Menyusuri Persoalan Minoritas dalam Bingkai Islam dan Keindonesiaan Saat Ini

21
Minoritas, Hubungan Islam-Kristen dan Persoalan Konstruksi Sosial Islam di Indonesia saat ini 1 Muhammad Nurkhoiron Masalah minoritas adalah salah satu isu yang paling hangat sampai saat ini. Sebagaimana telah terjadi di hampir semua negara, masalah minoritas menjadi isu kunci atas keberadaan masyarakat yang plural, suatu kondisi yang tak terelakkan di masa sekarang. Dalam kaitan ini, konsep minoritas berhubungan dengan terma perbedaan (difference). Ada beberapa gagasan tentang bagaimana perbedaan ini berlangsung dan dicermati. Studi paling mutakhir memetakan perbedaan sebagai hasil tak terelakkan dari proyek modernitas. Meta naratif modernitas pencerahan yang dikenalkan Barat melalui proyek kolonisasi menciptakan situasi dimana perbedaan adalah sesuatu yang terstruktur, terkodifikasi dan terlembaga (Malesevic, 2004;163). Perbedaan menciptkan skema mayoritas-minoritas. Hal ini dapat dilihat sebagai hasil relasi satu kelompok dengan kelompok lain yang saling memandang secara eksklusif. Adanya sudut pandang yang eksklusif, bagaimana suatu kelompok dilihat secara berbeda, sebagai liyan (the other) memicu konflik yang mematikan. Diantara masalah minoritas yang beragam, masalah paling pelik dan selalu menjadi perdebatan hangat di Indonesia adalah masalah-masalah minoritas yang berkaitan dengan isu agama. Meskipun demikian, perdebatan di Indonesia mengenai minoritas sebagian besar -- jika bukan seluruhnya, sayangnya lebih memperdalam esensialisme budaya untuk merunut sumber-sumber penyebabnya 2 . Misalnya melalui 1 Artikel ini sudah dipublikasi oleh Jurnal Taswirul Afkar, Lakpesdam NU, Jakarta. Edisi No.31/Tahun 2012. 2 Pandangan ini melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang tetap, tak goyah dan esensial. Ada cara yang dianggap paling benar dan paling baik menuju tujuan kemanusiaan yang paling ideal. Semisal pandangan keagamaan dalam cara melihat kelompok agama lain dan perbedaan, mereka menganggap dirinyalah yang paling superior. Lihat perdebatan ini dalam Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political

Transcript of Menyusuri Persoalan Minoritas dalam Bingkai Islam dan Keindonesiaan Saat Ini

Minoritas, Hubungan Islam-Kristen dan Persoalan Konstruksi Sosial Islam di Indonesia saat ini1

Muhammad Nurkhoiron

Masalah minoritas adalah salah satu isu yang palinghangat sampai saat ini. Sebagaimana telah terjadi dihampir semua negara, masalah minoritas menjadi isu kunciatas keberadaan masyarakat yang plural, suatu kondisiyang tak terelakkan di masa sekarang. Dalam kaitan ini,konsep minoritas berhubungan dengan terma perbedaan(difference). Ada beberapa gagasan tentang bagaimanaperbedaan ini berlangsung dan dicermati. Studi palingmutakhir memetakan perbedaan sebagai hasil tak terelakkandari proyek modernitas. Meta naratif modernitaspencerahan yang dikenalkan Barat melalui proyekkolonisasi menciptakan situasi dimana perbedaan adalahsesuatu yang terstruktur, terkodifikasi dan terlembaga(Malesevic, 2004;163). Perbedaan menciptkan skemamayoritas-minoritas. Hal ini dapat dilihat sebagai hasilrelasi satu kelompok dengan kelompok lain yang salingmemandang secara eksklusif. Adanya sudut pandang yangeksklusif, bagaimana suatu kelompok dilihat secaraberbeda, sebagai liyan (the other) memicu konflik yangmematikan. Diantara masalah minoritas yang beragam,masalah paling pelik dan selalu menjadi perdebatan hangatdi Indonesia adalah masalah-masalah minoritas yangberkaitan dengan isu agama.

Meskipun demikian, perdebatan di Indonesia mengenaiminoritas sebagian besar -- jika bukan seluruhnya,sayangnya lebih memperdalam esensialisme budaya untukmerunut sumber-sumber penyebabnya2. Misalnya melalui1 Artikel ini sudah dipublikasi oleh Jurnal Taswirul Afkar, LakpesdamNU, Jakarta. Edisi No.31/Tahun 2012.2 Pandangan ini melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang tetap, takgoyah dan esensial. Ada cara yang dianggap paling benar dan palingbaik menuju tujuan kemanusiaan yang paling ideal. Semisal pandangankeagamaan dalam cara melihat kelompok agama lain dan perbedaan,mereka menganggap dirinyalah yang paling superior. Lihat perdebatanini dalam Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political

rubrik konflik Islam-Kristen, beberapa pandanganmemperdebatkan persoalan konservatisme beragama,menyalahkan doktrin-doktrin kolot disebandingkan denganpandangan-pandangan moderat dan terbuka. Polemik sepertiberlangsung secara gencar bahkan hingga hari ini. Parapengikut baik dari kubu konservatif maupun liberal salingmenyerang dengan mengemukakan dalil/doktrin kebenaranmasing-masing dan tentu saja klaim mereka pandangan musuhadalah keliru.

Padahal, merunut citra FPI (Front Pembela Islam)saat ini yang "melunak" yang ditengarai dari pernyataanHabib Riziq yang hendak membantu mengamankan umatkristiani dalam melakukan Perayaan Natal 2011, sedikitmemperlihatkan sikapnya yang mulai bergeser3. Fakta inimempersulit posisi polemik konservatisme versusliberalisme Islam, karena dari berbagai kasus yang seringterjadi, baik konservatif maupun liberal berada dalamspektrum yang dinamis, tidak jarang masing-masing bisabertukar tempat4.

