letak geografi

38
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Permasalahan sampah merupakan isu yang terus menjadi perhatian utama, karena keberadaan sampah termasuk jenis-jenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam degradasi lingkungan yang bersifat sosial (Bintarto, 1984). Sampah (solid waste) secara umum dapat diartikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau hewan yang tidak diinginkan atau digunakan lagi, baik berbentuk padat atau setengah padat (Tchobanoglous, 1993). Sampah merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang; yang merupakan hasil aktivitas manusia maupun alam yang sudah tidak digunakan lagi karena sudah diambil unsure atau fungsi utamanya (KuncoroSejati dalam Ruslinda, 2009). Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia selalu menghasilkan sampah dan hamper setiap hari manusia menghasilkan sampah. Jika sampah tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai masalah seperti masalah estetika karena bau yang ditimbulkannya, menjadi vector penyakit dan dapat menganggu kualitas tanah dan air tanah sekitarnya. Sampah berasal dari setiap aktivitas manusia yang terbuang, sehingga potensi penambahan volume sampah sangat rentan, volume sampah berbanding lurus dengan kegiatan atau tingkat konsumsi yang kita gunakan setiap 1

Transcript of letak geografi

BAB IPENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Permasalahan sampah merupakan isu yang terus

menjadi perhatian utama, karena keberadaan sampah

termasuk jenis-jenis pencemaran yang dapat digolongkan

dalam degradasi lingkungan yang bersifat sosial

(Bintarto, 1984). Sampah (solid waste) secara umum dapat

diartikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari

aktivitas manusia atau hewan yang tidak diinginkan atau

digunakan lagi, baik berbentuk padat atau setengah padat

(Tchobanoglous, 1993).

Sampah merupakan suatu bahan yang terbuang atau

dibuang; yang merupakan hasil aktivitas manusia maupun

alam yang sudah tidak digunakan lagi karena sudah

diambil unsure atau fungsi utamanya (KuncoroSejati dalam

Ruslinda, 2009). Setiap aktivitas yang dilakukan oleh

manusia selalu menghasilkan sampah dan hamper setiap

hari manusia menghasilkan sampah. Jika sampah tersebut

tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan

berbagai masalah seperti masalah estetika karena bau

yang ditimbulkannya, menjadi vector penyakit dan dapat

menganggu kualitas tanah dan air tanah sekitarnya.

Sampah berasal dari setiap aktivitas manusia yang

terbuang, sehingga potensi penambahan volume sampah

sangat rentan, volume sampah berbanding lurus dengan

kegiatan atau tingkat konsumsi yang kita gunakan setiap

1

harinya, peningkatan jumlah penduduk serta teknologi

yang digunakan. Adanya penambahan jumlah atau volume

sampah tentunya berpengaruh pada penyediaan lahan serta

perlu difikirkan bagaimana mengelolanya, agar tidak

terjadi pencemaran yang diakibatkan sampah.

Realita setiap pengelola kebersihan mengalami

kendala dan masalah dalam member pelayanan yang sesuai

dengan teknis yang diharapkan masyarakat, masih banyak

pecemaran yang diakibatkan pengelolaan yang tidak baik

sehingga terjadi berbagai pencemaran pada saat

pengelolaan sampah ; pewadahan, pengumpulan, pemindahan,

pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir, potensi

dampak yang dihasilkan seperti : (a) perkembangan vector

penyakit, (b) pencemaran udara, (c) pencemaran air, (d)

pencemaran tanah, (e) gangguan estetika, (f) dampak

social, (g) resiko lingkungan. Untuk mencegah terjadinya

gangguan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia maka

perlu dirancang suatu system pengelolaan persampahan

yang baik mulai dari sumber, pengumpulan, transportasi

hingga ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) (Rouf,2014).

Dalam perancangan system pengelolaan persampahan

suatu daerah diperlukan data mengenai timbulan sampah,

komposisi dan karakteristik sampah yang dihasilkan di

daerah yang direncanakan. Karakteristik sampah yang

dianalisis biasanya meliputi karakteristik fisik, kimia

dan biologi. Karakteristik fisik berupa factor pemadatan

dan berat jenis sampah diperlukan untuk menghitung beban

2

massa dan volume total sampah yang harus dikelola, baik

untuk system transportasi maupun di TPA. Karakteristik

kimia berupa analisis perkiraan yang terdiri dari kadar

air (kelembapan), kadar volatile dan kadar abu

diperlukan untuk perencanaan pengolahan sampah.

Saat ini hampir seluruh pengelolaan sampah berakhir

pada Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA), hal ini

menjadi beban berat bagi pengelola, yang harus

menyediakan lahan luas, penyediaan fasilitas untuk

meminimalisasi pencemaran. Berdasarkan ketentuan

Peraturan pemerintah (PP) 16/2005 tentang Pengembangan

Sistem Penyediaan Air Minum yang berkaitan dengan

perlindungan air baku, mensyaratkan beberapa ketentuan,

antara lain: (a)ketentuan penerapan standard pelayanan

minimal, (b)ketentuan metode pembuangan akhir Sanitary

landfill (Kota besar/Metropolitan) dan Controlled

landfill (kota kecil/sedang), (c)ketentuan zona

penyangga di sekitar TPA, (d)ketentuan melakukan

monitoring leachet, (e)melarang dilaksanakannya open

dumping sampai tahun 2008 (Rouf, 2014).

Persyaratan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah

yang baik sebagai berikut; (a)Lahan terpilih hendaknya

memberikan nilai tertinggi ditinjau dari berbagai aspek,

yaitu aspek kesehatan masyarakat, lingkungan hidup,

biaya, dan sosial–ekonomi, (b)Pemilihan yang dibuat

hendaknya dapat di pertanggung jawabkan, artinya harus

dapat ditunjukkan secara jelas bagaimana dan mengapa

3

suatu lokasi dipilih di antara yang lain (Damanhuri,

1995).

Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah

merupakan satu program Nasional di daerah yang berkaitan

dengan penyediaan tempat penampungan akhir sampah. UU No

18 menyatakan pada BAB XVI ketentuan Peralihan pasal 44

bahwa “Pemerintah daerah harus membuat perencanaan

penutupan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang

menggunakan system pembuangan terbuka paling lama 1

tahun terhitung sejak berlakunya Undang– undang ini”.

Hal ini mengakibatkan masing–masing kota atau kabupaten

wajib untuk merencanakan TPA yang berbasis sanitary

landfill atau controlled landfill terhitung 1 tahun

sejak undang-undang ini diberlakukan.

TPA merupakan fasilitas fisik yang digunakan untuk

tempat pengolahan akhir sampah. Pada TPA system sanitary

landfill, sampah yang diolah akan ditimbun merata secara

berlapis, kemudian dipadatkan dan ditutup dengan tanah

atau material lain pada setiap akhir hari operasi

(Tchobanolousdkk dalam Mzwar, 1993). Sampah yang

ditimbun di TPA akan mengalami reaksi fisik, kimia dan

biologi secara bersama-sama serta saling berhubungan

melalui proses dekomposisi sampah yang kemudian akan

menghasilkan gas landfill (CO2, CH4, dan H2S) dan cairan

lindi sampah (leachate). Leachate menjadi hal yang

penting diperhatikan dalam pengoperasian dan pengelolaan

TPA karena memiliki sifat mudah bereaksi dengan air,

4

tanah maupun udara sehingga dapat mengakibatkan

pencemaran lingkungan. Sedangkan gas landfill yang

terbentuk akan meningkatkan tekanan internal TPA yang

dapat menyebabkan terjadinya self combustion, keretakan

dan bocornya tanah penutup. Untuk meminimalkan resiko

lingkungan tersebut, maka penentuan lokasi TPA harus

memenuhi syarat-syarat kelayakan lingkungan.

Menurut Rahman dkk. (2008), penentuan lokasi TPA

harus memperhatikan karakteristik lokasi, kondisi social

ekonomi masyarakat, ekologi dan factor penggunaan lahan.

Rahmatiyah (2002) menjelaskan lebih rinci bahwa proses

pemilihan lokasi TPA perlu mempertimbangkan tiga hal

penting, yaitu : (a)pertimbangan operasional; secara

operasional TPA memerlukan lahan yang cukup untuk

menampung segala jenis sampah dan zonesi ketersediaan

lahan harus memperhatikan rencana regional serta aspek

aksesibilitas (keterjangkauan); (b)pertimbangan ekologi;

yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lokasi TPA

setelah tidak dipergunakan lagi; (c)pertimbangan

topografi, geologi dan hidrologi; lebih mengarah pada

aspek persyaratan fisik lahan, misalnya berdasarkan

relief atau topografi dapat dipilih lokasi-lokasi yang

bebas dari bahayab anjir ataupun erosi dan berdasarkan

aspek hidrologi, lokasi TPA harus berada di wilayah

dengan muka air tanah yang dalam, sehingga lindi sampah

tidak mencemari air tanah.

5

Di Indonesia, penentuan lokasi TPA dilakukan

berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-

1994 yang membagi criteria pemilihan lokasi TPA menjadi

tiga, yaitu : (a)kelayakan regional untuk menentukan

zone layak atau zone tidak layak, (b)kelayakan penyisih

untuk menentukan tingkat kesesuaian dari beberapa

alternative lokasi yang telah diperoleh pada penilaian

tahap pertama, dan (c)kelayakan rekomendasi untuk

menetapkan lokasi terbaik dari beberapa alternative

lokasi yang telah diperoleh pada penilaian sebelumnya.

Analisis penentuan lokasi TPA dapat dilakukan

dengan menggunakan SIG dan telah banyak diaplikasikan

(Azizi, 2008). Lunkapis (2004), mendefinisikan SIG

sebagai sistem informasi berbasis komputer yang

digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengintegrasikan,

memanipulasi, menganalisa dan menampilkan data

bereferensi geografis, sebagai alat bantu pengambilan

keputusan dalam perencanaan dan pengolahan penggunaan

lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi,

fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Setiawan

(2010), menjelaskan bahwa aplikasi SIG untuk penentuan

lokasi TPA dilakukan dengan memanfaatkan beberapa

fasilitas yang dimiliki oleh SIG, yaitu perhitungan

(calculating), pengharkatan (scorring), tumpang susun

(overlay), distance modelling (buffer), transformasi,

penyederhanaan (dissolve) dan generalisasi.

6

Kota Makassar merupakan salah satu kota yang

mengalami permasalahan kompleks di bidang persampahan.

Berdasarkan data yang didapatkan di Dinas

Pertamanan dan Kebersihan Kota Makassar, terlihat

adanya peningkatan yang cukup signifikan. Terkait

sistim penanganan sampah di Kota Makassar. Pada

tahun 2010 jumlah timbulan sampah Kota Makassar

mencapai 3.781,23 m³/hari, sedangkan yang

tertangani adalah sebesar: 3.373,42 m³/hari, yakni

hanya 89,21 persen terhadap timbulan. Pada tahun 2011

jumlah timbulan sampah mencapai 3.923,52 m³/hari,

sedangkan jumlah sampah tertangani mencapai 3.520,07

m³/hari, yakni hanya 89,72 persen terhadap timbulan.

Jumlah timbulan sampah per hari dari tahun 1997/1998

hingga tahun 2009 bertambah lebih dari 37%. (Dinas

Pertamanan dan Kebersihan Kota Makassar, 2011). Hingga

saat ini, satu-satunya TPA yang beroprasi di kota

Makassar adalah TPA Amangapa Antang yang telah digunakan

sejak than 1993. Berdasarkan hal di atas maka masalah

persampahan dewasa ini merupakan masalah yang harus di

tangani secara serius dan mendorong peneliti untuk

mengetahui kondisi kelayakan Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) Sampah Tamangapa, Antang di Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kesesuaian lahan potensial untuk Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) di Kota Makassar ?

