KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-QUR`AN
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-QUR`AN
KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM
AL-QUR`AN
(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan
Tafsir Al-Azhar)
Skripsi
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1)
Disusun Oleh :
Syarifah Ainul Mardiah 13210554
Dosen Pembimbing :
Dr. H. Muhammad Ulinnuha Lc, MA
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
2017M/1438 H
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Konsep Pernikahan Harmonis Dalam al-Qur`an
(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan Tafsir al-Azhar)”
yang disusun oleh Syarifah Ainul Mardiah dengan Nomor Induk Mahasiswa
13210554 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan disetujui untuk
diujikan pada sidang munaqosyah.
Jakarta, 10 Agustus 2017
Pembimbing,
Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Konsep Pernikahan Harmonis Dalam al-Qur`an
(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan Tafsir al-Azhar)”
oleh Syarifah Ainul Mardiah dengan NIM 13210554 telah diujikan pada
sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ)
Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2017. Skripsi ini diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag).
Jakarta, 16 Agustus 2017
Dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta
Dra. Hj. Maria Ulfah, MA
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dra. Hj. Maria Ulfah, MA Dra. Ruqoyah Tamimi
Penguji I, Penguji II,
Dr. KH. Ahsin Sakho. M, MA Dr. Hj. Romlah Widayati, M.Ag
Pembimbing,
Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA
iii
PERNYATAAN PENULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Syarifah Ainul Mardiah
NIM : 13210554
Tempat/Tgl. Lahir : Jakarta, 10 November 1991
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Konsep Pernikahan Harmonis
Dalam al-Qur`an (Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan
Tafsir al-Azhar)” adalah benar-benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan
yang sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 10 Agustus 2017
Syarifah Ainul Mardiah
iv
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana initeruntuk mamak dan waled tercinta
sebagai tanda bakti dan hormat saya. Terutama sekali kepada mamak yang
telah membiayai kuliah saya selama ini yang rela mengorbankan waktunya
untuk membiayai kuliah saya serta menjadi tulang punggung keluarga.
Terima kasih telah membesarkan, membimbing, serta mendidikku dengan
penuh kasih sayang. Terimaksih untaian doa yang selalu mengalir tanpa
henti, kesabaran tiada batas, dan tidak pernah berhenti meberikan cinta yang
tulus dan ikhlas kepadaku saat kecil sampai saat ini. Semoga ini menjadi
langkah awal untuk mebuat mamak dan waled bahagia. karna kusadari
selama ini belum bisa berbuat lebih. Terima kasih atas semua jasa-jasamu
dan segala motivasi kepada anakmu yang tak dapat terbalaskan dengan kata-
kata. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebaikan dunia akhirat untuk
mamak dan waled serta keluargaku. Aamiin..
v
MOTTO
karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
vi
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah swt yang Maha Kuasa hanya dengan izin-Nya
terlaksana kebijakan dan kesuksesan. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. Sahabat serta
para pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillsah skripsi ini dapat
terselesaikan berkat adanya dorongan, nasehat serta bimbingan dari semua
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. di
antaranya kepada:
1. Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas Ridho-
Nya disetiap kemudahan dankelancaran selama penulis mengerjakan
skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah Tahido Yanggo, Lc. MA Ibunda kita
semua, Rektor Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa. MA dekan fakultas Ushuluddin IIQ
Jakarta,atas segala kebaikan dan bimbingannya.
4. Bapak Dr. H. M. Ulinnuha Husnan, Lc. MA selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya guna memberikan
bimbingan dan pengarahan yang sangat berarti dalam penulisan
skripsi ini.
5. Segenap dosen pengajar IIQ terutama Fakultas Ushuluddin jurusan
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan,sehingga penulis mampu memahami banyak hal terkait
ilmu-ilmu Al-Qur`an.
vii
6. Segenap instruktur tahfidz atas ilmu dan semangat yang telah
diberikan kepada penulis. Ibu Muthmainnah, Kak A‟yuna, Bu
Mahmudah dan Bu Istiqomah serta Bapak Fathoni beserta dosen
lainnya yang tidak disebutkan semoga semuanya selalu dalam Ridho
Allah SWT.Aamiiin
7. Seluruh staf Fakultas yang telah membantu apapun yang dibutuhkan
penulis selama menjadi mahasiswa.
8. Pimpinan dan staf perpustakaan IIQ Jakarta, perpustakaan Fakulats
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan umum UIN Syarif
Hidayatullah, perpustakaan PSQ, dan perpustakaan Iman Jama‟
terimakasih atas kesempatannya untuk penulis dalam mecari bahan
yang diperlukan dalam penyusunan skripsi.
9. Untuk orangtuaku tersayang mamak Salmiah dan waled Sayed
Jamaluddin, serta Abangku Sayed Irfan dan Adekku Lestari
Terimakasih untuk pengorbanan, do‟a, kasih sayang, nasehat, dan
motivasi yang selalu menyertai langkah perjalanan kehidupan penulis,
sehingga penulis memiliki semangat dalam menjalani kehidupan
hingga detik ini.
10. Dan untuk calon Imamku, terimaksih atas motivasi, dukungan,
semangat, dan do‟a yang tak henti-hentinya engkau panjatkan untuk
adinda, yang telah setia mendengarkan keluh kesah adinda terutama
mengenai skripsi ini, sehingga meringankan beban fikiran penulis
dalam penyusunan skripsi. Semoga cita-cita kita tercapai bahagia
dunia dan akhirat, Aamiiin..
11. Teman teman angkatan 2013 terkhusus untuk teman teman
Ushuluddin, atas kebersamaan dan supportnya selama masa
perkuliahan hingga sekarang.
viii
12. Teman-teman organisasi FUMAS (Forum Ukhuwah Mahasiswa
Sumatra), terimakasih sudah membantu penulis menambah
pengalaman hidup yang baik, mendapatkan pelajaran sekaligus
menemukan keluarga di Jakarta.
Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan
masyarakat. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan pahala-Nya kepada
kita semua. Aamiiin.
Semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan Rahmat dan Pahala-Nya
disetiap butir kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis.
Tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf kepada seluruh pembaca
jika terdapat kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan skipsi ini.
penulis menyadari, masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Kesempurnaan hanya milik Allah swt dan kekurangan ada pada diri
penulis.
Harapan penulis, semoga skripsi ini mampu memberikan kontribusi
positif di dunia akademis, serta memberikan pemahaman baru pada
masyarakat. Dan semoga Allah swt senantiasa meridhoi setiap langkah kita.
Aamiiin…
Jakarta, 10 Agustus 2017
Syarifah Ainul Mardiah
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
PERNYATAAN PENULIS .......................................................................... iii
PERSEMBAHAN..........................................................................................iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... x
ABSTRAKSI ............................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 01
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah .................. 09
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 10
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ............................................................... 13
F. Teknik Dan Sistematika Penulisan............................................ 16
BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN HARMONIS
A. Konsep Pernikahan Harmonis ................................................... 19
1. Definisi Pernikahan Harmonis ............................................. 19
2. Dasar Hukum Nikah ............................................................. 21
3. Rukun Dan Syarat Nikah…………………………………..22
B. Manfaat Rumahtangga Menurut Ajaran Islam……………….25
C. Tujuan Pernikahan Dalam Islam ............................................... 27
D. Cirri-ciri Pernikahan Harmonis……………………………….30
E. Cara Mengatasi Problematika Pernikahan……………………34
x
BAB III TINJAUAN UMUM TIGA TOKOH ULAMA TAFSIR
A. Biografi Hamka Syekh Abdurra‟uf as-singkili (1693 H/1105 M)
1. Riwayat Hidup Syekh Abdurra‟uf as-Singkili ................... 41
2. Profil Tafsir……………………………………………….43
a. Identifikasi Fisiologis…………………………………43
b. Identifikasi Metodologis………………………….......43
1. Latar Belakang Penulisan…………………………44
2. Sumber Penafsiran .................. ……………………44
3. Metode dan Corak Penafsiran ................................ 44
3. Karya-karya Syekh Abdurra‟uf as-singkili………………46
B. Biografi Hasbi as-shiddiqy (1975 M)
1. Riwayat Hidup Hasbi ash-Shiddiqy………………………47
2. Profil Tafsir ......................................................................... 49
a. Identifikasi Fisiologis…………………………………49
b. Identifikasi Metodologis………………………………49
1. Latar Belakang Penulisan…………………………49
2. Sumber Penafsiran………………………………..50
3. Metode dan Corak Penafsiran……………………51
4. Sisetematika Penafsiran ........................................... 51
3. Karya Hasbi ash-shiddiqy ................................................... 52
C. Biografi Buya Hamka
1. Riwayat Hidup Buya Hamka ............................................. 52
2. Profil Tafsir ........................................................................ 53
a. Identifikasi Fisiologis................................................... 53
b. Identifikasi Metodologis .............................................. 54
1. Latar Belakang Penulisan………………………...54
2. Sumber Penafsiran ................................................. 54
3. Metode dan Corak Penafsiran ................................ 55
xi
4. Sistematika Penafsiran ........................................... 55
3. Karya Buya Hamka ............................................................. 55
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT PERNIKAHAN HARMONIS
A. Penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili, Hasbi ash-Shiddiqy, dan
Hamka ....................................................................................... 57
1. Penafsiran QS. an-Nisa [4] ayat 34 ...................................... 57
2. Penafsiran QS. al-Baqarah [2] ayat 187 ............................... 64
3. Penafsiran QS. ar-Rum [30] ayat 21..................................67
4. Penafsiran QS. an-Nisa [4] ayat 19 .................................... 73
5. Penafsiran QS. al-Baqarah [2] ayat 288 ............................. 81
6. Penafsiran QS. an-Nur [24] ayat 26 ................................... 90
7. Penafsiran QS. al-Baqarah [2] ayat 237 ............................. 93
8. Penafsiran QS. al-Fueqan [25] ayat 74 ...............................75
B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ....................... 100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 109
B. Saran ........................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 111
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
Huruf
Arab Nama
Huruf
Latin Keterangan
Alif - Tidak dilambangkan أ
”bā` B Huruf “be ة
”tā` T Huruf “te ث
”tsā` Ts Huruf “te” dan “es ث
Jim J Huruf je ج
hā` H Huruf “ha” dengan garis bawah ح
”khā` Kh Huruf “ka” dan “ha خ
”Dal D Huruf “de د
”Dzal Dz Huruf “de” dan “zet ذ
”rā` R Huruf “er ز
”Zai Z Huruf “zet ش
”Sin S Huruf “es س
”Syin Sy Huruf “es” dan “ye ش
”Shād Sh Huruf “es” dan “ha ص
”Dhād Dh Huruf “de” dan “ha ض
”thā` Th Huruf “te” dan “ha ط
”zhā` Zh Huruf “zet” dan “ha ظ
„ ain„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
”Ghain Gh Huruf “ge” dan “ha غ
”fā` F Huruf “ef ف
”Qāf Q Huruf “qi ق
”Kāf K Huruf “ka ك
”Lām L Huruf “el ل
”Mim M Huruf “em و
”Nun N Huruf “en ن
”Wāwu W Huruf “we و
”hā` H Huruf “ha ھ
Hamzah ` Apostrof ء
”yā` Y Huruf “ye ي
xiii
B. Vokal
Vokal Tunggal
Tanda Vocal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Harakat Fathah
I Harakat Kasrah
U Harakat Dhammah
Vokal Panjang
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ȃ Huruf “a” dengan topi di
atas
Î Huruf “i” dengan topi di atas
Û Huruf “u” dengan topi di
atas
Vokal Rangkap
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai Huruf “a” dan “i”
Au Huruf “a” dan “u”
C. Kata Sandang
1) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyyah
ditransliterasi sesuai dengan bunyinya. Contohnya:
al-Madînah :انمديىت al-Baqarah :انبقسة
2) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) syamsiyyah
ditransliterasi sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan
sesuai bunyinyaContoh:
xiv
as-Sayyidah : انسيدة ar-rajul : انسجم
ad-Dȃ : اندازمى asy-syams : انشمس rimî
3) Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan dengan
lambang (__), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.
Aturan ini berlaku umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di
akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh:
Âmannȃ : أمىب ببهلل billȃ hi أمه انسفهبء : Âmana as-Sufahȃ ’u
انريهإن : Inna al-ladzîna وانسكع : wa ar-rukka’i
4) TaMarbuthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:
al-Af`idah : األفئدة
هبميتانجبمعت اإلس : al-Jȃ mi’ah al-Islȃ miyyah
Sedangkan ta marbuthah yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi
huruf “t”. Contoh:
Âmilatun Nashibah’: عبمهت وبصبت
al-Âyat al-Kubrȃ : اٱليت انكبسى
xv
ABSTRAKSI
Syarifah Ainul Mardiah (13210554)
Konsep Pernikahan Harmonis Dalam Al-Qur`an (Telaah Tafsir
Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan Tafsir al-Azhar)
Pernikahan merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah, agar terhindar dari perbuatan yang dilarang dalam agama. Tapi
dewasa ini banyak pernikahan dilakukan hanya sekedar saja, tanpa
memamahami makna yang terkandung dalam ikatan tersebut. Sehingga
banyak problematika yang terjadi dalam kehidupan rumahtangga yang
menyebabkan kurang implementasi konsep pernikahan harmonis, dan jauh
dari nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran Islam dan al-Qur`an. Sebab
demikianlah peneliti terdorong untuk mengkaji lebih dalam bagaimana
pandangan, serta persamaan dan perbedaan dalam penafsiran Abdurra‟uf as-
Singkili, Hasbi ash-Shiddiqy, dan Hamka terhadap ayat-ayat al-Qur`an
mengenai konsep pernikahan harmonis.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan komparatif. Dalam penelitian ini penulis mencoba menjawab
permasalahan yang ada melalui studi dokumen atau pustaka (Library
Research), dengan merujuk pada data primer dan sekunder. Sumber data
primer yang digunakan penulis adalah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-
Nur, dan Tafsir al-Azhar. Kemudian data sekunder yang penulis gunakan
merupakan kamus Melayu serta buku-buku yang berkaitan dengan
pembahasan. Adapun teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis
deskriptif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum pandangan
Abdurra‟uf, Hasbi, dan Hamka memiliki prinsip yang sama terhadap 8 ayat
al-Qur`an mengenai konsep pernikahan harmonis. Kemudian perbedaan
terbagi dua , pertama terdapat pada linguistik yang dipakai oleh mufassir
sendiri, pada lafad “Qawwamun” Abdurrau‟f menggunakan bahasa
“dikeraskan”, Hasbi dan Hamka menggunakan bahasa “pemimpin”. dan
pada lafad “ma’ruf” Abdurra‟uf menggunakan bahasa “elok”, Hasbi
menggunakan Bahasa “yang baik sesuai syara‟”, dan Hamka menggunakan
bahasa “patut” walaupun mereka berbeda bahasa yang digunakan namun
memilki makna yang sama. Kedua, dilihat dari teknik penafsiran yang
digunakan mufassir, Abdurra‟uf secara ijmali, Hasbi secara ijmali, sedangkan
Hamka secara tahlili
.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dilakukan untuk menciptakan keluarga sesuai dengan
aturan syari‟at Islam. Salah satu perhatian Islam terhadap keluarga adalah
diciptakannya aturan dan syari‟at adil dan bijaksana. Islam menghendaki
dicapainya suatu makna yang mulia dari suatu perkawinan atau
kehidupan berumah tangga. Di sini lembaga perkawinan harus dipandang
sebagai sesuatu yang bernilai luhur dan harus dicari makna dan
esensinya, seperti halnya ketenangan dan ketentraman hidup.1
Agar mendapat ketenangan dan ketentraman hidup dalam keluarga
atau pernikahan maka menjauhi nikah yang tidak disukai Allah. Nikah
yang tidak disukai Allah adalah nikah yang tidak sempurna salah satu
dari rukun dan syaratnya, atau ada salah satu penghalang,atau ada unsur
penipuan dari kedua belah pihak yang tidak mengindahkan tujuan
pernikahan dalam syariat islam.2
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa syariat Islam sangat
menegaskan untuk melaksanakan sebuah perkawinan harus mengikuti
bermacam-macam syarat, hukum, dan etika yang harus dipenuhi agar
akad tersebut terlaksana dengan sah cara yang ditempuh menjadi aman.
Karena akad nikah adalah persoalan yang sangat penting yang di
dalamnya terdapat cakupan tuntutan untuk menjaga kehormatan,
kemuliaan, harta, dan nama baik dua keluarga.3
1 Abdutawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah, (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1993), Cet. 1, h. 6-7. 2 Shaleh bin Abdul „Aziz Alu manshur, Nikah dengan Niat Talak, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2004), Cet. 1, h. 1 3 Syahrul Anam, Kado untuk Sang Tunangan, (Jakarta:Majlis Musyawarah
Kutubuddiniyah, 2010), Cet. 1, h. 45
2
Tidak diragukan lagi bahwa rumah tangga. Muslim adalah inti dari
masyarakat yang baik, maka wajiblah diperhatikan dengan memelihara
ikatan perkawinan islam dengan ikatan yang benar jauh dari kesia-siaan
untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang luhur yang penuh kasih sayang
dan ketenangan jiwa yang merupakan salah satu kebesaran Allah yang
menunjukkan kesempurnaan kekuaasaan-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. ar-rum
30: 21)
Menurut M.A. Tihami, dalam bukunya, menurut ayat di atas bahwa,
keluarga Islam terbentuk dari dua perpaduan ketrentraman dan penuh
rasa cinta dan kasih sayang, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh
kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan perasaan halus, putra putri
yang patuh dan dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi
dan tolong-menolong, hal ini bisa terwujud dengan adanya rasa saling
bertanggung jawab.4
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo, setiap keluarga mendambakan
terwujudnya keluarga sakinah dan sejahtera. Agama Islam sendiri
menginginkan terwujudnya keluarga yang demikian. Sebagaimana
Firman Allah Qur`an surat ar-Rum ayat 21. Bahwa agama Islam
4 M. A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2010), Cet. 10, h. 17-18.
3
memberikan petunjuk mengenai beberapa ciri dari keluarga sakinah dan
sejahtera, diantara ialah tercurahnya rahmat Allah, terealisasinya motif
dasar kehidupan, kemampuan menyelesaikan konflik, berikhtiyar dan
bersyukur serta adanya kedudukan yang jelas dalam keluarga.5 Maka
rumah tangga tidaklah bisa terjaga kecuali dengan membekali ilmu
agama dan aqoid keimanan yang menyangkut syari‟at, sehingga dengan
demikian ia tetap terlindung dari gelombang-gelombang atheisme dan
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan orang-orang yang
berusaha menyebarkan kerusakan bumi.6
Namun usaha membina rumah tangga dengan membahagiakan dan
menyelamatkannya dari keruntuhan berarti menyelamatkan serta
membahagiakan Negara dan Bangsa.Tidak heran apabila. A. Mukti Ali
(w. 2004)sewaktu menjadi mentri Agama RI dalam ceramah penutupan
kursus BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian)
tanggal 8 oktober 1972 di masjid Sunda Kelapa Jakarta menandaskan.
“kalau orang bertanya bagaimana caranya membanguna Negara
yang kuat, maka jawabannya ialah Negara yang kuat adalah terdiri
dari rumah tangga yang kuat. Negara yang adil terdiri dari rumah
tangga-rumah tangga yang adil, dan Negara yang yang makmur
terdiri dari rumah tangga-ru2mah tangga yang makmur.Jadi jika
ingin membangun Negara kita dengan sebaik-baiknya, maka keluarga
yang isi rumah tangga harus kita bangun sebaik-baiknya.Tanpa
membangun keluarga mustahil akan tercapai pembangunan
Negara.”7
Hubungan suami istri sangatlah penting dalam dan luasnya pengaruh
terhadap pembangunan umat secara keseluruhan, maka islam telah
5 Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam,(Indonesia:IKAPI,
2013), Cet.1, h. 96 6 Zaid H. Al-Hamid, Rumah Tangga Muslim, (Semarang: Mujahidin, 1981), h. 9-10.
7 Muhammad Ustman Alkhasyt, Sulitnya Berumah Tangga, (Jakarta:Gema Insani
Press, 1996), Cet. 15, h. 11
4
memberikan perhatian khusus kepada ikatan ini dengan menetapkan
metode-metode dan bimbingan hukum serta peraturan yang akan dapat
menjamin sebagian besar kebahagian dan kesejahteraan umat
manusia.8Sebagai umat Islam kita harus mewujudkan rumah tangga
sejahtera dan bahagia menurut tuntunan Islam yakni rumah laksana sorga
bagi penghuninya.9
Adapun kehidupan rumah tangga adalah perkara yang menyedot
perhatian Islam dalam porsi yang sangat besar. Oleh karena itu ia
meletakkan dasar-dasar dan landasan yang membantu pasangan suami
istri membangun bangunan rumah tangga yang kuat. Sebab, di atas dasar
dan landasan itulah kebahagian keluarga muslim akan terbangun,
kemudian dampaknya akan tampak pada kebaikan masyarakat
ditempatnya. Maka dari itu, Allah menyifati jalinan suci ini sebagai salah
satu tanda kekuasaan-Nya dan menjadikan akad nikah sebagai perjanjian
yang kuat10
.Bahwa pernikahan itu sunnatullah yaitu perintah Allah dan
Rasul-Nya. Tidak hanya semata-mata keinginan hawa nafsunya saja
karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan
sebagian dari syariat Agama Islam.11
Rasulullah SAW. Mengatakan: “Barang siapa menikah karena Allah
semata dan menikah karena Allah semata, maka ia diberi pertolongan
oleh Allah”, Riwayat dari hadis Mu‟az bin Anas. Beliau mengatakan :
“Barangsiapa beristri (menikah) berarti telah memelihara paruh
agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah dalam memelihara agama)
setengah bagian yang kedua.”(Riwayat Ibnul Jauzi dari Anas r.a.)hadis
8 Muhammad Ustman Alkhasyt, Sulitnya Berumah Tangga, h. 11.
9 Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, (Jakarta: Pustaka Antara PT, 1995), h. 9-10
10 Najla‟ as-Sayyid Nayil, Menuju Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta:Pustaka Al-
Inabah, 2013), Cet. 1, h. 1 11
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah),
(Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. 1, h. 3
5
ini menunjukkan bahwa keutamaan menikah disebabkan dapat
memelihara dari pertentangan-pertentangan hawa nafsu (syahwat),
sehingga ia terhindar dari penyebab-penyebab kerusakan agama
seseorang, sebagian besar adalah alat kemaluan dan perutnya.12
Menurut pemikiran Imam Ghazali r.a. dalam buku Muhammad Labib
Al-Buhiy, ada lima manfaat yang diperoleh dari hidup bekeluarga: anak,
mengendalikan nafsu syahwat, memikirkan rumah tangga, mempunyai
banyak teman hidup dan berjuang melawan kelemahan dalam mengurus
kepentingan mereka.13
Ketentraman jiwa yang dijanjikan oleh pernikah tentu bisa terjadi bila
masing-masing eksponen keluarga dapat berfungsi dan berperan
sebagaimana mestinya, berpegang teguh pada nilai-nilai yang telah
ditanamkan agama Islam, serta mampu membangun interaksi yang
sinergis dalam komusnitas sosial yang sehat.14
Karna itu tujuan pernikah
dalam Islam bukan semata-mata hasrat biologis (seksual), tetapi juga
merangkai kepuasan psikis-emosional (jiwa).
Bahwa penjelasan diatas perhatian Islam terhadap perkawinan,
pentingnya menciptakan kebahagian dalam kehidupan suami istri, serta
peranan rumah tangga dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam
rumah tangga.15
Secara konseptual keluarga sakinah mudah dipelajari. Dalam
perspektif Fauzil Adhim, keluarga sakinah adalah keluarga yang di
dalamnya kedap dengan ketulusan cinta, kasih, sayang. Dan kedamaian
hati. Dalam keluarga ini, perasaan cinta dan kasih sayang telah
12
Imam Ghazali, Etika Perkawinan, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1993), h. 5 13
Muhammad Labib Al- Buhiy, Hidup Bekeluarga Islami, (Bandung: PT Al
Ma‟arif, 1983), Cet. 1, h. 21 14
Dadang Hwari, Al-Qur`an Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan Jiwa
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 236 15
Nashir bin Sulaiman Al-„Umr, Sendi-sendi Kebahagian Suami Istri, (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 1993), Cet. 3, h. 19
6
membangkitkan semangat optimitisme dalam menatap kehidupan.
Singkatnya dalam keluarga sakinah ketenangan hati mudah ditemui,
ketentramana jiwa dapat terjaga, dan masing-masing elemen keluarga
saling melengkapi dalam mengupayakan kemaslahatan.16
Kemudian Meurut M. Quraish Shibah bahwa sakinah tidak datang
begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan
dan pertama lagi uatama, adalah menyiapkan qalbu. Sakinah/ketenangan
demikian juga mawaddah dan rahmat bersumber dari dalam qalbu, lalu
terpancar keluar dalam bentuk aktifitas.17
Rumah tangga bahagia adalah idaman setiap keluarga dan untuk
mewujudkannya bukanlah hal yang mustahil. Namun kebahagian
tersesebut tidak serta merta datang dengan sendirinya menghampiri kita
tanpa ada upaya dan perjuangan. Kebahagian tersebut merupakan harta
termahal yang harus diperjuangkan dan dikejar. Dalam hal ini istri
memiliki peran yang sangat dominan, karena isrti merupakan ratu di
dalam rumah tangga dan menghabiskan seluruh atau sebagian besar
waktunya di dalam rumahnya.
Langkah menuju kebahagian sudah dimulai sejak sebelum
pernikahan. Di awali dengan tujuan yang mulia. Sementara langkah yang
harus ditempuh untuk meraih kebahagian pasca pernikahan adalah adanya
saling menghormati dan saling memnghargai antara suami istri, saling
mendukung dalam kebaikan dan ketaatan, saling mengingat agar tidak
melakukan kesalahan, dan hal-hal lain yang dapat membantu menuju
rumah tangga bahagia. Harus sama-sama mewujudkan kebahagaian
dalam rumah tangga walaupun dahsyatnya badai-badai yang
16
Fauzil Adhim, Memasuki Pernikahan Agung (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998),
h.22. 17
M. Quraish Shihab,Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 158
7
terjadisehingga merenggut kebahagian yang telah mereka bangun dengan
susah payah.18
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo bahwa kualitas hidup suatu
keluarga akan meningkat bila kesehatan terpelihara dengan baik. Karena
itu menjadi kewajiban bagi keluarga untuk membangun keluarga sehat
dengan cara menjaga dan memelihara kesehatan, sehingga dapat
menjalankan fungsi masing-masing dalam memakmurkan bumi dengan
dibarengi doa kepada Allah agar diberikan kebaikan di dunia dan di
akhirat.19
Namun demikian, implimentasi konsep keluarga sakinah pada
praktiknya acapkali menemui banyak kendala. Sehingga tak sedikit
bahtera rumah tangga yang karam di tengah perjalanan mengarungi
samudera kehidupan.20
Hal inilah yang memicu ketidak mampuan mereka untuk mengelola
potensi masalah sebagai media pembelanjaan bagi kedewasaan berpikir.
