KASUS TERORISME DI KAWASAN ASIA TENGGARA DAN PENGARUHNYA TERHADAP ASEAN

24
Dikotomi Label Terorisme pada Gerakan Islam di ASEAN Muhammad Fauzu Tamam Siagian 2012 22 028 ASEAN dan Dinamika kawasan Asia Timur Kelas Senin 17.00 WIB

Transcript of KASUS TERORISME DI KAWASAN ASIA TENGGARA DAN PENGARUHNYA TERHADAP ASEAN

Dikotomi Label Terorisme pada GerakanIslam

di ASEAN

Muhammad Fauzu Tamam Siagian2012 22 028

ASEAN dan Dinamika kawasan Asia TimurKelas Senin 17.00 WIB

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO(BERAGAMA)

FISIP (HUBUNGAN INTERNASIONAL)BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mengapa terorisme di ASEAN disebut terorisme religious islam?Dalam beberapa literatur ditemukan hampir memiliki kesamaanpandangan yang secara implisit mendefiniskan isu terorismekontemporer khususnya di ASEAN sangat dekat dengan gerakan ataupergerakan radikalisasi keislaman, seperti yang diungkapkanMagouirk, Atran, Sageman, 20071, Chalk, Rabasa, Rosenau, danPiggot, 20092, Gunaratna, 20063, Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A.Niksch, 2009.4 analisa lebih dikaitkan paska runtuhnya WTC,september 2001 yang lalu seperti yang di ungkapkan Chalk,20025 :

1 Justin Magouirk, Scott Atran, Marc Sageman, 2007. Connecting Terrorist Network. Studies in Conflict & Terrorism, 31:1-16. Routledge Taylor & Francis Group diakses pada http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf2 Peter Chalk, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggot, 2009. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia A Net Assessment, RAND National Defense Research Institute di akses pada http://www.rand.org/pubs/monographs/2009/RAND_MG846.pdf3 Rohan Gunaratna, 2006. Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response, Center for Eurasian policy occasional research paper series II, No,1 Hudson Institute diakses pada http://counterterrorismblog.org/site-resources/images/Gunaratna-Terrorism%20in%20Southeast%20Asia-Threat%20and%20Response.pdf4 Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009. Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, Pdf di akses pada http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf

“Perhatian Internasional pada ancaman ekstremisme Islam di ASEAN telah meningkat secara nyata sejak al-Qaeda melancarkan serangan-serangan yang menghancurkan terhadap Amerika Serikat pada tanggal 11 September. Tidak hanya ini bagian dari kesadaran global yang tinggi terorisme secara umum, hal ini juga mencerminkan fakta bahwa kelompok-kelompok militan dan berbasis di wilayah ini diketahui memiliki hubungan baik melewati kamp-kamp pelatihan sebelumnya di bawah tuduhan Taliban atau memiliki link yang didirikan dengan Osama bin Laden dan jaringan teror global nya.”

Menurut Chalk, bahwa gerakan terorisme di kawasan AsiaTenggara meningkat setelah serangan Al-Qaeda pada 11 September2001.6 Yang paling menarik dari uraian Chalk dalam tulisannyaadalah bahwa serangan Al-Qaida menjadi stimulus bagi pergerakanterorisme serupa pada berbagai kawasan, termasuk Asia Tenggara.7

Tata Dunia Internasional (world order) kerap kali berubahketika terjadi suatu defining moment yang dramatis. BerakhirnyaPerang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti dengandimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh padatahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awaldari lahirnya era Pasca Perang Dingin.

Sejak serangan Al-Qaeda meruntuhkan gedung kembar World TradeCenter (WTC) di New York dan sebagian gedung Pentagon diWashington D.C. tanggal 11 September 2001 isu terorisme globalmenjadi perhatian semua aktor politik dunia baik negara-maupunnon negara. Peristiwa ini kemudian menandai babak baru dimanaancaman terorisme global menjadi ancaman yang nyata terhadapkeamanan nasional sebuah negara yang ditandainya denganmunculnya Patriot Act sebagai langkah kebijakan Amerika Serikatmemerangi terorisme baru. 8

5 Peter Chalk, 2002. Terrorism in Southeast Asia Springboard for International Terrorist Attack, University of Colorado Denver, Institute for International Business and Center International Business Education & Research, Global Executive Forum. Pdf6 Ibid, Chalk, 2002. Pp.17 Ibid, Chalk, 2002. Pp.18 Kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush tentang "Perang Melawan Terorisme" secara umum tergambar Dalam sejumlah dokumen seperti The National Security Strategt of the United States of America (2002), National Security Strategy to Combat

Sejak inilah, kemudian terorisme muncul sebagai ancaman keamanannon tradisional bagi negara paska Perang Dingin yang mampumenciptakan kerusakan atau ancaman bagi pemerintahan negara-negara di dunia. Yang menjadi catatan adalah walaupun bentukterorisme telah muncul sejak lama, namun kerusakan padaperistiwa 9/11 menjadi indikator terhadap adanya ancaman barubagi stabilitas keamanan dunia.

Namun, berubahnya situasi keamanan pada level global itutidak berarti bahwa situasi keamanan regional juga telahmengalami perubahan secara fundamental. Meskipun negara-negaradi kawasan Asia Tenggarajuga mengakui bahwa terorisme merupakanancaman serius bagi negara dan masyarakat, hal itu tidak berartibahwa isu-isu keamanan lainnya di kawasan menjadi tidak penting.Bagi kawasan ASEAN, peristiwa 11 September hanya semakinmemperumit kompleksitas tantangan keamanan di kawasan, yangsebelumnya telah “akrab” dengan berbagai ancaman non-tradisionaltermasuk terorisme. Hanya saja, dengan dijadikannya terorismesebagai agenda utama, kalaupun bukan sebagai agenda tunggaldalam kebijakan keamanan nasional dan politik luar negeri AS,negara-negara ASEAN terpaksa dihadapkan pada sebuah realita baruyang merupakan konsekuensi dari kebijakan AS itu. 9

