legalitas singapore transboundary haze pollution act - CORE

96
LEGALITAS SINGAPORE TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 of 2014 DITINJAU DARI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : PUNGKY INDRIATI HASIBUAN 135010101111167 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2017

Transcript of legalitas singapore transboundary haze pollution act - CORE

LEGALITAS SINGAPORE TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT

NO. 24 of 2014 DITINJAU DARI ASEAN AGREEMENT ON

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh

Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

Oleh :

PUNGKY INDRIATI HASIBUAN

135010101111167

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2017

i

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi : LEGALITAS SINGAPORE

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO.

24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN

AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE

POLLUTION

IdentitasPenulis :

a. Nama : Pungky Indriati Hasibuan

b. NIM : 135010101111167

Konsentrasi : Hukum Internasional

JangkaWaktu

Penelitian : 5 bulan

Disetujui pada tanggal:

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Nurdin, SH., M.Hum Agis Ardhiansyah,SH.,LLM

NIP.195612071986011001 198403132009121001

Mengetahui,

Ketua Bagian Hukum Internasional

Dr. Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum

NIP.197808112002122001

ii

HALAMAN PENGESAHAN

“LEGALITAS SINGAPORE TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT

NO. 24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN AGREEMENT ON

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION”

Oleh:

PUNGKY INDRIATI HASIBUAN

135010101111167

Skripsi ini telah disahkan oleh Majelis Penguji pada tanggal :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Nurdin, SH., M.Hum Agis Ardhiansyah,SH.,LLM

NIP. 195612071986011001 198403132009121001

Mengetahui,

Ketua Bagian Hukum Internasional Dekan Fakultas Hukum

Dr. Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum Dr. Rachmad Safa’at, SH, M.Si

NIP.197808112002122001 NIP. 196208051988021001

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Jurnal : LEGALITAS SINGAPORE

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO.

24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN

AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE

POLLUTION

IdentitasPenulis :

a. Nama : Pungky Indriati Hasibuan

b. NIM : 135010101111167

Konsentrasi : Hukum Internasional

JangkaWaktu

Penelitian : 5 bulan

Disetujui pada tanggal:

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Nurdin, SH., M.Hum Agis Ardhiansyah, SH., LLM

NIP. 195612071986011001 198403132009121001

Mengetahui,

Ketua Bagian Hukum Internasional

Dr. Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum

NIP.197808112002122001

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis telah sampai pada tahap ini, yakni dengan terselesaikannya

penulisan skripsi guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hukum

di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang berjudul: “LEGALITAS SINGAPORE

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 OF 2014 DITINJAU DARI ASEAN

AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan bantuan dan

dukungan selama pengerjaan skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Orang tua, ibu (Sri Nilawati), bapak (Asrul H. Hasibuan), dan adik-adik saya (Tika &

Nico), yang selalu memberikan doa, dukungan, dan kesabaran mendampingi penulis

selama proses penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Rachmad Safa’at, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya.

3. Ibu Dr. Hanif Nur Widhiyanti, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional.

4. Bapak Nurdin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan

dukungan, masukan, dan arahan dalam proses penyusunan skripsi.

5. Bapak Agis Ardhiansyah, S.H., LL.M., selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang

telah memberikan ilmu, arahan, masukan, serta motivasi dalam proses penyusunan

skripsi.

6. Teman-teman seperjuangan sejak ospek di FHUB sampai sekarang: Andin, Rima, Arief,

Aryanta, Hariz, Asrop, Sena, Anes, Fira, Jenik, dan Rosy, yang selalu memberi dukungan

sejak awal perkuliahan sampai penyusunan skripsi.

7. Teman-teman di konsentrasi Hukum Internasional, BILSTUF 2016 : Choi, Indoko,

Chalif, Opi, Jarwo, Dinda, Audri, Vera, Ayu, Marsya, dan yang tidak bisa disebutkan

satu per satu. Terkhusus buat Dinda yang banyak memberi masukan, bantuan, dan

dukungan selama penulisan skripsi.

8. Teman-teman seperjuangan selama magang di Ditjen HPI Kemlu: Early, Oca, Ayu, Grey,

Disa & Fadzil yang selalu memberi dukungan bahkan sejak awal mencari tema skripsi.

iv

9. Diplomat-diplomat serta staff di Direktorat Hukum & Polkam Ditjen HPI Kementerian

Luar Negeri RI: pak Andika, mas Andit, mas Selwas, mas Dumas, mas Andre, mbak Lia,

dan mbak Nisa yang bersedia berbagi ilmu-ilmu selama magang, hingga bantuan dalam

memberi ide untuk tema skripsi ini.

10. Keluarga besar Riau di Malang (IKPMR-Malang) yang menjadi keluarga selama

diperantauan yang telah memberikan dukungan selama proses penyusunan skripsi.

11. Teman-teman di FHUB lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

memberikan bantuan selama proses penyusunan skripsi.

12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang turut membantu

selesaikannya skripsi ini.

Penulis yakin bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga segala

masukan maupun kritik akan selalu penulis harapkan untuk memperbaiki penulisan skripsi

ini.

Akhir kata penulis mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam proses pembuatan skripsi ini

penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Semoga

Allah mengampuni kesalahan kita dan berkenan menunjukan jalan yang benar.

Malang, Oktober 2017

Penulis

ix

RINGKASAN

PUNGKY INDRIATI HASIBUAN, Hukum Internasional, Fakultas Hukum,

Universitas Brawijaya, Oktober 2017, LEGALITAS SINGAPORE

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 OF 2014 DITINJAU

DARI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION,

Nurdin SH., M.Hum., Agis Ardhiansyah, SH. LLM.

Kata Kunci: Transboundary Haze Pollution, Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014, ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution, Legalitas.

Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap lintas batas negara

telah terjadi di kawasan ASEAN sejak tahun 1977. Permasalahan polusi asap

lintas batas yang terus terjadi setiap tahun akhirnya menggerakkan negara-negara

ASEAN untuk membentuk ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

yang mengatur tentang pendistribusian tanggung jawab dan dan penanganan asap

di kawasan ASEAN. Namun di tahun 2014 Singapura mengesahkan undang-

undang nasional yaitu Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of

2014. Pada pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014

menjelaskan bahwa Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014

dapat diperluas dalam kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada

diluar Singapura yang menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam

masalah polusi asap yang terjadi di Singapura. Isi pasal tersebut dianggap

menyinggung kedaulatan negara Indonesia sebagai negara penyebab polusi asap

lintas batas.

Dalam penelitian ini, penulis memilih metode yuridis normatif dengan metode

analisa teological school yaitu penafsiran pada ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution melalui maksud dan tujuan dari ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution.

x

SUMMARY

PUNGKY INDRIATI HASIBUAN, International Law, Law Faculty, Brawijaya

University, October 2017, LEGALITY OF SINGAPORE TRANSBOUNDARY

HAZE POLLUTION ACT NO 24 OF 2014 IN TERMS OF ASEAN

AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION. Nurdin SH.,

M.Hum., Agis Ardhiansyah, SH. LLM.

Keywords: Transboundary Haze Pollution, Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014, ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution, Legality.

Forest and land fires that have caused transboundary haze pollution have

occurred in the ASEAN region since 1977. The ongoing transboundary haze

pollution issue has finally moved the ASEAN countries to establish the ASEAN

Agreement on Transboundary Hazard Pollution which regulates the distribution

of responsibilities and smoke handling in the ASEAN region. However, in 2014

Singapore passed a national law that is Singapore Transboundary Haze Pollution

Act No. 24 of 2014. In article 4 of the Singapore Transboundary Haze Pollution

Act No. 24 of 2014 explains that the Singapore Transboundary Haze Pollution

Act No. 24 of 2014 may be expanded in relation to an action or object situated

outside of Singapore that causes or contributes to all kinds of smoke pollution

problems that occur in Singapore. The contents of the article is considered to

offend the sovereignty of the state of Indonesia as a country causing of

transboundary haze pollution.

In this research, writer choose normative juridical method with theological

analysis method that is interpretation at ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution through intention and objective of ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution.

v

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan............................................................................ i

Halaman Pengesahan............................................................................ ii

Kata Pengantar.................................................................................. iii

Daftar Isi............................................................................................ v

Daftar Tabel......................................................................................... viii

Ringkasan..................................................................................... ix

Summary......................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................. 1

B. Rumusan Masalah.............................................................. 19

C. Tujuan Penelitian............................................................. 20

D. Manfaat Penelitian........................................................... 20

E. Sistematika Penulisan...................................................... 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Yurisdiksi Negara ................................................... 23

a. Pengertian Yurisdiksi ……………............................ 23

b. Bentuk-Bentuk Yurisdiksi ………............................. 24

c. Prinsip-Prinsip Yurisdiksi …..................................... 25

vi

2. Transboundary Haze Pollution ……………………............. 28

3. Kedaulatan Negara ………………………………………… 29

a. Pengertian Kedaulatan Negara ….............................. 29

b. Macam-Macam Kedaualatan

Negara…………………............................................

30

4. Tanggung Jawab Negara dalam Perjanjian

Internasional………………………………………..............

31

a. Pengertian Tanggung Jawab

Negara………………................................................

31

b. Implementasi Perjanjian Internasional……………... 32

c. Penafsiran dalam Perjanjian Internasional…………. 33

d. Asas-Asas dalam Perjanjian Internasional…………. 35

5. Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of

2014 ………………………………………………………...

35

6. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

(AATHP) …………………………………………………...

36

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian....................................................................... 40

B. Pendekatan Penelitian............................................................. 40

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum............................................ 42

D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum........................................ 43

E. Teknik Analisis Bahan Hukum............................................... 44

F. Definisi Konseptual................................................................ 45

vii

BAB IV PEMBAHASAN

A. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution No.

24 of 2014 Ditinjau Dari Kaidah-Kaidah dalam Hukum

Internasional …………………….......................................

44

1. Teori-Teori Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi

Proteksi Negara Dalam Hukum

Internasional …………………………………….

44

a. Teori Kedaulatan dalam Hukum

Internasional ....................................................

44

b. Batasan dalam Kedaulatan

Negara..............................................................

45

c. Teori Yurisdiksi Proteksi

Negara………………………………..............

51

d. Batasan Yurisdiksi Proteksi Negara…………. 55

2. Legalitas Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 Ditinjau dari Prinsip-

prinsip Kedaulatan dalam Hukum

Internasional............................................................

58

3. Legalitas Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 Of 2014 Ditinjau Piagam

ASEAN....................................................................

60

B. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act

No. 24 Of 2014 Ditinjau dari ASEAN Agreement On

Transboundary Haze Pollution ………………………..…

68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................... 77

B. Saran.................................................................................... 78

viii

DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 79

LAMPIRAN........................................................................ 84

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kerugian Ekonomi Singapura dan Indonesia

Akibat Kabut Asap Tahun

2013…………………........................................

.

7

Tabel 2 Orisinalitas Penelitian........................................ 18

Tabel 3 Perbandingan Terikatnya Negara Terhadap

Prinsip-Prinsip Hukum Umum dan Prinsip-

Prinsip Hukum Khusus dalam Hukum

Internasional…………………………................

49

Tabel 4 Negara-Negara yang Meratifikasi

AATHP……………...........................................

70

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kebakaran hutan dan lahan1 sudah mulai terjadi di Asia Tenggara sejak zaman

Pleistocene2. Sehingga kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap

bukan masalah baru bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau yang

tergabung dalam Association of Southeast Asians Nations (selanjutnya disebut

dengan ASEAN)3. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan polusi asap

lintas batas (transboundary haze pollution) sudah ada sejak tahun 1994-1995.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 1994-1995 tersebut berasal dari

pulau Kalimantan dan pulau Sumatra Indonesia.4 Tahun 1997 kebakaran hutan

dan lahan kembali terjadi di Indonesia yang menimbulkan polusi asap hingga ke

wilayah negara Singapura dan Malaysia, bahkan sebagian kecil juga mencapai

wilayah Thailand dan Filipina.5 Polusi asap lintas batas yang terjadi tahun 1997

dinilai sangat berbahaya setelah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada

1 Menurut Pasal 1 (38) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik

IndonesiaNo. P.32/MenLHK/Setjen /Kum.1/3/2016 Tentang Kebakaran Hutan, bahwa kebakaran

hutan dan lahan adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan dan/atau lahan, baik secara alami

maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang

menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik. 2 Zaman Pleistocene berlangsung kira-kira 600 tahun yang lalu dan ditandai dengan

adanya manusia purba. 3 ASEAN adalah organisasi internasional yang merupakan perhimpunan antar bangsa-

bangsa di kawasan Asia Tenggara. 4 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 Tentang

Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang

Pencemaran Asap Lintas Batas). 5 A. Heil dan J.G. Goldammer, “Smoke-haze pollution: A Review of the 1977 Episode in

Southeast Asia”, Reg. Environ Change Journal Vol. 2, (Berlin: Springer-Verlag, 2001): 27-28.

Dikutip ulang oleh Siciliya Mardian Yo’el, Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution dalam Penanggulangan Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas di ASEAN,

Universitas Islam Kediri, Kediri, 2017, hlm. 330.

2

tahun 1994-19956 dan akhirnya mendorong negara-negara di kawasan ASEAN

untuk membahas masalah tersebut dan menuangkannya ke dalam Hanoi Plan of

Action 19977. Hanoi Plan of Action 1997 berisi upaya mengatasi masalah polusi

lintas batas sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan.8 Negara-negara

anggota ASEAN pun kemudian sepakat untuk memformalkan Hanoi Plan of

Action 1997 agar lebih efektif dengan membentuk ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (selanjutnya disebut dengan AATHP).

Pembentukan AATHP merupakan puncak pertemuan Hanoi Plan of Action 1997

bertujuan untuk merumuskan pola pengendalian pencemaran polusi asap di Asia

Tenggara ke dalam suatu pernjanjian yang mengatur pendistribusian tanggung

jawab dan penanganan polusi asap di kawasan regional Asia Tenggara.9

Hasil penelitian dari World Resources Institute10

(selanjutnya disebut

dengan WRI) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan terkait fenomena

kebakaran hutan ini, yaitu:11

6 Ibid.

7 Hanoi Plan of Action 1997 merupakan rencana term medium komprehensif yang

dinisbahkan sebagai “Road Map” untuk mencapai tujuan-tujuan yang tercantum dalam Visi

ASEAN 2020. 8 Penjelasan umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution. 9 Agis Ardhiansyah, Konsekuensi Hukum Bagi Indonesia Tentang Pengendalian

Pencemaran Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2016, hlm. 12. 10

World Resources Institute merupakan lembaga yang bergerak di bidang sumber daya

lingkungan se-dunia yang bertujuan untuk menggerakkan kelompok masyarakat untuk hidup

dengan cara melindungi lingkungan dan kapasitas bumi demi memenuhi kebutuhan dan aspirasi

generasi sekarang dan masa depan. 11

Nigel Sizer, Kemen Austin, dan Ariana Alisjahbana. Diakses melalui

http://www.wri.org/blog/2013/06/data-terbaru-menunjukkan-kebakaran-hutan-di-indonesia-

adalah-krisis-yang-telah. Pada 01 Juni 2017.

3

1. Kebakaran yang terjadi saat ini tidak melampaui batas normal tren historis

kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Indonesia, namun hal ini mungkin

berubah jika kobaran api terus membesar;

2. Kebakaran saat ini adalah bagian dari krisis endemik kebakaran hutan,

lahan dan pembersihan lahan yang telah berlangsung sejak lama di

Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi melalui 2 (dua) cara, yaitu: secara

alamiah12

dan non-alamiah13

. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara

alamiah yaitu ketika periode iklim yang lebih kering dari iklim lingkungan sekitar

pada saat itu.14

Perubahan iklim yang sering terjadi dan menjadi penyebab

kebakaran hutan adalah fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO)15

yang

semakin menyebabkan lingkungan rawan akan kebakaran hutan.16

Sedangkan

kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara non-alamiah juga sering terjadi dan

sudah dikenal sejak 10.000 tahun yang lalu. Kebakaran hutan dan lahan secara

non-alamiah yang dilakukan oleh manusia ini bertujuan untuk mempermudah

perburuan dan membuka lahan pertanian.17

Kebakaran hutan bukanlah suatu baru

12 Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara alamiah terjadi tanpa campur tangan

manusia, melainkan terjadi karena faktor alam. 13

Kebakaran hutan dan lahan secara non-alamiah terjadi dengan adanya campur tangan

manusia. 14 http://www.suduthukum.com/2017/04/sejarah-kebakaran-hutan-di-indonesia.html

diakses pada tangga 01 Juni 2017. 15

Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan suatu fenomena kelautan

dalam waktu-waktu tertentu di mana suatu pemanasan yang kuat dan berkelanjutan terjadi di laut

bagian atas pasifik timur, hal ini diangap dapat mengacaukan keadaan cuaca secara global yang

mengakibatkan menguatkan arus panas yang mengganggu mekanisme cuaca. 16

Yayat Ruchiat, Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan (The

Underlying Causes and Impact of Fire), Bahan Lokakarya Perencanaan Proyek Community

Development Through Rehabilitation of Imperata Grasslands Using Trees: A model approach

growing Vitex Pubescens for charcoal production in Kalimantan, Pontianak, 2001, hlm. 1. 17

Ibid.

