KONSTRUKSI ISU DISABILITAS DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO

167
KONSTRUKSI ISU DISABILITAS DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Qusyairi Sazali Kuba NIM : 11150510000018 PROGRAM STUDI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/ 2021 M

Transcript of KONSTRUKSI ISU DISABILITAS DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO

KONSTRUKSI ISU DISABILITAS DI MEDIA ONLINE

TEMPO.CO

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Qusyairi Sazali Kuba

NIM : 11150510000018

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/ 2021 M

KONSTRUKSI ISU DISABILITAS DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

(S.Sos.)

Oleh

Qusyairi Sazali Kuba NIM : 1150510000018

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/ 2021 M

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Qusyairi Sazali Kuba

NIM : 11150510000018

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul KONSTRUKSI ISU

DISABILITAS DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO adalah benar merupakan

karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai skripsi atau karya

ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga lain dan tidak melakukan tindakan

plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan

karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya

bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan

merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 26 Desember 2020

Qusyairi Sazali Kuba

NIM 11150510000018

KONSTRUKSI ISU DISABILITAS DI MEDIA ONLINE

TEMPO.CO

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Sosial (S.Sos)

Oleh:

Qusyairi Sazali Kuba

NIM 11150510000018

Pembimbing:

Bintan Humeira, S.Sos. M.Si

NIP 19771105 200112 2 002

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H / 2021

i

ABSTRAK

Qusyairi Sazali Kuba

11150510000018

Konstruksi Isu Disabilitas Di Media Online Tempo.Co

Penelitian ini dilatarbelakangi karena adanya permasalahan disabilitas sangat berhubungan dengan stigma dan diskriminasi. Selama bertahun-tahun media di Indonesia melihat disabilitas sebagai orang lemah, tak berdaya dan menjadi masalah sosial, cara pandang medis (Medical Model) yang menggambarkan bahwa disabilitas adalah bencana bagi mereka yang mendapatkannya, tepatnya disabilitas dianggap tragedi yang menimpa seseorang, tak heran pemberitaan yang muncul selalu menempatkan disabilitas sebagai orang yang harus dikasihani dan selalu dijadikan sebagai objek inspirasi dimana penyandang disabilitas melakukan sesuatu yang biasa saja dibingkai menjadi objek inspirasi.

Tempo.co muncul dengan gaya baru dalam pemberitaan disabilitas dengan cara menjadikan isu disabilitas menjadi sebuah kanal khusus pada laman web tempo.co. Hal ini tentu merupakan sebuah kemajuan besar bagi dunia jurnalisme di Indonesia untuk mengurai konstruksi disabilitas yang telah terbentuk di masyarakat sebagai objek kasihan dan kehebatan. Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui konstruksi isu disabilitas serta proses produksi isu disabilitas pada media online Tempo.co dalam rubrik Difabel. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Strukturasi Anthony Giddens. Dalam teori ini disebutkan bahwa struktur dapat diproduksi dan direproduksi baik oleh tindakan-tindakan manusia maupun melalui medium tindakan sosial.

Penelitian ini menggunakan metode campur kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan dokumentasi, studi kepustakaan dan wawancara. Hasil temuan data penelitian menunjukkan isu disabilitas dikonstruksi berdasarkan 3 kategori, yaitu isu aksesibilitas, inklusifitas dan rehabilitas dan isu yang paling dominan pada pemberitaan media Tempo.co dalam rubrik Difabel adalah isu inklusifitas dan isu aksesibilitas. Proses produksi isu disabilitas yaitu Cheta Nilawati dan Rini Kustiani sebagai pencetus lahirnya rubrik Difabel berperan sebagai agensi dan aktor daam membentuk struktur sosial yang aware terhadap disabilitas yang masih dimarginalkan. Kata Kunci: Konstruksi, Disabilitas, Tempo.co

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa

Ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat

diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

pada Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis telah

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Konstruksi Isu Disabilitas Di

Media Online Tempo.co.

Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad

SAW. yang melalui beliau kita dapat merasakan cahaya kehidupan dan nikmat

ilmu pengetahuan seperti yang sedang kita rasakan saat ini.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada

pihak-pihak yang sudah turut membantu dan mendukung penulisan skripsi ini:

1. Prof. Dr. Amany Lubis selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Suparto, M. Ed sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW sebagai Wakil

Dekan I Bidang Akademik dan Wakil Dekan II Bidang Administrasi

Umum.

iii

3. Kholis Ridho, M.Si dan Drs. Hj. Musfirah Nurlaily, MA sebagai Ketua

Jurusan Jurnalistik dan Sekretaris Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bintan Humeira, M.Si, selaku pembimbing yang telah meluangkan

waktu serta sabar dalam memberikan ilmu, arahan, bimbingan, saran,

serta nasihat yang bermanfaat selama penelitian hingga selesai

penulisan.

5. Segenap dosen Program Studi Jurnalistik yang telah mendidik penulis

selama menuntut ilmu di Program Studi Jurnalistik Fakultas Dakwah

dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

banyak membantu selama proses perkuliahan.

6. Cheta Nilawati dan Rini Kustiani sebagai narasumber yang telah

mengizinkan penulis untuk melangsungkan interview agar

memperoleh informasi data penelitian.

7. Keluarga penulis, Ayahanda (Alm) Zaini Dahlan dan Ibunda Maneh,

Adinda Raudhatun Nisa dan Abangda Afdhalul Rahman Kuba dan

Ariful Muharis. Terima kasih atas doa dan usahanya sudah menempa

penulis menjadi anak yang kuat dan mandiri.

8. Teman-teman jurusan Jurnalistik angkatan 2015.

iv

9. Segenap Keluarga Besar Forum Ruhul Islam Anak Bangsa (FARIS

JAKARTA), Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta,

sebagai rumah di perantauan.

10. Putri Andira yang telah menemani penulis sepanjang 2018-2020 dalam

proses pengerjaan skripsi ini.

Penulis sekali lagi mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak

yang telah membantu semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan

balasan kebaikan atas bantuan semua pihak.

Jakarta, 26 November 2020

Penulis,

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI.................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................... 7

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................... 7

D. Metodologi Penelitian .......................................................................... 9

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................................ 16

F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 20

BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 22

A. Media dan Kelompok Marjinal .......................................................... 22

B. Media dan Disabilitas ........................................................................ 24

C. Difabel dan Disabilitas ....................................................................... 28

D. Perubahan Paradigma Disabilitas ...................................................... 33

E. Isu Disabilitas di Media ..................................................................... 40

F. Produksi Isu Disabilitas dalam Teori Strukturasi .............................. 50

G. Kerangka Teori .................................................................................. 56

BAB III GAMBARAN UMUM MEDIA ONLINE TEMPO.CO ........... 57

A. Sejarah dan Perkembangan Tempo.co ............................................... 57

B. Rubrik difabel di Tempo.co ............................................................... 60

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ...................................... 62

A. Isu Disabilitas Pada Media Online Tempo.co.................................... 62

B. Produksi Isu Disabilitas Rubrik Difabel Pada Media Tempo.Co ...... 88

BAB V TEMPO DAN ISU DISABILITAS ............................................... 94

A. Analisis Teori Strukturasi Pemberitaan Tempo Terhadap Isu Disabilitas .................................................................................................. 94

B. Relasi Struktur Dan Aktor Terhadap Isu Disabilitas ....................... 100

vi

C. Konstruksi Isu Disabilitas Pada Media Online Tempo.co ............... 103

BAB VISIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ................................ 106

A. KESIMPULAN ................................................................................ 106

B. IMPLIKASI ..................................................................................... 107

C. SARAN ............................................................................................ 108

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 109

LAMPIRAN............................................................................................... 113

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejak adanya media yang menemani keseharian kita, media

memiliki peran yang sangat penting dalam setiap lini kehidupan, terlebih

lagi media massa. Kita dapat memperoleh informasi terkait suatu realitas

atau peristiwa yang terjadi di tempat lain dari media. Di era digitalisasi

seperti saat ini, tentu saja media massa online dipandang sebagai media

yang cukup interaktif dan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat terkait segala informasi dan berita yang terliput oleh media

sebagai salah satu sebagai hasil dari karya jurnalistik. Keberadaan media

massa online di tengah masyarakat saat ini bahkan telah membuat

perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan karena bukan hanya

menyuguhkan kemampuannya dengan daya jangkau yang luas namun

juga memfasilitasi masyarakat akan berita dengan kecepatan yang cukup

mengejutkan.

Dengan semakin pesatnya perkembangan media online dalam

menyajikan berita, terlihat beberapa isu yang mengalami penyimpangan

dalam pemberitaannya; di antaranya isu disabilitas. Dampak diskriminasi

dan representasi terhadap penyandang disabilitas dalam media online

membuat kaum disabilitas ini seolah termarjinalkan dan lama kelamaan

menjadi terlupakan secara total. Sebagai akibatnya, wawasan, informasi,

2

dan pengetahuan masyarakat menjadi sangat terbatas terhadap segala

persoalan dan isu tentang disabilitas serta akan menjadi suatu masalah

yang sangat terabaikan.

Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

mencatat bahwa dari kurun waktu 2011-2016 hanya ada 89 berita yang

menyuarakan berita terkait penyandang disabilitas Tahun 2011 ada enam

berita, 2012 empat berita, 2013 tujuh berita, 2014 sedikit ada peningkatan

menjadi 11 berita. Kemudian 2015 ada 40 berita, dan 2016 sampai dengan

bulan April ada 20 berita.1 Untuk sebuah angka jumlah berita yang

memberitakan kaum difabel tersebut, 89 tentulah merupakan angka

sangat sedikit padahal Tim Riset LPEM FEB Universitas Indonesia

menjelaskan estimasi jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar

12,15 persen dengan dua kategori. Yang masuk kategori sedang sebanyak

10,29 persen dan kategori berat sebanyak 1,87 persen. Artinya, dengan

jumlah populasi lebih kurang sebanyak 11 juta penduduk di Indonesia

menjadi termarjinal dengan sedikitnya isu tentang mereka yang diangkat

oleh media. Media sebagai corong informasi dengan jangkauan yang luas

juga yang dapat menembus setiap lapisan masyarakat dinilai memiliki

1Dani Prabowo, “Komnas Ham Nilai Isu Disabilitas Kurang Mendapatkan Perhatian

media,” artikel diakses pada tanggal 17 Oktober 2019 dari https://nasional.kompas.com/read/2017/02/17/17232611/komnas.ham.nilai.isu.disabilitas.kurang.mendapatkan.perhatian.media.

3

peran yang sangat krusial dalam mendorong isu disabilitas ini. Pasalnya

dengan jumlah 12,15 dari populasi di Indonesia namun diberitakan hanya

sebanyak 89 kali dalam kurun waktu 5 tahun itu adalah sesuatu yang tidak

masuk akal dan perlu ditindak dengan serius.

Tempo.co merupakan satu-satunya media online yang

memberikan ruang luas bagi pemberitaan disabilitas. Hal tersebut

didukung oleh peluncuran kanal difabel di laman Tempo.co pada 21

Februari 2019. Apa yang dilakukan oleh tempo sangat bermanfaat bagi

perjuangan kelompok disabilitas yang saat ini merasa di diskriminatif dan

dianggap menjadi warga kelas dua.

Permasalahan disabilitas sangat berhubungan dengan stigma dan

diskriminasi. Selama bertahun-tahun media di Indonesia melihat

disabilitas sebagai orang lemah, tak berdaya dan menjadi masalah sosial.

Cara pandang medis (Medical Model) yang menggambarkan bahwa

disabilitas adalah bencana bagi mereka yang mendapatkannya, tepatnya

disabilitas dianggap tragedi yang menimpa seseorang, tak heran

pemberitaan yang muncul selalu bersubjek kasihan ataupun berlebihan,

dimana penyandang disabilitas melakukan sesuatu yang biasa saja

dibingkai menjadi objek inspirasi.

Tempo.co muncul dengan gaya baru dalam pemberitaan

disabilitas dengan cara menjadikan isu disabilitas menjadi sebuah kanal

4

khusus pada laman web tempo.co. Hal ini tentu merupakan sebuah

kemajuan besar bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Apa yang dilakukan

oleh Tempo sangatlah baik untuk mengurai konstruksi disabilitas yang

telah terbentuk di masyarakat sebagai objek kasihan dan kehebatan.

Tempo mencoba mengulas isu disabilitas dengan konsisten dan menarik

lewat topik yang lebih beragam, aktivitas, tips bagaimana bersosialisasi

dengan difabel, gaya hidup, pendidikan dan lainnya.

Dalam “Mengenal Gejala Anak Disabilitas Psikososial dan

Penanganannya”, misalnya, berita ini merupakan bentuk pendidikan

literasi ke masyarakat soal disabilitas, yang memang masih sangat minim

di Indonesia. Berita berunsur literasi seperti itu kerap muncul

di Tempo.co, seperti terlihat dalam “Buka Identitas Anak Difabel Bisa

Cegah Anak Alami Bullying” dan “Seperti Apa Pelayanan Kesehatan

Reproduksi Inklusif Bagi Difabel”. Selain itu, aspek literasi disabilitas

di Tempo.co juga ditampilkan dalam hal-hal kecil dan menarik, seperti

kursi roda, main kartu bagi disabilitas netra, dan lainnya. Berita bercorak

literasi seperti itu membantu isu disabilitas hadir lebih sering dalam

perbincangan dan pengetahuan masyarakat sehari-hari.

Corak lain yang kerap muncul dari berita-berita disabilitas

di Tempo.co adalah berita tentang penyandang disabilitas yang mampu

melakukan hal-hal biasa yang selama ini dilakukan oleh abled-body. Ini

5

penting karena selama ini penyandang disabilitas kerap dianggap tidak

mampu melakukan hal-hal tertentu. Tengoklah berita “Latte Art Karya

Barista Satu Tangan di Sunyi Coffee House And Art” dan “Kisah Presti

Murni, Tunanetra yang Menjadi Guru Fiqih di Madrasah”.

Biasanya, berita seperti ini tergoda untuk membingkai

penyandang disabilitas secara inspirasional, “orang hebat”, dan

sebagainya. Namun, kedua berita tadi ditulis dengan biasa, tanpa melebih-

lebihkan, dan tanpa nada yang menjadikan penyandang disabilitas sebagai

sumber inspirasi. Hanya membuka mata bahwa penyandang disabilitas

sama seperti yang lainnya: bisa mengajar, bisa menjadi barista, bisa

mengaji, dan seterusnya.

Demikian pula dengan sudut pandang dan judul berita, tak ada

kata superscript atau menghereoisasi. Difabel dianggap sebagai entitas

biasa sebagaimana manusia pada umumnya. Kejadian dan peristiwa yang

melingkupi difabel dibungkus dengan apa adanya, tanpa menggiring dan

mengarahkan pada ideologi “kenormalan”. Ini berbeda dengan banyak

berita atau talkshow yang menghadirkan penyandang disabilitas sebagai

objek atraksi atau inspirasi.

Usaha melepas superscript dan excessive charity atas pemberitaan

disabilitas yang dilakukan Tempo.co sangatlah baik untuk mengurai

“konstruksi” yang selama ini telah melingkupi masyarakat: disabilitas

6

dianggap sebagai objek kasihan dan kehebatan. Dibandingkan dengan

media-media mainstream yang lain, Tempo.co lebih punya kesadaran

menggunakan paradigma yang sejalan dengan tujuan pengarusutamaan

difabel di kalangan aktivis difabel.

Ini tentu merupakan kerja jurnalistik yang tidak mudah mengingat

konstruksi mengenai disabilitas yang sudah hegemonik, tertanam dalam

alam bawah sadar kita. Artinya, wartawannya harus selalu bersikap kritis

dan mempertanyakan segala asumsinya yang sudah mapan mengenai

disabilitas.2 Karena media massa memiliki tanggung jawab untuk

mengakomodasi rujukan dan melindungi kelompok minoritas ditengah-

tengah dominasi suatu kelompok dalam masyarakat plural. Maka dari itu,

penelitian ini mengambil bagian dari “KONSTRUKSI ISU

DISABILITAS DI MEDIA ONLINE TEMPO.CO”.

2 Slamet Thohari, “Mendengar Difabel Melalui Tempo,” diakses pada tanggal 17

Oktober 2019 dari http://www.remotivi.or.id/amatan/536/Mendengar-Difabel-Melalui-Tempo.co

7

B. Batasan dan Rumusan Masalah a. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian adalah pembatasan terhadap

kategori isu disabilitas yang diterbitkan Tempo.co dalam 3 aspek, yaitu

isu aksesibilitas, isu inklusifitas dan rehabilitasi dalam kurun waktu 3

bulan yaitu periode Agustus, September dan Oktober 2019 pada

pemberitaan isu-isu disabilitas di media online Tempo.co.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul yang sudah dipaparkan, maka rumusan

masalah dalam penelitian skripsi ini, yaitu:

1. Apa saja isu disabilitas yang terdapat pada pemberitaan media online

Tempo.co ?

2. Manakah isu yang paling dominan dalam pemberitaan media online

Tempo.co pada periode Agustus hingga Oktober 2019 ?

3. Bagaimana proses konstruksi dan produksi isu disabilitas dalam rubrik

difabel Tempo.co ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, secara khusus

penelitian ini bertujuan untuk:

8

a. Mengetahui isu disabilitas yang diberitakan pada media

online Tempo.co.

b. Mengetahui isu yang paling dominan pada pemberitaan

media online Tempo.co pada periode Agustus hingga

Oktober 2019.

c. Menjelaskan bagaimana proses konstruksi produksi isu

disabilitas di media Tempo.co dilihat dalam relasi agen dan

struktur.

2. Manfaat Penelitian

a. Signifikansi Manfaat Akademis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah

satu referensi dalam pengembangan ilmu komunikasi bagi

akademisi, baik dosen maupun mahasiswa. Khususnya dalam

kajian konstruksi sosial untuk mengetahui bagaimana isu disabilitas

dikonstruksikan oleh media massa.

b. Signifikansi Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi para

jurnalis, khususnya media online Tempo.co itu sendiri dan sebagai

pertimbangan atau masukan kepada media-media online dalam

mendorong isu disabilitas, serta dapat memberikan masukan kepada

pengambil kebijakan terkait isu disabilitas yang berkembang. Juga

9

memberi acuan kepada pembaca yang ingin mengetahui bagaimana

isu disabilitas ini dapat dikonstruksikan oleh media massa.

D. Metodologi Penelitian 1. Metodologi Penelitian

a. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah

paradigma konstruktivis. Menurut paradigma konstruktivis, realitas

sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan, hal

ini dapat diartikan bahwa realitas sosial tidak dapat disamaratakan.

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari berbagai

realitas yang terkonstruksi oleh individu dan dampak dari konstruksi

tersebut bagi kehidupan mereka dengan cara yang nyata dalam

memandang realitas tersebut. Paradigma konstruktivis juga sering

disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Dengan

konsentrasi analisis yaitu menemukan bagaimana peristiwa realitas

tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi dibentuk.

Paradigma konstruktivis yang memandang bahwa untuk

mengetahui “dunia arti” (world of meaning) mereka harus

menginterpretasikannya. Mereka juga harus menyelidiki proses

pembentukan arti yang muncul dalam bahasa atau aksi-aksi sosial para

aktor.

10

Paradigma ini menilai aspek-aspek etika, moral, dan nilai-nilai

tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Etika dan

moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok

atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah

bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan

mengkonstruksi realitas.

b. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk

menjelaskan fenomena secara mendalam melalui pengumpulan data

sedalam-dalamnya.3 Dalam metode ini, peneliti berperan sebagai

pelaku observasi dari kehidupan sekitar. Penelitian jenis ini terdiri dari

sekumpulan interpretasi praktis yang menggambarkan kondisi aktual

dengan jelas. Interpretasi tersebut direpresentasikan dalam catatan

lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman, dan memo. Pada

tahap ini, penelitian kualitatif melibatkan pendekatan naturalistik

interpretatif. Dalam pendekatan ini, peneliti mempelajari hal-hal

dalam kondisi yang natural, mencoba untuk memahami, atau untuk

menafsirkan fenomena yang mereka temukan.

3 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta:Prenada Media

Group, 2009) hlm. 56

11

2. Desain Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam riset ini merupakan mixed

method. Mixed methods research design (metode penelitian

campuran) ialah sesuatu prosedur dalam mengumpulkan,

menganalisis, dan “menggabungkan” metode kuantitatifserta kualitatif

dalam sebuah penelitian atau serangkaian riset yang dibuat guna

memahami permasalahan penelitian. Pendekatan ini mencoba

menggabungkan dua metode dengan tujuan buat membagikan uraian

yang lebih baik tentang permasalahan penelitian serta persoalan

penelitian dari pada dilakukan sendiri-sendiri. Berikutnya Sugiyono

(2014, hlm. 404) menyatakan bahwa metode campuran (mixed

methods) ialah sebuah metode penelitian yang mencampurkan ataupun

mengombinasikan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitafi

secara bersama-sama dalam sebuah penelitian sehingga informasi

yang diperoleh lebih komprehensif, valid, reliabel, serta obyektif.

Creswell (2009) menyatakan “A Mixed methods design is useful when either the quantitative or qualitative approach by itself is inadequate to best understand a research problem or the strengths of both quantitative and qualitative research can provide the best understanding”.

Metode penelitian kombinasi akan berguna bila metode

kuantitatif atau metode kualitatif secara sendiri-sendiri tidak cukup

akurat digunakan untuk memahami permasalahan penelitian, atau

dengan menggunakan metode kuatitatif dan kualitatif secara

12

kombinasi akan dapat memperoleh pemahaman yang paling baik (bila

dibandingkan dengan satu metode). Desain ini memungkinkan penulis

untuk mengambil data penelitian kuantiatif dan kualitatif secara

bersamaan guna memahami masalah penelitian.

Data kuantitatif berasal dari berita yang di ambil dari rubrik

Difabel Tempo.co, data tersebut kemudian diolah untuk memudahkan

penulis dalam melihat perkembangan rubrik difabel Tempo.co. data

kuanitiatif yang dimaksud adalah 82 berita periode bulan Agustus-

Oktober 2019 yang terbagi dalam 3 kategori, yaitu aksesibilitas,

Inklusifitas dan Rehabilitasi. Dalam waktu bersamaan penulis juga

melakukan metedo penelitian kualitatif untuk melihat arah

pembingkaian

Kualitatif

Kuantitatif

Perbandingan /Hubungan

Interpretasi

13

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah tim redaksi penanggung jawab

rubrik di difabel Tempo.co, sementara objek penelitiannya adalah

pemberitaan pada rubrik Difabel Tempo.co periode terbit Agustus

hingga Oktober 2019 sebanyak 86 berita.

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun tahapan-tahapan dalam pengumpulan data, peneliti

menggunakan dua metode, yaitu :

a. Wawancara.

Peneliti melakukan wawancara face to face interview

(wawancara langsung) dan indepth interview (wawancara

mendalam) dengan Cheta Nilawati (Reporter) Rini Kustiani

(Editor) dan rubrik difabel Tempo.co.

1) Cheta Nilawati

Cheta Nilawati telah bekerja di Tempo.co selama 14 tahun.

Jabatannya adalah seorang reporter. Mulanya, Cheta

bukanlah orang dengan disabilitas. Karena penyakit

diabetes yang dialaminya, ia kehilangan penglihatan pada

tahun 2016 atau di tahun ke-10 ia menjadi wartawan

Tempo. Cheta menjadi agensi pencetus rubrik difabel di

tempo.co. Tujuan mewawancarai Cheta Nilawati adalah

14

untuk mengetahui bagaimana proses produksi dan

konstruksi isu disabilitas dalam rubrik difabel tempo.co.

2) Rini Kustiani

Rini Kustiani merupakan wartawan Tempo sejak tahun

2005 yang menjabat sebagai editor pada rubrik Tempo.co.

Tujuan mewawancarai Rini Kustiani adalah mengetahui

hubungan relasi agen dan struktur dalam proses produksi

isu di media Tempo.co.

b. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu berupa penelusuran berita pada rubrik

Difabel laman online tempo.co periode Agustus hingga Oktober

2019. Selain itu, peneliti juga melakukan studi kepustakaan dengan

membaca buku-buku yang berkaitan dengan jurnalistik, analisis

konten, komunikasi, media massa serta hasil-hasil dari penelitian

sebelumnya yang relevan.

5. Teknik Analisis Data

a. Reduksi Data (Reduction)

Reduksi data dilakukan dengan cara mengelompokkan berita

menjadi 3 kategori, yaitu isu disabilitas aksesibilitas, inklusifitas dan

rehabilitasi yang terdapat di rubrik kanal difabel Tempo.co selama

15

kurun waktu 3 bulan periode Agustus hingga Oktober 2019.

Kemudian, dilihat data yang paling dominan dari kategori isu

disabilitas tersebut.

b. Penyajian Data (Data Display)

Setelah mereduksi data, maka langkah selanjutnya adalah

menyajikan data. Teknik penyajian data dalam penelitian kualitatif

dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti tabel, grafik dan

sejenisnya. Lebih dari itu data juga dapat disajikan dengan bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan

sejenisnya.

c. Conclusion Drawing / Verification

Langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat

sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti yang kuat dan

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila

kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-

bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel.

16

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu

tentang topik penyandang disabilitas dan media massa. Penelitian

mengenai penyandang disabilitas itu sendiri bermacam-macam, ada

yang melakukan penelitian dari sisi kesehatan, psikologis, aksesibilitas

dan lain-lain. Kemudian berikut ini adalah beberapa referensi bacaan

yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu:

Pertama, “Identitas Kelompok Disabilitas Dalam Media

Komunitas Online: Studi Mengenai Pembentukan Pesan Identitas

Disabilitas Dalam Kartunet.com” Oleh Auliani Dwi Nasiti dalam

Jurnal Komunikasi Indonesia Vol. II, No.1, April 2013.

Penelitian ini bertujuan mengangkat pembentukan identitas

yang terjadi dalam media komunitas online Kartunet sebagai subjek

studi. Situs yang merupakan akronim dari karya tunanetra ini

merupakan media komunitas bagi kelompok penyandang disabilitas

yang dikelola oleh kelompok tunanetra, namun isinya ditujukan

kepada masyarakat umum. Kartunet menyadari posisi kelompok

penyandang disabilitas sebagai kelompok yang termarjinalkan dalam

lingkungan sosial dan cenderung ditempatkan sebagai kelompok

minoritas yang dikenakan stereotip tertentu. Stereotip ini dipandang

negatif oleh individu di dalam kelompok tersebut, seperti misalnya

17

stereotip tunanetra sebagai tukang pijat atau manusia kelas dua. Dalam

komunitas kartunet, terlihat bahwa anggota komunitas memahami

stigma ini merupakan hasil konstruksi dari lingkungan sosial

masyarakat. Oleh karena itu, melalui Kartunet.com mereka

membentuk identitas yang melawan stereotip tersebut dengan

menyuarakan pesan lewat media dan membentuk suatu komunitas agar

lingkup pergerakannya lebih luas dan terarah.