Setelah munculnya isu terorisme internasional yang lebihbesar, konsekuensi terjadinya beberapa kali peristiwa terorismedi Kawasan Asia Tenggara pada akhirnyapun ditenggarai masihterdapat gerakan-gerakan terorisme yang memiliki konektivitasdengan Al-Qaeda dan jaringan terorisme islam. Untuk menjawabpuzzling ini, maka perlu dilakukan pendekatan kajian lebih dalamapakah gerakan terorisme di ASEAN memang merupakan gerakanreligi Islam atau bukan.

weapons of Mass Destruction (2002), dan National Strategy for Combating Terrorism (2003); sejumlah" Executive order" dari Presiden, d an pidato-pidato presiden George W. Bush yang kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam perang melawan terorisme.9 Rizal Sukma, Keamanan Internasional Pasca 11 September:Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, disampaikan dalam seminar “PembangunanHukum Nasional VIII” Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar, 14 - 18 juli2003

BAB IIPEMBAHASAN

ASEAN

ASEAN adalah Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara(Perbara) atau lebih populer dengan sebutan Association ofSoutheast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara,yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 berdasarkan DeklarasiBangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, danThailand. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkanpertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangankebudayaan negara-negara anggotanya, memajukan perdamaian danstabilitas di tingkat regionalnya, serta meningkatkan kesempatanuntuk membahas perbedaan di antara anggotanya dengan damai.

ASEAN meliputi wilayah daratan seluas 4.46 juta km² atausetara dengan 3% total luas daratan di Bumi, dan memilikipopulasi yang mendekati angka 600 juta orang atau setara dengan8.8% total populasi dunia. Luas wilayah laut ASEAN tiga kalilipat dari luas wilayah daratan. Adapun ASEAN memiliki beberapastruktur organisasinya dan memiliki berbagai macam kerjasama.Salah satunya di bidang politik dan keamanan, salah satunya antiterorisme atau ACCT (ASEAN Convention on Counter Terrorism). Yangmengatur ini adalah ARF (ASEAN Regional Forum).

Konvensi ASEAN tentang Counter-Terrorism (ACCT)10 kini telahdiratifikasi oleh semua sepuluh negara anggota ASEAN.Ditandatangani oleh para pemimpin ASEAN pada tahun 2007, ACCTadalah prestasi yang signifikan dari upaya kontra-terorismeASEAN karena berfungsi sebagai kerangka kerja untuk kerjasamaregional untuk melawan, mencegah dan menekan terorisme dan10 http://www.asean.org/news/asean-secretariat-news/item/asean-convention-on-counter-terrorism-completes-ratification-process

memperdalam kerjasama kontraterorisme. Untuk meningkatkan peranstrategis di kawasan ini dalam strategi global anti-terorisme.

Sebagaimana yang tercantum dalam ACCT tersebut, Konvensidiberlakukan 30 hari setelah Negara Anggota ASEAN yang keenammengajukan instrumen ratifikasi kepada Sekretaris JenderalASEAN. Brunei Darussalam menjadi negara keenam yang meratifikasipada tanggal 28 April 2011 dan ACCT mulai berlaku pada tanggal27 Mei 2011, sedangkan Malaysia menjadi Negara Anggota kesepuluhuntuk menyimpan instrumen ratifikasi kepada Sekretaris JenderalASEAN pada 11 Januari 2013. Dengan semua Negara Anggota ASEAN diACCT tersebut, ASEAN telah mengambil langkah lain dalam memenuhiASEAN Politik dan Keamanan, dan dalam mengembangkan lebih amandan ASEAN untuk semua orang.

Definisi Terorisme & fenomena karakter baru pergerakan terorisme

Terorisme sebagai fenomena penggunaan kekerasan untukmencapai tujuan politik tertentu sudah terjadi jauh sebelumperistiwa 11 september 2001. Meskipun motivasi untuk melakukanaksi terorisme bisa berbeda-beda sepanjang sejarah namunkesamaannya terletak dalam penggunaan kekerasan baik terhadappejabat resmi pemerintah yang dimusuhi atau kepada penduduksipil dengan maksud menimbulkan kepanikan dan menarik perhatianpublik terhadap tuntutan politik yang ingin diperjuangkan olehkelompok yang melakukan aksi terorisme tersebut. Bagi kelompokteroris perjuangan dengan jalan damai atau dialog hanya membuangwaktu dan energi dan karena itu aksi kekerasan merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan politik. Selain perasaanfrustasi dalam aksi terorisme ada juga unsur kebencian terhadapsasaran yang dituju apakah berupa public property dari negara yangdianggap sebagai musuh atau warga negara dari negara tersebut.11

11 Dalam literatur politik dunia konsep terorisme diartikan secara berbeda-beda, karena tergantung kepada siapa mendefinisikannya. Hal ini bisa

Untuk bisa mengidentifikasi siapa yang disebut terorismedan apa yang mendasari lahirnya gerakan terorisme, salah satuyang menarik adalah seperti yang dijelaskan oleh Audrey KurthCronin12 yang membagi empat kategori jenis kelompok terorismeberdasarkan Source of Motivation : Left-wing Terrorist, Right-wing Terrorist,ethnonational/separatist terrorist, and religious or “sacred” terrorist.13 NamunCronin juga menyadari bahwa pembagian tipe gerakan terorisme inibukanlah secara tepat membagi kelompok-kelompok tersebut, karenamasih banyak beberapa bentuk gerakan terorisme yang kemudianmengkombinasikan motivasi ideologis, seperti kebanyakan grupethnonationalist yang memiliki religious characteristics or agenda- walaupunbiasanya tetap akan berpegangan pada satu ideologi atau dominasipergerakan.

