Keanekaragaman Jenis Burung Air di Kawasan Tapak Tugurejo Semarang
Transcript of Keanekaragaman Jenis Burung Air di Kawasan Tapak Tugurejo Semarang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semarang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah yang terletak di
pantai pesisir utara. Keberadaan mangrove di sisi utara Kota Semarang
memegang peranan penting untuk mengurangi abrasi. Selain itu, hutan
mangrove sangat berjasa untuk kehidupan pantai, akarnya dapat menyerap
logam berat, mampu menahan abrasi dan intrusi air laut ke daratan,
melambatkan arus pasang surut, menahan sedimentasi dari daratan dan
tegakannya berfungsi sebagai penahan gelombang. Fungsi biologisnya antara
lain sebagai sumber hara untuk kehidupan hayati laut, juga menjadi sumber
pakan burung, mamalia dan reptil.
Hutan mangrove memiliki tiga fungsi utama antara lain fungsi fisik,
meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap angina dan gelombang,
pencegah intrusi garam dan penghasil energi serta hara; fungsi biologis,
meliputi: sebagai tempat bertelur dan sebagai asuhan berbagai biota, tempat
bersarang burung dan sebagai habitat alami berbagai biota; fungsi ekologis,
meliputi: sebagai sumber bahan bakar, bahan bangunan, perikanan, pertanian,
makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat
sintetis, penyamakan kulit, dan obat-obatan (Nontji, 1992 dalam Ghufran dan
Kordi, 2011).
Secara umum, kondisi vegetasi hutan mangrove di Kota Semarang
cukup memprihatinkan. Salah satu kawasan hutan mangrove di Kota
1
2
Semarang yang cukup terjaga berada di Desa Tapak, Kecamatan Tugurejo.
Kawasan hutan mangrove tersebut terdapat berbagai jenis burung yang
dilindungi oleh Undang-Undang di Indonesia maupun peraturan dari dunia
internasional. Selain terdapat berbagai jenis burung yang dilindungi, hutan
mangrove di kawasan Tapak ini juga berdampingan dengan pertambakan dan
hanya terdapat dua jenis tumbuhan bakau yang dominan yaitu Avicennia
marina dan Rhizophora mucronata. Vegetasi hutan mangrove di Tapak
Tugurejo selain berfungsi sebagai penahan abrasi pantai juga digunakan
sebagai batas-batas parit bagi para petani tambak. Berdasarkan kondisi
tersebut maka vegetasi mangrove di kawasan tersebut masih terjaga dan terus
berkembang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah antara
lain:
1. Keanekaragaman jenis burung apa saja yang ada di kawasan Tapak selama
bulan Agustus?
2. Jenis burung migran apa saja di kawasan Tapak selama bulan Agustus?
3. Jenis burung apa saja di kawasan Tapak yang masuk kedalam kategori
dilindungi oleh Undang-Undang maupun internasional?
C. Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan ini sebagai berikut:
1. Mengetahui keanekaragaman jenis burung yang ada di kawasan Tapak
selama bulan Agustus
3
2. Mengetahui berbagai jenis burung migran di kawasan Tapak selama bulan
Agustus
3. Mengetahui berbagai jenis burung di kawasan Tapak yang masuk kedalam
kategori hewan dilindungi oleh Undang-Undang maupun internasional.
D. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
baik mahasiswa, lembaga pendidikan, maupun Yayasan BINTARI yaitu:
1. Bagi mahasiswa
Memperoleh pengalaman nyata yang berguna untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan dalam melakukan pengamatan burung di
lapangan dan mengolah data pengamatan lapangan.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Terjadinya hubungan baik antara Program Studi Biologi khususnya
dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unnes pada umum-
nya dengan Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) Semarang, sehingga
memungkinkan kerjasama ketenagakerjaan dan bentuk kerjasama lainnya.
Sebagai umpan balik untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan saling
berbagi ilmu sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3. Bagi Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI)
Memperoleh berbagai masukan baru dari lembaga pendidikan,
melalui mahasiswa yang sedang melaksanakan PKL dan menjalin hubung-
an baik dengan lembaga pendidikan, khususnya Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Unnes. Menumbuhkembangkan potensi dan
5
BAB II
YAYASAN BINA KARTA LESTARI (BINTARI) SEMARANG
A. Profil Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) Semarang
SEJARAH
Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) adalah lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak dalam bidang pengelolaan lingkungan untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
BINTARI bersifat mandiri, independen, dan tidak berorientasi pada kegiatan
politik praktis.
BINTARI didirikan pada tahun 1986 di Semarang, Jawa Tengah oleh
beberapa akademisi, praktisi, dan pemerhati lingkungan yang peduli terhadap
permasalahan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan terutama pada
kawasan perkotaan. Secara resmi, BINTARI memulai kegiatannya pada
tanggal 15 Februari 1986.
BINTARI mempunyai prinsip bahwa setiap kegiatan pembangunan
yang berwawasan lingkungan akan berhasil apabila partisipasi masyarakat
dapat berjalan secara optimal. Untuk itu masyarakat harus diberdayakan,
sehingga memiliki peluang yang efektif untuk ikut berpartisipasi dalam
proses pembangunan dan pengelolaan lingkungan.
Untuk mewujudkan hal diatas, BINTARI berusaha menjabarkan
gagasan para akademisi, pemerhati lingkungan, praktisi dan orang-orang yang
tertarik dengan permasalahan lingkungan, dalam bentuk kegiatan-kegiatan
nyata di lapangan bersama masyarakat.
6
VISI
Organisasi mandiri yang menjadi rujukan dalam pengelolaan
lingkungan yang terpadu, berkeadilan dan berkelanjutan bertumpu pada
partisipasi masyarakat.
MISI
1. Memberdayakan masyarakat dan memfasilitasi komunikasi antar
stakeholder dalam usaha-usaha pengelolaan lingkungan
2. Mengkaji upaya-upaya pengelolaan lingkungan terpadu
3. Mempromosikan upaya-upaya pengelolaan lingkungan dengan
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
INFORMASI UMUM
NAMA Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI)
ALAMAT
Jl. Tirto Agung Barat V No. 21
Kel. Pedalangan, Kec. Banyumanik
SEMARANG 50268
TELP./FAX. Telp./Fax. 024 - 707 77 220
AKTE PENDIRIAN
No. 59 Tanggal 15 Februari 1986
Notaris : Sri Handini Soedjoko, SH
diperbaharui
No. Tanggal
7
Notaris :
NPWP 01.477.918.5-517.00
BANK
PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (BPD
Jateng)
Capem Setwilda Tk. I Semarang
No. Rekening: 1-057-05297-9
Atas nama: Yayasan Bina Karta Lestari
DIREKTUR Dr. Ir. Joesron Aliesyahbana, MSc
DIREKTUR PELAKSANA Feri Prihantoro
Struktur Organisasi
Kebijakan umum BINTARI diarahkan oleh Dewan Pembina,
kemudian dijabarkan dalam program-program yang dilaksanakan oleh
pengurus yang dipimpin Direktur dan diawasi oleh Dewan Pengawas. Dalam
melaksanakan tugas kesehariannya Direktur dibantu oleh Direktur Pelaksana.
