Kajian Percampuran Vertikal Massa Air dan Manfaatnya
-
Upload
sorbonne-fr -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Kajian Percampuran Vertikal Massa Air dan Manfaatnya
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
9
KAJIAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR DAN MANFAATNYA
Oleh
Adi Purwandana
Laboratorium Oseanografi Fisika, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI-Jakarta
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
STUDY ON VERTICAL MIXING OF WATER MASSES AND ITS BENEFITS. Vertical
mixing of water masses is occurred due to turbulence of water mass parcel with different
densities. This parameter is quantified by vertical eddy diffusivity value. The turbulence is
affected by disturbance of water mass parcel which is caused by internal wave and/or when its
water mass passing topography feature, such as sill. Study on vertical mixing is needed e.g. to
quantify transformation of Indonesian Through Flow water mass characteristics, and valuable to
estimate fertility of waters.
ABSTRAK
KAJIAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR DAN MANFAATNYA.
Percampuran vertikal massa air disebabkan oleh turbulensi parsel massa air dengan densitas yang
berbeda. Parameter ini dikuantifikasi dengan nilai difusivitas eddy vertikal. Turbulensi parsel
massa air dapat diakibatkan massa air yang terusik oleh fenomena gelombang internal maupun
ketika aliran massa air yang bertemu dengan fitur konfigurasi topografi, seperti sill (ambang).
Kajian percampuran massa air bermanfaat di antaranya dalam kuantifikasi perubahan
karakteristik massa air Arus Lintas Indonesia dan estimasi tingkat kesuburan suatu perairan.
PENDAHULUAN
Kajian percampuran massa air merupakan topik penting dalam berbagai isu, mulai dari
iklim regional yang berkaitan dengan transfer bahang dan massa air tawar ke lapisan termoklin,
yang pada gilirannya mempengaruhi kesetimbangan radiatif-konvektif di atmosfer (Ffield dan
Gordon, 1992). Kajian percampuran massa air juga penting untuk mendapatkan nilai fluks
nutrien serta hubungan tidak langsung antara fluks nutrien dengan pertumbuhan fitoplankton
(Cullen et al., 1983). Tulisan ini akan mengkaji konsep dasar percampuran vertikal massa air,
hal-hal yang memicunya, serta beberapa manfaat kajiannya.
STABILITAS DAN TURBULENSI MASSA AIR
Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi
properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas, dan tekanan. Adanya fenomena
pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard,
1983). Secara umum, densitas massa air akan meningkat seiring dengan bertambahnya
kedalaman. Dalam kondisi tidak adanya gangguan, massa air yang memiliki densitas rendah
akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Adanya gangguan akan berpotensi
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
10
mendistorsi profil tersebut yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur secara vertikal, di mana
massa air dengan densitas tinggi berada di atas massa air berdensitas rendah. Parsel massa air
dengan ketidakstabilan ini selanjutnya akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun)
untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990). Fluida dikatakan tidak stabil apabila
terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan
awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara
berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan
stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard,
1983). Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas (E) (Stewart,
2002):
z
1E
………...................................….……. (1)
di mana ρ adalah densitas (kg m-3
) dan z adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika E>0,
netral jika E= 0 dan tidak stabil jika E<0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman
semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil.
Stabilitas kolom air juga dipengaruhi oleh kondisi stratifikasi (pelapisan) perairan yang
dapat memodifikasi dinamika turbulensi. Turbulensi merupakan proses fisika dominan dalam
transfer momentum dan bahang, serta dispersi partikel zat terlarut, partikel organik dan
anorganik; baik di danau, lautan, samudera, maupun fluida yang menyelimuti bumi dan planet
lainnya. Turbulensi secara umum dipahami sebagai keadaan gerak yang aktif, rotasional,
berpusar, dan tidak beraturan (Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi
deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik, serta pergerakan
sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran
laminar. Secara sederhana, turbulen eddy dalam kondisi massa air yang terstratifikasi harus
dalam kondisi di mana fluida yang berdensitas tinggi berada di atas fluida yang berdensitas
rendah, sehingga menghasilkan pembalikan (overturn) (Gambar 1). Proses ini membutuhkan
peningkatan energi potensial, di mana usaha yang dilakukan melawan gaya apung untuk dapat
mengangkat atau menurunkan fluida. Berdasarkan hukum kekekalan energi, pada akhirnya
energi harus dipasok dan hilang dari eddy dalam parsel kolom air tersebut.
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
11
Gambar 1. Pusaran overturning pada bidang batas dua densitas massa air yang berbeda. Pada
(b) dan (d), massa air dengan densitas yang lebih rendah ’terusik’ke level di
bawahnya dan massa air dengan densitas lebih tinggi terbawa ke atas. Efek
keseluruhannya, terbentuk eddy di mana pusat gravitasi fluida terangkat sehingga
meningkatkan energi potensial (Thorpe, 2007).