Alih-alih demikian, potensi masalah tersebut justru melemahkan ikatan
yang telah terikrar melalui akad nikah. Adanya masalah dalam kehidupan
bekeluarga memang tidak terelakkan. Suami istri semestinya mau
membuka diri untuk menerima karakter masing-masing, sehingga konflik
yang muncul nantinyabisa diselesaikan dengan dialog yang terbuka,
bukan malah saling menyalahkan satu sama lain.21
Fenomena tersebut mestimya harus dipahami oleh suami istri.
Kesungguhan membentuk keluarga sakinah harus diteguhkan sejak awal.
18
Najla‟ as-Sayyid Nayil, Menuju Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta:Pustaka Al-
Inabah, 2013), Cet. 1, h. 2 19
Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Indonesia:IKAPI,
2013), Cet. 1, h. 95 20
Hasan Basri, Keluarga Sakinah (Tinjuan Pustaka dan Psikis dan Agama),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 70. 21
Fauzil Adhim, Disebabkan Oleh Cinta, Kupercayakan Rumahku Padamu,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 179.
8
Pasalnya, hidup berkeluarga merupakan dambaan setiap orang. Manusia
diciptakan Allah berpasang-pasangan. Maka, ketika seseorangg telah
menikah, berarti ia telah mengukuhkan identitas dalam sebuah ikatan
yang suci dalam hal ini Quraish Shihab berpendapat bahwa pernikahan
merupakan manifestasi fitrah manusia yang merindukan pasangan
sebelum dewasa dan hasrat yang meluap-luap setelah beranjak dewasa.
Untuk itulah, sebagai fasilitator Islam mensyariatkan pernikahan yang
akan menentukan jiwa.22
Sebagaimana banyak terjadi konflik-konflik dalam rumah tangga
yang kita lihat sekarang ini di media Infotaiment yang membuat rumah
tangga tidak sesuai dengan harapan yang diharapkan untuk terciptanya
keluarga bahagia yang sebagaimana ajaran Islam. Hal ini terjadi,
disebabkan kurangnya ketaqwaan, kurang dalam ilmu pengetahuan baik
yang menyangkut dalam rumah tangga maupun masyarakat, kurangnya
tanggung jawab untuk diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan
demikian penulis di sini ingin menulis mengenai pencegahan yang dapat
melindungi keluarga dari problema, kesulitan keguncangan, serta
berupaya untuk mengetahui penyembuhan-penyembuhan terhadap
kesulitan-kesulitan atau sangketa-sangketa dibawah naugan Al-Qur‟an
dan Sunnah, akan tetapi penulis disini lebih kepada kajian tentang tafsir
Al-Qur‟an. Adapaun tafsir yang penulis ambil untuk menjelaskan
permasalahan di atas yaitu tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-nur, dan
Tafsir al-Azhar. Tafsir tarjumanul Mustafid merupakan tafsir klasik dan
juga menyinggung persoalan sosial. Tafsir an-Nur dantafsir al-Azhar
merupakan tafsir kontemporer, tafsir an-Nur menjelasakan segala aspek
permasalahan. Dan Tafsir al-Azhar merupakan tafsir yang bercorak adabi
22
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Ummat (Bandung: Mizan, 200), h. 192
9
ijtima’i. Alasan penulis mengambil ketiga tokoh mufassir tersebut karena
penulis ingin mengangkat pemikiran mereka yang merupakan ulama
tafsir Nusantara. Berdasarkan hal di atas penulis terdorong untuk
membahas lebih dalam lagi bagaimana menciptakan keluarga bahagia
yang digambarkan dalam Islam dan Rasulullah sawdalam bentuk skripsi
dengan judul “KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-
QUR`AN (Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-nur, dan Tafsir
al-Azhar)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari judul yang dibahas oleh penulis, dapat ditemukan beberapa
permasalahan yang pantas untuk dibahas, yaitu:
a. Definisi harmonis
b. Manfaat pernikahan dalam membangun rumah tangga menurut
ajaran Islam
c. Tujuan pernikahan dalam Islam
d. Ciri-ciri pernikahan harmonis
e. Cara mengatasi problematika menuju pernikahan harmonis
f. Penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili, Hasbi ash-shiddiqy, dan Buya
Hamka terhadap ayat-ayat al-Qur`an mengenai pernikahan
harmonis.
2. Pembatasan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, untuk
memperjelas permasalahan dan persoalan yang akan dibahas dalam
skripsi perlu disampaikan pembatasan dan perumusan masalah. Hal
ini diperlukan agar permasalahan tidak melebar kepada materi-materi
yang tidak berkaitan dengan judul skripsi.Pembatasan masalahnya
10
yaitu skripsi ini fokus membahas tentang ayat-ayat pernikahan
harmonis, karena banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan
tentangt pernikahan harmonis, maka penulis hanya mengambil limat
ayat saja diantaranya: QS. an-Nisa [4]: 34, QS. al-Baqarah [2]:187,
QS. ar-rum [30]:21, QS. an-Nisa [4]:19, QS. al-Baqarah [2]: 237,
QS. al-Baqarah [2]:228, QS. an-Nur [24]:26, QS. al-Furqan [25]:74.
Ayat tersebut merupakan yang menjelaskan secara umum tentang
konsep pernikahan harmonis.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan Abdurra‟uf As-Singkili, Hasbi Ash-
Shidiqi, dan Buya Hamka terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
mengenai pernikahan harmonis?
b. Apa persamaan dan perbedaan Abdurra‟uf As-Singkili,
Hasbi Ash-Shidiqi, dan Buya Hamka dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur`an mengenai pernikahan harmonis?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili, Hasbi
ash-Shidiqi, dan Buya Hamka terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
mengenai pernikahan harmonis.
b. Untuk mengetahui apa persamaan dan perbedaan Abdurra‟uf
as-Singkili, Hasbi ash-Shidiqi, dan Buya Hamka dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an mengenai pernikahan
harmonis.
2. Manfaat Penelitian
11
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis penelitian dapat digunakan untuk memperkaya
khazanah keilmuan Islam dibidang Tafsir Hadis terutama
pada tema yang berkenaan dengan pernikahan harmonis
dalam al-Qur`an. Penelitian ini mampu melengkapi teori yang
sudah ada dengan kontribusinya melalui pendekatan
komparatif.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan oleh
cendikiawan Islam untuk dijadikan sebagai referensi dalam
memahami maupun menafsirkan ayat-ayat pernikahan
harmonis dalam al-Qur`an dalam sudut pandang komparatif.
D. Tinjuan Pustaka
Menurut pengamatan penulis karya-karya tulis mengenai
pembentukan keluarga ideal sudah banyak di lakukan para peneliti baik
dari segi perspektif Al-Qur‟an maupun perspektif tafsir-tafsir yang dikaji
oleh peneliti.Namun sejauh ini pemahaman peneliti, belum menemukan
pembahasan khusus tentang “Konsep Pernikahan Harmonis Dalam Al-
Qur`an(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan Tafsir
Al-Azhar).Berdasarkan Kajian Pustaka yang penulis lakukan, penulis
menemukan karya-karya yang pembahasannya hampir sama.
Riswarni karya tulis yang berjudul “Konsep Keluarga Sakinah
Menurut Tafsir Al-Maraghi”.Karya tulis Riswarni berupa skripsi Fakultas
Ushuluddin Institut ilmu Al-Qur`an Jakarta pada tahun 2001. Kesimpulan
dalam skripsi ini bahwa untuk menciptakan keluarga sakinah
dikembalikan pada pelaku rumah tangga itu sendiri, yaitu suami istri. Dan
12
al-Maraghi menambahkan bahwa landasan paling kuat adalah agama, dan
petunjuk yang baik ialah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah.23
Kemudian karya tulis Siti Adlah yang berjudul “Pembinaan Keluarga
Menurut Perspektif Al-Qur`an (Studi Komperatif antara Tafsir Al-Azhar
dan Tafsir al-Maraghi dalam Al-Qur`an Surah at-Tahrim/66:6)”. Karya
tulis Siti Adlah berupa skripsi Fakultas Ushuluddin institut Ilmu Al-
Qur`an Jakarta pada tahun 2005. Kesimpulan dalam skripsi ini
menjelaskanbahwa, bagi pasangan suami istri harus saling menyadari dan
menjalankan fungsi masing-masing dan menjalankan tanggung jawab
terhadap anak-anaknya. Dan bila dilihat dari surat at-Tahrim ayat 6, maka
Allah mengingatkan manusia untuk menjaga diri mereka dari siksa api
neraka yakni dengan cara memberi petunjuk dan bimbingan serta
bertakwa kepada Allah.24
.
Pada tahun 2005, karya tulis yang berjudul “Esensi Cinta Menuju
Rumah Tangga Ideal (Qur‟an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Surat An-Nisa‟
Ayat 129)” yaitu karya Novita Endriyana. Karya ini berupa skripsi
Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta. Kesimpulan dari
skripsi ini peneliti membahas mengenai makna cinta bahwa cinta sesuatu
yang berada dalam genggaman kekuasaan Allah SWT.Sedang hakikatnya
adalah tunduk kepada Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjahui semua larangan-Nya serta mampu menyatukan antara cinta
kepa Allah cinta kepada makhluk. Cinta dalam rumah tangga bertujuan
agar dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah
warahmah.Karena itulah cinta kasih adalah budaya dalam keluarga, baik
23
Riswarni, “Konsep Keluarga sakinah Menurut Tafsir Al-Maraghi”,Skripsi
diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta:2001 24
Siti Adlah, Pembinaan Keluarga Menurut Perspektif al-Qur`an (Studi Komperatif
Antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Maraghi dalam Al-Qur`an Surah at-
Tahrim/66:6)”,Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2005
13
bagi peran seorang ayah, ibu, dan anak untuk memudahkan mereka untuk
saling memenuhi hak-hak dan kewajiban.25
Selanjutnya Pada tahun2008, karya tulis yang berjudul “Pernikahan
Ideal Menurut Al-Qur`an” (Tinjuan atas tafsir Al-Misbah)”. Karya ini
ditulis oleh Lysa Safitri dan berupa skripsi Fakultas Ushuluddin Institut
Ilmu Al-Qur‟an Jakarta. Kesimpulan dari skripsi ini berdasarkan
penafsiran M. Quraishihab tentang ayat-ayat pernikahan menegaskan
bahwa pernikahan ideal adalah pernikahan yang dilakukan dengan syarat-
syarat tertentu yang telah ditentukan oleh syari‟at dan mempunyai tujuan
untuk menciptakan sebuah keluarga sakinah, mawaddah, warahmah,
dengan berprinsip dalam ajaran islam secara kaffah. Pernikahan yang
dilakukan bukan secara paksa saling rida satu sama lain sehingga lebih
fokus untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, ramah.
Pernikahan yang dilakukan dengan kesiapan fisik dan mental.26
Kemudian pada tahun 2012 berupa karya Nurul Hidayatiyang
berjudul “Peran Suami dalam Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi
Tafsir Tematik), kesimpulan dari skripsi ini peran suami sangat
diperlukan dalam pembentukan keluarga sakinah, diantaranya peran
suami dalam keluarga adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap
keluarga, pendidik, dan pelindung akhlak keluarga, pengarah dalam
beribadah, seorang suami harus sholeh, keluaraga yang sempurna yaitu
diisi dengan perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan
material secara layak dan seimbang menciptakan kasih sayang.27
25
Novita Endriyana, “Esensi Cinta Menuju Rumah Tangga Ideal (Studi Analisis
Terhadap Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Surat An-Nisa‟ Ayat 129)”,Skripsi diajukan program
arjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2005 26
Lysa Safitri, “Pernikahan ideal menurut al-Qur`an” (Tinjuan atas Tafsir Al-
Misbah),Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2008 27
Nurul Hidayati, “Peran Suami dalam Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi
Tafsir Tematik)”,Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta:
2012
14
Perbedaan dengan semua penelitian diatas terhadap penelitian yang
akan penulis lakukan disini adalah “Konsep Pernikahan Harmonis
(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan Tafsir Al-
Azhar)”.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Untuk mendapatkan data dan fakta yang objektif dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu rangkaian penelitian yang berkenaan dengan
pengumpulan data dan pustaka dari literature yang berkaitan dengan
judul penelitian ini.Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya
dikembangkan menjadi hipotesis. Sehingga apabila hipotesis
diterima, maka hopotesis tersebut berkembang menjadi teori.28
2. Sumber Data Penelitian
Untuk mendapatkan data dalam penulisan ini, penulis
menggunakan sumber data yang relavan dengan judul proposal
ini.Adapun sumber-sumber primer dalam penulisan ini akan
menggunakan kitab tafsir yang sesuai dengan judul penulis teliti
melihat penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan pernikahan
harmonis yang akan digunakan kitab Tafsir Tarjumanul Mustafid
karya Abdurra‟uf As-Singkili, Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-
Shidiqi, Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka.
Selain sumber (primer) ada pula sumber-sumber (sekunder)
untuk mendukung penulis dalam penelitian penulis gunakan kitab-
28
T. Yanggo, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi Institut Ilmu al-
Qur`an (IIQ)Jakarta, (Jakarta:IIQ Press, 2011), Cet. 2, h. 22
15
kitab hadis, kitab-kitab tafsir yang mendukung penafsiran, Buku-
buku yang berkaitan dengan judul, Teknik pengumpulan data
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
metode studi documenter (documentary study),yaitu suatu metode
pengumpulan data yang menghimpun dan menganalisa dokumen-
dokumen, baik tertulis, gambar, maupun elektronik.29
4. Metode Analisis Data
Secara teknik operasional penulis mengindentifikasikan ayat-
ayat yang ada dalam al-Qur`an mengenai ayat-ayat yang
berhubungan dengan judul yang akan diteliti.
Pembahasan skripsi ini menggunakan metode penulisan yang
bersifat deskriptif analitis. Deskriptif adalah suatu metode yang
bermaksud untuk menggambarkan data-data dalam menguji atau
menjelaskan sebuah tulisan guna menjawab pertanyaan yang
menyangkut dengan pokok masalah.Sedangkan analitis adalah
sebuah tahapan guna menguraikan data-data yang terkumpul dan
tersusun secara sistematis.30
Jadi metode deskriptif analitis adalah
sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data yang telah
tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data tersebut.31
Dalam membahas permasalahan, penelitian ini menggunakan
teknis analisis komparatif yaitu dengan membandingkan berbagai
pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat yang dibahas
29
Nana Syaudin Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung:Remaja
Rosda Karya, 2010), h. 60 30
Winarto, Ilmu Pengantar Ilmiah Dasar Metode Teknik, (Bandung: Trasinto,
1978), h. 1o 31
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), Cet.
1, h. 64
16
oleh penulis untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan
identitas dan pola berpikir dari masing-masing mufassir.32
F. Teknik dan Sistematika Penulisan
1. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan
skripsi, tesis dan disertai Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta (edisi
revisi) yang diterbitkan oleh IIQ Press, cetakan ke-2 tahun 2011
2. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri beberapa
bab, yang antara satu bab dengan bab yang lain memiliki keterkaitan.
Untuk menghasilkan suatu pembahasan yang runtut, maka bab-bab
dibagi menjadi beberapa bab. Berikut rinciannya:
Bab pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, pada bab ini penulis akan membahas mengenai konsep
pernikahan harmonis, tujuan pernikahandalam Islam, manfaat
pernikahan dalam membangun rumah tangga menurut ajaran Islam, cirri-
ciri pernikahan harmonis, cara mengatasi problematika menuju
pernikahan harmonis.
Bab ketiga, tinjuan umum tiga tokoh ulama mufasir, meliputi
biografi, latar belakang penulisan tafsir, profil tafsir, metode dan corak
tafsir, serta karya-karyanya.
32
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 59
17
Bab keempat, bab ini merupakan penjelasan mengenai penafsiran
tiga tokoh ulama tafsir yaitu, bagaimana pandangan Abdurra‟uf As-
Singkili, Hasbi Ash-Shidiqi, dan Buya Hamka terhadap ayat-ayat al-
Qur`an mengenai pernikahan harmonis.Apa persamaan dan perbedaan
Abdurra‟uf As-Singkili, Hasbi Ash-Shidiqi, dan Buya Hamka dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an menegnai pernikahan harmonis.
Bab kelima, bab ini merupakan penutup, beberapa kesimpulan
berdasarkan hasil penelitian, beserta saran.
Setelah memahami latar belakang, rumusan masalah, tujuan, serta
sistematika penulisan skripsi ini. Maka selanjutnya penulis akan mulai
mengkaji mengenai apa pernikahan harmonis, manfat dan tujuan, sekilas
penjelasan tiga tokoh mufasir dan penfsiran ayat pernikahan menurut
tiga tokoh mufasir Nusantara.
.
19
BAB II
PEMBAHASAN
GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN HARMONIS
A. Konsep Pernikahan Harmonis
1. Definisi Pernikahan Harmonis
Secara bahasa Arab kata nikah berasal dari kata نكاحا ,ينكح , نكح
yang berarti menikah.1
Namun dalam buku lain kata nikah secara bahasa berarti
“himpunan” (adh-dhamm) “kumpulan” (al-jam‟u), atau “hubungan
intim” (al-wath‟u). Secara denotatif, kata “nikah” digunakan untuk
merujuk makna “akad”, sedangkan secara konotatif ia merujuk
kepada makna “hubungan intim”. Kawin atau (zawaj) bermakna
persambungan (al-iqtiran),seperti disebutkan Allah swt,
“kumpulkanlah orang-orang yang zalimbeserta teman sejawat (azwaj)
mereka”.
“(kepada Malaikat diperintahkan): "Kumpulkanlah orang-orang
yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-
sembahan yang selalu mereka sembah, (QS. As-Saffat [37]:22).
Menurut syara‟ dalam kitab “muhadharat fil ahwalil asy-
syakhsiayahti „ala Mazhab Imam Syafi‟I” merupakan suatu akad yang
mengandung pembolehan untuk berhubungan intim dengan lafadz
menikahkan atau mengawinkan, dan terjemahannya.2
1
Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:
Penerbit Pustaka Pregessif, 2002), h. 146. 2
Ali Mansur Usman Habib, MuhadharatFi Al-Ahwalil Asy-Syakhsiayati „Ala
Mazhab Imam Syafi‟I, (Kairo: Al-Azhar, 2016), h. 8
20
Namun pendapat syafi‟iyah yang paling shahih mengenai
pengertian nikah secara syar‟i adalah bahwa kata itu dari sisi
denotatife bermakna „akad‟ sedang dari segi konotatif bermakna
“hubungan intim”, sebagaimana disinggung al-Qur`an maupun
sunnah. Kata nikah dalam firman Allah swt, “sebelum ia menikah
dengan suami yang lain,” (QS.Al-Baqarah [2]:230) maksudnya adalah
akad. Sedangkan makna hubungan intim‟ diambil dari hadis al-
Bukhari dan Muslim, “… sebelum engkau mengecap „madunya‟.”3
Kemudian pengertian pernikahan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang Maha Esa.4
Definisi harmonis menurut kamus bahasa Indonesia bersangkut
paut dengan harmonis se ia dan sekata. Jika diambil dari kata
keharmonisan yang bermakana keselarasan, keserasian: dalam rumah
tangga perlu dijaga.5
Secara umum pengertian pernikahan harmonis tidak ditemukan.
Tetapi dari pengertian pernikahan dan harmonis dari makna
pernikahan harmonis ialah pernikahan yang menjadikan sebuah
keluarga yang rukun berbahagia, tertib, disipilin, saling menghargai,
penuh pemaaf, tolong menolong dalam kebaikan,memiliki etos kerja
yang baik, bertetangga dengan baik, taat mengerjakan ibadah,
mencintai ilmu, dan memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal
positif. Dalam kehidupan rumahtangga harus saling menjaga
3 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar,(Darul Fikr, Beirut: 2008), Cet
1, hal. 449-450 4 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikataan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995), Cet. 1, h. 12 5 Hasan Alwi, Kamus Bahasa Besar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Cet. 3, h. 390
21
keserasian dan keselarasan tersebut untuk mecapai pernikahan
harmonis.
2. Dasar hukum Nikah
Hukum nikah terbagi lima diantanya:
a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu
yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang
telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan akan
menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak
akan dapat terlaksana kecuali dengan nikah.
b. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumahtangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal,
dan kewajiban batin.
c. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah
mampu tetapi ia masih samggup mengendalikan dirinya dari
perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari
pada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
d. Nikah mubah. Yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk
niakha dan dorongan untuk nikah belum mebahayakan dirinya, ia
belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.6
e. Nikah makruh hukum ini berlaku bagi orang fakir yang tidak
mempunyai keinginan untuk menikah. Penyebabnya adalah
bahwa dia akan menganiaya dirinya sendiri dengan menafkahi
orang lain, padahal dia tidak berkeinginan untuk menikah.7
6 M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, h. 11
7 Syaikh Muhammad bin Shalih al-`utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-
Qur`an dan As-Sunnah, (Jakarta: Akbarmedia, 2009), Cet. 2, h. 284
22
Dari uraian diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan,
menurut islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah,
mubah, dan makruh tergantung dengan keadaan maslahat atau
mafsadatnya.8
3. Rukun dan Syarat Nikah
Rukun nikah yang sebenarnya adalah adanya keridhaan dari kedua
belah pihak dan kemauan bersama untuk menjalin hubungan. Tetapi
mengingat keridhaan dan kemauan bersama bagian dari perasaan hati
yang tidak bisa dilihat oleh mata, maka harus ada ungkapan yang
menunjukkan tekad membangun dan menciptakan jalinan hubungan.9
Diantaranya rukun dan syarat nikah adalah
a. Rukun perkawinan ada lima yaitu:
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai wanita
3. Wali dari mempelai wanita yang akan mengakadkan
perkawinan
4. Dua orang saksi10
5. Ijab adalah Redaksi yang diucapkan lebih dulu untuk
mengungkapkan kemauan menajalin hubungan suami istri.
Sedangkan qabuladalah adalah redaksi kedua yang diucapkan
oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan
penerimaan dan persetujuan. 11
b. Syarat Pernikahan
8 M. A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, h. 11
9 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 2, penerjemah: Amir Hamzah,
(Jakarta: IKPI al-I‟tishom, 2010), Cet. 1, h. 187 10
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia, 2016),
Cet. 1, h. 39 11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 2, penerjemah: Amir Hamzah, h.
187
23
1. Syarat mempelai
a. Syarat mempelai laki-laki yaitu:
1. Bukan mahram dari calon istri
2. Tidak terpaksa atas kemuan sendiri
3. Orangnya tertentu atau jelas orangnya
4. Tidak sedang menjalankan ihram haji
b. Syarat mempelai wanita yaitu:
1. Tidak ada halangan hukum bahwa wanita tersebut
tidak bersuami, bukan mahram, dan tidak dalam
keadaan iddah.
2. Merdeka atas kemauan sendiri, bentuk persetujuan
dari calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan dan isyarat akan
tetapi bisa juga berupa diam dalam arti tidak ada
penolakan yang tegas.
2. Syarat wali
Wali harus memenuhi syarat wali, wali adalah seorang laki-
laki, sudah baligh, berakal sehat tidak cacat, tidak dalam
keadaan dipaksa untuk menjadi wali, adil, tidak dalam keadaan
ihram haji.Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah
suatu yang harus dan tidak sah akad nikah pernikahan yang
tidak dilakukan oleh wali.Wali itu ditetapkan sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.12
3. Syarat saksi
Syarat-syarat saksi diantaranya ialah laki-laki, sudah baligh,
berakal sehat, dapat mendengar dan melihat, tidak dipaksa,
12
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 40-43
24
tidak sedang melaksanakan ihram haji, memahami bahasa yang
digunakan untuk ijab qabul.
Ketentuan saksi dalam kompilasi hukum Islam sebagai berikut:
1. Saksi dalam perkawinan merupakan pelaksanaan akad
nikah. Setiap pernikahan harus disaksikan oleh dua orang
saksi.
2. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akadnikah ialah
seorang tidak terganggu ingatan dan tidak tunarunggu atau
tuli.
3. Saksi harus hadir dan menyaksikan akad nikah secara
langsung serta menandatangani akta nikah pada waktu dan
di tempat nikah dilangsungkan.13
4. Syarat Ijab qabul
Pendapat yang paling ashah dalam pengucapan ijab dan qabul
wajib dengan lafaz inkaah atau tazwij bagi orang yang bisa
berbahasa arab dan bagi yang tidak bisa berbahasa arab boleh
menggunakan bahasa masing-masing.14
Bukan dengan kata
„aku hibahkan‟, atau „…berikan hak milik‟, dan lain sejenisnya
seperti „…halalkan‟ dan „…bolehkan‟. Para ulama menyatakan
bahwa maksud “ kalimat Allah ” disini adalah kata “ Aku
kawinkan” atau “ Aku nikahkan”.15
Dalil yang mereka gunakan
adalah bahwa akad nikah disebut dalam al-Qur`an seperti ini “
maka nikahkanlah mereka”dalam suarah an-Nisaa ayat 25.16
13
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 45 14
Syaikh Muhammad bin Shalih al-`utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-
Qur`an dan As-Sunnah, (Jakarta Timur: Akbarmedia, 2009), Cet. 2, h. 286 15
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar, (Darul Fikr, Beirut: 2008)
Cet 1, h. 453 16
Syaikh Muhammad bin Shalih al-`utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-
Qur`an dan As-Sunnah, h. 286
25
Kemudian majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat
orang yaitu calon orang mempelai atau wakilnya, wali dari
mempelai wanita dan dua orang saksi.17
B. Manfaat Rumah Tangga Menurut Ajaran Islam
Setelah melaksakan pernikahan banyak sekali manfaat yang bisa kita
ambil, apalagi dengan memiliki suami atau istri yang cocok dengan kita,
dari segi makanan berpakaian dan lain sebagainya.Kesamaan dalam
rumahtangga sangat membantu kita dalam penyesuain diri sesama
pasangan.Dan manfaat dari berumahtangga melahirkan keturunan-
keturanan dan mewarisi ilmu-ilmu kita terhadap anak-anak. Dan
demikian pula dengan menikah harta kita bisa diwarisi oleh anak-anak
kita jika tidak berumahtangga, bagaimanakah kita mewarisi ahli
waris.18
Kemudian dengan berumatangga bisa menjaga kehormatan dan
pandangan mata, melindungi agama dan akhlak, menghasilkan keturunan
yang shaleh yang sangat penting dalam memperbanyak kuantitas kaum
Muslim dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam
mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak mereka.19
Manfaat lain dalam berumah tangga, suami istri bisa bekerja sama
dalam melakukan kebaikan. Saling memperingati dalam kebaikan
sebagaiman suami menyuruh istri berbuat kebaikan dan menjahui
keburukan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-qur`an.