Kedua, “Kemunculan Diri Dan Peran Pemilik Industri

Media di Indonesia dalam Kerangka Teori Strukturasi Anthony

Giddens” Oleh Ignatius Haryanto dalam Jurnal Lembaga Studi Pers

dan Pembangunan (LSPP) Vol. VI, No.2, Desember 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana dan apa

yang membuat pemilik media (media owner) menjadi sesuatu yang

penting untuk dilihat dalam kerangka teori tarik menarik struktur dan

agen, dan dimana persisnya letak owner media ini, apakah ia adalah

seorang penguasa struktur atau ia adalah seorang agen. Gejala tentang

pengaruh dari pemilik media boleh dikatakan bukan merupakan suatu

telaah yang baru, dalam hal ini penelitian yang dilakukan adalah

tentang bagaimana menjelaskan posisi sosial dari para pemilik media

dan peran yang dibawakannya. Apakah media owner semata-mata

18

tunduk pada kepentingan modal, ataukah ia juga merupakan seorang

penerobos dari kebekuan sistem sosial yang ada.

Ketiga, “Mainstreaming Isu Disabilitas Di Masyarakat

Dalam Kegiatan Penelitian Maupun Pengabdian Pada

Masyarakat di Stain Kudus” Karya Ekawati Rahayu Ningsih,

STAIN Kudus Jawa Tengah dalam Jurnal Penelitian Vol.8, No.1,

Februari 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

memahami kebutuhan pelayanan mahasiswa difabel. Hal ini

dikarenakan sebagai sesama manusia, kaum difabel memiliki potensi

yang sama bahkan mungkin lebih dari manusia normal. Yang

membedakan hanya tampilan fisik saja yang akhirnya terkesan tidak

normal. Tetapi tidak normalnya fisik mereka bukan berarti tidak bisa

melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang

lain. Sehingga dalam penelitian ini dapat membantu dan mendukung

upaya memfasilitasi dan memberikan pelayanan bagi kaum difabel

agar lebih memiliki peran yang sama dengan manusia non difabel,

yaitu dengan cara mengintegrasikan disabilitas ke dalam tema-tema

penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Keempat, Agensi Penyandang Disabilitas Dalam

Memperjuangkan Lapangan Pekerjaan (Studi Kasus Tunanetra

di Yayasan Mitra Netra). Karya Luthfi Auliani Jurusan Sosiologi

19

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah, tahun 2017.

Kondisi disabilitas yang masih diliputi stigma tertentu dalam

masyarakat menyebabkan munculnya kesenjangan atau

ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan pada penyandang disabilitas berupa

distribusi sumber daya ekonomi yang tidak merata, pola relasi yang

tidak setara, dan kesempatan untuk berpartisipas dalam kehidupan

sehari-hari yang tidak sama dibandingkan dengan mereka yang non

difabel. Sehingga dalam penelitian ini lebih lanjut dikaji tentang

bagaimana peran lembaga swadaya masyarakat yang bergerak untuk

memperjuangkan hak-hak bagi penyandang disabilitas di samping

kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah. Lalu sejauh mana

lembaga tersebut dalam memfasilitasi penyandang disabilitas untuk

mendapatkan pekerjaan, dan apa saja yang menjadi rintangan selama

proses itu berlangsung.

20

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini sistematis, untuk

itu penulis membaginya menjadi enam bab, yaitu tiap-tiap bab terdiri

dari sub-sub sebagai berikut;

BAB I PENDAHULUAN memuat tentang latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI yang terdiri dari pembahasan tentang

teori media massa, teori Strukturasi Anthony Giddens, dan

identitas disabilitas.

BAB III GAMBARAN UMUM MEDIA ONLINE TEMPO.CO

memuat tentang latar belakang berdirinya, visi, misi dan tujuan

berdirinya, dan struktur organisasi pada rubrik difabel.

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN pada bab ini berisi

tentang uraian penyajian data (coding) dari temuan penelitian

sesuai dengan analisis penerapan teori strukturasi terhadap isu

disabilitas pada media online tempo.co.

BAB V PEMBAHASAN pada bab ini berisi tentang uraian dari

temuan penelitian (penerjemahan coding) sesuai dengan

21

analisis penerapan teori strukturasi terhadap isu disabilitas pada

media online tempo.co.

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN terdiri dari

kesimpulan dan saran yang merupakan jawaban terhadap

semua bab-bab tersebut. Skripsi ini juga dilengkapi dengan

daftar pustaka dan lampiran.

22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Media dan Kelompok Marjinal

Kaum marginal menurut indikatornya terpisah menjadi beberapa

kriteria yaitu sosiologis, infrastruktur, kesehatan, pendidikan, politik,

ekonomi, ekologis, indeks pembangunan. Contohnya adalah seperti buruh

anak, gizi buruk, buta huruf dan lain-lain. Namun Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan UNESCO mengatakan bahwa difabel

adalah termasuk kaum yang termarjinal.4

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “marginal”

diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan batas (tepi). Sedang kata

“marginalisasi” diartikan sebagai pembatas. Jadi, kata marginal dapat

didefinisikan sebagai yang berkaitan dengan batas atau pembatasan.5

Sedangkan dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Istilah

“marginal” memiliki dua makna, yaitu, pertama, suatu kelompok yang

terasimilasi tidak sempurna. Kedua, suatu kelompok yang terdiri dari

orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.6

4 http://lipi.go.id/lipimedia/lipi-dan-unesco-perhatikan-kaum-marjinal/19033 5 Depdikbud, Marginal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 14 6 Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta:

Bumi Aksara,1992), hal. 244

23

Menurut istilah, marginal berarti adalah mereka yang tidak dapat

menyesuaikan dan melibatkan diri dalam proses pembangunan. Mereka

masih berjuang melawan penderitaan, kelaparan, ketidakadilan,

keterasingan dan diskriminasi.7 Pernyataan tersebut dengan kata lain

dapat dirumuskan, yaitu mereka yang dikategorikan sebagai yang

memiliki budaya pinggiran yang ditempatkan di luar sistem, apabila

dikaitkan dan didasarkan pada perspektif pembangunan modern atau

budaya modern.

David Berry mengartikan marginal sebagai suatu situasi dimana

orang bercita- cita atau keinginan pindah dari kelompok sosial yang satu

ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya. 8Secara

singkat, definisi ini menggambarkan permasalahan relasi sosial-budaya

yang ditanggung oleh kaum marginal. Sedangkan, Menurut Wini

Septriani, pengertian marginalisasi menunjukan kepada status seseorang

atau sekelompok orang yang berbeda kebudayaan.9

7 Y. Argo Trikromo, Pemulung Jalanan Yogyakarta: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Budaya-Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999 ), hal.7 8 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995 ), h. 14

9 S. Wisni septiarti, Masyarakat kelompok Marginal dan Pendidikannya, dalam Cakrawala Pendidikan ,(Mei,1994), h. 11-12)

24

Media memiliki kontribusi penting dalam membantu pemenuhan

hak-hak kelompok marjinal maupun dalam melegitimasi bahkan memicu

tindakan diskriminasi terhadap mereka (Briant et al, 2011; Troshanovski,

2016; Gillespie et al, 2013). Peran media tersebut terwujud dalam bentuk

representasi.

Representasi menurut Hall dkk (1997) adalah penggunaan bahasa,

tanda, dan citra untuk mengkomunikasikan atau merepresentasikan

pemahaman seseorang atas dunia kepada orang lain. Dengan cara inilah

dunia disederhanakan dan dikaitkan dengan konsep, sehingga dapat

dimengerti. Makna yang dihasilkan dari proses inilah yang membentuk

berbagai pedoman praktik sosial. Melalui representasi media, isu dan

kelompok marginal dapat dipelajari secara sosial.

B. Media dan Disabilitas

Representasi penyandang disabilitas di media kerap berhadapan

dengan dua masalah yaitu; underrepresentation dan misrepresentation.

Representasi kehadiran disabilitas di media sangat sedikit

(underrepresented). Namun kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja

namun juga terjadi di negara-negara lain, sehingga menjauhkan kita dari

25

realitas kehidupan penyandang disabilitas. Misalnya dalam drama TV di

Jepang, karakter difabel hanya berjumlah 1,7%.10

Selain masalah representasi yang sedikit, representasi disabilitas

yang muncul di media-media pun kerap keliru (misrepresented). Ada

penggambaran yang tidak tepat atau bahkan tidak adil pada penyandang

disabilitas yang berdampak pada posisi sosial mereka dan kebijakan

publik terkait pemenuhan hak mereka.

Isu disabilitas menurut Paul Hant diidentifikasikan dengan 10

jenis stereotype yang digambarkan oleh media: the disabled person as

pitiable or pathetic, an object of curiosity or violence, sinister or evil, the

super cripple, as atmosphere, laughable, his/her own worst enemy, as a

burden, as non-sexual, being unable to participate in daily life.11 Sama

juga halnya dengan penggambaran umum penyandang disabilitas juga

terdapat dalam laporan Disabling Imagery and the Media oleh The British

Council of Organisations of Disabled People yang mengidentifikasi

karakteristik umum stereotip media di Inggris terhadap kelompok

disabilitas. Karakteristik tersebut antara lain: 12

10 http://www.remotivi.or.id/amatan/503/Bolehkah-Saya-Menjumpai-Difabel-di-Media-dengan-Layak

11 Danica Pirls and Solzica Popovska, International Journal of Scientific Engineering and Research Media Mediated Disability: How to Avoid Stereotypes, University of Nis and University of Skopje, 2013

12 Colin Barnes, Disabling Imagery and The Media, The British Council of Organisations of Disabled People, 1992

26

1. Orang yang hidupnya menyedihkan dan patut dikasihani

2. Objek kekerasan

3. Orang yang kejam dan mengerikan

4. Orang yang misterius dan mengancam

5. Orang yang memiliki kekuatan super dan kekuatan ajaib

dibandingkan orang ‘normal’

6. Objek lelucon dan kekonyolan

7. Satu-satunya musuh dan musuh terburuk dari orang ‘norma’

8. Beban sosial bagi orang lain

9. Orang dengan kelainan seksual

10. Orang yang terasing dari masyarakat

Stereotype tersebut dapat ditemukan dalam berbagai program

siaran media Indonesia. Misalnya karakter pelawak Bolot yang menjadi

objek tertawaan (laughable) atau beban sosial (burden). Atau karakter

Cecep (diperankan Anjasmara) dalam “Wah Cantiknya” (SCTV, 2001)

yang selain menjadi objek tertawaan (laughable), dikasihani (pitiable),

dan dipandang aseksual. Dalam talkshow, selain kerap menjadi objek

rasa penasaran (misalnya dalam “Hitam Putih”, Trans 7), penggambaran

27

disabilitas paling dominan adalah sebagai objek inspirasi (misalnya

dalam “Kick Andy”, Metro TV).13

Pada contoh yang terakhir yang telah disebutkan diatas, ramai

yang menyetujui bahwa media sejauh ini sudah memberikan

penggambaran yang terbaik akan isu disabilitas dengan memunculkan

sosok penyandang disabilitas adalah sosok yang inspiratif. Padahal lebih

jauh daripada itu, dalam tayangan yang memunculkan para disabilitas

tersebut, mereka semata-mata hanya menjadi objek yaitu objek inspirasi.

Mereka hanya menjadi objek yang dikonstruksi seolah “mereka

mempunyai kekurangan namun kelebihannya adalah mereka tidak

menyerah”.

Stella Young yang merupakan seorang aktivis difabel dan

pelawak tunggal, menyebut hal itu sebagai inspiration

porn. Menurutnya, menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek

inspirasi secara terus menerus telah mendehumanisasi karena dimensi

hidupnya ditinggalkan. Sebab, mereka tidak hidup semata ditugaskan

untuk menginspirasi orang14.

13 http://www.remotivi.or.id/amatan/503/Bolehkah-Saya-Menjumpai-Difabel-di-

Media-dengan-Layak 14 Young, S. 2014. “I’m Not Your Inspiration, Thank You Very Much.” TED. Diakses 10 February 2015.

28

C. Difabel dan Disabilitas

Pengertian difabel yang dikemukakan oleh John C. Maxwell

adalah seseorang yang memiliki kelainan fisik dan atau mental yang

sifatnya mengganggu atau merupakan suatu hambatan baginya untuk

melakukan kegiatan sehari-hari secara layak atau normal. Sedangkan

World Health Organization (WHO) mendefinisikan difabel adalah suatu

kehilangan dan ketidaknormalan baik itu yang bersifat fisiologis,

psikologis, maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis15.

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan

fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang

dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat

menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan

efektif berdasarkan kesamaan hak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Istilah disabilitas berasal dari bahasa inggris yaitu different ability

yang artinya manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Terdapat

beberapa istilah penyebutan menunjuk pada penyandang disabilitas,

Kementerian Sosial menyebut dengan istilah penyandang cacat,

15 Sugiono, Ilhamuddin, dan Arief Rahmawan, ‘Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance‟ (2014) 1 Indonesia Journal of Disability Studies 20, 21

29

Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan istilah berkebutuhan

khusus dan Kementerian Kesehatan menyebut dengan istilah Penderita

cacat.

Berikut ini beberapa pengertian penyandang disabilitas dari

beberapa sumber:

● Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006,

penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu

menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan

individu normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari

kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam

hal kemampuan fisik atau mentalnya.

● Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok

masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

● Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan

sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang

tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah

sosial.

30

● Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang

mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu

atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan

secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik;

penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.

● Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas, Penyandang disabilitas adalah setiap orang

yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau

sensori dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan

lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk

berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara

lainnya berdasarkan kesamaan hak.16

Menurut Rahayu, terdapat empat asas yang dapat menjamin

kemudahan atau aksesibilitas penyandang disabilitas yang mutlak harus

dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua

tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu

lingkungan.

16 Reefani, Nur Kholis, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta:

Imperium, 2103, hal. 20

31

2. Asas kegunaan, yaitu semua orang dapat mempergunakan

semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu

lingkungan.

3. Asas keselamatan, yaitu setiap bangunan dalam suatu

lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi

semua orang termasuk disabilitas.

4. Asas kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai dan

masuk untuk mempergunakan semua tempat atau bangunan

dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan

orang lain.17

Menurut Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap penyandang

cacat/disabilitas, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-

anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

Berdasarkan hal tersebut maka penyandang cacat/disabilitas berhak atas

penyediaan sarana aksesibilitas yang menunjang kemandiriannya,

kesamaan kesempatan dalam pendidikan, kesamaan kesempatan dalam

ketenagakerjaan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial. Dalam hal ini yang dimaksud rehabilitasi meliputi

17 Rahayu, Sugi. Dewi, Utami dan Ahdiyana, Marita. 2013. Pelayanan Publik Bidang

Transportasi Bagi Difabel di Daerah Jogjakarta. hal. 13

32

rehabilitasi medik, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi pelatihan, dan

rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat ditegaskan bahwa setiap penyandang

cacat/disabilitas berhak memperoleh:

1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.

2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan

derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.

3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan

menikmati hasil-hasilnya

4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya.

5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan

sosial.

6. Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan,

dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak

dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan hak-hak yang harus didapatkan oleh kaum difabel

sebagai kaum yang termarjinalkan, media menjadi corong utama dalam

mengkonstruksi isu supaya hak-hak mereka sebagai warga negara dapat

terpenuhi. Namun pemberitaan pada media kerap mengalami

underrepresentation dan misrepresentation atau dengan kata lain,

33

pemberitaan terkait isu difabel di Indonesia masih mengalami

diskriminasi dan stereotip baik dari segi jumlah media yang meliput

jumlah artikel tentang difabel maupun konten berita yang

menggambarkan mereka dengan label tertentu sehingga membuat mereka

menjadi kelompok yang termarjinalkan. Padahal mengingat angka jumlah

penyandang disabilitas di Indonesia kian banyak, seyogyanya mereka

juga mendapatkan porsi yang besar dalam pemberitaan di media

manapun.

D. Perubahan Paradigma Disabilitas

Pergeseran paradigma dalam memaknai disabilitas perlu terus

digulirkan seiring dengan semangat reformasi dan demokratisasi yang

bertumpu pada penguatan dasar hak asasi manusia. Dengan bergulirnya

semangat reformasi dan demokratisasi pada dasar hak asasi manusia

(HAM) ini, penyandang disabilitas pada hakikatnya adalah makhluk

sosial yang memiliki potensi, sehingga berpeluang untuk berkontribusi

dan berperan secara optimal dalam segala aspek kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat. Pernyataan tersebut terungkap dalam

Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Penyandang Disabilitas

yang diterbitkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(DPR RI, 2015). Hal ini menunjukkan adanya perhatian dan good will

34

terhadap penyandang disabilitas untuk melibatkan mereka dalam berbagai

sektor dan bidang kehidupan.

Sejalan dengan hal tersebut, istilah yang digunakan untuk

menyebut orang dengan disabilitas pun mengalami perubahan dan

pergeseran dari masa ke masa seiring perkembangan kesadaran dan

pemahaman masyarakat terhadap isu persamaan dalam hak asasi manusia

(HAM) bagi orang dengan disabilitas. Istilah cacat menjadi dirasa kurang

pantas sehingga mengalami pergeseran menjadi “ketunaan”. Orang

dengan ketunaan pun kemudian menjadi kurang sopan sehingga muncul

istilah “disabilitas”.

Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948),

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan

Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), tidak

satu pun klausul kesetaraan yang secara eksplisit menyebutkan disabilitas

sebagai kategori yang dilindungi. Adapun kata disabilitas yang dirujuk

sebagai isu HAM dalam berbagai dokumen, hanya berkaitan dengan

jaminan sosial dan kebijakan kesehatan preventif. Baru pada tahun 1970-

an, dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan Keterbelakangan

Mental (1971) dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas (1975),

membuat penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM.

Namun begitu, instrumen awal itu masih mencerminkan gagasan

35

disabilitas sebagai model medis. Model tersebut memandang penyandang

disabilitas sebagai orang dengan masalah medis, yang penanganannya

bergantung pada jaminan sosial dan kesejahteraan yang disediakan pada

setiap negara (Degener, 2000).

Dalam perkembangannya, pada tahun 2011, pandangan The

International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF)

(WHO, 2011) mengenai disabilitas meliputi impairment, keterbatasan

aktivitas (activity limitations), dan hambatan partisipasi (participation

restriction). Dalam konteks ini, impairment meliputi masalah pada fungsi

atau struktur tubuh; keterbatasan aktivitas ditujukan pada kesulitan dalam

melaksanakan tugas atau melakukan aksi; dan hambatan partisipasi yaitu

bahwa orang dengan disabilitas mengalami masalah dalam keterlibatan di

masyarakat atau situasi kehidupannya. Dengan demikian, orang dengan

disabilitas tidak lagi dipandang sebagai orang yang bermasalah, akan

tetapi lingkungannya lah yang bermasalah dalam menyediakan kesamaan

akses dan menjadi inklusif bagi setiap orang di masyarakatnya (Rioux &

Carbert, 2003).

Rioux & Carbert (2003) menyebutkan seiring dengan semakin

banyaknya perhatian dunia internasional bagi para penyandang disabilitas

ini, semakin banyak pula komitmen yang dicurahkan oleh berbagai pihak

internasional berkaitan dengan hak asasi manusia para penyandang

36

disabilitas. Komitmen-komitmen tersebut didorong oleh perubahan

paradigma di dunia internasional. Salah satunya adalah dengan secara

formal disebutkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

(ECOSOC) (1994), mengingat International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights (ICESCR) menyebutkan:

“… since the Covenant's provisions apply fully to all members of society, persons with disabilities are clearly entitled to the full range of rights recognized in the Covenant. In addition, insofar as special treatment is necessary, States parties are required to take appropriate measures, to the maximum extent of their available resources, to enable such persons to seek to overcome any disadvantages, in terms of the enjoyment of the rights specified in the Covenant, flowing from their disability. Moreover, the requirement contained in article 2 of the Covenant that the rights 'enunciated ¼ will be exercised without discrimination of any kind' based on certain specified grounds 'or other status' clearly applies to discrimination on the grounds of disability”.

Komitmen-komitmen lain yang telah dilakukan negara-negara di

dunia dalam penelitian Quinn & Degener (2002) menemukan ada 39

negara yang telah melembagakan dan menelurkan kebijakan non

diskriminatif atau kesamaan kesempatan dalam konteks disabilitas. Rioux

& Carbert (2003) menyebutkan dalam penelitiannya rangkuman berbagai

gerakan di dunia internasional yang mendorong terwujudnya kesamaan

akses bagi para penyandang disabilitas, seperti World Programme of

Action Concerning Disabled Persons, 1982; The UN Standard Rules on

the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities, 1994;

37

Resolutions of the United Nations Commission on Human Rights;

Regional Agreements and Declarations; Disabled Persons International

(DPI) Sapporo Declaration, 2002; International Norms and Standards

Relating to Disability.

Pemerintah Indonesia sendiri mengatur dan melindungi

penyandang disabilitas dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa

Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan

fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama

yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan

dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga

negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non-fisik untuk penyandang

disabilitas relatif sangat terbatas, sehingga menyulitkan mereka untuk

bisa melakukan kegiatannya secara mandiri (PPUA Penca, 2015). Sejalan

dengan hal tersebut, berbagai macam hambatan dialami oleh penyandang

disabilitas, antara lain adalah hambatan-hambatan sebagai berikut:

1. Inadequate policies & standards: Kebijakan/aturan yang dibuat

sering tidak memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas,

misal kebijakan pendidikan, pekerjaan.

38

2. Negative attitudes: Sikap negatif dan prejudice menghambat bidang

pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan dan partisipasi sosial.

3. Lack of provision of services: Terutama pada pelayanan kesehatan,

rehabilitasi, dan support & assistance.

4. Problems with service delivery: Karena kurangnya koordinasi, staf

tidak mencukupi, kompetensi kurang.

5. Inadequate funding: Sumber-sumber dana yang dialokasikan untuk

mengimplementasikan kebijakan tidak mencukupi.

6. Lack of accessibility: Bangunan publik, sistem transportasi dan

informasi tidak aksesibel.

7. Lack of consultation & involvement: Penyandang disabilitas sering

tidak ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

8. Lack of data & evidence: Kurangnya data tentang disabilitas dan

bukti efektivitas program mempengaruhi program aksi selanjutnya.

Dengan berbagai macam hambatan yang diterima dan dihadapi

oleh penyandang disabilitas, maka keberadaan mereka seringkali

terpinggirkan dan berada pada posisi tidak beruntung, sehingga kondisi

mereka semakin terpinggirkan dari interaksi sosial dan penerimaan

dalam masyarakat.

Berdasarkan situasi tersebut, maka permasalahan yang dihadapi

penyandang disabilitas pun mulai bergeser. Semula disabilitas

39

dipandang sebagai permasalahan dalam konteks individu kemudian

bergeser menjadi isu sosial sehingga terjadi pergeseran paradigma

disabilitas, dimana semula berupaya untuk menghilangkan atau

meminimalisir malfunction yang dialami oleh individu, kemudian

menjadi upaya untuk menghilangkan atau meminimalisir hambatan

dalam masyarakat18.

Berbagai bentuk pergeseran dan berbagai perubahan perspektif

masyarakat dalam hal memandang disabilitas dapat dirangkum dalam

tabel di bawah ini:

Tabel 1. Pergeseran Paradigma Dalam Memandang Disabilitas

18 Santoso, Meilanny dan Nurliana C. 2017. “Pergeseran Paradigma Dalam Disabilitas”, Jurnal Of International Studies, edisi 1(2), hal. 166-176

Paradigma Lama Paradigma baru

Isu Disabilitas Isu individual

Malfunction

Isu sosial

Hambatan dalam masyarakat

Pendekatan Layanan langsung

Kuratif

Mengubah disabled

Perubahan sosial

Promotif dan preventif Mengubah

masyarakat

Pelayanan Spesialistik Umum dan spesifik

40

Sumber: Dewi, 2017 dari berbagai sumber

E. Isu Disabilitas di Media

Media memiliki peran untuk membentuk makna tentang

disabilitas di mata masyarakat. Sejak berkembangnya jurnalisme online,

media di Indonesia merumuskan kembali dan mencari model baru dalam

menyampaikan berita. Selain lahirnya banyak situs-situs berita internet,

kini surat kabar, majalah, radio, bahkan televisi juga melakukan

konvergensi dengan membuat media versi online. Hal ini menjadi

tantangan tersendiri bagi industri media massa dalam menjalankan

fungsinya sebagai pers tanggung jawab sosial kepada masyarakat.

Isu disabilitas pada media massa memang sangat terlihat minim,

hal ini menyebabkan pengetahuan masyarakat atau bahkan penyandang

disabilitas itu sendiri jadi minim informasi dan pengetahuan. Di

Indonesia, tugas, fungsi, dan tanggung jawab pers diatur dalam UU No.

40 Tahun 1999 Tentang Pers. Fungsi media massa menurut UU No. 40

/1999 adalah: (1) memberikan informasi (to inform), (2) mendidik (to

educate), (3) menghibur (to entertain), dan (4) pengawasan social (social

control).

Oleh professional Oleh masyarakat dan professional

Rehabilitasi Perbaikan fungsi Pemecahan hambatan sosial

41

Media-media yang di Indonesia tentu tak lepas dari fungsi ini,

dengan catatan memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan

melakukan kontrol sosial. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut, perlu

memiliki kesadaran (Awareness) dan pengetahuan (Knowledge)

mengenai dunia disabilitas agar dapat mendukung, memberikan informasi

yang lebih proporsional, dalam rangka menciptakan kemanusiaan inklusif

dan setara.

Kesadaran dan pengetahuan itu menyangkut pemahaman tentang

jenis-jenis disabilitas (tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, dan

tunarungu/wicara) serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan

keterbatasan dan pelayanan (hak) yang mereka butuhkan. Termasuk

pengetahuan tentang peraturan perundangan dan kondisi-kondisi

perbandingan, baik di dalam maupun luar negeri.

Setidaknya, terdapat tiga hal yang patut diperhatikan dalam

mengawal isu disabilitas pada media massa, yaitu:

1. Aksesibilitas

Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Disabilitas Pasal 1 ayat 4 menyatakan “Aksesibilitas‟ adalah

kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas guna

mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan. Hal tersebut diperjelas dalam pasal 10 ayat 2

42

dimana penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan

keadaan lingkungan yang lebih menunjang penyandang disabilitas

dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.

Undang undang tersebut dimaksudkan dengan tujuan berusaha

mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan penyandang disabilitas agar dapat sepenuhnya

hidup bermasyarakat. Tujuannya dengan adanya Undang-Undang ini

memberikan kemudahan kemudahan aksesibilitas yang menjamin

para penyandang disabilitas, diantaranya dengan adanya fasilitas

ramah difabel berupa alat transportasi, sarana pendidikan, lapangan

kerja, maupun tempat rekreasi ataupun ruang terbuka publik yang

dapat mereka manfaatkan dengan nyaman.

2. Inklusivitas

Kesadaran para aktivis disabilitas mengenai berbagai fakta

diskriminasi terhadap difabel membuat mereka berpikir bahwa

masalah ini sebagai persoalan sosial yang menyangkut sistem

ekonomi, kebijakan, prioritas distribusi sumber daya, kemiskinan,

pengangguran, sistem pelayanan medis.19 Semua diaktori oleh kaum

difabel sendiri, para pembuat kebijakan, pengacara, politikus, pelaku

19Bahrul Fuad Masduqi, “Kecacatan: Dari Tragedi Personal menuju Gerakan Sosial”, Jurnal Perempuan: Mencari Ruang untuk Difabel, edisi 65, hal. 26.