Menempatkan konflik Islam-Kristen berada dalamkardus masalah keagamaan sama problematisnya dengan

Theory. London: MacMilland Press LTD. 2000. 3 Lihat misalnya, FPI: Haram Hukumnya Ganggu Agama Lain. Habib Rizieqmenyatakan bahwa, “Biarkan umat Kristiani percaya agamanya yangpaling benar dan biarkan umat Muslim percaya agamanya yang palingbenar," kata Habib Rizieq dikediamannya, Kamis (22/12/11).http://www.kedaiberita.com/index.php/Nasional/fpi-haram-hukumnya-ganggu-agama-lain.html. 4 Kelenturan beralih sikap juga terjadi di dalam tubuh Partai

Politik Islam PKS yang selama ini dianggap dekat dengan kelompokIslam garis keras. Misalnya seperti disampaikan oleh Ketua MajelisSyuro Partai Keadilan Sejahtera Hilmi Aminudin. Ia mengatakandeklarasi sebagai partai tengah dan terbuka bukan sekadar strategi,tetapi merupakan pelaksanaan ajaran Islam. PKS menerima pluralitassebagai ketentuan Tuhan bahwa tidak ada keseragaman tetapikeberagaman. Itu muncul dari keyakinan dan keimanan,"Koalisi politikdi dalam Pilkada sama sekali memperlihatkan inkonsistensi ini. Dibeberapa tempat, PKS dengan mudah berkoalisi dengan partainasionalisme sekuler, bahkan dengan partai yang basis pengikutnyadari kelompok non muslim. lihat misalnya, PKS: Jadi Partai Terbuka AdalahAjaran Islam. Di Papua ada nonmuslim menjadi anggota DPRD dari PKS. Juga mulaimerangkul warga Tionghoa. http://politik.vivanews.com/news/read/158845-dua-pengalaman-berharga-pks-ke-keterbukaan.

melihat hubungan konfliktual Cina dan non Cina diIndonesia sebagai persoalan perbedaan ras/etnis semata.Konflik yang mengakibatkan korban massal di kalanganetnis Cina di Indonesia terjadi tahun 1998. Konflik initidak serta merta menjawab dengan tuntas faktor-faktoryang memicu aksi kekerasan tersebut. Kenapa isu anti Cinamuncul bersamaan dengan krisis politik 1997? Begitu puladengan relasi Islam Kristen yang melahirkan konflik dibeberapa daerah. Persoalan antara pengikut gereja HKBP diBekasi dengan warga setempat dan kasus penutupan gerejaGKI Yasmin di Bogor Jawa Barat adalah contoh palingmutakhir. Melalui dua kasus ini terendus adanya sikapintoleransi dan main hakim sendiri dalam menolakkeberadaan/pembangunan rumah ibadah. Benarkah intoleransiini timbul semata sebagai persoalan konservatismeberagama? Jika benar intoleransi lebih dikarenakansebagai persoalan hubungan antar agama, kenapa di tempat-tempat lain tidak terjadi? Kenapa persoalan intoleransimasyarakat setempat terhadap pemberian ijin pembangunanrumah ibadah terjadi di tempat tertentu sementara ditempat lain tidak terjadi bahkan memperlihatkan hubungandamai?

Persoalan intoleransi terhadap penghalangankebebasan beragama jelas merupakan persoalan serius.Negara-negara yang menyetujui pelaksanaan HAM sebagaikerangka aturan hukum (rule of law) tak dapat dibenarkanmelakukan pembiaran terhadap munculnya intoleransi yangmelahirkan kekerasan. Namun seperti dijelaskan dimuka,masalah keyakinan dan timbulnya intoleransi yangmenimbulkan kekerasan akhir-akhir ini masih dilihat dalamkaca mata commonsense dimana kekerasan yang ditimbulkansemata-mata dilihat sebagai konservatisme beragama.Polemik diantara kelompok "konservatif dan moderat" terusmempengaruhi kecenderungan publik tanpa melihat lebihjauh bahwa dua cara pandang ini sebenarnya bukan sumbermasalah, melainkan hasil dari berbagai masalah sosialyang timbul.

Sayangnya, kajian-kajian sosial terkait kehidupankeagamaan di Indonesia belum mampu memprovokasi timbulnyakajian-kajian inovatif yang mampu melihat persoalankonflik, hubungan minoritas-mayoritas khususnya terkaitdengan kehidupan keagamaan di Indonesia. Menyelami

setting sosial dan mendalami seluruh dimensinya terkaitmasalah "konflik agama" adalah agenda penting yang perludisemai terus menerus. Meskipun sumber-sumber sosial yangmendorong konflik tidak bisa ditelusuri dan dijelaskandari satu faktor/satu dimensi saja, pekerjaan penelitiandan riset mengenai persoalan-persoalan ini pentingdidorong lebih progresif demi mendapatkan referensi yangmemadai yang kelak dapat mendorong penyadaran publikdalam memahami kasus-kasus kekerasan di Indonesia. DiIndonesia kajian-kajian sosial jauh dari menjelaskansebab-sebab sosial. Persoalan sosial kurang menarik danjarang didiskusikan dalam perdebatan publik, sebaliknya,prokontra pandangan keagamaan (konservatif versusliberal/moderat) terasa dibesarbesarkan dan menjadi debatkusir5.

Dewasa ini, kajian-kajian Islam, kajian tentangkehidupan keagamaan, khususnya menyangkut Islam-Kristenmasih berada dalam dua kecenderungan besar. Pertama,konflik yang terjadi dikalangan kelompok beragama lebihbanyak dilihat sebagai hasil dari masalah konflik antarelite politik yang saling bertikai. Kedua, konflikkeagamaan, khususnya terkait dengan semakin meingkatkanradikalisme/konservatisme Islam akhir-akhir ini dilihatsebagai hasil dari pertarungan global antara Barat-sekuler dengan Timur (Islam Timur Tengah). Meskipun duakecenderungan ini berhasil menelusuri persoalan sosialduniawi di balik masalah keagamaan, namun kajian inicenderung elitis. Persoalan konflik keagamaan, masalah-masalah radikalisme cenderung dilihat sebagai hasil daripertarungan kaum elite, baik elite di tingkat nasional,maupun elite di panggung internasional. Meskipun fenomenaelite tidak dapat dinafikan dan memberi pengaruh yangbesar bagi dinamika keberagamaan di Indonesia, kajian inimengenyampingkan keberadaan arus bawah yang terdiri darisekumpulan individu/kelompok yang justru berada di pusatepisentrum konflik itu sendiri.

5 Contoh paling jelas hal ini adalah sajian debat kusir dalam siarantelevisi nasional, tvone. Beberapa kali acara debat kusir menyuguhkanpanorama pendapat antara kelompok konservatif/garis keras dengankelompok yang dianggap mewakili kalangan Islam liberal yang pandangankeagamaannya dianggap moderat.

