Automated Motion Analysis of Bony Joint Structures ... - MDPI
KTI UNHAS BONY FM
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of KTI UNHAS BONY FM
PENERAPAN FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL UNTUK
MEMUTUS PELUANG POLITISASI ANGGARAN DAERAH
oleh:
Nama : Bony Feryanto Maryono
NIM : A311 10 279
Universitas : Hasanuddin
Regional : Surabaya
i
PENERAPAN FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL UNTUK
MEMUTUS PELUANG POLITISASI ANGGARAN DAERAH
Nama : Bony Feryanto Maryono
NIM : A311 10 279
iii
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
KATA PENGANTAR
Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus
yang telah melimpakan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan
lancar. Penulis menyadari karya tulis ini tidak akan
selesai tanpa bantuan dari beberagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Djarum Bakti Foundation yang berkontibusi besar
memajukan bangsa melalui CSR dalam bidang
pendidikan melalui Djarum Beasiswa Plus yang boleh
saya dapatkan.
2. Kedua orang tua penulis yang telah motivasi untuk
terus berjuang dan belajar untuk tahu banyak hal.
Hidup adalah proses!
iv
3. Teman-teman P10neer, akuntansi 2010 yang telah
memberi dukungan dan semangat kepada penulis. Be a
pioneer not a follower!
4. Berbagai pihak yang tidak saya sebutkan satu per
satu yang dengan caranya masing-masing membantu
proses terselesaikannya karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis
ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca. Fideli et forti nihil difficile, tidak ada yang sulit
bagi orang kuat dan percaya.
Makassar, Agustus 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Depan.................................. i
Halaman Judul.................................. ii
Kata Pengantar................................. iii
Daftar Isi..................................... iv
v
Ringkasan...................................... v
Isi Karya Tulis
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah............ 1
1.2 Tujuan dan Manfaat................. 3
2. Anggaran Sebagai Instrumen Politik ........ 3
3. Dana Belanja Hibah dan Bantuan Sosial...... 5
4. Formatif-Summatif Evaluation Model......... 7
5. Kesimpulan dan Rekomendasi................. 10
Daftar Pustaka................................ vi
Curriculum Vitae............................... vii
RINGKASAN
Karya tulis ini berfokus pada akuntansi sektor
publik terutama pada anggaran. Dasar pemikiran atas
vi
tulisan ini adalah perlunya tindakan pengawasan yang
ketat untuk alokasi anggaran terutama dana hibah dan
bantuan sosial. Tingginya tingkat politisasi anggaran
yang merugikan Negara sampai Rp 215,57 berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption
Watch tentunya mencengangkan masyarakat. Hal ini
semakin diperparah karena penelitian selanjutnya yang
berkolaborasi dengan University of Murdoch menemukan
bahwa anggaran dana hibah dan bantuan sosial sangat
rawan untuk dipolitisasi dan menjadi alat politik untuk
membangun citra terkait dengan pemilukada yang diikuti
oleh incumbent.
Beberapa kasus politisasi anggaran ditemukan di
beberapa daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan
rendahnya pengawasan dan evaluasi terhadap alokasi
anggaran. Oleh karena itu, dibutuhkan model evaluasi
yang terintegrasi dari awal sampai akhir sebagai dasar
pengambilan keputusan dengan mensinergikan partisipasi
aktif dari beberapa pihak.
Model evaluasi formatif-summatif adalah langkah
strategis untuk memutus peluang politisasi anggaran
menuju anggaran pro rakyat. Evaluasi ini menuntut
pengusutan sampai ke akar untuk penyaluran dana
sehingga tepat sasaran dan sesuai tujuannya yakni
mensejahterakan rakyat.
vii
Hasil dari karya tulis ini diharapkan dapat
menjadi masukan bagaimana perlunya dibentuk tim khusus
evaluasi terhadap anggaran dana hibah dan bantuan
sosial agar tidak menjadi ladang politik untuk
kepentingan sekelompok pihak. Penerapan ini akan
menghidupkan kembali semangat demokrasi di Indonesia.
viii
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Konsep otonomi daerah dan desentralisasi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan yang direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 menyediakan suatu kerangka fiskal
dan pengambilan keputusan untuk pemerintah lokal.
Seharusnya konsep desentralisasi ini akan menimbulkan
tata kelola yang baik karena pemerintah daerah secara
langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan daerah.
Namun penyerahan wewenang dan delegasi dari pemerintah
pusat ke daerah ini ternyata masih banyak menimbulkan
masalah, salah satunya mengenai anggaran daerah.