43

ekonomi, masyarakat umum, jurnalis, aktor film, dan elemen

masyarakat lain. Oleh karena itu, fakta ini didekati para aktivis

difabilitas dengan mempertimbangan pendekatan sosial. Sebab,

pendekatan sosial lebih menekankan advokasi marginal menuju arus

utama. Artinya, difabel dan “orang normal” berada pada kondisi

setara.

Namun bila dikaji lebih jauh dan tidak bermaksud

menyederhanakan isu, masalah mendasar yang dihadapi kaum

difabel sebenarnya menunjuk pada rendahnya pengakuan atau

penerimaan masyarakat terhadap keberadaan difabel sebagai bagian

kehidupan masyarakat secara setara. Oleh karena itu, para aktivis

difabel meletakkan tujuan gerakannya pada terciptanya masyarakat

inklusif.

Masyarakat inklusif merupakan sebuah tatanan di mana semua

elemen masyarakatnya memiliki kesempatan setara untuk

berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat tanpa membedakan

suku, ras, agama, dan perbedaan bentuk fisik. Maka dengan

terwujudnya tatanan tersebut, para difabel bisa memberikan

sumbangsih dengan berbagai karya yang dapat dilakukan, baik hal

kecil maupun besar. Bahkan, mereka bisa memperoleh penghargaan

44

yang tinggi atas apa yang dilakukannya, contohnya Rainy M.P.

Hutabarat, difabel pendengaran.20

Helen Lok memposisikan masyarakat inklusif sebagai

masyarakat yang bertumpu sekaligus bergantung pada adanya

kemauan dan kemampuan masyarakat untuk menggunakan hak dan

kewajiban mereka dengan seimbang.21 Lok mendasarkan

argumentasi pemikiran pada adanya masyarakat yang melindungi

hak-hak individual. Hal ini dinyatakan dalam bentuk munculnya

akses pertanggungjawaban dari para pemimpinnya yang dapat

meningkatkan ketahanan sosial, politik, ekonomi seluruh warga

negara serta memperbolehkan berkepentingan dalam dialog terbuka

bagi kestabilan pembangunan dalam hal prioritas dan nilai-nilai

pembangunan.

Sebenarnya, masyarakat inklusif tidak hanya mensyaratkan

keterbukaan dengan menerima perbedaan saja melainkan ada empat

nilai yang harus dipenuhi dan operasionalisasi secara simultan dan

seimbang dalam masyarakat. Empat nilai tersebut menunjuk pada

pluralisme atau keberagaman, kesetaraan, martabat, dan partisipasi

20 Donny Anggoro. Rainy MP. Hutabarat: Kita harus Dua Kali Lebih Dari Yang

Lain. Jurnal Perempuan edisi 69, hal. 147 21Helen Lok, “Individu Pembaharu dan Masyarakat Terbuka” dalam Muhammad Hidayat Rahz (eds.), Menuju Masyarakat Terbuka, (Yogyakarta: Ashoka Indonesia-Insist, 1999), hal. 4.

45

aktif.22 Kesetaraan membuat orang mampu menyadari bahwa tidak

seorangpun individu boleh diperlakukan lebih tinggi atau rendah

secara hukum dan sosial dalam masyarakat dengan demikian semua

orang memiliki kesempatan yang sama dalam banyak hal. Martabat

seseorang harus dihargai dalam relasi yang dibangun. Partisipasi

aktif mensyaratkan adanya kesetaraan keterlibatan dan berkontribusi

dalam aktivitas sosial dalam masyarakat guna tercapainya harapan

dan cita-cita yang dibangun bersama.

3. Rehabilitasi

Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang

cacat pasal 1 menyebutkan bahwa rehabilitasi merupakan proses

refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan

penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar dalam kehidupan masyarakat. Pengertian tersebut

menekankan pada pemulihan fungsi sosial dan pengembangnnya

agar seseorang yang mengalami kecacatan dapat menjalani

kehidupannya di masyarakat secara mandiri.

Penjelasan lain menurut Sunaryo (1995:108), rehabilitasi

adalah suatu proses, produk, atau program yang sengaja disusun

22 Bahrul Fuad Masduqi, “Kecacatan: Dari Tragedi Personal menuju Gerakan

Sosial”, Jurnal Perempuan: Mencari Ruang untuk Difabel, edisi 65, hal. 28.

46

agar orang- orang yang cacat dapat mengembangkan dan

memfungsikan potensinya seoptimal mungkin. Sejalan dengan

pendapat tersebut, Agung Yuwono (dalam Yusuf, 1996:136) yang

menyebutkan bahwa rehabilitasi merupakan rangkaian usaha

berproses yang mencakup berbagai bidang yang dilakukan oleh

suatu tim dari berbagai keahlian. Penjelasan tersebut menunjukkan

bahwa rehabilitasi merupakan sesuatu yang diupayakan dan

direncanakan melalui program-program yang tepat untuk

mengembangkan potensi seorang penyandang disabilitas.

Rehabilitasi mencakup berbagai bidang layanan sehingga

memerlukan kolaborasi dari berbagai bidang keahlian. Oleh karena

itu, melaksanakan rehabilitasi memerlukan perencanaan dan proses

berkelanjutan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Tujuan rehabilitasi diantaranya memperbaiki dan

memungkinkan individu yang mengalami kecacatan dapat

mencukupi kehidupannya sendiri sebisa mungkin. Bitter

mengemukakan (dalam Higgins, 1985:26) “... the goal of

rehabilitation is to restore or to enable individuals who have

become impaired in some way to become as self-sufficient as

possible. Konsep ini berkaitan dengan kemandirian yang sebisa

mungkin dicapai setelah seseorang menjalani proses rehabilitasi.

47

Pendapat lebih luas dikemukakan oleh Sunaryo (1995:111) bahwa

program rehabilitasi memiliki tujuan agar individu atau penyandang

cacat mencapai kemandirian mental, fisik, psikologis dan sosial.

Kemandirian yang dimaksud berupa kemampuan mengurangi

ketergantungan terhadap orang lain dan keseimbangan sikap antara

apa yang masih dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat

dilakukannya.

Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang Nomor 4

tahun 1997 tentang Penyandang cacat pasal 18 ayat 2, rehabilitasi

meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial.

Keempat jenis rehabilitasi tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Munawir Yusuf (1996,136-137) menjabarkan ruang lingkup

keempat jenis rehabilitasi tersebut.

1) Rehabilitasi medic

Lingkup layanan rehabilitasi medik antara lain:

a. mencegah terjadinya kecacatan permanen

b. memberikan bantuan bagi yang masih dalam kesakitan

(perawatan pasca operasi, dan sebagainya)

c. bantuan alat bantu fungsi fisik, seperti kruk, kacamata, alat

bantu lengan, dan sebagainya).

48

2) Rehabilitasi sosial

Lingkup layanan rehabilitasi sosial meliputi. usaha

pengembalian fungsi dan peran sosial yang hilang atau tidak

dimiliki sebelumnya;

a. pemberian bimbingan sosial untuk mencapai kesejahteraan

sosial

b. memberikan penyuluhan sosial kepada keluarga dan

masyarakat sekitar tempat tinggal klien

3) Rehabilitasi Pendidikan

Lingkup layanan rehabilitasi sosial meliputi:

a. pemberian layanan pendidikan formal di sekolah maupun

panti

b. pendidikan di masyarakat, misalnya pendidikan

keterampilan dan kebutuhan praktis masyarakat

c. Pendidikan keluarga dan pemberian beasiswa

4) Rehabilitasi Karya/Vokasional

Lingkup layanan rehabilitasi karya meliputi pelatihan-

pelatihan dan penempatan kerja. Hal ini dapat dilakukan

melalui sistem magang, atau dipersiapkan melalui latihan

formal di lembaga pelatihan kerja. Purwaka Hadi (2005:252),

rehabilitasi vokasional bertujuan melatih individu agar

49

memiliki keahlian yang memadai sebagai bekal bekerja dan

bermata pencaharian sehingga dapat hidup mandiri.

Untuk mencapai keberhasilan dalam suatu rehabilitasi

perlu dibuat program-program rehabilitasi yang sesuai dengan

potensi dan memungkinkan tercapainya kemandirian dan

kesejahteraan klien. Sunaryo (1995:121) menjabarkan program

rehabilitasi sebagai suatu proses dalam kegiatan rehabilitasi

yang saling berkaitan mulai dari kegiatan administrasi,

ketenagaan, proses rehabilitasi dan penyaluran. Program-

program tersebut diantaranya:

a. Program terapi fisik, bertujuan mengembangkan kekuatan,

koordinasi, keseimbangan, dan belajar menggunakan alat

bantu

b. Program vokasional, bertujuan mempersiapkan klien

menjadi individu yang produktif dan mampu bekerja.

c. Program psikologis, bertujuan meningkatkan kemampuan

dan kebutuhan individual serta memberikan layanan

konseling dan psikoterapi.

d. Program pelayanan sosial, bertujuan mendorong

partisipasi keluarga dan membantu mengatasi problem

pribadi maupun problem sosial.

50

e. Program pendidikan dan latihan, bertujuan

mengembangkan keterampilan intelektual, sosial, dan

mengurus diri sendiri serta program remedial bagi yang

mengalami kesulitan belajar.

f. Program orientasi dan mobilitas, bertujuan

mengembangkan keterampilan orientasi dan mobilitas

agar dapat bepergian, berjalan dengan aman dan lancar,

serta mengadakan hubungan sosial dengan baik.

F. Produksi Isu Disabilitas dalam Teori Strukturasi

Teori strukturasi merupakan hubungan antara pelaku (tindakan)

dan struktur berupa relasi dualitas. Dualitas terjadi dalam “praktik sosial”

yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu (Priyono,

2002:22).

Teori ini yang mengintegrasikan antara agen dan struktur.

Giddens mengatakan bahwa setiap riset dalam ilmu sosial atau sejarah

selalu menyangkut penghubungan tindakan (seringkali disinonimkan

dengan agen) dengan struktur. Namun dalam hal ini tak berarti bahwa

struktur menentukan tindakan atau sebaliknya (Ritzer dan Douglas,

2004:507).

51

Anthony Giddens merupakan sosiolog kontemporer asal Britania

Raya yang lahir pada 18 Januari 1939. Giddens mempunyai pengaruh

yang besar pada pertumbuhan teori sosiologi sepanjang lebih dari 2

dekade yang secara teoritis memberi pengaruh besar di Amerika dan

seluruh dunia. Dia menimba ilmu di Universitas Hull, di the London

School Economics, serta di Universitas London. Tahun 1961 ia menjadi

dosen di universitas Leicester. Karya-karya awal mulanya bersifat empiris

serta memusatkan perhatian pada permasalahan bunuh diri. Tahun 1969,

dia pindah jabatan jadi dosen sosiologi di Universitas Cambridge serta

menjadi anggota King’ s College. Salah satu teori yang sangat terkemuka

yang dipelopori oleh Anthony Giddens ialah teori strukturasi dengan

pemikirannya yang menyeluruh tentang kehidupan masyarakat modern.

Dalam teori strukturasi, terdapat dua kata kunci yang menjadi

fokus ulasan dalam teori ini ialah“ struktur” serta“ agensi”. Dia

membangun teorinya sendiri dengan proses panjang lewat kritik serta

sintesis. Giddens memusatkan perhatiannya pada upaya untuk

merekonstruksi secara radikal teori sosial, sebab teori yang yang

berkembang pada saat itu dipandang tidak mampu untuk memahami

masyarakat modern serta segala praktik sosial didalamnya. Dia

mengkritik teori sosial klasik, mengambil hal- hal yang bermanfaat

52

darinya untuk membangun teori baru serta membuang yang dianggapnya

tidak relevan23.

Di samping merevisi uraian terhadap sosiologi yang semula sama

modelnya seperti ilmu alam, Giddens pula memperbaharui pendekatan

dalam Mengulas perkara‘ struktur’ serta ‘agensi’. Giddens melihat hal

yang semulanya sebagai hubungan dualisme dengan pendekatan dualitas

, keduanya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Pemikiran Giddens

menjadi jalan tengah bagi pertentangan teori sosial klasik, Giddens juga

menawarkan jalur tengah dalam melihat kehidupan sosial modern.

Gidens memahami “ struktur” merupakan“ rules and resources”

yang dipakai pada produksi serta reproduksi sistem. Sebaliknya“ agensi”

merupakan orang. Seluruh suatu tidak bisa jadi terjalin melalui intervensi

orang. Giddens adalah orang pertama yang berhasil menciptakan teori

yang dapat menghubungkan struktur dan agensi dalam melihat praktik

sosial masyarakat modern. Teori tersebut dikenal sebagai “Teori

Strukturasi”.

Dalam teori ini, struktur serta agensi tidak dilihat sebagai dua hal

yang terpisah, sebab bila demikian timbul dualisme struktur- agensi. Bagi

Giddens, harus dilihat sebagai (duality), dua sisi mata uang yang sama.

23 Firman, Abdul. 2006. “Pola Relasi Media, Negara, Dan Masyarakat: Teori Strukturasi Anthony Gidden Sebagai Alternatif”, Jurnal Sosiohumaniora, edisi 8, hal.205-218

53

hubungan antara keduanya adalah hubungan dialektik, dengan kata lain

struktur dan agensi saling memberikan pengaruh antara keduanya yang

berlangsung secara berkelanjutan tanpa henti. Teori Strukturasi Giddens

didasarkan pada premis;

“[….] the constitution of agents and structures are not two independently given sets of phenomena, a dualism, but represent a duality…the structural properties of social systems are both medium and outcome of the practices they recursively organize…the moment of the production of action is also one of reproduction in the contexts of the day-to-day enactment of social life”.

Struktur memberi pengaruh pada agensi dalam 2 makna:

memampukan (enabling) serta membatasi (constraining).

Terbentuknya pertentangan dalam penafsiran struktur ini dikarenakan

Giddens memandang struktur ialah hasil (out come) sekaligus fasilitas

(medium) dari praktik sosial. Serta tidaklah keseluruhan indikasi,

bukan kode tersembunyi seperti yang terdapat dalam strukturalisme,

serta bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari sesuatu

keseluruhan seperti yang dipahami para fungsionalis. Dalam

penafsiran Giddens, agensi bisa meninggalkan struktur, dia tidak

senantiasa tunduk pada struktur. Dia bisa mencari peluang ataupun

keluar dari peraturan serta berbagai ketetapan yang ada (dialectic of

control). Agensi bisa melawan struktur yang berbentuk kontrol.

54

“The more tightly- knit and inflexible the resmi relations of authority within an organization, in fact, the more the possible openings for circumventing them”.

Dengan demikian dalam teori strukturasi yang jadi pusat atensi

bukanlah struktur, juga bukan pula agensi, melainkan apa yang oleh

Giddens disebut “social practices” Memang kita tidak boleh

melupakan struktur serta agensi, sepatutnya kita harus mampu

memahami lebih rinci tentang agen dan struktur. Tetapi fokus utama

wajib diletakkan pada social practice, bagaimana manusia- manusia

menempuh hidup setiap hari, baik dalam hubungannya dengan anak-

istri/ suami, teman, ataupun dengan birokrat, pelayan bank, serta lain-

lain24.

Menurut Giddens, ambisi utama yang ia ingin lakukan adalah

mengajukan teori strukturasi dalam ilmu-ilmu sosial ialah bukan pada

praktek sosial yang dilakukan pada kaitan dalam ruang dan waktu.

Lebih lanjut Giddens mengatakan: “Human social activities, like some self- reproducing items in nature, are recursive. That is to say, they are not brought into being by social actors but continually recreated them by them via the very means whereby they express themselves as actors. In and through their activities agents reproduce the conditions that make these activities possible”.

Anthony Giddens merombak pemikiran ilmu sosial dengan

memperhatikan masalah ruang dan waktu bukan sebagai “arena dimana

24 Ibid

55

manusia bertindak’, tetapi dalam suatu unsur konstitutif dari tindakan

dan pengorganisasian masyarakat. Dan untuk itu maka unsur waktu dan

ruang menjadi unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian

masyarakat25.

Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi,

yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation /

understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami

sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara

bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam

bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan

Kasus yang mendukung konsepsi subjek sebagai agen aktif dan

mengetahui banyak hal secara konsisten telah dikemukakan Gidden.

Giddens mengambil pandangan Garfinkel (1967), berpendapat bahwa

tatanan sosial dibangun di dalam dan melalui aktivitas sehari-hari dan

memberikan penjelasan tentang aktor atau anggota masyarakat yang ahli

dan berpengalaman. Sumber daya yang diambil oleh sang aktor, dan

dibangun olehnya adalah karakter sosial, struktur sosial (atau pola

aktivitas teratur)26.

25 Haryanto, Ignatius. 2014. “Kemunculan Diri Dan Peran Pemilik Industri Media Di Indonesia Dalam Kerangka Teori Strukturasi Anthony Giddens”, Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), edisi 6(2), hal. 60-71 26 https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-giddens/

56

G. Kerangka Teori

Media (Tempo.co) Konstruksi Isu disabilitas yang cenderng hegemonik

Dikemas dengan gaya yang lebih menarik dan muncul topik baru seperti:

Pendidikan

Tips dan trik

Gaya hidup

Kesehatan

Aktivitas

Dan lain-lain

Bagaimana Tempo.co melakukan konstruksi pada Rubrik Disabilitas? Seperti apa hasilnya?

57

BAB III

GAMBARAN UMUM MEDIA ONLINE TEMPO.CO

A. Sejarah dan Perkembangan Tempo.co

Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya

meliput berita dan politik. Tempo merupakan majalah pertama yang tidak

memiliki afiliasi dengan pemerintah. Edisi pertama Tempo diterbitkan

pada 6 Maret 1971 dengan Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin

Redaksi. Terbitnya Tempo tersebut tidak bisa lepas dari peran Harjoko

Trisnadi, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, dan Bur Rasuanto yang kemudian

dianggap sebagai pendiri.

Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan

21 Juni 1994 dan kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga

menerbitkan majalah edisi bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang

bernama Tempo English Edition dan pada 2 April 2001 Tempo juga

menerbitkan Koran Tempo.

Pelarangan terbit Majalah Tempo pada 1994 (bersama dengan

Majalah Editor dan Tabloid Detik, tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi

banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko,

mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena

laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman. Laporan ini

dianggap membahayakan "stabilitas Negara". Laporan utama membahas

58

keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie.

Sekelompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) yang menyetujui pembredelan Tempo, Editor, dan

Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).27

Awalnya portal berita Tempo.Co ini lahir dengan nama Tempo

Interaktif (www.tempointeraktif.com). Portal merupakan pionir portal

berita, sejak 1995 hadir menjawab kebutuhan itu yang mampu

menyajikan informasi yang “enak dibaca dan bisa dipercaya”.

Dalam perjalanannya, portal Tempo Interaktif, banyak mengalami

pembenahan. Pada 2008, Tempo Interaktif tampil dengan wajah baru dan

sajian berita yang berkualitas. Sepanjang 2009 dan 2010, Tempo

Interaktif telah berkembang lebih jauh. Dari sisi jumlah berita yang

ditampilkan, misalnya, kini rata-rata jumlahnya sehari telah mencapai 300

berita. Jumlah pengunjung pun meningkat pesat.

Catatan Google Analytics menyebutkan bahwa sepanjang 2010

terjadi peningkatan jumlah pengunjung Tempo Interaktif sebesar 190

persen, yaitu dari rata-rata 1 juta pengunjung naik menjadi 3,5 juta

pengunjung per bulan. Sementara itu, jumlah halaman yang dibuka oleh

satu pengunjung juga mengalami peningkatan menjadi 11 juta halaman

27 Dokumentasi resmi Tempo.co

59

per bulan. Yang menarik pendapatan iklan Tempo Interaktif pada 2010

ikut mengalami peningkatan sebesar 26%.

Seiring dengan meningkatnya tren akses mobile, Tempo Interaktif

kini juga telah mengembangkan aplikasi yang bisa diakses via telepon

seluler, BlackBerry, iPhone, iPad, dan tablet Android. Jumlah pengakses

Tempo Interaktif via mobile meningkat lebih dari 500 persen. Tempo

Interaktif juga mengembangkan aplikasi iPad dan Android untuk majalah-

majalah Grup Tempo, seperti Tempo, Tempo Edisi Bahasa Inggris, dan

produk Tempo lainnya.

Di kuartal akhir 2011, manajemen Tempo setuju untuk mengubah

nama portal TEMPO Interaktif menjadi Tempo.Co. Langkah perubahan

ini merupakan bagian dari upaya Tempo meningkatkan kualitas dan

menyempurnakan sajian produk. Lebih dari itu, pengubahan ini juga

mengindikasikan langkah serius Tempo untuk mengembangkan sebuah

produk media yang mampu mencerdaskan pembacanya. Pengubahan

nama portal menjadi Tempo.Co ini, sekaligus menandai bahwa Tempo

Media memulai langkah untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai

konvergensi media. Memadukan semua bentuk media. Semua

peningkatan itu adalah hasil kerja keras semua lini. Namun perjuangan

untuk mencapai penyempurnaan tak pernah berhenti.

60

Tempo.co menjadi trendsetter berita online sejak diluncurkan 23

November 2011 menggantikan situs berita Tempo Interaktif. Setiap bulan

jumlah pengunjungnya terus meningkat. Rata-rata setiap bulan situs ini

dikunjungi oleh 11 juta orang. Begitu pula dengan peningkatan jumlah

halaman yang rata-rata dikunjungi sekitar 55 juta per bulan. Peningkatan

itu terjadi berkat inovasi konten yang terus dilakukan, diantaranya dengan

menambahkan tampilan audio dan video dan disajikan infografik yang

memikat.28

B. Rubrik difabel di Tempo.co

Tempo merupakan media online pertama yang meluncurkan

rubrik difabel di kanal pemberitaannya. Sejarah awal terbentuknya rubrik

difabel ini adalah bermula adanya salah satu wartawan tempo yang

bernama Cheta Nilawati yang mengalami disabilitas. Cheta Nilawati telah

bekerja di tempo selama 14 tahun. Mulanya, Cheta bukanlah orang

dengan disabilitas. Karena penyakit diabetes yang dialaminya, ia

kehilangan penglihatan pada tahun 2016 atau di tahun ke-10 ia menjadi

wartawan Tempo dan kemudian menjadi tunanetra. Setelah Cheta

menjadi tunanetra, ia kemudian banyak menulis menulis tentang apa

yang ia alami di media Indonesiana. Tempo.co kemudian menyadari jika

28 Koorporat Tempo.co

61

Cheta adalah aset yang berharga sehingga kemudian membuat channel

khusus rubrik difabel pada Senin tanggal 18 Juli 2018 dan secara resmi

dilaunching pada 21 Februari 2019.29.

Tujuan dibentuk rubrik difabel ini adalah untuk menampung,

menyampaikan aspirasi para penyandang disabilitas, serta untuk

mengingatkan lingkungan umum tentang keberadaan kelompok

disabilitas yang mempunyai hak yang sama dengan masyarakat

umumnya.

Setelah rubrik difabel terbentuk, secara struktural yang menjadi

reporter adalah Cheta nilawati dan kemudian editornya adalah Rini

Kustiani. Kehadiran Tempo.co dengan rubrik difabel ini diharapkan

dapat memberi ruang kepada penyandang disabilitas dan dapat

memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.

29 Wawancara dengan Rini Kustiani, Editor Rubrik Difabel Tempo.co pada Kamis,

20 Februari 2020.

62

BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Isu Disabilitas Pada Media Online Tempo.co

Isu disabilitas pada media online tempo.co dikategorikan kedalam

3 kategori isu, yaitu Aksesibilitas, Inklusifitas, dan Rehabilitas. Kategori

isu-isu tersebut pada rubrik difabel tempo.co dari bulan Agustus - Oktober

2019 terdapat 82 berita dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Jumlah berita rubrik Difabel pada Tempo.co

Dari gambar 4.1 menunjukkan bahwa berita tentang Inklusifitas

memiliki jumlah yang dominan selama bulan Agustus dan Oktober 2019

yaitu dengan 13 berita, namun pada bulan September memiliki penurunan

secara kuantitas menjadi 10 berita. Selanjutnya pemberitaan tentang

63

Aksesibilitas pada bulan Agustus dan September 2019 memiliki jumlah

yang sama yakni 12 berita, namun pada bulan Oktober mengalami

penurunan menjadi 11 berita. Sebaliknya, pemberitaan terkait

Rehabilitasi mengalami kenaikan setiap bulannya. Pada bulan Agustus,

rubrik difabel menerbitkan 1 berita tentang Rehabilitasi, selanjutnya pada

bulan September menjadi 4 berita dan bulan Oktober 2019 menjadi 6

berita. Dari gambar 4.1 menunjukkan persentase jumlah berita secara

keseluruhan yaitu dengan aspek Aksesibilitas sebanyak 35 berita atau

42%, Inklusivitas sebanyak 36 berita atau 43%, dan Rehabilitas sebanyak

11 berita atau 13%.

Penyajian isu disabilitas berdasarkan tiga aspek tersebut pada

rubrik Difabel memiliki jumlah yang berbeda-beda dalam pemberitaan.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh isu atau kejadian yang berkaitan

disabilitas di lapangan. Dalam hal ini, Tempo.co mengkonfirmasi bahwa

setiap harinya berusaha menerbitkan satu berita pada rubrik Difabel ini.

1. Isu Aksesibilitas Periode Agustus – Oktober 2019

Isu aksesibilitas periode Agustus- Oktober 2019 pada rubrik

difabel tempo.co memuat sebanyak 35 berita. Isu Aksesibilitas ini tidak

hanya membicarakan satu aspek saja terkait pemenuhan akses bagi

disabilitas. Dalam hal ini, peneliti membagi menjadi lima aspek

pembahasan terhadap berita isu Aksesibilitas pada rubrik Difabel, yaitu;

64

1) Aksesibilitas Pekerjaan,

2) Aksesibilitas Ruang Publik,

3) Aksesibilitas Literasi dan Pendidikan,

4) Aksesibilitas Moda Transportasi, dan

5) Aksesibilitas Penunjang Teknologi.

Gambar 4.2. Aspek Isu Aksesibilitas Pada Rubrik Difabel

Berdasarkan Isu Aksesibilitas menurut 5 aspek tersebut terdapat

3 berita Aksesibilitas terkait pekerjaan, 14 berita terkait ruang publik, 3

berita Aksesibilitas literasi dan pendidikan, 10 berita Aksesibilitas moda

transportasi, dan 5 berita terkait teknologi penunjang (Lampiran 3).

a) Bingkai Pemberitaan Aksesibilitas Pekerjaan

3

14

3

10

5

0

2

4

6

8

10

12

14

16

AksesibilitasPekerjaan

AksesibilitasRuang Publik

AksesibilitasLiterasi danPendidikan

AksesibilitasModa

Transportasi

AksesibilitasPenunjangTeknologi

65

Pada pemberitaan tentang aksesibilitas pekerjaan, tampak

bahwa framing pemberitaan Tempo menekankan pada keadilan kaum

Disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan. Hal ini terlihat pada

pemberitaan terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa

terjadinya diskriminasi serta pelanggaran hak-hak terhadap kaum

disabilitas dalam mengakses pekerjaan. Hal tersebut tampak dari

kutipan teks berikut :

“Dalam kasus dokter gigi Romi, dia mengikuti seleksi CPNS 2018. Pada Desember 2018, dia dinyatakan lulus dan menempati urutan pertama formasi dokter gigi di Puskesmas Talunan, Solok Selatan, Sumatera Barat. Namun, pada 18 Maret 2019, kelulusan dokter gigi Romi dibatalkan oleh Pemerintah Kabupaten Solok dan Badan Kepegawaian Negara. Alasannya, dokter gigi Romi dianggap tidak memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani, lantaran menggunakan kursi roda”(dikutip pada laman rubrik difabel Tempo.co tanggal 30 September 2019).

