KEUANGAN DAERAH

36

Transcript of KEUANGAN DAERAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang

Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin

baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan,

pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan

daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai

apabila daerah dapat mengelola pemerintahannya dengan diantaranya

adalah Administrasi Keuangan. Sistem pengelolaan Keuangan yang

baik akan memberikan manfaat pada efektivitas pelayanan public

dengan pemberian pelayanan yang tepat sasaran, meningkatkan mutu

pelayanan publik, biaya pelayanan yang murah karena hilangnya

inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources, alokasi

belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan

meningkatkan public costs awareness sebagai akar pelaksanaan

pertanggung jawaban publik.

Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang

ini dinikmati pemeirntah daerah Kabupaten dan Kota, memberikan

jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam

sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.

Kemunculan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah melahirkan paradigma

baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam

pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut berupa

tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang

berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal

tersebut meliputi tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat

laporan keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada

publik.

1.2.        Perumusan Masalah

Belajar dari pengalaman internasional, pelaksanaan otonomi

daerah tidak selalu harus dibiayai oleh pendapatan yang berasal

dari daerah itu sendiri. Namun, secara pasti dapat dikatakan

bahwa apabila semakin maju industri suatu negara maka pelaksanaan

demokrasi akan semakin baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang

semakin demokratis akan tercermin dalam pelaksanaan otonomi

daerah yang semakin besar. Pelaksanaan otonomi yang semakin besar

tersebut dari aspek keuangan tercermin dari expenditure ratio

yang cenderung semakin besar. Dengan demikian, keberhasilan

pelaksanaan otonomi daerah dalam suatu negara tidak selalu harus

diukur dari besarnya peranan PAD untuk membiayai seluruh

aktivitas pemerintahan daerah.

Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan

di bidang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) juga perlu

diatur dengan Undang-undang sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk

menghindari high cost economy, telah diterbitkan UU Nomor 18

Tahun 1997 tentang PDRD, kemudian sejalan dengan pelaksanaan

otonomi daerah, telah direvisi dengan UU Nomor 34 Tahun 2000

tentag PDRD. Prinsip-prinsip yang dianut dalam UU 34/2000 bukan

berarti dimaksudkan untuk menghambat pelaksanaan otonomi daerah

tetapi implementasi sistem perpajakan dan retribusi yang baik dan

bersifat universal.

Sesuai dengan UU 25/1999, perimbangan Keuangan antara Pusat

dan Daerah dilakukan melalui Dana Perimbangan (DP) yang terdiri

dari:

a)    Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak

Penghasilan (PPh) Perseorangan, dan Sumber Daya Alam (SDA);

b)    Dana Alokasi Umum (DAU);

c)    Dana Alokasi Khusus(DAK).

Pelaksanaan otonomi Daerah secara efektif telah dimulai

sejak Januari 2001. Dari sisi keuangan negara hal tersebut telah

membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang

cukup mendasar. Sebagaimana diketahui dalam APBN tahun 2001,

total dana yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan (DP) adalah

sebesar Rp81,67 triliun.

Pembayaran tunggakan pinjaman Pemda dan BUMD pada dasarnya

merupakan kewajiban daerah sebagai pihak yang memperoleh manfaat

dari pinjaman tersebut.

1.3.        Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1.    Menjelaskan pengertian administrasi keuangan daerah, hubungan

keuangan daerah dengan keuangan pusat, serta pengurusan keuangan

daerah

2.    Menjelaskan pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran

daerah, struktur APBD, sumber-sumber penerimaan daerah, belanja

daerah, serta pembiayaan daerah

3.    Memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD,

mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD

4.    Memahami proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan

pertanggungjawaban APBD

5.    Menjelaskan pengertian penggantian kerugian daerah.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Keuangan Daerah

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam

penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai

dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik

daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan Daerah/Negara adalah

semua dan kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang,

serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapay dijadikan milik negara/daerah berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi:

1.    hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah

serta melakukan pinjaman;

2.    kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan

daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;

3.    penerimaan daerah;

4.    pengeluaran daerah;

5.    kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain

yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan

pada perusahaan daerah; dan

6.    kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan

umum. Rangka

2.1.1. Sistem Informasi Keuangan Daerah

Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) adalah suatu

fasilitas yang diselenggarakan oleh Menteri Keuangan untuk

mengumpulkan, melakukan validasi, mengolah, menganalisis data,

dan menyediakan informasi keuangan daerah dalam rangka merumuskan

kebijakan dalam pembagian dana perimbangan, evaluasi kinerja

keuangan daerah, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (RAPBN) serta memenuhi kebutuhan lain, seperti

statistik keuangan negara.