Anggaran daerah terutama untuk sektor belanja
hibah dan bantuan sosial menjadi pos yang membuka ruang
politisasi yang luas bagi pemerintah daerah. Kedua pos
belanja ini merupakan komponen belanja tidak langsung
1
yang tidak memiliki target atau tolak ukur kinerja.
Selain itu komponen belanja ini tidak mengikat sehingga
penentuan alokasinya tergantung kepada kepala daerah.
Sejalan dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004, posisi seorang kepala daerah sangatlah
kuat. Hal ini tentu memberikan ruang yang besar bagi
kepala daerah untuk mencapai tujuan politik. Indonesian
Corruption Watch (2010) menilai bahwa anggaran daerah
menjadi alat untuk membangun citra dan modal politik
dari seorang kepala daerah.
Potensi pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) untuk sektor belanja hibah dan
bantuan sosial akan meningkat ketika kepala daerah yang
akan berakhir masa jabatannya dan mencalonkan diri
dalam pemilukada yang akan datang (Alam dan Ritonga
2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari
Indonesian Corruption Watch yang bekerja sama dengan
Universitas Murdoch (Jauhari 2013) menemukan adanya
peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial
pada beberapa kota di Indonesia yang menyelenggarakan
2
pemilu terutama yang diikuti oleh incumbent. Belanja
hibah bantuan sosial merupakan pos-pos belanja yang
dapat dipakai bagi calon incumbent untuk memikat hati
masyarakat pemilih untuk mendapatkan dukungan suara.
Politisasi anggaran daerah untuk kepentingan
pribadi menjadi masalah besar yang dihadapi oleh Negeri
ini. Hal ini tentu menciderai demokrasi dan identitas
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki semangat
Bhineka Tunggal Ika. Untuk menekan terjadinya tindakan
oportunistik ini, perlu penerapan sebuah model evaluasi
untuk memutus peluang politisasi anggaran daerah.
Penerapan model evaluasi untuk memperketat pengawasan
alokasi dana belanja hibah dan bantuan sosial ini
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah
di Negara ini. Formatif-summatif evaluation model menjadi
kunci untuk menjawab tantangan ini. Model pengawasan
ini akan memberikan informasi yang berharga untuk
pengambilan keputusan dan menjadi instrumen pengawasan
terutama terkait dengan alokasi belanja hibah dan
bantuan sosial. Penerapan ini tentunya akan
3
menghidupkan identitas demokrasi bangsa ini ke arah
yang lebih baik.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk mempelajari potensi perilaku oportunistik kepala
daerah terhadap anggaran daerah dan menemukan bukti
empiris modus politisasi anggaran daerah serta
menemukan sebuah model evaluasi untuk pengawasan
anggaran daerah. Manfaat penulisan karya ilmiah ini
ditujukan kepada pihak yang berkecimpung dalam bidang
akademik, untuk referensi pengembangan penelitian di
bidang akuntansi sektor publik dan bagi pemerintah
menjadi sebuah masukan untuk penerapan suatu model
pengawasan anggaran.
2. ANGGARAN SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK
Menurut National Committee on Governmental
Accounting (NCGA) anggaran merupakan rencana operasi
keuangan yang mencakup estimasi pengeluaran yang
4
diusulkan dan sumber penerimaan yang diharapkan untuk
membiayai pengeluaran dalam satu periode tertentu.
Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk
melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya
ke dalam rencana-rencana (Abdullah & Asmara 2006).
Sebagai salah satu instrumen ekonomi yang penting,
anggaran memiliki peran utama untuk menyejahterakan
rakyat akan tetapi tidaklah sesuai harapan karena
anggaran digunakan sebagai instrumen politik. Dengan
demikian, seseroang yang memiliki kekuasaan untuk
mengatur anggaran tentu memiliki kekuasaan untuk
menentukan penggunaan anggaran.
Sejak dibelakukannya pemilihan kepala daerah
langsung sejak tahun 2005 masalah yang dihadapi selalu
berkutat pada tiga isu utama yakni daftar masalah
tetap, politisasi angaran dan mobilisasi birokrasi.
Potensi terjadinya abuse of power semakin membuka ruang
yang lebar untuk penyalahgunaan wewenang dan jabatan
untuk mencapai tujuan politik.