7

2. Bagaimana kelayakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah Tamangapa, Antang di Kota Makassar?

C. Tujuan

Tujuan penelitian kesesuaian lahan potensial Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) di Kota Makassar adalah:

1. Memetakan lokasi potensial Tempat Pengolahan Akhir

(TPA) Sampah di Kota Makassar menggunakan Sistem

Informasi Geografis (SIG).

2. Menganalisis kelayakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah Tamangapa, Antang di Kota Makassar.

D. Manfaat

Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Diharapkan penelitian ini menjadi sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan.

b. Diharapkan penelitian dapat menjadi inspirasi

untuk pengembanga penanganan permasalahan sampah

di kota Makassar.

c. Diharapkan karya tulis ini menjadi pedoman bagi

peneliti dalam penulisan selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a. Bagi pemerintah, penerapan penelitian ini dapat

menjadi solusi menentuan lokasi potensial Tempat

Pengolahan Akhir (TPA) Sampah di Kota Makassar

menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

8

b. Bagi masyarakat, dengan adanya penelitian ini

dapat memberi perhatian lebih pada penanganan

permasalahan sampah di kota Makassar.

c. Bagi penulis, penelitian ini menjadi kegiatan

pembelajaran dalam pembuatan karya tulis ilmiah.

9

BAB IIFAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT

A. Faktor –Faktor Kongkrit (Fisik) Pembangunan

Menurut Damanhuri E., (1995) beberapa alasan

mengapa sebuah parameter serta kriterianya penting untuk

dipertimbangkan dalam pemilihan sebuah calon lokasi yang

diuraikan di bawah ini. Parameter penyaring yang sering

digunakan adalah:

1. Geologi

Fasilitas pembuangan sampah tidak dibenarkan

berlokasi di atas daerah yang mempunyai sifat geologi

yang dapat merusak keutuhan sarana tersebut

nanti.Daerah yang dianggap tidak layak adalah daerah

dengan formasi batuan berupa batu pasir, batu gamping

atau dolomite berongga dan batuan berkekar lainnya.

Hal ini disebabkan batuan yang berpori akan dengan

mudah meloloskan air, sehingga larutan yang terbentuk

dari penguraian sampah organic akan memasuki zona air

tanah bebas (Azikin S., 1980).

Biasanya batu lempung dan batuan kompak yang

bersifat kedap terhadap air (impermeable) lainnya

dinilai layak untuk lokasi lahan urug atau lokasi TPA

sampah. Daerah geologi lainnya yang perlu dievaluasi

adalah daerah yang mempunyai potensi gempa, misalnya

zona volkanik yang aktif akan dapat menimbulkan bahaya

pada penduduk di sekitar lokasi serta daerah longsoran

(Alzwar M., 1998).

10

2. Hidrogeologi

Dalam tinjauan geohidrologi akan diuraikan

tentang air, pengaruh topografi, dan pengaruh batuan

penyusun kerak bumi. Kandungan air dalam tanah berasal

dari resapan sebagian air hujan ke dalam celah dan

rongga batuan dan selanjutnya beredar di dalamnya,

sehingga menjadi jenuh atau mengisi penuh seluruh

rongga dan celah-celah batuan (Allen J.R.L. dalam

Miswar 1984).

Air yang berada di dalam tanah ada yang diserap

oleh mineral menjadi air Kristal atau tetap tinggal di

dalam tanah sebagai air tanah. Sebagian lagi akan

muncul dari dalam tanah atau batuan yang mempunyai

kemungkinan sebagai suatu sumber dan selanjutnya akan

beredar bersama air permukaan lainnya.

Topografi merupakan bentuk-bentuk roman muka

bumi, dimana kebanyakan bentuk topografi suatu daerah

akan berpengaruh terhadap keadaan air tanah yang

terdapat di dalamnya. Resapan air hujan yang masuk,

banyak dipengaruhi oleh sudut lereng dan faktor

vegetasi yang menutup lahan tersebut (Chay A., 1995).

Secara sektoral maupun regional kenampakan

topografi suatu daerah akan memberikan gambaran

tentang letak garis pemisah air (water devide), serta

cekungan hidrografi ke arah mana akumulasi air

tanahnya. Jika topografi menunjukkan ketidak-aturan,

11

maka muka air tanah akan terpengaruh (Verhoef, P.N.W,

1989).

Resapan air hujan kedalam air tanah akan

dipengaruhi oleh jenis batuan penyusun lapisan tanah

tersebut. Sifat atau kemampuan porositas dan

permeabilitas tanah dikendalikan oleh granulometrik

batuan penyusunnya.Makin kasar butiran makin besar

pula kemungkinan untuk bersifat permeable. Daya serap

antara batuan satu dengan lainnya juga akan berbeda,

hal ini tergantung dari jenis tekstur dan struktur

dari masing-masing batuan tersebut. Struktur batuan

yang berpengaruh terhadap resapan air serta akuifer

adalah pada struktur batuan sedimen. Dengan adanya

struktur batuan akan mempengaruhi pola aliran muka air

tanah di samping topografi (Irham, 2006).

Keberadaan air tanah dalam akuifer dapat

dibedakan menjadi dua macam yakni : air tanah bebas

dan air tanah tertekan. Ait tanah bebas terdapat pada

akuifer yang tidak dibatasi oleh lapisan yang akuiklud

sehingga air tanah masih berhubungan dengan udara yang

mempunyai tekanan 1 atmosfer.Air tanah tertekan

menempati akuifer yang tertutup oleh lapisan yang

kedap air, tidak berhubungan dengan udara sehingga

tekanan lebih besar dari 1 atmosfer (Srikandi F.,

1992).

3. Topografi

12

Tempat pengurungan sampah tidak boleh terletak

pada suatu bukit dengan lereng yang tidak stabil.Suatu

daerah dinilai lebih baik terletak di daerah landai.

