KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA: Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa

36
KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA: Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa Kim Geung Seob Pusat Studi Korea UGM I. Pendahuluan Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku 1

Transcript of KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA: Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa

KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA:

Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa

Kim Geung Seob

Pusat Studi Korea UGM

I. Pendahuluan

Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau

lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda

berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar

dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku

interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang

sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah

komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik

verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal

sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan

proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan

sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang

dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar

(Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita

biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka

sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku

1

verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain.

Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain

karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah.

Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena

yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk

mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak

nyaman.

Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan

interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang

tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua

orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65%

lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L.

Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis

tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi

komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan

bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk

komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam

praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut.

Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa

asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.

Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-

kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung

2

maupun tidak langsung melalui media massa merupakan

pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian,

ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan

antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri de-

ngan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut

orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan

ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.

Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang

mempunyai makna universal khususnya adalah tertawa,

tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah,

orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada

dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak

mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan

sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena

manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam

kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan

secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang

sama (Bennet, Milton J., 1998).

Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara

Indonesia dan Korea ini adalah untuk mengemukakan hal-

hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di

Indonesia dan Korea. Makalah ini tidak hanya menekankan

3

bagaimana orang Indonesia dan Korea berbeda dalam

berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang

dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung

yang mengatur perilaku anggota masyarakat.

2. Dimensi Ragam Budaya

Telah dikenal ribuan anekdot mengenai

kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara

orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena

besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan

kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku

nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya,

maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang

antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah

cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang

mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian

besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan

hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.

2.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan

Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara

simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan

kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu

4

lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan

kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban

misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang de-

kat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan

kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar

dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam

negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering

bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah

cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.

Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya

terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak

rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak

penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk

mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab,

Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan

Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah

misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar,

Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998).

Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung

berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’,

sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi

antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di

5

daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih

banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah

dingin.

2.2 Individualisme dan Kolektivisme

Salah satu dimensi paling fundamental yang

membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan

kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang

hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana

mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme

dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling

individualistik secara berurutan adalah Amerika,

Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semuanya

negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah

tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia,

Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur

atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan

Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu

budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai

dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam

berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik

relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh

6

dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling

tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain,

tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau

suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma

individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan

tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede,

Geert, 1980).

Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih

sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang

cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat

dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis

bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain

dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang

yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada

norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi

atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa,

orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan

penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif

yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena

menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-

orang dalam budaya individualistik didorong untuk meng-

ungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling

7

tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan

bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih

akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya

kolektif.

2.3 Feminin dan Maskulin

Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering

terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya

disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan,

dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas feminin dihubungkan

dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian

antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan

lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun

ada variasi yang cukup banyak dari negara yang satu

dengan yang lain (Hall, Edward T., 1976).

Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan

ketegasan, sedangkan budaya feminin lebih mementingkan

pengasuhan dan perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu

budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase

wanita dalam pekerjaan teknis dan profesional serta

dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua jenis

kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan

8

maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria,

Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali Jepang, negara-

negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan

Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas terendah

adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia

yang semuanya negara Skandinavia atau Amerika Selatan

kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke-30

dan Korea di urutan ke-41.

2.4 Kesenjangan Kekuasaan

Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi

antarbudaya adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan

kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya menggunakan

Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai

IKK tinggi mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih

terpusat dalam tangan sedikit orang daripada terbagi

dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat

berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK

tertinggi adalah Filipina, Meksiko, Venezuela, India,

dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya negara-

negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis.

Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang paling

9

rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru,

dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di

tingkat ke-8 yang sangat tinggi dan Korea berurutan ke-

27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga

menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam

keadaan beda kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam

usaha untuk tampak sopan dan menenangkan atasan.

Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim

merupakan kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia

menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel yaitu

bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di

iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan

rangkaian kejadian di mana anak-anak tidak terlalu

tergantung pada penguasa dan lebih banyak belajar dari

orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.

Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi

kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai

ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo

Liliweri, 2001). Senyum yang terus menerus yang

dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha

untuk menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan

10

sosial yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan

jabatannya dalam budaya ber-IKK tinggi.

2.5 Konteks Tinggi dan Rendah

Dimensi penting terakhir dari komunikasi

antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan

budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil.

Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu

komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam

konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan

sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang

“diatur, eksplisit, dan disampaikan”. Teman yang sudah

lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pesan

implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh

orang luar. Situasi, senyuman, atau lirikan memberikan

arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situasi

atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari

lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk

nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak

bisa didapatkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan

konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari

pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam

11

bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur,

dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak

seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem

pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal

seperti matematika atau bahasa komputer menuntut sistem

KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima

begitu saja.

Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina,

Jepang, dan Korea merupakan budaya-budaya berkonteks

sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem

komunikasi yang paling eksplisit, namun bahasa Cina

merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-

orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang

tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan,

mereka gagal dalam memahami bahwa budaya KT harus

memberikan konteks dan latar dan membiarkan pokok

masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984).

Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya

KT dan KR. Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti

kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya KR seperti

Amerika dan Eropa Utara. Orang-orang dari budaya KR

sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-ulang hal

12

yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari

budaya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak

terbuka, dan misterius. Kedua, budaya KT tidak

menghargai komunikasi verbal seperti budaya KR. Orang-

orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik

oleh orang Amerika, tetapi orang yang kurang banyak

bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu

budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak

menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya

KR. Budaya KR, dan khususnya kaum pria dalam budaya KR,

tidak dapat merasakan komunikasi nonverbal sebaik

anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan

konteks untuk semua komunikasi, tetapi orang-orang dari

budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat

kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah,

ketegangan, tindakan, kecepatan interaksi, tempat

interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya

dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi

orang-orang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-

orang dari budaya KT mengharapkan lebih banyak

komunikasi nonverbal dibandingkan pelaku interaksi dari

budaya KR. Orang-orang dari budaya KT mengharapkan para

13

komunikator untuk memahami perasaan yang tidak

diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-

isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-

orang dari budaya KR.

3. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Korea dan

Indonesia

Korea dalam sepanjang sejarahnya sangat penting

artinya dari sudut strategi. Hal tersebut dikarenakan

semenanjung Korea itu terletak di tengah tiga negara

besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Selain itu, sampai

akhir masa abad ke-19 semenanjung Korea sudah lama

menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan, politik,

sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan kepulauan

Jepang. Letak geopolitik kerajaan Korea sebagai sebuah

semenanjung yang berfungsi sebagai jembatan penghubung

itu telah memberikan keuntungan dan kerugian. Di satu

sisi kerajaan Korea dapat dengan mudah menyerap seni

budaya dari negara tetangga, tetapi sebaliknya

senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga

yang agresif

14

Salah satu yang berhasil diserap Korea adalah

ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme yang berasal

dari Cina ini disampaikan ke Jepang melalui semenanjung

Korea. Namun, anehnya justru ajaran konfusianisme ini

tidak berkembang di Cina, namun sangat berkembang di

Korea dan Jepang. Ajaran konfusianisme ini diajarkan

oleh seorang bijak dari Cina, yang bernama Kong Zui.

Beliau mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan

membangun hubungan dalam keluarga dan negara dalam

kesatuan yang harmonis. Kong Zui yang diperkirakan hidup

pada abad 6 Sebelum Masehi mengungkapkan hubungan

tersebut pada dasarnya adalah sebuah sistem subordinasi

dari hubungan:

1. Ayah dan anak (orang tua dan anak)

2. Yang tua dan yang muda

3. Suami dan istri

4. Pertemanan

5. Penguasa dan Masyarakat

Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan

kesetiaan kepada raja dan kerajaan (negara), moral, dan

pembaktian kepada orang tua. Di samping itu menekankan

pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan dalam kehidupan

15

sehari-hari, seperti cara bermasyarakat dan cara

mendidik. Bahkan, untuk tata cara bermasyarakat yang

sangat tinggi. Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar

masyarakat Korea dengan sebutan the country of eastern decorum

atau orang ramah dari timur. Hal tersebut berkat ajaran

konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata nilai yang

ada dalam masyarakat Korea.

Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya

adalah Indonesia, khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa

sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan

penuh sopan santun. Meskipun ada sebagian yang berasal

dari Jawa Timur yang dipandang “kurang memenuhi syarat“

sebagai orang Jawa, namun suku Jawa tetap merupakan suku

yang terkenal dengan keramahannya karena biasanya yang

dipandang orang Jawa adalah orang Jawa yang bertempat

tinggal di bagian tengah Jawa (Jawa Tengah - Surakarta)

dan Jogjakarta. Ada begitu banyak kesamaan dalam tata

nilai masyarakat, di antaranya selalu menempatkan orang

lain sesuai dengan usianya, kedudukan sosial/strata

sosialnya, atau dengan kata lain pola hubungan yang

berlaku lebih cenderung vertikal daripada horizontal. Di

samping itu, masyarakat konfusianis Korea dan masyarakat

16

Jawa sangat mementingkan kekeluargaan. Walaupun dalam

keadaaan tidak mampu, mereka tidak dapat melupakan rasa

bakti mereka terhadap orang tua. Baik di saat orang tua

hidup maupun ketika sudah meninggal. Begitu dekatnya

hubungan kekerabatan sampai ada peribahasa Jawa yang

menyatakan mangan ora mangan ngumpul yang berarti susah

senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di sini

adalah rasa kebersamaan dalam menghadapi segala

persoalan hidup.

Namun demikian, ada kesamaan nilai-nilai yang

sekarang dipandang tidak menghargai harkat perempuan,

yaitu hubungan keluarga pada masyarakat konfusianis

Korea lebih berarti daripada hubungan suami istri. Dapat

dikatakan bahwa suami lebih mendengar perkataan ibunya

daripada istrinya sendiri. Bahkan ada peribahasa Korea

yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih

kental daripada air. Jadi, untuk masyarakat Konfusianis

Korea, istri masih dianggap sebagai orang lain.

Begitupun masyarakat Jawa menganggap istri hanya sebagai

kanca wingking atau teman belakang, sedangkan perbedaan

nilai-nilai di antara masyarakat Konfusianis Korea dan

masyarakat Jawa, yaitu:

17

1. Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal ini

tidak terdapat dalam masyarakat Jawa, karena hubungan

kekerabatan masyarakat Jawa dihitung dari pihak

maternal dan paternal, atau dengan kata lain bersifat

bilateral descend. Sedangkan hubungan kekerabatan

masyarakat Korea bersifat paternal, dan begitu kuatnya

prinsip konfusianisme ini sampai tercermin dalam

“prefiks” bahasa Korea.

2. Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar klan

darahnya. Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti

Korea. Namun pada masyarakat Jawa kuno, perkawinan

justru diharapkan terjadi di antara kerabat jauh

mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan

“tulang” yang tercerai berai agar utuh kembali.

3. Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang

ada. Prinsip ini biasanya merupakan salah satu tujuan

dari pernikahan selain membentuk keluarga baru. Namun,

pada masyarakat konfusianis Korea lama atau kuno

secara tegas berprinsip bahwa kehadiran suatu

pernikahan hanya untuk satu tujuan pokok, yaitu

mempersembahkan anak lelaki sebagai penerus keluarga.

Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama dalam ajaran

18

konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi

suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa tidak

ada ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa

tidak mengenal marga atau klan seperti masyarakat kon-

fusius Korea, namun memang sangat dihargai bila “si

sulung” merupakan anak laki-laki, yang nantinya

diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat

keluarga.

4. Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri.

Perceraian dapat disebabkan beberapa macam, namun yang

berbeda bagi masyarakat Jawa adalah perceraian dapat

“dilakukan” oleh selain suami/isteri. Yang dimaksudkan

di sini adalah inisiatif perceraian dapat diberikan

oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada jaman Korea

lama. Hal tersebut jarang terjadi pada masyarakat

Jawa, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan

pihak “yang sok berkuasa” .

5. Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan. Bila

mendambakan seorang anak laki-laki untuk meneruskan

usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat

Jawa adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya

pernikahan baru tersebut diharapkan “isteri muda”

19

dapat dipersembahkan “sang penerus keluarga”. Namun,

berbeda dengan masyarakat Konfusius Korea yang

melakukan upaya adopsi untuk mencari penerus keluarga.

Namun, adopsi yang dilakukan pun berbeda, hanya

dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang

mempunyai anak laki-laki pada zaman Korea lama pula.

4. Sopan Santun dan Kebiasaan di Korea dan Jawa

Sopan santun merupakan jalan bagaimana seseorang

dapat mendisiplinkan diri mereka dan bagaimana dapat

diterima dalam menjalin suatu hubungan. Di Korea, rasa

hormat dan sopan santun menjadi aspek penting dalam

kehidupan. Di Jawa kerukunan dan kehormatan menjadi

aspek penting dalam pergaulan. Seseorang diharapkan agar

tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara

berbicara serta membawa diri dituntut untuk selalu

menunjukan sikap hormat terhadap orang lain sesuai

dengan derajat dan kedudukannya. Orang Korea menjunjung

tinggi senioritas, sedangkan di Jawa lebih menekankan

status. Baik di Korea maupun di Jawa mengetahui secara

rinci mengenai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam

pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status

20

lawan bicara dan bagaimana kita bersikap. Menolak untuk

memberi jawaban juga bukan merupakan hal yang tidak

sopan jika kita melakukannya dengan sikap sopan pula.

Orang Korea dan orang Jawa pada dasarnya adalah orang

yang ramah. Akan tetapi, orang Korea tidak begitu mudah

mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi

kontak fisik. Ketika bertemu dengan seseorang, orang

Korea hanya mengangguk secara sopan atau berjabat

tangan. Berjabat tangan dengan wanita bukanlah hal yang

biasa sedangkan di Jawa hal ini biasa terjadi. Akan

tetapi, bila seseorang telah mengenal orang Korea dengan

dekat, rasa kekeluargaan akan lebih terasa, dan akan

lebih sering terjadi kontak fisik antarteman atau

antarkenalan.

4.1 Sopan Santun di Muka Umum

Membuang ingus di tempat umum, adalah hal yang

tidak sopan di Korea. Tetapi, bersendawa, masih bisa

diterima. Di Jawa, baik membuang ingus maupun bersendawa

di depan umum adalah hal yang tidak sopan. Di Korea,

mendorong-dorong dari belakang ketika berada di tempat

ramai adalah hal yang biasa. Akan tetapi, bila ini

21

dilakukan di Jawa, kadang bisa menyulut keributan.

Apabila seseorang bermaksud untuk lewat atau terburu-

buru, perlu untuk mengucapkan kata “Nuwun sewu” atau

“Permisi”.

Di Korea terdapat fenomena yang dianggap wajar jika

laki-laki saling berangkulan atau wanita saling

bergandengan tangan. Hal ini merupakan ekspresi

keakraban atau bila melihat dua orang pria dewasa

berjalan sambil berangkulan. Adapun wanita yang berjalan

bersama sambil bergandengan tangan adalah hal yang

biasa. Baik di Korea maupun di Jawa, bila ada sepasang

kekasih berpelukan atau berciuman di depan umum dianggap

tidak sopan.

4.2 Sopan Santun di Meja Makan

Pada umumnya sopan santun di meja makan antara

orang Jawa dan Korea dapat dikatakan hampir sama. Ketika

sedang makan, kita tidak boleh bercakap terlalu banyak,

tidak boleh mengunyah hingga menimbulkan suara, dan

berusaha jangan sampai ada makanan yang tercecer.

Tunggulah orang yang lebih tua untuk duduk terlebih

dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua

22

ketika makan. Akan tetapi, di Jawa, tuan rumah biasanya

mempersilahkan tamu untuk memulai hidangan terlebih

dahulu. Apalagi, jika tamu adalah orang yang lebih tua

atau dihormati.