4

di Indonesia mengingat bahwa Indonesia memiliki lahan pertanian yang cukup

luas. Namun beberapa pihak berpendapat bahwa kebakaran hutan dan lahan

disebabkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, ataupun kehutanan berskala

kecil oleh masyarakat lokal maupun dalam skala besar, seperti perkebunan dan

Hak Pengusahaan Hutan/Hutan Tanam Industri (selanjutnya disebut dengan

HPH/HTI).18

Polusi asap lintas batas negara telah menjadi sebuah fenomena yang

berulang kali terjadi di kawasan ASEAN hingga mencapai tingkat yang bervariasi

setiap tahun.19

Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Republik Indonesia, penyebab polusi asap adalah adanya aktivitas pembakaran

hutan dan lahan yang secara sengaja dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat

yang ingin membuka lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit saat musim

kemarau datang.20

Kabut asap menjadi salah satu permasalahan utama di kawasan

ASEAN karena adanya 4 alasan, yaitu: 21

1. Kabut asap menunjukkan kebakaran hutan dan lahan yang signifikan

terjadi dengan resiko tersirat untuk keanekaragaman hayati dan

pelepasan gas rumah kaca, terutama dari kebakaran gambut.22

2. Kabut asap berdampak buruk pada kesehatan masyarakat, terutama

anak-anak dan lansia.23

18

Ibid. 19

Apichai Sunchindah, Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia :

Refarming ASEAN’s Response, ERIA Discussion Paper Series, 2015, hlm. 1 20

Kardina Gultom, Sekuritas Kabut Asap di Singapura Tahun 1997-2014, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, 2016, hlm. 1. 21

Glover, David and Timoty Jessup. Indonesian’s Fire and Haze: The Cost of

Catastrophe. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. 2002. Dikutip ulang Kardina

Gultom, op.cit., hlm. 36. 22

Ibid.

5

3. Kabut asap mempengaruhi bisnis dan pariwisata.24

4. Sifat lintas batas dari kabut asap mengancam hubungan diplomatik

dengan negara-negara tetangga.25

Dari beberapa negara di ASEAN yang terkena dampak negatif polusi asap

Indonesia, negara-negara yang sudah sampai mengambil langkah protes terhadap

Indonesia akibat polusi asap lintas batas ini adalah Malaysia dan Singapura.

Langkah protes yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura dikarenakan secara

geografis Malaysia dan Singapura merupakan negara tetangga Indonesia yang

mendapat kiriman polusi asap terbanyak akibat arah hembusan angin. Malaysia

dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah polusi asap ini

karena kebakaran hutan yang disertai polusi asap ini bukanlah kejadian yang

pertama bagi Malaysia dan Singapura terkena dampak negatifnya.26

Protes yang

dilakukan oleh Malaysia dan Singapura ini diakibatkan polusi asap yang telah

mengganggu kehidupan masyarakat Malaysia dan Singapura yaitu dengan mulai

bermunculnya penyakit-penyakit yang timbul akibat polusi asap, yaitu: Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (selanjutnya disebut dengan ISPA)27

, asma, Penyakit

Paru Obktruktif Kronik (selanjutnya disebut dengan PPOK)28

, bahkan

menyebabkan perekonomian yang tidak stabil yang berakibat kerugian pada

23

Ibid. 24

Ibid. 25

Ibid. 26

Dina ST Manurung, Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggung Jawab

Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus: Kabut Asap Kebakaran

Hutan di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap Malaysia-Singapura), Skripsi, Universitas

Sumatra Utara, 2014, hlm. 2. 27

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang mengganggu proses

pernafasan seseorang yang disebabkan oleh virus yang menyerang hidung, trakea (pipa

pernafasan), atau bahkan paru-paru. 28

Menurut Yayasan Paru-paru Kanada, kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan

dapat berakibat fatal karena merugikan kinerja paru-paru.

6

sektor pariwisata.29

Protes yang dilakukan oleh Singapura dan Malaysia pun

direspon oleh pemerintah Indonesia dengan segera mengusut penyebab kebakaran

hutan dan lahan melalui Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut

dengan Polri) bersama Kementerian Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut

dengan KLH). Selama proses tersebut, pemadaman terhadap titik-titik api yang

masih aktif membakar lahan di wilayah Indonesia terus dilakukan. Berdasarkan

pengecekan lapangan (ground checking)30

yang dilakukan oleh koalisi Eyes of

Forest (selanjutnya disebut EoF)31

, telah terjadi pembakaran hutan dan lahan yang

dilakukan secara sengaja maupun pembiaran dengan motif-motif yang masih

diselidiki oleh aparat penegak hukum.32

Pengecekan lapangan menunjukkan

estimasi wilayah yang terbakar di 38 konsesi dan kawasan seluas 7.578 hektar.33

Titik-titik api yang terus bertambah pun semakin meyebabkan polusi asap tidak

henti melintasi batas negara. Kerugian negara-negara tetangga pun tidak dapat

dihindari dan diperkirakan akan semakin meningkat.34

Kebakaran hutan dan lahan tentu berdampak pada lingkungan yang secara

pasti akan menyebabkan punahnya ekosistem hutan.35

Selain berdampak pada

sektor lingkungan, dampak dari polusi asap juga menyebabkan kerugian besar

pada sektor perekonomian Singapura akibat polusi asap yaitu sekitar SGD

29

Dina ST Manurung, op.cit. 30

Pengecekan Lapangan (ground checking) merupakan kegiatan untuk membandingkan

antara kenampakan obyek pada citra dan kenampakan obyek yang sama di lapangan sesuai

karakteristiknya. 31

Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera: WALHI

Riau, Jikalahari (Jaringan Penyelamat Hutan Riau), dan WWF-Indonesia program Riau. 32

Eyes on the Forest (EoF), Laporan Investigasi Eyes on the Forest, Riau, 2015, hlm. 2 33

Ibid. 34

Ibid. 35

Basuki Wasis, Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Kerusakan Tanah

(Impact of Forest and Land Fire on Soil Degradation), Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 2003,

hlm. 80.

7

342.000.000 atau USD 249.901.435,84.36

Kerugian besar juga dialami oleh

Indonesia sebagai negara penyebab polusi asap. Pada tahun 2013, kerugian

ekonomi Indonesia mencapai sekitar IDR 20 Trilyun atau USD 1.495. 662,52.37

Tabel 1.1 Kerugian Ekonomi Singapura dan Indonesia Akibat Kabut

Asap Tahun 2013

Negara Kerugian Ekonomi

Indonesia USD 1.495.662,58 (IDR 20 Trilyun)

Singapura USD 249. 9015.435,84 (SGD 342.000.000)

Sumber : Data Sekunder, diolah tahun 2017.

Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2013, Global Forest Watch38

mendeteksi terdapat 3.101 peringatan titik api yang diyakini berasal dari pulau

Sumatera dengan menggunakan data titik api aktif NASA39

. Jumlah titik api

melebihi 2.643 total jumlah peringatan titik api yang terdeteksi pada 13-30 Juni

2013, yaitu puncak kerjadinya krisis kebakaran dan kabut asap sebelumnya.40

Pada awal Maret 2014, Indeks Standar Pencemaran Udara di Singapura melonjak

hingga 341 peringatan titik api yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan

gambut di provinsi Riau.41

Jumlah titik api tersebut merupakan Indeks tertinggi

36

Noor Falah, Pengaruh Malaysia dan Singapura Terhadap Indonesia Dalam Proses

Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), Skripsi.

Universitas Mulawarman. 37

Kardina Gultom, Op.cit., hlm. 37. 38

Global Forest Watch merupakan sebuah sistem online baru dari WRI Indonesia

(Yayasan Institut sumber Daya Dunia) yang mencatat perubahan tutupan hutan. 39

https://earthdata.nasa.gov/earth-observation-data/near-real-time/firms diakses pada 06

April 2017. 40

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160418_indonesia_singapura_

hutan diakses pada 06 April 2017.

41 Ibid.

8

sepanjang tahun.42

Bahkan angka tersebut telah melampaui Indeks Standar

kesehatan aman bagi masyarakat, yakni 300.43

Dengan mencapainya indeks standar pencemaran udara di Singapura pada

beberapa tahun belakangan menyebabkan Pemerintah Singapura menyatakan

bahwa akan menindaklanjuti para pelaku pembakar hutan dan lahan yaitu

perusahaan-perusahaan dari Indonesia yang menjadi penyebab polusi asap di

Singapura.44

Berikut gambar yang menunjukkan distribusi titik api di kawasan

Asia Tenggara serta pola dari peringatan titik api sejak Januari 2013 untuk seluruh

pulau Sumatera.

42

Ibid. 43

Ibid. 44 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150925_dunia_singapura_kabutasap

diakses pada 06 April 2017

9

Sumber : Data Sekunder, diolah tahun 2017.

Singapura menanggapi masalah polusi asap ini pada tingkatan yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia.45

Singapura menjadi negara yang

paling serius dalam menanggapi polusi asap ini. Sebagai negara berdaulat46

:

“yang dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan, organisasi

kekuasaan, ke dalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga

negaranya, mengatur penggunaan public domain,47

membuat undang-undang

dasar beserta peraturan pelaksanaannya, mengatur politik ke luar negeri maupun

dalam negeri, negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara

asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan

45

Mukhammad Syaifulloh, Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (The Forming of ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution), Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (UNEJ), Jember, 2013, hlm. 3. 46

Negara yang berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme

authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik dalam maupun

ke luar, namun demikian tetap harus harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun

dalam pergaulan internasional lainnya. 47

Public Domain atau Staat Domain merupakan suatu benda pendukung yang dimiliki

oleh Negara namun tidak dapat diperjualbelikan karena sifatnya diluar perniagaan dan pemerintah

sendiri lebih kepada memiliknya sebagai pengawas.

10

(stateless),48

mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan

pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial

lainnya.”49

Singapura pun merasa berhak untuk membuat peraturan nasional

demi melindungi kepentingan nasionalnya dari dampak yang timbulkan akibat

polusi asap lintas batas.

Langkah protes pada tingkat serius ini yang diambil oleh Singapura

merupakan penerapan salah satu bentuk yurisdiksi50

dalam hukum internasional,

yaitu Prescriptive Jurisdiction. Prescriptive Jurisdiction ialah kekuasaan

membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau

status hukum orang atau peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan

seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga sering disebut

pula sebagai yurisdiksi legislatif.51

Yurisdiksi suatu negara menunjuk kepada

kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan

hukum nasionalnya.52

Yurisdiksi terhadap hukum nasional yang dimaksud adalah

perdata dan pidana.53

Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan

(dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang.54

48

The International Observatory on Stateless, mendefinisikan statelessness sebagai: “

seseorang yang tidak mendapatkan pengakuan status kewarganegaraannya oleh suatu negara.” 49

Saru Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antarnegara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,

hlm. 39. 50 Yurisdiksi merupakan suatu atribut dari kedaulatan suatu negara. 51

Yurisdiksi Preskriptif dapat pula berlaku pada tindakan negara dalam membuat

peraturan perundang-undangan yang sifatnya ekstrateritorial (extraterritorial legislative) , yaitu

peraturan perundangn-undangan yang diberlakukan terhadap warganya diluar negeri. Contoh

peraturan perundang-undangan seperti ini dalam hukum internasional UU untuk melaksanakan

yurisdiksi universal . 52

Rebecca M. Wallace, Hukum Internasional, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993,

hlm. 119. 53

Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara

yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional maupun internasional (apabila para

pihak atau obyek perkaranya terdapat unsur hukum asing).Sedangkan yurisdiksi pidana adalah

11

Bentuk yurisdiksi ini tidak jarang dimanfaatkan beberapa negara untuk

memberlakukan hukum nasionalnya meskipun berada diluar batas wilayah

negaranya. Penerapan Prescriptive Jurisdiction ini dilakukan oleh Singapura

dengan membentuk dan mengesahkan undang-undang nasional Singapura yaitu

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. Penerapan

Prescriptive Jurisdiction terlihat pada pasal 4 Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 yang berbunyi yaitu: 55

“This Act shall extend to and in relation to any conduct or thing outside

Singapore which causes or contributes to any haze pollution in

Singapore.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa dimungkinkan untuk diperluas dalam

kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada diluar Singapura yang

menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi asap yang

terjadi di Singapura.56

Lahirnya pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution

Act No. 24 of 2014 merupakan bentuk protes serius untuk melindungi kepentingan

nasional Singapura. Dengan lahirnya Singapore Transboundary Haze Pollution

Act No. 24 of 2014 secara tidak langsung menilai bahwa Indonesia tidak serius

dalam menangani dan menyelesaikan masalah polusi asap lintas batas. Anggapan

Singapura bahwa Indonesia tidak serius dan tidak mampu dalam menangani

masalah polusi asap lintas batas ini pun ditanggapi oleh Indonesia dengan ikut

sebagai negara yang meratifikasi AATHP pada 16 September 2014 yang

kewenangan (hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang

tersangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak. 54

Rebecca M. Wallace, op.cit. 55

Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. 56

Penjelasan Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act. No. 24 of 2014.

12

dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang

Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan

ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)57

dan menyerahkan instrument

ratifikasinya ke Sekretariat ASEAN pada 20 Januari 2015.58

Keikutsertaan

Indonesia ini merupakan suatu bentuk keseriusan Indonesia sebagai negara

penyebab polusi asap lintas batas dalam menangani dan menyelesaikan masalah

polusi asap lintas batas. Dalam upaya pengendalian polusi asap, sebenarnya

Indonesia telah memulainya sejak lama, yang setidaknya sudah dilakukan sejak

tahun 1995.59

Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang

Perkebunan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkebunan) terdapat

larangan membuka lahan dengan cara pembakaran.60

Dalam hukum internasional sendiri tidak ada ketentuan yang melarang

setiap negara berdaulat untuk mengatur urusan dalam negerinya termasuk dalam

hal pembuatan hukum nasional terkait pertahanan dan keamanan negaranya.

Begitu juga dengan Singapura, dalam hal pembentukan Singapore Transboundary

Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dianggap tidak ada yang salah karena tujuan

Singapura adalah untuk melindungi kepentingan nasionalnya, meskipun sebelum

lahirnya Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 telah ada

perjanjian internasional dikawasan ASEAN sendiri yang mengatur tentang polusi

asap lintas negara yaitu AATHP. AATHP ditanda tangani dan disahkan oleh

seluruh negara ASEAN pada tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia.

57

Undang-Undang Pengesahan AATHP 58

Syahriani Firmayanti, Motivasi Singapura Meratifikasi ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution Tahun 2013, Skripsi, Universitas Riau, 2015, hlm. 4. 59

Agis Ardhiansyah, op.cit. 60

Pasal 26 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

13

Indonesia dan Singapura menjadi salah satu negara yang meratifikasi AATHP

yang resmi berlaku sejak tanggal 25 November 2003 itu.

Polusi asap lintas batas paling parah terjadi pada tahun 2015 dan 2016

yang disebabkan oleh kemarau panjang.61

Akibatnya sekitar 18 perusahaan

Indonesia yang berada di Provinsi Riau dilakukan penyelidikan oleh Kepolisian

Daerah Riau (selanjutnya disebut Polda Riau).62

Satu perusahaan pun sudah

melalui proses hukum karena telah ditetapkan sebagai pembakar hutan dan lahan

yang menyebabkan polusi asap hingga melewati lintas batas negara.63

Sejak

ditetapkannya salah satu perusahaan Indonesia sebagai tersangka kebakaran hutan

dan lahan pada tahun 2015 oleh Polda Riau, pengadilan Singapura

memerintahkan Badan Lingkungan Hidup Singapura (The National Environment

Agency/NEA) untuk menangkap dan menahan direktur perusahaan tersebut ketika

memasuki kawasan Singapura untuk proses investigasi.64

Perintah pengadilan

Singapura untuk menahan direktur salah satu perusahaan Indonesia tersebut

dilakukan setelah direktur perusahaan tersebut tidak merespon pemberitahuan

Singapuran berdasarkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of

2014.65

Ditahun 2016, ketika direktur perusahaan tersebut berada diwilayah

Singapura kemudian dilakukan penahanan terhadap direktur perusahaan tersebut

61

https://m.tempo.co/read/news/2016/06/10/063778544/petinggi-perusahaan-pembakar-

lahan-divonis-bebas diakses pada 8 Agustus 2017. 62

Ibid. 63

http://beritariau.com/berita-2865-pt-langgam-inti-hibrindo-grup-usaha-milik-sandiaga-

uno-tersangka-karhutla-pelalawan.html diakses pada 8 Agustus 2017. 64 http://news.detik.com/berita/3208960/singapura-perintahkan-tangkap-wni-soal-kabut-

asap-ri-protes-keras diakses pada 02 Juni 2017. 65

Ibid.

