konsep, kitab suci, dan relevansinya dengan budaya lokal

34
AGAMA HINDU KONSEP, KITAB SUCI, DAN RELEVANSINYA DENGAN BUDAYA LOKAL Oleh I Wayan Latra, S.Ag,M.Si. NIP 195812311981031049 UPT PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA UNIVERSITAS UDAYANA 2019

Transcript of konsep, kitab suci, dan relevansinya dengan budaya lokal

AGAMA HINDU

KONSEP, KITAB SUCI, DAN RELEVANSINYA DENGAN BUDAYA LOKAL

Oleh

I Wayan Latra, S.Ag,M.Si.

NIP 195812311981031049

UPT PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

i

KATA PENGANTAR

Oý Swastyastu

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan

Yang Mahaesa atas rahmat yang dilimpahkan sehingga penelitian yang

berjudul “Agama Hindu Konsep, Kitab Suci, dan Relevansinya Dengan

Budaya Lokal” dapat diselesaikan. Dalam pelaksanaan penelitian ini tidak

sedikit hambatan yang dihadapi, namun berkat karunia-Nya akhirnya segala

rintangan tersebut dapat diatasi.

Keberhasilan penelitian ini berkat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu

saya sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang

telah membantu hingga selesainya tulisan ini.

Disadari sepenuhnya atas keterbatasan pengetahuan dan kemampuan

yang dimiliki sehingga karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Untuk hal itu

diharapkan masukan, kritik, dan saran dalam penyempurnaannya, serta untuk

menambah wawasan dan cakrawala pengetahuan peneliti.

Akhirnya atas segala bantuan Bapak/Ibu/Sdr., peneliti doakan semoga

mendapat pahala yang berlipat dari Tuha Yang Mahaesa.

Oý Úàntiá, Úàntiá, Úàntiá, Oý

Denpasar, Januari 2019

Peneliti,

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………

i

ii

I PENDAHULUAN……….……………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ………...……………………………………………..

1.2 Masalah ……………...…………………………………………….….

1.3 Tujuan ………………………..………………………………………..

1

4

4

II AGAMA HINDU: KONSEP, KITAB SUCI, DAN RELEVANSINYA

DENGAN BUDAYA LOKAL ………………………………………………...

4

2.1 Konsep Agama Hindu ……………………...………………………..

2.2.Veda Sebagai Kitab Suci Agama Hindu ……………………...…..

2.2.1 Kelompok Veda Sruti ……………………...………………………

2.2.2 Kelompok Veda Smrti …………………………………………….

2.3 Kerangka Dasar Agama Hindu dan Relevansinya Dengan

Budaya Lokal …………………………………………………………

4

10

12

19

23

III SIMPULAN ………………...……………………………………..………….. 28

IV KEPUSTAKAAN ……………………………………………………………. 30

1

AGAMA HINDU:

KONSEP, KITAB SUCI, DAN RELEVANSINYA DENGAN BUDAYA LOKAL

I PENDAHULUAN

Tiap Agama di dunia ini, memiliki pustaka/kitab suci. Pustaka suci

sebuah agama menjadi sumber segala sumber ajaran agama tersebut. Aspek-

aspek filsafat, aspek ritual maupun etika pelaksanaan ajaran beragama,

bersumber dari nilai, kaedah, norma dari pustaka sucinya. Semua ajaran

agama ini memiliki kebenaran suci, kekal dan universal sehingga patut diikuti

dan dilaksanakan oleh penganutnya.

Weda kitab suci sumber ajaran Hindu, satu-satunya secara tradisional

kita miliki yang mengatakan bahwa weda adalah kitab suci agama Hindu.

Sebagai kitab suci agama Hindu maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani

oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang

diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu.

Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan

(mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Suci. Apapun yang

diturunkan sebagai ajaran-Nya kepada umat manusia adalah ajaran suci

terlebih lagi bahwa isinya itu memberikan petunjuk atau ajaran untuk hidup

suci.

1.1 Latar Belakang

Manusia bukan hanya elemen dari sistem sosial, akan tetapi menyatu

dengan lingkungan alam, yakni panggung, lokalitas atau ruang tempat mereka

beraktivitas. Aktivitas mereka tidak bersifat acak, melainkan berpola karena

2

mereka memiliki kebudayaan yang di dalamnya mencakup pengetahuan,

gagasan, nilai, norma, ideologi, kepercayaan dan agama (Geertz, 1973,

Spradley, 1972 dalam Atmaja, 2004:1). Terintegrasinya setiap elemen dalam

kebudayaan tersebut menimbulkan suatu interaksi yang saling komplementer.

Eksistensi ini dalam suatu komunitas yang dinamis setidaknya dapat

mewujudkan sistem kesetimbangan antar komponenen dalam subsistem

kebudayaan tersebut.

Salah satu aspek yang menonjol yang perlu diperhatikan dalam

kaitannya dengan upaya meredam munculnya maslah-maslah sosial adalah

pengamalan ajaran agama. Dengan pengamalan ajaran agama yang dianut

secara mantap dalam perilaku kehidupan sehari-hari baik sebagai individu,

dalam keanggotaan keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat, bangsa

dan Negara. Dan jika melihat akar budaya bangsa Indonesia pada prinsipnya

pola kerukunan kehidupan beragama baik intern maupun antara umat

beragama tertanam sangat kokoh yang merupakan jati diri kepribadian bangsa

di mata bangsa-bangsa lain di muka planet bumi ini.

Pada tingkatan yang paling pribadi pengamalan ajaran agama

memberikan suatu fungsi membantu manusia memanusiakan dirinya. Dalam

arti pada tingkat ini ajaran agama dapat digunakan sebagai pedoman hidupnya

serta memformulasikan tujuan-tujuan hidupnya baik sifatnya dalam aspek

jasmaniah maupun dalam aspek rohaniah. Dengan memiliki suatu bentuk

keyakinan yang mantap mereka mampu bertahan hidup sekalipun dalam

kondisi yang kritis.

3

Dalam hubungannya dengan individu lain di tengah-tengah masyarakat,

guna membantu manusia menetapkan peran dan tanggungjawabnya sebagai

suatu anggota keluarga manusia. Salah satu yang utama ditawarkan oleh

agama-agama kepada manusia adalah kedamaian. Kedamian dengan diri

sendiri, kedamaian dengan orang lain, kedamaian dalam masyarakat,

kedamaian di dunia ini, bahkan kedamaian di akhirat (Gunadha, 2001:2).

