KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-QUR`AN

130
KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-QUR`AN (Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan Tafsir Al-Azhar) Skripsi Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Disusun Oleh : Syarifah Ainul Mardiah 13210554 Dosen Pembimbing : Dr. H. Muhammad Ulinnuha Lc, MA PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 2017M/1438 H

Transcript of KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-QUR`AN

KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM

AL-QUR`AN

(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan

Tafsir Al-Azhar)

Skripsi

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1)

Disusun Oleh :

Syarifah Ainul Mardiah 13210554

Dosen Pembimbing :

Dr. H. Muhammad Ulinnuha Lc, MA

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

2017M/1438 H

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Konsep Pernikahan Harmonis Dalam al-Qur`an

(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan Tafsir al-Azhar)”

yang disusun oleh Syarifah Ainul Mardiah dengan Nomor Induk Mahasiswa

13210554 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan disetujui untuk

diujikan pada sidang munaqosyah.

Jakarta, 10 Agustus 2017

Pembimbing,

Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Konsep Pernikahan Harmonis Dalam al-Qur`an

(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan Tafsir al-Azhar)”

oleh Syarifah Ainul Mardiah dengan NIM 13210554 telah diujikan pada

sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ)

Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2017. Skripsi ini diterima sebagai salah satu

syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag).

Jakarta, 16 Agustus 2017

Dekan Fakultas Ushuluddin

Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA Dra. Ruqoyah Tamimi

Penguji I, Penguji II,

Dr. KH. Ahsin Sakho. M, MA Dr. Hj. Romlah Widayati, M.Ag

Pembimbing,

Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA

iii

PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syarifah Ainul Mardiah

NIM : 13210554

Tempat/Tgl. Lahir : Jakarta, 10 November 1991

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Konsep Pernikahan Harmonis

Dalam al-Qur`an (Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan

Tafsir al-Azhar)” adalah benar-benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan

yang sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 10 Agustus 2017

Syarifah Ainul Mardiah

iv

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana initeruntuk mamak dan waled tercinta

sebagai tanda bakti dan hormat saya. Terutama sekali kepada mamak yang

telah membiayai kuliah saya selama ini yang rela mengorbankan waktunya

untuk membiayai kuliah saya serta menjadi tulang punggung keluarga.

Terima kasih telah membesarkan, membimbing, serta mendidikku dengan

penuh kasih sayang. Terimaksih untaian doa yang selalu mengalir tanpa

henti, kesabaran tiada batas, dan tidak pernah berhenti meberikan cinta yang

tulus dan ikhlas kepadaku saat kecil sampai saat ini. Semoga ini menjadi

langkah awal untuk mebuat mamak dan waled bahagia. karna kusadari

selama ini belum bisa berbuat lebih. Terima kasih atas semua jasa-jasamu

dan segala motivasi kepada anakmu yang tak dapat terbalaskan dengan kata-

kata. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebaikan dunia akhirat untuk

mamak dan waled serta keluargaku. Aamiin..

v

MOTTO

karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

vi

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah swt yang Maha Kuasa hanya dengan izin-Nya

terlaksana kebijakan dan kesuksesan. Shalawat serta salam semoga

senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. Sahabat serta

para pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillsah skripsi ini dapat

terselesaikan berkat adanya dorongan, nasehat serta bimbingan dari semua

pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada

semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. di

antaranya kepada:

1. Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas Ridho-

Nya disetiap kemudahan dankelancaran selama penulis mengerjakan

skripsi ini.

2. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah Tahido Yanggo, Lc. MA Ibunda kita

semua, Rektor Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

3. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa. MA dekan fakultas Ushuluddin IIQ

Jakarta,atas segala kebaikan dan bimbingannya.

4. Bapak Dr. H. M. Ulinnuha Husnan, Lc. MA selaku dosen

pembimbing yang telah meluangkan waktunya guna memberikan

bimbingan dan pengarahan yang sangat berarti dalam penulisan

skripsi ini.

5. Segenap dosen pengajar IIQ terutama Fakultas Ushuluddin jurusan

Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yang telah memberikan banyak ilmu

pengetahuan,sehingga penulis mampu memahami banyak hal terkait

ilmu-ilmu Al-Qur`an.

vii

6. Segenap instruktur tahfidz atas ilmu dan semangat yang telah

diberikan kepada penulis. Ibu Muthmainnah, Kak A‟yuna, Bu

Mahmudah dan Bu Istiqomah serta Bapak Fathoni beserta dosen

lainnya yang tidak disebutkan semoga semuanya selalu dalam Ridho

Allah SWT.Aamiiin

7. Seluruh staf Fakultas yang telah membantu apapun yang dibutuhkan

penulis selama menjadi mahasiswa.

8. Pimpinan dan staf perpustakaan IIQ Jakarta, perpustakaan Fakulats

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan umum UIN Syarif

Hidayatullah, perpustakaan PSQ, dan perpustakaan Iman Jama‟

terimakasih atas kesempatannya untuk penulis dalam mecari bahan

yang diperlukan dalam penyusunan skripsi.

9. Untuk orangtuaku tersayang mamak Salmiah dan waled Sayed

Jamaluddin, serta Abangku Sayed Irfan dan Adekku Lestari

Terimakasih untuk pengorbanan, do‟a, kasih sayang, nasehat, dan

motivasi yang selalu menyertai langkah perjalanan kehidupan penulis,

sehingga penulis memiliki semangat dalam menjalani kehidupan

hingga detik ini.

10. Dan untuk calon Imamku, terimaksih atas motivasi, dukungan,

semangat, dan do‟a yang tak henti-hentinya engkau panjatkan untuk

adinda, yang telah setia mendengarkan keluh kesah adinda terutama

mengenai skripsi ini, sehingga meringankan beban fikiran penulis

dalam penyusunan skripsi. Semoga cita-cita kita tercapai bahagia

dunia dan akhirat, Aamiiin..

11. Teman teman angkatan 2013 terkhusus untuk teman teman

Ushuluddin, atas kebersamaan dan supportnya selama masa

perkuliahan hingga sekarang.

viii

12. Teman-teman organisasi FUMAS (Forum Ukhuwah Mahasiswa

Sumatra), terimakasih sudah membantu penulis menambah

pengalaman hidup yang baik, mendapatkan pelajaran sekaligus

menemukan keluarga di Jakarta.

Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan

masyarakat. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan pahala-Nya kepada

kita semua. Aamiiin.

Semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan Rahmat dan Pahala-Nya

disetiap butir kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis.

Tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf kepada seluruh pembaca

jika terdapat kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan skipsi ini.

penulis menyadari, masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi

ini. Kesempurnaan hanya milik Allah swt dan kekurangan ada pada diri

penulis.

Harapan penulis, semoga skripsi ini mampu memberikan kontribusi

positif di dunia akademis, serta memberikan pemahaman baru pada

masyarakat. Dan semoga Allah swt senantiasa meridhoi setiap langkah kita.

Aamiiin…

Jakarta, 10 Agustus 2017

Syarifah Ainul Mardiah

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii

PERNYATAAN PENULIS .......................................................................... iii

PERSEMBAHAN..........................................................................................iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................ vii

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... x

ABSTRAKSI ............................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 01

B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah .................. 09

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 10

D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10

E. Metodologi Penelitian ............................................................... 13

F. Teknik Dan Sistematika Penulisan............................................ 16

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN HARMONIS

A. Konsep Pernikahan Harmonis ................................................... 19

1. Definisi Pernikahan Harmonis ............................................. 19

2. Dasar Hukum Nikah ............................................................. 21

3. Rukun Dan Syarat Nikah…………………………………..22

B. Manfaat Rumahtangga Menurut Ajaran Islam……………….25

C. Tujuan Pernikahan Dalam Islam ............................................... 27

D. Cirri-ciri Pernikahan Harmonis……………………………….30

E. Cara Mengatasi Problematika Pernikahan……………………34

x

BAB III TINJAUAN UMUM TIGA TOKOH ULAMA TAFSIR

A. Biografi Hamka Syekh Abdurra‟uf as-singkili (1693 H/1105 M)

1. Riwayat Hidup Syekh Abdurra‟uf as-Singkili ................... 41

2. Profil Tafsir……………………………………………….43

a. Identifikasi Fisiologis…………………………………43

b. Identifikasi Metodologis………………………….......43

1. Latar Belakang Penulisan…………………………44

2. Sumber Penafsiran .................. ……………………44

3. Metode dan Corak Penafsiran ................................ 44

3. Karya-karya Syekh Abdurra‟uf as-singkili………………46

B. Biografi Hasbi as-shiddiqy (1975 M)

1. Riwayat Hidup Hasbi ash-Shiddiqy………………………47

2. Profil Tafsir ......................................................................... 49

a. Identifikasi Fisiologis…………………………………49

b. Identifikasi Metodologis………………………………49

1. Latar Belakang Penulisan…………………………49

2. Sumber Penafsiran………………………………..50

3. Metode dan Corak Penafsiran……………………51

4. Sisetematika Penafsiran ........................................... 51

3. Karya Hasbi ash-shiddiqy ................................................... 52

C. Biografi Buya Hamka

1. Riwayat Hidup Buya Hamka ............................................. 52

2. Profil Tafsir ........................................................................ 53

a. Identifikasi Fisiologis................................................... 53

b. Identifikasi Metodologis .............................................. 54

1. Latar Belakang Penulisan………………………...54

2. Sumber Penafsiran ................................................. 54

3. Metode dan Corak Penafsiran ................................ 55

xi

4. Sistematika Penafsiran ........................................... 55

3. Karya Buya Hamka ............................................................. 55

BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT PERNIKAHAN HARMONIS

A. Penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili, Hasbi ash-Shiddiqy, dan

Hamka ....................................................................................... 57

1. Penafsiran QS. an-Nisa [4] ayat 34 ...................................... 57

2. Penafsiran QS. al-Baqarah [2] ayat 187 ............................... 64

3. Penafsiran QS. ar-Rum [30] ayat 21..................................67

4. Penafsiran QS. an-Nisa [4] ayat 19 .................................... 73

5. Penafsiran QS. al-Baqarah [2] ayat 288 ............................. 81

6. Penafsiran QS. an-Nur [24] ayat 26 ................................... 90

7. Penafsiran QS. al-Baqarah [2] ayat 237 ............................. 93

8. Penafsiran QS. al-Fueqan [25] ayat 74 ...............................75

B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ....................... 100

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 109

B. Saran ........................................................................................... 110

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 111

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf

Arab Nama

Huruf

Latin Keterangan

Alif - Tidak dilambangkan أ

”bā` B Huruf “be ة

”tā` T Huruf “te ث

”tsā` Ts Huruf “te” dan “es ث

Jim J Huruf je ج

hā` H Huruf “ha” dengan garis bawah ح

”khā` Kh Huruf “ka” dan “ha خ

”Dal D Huruf “de د

”Dzal Dz Huruf “de” dan “zet ذ

”rā` R Huruf “er ز

”Zai Z Huruf “zet ش

”Sin S Huruf “es س

”Syin Sy Huruf “es” dan “ye ش

”Shād Sh Huruf “es” dan “ha ص

”Dhād Dh Huruf “de” dan “ha ض

”thā` Th Huruf “te” dan “ha ط

”zhā` Zh Huruf “zet” dan “ha ظ

„ ain„ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

”Ghain Gh Huruf “ge” dan “ha غ

”fā` F Huruf “ef ف

”Qāf Q Huruf “qi ق

”Kāf K Huruf “ka ك

”Lām L Huruf “el ل

”Mim M Huruf “em و

”Nun N Huruf “en ن

”Wāwu W Huruf “we و

”hā` H Huruf “ha ھ

Hamzah ` Apostrof ء

”yā` Y Huruf “ye ي

xiii

B. Vokal

Vokal Tunggal

Tanda Vocal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

A Harakat Fathah

I Harakat Kasrah

U Harakat Dhammah

Vokal Panjang

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

ȃ Huruf “a” dengan topi di

atas

Î Huruf “i” dengan topi di atas

Û Huruf “u” dengan topi di

atas

Vokal Rangkap

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

Ai Huruf “a” dan “i”

Au Huruf “a” dan “u”

C. Kata Sandang

1) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyyah

ditransliterasi sesuai dengan bunyinya. Contohnya:

al-Madînah :انمديىت al-Baqarah :انبقسة

2) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) syamsiyyah

ditransliterasi sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan

sesuai bunyinyaContoh:

xiv

as-Sayyidah : انسيدة ar-rajul : انسجم

ad-Dȃ : اندازمى asy-syams : انشمس rimî

3) Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan dengan

lambang (__), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.

Aturan ini berlaku umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di

akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh:

Âmannȃ : أمىب ببهلل billȃ hi أمه انسفهبء : Âmana as-Sufahȃ ’u

انريهإن : Inna al-ladzîna وانسكع : wa ar-rukka’i

4) TaMarbuthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata

sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.

Contoh:

al-Af`idah : األفئدة

هبميتانجبمعت اإلس : al-Jȃ mi’ah al-Islȃ miyyah

Sedangkan ta marbuthah yang diikuti atau disambungkan (di-

washal) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi

huruf “t”. Contoh:

Âmilatun Nashibah’: عبمهت وبصبت

al-Âyat al-Kubrȃ : اٱليت انكبسى

xv

ABSTRAKSI

Syarifah Ainul Mardiah (13210554)

Konsep Pernikahan Harmonis Dalam Al-Qur`an (Telaah Tafsir

Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-Nur, dan Tafsir al-Azhar)

Pernikahan merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri

kepada Allah, agar terhindar dari perbuatan yang dilarang dalam agama. Tapi

dewasa ini banyak pernikahan dilakukan hanya sekedar saja, tanpa

memamahami makna yang terkandung dalam ikatan tersebut. Sehingga

banyak problematika yang terjadi dalam kehidupan rumahtangga yang

menyebabkan kurang implementasi konsep pernikahan harmonis, dan jauh

dari nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran Islam dan al-Qur`an. Sebab

demikianlah peneliti terdorong untuk mengkaji lebih dalam bagaimana

pandangan, serta persamaan dan perbedaan dalam penafsiran Abdurra‟uf as-

Singkili, Hasbi ash-Shiddiqy, dan Hamka terhadap ayat-ayat al-Qur`an

mengenai konsep pernikahan harmonis.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

pendekatan komparatif. Dalam penelitian ini penulis mencoba menjawab

permasalahan yang ada melalui studi dokumen atau pustaka (Library

Research), dengan merujuk pada data primer dan sekunder. Sumber data

primer yang digunakan penulis adalah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-

Nur, dan Tafsir al-Azhar. Kemudian data sekunder yang penulis gunakan

merupakan kamus Melayu serta buku-buku yang berkaitan dengan

pembahasan. Adapun teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis

deskriptif.

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum pandangan

Abdurra‟uf, Hasbi, dan Hamka memiliki prinsip yang sama terhadap 8 ayat

al-Qur`an mengenai konsep pernikahan harmonis. Kemudian perbedaan

terbagi dua , pertama terdapat pada linguistik yang dipakai oleh mufassir

sendiri, pada lafad “Qawwamun” Abdurrau‟f menggunakan bahasa

“dikeraskan”, Hasbi dan Hamka menggunakan bahasa “pemimpin”. dan

pada lafad “ma’ruf” Abdurra‟uf menggunakan bahasa “elok”, Hasbi

menggunakan Bahasa “yang baik sesuai syara‟”, dan Hamka menggunakan

bahasa “patut” walaupun mereka berbeda bahasa yang digunakan namun

memilki makna yang sama. Kedua, dilihat dari teknik penafsiran yang

digunakan mufassir, Abdurra‟uf secara ijmali, Hasbi secara ijmali, sedangkan

Hamka secara tahlili

.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan dilakukan untuk menciptakan keluarga sesuai dengan

aturan syari‟at Islam. Salah satu perhatian Islam terhadap keluarga adalah

diciptakannya aturan dan syari‟at adil dan bijaksana. Islam menghendaki

dicapainya suatu makna yang mulia dari suatu perkawinan atau

kehidupan berumah tangga. Di sini lembaga perkawinan harus dipandang

sebagai sesuatu yang bernilai luhur dan harus dicari makna dan

esensinya, seperti halnya ketenangan dan ketentraman hidup.1

Agar mendapat ketenangan dan ketentraman hidup dalam keluarga

atau pernikahan maka menjauhi nikah yang tidak disukai Allah. Nikah

yang tidak disukai Allah adalah nikah yang tidak sempurna salah satu

dari rukun dan syaratnya, atau ada salah satu penghalang,atau ada unsur

penipuan dari kedua belah pihak yang tidak mengindahkan tujuan

pernikahan dalam syariat islam.2

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa syariat Islam sangat

menegaskan untuk melaksanakan sebuah perkawinan harus mengikuti

bermacam-macam syarat, hukum, dan etika yang harus dipenuhi agar

akad tersebut terlaksana dengan sah cara yang ditempuh menjadi aman.

Karena akad nikah adalah persoalan yang sangat penting yang di

dalamnya terdapat cakupan tuntutan untuk menjaga kehormatan,

kemuliaan, harta, dan nama baik dua keluarga.3

1 Abdutawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah, (Jakarta: CV Pedoman

Ilmu Jaya, 1993), Cet. 1, h. 6-7. 2 Shaleh bin Abdul „Aziz Alu manshur, Nikah dengan Niat Talak, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 2004), Cet. 1, h. 1 3 Syahrul Anam, Kado untuk Sang Tunangan, (Jakarta:Majlis Musyawarah

Kutubuddiniyah, 2010), Cet. 1, h. 45

2

Tidak diragukan lagi bahwa rumah tangga. Muslim adalah inti dari

masyarakat yang baik, maka wajiblah diperhatikan dengan memelihara

ikatan perkawinan islam dengan ikatan yang benar jauh dari kesia-siaan

untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang luhur yang penuh kasih sayang

dan ketenangan jiwa yang merupakan salah satu kebesaran Allah yang

menunjukkan kesempurnaan kekuaasaan-Nya sebagaimana firman Allah:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu

rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. ar-rum

30: 21)

Menurut M.A. Tihami, dalam bukunya, menurut ayat di atas bahwa,

keluarga Islam terbentuk dari dua perpaduan ketrentraman dan penuh

rasa cinta dan kasih sayang, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh

kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan perasaan halus, putra putri

yang patuh dan dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi

dan tolong-menolong, hal ini bisa terwujud dengan adanya rasa saling

bertanggung jawab.4

Menurut Huzaimah Tahido Yanggo, setiap keluarga mendambakan

terwujudnya keluarga sakinah dan sejahtera. Agama Islam sendiri

menginginkan terwujudnya keluarga yang demikian. Sebagaimana

Firman Allah Qur`an surat ar-Rum ayat 21. Bahwa agama Islam

4 M. A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2010), Cet. 10, h. 17-18.

3

memberikan petunjuk mengenai beberapa ciri dari keluarga sakinah dan

sejahtera, diantara ialah tercurahnya rahmat Allah, terealisasinya motif

dasar kehidupan, kemampuan menyelesaikan konflik, berikhtiyar dan

bersyukur serta adanya kedudukan yang jelas dalam keluarga.5 Maka

rumah tangga tidaklah bisa terjaga kecuali dengan membekali ilmu

agama dan aqoid keimanan yang menyangkut syari‟at, sehingga dengan

demikian ia tetap terlindung dari gelombang-gelombang atheisme dan

penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan orang-orang yang

berusaha menyebarkan kerusakan bumi.6

Namun usaha membina rumah tangga dengan membahagiakan dan

menyelamatkannya dari keruntuhan berarti menyelamatkan serta

membahagiakan Negara dan Bangsa.Tidak heran apabila. A. Mukti Ali

(w. 2004)sewaktu menjadi mentri Agama RI dalam ceramah penutupan

kursus BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian)

tanggal 8 oktober 1972 di masjid Sunda Kelapa Jakarta menandaskan.

“kalau orang bertanya bagaimana caranya membanguna Negara

yang kuat, maka jawabannya ialah Negara yang kuat adalah terdiri

dari rumah tangga yang kuat. Negara yang adil terdiri dari rumah

tangga-rumah tangga yang adil, dan Negara yang yang makmur

terdiri dari rumah tangga-ru2mah tangga yang makmur.Jadi jika

ingin membangun Negara kita dengan sebaik-baiknya, maka keluarga

yang isi rumah tangga harus kita bangun sebaik-baiknya.Tanpa

membangun keluarga mustahil akan tercapai pembangunan

Negara.”7

Hubungan suami istri sangatlah penting dalam dan luasnya pengaruh

terhadap pembangunan umat secara keseluruhan, maka islam telah

5 Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam,(Indonesia:IKAPI,

2013), Cet.1, h. 96 6 Zaid H. Al-Hamid, Rumah Tangga Muslim, (Semarang: Mujahidin, 1981), h. 9-10.

7 Muhammad Ustman Alkhasyt, Sulitnya Berumah Tangga, (Jakarta:Gema Insani

Press, 1996), Cet. 15, h. 11

4

memberikan perhatian khusus kepada ikatan ini dengan menetapkan

metode-metode dan bimbingan hukum serta peraturan yang akan dapat

menjamin sebagian besar kebahagian dan kesejahteraan umat

manusia.8Sebagai umat Islam kita harus mewujudkan rumah tangga

sejahtera dan bahagia menurut tuntunan Islam yakni rumah laksana sorga

bagi penghuninya.9

Adapun kehidupan rumah tangga adalah perkara yang menyedot

perhatian Islam dalam porsi yang sangat besar. Oleh karena itu ia

meletakkan dasar-dasar dan landasan yang membantu pasangan suami

istri membangun bangunan rumah tangga yang kuat. Sebab, di atas dasar

dan landasan itulah kebahagian keluarga muslim akan terbangun,

kemudian dampaknya akan tampak pada kebaikan masyarakat

ditempatnya. Maka dari itu, Allah menyifati jalinan suci ini sebagai salah

satu tanda kekuasaan-Nya dan menjadikan akad nikah sebagai perjanjian

yang kuat10

.Bahwa pernikahan itu sunnatullah yaitu perintah Allah dan

Rasul-Nya. Tidak hanya semata-mata keinginan hawa nafsunya saja

karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan

sebagian dari syariat Agama Islam.11

Rasulullah SAW. Mengatakan: “Barang siapa menikah karena Allah

semata dan menikah karena Allah semata, maka ia diberi pertolongan

oleh Allah”, Riwayat dari hadis Mu‟az bin Anas. Beliau mengatakan :

“Barangsiapa beristri (menikah) berarti telah memelihara paruh

agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah dalam memelihara agama)

setengah bagian yang kedua.”(Riwayat Ibnul Jauzi dari Anas r.a.)hadis

8 Muhammad Ustman Alkhasyt, Sulitnya Berumah Tangga, h. 11.

9 Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, (Jakarta: Pustaka Antara PT, 1995), h. 9-10

10 Najla‟ as-Sayyid Nayil, Menuju Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta:Pustaka Al-

Inabah, 2013), Cet. 1, h. 1 11

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah),

(Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. 1, h. 3

5

ini menunjukkan bahwa keutamaan menikah disebabkan dapat

memelihara dari pertentangan-pertentangan hawa nafsu (syahwat),

sehingga ia terhindar dari penyebab-penyebab kerusakan agama

seseorang, sebagian besar adalah alat kemaluan dan perutnya.12

Menurut pemikiran Imam Ghazali r.a. dalam buku Muhammad Labib

Al-Buhiy, ada lima manfaat yang diperoleh dari hidup bekeluarga: anak,

mengendalikan nafsu syahwat, memikirkan rumah tangga, mempunyai

banyak teman hidup dan berjuang melawan kelemahan dalam mengurus

kepentingan mereka.13

Ketentraman jiwa yang dijanjikan oleh pernikah tentu bisa terjadi bila

masing-masing eksponen keluarga dapat berfungsi dan berperan

sebagaimana mestinya, berpegang teguh pada nilai-nilai yang telah

ditanamkan agama Islam, serta mampu membangun interaksi yang

sinergis dalam komusnitas sosial yang sehat.14

Karna itu tujuan pernikah

dalam Islam bukan semata-mata hasrat biologis (seksual), tetapi juga

merangkai kepuasan psikis-emosional (jiwa).

Bahwa penjelasan diatas perhatian Islam terhadap perkawinan,

pentingnya menciptakan kebahagian dalam kehidupan suami istri, serta

peranan rumah tangga dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam

rumah tangga.15

Secara konseptual keluarga sakinah mudah dipelajari. Dalam

perspektif Fauzil Adhim, keluarga sakinah adalah keluarga yang di

dalamnya kedap dengan ketulusan cinta, kasih, sayang. Dan kedamaian

hati. Dalam keluarga ini, perasaan cinta dan kasih sayang telah

12

Imam Ghazali, Etika Perkawinan, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1993), h. 5 13

Muhammad Labib Al- Buhiy, Hidup Bekeluarga Islami, (Bandung: PT Al

Ma‟arif, 1983), Cet. 1, h. 21 14

Dadang Hwari, Al-Qur`an Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan Jiwa

(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 236 15

Nashir bin Sulaiman Al-„Umr, Sendi-sendi Kebahagian Suami Istri, (Jakarta:

Pustaka Al-Kausar, 1993), Cet. 3, h. 19

6

membangkitkan semangat optimitisme dalam menatap kehidupan.

Singkatnya dalam keluarga sakinah ketenangan hati mudah ditemui,

ketentramana jiwa dapat terjaga, dan masing-masing elemen keluarga

saling melengkapi dalam mengupayakan kemaslahatan.16

Kemudian Meurut M. Quraish Shibah bahwa sakinah tidak datang

begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan

dan pertama lagi uatama, adalah menyiapkan qalbu. Sakinah/ketenangan

demikian juga mawaddah dan rahmat bersumber dari dalam qalbu, lalu

terpancar keluar dalam bentuk aktifitas.17

Rumah tangga bahagia adalah idaman setiap keluarga dan untuk

mewujudkannya bukanlah hal yang mustahil. Namun kebahagian

tersesebut tidak serta merta datang dengan sendirinya menghampiri kita

tanpa ada upaya dan perjuangan. Kebahagian tersebut merupakan harta

termahal yang harus diperjuangkan dan dikejar. Dalam hal ini istri

memiliki peran yang sangat dominan, karena isrti merupakan ratu di

dalam rumah tangga dan menghabiskan seluruh atau sebagian besar

waktunya di dalam rumahnya.