Makna yang dibangun tempo dalam teks kutipan diatas adalah

adanya tindakan diskriminasi yang dialami oleh para penyandang

disabilitas dalam mengakses pekerjaan sebagai contoh dokter gigi

Romi yang seharusnya lulus PNS (Pegawai Negeri Sipil) namun

karena ia disabilitas, maka kelulusan tersebut dibatalkan.

Secara hukum, Indonesia telah mengatur UUD tentang hak

pekerjaan bagi kaum disabilitas. Namun, UUD tersebut kerap

66

dilanggar dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut.

Hal ini tercermin pada teks:

”Tiga pasal itu adalah Pasal 11, Pasal 53, dan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. "Pembatalan kelulusan dokter gigi Romi termasuk tindakan penghalangan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak kerja yang layak," kata Maulani (dikutip pada laman rubrik difabel Tempo.co tanggal 30 September 2019).

Dari uraian teks diatas tampak bahwa tempo.co ingin

mengarahkan pembaca pada frame tentang aksesibilitas pekerjaan

dalam makna tertentu yaitu, aksesibilitas pekerjaan adalah salah satu

akses yang penting bagi disabilitas dalam memperoleh pekerjaan

karena pekerjaan adalah hak bagi semua masyarakat tak terkecuali

disabilitas yang seharusnya telah mendapatkan akses pekerjaan dalam

UUD nomor 8 tahun 2016, namun kerap terjadi pelanggaran UUD

pekerjaan bagi penyandang disabilitas tersebut.

b) Bingkai Pemberitaan Aksesibilitas Ruang Publik

Mengenai framing pemberitaan aksesibilitas ruang publik,

tampak bahwa Tempo.co menekankan pada kesetaraan dalam

aksesibilitas ruang publik bagi disabilitas lebih besar. Hal ini dapat

dilihat dari jumlah berita berdasarkan lima aspek aksesibilitas tersebut,

aksesibilitas ruang publik memiliki jumlah terbanyak dalam periode tiga

67

bulan dengan 14 berita atau sebanyak 40% dari keseluruhan berita.

Kesetaraan yang ingin dibangun Tempo.co dalam aksesibilitas ruang

publik tampak dalam pemberitaan tempo yang memberitakan peristiwa-

peristiwa aksesibilitas ruang publik yang sulit dan kurang ramah

terhadap disabilitas, bahkan kerap terjadi diskriminasi. Hal ini terlihat

dalam kutipan teks berikut :

“Seorang calon pengantin dari Massachusetts, Amerika Serikat, Alaina Leary misalnya, terpaksa melepaskan mimpi mengadakan pesta pernikahan di kastil karena tempatnya sulit diakses. "Terlalu banyak anak tangga, jalur yang berkelok-kelok, dan pengelola kastil tidak menerima permintaan fasilitas tambahan untuk tamu undangan," kata Alaina Leary, (dikutip dalam laman rubrik difabel Tempo.co Selasa,28 Agustus 2019) .

Makna yang dibangun Tempo.co dalam kutipan teks diatas

adalah terjadinya akses ruang publik yang kurang ramah terhadap

disabilitas, dimana Alaina Leary merupakan seorang penyandang

disabilitas. Tubuh bagian kanannya lunglai sehingga harus disangga

tongkat. Karena itu Leary memikirkan bagaimana aksesibilitas dia dan

para tamu di tempat resepsi pernikahannya. Namun pengelola kastil

tidak menerima permintaan fasilitas akses bagi disabilitas.

Diskriminasi lainnya terhadap aksesibilitas ruang publik bagi

disabilitas yang ditampilkan Tempo.co dalam hal ini dapat dilihat pada

kutipan teks berikut:

68

“Kuhu Das yang merupakan penyandang polio sejak lahir diminta mencopot rok yang menutupi penyangga kakinya ketika harus melewati alat pendeteksi metal. "Saya sudah menyampaikan kondisi saya kepada petugas bandara dan saya memang menggunakan alat bantu yang terbuat dari logam, Alat bantu yang dipasang di kaki Kuhu Das berfungsi membantunya berjalan. "Tapi petugas perempuan itu malah memanggil petugas yang lain dan mengancam saya," ujar Kuhu Das (dikutip pada rubrik difabel Tempo.co tanggal 25 Oktober 2019).

Tak hanya Kuhu Das yang mengalami diskriminasi, Jeeja Ghosh

juga mengalami hal yang sama. Seperti yang dikutip pada teks berikut :

“Aktivis penyandang disabilitas yang juga mengalami diskriminasi di Bandara Kalkutta, India, adalah Jeeja Ghosh. Penyandang disabilitas Celebral Palsy ini ditolak ketika meminta pendamping dan kursi roda selama penerbangan. Jeeja meminta pendamping karena keterbatasan mobilitas akibat Celebral Palsy”.

Makna yang dibangun Tempo.co dalam kutipan teks diatas adalah

para penyandang disabilitas kerap mengalami diskriminasi dalam

aksesibilitas ruang publik. Dimana tidak tersedianya akses dan

pelayanan yang baik bagi penyandang disabilitas.

Dari uraian diatas tampak bahwa Tempo.co ingin mengarahkan

pembaca pada frame tentang aksesibilitas ruang publik dalam makna

kesetaraan dan pemerataan aksesibilitas ruang publik bagi disabilitas.

Kesetaraan ini dimaksudkan agar tersedianya aksesibilitas dan

69

pelayanan yang baik bagi disabilitas dalam ruang publik. Karena

aksesibilitas terhadap ruang publik merupakan hak dan kebutuhan

semua kalangan masyarakat dalam kehidupan bersosial tak terkecuali

penyandang disabilitas.

c) Bingkai Pemberitaan Aksesibilitas Literasi dan Pendidikan

Untuk frame aksesibilitas literasi dan pendidikan, tampak

bahwa Tempo.co menekankan pada pemerataan akses literasi dan

pendidikan bagi disabilitas secara menyeluruh. Hal ini tampaknya

karena pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap

warga Negara. Tempo dalam hal ini membingkai isu disabilitas dengan

menyajikan pemberitaan pemenuhan aksesibilitas yang masih sangat

minim dan terbatas terhadap literasi dan pendidikan bagi penyandang

Disabilitas. Hal ini dapat terlihat dalam pemberitaan kutipan teks

berikut :

“Kendati akses literasi bagi difabel sudah tersedia, anggota Persatuan Tunanetra Indonesia atau Pertuni, Furqon Hidayat mengatakan ketersediaan bacaan edisi Braille atau audiobook masih terbatas. Bahan bacaan yang bisa mereka dapatnya cuma-cuma secara daring pun, menurut dia, terkadang formatnya tidak memungkinkan untuk dibaca menggunakan aplikasi pembaca layar ” Ujar Furqon (dikutip pada laman rubrik difabel Tempo.co tanggal 19 September 2019).

70

Makna yang dibangun Tempo.co berdasarkan kutipan teks

diatas adalah Tempo ingin memberikan kesadaran kepada pembaca

bahwasanya Aksesibilitas literasi dan pendidikan masih sangat minim

dan terbatas para penyandang disabilitas, dimana buku-buku bacaan

yang tersedia dalam bentuk Braile masih terbatas dan akses bagi

penyandang disabilitas masih sulit.

Dari uraian diatas tampak bahwa Tempo.co ingin mengarahkan

pembaca pada frame tentang aksesibilitas literasi dan pendidikan

dalam makna yaitu pendidikan merupakan hal yang sangat penting

bagi setiap manusia, oleh karena itu pemenuhan literasi dan pendidikan

bagi disabilitas adalah menjadi wajib dilakukan.

d) Bingkai Pemberitaan Aksesibilitas Moda Transportasi

Untuk frame aksesibilitas moda transportasi, tampak bahwa

Tempo.co menekankan pada kesejahteraan dan kesetaraan dalam akses

transportasi bagi penyandang disabilitas lebih besar. Hal ini dapat dilihat

dari jumlah berita yang disajikan Tempo pada isu ini yaitu tercatat

sebanyak 10 berita atau 30% dari keseluruhan berita dari isu

aksesibilitas moda transportasi ini, artinya isu ini tak kalah penting

dalam pemenuhan hak dalam mengakses moda transportasi bagi

penyandang disabilitas sebagai masyarakat.

71

Hal ini tampaknya Tempo melihat bahwa transportasi

merupakan salah satu pendukung aktivitas masyarakat yang seharusnya

memberikan akses yang sama bagi semua warga tak terkecuali

penyandang disabilitas. Pada satu sisi, Tempo dalam hal ini

memperlihatkan bahwa moda transportasi yang tersedia bagi disabilitas

masih sangat minim dan kurang ramah terhadap disabilitas, dan juga

terlihat adanya pemberitaan Tempo terhadap peristiwa diskriminatif

yang diterima oleh penyandang disabilitas dalam mengakses

transportasi. Seperti yang dialami oleh seorang penumpang disabilitas

pengguna kursi roda bernama Shinta Utami yang gagal terbang karena

menolak untuk menandatangani surat pernyataan sakit. Seperti yang

dikutip dalam teks pemberitaan sebagai berikut :

"Di situ, saya lagi-lagi disuruh menandatangani surat pernyataan sakit. Tapi saya tidak mau, Berkali-kali saya tegaskan kepada mereka bahwa saya adalah penyandang disabilitas, bukan penumpang yang sakit," kata Shinta kepada Tempo, Jumat 23 Agustus 2019.

“Atas penolakan tersebut, Shinta mengatakan petugas memintanya dan mendorong keluar pesawat. Tiga temannya juga turut keluar pesawat. "Sesampainya di bandara, tidak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban, tidak ada manager on duty, tidak ada pernyataan maaf, meskipun ada tawaran melakukan refund pengembalian uang tiket," kata Shinta”.

72

Makna yang dibangun oleh Tempo pada teks diatas adalah kurang

ramahnya pelayanan moda transportasi bagi penyandang disabilitas.

Dimana seorang penyandang disabilitas yang ingin menggunakan

transportasi seperti pesawat maka ia harus menandatangani surat

keterangan sakit. Hal ini merupakan tindakan pembeda atau kurangnya

kesetaraan bagi disabilitas dalam mengakses transportasi.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa Tempo.co ingin

mengarahkan pembaca pada frame aksesibilitas moda transportasi pada

makna bahwa transportasi adalah hak semua warga, dimana akses untuk

pemenuhan dan kesetaraan bagi disabilitas harus disadari oleh

masyarakat dan penyedia moda transportasi, guna membentuk

masyarakat yang lebih sejahtera.

e) Bingkai Pemberitaan Aksesibilitas Penunjang Teknologi

Frame isu aksesibilitas penunjang teknologi, Tempo.co dalam

hal ini tampak menekankan pada penemuan penunjang teknologi yang

telah diciptakan bagi penyandang disabilitas. Hal ini tampaknya

karena Tempo melihat perhatian masyarakat maupun disabilitas itu

sendiri masih minim terhadap penemuan teknologi penunjang yang

dapat memudahkan aktivitas disabilitas.

73

Tempo.co membingkai isu disabilitas penunjang teknologi

dengan menyajikan berita-berita penemuan teknologi baru bagi

disabilitas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks berikut :

“Sebuah tongkat tunanetra dengan sensor dibuat dan mulai digunakan di Turki. Selain dapat menunjukkan jalan berdasarkan peta digital, tongkat bernama We Walk ini dapat mendeteksi berbagai halangan di depan tunanetra yang menggunakannya (dikutip dari laman rubrik difabel Tempo.co, tanggal 20 September 2019).

Selain tongkat we walk, teknologi penunjang lainnya yaitu

jaket pengantar suara bagi disabilitas tunarungu. Hal ini dapat dilihat

pada kutipan teks berikut :

"Kami bisa merasakan musik dan berdansa karena kami dapat merasakan gelombang suara dari musik itu tanpa perlu pendengaran, melainkan dari sensasi di organ tubuh lain," ujar Hermon Berhane, seorang tuli yang menggunakan jaket CuteCircuit saat menikmati musik di London Club (dikutip dari laman rubrik difabel Tempo.co, tanggal 16 Oktober 2019).

Makna yang dibangun oleh Tempo.co berdasarkan teks diatas

adalah telah terdapat penemuan-penemuan dalam hal teknologi

penunjang bagi disabilitas. Dalam hal ini Tempo ingin mengarahkan

pembaca dalam melihat penemuan teknologi bagi disabilitas agar

tumbuhnya kesadaran bagi masyarakat sehingga dapat terciptanya

penemuan-penemuan baru lainnya dalam hal teknologi guna

74

memberikan akses penunjang teknologi yang lebih sempurna bagi

disabilitas.

2. Isu Inklusifitas Periode Agustus – Oktober 2019

Inklusif adalah istilah yang digunakan oleh penyandang disabilitas

dan para pegiat hak-hak penyandang disabilitas yang menegaskan

sebuah gagasan bahwa setiap orang harus secara bebas, terbuka dan

tanpa rasa kasihan memberikan kemudahan atau akomodasi kepada

penyandang disabilitas, tanpa penolakan dan atau hambatan apapun

dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Tempo.co melalui rubrik difabel dalam periode Agustus – Oktober

2019 telah memberitakan terkait isu inklusifitas ini sebanyak 36 berita.

Dalam hal ini, peneliti membagi menjadi lima aspek pembahasan

terhadap berita isu inklusifitas pada rubrik Difabel, yaitu;

1) Inklusifitas Kesetaraan,

2) Inklusifitas Hukum,

3) Inklusifitas Ruang publik,

4) Inklusifitas Kisah sukses difabel, dan

5) Inklusifitas yang menghadirkan isu disabilitas yang lebih

beragam.

75

Gambar 4.3. Aspek Isu Inklusifitas Pada Rubrik Difabel

Berdasarkan 5 aspek pembahasan diatas, isu inklusifitas dengan

aspek kesetaraan tercatat sebanyak 15 berita, 7 berita dengan aspek

hukum, 3 berita ruang publik, 6 berita aspek kisah sukses difabel, dan 7

berita terkait aspek yang menghadirkan isu disabilitas yang lebih

beragam (Lampiran 4).

a) Bingkai Pemberitaan Inklusifitas Kesetaraan

Frame inklusifitas kesetaraan, tampak bahwa Tempo.co

menekankan pada kesetaraan akan hak dan kehadiran disabilitas dimuka

publik. Tempo mencoba membangun isu ini dengan menghadirkan

ragam kegiatan yang dilakukan disabilitas di tengah masyarakat. Hal ini

terlihat jelas bahwa tempo ingin memberikan pandangan bahwa

penyandang disabilitas adalah warga negara yang harus mendapatkan

15

7

36 7

02468

10121416

InklusifitasKesetaraan

InklusifitasHukum

InklusifitasRuang publik

InklusifitasKisah sukses

difabel

Inklusifitasisu disabilitas

yang lebihberagam

Inklusifitas

76

hak yang sama dengan warga lainnya. Hal ini tampak pada kutipan teks

berikut:

"Ziadah Ziad yang juga Koordinator Regional Komunitas Duta Damai NTB mengatakan, setiap orang memiliki hak berwisata yang sama. Sebab itu, tempat wisata juga harus bisa dinikmati oleh siapapun, tidak terkecuali difabel.

"DiveAble ingin mengkampanyekan kesetaraan berwisata khususnya di bawah air," katanya. Kendati terbilang ekstrem, menurut dia, kegiatan menyelam tetap dipilih karena olahraga ini tetap bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk difabel”.

Makna yang dibangun Tempo dalam teks diatas Tempo

tampaknya ingin memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa

penyandang disabilitas juga mempunyai kemampuan yang sama dalam

menikmati pariwisata tentunya dengan cara yang berbeda.

Kesetaraan dalam hak serta peran dalam masyarakat

mendorong difabel hadir dengan semestinya, negara hadir

memberikan hak yang sama untuk mereka, misalnya dalam hal

mendapatkan penyuluhan bunuh diri, penyandang disabilitas adalah

orang yang dekat dengan isu dan topik bunuh diri dikarenakan mereka

kerap dilanda perasaan menjadi tidak berguna karena status mereka

sebagai penyandang disabilitas. Misalnya insan tuli, penyandang

disabilitas yang mengalami masalah pada indra pendengaran

bagaimana mereka bisa mengakses pengetahuan tentang pencegahan

77

bunuh diri jika kita tidak menciptakan pendidikan inklusi. Hal ini

terlihat pada kutipan teks berikut:

“Pencegahan bunuh diri adalah tugas semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Sebagai kelompok minoritas, penyandang disabilitas juga harus memiliki akses terhadap upaya pencegahan bunuh diri. Salah satunya cara berkomunikasi. "Teman - teman difabel, termasuk Disabilitas tuli juga ingin menjadi penyintas terhadap pencegahan bunuh diri, karena itu penyediaan akses bahasa isyarat sangat diperlukan," ujar Silvia Adriana, Person In Charge Lokakarya bahasa isyarat dalam Festival Into The Light, di Sunyi Coffee House and Hope, Ahad 1 September 2019”.

Menurut Tempo, penyandang Disabilitas juga harus

mempunyai akses yang sama untuk menjadi pelopor dalam upaya

pencegahan bunuh diri, hal ini tampak pada teks diatas bahwa

Tempo menekankan pada pentingnya mengajak insan tulis untuk

bisa berpartisipasi dalam upaya pencegahan bunuh diri dengan

menghadirkan akses bahasa isyarat. Dengan menghadirkan akses

bahasa isyarat dan mengajak para penyandang Disabilitas hadir serta

mengambil peran dalam upaya kampanye pencegahan bunuh diri

kita telah selangkah lebih maju untuk memberikan akses yang sama

bagi seluruh warga negara termasuk penyandang disabilitas.

Tindakan diskriminasi yang kerap diterima para penyandang

disabilitas juga terjadi pada pemberitaan, media kerap

78

menggambarkan difabel dengan tidak semestinya, hal ini berdampak

pada terciptanya stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.

Bahwa kehadiran difabel di media juga masih kurang dan tidak

sebanyak isu-isu lain. Ketua dewan pers mendorong bahwa isu

disabilitas juga harus menjadi prioritas dalam pemberitaan media,

sehingga isu ini setara dengan lainnya nya, misalnya dalam teks:

“Hendry Ch. Bangun berharap pemimpin media massa dapat membuat agenda berita bagi penyandang disabilitas, sehingga minimal setara dengan pemberitaan anak, minoritas, dan berperspektif gender. Perihal ini, Tempo.co telah melakukan langkah nyata dengan membuat kanal khusus untuk konten difabel di melalui difabel.tempo.co” (dikutip pada laman rubrik difabel Tempo.co tanggal 28 Oktober 2019).

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa tempo ingin

mengarahkan pembaca pada frame bahwa inklusifitas kesetaraan

merupakan hak yang sama bagi disabilitas dalam memperoleh peran

di masyarakat dan media massa juga harus menjadi pelopor dalam

pemberitaan disabilitas yang setara.

b) Bingkai Pemberitaan Inklusifitas Hukum

Frame pada inklusifitas hukum tampaknya Tempo

menekankan pada keadilan hukum yang sama bagi Disabilitas.

Dalam hal ini, Tempo melihat bahwa penyandang Disabilitas kerap

79

mendapatkan perlakuan diskriminasi dimata hukum. Hal ini tampak

pada kutipan teks berikut :

“Kasus di Sukoharjo menimpa anak perempuan yang mempunyai disabilitas ganda, yaitu difabel wicara dan difabel intelektual atau tunagrahita. Dia mengalami kekerasan seksual oleh gurunya. Alih-alih mendapat respons cepat, polisi menolak menangani kasus itu. "Mereka beralasan ada hambatan komunikasi dengan kendala daya ingat korban," kata Syafi'i yang merupakan Peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel atau Sigab. (dikutip dari laman rubrik difabel Tempo.co, tanggal 9 Agustus 2019).

Selain tindakan diskriminatif, Tempo dalam hal ini

melihat sistem hukum peradilan masih sangat diskriminatif,

hal ini tampak pada kutipan teks berikut :

“Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII, Bambang Sutiyoso mengatakan meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai hukum reformatif, namun sistem peradilan untuk difabel masih diskriminatif. Contohnya, syarat saksi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP adalah yang mendengar, melihat, atau mengalami. "Bagaimana dengan difabel netra atau tuli? Produk hukum belum membahas soal keterbatasan," kata Bambang” (dikutip dari laman rubrik difabel Tempo.co, tanggal 9 Agustus 2019).

Dari urain diatas, tampak Tempo.co mengarahkan

pembaca pada pembingkaian isu inklusifitas hukum pada

80

framing peristiwa diskriminasi yang dialami penyandang

Disabilitas saat berhadapan dengan hukum serta proses

peradilan yang masih tidak ramah bagi disabilitas.

c) Pemberitaan Inklusifitas Ruang Publik

Frame pada inklusifitas ruang publik tampaknya Tempo

menekankan pada ketersediaan fasilitas publik yang ramah terhadap

disabilitas, seperti fasilitas di stasiun kereta api dan Bandara.

Menurut tempo perlu mengajak difabel secara untuk merasakan serta

memberikan masukan pada fasilitas ruang publik. Hal ini terlihat

pada kutipan teks :

“Pelaksana Tugas General Manager Bandara Internasional Yogyakarta, Agus Pandu Purnama mengatakan kedatangan dan masukan dari teman difabel dengan ragam disabilitas diharapkan dapat membantu pengelola bandara dalam memperbaiki fasilitas di sana. "Kami mengucapkan terima kasih karena ada banyak masukan dari teman penyandang disabilitas untuk kenyamanan pelayanan mereka di Yogyakarta International Airport," kata Agus Pandu.“

Selain di Bandara, fasilitas publik yang lain seperti stasiun kereta

juga harus ramah bagi disabilitas.

“Saudara kita penyandang disabilitas tidak perlu khawatir menggunakan moda transportasi kereta api karena fasilitas di stasiun sudah aman nyaman bagi siapapun, termasuk difabel," kata Eko Budiyanto. Beberapa kondisi yang ramah difabel di dalam stasiun misalnya beberapa ruas jalan di

81

dalam stasiun dibuat langsam supaya dapat diakses pengguna kursi roda.”

Dari uraian teks diatas tampak bahwa tempo.co ingin

mengarahkan pembaca pada frame tentang inklusifitas ruang publik

pada ketersedian fasilitas publik yang ramah terhadap disabilitas

serta mengajak difabel merasakan langsung dan memberikan

masukan terhadap fasilitas publik.

d) Bingkai Pemberitaan Inklusifitas Dalam Keberagaman Isu

Dalam hal isu inklusifitas yang lebih beragam, frame Tempo

menekankan pada isu disabilitas beragam misalnya, fashion, permainan,

atau cara-cara yang bisa dilakukan oleh disabilitas untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan orang biasa. Tempo berhasil membuat pemberitaan

ini apa adanya, terlepas dari pola penulisan berita yang terkesan

supercrip atau heroisme tanpa melebih-lebihkan dan tanpa ada nada

menjadikan disabilitas sebagai objek inspirasi.

Contohnya pemberitaan tentang ‘Laninka Siamiyono, Beauty

Vlogger yang gagas 2.000 lipstik untuk disabilitas’, dalam

pemberitaannya, Tempo.co hanya menggambarkan sebagaimana

kejadian aslinya berlangsung, tanpa melebih-lebihkan dan menjadikan

Lalinka sebagai objek inspirasi.

82

“Selama sepuluh tahun masa terpuruknya, seorang teman membawakan Laninka Siamiyono sebuah eyeliner. Dia kemudian iseng memakai alat penegas garis mata itu. Dan hasilnya, mata Laninka terlihat berbinar”.

Kutipan di laman difabel Tempo.co ini sama sekali tidak

mengandung supercrip atau heroisme objek inspirasi, sebenarnya

Tempo mempunyai peluang untuk mendramatisir cerita dengan

menambahkan emosi yang menjadikan narasumber sebagai objek

inspirasi, namun Tempo tidak melakukan hal tersebut. Berita dikemas

apa adanya tanpa dilebih-lebihkan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan

teks berikut:

"Setelah dipakai, saya merasa lebih cantik. Kemudian saya berpikir, walau tidak bisa mengubah keadaan, berdandan dapat menggugah semangat saya untuk berbuat sesuatu," ujar Laninka.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa Tempo ingin

mengarahkan pembaca pada isu disabilitas tanpa melebih-

lebihkan atau menjadikan disabilitas sebagai ojek inspirasi atau

heroisme. Hal tampak untuk mneghindari stigma negatif pada

penyandang disabilitas.

83

e) Bingkai Pemberitaan Inklusifitas Kisah Sukses Difabel

Frame pemberitaan tentang kisah sukses para disabilitas

selanjutnya juga dikemas apa adanya, tanpa mengandung sedikitpun

unsur supercrip atau heroisme yang menjadikan disabilitas sebagai

objek inspirasi. Seperti kisah Marita Ariani yang menjadi kapten tim

nasional sepak bola penyandang disabilitas intelektual putri. Sebelum

dipilih masuk tim sepak bola, Marita Ariana mengaku lebih fokus pada

olahraga lari. Dia lantas mengikuti tim kelimaan nasional, hingga

memperkuat tim nasional dalam berbagai pertandingan internasional, di

antaranya di Abu Dhabi, Malaysia, Filipina, dan India. Dalam hal ini,

tempo memberitakan kisah ini seperti apa adanya tanpa dilebih lebihkan.

"Posisi saya sebagai penyerang dan kapten," kata Marita yang berhasil meraih medali emas, perak, dan perunggu dari sejumlah pertandingan internasional tersebut. Dalam pertandingan di India pada 2019, tim yang dikomandoi Marita Ariani menyabet medali emas serta menjadi runner up di Abu Dhabi 2018.”

“Bagi Marita Ariani, pengalaman bertanding di berbagai negara dirasa sudah cukup. Sekarang yang dia butuhkan adalah memiliki pekerjaan tetap. "Saya tidak menyesal, saya bangga bisa sampai ke mana-mana berkat sepak bola. Sekarang saya butuh pekerjaan tetap," kata Marita seraya berharap dapat bertemu Bupati Temanggung, Muhammad Al Khadziq, untuk menyampaikan keinginannya itu.

84

Dari uraian teks diatas tampaknya tempo ingin mengarahkan

pembaca pada frame bahwa cerita sukses difabel harus ditempatkan

sama dengan hal lain, tidak dilebih-lebihkan bahkan pada tahap mengais

iba pembaca. Narasi framing supercrip biasanya digunakan media untuk

pemberitaan tentang isu disabilitas di media.

