MANIFESTASI HUKUM RIBA DI ERA MODERN
-
Upload
iainsalatiga -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of MANIFESTASI HUKUM RIBA DI ERA MODERN
MAKALAH
FIQH MUAMALAH
REINTERPRETASI MAKNA RIBA: MANIFESTASI HUKUM
RIBA DI ERA MODERN
(Disusun sebagai tugas akhir Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Fiqh
Muamalah dan dikumpulkan pada tanggal 23 Desember 2014)
Dosen Pengampu:
Qi Mangku B, Lc., M.S.I
Disusun oleh:
HELMI SUSANTI
NIM: 213-13-153
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH S1
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI .................................................
............................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ...............................
.................................. 1
B. Rumusan
Masalah ................................
............................ 2
C. Tujuan .................................
..........................................
.... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
Riba ...................................
.................................. 3
ii
1. Hukum
Riba .................................
............................... 3
2. Jenis-jenis
Riba .................................
.......................... 6
3. Dampak
Riba .................................
.............................. 6
B. Manifestasi Hukum Riba di Era Kontemporer
................. 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................
..........................................
. 8
B. Saran ..................................
..........................................
...... 8
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan ekonomi yang merugikan orang lain, secara
tegas dilarang oleh agama. Alquran dengan tegas
mengungkapkan larangan pratek riba, karena dalam riba
terdapat unsur pemerasan (eksploitasi) yang sangat kejam,
dan dapat menyengsarakan orang lain.riba merupakan hal
yang sangat mengancam masyarakat. Dimana riba itu
bertentangan dengan jiwa-sosial. Riba memeras darah
seseorang yang membutuhkan pertolongan dalam keadaan
terdesak. Kesempitan itu oleh setengah manusia
dijadikan kesempatan. Kesempatan untuk menarik
keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan sebesar-
besarnya. “kesempatan menjual-belikan kebutuhan
manusia”. Kebutuhan adalah suatu desakan hidup yang
harus diatasi diluar keinginan manusia. Karena itu,
semua agama dan ahli filsafatpun sependapat untuk
mengharamkan riba. Pada dasarnya agama-agama itu
menyuruh adanya persaudaraan yang berdasarkan
perikemanusiaan dan amour propre serta social
welfare(Fachrudin, 1993: 5).
Kendati para manusia saat ini mengerti dan memahami
akan haramnya riba, tapi mereka hanya menganggap remeh
akan riba. Namun mereka senantiasa lebih senang tetap
1
menggunakan sistem-sistem transaksi perekonomian yang
mengandung unsur riba. Karena anggapan dari sebagian
besar orang bahwa dalam era sekarang ini adalah era
dimana manusia harus melangkah cerdik untuk memerangi
suatu kerugian, karena semakin ketatnya persaingan
dalam hidup. Langkah disini dimaksudkan bahwa, dimana
mereka lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri
tanpa memperdulikan orang lain menderita atau tidak
akibat dari perbuatannya.
Pergulatan intelektual dan perkembangan zaman
menimbulkan berbagai perspektif mengenai konsep
penghukuman riba. Apakah riba itu dibolehkan atau
diharamkan? Apakah riba itu sama dengan bunga bank?
Tentu hal ini menimbulkan berbagai kontradiksi dan
debatable dikalangan cendekiawan Muslim. Namun secara
garis besar pendapat mengenai keharaman bunga bank
banyak dilontarkan oleh para ulama atau ahli hukum
Islam yang berasal dari kalangan tradisional dan
konservatif. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa
bunga bank itu halal, dilontarkan oleh para ulama yang
berasal dari kalangan modernis (Tsani, 2009: 4).
Sesungguhnya riba telah cukup jelas diungkapkan
oleh Allah di dalam Alquran (QS. 2: 275, 276, 278,
279. QS. 3: 130. QS. 4: 161. QS. 30: 39). Namun
perbedaan kondisi sosial masyarakat mengakibatkan
perbedaan penafsiran mengenai sejumlah ayat-ayat riba.
2
Perkembangan kebutuhan manusia pun ikut mewarnai aksi
dalam penentuan hukum riba. Karena sistem perbankan di
era modern ini tidak akan terlepas dari produk bunga
bank. Tentu hal ini menambah keruetan di dalam
pergulatan intelektual muslim. Akan tetapi, sentimen
anti bunga bank jarang diterjemahkan ke dalam tindakan
yang efektif.
