korelasi high sensitivity c-reactive protein - perpustakaan ...

104
KORELASI HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN (hs-CRP) DAN KOLESTEROL LOW DENSITY LIPOPROTEIN (LDL) PADA PASIEN HIPERTENSI NON OBES Correlation of High Sensitivity C – Reactive Protein (Hs- CRP) and Cholesterol Low Density Lipoprotein (LDL) in Non Obese Hypertensive Patients SUHARTINI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of korelasi high sensitivity c-reactive protein - perpustakaan ...

i

KORELASI HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN(hs-CRP) DAN KOLESTEROL LOW DENSITY LIPOPROTEIN

(LDL) PADA PASIEN HIPERTENSI NON OBES

Correlation of High Sensitivity C – Reactive Protein (Hs-CRP) and Cholesterol Low Density Lipoprotein (LDL) in

Non Obese Hypertensive Patients

SUHARTINI

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2018

ii

KORELASI HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN(hs-CRP) DAN KOLESTEROL LOW DENSITY LIPOPROTEIN

(LDL) PADA PASIEN HIPERTENSI NON OBES

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Biomedik

Disusun dan diajukan oleh

SUHARTINI

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018

iii

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : SUHARTINI

Nomor mahasiswa : P1505216005

Program studi : BIOMEDIK

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau tidak dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan

tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, Nopember 2018

Yang menyatakan

SUHARTINI

v

PRAKATA

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah Azza wa

Jalla, Rabb semesta alam. Penulis panjatkan kehadirat-Nya yang telah

memberikan limpahan rahmat, karunia dan kekuatan sehingga tesis ini

dapat selesai dengan baik. Salam dan salawat senantiasa penulis

haturkan kepada Rasulullah Muhammad Sallalahu ‘Alaihi Wassallam

sebagai satu-satunya uswa dan qudwah dalam menjalankan aktivitas

keseharian di atas permukaan bumi ini, juga kepada keluarga beliau, para

sahabatnya, dan orang-orang mukmin yang senantiasa istiqomah meniti

jalan hidup ini, hingga akhir zaman dengan Islam sebagai satu-satunya

agama yang diridhai Allah Azza wa jalla. Penulis menyadari bahwa tesis

ini, terwujud berkat uluran tangan dari insan-insan yang telah digerakkan

hatinya oleh Sang Khalik untuk memberikan dukungan, bantuan dan

bimbingan bagi penulis. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima

kasih yang tak terhingga, atas segala bantuan moril dan materil yang

diberikan kepada penulis.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya,

penulis sampaikan kepada:

1. dr.Uleng Bahrun, Ph.D., Sp.PK. (K)., selaku Ketua Konsentrasi

Kimia Klinik Prodi Biomedik Sekolah Pasca Sarjana UNHAS dan

pembimbing I atas segala perhatian dan keikhlasan dalam

vi

meluangkan waktu membimbing dan memberikan saran-saran

pemikiran kepada Penulis.

2. Prof. Mansyur Arif, Ph.D, Sp.PK (K) selaku pembimbing II atas

segala perhatian dan keikhlasan dalam meluangkan waktu

membimbing dan memberikan saran-saran pemikiran kepada

Penulis.

3. Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes, Dr. dr. Sitti Rafiah, M.Si, Dr. dr.

Nurahmi, M.Kes, Sp.PK, selaku penguji I, penguji II dan Penguji III.

4. Kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

pemerintah Kab. Sinjai, Puskesmas Lappae, dan Puskesmas

Samaenre atas ijin penelitian yang diberikan kepada penulis.

5. Kepala Laboratorium Kesehatan Parahita Makassar yang telah

membantu dalam pemeriksaan sampel penelitian penulis.

6. H. Hasanuddin Thaha dan Hj. Nurhayati orang tua tersayang yang

tiada hentinya mendoakan, memotivasi penulis dalam penelitian

ini.dan saudariku yang paling mengertiku Sulastri, SE dan

Haerunisa,S.Pd yang selalu membantu dalam proses penulisan ini.

7. Teman seperjuangan Halima Hatapayo, dr.rasfayanah, M.Kes,

Supriati wila djami, Edi Sukarman, A. Yuli Rohma.

8. Suamiku tersanyang Azhar Pasahi yang memberiku kesempatan

dan selalu mendukungan dalam melaksanakan pendidikan di

Pasca Sarjana UNHAS dan anak-anakku tersayang Faika Inayah

dan Diyaulhaq Azani yang selalu mengerti kesibukanku.

vii

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis

menerima saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari berbagai pihak

demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon ridha dan

magfirahnya, semoga segala dukungan serta bantuan semua pihak

mendapat pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Semoga karya ini

dapat bermanfaat kepada para pembaca. Aamiin.

Makassar, November 2018

SUHARTINI

viii

ABSTRAK

SUHARTINI, Korelasi High Sensitivity C - Reaktif Protein (Hs-CRP) danKolestrol Low Density Lipoprotein (LDL) pada Pasien Hipertensi Non Obes(dibimbing oleh Uleng Bahrun dan Mansyur Arif).

Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) perbedaan kadar Hs-CRPpada subyek hipertensi nonobes pada kelompok jenis kelamin dan umur,(2) perbedaan kadar kolesterol LDL pada subyek hipertensi nonobes padakelompok jenis kelamin dan kelompok umur, (3) korelasi kadar hs-CRPdan kolesterol LDL pada subyek hipertensi non obes.

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Lappae dan Samaenre diKabupaten Sinjai. Metode yang digunakan potong lintang dengan jumlahsampel 64 subyek hipertensi nonobes yang memenuhi kriteria inklusi daneksklusi. Pemeriksaan Hs-CRP menggunakan metode immunoturbidimetridan kolesterol LDL dengan metode Hom ogeneus. Data dianalis denganmenggunakan analisis statisti dengan uji-T, Mann-Whitney dan korelasiSpearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar kolesterol padasubyek hipertensi non obes pada kelompok laki-laki lebih tinggi darikelompok perempuan tetapi secara statistik tidak bermakna. Rerata kadarkolesterol pada kelompok umur ≥ 60 tahun lebih tinggi dari kelompok umur38-59 tahun, tetapi perbedaannya secara statistik tidak bermakna. KadarHs-CRP pada subyek hipertensi non obes pada kelompok jenis kelaminsecara statistik tidak bermakna, pada kadar Hs-CRP dengan kelompokumur ≥ 60 tahun dan kelompok umur 38-59 tahun, secara statistik tidakbermakna. Tidak terdapat korelasi antara kadar Hs-CRP dengan kadarkolesterol LDL (p=0.148 r = 0.133).

Kata kunci: high sensitivity C-Reaktif Protein (hs-CRP), kolesterol LDL, Hipertensi nonobes

ix

ABSTRACT

SUHARTINI, Correlation of High Sensitivity C – Reactive Protein (Hs-CRP) and Cholesterol Low Density Lipoprotein (LDL) in Non ObeseHypertensive Patients (Supervised by Uleng Bahrun and Mansyur Arif).

This aims of this research were to find out (1) differences in hs-CRP levels in non-obese hypertensive subjects in the sex and age groups,(2) differences in LDL cholesterol levels in non-obese hypertensivesubjects in the sex and age group, (3) hs level correlation-CRP and LDLcholesterol in non-obese hypertensive subjects.

This research was conducted at Lappae and Samaenre LocalGovernment Clinic in Sinjai Regency. The method used was crosssectional with a sample of sixty-four non-obese hypertensive subjects whomeet the inclusion and exclusion criteria. The hs-CRP examination usedthe immunoturbidimetry and LDL cholesterol method with theHomogeneus method. The data were analyzed by means of statisticalanalysis with t-test, Mann-Whitney and Spearman correlation.

The result shows that the mean cholesterol level in non-obesehypertensive subjects in the male group was higher than the female groupbut statistically not significant. The mean cholesterol level in the age group≥ 60 years was higher than the age group 38-59 years, but the differencewas not statistically significant. The hs-CRP level in non-obesehypertensive subjects in the sex group was not statistically significant, atthe hs-CRP level with the age group ≥ 60 years and the age group 38-59years, statistically not significant. There is no correlation between hs-CRPlevels and LDL cholesterol levels (p = 0.148 r = 0.133).

Keyword: high sensitivity c-reative (hs-CRP), low density lipoprotein (LDL), non-obese

hypertension

x

DAFTAR ISI

PRAKATA v

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

DAFTAR SINGKATAN xvii

BAB I 1

Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan masalah 4

C. Tujuan penelitian 4

1. Tujuan umum 4

2. Tujuan Khusus 4

D. Manfaat penelititan 5

BAB II

Tinjauan pustaka 6

A. Hipertensi 6

1. Pengertian 6

2. Klasifikasi 8

3. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi 8

xi

a. Faktor Genetik 8

b. Faktor Lingkungan 9

4. Patofisiologi Hipertensi 10

a. Retensi Sodium oleh Ginjal 12

b. System Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) 13

c. Sistem Saraf Otonom 14

d. Disfungsi Endotel 15

B. Arterosklerosis 18

1. Pengertian 18

2. Perkembangan Arteriosklerosis 20

3. Faktor Penentu Kebutuhan dan Penyediaan Oksigen

Miokardium 23

4. Patologi 24

5. Faktor Risiko 31

a. Hiperlipidemia 32

b. Faktor lain yang dapat diubah 33

6. Patogenesis Aterosklerosis 34

C. CRP 57

D. LDL Kolestrol 61

E. Hipertensi pada penyakit jantung koroner 63

F. Kerangka Teori 65

G. Kerangka Konsep 66

H. Variabel penelitian 66

xii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan penelitian 67

B. Lokasi dan waktu penelitian 67

C. Populasi dan sampel 67

a. Populasi 67

b. Sampel 67

D. Kriteria sampel 68

1. Kriteria inklusi 68

2. Kriteria eksklusi 68

E. Defenisi Operasional 69

F. Persiapan Alat dan Bahan 70

G. Cara Kerja 70

H. Analisis data 71

I. Alur penelitian 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 73

B. Pembahasan 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 81

B. Saran 81

Daftar Pustaka 82

Lampiran Data Penelitian 85

xiii

DAFTAR TABEL

Lampiran Halaman

Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII ....................................... 8

Tabel 2 Data primer subyek penelitian 73

Tabel 3 Kadar kolesterol LDL subyek hipertensi non laki-laki dan

perempuan 74

Tabel 4 Kadar kolesterol LDL pada subyek hipertensi non obes

berdasarkan kelompok umur 75

Tabel 5 Kadar hs-CRP subyek hipertensi non obes laki-laki dan

perempuan 76

Tabel 6 Kadar hs-CRP pada subyek hipertensi non obes dengan

kelompok umur 76

Tabel 7 Korelasi kolesterol LDL dan hs-CRP pada subyek hipertensi

Non obes 77

xiv

DAFTAR GAMBAR

Lampiran Halaman

Gambar 1 Beberapa faktor resiko yang terkait dengan pengendalian

tekanan darah 11

Gambar 2 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron 14

Gambar 3 Aterosklerosis : riwayat, gambaran morfologi, pathogenesis,

dan komplikasi-komplikasi klinis 21

Gambar 4 Perubahan patologis progresif pada penyakit aterosklerosis

koroner 25

Gambar 5 Perubahan-perubahan dinding arteri pada “hipotesis respon

terhadap cedera” 38

Gambar 6 Gambar Skematik rangkaian interaksi seluler dari hipotesis

respon terhadap cedera pada arterosklerosis 39

Gambar 7 disfungsi endotel pada arterosklerosis 43

Gambar 8 Efek filtrasi LDL menginisiasi proses radang pada dinding

Arteri 46

Gambar 9 Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi 47

Gambar 10 Gambaran skematik efek LDL dan LDL teroksidasi dalam

patogenesis aterosklerosis 53

Gambar 11 jalur inflamasi selama arterosklerosis yang dapat

meningkatkan konsentrasi penenda inflamasi pada darah 56

xv

Gambar 12 mekanisme terkait hs-CRP terhadap perkembangan dan

progresi aterosklerosis 59

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Data penelitian 85

xvii

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/Singkatan Arti dan keterangan

AHA American Heart Association

Apo B Apolipoprotein B

AT1 Angiotensin II tipe I

BMI Body mass index

CDC Center for Disease Control

CRP C-Reaktive protein

CVD Cardio Vaskuler Disease

HDL High density lipoprotein

hs-CRP High sensitivity C-reactive protein

IHD Ischemic heart disease

JNC The Joint National Commision

LDL Low density lipoprotein

NaCL Natrium Clorida

NO Nitrit Oksida

NTS Nucleus traletus solitarzus

ox-LDL LDL teroksidasi

PAI-1 Plasminogen activator inhibitor-1

PGI2 Prostaglandin Inhibitor 2

PJK Penyakit Jantung Koroner

RAA Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

RBP Retinol binding protein

xviii

Lambang/Singkatan Arti dan keterangan

ROS Reactive oxygen species

RVTL Rostral ventrolateral medulla

SKA Sindrom koroner akut

TNFα Tumor necrosis factor

UPR Unfolded protein respon

VLDL Very low density lipoprotein

WHO World Health Organization

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi berdasarkan kriteria The Joint National Commision (JNC

VII), didefenisikan sebagai kondisi dimana tekanan darah sistolik lebih dari

atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari atau

sama dengan 90 mmHg. Hipertensi mengakibatkan setengah dari

penyakit jantung koroner dan sekitar 2/3 penyakit serebrovaskuler. (Pikir,

B.S. dkk, 2015)

Menurut data World Health Organization (WHO), diseluruh dunia

sekitar 972 juta orang atau 26,4% orang diseluruh dunia mengidap

hipertensi, angka ini mungkin meningkat menjadi 29,2% ditahuin 2025.

Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan

sisanya 639 juta berada di negara berkembang, Termasuk Indonesia

(Yonata, 2016).

Di Indonesia, sampai saat ini hipertensi masih merupakan

tantangan besar, merupakan kondisi yang sering ditemukan pada

pelayanan kesehatan primer. Hal ini merupakan masalah kesehatan

dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8% sesuai dengan data

Riskesda 2013 (Pusdatin Kemenkes, 2014). Berdasarkan kelompok umur

penderitanya, prevalensi hipertensi pada umur >75 tahun adalah 63,8%;

umur 65-74 tahun adalah 57,6%; umur 55-64 tahun adalah 45,9%; umur

2

45-54 tahun adalah 35,6%; umur 35-44 tahun adalah 24,8%; umur 25-34

tahun adalah 14,7%; dan umur 15-24 tahun adalah 8,7%, (Depkes, 2016)

Low density lipoprotein (LDL) mengganggu fungsi endotel dengan

meningkatkan produksi radikaI bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan

Nitrit Oksida (NO), yaitu faktor endothelial-relaxing utama. Kolesterol LDL

tertimbun dalam lapisan intima di tempat meningkatnya permeabilitas

endotel. Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding

arteri menyebabkan terjadinya oksidasi kolesterol LDL, yang berperan dan

mempercepat timbulnya plak ateromatosa. Oksidasi kolesterol LDL

diperkuat oleh kadar kolesterol High density lipoprotein (HDL) yang

rendah, diabetes mellitus, defisiensi estrogen, hipertensi, dan merokok.

(Price, S.A. dkk. 2013). Kolesterol LDL dapat juga berperan terhadap

tejadinya inflamasi yang dapat diukur dengan pemeriksaan hs-CRP.