Langkah menuju kebahagian sudah dimulai sejak sebelum

pernikahan. Di awali dengan tujuan yang mulia. Sementara langkah yang

harus ditempuh untuk meraih kebahagian pasca pernikahan adalah adanya

saling menghormati dan saling memnghargai antara suami istri, saling

mendukung dalam kebaikan dan ketaatan, saling mengingat agar tidak

melakukan kesalahan, dan hal-hal lain yang dapat membantu menuju

rumah tangga bahagia. Harus sama-sama mewujudkan kebahagaian

dalam rumah tangga walaupun dahsyatnya badai-badai yang

16

Fauzil Adhim, Memasuki Pernikahan Agung (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998),

h.22. 17

M. Quraish Shihab,Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 158

7

terjadisehingga merenggut kebahagian yang telah mereka bangun dengan

susah payah.18

Menurut Huzaimah Tahido Yanggo bahwa kualitas hidup suatu

keluarga akan meningkat bila kesehatan terpelihara dengan baik. Karena

itu menjadi kewajiban bagi keluarga untuk membangun keluarga sehat

dengan cara menjaga dan memelihara kesehatan, sehingga dapat

menjalankan fungsi masing-masing dalam memakmurkan bumi dengan

dibarengi doa kepada Allah agar diberikan kebaikan di dunia dan di

akhirat.19

Namun demikian, implimentasi konsep keluarga sakinah pada

praktiknya acapkali menemui banyak kendala. Sehingga tak sedikit

bahtera rumah tangga yang karam di tengah perjalanan mengarungi

samudera kehidupan.20

Hal inilah yang memicu ketidak mampuan mereka untuk mengelola

potensi masalah sebagai media pembelanjaan bagi kedewasaan berpikir.

Alih-alih demikian, potensi masalah tersebut justru melemahkan ikatan

yang telah terikrar melalui akad nikah. Adanya masalah dalam kehidupan

bekeluarga memang tidak terelakkan. Suami istri semestinya mau

membuka diri untuk menerima karakter masing-masing, sehingga konflik

yang muncul nantinyabisa diselesaikan dengan dialog yang terbuka,

bukan malah saling menyalahkan satu sama lain.21

Fenomena tersebut mestimya harus dipahami oleh suami istri.

Kesungguhan membentuk keluarga sakinah harus diteguhkan sejak awal.

18

Najla‟ as-Sayyid Nayil, Menuju Rumah Tangga Bahagia, (Jakarta:Pustaka Al-

Inabah, 2013), Cet. 1, h. 2 19

Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Indonesia:IKAPI,

2013), Cet. 1, h. 95 20

Hasan Basri, Keluarga Sakinah (Tinjuan Pustaka dan Psikis dan Agama),

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 70. 21

Fauzil Adhim, Disebabkan Oleh Cinta, Kupercayakan Rumahku Padamu,

(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 179.

8

Pasalnya, hidup berkeluarga merupakan dambaan setiap orang. Manusia

diciptakan Allah berpasang-pasangan. Maka, ketika seseorangg telah

menikah, berarti ia telah mengukuhkan identitas dalam sebuah ikatan

yang suci dalam hal ini Quraish Shihab berpendapat bahwa pernikahan

merupakan manifestasi fitrah manusia yang merindukan pasangan

sebelum dewasa dan hasrat yang meluap-luap setelah beranjak dewasa.

Untuk itulah, sebagai fasilitator Islam mensyariatkan pernikahan yang

akan menentukan jiwa.22

Sebagaimana banyak terjadi konflik-konflik dalam rumah tangga

yang kita lihat sekarang ini di media Infotaiment yang membuat rumah

tangga tidak sesuai dengan harapan yang diharapkan untuk terciptanya

keluarga bahagia yang sebagaimana ajaran Islam. Hal ini terjadi,

disebabkan kurangnya ketaqwaan, kurang dalam ilmu pengetahuan baik

yang menyangkut dalam rumah tangga maupun masyarakat, kurangnya

tanggung jawab untuk diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan

demikian penulis di sini ingin menulis mengenai pencegahan yang dapat

melindungi keluarga dari problema, kesulitan keguncangan, serta

berupaya untuk mengetahui penyembuhan-penyembuhan terhadap

kesulitan-kesulitan atau sangketa-sangketa dibawah naugan Al-Qur‟an

dan Sunnah, akan tetapi penulis disini lebih kepada kajian tentang tafsir

Al-Qur‟an. Adapaun tafsir yang penulis ambil untuk menjelaskan

permasalahan di atas yaitu tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-nur, dan

Tafsir al-Azhar. Tafsir tarjumanul Mustafid merupakan tafsir klasik dan

juga menyinggung persoalan sosial. Tafsir an-Nur dantafsir al-Azhar

merupakan tafsir kontemporer, tafsir an-Nur menjelasakan segala aspek

permasalahan. Dan Tafsir al-Azhar merupakan tafsir yang bercorak adabi

22

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai

Persoalan Ummat (Bandung: Mizan, 200), h. 192

9

ijtima’i. Alasan penulis mengambil ketiga tokoh mufassir tersebut karena

penulis ingin mengangkat pemikiran mereka yang merupakan ulama

tafsir Nusantara. Berdasarkan hal di atas penulis terdorong untuk

membahas lebih dalam lagi bagaimana menciptakan keluarga bahagia

yang digambarkan dalam Islam dan Rasulullah sawdalam bentuk skripsi

dengan judul “KONSEP PERNIKAHAN HARMONIS DALAM AL-

QUR`AN (Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir an-nur, dan Tafsir

al-Azhar)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari judul yang dibahas oleh penulis, dapat ditemukan beberapa

permasalahan yang pantas untuk dibahas, yaitu:

a. Definisi harmonis

b. Manfaat pernikahan dalam membangun rumah tangga menurut

ajaran Islam

c. Tujuan pernikahan dalam Islam

d. Ciri-ciri pernikahan harmonis

e. Cara mengatasi problematika menuju pernikahan harmonis

f. Penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili, Hasbi ash-shiddiqy, dan Buya

Hamka terhadap ayat-ayat al-Qur`an mengenai pernikahan

harmonis.

2. Pembatasan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, untuk

memperjelas permasalahan dan persoalan yang akan dibahas dalam

skripsi perlu disampaikan pembatasan dan perumusan masalah. Hal

ini diperlukan agar permasalahan tidak melebar kepada materi-materi

yang tidak berkaitan dengan judul skripsi.Pembatasan masalahnya

10

yaitu skripsi ini fokus membahas tentang ayat-ayat pernikahan

harmonis, karena banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan

tentangt pernikahan harmonis, maka penulis hanya mengambil limat

ayat saja diantaranya: QS. an-Nisa [4]: 34, QS. al-Baqarah [2]:187,

QS. ar-rum [30]:21, QS. an-Nisa [4]:19, QS. al-Baqarah [2]: 237,

QS. al-Baqarah [2]:228, QS. an-Nur [24]:26, QS. al-Furqan [25]:74.

Ayat tersebut merupakan yang menjelaskan secara umum tentang

konsep pernikahan harmonis.

3. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana pandangan Abdurra‟uf As-Singkili, Hasbi Ash-

Shidiqi, dan Buya Hamka terhadap ayat-ayat Al-Qur`an

mengenai pernikahan harmonis?

b. Apa persamaan dan perbedaan Abdurra‟uf As-Singkili,

Hasbi Ash-Shidiqi, dan Buya Hamka dalam menafsirkan

ayat-ayat Al-Qur`an mengenai pernikahan harmonis?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili, Hasbi

ash-Shidiqi, dan Buya Hamka terhadap ayat-ayat Al-Qur`an

mengenai pernikahan harmonis.

b. Untuk mengetahui apa persamaan dan perbedaan Abdurra‟uf

as-Singkili, Hasbi ash-Shidiqi, dan Buya Hamka dalam

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an mengenai pernikahan

harmonis.

2. Manfaat Penelitian

11

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis penelitian dapat digunakan untuk memperkaya

khazanah keilmuan Islam dibidang Tafsir Hadis terutama

pada tema yang berkenaan dengan pernikahan harmonis

dalam al-Qur`an. Penelitian ini mampu melengkapi teori yang

sudah ada dengan kontribusinya melalui pendekatan

komparatif.

b. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan oleh

cendikiawan Islam untuk dijadikan sebagai referensi dalam

memahami maupun menafsirkan ayat-ayat pernikahan

harmonis dalam al-Qur`an dalam sudut pandang komparatif.

D. Tinjuan Pustaka

Menurut pengamatan penulis karya-karya tulis mengenai

pembentukan keluarga ideal sudah banyak di lakukan para peneliti baik

dari segi perspektif Al-Qur‟an maupun perspektif tafsir-tafsir yang dikaji

oleh peneliti.Namun sejauh ini pemahaman peneliti, belum menemukan

pembahasan khusus tentang “Konsep Pernikahan Harmonis Dalam Al-

Qur`an(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan Tafsir

Al-Azhar).Berdasarkan Kajian Pustaka yang penulis lakukan, penulis

menemukan karya-karya yang pembahasannya hampir sama.

Riswarni karya tulis yang berjudul “Konsep Keluarga Sakinah

Menurut Tafsir Al-Maraghi”.Karya tulis Riswarni berupa skripsi Fakultas

Ushuluddin Institut ilmu Al-Qur`an Jakarta pada tahun 2001. Kesimpulan

dalam skripsi ini bahwa untuk menciptakan keluarga sakinah

dikembalikan pada pelaku rumah tangga itu sendiri, yaitu suami istri. Dan

12

al-Maraghi menambahkan bahwa landasan paling kuat adalah agama, dan

petunjuk yang baik ialah kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah.23

Kemudian karya tulis Siti Adlah yang berjudul “Pembinaan Keluarga

Menurut Perspektif Al-Qur`an (Studi Komperatif antara Tafsir Al-Azhar

dan Tafsir al-Maraghi dalam Al-Qur`an Surah at-Tahrim/66:6)”. Karya

tulis Siti Adlah berupa skripsi Fakultas Ushuluddin institut Ilmu Al-

Qur`an Jakarta pada tahun 2005. Kesimpulan dalam skripsi ini

menjelaskanbahwa, bagi pasangan suami istri harus saling menyadari dan

menjalankan fungsi masing-masing dan menjalankan tanggung jawab

terhadap anak-anaknya. Dan bila dilihat dari surat at-Tahrim ayat 6, maka

Allah mengingatkan manusia untuk menjaga diri mereka dari siksa api

neraka yakni dengan cara memberi petunjuk dan bimbingan serta

bertakwa kepada Allah.24

.

Pada tahun 2005, karya tulis yang berjudul “Esensi Cinta Menuju

Rumah Tangga Ideal (Qur‟an Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Surat An-Nisa‟

Ayat 129)” yaitu karya Novita Endriyana. Karya ini berupa skripsi

Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta. Kesimpulan dari

skripsi ini peneliti membahas mengenai makna cinta bahwa cinta sesuatu

yang berada dalam genggaman kekuasaan Allah SWT.Sedang hakikatnya

adalah tunduk kepada Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya dan

menjahui semua larangan-Nya serta mampu menyatukan antara cinta

kepa Allah cinta kepada makhluk. Cinta dalam rumah tangga bertujuan

agar dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah

warahmah.Karena itulah cinta kasih adalah budaya dalam keluarga, baik

23

Riswarni, “Konsep Keluarga sakinah Menurut Tafsir Al-Maraghi”,Skripsi

diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta:2001 24

Siti Adlah, Pembinaan Keluarga Menurut Perspektif al-Qur`an (Studi Komperatif

Antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Maraghi dalam Al-Qur`an Surah at-

Tahrim/66:6)”,Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2005

13

bagi peran seorang ayah, ibu, dan anak untuk memudahkan mereka untuk

saling memenuhi hak-hak dan kewajiban.25

Selanjutnya Pada tahun2008, karya tulis yang berjudul “Pernikahan

Ideal Menurut Al-Qur`an” (Tinjuan atas tafsir Al-Misbah)”. Karya ini

ditulis oleh Lysa Safitri dan berupa skripsi Fakultas Ushuluddin Institut

Ilmu Al-Qur‟an Jakarta. Kesimpulan dari skripsi ini berdasarkan

penafsiran M. Quraishihab tentang ayat-ayat pernikahan menegaskan

bahwa pernikahan ideal adalah pernikahan yang dilakukan dengan syarat-

syarat tertentu yang telah ditentukan oleh syari‟at dan mempunyai tujuan

untuk menciptakan sebuah keluarga sakinah, mawaddah, warahmah,

dengan berprinsip dalam ajaran islam secara kaffah. Pernikahan yang

dilakukan bukan secara paksa saling rida satu sama lain sehingga lebih

fokus untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, ramah.

Pernikahan yang dilakukan dengan kesiapan fisik dan mental.26

Kemudian pada tahun 2012 berupa karya Nurul Hidayatiyang

berjudul “Peran Suami dalam Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi

Tafsir Tematik), kesimpulan dari skripsi ini peran suami sangat

diperlukan dalam pembentukan keluarga sakinah, diantaranya peran

suami dalam keluarga adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap

keluarga, pendidik, dan pelindung akhlak keluarga, pengarah dalam

beribadah, seorang suami harus sholeh, keluaraga yang sempurna yaitu

diisi dengan perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan

material secara layak dan seimbang menciptakan kasih sayang.27

25

Novita Endriyana, “Esensi Cinta Menuju Rumah Tangga Ideal (Studi Analisis

Terhadap Surat Ar-Rum Ayat 21 dan Surat An-Nisa‟ Ayat 129)”,Skripsi diajukan program

arjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2005 26

Lysa Safitri, “Pernikahan ideal menurut al-Qur`an” (Tinjuan atas Tafsir Al-

Misbah),Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2008 27

Nurul Hidayati, “Peran Suami dalam Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi

Tafsir Tematik)”,Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta:

2012

14

Perbedaan dengan semua penelitian diatas terhadap penelitian yang

akan penulis lakukan disini adalah “Konsep Pernikahan Harmonis

(Telaah Tafsir Tarjumanul Mustafid, Tafsir An-Nur, dan Tafsir Al-

Azhar)”.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian

Untuk mendapatkan data dan fakta yang objektif dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kepustakaan (library

research), yaitu rangkaian penelitian yang berkenaan dengan

pengumpulan data dan pustaka dari literature yang berkaitan dengan

judul penelitian ini.Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif,

yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya

dikembangkan menjadi hipotesis. Sehingga apabila hipotesis

diterima, maka hopotesis tersebut berkembang menjadi teori.28

2. Sumber Data Penelitian

Untuk mendapatkan data dalam penulisan ini, penulis

menggunakan sumber data yang relavan dengan judul proposal

ini.Adapun sumber-sumber primer dalam penulisan ini akan

menggunakan kitab tafsir yang sesuai dengan judul penulis teliti

melihat penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan pernikahan

harmonis yang akan digunakan kitab Tafsir Tarjumanul Mustafid

karya Abdurra‟uf As-Singkili, Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-

Shidiqi, Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka.

Selain sumber (primer) ada pula sumber-sumber (sekunder)

untuk mendukung penulis dalam penelitian penulis gunakan kitab-

28

T. Yanggo, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi Institut Ilmu al-

Qur`an (IIQ)Jakarta, (Jakarta:IIQ Press, 2011), Cet. 2, h. 22

15

kitab hadis, kitab-kitab tafsir yang mendukung penafsiran, Buku-

buku yang berkaitan dengan judul, Teknik pengumpulan data

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah

metode studi documenter (documentary study),yaitu suatu metode

pengumpulan data yang menghimpun dan menganalisa dokumen-

dokumen, baik tertulis, gambar, maupun elektronik.29

4. Metode Analisis Data

Secara teknik operasional penulis mengindentifikasikan ayat-

ayat yang ada dalam al-Qur`an mengenai ayat-ayat yang

berhubungan dengan judul yang akan diteliti.

Pembahasan skripsi ini menggunakan metode penulisan yang

bersifat deskriptif analitis. Deskriptif adalah suatu metode yang

bermaksud untuk menggambarkan data-data dalam menguji atau

menjelaskan sebuah tulisan guna menjawab pertanyaan yang

menyangkut dengan pokok masalah.Sedangkan analitis adalah

sebuah tahapan guna menguraikan data-data yang terkumpul dan

tersusun secara sistematis.30

Jadi metode deskriptif analitis adalah

sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data yang telah

tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data tersebut.31

Dalam membahas permasalahan, penelitian ini menggunakan

teknis analisis komparatif yaitu dengan membandingkan berbagai

pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat yang dibahas

29

Nana Syaudin Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung:Remaja

Rosda Karya, 2010), h. 60 30

Winarto, Ilmu Pengantar Ilmiah Dasar Metode Teknik, (Bandung: Trasinto,

1978), h. 1o 31

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), Cet.

1, h. 64

16

oleh penulis untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan

identitas dan pola berpikir dari masing-masing mufassir.32

F. Teknik dan Sistematika Penulisan

1. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan

skripsi, tesis dan disertai Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta (edisi

revisi) yang diterbitkan oleh IIQ Press, cetakan ke-2 tahun 2011

2. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri beberapa

bab, yang antara satu bab dengan bab yang lain memiliki keterkaitan.

Untuk menghasilkan suatu pembahasan yang runtut, maka bab-bab

dibagi menjadi beberapa bab. Berikut rinciannya:

Bab pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian serta sistematika

penulisan.

Bab kedua, pada bab ini penulis akan membahas mengenai konsep

pernikahan harmonis, tujuan pernikahandalam Islam, manfaat

pernikahan dalam membangun rumah tangga menurut ajaran Islam, cirri-

ciri pernikahan harmonis, cara mengatasi problematika menuju

pernikahan harmonis.

Bab ketiga, tinjuan umum tiga tokoh ulama mufasir, meliputi

biografi, latar belakang penulisan tafsir, profil tafsir, metode dan corak

tafsir, serta karya-karyanya.

32

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002), h. 59

17

Bab keempat, bab ini merupakan penjelasan mengenai penafsiran

tiga tokoh ulama tafsir yaitu, bagaimana pandangan Abdurra‟uf As-

Singkili, Hasbi Ash-Shidiqi, dan Buya Hamka terhadap ayat-ayat al-

Qur`an mengenai pernikahan harmonis.Apa persamaan dan perbedaan

Abdurra‟uf As-Singkili, Hasbi Ash-Shidiqi, dan Buya Hamka dalam

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an menegnai pernikahan harmonis.

Bab kelima, bab ini merupakan penutup, beberapa kesimpulan

berdasarkan hasil penelitian, beserta saran.

Setelah memahami latar belakang, rumusan masalah, tujuan, serta

sistematika penulisan skripsi ini. Maka selanjutnya penulis akan mulai

mengkaji mengenai apa pernikahan harmonis, manfat dan tujuan, sekilas

penjelasan tiga tokoh mufasir dan penfsiran ayat pernikahan menurut

tiga tokoh mufasir Nusantara.

.

19

BAB II

PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN HARMONIS

A. Konsep Pernikahan Harmonis

1. Definisi Pernikahan Harmonis

Secara bahasa Arab kata nikah berasal dari kata نكاحا ,ينكح , نكح

yang berarti menikah.1

Namun dalam buku lain kata nikah secara bahasa berarti

“himpunan” (adh-dhamm) “kumpulan” (al-jam‟u), atau “hubungan

intim” (al-wath‟u). Secara denotatif, kata “nikah” digunakan untuk

merujuk makna “akad”, sedangkan secara konotatif ia merujuk

kepada makna “hubungan intim”. Kawin atau (zawaj) bermakna

persambungan (al-iqtiran),seperti disebutkan Allah swt,

“kumpulkanlah orang-orang yang zalimbeserta teman sejawat (azwaj)

mereka”.

“(kepada Malaikat diperintahkan): "Kumpulkanlah orang-orang

yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-

sembahan yang selalu mereka sembah, (QS. As-Saffat [37]:22).

Menurut syara‟ dalam kitab “muhadharat fil ahwalil asy-

syakhsiayahti „ala Mazhab Imam Syafi‟I” merupakan suatu akad yang

mengandung pembolehan untuk berhubungan intim dengan lafadz

menikahkan atau mengawinkan, dan terjemahannya.2

1

Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:

Penerbit Pustaka Pregessif, 2002), h. 146. 2

Ali Mansur Usman Habib, MuhadharatFi Al-Ahwalil Asy-Syakhsiayati „Ala

Mazhab Imam Syafi‟I, (Kairo: Al-Azhar, 2016), h. 8

20

Namun pendapat syafi‟iyah yang paling shahih mengenai

pengertian nikah secara syar‟i adalah bahwa kata itu dari sisi

denotatife bermakna „akad‟ sedang dari segi konotatif bermakna

“hubungan intim”, sebagaimana disinggung al-Qur`an maupun

sunnah. Kata nikah dalam firman Allah swt, “sebelum ia menikah

dengan suami yang lain,” (QS.Al-Baqarah [2]:230) maksudnya adalah

akad. Sedangkan makna hubungan intim‟ diambil dari hadis al-

Bukhari dan Muslim, “… sebelum engkau mengecap „madunya‟.”3

Kemudian pengertian pernikahan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan

yang Maha Esa.4

Definisi harmonis menurut kamus bahasa Indonesia bersangkut

paut dengan harmonis se ia dan sekata. Jika diambil dari kata

keharmonisan yang bermakana keselarasan, keserasian: dalam rumah

tangga perlu dijaga.5

Secara umum pengertian pernikahan harmonis tidak ditemukan.

Tetapi dari pengertian pernikahan dan harmonis dari makna

pernikahan harmonis ialah pernikahan yang menjadikan sebuah

keluarga yang rukun berbahagia, tertib, disipilin, saling menghargai,

penuh pemaaf, tolong menolong dalam kebaikan,memiliki etos kerja

yang baik, bertetangga dengan baik, taat mengerjakan ibadah,

mencintai ilmu, dan memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal

positif. Dalam kehidupan rumahtangga harus saling menjaga

3 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar,(Darul Fikr, Beirut: 2008), Cet

1, hal. 449-450 4 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikataan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1995), Cet. 1, h. 12 5 Hasan Alwi, Kamus Bahasa Besar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,

2005), Cet. 3, h. 390

21

keserasian dan keselarasan tersebut untuk mecapai pernikahan

harmonis.

2. Dasar hukum Nikah

Hukum nikah terbagi lima diantanya:

a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu

yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang

telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan akan

menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak

akan dapat terlaksana kecuali dengan nikah.

b. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumahtangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal,

dan kewajiban batin.

c. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah

mampu tetapi ia masih samggup mengendalikan dirinya dari

perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari

pada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

d. Nikah mubah. Yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk

niakha dan dorongan untuk nikah belum mebahayakan dirinya, ia

belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.6

e. Nikah makruh hukum ini berlaku bagi orang fakir yang tidak

mempunyai keinginan untuk menikah. Penyebabnya adalah

bahwa dia akan menganiaya dirinya sendiri dengan menafkahi

orang lain, padahal dia tidak berkeinginan untuk menikah.7

6 M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, h. 11

7 Syaikh Muhammad bin Shalih al-`utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-

Qur`an dan As-Sunnah, (Jakarta: Akbarmedia, 2009), Cet. 2, h. 284

22

Dari uraian diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan,

menurut islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah,

mubah, dan makruh tergantung dengan keadaan maslahat atau

mafsadatnya.8

3. Rukun dan Syarat Nikah

Rukun nikah yang sebenarnya adalah adanya keridhaan dari kedua

belah pihak dan kemauan bersama untuk menjalin hubungan. Tetapi

mengingat keridhaan dan kemauan bersama bagian dari perasaan hati

yang tidak bisa dilihat oleh mata, maka harus ada ungkapan yang

menunjukkan tekad membangun dan menciptakan jalinan hubungan.9

Diantaranya rukun dan syarat nikah adalah

a. Rukun perkawinan ada lima yaitu:

1. Calon mempelai laki-laki

2. Calon mempelai wanita

3. Wali dari mempelai wanita yang akan mengakadkan

perkawinan

4. Dua orang saksi10

5. Ijab adalah Redaksi yang diucapkan lebih dulu untuk

mengungkapkan kemauan menajalin hubungan suami istri.

Sedangkan qabuladalah adalah redaksi kedua yang diucapkan

oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan

penerimaan dan persetujuan. 11

b. Syarat Pernikahan

8 M. A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, h. 11

9 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 2, penerjemah: Amir Hamzah,

(Jakarta: IKPI al-I‟tishom, 2010), Cet. 1, h. 187 10

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia, 2016),

Cet. 1, h. 39 11

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 2, penerjemah: Amir Hamzah, h.

187

23

1. Syarat mempelai

a. Syarat mempelai laki-laki yaitu:

1. Bukan mahram dari calon istri

2. Tidak terpaksa atas kemuan sendiri

3. Orangnya tertentu atau jelas orangnya

4. Tidak sedang menjalankan ihram haji

b. Syarat mempelai wanita yaitu:

1. Tidak ada halangan hukum bahwa wanita tersebut

tidak bersuami, bukan mahram, dan tidak dalam

keadaan iddah.

2. Merdeka atas kemauan sendiri, bentuk persetujuan

dari calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan

tegas dan nyata dengan tulisan, lisan dan isyarat akan

tetapi bisa juga berupa diam dalam arti tidak ada

penolakan yang tegas.

2. Syarat wali

Wali harus memenuhi syarat wali, wali adalah seorang laki-

laki, sudah baligh, berakal sehat tidak cacat, tidak dalam

keadaan dipaksa untuk menjadi wali, adil, tidak dalam keadaan

ihram haji.Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah

suatu yang harus dan tidak sah akad nikah pernikahan yang

tidak dilakukan oleh wali.Wali itu ditetapkan sebagai rukun

dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.12

3. Syarat saksi

Syarat-syarat saksi diantaranya ialah laki-laki, sudah baligh,

berakal sehat, dapat mendengar dan melihat, tidak dipaksa,

12

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 40-43

24

tidak sedang melaksanakan ihram haji, memahami bahasa yang

digunakan untuk ijab qabul.

Ketentuan saksi dalam kompilasi hukum Islam sebagai berikut:

1. Saksi dalam perkawinan merupakan pelaksanaan akad

nikah. Setiap pernikahan harus disaksikan oleh dua orang

saksi.

2. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akadnikah ialah

seorang tidak terganggu ingatan dan tidak tunarunggu atau

tuli.