Berangkat dari titik inilah, akan menarik jika kita
kaji ulang mengenai makna riba itu sendiri. Sekaligus
menelisik mengenai implementasi terhadap hukum-hukum
riba. Sehingga dapat diketahui mengapa di era
kontemporer ini, riba menjadi sebuah produk budaya
membumi yang sering dipraktekan oleh berbagai
kalangan. Untuk itulah penulis tertarik untuk
melakukan penulisan makalah yang berjudul
“REINTERPRETASI MAKNA RIBA: MANIFESTASI HUKUM RIBA DI
ERA MODERN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka
makalah ini difokuskan kepada hal-hal berikut:
1. Apa definisi dari riba, yang meliputi jenis-
jenis riba, hukum riba, dan dampak riba?
2. Bagaimana implementasi hukum riba di era
modern?
C. Tujuan
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini ialah:
3
1. Untuk mengetahui pengertian riba, jenis-jenis
riba, bagaimana hukum dan dampaknya.
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi hukum
riba di era modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar. Menurut istilah teknis,
ribaberarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Ada beberapa pendapat yang
menjelaskan tentang riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam (Ali, 2008: 88).
1. Hukum Larangan Riba
Umat Islam dilarang mengambil riba apa pun
jenisnnya dan berapa pun jumlahnya. Larangan supaya
umat Islam tidak melibatkan diri dengan
ribabersumber dari berbagai surah dalam Al-Quran dan
hadits Rasulullah SAW (Antonio, 2001: 48).
a. Larangan Riba dalam Al-Quran
4
Dalam Al-quran larangan riba diturunkan dalam
empat tahap yaitu sebagai berikut.
Tahab pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman
riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
Artinya:“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambahpada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yangkamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yangberbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan(pahalanya).” (ar-Ruum: 39)
Tahab kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang
buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Artinya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kamiharamkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yangdahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyakmenghalangi (manusia) dari jalan Allah,dan disebabkan merekamemakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarangdaripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orangdengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”(an-Nisaa’: 160-161)
5
Tahab ketiga, riba dilarang dengan sikaikan
kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allahsupaya kamu mendapat keberuntungan.”(Ali Imran: 130)
Tahap terakhir, Allah AWT dengan jelas dan tegas
mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil
dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.
Artinya:“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan(meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah danRasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (daripengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidakMenganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(al-Baqarah: 278-279)
b. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam hukum islam tidak hanya
merujuk kepada Alquran saja, melaikan juga
ditemukan dasar hukum di dalam hadis. Posisi umum
hadis terhadap Alquran adalah menjelaskan
aturannya tentang pelarangan riba secara rinci.
6
Hal dimaksud, dapat dilihat dalam amanat Nabi
Muhammad Rasulullah SAW pada tanggal 9 Dzulhijjah
tahun 10 Hijriah, yang menekankan sikap ajaran
agama islam tentang pelanggaran riba. Hadis
dimaksud, diungkap artinya sebagai berikut(Ali,
2008: 103).
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Diapasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarangkamu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat ribaharus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hakkamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalamiketidakadilan.”
Adapun hadis yang menguraikan tentang
melarang masalah riba, yaitu:
“Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, Ayahku membeliseorang budak yang pekerjaannya membekam(mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudianmemusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Akubertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya.Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah saw. melarang untukmenerima uang dari transakasi darah, anjing, dan kasabbudak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentatodan yang minta ditato, menerima dan memberi riba sertabeliau melaknat pembuat gambar.”(HR. Bukhari No.2084 kitab Al-Buyu)
2. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi
dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual
beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qarh
7
dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual
beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
a.Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).
b.Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu
yang ditetapkan.
c.Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi.
d.Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jeniis
barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan
antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian(Antonio, 2001: 41).
3. Dampak Riba
8
Adapun dampak dari adanya riba dalam kehidupan
manusia yaitu dari segi ekonomi dan sosial
kemasyarakatan.
a.Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak
inflator yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya
uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu
elemen dari penentuan harga adalah suku bunga.
Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga
harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan
rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan
tingginya biaya bunga, akan mejadikan peminjam
tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlbih
lagi bila bunga atas bunga tersebuut dibungakan.
Contoh paling nyata adalah utang negara-negara
berkembang kepada negara-negara naju. Meskipun
disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga
rendah, pada akhirnya negara-negara pengutangharus
berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya.
