KTI UNHAS BONY FM

27
PENERAPAN FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL UNTUK MEMUTUS PELUANG POLITISASI ANGGARAN DAERAH oleh: Nama : Bony Feryanto Maryono NIM : A311 10 279 Universitas : Hasanuddin Regional : Surabaya i

Transcript of KTI UNHAS BONY FM

PENERAPAN FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL UNTUK

MEMUTUS PELUANG POLITISASI ANGGARAN DAERAH

oleh:

Nama : Bony Feryanto Maryono

NIM : A311 10 279

Universitas : Hasanuddin

Regional : Surabaya

i

WRITING COMPETITION

BESWAN DJARUM 2012/2013

ii

PENERAPAN FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL UNTUK

MEMUTUS PELUANG POLITISASI ANGGARAN DAERAH

Nama : Bony Feryanto Maryono

NIM : A311 10 279

iii

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2013

KATA PENGANTAR

Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus

yang telah melimpakan rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan

lancar. Penulis menyadari karya tulis ini tidak akan

selesai tanpa bantuan dari beberagai pihak. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Djarum Bakti Foundation yang berkontibusi besar

memajukan bangsa melalui CSR dalam bidang

pendidikan melalui Djarum Beasiswa Plus yang boleh

saya dapatkan.

2. Kedua orang tua penulis yang telah motivasi untuk

terus berjuang dan belajar untuk tahu banyak hal.

Hidup adalah proses!

iv

3. Teman-teman P10neer, akuntansi 2010 yang telah

memberi dukungan dan semangat kepada penulis. Be a

pioneer not a follower!

4. Berbagai pihak yang tidak saya sebutkan satu per

satu yang dengan caranya masing-masing membantu

proses terselesaikannya karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis

ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu

penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun

dari pembaca. Fideli et forti nihil difficile, tidak ada yang sulit

bagi orang kuat dan percaya.

Makassar, Agustus 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Depan.................................. i

Halaman Judul.................................. ii

Kata Pengantar................................. iii

Daftar Isi..................................... iv

v

Ringkasan...................................... v

Isi Karya Tulis

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah............ 1

1.2 Tujuan dan Manfaat................. 3

2. Anggaran Sebagai Instrumen Politik ........ 3

3. Dana Belanja Hibah dan Bantuan Sosial...... 5

4. Formatif-Summatif Evaluation Model......... 7

5. Kesimpulan dan Rekomendasi................. 10

Daftar Pustaka................................ vi

Curriculum Vitae............................... vii

RINGKASAN

Karya tulis ini berfokus pada akuntansi sektor

publik terutama pada anggaran. Dasar pemikiran atas

vi

tulisan ini adalah perlunya tindakan pengawasan yang

ketat untuk alokasi anggaran terutama dana hibah dan

bantuan sosial. Tingginya tingkat politisasi anggaran

yang merugikan Negara sampai Rp 215,57 berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption

Watch tentunya mencengangkan masyarakat. Hal ini

semakin diperparah karena penelitian selanjutnya yang

berkolaborasi dengan University of Murdoch menemukan

bahwa anggaran dana hibah dan bantuan sosial sangat

rawan untuk dipolitisasi dan menjadi alat politik untuk

membangun citra terkait dengan pemilukada yang diikuti

oleh incumbent.

Beberapa kasus politisasi anggaran ditemukan di

beberapa daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan

rendahnya pengawasan dan evaluasi terhadap alokasi

anggaran. Oleh karena itu, dibutuhkan model evaluasi

yang terintegrasi dari awal sampai akhir sebagai dasar

pengambilan keputusan dengan mensinergikan partisipasi

aktif dari beberapa pihak.

Model evaluasi formatif-summatif adalah langkah

strategis untuk memutus peluang politisasi anggaran

menuju anggaran pro rakyat. Evaluasi ini menuntut

pengusutan sampai ke akar untuk penyaluran dana

sehingga tepat sasaran dan sesuai tujuannya yakni

mensejahterakan rakyat.

vii

Hasil dari karya tulis ini diharapkan dapat

menjadi masukan bagaimana perlunya dibentuk tim khusus

evaluasi terhadap anggaran dana hibah dan bantuan

sosial agar tidak menjadi ladang politik untuk

kepentingan sekelompok pihak. Penerapan ini akan

menghidupkan kembali semangat demokrasi di Indonesia.

viii

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Konsep otonomi daerah dan desentralisasi

berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan yang direvisi menjadi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004 menyediakan suatu kerangka fiskal

dan pengambilan keputusan untuk pemerintah lokal.

