Ketika Bertemu Manusia, Komodo Diam atau Kabur? (In Indonesia)

20
H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1 Jenis-jenis Makanan pada Cicak & Tokek Sikap Komodo

Transcript of Ketika Bertemu Manusia, Komodo Diam atau Kabur? (In Indonesia)

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1

Jenis-jenis Makanan pada Cicak & Tokek

Sikap Komodo

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 32

Assalamu‘alaikum Wr. Wb. dan Salam herping!

Sebagaimana Anda dan Sahabat Herpetologer Mania sekalian, kami juga berbahagia memasuki perhitungan masa yang baru, yakni tahun 2015. Dari dapur redaksi, kami mempersembahkan edisi pertama majalah Herpetologer Mania di tahun 2015. Atau edisi yang ketujuh semenjak media kecil ini diterbitkan.DAFTAR ISIPembimbing

Ketua Departemen Biologi FMIPA USU

Konsultan KontribusiMistar Kamsi, Giyanto, Munawar

Kholis, Joko Guntoro

Penanggung JawabHerclus Tampubolon

Pemimpin RedaksiAkhmad Junaedi Siregar

EditorChairunas Adha Putra

AdministrasiDesy Hikmatullah, Siska Handayani

KontributorKhairul Umri, Tengku Gilang

Pradana, Arfah Nasution

DisainerRachmi

Diterbitkan oleh Herpetologer Mania

Didukung oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Departemen Biologi

FMIPA USU

Redaksi menerima kontribusi Anda untuk tulisan dan foto seputar

herpetofauna. Silahkan kirim ke e-mail: [email protected].

SALAM REDAKSI

Edisi ketujuh Herpetologer Mania membawa kegembiraan tersendiri bagi kami. Seiring pertambahan usianya,

kami merasa majalah ini mulai mendapat tempat di hati pembaca dan penulis. Jika awalnya tulisan-tulisan yang hadir di media ini adalah tulisan yang di-request terlebih dahulu, kini sebagian besarnya datang karena inisiatif sendiri penulis. Bahkan beberapa tulisan dengan nama yang sama harus kami undur untuk edisi depan. Kebahagiaan kami bertambah lengkap ketika beberapa peneliti asing dikabarkan menjadikan majalah Herpetologer Mania menjadi salah satu acuannya khususnya mendalami amfibi dan reptil Sumatera.

Pada kesempatan ini redaksi mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ardiantiono yang mengisahkan hasil penelitiannya tentang sikap biawak raksasa, Komodo di TN Komodo. Terima kasih kepada Bapak Muhammad Irfansyah Lubis yang menyambung tulisannya di edisi keenam yang dulu, kini tentang efek perluasan perkebunan kepada distribusi herpetofauna di TN Berbak, Jambi. Ada juga Ibu Yanti A. Darmawan tentang temuan ular kadalnya di Kampus IPB, terima kasih juga kami haturkan kepada R. Natahan Rusli dan Muhammad Ilham Manik atas tulisannya masing-masing. Tentunya kami senang dan berterima kasih kepada ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia saat ini, Bapak Amir Hamidy atas kesediannya untuk wawancara.

Kami mengangkat kisah utama pada edisi Pebruari ini perihal ditemukannya kembali kadal merah tanpa kaki (Ophisaurus wegneri) oleh salah satu penulis produktif Herpetologer

Mania, Siska Handayani. Memuat cerita ini kami sedikit hati-hati karena beberapa pertimbangan. Redaksi takut nanti di kemudian hari jenis kadal yang baru tercatat ditemukan tiga kali ini justru akhirnya menjadi obyek dagang di kalangan pemelihara dan pecinta reptil. Oleh karena itu, lokasi-lokasi yang sifatnya spesifik kami reduksi sedemikian rupa.

Seperti biasa, anggota Herpetologer Mania tetap menuliskan banyak cerita untuk memadatkan konten majalah Herpetologer Mania edisi ketujuh. Pembaca bisa menyimak One Night with Gekkonidae oleh Arfah Nasution, Katak Endemik Kongkang Sumatera dan Ganasnya Katak Betina oleh Akhmad Junaedi Siregar.

Pembaca, taksonomi herpetofauna belumlah sebaik tata nama dua kelas di atasnya, unggas dan mamalia. Belakangan kita mendengar banyak jenis baru dan seolah-olah penemuan jenis baru adalah tren penelitian saat ini. Perkembangan metode penelitian molekuler memudahkan pencarian perbedaan antara spesies kriptik. Ini adalah berita yang baik dan sekaligus berita buruk.

Cara identifikasi dengan mengakhiri nyawa spesimen adalah langkah yang paling instan untuk identifikasi di laboratorium yang dilakukan secara eksklusif oleh para kurator. Hasil identifikasinya lebih baik dibanding identifikasi morfologi di lapangan. Dari segi ketepatan jenis lebih baik, tapi kurang baik dari segi kelestarian satwa. Herpetologer Mania cenderung menyukai identifikasi morfologi dan sulit menerima cara instan tadi terkait kelestarian herpetofauna. Kami melihat bahwa pengambilan spesimen adalah langkah mendapatkan kunci identifikasi dalam bentuk morfologi.

Akhirnya, kami mengucapkan selamat membaca majalah Herpetologer Mania edisi ketujuh ini. Semoga kami, Anda dan kita semua dapat menjadi bagian kecil penyeimbang alam ciptaan Tuhan ini.

6 Temuan Kembali si Kadal Merah Tanpa Kaki

12 Kejutan dari si Ular Kadal

14 Amir Hamidy: “Semoga Buku Herpetofauna Indonesia Menjadi Nyata”

18 Huia sumatrana si Penghuni Jeram-jeram Sumatera

20 Masih Ada Jajanan Telur Penyu di Pulau Penyengat

22 Ganasnya Katak Betina

24 Indah tapi Sangar, Dialah Rana debussyi

26 Betulkah Perluasan Areal Perkebunan Memperluas Habitat Kura-kura?

30 Ketika Bertemu Manusia, Komodo Diam atau Kabur?

35 Mencari Tahu Jenis-jenis Makanan pada Cicak dan Tokek

37 345 Reptile Center Berbenah Menjadi Pusat Informasi Reptil

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 54

Di hadapan Anda, majalah kecil yang kami banggakan ini kembali hadir. Ini adalah edisi ketujuh di tahun kedua sejak berdirinya Herpetologer Mania. Juga

adalah edisi pertama di tahun 2015 yang penuh harapan.

Di dalam dunia sains khususnya biologi, pergantian tahun sebenarnya tidaklah mencerminkan dunia yang semakin tua. Dunia ini sebenarnya hidup. Hutan yang mati karena gunung meletus sesungguhnya akan kembali remaja dalam beberapa tahun kemudian, bakteri akan berkembang kembali dan lumut akan hadir sebagai tumbuhan perintis. Manusia juga akan digantikan dengan generasi-generasi yang lebih siap menunggangi jaman. Begitulah, bumi ini selalu menuju titik keseimbangan. Titik di mana semua mencapai kestabilan.

Tapi kalau kita mencoba memakai kacamata agama, siklus seisi bumi seperti corong besar menuju dunia yang baru. Kematian menjadi pintu masuk ke dunia itu. Dan setiap kematian adalah kehidupan baru di dunia sana. Jika

seperti pandangan biologi bahwa sel adalah satuan kehidupan, maka pandangan agama orang (individu) adalah satuan kehidupan. Kematian makhluk adalah ketetapan, niscaya kehidupan makhluk juga adalah ketetapan. Mari sama-sama mengambil hikmah. Saya menyambut baik hadirnya majalah Herpetologer Mania edisi ketujuh ini. Saya mendengar bahwa pembaca Herpetologer Mania sudah mengalami peningkatan yang menggembirakan.

Sebagai komunitas dan lembaga, Herpetologer Mania juga sudah resmi di mata hukum dengan sudah adanya akte notaris. Dan yang menggembirakan lagi adalah majalah ini sudah didaftarkan dalam pencatatan media ilmiah di LIPI dengan nomor ISSN: 2407-8425.

Selamat membaca dan salam lestari.

