Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan Taman Nasional Batang Gadis

103
KAJIAN KONFLIK KOMUNITAS LOKAL ATAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS Laporan Penelitian Bekerjasama dengan DEPARTEMEN ANTROPOLOGI Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 2009

Transcript of Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan Taman Nasional Batang Gadis

KAJIAN KONFLIK KOMUNITAS LOKAL

ATAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

Laporan Penelitian

Bekerjasama dengan

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

2009

Kat

a P

enga

nta

r

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya laporan penelitian tentang

konflik komunitas lokal atas pemanfatan sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Batang Gadis

dapat diselesaikan. Penelitian ini berupaya memotret persoalan pendudukan kawasan hutan negara

yang berada di ujung sebelah utara kawasan Taman Nasional Batang Gadis oleh penduduk migran Nias

dan warga desa-desa sekitarnya yang terus berlangsung hingga sekarang dan mengancam kelestarian

kawasan. Pendudukan tersebut telah terjadi selama puluhan tahun, terutama di kawasan hutan lindung

dan akhir-akhir telah memasuki kawasan konservasi TNBG. Selain berpotensi mengancam kelestarian

sumberdaya alam di dalam kawasan, kehadiran penduduk pendatang Nias dan warga desa-desa sekitar

juga menyimpan potensi konflik horizontal yang perlu ditangani secara bijaksana agar tidak menambah

kerumitan persoalan penanganan kawasan hutan di masa yang akan datang.

Penelitian lapangan difokuskan di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal khususnya di desa-desa

yang berada di kawasan Tor Sihayo, yang mencakup Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda

dan Tangga Bosi II. Dari sejumlah kluster pemukiman Nias yang terdapat di kawasan hutan di sekitar Tor

Sihayo, telah pula dilakukan penelitian mendalam di Dusun Tor Pulo, salah satu kluster permukiman

migran Nias terbesar, untuk mendapatkan gambaran etnografis tentang penduduk migran Nias.

Pengumpulan data lapangan juga dilakukan melalui wawancara mendalam kepada tokoh-tokoh dan

warga masyarakat di desa-desa yang disebutkan di atas untuk mendapatkan gambaran mengenai

konsepsi dan pandangan mereka tentang keberadaan kawasan serta keberadaan migran Nias yang

menduduki kawasan hutan. Temuan lapangan menunjukkan bahwa potensi konflik dalam pemanfaatan

sumberdaya alam bukan hanya terjadi secara vertikal antara komunitas lokal dan migran Nias dengan

pihak otoritas yang berwenang dalam penegakan hukum atas kawasan hutan, tetapi secara horizontal

juga antara antara komunitas migran Nias dengan penduduk asli, maupun antar warga komunitas desa-

desa yang memiliki klaim dan kaitan kepentingan dengan kawasan Tor Sihayo. Salah satu pilihan

moderat yang diusulkan untuk mengantisipasi konflik terbuka di masa depan adalah pengelolaan

kolaboratif kawasan khususnya hutan lindung melalui mekanisme hutan kemasyarakatan atau hutan

desa.

Kat

a P

enga

nta

r

ii

Penelitian ini dapat terselenggara atas dukungan dana dari Conservation International Indonesia. Pada

kesempatan ini tim peneliti menghaturkan terima kasih banyak atas kepercayaan yang diberikan, dan

juga atas dukungan segenap staf CII yang terkait langsung dengan program pelestarian Taman Nasional

Batang Gadis. Terima kasih juga disampaikan kepada para informan dan narasumber yang sudah

membantu proses pengumpulan data di lapangan, antara lain kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat dan

informan lainnya di Desa Tangga Bosi II, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola, serta tokoh-

tokoh dan warga migran Nias di Dusun Tor Pulo khususnya, serta seluruh informan lainnya yang telah

dengan terbuka memberikan informasi guna melengkapi pemahaman kami mengenai masalah

penelitian. Peneliti menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, dan oleh karena itu kritikan

dan masukan-masukan untuk penyempurnaannnya masih sangat diharapkan dari para pembaca.

Medan, Juni 2009

Tim Peneliti

Exe

cuti

ve S

um

mar

y

vii

EXECUTIVE SUMMARY

It had five years after Batang Gadis National Park which covered 108.000 Ha area in Mandailing Natal

District established through the Minister of Forestry Decree No. 126/Menhut-II/2004. The occupation of

state forest by local people and Nias migrants in and around Batang Gadis National Park is one of some

unresolved important problems up to this moment. The northern part of Batang Gadis National Park

which is known and called Tor Sihayo by the local communities is a case where Nias migrant have been

occupying the state forest since the end of 1970s. They came from Nias Island sporadically and entered

the protected forest near Tor Sihayo where they cultivated food crops and made a slash and burn

cultivation. Some of the local people from the adjacent villages also involved in clearing forest and

converted it into the farm land. However, the number of Nias migrants in this area is growing up year to

year and the state forest which can be converted to farm land by these ‘land hunter’ will be spread up in

the future, and this must be the real threats to the natural resources conservation efforts in national

park. The presence of Nias migrants also be able to raise a new social problems related to the potential

of social conflict between them and the indigenous people.

The research aimed to explore and figure out a comprehensive understandings of the conflicts over the

natural resources in and around the Batang Gadis National Park where Nias migrants and local residents

from the adjacent villages, mainly the village of Tangga Bosi, Hutagodang Muda and Muara Batang

Angkola --- all of them are the part of Siabu Sub-district--- are competing to claim forest resources.

However, the scarcity of land in their villages region that can be accessed by the local people and Nias

migrants is supposed to be the main reason why they entered the state forest. It is hoped that the

research will shows the pathway to resolve the conflict over natural resources in and around the national

park to make sure that the Batang Gadis National Park can be sustained and free from illegal

occupations and forest degradation, while the local people who face the economic problems due to the

shortage of farm land also will have another advantage of the presence of forest conservation and get

the opportunity to improve their economic conditions.

The research was being held in qualitative approach to grasp a deeper understanding about the real

phenomena related to the conflicting situation in the northern part of Batang Gadis National Park.

Fieldwork has done intensively at three villages of Siabu sub-district namely Muara Batang Angkola,

Hutagodang Muda and Tangga Bosi, the closest villages to the protected forest and northern part of the

national park, as well as at Dusun Tor Pulo, the biggest groups of Nias migrant forest dweller in the area

of the protected forest. In-depth interviews with local leaders, the villagers and forest dwellers, and also

participant observations as well as focused group discussions had conducted to collect primary data.

The research findings show that the occupation of the state forest near the Tor Sihayo area had started

since the end of 1970s by the Nias migrant in particular. It is predicted no less than 200 households with

the amount of more or less 1000 individual of Nias occupants now live in the protected region and even

some of them have been occupied some parts of national park. More than 500 hectares of forest land

Exe

cuti

ve S

um

mar

y

viii

had been degraded so far. Nias migrant cutting forest and cultivate some food crops, cacao, candlenut

and other annual crops, and some of them now adopt rubber plant. A few local residents had also

contributed to the process of the forest degradation. However, the presence of Nias migrant in Tor

Sihayo area have made a significant economic contribution in local market, and a patron-client

relationship has established between Nias migrant forest dweller and local merchants, especially in

Muara Batang Angkola village. It has a positive impact on the village level economic growth mainly for

Muara Batang Angkola, but on the other hand, it is also drive a negative effect which can be seen in the

strengthened of anti-Nias migrant sentiment and negative stereotyping on Nias migrant by the local

community. This phenomenon can be found easily between the local resident of Hutagodang Muda who

has a potential latent conflict with Nias migrant, and is predicted easier to be manifested in an overt

violence sometime in the future.