Sejumlah penelitian, baik pengamatan (nested case control dan

kohor prospektif) dan uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan

hubungan biomarker pro-inflamasi dengan hipertensi, sindrom metabolik,

penyakit arteri koroner, sindrom koroner akut, penyakit arteri perifer, strok

dan kejadian koroner berulang dan serebrovaskular. Sekitar 25 penelitian

observasional besar yang diterbitkan sejak tahun 1990-an merujuk protein

C-reaktif sensitivitas tinggi (high sensitivity C-reactive protein/hs-CRP),

biomarker peradangan, sebagai penanda independen untuk Penyakit

Jantung Koroner. Sebuah analisis dari penelitian observasional ini

menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kadar hs-CRP tinggi

3

memiliki kemungkinan lebih besar 1,5 kali menderita penyakit jantung

koroner dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar rendah,

setelah disesuaikan dengan faktor risiko yang sudah ada (Kamath, D.Y. et

all. 2015). Data Framingham Heart study mendukung adanya hubungan

antara hipertensi dan displedemia.(Budi s.P, 2015)

Obesitas terjadi pada 64% pasien hipertensi. Lemak tubuh

mempengaruhi kenaikan tekanan darah dan hipertensi. Penurunan berat

badan menurunkan tekanan darah pada pasien obesitas. Individu obesitas

mempunyai resiko lebih tinggi signifikan terjadinya hipertensi. Body mass

index (BMI) >24,9 Kg/m dihubungkan dengan peningkatan penyakit

kardiovaskuler. Peningkatan yang sama juga telah diidentifikasi untuk

hipertensi. (Pikir,S.P, 2015)

Dalam penelitian studi Framingham, didapatkan 70% hipertensi pada

laki-laki dan 61% pada wanita memiliki kelebihan lemak atau berat badan

yang berlebih. Terdapat beberapa mekanisme yang menjelaskan bahwa

obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi yang didukung

oleh data-data dari penelitian pada manusia dan hewan coba, yaitu

melalui overaktivitas simpatis, resistensi leptin selektif, peran adipokin,

overaktivitas sistem renin angiotensin aldosteron, reactive oxygen Species

(ROS), defisiensi NO dan beberapa teori lain. Jaringan lemak viseral

merupakan penghubung antara obesitas dengan hipertensi dan

aterosklerosis (Pikir, B.S., dkk, 2015). Surentu,J. H et al tahun 2014

tentang “Hubungan kadar kolestrol High density lipoprotein darah dengan

4

kadar high sensitivity C-Reactive protein (hs-CRP) pada remaja obes”,

hasilnya tidak terdapat hubungan antara kadar kolestrol HDL darah

dengan kadar hs-CRP pada remaja obes.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui korelasi kadar hs-CRP dan LDL kolestrol pada pasien

hipertensi yang non obes.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, dirumuskan

masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana perbedaan kadar kolesterol LDL dengan jenis kelamin

dan kelompok umur pada pasien hipertensi non obes?

b. Bagaimana kadar hs-CRP dengan jenis kelamin dan kelompok

umur pada pasien hipertensi non obes?

c. Bagaimana korelasi kadar hs-CRP dan kolesterol LDL pasien

hipertensi non obes?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui korelasi kadar hs-CRP dan kolesterol LDL pasien

hipertensi non obes.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan kadar kolesterol LDL dengan jenis

kelamin dan kelompok umur pada pasien hipertensi non obes.

5

b. Mengetahui hubungan kadar hs-CRP dengan jenis kelamin

dan kelompok umur pada pasien hipertensi non obes.

c. Mengetahui korelasi kadar hs-CRP dan kolesterol LDL pada

pasien hipertensi non obes.

D. Manfaat penelitian

1. Mengetahui korelasi inflamasi melalui penanda hs-CRP dan

kolesterol LDL pada hipertensi non obes.

2. Dapat memberikan gambaran tentang kadar hs-CRP pada pasien

hipertensi non obes.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTENSI

1. Pengertian

Hipertensi secara umum didefinisikan sebagai kondisi di mana

tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg atau

tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg. Tekanan

darah yang tinggi merupakan faktor risiko yang kuat dan penting untuk

penyakit-penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, seperti penyakit

jantung koroner, gagal jantung dan gagal ginjal. Tekanan darah yang

tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan dan

interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan penyebabnya

hipertensi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu hipertensi

esensial atau hipertensi primer, yaitu hipertensi dengan penyebab yang

belum diketahui dengan jelas dan hipertensi sekunder, di mana hipertensi

terjadi sebagai akibat dari penyakit lain. (Pikir,S.B, dkk, 2015)

Hipertensi akan menyebabkan kerusakan sejumlah organ penting

(target organ demage), yaitu jantung, otak, ginjal dan retina mata.

Kelangsungan hidup (survival) dalam beberapa tahun akan menurun

drastis setelah terdeteksi adanya kerusakan organ seperti hipertrofi bilik

kiri jantung, payah jantung, payah ginjal, gangguan iskemik otak maupun

stroke. Setiap kenaikan tekanan darah 20/10 mmHg akan meningkatkan

risiko mortalitas kardiovaskuler dua kali lipat. (Rilantono L.I, 2012)

7

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita

hipertensi mungkin tak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa

laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan

organ yang bermakna. Bila terdapat gejala maka biasanya bersifat non-

spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Apabila hipertensi tetap tidak

diketahui dan tidak dirawat, mengakibatkan kematian karena payah

jantung, infark miokardium, stroke, atau gagal ginjal. Namun deteksi dini

dan perawatan hipertensi 1 yang efektif dapat menurunkan jumlah

morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan tekanan darah

secara teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi (Price

S.A. et al, 2013).

2. Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII (Sumber: Pikir,B.A. dkk.,

2015)

Tingkat Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prahipertensi 120-139 80-89

Tingkat I 140-159 90-99

Tingkat 2 >160 >100

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi

8

Tekanan darah yang tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor genetik,

faktor lingkungan dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Berikut

beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan kondisi hipertensi.

a. Faktor Genetik

Bukti-bukti adanya pengaruh genetik terhadap tekanan darah

sudah banyak ditunjukkan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Pada

penelitian terhadap saudara kembar, konkordansi atau

kecenderungan kemiripan kondisi tekanan darah ternyata lebih

banyak ditemukan pada saudara kembar monozigotik dibandingkan

pada kembar dizigotik. Studi-studi populasi juga menunjukkan bahwa

terdapat kecenderungan kemiripan atau konkordansi kondisi tekanan

darah yang lebih besar dalam satu keluarga dibandingkan kondisi

tekanan darah antar keluarga yang berbeda. Selain itu, pada studi-

studi tentang tekanan darah pada saudara adopsi, juga menunjukkan

bahwa kecenderungan kemiripan tingkat tekanan darah lebih besar

terdapat antar saudara kandung dari pada terhadap saudara adopsi

meskipun dibesarkan pada lingkungan rumah tangga yang sama.

(Pikir, B.S. dkk. 2015)

b. Faktor Lingkungan

1) Diet Tinggi Garam

Pada studi Intersalt dengan populasi penelitian yang cukup

luas mencakup 10.079 subjek laki-laki dan perempuan usia 20 hingga

59 tahun dari 52 pusat penelitian yang tersebar di seluruh dunia,

9

didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara

konsumsi garam dengan perkembangan terjadinya hipertensi, dengan

pengukuran ekskresi sodium lewat urine selama 24 jam dihubungkan

dengan tekanan darah sistolik dan diastolik. (Pikir, B.S. dkk. 2015)

2) Stress

Kejadian-kejadian dalam kehidupan yang menimbulkan emosi

negatif seperti kemarahan, ketakutan dan kesedihan, sudah sejak

lama diketahui dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah

secara temporer. Karena metode eksperimental yang terstandardisasi

di laboratorium untuk mengukur respons kardiovaskular dan respons

neuroendokrin terhadap stress psikologis maupun lingkungan sudah

dapat diaplikasikan, maka kini dapat dibuktikan bahwa stress

psikologis dan lingkungan dapat meningkatkan respons-respons

tersebut dalam jangka pendek. (Pikir, B.S. dkk. 2015)

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis terutama melalui

aktivasi terhadap reseptor beta adrenergik merupakan mediator utama

efek stress terhadap kenaikan tekanan darah, meskipun terdapat juga

faktor-faktor lain yang terlibat. Pola kepribadian dan kebiasaan

tertentu juga berhubungan dengan respons stres yang tinggi dan risiko

hipertensi yang lebih besar (Pikir, B.S. dkk. 2015).

3) Obesitas

Jaringan lemak viseral merupakan penghubung antara obesitas

dengan hipertensi dan aterosklerosis. Sel-sel lemak menghasilkan

10

beberapa substansi biologis aktif yang disebut adipokin. Beberapa

adipokin bersifat sebagai prohipertensi seperti leptin,

angiotensinogen, resistin, retinol binding protein (RBP4), plasminogen

activator inhibitor-1 (PAL-1), tumor necrosis factor (TNFα), asam

lemak, hormon steroid, dan faktor-faktor pertumbuhan. Sedangkan

beberapa adipokin bersifat sebagai antihipertensi, contohnya adalah

adiponektin. (Pikir, B.S. dkk., 2015)

Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus.

Bentuk hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial.

Patogenesis pasti tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari

berbagai variabel. Mungkin pula ada predisposisi genetik. Mekanisme lain

yang dikemukakan mencakup perubahan-perubahan berikut: (1) Ekskresi

natrium dan air oleh ginjal, (2) Kepekaan baroreseptor, (3) Respons

vaskular, dan (4) Sekresi renin. Lima persen penyakit hipertensi terjadi

sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkim ginjal atau

aldosteronisme primer (Sylvia A. Price, 2013).

4. Patofisiologi Hipertensi

Faktor-faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah,

pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi rumus dasar:

tekanan darah = curah jantung x resistensi perifer. Tekanan darah

dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistern sirkulasi yang

merupakan hasil dari aksi pompa jantung atau yang sering disebut curah

jantung (cardiac output) dan tekanan dari arteri perifer atau sering disebut

11

resistensi perifer (Budi, S.P,2015). Pada hipertensi primer (esensial) ada

sejumlah faktor yang berperan, yaitu faktor hormonal pada system renin-

angiotensin aldosterone, system saraf otonom, tahanan perifer, asupan

garam Natrium Clorida (NaCL) dan lain-lain, seperti yang ditunjukkan di

gambar 1.

Gambar 1. Beberapa faktor resiko yang terkait dengan pengendalian tekanan darahyang berdasarkan rumus dasar: tekanan darah = curah jantung x resistensiperifer. (Pikir, B.S. dkk. 2015)

Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka peningkatan tekanan

darah secara logis dapat terjadi karena peningkatan curah jantung dan

12

atau peningkatan resistensi perifer. Peningkatan curah jantung dapat

melalui dua mekanisme yaitu melalui peningkatan volume cairan (preload)

atau melalui peningkatan kontraktilitas karena rangsangan neural jantung.

Meskipun faktor peningkatan curah jantung terlibat dalam permulaan

timbulnya hipertensi, namun temuan-temuan pada penderita hipertensi

kronis menunjukkan adanya hemodinamik yang khas yaitu adanya

peningkatan resistensi perifer dengan curah jantung yang normal (Pikir,

B.S. dkk., 2015).

Proses autoregulasi, yaitu proses di mana dengan adanya

peningkatan curah jantung maka jumlah darah yang mengalir menuju

jaringan akan meningkat pula, dan peningkatan aliran darah ini

meningkatkan pula aliran nutrisi yang berlebihan melebihi kebutuhan

jaringan dan juga meningkatkan pembersihan produk-produk metabolik

tambahan yang dihasilkan, maka sebagai respons terhadap perubahan

tersebut, pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi untuk

menurunkan aliran darah dan mengembalikan keseimbangan antara

suplai dan kebutuhan nutrisi kembali ke normal, namun resistensi perifer

akan tetap tinggi yang dipicu dengan adanya penebalan struktur dari sel-

sel pembuluh darah (Pikir S.A. dkk., 2015).

Berikut adalah beberapa faktor yang berkaitan dengan mekanisme

patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.

a. Retensi Sodium oleh Ginjal

13

Ginjal dapat berperan baik sebagai pemicu maupun sebagai

sasaran dari hipertensi. Defek fundamental dari penyebab hipertensi oleh

faktor ginjal adalah karena ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresi

sodium yang dikonsumsi berlebihan yang disebabkan oleh diet tinggi

garam. (Pikir B.S. dkk., 2015)

Pada mekanisme terkait volume autoregulasi di mana otot polos

pembuluh darah dapat mengalami vasokonstriksi dengan properti

intrinsiknya tanpa adanya pengaruh neural maupun hormonal, yang

disebabkan oleh karena peningkatan volume. Volume cairan yang

berlebihan menyebabkan peningkatan preload sehingga curah jantung

meningkat, peningkatan curah jantung menyebabkan suplai cairan ke

jaringan melebihi kebutuhan sehingga arteri merespons dengan

vasokonstriksi untuk menghentikan suplai yang berlebihan, sehingga

menyebabkan peningkatan resistensi perifer dan meningkatkan tekanan

darah (Pikir B.S. dkk., 2015).

b. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)

Sistem RAA merupakan sebuah sistem yang memegang peranan

penting dalam kontrol homeostatik tekanan arterial, perfusi jaringan dan

homeostatik volume ekstraseluler. Sistem ini berfungsi sebagai suatu

kelenjar endokrin yang unik di mana hormon aktifnya yaitu angiotensin II

dibentuk di ruang ekstraseluler melalui proses pembelahan proteolitik

sekuensial dari prekursomya, dan mampu meningkatkan tekanan darah

melalui berbagai mekanisme (Pikir B.S. dkk., 2015).

14

Interaksi antara angiotensin II dengan protein G reseptor

Angotensin II tipe I (AT1) akan mengaktifkan beberapa proses seluler

yang berkontribusi terhadap hipertensi dan mempercepat kerusakan

target organ akibat hipertensi. Proses-proses tersebut mencakup

vasokonstriksi, produksi Reactive Oxygen Species (ROS), inflamasi

vaskuler, remodelling vaskuler dan jantung dan produksi aldosteron. (Pikir

B.S. dkk., 2015)

Gambar 2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron. (Pikir, B.S. dkk. 2015)

c. Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom terdiri dari sistem saraf simpatis dan sistem

saraf parasimpatis. Pada sistem saraf simpatis, input sinaps eksitasi dan

15

inhibisi berasal dan nuklus traletus solitarzus (NTS), menuju ke saraf-saraf

di nukleus rostral ventrolateral medulla (RVLM), sebagai pusat aliran

simpatetik di batang otak. Dari RVLM di batang otak tersebut serabut

simpatis preganglionik bersinaps di medulla adrenal dan di rangkaian

ganglia simpatis para vertebral untuk melepaskan epinefrin. Serabut-

serabut postganglionik yang melepaskan norepinefrin akan menginervasi

jantung, pembuluh darah dan ginjal (Pikir, B.S. dkk. 2015).

Stimulasi Reseptor drenergik β dapat meningkatkan kontraktilitas

dan denyut jantung sehingga meningkatkan curah jantung. Sedangkan

stimulasi reseptor α pada pembuluh darah perifer dapat menyebabkan

vasokonstriksi, dan dalam jangka panjang menyebabkan remodeling

vaskuler dan hipertrofi (Pikir, B.S. dkk. 2015).

d. Disfungsi Endotel

Salah satu faktor penting dari patogenesis hipertensi adalah

disfungsi endotel. Lapisan endotel pada pembuluh darah berperan sangat

vital dalam menjaga kesehatan pembuluh darah, karena merupakan suatu

pertahanan utama terhadap arteriosclerosis dan hipertensi. Disfungsi

endotel, suatu penanda adanya suatu hipertensi dan faktor resiko

kardiovaskuler yang lain, ditandai dengan adanya gangguan pengeluaran

faktor-faktor relaksasi dari endotel (endhothelial derived relaxing factors)

seperti NO dan peningkatan pengeluaran faktor endotel yang bersifat

proinflamasi, protrombotik, faktor pertumbuhan dan vasokontriksi, yang

mencakup endhotelin, tromboksan dan TGF β. Adanya faktor-faktor yang

16

disebut terakhir tersebut menunjukkan bahwa pembuluh darah terinflamasi

oleh kondisi hipertensi dan inflamasi vaskuler sendiri juga berperan dalam

pembentukan dan komplikasi munculnya tekanan darah tinggi (Pikir, B.S.

dkk. 2015).

Nitrit Oksida adalah vasodilator yang cukup poten, dan berperan

sebagai penghambat adhesi dan agregasi platelet serta penekan migrasi

dan proliferasi sel otot polos vaskuler. NO dihasilkan oleh sel endotel

normal sebagai respon terhadap berbagai rangsangan termasuk salah

satunya karena perubahan tekanan darah, adanya shear stress dan

regangan pulsatile (Pikir, B.S. dkk. 2015).