“I am the future biologist and someday I willl have a theory named after me”

Sejak kecil Ardian sudah memiliki ketertarikan yang kuat dengan alam dan satwa di dalamnya. Beliau mulai terlibat dalam kegiatan pengamatan lapangan, penelitian, dan seminar sejak berkuliah di Biologi Universitas Indonesia pada tahun 2010. Semenjak itu, minat khusus pun tumbuh subur di dalam diri Ardian, seperti terhadap biologi konservasi, manajemen satwa liar, dan interaksi antara manusia dengan satwa liar. Minatnya tersebut mendorong pria yang sekarang bekerja di Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) ini untuk melakukan penelitian kerja praktik dan skripsi mengenai biawak komodo dan interaksinya dengan manusia di Taman Nasional Komodo. Adrian memiliki kepercayaan bahwa segala cerita dan pengetahuan mengenai alam Indonesia yang didapat haruslah dibagikan kepada orang lain.Oleh karena itu, ia telah menulis beberapa artikel populer dan ilmiah mengenai biawak komodo, orangutan, hingga buaya muara. Kini beliau masuk dalam tim survei harimau sumatera di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kita bisa menghubungunya ke: [email protected]

Ardiantono

Pria kelahiran Medan, 31 Agustus 1996 yang

memiliki nama lengkap Muhammad Ilham Manik. Sejak memasuki dunia kampus, beliau sudah aktif mengikuti kegiatan lapangan. Terhitung masih enam bulan menjadi mahasiswa Biologi FMIPA USU, tetapi dia sudah cukup banyak mencicipi asam manis di lapangan. Saat ini Ilham

merupakan salah satu calon relawan Biopalas Biologi FMIPA USU.

Ilham memiliki hobbi herping, adventure dan membaca. Herping salah satu kegiatan yang ia suka. Senior-seniornya di kampus sering mengajaknya herping, dan ia benar-benar jatuh cinta pada dunia amfibi reptil. Antusiasnya begitu tinggi pada herpetofauna, itu bisa dilihat dari salah satu spesies amfibi yang membuatnya terpukau yakni Rana debussyi. Bagaimana beliau kagum terhadap jenis endemik ini? Tulisannya patut kita simak bersama di halaman berikutnya.

Muhammad Ilham Manik

Pria yang lebih dikenal dengan nama fesbuk

Nathan Sputatrix sudah banyak berbuat sesuatu tentang ular meski masih duduk di kelas satu SMA. Ia lahir di Jakarta pada 31 Oktober 1998 yang lalu. Pria yang berdomisili di Jakarta ini adalah salah satu pengurus 345 Reptile Center.

Sebagai pengurus Nathan pun melaksanakan program-program yang sudah dicanangkan seperti edukasi ke sekolah-sekolah dan tentunya herping sebagai salah satu “menu” utama. Reptil yang paling mereka gemari adalah ular. Untuk mengisi hari-hari yang kosong, Nathan mengisi liburannya dengan kegiatan-kegiatan bernuansa alam seperti rafting, riverboard, trekking, herping, dan lainnya. Sebagai perkenalan pertama untuk 345 Reptile Center, Nathan telah menggoreskan penanya untuk Anda. Silahkan buka halaman berikutnya.

R. Nathan Rusli

Nursahara PasaribuKetua Departemen Biologi FMIPA USU

SALAM KONSERVASI SAHABAT HERPETOLOGER

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 76

Herping Berasa Nano-nano,

Temuan Kembali si Kadal Merah

Tanpa Kaki Ada tiga lokasi survei yang kemudian saya

sebut saja lokasi A, B dan C. Sebenarnya lokasinya sangat jelas untuk perkembangan ilmu herpetofauna, tapi saya coba mengaburkan infonya karena temuan salah satu jenis adalah kadal yang sangat diincar para pemelihara dan pedagang liar. Dialah kadal merah tanpa kaki, Ophisaurus wegneri.

Di lokasi pertama, kami herping selama dua hari. Seperti biasa survei dilakukan pada malam dan siang hari di setiap lokasinya. Malam pertama, di sungai lokasi A menemukan enam spesies reptil yaitu Ahaetulla prasina, Gonocephalus grandis, Cyrtodactylus marmoratus,

Mabuya multifasciata, Elaphe taeniura dan Boiga jaspidea dan Rana hosii yang diperkirakan justru kesasar di sungai berbelerang itu. Penemuan yang tergolong sedikit ini tidak begitu buruk bagi saya karena toh masih menjumpai Boiga jaspidea yang sebelumnya belum pernah saya temui.

Malam kedua, kami masih melakukannya di lokasi yang sama, tetapi ke arah hilir. Hasilnya tidak ada sesuatu temuan yang

menarik, hanya satu, Ahaetulla prasina yang sebelumnya juga sudah didata. Daftar jenis yang didapatkan membuat saya sedikit kecewa, di samping jenisnya yang sedikit, medannya terlalu berat. Ada sedimentasi di kanan dan kiri pinggiran sungai. Di sana banyak pula serangga-serangga kecil menghampiri cahaya lampu kepala yang membuat kami risih.

Lokasi B adalah hutan bertipe kerangas. Lokasi yang cukup unik, di mana vegetasi yang tumbuh relatif kerdil dengan tutupan kanopi yang cukup rendah. Hutan kerangas ini didominasi oleh pohon dari famili Ericaceae, Myrtaceae (Syzygium sp.), Theaceae (Gordonia sp.) dan Nepenthes spp. Pertama kali juga bagi saya memasuki hutan seperti ini. Hutannya

Pada pekan ketiga sampai akhir bulan September 2014 yang lalu, saya dan teman lain yang merupakan anggota Herpetologer Mania mendapat kesempatan survei herpetofauna di Kawasan Hutan Batang Toru, Tapanuli Utara, Sumut. Survei yang berlangsung selama lebih kurang dua minggu, 18-30 September 2014 itu rasanya seperti permen nano-nano. Ya, berasa asam dan asin, sekaligus manis.

Teks oleh Siska Handayani, foto oleh Chairunas Adha Putra & Siska Handayani

BERITA UTAMA

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 98

benar-benar terlihat unik dan menarik, tetapi beberapa kali memasuki hutan ini ternyata bosan juga karena tidak menemukan apa-apa ditambah lagi cuaca yang panas, medannya yang berbukit-bukit dan rutenya yang lumayan panjang.

Lengkaplah sudah rasa bosannya. Tepat pada pengamatan hari ke-6, 23 September 2014 yang lalu, kami berjalan di sekitar hutan kerangas itu dan dan lagi-lagi zonk alias tidak ada sesuatu apapun. Kami pasrah dan ingin menyudahi observasi hari ini. Di tengah perjalanan

menuju penginapan hempon Mistar (pemerhati herpetofauna senior di wilayah Sumatera) berdering.

“Pak Mistar, ini nampak ada ular berwarna merah”, kata Ibu Nas yang juga berada di tim lain yang sedang melakukan analisis vegetasi.

“Ular merah?”, Mistar mulai keringatan dan nampak serius seketika. Pengamat herpetofauna berpengalaman itu sepertinya sudah lama membayangkan ular warna merah yang dalam bayangannya merujuk

pada salah satu jenis spesies yang diincarnya, “Di mana? Pijak saja Bu, jangan sampai lepas. Itu tidak berbisa”, seru Mistar.

Suara telponan Mistar amat keras. Burung-burung yang bersiul di atas sana pun tidak terlalu kedengaran lagi. Usai hapenya dimatikan, kami berdua pun tancap gas ke lokasi yang hanya berjarak kira-kira 300 meter. Bebukitan itu pun seketika kami lewati seperti lapangan bola yang mulus. Benar-benar lelah ketika kami sudah berada di punggungan terakhir. Kami sudah melihat mereka di bawah sedang memperhatikan sesuatu yang sedang bersembunyi di dalam lubang akar pohon.

Tiba di sana dan memperhatikan ular merah itu dengan seksama. Dan ternyata itu adalah kadal merah tanpa kaki. Mistar dengan fasih menyebut sebuah nama latin, Ophisaurus. Beliau menyebutnya seperti sudah mengenalnya sudah lama. Waw, amazing! Seketika semangat kembali

berkobar, rasa lelah hilang terganti dengan perasaan senang. Kami kembali ke penginapan dengan wajah yang benar-benar sumringah. Setibanya di tempat penginapan, semua orang yang ada di sana sibuk mengabadikan temuan menarik tersebut. Malam harinya, karna hujan deras, kami tidak melakukan survei, kami menghabiskan waktu untuk merayakan temuan spektakuler ini dengan sebuah pesta. Dan buah terenak tropis pun kami suguhkan di depan kami masing-masing, durian Medan.

Perjumpaan Ophisaurus sepertinya awal dari keberuntungan kami. Setelah beberapa hari merasakan asam asinnya perjalannya survei. Di lokasi survei ketiga, lokasi C yaitu lokasi agroforesti, beberapa temuan unik juga kami temukan seperti Bronchocela hayeki yang endemik Sumatera dan Polypedates pseudootilophus yang merupakan spesies baru yang dipublikasi Mei 2014 yang lalu. Data temuan herpetofauna dapat dilihat pada tabel di samping.