On the other hand, there are also potential conflicts among the villager of the three closest villages who

live in the vicinity of Tor Sihayo region. These three villages have the traditional claim based on their

communal laws over the forest. From the legal perspective, most of the forest areas which they claimed

as their communal property, in fact, are the main part of protected forest based on the national laws.

Most of the local people know the rules, but according to adat laws they believe they still have access to

use forest land, although the community leader of these three villages also have different opinions about

their own village border line. In other words, there are also overlapped claims among these villages over

the same forest land in Tor Sihayo, while the Nias migrant nowadays are the real occupants of the most

part of the protected forest or so-called as the communal forest claimed by the local people. Local

residents hope the government would be able to consider releasing the protected areas to the local

people, in order to give them an access to land as a legal way to deal with their economic problems. They

are involved in a conflicting interest of each other, while at the same time they realize that they should

also face the fact that local authorities will strictly control the state forest from illegal activities.

Based on the result of this research, it has been described there are some alternative actions that able to

be chosen as a pathway to resolve the conflict over natural resources in state forest areas around Tor

Sihayo. However, there is no reason to let the people occupied the conservation forest of Batang Gadis

National Park. In other words, based on the national laws all kinds of illegal activities should be

prohibited in any parts of conservation forests. The only one opportunity to compromise or to mix the

opposing needs for conservation and economic needs of the local people is recommended here through

the implementation of a collaborative management on protected forests surrounding the national park.

There are two legal options that can be chosen from the bundle of forest-related rules available from the

Minister of Forestry Decree, i.e. community forestry schema and the newest policy on village forest

schema. Based on this research, it is recommended to prefer to the village forest schema, based on a few

considerations below. First, in village forest schema the responsibility to manage protected forest

sustainably is relied on the village institution, not individual or group of individual like in community

forestry scheme. This schema has an advantage to strengthen the village institutions rather than give the

advantage to the individuals. Second, by giving the responsibility into the village institutions then the

village communities have a big opportunity to build their consensus on the management of the forest for

the benefits of all people in the village which could drive a stronger community support to participate in

Exe

cuti

ve S

um

mar

y

ix

collaborative management. Third, over thirty years some local communities who live in the river bank in

a few sub-district of Mandailing Natal District, have been developing a local wisdom on natural resources

management so-called “lubuk larangan”, a sustainable social capital-based communal resources

management which performed some benefits to the communities as well as environment. This form of

local wisdom can be replicated into the management of village forest. By doing so, the management of

village forest in state forest will culturally sound and then also hoped as economically equitable and

ecologically sustainable.

Exe

cuti

ve S

um

mar

y

x

RINGKASAN EKSEKUTIF

Taman Nasional Batang Gadis yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal sudah berusia lima tahun

sejak dikukuhkan berdasarkan SK Menhut No. 126/Menhut-II/2004 seluas 108.000 Ha. Salah satu

persoalan yang belum bisa diselesaikan sampai saat ini adalah kasus-kasus perambahan atau

pendudukan kawasan hutan yang terjadi di sejumlah tempat di sekeliling kawasan TNBG, yang dilakukan

oleh penduduk asli maupun pendatang. Kawasan Tor Sihayo yang berada di bagian ujung utara TNBG

merupakan salah satu contoh kasus dimana migran Nias dan penduduk lokal sudah menduduki kawasan

hutan lindung sejak puluhan tahun dan kini sudah mulai merambah masuk ke dalam kawasan hutan

konservasi. Selain menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan, ekspansi yang dilakukan warga membuka

lahan pertanian di dalam kawasan juga mengandung potensi konflik sosial antar komunitas, termasuk

antara komunitas lokal dengan migran Nias.

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dan menemukan gambaran/pemahaman yang komprehensif

mengenai akar permasalahan konflik penguasaan sumberdaya alam yang melibatkan komunitas migran

Nias dan penduduk asli di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, khususnya di sekitar Desa Tangga

Bosi, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola Kecamatan Siabu. Melalui penelitian ini diharapkan

dapat ditemukan alternatif pemecahan masalah yang bisa diterima oleh semua pihak terkait dengan

tujuan jangka panjang yaitu terbebasnya kawasan TNBG dari okupasi ilegal yang mengancam eksistensi

dan kelestariannya, dan pada waktu yang sama tersedia pula pilihan-pilihan pengembangan ekonomi

alternatif yang menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal. Penelitian dilakukan dengan

menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian lapangan dengan melakukan wawancara mendalam dan

pengamatan serta diskusi kelompok terfokus yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan warga dari

desa-desa tersebut di atas serta tokoh masyarakat dan warga dari migran Nias di Dusun Tor Pulo.

Temuan lapangan menunjukkan bahwa pendudukan kawasan hutan di daerah Tor Sihayo sudah

berlangsung sejak akhir tahun 1970-an, khususnya oleh migran Nias yang masuk secara sporadis ke

daerah ini. Sampai sekarang diperkirakan jumlah mereka yang menghuni kawasan hutan lindung dan

sebagian taman nasional sudah mencapai sekitar 200 KK dengan perkiraan jumlah warga mencapai

kurang lebih 1000 jiwa, dan menduduki kawasan seluas lebih dari 500 Ha. Warga desa-desa sekitar juga

ikut membuka lahan pertanian di dalam kawasan hutan lindung. Migran Nias membuka hutan dan

mengkonversinya menjadi ladang dengan menanami tanaman pangan, dan sebagian menanam kakao,

kemiri dan belakangan ini sudah ada yang menanam karet. Sementara penduduk lokal biasanya

mengusahakan tanaman kakao, kemiri dan karet. Secara ekonomi, kehadiran penduduk migran Nias di

daerah Tor Sihayo telah memberikan kontribusi penting dan membuka lapangan usaha baru bagi

penduduk setempat, khususnya di desa Muara Batang Angkola. Hubungan patron-klien terbangun di

antara warga migran Nias dengan penguasa elit-elit ekonomi lokal, yang di satu sisi menguntungkan

sebagian elit desa tertentu, tetapi di sisi lain mengundang kecemburuan bagi warga dan penduduk dari

desa lain yang merasakan tidak adanya manfaat dari kehadiran orang Nias di daerah ini.

Exe

cuti

ve S

um

mar

y

xi

Di sisi lain, terdapat potensi konflik antara warga dari desa-desa yang ada di sekitar Tor Sihayo yang

sama-sama memiliki klaim historis terhadap kawasan hutan. Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang

Muda dan Tangga Bosi II memiliki klaim penguasaan yang tumpang tindih atas kawasan hutan yang kini

sudah diduduki oleh migran Nias. Penduduk dari ketiga desa ini memiliki kepentingan yang besar

terhadap kawasan hutan karena fakta sempitnya lahan pertanian yang masih bisa mereka akses,

sehingga mereka melihat kawasan hutan lindung merupakan sumberdaya yang bisa mereka kelola, yang

secara tradisional mereka klaim sebagai tanah milik komunal mereka, dan secara formal juga mereka

harapkan bisa dilepaskan pemerintah dari status kawasan hutan untuk dapat dimanfaatkan bagi

perbaikan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, potensi konflik horizontal terdapat di kalangan

migran Nias dengan penduduk lokal maupun antara pernduduk lokal dari desa-desa yang berbeda. Pada

sisi lainnya lagi, semua komunitas yang mengklaim penguasaan atas lahan tersebut harus berhadapan

pula dengan otoritas pemerintah yang berwenang mengelola kawasan hutan.

