SU-ISU Kontemporer - Repository - UNAIR

24
E I rE A S INEGARA SU-ISU Kontemporer Editor: Samodra Wibawa A h* r '' ll il ry

Transcript of SU-ISU Kontemporer - Repository - UNAIR

E

IrE A S INEGARA

SU-ISU Kontemporer

Editor: Samodra Wibawa

A

h*

r

'' ll il

ry

T

l'1, ' oJ ,)/

ADMINISTRASI NEGARAlsu-isu Kontemporer

i

I

I

I

& GRAHAILMU

ADMINISTRASI NEGARAlsu-isu Kontemporer

Editor: Samodra Wibawa

Administrasi Negara; Isu-isu Kontemporer

Editor : Samodra Wibawa

Edisi Pertama

Cetakan Pertama,2009

Hak Cipta O 2009 pada penulis,Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalambentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya,tanpa izin tertulis dari penerbit.

GRAHA ILMUCandi Gebang Permai Blok R/6Yogyakarta 55511Telp. :0274-882262;02744462135Fax. :0274-4462136E-mail : [email protected]

&

Wibawa, Samodra

Administrasi Negara; fsu-isu Kontemporer/Samodra Wibawa

- Edisi Pertama - Yogyakarta; Graha Ilmu, 2009

x + 378 hlm, 1 JiI. z 26 cm.

ISBN: 978-979-756-501-5

1. Sosial 2. Politik I. JuduI

PENGANTAR

I lhandulillaahi rabbil 'aalamiin, Konferensi Administrasi Negara akhirnya dapat terselenggara pada

I I.27 - 28 Juni 2008 setelah diwacanakan sejak awal 2002 melalui beberapa mailing /rsr. Sejumlah 46

orang dosen maupun peneliti mendaftarkan diri untuk mengikuti konferensi tersebut, namun lima orang di

antaranya berhalangan hadir. Dan dari semua makalah yang didiskusikan dalam konferensi, hanya 34 yang

tersaji dalam bunga rampai ini, karena beberapa telah terlanjur dipublikasikan dalam suatu jurnal. Sementara

peserta tamu hanya 17 orang, karena memang sebenarnya ditentukan bahwa peserta harus mempresentasikan

makalah.

Semua makalah diterima melalui prosedur callfor papm, tidak satupun yang diminta secara khusus. Jadi

konferensi yang pertama kali tersebut bersifat bottom-up. Lebih dari itu panitia tidak mencari sponsor untuk

penyelenggaraannya -artinya otonom, self-fnancing oleh para peserta sendiri. Karakter konferensi yang seperti

ini sangat membanggakan para peserta, dan mereka bersepakat untuk terus melakukannya setiap satu atau dua

tahun, dimana nanti yang ke-dua (2009) akan diselenggarakan di Surabaya.

Artikel-artikel dalam buku ini dibiarkan tetap sebagaimana aslinya dai para penulis. Penyuntingan

dilakukan secara sangat minimal, antaralain untuk menyamakan cara penomoran dan membetulkan beberapa

kesalahan penulisan. Sekalipun demikian, proses editing ternyata menguras tenaga yang tidak sedikit. Untuk

itu kami mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Nurul Dwi Purwanti, yang telah bekerja sangat

keras untuk terwujudnya buku ini. Kepadanya kami juga berhutang budi atas terselenggaranya konferensi, di

mana Ratna Yekti Putri juga harus sering kerja lembur, dibantu oleh Puguh Prasetya Utomo dan Gabriel Lele

yang memperlihatkan dedikasi mereka.

Pada akhirnya kami berharap, rekaman konferensi ini dapat dimanfaatkan tidak saja oleh dosen dan

peneliti administrasi iegara melainkan juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan serta stakeholderslain,

dari level laegara, provinsi, kabupaten dan kota hingga desa.

Jogja, Mei 2009

Samodra Wibawa

I

Dqftor lsi

Pengantar

DaftarIsiPendahuluan

Reformasi Adm ini strasi

Reformasi Birokrasi (lvlift ah Thoha)

Mengapa Birokrasi Sulit Berubah? (Slamet Rosyadi/Denok Kurniasih)

Diskresi Birokrasi (Sri Juni Woro Astuti)Inovasi Goyernance dan Kinerja Sektor Publik (Mohammad Nuh)Persoalan-persoalan Perbaikan Administrasi Negara (Samodra Wibawa)

Manajemen Pelayanan

Pelayanan Perijinan di Jawa Barat (Sintaningrum/Tomi Setiawan)

Social Marketing Sebagai Media Public Awarenas @ma Setijaningrum)

Strategi Adopsi dan Pengolahan Pengaduan Dalam Pelayanan Publik (Eruan Agus Purwanto)

Konsumerisme Dalam Manajemen Pelayanan Publik (Falih Suaedi)