Turbulensi akan tertekan pada kondisi stratifikasi yang kuat, sehingga dibutuhkan energi
turbulen yang lebih besar untuk melawan besarnya gradien vertikal dari densitas (Fer et al.,
2004). Dalam sudut pandang mendasar, transisi menuju turbulen dalam suatu aliran yang
terstratifikasi merupakan kajian yang penting untuk memahami percampuran dan proses
dinamik. Dinamika percampuran pada lapisan terstratifikasi stabil dikendalikan oleh kompetisi
antara sesar (shear) arus vertikal, sebagai latar dari aliran dengan gaya apung yang dipengaruhi
oleh stratifikasi densitas (Martinez et al., 2006). Efek apung berperan dalam mereduksi laju
pertumbuhan perturbasi/gangguan dan menunda transisi ke arah turbulen, sedangkan shear
berperan memasok energi kinetik. Lapisan percampuran pada aliran terstratifikasi terbentuk pada
bidang batas (interface) dua aliran horizontal fluida yang sejajar namun dengan kecepatan dan
densitas berbeda. Seiring meningkatnya stratifikasi, medan kecepatan akan cenderung mengarah
lebih horizontal. Meskipun demikian, adanya disipasi gesekan dengan lapisan-lapisan horizontal
di sebelahnya, proses ini akan menguras energi komponen turbulensi terstratifikasi (Riley dan
Lelong, 2000). Karakteristik stratifikasi massa air dan kemungkinan terjadinya turbulensi, secara
kuantitatif dapat diestimasi dari bilangan gradien Richardson (Ri). Gradien Ri diungkapkan
sebagai (Kitade et al., 2003; Yoshida dan Oakey, 1996):
2
2
S
NRi ………………………................……… (2)
di mana N dan S berturut-turut adalah frekuensi buoyancy, dan arus shear. Nilai frekuensi
buoyancy atau yang juga dikenal sebagai frekuensi Brunt Väisälä dan shear berturut-turut
ditentukan melalui hubungan:
z
gN
0
2
…………………...............………… (3)
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
12
22
2
z
v
z
uS
…………...……..................……. (4)
dengan g dan ρ adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s-2
) dan densitas (kg m-3
),
sedangkan ρ0 merupakan densitas latar (background) perairan. Adapun u dan v berturut-turut
adalah komponen zonal dan meridional dari arus (m s-1
).
Gradien Richardson (Ri) mengekspresikan besaran relatif gaya-gaya yang menstabilkan
stratifikasi densitas terhadap pengaruh-pengaruh yang mengganggu kestabilan shear arus
(Delpeche et al., 2010). Representasi nilai gradien Richardson merupakan indikator turbulensi
dalam perairan, di mana nilai Ri yang tinggi menunjukkan terjaganya turbulensi. Adapun nilai Ri
yang rendah menunjukkan ketertekanan atau kecilnya turbulensi (Pond dan Pickard, 1983). Nilai
Ri juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kuantitatif percampuran antarmuka
(interfacial mixing) (Delpeche et al., 2010). Nilai Ri yang lebih besar dari 0,25 mengindikasikan
kolom air yang stabil (Pickard dan Emery, 1990).
Richardson (1920) menyatakan bahwa nilai kritis di mana percampuran dapat terjadi
pada kondisi terstratifikasi adalah 0<Ric<1. Namun, dalam kajian teoritis selanjutnya
menempatkan nilai kritis ini dalam rentang 0<Ric<0,25 untuk pertumbuhan ketidakstabilan
tercepat (Miles dan Howard, 1964). Delpeche et al. (2010) menggunakan batasan pertama agar
mencakup semua kondisi percampuran. Bruno et al. (2006) menggunakan batasan kedua, di
mana jika nilai Ri mendekati 0,25 (nilai kritis) maka mengindikasikan percampuran
dimungkinkan terjadi secara reguler dalam suatu porsi kolom air. Pada kasus internal waves
(gelombang internal) dengan periode pendek, dapat memungkinkan dihasilkannya nilai Ri di
bawah nilai kritis, sehingga peran pasut internal (internal tides) menjadi kurang signifikan atau
dapat diabaikan. Nilai Ri hanya mengindikasikan bahwa percampuran antarmuka dapat terjadi
dan tidak merefleksikan mekanisme khusus yang melatarbelakanginya (Delpeche et al., 2010).
Gambar 2. Plot kejadian overturning parsel massa air (tanda lingkaran hitam) yang relatif
sering terjadi pada nilai 0<Ri<0,25. Titik-titik halus adalah plot pengukuran CTD
(Alford dan Pinkel, 2000).