Sangatlah penting memahami bahwa "konflik agama"yang terjadi selama ini, khususnya di seputar relasiIslam-Kristen yang menyinggung relasi mayoritas-minoritaspenting dilihat sebagai konflik sosial dan bukan konflikagama. Meskipun kerap diberi label konflik agama, konflikagama ini bukan masalah keagamaan ansich dan tidak bisadianggap sebagai faktor yang berdiri sendiri. Konflikagama pada hakekatnya bisa ditelusuri sumber penyebab,pemicu dan akar masalahnya secara sosial. Kajian-kajianelite seperti dikemukakan diatas berhasil menelusuripersoalan sosial politik dibalik isu konflik agama. Akantetapi penelusuran sumber-sumber sosial sebatas padakelompok-kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompokelite. Dalam studi sebelumnya, George Aditjondro telahmemaparkan bahwa apa yang selama ini disebut konflikagama di beberapa tempat yang melibatkan konflik berdarahantara pihak Islam dan Kristen di Ambon, Pososesungguhnya adalah konflik sosial. Aditjondro berhasilmengurai fakta-fakta sosial diluar persoalan pemahamankeagamaan sebagai faktor-faktor yang memicu terjadinyakonflik antara kelompok Islam-Kristen tersebut6. DeskripsiAditjondro memperlihatkan faktor agama sebagai faktorpemantik, sementara rumput-rumput yang dengan mudahterbakar oleh pemantik itu dilukiskan sebagai hal-halyang berhubungan dengan konflik perebutan sumber-sumberekonomi antar kelompok bersandingan dengan kepentinganmiliter dalam memperbesar kekuasaan mereka di pelosok-pelosok terkait dengan eksploitasi sumber daya. Lepas dari keterbatasan Aditjondro dalam menelusuifaktor-faktor sosial dibalik "konflik agama", Aditjondrosetidaknya berhasil meruntuhkan tesis yang mendasarkan6 Studi-studi Aditjontro memperlihatkan konflik sosial di Poso danMaluku/Ambon sebagai konflik yang ditengarai banyak pihak sebagaikonflik agama sebagai konflik yang dipicu oleh kepentingan bisnismiliter. Lihat, http://www.oocities.org/kariu67/gja110402.htm,George Aditjondro, (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru kencingberdiri, murid kencing berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dannepotisme rezim Orde Baru. Jakarta: MIK & Pijar Indonesia, GeorgeAditjondro, (2001a). "Guns, pamphlets and handie-talkies: How themilitary exploited local ethno-religious tensions in Maluku topreserve their political and economic privileges." Dalam IngridWessel & Geogrie Wimhoefer (eds). Violence in Indonesia. Hamburg:Abera, hal. 100-128.

masalah konflik terkait relasi mayoritas-minoritas danmenolak konservatisme keagamaan sebagai sumber masalah.Dengan kata lain, konservatisme keagamaan tidak memilikiargumentasi yang cukup kuat jika ditempatkan sebagaisumber persoalan. Menurut Emile Durkheim, kesadarankeagamaan adalah produk sosial (Durkheim, 1912).Menurutnya, agama bukanlah khayalan belaka, tapi agamaadalah sesuatu yang nyata, yang merupakan gambaran dariekspresi sosial itu sendiri. Tidak ada ada masyarakattanpa agama. Agama adalah ekspresi dari kesadarankolektif kita, which is the fusion of all of our individualconsciousnesses, which then creates a reality of its own (Ibid).

Bertolak dari pandangan ini, timbulnya masalahminoritas (agama) dengan demikian perlu dilihat sebagaioutput dari pertarungan posisi sosial yang berada diarena sistem yang timpang. Relasi mayoritas-minoritasadalah hasil dari pertarungan-pertarungan itu. Melaluikajian multikulturalisme, perdebatan minoritasdiletakkan di dalam ruang lingkup pembicaraan mengenaiminoritas yang tidak semata-mata berhubungan dengansekelompok kecil masyarakat (kecil dari segi jumlah).Minoritas disini menjadi masalah krusial ketikasekelompok kecil masyarakat memperlihatkan ciri budayaterutama ekspresi keagamaan/keyakinan spesifik yangberbeda secara asimteris dengan penduduk setempat7. Carapandang yang berbeda tidak jarang melahirkan pandangan-pandangan yang konfliktual diantara mereka. Ke-minoritas-an dipicu oleh perbedaan-perbedaan sudut pandang,sementara itu, menurut Bourdieu, perbedaan sudut pandangadalah hasil dari perbedaan-perbedaan posisi sosial yangterbentuk dari dialektika sistem.

Seperti kita lihat di Indonesia, masalah minoritasdapat dilihat dari seberapa jauh masalah perbedaandikelola dalam perputaran produksi wacana, bagaimanarelasi Islam-Kristen dikembangkan sekaligusdikontestasikan. Persoalan ini tidak bisa disederhanakansebagai satu kasus dengan sumber-sumber pemicunya yangterbatas. Dengan kata lain, relasi Islam-Kristen yang dibeberapa tempat memperlihatkan situasi krisis tidak dapatditarik sebagai masalah perbedaan keagamaan ansich.Spektrum krisis yang menciptakan ketegangan agama perlu7

dilihat sebagai persoalan sistemik yang melibatkanmultifaktor secara berkaitkelindan dalam konteks sosialtertentu.

Lebih-lebih dalam konteks relasi Islam-Kristen, diIndonesia hubungan ini memiliki sejarah sosial yangberlangsung sejak lama. Konflik antara Islam-Kristen padamasa kolonial adalah hasil dari pergeseran sosial danketimpangan sistem masa itu. Sementara pada masa paskakemerdekaan sampai Orde Baru, perbedaan-perbedaan timbulsebagai akibat dan menjadi efek tak terelakkan dariwacana pembangunan nasional. Baik masa kolonialismemaupun Orde Baru, krisis Islam-Kristen terjadi sebagaiakibat dari konflik vertikal, negara versus masyarakat.Beberapa studi menunjukkan perlawanan terjadi di kantong-kantong komunitas muslim sebagai akibat dari penetrasinegara melalui proyek pembangunan nasional yang dianggapsebagai bagian dari upaya westernisasi8. Khususnya diIndonesia, westernisasi kerap dipahami, setidak-tidaknyadicampuradukkan dengan isu kristenisasi.

Dengan kata lain, perlawanan yang timbul dikomunitas Islam dipicu oleh alasan mereka yang menganggappembangunan nasional yang berlangsung bias denganideologi Barat. Citra nasional dalam proyek pembangunanini dianggap tidak dapat mengakomodasi penduduk darikomunitas muslim. Nasional menjadi persoalan tersendirimengingat didalamnya justru ditengarai sebagai proseshegemoni dan kolonisasi etnis/agama/ideologi Barat yangbertujuan memberangus seluruh nilai-nilai lain (baca:pembaratan). Maka selama beberapa periode, masalahkolonisasi pembangunan yang menciptakan efek perlawanandi Indonesia memicu persoalan keagamaan. Di Indonesiaefek perlawanan ini menstimulasi gerakan Islam yangsecara asimetris berhadapan dengan rezim-rezimpembangunan. Sebagaimana diperlihatkan pada masapemerintahan kolonial, efek pembangunan melibatkanpolitik segregrasi sosial dan memperlebar disintegrasidiantara komunitas beragama.

