Paguyuban Sumarah

23
PAGUYUBAN SUMARAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Agama Lokal 1 Disusun oleh: Anan Bahrul Khoir (1121020005) JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2014 ANAN BAHRUL KHOIR

Transcript of Paguyuban Sumarah

PAGUYUBAN SUMARAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Studi Agama Lokal 1

Disusun oleh:

Anan Bahrul Khoir (1121020005)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2014

ANAN BAHRUL

KHOIR

i

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,

Puji Tuhan Penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga Penyusun dapat menyelesaikan

makalah ini sesuai dengan waktunya. Tidak lupa, semoga salam dan pujian tetap

tercurahkan kepada Nabi Kita, beserta keluarganya, para sahabatnya, hingga

umatnya sampai akhir jaman nanti.

Penyusun ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun tidak dapat

menyebutkan-nya satu persatu, oleh karena keterbatasan waktu dan tempat.

Juga, Penyusun merasa bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, Penyusun memohon kritik dan saran membangun supaya dapat

memperbaiki kekurangan dari makalah ini.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya untuk

Penyusun dan masyarakat pada umumnya.

Bandung, 21 Mei 2014

Penyusun

Anan Bahrul Khoir

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 2

1.3. Tujuan Masalah .................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 3

2.1. Sejarah Paguyuban Sumarah .............................................. 3

2.2. Ajaran Paguyuban Sumarah ............................................... 5

BAB III PENUTUP ................................................................................... 18

3.1. Kesimpulan ......................................................................... 18

3.2. Saran ................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Ilmu kebatinan seyogyanya mendapatkan tempat di panggung negara

Indonesia. Ia bukanlah ajaran sesat suatu agama, pun bukan aliran yang berusaha

untuk merusak agama tertentu. Sebelum kedatangan agama “import” telah ada

beberapa kepercayaan-kepercayaan sebelumnya, Sunda Wiwitan misalnya.

Mereka telah hidup dan menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia. Namun

permasalahnnya adalah mereka hidup telah ada sebelum kedatangan agama-

agama yang diakui sekarang, tapi mereka tidak diakui resmi oleh negaranya.1

Sekitar tahun 70-an muncul perdebatan antar tokoh agama mengenai aliran

kepercayaan atau aliran kebatinan di Indonesia. Agama Islam dan Kristen

menolak aliran kepercayaan karena dianggap sebagai sarang persembunyian PKI

yang pada masa itu sedang dibubarkan oleh pemerintah. Pada tahun 1973, aliran

kepercayaan kembali diperbincangkan ketika membahas masalah pernikahan.

Islam konsisten menolak pernikahan dengan cara-cara aliran kepercayaan tertentu.

Beberapa tahun kemudian, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan

dengan memberikan izin kepada aliran kepercayaan untuk menikah berdasarkan

cara-caranya di kantor catatan sipil. Hingga akhirnya mereka mulai mendapat

tempat di dalam negara.2

1 Wikipedia, “Agama Asli Nusantara”, Wikipedia: Ensiklopedia Bebas,http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara, diakses pada tanggal 27 Mei 2014, pukul16.12.

2 Dewan Asatidz, “Tentang Aliran Kepercayaan”, PesantrenVirtual.com,http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&catid=1:tanya-jawab&id=515:tentang-aliran-kepercayaan, diakses pada tanggal 27 Mei 2014, pukul 16.18.

2

Aliran kebatinan berbeda dengan ilmu perdukunan atau klenik. Hal ini

seperti dinyatakan oleh mantan Presiden Soeharto dalam otobiografinya,

“Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,” Soeharto mengakui bahwa ia

mempelajari ilmu kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurutnya,

ilmu kebatinan bukanlah klenik. Ilmu klenik adalah ilmu kanuragan, ilmu untuk

mencari kesempurnaan hidup, tetapi batinnya bukan didekatkan pada Tuhan,

melainkan hanya kandel tipising kulit.3

1.2. Rumusan Masalah

a. Apa itu Paguyuban Sumarah?

b. Bagaimana Sejarah Paguyuban Sumarah?

c. Bagaimanakah ajaran dari Paguyuban Sumarah?

1.3. Tujuan Masalah

a. Untuk mengetahui mengenai Paguyuban Sumarah

b. Untuk mengetahui sejarah Paguyuban Sumarah

c. Untuk mengetahui ajaran dari Paguyuban Sumarah

3 Detickom Files, Hari-hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser 1998-2008, (Jakarta:Mediakita, 2008), hlm. vi.

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Paguyuban Sumarah

Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh Dokter

Soerono Prodjohoesodo, yang sejak itu hingga tahun 1972 menjabat sebagai ketua

umumnya. Tetapi ajaran Sumarah, yaitu ilmu Sumarah, sudah diwahyukan pada

tahun 1935 kepada R. Ng. Soekinohartono, seorang pegawai Kesultanan

Yogyakarta. Pada waktu itu, demikian menurut kisahnya, bangsa Indonesia

bergolak menuntuk perbaikan nasib, yaitu menuntuk dibentuknya suatu parlemen

yang sungguh-sugguh. R. Ng. Soekirnohartono turut prihatin memikirkan nasib

bangsa Indonesia. dengan jalan tirakat (bertarak) beliau mohon kepada Tuhan agar

bangsa Indonesia selekas mungkin mendapat kemerdekaan. Pada suatu malam,

beliau menerima ilham supaya menyebarkan ilmu Sumarah kepada umat manusia.

