legalitas singapore transboundary haze pollution act - CORE
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of legalitas singapore transboundary haze pollution act - CORE
LEGALITAS SINGAPORE TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT
NO. 24 of 2014 DITINJAU DARI ASEAN AGREEMENT ON
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh
Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum
Oleh :
PUNGKY INDRIATI HASIBUAN
135010101111167
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2017
i
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi : LEGALITAS SINGAPORE
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO.
24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE
POLLUTION
IdentitasPenulis :
a. Nama : Pungky Indriati Hasibuan
b. NIM : 135010101111167
Konsentrasi : Hukum Internasional
JangkaWaktu
Penelitian : 5 bulan
Disetujui pada tanggal:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Nurdin, SH., M.Hum Agis Ardhiansyah,SH.,LLM
NIP.195612071986011001 198403132009121001
Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Internasional
Dr. Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum
NIP.197808112002122001
ii
HALAMAN PENGESAHAN
“LEGALITAS SINGAPORE TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT
NO. 24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN AGREEMENT ON
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION”
Oleh:
PUNGKY INDRIATI HASIBUAN
135010101111167
Skripsi ini telah disahkan oleh Majelis Penguji pada tanggal :
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Nurdin, SH., M.Hum Agis Ardhiansyah,SH.,LLM
NIP. 195612071986011001 198403132009121001
Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Internasional Dekan Fakultas Hukum
Dr. Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum Dr. Rachmad Safa’at, SH, M.Si
NIP.197808112002122001 NIP. 196208051988021001
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Jurnal : LEGALITAS SINGAPORE
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO.
24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE
POLLUTION
IdentitasPenulis :
a. Nama : Pungky Indriati Hasibuan
b. NIM : 135010101111167
Konsentrasi : Hukum Internasional
JangkaWaktu
Penelitian : 5 bulan
Disetujui pada tanggal:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Nurdin, SH., M.Hum Agis Ardhiansyah, SH., LLM
NIP. 195612071986011001 198403132009121001
Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Internasional
Dr. Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum
NIP.197808112002122001
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis telah sampai pada tahap ini, yakni dengan terselesaikannya
penulisan skripsi guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang berjudul: “LEGALITAS SINGAPORE
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan bantuan dan
dukungan selama pengerjaan skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Orang tua, ibu (Sri Nilawati), bapak (Asrul H. Hasibuan), dan adik-adik saya (Tika &
Nico), yang selalu memberikan doa, dukungan, dan kesabaran mendampingi penulis
selama proses penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Rachmad Safa’at, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya.
3. Ibu Dr. Hanif Nur Widhiyanti, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional.
4. Bapak Nurdin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan
dukungan, masukan, dan arahan dalam proses penyusunan skripsi.
5. Bapak Agis Ardhiansyah, S.H., LL.M., selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang
telah memberikan ilmu, arahan, masukan, serta motivasi dalam proses penyusunan
skripsi.
6. Teman-teman seperjuangan sejak ospek di FHUB sampai sekarang: Andin, Rima, Arief,
Aryanta, Hariz, Asrop, Sena, Anes, Fira, Jenik, dan Rosy, yang selalu memberi dukungan
sejak awal perkuliahan sampai penyusunan skripsi.
7. Teman-teman di konsentrasi Hukum Internasional, BILSTUF 2016 : Choi, Indoko,
Chalif, Opi, Jarwo, Dinda, Audri, Vera, Ayu, Marsya, dan yang tidak bisa disebutkan
satu per satu. Terkhusus buat Dinda yang banyak memberi masukan, bantuan, dan
dukungan selama penulisan skripsi.
8. Teman-teman seperjuangan selama magang di Ditjen HPI Kemlu: Early, Oca, Ayu, Grey,
Disa & Fadzil yang selalu memberi dukungan bahkan sejak awal mencari tema skripsi.
iv
9. Diplomat-diplomat serta staff di Direktorat Hukum & Polkam Ditjen HPI Kementerian
Luar Negeri RI: pak Andika, mas Andit, mas Selwas, mas Dumas, mas Andre, mbak Lia,
dan mbak Nisa yang bersedia berbagi ilmu-ilmu selama magang, hingga bantuan dalam
memberi ide untuk tema skripsi ini.
10. Keluarga besar Riau di Malang (IKPMR-Malang) yang menjadi keluarga selama
diperantauan yang telah memberikan dukungan selama proses penyusunan skripsi.
11. Teman-teman di FHUB lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan selama proses penyusunan skripsi.
12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang turut membantu
selesaikannya skripsi ini.
Penulis yakin bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga segala
masukan maupun kritik akan selalu penulis harapkan untuk memperbaiki penulisan skripsi
ini.
Akhir kata penulis mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam proses pembuatan skripsi ini
penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Semoga
Allah mengampuni kesalahan kita dan berkenan menunjukan jalan yang benar.
Malang, Oktober 2017
Penulis
ix
RINGKASAN
PUNGKY INDRIATI HASIBUAN, Hukum Internasional, Fakultas Hukum,
Universitas Brawijaya, Oktober 2017, LEGALITAS SINGAPORE
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 OF 2014 DITINJAU
DARI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION,
Nurdin SH., M.Hum., Agis Ardhiansyah, SH. LLM.
Kata Kunci: Transboundary Haze Pollution, Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014, ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution, Legalitas.
Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap lintas batas negara
telah terjadi di kawasan ASEAN sejak tahun 1977. Permasalahan polusi asap
lintas batas yang terus terjadi setiap tahun akhirnya menggerakkan negara-negara
ASEAN untuk membentuk ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
yang mengatur tentang pendistribusian tanggung jawab dan dan penanganan asap
di kawasan ASEAN. Namun di tahun 2014 Singapura mengesahkan undang-
undang nasional yaitu Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of
2014. Pada pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014
menjelaskan bahwa Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014
dapat diperluas dalam kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada
diluar Singapura yang menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam
masalah polusi asap yang terjadi di Singapura. Isi pasal tersebut dianggap
menyinggung kedaulatan negara Indonesia sebagai negara penyebab polusi asap
lintas batas.
Dalam penelitian ini, penulis memilih metode yuridis normatif dengan metode
analisa teological school yaitu penafsiran pada ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution melalui maksud dan tujuan dari ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution.
x
SUMMARY
PUNGKY INDRIATI HASIBUAN, International Law, Law Faculty, Brawijaya
University, October 2017, LEGALITY OF SINGAPORE TRANSBOUNDARY
HAZE POLLUTION ACT NO 24 OF 2014 IN TERMS OF ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION. Nurdin SH.,
M.Hum., Agis Ardhiansyah, SH. LLM.
Keywords: Transboundary Haze Pollution, Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014, ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution, Legality.
Forest and land fires that have caused transboundary haze pollution have
occurred in the ASEAN region since 1977. The ongoing transboundary haze
pollution issue has finally moved the ASEAN countries to establish the ASEAN
Agreement on Transboundary Hazard Pollution which regulates the distribution
of responsibilities and smoke handling in the ASEAN region. However, in 2014
Singapore passed a national law that is Singapore Transboundary Haze Pollution
Act No. 24 of 2014. In article 4 of the Singapore Transboundary Haze Pollution
Act No. 24 of 2014 explains that the Singapore Transboundary Haze Pollution
Act No. 24 of 2014 may be expanded in relation to an action or object situated
outside of Singapore that causes or contributes to all kinds of smoke pollution
problems that occur in Singapore. The contents of the article is considered to
offend the sovereignty of the state of Indonesia as a country causing of
transboundary haze pollution.
In this research, writer choose normative juridical method with theological
analysis method that is interpretation at ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution through intention and objective of ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution.
v
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan............................................................................ i
Halaman Pengesahan............................................................................ ii
Kata Pengantar.................................................................................. iii
Daftar Isi............................................................................................ v
Daftar Tabel......................................................................................... viii
Ringkasan..................................................................................... ix
Summary......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................. 19
C. Tujuan Penelitian............................................................. 20
D. Manfaat Penelitian........................................................... 20
E. Sistematika Penulisan...................................................... 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Yurisdiksi Negara ................................................... 23
a. Pengertian Yurisdiksi ……………............................ 23
b. Bentuk-Bentuk Yurisdiksi ………............................. 24
c. Prinsip-Prinsip Yurisdiksi …..................................... 25
vi
2. Transboundary Haze Pollution ……………………............. 28
3. Kedaulatan Negara ………………………………………… 29
a. Pengertian Kedaulatan Negara ….............................. 29
b. Macam-Macam Kedaualatan
Negara…………………............................................
30
4. Tanggung Jawab Negara dalam Perjanjian
Internasional………………………………………..............
31
a. Pengertian Tanggung Jawab
Negara………………................................................
31
b. Implementasi Perjanjian Internasional……………... 32
c. Penafsiran dalam Perjanjian Internasional…………. 33
d. Asas-Asas dalam Perjanjian Internasional…………. 35
5. Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of
2014 ………………………………………………………...
35
6. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP) …………………………………………………...
36
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian....................................................................... 40
B. Pendekatan Penelitian............................................................. 40
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum............................................ 42
D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum........................................ 43
E. Teknik Analisis Bahan Hukum............................................... 44
F. Definisi Konseptual................................................................ 45
vii
BAB IV PEMBAHASAN
A. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution No.
24 of 2014 Ditinjau Dari Kaidah-Kaidah dalam Hukum
Internasional …………………….......................................
44
1. Teori-Teori Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi
Proteksi Negara Dalam Hukum
Internasional …………………………………….
44
a. Teori Kedaulatan dalam Hukum
Internasional ....................................................
44
b. Batasan dalam Kedaulatan
Negara..............................................................
45
c. Teori Yurisdiksi Proteksi
Negara………………………………..............
51
d. Batasan Yurisdiksi Proteksi Negara…………. 55
2. Legalitas Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 Ditinjau dari Prinsip-
prinsip Kedaulatan dalam Hukum
Internasional............................................................
58
3. Legalitas Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 Of 2014 Ditinjau Piagam
ASEAN....................................................................
60
B. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act
No. 24 Of 2014 Ditinjau dari ASEAN Agreement On
Transboundary Haze Pollution ………………………..…
68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 77
B. Saran.................................................................................... 78
viii
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 79
LAMPIRAN........................................................................ 84
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kerugian Ekonomi Singapura dan Indonesia
Akibat Kabut Asap Tahun
2013…………………........................................
.
7
Tabel 2 Orisinalitas Penelitian........................................ 18
Tabel 3 Perbandingan Terikatnya Negara Terhadap
Prinsip-Prinsip Hukum Umum dan Prinsip-
Prinsip Hukum Khusus dalam Hukum
Internasional…………………………................
49
Tabel 4 Negara-Negara yang Meratifikasi
AATHP……………...........................................
70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebakaran hutan dan lahan1 sudah mulai terjadi di Asia Tenggara sejak zaman
Pleistocene2. Sehingga kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap
bukan masalah baru bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau yang
tergabung dalam Association of Southeast Asians Nations (selanjutnya disebut
dengan ASEAN)3. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap
lintas batas (transboundary haze pollution) sudah ada sejak tahun 1994-1995.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 1994-1995 tersebut berasal dari
pulau Kalimantan dan pulau Sumatra Indonesia.4 Tahun 1997 kebakaran hutan
dan lahan kembali terjadi di Indonesia yang menimbulkan polusi asap hingga ke
wilayah negara Singapura dan Malaysia, bahkan sebagian kecil juga mencapai
wilayah Thailand dan Filipina.5 Polusi asap lintas batas yang terjadi tahun 1997
dinilai sangat berbahaya setelah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada
1 Menurut Pasal 1 (38) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
IndonesiaNo. P.32/MenLHK/Setjen /Kum.1/3/2016 Tentang Kebakaran Hutan, bahwa kebakaran
hutan dan lahan adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan dan/atau lahan, baik secara alami
maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang
menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik. 2 Zaman Pleistocene berlangsung kira-kira 600 tahun yang lalu dan ditandai dengan
adanya manusia purba. 3 ASEAN adalah organisasi internasional yang merupakan perhimpunan antar bangsa-
bangsa di kawasan Asia Tenggara. 4 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 Tentang
Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang
Pencemaran Asap Lintas Batas). 5 A. Heil dan J.G. Goldammer, “Smoke-haze pollution: A Review of the 1977 Episode in
Southeast Asia”, Reg. Environ Change Journal Vol. 2, (Berlin: Springer-Verlag, 2001): 27-28.
Dikutip ulang oleh Siciliya Mardian Yo’el, Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution dalam Penanggulangan Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas di ASEAN,
Universitas Islam Kediri, Kediri, 2017, hlm. 330.
2
tahun 1994-19956 dan akhirnya mendorong negara-negara di kawasan ASEAN
untuk membahas masalah tersebut dan menuangkannya ke dalam Hanoi Plan of
Action 19977. Hanoi Plan of Action 1997 berisi upaya mengatasi masalah polusi
lintas batas sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan.8 Negara-negara
anggota ASEAN pun kemudian sepakat untuk memformalkan Hanoi Plan of
Action 1997 agar lebih efektif dengan membentuk ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (selanjutnya disebut dengan AATHP).
Pembentukan AATHP merupakan puncak pertemuan Hanoi Plan of Action 1997
bertujuan untuk merumuskan pola pengendalian pencemaran polusi asap di Asia
Tenggara ke dalam suatu pernjanjian yang mengatur pendistribusian tanggung
jawab dan penanganan polusi asap di kawasan regional Asia Tenggara.9
Hasil penelitian dari World Resources Institute10
(selanjutnya disebut
dengan WRI) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan terkait fenomena
kebakaran hutan ini, yaitu:11
6 Ibid.
7 Hanoi Plan of Action 1997 merupakan rencana term medium komprehensif yang
dinisbahkan sebagai “Road Map” untuk mencapai tujuan-tujuan yang tercantum dalam Visi
ASEAN 2020. 8 Penjelasan umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution. 9 Agis Ardhiansyah, Konsekuensi Hukum Bagi Indonesia Tentang Pengendalian
Pencemaran Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2016, hlm. 12. 10
World Resources Institute merupakan lembaga yang bergerak di bidang sumber daya
lingkungan se-dunia yang bertujuan untuk menggerakkan kelompok masyarakat untuk hidup
dengan cara melindungi lingkungan dan kapasitas bumi demi memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi sekarang dan masa depan. 11
Nigel Sizer, Kemen Austin, dan Ariana Alisjahbana. Diakses melalui
http://www.wri.org/blog/2013/06/data-terbaru-menunjukkan-kebakaran-hutan-di-indonesia-
adalah-krisis-yang-telah. Pada 01 Juni 2017.
3
1. Kebakaran yang terjadi saat ini tidak melampaui batas normal tren historis
kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Indonesia, namun hal ini mungkin
berubah jika kobaran api terus membesar;
2. Kebakaran saat ini adalah bagian dari krisis endemik kebakaran hutan,
lahan dan pembersihan lahan yang telah berlangsung sejak lama di
Indonesia.
Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi melalui 2 (dua) cara, yaitu: secara
alamiah12
dan non-alamiah13
. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara
alamiah yaitu ketika periode iklim yang lebih kering dari iklim lingkungan sekitar
pada saat itu.14
Perubahan iklim yang sering terjadi dan menjadi penyebab
kebakaran hutan adalah fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO)15
yang
semakin menyebabkan lingkungan rawan akan kebakaran hutan.16
Sedangkan
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara non-alamiah juga sering terjadi dan
sudah dikenal sejak 10.000 tahun yang lalu. Kebakaran hutan dan lahan secara
non-alamiah yang dilakukan oleh manusia ini bertujuan untuk mempermudah
perburuan dan membuka lahan pertanian.17
Kebakaran hutan bukanlah suatu baru
12 Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara alamiah terjadi tanpa campur tangan
manusia, melainkan terjadi karena faktor alam. 13
Kebakaran hutan dan lahan secara non-alamiah terjadi dengan adanya campur tangan
manusia. 14 http://www.suduthukum.com/2017/04/sejarah-kebakaran-hutan-di-indonesia.html
diakses pada tangga 01 Juni 2017. 15
Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan suatu fenomena kelautan
dalam waktu-waktu tertentu di mana suatu pemanasan yang kuat dan berkelanjutan terjadi di laut
bagian atas pasifik timur, hal ini diangap dapat mengacaukan keadaan cuaca secara global yang
mengakibatkan menguatkan arus panas yang mengganggu mekanisme cuaca. 16
Yayat Ruchiat, Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan (The
Underlying Causes and Impact of Fire), Bahan Lokakarya Perencanaan Proyek Community
Development Through Rehabilitation of Imperata Grasslands Using Trees: A model approach
growing Vitex Pubescens for charcoal production in Kalimantan, Pontianak, 2001, hlm. 1. 17
Ibid.