Sebaliknya suatu daerah tifak layak bila terletak pada

daerah depresi yang berair, lembah-lembah yang rendah

dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan air

permukaan dan kemiringan alami lebih besar dari 20%.

Topografi dapat menunjang secara positif maupun

negative pada pembangunan sarana ini.Lokasi yang

tersembunyi di belakang bukit atau lembah mempunyai

dampak visual yang kurang, disbanding tempat yang

berlokasi di lapangan datar tanpa penghalang

pandangan. Di sisi lain, suatu lokasi di tempat

berbukit mungkin lebih sulit untuk dicapai karena

adanya lereng-lereng yang curam dan mahalnya

pembangunan jalan pada daerah berbukit. Pada lokasi

dengan relief yang cukup untuk mengisolir atau

menghalangi pemandangan dan member perlindungan

terhadap angin dan sekaligus mempunyai jalur yang

mudah untuk aktivitas operasional dianggap lebih bagus

dari daerah-daerah yang diurai sebelumnya (Hidartan

dan Hadayana 1982).

Topografi dapat juga mempengaruhi biaya bila

dikaitkan dengan kapasitas tamping. Suatu lahan yang

cekung dapat dimanfaatkan secara langsung akan sangat

disukai, disebabkan volume lahan untuk pengurungan

sampah sudah tersedia tanpa harus mengeluarkan biaya

13

operasi untuk penggalian yang mahal. Pada dasarnya,

dalam masa layan 5 – 10 tahun akan dapat bertahan.

4. Tanah

Tanah dibutuhkan baik dalam tahap pembangunan

maupun dalam tahap operasi sebagai lapisan dasar

(liner), lapisan atas, penutup antara dan harian atas

untuk tanggul-tanggul dan jalan-jalan dengan jenis

tanah yang berbeda. Beberapa kegiatan memerlukan tanah

berdeb atau tanah liat, misalnya utuk liner dan tanah

penutup final, sedangkan aktifitas lainnya memerlukan

tanah permiabel seperti pasir dan kerikil, misalnya

untuk ventilasi gas dan sistem pengumpulan lindi.

Selanjutnya menurut Surya T. D., (1992), kriteria

negara industri, lahan untuk landfill sampah kota

termasuk kategori kelas 2, yaitu lahan semi-permiabel

dengan nilai kelulusan air antara 10-5 – 10-7 cm/dt.

Untuk landfill sampah kota di Indonesia perlu

dipertimbangkan hal-hal seperti :

a. Lahan biasanya terletak di luar kota, dimana

kadangkala berdekatan dengan perumahan yang belum

terjangkau oleh sistem PDAM yang baik, sehingga

masalah pencemaran lindi perlu dipertimbangkan.

b. Intensitas hujan di Indonesia yang cukup tinggi.

Pada dasarnya tanah mempunyai kemampuan untuk

mengadsorpsi dan mendegradasi pencemar, namun adanya

lapisan liner tambahan akan lebih menjamin hal

tersebut di atas, (Chow, V.T., 1988). Walaupun tanah

14

dasar TPA sampah relatif baik jika dilihat dari sudut

kelulusan, maka tetap dibutuhkan penyiapan dasar TPA

yang baik. Disarankan bahwa dasar TPA sampah di

Indonesia di lapisi 2 x 0,25 meter tanah yang relatif

kedap. Dan dipadatkan sampai densitas proctor 95%.

Disarankan pula bahwa kemiringan dasar TPA mengarah ke

titik tertentu yaitu tempat lindi terkumpul untuk

ditangani lebih lanjut. Guna memperlancar aliran serta

menjaga agar liner tersebut tidak rusak, maka

diperlukan “karpet kerikil” setebal 20 – 40 cm. Lindi

akan terkumpul dengan baik bila dasar TPA tersebut

dilengkapi dengan pipa pengumpul lindi.

5. Tata Guna Tanah

Tempat pegurugan sampah yang menerima sampah

organik dapat menarik kehadiran burung, sehingga tidak

boleh diletakkan dalam jarak 300 meter dari landasan

lapangan terbang yang digunakan oleh penerbangan jenis

piston.

Disamping itu lokasi yang tidak boleh terletak

pada kawasan hutan lindung atau taman nasional, jenis

penggunaan tanah lainnya yang biasanya dipertimbangkan

kurang cocok untuk lokasi lahan urug adalah wilayah

konservasi lokal. Sedangkan daerah yang dianggap lebih

baik adalah pada daerah yang diperuntukkan untuk

pertanian jika dibandingkan dengan tanah untuk

perumahan, (Soemarwoto O., 1996).

15

6. Lindi

Air tanah atau air permukaan yang berinfiltrasi

kedalam timbunan sampah akan menghasilkan lindi,

larutan yang mengandung suspended solid halus yang

terlarut dan hasil buangan mikroba. Lindi dapat

mengalir keluar dari timbunan ke permukaan tanah

sebagai mata air atau perlokasi melalui tanah dan batu

dibawah timbunan (Fred L., 1986).

Dalam keadaan normal lindi ditemukan pada dasar

TPA, dimana dari dasar TPA lindi dapat bergerak pada

arah horizontal atau vertikal tergantung dari

krakteristik meterial penyusun tanah atau batuan

sekitarnya.Permiabilitas tanah dipengaruhi oleh :

ukuran partikel, perbandingan ruang, derajat kejenuhan

dan temperatur. Selama pengaliran lindi di dalam air

tanah, nilai Keofisien permieabilitas tanah akan

menurun sesuai dengan waktu, karena reaksi yang

memperkecil ukuran pori tergantung dari waktu, Secara

umum mekanisme-mekanisme yang terjadi dalam

pembentukan lindi adalah : oksidasi biologi aerobik,

dekomposisi anaerobik, pelarutan, oksidasi dan

reduksi, dan perombakan mineral tanah.