Mula-mula beliau menolak, akan tetapi setelah beliau mendapat penjelasan bahwa

beliau hanya akan bertindak sebagai corong belaka, diterimalah perintah ilham itu,

dengan syarat “kemerdekaan Indonesia” sebagai upahnya. Syarat tersebut

disanggupkan oleh Tuhan Yang Mahaesa, sekalipun baru 10 tahun kemudian

“kemerdekaan” itu benar-benar diberikan kepada bangsa Indonesia.

Menurut Dokter Soerono, ilmu Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan yang

dengan jalan sujud Sumarah (menyerahkan diri) mempelajari sampai tercapai

bersatunya jiwa dengan Dzat Yang Mahaesa.4

Selanjutnya dikemukakan bahwa ilmu sumarat itu diajarkan menurut sistem

pamong (pengasuhan), bukan menurut sistem paguron (perguruan) seperti pada

zaman dulu. Menurut Dokter Soerono, pengajaran disesuaikan dengan keadaan

4 Dr. Soerono Prodjohoesodo, Paguyuban Sumarah, Ceramah pada Pancawarsa ke-3,Yogyakarta, 1965, hlm. 24.

4

zaman, artinya ajaran itu diajarkan bertingkat seperti Perguruan Tinggi, yaitu

tingkat persiapan (pemagang) tingkat I, II, III, IV, dan V. Mereka yang sudah

mencapai tingkat V mendapat gelar sarjana muda, sedang yang lulus dari tingkat

V mendapat gelar doktorandus dalam ilmu Sumarah.5

Menurut anggaran dasarnya, tujuan Paguyuban Sumarah adalah mencapai

ketenteraman lahir batin, dengan usaha: a) memberi tuntunan kepada anggotanya

untuk melaksanakan “sesanggeman” (tugas, kesanggupan); b) ikut serta

menegakkan negara menuju dunia yang damai; c) membimbing keutamaan

kehidupan lahir anggotanya dalam masyarakat.6

Semua pertemuan paguyuban Sumarah hampir seluruhnya terdiri dari

meditasi (merenung). Ada pertemuan yang diadakan bagi umum, artinya baik

anggota maupun tidak dan ada pertemuan yang hanya untuk para anggota saja.

Pokok ajaran paguyuban Sumarah adalah sujud. Di kalangan ini diterangkan

sebagai “persekutuan dengan Tuhan.” Orang harus melatih diri untuk bersujud

hingga mencapai sujud Sumarah, yaitu persekutuan dengan Tuhan dengan cara

menyerah. Orang dikatakan “usdah mencapai sujudu Sumarah,” jika ia berhasil

mempersatukan angan-angan, rasa, dan budi (nur , urip, yakni hidup).7

Sebelum orang dapat diterima sebagai mahasiswa, ia harus diuji terlebih

dulu. Kepadanya dibacakan “akta kesanggupan,” yang disebut sesanggeman, dan

terdiri dari 9 pasal, yaitu: 1) kepercayaan kepada Allah dan nabi-nya serta kitab-

kitab-nya; 2) kesanggupan untuk senantiasa ingat kepada Allah, menjauhkan diri

dari rasa mengaku (menyatakan berhak atas segala sesuatu), kumingsun

(sombong), dan percaya pada kesunyatan dan sujud Sumarah kepada Allah; 3)

berusaha bagi kesehatan badan, ketenteraman hati dan kesucian roh, serta

pembangunan watak percakapan dan tindakan; 4) mempererat persaudaraan

berdasarkan kasih; 5) sanggup berusaha untuk mengembangkan kewajiban hidup

dalam masyarakat dan negara yang akan menghasilkan perdamaian dunia; 6)

sanggup bertindak benar, menaati undang-undang negara dan menghargai

sesamanya; 7) menjauhkan diri dari perbuatan jahat; 8) rajin berusaha meluaskan

5 Ibid., hlm. 24-25.6 Anggaran Dasar Paguyuban Sumarah, art. 2, 3.7 Paguyuban, hlm. 25.

5

pengetahuan lahir batin; 9) tidak fanatik, hanya percaya pada kesunyatan yang

berfaedah bagi masyarakat. Bila orang itu menyatakan kesanggupannya, segera

diadakan latihan sujud, yang diimami oleh pamong pemagang.

Latihan pertama terdiri dari “menenangkan pancaindra.” Jika kemenangan

sudah tercapai, orang dinaikkan ke tingkat I melalui sumpah, yaitu mengucapkan

sahadat pertama di bawah pimpinan mahasiswa tingkat V. Dengan demikian,

orang itu telah di-beat (dipelonco) dan diterima resmi menjadi mahasiswa.8 Dalam

latihan sujud pada tingkat V, diberikan juga kuliah oleh apa yang disebut

“warono,” yaitu pemimpin umum yang dianggappnya sebagai corong Tuhan Yang

Mahaesa. Yang memberikan kuliah tersebut adalah Dzat Yang Mahaesa sendiri,

sehingga Warono tidak mengetahui terlebih dulu apa yang akan dikuliahkan.

Semua kuliah itu biasanya mengenai wewarah (ajaran) yang berhubungan dengan

ilmu Sumarah.

Demikianlah, paguyuban Sumarah itu dipandang sebagai suatu tempat

latihan sujud. Hanya perlu diperhatikan bahwa sujud dalam paguyuban Sumarah

berarti “persekutuan dengan Allah.”

