KEPEMIMPINAN NASIONAL INDONESIA MENGHADAPI TANTANGAN ABAD 21 DALAM PERSPEKTIF PERTAHANAN NEGARA
Transcript of KEPEMIMPINAN NASIONAL INDONESIA MENGHADAPI TANTANGAN ABAD 21 DALAM PERSPEKTIF PERTAHANAN NEGARA
KEPEMIMPINAN NASIONAL INDONESIA MENGHADAPI TANTANGAN
ABAD 21 DALAM PERSPEKTIF PERTAHANAN NEGARA
Thomas Riyanto
Lieutenant Commander, Indonesian Navy
I. Pendahuluan.
Abad ke-21 merupakan masa yang menandai pesatnya perubahan dan
perkembangan peradaban manusia seiring dengan tingginya kemajuan teknologi
dan ilmu pengethuan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut
membawa dampak positif maupun negatif terhadap kehidupan sosial manusia,
baik secara langsung ataupun tidak langsung, di mana masyarakat mengalami
proses transformasi secara fundamental pada semua dimensi kehidupan manusia:
ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik dan pertahanan serta keamanan. Menurut
Kartasasmita1 (1997, h. 1), terdapat empat hal yang merupakan gambaran umum
dari kehidupan masyarakat di abad 21 yang juga merupkan kecenderungan yang
global. Pertama, ekonomi nasional akan semakin terintegrasi ke dalam ekonomi
global, sehingga bangsa Indonesia tidak bisa lagi hanya sekadar mengandalkan
dinamika perekonomian di dalam negeri semata. Globalisasi ekonomi yang
ditandai oleh praktik perdagangan bebas, telah menyebabkan dinamika
perekonomian suatu negara menjadi saling tergantung. Kedua, dalam era global
interaksi antarbangsa dan antarnegara akan berlangsung semakin intensif, terbuka,
dan transparan. Dalam proses interaksi demikian, maka dengan mudah terjadi
pertukaran dan adaptasi nilai-nilai budaya di antara bangsa-bangsa di dunia.
Ketiga, di bidang politik dan hankam juga demikian halnya. Dalam batas-batas
tertentu, dinamika politik di dalam negeri baik secara langsung maupun tidak
langsung, dipengaruhi oleh perkembangan politik internasional. Penetrasi
kekuatan-kekuatan asing, dalam beberapa hal, berpengaruh terhadap lemah-
kuatnya ketahanan dan stabilitas politik nasional. Keempat, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi,
berlangsung amat cepat dan harus bisa diantisipasi karena ilmu pengetahuan dan
1 Ginandjar Kartasasmita, “Ceramah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas pada Pelantikan Perwira Remaja TNI AU 1997”, Jakarta, 18 Desember 1997.
teknologi, selain perdagangan, adalah kekuatan utama yang mampu
menggerakkan globalisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
salah satu indikator dan parameter tinggi-rendahnya peradaban sebuah bangsa.
Terjadinya perdagangan bebas, pengaruh kuat budaya global, kuatnya
pengaruh asing terhadap kondisi politik nasional serta pesatnya kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan munculnya dinamika
kehidupan sosial di Indonesia yang secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap lingkungan strategis baik nasional, regional, maupun internasional. Pada
akhirnya, perkembangan situasi strategis pada abad 21 membawa beraneka ragam
tantangan maupun ancaman yang dapat mempengaruhi pertahanan dan keamanan
negara. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan kepemimpinan nasional yang
berkompeten dalam menghadapi ancaman dan tantangan yang muncul pada abad
21 ini.
Berdasarkan pertimbangan pekembangan situasi strategis di atas serta
kebutuhan kepemimpinan nasional yang mampu membawa Indonesia melalui
segala ancaman dan tantangan yang ada di abad 21, maka kemudian dapat
dirumuskan permasalahan yang timbul kemudian. Seperti apakah kriteria
kepemimpinan nasional di abad 21 dalam perspektif pertahanan negara? Apakah
kriteria kepemimpinan nasional tersebut yang paling diinginkan oleh segenap
masyarakat Indonesia?