Berdasarkan hasil kajian ini, telah digambarkan beberapa alternatif penyelesaian masalah yang bisa

dipilih untuk memastikan tidak berlanjutnya praktik pendudukan kawasan hutan oleh penduduk lokal

maupun migran Nias. Solusi jalan tengah yang direkomendasikan adalah melakukan pengelolaan secara

kolaboratif di kawasan hutan lindung, sementara kawasan konservasi TNBG harus dibersihkan dari

tindakan okupasi oleh penduduk dari manapun. Ada dua skema yang bisa dipilih untuk model

pengelolaan kolaboratif tersebut yaitu skema pengelolaan hutan kemasyarakatan atau skema hutan

desa yang sudah memiliki dasar kebijakan dari Menteri Kehutanan. Tim peneliti lebih cenderung untuk

merekomendasikan pengelolaan kolaboratif dengan skema hutan desa, dengan harapan agar di masa

yang akan datang pihak desalah secara institutusional yang bertanggung jawab dalam pelestarian hutan,

bukan kelompok atau individu-individu yang dijadikan fokus. Dengan memberikan tanggung jawab

pelestarian ke desa, masyarakat desa dapat mengembangkan pranata atau aturan-aturan yang menjadi

rujukan bagi perilakukolektif sehingga mekanisme pendayagunaan modal sosial bisa berjalan dan sanksi-

sanksi sosial bisa efektif untuk meminimalisasi pelanggaran. Pilihan ini dinilai strategis mengingat

pengalaman desa-desa di pinggiran sungai besar di Kabupaten Mandailing Natal yang mengelola secara

lestari kawasan sungai dengan model lubuk larangan dapat dimodifikasi dalam bentuk pengelolaan

hutan desa. Kearifan penduduk lokal dalam mengelola sumberdaya alam melalui sistem lubuk larangan

dapat direplikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan dalam pengelolaan kolaboratif kawasan hutan

lindung melalui skema hutan desa.

Daf

tar

Isi

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………………. i

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………………………………… ii

Daftar Tabel ……………………………………………………………………………………………………………………………… v

Daftar Gambar…………………………………………………………………………………………………………………………… v

Daftar Matrik …………………………………………………………………………………………………………………………….. vi

Daftar Skema ……………………………………………………………………………………………………………………………. vi

Executive Summary ……………………………………………………………………………………………………………………. vii

Ringkasan Eksekutif …………………………………………………………………………………………………………………… x

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………………. I-1

1.1. Latar belakang ………………………………………………………………………………………………………… I-1

1.2. Fokus kajian …………………………………………………………………………………………………………. I-2

1.3. Tujuan dan hasil yang diharapkan ………………………………………………………………………….. I-3

1.4. Metode penelitian ………………………………………………………………………………………………….. I-3

1.5. Pelaksana ……………………………………………………………………………………………………………….. I-6

BAB II POTRET ALAM DAN SOSIAL EKONOMI KAWASAN TOR SIHAYO ……………………………………… II-1

2.1. Lokasi dan keadaan alam ……………………………………………………………………………………….. II-1

2.2. Riwayat pembukaan hutan ……………………………………………………………………………………. II-3

2.3. Penduduk dan mata pencaharian hidup …………………………………………………………………. II-5

2.4. Kontribusi ekonomi ………………………………………………………………………………………………… II-9

2.5. Profil desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo ………………………………………………………… II-12

BAB III KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN TOR SIHAYO …………………………………………………………….. III-1

3.1. Status kawasan hutan …………………………………………………………………………………………. III-1

3.2. Klaim penguasaan oleh komunitas lokal ……………………………………………………………….. III-2

3.2.1. Klaim tanah ulayat desa Tangga Bosi ……………………………………………………… III-2

3.2.1. Klaim wilayah desa Hutagodang Muda ………………………………………………….. III-6

3.2.3. Klaim wilayah desa Muara Batang Angkola ……………………………………………. III-7

3.3. Klaim penguasaan oleh komunitas migran Nias ……………………………………………………… III-9

BAB IV ANALISIS KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA …………………………………………………………. IV-1

4.1. Faktor-faktor subjektif dalam konflik penguasaan sumberdaya alam Tor Sihayo….. IV-1

4.1.1. Silang kepentingan antar komunitas lokal …………………………………………….. IV-1

4.1.2. Komunitas lokal versus komunitas migran Nias …………………………….………

IV-5

4.1.3. Komunitas lokal dan migran Nias versus Pemkab dan BP-TNBG ……………. IV-8

Daf

tar

Isi

iv

4.2. Faktor-faktor objektif dalam konflik penguasaan sumberdaya alam Tor Sihayo ……. IV-14

4.2.1. Keterbatasan lahan ……………………………………………………………………………… IV-14

4.2.2. Pertambahan penduduk ………………………………………………………………………. IV-15

4.2.3. Peningkatan kebutuhan ekonomi ………………………………………………………….. IV-16

4.2.4. Proses penegakan aturan terkait pengelolaan hutan Negara …………………. IV-17

BAB V ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH …………………………………………………………………………… V-1

5.1. Tipologi konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan Tor Sihayo ………………………… V-1

5.2. Perspektif penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan TNBG ………. V-4

5.2.1. Konflik berdimensi vertikal ……………………………………………………………………. V-4

5.2.2. Konflik berdimensi horizontal ………………………………………………………………… V-5

5.3. Ragam alternatif penyelesaian konflik ………………………………………………………………….. V-5

5.4. Alternatif mekanisme pengelolaan kolaboratif …………………………………………………….. V-11

5.4.1. Mekanisme pembebasan kawasan konservasi TNBG ……………………………. V-11

5.4.2. Mekanisme penyelesaian melalui pengelolaan kolaboratif HL ……………… V-14

5.4.3. Alternatif model pengelolaan kolaboratif di kawasan Tor Sihayo ………… V-16

5.4.3.1. Skema hutan kemasyarakatan ……………………………………………………………. V-17

5.4.3.2. Skema hutan desa ……………………………………………………………………………. V-18

5.4.4. Mekanisme pengelolaan kolaboratif hutan desa melalui ……………………..

pendayagunaan modal social …………………………………………………………………

V-23

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………………………… 1

LAMPIRAN

Daf

tar

Isi

v

DAFTAR TABEL

2.1. Jumlah migran Nias di Desa Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, 2008 ……………….. II-6

2.2. Komposisi migran Nias usia 0-20 tahun di Tangga Bosi II dan Muara Btg Angkola, 2008… II-7

2.3. Luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah RT di desa-desa sekitar Tor Sihayo …………….. II-13

DAFTAR GAMBAR

1 Kluster pemukiman dan perladangan migran Nias di Dusun Tor Pulo …………………………… II-2

2 Areal hutan yang dibuka oleh migran Nias di dalam kawasan TNBG di hulu DAS Sihayo II-5

3 & 4 Aktivitas perladangan tanaman padi dan palawija ……………………………………………………….. II-10