2.2. Ajaran Paguyuban Sumarah

1) Ajaran Sumarah tentang Tuhan

Sudah dikemukakan di atas bahwa paguyuban Sumarah termasuk

aliran kebatinan yang sederhana, suatu tempat latihan sujud atau

persekutuan dengan tuhan. Di dalamnya tidak ada ajaran yang panjang lebar

tentang Allah. Bahwa tuhan Allah ada, diterimanya tanpa mengadakan

pembicaraan tentang dia. Tuhan Allah disebut “tuhan yang mahaesa.” Di

tempat lain tuhan juga disebut “Dzat Yang Mahaesa,”9 yang tempat-nya di

dalam manusia diwakili oleh hidup (urip).10 Secara lisan dokter soerono

menerangkan bahwa jiwa manusia adalah pletikan (bunga api) dari tuhan

Allah. Keterangan lebih lanjut tentang tuhan tidak diberikan. Oleh karena itu,

ajaran tentang Allah ini lebih lanjut juga tidak akan kita bicarakan.

8 Ibid., hlm. 25, 26.9 Ibid., hlm. 34.10 Ibid., hlm. 30.

6

2) Ajaran Sumarah tentang manusia

Menurut Sumarah, manusia terdiri dari badan wadag (jasmani), badan

nafsu, dan jiwa atau roh.11

Badan wadag atau jasmani berasal dari substansi yang berasal dari

anasir: bumi, angin, air, dan api. Jika orang meninggal dunia, badan

wadagnya dikubur atau dibakar, sehingga dengan cara itu badan wadag tadi

dikembalikan kepada asalnya. 12 Badan wadag dilengkapi dengan

bermacam-macam alat, yaitu pancaindra, yang dikuasai oleh pemikir

(kecakapan berpikir). Pemikir ini hanya bersangkutan dengan segala perkara

duniawi, yaitu mencakapkan orang untuk mendapatkan segala macam

pengetahuan dan pengalaman hidup. Alat yang erat sekali hubungannya

dengan pemikir adalah angan-angan. Di dalam hidup sehari-hari, keduanya

yaitu pemikir dan angan-angan, bekerja sam secara erat sekali. Apa yang

ditangkap oleh pemikir diteruskan kepada angan-angan, untuk disimpan

dengan baik. Angan-angan juga menjadi alat untuk bersujud atau bersekutu

dengan tuhan Allah.

Badan nafsu berasal dari Allah dengan perantara iblis dan akan

dikembalikan kepada asalnya juga. Ada empat nafsu, yaitu mutma’inah,

sumber segala perbuatan yang baik dan sumber semangat mencari Allah,

ammarah, yaitu sumber kemarahan, suwiyyah sifat erotis dan lawwamah,

yaitu sifat mementingkan diri sendiri. Pusat segala nafsu ini disebut suksma,

yang harus dibedakan dari jiwa, yaitu jiwa manusia yang tak berjasad. Daya

pendorong atau pusat dari pemikir, angan-angan, nafsu dan suksma disebut

nyawa, yaitu jiwa yang psikologis yang juga harus dibedakan dari jiwa

sebagai bagian hidup manusia yang tak berjasad. Sebab jiwa yang tak

berjasad ini tidak tergolong badan wadag, tetapi termasuk alam gaib.

11 Ibid., hlm. 32.12 Bagi mereka yang sudah sempurna hidupnya, ada kemungkinan mengembalikan badan

wadagnya pada asalnya, tanpa dikubur atau dibakar, melainkan dengan menyerahkan badan itukepada Ilahi. Badan wadag itu akan lenyap begitu saja dari pandangan mata. Kematian yangdemikian disebut mati sampurna saragane.

7

Jiwa dan roh adalah bagian ketiga dari manusia, yang berasal dari roh

suci atau dari Allah, dan yang akan dikembalikan lagi kepada asalnya jika

orang dapat mati dengan sempurna. 13 Bagian manusia erat sekali

hubungannya dengan jiwa adalah rasa, yang harus dibedakan dari perasaan

sebagai alat pengindraan. Rasa ini terdapat di dalam sanubari, yang letaknya

kira-kira di dada dan yang termasuk dunia bayangan.14

Badan wadag dan badan nafsu termasuk dunia yang tampak ini, tetapi

jiwa dan rasa termasuk alam gaib, yang dianggap lebih luas daripada dunia

yang tampak ini, serta yang meliputi badan wadag dengan segala alat-

alatnya.15

Selain itu masih ada alam yang lebih luas lagi daripada alam gaib

tersebut, bahkan dapat dianggap sebagai alam yang terluas, yang meliputi

alam wadag dan alam gaib tadi, yaitu alam tempat qolbu (hati). Alam ini

juga alam bayangan, dan terletak kira-kira di dalam jantung.16 Di dalam

qolbu terdapat Masjidilkharom (Masjid al-Haram), atau masjid yang kudus,

tempat Baittullah atau rumah Allah. Di dalam Baitullah terdapat budi, nur

dan urip (hidup).17

Jika dirangkumkan, dapat dikatakan bahwa menurut paguyuban

Sumarah manusia dengan peralatannya yang jasmani dan yang rohani itu

ditempatkan pada tiga alam, yaitu:

a) Alam yang tampak ini, tempat badan wadag atau badan jasmani

dengan peralatannya yaitu pemikir, yang menguasai pancaindra,

angan-angan, yang memiliki dua fungsi, yaitu menyimpan dengan

baik apa yang diterimanya dari pemikir, dan menjadi alat bersujud

(bersekutu dengan Allah). Selanjutnya ada suksma, yang menguasai

segala nafsu dan nyawa, yang menjadi pendorong pemikir, angan-

angan dan suksma.