I

vvtl

59

69

79

Good Govcnance

Pelajaran dari Implementasi Good Goyen ance @amsar)Melembagakan Good Governancedan Pelayanan Publik @ochyati Wahyuni Triana)

Administrasi Publik Kontemporer: Antara Gweflnnce dan Gweraability (Gabnel Lele)

Electronic Goyetmett

E-administrationSebagai Langkah Strategis Peningkatan Mutu Pelayanan Publik (Ayuning Budiati) 89

Transparansi Pelayanan Publik Melalui E-Goyerment: Studi Kasus Yogyakarta dan Surabaya

(Wahyudi Kumorotomo) 99

Peluang dan Tantangan E-governmettt (Ni Rokhman) 111

Mobile Go'vernment: Mengurangi Kesenjangdn Digital Dalam Pelayanan Publik(Studi Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo dan Karanganyar) (Rino A Nugroho) 123

,,

t9

29

37

51

133

t43153

t67

Manajemen Sumber Daya Manusia

Berbasis Kompetensi Untuk Mendukung Pelayanan Publik (Jusuf Irianto)

Membangun Komitmen Aparatur Negara (Agus Wahyuadianto)

Pengembangan Kompetensi Berdasarkan Analisis Pasa.r Tenaga Kerja (Isnaini Rodiyah)

Hubungan Asimetri Pria-wanita Dalam Politik dan Birokrasi (Gitadi Tegas Supramudyo)

Birokrasi dan PolitikCalon Perseorangan di Masa Transisi Pilkada Langsung (Teguh Kurniawan)

Netralitas Birokrasi Dalam Pilkada (Ridwan Radjab/Hidayaturahmi)

Disorientasi Wewenang Bupati Dalam Mutasi dan Promosi Jabatan di Cilacap (Tobirin)

Perilaku Partai Politik Terhadap Isu Kebijakan Bidang Pendidikan di Surabaya

(Tauran/Tj itjik Rahayu)

Otonomi Dan Pemekaran

Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Penerapan Syariat Islam Di Nad (Nur Hafui)

Dinamika Pembentukan Kabupaten Solok Selatan (Rahmadani Yusran)

Otonomi Desa: Antara Mimpi dan Realita (Ike Wanusmawatie)

Revitalisasi Marga di Sumatera Selatan (M. Nur Budiyanto)

Pembangunan

Efektiflrtas Unit Pengelolaan Keuangan Desa Muara Payang (Achmad Aminudin)

Centang Perenang Pembangunan Pasca Reformasi: Perspektif Ekonomi Politik (Ainul Hayat)

Penataan Pemukiman Kumuh di Wonokromo (Tjitjik Rahayu/Meirinawati)

Pembangunan Masyarakat Pesisir di Langkat (Marlon Sihombing/Kariono)

Metode Ilmu

Diskursus Administrasi Publik Posr Modern (Bintoro Wardiyanto)

Pendekatan Berpikir Sistem Dalam Kajian Administrasi Publik:

Model Baku Sistem Partisipasi Pubik Dalam Pemerintahan Daerah (MR Khairul Muluk)

Daftar Peserta Konferensi Administrasi Negara

Daftar Indeks

Tentang Penulis

-oo0oo-

I Administrai Negara; Isu'ku Konrcrnporer

173

183

193

203

291

303

315

327

209

217

225

23s

247

2s9

267

277

34r

353

365

369

37r

v11l

t

Doflor Isi Menurut Penulis

Achmad Aminudin Efektifitas Unit Pengelolaan Keuangan Desa Muara Payang

Agus Wahyuadianto Membangun Komitmen Aparatur Negara

Ainul Hayat Centang Perenang Pembangunan Pasca Reformasi: Perspektif Ekonomi Politik

Ali Rokhman Peluang dan Tantangan E-gowrnment

Ayuning Budiati E-administration Sebagai Langkah Strategis Peningkatan Mutu Pelayanan Publik

Bintoro Wardiyanto Diskursus Administrasi Publik Post Modern

Damsar Pelajaran dari Implemerrtasi Good Goyernaflce

Ema Setijaningntm Social Marfuting Sebagai Media Public Awarmes

Ervvan Agus Putluanto Strategi Adopsi dan Pengolahan Pengaduan Dalam Pelayanan Publik

Falih Suaedi Konsumerisme Dalam Manajemen Pelayanan Publik

Gabriel Lele Administrasi Publik Kontemporer: Antara Gowrnance dar, Govenability

Gitadi Tegas Supramudyo Hubungan Asimetri Pria-wanita Dalam Politik dan Birokrasi