17
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 46 18
Duad kauma, Membangun Sorga Rumah Tangga, (Solo: CV. Aneka, 1996), Cet.
1, h. 16 19
Syaikh Fuad Shalih, Penerjemah M. Yasir Abdul Muthalib, Untukmu yang Akan
Menikah dan Telah Menikah, (Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 3, h. 10
26
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”(Q. S at-Taubah [9]: 71).
Kemudian manfaat dengang terlaksananya pernikahan maka suami
lebih rajin dan giat dalam bekerja mencari nafkah untuk
keluarganya.Berbeda dengan sebelum berumah tangga yang belum
memiliki tanggung jawab yang besar yang hasil kerja kerasnya sesuai
dengan kebutuhan sendiri yang belum memikirkan tanggung jawab untuk
anak dan siistri. Adapun dengan berumah tangga seorang istri lebih hati-
hati dalam bersikap, terutama kerena ingin menjaga perasaan suami.
Kemudian sebelum berumah tangga seorang perempuan belum ada yang
mengikatnya dan bisa dikatakan ia memiliki kebebasan. Sangat berbeda
setelah ia menikah dan apa yang dimiliki istri adalah milik suaminya,
seluruh tubuh istri adalah milik suami. Maka tidak boleh sorang istri
melakukan sesuatu tanpa ijin suami. Maka dalam rumah tangga seorang
wanita benar-benar diuji kesabaran, kesetiaan, dan ketelatenan, serta rela
bersusah senang dengan suami.20
20
Duad Kauma, Membangun Sorga Rumah Tangga, h. 16-18
27
C. Tujuan Pernikahan Dalam Islam
1. Untuk menjaga keturunan, cara menjaga keturunan ialah dengan
menikah yang terjadi antara laki-laki dan perempuan sehingga
terjagalah manusia. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS: Az-Zariat 51:49)
2. Untuk mengeluar air yang terdapat dalam tubuh manusia agar tidak
menjadi mudarat bagi tubuh, sebab itulah Allah mensyariatkan
pernikahan agar hilangnya mudarat tersebut dengan tersalurnya
syahwat dengan cara hukum syariat.
3. Untuk memperoleh kenikmatan, maka syariat yang toleran bukanlah
yang bertolak belakang dengan syariat itu sendiri. Allah Swt
mengatur bagaimana cara menikmati perhiasan dunia tersebut
diantaranya itu adalah dengan menikah.21
4. Untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, untuk itu suami istri
harus saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materi.
5. Perkawinan adalah menuruti perintah Allah untuk memilki keturunan
yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang
damai dan teratur.22
Dan dengan perkawinan yang sah anak-anak akan
mengenal ibu, bapak dan nasab keluarganya sehingga hidup tenang
dalam masyarakat disebabkan keturunan yang jelas. Sebagaimana
21
Ali Mansur Usman Habib, Mudharat Fi Al-Ahwalil Asy-Syakhsiayati „Ala
Mazhab Imam Syafi‟I, t, (Kairo: Al-Azhar, 2016), h. 19-20 22
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 46
28
kelompok yang terjadi di masyarakat yang rusak yang disebabkan
dekadensasi moral, free sex dan perilaku-perilaku menyimpang,
sehingga anak-anak yang tidak mengetahui nasab keturunannya akan
merasa hidup dan tidak berguna.
6. Untuk menciptakan rasa kebapakan dan keibuan yang mebuahkan
rasa saling kasih sayang dan saling tolong menolong antara suami dan
istri dalam mendidik anak untuk mencapai kebahagiaan.23
7. Tujuan nikah merupakan salah satu untuk menjaga diri dari perbuatan
keji jika seseorang memimiliki waktu kosong atau menganggur.24
8. Untuk menciptakan mawaddah25
dan rahmah26
antara laki dan
perempuan agar menjadikan jiwa damai dan tentram, sehingga
terbiasa melakukan hal-hal yang tenang, maka terciptalah masyarakat-
masyarakat yang tenang dan damai.27
Menurut Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam , tujuan pernikahan,
yaitu:
1. Menjaga kemaluan suami istripandangan masing-masing diantara
keduanya, dengan perjanjian ini hanya kepada pasangannya, tidak
mengarahkan pandangan kepada laki-laki atau wanita yang lain.
23
Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 15. 24
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar, h. 452-453 25
Kata mawaddah berasal dari kata wadda-yawaddu yang berarti mencintai sesuatu
dan berharap untuk bisa terwujud. Mawaddah sebagai salah satu yang menghiasi perkawinan
bukan sekedar cinta, sebagaimana kecintaan orangtua terhdap anaknya.Inilah yang tergambar
dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah pernikahan. Ketika
seorang laki-laki mecintai wanita untuk mewujudkan cintanya yaitu dengan cara
menikahinya. Begitu pula sebaliknya ketika seorang perempuan mencintai laki-laki maka ia
ingin terwujud untuk menjadi istrinya. Menurut ulama ada yang mengartikah mawaddah
dengan mujama‟ah yaitu bersenggama. Baca selengkapnya di Tim Penyusun, Tafsir al-
Qur`an Tematik jilid 2, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), Cet. 1, h. 39-40 26
Kata rahmah berasal dari rahima-yarhamu yang berarti kasih sayang (riqah)
yaitu sifat yang mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan kepada siapa yang diaksihi.
Baca selengkapnya di Tim Penyusun, Tafsir al-Qur`an Tematik jilid 2, h. 41 27
Ali Mansur Usman Habib, Muhadharat Fi al-Ahwalil asy-Syakhsiayati „Ala
Mazhab Imam Syafi‟i, h. 20-21
29
2. Meperbanyak ummat lewat keturunan, untuk memperbanyak hamba-
hamba Allah dan orang-orang yang mengikuti Nabinya, sehingga
terealisasi kebangsaan di antara mereka dan saling tolong menolong
dalam berbagai aktifitas kehidupan.
3. Menjaga nasab, dengannya terwujud saling mengenal antara sesama,
saling sayang menyayangi dan tolong menolong. Sekiranya tidak ada
akad nikah dan upaya menjaga kemaluan dengan pernikahan, maka
banyak nasab yang tidak teridentifikasi dan kehidupan ini menjadi
anarkis, tidak ada waris, tidak ada hak, tidak ada pangkal dan cabang.
4. Dengan pernikahan dapat tumbuh rasa kasih sayang antara suami istri.
Setiap manusia membutuhkan teman pendamping dalam hidupnya,
berbagi rasa suka dan duka dalam kelapangan dan kesusahan
bersama.
5. Dalam pernikahan terdapat rahasia Ilahi yang sangat besar, yang
terwujud secara sempurna ketika akad pernikahan dilaksanakan. Jika
Allah menetapkan kebersamaan, maka diantara suami istri akan
muncul makna-makna cinta dan kasih sayang yang tidak akan
dirasakan diantara kedua teman kecuali setelah bergaul sekian lama.
Maka makna inilah yang disyari‟atkan oleh allah dalam Firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. Ar-Ruum 30: 21.
30
6. Berbagi urusan rumah tangga dan keluarga dapat tertangani dan
terurus karena bersatunya suami istri, yang sekaligus menjadi benih
tegaknya masyarkat.28
D. Ciri-ciri Pernikahan Harmonis
1. Adanya kedudukan dan tanggung jawab yang jelas dalam kelaurga
Dalam keluarga yang sakinah dan sejahtera, ayah, ibu, dan anak
mempunyai kedudukan, tugas dan tanggung jawab yang berbeda.
Ayah sebagai kepala keluarga yang mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk kehidupan keluarga secara keseluruhan, termasuk kepada
istri dan anaknya. Ayah selain bertanggung mencari nafkah keluarga,
juga memberikan tuntunan dan bimbingan terhadap istri dan anaknya.
Sebagai ibu rumah tangga mendampingi suami dalam mendidik
anak-anaknya.Sedangkan anak memimiliki kewajiban taat dan patuh
kepada kedua orang tuanya.Antara ayah, ibu, dan anak terjalin dalam
pergaulan yang harmonis, mesra penuh dengan kasih sayang.29
2. Selalu menghindari dari perselisihan dan percekcokan
Keluhan, pengungkapan diri penuh aib, penghinaan dan
pengucilan adalah beberapa bentuk penyiksaan jiwa.Seorang istri
mungkin memilki salah satu darinya atau bahkan semuanya.Sikap iri
terkadang dimulai dengan kata maaf, tetapi hal itu segera berubah
menjadi kebiasaan yang buruk seperti halnya menbanding-
bandingkan anatara suaminya dengan suami orang lain.
3. Senantiasa bermusyawarah dalam merancang tujuan
Pertama yang harus dilakukan oleh seorang istri membantunya
memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benaknya,
28
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 28-29 29
Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Ikapi, 2013),
Cet. 1, hal. 125
31
atau membantunya apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini.
Setelah itu ia mengajukan diri agar diikut sertakan dalam
merealisasikan tujuan yang hendak dicapai suaminya.
Dan juga tujuan mereka berdua.Sebenarnya, dua tujuan di atas
tidak ada bedanya.Tujuan suami haruslah satu dan sesuai dengan
tujuan istrinya yang menjadi teman hidupnya.Sebab keberadaan suatu
tujuan merupakan asas pernikahan bahagia.30
4. Pandai-pandai mengungkapkan rasa kasih dan sayang
Bagi seorang sitri salah satu faktor yang dapat meyenangkan
hati suami pandai dalam mengungkapkan rasa rindu dengan kata-kata
yang indah kepada suami setelah suami pulang dari bepergian jauh
ataupun bekerja.Ini adalah faktor untuk utuk mengeratkan suatu
hubungan suami istri.31
5. Memahami dan berusaha menyesuaikan diri dengan pasangan
masing-masing
Seorang suami atau istri yang baik akan menyadari bahwa
kecocokan dan keeratan antara suami istri tidak terjadi secara drastic
dan bersamaan, tapi ia mengerti bahwa kecocokan perasaan itu
terbentuk melalui beberapa tahapan yang tidak luput dari usaha dan
kesalahan.
Sebab demikianlah hubungan suami istri tidak akan terjalin erat
kecuali dengan menghormati dan memahami semua keinginan serta
perasaan masing-masing pihak dan hal ini merupakan suatu hal yang
tidak mudah terjadi dalam satu waktu, disinilah pentingnya hal
tersebut diterapkan.
30
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, (Jakarta: PT Almahira, 2001), Cet. 1, h. 79-80 31
M. Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Suami, Penerjemah: Wahid
Ahmadi (Jakarta: Intermedia, 1997), Cet. 13, h. 20-21
32
6. Bersikap positif pada aib sendiri dan pasangan
Setiap kepribadian memiliki kekurangan namun suami atau istri
harus bersikap positif terhadap aib pasangan atau aib sendiri. Dalam
bersikap menghadapi aib-aib pasangannya, suami istri harus menahan
diri untuk tidak mengkritik semua perilkunya, yang seakan-akan ia
memang bertugas melakukan hal itu.
Dan sikap yang bijak adalah dengan mencari waktu yang tepat
untuk saling membicarakan aib itu bersama-sama dan memilih cara
yang baik serta kata-kata yang sopan agar tidak menyinggung
perasaan dengan niat masing-masing bahwa tujuan yang baik. Dan
harus saling mendengar pendapat pasangan dan memahami apa yang
telah dikatakan pasangannya itu, dengan niat tulus mau mengubah apa
yang menurut suami atau istrinya harus diubah.
7. Tidak suka menuduh sesama pasangan
Para suami dan istri selalu berusaha keras menghindari titik
rawan tuduhan dan segala sesuatu yang meragukan sehingga ia dapat
melindungi kehormatan dan nama baiknya dari semua prasangka
buruk yang mungkin mengundang ketergesaan orang-oran yang selalu
mencari kesalahan orang lain. Sebab itulah yang akan mendapatkan
marabahaya.32
8. Bersikap setia
Anjuran Islam kepada kita untuk berperangai setia, sikap setia
adalah sikap yang paling positif bagi kebahagian rumah
tangga.Pasangan yang selalu merasakan kebahagian bersama,
melewati hari bersama dan selalu hidup suka dan duka bersama.33
32
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 80-82 33
M. Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Suami, Penerjemah: Wahid
Ahmadi 13, h. 73
33
Kedua belah pihak harus dapat membuat pasangannya merasa
bahwa ia memberikan perhatian pada kesedihannya, merasakan apa
yang jadi perasaannya serta ikut memikul penderitaan yang dialami
pasangannya itu. Sebab, roda kehidupan selalu berputar, dan itu sudah
merupakan ketentuan Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya.34
9. Sifat cemburu sewajarnya
Sifat cemburu dalam hubungan suami istri jika terlalu besar
akan mengakibatkan problem dalam rumahtangga, perasaan ini harus
dihindari sebelum menjadi api cemburu dalam rumahtangga, agar
terjalin rasa saling percaya sesama pasangan.35
10. Tidak berusaha saling mengusai
Kepemimpinan seorang laki-lakimerupakan sesuatu yang diakui
oleh tabiat dan juga oleh syariat, demikianlah sunnatullah yang ada
dalam kehidupan semua Makhluk-Nya.Demikian suami tidak boleh
secara membabi buta mengatur dan mengendalikan isrtinya, seolah-
olah ia penguasa tunggal dalam keluarga. Tetapi selayaknya ia
meminta pertimbangan dan saran dari pihak istri, meluruskan yang
salah dan mengakui kesalahan sendiri.
Jika masing-masing pihak sudah saling memahami posisinya
dan bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnmya, maka
terwujudlah rumah tangga yang harmonis, penuh kebahagian
pasangan ideal sampai akhir hayat.
11. Menghilangkan watak pemarah
Kebahagian seorang suami dalam kehidupannya lebih banyak
bersandar pada watak istrinyaketimbang pada hal-hal lainnya. Watak
34
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 85 35
Butsainan As-Syyid Al-Iraqy, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, Penerjemah:
Khatur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1995), Cet. 1, h. 122-123
34
pemarah bisa dimiliki oleh suami atau istri jika salah satu pasangan
memiliki watak pemarah pasangan tidak akan mendapatkan
ketenangan hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Beberapa
penelitian yang dilakukan menganai beberapa pasangan menunjukkan
bahwa kemarahan seorang istri merupakan factor terbesar penyebab
runtuhnya rumah tangga. Banyak dari kaum pri mengatakan , “
sesungguhnya siafat paling buruk yang mungkin dimiliki seorang
wanita adalah pemarah”.
Meski demikian masih banyak wanita sejak dahulu sampai
sekarang, yang tetap mempertahankan sifat pemarah. Di sisi lain, istri
yang baik, yang dengannya Allah memuliakan sebagai pria,
mendapatkan kebahagiannya karena dirinya dipenuhi dengan
kecintaan dan ketenangan.36
E. Cara Mengatasi Problematika Pernikahan
Rasanya tiadalah seorang suami istri yang tidak menginginkan
dirinya mampu menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dalam
kehidupan rumah tangganya. Dalam dunia ini tiada satupun rumah tangga
yang tidak memiliki masalah yangdialami suami istri.37
Namun
perselisihan tidak hanya dialami oleh pribadi pasangan suami istri bisa
juga menyangkut perselisihan antar anggota keluarga, dan itupun wajar,
lebih-lebih dialami antar dua oramg yang berbeda adat dan keprabadian.38
Disnisi dijelaskan ada beberapa dalam menyelesaikan berbagai
36
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 85-87. 37
Nashir Bin sulaiman Al-Umar, Menuju Kebahagian Suami istri, (Jakarta: CV.
Muria Putra Pressindo: 1995), Cet. 1, h. 67 38
Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 123
35
perselisihan suami istri dalam kehidupan rumah tangga diantaranya
ialah:39
1. Sabar dan penuh kebijaksanaan
Bila diperhatikan rumah Nabi sekalipun juga tidak terlepas dari
berbagai persoalan. Akan tatetapi persoalan yang dialami oleh Nabi
dalam rumah tangga sebenarnya memiliki hikmah dari allah yang
diperlihatkan kepada umat manusia, yaitu bagaimana sikap rasullullah
SAW menghadapi persoalan sehingga dapat diikuti oleh ummatnya.
Jika Allah menghendaki untuk membersihkan segala persoalan dan
berbagai bentuk kekeruhan yang ada dalam rumah Nabi tentu saja
Allah bisa.
2. Adaptasi
Maksud adaptasi disini ialah bahwa suami istri harus mampu
menahan diri dari konflik, agar terhindar dari kesalahpahaman
masing-masing.Dan uapaya ini sangatlah besar yang sering di alami
oleh masng-masing pasangan.Terutama diawal mereka membangun
rumah tangga.40
Suami istri sering kali terjadi kesalapahaman didalam rumah
tangga, dan terus hidup berdasarkan kesalahahpahaman tersebut.Dari
sinilah sikap itu semakin meruncing dan perselisihanpun semakin
luas.Oleh karena itu, pengungkapan dari masing-masingpihak
mengenai hakikat tujuannya dan hal-halyang menyulitkannya secara
terbuka dan langsung akan menghilangkan kesalapahaman ini.41
3. Pengendalian diri terhadap hawa nafsu
39
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 89 40
Nashir Bin sulaiman Al-Umar, Menuju Kebahagian Suami istri, h. 67 41
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, , h. 90
36
Bahwa perselisihan yang sering terjadi yang dilakukan oleh
pasangan sebagian akibat dari ucapan yang tidak baik.Berkata kotor,
dan ketika terjadi perselisihan tanpa disadari mengeluarkan kata-kata
yang tidak patut.Sehingga membuat perasaan pasangan tersakiti.Jadi
untuk menghindari perselisihan dalam rumah tangga, hindari hawa
nafsu untuk membicarakan perkataan kotor, jelek, perkataan yang
tidak bermanfaat.
Dengan demikian dapat dikatakan, suami istri yang baik ialah
yang bisa menjaga mulutnya, hawa nafsunya serta menahan diri di
saat munculnya persoalan yang mengakibatkan kemarahan yang tanpa
disadari yang sehingga mengeluarkan kata-kata yang buruk.42
4. Jika perselisihan itu benar-benar ada, maka kedua belah pihak harus
sepakat membicarakan akar perselisihan.
Dalam hal ini, hendaklah untuk mengkonsentrasikan diri untuk
menangani akar peselisihan yang terjadi antara suaminya dan istri
atau penyebab langsung yang yang perlu dibicarakan agar ia tidak
menyulut berbagai permasalahan yang baru atau mengungkit kesalah-
kesalahan suami atau istri yang dilakukan di masala lalu ini akan
mengakibatkan tidak mampu memecahkan akar perselisihan.43
Atau bisa dikatakan untuk memperkecil konflik tersebut
sehingga tidak meluas kemana-mana.Dari sini kemampuan
menyelesaikan perbedaan pandangan merupakan syarat bagi
terwujudnya keluarga yang tenang dan tentram.Seperti seorang
sahabat Nabi bernama Abu al-darda‟ berkata kepada istrinya” kalau
42
Nashir Bin Sulaiman al-Umar, Menuju Kebahagian Suami istri, h. 72 43
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 91
37
engkau melihatku marah, diamlah dan akupun akan diam jika melihat
engkau marah”.44
5. Bertanyalah kepada orang yang lebih ahli
Banyak bertanya kepada orang-orang yang ahli sebenarnya
penting dalam menghadapi setiap masalah. Orang lain biasa lebih
mengetahui jalan keluar masalah diabnding yang bersangkutan
sendiri. Disamping itu, orang lain tidak memihak terhadap masing-
masing pasangan. Sementara penyelesaian masalah oleh diri sendiri
seringkali terbentur oleh sikap egoistis dan emosional, disamping
merasakan kesempitan dalam berfikir dan mengeluarkan pendapat,
karena pada saat itulah ia perlu bersandar kepada pendapat orang
alain dalam mencari jalan keluar yang terbaik.45
Sebagaiaman firman
Allah Swt
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.jika kedua
orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa
4:35).
6. Membicarakan dirinya sendiri
Cara terbaik harus ditempuh oleh wanita muslimah dalam
menuntaskan permasalahannya adalah membicarakan pikiran,
44
Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 124 45
Nashir Bin sulaiman Al-Umar, Menuju Kebahagian Suami Istri, h. 74
38
perasaan, keinginan dan emosi dirinya sendiri, serta berusaha tidak
membicarakan hal-hal yang menyangkut diri suaminya akan berusaha
mengelak dan memeprtahankan diri, yang justru menyebabkan terus
menurus mengulangi perbuatan itu.
Membicarakan tentang diri sendiri akan memberikan lebih
banyak kesempatan kepada suaminya untuk mengenali segala sesuatu
yang ada pada istri, segala yang penting ataupun tidak penting
baginya, segala sesuatu yang disukai maupun yang tidak disukainya.
Semua itu kan membantu suaminya di masa akan mendatang untuk
memghindari rawan titik-titik perselisihan.
7. Mencari titik persamaan dan pemahaman dan serta menguatkannya.
Titik-titik persamaan dalam kehidupan suami istri merupakan
dasar keharmonisan dan kerukunan yang dengannya dapat
menyeesaikan semua perselisihan yang menghadang dirinya. Di sisi
lain mencari kesalahan masing-masing pihak dengan tujuan mengelak
dan mempertahankan diri serta memperlihatkan kekurangan-
kekurangannya hanya akan memperluas wilayah perselisihan.46
8. Mengadakan perdamaian yang dilandaskan pada niat yang tulus
Usaha mewujudkan perbaikan dan perdamaian yang baik tidak
jarang bersembunyi di balik pemberian yang saling bergantian dari
masing-masing pihak.Disaat masing-masing pihak mengetahui bahwa
keduanya telah mencurahkan berbagai pengorbanan dan berusha
mewujudkan perbaikan ini. Maka di saat itu pula mereka harus
berusaha keras mewujudkan keseopakatan tentang hal itu dan tidak
kan membuat kesulitan-kesulitan dalam perjalanan hidupnya di masa
mendatang.
46
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 91
39
Beberapa kesalahan fatal yang harus dihindari oleh suami istri
yang kurang serius dalam menangani dan memecahkan masalah-
masalah seperti ini .diantaranya kesalaha-kesalahan tersebut ialah.
1. Menahan perasaan yang tidak baikdalam hati
2. Melibatkan orang lain dalam perselisihan
3. Menggunakan cara yang mematikan kepribadian masing-masing
pihak
4. Bertengkar dihadapan anak-anak.
Dengan demikian agar suatu hubungan terjalin dengan baik harus
dilakukan dengan komunikasi yang baik.Dalam hubungan sekuat apapun
bentuknya, tidak mungkin bisa dihindari adanya perbedaan dan
perselisihan. Dengan perasaan normal dan baik, yang menjadikannya
mampu menjalin hubungan erat dan bahkan sangat terhormat, seoarang
wanita akan mampu menangani semua titik rawan jika ia mememiliki
“unsur dinamis” yang akan mengembalikannya kepada kehidupan rumah
tangganya dalam wujudnya yang harmonis dan penuh kerukunan.
“Unsur dinamis” itu adalah cinta.47
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat pernikahan diatas
bahwa pernikahan dilakaukan dengan jalan yang suci yaitu dengan
adanya akad agar terjadinya hubungan yang halal antara laki-laki dan
perempuan.bertujuan mempersatukan dua jiwa sehingga melahirkan
keturunan yang sah menurut ajaran Islam. Adapun tentang pernikahan
harmonis ialah pernikahan yang dilakukan berlandaskan keimanan
kepada Allah, selalu melakukan kebaikan dalam setiap keadaan, baik
terhadap pasangan, anak, keluarga, maupun masyarakat.
47
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi
Saloom, h. 92-93.
40
Kemudian pernikahan tidak akan terlaksana hanya dengan akad,
tetapi diperlukan adanya syarat, dan rukun nikah. yang sudah ditetapkan
oleh syariat Islam,agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Sehingga terciptalah kedamaian dan ketentraman baik sesama pasangan,
keluarga, dan masyarakat.
Tujuan dan manfaat pernikahan dilakukan diantaranya adalah
untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat, menjaga keturunan, menjadi
lebih tanggunga jawab dalam rumahtangga.Sama-sama berusaha untuk
membangun keluarga yang penuh kerukunan dan kebahagian.
Kemudian ada beberapa hal yang menjadikan tercbentuknya
keluarga harmonis. Sebagaiamana yang telah dijelaskan pada
sebelumnya, dan cara mengatasi beberapa masalah yang dialami oleh
pasangan suami istri dalam rumahtangga sehingga bisa menjaga kembali
rumahtangga tersebut mejadi keluarga yang sakinah,48
mawaddah, dan
rahmah.
