EKONOMI SYARIAH SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGHADAPI PASAR BEBAS
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of EKONOMI SYARIAH SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGHADAPI PASAR BEBAS
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB 1
PENDAHULUAN
Pengertian Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah sebagai konsep rabbani dan insani
Karakteristik ekonomi syariah
Sejarah perkembangan ekonomi Islam
- Perekonomian Masa Rasulullah Saw
Perkembangan ekonomi syariah modern
Kebangkitan ekonomi syariah
BAB II
Liberalisasi dan permasalahan ekonomi: kritik ekonomi Islam
terhadap ekonomi pasar bebas
- Hakikat Liberalisasi
BAB III
Ekonomi syariah sebagai solusi alternatif dalam menghadapi pasar bebas
- Menanti peran ekonomi syariah di era globalisasi
- Konsumsi, produksi dan distribusi dalam pandangan ekonomi Syariah (islam):
tawaran untuk solusi alternatif
Konsumsi
Produksi
Distribusi
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembicaraan mengenai ekonomi islam merupakan suatu hal yang sangat menarik
dalam decade terakhir ini1. Kemunculan ekononomi islam di pandang sebagai sebuah gerakan
baru yang disertai dengan misi dekonstruktif atas kegagalan sistem ekonomi dunia yang
dominan selama ini dalam menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi dunia yang semakin
rumit. Pada hakikatnya ekonomi syariah adalah metamorfosa nilai – nilai islam dalam
ekonomi dan dimaksudkan untuk menepis anggapan bahwa islam adalah agama yang hanya
mengatur persoalan ubudiyah atau komunikasi vertical antara manusia (mahluk) dengan
Allah (khaliq) nya. Dengan kata lain, kemunculan ekonomi islam merupakan suatu bentuk
artikulasi sosiologis dan praktis dari nilai – nilai islam yang selama ini di pandang doktriner
dan normatif. Dengan demikian, islam adalah suatu dian (way of life) yang praktis dan
ajarannya tidak hanya merupakan aturan hidup yang menyangkut aspek ibadah dan
muamalah sekaligus, mengatur manusia dengan rabb-Nya (hablun minallah) dan hubungan
manusia dengan manusia (hablu min an nas).
Ditengah arus globalisasi dunia saat ini, khususnya dalam bidang ekonomi yang
menuai berbagai permasalahan yang pelik, para ahli dituntut agar dapat menawarkan
pemecahan – pemecahan masalah, yang tidak lagi dapat di pecahkan oleh ekonomi
kapitalisme dan liberalisme yang malah turut menambah masalah perekonomian saat ini.
Ekononomi syariah bersama nilai kemanusiaannya dituntu mampu berperan penting dalam
menuntaskan permasalahan tersebut dan memberi rahmat bagi keselarasan perekonomian
dunia. Ekonomi syariah sebagai metamorfosa nilai – nilai islam, merupakan tanggung jawab
setiap ekonom atau ulama untuk merealitaskan suatu nilai tersebut. Sebagai otoritas yang
relative paham akan ajaran islam. Agar dalam situasi ketimpangan ekonomi saat ini, ummat
mampu mencari solusi alternatif dari permasalahan tersebut demi kesejeahteraan dan keadilan
yang merata.
1 Muhammad H.M.S.2007. prinsip – prinsip ekonomi islam, Graha Ilmu, hal. 28
Dalam konteks Indonesia, Undang – undang Dasar 1945 pasal 29 adalah dasar bahwa
seluruh syariat islam, khususnya yang menyangkut bidang – bidang hukum muamalat, dapat
dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan jalan diadopsi dalam hokum positif nasional. Kedua, keberhasilan upaya
warga bangsa Indonesia untuk maksud ini ditandai oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia
(BMI) pada tahun 1992 dan bank – bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), berdasarkan
undang – undang nomor 7 tahim 1992 tentang Perbankan2.
Dalam konteks Indonesia, kini pemerintah Indonesia dituntut untuk memberi
dukungan dan perlindungan bagi berlakunya sistem ekonomi Islam --- terutama sekali dalam
rangka memberdayakan ekonomi umat --- baik akan dilakukan oleh umat Islam yang
mempunyai landasan keimanan atau juga non-muslim dengan motivasi dan landasan keadilan
serta keterbukaan, atau dengan istilah lebih menguntungkan. Oleh karena itu, kondisi yang
ada di Indonesia sekarang ini memberi peluang emas bagi setiap sistem ekonomi, termasuk
ekonomi Islam.3
Hal ini menunjukkan bahwa, penerapan sistem ekonomi syariah merupakan
keniscayaan bagi untuk diterapkan pada Negara – Negara yang sering tertimpa krisis
ekonomi, khususnya Negara Indonesia. Terlepas dari jumlah penduduk di suatu negara yang
memeluk agama islam. Pengakuan secara konstitusi tersebut, sedikit memberi harapan
kepada ummat akan kegemilangan ekonomi di masa yang akan datang. Dan juga penerapan
sisitem ekonomi syariah merupakan konsekuensi dari perkembangan zaman ketika sistem
ekonomi liberal (free market) menuai problem dan tidak mampu memberi solutif bagi
keberlangsungan perekonomian dunia.
2 Drs. Amiruddin Kadir, M.EI. Ekonomi dan keuangan syariah, Alauddin Univesity Press,2011
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
Ekonomi syariah sebagai solusi alternative dalam menghadapi peran pasar bebas.
C. Tujuan Penulisan dan kegunaan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, untuk mengetahui dan memperjelas status ekonomi
syariah dalam menghadapi pasar bebas. Dan keguanaan penulisan yaitu, untuk
mengetahui apa sebenarnya ekonomi syariah itu, dan bagaiamana peran ekonomi
syariah dalam memberi solusi dari permasalahan ekonomi dunia saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ekonomi Syariah
Dalam bahasa arab istilah ekonomi diungkapkan dengan kata al-‘iqtsad, yang secara
bahasa berarti; kesederhanaan, dan kehematan4 . dari makna ini, kata al-„iqtisad berkembang
dan meluas sehingga mengandung makna ‘ilm al-‘iqtisad, yang berarti ilmu yang berkaitan
dengan atau membahas ekonomi5. Sedangkan secara terminologis, para pakar berbeda
pendapat dalam membahas ekonomi islam:
M. Umer Chapra: Ekonomi islam adalah “suatu cabang ilmu pengetahuan yang
membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber – sumber daya langka sesuai dengan maqasid al-syari’ah atau tujuan
ditetapkannya syariah, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan,
menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan
keluarga dan solidaritas social dan jalinan moral dari masyarakat6.
Ekonomi dalam pandangannya harus mengaitkan antara persoalan ekonomi dengan persoalan
social kemanusiaan yang menjadi tujuan syariat islam. Jadi tidak semata – mata pemenuhan
kebutuhan material sebagaimana yang dikemukakan para ekonom kapitalis.
S.M Hasanuzzaman: Ilmu ekonomi islam adalah “pengetahuan dan aplikasi ajaran
– ajaran dan aturan – aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dan pencarian,
serta pengeluaran sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan
memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban – kewajiban mereka terhadap
Allah dan masyarakat”7.