Nitrit oksida juga berperan penting dalam pengaturan tekanan

darah, thrombosis dan proses arterioklerosis. Sistem kardiovaskuler pada

individu sehat akan terpapar dengan regangan vasodilator yang terkait

dengan NO, secara terus menerus, namun relaksasi vaskuler yang terkait

dengan NO ini ternyata hilang pada individu dengan hipertensi. Suatu

percobaan dengan memberikan superoksida menjadi hydrogen peroksida

secara invivo menunjukkan adanya penurunan tekanan darah dan

mengembalikan biokativitas NO dan hal ini menunjukkan bahwa stress

oksidan yang ditunjukkan dengan adanya spesies oksidan reaktif (ROS),

berkontribusi terhadap inaktivasi NO dan perkembangan disfungsi endotel

pada hipertensi. Adanya peningkatan stres oksidan yaitu ROS dan adanya

disfungsi endotel inilah yang mungkin menjadi juga penyebab timbulnya

hipertensi (Pikir,S.B dkk., 2015).

17

Trombus adalah bekuan darah yang terdiri atas trombosit, fibrin dan

sel darah merah serta sel darah putih yang bias terbentuk di mana saja

dalam system vaskuler seperti arteri, vena, ruang jantung, atau katup

jantung (Kowalak. et al., 2017).

Tiga keadaan yang dikenal sebagai trias Virchow memudahkan

pembentukan thrombus. Ketiga keadaan tersebut adalah : cedera endotel,

aliran darah yang lamban, dan peningkatan koagulabilitas. Kalau dinding

pembuluh darah mengalami cedera, lapisan endotelnya akan menarik

trombosit dan mediator inflamasi lainnya yang dapat menstimulasi

pembentukan bekuan darah. Aliran darah yang lamban atau abnormal

juga akan memudahkan pembentukan trombus dengan memungkinkan

trombosit serta faktor-faktor pembekuan berkumpul dan melekat pada

dinding pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan koagulabilitas

(kemungkinan darah untuk membeku) juga menggalakkan pembentukan

trombus (Kowalak. et al., 2017).

Separuh kematian akibat hipertensi disebabkan oleh infark

miokardium atau gagal jantung. Kerusakan pembuluh darah akibat

hipertensi terlihat jelas di seluruh pembuluh darah perifer. Perubahan

pembuluh darah retina yang mudah diketahui melalui pemeriksaan

oftalmoskopik, sangat berguna untuk menilai perkembangan penyakit dan

respons terhadap terapi yang dilakukan. Perubahan struktur dalam arteri-

arteri kecil dan arteriola menyebabkan penyumbatan pembuluh darah

progresif. Bila pembuluh darah menyempit maka aliran arteri terganggu

18

dan dapat menyebabkan mikroinfark jaringan. Akibat perubahan

pembuluh darah ini paling nyata terjadi pada otak dan ginjal. Obstruksi

atau ruptura pembuluh darah otak merupakan penyebab sekitar sepertiga

kematian akibat hipertensi. Sklerosis progresif pembuluh darah ginjal

mengakibatkan disfungsi dan gagal ginjal yang juga dapat menimbulkan

kematian. Hipertensi kronis merupakan penyebab kedua terjadinya gagal

ginjal stadium akhir dan 21% kasus membutuhkan terapi penggantian

ginjal (Price,S.A.et al., 2015).

B. ATEROSKLEROSIS

1. Pengertian

Istilah aterosklerosis berasal dari bahasa yunani yang berarti

penebalan tunika intima arteri (sclerosis = penebalan) dan penimbunan

lipid (athere = pasta) yang mencirikan lesi yang khas. Secara morfologi,

aterosklerosis terdiri atas lesi-lesi fokal yang terbatas pada arteri-arteri otot

dan jaringan eIastis berukuran besar dan sedang, seperti aorta (yang

dapat menyebabkan penyakit aneurisma), arteria popliteal dan femoralis

(menyebabkan penyakit pembuluh darah perifer), arteria karotis

(menyebabkan stroke), arteria renalis (menyebabkan penyakit jantung

iskemik , atau infark miokardium) (Price S.A. et al., 2013).

Aterosklerosis merupakan penyebab utama kematian dan

kecacatan di negara maju. Namun demikian, penyakit aterosklerotik yang

19

memengaruhi arteria koronaria merupakan penyebab terpenting

morbiditas dan mortalitas (Price S.A. et al., 2013).

Patogenesis aterosklerosis saat ini didasarkan pada teori hipotesis

respons terhadap cedera, yang menjelaskan bahwa aterosklerosis

merupakan suatu respons radang kronik dinding arteri yang dicetuskan

oleh adanya cedera endotel (disfungsi endotel) (Kumar 2007).

Cedera endotel merupakan dasar pertama dari hipotesis respons

terhadap cedera. Penyebab dari cedera atau disfungsi endotel adalah

peningkatan kadar LDL dan radikal bebas yang disebabkan oleh merokok

sigaret, hipertensi, diabetes melitus, faktor genetik, peningkatan

konsentrasi plasma homosistein, infeksi mikroorganisme seperti virus

herpes atau chlamydia pneumoniae, dan kombinasi dari faktor-faktor ini.

Hal-hal penting yang terutama menyebabkan cedera endotel adalah

gangguan hemodinamik dan hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia

kronik akan menyebabkan penimbunan kolesterol LDL dalam intima pada

tempat dimana permeabilitas endotel meningkat. Dengan dilepaskannya

radikal bebas maka LDL akan teroksidasi dan dicerna oleh makrofag

untuk membentuk sel-sel busa, hal ini yang merupakan precursor

terhadap pembentukan bercak ateroma (Kumar 2007).

Mekanisme radang berperan penting dalam memacu proses

aterogenesis dengan menginisiasi, meningkatkan secara progresif,

bahkan sampai menimbulkan komplikasi dari lesi-lesi aterosklerosis. Saat

ini beberapa kepustakaan telah menyebutkan bahwa proses radang

20

berperan penting pada perjalanan penyakit arteri koroner serta

manifestasi aterosklerosis lainnya (Ross R. 1999).

Sel otot polos pembuluh darah juga berperan dalam aterogenesis.

Sel otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima, kemudian

berproliferasi dan menimbun komponen matriks ekstrasel, yang akan

mengubah fatty streak menjadi suatu ateroma fibrofatty yang matang dan

menyokong pertumbuhan lesi aterosklerotik menjadi progresif (Foppy M,

2009).

Patogenesis aterosklerosis mencakup peran cedera endotel,

radang, lemak, sel-sel otot polos, dan faktor lain seperti oligoklonal dan

infeksi. Pembahasan diawali dengan menampilkan penjelasan tentang

perkembangan aterosklerosis dari lesi awal sampai lesi komplikasi dan

korelasi klinikopatologiknya (Foppy M, 2009)..

2. PERKEMBANGAN ATEROSKLEROSIS

Perkembangan aterosklerosis telah dimulai sejak usia dini, yaitu

mulai dekade pertama dengan pembentukan fatty streak yang kemudian

pada dekade ketiga berubah menjadi bercak ateroma (fase praklinik).

Umumnya bercak ateroma secara progresif terus menerus ber- ubah,

menjadi lebih besar dan dapat menimbulkan komplikasi bercak yang

kemu- dian menimbulkan manifestasi klinik pada usia pertengahan dan

usia lanjut (fase klinik) (Kumar 2007). Lihat gambar 3.

21

Gambar 3. Aterosklerosis: riwayat, gambaran morfologi, patogenesis, dankomplikasi-komplikasi klinisnya

Arteriosklerosis yang berarti pengerasan dinding arteri adalah istilah

umum bagi penebalan dan hilangnya elastisitas dinding arteri.

Aterosklerosis merupakan bentuk arteriosklerosis yang paling sering, dan

secara karakteristik ditandai oleh adanya lesi pada intima yang disebut

bercak ateroma. Bercak ini dapat menonjol ke dalam dan menutupi lumen

pembuluh darah, serta dapat melemahkan tunika media dibawahnya.

(Kumar 2007). Dalam perkembangan aterosklerosis maka pembentukan

bercak ateroma sepanjang dinding pembuluh darah arteri akan

menyebabkan pembuluh darah itu menyempit dan mengeras (Poppy,

2009).

22

Pembentukan bercak ateroma diawali oleh adanya fatty streak,

yang merupakan lesi terawal dari aterosklerosis. Fatty streak ini tidak

menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah dan tidak

menyebabkan gangguan aliran darah. Biasanya fatty streak muncul

sebagai bintik pipih berwarna kuning, multipel, dengan diameter < 1 mm,

yang menyatu dalam larikan panjang sekitar 1 cm atau lebih. Fatty streak

terdiri dari sel makrofag dan sel otot polos dengan sito- plasma distensi

karena mengandung lemak dan membentuk sel busa. Fatty streak

merupakan prekursor bercak ateroma, yang sudah dibentuk sejak usia

dini, tersering pada dekade pertama, namun tidak semuanya akan

berkembang menjadi bercak ateroma atau lesi-lesi lanjut (Kumar 2007).

Pembentukan bercak ateroma atau disebut juga ateromatosa, atau

bercak fibrolipid (fibrous atau fibrofatty) merupakan proses utama pada

aterosklerosis dan secara morfologik ditandai oleh penebalan tunika

intima dan penimbunan lemak. Bercak ateroma berupa suatu lesi fokal

yang meninggi pada tunika intima, lembut, warna kekuningan dengan

bagian pusat mengandung lemak (terutama terdiri dari kolesterol dan

ester kolesterol), ditutupi oleh suatu penutup warna putih yang keras

disebut fibrous cap. Ukuran bercak ateroma bervariasi 0,3-1,5 cm,

kadang-kadang menyatu sehingga membentuk massa yang lebih besar

(Kumar 2007). Umumnya bercak ateroma secara progresif terus menerus

berubah, menjadi lebih besar, terdapat kematian sel dan degenerasi,

sintesis dan degradasi matriks ekstrasel (remodeling) dan organisasi

23

trombus. Manifestasi klinik akibat aterosklerosis terutama disebabkan

oleh karena penyempitan arteri, dan bila penyempitan >70% maka dapat

terjadi iskemik pada organ yang dipasoknya (Poppy, 2009).

Pada stadium lanjut bercak-bercak ateroma dapat mengalami

komplikasi yang secara klinis sangat berarti. Komplikasi dapat berupa

ruptur fokal, ulserasi, atau erosi fokal dari permukaan lumen bercak

ateroma, perdarahan ke dalam bercak serta trombosis yang merupakan

komplikasi yang penting dan paling ditakuti karena dapat menyebabkan

penutupan arteri sebagian atau secara total, kalsifikasi, dan dilatasi

aneurisma (Poppy, 2009).

3. Faktor penentu kebutuhan dan penyediaan oksigen miokardium

Terdapat suatu keseimbangan kritis antara penyediaan dan

kebutuhan oksigen miokardium; penyediaan oksigen harus sesuai dengan

kebutuhan. Berkurangnya penyediaan oksigen atau meningkatnya

kebutuhan oksigen dapat mengganggu keseimbangan ini dan

membahayakan fungsi miokardium. Terdapat empat faktor utama yang

menentukan besarnya kebutuhan oksigen miokardium: frekuensi denyut

jantung, daya kontraksi, massa otot, dan tegangan dinding ventrikel.

Tegangan dinding atau beban akhir merupakan fungsi variabel-variabel

dalam persamaan Laplace tekanan intraventrikel, radius ventrikel, dan

tebal ventrikel. Oleh karena itu, kerja jantung dan kebutuhan oksigen akan

meningkat pada takikardia (denyut jantung cepat) dan peningkatan daya

24

kontraksi, hipertensi, hipertrofi, dan dilatasi ventrikel (Price, S.A. et al.,

2013).

Bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat, maka penyediaan

oksigen juga harus meningkat. Untuk meningkatkan penyediaan oksigen

dalam jumlah memadai, aliran pembuluh koroner harus ditingkatkan,

karena ekstraksi oksigen miokardium dari darah arteri hampir maksimal

pada keadaan istirahat. Rangsangan yang paling kuat untuk mendilatasi

arteria koronaria dan meningkatkan aliran pembuluh koroner adalah

hipoksia jaringan lokal. Pembuluh koroner normal dapat melebar dan

meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas tingkat

istirahat. Namun, pembuluh darah yang mengalami stenosis atau

gangguan tidak dapat melebar, sehingga terjadi kekurangan oksigen

apabila kebutuhan oksigen meningkat melebihi kapasitas pembuluh untuk

meningkatkan aliran. Iskemia adalah kekurangan oksigen yang bersifat

sementara dan reversibel. Iskemia yang lama akan menyebabkan

kematian otot atau nekrosis. Secara klinis, nekrosis miokardium dikenal

dengan nama infark miokardium (Price, S.A. et al., 2013).

4. PATOLOGI

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit

arteri koronaria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis

menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronari,

sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila

lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat

25

dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin

lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah

yang mengurangl kemampuan pembuluh untuk melebar. Dengan

demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen

menjadi tidak stabil sehingga mémbahayakan miokardium yang terletak di

sebelah bawah dari daerah lesi (Price, S.A. et al., 2013).

Gambar 4. Perubahan patologis progresif pada penyakit ateroskerosis koroner. (Pikir,B.S. dkk. 2015)

Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak

fibrosa, dan lesi komplikata (Gambar. 3), sebagai berikut:

26

1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis,

dicirikan dengan penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi

lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika intima

(lapisan terdalam arteri). Endapan lemak mendatar dan bersifat

non-obstruktif dan mungkin terlihat oleh mata telanjang sebagai

bercak kekuningan pada permukaan endotel pembuluh darah.

Endapan lemak biasanya dijumpai dalam aorta pada usia 10 tahun

dan dalam arteria koronaria pada usia 15 tahun. Sebagian endapan

lemak berkurang, tetapi yang lain berkembang menjadi plak fibrosa.

2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan

tunika intima yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan

lesi paling khas aterosklerosis lanjut dan biasanya tidak timbul

hingga usia dekade ketiga. Biasanya plak fibrosa berbentuk kubah

dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul ke arah

lumen sehingga menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri atas

inti pusat lipid dan debris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan

fibromuskular mengandung banyaksel-sel otot polos dan kolagen.

Plak fibrosa biasanya terjadi di tempat percabangan, lekukan, atau

penyempitan arteri. Sejalan dengan semakin matangnya lesi, terjadi

pembatasan aliran darah koroner dari ekspansi abluminal,

remodeling vaskular, dan stenosis luminal. Setelah itu terjadi

perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan

27

timbulnya fenomena yang disebut ”ruptur plak” dan akhirnya

trombosis vena.

3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan

mengalami gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan,

trombosis, atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark miokardium

(Price, S.A. et al., 2013).

Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan

kemampuan pembuluh darah untuk berespons juga berkurang,

manifestasi klinis penyakit belum tampak sampai proses aterogenik

mencapai tingkat lanjut. Fase praklinis dapat berlangsung 20-40

tahun. Lesi bermakna secara klinis yang mengakibatkan iskemia dan

disfungsi miokardium biasanya menyumbat lebih dari 75% lumen

pembuluh darah. Langkah terakhir proses patologis yang

menimbulkan gangguan klinis dapat tejad melalui: (1) Penyempitan

Iumen progresif akibat pembesaran plak; (2) Perdarahan pada plak

ateroma; (3) pembentukan trombus yang diawali agregasi trombosit;

(4) Embolisasi trombus atau fragmen plak; atau (5) Spasme arteria

koronaria. Meskipun terdapat berbagai penyebab yang dapat

menimbulkan penyumbatan pembuluh koroner akut, tetapi dalam

pemeriksaan otopsi terbukti bahwa trombosis intralumen merupakan

penyebab utama, yaitu menumpuk pada lesi aterosklerotik yang sudah

ada sebelumnya. Apakah oklusi trombotik merupakan peristiwa primer

atau sekunder, belum dapat ditentukan. Beberapa penyelidik percaya

28

bahwa spasme arteria koronaria dengan plak aterosklerotik akan

meningkatkan tekanan di dalam plak, mengakibatkan pecahnya plak

dan terjadi trombosis. Tetapi sebagian lagi percaya bahwa gabungan

mekanisme-mekanisme yang telah disebutkan di atas yang akhirnya

menimbulkan proses oklusi (Price, S.A. et al., 2013).