48
Kata sakinah yang berasal dari kata sakana-yaskunu pada mulanya berarti
sesuatu yang tenag atau tetap setelah bergerak. Ketenangan disini menjelaskan tentang
keberadaan orang lain sebagai pasangannya adalah bersifat rohaniah atau bisa disebeut
ketenangan jiwa. Dalam artinya seorang laki-laki akan mersa ketenagan jika didampingi oleh
seorang itri dan begitu juga perempuan. Baca selengkapnya di Tim Penyusun, Tafsir al-
Qur`an Tematik jilid 2, h. 38
41
BAB III
TINJUAN UMUM TIGA TOKOH ULAMA TAFSIR
A. Biografi Syekh Abdura’uf As-Singkili
1. Riwayat Hidup Syekh Abdura’uf As-Singkili
Abdurra`uf as-Singkili adalah seorang mufasir berkengbasaan
Melayu, tanah kelahirannya adalah Fansur, Sinkil, wilayah pantai
laut Aceh. Nama lengkap beliau adalah Abdurrau`uf bin Ali al-Jawi
al-Fansuri as-Singkili.1
Mengenai tahun lahir Abdura‟uf As-Singkili banyak perdebatan
dari para peneliti.2Kebanyakan para ilmuan mengembangkandengan
menggunakan pola yang dikembangkan Rinkes menghitung mundur
dari 1661, yaitu tahun kembalinya Abdura‟uf dari Arab ke Aceh yang
ditulis sendiri oleh Abdura‟uf dalam bagian akhir kitab Umdat al-
Muhtajin fi Suluk al-Maslak al-Mufridin. Ia mennginformasikan
bahwa dirinya belajar di Arab selama 19 tahun. Dengan demikian
informasi ini ditambah pula dengan usia ia saat keberangkatannya
sekitar 25 tahun (yakni usia umum seseorang di masa itu pergi
merantau ke Arab), maka diperkirakan tahun kelahiran Abdurra`uf as-
Singkili pada tahun 1024 H/ 1615 M. Namun peneliti lain yang
bernama Voorhoeve menganggap bahwa tahun ini terlalu cepat.3
Silsilah as-Singkili berasal dari Persia yang berhijrah ke
Kesultanan samudra Pasai pada akhir abad ke -13 M. Mereka
1 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 131
2 Menurut Aly Hasjmy mengatakan bahwa Abdura‟uf lahir pada tahun 1592, meurut
Saiful Amin Ghofur pendapat ini kurang logis, sebab jika perhitungan mundur dari tahun ia
kembali ke Aceh dan masa yang ia habiskan di Mekah, maka beliau pergi ke Arab pada
umur 50 tahun dan pulang ke Aceh pada umur 65 tahun.Ahmad Daudy, Tasawuf
Aceh,(Banda Aceh: CV. Diandra Primamitra Media, 2008), h. 119
3 Ahmad Daudy, Tasawuf Aceh, hal. 119
42
menetap di Fansur (Barus), sebuah kota yang sangat strategis di
Sumatra Barat, oleh sebab itu sayangnya silsilah as-Singkili tidak
terekam semua pada saat itu.
Adapun sebuah data yang bisa membatu yang di tuliskan oleh
Penouh Daly dalam kajiannya terhadad naskah Mir‟atut Tullab karya
Abdurrau`uf as-Singkili. Menurut Penouh Daly ayah as-Singkili
berasala dari Arab dan menikahi wanita daerah Fansur , namun
perkiraan ini bisa dikatakan sangat mungkin, dikarenakan pada saat
itu Samudra Pasai banyak didatangi oleh para pedangan yang berasal
dari Cina, India, Persia, dan Arab.
Kemudian pendidikan as-Singkili langsung ditangani oleh
ayahnya.Ayahnya seorang „alim dan pendiri Madrasah. Selesai
belajar dari sang ayahnya ia melanjutkan belajar ke kota Banda Aceh
yang berlawanan arah tempat yang ia tinggali. Ia memepelajari ilmu
kepada syamsyuddin as-Sumatrani. Kemudian Pada tahun 1052
H/1642 M, beliau berangkat ke tanah Haram untuk belajar mendalami
ilmu agama sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun dalam
perjalanan, beliau singgah di beberapa tempatkota.4
Namun penguasaan beliau terhadap ilmu keislaman
menjadikannya sangat terkenal dalam masyarkat Aceh sepanjang
sejarah. Namun sudah menjadi budaya Aceh bahwa memanggil orang
4
Mulai dari Doha, dan Qatar untuk belajar kepada Abdul Qodir al-Mawrir.
Kemudian ke Baitul Faqih, Yaman, berguru kepada jajaran ulam bermarga Jama‟an seperti
Ibrahim bin Muhammad, Ibrahim bin Abdullah bin Jama‟an, Qadi Ishaq bin Abdullah bin
Jam‟an.
Setelah dari Baitul beliau berangkat ke Jeddah dan menuntut ilmu kepada
syekh Abdul Qodir al-Barkhali. Kemudian AbDurra;uf as-Singkili berangkat ke
Mekkah dan mengaku sebagai murid Badruddin al-Lahuri dan Abdullah al-Lahuri,
terakhir beliau ke Madinah untuk mempelajari ilmu kepada Ahmad al-Qusyasyi dan
Ibrahim al-Kurani. Baca selengkapnya di Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir
Al-Qur`an, h. 132-133
43
yang dimuliakan atau yang dihormati tidak menyebut nama
melainkan menyebut asalnya (laqab) seperti nama Abdurra‟uf lebih
terkenal dengan sebutan Syekh Kuala, dibandingkan dengan
Abdurra‟uf As-Singkilikarena beliau tidak hanya memilki dayah akan
tetapi ia di makamkan di samping makam Teungku Anjong di Kuala
Krueng Aceh (Sungai Aceh) pada saat beliau wafat tahun 1693 H
(1105). Tahun ini di ambil berdasarkan tahun yang ada dalam karya
beliau yang terakhir yang ia susun di Peunayong di tepi Kula Krueng
Aceh (Sungai Aceh).5
2. Profil Tafsir
a. Identifikasi Fisiologis
Kitab tafsir tarjumanul Mustafidkarya Abdurra‟uf as-Singkili
hanya terdiri atas satu jilid saja, namus meskipun begitu kitab ini
sudah mencakup penafsiran seliuruh al-Qur`an, beruba 30 juz.
Kitab dengan tebal 613 halaman ini diterbitkan oleh Dar al-Fikr
pada tahun 1990 M/ 1410 H. Kitab klasik berukuran 35 cm x25
cm ini jumlah sangat terbatas, setiap satu halamannya berisi 39-
42 baris penafsiran, dan teks ayat besertatafsirnya ditulis dengan
tinta hitam. Dalam penafsiran ia menggunakan bahasa melayu
dengan arab pegon pada era saat itu. Berbeda dengan penafsiran
kitab tafsir yang lainnya pada saat sekarang.
b. Identifikasi Metodologis
1. Latar belakang penulisan
5 Ahmad Daudy, Tasawuf Aceh, h. 119
44
As-Singkili sangat bertekad ingin menulis tafsir dalam
bahsa Melayu secra lengkap, dengan ketukunan dan keseriusan
beliau terhadap keinginannya lahirlah sebuah tafsir judulnya
Tarjuman al-Mustafid,yang baru pertama kali tafsir berbahasa
Melayu di sepanjang sejarah Indonesia.
Sebelum as-Singkili ada sepenggal tafsir yang ditulis pada
masa Hamzah Fansuri tetapi tafsir tersebut tidak ditemukan siapa
penulisnya. Namun dengan begitu, tidak membuat tekad as-
Singkili mengurangi rasa semngat untuk menulis tafsir Tarjuman
al-Mustafid, karena tafsir itu berbeda dengan tafsir yang
dituliskan oleh as-Singkili yang menyajikan penafsiran al-
Qur`an secara lengkap. Namun tafsir ini dituliskan beliau pada
akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pada saat ia sedang
berkarir lama di Aceh.6
2. Sumber Penafsiran
Penilaian umum yang sudah lama berkembang mengatakan
bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemah dari Anwar
al-Tanzilnya Baidlawi dan adapun sumber yang juga sering
dikutip oleh beliau ialah al-Khazin.7
3. Metode dan Corak penafsiran
Dalam suarat al-Ikhlas bahwa penafsiran beliau bisa
dikutip dari segi metode dan teknik yang digunakannya hanya
terlihat secara harfiah ayat-ayat al-Qur`an. Tidak menafsirkan
6 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 134
7 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011),
Cet. 1, h. 21-23
45
maksud ataupun kandungan ayat yang ditafsirkan dengan
memakai ayat-ayat yang lain atau yang sedemikiran dengan
ulama lain, dan tidak juga dengan hadis Nabi, riwayat sahabat,
apalagi dengan kisah-kisah israiliyat.
Adapun mengenai tiga variabel yang selalu disertakan
dalam tafsir ini di luar penjelasan terjemah harfiah. Pertama,
meganai asbabun nuzul kalau memang ada yang biasanya
diletakkan dalam bagian “kata mufasir” atau “kisah”. Kedua,
penjelasan mengenai berbagai macam bacaan (qiraah) yang
biasa dimasukkan dalam bagian “bayan” atau “faedah”.
Penjelasan terakhir mengenai manfaat atau fadhilah ayat atau
surat serta penjelasan tentang surat makiyah atau
madaniyahkah.
Sedanngkan corak dalam pemikiran tafsir dapat dilihat
dari ayat-ayat antropomorfis berikut. Kasus yang diangkat pada
contoh sebagai berikut ayat-ayat yang terdapat kata-akata yad
yang berkmana tangan, namun dengan komposisinya dengan
Allah. Dari penelusuran yang digunakan oleh Abdurra‟uf ada
tiga cara dalam menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tersebut.
Pada kasus ini ia menggunakan makna asal tasybih contoh:
... ...
“Tangan Allah diatas tangan mereka itu..(QS. al-Fath:
[48]:10)
...
“Tangan Allah tenggelam dari pada melimpahkan rizki
atas kita” (QS. al-Maidah: [5]:64)
46
Dan pada kasus lain ia memberi tafsiran pada kata-kata
tersebut. Adapun pada kasus yang lain ia melakukan
kombinasi kedua pola diatas. Ia menggabungkan terjemah
harfiah dengan takwil.8
Menurut Subhan dalam skripsinya metode yang
digunakan oleh Abdurra‟uf dalam tafsirnya ialah metode
tahlili dan metode ijmali bisa dilihat dari penyusunan ayat al-
Qur‟an dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nass. Bahasa
yang digunakan dalam tafsirnya tidak terlalu lebar tetapi
secara singkat dan jelas. Kemudian corak yang ia gunakan
lebih cenderung kepada corak fiqh dan sufi, disebabkan ketika
beliau menafsirkan ayat al-Qur`an beliau lebih kepada mazhab
Imam syafi‟i dan juga lebih kepada pendapat ulama-ulama
sufi.9
3. Karya-karya Syekh Abdurrauf As-Singkili
Beberapa karya Karya Syekh Abdurra‟uf As-Singkili sudah
banyak ditemukan dan ditempatkan di perpustakaan Dayah Tanoh
Abe, Seulimum, Aceh Besar, ada beberapa karya Syekh Abdurra‟uf
diantaranya kitab Lubb al-Kasyf wa al-Bayan lima Yarahu al-
Muqtadar bi al-Bayan, Thib al-Mar‟I min Nafsih (merupakan kitab
saduran dari kitab berbahsa Arab yang di Aceh dikenal dengan nama
kitab Teh), Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid,kitab tasawuf Tanbih
al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qushashi, kitab Daqa‟id al-Huruf
penjelasan Abdurra‟uf terhadap beberapa syair mistis Ibnu „Arabi,
Bayan al-Arkan, kitab Bidayah al-Balighah (permulaan yang
8 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 18-21
9Pendahuluan Subhan, “Metode dan Corak Penafsiran Abdul Rauf Al-Singkili”,
Skripsi diajukan pogram sarjana tafsir Hadis Universitas Syarif Kasim Riau: 2011
47
sempurna), Mawa‟iz al-Badi‟ah, penjelasan mengenai Hadits al-
Arbai‟in yang dipilih dan ditulis oleh Abdurra‟uf sendiri atas
permintaan Ratu Safiatuddin, Umdat al-Muhtajin ila suluk Maslak
al-Mufridin, Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-
Qadhi bi Wahdat al Wujud dan sebagainya.10
B. Biografi Hasbi Ash-Shidqye
1. Riwayat hidup Hasbi Ash-Shidqye
Hasbi Ash-Shiddiqy lahir di lhoksemawe (kota Aceh) pada
tanggal 10 Maret 1904 M/ 22 Zulhijjah 1321 H. Kemudian beliau
Wafat di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1975/22 Zulhijjah 1321H.
Beliau seorang ulama Indonesia yang Ahli dalam ilmu Fikh, Ushul
fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahanda beliau adalah seorang
ulam terkenal yang bernama Teungku Qadhi Chik Maha Raja
Mangkubumi Husen Ibn Muhammad Su‟ud, putri seorang Qadhi
kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi Ash-Shiddieqy
adalah keturunan Abubakar al-Shiddieq (573-634 H), khalifah
pertama. Ia sebagai generasi ke 37 dari khalifah tersebut melekatkan
gelar al-Shidiqye dibekang namanya.
Hasbi besar dikalangan para ulama, pendidik, dan pejuang.Dari
kecil ia sudah menghafal al-Qur`an pada usia 8 tahun,wajar jika ia
sudah menghafal al-Qur`an sejak kecil karena ia tinggal dilingkungan
para ulama. Setahun berikutnya ia belajar qira‟at, tajwid, dasar-dasar
fikih kepada ayahnya sendiri. Sang ayah sangat menghendaki Hasbi
menjadi seorang ulama.karena itu ayahnya mengirim ia ke berbagai
dayah (surau/pondok pesantren) di kota kelahirannya.
10 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h.128
48
Pada tahun 1926 M, bersama al-Kalali, Hasbi pergi ke Surabaya
untuk belajar di al-Irsyad.Ia mengonsentrasikan dirinya di bidang
bahasa Arab.11
Beleiau di perkenalkan secara umum sebagai guru besar dengan
pidato pengukuhan berjudul syariat Islam Menjawab Tantangan
Jaman. Pidato ini disampaikan dalam acara peringatan setengah tahun
peralihan nama Perguruan tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada
tanggal 2 Rabiulawal 1381 H/1961 M. Kolenel Syamsaymun Gaharu
(Panglima Kodam I Iskandara Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur
Provinsi Daerah Istimewa Aceh) mengusulkan agar Hasbi diizinkan
menajdi dekan fakultas Syariah pada saat di Darussalam Banda Aceh.
Jebatan inipun diterima oleh Hasbi sejak September 1960 M sampai
Januari 1962 M. stelah melepas masa jabatannya itu ia tetap
merangkap dan membantu Rektor III namun ia tetap bertugas sebagai
Dekan Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasbi
juga mengajar di Perguruan Tinggi Swasta. Pada tahun 1961 M-1971
M ia menjadi Rektor di Universitas al-Irsyad, Surakarta, pada saat itu
beliau juga menjadi Rektor di Universitas Crokrominoto. Adapaun
pada tahun 1964 M, ia mengajar di Universitas Islam Indonesia(UII),
Yogyakarta. Dan beliau juga menjadi Dekan fakultas Syariah
11
Setalah selesai dari al-Irsyad ia belajar sendiri (otodidak) menfokus dirinya
untuk mempelajari berbagai disipilin ilmu. ia tidak belajar di luar negri berkat
kecerdasan beliau banyak mengahsilkan seratus judul karya intelektual dalam aneka
disiplin ilmu. Sebab itu ia layak mendapatkan gelar sebagai doctor haunoris causa
dari Universitas Islam Bandung (Unisba) dan IAIN Sunan Kali Jaga pada tahun
1975 M. beliau di percaya dari mulai staf pengajar sekolah sampai menjadi direktur
PTAIN. Ia di percaya mengampu mata kuliah hadis pada tahun 1960. Baca
selengkapanya di Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h.
202-204
49
Univertas Islam Sultan Agung (Unissula), semarang . Beliau wafat
pada tanggal 19 Desember 1975 M.12
2. Profil Tafsir
a. Identifikasi Fisiologis
Tafsir An-Nur merupakan karya Hasbi yang sangat
terkenal.Hasbi mampu menafsirkan seluruh al-Qur`an berupa 30
Juz, tafsir yang tertulis dalam bahasa Indonesia dan mudah
dipahami oleh masyarakat sekitar. Tafsir ini kadangkala
dikeluarkan perjilid sesuai juz al-Qur`an, setiap jilid memiliki
200 halaman, namun dikesempatan yang lain tafsir ini diterbitkan
menjadi 10 jilid, yang masing-masing jilid memuat 3 juz tiap jilid
berisi kurang lebih 3x200 halaman, yakni 600 halaman. Tafsir ini
ditulis pada tahun 1950 M -1970 M.13
Tafsir an-Nur dalam cetekan kedua dilakukan penyempurnaan
bahasa oleh H. Sudarto, seorang wartawan yang berdiam
disemarang dan juga penyuntingan, persiapan system penyusunan
tafsir oleh putranya Hasbi yaitu Nourozzaman Shiddiqi dan
Teungku Muhammad Hasbi as-shiddiqi.14
b. Identifikasi Metodologis
1. Latar belakang Penulisan
Motivasi Hasbi dalam menafsirkan Al-Qur‟an, sangat
mulia untuk memenuhi hajat orang Islam di Indonesia untuk
mendapat tafsir bahasa Indonesia secara lengkap, sederhana
dan mudah dipahami, serta ia menerangkan sepenggal-
12 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 205
13
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 207
14
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 144
50
sepenggal ayat al-Qur`an dalam bahsa latin, supaya
masyarakat dapat membacanya bagi yang tidak bisa
membaca ayat al-Qur`an dalam bahasa Arab.15
Sebab pada
saat itu banyak masyarakat berasal dari berbagai suku dan
berbagai ragam bahasa, masing-masing membutuhkan al-
Qur`an supaya dapat mengetahui pengetahuan secara
luas.Maka yang sangat dibutuhkan pada masa itu diantaranya
tafsir dalam bahasa Indonesia.
Tetapi ia mengetahui bahwa para ulama-ulama besar
Saudi Arabia sangat menentang menafsirkan al-Qur`an
dalam bahsa selain bahasa Arab. Pendapat ini hanya sebagai
fatwa keharaman dalam menafsirkan al-Qur`an dalam bahasa
selain bahasa Arab. Meskipun berlawanan pendapat ia tidak
pernah patah semangat dalam menulis tafsir An-Nur.16
2. Sumber Penafsiran
Dalam menysun kitab tafsir, Hasbi banyak berlandas
pada ayat-ayat al-Qur`an, riwayat Nabi Saw, riwayat sahabat
dan tabi‟in, teori-teori ilmu pengetahuan, pegalaman, dan
pendapat para mufasir.17
Berdasarkan sumber-sumber yang
dipakai oleh beliau dapat diketahui yaitu bil Ro‟yi atau bil
ma‟qul. Hal ini telah ia kemukakan bahwa ia mengambil
sumber langsung kepada kitab induk yaitu tafsir bil matsur18
15 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 150
16
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 207 17
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 207 18
Tafsir Bil Matsur ialah tafsir yang penafsirannya ayat al-Qur`an dengan ayat al-
Qur`an yang lain, penafsiran ayat dengan keterangan Rasul swa, penafsiran ayat dengan
perkataan sahabat-sahabat Nabi saw, ada juga ulama yang menambahkan dalam kelompok
Tafsi bil Matsur penafsiran para Tabi‟in yaitu generasi susudah sahabat-sahabat Nabi saw.
51
maupun bil ma‟qul. Adapun sumber lain yang beliau
gunakan dalam menyusun tafsir an-Nur ialah„Umdatut Tafsir
“Anil Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Manar,
tafsir al-Qasimy dan Tafsir al-Wadhih.19
3. Metode dan corak Penafsiran
Metode yang digunakan oleh Hasbi dalam tafsir an-Nur
sendiri ialah metode ijmali. Adapaun mengenai corak
penafsiran dalam tafsir an-Nur tidak memiliki orientasi
tertentu, namun bisa dikatakan komplit, dan bisa memasuki
segala bidang.20
4. Sistematika Penafsiran
Sistematika dalam kitab tafsir an-Nur terdiri dari empat
bagian yaitu, penyebutan ayat secara tartib mushaf tanpa
diberi judul, terjemahan ayat kedalam bahsa Indonesia
dengan diberi judul “Terjemahan”, penafsiran masing-
masing ayat dengan didukung oleh ayat-ayat lain, hadis,
riwayat sahabat dan tabi‟in serta penejelasan yang ada
kaitannya dengan ayat tersebut dan tahapan ini berjudul
“Tafsirnya”, kesimpulan, intisari dari kandungan ayat yang
diberi judul “Kesimpulan”.21
Baca Selengkanya di M. Quraish Shihab, KaidahTafsir, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), Cet. 1,
h. 340-351 19
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 150-151 20
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 153 21
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 151-152
52
3. Karya-Karya Hasbi Ash-Shidqye
Karya Hasbi berjumlah 73 judul 142 jilid diantara karya yang
paling banyak ialah tentang fiqih 36 judul, bidang-bidang yang
lainnya adalah hadis 8 judul, tafsir 6 judul, dalam bidang hadis 8
judul, tafsir 6 judul, dan ilmu ilmu kalam 5 judul beberapa
diantaranya ialah: Tafsir an-Nur, Al-Bayan, Sejarah dan Pengantar
Ilmu al-Qur`an, pengantar Hukum Islam, Kuliah Ibdah, Fiqh
Mawaris, Pedoman Haji, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Sejarah
Pengantar Ilmu Hadis. Dan sebagainya.22
C. Biografi Buya Hamka
1. Riwayat Hidup Buya Hamka
Hamka adalah nama singkatan dari Haji „Abdul malik Karim
Amrullah. Beliau dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, pada
tanggal 16 Februari 1908 dan beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981.
Ia dikenal seorang tokoh dan pengarang (pujangga) Islam. Ia adalah
seorang putera dari ulama terkemuka dan sangat terkenal dan biasa
disebut dengan sebutan Haji Rasul yang melakukakan pembaharuan
seputar agama di tempatn asalnya di Minangkabau setelah beliau
mendapat gelar kehormatan doktor di Unoversitas Al-Azhar.
Pendidikan formalnya hanya sampai SD, dan ia banyak
mempelajari ilmu sendiri terutama dalam bidang agama. Keahlian
beliau dalam Islam sampai diakui oleh dunia Internasional sehingga
beliau mendapat gelar terhormat di Universitas Al-Azhar pada tahun
1955 sedangkan dari universitas Kebangsaan Malaysia 1976.
Pada tahun 1924 ia merantau ke tanah Jawa, ia belajar disana
antara lain kepada HOS Cokroaminoto, kemudian ia aktif di
22 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, , h 148-149
53
organisasi Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1927 ia berangkat
ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji.23
Buya Hamka sangat
dikenal namanya, ia tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama
tetapi seorang politisi dan sastrawan. Kiprahnya sebagai ulama tidak
diragukan lagi.Karena karyanya dalam bentuk buku sangat banyak
Islam sendiri mebuktikan hal itu.Sedang kiprahnya sebagai politisi
juga tidak terbantah.Sedangkan dalam santrawan dibuktikan dengang
karya-karyanya dalam bemtuk novel.24
2. Profil Tafsir
a. Identifikasi Fisiologis
Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka pertama dilakukan oleh
penerbit Pembimbing Masa, yang dipimpin oleh H. Mahmud.
Cetakan pertama oleh Pembimbing Masa yang sekaligus
merampung penerbitan sampai juz keempat.Kemudian dilanjut
dengan terbitan juz 30 dan juz 15 sampai 29 oleh Pustaka Islam
Surabaya.Dan akhirnya juz 5 dengan juz 14 diterbitkan oleh
Yayasan Nurul Islam Jakarta.25
b. Idenntifikasi Metodologis
1. Latar Belakang penulisan Tafsir
Ada dua factor yang membuat Buya Hamka menulis tafsir al-
Azharyaitu: pertama,semngat para pemuda Islam di Indonesia
dan disekitar daerah yang berbahsa Melayu yang sangat ingin
mengatahui isi al-Qur`an, keimanan dihati mereka mulai tumbuh
23 Ensikopedia Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), Cet. I, vol. II,
h. 1217
24
Akmal Rizki Gunawan Hasibuan, Dimensi Politik Tafsir Al-Azhar Hamka: Kajian
Nilai-Nilai Pancasila, (Tangerang Selatan: CB Media, 2016), Cet. 1, h. 94
25
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 167-168
54
mereka ingin mengetahuinya tetapi saat itu tidak memilki
kemapuan dalam memahami bahasa Arab. Sangatbanyak pemuda
Islam yang ingin mencurahkan diri terhadap agamanya,
disebabkan oleh banyaknya tantangan dari luar dan dalam,
semangat mereka dalam agama sudah mulai tumbuh maka
disinilah Buya Hamka menulis tafsir pertama khusus untuk para
pemudi pada saat itu.
Adapun factor lainnya tafsir ini sebagai penolong bagi para
mubaligh atau ahli dakwah, pada saat itu mereka dalam kedaan
menghadapai bangsa dan masyarakat yang sudah cerdas tetapi
mereka masih banyak yang buta huruf,mereka dipenuhi dengan
kekacauan yang membantah penjelasan agama sehinnga butuh
sekali tafsir ini untuk disampaikan kepada masyarakat dalam
berdakwah.26
2. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran ada dua sumber yang digunakan, yaitu
bil ma/tsur dan bil ro‟yi. Dalam tafsir al-Azhar Buya Hamka
menggunakan sumber bil ro‟yi dengan mengemukakan
pendapat-pendapat belaiu beliau tentang tafsir ayat-ayat
tersebut. Kemudian sumber referensi untuk tafsir al-Azhar,
Hamka tidak fanatic terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku
pada satu mazhab pemikiran, beliau mengutip dari berbagai
kitab tidak hanya kitab tafsir, tetapi kitab hadis dan sebagainya.
Akan tetapi ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya, tidak
26 Pendahuluan Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982), jilid 1, h.
4
55
hanya dari segi pemikiran, tetapi haluan serta coraknya juga
diambil oleh beliau.27
3. Metode dan corak penafsiran
Jika dilihat dari urutan suratnya menggunakan tartib
mushafi Metode yang digunakan Buya Hamka dalam tafsir al-
Azhar ialah metode Tahlili. Sedangkan corak penafsirannya
berupa sastra budaya kemasyarakatan (Adabi Ijtim‟i) ia
menggunakan contoh-contoh yang ada disekitar kehidupan
masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat biasa
ataupun secara individu, semua terdapat dalam karyanya.