Ada empat divisi untuk menjalankan program-program guna mencapai visi
dan misi yayasan, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Penelitian, Informasi dan
Kerjasama, serta Sistem Pendukung. Secara lebih detail struktur organisasi
Yayasan BINTARI sebagai berikut:
8
SUSUNAN PELAKSANA
DIREKTUR Dr.Ir. Joesron Aliesyahbana, MSc.
DIREKTUR PELAKSANA Feri Prihantoro
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Abdul Roviq
PENDIRI
YAYASAN
Joesron Alie Syahbana, Budiono, M. Edi Waluyo,
Sasmitohadi, Nursyamsi Sarengat, Djaka Digdaja, Anies,
Bambang Pramudiyanto, Nurhasan (alm)
DEWAN
PEMBINA
Prof. Dr. Soedharto P. Hadi
Prof. Dr. Budi Widianarko, DEA
Prof. Dr. Sri Mulyani ES
Drs. Bambang Pramudyanto, MS
DEWAN
PENGAWAS
Dr. Gunarto, MM
Ir. Agus Hadiyarto, MT
Y. Sasmitohadi
9
PENELITIAN Desy Haryanti
KERJASAMA & INFORMASI Amalia Wulansari
SISTEM PENDUKUNG Yuliana Rachmawati
STAFF
Danny Yustianto
Anniesa Delima
Inug
Lingkup Kegiatan
Lingkup kegiatan yang dijalankan oleh Yayasan BINTARI
menggunakan pendekatan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dengan
pertimbangan keterkaitan hulu - hilir dan desa - kota. Pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan baik melalui pendidikan formal, non-formal,
maupun informal merupakan perangkat yang digunakan untuk mencapai visi
dan misi organisasi. Isu pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim
yang merupakan isu global dengan dampak lokal yang telah dirasakan,
menjadi bagian integrasi dalam lingkup kegiatan organisasi.
10
Capaian Program
Sabtu, 09 Agustus 2008
Yayasan BINTARI telah melaksanakan program-program dan
menyediakan berbagai layanan konsultasi untuk membantu memenuhi
kebutuhan pengelolaan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.
Ringkasan laporan program yang telah dilaksanakan dapat dilihat pada daftar
di bawah.
PROJECT DURASI MITRA LINGKUP
Pendampingan masyarakat dalam penghijauan
mangrove di Kab. Demak
1998 -
2001
Yayasan
KEHATI
Pengelolaan
Pesisir
Studi Pengembangan kawasan wisata Gua Kreo
dan sistem ruang terbuka hijau Kota Semarang
2000 -
2001
BAPPEDA
Kota Semarang
Perkotaan
Inisiasi dan penyusunan rencana pengelolaan
lingkungan bersama masyarakat di DAS Babon
2002 ProLH - GTZ
Pengelolaan
Limbah
11
Pengelolaan DAS Bajak melalui Instalasi
Pengolahan Air Limbah Industri Kecil Tahu di
Kota Semarang
2002 -
2004
KITA-ECC,
JICA,
PEMKOT
SEMARANG
Pengelolaan
Limbah
Pelatihan pendidikan lingkungan hidup untuk
guru SD di DAS Babon
2004 ProLH-GTZ
Pendidikan
Lingkungan
Pendampingan kelompok tani dalam Program
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
2004 -
2005
Dinas
Pertanian Kota
Semarang
Agroforestry
Pengembangan pendidikan lingkungan SD di
Jawa Tengah melalui penerapan dan penularan
2005 -
2006
ProLH-GTZ
Pendidikan
Lingkungan
Desentralisasi pengelolaan sampah di Bukit
Kencana Jaya Semarang
2005 -
2007
ProLH - GTZ
Pengelolaan
Limbah
Program rehabilitasi sosial melalui
pengembangan pendidikan pengelolaan bencana
di Kab. Klaten
2006 -
2007
JICA
Pendidikan
Lingkungan
Program demplot stabilisasi lereng dan bantaran
sungai di DAS Babon dengan rumput vetiver
2006 -
2007
ProLH - GTZ Agroforestry
Peningkatan Kapasitas Supervisi Pendidikan
Lingkungan Hidup
2006 -
2008
KITA-ECC,
JICA,
PEMKOT
SEMARANG
Pendidikan
Lingkungan
Asia Good ESD Practice Project 2006 - ESD-J, Toyota Pendidikan
12
2008 Foundation Lingkungan
Program sistem siaga bencana berbasis
masyarakat di Kab. Klaten
2007 -
2008
RHK Project
Management
Pendidikan
Lingkungan
Pendampingan masyarakat Kota Tegal dalam
kegiatan penyediaan prasarana dan sarana
pengelolaan sampah
2008 Pemkot Tegal
Pengelolaan
Limbah
Pengembangan sistem pengumpulan sampah
untuk meningkatkan lingkungan higienis bagi
penduduk miskin di Kota Semarang
2008 -
2009
KITA-ECC,
Japan Postal
Foundation
Pengelolaan
Limbah
Adaptasi dan Mitigasi perubahan iklim berbasis
masyarakat melalui agroforestry yang
berkelanjutan di Desa Lerep Kabupaten
Semarang
2008 -
2011
ERCA Jepang
Agroforestry,
Perubahan
Iklim
Penanaman dan Pengelolaan mangrove
partisipatif sebagai adaptasi perubahan iklim di
Kota Semarang
2008 -
2011
FoE Japan
Pesisir,
Perubahan
Iklim
Adaptasi masyarakat pesisir Tapak Tugurejo
untuk meningkatkan ketahanan terhadap
dampak perubahan iklim
2010
Mercy Corp,
Pemkot
Semarang
Pesisir,
Perubahan
Iklim
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan hutan kusut yang rendah, tumbuh di antara
zona pasang naik dan pantai berlumpur. Hutan mangrove biasanya terdapat
beberapa jenis pohon seperti Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), dan
Brugieria (MacKinnon et al., 2010). Hutan tersebut kaya akan jenis ikan dan
udang-udangan sehingga sangat mendukung kehidupan burung-burung air dan
beberapa burung hutan yang umum.
Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugis) dan grove
(Inggris). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal
woodland, dan vloedbosschen. Hutan mangrove juga dapat didefinisikan
sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya
air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut
tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi
air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir
pantai di daerah tropis dan sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan
mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-
tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik
(Departemen Kehutanan, 2007).
Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman
lain. Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki
jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan
14
mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air
tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran
terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat
fakultatif daripada bersifat obligatif karena dapat tumbuh dengan baik di air
tawar (MacKinnon et al., 2010). Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari
penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik antara lain:
1. Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit
2. Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar
melengkung dan menjulang pada mangrove Rhizophora spp., serta akar
yang mencuat vertikal seperti pensil pada Sonneratia
3. Memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di
pohonnya, khususnya pada Rhizophora
4. Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (MacKinnon et al.,
2010).
Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi
ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove
berfungsi dan bermanfaat sebagai penahan abrasi pantai; penahan intrusi
(peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon
dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai.
Secara biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai tempat
hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti
ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen
pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjut-
nya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai
15
makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti
monyet, buaya muara, biawak dan burung (Rahmawati, 2006).
B. Burung Air
Burung air adalah jenis burung yang seluruh hidupnya berkaitan dengan
daerah perairan. Menurut Rusila-Noor et al. (1999), burung air dapat diartikan
sebagai jenis burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah.
Lahan basah yang dimaksud mencakup daerah lahan basah alami dan lahan
basah buatan, meliputi hutan mangrove, rawa, dataran berlumpur, danau,
tambak, sawah dan lain-lain.
Burung air dijumpai hidup secara berkelompok, umumnya dalam ke
lompok yang sangat besar dengan jumlah individu banyak. Hal ini merupakan
salah satu upaya perlindungan diri pada saat mencari makan. Pembentukan
kelompok pada saat makan bertujuan untuk mengusik mangsa yang
bersembunyi di lumpur (Sibuea et al., 1995). Sebagian besar burung air
adalah penghuni tetap daerah tropis dan subtropis. Biasanya mereka
menjadikan daerah perairan atau lahan basah dan sekitarnya sebagai habitat,
seluruh aktivitas hidup bergantung pada keberadaan daerah tersebut (Davies
et al., 1996).
16
BAB IV
METODOLOGI PELAKSANAAN
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktik Kerja Lapangan ini dilaksanakan di area pertambakan Tapak
Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang selama 30 hari sejak tanggal 1
Agustus 2012 – 1 September 2012.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah semua jenis burung air yang
terdapat di area Pertambakan Tapak, Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu,
Kota Semarang. Sampel pada penelitian ini adalah semua jenis burung air
yang terlihat atau terdengar saat pengamatan di setiap titik pengamatan yang
telah ditentukan.
C. Alat dan Bahan yang Digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain binokuler
Nikon 12x50 dan binokuler Bushnell 12x50 untuk mengamati burung.
Dalam penentuan titik pengamatan menggunakan cara langsung dengan
berjalan kaki setiap 150 m. Kamera untuk melakukan dokumentasi saat
penelitian berlangsung. Peta lokasi penelitian untuk pemandu area
penelitian, jam tangan untuk mengetahui waktu penelitian, alat tulis dan
buku catatan lapangan. Buku identifikasi jenis burung Seri Panduan
Lapangan (field guide) Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan
Kalimantan (MacKinnon et al., 2010) dan hasil pencarian informasi melalui
17
internet di http://www.google.com/jenis_burung_air_di_tapak_tugurejo_
semarang.
D. Prosedur Pelaksanaan
Prosedur kerja pada penelitian ini terdiri dari tahap:
1. Persiapan, meliputi:
a. Pengumpulan informasi dan pustaka mengenai jenis burung air dan
habitatnya
b. Survei kawasan penelitian
c. Pengumpulan alat-alat penelitian
2. Pelaksanaan
Penelitian dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. Pengambilan data burung dilakukan dengan metode pengamatan
langsung. Metode ini dilakukan dengan cara pengamat berhenti di
suatu titik dan mengamati jenis burung air yang terdeteksi selama
selang waktu tertentu baik burung air yang terlihat maupun burung
air yang terdengar suaranya (Bibby et al., 2000). Pengamatan
dilakukan pukul 07.00-10.00 sesuai dengan waktu burung
beraktivitas.
b. Pengamatan dengan menggunakan metode hitung titik (Point Count)
sebanyak 10 titik pengamatan. Titik awal pengamatan ditentukan
secara acak, jarak dengan titik selanjutnya sepanjang jalur
pengamatan 150 m (Rahayuningsih et al., 2006). Hal ini
dimaksudkan agar pengamatan ganda dapat diminimalisasi.
18
c. Di setiap titik, pengamatan dilakukan selama 15 menit (Fachrul,
2007). Tujuannya juga agar tidak terjadi pengamatan ganda. Burung-
burung yang melintas diamati tetapi yang berada di luar jangkauan
pengamatan hanya diabaikan.
150 m 150 m
(Rahayuningsih et al., 2010)
3. Data-data yang perlu dicatat dalam penelitian ini antara lain :
a. Jenis individu dan aktivitas burung yang teramati baik secara langsung
maupun tidak langsung (suara)
b. Tipe kontak seperti secara visual, suara, atau saat terbang
c. Waktu kontak dengan setiap jenis burung
d. Jenis tumbuhan yang ditempati jika burung dalam keadaan hinggap
e. Hewan-hewan lain yang dapat berkaitan dengan rantai makanan
E. Metode Analisis Data
Data berapa jumlah individu dari setiap jenis burung maupun total seluruh
jenisnya digunakan beberapa analisis antara lain:
a. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)
Untuk menentukan nilai indeks keanekaragaman burung diguna-
kan Indeks Kanekaragaman Shannon-Wiener (Bibby et al., 2000) deng-
an rumus:
H’ = - ∑ Pi ln Pi
Pi = ∑ burung spesies ke-i / ∑ total burung
15 menit 15 menit 15 menit
30 m 30 m 30 m
19
Menurut Magurran (2004) menyatakan jika suatu komunitas
hanya memiliki satu spesies, maka H’ = 0. Semakin tinggi H’
mengindikasikan semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi
kelimpahan relatifnya. Nilai indeks Shannon-Wiener berkisar antara
1,5-3,5, dan jarang sekali 4,5.
b. Indeks Kemerataan (E)
Untuk mengetahui kemerataan penyebaran individu suatu spe-
sies dalam komunitas digunakan indeks kemerataan. Indeks Kemerata-
an dihitung dengan menggunakan rumus (Bibby et al., 2000):
E = H’ / ln S
Keterangan: E = Indeks kemerataan (nilai antara 0-1)
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis
Kriteria kisaran E adalah sebagai berikut:
E < 0,4 = Kemerataan populasi kecil
0,4 < E < 0,6 = Kemerataan populasi sedang
E > 0,6 = Kemerataan populasi tinggi
Makin kecil nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’)
maka indeks kemerataan juga makin kecil, mengisyaratkan ada domi-
nansi suatu jenis terhadap jenis yang lain.
c. Dominansi (Di)
Menentukan jenis burung yang dominan di kawasan penelitian
ditentukan dengan menggunakan rumus (Helvoort, 1973 dalam Rahayu
ningsih et al., 2006):
Di = ni / N x 100 %
Keterangan : Di = Indeks dominansi suatu jenis burung
ni = Jumlah individu suatu jenis
N = Jumlah individu dari seluruh jenis
21
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Kekayaan jenis di kawasan Tapak Tugurejo selama bulan Agustus
2012 dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini berdasarkan pada hasil peng-
amatan yang menunjukkan sebanyak 34 jenis burung dijumpai di kawasan
tersebut. Dari 34 jenis burung yang ditemukan, 10 jenis burung dilindungi
oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dan PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa (Tabel 1). Kawasan Tapak Tugurejo juga ditemukan satu jenis
burung yang masuk kategori Near Threatened (NT) oleh IUCN
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resource)
tahun 2004 (Tabel 1). Disamping itu, jenis burung yang dilindungi di Tapak
Tugurejo juga terdapat empat jenis burung yang bersifat endemik, 10 jenis
burung bersifat migran, dan 20 jenis burung bukan migran (recident) /
residen (Tabel 1).
Keanekaragaman jenis merupakan salah satu aspek penting dalam
suatu komunitas hayati. Keanekaragaman jenis pada suatu komunitas pada
umumya dipelajari untuk mengetahui hubungan keanekaragaman jenis
dengan aspek-aspek lain dari komunitas seperti struktur habitat,
produktivitas dan kondisi lingkungan. Keanekaragaman jenis dan struktur
komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah lain.
Keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat
22
memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi perkembangan
dan fisik (Primarck, 1998). Jenis burung yang banyak dijumpai pada suatu
komunitas adalah burung yang mempunyai densitas, dominansi dan
frekuensi yang besar. Berbagai nilai tersebut akan mempengaruhi nilai
penting suatu jenis burung dalam komunitas tersebut. Namun pada kegiatan
Praktik Kerja Lapangan ini dilakukan perhitungan dominansi yang lebih
mudah dimengerti masyarakat luas.
Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Burung Di Tapak Kecamatan Tugurejo
Semarang Agustus 2012 Beserta Status Perlindungannya
Ordo Famili Nama Ilmiah Nama Daerah Jumlah Distribusi Status Perlindungan
Ket IUCN
Wil. Jelajah UU
1. Anseriformes 1. Anatidae 1. Anas gibberifrons Itik Benjut 12 S K J C T < R
2. Dendrocygna javanica Belibis Batu 3 S K J T < R
2. Apodiformes 2. Apodidae 3. Collocalia linchi Walet Linchi 7 S J T B R
4. Collocalia esculenta Walet Sapi 22 S K C M T P < > R
3. Charadiiformes 3. Charadriidae 5. Charadrius javanicus Cerek Jawa 4 J NT E E
4. Laridae 6. Larus ridibundus Camar Kepala Hitam 12 S J C M P N< > B M
5. Scolopacidae 7. Actitis hypoleucos Trinil Pantai 2 S K J C M T P N< > M
4. Ciconiiformes 6. Ardeidae 8. Ardea cinerea Cangak Abu 1 S K J T N< M
9. Ardea purpurea Cangak Merah 3 S K J C M T N< M
10. Ardeola speciosa Blekok Sawah 10 S K J C T < B R
11. Bubulcus ibis Kuntul Kerbau 3 S K J C M T P N< > A B M
12. Butorides striatus Kokokan Laut 11 S K J C M T P < > R
13. Egretta alba Kuntul Besar 35 S K J N< > A B R
14. Egretta garzetta Kuntul Kecil 31 S K J C M T P < > A B R
15. Egretta intermedia Kuntul Perak 29 S K J C M T P N< > A B M
16. Ixobrychus sinensis Bambangan Kuning 1 S K J C M T P N< > M
17. Nycticorax nycticorax Kowak Malam Abu 3 S K J C T N< > M
5. Columbiformes 7. Columbidae 18. Streptopelia bitorquata Dederuk Jawa 2 F J T < R
19. Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 7 S K J F F T < F R
6. Coraciiformes 8. Alcedinidae 20. Alcedo coerulescens Raja Udang Biru 2 S J T E A B E
21. Todiramphus chloris Cekakak Sungai 14 S K J C M T P < > A B R
22. Todiramphus sonctus Cekakak Australia 17 S K J C M T P N> A B M
9. Meropidae 23. Merops philippinus Kirik Laut 2 S K J C T P N< > M
7. Cuculiformes 10. Cuculidae 24. Centropus bengalensis Bubut Alang-alang 2 S K J C M T < R
8. Gruiformes 11. Rallidae 25. Amaurornis phoenicurus Kareo Padi 4 S K J C M T < R
9. Passeriformes 12. Acanthizidae 26. Gerygone sulphurea Remetuk Laut 3 S K J C T < R
23
Keterangan:
1. Distribusi: S = Sumatra; K = Kalimantan; J = Jawa, Bali, dan Madura; C
= Sulawesi; M = Maluku; T = Nusa Tenggara (kecuali Timor Leste); P =
Papua; F = Spesies feral yang eksklusif dalam suatu region
2. Status Perlindungan:
a. IUCN: CR (Critically Endangered), EN (Endangered), VU
(Vulnerable), LC ( Least Concern), NT (Near Threatened), NE
(Not Evaluated), DD (Data Deficient)
b. Undang-Undang RI: A = UU No. 5 Tahun 1990, B = PP No. 7
Tahun 1999
c. Simbol yang lain: E = Endemik, R = Residen, M = Migran d. Wilayah Jelajah: < = Spesies tercatat di Filipina atau Asia
Tenggara; > = Spesies tercatat di Kepulauan Bismarck, Solomon,
dan Australia; B = Spesies tercatat di Pulau Kalimantan termasuk
Kalimantan di luar wilayah Indonesia namun penyebarannya tidak
untuk Filipina atau Asia Tenggara (selain <); G = Spesies tercatat
di Papua dan Papua Nugini namun penyebarannya tidak termasuk
Kepulauan Bismarck, Solomon, dan Australia (selain >); N< =
Spesies migran dari bagian Utara ke Indonesia; N> = Spesies
migran dari bagian Selatan ke Indonesia; F = Spesies yang
diperkirakan feral secara eksklusif (Sukmantoro et al., 2012).
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan 34 jenis burung terdiri
dari 19 famili dan 9 ordo. Ordo burung yang teramati antara lain Anseri-
formes, Apodiformes, Charadiiformes, Ciconiiformes, Columbiformes,
Coraciiformes, Cuculiformes, Gruiformes, dan Passeriformes. Jenis burung
yang paling banyak dijumpai tergolong famili Ardeidae sebanyak 10 jenis
dan merupakan jenis burung yang umum kita jumpai di area pertambakan
atau daerah pantai. Famili Estrilidae sebanyak dua jenis, dan Alcedinidae
sebanyak tiga jenis, famili Columbidae dan Anatidae masing-masing dua
13. Artamidae 27. Artamus leucorynchus Kekep Babi 24 S K J C M T P < > R
14. Cisticolidae 28. Prinia inornata Perenjak Padi 9 J < R
15. Estrilidae 29. Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 14 S J T E E
30. Lonchura punctulata Bondol Peking 14 S K J C T F < F R
16. Hirundinidae 31. Hirundo tahitica Layang-layang Batu 5 S K J C M T P < > R
17. Laniidae 32. Lanius schach Bentet Kelabu 3 S K J T < G R
18. Rhipiduridae 33. Rhipidura javanica Kipasan Belang 11 S K J T < A B R
19. Zosteropidae 34. Zosterops chloris Kacamata Laut 18 S K J C M T P E E
Jumlah 340
24
jenis, sementara untuk famili Cisticolidae, Cuculidae, Charadriidae, Ralli-
dae, Scolopacidae, Lariidae, Rhipiduridae, Acanthizidae, Laniidae, Meropi-
dae, Artamidae, Zosteropidae, dan Hirudinidae masing-masing satu jenis
(Tabel 1.). Jenis burung yang dilindungi pada tingkat famili diantaranya
adalah Alcedinidae (Todiramphus chloris, Todiramphus sanctus, Alcedo
coerulescens), jenis burung yang dilindungi pada tingkat genus adalah
Egretta (Egretta garzetta, Egretta alba, Egretta intermedia), sedangkan
jenis burung yang dilindungi pada tingkat spesies adalah Charadrius
javanicus (Cerek Jawa) masuk kedalam jenis burung yang termasuk dalam
kategori IUCN kategori terancam punah (Near Threatened) (Tabel 1).
Berdasarkan hasil analisis data indeks keanekaragaman jenis dan
kemerataan jenis menunjukan besarnya indeks keanekaragaman jenis (H’)
burung di area pertambakan Tapak Tugurejo adalah 3,15 sementara untuk
besarnya indeks kemerataan jenis total (E) adalah 0,54 yang berarti tingkat
kemerataan populasi sedang, tetapi tingkat kemerataan pada masing-masing
jenis tergolong rendah atau kecil (Tabel 2).