Konsep kedamaian ini yang dalam orientasi kepentingan nasional jika betul-

betul diterapkan dalam perilaku kehidupan beragama diharapkan mampu

memciptakan kerukunan hidup.

Namun ketika persoalan, antara lain manakala orang sulit membedakan

antara agama yang diberi peran sebagai “jalan” menuju “tujuan”, dan agama

sebagai tujuan. Dalam pengertian ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang aneh.

Karena itu tidak seharusnya perbedaan menyebabkan orang bermusuhan.

Ketika agama menjadi satu-satunya dan segala-galanya, di sinilah yang

menjadi masalah, karena tidak ada ruang bagi orang lain. Apa pun yang ada di

sekitarnya dipandang sebagai ancaman, saingan (Sarapung, 2001:xix).

Fenomena tersebut memiliki tendensi memunculkan gerakan sosial

keagamaan yang berupaya mengadakan suatu perubahan yang dilandasi oleh

kepentingan-kepentingan tertentu.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana Konsep Ajaran Dalam Agama Hindu?

b. Bagaiman Veda Sebagai Kitab Suci Agama Hindu?

c. Bagaimana Kerangka Dasar Agama Hindu dan Relevansinya dengan

Kebudayaan Lokal?

4

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui Konsep Ajaran Dalam Agama Hindu

b. Untuk mengetahui Veda Sebagai Kitab Suci Agama Hindu

c. Untuk memahami Kerangka Dasar Agama Hindu dan Relevansinya

dengan Kebudayaan Lokal

II. AGAMA HINDU: KONSEP, KITAB SUCI, DAN RELEVANSINYA

DENGAN BUDAYA LOKAL.

2.1 Konsep Agama Hindu

Sebelum diuraikan secara lebih mengkhusus tentang pengertian Agama

Hindu, maka terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian agama secara

deskripsi umum dari beberapa ahli. Jika meminjam pemikiran ahli-ahli dari

barat, menurut Emile Durkheim, agama merupakan seperangkat keyakinan

dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yang menciptakan

ikatan sosial antar individu (Turner, 2012:22). Menurut Clifford Geertz

menyatakan bahwa agama adalah: (1) sebuah sistem simbol yang berperan,

(2) membangun suasana hati dan motovasi yang kuat, pervasive, dan tahan

lama di dalam diri manusia dengan cara (3) merumuskan konsepsi tatanan

kehidupan yang umum dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan

suatu aura faktualitas semacam itu, sehingga, (5) suasana hati dan motivasi

tampak realitik secara unik (Pals, 2001:414).

Menurut Nasution (dalam Jalaludin, 2010:12), intisari dari pemahaman

mengenai definisi agama adalah adanya ikatan. Karena itu agama

mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan

5

yang dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia

sebagai kekuatan gaib tang tak dapat ditangkap dengan panca indera, namun

mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Agama sendiri pada hakikatnya merupakan suatu kepercayaan atau

keyakinan melalui ajaran-ajarannya yang bersumber dari wahyu (sabda suci)

Tuhan Yang Maha Esa tentang mengadakan hubungan, baik antara manusia

dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, maupun manusia dengan

alamnya. Istilah agama sendiri jika dilihat secara etimologis berasal dari bahasa

Sanskerta. Kata agama berasal dari akar kata “a” dan “gam”. Akar kata “a”

berarti tidak dan “gam” berarti pergi. Identik dengan kata “go” dalam bahasa

Inggris. Jadi agama berarti tidak pergi, diam di tempat, langgeng diwariskan

secara turun temurun (Siwananda, 2003:1; Ngurah Nala, 1993:4). Sedangkan

kata Hindu pada awalnya merujuk pada sebuah peradaban yang terdapat di

lembah Sungai Indus. Kata itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta “Shindu”,

yang oleh bangsa Persia kuno diucapkan sebagai “Hindu” (Keene, 2010:10).

Di Barat (Inggeris, Perancis, Jermal dll) agama ini diterjemahkan dengan

kata religion yang bersal dari kata Yunani, yaitu relegere. “re” berarti kembali,

sedangkan “legere” mengandung makna mengikat. Jadi relegere adalah

mengikat kembali agar diam atau tidak bergerak. Siapa atau apa yang diikat

kembali? Tentu yang dimaksudkan di sini adalah manusia agar kembali

mengikatkan dirinya dengan Tuhan sebagai asalnya, yang maha kekal dan

abadi. Dengan jalan mengikatkan diri kembali kepada-Nya, maka manusia

menemukan dirinya, menemukan kebahagiaan dan kebenaran. Di dalam

6

ajaran agama inilah diketemukan cara-cara bagaimana agar kita dapat

menyatu kembali dengan-Nya (Ngurah Nala, 1993:4).

Di dalam lontar Sundarigama, kata agama dikupas dan diberi pengertian

sebagai beriku:

Agama. Kata agama ini terdiri dari suku kata a, ga, dan ma, masing-masing

suku kata ini mempunyai makna sendiri-sendiri. A berarti awang-awang

atau kosong atau hampa; Ga mengandung pengertian genah atau tempat;

Ma adalah matahari atau cahaya atau terang. Jadi menurut uraian ini kata

agama mengandung pengertian bahwa tempat yang kosong perlu diberi

penenerangan/sinar. Maksudnya ialah hati dan pikiran manusia yang masih

kosong perlu diisi sinar suci dari Tuhan agar menjadi terang. Sinar suci ini

berupa tuntunan ajaran Tuhan untuk mengatur perilaku manusia agar

menjadi bersusila dan berbudi. Karena itu dalam uraian selanjutnya dari

Sundarigama, kata agama itu disamakan dengan Ambek, yaitu perilaku

yang perlu diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ajaran Tuhan.

Ugama. Kata Ugama ini terdiri atas u, ga, dan ma, yang mengandung

pengertian sebagai berikut: U adalah udaka, tirta atau air suci; Ga berarti

geni atau api; Ma kependekan dari maruta yang berarti angin atau udara.

Dari uraian suku kata tersebut yang dimaksudkan dengan kata ugama

adalah suatu ajaran tentang penggunaan sarana air, api, dan udara dalam

memuja Tuhan. Maksudnya ialah agar umat manusia di dalam melakukan

pemujaan terhadap Tuhan selalu menggunakan sarana berupa air suci

(tirta), api (berupa dupa, dipa dan lain sebainya), dan udara (berupa mantra,

kidung, gamelan atau bunyi-bunyian, wangi-wangian, dan lain-lainl).