7. Daerah Banjir

Sarana yang terletak didaerah banjir harus tidak

membatasi aliran bnjir serta tidak mengurangi

kapasitas penyimpanan air sementara dari daerah

16

banjir, atau menyebabkan terbilasnya sampah tersebut,

sehingga menimbulkan bahaya terhadap kehidupan

manusia, satwa liar tanah atau sumber air yang

terletak berbatasan dengan lokasi tersebut. Unutk

memenuhi kebutuhan ini, suatu serana yang berlokasi

pada daerah banjir memerlukan perlindungan yang lebih

kuat dan lebih baik. Diperlukan pemilihan periode

ulang banjir yang sesuai dengan jenis sampah yang akan

datang.

B. Faktor-Faktor Abstrak (non fisik) Pembangunan

Persyaratan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah

yang baik sebagai berikut; a. Lahan terpilih hendaknya

memberikan nilai tertinggi ditinjau dari berbagai

aspek,yaitu aspek kesehatan masyarakat, lingkungan

hidup, biaya, dan sosial–ekonomi b. Pemilihan yang

dibuat hendaknya dapat dapat dipertanggungjawabkan,

artinya harus dapat ditunjukkan secara jelas bagaimana

dan mengapa suatu lokasi dipilih di antara yang lain

(Damanhuri, 1995).

Pada dasarnya pertimbangan utama dalam pemilihan

lokasi lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah

didasarkan atas berbagai aspek yaitu:

1. Aspek kesehatan masyarakat berkaitan langsung dengan

manusia, terutama kenaikan mortalitas (kematian),

mordibilitas, serta kecelakaan karena operasi tersebut

(Juli, 1996).

17

2. Aspek lingkungan hidup terutama berkaitan dengan

pengaruhnya terhadap ekosistem akibat pengoperasian

sarana tersebut, termasuk akibat transportasi dan

sebagainya (Juli, 1996).

3. Aspek biaya berhubungan biaya spesifik antara satu

lokasi dengan lokasi lain, terutama dengan adanya

biaya ekstra pembangunan, pengoperasian, dan terhadap

penduduk sekitar lokasi yang dipilih.

4. Aspek sosio–ekonomi berhubungan dengan dampak sosial

ekonomi penduduk sekitar lahan yang dipilih. Termasuk

disini adalah keuntungan dab kerugian akibat nilai

tambah yang dapat dinikmati penduduk, ataupun

penurunan nilai hak milik karena berdekatan dengan

sarana tersebut.

5. Aspek biologi berhubungan dengan dampak yang ditimbulkan

oleh pencemaran pada system air tanah oleh air lindi.

Pada umumnya air lindi banyak mengandung bakteri yang

dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kandungan

bakteri dalam air lindi dapat berupa Coliform maupun

Coli tinja, yang jumlahnya bias melebihi ambang batas

dari nilai air yang dapat dikonsumsi sebagai air

minum, (Larona, 1982).

Secara operasional terdapat peraturan yang

juga perlu dijadikan acuan terkait keberadaan

TPA sampah yaitu Keputusan Dirjen Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Pemukiman Departemen

kesehatan No. 281tahun1989 tentang Persyaratan Kesehatan

18

Pengelolaan Sampah.Dalam lampiran Keputusan Dirjen

tersebut dijelaskan persyaratan kesehatan pengelolaan

sampah untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah yang

dinyatakan antara lain :

1. Lokasi untuk TPA harus memenuhi ketentuan

sebagai berikut: (a) Tidak merupakan sumber

bau, asap, debu, bising, lalat, binatang

pengerat bagi pemukiman terdekat (minimal 3 KM), (b)

Tidak merupakan pencemar bagi sumber air baku

untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter

dan perlu memperhatikan struktur geologi setempat,

(c) Tidak terletak pada daerah banjir, (d)

Tidak terletak pada lokasi yang permukaan

airnya tinggi, (e) Tidak merupakan sumber

bau, kecelakaan serta memperhatikan aspek

estetika, (f ) Jarak dari bandara tidak kurang dari 5

KM

2. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan

sebagai berikut: (a) Diupayakan agar lalat,

nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembang biak

dan tidak menimbulkan bau, (b) Memiliki drainase yang

baik dan, (c) Leachate harus diamankan sehingga tidak

menimbulkan masalah pencemaran, (d) TPA yang digunakan

untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya

harus diberi tanda khusus dan tercatat di

Kantor Pemda, (e) Dalam hal tertentu, jika

populasi lalat melebihi 20 ekor per blok gril atau

19

tikus terlihat pada siang hari atau nyamuk

Aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan

perbaikan cara-cara pengelolaan sampah.

C. Analisis Deskripsi Keterkaitan antara Faktor-Faktor

Pembangunan

Penelitian ini dilaksanakan pada lokasi Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kelurahan Tamangapa,

Kecamatan Manggala, Kota Makassar Provinsi Sulawesi

Selatan. Penelitian ini diawali dengan penentuan

kriteria pemilihan lokasi TPA berdasarkan SNI 03-3241-

1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat

Pembuangan Akhir Sampah. Pada penelitian ini ditetapkan

15 kriteria pemilihan lokasi TPA, yang dikelompokkan

dalam dua kategori kelayakan, yaitu ; (a) kelayakan

regional dan (b) kelayakan penyisih.

Penentuan lokasi TPA dilakukan melalui 2 tahap

penilaian. Penilaian tahap pertama dilakukan dengan

metode binary untuk menentukan zone layak atau tidak

layak sebagai lokasi TPA berdasarkan delapan kriteria

penilaian kelayakan regional. Pada lahan yang memenuhi

kriteria penilaian diberi nilai 1 dan lahan yang tidak

memenuhi kriteria penilaian diberi nilai 0. Sehingga

zone layak TPA ditetapkan apabila nilai lahan mencapai

jumlah maksimal (delapan). Penilaian tahap kedua

dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan

Weighted Linear Combination (WLC) untuk menentukan tingkat

kesesuaian lahan dari beberapa alternatif lokasi yang

20

telah diperoleh pada penilaian tahap pertama berdasarkan

tujuh kriteria penilaian kelayakan penyisih. AHP

digunakan untuk menentukan bobot dan nilai dari masing-

masing kriteria penilaian, sedangkan WLC digunakan untuk

operasi perhitungan nilai kesesuaian sebagai lokasi TPA.