Seperti terjadi negara-negara berpenduduk muslimlain, modernisasi yang digerakkan melalui proyek

8 Lihat misalnya Robert D Lee, Mencari Islam Autentik, Dari NalarPuitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun (terj). Bandung: Mizan. Tahun2000.

pembangunan nasional dituding sebagai proses westernisasidan sekularisasi. Pembangunan kerapkali dipahami sebagaikelanjutan dari imperialisme. Menghadapi masalah ini,ideologi-ideologi berbasis keagamaan menjadi sumberpaling menggairahkan bagi usaha-usaha untuk meningkatkangerakan perlawanan. sepanjang paruh pertama abad XX,sejarah perlawanan terhadap negara jajahan di berbagainegara dunia ketiga memperlihatkan ciri gerakankeagamaan. Di Indonesia terdapat tokoh seperti HOSCokroaminoto yang berusaha menggabungkan gerakansosialisme dengan wacana Islam.

Seturut perkembangan Pan Islamisme, gerakan-gerakanIslam di Indonesia menyongsong era baru dalam usahanyamelawan kolonialisme Barat. Tafsir terhadap kolonialismeseperti ini dikembangkan sedemikian rupa. Adanya bentuk-bentuk perlawanan yang dikreasi melalui tafsir keagamaanperlu dilihat sebagai perlawanan-perlawanan terhadapsistem yang menindas9.

Diskursus Kolonial dan Paska Kolonial Dalam diskursus kolonialisme di Indonesia, hampir

semua sumber sejarah tak bisa menolak fakta bahwa relasiIslam dan kolonialisme lebih diwarnai oleh hubungan yangantagonis. Antropolog paling populer sepanjang sejarahpenulisan Islam masa kolonial adalah Snouck Horgronje.Dilihat dari jejak karya Snouck beserta biografinya,memperlihatkan betapa istimewanya komunitas muslimIndonesia di mata etnolog kolonial ini. Karya-karyaSnouck tentang Islam merentang panjang, dan sepanjangperjalanan kolonialisme Belanda, karya-karya Snouckselain terbilang produktif, gagasannya mempengaruhi parapengambil kebijakan kolonial di Indonesia. Salah satuusulan Snouck adalah diperlukannya perhatian kepadakegiatan-kegiatan Islam di kalangan pribumi dengan ciritindakan yang berbeda-beda. Menurut Snouck, sejauh Islamdipraktekkan sebagai ajaran ritual dan peribadatan,pemerintah kolonial Hindia Belanda wajib melindungi danmemberi kebebasan kepada para pemeluknya. Namunsebaliknya, terhadap praktek Islam yang diselenggarakanuntuk tujuan politik, pemerintah melakukan kontrol ketat,

9

tidak jarang melakukan pemberangusan terhadap kelompok-kelompok yang dicurigai.

Sepanjang periode kolonialisme di Indonesia,berbagai praktek Islam mengajarkan sikap anti terhadapkolonialisme. Tidak sedikit dari sumber-sumber ajaranIslam waktu itu menuduh kolonialisme sebagai praktek kaumkafir yang bertentangan dengan Islam. Reproduksipengetahuan ini semakin gencar ditanamkan di kalanganpenduduk dan anak-anak muda karena orang-orang pribumitidak tertampung ke dalam sistem pendidikan modern yangdibentuk kolonial. Beriringan dengan politik segregasikolonial, pendidikan modern yang dibentuk kolonialBelanda faktanya hanya bisa dinikmati oleh golongantertentu dari kalangan pribumi.

Sebaliknya, popularitas pendidikan modern kurangpopuler dibandingkan dengan lembaga pesantren sebagaipusat pendidikan rakyat yang dapat tumbuh sampai kepelosok pedesaan. Dikotomi antara pesantren danpendidikan modern ini semakin memperlebar pengetahuan dan"angan-angan sosial" antara visi kolonialisme dengan umatIslam di Indonesia. Kebijakan kolonial sendiri melegalkanbentuk-bentuk segregasi antar kelompok sosial dimanapenduduk Indonesia dibedakan berdasarkan ras dankedudukan ekonomi. Kondisi ini semakin memperburukantagonisme Islam. Meskipun demikian, diakui atau tidak,keberadaan kolonial Belanda sejak masa VOC menunjukkankecerdasan mereka dalam menanamkan kekuasannya diIndonesia.

Sebagaimana usulan Horgronje, kegiatan politik umatIslam yang dianggap membahayakan dibatasi. Sebaliknya,pemerintah bersedia menyokong kegiatan-kegiatan ritualkeagamaan yang tidak bertujuan politik. Meskipun kolonialBelanda menyadari potensi radikal umat Islam, namunkeberadaan pesantren sendiri tidak gampang dibatasi. Bisajadi bagi pemerintah kolonial sendiri, keberadaanpesantren lebih mudah dipantau, diidentifikasi sekaligusdilokalisir jika terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki.Daripada pemerintah kolonial harus menanggung akibat dariberbagai pergolakan yang muncul dari gerakan klandestein,keberadaan pesantren yang terus berkembang sebagai pusatpendidikan populer di kalangan pribumi dianggap jauhlebih terkontrol.

Namun dikotomi pusat pendidikan antara pesantren danpendidikan modern memicu pertumbuhan antisekularisme diIndonesia. Di kalangan Islam sendiri meskipun terdapatperbedaan dalam cara melihat "sang kolonial"10, hampirmenjadi pengetahuan yang merata di tengah-tengah muslimwaktu itu bahwa pemerintah Hindia Belanda sama sekalitidak mewakili aspirasi mereka. Kondisi yang berbedadialami oleh komunitas-komunitas Kristen pribumi.Meskipun sebagian besar kebijakan kolonial Belandaterkesan sekuler, perlakuan terhadap orang-orang pribumiKristen sama sekali berbeda dengan pribumi Islam.Identitas agama turut menentukan derajat kedekatan denganelite-elite Belanda waktu itu sekaligus membentuk imej(citra) yang berbeda di kalangan pribumi sendiri. Kristenbagaimanapun memperlihatkan citra tempelan kolonial, bagibeberapa kaum pribumi sendiri lompatan menjadi Kristensama artinya mendaki ke dalam kelas sosial yang lebihtinggi (dalam arti lebih dekat dengan elite yang berkuasawaktu itu). Setidaknya di sebagian kelompok Islampribumi, citra seperti ini kelihatan lebih terang.Beberapa gerakan Islam membentuk sikap ideologisnyadengan menegaskan bahwa penolakan terhadap westernisasidan sekulerisasi berada dalam satu paket dengan penolakandengan kristenisasi11.