Penting diketahui bahwa lesi-lesi aterosklerotik biasanya

berkembang pada segmen epikardial di sebelah proksimal dari arteria

koronaria, yaitu pada tempat lengkungan tajam, percabangan, atau

perlekatan. Lesi-lesi ini cenderung terlokalisasi dan fokal dalam

penyebarannya; tetapi, pada tahap lanjut, lesi-lesi yang tersebar difus

menjadi menonjol (Price, S.A. et al., 2013).

Lesi awal dapat terjadi pada usia dewasa muda yaitu kurang

dari 30 tahun dan bersifat asimtomatik. Perkembangan fatty streak

menjadi bentuk yang lebih lanjut dan timbulnya plak tergantung

proses inflamasi selanjutnya termasuk infiltrasi monosit pada lesi,

yang kemudian akan berdeferensiasi menjadi makrofag dan

berkembang menjadi sel busa. Migrasi dari sel otot polos dari tunika

media membentuk kolagen untuk mengeliminasi sel busa dengan

fibrous cap. Bagian luar akan fibrous cap terus berkembang

bertambah besar sedangkan bagian sentral akan mengalami nekrosis

dan plak akan mengarah ke dalam lumen dan akan mengurangi aliran

darah menyebabkan iskemia. plak dengan selubung lipid yang besar

terdiri dari sel nekrotik, sel apoptotik dan sel debris memiliki fibrous

29

cap yang tipis akan mudah ruptur. Tempat terjadinya ruptur pada

lokasi dimana banyak terdapat makrofag akan mengakibatkan kontak

dari lipid core dan faktor pembekuan darah sehingga timbul trombus.

Trombus akan mengikuti aliran darah dan dapat menyumbat vaskuler

di tempat terjadinya stroke (Wibowo J, 2010).

Manifestasi klinis utama aterosklerosis adalah penyakit

kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner , stroke dan

penyakit vaskular perifer. (Muis M, Murtala B, 2011)

Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi. Faktor yang

memicu terjadinya inflamasi sangat banyak baik yang berasal dari

lingkungan internal maupun eksternal termasuk konsumsi yang

berlebih minyak yang terhidrogenasi, kadar insulin yang tinggi,

obesitas, radikal bebas oksidasi partikel LDL, infeksi bakterial, infeksi

viral, sphirokheta, infeksi Borrelia, infeksi penyakit periodontal,

helicobacter, homosistein, sitokin dalam sirkulasi termasuk IL-6 dan

TNF-α yang berperan sebagai mediator proses inflamasi. TNF-α

juga dikenαal dapat menginduksi resistensi insulin pada otot skelet

dan disfungsi endotel. IL-6 merangsang hepar untuk memproduksi

fibrinogen yang merupakan faktor prokoagulan. CRP yang

merupakan marker inflamasi berhubungan dengan resistensi insulin

obesitas dan produksi NO oleh endotel (Wibowo JW, 2010).

Proses terbentuknya aterosklerosis berlanjut sampai dewasa.

Abnormalitas metabolik ditemukan pada penderita obesitas, seperti

30

hiperglikemia, hipertensi dan aterogenik lipoprotein, yang dapat

menyebabkan kerusakan vaskuler. Bukti keterlibatan proses inflamasi

terhadap pembentukan plak aterosklerosis adalah dengan

ditemukannya peningkatan penanda inflamasi yaitu CRP (C-

Reactive Protein), interleukin-6, dan tumor necrosis factor pada

penderita obesitas dan pada penderita yang mengidap penyakit

kardiovaskuler (Anam MS, 2010).

Makrofag merupakan sel yang berperan penting pada proses

terjadinya lesi aterosklerosis dan sebagian dari sel ini akan mengalami

apoptosis, khususnya pada fase akhir dari lesi. Salah satu pemicu

apoptosis adalah akumulasi dari sejumlah besar kolesterol yang tidak

teresterifikasi atau kolesterol bebas. Sebagian dari akumulasi

kolesterol bebas pada membran retikulum endoplasma, yang pada

keadaan normal mengandung sedikit kolesterol, dan lebih banyak

cairan. Keadaan ini mungkin disebabkan karena perubahan fungsi dari

protein integral membran retikulum endoplasma, menyebabkan stress

pada retikulum endoplasma melalui jalur unfolded protein respon

(UPR). UPR meningkat pada proses apoptosis makrofag. Apoptosis

yang terjadi melalui jalur Fas dan mitokondria. Penelitian in vivo

mendukung pendapat bahwa UPR merupakan pemicu destabilisasi

dari plaque aterosklerosis pada lesi aterosklerosis tingkat lanjut, yang

akan menyebabkan aterotrombotik akut dan sumbatan pada vaskuler

yang lebih lanjut akan terjadi kematian jaringan (Wibowo JW, 2010).

31

5. FAKTOR RISIKO

Sekarang aterosklerosis tidak lagi dianggap timbul akibat

proses penuaan saja. Timbulnya “bercak-bercak lemak” pada dinding

arteria koronaria bahkan sejak masa kanak-kanak sudah merupakan

fenomena alamiah dan tidak selalu harus menjadi lesi aterosklerotik.

Sekarang dianggap terdapat banyék faktor yang saling berkaitan

dalam mempercepat proses aterogenik (Price S.A. et al., 2013).

Tiga faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah, yaitu:usia,

jenis kelamin laki-laki, dan riwayat keluarga. Kerentanan terhadap

aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia; Namun

demikian jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun,

sedangkan dari usia 40 hingga 60 tahun, insiden MI meningkat lima

kali lipat. Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar

pada laki-laki daripada perempuan. Perempuan agaknya relatif kebal

terhadap penyakit ini sampai usia setelah menopause, dan kemudian

menjadi sama rentannya seperti pada laki-laki. Efek perlindungan

estrogen dianggap menjelaskan adanya imunitas wanita pada usia

sebelum menopause, tetapi pada kedua jenis kelamin dalam usia 60

hingga 70-an, frekuensi MI menjadi setara (Price S.A. et al., 2013).

Faktor risiko tambahan lain masih dapat diubah sehingga

berpotensi memperlambat proses aterogenik. Faktor risiko utama

yang dapat diubah adalalah peningkatan kadar lipid serum; hipertensi;

merokok sigaret; diabetes melitus; gaya hidup yang tidak aktif,

32

obesitas (terutama tipe abdominal), dan peningkatan kadar

homosistein (Price S.A. et al., 2013) .

a. Hiperlipidemia

Lipid plasma yaitu-kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam

lemak bebas-berasal dari makanan (eksogen) dan dari sintesis lemak

(endogen). Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif

mempunyai makna klinis penting sehubungan dengan aterogenesis.

Lipid tidak larut dalam plasma, sehingga lipid terikat pada protein

sebagai mekanisme transport dalam serum. Ikatan ini menghasilkan

empat kelas utama lipoprotein: (1) Kilomikron, (2) Lipoprotein densitas

sangat rendah (3) Lipoprotein densitas rendah, dan (4) Lipoprotein

densitas tinggi. Kadar relatif lipid dan protein berbeda-beda pada

setiap kelas tersebut. Dari keempat kelas lipoprotein yang ada, LDL

yang paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan

VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya. Kadar protein tertinggi

terdapat pada HDL (Price S.A. et al., 2013).

Istilah hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol

dan/atau trigliserida serum di atas batas normal. Kasus dengan kadar

tinggi yang disebabkan oleh gangguan sistemik disebut sebagai

hiperlipidemia sekunder. Penyebab utama hiperlipidemia adalah

obesitas, asupan alkohol yang berlebihan, diabetes melitus,

hipotiroidisme, dan sindrom nefrotik. Hiperlipidemia akibat predisposisi

33

genetik terhadap kelainan metabolisme lipid disebut sebagai

hiperlipidemia primer (Price S.A. et al., 2013).

Faktor risiko gaya hidup mencakup obesitas, ketidakaktifan

fisik, dan diet aterogenik. Faktor risiko kedaruratan mencakup

gangguan glukosa puasa, homosistein, lipoprotein, faktor proinflamasi

dan protrombik, serta bukti penyakit aterosklerotik subklinis. Sindrom

metabolik mencakup faktor berikut: obesitas abdominal, dislipidemia

(peningkatan trigliserida, partikel LDL kecil atau VLDL terdegradasi),

peningkatan tekanan darah, resistensi insulin (dengan atau tanpa

intoleransi glukosa), dan keadaan proinflamasi serta protrombik. (Price

S.A. et al., 2013)

b. Faktor Lain yang Dapat Diubah

Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap

per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok

lebih dari satu pak rokok sehari menjadi dua kali lebih rentan terhadap

penyakit aterosklerotik koroner daripada mereka yang tidak merokok.

Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap

pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom. Namun efek nikotin

tidak bersifati kumulatif, mantan perokok tampaknya berisiko rendah

seperti pada bukan perokok. Aterosklerosis merupakan suatu penyakit

multifaktorial, dan bukti yang ada menunjukkan bahwa beberapa

faktor risiko tertentu dapat mempercepat aterogenesis (Price S.A. et

al., 2013).

34

6. PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS

Patogenesis aterosklerosis merupakan suatu proses interaksi yang

kompleks, dan hingga saat ini masih belum dimengerti sepenuhnya.

Interaksi dan respons komponen dinding pembuluh darah dengan

pengaruh unik berbagai stresor (sebagian diketahui sebagai faktor risiko)

yang terutama dipertimbangkan. Teori patogenesis yang mencakup

konsep, ini adalah hipotesis respons terhadap cedera, dengan beberapa

bentuk cedera tunika intima yang mengawali inflamasi kronis dinding arteri

dan menyébabkan timbulnya ateroma (Price S.A. et al., 2013).

Teori-teori lama menekankan bahwa terdapat dua hipotesis yang

dapat menerangkan terjadinya aterosklerosis yaitu yang pertama

proliferasi sel di dalam intima dan kedua organisasi serta pembentukan

trombi yang berulang-ulang. Namun saat ini konsep patogenesis dari

aterosklerosis yang dianut adalah menggabungkan kedua hipotesis lama

tersebut yang dikenal dengan istilah hipotesis respons terhadap cedera

(Response toinjury hypothesis) (foppy, 2009).

Hipotesis respons terhadap cedera menunjukkan bahwa

aterosklerosis adalah suatu respons radang kronik dinding arteri yang

dicetuskan oleh cedera endotel yang kemudian menjadi lesi yang

progresif karena interaksi antara lipoprotein termodifikasi, makrofag,

limfosit T dan kandungan seluler normal dinding arteri (Kumar, 2007).

Sejumlah pengamatan pada manusia dan hewan coba mendukung

teori hipotesis respons terhadap cedera. Pada awalnya diusulkan bahwa

35

denudasi endotel adalah langkah pertama pada proses aterosklerosis, dan

hipotesis ini lebih menekankan istilah disfungsi endotel daripada denudasi

endotel. Dalam proses aterosklerosis penyebab-penyebab disfungsi

endotel mencakup peningkatan kadar LDL termodifikasi, radikal bebas

yang disebabkan oleh merokok sigaret, hipertensi, diabetes melitus, faktor

genetik, peningkatan konsentrasi plasma homosistein, infeksi

mikroorganisme seperti virus herpes atau chlamydia pneumoniae, dan

kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dengan kata lain penyebab dari

disfungsi endotel telah tercakup semua pada faktor-faktor resiko

aterosklerosis (Foppy M, 2010).

Hal-hal utama pada hipotesis respons terhadap cedera dapat dijelaskan

berikut ini (Kumar, 2007) : (gambar 4 dan 5)

- Perubahan paling awal yang mendahului lesi aterosklerosis

berada pada sel endotel. Umumnya cedera endotel kronik

mengakibatkan disfungsi endotel yang tidak memberikan gejala.

Cedera endotel akan menurunkan produksi nitrik oksida (NO),

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan adhesi lekosit, serta

berpotensi trombotik. Cedera endotel mengakibatkan terjadinya

disfungsi sel endotel dan menjurus pada respons kompensatorik yang

mengubah homeostasis normal sel endotel dan meningkatkan adhesi

leukosit atau trombosit terhadap endotel.

36

- Akumulasi lipoprotein pada dinding pembuluh darah terutama

LDL dengan kandungan kolesterol tinggi, diikuti oleh modifikasi

lipoprotein pada lesi melalui proses oksidasi. Pada awal proses

aterogenesis ekspresi sel endotel melalui ICAM-I (inter- cellular

adhesion molekul-I) berikatan dengan macam-macam leukosit.

Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-I) mengikat monosit dan

limfosit T. Setelah monosit melekat pada sel endotel, monosit akan

bermigrasi melewati taut antar sel endotel masuk ke dalam tunika

intima dan mengalami trasformasi menjadi makrofag setelah

dirangsang oleh kemo- kin. Makrofag mencerna lipoprotein LDL yang

teroksidasi membentuk sel- sel busa. Makrofag memproduksi

interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) yang

meningkatkan adhesi lekosit. Makrofag juga menggerakkan beberapa

kemokin termasuk monocyte chemotactic protein-1 (MCP-I) yang

merekrut lebih banyak lekosit ke dalam berca ateroma. Oksigen

toksik yang dihasil- kan oleh makrofag menyebabkan oksidasi LDL.

Partikel LDL yang tertangkap pada dinding pembuluh da- rah akan

mengalami oksidasi progresif dan masuk ke dalam makrofag me- lalui

reseptor scavenger pada permu- kaan sel membentuk peroksidase

lemak dan memudahkan penimbunan ester kolesterol kemudian

membentuk sel busa. Selanjutnya terjadi pemben- tukan fatty streak

yang terdiri dari monosit lipid laden dan makrofag yang

mencerna LDL yang teroksidasi bersama-sama dengan limfosit T.

37

- Cedera endotel juga menginduksi sel endotel yang bersifat

prokoagulan dan membentuk substansi vasoaktif seperti sitokin dan

faktor-faktor pertumbuh- an. Proses radang merangsang migrasi dan

proliferasi sel otot polos pembu- luh darah membentuk bercak

ateroma. Bilamana proses radang tidak efektif untuk melawan agen

penyerang maka respon radang akan berlangsung terus sehingga

akan direkrut lebih banyak sel-sel makrofag, limfosit, dan trombosit,

yang beremigrasi dari pembuluh darah masuk kedalam lesi

aterosklerosis. Adhesi trombosit dan pelepasan faktor-faktor activated

platelets, makrofag, atau sel-sel pembuluh darah, menyebabkan

migrasi sel-sel otot polos dari tunika media masuk ke dalam tunika

intima. Proliferasi sel-sel otot pada tunika intima dan matriks ekstrasel

mengakibatkan akumulasi kolagen dan proteoglikan, mengubah fatty

streak menjadi suatu ateroma fibrofatty yang matang dan menyokong

pertumbuhan lesi aterosklerotik yang progresif.

Fatty streaks yang progresif berkembang menjadi lesi sedang

dan lanjut, kemudian akan membentuk fibrous cap yang berbatasan

dengan lumen pembuluh darah. Fibrous cap menutupi campuran dari

lekosit, lemak dan debris seluler yang membentuk suatu pusat

nekrotik. Pusat nekrotik terbentuk sebagai akibat pening-katan aktifitas

platelet derived growth factor (PDGF), transforming growth fac-tor–ß (TGF-

ß), IL-1, TNF-α, osteopontin dan penurunan degradasi jaringan ikat

(Poppy, 2009).

38

Selanjutnya bproses aterogenesi dijelaskan secara terperinci meliputi

beberapa aspek dari peranan cedera endotel, radang, lemak, sel-sel

otot polos, dan faktor lain seperti oligoklonal dan infeksi.