4 Ibid – hal 1.
5 Ibid – hal 2.
6 Ibid – hal 3.
7 Ibid – hal 3
S.M Hasanuzzaman lebih melihat bahwa persoalan ekonomi islam sebagai impelmentasi dari
norma – norma ajaran agama agama islam yang berkaitan dengan ekonomi untuk kepuasan
pribadi dan melaksankan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah. Kesejahteraan
ekonomi merupakan sarana untuk berbakti kepada Allah swt, bukan untuk tujuan yang tidak
diridhai-Nya.
Selain itu menurut M. Najetullah Siddiqi, ekonomi islam adalah “respons para pemikir
muslim terhadap tantangan – tangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka
dibantu oleh Al – qur‟an dan sunnah maupun akal dan pengalaman”. Tampaknya defenisi
yang dikemukakan Siddiqi, menilai ekonomi syariah sebagi reaksi dan tantangan kehidupan.
Dan dibawah ini merupakan defenisi para ahli tentang ekonomi islam:
M.A Mannan, ilmu ekonomi islam adalah suatu ilmu pengetahuan social yang
mempelajari permalasahan dari orang – orang yang memiliki nilai – nilai islam.
Kurshid Ahmad, seorang intelektual asal Pakistan mendefenisikan “ekonomi
islam sebagai upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi
dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan masalah tersebut dari sudut
pandang islam”
Louis Cantori mendefiniskan ekonomi islam tidak lain merupakan “upaya untuk
merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan masyarakat yang
menolak ekses individualism dalam ilmu ekonomi klasik”
Tampaknya para pemikir ekonomi syariah melihat bahwa persoalan ekonomi tidak
hanya berkaitan dengan factor produksi, konsumsi, dan distribusi berupa pengelolaan sumber
daya yang ada untuk kepentingan yang bernilai ekonomis. Akan tetapi, lebih dari itu mereka
melihat ekonomi sangat terkait dengan persoalan moral, ketidakadilan, ketahuidan dan
sebagainya. Konsep ekonomi syariah juga menempatkan individu sebagai mahluk yang
mempunyai potensi religius. Oleh sebab itu, dalam pemenuhan kebutuhannya, atau aktifitas
ekonomi lainnya, ekonomi syariah menempatkan nilai – nilai Islam sebagai dasar pijakannya.
Berbeda dengan konsep Barat yang menempatkkan kepentingan individu sebagai
landasannya8.
8 Ibid hal 8.
A. Ekonomi Syariah: Suatu Konsep Nilai Rabbani dan Insani
Aktualisasi nilai – nilai ekonomi islam (an-nathijah) merupakan segala upaya dan
proses untuk memahami, mengkonseptualisai, dan mewujudkan nilai tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara itu, nilai – nilai islam adalah
kumpulan asas – asas, prinsip dan ajaran islam sebagai pedoman dalam menjalakan
kehidupannya. Nilai – nilai tersebut saling terkait membentuk satu kesatuan utuh, termasuk di
dalamnya nilai – nilai ekonomi islam. Nilai tersebut menjadi sumber nilai tertinggi
(grundnorm) dan memiliki sifat filosofis dan universal dari sumber hukum Islam, yaitu Al-
qur‟an, sunnah dan ijtihad9. Universalitas nilai – nilai itu dimaksudkan bukan hanya khusus
untuk kegiatan ekonomi, melainkan sebagai sumber nilai tertinggi terhadap segala aktivitas
manusia di bumi. Namun demikian setelah melalui kajian dan analisis terhadap nilai – nilai
tersebut sangat relevan dijadikan sebagai grundnorm yang akan memunculkan sejumlah
prinsip. Selanjtnya prinsip tersebut dituangkan kedalam bentuk kaidah atau norma hukum
sebagai penjabarannya sehingga dapat diimplementasikan dalam praktik. Dalam upaya
memahami nilai – nilai universal dan ajaran islam, sangat diperlukan adanya pola
pemahaman yang menyeluruh dan integrative agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan
kekeliruan.10
Pola pemahaman yang uniti sangat diperlukan terutama dalam menyusun
sebuah sistem yang didalamnya tersusun beberapa unsur yang saling melengkapi sebagai satu
kesatuan. Beberapa kalangan menetapkan Al-qur‟an dan sunnah sebagai sumber nilai,
sehingga dari sinilah lahir sejumlah ketentuan penjabaran yang dapat dilaksanakan dalam
kehidupan. Pandangan formalistik yang demikian itu masih memerlukan upaya interpretative
untuk mendapatkan nilai yang terkandung didalamnya. Hal ini telah digambarkan dalam Q.S.
an – nahl/16 ayat 89.
M. Arifin Hamid, lebih jauh menguraikan konsep teori nilai – nilai islam (an-natijah) dalam
bukunya hukum ekonomi Islam (ekonomi syariah) di Indonesia, dikemukakan bahaw nilai –
nilai Islam (an-nathijah) yang relevan dengan ekonomi syariah setidaknya dapat dimunculkan
dari beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut11
:
Secara intrisik bersumber dari Al-qur‟an dan sunnah sebagai wahyu Tuhan. Nilai
ini merupakan turunan (derivasi) dari wahyu untuk dilaksanakan dalam kehidupan
9 M. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (ekonomi syariah) di Indonesia, bogor: grahalia indonesia hal. 25
10 Ibid Amiruddin Kadir
11 Ibid Amiruddin Kadir
dan memiliki sifat absolut. Nilai – nilai tersebut dapat dimunculkan melalui proses
kehidupan secara sosiologis yang umumnya biasa disebut sebagai proses kultural,
atau bisa juga disebut sebagai living law (hukum yang hidup) dalam masyarakat.
Nilai – nilai tidak memiliki sifat kemutlakan seperti halnya dengan nilai intrinsic,
tetapi lebih bermakna fungsional. Artinya nilai – nilai sosiologi kultural tersebut
jika sejalan dengan nilau – nilai intrinsic tadi, maka dapat diakomodasi sebagai
bagian dari nilai – nilai yang dimaksudkan, sesuai dengan prinsip al-adatu
muhakkamatun.
Jika kita berbicara nilai dan akhlak dalam ekonomi Islam (syariah), maka tampak
secara jelas dihadapan kita emapat nilai utama, yaitu: rabbaniyah(Ketuhanan), akhlak,
kemanusiaan dan pertengahan12
. Nilai – nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang
utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat
menyeluruh dan tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Lantas,
apa makna Rabbaniah (Ilahiah) disini, dan apa makna ekonomi Islam sebagai ekonomi
Ilahiah ? apakah nilai Ilahiah sebagai aspek spiritual yang sangat tinggi dan sangat “suci” itu
masuk dalam bidang ekonomi. Padahal bidang ekonomi adalah bidang yang tidak mengenal
kecuali materi, tidak faham kecuali bahasa angka, tidak berbicara kecuali yang menyangkut
tentang untung dan rugi. Tidak ada keinginan bagi ahli ekonomi kecuali mengendalikan
pasar, mengalahkan pesaing, mengurangi harta (orang lain) dengan berbagai macam cara,
meraih keuntungan atau bunga sebesar – besarnya tanpa memperdulikan sarana yang
digunakan atau cara yang ditempuh, semua hal tersebut adalah realitas ekonomi yang kita
ambil dari Barat.
Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi rabbani dan insani. Dikatakan dengan
ekonomi rabbani karena ekonomi Islam sangat sarat dengan tujuan dan nilai – nilai Ilahiyah.
Sedangkan ekonomi insani dikatakan memiliki dasaar sebagai ekonomi insani karena sistem
ekonomi Islam dilaksanakan dan ditujukan untuk kemaslahatan manusia13
.
12
Ibid Amiruddin Kadir 13
Ibid Amiruddin Kadir
A. Karakteristik Ekonomi Islam
Sebagai suatu konsep nilai rabbani dan insani, ekonomi Islam memiki beberapa karakteristik
khusus dibanding ekonomi konvensional dan sistem ekonomi lainnya. Berikut karakteristik
ekonomi Islam menurut Prof. A. Qodry Azizy, Ph.D dalam bukunya Membangun Fondasi
Ekonomi Umat14
:
Kebebasan bekerja, berprestasi dan beramal. Dalam Islam, mencari rezeki adalah
bebas dan tidak ada batas jumlah yang dapat diperoleh, kecuali aturan main dalam
proses dan penggunaannya nanti, ada yang sudah jelas dan tegas. Accumulation of
capital model Adam Smith, tidak secara mutlak dapat dipraktekkan, sebab akan
terkena ethico-religious and legal frameworks yang dibawah ini.
Ethico-religious and legal frameworks. Pengharaman riba dan sejenisnya masuk
disini sebagai operasional etika dan hukum agama. Terwujudnya legal framework
menjadi tuntutan serius, sehingga Bank Sentral harus pula mengakomodasi
tuntutan perkembangan layanan syari‟ah. Jangan sampai terjadi sistem layanan
syari‟ah sudah berjalan, namun hukum yang mengatur praktek tersebut tidak
kunjung hadir.
Keadilan, termasuk kepada buruh. Disini ada larangan eksploitasi. Konsep the
devision of labor (yang menjadi salah satu konsep ekonomi Adam Smith) harus
ditekankan pada tidak adanya eksploitasi yang tidak manusiawi.
Ada hak orang lain (zakat, sadaqah, infaq, dan sejenisnya). Sasaran bantuan social
hanyalah salah satu karakteristik, bukan inti utama dalam sebuah sistem. Tidak
semata – mata accumulation of capital, namun harus ada hak orang lain,
disamping beberapa etika dan hukum dalam proses memperoleh dan tujuan
akhirnya.
Ada pertanggung jawaban dunia dan akhirat. Dunia jelas, tercakup di dalam
sistem hukum yang harus jelas dan tegas serta mencakup semua aktivitas ekonomi
yang ada. Sedangkan yang akhirat, termasuk di dalam prosesnya kepatuhan
terhadap hukum agama, yang mencakup al-ahkam al-khamsah (hukum islam yang
lima).
14
A. Qodri Azizy, Ph.D, Membangun Fondasi Ekonomi umat (Menoropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), 2004, Pustaka pelajar, hal 188
Jadi, dalam agama islam tidak ada batasan bagi setiap orang untuk mencari dan
mendapatkan harta, namun tetap ada pengecualian aturan yang telah ditetapkan. Selain itu
dalam agama Islam, pencarian dan akumulasi modal wajib memperhatikan etika – religious
sebagai prinsip nilai kemanusiaan ekonomi Islam. Selain keadilan terhadap buruh dan
mengupayakan peniadaan eksploitasi yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis untuk
memperoleh nilai lebih. Dan yang paling akhir, dapat dipertanggung jawabkan di akhirat
kelak. Lebih dari itu, menurut Yusuf Qaradhawi, secara factual, sistem ekonomi Islam
sebagai sistem yang Islami (al-nidzam al-Islami) dalam berbagai aspeknya, merupakan
kesatuan yang tidak bisa dipisah – pisah. Sistem Islami dalam aspek ekonomoni misalnya
memberikan motivasi terhadap individu untuk berkreasi, berinovasi dan bekerja, dan memang
memperbolehkan kepemilikan khusus dan pemeliharaan harta kekayaan 15
. Dengan itu, Islam
memberikan ruang gerak yang luas bagi setiap individu untuk mengaktualisasikan diri,
berprestasi, mewujudkan kesejahteraan sehingga hidupnya bisa sempurna dan bermanfaat.
Dan menurut Ali Syari‟ati, Kerangka dasar umat ialah ekonomi, karena “barang siapa tidak
menghayati kehidupan duniawi maka dia pun tidak akan mengalami kehidupan batiniah”
sistem sosialnya didasarkan atas kesamaan dan keadilan serta hak milik yang ditenpatkan di
tangan rakyat, atas kebangkitan kembali “sistem Habil”, yakni masyarakat yang ditandai oleh
kesamaan manusia dan karena itu pula ditandai oleh persaudaraan, masyarakat tanpa kelas.
Ini merupakan prinsip asasi, bukan tujuan, sebagaimana halnya pada nasionalisme Barat,
yang pandangan hidupnya tetap saja pandangan borjuasi Barat16
.
B. Sejarah Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam; suatu tinjauan historis masa
Rasulullah SAW.
a. 2.1 Perekonomian masa Rasulullah SAW
Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak, Muhammad saw dipilih sebagai seorang
Rasul (utusan Allah). Rasulullah Muhammad saw mengeluarkan sejumlah kebijakan yang
menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup masyarakat, selain
masalah hukum (fiqh), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah).
Pada perkembangan selanjutnya Rasulullah saw mengadopsi praktik yang lebih manusiawi
terhadap tanah pertanian yang ditaklukan sebagai fai atau pemilihan umum. Tanah – tanah ini
15
Yusuf Qaradhawi, teologi kemiskinan, mitra pustaka, hal 75 16
Ali Syaria’ti, Paradigma Kaum Tertindas, Al – Huda, 2001, hal 60
dibiarkan dimiliki oleh pemilik dan menanam asal, sebagai perbedaan dari praktik kekaisaran
Romawi dan Persia yang memisah – misahkan tanah ini dari pemiliknya dan membaginya
kepada para elit militernya dan para prajurit. Semua tanah yang dihadiahkan kepada
Rasulullah saw (Iqta) relative lebih kecil jumlahnya dan terdiri dari tanah – tanah yang
bertuan17
. Kebijakan ini tidak hanya membantu mempertahankan kesinambungan kehidupan
administrasi dan ekonomi tanah – tanah yang dikuasai, melainkan juga mendorong keadilan
antar generasi dan mewujudkan egalitarian dalam islam.
Ketika hijrah di madinah yang merupakan Negara baru terbentuk dengan kemampuan
daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar – dasar
sistem keuangan Negara yang dilakukan Rasulullah saw., merupakan langkah yang sangat
signifikan,sekaligus brilian dan mengantarkan peradaban islam di kota yastrib (Madinah).
Dan sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah saw, berakar dari prinsip – prinsip
Qur‟ani. Al – qur‟an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai
aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat aktivitas disetiap aspek kehidupan, termasuk
dibidang ekonomi.
Pada masa pemerintahan beliau, Rasulullah saw., menerapkan jizyah, yakni pajak
yang dibebankan kepada orang – orang non – muslim penduduk kota madinah, khususnya
ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah,
serta pengajian dari wajib militer. Besarnya jizya adalah satu dinar pertahun untuk setiap
orang laki – laki dewasa yang mampu membayarnya18
. Perempuan, anak – anak, pengemis,
pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari
kewajiban ini. Sistem pajak yang terus berlangsung hingga masa pemerintahan Harun ar-
Rasyid (170-193 H/789-809 M). Di samping itu, Rasulullah saw., juga menerapkan sistem
kharaj, pajak tanah yang dipungut dari kaum non – muslim ketika wilayah Khaibar
ditaklukkan, tanah hasil taklukkan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya
diberikan hak untuk mengelolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia
untuk memberikan sebagian hasil produksinya kepada Negara. Jumlah kharaj dari tanah ini
adalah tetap, yakni setengah dari hasil produksi. Dalam perkembangan berikutnya kharaj
menjadi salah satu pendapatan Negara yang terpenting.
17
Ibid Amiruddin Kadir 18
Ibid Amiruddin Kadir
Namun pada hakikatnya, kedua sistem pajak tersebut, yakni jizyah dan kharaj sudah
ada pada masa kekaisaran Romawi, oleh kaum muslimin di masa awal pemerintahan islam
diadopsi serta dimodifikasi sesuai dengan prinsip – prinsip keadilan, Kharaj dibayar oleh
orang – orang non – muslim seperti halnya dengan kaum muslimin membayar ushr dari hasil
pertanian. Sedangkan jizyah dibayar sebagai pajak perlindungan dan pengecualian orang –
orang non – muslim dari wajib militer. Diantara sumber – sumber pajak Negara pada masa
pemerintahan Rasulullah saw, adalah zakat atau ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah –
buahan) merupakan dua pendapatan yang paling utama dan paling penting. Akan tetapi,
keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr adalah
merupakan kewajiban agama dan salah satu termasuk rukun islam. Pengeluaran untuk
keduanya sudah diuraikan secara jelasa dalam Al – qur‟an. Oleh karena itu pengeluaran untuk
zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum Negara. Lebih lanjut lagi, zakar
secara fundamental adalah pajak lokal19
.
Dan tempat pengumpulan zakat itu disebut sebagai Baitul Mal (Rumah harta) atau bendahara
Negara. Pada masa pemerintah Rasulullah saw, Baitul Mal terletak di Mesjid Nabawi yang
pada saat itu dijadikan sebagai kantor pusat Negara sekaligus istana Rasulullah saw. Baitul
mal berfungsi sebagai lembaga keuangan Negara pada masa Pemerintahan Rasulullah
Muhammad saw.
Sebagaiaman dikemukakan Esposito20
, sesuai dengan fungsinya bay al-mal dibagi
dua, yakni pertama bayt mal al-khashsh dan kedua bayt al malal-muslim. Bayt mal al-
khashsh berfungsi sebagai kas perbendaharaan Negara atau pengeluaran uang dari public
untuk biaya pribadi kepala Negara. Selain itu juga berfungsi untuk perawatan istana, gaji
pengawal raja, hadiah bagi penguasa asing dan kemashalahatan umum. Sedangkan bayt al
malal-muslim berfungsi sebagai pendayagunaan untuk kepentingan umat, seperti
pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum dan hal – hal yang bersifat konsumtif seperti
membantu kaum fakir dan miskin.
19
Ibid Amiruddin Kadir 20
Ibid Amiruddin Kadir
C. Perkembangan ekonomi Islam Modern:
Perkembangan ekonomi dan lembaga perekonomian umat Islam terus berlanjut
hingga zaman modern, baik pada masa setelah dinasti Umayah maupun dinasti abbasiyah.
Hanya saja perkembangan lembaga perekonomian umat pada kedua dinasti itu kalah pamor
dibandingkan sengan perkembangan politik dan hukum (fiqh). Dalam lintasan sejarah umat
Islam, percaturan politik merupakan tema yang banyak diperbincangkan, sehingga data
tentang hal tersebut sangat banyak. Demikian pula dengan hukum Islam (fiqh dan Ushul
Fiqh) mendapatkan perhatian yang sangat luas. Hal ini dapat terlihat dalam sejarah
perkembangan sejarah hukum Islam (tariqh al-tasyri). Lain halnya dengan masalah
perekonomian, sehingga data tentang sejarah perekonomian, sehingga data tentang sejarah
perekonomian umat Islam sangat sulit didapat. 21
.
Kajian tersebut dapat diiterpretasikan bahwa kajian tentang masalah ekonomi pada
masa Dinasti Abasiyah tidak mengalami perkembangan yang signifikan seperti saat ini.
Perkembangan ekonomi Islam mulai tumbuh dan berkembang di saat Negara bangsa (nation
state) mulai muncul. Perkembangan yang signifikan mulai muncul pada pertengahan abad ke-
20. Gerakan yang pertama dilakukan adalah mengemukakan doktrin ekonomi Islam. Orang
yang pertama menggagas ekonomi Islam secara normatif adalah Sayyid Abu‟al-Al‟laa
Maududi (1903-1979). Dengan paradigm bahwa “Islam sebagai jalan hidup yang sempurna”,
Maududi menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan wahana untuk menegaskan kembali
keutamaan Islam dalam kehidupan kaum muslimin. Selain itu, ekonomi Islam juga sebagai
wahana bagi perubahan ekonomi yang mendasar.22
Pemikiran ekonomi Islam menurut Maududi itu kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Muhammad Baqir al-Shadr (1931-1980), terutama dalam hal perbedaan antara ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi lain yang tengah berkembang di dunia, baik Barat
(Kapitalistik) maupun Timut (Sosialistik) dan Mahmud Thaliqani (1911-1979), terutama
dalam hal kepemilikan Pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan ketiga tokoh di atas
cenderung normative yang terlepas dari ekonomi modern yang tengah berkembang.
Pemikiran ekonomi yang memodifikasi dengan ekonomi modern mulai muncul pada
pertengahan 1960-an. Pada fase ini muncuk ekonom muslim seperti Muhammad Nejatullah
Siddiqi, Muhammad abdul Mannan, dan Muhammad Umer Capra. Pemikiran ketiga tokoh
21
Ibid Amiruddin Kadir 22
Ibid A.. Qodry Azizy
itu, mengidentifikasi dan mempromosikan norma – norma perilaku untuk memandu kaum
muslimin dalam aktivitas ekonominya.
Selaras dengan hadirnya pemikiran tentang ekonomi diatas, muncul pula upaya –
upaya meralisasikan ekonomi Islam dalam tataran praktek dalam bentuk kelembagaan.