5 Angkutan penyeberangan di Muara Batang Angkola ……………………………………………………. II-11

6 Seorang pencari ikan sungai dari Muara Batang Angkola …………………………………………….. II-17

7 Hasil kepala yang diolah menjadi kopra di Hutagodang Muda …………………………………….. II-17

8 Hasil tanaman kakao, kemiri dan pinang di Hutagodang Muda ……………………………………. II-17

9 Areal padi sawah di Tangga Bosi …………………………………………………………………………………. II-17

10 Pengrajin tikar pandan di Tangga Bosi ………………………………………………………………………… II-17

11 Salah satu warung pedagang pengumpul hasil pertanian di Aek Tombang …………………. II-17

DAFTAR MATRIK

1 Silang kepentingan antar komunitas local …………………………………………………………………… IV-2

2 Komunitas lokal versus migran Nias ……………………………………………………………………………. IV-7

5.1 Pembebasan kawasan dari aktivitas pertanian …………………………………………………………… V-6

5.2 Pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas pertanian …………………………………………………. V-7

5.3 Pembebasan kawasan TNBG dan pengurangan luasan HL ………………………………………….. V-9

5.4 Pembebasan kawasan TNBG dan pengelolaan kolaborasi HL …………………………………….. V-10

5.5 Karakteristik hutan kemasyarakatan dan hutan desa …………………………………………………. V-15

5.6 Pengelolaan hutan desa di kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi …………………… V-16

5.7 Analisis kelebihan dan kekurangan model HKM dan HD di kawasan Tor Sihayo ………… V-17

5.8 Langkah pengelolaan sumberdaya berbasis modal sosial ………………………………………….. V-26

DAFTAR SKEMA

1 Hubungan siklikal komponen modal sosial ………………………………………………………………….. V-25

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

1:

Pen

dah

ulu

an

I-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Keberadaan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) secara formal sudah berusia lima tahun, yaitu

sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Menhut-II/2004 tanggal 29

April 20041. Taman nasional seluas 108.000 Ha yang terletak di wilayah Kabupaten Mandailing Natal,

Propinsi Sumatera Utara, itu merupakan satu-satunya taman nasional yang proses pembentukannya

berasal dari inisiatif masyarakat, pemerintah daerah bersama lembaga swadaya masyarakat

internasional. Dari awal pembentukannya taman nasional tersebut diproyeksikan sebagai sebuah

taman nasional yang model pengelolaannya dirancang secara kolaboratif, sehingga warga komunitas

lokal yang ada di dalam dan sekitar kawasan turut serta secara aktif dalam proses-proses yang

terkait dengan pengelolaannya.

Sampai memasuki usianya yang kelima TNBG masih mengalami berbagai kendala faktual di

lapangan, antara lain berkaitan dengan penetapan tata batas, adanya pembukaan hutan di dalam

kawasan dan juga ancaman melemahnya dukungan komunitas sekitar atas keberadaan dan

pelestarian sumberdaya alam di dalam kawasan. Tak bisa dipungkiri bahwa komunitas lokal yang

menghuni hampir 70-an desa di sekeliling TNBG sejak sebelum dibentuknya taman nasional telah

memiliki interaksi yang cukup tinggi dengan kawasan, khususnya dalam rangka menyangga

kebutuhan ekonomi penduduk, baik melalui aktivitas perluasan lahan pertanian maupun

pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu. Selain itu ada juga bentuk kolaborasi negatif yang

terjalin antara aktor luar dengan warga setempat dengan modus pembalakan kayu, meskipun

intensitasnya telah jauh berkurang seiring dengan penegakan hukum yang semakin tegas dari aparat

keamanan nasional.

Salah satu persoalan yang hingga kini belum bisa diselesaikan adalah keberadaan migran Nias yang

secara sporadis sudah mendiami beberapa bagian kawasan TNBG sejak pertengahan 1980-an,

misalnya di sekitar Tor Sihayo Kecamatan Siabu. Pembiaran terhadap keberadaan lebih dari 150-an

KK warga Nias yang berada di dalam kawasan tersebut akan menjadi ancaman yang serius terhadap

1 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.126/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung,

Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara seluas ±

108.000 (Seratus Delapan Ribu) hektar Sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan Fungsi Taman Nasional dengan nama

Taman Nasional Batang Gadis.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

1:

Pen

dah

ulu

an

I-2

keberlanjutan kawasan taman nasional, selain karena tindakan mereka membuka hutan secara

ilegal, juga karena kehadiran mereka telah menimbulkan sengketa penguasaan sumberdaya dengan

komunitas lokal yang juga membutuhkan perluasan lahan pertanian dan memandang bahwa wilayah

itu merupakan tanah ulayatnya. Konflik antara warga asli dan pendatang terkait dengan

pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan TNBG sudah pernah terjadi, seperti yang ditemukan di

Desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi Kecamatan Siabu. Jika persoalan demikian tidak ditangani

secara baik dan bijaksana sejak sekarang, maka bisa diperkirakan di masa yang akan datang hal itu

akan menjadi preseden buruk yang akan diikuti oleh komunitas-komunitas tempatan di bagian lain

TNBG, sehingga secara keseluruhan akan menjadi ancaman bagi eksistensi Taman Nasional Batang

Gadis.

1.2. Fokus kajian

Keberadaan migran Nias yang secara sporadis datang sejak tahun 1980-an dan menduduki kawasan

hutan lindung yang berada di seberang Sungai Batang Gadis di wilayah Kecamatan Siabu, merupakan

persoalan pertama yang harus diselesaikan. Karakteristik sosial budaya, modus perantauan serta

pola perekonomian migran Nias yang banyak berdiam di sepanjang punggung Bukit Barisan wilayah

pantai barat Sumatera Utara ini perlu dikenali dan dipahami dengan baik agar alternatif pemecahan

masalah yang akan dipilih bisa memberikan hasil yang optimal, terutama untuk menjamin bahwa

kawasan TNBG bebas dari aktivitas-aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsinya.

Persoalan kedua adalah komunitas lokal atau penduduk asli yang memiliki klaim historis dan kultural

atas kawasan hutan yang kini secara formal telah menjadi kawasan TNBG. Adanya klaim tanah ulayat

di atas kawasan hutan lindung (dulu) dan/atau taman nasional sekarang juga merupakan sebuah issu

yang perlu dikelola secara bijaksana untuk menjamin dukungan komunitas lokal terhadap

keberadaan dan kelestarian TNBG. Terus meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perluasan lahan

pertanian seiring dengan pertumbuhan penduduk adalah sebuah gejala alamiah yang niscaya,

namun ketika hal itu tertuju kepada kawasan TNBG maka ia menjadi sebuah persoalan baru yang

juga memerlukan solusi bijaksana.

Persoalan ketiga, jika dua komunitas yang berbeda latar belakang historis dan kultural (yaitu migran

Nias dan penduduk asli Siabu) terlibat dalam kompetisi pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya

alam di kawasan yang sama, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan

atau konflik sosial yang berbahaya jika tidak dilakukan antisipasi sejak dini. Konflik yang semula

bersifat horizontal antar komunitas yang terlibat kompetisi pemanfaatan dan penguasaan

sumberdaya bisa berkembang menjadi lebih rumit dan berubah menjadi konflik vertikal karena ia

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

1:

Pen

dah

ulu

an

I-3

berlangsung di suatu medan yang di atasnya ada otoritas negara (pemerintah daerah dan pemangku

kawasan TNBG). Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana dari pemegang otoritas negara di

wilayah itu menjadi kunci penting dalam penanganan permasalahan.

Dengan adanya tiga ranah permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, maka kajian ini akan

difokuskan kepada upaya untuk mengeksplorasi dan menemukan gambaran dan pemahaman yang

komprehensif mengenai akar permasalahan yang terjadi. Hasil kajian kemudian diharapkan menjadi

dasar akademik yang kuat dalam menawarkan alternatif pemecahan masalah yang bisa diterima

oleh semua pihak yang terkait dengan permasalahan tersebut. Selain itu, kajian juga diharapkan

dapat memberikan gambaran mengenai mekanisme implementasi penyelesaian masalah.