Ike Wanusmawatie Otonomi Desa: Antara Mimpi dan Realita

Isnaini Rodiyah Pengembangan Kompetensi Berdasarkan Analisis Pasar Tenaga Kerja

Jusuf Irianto Berbasis Kompetensi Unruk Mendukung Pelayanan Publik

M. Nur Budiyanto Revitalisasi Marga di Sumatera Selatan

MR. Khairul Muluk Pendekatan Berpikir Sistem Dalam Kajian Administrasi Publik

Marlon Sihombing/Kariono Pembangunan Masyarakat Pesisir di Langkat

Miftah Thoha Reformasi Birokrasi

Mohammad Nuh Inovasi Govemance dan Kineda Sektor Publik

Nur Hafrri Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Penerapan Syariat Islam di NAD

Rahmadani Yusran Dinamika Pembentukan Kabupaten Solok Selatan

Ridwan Radjab/Hidayaturahmi Netralitas Birokrasi Dalam Pilkada

Rino A Nugroho Mobile Goyemment: Mengurangi Kesenjangan Digital Dalam Pelayanan Publik

(Studi Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo dan Karanganyar)

Rochyati Wahyuni Triana Melembagakan Good Governance dan Pelayanan Publik

Samodra Wibawa Persoalan-persoalan Perbaikan Administrasi Negara

29r

183

303

11i

89

34r

59

143 )

153

167

79

203

267

193

173

277

353

327

7

37

247

259

2t7

U

123

69

51

€,

Srntaningrum /Tomi Setiawan Pelayanan Perijinan di Jawa Barat 133

Slamet Rosyadi/Denok Kurniasih Mengapa Birokrasi Sulit Berubah? 19

Sri Juni Woro Astuti Diskresi Birokrasi 29

Tauran/TJitjik Rahayu Perilaku Partai Politik Terhadap Isu Kebijakan Bidang Pendidikan di Surabaya 235

Teguh Kurniawan Calon Perseorangan di Masa Transisi Pilkada Langsung 209

fjitjik Rahayu/Meirinawati Penataan Pemukiman Kumuh di Wonokromo 315

Tobirin Disorientasi Wewenang Bupati Dalam Mutasi dan Promosi Jabatan di Cilacap 225

Wahyudi Kumorotomo Transparansi Pelayanan Publik Melahi E-Goverment:

Studi Kasus Yogyakarta dan Surabaya 99

-oo0oo-

x I Administrasi Negara; Isu-isu Kontemporer

NI GARAIsu-isu Kontemporer -

:,*I;g&*liiilfi;ffi riiiitur".,r

Selain tema-tema "inti" tersebut, beberapa ilmuwan dalam buku ini menyoroti isu paling hangatdalam satu dasawarsa.terakhir, yakni otonomi provinsi dan kabupaten/kota serta pemekarannya.Tidak ketinggalan ada pula yang peduli pada isu klasik yang masih akan terus relevan, yaknipembangunan atau pemberdayaan masyarakat. Buku ini secara kritis menunjukkan muatanideologis dan kepentingan ekonomis-politis di balik setiap "mantra" ilmiah, dan tentang metodeberpi ki r si stem i k dalam menghadapi setiap masalah negara,

www, rahailmu.co.id

GRAHAILMU&

SOSIAI.-POLITIKrsBN 978-979-755-501-5

ilililtilruilffi

Apa saja yang dipikirkan oleh para ilmuwan administrasi negara di lndonesia pada beberapatahun terakhir? Buku ini merupakan jendela penting untuk menengok perdebatan danperkembangan akademis, setidaknya percikan pemikiran dan renungan intelektual, di kalangan

komunitas ilmiah tersebut. Tema klasik reformasi administrasi negara mendapat sentuhanperspektif mutakhir, termasuk konsep good governance dan electronic governmentl-nance.

Semua "mantra" ini bermuara pada pelayanan publik, yang dibahas secara panjang-lebar dalamempat bab. Sudah tentu manajemen personalia atau kepegawaian juga dibahas, dah terkaitdengan itu adalah persoalan relasiantara birokrasidan politik.

Social Marketing Sebagai Media Public Awareness : Penguatan Partisipasi Masyarakat Sebagai Fungsi Kontrol Dalam Praktek Pelayanan Publik di Era Good Governance

Oleh : Erna Setijaningrum

A. Pelayanan Publik Sebagai Strategi Praktek Good Governance

Konsep Good Governance memandang kekuasaan tidak lagi semata-

mata dimiliki oleh pemerintah, melainkan merupakan networking yang balance,

kolaborasi, work in partnership, dan multi arah (partisipatif) antara pemerintah,

masyarakat sipil, dan pihak swasta. Pemerintah bukan lagi sebagai “the only one

of power” atau sebagai “Leviathan” yang menakutkan, namun lebih memerankan

hubungan yang harmonis dari ketiga unsur tersebut. Masyarakat sipil bukan lagi

sebagai objek penderita atau pihak yang lemah, namun ada public sphere dan

freedom for political participation dimana masyarakat mulai memahami

equilibrium antara hak dan kewajiban. Selain itu, good governance juga

mensyaratkan mekanisme pasar yang sehat melalui pola hubungan kerjasama

yang baik antara swasta, pemerintah dan masyarakat sipil.