5
Temuan sejumlah lembaga pemantau maupun BPK
memperlihatkan bahwa dalam konteks pemilukada, cara
yang paling sering dipakai oleh incumbent adalah
politisasi anggaran. Kondisi ini semakin diperkuat dari
hasil laporan dari Divisi Korupsi Politik ICW (2010)
yang memperlihatkan bahwa penggunaan anggaran publik
untuk kepentingan kampanye sangat kuat dilakukan oleh
incumbent dalam pemilukada.
Tendensi politisasi anggaran ini terjadi karena
problem komposisi belanja yang timpang dan inefesiensi
anggaran yang tinggi. Selain itu pelaporan yang tidak
dikelola dengan baik dan lemahnya pengawasan yang
mempermudah untuk memanipulasi laporan realisasi
anggaran.
Untuk itu, agenda dan tantangan reformasi ke depan
adalah memperketat alokasi anggaran, misalnya lewat
penerapan standar alokasi belanja untuk suatu pos
belanja dan penerapan model monitoring-evaluasi untuk
6
anggaran yang disetujui sehingga tidak terjadi tindakan
oportunistik untuk mencapai tujuan politik.
3. DANA BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL: LADANG
POLITISASI ANGGARAN
Penyaluran dana bantuan sosial dan hibah ini
menjadi ladang subur tumbuhnya korupsi melalui tindakan
politisasi anggaran. Dominasi dan hegemoni elit politik
membuat kebijakan anggaran menjadi hak absolut elit
politik. Kondisi ini diperparah dengan timbulnya
koalisi-koalisi politik yang membuat anggaran semakin
menjadi ladang politisasi.
Anggaran belanja hibah dan bantuan sosial acap
kali disalahgunakan untuk modal pemenangan dalam
pemilukada terutama yang diikuti oleh incumbent.
Indonesian Corruption Watch (2009) melalui penelitiannya
menghasilkan data yang mecengangkan. Dana bantuan
sosial dan hibah paling banyak dikorupsi bertepatan
dengan penyelenggaraan pemilukada sehingga merugikan
Negara mencapai Rp 215,57 milliar. Audit Badan
7
Pemeriksa Keuangan (2012) menyebutkan bahwa aliran dana
bantuan sosial tahun 2007-2010 mencapai Rp 300 triliun.
Temuan terbaru ICW soal korupsi dana hibah dan
bansos terjadi di Banten 2011. Pada tahun anggaran itu,
alokasi dana hibah Rp 340,46 miliar dan bansos Rp 51
miliar, meningkat hampir 100% ketimbang tahun
sebelumnya. Tahun itu bertepatan dengan pilkada di
provinsi tersebut, dan incumbent kembali mencalonkan
diri.
Berdasarkan verifikasi, dari 160 penerima dana
bansos dan hibah, Pemprov Banten hanya mencantumkan 30
nama lembaga, itu pun tak dilengkapi alamat jelas.
Sisanya, dengan persentase terbesar, yaitu 130 lembaga
penerima (81,3%) hanya ditulis daftar bantuan
terlampir. Setelah ICW menguji ternyata lembaga
penerima dana itu dipimpin oleh kerabat dan pendukung
incumbent.
Tren itu juga terjadi di DKI Jakarta 2012,
bertepatan dengan tahun pemilihan gubernur. Dana hibah
di DKI Rp 1,3 triliun, meningkat hampir 200 persen
8
ketimbang tahun sebelumnya. Muncul dugaan hal itu
terkait dengan kembali tampilnya incumbent. Modusnya pun
hampir sama, mengalirkan dana itu kepada kroni dan tim
sukses.
Bahkan pada tahun 2009, peneliti Asia Research
Centre, Murdoch University bekerja sama dengan ICW
melakukan peneliti korupsi anggaran di beberapa kota
yakni di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara, Kota Bandung
Jawa Barat dan Kabupaten Tabanan Bali. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa korupsi di daerah didesain lewat
politisasi anggaran, dialirkan untuk kepentingan
pejabat melalui mengangsir dana hibah dan bansos.
Menurut Roni (2012) beberapa modus yang digunakan
untuk tindakan politisasi anggaran dana bansos dan
hibah antara lain: Modus satu, pemohon dana hibah dari
organisasi yang diketuai oleh incumbent atau masuk
didalam jajaran pengurusnya yang dapat mengakses
langsung dana hibah organisasi mereka tersebut dan
digunakan untuk kepentingan politik mereka. Modus dua,
pemohon dana hibah/bansos merupakan tim sukses salah
9
satu incumbent dimana dananya akan di gunakan untuk
kegiatan-kegiatan sosial yang didalamnya bermuatan
politis untuk mendukung incumbent. Modus tiga, dana hibah
yang dikucurkan untuk lembaga/ormas yang memiliki basis
massa besar dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan akbar
yang pada pelaksanaannya dihadirkan incumbent dan
substansi kegiatan tersebut untuk mendukung incumbent.
