MOG7462-986e3986a3fullabstract.pdf - Journal Unair

12
1 / 3

Transcript of MOG7462-986e3986a3fullabstract.pdf - Journal Unair

1 / 3

Table of Contents

No. Title Page

1 Perbandingan Kadar Inhibin A Serum dan Plasenta serta Ekspresi Inhibin APlasenta antara Kehamilan Preeklampsi Berat/Eklampsi dan Kehamilan Normal

88 - 93

2 Peningkatan Ekspresi L-Type Calcium Channel dan Calcium Intraseluler padaMiosit Uterus Kelinci New Zealand (Pasca Persalinan Sesar) setelah DilakukanPenjahitan Kompresi Metode Surabaya sebagai Model Penanganan PerdarahanPasca Salin

94 - 101

3 Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi OnkologiGinekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo

102 - 110

4 Pengaruh Pemberian Pamflet Persalinan terhadap Tingkat Pengetahuan danTingkat Kecemasan Ibu Hamil

111 - 116

5 Comparison of P16INK4a Expression between Low Grade SquamousIntraepithelial Lesion and High Grade Squamous Intraepithelial Lesion fromLEEP/Biopsy Specimens

117 - 121

6 Korelasi antara HOMA-IR Ibu Saat Hamil Trimester Tiga dengan Luaran Neonatalpada Diabetes Mellitus Gestasional

122 - 126

7 Peran TAP dan LMP dalam MHC 127 - 130

2 / 3

Vol. 20 - No. 3 / 2012-09TOC : 3, and page : 102 - 110

Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi,RSUD Dr. Soetomo

Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi,RSUD Dr. Soetomo

Author :Cucuk Santoso | [email protected] KedokteranH. Suhatno | -Fakultas KedokteranDyah Fauziah | -Fakultas Kedokteran

Abstract

Kanker ovarium adalah keganasan ginekologi terbanyak kedua pada wanita. Belum ada metode skrining efektif untukkanker ovarium. 70% kasus ditemukan pada stadium akhir. Sarkoma ovarium memiliki perkembangan yang cepat danprognosis yang paling buruk, oleh karena itu manajemen skrining, diagnostik dan terapi yang efektif sangat sulitdicapai.Presentasi kasus: Wanita usia 49 tahun didagnosis dengan fibrosarkoma ovarium. Ia menjalani kistektomi di RSlain sebelum dirujuk ke RSUD dr. Soetomo. Ia menjalani kemoterapi Cyclophosphamide-Doxorubicine-Actinomycin-Dnamun pada evaluasi terjadi peningkatan ukuran massa tumor lalu diputuskan untuk dilakukan prosedur suboptimaldebulking dilanjutkan dengan kemoterapi dengan rejimen MAID. Sayangnya rejimen ini tidak ditanggung dalam asuransisehingga tim onkologi mengganti dengan doxorubicine and cyclophosphamid. Evaluasi dengan MRI menunjukkanpeningkatan ukuran tumor, lalu tim onkologi melanjutkan dengan radioterapi paliatif. Kesimpulan:Pada sarkoma ovarial,pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia untuk menentukan diagnosis dan manajemen. Terapi utama untuksarkoma ovarium adalah pembedahan karena reduksi tumor yang optimal dapat meningkatkan efektivitas kemoterapi.Pemberian kemoterapi neoajuvan masih kontroversial karena terapat penurunan survival rate pasien namun terjadipeningkatan progression free survival rate. (MOG 2012;20:102-110)

Keyword : sarkoma, ovarium, fibrosarkoma, ovarium, MAID, kemoterapi, ajuvan, -,

Daftar Pustaka :1. Gari A, Souhami L, Arseneau J dan Stanimir G, (2006). Primary malignant mesodermal ovarian sarcomas. - : Int. J.Gynecol2. Larma J dan Gardner GJ, (2007). Ovarian cancer, dalam The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics .USA : Lippincott Williams & Wilkins

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

3 / 3

Santoso et al.: Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi

102

Laporan Kasus: Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo Cucuk Santoso1, H. Suhatno1, Dyah Fauziah2 1Departemen Obstetri dan Ginekologi 2Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo, Surabaya ABSTRAK

Kanker ovarium adalah keganasan ginekologi terbanyak kedua pada wanita. Belum ada metode skrining efektif untuk kanker

ovarium. 70% kasus ditemukan pada stadium akhir. Sarkoma ovarium memiliki perkembangan yang cepat dan prognosis yang

paling buruk, oleh karena itu manajemen skrining, diagnostik dan terapi yang efektif sangat sulit dicapai.Presentasi kasus: Wanita

usia 49 tahun didagnosis dengan fibrosarkoma ovarium. Ia menjalani kistektomi di RS lain sebelum dirujuk ke RSUD dr. Soetomo.

Ia menjalani kemoterapi Cyclophosphamide-Doxorubicine-Actinomycin-D namun pada evaluasi terjadi peningkatan ukuran massa

tumor lalu diputuskan untuk dilakukan prosedur suboptimal debulking dilanjutkan dengan kemoterapi dengan rejimen MAID.

Sayangnya rejimen ini tidak ditanggung dalam asuransi sehingga tim onkologi mengganti dengan doxorubicine and

cyclophosphamid. Evaluasi dengan MRI menunjukkan peningkatan ukuran tumor, lalu tim onkologi melanjutkan dengan radioterapi

paliatif. Kesimpulan:Pada sarkoma ovarial, pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia untuk menentukan diagnosis dan

manajemen. Terapi utama untuk sarkoma ovarium adalah pembedahan karena reduksi tumor yang optimal dapat meningkatkan

efektivitas kemoterapi. Pemberian kemoterapi neoajuvan masih kontroversial karena terapat penurunan survival rate pasien namun

terjadi peningkatan progression free survival rate. (MOG 2012;20:102-110)

Kata kunci:sarkoma ovarium, fibrosarkoma ovarium, MAID, kemoterapi ajuvan

ABSTRACT

Ovarial cancer is the second most of the gynecology malignancy in women, There hasn’t been any efective screening methods for

ovarial cancer. 70% of the cases were found on the late stage. Ovarial sarcoma has rapid progression and the poorest prognosis,

therefor effective screening, diagnostic and therapy management is quite difficult to achieve. Case presentation: 49 years old woman

was diagnosed with ovarial fibrosarcoma. She had a cystectomy in another hospital before she was admitted to dr. Soetomo hospital.