SIKD ini diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sumber

informasi bagi sistem informasi keuangan daerah terutama adalah

laporan informasi APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat

(1) UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu: informasi mengenai pengelolaan

keuangan daerah dan informasi mengenai kinerja keuangan daerah

dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam rangka

desentralisasi.

Tujuan penyelenggaraan SIKD adalah:

a.     membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan keuangan

daerah;

b.     membantu menyediakan data dan informasi kepada Sekretariat

Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) pacla Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah;

c.     membantu Menteri Keuangan dan instansi terkait IainnYa dalam

melakukan evaluasi kinerja keuangan daerah, penyusunan RAPBN, dan

kebutuhan lain seperti statistik keuangan negara;

d.     membantu pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakar keuangan

dan menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dar Belanja Daerah

(RAPBD), pemerintahan, dan pembangunan di Daerah.

2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat

APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun

2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). Semua Penerimaan

Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola dalam

APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam

rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi.

Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan

pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat

dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah

dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan

semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka

pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu.

Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi

target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua

pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran

yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar

pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi

kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan

daerah.

2.2.1. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah

Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam

Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

yaitu :

1.    Fungsi Otorisasi

Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan

belanja pada tahun yang bersangkutan.

2.    Fungsi Perencanaan

Anggaran daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam

merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

3.    Fungsi Pengawasan

Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan

penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan.

4.    Fungsi Alokasi

Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan

pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan

efektivitas perekonomian.

5.    Fungsi Distribusi

Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa

keadilan dan kepatutan

6.    Fungsi Stabilisasi

Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian.

2.2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah

Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang

pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan

Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam

Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,

yaitu :

1. Kesatuan

Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja

Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.

2. Universalitas

Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan

secara utuh dalam dokumen anggaran.

3. Tahunan

Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun

tertentu

4. Spesialitas

Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci

secara jelas peruntukannya.

5. Akrual

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk

pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran

untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya

belum dibayar atau belum diterima pada kas

6. Kas

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada

saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah

Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan

belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka

13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan

selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan

pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum

dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.

2.2.3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:

1. Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui

Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang

merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu

dibayar kembali oleh Daerah.

Pendapatan daerah terdiri atas:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);

b. Dana Perimbangan; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan daerah, selain PAD dan Dana Perimbangan, adalah

Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang meliputi hibah, dana

darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh

pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari Lain-lain Pendapatan

Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau

jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha

dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.

2. Belanja Daerah

Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja

daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah

yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban

daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh

pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan

dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan

wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan

perundang-undangan.

Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi,

program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja

menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi

pemerintahan daerah.

2.3. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa

1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai

dengan tanggal 31 Desember. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan

penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah

melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran.

Pada dasarnya, siklus anggaran terdiri atas empat tahap,

yaitu:

1.    Tahap persiapan dan penyusunan anggaran;

2.    Tahap ratifikasi;

3.    Tahap implementasi; dan

4.    Tahap pelaporan dan evaluasi.

2.3.1. Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran (Budget Preparation)

Pada tahap persiapan dan penysuunan anggaran dilakukan

taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang

tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu

diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran,

hendaknya terlebih dahulku dilakukan penaksiran pendapatan secara

lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya masalah yang

cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat

bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran

pengeluaran.

Dalam persoalan estimasi, yang perlu mendapat perhatian

adalah terdapatnya faktor “uncertainty” (tingkat ketidakpastian)

yang cukup tinggi. Oleh sebab itu manajer keuangan publik harus

memahami betul dalam menentukan besarnya suatu mata anggaran.