II. Teori dan Kriteria Kepemimpinan di Abad 21.
Beberapa teori mengenai kepemimpinan telah ada jauh sebelum abad 21
dimulai. Kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
sekelompok orang guna mencapai tujuan (Sherman, 1998). Kepemimpinan juga
dapat diartikan sebagai fungsi yang berguna untuk mengetahui kemampuan
sendiri, memiliki visi yang dapat dengan baik dikomunikasikan, membangun
kepercayaan di antara kolega, serta dapat mengambil tindakan yang efektif
sehingga dapat menyadari potensi kepemimpinannya sendiri (Bennis, 1985).
Northouse2 (2001) mengidentifikasi empat komponen yang lazim keluar dalam
tiap definisi tentang kepemimpinan. Pertama, Kepemimpinan adalah sebuah
2 Peter Northouse, “Leadership: Theory and Practice”, Sage Publication, 2001seperti dikutip dari
Michael Lorz, “Discovering the 21st Leadership”, University College Dublin, 2005, h. 1.
proses,. Kedua, Kepemimpinan melibatkan kemampuan mempengaruhi. Ketiga,
Kepemimpinan terjadi dalam konteks kelompok. Sedangkan yang keempat adalah
Kepemimpinan melibatkan pencapaian tujuan.
Namun pada perkembangan abad 21, apakah definisi tersebut masih
relevan adalah sebuah pertanyaan yang perlu dikaji lebih lanjut. Menurut Lorz
(2005), kepemimpinan pada abad 21 adalah suatu proses interaksi antara
pemimpin, lingkungan, dan pengikut. Proses tersebut melibatkan perumusan dari
berbagai visi yang disebabkan oleh pengetahuan situasional yang didapatkan dan
mempersatukan para pengikut untuk secara bersama-sama mencapai misi tersebut.
Dalam penelitiannya, Lorz berpendapat bahwa terdapat tiga kategori utama yang
mempengaruhi kepemimpinan abad 21. Ketiga hal tersebut adalah tren global,
tren organisasi, dan tren pengikut. Ketiganya mendefinisikan hambatan sedangkan
gaya dan sifat kepemimpinan dimodelkan berdasarkan ketiga tren tersebut
sehingga bisa menjadi jawaban atas masalah tersebut. Dari penelitiannya, Lorz
mendefinisikan sifat kepemimpinan yang pantas di abad 21. Pertama, “Power of
Comprehension Traits” yaitu sifat yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
eksternal, menilai perubahan yang terjadi pada lingkungannya serta untuk
mengidentifikasi peluang bisnis. Kedua, “Power of Personality Traits” yaitu sifat
yang bertujuan untuk mengkonversi perubahan dan peluang menjadi visi. Ketiga,
“Power of People Traits” yaitu sifat yang bisa menginspirasi dan menyatukan
pengikut untuk mencapai visi. Sementara gaya kepemimpinan abad 21 menurut
Lorz adalah gaya yang mampu membawa pemimpin untuk berinteraksi dengan
pengikut-pengikutnya. Pertama adalah “Discover Followers Style”, yaitu
kemampuan pemimpin untuk menilai pengikutnya dan mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan mereka. Kedua adalah “Develop Followers Style”, yaitu
kemampuan pemimpin untuk melatih dan membina pengikut agar dapat mengatasi
kelemahan dan membantu perkembangan kekuatan mereka. Sementar ketiga
adalah “Delegate to Followers Style”, yaitu kemampuan pemimpin untuk
menyatukan dan memberdayakan pengikut untuk mencapai visinya. Gaya dan
sifat kepemimpinan ini diharapkan mampu menjadi jawaban atas tantangan abad
21 yang semakin kompleks.
Kartasasmita (1997, h. 4) menekankan lima tantangan yang dihadapi pada
abad 21. Lima tantangan tersebut adalah tantangan global, tantangan menjaga
integrasi bangsa, tantangan memperkukuh wawasan kebangsaan, tantangan
membangun masyarakat berpengetahuan, serta tantangan atas keterbukaan dan
demokrasi. Dalam menghadapi tantangan tersebut, maka model kepemimpinan di
abad 21 merupakan kombinasi dari kualitas-kualitas yang terdiri dari kemampuan
mengantisipasi kecenderungan global, berpandangan visioner yang tercermin pada
kehandalan dalam menguasai iptek, tetap kukuh pada tradisi budaya bangsa yang
ter-refleksi-kan pada wawasan kebangsaan, serta responsif-adaptif-akomodatif
terhadap tuntutan keterbukaan dan demokratisasi.