Seputar Ophisaurus

Kadal merah tanpa kaki memiliki nama ilmiah Ophisaurus wegneri. Kata ophisaurus berasal

BERITA UTAMA

Data Temuan Amfibi Reptil di Hutan Batang Toru:

Kelas/Famili spesies Lokasia b C

Amfibi

Bufonidae Duttaphrynus melanostictus - - +Leptophryne barbonica - - +

Pelophryne signata - - +

Fejervarya limnocharis - - +

Limnonectes macrodon - - +

Microhyla heymonsi - - +

Microhyla superciliaris - - +

Hylarana chalconota - - +

Odorrana hosii + - -

Polypedates leucomystax - - +

Polypedates macrotis - - +

Polypedates pseudootilophus - - +

Kurixalus appendiculatus - - +

reptil

Agamidae Bronchocela hayeki - - +Draco fimbriatus - - +

Draco haematopogon - - +

Gonocephalus grandis + - -

Anguidae Dopasia (Ophisaurus) wegneri

- + -

Colubridae Ahaetulla prasina + - -Boiga jaspidea + - -

Pareas malaccanus - - +

Elaphe taeniura + - -

Gekkonidae Cyrtodactylus marmoratus + - -Cyrtodactylus sp. - - +

Cyrtodactylus cf quadrilin-eatus

- - +

Scincidae Mabuya multifasciata + - -Spenomorphus sp. - + -

dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ophio yang berarti ular dan saurus yang berarti kadal. Jadi ophisaurus merupakan satwa yang

Mistar Kamsi sedang mendokumentasukan Ophiosaurus wegneri di lubang akar pohon.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1110

menyerupai ular, tetapi sebenarnya kadal. Lantas, bagaimana cara kita membedakan Ophisaurus dengan ular?

Ophisaurus ini merupakan temuan yang paling menarik bagi saya tentunya. Ternyata bukan bagi saya saja, tetapi bagi seorang ahli herpetofauna

di Sumatera Utara, Mistar Kamsi. Spesies ini sudah lama beliau incar, yaitu sejak tahun 2011. Pada tahun itu, spesies tersebut pernah ditemukan di Stasiun Riset Kawasan Hutan Batang toru Blok Barat Milik SOCP-YEL. Spesies tersebut ditemukan oleh Kalam, asisten penelitian di

stasiun tersebut bersama kawan-kawannya. Mereka menyangka spesies tersebut adalah ular berbisa bila dilihat dari warnanya yang cerah, sehingga mereka tidak menangkapnya, hanya membuat video saja.

Setelah rekaman video tersebut disampaikan ke Pak Mistar, barulah diketahui ternyata spesies itu bukan ular, melainkan kadal Ophisaurus. Di awal tahun 2012, tepatnya sewaktu penelitian saya di lokasi yang sama, Mistar menyempatkan diri untuk bergabung. Salah satu tujuannya beliau adalah menemukan Ophisaurus, tetapi hasilnya nihil. Kami tidak menemukannya sama sekali.

Tahun 2014, saya diberikan kesempatan untuk ikut survei herpetofauna bersama Mistar di Kawasan Hutan Batang Toru dengan lokasi yang berbeda. Keberuntungan ada di pihak kami saat itu, kami akhirnya menemukannya. Spesies ini ditemukan melintas di jalur yang biasa dilalui oleh orang dan bersembunyi ke dalam akar pohon. Diyakini

BERITA UTAMA

Referensi :

Mertens R. 1959. Eine Panzerschleiche (Ophisaurus) aus Sumatra. Senck Biol 40(1/2): 109- 111

Min Lin S, Shiang Chan W, Lung Chen S, Shang G, Yang Lue K. 2003. Taxonomic status of the ledless lizard Ophisaurus (Squamata: Anguidae) in Taiwan: Molecular data, morphology, and literature review. Zoological Studies 42(3): 411-419

Marlon, R. 2014. Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan 107 + Ular Indonesia. Jakarta. PT. Indonesia Printer

Uetz, P. (2010) The Reptile Database, http://reptile-database.reptarium.cz, accessed in September, 2010.

Bagian Morfologi Kadal (Ophisaurus) Ular

Telinga Memiliki telinga Tidak memiliki telinga, namun dapat mendeteksi getaran melalui dagu dan tubuhnya

Kelopak mata Memiliki kelopak mata

Tidak memiliki kelopak mata, namun memiliki penutup transparan di matanya

Kulit Kaku ElastisEkor Dapat putus, yang

berfungsi mengelabui musuh

(Sumber : Hidup ini singkat, tetapi ular yang panjang Kadal kaca.html

Tidak bisa

(Sumber : Marlon, R. 2014)

Cara membedakan ular dengan Ophisaurus

kadalnya sedang berjemur, seperti perilaku reptil pada umumnya.

Ophisaurus menempati habitat dataran tinggi dan menyukai tempat dataran. Ini merupakan temuan ketiga di Indonesia. Temuan pertamanya di Bukit Tinggi Padang pada tahun 1959 oleh Mertens dan temuan keduanya di Stasiun Penelitian Kawasan Batang Toru pada tahun 2011 lalu.

Menurut Uets (2010), genus Ophisaurus terdiri dari 12 spesies. Lima spesies yang diketahui ada di Amerika Tengah dan Utara yaitu Ophisaurus attenuatus Baird (1880), O. ceroni Holman (1965), O. compressus Cope (1900), O. mimicus Palmer (1987), dan O. ventralis Linnaeus (1766). Enam

spesies diketahui ada di Asia yang terdistribusi dari India Utara, Semenanjung Indocina Selatan sampai Indonesia yaitu Ophisaurus buettikoferi Lidth de Jeude (1905), O. gracilis Gray (1845), O. hainanensis Yang (1983), O. Harti Boulenger (1899), O. sokolovi Darevsky & Nguyen (1983) dan O.

wegneri Mertens (1959) dan satu spesies diketahui ada di Afrika Utara yaitu Ophisaurus koellikeri Günther (1873 ), yang kemudian dipindahkan ke genus monotype Hyalosaurus Günther (1873) oleh Macey et al. (1999), berdasarkan analisis filogenetik molekulernya.

Ophisaurus wegneri bersembunyi di dalam akar.

Penulis bersama Ophisaurus wegneri temuannya.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1312

Hari mulai senja, matahari mulai turun dari atas. Tepat pada Senin, 2 Februari 2015 aktifitas di kampus IPB semakin berkurang. Tapi kami masih saja berkutat dengan aktifitas laboratorium. Di satu waktu, ketika kami di pinggiran gedung, ada sosok yang mirip ular berjalan melintas. Pastinya dia adalah makhluk kecil yang aktif pada pertukaran hari (krepuskular).Teks & Foto: Yanti A Hermawan & Herpetologer Mania, dari berbagai sumber

Hari mulai senja, matahari mulai tu-run dari atas. Tepat

pada Senin, 2 Februari 2015 aktifitas di kampus IPB semakin berkurang. Tapi kami masih saja berkutat dengan aktifi-tas laboratorium. Di satu waktu, ketika kami di ping-giran gedung, ada sosok yang mirip ular berjalan melintas. Pastinya dia adalah makhluk kecil yang aktif pada pertukaran hari (krepuskular).

Selidik punya selidik, ternyata jenis satwa kecil itu adalah ular yang mirip dengan kadal atau kadal yang mirip dengan ular. Orang-orang mulai me-nyebutnya ular kadal dan begitulah nama yang mu-dah mendapatkannya jika dicari di internet. Di situs pencari ternama, Wikipe-dia, nama ular kadal bisa dijumpai. Nama ilmiahnya adalah (Lygosoma sp).

Menurut situs di internet, reptile-database.reptarium.

Inggris, kadal ini disebut dengan nama short-limbed supple skink atau linnaeus writhing skink. Nama-nama itu merujuk pada bentuk tubuhnya yang len-tur dan gerakan badannya yang meliuk-liuk mirip ular, meski tak begitu luwes.

Kadal yang berukuran kecil dengan bentuk tubuh hampir silindris ini memiliki panjang kes-eluruhan hingga sekitar 192 mm dengan ekor kira-kira setengahnya atau kurang sedikit. Pada siang hari, kadal ini bersembunyi di bawah bebatuan, kayu,

M O M E N

Kejutan dari si Ular Kadal

cz, marga Lygosoma me-miliki 31 jenis di dunia. Di Indonesia dinyatakan ada tiga jenis yang memungkinkan ditemu-kan, yakni Lygosoma bowringii, L. opisthorrho-dum dan L. quadrupes. Jenis yang ditemukan

di kampus IPB ini untuk sementara

belum dapat diidentifikasi

dengan baik. Ber-dasarkan buku panduan amfibi dan reptil yang sudah ada di Kampus Dra-maga IPB, mungkin saja jenis ini termasuk L. quadrupes

Ular kadal adalah seje-nis kadal kecil bertubuh mirip ular. Kadal ini juga sering disebut secara tidak tepat sebagai “ular berkaki” atau “ular berkaki empat”. Dalam bahasa

atau menyusup di pasir atau sela-sela tanah gam-but. Kadal ular ditemukan di hutan maupun di lahan pertanian. Hewan ini mem-buru mangsanya di saat senja. Hewan ini memang-sa aneka artropoda kecil terutama rayap dan tem-payaknya.

