Kafa'ah dalam pernikahan

23
KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN MAKALAH Disusun Sebagai Salah satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat SITI SADIAH 12214110217 PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS AGAMA ISLAM

Transcript of Kafa'ah dalam pernikahan

KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN

MAKALAH

Disusun Sebagai Salah satu Tugas Mata Kuliah Fiqh

Munakahat

SITI SADIAH

12214110217

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

2013

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan

kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat dan

karunia-Nya berupa iman, islam dan ilmu serta

bimbingann-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “Kafa’ah Dalam Pernikahan”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu

tugas mata kuliah Fiqh Munakahat. Penulis berharap,

makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan

mengenai keserasian/kufu’ dalam pernikahan, hukum

kafa’ah, serta ukuran kafa’ah dalam pernikahan.

Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1 Bapak dosen Drs. H. Muhtar, M.Ag yang telah

memberikan ilmunya, bimbingan dan kesabarannya

hingga akhirnya makalah ini dapat selesai tepat

pada waktunya.

2 Semua staf dan pegawai perpustakaan yang banyak

memberikan referensi buku sehingga penyusun mudah

menyusun makalah.

Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan

pembuatan makalah ini.

i

Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat

untuk ke depan dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, 30 April 2013

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

HalamanKATA PENGANTAR............................................i

DAFTAR ISI...............................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................1

A. Latar Belakang.......................................1

B. Rumusan Masalah......................................1

1. Apa yang dimaksud dengan Kafa’ah ?................1

2. Bagaimanakah hukum kafa’ah dalam pernikahan?......1

3. Hal-hal apa sajakah yang dianggap menjadi ukuran

Kafa’ah?..............................................1

C. Tujuan Penulisan.....................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................2

A. Pengertian Kafa’ah...................................2

B. Hukum Kafa’ah........................................3

C. Ukuran Kafa’ah.......................................3

1. Keturunan.........................................4

2. Merdeka...........................................4

3. Beragama Islam....................................4

4. Pekerjaan.........................................4

5. Kekayaan..........................................4

6. Tidak cacat.......................................5

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.............................10

iii

A. Kesimpulan..........................................10

B. Saran...............................................10

DAFTAR PUSTAKA..........................................iii

iv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nikah merupakan salah satu asas pokok hidup yang

paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang

sempurna. Oleh karena itu, Agama memerintahkan kepada

umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah

mampu sehingga akan terpelihara dari kebinasaan hawa

nafsu.

Namun, seringkali kita mendengar istilah “Sekufu”

di dalam sebuah proses pernikahan. Seseorang yang

marah-marah tidak jelas ketika pihak perempuan menolak

calon suaminya karena alasan tidak sekufu. Entah tidak

sekufu dalam hal agama, tidak sekufu nasab (keturunan),

atau tidak sekufu dalam hal harta. Sebagai sebuah agama

yang mulia, dengan segala kesempurnaannya, Islam telah

mengatur dan menjabarkan tentang hal ini.

1

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kafa’ah ?

2. Bagaimanakah hukum kafa’ah dalam pernikahan?

3. Hal-hal apa sajakah yang dianggap menjadi

ukuran Kafa’ah?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk

memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang hal-

hal yang berkaitan dengan Kafa’ah dalam pernikahan,

baik definisi kafa’ah itu sendiri, hukum kafa’ah maupun

hal-hal yang menjadi ukuran Kafa’ah dalam pernikahan.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafa’ah

Kafa’ah atau kufu’ menurut bahasa artinya

“setaraf, seimbang atau keserasian/kesesuaian, serupa,

sederajat, atau sebanding”. Sedangkan menurut istilah

hukum Islam, yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’

dalam perkawinan yaitu “keseimbangan dan keserasian

antara calon istri dan suami sehingga masing-masing

calon tidak merasa berat untuk melangsungkan

perkawinan”. Atau , laki-laki sebanding dengan calon

istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat

sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.