Lembaga ekonomi Syaria‟ah yang pertama dirintis oleh umat Islam adalah lembaga
perbankan. Adalah OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang menjadi motor penggerak bagi
perealisasian lembaga ekonomi Syari‟ah. Lembaga ekonomi syariah yang dirintis oleh OKI
adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1974. Setelah berdirinya bank – bank
Islam Saudi Arabiah (1974), bank Islam Dubai (1975), Bank Islam Feisal Mesir (1976), Bank
Islam Yordania (1978), dan bank Islam Bahrain (1979). Pada tahun 1980 di Luxumburg
didirikan Bank Islam Internasional dan pembangunan. Di Malaysia ada Bank Islam Malaysia,
Di Manila ada Manila Bank, di Houston ada Al-Baraka Bank, di jenewa ada at-takwa Bank
dan di Cina ada the Ningxia Islam International Trusst and infestemen Corporation
(NITIC).23
Namun perkembangan yang menggembirakan ini tidaklah akan berlanjut lama
tanpa dibarengi prinsip – prinsip umum dan mendasar dalam melakukan kegiatan muamalah
mengingat dalam dunia ekonomi selalu memunculkan persaingan dan kepentingan antar
pelaku ekonomi sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Quthub “kegiatan ekonomi
merupakan aktifitas pertama yang menanggalkan etika, disusul dengan politik dan terakhir
adalah sex”.
Kini perkembangan – perkembangan ekonomi Islam di belahan dunia terus berlanjut
dan beradaptasi dengan konteks sosialnya demi keberlangsungan perekonomian yang
membaik serta mengganti sistem pasar bebas yang mulai kaku dalam merespon tuntutan
zaman. kebangkitan Islam yang tengah berlangsung hampir di seluruh Negara – Negara
muslim telah menimbulkan kebutuhan baru akan sebuah rencana yang jelas dan terpadu yang
harus ditawarkan oleh Islam untuk mewujudkan bentuk kesejahteraan yang dicanangkannya,
dan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi ummat manusia dewasa ini, khususnya
dalam bidang ekonomi.24
23
Ibid Amiruddin Kadir 24
Ibid Amiruddin Kadir
D. Kebangkitan Ekonomi Syariah:
Kebangkitan ekonomi syariah bukan lagi merupakan angan – angan. Perlahan tapi
pasti, tonggak – tonggak kebangkitan telah dipancangkan. Kebangkitan itu tidak hanya terjadi
di jazirah Arab tempat turunnya Islam tetapi menyebar ke Amerika, Eropa, Asia dan Afrika.
Di Indonesia, perekonomian berbasis syariah juga telah mengalami masa keemasan yang
ditunjukkan oleh perkembangan yang cukup signifikan. Kemajuan tersebut tentu saja tidak
turun dari langit. Dimulai dari diskusi, talk show, dan ceramah untuk mengkaji dan menelaah
suatu ilmu yang telah diterangkan Al-Qur‟an dan sunnah, sampai pada pertumbuhan
lembagaa keuangan syariah sejak tahun 1991, sebagai manifestasi dari ilmu dan kajian yang
dilakukan. Pada fase sekarang ini, masyarakat muslim tidak hanya berhenti pada kajian tetapi
telah dilengkapi dengan ex-prencing, sehingga perekonomian berbasis syariah bukan lagi
merupakan suatu ilmu pengetahuan semata, tetapi benar – benar dapat diterapkan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat muslim dan non-muslim.
Lembaga keuangan yang menjalankan bisnis berdasarkan prinsip – prinsip syariah
adalah bukti nyata dari perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. Pertumbuhan dan
perkembangan menjadi bukti tumbuhnya kesadaran dan keinginan untuk bermuamalah sesuai
kaidah Islam. Selain itu, Ekonomi islam/syariah haruslah bisa menyajikan lebih dari sekedar
“pespektif Islam tentang berbagai topic yang dijumpai dalam buku teks ekonomi neoklasik”.
Ekonomi syariah juga tidak boleh hanya sebagai disiplin yang senantiasa mereaksi dorongan
eksternal, yakni hanya mereaksi permasalahan yang timbul di dalam masyarakat dan ekonomi
barat kontemporer, karena sering kali masalah – masalah itu tidak relevan dengan
perkembangan ekonomi Islam. 25
Pada dewasa ini, perkembangan ekonomi syariah di dunia khususnya di Indonesia,
juga terjadi pada sector asuransi syariah. Perkembangannya sector ini dimulai dengan dengan
berdirinya Asuransi Tafakul pada tahun 1994. Perkembangan asuransi syariah sampai dengan
saat ini cukup juga menggembirakan dimana terdapat 3 perusahaan Syariah dan 1 perusahaan
Asuransi konvensional yang memiliki deivisi syariah. Hingga akhir tahun 2004, total aset
Asuransi Syariah mencapai Rp. 519 miliar yang terdiri dari Rp 402 miliar asuransi jiwa dan
Rp 117 miliar asuransi kerugian.26
Meskipun di Indonesia layanan perbankan syariah belum
mencapai 1% dibandingkan dengan perbankan konvensional, akan tetapi perkembangan ke
25
Ibid Amiruddin Kadir 26
Ibid A. Qodri Azizy
depantampak sekali akan terjadi booming. Bayangkan pada tahun 1992 naru berdiri bank
muamalat, satu – satunya bank syariah; sedangkan kini sudah lebih dari bank syariah. Dalam
waktu bersamaan, juga merupakan prospek yang sangat menjanjikan. Meskipun masih
kurang dari 1%, namun perkembangannya juga mencapai 45%. Pasar modal syariah juga
akan juga akan ikut meramaikan boominlayanan syariah ini. Seperti perusahaan sekuritas
Malaysia, Commerce International Merchant Bankers (CIMB) Berhad tidak lama lagi akan
memasuki pasar modal di Indonesia.
Dalam kurun waktu 50 (lima puluh) tahun terakhir ini, perkembangan ekonomi Islam
terus tumbuh menyempurnakan diri di tengah – tengah beragamnya sistem social dan
ekonomi konvensional yang berbasiskan pada sistem sekuler; pasar bebas. Namun haruslah
diakui kehadiran dan perkembangan ekonomi Islam bukan sebagai reaksi atas dominasi
kapitalisme dan sosialisme. Ekonomi Islam hadir dan perkembang sebagai bagian dari
totalitas kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam harus dipeluk secara kaffah oleh umatnya,
maka konsekuensinya umat Islam harus mewujudkan keislamannya dalam segala aspek
kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi 27
.
27
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif ekonomi Islam, 2006. Penerbit Kencana, hal v.
BAB II
Liberalisasi dan permasalahan ekonomi: kritik ekonomi Islam terhadap ekonomi pasar
bebas
A. Hakikat liberalisasi
Dasawarsa belakangan ini terjadi perubahan yang sangat drastic dalam hampir segala
lini kehidupan manusia. Perubahan – perubahan itu demikian cepat dan drastisnya sehingga
sekat kehidupan antar Negara dan bangsa di dunia ini seolah – olah tiada terbatas (endless of
the world). Fenomena ini ditandai dengan adanya interpendensi, integrasi dan interaski pasar
dari berbagai Negara – bangsa (nation state). Sebagian ilmuwan menyebutnya dengan
globalisasi yang merupakan representasi dari kebangkitan kembali gerakan ekonomi liberal.
Liberal memiliki pandangan yang menekankan pentingnya menyingkirkan peran dan
intervensi Negara dalam kehidupan ekonomi. Karena baginya, campur tangan Negara yang
terlalu besar dalam bidang ekonomi hanya mendistorsi dan membuat ekonomi dunia tidak
efektif28
.