She got Cyclophosphamide-Doxorubicine-Actinomycin-D chemotherapy but there was an increase in tumor size then it was decided

to do suboptimal debulking procedure followed with chemotherapy using MAID regiment.Unfortunately, the regiment wasn’t covered

by the insurance, so the oncology team switched to doxorubicine and cyclophosphamid. An MRI evaluation showed the increase of

tumor size, then the oncology team decide to do paliative radiotherapy. In conclusion: In ovarial sarcoma, histopathology and

immunohistochemistry examination are needed to determine the diagnosis and the management. The main therapy of ovarial

sarcoma is still surgery because an optimal tumor reduction can increase the chemotherapy effectiveness. Neoadjuvant

chemotherapy administration is still controversial because it shows failure of patient survival but there’s an increase in progression

free survival rate. (MOG 2012;20:102-110)

Keywords: ovarian sarcoma, ovarian fibrosarcoma, MAID, adjuvant chemotherapy

Correspondence: Divisi Ginekologi Onkologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,

RSUD Dr Soetomo, Surabaya, [email protected], [email protected]

PENDAHULUAN

Kanker ovarium menempati urutan kedua setelah kanker

serviks pada keganasan ginekologi wanita. Kanker

ovarium terjadi sebanyak 3% dari seluruh keganasan

pada wanita dan menjadi penyebab kematian nomor

lima akibat kanker pada wanita di Amerika Serikat.1,2

Di

Amerika Serikat pada tahun 2003 terdapat per-

tumbuhan jumlah kasus baru sekitar 25.400 kasus baru

setiap tahunnya. Angka kematian akibat kanker ovarium

berkisar 14.300 wanita pada tahun 2003 di Amerika

Serikat. Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di

bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan

makin tuanya usia; dari 15-16 per 100.000 pada usia 40-

44 tahun, menjadi paling tinggi dengan angka 57 per

100.000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat

diagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia

diatas 65 tahun.

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 20 No. 3 September – Desember 2012: 102-110

103

Tumor ovarium ganas sebagian besar berasal dari sel

epitel, dapat pula berasal dari sel-sel lain yang terdapat

dalam ovarium itu sendiri. Misalnya tumor yang berasal

dari sel germinal dikenal dengan germ cell tumor, antara

lain dysgerminoma dan teratoma; tumor yang berasal

dari sel folikel dikenal dengan sex-cord stromal tumor,

tersering adalah granulose cell tumor; sel yang berasal

dari stroma ovarium dikenal dengan sarkoma (misalnya

fibrosarkoma ovarium). Belum ada metode skrining

yang efektif untuk kanker ovarium, 70% kasus

ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni

setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium.

Neoplasma ovarium pada umumnya dibagi menjadi

beberapa golongan, antara lain epithelial tumor, germ

cell tumor, sex cord stromal tumor, tumor sel lipid,

sarkoma dan tumor metastasis.3,4

Seperti telah diketahui

bersama bahwa sarcoma genetalia wanita merupakan

tumor yang sangat jarang. Angka kejadian sarkoma

genetalia wanita berkisar 5% dari seluruh keganasan

ginekologi.5

Sarkoma ovarium merupakan tumor yang jarang dan

memiliki prognosis yang sangat buruk.6 Akibatnya

sangat sedikit data-data dan pengalaman klinis terkait

pengobatan terhadap wanita yang menderita sarkoma

ovarium dan kebanyakan pengobatan dengan berbagai

klaim keberhasilan itu hanya berdasarkan laporan kasus

dengan jumlah sedikit dan dapat digolongkan sebagai

anekdot belaka.5

Jarangnya kasus tersebut serta belum

ada terapi yang efektif tentunya akan membuat hal ini

menjadi sangat menarik untuk dibahas.

Stadium sarkoma ovarium mengikuti acuan FIGO

layaknya kanker ovarium lainnya. Secara umum terapi

kanker ovarium meliputi operasi, kemoterapi, radiasi,

dan terapi biologi serta imunologi.7,8

Terapi sarkoma

ovarium lebih sulit daripada kanker ovarium pada

umumnya. Sarcoma ovarium memiliki pola pertumbuh-

an yang serupa dengan kanker ovarium pada umumnya

tetapi memiliki prognosis yang sangat buruk. Hal ini

disebabkan oleh karena sarkoma tidak sensitif terhadap

radiasi maupun kemoterapi.9,5

Hingga saat ini terapi

utamanya adalah operasi terutama pada stadium awal.9,5

Sangat sedikit bukti yang mendukung terapi adjuvant

pada sarkoma ovarium stadium lanjut atau yang telah

bermetastasis. Tetapi terdapat beberapa rekomendasi

terhadap pemberian kemoterapi adjuvant pasca operasi.5

Dalam hal mendiagnosis pasien secara klinis me-

nunjukkan bahwa ternyata sangat sulit membedakan

sarkoma ovarium dengan neoplasma ovarium lainnya

karena presentasinya sangat mirip.10

Sarkoma ovarium merupakan tumor yang progresif

sebab pertumbuhannya sangat cepat sehingga seringkali

ditemukan dalam stadium lanjut bahkan telah

bermetastasis. Bahkan sarcoma ovarium ini seringkali

ditemukan saat pemeriksaan rutin ginekologi oleh

karena tidak terdapat gejala yang spesifik.11

Factor-

faktor yang mempengaruhi prognosis sarkoma hingga

saat ini belum diketahui. Beberapa ahli berpendapat

bahwa tipe sel yang menyusun suatu sarcoma tidak

mempengaruhi prognosisnya.12

Kebanyakan pasien

meninggal dalam waktu 2 tahun setelah diagnosis di-

tegakkan.6

Beberapa hal yang mendasari kesulitan dalam diagnosis

dan terapi serta menentukan factor-faktor yang berperan

dalam menentukan prognosis adalah informasi yang

didapatkan untuk kasus-kasus sarkoma ovarium hanya

didapatkan dari sedikit laporan kasus dan rangkaian

penelitian yang sangat terbatas jumlahnya. Jumlah kasus

yang sangat sedikit menyebabkan pengalaman peng-

obatan sarkoma sangat terbatas sehingga belum ada

terapi yang optimal untuk pengobatan sarkoma ovarium

sampai saat ini.11

Interpretasi hasil pemeriksaan histo-

patologi dapat membantu untuk menetapkan manajemn

klinik terbaik bagi pasien sarcoma ovarium. Secara

keseluruhan, pasien yang menderita kanker ovarium

memiliki prognosis yang buruk. Belum ada metode

skrining yang efektif untuk kanker ovarium.4

KASUS

Dalam laporan kasus ini kami akan melaporkan satu

kasus sarkoma ovarium jenis fibrosarkoma yang dirawat

di Ruang Kandungan, Departemen Obstetri Ginekologi,

RSUD Dr. Soetomo pada bulan November 2008. Pada

kasus fibrosarkoma ovarium yang diderita oleh pasien

(Ny. Suti/ 49 tahun) terdapat beberapa permasalahan

yaitu kasus sangat jarang dan diagnosis yang sulit. Sulit

membedakan sarkoma ovarium pada umumnya dengan

kebanyakan tumor ovarium lainnya, begitu pula mem-

bedakan fibroma ovarium, leiomyosarkoma, dan

fibrosarkoma ovarium juga sangat sulit dan menjadi

problematika tersendiri. Pada kasus-kasus sarkoma

ovarium belum terdapat modalitas terapi yang efektif.