Ditambahkan pula oleh Kiras,14 kesulitan dalam menemukandefinisi yang tepat mengenai teroris karena sulit menentukantujuan kekerasan yang akan digunakan dan motivasi dibalikkegiatan terorisme sehingga sejak awal kemunculannya, padaakhirnya terorisme berbeda dari tindakan kriminal (criminal act).Berbagai perspektif yang muncul dari lahirnya gerakan terorismesecara global maupun yang lahir di kawasan Asia Tenggaramenjadimodalitas atas terlaksananya kebijakan luar negeri AmerikaSerikat dalam War on Terrorism, dimana dimensi terhadap kegiatanterrorism paska 11 September 2001 dianggap memiliki kesamaanideologi dan moralitas yang mampu mengancam kedaulatan negara.

dimengerti karena isu terorisme merupakan isu yang telah membangkitkankontroversi serta mencakup dimensi yang sangat luas. 12 Audrey Kurth Cronin, Types of terrorist Groups, dikutip dalam James D. Kiras, Terrorism and Globalization dalam John Baylis & Steve Smith, 2001. The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, Third Edition. Oxford University Press Pp.48013 Menurut Cronin, pembagian tipe teroris berkembang pada eranya masing-masing, misalnya left-wing terjalin bersama pergerakan komunisme, right-wing digambarkan sebagai sayap dari fasisme, dan ethnonationalist/separatist menyertai gelombang dekolonisasi khususnya pada masa pasca perang dunia ke II, sedangkan religion atau sacred terrorism kehadirannya lebih signifikan. Walaupun semua tipe group hingga saat ini masih tetap eksis akan tetapi left dan right-wing lebih banyak terjadi pada dekade sebelumnya. 14 Op.Cit Kiras. Pp.481

Walaupun sebelumnya regulasi terhadap pencegahan bahayaterorisme telah lahir melalui konvensi Pencegahan danPenghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression ofTerrorism), tahun 1937 terorisme diartikan sebagai Crimes againstState. Selanjutnya dalam European Convention on The Suppression of Terrorism(ECST) tahun 1977, pengertian terorisme berubah paradigmanya,yaitu dari semula sebagai Crimes againts State (termasuk pembunuhandan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggotakeluarganya), menjadi Crimes againts Humanity.15

Setelah terjadi diaspora mengenai definisi terorisme, baikakibat dari meluasnya konflik yang terjadi maupun dari munculnyaaktor-aktor baru, namun yang akhirnya kita pahami mengenaiterorisme justru Konstruksi pemahaman terrorisme post 11september 2001 ini lebih dikenal sebagai trend baru sebagai Post-Modern Terrorism atau New Terrorism16 yang dalam pengertian berbedadiungkapkan memiliki motivasi oleh “Promises of Rewards in the afterlife”dan menggunakan alasan agama untuk membunuh sebanyak mungkinorang-orang yang tidak memiliki keyakinan.17 Dalam beberapaperistiwa kasus Bombing diyakini diantara fenomena regional,kasus terorisme di sponsori oleh negara (State-Sponsored) sepertikasus militant Islam di Lebanon. Lanjut Menurut Kiras, New Terrorismdapat diartikan pula sebagai rasionalisasi global Jihad, yaitusesuatu yang dipandang sebagai reaksi dari penindasan yangdirasakan umat muslim dan menurunnya nilai spiritual kaum barat.

15 Crimes againts Humanity pada akhirnya di kategorikan sebagai Gross Violation of Human Rights atau pelanggaran HAM berat yakni apabila serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih jika diarahkanpada jiwa-jiwa orang tak bersalah (Public by innocent).16 Ibid. Kiras, Pp. 48617 Secara umum sebenarnya terdapat perdebatan panjang mengenai isu terorisme yang dikaitkan dengan persoalan agama, kelompok pertama menegaskan bahwa terorisme tidak memiliki kaitan dengan agama manapun karena semua agama menolak kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Karena umumnya mereka, kelompok yang melakukan terorisme merupakan kelompok minoritas dan tidak mewakili penganut agama secara keseluruhan, sedang kelompok yang lain mengatakan bahwa kelompok terorisme yang bertindak atas nama ajaran agama mendapatkan inspirasi dan justifikasi atas tindakannya berdasarkan penafsiran mereka atas doktrin afama yang diyakininya,

Sejak runtuhnya WTC & Pentagon, Amerika Serikat memfokuskandiri terhadap memerangi gerakan islam radikal dan teroris,mereka meyakini bahwa Al-Qaeda membentuk basis pergerakannya diAsia Tenggara, beberapa negara yang dijadikan sel-sel pelatihanseperti Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand.18

Terjadinya kasus bom bali tahun 2002 yang telah menewaskansekitar 200 orang diyakini bahwa penetrasi moralitas gerakanterorisme Al-Qaeda telah di pusatkan dikawasan ini19 sebagaibentuk militansi islam seperti gerakan Jamaah Islamiyah (JI) danGerakan Abu Sayyaf dan MILF20 yang mulai menunjukkan reaksi yangsama terhadap pemerintahan barat khususnya Amerika Serikat.Sedangkan Guraratna21 mengelompokkan lebih banyak kelompokekstrimis yang dipandang lebih mendekati gerakan terorisme,diantaranya :

MILF (Moro Islamic Liberation Front), Abu Sayyaf Group (ASG) diPhilipina, Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan MujahidinMalaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah Salafiyah (JS) di Thailand,Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya SolidarityOrganization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan Jemaah Islamiyah(JI), organisasi asia tenggara yang hadir di Australia.22 Hampirsemua kategori kelompok yang berbasis pada motivasi agama danbersifat radikalisasi di kawasan Asia Tenggaramenjadi satudefinisi yang sangat sering dikaitkan dengan kelompok Al-Qaeda,dimana kelompok-kelompok diatas sudah cukup mewakili ancamanyang mampu membahayakan negara dan pemerintahan. Walau bila dicermati tidak seluruhnya dari daftar kelompok-kelompok diatasmerupakan kelompok yang memiliki tujuan yang sama. Diantaranyaada beberapa kelompok separatisme yang memiliki motivasi religious.