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
13
PENSKALAAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR
Teori seputar pengadukan turbulen seringkali bergantung pada asumsi-asumsi tentang
skala panjang/jarak eddy turbulen. Pada mulanya, teori ’panjang percampuran’ secara eksplisit
menggunakan ’ukuran’ eddy turbulen sebagai variabel mendasar (Dillon, 1982). Terdapat dua
skala panjang percampuran parsel air yang saling berkaitan. Dua skala ini masing-masing
merepresentasikan kondisi yang memicunya, yakni Skala Thorpe yang berhubungan dengan
medan densitas, dan Skala Ozmidov yang berhubungan dengan medan aliran/arus.
1. Skala Thorpe (LT)
Thorpe (1977) mengukur profil temperatur di perairan danau dan memperoleh
ketidakstabilan dinamik, yang kemudian diasosiasikan sebagai inversi atau pembalikan
(overturn), yang merupakan indikasi adanya percampuran vertikal. Metode yang dirintisnya
dimulai dengan melakukan penyusunan ulang (reorder) pada profil densitas yang mengandung
inversi menjadi profil baru tanpa inversi, atau profil yang monoton. Fluktuasi perpindahan ini
merupakan representasi dari eddy, di mana tajam pada batas atas dan bawah, dengan
percampuran yang intensif di dalamnya. Dillon (1982) mengkonfirmasikan bahwa di perairan
laut, ketidakstabilan ini berkaitan dengan disipasi turbulen, yang kemudian digunakan untuk
memperkirakan koefisien difusivitas (KZ atau Kρ). Dengan demikian, perpindahan skala Thorpe
sangat berguna untuk menggambarkan jangkauan vertikal peristiwa percampuran.
Secara teknis, data mentah tekanan dan densitas dirata-ratakan ke dalam segmen tekanan
(dbar) tertentu, dan disusun ulang sehingga perubahan densitas terjadi secara monoton terhadap
kedalaman sehingga menghasilkan profil yang stabil secara dinamik. Skala Thrope (LT) dihitung
dengan menggunakan persamaan:
2/1n
1i
2iT d
n
1L
………................................……. (5)
di mana d adalah jarak di mana setiap segmen densitas bergerak naik atau turun, di adalah
perpindahan skala Thorpe pada kedalaman i, dan n adalah jumlah sampel rentang kedalaman.
Setiap nilai LT diperoleh dari hasil perata-rataan n buah sampel pada kedalaman atau lapisan
yang diinginkan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008).
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
14
Gambar 3. Perbandingan densitas (atas) dan temperatur (bawah) hasil pengukuran dengan
setelah disusun ulang (reorder) yang memperlihatkan adanya ketidakstabilan secara
gravitasi parsel massa air yang memicu turbulensi vertikal (tanda panah), yakni
perpindahan parsel massa air yang lebih berat (ringan) di bagian atas (bawah)
menuju ke bawah (atas) (Purwandana, 2012).
Secara umum, data CTD lebih jarang digunakan daripada data Mikrostruktur untuk
mendapatkan skala Thorpe karena adanya efek getaran kawat, goyangan kapal, dan percampuran
oleh rangka CTD. Meskipun demikian, nilai-nilai yang diperoleh dapat dinyatakan valid karena
beberapa alasan. Tingkat noise di perairan laut lebih kecil dibandingkan dalam skala
laboratorium. Kontaminasi dari rangka dan goyangan kapal dapat direduksi dengan
menghilangkan bagian-bagian cast yang terdistorsi oleh gerakan balik ke atas (umumnya ketika
CTD diturunkan perlahan ke dasar perairan). Jika penurunan CTD dilakukan terlalu cepat, efek
yang timbul adalah pembalikan (overturn) akan tampak tidak berubah terhadap waktu. Dengan
demikian, variasi kecepatan penurunan CTD dan diskontinuitas data hanya akan memiliki sedikit
pengaruh pada hasil yang didapat (Sherwin dan Turrell, 2005). Dengan demikian, data CTD
dengan frekuensi standar penurunan (downcast) 24 Hz masih dapat digunakan untuk menghitung
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
15
difusivitas eddy vertikal menggunakan skala Thorpe, dengan prosedur pengolahan sebagaimana
dinyatakan Galbraith dan Kelley (1996) serta Gargett dan Garner (2008).
Seringkali sulit menentukan apakah inversi densitas merupakan overturn dari densitas
parsel air yang tidak stabil. Terdapat dua kesulitan, pertama noise acak pada sensor temperatur
dan konduktivitas dapat menghasilkan error dan menghasilkan inversi nonfisis. Kondisi ini dapat
terjadi pada daerah dengan gradien temperatur rendah, di mana fluktuasi skala kecil yang masuk
ke dalam sensor serupa dengan sensitivitas sensor. Kedua, spike salinitas dapat memunculkan
inversi spurious (tidak terkendali) pada nilai densitas (Alford dan Pinkel, 2000). Spike dapat
dideteksi dengan menguji karakteristik massa air pada areadaerah inversi kaitannya dengan ke-
eratan (tightness) hubungan TS (Temperatur-Salinitas) (Galbraith dan Kelley, 1996); atau dengan
mensyaratkan perpindahan skala Thorpe yang nonzero pada data temperatur dan densitas (Peters
et al., 1995). Galbraith dan Kelley (1996) menyatakan bahwa percampuran turbulen pada daerah
yang memiliki gradien TS linier tidak akan mengubah karakteristik TS. Sehingga parsel massa air
pada suatu daerah yang mengalami overturn meskipun berubah posisi kedalaman, baik yang
mengalami percampuran maupun tidak, tetap akan terletak di sepanjang linearitas diagram TS.