Ini semua menunjukkan keistimewaan komunitas Islamdi Indonesia. Jika sedikit diringkas, keistimewaan initerkait dengan perbedaan-perbedaan yang diciptakannya.10 Yang saya maksudkan disini adalah bagaimana modernisasi yangdigencarkan melalui kebijakan kolonial direspon secara berbeda-bedaoleh elite-elite Islam waktu itu. Golongan Islam modernis sepertiMuhammadiyah waktu itu dengan sikap tangan terbuka menerima seluruhnilai-nilai ke-modern-an seperti, bersikap rasional, harapan terhadapkemajuan, perubahan budaya, dan lain-lain. Sebaliknya, kelompok IslamTradisional terus menggencarkan perlawanan hingga ke bentuk perang-perang simbol terhadap apapun yang dianggap sebagai modern yangdidentikkan dengan praktik kaum kafir. 11 Lihat doktrin Dewan Dakwah Islamiyyah, lembaga Islam yang pernahdiketuai oleh M.Natsir. Seperti dilansir dalam garis Kebijakan danPola Kerja (halaman 146): "Para du’at harus memperluas wawasan denganmengetahui sistim nilai atau ideologi agama dan paham-paham yangdikembangkan oleh kelompok-kelompok yang bertebaran hidupdilingkungannya. Paham-paham yang pesat perkembangannya di-antaranyaadalah paham-paham nasionalis, sekularisme,zionis, kristianis, harakah-haddamah dan komunisme".

Sebagian kelompok Islam waktu itu dapat dianggap "keraskepala" ditinjau dari sudut pandang kolonial. sepanjangabad XIX-XX, berbagai pergolakan terjadi di kalanganrakyat Indonesia sebagai reaksi perlawanan danketidakpuasan terhadap rezim kolonial. Sebagian besarpemberontakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh Islam.Misalnya pemberontakan-pemberontakan di pedesaan sebagaireaksi terhadap penindasan terhadap petani banyakdisokong oleh guru-guru agama, ustadz, kiai-kiaipesantren12. Perlawanan paling kuat dan hampir melumpuhkanpemerintahan Hindia Belanda adalah perang Diponegoro(1825-1830).

Sampai abad XX, perlawanan umat Islam tidakmenyusut. Gelombang perlawanan ini semakin menguatseturut gerakan Pan Islamisme ke nusantara. Gerakan yangdimulai oleh Jalaluddin Al Afghani ini menginspirasiberbagai gerakan sosial di Indonesia. Kekuatan darigerakan ini justru gencar dilangsungkan di tengah jantungkolonial itu sendiri, yakni di pusat-pusat perkotaandimana perubahan-perubahan yang dilakukan kolonialkelihatan lebih nyata. Tidak lain, para pelopor gerakanini adalah kaum terpelajar perkotaan yang selama inimenerima dampak langsung atas kebijakan-kebijakankolonial itu sendiri13. Bersebalikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya, gerakan ini terlibat dalam merintisperbincangan mengenai nasionalisme Indonesia,memdayagunakan kekuatan-kekuatan media modern (koran,radio, pertemuan-pertemuan diskusi, dst), dan jaringan-jaringan yang lebih luas dikalangan kelompok terpelajar.

Pada masa berikutnya, ketika kemerdekaan tercapai,terbentuk rezim politik paska kolonial, perlawanan atasnama Islam tidak sepenuhnya menyusut. Misalnya pada masarevolusi kemerdekaan, beberapa kelompok muslim terusmemperjuangkan hadirnya negara Islam sebagai tandingandari negara kolonial yang bersumber dari ajaran kaumkafir. Berakhirnya kolonialisme tak lantas merubah carapandang sebagian umat Islam terhadap sistem pemerintahan

12 Lihat Sartono Katodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1818 (terj).Jakarta: Dunia Pustaka Jaya 1984.13 Dalam hal ini, menarik sekali membaca ulasan Farchan Bulkinterkait kebangkitan nasionalisme di Indonesia yang dihubungkan dengankepentingan kelas menengah waktu itu. Menurut Bulkin,

yang ada. Pemberontakan-pemberontakan di sejumlah daerahkembali muncul dengan mengatasnamakan gerakan Islam.Peristiwa konflik DI/TII di Jawa Barat oleh Kartosuwirjo,DI/TII di Sulawesi Selatan oleh Qahhar Mudzakkarmenunjukkan antagonisme yang terus berlangsung antaraIslam versus Negara. Pemerintahan Soekarno kurangberhasil membujuk elite-elite yang dikecewakan dantersingkir oleh gelombang revolusi. Pemberontakan-pemberontakan ini bahkan di beberapa tempat memperolehsimpati di kalangan rakyat selama beberapa periode.

Pada masa Orde Baru ketegangan Islam versus negaraterus berlangsung. Islam dikondisikan sebagai ancamanoleh Orde Baru. Di bawah pemerintahan Orde Baru yangrepresif, beberapa kali terjadi ketegangan politik yangberujung konflik antara pemerintah dengan kekuatan Islam.Peristiwa Tanjung Priok, konflik berdarah TalangsariLampung, pengeboman Borobudur, adalah beberapa peristiwakonflik Islam versus negara. Memang menjadi berlebihanjika menyatakan golongan pemberontak ini mewakiliaspirasi umat Islam pada umumnya. Akan tetapi betapatidak mudahnya pemerintah Soeharto menjinakkan umat Islamwaktu itu merupakan fakta yang sulit dibantah. Di bawahkurungan rezim politik yang represif, pergolakandikalangan umat Islam terus terjadi. Gelombang protes danketidakpuasan terhadap proses perubahan akibatpembangunan terus terjadi.

Istilah "umat Islam dianantirikan oleh pemerintah"kerap direproduksi oleh sebagian elite Islam waktu itu.Fakta ini menunjukkan betapa minoritas dipandang olehkomunitas muslim tidak semata sebagai fakta adanyakelompok-kelompok yang berada diluar komunitas Islamdengan identitas yang beragam, akan tetapi minoritasjustru menjadi sebentuk mental yang mendominasi carapandang umat Islam dalam melihat perbedaan. Sebagiankelompok Islam menganggap pembangunan sebagai persoalanpenyimpangan akidah. Tugas mereka adalah mengingatkanterjadinya penyimpangan akidah tersebut.