Akibatnya, terjadilah utang terus menerus. Ini
yang menjjelaskan proses terjadinya kemiskinan
terstrukturl yang menimpa lebih dari separoh
masyarakat dunia (Antonio, 2001: 67).
b.Sosial Kemasyarakatan
9
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara
tidak adil. Para pengambil riba menggunakan
uangnya untuk memerintahkan orang lain agar
berusaha dan mengembalikan, misalnya dua puluh
lima persen lebih tinggi dari jumlah yang
dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa
menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang
itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua
puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang
beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa
memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa
pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan:
berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang
sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti
untung (Antonio, 2001: 67).
B. Manifestasi Hukum Riba di Era Kontemporer
Sekalipun hukum riba telah jelas disebutkan di
dalam Alquran dan Hadist, namun praktek riba masih
banyak ditemukan diberbagai sistem perbankan maupun
individu. Hal ini dikarenakan belum adanya
implementasi terhadap hukum-hukum riba. Perdebatan
yang pelik terhadap status hukum riba, menambah
kurangnya antusiasme individu maupun kelompok untuk
meninggalkan riba. Seakan-akan riba telah menjadi
sebuah tradisi (budya) di dalam masyarakat.
10
Sebuah perwujudan nyata dari konsep hukum riba
rupanya memiliki banyak varian. Dari mulai hadirnya
produk perbankan yang berstatus konvensional maupun
syariah. Tetap saja keduanya tidak bisa terlepas dari
masalah bunga bank. Walaupun pada dasarnya lembaga
keuangan syariah menerapkan hukum-hukum Islam di
dalamnya, ternyata belum mampu mengatasi permasalahan
bunga bank. Sehingga ketika berbicara mengenai riba,
akan selalu terhubung dengan bunga bank. Akan tetapi
seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Syahrur,
ternyata term riba beroposisi biner dengan term zakat
dan shadaqah (Mustaqim, 2012: 285).
Pada masa sekarang, masyarakat dihadapkan pada
masalah bank, yang dalam prakteknya memberlakukan
sistem bunga pada siapa saja yang terlibat transaksi
di dalamnya. Melakukan transaksi dengan bank sama
melakukan perbuatan riba. Akan tetapi, di masa
sekarang ini bunga bank menjadi suatu permasalahan
yang tidak dapat dihindari oleh banyak orang yang
melakukan tindakan ekonomi, khususnya yang bergerak
dalam bidang perbankan. Persoalan halal atau tidaknya
bunga bank sebagai instrumen keuangan sudah merupakan
hal yang kontroversial dalam dunia Islam sejak lama.
Kontroversi tersebut berkaitan dengan penafsiran ayat-
ayat Alquran yang melarang praktek riba. Berdasarkan
penafsirannya, ada sebagian kaum muslim yang
11
menyimpulkan bahwa kontrak pinjam adalah perbuatan
yang tidak bermoral, tidak sah dan haram (Tsani, 2009:
2).
Pada kenyataannya sebagian ulama menetapkan dengan
tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan
riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya
merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah
dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat
dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma
dalam ajaran Islam (al-Mushlih dan ash-Shawi, 2004:
345). Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba
tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak
bermoral akan tetapi merupakan sesuatu yang menghambat
aktifitas perekonomian masyarakat, sehingga orang kaya
akan semakin kaya sedangkan orang miskin akan semakin
miskin dan tertindas.
Murtada Mutahari menegaskan bahwa Islam secara
general mengharamkan semua praktek pembungaan uang,
tanpa adanya usaha. Pinjam uang pada dasarnya haruslah
dilandaskan pada prinsip kasih sayang dan tolong
menolong, bukannya malah mencekik pihak peminjam
dengan membebani bunga yang nantinya akan
mendestruksikan dirinya sendiri (Tsani, 2009: 4).
Senada dengan itu, Muhammad Syafi’i Antonio
memutuskan bahwa kedudukan bunga bank adalah riba dan
hukumnya haram, dengan menggunakan beberapa pandangan
12
yaitu pandangan agama (normatif), ushul fiqh dan pandangan
ekonomi, di mana persoalan riba dan bunga bank ini
bukan hanya persoalan umat Islam saja melainkan
seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini. Kemudian
Antonio dengan tegas mengkritik cendekiawan yang
menghalalkan riba, mereka bukan dalam kategori mukallaf,
mereka kurang komprehensif dalam pemahaman dan
pengambilan dalil hukumnya (Antonio, 2001: 54).