Keinginan untuk mewujudkan good governance sering diungkapkan baik

oleh pejabat penyelenggara pemerintah di tingkat pusat maupun daerah.

Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan good governance tersebut dan

strategi apa yang harus dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut

tidaklah mudah karena sejauh ini pengertian konsep good governance sangat

luas tergantung pada konteksnya. Misalnya, dalam konteks pemberantasan

korupsi, good governance diartikan sebagai pemerintahan yang bersih dari

praktek korupsi. Sedangkan dalam konteks demokrastisasi, good governance

diartikan sebagai pemberian ruang partisipasi bagi pihak diluar pemerintahan.

Didalam pengembangan praktek good governance, pemerintah perlu

memikirkan strategi yang paling efektif. Luasnya cakupan persoalan yang

dihadapi, kompleksitas jenis persoalan yang ada serta keterbatasan sumber

daya untuk melakukan praktek good governance, mengharuskan pemerintah jeli

dalam mengambil pilihan yang strategis. Penerapan good governance di

Indonesia tidak bisa dilakukan secara instan mengingat beberapa persoalan

tersebut, namun praktek good governance dapat dilakukan secara bertahap

sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak swasta yang

ada saat ini.

Salah satu pilihan strategis dalam praktek good governance di Indonesia

adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan

mengapa pelayanan publik menjadi pilihan strategis untuk memulai penerapan

good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi arena interaksi

antara pemerintah dengan masyarakat. Bila media ini bisa digunakan secara

optimal oleh pemerintah dengan meningkatkan kualitas layanannya, maka

dampak langsung akan dirasakan oleh masyarakat luas. Keberhasilan

mempraktekkan good governance pada pelayanan publik akan mampu

membangkitkan kepercayaan masyarakat luas bahwa penerapan good

governance bukan hanya sebuah wacana semata, tetapi telah menjadi suatu

kenyataan. Kedua, pelayanan publik adalah arena dimana berbagai aspek good

governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Nilai-nilai yang selama ini

mencirikan praktek good governance seperti efisien, non diskriminatif dan

berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan

mudah dikembangkan parameternya dalam praktek pelayanan publik. Ketiga,

pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak yaitu pemerintah (publik),

masyarakat sipil (civil society), dan pelaku pasar (swasta / privat), yang

semuanya terlibat dalam proses transaksi pelayanan publik. Dengan diawali

perubahan pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat sipil dan para pelaku pasar, upaya melaksanakan good governance

akan memperoleh dukungan dari semua pihak.

Pelayanan publik, menurut SK Men Pan no : 63 /kep/M.PAN/7/2003 yaitu

segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan

publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang undangan. Dr. Lijan Poltak

Sinambela (2006), tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah untuk

memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas

pelayanan yang tercermin dari hal-hal berikut :

1. Transparansi ; pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan

dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan

disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas ; pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan

sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan

yang berlaku.

3. Kondisional ; pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap

berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif ; pelayanan yang dapat mendorong peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan

memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak ; pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi

dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama,

golongan, status sosial, dan laian-lain.

6. Keseimbangan hak dan kewajiban ; pelayanan yang

mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan

penerima pelayanan publik.

Banyaknya kritik yang ditujukan pada kinerja birokrasi publik dalam

memberikan layanan kepada masyarakat semakin gencar terdengar. Rendahnya

pelayanan publik di Indonesia sudah lama menjadi image buruk di masyarakat.

Pelayanan publik menjadi suatu komoditas yang mahal dan hanya bisa dinikmati

oleh orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Birokrasi kita terkenal

sebagai birokrasi yang berbelit-belit dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Bahkan istilah “Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah,

kalau bisa diperlama kenapa dipercepat, kalau bisa dipermahal kenapa

dipermurah” sudah melekat pada birokrasi di Indonesia. Praktek pelayanan

publik yang demikian pada akhirnya akan menandaskan rasa kepercayaan

masyarakat kepada pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara membuat beberapa kriteria pelayanan publik

yang baik, yaitu harus meliputi beberapa hal berikut :

1. Kesederhanaan ; prosedur atau tata cara pelayanan

diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,

mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang

meminta pelayanan.

2. Kejelasan dan kepastian ; adanya kejelasan dan kepastian

mengenai (a) prosedur / tata cara pelayanan, (b) persyaratan

pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan

administrative, (c) unit kerja dan atau pejabat yang berwenang an

bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, (d) rincian biaya

/ tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan (e) jadual

waktu penyelesaian pelayanan.

3. Keamanan ; proses hasil pelayanan dapat memberikan keamanan,

kenyamanan , dan dapat memberikan kepastian hokum bagi

masyarakat.