4
di Indonesia mengingat bahwa Indonesia memiliki lahan pertanian yang cukup
luas. Namun beberapa pihak berpendapat bahwa kebakaran hutan dan lahan
disebabkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, ataupun kehutanan berskala
kecil oleh masyarakat lokal maupun dalam skala besar, seperti perkebunan dan
Hak Pengusahaan Hutan/Hutan Tanam Industri (selanjutnya disebut dengan
HPH/HTI).18
Polusi asap lintas batas negara telah menjadi sebuah fenomena yang
berulang kali terjadi di kawasan ASEAN hingga mencapai tingkat yang bervariasi
setiap tahun.19
Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Republik Indonesia, penyebab polusi asap adalah adanya aktivitas pembakaran
hutan dan lahan yang secara sengaja dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat
yang ingin membuka lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit saat musim
kemarau datang.20
Kabut asap menjadi salah satu permasalahan utama di kawasan
ASEAN karena adanya 4 alasan, yaitu: 21
1. Kabut asap menunjukkan kebakaran hutan dan lahan yang signifikan
terjadi dengan resiko tersirat untuk keanekaragaman hayati dan
pelepasan gas rumah kaca, terutama dari kebakaran gambut.22
2. Kabut asap berdampak buruk pada kesehatan masyarakat, terutama
anak-anak dan lansia.23
18
Ibid. 19
Apichai Sunchindah, Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia :
Refarming ASEAN’s Response, ERIA Discussion Paper Series, 2015, hlm. 1 20
Kardina Gultom, Sekuritas Kabut Asap di Singapura Tahun 1997-2014, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, 2016, hlm. 1. 21
Glover, David and Timoty Jessup. Indonesian’s Fire and Haze: The Cost of
Catastrophe. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. 2002. Dikutip ulang Kardina
Gultom, op.cit., hlm. 36. 22
Ibid.
5
3. Kabut asap mempengaruhi bisnis dan pariwisata.24
4. Sifat lintas batas dari kabut asap mengancam hubungan diplomatik
dengan negara-negara tetangga.25
Dari beberapa negara di ASEAN yang terkena dampak negatif polusi asap
Indonesia, negara-negara yang sudah sampai mengambil langkah protes terhadap
Indonesia akibat polusi asap lintas batas ini adalah Malaysia dan Singapura.
Langkah protes yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura dikarenakan secara
geografis Malaysia dan Singapura merupakan negara tetangga Indonesia yang
mendapat kiriman polusi asap terbanyak akibat arah hembusan angin. Malaysia
dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah polusi asap ini
karena kebakaran hutan yang disertai polusi asap ini bukanlah kejadian yang
pertama bagi Malaysia dan Singapura terkena dampak negatifnya.26
Protes yang
dilakukan oleh Malaysia dan Singapura ini diakibatkan polusi asap yang telah
mengganggu kehidupan masyarakat Malaysia dan Singapura yaitu dengan mulai
bermunculnya penyakit-penyakit yang timbul akibat polusi asap, yaitu: Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (selanjutnya disebut dengan ISPA)27
, asma, Penyakit
Paru Obktruktif Kronik (selanjutnya disebut dengan PPOK)28
, bahkan
menyebabkan perekonomian yang tidak stabil yang berakibat kerugian pada
23
Ibid. 24
Ibid. 25
Ibid. 26
Dina ST Manurung, Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggung Jawab
Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus: Kabut Asap Kebakaran
Hutan di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap Malaysia-Singapura), Skripsi, Universitas
Sumatra Utara, 2014, hlm. 2. 27
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang mengganggu proses
pernafasan seseorang yang disebabkan oleh virus yang menyerang hidung, trakea (pipa
pernafasan), atau bahkan paru-paru. 28
Menurut Yayasan Paru-paru Kanada, kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan
dapat berakibat fatal karena merugikan kinerja paru-paru.
6
sektor pariwisata.29
Protes yang dilakukan oleh Singapura dan Malaysia pun
direspon oleh pemerintah Indonesia dengan segera mengusut penyebab kebakaran
hutan dan lahan melalui Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut
dengan Polri) bersama Kementerian Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut
dengan KLH). Selama proses tersebut, pemadaman terhadap titik-titik api yang
masih aktif membakar lahan di wilayah Indonesia terus dilakukan. Berdasarkan
pengecekan lapangan (ground checking)30
yang dilakukan oleh koalisi Eyes of
Forest (selanjutnya disebut EoF)31
, telah terjadi pembakaran hutan dan lahan yang
dilakukan secara sengaja maupun pembiaran dengan motif-motif yang masih
diselidiki oleh aparat penegak hukum.32
Pengecekan lapangan menunjukkan
estimasi wilayah yang terbakar di 38 konsesi dan kawasan seluas 7.578 hektar.33
Titik-titik api yang terus bertambah pun semakin meyebabkan polusi asap tidak
henti melintasi batas negara. Kerugian negara-negara tetangga pun tidak dapat
dihindari dan diperkirakan akan semakin meningkat.34
Kebakaran hutan dan lahan tentu berdampak pada lingkungan yang secara
pasti akan menyebabkan punahnya ekosistem hutan.35
Selain berdampak pada
sektor lingkungan, dampak dari polusi asap juga menyebabkan kerugian besar
pada sektor perekonomian Singapura akibat polusi asap yaitu sekitar SGD
29
Dina ST Manurung, op.cit. 30
Pengecekan Lapangan (ground checking) merupakan kegiatan untuk membandingkan
antara kenampakan obyek pada citra dan kenampakan obyek yang sama di lapangan sesuai
karakteristiknya. 31
Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera: WALHI
Riau, Jikalahari (Jaringan Penyelamat Hutan Riau), dan WWF-Indonesia program Riau. 32
Eyes on the Forest (EoF), Laporan Investigasi Eyes on the Forest, Riau, 2015, hlm. 2 33
Ibid. 34
Ibid. 35
Basuki Wasis, Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Kerusakan Tanah
(Impact of Forest and Land Fire on Soil Degradation), Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 2003,
hlm. 80.
7
342.000.000 atau USD 249.901.435,84.36
Kerugian besar juga dialami oleh
Indonesia sebagai negara penyebab polusi asap. Pada tahun 2013, kerugian
ekonomi Indonesia mencapai sekitar IDR 20 Trilyun atau USD 1.495. 662,52.37
Tabel 1.1 Kerugian Ekonomi Singapura dan Indonesia Akibat Kabut
Asap Tahun 2013
Negara Kerugian Ekonomi
Indonesia USD 1.495.662,58 (IDR 20 Trilyun)
Singapura USD 249. 9015.435,84 (SGD 342.000.000)
Sumber : Data Sekunder, diolah tahun 2017.
Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2013, Global Forest Watch38
mendeteksi terdapat 3.101 peringatan titik api yang diyakini berasal dari pulau
Sumatera dengan menggunakan data titik api aktif NASA39
. Jumlah titik api
melebihi 2.643 total jumlah peringatan titik api yang terdeteksi pada 13-30 Juni
2013, yaitu puncak kerjadinya krisis kebakaran dan kabut asap sebelumnya.40
Pada awal Maret 2014, Indeks Standar Pencemaran Udara di Singapura melonjak
hingga 341 peringatan titik api yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan
gambut di provinsi Riau.41
Jumlah titik api tersebut merupakan Indeks tertinggi
36
Noor Falah, Pengaruh Malaysia dan Singapura Terhadap Indonesia Dalam Proses
Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), Skripsi.
Universitas Mulawarman. 37
Kardina Gultom, Op.cit., hlm. 37. 38
Global Forest Watch merupakan sebuah sistem online baru dari WRI Indonesia
(Yayasan Institut sumber Daya Dunia) yang mencatat perubahan tutupan hutan. 39
https://earthdata.nasa.gov/earth-observation-data/near-real-time/firms diakses pada 06
April 2017. 40
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160418_indonesia_singapura_
hutan diakses pada 06 April 2017.
41 Ibid.
8
sepanjang tahun.42
Bahkan angka tersebut telah melampaui Indeks Standar
kesehatan aman bagi masyarakat, yakni 300.43
Dengan mencapainya indeks standar pencemaran udara di Singapura pada
beberapa tahun belakangan menyebabkan Pemerintah Singapura menyatakan
bahwa akan menindaklanjuti para pelaku pembakar hutan dan lahan yaitu
perusahaan-perusahaan dari Indonesia yang menjadi penyebab polusi asap di
Singapura.44
Berikut gambar yang menunjukkan distribusi titik api di kawasan
Asia Tenggara serta pola dari peringatan titik api sejak Januari 2013 untuk seluruh
pulau Sumatera.
42
Ibid. 43
Ibid. 44 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150925_dunia_singapura_kabutasap
diakses pada 06 April 2017
9
Sumber : Data Sekunder, diolah tahun 2017.
Singapura menanggapi masalah polusi asap ini pada tingkatan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia.45
Singapura menjadi negara yang
paling serius dalam menanggapi polusi asap ini. Sebagai negara berdaulat46
:
“yang dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan, organisasi
kekuasaan, ke dalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga
negaranya, mengatur penggunaan public domain,47
membuat undang-undang
dasar beserta peraturan pelaksanaannya, mengatur politik ke luar negeri maupun
dalam negeri, negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara
asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan
45
Mukhammad Syaifulloh, Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (The Forming of ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution), Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (UNEJ), Jember, 2013, hlm. 3. 46
Negara yang berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme
authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik dalam maupun
ke luar, namun demikian tetap harus harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun
dalam pergaulan internasional lainnya. 47
Public Domain atau Staat Domain merupakan suatu benda pendukung yang dimiliki
oleh Negara namun tidak dapat diperjualbelikan karena sifatnya diluar perniagaan dan pemerintah
sendiri lebih kepada memiliknya sebagai pengawas.
10
(stateless),48
mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan
pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial
lainnya.”49
Singapura pun merasa berhak untuk membuat peraturan nasional
demi melindungi kepentingan nasionalnya dari dampak yang timbulkan akibat
polusi asap lintas batas.
Langkah protes pada tingkat serius ini yang diambil oleh Singapura
merupakan penerapan salah satu bentuk yurisdiksi50
dalam hukum internasional,
yaitu Prescriptive Jurisdiction. Prescriptive Jurisdiction ialah kekuasaan
membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau
status hukum orang atau peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan
seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga sering disebut
pula sebagai yurisdiksi legislatif.51
Yurisdiksi suatu negara menunjuk kepada
kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan
hukum nasionalnya.52
Yurisdiksi terhadap hukum nasional yang dimaksud adalah
perdata dan pidana.53
Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan
(dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang.54
48
The International Observatory on Stateless, mendefinisikan statelessness sebagai: “
seseorang yang tidak mendapatkan pengakuan status kewarganegaraannya oleh suatu negara.” 49
Saru Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antarnegara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
hlm. 39. 50 Yurisdiksi merupakan suatu atribut dari kedaulatan suatu negara. 51
Yurisdiksi Preskriptif dapat pula berlaku pada tindakan negara dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang sifatnya ekstrateritorial (extraterritorial legislative) , yaitu
peraturan perundangn-undangan yang diberlakukan terhadap warganya diluar negeri. Contoh
peraturan perundang-undangan seperti ini dalam hukum internasional UU untuk melaksanakan
yurisdiksi universal . 52
Rebecca M. Wallace, Hukum Internasional, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993,
hlm. 119. 53
Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara
yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional maupun internasional (apabila para
pihak atau obyek perkaranya terdapat unsur hukum asing).Sedangkan yurisdiksi pidana adalah
11
Bentuk yurisdiksi ini tidak jarang dimanfaatkan beberapa negara untuk
memberlakukan hukum nasionalnya meskipun berada diluar batas wilayah
negaranya. Penerapan Prescriptive Jurisdiction ini dilakukan oleh Singapura
dengan membentuk dan mengesahkan undang-undang nasional Singapura yaitu
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. Penerapan
Prescriptive Jurisdiction terlihat pada pasal 4 Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 yang berbunyi yaitu: 55
“This Act shall extend to and in relation to any conduct or thing outside
Singapore which causes or contributes to any haze pollution in
Singapore.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa dimungkinkan untuk diperluas dalam
kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada diluar Singapura yang
menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi asap yang
terjadi di Singapura.56
Lahirnya pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution
Act No. 24 of 2014 merupakan bentuk protes serius untuk melindungi kepentingan
nasional Singapura. Dengan lahirnya Singapore Transboundary Haze Pollution
Act No. 24 of 2014 secara tidak langsung menilai bahwa Indonesia tidak serius
dalam menangani dan menyelesaikan masalah polusi asap lintas batas. Anggapan
Singapura bahwa Indonesia tidak serius dan tidak mampu dalam menangani
masalah polusi asap lintas batas ini pun ditanggapi oleh Indonesia dengan ikut
sebagai negara yang meratifikasi AATHP pada 16 September 2014 yang
kewenangan (hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang
tersangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak. 54
Rebecca M. Wallace, op.cit. 55
Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. 56
Penjelasan Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act. No. 24 of 2014.
12
dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang
Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan
ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)57
dan menyerahkan instrument
ratifikasinya ke Sekretariat ASEAN pada 20 Januari 2015.58
Keikutsertaan
Indonesia ini merupakan suatu bentuk keseriusan Indonesia sebagai negara
penyebab polusi asap lintas batas dalam menangani dan menyelesaikan masalah
polusi asap lintas batas. Dalam upaya pengendalian polusi asap, sebenarnya
Indonesia telah memulainya sejak lama, yang setidaknya sudah dilakukan sejak
tahun 1995.59
Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkebunan) terdapat
larangan membuka lahan dengan cara pembakaran.60
Dalam hukum internasional sendiri tidak ada ketentuan yang melarang
setiap negara berdaulat untuk mengatur urusan dalam negerinya termasuk dalam
hal pembuatan hukum nasional terkait pertahanan dan keamanan negaranya.
Begitu juga dengan Singapura, dalam hal pembentukan Singapore Transboundary
Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dianggap tidak ada yang salah karena tujuan
Singapura adalah untuk melindungi kepentingan nasionalnya, meskipun sebelum
lahirnya Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 telah ada
perjanjian internasional dikawasan ASEAN sendiri yang mengatur tentang polusi
asap lintas negara yaitu AATHP. AATHP ditanda tangani dan disahkan oleh
seluruh negara ASEAN pada tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia.
57
Undang-Undang Pengesahan AATHP 58
Syahriani Firmayanti, Motivasi Singapura Meratifikasi ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution Tahun 2013, Skripsi, Universitas Riau, 2015, hlm. 4. 59
Agis Ardhiansyah, op.cit. 60
Pasal 26 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
13
Indonesia dan Singapura menjadi salah satu negara yang meratifikasi AATHP
yang resmi berlaku sejak tanggal 25 November 2003 itu.
Polusi asap lintas batas paling parah terjadi pada tahun 2015 dan 2016
yang disebabkan oleh kemarau panjang.61
Akibatnya sekitar 18 perusahaan
Indonesia yang berada di Provinsi Riau dilakukan penyelidikan oleh Kepolisian
Daerah Riau (selanjutnya disebut Polda Riau).62
Satu perusahaan pun sudah
melalui proses hukum karena telah ditetapkan sebagai pembakar hutan dan lahan
yang menyebabkan polusi asap hingga melewati lintas batas negara.63
Sejak
ditetapkannya salah satu perusahaan Indonesia sebagai tersangka kebakaran hutan
dan lahan pada tahun 2015 oleh Polda Riau, pengadilan Singapura
memerintahkan Badan Lingkungan Hidup Singapura (The National Environment
Agency/NEA) untuk menangkap dan menahan direktur perusahaan tersebut ketika
memasuki kawasan Singapura untuk proses investigasi.64
Perintah pengadilan
Singapura untuk menahan direktur salah satu perusahaan Indonesia tersebut
dilakukan setelah direktur perusahaan tersebut tidak merespon pemberitahuan
Singapuran berdasarkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of
2014.65
Ditahun 2016, ketika direktur perusahaan tersebut berada diwilayah
Singapura kemudian dilakukan penahanan terhadap direktur perusahaan tersebut
61
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/10/063778544/petinggi-perusahaan-pembakar-
lahan-divonis-bebas diakses pada 8 Agustus 2017. 62
Ibid. 63
http://beritariau.com/berita-2865-pt-langgam-inti-hibrindo-grup-usaha-milik-sandiaga-
uno-tersangka-karhutla-pelalawan.html diakses pada 8 Agustus 2017. 64 http://news.detik.com/berita/3208960/singapura-perintahkan-tangkap-wni-soal-kabut-
asap-ri-protes-keras diakses pada 02 Juni 2017. 65
Ibid.