Keterbatasan jumlah kasus sarkoma ovarium (kasus

sangat jarang) menyebabkan sulit untuk menentukan

modalitas terapi yang tepat untuk memperbaiki survival

pasien.

Pasien telah diberikan kemoterapi Cyclophosphamide-

Doxorubicine-Actinomycin-D dua seri tetapi tidak

menunjukkan hasil yang memuaskan (ukuran tumor

cenderung membesar). Sarkoma tidak sensitif terhadap

kemoterapi maupun radiasi. Terapi utama hingga saat

ini operasi tetapi operasi tidak dapat mencegah terjadi-

nya rekurensi. Pasien telah menjalani operasi untuk

Santoso et al.: Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi

104

kedua kalinya tetapi tidak bisa mengangkat massa tumor

seluruhnya (sub-optimal debulking).

Pasien memiliki prognosis yang buruk. Pasien dengan

kanker ovarium secara keseluruhan memiliki prognosis

yang buruk. Pertumbuhan tumor cepat (progresif), dan

belum diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi

prognosis. Selain itu, masalah yang dihadapi pasien

adalah status sosial ekonomi yang rendah, sedangkan

obat-obatan kemoterapi dan beberapa pemeriksaan

penunjang yang tersedia di RS Dr. Soetomo belum

semuanya dalam pertanggungan JPS (Jaring Pengaman

Sosial).

TATA LAKSANA KASUS

Tampilan fisik sarkoma ovarium tidak bisa dibedakan

dari tumor ovarium lainnya terutama tipe epitelial.

Untuk membedakannya harus melalui pemeriksaan

histopatologi, pemeriksaannya pun sangat sulit. Walau-

pun pemeriksaan klinis yang cermat oleh dokter ahli

ginekologi onkologi memegang peranan penting dalam

upaya mendiagnosis tumor ovarium, dokter ahli radio-

logi masih memiliki peranan dalam melakukan identifi-

kasi memakai imaging untuk membantu mengarahkan

diagnosis. Hal ini disebabkan ultrasonography (USG)

dan CT scan dapat digunakan untuk mengindentifikasi

adanya extraovarian tumor dan metastasis.5

Beberapa laporan penelitian berusaha menentukan peran

diagnostic imaging MRI dalam hal menunjang

diagnosis sarkoma ovarium. Wang et al. menyatakan

bahwa malignant mixed mesodermal tumor (MMMT)

ovarium dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan MRI

dengan tanda-tanda massa heterogen dengan komponen

solid dan kistik. Daerah solid menunjukkan intensitas

sinyal yang relative tinggi dan hanya sedikit

enhancement setelah pemeberian injeksi bahan kontras.

Tetapi Saito et al. menyatakan bahwa diagnosis sarkoma

ovarium hanya bisa diduga apabila terdapat tanda

spesifik berupa elemen chondromatous.5

Terdapat kemiripan hasil pemeriksaan imaging canggih

di RSUD Dr. Soetomo yaitu dari hasil CT scan

didapatkan massa solid kistik dengan kalsifikasi dan

tampak sedikit peningkatan intensitas sinyal dari 39,6

HU menjadi 54,2 HU. Saito et al. menyatakan terdapat

peranan MRI dalam hal evaluasi respon terapi sistemik

pada pengobatan MMMT.5

Di RSUD Dr. Soetomo dilakukan pemeriksaan MRI

pre-kemoterapi dan pasca kemoterapi untuk menilai

respon sarkoma ovarium terhadap pemberian

kemoterapi MAID. MRI pasca kemoterapi MAID

tersebut digunakan sebagai salah satu dasar oleh tim

ginekologi onkologi untuk menghentikan kemoterapi

dan melanjutkan pasien dengan radiasi paliatif. Pada

kasus fibrosarkoma ovarium ini sangat sulit mem-

bedakannya dengan fibroma ovarium. Hal ini dikarena-

kan sel-sel yang menyusun fibroma ovarium dapat pula

menyusun fibrosarkoma ovarium. Yang dapat mem-

bedakannya adalah penilaian aktivitas mitosisnya.

Dari hasil pemeriksaan PA tersebut ternyata tumor ini

memiliki aktivitas mitosis 10/10 HPF. Lagi pula

terdapat sel-sel spindle yang hiperkromatik dan nukleus

pleomorfik. Semuanya memperkuat dasar diagnosis PA

yaitu fibrosarkoma. Pemeriksaan imunohistokimia me-

nunjukkan bahwa vimentin positif dan desmin negatif;

hal ini menyokong diagnosis fibrosarkoma.13

Seperti diketahui bahwa belum ada modalitas terapi

yang optimal pada kasus sarkoma ovarium. Sebagian

besar laporan kasus mengenai keberhasilan maupun

kegagalan terapi pada sarkoma ovarium hanya memiliki

sedikit kasus.14

Hingga saat ini belum ada rekomendasi

yang dikeluarkan oleh International Oncologic Associa-

tion untuk pengobatan sarkoma ovarium. Rekomendasi

terapi sarkoma jaringan lunak adalah operasi dengan/

tanpa kemoterapi ajuvan maupun radiasi.6 Terapi yang

direkomendasikan untuk sarkoma ovarium adalah

debulking surgery diikuti dengan kemoterapi adjuvant.1

Operasi terhadap tumor ganas ovarium ini telah

dilakukan di RS Baptis Kediri pada tahun 2007, tetapi

kemudian terjadi rekurensi. Tetapi patut menjadi

pertanyaan pula apakah operasi di RS Baptis dilakukan

dengan atomical view yang adekuat karena dari hasil

laporan operasi dilaporkan bahwa ureter sulit di-

identifikasi. Hasil laporan operasi dan konfirmasi

dengan SpOG RS Baptis menggambarkan kesulitan

operasi yang cukup tinggi sehingga optimalisasi

pembedahan masih perlu dilakukan di RSUD Dr.