Ungkapan beliau yang sangat menyentuh hati manusia yang
sangat dalam.28
4. Sistematika Penafsiran
Langkah-langkah teknis yang digunakan Hamka dalam
penafsirannya dengan cara menuliskan teks al-Qur`an dengan
lengkap, menerjemahkannya, kemudian memberi catatan
penjelasan. Biasanya ia menyajikan bagian-bagian pendek yang
terdiri dari dari beberapa ayat, satu sampai lima ayat dengan
terjemahan bahasa Indonesia, kemudian menjelaskannya
panjang lebar, bisa sampai 15 halaman.29
3. Karya-karya Buya Hamka
Karya-karya beliau diantaranya adalah Di Bawah Lindungan
Ka‟bah (1938), Merantau Ke Deli (1940), Tenggelamnya kapal van
27 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 169
28
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 170 29
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, h. 212
56
der Wijck (1939), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), Di dalam
lembah kehidupan (1940; kumpulan cerita pendek, Ayahku (1949;
merupakan riwayat hidup dan kisah perjuangan ayahnya). 30
Tafsir
Al-Azhar, Ringkasan Tarikh Umat Islam, falsafah Ideologi Islam,
Islam dan Adat Minangkabau (1984), Mengembara di Lembah Nil
(1951), Laila Majnun (1932), Sullah al-Wushul: Pengantar Ushul
Fiqh (1984), kenangan-kengan Hidup (1958) dan sebagainya.31
Setelah memahami dan mengakaji tiga tokoh mufassir Nusantara.
Penulis dapat mengambil bahwa tiga tokoh mufassir Nusantara ini
memilki kurun waktu yang berbeda. Abdurra‟uf as-Singkili seorang
ulama Aceh yang pertama kali menulis kitab tafsir Tarjuman al-
Mustafid pada awal abad ke-17. Dan Hasbi as-Shidqi pada
pertengahan abad ke-19, pertema kali menulis kitab tafsir an-Nur
dalam bahasa Indonesia, ia pula ulama yang berasal dari Aceh.
Sedangkan Buya Hamka adalah ulama tafsir yang hidup pada
abadke-19. Seorang ulama yang berasal dari Minagkabau (padang).
Abdurra‟uf as-Singkili seorang ulama Aceh yang hidup dalam
kalangan para ulama salaf di Aceh tanpa berkecimpung dalam dunia
politik. Jauh berbeda dengan dua mufassir ini Hasbi dan Hamka
dengan perbedaan kurun waktu yang tidak terlalu jauh. Mufasisir
tersebut berkecimpung dalam dunia politik dan sebagainya.
Ketiga mufassir ini banyak memiliki karya setelah menulis karya
pertamanya. Untuk itu, pada bab selanjutnya penulis akan
memaparkan lebih dalam mengenai pendapat tiga tokoh mufasir
Nusantara tersebut terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan
pernikahan harmonis dalam al-Qur`an.
30 Ensikopedia Indonesia, Vol. II, h. 1217
31
Akmal Rizki Gunawan Hasibuan, Dimensi Politik Tafsir Al-Azhar Hamka:
Kajian Nilai-Nilai Pancasila, h. 98-100
57
BAB IV
PENAFSIRANAYAT-AYAT PERNIKAHAN HARMONIS
A. Penafsiran Abdurra’uf, Hasbi ash-Shiddiqy, dan Buya Hamka
Dalam al-Qur`an banyak terdapat ayat pernikahan harmonis, akan
tetapi dalam bab ini penulis tidak mengupas kesemua ayat. Penulis hanya
terfokus beberapa ayat al-Qur`an saja sesuai dengan pembatasan masalah
dalam skripsi ini di antara ayat-ayat al-Qur`an tersebut adalah QS. an-
Nisa 4:34, QS. al-Baqarah 2:187, QS. ar-Rum 30:21, QS. an-Nisa 4:19,
QS. al-Baqarah 2:228 , QS. an-Nur 24 :26, QS. al-Baqarah 2:237, dan
QS. al-Furqan 25:74.
1. Surah an-Nisa ayat [4]:34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu Maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu
58
khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An-
Nisa [4]: 34).
Menurut penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili dalam tafsir
Tarjuman al-Mustafid menafsirkan ayat ini, bahwa laki-laki
dikeraskan (penguasa) terhadap semua perempuan, karena Allah telah
melebihkan laki-laki atas semua perempuan dari ilmu, akal, dan
wilayah, makanya laki-laki mendapatkan harta lebih dari perempuan.
Perempuan yang taat kepada suami yang selalu berbakti kepada
suami, memelihara faraj, aib yang terdapat pada suami, maka Allah
akan menjaganya. Maka ketahuilah bahwa Allah yang maha tinggi
dan maha besar maka takutlah terhadap-Nya.1
Dari uarain Abdurra‟uf as-Singkili di atas dapat disimpulkan
bahwa laki-laki harus menjadi penguasa bagi perempuan dalam
rumah tangga. Karena dalam kehidupan berumahtangga seorang
penguasa harus memiliki jiwa yang tangguh dan harus bijaksana agar
terciptanya sebuah keluarga yang harmonis. Kemudian memang
sudah Allah berikan kelebihan bagi laki-laki dari segi ilmu akal dan
sebagai penguasa. Maka dari sebab itulah laki-laki mendapatkan
pembagian harta lebih dibanding perempuan. Dan dalam keluarga
seorang istri harus bisa menjaga segala kekurangan suaminya agar
terbentuknya sebuah pernikahan harmonis.
1 Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, (Beirut Libanon:
Dar al-Fikr, 1990), h. 85
59
Adapun menurut penafsiran Hasbi ash-Shiddiqy dalam tafsir
an-Nur menjelasakan diantara tugas kaum laki-laki ialah melindungi
wanita. Begitu juga dengan urusan memberi nafkah. Peperangan
hanya diwajibkan bagi kaum lelaki tidak untuk perempuan,
peperangan adalah untuk melindungi. Sehingga inilah yang
menyebabkan laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat dari
perempuan.
Selain hak tersebut laki-laki hak (mengendalikan, menuntun
dan memimpin), maka dalam soal hak dan kewajiban yang lain laki-
laki dan perempuan memilki kewajiban yang sama. Laki-laki memilki
derajat yang mengepalai dan mengurus rumahtangga. Sedangkan
perempuan mengurus rumahtangga dengan merdeka, asal dengan
batas-batas sesuai dengan yang ditetapkan syara‟ dan yang diridhai
oleh suaminya. Istri memelihara rumah dan mengendalikannya,
memelihara anak-anak dan berbelanja sesuai kesanggupan suaminya.
Dibawah naungan suami istri dapat melaksanakan kegiatannya
sebagai istri mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Wanita-wanita yang shaleh ialah wanita yang ta‟at kepada
suaminya, memelihara segala apa yang terjadi dalam khilwah dalam
rumahtangga, tidak menerangkan kepada siapapun walaupun kerabat.
Mereka lakukan hal itu disebabkan janji yang telah diberikan Allah,
yaitu memperoleh pahala yang besar karena memelihara yang gaib
dan karena ancaman Allah terhadap orang yang membuka rahasia.
Ayat ini mengandung pengajaran yang besar terhadap wanita yang
suka menceritakan segala sesuatu yang terjadi dalam khilwah itu. Dan
dianjurkan kepada istri untuk menjaga dan memelihara harta suami.
Allah memperingati kita dengan kekuasaan-Nya dan
kebesaran-Nya supaya kita tidak menzalimi istri dan berlaku curang
60
terhadap mereka. Allah akan bertindak terhadap suami yang
mempergunakan kekuasaanya lebih dari kadar yang patut.2
Dari uraian Hasbi ash-Shiddiqy diatas dapat disimpulkan
bahwa lelaki tidak hanya sebagai pemimpin, akan tetapi juga sebagai
pelindung bagi istri dan anaknya, menuntun dengan baik kepada jalan
yang benar, menafkahi lahir batin dan bertanggung jawab terhadap
keluarga, mengurus dan mengendalikan hak dalam rumahtangga.
Hingga dengan lelaki yang bersifat demikian terhadap keluarganya
maka tercapailah cita-cita pasangan yang harmonis dalam mahligai
rumahtangga. Sedangkan perempuan sebagai istri yang memelihara
harta suami dengan baik, menjaga anak, dan berbelanja sesuai
kesanggupan suaminya. Dan juga mememlihara segala yang terjadi
antara suaminya yang terdapat dalam khilwah. Sebagaimana ayat ini
telah mengandung pengajaran yang besar terhadap istri yang
menceritakan apa yang terjadi antara keduanya dalam khilwah.
Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar
laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan perempuan yang
memimpin laki-laki. Dalam pembagian harta laki-laki mendapat dua
kali bahagian dari perempuan, laki-laki yang membayar mahar, jatuh
perintah bagi laki-laki untuk menggauli istrinya dengan baik dan laki-
laki diizinkan memiliki istri sampai empat asal bisa berlaku adil.
Dalam ayat ini tidak langsung diperintah mengatakan, wahai
laki-laki wajiblah kamu menjadi pemimpin. Atau wahai perempuan
kamu mesti menerima pimpinan.Yang diterang lebih dahulu ialah
kenyataan memang tidak datang perintah tapi pada kenyataannya
memang laki-lakilah yang menjadi pemimpin bagi perempuan. Dilihat
2
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur,
(semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1995), Cet. 2, h. 816-17
61
dari contoh, andaikata perempuan diperintahkan untuk memimpin
laki-laki, maka perintah itu tidak bisa berjalan, sebab tidak sesuai
dengan kenyataan hidup manusia. Sebab sudah diterangkan Allah
bahwa laki-laki dilebihkan sebagian dari perempuan, lebih dalam hal
tenaga, kecerdasan, sebab itu lebih pula dalam hal bertanggung jawab.
Seperti dalam rumahtangga yang dipimpin oleh laki-laki yang
memiliki istri, dan anak. Ibarat tubuh manusia yang terdiri dari
kepala, ada tangan, kaki, dan perut. Semua penting tetapi yang kepala
tetaplah kepala.
Meskipun kepala tidak tegak keatas kalau kaki lumpuh atau
patah. Tidaklah tangan melawan mengapa dia menajdia tangan dan
kaki terletak dibawah. Atau ibarat kapal berlayar mem punyai
nahkoda (Kapten kapal) dan Juru bantu (Masinis). Kedudukan
masinis sangat penting, jika tidak ada kapal tidak bisa berlayar. Tetapi
masinis tetap mengetahui bahwa kepala tertinggi adalah nahkoda.
Maka dalam ayat ini memang dijelaskan kenyataanya mau atau tidak
mau, laki-lakilah yang menjadi pemimpin atas perempuan. Mungkin
kadangkala dapat suami yang tidak pandai tetapi istri cerdik sehingga
perempuanlah yang memimpin.Yang jarang terjadi ialah seumpama
tidak ada dalam dunia orang yang menjadikan hal yang jarang terjadi
menjadi pokok dan dalil hukum. Sebab yang kedua disebutkan lagi.
“Dan dari sebab apa mereka membelanjakan harta benda mereka. “
Artinya dalam perwilayahan harta bendapun adalah tanggung jawab
laki-laki. Ibarat kata dalam bersuami istri, harta milik bersama namun
hak terakhir yang menetukan tetaplah pada laki-laki.
Hal ini boleh kita katakan naluri atau instink dari orang
perempuan sendiri. Walaupun dalam rumahtangga orang masih belum
beradab, primitife, atau orang desa, atau orang modern sekalipun,
62
tinggal di kota siang malam membicarakan hah-hak kaum perempuan
sedang ada konflik dengan suami istri mebicarakan hak-hak
kewajiban, tiba-tiba datanglah penjahat yang ingin merampok.
Dengan tidak ada perintah terlebih dahulu laki-lakilah yang menjaga
mereka menyeruh istri dan anak untuk bersembunyi. Dan jika ada
anak laki-laki yang sudah besar sama-sama dipertahankan
dengannya.
Maka Semodern apapun rumahtangga keputusan terakhir
terletak pada tangan laki-laki. Di dalam rumahtangga tidak mungkin
ada dua pemimpin yang memiliki sama-sama kewajiban mesti ada
pemimpin diantara salah satunya. Pimpinan itu, dilihat dari jasmani
dan rohani manusia, tidak lain adalah laki-laki. Bertambah kecerdasan
fikiran manusia, bertambah dia menyetujui hal ini. Maka atas dasar
demikianlah tegak hukum agama, sehingga perkabaran bahwa laki-
laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan saja kabar dan berita
kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah
irama hidup. Bahwa setiap suami istri pasti ada rahasia kamar yang
mesti ditutup terus, dan meutup rahasia rumahtangga adalah termasuk
sopan santun seorang istri. Sebab itu maka dikatakan dengan cara
yang dipeliharakan Allah. Sehingga telah menjadi sopan santun dari
seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh agama,
merahasiakan alat kelamin, sebab ilham dari Allah. Demikian pula
sebaliknya sebagai perempuan baik itu sunda gurau dengan suami.
Oleh ulama-ulama diperluas lagi, bukan hanya menyimpan
rahasia hubungan suami istri tetapi juga kekayaan dan kesanggupan
suami dalam memberi nafkah maupun harta. Jangan dikeluhkan
kepada orang jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan
atau istri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki
63
dengan lancar dan berbahagialah pergaulan mereka. Tetapi di
samping yang baik pasti ada yang buruk, yaitu istri yang membuat
pusing suami.3
Dari uraian Hamka diatas dapat disimpulkan bahwa lelakilah
yang patut mengepalai dan bertanggung jawab dalam rumahtanga
terhadap istri dan anak. Ibarat kapal berlayar mempunyai nahkoda.
Kendatipun semodern mahligai rumahtangga tersebut keputusan
terakhir tetap kepada seorang suami. Dan istri yang shaleh yang selalu
menjaga kekurangan yang terdapat pada suami dan juga menjaga
segala kekurangan yang terdapat dalam rumahtangga baik dari segi
harta maupun nafkah. Apabila terdapat istri yang taat mudahlah bagi
suami menciptakan keluarga dengan baik dan menjadikan
rumahtangga nan bahagia.
Persamaan bila dilihat dari mufassir dalam menafsirkan ayat
ini Abdurra‟uf, Hasbi ash-Shiddiqy, dan Hamka mereka sama-sama
mengatakan bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin, melindungi,
mengurus, mengendalikan hak dalam mahligai rumahtangga. Maksud
pemimpin disini ialah pemimpin yang tangguh dan bijaksana dalam
memimpin keluarga terhadap istri dan anaknya. Akan tetapi
perbedaan yang dapat penulis simpulkan bahwa ada dua, dalam segi
bahasa dan teknik penafsiran mufassir. Pertama, dari Abdurra‟uf
sendiri menggunakan bahasa laki-laki “dikeraskan (penguasa)” atas
semua perempuan, sedangkan Hasbi dan Hamka menggunakan
bahasa yang sama yaitu sebagai “pemimpin”. Kedua, dilihat dari segi
penafsiran Abdurra‟uf menjelaskan secara singkat dan jelas. Dan
Hasbi mengaitkan penafsirannya terhadap perintah berperang yang
3 Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 46-48
64
diwajibkan kepada laki-laki. Kemduian Hamka mengaitkan
penafsirannya dengan kehidupan sehari-hari.
Dari penjelasan tafsir diatas dapat disimpulkan hal-hal yang
dapat diambil oleh penulis dalam membentuk tatanan pernikahan
harmonis. Pertama, kepemimpinan dalam keluarga seorang suami
yang menjadi pelindung, penuntun dalam kebaikan, pengurus dan
memberi nafkah untuk istri dan anaknya. Kedua, istri memilki tugas
selain dari pada suami yaitu untuk memelihara harta suami dan juga
menjaga aib yang terdapat pada suami. Ketiga, tidak saling mengusai
dalam rumahtangga.
2. QS. al-Baqarah ayat [2]:187
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka.Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah
65
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikafdalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka
janganlah kamu mendekatinya.Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.(QS. al-Baqarah [2]:187)
Penulis disini hanya mefokuskan pada redaksi ayat “hunna
libasullakum wa antum libasullahunna”. Dalam penafsiran
Abdurra‟uf as-Singkili dalam menafsirkan redaksi ayat “hunna
libasullakum wa antum libasullahunna”4 beliau meanfasirkan mereka
adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.5
Dari uraian Addurra‟uf as-Singkili di atas dapat disimpulkan
bahwa perempuan dan laki-laki adalah pakaian bagi keduanya.Ia tidak
menjelaskan maksud dari pakian tersebut. Makna Pakaian secara
umum adalah penutup yang berfungsi sebagai pelindung bagi
pemakainya. Dengan demikian begitu pula pasangan suami istri yang
selalu menutup segala sesuatu yang terdapat pada pasanganya
masing-masing tanpa membuka aurat (rahasia) kepada yang lainnya
ini adalah sebuah cara untuk menjalin dan mebentuk pernikahan
harmonis.
4 Menurut penafsiran M. Quraish Shihab dalam tafsirnya tersebut mengatakan
kalau dalam kehidupuan normal seseorang tidak dapat hidup tanpa pakaian, demikian juga
kehidupan berpasangan tidak bisa dihindari oleh kehidupan normal manusia, kalau pakaian
berfungsi menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia, demikian pula pasangan suami
istri, harus saling melengkapi dan menutup kekurangan masing-masing. Jika pakaian adalah
perhiasan bagi pemakianyanya, maka suami adalah hiasan bagi istrinya demikian sebaliknya
baca surah al-„Araf ayat 26. Jika pakaian mampu menutupi manusia dari sengatan panas dan
dingin baca juga surah an-Nahl ayat 81, suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya
harus pula mampu melindungi pasangan-pasangannya dalam keadaan krisis dan kesulitan
yang dihadapi. Baca Selengkapnya di M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:
Lentara Hati, 2002), Vol. 1, h. 495 5 Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 30
66
Dan menurut Hasbi ash-Shiddiqy dalam menafsirkan redakasi
ayat ini bahwa Allah membolehkan kamu menggauli istri-istrimu
pada malam puasa, karena pergaulanmu dengan mereka sangatlah
dekat sehingga sangat susah untuk menjahui mereka dan untuk
menjaga hawa nafsu terhadap mereka.6
Dari uaraian Hasbi ash-Shiddiqy di atas dapat disimpulkan
bahwa melakukan hubungan suami istri pada malam puasa
diperbolehkan, karena hubungan antara suami istri terdapat dalam
satu atap sehingga susah untuk menjahuinya dan menjaga hawa nafsu
terhadap istri karna hubungan suami istri ialah hal yang dibutuhkan
oleh tubuh pasangan masing-masing. Hubungan antara suami istri
ialah hal untuk mengeratkan suatu pertalian dalam rumahtangga, dan
ini sangat dipentingkan dan juga merupakan satu hal yang menjadikan
terjalin pernikahan harmonis terhadap pasangan suami istri.
Kemudian dalam penafsiran Hamka sendiri menafsirkan
redakasi ayat tersebut “mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu
adalah pakaian bagi mereka”. Kalimat ini sangat halus dalam
mendidik sopan santun diantara manusia. Karena apabila suami istri
bertemu secara suami istri maka benar adalah pakaian yang saling
memakai menjadi satu tubuh, yang disebut bersetubuh dalam bahasa
kita.7
Dari uraian Hamka diatas dapat penulis simpulkan bahwa
pakaian yang dimaksud dalam redaksi ayat tersebut ialah hubungan
antara suami istri.Suami istri yang satu sama lain saling
membutuhkan sehingga menjaga keserasian dalam rumahtanga.
6 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid An-Nur 1, h.
304 7 Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 1, h. 106
67
Persamaan dari tiga mufassir dalam menafsirkan redakasi ayat
tersebut ialah pergaulan antara suami istri. Namun perbedaan yang
dapat penulis disimpulkan dari penafsiran yang digunakan oleh
mufassir sendiri seperti Abdurra‟uf ia hanya menafsirkan sebagai
pakaian tanpa menjelaskan maksud dari pakaian tersebut. Sehingga
bagi orang awam yang membacanya bisa saja tidak memahami
maksud dari makna pakaian tersebut. Sedangkan Hasbi dan Hamka
memilki keterkaitan dalam menjelaskan pakaian tersebut ialah
pergaulan antara suami istri secara biologis.
Dari penjelasan mufassir di atas dapat kita simpulkan bahwa
untuk membangun sebuah pernikahan harmonis suami istri saling
membutuhkan satu sama lain dan saling melindungi. Seperti pakaian
adalah penutup tubuh begitu pula suami istri hidup dengan saling
melindungi baik dalam keadaan apapun.
3. QS. ar-Rum ayat [30]:21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum
[30]: 21)
Dalam penafsiran Abdurra‟uf dalam tafsirnya, mengenai ayat
tersebut, setengah dari kuasa Allah dijadikan nenek kamu Hawa dari
rusuk Adam dan semua perempuan itu dari mani laki-laki dan
68
diciptakannya kamu berpasang-pasangan agar kamu tetap kepadanya.
Dan dijadikannya rasa kasih dan sayang bahwasanya pada yang
demikian itu terdapat tanda bagi kaum yang berfikir pada kuasa Allah
swt. 8
Dari uraian Abdurra‟uf as-Singkili dapat disimpulkan bahwa
manusia diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki dan perempuan
dan perempuan ini berasal dari mani laki-laki. Kemudian
diciptkannya manusia berpasang-pasangan agar manusia lebihmerasa
tenang kepadanya, dan dijadikan rasa kasih dan sayang ini adalah
salah satu wujud cinta dan kasih untuk terciptanya sebuah pernikahan
harmonis.
Menurut penafsiran Hasbi sendiri dalam tafsirnya ia juga
menyebutkan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah menjadikan
untuk kamu pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri agar hatimu
lebih condong kepadanya dan tenanglah jiwa karenanya. Dan Allah
menjadikan kamu kasih sayang dan rahmat, supaya hidup
kekeluargaan berjalan dalam keadaan yang mesra. Tuhan menjadikan
dirimu hubungan yang kuat terhadap jiwamu yang kadangkala
melebihi hubunganmu dengan orang yang paling dekat denganmu.
Ketika Allah menciptakanmu dari tanah dan menciptakanmu
berpasang-pasangan dari jenismu sendiri serta menumbuhkan kasih
mesra di antara kamu, sesungguhnya akan medapat hikmah bagi
hamba yang berfikir. Dan semua ini adalah keesaanAllah dan kuasa-
Nya dan terdapat hikmah-Nya.9
8 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur, , h.
2822-2823 9 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur, h.
3073
69
Dari uaraian Hasbi dapat disimpulkan bahwa Allah
menciptakan manusia berpasangan-pasangan dari je nismu sendiri
agar kamu lebih condong agar jiwa terasa tenang, damai dan tentram
sehingga bisa menciptakan keluarga yang penuh kemesraan dengan
demikian terciptalah sebuah pernikahan yang penuh keharmonisan.
Kemudian penafsiran Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut
terdapat dua jalan. Pertama, ia memakai tafsir biasa yaitu, bahwa
manusia yang pertama kali adalah nenek moyang semua manusia
yaitu Nabi Adam, maka ada riwayat dalam hadis dari Ibnu Abbas dan
lain-lainya bahwa tatkala Nabi sedang tidur pulas sendiri di dalam
surga Jannatun Na‟im, maka dicabutlah tulang rusuk sebelah kiri,
kemudia dijadikannya seorang manusia yang akan menjadi temannya,
yaitu Hawa yang berbeda dengan Nabi Adam seorang laki-laki.
Kemudian dikawinkan.
Kemudian beliau menyatakan, tetapi tidak salah kalau kita
menyimpang dari pada tafsir yang biasa itu, kalau kita ingat yang
dibahasakan “Dia diciptakan untuk kamu” itu untuk seleuruh
manusia, bukan untuk satu orang nenek yang bernama Adam. Jelaslah
bahwa yang diambil dari bagian badannya untuk dijadikan istrinya itu
hanyalah dari Nabi Adam yang telah bertebaran diseluruh permukaan
bumi, dan tidaklah yang lainnya diambilkan dari bagaian tubuhnya
untuk dijadikan istrinya oleh Allah, bahwa telah dijelaskan dalam
suarah as-Sajdah ayat 7 dan 8 bahwa yang diciptakan langsung dari
tanah ialah Nabi Adam. Adapun keturunan Adam diciptakan dari
airmani yang lemah dalam as-Sajdah ayat 8.
Maka yang diper “kamu” oleh tuhan di ayat 22 ini dengan
ucapan “ dia ciptakan untuk kamu” dari dirimu sendiri sebagai istri.
Ialah seruan kepada seluruh manusia, sebagai cucu Adam hakikatnya
70
adalah satu. Dan Hamka menagaitkan penafsirannya dengan surat an-
Nisa ayat 1 dan 4‟ telah menjelaskan bahwa penciptaan manusia itu
ialah dari nafsin Wahidatin10
.
Kemudian dipertemukan oleh Allah “jodoh” diantara kedua
pihak antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan agar terlahirnya
keturunan semakin banyak dalam dunia ini. “Agar tentramlah kamu
kepadanya” artinya bila seorang laki-laki tanpa pasangan maka akan
menjadi gelisahlah hidup seorang diri, tidak memeiliki teman. Maka
laki-laki dan perempuan saling membutuhkan.
“Dan dia jadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang”.
Cinta dan kasih sayang mulai tumbuh. Penyebabnya karena
bertemunya antara dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dengan
perempuan, keduanya saling membutuhkan. Sehingga terciptanya
keturunan selanjut. Sehingga terciptalah yang tidak diinginkan.11
Dapat dilihat dalam ayat ini tentang mawaddatanwarahmatan.
Mawaddatan yang bermakna cinta, ialah rasa rindu seorang laki-laki
kepada perempuan dan juga rasa rindu perempuan terhadap laki-laki
memang sudah tabiat yang dijadikan Allah dari hidup itu ssendiri.
Setiap laki-laki dan perempuan yang sehat pasti mencari teman hidup
yang ingin menumpahkan rasa kasih sayang dan saling mengasih
sehingga timbullah rasa mawaddatan dari kedua belah pihak. Maka
tidak salah bagi kedua belah pihak suami untuk bersih-bersih, berhias
10
Dari diri yang satu, yaitu manusia.Dari manusia yang satu itu juga, bukan diambil
dari tempat yang lain, dijadikan istri-istrinya. Baca selengkapanya Hamka, Tafsir al-Azhar
Juzu‟ XIX, h. 63-64 11
Orang yang terkenan sakit syahwat karena nafsu yang diluar batas kebiasaan akan
mengakibatkan mansuia menyutubuhi binatang, seperti halnya kuda atau sapi. Namun dari
hal tersebut tidaklah menghasilkan anak. Disatu peneyelidikan kedoktoran tentang biologi
telah diuji oleh orang “ mengawinkan seorang wanita dengan monyet besar bersutubuh
dengan puas tetapi tidak mengahsilkan anak. Itulah hikmahnya “kamu sendiri jadikan akan
istri-istri kam”. Baca selengkapnya Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 65
71
diri, berwangian-wangian, hingga teruslah bertamabah rasa
mawaddatan dalam hati masing-masing terhadap suami istri.