Meskipun umat Islam menjadi mayoritas di Indonesia,selama beberapa periode di bawah tekanan pemerintahanSoeharto, hubungan agama (Islam) dan negara terus beradadalam silang sengketa. Pemahaman klasik mengenaimodernisasi yang mengakibatkan hubungan-hubungan

keagamaan di masyarakat yang semakin longgar tidakterbukti. Sebaliknya, tuntutan umat Islam terhadappemerintah untuk melonggarkan ekspresi keberagamaannyayang tak pernah dipenuhi semakin menicptakan konfrontasi.Misalnya peristiwa ini terjadi pada tahun 1974, dimanaterjadi tuntutan terhadap pemerintah untuk memenuhi hakmenjalankan "syariah". Golongan Islam mengusulkan UUPerkawinan yang salah satu isinya menegaskan laranganperkawinan beda agama. Konfrontasi terhadap perkawinanbeda agama mempersulit pendirian yang lebih moderat danterbuka dalam menyimak perubahan-perubahan yang terjadi.Pada masa ini, proyeksi umat Islam mengenai masa depanbersifat asimetris dengan apa yang selama ini dibayangkanoleh pemerintah. Pendirian umat Islam yang memperjuangkanUndang Undang ini harus dilihat sebagai meningkatnyagejala konservatisme. Dalam konteks seperti apa danmengapa gejala ini menguat di kalangan umat Islam menjadipenting untuk dicermati.

Gejala ini timbul karena gejolak politik, sebagiankarena friksi di kalangan elite. Konflik ini berhubungandengan kepentingan kelompok yang tidak diakomodasi olehrezim yang ada. Orde Baru tidak menginginkan pengaruhIslam berkembang lebih luas. Pemahaman terhadap falsafahPancasila tidak dapat menampung aspirasi-aspirasi politikkeagamaan. Padahal, dalam kekuasaan kolonial Belanda,kelompok Islam menikmati dualisme hukum, yakni tundukpada hukum kolonial sembari pada saat yang sama hukumkolonial mengakomodasi beberapa hukum syariat Islam.Unifikasi hukum yang dikehendaki pemerintahan Orde Barutidak disambut dengan tangan terbuka. Kehendak untukmelakukan unifikasi hukum justru dicurigai sebagai bagiandari skenario kristenisasi. Jadi, konflik dan keteganganseputar isu Islamisasi dan kristenisasi menjadi ganjalansekaligus menciptakan sikap perlawanan terhadap kebijakanpemerintah yang dianggap kurang mengakomodasi kepentinganIslam.

Isu kristenisasi mencuat sebagai respon atasgolongan militer yang memperlihatkan sikap islamophopia.Benny Murdani dikenal sebagai elite militer yang palinggetol melancarkan serangan terhadap radikalisme Islam.Pandangan Murdani semakin membuncah bersamaan denganperistiwa kekerasan; pengeboman terhadap Candi Borobudur,

konflik Lampung, dan lain-lain. Dipihak lain, Murdanidituding sebagai otak yang turut memojokkan kelompokIslam. Bahkan kedekatan Murdani dengan Soeharto dan IbuTien semakin menciptakan kecurigaan atas upaya-upayauntuk memberangus aspirasi Islam. Kroni-kroni Soehartodari kalangan nonmuslim terus menjadi bahan pergunjingandi kalangan Islam. Kredibilitas negara terusdipertanyakan oleh elite-elite Islam. Pada masa itu,kristenisasi menjadi persoalan sensitif. Ini misalnyaterekam dari sedikit biografi Buya Hamka, salah satutokoh Islam yang berpengaruh pada masa Orde Baru,

Dalam setiap kesempatan khutbah, BuyaHamka yang prihatin dengan guritakristenisasi yang sedang menggeliat ketikaitu, bersuara lantang di hadapan umat agarmewaspadai sepak terjang kelompok Kristenyang berusaha memurtadkan kaum Muslimin."Modernisasi bukan berarti westernisasi,dan bukan pula Kristenisasi," demikianketegasan yang sering diulang-ulang olehHamka ketika ditanya para wartawan. Dalamsetiap khutbah di Masjid Al-Azhar, Jakarta,Hamka juga menegaskan bahwa misi zendingKristen yang sedang bergeliat pada masa itutelah dirasuki dendam Perang Salib untukmenghabisi umat Islam. "Kristen lebihberbahaya dari Komunis," ujar Hamka14.

Konflik Islam versus Pemerintah kembali terjadi ketikarezim Soeharto memaksa Pancasila sebagai asas tunggal.Seluruh elemen organisasi di masyarakat wajibmencantumkan Pancasila sebagai asas paling tinggi sebagaiasas keorganisasian. Bagi Soeharto sendiri kebijakan inisebagai upayanya mengorporatisasi masyarakat Indonesia.Sebagai dasar bagi bangunan Orde Barunya,

Keputusan ini merupakan langkah yang kitaambil guna meletakkan kerangka landasan dibidang ideologi dan politik sebagai

14 Buaya Hamka dan Sikap Tegas Terhadap Kristenisasi, dalam, http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41025:buya-hamka-dan-sikap-tegas-terhadap-kristenisasi&catid=68:islam-dunia&Itemid=175

persiapan menuju tahap tinggal landasnanti…Tujuan kita tidak lain adalahmenunggalkan semua lapisan, golongan,kekuatan dan generasi bangsa kita dengandasar, ideologi dan cita-cita bangsa dannegaranya. Dengan demikian, seluruhlapisan, golongan dan kekuatan bangsa kitaakan dapat terhindar dari konflik-konflikbatin dan ketegangan yang menjadi sumberketegangan-ketegangan yang menjadi sumberperpecahan dan luka-luka bangsa15.

Bagi kalangan Islam kebijakan ini jelas pemaksaan.Akibatnya, pemaksaan ini ditanggapi secara polemis dikalangan Islam. Sebagian organisasi Islam menerima,meskipun dengan catatan, sebagian lagi menolak.Penerimaan terhadap kebijakan ini lebih disebabkan olehsikap kooperatif yang ditempuh oleh lembaga tersebut.Sementara itu, sikap Murdani sendiri yang dikenalberpembawaan keras dan tanpa tedeng aling-aling menampakkanloyalitasnya terhadap bentuk negara Pancasila dan netralterhadap agama menciptakan posisinya sebagai musuhbersama umat Islam. Kekuatannya yang terus taktertandingi, kemampuannya mendayagunakan kekuatan militerprofesional menjadi hantu tersendiri di kalangankelompok-kelompok sipil. Soeharto dengan kecerdikannya,tak menutup mata dengan ketegangan ini.