Seharusnya konsep desentralisasi ini akan menimbulkan

tata kelola yang baik karena pemerintah daerah secara

langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan daerah.

Namun penyerahan wewenang dan delegasi dari pemerintah

pusat ke daerah ini ternyata masih banyak menimbulkan

masalah, salah satunya mengenai anggaran daerah.

Anggaran daerah terutama untuk sektor belanja

hibah dan bantuan sosial menjadi pos yang membuka ruang

politisasi yang luas bagi pemerintah daerah. Kedua pos

belanja ini merupakan komponen belanja tidak langsung

1

yang tidak memiliki target atau tolak ukur kinerja.

Selain itu komponen belanja ini tidak mengikat sehingga

penentuan alokasinya tergantung kepada kepala daerah.

Sejalan dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor

32 tahun 2004, posisi seorang kepala daerah sangatlah

kuat. Hal ini tentu memberikan ruang yang besar bagi

kepala daerah untuk mencapai tujuan politik. Indonesian

Corruption Watch (2010) menilai bahwa anggaran daerah

menjadi alat untuk membangun citra dan modal politik

dari seorang kepala daerah.

Potensi pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) untuk sektor belanja hibah dan

bantuan sosial akan meningkat ketika kepala daerah yang

akan berakhir masa jabatannya dan mencalonkan diri

dalam pemilukada yang akan datang (Alam dan Ritonga

2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari

Indonesian Corruption Watch yang bekerja sama dengan

Universitas Murdoch (Jauhari 2013) menemukan adanya

peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial

pada beberapa kota di Indonesia yang menyelenggarakan

2

pemilu terutama yang diikuti oleh incumbent. Belanja

hibah bantuan sosial merupakan pos-pos belanja yang

dapat dipakai bagi calon incumbent untuk memikat hati

masyarakat pemilih untuk mendapatkan dukungan suara.

Politisasi anggaran daerah untuk kepentingan

pribadi menjadi masalah besar yang dihadapi oleh Negeri

ini. Hal ini tentu menciderai demokrasi dan identitas

bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki semangat

Bhineka Tunggal Ika. Untuk menekan terjadinya tindakan

oportunistik ini, perlu penerapan sebuah model evaluasi

untuk memutus peluang politisasi anggaran daerah.

Penerapan model evaluasi untuk memperketat pengawasan

alokasi dana belanja hibah dan bantuan sosial ini

menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah

di Negara ini. Formatif-summatif evaluation model menjadi

kunci untuk menjawab tantangan ini. Model pengawasan

ini akan memberikan informasi yang berharga untuk

pengambilan keputusan dan menjadi instrumen pengawasan

terutama terkait dengan alokasi belanja hibah dan

bantuan sosial. Penerapan ini tentunya akan

3

menghidupkan identitas demokrasi bangsa ini ke arah

yang lebih baik.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah

untuk mempelajari potensi perilaku oportunistik kepala

daerah terhadap anggaran daerah dan menemukan bukti

empiris modus politisasi anggaran daerah serta

menemukan sebuah model evaluasi untuk pengawasan

anggaran daerah. Manfaat penulisan karya ilmiah ini

ditujukan kepada pihak yang berkecimpung dalam bidang

akademik, untuk referensi pengembangan penelitian di

bidang akuntansi sektor publik dan bagi pemerintah

menjadi sebuah masukan untuk penerapan suatu model

pengawasan anggaran.

2. ANGGARAN SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK

Menurut National Committee on Governmental

Accounting (NCGA) anggaran merupakan rencana operasi

keuangan yang mencakup estimasi pengeluaran yang

4

diusulkan dan sumber penerimaan yang diharapkan untuk

membiayai pengeluaran dalam satu periode tertentu.

Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk

melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya

ke dalam rencana-rencana (Abdullah & Asmara 2006).

Sebagai salah satu instrumen ekonomi yang penting,

anggaran memiliki peran utama untuk menyejahterakan

rakyat akan tetapi tidaklah sesuai harapan karena

anggaran digunakan sebagai instrumen politik. Dengan

demikian, seseroang yang memiliki kekuasaan untuk

mengatur anggaran tentu memiliki kekuasaan untuk

menentukan penggunaan anggaran.

Sejak dibelakukannya pemilihan kepala daerah

langsung sejak tahun 2005 masalah yang dihadapi selalu

berkutat pada tiga isu utama yakni daftar masalah

tetap, politisasi angaran dan mobilisasi birokrasi.

Potensi terjadinya abuse of power semakin membuka ruang

yang lebar untuk penyalahgunaan wewenang dan jabatan

untuk mencapai tujuan politik.