4. Keterbukaan ; prosedur / tata cara persyaratan, satuan kerja/

pejabat penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian,

rincian waktu / tariff serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses

pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah

diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak

diminta.

5. Efisiensi ; (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal

yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan

dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan

dengan produk pelayanan yang berkaitan. (b) dicegah adanya

pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan

masyarakat yang bersangktan mempersyaratkan adanya

kelengkapan persyaratan dari satuan kerja / instansi pemerintah

lain yang terkait.

6. Ekonomis ; pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara

wajar dengan memperhatikan (a) nilai barang dan jasa pelayanan

masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi diluar

kewajaran, (b) kondisi dan kemampuan masyarakat untuk

membayar, (c) ketentuan peraturan perundang undangan yang

berlaku.

7. Keadilan yang merata ; cakupan / jangkauan pelayanan harus

diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan

diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

8. Ketepatan waktu ; pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat

diselesaikan dalam urun waktu ang telah ditentukan.

9. Kuantitatif ; (a) jumlah warga / masyarakat yang meminta

pelayanan menunjukkan adanya peningkatan, (b) lamanya waktu

pemberian pelayanan masyarakat sesuai dengan permintaan, (c)

penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan

mempermudah pelayanan kepada masyarakat, (d) frekuensi

keluhan dan atau pujian dari masyarakat penerima pelayanan

terhadap pelayanan yang diberikan oleh unit kerja / kantor

pelayanan yang bersangkutan.

Sementara itu, menteri pemberdayaan aparatur negara juga telah menentukan

Jenis Pelayanan Prioritas yang tercantum dalam SK Men PAN no : SE

/10/M.PAN/07/2005, seperti table berikut :

No Sektor Jenis Pelayanan

1 Kependudukan Akte Kelahiran

2 Kepolisian STNK dan BPKB

3 Perindag SIUP

4 Bea Cukai dan Pajak Bea Masuk dan Pelayanan Pajak

5 Kesehatan Rumah Sakit

6 Imigrasi Pasport

7 Perhubungan Ijin Usaha Angkutan

8 Ketenagakerjaan TKI

9 Pertanahan dan Pemukiman Sertifikat Tanah

10 Penanaman Modal PMA dan PMDN

Namun, realitas pelayanan publik masih jauh dari harapan masyarakat.

Kesepuluh sektor prioritas pelayanan publik diatas justru menjadi biang keladi

buruknya kualitas layanan. Banyaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme

masih menjadi daftar urutan teratas kasus buruknya pelayanan publik di

Indonesia. Bagaimana masyarakat dikejutkan adanya korupsi dalam jumlah yang

fantastis di bea cukai, korupsi di Badan Pertanahan, kasus-kasus yang

berhubungan dengan Keimigrasian, buruknya pelayanan kesehatan, dan sulitnya

mengurus perijinan. Semua kasus tersebut menunjukkan bahwa praktek

pelayanan publik merupakan sesuatu yang mahal dan eksklusif – yang tentunya

tidak mungkin terjangkau masyarakat miskin – dan hanya bisa diakses oleh

orang kaya. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pemerintah saat ini untuk

memperbaiki kualitas layanan publik khususnya dalam upaya penerapan good

governance untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

B. Masyarakat Sebagai Fungsi Kontrol dalam Praktek Layanan Publik

Upaya perbaikan di bidang layanan publik sudah berulang kali

digaungkan. Bahkan sudah tak terhitung berapa banyak “rumus jitu” yang

diterapkan untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Mulai dari upaya

memperbaiki kelembagaan dan ketatalaksanaan birokrasi, sampai upaya

mengubah mindset birokrasi menjadi pelayan publik. Terakhir, banyak ahli dari

MSDM yang menganjurkan untuk memperbaiki kualitas birokrasi dengan

peningkatan skills, perbaikan system renumerasi dan system rekruitmen yang

professional. Segala upaya tersebut terkesan tidak ada artinya bila pelayanan

publik yang diterima oleh masyarakat masih jauh dari harapan.

Bila dicermati, upaya yang dilakukan selama ini untuk meningkatkan

kualitas pelayanan publik masih terpusat pada intern birokrasi. Semua upaya

tersebut terlihat masih belum optimal karena belum adanya pelibatan

masyarakat dalam peningkatan kualitas layanan publik. Dalam aturan main good

governance, masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi pada segala kegiatan

pemerintahan. Dalam urusan pelayanan publik, terkesan pemerintah belum

serius melibatkan masyarakat sebagai pemain aktif didalamnya. Bagaimanapun,

untuk mendapatkan bentuk layanan yang berkualitas maka harus ada interaksi

dan partisipasi aktif dari masyarakat. Alasannya, dalam praktek layanan publik

masyarakat berperan sebagai pengguna jasa layanan yang idealnya

mendapatkan layanan sesuai dengan harapan yang diinginkan. Karenanya,

masyarakat harus mendapat kesempatan untuk berperan sebagai pemain aktif

dengan berpartisipasi secara luas.