Besarnya suatu mata anggaran sangat tergantung pada teknik dan

sistem anggaran yang digunakan. Besarnya mata anggaran pada suatu

anggaran yang menggunakan “line-item budgeting”. Akan berbeda pada

“performance budgeting”, “input-output budgeting”, “program budgeting”, atau “zero

based budgeting”.

2.3.2. Tahap Ratifikasi Anggaran

Tahap berikutnya, adalah budget ratification. Tahap ini merupakan

tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup

berat. Pimpinan eksekutif (kepala daerah) dituntut tidak hanya

memiliki “managerial skill” namun juga harus mempunyai “political skill”,

“salesmanship”, dan “coalition building” yang memadai, integritas dan

kesiapan mental yang tinggi dan eksekutif sangat penting dalam

tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan

eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan

argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan

bantahan-bantahan dari pihak legislatif.

2.3.3. Tahap Pelaksanaa Anggaran (Budget Implementation)

Setelah anggaran disetujui oleh legislatif, tahap berikutnya

adalah pelaksanaan anggaran. Dalam tahap ini, hal terpenting yang

harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah

dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian

manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini bertanggung

jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan handal

untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah

disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan

anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang digunakan

hendaknya juga mendukung pengendalian anggaran.

2.3.4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran

Tahap terakhir dari siklus anggaran asalah pelaporan dan

evaluasi anggaran. Tahap persiapan, ratifikasi, dan implementasi

anggaran terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan

tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas.

Apabila pada tahap implementasi telah didukung dengan sistem

akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka pada

tahap pelaporan dan evaluasi anggaran biasanya tidak akan menemui

banyak masalah.

Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah

Daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk

tercapainya tujuan bernegara. APBD, perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ditetapkan setiap tahun

dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran

pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian atas

tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Pendapatan,

belanja dan pembiayaan daerah Pada akhir pemelajaran ini peserta

dapat memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD,

mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD.

Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin

kecukupan dana dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya.

Karena itu, perlu diperhatikan kesesuaian antara kewenangan

pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturan kesesuaian

kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:

1.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah didanai dari dan atas beban APBD.

2.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN.

3.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya

dilimpahkan kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan

atas beban APBD provinsi.

4.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang

penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban

APBD kabupaten/kota.

Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik

dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang

berkenaan harus dianggarkan dalam APBD. Penganggaran penerimaan

dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran.

Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan

kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan.

2.4. Pelaksanaan, Penatausahaan APBD

2.4.1. Pelaksanaan APBD

Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka

pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.

Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan,

belanja, dan pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah.

Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang

selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau

disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Kriteria keadaan

darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan Anggaran oleh Kepala SKPD dilaksanakan setelah

Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD

dengan persetujuan Sekretaris Daerah. Proses penetapan DPA-SKPD

adalah sebagai berikut. APBD ditetapkan, memberitahukan kepada

semua kepala SKPD agar menyusun rancangan DPA-SKPD.

Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima

pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau

penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung

untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh

peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa uang atau

cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1(satu)

hari kerja oleh Bendahara Penerimaan dengan didukung oleh bukti

yang lengkap.

Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum

daerah. SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang

ditetapkan dalam peraturan daerah. SKPD yang mempunyai tugas

memungut dan/atau menerima dan/atau kegiatannya berdampak pada

penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan penerimaan

tersebut.

Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera

disetor ke kas umum daerah dan berbentuk barang menjadi

milik/asset daerah yang dicatat sebagai inventaris daerah.

Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian

tuntutan ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan

pada rekening penerimaan yang bersangkutan untuk pengembalian

penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama. Untuk pengembalian

kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya

dibebankan pada rekening belanja tidak terduga. Jumlah belanja

yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk

setiap pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat dibebankan

pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak

tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. Setiap SKPD

dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk

tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Pengeluaran

belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif,

efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap

dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat

dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD

ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas

tersebut tidak termasuk belanja yang bersifat mengikat dan

belanja yang bersifat wajib.

Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan Surat

Penyediaan Dana (SPD), atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD

(DPA-SKPD), atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.

Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji pegawai negeri sipil

daerah dibebankan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat memberikan

tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah

berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan

kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh

Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Semua penerimaan dan

pengeluaraan pembiayaan daerah dilakukan melalui Rekening Kas

Umum Daerah.

Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening

dana cadangan ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan

rencana pelaksanaan kegiatan, setelah jumlah dana cadangan yang

ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang pembentukan dana

cadangan yang berkenaan mencukupi. Pemindahbukuan tersebut paling

tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk

mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan

sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang

pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari rekening dana

cadangan ke rekening kas umum daerah tersebut dilakukan dengan

surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan

PPKD.

Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pencatatan penerimaan

atas penjualan kekayaan daerah didasarkan pada bukti penerimaan

yang sah. Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah

pinjaman yang akan diterima dalam tahun anggaran yang

bersangkutan sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian

pinjaman berkenaan. Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang

asing dibukukan dalam nilai rupiah. Penerimaan kembali pemberian

pinjaman daerah didasarkan pada perjanjian pemberian pinjaman

daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian pokok pinjaman

dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.

Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan

pembentukan dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok

utang, dan pemberian pinjaman daerah. Jumlah pendapatan daerah

yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan dalam tahun

anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam

peraturan daerah. Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang

disisihkan yang ditransfer dari rekening kas umum daerah ke

rekening dana cadangan dilakukan dengan surat perintah

pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

2.4.2. Penatausahaan Keuangan Daerah

Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara

penerimaan, bendahara pengeluaran dan orang atau badan yang

menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib

menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada

bank pemerintah yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD

menerima nota kredit.

Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan

terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang

menjadi tanggung jawabnya. Bendahara penerimaan pada SKPD wajib

mempertanggungjawabkan secara administratif atas pengelolaan uang

yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan

pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan

berikutnya. Disamping pertanggungjawaban secara administratif,

Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggung jawabkan

secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung

jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban

penerimaan kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan

berikutnya.

2.5. Akuntansi Keuangan Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi

penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan

fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum

otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat

lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya

bersifat lokal) sering dikelola oleh instansi Pusat. Hal ini

sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar daripada

apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemda.

Konsep good governance di bidang dana perimbangan

sebagaimana diatur melalui PP Nomor 104 Tahun 2000 paling tidak

dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan

alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak

universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keppres,

setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPOD yang

mayoritas anggotanya berasal dari Pemda. Kemudian selanjutnya

produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan

masyarakat.

Implementasi prinsip-prinsip good governance pengelolaan

keuangan daerah dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi

fiskal telah diatur dalam PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai derivasi atau

penjelasan lebih lajut dari UU 25/1999. PP tersebut telah

mengatur secara tegas mengenai pengelolaan keuangan daerah, yaitu

:

•      Pengaturan : Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan

dengan Peraturan Daerah, sedangkan mengenai sistem dan

prosedurnya (penatausahaan) diatur dengan peraturan kepala

daerah;

•      Perencanaan : Penganggaran berdasarkan pendekatan kinerja. Ke

depan penganggaran harus diarahkan pada unified budget, sehingga

tidak akan ada lagi dikhotomi antara anggaran rutin dan

pembangunan yang selama ini sering tumpang tindih.

•      Pelaksanaan : Penatausahaan berdasarkan standar akuntansi

keuangan pemerintah daerah yang berlaku. Selama ini, pencatatan

keuangan daerah bersifat pembukuan tunggal (single entry) dan

berbasis kas (cash basis). Ke depan akan di arahkan pada

pembukuan berpasangan (double entry) dan secara bertahap akan

mengarah pada basis akrual (acrual basis).

•      Pertanggungjawaban : Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah

terdiri dari Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan

Aliran Kas, dan Neraca.