14

untuk selanjutnya dilakukan proses intogasi oleh aparat hukum Singapura.66

Selama proses introgasi, direktur perusahaan tersebut yang merupakan warga

negara Indonesia tidak didampingi oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia

(selanjutnya disebut dengan KBRI) di Singapura.67

Langkah Singapura hingga

sampai pada introgasi terhadap warga negara Indonesia yang merupakan pihak

dari perusahaan pembakar hutan dan lahan ini dianggap sebagai bentuk

pelaksanaan isi dari pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24

of 2014. Hal tersebut juga membuat Indonesia menganggap bahwa isi dari pasal 4

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 terlalu arogan dan

melanggar yurisdiksi teritorial Indonesia untuk mengadili suatu perbuatan

pelanggaran hukum yang berada diwilayah Indonesia. Pasal 4 Singapore

Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dianggap sebagai dalih bagi

Singapura untuk ikut serta mengadili pelaku pembakaran hutan dan lahan di

Indonesia. Sebelum dibentuknya Singapore Transboundary Haze Pollution Act

No. 24 of 2014 telah ada perjanjian internasional terkait polusi asap lintas batas

untuk kawasan ASEAN yaitu AATHP. Indonesia dan Singapura menjadi negara

yang ikut meratifikasi AATHP yang dengan kata lain bahwa Indonesia dan

Singapura tunduk pada kewajiban-kewajiban dalam AATHP. AATHP dibentuk

berdasarkan keinginan negara-negara di ASEAN, yang artinya pembentukan

AATHP ini juga menjadi keinginan Indonesia dan Singapura dalam bekerja sama

untuk mengatasi masalah polusi asap. Setelah Singapura ikut meratifikasi AATHP

66

Ibid. 67

Hasil wawancara penulis di Direktorat Hukum dan Perjanjian Ekonomi, Kementerian

Luar Negeri Republik Indonesia pada 13 Februari 2017.

15

kemudian membentuk Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of

2014 maka peraturan atau regulasi mana yang akan dilaksanakan oleh Singapura.

Singapura dan Indonesia sebagai negara yang berdaulat pada hakekatnya

tunduk dan menghormati hukum internasional serta harus menghormati atau tidak

boleh melanggar kedaulatan sesama negara.68

Hakekat negara yang harus tunduk

dan menghormati hukum internasional serta tidak boleh melanggar kedaulatan

sesama negara ini dengan tepat ditegaskan oleh Max Huber sebagai arbiterator

tunggal Mahkamah Arbitrase Internasional dalam kasus Pulau Palmas atau

Miangas pada tahun 1928 antara Belanda melawan Amerika serikat.69

Pada kasus

tersebut, Max Huber menegaskan bahwa kedaulatan suatu negara harus berhenti

ketika muncul kedaulatan negara lain.70

Namun ada kalanya dalam pergaulan

internasional terjadi berbenturan kedaulatan, dimana kedaulatan suatu negara

dilanggar oleh negara lain. Ketika terjadi pelanggaran demikian maka timbul

yurisdiksi negara untuk menerapkan hukum negaranya dalam hal terjadi

perselisihan antar kedaulatan negara. Tindakan Singapura melalui pengadilan

setempat yang mengeluarkan perintah untuk menangkap dan melakukan introgasi

kepada direktur perusahaan pembakar hutan dan lahan guna proses hukum

Singapura bagi Indonesia tidak menghargai kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia

dalam pergaulan Internasional. Indonesia dan Singapura sama-sama memiliki

kepentingan sebagai negara-negara yang berdaulat dalam masalah polusi asap

68

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003,

hlm. 90. 69

Ibid. 70

Lihat dan baca kasus Pulau Palmas (The Palmas Island Case), 1928 atau The Island of

Palmas (Miangas) Arbiteration, 1928 dalam : Herbert W. Briggs: THE LAW OF NATIONS:

CASES, DOCUMENTS AND NOTES; Second Edition, Appleton Century-Crofts, Inc, New

York, 1996, Hlm. 239-247. Ibid.

16

lintas batas ini, di mana Indonesia merasa memiliki yurisdiksi teritorial atas

masalah polusi asap yang berasal dari wilayah teritorial Indonesia. Sedangkan

Singapura sebagai negara yang tekena dampak negatif dari polusi asap merasa

memiliki hak untuk ikut mengadili pelaku pembakar hutan dan lahan Indonesia

karena adanya asas yurisdiksi extraterritorial serta melindungi kepentingan

nasionalnya. Dalam pergaulan internasional, terdapat aturan bertata krama khusus

negara-negara ASEAN yang dijelaskan dalam The ASEAN Charter (selanjutnya

disebut Piagam ASEAN), yaitu : 71

“ASEAN and its Member States shall act in accordance with the following

Principles:

(a) Respect for the independence, sovereignty, equality, territorial

integrity and national indentity of all ASEAN Member States.

(e) Non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States.

(f) Respect for the right of every Member State to lead its national

existence free from external interference, subversion and coercion. ”

Pada pasal 2 ayat 2 (a), (e), dan (f) Piagam ASEAN dengan tegas

menjelaskan bahwa: (a) seluruh negara anggota ASEAN harus bertindak dengan

prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial

dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN;72

(e) tidak campur tangan

urusan dalam negeri Negara-Negara Anggota ASEAN;73

(f) penghormatan

terhadap hak setiap Negara Anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas

dari campur tangan eksternal, subversi dan paksaan.74

Bagi Indonesia tentu

penerapan pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014

melanggar kedaualatan Indonesia serta bentuk campur tangan Singapura terhadap

71

Article 2 pragrapgh 2 The ASEAN Charter. 72

Article 2 paragrapgh 2 (a) The ASEAN Charter. 73

Article 2 paragrapgh 2 (e) The ASEAN Charter. 74

Article 2 paragraph 2 (f) The ASEAN Charter.

17

Indonesia, namun bagi Singapura dengan hadirnya Singapore Transboundary

Haze Pollution Act No. 24 of 2014 merupakan cara untuk melindungi kepentingan

nasionalnya. Bahwa sejatinya Singapore Transboundary Haze Pollution Act No.

24 of 2014 tetaplah sebuah hukum nasional yang dibatasi oleh prinsip-prinsip

dalam hukum internasional serta tetap harus menghormati kedaulatan negara

lain.75

Sehingga berdasarkan bahan hukum dan informasi melalui studi

kepustakaan yang telah dihimpun dari berbagai sumber, penulis menganggap

penelitian ini penting.

Penulis mengemukakan dan memberikan gambaran perihal adanya

kesesuian dengan penelitian terdahulu juga memaparkan tentang perbedaan yang

ada. Tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan dan kepastian bahwa

penelitian yang diangkat oleh penulis saat ini merupakan hasil dari penelitian

yang masih belum ada. Terkait dengan Legalitas Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution.

Berdasarkan uraian yang latar belakang masalah tersebut, peneliti akan

melakukan penelitian hukum dengan judul : LEGALITAS SINGAPORE

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT NO. 24 of 2014 DITINJAU

DARI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION.

75 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5788ac38f2861/apakah-singapura-telah-

melanggar-kedaualatan-indonesia-broleh-abdulkadir-jailani diakses pada 06 April 2017.

18

Penelitian terdahulu yang akan di paparkan berikut juga dapat dijadikan

sebagai penelitian pembanding terhadap penelitian yang sudah ada. Penelitian

yang dimaksud antara lain :

No. Tahun

Penelitian

Nama Peneliti &

Asal Instansi

Judul Penelitian Rumusan Masalah Keterangan

(Perbedaan)

1. 2015 Grizelda (Fakultas

Hukum

Universitas Gajah

Mada)

Penerapan Yurisdiksi

Ekstrateritorial

Dalam Singapore

Transboundary Haze

Pollution Act Dari

Kebakaran Hutan Di

Indonesia

1.Bagaimana bentuk

pertanggungjawaban

Indonesia terhadap

kabut asap dari

kebakaran hutan di

Indonesia menurut

Hukum

Internasional?

2.Bagaimana

penerapan dari

pelaksanaan

yurisdiksi

ekstrateritorial yang

diatur dalam Pasal 4

Singapore

Transboundary

Haze Pollution Act

2014 (No. 24 of

2014)?

Penelitian ini

membahas tentang

penerapan yurisdiksi

esktrateritorial yang

menjadi dasar

berlakunya ataupun

alasan yuridis

Singapura dalam

memberlakukan

Singapore

Transboundary

Haze Pollution

Actatas kebakaran

hutan di Indonesia.

2. 2015 Rani Widya

Adriani

(Universitas

Brawijaya)

Dinamika Proses

Ratifikasi ASEAN

Agreement on

Transboundary Haze

Pollution (AATHP)

oleh Indonesia Tahun

2002-2004

1.Bagaimana

dinamika proses

ratifikasi The

ASEAN Agreement

on Transboundary

Haze Pollution oleh

Indonesia Tahun

2002-2004?

Penelitian ini

membahas

mengenai

dinamika dari

proses ratifikasi ASEAN Agreement

on Transboundary

Haze Pollution

(AATHP) oleh

Indonesia Tahun

2002-2004

19

3. 2016 Siciliya Mardian

Yo’el (Universitas

Brawijaya)

Analisis efektivitas

ASEAN Agreement on

Transboundary Haze

Pollution Dalam

Upaya

Penanggulangan

Pencemaran Asap

Lintas Batas Di

Kawasan ASEAN

1.Bagaimanakah

efektivitas ASEAN

Agreement on

Transboundary

Haze Pollution

dalam hukum

nasional yang

mengatur tentang

pencemaran asap

lintas batas di

kawasan ASEAN

(utamanya di

Indonesia, Malaysia,

dan Singapura)?

2.Bagaimana

efektivitas

penegakan hukum

ASEAN Agreement

on Transboundary

Haze Pollution

dalam proses

penyelesaian

sengketa yang

diakibatkan oleh

pencemaran asap

lintas batas di

kawasan ASEAN?

Penelitian ini membahas

mengenai ke-

efektivitas

berlakunya

AATHP dalam

upaya

penanggulangan

pencemaran asap

lintas batas

wilayah di

kawasan ASEAN.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of

2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution?

20

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dan menelaah dari

suatu permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis

legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau

dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

D. MANFAAT PENELITIAN

Peneliti mengharapkan penelitian ini memiliki manfaat teoritis maupun

manfaat praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang hendak dicapai oleh penulis melalui

penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan

dan pengajian ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan legalitas

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau

dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran demi kemajuan ilmu hukum khususnya hukum internasional

dan bagi penelitian yang serupa secara mendalam.

21

E. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah yang

menjadi pokok permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian yang selanjutnya dibagi menjadi manfaat teoritis dan

manfaat praktis.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas lebih lanjut teori dan istilah hukum yang

mempunyai keterkaitan secara langsung maupun tidak langsung

dengan penelitian. Dalam menyusun bab ini, penulis mencari dan

menganalisis berbagai sumber bacaan yang diperoleh dari berbagai

sumber, melalui peraturan perundang-undangan, buku, artikel

hukum, jurnal hukum, situs internet. Manfaat dari bab ini adalah

membantu dan mempermudah penulis untuk menggunakan pisau

analisis yang tepat terhadap hasil penelitiannya kedalam

pembahasan permasalah dari penelitian tersebut.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan terkait dengan metode-metode ilmiah yang

digunakan agar mendapatkan informasi yang valid, tujuannya

adalah dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, dengan

suatu pengetahuan tertentu sehingga pada saat tertentu dapat

digunakan sebagai media untuk memahami, memecahkan, dan

mengantisipasi masalah. Komponen dalam bab ini terdiri dari jenis

22

penelitian, pendekatan penelitian yang digunakan, jenis dan

sumber bahan hukum, teknik memperoleh bahan hukum, serta

teknik analisis bahan hukum.

BAB IV : HASIL & PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab yang menjadi pokok bahasan dari suatu

penelitian. Bab Hasil dan Pembahasan berisi uraian-uraian tentang

hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis

sehubungan dengan topik permasalahan yang sudah dirumuskan

sebelumnya. Hasil dan pembahasan ini disusun secara sistematis

dan praktis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh

penulis.

BAB V : PENUTUP

Sebagai bab terakhir, penutup terdiri dari kesimpulan yang

merupakan gagasan dan ide penulisan penelitian ini yang

dinyatakan secara keseluruhan yang didasarkan pada rumusan

masalah dan pembahasannya. Kesimpulan tersebut akan

mempermudah para pembaca untuk mengetahui secara ringkas dan

jelas apa yang menjadi inti dari permasalahan yang dibahas oleh

penulis. Selain itu, bab ini juga berisi saran-saran yang selanjutnya

dapat digunakan untuk melengkapi dan menyempurnakan jawaban

permasalahan penulisan penelitian tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Yurisdiksi Negara

a. Pengertian Yurisdiksi

Yurisdiksi merupakan suatu atribut kedaulatan suatu negara.1

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap

orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas wilayahnya.2

Cassese mendefinisikan jurisdiksi sebagai kewenangan pemerintah pusat

dari suatu Negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik terhadap

individu-individu yang berada di dalam wilayahnya.3

Yurisdiksi merupakan suatu refleksi dari prinsip dasar kedaulatan

negara, persamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan suatu

negara terhadap urusan domestik negara lain.4 Prinsip-prinsip tersebut

tersirat dari adagium hukum “par in parem non habet imperium”5.

Artinya, para pihak (negara) yang sama kedudukannya tidak mempunyai

yurisdiksi terhadap pihak lainnya (“equals do not have jurisdiction over

each other”).6

1 Rebecca M. Wallace, op.cit.

2 Huala Adolf, op.cit, hlm. 163.

3 Antonio Cassese, International Law, Oxford: Oxford U.P., 2

nd.ed., 2005, hlm. 49.

Dikutp ulang oleh Huala Adolf, Ibid. 4 Hans Kelsen, Principles of International Law, New York: Rinehart & Co., 1956, hlm.

235. Ibid. 5 Prinsip ini merupakan prinsip imunitas yang lahir dari prinsip kedaulatan negara yang

terdapat dalam pasal 2 ayat (1) Piagam PBB. 6 Huala Adolf, op.cit.

Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet

imperium” memiliki beberapa pengertian:7

1. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui

pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara

tersebut menyetujuinya;

2. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional

tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan

anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut;

3. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan suatu

tindakan negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayahnya.8

b. Bentuk-bentuk Yurisdiksi

Yurisdiksi suatu negara di dalam wilayahnya dapat terbagi atau

tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan negara sebagai berikut:9

1) Prescriptive Jurisdiction atau Legislative Juriscdiction, Maksud dari

Prescriptive Jurisdiction adalah kekuasaan membuat peraturan atau

perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang

atau atau peristiwa hukum di dalam wilayahnya.10

7 Huala Adolf, op.cit.,hlm. 164.

8 Ibid.

9 Ibid.

10 Yurisdiksi Preskriptif dapat pula berlaku pada tindakan negara dalam membuat

peraturan perundang-undangan yang sifatnya ekstrateritorial (extraterritorial legislative) , yaitu

peraturan perundangn-undangan yang diberlakukan terhadap warganya diluar negeri. Contoh

peraturan perundang-undangan seperti ini dalam hukum internasional UU untuk melaksanakan

yurisdiksi universal .

2) Judicial Jurisdiction (Yurisdiksi Pengadilan), Maksud dari yurisdiksi ini

adalah kekuasaan (pengadilan) untuk mengadili orang (subyek hukum)

yang melanggar peraturan atau perundang-undangan.11

3) Enforcement Jurisdiction (Yurisdiksi Penegakan), Enforcement

Jurisdiction ialah kewenangan negara untuk memaksa atau menegakkan

(enforce) hukum agar subyek hukum di dalam wilayah negaranya mentaati

peraturan (hukum) tersebut.12

c. Prinsip-prinsip Yurisdiksi

Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip yurisdiksi

berikut:13

1) Yurisdiksi Teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap persoalan

atau kejadian di dalam wilayahnya.14

Prinsip ini adalah prinsip yang

paling penting dan mapan dalam hukum internasional.15

Prinsip teritorial

ini terbagi dua, yaitu suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan

berakhir di negara lain.