Tidak seperti di Jepang dan Cina, negara tetangga

Korea, yang menggunakan sendok untuk makan nasi dan sup,

dan sumpit hanya digunakan untuk mengambil hidangan

sampingan atau lauk pauk lainnya yang tersedia. Ketika

makan, orang Korea tidak mengangkat mangkuk tempat sup

atau nasi seperti orang Jepang. Orang Korea tidak

mengayun-ayunkan sumpit, dan tidak menancapkan sendok

atau sumpit di atas nasi karena dianggap seperti memberi

makan orang mati. Jika hal ini dilakukan tamu, dianggap

mempermalukan orang yang menjamunya. Bila selesai makan,

sendok dan sumpit diletakkan secara rapi di samping

mangkuk, jika sendok dan sumpit diletakkan di mangkuk

nasi atau sup, dianggap belum selesai makan. Orang Jawa

makan dengan dua cara. Ada yang menggunakan sendok, dan

ada pula yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan

sendok sama seperti kebiasaan orang barat, hanya saja

peralatannya lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan

garpu saja.

23

4.3 Kebiasaan yang Berhubungan dengan Senior

Baik orang Jawa maupun Korea, sangat menghormati

orang tua. Kita tidak boleh berbicara sambil

membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara,

karena hal ini tidak sopan. Bila menerima atau

memberikan sesuatu kepada orang tua, kita harus

menggunakan kedua tangan kita. Di Korea, dalam hal

berjabat tangan, orang muda harus menunggu ajakan orang

yang lebih tua, sedangkan di Jawa kebalikannya, orang

yang lebih mudalah yang mengajak berjabat tangan.

Kemudinan, orang Jawa bila berjalan di hadapan orang

yang lebih tua akan membungkukkan badan, sedangkan di

Korea tidak perlu.

Saat minum, di Korea orang yang lebih muda harus

memiringkan tubuhnya ketika minum agar tidak dilihat

secara langsung oleh orang yang lebih tua. Akan tetapi,

jika berhadapan dengan orang yang beda usianya tidak

terlalu jauh, mereka tidak perlu melakukannya, sedangkan

di Jawa, hal ini tidak perlu dilakukan.

4.4 Kebiasaan Bertamu dan Mengundang

24

Saat berkunjung ke rumah orang Korea, pengunjung

perlu untuk membuka alas kaki dan sebaiknya tamu

menggunakan kaos kaki atau stoking karena bertelanjang

kaki di hadapan orang tua dianggap tidak sopan. Di Korea

juga terdapat kebiasaan untuk membawa bingkisan bila

berkunjung ke rumah seseorang. Di Jawa juga ada kebia-

saan melepas alas kaki bila berkunjung ke rumah

seseorang, tetapi bertelanjang kaki di hadapan orang tua

tidak menjadi suatu masalah yang dianggap serius.

Di Korea tidak ada kebiasaan “go Dutch” atau

membayar sendiri-sendiri seperti di Jepang tetangganya.

Apabila kita berada di Korea, kita harus siap untuk

menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada kebiasaan

bahwa orang yang lebih tua yang akan menjamu yang lebih

muda karena mereka merasa bertanggung jawab kepada yang

lebih muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih

muda. Di Jawa juga tidak dikenal budaya “go Dutch”, yang

mengundang atau yang mengajak adalah yang berkewajiban

untuk membayar atau menjamu.

4.5 Kebiasaan Lain

25

Di Korea, orang tidak menulis dengan tinta merah

ketika memberikan alamat, atau pesan kepada seseorang.

Tinta merah memiliki arti kemarahan atau ketidakramahan.

Bagi orang Korea, angka 4 adalah angka sial. Angka ini

berarti “mati”. Oleh karena itu, bila kita mengundang

tamu orang Korea, jangan memesan kamar no 4 atau kamar

yang berada di lantai 4. Bagi orang Jawa, tidak ada

angka sial, tetapi mungkin karena adanya pengaruh barat,

ada orang Jawa yang menganggap angka 13 sebagai angka

sial. Akan tetapi, orang Jawa menganggap hari-hari

tertentu sebagai hari keramat, seperti Jumat dan Selasa

Kliwon, serta malam 1 Suro. 1 Suro dianggap sebagai hari

para raja, karena itu biasanya pada hari-hari itu orang

Jawa tidak mengadakan pesta pernikahan atau syukuran.

5. Perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea

5.1 Bentuk Ekspresi

Metode hubungan sosial orang Indonesia dan Korea di

mana orang berpura-pura menyukai sesuatu walaupun jelek

dan berpura-pura tidak menyukai sesuatu walaupun bagus,

tentunya mempunyai implikasi yang berbeda dengan metode

orang Amerika yang membedakan dan menganalisa semua hal

26

di muka umum. Orang Indonesia cenderung bergerak dari

hal-hal yang khusus dan kecil ke hal-hal yang umum dan

lebih besar. Mereka mulai dari masalah-masalah pribadi

dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang

menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cende-

rung melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak

untuk memulai dari bagian yang umum atau besar dan

kemudian menyempit ke fakta-fakta yang khusus. Orang

Korea menulis alamat mulai dari nama negara, propinsi,

kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor rumah

dan nama orang. Namun, di Indonesia, mulai dari nama

orang, nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara.

Dalam hal nama pun, orang Korea meletakkan nama

keluarganya lebih dulu dan baru diikuti namanya sendiri,

sedangkan di Indonesia sebaliknya.

Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea

menjawab “ya”, ini tidak selalu berarti mengiyakan,

tetapi hanya berarti “saya mengerti keadaanmu, silakan

lanjutkan ...”, tidak berarti persetujuan atau niat

untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima

jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda

persetujuan, sering timbul kesalahpahaman, dan tampak

27

bahwa orang itu belum cukup mengerti pikiran lawan

bicara. Ini sama halnya sewaktu seseorang mengatakan

“Anda tidak perlu melakukan ini” atau “Silahkan terima

hadiah ini” ketika ada orang lain yang membawakan hadiah

atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu

saja hadiah itu, dia dianggap tidak sopan.

Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan

tentang cara berpikir yang lebih cenderung ke emosional

dibandingkan rasional. Orang Indonesia dan Korea

memecahkan masalah berdasarkan emosi. Ketika orang minta

tolong pada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa orang

yang dimintai tolong harus memecahkan persoalan tersebut

walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya,

walaupun orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal

itu tidak sah atau bertentangan dengan aturan

masyarakat, dia mengharapkan masalah atau kesulitan itu

bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan

menggunakan “alfa”-nya. Dalam hal ini, orang

berorientasi rasional mungkin menolak dengan mengatakan

hal itu tidak sah atau mustahil, tetapi dalam masyarakat

Indonesia dan Korea, seseorang mungkin berpikir bahwa

satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah, dan

28

biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan

dipecahkan dengan cara atau metode “alfa”-nya.

Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam

diri manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar

belakang bagi umat manusia. Namun sebaliknya dengan

orang Indonesia dan Korea. Sebagai contoh, dalam lukisan

Renaissance sumber dari sebagian seni Barat, alam adalah

latar belakang yang kabur bagi manusia di masa mudanya.

Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea atau

Indonesia mengalamkan manusia. Hampir semua sampul

majalah Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar

sampul majalah Korea bergambar alam tanpa manusia di

latar belakangnya.

Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep

persamaan di antara orang Indonesia dan Korea. Hubungan

lebih cenderung vertikal daripada horisontal. Tiap orang

relatif lebih tinggi atau lebih rendah. Dalam keluarga

pun semua dalam hubungan vertikal: kakak laki-laki

terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap adik

perempuan. Bahkan, anak kembar pun tidak sederajat, yang

lahir lebih dulu adalah kakaknya, dan kedudukannya lebih

tinggi daripada yang lahir kemudian. Di dalam kedua

29

masyarakat tiap orang dianggap sebagai individu yang

memiliki seluruh hubungan manusia mirip dengan hubungan

keluarga. Hal itu dapat dicontohkan dengan memanggil

orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman, atau

bibi, dan mereka memanggil orang yang lebih muda adik.