1.3. Tujuan dan hasil yang diharapkan

1.3.1. Tujuan

Mengeksplorasi dan menemukan gambaran/pemahaman yang komprehensif mengenai akar

permasalahan konflik penguasaan sumberdaya alam yang melibatkan komunitas migran

Nias dan penduduk asli di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, khususnya di sekitar Desa

Tangga Bosi, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola, Kecamatan Siabu.

Menemukan alternatif pemecahan masalah yang diharapkan bisa diterima oleh semua pihak

terkait dengan tujuan jangka panjang, yaitu terbebasnya kawasan Taman Nasional Batang

Gadis dari okupasi ilegal yang mengancam eksistensi dan kelestariannya, dan pada waktu

yang sama tersedia pula pilihan-pilihan pengembangan ekonomi alternatif yang menjamin

terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal.

1.3.2. Hasil yang diharapkan

Adanya sebuah laporan hasil assesmen mengenai akar permasalahan, alternatif-alternatif

pemecahan masalah dan mekanisme penanganan masalah yang bisa menjadi rujukan bagi

otoritas pengambil kebijakan.

1.4. Metode penelitian

Untuk dapat memahami permasalahan kajian dengan baik diperlukan kegiatan pengumpulan data

dan analisis data, baik melalui kunjungan lapangan maupun pemanfaatan sumber-sumber sekunder.

Kajian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif guna menemukan perspektif emik atas

permasalahan yang terjadi di lapangan. Sebuah pendekatan kualitatif menuntut adanya interaksi

intensif antara peneliti dengan warga masyarakat yang diteliti dalam proses pengumpulan data dan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

1:

Pen

dah

ulu

an

I-4

analisisnya. Sehubungan dengan hal itu, tim peneliti telah melakukan kunjungan ke kawasan TNBG

yang diduduki oleh migran Nias serta ke desa-desa sekitarnya, menemui dan mewawancarai pihak-

pihak yang terkait dengan permasalahan kajian.

Kunjungan lapangan difokuskan di dua tempat, yaitu desa-desa sekitar yang memiliki kaitan

langsung dengan konflik penguasaan sumberdaya alam di kawasan TNBG khususnya di sekitar Tor

Sihayo, seperti desa Tangga Bosi, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola. Di desa-desa

tersebut telah dilakukan serangkaian wawancara dengan pemimpin formal dan tokoh-tokoh

masyarakat untuk menggali dan mendalami permasalahan dari perspektif komunitas lokal atau

penduduk asli Siabu. Fokus kedua, kunjungan lapangan dilakukan ke kluster-kluster pemukiman

migran Nias di kawasan Tor Sihayo, yang secara intensif telah dilakukan serangkaian wawancara

dengan pemimpin komunitas dan warga migran Nias khususnya di Dusun Tor Pulo.

Semula direncanakan juga kunjungan ke Kecamatan Malintang, yaitu wilayah yang pernah disebut-

sebut disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sebagai lokasi ‘resettlement’ bagi

migran Nias jika alternatif solusi tersebut menjadi pilihan kelak. Penggalian informasi dan data

mengenai perspektif penduduk lokal di wilayah baru dinilai penting untuk menjadi dasar bagi

pengembangan rekayasa sosial budaya yang kondusif bagi kedua komunitas yang berbeda latar

belakang kulturalnya, sehingga pilihan pemindahan pemukiman migran Nias tidak sekedar menjadi

pemindahan permasalahan dari kawasan TNBG ke kawasan lain di luarnya. Namun, mengingat

belum adanya kejelasan atau kepastian mengenai lokasi yang ditetapkan untuk relokasi, maka

kunjungan lapangan untuk keperluan seperti disebutkan di atas dibatalkan dengan sendirinya.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah berupa wawancara mendalam, pengamatan dan

diskusi kelompok terfokus. Wawancara telah dilakukan terhadap informan-informan kunci di

masing-masing komunitas, mencakup pemimpin formal dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka yang

diwawancarai sedapat mungkin telah mewakili keragaman kelompok sosial yang ada seperti tokoh

adat, tokoh agama, tokoh pemuda, pendidik, petani, politisi, perempuan, pedagang dan kelompok-

kelompok interes lainnya yang ada di desa. Diskusi kelompok terfokus dilakukan guna mendapatkan

data dan informasi yang diperlukan dalam menyusun alternatif pemecahan masalah dari perspektif

masyarakat setempat. Namun pelaksanaan diskusi kelompok terfokus di desa dilakukan secara

informal dengan peserta sangat terbatas guna menghindari terbangunnya polarisasi pandangan

warga yang dikhawatirkan bisa mendorong mereka untuk melakukan tindakan sepihak dalam

menyelesaikan masalah yang ada. Pengamatan dilakukan untuk melihat fakta pemanfaatan dan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

1:

Pen

dah

ulu

an

I-5

pengelolaan sumberdaya alam, interaksi sosial dan ekonomi, serta ekspresi-ekspresi kultural yang

terkait dengan permasalahan.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pedoman pengumpulan data (interview

guide) yang disusun khusus untuk keperluan kajian ini. Proses analisis data dilakukan secara kualitatif

dengan teknik-teknik analisis yang lazim dalam pendekatan ini seperti analisis taksonomis, analisis

domain, analisis tema budaya, dan teknik-teknik lain yang relevan. Pemahaman yang diperoleh

melalui analisis kualitatif demikian itulah yang kemudian dijadikan dasar proses rekonstruksi

permasalahan konflik pengelolaan sumberdaya yang melibatkan multipihak.

Dengan pemahaman yang baik mengenai permasalahan konflik pengelolaan sumberdaya yang ada di

sekitar TNBG dan di lokasi kajian pada khususnya, kajian ini diharapkan dapat memberikan kerangka

kebijakan bagi penyelesaian permasalahan. Penyusunan kerangka kebijakan tersebut dilakukan

dengan mempertimbangkan alternatif terbaik dari lima model pendekatan manajemen konflik yang

lazim dikenal, yaitu (1) force, (2) withdrawal, (3) accomodation, (4) compromise, dan (5) consensus.

Secara teoritis, model penyelesaian terbaik jika dilihat dari kepentingan pemeliharaan hubungan

antar pihak yang berkonflik ialah akomodasi dan konsensus; sebaliknya jika dilihat dari kepentingan

pencapaian tujuan adalah pemaksaan.

Selanjutnya, dalam memberikan pilihan kerangka penyelesaian permasalahan konflik pengelolaan

sumberdaya yang terkait dengan kasus kajian ini, peneliti sedapat mungkin juga telah

memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan konflik alternatif (principles of alternative conflict

management). Prinsip-prinsip tersebut secara teoritis mencakup hal-hal berikut ini : (a)

terakomodasinya perbedaan budaya, (b) diakuinya keragaman persepsi, (c) adanya komunikasi yang

baik, (d) adanya ranah lapangan untuk bernegosiasi, (e) terbangun dan terpeliharanya hubungan

baik, (f) fokus kepada kebutuhan-kebutuhan yang mendasar, (g) memperlebar pilihan-pilihan, (h)

membingkai kembali kebutuhan-kebutuhan dan pilihan-pilihan, (i) mencapai sesuatu dengan cara

yang saling menguntungkan, dan (j) menguji kelayakan kesepakatan. Dengan memperhitungkan

prinsip-prinsip tersebut diharapkan agar alternatif solusi dan rekayasa sosial budaya yang

ditawarkan sebagai mekanisme penyelesaian konflik sudah berangkat dari hasil analisis yang

mendalam mengenai akar permasalahan serta model dan prinsip-prinsip penyelesaian konflik yang

sudah pernah diterapkan dalam kasus sejenis2.