3. Saksi harus hadir dan menyaksikan akad nikah secara

langsung serta menandatangani akta nikah pada waktu dan

di tempat nikah dilangsungkan.13

4. Syarat Ijab qabul

Pendapat yang paling ashah dalam pengucapan ijab dan qabul

wajib dengan lafaz inkaah atau tazwij bagi orang yang bisa

berbahasa arab dan bagi yang tidak bisa berbahasa arab boleh

menggunakan bahasa masing-masing.14

Bukan dengan kata

„aku hibahkan‟, atau „…berikan hak milik‟, dan lain sejenisnya

seperti „…halalkan‟ dan „…bolehkan‟. Para ulama menyatakan

bahwa maksud “ kalimat Allah ” disini adalah kata “ Aku

kawinkan” atau “ Aku nikahkan”.15

Dalil yang mereka gunakan

adalah bahwa akad nikah disebut dalam al-Qur`an seperti ini “

maka nikahkanlah mereka”dalam suarah an-Nisaa ayat 25.16

13

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 45 14

Syaikh Muhammad bin Shalih al-`utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-

Qur`an dan As-Sunnah, (Jakarta Timur: Akbarmedia, 2009), Cet. 2, h. 286 15

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar, (Darul Fikr, Beirut: 2008)

Cet 1, h. 453 16

Syaikh Muhammad bin Shalih al-`utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-

Qur`an dan As-Sunnah, h. 286

25

Kemudian majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat

orang yaitu calon orang mempelai atau wakilnya, wali dari

mempelai wanita dan dua orang saksi.17

B. Manfaat Rumah Tangga Menurut Ajaran Islam

Setelah melaksakan pernikahan banyak sekali manfaat yang bisa kita

ambil, apalagi dengan memiliki suami atau istri yang cocok dengan kita,

dari segi makanan berpakaian dan lain sebagainya.Kesamaan dalam

rumahtangga sangat membantu kita dalam penyesuain diri sesama

pasangan.Dan manfaat dari berumahtangga melahirkan keturunan-

keturanan dan mewarisi ilmu-ilmu kita terhadap anak-anak. Dan

demikian pula dengan menikah harta kita bisa diwarisi oleh anak-anak

kita jika tidak berumahtangga, bagaimanakah kita mewarisi ahli

waris.18

Kemudian dengan berumatangga bisa menjaga kehormatan dan

pandangan mata, melindungi agama dan akhlak, menghasilkan keturunan

yang shaleh yang sangat penting dalam memperbanyak kuantitas kaum

Muslim dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam

mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak mereka.19

Manfaat lain dalam berumah tangga, suami istri bisa bekerja sama

dalam melakukan kebaikan. Saling memperingati dalam kebaikan

sebagaiman suami menyuruh istri berbuat kebaikan dan menjahui

keburukan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-qur`an.

17

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 46 18

Duad kauma, Membangun Sorga Rumah Tangga, (Solo: CV. Aneka, 1996), Cet.

1, h. 16 19

Syaikh Fuad Shalih, Penerjemah M. Yasir Abdul Muthalib, Untukmu yang Akan

Menikah dan Telah Menikah, (Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 3, h. 10

26

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,

sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian

yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,

mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat

dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi

rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana”(Q. S at-Taubah [9]: 71).

Kemudian manfaat dengang terlaksananya pernikahan maka suami

lebih rajin dan giat dalam bekerja mencari nafkah untuk

keluarganya.Berbeda dengan sebelum berumah tangga yang belum

memiliki tanggung jawab yang besar yang hasil kerja kerasnya sesuai

dengan kebutuhan sendiri yang belum memikirkan tanggung jawab untuk

anak dan siistri. Adapun dengan berumah tangga seorang istri lebih hati-

hati dalam bersikap, terutama kerena ingin menjaga perasaan suami.

Kemudian sebelum berumah tangga seorang perempuan belum ada yang

mengikatnya dan bisa dikatakan ia memiliki kebebasan. Sangat berbeda

setelah ia menikah dan apa yang dimiliki istri adalah milik suaminya,

seluruh tubuh istri adalah milik suami. Maka tidak boleh sorang istri

melakukan sesuatu tanpa ijin suami. Maka dalam rumah tangga seorang

wanita benar-benar diuji kesabaran, kesetiaan, dan ketelatenan, serta rela

bersusah senang dengan suami.20

20

Duad Kauma, Membangun Sorga Rumah Tangga, h. 16-18

27

C. Tujuan Pernikahan Dalam Islam

1. Untuk menjaga keturunan, cara menjaga keturunan ialah dengan

menikah yang terjadi antara laki-laki dan perempuan sehingga

terjagalah manusia. Sebagaimana Allah berfirman:

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS: Az-Zariat 51:49)

2. Untuk mengeluar air yang terdapat dalam tubuh manusia agar tidak

menjadi mudarat bagi tubuh, sebab itulah Allah mensyariatkan

pernikahan agar hilangnya mudarat tersebut dengan tersalurnya

syahwat dengan cara hukum syariat.

3. Untuk memperoleh kenikmatan, maka syariat yang toleran bukanlah

yang bertolak belakang dengan syariat itu sendiri. Allah Swt

mengatur bagaimana cara menikmati perhiasan dunia tersebut

diantaranya itu adalah dengan menikah.21

4. Untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, untuk itu suami istri

harus saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materi.

5. Perkawinan adalah menuruti perintah Allah untuk memilki keturunan

yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang

damai dan teratur.22

Dan dengan perkawinan yang sah anak-anak akan

mengenal ibu, bapak dan nasab keluarganya sehingga hidup tenang

dalam masyarakat disebabkan keturunan yang jelas. Sebagaimana

21

Ali Mansur Usman Habib, Mudharat Fi Al-Ahwalil Asy-Syakhsiayati „Ala

Mazhab Imam Syafi‟I, t, (Kairo: Al-Azhar, 2016), h. 19-20 22

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 46

28

kelompok yang terjadi di masyarakat yang rusak yang disebabkan

dekadensasi moral, free sex dan perilaku-perilaku menyimpang,

sehingga anak-anak yang tidak mengetahui nasab keturunannya akan

merasa hidup dan tidak berguna.

6. Untuk menciptakan rasa kebapakan dan keibuan yang mebuahkan

rasa saling kasih sayang dan saling tolong menolong antara suami dan

istri dalam mendidik anak untuk mencapai kebahagiaan.23

7. Tujuan nikah merupakan salah satu untuk menjaga diri dari perbuatan

keji jika seseorang memimiliki waktu kosong atau menganggur.24

8. Untuk menciptakan mawaddah25

dan rahmah26

antara laki dan

perempuan agar menjadikan jiwa damai dan tentram, sehingga

terbiasa melakukan hal-hal yang tenang, maka terciptalah masyarakat-

masyarakat yang tenang dan damai.27

Menurut Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam , tujuan pernikahan,

yaitu:

1. Menjaga kemaluan suami istripandangan masing-masing diantara

keduanya, dengan perjanjian ini hanya kepada pasangannya, tidak

mengarahkan pandangan kepada laki-laki atau wanita yang lain.

23

Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 15. 24

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi‟i Al-Muyassar, h. 452-453 25

Kata mawaddah berasal dari kata wadda-yawaddu yang berarti mencintai sesuatu

dan berharap untuk bisa terwujud. Mawaddah sebagai salah satu yang menghiasi perkawinan

bukan sekedar cinta, sebagaimana kecintaan orangtua terhdap anaknya.Inilah yang tergambar

dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah pernikahan. Ketika

seorang laki-laki mecintai wanita untuk mewujudkan cintanya yaitu dengan cara

menikahinya. Begitu pula sebaliknya ketika seorang perempuan mencintai laki-laki maka ia

ingin terwujud untuk menjadi istrinya. Menurut ulama ada yang mengartikah mawaddah

dengan mujama‟ah yaitu bersenggama. Baca selengkapnya di Tim Penyusun, Tafsir al-

Qur`an Tematik jilid 2, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), Cet. 1, h. 39-40 26

Kata rahmah berasal dari rahima-yarhamu yang berarti kasih sayang (riqah)

yaitu sifat yang mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan kepada siapa yang diaksihi.

Baca selengkapnya di Tim Penyusun, Tafsir al-Qur`an Tematik jilid 2, h. 41 27

Ali Mansur Usman Habib, Muhadharat Fi al-Ahwalil asy-Syakhsiayati „Ala

Mazhab Imam Syafi‟i, h. 20-21

29

2. Meperbanyak ummat lewat keturunan, untuk memperbanyak hamba-

hamba Allah dan orang-orang yang mengikuti Nabinya, sehingga

terealisasi kebangsaan di antara mereka dan saling tolong menolong

dalam berbagai aktifitas kehidupan.

3. Menjaga nasab, dengannya terwujud saling mengenal antara sesama,

saling sayang menyayangi dan tolong menolong. Sekiranya tidak ada

akad nikah dan upaya menjaga kemaluan dengan pernikahan, maka

banyak nasab yang tidak teridentifikasi dan kehidupan ini menjadi

anarkis, tidak ada waris, tidak ada hak, tidak ada pangkal dan cabang.

4. Dengan pernikahan dapat tumbuh rasa kasih sayang antara suami istri.

Setiap manusia membutuhkan teman pendamping dalam hidupnya,

berbagi rasa suka dan duka dalam kelapangan dan kesusahan

bersama.

5. Dalam pernikahan terdapat rahasia Ilahi yang sangat besar, yang

terwujud secara sempurna ketika akad pernikahan dilaksanakan. Jika

Allah menetapkan kebersamaan, maka diantara suami istri akan

muncul makna-makna cinta dan kasih sayang yang tidak akan

dirasakan diantara kedua teman kecuali setelah bergaul sekian lama.

Maka makna inilah yang disyari‟atkan oleh allah dalam Firman-Nya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. Ar-Ruum 30: 21.

30

6. Berbagi urusan rumah tangga dan keluarga dapat tertangani dan

terurus karena bersatunya suami istri, yang sekaligus menjadi benih

tegaknya masyarkat.28

D. Ciri-ciri Pernikahan Harmonis

1. Adanya kedudukan dan tanggung jawab yang jelas dalam kelaurga

Dalam keluarga yang sakinah dan sejahtera, ayah, ibu, dan anak

mempunyai kedudukan, tugas dan tanggung jawab yang berbeda.

Ayah sebagai kepala keluarga yang mempunyai tugas dan tanggung

jawab untuk kehidupan keluarga secara keseluruhan, termasuk kepada

istri dan anaknya. Ayah selain bertanggung mencari nafkah keluarga,

juga memberikan tuntunan dan bimbingan terhadap istri dan anaknya.

Sebagai ibu rumah tangga mendampingi suami dalam mendidik

anak-anaknya.Sedangkan anak memimiliki kewajiban taat dan patuh

kepada kedua orang tuanya.Antara ayah, ibu, dan anak terjalin dalam

pergaulan yang harmonis, mesra penuh dengan kasih sayang.29

2. Selalu menghindari dari perselisihan dan percekcokan

Keluhan, pengungkapan diri penuh aib, penghinaan dan

pengucilan adalah beberapa bentuk penyiksaan jiwa.Seorang istri

mungkin memilki salah satu darinya atau bahkan semuanya.Sikap iri

terkadang dimulai dengan kata maaf, tetapi hal itu segera berubah

menjadi kebiasaan yang buruk seperti halnya menbanding-

bandingkan anatara suaminya dengan suami orang lain.

3. Senantiasa bermusyawarah dalam merancang tujuan

Pertama yang harus dilakukan oleh seorang istri membantunya

memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benaknya,

28

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 28-29 29

Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Ikapi, 2013),

Cet. 1, hal. 125

31

atau membantunya apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini.

Setelah itu ia mengajukan diri agar diikut sertakan dalam

merealisasikan tujuan yang hendak dicapai suaminya.

Dan juga tujuan mereka berdua.Sebenarnya, dua tujuan di atas

tidak ada bedanya.Tujuan suami haruslah satu dan sesuai dengan

tujuan istrinya yang menjadi teman hidupnya.Sebab keberadaan suatu

tujuan merupakan asas pernikahan bahagia.30

4. Pandai-pandai mengungkapkan rasa kasih dan sayang

Bagi seorang sitri salah satu faktor yang dapat meyenangkan

hati suami pandai dalam mengungkapkan rasa rindu dengan kata-kata

yang indah kepada suami setelah suami pulang dari bepergian jauh

ataupun bekerja.Ini adalah faktor untuk utuk mengeratkan suatu

hubungan suami istri.31

5. Memahami dan berusaha menyesuaikan diri dengan pasangan

masing-masing

Seorang suami atau istri yang baik akan menyadari bahwa

kecocokan dan keeratan antara suami istri tidak terjadi secara drastic

dan bersamaan, tapi ia mengerti bahwa kecocokan perasaan itu

terbentuk melalui beberapa tahapan yang tidak luput dari usaha dan

kesalahan.

Sebab demikianlah hubungan suami istri tidak akan terjalin erat

kecuali dengan menghormati dan memahami semua keinginan serta

perasaan masing-masing pihak dan hal ini merupakan suatu hal yang

tidak mudah terjadi dalam satu waktu, disinilah pentingnya hal

tersebut diterapkan.

30

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, (Jakarta: PT Almahira, 2001), Cet. 1, h. 79-80 31

M. Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Suami, Penerjemah: Wahid

Ahmadi (Jakarta: Intermedia, 1997), Cet. 13, h. 20-21

32

6. Bersikap positif pada aib sendiri dan pasangan

Setiap kepribadian memiliki kekurangan namun suami atau istri

harus bersikap positif terhadap aib pasangan atau aib sendiri. Dalam

bersikap menghadapi aib-aib pasangannya, suami istri harus menahan

diri untuk tidak mengkritik semua perilkunya, yang seakan-akan ia

memang bertugas melakukan hal itu.

Dan sikap yang bijak adalah dengan mencari waktu yang tepat

untuk saling membicarakan aib itu bersama-sama dan memilih cara

yang baik serta kata-kata yang sopan agar tidak menyinggung

perasaan dengan niat masing-masing bahwa tujuan yang baik. Dan

harus saling mendengar pendapat pasangan dan memahami apa yang

telah dikatakan pasangannya itu, dengan niat tulus mau mengubah apa

yang menurut suami atau istrinya harus diubah.

7. Tidak suka menuduh sesama pasangan

Para suami dan istri selalu berusaha keras menghindari titik

rawan tuduhan dan segala sesuatu yang meragukan sehingga ia dapat

melindungi kehormatan dan nama baiknya dari semua prasangka

buruk yang mungkin mengundang ketergesaan orang-oran yang selalu

mencari kesalahan orang lain. Sebab itulah yang akan mendapatkan

marabahaya.32

8. Bersikap setia

Anjuran Islam kepada kita untuk berperangai setia, sikap setia

adalah sikap yang paling positif bagi kebahagian rumah

tangga.Pasangan yang selalu merasakan kebahagian bersama,

melewati hari bersama dan selalu hidup suka dan duka bersama.33

32

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 80-82 33

M. Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Suami, Penerjemah: Wahid

Ahmadi 13, h. 73

33

Kedua belah pihak harus dapat membuat pasangannya merasa

bahwa ia memberikan perhatian pada kesedihannya, merasakan apa

yang jadi perasaannya serta ikut memikul penderitaan yang dialami

pasangannya itu. Sebab, roda kehidupan selalu berputar, dan itu sudah

merupakan ketentuan Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya.34

9. Sifat cemburu sewajarnya

Sifat cemburu dalam hubungan suami istri jika terlalu besar

akan mengakibatkan problem dalam rumahtangga, perasaan ini harus

dihindari sebelum menjadi api cemburu dalam rumahtangga, agar

terjalin rasa saling percaya sesama pasangan.35

10. Tidak berusaha saling mengusai

Kepemimpinan seorang laki-lakimerupakan sesuatu yang diakui

oleh tabiat dan juga oleh syariat, demikianlah sunnatullah yang ada

dalam kehidupan semua Makhluk-Nya.Demikian suami tidak boleh

secara membabi buta mengatur dan mengendalikan isrtinya, seolah-

olah ia penguasa tunggal dalam keluarga. Tetapi selayaknya ia

meminta pertimbangan dan saran dari pihak istri, meluruskan yang

salah dan mengakui kesalahan sendiri.

Jika masing-masing pihak sudah saling memahami posisinya

dan bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnmya, maka

terwujudlah rumah tangga yang harmonis, penuh kebahagian

pasangan ideal sampai akhir hayat.

11. Menghilangkan watak pemarah

Kebahagian seorang suami dalam kehidupannya lebih banyak

bersandar pada watak istrinyaketimbang pada hal-hal lainnya. Watak

34

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 85 35

Butsainan As-Syyid Al-Iraqy, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, Penerjemah:

Khatur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1995), Cet. 1, h. 122-123

34

pemarah bisa dimiliki oleh suami atau istri jika salah satu pasangan

memiliki watak pemarah pasangan tidak akan mendapatkan

ketenangan hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Beberapa

penelitian yang dilakukan menganai beberapa pasangan menunjukkan

bahwa kemarahan seorang istri merupakan factor terbesar penyebab

runtuhnya rumah tangga. Banyak dari kaum pri mengatakan , “

sesungguhnya siafat paling buruk yang mungkin dimiliki seorang

wanita adalah pemarah”.

Meski demikian masih banyak wanita sejak dahulu sampai

sekarang, yang tetap mempertahankan sifat pemarah. Di sisi lain, istri

yang baik, yang dengannya Allah memuliakan sebagai pria,

mendapatkan kebahagiannya karena dirinya dipenuhi dengan

kecintaan dan ketenangan.36

E. Cara Mengatasi Problematika Pernikahan

Rasanya tiadalah seorang suami istri yang tidak menginginkan

dirinya mampu menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dalam

kehidupan rumah tangganya. Dalam dunia ini tiada satupun rumah tangga

yang tidak memiliki masalah yangdialami suami istri.37

Namun

perselisihan tidak hanya dialami oleh pribadi pasangan suami istri bisa

juga menyangkut perselisihan antar anggota keluarga, dan itupun wajar,

lebih-lebih dialami antar dua oramg yang berbeda adat dan keprabadian.38

Disnisi dijelaskan ada beberapa dalam menyelesaikan berbagai

36

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 85-87. 37

Nashir Bin sulaiman Al-Umar, Menuju Kebahagian Suami istri, (Jakarta: CV.

Muria Putra Pressindo: 1995), Cet. 1, h. 67 38

Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 123

35

perselisihan suami istri dalam kehidupan rumah tangga diantaranya

ialah:39

1. Sabar dan penuh kebijaksanaan

Bila diperhatikan rumah Nabi sekalipun juga tidak terlepas dari

berbagai persoalan. Akan tatetapi persoalan yang dialami oleh Nabi

dalam rumah tangga sebenarnya memiliki hikmah dari allah yang

diperlihatkan kepada umat manusia, yaitu bagaimana sikap rasullullah

SAW menghadapi persoalan sehingga dapat diikuti oleh ummatnya.

Jika Allah menghendaki untuk membersihkan segala persoalan dan

berbagai bentuk kekeruhan yang ada dalam rumah Nabi tentu saja

Allah bisa.

2. Adaptasi

Maksud adaptasi disini ialah bahwa suami istri harus mampu

menahan diri dari konflik, agar terhindar dari kesalahpahaman

masing-masing.Dan uapaya ini sangatlah besar yang sering di alami

oleh masng-masing pasangan.Terutama diawal mereka membangun

rumah tangga.40

Suami istri sering kali terjadi kesalapahaman didalam rumah

tangga, dan terus hidup berdasarkan kesalahahpahaman tersebut.Dari

sinilah sikap itu semakin meruncing dan perselisihanpun semakin

luas.Oleh karena itu, pengungkapan dari masing-masingpihak

mengenai hakikat tujuannya dan hal-halyang menyulitkannya secara

terbuka dan langsung akan menghilangkan kesalapahaman ini.41

3. Pengendalian diri terhadap hawa nafsu

39

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 89 40

Nashir Bin sulaiman Al-Umar, Menuju Kebahagian Suami istri, h. 67 41

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, , h. 90

36

Bahwa perselisihan yang sering terjadi yang dilakukan oleh

pasangan sebagian akibat dari ucapan yang tidak baik.Berkata kotor,

dan ketika terjadi perselisihan tanpa disadari mengeluarkan kata-kata

yang tidak patut.Sehingga membuat perasaan pasangan tersakiti.Jadi

untuk menghindari perselisihan dalam rumah tangga, hindari hawa

nafsu untuk membicarakan perkataan kotor, jelek, perkataan yang

tidak bermanfaat.

Dengan demikian dapat dikatakan, suami istri yang baik ialah

yang bisa menjaga mulutnya, hawa nafsunya serta menahan diri di

saat munculnya persoalan yang mengakibatkan kemarahan yang tanpa

disadari yang sehingga mengeluarkan kata-kata yang buruk.42

4. Jika perselisihan itu benar-benar ada, maka kedua belah pihak harus

sepakat membicarakan akar perselisihan.

Dalam hal ini, hendaklah untuk mengkonsentrasikan diri untuk

menangani akar peselisihan yang terjadi antara suaminya dan istri

atau penyebab langsung yang yang perlu dibicarakan agar ia tidak

menyulut berbagai permasalahan yang baru atau mengungkit kesalah-

kesalahan suami atau istri yang dilakukan di masala lalu ini akan

mengakibatkan tidak mampu memecahkan akar perselisihan.43

Atau bisa dikatakan untuk memperkecil konflik tersebut

sehingga tidak meluas kemana-mana.Dari sini kemampuan

menyelesaikan perbedaan pandangan merupakan syarat bagi

terwujudnya keluarga yang tenang dan tentram.Seperti seorang

sahabat Nabi bernama Abu al-darda‟ berkata kepada istrinya” kalau

42

Nashir Bin Sulaiman al-Umar, Menuju Kebahagian Suami istri, h. 72 43

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 91

37

engkau melihatku marah, diamlah dan akupun akan diam jika melihat

engkau marah”.44

5. Bertanyalah kepada orang yang lebih ahli

Banyak bertanya kepada orang-orang yang ahli sebenarnya

penting dalam menghadapi setiap masalah. Orang lain biasa lebih

mengetahui jalan keluar masalah diabnding yang bersangkutan

sendiri. Disamping itu, orang lain tidak memihak terhadap masing-

masing pasangan. Sementara penyelesaian masalah oleh diri sendiri

seringkali terbentur oleh sikap egoistis dan emosional, disamping

merasakan kesempitan dalam berfikir dan mengeluarkan pendapat,

karena pada saat itulah ia perlu bersandar kepada pendapat orang

alain dalam mencari jalan keluar yang terbaik.45

Sebagaiaman firman

Allah Swt

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara

keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-

laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.jika kedua

orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya

Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa

4:35).

6. Membicarakan dirinya sendiri

Cara terbaik harus ditempuh oleh wanita muslimah dalam

menuntaskan permasalahannya adalah membicarakan pikiran,

44

Huzaimah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 124 45

Nashir Bin sulaiman Al-Umar, Menuju Kebahagian Suami Istri, h. 74

38

perasaan, keinginan dan emosi dirinya sendiri, serta berusaha tidak

membicarakan hal-hal yang menyangkut diri suaminya akan berusaha

mengelak dan memeprtahankan diri, yang justru menyebabkan terus

menurus mengulangi perbuatan itu.

Membicarakan tentang diri sendiri akan memberikan lebih

banyak kesempatan kepada suaminya untuk mengenali segala sesuatu

yang ada pada istri, segala yang penting ataupun tidak penting

baginya, segala sesuatu yang disukai maupun yang tidak disukainya.

Semua itu kan membantu suaminya di masa akan mendatang untuk

memghindari rawan titik-titik perselisihan.

7. Mencari titik persamaan dan pemahaman dan serta menguatkannya.

Titik-titik persamaan dalam kehidupan suami istri merupakan

dasar keharmonisan dan kerukunan yang dengannya dapat

menyeesaikan semua perselisihan yang menghadang dirinya. Di sisi

lain mencari kesalahan masing-masing pihak dengan tujuan mengelak

dan mempertahankan diri serta memperlihatkan kekurangan-

kekurangannya hanya akan memperluas wilayah perselisihan.46

8. Mengadakan perdamaian yang dilandaskan pada niat yang tulus

Usaha mewujudkan perbaikan dan perdamaian yang baik tidak

jarang bersembunyi di balik pemberian yang saling bergantian dari

masing-masing pihak.Disaat masing-masing pihak mengetahui bahwa

keduanya telah mencurahkan berbagai pengorbanan dan berusha

mewujudkan perbaikan ini. Maka di saat itu pula mereka harus

berusaha keras mewujudkan keseopakatan tentang hal itu dan tidak

kan membuat kesulitan-kesulitan dalam perjalanan hidupnya di masa

mendatang.

46

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 91

39

Beberapa kesalahan fatal yang harus dihindari oleh suami istri

yang kurang serius dalam menangani dan memecahkan masalah-

masalah seperti ini .diantaranya kesalaha-kesalahan tersebut ialah.

1. Menahan perasaan yang tidak baikdalam hati

2. Melibatkan orang lain dalam perselisihan

3. Menggunakan cara yang mematikan kepribadian masing-masing

pihak

4. Bertengkar dihadapan anak-anak.

Dengan demikian agar suatu hubungan terjalin dengan baik harus

dilakukan dengan komunikasi yang baik.Dalam hubungan sekuat apapun

bentuknya, tidak mungkin bisa dihindari adanya perbedaan dan

perselisihan. Dengan perasaan normal dan baik, yang menjadikannya

mampu menjalin hubungan erat dan bahkan sangat terhormat, seoarang

wanita akan mampu menangani semua titik rawan jika ia mememiliki

“unsur dinamis” yang akan mengembalikannya kepada kehidupan rumah

tangganya dalam wujudnya yang harmonis dan penuh kerukunan.

“Unsur dinamis” itu adalah cinta.47

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat pernikahan diatas

bahwa pernikahan dilakaukan dengan jalan yang suci yaitu dengan

adanya akad agar terjadinya hubungan yang halal antara laki-laki dan

perempuan.bertujuan mempersatukan dua jiwa sehingga melahirkan

keturunan yang sah menurut ajaran Islam. Adapun tentang pernikahan

harmonis ialah pernikahan yang dilakukan berlandaskan keimanan

kepada Allah, selalu melakukan kebaikan dalam setiap keadaan, baik

terhadap pasangan, anak, keluarga, maupun masyarakat.

47

Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi pilihan, penerjemah: Gazi

Saloom, h. 92-93.

40

Kemudian pernikahan tidak akan terlaksana hanya dengan akad,

tetapi diperlukan adanya syarat, dan rukun nikah. yang sudah ditetapkan

oleh syariat Islam,agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Sehingga terciptalah kedamaian dan ketentraman baik sesama pasangan,

keluarga, dan masyarakat.

Tujuan dan manfaat pernikahan dilakukan diantaranya adalah

untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat, menjaga keturunan, menjadi

lebih tanggunga jawab dalam rumahtangga.Sama-sama berusaha untuk

membangun keluarga yang penuh kerukunan dan kebahagian.

Kemudian ada beberapa hal yang menjadikan tercbentuknya

keluarga harmonis. Sebagaiamana yang telah dijelaskan pada

sebelumnya, dan cara mengatasi beberapa masalah yang dialami oleh

pasangan suami istri dalam rumahtangga sehingga bisa menjaga kembali

rumahtangga tersebut mejadi keluarga yang sakinah,48

mawaddah, dan

rahmah.