Tabel 2. Kekayaan Jenis, Keanekaragaman Jenis, Kemerataan, Dan
Dominansi Jenis Burung Di Tapak Tugurejo Agustus 2012
Parameter Nilai/Jumlah
Individu 340
Spesies 34
Famili 19
Ordo 9
H' 3,15
E 0,54
Di 2,90%
Suatu jenis mendominasi suatu kawasan selain karena jumlah individu
yang banyak dan memiliki persebaran yang luas bisa karena kemampuan
25
daya jelajahnya yang luas. Berdasarkan jenisnya, ordo yang mendominasi
kawasan Tapak berdasarkan ordo adalah Ciconiiformes, Passeriformes, dan
Coraciiformes. Ordo yang memiki jumlah jenis terendah adalah ordo
Gruiformes dan Cuculiformes (Gambar 1).
Ciconiiformes29,41%
Passeriformes26,47%
Coraciiformes11,76%
Charadiiformes8,82%
Apodiformes5,88%
Anseriformes5,88%
Columbiformes5,88%
Gruiformes2,94%
Cuculiformes2,94%
Gambar 1. Komposisi jenis dalam ordo
Famili Ardeidae mendominasi kawasan Tapak Tugurejo. Famili yang
sangat jarang ditemui di kawasan Tapak Tugurejo adalah Cuculidae dan
Meropidae. Famili Ardeidae dapat mendominasi kawasan Tapak karena
memiliki ukuran tubuh yang relatif besar sehingga kemampuan adaptasi
juga relatif tinggi, kemampuan berkembang biak, dan ditunjang dengan
banyaknya sumber makanan yang tersedia. Faktor lain yang menunjang
burung-burung famili Ardeidae mendominansi adalah adanya larangan
menangkap dan berburu burung-burung tersebut (Gambar 2).
26
Gambar 2. Komposisi jenis dalam famili
Berdasarkan jumlah individu, burung dari ordo Ciconiiformes sangat
mendominasi kawasan Tapak Tugurejo. Selanjutnya diikuti oleh ordo
Passeriformes dan Coraciiformes. Jumlah individu burung terendah adalah
burung dari ordo Cuculifomes kemudian diikuti oleh ordo Gruiformes
(Gambar 3).
Gambar 3. Komposisi individu dalam ordo
Berdasarkan jumlah individu, burung dari famili Ardeidae paling
mendominasi di Tapak Tugurejo. Selanjutnya diikuti oleh famili Alcedini-
dae dan Apodidae. Famili Scolopacidae, Cuculidae dan Meropidae adalah
famili paling jarang ditemukan di Tapak Tugurejo (Gambar 4).
27
Gambar 4. Komposisi individu dalam famili
B. Pembahasan
Kekayaan jenis di Kawasan Tapak Tugurejo selama Agustus 2012
terdiri dari 9 ordo, 19 famili, 34 jenis burung, dan ditemukan sebanyak 340
individu. Berdasarkan hasil tersebut terdapat 10 jenis burung dilindungi oleh
UU No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999, satu jenis burung
dilindungi oleh IUCN tahun 2004, 10 jenis burung bersifat migran, 20 jenis
burung bersifat residen, 4 jenis burung bersifat endemik, dan satu jenis
burung bersifat feral eksklusif (Tabel 1). Indeks keanekaragaman jenis (H’)
di Kawasan Tapak Tugurejo sebesar 3,15; Kemerataan jenis (E) di kawasan
sebesar 0,54; dan indeks dominansi (Di) sebesar 2,9% (Tabel 2).
Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis tergolong tinggi bila
kemerataan jenis mencapai nilai 0,8 sehingga indeks keanekaragaman
jenis burung di area Tapak Tugurejo masih tergolong memiliki
keanekaragaman jenis sedang. Semakin tinggi nilai H mengindikasikan
semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi kelimpahan relatifnya.
Menurut Magurran (2004) nilai indeks keanekaragaman (H’) burung
28
berkisar antara 1,5-3,5. Nilai >3,5 menunjukkan indeks keanekaragaman
yang tinggi. Tingginya indeks keanekaragaman jenis pada suatu kawasan
menunjukan kawasan itu mampu menyediakan sumber daya makanan
yang cukup maupun tempat tinggal yang dibutuhkan oleh burung. Hal
inilah yang menyebabkan keanekaragaman burung menjadi tinggi di suatu
kawasan. Pada kawasan Tapak Tugurejo dapat dikategorikan memiliki
indeks keanekaragaman bernilai mendekati tinggi. Hal tersebut
dikarenakan bernilai mendekati 3,5 yaitu sebesar 3,15. Nilai tersebut tidak
jauh berbeda dengan indeks keanekaragaman di kawasan yang sama pada
tahun 2012 sebesar 3,09 (Diarto et al., 2012). Nilai tersebut berbeda cukup
jauh jika dibandingkan dengan nilai indeks keanekaragaman (H’) di
Segoro Anak, Banyuwangi sebesar 2,78 (Latupapua, 2011). Hal tersebut
dikarenakan beberapa faktor antara lain kondisi habitat, migrasi, predasi,
kompetisi, dominansi spesies, kekayaan jenis dan ketersediaan makanan
yang berbeda (Ernijumilawaty et al., 2011). Bagi satwa liar secara umum
habitat berfungsi sebagai tempat hidup untuk mencari makan, minum,
istirahat, dan berkembang biak sehingga habitat yang beragam tentu
mamiliki beragam penyedia kebutuhan bagi satwa liar, sehingga makin
banyak satwa liar yang hadir disebabkan banyaknya kebutuhan yang
tersedia di habitat tersebut.
Indeks kemerataan jenis (E) burung di area Tapak Kelurahan
Tugurejo sebesar 0,54 (Tabel 2). Nilai tersebut tidak jauh berbeda di
kawasan yang sama pada tahun 2012 sebesar 0,85 (Diarto et al., 2012).
Nilai tersebut berbeda cukup jauh jika dibandingkan dengan nilai indeks
29
kemerataan (E) di Segoro Anak, Banyuwangi sebesar 0,42 (Latupapua,
2011). Perbedaan nilai indeks kemerataan tersebut juga tidak lepas kondisi
habitat beserta komponen yang terkait didalamnya berbeda (Diarto et al.,
2012). Berdasarkan nilai indeks kemerataan di Tapak Tugurejo,
menunjukkan bahwa penyebaran jenis burung di Tapak Tugurejo hampir
merata dengan kata lain suatu jenis burung hampir dapat ditemukan di
seluruh wilayah pertambakan. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat
spesies yang hanya ditemui di beberapa tempat saja yaitu jenis burung
pantai yang hanya ditemukan di daerah pantai berlumpur dan berpasir
seperti Charadrius javanicus (Cerek Jawa). Hal tersebut berkaitan dengan
tempatnya mencari makan yang kebanyakan berupa molusca atau ikan
kecil.
Kelimpahan setiap spesies burung dalam suatu komunitas tidak sama
besar. Jenis yang umum dijumpai mungkin memiliki kelimpahan yang
sangat besar karena jenis ini memiliki jumlah individu, biomasa serta nilai
penting yang besar sehingga mendominasi suatu komunitas. Jenis burung
yang memiliki kelimpahan yang tinggi juga memiliki nilai dominansi yang
tinggi. Pada kawasan Tapak Tugurejo nilai indeks dominansi sebesar
2,90%. Berdasarkan kategori Hervolt (1973) dalam Rahayuningsih et al.