Akan tetapi setiap laki-laki dan perempuan jika sudah mulai
tua maka rasa untuk berkeinginan hubungan suami istri sudah mulai
berkuarang disebabkan oleh faktor umur semakin bertamambah. Jadi
hidup untuk bersuami istri bukanlah hanya semata-mata karena untuk
mawaddatan akan tetapi rasa saling sayang yang semakin tumbuh
yaitu rahmatan, yang bermakna kasih sayang yang lebih dalam dari
cinta. Bertambah tua maka semakin dalam rasa rahmatan dalam hati
terhadap kedua belah pihak. Melihat anak-anak yangs sudah dewasa
dan memilki cucu.
“sesungguhnya pada yang demikian adalah tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir” ujung ayat ini menjelaskan kepada manusia agar
berfikir kembali. Jika manusia ini tanpa peraturan yang ditetapkan
Allah, maka terjadilah hubungan sesukannya antara laki-laki dengan
perempuan laksana bagaikan binatang, perempuan yang hamil lalu
ditinggal oleh laki-laki hidung belang. Dan perempuam yang
melepaskan kehormatanya terhadap laki-laki yang disukainya, maka
dunia ini tidak jadi seperti sekarang karena ada peraturan yang
ditetapkan Allah. Jika terjadi demikian maka tidaklah ada rasa
cemburu terhadap pasangan.
Di sinilah kita disuruh untuk berfikir lagi dengan keadaan
zaman yang semakin dipengaruhi oleh berapa pemahaman zindiq,
atheis yang hanya memandang dari segi materialistis semata-mata,
lalu diabandingkan dengan dasar ajaran agama.
Pokok ajaran agama bahwa manusia adalah makhluk yang
paling dimuliakan Allah, ditinggikan derajatnya dalam bumi ini, asal-
usul manusia berasal dari surga. Dan adapun pendapat dari filsafat
72
barat mengatakan bahwa manusia berasal dari monyet bukan dari
surga. Kemudian orang-orang yang tidak percaya dengan adanya
surga. Karena surga tidak nyata tidak terlihat oleh kasat mata.
Sehingga surga hanyalah omongan semata dan diangap tidak ada.
Sejarah dunia sudah berjalan bertahun-tahun. Yang menjaga
derajat manusia semakin tinggi tidak lain hanyalah agama. Dan
bilamana pemahaman lain masuk seperti materialisme dan membawa
pengaruhnya, diwaktu itulah kemanusiaan jatuh martabatnya dan dia
sendiri yang mengahancurkan sejarahnya.12
Dari uaraian Hamka diatas dapat disimpulkan bahwa, Allah
menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara laki-laki dan
perempuan yang saling membutuhkan satu sama lain. Dari
terkumpulnya pasangan suami istri Maka timbullah cinta dan kasih
sayang yang menjadikan teman hidup dalam satu naungan
rumahtangga menumbuhkan rasa kasih sayang sesama pasangan.
Semakin lama pasangan suami istri membina ruamhatangga tersebut
maka timbullah rasa rahmah kasih saying melebihi dari cinta.
Bertambah tua semakin betambah pula rasa kasih sayang yang lebih
mendalam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan jika
dilihat dari mufassir dalam menafsirkan ayat ini mereka sama-sama
mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan
dari jenismu sendiri agar dirimu lebih merasa tenang dan tentram
bersamanya. Namun perbedaan yang dapat penulis ambil ialah dari
penafsiran Abdurra‟uf menafsirkan sesuai dengan konteks ayat. Hasbi
menggunakan penafsirannya sendiri terhadap ayat tersebut.
Sedangkan yang digunakan oleh Hamka ketika menafsirkan ayat
12
Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 63-67
73
tersebut ia menjelaskan ayat-ayat yang lain dalam penafsirannya. Dan
beliau mengambil pendapat para ilmuan filsafat serta memberi
contoh-contoh yang terjadi dimasyarakat.
Dari penjelasan tiga tokoh mufassir Abdurra‟uf, Hasbi, dan
Hamka dapat kita ambil hal yang menjadikan acuan kita dalam
mebentuk sebuah pernikahan harmonis. Pertama, saling
menumbuhkan rasa kasih sayang sesama pasangan. Kedua, bersikap
saling mebutuhkan. Ketiga, menikah tidak hanya tujuan untuk
mawaddatan saja, akan tetapi sampai mendapatkan rasa rahmatan.
4. QS. an-Nisa [4]:19
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata.dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(QS. An-Nisa
[4]:19)
Penulis hanya memfokuskan pada redaksi ayat
“wa‟aasyiruhunna bil ma‟rufufi fa in karih tumuhunna fa „asa
antakrahu syai aw wa yaj „alallahu filkhairan katsira”. Menurut Ab-
74
durra‟uf as-Singkili dalam menafsirkan redaksi ayat ini, maka jinak
mereka dengan perbuatan yang elok pada perkataan, membiayai, dan
bermalam. Apabila kamu benci kepada mereka maka bersabarlah
terhadap apa yang kamu benci itu mudah-mudahan dijadikan sesuatu
kebajikan yang sangat banyak.13
Dari uaraian Abdurra‟uf di atas dapat disimpulkan bahwa
laki-laki agar mengajari istri dengan perbuatan yang baik, ucapan
yang baik dan menafkahinya, serta bergaul dengannya. Bila terdapat
kekurangan padanya maka bersabarlah karena dari itu semua terdapat
kebajikan yang baik dari Allah swt.
Dan menurut penafsiran Hasbi terhadap ayat ini ia
mengatakan bahwa kamu (laki-laki) wajib memperlakukan istri-
istrimu dengan baik, menyenangkan hati mereka (istri), sesuai
ketentuan syara‟ yang baik, tidak mempersempit nafkah terhadap
istrimu, tidak menyakiti mereka maupun hatinya dengan perkataan
yang baik maupun perbuatan. Perkataan mu‟syarah memberi
pengertian perserikatan dan persamaan.
Sudah jelas bahwa hendaklah seorang suami bergaul dengan
istrinya dengan baik. Masing-masing pihak saling berusaha
menyenangkan salah satu pihak yang lainnya dalam penghidupan
rumahtangga dengan mengesampingkan masalah-masalah kecil dan
selalu memelihara kasih sayang yang telah ada.
Jika dirimu tidak menyukai sesuatu yang terdapat pada dirinya
baik aib, perilaku yang kurang baik, maupun kekurangan yang
lainnya, yaitu tidak pandai dalam memelihara rumahtangga, atau
perasaanmu telah condong kepada yang lain, maka bersabarlah.
Jangan sakiti mereka atapun menceraikan mereka. Karena banyak
13
Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 82
75
sekali istri yang ingin diceraikan mendatang manfaat bagimu. Siapa
tahu ia yang tidak cantik tetapi menjadi ibu yang baik untuk anak-
anakmu yang cerdas, dan menjadi sahabat diwaktu suka dan dukamu.
Dengan kamu bersabar maka mereka akan memiliki kesempatan
untuk memperbaiki segala kekurangan-kekurangannya.14
Firman ini
adalah suatu undang-undang dasar jika kita mengikutinya, akan
mendatangkan manfaat yang besar kepada kita.15
Dari uraian Hasbi ash-Shiddiqy di atas dapat disimpulkan
bahwa laki-laki meperlakukan istri dengan baik dan membahagiakan
hatinya tanpa menyakitinya. Kemudian sesama pasangan harus saling
berusaha untuk saling menyenangkan dan tidak terlalu meperdulikan
hal-hal sepele agar menjadi keluarga yang penuh kasih sayang dan
harmonis. Dan bila istrimu terdapat sebuah kekurangan maka jangan
langsung membencinya bisa saja ia yang baik unuk anakmu dan
menjadi sahabat suka dan duka yang selalu menemanimu. Maka hal
demikianlah harus sabar karena bisa saja ada rahmat Allah yang
tersimpan dibalik semuanya.
Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam menafsirkan
redaksi ayat tersebut dengan artinya, “pergaulilah mereka dengan
cara yang patut”. Namun di dalam ayat tersebut kata ma‟ruf, yang
diartikan sepatutnya. Pergaulan yang baik yang diakui secara umum
oleh masyarakat, tidak menjadikan pembicaraan orang lain terhadap
buruknya. Menciptakan sikap sopan santun yang menjadikan contoh
baik sesama tetangga. Agama tidak menjelaskan bagaimana perilaku
14
Jika di ingat-ingat bahwa tidak ada satupun wanita yang terlepas dari keaibannya.
Baca selengkapnya di Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid
an-Nur, h. 786 15
Tafsir al-Qur`anul Majid an-NurJilid 1, h. 786
76
yang patut dan ma‟ruf.16
Itu terserah bagaimana sinar iman dalam
hati masing-masing dan juga bagaimana kebiasaan setiap negri di tiap
masa. Sebab yang ma‟ruf itu sudah boleh dihubungkan dengan makna
yang umum.
Hamka juga mengaitkan penafsirannya dengan ayat yang lain
yaitu doa yang dipercontohkan Allah, doa hamba-hamba Allah yang
Rahman di dalam pergaulannya dengan anak istrinya. Tersebut di
dalam
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,
anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan
Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan [25]
:74)
Hamka juga menceritakan mengenai perilaku Rasulullah
terhadap Istri beliau diantaranya Istri-istri Rasulullah, terutama
Aisyah dan ikut juga ummi Salamah menceritakan kehidupan
Rasulullah dalam pergaulan dengan istrinya. Aisyah pernah dibawa
oleh rasul untuk menonton orang Habsyi mengadakan suatu
permainan di depan masjid, sedangkan Aisyah meletakkan dagunya di
atas bahu Nabi. Ummi Salamah menceritakan, bahwa pernah beliau
berebut air wudhu dari satu timba dengan beliau. Imam Ahmad, Ibnu
Abi Syaibah, Abu Daud, an-Nasa‟i dan Ibnu Majah meriwayatkan
16
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini berkata: “pergaulan yang ma‟ruf ialah
bahwa engkau pakai dihadapan istrimu itu pakaian yang bersih, bersisir rambut yang teratur
dan berhias secara laki-laki. Menurut riwayat Ibnu-Mundzir dari Ikrimah, tafsir-tafsir bergaul
dengan ma‟ruf ituialah persahabatan mereka yang baik, sediakan pakaiannya dengan
rezekinya yang patut.Baca selengkanya di Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 4h. 301
77
satu hadis dari Aisyah, bahwa pernah beliau menciumnya padahal
beliau terus shalat. Dan dalam satu hadis lagi ummi Salamah
mengatakan, bahwa beliau pernah menciumnya ketika berwudhu dan
dalam keadaan puasa. Namun beliau tetap berpuasa dan shalat.
Hamka mengemukankan bahwa hal ini bisa di jadikan alsan
bahwa dalam satu pihak tidaklah batal wudhu mencium istri, lalu dari
pihak lain ia hanya mengambil sebagai pelengkap tafsir ayat yang
menyuruh menggauli istri dengan ma‟ruf itu. Yang sangat
mengharukan ialah Nabi tetap memperlakukan istrinya dengan ma‟ruf
walaupun dalam keadaan sakit dan sampai ajalnya menjemputt.17
Inilah yang wajib menjadi contoh tauladan seorangmuslim
dalam berkehidupan rumahtangga. Jangan mengikuti perilaku orang
jahiliyah yang mempersempit nafkah untuk istri, menyakiti mereka
dan melukai hati mereka, cemberu tidak tahu sebabnya, pelit, wajah
cemberut setiap saat. Sehingga rumah tangga laksana neraka oleh
penghuninya sendiri.
Ayat ini telah menembeus perasaan hati manusia, terutama
hati seorang suami.Tidak satupun wanita dalam dunia yang tidak
memiliki kekurang tanpa terkecuali.Ada saja perempuan yang
membuat tidak senang hati suami.Perempuan hanyalah manusia
bukan malaikat.Bahwa telah dijelaskan istri bukan sekedar teman
hidup tetapi dia sebagai pakaian untukmu dan dirimu sebagai pakaian
untuknya seperti yang telah dijelaskan dalam Surah al-Baqarah
17
Meskipun Nabi dalam keadaan sakit ia tetapmengiliri rumah-rumah istrinya,
padahal kakinya tidak sanggup untuk digerakkan. Pada saat itu Nabi pernah terucap “ sudah
dirumah siapa aku sekarang?”. Maka maklulah istri-istrinya bahwa beliau ingin menceritakan
sakitnya dirumah Aisyah. Sehingga istri-itri melakukan kesepakatan untuk mengizinkan
Nabi dirumah Aisyah saja karena Nabi dalam keadaan sakit. Disnilah beliau
menghembuskan nafsr terakhir. Baca Selengkkapnya di Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 4, h.
302
78
187.Setiap kehidupan pasti banyak yang kita temukan yang tidak
menyenagkan, tetapi itulah kehidupan yang nyata.
Banyak orang-orang besar dan sukses dibelakangnya ada
seorang istri yang hebat yang selalu mendorong suaminya. Jika tidak
sabar melihat kekurangan istrimu, maka kita akan tinggalkan dia dan
membuangnya. Setelah demikian bertemu juga dengan yang tidak
mneyenangkan hati.Karena mencoba-coba untuk menyesuaikan diri
dengan yang baru.Sehingga umurpun menjadi lebih tua, belum juga
mendapatkan yang tidak memiliki kekurangan.
Allah menjelaskan di ujung ayat, bahwasanya dalam
kesabaranmu menghadapi kekurangan yang ada pada istrimu yang
tidak memuaskan hatimu apabila telah engkau bina rumahtangga
terimalah nasibmu itu dan tetapkanlah tujuan hidup. Kekurangan yang
terdapat pada istri semoga dalam perjalanan hidup kelak akan dapat
engkau bimbing menjadi lebih baik dan sempurna.
Ayat ini adalah pendidikan yang sangat mendalam, yang dapat
diajdikan pedoman dalam membina rumahtangga. Hamka
mengatakan bahwa laki-laki sendiri juga memiliki kekurangan sama
halnya seperti perempuan. seseorang yang belajar dari
pengalamannya dapatlah meyakinkan, bahwasanya dua raga dan jiwa
yang telah dipadukan oleh akad nikah, sama-sama dalam kekurangan.
Yang satu akan mengimbuhi. Hubungan yang sudah bertahun-tahun
akan membentuk dua jiwa menjadi satu. Suami istri yang yang sudah
bergaul berpuluh-puluh tahun akhirnya menuju ke persamaan an
perseimbangan. Jika mulanya menikah dengang suami memiliki
pemarah maka istri seorang yang sangat dingin perasaanya, akhirnya
dalam kehidupan bertahun-tahun suami semakin berubah menjadi
lebih dingin dan istri secara beragsur menjadi pemarah. Dan kata ahli
79
ilmu jiwa, sampaipun kepada “sunnah” yaitu raut muka dan
pandangan mata keduanya menjadi serupa. Dan kekurang dari
keduanya yang saling melengkapi itu akan berkesan sampai kepada
anak-anaknya. Suami istri yang bertahun-tahun hidup bersama bisa
menjadikan satu perasaan. Jika suami dalam perjalanan ke negri lain,
disuatu hari akan merasakan perasaan yang kurang baik. Ternyata
ketika pulang ke rumah istrinya sedang sakit.Dan begitu juga
sebaliknya.
Kemudian ada laki-laki yang sebentar beristri lalu bercerai
dan lalu menikah lagi. Setiap istri tidak ada yang memuaskannya,
karena ada saja kekurangannya. Jika demikiansampai tua hatinya
tidak akan pernah merasa tenang, karena hanya mengeluarkannafsu
muda saja. Padahal syahwat pada masa muda juga memiliki batas.
Dan pada masa tua, hanya mencari ketentraman diri dan hanya
terdapat pada pergaulan yang telah dibina selama bertahun-tahun
yang dihiasi dengan suami itri. Kedua belah pihak sudah mengetahui
keinginan masing-masing, sehingga jiwa sudah berpadu menjadi
satu.18
Dari uraian diatas Hamka di atas dapat disimpulkan bahwa
sangat ditegaskan bagi laki-laki agar meperlakukan istrinya dengan
baik sebagaiamana tauladan Rasul yang beliau lakukan kepada istri-
istrinya. Dan janganlah mengikuti pebuatan orang jahiliyah yang
memperlakukan istri dengan tidak baik. Kemudian bila terdapat
sebuah kekurangan pada istri maka laki-laki jangan langsung
membencinya sebab manusia ini tidak ada yang sempurna, laki-laki
juga memiliki kekurangan tidak hanya perempuan. Dalam acara akad
nikah saja pasangan sudah memiliki kekurangan akan tetapi saling
18
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 4, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 300-303
80
melengkapi dalam kekurangan tersebut dengan menyempurnakan
iman kepada Allah sehingga bisa menjadi keluarga yang sempurna.
Kemudian dari uaraian di atas dapat penulis simpulkan
persamaan dari ketiga tokoh tafsir dalam menafsirkan ayat tersebut
wajib bagi laki-laki meperlakukan istri dengan ma‟ruf dan
menafkahinya dan membuat hati bahagia. Apabila istri terdapat
sebuah kekurangan jangan langsung membencinya karena di baliknya
semua terdapat hikmah yang baik. Adapun perbedaan yang dapat
penulis ambil ialah dari bahasa dan dari teknik penafsiran yang
terdapat pada tiga tokoh mufassir. Pertama dalam penggunaan bahasa,
dalam penjelasan makna ma‟ruf mereka menggunakan bahasa yang
berbeda. Abdurra‟uf menggunakan bahasa elok, Hasbi dengan makna
yang baik, dan Hamka mengatakan bahasa yang patut. Kedua dari
teknik penafsiran mufassir Abdurra‟uf menjelaskan secara singkat
dan jelas. Hasbi menjelaskan sesuai dengan penafsirannya sendiri.
Sedangkan Hamka menjelaskan sesuai dengan penafsirannya ia juga
mengaitkan dengan ayat yang lain dengan riwayat-riwayat Nabi
mencantumkan bagaimana sikap Nabi dalam memperlakukan istri-
istrinya.
Namun dari penjelasan tafsir diatas dapat diambil beberapa hal
yang dapat membentuk mahligai rumahtangga yang harmonis
diantaranya, selalu bersikap positif terhadap aib yang terdapat pada
pasangan, bersikap setia dan sabar, tidak memperdulikan hal-hal
sepele yang mengakibatkan percekcokan dalam pernikahan,
bermuasyarah bil ma‟ruf.
81
5. QS. al-Baqarah [2]: 228
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143].
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Barah
[2]:228)
Menurut penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili terhadap redaksi
ayat “walahunna mitslullazii „alihinna bilma‟ruf walirrijali „alihinna
darajah” menafsirkan bagi segala istrinya itu atas segala suami dari
pada segala hak seperti yang atas segala istri bagi segala suami dengan
berbuat kebajikan. Dan bagi segala laki-laki itu suatu kelebihan. dan
Allah ta‟ala jua tuhan yang amat mulia pada pekerjaannya dan yang
mempunyai hikmah pada barang yang bagi segala makhluknya.19
Dari uraian Abdurra‟uf di atas bahwa setalah ijab kabul usai
para wanita memilki hak yang wajib atas suami, dan suami memilki
hak pula atas wanitanya baik hak yang wajib maupun yang sunnah,
dengan perbuatan yang ma‟ruf sesuai yang berlaku pada masyarakat
19
Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 37
82
tersebut. Kemudian para suami memilki derajat yang tinggi diatas
istrinya, sesuai yang telah disebutkan pada surah an-Nisa ayat 34.
Menurut penafsiran Hasbi ash-Shiddiqy dalam menafsirkan
redaksi ayat tersebut bahwa para wanita memperoleh beberapa hak
yang harus dipenuhi oleh pihak suami, sebagaimana para suami
mempunyai beberapa hak yang harus dipenuhi oleh pihak istri.
Masing-masing mereka harus menunaikan kewajibannya menurut
makruf. Dan suami mempunyai suatu hak yang melebihi istri.
Hak-hak dan kewajiban ini yang diwajibkan atas masing-
masingnya terhadap yang lain, diserahkan kepada adat istiadat mereka
dan „uruf yang berlaku diantara mereka. Firman ini tegas menolak
pendapat fuqaha yang menetapkan bahwa tidak wajib para istri
memasak nasi suaminya, karena kata mereka, yang dapat dimilki oleh
suami hanyalah manfaat persetubuhan.
Pendapat al-Imam Ibn Taimiyah dalam Tafsir an-Nur ia
mewajibkan istri mengkhidmat suaminya. Demikianlah pendapat Abu
Bakar ibn Abi Syaibah, Abu Ishaq al Jauzajani. Diriwayatkan oleh al
Jauzajani, bahwa Nabi Muhammad Saw. Menugaskan putri beliau
Fatimah mengurus urusan rumah dan menegaskan Ali bekerja
mencari nafkah.
Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan
saling membutuhkan. Oleh karena itu, tidaklah adil dan tidak
maslahat, apabila salah satu pihak suami istri sewenang-wenang
terhadap yang lain. Kebahagiaan hidup akan saling terwujud, bila
masing-masing pihak saling menghormati. Hak-hak demikianlah yang
di tegaskan oleh Nabi kepada putri beliau Fatimah yang bersuamikan
Ali ibn Abi Thalib. Nabi menyuruh Fatimah mengurus rumah tangga,
sedangkan Ali berusaha mencari nafkah.
83
Islam telah mengangkat derajat para wanita kepada suatu
derajat yang belum pernah diberikan sesuatu oleh agama yang telah
lalu. Walaupun mereka sangat memuliakan wanita dan memberi
pelajaran yang berbagai rupa, namun sebagian mereka, masih
menghalangi wanita mengelola harta kekayaan tanpa izin suaminya.
Islam telah memberikan hak-hak kepada wanita semenjak 13
abad lebih. Derajat yang diberikan lelaki atas para wanita, ialah
derajat memegang kepemimpinan dan menyelesaikan segala
kemaslahatan. Hidup suami istri merupakan hidup bermasyarakat
yang menghendaki adanya seorang kepala yang memegang tampuk
ketika terjadi perselisihan pendapat. Orang lelaki lebih berhak
memegang pimpinan, karena lebih mengetahui mana yang maslahat
dan lebih dapat mentanfizkan dengan tenaganya dan hartanya.
Lantaran itu lelakilah yang ditentukan untuk melindungi perempuan
dan memberinya nafkah.
Kemudian wanita, ditugaskan menataati suami pada yang
makruf, yakni yang tidak menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Apabila istri durhaka, berhaklah suami
memberi pelajaran, memberi nasehat, mengasingkan tempat tidur
dengan cara tidak merusakkan. Yang demikian itu dibolehkan bagi
kepala rumah untuk kemaslahatan keluarga.
Diantara soal-soal yang diwajibkan atas lelaki sebagai
pemimpin, adalah mengajar istri yang memungkinkan mereka
melaksanakan kewajibannya dan mengetahui hak-haknya. Disamping
itu mengajrkan akidah-akidah agama dan adab-adabnya, serta apa
yang wajib bagi mereka mengenai pendidikan anak-anak dan
pergaulan masyarakat. Allah maha keras tuntutan-Nya dan
84
mengambil pembalasan atas orang yang mendurhakai dan maha
hakim terhadap segala rupa perintah dan penetapan-Nya.20
Dari uraian Hasbi ash-Shiddiqy diatas dapat kita pahami
bahwa setalah ijab kabul selesai maka seorang wanita sudah menjadi
hak bagi suaminya, kedua pasangan ini memilki hak dan bertanggung
jawab terhadap sesama, namun tanggungan suami lebih banyak
dibandingkan istri, suami harus memberikan nafkah kepada istrinya
seperti pakaian, belanjaan, dan nafskah batin, mengjari ilmu-ilmu
akidah, sebagaimana laki-laki mencari nafkah diluar sedangkan istri
bertanggung jawab tugas dirumah mengurus anak-anak dengan baik.
Oleh karena itu, tidaklah adil dan tidak maslahat, apabila salah satu
pihak suami istri sewenag-wenang terhadap yang lain. Kebahagiaan
hidup akan saling terwujud, bila masing-masing pihak saling
menghormati. Sebagaimana yang telah dipesankan oleh Nabi kepada
putrinya Sayyidah Fatimah dan menantunya Sayyidina Ali.
Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar
terhadap redaksi ayat di atas “ dan bagi mereka (perempuan) adalah
(hak) seumpama (kewajiban) yang atas mereka juga patut.”
Merekapun mempunyai hak disamping memikul kewajiban,
sebagaimana orang laki-laki ada hak dan kewajiban. Bukanlah orang
perempuan itu hanya wajib begini, mesti begitu, misalnya mesti
khidmat kepada suami, tidak boleh membantah dan wajib selalu taat.
Tetapi dia juga mempunyai hak untuk dihargai, memilki hak terhadap
miliknya serta dirinya sendiri. Seumpa terjadi kekacauan dalam
rumah tangga, tidak boleh kepada istri saja ditimpakan kesalahan,
20
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur Jilid
1, h. 384-386
85
tetapi diselidiki apakah dalam permasalahan tersebut karena kelailain
suami terhadap kewajibannya?
Sebagaimana pengalaman Hamka waktu kecil di kampung, ia
kerapkali mendengarkan orang-orang yang mengadu permasalahan
hubungan suami istri kepada ayahnya. Hamka sangat mengingat
waktu kecil permasalahan selalu disalahkan kepada perempuan saja.
Perempuanlah yang selalu disalahkan dan selalu disuruh menaggung
resiko. Perempuan yang selalu mesti minta maaf. Sanak keluarga dari
laki-laki semuanya menyalahkan dia, dia hanya pandai menangis.
kalua dia diceraikan suaminya, meskipun yang salah suami, kalau si
suami dijemput diminta supaya surut (rujuk) dan pulang kerumah,
perempuanlah yang disuruh minta maaf. Sehingga sudah menjadi
perasaan yang umum bahwasanya sudah begitulah mestinya kalau
jadi perempuan. Dia diwajibkan khidmat pada suaminya, tetapi dia
tidak boleh menuntut suapaya suaminya menjaga perasaanya juga.