Selanjutnya PP 11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah

yang merupakan produk hukum lain yang diamanatkan oleh UU

25/1999, menyatakan perlunya suatu sistem informasi keuangan

daerah. Sebagai dokumen publik informasi tentang keuangan daerah

dapat diketahui oleh masyarakat secara terbuka. Untuk memudahkan

masyarakat mendapatkan informasi mengenai penggunaan dana yang

diperoleh dari masyarakat melalui pajak dan retribusi, perlu

adanya suatu sistem informasi keuangan daerah (SIKD). Melalui

SIKD, informasi tidak lagi ditujukan hanya untuk konsumsi lokal

dan nasional, tetapi sudah menjadi kebutuhan dan tuntutan

internasional sebagaimana dijabarkan dalam Government Financial

Statistics (GFS) yang dikeluarkan oleh International Monetary

Fund (IMF) dimana Indonesia juga sebagai salah satu anggota

Untuk melakukan penyusunan laporan keuangan, Pemerintah

daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu

kepada standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi

pemerintah daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pengelola

Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai entitas pelaporan dan Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian

prosedur mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan,

pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam rangka

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara

manual atau menggunakan aplikasi komputer. Proses tersebut

didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal dan buku besar, dan

apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya

meliputi:

1. prosedur akuntansi penerimaan kas;

2. prosedur akuntansi pengeluaran kas;

3. prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan

4. prosedur akuntansi selain kas.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan

berpedoman pada prinsip pengendalian intern sesuai dengan

peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian internal

dan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah dilaksanakan oleh PPKD.

Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPKSKPD. PPK-SKPD

mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan

bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas

pelaporan menyusun laporan keuangan yang meliputi:

1. laporan realisasi anggaran;

2. neraca;

3. laporan arus kas; dan

4. catatan atas laporan keuangan.

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas

akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi:

1. laporan realisasi anggaran;

2. neraca; dan

3. catatan atas laporan keuangan.

2.6. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif,

transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas

keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan

daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti,

bahwa APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah

dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

dalam tahun anggaran tertentu. Dengan demikian, pemungutan semua

penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Semua

pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran

yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar bagi

kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan

daerah.

Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka

desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD. Semua penerimaan

daerah dan pengeluaran daerah yang tidak berkaitan dengan

pelaksanaan dekosentrasi atau tugas pembantuan merupakan

penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi. APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD

ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan dokumen daerah.

2.7. Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi

Ketentuan mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti

kerugian negara/daerah diatur dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V

Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

2.7.1. Penyelesaian Kerugian Daerah

Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut :

a.    Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan

melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera

diselesaikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

b.    Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain

yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan

kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan

negara, wajib menggantikan kerugian tersebut.

c.    Setiap pimpinan kementrian negara/lembaga/kepala Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) dapat segera melakukan tuntutan ganti

rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementrian

negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat

perbuatan dari pihak manapun.

d.    Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung

atau oleh kepala SKPD kepada gubernur/bupati/walikota dan

diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja

setelah kerugian daerah itu diketahui.

e.    Segera setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara,

pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyatanyata

melanggar hukum dapat segera dimintakan surat pernyataan

kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi

tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah

dimaksud.

f.     Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak

mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian

daerah, maka gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera

mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian

sementara kepada yang bersangkutan.

g.    Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan

oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan

unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

h.    Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri

bukan bendahara, atau pejabat lain ditetapkan oleh

menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tatacara

tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan

pemerintah.

i.      Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain

yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah

dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

j.      Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

2.7.2. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah

Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun

pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri

bukan bendahara, atau pejabat lain diatur dengan peraturan

pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket

undang-undang di atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat

digunakan oleh pihakpihak yang terkait dalam menangani dan

menyelesaikan kerugian negara/daerah yang semakin hari semakin

bertambah besar, sehingga dapat diantisipasi terjadinya kerugian

daerah, dicegah penyelesaian kerugian daerah yang berlarut-

larut, serta dipercepat proses pemulihan kerugian daerah maupun

diperkecil terjadinya kerugian daerah.

2.8. Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui upaya damai

dilakukan apabila penggantian kerugian keuangan daerah dilakukan

secara tunai sekaligus dan angsuran dalam jangka waktu

selambatlambatnya 2 (dua) tahun dengan menandatangani Surat

Keterangan Tanggung jawab Mutlak (SKTJM).