Gambar 5. Perubahan-perubahan dinding arteri pada ‘hipotesis responsterhadap cedera’.1.normal, 2.cedera endotel dengan adhesi monosit dantrombosit, 3.migrasi monosit dari lumen pembuluh darah dan otot polos tunikamedia ke tunika intima, 4.proliferasi sel otot polos dalam tunika intima

39

5.terbentuknya bercak ateroma (Kumar, Abbas, Fausto, Mitcheel. Robbins BasicPathology. 2007.

Gambar 6. Gambar skematik rangkaian interaksi seluler dari hipotesis respons terhadapcedera pada aterosklerosis. Hiperlipidemia dan faktor-faktor risiko lainmenyebabkan cedera endotel, adhesi trombosit dan monosit, pelepasan faktor-faktorpertumbuhan PDGF serta memacu migrasi dan proliferasi sel otot polos. Sel-sel busapada bercak ateroma berasal dari sel-sel makrofag dan otot polos – dari makrofagmelalui reseptor very LDL dan modifikasi LDL dikenal oleh scavenger receptors (LDLteroksidasi) dan otot polos. Lemak ekstrasel berasal dari lumen pembuluh darah terutamapada hiperkolesterolemia dan degenerasi sel-sel busa.

a. Peranan cedera endotel

Cedera endotel kronik merupakan dasar pertama dari hipotesis

respons terhadap cedera. Cedera endotel diinduksi pada hewan coba

melalui denudasi mekanik, adanya faktor-faktor hemodinamik, deposisi

40

kompleks imun, radiasi, dan bahan-bahan kimia, semuanya ini

menyebabkan penebalan tunika intima; dan ditambah lagi dengan diet

kolesterol yang tinggi maka terbentuk ateroma tipikal.

Pada manusia lesi awal dimulai pada tempat-tempat yang

endotelnya utuh. Pada lesi awal belum terjadi denudasi endotel yang

disfungsional. Perubahan pada lesi awal mencakup: permeabilitas

pembuluh darah meningkat terhadap lipo- protein dan bahan lain yang

diperantarai nitrik oksida, prostasiklin, platelet derived growth factor,

angiotensin II dan endotelin, adhesi lekosit oleh aktivasi en- dotel melalui

selektin E, integrin, dan platelet endothelial cell adhesion mole- cule I

(PECAM-1) dan VCAM-1. Hal-hal ini akan menyebabkan migrasi

leukosit masuk ke dalam dinding arteri yang dapat dicetuskan oleh LDL

teroksidasi, monocyte chemotactic protein-1, interleukin-8,

PDGF,macrophage colonystimulating factor, dan osteopontin. Gangguan

umum yang sering dikaitkan dengan disfungsi endotel adalah hipertensi,

hiper- kolesterolemia, diabetes melitus dan merokok (Poppy, 2009).

Penyebab disfungsi endotel pada awal aterosklerosis belum

diketahui, namun terdapat faktor-faktor di dalam sirkulasi darah yang

berpotensi meng- ganggu seperti pada perokok, homosistein, dan

mungkin virus serta agen infeksi lainnya. Sitokin radang seperti TNF

(tumor necrosis factor), merangsang ekspresi dari gen-gen endotel yang

dapat memicu aterosklerosis. Faktor yang juga sangat penting dalam

41

menimbulkan perubahan pada endotel adalah gangguan hemodinamik

dan hiperkolesterolemia (Kumar, 2007).

Gangguan hemodinamik menyokong terjadinya aterosklerosis.

Shear stress atau turbulensi yang tinggi atau rendah adalah penting

untuk menentukan dimana tempat lesi pembuluh darah itu terjadi.

Perubahan aliran darah akan mengubah ekspresi gen untuk memberi

respons terhadap shear stress. Sebagai contoh gen-gen untuk

intercellular adhesion molecule 1, PDGF rantai B, dan faktor jaringan

pada sel endotel, ekspresinya meningkat oleh penurunan shear stress

(Ross R, 1999). Hal ini dapat dilihat terutama pada bercak-bercak

ateroma yang terjadi pada ostium pembuluh darah pada titik-titik cabang

aorta abdominal dimana terdapat gangguan pola aliran darah. Daerah-

daerah yang terganggu menunjuk- kan aliran darah turbulen dan shear

stress yang rendah, dan hal ini menyokong terjadinya aterosklerosis,

sedangkan aliran darah laminer yang lancar mencegah terjadinya

aterosklerosis. Aliran darah laminer normal tipikal dijumpai pada daerah-

daerah pembuluh darah arterial yang disebut ‘lesi yang terproteksi’ di

mana dapat menghambat mekanisme-mekanisme radang yang

dicetuskan oleh disfungsi endotel, apoptosis sel endotel, dan hal penting

dalam hubungan dengan erosi bercak ateroma. Keadaan dengan aliran

darah laminer yang lancar juga menginduksi gen-gen endotel

menghasilkan antioksidan superoksida dismutase yang melindungi

perkembangan aterosklerosis. Jadi aliran darah laminer yang tetap

42

lancar mencegah perkembangan lesi aterosklerosis dan hal ini disebut

sebagai gen-gen ateroprotektif (Kumar, 2007).

Hiperkolesterolemia menyebabkan relaksasi vaskuler yang

tergantung endotel menjadi terganggu. Banyak penelitian telah

membuktikan bahwa disfungsi endotel dapat dicetuskan oleh kadar LDL

yang tinggi. Hipertensi dapat menyebabkan penurunan vasodilator nitrik

oksida (NO). Merokok menyebabkan gangguan dilatasi pembuluh darah.

Penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa efek merokok disertai

bertambahnya LDL yang teroksidasi berhubungan dengan perubahan

keadaan redoks dinding pembuluh darah terutama pada endotel.

Bertambahnya reaktivasi spesies oksigen menghambat vasodilatasi

yang diperantarai nitrat oksida. Disfungsi endotel koroner berkembang

cepat pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Pada

hewan coba diabetes diperlihatkan bahwa gangguan dilatasi pembuluh

darah yang tergantung endotel dihubungkan dengan nitrik oksida yang

tidak normal, dan pelepasan endotelin dari prostanoid konstriktor yang

menghambat efek nitrik oksida.

43

Gambar 7 . Disfungsi endotel pada atero- sklerosis. (Ross Russell.N.Engl.J.Med. 199 340:115-126).

b. Peranan radang

Mekanisme-mekanisme radang dapat memacu proses aterogenesis

dalam hal menginisiasi, progresi, bahkan sampai menimbulkan komplikasi

dari lesi-lesi aterosklerosis. Dalam proses awal aterogenesis, sel-sel

endotel pembuluh darah yang diaktivasi akan mengekspresi berbagai

macam leukosit pada permukaan molekul-molekul adhesi selektif sehingga

menyebabkan sel-sel leukosit tersebut menggelinding sepanjang

permukaan pembuluh darah. Molekul-molekul adhesi VCAM-1 (Vascular

cell adhesion molecule-1) mengikat secara tepat jenis-jenis leukosit

monosit, dan limfosit T yang ditemukan pada awal ateroma pada

manusia dan hewan coba. Pada saat leukosit melekat pada endotel maka

kemokin yang diproduksi pada lapisan intima akan merangsang monosit

44

untuk keluar dai pembuluh darah. Bila monosit telah melekat pada endotel

maka (Hasson, 2005):

1. monosit bermigrasi lewat celah sel endotel dan kemudian menuju

ke lapisan intima dimana hal ini paling banyak dirangsang oleh

kemokin.

2. monosit mengalami transformasi menjadi sel makrofag kemudian

menelan lipoprotein, dan secara luas mengoksidasi LDL.

Makrofag menghasilkan IL-1 (inter- leukin-1) dan TNF (tumor

necrosis factor) yang meningkatkan adhesi lekosit. Beberapa ensim yang

digerakkan oleh makrofag seperti MCP-1 (monocyte- chemotactic protein-

1) dapat merekrut lebih banyak leukosit ke dalam bercak ateroma

(Schoen, 2007). Kemokin memberi repons terhadap kemotaksis dan

akumulasi makrofag di dalam fatty streaks (Ross R, 1999). Makrofag-

makrofag juga menghasilkan spesies oksigen toksik yang menyebabkan

oksidasi LDL dalam lesi dan melepaskan growth factor yang turut

menyokong proliferasi sel-sel otot polos. Limfosit T (keduanya CD4+ dan

CD8+) juga direkrut ke dalam bercak ateroma oleh adanya kemoatraktan.

Reaksi silang sel-sel T dan makrofag mengakibatkan aktivasi imun seluler

dan humoral yang karakteristik sebagai suatu radang kronik. Sebagai

contoh sel-sel T mengalami sinyal-sinyal sehingga melepaskan sitokin-

sitokin ra- dang, seperti IFN-γ dan limfotoksin, dimana pada gilirannya

dapat merangsang sel-sel makrofag bersamaan dengan merangsang sel-

45

sel endotel dan otot polos pembuluh darah. Makrofag yang diaktifkan dan

sel-sel pembuluh darah intrinsik dapat melepaskan mediator-mediator

fibrogenik yang mencakup bermacam-macam bahan growth factor

peptide, yang dapat memacu penggandaan sel-sel otot polos dan

pelepasan matriks ekstrasel yang khas pada lesi aterosklerotik

(Rudijanto A, 2007). Gambar 5.

c. Peranan lemak

Berbagai macam lemak dalam sirkulasi darah ditranspor sebagai

lipoprotein yang kompleks menjadi apoprotein spesifik. Dislipoproteinemia

yang terjadi karena mutasi atau beberapa gangguan lain yang

mendasarinya seperti sindrom nefrotik, alkoholisme, hipotiroidisme, atau

diabetes melitus menyebabkan kerusa- kan apoliprotein. Contoh dari

lipoprotein tidak normal dapat ditemukan pada populasi dengan

(Kumar, 2007):

1. peningkatan kadar kolesterol LDL

2. penurunan kadar kolesterol HDL

3. peningkatan kadar lipoprotein abnormal Lp(a)

Studi-studi pada hewan coba dan manusia menunjukkan bahwa

hiperkolesterolemia menyebabkan akivasi endotel fokal arteri berukuran

sedang dan besar. Infiltrasi dan retensi LDL pada tunika intima arteri

menginisiasi respons radang dinding arteri. Modifikasi LDL melalui

46

oksidasi atau ensimatik yang menyerang intima, menyebabkan pelepasan

fosfolipid, yang dapat mengaktifkan sel endotel, terutama pada tempat-

tempat dimana aliran hemodinamik dengan shear stress rendah. Hal ini

akan meningkatkan ekspresi molekul-molekul adhesi dan gen-gen

radang pada sel sel endotel. Dengan demikian pola hemodinamik dan

akumulasi lemak pada intima dapat menginisiasi suatu proses radang

pada arteri (Gambar 7) (Hansson, 2005).

Gambar 8. Efek infiltrasi LDL menginisiasi proses radang pada dinding arteri.(Hansson, 2005)

47

Gambar 9. Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi (Hansson,2005). Antigen yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel dendritik akanmerangsang aktivasi sel T pada arteri. Kebanyakan sel T yang teraktivasi akanmemproduksi sitokin Th1 (interferon γ), yang mengaktivasi sel makrofag danvaskuler, menyebabkan inflamasi. Sel T akan memodulasi proses denganmensekresi sitokin antiinflamasi (seperti interleukin-10 dan transforming growthfactor B).

Mekanisme-mekanisme aterogenesis yang disebabkan hiperlipidemia

mencakup:

- hiperlipidemia kronik, terutama hiperkolesterolemia dapat secara

langsung merusak sel-sel endotel melalui penambahan produksi

radikal bebas oksigen yang tidak mengaktifkan NO (vasodilator)

sebagai faktor yang membuat sel-sel endotel berelaksasi dan

menyebabkan bertambahnya shear stress lokal.

48

- hiperlipidemia kronik, menyebabkan penimbunan lipoprotein dalam

intima pada tempat dengan permeabilitas endotel yang meningkat.

- perubahan kimia lemak diinduksi oleh radikal-radikal bebas yang

dilepaskan oleh makrofag atau sel endotel pada dinding pembuluh

darah arteri dengan LDL teroksidasi (modifikasi). LDL yang teroksidasi

akan:

1. Dicerna oleh makrofag melalui scavenger receptor yang berbeda

dengan reseptor LDL, dan selanjutnya membentuk sel-sel busa.

2. Meningkatkan penimbunan monosit pada lesi aterosklerosis.

3. Bersifat kemotaktik terhadap monosit dan mengatur ekspresi gen

untuk macrophage colony stimulating, merangsang pelepasan

faktor-faktor pertumbuhan, sitokin-sitokin dan kemokin.

4. Akhirnya LDL yang teroksidasi bersifat sitotoksik terhadap sel

endotel dan sel otot polos pembuluh darah sehingga

menginduksi disfungsi sel endotel.

Oksidasi LDL berperan penting dalam proses aterogenesis, juga

disokong oleh akumulasinya dalam makrofag pada semua stadium

pembentukan bercak ateroma. Terapi antioksidan seperti β- carotene

and vitamin E diasumsikan dapat bersifat proteksi terhadap

perkembangan aterosklerosis (pada hewan coba) namun tidak efektif

untuk mencegah penyakit jantung iskemik (Schoen, 2005). Pada

penelitian akhir-akhir ini

49

diusulkan bahwa efek anti radang antioksidan mungkin dengan

mencegah molekul adhesi terhadap monosit. Ex vivo antioksidan juga

meningkatkan resistensi LDL manusia untuk teroksidasi, sesuai dengan

proporsi kandungan vitamin E didalam plasma. Konsumsi vitamin E

mempunyai korelasi terbalik dengan insiden infark jantung, dan pada

percobaan klinis suplemen vitamin E mengurangi penyakit arteri koroner

(Ross R,1999).

d. Peranan sel otot polos pembuluh darah

Sel-sel otot polos pada tunika media arteri dikelilingi oleh jenis

jaringan ikat tertentu. Pada tunika media arteri matriks terdiri dari jaringan

fibriler kolagen tipe I dan III, sedangkan pada lesi aterosklerosis terdiri dari

proteoglikan bercampur dengan fibril kolagen yang tersebar. Molekul

matriks penting dalam memper- tahankan struktur jaringan ikat dan

berperan penting dalam memandu fungsi sel. Sel-sel yang berikatan

dengan matriks ekstrasel melalui reseptor integrin spesifik. Matriks

metalloproteinase diproduksi oleh bermacam-macam sel yang

berlokasi pada permukaan sel dan dicatat mendegradasi bermacam-

macam matrikas ekstrasel. Matriks metalloproteinase dapat berpartisipasi

dalam migrasi sel-sel otot polos (Foppy, 2009).

Sel-sel otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima,

kemudian berproliferasi dan menyimpan komponen matriks ekstrasel,

mengubah fatty streak menjadi suatu ateroma fibrofatty yang matang dan

50

menyokong pertumbuhan lesi aterosklerotik menjadi progresif. Faktor–

faktor pertumbuhan yang diimplikasikan pada proliferasi sel-sel otot polos

adalah PDGF/platelet derived growth factor (di- lepaskan oleh platelet

adherent pada suatu fokus cedera endotel, dan oleh makrofag, sel-sel

endotel dan sel-sel otot polos), FGF (fibroblast growth factor) dan TGF-

α. Sel-sel otot polos juga dapat mengambil lemak yang sudah dimodifkasi

dan hal ini menyokong pembentukan sel-sel busa. Sel-sel otot polos dapat

menyintesis molekul-molekul matriks ekstrasel (kolagen) yang

menstabilkan bercak aterosklerotik. Namun radang yang diaktifkan

dan sel-sel imun pada bercak ataeroma dapat memicu apoptosis sel-sel

otot polos pada tunika intima (Kumar, 2007).

Perkembangan ateroma terdiri dari reaksi radang kronik dan semua

kom- ponen makrofag, limfosit, sel-sel endotel, dan sel-sel otot polos yang

menyokong berbagai faktor yang mempengaruhi fungsi sel. Pada

stadium awal bercak ateroma pada intima merupakan kum- pulan sel-sel

busa yang berasal dari makrofag dan sel-sel otot polos. Beberapa

daripadanya akan mati dan melepaskan lemak dan debris seluler. Pada

lesi yang progresif, ateroma dimodifikasi oleh sel otot polos yang

menyintesis kolagen dan proteoglikan. Jaringan ikat terutama

membentuk fibrous cap tetapi beberapa lesi tetap mempunyai pusat

sentral yang mengandung debris seluler dan sel-sel ‘lipid laden’.