Untuk membantu counter analysis¸ adalah seperti yang diungkapkanoleh Andrew Tan23 dalam ASEAN as the ‘Second Front’ in the War Against

18 Op.Cit. Bruce Vaughn. Etc 19 Ibid. Pp. 520 Ibid. Pp.1621 Op.Cit. Rohan Guraratna, Pp.1-222 Ibid, Pp.223 Tan, Andrew. 2003. “Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War Against Terrorism:Evaluating the Threat and Responses” dalam Terrorism and Political Violance, vol.15

Terrorism: Evaluating the Threat and Responses yang menyebutkan bahwa ASEANmemiliki latar belakang sejarah yang panjang bahkan jauh lebihdulu dari counter terrorism yang digelorakan oleh Amerika Serikatsetelah peristiwa pengeboman 11 September 2001. Berbeda denganmodel gerakan terorisme internasional, gerakan terorisme diASEAN pada awalnya merupakan gerakan sentimen terhadappemerintah nasional atas ketidakadilan dan alienasi yangditerimanya, dengan semangat etno nasionalisme yang biasanyajuga diiringi dengan membawa identitas religi yang dianutnya.Maka secara umum, gerakan terorisme di ASEAN dapat dilihatsebagai gerakan yang lahir dari kelompok suku minoritas yangmempunyai preferensi belief yang berbeda yang diperparah lagimengalami masalah kesejahteraan dengan pemerintah nasional.Identitas agama yang digunakan adalah Agama Islam, karena dibeberapa daerah seperti Filipina, Aceh, dan Thailand, kelompokIslam menjadi kelompok minoritas atau setidaknya memilikiprinsip yang berbeda dari kelompok Islam lainnya. Namun padaintinya terbentuknya kelompok terorisme di ASEAN disebabkankarena alasan policy yang tidak memihak mereka yang kemudiaberimbas pada rendahnya ekonomi. Dan hal inilah yang seringkalimenjadi alasan terjadinya clash antara pemerintah dengan kelompoktersebut. Kelompok teroris ASEAN pada mulanya murni lahir daridari kelompok-kelompok etno-religi yang menginginkan separasidari negara yang dinilai tidak dapat mengakomodir hak-hakmereka. Mereka menginginkan terbentukya negara baru yangberlandaskan hukum Islam secara kuat, holistik, dan eksplisit.Revolusi Iran menjadi salah satu hal yang menarik kelompok-kelompok tersebut untuk menggaungkan revivalisme Islam global.Namun karena terbentuknya interaksi antara kelompok tersebutdengan kelompok-kelompok militan terorisme di Timur Tengah, makamuncullah kelompok-kelompok di ASEAN yang mempunyai tujuan untukmenekan pos-pos kekuatan negara-negara Barat di ASEAN, sepertiJemaah Islamiyah dan Kumpulan Militan Mujahidin (KMM).

Gerakan Terorisme di ASEAN seringkali menuai simpati darikelompok militan atau terorisme yang lebih besar, terutama yangberada di daerah Timur Tengah. Adanya koneksi dengan kelompoktersebut membuat terorisme di ASEAN, oleh Andew Tan disebut

No.2 (summer 2003). London: Frank Cass pp.112-138.

sebagai ‘Second Front’ atau batas kedua sebelum pusat gerakanterorisme yang berada di Timur Tengah, seperti Al-Qaeda yangberada di Afghanistan. Sehingga ASEAN juga dijadikan sebagai‘Second Front’ dalam upaya meng-counter terorisme di dunia.Gerakan Terorisme di ASEAN dapat dikategorikan lahir dari tigaperistiwa: Pemberontakan suku Moro di Filipina, PemberontakanAceh di Indonesia, dan Pemberontakan Pattani di ThailandSelatan.

Pemberontakan Moro di Filipina

Moro merupakan suatu suku Muslim yang mendiami pulauMindanao. Awal mula radikalisasi Moro adalah akar sejarahkolonialisme Spanyol yang membatasi Islamisasi Filipina danadanya migrasi besar-besaran kelompok Katolik dari FilipinaUtara ke Filipina Selatan pada masa penjajahan Amerika Serikatsekitar tahun 1898. Pada tahun 1960-an, Moro menjadi suku yangbegitu minoritas di Selatan. Hal ini dikarenakan daerah selatantelah digunakan sebagai tempat tinggal kelompok Katolik dan parasimpatisan komunis. Setelah itu, muncul pula ketakutan akanupaya asimilasi budaya dan agama sehingga dikhawatirkan agamadan budaya Islam akan luntur. Hal ini diperparah denganrendahnya angka ekonomi dan infrasruktur di kawasan tersebut.Sehingga lahirlah banyak simpati dari organisasi di Timur Tengahseperti Libya, serta Indonesia dan Malaysia. Kelompokpemberontak moro yang berada dalam organisasi MNLF (MoroNational Liberation Front) pernah mendapat pelatihan di Sabah,Malaysia. Karena adanya kritik intern akan terlalu nasionalorientalisnya MNLF, maka lahirlah MILF (Moro National LiberationFront) yang bergerak lebih ke arah militansi dengan identitasIslam, yang memiliki kelompok bersenjata bernama BIAF (Bangsa-Moro Islamic Armed Forces). Kelompok ini menerima bantuan dariCairo termasuk dari Afghanistan (Al-Qaeda) yang memberikankucuran dana langsung dari adik ipar Osama bin Laden, MuhammadKhalifa. Selain itu, dana juga datang dari sumbangan organisasi-organisasi muslim simpatisan di seluruh dunia.

Selain MILF, terdapat juga organisasi ASG (Abu Sayyef Group)yang didirikan sekitar tahun 1989. Tujuannya adalah pemisahan

diri dari negara Filipina dan mendirikan MIR (Moro Islamic Republic)dengan menentang sgala bentuk kooperasi degan kelompok Katholik.ASG mengambil nama dari Rasool Sayyeaf yang merupakan alumniperang Afghanistan. Aktifitas terorisme ASG diantaranya adalahpenculikan 12 turis berkebangsaan Barat di pulau Sipadan,Malaysia pada sekitar April 2000. Di tahun yang sama jugamelakukan pemboman di pusat perbelanjaan, bandara, dan bioskop,serta beberapa kasus pemboman lain juga di tahun yang sama.

