Keanekaragaman Jenis Burung Air di Kawasan Tapak Tugurejo Semarang

42
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semarang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah yang terletak di pantai pesisir utara. Keberadaan mangrove di sisi utara Kota Semarang memegang peranan penting untuk mengurangi abrasi. Selain itu, hutan mangrove sangat berjasa untuk kehidupan pantai, akarnya dapat menyerap logam berat, mampu menahan abrasi dan intrusi air laut ke daratan, melambatkan arus pasang surut, menahan sedimentasi dari daratan dan tegakannya berfungsi sebagai penahan gelombang. Fungsi biologisnya antara lain sebagai sumber hara untuk kehidupan hayati laut, juga menjadi sumber pakan burung, mamalia dan reptil. Hutan mangrove memiliki tiga fungsi utama antara lain fungsi fisik, meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap angina dan gelombang, pencegah intrusi garam dan penghasil energi serta hara; fungsi biologis, meliputi: sebagai tempat bertelur dan sebagai asuhan berbagai biota, tempat bersarang burung dan sebagai habitat alami berbagai biota; fungsi ekologis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar, bahan bangunan, perikanan, pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintetis, penyamakan kulit, dan obat-obatan (Nontji, 1992 dalam Ghufran dan Kordi, 2011). Secara umum, kondisi vegetasi hutan mangrove di Kota Semarang cukup memprihatinkan. Salah satu kawasan hutan mangrove di Kota 1

Transcript of Keanekaragaman Jenis Burung Air di Kawasan Tapak Tugurejo Semarang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semarang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah yang terletak di

pantai pesisir utara. Keberadaan mangrove di sisi utara Kota Semarang

memegang peranan penting untuk mengurangi abrasi. Selain itu, hutan

mangrove sangat berjasa untuk kehidupan pantai, akarnya dapat menyerap

logam berat, mampu menahan abrasi dan intrusi air laut ke daratan,

melambatkan arus pasang surut, menahan sedimentasi dari daratan dan

tegakannya berfungsi sebagai penahan gelombang. Fungsi biologisnya antara

lain sebagai sumber hara untuk kehidupan hayati laut, juga menjadi sumber

pakan burung, mamalia dan reptil.

Hutan mangrove memiliki tiga fungsi utama antara lain fungsi fisik,

meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap angina dan gelombang,

pencegah intrusi garam dan penghasil energi serta hara; fungsi biologis,

meliputi: sebagai tempat bertelur dan sebagai asuhan berbagai biota, tempat

bersarang burung dan sebagai habitat alami berbagai biota; fungsi ekologis,

meliputi: sebagai sumber bahan bakar, bahan bangunan, perikanan, pertanian,

makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat

sintetis, penyamakan kulit, dan obat-obatan (Nontji, 1992 dalam Ghufran dan

Kordi, 2011).

Secara umum, kondisi vegetasi hutan mangrove di Kota Semarang

cukup memprihatinkan. Salah satu kawasan hutan mangrove di Kota

1

2

Semarang yang cukup terjaga berada di Desa Tapak, Kecamatan Tugurejo.

Kawasan hutan mangrove tersebut terdapat berbagai jenis burung yang

dilindungi oleh Undang-Undang di Indonesia maupun peraturan dari dunia

internasional. Selain terdapat berbagai jenis burung yang dilindungi, hutan

mangrove di kawasan Tapak ini juga berdampingan dengan pertambakan dan

hanya terdapat dua jenis tumbuhan bakau yang dominan yaitu Avicennia

marina dan Rhizophora mucronata. Vegetasi hutan mangrove di Tapak

Tugurejo selain berfungsi sebagai penahan abrasi pantai juga digunakan

sebagai batas-batas parit bagi para petani tambak. Berdasarkan kondisi

tersebut maka vegetasi mangrove di kawasan tersebut masih terjaga dan terus

berkembang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah antara

lain:

1. Keanekaragaman jenis burung apa saja yang ada di kawasan Tapak selama

bulan Agustus?

2. Jenis burung migran apa saja di kawasan Tapak selama bulan Agustus?

3. Jenis burung apa saja di kawasan Tapak yang masuk kedalam kategori

dilindungi oleh Undang-Undang maupun internasional?

C. Tujuan

Tujuan dari pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan ini sebagai berikut:

1. Mengetahui keanekaragaman jenis burung yang ada di kawasan Tapak

selama bulan Agustus

3

2. Mengetahui berbagai jenis burung migran di kawasan Tapak selama bulan

Agustus

3. Mengetahui berbagai jenis burung di kawasan Tapak yang masuk kedalam

kategori hewan dilindungi oleh Undang-Undang maupun internasional.

D. Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dari pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan

baik mahasiswa, lembaga pendidikan, maupun Yayasan BINTARI yaitu:

1. Bagi mahasiswa

Memperoleh pengalaman nyata yang berguna untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan dalam melakukan pengamatan burung di

lapangan dan mengolah data pengamatan lapangan.

2. Bagi Lembaga Pendidikan

Terjadinya hubungan baik antara Program Studi Biologi khususnya

dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unnes pada umum-

nya dengan Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) Semarang, sehingga

memungkinkan kerjasama ketenagakerjaan dan bentuk kerjasama lainnya.

Sebagai umpan balik untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan saling

berbagi ilmu sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

3. Bagi Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI)

Memperoleh berbagai masukan baru dari lembaga pendidikan,

melalui mahasiswa yang sedang melaksanakan PKL dan menjalin hubung-

an baik dengan lembaga pendidikan, khususnya Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Unnes. Menumbuhkembangkan potensi dan

4

kualitas karyawan dalam bidang pelayanan dan pengabdian kepada

masyarakat.

5

BAB II

YAYASAN BINA KARTA LESTARI (BINTARI) SEMARANG

A. Profil Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) Semarang

SEJARAH

Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) adalah lembaga swadaya

masyarakat yang bergerak dalam bidang pengelolaan lingkungan untuk

mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

BINTARI bersifat mandiri, independen, dan tidak berorientasi pada kegiatan

politik praktis.

BINTARI didirikan pada tahun 1986 di Semarang, Jawa Tengah oleh

beberapa akademisi, praktisi, dan pemerhati lingkungan yang peduli terhadap

permasalahan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan terutama pada

kawasan perkotaan. Secara resmi, BINTARI memulai kegiatannya pada

tanggal 15 Februari 1986.

BINTARI mempunyai prinsip bahwa setiap kegiatan pembangunan

yang berwawasan lingkungan akan berhasil apabila partisipasi masyarakat

dapat berjalan secara optimal. Untuk itu masyarakat harus diberdayakan,

sehingga memiliki peluang yang efektif untuk ikut berpartisipasi dalam

proses pembangunan dan pengelolaan lingkungan.

Untuk mewujudkan hal diatas, BINTARI berusaha menjabarkan

gagasan para akademisi, pemerhati lingkungan, praktisi dan orang-orang yang

tertarik dengan permasalahan lingkungan, dalam bentuk kegiatan-kegiatan

nyata di lapangan bersama masyarakat.

6

VISI

Organisasi mandiri yang menjadi rujukan dalam pengelolaan

lingkungan yang terpadu, berkeadilan dan berkelanjutan bertumpu pada

partisipasi masyarakat.