Fenomena loop yang keluar dari hubungan linier TS merupakan indikasi ketidaktepatan
pengukuran sensor temperatur-konduktivitas yang menghasilkan error pada data salinitas.
Namun demikian, metode nonzero perpindahan skala Thorpe dari data densitas dan temperatur
lebih umum digunakan, di samping karena masih berkembangnya isu relativitas visual, juga
karena adanya kesulitan memantau percampuran berdasarkan ke-eratan TS pada pola hubungan
yang tidak linier (Gargett dan Garner, 2008).
2. Skala Ozmidov (LO)
Penggunaan data mikrostruktur atau CTD untuk menghitung difusivitas eddy vertikal
memerlukan variabel yang mengkompensasi kondisi medan arus yang melatarbelakangi
turbulensi yang terjadi. Adakalanya terdapat perbedaan resolusi vertikal pengukuran antara data
hidrografi (temperatur, salinitas, densitas) dengan pengukuran arus. Permasalahan ini dapat
diatasi dengan menggunakan Skala Ozmidov, yang telah memperhitungkan kontribusi medan
arus yang turut mengendalikan turbulensi. Skala Thorpe memiliki karakteristik yang hampir
sama dengan skala Ozmidov. Pada fluida terstratifikasi, suatu parsel fluida yang bergerak dalam
jarak vertikal untuk mengubah semua energi kinetiknya menjadi energi potensial, dapat
dinyatakan dengan skala Ozmidov (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):
2/1
3ON
L
…….....................…............……. (6)
di mana ε adalah disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa, dan N adalah frekuensi
apung atau frekuensi Brunt Vaisälä.
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
16
Dillon (1982) menguji hubungan antara skala Thorpe dengan skala Ozmidov, dan
menemukan pola:
n
TO aLL ……….....................….............……. (7)
dengan koefisien regresi 0,98 untuk n = 0,95. Selanjutnya, dengan melihat bahwa nilai n yang
tidak jauh berbeda dengan 1, diperoleh rasio rata-rata konstanta proporsionalitas:
8,0L
La
T
O ………...................…..............……. (8)
Ferron et al. (1998) menemukan nilai a = 0,95 (±0,6) di zona patahan Romanche. Adapun kajian
terakhir yang dilakukan oleh Stansfield et al. (2001) menemukan LO ≈ 1,06 LT di Selat Juan de
Fuca.
Percampuran massa air dapat terjadi baik secara isopiknal ataupun secara diapiknal.
Percampuran yang mentransfer properti fluida antarpermukaan isopiknal yang berdensitas
konstan disebut dengan percampuran diapiknal, sedangkan percampuran yang mentransfer
properti fluida (temperatur dan salinitas) sejajar permukaan isopiknal (tanpa perubahan densitas)
disebut dengan percampuran isopiknal. Kendati demikian, percampuran secara diapiknal pada
tahap selanjutnya akan menimbulkan ketidakseimbangan medan tekanan, yang pada akhirnya
juga menghasilkan collapse dan penyebaran properti fluida secara isopiknal (Thorpe, 2007).
Perairan pesisir atau batas-batas lautan dengan daratan merupakan area-area utama
percampuran massa air (Munk, 1966). Gregg (1987) menyatakan bahwa adanya percampuran
difusif berkaitan erat dengan disipasi energi, sehingga merupakan implikasi adanya
keseimbangan antara transfer energi dan modifikasi massa air. Pada perairan landas benua, di
mana terdapat tebing dasar laut, terbentuknya gelombang internal dapat disebabkan oleh
meningkatnya intensitas arus yang menuju tebing (Bruno et al., 2006). Dengan menggunakan
nilai konstanta proporsionalitas a, maka nilai koefisien difusivitas dari skala Thorpe dapat
diperoleh dari persamaan semi empirik, laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε)
(Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):
32O NL ………....................................….……. (9)
Wunsch dan Ferrari (2004) menyatakan bahwa tidak semua energi kinetik turbulen digunakan
secara aktual untuk mencampur massa air. Sebagian besar energi kinetik turbulen ini akan
terdisipasi oleh gesekan kekentalan. Hanya sejumlah fraksi γ yang digunakan untuk mencampur
secara vertikal densitas fluida, dan menaikkan pusat massa. Dengan demikian, menurut Park et
al. (2008) koefisien difusivitas vertikal dihitung sebagai:
2NK
………..................................….……. (10)
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
17
di mana frekuensi buoyancy lokal atau frekensi Brunt Väisälä (N) diturunkan dari profil densitas
hasil penyusunan ulang . Efisiensi percampuran (γ) mengindikasikan efisiensi konversi dari
energi kinetik turbulen ke energi potensial sistem, sehingga dapat bervariasi tergantung pada
dinamika turbulensi. Fer et al. (2004) menetapkan γ = 0,15 dalam perhitungannya, sedangkan
Osborn (1980) menetapkan γ = 0,2.