48

Kata sakinah yang berasal dari kata sakana-yaskunu pada mulanya berarti

sesuatu yang tenag atau tetap setelah bergerak. Ketenangan disini menjelaskan tentang

keberadaan orang lain sebagai pasangannya adalah bersifat rohaniah atau bisa disebeut

ketenangan jiwa. Dalam artinya seorang laki-laki akan mersa ketenagan jika didampingi oleh

seorang itri dan begitu juga perempuan. Baca selengkapnya di Tim Penyusun, Tafsir al-

Qur`an Tematik jilid 2, h. 38

41

BAB III

TINJUAN UMUM TIGA TOKOH ULAMA TAFSIR

A. Biografi Syekh Abdura’uf As-Singkili

1. Riwayat Hidup Syekh Abdura’uf As-Singkili

Abdurra`uf as-Singkili adalah seorang mufasir berkengbasaan

Melayu, tanah kelahirannya adalah Fansur, Sinkil, wilayah pantai

laut Aceh. Nama lengkap beliau adalah Abdurrau`uf bin Ali al-Jawi

al-Fansuri as-Singkili.1

Mengenai tahun lahir Abdura‟uf As-Singkili banyak perdebatan

dari para peneliti.2Kebanyakan para ilmuan mengembangkandengan

menggunakan pola yang dikembangkan Rinkes menghitung mundur

dari 1661, yaitu tahun kembalinya Abdura‟uf dari Arab ke Aceh yang

ditulis sendiri oleh Abdura‟uf dalam bagian akhir kitab Umdat al-

Muhtajin fi Suluk al-Maslak al-Mufridin. Ia mennginformasikan

bahwa dirinya belajar di Arab selama 19 tahun. Dengan demikian

informasi ini ditambah pula dengan usia ia saat keberangkatannya

sekitar 25 tahun (yakni usia umum seseorang di masa itu pergi

merantau ke Arab), maka diperkirakan tahun kelahiran Abdurra`uf as-

Singkili pada tahun 1024 H/ 1615 M. Namun peneliti lain yang

bernama Voorhoeve menganggap bahwa tahun ini terlalu cepat.3

Silsilah as-Singkili berasal dari Persia yang berhijrah ke

Kesultanan samudra Pasai pada akhir abad ke -13 M. Mereka

1 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008), h. 131

2 Menurut Aly Hasjmy mengatakan bahwa Abdura‟uf lahir pada tahun 1592, meurut

Saiful Amin Ghofur pendapat ini kurang logis, sebab jika perhitungan mundur dari tahun ia

kembali ke Aceh dan masa yang ia habiskan di Mekah, maka beliau pergi ke Arab pada

umur 50 tahun dan pulang ke Aceh pada umur 65 tahun.Ahmad Daudy, Tasawuf

Aceh,(Banda Aceh: CV. Diandra Primamitra Media, 2008), h. 119

3 Ahmad Daudy, Tasawuf Aceh, hal. 119

42

menetap di Fansur (Barus), sebuah kota yang sangat strategis di

Sumatra Barat, oleh sebab itu sayangnya silsilah as-Singkili tidak

terekam semua pada saat itu.

Adapun sebuah data yang bisa membatu yang di tuliskan oleh

Penouh Daly dalam kajiannya terhadad naskah Mir‟atut Tullab karya

Abdurrau`uf as-Singkili. Menurut Penouh Daly ayah as-Singkili

berasala dari Arab dan menikahi wanita daerah Fansur , namun

perkiraan ini bisa dikatakan sangat mungkin, dikarenakan pada saat

itu Samudra Pasai banyak didatangi oleh para pedangan yang berasal

dari Cina, India, Persia, dan Arab.

Kemudian pendidikan as-Singkili langsung ditangani oleh

ayahnya.Ayahnya seorang „alim dan pendiri Madrasah. Selesai

belajar dari sang ayahnya ia melanjutkan belajar ke kota Banda Aceh

yang berlawanan arah tempat yang ia tinggali. Ia memepelajari ilmu

kepada syamsyuddin as-Sumatrani. Kemudian Pada tahun 1052

H/1642 M, beliau berangkat ke tanah Haram untuk belajar mendalami

ilmu agama sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun dalam

perjalanan, beliau singgah di beberapa tempatkota.4

Namun penguasaan beliau terhadap ilmu keislaman

menjadikannya sangat terkenal dalam masyarkat Aceh sepanjang

sejarah. Namun sudah menjadi budaya Aceh bahwa memanggil orang

4

Mulai dari Doha, dan Qatar untuk belajar kepada Abdul Qodir al-Mawrir.

Kemudian ke Baitul Faqih, Yaman, berguru kepada jajaran ulam bermarga Jama‟an seperti

Ibrahim bin Muhammad, Ibrahim bin Abdullah bin Jama‟an, Qadi Ishaq bin Abdullah bin

Jam‟an.

Setelah dari Baitul beliau berangkat ke Jeddah dan menuntut ilmu kepada

syekh Abdul Qodir al-Barkhali. Kemudian AbDurra;uf as-Singkili berangkat ke

Mekkah dan mengaku sebagai murid Badruddin al-Lahuri dan Abdullah al-Lahuri,

terakhir beliau ke Madinah untuk mempelajari ilmu kepada Ahmad al-Qusyasyi dan

Ibrahim al-Kurani. Baca selengkapnya di Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir

Al-Qur`an, h. 132-133

43

yang dimuliakan atau yang dihormati tidak menyebut nama

melainkan menyebut asalnya (laqab) seperti nama Abdurra‟uf lebih

terkenal dengan sebutan Syekh Kuala, dibandingkan dengan

Abdurra‟uf As-Singkilikarena beliau tidak hanya memilki dayah akan

tetapi ia di makamkan di samping makam Teungku Anjong di Kuala

Krueng Aceh (Sungai Aceh) pada saat beliau wafat tahun 1693 H

(1105). Tahun ini di ambil berdasarkan tahun yang ada dalam karya

beliau yang terakhir yang ia susun di Peunayong di tepi Kula Krueng

Aceh (Sungai Aceh).5

2. Profil Tafsir

a. Identifikasi Fisiologis

Kitab tafsir tarjumanul Mustafidkarya Abdurra‟uf as-Singkili

hanya terdiri atas satu jilid saja, namus meskipun begitu kitab ini

sudah mencakup penafsiran seliuruh al-Qur`an, beruba 30 juz.

Kitab dengan tebal 613 halaman ini diterbitkan oleh Dar al-Fikr

pada tahun 1990 M/ 1410 H. Kitab klasik berukuran 35 cm x25

cm ini jumlah sangat terbatas, setiap satu halamannya berisi 39-

42 baris penafsiran, dan teks ayat besertatafsirnya ditulis dengan

tinta hitam. Dalam penafsiran ia menggunakan bahasa melayu

dengan arab pegon pada era saat itu. Berbeda dengan penafsiran

kitab tafsir yang lainnya pada saat sekarang.

b. Identifikasi Metodologis

1. Latar belakang penulisan

5 Ahmad Daudy, Tasawuf Aceh, h. 119

44

As-Singkili sangat bertekad ingin menulis tafsir dalam

bahsa Melayu secra lengkap, dengan ketukunan dan keseriusan

beliau terhadap keinginannya lahirlah sebuah tafsir judulnya

Tarjuman al-Mustafid,yang baru pertama kali tafsir berbahasa

Melayu di sepanjang sejarah Indonesia.

Sebelum as-Singkili ada sepenggal tafsir yang ditulis pada

masa Hamzah Fansuri tetapi tafsir tersebut tidak ditemukan siapa

penulisnya. Namun dengan begitu, tidak membuat tekad as-

Singkili mengurangi rasa semngat untuk menulis tafsir Tarjuman

al-Mustafid, karena tafsir itu berbeda dengan tafsir yang

dituliskan oleh as-Singkili yang menyajikan penafsiran al-

Qur`an secara lengkap. Namun tafsir ini dituliskan beliau pada

akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pada saat ia sedang

berkarir lama di Aceh.6

2. Sumber Penafsiran

Penilaian umum yang sudah lama berkembang mengatakan

bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemah dari Anwar

al-Tanzilnya Baidlawi dan adapun sumber yang juga sering

dikutip oleh beliau ialah al-Khazin.7

3. Metode dan Corak penafsiran

Dalam suarat al-Ikhlas bahwa penafsiran beliau bisa

dikutip dari segi metode dan teknik yang digunakannya hanya

terlihat secara harfiah ayat-ayat al-Qur`an. Tidak menafsirkan

6 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 134

7 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011),

Cet. 1, h. 21-23

45

maksud ataupun kandungan ayat yang ditafsirkan dengan

memakai ayat-ayat yang lain atau yang sedemikiran dengan

ulama lain, dan tidak juga dengan hadis Nabi, riwayat sahabat,

apalagi dengan kisah-kisah israiliyat.

Adapun mengenai tiga variabel yang selalu disertakan

dalam tafsir ini di luar penjelasan terjemah harfiah. Pertama,

meganai asbabun nuzul kalau memang ada yang biasanya

diletakkan dalam bagian “kata mufasir” atau “kisah”. Kedua,

penjelasan mengenai berbagai macam bacaan (qiraah) yang

biasa dimasukkan dalam bagian “bayan” atau “faedah”.

Penjelasan terakhir mengenai manfaat atau fadhilah ayat atau

surat serta penjelasan tentang surat makiyah atau

madaniyahkah.

Sedanngkan corak dalam pemikiran tafsir dapat dilihat

dari ayat-ayat antropomorfis berikut. Kasus yang diangkat pada

contoh sebagai berikut ayat-ayat yang terdapat kata-akata yad

yang berkmana tangan, namun dengan komposisinya dengan

Allah. Dari penelusuran yang digunakan oleh Abdurra‟uf ada

tiga cara dalam menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat tersebut.

Pada kasus ini ia menggunakan makna asal tasybih contoh:

... ...

“Tangan Allah diatas tangan mereka itu..(QS. al-Fath:

[48]:10)

...

“Tangan Allah tenggelam dari pada melimpahkan rizki

atas kita” (QS. al-Maidah: [5]:64)

46

Dan pada kasus lain ia memberi tafsiran pada kata-kata

tersebut. Adapun pada kasus yang lain ia melakukan

kombinasi kedua pola diatas. Ia menggabungkan terjemah

harfiah dengan takwil.8

Menurut Subhan dalam skripsinya metode yang

digunakan oleh Abdurra‟uf dalam tafsirnya ialah metode

tahlili dan metode ijmali bisa dilihat dari penyusunan ayat al-

Qur‟an dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nass. Bahasa

yang digunakan dalam tafsirnya tidak terlalu lebar tetapi

secara singkat dan jelas. Kemudian corak yang ia gunakan

lebih cenderung kepada corak fiqh dan sufi, disebabkan ketika

beliau menafsirkan ayat al-Qur`an beliau lebih kepada mazhab

Imam syafi‟i dan juga lebih kepada pendapat ulama-ulama

sufi.9

3. Karya-karya Syekh Abdurrauf As-Singkili

Beberapa karya Karya Syekh Abdurra‟uf As-Singkili sudah

banyak ditemukan dan ditempatkan di perpustakaan Dayah Tanoh

Abe, Seulimum, Aceh Besar, ada beberapa karya Syekh Abdurra‟uf

diantaranya kitab Lubb al-Kasyf wa al-Bayan lima Yarahu al-

Muqtadar bi al-Bayan, Thib al-Mar‟I min Nafsih (merupakan kitab

saduran dari kitab berbahsa Arab yang di Aceh dikenal dengan nama

kitab Teh), Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid,kitab tasawuf Tanbih

al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qushashi, kitab Daqa‟id al-Huruf

penjelasan Abdurra‟uf terhadap beberapa syair mistis Ibnu „Arabi,

Bayan al-Arkan, kitab Bidayah al-Balighah (permulaan yang

8 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 18-21

9Pendahuluan Subhan, “Metode dan Corak Penafsiran Abdul Rauf Al-Singkili”,

Skripsi diajukan pogram sarjana tafsir Hadis Universitas Syarif Kasim Riau: 2011

47

sempurna), Mawa‟iz al-Badi‟ah, penjelasan mengenai Hadits al-

Arbai‟in yang dipilih dan ditulis oleh Abdurra‟uf sendiri atas

permintaan Ratu Safiatuddin, Umdat al-Muhtajin ila suluk Maslak

al-Mufridin, Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-

Qadhi bi Wahdat al Wujud dan sebagainya.10

B. Biografi Hasbi Ash-Shidqye

1. Riwayat hidup Hasbi Ash-Shidqye

Hasbi Ash-Shiddiqy lahir di lhoksemawe (kota Aceh) pada

tanggal 10 Maret 1904 M/ 22 Zulhijjah 1321 H. Kemudian beliau

Wafat di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1975/22 Zulhijjah 1321H.

Beliau seorang ulama Indonesia yang Ahli dalam ilmu Fikh, Ushul

fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahanda beliau adalah seorang

ulam terkenal yang bernama Teungku Qadhi Chik Maha Raja

Mangkubumi Husen Ibn Muhammad Su‟ud, putri seorang Qadhi

kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi Ash-Shiddieqy

adalah keturunan Abubakar al-Shiddieq (573-634 H), khalifah

pertama. Ia sebagai generasi ke 37 dari khalifah tersebut melekatkan

gelar al-Shidiqye dibekang namanya.

Hasbi besar dikalangan para ulama, pendidik, dan pejuang.Dari

kecil ia sudah menghafal al-Qur`an pada usia 8 tahun,wajar jika ia

sudah menghafal al-Qur`an sejak kecil karena ia tinggal dilingkungan

para ulama. Setahun berikutnya ia belajar qira‟at, tajwid, dasar-dasar

fikih kepada ayahnya sendiri. Sang ayah sangat menghendaki Hasbi

menjadi seorang ulama.karena itu ayahnya mengirim ia ke berbagai

dayah (surau/pondok pesantren) di kota kelahirannya.

10 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h.128

48

Pada tahun 1926 M, bersama al-Kalali, Hasbi pergi ke Surabaya

untuk belajar di al-Irsyad.Ia mengonsentrasikan dirinya di bidang

bahasa Arab.11

Beleiau di perkenalkan secara umum sebagai guru besar dengan

pidato pengukuhan berjudul syariat Islam Menjawab Tantangan

Jaman. Pidato ini disampaikan dalam acara peringatan setengah tahun

peralihan nama Perguruan tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada

tanggal 2 Rabiulawal 1381 H/1961 M. Kolenel Syamsaymun Gaharu

(Panglima Kodam I Iskandara Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur

Provinsi Daerah Istimewa Aceh) mengusulkan agar Hasbi diizinkan

menajdi dekan fakultas Syariah pada saat di Darussalam Banda Aceh.

Jebatan inipun diterima oleh Hasbi sejak September 1960 M sampai

Januari 1962 M. stelah melepas masa jabatannya itu ia tetap

merangkap dan membantu Rektor III namun ia tetap bertugas sebagai

Dekan Fakultas Syariah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasbi

juga mengajar di Perguruan Tinggi Swasta. Pada tahun 1961 M-1971

M ia menjadi Rektor di Universitas al-Irsyad, Surakarta, pada saat itu

beliau juga menjadi Rektor di Universitas Crokrominoto. Adapaun

pada tahun 1964 M, ia mengajar di Universitas Islam Indonesia(UII),

Yogyakarta. Dan beliau juga menjadi Dekan fakultas Syariah

11

Setalah selesai dari al-Irsyad ia belajar sendiri (otodidak) menfokus dirinya

untuk mempelajari berbagai disipilin ilmu. ia tidak belajar di luar negri berkat

kecerdasan beliau banyak mengahsilkan seratus judul karya intelektual dalam aneka

disiplin ilmu. Sebab itu ia layak mendapatkan gelar sebagai doctor haunoris causa

dari Universitas Islam Bandung (Unisba) dan IAIN Sunan Kali Jaga pada tahun

1975 M. beliau di percaya dari mulai staf pengajar sekolah sampai menjadi direktur

PTAIN. Ia di percaya mengampu mata kuliah hadis pada tahun 1960. Baca

selengkapanya di Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h.

202-204

49

Univertas Islam Sultan Agung (Unissula), semarang . Beliau wafat

pada tanggal 19 Desember 1975 M.12

2. Profil Tafsir

a. Identifikasi Fisiologis

Tafsir An-Nur merupakan karya Hasbi yang sangat

terkenal.Hasbi mampu menafsirkan seluruh al-Qur`an berupa 30

Juz, tafsir yang tertulis dalam bahasa Indonesia dan mudah

dipahami oleh masyarakat sekitar. Tafsir ini kadangkala

dikeluarkan perjilid sesuai juz al-Qur`an, setiap jilid memiliki

200 halaman, namun dikesempatan yang lain tafsir ini diterbitkan

menjadi 10 jilid, yang masing-masing jilid memuat 3 juz tiap jilid

berisi kurang lebih 3x200 halaman, yakni 600 halaman. Tafsir ini

ditulis pada tahun 1950 M -1970 M.13

Tafsir an-Nur dalam cetekan kedua dilakukan penyempurnaan

bahasa oleh H. Sudarto, seorang wartawan yang berdiam

disemarang dan juga penyuntingan, persiapan system penyusunan

tafsir oleh putranya Hasbi yaitu Nourozzaman Shiddiqi dan

Teungku Muhammad Hasbi as-shiddiqi.14

b. Identifikasi Metodologis

1. Latar belakang Penulisan

Motivasi Hasbi dalam menafsirkan Al-Qur‟an, sangat

mulia untuk memenuhi hajat orang Islam di Indonesia untuk

mendapat tafsir bahasa Indonesia secara lengkap, sederhana

dan mudah dipahami, serta ia menerangkan sepenggal-

12 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 205

13

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 207

14

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 144

50

sepenggal ayat al-Qur`an dalam bahsa latin, supaya

masyarakat dapat membacanya bagi yang tidak bisa

membaca ayat al-Qur`an dalam bahasa Arab.15

Sebab pada

saat itu banyak masyarakat berasal dari berbagai suku dan

berbagai ragam bahasa, masing-masing membutuhkan al-

Qur`an supaya dapat mengetahui pengetahuan secara

luas.Maka yang sangat dibutuhkan pada masa itu diantaranya

tafsir dalam bahasa Indonesia.

Tetapi ia mengetahui bahwa para ulama-ulama besar

Saudi Arabia sangat menentang menafsirkan al-Qur`an

dalam bahsa selain bahasa Arab. Pendapat ini hanya sebagai

fatwa keharaman dalam menafsirkan al-Qur`an dalam bahasa

selain bahasa Arab. Meskipun berlawanan pendapat ia tidak

pernah patah semangat dalam menulis tafsir An-Nur.16

2. Sumber Penafsiran

Dalam menysun kitab tafsir, Hasbi banyak berlandas

pada ayat-ayat al-Qur`an, riwayat Nabi Saw, riwayat sahabat

dan tabi‟in, teori-teori ilmu pengetahuan, pegalaman, dan

pendapat para mufasir.17

Berdasarkan sumber-sumber yang

dipakai oleh beliau dapat diketahui yaitu bil Ro‟yi atau bil

ma‟qul. Hal ini telah ia kemukakan bahwa ia mengambil

sumber langsung kepada kitab induk yaitu tafsir bil matsur18

15 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 150

16

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 207 17

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 207 18

Tafsir Bil Matsur ialah tafsir yang penafsirannya ayat al-Qur`an dengan ayat al-

Qur`an yang lain, penafsiran ayat dengan keterangan Rasul swa, penafsiran ayat dengan

perkataan sahabat-sahabat Nabi saw, ada juga ulama yang menambahkan dalam kelompok

Tafsi bil Matsur penafsiran para Tabi‟in yaitu generasi susudah sahabat-sahabat Nabi saw.

51

maupun bil ma‟qul. Adapun sumber lain yang beliau

gunakan dalam menyusun tafsir an-Nur ialah„Umdatut Tafsir

“Anil Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Manar,

tafsir al-Qasimy dan Tafsir al-Wadhih.19

3. Metode dan corak Penafsiran

Metode yang digunakan oleh Hasbi dalam tafsir an-Nur

sendiri ialah metode ijmali. Adapaun mengenai corak

penafsiran dalam tafsir an-Nur tidak memiliki orientasi

tertentu, namun bisa dikatakan komplit, dan bisa memasuki

segala bidang.20

4. Sistematika Penafsiran

Sistematika dalam kitab tafsir an-Nur terdiri dari empat

bagian yaitu, penyebutan ayat secara tartib mushaf tanpa

diberi judul, terjemahan ayat kedalam bahsa Indonesia

dengan diberi judul “Terjemahan”, penafsiran masing-

masing ayat dengan didukung oleh ayat-ayat lain, hadis,

riwayat sahabat dan tabi‟in serta penejelasan yang ada

kaitannya dengan ayat tersebut dan tahapan ini berjudul

“Tafsirnya”, kesimpulan, intisari dari kandungan ayat yang

diberi judul “Kesimpulan”.21

Baca Selengkanya di M. Quraish Shihab, KaidahTafsir, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), Cet. 1,

h. 340-351 19

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 150-151 20

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 153 21

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 151-152

52

3. Karya-Karya Hasbi Ash-Shidqye

Karya Hasbi berjumlah 73 judul 142 jilid diantara karya yang

paling banyak ialah tentang fiqih 36 judul, bidang-bidang yang

lainnya adalah hadis 8 judul, tafsir 6 judul, dalam bidang hadis 8

judul, tafsir 6 judul, dan ilmu ilmu kalam 5 judul beberapa

diantaranya ialah: Tafsir an-Nur, Al-Bayan, Sejarah dan Pengantar

Ilmu al-Qur`an, pengantar Hukum Islam, Kuliah Ibdah, Fiqh

Mawaris, Pedoman Haji, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Sejarah

Pengantar Ilmu Hadis. Dan sebagainya.22

C. Biografi Buya Hamka

1. Riwayat Hidup Buya Hamka

Hamka adalah nama singkatan dari Haji „Abdul malik Karim

Amrullah. Beliau dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, pada

tanggal 16 Februari 1908 dan beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981.

Ia dikenal seorang tokoh dan pengarang (pujangga) Islam. Ia adalah

seorang putera dari ulama terkemuka dan sangat terkenal dan biasa

disebut dengan sebutan Haji Rasul yang melakukakan pembaharuan

seputar agama di tempatn asalnya di Minangkabau setelah beliau

mendapat gelar kehormatan doktor di Unoversitas Al-Azhar.

Pendidikan formalnya hanya sampai SD, dan ia banyak

mempelajari ilmu sendiri terutama dalam bidang agama. Keahlian

beliau dalam Islam sampai diakui oleh dunia Internasional sehingga

beliau mendapat gelar terhormat di Universitas Al-Azhar pada tahun

1955 sedangkan dari universitas Kebangsaan Malaysia 1976.

Pada tahun 1924 ia merantau ke tanah Jawa, ia belajar disana

antara lain kepada HOS Cokroaminoto, kemudian ia aktif di

22 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, , h 148-149

53

organisasi Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1927 ia berangkat

ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji.23

Buya Hamka sangat

dikenal namanya, ia tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama

tetapi seorang politisi dan sastrawan. Kiprahnya sebagai ulama tidak

diragukan lagi.Karena karyanya dalam bentuk buku sangat banyak

Islam sendiri mebuktikan hal itu.Sedang kiprahnya sebagai politisi

juga tidak terbantah.Sedangkan dalam santrawan dibuktikan dengang

karya-karyanya dalam bemtuk novel.24

2. Profil Tafsir

a. Identifikasi Fisiologis

Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka pertama dilakukan oleh

penerbit Pembimbing Masa, yang dipimpin oleh H. Mahmud.

Cetakan pertama oleh Pembimbing Masa yang sekaligus

merampung penerbitan sampai juz keempat.Kemudian dilanjut

dengan terbitan juz 30 dan juz 15 sampai 29 oleh Pustaka Islam

Surabaya.Dan akhirnya juz 5 dengan juz 14 diterbitkan oleh

Yayasan Nurul Islam Jakarta.25

b. Idenntifikasi Metodologis

1. Latar Belakang penulisan Tafsir

Ada dua factor yang membuat Buya Hamka menulis tafsir al-

Azharyaitu: pertama,semngat para pemuda Islam di Indonesia

dan disekitar daerah yang berbahsa Melayu yang sangat ingin

mengatahui isi al-Qur`an, keimanan dihati mereka mulai tumbuh

23 Ensikopedia Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), Cet. I, vol. II,

h. 1217

24

Akmal Rizki Gunawan Hasibuan, Dimensi Politik Tafsir Al-Azhar Hamka: Kajian

Nilai-Nilai Pancasila, (Tangerang Selatan: CB Media, 2016), Cet. 1, h. 94

25

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 167-168

54

mereka ingin mengetahuinya tetapi saat itu tidak memilki

kemapuan dalam memahami bahasa Arab. Sangatbanyak pemuda

Islam yang ingin mencurahkan diri terhadap agamanya,

disebabkan oleh banyaknya tantangan dari luar dan dalam,

semangat mereka dalam agama sudah mulai tumbuh maka

disinilah Buya Hamka menulis tafsir pertama khusus untuk para

pemudi pada saat itu.

Adapun factor lainnya tafsir ini sebagai penolong bagi para

mubaligh atau ahli dakwah, pada saat itu mereka dalam kedaan

menghadapai bangsa dan masyarakat yang sudah cerdas tetapi

mereka masih banyak yang buta huruf,mereka dipenuhi dengan

kekacauan yang membantah penjelasan agama sehinnga butuh

sekali tafsir ini untuk disampaikan kepada masyarakat dalam

berdakwah.26

2. Sumber Penafsiran

Sumber penafsiran ada dua sumber yang digunakan, yaitu

bil ma/tsur dan bil ro‟yi. Dalam tafsir al-Azhar Buya Hamka

menggunakan sumber bil ro‟yi dengan mengemukakan

pendapat-pendapat belaiu beliau tentang tafsir ayat-ayat

tersebut. Kemudian sumber referensi untuk tafsir al-Azhar,

Hamka tidak fanatic terhadap satu karya tafsir dan tidak terpaku

pada satu mazhab pemikiran, beliau mengutip dari berbagai

kitab tidak hanya kitab tafsir, tetapi kitab hadis dan sebagainya.

Akan tetapi ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya, tidak

26 Pendahuluan Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982), jilid 1, h.

4

55

hanya dari segi pemikiran, tetapi haluan serta coraknya juga

diambil oleh beliau.27

3. Metode dan corak penafsiran

Jika dilihat dari urutan suratnya menggunakan tartib

mushafi Metode yang digunakan Buya Hamka dalam tafsir al-

Azhar ialah metode Tahlili. Sedangkan corak penafsirannya

berupa sastra budaya kemasyarakatan (Adabi Ijtim‟i) ia

menggunakan contoh-contoh yang ada disekitar kehidupan

masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat biasa

ataupun secara individu, semua terdapat dalam karyanya.