Pemberontakan Aceh di Indonesia

Aceh merupakan sebuah kerajaan yang sangat besar padaawalnya. Dengan kekuatan perdagangan, Aceh menjadi jalur masukbagi pedagang-pedagang mancanegara ke Indonesia. Namun,kedatangan Belanda ke Aceh mengusik keharmonisan wilayahtersebut. Prinsip orang Aceh untuk memegang teguh Agama Islammenjadi terganggu dengan aturan-aturan kolonial yang sekuler danmenindas. Sehingga pada waktu itu, Aceh menjadi salah satusentral kekuatan yang besar dalam upaya perebutan kemerdekaanIndonesia (atau dengan tujuan menciptakan negara IslamIndonesia). Hal ini kemudian diperparah dengan kebijakanpemerintah Indonesia masa Soeharto yang mencangangkan programtrasmigrasi sehingga Aceh dibanjiri oleh orang Jawa yangkemudian mengambil alih sentral pemerintahan lokal. Kekayaanalam di Aceh yang dieksploitasi oleh para pendatang dinila tidakmendapatkan keuntungan sedikitpun bagi rakyat Aceh menciptakangelombang pemberontakan yang besar.

Pemberontakan di Aceh berada dalam GAM (Gerakan Aceh

Merdeka) yang didirikan tahun 1976 oleh Hasan Tiro. Aspirasirakyat Aceh yang dinilai tidak terwadahi dalam pembentukan NKRI,menjadi dasar gerakan ini untuk memisahkan diri dari Indonesia.GAM pernah mendapat represi langsung dari pemerintah NKRI yangdipimpin oleh presiden Soeharto pada saat itu, yang membuat Acehmenjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Hal ini semakin menambahsimpati kelompok-kelompok internasional terhadap GAM. Libyapernah menjadi trainer dan disinyalir mempunyai relasi yang kuatdengan kelompok-kelompok pemberontak Asia Tenggara lainnya.Malaysia pernah disebut-sebut turut mendanai gerakan ini, namun

hal ini disangkal oleh pemerintah malaysia. Namun jelasdiketahui bahwa kelompok di Thailand Selatan membantupendanaannya lewat pasar gelap dengan Kamboja. Karakteristikgerakan GAM berfokus pada organisasi seperti negara yangdilengkapi dengan angkatan bersenjata. Setelah peristiwa 11September, GAM kembali menekankan bahwa konfrontasi yangdilakukannya adalah dengan negara indonesia, bukan perang agama.Namun hal ini telah mempunyai titik terang, dengan dilakukannyapenandatanganan gencatan senjata antara pemerintah Indonesia danGAM pada tahun 2000 di Helsinkin Finlandia.

Pemberontakan Patani di Thailand Selatan

Kelompok Ekstrimis Islam di Thailand lahir dari adanyapenindasan hak-hak populasi Muslim Melayu yang terutama beradadi daerah Pattani. kelompok ini dapat tumbuh dikarenakan tigafaktor. Yang pertama adalah adanya kepercayaan yang dianut olehkelompok Islam mengenai romantisme kerajaan Islam, PattaniDarussalam. Yang kedua, adalah adanya hubungan lintas batasnegara dengan kelompok Islam di Kelantan, Malaysia, yangmendukung gerakan kelompok Islam Pattani. Berikutnya, adalahadanya ajarah untuk ‘hijrah’ yaitu beralih ke sesuatu yang lebihbaik yang diwujudkan dalam melepaskan semua ‘penyiksaan’pemeritah untuk unifikasi agama, suku, dan etnis. Selain itu,erosi kebudayaan Melayu yang merupakan kebudayaan aslimasyarakat Moro juga menjadi salah satu pemicunya. Kemudianseperti halnya kelompok sejenis yang lahir di Filipina ataupunIndonesia, masalah ketimpangan ekonomi juga menjadi salah satupenyebab timbulnya semangat separasi.

Kelompok ekstrimis Islam Thailand berada di bawah PULO(Pattani United Liberation Army) dan New-PULO yang didirikan oleh KabirAbdul Rahman pada tahun 1960-an. Kelompok ini ditunggangi olehmilitan di Malaysia Utara. Selain itu kelompok ini juga memilikikerjasama dengan ekstrimis Islam di Timur Tengah dan AsiaSelatan (Hisbullah). Kerjasama juga dalam bentuk pelatihan,yaitu dengan kelompok radikal Iran, Irak, dan Pakistan. Menurut Andrew Tan (2003), terdapat tiga faktor yang merupakankekuatan eksternal dari kelompok ini, pertama, adanya simpati

dari tetangga Malaysia dengan partainya PAS. Kemudian yangkedua, adanya hubungan saling tolong-menolong dengan organisasimuslim yang lain di kawasan, misalnya saja dengan GAM. Ketiga,adanya potensi hubungan dengan organisasi militan Islaminternasional, seperti halnya di Afghanistan.

Respon ASEAN

Ada tiga variabel dalam makalah ini yang menjadi perhatian,yakni terorisme, kebijakan politik luar negeri dan keamanannasional AS serta kondisi aktual negara-negara kawasan ASEAN.Terorisme secara de facto aktivitasnya telah terbukti merugikanbanyak pihak. Di pihak lain kebijakan AS perang terhadapterorisme berimplikasi terhadap semakin beratnya beban ancamankeamanan negara-negara di kawasan ASEAN. Dimana kondisi nyatanegara-negara kawasan Asia Tenggaratelah lama berhadapanmasalah-masalah yang berkaitan dengan ancaman tradisional maupunnon-tradisional, sebelum ada ancaman terorisme.

Suasana demikian bagi negara-negara kawasan AsiaTenggaramenimbulkan situasi serba dilematis, antara kemiskinan,pengangguran yang dapat mengancam survival sebagai negara disatu pihak sedangkan di pihak lain ada kewajiban untukmemberantas terorisme. Belum lagi jika berhubungan dengan stigmayang berkembang bahwa teroris dikaitkan dengan Islam, membuatketegangan baru antara pemerintah dengan rakyatnya di negara-negara yang mayoritas muslim.24

Pernyataan Presiden George Bush, ”either you are with us or you arewith the terrorism”, secara eksplisit menunjukkan bahwa dunia initerbelah antara pertarungan kekuatan baik (good) dan kekuatanjahat (evil). Kondisi ini mempersulit posisi khususnya negara-negara pasca kolonial yang tidak ingin dipersepsikan beradadalam orbit AS. Sedangkan bagi negara berkembang masalah

24 Idjang Tjarsono, 2012. Isu Terorisme dan Beban Ancaman Keamanan Kawasan Asia TenggaraPasca Runtuhnya WTC –AS, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 Hal.2

keterbelakangan, konflik etnik, pengangguran kemiskinan,dianggap sebagai ancaman utama bagi survival sebagai negara,daripada masalah terorisme.