Begitupun Prof. M. Abdul Manan dalam bukunya yang
berjudul Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terjemahan M.
Nastangin, “riba dan bunga bank adalah satu jenis,
oleh karena itu menyebut riba dengan bunga tidak akan
mengubah sifatnya, sebab bunga adalah suatu tambahan
modal yang dipinjam. Oleh karena itu, bunga adalah
riba dalam jiwa maupun dalam peraturan hukum Islam”
(Manan, 1995:164-165).
Akan tetapi, bagi kaum modernis tampak dengan
jelas bahwa apa yang diharamkan adalah adanya
eksploitasi atas orang-orang miskin, bukan pada konsep
bunga itu sendiri (legal-form) menurut hukum Islam, apa
yang diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha
mengambil untung dari penderitaan orang lain. Karena
perlu diingat seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Abduh yang berpendapat bahwa bunga bank tidak sama
dengan riba. Dalam praktek riba terdapat unsur
pemerasan, sedangkan bunga bank tidak menimbulkan
13
adanya pemerasan. Abduh juga beranggapan bahwa yang
dilarang Islam adalah riba yang berlipat ganda atau
ad’afan muda’afah dan bunga bank tidak termasuk di
dalamnya (Tsani, 2009: 4-5).
Hal ini juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman
sebagai salah satu cendekiawan kontemporer berusaha
menyikapi permasalahan riba dengan lebih moderat,
sambil memperhatikan spirit Alquran dan sunah serta
menekankan pada aspek moralitas atas pelarangannya dan
menomor-duakan "legal-form" riba, seperti yang
ditafsirkan dalam fiqh. Rahman melakukan penafsiran
terhadap ayat-ayat Alquran tentang riba dengan
menggunakan pendekatan sosio-historis, dia melacak
bagaimana situasi sosio-historis di masyarakat Arab
ketika itu. Kemudian melalui metode hermeneutika double
movement dia berupaya memahami ayat-ayat Alquran dalam
konteksnya, serta memproyeksikannya, ke dalam situasi
masa kini.Bagi Fazlur Rahman, larangan riba harus
dipahami dalam konteks umum masyarakat Arab ketika
ayat itu turun. Menurut Rahman, riba yang dilarang
oleh Islam ialah riba yang dilakukan atas dasar
eksploitasi terhadap kaum ekonomi lemah. Dengan
demikian, selagi bank tidak menarik bunga yang
berlipat ganda maka hal itu dapat dibenarkan
(Mustaqim, 2012: 283-284).
14
Seperti dikutip oleh Antonio (1999: 35), lebih
lanjut Rahman mengkritik pendapat ulama klasik bahwa,
“mayoritas kaum muslim yang bermaksud baik dengan
bijaksana tetap berpegang teguh pada keimanannya,
menyatakan bahwa Alquran melarangseluruh bunga bank.
Pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara mengabaikan
bentuk riba yang bagaimanakah yang menurut sejarah
dilarang, mengapa Alquran mencelanya sebagai perbuatan
keji dan kejam mengapa menganggapnya sebagai tindakan
eksploitatif serta melarangnya, dan apa sebenarnya
fungsi bunga bank pada saat ini”.
Begitupun Muhammad Syahrur yang merumuskan
prinsip-prinsip sistem perbankan Islami (al-asas an-nizham
al ashrifi al-Islami) yaitu,Pertama, Mustahiq Az-Zakkah yakni
mereka yang berhak menerima zakat. Mereka ini tidak
diberikan pinjaman, tetapi diberi zakat atau sedekah.
Kedua, dalam kondisi tersebut, sangat mungkin pihak
bank memberi kredit tanpa bunga terhadap mereka yang
berhak menerima sedekah. Hal itu merupakan bentuk
aplikasi dari batas minimal (yakni: bunga nol persen)
dalam masalah bunga bank. Ketiga, dalam sistem perbankan
Islam, tidak boleh ada pinjaman yang tempo
pembayarannya tidak dibatasi sehingga bunga dapat
melebihi batas maksimal yang dibolehkan. Jika hal ini
terjadi, maka pihak piutang berhak menolak pembayaran
bunga yang melebihi batas maksimal karena sudah
15
berlipat ganda (Adh’afan mudha’afah) (Mustaqim, 2012:
287).
Di era kontemporer meskipun belum bisa sepenuhnya
menghilangkan praktek riba, namun pada dasarnya
praktek riba sedikit mengalami pergeseran kedudukan.