14
untuk selanjutnya dilakukan proses intogasi oleh aparat hukum Singapura.66
Selama proses introgasi, direktur perusahaan tersebut yang merupakan warga
negara Indonesia tidak didampingi oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia
(selanjutnya disebut dengan KBRI) di Singapura.67
Langkah Singapura hingga
sampai pada introgasi terhadap warga negara Indonesia yang merupakan pihak
dari perusahaan pembakar hutan dan lahan ini dianggap sebagai bentuk
pelaksanaan isi dari pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24
of 2014. Hal tersebut juga membuat Indonesia menganggap bahwa isi dari pasal 4
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 terlalu arogan dan
melanggar yurisdiksi teritorial Indonesia untuk mengadili suatu perbuatan
pelanggaran hukum yang berada diwilayah Indonesia. Pasal 4 Singapore
Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dianggap sebagai dalih bagi
Singapura untuk ikut serta mengadili pelaku pembakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Sebelum dibentuknya Singapore Transboundary Haze Pollution Act
No. 24 of 2014 telah ada perjanjian internasional terkait polusi asap lintas batas
untuk kawasan ASEAN yaitu AATHP. Indonesia dan Singapura menjadi negara
yang ikut meratifikasi AATHP yang dengan kata lain bahwa Indonesia dan
Singapura tunduk pada kewajiban-kewajiban dalam AATHP. AATHP dibentuk
berdasarkan keinginan negara-negara di ASEAN, yang artinya pembentukan
AATHP ini juga menjadi keinginan Indonesia dan Singapura dalam bekerja sama
untuk mengatasi masalah polusi asap. Setelah Singapura ikut meratifikasi AATHP
66
Ibid. 67
Hasil wawancara penulis di Direktorat Hukum dan Perjanjian Ekonomi, Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia pada 13 Februari 2017.
15
kemudian membentuk Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of
2014 maka peraturan atau regulasi mana yang akan dilaksanakan oleh Singapura.
Singapura dan Indonesia sebagai negara yang berdaulat pada hakekatnya
tunduk dan menghormati hukum internasional serta harus menghormati atau tidak
boleh melanggar kedaulatan sesama negara.68
Hakekat negara yang harus tunduk
dan menghormati hukum internasional serta tidak boleh melanggar kedaulatan
sesama negara ini dengan tepat ditegaskan oleh Max Huber sebagai arbiterator
tunggal Mahkamah Arbitrase Internasional dalam kasus Pulau Palmas atau
Miangas pada tahun 1928 antara Belanda melawan Amerika serikat.69
Pada kasus
tersebut, Max Huber menegaskan bahwa kedaulatan suatu negara harus berhenti
ketika muncul kedaulatan negara lain.70
Namun ada kalanya dalam pergaulan
internasional terjadi berbenturan kedaulatan, dimana kedaulatan suatu negara
dilanggar oleh negara lain. Ketika terjadi pelanggaran demikian maka timbul
yurisdiksi negara untuk menerapkan hukum negaranya dalam hal terjadi
perselisihan antar kedaulatan negara. Tindakan Singapura melalui pengadilan
setempat yang mengeluarkan perintah untuk menangkap dan melakukan introgasi
kepada direktur perusahaan pembakar hutan dan lahan guna proses hukum
Singapura bagi Indonesia tidak menghargai kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia
dalam pergaulan Internasional. Indonesia dan Singapura sama-sama memiliki
kepentingan sebagai negara-negara yang berdaulat dalam masalah polusi asap
68
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003,
hlm. 90. 69
Ibid. 70
Lihat dan baca kasus Pulau Palmas (The Palmas Island Case), 1928 atau The Island of
Palmas (Miangas) Arbiteration, 1928 dalam : Herbert W. Briggs: THE LAW OF NATIONS:
CASES, DOCUMENTS AND NOTES; Second Edition, Appleton Century-Crofts, Inc, New
York, 1996, Hlm. 239-247. Ibid.
16
lintas batas ini, di mana Indonesia merasa memiliki yurisdiksi teritorial atas
masalah polusi asap yang berasal dari wilayah teritorial Indonesia. Sedangkan
Singapura sebagai negara yang tekena dampak negatif dari polusi asap merasa
memiliki hak untuk ikut mengadili pelaku pembakar hutan dan lahan Indonesia
karena adanya asas yurisdiksi extraterritorial serta melindungi kepentingan
nasionalnya. Dalam pergaulan internasional, terdapat aturan bertata krama khusus
negara-negara ASEAN yang dijelaskan dalam The ASEAN Charter (selanjutnya
disebut Piagam ASEAN), yaitu : 71
“ASEAN and its Member States shall act in accordance with the following
Principles:
(a) Respect for the independence, sovereignty, equality, territorial
integrity and national indentity of all ASEAN Member States.
(e) Non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States.
(f) Respect for the right of every Member State to lead its national
existence free from external interference, subversion and coercion. ”
Pada pasal 2 ayat 2 (a), (e), dan (f) Piagam ASEAN dengan tegas
menjelaskan bahwa: (a) seluruh negara anggota ASEAN harus bertindak dengan
prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial
dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN;72
(e) tidak campur tangan
urusan dalam negeri Negara-Negara Anggota ASEAN;73
(f) penghormatan
terhadap hak setiap Negara Anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas
dari campur tangan eksternal, subversi dan paksaan.74
Bagi Indonesia tentu
penerapan pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014
melanggar kedaualatan Indonesia serta bentuk campur tangan Singapura terhadap
71
Article 2 pragrapgh 2 The ASEAN Charter. 72
Article 2 paragrapgh 2 (a) The ASEAN Charter. 73
Article 2 paragrapgh 2 (e) The ASEAN Charter. 74
Article 2 paragraph 2 (f) The ASEAN Charter.
17
Indonesia, namun bagi Singapura dengan hadirnya Singapore Transboundary
Haze Pollution Act No. 24 of 2014 merupakan cara untuk melindungi kepentingan
nasionalnya. Bahwa sejatinya Singapore Transboundary Haze Pollution Act No.
24 of 2014 tetaplah sebuah hukum nasional yang dibatasi oleh prinsip-prinsip
dalam hukum internasional serta tetap harus menghormati kedaulatan negara
lain.75
Sehingga berdasarkan bahan hukum dan informasi melalui studi
kepustakaan yang telah dihimpun dari berbagai sumber, penulis menganggap
penelitian ini penting.
Penulis mengemukakan dan memberikan gambaran perihal adanya
kesesuian dengan penelitian terdahulu juga memaparkan tentang perbedaan yang
ada. Tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan dan kepastian bahwa
penelitian yang diangkat oleh penulis saat ini merupakan hasil dari penelitian
yang masih belum ada. Terkait dengan Legalitas Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution.
Berdasarkan uraian yang latar belakang masalah tersebut, peneliti akan
melakukan penelitian hukum dengan judul : LEGALITAS SINGAPORE
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 of 2014 DITINJAU
DARI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION.
75 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5788ac38f2861/apakah-singapura-telah-
melanggar-kedaualatan-indonesia-broleh-abdulkadir-jailani diakses pada 06 April 2017.
18
Penelitian terdahulu yang akan di paparkan berikut juga dapat dijadikan
sebagai penelitian pembanding terhadap penelitian yang sudah ada. Penelitian
yang dimaksud antara lain :
No. Tahun
Penelitian
Nama Peneliti &
Asal Instansi
Judul Penelitian Rumusan Masalah Keterangan
(Perbedaan)
1. 2015 Grizelda (Fakultas
Hukum
Universitas Gajah
Mada)
Penerapan Yurisdiksi
Ekstrateritorial
Dalam Singapore
Transboundary Haze
Pollution Act Dari
Kebakaran Hutan Di
Indonesia
1.Bagaimana bentuk
pertanggungjawaban
Indonesia terhadap
kabut asap dari
kebakaran hutan di
Indonesia menurut
Hukum
Internasional?
2.Bagaimana
penerapan dari
pelaksanaan
yurisdiksi
ekstrateritorial yang
diatur dalam Pasal 4
Singapore
Transboundary
Haze Pollution Act
2014 (No. 24 of
2014)?
Penelitian ini
membahas tentang
penerapan yurisdiksi
esktrateritorial yang
menjadi dasar
berlakunya ataupun
alasan yuridis
Singapura dalam
memberlakukan
Singapore
Transboundary
Haze Pollution
Actatas kebakaran
hutan di Indonesia.
2. 2015 Rani Widya
Adriani
(Universitas
Brawijaya)
Dinamika Proses
Ratifikasi ASEAN
Agreement on
Transboundary Haze
Pollution (AATHP)
oleh Indonesia Tahun
2002-2004
1.Bagaimana
dinamika proses
ratifikasi The
ASEAN Agreement
on Transboundary
Haze Pollution oleh
Indonesia Tahun
2002-2004?
Penelitian ini
membahas
mengenai
dinamika dari
proses ratifikasi ASEAN Agreement
on Transboundary
Haze Pollution
(AATHP) oleh
Indonesia Tahun
2002-2004
19
3. 2016 Siciliya Mardian
Yo’el (Universitas
Brawijaya)
Analisis efektivitas
ASEAN Agreement on
Transboundary Haze
Pollution Dalam
Upaya
Penanggulangan
Pencemaran Asap
Lintas Batas Di
Kawasan ASEAN
1.Bagaimanakah
efektivitas ASEAN
Agreement on
Transboundary
Haze Pollution
dalam hukum
nasional yang
mengatur tentang
pencemaran asap
lintas batas di
kawasan ASEAN
(utamanya di
Indonesia, Malaysia,
dan Singapura)?
2.Bagaimana
efektivitas
penegakan hukum
ASEAN Agreement
on Transboundary
Haze Pollution
dalam proses
penyelesaian
sengketa yang
diakibatkan oleh
pencemaran asap
lintas batas di
kawasan ASEAN?
Penelitian ini membahas
mengenai ke-
efektivitas
berlakunya
AATHP dalam
upaya
penanggulangan
pencemaran asap
lintas batas
wilayah di
kawasan ASEAN.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of
2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution?
20
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dan menelaah dari
suatu permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis
legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau
dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
D. MANFAAT PENELITIAN
Peneliti mengharapkan penelitian ini memiliki manfaat teoritis maupun
manfaat praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang hendak dicapai oleh penulis melalui
penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan
dan pengajian ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan legalitas
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau
dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran demi kemajuan ilmu hukum khususnya hukum internasional
dan bagi penelitian yang serupa secara mendalam.
21
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah yang
menjadi pokok permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian yang selanjutnya dibagi menjadi manfaat teoritis dan
manfaat praktis.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas lebih lanjut teori dan istilah hukum yang
mempunyai keterkaitan secara langsung maupun tidak langsung
dengan penelitian. Dalam menyusun bab ini, penulis mencari dan
menganalisis berbagai sumber bacaan yang diperoleh dari berbagai
sumber, melalui peraturan perundang-undangan, buku, artikel
hukum, jurnal hukum, situs internet. Manfaat dari bab ini adalah
membantu dan mempermudah penulis untuk menggunakan pisau
analisis yang tepat terhadap hasil penelitiannya kedalam
pembahasan permasalah dari penelitian tersebut.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan terkait dengan metode-metode ilmiah yang
digunakan agar mendapatkan informasi yang valid, tujuannya
adalah dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, dengan
suatu pengetahuan tertentu sehingga pada saat tertentu dapat
digunakan sebagai media untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah. Komponen dalam bab ini terdiri dari jenis
22
penelitian, pendekatan penelitian yang digunakan, jenis dan
sumber bahan hukum, teknik memperoleh bahan hukum, serta
teknik analisis bahan hukum.
BAB IV : HASIL & PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bab yang menjadi pokok bahasan dari suatu
penelitian. Bab Hasil dan Pembahasan berisi uraian-uraian tentang
hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis
sehubungan dengan topik permasalahan yang sudah dirumuskan
sebelumnya. Hasil dan pembahasan ini disusun secara sistematis
dan praktis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
penulis.
BAB V : PENUTUP
Sebagai bab terakhir, penutup terdiri dari kesimpulan yang
merupakan gagasan dan ide penulisan penelitian ini yang
dinyatakan secara keseluruhan yang didasarkan pada rumusan
masalah dan pembahasannya. Kesimpulan tersebut akan
mempermudah para pembaca untuk mengetahui secara ringkas dan
jelas apa yang menjadi inti dari permasalahan yang dibahas oleh
penulis. Selain itu, bab ini juga berisi saran-saran yang selanjutnya
dapat digunakan untuk melengkapi dan menyempurnakan jawaban
permasalahan penulisan penelitian tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Yurisdiksi Negara
a. Pengertian Yurisdiksi
Yurisdiksi merupakan suatu atribut kedaulatan suatu negara.1
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap
orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas wilayahnya.2
Cassese mendefinisikan jurisdiksi sebagai kewenangan pemerintah pusat
dari suatu Negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik terhadap
individu-individu yang berada di dalam wilayahnya.3
Yurisdiksi merupakan suatu refleksi dari prinsip dasar kedaulatan
negara, persamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan suatu
negara terhadap urusan domestik negara lain.4 Prinsip-prinsip tersebut
tersirat dari adagium hukum “par in parem non habet imperium”5.
Artinya, para pihak (negara) yang sama kedudukannya tidak mempunyai
yurisdiksi terhadap pihak lainnya (“equals do not have jurisdiction over
each other”).6
1 Rebecca M. Wallace, op.cit.
2 Huala Adolf, op.cit, hlm. 163.
3 Antonio Cassese, International Law, Oxford: Oxford U.P., 2
nd.ed., 2005, hlm. 49.
Dikutp ulang oleh Huala Adolf, Ibid. 4 Hans Kelsen, Principles of International Law, New York: Rinehart & Co., 1956, hlm.
235. Ibid. 5 Prinsip ini merupakan prinsip imunitas yang lahir dari prinsip kedaulatan negara yang
terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Piagam PBB. 6 Huala Adolf, op.cit.
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet
imperium” memiliki beberapa pengertian:7
1. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui
pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara
tersebut menyetujuinya;
2. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional
tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan
anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut;
3. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan suatu
tindakan negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayahnya.8
b. Bentuk-bentuk Yurisdiksi
Yurisdiksi suatu negara di dalam wilayahnya dapat terbagi atau
tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan negara sebagai berikut:9
1) Prescriptive Jurisdiction atau Legislative Juriscdiction, Maksud dari
Prescriptive Jurisdiction adalah kekuasaan membuat peraturan atau
perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang
atau atau peristiwa hukum di dalam wilayahnya.10
7 Huala Adolf, op.cit.,hlm. 164.
8 Ibid.
9 Ibid.
10 Yurisdiksi Preskriptif dapat pula berlaku pada tindakan negara dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang sifatnya ekstrateritorial (extraterritorial legislative) , yaitu
peraturan perundangn-undangan yang diberlakukan terhadap warganya diluar negeri. Contoh
peraturan perundang-undangan seperti ini dalam hukum internasional UU untuk melaksanakan
yurisdiksi universal .
2) Judicial Jurisdiction (Yurisdiksi Pengadilan), Maksud dari yurisdiksi ini
adalah kekuasaan (pengadilan) untuk mengadili orang (subyek hukum)
yang melanggar peraturan atau perundang-undangan.11
3) Enforcement Jurisdiction (Yurisdiksi Penegakan), Enforcement
Jurisdiction ialah kewenangan negara untuk memaksa atau menegakkan
(enforce) hukum agar subyek hukum di dalam wilayah negaranya mentaati
peraturan (hukum) tersebut.12
c. Prinsip-prinsip Yurisdiksi
Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip yurisdiksi
berikut:13
1) Yurisdiksi Teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap persoalan
atau kejadian di dalam wilayahnya.14
Prinsip ini adalah prinsip yang
paling penting dan mapan dalam hukum internasional.15
Prinsip teritorial
ini terbagi dua, yaitu suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan
berakhir di negara lain.
11
Lihat, Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford U.P., 3rd
. ed., 1979,
hlm. 298; Greg, International Law, London: Butterworths, 2nd
. ed., 1976, hlm. 211; Shaw,
International Law, London: Butterworths, 2nd
. ed., 1986, hlm. 342. Antonio Cassese
menyebutkan “Jurisdiction to Adjudicate (Antonio Cassese, op.cit.,hlm. 49). Dikutip ulang oleh
Huala Adolf, op.cit. 12
Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht: Martinus
Nijhoff Publishers, 1991, hlm. 255. Beberapa sarjana hanya membedakan atau membagi kategori
yurisdiksi negara menjadi dua bentuk, yaitu yurisdiksi preskriptif atau legislatif dan yurisdiksi
penegakan (Enforcement Jurisdiction). Lihat misalnya, D.J. Harris, Cases and Materials on
International Law, London: Sweet & Maxwell, 4th
.ed., 1998, hlm. 264. Ibid. 13
Huala Adolf, op.cit.,hlm. 166. 14
Ibid. 15
Dickinson, Introductory Comment to the Harvard Research Draft Convention on
Jurisdiction with respect to Crime 1935, 29 A.J.I.L., Supp. 44 (1935), sebagaimana dikutip D.J.