Disamping itu, tragedi 11 September juga telah merubahukuran-ukuran yang digunakan dalam menilai sebuah negara,masalah terorisme menjadi ukuran utama daripada masalah HAM dandemokrasi. Apalagi dengan adanya kecenderungan stigma yangmangaitkan Islam dengan teroris membuat pemerintah negaramayoritas muslim dihadapkan pada suatu dilema, antara keharusanmemberantas terorisme dan keharusan untuk memelihara hak-hakrakyatnya. Dengan demikian kebijakan AS terhadap terorisme telahmelahirkan ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dankelompok-kelompok Islam di banyak negara muslim.

Lebih dari itu, dalam mengantisipasi serangan terorisme ASmenggunakan doktrin Preemption, dengan doktrin ini AS secarasepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambiltindakan terlebih dahulu, untuk menghancurkan apa yangdipersepsikan sebagai kemungkinan ancaman teror terhadapkepentingan AS dimana saja. Dengan doktrin preemption makaprinsip kedaulatan negara, arti penting institusi multilateralseperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan hukuminternasional dapat saja diabaikan.25 Di sisi lain, kebijakan ASdalam memerangi Terorisme justru melicinkan hubungan antarnegara-negara besar (major powers) misalnya terhadap Cina danRusia masing-masing telah merasa menemukan jalan untuk lebihmeningkatkan.

Hubungan diantara mereka. Suasana demikian bagi masyarakatinternasional dapat dikatakan akan mendatangkan malapetaka,mengingat tatanan global senantiasa akan dikendalikan olehkepentingan dan kompromi negara-negara besar. Sebagai contohbagaimana sikap anggota Dewan Keamanan PBB, terhadap invasi ASke Afganistan.

Bagi kawasan Asia Tenggarakebijakan AS terhadap terorismetelah melahirkan sebuah security complex yang semakin rumit.

25 Op.Cit. Rizal Sukma, Hal.5

Mengingat dalam suasana dimana masalah-masalah keamanan yangsudah ada dikawasan belum menemukan bentuk penyelesaiannya,ditambah lagi beban keamanan regional dengan munculnya ancamanterorisme. Oleh karena itu negara-negara yang tergabung dalamASEAN kedepan termasuk Indonesia akan berhadapan dengantantangan keamanan regional yang tidak ringan.

Pada umumnya negara-negara di kawasan ASEAN, termasukIndonesia, menganggap tragedi 11 September semata-sematamerupakan masalah AS, bukan merupakan persoalan global. Walaupunsemua negara, termasuk negara-negara di kawasan AsiaTenggaramenyatakan rasa simpatik terhadap tragedi yang menimpaAS. Lebih dari itu mereka pada umumnya sama sekali tidak percayabahwa kasus serupa akan terjadi di kawasan Asia Tenggara, haltersebut terlihat jelas ketika menanggapi pernyataan pemerintahSingapura yang berhasil membongkar adanya sebuah jaringanteroris regional yang dapat mengancam keamanan negara-negarakawasan. Sikap skeptis bahkan menyangkal antara lain datang dariIndonesia, Thailand dan Malaysia.

Masalah komplek itu makin terlihat ketika upaya-upaya untukmemerangi terorisme di kawasan Asia Tenggaraini dilakukan secaraterpisah oleh masing-masing negara ASEAN dan juga secarakolektif melalui kerjasama regional, baik berupa peningkatankeamanan nasional, koordinasi agen nasional ataupun salingberbagi informasi satu sama lain. Dalam konteks upaya memerangiperang yang dilakukan secara terpisah oleh masing-masing negaraAsia Tenggara, penulis mencoba menguraikannya satu per satu.Pertama, upaya memerangi terorisme di Malaysia, yang dilakukanmelalui kerjasama dalam bentuk perundingan dengan AmerikaSerikat terutama dalam menghadapi KMM sebagai salah satukelompok Islam extremis yang memiliki hubungan dengan jaringanAl-Qaeda. Pendekatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untukbekerja sama dengan Malaysia tersebut merupakan usaha untukmeminimalisir penggunaan Internal Security Act (ISA) yang dicurigaimembawahi KMM. Kerjasama ini juga dikaitkan dengan perhitungansecara politik yang banyak dipengaruhi oleh perdana menteri DrMahathir.

Kedua, upaya memerangi terorisme di Singapura, yang jugameningkatkan intensitas kerjasama keamanan dengan AmerikaSerikat pasca 9/11 melalui kunjungan resmi kenegaraan Lee KuanYew ke gedung putih. Ketiga, upaya yang dilakukan Thailand dalammemerangi terorisme dianggap setengah-tengah, dengan adanyaklaim bahwa Thailand menjadi tempat transit pasukan dan danauntuk jaringan Al-Qaeda. Namun, pada tahun 2002 terjadipembunuhan yang dilakukan polisi keamanan Thailand terhadapmasyarakat Thailand yang dianggap sebagai teroris. Selain itu,terdapat pelatihan angkatan melawan terorisme bekerja samadengan AS. Keempat, upaya memerangi terorisme di Philipina, jugabekerja sama dengan AS terutama dalam menghadapi ASG. Terakhir,upaya memerangi terorisme di Indonesia dilakukan melalui programkerjasama militer dengan AS. Di mana AS menganggap Indonesiamenjadi wilayah yang memiliki peran signifikan dalam memerangiterorisme. Selain itu, Indonesia melakukan kerja sama dengan Australia,namun masih terdapat kecurigaan di antara keduanya yangdihubungkan dengan dukungan terpisahnya Timor-Timur dariIndonesia pada tahun 1999.