2 Diadaptasi dari “A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource Projects in the South

Pacific: Context, Principles, Tools and Training Materials”. London, Overseas Development Institute, 1998.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

1:

Pen

dah

ulu

an

I-6

1.5. Pelaksana

Penelitian dilakukan oleh tim peneliti dari Departemen Antropologi Fisip USU, dengan komposisi

sebagai berikut : Zulkifli B. Lubis sebagai peneliti utama; Andi Gustian Hamonangan dan Mujur

Pandapotan Lubis sebagai peneliti; dibantu oleh tiga asisten lapangan yaitu Selwa Kumar, Ronald

Gea dan Daniel Aros Daeli.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-1

BAB II

POTRET ALAM DAN SOSIAL EKONOMI

KAWASAN TOR SIHAYO

2.1. Lokasi dan Keadaan Alam

Kawasan hutan Tor Sihayo yang menjadi lokus permasalahan dalam penelitian ini berada di ujung

utara dan timur laut kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), termasuk dalam wilayah

administratif Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal. Kawasan tersebut meliputi gugusan

perbukitan di sisi sebelah barat aliran Sungai Batang Gadis setelah menyatu dengan aliran Sungai

Batang Angkola yang mengalir dari sisi timur laut dan bertemu di suatu tempat dalam wilayah Desa

Muara Batang Angkola Kecamatan Siabu. Sebenarnya Tor Sihayo hanya salah satu dari puluhan tor

(bukit) yang terdapat di kawasan ini, namun nama tersebut digunakan di sini untuk merujuk seluruh

kawasan yang di dalamnya terdapat titik-titik lokasi pembukaan hutan oleh migran Nias sejak awal

1980-an.

Penduduk yang bermukim di desa-desa sekitar Tor Sihayo dan sekitarnya mengenal dan memberi

nama tertentu untuk sejumlah bukit dan aliran sungai serta anak sungai yang ada di daerah ini,

antara lain Tor Sihayo, Tor Bulusoma, Tor Ledang, Tor Jilok, Tor Bahal Gaja, Tor Pulo dan Tor Dairi.

Khusus dua bukit yang disebut terakhir adalah nama yang diberikan oleh penduduk setempat untuk

merujuk pada bukit yang dulunya dibuka dan dihuni oleh migran asal Dairi (Tor Dairi) pada 1980-an

dan yang kemudian dijadikan pemukiman oleh migran dari Pulau Nias (Tor Pulo). Selain itu ada pula

tempat-tempat yang diberi nama menurut nama sungai atau anak sungai yang ada di lembah-

lembah perbukitan seperti Aek Sidua-dua, Aek Garut, Aek Sirandorung, Aek Tombang, Aek

Simarincor-incor, Aek Simate-mate, Aek Sibarabe dan Aek Sihayo. Semua anak sungai tersebut

bermuara ke Sungai Batang Gadis dan yang terbesar di antaranya adalah Aek Sihayo.

Sebagian besar kontur lahan di kawasan Tor Sihayo terdiri dari bukit-bukit terjal dengan perkiraan

kemiringan lebih dari 400. Sebagian lereng bukit masih ditutupi oleh vegetasi beragam jenis

tumbuhan kayu, semak dan liana, namun ditaksir sudah lebih banyak yang berganti menjadi

tanaman komersial seperti karet, kemiri dan coklat, selain yang juga dijadikan sebagai tempat

berladang tanaman muda. Punggung dan lereng bukit di kawasan Tor Sihayo ditutupi oleh suatu

mozaik yang tidak indah berupa hamparan hutan sekunder; areal kebun karet, kemiri dan coklat;

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-2

petak-petak perladangan; belukar bekas ladang yang diberakan; dan sebagian hamparan ilalang.

Pemandangan seperti itulah yang mudah ditemukan dalam perjalanan dari Muara Batang Angkola,

yaitu pintu masuk utama ke kawasan Tor Sihayo, menuju ke Tor Pulo pada ketinggian sekitar 800-

1000 meter di atas permukaan laut dimana terdapat kluster permukiman terbesar migran Nias di

kawasan ini.

Gambar 1. Kluster permukiman dan perladangan migran Nias di Dusun Tor Pulo

Jarak tempuh dari Desa Muara Batang Angkola ke lokasi permukiman migran Nias di kawasan Tor

Sihayo bervariasi antara 2-5 jam; menggunakan ‘getek’ atau rakit menyeberangi Sungai Batang

Gadis, kemudian berjalan kaki sejauh sekitar 8 km ke lokasi permukiman terjauh di Tor Pulo. Dari

titik penyeberangan sampai ke suatu tempat yang bernama Aek Tombang sekarang ini sudah bisa

ditempuh menggunakan kenderaan bermotor roda dua, menyusuri pinggiran sungai Batang Gadis,

melalui jalan tanah yang dibangun oleh pemerintah daerah. Aek Tombang adalah sebuah kluster

permukiman migran Nias yang pertama dilalui, dan tempat ini memiliki peranan penting dalam

rantai perekonomian hasil perladangan migran Nias di kawasan Tor Sihayo karena adanya pedagang

pengumpul yang membuka pos penampungan hasil pertanian di tempat ini. Perjalanan dari lokasi

Aek Tombang ke kluster permukiman dan perladangan migran Nias lainnya di sekitar Tor Sihayo

kemudian harus ditempuh melalui jalan setapak, sebagian terbesar harus mendaki dan menyusuri

punggung bukit yang terjal dengan perkiraan kemiringan di atas 40 derajat. Ada sekitar 16 lokasi

perladangan dan permukiman migran Nias di kawasan Tor Sihayo yang sudah teridentifikasi (lihat

Heru Sutmantoro dkk, 2009); dan pada umumnya pola perladangan dan pembukaan hutan yang

dilakukan oleh migran Nias sama seperti yang terjadi di tempat-tempat lain, termasuk di kawasan

hutan Uluala, Kecamatan Batang Toru (lihat Zulkiflli Lubis dkk, 2007).

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-3

2.2. Riwayat Pembukaan Hutan

Dari penuturan sejumlah informan diketahui bahwa pembukaan hutan pertama yang dilakukan oleh

penduduk pendatang di kawasan Tor Sihayo terjadi sejak pertengahan tahun 1970-an di lokasi yang

bernama Tor Bulusoma. Pada tahun 1975 telah masuk sembilan kepala keluarga migran Nias1 yang

membuka ladang di Tor Bulusoma dan mereka inilah generasi pertama migran Nias yang datang

secara berkelompok ke daerah ini, meskipun menurut cerita beberapa orang informan penduduk

lokal disebutkan bahwa orang Nias pertama yang datang ke Muara Batang Angkola adalah seseorang

bermarga Zebua2.

Sejak 1975 hingga 1985 migran Nias yang membuka hutan dan bermukim di Tor Bulusoma sudah

meningkat menjadi 25 kepala keluarga. Meskipun letak pondok atau ladang mereka masih berjauhan

satu sama lain, namun migran Nias biasanya segera membentuk komunitas sosial keagamaan

dengan mendirikan gereja, seperti terbentuknya jemaat HKI (Huria Kristen Indonesia) pada tahun

1975 dan berdirinya Gereja Tuhan pada tahun 1986 di Bulusoma.