MISI

1. Memberdayakan masyarakat dan memfasilitasi komunikasi antar

stakeholder dalam usaha-usaha pengelolaan lingkungan

2. Mengkaji upaya-upaya pengelolaan lingkungan terpadu

3. Mempromosikan upaya-upaya pengelolaan lingkungan dengan

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

INFORMASI UMUM

NAMA Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI)

ALAMAT

Jl. Tirto Agung Barat V No. 21

Kel. Pedalangan, Kec. Banyumanik

SEMARANG 50268

TELP./FAX. Telp./Fax. 024 - 707 77 220

EMAIL

[email protected]

[email protected]

AKTE PENDIRIAN

No. 59 Tanggal 15 Februari 1986

Notaris : Sri Handini Soedjoko, SH

diperbaharui

No. Tanggal

7

Notaris :

NPWP 01.477.918.5-517.00

BANK

PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (BPD

Jateng)

Capem Setwilda Tk. I Semarang

No. Rekening: 1-057-05297-9

Atas nama: Yayasan Bina Karta Lestari

DIREKTUR Dr. Ir. Joesron Aliesyahbana, MSc

DIREKTUR PELAKSANA Feri Prihantoro

Struktur Organisasi

Kebijakan umum BINTARI diarahkan oleh Dewan Pembina,

kemudian dijabarkan dalam program-program yang dilaksanakan oleh

pengurus yang dipimpin Direktur dan diawasi oleh Dewan Pengawas. Dalam

melaksanakan tugas kesehariannya Direktur dibantu oleh Direktur Pelaksana.

Ada empat divisi untuk menjalankan program-program guna mencapai visi

dan misi yayasan, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Penelitian, Informasi dan

Kerjasama, serta Sistem Pendukung. Secara lebih detail struktur organisasi

Yayasan BINTARI sebagai berikut:

8

SUSUNAN PELAKSANA

DIREKTUR Dr.Ir. Joesron Aliesyahbana, MSc.

DIREKTUR PELAKSANA Feri Prihantoro

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Abdul Roviq

PENDIRI

YAYASAN

Joesron Alie Syahbana, Budiono, M. Edi Waluyo,

Sasmitohadi, Nursyamsi Sarengat, Djaka Digdaja, Anies,

Bambang Pramudiyanto, Nurhasan (alm)

DEWAN

PEMBINA

Prof. Dr. Soedharto P. Hadi

Prof. Dr. Budi Widianarko, DEA

Prof. Dr. Sri Mulyani ES

Drs. Bambang Pramudyanto, MS

DEWAN

PENGAWAS

Dr. Gunarto, MM

Ir. Agus Hadiyarto, MT

Y. Sasmitohadi

9

PENELITIAN Desy Haryanti

KERJASAMA & INFORMASI Amalia Wulansari

SISTEM PENDUKUNG Yuliana Rachmawati

STAFF

Danny Yustianto

Anniesa Delima

Inug

Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan yang dijalankan oleh Yayasan BINTARI

menggunakan pendekatan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dengan

pertimbangan keterkaitan hulu - hilir dan desa - kota. Pendidikan untuk

pembangunan berkelanjutan baik melalui pendidikan formal, non-formal,

maupun informal merupakan perangkat yang digunakan untuk mencapai visi

dan misi organisasi. Isu pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim

yang merupakan isu global dengan dampak lokal yang telah dirasakan,

menjadi bagian integrasi dalam lingkup kegiatan organisasi.

10

Capaian Program

Sabtu, 09 Agustus 2008

Yayasan BINTARI telah melaksanakan program-program dan

menyediakan berbagai layanan konsultasi untuk membantu memenuhi

kebutuhan pengelolaan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.

Ringkasan laporan program yang telah dilaksanakan dapat dilihat pada daftar

di bawah.

PROJECT DURASI MITRA LINGKUP

Pendampingan masyarakat dalam penghijauan

mangrove di Kab. Demak

1998 -

2001

Yayasan

KEHATI

Pengelolaan

Pesisir

Studi Pengembangan kawasan wisata Gua Kreo

dan sistem ruang terbuka hijau Kota Semarang

2000 -

2001

BAPPEDA

Kota Semarang

Perkotaan

Inisiasi dan penyusunan rencana pengelolaan

lingkungan bersama masyarakat di DAS Babon

2002 ProLH - GTZ

Pengelolaan

Limbah

11

Pengelolaan DAS Bajak melalui Instalasi

Pengolahan Air Limbah Industri Kecil Tahu di

Kota Semarang

2002 -

2004

KITA-ECC,

JICA,

PEMKOT

SEMARANG

Pengelolaan

Limbah

Pelatihan pendidikan lingkungan hidup untuk

guru SD di DAS Babon

2004 ProLH-GTZ

Pendidikan

Lingkungan

Pendampingan kelompok tani dalam Program

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan

2004 -

2005

Dinas

Pertanian Kota

Semarang

Agroforestry

Pengembangan pendidikan lingkungan SD di

Jawa Tengah melalui penerapan dan penularan

2005 -

2006

ProLH-GTZ

Pendidikan

Lingkungan

Desentralisasi pengelolaan sampah di Bukit

Kencana Jaya Semarang

2005 -

2007

ProLH - GTZ

Pengelolaan

Limbah

Program rehabilitasi sosial melalui

pengembangan pendidikan pengelolaan bencana

di Kab. Klaten

2006 -

2007

JICA

Pendidikan

Lingkungan

Program demplot stabilisasi lereng dan bantaran

sungai di DAS Babon dengan rumput vetiver

2006 -

2007

ProLH - GTZ Agroforestry

Peningkatan Kapasitas Supervisi Pendidikan

Lingkungan Hidup

2006 -

2008

KITA-ECC,

JICA,

PEMKOT

SEMARANG

Pendidikan

Lingkungan

Asia Good ESD Practice Project 2006 - ESD-J, Toyota Pendidikan

12

2008 Foundation Lingkungan

Program sistem siaga bencana berbasis

masyarakat di Kab. Klaten

2007 -

2008

RHK Project

Management

Pendidikan

Lingkungan

Pendampingan masyarakat Kota Tegal dalam

kegiatan penyediaan prasarana dan sarana

pengelolaan sampah

2008 Pemkot Tegal

Pengelolaan

Limbah

Pengembangan sistem pengumpulan sampah

untuk meningkatkan lingkungan higienis bagi

penduduk miskin di Kota Semarang

2008 -

2009

KITA-ECC,

Japan Postal

Foundation

Pengelolaan

Limbah

Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim berbasis

masyarakat melalui agroforestry yang

berkelanjutan di Desa Lerep Kabupaten

Semarang

2008 -

2011

ERCA Jepang

Agroforestry,

Perubahan

Iklim

Penanaman dan Pengelolaan mangrove

partisipatif sebagai adaptasi perubahan iklim di

Kota Semarang

2008 -

2011

FoE Japan

Pesisir,

Perubahan

Iklim

Adaptasi masyarakat pesisir Tapak Tugurejo

untuk meningkatkan ketahanan terhadap

dampak perubahan iklim

2010

Mercy Corp,

Pemkot

Semarang

Pesisir,

Perubahan

Iklim

13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan kusut yang rendah, tumbuh di antara

zona pasang naik dan pantai berlumpur. Hutan mangrove biasanya terdapat

beberapa jenis pohon seperti Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), dan

Brugieria (MacKinnon et al., 2010). Hutan tersebut kaya akan jenis ikan dan

udang-udangan sehingga sangat mendukung kehidupan burung-burung air dan

beberapa burung hutan yang umum.

Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugis) dan grove

(Inggris). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

woodland, dan vloedbosschen. Hutan mangrove juga dapat didefinisikan

sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya

air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut

tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi

air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir

pantai di daerah tropis dan sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan

mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-

tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik

(Departemen Kehutanan, 2007).

Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman

lain. Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki

jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan

14

mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air

tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran

terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat

fakultatif daripada bersifat obligatif karena dapat tumbuh dengan baik di air

tawar (MacKinnon et al., 2010). Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari

penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik antara lain:

1. Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit

2. Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar

melengkung dan menjulang pada mangrove Rhizophora spp., serta akar

yang mencuat vertikal seperti pensil pada Sonneratia

3. Memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di

pohonnya, khususnya pada Rhizophora

4. Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (MacKinnon et al.,

2010).

Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi

ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove

berfungsi dan bermanfaat sebagai penahan abrasi pantai; penahan intrusi

(peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon

dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai.

Secara biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai tempat

hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti

ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen

pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjut-

nya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai

15

makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti

monyet, buaya muara, biawak dan burung (Rahmawati, 2006).

B. Burung Air

Burung air adalah jenis burung yang seluruh hidupnya berkaitan dengan

daerah perairan. Menurut Rusila-Noor et al. (1999), burung air dapat diartikan

sebagai jenis burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah.

Lahan basah yang dimaksud mencakup daerah lahan basah alami dan lahan

basah buatan, meliputi hutan mangrove, rawa, dataran berlumpur, danau,

tambak, sawah dan lain-lain.

Burung air dijumpai hidup secara berkelompok, umumnya dalam ke

lompok yang sangat besar dengan jumlah individu banyak. Hal ini merupakan

salah satu upaya perlindungan diri pada saat mencari makan. Pembentukan

kelompok pada saat makan bertujuan untuk mengusik mangsa yang

bersembunyi di lumpur (Sibuea et al., 1995). Sebagian besar burung air

adalah penghuni tetap daerah tropis dan subtropis. Biasanya mereka

menjadikan daerah perairan atau lahan basah dan sekitarnya sebagai habitat,

seluruh aktivitas hidup bergantung pada keberadaan daerah tersebut (Davies

et al., 1996).

16

BAB IV

METODOLOGI PELAKSANAAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Praktik Kerja Lapangan ini dilaksanakan di area pertambakan Tapak

Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang selama 30 hari sejak tanggal 1

Agustus 2012 – 1 September 2012.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua jenis burung air yang

terdapat di area Pertambakan Tapak, Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu,

Kota Semarang. Sampel pada penelitian ini adalah semua jenis burung air

yang terlihat atau terdengar saat pengamatan di setiap titik pengamatan yang

telah ditentukan.

C. Alat dan Bahan yang Digunakan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain binokuler

Nikon 12x50 dan binokuler Bushnell 12x50 untuk mengamati burung.

Dalam penentuan titik pengamatan menggunakan cara langsung dengan

berjalan kaki setiap 150 m. Kamera untuk melakukan dokumentasi saat

penelitian berlangsung. Peta lokasi penelitian untuk pemandu area

penelitian, jam tangan untuk mengetahui waktu penelitian, alat tulis dan

buku catatan lapangan. Buku identifikasi jenis burung Seri Panduan

Lapangan (field guide) Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan

Kalimantan (MacKinnon et al., 2010) dan hasil pencarian informasi melalui

17

internet di http://www.google.com/jenis_burung_air_di_tapak_tugurejo_

semarang.

D. Prosedur Pelaksanaan

Prosedur kerja pada penelitian ini terdiri dari tahap:

1. Persiapan, meliputi:

a. Pengumpulan informasi dan pustaka mengenai jenis burung air dan

habitatnya

b. Survei kawasan penelitian

c. Pengumpulan alat-alat penelitian

2. Pelaksanaan

Penelitian dilakukan dengan metode sebagai berikut:

a. Pengambilan data burung dilakukan dengan metode pengamatan

langsung. Metode ini dilakukan dengan cara pengamat berhenti di

suatu titik dan mengamati jenis burung air yang terdeteksi selama

selang waktu tertentu baik burung air yang terlihat maupun burung

air yang terdengar suaranya (Bibby et al., 2000). Pengamatan

dilakukan pukul 07.00-10.00 sesuai dengan waktu burung

beraktivitas.

b. Pengamatan dengan menggunakan metode hitung titik (Point Count)

sebanyak 10 titik pengamatan. Titik awal pengamatan ditentukan

secara acak, jarak dengan titik selanjutnya sepanjang jalur

pengamatan 150 m (Rahayuningsih et al., 2006). Hal ini

dimaksudkan agar pengamatan ganda dapat diminimalisasi.

18

c. Di setiap titik, pengamatan dilakukan selama 15 menit (Fachrul,

2007). Tujuannya juga agar tidak terjadi pengamatan ganda. Burung-

burung yang melintas diamati tetapi yang berada di luar jangkauan

pengamatan hanya diabaikan.

150 m 150 m

(Rahayuningsih et al., 2010)

3. Data-data yang perlu dicatat dalam penelitian ini antara lain :

a. Jenis individu dan aktivitas burung yang teramati baik secara langsung

maupun tidak langsung (suara)

b. Tipe kontak seperti secara visual, suara, atau saat terbang

c. Waktu kontak dengan setiap jenis burung

d. Jenis tumbuhan yang ditempati jika burung dalam keadaan hinggap

e. Hewan-hewan lain yang dapat berkaitan dengan rantai makanan

E. Metode Analisis Data

Data berapa jumlah individu dari setiap jenis burung maupun total seluruh

jenisnya digunakan beberapa analisis antara lain:

a. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Untuk menentukan nilai indeks keanekaragaman burung diguna-

kan Indeks Kanekaragaman Shannon-Wiener (Bibby et al., 2000) deng-

an rumus:

H’ = - ∑ Pi ln Pi

Pi = ∑ burung spesies ke-i / ∑ total burung

15 menit 15 menit 15 menit

30 m 30 m 30 m

19

Menurut Magurran (2004) menyatakan jika suatu komunitas

hanya memiliki satu spesies, maka H’ = 0. Semakin tinggi H’

mengindikasikan semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi

kelimpahan relatifnya. Nilai indeks Shannon-Wiener berkisar antara

1,5-3,5, dan jarang sekali 4,5.

b. Indeks Kemerataan (E)

Untuk mengetahui kemerataan penyebaran individu suatu spe-

sies dalam komunitas digunakan indeks kemerataan. Indeks Kemerata-

an dihitung dengan menggunakan rumus (Bibby et al., 2000):

E = H’ / ln S

Keterangan: E = Indeks kemerataan (nilai antara 0-1)

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

S = Jumlah jenis

Kriteria kisaran E adalah sebagai berikut:

E < 0,4 = Kemerataan populasi kecil

0,4 < E < 0,6 = Kemerataan populasi sedang

E > 0,6 = Kemerataan populasi tinggi

Makin kecil nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’)

maka indeks kemerataan juga makin kecil, mengisyaratkan ada domi-

nansi suatu jenis terhadap jenis yang lain.

c. Dominansi (Di)

Menentukan jenis burung yang dominan di kawasan penelitian

ditentukan dengan menggunakan rumus (Helvoort, 1973 dalam Rahayu

ningsih et al., 2006):

Di = ni / N x 100 %

Keterangan : Di = Indeks dominansi suatu jenis burung

ni = Jumlah individu suatu jenis

N = Jumlah individu dari seluruh jenis

20

Kriteria : Di = 0-2 % jenis tidak dominan

Di = 2-5 % jenis sub dominan

Di = > 5 % jenis dominan

21

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Kekayaan jenis di kawasan Tapak Tugurejo selama bulan Agustus

2012 dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini berdasarkan pada hasil peng-

amatan yang menunjukkan sebanyak 34 jenis burung dijumpai di kawasan

tersebut. Dari 34 jenis burung yang ditemukan, 10 jenis burung dilindungi

oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan

dan satwa (Tabel 1). Kawasan Tapak Tugurejo juga ditemukan satu jenis

burung yang masuk kategori Near Threatened (NT) oleh IUCN

(International Union for Conservation of Nature and Natural Resource)

tahun 2004 (Tabel 1). Disamping itu, jenis burung yang dilindungi di Tapak

Tugurejo juga terdapat empat jenis burung yang bersifat endemik, 10 jenis

burung bersifat migran, dan 20 jenis burung bukan migran (recident) /

residen (Tabel 1).