11

Lihat, Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford U.P., 3rd

. ed., 1979,

hlm. 298; Greg, International Law, London: Butterworths, 2nd

. ed., 1976, hlm. 211; Shaw,

International Law, London: Butterworths, 2nd

. ed., 1986, hlm. 342. Antonio Cassese

menyebutkan “Jurisdiction to Adjudicate (Antonio Cassese, op.cit.,hlm. 49). Dikutip ulang oleh

Huala Adolf, op.cit. 12

Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht: Martinus

Nijhoff Publishers, 1991, hlm. 255. Beberapa sarjana hanya membedakan atau membagi kategori

yurisdiksi negara menjadi dua bentuk, yaitu yurisdiksi preskriptif atau legislatif dan yurisdiksi

penegakan (Enforcement Jurisdiction). Lihat misalnya, D.J. Harris, Cases and Materials on

International Law, London: Sweet & Maxwell, 4th

.ed., 1998, hlm. 264. Ibid. 13

Huala Adolf, op.cit.,hlm. 166. 14

Ibid. 15

Dickinson, Introductory Comment to the Harvard Research Draft Convention on

Jurisdiction with respect to Crime 1935, 29 A.J.I.L., Supp. 44 (1935), sebagaimana dikutip D.J.

Harris, op.cit., hlm. 264. Ibid.

Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini:16

a) Hak Lintas Damai di Laut Teritorial. Prinsip yurisdiksi teritorial yang

dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan

dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil

Konferensi Kodifikasi Hukum Laut Den Haag 1930.17

b) Kapal Berbendera Asing di Laut Teritorial. Kapal perang dan kapal

pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial ini hanya

tunduk kepada yurisdiksi legislatif (Legislative Jurisdiction) negara

pantai.18

c) Pelabuhan. Suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu negara,

maka kapal tersebut berada dalam kedaulatan teritorial suatu negara

pantai. Karena itu pula negara pantai berhak untuk menegakkan

hukumnya terhadap kapal dan awak kapalnya. 19

d) Orang Asing. Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing

sama halnya dengan yurisdiksi teritorial negara terhadap warga-

negaranya.20

e) Pengecualian terhadap Yurisdiksi Teritorial

Dalam hal-hal tertentu, yurisdiksi teritorial dapat kebal. Artinya, tidak

berlaku terhadap:21

16

Huala Adolf, op.cit.,hlm. 169. 17

Dalam konferensi diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut

yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi kriminal (pidana) dan yurisdiksi perdata. 18

R.R. Chruchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester University Press,

1983, hlm. 77. Dikutip ulang Huala Adolf, op.cit.,hlm. 171. 19

Huala Adolf, op.cit.,hlm. 172. 20

Huala Adolf, op.cit.,hlm. 173.

a. Negara-negara asing dan Kepala Negara Asing;

b. Perwakilan-perwakilan Diplomatik dan Konsuler;

c. Kapal Pemerintah Negara Asing;

d. Angkatan Bersenjata Negara Asing; dan

e. Organisasi Internasional.

2) Yurisdiksi Personal, suatu negara dapat mengadili warga-negaranya

karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya adalah

kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada

warga-negaranya di luar negeri.22

3) Yurisdiksi Perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisidiksinya

terhadap warga-negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri

yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan

kemerdekaan negara.23

Menurut Bernard Oxman, tujuan prinsip ini adalah

untuk melindungi fungsi-fungsi kepemerintahan (governmental functions)

suatu negara.24

4) Yurisdiksi Universal, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak

kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir

tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang

melakukan kejahatan.25

Maryan Green berpendapat bahwa terhadap

kejahatan-kejahatan seperti ini, selain memiliki yuisdiksi, negara-negara

21

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,

Jakarta, 2010, hlm. 278. 22

Martin Dixon, op.cit.,hlm. 195; Akehurst, op.cit.,hlm. 118. Dikutip ulang oleh Huala

Adolf, op.cit.,hlm. 188 23

Ibid, hlm. 190. 24

Ibid, hlm. 191. 25

Ibid, hlm. 194.

pun memiliki hak, bahkan kewajiban untuk menghukumnya.26

Lahirnya

prinsip yurisdiksi ini terhadap kejahatan yang merusak (destruktif)

terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena

tidak adanya badan peradilan yang khusus mengadili kejahatan yang

dilakukan oleh orang perorangan (individu).

2. Transboundary Haze Pollution

Secara umum, definisi dari Haze Pollution adalah sebagai berikut: “haze

pollution means the direct or indirect alteration of the environtment: a) to its

detriment or degradation or potential detriment or degradation; or b) to the

detriment or potential detriment of its use or other environtmental value,

which is of a wide scale and involves smoke resulting from any land or forest

fire wholly outside Singapore.”27

Secara umum, haze pollution merupakan

pencemaran atau polusi yang terjadi dalam suatu negara atau daerah, namun

akibat dari pengaruh cuaca, atmosfer,28

dan biosfer29

menyebabkan polusi atau

pencemaran tersebut menyebar dan memasuki wilayah negara atau daerah lain

serta mengganggu aktivitas, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya di

negara yang terkena dampak.30

26

NA. Maryan Green, International Law: Peace, 1978, hlm. 157. Dikutip ulang oleh

Huala Adolf, ibid. 27

Article 1 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. 28

Atmosfer merupakan lapisan gas yang berada di luar bumi yang berfungsi untuk

melindungi bumi sekaligus menjaga kestabilan suhu, cuaca dan kelembaban udara yang ada di

dalam bumi. 29

Biosfer merupakan lapisan keseluruhan bumi yang paling tipis dan merupakan sistem

kehidupan dan organisasi terkompleks di dunia yang hanya ada satu-satunya seperti biosfer di

sistem tata surya. 30

Agustia Purba. Kepentingan Indonesia tidak meratifikasi Asean Agreement On

Transboundary Haze Pollution Tahun 2002-2012. Jurnal Online Mahasiswa, Vol. 1 Nomor 2

(2014) Universitas Riau, 2013. hlm. 2.

Sedangkan menurut AATHP bahwa “ transboundary haze pollution

means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part

within the area under the national jurisdiction of one Member State and which

is transported into the area under the jurisdiction of another Member

State.”31

Dengan demikian yang dimaksud dengan polusi asap lintas batas

tersebut adalah pencemaran udara yang berasal baik seluruh atau sebagian dari

suatu negara yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah yang berada

dibawah jurisdiksi negara lain.32

3. Kedaulatan Negara

a. Pengertian Kedaulatan Negara

Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara

untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal

saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.33

Kedaulatan adalah nilai dari suatu negara yang paling rawan untuk

dipertahankan, karena menyangkut eksistensi dan kemampuan negara tersebut

untuk menghadapi berbagai tantangan global.34

Sesuai konsep hukum

internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu :35

31

Article 1 paragraph 13 ASEAN Transboundary Haze Pollution Act. 32

Akbar Kurnia Putra, Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum

Lingkungan Internasional, 2015, hlm. 96. 33

Boer Mauna, Op.cit., hlm. 24. 34

Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 29. 35

Nkambo Mugerwa, Subjects of International Law,Edited by Max Sorensen, Mac

Millan, New York, 1968, p. 253, Dikutip ulang dalam buku Boer Mauna, Op.cit.

a. Aspek ekstern, kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara

bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-

kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.

b. Aspek intern, kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara

untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-

lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang

diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.

c. Aspek teritorial, kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang

dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat

di wilayah tersebut.

b. Macam-macam Kedaulatan Negara

Kedaulatan secara konseptual bisa dikelompokkan dalam beberapa

kategori, terutama dalam bidang kajian politik, seperti kedaulatan rakyat,

kedaulatan hukum, kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja, dan lain lain

sebagainya.36

Namun secara kategoris, kedaulatan dapat dikelompokkan

menjadi dua, yakni kedaulatan berdasarkan jangkauan pelaksanaannya dan

kedaulatan dilihat dari sisi wilayahnya.37

Kedua kelompok tersebut

merangkum berbagai deskripsi detail mengenai kedaulatan, baik dalam

konteks ilmu politik38

maupun dalam konteks hukum internasional, terutama

yang terkait dengan persoalan teritori dan kedaulatan negara.39

36 Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 30 37

Ibid. 38

Menurut Bluntchli, Garner, dan Frank Goodnow bahwa ilmu politik adalah ilmu yang

mempelajari tentang lingkungan kenegaraan. 39

Saru Arifin, Op.cit.

1) Kedaulatan Berdasarkan Jangkauan (Scope)

Kedaulatan negara dilihat dari jangkauan pelaksanaannya, dibagi menjadi

dua jenis kedaulatan, yaitu internal dan eksternal.40

Pengertian kedaulatan

secara internal adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara di wilayahnya.41

Pengertian kedaualatan atas wilayah ini adalah kewenangannya sebatas dalam

wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya.42

Sementara

itu, pengertian kedaulatan secara eksternal adalah kemampuan negara untuk

melakukan hubungan internasional.43

2) Kedaulatan Berdasarkan Konsep wilayah (Territory)

Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki oleh suatu

negara dalam melaksanakan yurisdiksi (kewenangan) secara eksklusif di

wilayah negaranya, yang mana di dalam wilayah tersebut negara memiliki

wewenang penuh untuk melaksanakan dan menegakkan hukum nasionalnya.44

4. Tanggung Jawab Negara Dalam Perjanjian Internasional

a. Pengertian Tanggung Jawab Negara

Meskipun suatu negara adalah berdaulat, namun dengan adanya

kedaulatan tersebut tidaklah berarti negara bebas dari tanggung jawab.45

Dalam bahasa inggris, “responsibility” berasal dari kata “response” (tindakan

40

Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 32 41

Ibid. 42

Ibid. 43

Ibid. 44

Saru Arifin, op.cit.,hlm. 33. 45

Huala Adolf, op.cit.,hlm. 203.

untuk merespons suatu masalah atau isu) dan “ability” (kemampuan).46

Responsibility sering diartikan dengan “ikut memikul beban” akibat suatu

perbuatan.47

Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung

jawab (responsibility) dapat diartikan sebagai “wajib menanggung segala

sesuatunya”, atau terjadi sesuatu dapat dipersalahkan, dituntut, diancam

hukuman pidana oleh penegak hukum di depan pengadilan pidana, menerima

beban akibat tindakan sendiri atau orang lain.48

Hukum tentang tanggung jawab negara terkait dengan yurisdiksi

negara.49

Hukum tentang yurisdiksi negara adalah hukum yang mengatur

kekuasaan negara untuk melakukan suatu tindakan (dalam hal ini pelaksanaan

yurisdiksi). Sedangkan hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum

mengenai kewajiban negara yang timbul manakala negara telah dan tidak

melakukan suatu tindakan.50

b. Implementasi Perjanjian Internasional

Suatu perjanjian internasional pada dasarnya dianggap sebagai suatu

proses tukar menukar kewajiban.51

Oleh karenanya implementasi suatu

perjanjian internasional diartikan sebagai menambahkan atau memasukkan

suatu kewajiban baru yang tidak ada sebelumnya ke dalam hukum negara-

46

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar Edisi Kedua, Rajawali Pers,

Jakarta, 2010, hlm. 253. 47

Ibid. 48

Ibid. 49 Huala Adolf, op.cit. 50

Ibid. 51 Kholis Roisah, Hukum Perjanjian Internasional : Teori dan Praktik, Setara Press,

Malang, 2015, hlm. 88.

negara yang menjadi pihak peserta perjanjian.52

Konsekuensi ikut sertanya

suatu negara dalam suatu perjanjian internasional adalah kesediaannya untuk

mengimplementasikan ke dalam hukum nasional.53

Adapaun yang dimaksud implementasi atau penerapan perjanjian

internasional pada peraturan perundang-undangan adalah membuat ketentuan-

ketentuan untuk menampung ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

perjanjian yang telah diterima.54

Tanpa adanya perundang-undangan nasional

yang menampung ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian dimana

suatu negara menjadi pihak di dalamnya, maka perjanjian tersebut tidak ada

gunanya. Tidak ada gunanya suatu negara yang telah ikut membuat dan

mengesahkan perjanjian/konvensi tanpa ada tindak lanjutnya didalam

negerinya.55

c. Penafsiran dalam Perjanjian Internasional

Terdapat beberapa prinsip-prinsip dan azas-azas yang telah digunakan

oleh para sarjana untuk melakukan penafsiran (Interpretation) dalam hukum

Internasional. Bahkan sebagian besar azas-azas atau prinsip-prinsip tersebut

telah dikodifikasikan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional. Azas-azas hukum internasional tentang penafsiran perjanjian

dikenal 3 (tiga) “school of thoughts” atau aliran, yaitu:56

52

Ibid. 53

Ibid. 54

Ibid. 55

Ibid. 56

Ibid, hlm. 75

1. Preparatory work/travaux preparatories, aliran yang berpegang pada

kehendak para pembuat perjanjian terlepas dari teks perjanjian itu.

Aliran ini menggunakan dengan secara luas pekerjaan pendahuluan

dan bukti-bukti lain yang menggambarkan kehendak para pihak.57

2. Textual School, aliran yang menghendaki bahwa kepada naskah

perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim diberikan dan yang

terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the

words).58

Unsur penting dari aliran ini adalah naskah perjanjian itu

baru kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek

dan tujuan dari perjanjian itu.59

Aliran ini tidak menolak relevansi

daripada pernyataan dan kehendak-kehendak para pihak, namun

berdasarkan fakta bahwa baskah merupakan hasil terakhir dari

perundingan suatu perjanjian, maka seyogyanyalah naskah perjanjian

itu yang terpenting.60

3. Teleological School, penafsiran ini menitikberatkan pada interpretasi

dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang

berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula para pembuat

perjanjian.61

57

Ibid. 58

Ibid. 59

Ibid. 60

Ibid, hlm. 76. 61

Ibid.

d. Asas-asas dalam Perjanjian Internasional

Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara

luas dan mendasari adanya suatu norma hukum.62

Di dalam perjanjian

internasional juga terdapat asas-asas yang dijadikan sebagai landasan dalam

pelaksanaannya.63

Asas-asas tersebut yaitu:

1) Pacta Sunt Servanda, merupakan asas yang paling fundamental bahwa

perjanjian internasional mengikat para pihak sebagaimana undang-

undang bagi yang membuatnya.64

2) Rebus Sic Stantibus, perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya

untuk melaksanakan pada masa yang akan datang harus diartikan

tunduk kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan dimasa

yang akan datang tetap sama.65

3) Good Faith, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.66

5. Singapore Transboundary Haze Pollution Act. No. 24 of 2014

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 merupakan

undang-undang nasional Singapura yang mengatur tentang perilaku yang

menyebabkan atau berkontribusi terhadap polusi kabut asap di Singapura.67

62

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 36. 63

Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian

Internasional, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2009, hlm. 157. 64

Ibid. 65

Sejak abad XII dan XII ahli hukum mengenal asas ini dalam bahasa latin yaitu:

“contractus qui habent tractum succesivum et dependentian de futuro rebus sic stantibus

intelliguntur”. 66

Jawahir Thontowi, op.cit., hlm. 108. 67

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24/2014.