Aktor-aktor pembuka hutan di kawasan Tor Sihayo pada tahun 1970-an bukan hanya orang Nias

melainkan juga pendatang dari daerah Kabupaten Dairi, yaitu orang Batak Toba dan Pakpak. Mereka

biasanya membuka hutan untuk menanam tanaman nilam. Lokasi yang mereka buka berada di dekat

Tor Bulusoma, yang di waktu belakangan dinamakan Tor Dairi. Sekarang hanya 7 KK lagi yang masih

bertahan di lokasi ini, dan posisi mereka sudah digantikan oleh migran Nias yang datang kemudian.

Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1989 menghimbau agar penduduk pendatang

yang membuka hutan dan bermukim di kawasan Tor Sihayo pindah ke desa. Sekitar 50 KK migran

Nias di Bulusoma turun ke blok hutan Aek Tombang, yang termasuk dalam kawasan Hutan Lindung

dan berdekatan dengan aliran Sungai Batang Gadis. Penduduk migran Nias tersebut diikutkan dalam

Program Porum (Penataran Orientasi Usaha Tani Menetap) yang diberikan oleh pemerintah daerah,

1 Sembilan KK migran Nias tersebut adalah Ama Sudu Gea, Ama Lumo’o Gea, Ama Saya Zega, Ama Siti Waruwu, Ama

Ato Gulo, Ama Gareno Gulo, Ama Wasi Gulo, Ama Ari Zega dan Ama Garosi Zai, semua nama tersebut adalah nama

julukan mengikut nama anak pertama mereka sebagaimana menjadi tradisi dalam penamaan orang Nias yang sudah berkeluarga dan berketurunan. 2 Cerita yang disampaikan oleh informan di desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi menyebutkan bahwa seorang pendatang

Nias bermarga Zebua telah menetap sejak puluhan tahun lalu di Siulang-aling (sebuah desa di hilir Sungai Batang Gadis,

masuk dalam wilayah Kecamatan Muara Batang Gadis sekarang), jauh sebelum migran Nias era 1970-an datang. Orang

tersebut kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat dan masuk ke dalam klen Hasibuan. Keturunannya kemudian

pindah ke Muara Batang Angkola dan menjadi tokoh masyarakat di sana, dan disebutkan bahwa kepala desa yang sekarang

adalah keturunan generasi ketiga dari migran Nias bermarga Zebua tersebut. Namun kesahihan informasi ini belum

dikonfirmasi langsung kepada yang bersangkutan. Cerita tersebut diuraikan di sini karena dipandang menjadi satu aspek

penting yang membentuk dan melanggengkan streotip negatif sebagian penduduk lokal terhadap keberadaan migran Nias di

daerah ini.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-4

yang berisikan materi-materi tentang cara bercocok tanam secara intensif. Namun setelah mengikuti

penataran banyak dari mereka yang kembali lagi ke blok hutan Bulusoma (Heru Sutmantoro, 2009).

Pada awal tahun 1990-an terjadi aneksasi atas lahan-lahan migran Nias oleh penduduk setempat,

khususnya dari Desa Hutagodang Muda. Penduduk desa yang bertetangga dengan Muara Batang

Angkola ini juga mengklaim bahwa daerah Bulusoma adalah wilayah mereka sehingga mereka

merasa punya hak untuk memanfaatkan lahan di tempat tersebut, meskipun sudah ditanami

beragam tanaman seperti karet, kemiri dan coklat oleh migran Nias. Menurut catatan Heru

Sutmantoro dkk (2009) sebanyak 70 KK migran Nias keluar dari blok Bulusoma dan berpencar

mencari lahan-lahan baru di sekitarnya. Seorang informan kunci di Desa Hutagodang Muda

menyebutkan bahwa pada tahun 1982 tokoh-tokoh masyarakat di desa itu telah menjadikan lahan

hutan di blok Bulusoma untuk lokasi perkebunan karet yang akan dikelola oleh sebuah yayasan, dan

hasilnya kelak digunakan untuk menyantuni anak yatim, namun proyek tersebut gagal.

Migran Nias yang keluar dari blok Bulusoma kemudian mencari lahan perladangan baru di daerah

sekitarnya, sehingga areal pembukaan hutan baru semakin melebar, antara lain di blok hutan Tor

Pulo (bagian bawah), Pasir Bidang, Aek Sibarebe, Aek Simate-mate, Aek Sihayo, Tor Pulo (bagian

atas), Tor Dairi, dan lokasi eks PKB (Perkebunan Karet Berbantuan)3. Hasil survey dan inventarisasi

lahan yang dilakukan oleh tim dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal yang laporannya ditulis

oleh Heru Sutmantoro (2009) menunjukkan bahwa luas hutan yang dibuka dan dikelola oleh migran

Nias di kawasan Tor Sihayo saat ini mencapai 504,25 Ha. Seluas 430,75 Ha berada di kawasan Hutan

Lindung dan 173,5 Ha berada di kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Dari 16 blok hutan yang

dibuka oleh migran Nias, yang terluas terdapat di Tor Pulo (272 Ha) dan dikuasai oleh 95 KK;

berikutnya adalah blok Aek Sibarabe (94,25 Ha/26 KK), eks PKB (48 Ha/20 KK), Aek Tombang (43,5

Ha/10 KK), Aek Simate-mate (37 Ha/ 7 KK) dan Sihayo (26,5 Ha/9 KK). Selebihnya dalam luasan

kurang dari 25 Ha terdapat di Bandar Lasiak, Banjar Go’o, Aek Silandorung, Tor Dairi, Lubuk Sihim,

Pasir Bolak, Aek Simarincor-incor, Pasir Bidang, Jambu-jambu dan Bulusoma.

3 Pada tahun 1982 pemerintah memberikan bantuan untuk pengembangan perkebunan karet rakyat dengan pola perkebunan

inti rakyat melalui program yang bernama PKB (Perkebunan Karet Berbantuan). Desa Hutagodang Muda termasuk salah

satu desa yang mengikuti program tersebut, dan memiliki proyek di dua lokasi, yaitu seluas 40 Ha di Tor Bulusoma dan

Bahal Gaja, 90 Ha di Tor Bahal Gaja arak ke Tor Sihayo (lokasi Sorik Mas Mining sekarang). Proyek PKB tersebut juga

kemudian gagal dan lahan yang ada sekarang dikuasai secara privat oleh masing-masing warga.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-5

Gambar 2. Areal hutan yang dibuka oleh migran Nias di dalam kawasan TNBG, di hulu DAS Aek Sihayo

2.3. Penduduk dan Mata Pencaharian Hidup

Penduduk migran Nias

Tidak mudah untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah penduduk migran Nias yang kini

berdiam di kawasan Tor Sihayo. Kesulitan itu terutama terjadi karena migran Nias pada umumnya

tidak mencatatkan diri dan anggota keluarga yang dibawanya ke instansi pemerintah setempat,

bahkan tidak juga ke kepala desa di wilayah domisili mereka. Selain itu, proses kedatangan mereka

yang diam-diam, sporadis, dan langsung masuk ke lingkungan kerabatnya di dalam hutan membuat

sulit untuk mendeteksi perubahan-perubahan komposisi penduduk pendatang ini. Seorang informan

yang merupakan pimpinan komunitas migran Nias di Tor Pulo mengatakan bahwa jumlah penduduk

migran Nias di kawasan ini berkisar 250 KK. Tetapi hasil pendataan yang dilakukan oleh tim dari

Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal pada awal 2009 baru mendapatkan adanya 180 KK dengan

total jumlah individu 843 jiwa, dengan rata-rata jumlah anggota keluarga per KK sebanyak 5 orang.