Sementara itu menurut Drucker (1999), seperti dikutip oleh
Mustopadidjaja (2008, h. 30), tantangan manajemen pada abad 21 adalah
berkaitan dengan “knowledge worker”, di mana hal ini memerlukan paradigma
manajemen baru, strategi baru, pemimpin perubahan, tantangan informasi,
produktifitas pegawai berbasis pengetahuan, serta kemampuan untuk mengelola
diri sendiri. Sehingga pada abad 21 diperlukan sebuah paradigma baru dalam
kepemimpinan. Mustopadidjaja menekankan, berdasarkan Chowdury (2000),
bahwa pemimpin abad 21 harus memiliki tiga faktor utama agar bisa menjawab
tantangan yang dinamis. Pertama adalah Pemimpin Abad 21 merupakan
pemimpin yang memiliki kompetensi berupa kemampuan mengembangkan
peoplistic communication, emotion and belief, multi skill, dan juga memiliki next
mentality. Faktor kedua, proses Abad 21 fokus pada kegiatan inti (core pactices),
meliputi 4 area kritis berupa grass root education, fire prevention, direct
interaction, dan effective globalization.. Faktor ketiga, organisasi Abad 21 yang
berkomitmen terhadap kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, yang
dituntut di dalam masyarakat Abad 21 ialah kepemimpinan yang unggul atau
“super”. Mustopadidjaja, mengutip Ulrich (1998) dalam kaitan ini, menawarkan
empat agenda utama pengembangan kepemimpinan pada abad ke-21 agar tetap
menjadi “champion”, adalah: (1) menjadi rekan yang strategis, (2) menjadi
seorang pakar, (3) menjadi seorang pekerja ulung, dan (4) menjadi seorang “agent
of change”.
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan yang diperlukan untuk mengahadapi berbagai tantangan dan
ancaman yang timbul di abad 21 adalah kepemimpinan yang memiliki paradigma
baru, yang mampu beradaptasi pada perkembangan lingkungan strategis, serta
mengutamakan manusia sebagai sumber daya yang penting bagi sebuah organisasi
(baca: negara).
III. Kepemimpinan Nasional Abad 21 Dalam Sistem Pertahanan Negara.
Ancaman yang timbul, baik disebabkan oleh globalisasi maupun
perkembangan lingkungan strategis sebagai ekses dari majunya abad 21, dapat
berupa ancaman yang bersifat militer maupun nir-militer. Oleh karenanya
Pemerintah, dalam hal ini Presiden melalui lembaga Kementerian Pertahanan RI,
telah menetapkan strategi pertahanan negara yang mengutamakan pada strategi
penangkalan.
Dalam Peraturan Presiden RI No. 7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum
Pertahanan Negara, disebutkan bahwa Stratetgi Pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia disusun dalam bentuk strategi penangkalan berupa, (1)
pertahanan multilapis dengan pusat gravitasi dukungan rakyat atas peran TNI
sebagai kekuatan utama yang menentukan di darat, di laut dan di udara, (2)
merupakan pertahanan total secara terpadu antara komponen Militer dan Nir
Militer untuk menghadapi setiap bentuk ancaman, (3) di tingkat nasional berupa
jaringan terpadu Ketahanan Nasional di daerah termasuk di wilayah perbatasan
dan daerah terpencil didasari semangat bela negara, (4) Di tingkat regional berupa
jaringan kerjasama antara negara-negara Association of South East Asia Nations
(ASEAN) dengan menggunakan komponen Militer dan Nir-Militer (ekonomi,
budaya, identitas) secara terpadu dalam rangka menjaga, melindungi dan
memelihara kepentingan Nasional Indonesia.