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dibentuk pada

tanggal 5 Agustus 2014 oleh parlemen Singapura. Singapore Transboundary

Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dibentuk dengan tujuan untuk mencegah

dan mengadili mereka yang bertanggung jawab atas polusi asap di Singapura,

dan tidak diarahkan pada individu atau perusahaan manapun berdasarkan

kewarganegaraan.68

Undang-undang ini memuat ketentuan mengenai kewenangan

ekstrateritorial bagi setiap tindakan dari dalam ataupun dari luar Singapura

yang menimbulkan dampak berupa pencemaran asap atas wilayah Singapura

yang diperjelas dalam pasal 4.69

Selain itu, undang-undang ini juga memuat

mengenai langkah-langkah pencegahan, mengurangi atau pengendalian asap

berupa timbulnya polusi udara di langit Singapura, berdasarkan informasi

satelit, kecepatan arah angin dan informasi yang didapatkan dari badan

metereologi.70

4. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

Pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan

dan Sumatera yang termasuk wilayah negara Indonesia dan menimbulkan

pencemaran asap yang bukan hanya terjadi di wilayah Indonesia, tetapi juga

68 http://www.channelnewsasia.com/news/singapore/transboundary-haze-pollution-act-

not-about-national-sovereignty--7996876 diakses pada tanggal 31 Mei 2017 69

Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution No. 24 of 2014. 70

Grizelda, Marsudi Triatmojo, Penerapan Yurisdiksi Esktratorial Dalam Singapore

Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014) Akibat Kabut Asap Dari Kebakaran

Hutan di Indonesia, Universitas Gajah Mada, 2015, hlm. 8.

menyebar ke wilayah negara Singapura dan Malaysia.71

Kejadian ini yang

kemudian mendorong negara-negara ASEAN untuk membahas masalah

tersebut dan menuangkannya dalam Hanoi Plan of Action 1997. Hanoi Plan

of Action 1997 berisi upaya mengatasi masalah pencemaran asap lintas

sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan.72

Anggota ASEAN kemudian

sepakat untuk memformalkan Hanoi Plan of Action 1997 agar lebih efektif

dengan membentuk (AATHP) pada tahun 2002.73

AATHP merupakan wujud komitmen bersama seluruh negara ASEAN

untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran asap lintas batas sebagai

akibat dari kebakaran hutan dan lahan.74

AATHP ditanda tangani oleh seluruh

negara ASEAN pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kemudian

AATHP resmi berlaku pada 25 November 2003. Alasan dibentuknya AATHP

adalah untuk meningkatkan kerjasama regional serta melindungi Human

Security75

masyarakat masing-masing negara anggota ASEAN.76

Human

Security berfungsi untuk melindungi inti vital semua kehidupan manusia

dengan cara meningkatkan kebebasan manusia dan pemenuhan kebebasan

71

Siciliya Mardian Yo’el, Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution Dalam Penanggulangan Pencemaran Asap Lintas Batas di ASEAN, Universitas

Islam Kediri, 2016, hlm. 330. 72

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution. 73

Siciliya Mardian Yo’el, op.cit. 74

Ibid, hlm. 331. 75

Human Security berarti melindungi kebebasan fundamental atau kebebasan yang

merupakan inti kehidupan. 76

Mukhammad Syaifulloh. Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution. Universitas Jember. 2013. Hlm. 2.

manusia.77

Alasan lain mengapa AATHP ini perlu dibentuk adalah munculnya

ancaman dalam Environment Security78

yaitu gangguan dalam lingkungan

hidup yang terjadi berupa ancaman terhadap terjadinya longsor karena pohon-

pohon yang seharusnya mampu menahan erosi telah habis terbakar sehingga

apabila hujan turun maka tidak ada lagi penyangga yang melindungi dari

longsor.79

Dalam AATHP, pernyataan pengikatan diri oleh negara peserta untuk

menjadi pihak yang tunduk dalam aturan AATHP harus dilakukan dengan

ratifikasi.80

Ratifikasi adalah penegasan kembali bahwa negara yang terlibat

dalam perjanjian internasional tersebut menyatakan diri tunduk dan terikat

dalam aturan-aturannya.81

AATHP mulai berlaku pada 25 November 2003

setelah Brunei Darussalam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan

Vietnam meratifikasi persetujuan tersebut dan menyerahkan instrument

ratifikasinya kepada sekretariat ASEAN.82

Singapura menjadi negara kedua

yang meratifikasi AATHP setelah Malaysia, ratifikasi dilakukan oleh

Singapura pada tanggal 13 Januari 2013, dan melakukan penyerahan deposit

of Instrument of ratification sehari setelahnya.83

Sedangkan Indonesia baru

77

United Nations Trust Fund for Human Security, Human Security in Theory and

Practice: An Overview of the Human Security Concept and the United Nations Trust Fund for

Human Security, Human Security Unit of United Nations, New York, hlm. 5. 78

Environment Security adalah hubungan antara lingkungan dan keamanan manusia serta

alam yang telah menjadi objek penelitian dikarenakan lingkungan telah menjadi isu transnasional

dan keamanannya adalah dimensi penting dari perdamaian, keamanan nasional, dan hak asasi

manusia. 79

Ibid. 80

Article 28 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 81

Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, Setara Pers,

Malang, 2014, hlm. 3. 82

Siciliya Mardian Yo’el, op.cit. 83

Syahriani Firmayanti, op.cit.

meratifikasi AATHP pada 16 September 2014 dibuktikan dengan adanya

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang

Pencemaran Asap Lintas Negara) dan menyerahkan instrument ratifikasinya

ke sekretariat ASEAN pada 20 Januari 2015.84

84

Siciliya Mardian Yo’el, op.cit., hlm. 332.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini jenis penelitian yang digunakan adalah Yuridis

Normatif, atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum.1 Penelitian yuridis normatif

yang dimaksud adalah bahwa permasalahan hukum yang menjadi objek

kajian, yaitu mengenai tinjauan legalitas Singapore Transmoundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP). Berdasarkan penelitian yang

penulis teliti, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan

penelitian kepustakaan.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan hukum

tertulis (Statute Approach).2 Peraturan hukum tertulis yang digunakan adalah

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dan Piagam

ASEAN. Pendekatan peraturan hukum tertulis yang digunakan dalam

penelitian ini dengan tujuan sebagai dasar melakukan analisis.3 Pendekatan

peraturan hukum tertulis (Statute Approach) ini dilakukan untuk meneliti

1 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 13-14. 2 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Jakarta, 2004, hlm. 57. 3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 93.

aturan tertulis yang terdapat dalam hukum internasional yang mengatur

mengenai legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of

2014 ditinjau dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

(AATHP) Tahun 2002.

C. Jenis dan Bahan Hukum

Bahan hukum yang akan dikaji atau menjadi acuan berkaitan dengan

permasalahan dalam penelitian ini yaitu :4

a) Bahan Hukum Primer, peraturan hukum tertulis dalam hukum

internasional yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

(AATHP).

b) Bahan Hukum Sekunder, data kepustakaan yang dipakai untuk

mendukung bahan hukum primer, yaitu : jurnal, media massa, artikel-

artikel terkait.

c) Bahan Hukum Tersier, bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang

hukum. Termasuk bahan hukum ini adalah Kamus Bahasa Indonesia,

Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian normatif, penelusuran bahan hukum primer,

sekunder, atau tersier yang dilakukan melalui studi kepustakaan di Pusat

Dokumentasi Informasi Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas

4 Umu Hilmy, Metodologi Penelitian Dari Konsep Ke Metode : Sebuah Pedoman

Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang, Fakultas Hukum Brawijaya,

2000, hlm. 35.

Brawijaya dan Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya, serta melalui online

survey (akses internet).

E. Teknik Analisa Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan pada penelitian ini yaitu

teological school. Teological School merupakan metode penafsiran dalam

perjanjian internasional yang menitikberatkan pada interpretasi dengan

melihat maksud dan tujuan dalam perjanjian internasional.5

F. Definisi Konseptual

1) Legalitas

Legalitas atau legal status merupakan kedudukan hukum antara

hukum nasional dan hukum internasional dalam suatu negara yang

berdaulat. Legalitas akan melihat hubungan antara hukum nasional dan

hukum internasional dalam penerapannya disuatu negara. Dalam

perkembangannya, terdapat 2 (dua) doktrin yang sangat berpengaruh

dalam hubungan hukum nasional dan hukum internasional, yaitu :6

Pertama, doktrin yang menempatkan perjanjian internasional yang telah

diratifikasi sebagai bagian dari hukum nasional. Kedua, perlunya legislasi

nasional tersendiri untuk menerapkan perjanjian internasional yang telah

disahkan.

5 Kholis Roisah, op.cit., hlm. 76.

6 Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional : Pengertian, Status Hukum dan

Ratifikasi, PT. Alumni, Bandung, 2011, hlm, 267.

2) Yurisdiksi Negara

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara

terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas

wilayahnya.

3) Transboundary Haze Pollution

Transboundary Haze pollution merupakan pencemaran atau polusi

yang terjadi dalam suatu negara atau daerah, namun akibat dari pengaruh

cuaca, atmosfer, dan biosfer menyebabkan polusi atau pencemaran

tersebut menyebar dan memasuki wilayah negara atau daerah lain serta

mengganggu aktivitas, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya di

negara yang terkena dampak.

4) Kedaulatan Negara

Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu

negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai

kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan

hukum internasional.7 Kedaulatan adalah nilai dari suatu negara yang

paling rawan untuk dipertahankan, karena menyangkut eksistensi dan

kemampuan negara tersebut untuk menghadapi berbagai tantangan global.

7 Boer Mauna, op.cit.,hlm. 24.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution No. 24 of 2014

Ditinjau Dari Kaidah-Kaidah dalam Hukum Internasional

1. Teori-Teori Kedaulatan Negara dan Yurisdiksi Proteksi Negara

Dalam Hukum Internasional.

a. Teori Kedaulatan Dalam Hukum Internasional

Kedaulatan merupakan sebuah konsep utama dalam hukum

internasional.1 Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh

suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai

kepentingannya asal kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum

internasional.2 Berdasarkan konsep dalam hukum internasional,

kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu :3

a. Aspek ekstern, kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara

bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau

kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan

dari negara lain.

b. Aspek intern, kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu

negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja

1 John Martin Gillroy, An Evolutionary Paradigm For International Law:

Philosophical Method, David Hume, and the Essense of Sovereignty, University Lehigh, New

York, 2013, hlm. 1. 2 Boer Mauna, op.cit.

3 Nkambo Mugerwa, Subjects of International Law,Edited by Max Sorensen, Mac

Millan, New York, 1968, p. 253. Ibid.

lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang

yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.

c. Aspek teritorial, kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif

yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda

yang terdapat di wilayah tersebut.

Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang

dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya.

Di dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan

hukum nasionalnya.4 Pada prinsipnya, fungsi dan pelaksanaan kedaulatan

dilaksanakan di dalam wilayah negara tersebut. Sehingga semua orang,

benda ataupun perisitiwa hukum yang terjadi di suatu wilayah pada

prinsipnya tunduk pada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah

tersebut. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang bersifat monopoli

atau Summa Potestas atau Supreme Power yang hanya dimiliki oleh

negara.5 Maka berlakukah sebuah prinsip yaitu: “Qui in territorio meo est,

etiam meus subditus est.”6.

b. Batasan dalam Kedaulatan Negara

Kedaulatan yang merupakan sebuah kekuasaan tertinggi suatu negara

mengartikan bahwa di atas kedaulatan tidak ada lagi kekuasaan yang lebih

tinggi. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa

4 Huala Adolf, op.cit., hlm. 107

5 Ibid.

6 Qui in territorio meo est, etiam meus subditus : “jika seseorang berada di wilayah saya,

maka ia juga tunduk pada saya.” Hans Kelsen, op.cit., hlm. 216. Huala Adolf, ibid.

suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara

lain.7 Akan tetapi, hal ini tidak dapat diartikan bahwa kedaulatan itu tidak

ada yang membatasinya atau kedaulatan diartikan tidak terbatas sama

sekali.8 Kedaulatan bersifat tidak mutlak. Terdapat batasan-batasan yang

melekat menurut hukum internasional, yaitu:9

1) Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar

dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara

lain.

2) Suatu negara yang memiliki kedaulatan teriotial juga memiliki

kewajiban untuk menghormati kedaulatan teritorial negara lain.

Kedaulatan negara yang seperti diketahui merupakan kekuasaan

tertinggi dari suatu negara. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara

menunjukkan bahwa negara tersebut adalah merdeka atau tidak tunduk

pada kekuasaan negara lain. Namun hal ini tidak bisa diartikan bahwa

kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau sebagai tidak terbatas sama

sekali. Pembatasannya sendiri adalah hukum, baik hukum nasional

maupun hukum internasional.10

Prinsip kedaulatan negara dalam

hubungan internasional sangatlah dominan.11

Negara berdaulat yang satu

tidak tunduk pada negara yang berdaulat yang lain. Meskipun demikian,

tidaklah berarti bahwa negara dapat menggunakan kedaulatan itu tanpa

7 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 345.

8 Ibid.

9 Huala Adolf, op.cit., hlm. 111.

10 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 345.

11 Sefriani, op.cit., hlm. 253.

batas. Hukum internasional telah mengatur bahwa di dalam kedaulatan

terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan

tersebut.12

Karenanya, suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban

untuk tindakan-tindakan atau kelalaiannya yang melawan hukum.13

Mahkamah internasional menyatakan “Between independent states,

respect for territorial sovereignty is an essential foundation of

international relations.”14

yang artinya bahwa di antara negara-negara

yang merdeka, penghormatan terhadap sesama kedaulatan teritorial

merupakan dasar yang penting untuk hubungan internasional. Pernyataan

Mahkamah Internasional pun sejalan dengan isi dari pasal 2 Piagam

ASEAN, yaitu : 15

“ASEAN and its Member States shall act in accordance with the

following Principles:

(a) Respect for the independence, sovereignty, equality, territorial

integrity and national indentity of all ASEAN Member States.”

Pada pasal 2 ayat 2 (a) Piagam ASEAN ini dengan tegas menjelaskan

bahwa seluruh negara anggota ASEAN harus bertindak dengan prinsip

menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial

dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN. Ketika kedaulatan

negara dihadapkan pada 2 landasan ini yaitu prinsip-prinsip umum

12

Ibid. 13

Tindakan ini di definisikan sebagai sebuah tanggung jawab (responsibility) yang

mempunyai makna sebuah tindakan yang bersifat sukarela, karena rspons yang dilakukan

disesuaikan dengan ability yang bersangkutan. Responsibility juga sering diartikan sebagai sebuah

kewajiban; kewajiban memperbaiki. 14

The Corfu Channel Case, ICJ Report 1949, p. 35; S.T. Bernardez, op.cit., hlm. 491.

Dikutip ulang oleh Huala Adolf, op.cit., hlm. 112. 15

Article 2 paragraph 2 (a) The ASEAN Charter.

kedaulatan negara dalam hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam

perjanjian internasional, maka kedaulatan negara ini akan dilihat dari daya

mengikatnya prinsi-prinsip tersebut terhadap suatu negara. Pada prinsip-

prinsip umum tidak ada tolak ukur dan pembuktian bahwa suatu negara

tunduk dan terikat pada prinsip-prinsip umum tertentu dalam hukum

internasional. Berbeda halnya dengan prinsip-prinsip dalam perjanjian

internasional, suatu negara yang meratifikasi perjanjian internasional maka

dinyatakan tunduk dan terikat pada hal-hal yang diatur dalam perjanjian

internasional tersebut, disinilah kedaulatan suatu negara dapat runtuh

ketika negara tersebut terikat dalam sebuah perjanjian internasional.

Karena makna sebuah ratifikasi adalah penundukan diri suatu negara

kepada kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian internasional.

Sehingga jelas terlihat bahwa batasan kedaulatan suatu negara adalah

prinsip-prinsip yang terkandung dalam perjanjian internasional yang

diratifikasi oleh negara tersebut. Artinya, perjanjian internasional

didahulukan dari prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum

internasional.

Perbandingan Terikatnya Negara Terhadap Prinsip-Prinsip Hukum

Umum dan Prinsip-Prinsip Hukum Khusus Dalam Hukum Internasional

Prinsip-Prinsip Hukum

Umum

Prinsip-Prinsip Hukum Khusus

Bentuk Teori-teori umum

kedaulatan negara.

Prinsip-prinsip dalam Perjanjian

Internasional.

Dasar

Terikatnya

Tidak ada tolak ukur yang

dapat membuktikan

terikatnya suatu negara

terhadap prinsip-prinsip

hukum umum.

Negara terikat pada prinsip-prinsip dalam

perjanjian internasional dibuktikan

dengan ratifikasi. Kewajiban dari suatu

negara ketika meratifikasi perjanjian

internasional adalah tunduk pada prinsip-

prinsip dalam perjanjian internasional.

Prinsip-prinsip hukum umum dan perjanjian internasional merupakan

sumber hukum internasional yang memiliki daya mengikat yang tentunya

berbeda. Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice16

juga telah

mengatur mengenai tata urutan pemakaian atau pendahuluan sumber-

sumber hukum internasional ketika masing-masing sumber hukum

mengatur mengenai hal yang sama dan terjadi bersinggungan. Bagaimana

tata urutan (order) sumber-sumber hukum antara kebiasaan, konvensi,

keputusan-keputusan arbitrase dan keputusan-keputusan yudisial

berkenaan dengan permasalahan-permasalahan hukum, dan keputusan-

keputusan atau ketetapan-ketetapan organ-organ lembaga internasional

akan digunakan untuk selanjutnya menentukan tata urutan pemakaian

sumber-sumber tersebut.17

Maka tata urutan pemakaian sumber-sumber

16

Statuta Mahkamah Internasional yang berisi tentang sumber-sumber material hukum

internasional. 17

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 65.

hukum ini dalam prakteknya diikuti berdasarkan urutan pada pasal 38 ayat

1 Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:18

1) Konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus

dengan menunjuk pada ketentuan-ketentuan yang jelas diakui oleh

negara-negara yang sedang berselisih;

2) Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek-

praktek umum yang telah diterima sebagai hukum;

3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang

beradab;

4) Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum

yang terpandang di berbagai negara.

Bahwa konvensi internasional, kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum

dianggap lebih utama daripada keputusan-keputusan hakim dan ajaran-

ajaran para ahli hukum.19

Namun ketika menyangkut tiga kategori yang

disebut pertama, maka prioritas akan diberikan kepada konvensi-konvensi

yang secara tegas diakui oleh negara-negara terikat selama konvensi

tersebut tidak bertentangan dengan jus cogens20

. Ketika tidak ada konvensi

internasional yang mengatur mengenai hal atau permasalahan hukum yang

terjadi, maka yang digunakan sebagai sumber dalam menyelesaikan

18

Article 38 (1) Statute of International Court of Justice. 19

J. G. Starke, op.cit., hlm. 66. 20

Jus Cogens merupakan norma-norma hukum internasional yang dalam berlakunya

tidak dapat diubah.

masalah tersebut adalah kebiasaan-kebiasaan internasional, prinsip-prinsip

hukum umum, keputusan-keputusan hakim dan ajaran para ahli hukum.21

c. Teori Yurisdiksi Proteksi Negara

Yurisdiksi merupakan suatu atribut kedaulatan suatu negara.22

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap

orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas wilayahnya.23

Yurisdiksi merupakan suatu refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara,

persamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan suatu negara

terhadap urusan domestik negara lain.24

Prinsip-prinsip tersebut tersirat

dari adagium hukum “par in parem non habet imperium”. Artinya, para

pihak (negara) yang sama kedudukannya tidak mempunyai yurisdiksi

terhadap pihak lainnya (“equals do not have jurisdiction over each

other”).25

Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet

imperium” memiliki beberapa pengertian:26

1) Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui

pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali

negara tersebut menyetujuinya;

21

J. G. Starke, op.cit. 22

Rebecca M. Wallace, op.cit. 23

Huala Adolf, op.cit, hlm. 163. 24

Hans Kelsen, Principles of International Law, New York: Rinehart & Co., 1956, hlm.