(2006) bahwa suatu jenis dikatakan kategori dominan jika kelimpahan
relatifnya lebih besar dari 5%, suatu jenis dikatakan sub dominan apabila
kelimpahan relatifnya 2-5% dan dikatakan tidak dominan apabila
kelimpahan relatifnya 0-2%. Nilai dominansi (Di) pada kawasan Tapak
Tugurejo dapat dikategorikan kedalam kriteria sub dominan. Hal tersebut
30
dikarenakan di kawasan Tapak Tugurejo terdapat beberapa jenis burung
yang termasuk kategori dominan antara lain Egretta alba (10,3%), Egretta
garzetta (9,1%), Egretta intermedia (8,5%), Artamus leucorynchus (7,1%),
dan Collocalia esculenta (6,5%) (Lampiran 2).
Jumlah jenis dalam ordo merupakan banyaknya jumlah keragaman
jenis burung dalam suatu ordo sedangkan jumlah individu dalam ordo
merupakan banyaknya jumlah individu dalam suatu ordo. Hasil pengamatan
menunjukkan perbedaan terhadap jumlah jenis dan jumlah individu dalam
suatu ordo. Pada jumlah jenis dalam ordo, burung ordo Charadiiformes
lebih banyak dari ordo Apodiiformes (Gambar 1). Hasil berbeda untuk
jumlah individu dalam ordo, burung ordo Apodiformes lebih banyak dari
ordo Charadiiformes (Gambar 3).
Burung yang termasuk ordo Apodiformes adalah burung yang
memiliki ciri-ciri jenis makanannya serangga; tebang cepat; mirip burung
laying-layang; sayap panjang dan runcing; ekor pendek persegi atau panjang
menajam; jarang bertengger di pohon; beristirahat dengan cara bergelan-
tungan pada dinding karang, mulut gua, lubang pohon, atau langit-langit
rumah. Sedangkan burung yang termasuk ordo Charadiiformes adalah
burung perancah dengan ciri-ciri paruh lurus dengan penebalan keras pada
ujungnya; tungkai panjang dan kuat, kebanyakan tidak mempunyai jari
belakang; sayap agak panjang; ekor pendek; berjenis banyak dan tersebar
luas; serta burung pinggir atau daerah terbuka (MacKinnon et al., 2010).
Berdasarkan kedua ciri-ciri burung-burung pada ordo Apodiformes
dan Charadiiformes tersebut sangat cocok apabila tinggal menetap di
31
kawasan Tapak Tugurejo. Kawasan Tapak Tugurejo yang memiliki banyak
tumbuhan mangrove, dekat dengan lahan pertanian, dan padang ilalang
memicu kehadiran berbagai macam serangga. Berbagai macam serangga
inilah yang menjadi sumber makanan utama bagi burung ordo Apodiformes.
Faktor lain yang mendukung adalah kawasan Tapak Tugurejo letaknya
berdekatan dengan pemukiman warga yang kemungkinan besar burung ordo
Apodiformes bersarang pada kolong atap-atap rumah warga terutama rumah
warga yang tidak berpenghuni. Bagi burung ordo Charadiiformes kondisi
kawasan Tapak Tugurejo juga berperan tinggi untuk menunjang kehidupan-
nya. Area pertambakan yang luas dengan tanah lumpur yang cukup tebal,
dan jumlah ikan yang relatif melimpah baik jumlah dan jenisnya, serta
krustasea kecil menjadikan burung ordo Charadiiformes nyaman tinggal di
kawasan Tapak Tugurejo. Ditinjau dari jumlah jenis dalam ordo, burung
ordo Charadiiformes lebih banyak dibandingkan ordo Apodiformes. Hal
tersebut disebabkan burung ordo Charadiiformes termasuk burung
pengunjung musim dingin (migran) sedangkan burung ordo Apodiformes
bersifat residen (MacKinnon et al., 2010). Padahal dari sisi jenisnya, kedua
ordo tersebut memiliki jumlah jenis yang sama di seluruh Sunda Besar yaitu
16 jenis. Pengamatan yang dilakukan bulan Agustus dimana bulan tersebut
akan memasuki musim penghujan (suhu akan lebih rendah) menjadikan
jumlah jenis burung ordo Charadiiformes akan lebih banyak dating menuju
kawasan Tapak Tugurejo dari jumlah jenis burung ordo Apodiformes.
Apabila ditinjau dari jumlah individu dalam ordo, burung ordo Apodiformes
lebih tinggi daripada ordo Charadiiformes. Hal tersebut dikarenakan burung
32
ordo Apodiformes lebih eksis dalam perkembangbiakannya baik secara
jumlah telur dan daya adaptasinya sedangkan burung ordo Charadiiformes
kurang eksis dalam perkembangbiakannya baik secara jumlah telur maupun
daya adaptasinya (MacKinnon et al., 2010). Alasan tersebut cukup relevan
karena jenis burung ordo Charadiiformes cukup banyak yang tergolong
endemik dan banyak pula yang mengalami kepunahan. Sifat endemik dan
banyak mengalami kepunahan inilah biasanya ditandai dengan faktor
perkembangbiakan dan daya adaptasi.
Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah jenis dalam famili memiliki
hasil yang berbeda dengan jumlah individu dalam famili. Ditinjau dari
jumlah jenis dalam famili memiliki urutan dari jumlah besar ke kecil yaitu
Anatidae, Columbidae, Artamidae, Zosteropidae, Laridae, dan Rhipiduridae
(Gambar 2). Jika ditinjau dari jumlah individu dalam famili memiliki urutan
dari jumlah besar ke kecil yaitu Artamidae, Zosteropidae, Anatidae, Laridae,
Rhipiduridae, dan Columbidae (Gambar 4).
Hasil urutan tersebut sesuai dengan ciri-ciri masing-masing famili
ditunjang dengan kondisi habitat di Tapak Tugurejo. Famili Anatidae
memiliki ciri-ciri antara lain tersebar luas, jumlah jenisnya banyak, jumlah
telur yang dihasilkan banyak; di Sunda Besar terdapat 14 jenis, 7
diantaranya pengunjung musim dingin; tipe burung perenang dengan kaki
berselaput, paruh lebar dan pipih, tungkai pendek; dan jenis makanan ikan,
cacing, dan hewan-hewan kecil di lumpur. Famili Columbidae memiliki
ciri-ciri antara lain tersebar luas di dunia, di Sunda Besar terdapat 30 jenis;
makanan utama buah-buahan dan biji-bijian; dan telur yang dihasilkan
33
banyak serta perkembangbiakannya mudah. Famili Artamidae memiliki ciri-
ciri antara lain tersebar hanya di Australasia, di Sunda Besar hanya terdapat
satu jenis; pemakan serangga, suka di daerah terbuka; hidupnya berke-
lompok dan berkerumun banyak; telur yang dihasilkan banyak; dan mudah
berkembang biak. Famili Zosteropidae memiliki ciri-ciri antara lain tersebar
di Afrika, Asia, dan Australia; di Sunda Besar terdapat 10 jenis;
makanannya buah-buahan kecil, serangga, dan tidak jarang juga menghisap
nectar bunga-bungaan; ada yang bersifat endemik seperti Zosterops chloris;
dan hidupnya dalam kelompok kecil atau campuran. Famili Laridae
memiliki ciri-ciri antara lain burung laut yang tersebar luas di dunia, di
Sunda Besar hanya tiga jenis sebagai pengunjung, dan bersifat migran;
pemakan ikan dan bangkai; dan perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya
lambat (untuk memiliki bulu-bulu dewasa secara penuh perlu waktu
bertahun-tahun). Terakhir adalah famili Rhipiduridae memiliki ciri-ciri
antara lain di Sunda Besar terdapat 43 jenis tetapi hanya sedikit yang
bersifat pengunjung di musim dingin; pemakan serangga; keanekaragaman
jenisnya banyak; dan ada yang berhabitat di kawasan mangrove seperti
Rhipidura javanica (MacKinnon et al., 2010).