Maka di dalam ayat ini teranglah berbeda kehendak al-Qur`an
dengan kehendak manusia dalam pergaulan hidup, padahal mereka
mengaku beragama. Terutama di dalam rumahtangga. Nyata pada
pembahagiaan tugas. Kedua suami istri memilki sama-sama
kewajiban. Tetapi pekerjaan niscaya dibagi. Kalau si suami
menghadapi tanggung jawab rumah, si istripun berkewajiban menjaga
kehidupan rumah. Kalau si suami mengahdapi kewajiban terhadap
rumah, maka istripun harus menggunakan nafkah itu sebaik-baiknya,
dan bertanggung jawab dalam hal demikian.
Laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat tanggungan
dari Allah dalam hal iman dan amal shalih, ibadat dan muamalah,
persembahan kepada tuhan dan pergaulan hidup. Di zaman Nabi laki-
dan perempuan sama-sama dibai‟at. Para perempuan dibawa dalam
86
peperangan mereka hanya untuk mengobati yang terkena luka
sedangkan laki-laki mereka menghadapi peperangan. Adapun pada
hari raya Rasulullah mengadakan khutbah, dan setelah selesai
khutbah didepan laki-laki lalu Rasulullah berangkat menuju ke tempat
bahagian perempuan serta memberi khutbah pula kepada mereka.
Bahkan ketika mereka meminta diadakan pengajian tersendiri untuk
mereka Nabipun mengabulkan peremintaan mereka. Berkali-kali
disebut al-Mu‟minat disamping menyebut al-Mu‟min atau al-
Muslimat disamping al-Muslimin. Bahkan cara Rasulullah melayani
mereka , dengan cara menimbulkan harga diri bagi kaum perempuan
itu. pada waktu beliau selesai mengerjakan haji dan kembali ke
Madinah, di tengah jalan seorang perempuan mengulurkan
anaknyayang masih kecil dari dalam sukduf untanya, lalu ia bertanya
kepada beliau: “ Apakah anak ini sah juga hajinya, ya Rasulullah?”
Langsung beliau jawab: “Sah, dan kau sendiripun dapat pahala
(karena membawanya).”
Begitulah kehidupan perempuan dalam Islam yang dituliskan
dengan nyata dalam ayat ini. Maka jika laki-laki mendapatkan
pendidikan dengan baik maka perempuanpun demikian. Demikian
banyaknya urusan yang harus dihadapi bagaimanakah akan jadinya
kalau dia dibiarkan tinggal jahil tanpa pengetahuan.
Dalam tafsir al-Azhar hamka menyantumkan perkataan Ibnu
Abbas sahabat Rasulullah yang utama itu pernah berkata: “Saya
selalu berhias diri untuk istriku, sebagaimana dia telah berhias
untukku.” Di dunia zaman sekarang kaum perempuan berjuang
meminta hak yang sama dengan laki-laki. Di Eropa dan Amerika
yang disebut negri yag telah beradab dan maju, perjuangan kaum
perempuan meminta persamaan hak belumlah cukup 100 tahun
87
usianya. Masih ada di negri barat yang perempuan belum mencapai
haknya. Maka kalau dalam dunia Islam timbul pula gerakan meminta
hak, bukan karena tidak diberikan oleh agama Islam, melainkan hak
itu ditahan-tahan oleh laki-laki yang selalu ingin berkuasa. Agama
Islam tidaklah sampai memerintah kepada perempuan saja supaya
tunduk kepada suami sebagai tunduk kepada Tuhan, sebagai yang
selalu dinasehatkan oleh Paulus dalam surat-surat kirimannya tersebut
dalam “Kitab Kristes Perjanjian Baru”. Itu sebabnya maka
perempuan berhak meminta talak dan berhak membayar khulu‟, untuk
membayar cerai kepada suaminya.
Bahwa perempuan yang menjadi istri memilki hak serta
kewajiban. Diujung ayat disebut bil ma‟ruf. Yang bermakna patut,
yaitu hak-hak yang berpatutan menurut yang demikian amat luas,
meliputi yang ma‟ruf atau uruf (adat) pada suatu negri. Sehingga hak
itu tidak membeku. Dan menurut perubahan zaman juga, misalnya
menurut yang ma‟ruf 100 tahun yang lalu dinegri kita ini asalkan
sudah memberi nafkah serta dibelikan pakaian sudahlah ma‟ruf tetapi
di zaman sekarang perempuan menghendaki pendidikan yang tinggi,
kursus, serta mengingkan kegiatan dalam kalangan sesama
perempuan, asal tidak melanggar dasar agama. Itupun disebut ma‟ruf
atau patut.
Dan ma‟ruf atau kepatutan itu harus dipandang dari kedua
belah pihak. Misalnya hak perempuan harus dicukupkan alat
dapurnya, kalau boleh memasak dengan gas tau dengan listrik, karena
sudah begitu yang lazim sekarang. Memang patut kalau si suami
mampu menyediakan. Tetapi tidak patut atau tidak ma‟ruf kalau si
suami miskin, lalu disuruh menyediakan barang yang tidak dapat
88
dipikulnya. Dalam ayat-ayat yang lain kelak akan sampai juga
peraturan membicarakan dari hal kesanggupan itu.
“Dan laki-laki mempunyai derajat atas mereka .” itu adalah
suatu hal yang wajar di dalam rumahtangga yang hendak teguh
berdiri. Meskipun keduanya, laki dan istri sama berhak dan sama
berkewajiban, namun di dalam rumahtangga , sebagai dasar pertama
dalam masyarakat yang besar yang kepalanya hanya satu, yaitu
suami. Sama juga dengan kapal besar tengah berlayar. Juru bantu atau
masinis bertanggung jawab terakhir adalah kepada satu orang juga,
yaitu nahkoda kapal. Satu kapal dengan dua nahkoda tidak mungkin.
Dan dengan pemikiran yang sehat harus mengakui bahwa yang
bertanggung jawab dalam rumahtangga ialah suami. Karena dia yang
lebih mengetahui rahasia kekuatan dan kelemahan, bahaya dari luar
dan rintangan yang akan diatasi. Suami yang cerdik akan
bermuasyarah dalam hal penting-penting di dalam rumahtangga.
Tentang perbelanjaan, penambahan dan pengurangan anggaran, akan
menerima menantu dan sebagainya, namun keputusan terakhir tetap
pada suami. Di situlah laki-laki memilki derajat lebih tinggi. Berfikir
diluar ini adalah fikiran yang tidak teratur. “Dan Allah adalah Maha
Gagah lagi Bijaksana”.
Allah Gagah dalam menghukum seorang suami yang memakai
haknya yang berlebihan dan sewenang-wenag. Allah akan
menghukum orang yang memandang teman hidupnya itu, perempuan,
yang telah diserahkan Allah padanya sebagai amanat adalah hanya
untuk melepaskan nafsunya saja, bila senag kawin, tidak senang
dilempar. Dan Allah Maha Gagah pula untuk menghukum perempuan
yang menuntut lebih dari pada hak dan kewajibannya. Yang lupa
bahwasanya betapapun juga, namun tenaga perempuan tidaklah sama
89
dengan tenaga laki-laki di dalam menempuh gelombang hidup. Dan
Allah Maha Bijaksana untuk menurunkan kebahagian kepada
rumahtangga yang masing-masing anggotanya menjungjung tinggi
kewajiban dan memakai hak masing-masing dengan sebaiknya.21
Dari uraian Hamka di atas dapat dipahami bahwa suami istri
memiliki hak masing-masing dalam bertanggung jawab. Suami
memilki hak terhadap istrinya begitu pula istri memilki hak terhadap
suami. Hak yang dilakukan suami terhadap istri sesuai yang berlaku
dimasyarakat tersebut. Suami istri memilki sama-sama kewajiban.
Tetapi pekerjaan tersebut dibagi. Kalau si suami menghadapi
tanggung jawab rumah, si istripun berkewajiban menjaga kehidupan
rumah. Kalau si suami mengahdapi kewajiban terhadap rumah, maka
istripun harus menggunakan nafkah itu sebaik-baiknya, dan
bertanggung jawab dalam hal demikian. Kemudian disinggung
kembali bahwa laki-laki memilki derajat diatas perempuan dalam
rumahtangga. Lelakilah yang akan memimpin sebuah keluarga karena
laki-laki yang lebih mengetahui maslahat yang berbahaya.
Persamaan dari tiga mufassir dalam menafsirkan redaksi ayat
tersebut ialah suami istri sama-sama memilki hak, namun hak istri
berbeda dengan hak yang dilakukan suami. Dan laki-lakilah yang
memimpin mahligai rumahtangga. Namun perbedaan yang penulis
simpulkan dari penafsiran yang digunakan oleh mufassir sendiri
seperti Abdurra‟uf ia hanya menafsirkan dengan bahasa yang singkat,
terkadang bahasa tersebut jika tidak benar dipahami maka maksudnya
akan berbeda. Sedangkan Hasbi dan Hamka sama-sama menggunakan
bahasa panjang lebar, namun perbedaan dengan Hamka, beliau
mengaitkan penafsirannya dengan kehidupan dimasyarakat sekitar.
21
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 1, h. 209-211
90
Dari penjelasan mufassir di atas dapat penulis simpulkan
bahwa untuk membangun pernikahan harmonis suami istri harus
melakukan hak dan kewajiban terhadap sesama pasangan. Seperti
suami memilki hak terhadap istri dengan cara yang ma‟ruf , dan istri
memilki hak terhadap suami dalam menghormatinya, dan lelakilah
yang memimpin dalam rumahtangga.
6. QS. An-Nur [24]:26
“wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka
ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An-Nur [24]:26)
Menurut penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili dalam tafsir
Tarjumanul Mustafid terhadap redaksi ayat “Waththayyibati
liththayyibiina waththayyibuuna liththayibaati” bahwa segala
perempuan yang baik itu perbuatan bagi segala laki-laki yang baik
dan segala laki-laki yang baik perbuatan dengan perempuan yang baik
juga.22
Dari uraian Abdurra‟uf as-Singkili di atas dapat disimpulkan
bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang baik
22
Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 82
91
untuk perempuan yang baik, karena segala kebaikan akan dibalas
dengan kebaikan pula. Pasangan yang ideal ialah dengan sama-sama
yang baik.
Menurut penafsiran Hasbi ash-shiddiqy mengenai redaksi ayat
tersebut bahwa wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki yang
baik, karena kita telah mengetahui bahwa orang yang dapat hidup
rukun damai adalah orang yang seimbang keadaannya. Dan semua
lelaki yang baik untuk wanita-wanita yang baik. Laki-laki yang baik
biasanya tidak cenderung kepada wanita yang tidak baik.23
Dari uraian Hasbi ash-shiddiqy di atas ialah wanita yang baik
untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik,
kerena kehidupan yang seimbang memilki sama-sama yang baik.
Lelaki yang baik biasanya tidak menyukai wanita yang tidak baik.
Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam Tafsir al-Azhar
terhadapa redaksi ayat diatas menjelaskan tentang perkara yang baik
adalah hasil dari orang-orang yang baik pula, dan memanglah orang
baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidaklah
mengahsilkan yang baik, dan orang baik tidak akan mengahasilkan
yang kotor. Orang yang baik karena imannya, selalu berjuang supaya
dia menghasilkan yang baik, untuk di berikan dalam masyarakat.
Adapun yang berjuang untuk kebaikan namun diganggu oleh
orang yang berjiwa kotor, supaya orang baik tersebut menjadi kotor,
dengan cara dicaci maki dan diludahi, di hamun makinya, sehingga
timbullah peperangan dalam hatinya, dilawan atau hanya diam.
Demikianlah saat ujian jiwa bagi yang masih berniat menegakkan
kesucian dan kebaikan dalam dunia ini. Memang susah dalam
23
Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid an-Nur Jilid
4, h. 2716
92
menegakkan kebaikan terkadang butuh pengorbanan sepenuh tenaga,
keringat, air mata dan darah. Disaat ia silap sedikit saja, kalau dia
terjebak oleh orang yang kotor lalu ia menjadi rendah seperti orang
kotor tersebut. Dan tidaklah berarti kebaikan yang ia tempuh
bertahun-tahun dengan susah payah ia terjatuh dalam jerat tersebut.
Jika seorang yang baik sudah banyak menulis tentang kebaikan dan
menjadi pedoman hidup orang lain, namun diganggu oleh orang jahat,
dan ia lupa tujuan hidupnya maka rusaklah semuanya.24
Dari uraian Hamka diatas dapat disimpulkan bahwa beliau
dalam menafsirkan redaksi ayat tersebut beliau menafsirkan tentang
orang-orang yang melakukan perkara yang baik, karena orang baiklah
yang dapat mengahasilkan yang baik pula. Orang baik tidak
mengasilkan yang kotor. Orang baik karenan imannya selalu
berusaha untuk mendapatkan hasil yang baik untuk diaplikasikan
dalam masyarakat. Terkadang orang baikpun dapat ujian dari Allah,
bagaimana ia dalam mengahadapi ujian tersebut, bilamana ia tidak
berhasil dalam mengahdapi ujian dengan baik, maka dia mengikuti
orang yang kotor maka rugilah perkara-perkara yang baik yang
selama ini dilakukannya. Dalam penafsiran beliau memanglah
menjelaskan tentang orang-orang yang melakukan perkara yang baik
dan menghasilkan yang baik pula, begitu juga bila dikaitkan dengan
laki-laki yang baik mendapatkan wanita yang baik, dan wanita yang
baik mendapatkan lelaki yang baik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan ketiga
mufassir dalam menafsirkan ayat ini, seperti Abdurra‟uf dan Hasbi
sama-sama menafsirkan tentang wanita yang baik untuk lelaki yang
baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. namun perbedaan
24
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XV III, h. 168
93
yang dapat penulis ambil ialah Hamka menjelaskan tentang perbuatan
orang yang baik akan mengahasilkan yang baik pula, perbuatan yang
baik tidak menghasilkan yang kotor. Dalam penafsiran Hamka
memilki keterkaiatan terhadap penafsiran Abdurra‟uf dan Hasbi.
Kemudian dilihat dari teknik penfsiran Abdurra‟uf hanya
menggunakan bahasa yang singkat, dan Habi menafsirkan sesuai
dengan tafsirnya, kemudian Hamka menafsirkan secara panjang lebar.
Kemudian dari penjelasan tiga tokoh mufassir dapat kita ambil
untuk membangun sebuah tatanan pernikahan harmonis kita harus
selalu memperbaiki diri menjadi lebih baik, sehingga Allah akan
memberi yang baik. Karena hasil yang baik berupa dari perbuatan
yang baik.
7. QS. Al-Baqarah [2]:237
“jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah[151], dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan
keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah
[2]:237)
94
Penafsiran Abdurra‟uf as-singkili dalam tafsir Tarjumanul
Mustafid terhadap redaksi ayat “walatansawul fadhla bainakum”
tersebut yaitu “dan jangan kamu lupa dari pada dianugrahi setengah
kamu atas setengah kamu.25
Dari penafsiran Abdurra‟uf dapat
diambil kesimpulan bahwa jangan pernah melupakan kebaikan
diantara kamu, apalagi dalam hubungan suami istri harus sama-sama
mengingat segala kebaikan pasangannya. Agar menjadikan keluarga
yang harmonis. Kebaikan adalah anugrah dari yang Maha Kuasa.
Menurut penafsiran Hasbi as-shiddiqy terhadap redaksi ayat “
Dan jamganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu”.
Sebaiknya bagi orang yang yang memiliki istri dengan seorang wanita
yang berasal dari suatu keluarga, kemudian ia mentalaknya, agar
jangan ia melupakan perhubungan yang telah tumbuh antaranya
dengan keluarga itu.26
Dari uraian Hasbi ash-shiddiqy di atas dapat disimpulkan
bahwa jangan melupakan segala kebaikan diantara kamu walaupun
terjadinya perceraian, dan jangan pernah melupakan segala tali
persaudaraan yang telah tumbuh lama dengan keluarga tersebut.
Kemudian penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar terhadap
redaksi ayat tersebut “Dan janganlah kamu lupakan kebaktian di
antara kamu”, Maaf-memaafkan, beri-memberi, sama-sama
meninggalkan kesan yang baik, walaupun terjadi perceraian, untuk
melanjutkan lagi kewajiban-kewajiban lain dalam pergaulan hidup.
Karena akan ada juga hubungan-hubungan yang lain dalam waktu
yang lain.27
25
Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 39 26
Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid an-Nur Jilid
1, h. 410 27
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 2, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 261-262
95
Dari uraian Hamka di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
jangan sesekali seorang suami melupakan kebaikan istrinya, begitu
juga sebaliknya walaupun terjadi perceraian, harus saling ridha satu
sama lain. Dan jangan memutuskan pertalian persaudaraan yang
sudah dibangun bertahun-tahun. Sebab, mungkin saja akan ada
hubungan-hubungan lain yang tidak kita ketahui kedepannya nanti.
Dari uraian di atas penfasiran tiga mufassir dapat disimpulkan
bahwa persamaan dilihat dari penafsiran mereka sama-sama
menafsirkan jangan sesekali melupakan kebaikan seseorang, terlebih
sekali dalam hubungan suami istri. Namun perbedaan yang dapat
penulis ambil ialah dari teknik mufassir dalam menafsirkan ayat
seperti Abdurra‟uf hanya menafsirkan secara singkat dan jelas, Hasbi
dan Hamka menjelaskan secara lebih panjang lebar penjelasan Hasbi
tidak jauh beda dengan Hamka.
Kemudian dari penjelasan di ketiga mufassir ini bisa kita
ambil untuk membangun sebuah mahligai rumahtangga yang bahagia
dengan cara suami istri saling mengingat kebaikan, sehingga tertutupi
segala keburukan yang terajdi.
8. QS. Al-Furqan [25]: 74
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,
anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan
Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan
[25]:74).
96
Menurut penafsiran Abdurr‟uf as-Singkili dalam kitab
Tarjuman al Mutafid terhadap ayat tersebut yaitu, tentang berdoa
kepada Allah, wahai tuhan kami anugrahilah kepada kami istri dan
anak cucu kami yang mensejahterakan segala mata kami seperti
halnya melakukan keta‟atan kepadamu dan selalu dijadikan rasa takut
seperti orang-orang yang takut kepada-Mu.28
Dari uraian Abdurra‟uf diatas dapat disimpulkan bahwa ini
adalah doa meminta kepada Allah agar menjadi imam yang baik yang
selalu taat kepada Allah dari disini sudah terdapat pengajaran yang
baik bagi yang belum berpasangan maupun yang sudah tetap
menyerahkan diri kepada Allah meminta pasangan hidup dan
keturunan sebegai penyejuk mata agar berbahagia dalam keluarga.
Dan menurut penafsiran Hasbi as-shiddiqy dalam menafsirkan
ayat tersebut, bahwa hamba-hamba Allah yang benar-benar beriman
kepada Allah ia memohon kepada Allah supaya diberikan kepadanya
anak-anak yang taat kepada Allah, dan memohon supaya menjadikan
istri-istrinya orang-orang yang taat, sebagaimana mereka memohon
juga kepada Allah supaya dijadikan untuk mengikuti ummat yang taat
beramal baik dalam beriman maupun dalam beramal kebaikan. Dalam
tafsir an-Nur as-Suyuthi berkata dalam al-Iklil: “firman Allah ini
memebenarkan kita berusaha memeperoleh kedudukan untuk
mengendalikan sesuatu urusan kebajikan”.
dalam tafsir an-Nur,Hasbi ash-Shiddiqy mencantumkan
beberapa pendapat, seperti penerangan al-Kirami bahwa al-Qaffal dan
lain Mufassirin berkata: “Ayat ini menjadikan kita berusaha
memperoleh kedudukan kepemimpin dalam urusan agama. Dan
28
Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 367
97
hukumnya adalah wajib.” Pendapat ini juga diterangkan oleh az-
Zamakhsyari.29
Dari uarain Hasbi di atas dapat disimpulkan bahwa doa ini
permohonan kepada Allah agar mendapatkan istri dan anak yang
melaksanakan perintah Allah dan mengamalkannya.
Adapun pendapat Hamka mengenai ayat tersebut, sebelum ia
menafsirkan ayat tersebut ia menjelaskan seorang hamba yang
Rahman yang berperilaku sangat baik dan hidupnya menjungjung
tinggi kalimat Ilahi. Cahaya kebenaran bukan saja memasuki hatinya.
Ia belum merasa cukup kalau ahli rumahnya, anak-anaknya, dan
istrinya belum merasai kehidupan yang telah dijelaskan dalam ayat
sebelumnya tentang amal-amal kebaikan. Maka tersebutlah pada ayat
74. Bahwa Ibadur Rahman itu senantiasa bermohon kepada Allah
agar istri-itri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati
permainan mata, obat yang selalu menjadi ketenangan hati dan jiwa,
dan obat segala keresahan, dan kekecewaan hati dalam hidup.
Betapapun seorang ayah yang hidup dengan keimanan kepada Allah
belum merasa tenang untuk menutup mata jika anaknya tidak
menuruti apa yang diajarkannya.
Begitu pula juga seorang suami yang selu melakukan
kebajikan dan bila istri tidak memiliki sambutan dengan baik, hati
suami akan terluka juga. Keseimbangan yang dibutuhkan dalam hidup
berumahtangga dan memiliki satu tujuan. Hidup orang muslim secara
berjama‟ah bukan hidup sendiri-sendiri sebagaimana dalam hadis
Rasul saw.
29
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur, h.
2822
98
ث نا ث نا عبد هللا بن يزيد، حد د بن عبد هللا بن ني المدان، حد ثن مم حدوة، أخب رن شرحبيل بن ، يدث حي ع أب عبد الرحن البلي شريك، أنه س
ن يا »عن عبد هللا بن عمرو، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، قال: الدالة ن يا المرأة الص ر متاع الد «متاع، وخي
Muhamaad bin Abdullah bi Numair al Hamdani
menyampaikan kepadaku dari Abdullah bin Yazid, dari
Haiwah, dari Syurahbil bin Syarik yang megabarkan bahwa
dia mendengar dari Abu Abdurrahman al-Hubuli, dari
Abdullah bin „Amr. Bahwa RAsulullah saw bersabda, “Dunia
itu adalah kenikmatan. Sebaik-baik kenikmatan dunia adalah
istri yang shalehah.” (HR. Muslim)30
Sebanyak apapun harta yang yang dimiliki oleh suami, dengan
kendaraan yang mewah dan kekayaan yang melimpah semuanya tidak
ada artinya jika seorang istri tidak setia kepada suaminya.Jika dalam
rumahtangga suami ke hilir dan istri ke hulu maka hancurlah
rumahtangga yang demikian.
Apa lagi anak, semua orang memiliki keturuanan, bahwa yang
membuat seorang ayah dan ibu bahagia ketika melihat anak-anak
berbakti kepada kedua orangtunya dan sukses dalam kehidupannya.
Maka anak tersebutlah yang menjadi obat baginya.Jika anak-anak
beriman, memiliki ilmu dan mereka bisa menempuh kehidupan dalam
segala kesulitan, dan setelah mereka dewasa mereka bisa mendirikan
keluarganya sendiri da sampai menyambung keturunan. Inilah yang
menyebabkan bahagia bagi seorang ayah jika ajalnya sudah tiba maka
ia mereasa ketengan dengan kehidupan demikian.
Sebagai penutup dalam doa ini, dia memohon lagi kepada
Allah agar dia dijadikan Imam dari pada orang-orang yang bertakwa.
30
Muslim Bin al-Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadis
3, Shahih Muslim 1,(Jakarta: Almahira, 2012), Cet. 1, h. 708
99
Setelah berdoa kepada Allah agar istri dan anak menjadi buah hati
yang penyejuk mata karena takwa kepad Allah, maka ayah atau suami
sebagai penaggung jawab menuntun istri dan anak menempuh jalan
itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menajdi Imam, berjalan di
muka bumi dan sekalian menuntun mereka kejalan Allah. Doa
seorang mu‟min dalam rumah tangga tidak boleh setenga-setengah.
Dalam rumahtangga hendaklah menjadi imam bagi istri dan anaknya.
Tidak hanya menyuruh saja kepada istri dan anak tetapi juga menjadi
contoh bagi mereka.
Itulah Ibadur Rahman orang yang telah mengabdi jiwa
raganya kepada Allah dan bangga dengan penghambaan dirinya
kepada Allah.31
ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi juga
istri dan anak-anaknya juga di ajarkan dan dijadikan contoh sebagai
muslim yang baik bagi mereka.32
Dari uraian Hamka diatas dapat penulis simpulkan bahwa ia
menceritakan tentang Ibadur Rahman ia belum merasa cukup jika ahli
rumahnya anak dan istrinya belum merasakan kehidupan yang ia
lakukan. Oleh sebab itu tersebut pada ayat ini tentang berdoa kepada
Allah untuk meminta kepada Allah agar diberikan istri dan anak yang
taat dan penyejuk hati serta menjadi pemimpin yang menjadi panutan
dalam keluarga dan bagi oaring-orang lain maka dari dari itu
31
Ia selalu melakukan amal ibadah kepada Allah pada malam hari. Ditengah
malam ia memohon kepada Allah, terdengar azan subuh dia pun segera menunaikan shalat
jika bisa berjam‟ah ia berjama‟ah. Di masyarakat ia seoarang yang memiliki derajat yang
tinggi dan ia memiliki sifat yang baik dan sopan. Setelah melakukan ibadah ia selalu mencari
rezeki. Dan bila ia memiliki rezeki ia pun menafkahkan rezekinya dengan baik tidak kikir
dan bakhil. Dirinya yang penuh dengan ketuguhan tauhid kepada Allah selalu takut dan
bertawwakl kepada-Nya. Dirinya yang terhindar dari perbuatan maksiat tidak berniat
mencelakai sesama, terjaga dari perbuatan zina, dan ia suka mendengar kebenaran. Baca
Selengkapnya di Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 50 32
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 49-50
100
sebabnya jika semuanya meras taat kepada Allah menjadikan
penyejuk mata terciptalah sebuah keluarga yang bahagia.