235. Ibid. 25

Ibid. 26

Ibid.

2) Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional

tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan

anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut;

3) Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan

suatu tindakan negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayahnya.27

Sedangkan menurut Imre Anthony Csabafi dalam bukunya “The

Consept of State Yurisdiction in International Space Law”,

mengemukakan pengertian tentang yurisdiksi negara dengan menyatakan

“state jurisdiction in public international law means the right of a State or

affect by legislative, executive or judicial measures the rights of persons,

property, acts or event with respect to matters not exclusively of domestic

concern.” Yang artinya adalah bahwa yurisidiksi negara dalam hukum

internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau

mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat

legislatif, eksekutif, atau yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta

kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak

semata-mata merupakan masalah luar negeri.28

Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat dikemukakan secara singkat

dan garis besar unsur-unsur dari yurisdiksi negara tersebut yaitu:29

1) Hak, kekuasaan atau kewenangan. Dalam hal ini sudah jelas bahwa

dengan hak, kekuasaan dan kewenangan ini suatu negara akan dapat

27

Hans Kelsen, op.cit.,hlm. 239. Huala Adolf, op.cit.,hlm. 164. 28

I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 346. 29 Ibid, hlm. 347.

berbuat atau melakukan sesuatu, yang sudah tentu pula harus

berdasarkan atas hukum yaitu hukum internasional.

2) Mengatur (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Hak, kekuasaan dan

kewenangan untuk melakukan sesuatu dalam hal ini adalah untuk

mengatur atau mempengaruhi, di dalamnya mencakup membuat atau

menetapkan peraturan (legislatif); melaksanakan atau menerapkan

peraturan yang telah dibuat atau ditetapkannya itu (eksekutif);

memaksakan, mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum

pihak yang melanggar peraturan tersebut (yudikatif).

3) Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda). Hak negara

untuk mengatur (unsur nomor 1 dan 2) tentulah ditujukan terhadap

suatu obyek yang memang dapat ditundukkan pada peraturan yang

dibuat, dilaksanakan dan dipaksakan oleh negara tersebut. Obyek

tersebut dapat berbentuk peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda,

ataupun perpaduan antara satu dengan lainnya.

4) Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively

of domestic concern). Hal ini erat kaitannya dengan masalah tempat di

mana obyek itu berada atau terjadi. Meskipun dalam kenyataan,

masalah tempat dari obyek ini tidak selalu di luar batas-batas wilayah

negara, sebab boleh jadi mengenai tempat ini mengandung unsur

domestik dan unsur bukan domestik.

5) Hukum Internasional (sebagai dasar atau landasannya). Hak,

kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur obyek yang tidak

semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik itu,

adalah berdasarkan pada hukum internasional. Dengan kata lain,

hukum internasional yang memberikan hak, kekuasaan dan

kewenangan kepada negara itu untuk mengatur obyek yang semata-

mata bukan merupakan masalah domestik itu. Demikian pula, hukum

internasional pula yang membatasinya.

Yurisdiksi suatu negara di dalam wilayahnya dapat terbagi atau

tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan negara sebagai berikut:30

1) Prescriptive Jurisdiction atau Legislative Juriscdiction, Maksud dari

Prescriptive Jurisdiction adalah kekuasaan membuat peraturan atau

perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum

orang atau atau peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan

seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga

sering disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif (Prescriptive

Jurisdiction).31

2) Judicial Jurisdiction (Yurisdiksi Pengadilan), Maksud dari yurisdiksi

ini adalah kekuasaan (pengadilan) untuk mengadili orang (subyek

hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan.32

30

Hans Kelsen, op.cit.,hlm. 239. Huala Adolf, op.cit.,hlm. 164. 31

Yurisdiksi Preskriptif dapat pula berlaku pada tindakan negara dalam membuat

peraturan perundang-undangan yang sifatnya ekstrateritorial (extraterritorial legislative) , yaitu

peraturan perundangn-undangan yang diberlakukan terhadap warganya diluar negeri. Contoh

peraturan perundang-undangan seperti ini dalam hukum internasional UU untuk melaksanakan

yurisdiksi universal . 32

Lihat, Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford U.P., 3rd

. ed., 1979,

hlm. 298; Greg, International Law, London: Butterworths, 2nd

. ed., 1976, hlm. 211; Shaw,

International Law, London: Butterworths, 2nd

. ed., 1986, hlm. 342. Antonio Cassese

3) Enforcement Jurisdiction (Yurisdiksi Penegakan), Enforcement

Jurisdiction ialah kewenangan negara untuk memaksa atau

menegakkan (enforce) hukum agar subyek hukum di dalam wilayah

negaranya mentaati peraturan (hukum) tersebut. Tindakan

pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara. Ada pula

beberapa sarjana yang menyebut yurisdiksi ini sebagai yurisdiksi

eksekutif (executive jurisdiction).33

Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan

ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai

yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar

negeri.34

d. Batasan Yurisdiksi Proteksi Negara

Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat

melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-negara asing yang melakukan

kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan,

keamanan, integritas dan kemerdekaan negara.35

Tujuan dari prinsip ini

menurut Oxman adalah untuk melindungi fungsi-fungsi pemerintahan

menyebutkan “Jurisdiction to Adjudicate (Antonio Cassese, op.cit.,hlm. 49). Dikutip ulang oleh

Huala Adolf, op.cit., hlm. 165. 33

Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht: Martinus

Nijhoff Publishers, 1991, hlm. 255. Beberapa sarjana hanya membedakan atau membagi kategori

yurisdiksi negara menjadi dua bentuk, yaitu yurisdiksi preskriptif atau legislatif dan yurisdiksi

penegakan (Enforcement Jurisdiction). Lihat misalnya, D.J. Harris, Cases and Materials on

International Law, London: Sweet & Maxwell, 4th

.ed., 1998, hlm. 264. Ibid. 34

Huala Adolf, op.cit., hlm. 165. 35

Bernard Oxman, Op.cit., hlm. 280. Bernard Oxman, op.cit., hlm. 280. (Oxman member

contoh misalnya PAsal 3 (1) (c) Convention on the Prevention of Crimes Against Internationally

Protected Person, Including Diplomatic Agents, 4 December 1973). Huala Adolf, op.cit., hlm.

165.

(„governmental funcions‟) suatu negara.36

Namun sampai saat ini pun belum

ada kriteria sampai berapa jauh prinsip perlindungan ini dapat diterapkan

terhadap tindak kejahatan dalam sebuah praktek. Hukum Internasional pun

tidak mengatur secara detail mengenai pembatasan-pembatasan yurisdiksi

negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hukum

internasional.37

Misalnya, siapakah yang menentukan suatu tindakan yang

dilakukan diluar negeri adalah tindakan ancaman terhadap keamanan

negaranya? Apakah negara yang bersangkutan.38

Latar belakang pembenaran

terhadap yurisdiksi ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya

yang tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di

dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan,

integritas dan kemerdekaan negara lain.39

Dibawah status kewarganegaraan

atau dalam prinsip nasionalitas aktif40

, sebuah negara berhak menjalankan

yurisdiksi atas warga negaranya, sekalipun ketika warga negaranya tersebut

ditemukan di luar wilayahnya melakukan tindak kejahatan.41

Bahkan tidak

menjadi perdebatan ketika suatu negara dapat menerapkan yurisdiksinya

terhadap kewarganegaraan terdakwa.42

Meskipun dalam praktiknya sering

terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa negara karena tidak jarang

36

Ibid. 37

Sefriani, op.cit., hlm. 234. 38

Huala Adolf, op.cit., hlm. 165. 39

The Commentary to the Harvard Research Draft Convention, 29 A.J.I.L. Supp. 552

(1935), dikutip oleh D.J. Harris, op.cit., hlm. 288. Ibid. 40

Prinsip Nasionalitas aktif merupakan prinsip dimana negara memiliki yurisdiksi

terhadap warganya yang melakukan kejahatan di luar negeri. 41

Dalam hukum internasional privat, hukum nasional sering mengikuti kewarganegaraan

seseorang yang berada di luar wilayah negaranya sejauh itu menyangkut status pribadinya. Oleh

karena itu, pengadilan dapat menerapkan hukum asing asalkan tidak melanggar undang-undang

kepolisian nasional atau ketertiban umum. 42 John Martin Gillroy, op.cit., hlm. 104.

pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda.43

Karenanya sangat

penting bagi suatu negara untuk membuat aturan tegas mengenai siapa yang

berhak untuk mendapatkan status kewarganegaraan dinegaranya.44

Suatu negara dapat menerapkan yurisdiksi ketika negara tersebut

mempunyai kedaulatan. Negara yang berdaulat adalah negara yang tidak

dalam intervensi45

negara lain. Yurisdiksi seolah-olah tidak terbatas, namun

dalam praktik penerapannya yurisdiksi dikaitkan pada aspek-aspek yang

merupakan benang merah dari yurisdiksi, yaitu: kewenangan hukum negara

terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas

wilayahnya.46

Sehingga batasan dalam yurisdiksi adalah : orang, benda, dan

tempat kejadian. Setiap negara dapat menerapkan yurisdiksinya ketika terjadi

persitiwa hukum, namun jika penerapan yurisdiksi tersebut tidak didasarkan

pada kepentingan negara terhadap orang, benda, dan tempat kejadian, maka

negara tidak dapat menerapkan bentuk yurisdiksi apapun pada suatu peristiwa

hukum.

2. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014

Ditinjau dari Prinsip-prinsip Kedaulatan dalam Hukum

Internasional

43

Sefriani, op.cit., hlm. 228. 44

Ibid. 45

Intervensi merupakan salah satu bentuk turut campur dalam urusan Negara lain yang

bersifat diktatorial, mempunyai fungsi sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa

internasional. 46

Huala Adolf, op.cit, hlm. 163.

Kedaulatan yang diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi suatu

negara memiliki arti bahwa di atas kedaulatan tidak ada lagi kekuasaan yang

lebih tinggi. Namun tidak berarti bahwa kedaulatan tidak ada yang

membatasinya.47

Singapura sebagai negara yang bedaulat memiliki hak dari

aspek intern kedaulatan48

dengan membentuk Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014. Karena alasan dari dibentuknya Singapore

Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 adalah melindungi

kepentingan nasional Singapura. Namun bagi Indonesia Singapore

Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 telah melanggar kedaulatan

Indonesia. Indonesia menganggap mempunyai kedaulatan yang penuh

terhadap permasalahan polusi asap lintas batas yang bersumber dari Indonesia,

hal ini didasarkan pada konsep sebuah kedaulatan yang bersifat monopoli..

Perlu diingat bahwa kedaulatan setiap negara mempunyai batasan, baik dalam

hal ini Indonesia dan Singapura. Meskipun kedua negara menganggap

mempunyai kedaulatan yang tinggi namun Indonesia dan Singapura

merupakan negara yang meratifikasi sebuah perjanjian internasional yaitu,

AATHP. Arti dari sebuah ratifikasi adalah penundukan diri negara terhadap

perjanjian internasional, tidak terkecuali dalam hal kedaulatan negara itu

sendiri. Bahkan meskipun Indonesia dan Singapura mendeklarasikan bahwa

keduanya terikat pada prinsip-prinsip umum kedaulatan, namun tidak ada

tolak ukur atau bukti atas terikatnya Indonesia dan Singapura terhadap

prinsip-prinsip tersebut.

47

I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 345. 48

Hak dan wewenang eksklusif untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta

tindakan-tindakan untuk mematuhi.

Kepastian hukum dalam sebuah hukum internasional adalah adanya bukti

tertulis. AATHP merupakan bentuk tertulis dari terikatnya Indonesia dan

Singapura. Dengan diratifikasinya AATHP oleh Indonesia dan Singapura

artinya bahwa Indonesia dan Singapura telah menundukkan diri pada AATHP

sebagai solusi dari pemasalahan polusi asap lintas batas dikawasan ASEAN.

Prinsip-prinsip kedaulatan dalam sumber hukum internasional merupakan

prinsip-prisnip hukum umum yang juga mempunyai daya mengikat, sama

halnya sebuah perjanjian internasional. Namun daya mengikat keduanya

berbeda.

Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice telah mengatur

mengenai tata urutan pemakaian atau pendahuluan sumber-sumber hukum

internasional ketika masing-masing sumber hukum mengatur mengenai hal

yang sama dan terjadi bersinggungan. Singapura yang sudah terlebih dahulu

terikat pada AATHP serta telah terikat pada hak dan kewajiban secara hukum,

baru kemudian membentuk Singapore Transboundary Haze Pollution Act No.

24 of 2014 dengan alasan menganut prinsip-prinsip kedaulatan tentu membuat

legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014

dipertanyakan. Maka berdasarkan pasal 38 ayat 1 Statuta International Court

of Justice dalam tata urutan penggunaan sumber-sumber hukum internasional

yang menjadi prioritas utama adalah penjanjian internasional. Dalam masalah

polusi asap lintas batas ini, Singapura sudah terlebih dahulu terikat pada

AATHP sebelum akhirnya membentuk Singapore Transboundary Haze

Pollution Act. No. 24 of 2014. Sehingga legalitas Singapore Transboundary

Haze Pollution Act. No. 24 of 2014 berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan

adalah memiliki status hukum atau dalam kata lain legal sebagai sebuah

instrument hukum, namun tidak memiliki daya mengikat yang kuat terhadap

Indonesia, karena dalam permasalah polusi asap lintas batas di kawasan

ASEAN Indonesia terikat dan tunduk pada AATHP.

3. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 Of 2014

Ditinjau Piagam ASEAN

ASEAN merupakan organisasi regional yang dibentuk di kawasan Asia

Tenggara, yang merupakan kawasan yang sangat strategis secara geopolitik

dan geoekonomi.49

Sadar akan perbedaan kondisi geopolitik dan geoekonomi

negara-negara ASEAN, maka dilakukan upaya untuk menggalang kerjasama

regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan seperti Association of

Southeast Asia (selanjutnya disebut ASA), Malaysia, Philipina, Indonesia

(selanjutnya disebut MAPHILINDO), South East Asian Minsiters of

Education Organization (selanjutnya disebut SEAMEO), dan Asia and Pacific

Council (selanjutnya disebut (ASPAC).50

Perkembangan geopolitik di

kawasan ASEAN sesudah tahun 1965 semakin memanas, yang pada akhirnya

mendorong negara-negara di ASEAN untuk mencari pemecahan bersama

melalui suatu kerjasama yang dapat meningkatkan taraf hidup dan dapat

memperkuat stabilitas keamanan regional.51

Untuk itu diadakan pertemuan-

49

Elfia Farida, Efektivitas Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Bagi ASEAN Sebagai

Organisasi Internasional, Univeristas Diponegoro, Semarang, hlm. 4. 50

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,

ASEAN Selayang Pandang, Jakarta, 2008, hlm. 1. 51

Elfida Farida, op.cit.

pertemuan konsultatif yang dilakukan secara intensif antara Menteri Luar

Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura yang

menghasilkan Joint Declaration.52

ASEAN di dirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok melalui

penandatanganan Bangkok Declaration atau ASEAN Declaration.53

ASEAN

mulai melakukan penyusunan Piagam ASEAN setelah dimandatkan dalam

Vientiane Action Programs (selanjutnya disebut VAP). Proses penyusunan

piagam ASEAN diawali pada tahun 2006 dengan disepatkatinya Kuala

Lumpur Declaration on the Establishment of ASEAN Charter pada Konferensi

Tingkat Tinggi (selanjutnya disebut KTT) ASEAN ke-11.54

Berdasarkan

deklarasi tersebut, proses penyusunan Piagam ASEAN mulai digulirkan

melalui pembentukan Eminent Persons Group on The ASEAN Charter yang

menyusun rekomendasi bagi penyusunan Piagam tersebut.55

Dalam KTT

ASEAN ke-13 tanggal 20 November 2007 di Singapura, negara-negara

ASEAN telah menandatangani Piagam ASEAN oleh 10 Kepala

Negara/Pemerintahan Negara anggota ASEAN.56

Dibentuknya Piagam

ASEAN dengan tujuan untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah

asosiasi politik yang longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki

dasar hukum yang kuat (legal personality), dengan aturan yang jelas, serta

52

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,

op.cit. 53

Ibid. 54

Elfia Farida, op.cit., hlm. 2. 55

Ibid. 56

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-ASEAN.aspx. Diakses pada pukul

18:40 10 Agustus 2017.

memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.57

Piagam ASEAN mulai

berlaku efektif pada tanggal 15 Desember 2008, yaitu 30 hari setelah

diratifikasi oleh 10 negara anggota ASEAN. Piagam ASEAN sangat mengatur

hubungan negara-negara ASEAN dengan keharusan untuk menghargai

kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing negara. Hal ini dengan jelas

diatur di dalam BAB 1 piagam ASEAN yang mengatur tentang tujuan dan

prinsip-prinsip yang harus dianut oleh negara-negara ASEAN dalam

melakukan hubungan internasional. Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan

dibentuknya piagam ASEAN, maka negara-negara di ASEAN harus

memegang teguh pada prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-

deklarasi, persetujuan-persetujuan, konvensi-konvensi, concords, traktat-

traktat, dan instrumen ASEAN lainnya.58

Prinsip-prinsip tersebut termuat

dalam pasal 2 ayat 2 piagam ASEAN yang berbunyi:

“2. ASEAN and its Member States shall act in accordance with the

following Principles:59

(a) Respect for the independence, sovereignty, equality, territorial

integrity and national indentity of all ASEAN Member States;”

Pasal tersebut menegaskan bahwa seluruh negara anggota ASEAN harus

bertindak dengan prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan,

intergitas teritorial dan identitas nasional. Pasal tersebut menekankan pada

57

Ibid. 58

Article 2 paragraph 1 ASEAN Charter. 59

Article 2 Paragraph 2 (a) ASEAN Charter.

aspek penghormatan terhadap kedaulatan negara. Negara yang mempunyai

kedaulatan adalah negara yang dapat menerapkan yurisdiksi negaranya.