FENOMENA YANG MEMPENGARUHI PERCAMPURAN MASSA AIR
1. Gelombang Internal
Pergerakan-pergerakan dengan skala mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa
kilometer dalam arah vertikal di lautan biasanya dikaitkan dengan gelombang internal dan
turbulensi dalam tiga dimensi (Riley dan Lelong, 2000). Gelombang internal memiliki peran
yang sangat penting baik dari sisi oseanografi fisik maupun ekosistem laut, melalui mekanisme
seperti percampuran massa air dan transfer bahang dan nutrien kepada lapisan-lapisan yang aktif
secara biologis. Fenomena ini dapat mengantarkan pada percampuran massa air, khususnya di
mana terdapat interaksi antara gelombang ini dengan topografi, sehingga menghasilkan pantulan
dan pecahan gelombang, yang berpotensi bagi redistribusi bahang, garam mineral, maupun
nutrien-nutrien (Wallace et al., 2008).
Interaksi antara gelombang internal dengan dasar perairan dapat memicu terpecahnya
gelombang, terbentuknya area dengan shear tinggi yang bersifat lokal dan memicu turbulensi;
yang mengarah pada terdisipasinya energi gelombang internal tersebut (Polzin et al., 1997).
Sehingga, gelombang internal memainkan peranan penting dalam termodinamika lautan.
Gelombang internal akan menjalar secara spasial dan mempertukarkan energi dengan
gelombang-gelombang lain melalui interaksi-interaksi gelombang non linier. Proses ini
menghasilkan transfer energi dari skala besar ke skala kecil (Winters dan D’Asaro, 1997).
Proses-proses serupa juga banyak dijumpai pada perairan landas benua (Rippeth dan Inall, 2002).
2. Konfigurasi Topografi Dasar Perairan
Berdasarkan kajian model yang dilakukan Ezer (2006), topografi ambang berperan vital
pada percampuran karena turbulensi aliran dan dinamika arus bawah (downstream). Fenomena
ini berkaitan dengan sistem kanal sempit dan asosiasinya dengan gesekan dasar dan shear. Pada
akhirnya, terdapatnya fenomena percampuran ini juga memungkinkan adanya pertemuan
antarmassa air secara tiba-tiba di lokasi tersebut. Hatayama et al. (2003) menguji pengaruh sill
(ambang) Dewakang, di bagian selatan Selat Makassar terhadap percampuran vertikal yang
terjadi dan menemukan bahwa nilai difusivitas eddy vertikal yang tinggi terjadi pada area di
dekat ambang (Gambar 4).
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
18
Gambar 4. Distribusi nilai difusivitas eddy vertikal (K ρ) di Sill Dewakang (skala dalam m2 s
-1).
Nilai difusivitas vertikal yang tinggi (tanda panah) terjadi di dekat area sill
(Hatayama et al., 2004).
BEBERAPA MANFAAT KAJIAN PERCAMPURAN MASSA AIR
1. Kuantifikasi Perubahan Karakteristik Massa Air Arlindo
Arlindo membawa massa air Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua
jalur, yaitu melalui jalur barat, masuk melalui Laut Sulawesi diteruskan ke Selat Makassar, Laut
Flores, dan Laut Banda. Jalur ini dikenal merupakan jalur transpor utama Arlindo (Ilahude dan
Gordon, 1996). Jalur kedua adalah jalur timur, melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera
diteruskan ke Laut Banda. Dari perairan dalam lautan Indonesia, massa air akan keluar menuju
Samudera Hindia melalui selat-selat utama, seperti Selat Lombok dan selat antara Alor dan
Timor (Fieux et al., 1996). Jalur barat merupakan jalur utama yang membawa sekitar 11,6 + 3,3
Sv (1 Sv = 106 m
3 s
-1) massa air lapisan termoklin Subtropis Samudera Pasifik Utara (North
Pacific Subtropical Water, NPSW) dan lapisan Pertengahan Samudera Pasifik Utara (North
Pacific Intermediate Water, NPIW) (Gordon, 2005; Gordon et al., 2008). Sebagian kecil massa
air dari jalur barat selanjutnya keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok sekitar 2,6 Sv
(Sprintall et al., 2009), sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores
kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Celah
Timor. Adapun pada jalur timur, hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (2009) di
Lifamatola menyebutkan bahwa jalur ini membawa sekitar 2,5 Sv massa air yang berasal dari
Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower
Thermocline Water, SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Meskipun demikian,
belum dapat diestimasi dengan baik jumlah massa air yang dibawa melalui jalur timur ini karena
adanya masukan massa air lain pada jalur timur, yakni melalui Laut Halmahera (Gordon, 2005).