Selain itu, ada tiga sistem ekonomi yang kini dominan di dunia, yakni Kapitalisme,
sosialis dan keturunannya, Negara sejahtera yang sekuler. Masing – masing telah mengalami
berbagaai revisi penting dari versi aslinya karena berbagai problem yang dihadapi selam
bertahun – tahun, dan berbagai perubahan telah diajukan untuk mengatasinya. Sistem –
sistem itu kini bentuknya telah jauh berbeda dari aslinya. Namun, kendati telah dilakukan
“revisi” dalam sistem – sistem itu, kemewahan yang diperoleh Negara – Negara penganut
sistem ini, dan sumber daya yang relative melimpah, namun Negara – Negara ini gagal pada
berbagai tingkat untuk merealisasikan yang hendak mereka capai. Banyak diantaranya
menghadapi ketidakseimbangan makro ekonomi yang serius. Bahkan problem – problem
yang harus dihadapi kian bertambah. Kekacauan social dan kejahatan meningkat dan secara
umum mereka suatu situasi krisis.29
Sejumlah Negara pendukung gerakan liberalism dalam bergbagai momen menuntut
perlunya internasionalisasi dan transformasi gagasan liberalisasi. Mereka membuat konsensus
perlunya menyingkirkan tantangan bagi terlaksananya liberalisasi seperti menghilangkan
tarif, menghilangkan kuota dan privilege, serta memberikan dan membuka kesempatan seluas
28
Ibid Muhammad 29
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, 1999, Risalah Gusti, hal 8
– luasnya bagi investasi dan perdagangan impor.30
Dengan kemunculan sebuah
perekonomian yang global, maka perekonomian nasional yang khusus, strategi – strategi
domestic perekonomian nasional semakin tidak relevan.31
Liberalisme (perdagangan bebas)
menekankan setiap individu diberi hak untuk mengejar kepentingan dengan tetap mengacu
pada aturan main dimana individu tidak boleh melanggar hak dan kepentingan individu yang
lain. Disinilah maka harus ada permainan yang fair, termasuk juga harus ada kepatuhan
terhadap aturan/perundangan (a stbale of legal framework). Sehingga tidak mengganggu
harmoni social.
Sementara itu, dikatakan bahwa peranan pemerintah yang dikurangi dalam bidang
ekonomi akan membantu menurunkan absorsi domestic dengan melakukan pengendalian
fiscal dan memotong deficit anggaran. Dengan demikian sector swasta akan bisa berperan
banyak dan aktif dalam ekonomi dengan dorongan yang lebih besar untuk memenuhi
kepentingan pribadinya, akan memberikan sumbangan lebih besar pada efisiensi32
. Dengan
menipisnya peran Negara, maka giant corporation, dengan modal milyaran dollarnya
mendominasi. Dalam konteks ini, pasar memainkan peran tanpa intervensi Negara. Pasar
berlaku sistem efisien apabila sejumlah prasyarat yang ditetapkan terpenuhi, seperti; pasar
itu harus bersaing, biaya total produksi harus ditanggung produsen dan dimasukkan dalam
harga jual produsesn atau disebut juga internalisasi biaya. Selain itu, modal harus memiliki
akar local atau nasional dan pemiliknya terlibat langsung dalm mengelolanya33
.
Dalam doktrin ekonomi liberal, harmoni social justru bisa timbul dari konflik – konflik
individu. Agar dapat memberikan sumbangan social, Individu dalam mengejar
kepentingannya harus bebas menentukan gerak dan corak perdagangan ekonominya.
Demikian pula, ia harus bebas dan intervensi Negara. Sistem ekonomi liberal tidak
membutuhkan perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Semuanya diserahkan pada
pasar, dan suatu invisible hand akan membawa perekonomian tersebut ke arah keseimbangan,
dimana dalam posisi keseimbangan semua sumber daya dimanfaatkan sepenuhnya.
Sedangkan persaingan pasar bebas yang dikatakan Marx sama dengan kaidah (prinsip)
kebebasan berusaha. Yaitu, masing – masing orang memiliki hak untuk memproduksi apa
saja yang dia inginkan sesukanya.
30
Ibid. 31
Gidden, Anthony.1999. jalan ketiga: pembaharuan demokrasi social (terjemahan),Jakarta, Gramedia 32. 32
Ibid, 29 hal 191 33
Sebagaimana halnya ketika persaingan bebas itu terjadi, maka ia juga menyebabkan
melimpahnya produk (barang konsumtif) secara berlebihan, sehingga kuantitas produk
tersebut akan melebihi apa yang mampu dibeli oleh konsumen dan kalangan pekerja, karena
mereka mendapatkan upah yang tidak mencukupi. Itulah yang menyebabkan krisis (resesi
ekonomi), yang berakibat sebagian orang – karena asalnya kaya raya – berkurang habis
kekayaannya, kemudian mereka masuk dalam kelas pekerja . makin lama sistem yang ada
sekarang, makin bertambah pula krisis – krisis ekonomi yang terjadi pada waktu yang akan
datang.34
M. umer capra berpandangan bahwa, Mekanisme pasar juga diterima oleh islam
dalam ekonomi, tetapi ia menuntut pihak yang bersaing dalam pasar agar beroperasi dibawah
bimbingan nilai – nilai moral yang diterapkan pada self-interest dan harta milik individu
untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang berinteraski di pasar, konsumen dan
factor produksi35
.
Dan ada satu hal yang menjadi kesepakatan bagi doktrin ekonomi, baik itu ekonomi
Kaptilas, Marxis maupun Ekonomi Islam, yaitu pertumubhan produksi dan pemanfaatan alam
hingga batas tertinggi dalam kerangka umum masing – masing doktrin. Ketiga doktrin
ekonomi ini (kapitalis, marxis dan ekonomi Islam) sepakat ihwal pentingnya tujuan ini, juga
realisasinya dengan seluruh cara serta metode yang sesuai dengan kerangka dan warna
masing – masing doktrin36
.
34
Taqyuddin An-Nabhani, membangun sistem ekonomi alternative (perspektif islam), penerjemah Drs. Moh.Maghfur Wachid, pen. Risalah gusti,2002 hal 37. 35
Masa depan ilmu ekonomi: sebuah tinjaun islam, Graha insani press dan tazkia cendekia,2001, hal 278 36
Amiruddin K,M.EI. Menggagas ekonomi islam kontemporer, alauddin university press, 2012,hal 63
BAB III
Ekonomi Islam sebagai solusi alternative dalam menghadapi pasar bebas
A. Menanti peran ekonomi syariah di era globalisasi
Di abad 21 ini ada beberapa agenda yang harus dipikirkan dan dikerjakan demi
mengurangi s permasalahan ekonomi dunia secara berkesinambungan. Hal ini tentu menuntut
keseriusan seluruh elemen yang bertanggung jawab pada permasalahan ini. Kesenjangan
social, ketidakadilan distribusi di berbagai belahan dunia saat ini, mencerminkan benang
merah permasalahan ekonomi dunia. Ditambah lagi tingkat konsumtif yang mendera ummat,
menyadarkan betapa “mengerikan” sistem ekonomi dominan yang berkembang saat ini;
kapitalisme dan liberalism. Maka dari itu, ekonomi syariah di percaya oleh sebagian kalangan
dan ilmuwan ekonomi sebagai alternative dalam menghadapi krisis yang berlangsung
sekarang ini. Bahkan ekonomi syariah atau ekonomi Islam juga dituntut untuk berani
berkompetisi dengan sistem ekonomi konvensional yang sudah lama bercokol. Dan dalam era
globalisasi ini sebenarnya memberi kesempatan emas bagi sebuah sistem yang disebut
dengan ekonomi Islam ini.37
Berbagai factor – factor yang menjadi masalah dalam ekonomi saat ini, berbeda
dengan masalah yang diangkat oleh ekonomi Islam yang justru memandang distribusi
kesejahteraan dan pengelolaan sumber daya alam sebagai masalah utama ekonomi dunia saat
ini38
. Oleh karana itu, menurut Mannan, “yang membedakan ekonomi Islam dari sistem
sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan
komposisi produksi, distribusi dan konsumsi”39
. Dengan demikian tugas ekonomi Islam
adalah “menganalisis fakto – factor yang mempengaruhi asal – usul permintaan dan
penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya kea rah distribusi yang lebih
adil.
37
Ibid A. qodry azizy, hal. 128 38
Ibid Amiruddin Kadir hal. 42 39
Mohammed Aslam Haneef, pemikiran ekonomi islam kontemporer (analisa komparatif terpilih, 2010, terjemahan, rajawali pustaka, hal. 20
Sistem ekonomi Islam menurut Mannan, merupakan sistem yang berdiri diatas kakinya
sendiri dan menggabungkan semua segi yang baik dari sebuah masyarkat yang sehat dan
seimbang40
.
B. Konsumsi, produksi dan distribusi dalam pandangan ekonomi Syariah (islam):
tawaran untuk solusi alternatif
Ekonomi Islam memerlukan suatu „bias‟ yang melekat didalamnya kebijakan –
kebijakan yang memihak kaum miskin dan mereka yang lemah secara ekonomi. Bias tersebut
mencerminkan penekanan ekonomi Islam terhadap keadilan, yang di terjemahkan sebagai
egalitarianisme. Tujuan keadilan sosioekonomi dan pemerataan pendapatan dan
kesejahteraan sudah jelas dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari filsafat moral
islam dan didasarkan pada komitmennya pada persaudaraan manusia. Sesungguhnya ada
penekanan yang besar terhadap keadilan dan persaudaraan dalam al – qur‟an dan sunnah.
Oleh karena itu, keduanya tidak dapat diaktualisasikan tanpa pemerataan pendapatan dan
kesejahteraan. Berikut ini pandangan Ekonomi syariah dalam konsumsi,produksi dan
distribusi:.
1. Konsumsi
Konsumsi mengandung arti permintaan, atau juga bisa diartikan sebagai
pemanfaatan41
. aKonsumsi merupakan bagian akhir dari produksi. Kekayaan itu di produksi
hanya untuk dikonsumsi dan bahwasanya kekayaan yang digunakan pada hari ini, akan
digunakan untuk hari esok. Oleh karena itu, konsumsi berperan sebagai bagian yang sangat
penting bagi kehidupan ekonomi seseorang maupun suatu Negara. Dalam mengkonsumsi
barang, kita senantiasa untuk berhati – hati dalam penggunaan kekayaan dan berpikir rasional
dalam mengkonsumsi suatu barang. Dalam Islam, ajaran mengenai teori konsumsi diatur
sedemikian rupa, sehingga apa yang menjadi tujuan akhir dari konsumsi tersebut benar –
benar tercapai. Al – qur‟anul karim memberikan kepada kita tentang petunjuk – petunjuk
sangat jelas dalam hal konsumsi. Al-qur‟an mendorong penggunaan barang – barang yang
baik dan bermanfaat serta melarang adanya pemborosan dan pengeluaran terhadap hal – hal
yang tidak penting. Dan juga melarang orang muslim untuk makan dan berpakaian kecuali
yang hanya baik, berdasarkan firman Allah dalam surah Al – maidah ayat 4, yang
40
Ibid hal 29 41
Departemen pendidikan dan budaya, Kamus besar bahasa Indonesia, hal. 95
terjemahannya “Mereka menanyakan kepada mu, apakah yang dihalalkan bagi mereka,
katakanlah dihalalkan bagimu yang baik – baik”. Dalam konsep ekonomi Syariah yang
dimaksud barang – barang konsumen adalah barang – barang konsumsi yang berguna dan
baik, yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara materiil, moral maupun spiritual pada
konsumennya. Berdasarkan pola konsumsi diatas, yakni pola penggunaan harta secara
berimbang dan wajar, penulis menganggap bahwa hal tersebut merupakan sifat moderatnya
seseorang di dalam pengeluaran sehingga tidak mengurangi sirkulasi kekayaan (menimbun
harta) dan juga tidak melemahkan kekuatan ekonomi masyarakat akibat pemborosan. Maka
ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan menggunakan harta secara wajar dan
berimbang yakni pola yang terletak antara kekikiran dan pemborosan. Dan inilah cara atau
pola pembelanjaan/konsumsi yang paling bijaksana dan bermanfaat ditengah arus globalisai
yang over konsumtif.
2. Produksi
Produksi berarti kegiatan untuk menimbulkan atau menaikkan faedah atau nilai suatu
barang atau jasa42
. Sedangkan menurut pandangan salah satu pemikir ekonomi Islam yaitu
Monzer Kahf, , produksi dapat dilihat dari sisi positif dan normative. Jika hukum – hukum
materiil dan ekonomi serta hal- hal lain yang berkaitan dengan fungsi produksi masuk dalam
sisi positif, mendorong produksi dan tujuannya masuk ke dalam sisi normatif”. Kahf
membicarakan topic – topic yang biasa di bahas oleh para ahli ekonomi Islam, yakni tujuan
dan motif produksi, factor produksi, dan tujuan firm. Oleh karena produksi dipandang tidak
hanya sebagai sarana untukmemperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga kesejahteraan
spiritual, maka menurut Kahf, hal ini memiliki implikasi pada tujuan produksi, yakni:
Barang yang mungkin saja menguntungkan secara materiil, namun dilarang oleh
Islam, tidak dipandang menguntungkan dan tidak boleh diproduksi (karena
kedudukan spiritual manusia menjadi merosot karenanya).
Adalah amat penting untuk mendistribusikan benefit produksi kepada sebanyak
mungkin orang.
Kelangkaan tidak lagi dilihat dalamkonteks kebutuhan, melainkan sebagai akibat dari
kemalasan manusia dan keengganan untuk menggali sepenuhnya benefit „hadiah dari
Allah Swt.
42
Ibid hal. 190
Sementara itu, Islam tidak memberikan kebebasan tanpa batas di dalam usaha
ekonomi, seperti yang terdapat pada sistem kapitalis, dimana orang – orang diizinkan mencari
harta sebanyak mereka sukai dengan cara yang mereka sukai pula. Dalam sistem ekonomi
Islam pula, tidak terlalu mengikat mereka dengan pengawasan ekonomi, seperti yang
dilakukan komunisme, sehingga orang – orang kehilangan kebebasannya secara total. Maka
dari itu, Islam telah memberikan prinsip – prinsip produksi yang adil dan wajar di mana
mereka dapat memperoleh kekayaan tanpa mengeksploitasi individu – individu lainnya atau
merusak kemaslahatan masyarakat. Maka demikian, sesungguhnya segala bentuk produksi,
dimana harta kekayaan diperoleh dengan jalan yang salah dan tidak adil diharamkan dalam
Islam. Hanya cara – cara yang wajar dan jujur saja yang diperbolehkan. Segala bentuk
penawaran tidaklah sah jika di dalam keuntungan seseorang bergantung pada kerugian orang
lain, seperti perjudian, lotre. Ringkasnya sistem produksi dalam ekonomi Islam, harus
dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif.