Ungkapan beliau yang sangat menyentuh hati manusia yang

sangat dalam.28

4. Sistematika Penafsiran

Langkah-langkah teknis yang digunakan Hamka dalam

penafsirannya dengan cara menuliskan teks al-Qur`an dengan

lengkap, menerjemahkannya, kemudian memberi catatan

penjelasan. Biasanya ia menyajikan bagian-bagian pendek yang

terdiri dari dari beberapa ayat, satu sampai lima ayat dengan

terjemahan bahasa Indonesia, kemudian menjelaskannya

panjang lebar, bisa sampai 15 halaman.29

3. Karya-karya Buya Hamka

Karya-karya beliau diantaranya adalah Di Bawah Lindungan

Ka‟bah (1938), Merantau Ke Deli (1940), Tenggelamnya kapal van

27 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 169

28

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 170 29

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, h. 212

56

der Wijck (1939), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), Di dalam

lembah kehidupan (1940; kumpulan cerita pendek, Ayahku (1949;

merupakan riwayat hidup dan kisah perjuangan ayahnya). 30

Tafsir

Al-Azhar, Ringkasan Tarikh Umat Islam, falsafah Ideologi Islam,

Islam dan Adat Minangkabau (1984), Mengembara di Lembah Nil

(1951), Laila Majnun (1932), Sullah al-Wushul: Pengantar Ushul

Fiqh (1984), kenangan-kengan Hidup (1958) dan sebagainya.31

Setelah memahami dan mengakaji tiga tokoh mufassir Nusantara.

Penulis dapat mengambil bahwa tiga tokoh mufassir Nusantara ini

memilki kurun waktu yang berbeda. Abdurra‟uf as-Singkili seorang

ulama Aceh yang pertama kali menulis kitab tafsir Tarjuman al-

Mustafid pada awal abad ke-17. Dan Hasbi as-Shidqi pada

pertengahan abad ke-19, pertema kali menulis kitab tafsir an-Nur

dalam bahasa Indonesia, ia pula ulama yang berasal dari Aceh.

Sedangkan Buya Hamka adalah ulama tafsir yang hidup pada

abadke-19. Seorang ulama yang berasal dari Minagkabau (padang).

Abdurra‟uf as-Singkili seorang ulama Aceh yang hidup dalam

kalangan para ulama salaf di Aceh tanpa berkecimpung dalam dunia

politik. Jauh berbeda dengan dua mufassir ini Hasbi dan Hamka

dengan perbedaan kurun waktu yang tidak terlalu jauh. Mufasisir

tersebut berkecimpung dalam dunia politik dan sebagainya.

Ketiga mufassir ini banyak memiliki karya setelah menulis karya

pertamanya. Untuk itu, pada bab selanjutnya penulis akan

memaparkan lebih dalam mengenai pendapat tiga tokoh mufasir

Nusantara tersebut terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan

pernikahan harmonis dalam al-Qur`an.

30 Ensikopedia Indonesia, Vol. II, h. 1217

31

Akmal Rizki Gunawan Hasibuan, Dimensi Politik Tafsir Al-Azhar Hamka:

Kajian Nilai-Nilai Pancasila, h. 98-100

57

BAB IV

PENAFSIRANAYAT-AYAT PERNIKAHAN HARMONIS

A. Penafsiran Abdurra’uf, Hasbi ash-Shiddiqy, dan Buya Hamka

Dalam al-Qur`an banyak terdapat ayat pernikahan harmonis, akan

tetapi dalam bab ini penulis tidak mengupas kesemua ayat. Penulis hanya

terfokus beberapa ayat al-Qur`an saja sesuai dengan pembatasan masalah

dalam skripsi ini di antara ayat-ayat al-Qur`an tersebut adalah QS. an-

Nisa 4:34, QS. al-Baqarah 2:187, QS. ar-Rum 30:21, QS. an-Nisa 4:19,

QS. al-Baqarah 2:228 , QS. an-Nur 24 :26, QS. al-Baqarah 2:237, dan

QS. al-Furqan 25:74.

1. Surah an-Nisa ayat [4]:34

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)

atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-

laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab

itu Maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah

lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena

Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu

58

khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah mereka dan

pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah

mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah

kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An-

Nisa [4]: 34).

Menurut penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili dalam tafsir

Tarjuman al-Mustafid menafsirkan ayat ini, bahwa laki-laki

dikeraskan (penguasa) terhadap semua perempuan, karena Allah telah

melebihkan laki-laki atas semua perempuan dari ilmu, akal, dan

wilayah, makanya laki-laki mendapatkan harta lebih dari perempuan.

Perempuan yang taat kepada suami yang selalu berbakti kepada

suami, memelihara faraj, aib yang terdapat pada suami, maka Allah

akan menjaganya. Maka ketahuilah bahwa Allah yang maha tinggi

dan maha besar maka takutlah terhadap-Nya.1

Dari uarain Abdurra‟uf as-Singkili di atas dapat disimpulkan

bahwa laki-laki harus menjadi penguasa bagi perempuan dalam

rumah tangga. Karena dalam kehidupan berumahtangga seorang

penguasa harus memiliki jiwa yang tangguh dan harus bijaksana agar

terciptanya sebuah keluarga yang harmonis. Kemudian memang

sudah Allah berikan kelebihan bagi laki-laki dari segi ilmu akal dan

sebagai penguasa. Maka dari sebab itulah laki-laki mendapatkan

pembagian harta lebih dibanding perempuan. Dan dalam keluarga

seorang istri harus bisa menjaga segala kekurangan suaminya agar

terbentuknya sebuah pernikahan harmonis.

1 Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, (Beirut Libanon:

Dar al-Fikr, 1990), h. 85

59

Adapun menurut penafsiran Hasbi ash-Shiddiqy dalam tafsir

an-Nur menjelasakan diantara tugas kaum laki-laki ialah melindungi

wanita. Begitu juga dengan urusan memberi nafkah. Peperangan

hanya diwajibkan bagi kaum lelaki tidak untuk perempuan,

peperangan adalah untuk melindungi. Sehingga inilah yang

menyebabkan laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat dari

perempuan.

Selain hak tersebut laki-laki hak (mengendalikan, menuntun

dan memimpin), maka dalam soal hak dan kewajiban yang lain laki-

laki dan perempuan memilki kewajiban yang sama. Laki-laki memilki

derajat yang mengepalai dan mengurus rumahtangga. Sedangkan

perempuan mengurus rumahtangga dengan merdeka, asal dengan

batas-batas sesuai dengan yang ditetapkan syara‟ dan yang diridhai

oleh suaminya. Istri memelihara rumah dan mengendalikannya,

memelihara anak-anak dan berbelanja sesuai kesanggupan suaminya.

Dibawah naungan suami istri dapat melaksanakan kegiatannya

sebagai istri mengandung, melahirkan, dan menyusui.

Wanita-wanita yang shaleh ialah wanita yang ta‟at kepada

suaminya, memelihara segala apa yang terjadi dalam khilwah dalam

rumahtangga, tidak menerangkan kepada siapapun walaupun kerabat.

Mereka lakukan hal itu disebabkan janji yang telah diberikan Allah,

yaitu memperoleh pahala yang besar karena memelihara yang gaib

dan karena ancaman Allah terhadap orang yang membuka rahasia.

Ayat ini mengandung pengajaran yang besar terhadap wanita yang

suka menceritakan segala sesuatu yang terjadi dalam khilwah itu. Dan

dianjurkan kepada istri untuk menjaga dan memelihara harta suami.

Allah memperingati kita dengan kekuasaan-Nya dan

kebesaran-Nya supaya kita tidak menzalimi istri dan berlaku curang

60

terhadap mereka. Allah akan bertindak terhadap suami yang

mempergunakan kekuasaanya lebih dari kadar yang patut.2

Dari uraian Hasbi ash-Shiddiqy diatas dapat disimpulkan

bahwa lelaki tidak hanya sebagai pemimpin, akan tetapi juga sebagai

pelindung bagi istri dan anaknya, menuntun dengan baik kepada jalan

yang benar, menafkahi lahir batin dan bertanggung jawab terhadap

keluarga, mengurus dan mengendalikan hak dalam rumahtangga.

Hingga dengan lelaki yang bersifat demikian terhadap keluarganya

maka tercapailah cita-cita pasangan yang harmonis dalam mahligai

rumahtangga. Sedangkan perempuan sebagai istri yang memelihara

harta suami dengan baik, menjaga anak, dan berbelanja sesuai

kesanggupan suaminya. Dan juga mememlihara segala yang terjadi

antara suaminya yang terdapat dalam khilwah. Sebagaimana ayat ini

telah mengandung pengajaran yang besar terhadap istri yang

menceritakan apa yang terjadi antara keduanya dalam khilwah.

Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar

laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan perempuan yang

memimpin laki-laki. Dalam pembagian harta laki-laki mendapat dua

kali bahagian dari perempuan, laki-laki yang membayar mahar, jatuh

perintah bagi laki-laki untuk menggauli istrinya dengan baik dan laki-

laki diizinkan memiliki istri sampai empat asal bisa berlaku adil.

Dalam ayat ini tidak langsung diperintah mengatakan, wahai

laki-laki wajiblah kamu menjadi pemimpin. Atau wahai perempuan

kamu mesti menerima pimpinan.Yang diterang lebih dahulu ialah

kenyataan memang tidak datang perintah tapi pada kenyataannya

memang laki-lakilah yang menjadi pemimpin bagi perempuan. Dilihat

2

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur,

(semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1995), Cet. 2, h. 816-17

61

dari contoh, andaikata perempuan diperintahkan untuk memimpin

laki-laki, maka perintah itu tidak bisa berjalan, sebab tidak sesuai

dengan kenyataan hidup manusia. Sebab sudah diterangkan Allah

bahwa laki-laki dilebihkan sebagian dari perempuan, lebih dalam hal

tenaga, kecerdasan, sebab itu lebih pula dalam hal bertanggung jawab.

Seperti dalam rumahtangga yang dipimpin oleh laki-laki yang

memiliki istri, dan anak. Ibarat tubuh manusia yang terdiri dari

kepala, ada tangan, kaki, dan perut. Semua penting tetapi yang kepala

tetaplah kepala.

Meskipun kepala tidak tegak keatas kalau kaki lumpuh atau

patah. Tidaklah tangan melawan mengapa dia menajdia tangan dan

kaki terletak dibawah. Atau ibarat kapal berlayar mem punyai

nahkoda (Kapten kapal) dan Juru bantu (Masinis). Kedudukan

masinis sangat penting, jika tidak ada kapal tidak bisa berlayar. Tetapi

masinis tetap mengetahui bahwa kepala tertinggi adalah nahkoda.

Maka dalam ayat ini memang dijelaskan kenyataanya mau atau tidak

mau, laki-lakilah yang menjadi pemimpin atas perempuan. Mungkin

kadangkala dapat suami yang tidak pandai tetapi istri cerdik sehingga

perempuanlah yang memimpin.Yang jarang terjadi ialah seumpama

tidak ada dalam dunia orang yang menjadikan hal yang jarang terjadi

menjadi pokok dan dalil hukum. Sebab yang kedua disebutkan lagi.

“Dan dari sebab apa mereka membelanjakan harta benda mereka. “

Artinya dalam perwilayahan harta bendapun adalah tanggung jawab

laki-laki. Ibarat kata dalam bersuami istri, harta milik bersama namun

hak terakhir yang menetukan tetaplah pada laki-laki.

Hal ini boleh kita katakan naluri atau instink dari orang

perempuan sendiri. Walaupun dalam rumahtangga orang masih belum

beradab, primitife, atau orang desa, atau orang modern sekalipun,

62

tinggal di kota siang malam membicarakan hah-hak kaum perempuan

sedang ada konflik dengan suami istri mebicarakan hak-hak

kewajiban, tiba-tiba datanglah penjahat yang ingin merampok.

Dengan tidak ada perintah terlebih dahulu laki-lakilah yang menjaga

mereka menyeruh istri dan anak untuk bersembunyi. Dan jika ada

anak laki-laki yang sudah besar sama-sama dipertahankan

dengannya.

Maka Semodern apapun rumahtangga keputusan terakhir

terletak pada tangan laki-laki. Di dalam rumahtangga tidak mungkin

ada dua pemimpin yang memiliki sama-sama kewajiban mesti ada

pemimpin diantara salah satunya. Pimpinan itu, dilihat dari jasmani

dan rohani manusia, tidak lain adalah laki-laki. Bertambah kecerdasan

fikiran manusia, bertambah dia menyetujui hal ini. Maka atas dasar

demikianlah tegak hukum agama, sehingga perkabaran bahwa laki-

laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan saja kabar dan berita

kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah

irama hidup. Bahwa setiap suami istri pasti ada rahasia kamar yang

mesti ditutup terus, dan meutup rahasia rumahtangga adalah termasuk

sopan santun seorang istri. Sebab itu maka dikatakan dengan cara

yang dipeliharakan Allah. Sehingga telah menjadi sopan santun dari

seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh agama,

merahasiakan alat kelamin, sebab ilham dari Allah. Demikian pula

sebaliknya sebagai perempuan baik itu sunda gurau dengan suami.

Oleh ulama-ulama diperluas lagi, bukan hanya menyimpan

rahasia hubungan suami istri tetapi juga kekayaan dan kesanggupan

suami dalam memberi nafkah maupun harta. Jangan dikeluhkan

kepada orang jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan

atau istri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki

63

dengan lancar dan berbahagialah pergaulan mereka. Tetapi di

samping yang baik pasti ada yang buruk, yaitu istri yang membuat

pusing suami.3

Dari uraian Hamka diatas dapat disimpulkan bahwa lelakilah

yang patut mengepalai dan bertanggung jawab dalam rumahtanga

terhadap istri dan anak. Ibarat kapal berlayar mempunyai nahkoda.

Kendatipun semodern mahligai rumahtangga tersebut keputusan

terakhir tetap kepada seorang suami. Dan istri yang shaleh yang selalu

menjaga kekurangan yang terdapat pada suami dan juga menjaga

segala kekurangan yang terdapat dalam rumahtangga baik dari segi

harta maupun nafkah. Apabila terdapat istri yang taat mudahlah bagi

suami menciptakan keluarga dengan baik dan menjadikan

rumahtangga nan bahagia.

Persamaan bila dilihat dari mufassir dalam menafsirkan ayat

ini Abdurra‟uf, Hasbi ash-Shiddiqy, dan Hamka mereka sama-sama

mengatakan bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin, melindungi,

mengurus, mengendalikan hak dalam mahligai rumahtangga. Maksud

pemimpin disini ialah pemimpin yang tangguh dan bijaksana dalam

memimpin keluarga terhadap istri dan anaknya. Akan tetapi

perbedaan yang dapat penulis simpulkan bahwa ada dua, dalam segi

bahasa dan teknik penafsiran mufassir. Pertama, dari Abdurra‟uf

sendiri menggunakan bahasa laki-laki “dikeraskan (penguasa)” atas

semua perempuan, sedangkan Hasbi dan Hamka menggunakan

bahasa yang sama yaitu sebagai “pemimpin”. Kedua, dilihat dari segi

penafsiran Abdurra‟uf menjelaskan secara singkat dan jelas. Dan

Hasbi mengaitkan penafsirannya terhadap perintah berperang yang

3 Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 46-48

64

diwajibkan kepada laki-laki. Kemduian Hamka mengaitkan

penafsirannya dengan kehidupan sehari-hari.

Dari penjelasan tafsir diatas dapat disimpulkan hal-hal yang

dapat diambil oleh penulis dalam membentuk tatanan pernikahan

harmonis. Pertama, kepemimpinan dalam keluarga seorang suami

yang menjadi pelindung, penuntun dalam kebaikan, pengurus dan

memberi nafkah untuk istri dan anaknya. Kedua, istri memilki tugas

selain dari pada suami yaitu untuk memelihara harta suami dan juga

menjaga aib yang terdapat pada suami. Ketiga, tidak saling mengusai

dalam rumahtangga.

2. QS. al-Baqarah ayat [2]:187

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa

bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah

pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi

mereka.Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat

menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan

memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah

65

mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah

untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu

benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian

sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)

janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu

beri'tikafdalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka

janganlah kamu mendekatinya.Demikianlah Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya

mereka bertakwa.(QS. al-Baqarah [2]:187)

Penulis disini hanya mefokuskan pada redaksi ayat “hunna

libasullakum wa antum libasullahunna”. Dalam penafsiran

Abdurra‟uf as-Singkili dalam menafsirkan redaksi ayat “hunna

libasullakum wa antum libasullahunna”4 beliau meanfasirkan mereka

adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.5

Dari uraian Addurra‟uf as-Singkili di atas dapat disimpulkan

bahwa perempuan dan laki-laki adalah pakaian bagi keduanya.Ia tidak

menjelaskan maksud dari pakian tersebut. Makna Pakaian secara

umum adalah penutup yang berfungsi sebagai pelindung bagi

pemakainya. Dengan demikian begitu pula pasangan suami istri yang

selalu menutup segala sesuatu yang terdapat pada pasanganya

masing-masing tanpa membuka aurat (rahasia) kepada yang lainnya

ini adalah sebuah cara untuk menjalin dan mebentuk pernikahan

harmonis.

4 Menurut penafsiran M. Quraish Shihab dalam tafsirnya tersebut mengatakan

kalau dalam kehidupuan normal seseorang tidak dapat hidup tanpa pakaian, demikian juga

kehidupan berpasangan tidak bisa dihindari oleh kehidupan normal manusia, kalau pakaian

berfungsi menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia, demikian pula pasangan suami

istri, harus saling melengkapi dan menutup kekurangan masing-masing. Jika pakaian adalah

perhiasan bagi pemakianyanya, maka suami adalah hiasan bagi istrinya demikian sebaliknya

baca surah al-„Araf ayat 26. Jika pakaian mampu menutupi manusia dari sengatan panas dan

dingin baca juga surah an-Nahl ayat 81, suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya

harus pula mampu melindungi pasangan-pasangannya dalam keadaan krisis dan kesulitan

yang dihadapi. Baca Selengkapnya di M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:

Lentara Hati, 2002), Vol. 1, h. 495 5 Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 30

66

Dan menurut Hasbi ash-Shiddiqy dalam menafsirkan redakasi

ayat ini bahwa Allah membolehkan kamu menggauli istri-istrimu

pada malam puasa, karena pergaulanmu dengan mereka sangatlah

dekat sehingga sangat susah untuk menjahui mereka dan untuk

menjaga hawa nafsu terhadap mereka.6

Dari uaraian Hasbi ash-Shiddiqy di atas dapat disimpulkan

bahwa melakukan hubungan suami istri pada malam puasa

diperbolehkan, karena hubungan antara suami istri terdapat dalam

satu atap sehingga susah untuk menjahuinya dan menjaga hawa nafsu

terhadap istri karna hubungan suami istri ialah hal yang dibutuhkan

oleh tubuh pasangan masing-masing. Hubungan antara suami istri

ialah hal untuk mengeratkan suatu pertalian dalam rumahtangga, dan

ini sangat dipentingkan dan juga merupakan satu hal yang menjadikan

terjalin pernikahan harmonis terhadap pasangan suami istri.

Kemudian dalam penafsiran Hamka sendiri menafsirkan

redakasi ayat tersebut “mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu

adalah pakaian bagi mereka”. Kalimat ini sangat halus dalam

mendidik sopan santun diantara manusia. Karena apabila suami istri

bertemu secara suami istri maka benar adalah pakaian yang saling

memakai menjadi satu tubuh, yang disebut bersetubuh dalam bahasa

kita.7

Dari uraian Hamka diatas dapat penulis simpulkan bahwa

pakaian yang dimaksud dalam redaksi ayat tersebut ialah hubungan

antara suami istri.Suami istri yang satu sama lain saling

membutuhkan sehingga menjaga keserasian dalam rumahtanga.

6 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid An-Nur 1, h.

304 7 Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 1, h. 106

67

Persamaan dari tiga mufassir dalam menafsirkan redakasi ayat

tersebut ialah pergaulan antara suami istri. Namun perbedaan yang

dapat penulis disimpulkan dari penafsiran yang digunakan oleh

mufassir sendiri seperti Abdurra‟uf ia hanya menafsirkan sebagai

pakaian tanpa menjelaskan maksud dari pakaian tersebut. Sehingga

bagi orang awam yang membacanya bisa saja tidak memahami

maksud dari makna pakaian tersebut. Sedangkan Hasbi dan Hamka

memilki keterkaitan dalam menjelaskan pakaian tersebut ialah

pergaulan antara suami istri secara biologis.

Dari penjelasan mufassir di atas dapat kita simpulkan bahwa

untuk membangun sebuah pernikahan harmonis suami istri saling

membutuhkan satu sama lain dan saling melindungi. Seperti pakaian

adalah penutup tubuh begitu pula suami istri hidup dengan saling

melindungi baik dalam keadaan apapun.

3. QS. ar-Rum ayat [30]:21

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan

sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum

[30]: 21)

Dalam penafsiran Abdurra‟uf dalam tafsirnya, mengenai ayat

tersebut, setengah dari kuasa Allah dijadikan nenek kamu Hawa dari

rusuk Adam dan semua perempuan itu dari mani laki-laki dan

68

diciptakannya kamu berpasang-pasangan agar kamu tetap kepadanya.

Dan dijadikannya rasa kasih dan sayang bahwasanya pada yang

demikian itu terdapat tanda bagi kaum yang berfikir pada kuasa Allah

swt. 8

Dari uraian Abdurra‟uf as-Singkili dapat disimpulkan bahwa

manusia diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki dan perempuan

dan perempuan ini berasal dari mani laki-laki. Kemudian

diciptkannya manusia berpasang-pasangan agar manusia lebihmerasa

tenang kepadanya, dan dijadikan rasa kasih dan sayang ini adalah

salah satu wujud cinta dan kasih untuk terciptanya sebuah pernikahan

harmonis.

Menurut penafsiran Hasbi sendiri dalam tafsirnya ia juga

menyebutkan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah menjadikan

untuk kamu pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri agar hatimu

lebih condong kepadanya dan tenanglah jiwa karenanya. Dan Allah

menjadikan kamu kasih sayang dan rahmat, supaya hidup

kekeluargaan berjalan dalam keadaan yang mesra. Tuhan menjadikan

dirimu hubungan yang kuat terhadap jiwamu yang kadangkala

melebihi hubunganmu dengan orang yang paling dekat denganmu.

Ketika Allah menciptakanmu dari tanah dan menciptakanmu

berpasang-pasangan dari jenismu sendiri serta menumbuhkan kasih

mesra di antara kamu, sesungguhnya akan medapat hikmah bagi

hamba yang berfikir. Dan semua ini adalah keesaanAllah dan kuasa-

Nya dan terdapat hikmah-Nya.9

8 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur, , h.

2822-2823 9 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur, h.

3073

69

Dari uaraian Hasbi dapat disimpulkan bahwa Allah

menciptakan manusia berpasangan-pasangan dari je nismu sendiri

agar kamu lebih condong agar jiwa terasa tenang, damai dan tentram

sehingga bisa menciptakan keluarga yang penuh kemesraan dengan

demikian terciptalah sebuah pernikahan yang penuh keharmonisan.

Kemudian penafsiran Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut

terdapat dua jalan. Pertama, ia memakai tafsir biasa yaitu, bahwa

manusia yang pertama kali adalah nenek moyang semua manusia

yaitu Nabi Adam, maka ada riwayat dalam hadis dari Ibnu Abbas dan

lain-lainya bahwa tatkala Nabi sedang tidur pulas sendiri di dalam

surga Jannatun Na‟im, maka dicabutlah tulang rusuk sebelah kiri,

kemudia dijadikannya seorang manusia yang akan menjadi temannya,

yaitu Hawa yang berbeda dengan Nabi Adam seorang laki-laki.

Kemudian dikawinkan.

Kemudian beliau menyatakan, tetapi tidak salah kalau kita

menyimpang dari pada tafsir yang biasa itu, kalau kita ingat yang

dibahasakan “Dia diciptakan untuk kamu” itu untuk seleuruh

manusia, bukan untuk satu orang nenek yang bernama Adam. Jelaslah

bahwa yang diambil dari bagian badannya untuk dijadikan istrinya itu

hanyalah dari Nabi Adam yang telah bertebaran diseluruh permukaan

bumi, dan tidaklah yang lainnya diambilkan dari bagaian tubuhnya

untuk dijadikan istrinya oleh Allah, bahwa telah dijelaskan dalam

suarah as-Sajdah ayat 7 dan 8 bahwa yang diciptakan langsung dari

tanah ialah Nabi Adam. Adapun keturunan Adam diciptakan dari

airmani yang lemah dalam as-Sajdah ayat 8.

Maka yang diper “kamu” oleh tuhan di ayat 22 ini dengan

ucapan “ dia ciptakan untuk kamu” dari dirimu sendiri sebagai istri.

Ialah seruan kepada seluruh manusia, sebagai cucu Adam hakikatnya

70

adalah satu. Dan Hamka menagaitkan penafsirannya dengan surat an-

Nisa ayat 1 dan 4‟ telah menjelaskan bahwa penciptaan manusia itu

ialah dari nafsin Wahidatin10

.

Kemudian dipertemukan oleh Allah “jodoh” diantara kedua

pihak antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan agar terlahirnya

keturunan semakin banyak dalam dunia ini. “Agar tentramlah kamu

kepadanya” artinya bila seorang laki-laki tanpa pasangan maka akan

menjadi gelisahlah hidup seorang diri, tidak memeiliki teman. Maka

laki-laki dan perempuan saling membutuhkan.

“Dan dia jadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang”.

Cinta dan kasih sayang mulai tumbuh. Penyebabnya karena

bertemunya antara dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dengan

perempuan, keduanya saling membutuhkan. Sehingga terciptanya

keturunan selanjut. Sehingga terciptalah yang tidak diinginkan.11

Dapat dilihat dalam ayat ini tentang mawaddatanwarahmatan.

Mawaddatan yang bermakna cinta, ialah rasa rindu seorang laki-laki

kepada perempuan dan juga rasa rindu perempuan terhadap laki-laki

memang sudah tabiat yang dijadikan Allah dari hidup itu ssendiri.