Soetomo. Bila ternyata operasi tidak optimal maka

kemunginan rekurensi tumor akan semakin besar.

Rekurensi sarkoma ovarium setelah operasi di RS baptis

membuktikan bahwa operasi tidak dapat mencegah

terjadinya rekurensi tumor pada kasus sarkoma

ovarium.14

Pada kasus ini di RSUD Dr. Soetomo diputuskan untuk

melakukan operasi ulang pada pasien tersebut dilandas-

kan tidak hanya pada rekomendasi terapi pada sarcoma

ovarium yaitu debulking surgery dan kemo-terapi tetapi

juga sebagian besar ahli menganjurkan bahwa pada

wanita yang diketahui secara histopatologi menderita

sarkoma ovarium maka terapi operasi minimal harus

meliputi total abdominal histerektomi dan bilateral

ooforektomi.5

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 20 No. 3 September – Desember 2012: 102-110

105

Hal ini disebabkan di RS Baptis operasi tidak dilakukan

oleh ahli ginekologi onkologi yaitu operasi tidak

optimal oleh karena dilaporkan hanya mengangkat

tumor ovarium kiri saja. Besarnya massa tumor akan

mempengaruhi efektifitas kemoterapi dimana akan

semakin banyak sel kanker yang berada dalam kondisi

tidak aktif. Tindakan debulking akan menyebabkan

berkurangnya massa tumor sehingga sel-sel kanker yang

berada dalam fase istirahat akan kembali memasuki

siklus sel (aktif) dimana sel-sel dalam fase aktif ini

sensitif terhadap kemoterapi.14

Penelitian mengenai pemberian radiasi sebelum operasi

pada extremity soft tissue sarcoma yang dilakukan di St.

Vincent’s Hospital dan Peter MacCallum Cancer

Institute, Victoria, Australia, melaporkan bahwa

pemberian radiasi sebelum operasi tidak meningkatkan

komplikasi luka operasi yang berkepanjangan ataupun

amputasi sehingga pre-operative radiotherapy dapat

diberikan pada penderita soft tissue sarcoma. Dasar

penelitian tersebut adalah pemberian kombinasi operasi

dan radiasi akan dapat meningkatkan efektifitas local

control pada pasien soft tissue sarcoma. Saat yang tepat

untuk memberikan radiasi (sebelum atau setelah

operasi) masih menjadi perdebatan hingga saat ini.15

Bujiko et al. melaporkan terjadinya komplikasi luka

operasi hingga 42% pada 59 pasien yang mendapatkan

radiasi preoperatif. Pesat et al. melaporkan kejadian

komplikasi luka operasi sebesar 28% pasien dari total

56 pasien yang mendapatkan radiasi preoperatif .15

Walaupun penelitian mengenai pemberian radiasi

sebelum operasi pada extremity soft tissue sarcoma

telah dilakukan, tetapi ide pemberian radiasi neoajuvan

sebelum operasi pada sarkoma ovarium masih belum

ada.

Tujuan dilakukannya operasi ulang di RSUD Dr.

Soetomo adalah untuk optimalisasi pembedahan dan

dilanjutkan dengan rekomendasi yang dianjurkan

hingga saat ini yaitu mesna, epirubicine, ifosfamide, dan

dacarbazine (MAID). Saat itu tidak semua tumor bisa

diangkat dikarenakan perlekatan hebat dengan organ

sekitar dan secara anatomical view tidak memungkin-

kan. Oleh karena hanya bisa dilakukan suboptimal

debulking maka tentu saja akan berpengaruh terhadap

prognosis.16

Dari penelitian yang dilakukan oleh Sood et al.

mengenai peranan operasi sitoreduksi (debulking) pada

47 wanita yang menderita sarkoma ovarium yang telah

meluas ke luar ovarium disimpulkan bahwa dari analisis

multivariat operasi sitoreduksi yang optimal merupakan

variabel prognosis yang paling signifikan. Sood et al.

melakukan penelitian pada pasien stadium lanjut dengan

5 years survival rate mencapai 45% pada pasien dengan

optimal debulking dan 8% pada pasien dengan

suboptimal debulking.5

Tim ginekologi onkologi melakukan reopen/

optimalisasi pembedahan dikarenakan ukuran massa

tumor yang besar berarti banyak sel tumor yang berada

dalam kondisi hipoksik sehingga tidak memungkinkan

untuk dilakukan radiasi oleh karena sel tumor hipoksik

tidak sensitif terhadap radiasi. Pemberian radiasi

sebelum operasi berhubungan dengan peningkatan

komplikasi luka operasi yang lebih tinggi daripada

pasca operasi. Hal ini diperkuat dengan penelitian

randomized controlled trial (RCT) yang menyatakan

bahwa terdapat peningkatan komplikasi luka operasi

pada pasien yang mendapatkan radiasi pre-operatif

dibandingkan radiasi pasca operasi. Tetapi perlu diingat

bahwa banyak sekali faktor-faktor yang menentukan

terjadinya komplikasi luka operasi yaitu umur, lokasi

tumor, ukuran tumor dan besar irisan operasi.15

Pasien dengan sarkoma ovarium rekurens merupakan

kandidat yang tepat untuk pemberian kemoterapi

walaupun hanya sedikit kasus saja yang dilaporkan

memiliki efek yang baik.17

Dari hasil tumor board I di

divisi ginekologi-onkologi diputuskan untuk mem-

berikan kemoterapi cyclophosphamide-doxorubicine-

actinomycin-D sebanyak 2 seri kemudian akan

dievaluasi ulang. Pada tumor board I tidak merekomen-

dasikan pemberian radiasi pasca operasi dikarenakan

tim gineokologi onkologi hanya bisa melakukan

suboptimal debulking dimana masih massa tumor masih

berukuran besar dimana pada tumor yang besar terdapat

banyak sel-sel tumor yang berada dalam kondisi

hipoksik sehingga tidak akan sensitif terhadap radiasi

ditambah pula sarkoma tidak sensitif terhadap radiasi.

Dasar pemilihan rejimen kemoterapi tersebut adalah

mengikuti rekomendasi kemoterapi MAID yang

dilaporkan memberikan hasil yang baik terhadap

survival pasien. Rejimen kemoterapi MAID tersebut

antara lain epirubicine 20 mg/m2 pada hari ke-1 s/d 3,

Ifosfamide 2,5 mg/m2 pada hari ke-1 s/d 3.6 Didahului

dengan pemberian mesna untuk mencegah iritasi pada

buli-buli dan DTIC/ dacarbazine 30mg/m2 pada hari ke-

1 s/d 3.