Secara institusi Peran ASEAN dalam mengatasi tindakanterorisme ditunjukkan dengan mengadopsi Deklarasi ASEAN tentangKejahatan Transnasional di ASEAN 199726 dan Rencana Aksi untukMemerangi Transnational Crime pada tahun 1999.27 Kemudian dalamKTT ke-7 ASEAN Summit Pada tanggal 5 November 2001 di BruneiDarussalam yang menghasilkan Deklarasi Joint Action to Counter Terrorismdan ASEAN Minister Meeting on Transnational Crime (AMMTC). Terorismemereka lihat sebagai ancaman besar untuk perdamaian dan keamananinternasional dan "tantangan langsung kepada pencapaianperdamaian, kemajuan dan kemakmuran ASEAN dan mewujudkan VisiASEAN 2020" Deklarasi Bersama Aksi ke Counter Terrorism 2001.

ASEAN memaparkan langkah-langkahnya dalam memerangi tindakanterorisme dengan cara : 26 Upaya ASEAN dalam menanggulangi kejahatan transnasional di kawasan Asia tenggara, di aksespada http://aseanerspublications.blogspot.com/2006/04/upaya-asean-dalam-menanggulangi.html27 S Pushpanathan, Combating Transnational Crime in ASEAN di akses pada http://www.aseansec.org/2823.htm

1. Meninjau dan memperkuat mekanisme nasional dalam memerangitindakan kejahatan terorisme yang semakin meluas

2. Menandatangani dan konvensi anti-teroris yang telah disepakati, termasuk konvensi Internasional untuk penindasandari Financing of Terrorism, memperdalam barisan kerjasamadrngan penegak hukum, memperkuat kerjasama yangterorganisir pada Pertemuan Menteri Transnational Crime (AMMTC)dan badan-badan lain yang terkait dalam ASEAN countering,suppressing dan mencegah segala bentuk tindakan teroris.

3. Mengembangkan kapasitas yang ada program untuk meningkatkankemampuan negara-negara anggota ASEAN untuk menyelidiki,mendeteksi, memantau dan melaporkan tindakan teroris,Membahas dan mencari ide-ide praktis dan inisiatif untukmeningkatkan peran dalam ASEAN dan keterlibatan denganmasyarakat internasional termasuk mitra luar daerah yangada di dalam kerangka seperti ASEAN + 3 (Cina, Jepang danrok), Mitra Dialog ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF)untuk memerang tindakan teroris yang didasarkan pada enamstrategis thrusts: pertukaran informasi, kerja sama dalampersoalan hukum; kerjasama dalam hal penegakan hukum,peningkatan kapasitas kelembagaan; pelatihan, dan ekstra-kerjasama regional. Selain itu terdapat pula langkah-langkah strategis seperti yaitu pertukaran informasi, kerjasama dalam persoalan hukum, kerjasama dalam hal penegakanhukum, peningkatan kapasitas kelembagaan, pelatihan, danekstra-kerjasama regional.

Konferensi ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL)

Diselenggarakan pada bulan Mei 2002 di Phnom Penh, intidari pertemuan ini adalah berkomitmen dalam memerangi tindakanterorisme. Semua anggota ASEANAPOL memiliki kemampuan untuksecara efektif memonitor, berbagi informasi dan memberantas

segala bentuk kegiatan teroris. Mereka sepakat untukmeningkatkan kerjasama antara lembaga penegak hukum melaluiberbagi pengalaman pada counter-terorisme dan pertukaraninformasi tentang dugaan teroris, organisasi dan modus operandi.Indonesia, Malaysia dan Filipina menandatangani Perjanjiantentang Pertukaran Informasi dan Komunikasi Pendirian proseduruntuk bekerja sama dalam memerangi kejahatan transnasional,termasuk terorisme. Thailand dan Kamboja yang kemudian accededpada Perjanjian. Pada bulan November 2002, Malaysia membentukCounter-Terrorism Centre.

BAB III

PENUTUP

Dalam literatur Ilmu Hubungan Internasional akarpermasalahan terorisme seperti yang diungkapkan oleh Viotti danKauppi dalam International Relations and World Politics : Security Economy andIdentity. dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu Psikologis,Ideologis, dan lingkungan.28 Kehadiran terorisme baru dianggaplebih mendekati pada faktor yang ketiga, yaitu analisislingkungan akan sangat mempengaruhi seseorang dalammenyelesaikan sebuah masalah. Namun terlepads dari ketiga teoridiatas kemunculan setiap individu atau kelompok teroris tidakpernah terlepas dari masyarakatnya. Mereka tidak muncul dalamsuatu kevakuman sosial.

Dalam konteks global, aksi perang melawan terorisme yangdilancarkan oleh Amerika Serikat memang membawa dampak padaperubahan konstelasi politik dunia, Masyarakat dan negara-negaradi dunia diminta untuk bekerjasama melawan aksi terorismeinternasional, bagi Indonesia yang paska pemboman bali 2002 mautidak mau harus merumuskan kembali kepentingan nasionalnya untukmemberikan porsi yang sama kepada kejahatan terorisme samadengan kepentingan memerangi kemiskinan dan agenda-agendalainnya.

Saya tidak menolak bahwa kawasan Asia Tenggaratidak lepasdari ancaman dan kerawanan bahaya terorisme tetapi terlepas28 Paul R. Viotti dan Mark Kauppi. 1997, International Relations and World Politics : Security Economy and Identity. Upper Saddle River: Prentice Hall. Pp. 166-167 Note :pertama, ahli psikologi menjelaskan bahwa terorisadalah individu yang mengalami sakit mental atau kejiwaan yang mungkin dikaitkan dengan masa kecildimana orang tua melakukan kekerasan atau kekejamanan pada anak. Kedua, pada faktor ideologis yang diperhatikan adalah bagaimana cara berfikir seseorang atau keyakinan yang dianutnya begitu kuat mempengaruhi perilakunya, dan yang ketiga, faktor lingkungan mengaitkan terorisme dengan lingkungan dimana seseorang dibesarkan.