Secara harfiah, partisipasi berarti keikutsertaan. Berbeda dengan

partisipasi pada jaman orba yang dimaknai sebagai bentuk kerelaan masyarakat

untuk mengorbankan harta, benda, waktu, dan tenaga untuk proses

pembangunan, maka partisipasi pada masa good governance harus dipahami

maknanya secara luas. Dalam konteks partisipasi masyarakat pada pelayanan

publik, partisipasi dipahami sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses

pengambilan kebijakan yang terutama berkaitan dengan bentuk pelayanan yang

berorientasi kepada pelanggan di mana kepentingan, keinginan, harapan dan

tuntutan masyarakat menjadi hal utamanya. Untuk itu, perlu dilakukan suatu

bentuk komunikasi yang baik kepada masyarakat dalam upaya mengoptimalkan

partisipasi berupa dialog atau yang disebut sebagai ruang publik. Di dalam ruang

publik tersebut harus terjadi tindakan komunikasi dua arah yang akan

menghasilkan suatu pemahaman dan penyadaran (awareness). Masyarakat

perlu memahami dan menyadari bahwa buruknya kualitas layanan publik telah

merampas hak mereka sebagai subyek layanan yang harus diutamakan.

Disamping itu, masyarakat juga harus paham peranan yang mereka mainkan

dalam praktek layanan publik dan bagaimana mereka berperan sebagai pemain

yang baik.

Kualitas layanan publik yang diberikan oleh pemerintah akan sebanding

dengan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian,

masyarakat merupakan indikator yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat

kualitas pelayanan publik. Dalam peningkatan kualitas layanan publik, tidak

hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki kelembagaan, ketatalaksanaan, dan

SDM unit kerja pelayanan publik, namun harus mendorong masyarakat untuk

berani protes bila mendapat pelayanan buruk dari aparat. Tentunya, keberanian

protes tersebut tidak dalam bentuk destruktif seperti yang selama ini terjadi.

Agar keberanian masyarakat dalam melakukan fungsi kontrolnya dapat

dilakukan secara arif dan ber-etika, maka perlu diberikan suatu penyadaran

publik (public awareness) agar bisa menjadi masyarakat yang “civil society”.

Masyarakat civil society mensyaratkan adanya kedewasaan dan kematangan

mental masyarakat - yang mengerti hak dan kewajibannya secara berimbang –

dan tidak melakukan tindakan anarkhis dalam mengapresiasikan segala bentuk

aspirasinya. Saat ini, masyarakat kita masih memaknai demokrasi sebagai

bentuk kebebasan (absolut) dalam mengekspresikan kepentingannya yang

seringkali diwujudkan dalam aksi demonstrasi yang lebih mengarah pada

tindakan brutal dan anarkhis. Bila kondisi ini dibiarkan terus menurus, maka

proses good governance tidak akan pernah terwujud di Indonesia.

Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi,

dan memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara

masyarakat dengan pemberi pelayanan terbina secara harmonis. Mendorong

partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar birokrasi sebagai penyelenggara

layanan publik dapat mengenal lebih dekat siapa masyarakat / warganya berikut

masalah yang dihadapi, cara atau jalan keluar yang disarankan, apa yang dapat

disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan lain

sebagainya.

Masalahnya adalah bagaimana menanamkan kesadaran masyarakat

(public awareness) untuk berpartisipasi sebagai pengontrol pada praktek layanan

publik tidaklah mudah. Selama ini masyarakat kita tidak terbiasa berani

menyuarakan protes dan juga tidak ada wadah yang menaungi bila terjadi

diskriminasi dalam pelayanan publik. Perlu proses yang lama dan strategi yang

sesuai untuk hal ini. Selain itu, diperlukan keberanian dan kemauan kuat dari

pemerintah untuk melakukan perubahan.

C. Social Marketing Sebagai Alat Public Awareness

Salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesadaran

publik adalah dengan melakukan social marketing dalam rangka memberikan

pembelajaran “bersikap” pada masyarakat. Social marketing sudah cukup lama

dikenal,namun metode ini baru familiar di jajaran ilmu-ilmu sosial sejak tahun

1970-an. Social Marketing muncul sebagai disiplin ilmu ketika Philip Kotler dan

Gerald Zaltman menyadari bahwa prinsip-prinsip marketing yang biasanya

digunakan untuk menjual produk ke konsumen, ternyata dapat digunakan untuk

“menjual” gagasan yang bisa merubah sikap dan perilaku.