Keanekaragaman jenis merupakan salah satu aspek penting dalam

suatu komunitas hayati. Keanekaragaman jenis pada suatu komunitas pada

umumya dipelajari untuk mengetahui hubungan keanekaragaman jenis

dengan aspek-aspek lain dari komunitas seperti struktur habitat,

produktivitas dan kondisi lingkungan. Keanekaragaman jenis dan struktur

komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah lain.

Keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat

22

memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi perkembangan

dan fisik (Primarck, 1998). Jenis burung yang banyak dijumpai pada suatu

komunitas adalah burung yang mempunyai densitas, dominansi dan

frekuensi yang besar. Berbagai nilai tersebut akan mempengaruhi nilai

penting suatu jenis burung dalam komunitas tersebut. Namun pada kegiatan

Praktik Kerja Lapangan ini dilakukan perhitungan dominansi yang lebih

mudah dimengerti masyarakat luas.

Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Burung Di Tapak Kecamatan Tugurejo

Semarang Agustus 2012 Beserta Status Perlindungannya

Ordo Famili Nama Ilmiah Nama Daerah Jumlah Distribusi Status Perlindungan

Ket IUCN

Wil. Jelajah UU

1. Anseriformes 1. Anatidae 1. Anas gibberifrons Itik Benjut 12 S K J C T < R

2. Dendrocygna javanica Belibis Batu 3 S K J T < R

2. Apodiformes 2. Apodidae 3. Collocalia linchi Walet Linchi 7 S J T B R

4. Collocalia esculenta Walet Sapi 22 S K C M T P < > R

3. Charadiiformes 3. Charadriidae 5. Charadrius javanicus Cerek Jawa 4 J NT E E

4. Laridae 6. Larus ridibundus Camar Kepala Hitam 12 S J C M P N< > B M

5. Scolopacidae 7. Actitis hypoleucos Trinil Pantai 2 S K J C M T P N< > M

4. Ciconiiformes 6. Ardeidae 8. Ardea cinerea Cangak Abu 1 S K J T N< M

9. Ardea purpurea Cangak Merah 3 S K J C M T N< M

10. Ardeola speciosa Blekok Sawah 10 S K J C T < B R

11. Bubulcus ibis Kuntul Kerbau 3 S K J C M T P N< > A B M

12. Butorides striatus Kokokan Laut 11 S K J C M T P < > R

13. Egretta alba Kuntul Besar 35 S K J N< > A B R

14. Egretta garzetta Kuntul Kecil 31 S K J C M T P < > A B R

15. Egretta intermedia Kuntul Perak 29 S K J C M T P N< > A B M

16. Ixobrychus sinensis Bambangan Kuning 1 S K J C M T P N< > M

17. Nycticorax nycticorax Kowak Malam Abu 3 S K J C T N< > M

5. Columbiformes 7. Columbidae 18. Streptopelia bitorquata Dederuk Jawa 2 F J T < R

19. Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 7 S K J F F T < F R

6. Coraciiformes 8. Alcedinidae 20. Alcedo coerulescens Raja Udang Biru 2 S J T E A B E

21. Todiramphus chloris Cekakak Sungai 14 S K J C M T P < > A B R

22. Todiramphus sonctus Cekakak Australia 17 S K J C M T P N> A B M

9. Meropidae 23. Merops philippinus Kirik Laut 2 S K J C T P N< > M

7. Cuculiformes 10. Cuculidae 24. Centropus bengalensis Bubut Alang-alang 2 S K J C M T < R

8. Gruiformes 11. Rallidae 25. Amaurornis phoenicurus Kareo Padi 4 S K J C M T < R

9. Passeriformes 12. Acanthizidae 26. Gerygone sulphurea Remetuk Laut 3 S K J C T < R

23

Keterangan:

1. Distribusi: S = Sumatra; K = Kalimantan; J = Jawa, Bali, dan Madura; C

= Sulawesi; M = Maluku; T = Nusa Tenggara (kecuali Timor Leste); P =

Papua; F = Spesies feral yang eksklusif dalam suatu region

2. Status Perlindungan:

a. IUCN: CR (Critically Endangered), EN (Endangered), VU

(Vulnerable), LC ( Least Concern), NT (Near Threatened), NE

(Not Evaluated), DD (Data Deficient)

b. Undang-Undang RI: A = UU No. 5 Tahun 1990, B = PP No. 7

Tahun 1999

c. Simbol yang lain: E = Endemik, R = Residen, M = Migran d. Wilayah Jelajah: < = Spesies tercatat di Filipina atau Asia

Tenggara; > = Spesies tercatat di Kepulauan Bismarck, Solomon,

dan Australia; B = Spesies tercatat di Pulau Kalimantan termasuk

Kalimantan di luar wilayah Indonesia namun penyebarannya tidak

untuk Filipina atau Asia Tenggara (selain <); G = Spesies tercatat

di Papua dan Papua Nugini namun penyebarannya tidak termasuk

Kepulauan Bismarck, Solomon, dan Australia (selain >); N< =

Spesies migran dari bagian Utara ke Indonesia; N> = Spesies

migran dari bagian Selatan ke Indonesia; F = Spesies yang

diperkirakan feral secara eksklusif (Sukmantoro et al., 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan 34 jenis burung terdiri

dari 19 famili dan 9 ordo. Ordo burung yang teramati antara lain Anseri-

formes, Apodiformes, Charadiiformes, Ciconiiformes, Columbiformes,

Coraciiformes, Cuculiformes, Gruiformes, dan Passeriformes. Jenis burung

yang paling banyak dijumpai tergolong famili Ardeidae sebanyak 10 jenis

dan merupakan jenis burung yang umum kita jumpai di area pertambakan

atau daerah pantai. Famili Estrilidae sebanyak dua jenis, dan Alcedinidae

sebanyak tiga jenis, famili Columbidae dan Anatidae masing-masing dua

13. Artamidae 27. Artamus leucorynchus Kekep Babi 24 S K J C M T P < > R

14. Cisticolidae 28. Prinia inornata Perenjak Padi 9 J < R

15. Estrilidae 29. Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 14 S J T E E

30. Lonchura punctulata Bondol Peking 14 S K J C T F < F R

16. Hirundinidae 31. Hirundo tahitica Layang-layang Batu 5 S K J C M T P < > R

17. Laniidae 32. Lanius schach Bentet Kelabu 3 S K J T < G R

18. Rhipiduridae 33. Rhipidura javanica Kipasan Belang 11 S K J T < A B R

19. Zosteropidae 34. Zosterops chloris Kacamata Laut 18 S K J C M T P E E

Jumlah 340

24

jenis, sementara untuk famili Cisticolidae, Cuculidae, Charadriidae, Ralli-

dae, Scolopacidae, Lariidae, Rhipiduridae, Acanthizidae, Laniidae, Meropi-

dae, Artamidae, Zosteropidae, dan Hirudinidae masing-masing satu jenis

(Tabel 1.). Jenis burung yang dilindungi pada tingkat famili diantaranya

adalah Alcedinidae (Todiramphus chloris, Todiramphus sanctus, Alcedo

coerulescens), jenis burung yang dilindungi pada tingkat genus adalah

Egretta (Egretta garzetta, Egretta alba, Egretta intermedia), sedangkan

jenis burung yang dilindungi pada tingkat spesies adalah Charadrius

javanicus (Cerek Jawa) masuk kedalam jenis burung yang termasuk dalam

kategori IUCN kategori terancam punah (Near Threatened) (Tabel 1).