Terdapat kendala ketersediaan obat kemoterapi yang

ditanggung oleh Jaring Pengaman Sosial (JPS) saat itu

sehingga diputuskan pemberian dengan golongan

rejimen terapi yang sama dan disesuaikan dengan apa

yang menjadi tertanggung JPS. Dalam daftar obat yang

ada dalam cakupan JPS (Jaring Pengaman Sosial),

ternyata obat-obatan dalam rejimen MAID tersebut

tidak termasuk dalam tanggungan JPS sehingga

diputuskan mengganti dengan obat-obatan kemoterapi

Santoso et al.: Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi

106

yang digunakan pada pengobatan sarkoma dan masuk

dalam tanggungan JPS.

Cyclophosphamide termasuk dalam golongan alkylating

agent yang bekerja pada DNA dengan menyebabkan

terjadinya gangguan formasi atau kode molekul DNA

sel tumor. Akibatnya sel tumor yang terpapar dapat

mengalami kematian. Doxorubicine dan actinomycin-D

termasuk dalam golongan antibiotik yang bekerja pada

semua siklus sel. Doxorubicine bekerja, terutama pada

fase S dan G2, dengan menghambat replikasi DNA,

transkripsi RNA dan menyebabkan gangguan replikasi

DNA. Actinomycin D bekerja, terutama pada fase G1

dan S, dengan menghambat sintesis DNA dan RNA.18

Morrow et al. melaporkan hasil penelitian dari GOG

(The Gynecologic Oncology Group) bahwa 2 dari 6

pasien yang diterapi dengan doxorubicine dan cyclo-

phosphamide tetap hidup hingga 11 bulan kemudian.11

Doxorubicine memiliki efek yang baik terhadap pure

sarcoma.17

Dari hasil meta-analisis dinyatakan bahwa

pemberian doxorubicine berhubungan dengan adanya

peningkatan yang signifikan pada recurrence free

survival, distant relaps free interval, walaupun tidak

terdapat peningkatan terhadap survival pasien secara

keseluruhan.9

Dengan dua seri pemberian kemoterapi tersebut ternyata

tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hasil

pemeriksaan MRI 1½T yang dilakukan dua kali yaitu

sebelum dan sesudah kemoterapi untuk menilai

efektifitas kemoterapi yang diberikan ternyata me-

nunjukkan ukuran tumor makin membesar. Dari hasil

diskusi tumor board II dinyatakan bahwa bila dengan

dua kali pemberian kemoterapi yang adekuat tidak ada

perbaikan maka pemberian kemoterapi dihentikan oleh

karena tidak terbukti bermanfaat bagi pengobatan

pasien. Dari hasil tumor board II tersebut diputuskan

pasien diterapi radiasi paliatif.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia masih

rendah sehingga walaupun pengobatan dibiayai oleh

negara tetapi untuk biaya hidup selama pasien menjalani

pengobatan tidak ditanggung oleh negara. Hal ini akan

berpengaruh terhadap kepatuhan pasien dalam berobat

sebab pasien harus bekerja dulu untuk mengumpulkan

dana (juga menunggu kiriman uang dari anaknya yang

bekerja di Malaysia) untuk membiayai keperluan sehari-

hari selama menjalani pengobatan sehingga operasi

tertunda lama.

PEMBAHASAN

Tampilan fisik sarkoma ovarium tidak bisa dibedakan

dari tumor ovarium lainnya terutama tipe epitelial.

Untuk membedakannya harus melalui pemeriksaan

histopatologi, pemeriksaannya pun sangat sulit.

Walaupun pemeriksaan klinis yang cermat oleh dokter

ahli ginekologi onkologi memegang peranan penting

dalam upaya mendiagnosis tumor ovarium, dokter ahli

radiologi masih memiliki peranan dalam melakukan

identifikasi memakai imaging untuk membantu

mengarahkan diagnosis. Hal ini disebabkan ultra-

sonography (USG) dan CT scan dapat digunakan untuk

mengindentifikasi adanya extraovarian tumor dan

metastasis.5

Beberapa laporan penelitian berusaha menentukan peran

diagnostic imaging MRI dalam hal menunjang

diagnosis sarkoma ovarium. Wang et al. menyatakan

bahwa malignant mixed mesodermal tumor (MMMT)

ovarium dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan MRI

dengan tanda-tanda massa heterogen dengan komponen

solid dan kistik. Daerah solid menunjukkan intensitas

sinyal yang relative tinggi dan hanya sedikit enhance-

ment setelah pemeberian injeksi bahan kontras. Tetapi

Saito et al. menyatakan bahwa diagnosis sarkoma ovari-

um hanya bisa diduga apabila terdapat tanda spesifik

berupa elemen chondromatous.5

Terdapat kemiripan

hasil pemeriksaan imaging canggih di RSUD Dr.

Soetomo yaitu dari hasil CT scan didapatkan massa

solid kistik dengan kalsifikasi dan tampak sedikit

peningkatan intensitas sinyal dari 39,6 HU menjadi 54,2

HU. Saito et al. menyatakan terdapat peranan MRI

dalam hal evaluasi respon terapi sistemik pada

pengobatan MMMT.5

Di RSUD Dr. Soetomo dilakukan pemeriksaan MRI

pre-kemoterapi dan pasca kemoterapi untuk menilai

respon sarkoma ovarium terhadap pemberian kemo-

terapi MAID. MRI pasca kemoterapi MAID tersebut

digunakan sebagai salah satu dasar oleh tim ginekologi

onkologi untuk menghentikan kemoterapi dan melanjut-

kan pasien dengan radiasi paliatif. Pada kasus fibro-

sarkoma ovarium ini sangat sulit membedakannya

dengan fibroma ovarium. Hal ini dikarenakan sel-sel

yang menyusun fibroma ovarium dapat pula menyusun

fibrosarkoma ovarium. Hal yang dapat membedakannya

adalah penilaian aktivitas mitosisnya.