Seperti namanya, kadal ini berjalan dengan meliuk-liukkan tubuhnya seperti ular, terutama ketika bergerak cepat menyusup di antara se-rasah, rerumputan, atau tumpukan tanah berpasir. Kakinya yang pendek

berguna untuk berjalan pelan-pelan. Kadal ular bertelur 2-3 butir tiap kali, ukuran telurnya 9×5 mm. Telur akan menetas sekitar 31 hari kemudian. Anak yang menetas berukuran sekitar 48 mm.

Kadal ular dilapor-kan ditemukan di Thai-land, Vietnam, Kambo-ja, Laos, Jiangnan, Hong Kong, Semenanjung Malaya, Kepulauan Nusantara yakn Suma-tera, Jawa, kepulauan Se-layar, dan Filipina semisal di Palawan dan Calamian.

K I L A S F O TO

Heosemys spinosa ini didapat penduduk di Sungai Besitang, Sumatera Utara. Nelayan mendapatkannya secara tidak sengaja karena kura-kura ini memakan umpan

pancing. Menurut penuturan mereka, ini kejadian pertama kali untuk kura-kura yang makan umpan mereka dan Sahabat Herpetologer Mania, Afni (mahasiswa Biologi FMIPA USU yang masih bergelut menyususn skripsinya berhasil mendokumentasikannya untuk Anda.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1514

Amir Hamidy:“Semoga Buku Herpetofauna

Indonesia Menjadi Nyata!”

Teks: Desy Hikmatullah, foto: Desy Hikmatullah & Fb Amir Hamidy

Pada pertengahan Januari yang lalu, Herpetologer Mania (HM) akhirnya bisa berjumpa dengan orang

nomor satu Perhimpunan Herpetologi Indonesia (PHI) saat ini, Amir Hamidy. Beliau adalah salah

satu tokoh herpetologi Indonesia yang mulai kami kenal sejak memimpin PHI. Sebelumnya kami gagal menemui pria kelahiran Pacitan, 14 Oktober 1978 ini

karena beberapa hal teknis.

Kini Amir Hamidy banyak menghabiskan

waktunya di Laboratorium Herpetologi Museum Zoological Bogor (MZB) sebagai seorang taksonom amfibi. Mulai pada tahun 2008 sewaktu melanjutkan studi S2-nya di Universitas Kyoto Jepang, beliau mendalami sistematika dan biogeografi katak suku Megophrydae khususnya katak-katak bermata besar bermarga Leptobrachium di Sunda Besar. Pembimbing utamanya adalah nama yang tidak asing lagi di telinga pemerhati herpetofauna sebagai pengarang jenis kawakan, Prof Dr. Masafumi Matsui.

Amir Hamidy telah mempelajari dan mempublikasikan beberapa deskripsi amfibi dan reptil spesies baru dari Indonesia. Tahun 2014 akhir, kita baru saja mendengar di media massa ternama

di Indonesia tentang temuan bunglon jenis barunya di Sumatera. Atas ketekunannya, peneliti yang mendapat anugrah gelar Doktor dari Kyoto University tahun 2014 ini juga telah menyusun Panduan Jenis-jenis Herpetofauna di Pulau Halmahera pada tahun 2006 yang lalu.

Nah, saat duduk bersama, Herpetologer Mania menanyakan beberapa hal seputar herpetofauna kepada Amir Hamidy dengan harapan mendapat pengetahuan tambahan dari kacamata beliau sebagai ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia dan sebagai tokoh herpetofauna yang belakangan sudah mulai menggaung.

HM: Bagaimana sejarah perkembangan penelitian herpetofauna di Indonesia?

Amir: Dapat dikatakan bahwa fondasi perkembangan penelitian dan eksplorasi flora fauna di Indonesia dimulai sejak masa kolonial Belanda. Pada tahun 1923, seorang naturalis Belanda,

Van Kampen banyak mengeksplorasi wilayah Indonesia khususnya Batavia (sekarang Jawa-red). Pulau Jawa kemudian dikenal sebagai salah satu sumber utama koleksi type specimen di Asia.

Penelitian-penelitian yang sejenis kemudian dilanjutkan oleh David Liem pada masa transisi kemerdekaan. Beliau adalah satu-satunya dan yang pertama sebagai peneliti asli Indonesia setelah masa Van Kampen. Pada saat itu, situasi nasional tidak kondusif sehingga penelitiannya sering terlinta-lunta. Meskipun begitu, beliau sempat mengoleksi banyak spesimen dan mendeskripsi beberapa jenis katak pohon (Rhacophoridae) dari Indonesia.

Setelah masa penelitian David Liem, terjadi gap penelitian yang begitu panjang hingga masanya Pak Djoko Iskandar dan Pak Boeadi yang berkiprah dari lembaga penelitian Indonesia, LIPI. Kemudian ada gap yang panjang lagi,

hingga bersambung ke Ibu Hellen Kurniati. Lalu ada gap lagi hingga masa saya sekarang, bersama Ibu Mirza Kusrini, Pak Achmad Farajallah, dan lain-lain.

Indonesia saat ini memiliki sekitar 303 spesies amfibi. Jumlah kekayaan amfibi Indonesia adalah nomor delapan di dunia dan nomor dua di Asia setelah China, serta nomor satu di Kawasan Asia Tenggara.

HM: Bagaimana perkembangan penelitian herpetofauna di Sumatera?

Amir: Ada dua argumen. Yang pertama menurut Inger, Pulau Sumatera memiliki kondisi geologi yang sangat menarik. Tapi memiliki sedikit diversitas herpetofauna karena secara geografi terdapat banyak gunung merapi. Dari perbandingan antara komposisi luas area dengan jumlah jenis, jika dibandingkan dengan Pulau Jawa dan Semenanjung Malaysia, Sumatera adalah paling sedikit. Tapi keragaman jenis katak pohon (Rhacophoridae) di Sumatera yang paling

WAWANCARA

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1716

banyak. Katak pohon tersebut memiliki nilai endemisitas yang tinggi.

Yang kedua menurut saya, soal diversitas herpetofauna yang lebih rendah di Sumatera dibanding Jawa dan Borneo dimungkinkan juga dipengaruhi oleh kondisi geografi. Tapi mungkin juga adanya gap penelitian yang tidak sama di ketiga pulau. Setelah penelitian besar-besaran 10 tahun terakhir di Sumatera, terbukti Sumatera memiliki spesies baru dan berhasil dideskripsi.

Konversi hutan Sumatera yang cukup masif, diprediksikan jenis yang

belum dikenal saat ini mungkin saja sudah punah. Kini ada satu jenis yang sedang saya deskripsi dengan Ibu Hellen. Spesimennya dikoleksi tahun 2011 dari lokasi tambang emas. Lokasi penemuannya saja sudah mengkhawatirkan keberlangsungan jenisnya ke depan. Spesimen Microhyla yang dikoleksi dari Lampung hingga Medan saja sangat banyak jenisnya. Dengan teknologi molekular, jenis baru semakin mudah ditemukan.

HM: Oh ya, sangat menarik. Kemudian apa yang dilakukan setelah spesies baru dideskripsi?

Amir : Usai mengajukan spesies baru dan mempublikasikannya, masih ada tahap selanjutnya yang sebaiknya dilanjutkan. Tahap itu adalah mengevaluasi status taksonomi yang tentunya melibatkan para ahli untuk menentukan kekerabatan (filogeni), evolusi spesies, menentukan posisi spesies dalam grupnya dan menentukan status konservasinya.

Beberapa forum yang menangani perihal status konservasi di antaranya adalah Global Amphibian Assessment. Mereka menangani segala sesuatu tentang spesies, fekunditas, populasi dan lainnya. Datanya kemudian dirilis di IUCN. Jika spesies tersebut ternyata diperdagangkan, maka jenis itu akan masuk kajian CITES. Dilanjutkan menetapkannya sebagai satwa dilindungi atau tidak di peraturan nasional. Kita mempunyai forum ahli untuk ini, yakni departemen kehutanan dan politisi.

HM: Sedikit menyinggung tentang

pengkajian spesies yang diperdagangkan, bagaimana ahli mempertimbangkan kuota penangkapan?

Amir: Meskipun cukup sulit, pertimbangan dilakukan dengan melihat seluruh informasi yang ada, baik dari hasil penelitian, laporan temuan jenis dan jumlahnya di lapangan. Informasi dalam bentuk apapun, seluruhnya digunakan untuk menentukan kuota perdagangan, meskipun tidak mencerminkan jumlah riil di alam. Namun peneliti mencoba sebijaksana mungkin untuk memperhatikan bagaimana dampak penangkapan di alam agar tetap terjaga kelestariannya.

HM: Berdasarkan pengalaman selama bergabung dengan perhimpunan herpetologi di Jepang, hal-hal apa saja yang sebaiknya kita contoh untuk mengembangkan perhimpunan herpetologi di Indonesia?