Harris, op.cit., hlm. 264. Ibid.
Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini:16
a) Hak Lintas Damai di Laut Teritorial. Prinsip yurisdiksi teritorial yang
dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan
dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil
Konferensi Kodifikasi Hukum Laut Den Haag 1930.17
b) Kapal Berbendera Asing di Laut Teritorial. Kapal perang dan kapal
pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial ini hanya
tunduk kepada yurisdiksi legislatif (Legislative Jurisdiction) negara
pantai.18
c) Pelabuhan. Suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu negara,
maka kapal tersebut berada dalam kedaulatan teritorial suatu negara
pantai. Karena itu pula negara pantai berhak untuk menegakkan
hukumnya terhadap kapal dan awak kapalnya. 19
d) Orang Asing. Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing
sama halnya dengan yurisdiksi teritorial negara terhadap warga-
negaranya.20
e) Pengecualian terhadap Yurisdiksi Teritorial
Dalam hal-hal tertentu, yurisdiksi teritorial dapat kebal. Artinya, tidak
berlaku terhadap:21
16
Huala Adolf, op.cit.,hlm. 169. 17
Dalam konferensi diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut
yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi kriminal (pidana) dan yurisdiksi perdata. 18
R.R. Chruchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester University Press,
1983, hlm. 77. Dikutip ulang Huala Adolf, op.cit.,hlm. 171. 19
Huala Adolf, op.cit.,hlm. 172. 20
Huala Adolf, op.cit.,hlm. 173.
a. Negara-negara asing dan Kepala Negara Asing;
b. Perwakilan-perwakilan Diplomatik dan Konsuler;
c. Kapal Pemerintah Negara Asing;
d. Angkatan Bersenjata Negara Asing; dan
e. Organisasi Internasional.
2) Yurisdiksi Personal, suatu negara dapat mengadili warga-negaranya
karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya adalah
kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada
warga-negaranya di luar negeri.22
3) Yurisdiksi Perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisidiksinya
terhadap warga-negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri
yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan
kemerdekaan negara.23
Menurut Bernard Oxman, tujuan prinsip ini adalah
untuk melindungi fungsi-fungsi kepemerintahan (governmental functions)
suatu negara.24
4) Yurisdiksi Universal, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak
kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir
tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang
melakukan kejahatan.25
Maryan Green berpendapat bahwa terhadap
kejahatan-kejahatan seperti ini, selain memiliki yuisdiksi, negara-negara
21
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm. 278. 22
Martin Dixon, op.cit.,hlm. 195; Akehurst, op.cit.,hlm. 118. Dikutip ulang oleh Huala
Adolf, op.cit.,hlm. 188 23
Ibid, hlm. 190. 24
Ibid, hlm. 191. 25
Ibid, hlm. 194.
pun memiliki hak, bahkan kewajiban untuk menghukumnya.26
Lahirnya
prinsip yurisdiksi ini terhadap kejahatan yang merusak (destruktif)
terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena
tidak adanya badan peradilan yang khusus mengadili kejahatan yang
dilakukan oleh orang perorangan (individu).
2. Transboundary Haze Pollution
Secara umum, definisi dari Haze Pollution adalah sebagai berikut: “haze
pollution means the direct or indirect alteration of the environtment: a) to its
detriment or degradation or potential detriment or degradation; or b) to the
detriment or potential detriment of its use or other environtmental value,
which is of a wide scale and involves smoke resulting from any land or forest
fire wholly outside Singapore.”27
Secara umum, haze pollution merupakan
pencemaran atau polusi yang terjadi dalam suatu negara atau daerah, namun
akibat dari pengaruh cuaca, atmosfer,28
dan biosfer29
menyebabkan polusi atau
pencemaran tersebut menyebar dan memasuki wilayah negara atau daerah lain
serta mengganggu aktivitas, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya di
negara yang terkena dampak.30
26
NA. Maryan Green, International Law: Peace, 1978, hlm. 157. Dikutip ulang oleh
Huala Adolf, ibid. 27
Article 1 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. 28
Atmosfer merupakan lapisan gas yang berada di luar bumi yang berfungsi untuk
melindungi bumi sekaligus menjaga kestabilan suhu, cuaca dan kelembaban udara yang ada di
dalam bumi. 29
Biosfer merupakan lapisan keseluruhan bumi yang paling tipis dan merupakan sistem
kehidupan dan organisasi terkompleks di dunia yang hanya ada satu-satunya seperti biosfer di
sistem tata surya. 30
Agustia Purba. Kepentingan Indonesia tidak meratifikasi Asean Agreement On
Transboundary Haze Pollution Tahun 2002-2012. Jurnal Online Mahasiswa, Vol. 1 Nomor 2
(2014) Universitas Riau, 2013. hlm. 2.
Sedangkan menurut AATHP bahwa “ transboundary haze pollution
means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part
within the area under the national jurisdiction of one Member State and which
is transported into the area under the jurisdiction of another Member
State.”31
Dengan demikian yang dimaksud dengan polusi asap lintas batas
tersebut adalah pencemaran udara yang berasal baik seluruh atau sebagian dari
suatu negara yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah yang berada
dibawah jurisdiksi negara lain.32
3. Kedaulatan Negara
a. Pengertian Kedaulatan Negara
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara
untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal
saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.33
Kedaulatan adalah nilai dari suatu negara yang paling rawan untuk
dipertahankan, karena menyangkut eksistensi dan kemampuan negara tersebut
untuk menghadapi berbagai tantangan global.34
Sesuai konsep hukum
internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu :35
31
Article 1 paragraph 13 ASEAN Transboundary Haze Pollution Act. 32
Akbar Kurnia Putra, Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum
Lingkungan Internasional, 2015, hlm. 96. 33
Boer Mauna, Op.cit., hlm. 24. 34
Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 29. 35
Nkambo Mugerwa, Subjects of International Law,Edited by Max Sorensen, Mac
Millan, New York, 1968, p. 253, Dikutip ulang dalam buku Boer Mauna, Op.cit.
a. Aspek ekstern, kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara
bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-
kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
b. Aspek intern, kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara
untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-
lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang
diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
c. Aspek teritorial, kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang
dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat
di wilayah tersebut.
b. Macam-macam Kedaulatan Negara
Kedaulatan secara konseptual bisa dikelompokkan dalam beberapa
kategori, terutama dalam bidang kajian politik, seperti kedaulatan rakyat,
kedaulatan hukum, kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja, dan lain lain
sebagainya.36
Namun secara kategoris, kedaulatan dapat dikelompokkan
menjadi dua, yakni kedaulatan berdasarkan jangkauan pelaksanaannya dan
kedaulatan dilihat dari sisi wilayahnya.37
Kedua kelompok tersebut
merangkum berbagai deskripsi detail mengenai kedaulatan, baik dalam
konteks ilmu politik38
maupun dalam konteks hukum internasional, terutama
yang terkait dengan persoalan teritori dan kedaulatan negara.39
36 Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 30 37
Ibid. 38
Menurut Bluntchli, Garner, dan Frank Goodnow bahwa ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari tentang lingkungan kenegaraan. 39
Saru Arifin, Op.cit.
1) Kedaulatan Berdasarkan Jangkauan (Scope)
Kedaulatan negara dilihat dari jangkauan pelaksanaannya, dibagi menjadi
dua jenis kedaulatan, yaitu internal dan eksternal.40
Pengertian kedaulatan
secara internal adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara di wilayahnya.41
Pengertian kedaualatan atas wilayah ini adalah kewenangannya sebatas dalam
wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya.42
Sementara
itu, pengertian kedaulatan secara eksternal adalah kemampuan negara untuk
melakukan hubungan internasional.43
2) Kedaulatan Berdasarkan Konsep wilayah (Territory)
Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki oleh suatu
negara dalam melaksanakan yurisdiksi (kewenangan) secara eksklusif di
wilayah negaranya, yang mana di dalam wilayah tersebut negara memiliki
wewenang penuh untuk melaksanakan dan menegakkan hukum nasionalnya.44
4. Tanggung Jawab Negara Dalam Perjanjian Internasional
a. Pengertian Tanggung Jawab Negara
Meskipun suatu negara adalah berdaulat, namun dengan adanya
kedaulatan tersebut tidaklah berarti negara bebas dari tanggung jawab.45
Dalam bahasa inggris, “responsibility” berasal dari kata “response” (tindakan
40
Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 32 41
Ibid. 42
Ibid. 43
Ibid. 44
Saru Arifin, op.cit.,hlm. 33. 45
Huala Adolf, op.cit.,hlm. 203.
untuk merespons suatu masalah atau isu) dan “ability” (kemampuan).46
Responsibility sering diartikan dengan “ikut memikul beban” akibat suatu
perbuatan.47
Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung
jawab (responsibility) dapat diartikan sebagai “wajib menanggung segala
sesuatunya”, atau terjadi sesuatu dapat dipersalahkan, dituntut, diancam
hukuman pidana oleh penegak hukum di depan pengadilan pidana, menerima
beban akibat tindakan sendiri atau orang lain.48
Hukum tentang tanggung jawab negara terkait dengan yurisdiksi
negara.49
Hukum tentang yurisdiksi negara adalah hukum yang mengatur
kekuasaan negara untuk melakukan suatu tindakan (dalam hal ini pelaksanaan
yurisdiksi). Sedangkan hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum
mengenai kewajiban negara yang timbul manakala negara telah dan tidak
melakukan suatu tindakan.50
b. Implementasi Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian internasional pada dasarnya dianggap sebagai suatu
proses tukar menukar kewajiban.51
Oleh karenanya implementasi suatu
perjanjian internasional diartikan sebagai menambahkan atau memasukkan
suatu kewajiban baru yang tidak ada sebelumnya ke dalam hukum negara-
46
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar Edisi Kedua, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 253. 47
Ibid. 48
Ibid. 49 Huala Adolf, op.cit. 50
Ibid. 51 Kholis Roisah, Hukum Perjanjian Internasional : Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, hlm. 88.
negara yang menjadi pihak peserta perjanjian.52
Konsekuensi ikut sertanya
suatu negara dalam suatu perjanjian internasional adalah kesediaannya untuk
mengimplementasikan ke dalam hukum nasional.53
Adapaun yang dimaksud implementasi atau penerapan perjanjian
internasional pada peraturan perundang-undangan adalah membuat ketentuan-
ketentuan untuk menampung ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian yang telah diterima.54
Tanpa adanya perundang-undangan nasional
yang menampung ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian dimana
suatu negara menjadi pihak di dalamnya, maka perjanjian tersebut tidak ada
gunanya. Tidak ada gunanya suatu negara yang telah ikut membuat dan
mengesahkan perjanjian/konvensi tanpa ada tindak lanjutnya didalam
negerinya.55
c. Penafsiran dalam Perjanjian Internasional
Terdapat beberapa prinsip-prinsip dan azas-azas yang telah digunakan
oleh para sarjana untuk melakukan penafsiran (Interpretation) dalam hukum
Internasional. Bahkan sebagian besar azas-azas atau prinsip-prinsip tersebut
telah dikodifikasikan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional. Azas-azas hukum internasional tentang penafsiran perjanjian
dikenal 3 (tiga) “school of thoughts” atau aliran, yaitu:56
52
Ibid. 53
Ibid. 54
Ibid. 55
Ibid. 56
Ibid, hlm. 75
1. Preparatory work/travaux preparatories, aliran yang berpegang pada
kehendak para pembuat perjanjian terlepas dari teks perjanjian itu.
Aliran ini menggunakan dengan secara luas pekerjaan pendahuluan
dan bukti-bukti lain yang menggambarkan kehendak para pihak.57
2. Textual School, aliran yang menghendaki bahwa kepada naskah
perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim diberikan dan yang
terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the
words).58
Unsur penting dari aliran ini adalah naskah perjanjian itu
baru kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek
dan tujuan dari perjanjian itu.59
Aliran ini tidak menolak relevansi
daripada pernyataan dan kehendak-kehendak para pihak, namun
berdasarkan fakta bahwa baskah merupakan hasil terakhir dari
perundingan suatu perjanjian, maka seyogyanyalah naskah perjanjian
itu yang terpenting.60
3. Teleological School, penafsiran ini menitikberatkan pada interpretasi
dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang
berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula para pembuat
perjanjian.61
57
Ibid. 58
Ibid. 59
Ibid. 60
Ibid, hlm. 76. 61
Ibid.
d. Asas-asas dalam Perjanjian Internasional
Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara
luas dan mendasari adanya suatu norma hukum.62
Di dalam perjanjian
internasional juga terdapat asas-asas yang dijadikan sebagai landasan dalam
pelaksanaannya.63
Asas-asas tersebut yaitu:
1) Pacta Sunt Servanda, merupakan asas yang paling fundamental bahwa
perjanjian internasional mengikat para pihak sebagaimana undang-
undang bagi yang membuatnya.64
2) Rebus Sic Stantibus, perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya
untuk melaksanakan pada masa yang akan datang harus diartikan
tunduk kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan dimasa
yang akan datang tetap sama.65
3) Good Faith, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.66
5. Singapore Transboundary Haze Pollution Act. No. 24 of 2014
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 merupakan
undang-undang nasional Singapura yang mengatur tentang perilaku yang
menyebabkan atau berkontribusi terhadap polusi kabut asap di Singapura.67
62
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 36. 63
Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian
Internasional, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2009, hlm. 157. 64
Ibid. 65
Sejak abad XII dan XII ahli hukum mengenal asas ini dalam bahasa latin yaitu:
“contractus qui habent tractum succesivum et dependentian de futuro rebus sic stantibus
intelliguntur”. 66
Jawahir Thontowi, op.cit., hlm. 108. 67
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24/2014.