Pada penelitian ini, tingkat kesesuaian lahan untuk

lokasi TPA ditentukan dengan persamaan berikut :

Si=∑j

nWj.Xj

Keterangan :

S : Tingkat kesesuaian lahan lokasi I untuk TPA

Wj : Bobot penilaian parameter j

Xj : Nilai parameter j

n.j : Jumlah parameter penilaian

Hasil penilaian tingkat kesesuaian lahan

dikelompokan dalam 5 tingkat kesesuaian, yaitu : sangat

rendah (30-41), rendah (42-53), sedang (54-65), tinggi

(66-77) dan sangat tinggi (78-90) (Mswar, 2012)

1. Potensi penempatan TPA dengan pemilihan lokasi TPA

berdasarkan SNI 03- 3241-1994 tentang Tata Cara

Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Pada

penelitian ini ditetapkan 15 kriteria pemilihan lokasi

TPA, yang dikelompokkan dalam dua kategori kelayakan,

yaitu ;

a. kelayakan regional, meliputi ; kemiringan lereng,

kondisi geologi, jarak terhadap badan air, jarak

21

terhadap permukiman penduduk, jarak terhadap

kawasan budidaya pertanian, jarak terhadap kawasan

lindung, jarak terhadap lapangan terbang, dan jarak

terhadap perbatasan daerah.

Tabel 1. Kriteria Kelayakan Regional

22

b.

23

No. Parameter Nilai

1.Kemiringan lereng

a. 0 – 15 %

b. >15%

1

0

2.Kondisi geologi

a. Tidak berada di zona sesar aktif

b. Berada di zona sesar aktif

1

0

3.Jarak terhadap badan air

a. > 300 m

b. < 300 m

1

0

4.Jarak terhadap permukiman

a. > 1500 m

b. < 1500 m

1

0

5.Kawasan budidaya pertanian

a. > 150 m dari kawasan budidaya

b. < 150 m dari kawasan budidaya

1

0

6.Kawasan lindung

a. Di luar kawasan lindung

b. Di dalam kawasan lindung

1

0

7.Jarak terhadap lapangan terbang

a. > 3000 m

b. < 300 m

1

0

8.Jarak terhadap perbatasan daerah

a. > 100 m

b. < 100 m

1

0

kelayakan penyisih, meliputi ; luas lahan, zona penyangga,

permeabilitas tanah, kedalaman muka air tanah,

intensitas hujan, bahaya banjir dan transportasi sampah.

Tabel 2. Kriteria Kelayakan Penyisih

No. Parameter Bobot Nila

i

1.

Luas lahana. Untuk operasional > 10 tahunb. Untuk operasional 5-10 tahunc. Untuk operasional < 5 tahun

5321

2.

Kebisingan dan baua. Ada zona penyanggab. Ada zona penyangga terbatasc. Tidak ada zona penyangga

2321

3.

Permeabilitas tanaha. < 10-9 cm/dtb. 10-9 – 10-6 cm/dtc. > 10-6 cm/dt

5321

4.

Kedalaman muka air tanaha. ≥ 10m, permeabilitas < 10-

9cm/dtb. < 10m, permeabilitas < 10-

9cm/dt atau ≥ 10m, permeabilitas 10-9 – 10-6 cm/dt

c. < 10m, permeabilitas 10-9 – 10-6

cm/dt

5

32

1

5.

Intensitas hujana. < 500 mm/tahunb. 500-1000 mm/tahunc. > 1000 mm/tahun

3321

6. Bahaya banjira. Tidak ada bahaya banjirb. Kemungkinan banjir > 25

tahunan

5321

24

c. Kemungkinan banjir < 25 tahunan

7.

Transport sampaha. < 15 menit dari pusat sumber

sampahb. 16-60 menit dari pusat sumber

sampahc. > 60 menit dari pusat sumber

sampah

5

32

1

BAB IIIPEMBAHASAN

Potensi penempatan TPA dengan pemilihan lokasi TPA

berdasarkan SNI 03- 3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan

Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Pada penelitian ini

ditetapkan 15 kriteria pemilihan lokasi TPA. Penentuan

lokasi TPA dilakukan melalui 2 tahap penilaian. Penilaian

tahap pertama dilakukan dengan metode binary untuk

menentukan zone layak atau tidak layak sebagai lokasi TPA

berdasarkan delapan kriteria penilaian kelayakan regional.

Sesuai kriteria kelayakan regional, zona yang dapat

digunakan sebagai lokasi TPA adalah zona yang memiliki

nilai total 8 dalam arti lain zona tersebut memiliki

kemiringan lereng dibawah 15%, tidak berada pada zona sesar

aktif, tidak berada pada radius 300 meter dari badan air,

jarak terhadap permukiman lebih dari 1500 meter, tidak

25

berada pada zona budidaya dan kawasan lindung, tidak berada

pada radius 3000 meter dari lapangan terbang, dan 1000

meter dari perbatasan daerah.

Pada penilaian tahap pertama (kelayakan regional)

dengan memasukkan kriteria tersebut dan mengolah data

menggunakan ArcMap didapatkan 5 zona layak TPA yaitu ID 1,

ID 2, ID 3, ID 4, dan ID 5. TPA dengan luas total 121,

693 ha. Antang adalah salah satu dari zona layak secara

regional dengan luas 7,3 ha. Namun pada kenyataannya,

lokasi TPA sampah Tamangapa Antang memiliki luas 14,3 Ha

yang telah digunakan sejak 1993. Selain dari pada itu TPA

Sampah Tamangapa yang sedianya dirancang untuk kebutuhan

selama 10 tahun, namun kenyataannya bahwa hingga saat ini

TPA tersebut masih digunakan, yang berarti telah berumur

hampir 22 tahun. Daerah TPA Sampah Tamangapa Antang Kota

Makassar telah terjadi pencemaran lingkungan yang dapat

menimbulkan efek terhadap lingkungan di daerah ini.