Kawasan Tapak Tugurejo didominasi oleh burung air ordo Ciconii-
formes dan burung terestrial ordo Passeriformes. Burung ordo Ciconii-
formes diwakili oleh famili Ardeidae dan burung ordo Passeriformes
diwakili oleh famili Acanthizidae, Artamidae, Cisticolidae, Estrilidae,
Hirundinidae, Laniidae, Rhipiduridae, dan Zosteropidae. Kedua ordo
tersebut sangat cocok berhabitat di kawasan Tapak Tugurejo yang
34
menyediakan berbagai makanan dan faktor penunjang lain untuk menjalan-
kan kehidupan.
Burung air ordo Ciconiiformes dapat mendominasi kawasan Tapak
Tugurejo dikarenakan jumlah makanan yang melimpah dan jenisnya yang
beranekaragam juga. Berbagai jenis ikan seperti bandeng, cucut, patin, dan
Ikan Jalan banyak ditemukan di area pertambakan. Hewan krustasea seperti
udang dan kepiting bakau juga banyak ditemukan di kawasan Tapak
Tugurejo. Berbagai macam jenis makanan tersebut menjadi salah satu
sumber makanan burung ordo Ciconiiformes.
Pada posisi kedua, jenis burung yang mendominasi kawasan Tapak
Tugurejo adalah burung terestrial ordo Passeriformes. Ordo ini dikenal
sebagai ordo burung terbesar diantara ordo-ordo burung yang lain
(MacKinnon et al., 2010). Burung yang termasuk ordo ini memiliki tipe
kaki petengger dan biasanya pemakan serangga, biji-bijian, dan buah-
buahan. Burung ordo Passeriformes juga cocok berhabitat di kawasan Tapak
Tugurejo karena kawasan tersebut terdapat banyak tumbuhan mangrove,
berdekatan dengan lahan pertanian, dan padang ilalang yang menyediakan
berbagai sumber makanan seperti serangga, biji-bijian, dan buah-buahan.
Disamping itu, tumbuhan mangrove yang cukup lebat dan banyak
menjadikan banyak burung ordo Passeriformes beraktivitas seperti
membangun sarang dan bertengger.
Kawasan Tapak Tugurejo didominasi oleh tanaman bakau yang
terdiri dari 2 spesies yaitu Avicennia marina dan Rhizophora mucronata.
Tumbuhan Avicennia marina sering digunakan oleh burung-burung kecil
35
seperti Kacamata Laut (Zosterops chloris), Kirik Laut (Merops philippinus),
Remetuk Laut (Gerygone sulphurea), Bondol Jawa (Lonchura
leucogastroides), dan Bondol Peking (Lonchura punctulata) untuk
bertengger dan menari makan, tetapi juga digunakan sebagai sarang burung
jenis Egretta ketika hari mulai gelap. Tumbuhan bakau Rhizopohora
mucronata digunakan untuk bertengger atau hinggap burung-burung besar
seperti Kuntul Kecil (Egretta garzetta), Kuntul Besar (Egretta alba), Kuntul
Perak (Egretta intermedia) , Kowak Malam Abu (Nycticorax nycticorax),
dan Kokokan laut (Butorides striatus), tetapi juga digunakan oleh Kipasan
Belang (Rhipidura javanica) untuk bertengger dan mencari makan.
Rhizophora mucronata berfungsi menahan laju sedimentasi areal tambak
dan Avicennia marina sebagai penyedia makanan dan sarang yang aman
bagi kehidupan burung di kawasan Tapak, Tugurejo.
36
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL)
tersebut antara lain:
1. Jenis-jenis burung yang dijumpai di area pertambakan Tapak Tugurejo
Kota Semarang selama bulan Agustus 2012 sebanyak 34 jenis burung
terbagi dalam 19 famili dan 9 ordo.
2. Berdasarkan status perlindungannya tercatat 10 jenis merupakan jenis
burung yang dilindungi tata perundangan Republik Indonesia dan satu
jenis masuk kategori Near Threatened (NT) oleh IUCN tahun 2004.
3. Indeks keanekaragaman jenis burung di area pertambakan Tapak
Kelurahan Tugurejo adalah 3,15 dan indeks kemerataan jenis sebesar
0,54.
4. Terdapat 10 jenis burung migran yang ditemukan di Kawasan Tapak
Tugurejo selama bulan Agustus 2012.
37
B. Saran
1. Bagi mahasiswa PKL :
a. Dalam pelaksanaan PKL diharapkan mahasiswa lebih cepat dalam
penyelesaian laporan.
b. Kedisiplinan dan tanggung jawab lebih ditingkatkan.
2. Bagi Jurusan / Program Studi :
a. Pengadaan pelatihan pra PKL
b. Pertimbangan penambahan alokasi waktu tersendiri untuk pelaksa-
naan PKL.
c. Pengadaan jejaring dengan perusahaan / laboratorium sesuai
dengan kontrak dan perjanjian kerjasama serta hubungan
kemitraan.
3. Bagi Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) :
a. Pendampingan mahasiswa PKL diharapkan lebih intensif.
b. Perlu adanya standar kerja bagi mahasiswa PKL supaya kinerja
mahasiswa PKL dapat terukur.
4. Bagi Kegiatan Penelitian ini :
a. Perlu adanya penelitian lanjutan terutama pada musim yang
berbeda, baik itu musim hujan, kemarau ataupun pada saat
migrasi burung pantai.
b. Perlu penjagaan kawasan yang lebih intensif. Dengan kondisi
pohon mangrove yang baik selain sebagai habitat burung juga
dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata berwawasan alam.
38
c. Pemanfaatan kawasan sebagai tempat belajar bisa melalui
birdwatching, pengenalan jenis tumbuhan mangrove langsung
kepada siswa sebagai salah satu upaya untuk mengajak siswa ikut
berperan aktif.
d. Perlu adanya papan informasi berkaitan dengan jenis-jenis atau
spesies burung yang mendominasi di kawasan Tapak, rantai
makanan yang mungkin terjadi, dan status pelindungan jenis
burung tertentu di kawasan tersebut.
39
DAFTAR PUSTAKA
Alikondra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan IPB.
Bibby C., Jones M., dan Marsden S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan
Survey Burung. Bogor: Birdlife International Indonesian Programme.
Davies, J., G. Claridge, dan C.H.E. Niranita. 1996. Manfaat Lahan Basah Dalam
Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Bogor: Direktorat Jendral
PHPA dan Asian Wetland Bureau.