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dibentuk pada
tanggal 5 Agustus 2014 oleh parlemen Singapura. Singapore Transboundary
Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dibentuk dengan tujuan untuk mencegah
dan mengadili mereka yang bertanggung jawab atas polusi asap di Singapura,
dan tidak diarahkan pada individu atau perusahaan manapun berdasarkan
kewarganegaraan.68
Undang-undang ini memuat ketentuan mengenai kewenangan
ekstrateritorial bagi setiap tindakan dari dalam ataupun dari luar Singapura
yang menimbulkan dampak berupa pencemaran asap atas wilayah Singapura
yang diperjelas dalam pasal 4.69
Selain itu, undang-undang ini juga memuat
mengenai langkah-langkah pencegahan, mengurangi atau pengendalian asap
berupa timbulnya polusi udara di langit Singapura, berdasarkan informasi
satelit, kecepatan arah angin dan informasi yang didapatkan dari badan
metereologi.70
4. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
Pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan
dan Sumatera yang termasuk wilayah negara Indonesia dan menimbulkan
pencemaran asap yang bukan hanya terjadi di wilayah Indonesia, tetapi juga
68 http://www.channelnewsasia.com/news/singapore/transboundary-haze-pollution-act-
not-about-national-sovereignty--7996876 diakses pada tanggal 31 Mei 2017 69
Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution No. 24 of 2014. 70
Grizelda, Marsudi Triatmojo, Penerapan Yurisdiksi Esktratorial Dalam Singapore
Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014) Akibat Kabut Asap Dari Kebakaran
Hutan di Indonesia, Universitas Gajah Mada, 2015, hlm. 8.
menyebar ke wilayah negara Singapura dan Malaysia.71
Kejadian ini yang
kemudian mendorong negara-negara ASEAN untuk membahas masalah
tersebut dan menuangkannya dalam Hanoi Plan of Action 1997. Hanoi Plan
of Action 1997 berisi upaya mengatasi masalah pencemaran asap lintas
sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan.72
Anggota ASEAN kemudian
sepakat untuk memformalkan Hanoi Plan of Action 1997 agar lebih efektif
dengan membentuk (AATHP) pada tahun 2002.73
AATHP merupakan wujud komitmen bersama seluruh negara ASEAN
untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran asap lintas batas sebagai
akibat dari kebakaran hutan dan lahan.74
AATHP ditanda tangani oleh seluruh
negara ASEAN pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kemudian
AATHP resmi berlaku pada 25 November 2003. Alasan dibentuknya AATHP
adalah untuk meningkatkan kerjasama regional serta melindungi Human
Security75
masyarakat masing-masing negara anggota ASEAN.76
Human
Security berfungsi untuk melindungi inti vital semua kehidupan manusia
dengan cara meningkatkan kebebasan manusia dan pemenuhan kebebasan
71
Siciliya Mardian Yo’el, Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution Dalam Penanggulangan Pencemaran Asap Lintas Batas di ASEAN, Universitas
Islam Kediri, 2016, hlm. 330. 72
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution. 73
Siciliya Mardian Yo’el, op.cit. 74
Ibid, hlm. 331. 75
Human Security berarti melindungi kebebasan fundamental atau kebebasan yang
merupakan inti kehidupan. 76
Mukhammad Syaifulloh. Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution. Universitas Jember. 2013. Hlm. 2.
manusia.77
Alasan lain mengapa AATHP ini perlu dibentuk adalah munculnya
ancaman dalam Environment Security78
yaitu gangguan dalam lingkungan
hidup yang terjadi berupa ancaman terhadap terjadinya longsor karena pohon-
pohon yang seharusnya mampu menahan erosi telah habis terbakar sehingga
apabila hujan turun maka tidak ada lagi penyangga yang melindungi dari
longsor.79
Dalam AATHP, pernyataan pengikatan diri oleh negara peserta untuk
menjadi pihak yang tunduk dalam aturan AATHP harus dilakukan dengan
ratifikasi.80
Ratifikasi adalah penegasan kembali bahwa negara yang terlibat
dalam perjanjian internasional tersebut menyatakan diri tunduk dan terikat
dalam aturan-aturannya.81
AATHP mulai berlaku pada 25 November 2003
setelah Brunei Darussalam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan
Vietnam meratifikasi persetujuan tersebut dan menyerahkan instrument
ratifikasinya kepada sekretariat ASEAN.82
Singapura menjadi negara kedua
yang meratifikasi AATHP setelah Malaysia, ratifikasi dilakukan oleh
Singapura pada tanggal 13 Januari 2013, dan melakukan penyerahan deposit
of Instrument of ratification sehari setelahnya.83
Sedangkan Indonesia baru
77
United Nations Trust Fund for Human Security, Human Security in Theory and
Practice: An Overview of the Human Security Concept and the United Nations Trust Fund for
Human Security, Human Security Unit of United Nations, New York, hlm. 5. 78
Environment Security adalah hubungan antara lingkungan dan keamanan manusia serta
alam yang telah menjadi objek penelitian dikarenakan lingkungan telah menjadi isu transnasional
dan keamanannya adalah dimensi penting dari perdamaian, keamanan nasional, dan hak asasi
manusia. 79
Ibid. 80
Article 28 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 81
Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, Setara Pers,
Malang, 2014, hlm. 3. 82
Siciliya Mardian Yo’el, op.cit. 83
Syahriani Firmayanti, op.cit.
meratifikasi AATHP pada 16 September 2014 dibuktikan dengan adanya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang
Pencemaran Asap Lintas Negara) dan menyerahkan instrument ratifikasinya
ke sekretariat ASEAN pada 20 Januari 2015.84
84
Siciliya Mardian Yo’el, op.cit., hlm. 332.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini jenis penelitian yang digunakan adalah Yuridis
Normatif, atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum.1 Penelitian yuridis normatif
yang dimaksud adalah bahwa permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian, yaitu mengenai tinjauan legalitas Singapore Transmoundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP). Berdasarkan penelitian yang
penulis teliti, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan
penelitian kepustakaan.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan hukum
tertulis (Statute Approach).2 Peraturan hukum tertulis yang digunakan adalah
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dan Piagam
ASEAN. Pendekatan peraturan hukum tertulis yang digunakan dalam
penelitian ini dengan tujuan sebagai dasar melakukan analisis.3 Pendekatan
peraturan hukum tertulis (Statute Approach) ini dilakukan untuk meneliti
1 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 13-14. 2 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2004, hlm. 57. 3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 93.
aturan tertulis yang terdapat dalam hukum internasional yang mengatur
mengenai legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of
2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP) Tahun 2002.
C. Jenis dan Bahan Hukum
Bahan hukum yang akan dikaji atau menjadi acuan berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini yaitu :4
a) Bahan Hukum Primer, peraturan hukum tertulis dalam hukum
internasional yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP).
b) Bahan Hukum Sekunder, data kepustakaan yang dipakai untuk
mendukung bahan hukum primer, yaitu : jurnal, media massa, artikel-
artikel terkait.
c) Bahan Hukum Tersier, bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang
hukum. Termasuk bahan hukum ini adalah Kamus Bahasa Indonesia,
Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian normatif, penelusuran bahan hukum primer,
sekunder, atau tersier yang dilakukan melalui studi kepustakaan di Pusat
Dokumentasi Informasi Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas
4 Umu Hilmy, Metodologi Penelitian Dari Konsep Ke Metode : Sebuah Pedoman
Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang, Fakultas Hukum Brawijaya,
2000, hlm. 35.
Brawijaya dan Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya, serta melalui online
survey (akses internet).
E. Teknik Analisa Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan pada penelitian ini yaitu
teological school. Teological School merupakan metode penafsiran dalam
perjanjian internasional yang menitikberatkan pada interpretasi dengan
melihat maksud dan tujuan dalam perjanjian internasional.5
F. Definisi Konseptual
1) Legalitas
Legalitas atau legal status merupakan kedudukan hukum antara
hukum nasional dan hukum internasional dalam suatu negara yang
berdaulat. Legalitas akan melihat hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional dalam penerapannya disuatu negara. Dalam
perkembangannya, terdapat 2 (dua) doktrin yang sangat berpengaruh
dalam hubungan hukum nasional dan hukum internasional, yaitu :6
Pertama, doktrin yang menempatkan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi sebagai bagian dari hukum nasional. Kedua, perlunya legislasi
nasional tersendiri untuk menerapkan perjanjian internasional yang telah
disahkan.
5 Kholis Roisah, op.cit., hlm. 76.
6 Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional : Pengertian, Status Hukum dan
Ratifikasi, PT. Alumni, Bandung, 2011, hlm, 267.
2) Yurisdiksi Negara
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara
terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas
wilayahnya.
3) Transboundary Haze Pollution
Transboundary Haze pollution merupakan pencemaran atau polusi
yang terjadi dalam suatu negara atau daerah, namun akibat dari pengaruh
cuaca, atmosfer, dan biosfer menyebabkan polusi atau pencemaran
tersebut menyebar dan memasuki wilayah negara atau daerah lain serta
mengganggu aktivitas, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya di
negara yang terkena dampak.
4) Kedaulatan Negara
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu
negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai
kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum internasional.7 Kedaulatan adalah nilai dari suatu negara yang
paling rawan untuk dipertahankan, karena menyangkut eksistensi dan
kemampuan negara tersebut untuk menghadapi berbagai tantangan global.
7 Boer Mauna, op.cit.,hlm. 24.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution No. 24 of 2014
Ditinjau Dari Kaidah-Kaidah dalam Hukum Internasional
1. Teori-Teori Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi Proteksi Negara
Dalam Hukum Internasional.
a. Teori Kedaulatan Dalam Hukum Internasional
Kedaulatan merupakan sebuah konsep utama dalam hukum
internasional.1 Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh
suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai
kepentingannya asal kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum
internasional.2 Berdasarkan konsep dalam hukum internasional,
kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu :3
a. Aspek ekstern, kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara
bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau
kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan
dari negara lain.
b. Aspek intern, kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu
negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja
1 John Martin Gillroy, An Evolutionary Paradigm For International Law:
Philosophical Method, David Hume, and the Essense of Sovereignty, University Lehigh, New
York, 2013, hlm. 1. 2 Boer Mauna, op.cit.
3 Nkambo Mugerwa, Subjects of International Law,Edited by Max Sorensen, Mac
Millan, New York, 1968, p. 253. Ibid.
lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang
yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
c. Aspek teritorial, kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif
yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda
yang terdapat di wilayah tersebut.
Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang
dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya.
Di dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan
hukum nasionalnya.4 Pada prinsipnya, fungsi dan pelaksanaan kedaulatan
dilaksanakan di dalam wilayah negara tersebut. Sehingga semua orang,
benda ataupun perisitiwa hukum yang terjadi di suatu wilayah pada
prinsipnya tunduk pada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah
tersebut. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang bersifat monopoli
atau Summa Potestas atau Supreme Power yang hanya dimiliki oleh
negara.5 Maka berlakukah sebuah prinsip yaitu: “Qui in territorio meo est,
etiam meus subditus est.”6.
b. Batasan dalam Kedaulatan Negara
Kedaulatan yang merupakan sebuah kekuasaan tertinggi suatu negara
mengartikan bahwa di atas kedaulatan tidak ada lagi kekuasaan yang lebih
tinggi. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa
4 Huala Adolf, op.cit., hlm. 107
5 Ibid.
6 Qui in territorio meo est, etiam meus subditus : “jika seseorang berada di wilayah saya,
maka ia juga tunduk pada saya.” Hans Kelsen, op.cit., hlm. 216. Huala Adolf, ibid.
suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara
lain.7 Akan tetapi, hal ini tidak dapat diartikan bahwa kedaulatan itu tidak
ada yang membatasinya atau kedaulatan diartikan tidak terbatas sama
sekali.8 Kedaulatan bersifat tidak mutlak. Terdapat batasan-batasan yang
melekat menurut hukum internasional, yaitu:9
1) Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar
dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara
lain.
2) Suatu negara yang memiliki kedaulatan teriotial juga memiliki
kewajiban untuk menghormati kedaulatan teritorial negara lain.
Kedaulatan negara yang seperti diketahui merupakan kekuasaan
tertinggi dari suatu negara. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara
menunjukkan bahwa negara tersebut adalah merdeka atau tidak tunduk
pada kekuasaan negara lain. Namun hal ini tidak bisa diartikan bahwa
kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau sebagai tidak terbatas sama
sekali. Pembatasannya sendiri adalah hukum, baik hukum nasional
maupun hukum internasional.10
Prinsip kedaulatan negara dalam
hubungan internasional sangatlah dominan.11
Negara berdaulat yang satu
tidak tunduk pada negara yang berdaulat yang lain. Meskipun demikian,
tidaklah berarti bahwa negara dapat menggunakan kedaulatan itu tanpa
7 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 345.
8 Ibid.
9 Huala Adolf, op.cit., hlm. 111.
10 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 345.
11 Sefriani, op.cit., hlm. 253.
batas. Hukum internasional telah mengatur bahwa di dalam kedaulatan
terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan
tersebut.12
Karenanya, suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban
untuk tindakan-tindakan atau kelalaiannya yang melawan hukum.13
Mahkamah internasional menyatakan “Between independent states,
respect for territorial sovereignty is an essential foundation of
international relations.”14
yang artinya bahwa di antara negara-negara
yang merdeka, penghormatan terhadap sesama kedaulatan teritorial
merupakan dasar yang penting untuk hubungan internasional. Pernyataan
Mahkamah Internasional pun sejalan dengan isi dari pasal 2 Piagam
ASEAN, yaitu : 15
“ASEAN and its Member States shall act in accordance with the
following Principles:
(a) Respect for the independence, sovereignty, equality, territorial
integrity and national indentity of all ASEAN Member States.”
Pada pasal 2 ayat 2 (a) Piagam ASEAN ini dengan tegas menjelaskan
bahwa seluruh negara anggota ASEAN harus bertindak dengan prinsip
menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial
dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN. Ketika kedaulatan
negara dihadapkan pada 2 landasan ini yaitu prinsip-prinsip umum
12
Ibid. 13
Tindakan ini di definisikan sebagai sebuah tanggung jawab (responsibility) yang
mempunyai makna sebuah tindakan yang bersifat sukarela, karena rspons yang dilakukan
disesuaikan dengan ability yang bersangkutan. Responsibility juga sering diartikan sebagai sebuah
kewajiban; kewajiban memperbaiki. 14
The Corfu Channel Case, ICJ Report 1949, p. 35; S.T. Bernardez, op.cit., hlm. 491.
Dikutip ulang oleh Huala Adolf, op.cit., hlm. 112. 15
Article 2 paragraph 2 (a) The ASEAN Charter.
kedaulatan negara dalam hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam
perjanjian internasional, maka kedaulatan negara ini akan dilihat dari daya
mengikatnya prinsi-prinsip tersebut terhadap suatu negara. Pada prinsip-
prinsip umum tidak ada tolak ukur dan pembuktian bahwa suatu negara
tunduk dan terikat pada prinsip-prinsip umum tertentu dalam hukum
internasional. Berbeda halnya dengan prinsip-prinsip dalam perjanjian
internasional, suatu negara yang meratifikasi perjanjian internasional maka
dinyatakan tunduk dan terikat pada hal-hal yang diatur dalam perjanjian
internasional tersebut, disinilah kedaulatan suatu negara dapat runtuh
ketika negara tersebut terikat dalam sebuah perjanjian internasional.
Karena makna sebuah ratifikasi adalah penundukan diri suatu negara
kepada kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian internasional.
Sehingga jelas terlihat bahwa batasan kedaulatan suatu negara adalah
prinsip-prinsip yang terkandung dalam perjanjian internasional yang
diratifikasi oleh negara tersebut. Artinya, perjanjian internasional
didahulukan dari prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum
internasional.
Perbandingan Terikatnya Negara Terhadap Prinsip-Prinsip Hukum
Umum dan Prinsip-Prinsip Hukum Khusus Dalam Hukum Internasional
Prinsip-Prinsip Hukum
Umum
Prinsip-Prinsip Hukum Khusus
Bentuk Teori-teori umum
kedaulatan negara.
Prinsip-prinsip dalam Perjanjian
Internasional.
Dasar
Terikatnya
Tidak ada tolak ukur yang
dapat membuktikan
terikatnya suatu negara
terhadap prinsip-prinsip
hukum umum.
Negara terikat pada prinsip-prinsip dalam
perjanjian internasional dibuktikan
dengan ratifikasi. Kewajiban dari suatu
negara ketika meratifikasi perjanjian
internasional adalah tunduk pada prinsip-
prinsip dalam perjanjian internasional.
Prinsip-prinsip hukum umum dan perjanjian internasional merupakan
sumber hukum internasional yang memiliki daya mengikat yang tentunya
berbeda. Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice16
juga telah
mengatur mengenai tata urutan pemakaian atau pendahuluan sumber-
sumber hukum internasional ketika masing-masing sumber hukum
mengatur mengenai hal yang sama dan terjadi bersinggungan. Bagaimana
tata urutan (order) sumber-sumber hukum antara kebiasaan, konvensi,
keputusan-keputusan arbitrase dan keputusan-keputusan yudisial
berkenaan dengan permasalahan-permasalahan hukum, dan keputusan-
keputusan atau ketetapan-ketetapan organ-organ lembaga internasional
akan digunakan untuk selanjutnya menentukan tata urutan pemakaian
sumber-sumber tersebut.17
Maka tata urutan pemakaian sumber-sumber
16
Statuta Mahkamah Internasional yang berisi tentang sumber-sumber material hukum
internasional. 17
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 65.
hukum ini dalam prakteknya diikuti berdasarkan urutan pada pasal 38 ayat
1 Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:18
1) Konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus
dengan menunjuk pada ketentuan-ketentuan yang jelas diakui oleh
negara-negara yang sedang berselisih;
2) Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek-
praktek umum yang telah diterima sebagai hukum;
3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang
beradab;
4) Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum
yang terpandang di berbagai negara.
Bahwa konvensi internasional, kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum
dianggap lebih utama daripada keputusan-keputusan hakim dan ajaran-
ajaran para ahli hukum.19
Namun ketika menyangkut tiga kategori yang
disebut pertama, maka prioritas akan diberikan kepada konvensi-konvensi
yang secara tegas diakui oleh negara-negara terikat selama konvensi
tersebut tidak bertentangan dengan jus cogens20
. Ketika tidak ada konvensi
internasional yang mengatur mengenai hal atau permasalahan hukum yang
terjadi, maka yang digunakan sebagai sumber dalam menyelesaikan
18
Article 38 (1) Statute of International Court of Justice. 19
J. G. Starke, op.cit., hlm. 66. 20
Jus Cogens merupakan norma-norma hukum internasional yang dalam berlakunya
tidak dapat diubah.
masalah tersebut adalah kebiasaan-kebiasaan internasional, prinsip-prinsip
hukum umum, keputusan-keputusan hakim dan ajaran para ahli hukum.21
c. Teori Yurisdiksi Proteksi Negara
Yurisdiksi merupakan suatu atribut kedaulatan suatu negara.22
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap
orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas wilayahnya.23
Yurisdiksi merupakan suatu refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara,
persamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan suatu negara
terhadap urusan domestik negara lain.24
Prinsip-prinsip tersebut tersirat
dari adagium hukum “par in parem non habet imperium”. Artinya, para
pihak (negara) yang sama kedudukannya tidak mempunyai yurisdiksi
terhadap pihak lainnya (“equals do not have jurisdiction over each
other”).25
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet
imperium” memiliki beberapa pengertian:26
1) Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui
pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali
negara tersebut menyetujuinya;
21
J. G. Starke, op.cit. 22
Rebecca M. Wallace, op.cit. 23
Huala Adolf, op.cit, hlm. 163. 24
Hans Kelsen, Principles of International Law, New York: Rinehart & Co., 1956, hlm.
235. Ibid. 25
Ibid. 26
Ibid.
2) Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional
tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan
anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut;
3) Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan
suatu tindakan negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayahnya.27
Sedangkan menurut Imre Anthony Csabafi dalam bukunya “The
Consept of State Yurisdiction in International Space Law”,
mengemukakan pengertian tentang yurisdiksi negara dengan menyatakan
“state jurisdiction in public international law means the right of a State or
affect by legislative, executive or judicial measures the rights of persons,
property, acts or event with respect to matters not exclusively of domestic
concern.” Yang artinya adalah bahwa yurisidiksi negara dalam hukum
internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau
mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat
legislatif, eksekutif, atau yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta
kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak
semata-mata merupakan masalah luar negeri.28
Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat dikemukakan secara singkat
dan garis besar unsur-unsur dari yurisdiksi negara tersebut yaitu:29
1) Hak, kekuasaan atau kewenangan. Dalam hal ini sudah jelas bahwa
dengan hak, kekuasaan dan kewenangan ini suatu negara akan dapat
27
Hans Kelsen, op.cit.,hlm. 239. Huala Adolf, op.cit.,hlm. 164. 28
I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 346. 29 Ibid, hlm. 347.
berbuat atau melakukan sesuatu, yang sudah tentu pula harus
berdasarkan atas hukum yaitu hukum internasional.
2) Mengatur (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Hak, kekuasaan dan
kewenangan untuk melakukan sesuatu dalam hal ini adalah untuk
mengatur atau mempengaruhi, di dalamnya mencakup membuat atau
menetapkan peraturan (legislatif); melaksanakan atau menerapkan
peraturan yang telah dibuat atau ditetapkannya itu (eksekutif);
memaksakan, mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum
pihak yang melanggar peraturan tersebut (yudikatif).
3) Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda). Hak negara
untuk mengatur (unsur nomor 1 dan 2) tentulah ditujukan terhadap
suatu obyek yang memang dapat ditundukkan pada peraturan yang
dibuat, dilaksanakan dan dipaksakan oleh negara tersebut. Obyek
tersebut dapat berbentuk peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda,
ataupun perpaduan antara satu dengan lainnya.
4) Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively
of domestic concern). Hal ini erat kaitannya dengan masalah tempat di
mana obyek itu berada atau terjadi. Meskipun dalam kenyataan,
masalah tempat dari obyek ini tidak selalu di luar batas-batas wilayah
negara, sebab boleh jadi mengenai tempat ini mengandung unsur
domestik dan unsur bukan domestik.
5) Hukum Internasional (sebagai dasar atau landasannya). Hak,
kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur obyek yang tidak
semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik itu,
adalah berdasarkan pada hukum internasional. Dengan kata lain,
hukum internasional yang memberikan hak, kekuasaan dan
kewenangan kepada negara itu untuk mengatur obyek yang semata-
mata bukan merupakan masalah domestik itu. Demikian pula, hukum
internasional pula yang membatasinya.
Yurisdiksi suatu negara di dalam wilayahnya dapat terbagi atau
tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan negara sebagai berikut:30
1) Prescriptive Jurisdiction atau Legislative Juriscdiction, Maksud dari
Prescriptive Jurisdiction adalah kekuasaan membuat peraturan atau
perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum
orang atau atau peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan
seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga
sering disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif (Prescriptive
Jurisdiction).31
2) Judicial Jurisdiction (Yurisdiksi Pengadilan), Maksud dari yurisdiksi
ini adalah kekuasaan (pengadilan) untuk mengadili orang (subyek
hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan.32
30
Hans Kelsen, op.cit.,hlm. 239. Huala Adolf, op.cit.,hlm. 164. 31
Yurisdiksi Preskriptif dapat pula berlaku pada tindakan negara dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang sifatnya ekstrateritorial (extraterritorial legislative) , yaitu
peraturan perundangn-undangan yang diberlakukan terhadap warganya diluar negeri. Contoh
peraturan perundang-undangan seperti ini dalam hukum internasional UU untuk melaksanakan
yurisdiksi universal . 32
Lihat, Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford U.P., 3rd
. ed., 1979,
hlm. 298; Greg, International Law, London: Butterworths, 2nd
. ed., 1976, hlm. 211; Shaw,
International Law, London: Butterworths, 2nd
. ed., 1986, hlm. 342. Antonio Cassese
3) Enforcement Jurisdiction (Yurisdiksi Penegakan), Enforcement
Jurisdiction ialah kewenangan negara untuk memaksa atau
menegakkan (enforce) hukum agar subyek hukum di dalam wilayah
negaranya mentaati peraturan (hukum) tersebut. Tindakan
pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara. Ada pula
beberapa sarjana yang menyebut yurisdiksi ini sebagai yurisdiksi
eksekutif (executive jurisdiction).33
Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan
ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai
yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar
negeri.34
d. Batasan Yurisdiksi Proteksi Negara
Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat
melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-negara asing yang melakukan
kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan,
keamanan, integritas dan kemerdekaan negara.35
Tujuan dari prinsip ini
menurut Oxman adalah untuk melindungi fungsi-fungsi pemerintahan
menyebutkan “Jurisdiction to Adjudicate (Antonio Cassese, op.cit.,hlm. 49). Dikutip ulang oleh
Huala Adolf, op.cit., hlm. 165. 33
Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht: Martinus
Nijhoff Publishers, 1991, hlm. 255. Beberapa sarjana hanya membedakan atau membagi kategori
yurisdiksi negara menjadi dua bentuk, yaitu yurisdiksi preskriptif atau legislatif dan yurisdiksi
penegakan (Enforcement Jurisdiction). Lihat misalnya, D.J. Harris, Cases and Materials on
International Law, London: Sweet & Maxwell, 4th
.ed., 1998, hlm. 264. Ibid. 34
Huala Adolf, op.cit., hlm. 165. 35
Bernard Oxman, Op.cit., hlm. 280. Bernard Oxman, op.cit., hlm. 280. (Oxman member
contoh misalnya PAsal 3 (1) (c) Convention on the Prevention of Crimes Against Internationally
Protected Person, Including Diplomatic Agents, 4 December 1973). Huala Adolf, op.cit., hlm.
165.
(„governmental funcions‟) suatu negara.36
Namun sampai saat ini pun belum
ada kriteria sampai berapa jauh prinsip perlindungan ini dapat diterapkan
terhadap tindak kejahatan dalam sebuah praktek. Hukum Internasional pun
tidak mengatur secara detail mengenai pembatasan-pembatasan yurisdiksi
negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hukum
internasional.37
Misalnya, siapakah yang menentukan suatu tindakan yang
dilakukan diluar negeri adalah tindakan ancaman terhadap keamanan
negaranya? Apakah negara yang bersangkutan.38
Latar belakang pembenaran
terhadap yurisdiksi ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya
yang tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di
dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan,
integritas dan kemerdekaan negara lain.39
Dibawah status kewarganegaraan
atau dalam prinsip nasionalitas aktif40
, sebuah negara berhak menjalankan
yurisdiksi atas warga negaranya, sekalipun ketika warga negaranya tersebut
ditemukan di luar wilayahnya melakukan tindak kejahatan.41
Bahkan tidak
menjadi perdebatan ketika suatu negara dapat menerapkan yurisdiksinya
terhadap kewarganegaraan terdakwa.42
Meskipun dalam praktiknya sering
terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa negara karena tidak jarang
36
Ibid. 37
Sefriani, op.cit., hlm. 234. 38
Huala Adolf, op.cit., hlm. 165. 39
The Commentary to the Harvard Research Draft Convention, 29 A.J.I.L. Supp. 552
(1935), dikutip oleh D.J. Harris, op.cit., hlm. 288. Ibid. 40
Prinsip Nasionalitas aktif merupakan prinsip dimana negara memiliki yurisdiksi
terhadap warganya yang melakukan kejahatan di luar negeri. 41
Dalam hukum internasional privat, hukum nasional sering mengikuti kewarganegaraan
seseorang yang berada di luar wilayah negaranya sejauh itu menyangkut status pribadinya. Oleh
karena itu, pengadilan dapat menerapkan hukum asing asalkan tidak melanggar undang-undang
kepolisian nasional atau ketertiban umum. 42 John Martin Gillroy, op.cit., hlm. 104.
pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda.43
Karenanya sangat
penting bagi suatu negara untuk membuat aturan tegas mengenai siapa yang
berhak untuk mendapatkan status kewarganegaraan dinegaranya.44
Suatu negara dapat menerapkan yurisdiksi ketika negara tersebut
mempunyai kedaulatan. Negara yang berdaulat adalah negara yang tidak
dalam intervensi45
negara lain. Yurisdiksi seolah-olah tidak terbatas, namun
dalam praktik penerapannya yurisdiksi dikaitkan pada aspek-aspek yang
merupakan benang merah dari yurisdiksi, yaitu: kewenangan hukum negara
terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas
wilayahnya.46
Sehingga batasan dalam yurisdiksi adalah : orang, benda, dan
tempat kejadian. Setiap negara dapat menerapkan yurisdiksinya ketika terjadi
persitiwa hukum, namun jika penerapan yurisdiksi tersebut tidak didasarkan
pada kepentingan negara terhadap orang, benda, dan tempat kejadian, maka
negara tidak dapat menerapkan bentuk yurisdiksi apapun pada suatu peristiwa
hukum.
2. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014
Ditinjau dari Prinsip-prinsip Kedaulatan dalam Hukum
Internasional
43
Sefriani, op.cit., hlm. 228. 44
Ibid. 45
Intervensi merupakan salah satu bentuk turut campur dalam urusan Negara lain yang
bersifat diktatorial, mempunyai fungsi sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa
internasional. 46
Huala Adolf, op.cit, hlm. 163.
Kedaulatan yang diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi suatu
negara memiliki arti bahwa di atas kedaulatan tidak ada lagi kekuasaan yang
lebih tinggi. Namun tidak berarti bahwa kedaulatan tidak ada yang
membatasinya.47
Singapura sebagai negara yang bedaulat memiliki hak dari
aspek intern kedaulatan48
dengan membentuk Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014. Karena alasan dari dibentuknya Singapore
Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 adalah melindungi
kepentingan nasional Singapura. Namun bagi Indonesia Singapore
Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 telah melanggar kedaulatan
Indonesia. Indonesia menganggap mempunyai kedaulatan yang penuh
terhadap permasalahan polusi asap lintas batas yang bersumber dari Indonesia,
hal ini didasarkan pada konsep sebuah kedaulatan yang bersifat monopoli..
Perlu diingat bahwa kedaulatan setiap negara mempunyai batasan, baik dalam
hal ini Indonesia dan Singapura. Meskipun kedua negara menganggap
mempunyai kedaulatan yang tinggi namun Indonesia dan Singapura
merupakan negara yang meratifikasi sebuah perjanjian internasional yaitu,
AATHP. Arti dari sebuah ratifikasi adalah penundukan diri negara terhadap
perjanjian internasional, tidak terkecuali dalam hal kedaulatan negara itu
sendiri. Bahkan meskipun Indonesia dan Singapura mendeklarasikan bahwa
keduanya terikat pada prinsip-prinsip umum kedaulatan, namun tidak ada
tolak ukur atau bukti atas terikatnya Indonesia dan Singapura terhadap
prinsip-prinsip tersebut.
47
I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 345. 48
Hak dan wewenang eksklusif untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta
tindakan-tindakan untuk mematuhi.
Kepastian hukum dalam sebuah hukum internasional adalah adanya bukti
tertulis. AATHP merupakan bentuk tertulis dari terikatnya Indonesia dan
Singapura. Dengan diratifikasinya AATHP oleh Indonesia dan Singapura
artinya bahwa Indonesia dan Singapura telah menundukkan diri pada AATHP
sebagai solusi dari pemasalahan polusi asap lintas batas dikawasan ASEAN.
Prinsip-prinsip kedaulatan dalam sumber hukum internasional merupakan
prinsip-prisnip hukum umum yang juga mempunyai daya mengikat, sama
halnya sebuah perjanjian internasional. Namun daya mengikat keduanya
berbeda.
Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice telah mengatur
mengenai tata urutan pemakaian atau pendahuluan sumber-sumber hukum
internasional ketika masing-masing sumber hukum mengatur mengenai hal
yang sama dan terjadi bersinggungan. Singapura yang sudah terlebih dahulu
terikat pada AATHP serta telah terikat pada hak dan kewajiban secara hukum,
baru kemudian membentuk Singapore Transboundary Haze Pollution Act No.
24 of 2014 dengan alasan menganut prinsip-prinsip kedaulatan tentu membuat
legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014
dipertanyakan. Maka berdasarkan pasal 38 ayat 1 Statuta International Court
of Justice dalam tata urutan penggunaan sumber-sumber hukum internasional
yang menjadi prioritas utama adalah penjanjian internasional. Dalam masalah
polusi asap lintas batas ini, Singapura sudah terlebih dahulu terikat pada
AATHP sebelum akhirnya membentuk Singapore Transboundary Haze
Pollution Act. No. 24 of 2014. Sehingga legalitas Singapore Transboundary
Haze Pollution Act. No. 24 of 2014 berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan
adalah memiliki status hukum atau dalam kata lain legal sebagai sebuah
instrument hukum, namun tidak memiliki daya mengikat yang kuat terhadap
Indonesia, karena dalam permasalah polusi asap lintas batas di kawasan
ASEAN Indonesia terikat dan tunduk pada AATHP.
3. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 Of 2014
Ditinjau Piagam ASEAN
ASEAN merupakan organisasi regional yang dibentuk di kawasan Asia
Tenggara, yang merupakan kawasan yang sangat strategis secara geopolitik
dan geoekonomi.49
Sadar akan perbedaan kondisi geopolitik dan geoekonomi
negara-negara ASEAN, maka dilakukan upaya untuk menggalang kerjasama
regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan seperti Association of
Southeast Asia (selanjutnya disebut ASA), Malaysia, Philipina, Indonesia
(selanjutnya disebut MAPHILINDO), South East Asian Minsiters of
Education Organization (selanjutnya disebut SEAMEO), dan Asia and Pacific
Council (selanjutnya disebut (ASPAC).50
Perkembangan geopolitik di
kawasan ASEAN sesudah tahun 1965 semakin memanas, yang pada akhirnya
mendorong negara-negara di ASEAN untuk mencari pemecahan bersama
melalui suatu kerjasama yang dapat meningkatkan taraf hidup dan dapat
memperkuat stabilitas keamanan regional.51
Untuk itu diadakan pertemuan-
49
Elfia Farida, Efektivitas Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Bagi ASEAN Sebagai
Organisasi Internasional, Univeristas Diponegoro, Semarang, hlm. 4. 50
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
ASEAN Selayang Pandang, Jakarta, 2008, hlm. 1. 51
Elfida Farida, op.cit.
pertemuan konsultatif yang dilakukan secara intensif antara Menteri Luar
Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura yang
menghasilkan Joint Declaration.52
ASEAN di dirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok melalui
penandatanganan Bangkok Declaration atau ASEAN Declaration.53
ASEAN
mulai melakukan penyusunan Piagam ASEAN setelah dimandatkan dalam
Vientiane Action Programs (selanjutnya disebut VAP). Proses penyusunan
piagam ASEAN diawali pada tahun 2006 dengan disepatkatinya Kuala
Lumpur Declaration on the Establishment of ASEAN Charter pada Konferensi
Tingkat Tinggi (selanjutnya disebut KTT) ASEAN ke-11.54
Berdasarkan
deklarasi tersebut, proses penyusunan Piagam ASEAN mulai digulirkan
melalui pembentukan Eminent Persons Group on The ASEAN Charter yang
menyusun rekomendasi bagi penyusunan Piagam tersebut.55
Dalam KTT
ASEAN ke-13 tanggal 20 November 2007 di Singapura, negara-negara
ASEAN telah menandatangani Piagam ASEAN oleh 10 Kepala
Negara/Pemerintahan Negara anggota ASEAN.56
Dibentuknya Piagam
ASEAN dengan tujuan untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah
asosiasi politik yang longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki
dasar hukum yang kuat (legal personality), dengan aturan yang jelas, serta
52
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
op.cit. 53
Ibid. 54
Elfia Farida, op.cit., hlm. 2. 55
Ibid. 56
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-ASEAN.aspx. Diakses pada pukul
18:40 10 Agustus 2017.
memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.57
Piagam ASEAN mulai
berlaku efektif pada tanggal 15 Desember 2008, yaitu 30 hari setelah
diratifikasi oleh 10 negara anggota ASEAN. Piagam ASEAN sangat mengatur
hubungan negara-negara ASEAN dengan keharusan untuk menghargai
kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing negara. Hal ini dengan jelas
diatur di dalam BAB 1 piagam ASEAN yang mengatur tentang tujuan dan
prinsip-prinsip yang harus dianut oleh negara-negara ASEAN dalam
melakukan hubungan internasional. Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan
dibentuknya piagam ASEAN, maka negara-negara di ASEAN harus
memegang teguh pada prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-
deklarasi, persetujuan-persetujuan, konvensi-konvensi, concords, traktat-
traktat, dan instrumen ASEAN lainnya.58
Prinsip-prinsip tersebut termuat
dalam pasal 2 ayat 2 piagam ASEAN yang berbunyi:
“2. ASEAN and its Member States shall act in accordance with the
following Principles:59
(a) Respect for the independence, sovereignty, equality, territorial
integrity and national indentity of all ASEAN Member States;”
Pasal tersebut menegaskan bahwa seluruh negara anggota ASEAN harus
bertindak dengan prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan,
intergitas teritorial dan identitas nasional. Pasal tersebut menekankan pada
57
Ibid. 58
Article 2 paragraph 1 ASEAN Charter. 59
Article 2 Paragraph 2 (a) ASEAN Charter.
aspek penghormatan terhadap kedaulatan negara. Negara yang mempunyai
kedaulatan adalah negara yang dapat menerapkan yurisdiksi negaranya.
Hukum internasional pun mengakui bahwa setiap negara mempunyai
kewenangan melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut
keamanan, dan integritas atau kepentingan ekonomi yang vital.60
Dengan
dibentuknya Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014
yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional Singapura, maka
Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 merupakan
penerapan atas yurisdiksi Singapura sebagai negara yang berdaulat untuk
mengatur peristiwa hukum pada aspek-aspek terkait kewarganegaraan, objek,
serta tempat kejadian. Pengaturan terkait yurisdiksi Singapura untuk
mengadili suatu peristiwa hukum dijelaskan ada pasal 4 Singapore
Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 yang berbunyi:
“This Act shall extend to and in relation to any conduct or thing outside
Singapore which causes or contributes to any haze pollution in
Singapore.”61
Pasal tersebut menjelaskan bahwa dimungkinkan untuk diperluas dalam
kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada diluar Singapura
yang menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi
asap yang terjadi di Singapura. Yang artinya adalah Singapura dapat
menerapkan Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014
untuk setiap peristiwa yang terjadi diluar Singapura yang memberikan
dampak negatif ke Singapura. Pasal tersebut dengan jelas memuat mengenai
60
Wewenang ini didasarkan atar prinsip perlindungan (protective principle). 61
Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014.
yurisdiksi ekstrateritorial bagi setiap tindakan dari dalam ataupun dari luar
Singapura yang menimbulkan dampak berupa polusi lintas batas.62
Yurisdiksi yang bentuknya seolah-olah tidak terlihat namun penting dalam
organ kedaulatan suatu negara tetaplah mempunyai batas dalam
penerapannya. Penerapan yurisdiksi dikaitkan pada aspek-aspek yang
merupakan benang merah dari yurisdiksi, yaitu: kewenangan hukum negara
terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas
wilayahnya.63
Sehingga batasan dalam yurisdiksi adalah : orang, benda, dan
tempat kejadian. Dasar terbentuknya Singapore Transboundary Haze Polution
Act No. 24 of 2014 adalah kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan
polusi asap hingga ke Singapura. Kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan
di Indonesia dan dilakukan oleh warga negara Indonesia maka jelas secara
aspek-aspek dalam penerapan yurisdiksi bahwa Singapura tidak memenuhi
aspek-aspek tersebut. Keterkaitan Singapura dalam peristiwa kebakaran hutan
dan lahan tesebut hanya dampak negatif yang ditimbulkan yaitu polusi asap
yang menyebar hingga ke Singapura. Maka berdasarkan prinsip yurisdiksi
terlihat bahwa Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014
tidak dapat mengatur melewati wilayah teritorial Singapura.
Dengan tidak dapat diberlakukannya Singapore Transboundary Haze
Polution Act No. 24 of 2014 berdasarkan prinsip dalam yurisdiksi, maka
Singapura sebagai negara berdaulat pun berkurang kekuasaannya. Logikanya
62
Grizelda, op.cit., hlm. 7. 63
Huala Adolf, op.cit, hlm. 163.
adalah jika yurisdiksi Singapura ada batasannya, maka kedaulatan Singapura
juga memiliki batasan karena yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan negara.
Kedaulatan negara yang seperti diketahui merupakan kekuasaan tertinggi dari
suatu negara. Namun kedaulatan adalah nilai dari suatu negara yang paling
rawan untuk dipertahankan, karena menyangkut eksistensi dan kemampuan
negara tersebut untuk menghadapi berbagai tantangan global.64
Batasan
kedualatan adalah hukum internasional.65
Indonesia dan Singapura sebagai
negara yang berdaulat dibuktikan bahwa kedua negara tidak dalam intervensi
negara lain. Kedua negara memiliki kedaulatan atas urusan dalam negeri
masing-masing.
Pada kasus polusi asap yang terjadi di Indonesia, Indonesia memiliki
kedaulatan penuh berdasarkan aspek teritorial66
kedaulatan dalam hukum
internasional. Singapura pun memiliki kedaulatan penuh atas peristiwa yang
terjadi di wilayahnya. Polusi asap yang terjadi di Singapura akibat kebakaran
hutan di Indonesia pun menjadi masalah serius, Singapura memiliki
kedaulatan untuk membentuk Singapore Transboundary Haze Polution Act
No. 24 of 2014 ketika isi dari undang-undang tersebut adalah untuk
menangani polusi asap secara internal, artinya undang-undang ini mengatur
polusi asap yang posisi penyebab polusi asap berada di Singapura dan pelaku
penyebab polusi asap di Singapura adalah warga negara Singapura sendiri.
64
Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 29. 65
Boer Mauna, Op.cit., hlm. 24. 66
Kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas
individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.
Namun pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014
jelas terlihat bahwa Singapura ingin memperluas kedaulatannya.
Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi namun tidak mutlak. Artinya
kekuasaan negara tetap memiliki batasan. Batasan kedaualatan negara adalah
hukum internasional. Hukum internasional yang secara khusus mengatur
tentang batasan negara adalah piagam ASEAN. Pasal 2 ayat 2 (a) piagam
ASEAN menegaskan bahwa seluruh negara anggota ASEAN harus bertindak
dengan prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, intergitas
teritorial dan identitas nasional. Singapura dan Indonesia menjadi negara yang
meratifikasi dan terikat dalam piagam ASEAN. Sebagai negara yang terikat
pada perjanjian internasional, maka Indonesia dan Singapura diharuskan
melaksanakan prinsip-prinsip yang termuat dalam piagam ASEAN. Dengan
melihat isi pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of
2014 jelas melanggar pasal 2 ayat 2 (a) piagam ASEAN. Singapura dianggap
tidak menghargai kedaulatan Indonesia dengan ingin ikut serta mengadili
pelaku pembakar hutan dan lahan di Indonesia. Singapura juga dianggap tidak
menghargai kesetaraan Indonesia sebagai negara anggota ASEAN yang
memiliki hak yang sama seperti Singapura meskipun Indonesia terbukti
sebagai negara penyebab polusi kabut asap. Dan jelas terlihat bahwa
Singapura tidak menghargai integritas teritorial Indonesia karena menganggap
Indonesia tidak serius dalam menangani masalah polusi asap lintas batas.
Pasal 2 ayat 2 (a) piagam ASEAN juga didukung dengan isi pada poin
selanjutnya, yaitu: 67
(e) Non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States;
(f) Respect for the right of every Member State to lead its national
existence free from external interfence, subversion and coercion;”
Pasal 2 ayat 2 (e) dan (f) piagam ASEAN menjelaskan bahwa ASEAN dan
negara-negara anggota tidak campur tangan urusan dalam negeri Negara-
Negara Anggota ASEAN serta Penghormatan terhadap hak setiap Negara
Anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan
eksternal, subversi, dan paksaan.68
Dilihat dari tujuan-tujuan dibentuknya
piagam ASEAN, yang ingin dicapai dari hubungan internasional pada
regional ini adalah penghormatan kedaulatan negara dan urusan dalam negeri
setiap negara. Kedaulatan negara merupakan kekuasaan tertinggi dari suatu
negara. Kedaulatan negara menunjukkan bahwa negara tersebut adalah
merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain. Negara yang berdaulat
adalah negara yang tidak dalam intervensi69
negara lain. Intervensi dapat
dilakukan dalam berbagai cara.
Pada zaman dahulu, intervensi dilakukan dengan cara menjajah. Namun di
zaman modern seperti ini intervensi tidak harus dalam bentuk penjajahan
dimana negara yang ingin menguasai kemudian masuk ke dalam wilayah
negara lain. Intervensi dapat dilakukan dengan ikut campur dalam urusan
dalam negeri Negara lain. Bentuk ikut campur yang dilakukan oleh Singapura
67
Article 2 paragraph 2(e) & (f) ASEAN Charter. 68
Article 2 paragraph 2 ASEAN Charter. 69
Salah satu cara yang dilakukan agar suatu Negara memenuhi kehendak Negara lain.
adalah penerapan pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No.
24 of 2014 yang sudah sampai pada proses introgasi terhadap warga negara
Indonesia yang merupakan direktur dari perusahaan pembakar hutan dan
lahan Indonesia. Secara yurisdiksi teritorial jelas bahwa Indonesia menjadi
negara yang berhak untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku
pembakar hutan dan lahan. Tindakan Singapura tersebut secara tidak langsung
tidak menghargai eksistensi nasional Indonesia. Sehingga jelas bahwa isi dari
pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014
melanggar piagam ASEAN ditinjau dari prinsip-prinsip piagam ASEAN pada
pasal 2 ayat 2 (a). Sebagai sebuah instrument hukum nasional, Singapore
Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 sah atau legal karena telah
disahkan oleh parlemen Singapura berdasarkan konstitusi negara Singapura.
Singapura sebagai negara yang berdaulat berhak untuk membentuk hukum
nasionalnya demi melindungi kepentingan nasional negara Singapura.
B. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 Of 2014
Ditinjau dari ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution
Dalam hukum internasional, terdapat ketentuan umum dan ketentuan khusus
yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian multilateral.70
Pernyataan persetujuan
suatu negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional dapat diberikan
dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu
70
Boer Mauna, op.cit., hlm. 116.
mengadakan perjanjian.71
Cara untuk pernyataan persetujuan untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Penandatanganan (signature)
Pasal 12 Konvensi Wina menegaskan mengenai praktek ini yang
menyatakan bahwa persetujuan suatu negara untuk diikat dalam suatu
perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut,
bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya, bila terbukti bahwa negara-
negara yang ikut berunding menyetujui demikian, bila full powers wakil-wakil
negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas dalam waktu
perundingan.72
b. Ratifikasi (ratification)
Menurut pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina, yang dimaksud dengan ratifikasi
adalah suatu tindakan yang dipertegas dengan pemberian persetujuan untuk
diikat dalam perjanjian.73
Sebenarnya, ketentuan-ketentuan mengenai
ratifikasi ini hanya menegaskan praktek yang berlaku, yaitu dengan
memasukkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam klausula penutup perjanjian-
perjanjian, atau menyebutkannya dalam full powers atau menggunakan kedua
cara tersebut sekaligus.74
Perbedaan antara penandatanganan dan ratifikasi mempunyai arti penting dan
sejalan dengan prinsip-prinsip modern hukum publik yang tidak menerima
71
Ibid. 72
Kholis Roisah, op.cit., hlm. 35. 73
Ibid. 74
Ibid.
pelimpahan wewenang tanpa pengecekan.75
Dalam hukum internasional, tidak
semua perjanjian internasional mengisyaratkan untuk diratifikasi, karena
perjanjian internasional yang diratifikasi dan ditanda tangani mempunyai
konsekuensi hukum yang berbeda. Penandatanganan dan ratifikasi pada dasarnya
sama-sama mengikat negara ke dalam perjanjian internasional, namun negara
yang hanya ikut menandatangani sebuah perjanjian internasional tidak memiliki
kewajiban sebagaimana yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut.
AATHP merupakan salah satu perjanjian internasional kerjasama yang secara
khusus membahas tentang kabut asap lintas batas dalam kawasan ASEAN. Dalam
AATHP, pernyataan pengikatan diri negara peserta untuk menjadi pihak yang
tunduk dalam aturannya harus dilakukan dengan ratifikasi.76
Pengikatan diri suatu
negara melalui ratifikasi ini mengingat karena AATHP dianggap sebagai solusi
bersama dalam mengatasi kabut asap lintas batas dalam kawasan ASEAN.
AATHP baru akan berlaku bagi setiap negara yang telah meratifikasinya dan
memberi sanksi hukum tanpa mengikat satu sama lain. AATHP ditandatangani di
Kuala Lumpur Malaysia pada Juni 2002 dan mulai berlaku sejak November 2003.
Singapura menjadi negara kedua setelah Malaysia yang meratifikasi AATHP,
ratifikasi dilakukan Singapura pada tanggal 13 Januari 2003, dan penyerahan
75
Boer Mauna, op.cit., hlm. 117. 76
Article 28 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
deposit of instrument of ratification dilakukan sehari setelahnya.77
Indonesia
menjadi negara terakhir yang meratifikasi yaitu pada tahun 2014.
Tabel : Negara-Negara yang telah Meratifikasi AATHP
Member
Country
Date Ratification Date of Deposit of Instrument of
Ratification/Approval with The
Secretary-General of ASEAN
Malaysia 03 December 2002 18 February 2003
Singapore 13 January 2003 14 January 2003
Brunei
Darussalam
27 February 2003 23 April 2003
Myanmar 03 March 2003 17 Maret 2003
Vietnam 24 March 2003 29 May 2003
Thailand 10 September 2003 26 September 2003
Laos 19 December 2004 13 July 2005
Cambodia 24 April 2006 09 November 2006
Philippines 01 January 2010 04 March 2010
Indonesia 16 September 2014 20 January 2015 Sumber : Haze Polution Action. 2010
AATHP secara keseluruhan terdiri dari 32 pasal dan 1 lampiran
persetujuan yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan kabut
asap, serta penanggulangan pencemaran kabut asap di kawasan ASEAN.78
Pada
pasal 4 AATHP, negara-negara yang meratifikasi memiliki kewajiban-kewajiban,
yaitu:79
“In pursuing the objective of this Agreement, the Parties shall:
1. Co-operate in developing and implementing measures to prevent and
monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest
fires which should be mitigated, and to control sources of fires,
including by the identification of fires, development of monitoring,
77 Varkkey, Helena, M, 2011. “Addressing Transboundary Haze Pollution Through
ASEAN: Singapore’s Normative Constraints”. Journal of International Studies. Vol:7. Abstrak.
Dikutip ulang dalam Syahriani Firmayanti, op.cit., hlm. 4 78
Ibid. 79
Article 4 paragraph 3 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
assessment and early warning systems, exchange of information and
technology, and the provision of mutual assistance.
2. When the transboundary haze pollution originates from within their
territories, respond promptly to a request for relevant information or
consultations sought by a State or States that are or may be affected by
such transboundary haze pollution, with a view to minimizing the
consequences of the transboundary haze pollution.
3. Take legislative, administrative an/or other measures to implement
their obligations under this Agreement.”