5

Temuan sejumlah lembaga pemantau maupun BPK

memperlihatkan bahwa dalam konteks pemilukada, cara

yang paling sering dipakai oleh incumbent adalah

politisasi anggaran. Kondisi ini semakin diperkuat dari

hasil laporan dari Divisi Korupsi Politik ICW (2010)

yang memperlihatkan bahwa penggunaan anggaran publik

untuk kepentingan kampanye sangat kuat dilakukan oleh

incumbent dalam pemilukada.

Tendensi politisasi anggaran ini terjadi karena

problem komposisi belanja yang timpang dan inefesiensi

anggaran yang tinggi. Selain itu pelaporan yang tidak

dikelola dengan baik dan lemahnya pengawasan yang

mempermudah untuk memanipulasi laporan realisasi

anggaran.

Untuk itu, agenda dan tantangan reformasi ke depan

adalah memperketat alokasi anggaran, misalnya lewat

penerapan standar alokasi belanja untuk suatu pos

belanja dan penerapan model monitoring-evaluasi untuk

6

anggaran yang disetujui sehingga tidak terjadi tindakan

oportunistik untuk mencapai tujuan politik.

3. DANA BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL: LADANG

POLITISASI ANGGARAN

Penyaluran dana bantuan sosial dan hibah ini

menjadi ladang subur tumbuhnya korupsi melalui tindakan

politisasi anggaran. Dominasi dan hegemoni elit politik

membuat kebijakan anggaran menjadi hak absolut elit

politik. Kondisi ini diperparah dengan timbulnya

koalisi-koalisi politik yang membuat anggaran semakin

menjadi ladang politisasi.

Anggaran belanja hibah dan bantuan sosial acap

kali disalahgunakan untuk modal pemenangan dalam

pemilukada terutama yang diikuti oleh incumbent.

Indonesian Corruption Watch (2009) melalui penelitiannya

menghasilkan data yang mecengangkan. Dana bantuan

sosial dan hibah paling banyak dikorupsi bertepatan

dengan penyelenggaraan pemilukada sehingga merugikan

Negara mencapai Rp 215,57 milliar. Audit Badan

7

Pemeriksa Keuangan (2012) menyebutkan bahwa aliran dana

bantuan sosial tahun 2007-2010 mencapai Rp 300 triliun.

Temuan terbaru ICW soal korupsi dana hibah dan

bansos terjadi di Banten 2011. Pada tahun anggaran itu,

alokasi dana hibah Rp 340,46 miliar dan bansos Rp 51

miliar, meningkat hampir 100% ketimbang tahun

sebelumnya. Tahun itu bertepatan dengan pilkada di

provinsi tersebut, dan incumbent kembali mencalonkan

diri.

Berdasarkan verifikasi, dari 160 penerima dana

bansos dan hibah, Pemprov Banten hanya mencantumkan 30

nama lembaga, itu pun tak dilengkapi alamat jelas.

Sisanya, dengan persentase terbesar, yaitu 130 lembaga

penerima (81,3%) hanya ditulis daftar bantuan

terlampir. Setelah ICW menguji ternyata lembaga

penerima dana itu dipimpin oleh kerabat dan pendukung

incumbent.

Tren itu juga terjadi di DKI Jakarta 2012,

bertepatan dengan tahun pemilihan gubernur. Dana hibah

di DKI Rp 1,3 triliun, meningkat hampir 200 persen

8

ketimbang tahun sebelumnya. Muncul dugaan hal itu

terkait dengan kembali tampilnya incumbent. Modusnya pun

hampir sama, mengalirkan dana itu kepada kroni dan tim

sukses.

Bahkan pada tahun 2009, peneliti Asia Research

Centre, Murdoch University bekerja sama dengan ICW

melakukan peneliti korupsi anggaran di beberapa kota

yakni di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara, Kota Bandung

Jawa Barat dan Kabupaten Tabanan Bali. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa korupsi di daerah didesain lewat

politisasi anggaran, dialirkan untuk kepentingan

pejabat melalui mengangsir dana hibah dan bansos.

Menurut Roni (2012) beberapa modus yang digunakan

untuk tindakan politisasi anggaran dana bansos dan

hibah antara lain: Modus satu, pemohon dana hibah dari

organisasi yang diketuai oleh incumbent atau masuk

didalam jajaran pengurusnya yang dapat mengakses

langsung dana hibah organisasi mereka tersebut dan

digunakan untuk kepentingan politik mereka. Modus dua,

pemohon dana hibah/bansos merupakan tim sukses salah

9

satu incumbent dimana dananya akan di gunakan untuk

kegiatan-kegiatan sosial yang didalamnya bermuatan

politis untuk mendukung incumbent. Modus tiga, dana hibah

yang dikucurkan untuk lembaga/ormas yang memiliki basis

massa besar dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan akbar

yang pada pelaksanaannya dihadirkan incumbent dan

substansi kegiatan tersebut untuk mendukung incumbent.