Dari hasil pemeriksaan PA tersebut ternyata tumor ini

memiliki aktivitas mitosis 10/10 HPF. Lagi pula

terdapat sel-sel spindle yang hiperkromatik dan nukleus

pleomorfik. Semuanya memperkuat dasar diagnosis PA

yaitu fibrosarkoma. Pemeriksaan imunohistokimia me-

nunjukkan bahwa vimentin positif dan desmin negatif;

hal ini menyokong diagnosis fibrosarkoma.13

Seperti diketahui bahwa belum ada modalitas terapi

yang optimal pada kasus sarkoma ovarium. Sebagian

besar laporan kasus mengenai keberhasilan maupun

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 20 No. 3 September – Desember 2012: 102-110

107

kegagalan terapi pada sarkoma ovarium hanya memiliki

sedikit kasus.14

Hingga saat ini belum ada rekomendasi

yang dikeluarkan oleh International Oncologic Associa-

tion untuk pengobatan sarkoma ovarium. Rekomendasi

terapi sarkoma jaringan lunak adalah operasi dengan/

tanpa kemoterapi ajuvan maupun radiasi.6 Terapi yang

direkomendasikan untuk sarkoma ovarium adalah

debulking surgery diikuti dengan kemoterapi adjuvant.1

Operasi terhadap tumor ganas ovarium ini telah

dilakukan di RS Baptis Kediri pada tahun 2007, tetapi

kemudian terjadi rekurensi. Tetapi patut menjadi

pertanyaan pula apakah operasi di RS Baptis dilakukan

dengan atomical view yang adekuat karena dari hasil

laporan operasi dilaporkan bahwa ureter sulit

diidentifikasi. Hasil laporan operasi dan konfirmasi

dengan SpOG RS Baptis menggambarkan kesulitan

operasi yang cukup tinggi sehingga optimalisasi

pembedahan masih perlu dilakukan di RSUD Dr.

Soetomo. Bila ternyata operasi tidak optimal maka

kemungkinan rekurensi tumor akan semakin besar.

Rekurensi sarkoma ovarium setelah operasi di RS baptis

membuktikan bahwa operasi tidak dapat mencegah

terjadinya rekurensi tumor pada kasus sarkoma

ovarium.14

Pada kasus ini di RSUD Dr. Soetomo diputuskan untuk

melakukan operasi ulang pada pasien tersebut

dilandaskan tidak hanya pada rekomendasi terapi pada

sarcoma ovarium yaitu debulking surgery dan

kemoterapi tetapi juga sebagian besar ahli menganjur-

kan bahwa pada wanita yang diketahui secara

histopatologi menderita sarkoma ovarium maka terapi

operasi minimal harus meliputi total abdominal hister-

ektomi dan bilateral ooforektomi.5 Hal ini disebabkan di

RS Baptis operasi tidak dilakukan oleh ahli ginekologi

onkologi yaitu operasi tidak optimal oleh karena

dilaporkan hanya mengangkat tumor ovarium kiri saja.

Besarnya massa tumor akan mempengaruhi efektifitas

kemoterapi dimana akan semakin banyak sel kanker

yang berada dalam kondisi tidak aktif. Tindakan

debulking akan menyebabkan berkurangnya massa

tumor sehingga sel-sel kanker yang berada dalam fase

istirahat akan kembali memasuki siklus sel (aktif)

dimana sel-sel dalam fase aktif ini sensitif terhadap

kemoterapi.14

Penelitian mengenai pemberian radiasi sebelum operasi

pada extremity soft tissue sarcoma yang dilakukan di St.

Vincent’s Hospital dan Peter MacCallum Cancer

Institute, Victoria, Australia, melaporkan bahwa pem-

berian radiasi sebelum operasi tidak meningkatkan

komplikasi luka operasi yang berkepanjangan ataupun

amputasi sehingga pre-operative radiotherapy dapat

diberikan pada penderita soft tissue sarcoma. Dasar

penelitian tersebut adalah pemberian kombinasi operasi

dan radiasi akan dapat meningkatkan efektifitas local

control pada pasien soft tissue sarcoma. Saat yang tepat

untuk memberikan radiasi (sebelum atau setelah

operasi) masih menjadi perdebatan hingga saat ini.15

Bujiko et al. melaporkan terjadinya komplikasi luka

operasi hingga 42% pada 59 pasien yang mendapatkan

radiasi preoperatif. Pesat et al. melaporkan kejadian

komplikasi luka operasi sebesar 28% pasien dari total

56 pasien yang mendapatkan radiasi preoperative.15

Walaupun penelitian mengenai pemberian radiasi

sebelum operasi pada extremity soft tissue sarcoma

telah dilakukan, tetapi ide pemberian radiasi neoajuvan

sebelum operasi pada sarkoma ovarium masih belum

ada.

Tujuan dilakukannya operasi ulang di RSUD Dr.

Soetomo adalah untuk optimalisasi pembedahan dan

dilanjutkan dengan rekomendasi yang dianjurkan

hingga saat ini yaitu mesna, epirubicine, ifosfamide, dan

dacarbazine (MAID). Saat itu tidak semua tumor bisa

diangkat dikarenakan perlekatan hebat dengan organ

sekitar dan secara anatomical view tidak memungkin-

kan. Oleh karena hanya bisa dilakukan suboptimal

debulking maka tentu saja akan berpengaruh terhadap

prognosis.16

Dari penelitian yang dilakukan oleh Sood et al.

mengenai peranan operasi sitoreduksi (debulking) pada

47 wanita yang menderita sarkoma ovarium yang telah

meluas ke luar ovarium disimpulkan bahwa dari analisis

multivariat operasi sitoreduksi yang optimal merupakan

variabel prognosis yang paling signifikan. Sood et al.

melakukan penelitian pada pasien stadium lanjut dengan

5 years survival rate mencapai 45% pada pasien dengan

optimal debulking dan 8% pada pasien dengan

suboptimal debulking.5

Tim ginekologi onkologi melakukan reopen/ optimal-

isasi pembedahan dikarenakan ukuran massa tumor

yang besar berarti banyak sel tumor yang berada dalam

kondisi hipoksik sehingga tidak memungkinkan untuk

dilakukan radiasi oleh karena sel tumor hipoksik tidak

sensitif terhadap radiasi. Pemberian radiasi sebelum

operasi berhubungan dengan peningkatan komplikasi

luka operasi yang lebih tinggi daripada pasca operasi.