Pecahnya fibrous cap dengan komplikasi terjadinya trombus sering

dihubungkan dengan bukti-bukti klinis yang berakibat buruk. Trombosit

51

yang melekat pada dinding pembuluh darah pada tempat dimana

terdapat aktivasi sel endotel menyokong perkembangan lesi aterosklerotik.

Ruptur atau erosi dari bercak pada lesi akan merangsang aktivasi

trombosit dan agregasi pada permukaan bercak yang ruptur, dan hal ini

memicu serangan akut dari trombosis arterial. Aktivasi platelet dapat juga

mempengaruhui pembentukan bercak oleh pelepasan ligan adhesif,

seperti selectin-P yang diekspresikan pada membran trombosit dan

memediasi interaksi trombosit-endotel. Sinyal dari selectin-P merangsang

monosit dan makrofag untuk memproduksi kemoatraktan atau faktor

pertumbuhan (PDGF)(Poppy, 2009).

e. Faktor-faktor aterogenik yang lain:

1. Lesi-lesi oligoklonal

Hipotesis monoklonal aterosklerosis sejak tahun 1977 sudah

menyebutkan bahwa berdasarkan pengamatan ber- cak-bercak

ateroma pada manusia adalah monoklonal atau oligoklonal yang

serupa dengan pertumbuhan neoplastik jinak. Hal ini mungkin

diinduksi oleh bahan-bahan kimia eksogen seperti kolesterol atau

beberapa produknya yang teroksidasi, atau oleh suatu virus

onkogenik. Namun studi- studi terakhir menunjukkan bahwa bercak

klonal tetap ada, dan yang ukurannya > 4mm tidak hanya pada yang

mengalami aterosklerosis tetapi juga pada arteri-arteri normal, sejalan

52

dengan kemungkinan bahwa bercak- bercak aterosklerotik tidak

timbul pada bercak-bercak klonal yang telah ada sebelumnya.

2. Infeksi

Infeksi dapat menyokong terjadinya aterosklerosis. Telah

diimplikasikan bahwa bakteri dan virus seperti chlamydia pneumoniae

dan cytomega lovirus, keduanya dapat menginfeksi dinding pembuluh

darah dan mengakibatkan infeksi yang persisten, latensi, dan rekuren.

Mekanisme spesifik aterogenesis oleh bakteri dan virus masih sukar

untuk dipahami. Infeksi sekunder lesi aterosklerotik dapat berpotensi

efek lokal dari faktor-faktor resiko yang sudah diketahui seperti

hiperkolesterolemia, melalui aselerasi radang kronik atau dengan

mengubah respons sel-sel dinding pembuluh darah terhadap cedera.

Infeksi ekstravaskuler dapat juga mempengaruhi perkembangan lesi-

lesi ateromatosa dan komplikasinya dengan jalan menguba lalui

mediator-mediator radang sirkulasi. Endotoksin atau sitokin proradang

seperti IL-1 dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi yang

mengaktivasi sel-sel dinding pembuluh darah dan leukosit-leukosit

pada lesi- lesi sebelumnya. Dalam hal ini, organisme yang infeksius

dapat berpotensi menimbulkan komplikasi dari lesi-lesi yang

sebelumya sudah terbentuk. Contoh protein c.pneumoniae pada suhu

panas dapat mengaktifkan makrofag untuk menghasilkan matriks pro

53

teinase degradasi yang dapat melemahkan bercak aterosklerotik

sehingga peka untuk mengalami ruptur, dapat menyebabkan terjadinya

trombosis dan mencetuskan implikasi trombotik dengan mengubah

keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis (Kumar, 2007).

Dinding pembuluh darah terpajan berbagai iritan yang terdapat

dalam hidup keseharian. Diantaranya adalah faktor-faktor hemodinamik,

hipertensi, hiperlipidemia, serta derivat merokok dan toksin (misal,

homosistein atau kolesterol LDL teroksidasi). Gambar 8 memfokuskan

peranan kolesterol LDL dalam patogenesis aterosklerosis. (Price S.A. et

al., 2013)

Gambar 10. Gambaran skematik efek LDL dan LDL teroksidasi dalam patogenesisaterosklerosis. Faktor risiko Lainnya, kadar HDL rendah, merokok,

LDL

LDL teroksidasi

Disfungsi endotel InflamasiBercak lemak

Plak Halus

Ruptur plak

Trombosis dan sindromkoroner akut

54

hipertensi, diabetes militus, dan defisiensi estrogen juga memperkuatoksidasi LDL. (Price, S.A. et al., 2013)

Dari kesemua agen ini, efek sinergis gangguan hemodinamika yang

menyertai fungsi sirkulasi normal yang digabungkan dengan efek

merugikan hiperkolesterolemia dianggap merupakan faktor terpenting

dalam patogenesis aterosklerosis. Kepentingan teori patogenesis respons

terhadap cedera adalah cedera endotel kronis yang menyebabkan

respons inflamasi kronis dinding arteri dan timbulnya aterosklerosis.

Berbagai kadar stres yang berkaitan dengan turbulensi sirkulasi normal

dan menguatnya hipertensi diyakini menyebabkan daerah fokal disfungsi

endotel. Misalnya, ostia pembuluh darah, titik percabangan, dan dinding

posterior aorta abdominalis dan aorta desendens telah diketahui sebagai

tempat utama berkembangnya plak aterosklerosa (Price S.A. et al., 2013).

e. Inflamasi pada Aterosklerosis

Hiperkolesterolemia menyebabkan aktivasi endotelium pada arteri

sedang dan besar. Infiltrasi dan retensi LDL pada intima menginisiasi

respon inflamasi pada dinding arteri. Trombosit adalah sel darah pertama

yang tiba pada lokasi endotelium yang teraktivasi. Glikoprotein Ib dan

IIb/IIIa akan berikatan dengan permukaan molekul sel endotelium, yang

berkontribusi pada aktivasi endotel. Sel endotel yang teraktivasi

mengekpresikan berbagai tipe molekul adhesif leukosit, yang

menyebabkan sel darah akan berikatan pada tempat aktivasi (Libby,

2006).

55

Sitokin yang diproduksi pada intima yang mengalami inflamasi

yaitu macrophage colony-stimulating factor, menginduksi monosit yang

masuk ke dalam plak dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Hal ini

penting dalam perkembangan aterosklerosis dan berhubungan dengan

regulasi reseptor untuk imunitas bawaan, termasuk reseptor scavenger

dan reseptor toll-like (Libby, 2006).

Reseptor scavenger menangkap dan menghancurkan sejumlah

molekul dan partikel yang memiliki pola seperti patogen meliputi

endotoxin bakteri, fragmen sel apoptosis, dan LDL yang teroksidasi.

Reseptor toll-like juga berikatan dengan molekul dengan pola molekul

seperti patogen, tetapi berbeda dengan reseptor scavenger, reseptor

ini menginisiasi kaskade sinyal yang menyebabkan aktivasi sel (Libby,

2006).

Sel imun (termasuk sel T, sel dendritik yang mempresentasikan

antigen, monosit, makrofag, dan sel mast) dan patrol tissue (termasuk

arteri yang mengalami aterosklerosis) akan mencari antigen. Infiltrasi sel

T selalu dijumpai pada lesi aterosklerosis. Ketika reseptor antigen sel T

berikatan dengan antigen, aktivasi kaskade menghasilkan ekspresi

sejumlah sitokin, cell-surface molecule, dan enzim. Respon T-helper tipe

1 (Th1) mengaktivasi makrofag, menginisiasi respon inflamasi yang mirip

dengan hipersensitivitas dan berfungsi melawan patogen intraseluler,

sedangkan respon T-helper tipe 2 (Th2) berupa inflamasi alergi. Lesi

aterosklerosis mengandung sitokin yang merangsang respon Th1. Sel T

56

yang teraktivasi kemudian berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1 dan

mulai menghasilkan sitokin interferon γ oleh makrofag. Interferon γ

meningkatkan efisiensi presentasi antigen dan sintesis sitokin inflamasi

berupa tumor necrosis factor dan interleukin 1 (Libby, 2006).

Sitokin sel T menyebabkan produksi sejumlah besar molekul pada

kaskade sitokin. Peningkatan jumlah interleukin-6 dan C-reactive protein

dapat terdeteksi di sirkulasi perifer (Pikir B.S. dkk., 2015).

Gambar 11. Jalur inflamasi selama aterosklerosis yang dapatmeningkatkan konsentrasi penanda inflamasi pada darah(Libby, 2006)

Hiperkolesteromia sendiri diyakini mengganggu fungsi endotel dengan

meningkatkan produksi radikaI bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan

oksida nitrat,yaitu faktor endothelial-relaxing utama. Apabila terjadi

hiperlipidemia kronis, lipoprotein tertimbun dalam lapisan intima di tempat

57

meningkatnya permeabilitas endotel. Pemajanan terhadap radikal bebas

dalam sel endotel dinding arteri menyebabkan terjadinya oksidasi

kolesterol LDL, yang berperan dan mempercepat timbulnya plak

ateromatosa. Oksidasi kolesterol LDL diperkuat oleh kadar kolesterol HDL

yang rendah, diabetes melitus, defisiensi estrogen, hipertensi, dan adanya

derivat merokok. Sebaliknya, kadar kolesterol HDL yang tinggi bersifat

protektif terhadap timbulnya penyakit jantung koroner bila terdiri atas

sedikitnya 25% kolesterol total. Hiperkolesterolemia memicu adhesi

monosit, migrasi sel otot polos subendotel, dan penimbunan lipid dalam

makrofag dan sel-sel otot polos. Apabila terpajan dengan kolesterol LDL

yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa, yang beragregasi dalam

lapisan intima, yang terlihat secara makroskopis sebagai bercak lemak.

Akhirnya, deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini

menjadi ateroma lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti bagian

dalam plak terpajan dengan kolesterol LDL yang teroksidasi dan

meningkatnya perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Akhirnya,

deposisi. lemak dan jaringan ikat mengubah plak fibrosa menjadi ateroma,

yang dapat mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi, atau trombosis,

dan menyebabkan infark miokardium (Price S.A. et al., 2013).

C. CRP (C-Reaktif Protein)

CRP adalah protein yang sangat stabil dan telah diukur di berbagai

laboratorium selama beberapa dekade terakhir untuk menilai proses infeksi

58

aktif atau inflamasi. Metode yang sedang berkembang adalah high-

sensitivity CRP (hs-CRP) karena dapat mengukur nilai CRP pada

konsentrasi ≤0,3 mg/L.

CRP tersusun dari 5 subunit identik dan nonkovalen, masing-

masing terdiri dari 206 residu asam amino dengan berat molekul 23,017

kDa, sehingga total berat molekul CRP sekitar 118,000 kDa dan

merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik. CRP merupakan protein

yang meningkat secara konsisten dan protein fase akut yang paling cepat

bereaksi (waktu paruh 19 jam), menunjukkan CRP bagian dari respon

imunitas bawaan. Konsentrasi CRP akan meningkat sampai 1000 kali atau

lebih dalam waktu 24-48 jam setelah cedera jaringan. Menurut

AHA/CDC, interpretasi klinis nilai CRP terhadap risiko kardiovaskular

adalah: < 1mg/L dianggap risiko rendah, 1-3 mg/L risiko sedang, >3

mg/L risiko tinggi. Usia dan etnik tidak mempengaruhi nilai CRP,

tetapi kondisi fisik dan kebiasaan hidup seperti aktivitas fisik, obesitas,

merokok dan konsumsi alkohol mempengaruhi konsentrasi CRP.

hs-CRP adalah penanda inflamasi yang dapat memprediksi

insidensi infark miokardium, stroke, penyakit arteri perifer, dan kematian

jantung mendadak diantara orang normal tanpa riwayat penyakit jantung,

CRP juga memprediksi insidensi serupa pada penderita sindroma koroner

akut ataupun penyakit koroner stabil. CRP tidak hanya disintesis oleh hati

akibat respon terhadap interleukin-6 tetapi juga dihasilkan oleh sel otot

polos dalam arteri koroner. Penelitian menunjukkan CRP dapat

59

mempengaruhi kerentanan vaskuler secara langsung melalui banyak

mekanisme, termasuk peningkatan ekspresi molekul adhesif pada

permukaan sel endotel, MCP-1, endotelin-1, dan PAI-1; menurunkan

bioaktivitas nitrit oksida (NO); peningkatan induksi faktor jaringan pada

monosit; peningkatan serapan LDL oleh makrofag; dan kolonisasi dengan

kompleks membran komplemen dalam lesi aterosklerosis (Kumar, 2007).

Gambar 12. Mekanisme terkait CRP terhadap perkembangan dan progresiaterotrombosis (Kumar, 2007)

Dalam dekade terakhir, pemeriksaan hs-CRP untuk pengukuran

telah tersedia. Teknik assay sensitivitas tinggi seperti

immunonephelometri, immunoturbidimetri, tes ELISA dapat mendeteksi

CRP dengan kisaran sensitivitas 0,01 sampai 10 mg. Tes sensitivitas

tinggi ini membantu mengukur tingkat rendah peradangan sistemik,

dengan tidak adanya gangguan inflamasi atau imunologi sistemik yang

jelas. Tes hs-CRP adalah pemeriksaan high sensitivity CRP yang dapat

60

digunakan untuk mendeteksi konsentrasi CRP yang sangat kecil, telah

distandarisasi di platform komersial dan dapat diukur secara akurat dari

plasma segar atau beku. hs-CRP adalah biomarker yang paling banyak

dievaluasi dalam pencarian biomarker ideal untuk prediksor risiko penyakit

jantung koroner secara global (Kamath D.Y. et al. 2015).

Ada beberapa keterbatasan intrepretasi pemeriksaan hs-CRP, yaitu

non-spesifik, bisa meningkat konsentrasinya dalam keadaan infeksi akut

dan trauma. Supaya akurat, pemeriksaan hs-CRP jangan dilakukan pada

kedua kondisi tersebut (Rilantono L.I, 2012).

Kontroversi diperdebatkan apakah hs-CRP berkontribusi pada

proses arterosklerosis atau hanya sebagai penanda peradangan. hs-CRP

telah diketahui memiliki sifat opsonisasi, meningkatkan perekrutan monosit

ke dalam plak atheromatous dan juga menginduksi disfungsi endotel

dengan menekan pelepasan oksida nitrat basal dan induksi. hs-CRP juga

telah ditemukan dapat meningkatakan ekspresi vascular endotel PAI-1

dan molekul adhesi lainnya dan dapat mengubah pengambilan LDL oleh

makrofag (Kamath, D.Y. et al. 2015).

Peradangan dan CRP dimana Efek pro aterogenik CRP melampaui

endotelium ke otot polos vaskular. CRP memainkan peran penting dalam

banyak aspek atherogenesis, CRP meningkatkan serapan LDL ke

makrofag dan meningkatkan kemampuan makrofag untuk membentuk sel-

sel busa. Ini juga mengikat phosphocholine dari LDL teroksidasi. CRP

menghambat ekspresi NO sintase endotel dalam EC. NO memiliki efek

61

anti-aterogenik yang penting, termasuk penurunan agregasi trombosit,

vasokonstriksi, dan proliferasi sel otot polos. CRP meregulasi ekspresi

molekul adhesi pada ECs yang dapat menarik monosit ke tempat cedera

(Nakkeeran M, 2017).

Dalam kasus CRP peradangan intensitas rendah kronis merusak

glikokaliks endotelium vaskular, menyebabkan disfungsi dan membuatnya

lebih rentan terhadap faktor proatherogenic (Nakkeeran M, 2017).