Modus empat, dana hibah untuk sarana peribadatan,

bantuan kepada kelompok tani dan bantuan pemberdayaan

masyarakat berpotensi pemberi bantuannya diatasnamakan

incumbent.

Rawannya penyelewengan dana hibah dan bansos ini

menuntut harus adanya perbaikan sistem penyaluran, pola

pertanggungjawaban dan sistem pengawasan yang ketat.

Pentingnya pengawasan untuk memperbaiki tatanan

anggaran menjadi pro rakyat untuk mencapai

kesejahteraan.

4. FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL: EVALUASI

ANGGARAN MENUJU ANGGARAN PRO RAKYAT

10

Formatif-summatif evaluation model adalah sebuah model

evaluasi yang dipadukan untuk memutus peluang

politisasi anggaran. Evaluasi formatif adalah suatu

evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu program

tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan

lebih dari sekali dengan tujuan untuk melakukan

perbaikan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah suatu

evaluasi yang dilakukan setelah suatu program telah

dilaksanakan.

Formatif-summatif evaluation model diimplementasikan dan

diintegrasikan dalam pengawasan terhadap anggaran

daerah terutama pada sektor belanja hibah dan bantuan

sosial. Model ini mengandung arti bahwa rencana

anggaran diperketat. Model ini diterapkan untuk

menghindari modus politisasi anggaran yang tidak

mensejahterakan rakyat. Model evaluasi ini

mengamanatkan pembentukan tim evaluasi khusus dana

bantuan sosial dan hibah di Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKB) yang secara independen menilai,

11

membuktikan, dan melaporkan anggaran yang dialirkan

oleh pemerintah daerah dan dikombinasikan dengan

program Fraud Control Plan dari BPKP.

Dalam pengajuan proposal bantuan hibah dan belanja

sosial, tim evaluasi menerapkan model formatif untuk

menilai apakah yang dianggarkan sesuai rencana, apakah

komponen yang diharapkan berjalan sesuai dengan

fungsinya dalam hal ini sasaran anggaran, dan apakah

perlu ada revisi mengenai aliran dana hibah dan bantuan

sosial. Model evaluasi ini akan memperketat pengucuran

dana sehingga anggaran ini diberikan tanpa ada unsur

politik dan tepat sasaran. Selain itu, tim evaluasi

menilai dengan menerapkan model summative untuk menilai

sejauh mana anggaran tepat sasaran dan perubahan apa

yang terjadi. Hal ini penting untuk menjamin bahwa dana

yang dialirkan benar-benar digunakan sesuai tujuan yang

ada di proposal. Apabila tidak sesuai tujuan akan

diberikan sanksi berupa pelarangan menerima bantuan

12

selain itu organisasi yang telah menerima tidak akan

menerima pada tahun selanjutnya.

Kepala daerah harusnya berperan sebagai role model

bagi penyelenggaraan transparansi dan netral terhadap

politik alokasi anggaran. Artinya, kepala daerah harus

sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dan tidak

menjadikan anggaran sebagai alat politik terutama

ketika menjadi incumbent. Hal ini tentu tidak

menciptakan akuntabilitas untuk menjamin anggaran pro

rakyat.

Kesiapan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

membentuk tim evaluasi khusus anggaran diintegrasikan

dalam fraud control sebagai tim independen yang menjadi

pengawas atas anggaran yang dialirkan. BPKP menjadi

lembaga independen yang menjamin keterbukaan informasi

anggaran dan prosedur tindakan pencegahan terhadap

pembajakan anggaran. Peran menteri dalam negeri juga

sangat penting untuk memberi sanksi tegas kepada kepala

daerah yang melakukan politisasi anggaran.

13

Masyarakat juga harus berperan aktif dalam

mengawasi dan melaporkan indikasi penyimpangan anggaran

daerah. Peran aktif masyarakat akan menghentikan

‘reproduksi’ modus politisasi anggaran karena dengan

demikian masyarakat memperjuangkan hak terutama dalam

mewujudkan demokrasi. Keikutsertaan masyarakat

mengawasi dan membantu dalam mengimplementasikan model

evaluasi formatif-summatif menjadi pilar dalam mencapai

transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran.