Modus empat, dana hibah untuk sarana peribadatan,
bantuan kepada kelompok tani dan bantuan pemberdayaan
masyarakat berpotensi pemberi bantuannya diatasnamakan
incumbent.
Rawannya penyelewengan dana hibah dan bansos ini
menuntut harus adanya perbaikan sistem penyaluran, pola
pertanggungjawaban dan sistem pengawasan yang ketat.
Pentingnya pengawasan untuk memperbaiki tatanan
anggaran menjadi pro rakyat untuk mencapai
kesejahteraan.
4. FORMATIF-SUMMATIF EVALUATION MODEL: EVALUASI
ANGGARAN MENUJU ANGGARAN PRO RAKYAT
10
Formatif-summatif evaluation model adalah sebuah model
evaluasi yang dipadukan untuk memutus peluang
politisasi anggaran. Evaluasi formatif adalah suatu
evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu program
tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan
lebih dari sekali dengan tujuan untuk melakukan
perbaikan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah suatu
evaluasi yang dilakukan setelah suatu program telah
dilaksanakan.
Formatif-summatif evaluation model diimplementasikan dan
diintegrasikan dalam pengawasan terhadap anggaran
daerah terutama pada sektor belanja hibah dan bantuan
sosial. Model ini mengandung arti bahwa rencana
anggaran diperketat. Model ini diterapkan untuk
menghindari modus politisasi anggaran yang tidak
mensejahterakan rakyat. Model evaluasi ini
mengamanatkan pembentukan tim evaluasi khusus dana
bantuan sosial dan hibah di Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKB) yang secara independen menilai,
11
membuktikan, dan melaporkan anggaran yang dialirkan
oleh pemerintah daerah dan dikombinasikan dengan
program Fraud Control Plan dari BPKP.
Dalam pengajuan proposal bantuan hibah dan belanja
sosial, tim evaluasi menerapkan model formatif untuk
menilai apakah yang dianggarkan sesuai rencana, apakah
komponen yang diharapkan berjalan sesuai dengan
fungsinya dalam hal ini sasaran anggaran, dan apakah
perlu ada revisi mengenai aliran dana hibah dan bantuan
sosial. Model evaluasi ini akan memperketat pengucuran
dana sehingga anggaran ini diberikan tanpa ada unsur
politik dan tepat sasaran. Selain itu, tim evaluasi
menilai dengan menerapkan model summative untuk menilai
sejauh mana anggaran tepat sasaran dan perubahan apa
yang terjadi. Hal ini penting untuk menjamin bahwa dana
yang dialirkan benar-benar digunakan sesuai tujuan yang
ada di proposal. Apabila tidak sesuai tujuan akan
diberikan sanksi berupa pelarangan menerima bantuan
12
selain itu organisasi yang telah menerima tidak akan
menerima pada tahun selanjutnya.
Kepala daerah harusnya berperan sebagai role model
bagi penyelenggaraan transparansi dan netral terhadap
politik alokasi anggaran. Artinya, kepala daerah harus
sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dan tidak
menjadikan anggaran sebagai alat politik terutama
ketika menjadi incumbent. Hal ini tentu tidak
menciptakan akuntabilitas untuk menjamin anggaran pro
rakyat.
Kesiapan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
membentuk tim evaluasi khusus anggaran diintegrasikan
dalam fraud control sebagai tim independen yang menjadi
pengawas atas anggaran yang dialirkan. BPKP menjadi
lembaga independen yang menjamin keterbukaan informasi
anggaran dan prosedur tindakan pencegahan terhadap
pembajakan anggaran. Peran menteri dalam negeri juga
sangat penting untuk memberi sanksi tegas kepada kepala
daerah yang melakukan politisasi anggaran.
13
Masyarakat juga harus berperan aktif dalam
mengawasi dan melaporkan indikasi penyimpangan anggaran
daerah. Peran aktif masyarakat akan menghentikan
‘reproduksi’ modus politisasi anggaran karena dengan
demikian masyarakat memperjuangkan hak terutama dalam
mewujudkan demokrasi. Keikutsertaan masyarakat
mengawasi dan membantu dalam mengimplementasikan model
evaluasi formatif-summatif menjadi pilar dalam mencapai
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran.