Jadi, yang ditekankan dalam hal kafa’ah adalah

keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama

dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Jika kafa’ah

diartikan sebagai persamaan, maka akan berarti

terbentuknya kasta. Sedangkan dalam Islam tidak

dibenarkan adanya kasta, karena kedudukan manusia di

sisi Allah SWT adalah sama, yang membedakan adalah

ketakwaannya. Allah SWT berfirman :

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

3

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat : 13)

Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri akan

lebih menjamin keharmonisan dan kesuksesan hidup serta

merupakan faktor yang mendorong terciptanya kebahagiaan

suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan

dari kegagalan atau kegoncangan berumah tangga.

Kufu’ adalah hak perempuan dan walinya, keduanya

boleh melanggarnya dengan keridhaan bersama.

B. Hukum Kafa’ah

Kafa’ah tidak menjadi syarat bagi pernikahan.

Tetapi jika tidak dengan keridhaan masing-masing, yang

lain boleh memfasakhkan pernikahan dengan alasan tidak

kufu’ (setingkat). Karena suatu pernikahan yang tidak

seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema

berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan

terjadinya perceraian, oleh karena itu boleh

dibatalkan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafa’ah

dalam pernikahan. Menurut Jumhur Ulama bahwa kafa’ah

dalam pernikahan sangat penting. Ibnu Hazm berpendapat

bahwa kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam

melangsungkan pernikahan. Musim manapun selama bukan

4

pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama

bukan pezina.

Sementara mazhab Malikiyah beranggapan bahwa

kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan.

Yang dimaksud dengan kafa’ah disini ialah untuk

istiqamah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak.

Dikalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi

bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya

dengan seorang peminum khamr, atau singkatnya dengan

orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak

perkawinan itu. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan

menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila

seorang gadis dikawinkan dengan pemilik harta haram

atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-

kata talak.

C. Ukuran Kafa’ah

Sekufu’ dalam pernikahan antara laki-laki dengan

perempuan ada lima sifat (menurut tingkat kedua ibu

bapak), yaitu : agama, merdeka atau hamba, perusahaan,

kekayaan, kesejahteraan. 1

Hal-hal yang dianggap menjadi ukuran kufu’ adalah

sebagai berikut :

1 Lihat H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta, Sinar BaruAlgensindo th. 1964). Cet. Ke-53 hal 390

5

1. Keturunan

Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan yang

lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama

Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak

sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan

dari golongan Quraisy tidak sekufu’ dengan wanita

Quraisy.

Sesungguhnya ajaran Islam berlainan dengan hal

tersebut. Karena Nabi SAW menikahkan kedua putrinya

sendiri , salah satunya dengan Utsman bin Affan dan

menikahkan Zainab dengan Abdul Ash bin Rabi’, sedang

keduanya adalah dari suku Abdusy Syams. Jadi, seorang

alim kufu’ dengan semua perempuan sekalipun nasabnya

rendah bahkan tak diketahui.

2. Merdeka

Budak laki-laki tidak kufu’ dengan budak perempuan

merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’

dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang

salah seorang neneknya pernah menjadi budak, tidak

kufu’ dengan perempuan yang neneknya tidak pernah ada

yang menjadi budak.

3. Beragama Islam

perempuan yang ayah dan neneknya beragama Islam kufu’

dengan laki-laki yang ayah dan neneknya beragama Islam.

6

4. Pekerjaan

Seorang perempuan dalam suatu keluarga yang

pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki

yang pekerjaannya kasar. Tetapi jika pekerjaannya itu

hampir sama bersamaan tingkatannya maka tidaklah

dianggap perbedaan.

5. Kekayaan

Menurut sebagian ulama Syafi’i, orang fakir tidak

kufu’ dengan perempuan kaya. Laki-laki fakir dalam

membelanjai istrinya adalah dibawah ukuran laki-laki

kaya. Sementara itu, sebagian lainnya berpendapat bahwa

kekayaan itu tidak dapat dijadikan ukuran karena

kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi

perempuan berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.

Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi

ukuran kufu’ . kekayaan disini ialah memiliki harta

untuk membayar mahar dan nafkah.

6. Tidak cacat

Murid-murid Syafi’i dan riwayat Ibnu Nashr dari

Malik, bahwa salah satu syarat kufu’ ialah selamat dari

cacat. Laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang

mencolok, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang sehat

dan normal.

Menurut pendapat yang lebih kuat, ditinjau dari

alasannya, kufu’ itu hanya berlaku mengenai keagamaan,

baik mengenai pokok agama maupun kesempurnaannya,

7

misalnya orang yang baik (taat) tidak sederajat dengan

orang yang jahat atau orang yang tidak taat.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran Surat Al-

hujurat ayat 13 diatas. Dan Firman Allah SWT berikut :

Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkanperempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuanyang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina ataulaki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orangyang mukmin”. (QS. 24/An-Nur : 3)

ن� اس ع� لا ال�ن� ن� ا� م ا�� ك ب�� د ر ن� واح�� م وا�� اك� ب�� د ا� لا واح�� ل لا ا� ض� & ف�� ي) ب*�� عر لى ل�� ى) ع� م� ج� ع� ى) ولا ا� م� عج� لى ل�� & ع� ي) ب*�� ر مر ولا ع� ح� ا� ل�لى ود ع� س� ود ولا ا� س� لى ا� مر ع� ح� ا ا� ل ي) ا�� ب��� وب�ا� ق< ال�ت< رة< ب��� ض� ى) ن�� �Eن Gث� د ن� ح� ع م� م� ة< س� ب� ط ول� خ�� � رس� ى اهلل ل ص� ه� اهلل لب) م ع� ل ى) وس� ط� ف�� وس�ام� ب�) � ا� ق< ي[) ر� Gش ال ال�ت< ق< ا ف�� ها ب�) ي�) ا�

Artinya : Tidak ada kelebihan (keistimewaan) bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam (yang bukan Arab) dan tiada pula bagi bangsa Ajam atas bangsa Arab dan tiada pula bagi bangsa kulit putih atas bangsa kulit hitam dan tiada pula bagi bangsa kulit hitam atas bangsa kulit putih, kecuali dengan taqwa.”(Riwayat Ashabus-sunan)

Adapun pendapat para ulama mazhab fiqih mengenaikafa’ah dalam pernikahan sebagai berikut :

Pertama, Kafaah Menurut Mazhab Syafii

Menurut Imam Syafii kafa’ah dalam pernikahan itu dalamempat perkara :. kebangsaan, keagamaan, kemerdekaan,dan mata pencaharian.

1. Keagamaan

8

Sudah sepatutnya seorang perempuan menikah dengan laki-laki yang sederajat, hal itu untuk menjaga kehormatandan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajatdengan laki-laki yang baik dan tidak sederajat denganlaki-laki yang fasik (pezina, pejudi, pemabuk dsb).Perempuan yang fasik sederajat dengan laki-laki yangfasik. Perempuan pezina sederajat dengan laki-lakipezina. Hal ini Berdasarkan firman Allah Ta’ala sebagaiberikut,

fر�ك� Gش و م� ا� ان� ا ر� ل ها ا�� ح ك� ن� ة< لا ث�) ب) Elث ا ه< وال�ز� ر�ك� Gش و م� ة< ا� ب) Elث ا ا ر� ل ح ا�� ك� ن� ي) لا ث�) �� lب ا ال�ز�Artinya, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanitayang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yangberzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-lakimusyrik.”( QS. An-Nur : 3)

2. Kemerdekaan

Perempuan merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan tidak sederajat dengan laki-laki budak.