7

Dengan menggunakan sarana-sarana ini manusia akan lebih cepat

mendekatkan atau menghubungkan dirinya dengan Tuhan. Karena itu

perilaku dalam hal ugama disamakan dengan ulah, yaitu tingkahlaku

manusia dalam melaksanaan pemujaan terhadap Tuhan melengkapi diri

dengan berbagai sarana sehingga tercapai kesejahteraan baik di sekala

maupun di niskala.

Igama. Kata igama ini terdiri atas suku kata i, ga, dan ma, yang mempunyai

makna: I adalah Iswara atau Siwa; Ga berarti angga atau badan sarira; Ma

bermakna amerta atau hidup. Berdasarkan atas pengertian ini maka igama

dimaksudkan sebagai suatu sikap manusia atas pengakuaannya bahwa

badan sariranya dapat hidup atas karunia dari Iswara atau Siwa (Tuhan).

Karena itu igama ini disamakan dengan Idep, yaitu sikap jiwa manusia yang

menyadari kejati diriannya. Dengan mempelajari igama (tattwa agama)

maka manusia bertambah sadar tentang sangkan paraning dumadinya,

asal-usul dan tujuan hidupnya di dunia ini. (Ngurah Nala, 1993: 5)

Jika diteliti lebih mendalam lagi, maka yang dikupas di dalam lontar

Sundarigama, sebenarnya merupakan suatu rangkaian kesadaran manusia

tentang dirinya serta cara pendekatannya dengan Sang Maha Pencipta agar

dapat hidup sejahtera lahir batin di mercapada ini. Di dalam ajaran tri-agama

ini (agama-ugama-igama), manusia itu diibaratkan sebagai suatu tempat yang

kosong yang memerlukan isi berupa sinar terang yang abadi. Untuk

mendapatkan sinar ini maka manusia harus melakukan pemujaan dengan

mempergunakan sarana berupa air, api, dan udara. Dengan dilaksanakannya

pemujaan ini, manusia mendapat sinar suci tersebut, dan timbullah kesadaran

8

di dalam diri manusia akan kejatidiriannya. Dia sadar bahwa manusia itu ada

dan hidup adalah berkat adanya Iswara (Tuhan).

Tujuan dari Agama Hindu adalah mencapai kedamaian rohani dan

kesejahteraan hidup jasmani. Dalam pustaka suci Veda disebutkan

“mokshartham jagadhitaya ca iti dharma” yang artinya dharma atau agama

adalah untuk mencapai moksa (mokshartham) dan mencapai kesejahteraan

hidup mahkluk (jagadhita). Moksa juga disebut “mukti” artinya mencapai

kebebasan jiwatman atau kebahagiaan rohani yang langgeng (Sudharta dan

Atmaja, 2001:5).

Agama Hindu merupakan pengetahuan, dharma dan kebenaran yang

kekal abadi sebagai pedoman yang sangat universal. Karakter Agama Hindu

yang sering dinyatakan sebagai agama yang luwes dan fleksibel bukanlah

sesuatu yang aneh karena sesungguhnya padanya muncul cabang dan ranting

kepercayaan-kepercayaan lainnya) tumbuh dan berkembang. Dengan kata

lain, pengetahuan akan segala macam konsep ketuhanan (isme) ada dalam

Hinduisme. Di dalam Hinduisme terdapat keyakinan: (1) animisme (keyakinan

akan segala sesuatu, di alam semesta didiami roh atau jiwa), (2) dinamisme

(keyakinan terhadap kekuatan-kekuatan alam), (3) anhropomorfisme

(keyakinan yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti sifat-sifat manusia),

(4) polytheisme (keyakinan akan adnya banyak dewa, dalam Hinduisme, adnya

banyak dewa merupakan manifestasi dari satu Tuhan sebagai realitas yang

tunggal sebagai perlambang aspek-aspek yang berbeda-beda), (5) monism

(keyakinan terhadap keesaan Tuhan merupakan hakikat alam semesta. Esa

adalah segalanya dan segalanya berada dalam yang esa), (6) pantheisme

9

(keyakinan di mana-mana serba Tuhan atau segala sesuatu adalah Tuhan),

(7) totemisme (keyakinan pada benda, tumbuh-tumbuhan, atau hewan-hewan

yang dianggap suci karena dianggap penjelmaan dewa),

(8) henotheisme/kathenoisme (keyakinan terhadap adanya dewa tertinggi yang

pada suatu masa akan digantikan oleh dewa lain sebagai dewa tertinggi),

(9) monotheisme (keyakinan yang mempercayai dan menyembah satu Tuhan);

dalam pengertian yang benar, bukan dalam pandangan komparasi yang

digunakan hanya untuk mencari kebenaran sepihak yang subjektif (Donder,

2006:138)

Hinduisme adalah kebenaran objektif yang intersubjektif, artinya

Hinduisme adalah kebenaran fakta yang menerima kebenaran dari manapun

sepanjang tidak bertentangan dengan kesemestaan. Hinduisme mampu

membimbing setiap manusia setapak demi setapak dari kebenaran yang amat

sederhana hingga kebenaran absolut yang tidak dapat ditafsirkan dengan akal

(Donder, 2006: 138).

Cakupan ajaran-ajaran pengetahuan dalam Agama Hindu sangat luas,

menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Agama Hindu bukanlah

agama yang mengedepankan sisi spiritualitas (membangun hubungan dengan

Tuhan) semata, namun juga tidak kalah pentingnya adalah membangun

harmonisasi antara sesame manusia dan juga sinergi antara manusia dengan

alamnya. Agama Hindu merupakan kepercayaan atau keyakinan melalui

ajaran-ajarannya yang bersumber dari wahyu (sabda suci) Ida Sang Hyang

Widhi Wasa tentang cara mengadakan hubungan, baik antara manusia dengan

Tuhan, manusia dengan sesama manusia, maupun manusia dengan alam

10

lingkungannya. Melalui pengamalan ajaran Agama Hindu dengan baik dan

benar dalam setiap aspek kehidupan manusia, harmonisasi hubungan antara

manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia, beserta

alam lingkungannya akan tercipta dan berjalan dengan baik.

2.2 Veda Sebagai Kitab Suci Agama Hindu

Kata Veda secara etimologi berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari

urat kata “vid” yang artinya mengetahui dan Veda berarti pengetahuan. Dalam

pengertian semantik Veda berarti “pengetahuan suci”, “kebenaran sejati’,

“pengetahuan tentang ritual”, “kebijaksanaan yang tertinggi”, pengetahuan

spiritual sejati tentang kebenaran abadi”, “ajaran suci atau kitab suci sumber

ajaran Hindu” (Titib, 1996: 13). Apabila diliat dari pengkodifikasiannya, Veda

tidak hanya sekedar kitab suci, namun lebih dari itu, merupakan pustaka suci

yang memuat berbagai macam pengetahuan, baik tentang tattwa (ajaran

ketuhanan/spiritualitas), susila (etika moralitas), acara (berbagai ritual dan

aktivitas keagamaan lainnya), referensi sejarah, mitologi, dan termasuk

pengetahuan dalam bidang sains.

Bahasa yang dipergunakan dalam Veda adalah bahasa Sanskerta.

Istilah atau nama Sanskerta sebagai nama bahasa ini dipopulerkan oleh

Maharsi Panini. Maharsi Panini pada waktu itu mencoba menulis sebuah kitab

Vyakarana, yaitu kitab tata bahasa Sanskerta yang terdiri dari 8 Adhyaya atau

bab yang terkenal dengan nama Astadhyayi yang mencoba mengemukakan

bahwa bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa dewa-dewa yang

dikenal pula dengan nama “daivivak” yang artinya bahasa atau sabda dewa

(Titib, 1996:16).

11

Untuk memahami kitab suci Veda, maka dalam mempelajarinya

baruslah dilakukan secara berjenjang atau bertahap. Maharsi Vyasa dalam

Vayy Purana I.20 menyatakan

Itihasa Puranabhyam vedam samuparmhayet, Bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharisyadi.

Terjemahan:

Hendaknya Veda dijelaskan melalui sejarah (Itihasa) dan Purana (sejarah dan metologi kuna), Veda merasa takut kalau seseorang yang bodoh membacanya. Veda berpikir bahwa dia (orang yang bodoh) akan memukulmu (Titib, 1996:4).

Sloka di atas memiliki maksud bahwa dalam mempelajari Veda

hendaknya dimulai dari memahami Itihasa dan Purana terlebih dahulu.

Tujuannya adalah agar orang yang mempelajari Veda memiliki referensi yang

luas dari pemahaman tingkat paling sederhana sampai yang lebih dalam dan

luas. Dengan demikian diperoleh pemahaman yang komprehensif tentang

ajaran-ajaran Veda secara menyeluruh dan lebih mendalam. Apabila Veda

tidak dipelajari secara berjenjang, tanpa dilandasi dasar pemahaman akan

Itihasa dan Purana terlebih dahulu, maka dikhawatirkan akan menimbulkan

kekeliruan dalam penafsiran, serta penyimpangan-penyimpangan dalam

pengimplementasian ajaran-ajarannya, sehingga hal tersebutlah yang menjadi

maksud pernyataan bahwa orang bodoh akan memukul Veda itu sendiri.

Veda merupakan tuntunan suci bagi seluruh umat Hindu. Oleh sebab

itu, penting bagi siapapun untuk mempelajarinya. Veda tidaklah diskriminatif,

sangat terbuka bagi semua kalangan profesi, bahkan bagi orang-orang non-

Hindu sekalipun. Yajurveda XXVI.2 menyatakan bahwa:

12

Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca.

Terjemahannya:

Hendaknya disampaikan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, cendikiawan-rohaniawan, raja/pemerintahan/masya-rakat, para pedagang, petani dan nelayan, serta para buruh, kepada orang-orngku dan bahkan orang asing sekalipun (Titib, 1996:3)

Adapun pembagian atau kodifikasi Veda dapat diuraikan sebagai

berikut.

2.2.1 Kelompok Veda Sruti

Sruti adalah kitab yang disusun berdasarkan wahyu atau sabda suci

yang diturunkan langsung oleh Ida Sang HYang Widhi Wasa. Kitab Sruti

dinyatakan sebagai Veda yang sebenarnya (original) karena diterima melalui

pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok

atau himpunan. Oleh sebab itu Veda Sruti disebut juga dengan Catur Veda

atau Catur Veda Samhita. Pembagiannya adalah:

a) Rgveda. Rgveda merupakan kitab yang dihimpun oleh Maharsi Pulaha.

Memuat nyanyian-nyanyian pujaan yang mengandung tendensi filosofis.

Inti ajaran Rgveda menekankan berbagai cara yang sangat kaya untuk

meningkatkan rasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Yajurveda. Dihimpun oleh Maharsi Waisampayana yang inti ajarannya

menekankan pada upacara ritual atau prosedur pelaksanaan yajna

(yadnya).

13

c) Samaveda. Dihimpun oleh Maharsi Jaimini. Disebut juga Nyanyian Veda

Suci, karena kitab ini pada intinya memuat tentang mantram-mantram

yang umumnya dilagukan pada upacara-upacara penting.

d) Atharvaveda. Disusun oleh Maharsi Sumantu yang inti ajrannya memuat

mantram-mantram untuk memperoleh pengampunan dosa dan karunia

dewa-dewa, mengusir kejahatan dan kehidupan yang sulit, dan juga

menghancurkan musuh.

Berdasarkan tradisi kuno yang ada dapatlah dijelaskan lebih detail

tetang pembagian kitab-kitab Veda dengan kitab-kitab pendukung yang terkait

dengan kitab wahyu yang kita kenal dengan Sruti itu. Umat Hindu yakin, selain

Catur Veda (Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan Atharvaveda), kitab-kitab

Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad adalah juga kitab-kitab Sruti dan untuk

menyebutkan syair dari kitab-kitab Sruti adalah matra, sedang di luar kitab-kitab

Sruti, syair itu pada umumnya disebut sloka.

Lebih jauh tentang pembagian kitab-kitab Veda, berikut diuraikan kitab-

kitab itu yang dapat kita warisi:

Rgveda

Sakha : Sakala Samhita

Brahmana : Kausitaki, Aitareya

Aranyaka : Kausitaki, Aitareya

Upanisad : Kausitaki, Upanisad

Kalpa : (a) Srautasutra : Samkhayana, Asvalayana

(b) Grhyasutra : Samkhayana, Asvalayana, Sambavya

(c) Dharmasutra : Vasistha

14

Pratisakhya : Rkpratisakhya

Anukramani : Arsanukramani, Chandonukramani, Devtanukramani,

Anuvakanukramani, Suktanukramani, Rgvidhan, Brhaddevata,

Rksarvanukramani, Madhaviyanukramani.

Yajurveda

Sukla Yajurveda

Sakha : Vajasaneyi (Madhyadina), Kanva

Brahmana : Sathapata

Aranyaka : Brnadaranyaka, Jaiminiyopanisad (Talavakara)

Upanisad : Brhadaranyaka, Isavasya (Isa Upanisad)

Kalpa : (a)Srautasutra : Katyayana

(b) Grhyasutra : Parasara

Pratisakhya : Suklayajuh Pratisakhya

Anukramani : Suklayajuhaanukramani, Nigamaparisista, Yajurvidhna

Krsna Yajurveda

Sakha : Taitiriya, Maitrayani, Katha

Brahmana : Taittiriya

Aranyaka : Taittiriya, Maitrayani

Upanisad : Taittiriya, Maitrayani, Katha, Svetasvatara.

Kalpa : (a) Srautasutra : Baudhayana, Apastamba, Baikhanasa,

Bhadravaja, Manava, Hiranyakesi

(b) Grhyasutra : Apastamba, Baikhanasa, Bharadvaja,

Manava, Hiranyakesi

(c) Dhrmasutra : Baudayana, Apasthamba

15

Pratisakhya : Taitiriya Pratisakhya

Anukramani : Yajus Sarvanukramani, Kandanukramani

Samaveda

Sakha : Kauthumi, Jaiminiya, Ranayaniya

Brahmana : Tandya (Pancavimsa, Sadvimsa, Mantra, Chandogya),

Arseya, Vamsa amhitopanisad, Jaiminiyopanisad

Talavakara, Samavidhana

Aranyaka : Jaimniyopanisad atau Talavakara

Upanisad : Chandogya, Kena

Kalpa : (a) Srautasutra : Masaka, Katyayana, Drhyana

(b) Grhyasutra : Gobhila, Khadira

(c) Dhramasutra : Gautama

Pratisakhya : Samapratisakhya

Anukramani : Samavidhana

Atharvaveda

Sakha : Saunaka

Brahmana : Gopatha

Upanisad : Prasna, Manduka, Mandukya

Kalpa : (a) Srautasutra : Vaitana

(b) Grhyasutra : Kausika

Pratisakhya : Atharva Pratisakya

Anukramani : Brhatsarvanukramani, Atharvavidhana

16

Demikian antara lain pembagian kitab-kitab Veda, khususnya kitab-kitab

Sruti dengan kalpa (Vedanga), Pratisakhya dan Anukrmaninya yang dapat kita

jumpai, kini marilah kita bahas spintas isi yang terkandung dalam kitab Veda.

Bila kita mempeajari secara keseluruhan mantra-mantra Veda (Catur

Veda), termasuk pula kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad, maka

pada garis besarnya ajaran Veda dapat dikelopokkan ke dalam empat

kelompok isi, yang masing-masing dapat dikembangkan lagi sebagai

pengetahuan yang berdiri sendiri, sebagai berikut

a) Kelompok yang membahas aspek Vijnana, yaitu kelompok mantra yang

membahasa bermacam aspek pengetahuan, baik pengetahuan alam

sebagai ciptaann-Nya, termasuk pula teologi, kosmologi dan lain-lain

yang bersifat methaphisik. Kata Vijnana berarti kebijaksanaan tertinggi

(realization of knowledge). Intinya mungkin sangat singkat atau pendek,

kadangkala sangat sulit untuk memahami apa yang terkandung di balik

mantra atau ungkapan melalui mantra-mantra itu. Demikian pula

penggunaannnya terlebih lagi digunakan dalam rangkaian doa atau

stave, sehingga hal itu kadang-kadang kita anggap hal yang biasa dan

bukan merupakan pengetahuan yag disebut Vijnana. Ini akan

bertambha jelas setelah kita membaca Yajurveda, bahwa Veda

berisikan berbagai pengetahuan yang diperlukan oleh manusia guna

meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Yang paling menonjol

dalam aspek Vijnana ini adalah aspek aspek yang memberi keterangan

dasar pandangan filsafat dan methapisika berdasarkan Veda.

17

b) Kelompok yang membahas aspek Karma, yaitu kelompok mantra

mengenai berbagai aspek atau jenis Karma atau Yajna sebagai dasar

atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia. Pembahasan secara

mendalam mengenai hal ini kemudian dikembangkan di dalam kitab-

kitab Kaalpasutra sebagai pengembangan lebih jauh kitab-kitab

Brahmana.

c) Kelompok yang membahas aspek Upasana, yaitu kelompok mantra

yang membahas segala aspek yang ada kaitannya dengan petunjuk dan

cara untuk mendekatkan diri dengan sthana Sang HYang Widhi.

Kelompok mantra ini menjadi dasar berkembangnya system atau ajaran

Yoga.

d) Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang

membahas segala aspek pengetahuan secara umum sebagai ilmu

murni. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kita tidak

mendapatkan gambaran secara lengkap bagaimana ilmu itu, kecuali

hokum-hukum tertentu yang kemudian kalua kita kembangkan akan

menjadi ilmu yang berdiri sendiri, sebagai contoh Vaidikaganitam

(matematika Veda), Ayurveda dan sebagainya. Ayurveda ini sudah

sejak lama dikembangkan dalam perguruan modern (Ayurvedic college)

sebagai bidang yang berdiri sendiri, berdampingan dengan system

pengobatan modern. Ini berarti di dalam Veda terdapat pengetahuan

atau ilmu murni yang bisa dikembangkan lagi.

Sebagai telah disebutkan, sebenarnya pengelompokan ke dalam empat

kelompok atau topik di atas, dapat pula disederhanakan menjadi dua aspek,

18

yaitu ajaran yang mengandung aspek Karmakanda, yakni yang menyangkut

ajaran karma, Yajna dan Upasana, dapat dijumpai dalam kitab-kitab Samhita,

Brahmana, dan Aranyaka, sedang aspek lainnya adalah Jnanakanda, yang

dapat kita jumpai dalam Samhita, Aranyaka, dan Upanisad.