Hukum internasional pun mengakui bahwa setiap negara mempunyai

kewenangan melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut

keamanan, dan integritas atau kepentingan ekonomi yang vital.60

Dengan

dibentuknya Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014

yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional Singapura, maka

Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 merupakan

penerapan atas yurisdiksi Singapura sebagai negara yang berdaulat untuk

mengatur peristiwa hukum pada aspek-aspek terkait kewarganegaraan, objek,

serta tempat kejadian. Pengaturan terkait yurisdiksi Singapura untuk

mengadili suatu peristiwa hukum dijelaskan ada pasal 4 Singapore

Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 yang berbunyi:

“This Act shall extend to and in relation to any conduct or thing outside

Singapore which causes or contributes to any haze pollution in

Singapore.”61

Pasal tersebut menjelaskan bahwa dimungkinkan untuk diperluas dalam

kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada diluar Singapura

yang menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi

asap yang terjadi di Singapura. Yang artinya adalah Singapura dapat

menerapkan Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014

untuk setiap peristiwa yang terjadi diluar Singapura yang memberikan

dampak negatif ke Singapura. Pasal tersebut dengan jelas memuat mengenai

60

Wewenang ini didasarkan atar prinsip perlindungan (protective principle). 61

Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014.

yurisdiksi ekstrateritorial bagi setiap tindakan dari dalam ataupun dari luar

Singapura yang menimbulkan dampak berupa polusi lintas batas.62

Yurisdiksi yang bentuknya seolah-olah tidak terlihat namun penting dalam

organ kedaulatan suatu negara tetaplah mempunyai batas dalam

penerapannya. Penerapan yurisdiksi dikaitkan pada aspek-aspek yang

merupakan benang merah dari yurisdiksi, yaitu: kewenangan hukum negara

terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum) di dalam batas-batas

wilayahnya.63

Sehingga batasan dalam yurisdiksi adalah : orang, benda, dan

tempat kejadian. Dasar terbentuknya Singapore Transboundary Haze Polution

Act No. 24 of 2014 adalah kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan

polusi asap hingga ke Singapura. Kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan

di Indonesia dan dilakukan oleh warga negara Indonesia maka jelas secara

aspek-aspek dalam penerapan yurisdiksi bahwa Singapura tidak memenuhi

aspek-aspek tersebut. Keterkaitan Singapura dalam peristiwa kebakaran hutan

dan lahan tesebut hanya dampak negatif yang ditimbulkan yaitu polusi asap

yang menyebar hingga ke Singapura. Maka berdasarkan prinsip yurisdiksi

terlihat bahwa Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014

tidak dapat mengatur melewati wilayah teritorial Singapura.

Dengan tidak dapat diberlakukannya Singapore Transboundary Haze

Polution Act No. 24 of 2014 berdasarkan prinsip dalam yurisdiksi, maka

Singapura sebagai negara berdaulat pun berkurang kekuasaannya. Logikanya

62

Grizelda, op.cit., hlm. 7. 63

Huala Adolf, op.cit, hlm. 163.

adalah jika yurisdiksi Singapura ada batasannya, maka kedaulatan Singapura

juga memiliki batasan karena yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan negara.

Kedaulatan negara yang seperti diketahui merupakan kekuasaan tertinggi dari

suatu negara. Namun kedaulatan adalah nilai dari suatu negara yang paling

rawan untuk dipertahankan, karena menyangkut eksistensi dan kemampuan

negara tersebut untuk menghadapi berbagai tantangan global.64

Batasan

kedualatan adalah hukum internasional.65

Indonesia dan Singapura sebagai

negara yang berdaulat dibuktikan bahwa kedua negara tidak dalam intervensi

negara lain. Kedua negara memiliki kedaulatan atas urusan dalam negeri

masing-masing.

Pada kasus polusi asap yang terjadi di Indonesia, Indonesia memiliki

kedaulatan penuh berdasarkan aspek teritorial66

kedaulatan dalam hukum

internasional. Singapura pun memiliki kedaulatan penuh atas peristiwa yang

terjadi di wilayahnya. Polusi asap yang terjadi di Singapura akibat kebakaran

hutan di Indonesia pun menjadi masalah serius, Singapura memiliki

kedaulatan untuk membentuk Singapore Transboundary Haze Polution Act

No. 24 of 2014 ketika isi dari undang-undang tersebut adalah untuk

menangani polusi asap secara internal, artinya undang-undang ini mengatur

polusi asap yang posisi penyebab polusi asap berada di Singapura dan pelaku

penyebab polusi asap di Singapura adalah warga negara Singapura sendiri.

64

Saru Arifin, Op.cit.,hlm. 29. 65

Boer Mauna, Op.cit., hlm. 24. 66

Kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas

individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.

Namun pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014

jelas terlihat bahwa Singapura ingin memperluas kedaulatannya.

Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi namun tidak mutlak. Artinya

kekuasaan negara tetap memiliki batasan. Batasan kedaualatan negara adalah

hukum internasional. Hukum internasional yang secara khusus mengatur

tentang batasan negara adalah piagam ASEAN. Pasal 2 ayat 2 (a) piagam

ASEAN menegaskan bahwa seluruh negara anggota ASEAN harus bertindak

dengan prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, intergitas

teritorial dan identitas nasional. Singapura dan Indonesia menjadi negara yang

meratifikasi dan terikat dalam piagam ASEAN. Sebagai negara yang terikat

pada perjanjian internasional, maka Indonesia dan Singapura diharuskan

melaksanakan prinsip-prinsip yang termuat dalam piagam ASEAN. Dengan

melihat isi pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of

2014 jelas melanggar pasal 2 ayat 2 (a) piagam ASEAN. Singapura dianggap

tidak menghargai kedaulatan Indonesia dengan ingin ikut serta mengadili

pelaku pembakar hutan dan lahan di Indonesia. Singapura juga dianggap tidak

menghargai kesetaraan Indonesia sebagai negara anggota ASEAN yang

memiliki hak yang sama seperti Singapura meskipun Indonesia terbukti

sebagai negara penyebab polusi kabut asap. Dan jelas terlihat bahwa

Singapura tidak menghargai integritas teritorial Indonesia karena menganggap

Indonesia tidak serius dalam menangani masalah polusi asap lintas batas.

Pasal 2 ayat 2 (a) piagam ASEAN juga didukung dengan isi pada poin

selanjutnya, yaitu: 67

(e) Non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States;

(f) Respect for the right of every Member State to lead its national

existence free from external interfence, subversion and coercion;”

Pasal 2 ayat 2 (e) dan (f) piagam ASEAN menjelaskan bahwa ASEAN dan

negara-negara anggota tidak campur tangan urusan dalam negeri Negara-

Negara Anggota ASEAN serta Penghormatan terhadap hak setiap Negara

Anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan

eksternal, subversi, dan paksaan.68

Dilihat dari tujuan-tujuan dibentuknya

piagam ASEAN, yang ingin dicapai dari hubungan internasional pada

regional ini adalah penghormatan kedaulatan negara dan urusan dalam negeri

setiap negara. Kedaulatan negara merupakan kekuasaan tertinggi dari suatu

negara. Kedaulatan negara menunjukkan bahwa negara tersebut adalah

merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain. Negara yang berdaulat

adalah negara yang tidak dalam intervensi69

negara lain. Intervensi dapat

dilakukan dalam berbagai cara.

Pada zaman dahulu, intervensi dilakukan dengan cara menjajah. Namun di

zaman modern seperti ini intervensi tidak harus dalam bentuk penjajahan

dimana negara yang ingin menguasai kemudian masuk ke dalam wilayah

negara lain. Intervensi dapat dilakukan dengan ikut campur dalam urusan

dalam negeri Negara lain. Bentuk ikut campur yang dilakukan oleh Singapura

67

Article 2 paragraph 2(e) & (f) ASEAN Charter. 68

Article 2 paragraph 2 ASEAN Charter. 69

Salah satu cara yang dilakukan agar suatu Negara memenuhi kehendak Negara lain.

adalah penerapan pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No.

24 of 2014 yang sudah sampai pada proses introgasi terhadap warga negara

Indonesia yang merupakan direktur dari perusahaan pembakar hutan dan

lahan Indonesia. Secara yurisdiksi teritorial jelas bahwa Indonesia menjadi

negara yang berhak untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku

pembakar hutan dan lahan. Tindakan Singapura tersebut secara tidak langsung

tidak menghargai eksistensi nasional Indonesia. Sehingga jelas bahwa isi dari

pasal 4 Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014

melanggar piagam ASEAN ditinjau dari prinsip-prinsip piagam ASEAN pada

pasal 2 ayat 2 (a). Sebagai sebuah instrument hukum nasional, Singapore

Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 sah atau legal karena telah

disahkan oleh parlemen Singapura berdasarkan konstitusi negara Singapura.

Singapura sebagai negara yang berdaulat berhak untuk membentuk hukum

nasionalnya demi melindungi kepentingan nasional negara Singapura.

B. Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 Of 2014

Ditinjau dari ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution

Dalam hukum internasional, terdapat ketentuan umum dan ketentuan khusus

yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian multilateral.70

Pernyataan persetujuan

suatu negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional dapat diberikan

dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu

70

Boer Mauna, op.cit., hlm. 116.

mengadakan perjanjian.71

Cara untuk pernyataan persetujuan untuk mengikatkan

diri pada suatu perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Penandatanganan (signature)

Pasal 12 Konvensi Wina menegaskan mengenai praktek ini yang

menyatakan bahwa persetujuan suatu negara untuk diikat dalam suatu

perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut,

bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya, bila terbukti bahwa negara-

negara yang ikut berunding menyetujui demikian, bila full powers wakil-wakil

negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas dalam waktu

perundingan.72

b. Ratifikasi (ratification)

Menurut pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina, yang dimaksud dengan ratifikasi

adalah suatu tindakan yang dipertegas dengan pemberian persetujuan untuk

diikat dalam perjanjian.73

Sebenarnya, ketentuan-ketentuan mengenai

ratifikasi ini hanya menegaskan praktek yang berlaku, yaitu dengan

memasukkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam klausula penutup perjanjian-

perjanjian, atau menyebutkannya dalam full powers atau menggunakan kedua

cara tersebut sekaligus.74

Perbedaan antara penandatanganan dan ratifikasi mempunyai arti penting dan

sejalan dengan prinsip-prinsip modern hukum publik yang tidak menerima

71

Ibid. 72

Kholis Roisah, op.cit., hlm. 35. 73

Ibid. 74

Ibid.

pelimpahan wewenang tanpa pengecekan.75

Dalam hukum internasional, tidak

semua perjanjian internasional mengisyaratkan untuk diratifikasi, karena

perjanjian internasional yang diratifikasi dan ditanda tangani mempunyai

konsekuensi hukum yang berbeda. Penandatanganan dan ratifikasi pada dasarnya

sama-sama mengikat negara ke dalam perjanjian internasional, namun negara

yang hanya ikut menandatangani sebuah perjanjian internasional tidak memiliki

kewajiban sebagaimana yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut.

AATHP merupakan salah satu perjanjian internasional kerjasama yang secara

khusus membahas tentang kabut asap lintas batas dalam kawasan ASEAN. Dalam

AATHP, pernyataan pengikatan diri negara peserta untuk menjadi pihak yang

tunduk dalam aturannya harus dilakukan dengan ratifikasi.76

Pengikatan diri suatu

negara melalui ratifikasi ini mengingat karena AATHP dianggap sebagai solusi

bersama dalam mengatasi kabut asap lintas batas dalam kawasan ASEAN.

AATHP baru akan berlaku bagi setiap negara yang telah meratifikasinya dan

memberi sanksi hukum tanpa mengikat satu sama lain. AATHP ditandatangani di

Kuala Lumpur Malaysia pada Juni 2002 dan mulai berlaku sejak November 2003.

Singapura menjadi negara kedua setelah Malaysia yang meratifikasi AATHP,

ratifikasi dilakukan Singapura pada tanggal 13 Januari 2003, dan penyerahan

75

Boer Mauna, op.cit., hlm. 117. 76

Article 28 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

deposit of instrument of ratification dilakukan sehari setelahnya.77

Indonesia

menjadi negara terakhir yang meratifikasi yaitu pada tahun 2014.

Tabel : Negara-Negara yang telah Meratifikasi AATHP

Member

Country

Date Ratification Date of Deposit of Instrument of

Ratification/Approval with The

Secretary-General of ASEAN

Malaysia 03 December 2002 18 February 2003

Singapore 13 January 2003 14 January 2003

Brunei

Darussalam

27 February 2003 23 April 2003

Myanmar 03 March 2003 17 Maret 2003

Vietnam 24 March 2003 29 May 2003

Thailand 10 September 2003 26 September 2003

Laos 19 December 2004 13 July 2005

Cambodia 24 April 2006 09 November 2006

Philippines 01 January 2010 04 March 2010

Indonesia 16 September 2014 20 January 2015 Sumber : Haze Polution Action. 2010

AATHP secara keseluruhan terdiri dari 32 pasal dan 1 lampiran

persetujuan yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan kabut

asap, serta penanggulangan pencemaran kabut asap di kawasan ASEAN.78

Pada

pasal 4 AATHP, negara-negara yang meratifikasi memiliki kewajiban-kewajiban,

yaitu:79

“In pursuing the objective of this Agreement, the Parties shall:

1. Co-operate in developing and implementing measures to prevent and

monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest

fires which should be mitigated, and to control sources of fires,

including by the identification of fires, development of monitoring,

77 Varkkey, Helena, M, 2011. “Addressing Transboundary Haze Pollution Through

ASEAN: Singapore’s Normative Constraints”. Journal of International Studies. Vol:7. Abstrak.

Dikutip ulang dalam Syahriani Firmayanti, op.cit., hlm. 4 78

Ibid. 79

Article 4 paragraph 3 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

assessment and early warning systems, exchange of information and

technology, and the provision of mutual assistance.

2. When the transboundary haze pollution originates from within their

territories, respond promptly to a request for relevant information or

consultations sought by a State or States that are or may be affected by

such transboundary haze pollution, with a view to minimizing the

consequences of the transboundary haze pollution.

3. Take legislative, administrative an/or other measures to implement

their obligations under this Agreement.”