Berdasarkan hasil analisis data indeks keanekaragaman jenis dan

kemerataan jenis menunjukan besarnya indeks keanekaragaman jenis (H’)

burung di area pertambakan Tapak Tugurejo adalah 3,15 sementara untuk

besarnya indeks kemerataan jenis total (E) adalah 0,54 yang berarti tingkat

kemerataan populasi sedang, tetapi tingkat kemerataan pada masing-masing

jenis tergolong rendah atau kecil (Tabel 2).

Tabel 2. Kekayaan Jenis, Keanekaragaman Jenis, Kemerataan, Dan

Dominansi Jenis Burung Di Tapak Tugurejo Agustus 2012

Parameter Nilai/Jumlah

Individu 340

Spesies 34

Famili 19

Ordo 9

H' 3,15

E 0,54

Di 2,90%

Suatu jenis mendominasi suatu kawasan selain karena jumlah individu

yang banyak dan memiliki persebaran yang luas bisa karena kemampuan

25

daya jelajahnya yang luas. Berdasarkan jenisnya, ordo yang mendominasi

kawasan Tapak berdasarkan ordo adalah Ciconiiformes, Passeriformes, dan

Coraciiformes. Ordo yang memiki jumlah jenis terendah adalah ordo

Gruiformes dan Cuculiformes (Gambar 1).

Ciconiiformes29,41%

Passeriformes26,47%

Coraciiformes11,76%

Charadiiformes8,82%

Apodiformes5,88%

Anseriformes5,88%

Columbiformes5,88%

Gruiformes2,94%

Cuculiformes2,94%

Gambar 1. Komposisi jenis dalam ordo

Famili Ardeidae mendominasi kawasan Tapak Tugurejo. Famili yang

sangat jarang ditemui di kawasan Tapak Tugurejo adalah Cuculidae dan

Meropidae. Famili Ardeidae dapat mendominasi kawasan Tapak karena

memiliki ukuran tubuh yang relatif besar sehingga kemampuan adaptasi

juga relatif tinggi, kemampuan berkembang biak, dan ditunjang dengan

banyaknya sumber makanan yang tersedia. Faktor lain yang menunjang

burung-burung famili Ardeidae mendominansi adalah adanya larangan

menangkap dan berburu burung-burung tersebut (Gambar 2).

26

Gambar 2. Komposisi jenis dalam famili

Berdasarkan jumlah individu, burung dari ordo Ciconiiformes sangat

mendominasi kawasan Tapak Tugurejo. Selanjutnya diikuti oleh ordo

Passeriformes dan Coraciiformes. Jumlah individu burung terendah adalah

burung dari ordo Cuculifomes kemudian diikuti oleh ordo Gruiformes

(Gambar 3).

Gambar 3. Komposisi individu dalam ordo

Berdasarkan jumlah individu, burung dari famili Ardeidae paling

mendominasi di Tapak Tugurejo. Selanjutnya diikuti oleh famili Alcedini-

dae dan Apodidae. Famili Scolopacidae, Cuculidae dan Meropidae adalah

famili paling jarang ditemukan di Tapak Tugurejo (Gambar 4).

27

Gambar 4. Komposisi individu dalam famili

B. Pembahasan

Kekayaan jenis di Kawasan Tapak Tugurejo selama Agustus 2012

terdiri dari 9 ordo, 19 famili, 34 jenis burung, dan ditemukan sebanyak 340

individu. Berdasarkan hasil tersebut terdapat 10 jenis burung dilindungi oleh

UU No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999, satu jenis burung

dilindungi oleh IUCN tahun 2004, 10 jenis burung bersifat migran, 20 jenis

burung bersifat residen, 4 jenis burung bersifat endemik, dan satu jenis

burung bersifat feral eksklusif (Tabel 1). Indeks keanekaragaman jenis (H’)

di Kawasan Tapak Tugurejo sebesar 3,15; Kemerataan jenis (E) di kawasan

sebesar 0,54; dan indeks dominansi (Di) sebesar 2,9% (Tabel 2).

Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis tergolong tinggi bila

kemerataan jenis mencapai nilai 0,8 sehingga indeks keanekaragaman

jenis burung di area Tapak Tugurejo masih tergolong memiliki

keanekaragaman jenis sedang. Semakin tinggi nilai H mengindikasikan

semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi kelimpahan relatifnya.

Menurut Magurran (2004) nilai indeks keanekaragaman (H’) burung

28

berkisar antara 1,5-3,5. Nilai >3,5 menunjukkan indeks keanekaragaman

yang tinggi. Tingginya indeks keanekaragaman jenis pada suatu kawasan

menunjukan kawasan itu mampu menyediakan sumber daya makanan

yang cukup maupun tempat tinggal yang dibutuhkan oleh burung. Hal

inilah yang menyebabkan keanekaragaman burung menjadi tinggi di suatu

kawasan. Pada kawasan Tapak Tugurejo dapat dikategorikan memiliki

indeks keanekaragaman bernilai mendekati tinggi. Hal tersebut

dikarenakan bernilai mendekati 3,5 yaitu sebesar 3,15. Nilai tersebut tidak

jauh berbeda dengan indeks keanekaragaman di kawasan yang sama pada

tahun 2012 sebesar 3,09 (Diarto et al., 2012). Nilai tersebut berbeda cukup

jauh jika dibandingkan dengan nilai indeks keanekaragaman (H’) di

Segoro Anak, Banyuwangi sebesar 2,78 (Latupapua, 2011). Hal tersebut

dikarenakan beberapa faktor antara lain kondisi habitat, migrasi, predasi,

kompetisi, dominansi spesies, kekayaan jenis dan ketersediaan makanan

yang berbeda (Ernijumilawaty et al., 2011). Bagi satwa liar secara umum

habitat berfungsi sebagai tempat hidup untuk mencari makan, minum,

istirahat, dan berkembang biak sehingga habitat yang beragam tentu

mamiliki beragam penyedia kebutuhan bagi satwa liar, sehingga makin

banyak satwa liar yang hadir disebabkan banyaknya kebutuhan yang

tersedia di habitat tersebut.

Indeks kemerataan jenis (E) burung di area Tapak Kelurahan

Tugurejo sebesar 0,54 (Tabel 2). Nilai tersebut tidak jauh berbeda di

kawasan yang sama pada tahun 2012 sebesar 0,85 (Diarto et al., 2012).

Nilai tersebut berbeda cukup jauh jika dibandingkan dengan nilai indeks

29

kemerataan (E) di Segoro Anak, Banyuwangi sebesar 0,42 (Latupapua,

2011). Perbedaan nilai indeks kemerataan tersebut juga tidak lepas kondisi

habitat beserta komponen yang terkait didalamnya berbeda (Diarto et al.,

2012). Berdasarkan nilai indeks kemerataan di Tapak Tugurejo,

menunjukkan bahwa penyebaran jenis burung di Tapak Tugurejo hampir

merata dengan kata lain suatu jenis burung hampir dapat ditemukan di

seluruh wilayah pertambakan. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat

spesies yang hanya ditemui di beberapa tempat saja yaitu jenis burung

pantai yang hanya ditemukan di daerah pantai berlumpur dan berpasir

seperti Charadrius javanicus (Cerek Jawa). Hal tersebut berkaitan dengan

tempatnya mencari makan yang kebanyakan berupa molusca atau ikan

kecil.