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
19
Massa air dari jalur barat dan jalur timur selanjutnya bergabung di Laut Banda dan keluar
menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv dan Celah Timor sebanyak 7,5
Sv (Sprintall et al., 2009).
Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Arlindo
mengalami perubahan karakter di sepanjang perjalanannya di perairan dalam (interior seas)
Indonesia. Hasil pengukuran salinitas massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran
masuk dan keluar, yakni salinitas massa air NPSW dari 34,90 PSU menjadi 34,54 PSU; dan
massa air NPIW dari 34,35 PSU menjadi 34,47 PSU. Perubahan salinitas ini mengindikasikan
adanya proses percampuran vertikal yang sangat kuat di perairan Indonesia (Atmadipoera et al.,
2009). Proses percampuran vertikal yang terjadi dapat disebabkan oleh topografi yang kasar
seperti sill (ambang), selat, dan aktivitas gelombang internal.
Massa air Pasifik Barat bagian tengah dan tropis atau yang biasa disebut dengan massa
air subtropis bawah (subtropical lower water) dikarakterisasi oleh salinitas maksimum yang
dangkal (Wyrtki, 1961). Modifikasi massa air dari Pasifik barat secara kuantitatif merupakan
representasi dari percampuran vertikal. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan model adveksi-
difusi dalam memverifikasi peran percampuran vertikal ini dan menemukan bahwa lautan
Indonesia secara spesifik didominasi oleh massa air Pasifik Barat bagian utara, meskipun pada
beberapa lokasi seperti di perairan Halmahera bagian timur, Seram, dan Banda dijumpai pula
massa air Pasifik Selatan. Jalur utama Arlindo adalah melalui perairan sebelah barat, yakni Laut
Sulawesi, Laut Makassar, dan Laut Flores.
Reduksi massa air salinitas maksimum Pasifik Barat berkaitan dengan efektivitas fluks
salinitas cross-isopycnal. Berger et al. (1988) mengestimasi Kρ pada slope dan ambang di lautan
Indonesia sebesar 5 x 10-3
m2 s
-1. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan data CTD dari hasil
pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk mengestimasi nilai percampuran
lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4
m2 s
-1. Hatayama
(2004) menggunakan pemodelan numerik dan menghasilkan nilai maksimum difusivitas vertikal
sebesar 6,0 x 10-3
m2 s
-1 di ambang Dewakang. Koch-Larrouy et al. (2007) menemukan rata-rata
difusivitas vertikal perairan kepulauan Indonesia sebesar 1,5 x 10-4
m2 s
-1 menggunakan model
pasang-surut. Suteja (2011) mengidentifikasi difusivitas vertikal rata-rata berdasarkan data
observasi di Selat Ombai sebesar 7,56 x 10-2
m2 s
-1, sedangkan identifikasi difusivitas vertikal
rata-rata berdasarkan data observasi di Selat Alor memiliki orde hingga 10-3
m2 s
-1 (Purwandana,
2012). Dengan diketahuinya nilai difusivitas eddy vertikal pada jalur Arlindo, maka pada tahap
selanjutnya akan memudahkan di antaranya dalam mengestimasi transfer bahang antarlautan, di
mana kajian ini akan berguna untuk mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan,
dinamika arus secara global, dan perubahan komposisi massa air.
2. Estimasi Tingkat Kesuburan Perairan
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
20
Tingkat kesuburan suatu perairan berkaitan dengan jumlah nutrien yang berada di dalam
kolom air. Pergerakan fluida secara vertikal mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan bawah ke
lapisan atas yang menyebabkan proses percampuran memiliki peranan yang sangat penting bagi
kehidupan fitoplankton untuk menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk
melakukan proses fotosintesis (Thorpe, 2007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses
percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Law et al., 2003):
z
nKenFluksNutri
………...........................….……. (11)
dimana Δn merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman Δz (m). Semakin
tinggi nilai percampuran vertikal maka akan semakin besar fluks nutrien yang akan terangkat
dari lapisan dalam, di mana tipikal nilai nutrien pada lapisan dalam lebih tinggi dibandingkan
pada lapisan atas. Suteja (2011) berhasil menghitung laju fluks nutrien pada lapisan dalam di
Selat Ombai dengan nilai difusivitas vertikal, Kρ sebesar 2,17 x 10-1
± 4,75 x 10-1
m2 s
-1
menghasilkan nilai fluks nutrien 8,28 x 10-5
-165,56 x 10-5
m2 µmol l
-1 s
-1.