Dalam rumusan pasal tersebut menjelaskan bahwa negara yang

meratifikasi Perjanjian AATHP memiliki kewajiban sebagai berikut:

1. Bekerjasama dalam mengembangkan dan melaksanakan langkah-langkah

untuk mencegah, memantau, dan mengurangi polusi kabut asap lintas

batas dengan mengendalikan sumber tanah atau kebakaran hutan,

pengembangan, pemantauan, penilaian dan sistem peringatan dini,

pertukaran informasi dan teknologi, dan penyediaan gotong royong.80

2. Segera menanggapi permintaan untuk informasi yang relevan dicari oleh

negara atau negara yang sedang atau mungkin akan terpengaruh oleh asap

lintas batas tersebut, dengan maksud untuk meminimalkan konsekuensi

dari pencemaran lintas batas kabut.81

3. Mengambil langkah hukum, administratif dan langkah-langkah lain untuk

melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian.82

Pada pasal 4 ayat 3 AATHP, kewajiban negara-negara yang meratifikasi

AATHP adalah mengambil langkah hukum, administrasi dan langkah-langkah

lain untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan AATHP. Langkah hukum yang

80

Article 4 paragraph 1 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 81

Article 4 paragraph 2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 82

Article 4 paragraph 3 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

dimaksud dalam pasal tersebut bersifat multitafsir, artinya pasal 4 ayat 3 AATHP

ini memiliki penafsiran yang bermacam-macam. Tidak terdapat pengaturan yang

jelas dan batasan mengenai bentuk-bentuk langkah hukum yang dapat dilakukan

oleh negara-negara yang meratifikasi dalam hal guna melaksanakan kewajiban

berdasarkan AATHP. Bagi Singapura, dengan membentuk dan mengesahkan

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 merupakan sebuah

bentuk pengambilan langkah hukum oleh Singapura dalam melaksanakan

kewajiban Singapura sebagai negara yang meratifikasi AATHP. Pengambilan

langkah hukum oleh Singapura ini memperlihatkan bahwa Singapura lebih serius

menangani masalah polusi asap lintas batas dibandingkan Indonesia sebagai

negara yang menjadi penyebab polusi asap lintas batas ini. Keseriusan Singapura

ini pun tidak menjadi heran karena Singapura merupakan “negara korban” dari

polusi asap yang telah mengalami kerugian ekonomi negara yang sangat besar.

Kerugian ekonomi Singapura dapat terus bertambah seiring dengan polusi asap

yang tidak kunjung hilang menghantui Singapura, belum lagi dampak negatif dari

polusi asap bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan terhadap kesehatan

masyarakat merupakan bagian dari kewajiban negara dalam Hak Asasi Manusia

(selanjutnya disebut HAM).

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 dibentuk pada

tanggal 5 Agustus 2014 oleh parlemen Singapura dengan tujuan untuk mencegah

dan mengadili para pembakar hutan dan lahan yang bertanggung jawab atas

polusi asap di Singapura, meskipun peristiwa kebakaran hutan dan lahan serta

pelaku tidak berasal dari Singapura. Hal tersebut dengan jelas terdapat pada pasal

4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014, yaitu:83

“This Act shall extend to and in relation to any conduct or thing outside

Singapore which causes or contributes to any haze pollution in Singapore.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa dimungkinkan untuk diperluas dalam

kaitannya terhadap suatu tindakan atau objek yang berada diluar Singapura yang

menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi asap yang

terjadi di Singapura.84

Pasal 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No.

24 of 2014 ini merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dengan tidak

adanya batasan yang jelas dalam AATHP adalah adanya undang-undang nasional

yang bersifat extrateriotrial. Meskipun pasal 4 ayat 3 AATHP bersifat multitafsir,

namun dalam hal perjanjian internasional yang bersifat multitafsir seperti ini tetap

dapat dilakukan penafsiran yang dapat memberikan kepastian hukum dan batasan

serta penjelasan melalui metode penafsiran teleological school.

Metode teleological school merupakan metode penafsiran perjanjian

internasional yang menitikberatkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan

tujuan dari sebuah perjanjian.85

Berdasakan metode teleological school maka

penafsiran atas maksud dari pasal 4 ayat 3 AATHP terkait batasan langkah hukum

maka dapat terlihat pada tujuan AATHP yang terdapat pada pasal 2 yang

berbunyi:86

83

Article 4 Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014. 84

Ibid. 85

Kholis Roisah, op.cit., hlm. 76. 86

Article 2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

“The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary

haze pollution as a result of land/or forest fires which should be mitigated,

through concerted national efforts and intensified regional and international

co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable

development and in accordance with the provisions of this Agreement.”

Yang artinya adalah bahwa tujuan AATHP adalah untuk mencegah dan

memantau polusi asap lintas batas akibat kebakaran lahan atau kebakaran hutan

yang harus dikurangi, melalui upaya nasional yang terkonsentrasi dan

meningkatkan kerjasama regional dan internasional. Hal ini harus dalam

keseluruhan konteks pembangunan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan dalam

AATHP.87

Sehingga berdasarkan metode teleological school bahwa langkah

hukum dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 AATHP adalah langkah-langkah hukum

yang sesuai dengan kewajiban dalam pasal 2 AATHP yaitu berupa pencegahan

dan pemantauan terhadap polusi asap lintas batas. Artinya adalah, isi dari pasal 4

Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 yang bersifat law

enforcement extraterritorial tidak dibenarkan berdasarkan AATHP. Singapura

sebagai salah satu negara yang terkena dampak polusi asap dari Indonesia

memiliki hak untuk mengambil langkah hukum apapun, namun hanya sebatas

dalam konteks pencegahan dan pemantauan. Law enforcement pun dapat

dilakukan oleh negara-negara lain yang juga terkena dampak polusi asap dari

Indonesia seperti Malaysia dan Filipina sepanjang tidak bersifat extraterritorial.

Dalam pasal 2 AATHP memperlihatkan bahwa AATHP mengandung prinsip

common responsibility. Prinsip ini mengatur tentang tanggung jawab bersama,

87

Ibid.

yang artinya adalah dengan diratifikasinya AATHP maka masalah polusi asap

lintas batas negara menjadi tanggung jawab bersama negara-negara di ASEAN.

AATHP sangat jelas berfokus pada kerjasama dalam upaya pencegahan dan

pengendalian polusi asap lintas batas.88

Bagi Indonesia sebagai negara penyebab

polusi asap dengan meratifikasi AATHP adalah sebuah keuntungan karena

Indonesia secara otomatis terbebas bebas dari tanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh negara-negara yang terkena dampak polusi asap dari Indonesia.

Sehingga Indonesia sebagai negara penyebab polusi asap lintas batas negara tidak

dapat dibebankan tanggung jawab atas polusi asap lintas batas negara tesebut.

Menurut AATHP, common responsibility dapat diwujudkan dengan kerjasama

regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan pengendalian masalah

polusi asap lintas batas negara.89

Langkah hukum yang dilakukan oleh Singapura dengan membentuk

Singapore Transboundary Haze Polution Act No. 24 of 2014 menurut AATHP

adalah sah atau legal. Bahkan pembentukan hukum nasional dengan mengadopsi

isi AATHP merupakan bentuk pelaksanaan dari regional cooperation90

sebagaimana tujuan dari AATHP. Namun pasal 4 Singapore Transboundary Haze

Polution Act No. 24 of 2014 dianggap tidak sesuai dengan AATHP. Pada pasal 4

ayat 3 AATHP menjelaskan bahwa langkah hukum yang diambil oleh negara-

negara yang meratifikasi AATHP haruslah berdasarkan pada kewajiban dari

88

Laely Nurhidayah, Polusi Asap Lintas Batas di Kawasan ASEAN: Sebuah

Penelitian Kelayakan Kerangka Hukum Nasional dan Daeran di Indonesia (Tranbsoundary

Haze Pollution In The ASEAN Region: An Assesment of The Adequacy of Regional and

National Legal Framework of Indonesia). Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan

LIPI, 2014, hlm. 233. 89

Article 2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 90

Regional cooperation adalah Kerjasama regional

AATHP. Berdasarkan metode teleological school, bahwa langkah hukum yang

dilakukan oleh Singapura haruslah berdasarkan pada tujuan AATHP yang

terdapat pada pasal 2 yang menjelaskan bahwa tujuan AATHP adalah untuk

pencegahan dan pemantauan polusi asap lintas batas melalui usaha nasional

terpadu dan meningkatkan kerjasama regional maupun internasional. Sehingga

langkah hukum oleh Singapura pada pasal 4 Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 tidak sesuai dengan AATHP. Namun Singapore

Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 adalah sah atau legal

berdasarkan pasal 2 AATHP karena Singapore Transboundary Haze Pollution

Act No. 24 of 2014 merupakan bentuk dari regional cooperation AATHP.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Legalitas Singapore Transboundary Haze Pollution Act. No. 24 of 2014

ditinjau dari AATHP adalah:

a. Berdasarkan Piagam ASEAN bahwa Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 sebagai sebuah instrument hukum adalah

sah atau legal karena telah dibentuk berdasarkan konstitusi negara

Singapura dan telah disahkan oleh parlemen Singapura dengan tujuan

untuk melindungi kepentingan nasional negara Singapura. Piagam

ASEAN memberi keleluasaan kepada negara-negara ASEAN untuk

membentuk hukum nasional masing-masing namun tetap mematuhi

prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal 2 ayat 2 Piagam

ASEAN. Namun pasal 4 dari Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014 melanggar prinsip-prinsip Piagam

ASEAN yang terdapat pada pasal 2 ayat 2 (a) dimana Singapura tidak

menghargai kedaulatan dan kesetaraan Indonesia sebagai negara

ASEAN dengan ingin ikut serta mengadili pelaku pembakar hutan dan

lahan di Indonesia.

b. Berdasarkan metode teleological school bahwa Singapore

Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 yang merupakan

bentuk dari regional cooperation Singapura berdasarkan pasal 2

AATHP adalah sah atau legal. Namun pasal 4 dari Singapore

Transboundary Haze Pollution Act No. 24 of 2014 sebagai sebuah

langkah hukum (take legislative action) yang bersifat extrateritorial

dari Singapura berdasarkan AATHP tidak sesuai dengan pasal 2

AATHP yaitu terkait tujuan dari AATHP.

SARAN

1. Pemerintah Republik Indonesia melalui KBRI di Singapura dapat

melakukan komunikasi melalui saluran diplomatik kepada pemerintah

Singapura dan membahas pelaksanaan pasal 4 Singapore Transboundary

Haze Pollution Act No. 24 of 2014 yang telah melanggar kedaulatan

Indonesia. Agar hubungan bilateral kedua negara tetap berjalan baik

meskipun diberlakukannya Singapore Transboundary Haze Pollution Act

No. 24 of 2014.

2. Pemerintah Indonesia dapat menyampaikan protes pada forum KTT

ASEAN atas diberlakukannya pasal 4 Singapore Transboundary Haze

Pollution Act No. 24 of 2014.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya

Bakti. Jakarta. 2004.

Andreas Pramudianto. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional. Setara

Pers. Malang. 2014.

Boer Mauna. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi

Dalam Era Dinamika Global. PT. Alumni Bandung. Bandung. 2008.

Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.

Eddy Pratomo. Hukum Perjanjian Internasional : Pengertian, Status Hukum

dan Ratifikasi. PT. Alumni. Bandung. 2011.

Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Keni Media.

Bandung. 2011.

I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju. Bandung.

2003.

Jawahir Thontowi. Hukum dan Hubungan Internasional. UII Press.

Yogyakarta. 2016.

John Martin Gillroy. An Evolutionary Paradigm For International Law:

Philosophical Method, David Hume, and the Essense of Sovereignty.

University Lehigh. New York. 2013.

J. G. Starke. Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika. Jakarta. 2010.

Kholis Roisah. Hukum Perjanjian Internasional : Teori dan Praktik. Setara

Press. Malang. 2015.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2005.

Rebecca M. Wallace. Hukum Internasional. IKIP Semarang Press. Semarang.

1993.

Saru Arifin. Hukum Perbatasan Darat Antarnegara. Sinar Grafika. Jakarta.

2014.

Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar Edisi Kedua. Rajawali Pers.

Jakarta. 2010.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009.

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.

Jakarta. 1984.

Umu Hilmy. Metodologi Penelitian Dari Konsep Ke Metode : Sebuah

Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian. Fakultas

Hukum Brawijaya. Malang. 2000.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Singapore Transboundary Haze Pollution Act no. 24 of 2014.

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).

The ASEAN Charter (Piagam ASEAN).

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement

on Transboundary Haze Pollution Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 258 (Selanjutnya disebut Undang-Undang Persetujuan ASEAN

Tentang Pencemaran Asap Lintas).

JURNAL

Akbar Kurnia Putra. Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum

Lingkungan Internasional. 2015.

Agis Ardhiansyah. Konsekuensi Hukum Bagi Indonesia Tentang

Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution. Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya. 2016.

Agustia Purba. Kepentingan Indonesia tidak meratifikasi ASEAN Agreement

On Transboundary Haze Pollution tahun 2002-2012. Jurnal Online

Mahasiswa. Vol. 1 Nomor 2 (2014) Universitas Riau. 2013.

Apichai Sunchindah. Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia

: Refarming ASEAN’s Response. ERIA Discussion Paper Series. 2015.

Basuki Wasis. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Kerusakan

Tanah (Impact of Forest and Land Fire on Soil Degradation). Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor. 2003.

Dina ST Manurung. Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggung

Jawab Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus:

Kabut Asap Kebakaran Hutan di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap

Malaysia-Singapura). Skripsi. Universitas Sumatra Utara. 2014.

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik

Indonesia. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta. 2008.

Elfia Farida. Efektivitas Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Bagi ASEAN

Sebagai Organisasi Internasional. Univeristas Diponegoro. Semarang.

Eyes on the Forest (EoF).Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku

Layak Diseret ke Pengadilan. Laporan Investigasi Eyes on the Forest. Riau.

2015.

Grizelda, Marsudi Triatmojo. Penerapan Yurisdiksi Esktratorial Dalam

Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014) Akibat

Kabut Asap Dari Kebakaran Hutan di Indonesia. Universitas Gajah Mada.

2015.

Harry Purwanto. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian

Internasional. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2009.

Kardina Gultom. Sekuritas Kabut Asap Di Singapura Tahun 1997-2004.

Universitas Diponegoro. 2016.

Laely Nurhidayah. Polusi Asap Lintas Batas di Kawasan ASEAN: Sebuah

Penelitian Kelayakan Kerangka Hukum Nasional dan Daeran di

Indonesia (Tranbsoundary Haze Pollution In The ASEAN Region: An

Assesment of The Adequacy of Regional and National Legal Framework of

Indonesia). Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. 2014.

Mukhammad Syaifulloh. Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution (The Forming of ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution). Universitas Jember. 2013.

Noor Falah, Pengaruh Malaysia dan Singapura Terhadap Indonesia Dalam

Proses Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

(AATHP), Skripsi. Universitas Mulawarman.

Siciliya Mardian Yo’el. Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution Dalam Penanggulangan Pencemaran Asap Lintas Batas di

ASEAN. Universitas Islam Kediri.

Syahriani Firmayanti. Motivasi Singapura Meratifikasi ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution Tahun 2013. Universitas Riau. 2015.

United Nations Trust Fund for Human Security. Human Security in Theory and

Practice: An Overview of the Human Security Concept and the United

Nations Trust Fund for Human Security. Human Security Unit of United

Nations. New York.

Yayat Ruchiat. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan (The

Underlying Causes and Impact of Fire). Bahan Lokakarya Perencanaan

Proyek Community Development Through Rehabilitation of Imperata

Grasslands Using Trees: A model approach growing Vitex Pubescens for

charcoal production in Kalimantan. Pontianak. 2001.

WEBSITE

Abdul Kadir Jailani.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5788ac38f2861/apakah-singapura-

telah-melanggar-kedaualatan-indonesia-broleh-abdulkadir-jailani diakses pada

06 April 2017.

Ahmad Masaul Khoiri. http://news.detik.com/berita/3208960/singapura-

perintahkan-tangkap-wni-soal-kabut-asap-ri-protes-keras diakses pada 02 Juni

2017.

BBC Indonesia.

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160418_indonesia_s

ingapura_hutan. Diakses pada 06 April 2017.

BBC Indonesia.

http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150925_dunia_singapura_kabut

asap. Diakses pada 06 April 2017.

Berita Riau. http://beritariau.com/berita-2865-pt-langgam-inti-hibrindo-grup-

usaha-milik-sandiaga-uno-tersangka-karhutla-pelalawan.html diakses pada 8

Agustus 2017.

Channel News Asia.

http://www.channelnewsasia.com/news/singapore/transboundary-haze-

pollution-act-not-about-national-sovereignty--7996876 diakses pada tanggal

31 Mei 2017.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-ASEAN.aspx.

Diakses pada 10 Agustus 2017.

NASA (National Aeronautics and Space Administration).

https://earthdata.nasa.gov/earth-observation-data/near-real-time/firms. Diakses

pada 06 April 2017.

Nigel Sizer, Kemen Austin, dan Ariana Alisjahbana. Diakses melalui

http://www.wri.org/blog/2013/06/data-terbaru-menunjukkan-kebakaran-

hutan-di-indonesia-adalah-krisis-yang-telah. Diakses pada 01 Juni 2017.

Ryan Nofitra. https://m.tempo.co/read/news/2016/06/10/063778544/petinggi-

perusahaan-pembakar-lahan-divonis-bebas. Diakses pada 8 Agustus 2017.

Sudut Hukum. http://www.suduthukum.com/2017/04/sejarah-kebakaran-hutan-di-

indonesia.html. Diakses pada 01 Juni 2017.