Kelimpahan setiap spesies burung dalam suatu komunitas tidak sama

besar. Jenis yang umum dijumpai mungkin memiliki kelimpahan yang

sangat besar karena jenis ini memiliki jumlah individu, biomasa serta nilai

penting yang besar sehingga mendominasi suatu komunitas. Jenis burung

yang memiliki kelimpahan yang tinggi juga memiliki nilai dominansi yang

tinggi. Pada kawasan Tapak Tugurejo nilai indeks dominansi sebesar

2,90%. Berdasarkan kategori Hervolt (1973) dalam Rahayuningsih et al.

(2006) bahwa suatu jenis dikatakan kategori dominan jika kelimpahan

relatifnya lebih besar dari 5%, suatu jenis dikatakan sub dominan apabila

kelimpahan relatifnya 2-5% dan dikatakan tidak dominan apabila

kelimpahan relatifnya 0-2%. Nilai dominansi (Di) pada kawasan Tapak

Tugurejo dapat dikategorikan kedalam kriteria sub dominan. Hal tersebut

30

dikarenakan di kawasan Tapak Tugurejo terdapat beberapa jenis burung

yang termasuk kategori dominan antara lain Egretta alba (10,3%), Egretta

garzetta (9,1%), Egretta intermedia (8,5%), Artamus leucorynchus (7,1%),

dan Collocalia esculenta (6,5%) (Lampiran 2).

Jumlah jenis dalam ordo merupakan banyaknya jumlah keragaman

jenis burung dalam suatu ordo sedangkan jumlah individu dalam ordo

merupakan banyaknya jumlah individu dalam suatu ordo. Hasil pengamatan

menunjukkan perbedaan terhadap jumlah jenis dan jumlah individu dalam

suatu ordo. Pada jumlah jenis dalam ordo, burung ordo Charadiiformes

lebih banyak dari ordo Apodiiformes (Gambar 1). Hasil berbeda untuk

jumlah individu dalam ordo, burung ordo Apodiformes lebih banyak dari

ordo Charadiiformes (Gambar 3).

Burung yang termasuk ordo Apodiformes adalah burung yang

memiliki ciri-ciri jenis makanannya serangga; tebang cepat; mirip burung

laying-layang; sayap panjang dan runcing; ekor pendek persegi atau panjang

menajam; jarang bertengger di pohon; beristirahat dengan cara bergelan-

tungan pada dinding karang, mulut gua, lubang pohon, atau langit-langit

rumah. Sedangkan burung yang termasuk ordo Charadiiformes adalah

burung perancah dengan ciri-ciri paruh lurus dengan penebalan keras pada

ujungnya; tungkai panjang dan kuat, kebanyakan tidak mempunyai jari

belakang; sayap agak panjang; ekor pendek; berjenis banyak dan tersebar

luas; serta burung pinggir atau daerah terbuka (MacKinnon et al., 2010).

Berdasarkan kedua ciri-ciri burung-burung pada ordo Apodiformes

dan Charadiiformes tersebut sangat cocok apabila tinggal menetap di

31

kawasan Tapak Tugurejo. Kawasan Tapak Tugurejo yang memiliki banyak

tumbuhan mangrove, dekat dengan lahan pertanian, dan padang ilalang

memicu kehadiran berbagai macam serangga. Berbagai macam serangga

inilah yang menjadi sumber makanan utama bagi burung ordo Apodiformes.

Faktor lain yang mendukung adalah kawasan Tapak Tugurejo letaknya

berdekatan dengan pemukiman warga yang kemungkinan besar burung ordo

Apodiformes bersarang pada kolong atap-atap rumah warga terutama rumah

warga yang tidak berpenghuni. Bagi burung ordo Charadiiformes kondisi

kawasan Tapak Tugurejo juga berperan tinggi untuk menunjang kehidupan-

nya. Area pertambakan yang luas dengan tanah lumpur yang cukup tebal,

dan jumlah ikan yang relatif melimpah baik jumlah dan jenisnya, serta

krustasea kecil menjadikan burung ordo Charadiiformes nyaman tinggal di

kawasan Tapak Tugurejo. Ditinjau dari jumlah jenis dalam ordo, burung

ordo Charadiiformes lebih banyak dibandingkan ordo Apodiformes. Hal

tersebut disebabkan burung ordo Charadiiformes termasuk burung

pengunjung musim dingin (migran) sedangkan burung ordo Apodiformes

bersifat residen (MacKinnon et al., 2010). Padahal dari sisi jenisnya, kedua

ordo tersebut memiliki jumlah jenis yang sama di seluruh Sunda Besar yaitu

16 jenis. Pengamatan yang dilakukan bulan Agustus dimana bulan tersebut

akan memasuki musim penghujan (suhu akan lebih rendah) menjadikan

jumlah jenis burung ordo Charadiiformes akan lebih banyak dating menuju

kawasan Tapak Tugurejo dari jumlah jenis burung ordo Apodiformes.

Apabila ditinjau dari jumlah individu dalam ordo, burung ordo Apodiformes

lebih tinggi daripada ordo Charadiiformes. Hal tersebut dikarenakan burung

32

ordo Apodiformes lebih eksis dalam perkembangbiakannya baik secara

jumlah telur dan daya adaptasinya sedangkan burung ordo Charadiiformes

kurang eksis dalam perkembangbiakannya baik secara jumlah telur maupun

daya adaptasinya (MacKinnon et al., 2010). Alasan tersebut cukup relevan

karena jenis burung ordo Charadiiformes cukup banyak yang tergolong

endemik dan banyak pula yang mengalami kepunahan. Sifat endemik dan

banyak mengalami kepunahan inilah biasanya ditandai dengan faktor

perkembangbiakan dan daya adaptasi.

Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah jenis dalam famili memiliki

hasil yang berbeda dengan jumlah individu dalam famili. Ditinjau dari

jumlah jenis dalam famili memiliki urutan dari jumlah besar ke kecil yaitu

Anatidae, Columbidae, Artamidae, Zosteropidae, Laridae, dan Rhipiduridae

(Gambar 2). Jika ditinjau dari jumlah individu dalam famili memiliki urutan

dari jumlah besar ke kecil yaitu Artamidae, Zosteropidae, Anatidae, Laridae,

Rhipiduridae, dan Columbidae (Gambar 4).