Dalam rumusan pasal tersebut menjelaskan bahwa negara yang
meratifikasi Perjanjian AATHP memiliki kewajiban sebagai berikut:
1. Bekerjasama dalam mengembangkan dan melaksanakan langkah-langkah
untuk mencegah, memantau, dan mengurangi polusi kabut asap lintas
batas dengan mengendalikan sumber tanah atau kebakaran hutan,
pengembangan, pemantauan, penilaian dan sistem peringatan dini,
pertukaran informasi dan teknologi, dan penyediaan gotong royong.80
2. Segera menanggapi permintaan untuk informasi yang relevan dicari oleh
negara atau negara yang sedang atau mungkin akan terpengaruh oleh asap
lintas batas tersebut, dengan maksud untuk meminimalkan konsekuensi
dari pencemaran lintas batas kabut.81
3. Mengambil langkah hukum, administratif dan langkah-langkah lain untuk
melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian.82
Pada pasal 4 ayat 3 AATHP, kewajiban negara-negara yang meratifikasi
AATHP adalah mengambil langkah hukum, administrasi dan langkah-langkah
lain untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan AATHP. Langkah hukum yang
80
Article 4 paragraph 1 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 81
Article 4 paragraph 2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 82
Article 4 paragraph 3 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
dimaksud dalam pasal tersebut bersifat multitafsir, artinya pasal 4 ayat 3 AATHP
ini memiliki penafsiran yang bermacam-macam. Tidak terdapat pengaturan yang
jelas dan batasan mengenai bentuk-bentuk langkah hukum yang dapat dilakukan
oleh negara-negara yang meratifikasi dalam hal guna melaksanakan kewajiban
berdasarkan AATHP. Bagi Singapura, dengan membentuk dan mengesahkan
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 merupakan sebuah
bentuk pengambilan langkah hukum oleh Singapura dalam melaksanakan
kewajiban Singapura sebagai negara yang meratifikasi AATHP. Pengambilan
langkah hukum oleh Singapura ini memperlihatkan bahwa Singapura lebih serius
menangani masalah polusi asap lintas batas dibandingkan Indonesia sebagai
negara yang menjadi penyebab polusi asap lintas batas ini. Keseriusan Singapura
ini pun tidak menjadi heran karena Singapura merupakan “negara korban” dari
polusi asap yang telah mengalami kerugian ekonomi negara yang sangat besar.
Kerugian ekonomi Singapura dapat terus bertambah seiring dengan polusi asap
yang tidak kunjung hilang menghantui Singapura, belum lagi dampak negatif dari
polusi asap bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan terhadap kesehatan
masyarakat merupakan bagian dari kewajiban negara dalam Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disebut HAM).
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dibentuk pada
tanggal 5 Agustus 2014 oleh parlemen Singapura dengan tujuan untuk mencegah
dan mengadili para pembakar hutan dan lahan yang bertanggung jawab atas
polusi asap di Singapura, meskipun peristiwa kebakaran hutan dan lahan serta
pelaku tidak berasal dari Singapura. Hal tersebut dengan jelas terdapat pada pasal
4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014, yaitu:83
“This Act shall extend to and in relation to any conduct or thing outside
Singapore which causes or contributes to any haze pollution in Singapore.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa dimungkinkan untuk diperluas dalam
kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada diluar Singapura yang
menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi asap yang
terjadi di Singapura.84
Pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No.
24 of 2014 ini merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dengan tidak
adanya batasan yang jelas dalam AATHP adalah adanya undang-undang nasional
yang bersifat extrateriotrial. Meskipun pasal 4 ayat 3 AATHP bersifat multitafsir,
namun dalam hal perjanjian internasional yang bersifat multitafsir seperti ini tetap
dapat dilakukan penafsiran yang dapat memberikan kepastian hukum dan batasan
serta penjelasan melalui metode penafsiran teleological school.
Metode teleological school merupakan metode penafsiran perjanjian
internasional yang menitikberatkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan
tujuan dari sebuah perjanjian.85
Berdasakan metode teleological school maka
penafsiran atas maksud dari pasal 4 ayat 3 AATHP terkait batasan langkah hukum
maka dapat terlihat pada tujuan AATHP yang terdapat pada pasal 2 yang
berbunyi:86
83
Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. 84
Ibid. 85
Kholis Roisah, op.cit., hlm. 76. 86
Article 2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
“The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary
haze pollution as a result of land/or forest fires which should be mitigated,
through concerted national efforts and intensified regional and international
co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable
development and in accordance with the provisions of this Agreement.”
Yang artinya adalah bahwa tujuan AATHP adalah untuk mencegah dan
memantau polusi asap lintas batas akibat kebakaran lahan atau kebakaran hutan
yang harus dikurangi, melalui upaya nasional yang terkonsentrasi dan
meningkatkan kerjasama regional dan internasional. Hal ini harus dalam
keseluruhan konteks pembangunan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan dalam
AATHP.87
Sehingga berdasarkan metode teleological school bahwa langkah
hukum dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 AATHP adalah langkah-langkah hukum
yang sesuai dengan kewajiban dalam pasal 2 AATHP yaitu berupa pencegahan
dan pemantauan terhadap polusi asap lintas batas. Artinya adalah, isi dari pasal 4
Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 yang bersifat law
enforcement extraterritorial tidak dibenarkan berdasarkan AATHP. Singapura
sebagai salah satu negara yang terkena dampak polusi asap dari Indonesia
memiliki hak untuk mengambil langkah hukum apapun, namun hanya sebatas
dalam konteks pencegahan dan pemantauan. Law enforcement pun dapat
dilakukan oleh negara-negara lain yang juga terkena dampak polusi asap dari
Indonesia seperti Malaysia dan Filipina sepanjang tidak bersifat extraterritorial.
Dalam pasal 2 AATHP memperlihatkan bahwa AATHP mengandung prinsip
common responsibility. Prinsip ini mengatur tentang tanggung jawab bersama,
87
Ibid.
yang artinya adalah dengan diratifikasinya AATHP maka masalah polusi asap
lintas batas negara menjadi tanggung jawab bersama negara-negara di ASEAN.
AATHP sangat jelas berfokus pada kerjasama dalam upaya pencegahan dan
pengendalian polusi asap lintas batas.88
Bagi Indonesia sebagai negara penyebab
polusi asap dengan meratifikasi AATHP adalah sebuah keuntungan karena
Indonesia secara otomatis terbebas bebas dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh negara-negara yang terkena dampak polusi asap dari Indonesia.
Sehingga Indonesia sebagai negara penyebab polusi asap lintas batas negara tidak
dapat dibebankan tanggung jawab atas polusi asap lintas batas negara tesebut.
Menurut AATHP, common responsibility dapat diwujudkan dengan kerjasama
regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan pengendalian masalah
polusi asap lintas batas negara.89
Langkah hukum yang dilakukan oleh Singapura dengan membentuk
Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 menurut AATHP
adalah sah atau legal. Bahkan pembentukan hukum nasional dengan mengadopsi
isi AATHP merupakan bentuk pelaksanaan dari regional cooperation90
sebagaimana tujuan dari AATHP. Namun pasal 4 Singapore Transboundary Haze
Polution Act No. 24 of 2014 dianggap tidak sesuai dengan AATHP. Pada pasal 4
ayat 3 AATHP menjelaskan bahwa langkah hukum yang diambil oleh negara-
negara yang meratifikasi AATHP haruslah berdasarkan pada kewajiban dari
88
Laely Nurhidayah, Polusi Asap Lintas Batas di Kawasan ASEAN: Sebuah
Penelitian Kelayakan Kerangka Hukum Nasional dan Daeran di Indonesia (Tranbsoundary
Haze Pollution In The ASEAN Region: An Assesment of The Adequacy of Regional and
National Legal Framework of Indonesia). Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
LIPI, 2014, hlm. 233. 89
Article 2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 90
Regional cooperation adalah Kerjasama regional
AATHP. Berdasarkan metode teleological school, bahwa langkah hukum yang
dilakukan oleh Singapura haruslah berdasarkan pada tujuan AATHP yang
terdapat pada pasal 2 yang menjelaskan bahwa tujuan AATHP adalah untuk
pencegahan dan pemantauan polusi asap lintas batas melalui usaha nasional
terpadu dan meningkatkan kerjasama regional maupun internasional. Sehingga
langkah hukum oleh Singapura pada pasal 4 Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 tidak sesuai dengan AATHP. Namun Singapore
Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 adalah sah atau legal
berdasarkan pasal 2 AATHP karena Singapore Transboundary Haze Pollution
Act No. 24 of 2014 merupakan bentuk dari regional cooperation AATHP.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act. No. 24 of 2014
ditinjau dari AATHP adalah:
a. Berdasarkan Piagam ASEAN bahwa Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 sebagai sebuah instrument hukum adalah
sah atau legal karena telah dibentuk berdasarkan konstitusi negara
Singapura dan telah disahkan oleh parlemen Singapura dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan nasional negara Singapura. Piagam
ASEAN memberi keleluasaan kepada negara-negara ASEAN untuk
membentuk hukum nasional masing-masing namun tetap mematuhi
prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal 2 ayat 2 Piagam
ASEAN. Namun pasal 4 dari Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014 melanggar prinsip-prinsip Piagam
ASEAN yang terdapat pada pasal 2 ayat 2 (a) dimana Singapura tidak
menghargai kedaulatan dan kesetaraan Indonesia sebagai negara
ASEAN dengan ingin ikut serta mengadili pelaku pembakar hutan dan
lahan di Indonesia.
b. Berdasarkan metode teleological school bahwa Singapore
Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 yang merupakan
bentuk dari regional cooperation Singapura berdasarkan pasal 2
AATHP adalah sah atau legal. Namun pasal 4 dari Singapore
Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 sebagai sebuah
langkah hukum (take legislative action) yang bersifat extrateritorial
dari Singapura berdasarkan AATHP tidak sesuai dengan pasal 2
AATHP yaitu terkait tujuan dari AATHP.
SARAN
1. Pemerintah Republik Indonesia melalui KBRI di Singapura dapat
melakukan komunikasi melalui saluran diplomatik kepada pemerintah
Singapura dan membahas pelaksanaan pasal 4 Singapore Transboundary
Haze Pollution Act No. 24 of 2014 yang telah melanggar kedaulatan
Indonesia. Agar hubungan bilateral kedua negara tetap berjalan baik
meskipun diberlakukannya Singapore Transboundary Haze Pollution Act
No. 24 of 2014.
2. Pemerintah Indonesia dapat menyampaikan protes pada forum KTT
ASEAN atas diberlakukannya pasal 4 Singapore Transboundary Haze
Pollution Act No. 24 of 2014.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya
Bakti. Jakarta. 2004.
Andreas Pramudianto. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional. Setara
Pers. Malang. 2014.
Boer Mauna. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global. PT. Alumni Bandung. Bandung. 2008.
Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.
Eddy Pratomo. Hukum Perjanjian Internasional : Pengertian, Status Hukum
dan Ratifikasi. PT. Alumni. Bandung. 2011.
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Keni Media.
Bandung. 2011.
I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju. Bandung.
2003.
Jawahir Thontowi. Hukum dan Hubungan Internasional. UII Press.
Yogyakarta. 2016.
John Martin Gillroy. An Evolutionary Paradigm For International Law:
Philosophical Method, David Hume, and the Essense of Sovereignty.
University Lehigh. New York. 2013.
J. G. Starke. Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika. Jakarta. 2010.
Kholis Roisah. Hukum Perjanjian Internasional : Teori dan Praktik. Setara
Press. Malang. 2015.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2005.
Rebecca M. Wallace. Hukum Internasional. IKIP Semarang Press. Semarang.
1993.
Saru Arifin. Hukum Perbatasan Darat Antarnegara. Sinar Grafika. Jakarta.
2014.
Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar Edisi Kedua. Rajawali Pers.
Jakarta. 2010.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009.
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.
Jakarta. 1984.
Umu Hilmy. Metodologi Penelitian Dari Konsep Ke Metode : Sebuah
Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian. Fakultas
Hukum Brawijaya. Malang. 2000.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Singapore Transboundary Haze Pollution Act no. 24 of 2014.
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).
The ASEAN Charter (Piagam ASEAN).
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 258 (Selanjutnya disebut Undang-Undang Persetujuan ASEAN
Tentang Pencemaran Asap Lintas).
JURNAL
Akbar Kurnia Putra. Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum
Lingkungan Internasional. 2015.
Agis Ardhiansyah. Konsekuensi Hukum Bagi Indonesia Tentang
Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution. Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya. 2016.
Agustia Purba. Kepentingan Indonesia tidak meratifikasi ASEAN Agreement
On Transboundary Haze Pollution tahun 2002-2012. Jurnal Online
Mahasiswa. Vol. 1 Nomor 2 (2014) Universitas Riau. 2013.
Apichai Sunchindah. Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia
: Refarming ASEAN’s Response. ERIA Discussion Paper Series. 2015.
Basuki Wasis. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Kerusakan
Tanah (Impact of Forest and Land Fire on Soil Degradation). Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. 2003.
Dina ST Manurung. Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggung
Jawab Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus:
Kabut Asap Kebakaran Hutan di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap
Malaysia-Singapura). Skripsi. Universitas Sumatra Utara. 2014.
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta. 2008.
Elfia Farida. Efektivitas Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Bagi ASEAN
Sebagai Organisasi Internasional. Univeristas Diponegoro. Semarang.
Eyes on the Forest (EoF).Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku
Layak Diseret ke Pengadilan. Laporan Investigasi Eyes on the Forest. Riau.
2015.
Grizelda, Marsudi Triatmojo. Penerapan Yurisdiksi Esktratorial Dalam
Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014) Akibat
Kabut Asap Dari Kebakaran Hutan di Indonesia. Universitas Gajah Mada.
2015.
Harry Purwanto. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian
Internasional. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2009.
Kardina Gultom. Sekuritas Kabut Asap Di Singapura Tahun 1997-2004.
Universitas Diponegoro. 2016.
Laely Nurhidayah. Polusi Asap Lintas Batas di Kawasan ASEAN: Sebuah
Penelitian Kelayakan Kerangka Hukum Nasional dan Daeran di
Indonesia (Tranbsoundary Haze Pollution In The ASEAN Region: An
Assesment of The Adequacy of Regional and National Legal Framework of
Indonesia). Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. 2014.
Mukhammad Syaifulloh. Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution (The Forming of ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution). Universitas Jember. 2013.
Noor Falah, Pengaruh Malaysia dan Singapura Terhadap Indonesia Dalam
Proses Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP), Skripsi. Universitas Mulawarman.
Siciliya Mardian Yo’el. Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution Dalam Penanggulangan Pencemaran Asap Lintas Batas di
ASEAN. Universitas Islam Kediri.
Syahriani Firmayanti. Motivasi Singapura Meratifikasi ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution Tahun 2013. Universitas Riau. 2015.
United Nations Trust Fund for Human Security. Human Security in Theory and
Practice: An Overview of the Human Security Concept and the United
Nations Trust Fund for Human Security. Human Security Unit of United
Nations. New York.
Yayat Ruchiat. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan (The
Underlying Causes and Impact of Fire). Bahan Lokakarya Perencanaan
Proyek Community Development Through Rehabilitation of Imperata
Grasslands Using Trees: A model approach growing Vitex Pubescens for
charcoal production in Kalimantan. Pontianak. 2001.
WEBSITE
Abdul Kadir Jailani.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5788ac38f2861/apakah-singapura-
telah-melanggar-kedaualatan-indonesia-broleh-abdulkadir-jailani diakses pada
06 April 2017.
Ahmad Masaul Khoiri. http://news.detik.com/berita/3208960/singapura-
perintahkan-tangkap-wni-soal-kabut-asap-ri-protes-keras diakses pada 02 Juni
2017.
BBC Indonesia.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160418_indonesia_s
ingapura_hutan. Diakses pada 06 April 2017.
BBC Indonesia.
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150925_dunia_singapura_kabut
asap. Diakses pada 06 April 2017.
Berita Riau. http://beritariau.com/berita-2865-pt-langgam-inti-hibrindo-grup-
usaha-milik-sandiaga-uno-tersangka-karhutla-pelalawan.html diakses pada 8
Agustus 2017.
Channel News Asia.
http://www.channelnewsasia.com/news/singapore/transboundary-haze-
pollution-act-not-about-national-sovereignty--7996876 diakses pada tanggal
31 Mei 2017.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-ASEAN.aspx.
Diakses pada 10 Agustus 2017.
NASA (National Aeronautics and Space Administration).
https://earthdata.nasa.gov/earth-observation-data/near-real-time/firms. Diakses
pada 06 April 2017.
Nigel Sizer, Kemen Austin, dan Ariana Alisjahbana. Diakses melalui
http://www.wri.org/blog/2013/06/data-terbaru-menunjukkan-kebakaran-
hutan-di-indonesia-adalah-krisis-yang-telah. Diakses pada 01 Juni 2017.
Ryan Nofitra. https://m.tempo.co/read/news/2016/06/10/063778544/petinggi-
perusahaan-pembakar-lahan-divonis-bebas. Diakses pada 8 Agustus 2017.
Sudut Hukum. http://www.suduthukum.com/2017/04/sejarah-kebakaran-hutan-di-
indonesia.html. Diakses pada 01 Juni 2017.