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses

Tuntutan Perbendaharaan dilakukan apabila upaya damai yang

dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil.

Proses penuntutannya merupakan kewenangan kepala daerah melalui

Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti

Rugi Keuangan dan Barang Daerah (Majelis Pertimbangan). Apabila

pembebanan perbendaharaan telah diterbitkan, kepala daerah

melakukan eksekusi keputusan dimaksud dan membantu proses

pelaksanaan penyelesaiannya.

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses

Tuntutan Ganti Rugi dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan

secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil.

BAB III

KESIMPULAN

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan

dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan

Daerah kemudian adalah seluruh kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

Pengelolaan Administrasi Keuangan daerah merupakan salah

satu perhatian utama para pengambil keputusan di pemerintahan,

baik di tingkat pusat maupun daerah. Sejalan dengan hal tersebut,

berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah ditetapkan dan

mengalami perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan sistem

pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan

kebutuhan masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi,

demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan

keuangan daerah.

Secara garis besar, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi

menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan

manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat

menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka

melaksanakan otonomi daerah.

REFERENSI

A.   Buku

1.    Ahmad Yani, S.H., M.M., Ak., Hubungan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Daerah di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan kedua, April, 2004.

2.    Anwar Sulaiman H., Drs., Manajemen Aset Daerah, STIA-LAN, 2000

3.    Arifin P. Soeria Atmadja, Dr., Mekanisme Pertanggungjawaban

Keuangan Negara, PT Gramedia, Jakarta, 1986.

4.    Badan Pemeriksa Keuangan, Petunjuk Pelaksanaan Tuntutan Perbendaharaan

dan Tuntutan Ganti Rugi, 1976.

5.    BPKP, Pedoman Penanganan Penggantian Kerugian Negara, 1993.

6.    Darise, Nurlan, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, Penerbit PT

Indeks, 2006.

7.    __________, Pengelolaan Keuangan Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD), Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2007.

8.    Devas, Nick, et al., Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta,

Penerbit Universitas Indonesia, 1989.

9.    Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., Determinasi Kebijakan Anggaran

Negara Indonesia, Studi Yuridis, Papas Sinar Sinanti, Jakarta 2005.

10. Gade, Muhammad. 1998. Akuntansi Pemerintahan. Edisi Revisi.

Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

11. Goedhart C., Dr., Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan

oleh Ratmoko, S.H., Penerbit Jembatan, Jakarta, 1981.

12. Hadi, M., Administrasi Keuangan RI, Jakarta, 1981.

13. Halim, Abdul (editor), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah,

Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2001.

14. Halim, Abdul, Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta,

Penerbit Salemba Empat, 2002.

15. Kansil CST, Prof. Drs., S.H.dan Kansil Christine S.T., S.H.,

M.H. 2001. Kitab Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 – 2001; Kitab 2.

Jakarta: PT Pradnya Paramita.

16. Mardiasmo, Prof., Dr., MBA., Ak., Akuntansi Sektor Publik, Penerbit

ANDI Yogyakarta, 2004.

17. Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II , Edisi Keempat,

2004.

18. Modul-Modul Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

19. Pendapatan Nasional. Edisi ke-5. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

20. Rasul Sjahrudin, Dr., SH., Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas

Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No. 17 Tahun 2003, PNRI,

Jakarta 2003.

21. Sugijanto, Drs., Ak., dkk., Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi Non

Laba, Pusat Pengembagan Akuntansi FE-UI, Jakarta, 1995.

B.   Perundang-Undangan

1.    Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

2.    Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997 tentang

Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan Perbendaharaan Keuangan dan

Barang Daerah.

3.    Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara

Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

4.    Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan.

5.    Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi

Keuangan Daerah.

6.    Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan

Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah.

7.    Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

8.    Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi

Daerah.

9.    Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan

Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

10. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

11. Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak.

12. Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa.

13. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

14. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

C.   Internet

1.    www.pusdiklatwas.bpkp.go.id

2.    www.depdagri.go.id

3.    www.docstoc.com

4.    www.radioprssni.com

5.    www.setneg.go.id