13 Paguyuban, hlm. 32.14 Ibid., hlm. 29.15 Ibid., hlm. 29.16 Ibid., hlm. 30.17 Ibid., hlm. 30.

8

b) Alam gaib, yang pada manusia kira-kira terdapat di dalam sanubari,

dan yang menaruh di dalamnya qolbu , masjidilkharom, baitullah,

budi, nur , dan urip.

c) Alam gaib yang lebih luas lagi, yang ada pada manusia kira-kira

terdapat di dalam jantung, dan yang menaruh di dalamnya qolbu ,

masjidilkharom, baitullah, budi, nur dan urip.

Di dalam hidup sehari-hari, keaktifan tubuh dengan segala

peralatannya dapat digambarkan sebagai sebuah negara dengan segala alat

pemerintahannya yang lengkap. Jiwa berfungsi sebagai kabinetnya. Dewan

perwakilan terdiri dari para pengikut malaikat jibrail dan ijajil. Jantung

berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Melalui pembuluh darah,

kantor pusat itu mempunyai hubungan dengan seluruh bagian negara. Otak

berfungsi sebagai kantor pusat telekomunikasi, sedang hati berfungsi

sebagai kantor distribusi. Perut berfungsi sebagai pabrik bagi segala macam

makanan dan lain sebagainya. Pada segala pembuluh darah dan bagiannya

ada lalu-lintas yang ramai sekali. Di situ terdapat banyak sel darah yang

berfungsi sebagai pegawai negeri dan sel darah putih yang berfungsi sebagai

angkatan bersenjata, polisi, dan lain sebagainya.18

Jiwa, sekalipun berfungsi sebagai kepala negara, tetapi tidak berkuasa

di dalam pemerintahanya, sebab ia hanya menjadi simbol, perdana

menterilah yang memegang kuasa, yaitu salah seorang dari keempat menteri

atau keempat nafsu itu. Jika umpamanya ammarah yang menjadi perdana

menteri, orang menjadi kejam, kasar dan pemarah. Sebaliknya, jika

mutma’inah yang menjadi perdana menteri, orang akan memiliki watak

yang baik. Bagi manusia pada umumnya, bentuk pemerintahan hidupnya

adalah kabinet parlementer.19 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di

dalam hidup sehari-hari manusia menjadi permainan hawa nafsunya. Ia

berada di dalam sengsara (samsara bagi orang Hindu).

18 Ibid., hlm. 33.19 Ibid., hlm. 34.

9

Segala nafsu itu mengakibatkan manusia terikat pada kelahiran

kembali (reinkarnasi). Kelahiran kembali ini diterangkan sebagai berikut:

jika orang mati, padahal ia tak mendapat kelepasan, jiwanya mengembara

sebagai roh yang dibebani oleh nafsunya. Sebagai roh ia tidak mungkin

dapat melepaskan diri dari nafsunya itu. Maka, roh yang mengembara

demikian itu senantiasa tertarik pada hidup duniawi. Seandainya roh yang

sedang mengembara itu menjumpai dua sejoli yang sedang berkasih-kasihan,

ia segera tertarik untuk masuk ke dalam kandungan wanita yang sedang

berkasih-kasihan itu, serta mencampurkan diri dengan persatuan sperma dan

sel telur kedua sejoli itu. Dengan cara demikian, orang dilahirkan kembali.20

Apa yang disebut “manusia pertama” adalah manusia yang adanya di

dunia bukan karena dilahirkan kembali. Adam dan hawa harus dipandang

bukan sebagai benar-benar manusia, sebab mereka adalah roh suci yang

berasal dari Dzat Yang Mahaesa, dan badan nafsu yang berasal dari iblis.

Keduanya berada di firdaus, yang menurut paguyuban Sumarah, harus

diartikan sebagai alam suci. 21 Godaan iblis dengan bentuk ular harus

ditafsirkan sebagai godaan badan nafsu kepada roh suci untuk bersekutu

dengannya. Ketika godaan itu berhasil, keduanya, yaitu adam dan hawa (roh

suci dan badan nafsu), harus meninggalkan alam suci dan masuk ke dalam

kandungan wanita yang sedang berkasih-kasihan. Adam dan hawa sesudah

diusir dari firdaus tahu bahwa mereka telanjang sebagai orang lelaki dan

perempuan, berarti bahwa baru sesudah bayi dilahirkan, orang dapat

mengetahui apakah bayi itu lelaki atau perempuan.22

Demikianlah, manusia itu berada di dalam sengsara. Tetapi paguyuban

Sumarah tidak memberi keterangan, apa sebab manusia berada di dalam

sengsara. Hal ini mengherankan sekali, sebab jiwa itu dipandang sebagai

berasal dari Dzat Yang Mutlak.

20 Ibid., hlm. 36.21 Ibid., hlm. 36.22 Ibid., hlm. 37.

10

Tentang urip (hidup) diterangkan bahwa urip itu mewakili Dzat Yang

Mutlak, dan bahwa urip itu satu.23 Selanjutnya diterangkan bahwa hidup

manusia adalah sama dengan hidup binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan

bahwa hidup adalah zat yang tertua yang ada. Hidup sudah ada sebelum

sesuatu yang lain ada. Hidup adalah unsur yang terpenting di dalam keadaan

suatu makhluk. Tetapi manusia bukan hanya memerlukan hidup saja, ia

memerlukan hal yang lain juga. Untuk dapat melangsungkan hidupnya

manusia perlu memiliki urip, nyawa, dan jiwa. Hidup sudah ada pada

sperma dan sel telur manusia. Tetapi nyawa berada segera sesudah sperma

dan sel telur bersatu di dalam persetubuhan. Sebagai pelengkap terakhir

ditambahkan lagi jiwa. Demikianlah pelangsungan hidup manusia.