Dari uraian di atas tiga tokoh mufassir memiliki persamaan
dalam menafsirkan ayat ini adalah doa yang dipanjatkan oleh hamba
yang taat kepada Allah untuk meminta istri dan keturunan yang
menyenangkan mata. Dan sebagai imam yang baik taat kepada Allah
yang menjadikan panutan bagi keluarga dan orang lain. Adapun
perbedaan yang dapat penulis simpulkan dilihat dari teknik penafsiran
bahwa Abdurra‟uf ia hanya menjelaskan secara singkat dan jelas.
Sedangkan Hasbi mengaitkan penafsirannya dengan pendapat
penafsir lainnya ialah seperti as-Suyuthi, dan al-Kirami dan al-Qaffal
az-Zamakhsyari. Kemudian Hamka sendiri menceritakan tentang
keshalihannya seorang hamba yang rahman dalam penafsirannya
dalam menafsirkan ayat tersebut.
Dalam penjelasan mufassir diatas dapat penulis simpulkan
bahwa seoarang suami harus menjadi imam yang menjadi panutan
bagi istri dan anaknya. Dan bagi yang belum dan sesudah memilki
pasangan tetaplah memperbanyak membaca firman-Nya tersebut agar
mendapatkan pasangan dan keturunan yamg menyenangkan hati serta
taat kepada Allah agar menjadikan sebuah keluarga yang harmonis.
B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Dalam menafsirkan ayat-ayat pernikahan harmonis para mufassir
disini memliki persamaan dan perbedaan baik dari segi konteks
bahasayang digunakan, ataupun teknik penafsiranyang digunakan mufasir
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.
1. Dilihat dari tiga tokoh mufassir dalam menafsirkan suarah an-Nisaa
ayat 34, mereka sama-sama mengatakan bahwa laki-laki adalah
101
sebagai pemimpin, melindungi, mengurus, mengendalikan hak dalam
mahligai rumahtangga.Maksud pemimpin disini ialah pemimpin
yang tangguh dan bijaksana dalam memimpin keluarga terhadap istri
dan anaknya. Kemudian seoarang suami tidak hanya memimpin
akantetapi melindungi istri dan anaknya dan juga menuntun kepada
jalan kebaikan, menafkahi keluarganya. Dan seorang istri yang
memelihara harta suami serta menjaga aib yang terdapat pada suami.
Namun perbedaan yang dapat penulis simpulkan bahwa ada dua,
dalam segi bahasa dan teknik penafsiran mufassir. Adapun dari
Abdurra‟uf sendiri menggunakan bahasa “laki-laki dikeraskan atas
semua perempuan” sedangkan Hasbi dan Hamka menggunakan
bahasa yang sama yaitu sebagai pemimpin tetapi memiliki tujuan
yang sama untuk menjadikan kepala keluarga dalam sebuah
rumahttangga yaitu adalah seorang laki-laki. Kedua, dari segi
penafsiran Abdurra‟uf menjelaskan sesuai penafsirannya sendiriia
tanpa menggunakan bahasa panjang lebar hanya secara singkat dan
jelas. Dan Hasbi mengaitkan penafsirannya dengan perintah laki-laki
untuk berperang karena laki-laki berfungsi melindungi. Sedangkan
Hamka mengaitkan penafsirannya dengan yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Dari penjelasan tafsir terhadap surah an-Nisa
ayat 34 dapat penulis simpulkan untuk membangun tatanan
pernikahan harmonis ialah Pertama, kepemimpinan dalam keluarga.
Kedua, istri memilki tugas selain dari pada suami yaitu untuk
memelihara harta suami dan juga menjaga aib yang terdapat pada
suami. Sehingga dengan melaksankan tugasnya masing-maka jauh
dari perasaan untuk saling mengusai dalam rumahtangga.
2. Persamaan dari Abdurra‟uf, Hasbi, dan Hamka mereka dalam
menafsirkan ayat ini memilki maksud yang sama yaitu pergaulan
102
suami istri secara biologis. Namun perbedaan yang dapat penulis
simpulkan disini pertama dari kontek penafsiran mufassir.
Abdurra‟uf dalam menafsirkan redaksi “hunnalibasullakum wa
antum libasullahunna” bahwa mereka adalah pakaian bagi kamu dan
kamu adalah pakaian bagi mereka. Beliau tidak menjelasakan makna
dari pakaian tersebut, makna pakaian secara umum ialah penutup
tubuh serta pelindung bagi yang memakaianya. Sedangkan Hasbi dan
Hamka memiliki keterkaitan dalam menjelaskan makna redaksi ayat
tersebut ialah pergaulan suami istri secara biologis. Namun
perbedaan yang dapat penulis disimpulkan dari teknik penafsiran
yang digunakan oleh mufassir sendiri seperti Abdurra‟uf hanya
menafsirkansecaraijmali. Sehingga bagi masyarakat yang awam tidak
akan memahami maksud dari pakaian tersebut. Hasbi dan Hamka
menafsirkan ayat sebagai majazi dari pakian itu bermakna pergaulan
suami istri secara biologis. Adapaun pendapatnya M. Quraish
Shihab33
maksud dari redaksi ayat tersebut, mereka (istri-istri) adalah
pakaian untuk kamu (para suami), dan kamu (para suami), adalah
pakaian para istrimu.Perisai yang dipakai dalam peperangan memberi
rasa aman.Pakaian tebal memberi kehangatan, sebaliknya kepanasan,
dengan pakaian yang lembut dan halus sehingga kepanasan tersebut
terkurangi. Jika demikian halnya pakaian, masing-masing pasangan
dinamai al-Qur`an sebagai “pakaian”, maka tidak diragukan lagi
bahwa salah satu fungsi keluarga ialah saling melindungi.Kemudian
dari penjelasan mufassir di atas dapat penulis simpulkan bahwa
untuk membangun sebuah tatanan pernikahan harmonis harus saling
melindungi baik dalam keadaan apapun. Seperti pakaian yang selalu
33
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur`an, (ciputat: Lentara Hati, 2007), Cet. 6, h.
169
103
manusia butuhkan, begitu pula hubungan antara suami istri dalam
mahligai rumahtangga.
3. Dari penjelasan tiga tokoh mufassir terhadap surah ar-Rum ayat 30 di
atas dapat disimpulkan mereka memilki persamaan dalam
menafsirkan ayat ini bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-
pasangan dari jenismu sendiri agar dirimu lebih merasa tenang dan
tentram bersamanya. Sedangkan perbedaan terdapat pada kontek
penafsiran yang dilakukan oleh mufassir. Abdurra‟uf hanya
menafsirkan ayat tersebut tanpa menggunakan bahasa panjang lebar
tidak jauh berbeda dengan Hasbi, akan tetapi ia menafsirkan ayat ini
sesuai dengan penafsirannya sendiri. Sedangkan Hamka ketika
menafsirkan ayat tersebut ia menjelaskan tentang makna “agar
tentramlah kamu kepadanya”, makana dari mawaddatan, serta
makna rahmatan, ia mengaitkan penafsirannya dengan ayat-ayat
yang lain seperti suarah as-Sajdah ayat 7 dan 8. Kemudian dari
penjelaan tafsir di atas dapat penulis simpulkan untuk membangun
sebuah tatanan pernikahan harmonis yaitu saling menumbuhkan rasa
kasih sayang sesama pasangan, bersikap setia sesama pasangan
karena menikah tidak hanya tujuan untuk mawaddatan saja, akan
tetapi sampai mendapatkan rahmatan.
4. Kemudian dari uaraian di atas dapat penulis simpulkan persamaan
dari ketiga tokoh mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut wajib
bagi laki-laki meperlakukan istri dengan ma‟ruf dan menafkahinya
dan membuat hati bahagia. Apabila istri terdapat sebuah kekurangan
jangan langsung membencinya karena di balik semua terdapat
hikmah yang baik.Adapun perbedaan yang dapat penulis ambil ialah
dari dua teknik yaitu penggunaan bahasa yang digunakan oleh
mufassir dan teknik penafsiran yang digunakan oleh mufassir sendiri.
104
Pertama dilihat dari bahasa yang digunakan mufassir dalam
memaknai kata ma‟ruf . Abdurra‟uf menggunakan kata elok, dalam
kamus melayu elok34
ialah tidak jahat kelakuan, budi pekerti.
Maksud Abdurra‟uf disini mengunakan kata elok bahwa seoarang
suami harus berbaik budi dalam bertutur kata, menafkahi dan
bermalam dengan istrinya tidak hanya bagus saja. Pada abad ke-17
ulama tafsir ini menggunakan bahasa elok. Kemudian ulama pada
abad ke-19 penulis menemukan bahasa yang digunakan oleh Hamka
“dengan cara yang patut” dalam kamus melayu makna patut35
ialah
baik lagi elok tentang perangai, kelakuan, senonoh, wajar, pantas.
Maksud penafsiran Hamka menggunakan kata patut ialah
meperlakukan istri dengan cara yang wajar. Sedangkan Hasbi
menggunakan bahasa baik sesuai dengan ketentuan syara‟ dalam
masyarakat. Walaupun berbeda bahasa yang digunakan oleh muafssir
yang berasal dari Nusantara mereka memilki tujuan dan makna yang
sama. Kedua perbedaan teknik penafsiran Abdurra‟uf menafsirkan
tanpa menggunakan bahasa panjang lebar secara singkat dan jelas.
Hasbi ia menafsirkan ayat ini menjelaskan sesuai dengan penafsiran
beliau sendiri. Sedangkan Hamka ia mengaitkan dengan ayat yang
lain penafsirannya dengan riwayat-riwayat Nabi mencantumkan
bagaimana sikap Nabi dalam memperlakukan istri-istrinya. Namun
dari penjelasan tafsir diatas dapat diambil beberapa hal yang dapat
membentuk mahligai rumahtangga yang harmonis diantaranya.
Pertama, selalu bersikap positif terhadap aib yang terdapat pada
pasangan. Kedua bersikap setia dan sabar. Ketiga, tidak
34
Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara,
(Brunei Darussalam: Pustaka Dewan Bahasa, 2003), Cet. 1, h. 674 35
Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, h.
674
105
memperdulikan hal-hal sepele yang mengakibatkan percekcokan
dalam pernikahan. Ketiga, bermuasyarah bil ma‟ruf.
5. Kemudian dari penjelasan mufassir terhadap surah al-Baqarah ayat
228 bahwa persamaan yang dapat disimpulkan dari tiga tokoh
mufassir mufassir dalam menafsirkan redaksi ayat tersebut ialah
suami istri sama-sama memilki hak, namun hak istri berbeda dengan
hak yang dilakukan suami. Dan laki-lakilah yang memimpin
mahligai rumahtangga. Namun perbedaan yang penulis dapat
simpulkan dari teknik penafsiran yang digunakan oleh mufassir
sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an, seperti Abdurra‟uf ia
hanya menafsirkan dengan bahasa yang singkat. Sedangkan Hasbi
dan Hamka sama-sama menggunakan bahasa panjang lebar, namun
perbedaan dengan Hamka, beliau mengaitkan penafsirannya dengan
kehidupan dimasyarakat sekitar. Kemudian Dari penjelasan tiga
tokoh mufassir dapat penulis ambil untuk membangun tatanan
pernikahan harmonis suami istri harus melakukan hak dan kewajiban
terhadap sesama pasangan. Seperti suami melaksanakan
kewajibannya terhadap istri dengan cara yang ma‟ruf , dan istri
memilki hak terhadap suami serta menghormatinya, dan lelakilah
yang memimpin dalam rumahtangga.
6. Penjelasan mufassir terhadap surah an-Nur ayat 26 memilki
persamaan dalam menafsirkan ayat ini, seperti Abdurra‟uf dan Hasbi
sama-sama menafsirkan tentang wanita yang baik untuk lelaki yang
baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Namun perbedaan
trdapat dua bagian, pertama dalam Penafsiran Hamka dalam
menafsirkan ayat tersebut bahwa tentang perbuatan orang yang baik
akan mengahasilkan yang baik pula, perbuatan yang baik tidak
menghasilkan yang kotor. Dalam penafsiran Hamka memilki
106
keterkaiatan terhadap penafsiran Abdurra‟uf dan Hasbi. Kedua,
dilihat dari teknik penafsiran mufassir Abdurra‟uf hanya
menggunakan bahasa yang singkat, dan Habi menafsirkan sesuai
dengan tafsirnya, kemudian Hamka menafsirkan secara panjang
lebar. Kemudian untuk membangun sebuah tatanan pernikahan
harmonis kita harus selalu memperbaiki diri menjadi lebih baik,
sehingga Allah akan memberi yang baik. Karena hasil yang baik
berupa dari perbuatan yang baik.
7. Penjelasan tiga tokoh mufassir terhadap surah al-Baqarah ayat 237.
Persamaan dilihat dari penafsiran mereka sama-sama menafsirkan
jangan sesekali melupakan kebaikan seseorang, terlebih sekali dalam
hubungan suami istri. Namun perbedaan yang dapat penulis ambil
ialah dari teknik mufassir dalam menafsirkan ayat seperti Abdurra‟uf
hanya menafsirkan secara singkat dan jelas, Hasbi dan Hamka
menjelaskan secara lebih panjang lebar penjelasan Hasbi tidak jauh
beda dengan Hamka. Kemudian dari penjelasan ketiga mufassir ini
bisa kita ambil untuk membangun sebuah mahligai rumahtangga
yang bahagia dengan cara suami istri saling mengingat kebaikan,
sehingga tertutupi segala keburukan yang terajdi.
8. Kemudian dari penjelasan mufassir terhadap surah al-Furqan ayat 74
bahwa persamaan yang dapat disimpulkan dari Abdurra‟uf, Hasbi,
dan Hamka sama menafsirkan ini adalah doa yang dipanjatkan oleh
hamba yang taat kepada Allah untuk meminta istri dan keturunan
yang menyenangkan mata, jika dilihat oleh mata mendapat
kesenagan demikialah akan mendapatkan kesenangan dalam hati.
Dan sebagai imam yang baik taat kepada Allah yang menjadikan
panutan bagi keluarga dan orang lain. Adapun perbedaan yang dapat
penulis simpulkan dilihat dari teknik penfasiran bahwa Abdurra‟uf ia
107
hanya menjelaskan secara ijmali.36
Hasbi mengaitkan penafsirannya
dengan pendapat penafsir lain seperti as-Suyuthi, dan al-Kirimani
dan al-Qaffal az-Zumakhsyari dan beliau juga menafsirkan secara
ijmali.Kemudian Hamka sendiri menceritakan tentang keshalihannya
seorang hamba yang rahman dalam penafsirannya dalam
menafsirkan ayat tersebut. Teknik penafsiran Hasbi dan Hamka
secara tahlili37
.Kemudian dari penjelasan mufassir dapat penulis
simpulkan untuk mebangun sebuah tatanan pernikahan harmonis
maka seoarang suami harus menjadi imam dan panutan bagi istri dan
anaknya. Dan bagi yang belum dan sesudah memilki pasangan
tetaplah memperbanyak membaca firman-Nya tersebut agar
mendapatkan pasangan dan keturunan yamg menyenagkan hati serta
taat kepada Allah.
36
Tafsir ijmali ialah penafsiran al-Qur`an yang dilakukan dengan cara
mengemukakan isi kandungan al-Qur`an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa
uraian atau pemabahasan secara panjang dan luas dan juga tidak dilakukan secara rinci.
Baca Selengkapnya di M. Amin suma, Ulumul Qur`an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2014), Cet. 2, h. 381 37
Secara harfiah tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan
al-Tafsir al-Tahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat al al-Qur`an yang dilakukan dengan
cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an
dengan mengikuti tertib urutan surat dan ayat-ayat alQur`an itu sendiri dengan sedikit
banyak melakukan analisis di dalamnya. Baca Selengkapnya di M. Amin suma, Ulumul
Qur`an, h. 379
109
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum Abdurra’uf, Hasbi, dan Hamka memilki pandangan dan
prinsip yang sama terhadap lima ayat alqur`an mengenai konsep
pernikahan harmonis yaitu, memiliki pemimpin yang bertanggung
jawab, pasangan suami istri harus saling melindungi, saling
menumbuhkan kasih dan sayang agar terjalin sebuah mahligai
rumahtangga yang tenang dan penuh kemesraan, dan harus
berinteraksi dengan baik dan sabar terhadap pasangan, saling
bertanggung jawab sesuai kewajiban masing-masing, tidak pernah
melupakan segala kebaikan pasangan, melakukan hal-hal yang baik
agar menuai yang baik pula, kemudian memperbanyak doa kepada
Allah agar menjadi imam yang baik serta memiliki istri dan anak
yang shaleh.
2. Persamaan penafsiran dari tiga tokoh mufassir terhadap surah an-Nisa
34, surah ar-Rum ayat 21, surah al-Furqan ayat 74, dan surah an-Nisa
ayat 19, surah al-Baqarah ayat 228 dan 237, mereka memiliki
kesamaan dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Kemudian surah al-
Baqarah ayat 187 Hasbi dan Hamka saling berkaitan dalam
menafsirkan redaksi ayat “hunnalibasullakum wa antum
libasullahunna” yang dimaksud ialah hubungan biologis. Perbedaan
dapat penulis kategorikan menjadi dua bagian pertama, dari segi
linguistik yang digunakan mufassir pada lafad “qawwamun”
Abdurra’uf menggunakan bahasa “dikeraskan” , Hasbi dan Hamka
110
menggunakan bahasa sebagai “pemimpin”. Kemudian pada lafad
“ma’ruf” Abdurra’uf menggunakan bahasa “elok”, Hasbi
menggunakan bahasa “baik sesuai syara”, Hamka sendiri
menggunakan bahasa “Patut” namun maksud dan tujuannya sama.
Dalam surah an-Nur ayat 26 Hamka menjelaskan tentang orang yang
melakukan perkara yang baik akan menuai yang baik pula,
penafsirannya saling berkaitan dengan Abdurra’uf dan Hasbi “wanita
yang baik untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita
yang baik”. Kedua perbedaan dari teknik penafsiran mufassir gunakan
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an. Abdurra’uf hanya
menjelaskan secara ijmali. Hasbi terkadang dengan bil ro’yi dan bil
ma’qul sedangkan Hamka mengambil beberapa riwayat-riwayat Nabi,
dan contoh yang terdapat dimasyarakat (tahlili).
B. Saran-sara
1. Terasa sekali bagi penulis bahwa untuk menulis karya ini,
membutuhkan pengetahuan yang luas, penulis merasa jauh dari
kesempurnaan pengetahuan yang luas, penulis merasa jauh dari
kesempurnaan pengetahuan, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Oleh
karena itu janganlah merasa puas dengan apa yang kita dapatkan
akan tetapi tetaplah haus akan ilmu dan marilah kita menacari ilmu
dan mengkaji ilmu.
2. Di harapkan bagi yang membaca tulisan ini, semoga dapat
memahami dan mengambil pelajaran yang terkait dalam kehidupan
sehari-hari tentang makna ayat-ayat pernikahan harmonis. Untuk
membangun sebuah pernikahan harmonis butuh usaha yang kuat
sesama pasangan dan untuk selain itu kita menyerahkan diri kepada-
Nya.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Adil Abdul Mun‟im Abu Ketika Menikah Jadi pilihan, Penerjemah:
Gazi Saloom, Jakarta: PT Almahira, 2001
Adhim, Fauzil, Disebabkan Oleh Cinta, Kupercayakan Rumahku Padamu,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
Adlah, Siti “Pembinaan Keluarga Menurut Perspektif al-Qur`an Studi
Komperatif Antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Maraghi dalam Al-
Qur`an Surah at-Tahrim/66:6)”, Skripsi diajukan program sarjana
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2005
Akbar, Ali, Merawat Cinta Kasih, Jakarta: PT Pustaka Antara, 1995
Alkhasyt, Muhammad Utsman, Sulitnya Berumah Tangga, Jakrta: Gema
Insani Press, 1996
Alwi, Hasan, Kamus Bahasa Besar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005
Amir, Mafri Literatur Tafsir Indonesia, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2011
Anam, Syahrul, Kado untuk Sang Tunangan, Jakarta:Majlis Musyawarah
Kutubuddiniyah, 2010
Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002
Bakri, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang
Sakinah), Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993
Bakyr, Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Kamus Bahasa Melayu
Nusantara, Brunei Darussalam: Pustaka Dewan Bahasa, 2003
Basri, Hasan, Keluarga Sakinah (Tinjuan Pustaka dan Psikis dan Agama),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Al- Buhiy, Muhammad Labib, Hidup Bekeluarga Secara Islami, Bandung:
PT Al Ma‟arif, 1983
112
Daudy, Ahmad, Tasawuf Aceh, Banda Aceh: CV. Diandra Primamitra
Media, 2008
Dinata, Nana Syaudin Sukma, Metode Penelitian Pendidikan,
Bandung:Remaja Rosda Karya, 2010
Ghazali, Imam, Etika Perkawinan, Jakarta: Pustaka Panjimas , 1993
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008
Habib, Ali Mansur Usman, Muhadharat Fi al-Ahwalil asy-Syakhsiayati ‘Ala
Mazhab Imam Syafi’i, Kairo: Al-Azhar, 2016
Haikal, Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah, Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1993
Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 1, Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982,
, Tafsir al-Azhar Juzu’ V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
, Tafsir al-Azhar Juzu’ XIX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
, Tafsir al-Azhar Juzu’ 4, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987
Hamid, M. Abdul Halim Bagaimana Membahagiakan Suami, Penerjemah:
Wahid Ahmadi, Jakarta: Intermedia, 1997
Al-Hamid, Zaid. , Rumah Tangga Muslim, Semarang: Mujahidin, 1981
Hasibuan, Akmal Rizki Gunawan, Dimensi Politik Tafsir Al-Azhar Hamka:
Kajian Nilai-Nilai Pancasila, Tangerang Selatan: CB Media, 2016
Hawari, Dadang, Al-Qur`an Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan Jiwa
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1995
Hidayati, Nurul “Peran Suami dalam Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi
Tafsir Tematik)”, Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-
Qur`an (IIQ) Jakarta: 2015
Indonesia, Ensikopedia , Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990, Vol. II
Al-Iraqy, Butsainan As-Syyid, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia,
Penerjemah: Khatur Suhardi, Jakarta: Pustaka Azzam, 1995
113
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada, 2009
Al-Jawi, Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri, Tarjuman al-Mustafid, Beirut
Libanon: Dar al-Fikr, 1990
Kauma, Duad Membangun Sorga Rumah Tangga, Solo: CV. Aneka, 1996
Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikataan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995
Manshur , Shaleh bin Abdul „Aziz Alu, Nikah dengan Niat Talak, Surabaya:
Pustaka Progresif, 2004
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia, 2016
Munawir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya:
Penerbit Pustaka Pregessif, 2002
an-Naisaburi, Muslim Bin al-Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi Ensiklopedia
Hadis 3, Shahih Muslim 1, Jakarta: Almahira, 2012
Nayil, Najla‟ as-Sayyid, Menuju Rumah Tangga Bahagia, Jakarta:Pustaka
Al-Inabah, 2013
Riswarni, “Konsep Keluarga sakinah Menurut Tafsir Al-Maraghi”, Skripsi
diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2001
Sabiq, Sayyid Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 2, Penerjemah: Amir Hamzah,
Jakarta: IKPI al-I‟tishom, 2010
Shalih, Syaikh Fuad, Penerjemah M. Yasir Abdul Muthalib, Untukmu yang
Akan Menikah dan Telah Menikah, Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006
Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur,
semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1995
Shihab, M. Quraish Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Ummat, Bandung: Mizan, 2000
, KaidahTafsir, Ciputat: Lentera Hati, 2013
, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentara Hati, 2002, Vol. 1
, Pengantin al-Qur`an, Ciputat: Lentara Hati, 2007
114
Subhan, “Metode dan Corak Penafsiran Abdul Rauf Al-Singkili”, Skripsi
diajukan pogram sarjana tafsir Hadis Universitas Syarif Kasim Riau:
2011
Syakir, Muhammad Fuad Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV Cendekia
Sentra Muslim, 1997
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kharisma Putra utama,
2013
Tihami, M.A., Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2010
Tim Penyusun, Tafsir al-Qur`an Tematik jilid 2, Jakarta: Kamil Pustaka,
2014
Al-„Umr, Nashir bin Sulaiman, Sendi-sendi Kebahagian Suami Istri, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kausar, 1993
, Menuju Kebahagian Suami istri, Jakarta: CV.
Muria Putra Pressindo: 1995
Al-`utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Shahih Fiqh Wanita Menurut
Al-Qur`an dan As-Sunnah, Jakarta: Akbarmedia, 2009
Winarto, Ilmu Pengantar Ilmiah Dasar Metode Teknik, Bandung: Trasinto,
1978
Yanggo, Huzaimah T., dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi
Institut Ilmu al-Qur`an (IIQ)Jakarta, Jakarta:IIQ Press, 2011
, Hukum Keluarga dalam Islam, Jakarta: Ikapi, 2013
Zuhaili, Wahbah Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, Darul Fikr, Beirut: 2008
BIOGRAFI PENULIS
Syarifah Ainul Mardiah, nama panggilan ipeh, lahir di Aceh Timur pada tanggal 07 Frebruari 1995 (Aquarius), anak kedua, perempuan pertama buah hati dari ayahanda Sayed Jamaluddin dan ibunda Salmiah. Syarifah sejak kecil sudah di didik oleh ibundanya untuk hidup sederhana dan mandiri. Pengorbanan ibundanya yang berjuang sebagai punggung keluarga. Ia
diantarkan oeh ibundanya ke tempat pengajian, namun ia memilki guru ngaji bisa dikatakan selama bangku SD sekitar tujuh guru. Kemudian selessai Sd ia melanjutkan pendidikannya ke Al-Muslimun Boarding Scool bertepatan di Aceh Utara. Pada masa Aliyah ia memilki orangtua angkat bernama dr. Saiful Hurman yang membiayai sekolah sampai selesai pendidikannya selama tiga tahun. Pada masa Aliyah ia menulis karya ilmiah berjudul manfaat puasa menurut psikolog dalam bahsa Arab adalah salah satu syarat untuk ke lulusan wisuda. Kemudian ia memilki cita-cita untuk melanjutkan studynya di alqahirah, namun berhubung pada saat itu Mesir (pada tahun 2013) memilki konflik yang dahsyat sehingga keberangkatan di batalkan. singkat cerita ia memberanikan diri untuk kejakarta menuntut ilmu di IIQ Jakarta. Ia bersyukur karena bisa berkumpul dengan para ahlul Qur`an. Dan Alhamdulillah pada tahun ini ia menyandang gelar Sarjana Agama (S. Ag).