PENUTUP
Terjadinya percampuran vertikal massa air dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan parsel
massa air akibat dari aktivitas gelombang internal dan/atau aliran massa air yang berinteraksi
dengan konfigurasi topografi dasar perairan. Kuantifikasi parameter ini dapat dilakukan dengan
menganalisis data hidrografi. Kajian percampuran vertikal massa air berguna untuk
mengidentifikasi seberapa besar tingkat perubahan karakteristik massa air pada suatu perairan.
Di samping itu, kaitannya dengan kesuburan perairan, kajian ini bermanfaat untuk mengetahui
laju fluks nutrien yang terangkat dari lapisan dalam di suatu perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Alford, M. H. & R. Pinkel. 2000. Observations of overturning in the thermocline: The context of
ocean mixing. J. Phys. Oceanogr. 30: 805–832.
Atmadipoera, A., R. Molcard, G. Madec, S. Wijffels, J. Sprintall, A. Koch-Larrouy, I. Jaya & A.
Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian Throughflow water at
the outflow straits. Deep-Sea Res. I 56: 1942-1954.
Berger, G. W., A. J. Van Bennekom & H. J. Kloosterhuis. 1988. Radon profiles in the
Indonesian archipelago. Neth. J. Sea Res. 22: 395-402.
Bruno, M., A. Vázquez, J. Gómez-Enri, J.M. Vargas, J. Garcia Lafuente, A. Ruiz-Canavate, L.
Mariscal & J. Vidal. 2006. Observations of internal waves and associated mixing
phenomena in the Portimao Canyon area. Deep-Sea Res. II 53: 1219–1240.
Cisewski, B., V. H. Strass & H. Prandke. 2005. Upper-ocean vertical mixing in the Antarctic
polar front zone. Deep-Sea Res. II 52:1087-1108.
Cullen, J. J., E. Stewart, E. Renger, R. W. Eppley & C. D. Winant. 1983. Vertical motion of the
thermocline, nitracline, and chlorophyll maximum layers in relation to currents on the
Southern California Shelf. J. Mar. Res. 41: 239–262.
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
21
Delpeche, N. C., T. Soomere, & M. J. Lilover. 2010. Diapycnal mixing and internal waves in the
Saint John River Estuary, New Brunswick, Canada with a discussion relative to the Baltic
Sea. Estonian J. Eng. 16 (2): 157–175.
Dillon, T. M. 1982. Vertical overturns: a comparison of Thorpe and Ozmidov length scales. J.
Geophys. Res. 87 (C12): 9601-9613.
Ezer, T. 2006. Topographic influence on overflow dynamics: Idealized numerical simulations
and the Faroe Bank Channel overflow. Geophys. Res. Lett. 111, C02002,
doi:10.1029/2005JC003195.
Fer, I., R. Skogseth & P. M. Haugan. 2004. Mixing of the Storfjorden overflow (Svalbard
Archipelago) inferred from density overturns. J. Geophys. Res. (109): C01005,
doi:10.1029/2003JC001968.
Ferron, B., H.. Mercier, K. G. Speer, A. Gargett & K. L. Polzin. 1998. Mixing in the Romanche
fracture zone. J. Phys. Oceanogr. 28: 1929-1945.
Fieux, M., C. Andrie, E. Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard & J. C. Swallow. 1996.
Hydrological and chlorofluoromethane measurements of the Indonesian throughflow
entering the Indian Ocean. J. Geophys. Res. 101 (C5): 12433-12454.
Ffield, A. & A. L Gordon. 1992. Vertical mixing in the Indonesian thermocline. J. Phys.
Oceanogr. 22:184-195.
Finnigan, T. D., D. S. Luther & R. Lukas. 2002. Observation of enhanced diapycnal mixing near
the Hawaiian Ridge. J. Phys. Oceanogr. 32:2988-3002.
Galbraith, P. S. & D. E. Kelley. 1996. Identifying overturns in CTD profiles. J. Atmos. and
Ocean. Tech. 13: 688-702.
Gargett, A., & T. Garner. 2008. Determining Thorpe scales from ship-lowered CTD density
profiles. J. Atmos. Oceanic. Technol. 25: 1657-1670.
Gordon, A. L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their Throughflow.
Oceanography 18: 14-27.
Gordon A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W. Pranowo, & S. Wirasantosa. 2008.
Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophys. Res. Lett. 35: 1-5.
Gregg, M. C. 1987. Diapycnal mixing in the thermocline: A review. J. Geophys. Res. 92: 5249–
5286.
Hatayama, T. 2004. Transformation of the Indonesian Throughfow water by vertical mixing and
it relation to tidal generated internal wave. J. Oceanogr. 60:569-585.
Ilahude A. G. & A. L. Gordon. 1996. Thermocline stratification within the Indonesian Seas. J.
Geophys. Res. 101: 12401-12409.