Setiap laki-laki dan perempuan yang sehat pasti mencari teman hidup

yang ingin menumpahkan rasa kasih sayang dan saling mengasih

sehingga timbullah rasa mawaddatan dari kedua belah pihak. Maka

tidak salah bagi kedua belah pihak suami untuk bersih-bersih, berhias

10

Dari diri yang satu, yaitu manusia.Dari manusia yang satu itu juga, bukan diambil

dari tempat yang lain, dijadikan istri-istrinya. Baca selengkapanya Hamka, Tafsir al-Azhar

Juzu‟ XIX, h. 63-64 11

Orang yang terkenan sakit syahwat karena nafsu yang diluar batas kebiasaan akan

mengakibatkan mansuia menyutubuhi binatang, seperti halnya kuda atau sapi. Namun dari

hal tersebut tidaklah menghasilkan anak. Disatu peneyelidikan kedoktoran tentang biologi

telah diuji oleh orang “ mengawinkan seorang wanita dengan monyet besar bersutubuh

dengan puas tetapi tidak mengahsilkan anak. Itulah hikmahnya “kamu sendiri jadikan akan

istri-istri kam”. Baca selengkapnya Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 65

71

diri, berwangian-wangian, hingga teruslah bertamabah rasa

mawaddatan dalam hati masing-masing terhadap suami istri.

Akan tetapi setiap laki-laki dan perempuan jika sudah mulai

tua maka rasa untuk berkeinginan hubungan suami istri sudah mulai

berkuarang disebabkan oleh faktor umur semakin bertamambah. Jadi

hidup untuk bersuami istri bukanlah hanya semata-mata karena untuk

mawaddatan akan tetapi rasa saling sayang yang semakin tumbuh

yaitu rahmatan, yang bermakna kasih sayang yang lebih dalam dari

cinta. Bertambah tua maka semakin dalam rasa rahmatan dalam hati

terhadap kedua belah pihak. Melihat anak-anak yangs sudah dewasa

dan memilki cucu.

“sesungguhnya pada yang demikian adalah tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir” ujung ayat ini menjelaskan kepada manusia agar

berfikir kembali. Jika manusia ini tanpa peraturan yang ditetapkan

Allah, maka terjadilah hubungan sesukannya antara laki-laki dengan

perempuan laksana bagaikan binatang, perempuan yang hamil lalu

ditinggal oleh laki-laki hidung belang. Dan perempuam yang

melepaskan kehormatanya terhadap laki-laki yang disukainya, maka

dunia ini tidak jadi seperti sekarang karena ada peraturan yang

ditetapkan Allah. Jika terjadi demikian maka tidaklah ada rasa

cemburu terhadap pasangan.

Di sinilah kita disuruh untuk berfikir lagi dengan keadaan

zaman yang semakin dipengaruhi oleh berapa pemahaman zindiq,

atheis yang hanya memandang dari segi materialistis semata-mata,

lalu diabandingkan dengan dasar ajaran agama.

Pokok ajaran agama bahwa manusia adalah makhluk yang

paling dimuliakan Allah, ditinggikan derajatnya dalam bumi ini, asal-

usul manusia berasal dari surga. Dan adapun pendapat dari filsafat

72

barat mengatakan bahwa manusia berasal dari monyet bukan dari

surga. Kemudian orang-orang yang tidak percaya dengan adanya

surga. Karena surga tidak nyata tidak terlihat oleh kasat mata.

Sehingga surga hanyalah omongan semata dan diangap tidak ada.

Sejarah dunia sudah berjalan bertahun-tahun. Yang menjaga

derajat manusia semakin tinggi tidak lain hanyalah agama. Dan

bilamana pemahaman lain masuk seperti materialisme dan membawa

pengaruhnya, diwaktu itulah kemanusiaan jatuh martabatnya dan dia

sendiri yang mengahancurkan sejarahnya.12

Dari uaraian Hamka diatas dapat disimpulkan bahwa, Allah

menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara laki-laki dan

perempuan yang saling membutuhkan satu sama lain. Dari

terkumpulnya pasangan suami istri Maka timbullah cinta dan kasih

sayang yang menjadikan teman hidup dalam satu naungan

rumahtangga menumbuhkan rasa kasih sayang sesama pasangan.

Semakin lama pasangan suami istri membina ruamhatangga tersebut

maka timbullah rasa rahmah kasih saying melebihi dari cinta.

Bertambah tua semakin betambah pula rasa kasih sayang yang lebih

mendalam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan jika

dilihat dari mufassir dalam menafsirkan ayat ini mereka sama-sama

mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan

dari jenismu sendiri agar dirimu lebih merasa tenang dan tentram

bersamanya. Namun perbedaan yang dapat penulis ambil ialah dari

penafsiran Abdurra‟uf menafsirkan sesuai dengan konteks ayat. Hasbi

menggunakan penafsirannya sendiri terhadap ayat tersebut.

Sedangkan yang digunakan oleh Hamka ketika menafsirkan ayat

12

Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 63-67

73

tersebut ia menjelaskan ayat-ayat yang lain dalam penafsirannya. Dan

beliau mengambil pendapat para ilmuan filsafat serta memberi

contoh-contoh yang terjadi dimasyarakat.

Dari penjelasan tiga tokoh mufassir Abdurra‟uf, Hasbi, dan

Hamka dapat kita ambil hal yang menjadikan acuan kita dalam

mebentuk sebuah pernikahan harmonis. Pertama, saling

menumbuhkan rasa kasih sayang sesama pasangan. Kedua, bersikap

saling mebutuhkan. Ketiga, menikah tidak hanya tujuan untuk

mawaddatan saja, akan tetapi sampai mendapatkan rasa rahmatan.

4. QS. an-Nisa [4]:19

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu

mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu

menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali

sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,

terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang

nyata.dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian

bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena

mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah

menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(QS. An-Nisa

[4]:19)

Penulis hanya memfokuskan pada redaksi ayat

“wa‟aasyiruhunna bil ma‟rufufi fa in karih tumuhunna fa „asa

antakrahu syai aw wa yaj „alallahu filkhairan katsira”. Menurut Ab-

74

durra‟uf as-Singkili dalam menafsirkan redaksi ayat ini, maka jinak

mereka dengan perbuatan yang elok pada perkataan, membiayai, dan

bermalam. Apabila kamu benci kepada mereka maka bersabarlah

terhadap apa yang kamu benci itu mudah-mudahan dijadikan sesuatu

kebajikan yang sangat banyak.13

Dari uaraian Abdurra‟uf di atas dapat disimpulkan bahwa

laki-laki agar mengajari istri dengan perbuatan yang baik, ucapan

yang baik dan menafkahinya, serta bergaul dengannya. Bila terdapat

kekurangan padanya maka bersabarlah karena dari itu semua terdapat

kebajikan yang baik dari Allah swt.

Dan menurut penafsiran Hasbi terhadap ayat ini ia

mengatakan bahwa kamu (laki-laki) wajib memperlakukan istri-

istrimu dengan baik, menyenangkan hati mereka (istri), sesuai

ketentuan syara‟ yang baik, tidak mempersempit nafkah terhadap

istrimu, tidak menyakiti mereka maupun hatinya dengan perkataan

yang baik maupun perbuatan. Perkataan mu‟syarah memberi

pengertian perserikatan dan persamaan.

Sudah jelas bahwa hendaklah seorang suami bergaul dengan

istrinya dengan baik. Masing-masing pihak saling berusaha

menyenangkan salah satu pihak yang lainnya dalam penghidupan

rumahtangga dengan mengesampingkan masalah-masalah kecil dan

selalu memelihara kasih sayang yang telah ada.

Jika dirimu tidak menyukai sesuatu yang terdapat pada dirinya

baik aib, perilaku yang kurang baik, maupun kekurangan yang

lainnya, yaitu tidak pandai dalam memelihara rumahtangga, atau

perasaanmu telah condong kepada yang lain, maka bersabarlah.

Jangan sakiti mereka atapun menceraikan mereka. Karena banyak

13

Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 82

75

sekali istri yang ingin diceraikan mendatang manfaat bagimu. Siapa

tahu ia yang tidak cantik tetapi menjadi ibu yang baik untuk anak-

anakmu yang cerdas, dan menjadi sahabat diwaktu suka dan dukamu.

Dengan kamu bersabar maka mereka akan memiliki kesempatan

untuk memperbaiki segala kekurangan-kekurangannya.14

Firman ini

adalah suatu undang-undang dasar jika kita mengikutinya, akan

mendatangkan manfaat yang besar kepada kita.15

Dari uraian Hasbi ash-Shiddiqy di atas dapat disimpulkan

bahwa laki-laki meperlakukan istri dengan baik dan membahagiakan

hatinya tanpa menyakitinya. Kemudian sesama pasangan harus saling

berusaha untuk saling menyenangkan dan tidak terlalu meperdulikan

hal-hal sepele agar menjadi keluarga yang penuh kasih sayang dan

harmonis. Dan bila istrimu terdapat sebuah kekurangan maka jangan

langsung membencinya bisa saja ia yang baik unuk anakmu dan

menjadi sahabat suka dan duka yang selalu menemanimu. Maka hal

demikianlah harus sabar karena bisa saja ada rahmat Allah yang

tersimpan dibalik semuanya.

Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam menafsirkan

redaksi ayat tersebut dengan artinya, “pergaulilah mereka dengan

cara yang patut”. Namun di dalam ayat tersebut kata ma‟ruf, yang

diartikan sepatutnya. Pergaulan yang baik yang diakui secara umum

oleh masyarakat, tidak menjadikan pembicaraan orang lain terhadap

buruknya. Menciptakan sikap sopan santun yang menjadikan contoh

baik sesama tetangga. Agama tidak menjelaskan bagaimana perilaku

14

Jika di ingat-ingat bahwa tidak ada satupun wanita yang terlepas dari keaibannya.

Baca selengkapnya di Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid

an-Nur, h. 786 15

Tafsir al-Qur`anul Majid an-NurJilid 1, h. 786

76

yang patut dan ma‟ruf.16

Itu terserah bagaimana sinar iman dalam

hati masing-masing dan juga bagaimana kebiasaan setiap negri di tiap

masa. Sebab yang ma‟ruf itu sudah boleh dihubungkan dengan makna

yang umum.

Hamka juga mengaitkan penafsirannya dengan ayat yang lain

yaitu doa yang dipercontohkan Allah, doa hamba-hamba Allah yang

Rahman di dalam pergaulannya dengan anak istrinya. Tersebut di

dalam

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,

anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan

Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami

imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan [25]

:74)

Hamka juga menceritakan mengenai perilaku Rasulullah

terhadap Istri beliau diantaranya Istri-istri Rasulullah, terutama

Aisyah dan ikut juga ummi Salamah menceritakan kehidupan

Rasulullah dalam pergaulan dengan istrinya. Aisyah pernah dibawa

oleh rasul untuk menonton orang Habsyi mengadakan suatu

permainan di depan masjid, sedangkan Aisyah meletakkan dagunya di

atas bahu Nabi. Ummi Salamah menceritakan, bahwa pernah beliau

berebut air wudhu dari satu timba dengan beliau. Imam Ahmad, Ibnu

Abi Syaibah, Abu Daud, an-Nasa‟i dan Ibnu Majah meriwayatkan

16

Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini berkata: “pergaulan yang ma‟ruf ialah

bahwa engkau pakai dihadapan istrimu itu pakaian yang bersih, bersisir rambut yang teratur

dan berhias secara laki-laki. Menurut riwayat Ibnu-Mundzir dari Ikrimah, tafsir-tafsir bergaul

dengan ma‟ruf ituialah persahabatan mereka yang baik, sediakan pakaiannya dengan

rezekinya yang patut.Baca selengkanya di Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 4h. 301

77

satu hadis dari Aisyah, bahwa pernah beliau menciumnya padahal

beliau terus shalat. Dan dalam satu hadis lagi ummi Salamah

mengatakan, bahwa beliau pernah menciumnya ketika berwudhu dan

dalam keadaan puasa. Namun beliau tetap berpuasa dan shalat.

Hamka mengemukankan bahwa hal ini bisa di jadikan alsan

bahwa dalam satu pihak tidaklah batal wudhu mencium istri, lalu dari

pihak lain ia hanya mengambil sebagai pelengkap tafsir ayat yang

menyuruh menggauli istri dengan ma‟ruf itu. Yang sangat

mengharukan ialah Nabi tetap memperlakukan istrinya dengan ma‟ruf

walaupun dalam keadaan sakit dan sampai ajalnya menjemputt.17

Inilah yang wajib menjadi contoh tauladan seorangmuslim

dalam berkehidupan rumahtangga. Jangan mengikuti perilaku orang

jahiliyah yang mempersempit nafkah untuk istri, menyakiti mereka

dan melukai hati mereka, cemberu tidak tahu sebabnya, pelit, wajah

cemberut setiap saat. Sehingga rumah tangga laksana neraka oleh

penghuninya sendiri.

Ayat ini telah menembeus perasaan hati manusia, terutama

hati seorang suami.Tidak satupun wanita dalam dunia yang tidak

memiliki kekurang tanpa terkecuali.Ada saja perempuan yang

membuat tidak senang hati suami.Perempuan hanyalah manusia

bukan malaikat.Bahwa telah dijelaskan istri bukan sekedar teman

hidup tetapi dia sebagai pakaian untukmu dan dirimu sebagai pakaian

untuknya seperti yang telah dijelaskan dalam Surah al-Baqarah

17

Meskipun Nabi dalam keadaan sakit ia tetapmengiliri rumah-rumah istrinya,

padahal kakinya tidak sanggup untuk digerakkan. Pada saat itu Nabi pernah terucap “ sudah

dirumah siapa aku sekarang?”. Maka maklulah istri-istrinya bahwa beliau ingin menceritakan

sakitnya dirumah Aisyah. Sehingga istri-itri melakukan kesepakatan untuk mengizinkan

Nabi dirumah Aisyah saja karena Nabi dalam keadaan sakit. Disnilah beliau

menghembuskan nafsr terakhir. Baca Selengkkapnya di Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 4, h.

302

78

187.Setiap kehidupan pasti banyak yang kita temukan yang tidak

menyenagkan, tetapi itulah kehidupan yang nyata.

Banyak orang-orang besar dan sukses dibelakangnya ada

seorang istri yang hebat yang selalu mendorong suaminya. Jika tidak

sabar melihat kekurangan istrimu, maka kita akan tinggalkan dia dan

membuangnya. Setelah demikian bertemu juga dengan yang tidak

mneyenangkan hati.Karena mencoba-coba untuk menyesuaikan diri

dengan yang baru.Sehingga umurpun menjadi lebih tua, belum juga

mendapatkan yang tidak memiliki kekurangan.

Allah menjelaskan di ujung ayat, bahwasanya dalam

kesabaranmu menghadapi kekurangan yang ada pada istrimu yang

tidak memuaskan hatimu apabila telah engkau bina rumahtangga

terimalah nasibmu itu dan tetapkanlah tujuan hidup. Kekurangan yang

terdapat pada istri semoga dalam perjalanan hidup kelak akan dapat

engkau bimbing menjadi lebih baik dan sempurna.

Ayat ini adalah pendidikan yang sangat mendalam, yang dapat

diajdikan pedoman dalam membina rumahtangga. Hamka

mengatakan bahwa laki-laki sendiri juga memiliki kekurangan sama

halnya seperti perempuan. seseorang yang belajar dari

pengalamannya dapatlah meyakinkan, bahwasanya dua raga dan jiwa

yang telah dipadukan oleh akad nikah, sama-sama dalam kekurangan.

Yang satu akan mengimbuhi. Hubungan yang sudah bertahun-tahun

akan membentuk dua jiwa menjadi satu. Suami istri yang yang sudah

bergaul berpuluh-puluh tahun akhirnya menuju ke persamaan an

perseimbangan. Jika mulanya menikah dengang suami memiliki

pemarah maka istri seorang yang sangat dingin perasaanya, akhirnya

dalam kehidupan bertahun-tahun suami semakin berubah menjadi

lebih dingin dan istri secara beragsur menjadi pemarah. Dan kata ahli

79

ilmu jiwa, sampaipun kepada “sunnah” yaitu raut muka dan

pandangan mata keduanya menjadi serupa. Dan kekurang dari

keduanya yang saling melengkapi itu akan berkesan sampai kepada

anak-anaknya. Suami istri yang bertahun-tahun hidup bersama bisa

menjadikan satu perasaan. Jika suami dalam perjalanan ke negri lain,

disuatu hari akan merasakan perasaan yang kurang baik. Ternyata

ketika pulang ke rumah istrinya sedang sakit.Dan begitu juga

sebaliknya.

Kemudian ada laki-laki yang sebentar beristri lalu bercerai

dan lalu menikah lagi. Setiap istri tidak ada yang memuaskannya,

karena ada saja kekurangannya. Jika demikiansampai tua hatinya

tidak akan pernah merasa tenang, karena hanya mengeluarkannafsu

muda saja. Padahal syahwat pada masa muda juga memiliki batas.

Dan pada masa tua, hanya mencari ketentraman diri dan hanya

terdapat pada pergaulan yang telah dibina selama bertahun-tahun

yang dihiasi dengan suami itri. Kedua belah pihak sudah mengetahui

keinginan masing-masing, sehingga jiwa sudah berpadu menjadi

satu.18

Dari uraian diatas Hamka di atas dapat disimpulkan bahwa

sangat ditegaskan bagi laki-laki agar meperlakukan istrinya dengan

baik sebagaiamana tauladan Rasul yang beliau lakukan kepada istri-

istrinya. Dan janganlah mengikuti pebuatan orang jahiliyah yang

memperlakukan istri dengan tidak baik. Kemudian bila terdapat

sebuah kekurangan pada istri maka laki-laki jangan langsung

membencinya sebab manusia ini tidak ada yang sempurna, laki-laki

juga memiliki kekurangan tidak hanya perempuan. Dalam acara akad

nikah saja pasangan sudah memiliki kekurangan akan tetapi saling

18

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 4, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 300-303

80

melengkapi dalam kekurangan tersebut dengan menyempurnakan

iman kepada Allah sehingga bisa menjadi keluarga yang sempurna.

Kemudian dari uaraian di atas dapat penulis simpulkan

persamaan dari ketiga tokoh tafsir dalam menafsirkan ayat tersebut

wajib bagi laki-laki meperlakukan istri dengan ma‟ruf dan

menafkahinya dan membuat hati bahagia. Apabila istri terdapat

sebuah kekurangan jangan langsung membencinya karena di baliknya

semua terdapat hikmah yang baik. Adapun perbedaan yang dapat

penulis ambil ialah dari bahasa dan dari teknik penafsiran yang

terdapat pada tiga tokoh mufassir. Pertama dalam penggunaan bahasa,

dalam penjelasan makna ma‟ruf mereka menggunakan bahasa yang

berbeda. Abdurra‟uf menggunakan bahasa elok, Hasbi dengan makna

yang baik, dan Hamka mengatakan bahasa yang patut. Kedua dari

teknik penafsiran mufassir Abdurra‟uf menjelaskan secara singkat

dan jelas. Hasbi menjelaskan sesuai dengan penafsirannya sendiri.

Sedangkan Hamka menjelaskan sesuai dengan penafsirannya ia juga

mengaitkan dengan ayat yang lain dengan riwayat-riwayat Nabi

mencantumkan bagaimana sikap Nabi dalam memperlakukan istri-

istrinya.

Namun dari penjelasan tafsir diatas dapat diambil beberapa hal

yang dapat membentuk mahligai rumahtangga yang harmonis

diantaranya, selalu bersikap positif terhadap aib yang terdapat pada

pasangan, bersikap setia dan sabar, tidak memperdulikan hal-hal

sepele yang mengakibatkan percekcokan dalam pernikahan,

bermuasyarah bil ma‟ruf.

81

5. QS. al-Baqarah [2]: 228

“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka

Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,

jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan

suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,

jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para

wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,

mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143].

dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Barah

[2]:228)

Menurut penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili terhadap redaksi

ayat “walahunna mitslullazii „alihinna bilma‟ruf walirrijali „alihinna

darajah” menafsirkan bagi segala istrinya itu atas segala suami dari

pada segala hak seperti yang atas segala istri bagi segala suami dengan

berbuat kebajikan. Dan bagi segala laki-laki itu suatu kelebihan. dan

Allah ta‟ala jua tuhan yang amat mulia pada pekerjaannya dan yang

mempunyai hikmah pada barang yang bagi segala makhluknya.19

Dari uraian Abdurra‟uf di atas bahwa setalah ijab kabul usai

para wanita memilki hak yang wajib atas suami, dan suami memilki

hak pula atas wanitanya baik hak yang wajib maupun yang sunnah,

dengan perbuatan yang ma‟ruf sesuai yang berlaku pada masyarakat

19

Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 37

82

tersebut. Kemudian para suami memilki derajat yang tinggi diatas

istrinya, sesuai yang telah disebutkan pada surah an-Nisa ayat 34.

Menurut penafsiran Hasbi ash-Shiddiqy dalam menafsirkan

redaksi ayat tersebut bahwa para wanita memperoleh beberapa hak

yang harus dipenuhi oleh pihak suami, sebagaimana para suami

mempunyai beberapa hak yang harus dipenuhi oleh pihak istri.

Masing-masing mereka harus menunaikan kewajibannya menurut

makruf. Dan suami mempunyai suatu hak yang melebihi istri.

Hak-hak dan kewajiban ini yang diwajibkan atas masing-

masingnya terhadap yang lain, diserahkan kepada adat istiadat mereka

dan „uruf yang berlaku diantara mereka. Firman ini tegas menolak

pendapat fuqaha yang menetapkan bahwa tidak wajib para istri

memasak nasi suaminya, karena kata mereka, yang dapat dimilki oleh

suami hanyalah manfaat persetubuhan.

Pendapat al-Imam Ibn Taimiyah dalam Tafsir an-Nur ia

mewajibkan istri mengkhidmat suaminya. Demikianlah pendapat Abu

Bakar ibn Abi Syaibah, Abu Ishaq al Jauzajani. Diriwayatkan oleh al

Jauzajani, bahwa Nabi Muhammad Saw. Menugaskan putri beliau

Fatimah mengurus urusan rumah dan menegaskan Ali bekerja

mencari nafkah.

Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan

saling membutuhkan. Oleh karena itu, tidaklah adil dan tidak

maslahat, apabila salah satu pihak suami istri sewenang-wenang

terhadap yang lain. Kebahagiaan hidup akan saling terwujud, bila

masing-masing pihak saling menghormati. Hak-hak demikianlah yang

di tegaskan oleh Nabi kepada putri beliau Fatimah yang bersuamikan

Ali ibn Abi Thalib. Nabi menyuruh Fatimah mengurus rumah tangga,

sedangkan Ali berusaha mencari nafkah.

83

Islam telah mengangkat derajat para wanita kepada suatu

derajat yang belum pernah diberikan sesuatu oleh agama yang telah

lalu. Walaupun mereka sangat memuliakan wanita dan memberi

pelajaran yang berbagai rupa, namun sebagian mereka, masih

menghalangi wanita mengelola harta kekayaan tanpa izin suaminya.

Islam telah memberikan hak-hak kepada wanita semenjak 13

abad lebih. Derajat yang diberikan lelaki atas para wanita, ialah

derajat memegang kepemimpinan dan menyelesaikan segala

kemaslahatan. Hidup suami istri merupakan hidup bermasyarakat

yang menghendaki adanya seorang kepala yang memegang tampuk

ketika terjadi perselisihan pendapat. Orang lelaki lebih berhak

memegang pimpinan, karena lebih mengetahui mana yang maslahat

dan lebih dapat mentanfizkan dengan tenaganya dan hartanya.

Lantaran itu lelakilah yang ditentukan untuk melindungi perempuan

dan memberinya nafkah.

Kemudian wanita, ditugaskan menataati suami pada yang

makruf, yakni yang tidak menghalalkan yang haram dan

mengharamkan yang halal. Apabila istri durhaka, berhaklah suami

memberi pelajaran, memberi nasehat, mengasingkan tempat tidur

dengan cara tidak merusakkan. Yang demikian itu dibolehkan bagi

kepala rumah untuk kemaslahatan keluarga.

Diantara soal-soal yang diwajibkan atas lelaki sebagai

pemimpin, adalah mengajar istri yang memungkinkan mereka

melaksanakan kewajibannya dan mengetahui hak-haknya. Disamping

itu mengajrkan akidah-akidah agama dan adab-adabnya, serta apa

yang wajib bagi mereka mengenai pendidikan anak-anak dan

pergaulan masyarakat. Allah maha keras tuntutan-Nya dan

84

mengambil pembalasan atas orang yang mendurhakai dan maha

hakim terhadap segala rupa perintah dan penetapan-Nya.20

Dari uraian Hasbi ash-Shiddiqy diatas dapat kita pahami

bahwa setalah ijab kabul selesai maka seorang wanita sudah menjadi

hak bagi suaminya, kedua pasangan ini memilki hak dan bertanggung

jawab terhadap sesama, namun tanggungan suami lebih banyak

dibandingkan istri, suami harus memberikan nafkah kepada istrinya

seperti pakaian, belanjaan, dan nafskah batin, mengjari ilmu-ilmu

akidah, sebagaimana laki-laki mencari nafkah diluar sedangkan istri

bertanggung jawab tugas dirumah mengurus anak-anak dengan baik.

Oleh karena itu, tidaklah adil dan tidak maslahat, apabila salah satu

pihak suami istri sewenag-wenang terhadap yang lain. Kebahagiaan

hidup akan saling terwujud, bila masing-masing pihak saling

menghormati. Sebagaimana yang telah dipesankan oleh Nabi kepada

putrinya Sayyidah Fatimah dan menantunya Sayyidina Ali.

Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar

terhadap redaksi ayat di atas “ dan bagi mereka (perempuan) adalah

(hak) seumpama (kewajiban) yang atas mereka juga patut.”

Merekapun mempunyai hak disamping memikul kewajiban,

sebagaimana orang laki-laki ada hak dan kewajiban. Bukanlah orang

perempuan itu hanya wajib begini, mesti begitu, misalnya mesti

khidmat kepada suami, tidak boleh membantah dan wajib selalu taat.

Tetapi dia juga mempunyai hak untuk dihargai, memilki hak terhadap

miliknya serta dirinya sendiri. Seumpa terjadi kekacauan dalam

rumah tangga, tidak boleh kepada istri saja ditimpakan kesalahan,

20

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur Jilid

1, h. 384-386

85

tetapi diselidiki apakah dalam permasalahan tersebut karena kelailain

suami terhadap kewajibannya?

Sebagaimana pengalaman Hamka waktu kecil di kampung, ia

kerapkali mendengarkan orang-orang yang mengadu permasalahan

hubungan suami istri kepada ayahnya. Hamka sangat mengingat

waktu kecil permasalahan selalu disalahkan kepada perempuan saja.

Perempuanlah yang selalu disalahkan dan selalu disuruh menaggung

resiko. Perempuan yang selalu mesti minta maaf. Sanak keluarga dari

laki-laki semuanya menyalahkan dia, dia hanya pandai menangis.

kalua dia diceraikan suaminya, meskipun yang salah suami, kalau si

suami dijemput diminta supaya surut (rujuk) dan pulang kerumah,

perempuanlah yang disuruh minta maaf. Sehingga sudah menjadi

perasaan yang umum bahwasanya sudah begitulah mestinya kalau

jadi perempuan. Dia diwajibkan khidmat pada suaminya, tetapi dia

tidak boleh menuntut suapaya suaminya menjaga perasaanya juga.