Departemen Kehutanan. 2007. Draft Profil taman Nasional Sembilang. Balai
Taman Nasional Sembilang. Palembang.
Diarto, Boedi Hendrarto, dan Sri Suryoko. 2012. Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan Kawasan Hutan Mangrove Tugurejo Kota
Semarang. Jurnal Ilmu Lingkungan 10 (1): 1-7.
Ernijumilawaty, Animardiastuti, Lilik Budi Prasetyo, dan Yeni Aryati Mulyani.
2011. Keanekaragaman Burung Air di Bagan Percut Deli Serdang Sumatra
Utara. Jurnal Media Konservasi 16 (3): 108-113.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
H. Ghufran, M. dan K. Kordi. 2011. Marikultur Prinsip dan Praktik Budidaya
Laut. Yogyakarta: Lily Publisher.
Latupapua, Marcus Jacob Julius. 2011. Struktur dan Komposisi Beberapa Jenis
Burung di Mangrove Kawasan Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo.
Jurnal Agroforestri 6 (1): 1-11.
MacKinnon, J., K. Philips, dan B. van Ballen. 2010. Burung-burung di Sumatra,
Darussalam). Edisi IV. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.
Magurran, Anne E. 2004. Measuring Biological Diversity. Victoria: Blackwell
Publishing Company.
Noor, Yus Rusila, M. Khazali dan I.N.N Suryadiputra. 2006. Panduan Mangrove
di Indonesia. Hal 74-75 dan 120-121. Bogor: Wetlands International
Indonesia Programme.
Odum, P.E. 1993. Dasar-dasar Ekologi (Terjemahan). Hal 291-296. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Primarck, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
40
Rahayuningsih, Margareta, Bambang Priyono, dan A.S Nugroho. 2006.
Keanekaragaman Jenis Burung di Pulau Galeang Taman Nasional
Karimunjawa. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Semarang: Jurusan
Biologi FMIPA Unnes.
Rahayuningsih, Margareta, Nugroho Edi Kartijono, dan Muhammad Abdullah.
2010. Keanekaragaman Jenis Vegetasi dan Profil Habitat Burung Di Hutan
Mangrove Pulau Nyamuk Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal
Biosaintifika. Maret 2 (1): 27-39.
Rusila Noor, Y., M, Khazali, dan I.N.N Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA dan Wetlands International-Indonesia
Programme.
Rusmendro, Hasmar. 2009. Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi
Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Di Wilayah Pangandaran Jawa Barat.
Jurnal Penelitian Vis Vitalis. Maret 2 (1). Jakarta: Fakultas Biologi
Universitas Nasional.
Sibuea, T. Th., Y. Rusila Noor, M.J. Silvins, dan A. Susmianto. 1995. Burung
Bangau, Pelatuk Besi, dan Paruh Sendok di Indonesia. Jakarta: PHPA dan
Wetlands International-Indonesia Programme.
Sukmantoro, Wishnu, Mohammad Irham, Wilson Novarino, Ferry Hasudungan,
Neville Kamp, dan Muchamad Muchtar. 2012. Daftar Burung Indonesia II.
Bogor: Perhimpunan Ornithologist Indonesia-LIPI.
41
LAMPIRAN
1. Dokumentasi Kegiatan
Foto 1. Egretta garzetta terbang Foto 2. Rhizophora mucronata
Foto 3. Jammal Pengamatan Burung Foto 4. Enggar Pengamatan Burung
Foto 5. Avicennia marina Foto 6. Sarang Burung Egretta di
Avicennia
42
2. Tabel Perhitungan Kekayaan Jenis Burung Di Tapak Tugurejo Agustus
2012 Ordo Famili Nama Ilmiah Nama Daerah Jumlah Pi Ln Pi H' E Di
Anseriformes Anatidae Anas gibberifrons Itik Benjut 12 0,035 -3,344 0,118 0,0202 3,5%
Dendrocygna javanica Belibis Batu 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%
Apodiformes Apodidae Collocalia linchi Walet Linchi 7 0,021 -3,883 0,0799 0,0137 2,1%
Collocalia esculenta Walet Sapi 22 0,065 -2,738 0,1772 0,0304 6,5%
Charadiiformes Charadriidae Charadrius javanicus Cerek Jawa 4 0,012 -4,443 0,0523 0,009 1,2%
Laridae Larus ridibundus Camar Kepala
Hitam
12 0,035 -3,344 0,118 0,0202 3,5%
Scolopacidae Actitis hypoleucos Trinil Pantai 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%
Ciconiiformes Ardeidae Ardea cinerea Cangak Abu 1 0,003 -5,829 0,0171 0,0029 0,3%
Ardea purpurea Cangak Merah 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%
Ardeola speciosa Blekok Sawah 10 0,029 -3,526 0,1037 0,0178 2,9%
Bubulcus ibis Kuntul Kerbau 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%
Butorides striatus Kokokan Laut 11 0,032 -3,431 0,111 0,019 3,2%
Egretta alba Kuntul Besar 35 0,103 -2,274 0,234 0,0402 10,3%
Egretta garzetta Kuntul Kecil 31 0,091 -2,395 0,2184 0,0375 9,1%
Egretta intermedia Kuntul Perak 29 0,085 -2,462 0,21 0,036 8,5%
Ixobrychus sinensis Bambangan Kuning 1 0,003 -5,829 0,0171 0,0029 0,3%
Nycticorax nycticorax Kowak Malam Abu 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%
Columbiformes Columbidae Streptopelia bitorquata Dederuk Jawa 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%
Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 7 0,021 -3,883 0,0799 0,0137 2,1%
Coraciiformes Alcedinidae Alcedo coerulescens Raja Udang Biru 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%
Todiramphus chloris Cekakak Sungai 14 0,041 -3,19 0,1313 0,0225 4,1%
Todiramphus sanctus Cekakak Australia 17 0,05 -2,996 0,1498 0,0257 5,0%
Meropidae Merops philippinus Kirik Laut 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%
Cuculiformes Cuculidae Centropus bengalensis Bubut Alang-alang 2 0,006 -5,136 0,0302 0,0052 0,6%
Gruiformes Rallidae Amaurornis phoenicurus Kareo Padi 4 0,012 -4,443 0,0523 0,009 1,2%
Passeriformes Acanthizidae Gerygone sulphurea Remetuk Laut 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%
Artamidae Artamus leucorynchus Kekep Babi 24 0,071 -2,651 0,1871 0,0321 7,1%
Cisticolidae Prinia inornata Perenjak Padi 9 0,026 -3,632 0,0961 0,0165 2,6%
Estrilidae Lonchura leucogastroides Bondol Jawa 14 0,041 -3,19 0,1313 0,0225 4,1%
Lonchura punctulata Bondol Peking 14 0,041 -3,19 0,1313 0,0225 4,1%
Hirundinidae Hirundo tahitica Layang-layang Batu 5 0,015 -4,22 0,0621 0,0106 1,5%
Laniidae Lanius schach Bentet Kelabu 3 0,009 -4,73 0,0417 0,0072 0,9%
Rhipiduridae Rhipidura javanica Kipasan Belang 11 0,032 -3,431 0,111 0,019 3,2%
Zosteropidae Zosterops chloris Kacamata Laut 18 0,053 -2,939 0,1556 0,0267 5,3%
Jumlah & Rata-rata 340 0,029 3,1462 0,5398 2,9%