Akhirnya, ajaran Sumarah tentang manusia dapat disimpulkan

demikian:

a) Oleh karena jiwa manusia dipandang sebagai roh suci yang berasal

dari Allah, dan sebagai pletikan (bunga api) dari Allah, maka agaknya

tidak jauh dari kebenaran, jika kita simpulkan, bahwa menurut

Sumarah, manusia adalah sehakikat dengan Allah.

b) Di dalam urip, Dzat Yang Mutlak atau Allah berada di dalam manusia

dan di dalam tiap makhluk yang hidup

c) Di dalam hidup sehari-hari manusia menjadi permainan nafsunya,

yang menjadikan dia ditaklukan pada kelahiran kembali. Penyebab

manusia menjadi permainan nafsunya mungkin terletak pada peristiwa,

bahwa roh suci, yang menjadi hakikat yang terdalam dari manusia,

tidak berhasil untuk menolak godaan nafsu, sehingga roh suci

bersekutu dengan nafsu.

3) Ajaran Sumarah tentang kelepasan

Sudah diterangkan di atas bahwa hidup manusia sehari-hari dapat

diumpamakan dengan sebuah negara yang diperintahkan dengan sistem

pemerintahan kabinet parlementer, di mana jiwa berfungsi hanya sebagai

simbol.

23 Ibid., hlm. 34, 35.

11

Dengan perantara sujud, yaitu persekutuan dengan Allah, paguyuban

Sumarah berusaha untuk mengubah sistem pemerintahan kabinet

parlementer itu menjadi sistem kabinet presidensiil. Dengan ini jiwa tidak

hanya berfungsi sebagai simbol saja, tetapi jiwa juga akan dapat menguasai

para nafsunya sedemikian rupa, hingga para nafsu itu sebagai menteri, tidak

akan dapat berbuat sesuka hati, tetapi akan tunduk kepada jiwa.

Alat terpenting untuk melakukan sujud adalah angan-angan. Agar

angan-angan dapat digunakan sebagai alat sujud, harus dipisahkan dari

pemikir, angan-angan itu harus diturunkan dari otak ke sanubari dan

dipusatkan di situ sedemikian rupa hingga angan-angan itu tak dapat lagi

dipakai untuk berpikir. Tindakan ini dapat dibantu dengan melakukan zikir,

yaitu mengajikan nama-nama Allah. Inilah tingkatan pertama dari sujud

yang disebut sujud raga (persekutuan dengan Allah melalui perantaraan

badan wadag). Disebut demikian karena angan-angan di sini mewakiliki

pancaindra atau badan wadag.

Tingkatan kedua dari sujud disebut sujud jiwa-raga. Pada tingkatan ini

angan-angan yang sudah dipisahkan dari pemikir, dan yang sudah

diturunkan ke sanubari tadi didekatkan kepada rasa, yang berada di dalam

dada, sehingga keduanya, angan-angan dan rasa, dapat melakukan sujud

berdampingan. Rasa di sini menjadi wakil jiwa. Itulah sebabnya maka taraf

sujud ini disebut sujud jiwa-raga. Taraf ini adalah kunci pertama bagi sujud

Sumarah (persekutuan dengan Allah melalui penyerahan diri). Tanpa

mengalami ini tak mungkin ada orang yang dapat mencapai tujuannya.

Jika taraf sujud ini sudah dilakukan untuk beberapa waktu, ada

kemungkinan bahwa orang menerima sabda tuhan (dawuh) secara hakiki,

yaitu suatu cetusan suara yang mendadat bagai petir. Jika orang sudah

mencapai taraf ini, orang harus berhati-hati sekali, sebab di sini ada bahaya

ditupu oleh iblis.

Jika taraf kedua dari sujud ini sudah diulangi setiap hari, di rumah

atau di kantor, pada waktu orang sedang bekerja, jadi bukan hanya jika

waktu latihan sujud, melainkan setiap saat, orang akan menjadi biasa

12

melakukan sujud itu. Dengan cara demikian, angan-angan menjadi satu

dengan rasa, sehingga tak akan kembali lagi kepada tempatnya semula. Jika

taraf ini tercapai, maka di dalam sanubari orang itu akan terdapat sujud yang

tetap. Inilah taraf ketiga, yang disebut tetap iman. Hal ini berarti bahwa

orang sudah dapat secara terus-menerus melakukan sujud tanpa berhenti

selama dua puluh empat jam. Pada taraf ini orang dapat menerima sabda

Allah tanpa batas waktu, tempat dan keadaan.