Success story Indonesia dalam pemanfaatan social marketing tercatat

pada dekade 1970-an adalah kampanye Program Keluarga Berencana (KB)

dengan motto ”Dua Anak Cukup, Laki atau Perempuan Sama Saja”. Strategi

social marketing Program KB ini ternyata berhasil mengubah perilaku

(behaviour) masyarakat Indonesia, terutama keluarga muda. Dampak social

marketing Program KB ini dapat dilihat pada dekade berikutnya, yakni pasangan

usia subur tidak lagi berperilaku beranak banyak, bahkan mereka secara suka

rela mendatangi klinik lingkaran biru untuk menjadi akseptor KB. Disamping itu,

banyak pula organisasi nirlaba (seperti, LSM atau Ormas), menggunakan

strategi Social Marketing untuk melakukan kampanye advokasi kebijakan,

kampanye lingkungan, kampanye kesetaraan gender dan hak-hak perempuan,

kampanye HAM, kampanye HIV-AIDS, dan lain-lain.

Social Marketing diterapkan dalam “menjual” gagasan untuk mengubah

pemikiran, sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) masyarakat. Berbeda

dengan perusahaan bisnis yang melakukan pemasaran dengan tujuan untuk

penjualan produk, social marketing dimaksudkan untuk mempengaruhi

perubahan pola pikir, attitude, dan behaviour masyarakat dalam menerima suatu

ide atau program tertentu. Selain berfungsi sebagai public awareness, social

marketing sangat penting untuk membangun pola komunikasi dan interaksi

antara pemerintah dan masyarakat.

Social marketing bukanlah teori yang berdiri sendiri. Pemasaran sosial

merupakan sebuah kerangka yang tersusun atas berbagai pengetahuan lain

seperti teori ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, antropologi dan komunikasi dalam

rangka memahami cara mempengaruhi perilaku masyarakat. Berkaitan dengan

individu yang memiliki berbagai macam karakter dan kompleksnya

permasalahan yang dihadapi mengharuskan proses social marketing melibatkan

berbagai disiplin ilmu tersebut bergabung untuk saling melengkapi.

Seperti pada pemasaran bisnis, social marketing juga mengacu pada

dasar-dasar pemasaran yang disingkat 4P (product, price, place, dan promotion)

Dalam proses social marketing 4P tersebut dimodifikasi sebagai berikut :

1. Product ; produk yang dijual dalam social marketing bukan berupa

barang, namun berupa ide / pemikiran.

2. Price ; lebih merujuk pada apa yang dikeluarkan oleh masyarakat

untuk menerima ide yang ditawarkan. Harga ini tidak selalu diukur

dengan uang, misal waktu dan tenaga yang dikeluarkan, pikiran, atau

biaya social lain yang digunakan untuk memaknai sebuah pesan. Bila

“harga” yang ditanggung oleh individu dirasa sangat berat, maka kadar

penerimaan terhadap suatu ide yang ditawarkan akan rendah

3. Place ; merupakan jalan suatu ide sampai ke masyarakat. Tempat

yang digunakan disesuaikan dengan target audience dan bagaimana

mereka bisa dengan mudah menjangkau informasi. Lokasi bisa berupa

ruang terbuka, demonstrasi di rumah, kantor pemerintahan, pusat

perbelanjaan, dan lain-lain.

4. Promotion ; merupakan penggunaan advertising, public relation,media

advocacy, dan entertainment vehicle. Alat dan media promosi yang

digunakan bisa berupa media massa, radio, media elektronik televisi

dan internet, poster, pelatihan dan advokasi dan lain sebagainya.

Seperti diungkapkan Kotler, penerapan pemasaran sosial jauh lebih sulit

dibandingkan pemasaran bisnis, karena melibatkan berbagai karakter manusia.

Oleh karena itu, palaksana harus cermat dalam membuat perencanaan dalam

transaksi social marketing. Perbedaan prinsip dasar-dasar marketing tersebut

harus ditambah lagi dengan “2 P” yaitu, partnership (kemitraan) dan policy

(kebijakan). Praktek pemasaran sosial tak ada artinya apabila kemitraan antara

pemerintah dengan masyarakat tidak dikuatkan. Ini adalah alat yang

memudahkan proses social marketing terutama dalam mempertajam, menggali

dan menganalisa secara komprehensif isu-isu sosial dalam masyarakat yang

selanjutnya dinamika dan perubahan sosial akan mudah dipahami dan dikaji.

Menurut Andreason, hal ini karena penekanan social marketing adalah pada

masyarakat luas, langsung mempengaruhi perilaku dan kebutuhan atau

kepentingan target sasaran sebagai dasar pertimbangan. Demikian pula, social

marketing tak ada artinya apabila tidak diikuti atau dilanjutkan dengan upaya

mendorong tersusunnya suatu kebijakan.