Langkah strategis yang harus diambil adalah

penguatan masyarakat sipil dengan sosialisasi model

evaluasi untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan

tim yang dibentuk khusus dalam Badan Pengawas Keuangan

dan Pembangunan dan diintegrasikan dalam program Fraud

Control sehingga proses pengawasan menjadi ketat untuk

meminimalisir perilaku oportunistik kepala daerah.

Formatif-summatif evaluation model akan menghasilkan

evaluasi secara berkelanjutan sehingga akan

menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan pada

14

anggaran daerah. Dengan langkah berkelanjutan dan

sinergi dari elemen BPKD dan masyrakat, model evaluasi

ini akan menghasilkan kondisi yang membuat kepala

daerah mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam

rangka mencapai demokrasi.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Perilaku oportunistik kepala daerah dan

politisasi anggaran daerah kian marak terjadi di Negara

ini. Hal ini tentunya sangat menciderai sistem

demokrasi di Indonesia karena anggaran yang seharusnya

digunakan untuk menyejahterakan rakyat dipolitisasi

untuk kepentingan diri sendiri terutama menjelang

pemilukada. Formatif-summatif evaluation model ada perpaduan

evaluasi pada saat suatu program sedang dilaksanakan

dan telah dilaksanakan. Evaluasi ini menekankan

tranparansi informasi yang digunakan untuk pengambilan

keputusan pada aliran dana anggaran hibah dan bantuan

sosial. Model ini diimplementasikan dengan membentuk

15

tim evaluasi khusus pada BPKD dan mengintegrasikan

model evaluasi ini dalam fraud control. Formatif-summatif

evaluation model yang berkelanjutan dan terintegrasi

ini akan menghasilkan anggaran yang tidak bersifat

sepihak sehingga anggaran benar-benar menjadi alat

untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Rekomendasi dari karya tulis ini adalah

pemerintah pusat membentuk tim evaluasi khusus di BPKP

dan bekerja sama dengan Kementrian Dalam Negeri untuk

mengawasi kinerja terutama politik anggaran kepala

daerah. Lembaga yudikatif harus fokus dan netral

terhadap kasus politisasi anggaran. Yang terakhir,

penguatan masyarakat sipil untuk turut mengawasi

kinerja pemerintah daerah.

16

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah dan Asmara., 2006. Perilaku OpportunistikLegislatif dalam Penganggaran Daerah. SimposiumNasional Akuntansi IX: Padang.

[ICW] Anti Korupsi. 2009. Musyawarah Mengangsir DanaHibah. http://www.antikorupsi.org/id/content/musyawarah-menggangsir-dana-hibah [20 Agustus 2013]

[ICW] Anti Korupsi. 2010. Label Rakyat dan KebutuhanRakyat. http://www.antikorupsi.org/id/content/label-rakyat-dan-kebutuhan-rakyat [18 Agustus 2013]

Jauhari, Thontowi. 2013. Permainan Bansos dan Hibah.http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/07/04/229767/Permainan-Bansos-dan-Hibah [18 Agustus 2013]

Roni. 2012. Rasionalisasi Dana Hibah dan BansosProvinsi Jawa Tengah.http://www.infopantura.com/rasionalisasi-dana-hibah-dan-bansos-provinsi-jawa-tengah/ [14 Agustus 2013]

Seknas Fitra. 2011. Tahun Pembajakan Anggaran olehElit, Mengabaikan Kesejahteraan Rakyat (4):1-23.

Seknas Fitra. 2012. Reformasi Penganggaran diIndonesia: 1-12.

______ Permendagri Nomor 32 tahun 2011 tentang PedomanPemberian Hibah dan Bantuan Sosial

______ Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentangPerubahan atas Pedoman Pemberian Hibah dan BantuanSosial

______ UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah______ UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan______ UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah______ UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan

vi

CURRICULUM VITAE

IDENTITAS PRIBADINama Lengkap : Bony Feryanto MaryonoTempat, Tanggal Lahir : Rantepao, 2 Februari 1991Alamat : Jl. Jati No. 22 PanakkukangNo. Handphone : 08991590125Email : [email protected]

PENDIDIKAN SDN 69 Inpres Buntao; 1997-2003 SMPN1 Buntao’ Rantebua, 2003-2006 SMA Katolik Cendera wasih Makassar, 2007-2010 Universitas Hasanuddin, Fakultas Ekonomi Jurusan

Akuntansi, 2010-sekarang

KARYA ILMIAH YANG PERNAH DIBUAT

Akuntan Berkarakter Maritim Mewujudkan ASEANEconomic Community 2015

PENGHARGAAN YANG PERNAH DIRAIH

Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ekonomi UniversitasHasanuddin 2013

vii

Unhas Award 2013 Bidang Keilmuan (PrestasiMahasiswa)

viii