Amir: Perhimpunan herpetologi di Jepang

kebetulan sudah terbentuk sejak lama, dan ada sistem regenerasi yang signifikan. Mereka memiliki grup yang fokus pada bidangnya masing-masing, seperti grup amfibi, grup reptil, grup ular dan lainnya. Dengan grup spesialis itu maka tidak terjadi tumpang tindih bidang kajian yang didalami antara satu grup dengan grup yang lainnya. Kemumpunian peneliti mereka beragam dari yang amatir hingga yang ahli, namun mereka mengakomodirnya dengan baik dalam suatu forum dan kongres yang rutin dilaksanakan. Dalam setahun, mereka bisa mempublikasikan sedikitnya dua jurnal dari perhimpunan herpetologi di sana.

HM: Bagaimana dengan Perhimpunan Herpetologi Indonesia (PHI)?

Amir: Salah satu tujuan dibentuknya PHI adalah untuk mengakomodir grup pemerhati herpetofauna yang ada di Indonesia. PHI memiliki agenda rutin untuk mengadakan kongres setiap dua tahun sekali. Kongres tersebut

diharapkan bisa menjadi forum untuk saling berbagi informasi dari seluruh grup yang ada di Indonesia. Diharapkan juga PHI dapat menyatukan seluruh informasi berupa foto atau lainnya dalam suatu database, sehingga Indonesia punya pusat informasi tentang amfibi dan reptil yang lengkap.

HM: Apakah ada impian untuk penelitian herpetofauna Indonesia yang direncanakan ke depan?

Amir: Tentu saja. Saya ingin Indonesia memiliki buku Herpetofauna Indonesia yang memuat seluruh spesies amfibi dan reptil di Indonesia dan ditulis dalam Bahasa Indonesia. Saya jealous dengan Vietnam yang sudah mempublikasikan buku Herpetofauna of Vietnam, yang semua pengarangnya adalah orang Vietnam. Begitu juga dengan Cina yang sudah menghasilkan atlas amfibi dari 450 jenis yang ada. Saya ingin buku Herpetofauna Indonesia ditulis oleh orang Indonesia.

WAWANCARA

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 1918

Endemik memiliki dua makna kuat. Salah satunya tentu saja menyatakan jenis makhluk yang hanya terbatas bisa hidup pada satu kawasan tertentu.

Jenis tersebut tidak memiliki kemampuan yang tinggi untuk hidup di habitat yang berbeda di tempat lain. Ini

bisa dikatakan bahwa endemisitas sebagai sebuah kelemahan makhluk tertentu yang tidak memiliki

toleransi yang kuat untuk hidup di berbagai macam kondisi.

(Teks & foto oleh Akhmad Junaedi Siregar)

Makna kedua dari endemik adalah kekhasan

makhluk yang kemudian menimbulkan kebanggaan. Jika kita mendapati satwa

tertentu endemik di lokasi tertentu, kita akan bangga dengan jenis tersebut bahkan bisa dijadikan maskot daerahnya, semisal yang dilakukan masyarakat

Nias dengan beo niasnya. Amfibi dan reptil sebagai kelas vertebrata yang dinilai memiliki ruang gerak yang sempit dibanding yang lain memiliki banyak jenis endemik. Salah satunya di Pulau Sumatera adalah kongkang jeram sumatera.

Kongkang jeram sumatera dikenal dengan nama ilmiah Huia sumatrana. Menurut IUCN, nama ilmiahnya dikarang oleh Yang pada tahun 1991 dan kemudian dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama

sumatran torrent frog – yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kongkang jeram sumatera.

Semenjak jenisnya dipublikasi pada tahun 2004 dengan assessor Djoko Iskandar dan Mumpuni yang sama-sama berasal dari Indonesia, jenis ini cenderung ditemukan di bagian barat pulau Sumatera meliputi daerah Aceh,

Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Bengkulu,

dan Lampung. Komunitas Herpetologer Mania yang berpusat di Kota Medan sering mencatat daerah-daerah temuannya yang lebih spesifik, misalnya di Taman Wisata Alam Sibolangit, Cagar Alam Sibolangit, Bumi Perkemahan Sibolangit, Air Terjun Berte, Air Terjun Sikulikap, dan lain-lain. Ketinggian yang disukai katak ini adalah 200-1200 mdpl. Sesuai namanya, kongkang jeram sumatera

E N D E M I K

sering terlihat di aliran sungai berarus deras. Katak ini menyukai habitat yang masih terjaga dari pencemaran.

Dilaporkan siklus hidupnya juga berlangsung dari sungai berarus deras. Telur, berudu hingga dewasa dilakukan tak jauh dari sungai deras. Tentunya sungai-sungai deras yang ada di Pulau Sumatera. Apakah Anda orang Sumatera? Kita boleh berbangga hati seperti makna kedua dari endemik tadi.

Huia sumatrana si Penghuni Jeram-jeram Sumatera

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 2120

INVESTIGASI

Pulau Pengengat Kepulauan Riau (Kepri) tetap ramai didatangi peziarah yang ingin mengenal sejarah yang kental akan kebesaran Kerajaan Melayu Riau Lingga. Mereka berlalu lalang memutari pulau di mana banyak sekali situs kebudayaan Melayu berupa makam tokoh ternama, gudang senjata (arsenal), mesjid jamik, meriam dan lainnya di sana.

Masih Ada Jajanan Telur Penyu di Pulau Penyengat

Teks dan foto: Akhmad Junaedi Siregar

Dermaga Pulau Penyengat sendiri menjadi ramai

sebagai destinasi wisata cagar budaya. Kondisi ini dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan aneka makanan dan aksesoris. Salah satu

jajanan adalah makanan dari telur penyu yang selalu terlihat dijajakan di dermaga Pulau Penyengat.

Kepulauan Riau sebagai propinsi yang terdiri atas ratusan pulau besar,

adalah salah satu propinsi yang dinilai menjadi tempat peneluran aneka jenis penyu. Hal ini bisa terlihat sekilas bahwa pulau-pulau yang cukup banyak tersebut pastinya memiliki hamparan pasir tempat pendaratan penyu. Terlebih lagi ketika mengunjungi Pulau Penyengat, ada saja pedagang yang hampir rutin menjajakan telur penyu. Telur yang dijual biasanya sudah dalam kondisi matang. Bentuk telur tidak keras seperti

telur unggas dan cangkangnya tidak bulat sempurna. Telur penyu dipastikan tetap lembek meski sudah matang.

Ketika Herpetologer Mania sedikit bertanya tentang telur-telur penyu tersebut, nenek penjaja telur pun bercerita. Telur yang dia jual katanya bukan dari pulau dekat Penyengat, tapi cukup jauh di salah satu pulau terluar Kepri yang menjorok ke utara, yakni di Pulau Natuna. Pulau tersebut diapit sebelah timur Semenanjung Malaysia dan di bagian barat Pulau Borneo. Menurutnya, telur penyu dibawa nelayan dan dijual dengan harga lokal kepadanya. Beliau kemudian menjual telur masak di pelabuhan seharga Rp 4.000 per butir. Berjualan telur adalah bagian dari usaha sambung nyawanya.

Nenek yang sudah lama menjual telur penyu tersebut menerangkan bahwa masyarakat nelayan Melayu pada umumnya sudah sangat akrab dengan telur penyu. Selain tangkapan bahari seperti ikan-ikanan, telur juga sering dipungut sebagai makanan puding nelayan.

Namun belakangan, telur penyu mulai sulit didapat dan bahkan terkadang tidak ada telur yang dibawa nelayan.

Ketika ditanya apakah nenek itu menyadari bahwa tidak dibolehkan–tentunya menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia–untuk mengambil telur penyu, nenek itu memiliki pemahaman sendiri. ”Kita hanya mengambilnya sebagian saja.

Tentu masih ada telur yang lain yang akan menetas”, katanya membela diri. Semoga penyu-penyu yang terancam tetap lestari.

K I L A S F O TO

Foto kenangan Sahabat Herpetologer Mania, Khairul Umri, saat melakukan survei herpetofauna di Suaq Balimbing Aceh Selatan, April 2011.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 2322

Ganasnya Katak Betina

Teks oleh Akhmad Junaedi Siregar, foto oleh Sidahin Bangun dan Siska Handayani

Perilaku lembut dan cantik tidak terlalu berlaku pada katak betina. Lagian katak betina tidak bisa dikatakan perempuan, mereka adalah betina. Perempuan dan betina berbeda karena hanya perempuanlah yang memiliki kelembutan dan kecantikan sedangkan betina belum tentu.

Pernyataan tersebut sangat mendasar ketika Sahabat

Herpetologer Mania dua kali mencatat keganasan katak betina. Yang kita maksud adalah kanibalisme. Kejadian yang pertama adalah pada bulan Oktober

2010, ketika Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) FMIPA USU melakukan herping di Bumi Perkemahan Sibolangit. Waktu itu Sidahin Bangun menyaksikan langsung kongkang racun (Rana hosii) betina sedang berusaha menelan katak lain.