3. Isu Rehabilitasi Periode Agustus – Oktober 2019

Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas adalah suatu proses

untuk meningkatkan fungsi sosial penyandang disabilitas secara

optimal dan membantu proses integrasi sosial penyandang

disabilitas di masyarakat. Kegiatan rehabilitasi bagi penyandang

disabilitas dirancang untuk menghasilkan upaya yang terarah,

terpadu dan berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh pemerintah,

pemerintah daerah, lembaga/organisasi rehabilitasi, dan/atau oleh

masyarakat yang dapat menjangkau seluruh penyandang disabilitas

yang mengalami masalah sosial, sehingga mereka dapat setara

berada dalam lingkungan yang kondusif.

Pemberitaan Tempo.co dalam menyajikan isu rehabilitas

terhadap penyandang disabilitas ini, ada dua aspek yang ditelaah

oleh peneliti dari isu ini, yaitu:

85

1) Rehabilitasi Tips dan Trik

2) Rehabilitasi Terapi

Gambar 4.3. Aspek Isu Rehabilitasi Pada Rubrik Difabel

Dalam periode tiga bulan tersebut, Tempo.co melalui rubrik

Difabel telah menerbitkan 11 berita dengan aspek Tips dan Trik

sebanyak 8 berita atau menduduki 73% dari keseluruhan jumlah berita

pada isu ini. Dan 3 berita dengan aspek Terapi terhadap kaum difabel

(Lampiran 5).

a) Bingkai Pemberitaan Rehabilitasi Tips dan Trik

Frame Rehabilitasi tips dan trik tampak bahwa tempo.com

menekankan pada pentingnya pengetahuan dalam berhadapan dengan

disabilitas. Hal ini tampaknya karena Tempo melihat bahwa

pengetahuan tentang bagaimana dan hal apa saja yang harus dilakukan

ketika berhadapan dengan disabilitas sangat penting, memahami hal

8

3

0

2

4

6

8

10

Tips dan Trik Terapi

Rehabilitasi

86

tersebut dapat menentukan langkah apa saja yang harus dilakukan jika

dihadapkan pada berbagai masalah. Seperti bagaimana berhadapan

dengan anak Disabilitas intelektual harus menggunakan pola

komunikasi khusus yang berbeda dengan anak non-disabilitas. Seperti

yang terlihat dalam teks berikut:

"Kuncinya komunikasi yang sederhana dan berulang," kata Adi dalam acara bedah buku Panduan Bagi Anak Penyandang Disabilitas Intelektual di Sekolah Inklusi, di Aula Juwono Sudharsono, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis 15 Agustus 2019. Dia mencontohkan, ketika mengenalkan diri, gunakan bahasa yang simpel dan mudah diingat.

“Saya tidak mungkin memperkenalkan diri dengan nama lengkap beserta titel pendidikan yang saya punya kepada anak penyandang disabilitas intelektual. Saya akan membahasakan nama saya 'Adi' saja," ujarnya. Setelah dibuat lebih sederhana, para pendamping anak disabilitas intelektual tak boleh bosan mengulang segala sesuatu yang perlu diketahui oleh anak.”

Disabilitas dewasa tentunya berbeda dengan disabilitas sejak

lahir, beban mental yang dihadapi jauh lebih besar dan kerap terpuruk

pada perasaan yang tak berguna karena merasa ada hal yang hilang dari

kehidupannya, butuh waktu serta dorongan untuk bisa berada pada

tahap menerima. Seperti teks berikut ini:

87

“Dokter Spesialis Kejiwaan lainnya, Agung Kusumawardhani, menyebutkan, salah satu tahap yang harus dilalui penyandang disabilitas dalam menghindari emosi yang meledak adalah dengan penerimaan atau tahap acceptance. Setiap individu memiliki periode yang berbeda pada tahapan ini”.

“Untuk mencapai tahapan penerimaan, seorang penyandang disabilitas dewasa harus mau merawat dirinya, baik merawat secara fisik maupun kejiwaannya. Harus bisa membahagiakan diri sendiri," kata Agung. Menurut dia, terdapat delapan tahap kehidupan yang terkait dengan perkembangan psikologi manusia“.

Dari uraian teks diatas tampak bahwa tempo.co ingin

mengarahkan pembaca pada frame tentang rehabilitasi tips dan trik

pada pentingnya pengetahuan dalam berhadapan dengan penyandang

disabilitas, pengetahuan ini berguna untuk menentukan langkah yang

tepat dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada.

b) Bingkai Pemberitaan Rehabilitasi Terapi

Frame Rehabilitasi terapi tampak bahwa Tempo.co

menekankan pada berbagai informasi penting yang berguna bagi

disabilitas dan pendamping disabilitas. Makna-makna yang dibangun

tempo pada pemberitaan rehabilitasi terapi ini berhubungan dengan

berbagai terapi yang dapat dilakukan bagi disabilitas. Misalnya

kegiatan menunggang kuda seperti teks berikut:

“Tammera Pollman menjelaskan Equine Assisted Therapy berasal dari budaya Yunani kuno. Pada abad ke-17, terapi

88

menunggang kuda ini diterapkan oleh masyarakat di negara-negara Skandinavia untuk menangani polio. Jurnal kesehatan mental dan ilmu saraf juga memuat bukti klinis bahwa menunggang kuda dapat membantu meningkatkan kepercayan diri difabel mental dan intelektual.

“Terapi ini membuktikan bahwa penyandang disabilitas mental dan intelektual dapat berinteraksi," kata Pollman. Dan salah satu binatang yang mampu merasakan mood orang yang berkomunikasi dengannya, menurut dia, adalah kuda dan tentunya sudah dilatih.”

Dari uraian teks diatas tampak bahwa tempo.co ingin

mengarahkan pembaca pada frame tentang rehabilitasi terapi pada

informasi-informasi seputar terapi yang diperuntukkan untuk difabel,

isu ini menjadi bahan rujukan bagi pendamping difabel untuk mencoba

berbagai terapi untuk difabel sesuai dengan kebutuhan yang mereka

inginkan.

B. Produksi Isu Disabilitas Rubrik Difabel Pada Media Tempo.Co

Isu disabilitas ini lahir dari kesadaran subjektif si penulis yaitu

wartawan tempo yang bernama Cheta Nilawati yang karena penyakit

diabetes yang dialaminya, menyebabkan ia kehilangan penglihatan pada

tahun 2016 atau di tahun ke-10 ia menjadi wartawan di media online

Tempo.co. Pada satu kesempatan, Cheta menulis pengalamannya tentang

penyakit diabetes yang membuat kebutaan di laman Indosiana, Tempo.co

pada tahun 2017. Melihat hal itu, Tempo memberikan ruang khusus

89

kepada Cheta untuk bisa menyuarakan isu disabilitas dengan membentuk

kanal rubrik difabel. Hal tersebut bukan tanpa alasan, tentu saja atas

usulan Cheta-lah rubrik itu dibentuk. Sebagai seorang wartawan yang

telah terbiasa dengan liputan dan menulis berita harian, tentunya membuat

Cheta merasa teramputasi sebagai jurnalis jika hanya ditempatkan sebagai

wartawan citizen jurnalisme. Kejadian dan segala pengalaman Cheta

menjadi seorang difabel membuatnya menulis banyak hal tentang

disabilitas. Karena itu Cheta merasa perlu menyuarakan banyak hal lagi

tentang disabilitas yang disajikan pada kanal rubrik difabel Tempo.co.

Dalam proses produksi isu, kanal rubrik difabel ini dikendalikan

oleh 3 orang yaitu Cheta Nilawati sebagai reporter, Rini Kustiani sebagai

editor, dan Dito sebagai kontributor. Tema pemberitaan tentang

disabilitas pada rubrik difabel ini disusun berdasarkan 3 kategori isu, yaitu

isu Aksesibilitas, isu Inklusifitas dan isu Rehabilitas. Pada proses

pemilihan berita, dilakukan blowing terlebih dahulu oleh Cheta terhadap

isu difabel pada rapat perencanaan. Dalam hal ini, Cheta lah yang menjadi

frontlinernya. Kemudian isu tersebut di kritisi dan diduskusikan oleh

Tempo.co secara berlayer, dengan tujuan tidak terjadinya konflik of

interest, dan tidak ada keberpihakan yang berlebihan. Tempo.co dalam

hal ini memakai metode saringan, namun sebelum diajukan ke dalam

90

rapat perencanaan pemberitaan, Cheta dan Rini terlebih dahulu telah

menyepakati dan mendiskusikan pemberitaan isu tersebut30.

“Saya frontlinernya seperti ujung jarum, ketika saya blowing di rapat perencanaan, ini begini loh ada isu ini, mereka akan kritis dulu, tanya dulu otomatiskan, ini gimana, itu gimana, akhirnya ketemu semua lah, kan di tempo itu berlayer, gak hanya sendiri, biar gak ada konflik of interest, biar tidak ada keberpihakan yang berlebihan gitu, kita tetap pakai metode saringan, kalau yang terdekat antara saya dan mbak rini dulu tentunya.” Kata Cheta.

Dalam hal kebijakan redaksional Tempo.co dalam menerbitkan

berita terhadap isu disabilitas di rubrik Difabel ini sudah sejalan

dengan kode etik jurnalistik dimana tidak mengandung unsur

diskriminatif, tidak menyudutkan, dan cover both side yang sudah

sesuai dengan kode etik jurnalistik.31 Dalam segi penerbitan berita,

rubrik difabel memproduksi minimal 1 berita sehari namun bisa juga

dua atau tiga berita. Hal ini dikarenakan rubrik difabel Tempo.co

belum dijadikan rubrik prioritas.

30 Wawancara dengan Cheta Nilawati, Reporter Rubrik Difabel Tempo.co pada

Sabtu, 14 Maret 2020.

31 Wawancara dengan Rini Kustiani, Editor Rubrik Difabel Tempo.co pada Rabu, 5

Februari 2020.

91

“Nah difabel ini belum dijadikan prioritas, jadi belum dikejar target. Minimal sehari 1 berita, tapi kadang dua atau tiga berita sih, tergantung”. Kata Rini.

Dalam produksi isu, tampak bahwa Tempo lebih menekankan

pada pemenuhan isu Aksesibilitas dan isu Inklusifitas. Hal ini tampaknya

Tempo melihat bahwa aksesibilitas dan inklusifitas merupakan faktor

yang sangat penting disuarakan dalam memperjuangkan hak-hak

disabilitas yang telah hilang. Hal ini dapat dilihat pada hasil temuan data

pada produksi isu disabilitas 3 kategori ini menunjukkan bahwa isu yang

paling dominan muncul pada tempo selama 3 bulan yaitu Agustus -

Oktober 2019 yaitu isu dengan kategori aksesibilitas dan inklusifitas,

sedangkan isu rehabilitas merupakan isu yang paling sedikit muncul

dalam rubrik difabel Tempo.co.

Kebijakan Tempo.co tentang pegawai disabilitas saat ini belum

ada kebijakan khusus yang mengaturnya. Karena hingga saat ini hanya

Cheta lah satu-satunya pegawai disabilitas di Tempo.co. Namun, dalam

hal karier, golongan dan jabatan misalnya, pegawai di Tempo.co

golongannya bisa naik, namun jabatannya tetap sama.

“Nah dalam hal karir misalnya, golongan dan jabatan. Disini golongan mereka bisa naik, tapi kan mungkin kinerja pekerjaannya jabatannya sama, jadi dalam hal ini golongan mereka bisa naik namun jabatannya tetap, karena itu kan berpengaruh ke penghasilan” Ujar Rini.

92

Sebagai pegawai disabilitas, Cheta Nilawati dalam proses

produksi isu disabilitas dalam hal ini Tempo memfasilitasi Cheta untuk

kinerja penunjang sebagai jurnalis. Fasilitas yang diberikan Tempo adalah

berupa pendamping untuk liputan dan dana tambahan. Fasilitas

pendamping tidak diberikan secara langsung oleh Tempo, namun Tempo

memberikan kewenangan dan dana kepada Cheta. Support dananya yaitu

untuk membayar pendamping dalam liputan. Biasanya Cheta

menggunakan pendamping dari organisasi Bravo (Barisan Relawan dan

Volunteer) dari UNJ. Bravo dalam hal ini menangani tunanetra dan

tunarungu yang menggunakan bahasa isyarat.

Sebagai pelaku produksi isu di rubrik difabel Tempo.co, Cheta

kerap mengalami diskriminasi stigma negatif dari seorang disabilitas,

dimana ia awalnya kerap diremehkan oleh teman-teman liputan lainnya

bahkan disangka tukang pijat oleh “gojek” atau orang yang

mengantarkannya ke lokasi tempat ia bekerja atau liputan.

“Nah kalau di liputan itu ya saya otomatisnya banyak yang belum tau, tapi begitu tahu saya buta. Kamu buta? gitu. Awalnya pertama otomatis adalah diskriminasi atau meremehkan apa itu pasti ada. Gak usah teman-teman di liputan ya, tukang gojek aja itu masih gak percaya saya bekerja sebagai wartawan, mereka mengira saya tukang pijat”. Ujar Cheta.

Meskipun kerap mengalami diskriminasi dan diremehkan sebagai

jurnalis tunanetra, namun Cheta mampu bekerja secara profesional.

93

Dimana kanal rubrik difabel dapat terisi dan menghadirkan isu-isu

penting bagi disabilitas sebagai wujud menyuarakan hak-hak disabilitas

yang kerap termaginalkan.

94

BAB V

TEMPO DAN ISU DISABILITAS

A. Analisis Teori Strukturasi Pemberitaan Tempo Terhadap Isu

Disabilitas

Tempo.co melalui rubrik difabel telah menghadirkan isu-isu

tentang disabilitas kepada masyarakat melalui pemberitaan pada media

online sebagai akses bagi masyarakat untuk mengetahui isu-isu yang

berkembang terhadap disabilitas. Hasil riset ini menunjukkan bahwa

Tempo.co sebagai media massa online ingin mengangkat isu-isu

disabilitas dalam ruang publik dengan penekanan pada aspek tertentu,

yaitu aspek aksesibilitas, inklusifitas dan rehabilitas. Penekanan 3 aspek

ini tampak dari pilihan Tempo dalam menyajikan pemberitaan di laman

media online rubrik difabel yang menempatkan posisi berita dalam 3

kategori ini. Dari 3 kategori tersebut, riset ini menunjukkan bahwa Tempo

memberikan perhatian paling besar pada aspek Aksesibilitas dan

Inklusifitas.

Hal ini tampaknya Tempo melihat bahwa aksesibilitas dan

inklusifitas bagi kelompok penyandang disabilitas sering kali

dikesampingkan dan masih menjadi PR di masyarakat dalam pemenuhan

hak-hak disabilitas tersebut. Dalam teori Giddens disebutkan bahwa

struktur sangat memiliki peran dalam membangun sebuah isu menjadi

95

pengaruh dalam setiap pengambil kebijakan, baik itu secara internal

struktur itu sendiri maupun secara eksternal. Dalam hal ini, Tempo

bertindak sebagai struktur yang membangun sebuah isu disabilitas

sehingga berpengaruh terhadap pandangan masyarakat dalam melihat

disabilitas. Artinya, Tempo mempunyai andil dalam menggeser stigma

negatif disabilitas yang telah tercipta di masyarakat.

Dari temuan riset ini tampak bahwa Tempo.co mem frame

kelompok disabilitas sebagai kelompok marginal yang harus

mendapatkan perhatian khusus dalam segi pemenuhan hak-hak sebagai

warga negara bagi disabilitas. Dalam hal ini tampak dalam pilihan Tempo

untuk membingkai isu disabilitas pada frame kesetaraan, keadilan,

pemerataan, dan kesejahteraan bagi disabilitas yang masih kerap terjadi

diskriminasi. Hal ini dilandasi oleh prinsip Tempo sebagai media online

yang berpihak pada kelompok marginal. Praktik sosial yang berlangsung

dalam ruang media Tempo.co tidak bisa dilepaskan dari struktur media

itu sendiri yang menempatkan isu disabilitas sebagai bagian dari

kepentingan kelompok marginal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh

Gidden bahwa seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh

struktur memerlukan tindakan sosial. Sifat struktur adalah mengatasi

waktu dan ruang (times and spaceless), maya (virtual) serta bisa

diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi. Selain itu, struktur juga

96

bersifat memberdayakan (enabling) yang memungkinkan terjadinya

praktik sosial. Titik tolak analisis Giddens adalah tindakan manusia.

Hasil temuan data dalam hal aksesibilitas, pemenuhan

aksesibilitas penyandang disabilitas masih sangat kurang dan bisa

dikatakan didiskriminasi. Dalam aksesibilitas pekerjaan, adanya

diskriminasi terhadap disabilitas yang tidak bisa menjadi Pegawai Negeri

Sipil (PNS), dan dalam hal pendidikan, kurangnya aksesibilitas terhadap

pemenuhan hak untuk melanjutkan pendidikan bagi disabilitas serta

kurangnya literasi baca terhadap disabilitas. Selanjutnya di ruang publik,

kurangnya aksesibilitas disabilitas di ruang publik bahkan sering terjadi

diskriminasi seperti di bandara, stasiun kereta api, dan fasilitas umum

lainnya. Jurnalis pada media Tempo.co disini berperan sebagai agen

dalam menyuarakan hak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Sebagaimana dijelaskan dalam teori Giddens, ia memberikan penekanan

terhadap agen. Menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk

menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial.

Dalam hal ini, Tempo.co mempunyai kekuatan untuk merubah

diskriminasi yang kerap terjadi pada disabilitas dengan menghadirkan

pertentangan isu disabilitas dalam kehidupan sosial. Agen merupakan

individu atau sekelompok orang yang melakukan perilaku secara

berulang-ulang yang mana kemudian perilaku ini menciptakan praktik

97

sosial, kepribadian dan tindakan sosial. Tindakan sosial yang diharapkan

adalah terciptanya pemenuhan aksesibilitas bagi kelompok penyandang

disabilitas.

Dalam hal isu inklusifitas, kesetaraan dan kebebasan masyarakat

dalam menghadirkan masyarakat yang inklusif harus diperhatikan.

Berdasarkan hasil temuan data terhadap isu inklusifitas menunjukkan

bahwa disabilitas telah diikutsertakan dalam berbagai kegiatan sosial

dalam hal mengapresiasikan diri, namun hal ini perlu kesadaran

masyarakat yang lebih lanjut dalam kesetaraan sosial bagi disabilitas.

Kesetaraan sosial bagi disabilitas terlihat penting. Menurut Giddens,

dalam menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor, orang terlibat dalam

praktik sosial dan melalui praktik sosial itulah baik kesadaran maupun

struktur diciptakan. Giddens memusatkan pada kesadaran atau

refleksivitas. Dalam merenung (reflexive) manusia tak hanya merenungi

diri sendiri, tetapi juga terlibat dalam memonitor aliran terus-menerus dari

aktivitas dan kondisi struktural.

Isu inklusifitas pada pemberitaan tempo juga menghadirkan isu

disabilitas lebih beragam misalnya, fashion, permainan, atau cara-cara

yang bisa dilakukan oleh disabilitas untuk melakukan pekerjaan-

pekerjaan seperti orang normal biasanya. Tempo juga menghadirkan

kisah-kisah kemandiriian disabilitas, dimana dalam hal ini tempo tidak

98

menjadikan disabilitas sebagai objek inspirasi. Tindakan agen sebagai

jurnalis dalam hal ini sebagaimana menurut teori Gidden yang

menyebutkan bahwa tindakan agen yang dilakukan secara terus menerus

akan menghadirkan praktik sosial baru yang mana hal ini tentunya dengan

tujuan untuk menggeser stigma negatif terhadap disabilitas yang kerap

dianggap sebagai objek inspirasi.

Fenomena-fenomena yang masih berlawanan dengan perspektif

disabilitas secara social board atau empowering board masih sangat

banyak. Setidaknya ada empat hal yang mempengaruhi pemberitaan

tentang disabilitas. Yang pertama, porno Inspirasi, artinya keadaan yang

bersyukur karena keadaan orang lain dianggap lebih menyedihkan. Yang

kedua karakter plot, artinya melihat kemalangan orang lain dengan sangat

menyedihkan. Yang ketiga, kecenderungan yaitu dari kedua hal itu tadi,

media cenderung memberikan penyandang disabilitas kalau tidak karena

inspirasinya maka sebab kemalangannya. Bahkan isu disabilitas di media

massa bisa di-hold sampai satu tahun masa tunggu terbitnya. Misalnya

ada satu disabilitas yang mau diberitakan, maka benar-benar ditunggu

sampai sekarat baru-lah dianggap sebuah berita yang bagus dari sisi

kemanusiaannya. Yang keempat adalah hyperheroism, sesuatu yang

sebenarnya biasa saja tetapi dilebih-lebihkan sehingga jadi hebat. Ini

adalah keadaan yang menganggap disabilitas itu luar biasa dengan

99

karyanya, padahal semua orang yang punya karya itu memang luar biasa.

Tapi dalam konteks ini, terlalu melebihkan nilai untuk disabilitas.

Misalnya ada disabilitas yang menulis buku, padahal isi bukunya hanya

diary tentang dirinya, atau sebenarnya isinya tidak terlalu bagus dan

terkesan biasa saja tetapi hal itu menjadi luar biasa karena penulisnya

adalah penyandang disabilitas.

Temuan data terhadap isu rehabilitasi yang merupakan isu

pemulihan atau pemberdayaan disabilitas dalam hal ini mengacu pada

bentuk literasi terhadap masyarakat bagaimana berhadapan dengan

panyandang disabilitas dan tips dan trik seputar cara-cara berinteraksi

dengan disabilitas serta terapi yang bisa dilakukan disabilitas dalam

proses pemberdayaan atau penyembuhan diri. Dalam hal ini, jurnalis

Tempo.co sebagai agen yang memberikan ruang agar aktivitas

berlangsung, namun dalam hal ini aktor juga mempunyai kesadaran untuk

menciptakan suatu kejadian. Hal ini sejalan dengan teori Gidden yang

menyebutkan bahwa kesadaran yang dibahas oleh Giddens mencakup

motivasi tak sadar, kesadaran diskursif, serta kesadaran praktis. Dimana

kesadaran praktis menimbulkan praktik sosial yang terus menerus

dilakukan tanpa jarang mempertanyakannya kembali.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kehadiran isu

disabilitas pada rubrik difabel media online Tempo merupakan suatu

100

kemajuan dalam pemberitaaan disabilitas di Indonesia. Tempo.co sebagai

struktur yang dimana struktur dan Jurnalis sebagai agen (Cheta Nilawati)

ini dapat membentuk suatu praktik sosial yang bertujuan agar mengubah

paradigma disabilitas.

B. Relasi Struktur Dan Aktor Terhadap Isu Disabilitas

Dalam membangun isu disabilitas tentunya tidak hanya struktur,

seperti yang disebutkan dalam teori Giddens bahwa membangun sebuah

isu merupakan bentuk dari praktik sosial secara menyeluruh. Artinya ada

keterlibatan antara struktur, agency, dan aktor. Struktur disini dapat

dimaksud sebagai pemberi kebijakan, agency sebagai pemilik/penyedia

ruang, dan aktor yang menjalankannya (bisa keduanya; sebagai

pengambil kebijakan dan sebagai pemilik/penyedia ruang atau salah

satunya saja).

Keterlibatan aktor sebagai pemberi ruang kepada isu yang

dibangun merupakan suatu hal yang harus ada. Dalam membangun isu

disabilitas, keterlibatan aktor secara langsung menjadi langkah awal

terbentuknya konstruksi yang ingin dicapai. Baik oleh Rini Kustiani

maupun Cheta Nilawati yang menjadi aktor dalam konstruksi isu

disabilitas ini menunjukkan adanya kesepahaman yang mereka bangun

melalui rubrik difabel di kanal Tempo.co.

101

Aktor bisa dilihat dari dua sisi. Yaitu, aktor sebagai agen dalam

struktur yang memiliki wewenang memberi perintah dan/atau mengambil

kebijakan dalam struktur itu sendiri. Kedua, aktor yang memiliki

pengaruh dalam struktur yang menjadi sumber atau rujukan kepada

kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap isu disabilitas.

Cheta Nilawati yang menjadi pengawas rubrik difabel pada kanal

Tempo.co tentu saja memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan-

kebijakan dalam melakukan konstruksi isu disabilitas lewat kanal yang

dikelolanya. Sebagai Frontliner atau orang paling depan dalam

menangani isu ini, Cheta membawa isu-isu disabilitas yang akan

diberitakan pada rapat perencanaan dengan para redaksi agar tidak adanya

conflict of interest, dan tidak ada keberpihakan yang berlebihan atas berita

yang akan diterbitkan. Sehingga berita yang dihasilkan benar-benar telah

melewati proses saringan yang ketat oleh tim redaksi.

Peran Cheta sebagai pengambil kebijakan tampaknya baru sebatas

dalam struktur atau pada tahap pemberitaannya. Sama halnya dengan Rini

Kustiani yang juga memiliki wewenang yang sama pada kanal ini. Namun

kebijakan-kebijakan yang mereka lakukan hanya pada taraf menggiring

pembaca atau publik untuk lebih aware dalam menyikapi atau

memandang disabilitas. Karena posisinya, Tempo.co sebagai media harus

tetap mengkritisi, apakah itu baik atau buruk tentang kebijakan-kebijakan.

102

Minimal apa yang selama ini menjadi pemberitaan tentang

disabilitas sudah mulai dinilai dan diperhitungkan pemerintah. Misalnya

seperti yang dilakukan program hitam putih di TransTV. Saat mereka

mengundang tuna netra dengan keahlian memahatnya. Akhirnya dilirik

pemerintah lalu hasil karya tuna netra itu dijadikan cenderamata pada saat

Asian Paragames. Lalu saat isu pemilu juga, ada penyandangan disabilitas

intelektual dan disabilitas mental yang tidak boleh memilih, padahal

mereka punya hak pilih yang sama. Ketika hal itu diangkat di media,

akhirnya bisa menjadi bahan perundingan baru di pemerintahan sampai

bisa jadi sebuah kebijakan baru. Dan sekitar 400-an penyandang

disabilitas akhirnya bisa menggunakan hak pilih mereka.

Tempo.co melalui rubrik difabel yang terus memberikan berita-

berita tentang disabilitas, hal ini bukan tanpa tujuan. Dalam hal ini

Giddens mengungkapkan mengenai menjadi manusia berarti menjadi

agen yang memiliki tujuan. Manusia sebagai agen memperhitungkan

ekspetasi-reaksi dari lingkungan di sekitarnya dan perubahan kebutuhan

atau keinginan saat melakukan suatu tindakan. Dengan demikian suatu

tindakan yang dilakukan oleh agen pasti memiliki tujuan yang mampu

dipahami dan dijelaskan oleh pelakunya. Dalam hal ini Tempo tampaknya

berusaha agar dapat dilirik oleh pemerintah dalam mengatur kebijakan

terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas yang telah terabaikan.

103

C. Konstruksi Isu Disabilitas Pada Media Online Tempo.co

Data angka yang menunjukkan jumlah kaum difabel dari dulu

hingga sekarang tidak pernah ada hitungan pasti (underrepresentative).