Hal lain juga menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi yakni, maksimilisasi laba bukanlah satu
– satunya motif dan bukan pula motif utama produksi. Seperti dalam praktek produksi
ekonomi Kapitalis. Yang ada, menurut siddiqi adalah keberagaman tujuan yang mencakup
maksimilisasi laba dengan memerhatikan kepentingan masyarkat (maslahah „aammah) ,
produksi kebutuhan dasar masyarkat, penciptaan employment serta pemberlakuan harga
rendah untuk barang – barang esensial.
3. DISTRIBUSI
Pemabahasan mengenai redistribusi pendapatan tidak lepas dari pembahasan tentang
konsep distribusi. Distribusi mengandung arti pembagian atau penyaluran sesuatu kepada
orang atau pihak lain43
. teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi
pendapatan antara berbagai kelas dalan masyarakat. M.A Mannan menybutkan bahwa teori
ekonomi modern tentang distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan jasa produksi.
Mannan memandang bahwa” keterlibatan Islam yang bersifat pragmatis dan realistis bagi si
miskin adalah sedemikian tulus sehingga distribusi pendapatan merupakan pusat berputarnya
pola dan organisasi produksi di dalam suatu Negara Islam”. Selain itu, Mannan
menambahkan bahwa “pertimbangan distributif-lah yag harus mempengaruhi prioritas
produksi barang dan jasa, dan dengan demikian ia juga menjadi indicator konsumsi”.
43
M.A Mannan, Teori dan Praktik ekonomi Islam, Yogyakarta: dana bakti wakaf, 1993, h. 113.
Masalah distribusi berhubungan erat dengan persoalan kepemilikan. Dalam pemikiran
beberapa tokoh ekonomi Islam, ada dua hal fundamental yang disepakati, yakni, pertama
kekayaan tidak boleh berakumulasi di tangan orang – orang kaya saja(QS Al-hasyr:7). Kedua
baik kerja maupun kebutuhan adalah sumber pendapatan yang sah44
. Distribusi juga
didasarkan atas kebutuhan, seseorang memperoleh upah karena pekerjaannya dibutuhkan
oleh pihak lain. satu pihak membutuhkan materi dan pihak lain membutuhkan tenaga kerja
sebagai factor produksi. Lebih lanjut M. Anas Zarqa mengemukakan beberapa prinsip –
prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu:
1) Pemenuhan kebutuhan bagi semua mahkluk
2) Menimbulkan efek positif bagi si pemberi itu sendiri
3) Menciptakan kebaikan diantar semua orang, anatar kaya dan miskin
4) Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan
5) Pemanfaatan sumber daya alam secara lebih baik
6) Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian45
Dalam hal distribusi menurut Sayed Nawab Haider Naqvi, bahwa kepemilikan sumber daya
awal yang tak merata akan mengharuskan dilakukannya reditribusi yang „berat‟ kepada si
miskin.46
Selain itu menurutnya, bahwa zakat bukanlah tindakan amal dan bukan altruism
orang kay, melainkan hak yang melekat yang dimiliki orang miskin dalam pandangan
ekonomi Islam.
C. Jaminan Sosial dan Program Anti Kemiskinan
Kecondongan Islam yang begitu terasa kepada kelompok miskin dan fakir
memerlukan Negara untuk menyediakan kebutuhan dasar dan tingkat pendapatan yang
memadai bagi semua orang. Keperluan untuk menegakkan keadilan social mengharuskan
Negara melakukan suatu kebijakna pernyataan utilitas (utility equalization) antara individu.
44
45
Ibid Amiruddin Kadir Hlm. 110 46
Ibid Mohammed Aslam Hanef, hal 77
Hal itu berarti harus dilakukannya „penurunan tingkat pendapatan golongan atas‟secara
substansial dan menaikkan pendapatan golongan bawah yang mengharuskan tidak saja
penyamaan pendapatan melainkan juga konsumsi. Sekalipun jelas tidak akan ada yang
membantah bahwa suatu program keadilan social, program pengentasan kemiskinan dan
peningkatan pendapata bagi kelompok miskin merupakan ciri suatu sistem ekonomi Islam.47
BAB IV
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Gema abad 21 sering diidentikan dengan abad “globalisasi” dalam hal ekonomi yang sudah
merambah sampai ke tingkatan pedesaan. Kapitalisme global telah mencengkram
perekonomian dunia saat ini. Kemiskinan di berbagai berlahan dunia mencerminkan begitu
peliknya permasalahan ekonomi saat ini. Konversi kapitalis ke keadilan sosio-ekonomi dan
pemerataan pendapatan, sebaliknya, tidak didasarkan pada komitmen spiritual ke arah
persaudaraan; ini lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok. Karenanya secara
keseluruhan sistem tersebut, terutama yang menyangkut pengaturan uang dan perbankan,
tidak dipersiapkan untuk mencapai tujuan – tujuan ini dan distribusi pendapatan dan
kesejahteraan yang tidak adil terus dilakukan
Ekonomi Islam menawarkan solusi alternative atas permasalahan ekonomi dunia saat ini.
Ekonomi Islam akan memberikan sebagian keuntungan kepada umat, tidak hanya mereka
yang mempunyai modal, tanpa harus merugikan pemodal tersebut. Disini ada fungsi social
untuk pemberdayaan umat.
47
DAFTAR PUSTAKA
A. Qodri Azizy, Ph.D, Membangun Fondasi Ekonomi umat (Menoropong Prospek
Berkembangnya Ekonomi Islam), 2004, Pustaka pelajar
B. Ali Syaria‟ti, Paradigma Kaum Tertindas, Al – Huda, 2001,
C. Amiruddin K,M.EI. Menggagas ekonomi islam kontemporer, alauddin university
press, 2012
D. Departemen pendidikan dan budaya, Kamus besar bahasa Indonesia
E. M.A Mannan, Teori dan Praktik ekonomi Islam, Yogyakarta: dana bakti wakaf, 1993
F. Mohammed Aslam Haneef, pemikiran ekonomi islam kontemporer (analisa
komparatif terpilih, 2010, terjemahan, rajawali pustaka
G. Masa depan ilmu ekonomi: sebuah tinjaun islam, Graha insani press dan tazkia
cendekia,2001
H. Taqyuddin An-Nabhani, membangun sistem ekonomi alternative (perspektif islam),
penerjemah Drs. Moh.Maghfur Wachid, pen. Risalah gusti,2002
I. Gidden, Anthony.1999. jalan ketiga: pembaharuan demokrasi social
(terjemahan),Jakarta, Gramedia
J. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, 1999, Risalah Gusti
K. Muhammad H.M.S.2007. prinsip – prinsip ekonomi islam, Graha Ilmu
L. Drs. Amiruddin Kadir, M.EI. Ekonomi dan keuangan syariah, Alauddin Univesity
Press,2011