Untuk dapat mengerti akan keterangan ini orang harus senantiasa

ingat bahwa sujud bagi paguyuban Sumarah bukanlah upacara berbakti

kepada tuhan, melainkan “persekutuan dengan Tuhan.” Bersujud selama 24

jam berarti terus-menerus di dalam keadaan bersekutu dengan tuhan. Pada

suatu pertemuan umum diterangkan bahwa hal sujud itu sama dengan hal

orang naik sepeda. Jika orang baru mulai belajar naik sepeda, orang harus

memperhatikan segala gerak badan, kaki serta tangannya, sehingga tidak

ada waktu baginya untuk memperhatikan hal yang lain. Tetapi jika orang

sudah pandai naik sepeda, orang tidak lagi harus memusatkan perhatiannya

pada gerak seluruh badannya. Ia dapat naik sepeda sambil merokok,

menyanyi, dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan sujud. Jika sujud

sudah menjadi seolah-olah pakaiannya, maka orang dapat bersujud sambil

merokok, minum, makan, tidur, dan sebagainya. Artinya, di dalam keadaan

yang bagaimanapun orang itu tetap di dalam persekutuan dengan Allah.

Ciri lain dari tetap iman ialah bahwa sujud raga secara terus-menerus

sudah diwakili oleh angan-angan yang menjadi satu dengan rasa.

Perwakilan ini terjadi sedemikian rupa, hingga badan wadag dengan

indranya dapat tetap berfungsi biasa, sekalipun orang sedang bersujud.

Taraf berikutnya adalah taraf yang tertinggi, di mana orang mencapai

jumbuhing kawula-gusti (persekutuan hamba dan tuhan). Ini tidak berarti

bahwa jia manusia dilarutkan ke dalam Allah, melainkan bahwa antara Allah

dan jiwa ada kesatuan kehendak. Inilah sujud di dalam hidup, sebab orang

masih hidup di dalam dunia ini.

13

Tak ada seorang pun yang dapat berusaha untuk mencapai taraf ini.

Sebab ini adalah suatu anugerah Dzat Yang Mahaesa, yang diangerahkan

dengan tiba-tiba. Bagi mereka yang mendapat anugerah ini dengan tiba-tiba

ada rasa bahwa sujudnya sudah dipindahkan dari sanubari ke dalam jantung,

tempat qolbu . Rasa sujud akan terasa untuk sementara waktu saja, lalu

lenyap hingga tak terasa apa-apa lagi. Apa sebab rasa sujud itu lenyap,

diterangkan sebagai berikut. Keduanya, yaitu hamba dan tuhan, sudah

menjadi satu. Maka dengan sendirinya tidak ada lagi pihak yang bersujud

dan pihak yang disujudi. Inilah yang disebut “jumbuhing kawul-gusti” atau

dengan istilah paguyuban Sumarah: gambuh.

Oleh sebab itu, orang yang dapat sujud Sumarah, yaitu sujud dengan

penyerahan diri adalah orang yang kenyataannya justru tidak merasa

bersujud lagi, sebab sujudnya sudah menjelma di dalam dirinya sendiri, atau

ia sudah menjadi satu dengan tuhan, gambuh. Agar dapat mencapai sujud

Sumarah itu orang harus melakukan tiga dalil Sumarah, yaitu tidak berbuat

apa-apa, tidak mempunyai apa-apa, dan menyerahkan jiwa raga.

Tidak dapat berbuat apa-apa berarti bahwa orang harus meyakinkan

diri bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa, kecuali karena kehendak Allah.

Maka anggota paguyuban Sumarah tidak boleh berlagak seolah-olah ia

dapat berbuat ini dan itu, bahwa ia lebih pandai daripada orang lain,

mendaku sesuatu sebagai miliknya sendiri, kumingsun, artinya menganggap

dirinya sebagai ingsun (orang yang penting sekali, dsb.). sebab semua itu

adalah akibat dari orang yang menganggap dirinya sebagai orang yang dapat

melakukan segala sesuatu. Tiap orang yang sudah menjalankan dalil

pertama ini akan dapat memecahkan segala kesukaran yang dihadapinya

dengan menyerahkan diri kepada Allah.

Dalil yang kedua, yaitu tidak mempunyai apa-apa, memiliki arti yang

sama dengan ucapan jawa: sepi ing pamrih, rame ing gawe (tanpa

bermaksud untuk menguntungkan diri, beramai-ramai bekerja). Segala

sesuatu adalah milik Tuhan, sekalipun tubuh dan jiwa orang. Semuanya itu

dipinjamkan kepada manusia, maka jika ada yang hilang atau dicuri orang,

14

hal itu harus dipandang sebagai petunjuk bahwa waktu peminjaman sudah

selesai, sehingga barang itu perlu diberikan kepada orang lain sebagai

pinjaman juga. Dengan keyakinan yang demikian ini orang tak mungkin

kecewa, dan segala peristiwa akan diterimanya dengan senang hati.

Dalil ketiga, yaitu menyerahkan jiwa-raga, adalah lanjutan dari dalil

kedua.

Bersamaan dengan pelaksanaan ketiga dalil tersebut di atas, orang

akan mengalami di dalam batinnya suatu proses yang semakin menghampiri

persekutuan jiwa dengan yang mahaesa, yang ternyata dari kejadian, bahwa

ia menerima sabda Allah. Semula sabda itu diterimanya dengan perantara

rasa, sesudah itu dengan adanya suara di dalam batinnya, dan akhirnya ia

akan menerima sabda itu dengan perantara mulut atau alat lainnya. Inilah

yang disebut “wajibul wujud,” yaitu mengetahui apa saja tanpa dawuh

(pemberitahuan).