Referensi dari Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health

Organization (WHO) mengatakan ada 15 persen dari total penduduk

dunia adalah penyandang disabilitas. Sedangkan di Indonesia, terdapat

informasi terbaru Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang

menyatakan ada 14,2 persen penyandang disabilitas atau 30.38 Juta Jiwa

dari total penduduk di Indonesia.32 Sekalipun Indonesia sudah

mempunyai Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 1997 yang mengusung

enam isu utama, diantaranya kesamaan kesempatan, pendidikan, tenaga

kerja, aksesibilitas, dan kesehatan, tetapi untuk pemenuhannya kurang

terimplementasikan dengan baik. Pengelolaannya pun masih terkesan

karitatif. Maksud karikatif disini adalah ketika membuat kebijakan-

kebijakan terkait penyandang disabilitas tidak benar-benar di konsep

untuk membangun si kaum disabilitas sepenuhnya, tetapi cenderung

hanya diberikan beberapa manfaat saja.

Sebagai industri media online, yang mengharuskan mendapat klik

atau viewers sebagai pengembangan bisnis menjadi tantangan tersediri

32 Ekawati Rahayu Ningsih, Mainstreaming Isu Disabilitas Di Masyarakat Dalam

Kegiatan Penelitian Maupun Pengabdian Pada Masyarakat Di Stain Kudus, (Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, Februari 2014), hal. 87

104

bagi rubrik difabel yang terbilang usianya masih begitu muda. Sehingga

dapat dikatakan masih sangat jauh dari nilai bisnis. Meskipun begitu,

tampaknya rubrik Difabel memiliki value dari sisi isi pemberitaan.

Apalagi media landscape sekarang ini banyak yang sudah berubah jadi

Jurnalisme Presisi, artinya bisa menjadi informasi yang mendidik dengan

mempresisi sebuah isu. Minimal sebagai hubungan masyarakat Tempo ke

publik, ini menjadi media yang reliable, yang masih mengusung isu yang

tidak hanya memandang profit semata, tetapi juga punya value.

Maka setelah melihat relasi antara struktur dan aktor dalam

membangun isu disabilitas, dalam fenomena ini dapat dilihat bahwa

struktur sebagai sebuah pemikiran pada isu disabilitas dalam konteks

media dan agen adalah orang-orang yang tidak hanya masyarakat yang

punya kesadaran tentang disabilitas. Tetapi dua hal ini (struktur dan agen)

dalam konteksnya, Tempo.co tidak terpisah karena memiliki jurnalis

dengan kondisi disabilitas.

Jurnalis tersebut dianggap perlu untuk bersuara dan menyuarakan

kelompok disabilitasnya yang kebetulan ia berada dalam media sebagai

sebuah struktur yang punya resource atau sumber daya, punya ruang

untuk bersuara, dan punya jurnalis atau reporter yang membuat berita

dengan isu disabilitas. Sehingga Tempo.co dianggap menjadi alat

perjuangan sebagai media yang membela kelompok marjinal yaitu

105

kelompok disabilitas yang kebetulan pada media itu sendiri ada jurnalis

dengan kondisi disabilitas.

Hasil konten pada kanal difabel Tempo.co merupakan hasil

dualitas relasi yang saling tarik menarik antara struktur dengan agen

(aktor). Pelaku tidak hanya menulis sebagai perspektif orang ketiga tapi

dia juga sebagai pelaku yang menulis mewakili difabel. Karena akan

berbeda jika yang menulisnya bukan seorang difabel, tidak merasakan

bagaimana menjadi seorang disabilitas. Sehingga berita yang ditulis

Cheta sebagai reporter dengan kondisinya yang disabilitas, menjadi lebih

dekat konteksnya. Maka ketika dia menjadi bagian dari munculnya rubrik

difabel, dia tidak hanya sebagai agen yang bertugas sebagai reporter dan

menulis tentang disabilitas tapi dia juga sebagai agensi yaitu membangun

rubrik tersebut untuk diisi dengan isu difabel yang harus disuarakan

tentang kelompoknya sendiri. Dalam hal ini, Cheta sebagai jurnalis

difabel yang membangun isu disabilitas pada rubrik difabel merupakan

hasil dari fasilitas oleh struktur (owner/pemilik media).

106

BAB VI

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian penulis mengenai konstruksi isu

disabilitas pada media online Tempo.co, penulis dapat menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Isu disabilitas dikontruksi dalam rubrik difabel Tempo.co

berdasarkan teori strukturasi Anthony Giddens dimana

terdapat 3 kategori isu, yaitu isu Aksesibilitas, Inklusifitas dan

isu Rehabilitas.

2. Hasil temuan data penelitian menunjukkan isu Inklusifitas

(dalam aspek kesetaraan) dan isu Aksesibilitas (aspek ruang

publik) merupakan isu yang paling dominan diberitakan pada

rubrik Difabel Tempo.co selama periode Agustus - Oktober

2019. Hal ini menunjukkan bahwa Tempo.co memusatkan

perhatian pada isu tersebut agar masyarakat maupun

pemerintah aware terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas

dalam hal Inklusifitas yaitu kebebasan dan kesetaraan

disabilitas dan juga Aksesibilitas yaitu pemenuhan hak untuk

mengakses berbagai fasilitas dengan tujuan mewujudkan

kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan.

107

3. Proses produksi isu disabilitas dalam rubrik difabel Tempo.co

adalah Cheta Nilawati dan Rini Kustiani yang berperan sebagai

aktor sekaligus agensi dalam membentuk struktur sosial

masyarakat agar sadar dan peduli terhadap penyandang

disabilitas yang masih dimarjinalkan dalam kehidupan sosial

dan masyarakat. Selanjutnya yang menjadi objektif tempo.co

adalah penyandang disabilitas itu sendiri.

B. IMPLIKASI

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa

implikasi dari penelitian adalah dorongan melakukan konstruksi isu

disabilitas secara meluas kepada publik dengan membangun relasi positif

tentang penyandang disabilitas. Sehingga dapat menjadi edukasi dan

pemenuhan informasi kepada publik maupun kepada penyandang

disabilitas itu sendiri.

Rubrik difabel ini juga diharapkan dapat menjadi bahan rujukan

kepada pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait

penyandang disabilitas. Namun tetap tidak melupakan tugasnya sebagai

media yang menjadi kritik kepada pemerintah.

108

C. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis memberikan beberapa

saran terkait fakta dan hasil data dari pemberitaan terkait isu disabilitas

yang dibangun pada rubrik difabel ini, antara lain:

1. Rubrik Difabel pada media Tempo.co agar dapat dijadikan rubrik

prioritas sebagaimana rubrik yang lainnya. Mengingat isu disabilitas

sepertinya memang masih jarang diberitakan secara menyeluruh

oleh media lain.

2. Pemberitaan disabilitas pada media Tempo.co dalam rubrik Difabel

dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah dalam mengambil

kebijakan terkait penyandang disabilitas.

109

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Barnes, Colin. 1992. Disabling Imagery and The Media, The British Counsil

of Organisations of Disabled People.

Berry, David. 1995. Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Creswell, John W.2009. Research Design Pendekatan Kualitatif.

Depdikbud. Marginal, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Giddens, A. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar pembentukan struktur

sosial di masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Given, Lisa M. 2008. The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Method.

Singapore; Sage Publication.

Kartasapoetra dan Hartini. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:

Prenada Media Group.

110

Lok, Helen. 1999. “Individu Pembahalaru dan Masyarakat Terbuka” dalam

Muhalammad Halidayat Rahalz (eds.), Menuju Masyarakat

Terbuka. Yogyakarta: Ashaloka Indonesia-Insist.

Pirls, Danica and Popovska, Solzica. 2013. International Journal of Scientific

Engineering and Research Media Mediated Disability: How to

Avoid Stereotypes, University of Nis and University of Skopje.

Rahayu, Sugi. Dewi, Utami dan Ahdiyana, Marita. 2013. Pelayanan Publik

Bidang Transportasi Bagi Difabel di Daerag. Yogjakarta.

Reefani, Nur Kholis. 2013. Panduan Anak Berkebutuhan Khusus.

Yogyakarta: Imperium.

Sugiono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.

JURNAL:

Donny Anggoro, Rainy MP. HALutabarat: Kita halarus Dua Kali Lebihal

Dari Yang Lain, Jurnal Perempuan edisi 69.

Ekawati, Ningsih. Mainstreaming Isu Disabilitas Di Masyarakat Dalam

Kegiatan Penelitian Maupun Pengabdian Pada Masyarakat Di

Stain Kudus, Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, Februari 2014.

Firman, Abdul. Pola Relasi Media, Negara, Dan Masyarakat: Teori

Strukturasi Anthony Gidden Sebagai Alternatif, Jurnal

Sosiohumaniora, Vol 8, No.2, Juli 2006.

111

Haryanto, Ignatius. Kemunculan Diri Dan Peran Pemilik Industri Media Di

Indonesia Dalam Kerangka Teori Strukturasi Anthony Giddens,

dalam Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

Volume VI, No. 2, Desember 2014.

Masduqi, Bahrul Fuad. Kecacatan: Dari Tragedi Personal menuju Gerakan

Sosial dalam Jurnal Perempuan: Mencari Ruang untuk Difabel,

edisi 65.

Nastiti, Aulia Dwi. Identitas Kelompok Disabilitas dalam Media Komunitas

Online: Studi Mengenai Pembentukan Pesan Identitas Disabilitas

dalam Kartunet.com, dalam Jurnal Komunikasi Indonesia. Volume

II Nomor 1 April 2013. ISSN 2301-9816.

Pratiwi, Ardhina. 2018. Analisis Framing Pemberitaan LGBT di Republika

dan BBC News Model Robert N. Entman, dalam Jurnal Konstruksi

Realitas dan Media Massa. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta.

Santoso, Meilanny dan Nurliana C. 2017. Pergeseran Paradigma Dalam

Disabilitas, Jurnal Of International Studies, edisi 1 No. 2.

WEBSITE:

Dani Prabowo, “Komnas Ham Nilai Isu Disabilitas Kurang Mendapatkan

Perhatian media,” artikel diakses pada tanggal 17 Oktober 2019

dari

112

https://nasional.kompas.com/read/2017/02/17/17232611/komnas.h

am.nilai.isu.disabilitas.kurang.mendapatkan.perhatian.media.

Roh Thaniago, “Bolehkah Saya Menjumpai Dilabel di Media Dengan Layak,”

artikel diakses pada tanggal 17 Oktober 2019 dari

http://www.remotivi.or.id/amatan/503/Bolehkah-Saya-

Menjumpai-Difabel-di-Media-dengan-Layak

Slamet Thohari, “Mendengar Difabel Melalui Tempo,” diakses pada tanggal

17 Oktober 2019 dari

http://www.remotivi.or.id/amatan/536/Mendengar-Difabel-

Melalui-Tempo.co

http://www.remotivi.or.id/amatan/503/Bolehkah-Saya-Menjumpai-Difabel-

di-Media-dengan-Layak

http://lipi.go.id/lipimedia/lipi-dan-unesco-perhatikan-kaum-marjinal/19033

Young, S. 2014. “I’m Not Your Inspiration, Thank You Very Much.” TED. Diakses 10 February 2015.

113

LAMPIRAN

114

No Pertanyaan Jawaban

1. Boleh dijelaskan

bagaimana Latar

Belakang munculnya

rubrik Difabel

Tempo.co? Sejarah

kemunculan serta

siapa yang

menginginkan rubrik

ini hadir.

Iya jujur aja ya, website ini tu dibuat tahun 2017 waktu

itu sebenarnya uncounted antara saya, mas Komang, mas

Elik. Waktu itu saya bilang saya habis dari Mitra Netra

itu, saya belajar di mitra netra 4 bulan. 2017 sudah

launching lagi di kantor (tempo), saya gak mungkin kan

langsung liputan, saya ditaruh di Indonesiana, saya bilang

ke mas komang, mas Komang kok kayaknya kalo saya

cuma di taro di citizen journalism, saya sebagai jurnalis

seperti teramputasi gitu, saya merasa turun derajatnya

hehe, sorry ya turun gengsinya maksudnya. Bukan apa-

apa ya saya masih bisa menulis, saya masih bisa mengejar

target seperti dulu ketika saya reporter, 1 hari 3 berita.

Saya bisa gitu kan bahkan ketika saya di citizen

journalism saya masuk ke dunia disabilitas, saya sangat

produktif mau menulis apapun yang pengen saya tulis

gituloh. Tapi gak bisa sembarangan, citizen journalism

itu nunggu giliran kan. Beda kalau misalnya saya punya

website sendiri saya bilang, saya pengen numpahin

semua segala macam, apapun tentang disabilitas. Oke

boleh kata mas Komang gitu akhirnya saya bilang gimana

kalau kita buat rubrik disabilitas aja mas khusus. Mas

Komang juga menawarkan iya kita buat rubrik disabilitas

aja? Iya, kata saya. Kamu berani menerima tantangan ?

ya berani. Kamu presentasi di depan retmit semua?

Berani. Yaudah dipanggil lah semua retmit, semua kanal

di panggil waktu itu, seni, gaya hidup, ekonomi, bisnis,

nasional, semua kumpul waktu itu ada sekitar 15-an

orang kalo gak salah ya, saya presentasi disitu, saya

bilang saya ingin membuka kanal namanya difabel, trus

115

tadinya ada 5 hal atau 7 hal gitu yang saya ajukan. Jadi

kayak kanal habis itu kanalnya lagi gitu, saya ngajuin ada

rehabilitasi, ada inklusivitas, ada aksesibilitas, waktu itu

ada paragames, trus ada kaya kesehatan, tapi yang

kaitannya dengan difabel, kayak misalnya kesehatan

mata, amputi, para pregi sama 2 lagi saya lupa

ilansiarpidi sama undang-undang, pokoknya rubrik

nasional tapi kaitannya sama difabel. Tadinya 7 yang

saya ajuin, tapi yang disetujuin 3, yaitu Aksesibilitas,

Inklusivitas, Rehabilitasi.

2. Tujuan Tempo

menerbitkan rubrik ini

Otomatis pasti untuk menampung aspirasi temen-temen

penyandang disabilitas, menampung aspirasi,

menyampaikan aspirasi mereka, mengingatkan juga

kepada lingkungan umum tentang keberadaan mereka.

Karna gini ya kalau dari saya pantau ni kuba dan temen-

temen ya isu disabilitas itu pasti berpotongan dengan isu

kesehatan, kesra (kesejahteraan rakyat) dan olahraga ya

kan tapi ketika isu disabilitas masuk ke tiga kanal ini, itu

gak pernah menjadi main isu, gak pernah menjadi isu

utama yang diperhatikan ngertikan jadi cuma sekedar

objek inspirasi kalau di olahraga ya kan, kalau di kesra

cuma kayak ya bagian-bagian cs nya saja jadi kayak ini

mah bisa digeser, bisa ditunda sampai 7 bulan berikutnya

apa gimana gitu misalnya. Tapi kalau kita punya isu

sendiri, kita punya kanal sendiri jadi kayak semacam juga

mengembalikan fungsi jurnalisme sebagai sarana edukasi

bagi masyarakat.

116

3. Pandangan Tempo.co

tentang kebijakan

pemerintah terhadap

penyandang

Disabilitas?

Kalau menurut saya, tempo tetap mendukung tapi tetap

kritis. Jadi mereka gak selamanya ohh mentang-mentang

ini kita punya kanal khusus difabel, semua kebijakan dari

pemerintah itu kita ia kan karna demi mendukung difabel,

enggak tetap kita kritisi. Seperti kemaren panti berubah

jadi balai rehabilitasi ya di kemensos yang kasus Surya

Tambunan itu tetap kita liput. Waktu itu sengaja gak

disitu, saya gak diliput karena saya tuna netra nanti

takutnya konflik internal kan jadi teman lain yang

meliput kesitu. Tapi ketika ada temen-temen tuna daksa

diusir dari panti gara-gara mau berubah jadi balai

rehabilitasi padahal itu punya dinas, kewenangannya aja

udah salah, kalau dinas tetap dinas kan, bukan pusat dong

bukan kemensos berarti kan, itu tetap saya kritisi dan

diberitakan juga. Atau tetap misalnya ada disabilitas yang

jadi tersangka waktu itu di tangerang karena kasus

penganiayaan atau pembunuhan saya lupa tapi pelakunya

penyandang disabilitas coba, itu tetap kita beritakan,

walaupun ya, walaupun masih banyak keterbatasan di

kanal ini, karena sumber daya nya kurang. Orang yang

mengerjakan kanal ini itu secara total Cuma tiga orang,

saya, Dito, mbak Rini, mbak Rini itu editornya, saya itu

reporter sekaligus pengawas kanalnya ya kan. Jadi saya

ngisi terus. Kalau Dito kontributor di Jogja, karena jogja

udah lumayan inklusif ya jadi bagus juga itu

pergerakannya. Ya tapi dia juga gak bisa diandalkan

karena dia mencari berita yang lain juga, kontributor kan

kalo Dito. Kemarin itu sempat Bram ngasih berita ya

117

gitulah kita kolektif akhirnya. Karena yang terpenting

adalah follow up issue nya gitu. Kalau saya sendiri

mengcover seluruh isi juga gak bisa, saya akui jujur aja

ya apalagi sifatnya yang hard news yang sifatnya harus di

follow up, kejar-kejaran, mobilitas saya sangat terbatas

saya akui sebagai disabilitas tapi saya gak mau itu jadi

permakluman buat saya, kalau mau dianggap setara ya

kita bekerja seperti orang umum gitu. Cuma tetap harus

dilihat ya saya mengakui saya ada keterbatasan tapi

jangan mentang- mentang saya disabilitas lalu saya di

istimewakan.

4. Mohon dijelaskan

mengapa Tempo

mengambil tema

Aksesibilitas,

Inklusivitas dan

Rehabilitasi dalam

rubrik Difabel.

Bagaimana pandangan

Tempo tentang

masing-masing aspek

tersebut.?

Kenapa saya memilih 3 ini, karena 3 ini adalah aspek

yang selalu berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Aksesibilitas itu kan sebenarnya adalah cara bagaimana

penyandang disabilitas itu berperan di masyarakat,

semacam fasilitas tapi bukan sekedar fasilitas, tapi

fasilitas yang bisa di akses sama penyandang disabilitas.

Kalau akses misalnya ni ke satu ruangan ada tangga ya

kan, mungkin orang pada umumnya bisa mengakses

ruangan dengan tangga tapi kan penyandang disabilitas

kursi roda gak bisa, mereka harus pake ram. Dengan

adanya ram bisa diakses sama penyandang disabilitas

pengguna kursi roda, bisa diakses sama orang pada

umumnya. Orang umumnya bisa kan lewat ram, kayak

nenek-nenek, kakek-kakek, orang hamil jadi ini kan

prinsip aksesibilitas, dimana pun itu harus bisa kita

review sebagai penyandang disabilitas. Nah menurut

118

saya tempo harus mengakomodasi itu, karena ini aspirasi,

artinya setiap penyandang disabilitas memerlukan itu,

menyampaikan aspirasinya, karena tanpa aksesibilitas

mereka gak bisa mengakses. Ini isu yang paling penting

menurut saya antara ketiga ini. Yang kedua itu

inklusivitas. Inklusifitas itu adalah kaitannya sama kiprah

penyandang disabilitas yang berkecimpung sama

masyarakat pada umumnya. Jadi disabilitas itu gak

selamanya eksklusif, mengurung diri, gak selamanya

apa-apa dikhususkan, enggak, penyandang disabilitas

bisa berkiprah di lingkungan. Inklusivitas ini sebenarnya

bagian dari 2 metode atau 2 mode stigma tentang

penyandang disabilitas. Jaman dulu sebelum seluruh

negara di dunia ini meratifikasi yang namanya

Konferensi United Nation Convention Of Rat People

With Disability tahun 2011 itu menganggap bahwa

penyandang disabilitas itu adalah bagian dari penyakit

kesalahan medis. Jadi sudut pandang diambil

perspektifnya medis. Kalo kita perspektifnya medis, ya

pasti saya cacat, cacat aja. Saya gak bisa kemana-mana.

Sekali lagi ya, namanya cacat bukan disabilitas. Jadi saya

cacat itu artinya ada terminasi organ saya hilang, gak

kepake, gak berfungsi, itu mode jaman dulu, belum ada

Konferensi United Nation Convention Of Rat People

With Disability itu namanya mode medis ya. Nah setelah

Konferensi United Nation Convention Of Rat People

With Disability tahun 2011 itu modenya dibilang mode

sosial. Artinya seorang penyandang disabilitas menjadi

119

disabilitas karena lingkungan sekitar tidak menyediakan

akses buat dia. Artinya semua orang yang lahir walaupun

istilahnya dia cacat dari lahir itu bukan karena kerusakan

organ, tapi dia tercipta begitu, itu bagian dari

keanekaragaman yang diciptakan oleh Tuhan. Makanya

saya taruh inklusivitas ini dibagian kedua karena ini

penting. Inklusifitas ini menekankan bahwa teman-teman

penyandang disabilitas banyak yang bisa berkiprah di

dunia umum, jangan jadi super heroism. Nah yang ketiga

yang gak kalah penting itu rehabilitasi. Kenapa saya

masukin rehabilitasi adalah gini semua orang cacat itu

kan gak cacat dari lahir. Disabilitas itu gak semua dari

lahir. Disabilitas itu sebabnya ada 4. Ada yang dari lahir,

ada karena disebabkan sakit, karena kecelakaan, dan ada

yang karena tua. Nah rehabilitasi itu adalah program yang

mengembalikan penyandang disabilitas dewasa ke

kondisi sebelumnya. Kayak saya gini contohnya saya

dulunya melihat dan sekarang tdk melihat, nah saya ikut

rehabilitasi di Mitra Netra. Program itu banyak, belajar

pake tongkat ngerasain gimana, itu apa, kalau buat para

plagie, cara muter kursi roda gimana, buat yang tuna

rugu, bicara bahasa isyarat gimana. Jadi rehabilitasi itu

mengembalikan kondisi orang ke kondisi sebelumnya,

itulah kira-kira.

5. Apakah Tempo

memberikan

keberpihakan dalam

Keberpihakan tentu ada tapi tentu dilihat dulu sampai

sejauh mana kapasitasnya. Kalau kita misalnya nya ada

berita nih Mbak diberitakan dong, apa tuh kami nanya

120

kebijakan organisasi

terhadap kelompok

difabel? Jika ya, dalam

bentuk apa

keberpihakan itu

dilakukan?

kan, Ini nih kita mau launching kegiatan tapi dana kita

nggak disetujui sama Pemko sama Pemda misalnya,

beritain dong di Tempo, nggak, saya memilih nggak

begitu. Keberpihakan secara umum kita kalau

mendukung iya tapi kalau yang sifatnya pribadi institusi

saya menghindari itu, editornya pun juga tahu udah lah

nggak usah ya, gitu.

6. Selain Mba sendiri

apakah ada

penyandang disabilitas

yang menjadi

wartawan di rubrik

difabel?

Tidak ada, cuma saya sendiri wartawan difabel di Tempo,

kemarin kalau nggak salah ada salah satu teman juga

yang mulai rusak matanya ya karena minus nya tinggi

tapi nggak tahu keluar Jadi kontributor atau enggak tahu

gimana tuh di gaya hidup tapi dia jauh lebih bagus

matanya masih bisa ngeliat sih.

7. Saya melihat ada

kerjasama Tempo.co

dengan Yayasan Mitra

Netra liputan rubrik

difabel saat launching.

Mengapa dan

bagaimana kerjasama

itu dibangun? Dalam

bentuk apa?

Perkembangan saat ini

seperti apa?

Karena itu berlaku hanya 1 tahun sudah habis berarti ya,

jadi sudah tidak ada kerjasama lagi tadinya tuh kita

MOUnya seperti ini teman-teman di fabel termasuk staf

Mitra yang Non difabel, pengen menulis isu tentang

difabel silakan saja, nanti Tempo yang akan memuat, tapi

tentu diedit dulu dan rencananya tadi itu mau ada

kompensasi jadi kayak confee gitu, dibayarin tapi saya

nggak mengerti ya sampai sekarang. Ya mungkin karena

saya baru ya bagian dari organisasi penyandang

disabilitas saya ikut di Mitra Netra itu, saya nggak ngerti

cara Founding kerjanya gimana, saya pikir kayaknya

mereka punya cara cari duit yang lebih bagus gitu jadi

setelah ditawari itu nggak ada satupun yang mau menulis

bahkan kayak ogah-ogahan gitu tu. Jadi di Mitra Netra

121

itu kayaknya kemarin kita salah MOU, menurut saya ya,

tapi ini off the record, jadi semacam sia-sia karena tidak

ada follow up nya, temen-temen yang suka menulis, saya

ajak menulis tidak mau nulis, kaya udah burning up lah,

kaya udah bosan atau apa, gada intens, gada tertarik-

tertariknya untuk menulis. saya kira sebaiknya dulunya

saya MOUnya sama solider, adalah satu website yang

khusus juga buat difabel, mean issue, namanya Solider.

Kalau ga Perdik yang di makassar, itu lebih awere, kalau

tahu begitu saya kerjasama sama mereka.

P: karena mereka intens dalam menulis ya ?

N: Iya, menulis betul.

Di mitra itu organisasi pergerakan ya, jadi mereka

terimanya kaya ada kegiatan apa, yuk kita ikut-ikut,

nonton bersama gitu, terus sepedaan bersama, ya begitu-

gitu. Saya baru sadar gitu loh, mereka tipe yang begitu,

bukan tipe kaya Perdik atau Solider, kalau solider itu

bahkan wartawan difabelnya keliling, oh saya bilangnya,

harusnya saya konsen ke mereka aja harusnya kemarin

kalau tau gitu.

8. Dampak apa yang

diharapkan oleh

Tempo dengan

kehadiran rubrik ini ?

Yang pertama ya tentunya kesetaraan buat teman-teman

Disabilitas di bidang apapun dibidang kesehatan,

olahraga, di bidang pendidikan, pekerjaan, semuanya. itu

kesetaraan satu, yang kedua legalitas, artinya begini ada

peran difabel yang diakui. Jadi kan kalau cuman dari

mulut ke mulut doang sia-sia lagi kan . Tapi ketika kita

122

punya bukti formal Oh ada artikel Oh ada berita yang

mengatakan ini bagus Oh ada berita yang mengatakan

profilnya bagus Oh ada produknya saya berharap itu di

legal-formal kan Oh ini ada lu hitam diatas putih nya Oh

ini ada buktinya gitu bawa itu aja bukan hanya dari mulut

ke mulut jadi semacam eksistensi kan keberadaan difabel

dan kegiatan yang positif jangan selama ini hanya jadi

objek inspirasi misalnya Cheta Nilawati seorang seorang

perempuan pedagang kerupuk hidupnya di rumah

rombeng beralaskan tikar dan makan kertas koran

misalnya itu bukan inspirasi tapi objek inspirasi menurut

saya bahwa itu stigmatisasi bahwa penyandang

disabilitas itu malang nasibnya tinggal di rumah

rombeng, tunanetra jualan kerupuk walaupun jualan

kerupuk nggak salah ya tapi dia hanya menerima duit tapi

kerupuknya tidak terjual ini salah begitu amit-amit ya

jangan sampai

P: Banyakan Charity

N: iya jangan sampai begitu

Nah itu harus diganti stigma nya sekarang bukan charity

lagi itu tapi empowering artinya nggak papa dia penjual

kerupuk asalkan dia pengusaha kerupuk berita begitu.