Kitade, Y., M. Matsuyama & J. Yoshida. 2003. Distribution of overturn induced by internal tides
and Thorpe scale in Uchiura Bay. J. Oceanography 59: 845-850.
Koch-Larrouy A., G. Madec, P. Bouruet-Aubertot & T. Gerkema. 2007. On the transformation
of Pacific Water into Indonesian Throughflow water by internal tidal mixing. Geophys.
Res. Lett. 34: 1-6.
Law, C. S, E. R Abraham, A. J Watson & M. I. Liddicoat. 2003. Vertical eddy diffusion and
nutrient supply to the surface mixed layer of the Antarctic Circumpolar Current. J
Geophys Res 108:28.1-28.14.
Martinez, D. M. V., E. B. C. Schettini & J. H. Silvestrini. 2006. The influence of stable
stratification on the transition to turbulence in a temporal mixing layer. J. of the Braz. Soc.
of Mech. Sci. & Eng. XXVIII (2): 242-252.
Miles, J. & L. N. Howard. 1964. Note on heterogeneous shear flow. J. Fluid Mechanics, 20: 331-
336.
Munk, W. 1966. Abyssal recipes. Deep-Sea Res. 13: 707–30.
Oseana, Vol. XXXVIII, No. 3, Tahun 2013: 09-22
22
Osborn, T. R. 1980. Estimates of the local rate of vertical diffusion from dissipation
measurements. J. Phys. Oceanogr. 10: 83–89.
Park, Y. H. J. L. Fuda, I. Durand, & A. C. N. Garabato. 2008. Internal tides and vertical mixing
over the Kerguelen Plateau. Deep-Sea Res. II 55: 582–593.
Peters, H., M. C. Gregg & T. B. Sanford. 1995. On the parameterization of equatorial turbulence:
Effect of fine-scale variations below the range of the diurnal cycle. J. Geophys. Res. 100
(C9):18333–18348.
Pond, S. & G. L. Pickard. 1983. Introductory dynamical oceanography. 2nd edition. Pergamon
Press. Toronto.
Polzin K. L., J. M. Toole, J. R. Ledwell & R. W. Schmitt. 1997. Spatial variability of turbulent
mixing in the Abyssal Ocean. Science 276: 93-96.
Pickard G. L. & W. J. Emery. 1990. Descriptive Physical Oceanography. An Introduction.
Oxford: Pergamon Press.
Purwandana, A. 2012. Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada
Bulan Juli 2011. Thesis. Institut Pertanian Bogor.
Richardson, L. F. 1920. The supply of energy from and to atmospheric eddies. Proc. Roy. Soc.
London A97 (686): 354–373.
Riley, J. J. & M. P. Lelong. 2000. Fluid motions in the presence of strong stable stratification.
Annual Review of Fluid Mechanics 32: 613–657.
Rippeth, T. P. & M. E. Inall. 2002. Observations of the internal tide and associated mixing across
the Malin Shelf. J. Geophys. Res. 107 (C4): 8687–8705.
Sherwin, T. J. & W. R. Turrell. 2005. Mixing and advection of a cold water cascade over the
Wyville Thomson Ridge. Deep-Sea Res. I 52: 1392-1413.
Sprintall, J., S. E. Wijffels, R. Molcard, & I. Jaya. 2009. Direct estimates of the Indonesian
Throughflow entering the Indian Ocean: 2004–2006. J. Geophys. Res. 114. C07001.
Stewart, R. H. 2002. Introduction to Physical Oceanography. Texas A & M University:
Departement of Oceanography.
Suteja, Y. 2011. Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya
Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Thesis. Institut Pertanian Bogor.
Thorpe, S. A. 1977. Turbulence and mixing in a Scottish Loch. Philosophical Transactions of the
Royal Society of London Series, A, 286: 125-181.
____________. 2007. An Introduction to Ocean Turbulence. Cambridge: Cambridge University
Press.
Van Aken, H. M., I. S. Brodjonegoro & I. Jaya. 2009. The deep-water motion through the
Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Res.
56:1203-1216.
Wallace, M. I., M. P. Meredith, M. A. Brandon, T. J. Sherwin, A. Dale & A. Clarke. 2008. On
the characteristics of internal tides and coastal upwelling behaviour in Marguerite Bay,
west Antarctic Peninsula. Deep-Sea Res. II 55: 2023-2040.
Winters, K. B. & E. A. D’Asaro. 1997. Direct simulation of internal wave energy transfer. J.
Phys. Oceanogr. 27: 1937-1945.
Wunsch, C. & R. Ferrari. 2004. Vertical mixing energy and the general circulation of the oceans.
Ann. Rev. Fluid Mech., 36:281–314.
Wyrtki, K. 1961. Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf
of Thailand 1959-1961. Naga Report Volume 2.
Yoshida, J. & N. S. Oakey. 1996. Characterization of vertical mixing at a tidal-front on George
Bank. Deep-Sea Res. II 43 (7-8): 1713-1744.