Hal ini diperkuat dengan penelitian randomized

controlled trial (RCT) yang menyatakan bahwa terdapat

peningkatan komplikasi luka operasi pada pasien yang

mendapatkan radiasi pre-operatif dibandingkan radiasi

pasca operasi. Tetapi perlu diingat bahwa banyak sekali

faktor-faktor yang menentukan terjadinya komplikasi

luka operasi yaitu umur, lokasi tumor, ukuran tumor dan

besar irisan operasi.15

Santoso et al.: Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi

108

Pasien dengan sarkoma ovarium rekurens merupakan

kandidat yang tepat untuk pemberian kemoterapi

walaupun hanya sedikit kasus saja yang dilaporkan

memiliki efek yang baik.17

Dari hasil tumor board I di

divisi ginekologi-onkologi diputuskan untuk memberi-

kan kemoterapi cyclophosphamide-doxo-rubicine-

actinomycin-D sebanyak 2 seri kemudian akan di-

evaluasi ulang. Pada tumor board I tidak me-

rekomendasikan pemberian radiasi pasca operasi di-

karenakan tim gineokologi onkologi hanya bisa

melakukan suboptimal debulking dimana masih massa

tumor masih berukuran besar dimana pada tumor yang

besar terdapat banyak sel-sel tumor yang berada dalam

kondisi hipoksik sehingga tidak akan sensitif terhadap

radiasi ditambah pula sarkoma tidak sensitif terhadap

radiasi.

Dasar pemilihan rejimen kemoterapi tersebut adalah

mengikuti rekomendasi kemoterapi MAID yang

dilaporkan memberikan hasil yang baik terhadap

survival pasien. Rejimen kemoterapi MAID tersebut

antara lain epirubicine 20 mg/m2 pada hari ke-1 s/d 3,

Ifosfamide 2,5 mg/m2 pada hari ke-1 s/d 3. Didahului

dengan pemberian mesna untuk mencegah iritasi pada

buli-buli, dan DTIC/ dacarbazine 30mg/m2 pada hari

ke-1 s/d 3.6

Terdapat kendala ketersediaan obat kemoterapi yang

ditanggung oleh Jaring Pengaman Sosial (JPS) saat itu

sehingga diputuskan pemberian dengan golongan

rejimen terapi yang sama dan disesuaikan dengan apa

yang menjadi tertanggung JPS. Dalam daftar obat yang

ada dalam cakupan JPS (Jaring Pengaman Sosial),

ternyata obat-obatan dalam rejimen MAID tersebut

tidak termasuk dalam tanggungan JPS sehingga

diputuskan mengganti dengan obat-obatan kemoterapi

yang digunakan pada pengobatan sarkoma dan masuk

dalam tanggungan JPS.

Cyclophosphamide termasuk dalam golongan alkylating

agent yang bekerja pada DNA dengan menyebabkan

terjadinya gangguan formasi atau kode molekul DNA

sel tumor. Akibatnya sel tumor yang terpapar dapat

mengalami kematian. Doxorubicine dan actinomycin-D

termasuk dalam golongan antibiotik yang bekerja pada

semua siklus sel. Doxorubicine bekerja, terutama pada

fase S dan G2, dengan menghambat replikasi DNA,

transkripsi RNA dan menyebabkan gangguan replikasi

DNA. Actinomycin D bekerja, terutama pada fase G1

dan S, dengan menghambat sintesis DNA dan RNA.18

Morrow et al. melaporkan hasil penelitian dari GOG

(The Gynecologic Oncology Group) bahwa 2 dari 6

pasien yang diterapi dengan doxorubicine dan

cyclophosphamide tetap hidup hingga 11 bulan

kemudian.11

Doxorubicine memiliki efek yang baik

terhadap pure sarkoma.17

Dari hasil meta-analisis

dinyatakan bahwa pemberian doxorubicine berhubung-

an dengan adanya peningkatan yang signifikan pada

recurrence free survival, distant relaps free interval,

walaupun tidak terdapat peningkatan terhadap survival

pasien secara keseluruhan.9

Dengan dua seri pemberian kemoterapi tersebut ternyata

tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hasil

pemeriksaan MRI 1½ T yang dilakukan dua kali yaitu

sebelum dan sesudah kemoterapi untuk menilai efektif-

itas kemoterapi yang diberikan ternyata me-nunjukkan

ukuran tumor makin membesar. Dari hasil diskusi tumor

board II dinyatakan bahwa bila dengan dua kali

pemberian kemoterapi yang adekuat tidak ada perbaikan

maka pemberian kemoterapi dihentikan oleh karena

tidak terbukti bermanfaat bagi pengobatan pasien. Dari

hasil tumor board II tersebut diputuskan pasien diterapi

radiasi paliatif.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia masih

rendah sehingga walaupun pengobatan dibiayai oleh

negara tetapi untuk biaya hidup selama pasien menjalani

pengobatan tidak ditanggung oleh negara. Hal ini akan

berpengaruh terhadap kepatuhan pasien dalam berobat

sebab pasien harus bekerja dulu untuk mengumpulkan

dana (juga menunggu kiriman uang dari anaknya yang

bekerja di Malaysia) untuk membiayai keperluan sehari-

hari selama menjalani pengobatan sehingga operasi

tertunda lama.

KESIMPULAN

Telah dibahas laporan kasus sarkoma ovarium residif

yang dirawat di Ruang Kandungan Departemen Obstetri

Ginekologi RSU Dr. Soetomo yang merupakan rujukan

SpOG RS Baptis Kediri. Pasien sebelumnya mengeluh-

kan adanya benjolan di perut yang makin membesar.

Telah dilakukan operasi tahun 2007 di RS Baptis Kediri

dan didapatkan hasil PA suatu pleomorfic malignant

fibrous histiositoma, mixoid variant = high grade

sarcoma, myxoid variant. Lalu pasienpun dirujuk ke RS

Dr. Soetomo di Surabaya. Saat itu pasien menjalani

serangkaian terapi dan telah didiskusikan dalam tumor

board dengan berbagai divisi onkologi di RS Dr.

Soetomo. Akhirnya pasienpun menjalani operasi

(surgical staging) dan ternyata tidak dapat dilakukan

operasi yang adekuat.

Dari hasil surgical staging dinyatakan sebagai kanker

ovarium stadium IIIc. Sangat sulit membedakan fibroma

ovarium dan fibrosarkoma ovarium disebabkan banyak

kemiripan dalam sel-sel penyusunnya. Pemeriksaan

histopatologi yang akurat dengan interpretasi yang tepat

serta pemeriksaan penunjang lain seperti

Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 20 No. 3 September – Desember 2012: 102-110

109

imunohistokimia diperlukan dalam manajemen klinik.

Operasi hingga saat ini masih tetap merupakan terapi

yang paling utama pada sarkoma ovarium terutama pada

stadium dini dimana pembedahan bisa dilakukan secara

adekuat.