9. Apa yang anda pahami

tentang kelompok

disabilitas?

Pertama ya yang tadi saya bilang uncounted, artinya ada

koneksi yang terbentuk karena hal ini artinya dulu ketika

masih bisa melihat saya pernah menolong orang di

Pondok Cabe tunanetra tuh kan ada markasnya di Pondok

123

Cabe dia naik angkot terus angkotnya kencang saya di

angkot yang sama saya teriak sama supirnya Pak bapak

itu orang buta mau turun gitu akhirnya turun lah di

pondok cabe kan tapi ini udah kelewat jauh. Terus saya

anterin tu tunanetra. Nah waktu itu yang saya lakukan

adalah Saya memegang tangannya. Terus dia pindahin

tangannya ke siku. Terus yang ada di pikiran saya adalah

wah ni tunet centil nih. Terus saya nanya kan kenapa

harus di siku. Terus dia jelasin kan, oh enggak mbak

karna kalau saya berjarak, saya pegang tangannya, di

depan ada batu, di depan ada meja saya kesandung. Oh

bener juga saya bilang. Ohh maaf-maaf pak, kata saya ke

tuna netra ini kan. Bayangkan ini tidak tereduksi pada

semua orang, jadi setiap tuna netra yang pegang sikunya

dikira pelecehan ya kan, jadi yang terbentuk seperti itu.

Jadi persepsi saya banyak yang salah tentang disabilitas

tapi otomatis yang terbentuk di kepala saya adalah pasti

kasihan itu udah nggak bisa disalahin itu udah natural

gitu ya. Tapi setelah saya tahu begitu pandangan saya kok

semua negatif, saya kualat kayaknya hehe. Jadi semua

stigma itu berubah bergeser jauh banget ketika saya

menjadi disabilitas. Saya lebih bisa memposisikan diri,

lebih bisa tau, lebih tau gimana rasanya di deskriminasi

itu saya tau.

10. Mohon dijelaskan

sejauh mana

komitmen

Kalau jadi polisi atau regulasi nggak mungkin ya karena

ini hanya sekedar artikel kami berharap ini memberikan

dampak atau Impact ke semua pergerakan difabel

124

keberpihakan tempo

terhadap isu ini?

Apakah hanya

memberikan ruang di

media atau pada taraf

bisa menekan

pemerintah dalam

mengambil kebijakan

terhadap penyandang

disabilitas?

walaupun dampaknya kecil sekali entah apapun itu

bentuknya tapi kami berharap itu bisa lah

keberpihakannya di situ, tentu ya begitu tapi kalau untuk

menjadi sumber regulasi, mengubah kebijakan kalau itu

kami belum tentu bisa sampai disitu ya kalau nggak di

push up sama kanal nasional atau apa gitu tu, belum

sampai segitu tarafnya karna kan usianya baru ya kanal

ini, jadi mereka masih dalam tahap perjuangan. Tapi

waktu itu pernah ada contoh jadi pematung atau pemahat

ya saya lupa apa waktu itu dia diberitain di difabel sama

kontributor Jogja besoknya dipanggil ke Hitam Putih

akhirnya karya dia itu jadi cindera mata di Asian para

games. Nah itu juga lumayan lah ya menurut saya, terus

soal kemarin penyandang disabilitas intelektual dan

mental yang tidak boleh menjadi peserta Pemilu, padahal

mereka punya hak memilih ya kan. Nah akhirnya

kemaren ada sekitar 400 -an difabel bisa ikut pemilu dan

memberikan suaranya. Hal-hal yang seperti itulah paling,

belum sampai yang istilahnya mengubah kebijakan apa

enggak karena rata-rata kalau kebijakan terhadap difabel

itu sifatnya positif mendukung kecuali kayak kemarin ya

dari Panti berubah menjadi Balai rehabilitasi ada

konsekuensi kalau panti kan dulu bertahun-tahun

penghuninya difabelnya boleh nginap boleh

berkecimpung di situ, Tapi ketika dia sudah menjadi

Balai rehabilitasi Itu kan cuma 6 bulan kalau saya tidak

salah. Itu tidak bisa kita ubah karena menurut saya itu

positif, Jadi tidak ada yang salah. Kalau untuk jadi

125

regulasi sih belum ya Kuba tapi kami berharap ini bisa

jadi referensi untuk kayak misalnya dinas sosial mau

membuat peraturan tentang apa, mereka tidak punya

masukan tentang difabel, saya harap mereka bisa melihat

di rubrik difabel. Tapi kami mengawal soal PP teknis,

jadi kan undang-undang nomor 8 tahun 2016 disahkan,

setelah itu presiden janji ada 7 PP teknis Yang diterbitkan

itu kami mengawal banget dan akan terus-terusan.

P : Sekarang baru satu disahkan?

N: iya Baru satu

Nanti dalam waktu dekat, PP peradilan, apa apa gitu, juga

mau disahkan tapi masih dalam tanda tangan, eh, tapi

kayanya di meja, di meja staf KSP kantor staf presiden

kalau gak salah. Sama satu lagi kebijakan tentang kartu

disabilitas, kartu Disabilitas ini konsekuensinya nanti

buat sensus sekaligus tunjangan bulanan jadi modelnya

NDIS di Asutralia yaitu National Disability Insurance

System, kayaknya mau kaya gitu, tapi belum pasti deh,

saya belum tahu skemanya bagaimana, tapi katanya

dengan adanya KPD itu Kartu Penyandang Disabilitas,

disabilitas disensus berdasarkan tingkatan paling rendah,

paling rendah kelurahan ya, kayaknya kelurahan deh, di

setiap kelurahan ada disabilitas di laporkan terus di data,

nanti yang udah punya KPD itu kalo ga salah katanya

mau dapat tujuangan tapi ini isu yang terjadi adalah ini

salah juga ya difabelnya banyak yang udah pura-pura

menerbitkan KPD gitu terus bilang, ini bu kartunya bulan

126

depan jadi, ibu bayarkan ke saya aja tiap bulan sepuluh

ribu, sampe ada yang kaya gitu, petugas kelurahannya

gitu, jadi difabel dijadikan objek.

11. Secara personal bisa

dijelaskan bagaimana

proses mba cheta

menerima diri mba

sebagai seorang

difabel, bagaimana

penyesuaian nya? Dan

bagaimana mba Cheta

kembali menjalankan

tugas sebagai Jurnalis?

Yang pertama saya jawab tentang penyesuaian ya, karna

kadang-kadang perspektif saya dengan tuna netra awal-

awal itu masih beda gitu. Tapi saya masih penyesuaian,

mental saya masih up and down. Tapi alhamdulillah dari

masa saya merasa harus mengakhiri hidup saya itu gak

lama, jadi proses saya dari melihat total ke buta total itu

8 bulan. Saya merasa waktu itu masa-masa paling down

atau drop itu di bulan ke 5 atau bulan ke 4 ya. Saya

sempat berfikir yaudah ya Allah akhiri aja, saya itu udah

gak bisa makan, setiap makan saya muntahin karna saya

pusing dan saya bilang ke mamah saya ini mah gak ada

yang masuk itu selama 8 minggu itu berarti udah 2 bulan

kan. Setiap yang saya makan, masuk dikit muntahin.

Waktu itu berat badan saya turun sampai 9 kilo dalam

waktu sebulan. Saya juga sempat mimpi saya pamit ke

tetangga-tetangga gitu. Udahlah itu masa-masa terendah

saya. Sampai pada saat itu temen saya bilang ada di Mitra

Netra khusus untuk para disabilitas. Nah di Mitra Netra

saya mulai bangkit, mulai belajar laptop, kenal dengan

teman-teman tuna netra yang lain, sharing, banyak

ngobrol juga kalau saya gak sendiri lah di dunia itu. Itu

saya penyesuaiannya 4 bulan. Jadi setelah itu saya balik

lagi ke kantor itu 2017, jadi udah launching lagi Januari

2017. Tapi gak langsung di kanal ya, saya ditempatkan di

127

Jurnalistik Cityzen dulu. Saya di tempatkan di

Indonesiana. Jadi alhamdulillah mungkin itu cara Mas

Komang dan kawan-kawan menyuruh saya pemanasan

lah setelah setahun sebelumnya saya hidup enggak mati

tak mau. Nah saya waktu di Indonesiana, dan pada saat

itu saya bilang ke Mas Komang kalo begini terus saya

bosan, kenapa gak bikin isu difabel aja. Akhirnya saya

presentasi waktu itu di depan teman-teman dan akhirnya

dibuat lah itu kanal difabel, walaupun gak menjanjikan.

12. Apa yang membuat

Mba Cheta masih

teguh menjadi Jurnalis

setelah difabel?

Ini mau jawaban Normatif atau Pragmatis, haha. Oke

Normatifnya dulu ya. Kalau jawaban normatifnya adalah

karena otomatis saya bisa, mau gak mau lah ya, saya udah

punya fasilitas ini di tempo, inilah cara saya empowering

temen-temen yang seperti saya gitu. Saya punya

kemampuan disini, saya punya kesempatan, jadi ini yang

bisa saya berikan buat tempo, balas budi saya, terus

istilahnya saya melakukan sesuatu gitu buat teman-teman

saya yang difabel. Karena saya besarnya di jurnalis

sebagai profesi saya. Tapi kalau ditanya jawaban

pragmatisnya apa ya saya udah karyawan tetap di Tempo,

terus yang kedua tempo ya banyak fasilitasnya terus

walaupun gajinya tidak besar, saya juga udah 10 tahun di

Tempo.

13. Keuntungan Tempo

dengan hadirnya

rubrik ini ? Karna

rubrik ini belum

Saya melihatnya begini, otomatis sebagai industri kita

harus cari klik bait ya, klik viewers dan segala macamnya

itu, adduh, difabel mah jauh banget dari hal itu, saya akui

hal itu tetapi kami punya value, kalau saya melihat dari

128

menjadi rubrik

prioritas kan.?

media landscape sekarang banyak berubahkan

Jurnalisme presisi kalau ga salah namanya, jadi juga

mendidik, jadi jurnalisme presisi itu saya berharap ini

bisa presisi ke isunya dia ga menuai klik bait atau klik

viewers tetapi menuai sebuah value, saya berharap value

ini bisa menjadi humas buat industri media yang lain

kalau masih ada media di Indonesia yang memang

mementingkan Jurnalisme sebagai sarana edukasi, bukan

cuma cari popularitas. Kemaren waktu saya belajar PDT

di bali itu ya, jadi diluar negeri itu, saya ga ngerti deh,

mereka selalu punya perspektif yang bertentangan antara

dunia disabilitas dengan dunia pers, jadi perspektif di

media itu selalu dibilang mencari popularitas, difabel di

anggap hyper heroisme dan objek inspirasi, selalu

menjadi komersial trede, artinya kalau lu ga malang, lu

ga sedih, lu gak mampu, artinya lu ga bisa jadi objek

berita, terus selalu digambarkan sebagai sosok yang

jahat, bermasalah dan kepribadiannya bermasalah juga

karena cacat. Contoh karakter-karakternya. The

Hunchback si bongkok, Kapten Hook yang ga punya

tangan, kakinya serta matanya juga satu, haji bolot yang

budeg, semua digambarkan bodoh kan ? atau si encet

yang dulu, bidadari atau apa ya saya lupa. itu tu karakter

plot device yang artinya digunain sebagai bahan jualan

tapi menurut saya itu jaman dulu, karena setelah itu ada

beberapa teori yang bilang, terutama dari kelly Elis yang

ngomong kalau sekarang media landscape sudah

berubah, social value itu selalu digadang-gadangkan

129

sebagai nilai tambah yang sifatnya intangible artinya ga

selalu berbentuk materi. Contoh Nike produk nike kita

bicara media mainstream artinya semua ya, iklan,

sinetron, radio, media massa dan newsmedia, nike itu

selalu punya produk yang dikhususkan untuk teman-

teman Difabel, contohnya sepatu lari buat temen-temen

Cerebral Palsy, Cerebral Palsy kan ga bisa mengikat tali

sepatu, akhirnya dibuatlah sepatu yang dibelakangnya

ada resleting nya, akhirnya teman-teman Cerebral Palsy

itu bisa lari, ada yang khusus untuk temen-temen

disabilitas dari lahir yang jalannya pake dengkul, pernah

liatkan itu sepatunya dibuat menyesuaikan bentuk

dengkul terus mereka selalu membuat iklan yang ada

kursi rodanya, pemain basket kursi roda, atau yang

lainnya saya pernah melihat waktu saya masih bisa

melihat, pelari yang bisa lari dengan satu kaki, sedangkan

satu kaki lainnya yang model loncat-loncat, sebenarnya

kalau ditanya, waktu itu saya baca beritanya, sebenarnya

di nike itu gada nilai iklannya (Komersil), tapi valuenya

tinggi, orang-orang jadi tahu kalau nike itu punya produk

terakses, selama produk itu terakses berarti bukan hanya

diakses oleh para disabilitas, bisa di akses sama ibu

hamil, orang tua yang juga kesusahan kan maupun anak-

anak. Jadi misalnya anak-anak susah pakai tali sepatu,

pakai sepatu teman-teman yang cerebral palsy pasti

mereka bisa pakai, itu news value yang tidak intangible

maksudnya ga terhitung dari biaya, tapi misalnya ni

kemaren tempo digebukin soal apa, wah dia yang

130

bertentangan sama pemerintah, ada yang bilang tempo itu

nginjek, tapi di satu sisi ketika orang liat tempo punya

humas Difabel orang juga akan ngeh, wah gila ya

medianya luar biasa, tingkat kepercayaan masyarakat

kepada medianya jadi bertambah, Itu yang saya bilang

mempengaruhi leadership. Leadership secara langsung

udah besar udah pasti siapa yang tertarik dengan isu

disabilitas, pertama subjeknya, kita itu minoritas di antara

minoritas, isu perempuan Itu udah termasuk minoritas

kan, isu perempuan terkenal kemana-mana kesetaraan

gender Lgbt dan sebagainya Itu perempuan, tapi dibalik

perempuan itu ada terkandung Penyandang disabilitas

kecil tapi proporsinya dari perempuan, Isu anak-anak

tetap aja kita kalah dengan jumlah subjek, anak-anak

dengan disabilitas berapa, tapi bayangkan diantara

semuanya subjek-subjek yang minoritas ini , perempuan,

suku ras dan agama anak-anak, lgbt ,semua ada

penyandang disabilitasnya. Nggak memandang kan, tapi

kalau ditanya ini penting nggak?, ya otomatis kalau

misalkan mereka yang tidak punya kepentingan terhadap

disabilitas nggak bakal akan baca isu itu, kecuali emang

curious (penasaran), oh ternyata ini dunia baru, oh begini

oh begini atau rasa ingin tahunya tinggi ya baru baca isu

itu yakan. Tapi itu kan minimal sebagai humas buat

tempo ke masyarakat, oh ini ada media yang reliable

masih mengusung isu yang cuman bukan hanya profit

semata, tetapi punya value. Kalau kita pakai ukuran

131

materi ya rubrik ini sangat tidak kontributif, udah isunya

baru, subjeknya jarang, dan konfliknya kurang.

14. Menurut Mba sendiri,

bagaimana fasilitas

dan akses di Kantor

Tempo.co

So Far Alhamdulillah, waktu awal-awal saya tunet (Tuna

Netra) dan gedungnya memang didesain buat yang non

Disabilitas, otomatis saya merasa kurang, jauh, awalnya

ya, tapi mereka berusaha memperbaiki diri, mereka

belajar dari saya otomatis, tapi Tempo waktu itu

alhamdulillah waktu pertama sekali, saya lihat di depan

(Lobby) sudah ada RAMP. Jadi kalau ada pengguna kursi

roda yang mau datang ke kantor Tempo ga perlu naik

tangga, mereka ada RAMP. masuk ke depan ada lift,

cuma buat kami yang Tuna Netra otomatis ga bisa

mengakses lift karena gada suaranya, gada braille juga,

jadi ini lantai berapa, nanya ke sesama penunggang Lift,

saya pernah sekali dulu waktu lantai delapan belum

dibikin, masih gelap, itu saya dari lantai 4 saya mau turun

ke atas eh kebawa ke lantai 8, begitu saya buka ting, kok

hawanya, hawa panas, hawa serem-serem berdebu

kayanya lantai delapan nih, saya tutup aja terus saya

kebawah gitu, jadi pernah tuh saya sempat naik turun di

lift itu sampe 3 kali. pernah juga sekali saya sudah kebelet

pipis pas awal-awal saya buta, adduh ga ada yang bisa di

ajak nih ke bawah, karena kan sebenarnya toilet redaksi

tempo di di bawah di lantai mezanin, jadi satu lantai bagi

dua gitu jadi toiletnya di lantai tanggung di bawah saya

harus turun tangga, biasa saya bergabung sama orang, ini

gada orang, terus saya sudah kebelet pipis banget,

132

akhirnya saya berdiri tu, adduh, mba-mba, mas-mas ada

yang lagi nganggur ga, tiba-tiba mas jaka jawab, kenapa

cheta ? mau pipis mas, akhirnya di anterin. Saya dulu juga

pernah parah, saya dulu pernah wawanara komnas ham

nih, orang komnas HAMnya pertama ga tahu nih kalau

saya Tuna Netra, terus saya bilang ke dua, pak, saya tuna

netra pak, dia minta wawancara di mall, segitu ramenya

coba, saya datang sendiri, karena saya kira cuma dua

doang, saya nunggu di satu restoran kaya begini, saya

tunggu lama dia ga datang-dateng, terus dia tanya, Mba

udah di restoran mana? udah di restoran ini jawab saya,

ga bisa pindah ya mba? waduh pak, saya ini gada yang

anter pak saya sendiri, yaudah saya datang. Baik nih

narasumber saya, duduk, udah selesai wawancara bla bla

bla, terus saya mau pulang nih, tinggal sama dia doang

nih, komisioner Komnas HAM terus saya bilang, pak

saya mau pipis, boleh diantar ke restroom dulu ? akhirnya

Komisioner Komnas Ham itu anterin saya. Sampai saya

pulang saya bilang ke dia, bapak anterin saya aja ke

depan ke satpam, nanti biar saya sama satpam, iya iya iya,

terima kasih ya, baru kali ini saya diwawancara nganterin

wartawannya pipis kata dia, itu kek gitu, hal-hal, hal hal

yang kek gitu, jadi saya menurut orang pada umumnya

bisa dilakukan secara mandiri tapi difabel ga bisa kan

kalau tidak ada akses, gitu, makanya saya bilang saya

paling males, di wawancara di mall yang harus

kedalamnya itu ngelewatin orang banyak, kaya ruangan

luas, kalau beginikan enggak, ini gampangkan kan,

133

pinggir jalan, langsung masuk, kang gojek juga anterin

saya langsung, mba duduk disini ya, saya bisa di anterin

mesan, kek gitu, gitu. itu aksesibilitas yang saya bilang,

tapi ini gapapa loh jangan wah ini saya salah, gpp saya

senang wawancara, diluar gitu senang cuman kalau di

mall itu agak kesulitan, karena masuk kedalam, tukang

ojek juga ga boleh masuk ke dalam, kadang gitu

kesulitannya, selama ada restoran membolehkan tukang

ojek masuk gada masalah, saya sering banget wawancara

sendiri kok, kaya interview cuma ngobrol gitu off the

record atau apa saya masih lakukan hal itu, untuk isu-

isu yang kaya kemarin wanita yang bawa anjing ke

mesjid di bogor itu, itu kan saya wawancara kaya sama

LPSK nya, perempuan itu di taro dimana dan ternyata di

taro di rumah sakit supaya dia tidak di tangkap polisi.

P: Karena dia Disabilias ?

N: iya ternyata dia disabilitas mental

dan ceritanya di kantor polisi kan, tapi ga ini di rumah

sakit, di rumah sakit polri, karena untuk mengamankan

yang di bogor ini karena garis keras atau gimana ya atau

memang garis keras itu ada yang bilang kalau perempuan

itu gada ditaro di kantor polisi perempuan itu saya bakar,

anjingnya itu ditemui mati, sebelum perempuan itu

masuk, anjing itu udah ga tahu, udah habis tersayat-sayat,

terpotong-potong anjing nya ga salah apa-apa padahal,

namanya orang gila gitukan, iya orang-orang itu ga mau

paham, karena mereka mikir gini, kok orang gila bisa

134

nyetir gitu, orang gila kok tau itu masjid, kok tau itu,

justru itu karena gila dia main ke masjid dan dia ga tahu

norma karena saat itu di releps, saat dia ga relaps dia bisa

nyetir, bisa belajar, bisa makan dan bisa berkomunikasi,

bahkan kita ga tahu dia gila gitu. jaman dulu dibilang

Cacat mental, sekarang dikenal dengan istilah Disabilitas

Intelektual dibilangnya.

15. Pernah mendapatkan

Iklan dan kalau boleh

tau klik view perhari

berapa mba? Jika ada

kalau boleh tau siapa

saja yang pasang dan

harganya biasa berapa.

Belum pada taraf ini

16. Bagaimana berita di

rubrik Difabel

disusun, apa saja

temanya, dari mana

biasanya dapat berita,

dan dalam rubrik

tersebut yang paling

berpengaruh dalam

mengambil setiap

keputusan siapa, ada

bias atau tidak

Semua ya, saya Frontlinernya seperti ujung jarum, ketika

saya blowing di rapat perencanaan, ini begini loh ada isu

ini, mereka akan kritis dulu, tanya dulu otomatiskan, ini

gimana, itu gimana, akhirnya ketemu, semua lah, kan di

tempo itu berlayer, ga hanya sendiri, biar gada konflik of

interest, biar tidak ada keberpihakan yang berlebihan

gitu, kita tetap pakai metode saringan, kalau yang

terdekat antara saya dan mbak rini dulu tentunya.

135

17. Secara Struktural siapa

yang mengendalikan

rubrik ini, selain mba

cheat dan mbak rini?

Wartawannya seperti

apa dan proses

distribusi beritanya

gimana

Di Tempo itu cuma kita bertiga, yaitu Mba Rini, saya dan

Dito (kontributor Jogya).

18. Fasilitas apa saja yang

tempo berikan untuk

menunjang kinerja

mba cheta sebagai

Jurnalis

Ya Alhamdulillah ya di Tempo itu pertama yang paling

saya syukuri adalah saya dikasih keren untuk liputan. Jadi

ada Asyer atau pendamping yang menemani saya setiap

liputan. Tempo memang gak menyediakan orangnya

langsung, tapi Tempo memberikan kewenangan dan dana

kepada saya. Support dananya dulu buat ngebayar orang

gitu loh. Akhirnya saya dikasih uang untuk liputan per

hari termasuk ongkos dan keren, tapi keren itu biasanya

kalau makan bensin, itu saya ongkosin lagi. kan gak

masalah dengan hal itu karena dia banyak membantu

saya. Orangnya gak dari Tempo, orangnya bebas. Karena

Tempo itu gak bisa meng-hire yang itu. Di Tempo itu

kalau meng-hire itu prosesnya panjang. Harus ada proses

di HRD. Siapa aja boleh. Saya biasanya suka pake anak

Bravo yang dari UNJ. Bravo kalau gak salah organisasi.

Barisan Relawan dan Volunteer. Mereka itu gak cuma

tangani teman-teman tuna netra, tapi juga tunarungu yang

pakai bahasa isyarat. Mereka bisa ada kayak gitu. kadang

kalau saya sudah benar-benar mentok, saya kadang suka

136

menawarkan diri ke tukang gojek di jalan. Bapak saat ini

mau gak temani saya, saya bayar sekian. Nanti antarin

saya ke toko buku ya. Saya ada seminar di sini, boleh

gak saya diantarin gini gini. Oh iya mbak, paling cuma 2

jam atau 3 jam gitu. 2 jam lah paling lama. Anterin saya

ke narasumber ini saya mau wawancara. Nanti bapak ini

ya ini ini. Saya catat nomor handphonenya ya. Iya boleh.

kadang kayak gitu. Kadang juga saya punya kawan tu.

Kawan SMP yang lagi nganggur kan. Yaudah lu jadi

keren gua aja ya. Iya. Menolong orang juga kan? Iya.

Membuka lapangan juga kan difabel.

19. Bagaimana

pemahaman teman-

teman Jurnalis Mba

Cheta ketika

mengetahui ada

wartawan Difabel,

apakah mereka tau

literasi atau mereka

belum mendapatkan

pemahaman yang baik

tentang dunia

disabilitas

Nah kalau di liputan itu ya saya otomatisnya banyak yang

belum tau, tapi begitu tahu saya buta. Kamu buta? gitu.

Awalnya pertama otomatis adalah diskriminasi atau

meremehkan apa itu pasti ada. Karena mereka berpikir

Oo ini saya disabilitas lagi bisa apa itu ada banyak. Gak

usah teman-teman di liputan ya, tukang gojek aja tu

masih gak percaya saya bekerja sebagai wartawan. Saya

pernah ni dari Sawangan ke sini, ke Palmerah naek gojek

langsung. Mbak mau ke mana?. Mau kerja. Oh kerja.

Mijit di mana? haha. Disangkanya orang buta itu kerja

mijit atau jual kerupuk ya kan. Enggak pak saya kerja. Oh

kerja. iya iya. Di mana kerjanya? Saya kerja di Tempo.

Di website. Tempo namanya. Tempo.co. Oh udah lama?

Udah. Udah lama. Udah belasan tahun. Oh hebat ya.

Bertahan. Terus udah deket-deket Palmerah tu. Ini di

mana mbak kantornya? Masih nanya lagi kan padahal

137

tadi saya sudah bilang. Sesuai titik pak. Di kantor gedung

Tempo. Oh iya iya. Oh mijitnya di situ? haha. Udah

nyampe di Gedung Tempo. Depan gedung lobby. Mbak

ke atasnya bisa? Bisa. Saya diantar sama satpam. Oo

pelanggannya udah banyak ya mbak. Hahaha. Oke deh

pak. Terserah deh. Yaudahlah orang itu gak ngerti ya.

Makanya saya bilang stigma tu ya kayak gitulah stigma.

Saya pernah di Bali waktu sebelum saya ke PMPDT

kemarin. Saya ada program namanya Alpa kan. itu tiga

bulan juga di Bali. Nah saya naek Grab nih. Saya bertiga.

Tunet semua. Eh satu melihat deh. Jadi berempat. 1

melihat. 3 Tunet. Ini kan bertiga turun duluan. Baru saya

nerusin perjalanan saya sendiri kan karena saya paling

jauh. Jadi di Bali itu ada pantai, namanya Pantai Padang-

Padang. Jadi di Pantai padang-padang itu banyak tukang

pijat , di belakangnya gelar handuk. Buka handuk terus

plus-plus gitu. Buat cewek-cowok. Pokoknya sama. Itu

saya ditawarin sama tukang Grab-nya. Mbak. Mbak udah

bekerja? Udah pak. Alhamdulillah. Banyak orderannya?

Tiba-tiba ngomong kayak gitu. Terus saya bilang.

Orderan apa pak? Ini mbak. Saya sarankan ya mbak.

Mbak kan tunanetra. ini keuntungannya lumayan.

Ooiya!?. Saya penasaran kan saya tanya. Keuntungan

gimana pak? Mbak gelar aja handuk di Pantai Padang-

padang. Terus? Nanti mijat mbak di sana. Kalau bisa

dapat klien, saya gak tau tadi itu klien atau enggak. Terus

klien tadi bayarnya gede mbak, apalagi mau dibawa ke

138

hotel. Terus saya bilang. emangnya bapak ngira kerja

saya apa deh? Mbak massage kan? Ya bukan pak. Buta-

buta gini saya masih kerja pak. Jadi wartawan di tempo.

Oh gitu maaf mbak maaf maaf. Tapi saya jadi tau kan

faktanya. Ternyata ada yang begitu. Saya dua kali pernah

suka begitu. Saya pernah dari Gunadarma masih nenteng

laptop padahal itu udah jam 11.00. Dari mana mbak? Ini

abis nginstall laptop di Astro. Ooh. itu laptop itu dari

klien ya? Dari Tempo pak. Baik ya kliennya. Kalau kerja

malam terus nih? Entah saya yang terlalu hipersensitif

atau gimana, tapi menurut saya itu pertanyaannya gak

mention gitu. Ya pak yang kerjanya jam 09.00 malam

selain saya juga banyak. Padahal saya udah pakai

kerudung kurang apa gitu kan. Tapi ya mereka itu udah

terlanjur terstigma. Katanya ternyata saya juga baru tau

dari teman-teman massage yang gabung di Go-Massage.

Itu kan ada beberapa teman-teman saya yang tunanetra di

situ. Itu memang banyak yang mengalami pelecehan. Jadi

saya rasa karena itu. Ini kan tunanetra gak bisa apa-apa

ya yang dulu yang kerja di Go-Massage atau vokasional.

Jadi mereka sering kayak disuruh ngebantuin. Jadi pernah

ni ada yang ngejebak teman saya namanya Mbak Kus

dari Jawa Timur. Iya mbak kemarin itu ada pelanggan. Di

namanya itu perempuan dia bilang. Terus saya datanglah

karena dia memang massage-nya memang perempuan.

Ternyata yang minta pijat itu laki-laki. Ngakunya

perempuan itu adiknya. Terus saya bilang yaudah kalau

saya pijat tolong ditungguin katanya teman saya ini kan.

139

Tapi karena kawan saya ini Tunetnya total, jadi gak bisa

ke mana-mana juga kan. Pas dia lagi mijat itu tiba-tiba

dia dikunciin dari luar. Jadi perempuan yang nemenin itu

keluar terus teman saya itu di dalam dikunciin. Teman

saya ini memang dijebak ya soalnya udah dia di dalam

terus dia bilang si yang dipijit ini. Mbak. Udahan sampai

sini aja mijitnya. Mau gak mbak bantuin saya dia bilang.

Mau bantuin apa?. Bantu keluarin dengan cara sex self

service gitu. Kata kawan saya, saya di sini cuma disuruh

mijit pak. Saya bukan bertugas buat begitu. Tapi kemarin

banyak temannya yang mau. Tolong sudah kepepet di

dalem kan. Toh mbak ini gak ngeliat. Katanya begitu.

Tolong dibantuin saya mbak. Silahkan aja deh bapak

melakukan kegiatan sendiri katanya gitu. Dan akhirnya

dia ngelakuin itu di depan teman saya walaupun teman

saya gak ngeliat, tapi dia mendengar ya. Menurut saya itu

udah pelecehan banget. Kamu harusnya lapor ke Gojek.

Itu Gojeknya gak perhatian. Yang ngadain itu juga

kemarin punyanya Angkie Yudistia disable enterprise itu

juga gak aware. Yang aware sama itu tu organisasi buruh

migran My Grand Care. Jadi My Grand Care itu

ngumpulin data-data teman-teman yang kerja di Go-

Massage yang dapat pelecehan itu baru dilaporin.

20. Berapa jumlah

disabilitas di Indonesia

? Sampai sekarang itu

kan belum ada data

Oke. Saya berpegangan pada survey atau sensus. Kalau

gak salah BPS tahun 2017. Itu Supas, saya lupa

kepanjangannya. Jadi ada Susenas dan ada Supas kan.

Ada Susenas yang memang survey besar tiap yang 5

140

jelas berapa jumlah

penyandang disabilitas

karena tiap lembaga

atau instansi itu beda-

beda. itu bagaimana

menurut tanggapan

mbak?

tahun sekali. Ada yang Supas setiap tahun. Nah Supas

itu menyatakan bahwa penyandang disabilitas di

Indonesia itu 21.800.000 orang. Jadi saya berpegangan

pada itu. Jadi 1 orang di antara 10 penduduk di Indonesia

adalah penyandang Disabilitas, tapi kan fenomenanya

kayak Ice berg. Di atas kelihatan, di bawah enggak.

Karena disabilitas di desa itu masih banyak yang

dipasung, diumpetin di rumah, gak diakui keluarganya,

gak punya KTP dan gak disensus karena dianggap orang

cacat ya kan. Itu permasalahannya. Ini yang terdata itu

juga saya gak ngerti, apa dari rumah sakit. Disabilitas

yang orang tua yang tadinya gak cacat jadi cacat. Apakah

itu terdata? Itu belum. Kalau misalnya itu kita pakai

maksudnya melihat efek gelembung ya. Itukan bisa 2

atau 3 kali lipat ya kan. Itu yang kita gak pernah sadari.

Sekarang negara maju kayak Amerika aja, 3 di antara 5

orang aja cacat. Mereka mau mengakui hal itu. 3 di antara

5 lho bayangin. Lebih dari setengah berarti kan. Mereka

mengakui hal itu. Makanya sekarang banyak yang kayak

MBIS itulah. Lembaga jaminan sosial gitu. National

Security untuk para difabel. Karena orang nanti ujungnya

ke sana. Mereka udah percaya itu. American Disability

Association itu percaya bahwa semua orang tua itu nanti

akan ke sana. Makanya mereka punya anggapan tahapan

sebelum meninggal itu cacat dulu. Karena sakit. Kalau

ada yang sakit langsung meninggal itu bersyukur

katanya. Tapi ada yang sakitnya itu cacat dulu baru

meninggal. Jadi dia anggapnya stage hidup itu tu bukan

141

cuma lahir, tumbuh, menikah punya anak, tua dan

meninggal. Bukan. Tapi di antara tua dan meninggal itu

ada dulu difabel. Nah itu mereka sudah menyadari itu

kalau di negara-negara sana ya. Jadi mereka mengakui 3

dari 5 itu adalah cacat. Mereka punya buktinya. Mereka

sensus itu. Itu dimasukin ke dalam sensus besar

pertanyaan itu. Misalnya adakah anggota keluarga yang

merupakan penyandang disabilitas. Nanti kalau ada

berapa orang. Terus disabilitasnya apa. Atau sadarkah

anda bahwa anggota keluarga anda adalah seorang

penyandang disabilitas. Karena kan kalau di sana itu

permasalahannya yang tadi saya cerita ODGJ atau

Disabilitas Intelektual. Itukan gak teraba. Sampai mereka

memeriksakan diri ya kan. Tau-tau udah relapse aja. Tau-

tau pingsan. Tau-tau Skizofrenia kan. Nah itu. Kalau di

sana lebih pada gitu terdeteksinya, tapi kalau misalnya

orang-orang buta, tunarungu, disabilitas mental itu mah

udah langsung automatically terkomputerisasi. Itu negara

maju dengan segala tingkat kesehatan, kesadaran akan

kesehatan itu udah setingkat itu. Kalau negara kita,

negara berkembang, itu 1 dari 10. Percaya gak? Nah

harusnya lebih banyak kan. Ngakunya masih 1 dari 10

orang. Padahal gak tau di rumahnya ini orang tua udah

tuli udah budeg sampai gak dengar apa yang dibilang. Oo

gak ada cacat di rumah, gitu.

142

21. Saat ini gimana sih

wajah disabilitas di

media massa kita?

Ya. Itu yang tadi saya masih bilang ya. Fenomena-

fenomena yang masih berlawanan dengan perspektif

difabel secara social board atau empowering board itu tu

masih banyak. Kemarin saya nyatet itu ada empat ya.

Yang pertama namanya Porno Inspirasi yang tadi saya

cerita. Waduh gila tu. Mbak Cheta pergi ke kantor sendiri

tapi buta. Bersyukurlah gue gak buta. Makanya itu saya

naik busway sendiri. Itu porno inspirasi. Bersyukur

karena keadaan orang lain dianggap lebih menyedihkan.

Jadi dia bersyukur dia sendiri itu porno inspirasi, jadi

inspirasinya porno. Gak bener gitu. Terus yang kedua

Karakter Plot. Jadi untuk jualan yang tadi disabilitas

kalau misalnya gak harus menyedihkan banget,

rumahnya rombeng, malang banget gitu atau yang jahat

banget itu susah. Iya gak bisa digoreng. Terus yang ketiga

cenderung pilih kan. Isu disabilitas itu bisa di-hold

bayangkan satu tahun. Kejadiannya kapan nunggu

sampai malang bangetlah pokoknya. Udah sekarat,

kejek-kejek nih. Gitu tu baru tuh. Itu ada yang kayak gitu.

Atau yang ngeselin diambil tuh duitnya. Kalian ingat gak

jalinan kasih Indosiar? Tapi ini jangan ditulis ya. Ini

contoh salah satunya. Kalau gak cacat banget gak usah.

Itu ada yang kayak gitu. Itu yang ketiga ya dipilih isunya.

Nah yang keempat Hyperheroism. Ini yang sebenarnya

terjadi di Kick Andy, tapi jangan ditulis lagi. Ini menurut

saya ya, di Kick Andy itu, ada nih tunanetra kan emang

udah dari sananya perginya pake suara kan gak mungkin

pake penglihatan. Banyak yang bekerja di bidang musik.

143

Banyak sebenarnya. Tapi ni tunanetra bikin lagu.

Lagunya apa? Jingle Indomilk atau apa gitu. Terus

diceritain. Hebat. Dapat Kick Andy Award misalnya.

Sampai dulu pernah ada satu, ini off the record lagi ya,

nama tunanetranya Ramaditya Dikara, dia mengaku yang

nyiptain jingle untuk Game Mario Bross. Bayangin coba.

Itukan fatal banget ya. Itu Kick Andy gak check re-check

lagi, itu pihak Mario Bross protes. Itu yang nyiptain ya

gamers-nya. Ramaditya ini bukan. Cuma karena dia

tuntutan dia anak pertama, keluarganya banyak yang

hebat. Dia tu kayak harus gitu. Itu tu gak dicek ulang oleh

Kick Andy. Nah itu Hyperheroism. Menurut saya

sebenarnya itu adalah hal biasa. Misalnya tunanetra

menulis buku. Biasa kan sebenarnya. Tiba-tiba dapat

Kick Andy Award gara-gara dia nulis buku. Terus saya

tanya bukunya bagus gak? Enggak sih mbak. Cuma isi

diary-nya doang sama rumah tangganya dia. Udah kayak

seleb ni dia pengen punya anak terus tiba-tiba dia nulis

mau punya anak gimana. Itu menurut saya

Hyperheroism. Nah jadi Hiperheroisme yang terlalu

berlebihan yang sebenarnya biasa aja gitu, tapi dianggap

hebat. Tunanetra bisa ngulek sambel, woah hebat.

Tunanetra bisa jalan kaki dari sini ke sana, woah hebat.

Padahal itu hal biasa.

22.

Pemberitaan tentang

Disabilitas di

Indonesia cenderung

Ya. Padahal semua di daerah itu banyak. Banyak banget.

Ada yang pelari dulu tu di Asian Para Game dapat

emasnya itu gak tanggung-tanggung ya. 5 kalau gak

144

Jakarta sentris, apa

tanggapan anda?

salah. Terus dia pulang jarang olahraga kena diabetes dan

TBC. Udah itu gak ada yang cover abis itu. Jadi

Hyperheroism nya dulu giliran kayak gini tu gak ada

yang ngangkat lagi. Elias Pikal misalnya Sakit Stroke gak

ada yang tau kan. Itu difabel juga. Untung Muhammad

Ali dulu Parkinson ada yang ngangkat kan. Parkinson itu

disabilitas juga kan. Ya karena dia Legend juga. Ya

gitulah ya. Itu yang terjadi. Itu fenomenanya di jurnalistik

ini. Jurnalismenya yang seperti ini. Jadi ada 4 yang saya

catat. Berlawanan ya, tapi ada juga kok argumentasi lagi

dari medianya. Jadi 4 argumentasi dari media itu kalau

gak salah yang pertama adalah sekarang media lebih

berorientasi pada value ya kan dibandingin cuman

readership rate tingkat keterbacaan. Karena sekarang

ternyata pembaca itu gak bisa di-drive oleh berita. Ya

gak? Sekarang pembaca itu lebih aware, lebih cerdas.

Jadi gak bisa disetir. Terus nilai sosialnya berubah.

Tingkat readership jadi gak begitu penting. Karena

ternyata media yang punya nilai social value yang lebih

tinggi itu banyak juga yang baca. Contohnya Tirto. Ya

kan? Tirto emang bikin isunya banyak yang ini? Gak

kan? Isu-isu pasti banyak sosial, in-depth, tapi banyak

yang gemari ya kan? itu yang kayak gitu. Terus yang

terakhir apa gitu saya lupa. Ya Jurnalisme Data ya.

Jurnalisme Presisi itu ya. Terus DAAI TV. Ya kan?

Walaupun gak ada yang nonton, ujung-ujungnya kita tu

punya alternatif pilihan buat ditonton dan dibaca ya kan?

Gak harus running news Corona, Corona semua. Cuma

145

jeleknya, jeleknya ni ya, jeleknya media online kita kan

sering pakai News Pack yang lagi laku nih misalnya biar

buat apa ya yang ngangkat sedikit gitulah. Kita pake

News Pack Corona gitulah. Kita cari berita yang ada

kaitan difabel dengan Corona lah. Itu gak bisa dipungkiri

lagi. Itulah industri ya. Tapi tetap core-nya Social Value.

DAAI TV juga gitu. Terus ada yang media internal yang

tadi saya cerita, Solider itu d Jogja, tapi sayangnya dia

bukan media mainstream. Jadi media untuk LSM dan

komunitas. Dia khusus lebih hardcore lagi. Isu tentang

disabilitasnya lebih dalam lagi. Mana kalau nulis itu

beritanya panjang ke mana-mana. Kadang kalau baca itu

capek ya gitu. Tapi ya itu mereka saking hardcore-nya.

Aktivisnya itu ini banget. Di Makassar itu PerDIK. Tapi

sayang banget sih media ini untuk LSM. Pustaka PerDIK

namanya. Pergerakan Difabel Untuk Kesetaraan. Nanti

kalau mau kontaknya saya punya nanti saya kasih. Kalau

mau misalnya media yang lain saya gak punya, saya

cuma punya yang tadi itu PerDIK dan Solider yang

isunya benar-benar fokus ke isu difabel. Kalau Tempo

karena inilah saya fikir tadi kan karena ada yang

uncounted juga ya. Karena tiba-tiba ada wartawannya

yang buta terus akhirnya yaudahlah jadi liputan

partisipatif.

23. Kalau misalnya gak

ada Mbak Cheta,

apakah Tempo

Saya gak bisa jawab itu. Ini kewenangannya Mas

Komang. Waktu itu Mas Komang sempat bilang

alasannya salah satu wartawan ada yang disabilitas. Itu

146

memang udah fokus ke

isu ini atau karena ada

Mbak Cheta. Menurut

mbak gimana?

mungkin saya, tapi saya rasa gak cuma itu

pertimbangannya ya. Saya rasa itu terlalu sederhana dan

terlalu istimewa buat saya kalau iya bener sampai begitu.

Hanya karena saya difabel, dibikinlah Rubrik Difabel.

Enggak. Saya yakin Tempo punya News Value lagi yang

dicari. Kalau saya liat, Tempo ini kan media untuk belajar

walaupun gaji gak gede, tapi kalau kalian belajar di

institusi ini kalian akan mendapatkan banyak ilmu. Media

untuk belajar, jadi menurut Tempo ini penting karena

pertimbangannya itu. Ini presisi isunya terus baru bisa

dijadikan pelajaran. Apa aja komponennya. Apa aja

skemanya. Mungkin ya itu yang diteliti. Sama seperti

halnya mereka pertama kali buka Rubrik Gaya Hidup

atau Kesehatan. Seperti itu. Jadi menurut saya bukan

hanya karena wartawannya difabel sih. Cuma mereka

kayak baru oh ada yang begini nih ternyata begini.

Karena ya mungkin momennya baru datang bertepatan

saat saya buta.

P : Mungkin sudah dipikirkan, tapi belum dijalankan.

N : Ya. Tapi belum tereksekusi atau apalah. Mungkin

konsepnya Tempo pas tiap ada presisi misalnya bisnis.

Tapi itu udah lama ya. Yang baru itu Cantik Cantika. Nah

itukan gaya hidup tentang perempuan dan kesehatan

perempuan. Itu kan baru. Dan pertimbangannya ini

kayaknya akan menuai klik yang banyak. Dan ternyata

benar kan. Lumayan. Kalau difabel ini saya rasa Tempo

pada pertimbangan tadi, pada value. Dengan begitu orang

147

Lampiran 1. Wawancara Narasumber Cheta Nilawati

Narasumber : Cheta Nilawati (Reporter rubrik difabel tempo.co)

Tanggal : 14 Maret 2020, 15.00 Wib

Tempat : Restoran KFC Simpang Gaplek

juga bakalan tau walaupun Tempo gak menjalankan, tapi

dia tetap ada isu tentang ini. Gak ada media yang mau

buang energi kayak gini. Ini sebenarnya buang energi

banget ya kan.

24. Sebelum di Rubrik

Difabel, Mbak Cheta

konsen di bagian

mana?

Saya termasuk jurnalis yang floating ya, yang udah

keliling. Dulu saya 6 tahun pertama di nasional. Saya

ngepos di KPK. Terus 4 tahun kemudian saya nge-pos di

Gaya Hidup. Terakhir itu saya di Kesehatan, tapi ya gitu.

Gak sehat juga, hehe.

148

Lampiran 2. Wawancara Narasumber Rini Kustiani

RINI KUSTIANI (Editor Rubrik Difabel)

Pertanyaan Penelitian:

Pertanyaan Umum

1. Latar belakang munculnya Difabel Tempo.co

Jawab: Perlu diketahui kalau di tempo itu ada wartawan difabel namanya

cheta, jadi pada satu periode dimana saya punya tim nah cheta salah satu

didalamnya kemudian dia punya diabetas pada satu ketika setelah dicek

ternyata dia punya gangguan di penglihatannya. Dan beriring waktu dia

semakin parah, sempat menjalani operasi namun gagal, sehingga menjadi

tunanetra. Kemudian dia nulis di indonesiana tentang yang ia alami kemudian

tempo mengganggap dia aset sehingga membuat channel khusus rubrik difabel

pada tanggal 18 Juli 2018. Awal mulanya saya rasa seperti itu, hingga

konsisten sampai sekarang.

2. Tujuan Tempo menerbitkan rubrik Difabel

Jawab : Kita ingin publik tau bahwa difabel itu harus diperlakukan seperti apa,

difabel juga punya hak yang sama, punya kesempatan yang sama, tapi caranya

aja yang berbeda. Kebetulan ditahun yang sama juga ada ASEAN Paragames

dimana ini menjadi momentum yang pas, ada pilkada, kemudian oktober ada

ASEAN Paragames, jadi ini menjadi momentum yang pas tempo menerbitkan

rubrik Difabel.

3. Pandangan Tempo.co tentang kebijakan pemerintah terhadap penyandang

Disabilitas.

Jawab : Nah kalo udah ngomongin kebijakan pemerintah ya memang salah

sebenarnya sudut pandang terhadap difabel ya, orang-orang mengganggap

149

difabel itu Charity padahal bukan itu, itu hak asasi mereka loh, mereka

misalnya dapat sumbangan kursi roda nah itu bukan suatu hal yang harus

dikasihani, bukan kemurahan hati orang, tapi itu memang hak dia untuk dapat

itu, terlepas yang ngasih misalnya itu pemerintah ya, itu memang sudah hak

dia. Nah payung hukumnya kan Undang-Undang Nomor 8 2016 ya tentang

disabilitas nah itu belum ada PP turunan kaya Komisi Disabilitas Nasional itu

ya. Ternyata membuat turunan PP Undang-Undang itu cukup rumit karena

satu, sudut pandang tadi, kedua, kewenangan antar lembaga yang harus

mensinkonkan antara kemensos, kemenkes, sama kementrian

ketenagakerjaan.

4. Mohon dijelaskan mengapa Tempo mengambil tema Aksesibilitas,

Insklusivitas dan Rehabilitasi dalam rubrik Difabel. Bagaimana pandangan

Tempo tentang masing-masing aspek tersebut.

Jawab : Itu tiga-tiga nya Cheta yang pegang, saya terus-terang tidak begitu

paham tentang itu apalagi istilah-istilahnya itu saya belajar dari dia. Tapi yang

saya pahami kalo rehabilitasi itu lebih ke penyembuhan, inklusivitas lebih ke

personal atau dia bisa healing diri dia seperti apa, kalo aksebilitas kita udah

tau ya itu lebih ke publik.

5. Bagaimana keberpihakan Tempo terkait dengan masalah disabilitas.

Jawab : Ya tentu saja ada, gini ketika kita punya reporter difabel, saya nanya

ke dia , mekanisme kerja yang nyaman dia seperti apa, agar tidak

memberatkan dia juga. Dia juga bisa kerja diluar, gak harus ke kantor, cuaca

yang tidak bersahabat kadang -kadang ya, jadi kita bisa berkoordinasi lewat

chat.

150

6. Apakah Tempo memberikan keberpihakan dalam kebijakan organisasi

terhadap kelompok difabel? Jika ya, dalam bentuk apa keberpihakan itu

dilakukan ?

Jawab : Tentu, salah satunya dalam rangka penilaian, saya sih kerap kali

ditanya , gimana kinerjanya (difabel), saya sih spesifik ya. Nah dalam hal karir

misalnya, golongan dan jabatan. Disini golongan mereka bisa naik, tapi kan

mungkin kinerja pekerjaannya jabatannya sama, jadi dalam hal ini golongan

mereka bisa naik namun jabatannya tetap, karena itu kan berpengaruh ke

penghasilan.

7. Apakah ada penyandang disabilitas yang menjadi wartawan di rubrik

difabel ?

Jawab : Ada, namanya Cheta. Untuk saat ini hanya dia doang.

8. Saya melihat ada kerjasama Tempo.co dengan Yayasan Mitra Netra

diliputan rubrik difabel saat launching. Mengapa dan bagaimana kerjasama

itu dibangun? Dalam bentuk apa ?

Jawab : Jadi begini, Yayasan Mitra itu yang jembatani kan Cheta. Sejauh yang

saya pahami tadinya kami maunya Yayasan Mitra Netra itu memasok tulisan,

karena mereka kan punya base practice nya kan mereka menyebutnya “Client”

ya, ada client tuna netra dewasa misalnya seperti cheta itu lalu treatment nya

seperti apa, tentu kan psikologisnya dulu, sebenarnya kami berharap dari

mereka itu memasok bahan-bahan tulisan, tetapi mereka sendiri kekurangan

tenaga, nah justru mereka meminta kita untuk meliput, sementara disinikan

yang meliput hanya cheta. Nah karena di tempo ini rubrik difabel belum

dijadikan prioritas, jadi belum sangat di kejar. Disini saya memangku 6 kanal

di tempo yaitu: satu situs sendiri, seleb.tempo.co, gaya.tempo.co,

151

cantik.tempo.co, travel.tempo.co, difabel.tempo.co, dan cantika.tempo.co.

Nah dari 6 ini yang jadi prioritas itu 4, Nah difabel ini belum dijadikan

prioritas, jadi belum dikejar target. Minimal sehari 1 berita, tapi kadang dua

atau tiga berita sih, tergantung.

9. Dampak apa yang diharapkan oleh Tempo dengan kehadiran rubrik ini.

Jawab : Kami berharap kami bisa mengedukasi masyarakat, terutama dalam

memandang difabel itu sendiri.

Pertanyaaan dijawab dengan perspektfi sebagai Reporter dan Editor

Rubrik Difabel (Rini Kustiani & Cheta Nilawati)

1. Apa yang anda pahami tentang kelompok disabilitas?

Jawab : Iya yang tadi, punya potensi, punya kesempatan nah gimana

memberikan ruang untuk mereka. Yang pasti sih harus ditanya dulu ya

karena pernah ada temen difabel datang kesini, cerita-cerita, lucu sih,

tapi bagi saya agak miris sih, tapi mereka menertawakan itu. Sebuah

apa ya kebesaran hati yang begitu ya gak bisa kita pungkiri kalau

melihat mereka jatuhnya kasihan, tapi ketika kita sudah tau potensinya

nah itu yang dikembangkan.

2. Menurut pemahaman anda isu disabilitas di media Tempo.co di lihat

sebagai apa?

152

Jawab : Saya berharap dewan pers menjadikan tempo.co salah satu

contoh media yang mendukung isu disabilitas.

3. Apa yang anda pahami kebijakan redaksional tempo.co terhadap isu

disabilitas di rubrik Difabel

Jawab : Setahuku memang karena kan itu menyangkut kode etik

jurnalistik juga, harusnya tidak diskriminatif, tidak mengandung sara,

dan tidak menyudutkan, terus tentang cover both side menurut saya sih

apa yang tertera di kode etik jurnalistik ya sejalan juga dengan sikap

kanal difabel ini.

4. Secara personal apakah pemahaman anda dalam mehamahi isu disabilitas

ini memberikan pengaruh terhadap diri anda, misalnya anda lebih peduli

dan menghargai terhadap disabilitas.

Jawab : Iya, tentu. Apalagi teman sendiri ya. Saya tau Cheta itu

mampu kemampuannya itu sangat besar, menulis dia bisa disetarakan

dengan wartawan pada umumnya, hanya saja mungkin ada liputan-

liputan tertentu dia perlu pendamping, toh out put nya juga ada, ya

jangan minta dia bikin foto lah kira-kira begitu.

5. Mohon dijelaskan sejauh mana komitmen keberpihakan tempo terhadap

isu ini ? Apakah hanya memberikan ruang di media atau pada taraf bisa

menekan pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap penyandang

disabilitas ?

Jawab : Oke, kalau yang sejauh ini memang penekanan terhadap

pemerintah belum terlalu ya . Apakah itu bisa dimaknai menekan

153

pemerintah, mudah-mudahan iya, mudah-mudahan , tapi yang jelas

sikap redaksi tentang isu difabel ya akan tetap sama, tidak akan

berubah. Tetap progresif beritanya, sesuai fakta, bahwa mungkin itu

akan menjadi pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan

yaitu kan bagian dari fungsi media.

154

Lampiran 3. Peta Skema Berita Aksesibilitas Bulan Agustus-Oktober 2019

155

Lampiran 4. Peta Skema Berita Inklusifitas Bulan Agustus-Oktober 2019

156

Lampiran 5. Peta Skema Berita Rehabilitasi Bulan Agustus-Oktober 2019