5.2 Bentuk Perilaku Nonverbal

Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat

Korea dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan

yang dapat dirinci sebagai berikut.

• Orang Indonesia maupun orang Korea menganggap kontak

mata sebagai tantangan dan tidak boleh dilakukan

kepada orang yang dihormati atau lebih tua.

• Di Indonesia, acungan jempol berarti ‘bagus’ atau

‘oke’ dan mengacungkan jempol ke arah bawah berarti

‘jelek’ atau ‘merendahkan’, sedangkan di Korea acungan

jempol berarti ‘yang terbaik’, ‘nomor satu’ atau

‘bos’.

• Orang Korea menghitung dengan melipat jarinya dari ibu

jari berurutan ke arah kelingking dengan satu tangan,

sedang orang Indonesia dengan cara membuka tangan dari

30

ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan dua

tangan.

• Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Korea

dalam menggunakan jari dan tangan. Di Indonesia, tabu

untuk menunjuk dengan jari tengah. Di Korea,

meletakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah

pada tangan yang sama atau menggosokkan telapak tangan

yang terbuka di atas kepalan tangan yang lain berarti

hubungan seksual.

• Di Korea, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan

telunjuk berarti ‘uang’, sedang di Indonesia, ini

berarti ‘beres’. Adapun melambaikan tangan dengan

telapak menghadap keluar dan gerakan vertikal berarti

‘selamat jalan’.

• Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan

(menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua)

menggunakan ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk

sesuatu dilakukan dengan jari telunjuk.

• Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel

di jidat menyatakan ‘gila’, sedangkan di Korea hal itu

dinyatakan dengan membuat lingkaran berkali-kali de-

ngan jari telunjuk di jidat.

31

• Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan

menunjuk dadanya dengan jari jempol, sedangkan orang

Indonesia untuk menunjuk pada dirinya sendiri menepuk

atau menunjuk pada dadanya.

• Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea

menyatukan jempol dan telunjuk kemudian digerakkan,

sedangkan bagi orang Indonesia hal tersebut dianggap

sebagai pernyataan bahwa orang yang melakukan hal

tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau menganggap

sesuatu itu mudah sekali.

• Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak

punya uang, cukup dengan menggabungkan jempolnya

dengan telunjuk dan kemudian digerak-gerakkan.

• Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar

dengan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’ di

Indonesia, sedang di Korea itu berarti mengundang

orang untuk mendekat.

• Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun

Indonesia menggunakan telapak tangannya untuk

menulis.

• Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang

yang lebih tua dengan sedikit membungkukkan punggung

32

ketika berjalan melewati orang yang lebih tua,

sedangkan di Korea tidak terdapat hal seperti itu.

• Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti

‘uang’, sedangkan di Korea ‘uang’ ditunjukkan dengan

membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk.

• Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia

menggunakan jabat tangan dan cium pipi, sedangkan di

Korea membungkukkan badan dan jabat tangan. Dalam hal

jabat tangan terdapat perbedaan pula antara Indonesia

dan Korea. Di Indonesia umumnya yang muda mengajak

jabat tangan, sedangkan di Korea yang muda menunggu

ajakan jabat tangan dari yang tua.

6. Penutup

Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang

menekankan atau mengingkari apa yang dikatakannya

melalui kata-kata. Mereka belajar membaca bagian yang

berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa

kedua negara mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan

yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula

bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua

negara itu mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa

adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun,

33

tidak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras

standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar

dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut

bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang

mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda.

Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu

mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi

berusaha memahami satu sama lain, karena kebanyakan

masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin

ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur

kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang

harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud.

34

DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di

Indonesia,. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural

Communication Selected Readings. Maine: Intercultural

Press, Inc.

Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor

Books Doubleday

Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of

Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press

Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International

Differences in Work-Related Values. Abridged Edition.

Newbury Park: Sage Publications

Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan

Keluarge Dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek

Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

35

Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context,

Philadelphia: University of Pennsylvania Press

Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural

Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA:

Wadsworth Publishing Company

Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A.

Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third

Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company

Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan

Masyarakat Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen

Pendidikan Dan Kebudayaan

36