Kejadian pertama kemudian dipertegas dengan temuan Siska Handayani di Hutan Batang Toru tahun 2014 yang lalu. Beliau sempat mendokumentasikan jenis bangkong (Limnonectes blythii) sedang menikmati satwa sebangsanya. Dan katak yang ganas ini diterka juga adalah katak betina. Ada apa dengan katak betina?

Tidak banyak yang bisa kita jadikan sebagai alasan kecenderungan keganasan katak betina. Hanya saja ada beberapa pendapat yang bisa kita pertimbangkan bahwa kanibalisme itu bisa saja terjadi, terutama saat kekurangan makanan. Seperti yang diceritakan peternak ikan lele misalnya, makan dan dimakan antar ikan lele adalah sebuah

kebiasaan. Pada kasus ikan lele, kejadian tersebut terjadi kalau ada individu yang bukaan mulutnya bisa menelan individu yang berpostur lebih kecil.

Dunia katak memiliki hukum soal ukuran badan jantan dan betina. Betina cenderung lebih besar dibanding jantan. Betina secara evolutif harus bertubuh besar agar dapat menyimpan telur lebih banyak. Kecenderungan tersebut dianggap agar reproduksinya tinggi sehingga meningkatkan persentase keselamatan generasinya yang sampai menjadi dewasa.

Ukuran katak betina yang besar memungkinkannya untuk mengkanibal katak yang kecil. Soal apakah katak yang dimakan tersebut dari jenis yang sama, sayangnya belum bisa dipastikan karena penemu dua kejadian tadi tidak meneliti lebih lanjut jenis apa yang dimakan katak kanibal itu.

Di samping kanibalisme ada lagi pola makan aneh yang dicatat HerpeVtologer Mania. Dua di antaranya

adalah ketika pacet berada di mulut kongkang racun jantan. Timbul pertanyaan, siapa memangsa siapa? Yang kedua adalah ketika kongkang jeram sumatera (Huia sumatrana), dimangsa laba-laba. Apakah ini sebuah jaring-jaring makanan terbalik?

Ini semua adalah sunatullah. Kita sebaiknya mencatatnya. Kelak anak cucu kita akan tahu bahwa katak betina memang akan tidak sama dengan sifat perempuan yang lembut dan cantik.

FENOMENA

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 2524

Rana debussyi dari segi coraknya sangat berbeda dari marga Rana yang lain. Perbedaan itu terletak pada warna hitam serta garis tipis yang berwarna oren mengelilingi bagian dari pinggir badannya. Tapi bagi saya sendiri, satu hal yang menarik adalah tatapan matanya yang tajam. Luar matanya dikelilingi selaput berwarna oren membuatnya kelihatan sangar jika dipandang dalam jarak dekat.

Teks & foto: Muhammad Ilham Manik, Calon Relawan Biopalas Biologi FMIPA USU

Indah tapi Sangar, Dialah Rana debussyi

PENGAMATAN

Saya sepertinya sangat terkesan sekali dengan

katak endemik Sumatera yang satu ini. Saya memperhatikannya dalam keadaan gelap. Ada garis pinggir di badannya seperti bercahaya bagai sebuah matahari yang

tenggelam di ufuk barat. Di punggungnya ada dua garis cahaya yang mengingatkanku dengan lampu-lampu landasan pesawat pada malam hari. Maaf, mungkin saya terlalu berlebihan membanding-bandingkan, tapi saya cukup senang.

Sebagai penggemar baru dunia herpetofauna, saya menemukan persimpangan yang membingungkan soal penamaan jenis Rana debussyi. Bagi saya, R. debusyi, R. siberut bahkan R. picturata adalah sama saja. Mereka bertiga memiliki pola warna yang hampir sama-sama indah.

Saya ingin meninggalkan soal nama-nama yang sebelumnya membuat saya bingung. Yang membuat saya tertarik tetaplah soal keunikannya. Kadang muncul pertanyaan di benak ini, apa sebenarnya fungsi dari warna garis terang di tubuhnya? Bukannya warna yang mencolok bisa mengundang

pemangsanya?

Saya sering mendapatinya di pinggiran aliran deras. Selaput di kaki belakangnya, tepatnya di jari atau ruas keempat hanya ada selaput pendek. Tapi saya tidak meragukannya sebagai perenang yang baik. Saya telah menyaksikannya sendiri. Lompatannya tidak terlalu tinggi, tapi kehadirannya di tiap herping meyakinkanku bahwa dia adalah jenis yang handal menghindari pemangsanya.Rana debussyi adalah sebuah lambang

keindahan pada dunia katak Sumatera. Tidak hanya pada warnanya, tekstur yang berbintil bintil cukup eksotis.

Kaki belakangnya di ruas ketiga lebih panjang ketimbang jari kaki lainnya, menambah keanggunannya. Tapi ketika menatap matanya muncul pula kesangarannya. Mulutnya yang lancip bagaikan elang yang siap berburu.

Dia indah tapi tatapan matanya membuat jantung saya berdegup kencang.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 2726

Betulkah Perluasan Areal Perkebunan Memperluas Habitat

Kura-kura?Deforestasi telah menjadi penyebab utama hilangnya keanekaragaman flora dan fauna saat ini.

Secara umum, konversi hutan alami menjadi lahan perkebunan dan pertanian sangat berdampak kepada berkurangnya keanekaragaman hayati. Berbagai studi telah dilakukan untuk memperkuat

alasan mengenai dampak negatif perubahan lansekap hutan menjadi kawasan perkebunan atau pertanian seperti perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, kelapa, dan kawasan

monokultur lainnya terhadap kekayaan flora dan fauna. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menginformasikan mengenai beberapa kegiatan industri perkayuan dan perkebunan juga dapat

menyediakan habitat tambahan bagi satwa liar termasuk satwa yang terancam punah.

Teks & foto oleh M. Irfansyah Lubis, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB

Sebagai contoh, (Brockerhoff et al., 2008) menyatakan

bahwa konversi hutan alam baik primer maupun sekunder menjadi hutan tanaman industri berpotensi membantu upaya konservasi dalam hal menyedikan habitat hutan yang kompleks bagi satwa liar, sebagai kawasan penyangga untuk meminimalisir efek tepi (edge effects), serta dapat menyediakan koridor bagi satwa liar, terutama bila dibandingkan dengan perubahan tutupan lahan lainnya. Pernyataan ini telah menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan di

dunia. Sehingga, berbagai bukti untuk mendukung atau mematahkan pernyataan tersebut sangat diharapkan.

Beberapa waktu lalu, saat kami melakukan penelitian mengenai konservasi kura-kura dan labi-labi di Taman Nasional Berbak dan sekitarnya (Lubis, 2014), kami dihadapkan pertanyaan yang sama: apakah konversi hutan alami menjadi kawasan perkebunan berdampak positif terhadap habitat dan populasi reptil di kawasan tersebut. Kawasan Taman Nasional Berbak (Gambar 1)

memang dikenal sebagai kawasan ekositem hutan rawa gambut terluas di kawasan Asia Tenggara yang memiliki keanekaragam hayati yang tinggi yang juga menjadi habitat penting bagi beberapa satwa liar yang terancam punah seperti harimau sumatra (Sumatran Tiger) (Lubis, 2014). Berdasarkan McCord and Pritchard (2002), kawasan ini juga dikenal menjadi habitat labi-Labi bintang (Chitra Chitra javanensis) yang termasuk dalam list endangered species serta kura-kura dan labi-labi jenis lainnya. Oleh karena itu, perubahan

Gambar 2. Salah satu lokasi penemuan kura-kura dengan menggunakan perangkap yang berlokasi di perkebunan kelapa sawit di sekitar TN Berbak, Jambi.

O P I N I

Gambar 1. (A) Peta kawasan TN Berbak dan sekitarnya, (B) Sebaran parit dari penampakan Google Earth, (C) Salah satu lokasi trapping di parit sekitar TN Berbak.

A B

C

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 2928

tutupan hutan rawa gambut di kawasan ini dapat mengakibatkan hilangnya habitat penting bagi satwa liar khususnya herpetofauna yang berakibat pada penurunan populasi yang pada akhirnya menyebabkan kepunahan massal.

Namun, berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, beberapa daerah di luar kawasan TN Berbak telah dikonversi menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit dan juga perkebunan kelapa biasa. Untuk meningkatkan produksinya, perkebunan ini membangun parit-parit di sepanjang jalur perkebunan (Gambar 1b) yang melintang tegak lurus memotong Sungai Air Hitam Laut secara tegak lurus. Keberadaan parit-parit tersebut memungkinkan untuk perluasan habitat khususnya bagi kura-kura air tawar dan herpetofauna lainnya yang sangat bergantung terhadap ketersediaan air.