Arus balik mulai mengemuka, ketika kekuatan Islamsemakin tak bisa dibungkam diberi ruang oleh Soeharto.Bangkitnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)yang dimotori BJ Habibie atas restu Soeharto. Dariperspektif politik, sudut pandang kepentingan Soehartodan terjadinya pergeseran dan pertempuran antar elitepolitik di sekitar Soeharto merupakan fakta yang tak bisadielakkan atas kemunculan ICMI.

Meskipun demikian, dibalik kekuatan ICMI yangdikesankan boneka Habibie-Soeharto, beberapa elite dantokoh Islam turut memainkan peran dalam menyemai "prosesislamisasi". Menurut Robert W.Hefner, kebangkitan ICMIdianggap sebagai cermin kebangkitan kelas menengah yang

15 Elson, Robert Edwrad, Soeharto, Sebuah Biografi Politik. Jakarta: MINDA, 2001. hal, 459.

gelombangnya sudah mulai sejak tahun 1980an. Kebangkitankelas menengah ini merupakan gelombang yang takterelakkan seturut perkembangan generasi baru Orde Baru.Di satu sisi, generasi ini merupakan hasil dariperkembangan-perkembangan baru akibat pembangunan danmodernisasi, di sisi lain, menguatnya kelas menengahIslam diakibatkan oleh kekecewaan-kekecewaan ketikaaspirasi generasi ini tak bisa ditampung oleh kekuatanstatus quo16. Bukannya kelas ini mengikuti jalur ideologinegara, sebagian besar kelompok kelas menengah baru inimenolak budaya urban yang didominasi oleh sebentuk gayahidup Barat yang hedonis-sekuler sekaligus mensubversipola-pola kebijakan negara yang islamophobia.

Paska Orde Baru, Relasi Islam-Kristen di TengahGlobalisasi dan Demokratisasi

Deskripsi relasi Islam versus negara seperti diatastak bisa melihat lebih dekat seberapa jauh kekuatanmasyarakat, massa sebagai arus bawah berperanmendinamisasi hubungan-hubungan tersebut. Pada masa OrdeBaru, kita tidak dapat berharap banyak atas kajian-kajiansosial yang mengemukakan persoalan ini. Meskipundemikian, gelombang keterbukaan yang sinyalnya mulaidibuka sedikit-sedikit oleh Soeharto di awal 1990an,patut dijadikan babakan baru bagi turut sertanyakekuatan-kekuatan nonelite dalam menentukan arahdemokratisasi di Indonesia.

Seturut wacana demokratisasi, kekuatan arus bawahmenjadi salah satu aspek yang penting dicermati.Demokratisasi di Eropa Timur, Asia dan negara-negaraTimur Tengah saat ini selain dipicu oleh faktor-faktorelitis, arus bawah dari kalangan masyarakat, dimanamereka lebih cenderung dilihat secara apolitis jugamemiliki peran signifikan17. Di Indonesia sendiri, barisanmahasiswa, anak-anak jalanan, dan kalangan masyarakatumum dalam memenuhi jalan-jalan raya di Jakarta danYogyakarta 1998 dalam meruntuhkan Soeharto juga merupakanfaktor yang tidak bisa dikesampingkan.

16 lihat, Robert W Hefner, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas MenengahIndonesia. Yogyakarta, Tiara Wacana. Tahun 1995. 17 Lihat Politik Arus Bawah, dalam, AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1996.

Revolusi musim semi di Mesir 2011 disinyalirmemiliki kemiripan dengan demokratisasi 1998 diIndonesia. Demokratisasi di Yaman, Libya dimana terjadiperlawanan sengit dari ribuan orang yang memadati jalan-jalan di Tripoli turut melawan kediktatoran Khaddafi jugafenomena gejala perlawanan arus bawah. Beberapa sumbermenyebutkan demokratisasi ini diperluas oleh perluasanteknologi sosial media yang menjadi fenomena global saatini. Lepas dari harapan dan imajinasi yang berlebihanatas kekuatan massa ini, keraguan mengenai peran-peransignifikan mereka juga tidak memiliki argumentasi yangkuat. Jejaring sosial yang terglobalisasi, komunikasitatap muka yang termediasi oleh sosial media dankeragaman cara berkomunikasi sebagai akibat darikonvergensi teknologi saat ini memiliki peran pentingdalam memperluas arus demokratisasi.

Arus pergulatan mereka ini mau tidak mau memperkuatkembali kebutuhan untuk melihat arus bawah dari kalanganmasyarakat yang selama ini kurang dilihat sebagaikekuatan politis. Mereka lebih dilihat sebagai obyekperubahan, tidak jarang peran mereka dihasilkan dariproses mobilisasi yang kurang partisipatif.

Meskipun tidak banyak studi yang secara eksplisitmenjelaskan peran politik arus bawah ini, beberapainformasi memberikan petunjuk atas peran dan dinamikasaat ini. Misalnya informasi dari hasil survei yangdisebar ke masyarakat umum. Contoh paling menarik yangbisa kita analisis lebih lebih jauh adalah terkait surveiyang menggambarkan kecenderungan dan dinamika politikanak-anak muda, dan beberapa kelompok masyarakat saatini. Misalnya, merujuk survei LSI (Lembaha SurveiIndonesia), yang menggambarkan preferensi politik umatIslam saat ini yang sebagian besar tidak lagi memilihparpol berbasis agama. Meskipun survei ini sekedarmendeskripsikan angka, setidaknya dari survei ini dapatdisimpulkan adanya pergeseran penting politik massa umatIslam. Survei ini memperkuat argumentasi lain yangmenyatakan bahwa kredibilitas partai politik berbasisagama semakin menurun. Di pihak lain, kondisi inimenunjukkan kekuatan masyarakat yang semakin mandiridalam menghadapi gempuran doktrin-doktrin politisasiagama. Persoalan korupsi, kinerja elite politik dan

segudang masalah sosial yang tak tertangani didugamenjadi referensi mutakhir yang mendorong pergeserankecenderungan umat Islam saat ini.

Kemenangan SBY menjadi presiden pada tahun 2004 danditeruskan sampai periode kedua, 2009, membuktikankeruntuhan politik berbasis agama. Berdasarkan hasilpemilu 2004, tokoh-tokoh Islam seperti Amien Rais, HamzahHaz bukan menjadi pilihan terbanyak umat Islam diIndonesia sebagai presiden. Pilihan paling populer dikalangan umat Islam justru tertuju kepada tokoh SBY,Megawati Soekarnoputri yang notabene bukan dari kalangansantri. Fenomena ini setidaknya menunjukkan bahwa latarbelakang agama bukan sandaran bagi pilihan politikpenduduk Islam di Indonesia.