3. Mata Pencaharian

Laki-laki yang mata pencahariannya rendah, seperti tukang sapu jalan raja, tukang jaga pintu dsb., tidak sederajat dengan perempuan yang usahanya atau usaha bapaknya lebih mulia, seperti tukang jahit atau tukang listrik dsb. Laki-laki yang mempunyai mata pencaharian tidak sederajat dengan perempuan anak saudagar. Laki-laki saudagar tidak sederajat dengan perempuan anak ulama atau anak hakim.

4. Nasab

Adapun kekayaan, maka hal ini tidak termasuk dalamkriteria pernikahan. Karena itu, laki-laki miskinsederajat dengan perempuan yang kaya.

9

Menurut Imam Syafii pula, kriteria pernikahan itudiperhitungkan dari pihak perempuan. Adapun laki-laki,ia boleh menikahi perempuan yang tidak sederajat dengandia, meskipun kepada pembantu atau perempuan budak.Demikian menurut Imam Syafii.

Kedua, Kafaah Menurut Mazhab Hambali

Mazhab Hambali memiliki pendapat yang sama denganmazhab Syafii, hanya ada tambahan satu perkara, yaitutentang kekayaan. Menurut Imam Hambali, laki-lakimiskin tidak sederajat dengan perempuan yang kaya.

Ketiga, Kafaah Menurut Mazhab Hanafi

Menurut Imam Hanafi, kafaah dalam pernikahan itu ada dalam dua perkara Nasab dan agama.

1. Keagamaan

Pendapat Mazhab Hanafi tentang kafaah dalam urusankeagamaan sama dengan pendapat mazhab Syafii. Perbedaankeduanyanya ada pada beberapa perkara. Perempuan yangshalihah dan bapaknya fasik, lalu ia nikah dengan laki-laki fasik, maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidakberhak membantah (membatalkan) pernikahan, karena iasama-sama fasik dengan laki-laki itu.

2. Nasab

Menurut imam Hanafi, nasab adalah hal yang urgen dansangat penting. Makanya kita sangat dianjurkan menikahdengan orang yang jelas nasabnya, dan menjauhipernikahan dengan orang yang tidak jelas nasabnya.

Keempat, Kafaah menurut mazhab Maliki

Menurut Imam Maliki kafaah itu adalah tentang dua perkara saja : keagamaan dan keterbebasan dari cacat.

10

Perempuan yang soleh tidak sederajat dengan laki-lakiyang fasik, begitu juga perempuan yang selamat daricacat tidak sederajat dengan laki-laki yang bercacat,seperti gila, sakit lepra, bala’, TBC,  dan lainsebagainya.

Adapun kekayaan, kebangsaan, perusahaan dankemerdekaan, maka semuanya itu tidak diperhitungkandalam pernikahan. Laki-laki bangsa Ajam seperti bangsaIndonesia, sederajat dengan perempuan bangsa Arabmeskipun perempuan itu adalah Syarifah/Sayyidahketurunan Alawiah. Laki-laki tukang sapu atau tukangkebun, sederajat dengan perempuan anak saudagar, bahkananak orang alim. Laki-laki miskin sederajat denganperempuan yang kaya atau anak orang kaya, bahkanperempuan merdeka sederajat dengan laki-laki budak.Demikian menurut Imam Maliki. Pendapat mazhab Malikiini dianggap oleh sebagian ulama kontemporer sesuaidengan kondisi zaman sekarang, yaitu zaman sama rata,sama rasa, dan zaman yang memandang mulia semua matapencaharian dan pekerjaan yang halal. Dalilnya banyak,antara lain

1. Al-Quran

ن� اهلل م ا�� اك� ق< ت�< � ا� د اهلل ن� م ع�� ك زم� ك� ن� ا� وا ا�� عارف� ت< ل ل�� � ائ�� ب� ا وق�< عوب�� Gم س� اك� علن� ى وج�� ن| ث�� ز وا� ك� ن� د� م م�� اك� ن� لق< ا ح�� ب�� اس ا�� ها ال�ن� ي�) ا ا� ب�)ر ي) ب�� م ح�� ي) ل� ع�

Artinya, ” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”( QS. Al-Hujuraat :13)

2. Hadis-Hadis Nabi SAW

11

� ق< ي[) ر� Gش ام� ال�ت< ب�) ط� ا� ى) وس� م ف�� ل ه� وس� لب) ع� ى اهلل ل � ص� ول� اهلل ة< رس� ب� ط ع خ�� م� ن� س� ى) م� �Eن Gث� د رة< ح� ض� ي) ن�� ب��� ن� ا� ع� ولا ى) م� ج� ع� لى ا� ع� ي) ب*�� عر ل ل�� ض� لا لا ف�� د ا� م واح�� اك� ب�� ن� ا� د وا�� م واح�� ك ب�� ن� ر لا ا�� اس ا� ها ال�ن� ي�) ا ا� ال ب�) ق< ف��

وى ق< ال�ت< ا ب��� ل مر& ا�� ح� لى ا� ود ع� س� ود ولا ا� س� لى ا� مر ع� ح� ا� ولا ل� ي) ب*�� ر لى ع� ع� ى) م� عج� ل��Artinya : Tidak ada kelebihan (keistimewaan) bagi bangsa Arab atasbangsa Ajam (yang bukan Arab) dan tiada pula bagi bangsa Ajam atasbangsa Arab dan tiada pula bagi bangsa kulit putih atas bangsa kulithitam dan tiada pula bagi bangsa kulit hitam atas bangsa kulit putih,kecuali dengan taqwa.”(HR. Ahmad)

ة ب� ث�) ون� د� رض�� ن� ت�< م م� اءك� ا ح�� د� م ا�� ل ه� وس� لب) ع� ى اهلل ل � ص� ول اهلل ال رس� ال ق�< � ق�< ي) �� ب* مر� م ال� ات�<� ي) ح� ب��� ن� ا� ع�ا د� ال ا�� ه� ق�< ب) ان� ق�� ن� ك� � وا�� ول اهلل ا رس� وا ب�) ال� ساد ق�< � وق�� رض� ى) الا� ة< ف�� ب� ت< � Eن� ق� ك علوا ب�� ق� ا ت�< ل وة ا�� ح ك� Eب� ا� ه ق�� لق< وح��

ات< لاتG مر Gوة ب� ح ك� Eب� ا� ه ق�� لق< ة وح�� ب� ث�) ون� د� ن� ت�<رض�� م م� اءك� ح��Artinya, Dari Abi Hatim Al-Muzanni ia berkata,Rasulullah r bersabda, ”Apabila datang kepadamu orang(meminang) yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka hendaklahkamu kawinkan dia (dengan anakmu), kalau tidak kamu berbuatdemikian itu, maka akan terjadilah fitnah di bumi dan bencana yangbesar. Berkata mereka itu (sahabat-sahabat Nabi) : Ya, Rasulullah, kalauada pada orang itu kekurangan bangsa atau harta ? Berkata Nabi :Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama danakhlaknya, maka hendaklah kamu kawinkan dia, (Nabi mengatakannyasampai tiga kali.)” (HR. Tirmidzi)

Setelah menyebutkan perbedaan pendapat di kalanganulama madzhab, maka pendapat yang lebih rajih dan benaradalah pendapat keempat yaitu yang diambil oleh ImamMalik dan Malikiyah. Dengan beberapa dalil dan alasansebagaimana berikut:

1. Lantaran kuatnya dalil yang dibawakan pendapatkeempat, yaitu sabda Rasulullah SAW : “Tidak ada

12

kelebihan (keistimewaan) bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam(yang bukan Arab) dan tiada pula bagi bangsa Ajam atas bangsaArab dan tiada pula bagi bangsa kulit putih atas bangsa kulithitam dan tiada pula bagi bangsa kulit hitam atas bangsa kulitputih, kecuali dengan taqwa.” (HR. Ahmad)