Di samping itu, daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang-surut air laut yang membuat parit-parit

tersebut tergenang untuk beberapa waktu lalu kemudian surut kembali. Hal ini menciptakan suatu sistem koridor yang penting bagi reptil dan amfibi untuk berpindah tempat.

Sebagai contoh, perangkap kura-kura yang dipasang di salah satu parit (Gambar 2) beberapa kali berhasil menangkap kura-kura jenis kura-kura pipi putih (Siebenrockiella crassicollis). Selain itu, berdasarkan keterangan masyarakat sekitar, kura-kura ambon (Cuora amboinensis) juga sering terlihat di sepanjang parit-parit tersebut. Selain itu, binatang melata lainnya seperti ular, biawak bahkan buaya juga sering terlihat di sekitar parit-parit tersebut. Hal ini membuktikan bahwa beberapa jenis kura-kura air tawar ini dapat beradaptasi terhadap peralihan kawasan hutan rawa menjadi areal perkebunan. Walaupun berdasarkaan laporan masyarakat (Lubis, 2014), populasi kura-kura dan labi-labi menurun secara drastis, akan tetapi hal ini

lebih disebabkan karena pemanenan satwa yang berlebihan, bukan karena berkurangnya habitat alami satwa tersebut.

Untuk itu, penelitian lebih mendalam mengenai dampak konversi hutan rawa gambut menjadi kawasan perkebunan dan pertanian terhadap satwa liar terutama reptil dan amfibi sangat diharapkan. Informasi ini sangat penting dalam pengelolaan kawasan penyangga Taman Nasional Berbak di pantai timur Pulau Sumatera. Namun demikian, tidak ada jawaban yang sederhana yang mampu menjawab apakah perubahan kawasan dari hutan menjadi non-hutan sesuai dengan tujuan konservasi kenekaragaman hayati. Akan tetapi, bagaimana caranya agar kegiatan untuk tujuan ekonomi tersebut dapat meminimalisir dampak negatif terhadap perubahan nilai keanekaragaman hayati melalui praktik-praktik yang menjunjung tinggi nilai konservasi keanekaragaman hayati.

O P I N I

Reference listBROCKERHOFF, E., JACTEL, H., PARROTTA, J., QUINE, C. & SAYER, J. 2008. Plantation

forests and biodiversity: oxymoron or opportunity? Biodiversity and Conservation, 17, 925-951.

LUBIS, M. I. 2014a. Penurunan Populasi Kura-kura dan Labi-labi di Taman Nasional Berbak. Herpetologer Mania. Medan: Herpetologer Mania.

LUBIS, M. I. 2014b. Survey Awal Mengenai Relung Habitat Dua Jenis Buaya (Buaya Muara dan Senyulong) di Taman Nasional Berbak, Provinsi Jambi. Warta Herpetofauna. Bogor: Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia.

MCCORD, W. P. & PRITCHARD, P. C. H. 2002. A Review Of The Softshell Turtles Of The Genus Chitra, With The Description Of New Taxa From Myanmar And Indonesia (Java). Hamadryad, 27, 11-56.

K I L A S F O TO

Orlitia borneensis adalah salah satu kura-kura yang dilindungi di Indonesia. Foto ini diambil oleh Akhmad Junaedi Siregar di pinggiran kawasan TN Berbak Jambi. Di Kota Jambi ada pengumpul kura-kura dan menurut info yang beredar, penjualan satwa berbatok di sana banyak dipergunakan untuk keperluan fangsen, ritual pelepasan satwa oleh etnis Tionghoa.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 3130

Ketika Bertemu Manusia, Komodo Diam atau Kabur?

Teks & foto: oleh Ardiantiono (Alumni Biologi Universitas Indonesia angkatan 2010, saat ini bekerja di salah satu lembaga konservasi berbasis di Sumatra)

Tepat dua tahun yang lalu, teman saya Jonathan baru saja pulang berlibur dari Taman Nasional Komodo. Saya ingat ceritanya tentang betapa seru berpetualang di sana dan tentunya ketika bertemu dengan komodo, sang ikon taman nasional. Pasti pengalaman yang amat mengesankan jika bisa bertemu dengan komodo. Itulah isi pikiran saya waktu itu.

R I S E T

Komodo yang terlihat diam dan tidak peduli dengan kehadiran manusia di dekatnya.

Sejak kecil saya selalu senang membaca buku atau

menonton dokumenter mengenai reptil seperti

buaya dan komodo. Ketika seseorang menyebutkan kata komodo, yang terbayang di kepala saya saat itu adalah

kadal raksasa buas keturunan dinosaurus atau godzilla. Jadi ketika mendengar bahwa Jonathan pernah ke Pulau Komodo, langsung saja saya bertanya kepada dia, “Seru nggak pas lihat komodo?”. Saya menantikan jawaban seperti “Oh iya! Komodonya tiba-tiba saja langsung lari ke arah kami! Bikin kaget!” atau “Wuih,

waktu itu komodonya lagi nyerang kerbau loh! Seru banget!”, atau malah “Ya ampun, komodo itu seram cuy!”.

Jawaban Jonathan justru: “Eh, Ardian. Tahu nggak? Gue sedih pas ke sana si komodonya malah pada tidur di kolong rumah gitu”. Bukan jawaban yang saya harapkan tentunya, justru membuat saya bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan si komodonya?

Cerita Jonathan inilah yang kemudian mendorong saya untuk melakukan penelitian kecil mengenai bagaimana manusia dan aktivitasnya dapat memengaruhi perilaku komodo di Taman Nasional Komodo. Saya beruntung mendapatkan kesempatan dua kali berkunjung ke Pulau Komodo. Pertama sebagai sukarelawan program monitoring populasi komodo bersama Komodo Survival Program (KSP) pada bulan September 2013. Dan kedua dalam rangka melakukan penelitian akhir saya pada bulan Maret 2014. Pada dua kesempatan

tersebut, saya mencatat perilaku respon komodo ketika bertemu dengan manusia di dua area dengan aktivitas manusia yang tinggi yaitu area pemukiman Kampung Komodo dan area wisata Loh Liang dan Loh Buaya. Saya penasaran jika bertemu komodo di dua area tersebut apakah mereka akan datang mendekati saya, diam saja, atau justru kabur?

Saya bersama tim KSP melakukan pengamatan di area wisata Loh Liang dan Loh Buaya pada bulan September 2013 selama kurang lebih tiga

hari untuk setiap area. Sebanyak 13 respon komodo berhasil dicatat di Loh Liang dan 16 respon komodo dicatat di Loh Buaya. Komodo di kedua lokasi tersebut cenderung menunjukkan sikap diam atau tidak peduli ketika melihat manusia (respon netral ± 60%) sedangkan sisanya memilih untuk menghindar (respon negatif ± 40%). Hal yang menarik ditemukan ketika saya mencatat 29 respon komodo di area pemukiman Kampung Komodo selama bulan Maret 2014. Sebagian besar komodo di sekitar kampung justru memilih

Wisatawan sedang mengambil foto komodo di Loh Liang.

Komodo diam dan tidak peduli dengan kehadiran manusia di dekatnya.

Wisatawan sedang mengambil foto komodo di Loh Liang.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 3332

untuk menghindari manusia (respon negatif ± 80%) sedangkan hanya ± 20% komodo yang menunjukkan sikap netral. Hal menarik lainnya adalah tidak ada satu pun komodo yang menunjukkan respon positif (mendekat) di area wisata maupun pemukiman.

Di alam, komodo liar akan memilih untuk menghindar atau bersembunyi ketika bertemu dengan manusia. Hal ini berbeda ketika komodo berada di area dengan aktivitas manusia tinggi seperti area wisata di mana komodo lebih banyak menunjukkan respon netral. Respon

netral komodo tersebut menunjukkan bahwa keberadaan dan aktivitas manusia telah memengaruhi perilaku komodo di alam. Perubahan perilaku dapat berupa habituasi di mana komodo merasa tidak terganggu dengan keberadaan manusia (respon netral) yang dapat disebabkan karena komodo telah terbiasa dan tidak menganggap manusia sebagai ancaman. Di sisi lain, keberadaan dan aktivitas manusia juga dapat menyebabkan komodo pergi menjauh atau menghindar (respon negatif) yang dapat muncul ketika mereka

merasa terancam atau terganggu.

Perbedaan respon komodo di area pemukiman dan area wisata banyak dipengaruhi oleh manusia itu sendiri. Kedua area tersebut sama-sama memiliki jumlah dan aktivitas manusia yang tinggi, tetapi perlakuan terhadap komodo di kedua area tersebut sangatlah berbeda. Di area wisata seperti Loh Liang dan Loh Buaya, keberadaan komodo menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Semakin banyak dan semakin mudah komodo terlihat di kedua lokasi tersebut, semakin baik untuk wisata di Taman Nasional Komodo.

Komodo yang berada di dalam kawasan kantor resor di Loh Liang dan Loh Buaya seperti komodo-komodo yang tidur di bawah dapur justru dibiarkan agar wisatawan dapat dengan segera melihat komodo ketika mereka berkunjung.