Pada taraf yang tertinggi dari kelepasan ini perselisihan antara jiwa

dan suksma makin menghebat. Dalam perselisihan ini jiwa didampingi oleh

malaikat jibrail, sedang suksma didampingi oleh iblis. Jika jiwa menang di

dalam perselisihan ini, maka orang lulus dari ujian Sumarah, dan malaikat

jibrail akan tetap mendampinginya. Sebaliknya, jika suksma yang menang,

orang akan jatuh ke dalam genggaman iblis, dan akan sukar baginya untuk

melepaskan diri darinya. Mungkin ia akan menjadi dukun yang mahsyur

(prewangan), tetapi kemahsyurannya itu hanya mengenai perkara duniawi.

Jika ia meninggal dunia, ia akan menyesal. Maka taraf yang tertinggi ini

adalah taraf yang berbahaya sekali.

Hasil persekutuan hamba dan tuhan ini adalah tidak dapat dikalahkan

oleh siapapun, bagaimanapun berkuasanya musuh. Tak ada senjata yang

dapat melukainya.

Dari apa yang sudah dibicarakan di atas, dapat diambil kesimpulan

demikian:

a) Kelepasan bagi paguyuban Sumarah terdiri dari jumbuhing kawula-

gusti sedemikian rupa, hingga kesadaran akan adanya persekutuan itu

15

lenyap (tak ada yang bersujud dan yang disujudi). Orang yang lepas

berada di dalam situasi terus-menerus bersekutu dengan Allah,

sehingga segala sesuatu yang dilakukannya di dalam persekutuan

Allah. Tak jauhlah kiranya dari kebenaran , jika disebutkan, bahwa

situasi ini sama dengan apa yang di dalam tasawuf disebut fana al-

fana, hapus dari segala hapus, di mana hapuslah yang menyembah dan

yang disembah.

b) Hasil kelepasan itu ialah bahwa orang mendapatkan sifat yang sama

dengan Dzat Yang Mahaesa, umpamanya: berada di mana-mana,

mahakuasa, dan lain sebagainya.

c) Jalan kelepasan adalah sujud, yang puncaknya disebut sujud Sumarah,

yaitu persekutuan dengan Allah dengan penyerahan diri. Sujud terdiri

dari beberapa tingkat yang dalam pokoknya terdiri dari penyatuan

angan-angan dengan urip (hidup) di dalam batin manusia, dengan

memisahkan angan-angan tadi dari pemikir dan mempersekutukannya

dengan rasa dan akhirnya memimpinnya kepada urip. Perbuatan ini

sebenarnya adalah pemusatan pikiran ke dalam diri manusia sendiri,

agar tidak diganggu oleh dunia yang ramai ini.

Kesimpulan dari keseluruhan paguyuban Sumarah dapat dirumuskan

demikian:

a) Tidak ada uraian yang panjang mengenai ajaran Allah. Tuhan Allah

disebut Dzat Yang Mahaesa. Di dalam urip, tuhan Allah berada di

dalam segala makhluk yang hidup, umpamanya: tumbuhan-tumbuhan,

binatang dan manusia. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa

tuhan Allah dipandang sebagai Dzat Yang Mutlak. Dalam falsafah

dikatakan bahwa tuhan bebas dari segala hubungan, nisbah serta

sebab-musabab, tetapi menjadi sebab pertama dari segala sesuatu.

b) Manusia pada hakikatnya berasal dari tuhan Allah, jiwanya, yang

menjadi inti manusia adalah roh suci, dan suatu pletikan (bunga api)

dari Dzat Yang Mahaesa itu. Hal ini berarti bahwa manusia pada

hakikatnya sama dengan Allah, seperti bunga api sehakikat dengan api.

16

c) Karena menjawab penggodaan para nafsu, roh suci dipersatukan

dengan para nafsu itu. Karenanya ia menjadi permainan segala

nafsunya. Di dalam hidup sehari-hari jiwa bukanlah yang merajainya,

yang menentukan segala sesuatu, melainkan hanya berfungsi sebagai

simbol kepala negara, yang tak bersuara. Demikianlah, manusia

berada di dalam sengsara.

a) Oleh karena manusia berada di dalam sengsara, maka ia ditaklukan

pada kelahiran kembali (reinkarnasi)

b) Kelepasan terdiri dari kelepasan jiwa dari siksaan segala nafsunya,

untuk dipersatukan kembali dengan Dzat Yang Mahaesa, sebagai

asalnya. Persekutuan ini sedemikian rupa, hingga tidak ada lagi

perbedaan antara yang bersujud dan yang disujudi. Tetapi, selama

manusia masih hidup, persekutuan ini bukan berarti manusia menjadi

Allah. Persekutuan itu adalah persekutuan dalam kehendak, sehingga

manusia juga memiliki segala sifat ilahi, seperti mahatahu, mahakuasa,

dan lain sebagainya.

c) Jalan kelepasan adalah sujud, yaitu pemusatan angan-angan, untuk

diarahkan ke dalam diri manusia sendiri, dan dipalingkan dari dunia

luar. Di dalam bagian yang terdalam dari manusia itu angan-angan

akan bertemu dengan tuhannya, yang ada di dalam dirinya sendiri.24

4) Sujud Sumarah

Sujud Sumarah adalah bentuk perilaku peribadatan (ritual) bagi para

warga Paguyuban Sumarah dalam rangka berkomunikasi dengan Tuhan

YME yang pada hakekatnya merupakan aktivitas batin/rohani/spiritual/jiwa

si manusia untuk bermohon, menghaturkan bakti/sembah, menghaturkan

puja dan puji serta serah diri total kepada Tuhan Yang Mahaesa, melalui

kehendak dan tuntunan/bimbingan Tuhan YME sendiri.