Selanjutnya tentang isi Veda dapat pula kita menganalisa dengan

menggunakan dasar-dasar pendekatan sesuai kitab Bhagavadgita, yakni

mengelompokkan isi Veda dalam 5 topik, sebagai berikut:

a) Yang mengandung ajaran Bhakti atau Bhaktiyoga.

b) Yang mengandung ajaran Karma atau Karmayoga.

c) Yang mengandung ajaran Jnana atau Jnanayoga.

d) Yang mengandung ajaran Rajayoga, dan

e) Yang mengandung ajaran Vibhutiyoga atau ajaran yang bersifat mistis.

Mengingat mantra-mantra Veda sukar dipahami dan mungkin kurang

menarik minat bagi umat yang awam di bidang kerohanian para rsi menyusun

kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut. Tentang hal

ini, Maharsi yang juga Adikavi Valmiki menyakan dalam karya agung beliu

Ramayana, bahwa disusunnya mahaviracarita ini sebagai sarana untuk lebih

memudahkan umat memahami kitab suci Veda. Demikian pula Maharsi

Vyasa atau Krsnadvipayana yang juga berbhiseka Vedavyasa menegaskan

untuk memahami Veda perlu dijelaskan melalui Itihasa dan Purana.

19

2.2.2 Kelompok Veda Smrti

Smerti adalah Veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan para

Maharsi yang disertai dengan penafsiran-penafsiran. Smerti merupakan

kelompok kitab kedua setelah Sruti dan dianggap sebagai kitab hukum Hindu

karena di dalamnya banyak dimuat tentang aturan Hindu yang disebut Dharma.

Oleh karena itu, kitab Smrti ini dinyatakan dalam berbagai kitab sebagai kitab

Dharmasastra (Titib, 1996:128). Pembagiannya secara garis besar

dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yakni Vedangga dan Upaveda,

yang diuraikan sebagai berikut.

a. Kelompok Vedangga, yang terdiri dari enam bidang, yakni:

1) Siksa (ilmu phonetika), yang isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang

cara-cara pengucapan mantram serta tinggi rendah tekanan suara.

2) Vyakarana (ilmu tata bahasa), yang berisi tentang tata bahasa yang

benar digunakan dalam Smrti dan juga sastra klasik Sanskerta.

3) Nirukta (ilmu etimologi), yang memuat berbagai penafsiran otentik

mengenai kata-kata yang terdapat dalam Veda.

4) Chanda (ilmu irama/lagu), yang khusus membahas aspek ikatan bahasa

yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Veda, Chanda sangat

berperan, karena semua ayat-ayat tersebut dapat dipelihara secara

turun-temurun dengan nyanyian yang mudah diingat.

5) Jyotisa (ilmu astronomi dan astrologi), yang memuat perhitungan hari-

hari yang tepat dalam melaksanakan upacara-upacara yajna. Jyotisa

menggambarkan bagaimana tata surya, bulan, dan benda-benda

20

angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh dalam

pelaksanaan yajna.

6) Kalpa, yang merupakan kelompok Vedangga terbesar. Menurut isinya,

Kalpa terbagi atas beberapa bidang yakni Srauta (memuat berbagai

ajaran tata cara melakukan yajna dan lainnya yang berhungan dengan

upacara keagamaan), Grhya (memuat ajaran peraturan yajna yang

harus dilaksanakan oleh orang-orang yang berumah tangga),

Dharmasutra (memuat aspek peraturan hidup bermasyarakat dan

bernegara), dan Sulvasutra (memuat tentang peraturan dan tata cara

membuat tempat peribatan (Netra, 1994:15)

b. Kelompok Upaveda, yang terdiri dari:

1) Itihasa, yang merupakan jenis epos, yang terdiri dari Ramayana dan

Mahabharata. Kitab Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki yang isinya

dikelompokkan dalam tujuh kanda, yakni:

- Ayodhya Kanda

- Bala Kanda

- Kiskinda Kanda

- Sundara Kanda

- Yudha Kanda

- Utara Kanda

Sedngkan Kitab Mahabharata disusun oleh Maharsi Wyasa yang terdiri

dari delapanbelas parwa yang terdiri dari:

- Adiparwa

- Sabhaparwa

21

- Wanaparwa

- Wirataparwa

- Udyogaparwa

- Bhismaparwa

- Dronaparwa

- Karnaparwa

- Salyaparwa

- Sauptikaparwa

- Striparwa

- Santiparwa

- Anusasanaparwa

- Aswmedhikaparwa

- Asramawasikaparwa

- Mausalaparwa

- Mahaprastanikaparwa

- Swargarohanaparwa

Di antara kedelapanbelas parwa tersebut, dalam Bhismaparwa terdapat

kitab Bhagawadgita yang terkenal dengan wejangan-wejangan Sri Krsna

kepada Arjuna. Isinya merupakan filsafat yang sangat tinggi serta dikenal pula

dengan sebutan Panca Veda.

2) Purana, yang merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut

penciptaan dunia, cerita tentang dewa-dewa, raja-raja, dan para rsi.

Kitab Purana dibagi mnjadi delapan belas yakni:

- Brahmanda Purana

22

- Brahmavaivarta Purana

- Markandya Purana

- Bhawisya Purana

- Wamana Purana

- Brahma Purana

- Wisnu Purana

- Narada Purana

- Bhagavata Purana

- Garuda Purana

- Padma Purana

- Waraha Purana

- Matsya Purana

- Kurma Purana

- Lingga Purana

- Siwa Purana

- Skanda Purana

- Agni Purana

3) Arthasastra, yang memuat tentang ilmu pemerintahan Negara. Isinya

merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu,

jenis ilmu ini juga disebut dengan Nitisastra, Rajadharma, atau

Dandaniti.

4) Ayurveda, yakni kitab yang memuat tentang ilmu kesehatan,

pengobatan serta filsafat kehidupan, baik etis maupun medis.

23

5) Gandharvaveda, yakni kitab yang membahas tentang berbagai aspek

cabang ilmu seni.

Kitab suci Veda disebutkan memiliki sifat “Anadi-Ananta” karena ajaran-

ajarannya sangatlah relevan, tidak pernah lekang dengan perkembangan

zaman. Pemahaman tentang ajaran-ajarannya mutlak diperlukan agar umat

Hindu memiliki dasar yang kuat dalam setiap pelaksanaan aktivitas

keagamaannya.

2.3 Kerangka Dasar Agama Hindu dan Relevansinya Dengan Budaya

Lokal

Ajaran Agama Hindu bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan

wahyu (sabda suci) Tuhan Yang Maha Esa. Agama Hindu memiliki tiga

kerangka pokok yang menjadi landasan dalam setiap pelaksanaan ajaran-

ajarannya. Ketiga kerangka dasar tersebut adalah Tattwa, Susila, dan Acara.