2.Hadits dari Rasulullah SAW yang menyebutkananjuran menikah dengan wanita yang baik agamanya,Rasulullah SAW bersabda

ها مال�� ج� ها ول�� سب�� ح ها ول�� مال�� ع ل�� ب[� ر ا� ة< ل� مرا� ح ال� ك ن� ال ث�� م ق�< ل ه� وس� لب) ع� ى اهلل ل ى)� ص� ن�� ن� ال�ن� رة< ع� (lت ر ي) ه� ب��� ن� ا� ع�fداك� ب��ت< ب�) ر� � ت�< ن� (lي ات<� ال�د� د� ف�ر ب��� اظ�¦ ها ق�� ب�� ث�¨ د� ول��

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam beliau bersabda: “Seorang wanita dinikahi karenaempat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dankarena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamuberuntung.” (HR. Muslim)

Jadi, yang dimaksud kafa’ah di sini yaitu halyang berkaitan dengan agama seseorang dan perilaku atauketakwaannya, sebagai contoh yaitu seorang kafir tidakpantas bagi seorang muslim begitu juga seorang pelakumaksiat tidak pantas bagi seorang muslimah yang selaluberada dalam ketaatan. Tidak ada firman Allah ta’alaatau hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan lebih darikedua hal tersebut, tidak memandang status anak orangtersebut apakah ia termasuk anak zina, orang yang tidakjelas nasabnya atau seorang budak. Ketika ia adalahseorang yang baik agamanya dan perilakunya maka iadiperbolehkan menikahi seorang wanita yang kaya,merdeka, berkedudukan dan lain sebagainya.

Dalam membina keluarga yang sejahtera danharmonis, faktor agama yang seharusnya menjadi titikberatnya, untuk mendapatkan derajat yang berbahagiadalam berumah tangga.

13

14

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan yaitu

keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan

suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat

untuk melangsungkan perkawinan. Kafa’ah dianjurkan

dalam agama, namun tidak mempengaruhi terhadap sah dan

tidaknya suatu pernikahan. ukuran kafa’ah berlainan

pendapat berbagai ulama. Namun dapat disimpulkan bahwa

yang terpenting adalah sekufu’ dalam hal agama, bukan

hanya sekedar sekufu’ dalam keturunan, kekayaan,

kebangsawanan ataupun pekerjaan. Karena dengan agama

(Islam) kebahagiaan dunia dan akhirat dalam berumah

tangga akan tercapai.

B. Saran

Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan

yang dimiliki oleh penyusun, maka untuk mendapatkan

pemahaman yang lebih mendasar dan luas lagi disarankan

kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain

yang lebih baik. Dalam makalah ini penulis berkeinginan

memberikan saran kepada pembaca agar terus mempelajari

dan mengkaji ilmu-ilmu agama terutama ilmu fiqh yang

berkaitan erat dengan kehidupan sehari hari baik

15

hubungan sesama manusia, kepada Allah, ataupun kepada

alam.

16

DAFTAR PUSTAKA

Bidatul Wannihayah.

Ghozali, A. R. (2008). Fiqh Munakahat Seri Buku Daras. Jakarta:

Kencana Prenada Media group.

Prasetya, H. (2013, 4 27). Pusat Kajian Fiqih Ma'had Aly Al-Islam.

Dipetik 4 27, 2013, dari wordpress:

http://puskafi.wordpress.com/2010/06/16/haruskah-sekufu-

sederajat-dalam-pernikahan/

Rasjid, H. S. (2012). Fiqh Islam. Jakarta: Sinar baru Algensindo.

Sabiq, S. (1997). Fikih Sunnah 7. Bandung: PT. Al-Ma'Arif.

Zainuddin, D., & Suparta, M. (2008). Pendidikan Agama Islam, Fiqih.

Semarang: PT. Karya Toha Putra.

iii