D. LDL Kolesterol

Low density lipoprotein mengandung paling banyak kolesterol dari

semua lipoprotein, dan merupakan pengirim kolesterol utama dalam

darah. Sel hati memproduksi kolesterol dalam tubuh, kemudian

disebarkan oleh kolesterol LDL dalam darah ke jaringan-jaringan tubuh

yang membutuhkan. Kadar kolesterol LDL yang tinggi dan pekat di dalam

darah akan menyebabkan kolestrol lebih banyak melekat pada dinding-

dinding pembuluh darah pada saat trasportasi dilakukan. Kolesterol LDL

yang melekat perlahan-lahan akan mudah melakukan tumpukan-

tumpukan lalu mengendap, membentuk plak pada dinding-dinding

pembuluh darah. Tumpukan kolesterol LDL yang mengendap pada

dinding-dinding pembuluh darah dapat menyebabkan lumen pembuluh

darah menyempit. Akibatnya, suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh

terhambat. Jika dibiarkan, dapat mengakibatkan gangguan jantung, strok,

dan gangguan lain (Suharto,I. 2001).

62

Hipertensi yang terjadi pada tubuh akan memompa jantung untuk

bekerja lebih keras, aliran darah akan lebih cepat dari yang normal.

Akibatnya aliran darah semakin kuat menekan pembuluh darah. Tekanan

yang kuat ini dapat merusak jaringan pembuluh darah itu sendiri.

Pembuluh darah yang rusak sangat mudah sebagai tempat melekatnya

kolesterol LDL, sehingga kolesterol LDL dalam saluran darah pun melekat

dengan kuat dan mudah menumpuk (Suharto,I. 2001).

Brown dan Goldstein (1994) mengatakan bahwa LDL tersusun

oleh inti berupa 1500 molekul kolesterol yang dibungkus oleh lapisan

fosfolipid dan molekul kolesterol tidak teresterifikasi. Bagian hidrofilik

molekul terletak di sebelah luar, sehingga memungkinkan LDL larut dalam

darah atau cairan extraseluller. Protein berukuran besar yang disebut

apoprotein B-100 mengenal dan mengikat reseptor LDL yang mempunyai

peran penting dalam pengaturan metabolisme kolesterol. Protein utama

pembentuk LDL adalah apolipoprotein (Apo B). Kandungan lemak jenuh

tinggi membuat LDL mengambang di dalam darah. LDL dapat

menyebabkan penempelan kolesterol di dinding pembuluh darah. LDL

berfungsi membawa kolestrol dari hati menuju jaringan (Murray, 2009).

E. HIPERTENSI PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER

Studi hipertensi epidemiologi menunjukkkan adanya asosiasi kuat

antara hipertensi dan penyakit jantung koroner (PJK). Hipertensi kronis

arterial menjadi salah satu faktor risiko kardiovaskuler yang berkontribusi

63

terhadap kejadian arteriosklerosis dan meningkatkan kejadian penyakit

vaskular perifer, penyakit serebrovaskuler, penyakit ginjal kronis, dan

penyakit arteri koroner. Di samping itu hipertensi kronis juga merupakan

faktor risiko penting dalam patogenesis PJK, dikarenakan pasien

hipertensi lebih sering mengalami silent ischemia dan IM painless

dibanding dengan pasien normotensi. Selain itu sering kali hipertensi yang

sudah ada sebelumnya dapat tidak dikenali pada pasien first seen post-IM

(Pikir. B.S. dkk., 2015)

Patofisiologi penyakit jantung koroner

Aterosklerosis adalah gangguan vaskuler progresif dan sistemik,

yang secara klinis bermanifestasi sebagai PJK. Kejadian awal molekuler

dan seluler pada aterogenesis dipicu oleh adanya disfungsi endotel yang

berakibat penurunan produksi NO, peningkatan aktivitas cyclooxygenesis

dan inflamasi. Respon inflamasi awal biasanya menguntungkan namun

bila progresif akan menimbulkan konsekuensi yang merugikan. Factor-

faktor proinflamasi seperti LDL teroksidasi dan agen infeksius merangsang

pelepasan sitokin dari vaskuler dan perifer lainnya. Proses ini

mengakibatkan akumulasi sel monoklear, migrasi dan proliferasi sel otot

polos, dan pembentukan jaringan fibrosa, dan berakhir pada pembentukan

plak aterosklerotik (Pikir B.S.dkk., 2015).

Perjalanan PJK tidak hanya meliputi perkembangan plak saja,

tetapi juga terjadi rupture plak, vasokontriksi dan thrombosis lokal yang

berakibat obstruksi arteri. Rupture plak tidak selalu terkait dengan ukuran

64

dan derajat stenosisplak. Pada kebanyakan kasus infark mioakard terjadi

karena adanya penipisan pada fibrous cap pada region bahu, dimana

makrofag terakumulasi dan terjadi apoptosis berlebih. Sitokin meningkat

pada plak yang peka di mana terjadi rekrutmen dan aktivasi makrofag.

Makrofag yang teraktivasi ini mengeluarkan enzimproteolitik yang

mengoperasikan cap yang kaya protein, sehingga bahan-bahan

trombogenik terpapar yang mengakibatkan sindrom koroner akut (SKA).

Dinding arteri merupakan struktur yang dinamis dan mengalami

remodeling untuk mengakomodasi perkembangan plak tanpa mengubah

dimensi lumen. Disfungsi endotel penting terhadap perkembangan plak,

oleh karena itu penting untuk indentifiksi dan menerapi secara agresif

factor-faktor risiko yang ada seperti hipertensi, displedemia, diabetes (Pikir

B.S. dkk., 2015).

Iskemik selalu berasal dari peningkatan tonus vaskular atau

hilangnya reaktivitas terhadap stres fisiologi normal. Vosokonstriksi dan

vasospasme yang berlebihan dapat berakibat langsung terjadinya rupture

plak dan onklusi pembuluh darah pada pasien PJK. Untuk mengatasi

keadaan tersebut endotel melepas NO yang berperan pada vasodinamik

vaskuler. Pelepasan NO dirangsang oleh berbagai faktor, salah satunya

shear stress. Proses ini terganggu pada keadaan aterogenik (Pikir, B.S.

dkk. 2015).

65

F. Kerangka Teori

Resiko Genetik

ACE

Angiotensinogen

Angiotensin Reseptor

Hipertensi

Mekanisme StressDisfungsi Endotel Permeabilitas Intima

LDL - kolestrol

Perkembangan PlakRupture Plak

Inflamasi

Aterosklerosis

hs-CRP

66

G. KERANGKA KONSEP

Keterangan :

= Variabel bebas

= Variabel terikat

= Variabel kendali

G. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel bebas : Hipertensi Non Obes dan kolesterol LDL

2. Variabel tergantung : Kadar hs-CRP

3. Variabel kendali : Strok, penyakit jantung, diabetes mellitus

Hipertensi Non Obes

Kadar Kolestrol LDL

Kadar hs-CRP

StrokePenyakit JantungDiabetes Melitus

67

BAB III

METODE PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN

Rancangan penelitian ini merupakan penelitian cross sectional

dengan populasi sampel subyek yang mengalami hipertensi non obes.

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Pengumpulan spesimen dilakukan di Puskesmas Lappae dan

Samaenre Kabupaten Sinjai pada bulan Agustus–Oktober 2018.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium Klinik Parahita

Makassar.

C. POPULASI DAN SAMPEL

a. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien hipertensi yang menjalani

rawat jalan di Puskesmas Lappae dan Samaenre di Kabupaten Sinjai.

b. Sampel

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

Besaran sampel dihitung sesuai dengan rumus untuk uji korelasi.

68

Sampel dengan koefisien korelasi sebesar (R) = 0,378.

Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah, sehingga:

Zα = 1,64. Kesalahan tipe II diteatapkan 10%, maka Nilai Zβ = 1,28

(Sopiyudin.M., 2010)

Perhitungan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

menggunakan rumus :

n =

=

=

= 63,08

Sehingga didapatkan perkiraan besar sampel minimal yang dibutuhkan

adalah 63,08 sampel yang dibulatkan menjadi 64 sampel.

Keterangan :

Zα = deviat baku alfa, (untuk α =0.05 Zα = 1,64

Zβ = deviat baku beta, (untuk = 0,10 Z = 1,28

r = korelasi minimal yang dianggap bermakna

D. Kriteria sampel

1. Kriteria inklusi

a. Menderita hipertensi dengan berat badan normal (non obes).

b. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan

menandatangani surat persetujuan atas dasar kesukarelaan

69

(informed consent).

2. Kriteria eksklusi

a. Pasien dengan riwayat stroke

b. Pasien penderita penyakit jantung

c. Pasien penderita diabetes melitus

E. Defenisi Operasional

1. Penderita hipertensi adalah orang yang mempunyai tekanan darah

sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah

diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg yang berobat jalan

di Puskesmas di wilayah Kabupaten Sinjai, dan telah dinyatakan

oleh petugas kesehatan atau klinisi menderita hipertensi.

2. Non Obes adalah kondisi dengan Body mass index (BMI) < 24,9

kg/m. BMI dihitung dengan cara membagi besaran berat badan

dalam kilogram (kg) dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (m).

3. hs-CRP adalah C-Reaktif protein merupakan suatu alfa-globulin yang

diproduksi di hepar, merupakan biomarker yang dapat mencerminkan

inflamasi yang rendah dalam tubuh, telah diidentifakasi sebagai faktor

70

resiko jantung koroner. Dideteksi dengan metode immunoturbidimetri

menggunakan kit Nanopia CRP (Sekisui Medical CO.,LTD, Japan).

Kriteria objektif, hs-CRP <0,1 mg/dl risiko rendah PJK, 0,1-0,3 mg/dl

risiko sedang PJK, dan >0,3 mg/dl risiko tinggi PJK.

4. Kolesterol LDL adalah kolesterol yang mengandung paling banyak

kolesterol dari semua lipoprotein, dan merupakan pengirim kolesterol

utama dalam darah ke jaringan-jaringan tubuh yang membutuhkan.

Dideteksi dengan metode Homogeneus menggunakan kit LDL-

Cholestrol Gen.3 (Roche Diagnostics, Germany) dengan nilai optimal

<100 mg/dl, batas tinggi 100-159 mg/dl, tinggi 160-189 mg/dl, dan

sangat tinggi ≥ 190 mg/dl.

F. Persiapan Alat dan Bahan

1. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah alat COBAS C 501, mikropipet

100-1000µl dan alat TMS 24i Premium.

2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan adalah serum, Reagen kit LDL-

Cholestrol Gen.3, reagen control Biorad, Reagen hsCRP kit siap

pakai dan reagen kalibrator CRP siap pakai.

G. Cara Kerja

1. Subjek Penelitian

71

Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,

yang diketahui melalui beberapa tahap: wawancara/anamnesis

untuk memperoleh informasi tentang karakteristik dan keadaan

umum subjek misal umur, riwayat penyakit, dan seterusnya sesuai

dengan pertanyaan yang telah disiapkan. Pengukuran IMT,

Pemeriksaan laboratorium kadar kolesterol LDL dengan metode

Homogeneus dan hs-CRP menggunakan metode

imunoturbidimetrik.

2. Pengumpulan spesimen

Darah pasien diambil sebanyak 3 ml melalui vena mediana

cubiti. Darah yang diambil dimasukkan kedalam tabung pemisah

serum (tube separating serum) dan didiamkan membeku ±30 menit.

Sentifugasi selama 15 menit pada 1000 rpm. Serum dipisahkan

untuk pemeriksaan kolesterol LDL dan hs-CRP.

H. ANALISIS DATA

Data yang terkumpul diolah melalui analisis statistik, Dilakukan analisis

univariat, bivariate, hasilnya dinarasikan dan diperjelas oleh tabel. Untuk

uji statistik, tingkat kemaknaan (signifikansi) yang digunakan adalah 5%,

Dimana analisis yang digunakan adalah :

1. Analisis data secara deskriptif umum, dengan metode analisis

univariat untuk perhitungan minimum, maksimum, rerata, median

dan standar deviasi.

72

2. Analisis hubungan antara variabel bebas dan tergantung yaitu

analisis korelasi bivariate dan parsial. Parameter yang berdistribusi

normal menggunakan korelasi uji t dan yang tidak berdistribusi

normal dengan uji Mann-Whitney. Untuk uji korelasi digunakan uji

spearman.

I. ALUR PENELITIAN

hs-CRP Kolesterol LDL

KESIMPULANDAN SARAN

KRITERIA INKLUSI

HASIL

SAMPELPENELITIAN

KRITERIA EKSKLUSI

PENDERITA HIPERTENSI

Analisis

SPESIMEN DARAHVENA

73

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran umum subyek penelitian

Penelitian ini dilaksanan pada bulan Agustus – Oktober 2018

melibatkan 64 subyek hipertensi non obes terdiri dari 18 laki-laki (28,1 %)

dan 46 wanita (71,9%) dengan kisaran umur antara 38 tahun sampai 79

tahun, dilakukan pengukuran kadar kolesterol LDL dan hs-CRP.

Karasteristik umum subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karasteristik subyek penelitian

Karasteristik Jumlah(n = 64)

Persentase(%)

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

18

46

28,1

71,9

Klasifikasi Umur

(Tahun)

47-59

60-79

26

38

40,6

59,4

Kadar hs-CRP

(mg/dl)

Risiko rendah PJK

Risiko sedang PJK

Risiko tinggi PJK

23

26

15

35,9

40,6

23,4

Kadar Kolesterol

LDL (mg/dl)

Optimal

Batas Tinggi

Tinggi

Sangat Tinggi

11

32

7

16

14,1

50,0

10,9

25,0

74

2. Kadar Kolesterol LDL pada subyek hipertensi non obes

Untuk mengetahui perbandingan kadar kolesterol LDL pada laki-laki

dan perempuan dilakukan analisis statistik. Sebelumnya dilakukan uji

normalitas sampel dengan uji Kolmogorov-Smirnov, hasilnya semua

kelompok berdistribusi normal. Sehingga dilakukan uji t dimana hasil dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3 Kadar Kolesterol LDL subyek hipertensi non obes laki-laki dan

perempuan

Jenis Kelamin NKolesterol LDL (mg/dl)

*pMean SD Range

Laki-laki

Perempuan

18

46

154,228

148,609

42,626

56,547

79-215

55-365

0,758

*p : Uji t

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji t

didapatkan rerata kadar kolesterol LDL yang berjenis kelamin laki-laki

adalah 154,228 mg/dl sedangkan rerarata pada jenis kelamin perempuan

adalah 148,609 mg/dl, nilai p = 0,758. Hal ini menunjukkan bahwa pada

pasien berjenis kelamin laki-laki rerata kadarnya lebih tinggi dibanding

rerata kadar pada perempuan perbedaan tersebut tidak menunjukkan

perbedaan yang bermakna.

75

Tabel 4. Kadar kolesterol LDL pada subyek hipertensi non obes

berdasarkan kelompok umur.

Umur Tahun NKolesterol LDL (mg/dl)

*pMean SD Range

38-59

≥ 60

26

38

129,538

164,665

38,825

56,665

55-208

72-365

0,09

*p : Uji t

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji t

didapatkan rerata kadar kolesterol LDL pada kelompok umur 38-59 tahun

adalah 129,538 mg/dl sedangkan rerata pada kelompok umur ≥ 60 tahun

adalah 164,665 mg/dl (p = 0,09). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun

pada subyek kelompok umur ≥ 60 tahun rerata kadarnya lebih tinggi

dibanding kelompok umur 38-59 tahun, tetapi perbedaan tersebut secara

statistik tidak bermakna.

3. Kadar hs-CRP pada subyek hipertensi non obes

Untuk mengetahui perbandingan kadar hs-CRP pada laki-laki dan

perempuan dilakukan analisis statistik. Sebelumnya dilakukan uji

normalitas sampel dengan uji Kolmogorov-Smirnov, hasilnya semua

kelompok tidak berdistribusi normal, dilakukan uji non parametrik dengan

Uji Mann-Whitney.