Tattwa merupakan intisari, filsafat, kebenaran yang menjadi dasar ajaran

agama. Tattwa dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan thatness, ke-itu-

an, yaitu realitas absolute, realitas terakhir. Ajaran Tattwa adalah ajaran

tentang realitas terakhir itu (Sura dalam Sedhawa, 2006:110). Tattwa

merupakan ajaran yang mencakup tentang fisafat Ketuhanan yang dalam

prakteknya diaktualisasikan dalam upacara-upacara yadnya, maupun

pengamalan tingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Susila merupakan etika, tingkah laku yang mulia dalam beragama,

Susila adalah kata Saskerta yang terdiri dari kata “su” yang artinya baik, mulai

dan “sila” yang artinya perilaku/dasar. Jadi susila artinya perilaku yang mulia

24

dengan ajaran Veda (Adiputra, 2003:64). Susila berkaitan dengan tingkah laku

manusia. Susila atau etika moral merupakan aturan yang diyakini manusia

sebagai penuntun dalam hidup, baik secara individu maupun kehidupan

bermasyarakat beserta lingkungannya.

Acara merupakan praktek-praktek ajaran agama yang berupa aktivitas

ritual atau upacara. Kata Acara dalam kaitannya dengan acara Agama Hindu

berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya perbuatan atau tingkah laku yang

baik, adat-istiadat, tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku

manusia baik perorangan maupun kelompok manusia yang didasarkan atau

kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Sesuai dengan konsep Tri Krangka Agama

Hindu, Acara merupakan lapisan paling luar yang terdiri dari aktivitas

keagamaan dalam hubungannya untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa.

Ketiga bagian dari kerangka agama itu tidak dapat dipisah-pisahkan

pengamalannya. Tattwa, Susila, dan Acara patut diamalkan bersamaan dalam

setiap tindakan. Hilangnya salah satu dari ketiga unsur tersebut bisa

menjadikan pengamalan ajaran Agama Hindu menjadi tidak sempurna.

Pengamalan Tattwa tanpa Susila dan Acara menjadi gersang dan kering.

Demikian pula pengamalan Susila tanpa Tattwa dan Acara menjadi tampak

tidak semarak dan menjurus pada perilaku yang kaku atau ekstrim. Acara tanpa

Tattwa dan Susila bisa menjadikan tindakan pemborosan dan memunculkan

tradisi yang tanpa dasar kebenaran (Adiputra, 2003:22). Pelaksanaan ajaran

Agama Hindu di berbagai daerah tampak berbeda, terutama dalam aspek

Acara atau ritual. Agma Hindu dengan karakteristik luwes, fleksibel, dan adaptif

25

terhadap kepercayaan lokal mampun memberikan nilai keagamaan secara

harmonis. Sebaliknya kepercayaan lokal menanggapi secara positif

kedatangan agama Hindu dengan karakteristiknya sebagai suatu yang

komplementer atas keyakinan yang sudah ada. Terjadinya proses akulturasi

budaya antara agama Hindu tradisi lokal inilah yang menyebabkan

pelaksanaan ajaran Agama Hindu menjadi tampak berbeda meskipun

landasan filosofisnya adalah sama.

Agama dan budaya sesungguhnya secara hakikat merupakan dua hal

yang berbeda. Namun dalam praktek-praktek keagamaan menjadi dua hal

yang tidak terpishkan satu dengan yang lain. Agama merupakan kepercayaan

kepada Tuhan beserta segala sesuatu yang bersifat sangat abstrak yang

didasarkan pada nilai rasa dalam diri setiap individu. Sedangkan budaya

adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan yang lain,

serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat

(Taylor dalam Setiadi dkk, 2008:27). Budaya merupakan hasil dari

perkembangan dan pengembangan akal dan pikiran manusia, di mana konsep

kebudayaan sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, kata buddhayah, yaitu

bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Oleh karena itu,

kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi

dan akal (Adhiputra, 2010:44).

Salah satu contoh nyata adalah Agama Hindu di Bali yang praktek

ritualnya sangat berbeda dengan Agama Hindu di India. Hal ini disebabkan

karena adanya sinkritisme ajaran Hindu dengan budaya lokal Bali. Di samping

26

itu pula banyak daerah di Bali yang memiliki tradisi-tradisi keagamaan yang

bersifat lokal tersendiri yang terkadang tidak dapat dijumpai di daerah lainnya.

Adanya perbedaan tradisi keagamaan yang bersifat kearipan lokal atau local

genius inilah yang menjadikan beberapa daerah di Bali memiliki keunikan dan

cirri khas tersendiri. Kearipan lokal dalam beragama bila dilihat dari sistem

kehidupan umat Hindu di Bali yang sangat pluralistik merupakan sebuah media

yang dapat memfasilitasi umatnya dalam melaksanakan sistem

kepercayaannya. Adanya perbedaan-perbedaan kearifan lokal tersebut

bukanlah suatu bentuk penyimpangan karena secara esensi, hal ini masih

sangat sesuai dengan ajaran Hindu itu sendiri. Sesuai dengan ajaran yang

tertuang dalam Kitab Bhagavadgita IV.11 yang menjelaskan bahwa:

Ye yatha mam prapadyante tams tathai’va bhajamy aham, mama wartmanuwartante manusyah partha savasah

Terjemahannya

Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalan-Ku O Partha (Mantra, 2007:65)

Lebih jauh, dalam kitab Manawadharmasastra II..6, dijelaskan bahwa:

Idanim dharma pramanamyaha: vedo khilo dharma mulam smrtisile ca tadvidam. acarascaiva sadhunam atmanastustir eva ca

Terjemahannya:

Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dari dharma, kemudian adat-istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata

27

cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi (Pudja dan Sudharta, 2004:31)

Petikan Manawadharmasastra tersebut memberikan penjelasan secara

lebih terperinci bahwa dalam menjalankan ajaran Agama Hindu yang memiliki

banyak variasi dari aspek Acara, maka hendaknya berpedoman pada Veda

sebagai sumber yang paling utama, lalu adat-istiadat yang berlaku, sampai

pada akhirnya adalah kepuasan pribadi (atmanastusti/atmatusti) yang menjadi

pedoman dan tujuan akhir dari setiap pelaksanaan praktek ritual.

Terkait dengan hal tersebut, maka dalam hal ini, peran agama sebagai

roh kebudayaan secara garis besar ada tiga yakni:

1) Memberi makna bagi kebudayaan tersebut, baik makna filosofis, etika,

dan aktivitas pelaksanaannya;

2) Memberi nilai religius bagi suatu kebudayaan, tradisi, maupun

masyarakat yang melaksanakannya;

3) Memberikan koreksi bagi unsur-unsur kebudayaan yang kurang sesuai

dengan nilai-nilai agama sehingga menjadi selaras dengan nilai-nilai

agama.

Jadi pada intinya, agama memberi nilai dan makna pada budaya, dan

budaya memberi format bentuk dan menunjukkan eksistensi agama.

Berdasarkan hal inilah maka pelaksanaan ajaran agama di berbagai daerah

memiliki keberagaman dan perbedaan sesuai dengan sistem kebudayaan

setempat yang dianut yang disebut kearifan lokal. Nilai-nilai filosofis dan magis

ajaran Agama Hindu yang dibingkai oleh kearifan lokal akan membangun dan

memperkokoh identitas (jati diri) umat Hindu di berbagai daerah dan menjadi

identitas budaya dari masyarakat pendukungnya.

28

III SIMPULAN

Cakupan ajaran-ajaran pengetahuan dalam Agama Hindu sangat luas,

menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Agama Hindu bukanlah

agama yang mengedepankan sisi spiritualitas (membangun hubungan dengan

Tuhan) semata, namun juga tidak kalah pentingnya adalah membangun

harmonisasi antara sesama manusia dan juga sinergi antara manusia dengan

alamnya. Agama Hindu merupakan kepercayaan atau keyakinan melalui

ajaran-ajarannya yang bersumber dari wahyu (sabda suci) Ida Sang Hyang

Widhi Wasa tentang cara mengadakan hubungan, baik antara manusia dengan

Tuhan, manusia dengan sesama manusia, maupun manusia dengan alamnya.

Melalui pengamalan ajaran Agama Hindu dengan baik dan benar dalam setiap

aspek kehidupan manusia, harmonisasi hubungan antara manusia dengan

Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia, beserta alam lingkungannya

akan tercipta dan berjalan dengan baik.

Kitab suci Veda disebutkan memiliki sifat “Anadi-Ananta” karena ajaran-

ajarannya sangatlah relevan, tidak pernah lekang dengan perkembangan

zaman. Pemahaman tentang ajaran-ajarannya mutlak diperlukan agar umat

Hindu memiliki dasar yang kuat dalam setiap pelaksanaan aktivitas

keagamaannya.

Jadi pada intinya, agama memberi nilai dan makna pada budaya, dan

budaya memberi format bentuk dan menunjukkan eksistensi agama.

Berdasarkan hal inilah maka pelaksanaan ajaran agama di berbagai daerah

memiliki keberagaman dan perbedaan sesuai dengan sistem kebudayaan

29

setempat yang dianut yang disebut kearifan lokal. Nilai-nilai filosofis dan magis

ajaran Agama Hindu yang dibingkai oleh kearifan lokal akan membangun dan

memperkokoh identitas (jati diri) umat Hindu di berbagai daerah dan menjadi

identitas budaya dari masyarakat pendukungnya.

30

IV KEPUSTAKAAN

Adiputra, I Gede Rudia, 2003. Pengetahuan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara.

Atmaja, N.B., 2004. Kearipan Lokal Dan Agama Pasar, Denpasar: Bahan Matrikulasi S2 Kajian Budaya.

Donder, I Ketut, 2006. Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Paramita.

Jalaludin,H, 2012. Psikologi Agama. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Gama I Wayan, 2002. Reformasi Agama Hindu Menuju Kebertahanan Sradha Dalam Menjawab Tantangan Masa Kini, Studi Kasus di Bali Tahun 1959-1998. Denpasar: tesis Unud.

Kaleran, Ida Pedanda Gde Ngurah. 2001. Sdhaka Dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Hindu (Tinjauan Historis-Sosiologis) dalam Eksistensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Keene, Michael, 2010. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius.

Koentjaraningrat, 1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai dkk. 1994. Buana Kosa. Denpasar: Upada Sastra.

Pitana, I Gede (Editor). 1994. Dinamika Masyarakat Dan Kebudayaan Bali. Denpasar: BP.

Putra Agung, A.A.G. 1974. Perubahan Sosial Dan Pertentangan Kasta Di Bali Utara, 1924-1928. Yogyakarta: UGM.

Polloma Margaret M. 2003. Sosiologi Komtemporer (terjemahan) Jakarta :Raja Grafindo Persada.

Ritzer G. dan Goodman D.J. 2003. Teori Sosiologi Modern terjemahan Aliman dan. Jakarta: Predana Media.

Sanderson, S.K. 2003. Makro Sosiologi, terjemahan Farid Wajidi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sarapung, Elga. 2002. Kata Pengantar Dalam Pluralisme, Konflik dan Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

31

Suata, I Putu Gede. 2001. Sumber Hindu Tentang Sadhaka, dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Suweta, I Made. 1999. Fungsi Pendeta Hindu Untuk Pembobotan Keimanan Dalam Masyarakat Bali Yang Berubah. Denpasar: tesis Unud.

Sivananda Sri Svami. 1993. Intisari Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Titib, I M. 2001 Eksistensi Sadhaka Kajian Sosiologi Religius Dan Filosofis, dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Tim Pemda Propinsi Bali. 2003. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Denpasar: Pemprop Bali.

Wianan I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta:Pustaka Manik Geni.

---------------, 2001. Sadhaka Dalam Kontek Yadnya Hindu. dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

---------------, 2002.Memelihara Tradisi Veda. Denpasar: BP

Wijadhaksa, Ida Pandita Mpu Siwa Karma. 2001. Sumber Sastra Tentang Eksistensi Sadhaka, dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Yuda Triguna I.B. 1999. Perubahan Sosial Dan Respon Kultural Masyarakat Hindu di Bali. Denpasar Laporan Penelitian Unhi.

---------------, 2000a. Teori Tentang Simbol, Denpasar: Widya Dharma.

---------------, 2000b. Sentimen Kelompok Dan Gerakan Sosial Keagamaan. Denpasar: Makalah.

---------------, 2001. Redifinisi Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Denpasar: Laporan Penelitian Unhi.