Karena sifatnya yang sangat spiritual (rohani) maka dalam pelaksanaannya

Sujud Sumarah sama sekali tidak memerlukan persyaratan lahiriah baik

tempat, waktu, pakaian, bebauan, gerakan-gerakan khusus ataupun

24 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), cet. 9, hlm. 7-21.

17

persyaratan lain, seperti hafalan mantra dan sebagainya. Namun tentu saja

sebagai manusia yang berbudaya, dalam berbusana maupun sikap tata lahir

dalam sujud akan selalu mengikuti norma kewajaran dan kepantasan

demikian pula akan selalu memperhatikan norma-norma sosial dan etika

yang berlaku di sekelilingnya tanpa harus menonjolkan dirinya.

Sujud Sumarah memiliki jenjang atau tingkatan yang harus dilakukan

oleh para pengikut secara bertahap. Adapun tingkatan tersebut adalah :

a) Tingkat pamagang, yaitu sujud yang dilakukan oleh para pemula

sebelum resmi menjadi anggota, untuk menenangkan panca indra.

b) Tingkat satu, sujud ini merupakan sujud awal yang dilakukan oleh

pengikut Sumarah setelah resmi dibaiat mengadi anggoata.

c) Tingkat dua, dilakukan setelah mahir pada sujud satu.

d) Tingkat tiga, dilakukan setelah mahir dalam sujud kedua.

e) Tingkat keempat, dilakukan setelah anggoat mahir sujud tingkat tiga.

f) Tingkat lima, sebagai tingkat paling akhir yang langsung dibimbing

dan diimami oleh pemimpin (guru utama).

Dari jenjang atau tingkat sujud itu, para pengikut Sumarah dapat

dikelompokkan dalam tiga martabat. Pertama. Martabat Tekad, yaitu

martabatnya para pemagang, tingkat satu dan tingkat dua. Kedua, Martabat

Imam, yaitu para pengikut yang sudah memasuki tingkat sujud tiga dan

empat. Ketiga, Martabat Sumarah, yaitu mereka yang sudah memasuki

tingka sujud kelima.25

25 M. S. Wibowo, “Paguyuban Sumarah, M. S. Wibowo Spot,http://mswibowo.blogspot.com/2010/05/paguyuban-sumarah.html, diakses pada tanggal 27 Mei2014, pukul 15.41

18

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh Dokter

Soerono Prodjohoesodo, yang sejak itu hingga tahun 1972 menjabat sebagai ketua

umumnya. Tetapi ajaran Sumarah, yaitu ilmu Sumarah, sudah diwahyukan pada

tahun 1935 kepada R. Ng. Soekinohartono, seorang pegawai Kesultanan

Yogyakarta. Pada waktu itu, demikian menurut kisahnya, bangsa Indonesia

bergolak menuntuk perbaikan nasib, yaitu menuntuk dibentuknya suatu parlemen

yang sungguh-sugguh. R. Ng. Soekirnohartono turut prihatin memikirkan nasib

bangsa Indonesia. dengan jalan tirakat (bertarak) beliau mohon kepada Tuhan agar

bangsa Indonesia selekas mungkin mendapat kemerdekaan. Pada suatu malam,

beliau menerima ilham supaya menyebarkan ilmu Sumarah kepada umat manusia.

Mula-mula beliau menolak, akan tetapi setelah beliau mendapat penjelasan bahwa

beliau hanya akan bertindak sebagai corong belaka, diterimalah perintah ilham itu,

dengan syarat “kemerdekaan Indonesia” sebagai upahnya. Syarat tersebut

disanggupkan oleh Tuhan Yang Mahaesa, sekalipun baru 10 tahun kemudian

“kemerdekaan” itu benar-benar diberikan kepada bangsa Indonesia.

Ajaran-ajaran Paguyuban Sumarah, di antaranya: 1) Ajaran tentang

Ketuhanan; 2) Ajaran tentang Manusia; dan 3) Sujud Sumarah.

3.2. Saran

Penulis rasa makalah ini sangat jauh dari kata baik. Hal ini karena

kurangnya referensi yang Penulis temukan. Beberapa buku sejarah hanya

mencatut namanya saja sebagai hiasan bukunya belaka tanpa ada detail

mengenainya. Pun beberapa buku menjelaskannya namun tidak lebih dari dua

lembar yang membahas dinasti ini.

19

Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat

membangun sehingga Penulis dapat memperbaiki makalah ini dikemudian hari.

Seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak.

20

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku

Files, Detickom Files. 2008.

Hari-hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser 1998-2008. Jakarta:

Mediakita.

Prodjohoesodo, Soerono. 1965.

Paguyuban Sumarah. Ceramah pada Pancawarsa ke-3. Yogyakarta.

Hadiwijono, Harun. 2006.

Kebatinan dan Injil. cet. 9. Jakarta: Gunung Mulia.

b. Website

Wikipedia,

“Agama Asli Nusantara”, Wikipedia: Ensiklopedia Bebas,http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara, diakses pada tanggal 27

Mei 2014, pukul 16.12

Dewan Asatidz,

“Tentang Aliran Kepercayaan”, PesantrenVirtual.com,http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=art

icle&catid=1:tanya-jawab&id=515:tentang-aliran-kepercayaan, diakses

pada tanggal 27 Mei 2014, pukul 16.18.

M. S. Wibowo,

“Paguyuban Sumarah, M. S. Wibowo Spot,http://mswibowo.blogspot.com/2010/05/paguyuban-sumarah.html, diakses

pada tanggal 27 Mei 2014, pukul 15.41.