Dari hasil diskusi Tumor Board I diputuskan untuk

memberikan kemoterapi adjuvant. Saat itu diputuskan

menggunakan rekomendasi dari Huang et al. yaitu

MAID mengingat keberhasilannya dalam terapi. Dari

hasil evaluasi dengan membandingkan hasil pe-

meriksaan MRI I dan II ternyata tumor bertambah besar

dan telah metastasis jauh sehingga diskusi Tumor Board

II memutuskan untuk menghentikan kemoterapi dan

merekomendasikan pemberian radiasi sebagai terapi

paliatif. Pemberian kemoterapi di RS Dr. Soetomo

dengan mengacu pada rekomendasi keberhasilan oleh

Huang et al. ternyata tidak memberikan keberhasilan

yang sama walaupun obat yang diberikan berada dalam

golongan yang sama. Obat-obatan yang diberikan tidak

persis sama dengan yang direkomendasikan oleh Huang

et al., hal ini dikarenakan obat-obatan tersebut tidak

dalam pertanggungan JPS (Jaring Pengaman Sosial).6

Pemberian kemoterapi adjuvan hingga saat ini masih

kontroversial. Dari hasil studi metaanalisis yang di-

publikasikan tahun 1997 ternyata menunjukkan

kegagalan secara statistik mengenai keuntungan terapi

adjuvan terhadap peningkatan survival pasien, tetapi

harus diakui ternyata terdapat perbaikan dalam progres-

sion free survival.19

Prognosis pasien dengan fibrosarkoma ovarium sangat

buruk. Belum dapat dijelaskan faktor-faktor yang

menentukan prognosis bagi pasien dengan sarkoma

ovarium. Dari tulisan yang telah disebutkan di atas,

survival pasien berkisar 2 tahun sejak diagnosis

ditegakkan. Jarangnya kasus sarkoma ovarium ini me-

nyebabkan sulitnya ditemukan pengobatan yang tepat

bagi pasien. Oleh karena kemoterapi adjuvant gagal,

maka saat ini pasien menjalani terapi radiasi di bagian

Radiologi RS Dr. Soetomo. Hingga saat ini pasien

dalam keadaan masih hidup (tiga tahun sejak diagnosis

ditegakkan).

DAFTAR PUSTAKA

1. Gari A, Souhami L, Arseneau J dan Stanimir G.

Primary malignant mesodermal ovarian sarcomas.

Int. J. Gynecol. Cancer 16. 2006; 106-109.

2. Larma J dan Gardner GJ. Ovarian cancer, dalam The

John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics

(editor Fortner KB, Szymanski LM dan Fox HE)

edisi ke-3. 2007; h: 508-525, Lippincott Williams &

Wilkins, USA.

3. Crowder S, Lee C dan Santoso JT. Ovarian cancer,

dalam Handbook of Gyn-Oncology (editor Santoso

J.T. dan Coleman R.L.) edisi internasional. 2001; h:

50-58, McGraw-Hill, USA.

4. Nurseta T. Kanker ovarium, dalam Panduan

Penatalaksanaan Kanker Ginekologi Berdasarkan

Evidence Base (editor Rasjidi I). 2007; h: 83-103,

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

5. Stuart GCE dan Dawson LM. Ovarian sarcomas,

dalam Gynecologic Cancer: Controversies in

Management (editor Gershenson DM, McGuire WP,

Gore M, Quinn MA dan Thomas G). 2004; h: 509-

517, Elsevier, USA.

6. Huang YC, Hsu KF, Chou CY, Dai YC dan Tzeng

CC. Ovarian fibrosarcoma with long-term survival:

A case report. Int. J. Gynecol. Cancer 11. 2001; 331-

333.

7. Busmar B. Kanker ovarium, dalam Onkologi

Ginekologi (editor Azis MF, Andrijono dan

Saifuddin AB) edisi ke-1. 2006; h: 468-527,

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,

Jakarta.

8. Brennan KM, Baker VV dan Dorigo O.

Premalignant and malignant disorders of the ovaries

and oviducts, dalam Current Diagnosis and

Treatment Obstetrics and Gynecology (editor

DeCherney A, Nathan L, Goodwin TM dan Laufer

N) edisi ke-10. 2007; h: 871-884, McGraw-Hill,

USA.

9. Pisters PWT, O’Sullivan B dan Demetri GD.

Sarcomas of nonosseous tissues. 2000. Available

from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.

fcgi? book=cmed&part=A32374.

10. Berek JS. Hacker NF. Nonepithelial Ovarian and

Fallopian Tube Cancers, dalam Practical

Gynecologic Oncology, edisi ke-4. 2005; h: 511-

542, Lippincott Williams & Wilkins, USA.

11. Le T, Krepart G V, Lotocki RJ dan Heywood MS.

Malignant mixed mesodermal ovarian tumor

treatment and prognosis: a 20-year experience.

Gynecol. Oncol. 1997; 65, 237-240.

12. Anderson B, Turner DA dan Benda. Ovarian

sarcoma. Gynecol. Oncol. 1987; 26, hal. 183-192.

13. Weiss SW dan Goldblum JR. Fibrosarcoma, dalam

Soft Tissue Tumors, edisi ke-5. 2008a; h: 303-328,

Elsevier, USA.

14. Choi W, Ha M, Shin J dan Lee J. Primary ovarian

fibrosarcoma with long-term survival: a report of

two cases. J. Obstet. Gynaecol. 2006; Res. 32(5),

524-528.

15. Kunisada T, Ngan SY, Powel G dan Choong PFM.

Wound complications following pre-operative

radiotherapy for soft tissue sarcoma. 2002; EJSO

28, h: 75-79.

16. Crotzer DR, Wolf JK, Gano JB, Gershenson DM

dan Levenback C. A pilot study of cisplatin,

Santoso et al.: Kasus Sarkoma Ovarium Residif di Ruang Kandungan Divisi Onkologi Ginekologi

110

ifosfamide and mesna in the treatment of malignant

mixed mesodermal tumors of the ovary. Gynecol

Oncol. 2007; 105, 399-403.

17. Leyvraz S, Zweifel M, Jundt G, Lissoni A, Cerny T.

Sessa C, Fey M, Dietrich D dan Honegger HP.

Long-term results of a multicenter SAKK trial on

high-dose ifosfamide and doxorubicin in advanced

or metastatic gynecologic sarcomas. Ann. Oncol.

2006; 17, 646-651.

18. Rasjidi I. Regimen kemoterapi yang umum

digunakan pada tumor ginekologi, dalam

Kemoterapi Kanker Ginekologi Dalam Praktik

Sehari-hari, Edisi ke-1 hal. 2007; 15-54, Sagung

Seto, Jakarta.

19. Judson I. Systemic therapy of soft tissue sarcoma: an

improvement in outcome. Ann. Oncol. 2004; 15,

193-196.