Langkah strategis yang harus diambil adalah
penguatan masyarakat sipil dengan sosialisasi model
evaluasi untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan
tim yang dibentuk khusus dalam Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan dan diintegrasikan dalam program Fraud
Control sehingga proses pengawasan menjadi ketat untuk
meminimalisir perilaku oportunistik kepala daerah.
Formatif-summatif evaluation model akan menghasilkan
evaluasi secara berkelanjutan sehingga akan
menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan pada
14
anggaran daerah. Dengan langkah berkelanjutan dan
sinergi dari elemen BPKD dan masyrakat, model evaluasi
ini akan menghasilkan kondisi yang membuat kepala
daerah mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
rangka mencapai demokrasi.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Perilaku oportunistik kepala daerah dan
politisasi anggaran daerah kian marak terjadi di Negara
ini. Hal ini tentunya sangat menciderai sistem
demokrasi di Indonesia karena anggaran yang seharusnya
digunakan untuk menyejahterakan rakyat dipolitisasi
untuk kepentingan diri sendiri terutama menjelang
pemilukada. Formatif-summatif evaluation model ada perpaduan
evaluasi pada saat suatu program sedang dilaksanakan
dan telah dilaksanakan. Evaluasi ini menekankan
tranparansi informasi yang digunakan untuk pengambilan
keputusan pada aliran dana anggaran hibah dan bantuan
sosial. Model ini diimplementasikan dengan membentuk
15
tim evaluasi khusus pada BPKD dan mengintegrasikan
model evaluasi ini dalam fraud control. Formatif-summatif
evaluation model yang berkelanjutan dan terintegrasi
ini akan menghasilkan anggaran yang tidak bersifat
sepihak sehingga anggaran benar-benar menjadi alat
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Rekomendasi dari karya tulis ini adalah
pemerintah pusat membentuk tim evaluasi khusus di BPKP
dan bekerja sama dengan Kementrian Dalam Negeri untuk
mengawasi kinerja terutama politik anggaran kepala
daerah. Lembaga yudikatif harus fokus dan netral
terhadap kasus politisasi anggaran. Yang terakhir,
penguatan masyarakat sipil untuk turut mengawasi
kinerja pemerintah daerah.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah dan Asmara., 2006. Perilaku OpportunistikLegislatif dalam Penganggaran Daerah. SimposiumNasional Akuntansi IX: Padang.
[ICW] Anti Korupsi. 2009. Musyawarah Mengangsir DanaHibah. http://www.antikorupsi.org/id/content/musyawarah-menggangsir-dana-hibah [20 Agustus 2013]
[ICW] Anti Korupsi. 2010. Label Rakyat dan KebutuhanRakyat. http://www.antikorupsi.org/id/content/label-rakyat-dan-kebutuhan-rakyat [18 Agustus 2013]
Jauhari, Thontowi. 2013. Permainan Bansos dan Hibah.http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/07/04/229767/Permainan-Bansos-dan-Hibah [18 Agustus 2013]
Roni. 2012. Rasionalisasi Dana Hibah dan BansosProvinsi Jawa Tengah.http://www.infopantura.com/rasionalisasi-dana-hibah-dan-bansos-provinsi-jawa-tengah/ [14 Agustus 2013]
Seknas Fitra. 2011. Tahun Pembajakan Anggaran olehElit, Mengabaikan Kesejahteraan Rakyat (4):1-23.
Seknas Fitra. 2012. Reformasi Penganggaran diIndonesia: 1-12.
______ Permendagri Nomor 32 tahun 2011 tentang PedomanPemberian Hibah dan Bantuan Sosial
______ Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentangPerubahan atas Pedoman Pemberian Hibah dan BantuanSosial
______ UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah______ UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan______ UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah______ UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan
vi
CURRICULUM VITAE
IDENTITAS PRIBADINama Lengkap : Bony Feryanto MaryonoTempat, Tanggal Lahir : Rantepao, 2 Februari 1991Alamat : Jl. Jati No. 22 PanakkukangNo. Handphone : 08991590125Email : [email protected]
PENDIDIKAN SDN 69 Inpres Buntao; 1997-2003 SMPN1 Buntao’ Rantebua, 2003-2006 SMA Katolik Cendera wasih Makassar, 2007-2010 Universitas Hasanuddin, Fakultas Ekonomi Jurusan
Akuntansi, 2010-sekarang
KARYA ILMIAH YANG PERNAH DIBUAT
Akuntan Berkarakter Maritim Mewujudkan ASEANEconomic Community 2015
PENGHARGAAN YANG PERNAH DIRAIH
Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ekonomi UniversitasHasanuddin 2013
vii