Hasil urutan tersebut sesuai dengan ciri-ciri masing-masing famili

ditunjang dengan kondisi habitat di Tapak Tugurejo. Famili Anatidae

memiliki ciri-ciri antara lain tersebar luas, jumlah jenisnya banyak, jumlah

telur yang dihasilkan banyak; di Sunda Besar terdapat 14 jenis, 7

diantaranya pengunjung musim dingin; tipe burung perenang dengan kaki

berselaput, paruh lebar dan pipih, tungkai pendek; dan jenis makanan ikan,

cacing, dan hewan-hewan kecil di lumpur. Famili Columbidae memiliki

ciri-ciri antara lain tersebar luas di dunia, di Sunda Besar terdapat 30 jenis;

makanan utama buah-buahan dan biji-bijian; dan telur yang dihasilkan

33

banyak serta perkembangbiakannya mudah. Famili Artamidae memiliki ciri-

ciri antara lain tersebar hanya di Australasia, di Sunda Besar hanya terdapat

satu jenis; pemakan serangga, suka di daerah terbuka; hidupnya berke-

lompok dan berkerumun banyak; telur yang dihasilkan banyak; dan mudah

berkembang biak. Famili Zosteropidae memiliki ciri-ciri antara lain tersebar

di Afrika, Asia, dan Australia; di Sunda Besar terdapat 10 jenis;

makanannya buah-buahan kecil, serangga, dan tidak jarang juga menghisap

nectar bunga-bungaan; ada yang bersifat endemik seperti Zosterops chloris;

dan hidupnya dalam kelompok kecil atau campuran. Famili Laridae

memiliki ciri-ciri antara lain burung laut yang tersebar luas di dunia, di

Sunda Besar hanya tiga jenis sebagai pengunjung, dan bersifat migran;

pemakan ikan dan bangkai; dan perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya

lambat (untuk memiliki bulu-bulu dewasa secara penuh perlu waktu

bertahun-tahun). Terakhir adalah famili Rhipiduridae memiliki ciri-ciri

antara lain di Sunda Besar terdapat 43 jenis tetapi hanya sedikit yang

bersifat pengunjung di musim dingin; pemakan serangga; keanekaragaman

jenisnya banyak; dan ada yang berhabitat di kawasan mangrove seperti

Rhipidura javanica (MacKinnon et al., 2010).

Kawasan Tapak Tugurejo didominasi oleh burung air ordo Ciconii-

formes dan burung terestrial ordo Passeriformes. Burung ordo Ciconii-

formes diwakili oleh famili Ardeidae dan burung ordo Passeriformes

diwakili oleh famili Acanthizidae, Artamidae, Cisticolidae, Estrilidae,

Hirundinidae, Laniidae, Rhipiduridae, dan Zosteropidae. Kedua ordo

tersebut sangat cocok berhabitat di kawasan Tapak Tugurejo yang

34

menyediakan berbagai makanan dan faktor penunjang lain untuk menjalan-

kan kehidupan.

Burung air ordo Ciconiiformes dapat mendominasi kawasan Tapak

Tugurejo dikarenakan jumlah makanan yang melimpah dan jenisnya yang

beranekaragam juga. Berbagai jenis ikan seperti bandeng, cucut, patin, dan

Ikan Jalan banyak ditemukan di area pertambakan. Hewan krustasea seperti

udang dan kepiting bakau juga banyak ditemukan di kawasan Tapak

Tugurejo. Berbagai macam jenis makanan tersebut menjadi salah satu

sumber makanan burung ordo Ciconiiformes.

Pada posisi kedua, jenis burung yang mendominasi kawasan Tapak

Tugurejo adalah burung terestrial ordo Passeriformes. Ordo ini dikenal

sebagai ordo burung terbesar diantara ordo-ordo burung yang lain

(MacKinnon et al., 2010). Burung yang termasuk ordo ini memiliki tipe

kaki petengger dan biasanya pemakan serangga, biji-bijian, dan buah-

buahan. Burung ordo Passeriformes juga cocok berhabitat di kawasan Tapak

Tugurejo karena kawasan tersebut terdapat banyak tumbuhan mangrove,

berdekatan dengan lahan pertanian, dan padang ilalang yang menyediakan

berbagai sumber makanan seperti serangga, biji-bijian, dan buah-buahan.

Disamping itu, tumbuhan mangrove yang cukup lebat dan banyak

menjadikan banyak burung ordo Passeriformes beraktivitas seperti

membangun sarang dan bertengger.

Kawasan Tapak Tugurejo didominasi oleh tanaman bakau yang

terdiri dari 2 spesies yaitu Avicennia marina dan Rhizophora mucronata.

Tumbuhan Avicennia marina sering digunakan oleh burung-burung kecil

35

seperti Kacamata Laut (Zosterops chloris), Kirik Laut (Merops philippinus),

Remetuk Laut (Gerygone sulphurea), Bondol Jawa (Lonchura

leucogastroides), dan Bondol Peking (Lonchura punctulata) untuk

bertengger dan menari makan, tetapi juga digunakan sebagai sarang burung

jenis Egretta ketika hari mulai gelap. Tumbuhan bakau Rhizopohora

mucronata digunakan untuk bertengger atau hinggap burung-burung besar

seperti Kuntul Kecil (Egretta garzetta), Kuntul Besar (Egretta alba), Kuntul

Perak (Egretta intermedia) , Kowak Malam Abu (Nycticorax nycticorax),

dan Kokokan laut (Butorides striatus), tetapi juga digunakan oleh Kipasan

Belang (Rhipidura javanica) untuk bertengger dan mencari makan.

Rhizophora mucronata berfungsi menahan laju sedimentasi areal tambak

dan Avicennia marina sebagai penyedia makanan dan sarang yang aman

bagi kehidupan burung di kawasan Tapak, Tugurejo.

36

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL)

tersebut antara lain:

1. Jenis-jenis burung yang dijumpai di area pertambakan Tapak Tugurejo

Kota Semarang selama bulan Agustus 2012 sebanyak 34 jenis burung

terbagi dalam 19 famili dan 9 ordo.

2. Berdasarkan status perlindungannya tercatat 10 jenis merupakan jenis

burung yang dilindungi tata perundangan Republik Indonesia dan satu

jenis masuk kategori Near Threatened (NT) oleh IUCN tahun 2004.

3. Indeks keanekaragaman jenis burung di area pertambakan Tapak

Kelurahan Tugurejo adalah 3,15 dan indeks kemerataan jenis sebesar

0,54.

4. Terdapat 10 jenis burung migran yang ditemukan di Kawasan Tapak

Tugurejo selama bulan Agustus 2012.

37

B. Saran

1. Bagi mahasiswa PKL :

a. Dalam pelaksanaan PKL diharapkan mahasiswa lebih cepat dalam

penyelesaian laporan.

b. Kedisiplinan dan tanggung jawab lebih ditingkatkan.

2. Bagi Jurusan / Program Studi :

a. Pengadaan pelatihan pra PKL

b. Pertimbangan penambahan alokasi waktu tersendiri untuk pelaksa-

naan PKL.

c. Pengadaan jejaring dengan perusahaan / laboratorium sesuai

dengan kontrak dan perjanjian kerjasama serta hubungan

kemitraan.

3. Bagi Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) :

a. Pendampingan mahasiswa PKL diharapkan lebih intensif.

b. Perlu adanya standar kerja bagi mahasiswa PKL supaya kinerja

mahasiswa PKL dapat terukur.

4. Bagi Kegiatan Penelitian ini :

a. Perlu adanya penelitian lanjutan terutama pada musim yang

berbeda, baik itu musim hujan, kemarau ataupun pada saat

migrasi burung pantai.

b. Perlu penjagaan kawasan yang lebih intensif. Dengan kondisi

pohon mangrove yang baik selain sebagai habitat burung juga

dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata berwawasan alam.

38

c. Pemanfaatan kawasan sebagai tempat belajar bisa melalui

birdwatching, pengenalan jenis tumbuhan mangrove langsung

kepada siswa sebagai salah satu upaya untuk mengajak siswa ikut

berperan aktif.

d. Perlu adanya papan informasi berkaitan dengan jenis-jenis atau

spesies burung yang mendominasi di kawasan Tapak, rantai

makanan yang mungkin terjadi, dan status pelindungan jenis

burung tertentu di kawasan tersebut.

39

DAFTAR PUSTAKA

Alikondra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas

Kehutanan IPB.