Menurut Emil Salim, proses social marketing ada 6 tahap berikut :

1. Terapkan SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threath) pada

kondisi awal

2. Pilih kelompok sasaran yang perilakunya hendak diubah

3. Tetapkan perubahan perilaku yang diharapkan

4. Identifikasi manfaat atau hambatan dalam mengubah perilaku

5. Terapkan strategi social marketing yang sesuai untuk mengatasi masalah

yang ada

6. Perubahan perilaku memerlukan “waktu tempuh” , sehingga strategi social

marketing harus bisa diukur dari waktu ke waktu.

Merujuk tahapan dari Emil Salim tersebut, social marketing dalam scope usaha

untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) agar mau

secara aktif menjalankan fungsi kontrolnya dalam praktek layanan publik secara

arif dan beretika memerlukan kecermatan dan pematangan dalam perencanaan

awal. Kesalahan pada tahap ini akan mempengaruhi efektifitas hasil yang

diharapkan. Penentuan kelompok sasaran misalnya, berkaitan erat dengan

strategi social marketing yang meliputi alat dan media yang akan diterapkan.

Sebagai contoh, untuk layanan bidang kesehatan, masyarakat kelas menengah

ke bawah dianggap sebagai kelompok sasaran karena mereka inilah yang

biasanya mengalami diskriminasi pelayanan. Media yang sesuai adalah

penggunaan televisi, radio, atau komunikasi langsung. Penggunaan bahasa

yang lugas dan sederhana juga menjadi pertimbangan yang perlu menjadi

perhatian. Sedangkan untuk bea cukai dan penanaman modal misalnya,

masyarakat kelas ataslah yang dianggap menjadi kelompok sasaran.

Penggunaan media cetak atau internet mungkin akan efektif sebagai bentuk

komunikasi. Kesemua cara yang diambil tersebut harus diawali dengan riset

dasar pada analisis SWOT dari jenis layanan publik yang akan di – treatment.

Andreasen menambahkan bahwa efektifitas social marketing harus diawali

dengan memahami kebutuhan, keinginan, dan persepsi masyarakat.

Bila rangkaian proses social marketing ini bisa berhasil, tujuan public

awareness agar menjalankan fungsi kontrolnya dalam praktek pelayanan publik

akan bisa menghilangkan citra buruk dunia pelayanan publik kita. Inovasi-inovasi

dalam praktek layanan publik akan bermunculan yang diiringi dengan terciptanya

hubungan yang harmonis antara pemerintah sebagai penyelenggara layanan

publik dan masyarakat sebagai pengguna layanan publik.

D. Penutup

Diawali dengan kemauan kuat dari pemerintah untuk memberikan

pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka pengembangan praktek

good governance, maka tidak mustahil kepercayaan masyarakat kepada

pemerintah akan meningkat. Reformasi pelayanan publik secara inward looking

– perbaikan intern birokrasi – yang ternyata masih belum mampu menyelesaikan

masalah pelayanan publik perlu dikaji untuk dilakukan upaya lain. Masyarakat,

yang selama ini diabaikan perlu dilibatkan karena pelayanan publik pada

dasarnya merupakan ranah interaksi antara pemerintah dan masyarakat.

Penguatan partisipasi masyarakat sebagai fungsi kontrol menjadi harapan baru

dalam reformasi pelayanan publik. Tentunya, partisipasi aktif tersebut perlu ditata

dengan apik melalui rambu-rambu tertentu agar cara penyampaiannya tidak

dalam bentuk destruktif. Oleh karenanya diperlukan public awareness agar

masyarakat menyadari hak sekaligus kewajibannya dalam praktek pelayanan

publik. Strategi social marketing diyakini bisa mengubah pola pikir, sikap dan

perilaku masyarakat dalam memaknai arti partisipasi secara benar dan baik,

yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kualitas layanan publik

yang sesuai dengan harapan dan sekaligus teraplikasikannya good governance.

Bahan Pustaka :

Berry, Leonard. L., A. Parasuraman., Marketing Services: Competing Through Quality, 1th ed. New York: The Free Press, 1991

Andreasen, Alan A, Marketing Social Change, Jossey-Bass Inc, New York, 1995

Bintoro Tjokroamidjojo, Good Governance (Paradigma baru administrasi pembangunan), 2006, Artikel

Kotler, Philip, Social Marketing, Sage Publications,Inc,Second edition, 2002

Parasuraman, A., Valarie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for Future Research, Journal Marketing.

Sinambela, Lijan Poltak,Dr , Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.

“Organisasi Nirlaba dan Social Marketing”, Prof. Dr. Emil Salim, Makalah, 2006

“The Seven Doors Social Marketing Approach” Les Robinson, Paper, 2006

http://www..governance-indonesia.com. Diakses 4 Juni 2008 http://www.kompak.com. Diakses 4 Juni 2008 http://www.ibl.or.id. Diakses 3 Mei 2008 http://www.ipcos.or.id. Diakses 10 Mei 2008