26

Gambar 1.Penilaian Kelayakan Regional dan Peta Zona Layak

TPA

27

Gambar 2. Peta Pola Pengembangan Kawasan Kota Makassar

Tahun 2010-2030

28

Analisis tahapan penyisih merupakan kelanjutan dari

analisis tahapan regional. Analisis tahapan penyisih ini

dilakukan berdasarkan 7 (tujuh) parameter yang meliputi ;

luas lahan, zona penyangga, permeabilitas tanah, kedalaman

muka air tanah, intensitas hujan, bahaya banjir dan

transportasi sampah. Kemudian dilakukan analisis secara

menyeluruh yaitu dengan menggunakan metode scoring

berdasarkan hasil penilaian dan pembobotan dengan

menggunakan data wawancara, observasi maupun data sekunder

yang didapat.

Tabel 3. Hasil penelitian kriteria kelayakan penyisih

29

Sumber: Analisis data sekunder, 2014

Berikut penjelasan tiap-tiap parameter kelayakan

penyisih:

1. Luas lahan

luas lahan TPA sampah Tamangapa Antang 14,3 Ha yang

telah digunakan sejak 1993. Selain dari pada itu TPA

30

No. ParameterBobo

tNilai Hasil

1

Luas lahan,

Untuk operasional > 10

tahun

5 3 15

2

Kebisingan dan bau,

Ada zona penyangga yang

terbatas

3 2 6

3Permeabiltas tanah,

< 10-9 cm/dt5 3 15

4

Kedalaman muka air tanah,

≥ 10 m, permeabiltas < 10-9

cm/dt

5 3 15

5Intensitas hujan,

500-1000 mm/tahun3 2 6

6Bahaya banjir.

Tidak ada bahaya banjir5 3 15

7

Transpor sampah,

> 60 menit dari pusat

sumber sampah

5 1 5

Jumlah 77

Sampah Tamangapa yang sedianya dirancang untuk kebutuhan

selama 10 tahun, namun kenyataannya telah beroperasi

selama lebih dari 10 tahun atau hampir 22 tahun. Dengan

melihat kenyataan ini dapat diasumsikan bahwa di daerah

TPA Sampah Tamangapa Antang Kota Makassar telah terjadi

pencemaran lingkungan yang dapat menimbulkan efek

terhadap sanitasi lingkungan di daerah ini.

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh TPA Sampah

Tamangapa Antang adalah terutama terhadap kualitas

airtanah dangkal. Pencemaran terhadap airtanah dangkal

yang diakibatkan oleh perembesan limbah cair dari TPA

sampah, dan dapat pula mencemari sumur penduduk di

sekitarnya.Pencemaran ini telah dirasakan oleh penduduk

sekitar TPA tersebut terutama bagi yang memanfaatkan

airtanah bebas sebagai sumber air bersih. Disamping

pencemaran airtanah juga polusi udara dengan bau yang

menyengat, (Fauzi, 2001).

2. Kebisingan dan bau

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada

salah satu petugas UPTD TPA Tamangapa yaitu Bapak Saiful

Ihsan, bahwa dalam upaya menghindari kebisingan dan bau

yang berasal dari TPA sehingga tidak berdampak kepada

masyarakat setempat yaitu dengan menempatkan lokasi TPA

yang berjarak lebih dari 1500m dari pemukiman penduduk.

Namun kenyataannya masih banyak dari masyarakat

disekitar TPA yang mengeluh akan pencemaran udara (bau)

yang berasal dari TPA tersebut. Dari hasil wawancara

31

bahwa suatu kewajaran bila masyarakat setempat terkena

dampak dari bau sampah dikarenakan mereka membangun

pemukiman yang mendekati TPA.

3. Permeabilitas tanah

Peresapan di lokasi ini mempunyai nilai

permeabilitas (k) 10-3 sampai 10-4 (Fauzi Arifin, 2014).

Data selengkapnya mengenai litologi daerah TPA Tamangapa

Antang, selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uraian Batuan dan Permeabilitas Lapangan

Kedalaman LitologiPermeabilitas

cm/s

0 – 0,3Tanah

penutup-

0,3 – 7,5 Lempung 9,5 x 10-4

8,5 – 22

Breksi

vulkanik

dan bongkah

andesit

5,81 x 10-4 s/d

3,2 x 10-4

22 – 27,5

Batupasir

dan sisipan

lempung

2,4 x 10-5

27,5 – 30Breksi

vulkanik1,6 x 10-5

Sumber: Kanwil Pertambangan dan Energi Sul-Sel, 2008.

32

4. Kedalaman muka air tanah

Kondisi hidrologi daerah TPA Antang termasuk dalam

sistem akuifer bebas atau akuifer tidak tertekan.

Akuifer tidak tertekan terdapat pada kedalaman ± 30

meter dan terdiri dari satuan breksi vulkanik beserta

pelapukannya yang mempunyai permeabilitas (K) 9,5 x 10-4

sampai 1,6 x 10-4 cm/s (Fauzi Arifin, 2014).

5. Intensitas hujan

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

(BMKG) Wilayah Makassar memperkirakan intensitas hujan

pada Januari 2014 tinggi, yakni 700- 800 milimeter (mm).

Sama dengan intensitas hujan pada Januari 2013 yang juga

700 mm (Redaksi, 2013).

6. Bahaya banjir

Dari hasil wawancara kepada salah satu petugas UPTD

TPA Tamangapa yaitu Bapak Saiful Ihsan, bahwa di lokasi

TPA Sampah Tamangapa Antang tidak pernah terjadi banjir.