Bibby C., Jones M., dan Marsden S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan

Survey Burung. Bogor: Birdlife International Indonesian Programme.

Davies, J., G. Claridge, dan C.H.E. Niranita. 1996. Manfaat Lahan Basah Dalam

Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Bogor: Direktorat Jendral

PHPA dan Asian Wetland Bureau.

Departemen Kehutanan. 2007. Draft Profil taman Nasional Sembilang. Balai

Taman Nasional Sembilang. Palembang.

Diarto, Boedi Hendrarto, dan Sri Suryoko. 2012. Partisipasi Masyarakat Dalam

Pengelolaan Lingkungan Kawasan Hutan Mangrove Tugurejo Kota

Semarang. Jurnal Ilmu Lingkungan 10 (1): 1-7.

Ernijumilawaty, Animardiastuti, Lilik Budi Prasetyo, dan Yeni Aryati Mulyani.

2011. Keanekaragaman Burung Air di Bagan Percut Deli Serdang Sumatra

Utara. Jurnal Media Konservasi 16 (3): 108-113.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

H. Ghufran, M. dan K. Kordi. 2011. Marikultur Prinsip dan Praktik Budidaya

Laut. Yogyakarta: Lily Publisher.

Latupapua, Marcus Jacob Julius. 2011. Struktur dan Komposisi Beberapa Jenis

Burung di Mangrove Kawasan Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo.

Jurnal Agroforestri 6 (1): 1-11.

MacKinnon, J., K. Philips, dan B. van Ballen. 2010. Burung-burung di Sumatra,

Darussalam). Edisi IV. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.

Magurran, Anne E. 2004. Measuring Biological Diversity. Victoria: Blackwell

Publishing Company.

Noor, Yus Rusila, M. Khazali dan I.N.N Suryadiputra. 2006. Panduan Mangrove

di Indonesia. Hal 74-75 dan 120-121. Bogor: Wetlands International

Indonesia Programme.

Odum, P.E. 1993. Dasar-dasar Ekologi (Terjemahan). Hal 291-296. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Primarck, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

40

Rahayuningsih, Margareta, Bambang Priyono, dan A.S Nugroho. 2006.

Keanekaragaman Jenis Burung di Pulau Galeang Taman Nasional

Karimunjawa. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Semarang: Jurusan

Biologi FMIPA Unnes.

Rahayuningsih, Margareta, Nugroho Edi Kartijono, dan Muhammad Abdullah.

2010. Keanekaragaman Jenis Vegetasi dan Profil Habitat Burung Di Hutan

Mangrove Pulau Nyamuk Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal

Biosaintifika. Maret 2 (1): 27-39.

Rusila Noor, Y., M, Khazali, dan I.N.N Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan

Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA dan Wetlands International-Indonesia

Programme.

Rusmendro, Hasmar. 2009. Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi

Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Di Wilayah Pangandaran Jawa Barat.

Jurnal Penelitian Vis Vitalis. Maret 2 (1). Jakarta: Fakultas Biologi

Universitas Nasional.

Sibuea, T. Th., Y. Rusila Noor, M.J. Silvins, dan A. Susmianto. 1995. Burung

Bangau, Pelatuk Besi, dan Paruh Sendok di Indonesia. Jakarta: PHPA dan

Wetlands International-Indonesia Programme.

Sukmantoro, Wishnu, Mohammad Irham, Wilson Novarino, Ferry Hasudungan,

Neville Kamp, dan Muchamad Muchtar. 2012. Daftar Burung Indonesia II.

Bogor: Perhimpunan Ornithologist Indonesia-LIPI.

41

LAMPIRAN

1. Dokumentasi Kegiatan

Foto 1. Egretta garzetta terbang Foto 2. Rhizophora mucronata

Foto 3. Jammal Pengamatan Burung Foto 4. Enggar Pengamatan Burung

Foto 5. Avicennia marina Foto 6. Sarang Burung Egretta di

Avicennia

42

2. Tabel Perhitungan Kekayaan Jenis Burung Di Tapak Tugurejo Agustus

2012 Ordo Famili Nama Ilmiah Nama Daerah Jumlah Pi Ln Pi H' E Di

Anseriformes Anatidae Anas gibberifrons Itik Benjut 12 0,035 -3,344 0,118 0,0202 3,5%

Dendrocygna javanica Belibis Batu 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%

Apodiformes Apodidae Collocalia linchi Walet Linchi 7 0,021 -3,883 0,0799 0,0137 2,1%

Collocalia esculenta Walet Sapi 22 0,065 -2,738 0,1772 0,0304 6,5%

Charadiiformes Charadriidae Charadrius javanicus Cerek Jawa 4 0,012 -4,443 0,0523 0,009 1,2%

Laridae Larus ridibundus Camar Kepala

Hitam

12 0,035 -3,344 0,118 0,0202 3,5%

Scolopacidae Actitis hypoleucos Trinil Pantai 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%

Ciconiiformes Ardeidae Ardea cinerea Cangak Abu 1 0,003 -5,829 0,0171 0,0029 0,3%

Ardea purpurea Cangak Merah 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%

Ardeola speciosa Blekok Sawah 10 0,029 -3,526 0,1037 0,0178 2,9%

Bubulcus ibis Kuntul Kerbau 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%

Butorides striatus Kokokan Laut 11 0,032 -3,431 0,111 0,019 3,2%

Egretta alba Kuntul Besar 35 0,103 -2,274 0,234 0,0402 10,3%

Egretta garzetta Kuntul Kecil 31 0,091 -2,395 0,2184 0,0375 9,1%

Egretta intermedia Kuntul Perak 29 0,085 -2,462 0,21 0,036 8,5%

Ixobrychus sinensis Bambangan Kuning 1 0,003 -5,829 0,0171 0,0029 0,3%

Nycticorax nycticorax Kowak Malam Abu 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%

Columbiformes Columbidae Streptopelia bitorquata Dederuk Jawa 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%

Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 7 0,021 -3,883 0,0799 0,0137 2,1%

Coraciiformes Alcedinidae Alcedo coerulescens Raja Udang Biru 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%

Todiramphus chloris Cekakak Sungai 14 0,041 -3,19 0,1313 0,0225 4,1%

Todiramphus sanctus Cekakak Australia 17 0,05 -2,996 0,1498 0,0257 5,0%

Meropidae Merops philippinus Kirik Laut 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%

Cuculiformes Cuculidae Centropus bengalensis Bubut Alang-alang 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%

Gruiformes Rallidae Amaurornis phoenicurus Kareo Padi 4 0,012 -4,443 0,0523 0,009 1,2%

Passeriformes Acanthizidae Gerygone sulphurea Remetuk Laut 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%

Artamidae Artamus leucorynchus Kekep Babi 24 0,071 -2,651 0,1871 0,0321 7,1%

Cisticolidae Prinia inornata Perenjak Padi 9 0,026 -3,632 0,0961 0,0165 2,6%

Estrilidae Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 14 0,041 -3,19 0,1313 0,0225 4,1%

Lonchura punctulata Bondol Peking 14 0,041 -3,19 0,1313 0,0225 4,1%

Hirundinidae Hirundo tahitica Layang-layang Batu 5 0,015 -4,22 0,0621 0,0106 1,5%

Laniidae Lanius schach Bentet Kelabu 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%

Rhipiduridae Rhipidura javanica Kipasan Belang 11 0,032 -3,431 0,111 0,019 3,2%

Zosteropidae Zosterops chloris Kacamata Laut 18 0,053 -2,939 0,1556 0,0267 5,3%

Jumlah & Rata-rata 340 0,029 3,1462 0,5398 2,9%