Interaksi yang tinggi dengan manusia dan tidak adanya gangguan

oleh manusia menjadi beberapa penyebab habituasi pada komodo di area tersebut.

Respon netral yang tinggi dapat berdampak negatif karena komodo yang kurang waspada menjadi lebih rentan terhadap ancaman predator dan perburuan.

Berbeda cerita di area pemukiman Kampung

Komodo. Walaupun penduduk biasanya tidak pernah menganggu komodo yang berada di padang savana ataupun di hutan, komodo yang ditemukan masuk ke dalam area kampung biasanya diusir dengan dilempari batu atau menggunakan tongkat.

Keberadaan komodo di dalam atau sekitar kampung sering dikaitkan

dengan rasa khawatir akan keselamatan penduduk desa terutama anak-anak dan serangan terhadap hewan ternak seperti kambing dan ayam yang memang sering terjadi.

Sebagai tindakan preventif, penduduk akan mengusir komodo yang masuk ke dalam kampung atau pun yang berada di sekitar hewan ternak.

R I S E T

Komodo yang berusaha kabur dari jaring pengaman kandang kambing.

Area Wisata Loh Buaya.

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 3534

Mencari Tahu Jenis-jenis Makanan pada Cicak dan Tokek

Teks dan foto: Arfah Nasution

Tak mau kalah dengan Sahabat Herpetologer Mania di Medan yang melakukan ekspedisi dengan tema “One Night with Ichtyophis”, Sahabat Herpetolger Mania yang sedang menempuh pendidikan di IPB juga melakukan hal serupa. Tapi kami di sini melakukannya dengan spesies yang umum ditemukan di lingkungan rumah, yaitu cicak dan tokek. Kegiatan ini merupakan bagian dari praktikum herpetologi yang bertujuan untuk mencari tahu keanekaragaman makanan pada Gekkonidae berdasarkan analisis isi lambung. Mata kuliah ini dibimbing oleh Dr Achmad Farajalah, M.Si.

Pengusiran yang dilakukan oleh penduduk menjadi salah satu penyebab komodo di area Kampung Komodo cenderung untuk menghindar ketika bertemu dengan manusia.Walaupun sering menunjukkan respon negatif, komodo-komodo tersebut masih sering terlihat kembali ke area kampung karena tertarik dengan bau hewan ternak dan jemuran ikan penduduk terutama ketika kampung sedang sepi.

Seperti halnya kita, komodo juga memiliki

pilihan ketika bertemu manusia. Mereka bisa saja tidak acuh dengan keberadaan kita, pergi menghindar, atau justru datang mendekati kita.

Keberadaan dan aktivitas manusia jelas telah mengubah perilaku dari komodo di area pemukiman dan wisata. Hal tersebut telah menjadi konsekuensi yang nyata atas intervensi manusia di dalam habitat alami komodo.

Komodo pada akhirnya telah memilih sikap ketika

bertemu dengan manusia. Mereka yang berada di area wisata Loh Liang dan Loh Buaya lebih memilih untuk diam dan tidak acuh sedangkan mereka yang berada di area pemukiman Kampung Komodo lebih memilih kabur dan menghindar ketika bertemu dengan manusia.

Sebuah pilihan yang walaupun tidak mewakili seluruh populasi komodo, tetapi memberikan gambaran nyata bagaimana sang kadal raksasa bersikap terhadap keberadaan kita manusia.

R I S E T P R A K T E K

Area Pemukiman Kampung Komodo.

Sebelum menganalisis isi lambung, hal

pertama yang dilakukan adalah pencarian cicak dan tokek. Kami melakukan pencarian cicak di sekitar kampus IPB. Dalam satu malam, diperoleh 11 ekor kelompok cicak yang kami anggap berbeda dari segi morfologi dan satu ekor tokek rumah. Cicak yang ditangkap

langsung disuntik dengan alkohol 70% di bagian lambung agar makanan yang terdapat di lambung tidak hancur dan dapat dianalisis dengan mudah. Selanjutnya untuk identifikasi spesies cicak, selain dibantu dengan buku panduan identifikasi reptil yang ada, kami juga dibantu oleh seorang herpetolog dari Universitas Indonesia, Thasun Amarasinghe. Dari 11 ekor

cicak yang kami temukan ternyata terdiri dari 4 spesies, yaitu: Gehyra mutilata, Hemidactylus frenatus, Hemidactylus pletyorus, Cyrcodactylus sp. dan satu ekor tokek rumah, Gecko gecko.

Setelah spesies cicak diketahui, barulah kami melakukan analisis isi lambung cicak dan tokek dengan pengamatan langsung isi lambung dengan cara membedah. Lambung cicak dan tokek dikeluarkan dan ditampung ke dalam botol penampung yang berisi alkohol 70%, kemudian dibedah dalam cawan petri dan diamati di bawah mikroskop binokuler. Makanan dari lambung dikelompokkan menjadi hewan, material tumbuhan

H e r p e t o l o g e r Ma n i a 3736

Masih sangat banyak ketidaktahuan dan salah paham mengenai reptil dan amfibi di kalangan masyarakat umum. Misalnya, banyak orang beranggapan bahwa semua ular berbahaya, padahal hanya 20% spesies ular di dunia yang dapat membunuh manusia. Selain itu, masyarakat belum mengetahui pentingnya herpetofauna dalam lingkungan mereka. Misalnya katak dapat menjadi indikator kualitas air dan keseimbangan ekosistem, atau ular dapat mengendalikan hama tikus. Oleh karena itu, 345 Point Corp yang beralamat di Jl. H. Wahid No. 42, RT 04 RW 05, Kampung Gelonggong Timur, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, ingin membuat suatu pusat pendidikan masyara-kat mengenai herpetofauna dalam bentuk taman reptil yang kemudian berguna sebagai sarana ekowisata dan pusat konservasi eksitu.

345 Reptile Center Berbenah Menjadi Pusat Informasi Reptil

Teks & foto: R. Nathan Rusli

dan material yang lain.

Dalam lambung cicak dan tokek yang diamati ditemukan serangga (insecta), laba-laba (arachnida), ngengat (lepidoptera) dan material tumbuhan. Kategori makanan yang paling dominan adalah insekta. Hal ini dikarenakan banyaknya hewan yang tidak teridentifikasi sehingga hanya

diidentifikasi sampai tingkat kelas saja, yaitu insekta. Serangga yang ditemukan di dalam lambung kemungkinan telah dimakan dalam rentang waktu yang cukup lama sehingga kondisinya tidak lagi utuh dan sulit diidentifikasi. Komposisi makanan cicak menggambarkan pola makan yang bersifat oportunis karena selain memangsa hewan,

No Jenis Individu Komposisi Isi Lambung Jumlah1 Gehyra mutilata insekta (4), arachnida (1) 5

2 Hemidactylus frenatus Material tumbuhan (1), insekta (2) 3

3 Hemidactylus pletyorus insekta (1) 1

4 Cyrcodactylus sp. insekta (1) 1

5 Gecko gecko insekta (1) 1

P R A K T E K K O M U N I TA S

mereka juga memakan material tumbuhan.

Tabel 1. Komposisi makanan di dalam lambung beberapa spesies cicak dan tokek yang ditemukan di lingkungan kampus IPB

Beberapa jenis makanan yang ditemykan di perut cicak dan tokek.

Sejauh ini, 345 Point Corp sudah melakukan sosia-

lisasi mengenai herpeto-fauna melalui media sosial, misalnya facebook, twitter, instagram, dll. Selain itu, pusat pendidikan reptil ini melakukan penggalan-gan dana online di www.

kitabisa.com/345reptile. 345 Point Corp telah mulai memberikan penyuluhan kepada masyarakat men-genai jenis-jenis ular yang ada di sekitar mereka agar mereka dapat mengiden-tifikasi ular yang berbisa dan tidak berbisa. Pada acara Hari Ciliwung 2014

lalu, 345 Point Corp men-gadakan pameran yang berisi jenis-jenis reptil lokal di area Jabodetabek, anta-ranya ular,kadal dan juga kura-kura. Pada acara ini selain membuka display satwa, kami juga mema-sang poster dan melaku-kan sosialisasi kepada pengunjung. Karena belum cukup dana untuk membangun taman reptil, maka sekarang semua ular yang digunak-an untuk edukasi dipeliha-ra di sekretariat 345 Point Corp, dan ada beberapa juga yang dipelihara oleh relawan masing-masing 345 Reptile Center, dan dibawa pada saat edukasi.

Referensi:

Wafa, Z. 2007. Komposisi Makanan Pada Tiga Spesies Cicak Melalui Analisis Makanan. Dalam Lambung. Institut Pertanian Bogor 1:7-21.

Dikutip bebas dari laporan Herpetologi Mahasiswa Biosains Hewan IPB Tahun 2014

38