Riba dalam istilah bunga bank, tidak lagi sepenuhnya
melakukan eksploitasi terhadap kaum lemah (miskin).
Terhadap implementasi hukum riba, sejatinya bergantung
kepada pola penafsiran ayat-ayat Alquran. Perbedaan
penafsiran yang sering disebabkan oleh kepentingan
politik menyebabkan sistem tatanan sosial yang
terkadang ambigu. Riba atau bunga bank menjadi sebuah
ambivalensi dalam agama. Kedudukan dan hukumnya yang
belum jelas mengakibatkan riba atau bunga bank telah
meresap ke dalam sendi-sendi masyarakat sehingga
menjadi sebuah tradisi yang utuh (massif). Masyarakat
yang telah terlanjur merasa nyaman, menjadi sulit
untuk membiasakan diri tanpa adanya bunga dari bank.
Pelarangan hukum riba yang tidak dibarengi dengan
solusi yang konkret sehingga hanya menjadi sebuah
tindakan yang kurang efektif.
Adapun permasalahan bunga bank termasuk pada
kategori riba atau bukan, masih terdapat perselisihan
dalam hal ini. Bunga di berbagai lembaga keuangan
sebagai konsekwensi utang piutang, satu pihak
terperangkap dalam formulasi riba, akan tetapi di sisi
16
lain mendatangkan keuntungan. Maka hal inilah yang
menjadi masalah serius dalam kajian hukum Islam.
Keadaan Perbankan Islam dirancang untuk terbinanya
hubungan kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan
berbagi hasil usaha antara pemilik modal yang
menyimpan uangnya di bank selaku pengelola dana dari
masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus
peminjam dana atau pengelola usaha (Kara, 2005: 71-
73). Oleh karena itu, dari dahulu sampai sekarang
masih belum ada kata final dalam penyelesaian status
hukum riba dan bunga bank yang disepakati oleh semua
pihak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riba merupakan kegiatan eksploitasi dan tidak
memakai konsep etika atau moralitas. Allah
mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi,
hal ini disebabkan menzalimi orang lain dan adanya
unsur ketidakadilan (unjustice). Sedang riba menurut
pengertian lughawi atau etimologi adalah bertambah. Di
dalam pengertian teknik hukum syariah berarti akad
yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak
diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’
atau terlambat menerimanya. Di dalam praktiknya riba
17
terbagi menjadi empat bagian yaitu riba qard, jahiliyyah,
fadhl dan nasi’ah.
Sistem perbankan yang berlaku sekarang ini
diterima sebagai realita yang tidak dapat kita
hindari. Oleh karenanya umat Islam boleh bermuamalat
dengan bank-bank atas dasar keadaan darurat. Di dalam
kenyataannya bahwa konsep riba yang tidak identik
dengan bunga bank karena bunga sama dengan uang sewa
dan sesuai dengan fitrah manusia bahwa bunga tidak
merusak kehidupan masyarakat, namun mendorong
perekonomian masyarakat. Kendati begitu, persoalan
bunga bank sebagai riba pada masa sekarang ini masih
sering diperbincangkan sehingga upaya untuk
menghindari riba mulai dilaksanakan.
B. Saran
Dalam penyusunan suatu konsep pengaturan
masyarakat dan perekonomian di dalam masyarakat Islam
yaitu dengan konsepsi “Baldatun toyyiban wa rabbun ghafur”,
agar mampu memenuhi rasa keadilan, kemakmuran materil
dan spiritual yang menuju kemakmuran dan keadilan
dunia akhirat. Kemudian, beberapa model penafsiran
terhadap riba perlu dijadikan pertimbangan dalam
merumuskan sistem dan produk perbankan yang Qur’ani,
yakni sistem perbankan yang tidak hanya berorientasi
pada profit, tetapi juga berorientasi pada nilai etis
18
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah, Jakarta:
Sinar Grafika.
Al-Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah. 2004. Fikih
Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Bagi Bankir dan
Praktisi Keuangan. Jakarta: Tazkia Institute.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke
Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Fachrudin, Fuad Mod. 1993. Riba dalam Bank, Koperasi,
Perseroan dan Asuransi. Bandung: PT. Alma’arif.
Kara, Muslimin H. 2005. Bank Syariah di Indonesia, Analisis
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah.
Yogyakarta: UII Press.
Manan, M. Abdula. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam.
terjemahan M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf.
Mustaqim, Abdul. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta: LKiS Group.