bahwa aksi terorisme yang dilakukan Al-Qaeda di Amerika Serikatmerupakan sebuah aksi dengan motivasi religius tetapi perludilakukan sebuah kajian yang lebih mendalam di kawasan AsiaTenggaramengenai klasifikasi dan kelompok terorisme yang ada.Karena sebagai sebuah kawasan yang rata-rata merupakan negaradunia ketiga dimana masih terdapatnya konflik-konflik internalyang berbasis pada ketidakpuasan kelompok-kelompok minoritasmemungkinkan terjadinya mixing atau combaining aksi terorisme.Sehingga saya berpendapat walau aksi terorisme Al-Qaeda pada 11September 2001 menstimulus gerakan-gerakan radikal islam dikawasan, bukan berarti gerakan-gerakan tersebut menginginkansatu tujuan yang sama. Beberapa diantaranya lebih kepada gerakanethonational / separatist movement yang secara garis besar berbeda darigerakan religious movement. Perlu dicatat masalah-masalah kaumminoritas di kawasan Asia Tenggaramasih merupakan masalah-masalah kesenjangan hak sebagai warga negara.

Terorisme kontemporer di ASEAN ini membutuhkan penangananyang berbeda. Selain karena sifatnya yang berdasar pada agama(religious based), juga karena sifatnya yang transnasional dan olehsub-state actor. Sehingga pergerakannya yang luas dan bebastersebut-lah yang membuat rumit. Selain itu tidak adanyaheadquarter yang pasti yang dapat dijadikan target militer olehnegara. Juga basis agama menjadikannya dengan mudah untukdoktrinasi terhadap orang-orang baru. Pemicu lainnya adalahmenyebarnya liberelisme kapitalisme yang secara tidak langsungbertentangan dengan ideologi Islam yang menjadi mayoritas dibeberapa negara di ASEAN. Sehingga ketidaksepahaman inilah yangkemudian membuat mobilisasi dan perubahan sosial yang mengakarpada kelompok-kelompok terorisme yang terbentuk.29

Selain itu, salah satu upaya yang mungkin paling tepatdilakukan adalah bagaimana negara-negara di ASEAN memperkuatstabilitas kawasan melalui kerangka kerjasama ASEAN, fungsi iniakan memberikan cukup ruang bagi negara-negara anggota kawasan

29 Niklas, Swanstrom and Bjornehed, Emma., 2004. Konflik resolution of Teroris Conflict in southeast Asia. Dalam Terrorism and Political Violence, vol. 16 no. 2 (Summer 2004). London: Frank Cass pp. 328-349

mengembangkan model-model penanganan bersama terhadap kejahatanterorisme dewasa ini.30 Jaringan terorisme yang meluas ke kawasanAsia Tenggaratidak terlepas dari pengaruh globalisasi melaluiketersediaan informasi, komunikasi dan transportasi yangkemudian memudahkan penyebaran jaringan terorisme hingga kekawasan ASEAN. Peluang menyebarnya jaringan terorisme di ASEANsebenarnya dapat diminimalisir dengan syarat kawasan AsiaTenggaraharus memiliki pasukan keamanan regional yang kuat.Pasukan keamanan ini tidak hanya pasukan keamanan yang mengawasisecara langsung wilayah kawasan ASEAN. Tetapi juga dibutuhkanpasukan keamanan yang mengawasi fungsi jaringan komunikasi daninformasi seperti halnya di internet. Tetapi, penyelesaianterorisme di kawasan Asia Tenggaramemang tergolong kompleks, dimana negara-negara di ASEAN bahkan tidak memiliki kesatuankomitmen dalam memerangi terorisme. Dengan kata lain, terdapatpermasalahan internal negara-negara ASEAN yang mestidiselesaikan terlebih dahulu dan juga penyatuan serta rasasaling percaya harus diciptakan terlebih dahulu. Dengandemikian, ketika tercipta kesatuan di antara negara-negaraASEAN, hal tersebut akan mempermudah terciptanya pengawasankeamanan regional yang optimal. Namun, melihat kondisi negara-negara ASEAN saat ini, hal tersebut sangat sulit tercipta danmembutuhkan proses yang sangat lama untuk mencapai cita-citayang diinginkan. Dengan kemungkinan terburuk, penyelesaianterorisme di kawasan Asia Tenggarahanya akan mengalami stagnansitanpa perubahan sama sekali.

30 Op.Cit. Chalk, 2002. Pp.7

Daftar Pustaka

Tan, Andrew. 2003. Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War AgainstTerrorism: Evaluating the Threat and Responses dalam Terrorism and Political Violance, vol.15 No.2 (summer 2003). London: Frank Cass pp.112-138.

Chalk, Peter 2002, Terrorism in Southeast Asia Springboard for International Terrorist Attack, University of Colorado Denver, Institute for International Business and Center International Business Education & Research, Global Executive Forum. Pdf

Chalk, Peter, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggot, 2009. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia A Net Assessment, RAND National Defense Research Institute pada http://www.rand.org/pubs/monographs/2009/RAND_MG846.pdf

Kiras, James D. 2001. Terrorism and Globalization dalam John Baylis & Steve Smith, The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, Third Edition. Oxford University Press Pp.480

Magouirk Justin, Scott Atran, Marc Sageman, 2007. Connecting Terrorist Network. Studies in Conflict & Terrorism, 31:1-16. Routledge Taylor & Francis Group pada http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf

Niklas, Swanstrom and Bjornehed, Emma., 2004. Konflik resolution of Teroris Conflict in southeast Asia. Dalam Terrorism and Political Violence, vol. 16 no. 2 (Summer 2004). London: Frank Cass pp. 328-349

Sukma, Rizal. 2003 Keamanan Internasional Pasca 11 September:

Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, disampaikan dalamseminar “Pembangunan Hukum Nasional VIII” Departemen Kehakimandan HAM RI, Denpasar

Tjarsono, Idjang 2012. Isu Terorisme dan Beban Ancaman Keamanan Kawasan Asia Tenggara Pasca Runtuhnya WTC –AS, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 Hal.2

Vaughn Bruce, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009. Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, Pdf pada http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf