menjadi indikator kerentanan disebabkan

oleh keadaan ekonomi yang sulit akan semakin sulit bila terdampak

bencana. Keluarga miskin akan sulit pulih untuk mendapatkan penghasilan

ketika terjadi bencana. Secara ekonomi, keluarga miskin membutuhkan

bantuan pihak lain untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Semakin

tinggi jumlah keluarga miskin dalam suatu wilayah, maka semakin rentan

wilayah tersebut terhadap ancaman bencana. Jika dibandingkan dengan

kelurahan yang berpenduduk miskin sedikit, kelurahan yang memiliki

keluarga miskin lebih banyak, akan membutuhkan lebih banyak bantuan

dan membutuhkan penanganan korban bencana yang lebih besar.

75

Adapun jumlah kepala keluarga miskin di wilayah pesisir Kota

Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 23. Jumlah kepala keluarga miskin di wilayah pesisir Kota Makassar.

No. Kecamatan Kelurahan lokasi Penelitian KK MIskin

1. Biringkanaya Untia 23

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 655

3. Tallo Tallo, Buloa 2704

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

303

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

356

6. Ujung Pandang

Bulogading, Maloku, Losari 95

7. Mariso Panambungan 744

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

1807

Sumber : data BPS Kota Makassar, 2016

4. Keluarga Nelayan

Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang menghabiskan

sebagian besar aktivitas mata pencahariannya dengan mencari dan

membudidaya ikan di laut. Karena aktivitas ekonomi yang banyak dilakukan

di perairan laut, nelayan menjadi komunitas yang mudah terdampak ketika

terjadi bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai. Tingginya

gelombang ekstrim menyebabkan nelayan tidak bisa melaut sehingga

kehilangan penghasilan. Selain kehilangan penghasilan, gelombang

ekstrim menyebabkan kapal-kapal nelayan dapat tenggelam, hanyut,

bahkan rusak.

76

Pendataan kepala keluarga nelayan menggunakan data sekunder

yang bersumber dari Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makasssar tahun

2016. Adapun jumlah nelayan di masing-masing kelurahan pesisir Kota

Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 24. Kepala keluarga nelayan di pesisir Kota Makassar.

No. Kecamatan Kelurahan lokasi Penelitian KK Nelayan

1. Biringkanaya Untia 97

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 160

3. Tallo Tallo, Buloa 693

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

542

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

0

6. Ujung Pandang Bulogading, Maloku, Losari 427

7. Mariso Panambungan 321

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

698

Sumber : Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar, 2016

5. Kepadatan Bangunan Pemukiman

Bangunan yang berada di sekitar pantai akan mudah terdampak

bencana. Semakin padat bangunan suatu wilayah maka akan semakin

banyak bangunan yang terdampak dan semakin tinggi kerugian yang

dihasilkan. Kepadatan bangunan juga meyulitkan suatu wilayah dalam

penanganan bencana, dikarenakan kesulitan mencari jalan evakuasi yang

sesuai untuk dilewati kendaraan evakuasi.

77

Data jumlah bangunan diperoleh dari data sekunder Dinas

Pekerjaan Umum Kota Makassar tahun 2015. Adapun jumlah bangunan

kelurahan pesisir Kota Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 25. Kepadatan Bangunan di wilayah Pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Kelurahan lokasi penelitian Bangunan (Unit)

1. Biringkanaya Untia 401

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 4141

3. Tallo Tallo, Buloa 6306

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

3166

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

3156

6. Ujung Pandang Bulogading, Maloku, Losari 1319

7. Mariso Panambungan 1931

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

10128

Sumber : Dinas PU Kota Makassar, 2016

6. Luas vegetasi mangrove

Ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam menjaga

stabilitas pantai di wilayah pesisir. Keberadaan mangrove dapat menunjang

wilayah pesisi terhindar dari hantaman gelombang laut yang merusak.

Perakaran mangrove yang rapat dan massif dapat mengurangi energi

gelombang laut yang sampai ke pesisir pantai. Semakin luas mangrove

yang terhampar di wilayah pesisir maka akan semakin sedikit pengaruh

gelombang laut yang sampai ke pantai.

Pengukuran luas vegetasi mangrove pada penelitian ini

menggunakan citra google yang didownload menggunakan perangkat SAS

78

14.7. Citra yang telah didownload selanjutnya digitasi dan dihitung luasnya

menggunakan perangkat QGIS 2.18.11 dengan memilih bagian yang

terdapat ekosistem mangrove pada masing-masing kelurahan pesisir.

Selain data digitasi citra, luas mangrove juga didapatkan dari data sekunder

hasil penelitian sebelumnya. Adapun luas mangrove diwilayah pesisir Kota

Makassar disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 26. Luas mangrove di wilayah pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Kelurahan Luas mangrove

(Km2)

1. Biringkanaya Untia 10,93

2. Tamalanrea Bira, Parangloe 37,19

3. Tallo Tallo, Buloa 3,55

4. Ujung Tanah Totaka, Ujung Tanah, Tamalaba, Gusung, Cambaya

0,00

5. Wajo Mampu, Melayu baru, Butung, Pattunuang, Ende

0,00

6. Ujung Pandang

Bulogading, Maloku, Losari 0,00

7. Mariso Panambungan 0,00

8. Tamalate Barombong, Tanjung Merdeka, Maccini Sombala

0,00

Sumber: data primer, 2016

E. Analisis Indeks Kerentanan

Data kerentanan yang terkumpul selanjutnya diinput dengan

menggunakan Microsoft Excell menjadi satu tabel data kerentanan. Skoring

dan pembobotan serta analisis indeks kerentanan menggunakan tabel

analisis kerentanan. Hasil skoring dan pembobotan serta analisis indeks

kerentanan dikonversi menjadi data shapefile menggunakan perintah “Join”

pada QGIS 2.18.11. Layer join data kerentanan berupa titik lingkaran

79

perwakilan yang menggambarkan kondisi lokasi penelitian pada masing-

masing kecamatan. Skoring dan pembobotan parameter indeks kerentanan

di paparkan sebagai berikut:

1. Kepadatan Penduduk

Skoring dan pembobotan kepadatan penduduk menggunakan tabel

penilaian parameter kerentanan sebagai berikut:

Tabel 27. Skoring Indikator kepadatan penduduk

No. Kecamatan Kepadatan penduduk

Nilai skor indeks

Nilai Kategori

1. Biringkanaya 807 1 30 Rendah

2. Tamalanrea 952 1 30 Rendah

3. Tallo 13078 2 60 Sedang

4. Ujung Tanah 17726 3 90 Tinggi

5. Wajo 12487 2 60 Sedang

6. Ujung Pandang 8772 1 30 Rendah

7. Mariso 17092 3 90 Tinggi

8. Tamalate 2817 1 30 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Dari skoring kepadatan penduduk didapatkan hasil bahwa,

kecamatan Ujung Tanah memiliki kepadatan penduduk kategori tinggi.

Sedangkan kecamatan Tamalanrea yang meliputi kelurahan Bira dan

Parangloe, kecamatan Biringkanaya berupa kelurahan Untia memiliki

kepadatan penduduk rendah. Kepadatan penduduk suatu wilayah

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luas wilayah kelurahan dan

sebagian besar wilayah kelurahan didominasi oleh lahan pertambakan dan

industri.

80

2. Kelompok Rentan

Skoring dan pembobotan parameter kelompok rentan menggunakan

tabel penilaian kerentanan sebagai berikut:

Tabel 28. Skoring parameter Indikator kelompok rentan

No. Kecamatan Persentase

kelompok rentan Nilai Skor

indeks Nilai

bobot Kategori

1. Biringkanaya 23.62 3 60 Tinggi

2. Tamalanrea 14.92 1 20 Rendah

3. Tallo 26.54 3 60 Tinggi

4. Ujung Tanah 13.79 1 20 Rendah

5. Wajo 18.66 2 40 Sedang

6. Ujung Pandang 25.38 3 60 Tinggi

7. Mariso 12.81 1 20 Rendah

8. Tamalate 16.77 2 40 Sedang

Sumber: analisis data, 2017

Dari hasil skoring kelompok rentan didapatkan hasil bahwa

kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Pandang memiliki kelompok rentan

kategori tinggi. Kategori sedang terdapat dikecamatan Wajo dan

kecamatan Tamalate. Sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan

Ujung Tanah, Kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Mariso. Kelompok

rentan secara fisik mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri. Ketika

terjadi bencana, potensi jatuhnya korban jiwa akibat kesulitan

menyelamatkan diri, akan banyak dimiliki oleh wilayah yang memiliki

keberadaan kelompok rentan kategori tinggi. Berdasarkan hasil skoring,

kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Pandang memiliki potensi jumlah

korban kelompok rentan lebih tinggi dibanding kecamatan lainnya.

81

3. Kepala Keluarga Miskin

Skoring dan pembobotan kepala keluarga miskin menggunakan

tabel penilaian kerentanan sebagai berikut:

Tabel 29. Skoring parameter kepala keluarga miskin

No. Kecamatan Persentase KK miskin

Nilai skor indeks

Nilai bobot

Kategori

1. Biringkanaya 4.66 1 15 Rendah

2. Tamalanrea 12.87 1 15 Rendah

3. Tallo 32.78 3 45 Tinggi

4. Ujung Tanah 8.35 1 15 Rendah

5. Wajo 9.04 1 15 Rendah

6. Ujung Pandang 6.01 1 15 Rendah

7. Mariso 25.54 2 30 Sedang

8. Tamalate 17.99 2 30 Sedang

Sumber: analisis data, 2017

Dari hasil skoring parameter kepala keluarga miskin didapatkan hasil

bahwa, kecamatan Tallo merupakan kecamatan dengan keberadaan

kepala keluarga miskin kategori tinggi. Kategori sedang terdapat di

kecamatan Mariso dan kecamatan Tamalate, sedangkan kategori rendah

terdapat di kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea, kecamatan

Ujung Tanah, kecamatan Wajo dan kecamatan Ujung Pandang.

Keberadaan kepala keluarga miskin sangat mempengaruhi tingkat

kerentanan penduduk suatu wilayah. Masyarakat miskin secara ekonomi,

akan sangat berat merasakan dampak bencana. kesulitan ekonomi akibat

penghasilan minim dan pekerjaan tidak tetap, menjadikan masyarakat

miskin kesulitan memulihkan diri ketika terjadi bencana.

82

4. Kepala Keluarga Nelayan

Skoring dan pembobotan kepala keluarga nelayan menggunakan

tabel penilaian kerentanan sebagai berikut :

Tabel 30. Skoring parameter kepala keluarga nelayan

No. Kecamatan Persentase KK nelayan

Nilai skor indeks

Nilai bobot

Kategori

1. Biringkanaya 19.64 3 30 Tinggi

2. Tamalanrea 3.14 1 10 Rendah

3. Tallo 8.4 1 10 Rendah

4. Ujung Tanah 14.94 2 20 Sedang

5. Wajo 0 0 0 Rendah

6. Ujung Pandang 26.99 3 30 Tinggi

7. Mariso 11.02 2 20 Sedang

8. Tamalate 6.95 1 10 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Dari hasil skoring parameter kepala keluarga (KK) Nelayan

didapatkan hasil bahwa kecamatan Biringkanaya dan kecamatan Ujung

Pandang memiliki kepala keluarga nelayan kategori tinggi. Kategori sedang

terdapat di kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Mariso. Sedangkan

kategori rendah terdapat di kecamatan Tamalanrea, kecamatan Tallo, dan

kecamatan Tamalate. Kecamatan Wajo, tidak memiliki kepala keluarga

nelayan. Hal ini disebabkan karena Kecamatan yang dimaksud merupakan

kawasan bisnis dan perdagangan yang mata pencaharian penduduknya

sebagai pedagang.

83

5. Kepadatan Bangunan

Pengklasifikasian kepadatan bangunan menggunakan tabel

penilaian kerentanan sebagai berikut:

Tabel 31. Skoring Parameter kepadatan bangunan

No. Kecamatan Kepadatan bangunan

Nilai skor indeks

Nilai bobot

Kategori

1. Biringkanaya 137 1 10 Rendah

2. Tamalanrea 215 1 10 Rendah

3. Tallo 2123 2 20 Sedang

4. Ujung Tanah 3298 3 30 Tinggi

5. Wajo 2207 2 20 Sedang

6. Ujung Pandang 1589 2 20 Sedang

7. Mariso 2720 3 30 Tinggi

8. Tamalate 628 1 10 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Dari hasil skoring parameter kepadatan bangunan didapatkan hasil

bahwa, kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Mariso memiliki

kepadatan bangunan kategori tinggi. Kategori sedang terdapat di

kecamatan Tallo, kecamatan Wajo dan kecamatan Ujung Pandang.

Sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,

kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Tamalate. Kepadatan bangunan

memberi pengaruh besar terhadap potensi kerusakan fisik pemukiman dan

tingginya kerugian suatu wilayah ketika terdampak bencana. wilayah

dengan tingkat kepadatan bangunan tinggi, akan lebih tinggi mengalami

tingkat kerusakan dan kerugian dibanding wilayah yang memiliki kepadatan

bangunan kategori rendah.

84

6. Luas Vegetasi Mangrove

Luas vegetasi mangrove masing-masing Kecamatan diklasifikasi

dengan menggunakan tabel parameter penilaian kerentanan sebagai

berikut:

Tabel 32. Skoring parameter luas vegetasi mangrove

No. Kecamatan Luas mangrove

(Km2) Nilai skor

indeks Nilai

bobot Kategori

1. Biringkanaya 10,93 1 15 Rendah

2. Tamalanrea 37,19 1 15 Rendah

3. Tallo 3,55 2 30 Sedang

4. Ujung Tanah 0,00 3 45 Tinggi

5. Wajo 0,00 3 45 Tinggi

6. Ujung Pandang 0,00 3 45 Tinggi

7. Mariso 0,00 3 45 Tinggi

8. Tamalate 0,00 3 45 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan hasil skoring parameter luas vegetasi mangrove

didapatkan hasil bahwa kecamatan Biringkanya dan Tamalanrea memiliki

luas mangrove kategori tinggi sehingga nilai kerentanannya rendah.

Sedangkan Kecamatan Tallo memiliki luas mangrove kategori rendah

sehingga nilai kerentanannya sedang. Kecamatan lainnya tidak memiliki

kawasan mangrove sehingga memiliki nilai kerentanan tinggi. Tingginya

luasan mangrove akan menurunkan nilai kerentanan wilayah pesisir dalam

menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

Keberadaan ekosistem mangrove dapat meredam ancaman dan

menurunkan kerentanan.

85

F. Penilaian Tingkat Kerentanan

Penilaian tingkat kerentanan dilakukan dengan cara menjumlahkan

seluruh nilai skoring indikator yang berpengaruh pada indeks kerentanan.

Nilai total dari hasil penjumlahan indikator kerentanan merupakan nilai

kerentanan wilayah kajian terhadap ancaman bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai. Hasil penjumlahan dan nilai total kerentanan wilayah

pesisir dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai disajikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 33. Nilai kerentanan wilayah pesisir

No. Kecamatan V1 V2 V3 V4 V5 V6 VTotal

1. Biringkanaya 0,3 0,6 0,15 0,3 0,1 0,15 1,6

2. Tamalanrea 0,3 0,2 0,15 0,1 0,1 0,15 1,0

3. Tallo 0,60 0,6 0,45 0,1 0,2 0,3 2,25

4. Ujung Tanah 0,9 0,2 0,15 0,2 0,3 0,45 2,2

5. Wajo 0,60 0,4 0,15 0 0,2 0,45 1,8

6. Ujung Pandang 0,30 0,6 0,15 0,3 0,2 0,45 2,0

7. Mariso 0,90 0,2 0,3 0,2 0,3 0,45 2,35

8. Tamalate 0,30 0,4 0,3 0,1 0,1 0,45 1,65

Sumber: analisis data, 2017

Nilai total kerentanan yang didapatkan, selanjutnya dianalisis dan

diklasifikasi kedalam tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Klasifikasi

dilakukan untuk mendapatkan perbedaan kerentanan masing-masing

kecamatan dalam menghadapi ancaman bencana geombang ekstrim dan

abrasi pantai. Hasil analisis dan klasifikasi nilai kerentanan wilayah pesisir

kota Makassar disajikan pada tabel sebagai sebagai berikut :

86

Tabel 34. Tingkat kerentanan wilayah pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Nilai Kerentanan

(Vtotal) Kategori

1. Biringkanaya 1,6 Rendah

2. Tamalanrea 1 Rendah

3. Tallo 2,25 Sedang

4. Ujung Tanah 2,2 Sedang

5. Wajo 1,8 Sedang

6. Ujung Pandang 2 Sedang

7. Mariso 2,35 Tinggi

8. Tamalate 1,65 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Klasifikasi tingkat kerentanan wilayah pesisir terhadap ancaman

bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai, menggambarkan wilayah

pesisir kota Makassar memiliki tingkat kerentanan yang berbeda. Kisaran

nilai kerentanan berdasarkan hasil analisis yaitu antara 1,0-2,35. Tingkat

kerentanan Kategori tinggi terdapat di kecamatan Mariso dengan total nilai

kerentanan sebesar 2,35. Kategori sedang terdapat di kecamatan Ujung

Tanah, kecamatan Tallo, kecamatan Wajo dan kecamatan Ujung Pandang

dengan total nilai kerentanan berkisar antara 1,8-2,25. Sedangkan kategori

rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea dan

kecamatan Tamalate dengan nilai total kerentanan berkisar 1,0-1,65.

perbedaan tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar terhadap

ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai ditunjukan pada

gambar sebagai berikut :

87

Gambar 6. Tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar

Nilai kerentanan sedang dan tinggi suatu wilayah tinggi dipangaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu tingginya kepadatan penduduk dan kelompok

rentan, tingginya jumlah kepala keluarga miskin dan kelompok nelayan,

tingginya kepadatan pemukiman dan minimnya luasan vegetasi wilayah

pesisir dalam menghadapi ancaman bencana. Kecamatan mariso memiliki

kategori nilai kerentanan tinggi disebabkan oleh kepadatan penduduk dan

pemukiman serta keberadaan kelompok rentan. Disisi lain, vegetasi pesisir

di kecamatan Mariso telah rusak dan beralih fungsi menjadi kawasan

reklamasi sehingga semakin menambah nilai kerentanan wilayah.

88

Sedangkan kecamatan Tallo, memiliki tingkat kerentanan sedang karena

memiliki kepadatan penduduk dan jumlah kepala keluarga miskin lebih

tinggi dibanding kecamatan Mariso, tetapi kecamatan Tallo memiliki

vegetasi wilayah pesisir yang dapat mengurangi ancaman bencana

sehingga nilai kerentanannya sedikit berkurang. Tingginya kepadatan

penduduk dan pemukiman menjadi salah satu faktor tingginya potensi

jumlah jiwa terpapar ketika terjadi bencana diwilayah pesisir (Rosyidie,

2006). Nilai kerentanan rendah terdapat dikecamatan Biringkanaya,

kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Tamalate. Kecamatan

Biringkanaya dan kecamata Tamalanrea memiliki luas vegetasi mangrove

yang tinggi sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan pemukiman sangat

rendah sehingga nilai kerentanan yang dimiliki juga rendah.

G. Pengumpulan Data Indeks Kapasitas/Ketangguhan

Kapasitas atau ketangguhan adalah sumber daya, pengetahuan,

keterampilan, dan kekuatan yang dimiliki seseorang atau masyarakat yang

memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri,

mencegah, dan memitigasi, menanggulangi dampak buruk, atau dengan

cepat memulihkan diri dari bencana. Kapasitas masyarakat dalam

menghadapi bencana manjadi faktor penting untuk mengurangi risiko

bencana, baik mengurangi jumlah jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan

dan kerugian yang ditimbulkan ketika terjadi bencana.

89

Dalam penelitian ini penulis mengambil beberapa paremeter untuk

menghitung tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir. Diantaranya adalah

peraturan daerah Kota Makassar yang mengatur tentang penanggulangan

bencana beserta dokumen mendukung untuk kebencanaan. Selain itu,

pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana, infrastruktur

lingkungan yang dibangun untuk mengurangi dampak bencana dan

pelatihan serta sistim peringatan dini yang digunakan ketika menghadapi

bencana termasuk kategori untuk menilai kapasitas suatu wilayah.

Pengambilan data kapasitas dilakukan dengan survei langsung ke

lapangan dan wawancara dengan beberapa stakeholder terkait. Adapun

data kapasitas masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada tabel sebagai

berikut :

1. Peraturan daerah yang mengatur tentang penanggulangan bencana

telah ada di Kota Makassar ditandai dengan terbentuknya badan yang

menangani kebencanaan yakni Badan Penanggulangan Bencana

Daerah Kota Makassar.

2. Dokumen kajian risiko bencana telah disusun oleh Badan Nasional

Penanggulangan Bencana, tetapi terkhusus kajian risiko gelombang

ekstrim belum disahkan dalam peraturan daerah.

3. Seluruh kecamatan pesisir kota Makassar, belum ada yang membangun

sistim peringatan dini menghadapi bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai.

90

4. Beberapa kecamatan telah membangun mitigasi struktural dan non-

struktural berupa pembangunan beton/dinding pantai, susunan batu

alam, dan penanaman mangrove. Adapun data kecamatan yang telah

membangun mitigasi struktural maupun non-struktural disajikan pada

tabel sebagai berikut :

Tabel 35. Sebaran pembangunan mitigasi struktural diwilayah pesisir Kota Makassar.

No. Kecamatan Jenis Mitigasi Kegiatan

1. Biringkanaya Struktural dan Non-struktural

Bangunan pantai, penanaman dan pemeliharaan mangrove

2. Tamalanrea Non-Struktural Penanaman, pemeliharaan Mangrove

3. Tallo Struktural dan non-struktural

Susunan batu, bangunan pantai dan penanaman mangrove

4. Ujung Tanah Struktural Bangunan Pantai

5. Wajo struktural Bangunan dinding pantai

6. Ujung Pandang

struktural Bangunan dinding pantai, groin

7. Mariso struktural Bangunan dinding pantai

8. Tamalate belum ada (tahap perencanaan)

-

Sumber: Data primer, 2017

5. Pelatihan dan pendidikan kebencanaan pernah dilakukan dengan

menghadirkan pemerintah Kecamatan Ujung Pandang dan Kecamatan

Tallo, sedangkan kecamatan lainnya belum dilakukan pelatihan dan

pendidikan kebencanaan.

91

H. Analisis Parameter Indeks Kapasitas/Ketangguhan

Data kapasitas yang diperoleh di lapangan dengan metode

wawancara stakeholder dan survei visual, selanjutnya diskoring dengan

menggunakan tabel kapasitas. Adapun hasil analisis parameter kapasitas

disajikan pada tabel sebagai berikut:

1. Aturan dan Lembaga Penanggulangan Bencana

Tabel 36. Skoring analisis parameter kapasitas aturan dan lembaga penanggulangan bencana

No. Kecamatan

Peraturan dan Lembaga Penanggulangan Bencana

Nilai Skor

Indeks

Nilai Bobot

Kategori

1. Biringkanaya

Perwali No. 2 Tahun 2010 Tentang Pembentukan BPBD

3 75 Tinggi

2. Tamalanrea 3 75 Tinggi

3. Tallo 3 75 Tinggi

4. Ujung Tanah 3 75 Tinggi

5. Wajo 3 75 Tinggi

6. Ujung Pandang 3 75 Tinggi

7. Mariso 3 75 Tinggi

8. Tamalate 3 75 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Hasil pendataan dan wawancara dengan stakeholder terkait

didapatkan hasil bahwa aturan dan lembaga penanggulangan bencana di

Kota Makassar telah terbentuk pada tahun 2010 melalui peraturan waliKota

Makassar No. 2 tahun 2010 tentang pembentukan Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kota Makassar yang memiiliki tugas pokok

penanggulangan bencana dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah

92

kecamatan di Kota Makassar termasuk kecamatan pesisir. Berdasarkan hal

tersebut, maka seluruh wilayah pesisir Kota Makassar termasuk kapasitas

dalam kategori tinggi.

2. Pengkajian risiko bencana

Tabel 37. Skoring analisis parameter kapasitas pengkajian risiko bencana

No. Kecamatan

Dokumen Kajian risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi

Nilai skor

Indeks

Nilai Bobot

Kategori

1. Biringkanaya

Belum ada pengesahan

dokumen

1 20 Rendah

2. Tamalanrea 1 20 Rendah

3. Tallo 1 20 Rendah

4. Ujung Tanah 1 20 Rendah

5. Wajo 1 20 Rendah

6. Ujung Pandang 1 20 Rendah

7. Mariso 1 20 Rendah

8. Tamalate 1 20 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Hasil analisis pengkajian risiko bencana terkhusus bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai belum masuk pada tahap pengesahan

dokumen kajian. Badan Penanggulangan Bencana Daerah kota Makassar

belum, memiliki program khusus pengkajian risiko bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai. Berdasarkan hal tersebut, maka kapasitas

wilayah pesisir ditinjau dari aspek kajian dan dokumen kajian risiko bencana

termasuk dalam kategori rendah. Dokumen kajian risiko merupakan aspek

penting untuk merencanakan kegiatan pengurangan risiko bencana.

93

3. Pembangunan sistim peringatan dini

Peringatan dini merupakan sistematika dan peralatan yang

digunakan untuk mengantisipasi datangnya suatu jenis bencana.

Peringatan dini dapat menggambarkan tanda-tanda datangnya bencana

maupun karateristik bencana yang akan terjadi. Peringatan dini, memiliki

manfaat yang besar untuk mengurangi jumlah korban terpapar ketika terjadi

bencana karena masyarakat memiliki kesiapan diri yang matang untuk

menyelamatkan diri dan melakukan evakuasi ketika terjadi bencana.

Skoring parameter peringatan dini disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 38. Skoring analisis parameter kapasitas pembangunan sistim peringatan dini

No. Kecamatan EWS Nilai skor

Indeks Nilai

Bobot Kategori

1. Biringkanaya belum ada 1 10 Rendah

2. Tamalanrea belum ada 1 10 Rendah

3. Tallo belum ada 1 10 Rendah

4. Ujung Tanah belum ada 1 10 Rendah

5. Wajo belum ada 1 10 Rendah

6. Ujung Pandang belum ada 1 10 Rendah

7. Mariso belum ada 1 10 Rendah

8. Tamalate belum ada 1 10 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Dari hasil survei dan analisis, sistem peringatan dini bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai untuk wilayah pesisir kota Makassar

belum ada yang disahkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Kota Makassar. Hal ini berpengaruh pada tingkat kapasitas wilayah pesisir

94

Kota Makassar ketika ditinjau dari aspek pembangunan sistim peringatan

dini termasuk dalam kategori rendah.

4. Kegiatan Mitigasi Bencana

Tabel 39. Skoring analisis parameter kapasitas kegiatan mitigasi bencana

No. Kecamatan Kegiatan mitigasi

Nilai skor indeks

Nilai bobot

Kategori

1. Biringkanaya ada, kegiatan 2 60 Sedang

2. Tamalanrea ada, kegiatan 2 60 Sedang

3. Tallo ada, kegiatan 2 60 Sedang

4. Ujung Tanah ada, kegiatan 2 60 Sedang

5. Wajo ada, kegiatan 2 60 Sedang

6. Ujung Pandang ada, kegiatan 2 60 Sedang

7. Mariso ada, kegiatan 2 60 Sedang

8. Tamalate perencanaan 1 30 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Kegiatan mitigasi bencana dibeberapa wilayah pesisir Kota

Makassar telah dilakukan namun sebagian wilayah seperti kecamatan

Tamalate belum sepenuhnya dilakukan, namun yang menjadi tujuan

pembangunan mitigasi bukan untuk menangkal datangnya bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai tetapi lebih secara umum untuk

mitigasi bencana. Kegiatan mitigasi yang dilakukan terdiri dari mitigasi

struktural dan non-struktural berupa penanaman dan rehabiltasi vegetasi

pesisir dalam hal ini ekosistem mangrove. Mitigasi struktural berupa

pembangunan dinding pantai, pembanguan groin dan pemasangan batu

alam. Berasarkan hasil analisis sebagian besar kecamatan pesisir Kota

Makassar memiliki kapasitas sedang jika ditinjau dari aspek kegiatan

95

mitigasi bencana. Terkecuali kecamatan Tamalate, memiliki kapasitas

rendah karena pembangunan mitigasi untuk penanggulangan bencana

abrasi pantai masih kurang dilaksanakan seperti kecamatan lainnya.

5. Pendidikan dan pelatihan kebencanaan

Tabel 40. Skoring analisis parameter kapasitas pendidikan dan pelatihan kebencanaan

No. Kecamatan Pelatihan dan

pendidikan kebencanaan

Nilai skor indeks

Nilai bobot

Kategori

1. Biringkanaya belum pernah 1 15 Rendah

2. Tamalanrea belum pernah 1 15 Rendah

3. Tallo pernah 2 15 Sedang

4. Ujung Tanah belum pernah 1 15 Rendah

5. Wajo belum pernah 1 15 Rendah

6. Ujung Pandang pernah 2 15 Sedang

7. Mariso belum pernah 1 15 Rendah

8. Tamalate belum pernah 1 15 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Pendidikan dan pelatihan kebencanaan terkhusus bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai, belum sepenuhnya dilakukan oleh

Badan Penanggulangan Bencana Kota Makassar. Dari hasil wawancara

bersama stakeholder terkait, pelatihan kebencanaan pernah dilakukan

dengan melibatkan pemerintah kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung

Pandang. Namun, hanya sebatas materi pelatihan, tidak sampai kepada

praktek penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

Berdasarkan hasil analisis, didapatkan hasil bahwa tingkat kapasitas

wilayah pesisir Kota Makassar yang ditinjau dari aspek pendidikan dan

96

pelatihan kebencanaan termasuk dalam kategori rendah dan sedang.

Kecamatan yang memiliki tingkat kapasitas sedang adalah kecamatan Tallo

dan Kecamatan Ujung Pandang.

I. Penilaian Tingkat Kapasitas/Ketangguhan

Untuk mendapatkan nilai kapasitas/ketangguhan suatu wilayah

pesisir, maka hasil analisis dan skoring parameter indeks kapasitas

dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total kapasitas. Nilai total kapasitas

selanjutnya akan diklasifikasi untuk menentukan tingkat kapasitas masing-

masing kecamatan. Adapun hasil analisis parameter indeks kapasitas dan

nilai total nilai kapasitas masing-masing kecamatan di wilayah pesisir kota

makassar disajikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 41. Nilai total kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Nilai indeks parameter kapasitas

CTotal

C1 C2 C3 C4 C5

1. Biringkanaya 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

2. Tamalanrea 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

3. Tallo 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

4. Ujung Tanah 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

5. Wajo 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

6. Ujung Pandang 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

7. Mariso 0,75 0,2 0,1 0,6 0,15 1,8

8. Tamalate 0,75 0,2 0,1 0,3 0,15 1,5

Sumber: analisis data, 2017

Untuk melihat perbedaan tingkat wilayah pesisir kota Makassar

dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

97

pantai, maka nilai total kapasitas masing-masing kecamatan di klasifikasi

kedalam tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil analisis dan

kategorisasi tingkat kapasitas wilayah pesisir kota Makassar disajikan pada

tabel sebagai berikut:

Tabel 42. Tingkat kapasitas/ketangguhan wilayah pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Nilai total indeks kapasitas (Ctotal)

Kategori

1. Biringkanaya 1,8 Sedang

2. Tamalanrea 1,8 Sedang

3. Tallo 1,8 Sedang

4. Ujung Tanah 1,8 Sedang

5. Wajo 1,8 Sedang

6. Ujung Pandang 1,8 Sedang

7. Mariso 1,8 Sedang

8. Tamalate 1,5 Rendah

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan hasil analisis dan klasifikasi parameter indeks

kapasitas, sebagian besar wilayah pesisir Kota Makassar termasuk

kedalam kapasitas dengan kategori sedang. Kecamatan yang memiliki

tingkat kapasitas sedang adalah kecamatan Tamalanrea, Kecamatan

Biringkanaya, kecamatan Tallo, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan

Ujung Pandang, kecamatan Wajo dan Kecamatan Mariso. Kecamatan

dengan tingkat kapasitas rendah adalah Kecamatan Tamalate. Adapun

perbedaan kapasitas masing-masing kecamatan di wilayah pesisir Kota

Makassar dalam menghadapi ancaman bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai disajikan pada gambar sebagai berikut :

98

Gambar 7. Tingkat kapasitas wilayah pesisir Kota Makassar

J. Analisis Risiko Bencana

Analisis risiko bencana merupakan sebuah perhitungan untuk

memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu

potensi bencana yang akan terjadi. Potensi dampak negatif yang timbul

dihitung berdasarkan tingkat ancaman yang melanda, tingkat kerentanan

yang dimiliki oleh masyarakat dan wilayah, serta kapasitas penanganan

bencana suatu daerah. Potensi dampak negatif yang timbul dapat dilihat

99

berdasarkan potensi jumlah jiwa yang terpapar bencana, kerugian harta

benda, dan kerusakan lingkungan. Untuk mendapatkan nilai risiko bencana

suatu wilayah pesisir maka nilai ancaman, nilai kerentanan dan nilai

kapasitas telah dianalisis dan diketahui tingkatannya masing-masing.

Analisis risiko bencana dilakukan dengan mengoverlay nilai

ancaman, kerentanan dan kapasitas wilayah pesisir Kota Makassar untuk

mendapatkan total nilai risiko. Adapun hasil analisis risiko bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar

disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 43. Hasil analisis resiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar

No. Kecamatan Ancaman

(H) Kerentanan

(V) Kapasitas

(C) Risiko

(R)

1. Biringkanaya 1,60 1,60 1,80 1,42

2. Tamalanrea 1,45 1,00 1,80 0,81

3. Tallo 1,70 2,25 1,80 2,13

4. Ujung Tanah 1,85 2,20 1,80 2,26

5. Wajo 2,20 1,80 1,80 2,20

6. Ujung Pandang 1,45 2,00 1,80 1,61

7. Mariso 1,30 2,35 1,80 1,70

8. Tamalate 3,00 1,65 1,50 3,30

Sumber: analisis data, 2017

Nilai risiko masing-masing lokasi kajian diklasifikasi berdasarkan

nilai tertinggi dan nilai terrendah dan dibagi kedalam tiga kelas yaitu

kategori risiko tinggi (2,47-3,30), kategori risiko sedang (1,64-2,47) dan

kategori risiko rendah (0,81-1,64). Hasil klasifikasi risiko bencana

100

gelombang ekstrim dan abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Makassar

disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 44. Tingkat risiko bencana masing-masing Kecamatan

No. Kecamatan Nilai risiko Kategori

1. Biringkanaya 1,42 Rendah

2. Tamalanrea 0,81 Rendah

3. Tallo 2,13 Sedang

4. Ujung Tanah 2,26 Sedang

5. Wajo 2,20 Sedang

6. Ujung Pandang 1,61 Rendah

7. Mariso 1,70 Rendah

8. Tamalate 3,30 Tinggi

Sumber: analisis data, 2017

Berdasarkan analisis risiko bencana, didapatkan hasil bahwa risiko

bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai kategori tinggi terdapat di

kecamatan Tamalate dengan total nilai risiko sebesar 3,30; kategori sedang

terdapat di kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Wajo

dengan nilai risiko masing-masing 2,13; 2,20 dan 2,26, sedangkan kategori

rendah terdapat di kecamatan Mariso, kecamatan Ujung Pandang,

kecamatan Tamalanrea, dan kecamatan Biringkanaya dengan kisaran nilai

risiko sebesar 0,81-1,70. Perbedaan risiko masing-masing lokasi kajian

bergantung pada nilai ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi

yang dimiliki, nilai kerentanan penduduk dan wilayah dalam menghadapi

bencana serta nilai kapasitas yang dimiliki sebagai faktor pengurang risiko

bencana. Hasil klasifikasi risiko bencana masing-masing lokasi kajian

disajikan pada gambar sebagai berikut :

101

Gambar 8. Peta risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai Kota Makassar

Tingginya risiko bencana di wilayah pesisir Kota Makassar,

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tingginya pengaruh ancaman

gelombang ekstrim dan abrasi pantai, tingginya kerentanan yang dimiliki

suatu wilayah, dan rendahnya kapasitas untuk menghadapi ancaman

bencana. Berdasarkan hasil kajian, kecamatan Tamalate memiliki risiko

bencana kategori tinggi. Hal ini disebabkan oleh tingginya indeks ancaman

bencana dan rendahnya kapasitas yang dimiliki dalam menghadapi

ancaman bencana. Namun nilai kerentanan yang dimiliki kecamatan

102

Tamalate termasuk dalam kategori rendah. Kerentanan rendah dipengaruhi

oleh kepadatan penduduk rendah dan kurangnya jumlah kelompok rentan,

sehingga jumlah jiwa yang terpapar sedikit. Namun di sisi lain, risiko

bencana tinggi menggambarkan kerugian yang ditimbulkan ketika terjadi

bencana. Kecamatan Tamalate telah mengalami kejadian abrasi sehingga

beberapa bangunan pemerintah maupun masyarakat mengalami

kerusakan. Keadaan pantai kecamatan Tamalate yang terbuka dan

besarnya pengaruh gelombang serta kecepatan arus yang sampai kepantai

menyebabkan peluang terjadinya abrasi semakin tinggi. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Prawiradisastra (2003) menyatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi kecepatan abrasi pantai adalah besarnya gelombang dan

arus laut serta keterbukaan pantai terhadap serangan gelombang.

Kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Wajo

memiliki tingkat risiko bencana kategori sedang. risiko bencana sedang

menggambarkan adanya potensi jumlah jiwa terpapar dalam suatu wilayah

yang dipengaruhi oleh tingginya kepadatan penduduk dan pemukiman,

banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, dan tingginya

angka kemiskinan. Kecamatan Tallo dan kecamatan Ujung Tanah memiiki

tingkat kepadatan penduduk dan pemukiman tinggi serta sebagian besar

penduduk berada pada kategori miskin. Bencana gelombang ekstrim dapat

menyebabkan masyarakat yang berekonomi lemah (miskin) dan yang

berprofesi sebagai nelayan mengalami kesulitan ekonomi. Gelombang laut

yang ekstrim mengganggu aktivitas mata pencaharian para nelayan,

103

sehingga menyebabkan hilangnya penghasilan. Risiko bencana sedang

menggambarkan bahwa, kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah dan

kecamatan Wajo memiliki kapasitas yang sedang dalam menghadapi

bencana. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik pantai yang telah ditutupi

oleh bangunan pantai sehingga potensi terdampak abrasi secara langsung

sangat kecil.

Kecamatan yang memiliki tingkat risiko bencana rendah adalah

kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung

Pandang dan kecamatan Mariso. Penggambaran risiko rendah disebabkan

oleh tingkat ancaman bencana di kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan

Biringkanaya termasuk dalam kategori rendah, di sisi lain tingkat kapasitas

yang dimiliki cukup tinggi dengan adanya kawasan mangrove yang tumbuh

pada sepanjang wilayah pesisir. Ekosistem mangrove berperan meredam

energi gelombang laut sehingga tingkat ancaman bencana gelombang

ekstrim dan abrasi dapat berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Pramudji (2000) yang menyatakan, hutan mangrove yang memiliki tipe

perakaran yang rapat dan kuat dapat meredam hantaman gelombang laut

sehingga garis pantai dapat stabil. Tingkat risiko bencana dengan kategori

rendah yang dimiliki oleh Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan

Biringkanaya, didukung pula dengan tingkat kepadatan penduduk yang

rendah dan kurangnya jumlah kelompok rentan, karena sebagian besar

wilayahnya didominasi oleh kawasan pertambakan sehingga potensi

jumlah jiwa terpapar juga rendah.

104

Kecamatan Ujung Pandang dan kecamatan Mariso memiliki tingkat

risiko bencana kategori rendah, hal ini disebabkan letak pesisir kecamatan

ini cenderung berbentuk teluk dan perairan lautnya tenang karena

keberadaan kelurahan pulau Lae-lae di depannya. Kecamatan Mariso dan

Kecamatan Ujung Pandang kurang mendapat pengaruh gelombang laut

tinggi dari laut lepas. Selain itu, bentuk morfologi pantai yang ditutupi oleh

bangunan Pantai Losari menyebabkan Kecamatan Ujung Pandang dan

Kecamatan Mariso memiliki ketahanan tinggi untuk menghadapi abrasi.

K. Rekomendasi Strategi Pengurangan Risiko Bencana

Kajian risiko bencana suatu wilayah dapat menjadi acuan dasar

untuk menyusun program kebijakan pengurangan risiko dan dampak

bencana. Hal ini dimaksudkan agar dampak bencana tidak terus berlanjut

sehingga kerugian dapat diminimalisir. Berdasarkan hasil kajian, wilayah

pesisir kota Makassar telah terdampak bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai, sehingga perlu dengan segera mendapat perhatian serius

dari stakeholder terkait untuk melakukan program kegiatan pengurangan

risiko bencana. Berdasarkan hal tersebut, penulis memberi beberapa

rekomendasi strategi pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar, yaitu sebagai berikut:

1. Strategi pengurangan risiko bencana kategori sedang dan tinggi

Untuk mengurangi risiko dan dampak bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai kategori sedang dan tinggi dapat dilakukan dengan cara

105

menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) gelombang ekstrim

dan abrasi pantai. Dalam undang-undang No. 24 tahun 2007, penyusunan

rencana penanggulangan bencana merupakan tindak lanjut dari proses

penyusunan kajian risiko bencana yang wajib dimiliki setiap daerah dengan

tingkat risiko bencana sedang dan tinggi.

Rencana penanggulangan bencana merupakan dokumen kajian

yang memuat program kegiatan dan strategi yang saling terkait yang

digunakan untuk mengurangi risiko bencana di wilayah pesisir kota

Makassar dengan program dan kegiatan sebagai berikut:

1. Kegiatan Meredam Ancaman Bencana

Kegiatan meredam ancaman bencana dapat dilakukan melalui

pembangunan mitigasi struktural dan non-struktural untuk mengurangi

dampak bencana yaitu dengan memperkuat bangunan pelindung pantai

pada lokasi-lokasi strategis. Kegiatan mitigasi struktural dapat dilakukan

pada wilayah yang belum tersentuh upaya mitigasi namun telah mengalami

dampak bencana. Kecamatan Tamalate termasuk wilayah yang telah

terdampak abrasi, perlu membangun mitigasi struktural untuk

mempertahankan stabilitas pantai berupa bangunan penahan sedimentasi

sejajar pantai (groin), peredam abrasi (bank revetment) dan bangunan

pemecah gelombang untuk mengurangi laju abrasi pantai yang terjadi di

kelurahan Tanjung bayang. Selain bangunan struktural, mitigasi dampak

abrasi dapat juga dilakukan dengan menanam tanaman vegetasi yang

sesuai dengan karakteristik pantai berpasir.

106

2. Pengurangan Kerentanan Kelompok Rentan

Kegiatan pengurangan kerentanan dapat dilakukan dengan

meningkatkan pemahaman masyarakat terkhusus kelompok rentan dan

kelompok nelayan miskin melalui kegiatan pelatihan dan sosialisasi akan

adanya potensi ancaman bencana, faktor pendorong terjadinya, dan risiko

yang mungkin terjadi. Kegiatan pengurangan kerentanan dapat dilakukan

di Kecamatan Mariso dan kecamatan Tallo dengan tingkat kerentanan

tinggi dan sedang. sosialisasi potensi ancaman gelombang ekstrim bagi

para nelayan sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan

dalam menghadapi ancaman bencana. Sosialisasi dapat dilakukan dengan

mengundang nelayan pada kegiatan penaggulangan bencana.

3. Peningkatan Kapasitas Masyarakat

Kegiatan peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan

membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan membangun budaya siaga

bencana bagi masyarakat wilayah pesisir melalui peningkatan pengetahuan

terkait upaya penyelamatan diri dan upaya pengurangan risiko bencana.

Peningkatan kapasitas dapat dilakukan pada kecamatan dengan tingkat

risiko bencana sedang dan tinggi untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa

dan kerugian materil. Peningkatan kapasitas dapat melibatkan stakeholder

terkait yang memiliki peran kunci dimasyarakat pesisir. Peningkatan

kapasitas dapat dilakukan kepada masyarakat yang bermukim dan

107

melakukan kegiatan wisata pantai seperti yang terdapat di pantai tanjung

bayang, tanjung bunga, kelurahan barombong agar tidak melakukan

aktivitas pembangunan pemukiman pada wilayah rawan abrasi.

4. Membangun sistim peringatan dini menghadapi bencana

Sistim peringatan dini merupakan aspek penting dalam

meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman

bencana. Dengan adanya peringatan dini, kejadian bencana gelombang

ekstrim, dapat lebih awal diketahui masyarakat sehingga jatuhnya korban

jiwa dan kerugian materil dapat diminimalisir. Mekanisme peringatan dini

dapat disepakati oleh masyarakat bersama pemerintah melalui keputusan

badan penanggulangan bencana daerah kota Makassar dan diprioritaskan

pada wilayah pesisir kecamatan yang memiliki tingkat ancaman bencana

sedang dan tinggi yakni pesisir kecamatan Tamalate, kecamatan Wajo dan

kecamatan Tallo. Peringatan dini yang dibuat, tetap memperhatikan

informasi iklim dan curah hujan yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika wil. IV Makassar mengenai peringatan tinggi

gelombang dan cuaca buruk yang berbahaya bagi pelayaran.

5. Mensosialiasikan kegiatan pengurangan risiko bencana kepada

masyarakat pesisir

Program kegiatan pengurangan risiko bencana perlu disebarluaskan

kepada masyarakat terkhusus kelompok rentan, para nelayan dan

masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir, yang menerima dampak

108

langsung bencana gelombang ekstrim dan abrasi. Hal ini dimaksudkan

untuk menggalang dukungan dari para pihak agar ikut terlibat dan

bekerjasama dalam upaya penanggulangan bencana di wilayah pesisir.

Selain itu, sosialisasi juga bertujuan untuk mengurangi upaya dan kegiatan

pembangunan yang dapat meningkatkan ancaman bencana diwilayah

pesisir. Sosialisasi kegiatan pengurangan risiko bencana dapat dilakukan

dengan beberapa cara diantaranya:

- Pemasangan papan informasi bahaya bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai di wilayah yang memiliki tingkat ancaman dan risiko

bencana tinggi termasuk papan informasi peringatan dini tanda-tanda

datangnya bencana.

- Pemasangan berita pada media cetak dan elektronik mengenai

bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai yang mengancam

wilayah pesisir kota Makassar dan berbahaya bagi nelayan yang

melakukan aktivitas penangkapan di perairan kota Makassar.

- Pemerintah kota makassar dalam hal ini badan penanggulangan

bencana kota Makassar dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi

untuk melakukan kajian-kajian kebencanaan khususnya bencana

gelombang ekstrim dan abrasi pantai.

2. Strategi preventif untuk risiko bencana kategori rendah

langkah pencegahan (preventif) dapat dilakukan untuk menghadapi

bencana, sekalipun risiko bencana yang didapatkan termasuk kategori

109

rendah. Pencegahan bencana dapat dilakukan dengan mempertahankan

faktor peredam ancaman bencana yaitu:

a. Peningkatan kualitas lingkungan pesisir dengan menjaga dan

memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah ada, dan merencanakan

pembangunan masyarakat yang mengedepankan adaptasi. Perbaikan

ekosistem pesisir dapat dilakukan melalui rehabilitasi ekosistem.

Kegiatan rehabilitasi ekosistem dapat dilakukan dengan membangun

kerjasama antara pemerintah Kota Makassar dan perguruan tinggi yang

memiliki disiplin ilmu tentang hutan mangrove. Wilayah pesisir

kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea dan kecamatan Tallo

dapat dijadikan sebagai laboratorium lapangan untuk mengkaji tentang

ekologi ekosistem mangrove dan mengkaji bencana yang terjadi di

wilayah pesisir.

b. Penegakan peraturan terkait perlindungan ekosistem pesisir, dapat

dilakukan dengan penetapan luasan sabuk hijau (ekosistem Mangrove)

di wilayah pesisir oleh pemerintah kota Makassar. Penegakan peraturan

ini perlu melibatkan masyarakat sebagai perpanjangan tangan

pemerintah untuk menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove,

termasuk mempertahankan dan menjaga luasan sabuk hijau (green

belt) dari oknum individu yang ingin merusak ekosistem mangrove.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian kajian risiko bencana gelombang

ekstrim dan abrasi pantai berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana nomor 1 dan nomor 2 tahun 2012 ini adalah

sebagai berikut:

1. Tingkat ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

kategori tinggi terdapat di pesisir kecamatan Tamalate; kategori sedang

terdapat di kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Tanah, dan kecamatan

Tallo, sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,

kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung pandang dan Kecamatan

Mariso.

2. Tingkat kerentanan wilayah pesisir kota Makassar yang memiliki

kategori tinggi terdapat di kecamatan Mariso; kategori sedang terdapat

di kecamatan Tallo, kecamatan Ujung Tanah, kecamatan Wajo, dan

kecamatan Ujung Pandang, sedangkan kategori rendah terdapat di

kecamatan Biringkanaya, kecamatan Tamalanrea, kecamatan Wajo dan

kecamatan Tamalate.

111

3. Tingkat kapasitas wilayah pesisir kota Makassar yang memiliki kategori

rendah terdapat di kecamatan Tamalate, sedangkan kecamatan lainnya

termasuk dalam kategori sedang.

4. Risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai kategori tinggi

terdapat di kecamatan Tamalate; kategori sedang terdapat di

kecamatan Wajo, kecamatan Ujung Tanah dan kecamatan Tallo,

sedangkan kategori rendah terdapat di kecamatan Biringkanaya,

kecamatan Tamalanrea, kecamatan Ujung Pandang, dan kecamatan

Mariso.

5. Strategi pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi

pantai kategori sedang dan tinggi, berupa perbaikan stabilitas pantai

melalui pembangunan fisik pemecah gelombang dan menanam

vegetasi pantai yang sesuai, sedangkan kategori risiko rendah dapat

melakukan upaya preventif berupa peningkatan kualitas lingkungan

pesisir dan penegakan aturan terkait perlindungan ekosistem pesisir.

B. Saran

Adapun saran yang berkembang berdasarkan hasil penelitian ini

adalah:

1. Untuk menerapkan rekomendasi yang tertulis dalam tesis ini, diperlukan

penelitian lebih lanjut dan lebih detail mengenai titik dan lokasi tingkat

ancaman bencana dan wilayah terdampak bencana gelombang ekstrim

dan abrasi pantai di wilayah pesisir kota Makassar.

112

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik mengkaji

tentang laju abrasi pantai dan transport sedimen yang terjadi di wilayah

pesisir kota Makassar.

3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pembangunan fisik

(struktural) penanggulangan abrasi yang sesuai dengan karateristik

masing-masing wilayah kecamatan pesisir kota Makassar.

4. Jika upaya penanggulangan bencana pada wilayah yang memiliki

tingkat risiko bencana tinggi sudah tidak dapat dilakukan melalui

perbaikan (rehabilitasi) ekosistem pesisir maka, kegiatan

penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai dapat

dilakukan melalui pembangunan fisik (struktural) peredam gelombang.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Taslim., Yulius dan M. Furqon Azis Ismail. 2012. Kondisi arus pasang surut di perairan Pesisir Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Depik Vol. 1, hal. 183-188.

Bando, AR. 2016. Kajian Strategis Pengelolaan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Utara Kota Makassar untuk Kepentingan Mitigasi Bencana Akibat Kenaikan Muka Air Laut. Universitas Brawijaya: Malang

Badan Pusat Statistik. 2016. Makassar dalam Angka. Kota Makassar

Dahuri, Rokhmin. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita: Jakarta

Diposaptono, Subandono. 2003. Mitigasi Bencana Alam di wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alami.Vol. 8 No. 2:1-8

Fajar. 23 desember. BMKG Minta Nelayan Tidak Melaut. 2016. Hal 1 dan 11

Fajri, F., Rifardi dan Afrizal Tanjung. 2012. Studi Abrasi Pantai Padang Kota Padang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 17,2 : 36-42

Hakim, A.B, dkk. 2012. Efektifitas Penanggulangan Abrasi Menggunakan Bangunan Pantai di Pesisir Kota Semarang. Universitas Diponegoro: Semarang

Hall, Anthony dan Midgley, James. 2004. Social Policy For Development. Sage Publications ltd: London

Hermon, Dedi. 2014. Geografi Bencana Alam. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta

Hidayat, Arief. 2012. Analisis Pengembangan Kawasan Pesisir Berbasis Mitigasi Sea Level Rise (Kenaikan Muka Air Laut) Studi Kasus Kawasan Lama Kota Makassar. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia. Vol. 1 No. 1: 87-100

Hotden, Khairijon dan Mayta Novaliza Isda. 2014. Analisis Vegetasi Mangrove di Ekosistem Mangrove Desa Tapian Nauli I Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. JOM FMIPA Volume 1 No.2

114

Huda, Nurul. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Wilayah Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Universitas Diponegoro: Semarang

Hutabarat, S dan Stewart M. Evans. 2014. Pengantar Oseanografi. UI Press: Jakarta

Istijono, B. 2013. Tinjauan Lingkungan dan Penanggulangan Abrasi Pantai Padang-Sumatra Barat. Jurnal rekayasa Sipil, 9: 42-49

Jaswadi, R. Rijanta dan Pramono Hadi. 2012. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Risiko Banjir di Kecamatan Pasarkliwon Kota Surakarta. Majalah Geografi Indonesia Vol. 26 No. 1

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. 25% penduduk miskin tinggal dikawasan pesisir, (online). (http://www.kabarbisnis.com/read/2847678/25--penduduk-miskin-tinggal-di-kawasan-pesisir, diakses 17 Juni 2017).

Koddeng, Baharuddin. 2011. Zonasi Kawasan Pesisir Pantai Makassar Berbasis Mitigasi Bencana. Group Teknik Arsitektur. Vol. 5

Krisyanto, A, Armono H.D.,& Soemarno. 2013. Kemampuan Hutan Mangrove Rumpun Rhizophora SP dan Avicenia SP dalam Meredam Gelombang Laut. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 9: 173-178

Mahardy, A. Ikmal. 2014. Analisis dan Pemetaan Daerah Rawan Banjir di Kota Makassar berbasis Spatial. Jurusan Sipil FT Unhas : Makassar

Odum, EP., 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke III. Terjemahan Thahjo Samingan. Gadjah Mada Press: Yogyakarta

Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan Mangrove. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Sumatra Utara.

Pemerintah Kota Makassar. 2011. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah

Pesisir, Laut dan Pulau- Pulau Kecil Kota Makassar 2011-2030. Pemerintah Kota Makassar : Makassar

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 01 Tahun 2012 Tentang Indikator Ketangguhan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana : Jakarta

115

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana : Jakarta

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai

Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana. Vol. XXV, No.1 : 13-20

Pratiwi, D. Resti. 2011. Adaptasi Penataan Ruang Terhadap Risiko Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise) di Jakarta Utara. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 22, No.2 : 129-144

Prawiradisastra, Suryana. 2003. Permasalahan Abrasi di Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu. Alami. Vol.8 No.2 : 42-46

Rabung, F. 2012. Pola Angin Pembangkit Gelombang Yang Berpengaruh Atas Morfologi dan Bangunan Pantai di Sekitar Makassar. ResearchGate. Universitas Hasanuddin: Makassar

Rauf. S. 2012. Pemetaan Drainase Berbasis Quantum Gis Open Source di Kota Makassar. Jurnal Teknik Sipil Unhas. Vol. 6

Ristianto. 2011. Kerentanan Wilayah Pesisir Terhadap Kenaikan Muka Laut (Studi Kasus Wilayah Pesisir Utara Jawa Barat). Universitas Indonesia: Depok

Rosyidie, Arief. 2006. Dampak Bencana Terhadap Wilayah Pesisir : Belajar dari Tsunami Aceh. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol 17 No.3 :63-81

Saru, Amran. 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau di Wilayah Pesisir. Masagena Press: Makassar

Solihuddin, Tb. 2006. Karakteristik Pantai dan Potensi Bencana Geologi Daerah Bilungala, Gorontalo. Jurnal Segara. Vol. 2 Nomor 1

Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Taufiqurohman, A. 2014. Pemodelan Tinggi Gelombang Akibat adanya Hutan Mangrove di Desa Mayangan, Kabupaten Subang. Jurnal Akuatika, V:1-7

116

Taylor, John, Omar saracho dan Ahmad Rifai. 2013. Kajian Kerentanan Perubahan Iklim Kota Makassar. UNDP Indonesia : Jakarta

Tejakusuma, Iwan.G. 2011. Pengkajian Kerentanan Fisik Untuk Pengembangan Pesisir Wilayah Kota Makassar. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol. 13. No.2:82-87

Triatmodjo, Bambang. 2012. Perencanaan Bangunan Pantai. Beta Offset Yogyakarta:Yogyakarta

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan

Undang-Undang No. 01 Tahun 2011 Tentang Pemukiman penduduk

Umar. 2011. Kajian Pengaruh Gelombang Terhadap Kerusakan Pantai Matang Danau, Kabupaten Sambas. Jurnal Teknik Sipil UNTAN, 11:93-102

Wacano, Dhandhun. dkk. 2013. Adaptasi Masyarakat Pesisir Kabupaten Demak dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Bencana Wilayah Kepesisiran. Kanisius: Yogyakarta

Yustiningrum, Emilia RR. dkk. 2016. Bencana Alam, Kerentanan dan Kebijakan di Indonesia. Calpulis :Yogyakarta

LAMPIRAN

118

Lampiran 1. Form penilaian kapasitas untuk jenis bencana gelombang ekstrim dan

abrasi pantai kota Makassar

Kelurahan :

Kecamatan :

Tanggal Penilaian :

No. Kategori Indikator Indeks Kapasitas Nilai

( 1, 2, 3)

1. Regulasi

Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan bencana

1 Belum ada aturan Kelembagaan PB

2 Sudah menjadi draft Kebijakan

3 Aturan dan kelembagaan PB sudah disahkan

Penyusunan Kajian dan Dokumen Risiko bencana

1 Belum ada kajian dan dokumen risiko bencana

2 Sudah ada draft kajian risiko bencana

3 Adanya dokumen kajian risiko bencana yang telah disahkan

2.

Penyelenggaraan Penanggulangan bencana

Pembangunan sistim peringatan dini bencana

1 Belum ada sistim peringatan dini yang dibangun

2 Ada perencanaan pembangunan sistim peringatan dini bencana

3 Ada sistem peringatan dini yang digunakan untuk PB

Pembangunan Mitigasi struktral dan Non struktural

1 Ada rencana pembangunan mitigasi bencana

2 Ada pembangunan mitigasi struktural dan non strukural

3

Ada pembangunan mitigasi structural dan non structural yang berkonsep pengurangan risiko bencana gelombang, abrasi

3. Kesiapsiagaan Pendidikan dan Pelatihan kebencanaan

1 Belum ada pelatihan untuk pemerintah kecamatan dan warga

2

Aparat pemerintah dan warga kelurahan mulai mengikuti pelatihan PB gelombang ekstrim dan abrasi pantai

3

Ada praktek simulasi bencana, penggunaan peralatan, dan logistik untuk Penanggulangan bencana gelombang ekstrim dan abrasi Pantai

Total

119

Lampiran 2. Data bangunan pemukiman kelurahan pesisir kota Makassar

Sumber : PU Kota Makassar, 2015

No. Kecamatan Kelurahan Bangunan

(Unit)

1. Kec. Ujung Tanah Kel. Totaka 462

2. Kec. Ujung TanaH Kel. Ujung Tanah 195

3. Kec. Ujung Tanah Kel. Tamalabba 540

4. Kec. Ujung Tanah Kel. Gusung 704

5. Kec. Ujung Tanah Kel. Cambaya 1265

3166

6. Kec. Wajo Kel. Mampu 517

7. Kec. Wajo Kel. Melayu Baru 691

8. Kec. Wajo Kel. Butung 534

9. Kec. Wajo Kel. Pattunuang 701

10. Kec. Wajo Kel. Ende 713

3156

11. Kec. Tallo Kel. Tallo 1499

12. Kec. Tallo Kel. Buloa 1133

13. Kec. Tallo Kel. Kaluku Bodoa 3674

6306

14. Kec. Ujung Pandang Kel. Bulogading 447

15. Kec. Ujung Pandang Kel. Maloku 448

16. Kec. Ujung Pandang Kel. Losari 424

1319

17. Kec. Mariso Kel. Panambungan 1931

18. Kec. Tamalate Kel. Barombong 3762

19. Kec. Tamalate Kel. Maccini Sombala 3177

24. Kec. Tamalate Kel. Tanjung Merdeka 3189

10128

20. Kec. Tamalanrea Kel. Bira 2203

22. Kec. Tamalanrea Kel. Parangloe 1938

4141

23. Kec. Biringkanaya Kel. Untia 401

120

Lampiran 3. Peta geologi dan jenis tanah kota Makassar

Sumber : Bappeda Kota Makassar dan Olah Data Sekunder,2016

121

Lampiran 4. Data arus wilayah pesisir kota Makassar

Sumber : data primer, 2016

No Kecamatan Kelurahan Kecepatan Arus

(m/s)

1

Kec. Ujung Tanah

Kel. Totaka 0,07

2 Kel. Ujung Tanah 0,07

3 Kel. Tamalabba 0,07

4 Kel. Gusung 0,03

5 Kel. Cambaya 0,03

6

Kec. Wajo

Kel. Mampu 0,08

7 Kel. Melayu Baru 0,08

8 Kel. Butung 0,07

9 Kel. Pattunuang 0,07

10 Kel. Ende 0,07

11 Kec. Tallo

Kel. Tallo 0,03

12 Kel. Buloa 0,03

13 Kel. Kaluku Bodoa 0,07

14 Kec. Ujung Pandang

Kel. Bulogading 0,05

15 Kel. Maloku 0,05

16 Kel. Losari 0,05

17 Kec. Mariso Kel. Panambungan 0,05

18

Kec. Tamalate

Kel. Barombong 0,08

19 Kel. Maccini Sombala

0,05

20 Kel. Tanjung Merdeka

0,13

21 Kec. Tamalanrea

Kel. Bira 0,03

22 Kel. Parangloe 0,03

23 Kec. Biringkanaya Kel. Untia 0,03

122

Lampiran 5. Data penduduk wilayah pesisir kota Makassar

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Makassar, 2016

Kelurahan Luas

Wilayah (Km2)

Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Jumlah Kepala

Keluarga (KK)

Jumlah Kepala Keluarga

Prasejahtera (KK)

Kel. Totaka 0,25 2972 708 70

Kel. Ujung Tanah 0,26 1081 304 15

Kel. Tamalabba 0,2 2994 735 25

Kel. Gusung 0,15 3140 476 61

Kel. Cambaya 0,1 6830 1406 142

Kel. Mampu 0,22 3296 733 93

Kel. Melayu Baru 0,22 3362 726 62

Kel. Butung 0,19 2416 533 65

Kel. Pattunuang 0,56 3176 728 35

Kel. Ende 0,24 3240 723 78

Kel. Tallo 0,55 8226 1825 720

Kel. Buloa 0,92 8032 1837 740

Kel. Kaluku Bodoa 1,5 22585 4586 1244

Kel. Bulogading 0,38 2751 619 35

Kel. Maloku 0,2 2498 591 50

Kel. Losari 0,25 2091 372 10

Kel. Panambungan 0,71 12136 2913 744

Kel. Barombong 8,31 12771 2977 235

Kel. Maccini Sombala

3,44 21727 4964 1447

Kel. Bira 8,67 11651 2737 306

Kel. Parangloe 10,63 6727 2354 349

Kel. Untia 2,93 2367 494 23

Kel. Tanjung Merdeka

4,39 10981 2104 125

123

Lampiran 6. Kelompok rentan wilayah pesisir kota Makassar

Sumber : Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2015

No Kecamatan Kelurahan Difabel Lansia Total

1 Kec. Ujung Tanah Kel. Totaka 2 512 514

2 Kec. Ujung Tanah Kel. Ujung Tanah 7 159 166

3 Kec. Ujung Tanah Kel. Tamalabba 9 452 461

4 Kec. Ujung Tanah Kel. Gusung 2 573 575

5 Kec. Ujung Tanah Kel. Cambaya 16 615 631

6 Kec. Wajo Kel. Mampu 1 567 568

7 Kec. Wajo Kel. Melayu Baru 12 552 564

8 Kec. Wajo Kel. Butung 9 521 530

9 Kec. Wajo Kel. Pattunuang 6 570 576

10 Kec. Wajo Kel. Ende 1 534 535

11 Kec. Tallo Kel. Tallo 3 3043 3046

12 Kec. Tallo Kel. Buloa 2 1773 1775

13 Kec. Tallo Kel. Kaluku Bodoa 13 5478 5491

14 Kec. Ujung Pandang Kel. Bulogading 3 695 698

15 Kec. Ujung Pandang Kel. Maloku 2 613 615

16 Kec. Ujung Pandang Kel. Losari 1 534 535

17 Kec. Mariso Kel. Panambungan 3 1552 1555

18 Kec. Tamalate Kel. Barombong 11 919 930

19 Kec. Tamalate Kel. Maccini Sombala 26 2355 2381

20 Kec. Tamalate Kel. Tanjung Merdeka 14 4256 4270

21 Kec. Tamalanrea Kel. Bira 8 1344 1352

22 Kec. Tamalanrea Kel. Parangloe 9 1381 1390

23 Kec. Biringkanaya Kel. Untia 12 547 559

124

Lampiran 7. Lokasi stasiun pengambilan data ekosistem mangrove

125

Lampiran 8. Kepala keluarga nelayan wilayah pesisir kota Makassar

Sumber: BPS Kota Makassar, 2016 dan dinas Perikanan , 2016

No Kecamatan Kelurahan Jumlah Kepala

Keluarga Nelayan

1 Ujung Tanah Kel. Totaka 1

2 Ujung Tanah Kel. Gusung 13

3 Ujung Tanah Kel. Cambaya 528

4 Tallo Kel. Tallo 212

5 Tallo Kel. Buloa 152

6 Ujung Pandang Kel. Kaluku Bodoa 58

7 Ujung Pandang Kel. Losari 1

8 Mariso Kel. Panambungan 137

9 Tamalate Kel. Barombong 331

10 Tamalate Kel. Maccini Sombala 177

11 Tamalanrea Kel. Bira 73

12 Tamalanrea Kel. Parangloe 143

13 Biringkanaya Kel. Untia 117

14 Tamalate Kel. Tanjung Merdeka 66

126

Lampiran 9. Tabel analisis data ancaman bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai

No Kecamatan Kerapatan Mangrove

Skor Indeks

Bobot Nilai (H4)

Bentuk Garis Pantai

Skor Indek

s Bobot Nilai (H5) HTotal

1 Biringkanaya 39,5 1 0,15 0,15 lurus 3 0,15 0,45 1,60

2 Tamalanrea 29,14 1 0,15 0,15 lurus, berteluk 2 0,15 0,3 1,45

3 Tallo 8,5 2 0,15 0,3 lurus, Berteluk 2 0,15 0,3 1,7

4 Ujung Tanah 0,0 3 0,15 0,45 lurus, berteluk 2 0,15 0,3 1,85

5 Wajo 0,00 3 0,15 0,45 lurus 3 0,15 0,45 2,2

6 Ujung Pandang 0,00 3 0,15 0,45 lurus, berteluk 2 0,15 0,3 1,45

7 Mariso 0,00 3 0,15 0,45 berteluk 1 0,15 0,15 1,3

8 Tamalate 0,00 3 0,15 0,45 lurus 3 0,15 0,45 3

No Kecamatan Tinggi

Gelombang

Skor Indeks

Bobot Nilai (H1)

Kecepatan Arus

Skor Indeks

Bobot Nilai (H2)

Karakteristik Pantai Skor

Indeks Bobot

Nilai (H3)

1 Biringkanaya 1.69 2 0,3 0,6 0.03 1 0,3 0,3 Lumpur, berpasir ditumbuhi mangrove

1 0,1 0,1

2 Tamalanrea 1.68 2 0,3 0,6

0.03 1 0,3 0,3 Lumpur,berpasir ditumbuhi mangrove

1 0,1 0,1

3 Tallo 1.67 2 0,3 0,6 0.03 1 0,3 0,3 berlumpur ditutupi susunan batu 2 0,1 0,2

4 Ujung Tanah 1.66 2 0,3 0,6 0.05 1 0,3 0,3 berpasir, Ditutupi bangunan pantai 2 0,1 0,2

5 Wajo 1.68 2 0,3 0,6 0.07 2 0,3 0,6 berpasir ditutupi bangunan pantai 1 0,1 0,1

6 Ujung Pandang 0.54 1 0,3 0,3 0.05 1 0,3 0,3 berpasir ditutupi bangunan pantai 1 0,1 0,1

7 Mariso 0.35 1 0,3 0,3 0.03 1 0,3 0,3 berpasir ditutupi bangunan pantai 1 0,1 0,1

8 Tamalate 2.1 3 0,3 0,9 0.13 3 0,3 0,9 berpasir terbuka 3 0,1 0,3

127

Lampiran 10. Contoh analisis data dan compilasi data penelitian

Contoh : analisis data ancaman bencana Gelombang ekstrim dan Abrasi Pantai untuk satu lokasi kecamatan

H1 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)

= 2 x 30 % = 2 x 0,3 = 0,6 ……………………………………………………. (1)

H2 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)

= 1 x 30 % = 1 x 0,3 = 0,3 ……………………………………………………. (2)

H3 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)

= 1 x 10 = 1 x 0,1 = 0,1 ..………………………………………………….. (3)

H4 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)

= 1 x 15 % = 1 x 0,15 = 0,15 …………………………………………….. (4)

H5 Biringkanaya = Nilai Kelas Parameter (S) x Bobot Indikator (B)

= 3 x 15 % = 3 x 0,15 = 0,45 ……………………………………………. (5)

HTotal = H 1 + H2 + H3 + H4+ H5

= 0,6 + 0,3 + 0,1 + 0,15 + 0,45 = 1,60 ……………………………………. (6)

128

Lampiran 11. Analisis data parameter kerentanan wilayah pesisir

No Kecamatan Kepadatan bangunan

Nilai skor

indeks Bobot

Nilai (V4)

Luas Mangrove

Nilai Skor Indeks

Bobot Nilai (V5)

Persentase Nelayan

Nilai skor

Indeks Bobot Nilai

(V6) V Total

1 Biringkanaya 137 1 0,1 0,1 10,93 1 0,15 0,15 19.64 3 0,3 0,9 1,6

2 Tamalanrea 215 1 0,1 0,1 37,19 1 0,15 0,15 3.14 1 0,1 0,1 1,0

3 Tallo 2123 2 0,2 0,4 3,55 2 0,3 0,6 8.4 1 0,1 0,1 2,25

4 Ujung Tanah 3298 3 0,3 0,9 0,00 3 0,45 1,35 14.94 2 0,2 0,4 2,2

5 Wajo 2207 2 0,2 0,4 0,00 3 0,45 1,35 0 0 0 0 1,8

6 Ujung Pandang

1589 2 0,2 0,4 0,00 3 0,45 1,35 26.99 3 0,3 0,9 2,0

7 Mariso 2720 3 0,3 0,9 0,00 3 0,45 1,35 11.02 2 0,2 0,4 2,35

8 Tamalate 628 1 0,1 0,1 0,00 3 0,45 1,35 6.95 1 0,1 0,1 1,65

No Kecamatan Kepadatan Penduduk

Skor Indeks

Bobot Nilai (V1)

Persentase kelompok

rentan Skor

indeks Bobot Nilai

(V2) Persentase KK Miskin

skor indeks

Bobot Nilai (V3)

1 Biringkanaya 807 1 0,3 0,3 23.62 3 0,6 1,8 4.66 1 0,15 0,15

2 Tamalanrea 952 1 0,3 0,3 14.92 1 0,2 0,2 12.87 1 0,15 0,15

3 Tallo 13078 2 0,6 1,2 26.54 3 0,6 1,8 32.78 3 0,45 1,35

4 Ujung Tanah 17726 3 0,9 2,7 13.79 1 0,2 0,2 8.35 1 0,15 0,15

5 Wajo 12487 2 0,6 1,2 18.66 2 0,4 0,8 9.04 1 0,15 0,15

6 Ujung Pandang

8772 1 0,3 0,3 25.38 3 0,6 1,8 6.01 1 0,15 0,15

7 Mariso 17092 3 0,9 2,7 12.81 1 0,2 0,2 25.54 2 0,3 0,6

8 Tamalate 2817 1 0,3 0,3 16.77 2 0,4 0,8 17.99 2 0,3 0,6

129

Lampiran 12. Analisis data parameter kapasitas/ ketangguhan wilayah pesisir

No Kecamatan

Peraturan dan Lembaga

Penanggulangan Bencana

Skor Indeks

Bobot Nilai (C1)

Dokumen KRB gelombang ekstrim

dan abrasi

Skor Indeks

Bobot Nilai (C2)

EWS Skor

Indeks Bobot

Nilai (C3)

1 Biringkanaya

Perwali No. 2 Tahun 2010 Tentang

Pembentukan BPBD

3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

2 Tamalanrea 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

3 Tallo 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

4 Ujung Tanah 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

5 Wajo 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

6 Ujung Pandang 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

7 Mariso 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

8 Tamalate 3 0,75 2,25 Dalam perencanaan 1 0,2 0,2 belum ada 1 0,1 0,1

No Kecamatan Kegiatan Mitigasi Skor

Indeks Bobot

Nilai (C4)

Pelatihan dan Pendidikan Kebencanaan

Skor Indeks

Bobot Nilai (C5)

Ctotal

1 Biringkanaya ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8

2 Tamalanrea ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8

3 Tallo ada, kegiatan 2 0,6 1,2 pernah 2 0,15 0,3 1,8

4 Ujung Tanah ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8

5 Wajo ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8

6 Ujung Pandang ada, kegiatan 2 0,6 1,2 pernah 2 0,15 0,3 1,8

7 Mariso ada, kegiatan 2 0,6 1,2 belum pernah 1 0,15 0,15 1,8

8 Tamalate Perencanaan 1 0,3 0,3 belum pernah 1 0,15 0,15 1,5

130

Lampiran 13. Dokumentasi penelitian

Survei Lapangan bersama nelayan kel. Buloa

Pengambilan data kecepatan arus

Pengukuran tinggi gelombang

131

Lampiran 14. Karakteristik wilayah pesisir kota Makassar

Aktivitas kapal di pesisir kelurahan Gusung

Mitigasi abrasi di kel. Kaluku Bodoa

Kawasan Mangrove di Kecamatan Tallo

132

Dinding pantai di kecamatan Ujung Pandang

Dinding pantai di kecamatan Ujung Tanah

Dinding pantai di kecamatan Wajo

133

Pesisir kel. Tanjung Merdeka kecamatan Tamalate

Pesisir kel. Maccini sombala kecamatan Tamalate

Aktivitas pelabuhan di kecamatan Wajo

134

Lampiran 15. Fenomena abrasi di pantai Tanjung Bayang, kecamatan Tamalate

Bangunan yang rusak oleh abrasi

Tugu layar putih yang telah berada dilaut karena abrasi

Vegetasi yang rusak karena abrasi