Survei berikutnya yang tak kalah menarik adalahmaraknya kecenderungan anak muda muslim yang dianggapmendukung terorisme. Survei ini dilakukan lembaga Lekip.Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasikecenderungan radikalisme keagamaan di sekolah danmenjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kecenderunganradikalisme tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulanOktober 2010 hingga Januari 2011 lalu terhadap siswa danguru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek. Metodeyang dilakukan yakni dengan survei melalui wawancaratatap-muka dengan panduan kuesioner. Dari hasilpenelitian itu diketahui tiga kecenderungan, yang terbagidalam:1. Kecenderungan radikalisme ideologis, 2.Dukungan, Kesediaan & Partisipasi Atas Kekerasan, 3.Tingkat Kesediaan terhadap tindakan18. Hasilnya adalahsebagai berikut,

Tingkat pengenalan atas organisasi radikal, guru PAI66,4 %, siswa 25,7 %

Tingkat kesetujuan atas organisasi radikal, guru PAI23,6 %, siswa 12,1 %

Tingkat pengenalan pada tokoh radikal, guru PAI 59,2%, siswa 26,6 %.

Tingkat kesetujuan kepada tokoh radikal, guru PAI23,8 %, siswa 13,4 %.

Menangkap atau menghakimi pasangan bukan suamiistri, guru 48,2 %, siswa 74,3 %

18 lihat, http://library.studycycle.org/category/kasus-terorisme-oleh-remaja/

Perlawanan terhadap barat atas pengeboman yangdilakukan pelaku teroris, guru 7,5%, siswa 14,2 %.

Membantu umat Islam di daerah konflik bersenjata,guru 37,8 %, siswa 48,9 %.

Penyegelan dan perusakan rumah ibadah yangbermasalah, guru 40,9 %, siswa 52,3 %.

Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota alirankeagamaan sesat, guru 38,6%, siswa 68,0 %.

Penyegelan dan perusakan tempat hiburan malam, guru43,7%, siswa 75,3 %.

Pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dariancaman agama lain, guru 32,4%, siswa 43,3 %.

Pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah bermasalah,guru 24,5%, siswa 41,1 %.

Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaansesat, guru 22,7%, siswa 51,3 %.

Pengrusakan tempat hiburan malam, guru 28,1%, siswa58,0 %.

Penangkapan dan mengkahimi pasangan bukan suamiistri, guru 51,9%, siswa33,1 %. Yang menarik dari survei ini adalah terekamnya

pendapat masyarakat, khususnya dari kalangan non eliteyang selama ini tidak pernah disuarakan. Meskipundemikian, pengorganisasian melalui survei jelasbermasalah, karena menyajikan suara massa sebatas angka19.Kita tidak mesti berhenti dengan penjelasan angka ini.Jika didalami kembali pandangan dari sebagian kelompokmasyarakat ini, maka tidak terelakkan betapa persoalanradikalisme, pandangan sumir mengenai keberagaman yangdirepresentasikan melalui angka diatas tidak mungkindisimpulkan dan berhenti pada pandangan negatif mengenaisikap keagamaan yang konservatif dan sempit20. Survei-

19 Metode survei sebagai bagian dari pendekatan positivistik sudahmendapat kritik dari berbagai ahli/ilmuwan sosial. Salah satu kritikitu menyatakan supremasi sang peneliti dengan memperlakukan subyekyang diteliti sebagai obyek (kelinci percobaan). Positivistik yangmengadopsi natural science menempatkan realitas sosial sebagai kenyatakanyang memiliki hukum-hukum tetap sudah dipatahkan bahkan sejak era MaxWeber. 20 Karena survei ini beberapa lembaga terkait merasa kebakaranjenggot, akibatnya mereka salah menafsirkan hasil survei ini.Misalnya, karena release hasil survei ini terpublikasi secaranasional, beberapa kepala lembaga pendidikan Islam terkait menyatakan

survei ini penting didalami kembali dengan memanfaatkanseluruh kajian-kajian sosial progresif yang berkembangsaat ini. Berdasarkan kelemahan-kelemahan epistemologismetode survei, adalah penting untuk mengangkat suara-suara masyarakat-bawah, kelompok massa yang selama inisekedar dijadikan obyek perubahan -- termasuk juga obyekpenelitian.

Dalam relasi kehidupan keagamaan yang kiniberlangsung, maka penting mengangkat suara kekuatan massayang berada pusat episentrum konflik. Seperti konflikpemblokiran rumah ibadah di Bekasi dan Bogor menjadipenting menyuarakan orang-orang sekitar, penduduksetempat baik dari kelompok Kristen maupun Islam;persepsi mereka, struktur sosial, dan peristiwa-peristiwa, sosial terkait konflik keagamaan tersebut.

Jadi, masalah minoritas dan konflik agama, khususnyaIslam-Kristen berada di pusat pergulatan sosial yangdinamis. Realitas sosial sangatlah kaya dengan berbagaiaktor (yang terus berubah dan dinamis), peristiwa (events),konsekuensi yang tak direncanakan atas tindakan sosialdan individu (unintended consequences of individual and social action),persepsi atas realitas yang berbeda-beda, kontingensihistoris dan seterusnya. Tugas kita semua adalah mencaripenjelasan sedetil mungkin bagaimana Pandangan-pandangankeagamaan sebagai bagian dari dinamika realitas sosialberlangsung. Itu artinya, kita perlu mencari kerangka-kerangka baru untuk melihat fenomena konflik agamasebagai persoalan sosial (konflik sosial). Lebih-lebihmenyangkut hubungan Islam-Kristen dewasa ini, sepertiterjadi di Bekasi (konflik tentang gereja HKBP) dan Bogor(konflik tentang GKI Yasmin) dibutuhkan cara dan metodebaru untuk mendapatkan penjelasan sosial yang lebihprogresif.

Kerja seperti ini sedikitnya akan menyumbangpembangunan sosial yang lebih baik, khususnya dalamkaitannya dengan pengembangan kehidupan keagamaan yanglebih demokratis. Hadirnya kehidupan keagamaan yang lebihdemokratis dengan sendirinya turut merubah konstruksisosial umat Islam dimasa kini dan mendatang, dan tentusaja relasi mayoritas-minoritas dan hubungan sosial laindi tengah masyarakat yang beragam akan dengan mudah

kruikulum sekolah Islam tidak mengajarkan terorisme dan kekerasan.

dihadapi dengan rasa damai -- meskipun ini bukan sesuatuyang mudah.