Sehingga pada lokasi TPA tidak ada bahaya banjir bagi

lingkungan sekitar.

7. Transport sampah

Berdasarkan hasil observasi, transport sampah

sampai di lokasi TPA Sampah Tamangapa membutuhkan waktu

lebih dari 60 menit dari pusat sumber sampah (TPS), hal

tersebut disebabkan karena kemacetan.

33

Berdasarkan hasil penilaian menggunakan kriteria

kelayakan penyisih, nilai tingkat kesesuaian lokasi TPA

Antang adalah 77 (tinggi). Hal ini berarti Penentapan TPA

Sampah di Antang telah sesuai dengan kriteria pemilihan

lokasi TPA berdasarkan SNI 03-3241-1994.

TPA Sampah Tamangapa yang sedianya dirancang untuk

kebutuhan selama 10 tahun dan telah beroprasi sejak 1993

tersebut hingga saat ini masih beroprasi. Beradasarkan

hasil penilaian tahap pertama lahan yang layak hanyalah 7,3

ha namun TPA Antang telah menggunakan 14,3 ha. Dengan beban

sampah sebesar 800 ton atau sekitar 4000 m3 tiap harinya

maka diperkirakan TPA Antang akan Over Capasity pada 2016

sehngga perlu adanya pembebasan lahan baru untuk

menampunya.

34

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penlaian penentuan pemilihan lokasi TPA

berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan

Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Pada penilaian

tahap pertama (kelayakan regional) dengan memasukkan

kriteria tersebut dan mengolah data menggunakan ArcMap

didapatkan 5 zona layak TPA yaitu ID 1, ID 2, ID 3, ID

4, dan ID 5. TPA dengan luas total 121, 693 ha. TPA

Sampah Antang adalah salah satu dari zona layak secara

regional dengan luas 7,3 ha. Dan berdasarkan hasil

penilaian menggunakan kriteria kelayakan penyisih, nilai

tingkat kesesuaian lokasi TPA Antang adalah 77 (tinggi).

TPA Sampah Tamangapa yang sedianya dirancang untuk

kebutuhan selama 10 tahun dan telah beroprasi sejak 1993

tersebut hingga saat ini masih beroprasi. Beradasarkan

hasil penilaian tahap pertama lahan yang layak hanyalah

7,3 ha namun TPA Antang telah menggunakan 14,3 ha.

Dengan beban sampah sebesar 800 ton atau sekitar 4000 m3

tiap harinya maka diperkirakan TPA Antang akan Over

Capasity pada 2016 sehngga perlu adanya pembebasan lahan

baru untuk menampunya.

B. Saran

Melihat kondisi TPA Sampah Antang yang melebihi

kapasitas sesuai zona yang layak digunakan maka harus

35

segera dilakukan pencarian lokasi alternatif. Besarnya

kapasitas sampah yang datang setiap harinya

menggambarkan betapa kurangnya usaha pengolahan dan

pemanfaatan sampah di kota Makassar. Sehingga perlu

kiraya upaya penggalakan sistem 3R (Reuse, Reduce, dan

Recycle)

DAFTAR PUSTAKA

Alzwar. M., 1988, Pengantar Ilmu Gunungapi. Nova, Bandung.

Azikin, S., 1980, Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen TeknikGeologi, Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Chay A. C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Damanhuri E, Padmi T, 2004, Pengelolaan Sampah, ITB Bandung

Fauzi, Arifin, M., 2001. Tinjauan Geohidrologi sebagai Salah SatuPertimbangan dalam Pemilihan Lokasi TPA Sampah. Makassar :Universitas Hasanuddin.

Fauzi Arifin, M., dkk. 2014. Tinjauan Geohidrologi Lokasi TPASampah Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan (Studi Kasus TPASampah Tamangapa Antang). Prosiding Seminar NasionalGeofisika 2014

36

Irham. M, 2006., Pemetaan Sebaran Air Tanah Asin Pada Akuifer Dalamdi Wilayah SemarangBawah.http://eprints.undip.ac.id/2139/1/.pdf

Mizwar, Andi. 2012. Penentuan Lokasi Tempat Pengolahan Akhir (TPA)Sampah Kota Banjarbaru Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG). Jurnal EnviroScienteae ISSN 1978-8096, vol.8(1), 16-22.

Rahman, M., Sultan, and K. R., Hoque, A. dkk., 2008, Suitablefor Urban Solid Waste Disposal Using GIS Approach in Khulna CityBangladesh, Proc. Pakistan Acadd.

Rahmatiyah, 2002, Evaluasi Kelayakan Lahan untuk TempatPembuangan Akhir Sampah di Kota Samarinda, Tesis ProgramStudi Ilmu Lingkungan UGM, Yogyakarta.

Redaksi MT, 2013. 19 Kawasan Pemukiman Terancam Banjir. www.makassarterkini.com. Diakses pada tanggal 2 Mei 2015.

Rouf,Ahmad dkk., 2014, Analisis Kesesuaian Lokasi Tempat PembuanganAkhir (Tpa) Sampah Di Wilayah Penilaian Adipura Kabupaten Jepara, Geo Image ISSN 2252-6285, , vol 2(2)

Ruslinda, Yenni dkk.2002.Studi Timbulan, Komposisi Dan KarakteristikSampah Domestik Kota Bukittinggi, Jurnal Teknik LingkunganUNAND ISSN 1829-6084, Vol.9 (1) : 1-12.

Sadyohutomo, Mulyono. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah.Bandung: PT Bumi Aksara

Soemarwoto, O., 1996. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Srikandi, F., 1992. Polusi Air dan Udara. IPB, Bogor.

37

Verhoef, P.N.W., 1989. Geologi untuk Teknik Sipil. Erlangga,Jakarta.

LAMPIRAN

A. Foto-foto di Lokasi TPA Antang Tamangapa

38