76

Table. 5 Kadar hs-CRP subyek hipertensi non obes laki-laki dan

perempuan

Jenis Kelamin Nhs-CRP (mg/dl)

*pMedian SD Range

Laki-laki

Perempuan

18

46

0,32

0,145

1,756

0,159

0,01-7,49

0,02-0,92

0,12

*p : uji Mann-whitney

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai median kadar hs-CRP pada

kelompok laki-laki adalah 0,32 mg/dl, sedangkan rerata pada jenis kelamin

perempuan adalah 0,145 mg/dl dengan menggunakan uji Mann-Whitney

(p = 0,12). Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien berjenis kelamin laki-

laki nilai median lebih tinggi dibandingkan kelompok perempuan, tetapi

perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna.

Tabel 6. Kadar hs-CRP pada subyek hipertensi non obes kelompok umur.

Kelompok

Umur (tahun)N

hs-CRP (mg/dl)*p

Median SD Range

38-59

≥ 60

26

38

0,18

0,165

0,477

1,214

0,01– 0,38

0,02-7,49

0,816

*p : Uji Mann-Whitney

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Mann-Whitney

didapatkan median kadar hs-CRP kelompok umur 38-59 tahun adalah

0,18 mg/dl sedangkan median pada kelompok umur ≥ 60 tahun adalah

77

0,165 mg/dl (p = 0,861). Hal ini menunjukkan bahwa pada subyek

kelompok umur secara statistik tidak ada perbedaan bermakna.

4. Analisis Korelasi Kolesterol LDL dan hs-CRP pada subyek hipertensi

non obes.

Dari uji korelasi spearman diperoleh p = 0,148 yang menunjukkan

korelasi kadar kolesterol LDL dan kadar hs-CRP tidak bermakna. Nilai

koefisien korelasi sebesar r= 0,133 menunjukkan korelasi arah positif

artinya terdapat hubungan antara kadar kolesterol LDL dan hs-CRP sama-

sama meningkat dengan kekuatan korelasi yang lemah Tabel 7.

Tabel 7. Korelasi kolesterol LDL dan hs-CRP pada subyek hipertensi non

obes.

Kadar hs-CRP

Kadar Kolesterol LDL r = 0.133

p = 0.148

n = 64

*p = Uji korelasi Spearman

78

B. PEMBAHASAN

Penelitian ini mengamati korelasi kadar kolesterol LDL dan hs-CRP

pada subyek hipertensi non obes, dimana hs-CRP sebagai penanda

inflamasi tingkat rendah pada pembuluh darah. Pada penelitian ini diambil

subyek hipertensi non obes karena BMI > 24,9 kg/m3 dihubungkan

dengan peningkatan penyakit kardiovaskular. Peningkatan risiko yang

sama juga diidentifikasi untuk hipertensi, hyperlipidemia.

Berdasarkan hasil uji t (p = 0,758) tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara jenis kelamin dengan status kolesterol LDL subyek

hipertensi non obes.

Untuk kelompok umur dengan status kolesterol LDL, uji t p = 0,09

(p> 0,05), secara statistik tidak bermakna. Pada penelitian ini, hubungan

yang tidak bermakna karena umur memang bukan termasuk faktor resiko

hiperkolesterol LDL.

Berdasarkan hasil uji Mann-whitney diketahui bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan konsentrasii hs-

CRP pada subyek hipertensi non obes (p= 0,12), hal ini karena jenis

kelamin memang bukan termasuk faktor resiko inflamasi tingkat rendah

pada pembuluh darah. The prospective Studies Collaboration

menemukan hubungan spesifik usia dari mortalitas ischemic heart

disease (IHD) dan tekanan darah sedikit lebih besar pada perempuan

dibandingkan laiki-laki dan menyimpulkan bahwa untuk mortalitas

vaskular secara keseluruhan, jenis kelamin kurang relevan (Lewington

79

dkk, 2002). Efek perlindungan estrogen dianggap menjelaskan adanya

imunitas wanita pada usia sebelum menoupouse, tetapi pada kedua jenis

kelamin dalam usia 60 hingga 70-an, frekuensi MI menjadi setara

(Price,S.A. dkk.2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan pula tidak ada perbedaan yang

bermakna antara kadar hs-CRP dengan kelompok umur berdasarkan uji

statistik dengan uji Mann-Whitney (p = 0,816). Tekanan darah sistolik

meningkat progresif sesuai usia dan orang lanjut usia dengan hipertensi

merupakan risiko besar untuk penyakit kardiovaskular (Pikir S.B, 2015).

Berdasarkan tabel 7 hasil uji korelasi dengan uji Spearman

didapatkan nilai p= 0.148 (p> 0,05) korelasi antara kolesterol LDL dan

hs-CRP tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik.

Nilai koefisien korelasi sebesar r= 0,133 yang berarti arah positif artinya

terdapat hubungan antara kolesterol LDL dan hs-CRP sama-sama

meningkat dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah, mungkin

disebabkan karena yang diukur kolesterol LDL bebas bukan LDL

teroksidasi (ox-LDL) yang menyebabkan inflamasi tingkat rendah pada

pembuluh darah. Oksidasi kolesterol LDL diperkuat oleh kadar kolesterol

HDL yang rendah, diabetes mellitus, defisiensi estrogen, hipertensi dan

adanya derivate merokok. Sebaliknya, kadar kolesterol HDL yang tinggi

bersifat protektif terhadap timbulnya penyakit jantung koroner bila terdiri

atas sedikitnya 25% kolesterol total (Pikir B.S., 2015). Dapat juga

80

disebabkan masih ada faktor perancu yang tidak dikendalikan seperti

merokok dan defisiensi estrogen.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada subyek

hipertensi non obes dari semua jenis kolesterol yang diperiksa dan

mengalami peningkatan yang sangat signifikan sama dengan kadar hs-

CRP adalah kolesterol LDL (Nakkeeran M, et al,2017). Hiperkolestromia

diyakini mengganggu fungsi endotel dengan meningkatkan produksi

radikal bebas, pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel

arteri menyebabkan terjadinya oksidasi kolesterol LDL yang merupakan

salah satu penyebab inflamasi tingkat rendah pada pembuluh darah

(Price,S.A.dkk.2013). Keterbatasan penelitian ini adalah pemeriksaan

yang dilakukan adalah kolesterol LDL bukan LDL teroksidasi (ox LDL),

masih ada faktor perancu yang tidak dikendalikan, tidak dilakukannya

pemeriksaan kolesterol HDL dan umur subyek hipertensi non obes tidak

terdistribusi dengan baik, tidak dibandingkannya antara pasien hipertensi

non obes dengan orang normal sebagi kontrol .

81

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Rerata kadar kolesterol pada subyek hipertensi non obes pada

kelompok laki-laki lebih tinggi dari kelompok perempuan tetapi tidak

bermakna.

2. Rerata kadar kolesterol pada kelompok umur ≥ 60 tahun lebih tinggi

dari kelompok umur 38-59 tahun, tetapi perbedaannya tidak

bermakna.

3. Tidak ada perbedaan yang bermakna kadar hs-CRP antara laki-laki

dan perempuan pada subyek HT non obes.

4. Hubungan kadar hs-CRP dengan kelompok umur ≥ 60 tahun dan

kelompok umur 38-59 tahun tidak ada perbedaan.

5. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman korelasi kadar hs-CRP

dan kolesterol LDL tidak bermakna.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan pengaruh

yang lebih jelas antara kadar LDL teroksidasi (ox-LDL) terhadap

kadar hs-CRP.

2. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan kontrol

subyek normal.

82

DAFTAR PUSTAKA

Arshad, A, dkk. (2016). To Determine the Frequency of Hypertensionwith Raised Low Density Lipoprotein Cholesterol (LDL-C) inPatients of Chronic Renal Failure. Diunduh 6 Juni 2018. Availablefrom: di www.pjmhsonline.com

Corwin,E,J, (2001) Buku saku Patofisiologi EGC. Jakarta2001

Ding, et al. (2015). Body Mass Index, High-Sensitivity C-Reactive Proteinand Mortality in Chinese with Coronary Artery Disease. Diunduh 15June 2018. Available from: http://journals.plos.

Filla, Putu J.F. (2015). hs-CRP as Biomarker of Coronary Heart Disease.Diunduh 3 Juni 2018. Available from: http://juke.kedokteran.unila.ac.id

Hansson G. K. (2005). Inflammation, Atherosclerosis, and CoronaryArtery Disease. N.Engl.J.Med. Number 16.352:1685-1695.

Kamath, D.Y. et al. (2015). High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP)and Cardiovascular Disease: An Indian Perspective. Indian Journalof Medical Research, 142(3): 261–268.

Kowalak P, et al. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit bukukedokteran. EGC.

Kemenkes RI. (2016). Sebagian besar penderita hipertensi belumterdiagnosa apalagi berobat. Jakarta: Sumber Biro komunikasi danpelayanan masyarakat.

Kumar, Abbas, Fausto, Mitcheel, 2007. Robbins Basic Pathology.8th edition. Elsevier . p343-353.

Libby P. (2006). Current consepts of the pathogenesis of the acutecoronary syndrome. Cirlulation 104:365.

Marques, P, dkk, (2018). LDL Cholesterol Control in Patients from aHypertension Clinic. Journal of Hypertension. 36():e246

Montezano, A.C. (2015). Redox signaling, Nox5 and vascular remodelingin hypertension. Diunduh 6 Juni 2018. Available from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4727501

Mouridsen MR, et. al. 2014. High Sensitivity Creative Protein and ExerciseInduced Changes in Subjects Suspected of Coronary ArteryDisease. Jurnal Inflamm Research; (7): P. 45-55.

83

Muis M Murtala B,. (2011) Peranan Ultrasonografi dalam menilai

KompleksIntima Media Arteri Karotis untuk Diagnosa dini

Aterosklerosis. Bagian Radiologi, Fakultas Kedokteran UNHAS.

Murray, R.K., Granner D.K., Mayes P.A. Rodwell, V.W. (1996). BiokimiaHarper, EGC. Jakarta.

Nakkeeran M, Periasamy S, Inmozhi SR, Santha K dan Sethupathy.(2017). Increased Level of Inflammatory Marker hs-CRP, MDA andLipid Profile in Non-obese Hypertension Subject. Diunduh 20 Juni2018. Available from: https://www.omicsonline.

Nisa H. (2016). C-Reactive Protein untuk Menimbulkan Risiko Penyakit.Diunduh 5 maret 2018. Available from:http://www.repository.uinjkt.ac.id

Paulman, P M dkk., (2013). Taylor Manual Diagnostik Dalam 10 menit.Binarupa Aksara Publisher.

Pikir, B.S. dkk. (2015). Hipertensi Manajemen Komperhensip. AirlanggaUniversity Press.

Price, S.A. dkk. (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC, 576-586

Pusdatin Kemenkes RI, (2014). Mencegah dan mengontrol hipertensi agarterhidar dari kerusakan organ jantung, otak dan ginjal. DepartemenKesehatan Republik Indonesia.

Poppy M, (2009). Perkembangan Konsep Pathogenesis Aterosklerosis.Jurnal Biomedik. Vol. 1, 1. 12-22.

Rilantono, L.I. (2012). Penyakit Kardiovaskular (PKV). Badan PenerbitFakultas Kedokteran Universitas Indonesia.235

Ross Russell (1999). Atherosclerosis – An Inflammatory Disease.N.Engl.J.Med. 340:115-126.

Rudijanto Achmad (2007). The Role of vascular Smooth Muscle Cells onthe Pathogenesis of Atherosclerosis. Acta Medica Indonesiana.Vol.XXXIX, 4: 86-91.

Schoen J Frederick (2005). Blood Vessels. In: Kumar, Abbas, Fausto.Robbins and Cotran Pathologic Basis of disease. 7th ed. ElsevierSaunders. p.516-524.

84

Sopiyudin, D.M, (2010). Besaran Sampel dan Cara Pengambilan Sampeldalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta:Salemba Medika.

Soeharto,I. (2004). Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung.Edisi ke-2. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Surentu, J. H., dkk. (2014). Hubungan Kolestrol High Density LipoproteinDarah dengan Kadar High Sensitivity C. Reactive Protein padaRemaja Obes. Diunduh 10 April 2018. Available from:https://media.neliti.com.

Tutuncu, Y. et al. (2016). A Comparison of hs-CRP Levels in NewDiabetes Groups Diagnosed Based on FPG, 2-hPG, or HbA1cCriteria. Journal of Diabetes Research. Vol. 6

Wibowo JW., (2011), Berat badan lahir rendah sebagai faktor resiko

penyakit jantung koroner, FK UNISSULA, Sains medika,Vol 3 no 2

Yousuf, Oumair. et al. (2013). High-Sensitivity C-Reactive Protein andCardiovascular Disease. Journal of the American College ofCardiology. Vol. 62 No. 5 P. 397-408.

Yonata, A., Satria, A.2016. Hipertensi sebagai Faktor pencetus TerjadinyaStroke. Majority Vol. 5. No. 3.

Kolesterol LDL hs-CRP Lama hipertensi Klasifikasi

mg/dl mg/dl (tahun) Hipertensi

1 JE 2 57 106 0.24 5 2

2 HA 2 49 147 0.09 1 1

3 US 1 43 117 0.01 1 1

4 SA 2 59 97 0.07 2 1

5 AP 1 46 134 1.12 3 1

6 FA 1 54 144 0.2 10 2

7 EN 1 60 113 0.04 1 1

8 SA 2 50 161 0.15 5 1

9 PA 1 75 197 1.64 10 2

10 CO 1 64 185 2.38 10 2

11 BA 2 53 55 0.05 1 1

12 TA 2 60 72 0.21 10 2

13 TI 2 48 176 0.3 1 1

14 JO 2 75 177 0.19 10 2

15 SA 2 73 205 0.52 5 2

16 HA 2 80 128 0.17 12 2

17 BU 2 47 104 0.28 2 2

18 NU 2 38 105 0.17 3 2

19 CA 1 65 95 0.09 5 1

20 NA 2 50 121 0.14 2 2

21 US 1 75 193 0.39 8 2

22 SI 2 73 143 0.06 5 2

23 DI 2 48 95 0.11 2 1

24 SI 2 57 76 0.29 6 1

25 PE 2 68 156 0.02 2 1

26 TA 1 76 215 0.65 10 2

27 IK 1 67 133 0.28 3 2

28 NA 1 66 224 0.59 5 2

29 HA 2 65 78 0.17 3 2

30 AB 2 78 156 0.22 7 2

31 PI 2 75 142 0.09 12 2

32 AT 2 67 149 0.14 10 1

33 BA 1 59 208 0.52 5 1

34 JA 2 72 168 0.04 5 1

35 HA 2 70 174 0.12 7 2

36 APE 2 47 86 0.15 10 1

37 SA 2 50 148 0.08 1 1

38 RU 2 52 76 0.35 3 1

39 SU 1 66 205 0.05 1 1

40 IB 1 79 161 7.49 14 2

41 RA 2 60 213 0.08 6 2

42 SI 2 60 196 0.05 1 1

43 NUR 2 51 141 0.03 4 2

44 KA 2 71 137 0.04 2 1

45 MA 2 47 204 0.04 5 1

46 GA 1 72 126 0.32 6 2

47 HA 2 64 256 0.09 3 2

48 MU 2 57 148 0.2 5 2

49 PA 1 60 105 0.04 1 1

50 SA 1 70 124 0.2 3 2

51 HA 2 67 223 0.47 6 2

NO NAMA Jenis Kelamin UMUR

DATA SUBYEK HIPERTENSI NON OBES

52 KA 2 51 159 0.19 3 1

53 CM 2 68 138 0.92 11 2

54 MI 2 59 127 0.05 2 2

55 CD 2 52 125 0.22 3 2

56 CA 2 50 123 0.32 6 2

57 GAP 1 70 108 0.32 12 2

58 KA 2 76 110 0.29 11 2

59 MI 2 75 196 0.09 3 2

60 HA 2 69 209 0.16 2 1

61 RE 2 65 365 0.14 5 2

62 RO 2 71 139 0.04 20 2

63 HA 2 65 226 0.18 5 2

64 TI 2 62 100 0.03 1 1

Jenis Kelamin ; 1 = laki- laki, 2 = perempuan

Kalsifikasi Hipertensi ; 1 = Tingkat 1, 2 = Tingkat 2