Maka di dalam ayat ini teranglah berbeda kehendak al-Qur`an

dengan kehendak manusia dalam pergaulan hidup, padahal mereka

mengaku beragama. Terutama di dalam rumahtangga. Nyata pada

pembahagiaan tugas. Kedua suami istri memilki sama-sama

kewajiban. Tetapi pekerjaan niscaya dibagi. Kalau si suami

menghadapi tanggung jawab rumah, si istripun berkewajiban menjaga

kehidupan rumah. Kalau si suami mengahdapi kewajiban terhadap

rumah, maka istripun harus menggunakan nafkah itu sebaik-baiknya,

dan bertanggung jawab dalam hal demikian.

Laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat tanggungan

dari Allah dalam hal iman dan amal shalih, ibadat dan muamalah,

persembahan kepada tuhan dan pergaulan hidup. Di zaman Nabi laki-

dan perempuan sama-sama dibai‟at. Para perempuan dibawa dalam

86

peperangan mereka hanya untuk mengobati yang terkena luka

sedangkan laki-laki mereka menghadapi peperangan. Adapun pada

hari raya Rasulullah mengadakan khutbah, dan setelah selesai

khutbah didepan laki-laki lalu Rasulullah berangkat menuju ke tempat

bahagian perempuan serta memberi khutbah pula kepada mereka.

Bahkan ketika mereka meminta diadakan pengajian tersendiri untuk

mereka Nabipun mengabulkan peremintaan mereka. Berkali-kali

disebut al-Mu‟minat disamping menyebut al-Mu‟min atau al-

Muslimat disamping al-Muslimin. Bahkan cara Rasulullah melayani

mereka , dengan cara menimbulkan harga diri bagi kaum perempuan

itu. pada waktu beliau selesai mengerjakan haji dan kembali ke

Madinah, di tengah jalan seorang perempuan mengulurkan

anaknyayang masih kecil dari dalam sukduf untanya, lalu ia bertanya

kepada beliau: “ Apakah anak ini sah juga hajinya, ya Rasulullah?”

Langsung beliau jawab: “Sah, dan kau sendiripun dapat pahala

(karena membawanya).”

Begitulah kehidupan perempuan dalam Islam yang dituliskan

dengan nyata dalam ayat ini. Maka jika laki-laki mendapatkan

pendidikan dengan baik maka perempuanpun demikian. Demikian

banyaknya urusan yang harus dihadapi bagaimanakah akan jadinya

kalau dia dibiarkan tinggal jahil tanpa pengetahuan.

Dalam tafsir al-Azhar hamka menyantumkan perkataan Ibnu

Abbas sahabat Rasulullah yang utama itu pernah berkata: “Saya

selalu berhias diri untuk istriku, sebagaimana dia telah berhias

untukku.” Di dunia zaman sekarang kaum perempuan berjuang

meminta hak yang sama dengan laki-laki. Di Eropa dan Amerika

yang disebut negri yag telah beradab dan maju, perjuangan kaum

perempuan meminta persamaan hak belumlah cukup 100 tahun

87

usianya. Masih ada di negri barat yang perempuan belum mencapai

haknya. Maka kalau dalam dunia Islam timbul pula gerakan meminta

hak, bukan karena tidak diberikan oleh agama Islam, melainkan hak

itu ditahan-tahan oleh laki-laki yang selalu ingin berkuasa. Agama

Islam tidaklah sampai memerintah kepada perempuan saja supaya

tunduk kepada suami sebagai tunduk kepada Tuhan, sebagai yang

selalu dinasehatkan oleh Paulus dalam surat-surat kirimannya tersebut

dalam “Kitab Kristes Perjanjian Baru”. Itu sebabnya maka

perempuan berhak meminta talak dan berhak membayar khulu‟, untuk

membayar cerai kepada suaminya.

Bahwa perempuan yang menjadi istri memilki hak serta

kewajiban. Diujung ayat disebut bil ma‟ruf. Yang bermakna patut,

yaitu hak-hak yang berpatutan menurut yang demikian amat luas,

meliputi yang ma‟ruf atau uruf (adat) pada suatu negri. Sehingga hak

itu tidak membeku. Dan menurut perubahan zaman juga, misalnya

menurut yang ma‟ruf 100 tahun yang lalu dinegri kita ini asalkan

sudah memberi nafkah serta dibelikan pakaian sudahlah ma‟ruf tetapi

di zaman sekarang perempuan menghendaki pendidikan yang tinggi,

kursus, serta mengingkan kegiatan dalam kalangan sesama

perempuan, asal tidak melanggar dasar agama. Itupun disebut ma‟ruf

atau patut.

Dan ma‟ruf atau kepatutan itu harus dipandang dari kedua

belah pihak. Misalnya hak perempuan harus dicukupkan alat

dapurnya, kalau boleh memasak dengan gas tau dengan listrik, karena

sudah begitu yang lazim sekarang. Memang patut kalau si suami

mampu menyediakan. Tetapi tidak patut atau tidak ma‟ruf kalau si

suami miskin, lalu disuruh menyediakan barang yang tidak dapat

88

dipikulnya. Dalam ayat-ayat yang lain kelak akan sampai juga

peraturan membicarakan dari hal kesanggupan itu.

“Dan laki-laki mempunyai derajat atas mereka .” itu adalah

suatu hal yang wajar di dalam rumahtangga yang hendak teguh

berdiri. Meskipun keduanya, laki dan istri sama berhak dan sama

berkewajiban, namun di dalam rumahtangga , sebagai dasar pertama

dalam masyarakat yang besar yang kepalanya hanya satu, yaitu

suami. Sama juga dengan kapal besar tengah berlayar. Juru bantu atau

masinis bertanggung jawab terakhir adalah kepada satu orang juga,

yaitu nahkoda kapal. Satu kapal dengan dua nahkoda tidak mungkin.

Dan dengan pemikiran yang sehat harus mengakui bahwa yang

bertanggung jawab dalam rumahtangga ialah suami. Karena dia yang

lebih mengetahui rahasia kekuatan dan kelemahan, bahaya dari luar

dan rintangan yang akan diatasi. Suami yang cerdik akan

bermuasyarah dalam hal penting-penting di dalam rumahtangga.

Tentang perbelanjaan, penambahan dan pengurangan anggaran, akan

menerima menantu dan sebagainya, namun keputusan terakhir tetap

pada suami. Di situlah laki-laki memilki derajat lebih tinggi. Berfikir

diluar ini adalah fikiran yang tidak teratur. “Dan Allah adalah Maha

Gagah lagi Bijaksana”.

Allah Gagah dalam menghukum seorang suami yang memakai

haknya yang berlebihan dan sewenang-wenag. Allah akan

menghukum orang yang memandang teman hidupnya itu, perempuan,

yang telah diserahkan Allah padanya sebagai amanat adalah hanya

untuk melepaskan nafsunya saja, bila senag kawin, tidak senang

dilempar. Dan Allah Maha Gagah pula untuk menghukum perempuan

yang menuntut lebih dari pada hak dan kewajibannya. Yang lupa

bahwasanya betapapun juga, namun tenaga perempuan tidaklah sama

89

dengan tenaga laki-laki di dalam menempuh gelombang hidup. Dan

Allah Maha Bijaksana untuk menurunkan kebahagian kepada

rumahtangga yang masing-masing anggotanya menjungjung tinggi

kewajiban dan memakai hak masing-masing dengan sebaiknya.21

Dari uraian Hamka di atas dapat dipahami bahwa suami istri

memiliki hak masing-masing dalam bertanggung jawab. Suami

memilki hak terhadap istrinya begitu pula istri memilki hak terhadap

suami. Hak yang dilakukan suami terhadap istri sesuai yang berlaku

dimasyarakat tersebut. Suami istri memilki sama-sama kewajiban.

Tetapi pekerjaan tersebut dibagi. Kalau si suami menghadapi

tanggung jawab rumah, si istripun berkewajiban menjaga kehidupan

rumah. Kalau si suami mengahdapi kewajiban terhadap rumah, maka

istripun harus menggunakan nafkah itu sebaik-baiknya, dan

bertanggung jawab dalam hal demikian. Kemudian disinggung

kembali bahwa laki-laki memilki derajat diatas perempuan dalam

rumahtangga. Lelakilah yang akan memimpin sebuah keluarga karena

laki-laki yang lebih mengetahui maslahat yang berbahaya.

Persamaan dari tiga mufassir dalam menafsirkan redaksi ayat

tersebut ialah suami istri sama-sama memilki hak, namun hak istri

berbeda dengan hak yang dilakukan suami. Dan laki-lakilah yang

memimpin mahligai rumahtangga. Namun perbedaan yang penulis

simpulkan dari penafsiran yang digunakan oleh mufassir sendiri

seperti Abdurra‟uf ia hanya menafsirkan dengan bahasa yang singkat,

terkadang bahasa tersebut jika tidak benar dipahami maka maksudnya

akan berbeda. Sedangkan Hasbi dan Hamka sama-sama menggunakan

bahasa panjang lebar, namun perbedaan dengan Hamka, beliau

mengaitkan penafsirannya dengan kehidupan dimasyarakat sekitar.

21

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ 1, h. 209-211

90

Dari penjelasan mufassir di atas dapat penulis simpulkan

bahwa untuk membangun pernikahan harmonis suami istri harus

melakukan hak dan kewajiban terhadap sesama pasangan. Seperti

suami memilki hak terhadap istri dengan cara yang ma‟ruf , dan istri

memilki hak terhadap suami dalam menghormatinya, dan lelakilah

yang memimpin dalam rumahtangga.

6. QS. An-Nur [24]:26

“wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan

laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),

dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik

dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik

(pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang

dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka

ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An-Nur [24]:26)

Menurut penafsiran Abdurra‟uf as-Singkili dalam tafsir

Tarjumanul Mustafid terhadap redaksi ayat “Waththayyibati

liththayyibiina waththayyibuuna liththayibaati” bahwa segala

perempuan yang baik itu perbuatan bagi segala laki-laki yang baik

dan segala laki-laki yang baik perbuatan dengan perempuan yang baik

juga.22

Dari uraian Abdurra‟uf as-Singkili di atas dapat disimpulkan

bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang baik

22

Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 82

91

untuk perempuan yang baik, karena segala kebaikan akan dibalas

dengan kebaikan pula. Pasangan yang ideal ialah dengan sama-sama

yang baik.

Menurut penafsiran Hasbi ash-shiddiqy mengenai redaksi ayat

tersebut bahwa wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki yang

baik, karena kita telah mengetahui bahwa orang yang dapat hidup

rukun damai adalah orang yang seimbang keadaannya. Dan semua

lelaki yang baik untuk wanita-wanita yang baik. Laki-laki yang baik

biasanya tidak cenderung kepada wanita yang tidak baik.23

Dari uraian Hasbi ash-shiddiqy di atas ialah wanita yang baik

untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik,

kerena kehidupan yang seimbang memilki sama-sama yang baik.

Lelaki yang baik biasanya tidak menyukai wanita yang tidak baik.

Kemudian menurut penafsiran Hamka dalam Tafsir al-Azhar

terhadapa redaksi ayat diatas menjelaskan tentang perkara yang baik

adalah hasil dari orang-orang yang baik pula, dan memanglah orang

baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidaklah

mengahsilkan yang baik, dan orang baik tidak akan mengahasilkan

yang kotor. Orang yang baik karena imannya, selalu berjuang supaya

dia menghasilkan yang baik, untuk di berikan dalam masyarakat.

Adapun yang berjuang untuk kebaikan namun diganggu oleh

orang yang berjiwa kotor, supaya orang baik tersebut menjadi kotor,

dengan cara dicaci maki dan diludahi, di hamun makinya, sehingga

timbullah peperangan dalam hatinya, dilawan atau hanya diam.

Demikianlah saat ujian jiwa bagi yang masih berniat menegakkan

kesucian dan kebaikan dalam dunia ini. Memang susah dalam

23

Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid an-Nur Jilid

4, h. 2716

92

menegakkan kebaikan terkadang butuh pengorbanan sepenuh tenaga,

keringat, air mata dan darah. Disaat ia silap sedikit saja, kalau dia

terjebak oleh orang yang kotor lalu ia menjadi rendah seperti orang

kotor tersebut. Dan tidaklah berarti kebaikan yang ia tempuh

bertahun-tahun dengan susah payah ia terjatuh dalam jerat tersebut.

Jika seorang yang baik sudah banyak menulis tentang kebaikan dan

menjadi pedoman hidup orang lain, namun diganggu oleh orang jahat,

dan ia lupa tujuan hidupnya maka rusaklah semuanya.24

Dari uraian Hamka diatas dapat disimpulkan bahwa beliau

dalam menafsirkan redaksi ayat tersebut beliau menafsirkan tentang

orang-orang yang melakukan perkara yang baik, karena orang baiklah

yang dapat mengahasilkan yang baik pula. Orang baik tidak

mengasilkan yang kotor. Orang baik karenan imannya selalu

berusaha untuk mendapatkan hasil yang baik untuk diaplikasikan

dalam masyarakat. Terkadang orang baikpun dapat ujian dari Allah,

bagaimana ia dalam mengahadapi ujian tersebut, bilamana ia tidak

berhasil dalam mengahdapi ujian dengan baik, maka dia mengikuti

orang yang kotor maka rugilah perkara-perkara yang baik yang

selama ini dilakukannya. Dalam penafsiran beliau memanglah

menjelaskan tentang orang-orang yang melakukan perkara yang baik

dan menghasilkan yang baik pula, begitu juga bila dikaitkan dengan

laki-laki yang baik mendapatkan wanita yang baik, dan wanita yang

baik mendapatkan lelaki yang baik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan ketiga

mufassir dalam menafsirkan ayat ini, seperti Abdurra‟uf dan Hasbi

sama-sama menafsirkan tentang wanita yang baik untuk lelaki yang

baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. namun perbedaan

24

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XV III, h. 168

93

yang dapat penulis ambil ialah Hamka menjelaskan tentang perbuatan

orang yang baik akan mengahasilkan yang baik pula, perbuatan yang

baik tidak menghasilkan yang kotor. Dalam penafsiran Hamka

memilki keterkaiatan terhadap penafsiran Abdurra‟uf dan Hasbi.

Kemudian dilihat dari teknik penfsiran Abdurra‟uf hanya

menggunakan bahasa yang singkat, dan Habi menafsirkan sesuai

dengan tafsirnya, kemudian Hamka menafsirkan secara panjang lebar.

Kemudian dari penjelasan tiga tokoh mufassir dapat kita ambil

untuk membangun sebuah tatanan pernikahan harmonis kita harus

selalu memperbaiki diri menjadi lebih baik, sehingga Allah akan

memberi yang baik. Karena hasil yang baik berupa dari perbuatan

yang baik.

7. QS. Al-Baqarah [2]:237

“jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu

bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu

sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari

mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-

isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang

memegang ikatan nikah[151], dan pema'afan kamu itu lebih

dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan

keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah

[2]:237)

94

Penafsiran Abdurra‟uf as-singkili dalam tafsir Tarjumanul

Mustafid terhadap redaksi ayat “walatansawul fadhla bainakum”

tersebut yaitu “dan jangan kamu lupa dari pada dianugrahi setengah

kamu atas setengah kamu.25

Dari penafsiran Abdurra‟uf dapat

diambil kesimpulan bahwa jangan pernah melupakan kebaikan

diantara kamu, apalagi dalam hubungan suami istri harus sama-sama

mengingat segala kebaikan pasangannya. Agar menjadikan keluarga

yang harmonis. Kebaikan adalah anugrah dari yang Maha Kuasa.

Menurut penafsiran Hasbi as-shiddiqy terhadap redaksi ayat “

Dan jamganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu”.

Sebaiknya bagi orang yang yang memiliki istri dengan seorang wanita

yang berasal dari suatu keluarga, kemudian ia mentalaknya, agar

jangan ia melupakan perhubungan yang telah tumbuh antaranya

dengan keluarga itu.26

Dari uraian Hasbi ash-shiddiqy di atas dapat disimpulkan

bahwa jangan melupakan segala kebaikan diantara kamu walaupun

terjadinya perceraian, dan jangan pernah melupakan segala tali

persaudaraan yang telah tumbuh lama dengan keluarga tersebut.

Kemudian penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar terhadap

redaksi ayat tersebut “Dan janganlah kamu lupakan kebaktian di

antara kamu”, Maaf-memaafkan, beri-memberi, sama-sama

meninggalkan kesan yang baik, walaupun terjadi perceraian, untuk

melanjutkan lagi kewajiban-kewajiban lain dalam pergaulan hidup.

Karena akan ada juga hubungan-hubungan yang lain dalam waktu

yang lain.27

25

Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 39 26

Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddiqy, Tafsir al-Qur`anul Majid an-Nur Jilid

1, h. 410 27

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 2, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 261-262

95

Dari uraian Hamka di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

jangan sesekali seorang suami melupakan kebaikan istrinya, begitu

juga sebaliknya walaupun terjadi perceraian, harus saling ridha satu

sama lain. Dan jangan memutuskan pertalian persaudaraan yang

sudah dibangun bertahun-tahun. Sebab, mungkin saja akan ada

hubungan-hubungan lain yang tidak kita ketahui kedepannya nanti.

Dari uraian di atas penfasiran tiga mufassir dapat disimpulkan

bahwa persamaan dilihat dari penafsiran mereka sama-sama

menafsirkan jangan sesekali melupakan kebaikan seseorang, terlebih

sekali dalam hubungan suami istri. Namun perbedaan yang dapat

penulis ambil ialah dari teknik mufassir dalam menafsirkan ayat

seperti Abdurra‟uf hanya menafsirkan secara singkat dan jelas, Hasbi

dan Hamka menjelaskan secara lebih panjang lebar penjelasan Hasbi

tidak jauh beda dengan Hamka.

Kemudian dari penjelasan di ketiga mufassir ini bisa kita

ambil untuk membangun sebuah mahligai rumahtangga yang bahagia

dengan cara suami istri saling mengingat kebaikan, sehingga tertutupi

segala keburukan yang terajdi.

8. QS. Al-Furqan [25]: 74

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,

anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan

Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami

imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan

[25]:74).

96

Menurut penafsiran Abdurr‟uf as-Singkili dalam kitab

Tarjuman al Mutafid terhadap ayat tersebut yaitu, tentang berdoa

kepada Allah, wahai tuhan kami anugrahilah kepada kami istri dan

anak cucu kami yang mensejahterakan segala mata kami seperti

halnya melakukan keta‟atan kepadamu dan selalu dijadikan rasa takut

seperti orang-orang yang takut kepada-Mu.28

Dari uraian Abdurra‟uf diatas dapat disimpulkan bahwa ini

adalah doa meminta kepada Allah agar menjadi imam yang baik yang

selalu taat kepada Allah dari disini sudah terdapat pengajaran yang

baik bagi yang belum berpasangan maupun yang sudah tetap

menyerahkan diri kepada Allah meminta pasangan hidup dan

keturunan sebegai penyejuk mata agar berbahagia dalam keluarga.

Dan menurut penafsiran Hasbi as-shiddiqy dalam menafsirkan

ayat tersebut, bahwa hamba-hamba Allah yang benar-benar beriman

kepada Allah ia memohon kepada Allah supaya diberikan kepadanya

anak-anak yang taat kepada Allah, dan memohon supaya menjadikan

istri-istrinya orang-orang yang taat, sebagaimana mereka memohon

juga kepada Allah supaya dijadikan untuk mengikuti ummat yang taat

beramal baik dalam beriman maupun dalam beramal kebaikan. Dalam

tafsir an-Nur as-Suyuthi berkata dalam al-Iklil: “firman Allah ini

memebenarkan kita berusaha memeperoleh kedudukan untuk

mengendalikan sesuatu urusan kebajikan”.

dalam tafsir an-Nur,Hasbi ash-Shiddiqy mencantumkan

beberapa pendapat, seperti penerangan al-Kirami bahwa al-Qaffal dan

lain Mufassirin berkata: “Ayat ini menjadikan kita berusaha

memperoleh kedudukan kepemimpin dalam urusan agama. Dan

28

Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, Tarjuman al-Mustafid, h. 367

97

hukumnya adalah wajib.” Pendapat ini juga diterangkan oleh az-

Zamakhsyari.29

Dari uarain Hasbi di atas dapat disimpulkan bahwa doa ini

permohonan kepada Allah agar mendapatkan istri dan anak yang

melaksanakan perintah Allah dan mengamalkannya.

Adapun pendapat Hamka mengenai ayat tersebut, sebelum ia

menafsirkan ayat tersebut ia menjelaskan seorang hamba yang

Rahman yang berperilaku sangat baik dan hidupnya menjungjung

tinggi kalimat Ilahi. Cahaya kebenaran bukan saja memasuki hatinya.

Ia belum merasa cukup kalau ahli rumahnya, anak-anaknya, dan

istrinya belum merasai kehidupan yang telah dijelaskan dalam ayat

sebelumnya tentang amal-amal kebaikan. Maka tersebutlah pada ayat

74. Bahwa Ibadur Rahman itu senantiasa bermohon kepada Allah

agar istri-itri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati

permainan mata, obat yang selalu menjadi ketenangan hati dan jiwa,

dan obat segala keresahan, dan kekecewaan hati dalam hidup.

Betapapun seorang ayah yang hidup dengan keimanan kepada Allah

belum merasa tenang untuk menutup mata jika anaknya tidak

menuruti apa yang diajarkannya.

Begitu pula juga seorang suami yang selu melakukan

kebajikan dan bila istri tidak memiliki sambutan dengan baik, hati

suami akan terluka juga. Keseimbangan yang dibutuhkan dalam hidup

berumahtangga dan memiliki satu tujuan. Hidup orang muslim secara

berjama‟ah bukan hidup sendiri-sendiri sebagaimana dalam hadis

Rasul saw.

29

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur, h.

2822

98

ث نا ث نا عبد هللا بن يزيد، حد د بن عبد هللا بن ني المدان، حد ثن مم حدوة، أخب رن شرحبيل بن ، يدث حي ع أب عبد الرحن البلي شريك، أنه س

ن يا »عن عبد هللا بن عمرو، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، قال: الدالة ن يا المرأة الص ر متاع الد «متاع، وخي

Muhamaad bin Abdullah bi Numair al Hamdani

menyampaikan kepadaku dari Abdullah bin Yazid, dari

Haiwah, dari Syurahbil bin Syarik yang megabarkan bahwa

dia mendengar dari Abu Abdurrahman al-Hubuli, dari

Abdullah bin „Amr. Bahwa RAsulullah saw bersabda, “Dunia

itu adalah kenikmatan. Sebaik-baik kenikmatan dunia adalah

istri yang shalehah.” (HR. Muslim)30

Sebanyak apapun harta yang yang dimiliki oleh suami, dengan

kendaraan yang mewah dan kekayaan yang melimpah semuanya tidak

ada artinya jika seorang istri tidak setia kepada suaminya.Jika dalam

rumahtangga suami ke hilir dan istri ke hulu maka hancurlah

rumahtangga yang demikian.

Apa lagi anak, semua orang memiliki keturuanan, bahwa yang

membuat seorang ayah dan ibu bahagia ketika melihat anak-anak

berbakti kepada kedua orangtunya dan sukses dalam kehidupannya.

Maka anak tersebutlah yang menjadi obat baginya.Jika anak-anak

beriman, memiliki ilmu dan mereka bisa menempuh kehidupan dalam

segala kesulitan, dan setelah mereka dewasa mereka bisa mendirikan

keluarganya sendiri da sampai menyambung keturunan. Inilah yang

menyebabkan bahagia bagi seorang ayah jika ajalnya sudah tiba maka

ia mereasa ketengan dengan kehidupan demikian.

Sebagai penutup dalam doa ini, dia memohon lagi kepada

Allah agar dia dijadikan Imam dari pada orang-orang yang bertakwa.

30

Muslim Bin al-Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadis

3, Shahih Muslim 1,(Jakarta: Almahira, 2012), Cet. 1, h. 708

99

Setelah berdoa kepada Allah agar istri dan anak menjadi buah hati

yang penyejuk mata karena takwa kepad Allah, maka ayah atau suami

sebagai penaggung jawab menuntun istri dan anak menempuh jalan

itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menajdi Imam, berjalan di

muka bumi dan sekalian menuntun mereka kejalan Allah. Doa

seorang mu‟min dalam rumah tangga tidak boleh setenga-setengah.

Dalam rumahtangga hendaklah menjadi imam bagi istri dan anaknya.

Tidak hanya menyuruh saja kepada istri dan anak tetapi juga menjadi

contoh bagi mereka.

Itulah Ibadur Rahman orang yang telah mengabdi jiwa

raganya kepada Allah dan bangga dengan penghambaan dirinya

kepada Allah.31

ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi juga

istri dan anak-anaknya juga di ajarkan dan dijadikan contoh sebagai

muslim yang baik bagi mereka.32

Dari uraian Hamka diatas dapat penulis simpulkan bahwa ia

menceritakan tentang Ibadur Rahman ia belum merasa cukup jika ahli

rumahnya anak dan istrinya belum merasakan kehidupan yang ia

lakukan. Oleh sebab itu tersebut pada ayat ini tentang berdoa kepada

Allah untuk meminta kepada Allah agar diberikan istri dan anak yang

taat dan penyejuk hati serta menjadi pemimpin yang menjadi panutan

dalam keluarga dan bagi oaring-orang lain maka dari dari itu

31

Ia selalu melakukan amal ibadah kepada Allah pada malam hari. Ditengah

malam ia memohon kepada Allah, terdengar azan subuh dia pun segera menunaikan shalat

jika bisa berjam‟ah ia berjama‟ah. Di masyarakat ia seoarang yang memiliki derajat yang

tinggi dan ia memiliki sifat yang baik dan sopan. Setelah melakukan ibadah ia selalu mencari

rezeki. Dan bila ia memiliki rezeki ia pun menafkahkan rezekinya dengan baik tidak kikir

dan bakhil. Dirinya yang penuh dengan ketuguhan tauhid kepada Allah selalu takut dan

bertawwakl kepada-Nya. Dirinya yang terhindar dari perbuatan maksiat tidak berniat

mencelakai sesama, terjaga dari perbuatan zina, dan ia suka mendengar kebenaran. Baca

Selengkapnya di Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 50 32

Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu‟ XIX, h. 49-50

100

sebabnya jika semuanya meras taat kepada Allah menjadikan

penyejuk mata terciptalah sebuah keluarga yang bahagia.