Sistem pertahanan negara, seperti juga organisasi bisnis maupun institusi
publik lainnya, memerlukan pengelolaan yang mampu menjawab tantangan
dinamis abad 21 tersebut. Pengelolaan yang baik dibutuhkan terutama dalam hal
mensinergikan komponen militer maupun komponen nir-militer yang sangat
beragam, baik dari latar beakang skill maupun kultural. Chowdury (2000), seperti
yang dikutip oleh Mustopadidjaja (2008), berpendapat bahwa tantangan
organisasional sesungguhnya pada Abad 21 bukanlah jarak geografis, melainkan
diversitas kultural. Chowdury memandang bahwa “twenty first century leaders
will become more multi-skilled than their 20th
century predecessors…one of the
important characteristics of multi-skill leader is the ability to encourage
diversity”. Oleh karenanya diperlukan pemimpin yang memiliki kemampuan
multi-skill yang dapat mengakomodir keberagaman dalam mengelola sistem
pertahanan negara.
Dalam institusi publik di Indonesia, kultur Jawa sangat mempengaruhi
secara signifikan budaya serta nilai-nilai nasional yang menentukan
kepemimpinan yang efektif di Indonesia (Irawanto et al, 2012; Goodfellow,
1997a; Liddle, 1996). Secara politik etnis Jawa sangat mendominasi di Indonesia
yang dimulai semenjak era Soeharto (Irawanto et al, 2012; Sarsito, 2006; Vickers,
2001). Prinsip kepemimpinan yang diterapkan seperti ing ngarso sung tulodo, ing
madyo mangun karso, tut wuri handayani, gemi nastiti, ambeg paramaarta, asta
brata, dan lain sebagainya merupakan contoh dari kentalnya nilai dan budaya
Jawa dalam kepemimpinan di sektor publik di Indonesia, khususnya dalam
organisasi TNI. Oleh karenanya patut dikritisi mengenai kompetensi dan relevansi
kepemimpinan yang menggunakan model kultur Jawa seperti ini di abad 21 yang
telah memunculkan berbagai tantangan dan ancaman yang semakin kompleks.
Pusat dari nilai-nilai kebudayaan Jawa adalah kekeluargaan dan
paternialisme (kebapakan/father-ism). Hal ini memberikan karakteristik yang kuat
dalam hubungan antara pemimpin dan pengikut3. Dalam implementasinya di
tubuh institusi publik, hal ini tergambar dalam hubungan senior-junior. Keputusan
seluruhnya berada pada senior (yang lebih tua baik dalam umur maupun
kedudukan), di mana junior adalah pelaksana kebijakan. Terdapat berbagai sisi
positif maupun negatif dalam penerapan kepemimpinan model ini. Pertama, dari
segi positif, kebijakan dapat dikontrol penuh oleh pemimpin sehingga tidak
melenceng jauh dari visi organisasi yang telah disepakati atau ditetapkan
sebelumnya. Kedua, dari segi negatif, campur tangan pimpinan (senior) dalam
setiap kebijakan mengakibatkan bawahan (junior) harus meminta petunjuk dari
3 Irawanto et. al., “Exploring Paternialistic Leadership and Its Application to the Indonesian
Public Sector”, The International Journal of Leadership in Public Services Vol. 8 No. 1, 2012, h. 4
pimpinan (senior) untuk hal-hal kecil sekalipun. Ketidak dewasaan kepemimpinan
dalam hal ini merupakan hambatan dalam mengatasi tantangan di abad 21 yang
memerlukan kecepatan dan kedinamisan dalam pengambilan keputusan.
Walaupun diperlukan kearifan lokal dalam kepemimpinan nasional agar dapat
diimplementasikan sesuai dengan karakteristik pengikut (followers), akan tetapi
perlu adanya penyesuaian gaya kepemimpinan paternalistik dalam kepemimpinan
nasional sehingga tidak menjadikan hambatan yang berarti dalam menyongsong
tantangan dan ancaman abad 21.
Dikarenakan sifat dari ancaman keamanan nasional yang kompleks karena
menyangkut kehidupan banyak orang serta sistem pertahanan negara yang bersifat
semesta dalam pelaksanaannya, maka pemimpin nasional di abad 21 haruslah
pemimpin yang visioner dan transformasional. Dikatakan visioner jika pemimpin
memiliki visi yang luas dan maju sehingga mampu memotivasi pengikutnya
dalam menghadapai setiap ancaman yang timbul secara bersama-sama dan
bersifat semesta sesuai dengan doktrin pertahanan negara yang telah dibuat. Selain
itu pula kepemimpinan transformasional yang cenderung dekat dengan bawahan
adalah hal yang dianggap oleh publik merupakan suatu keharusan pada saat ini.
Hal ini disebabkan bahwa pemimpin yang dekat dengan bawahannya merupakan
pemimpin yang mampu menjamin mengetahui dinamika yang terjadi di
masyarakat. Dinamika masyarakat sendiri merupakan salah satu variabel dalam
menetapkan arah kebijakan pembangunan jangka panjang pertahanan negara4.
Fenomena yang terjadi di Jakarta dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai
Gubernur DKI Jakarta merupakan salah satu contoh bagaimana tren
kepemimpinan nasional yang diingini oleh rakyat di masa mendatang. Gaya
“blusukan” menjadi salah satu modal utama terpilihnya Widodo sebagai Gubernur
di kota terbesar di Indonesia tersebut. Melihat kompleksitasnya masyarakat
Jakarta dalam budaya, pendidikan hingga mata pencaharian membuat Jakarta bisa
disebut miniaturnya Indonesia. Gaya visioner dan transformasional Widodo
mampu manjawab kerinduan masyarakat akan pemimpin yang kebapakan dan
visioner.
4 Kementerian Pertahanan RI, “Buku Putih Pertahanan Indonesia”, Jakarta, 2008, h. 103.
IV. Penutup.
Abad 21 merupakan abad yang kompleks dan ditanai dengan timbulnya
globalisasi sebagai akibat dari pesatnya kemajuan teknologi informasi maupun
komunikasi. Akibatnya batas-batas suatu negara menjasi kabur dan seperti hilang.
Hal ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya tantangan dan ancaman serta
dinamika lingkungan strategis yang semakin kompleks. Keberadaan pemimpin di
tengah masyarakat dalam menyongsong abad 21 sangat vital, mengingat tingginya
kompleksitas tantangan dan ancaman yang timbul. Kepemimpinan visioner dan
transformasional yang mengacu pada kearifan lokal penduduk Indonesia adalah
hal yang diperlukan dalam mengantisipasi setiap tantangan dan ancaman tersebut.
Sistem pertahanan negara yang bersifat semesta memerlukan pemimpin dengan
kualitas tersebut sehingga mampu mengerti dinamika masyarakat, yang
merupakan salah satu variabel arah kebijakan pembangunan pertahanan negara
jangka panjang.
Di saat kita menjelang tahun suksesi kepemimpinan nasional 2014, maka
diharapkan kepemimpinan nasional yang baru terpilih nantinya mampu menjawab
semua tantangan maupun ancaman kompleks pada abad 21. Dengan pemimpin
yang visioner dan transformasional, maka pertahanan negara dapat terlaksana
sehingga pada akhirnya amanat konstitusi Indonesia dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Bennis, Waren. (1985). Leaders: Strategis of Taking Charge. 1997 2nd
ed. New
York: Harper and Row Publishers.
Irawanto et. al. (2012). Exploring Paternialistic Leadership and Its Application to
the Indonesian Public Sector. The International Journal of Leadership in
Public Services Vol. 8 (1).
Kartasasmita, Ginandjar. (1997). Ceramah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas pada Pelantikan Perwira Remaja TNI AU. Jakarta.
Kementerian Pertahanan RI. (2007). Strategi Pertahanan Negara. Jakarta:
Author.
Kementerian Pertahanan RI. (2008). Buku Putih Pertahanan Indonesia. Jakarta:
Author.
Lorz, Michael. (2005). Discovering the 21st Leadership. Dublin: University College
Dublin
Mustopadidjaja AR., Prof. Dr. (2008). Beberpa Dimensi dan Dinamika
Kepemimpinan Abad 21. Jakarta. Diunduh dari
http://katalog.library.perbanas.ac.id pada 17 Desember 2013 pukul 20.00.
Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan
Negara.