Dari uraian di atas tiga tokoh mufassir memiliki persamaan

dalam menafsirkan ayat ini adalah doa yang dipanjatkan oleh hamba

yang taat kepada Allah untuk meminta istri dan keturunan yang

menyenangkan mata. Dan sebagai imam yang baik taat kepada Allah

yang menjadikan panutan bagi keluarga dan orang lain. Adapun

perbedaan yang dapat penulis simpulkan dilihat dari teknik penafsiran

bahwa Abdurra‟uf ia hanya menjelaskan secara singkat dan jelas.

Sedangkan Hasbi mengaitkan penafsirannya dengan pendapat

penafsir lainnya ialah seperti as-Suyuthi, dan al-Kirami dan al-Qaffal

az-Zamakhsyari. Kemudian Hamka sendiri menceritakan tentang

keshalihannya seorang hamba yang rahman dalam penafsirannya

dalam menafsirkan ayat tersebut.

Dalam penjelasan mufassir diatas dapat penulis simpulkan

bahwa seoarang suami harus menjadi imam yang menjadi panutan

bagi istri dan anaknya. Dan bagi yang belum dan sesudah memilki

pasangan tetaplah memperbanyak membaca firman-Nya tersebut agar

mendapatkan pasangan dan keturunan yamg menyenangkan hati serta

taat kepada Allah agar menjadikan sebuah keluarga yang harmonis.

B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat-ayat pernikahan harmonis para mufassir

disini memliki persamaan dan perbedaan baik dari segi konteks

bahasayang digunakan, ataupun teknik penafsiranyang digunakan mufasir

dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.

1. Dilihat dari tiga tokoh mufassir dalam menafsirkan suarah an-Nisaa

ayat 34, mereka sama-sama mengatakan bahwa laki-laki adalah

101

sebagai pemimpin, melindungi, mengurus, mengendalikan hak dalam

mahligai rumahtangga.Maksud pemimpin disini ialah pemimpin

yang tangguh dan bijaksana dalam memimpin keluarga terhadap istri

dan anaknya. Kemudian seoarang suami tidak hanya memimpin

akantetapi melindungi istri dan anaknya dan juga menuntun kepada

jalan kebaikan, menafkahi keluarganya. Dan seorang istri yang

memelihara harta suami serta menjaga aib yang terdapat pada suami.

Namun perbedaan yang dapat penulis simpulkan bahwa ada dua,

dalam segi bahasa dan teknik penafsiran mufassir. Adapun dari

Abdurra‟uf sendiri menggunakan bahasa “laki-laki dikeraskan atas

semua perempuan” sedangkan Hasbi dan Hamka menggunakan

bahasa yang sama yaitu sebagai pemimpin tetapi memiliki tujuan

yang sama untuk menjadikan kepala keluarga dalam sebuah

rumahttangga yaitu adalah seorang laki-laki. Kedua, dari segi

penafsiran Abdurra‟uf menjelaskan sesuai penafsirannya sendiriia

tanpa menggunakan bahasa panjang lebar hanya secara singkat dan

jelas. Dan Hasbi mengaitkan penafsirannya dengan perintah laki-laki

untuk berperang karena laki-laki berfungsi melindungi. Sedangkan

Hamka mengaitkan penafsirannya dengan yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari. Dari penjelasan tafsir terhadap surah an-Nisa

ayat 34 dapat penulis simpulkan untuk membangun tatanan

pernikahan harmonis ialah Pertama, kepemimpinan dalam keluarga.

Kedua, istri memilki tugas selain dari pada suami yaitu untuk

memelihara harta suami dan juga menjaga aib yang terdapat pada

suami. Sehingga dengan melaksankan tugasnya masing-maka jauh

dari perasaan untuk saling mengusai dalam rumahtangga.

2. Persamaan dari Abdurra‟uf, Hasbi, dan Hamka mereka dalam

menafsirkan ayat ini memilki maksud yang sama yaitu pergaulan

102

suami istri secara biologis. Namun perbedaan yang dapat penulis

simpulkan disini pertama dari kontek penafsiran mufassir.

Abdurra‟uf dalam menafsirkan redaksi “hunnalibasullakum wa

antum libasullahunna” bahwa mereka adalah pakaian bagi kamu dan

kamu adalah pakaian bagi mereka. Beliau tidak menjelasakan makna

dari pakaian tersebut, makna pakaian secara umum ialah penutup

tubuh serta pelindung bagi yang memakaianya. Sedangkan Hasbi dan

Hamka memiliki keterkaitan dalam menjelaskan makna redaksi ayat

tersebut ialah pergaulan suami istri secara biologis. Namun

perbedaan yang dapat penulis disimpulkan dari teknik penafsiran

yang digunakan oleh mufassir sendiri seperti Abdurra‟uf hanya

menafsirkansecaraijmali. Sehingga bagi masyarakat yang awam tidak

akan memahami maksud dari pakaian tersebut. Hasbi dan Hamka

menafsirkan ayat sebagai majazi dari pakian itu bermakna pergaulan

suami istri secara biologis. Adapaun pendapatnya M. Quraish

Shihab33

maksud dari redaksi ayat tersebut, mereka (istri-istri) adalah

pakaian untuk kamu (para suami), dan kamu (para suami), adalah

pakaian para istrimu.Perisai yang dipakai dalam peperangan memberi

rasa aman.Pakaian tebal memberi kehangatan, sebaliknya kepanasan,

dengan pakaian yang lembut dan halus sehingga kepanasan tersebut

terkurangi. Jika demikian halnya pakaian, masing-masing pasangan

dinamai al-Qur`an sebagai “pakaian”, maka tidak diragukan lagi

bahwa salah satu fungsi keluarga ialah saling melindungi.Kemudian

dari penjelasan mufassir di atas dapat penulis simpulkan bahwa

untuk membangun sebuah tatanan pernikahan harmonis harus saling

melindungi baik dalam keadaan apapun. Seperti pakaian yang selalu

33

M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur`an, (ciputat: Lentara Hati, 2007), Cet. 6, h.

169

103

manusia butuhkan, begitu pula hubungan antara suami istri dalam

mahligai rumahtangga.

3. Dari penjelasan tiga tokoh mufassir terhadap surah ar-Rum ayat 30 di

atas dapat disimpulkan mereka memilki persamaan dalam

menafsirkan ayat ini bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-

pasangan dari jenismu sendiri agar dirimu lebih merasa tenang dan

tentram bersamanya. Sedangkan perbedaan terdapat pada kontek

penafsiran yang dilakukan oleh mufassir. Abdurra‟uf hanya

menafsirkan ayat tersebut tanpa menggunakan bahasa panjang lebar

tidak jauh berbeda dengan Hasbi, akan tetapi ia menafsirkan ayat ini

sesuai dengan penafsirannya sendiri. Sedangkan Hamka ketika

menafsirkan ayat tersebut ia menjelaskan tentang makna “agar

tentramlah kamu kepadanya”, makana dari mawaddatan, serta

makna rahmatan, ia mengaitkan penafsirannya dengan ayat-ayat

yang lain seperti suarah as-Sajdah ayat 7 dan 8. Kemudian dari

penjelaan tafsir di atas dapat penulis simpulkan untuk membangun

sebuah tatanan pernikahan harmonis yaitu saling menumbuhkan rasa

kasih sayang sesama pasangan, bersikap setia sesama pasangan

karena menikah tidak hanya tujuan untuk mawaddatan saja, akan

tetapi sampai mendapatkan rahmatan.

4. Kemudian dari uaraian di atas dapat penulis simpulkan persamaan

dari ketiga tokoh mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut wajib

bagi laki-laki meperlakukan istri dengan ma‟ruf dan menafkahinya

dan membuat hati bahagia. Apabila istri terdapat sebuah kekurangan

jangan langsung membencinya karena di balik semua terdapat

hikmah yang baik.Adapun perbedaan yang dapat penulis ambil ialah

dari dua teknik yaitu penggunaan bahasa yang digunakan oleh

mufassir dan teknik penafsiran yang digunakan oleh mufassir sendiri.

104

Pertama dilihat dari bahasa yang digunakan mufassir dalam

memaknai kata ma‟ruf . Abdurra‟uf menggunakan kata elok, dalam

kamus melayu elok34

ialah tidak jahat kelakuan, budi pekerti.

Maksud Abdurra‟uf disini mengunakan kata elok bahwa seoarang

suami harus berbaik budi dalam bertutur kata, menafkahi dan

bermalam dengan istrinya tidak hanya bagus saja. Pada abad ke-17

ulama tafsir ini menggunakan bahasa elok. Kemudian ulama pada

abad ke-19 penulis menemukan bahasa yang digunakan oleh Hamka

“dengan cara yang patut” dalam kamus melayu makna patut35

ialah

baik lagi elok tentang perangai, kelakuan, senonoh, wajar, pantas.

Maksud penafsiran Hamka menggunakan kata patut ialah

meperlakukan istri dengan cara yang wajar. Sedangkan Hasbi

menggunakan bahasa baik sesuai dengan ketentuan syara‟ dalam

masyarakat. Walaupun berbeda bahasa yang digunakan oleh muafssir

yang berasal dari Nusantara mereka memilki tujuan dan makna yang

sama. Kedua perbedaan teknik penafsiran Abdurra‟uf menafsirkan

tanpa menggunakan bahasa panjang lebar secara singkat dan jelas.

Hasbi ia menafsirkan ayat ini menjelaskan sesuai dengan penafsiran

beliau sendiri. Sedangkan Hamka ia mengaitkan dengan ayat yang

lain penafsirannya dengan riwayat-riwayat Nabi mencantumkan

bagaimana sikap Nabi dalam memperlakukan istri-istrinya. Namun

dari penjelasan tafsir diatas dapat diambil beberapa hal yang dapat

membentuk mahligai rumahtangga yang harmonis diantaranya.

Pertama, selalu bersikap positif terhadap aib yang terdapat pada

pasangan. Kedua bersikap setia dan sabar. Ketiga, tidak

34

Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara,

(Brunei Darussalam: Pustaka Dewan Bahasa, 2003), Cet. 1, h. 674 35

Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, h.

674

105

memperdulikan hal-hal sepele yang mengakibatkan percekcokan

dalam pernikahan. Ketiga, bermuasyarah bil ma‟ruf.

5. Kemudian dari penjelasan mufassir terhadap surah al-Baqarah ayat

228 bahwa persamaan yang dapat disimpulkan dari tiga tokoh

mufassir mufassir dalam menafsirkan redaksi ayat tersebut ialah

suami istri sama-sama memilki hak, namun hak istri berbeda dengan

hak yang dilakukan suami. Dan laki-lakilah yang memimpin

mahligai rumahtangga. Namun perbedaan yang penulis dapat

simpulkan dari teknik penafsiran yang digunakan oleh mufassir

sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an, seperti Abdurra‟uf ia

hanya menafsirkan dengan bahasa yang singkat. Sedangkan Hasbi

dan Hamka sama-sama menggunakan bahasa panjang lebar, namun

perbedaan dengan Hamka, beliau mengaitkan penafsirannya dengan

kehidupan dimasyarakat sekitar. Kemudian Dari penjelasan tiga

tokoh mufassir dapat penulis ambil untuk membangun tatanan

pernikahan harmonis suami istri harus melakukan hak dan kewajiban

terhadap sesama pasangan. Seperti suami melaksanakan

kewajibannya terhadap istri dengan cara yang ma‟ruf , dan istri

memilki hak terhadap suami serta menghormatinya, dan lelakilah

yang memimpin dalam rumahtangga.

6. Penjelasan mufassir terhadap surah an-Nur ayat 26 memilki

persamaan dalam menafsirkan ayat ini, seperti Abdurra‟uf dan Hasbi

sama-sama menafsirkan tentang wanita yang baik untuk lelaki yang

baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Namun perbedaan

trdapat dua bagian, pertama dalam Penafsiran Hamka dalam

menafsirkan ayat tersebut bahwa tentang perbuatan orang yang baik

akan mengahasilkan yang baik pula, perbuatan yang baik tidak

menghasilkan yang kotor. Dalam penafsiran Hamka memilki

106

keterkaiatan terhadap penafsiran Abdurra‟uf dan Hasbi. Kedua,

dilihat dari teknik penafsiran mufassir Abdurra‟uf hanya

menggunakan bahasa yang singkat, dan Habi menafsirkan sesuai

dengan tafsirnya, kemudian Hamka menafsirkan secara panjang

lebar. Kemudian untuk membangun sebuah tatanan pernikahan

harmonis kita harus selalu memperbaiki diri menjadi lebih baik,

sehingga Allah akan memberi yang baik. Karena hasil yang baik

berupa dari perbuatan yang baik.

7. Penjelasan tiga tokoh mufassir terhadap surah al-Baqarah ayat 237.

Persamaan dilihat dari penafsiran mereka sama-sama menafsirkan

jangan sesekali melupakan kebaikan seseorang, terlebih sekali dalam

hubungan suami istri. Namun perbedaan yang dapat penulis ambil

ialah dari teknik mufassir dalam menafsirkan ayat seperti Abdurra‟uf

hanya menafsirkan secara singkat dan jelas, Hasbi dan Hamka

menjelaskan secara lebih panjang lebar penjelasan Hasbi tidak jauh

beda dengan Hamka. Kemudian dari penjelasan ketiga mufassir ini

bisa kita ambil untuk membangun sebuah mahligai rumahtangga

yang bahagia dengan cara suami istri saling mengingat kebaikan,

sehingga tertutupi segala keburukan yang terajdi.

8. Kemudian dari penjelasan mufassir terhadap surah al-Furqan ayat 74

bahwa persamaan yang dapat disimpulkan dari Abdurra‟uf, Hasbi,

dan Hamka sama menafsirkan ini adalah doa yang dipanjatkan oleh

hamba yang taat kepada Allah untuk meminta istri dan keturunan

yang menyenangkan mata, jika dilihat oleh mata mendapat

kesenagan demikialah akan mendapatkan kesenangan dalam hati.

Dan sebagai imam yang baik taat kepada Allah yang menjadikan

panutan bagi keluarga dan orang lain. Adapun perbedaan yang dapat

penulis simpulkan dilihat dari teknik penfasiran bahwa Abdurra‟uf ia

107

hanya menjelaskan secara ijmali.36

Hasbi mengaitkan penafsirannya

dengan pendapat penafsir lain seperti as-Suyuthi, dan al-Kirimani

dan al-Qaffal az-Zumakhsyari dan beliau juga menafsirkan secara

ijmali.Kemudian Hamka sendiri menceritakan tentang keshalihannya

seorang hamba yang rahman dalam penafsirannya dalam

menafsirkan ayat tersebut. Teknik penafsiran Hasbi dan Hamka

secara tahlili37

.Kemudian dari penjelasan mufassir dapat penulis

simpulkan untuk mebangun sebuah tatanan pernikahan harmonis

maka seoarang suami harus menjadi imam dan panutan bagi istri dan

anaknya. Dan bagi yang belum dan sesudah memilki pasangan

tetaplah memperbanyak membaca firman-Nya tersebut agar

mendapatkan pasangan dan keturunan yamg menyenagkan hati serta

taat kepada Allah.

36

Tafsir ijmali ialah penafsiran al-Qur`an yang dilakukan dengan cara

mengemukakan isi kandungan al-Qur`an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa

uraian atau pemabahasan secara panjang dan luas dan juga tidak dilakukan secara rinci.

Baca Selengkapnya di M. Amin suma, Ulumul Qur`an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2014), Cet. 2, h. 381 37

Secara harfiah tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan

al-Tafsir al-Tahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat al al-Qur`an yang dilakukan dengan

cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an

dengan mengikuti tertib urutan surat dan ayat-ayat alQur`an itu sendiri dengan sedikit

banyak melakukan analisis di dalamnya. Baca Selengkapnya di M. Amin suma, Ulumul

Qur`an, h. 379

109

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara umum Abdurra’uf, Hasbi, dan Hamka memilki pandangan dan

prinsip yang sama terhadap lima ayat alqur`an mengenai konsep

pernikahan harmonis yaitu, memiliki pemimpin yang bertanggung

jawab, pasangan suami istri harus saling melindungi, saling

menumbuhkan kasih dan sayang agar terjalin sebuah mahligai

rumahtangga yang tenang dan penuh kemesraan, dan harus

berinteraksi dengan baik dan sabar terhadap pasangan, saling

bertanggung jawab sesuai kewajiban masing-masing, tidak pernah

melupakan segala kebaikan pasangan, melakukan hal-hal yang baik

agar menuai yang baik pula, kemudian memperbanyak doa kepada

Allah agar menjadi imam yang baik serta memiliki istri dan anak

yang shaleh.

2. Persamaan penafsiran dari tiga tokoh mufassir terhadap surah an-Nisa

34, surah ar-Rum ayat 21, surah al-Furqan ayat 74, dan surah an-Nisa

ayat 19, surah al-Baqarah ayat 228 dan 237, mereka memiliki

kesamaan dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Kemudian surah al-

Baqarah ayat 187 Hasbi dan Hamka saling berkaitan dalam

menafsirkan redaksi ayat “hunnalibasullakum wa antum

libasullahunna” yang dimaksud ialah hubungan biologis. Perbedaan

dapat penulis kategorikan menjadi dua bagian pertama, dari segi

linguistik yang digunakan mufassir pada lafad “qawwamun”

Abdurra’uf menggunakan bahasa “dikeraskan” , Hasbi dan Hamka

110

menggunakan bahasa sebagai “pemimpin”. Kemudian pada lafad

“ma’ruf” Abdurra’uf menggunakan bahasa “elok”, Hasbi

menggunakan bahasa “baik sesuai syara”, Hamka sendiri

menggunakan bahasa “Patut” namun maksud dan tujuannya sama.

Dalam surah an-Nur ayat 26 Hamka menjelaskan tentang orang yang

melakukan perkara yang baik akan menuai yang baik pula,

penafsirannya saling berkaitan dengan Abdurra’uf dan Hasbi “wanita

yang baik untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita

yang baik”. Kedua perbedaan dari teknik penafsiran mufassir gunakan

dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an. Abdurra’uf hanya

menjelaskan secara ijmali. Hasbi terkadang dengan bil ro’yi dan bil

ma’qul sedangkan Hamka mengambil beberapa riwayat-riwayat Nabi,

dan contoh yang terdapat dimasyarakat (tahlili).

B. Saran-sara

1. Terasa sekali bagi penulis bahwa untuk menulis karya ini,

membutuhkan pengetahuan yang luas, penulis merasa jauh dari

kesempurnaan pengetahuan yang luas, penulis merasa jauh dari

kesempurnaan pengetahuan, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Oleh

karena itu janganlah merasa puas dengan apa yang kita dapatkan

akan tetapi tetaplah haus akan ilmu dan marilah kita menacari ilmu

dan mengkaji ilmu.

2. Di harapkan bagi yang membaca tulisan ini, semoga dapat

memahami dan mengambil pelajaran yang terkait dalam kehidupan

sehari-hari tentang makna ayat-ayat pernikahan harmonis. Untuk

membangun sebuah pernikahan harmonis butuh usaha yang kuat

sesama pasangan dan untuk selain itu kita menyerahkan diri kepada-

Nya.

111

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Adil Abdul Mun‟im Abu Ketika Menikah Jadi pilihan, Penerjemah:

Gazi Saloom, Jakarta: PT Almahira, 2001

Adhim, Fauzil, Disebabkan Oleh Cinta, Kupercayakan Rumahku Padamu,

Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003

Adlah, Siti “Pembinaan Keluarga Menurut Perspektif al-Qur`an Studi

Komperatif Antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Maraghi dalam Al-

Qur`an Surah at-Tahrim/66:6)”, Skripsi diajukan program sarjana

Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2005

Akbar, Ali, Merawat Cinta Kasih, Jakarta: PT Pustaka Antara, 1995

Alkhasyt, Muhammad Utsman, Sulitnya Berumah Tangga, Jakrta: Gema

Insani Press, 1996

Alwi, Hasan, Kamus Bahasa Besar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai

Pustaka, 2005

Amir, Mafri Literatur Tafsir Indonesia, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,

2011

Anam, Syahrul, Kado untuk Sang Tunangan, Jakarta:Majlis Musyawarah

Kutubuddiniyah, 2010

Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002

Bakri, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang

Sakinah), Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993

Bakyr, Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Kamus Bahasa Melayu

Nusantara, Brunei Darussalam: Pustaka Dewan Bahasa, 2003

Basri, Hasan, Keluarga Sakinah (Tinjuan Pustaka dan Psikis dan Agama),

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994

Al- Buhiy, Muhammad Labib, Hidup Bekeluarga Secara Islami, Bandung:

PT Al Ma‟arif, 1983

112

Daudy, Ahmad, Tasawuf Aceh, Banda Aceh: CV. Diandra Primamitra

Media, 2008

Dinata, Nana Syaudin Sukma, Metode Penelitian Pendidikan,

Bandung:Remaja Rosda Karya, 2010

Ghazali, Imam, Etika Perkawinan, Jakarta: Pustaka Panjimas , 1993

Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka

Insan Madani, 2008

Habib, Ali Mansur Usman, Muhadharat Fi al-Ahwalil asy-Syakhsiayati ‘Ala

Mazhab Imam Syafi’i, Kairo: Al-Azhar, 2016

Haikal, Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah, Jakarta: CV Pedoman

Ilmu Jaya, 1993

Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 1, Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982,

, Tafsir al-Azhar Juzu’ V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983

, Tafsir al-Azhar Juzu’ XIX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983

, Tafsir al-Azhar Juzu’ 4, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987

Hamid, M. Abdul Halim Bagaimana Membahagiakan Suami, Penerjemah:

Wahid Ahmadi, Jakarta: Intermedia, 1997

Al-Hamid, Zaid. , Rumah Tangga Muslim, Semarang: Mujahidin, 1981

Hasibuan, Akmal Rizki Gunawan, Dimensi Politik Tafsir Al-Azhar Hamka:

Kajian Nilai-Nilai Pancasila, Tangerang Selatan: CB Media, 2016

Hawari, Dadang, Al-Qur`an Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan Jiwa

Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1995

Hidayati, Nurul “Peran Suami dalam Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi

Tafsir Tematik)”, Skripsi diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-

Qur`an (IIQ) Jakarta: 2015

Indonesia, Ensikopedia , Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990, Vol. II

Al-Iraqy, Butsainan As-Syyid, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia,

Penerjemah: Khatur Suhardi, Jakarta: Pustaka Azzam, 1995

113

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada, 2009

Al-Jawi, Abdurra‟uf bin Ali al-Fansuri, Tarjuman al-Mustafid, Beirut

Libanon: Dar al-Fikr, 1990

Kauma, Duad Membangun Sorga Rumah Tangga, Solo: CV. Aneka, 1996

Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikataan, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1995

Manshur , Shaleh bin Abdul „Aziz Alu, Nikah dengan Niat Talak, Surabaya:

Pustaka Progresif, 2004

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia, 2016

Munawir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya:

Penerbit Pustaka Pregessif, 2002

an-Naisaburi, Muslim Bin al-Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi Ensiklopedia

Hadis 3, Shahih Muslim 1, Jakarta: Almahira, 2012

Nayil, Najla‟ as-Sayyid, Menuju Rumah Tangga Bahagia, Jakarta:Pustaka

Al-Inabah, 2013

Riswarni, “Konsep Keluarga sakinah Menurut Tafsir Al-Maraghi”, Skripsi

diajukan program sarjana Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta: 2001

Sabiq, Sayyid Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 2, Penerjemah: Amir Hamzah,

Jakarta: IKPI al-I‟tishom, 2010

Shalih, Syaikh Fuad, Penerjemah M. Yasir Abdul Muthalib, Untukmu yang

Akan Menikah dan Telah Menikah, Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar,

2006

Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi Tafsir al-Qur`an Majid An-Nur,

semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1995

Shihab, M. Quraish Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai

Persoalan Ummat, Bandung: Mizan, 2000

, KaidahTafsir, Ciputat: Lentera Hati, 2013

, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentara Hati, 2002, Vol. 1

, Pengantin al-Qur`an, Ciputat: Lentara Hati, 2007

114

Subhan, “Metode dan Corak Penafsiran Abdul Rauf Al-Singkili”, Skripsi

diajukan pogram sarjana tafsir Hadis Universitas Syarif Kasim Riau:

2011

Syakir, Muhammad Fuad Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV Cendekia

Sentra Muslim, 1997

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kharisma Putra utama,

2013

Tihami, M.A., Fikih Munakahat: Kajian fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2010

Tim Penyusun, Tafsir al-Qur`an Tematik jilid 2, Jakarta: Kamil Pustaka,

2014

Al-„Umr, Nashir bin Sulaiman, Sendi-sendi Kebahagian Suami Istri, Jakarta

Timur: Pustaka Al-Kausar, 1993

, Menuju Kebahagian Suami istri, Jakarta: CV.

Muria Putra Pressindo: 1995

Al-`utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Shahih Fiqh Wanita Menurut

Al-Qur`an dan As-Sunnah, Jakarta: Akbarmedia, 2009

Winarto, Ilmu Pengantar Ilmiah Dasar Metode Teknik, Bandung: Trasinto,

1978

Yanggo, Huzaimah T., dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi

Institut Ilmu al-Qur`an (IIQ)Jakarta, Jakarta:IIQ Press, 2011

, Hukum Keluarga dalam Islam, Jakarta: Ikapi, 2013

Zuhaili, Wahbah Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, Darul Fikr, Beirut: 2008

115

BIOGRAFI PENULIS

Syarifah Ainul Mardiah, nama panggilan ipeh, lahir di Aceh Timur pada tanggal 07 Frebruari 1995 (Aquarius), anak kedua, perempuan pertama buah hati dari ayahanda Sayed Jamaluddin dan ibunda Salmiah. Syarifah sejak kecil sudah di didik oleh ibundanya untuk hidup sederhana dan mandiri. Pengorbanan ibundanya yang berjuang sebagai punggung keluarga. Ia

diantarkan oeh ibundanya ke tempat pengajian, namun ia memilki guru ngaji bisa dikatakan selama bangku SD sekitar tujuh guru. Kemudian selessai Sd ia melanjutkan pendidikannya ke Al-Muslimun Boarding Scool bertepatan di Aceh Utara. Pada masa Aliyah ia memilki orangtua angkat bernama dr. Saiful Hurman yang membiayai sekolah sampai selesai pendidikannya selama tiga tahun. Pada masa Aliyah ia menulis karya ilmiah berjudul manfaat puasa menurut psikolog dalam bahsa Arab adalah salah satu syarat untuk ke lulusan wisuda. Kemudian ia memilki cita-cita untuk melanjutkan studynya di alqahirah, namun berhubung pada saat itu Mesir (pada tahun 2013) memilki konflik yang dahsyat sehingga keberangkatan di batalkan. singkat cerita ia memberanikan diri untuk kejakarta menuntut ilmu di IIQ Jakarta. Ia bersyukur karena bisa berkumpul dengan para ahlul Qur`an. Dan Alhamdulillah pada tahun ini ia menyandang gelar Sarjana Agama (S. Ag).