Jumlah kepala keluarga yang memiliki KTP Mandailing Natal tercatat 113 orang, sisanya sebanyak 67

orang tidak memiliki KTP setempat (Heru Sutmantoro, 2009).

Sebagian penduduk migran Nias tersebut tercatat sebagai warga desa-desa sekitar yang letaknya

paling dekat dan memiliki kaitan historis klaim penguasaan lahan dengan kawasan Tor Sihayo, yaitu

Tangga Bosi II, Tanjung Sialang dan Muara Batang Angkola. Beberapa tahun lalu sebagian mereka

juga tercatat sebagai warga desa Hutagodang Muda, namun pada saat penelitian ini dilakukan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-6

kepala desanya menyatakan bahwa tidak ada lagi warganya yang berasal dari Nias4. Seorang

informan warga Nias mengatakan bahwa sebagian mereka secara administratif pindah ke Desa

Tangga Bosi II dan Desa Muara Batang Angkola, namun sebagian lainnya berstatus tidak jelas.

Sebuah catatan hasil pendataan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Tangga Bosi II dan Desa Muara

Batang Angkola bertarih 15 Oktober 2008 memberikan gambaran tentang keberadaan migran Nias

yang tercatat di dua desa tersebut sebagai berikut :

Tabel 2.1. Jumlah migran Nias di Desa Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, 2008

No DESA Jlh KK Jenis Kelamin Jumlah

Jiwa Laki-laki Perempuan

1 Tangga Bosi II 71 203 197 400

2 Muara Batang Angkola 78 208 213 421

JUMLAH 149 411 410 821

Sumber : Diolah dari dokumen pendataan migran Nias di Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah migran Nias di Desa Tangga Bosi II dan Muara Batang

Angkola saja telah mencapai 821 jiwa dengan 149 KK pada tahun 2008, sementara hasil pendataan

tim Pemkab awal 2009 mencatat 843 jiwa dengan 180 KK. Tidak diperoleh data jumlah migran Nias

di Desa Tanjung Sialang yang disebut juga memiliki penduduk asal Pulau Nias, namun diperkirakan

jumlah mereka pasti melebihi 22 jiwa jika dilihat dari selisih jumlah KK yang ada (31 KK). Dengan

adanya kurun waktu yang berbeda dalam pengumpulan kedua sumber data tersebut maka

diperkirakan juga telah terjadi pertambahan internal (kelahiran) maupun eksternal (kedatangan baru

dari Pulau Nias). Dengan rata-rata jumlah jiwa per KK sebesar 5 jiwa, maka selisih 31 KK tersebut

diasumsikan akan menambah jumlah penduduk 155 jiwa, sehingga perkiraan yang paling dekat

jumlah migran Nias berkisar antara 976 jiwa hingga 998 jiwa. Jika jumlah KK yang dinyatakan oleh

informan diatas dijadikan sebagai patokan, dengan rata-rata 5 jiwa/KK, maka jumlah migran Nias di

kawasan Tor Sihayo mencapi 1.250 jiwa, dan sebagian dari mereka belum tercatat dalam data

kependudukan resmi di desa-desa setempat.

Data kependudukan migran Nias di kedua desa tersebut di atas juga menunjukkan fenomena yang

cukup menarik. Jumlah penduduk berusia 0 – 20 tahun mencakup proporsi yang cukup besar dari

4 Penduduk Desa Hutagodang Muda memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan migran Nias, termasuk karena

persengketaan mereka dalam mengklaim lahan di daerah Tor Bulusoma, yang terjadi pada tahun 1991 dan berulang kembali

pada 2007. Kepala Desa menerapkan aturan bahwa migran Nias yang bisa diterima menjadi penduduk Hutagodang Muda

hanya jika yang bersangkutan bisa menunjukkan surat keterangan pindah resmi dari desanya di Pulau Nias.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-7

total jumlah jiwa migran Nias di kedua desa, masing-masing 43,5 % di Desa Tangga Bosi dan 42,0 %

di Muara Batang Angkola. Bahkan jika dipilah lagi antara penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, maka

proporsi mereka di kedua desa mencakup masing-masing 30,5 % di Tangga Bosi dan 30 % di Muara

Batang Angkola. Angka ini memiliki arti bahwa masing-masing sebanyak sepertiga dari jumlah

migran Nias di kedua desa terdiri dari anak-anak, usia sekolah, belum bekerja, dan menjadi

tanggungan ekonomi bagi kepala keluarga.

Tabel 2.2. Komposisi migran Nias usia 0-20 tahun di Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, 2008

No Desa Kelompok Usia Jlh

0 - 4 5 - 9 10 – 14 15 – 19 >20

1 Tangga Bosi II 30 51 41 41 11 174

2 Muara B. Angkola 37 51 37 32 22 179

Jumlah 67 102 78 72 33 353 Sumber : Dokumen pendataan migran Nias di Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola

Jika jumlah migran Nias berusia 0 – 20 tahun di dua desa tersebut digabung (353 jiwa) dibandingkan

dengan total jumlah jiwa migran Nias (821 jiwa), maka mereka yang berusia di bawah 20 tahun

mencakup 42,9 % dari total penduduk migran Nias. Dilihat dari usia kepala keluarga dan isterinya,

sebagian besar migran Nias yang ada di kedua desa juga masih tergolong pasangan usia subur (PUS)

dengan usia isteri mayoritas di bawah 40 tahun, sehingga tingkat pertumbuhan penduduk migran

Nias di kawasan Tor Sihayo diperkirakan akan tetap tinggi. Dengan kata lain, pertambahan penduduk

yang terjadi secara alamiah di internal komunitas migran Nias di kawasan Tor Sihayo juga menjadi

faktor penting yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya alam untuk mendukung

kehidupan mereka, dan akan menjadi semakin kuat pula tekanan terhadap lingkungan jika

pertambahan penduduk melalui arus perpindahan dari Pulau Nias masih terus berlangsung.

Mata pencaharian hidup

Migran Nias membuka hutan di kawasan Tor Sihayo untuk aktivitas pertanian, karena itulah yang

menjadi mata pencaharian pokok bagi mereka. Mereka datang dari Pulau Nias untuk tujuan mencari

lahan pertanian karena didorong oleh kesulitan ekonomi dan sempitnya lahan pertanian yang

mereka miliki di kampung asal. Data yang diperoleh dari hasil survey dan inventarisasi migran Nias

yang dilakukan tim dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal menunjukkan bahwa luasan hutan

yang sudah dibuka oleh 180 KK migran Nias di kawasan ini mencapai 504,25 Ha, dengan rata-rata 2,8

Ha per KK. Jika jumlah KK yang ada bisa mencapai 250 KK seperti yang disebutkan oleh seorang

informan kunci migran Nias di Tor Pulo, maka dengan rata-rata penguasaan lahan 2,8 Ha tersebut

diperkirakan luas hutan yang mereka buka sudah mencapai 700 Ha.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-8

Pola perladangan berpindah adalah model pengelolaan lahan yang lazim dilakukan oleh migran Nias

khususnya pada tahun-tahun awal mereka datang ke Tor Sihayo. Pola seperti itu dilakukan karena

orientasi utama mereka adalah menanam tanaman muda yang cepat memberikan hasil panen

seperti padi, jagung dan aneka macam sayur-sayuran, yang bisa memenuhi kebutuhan subsisten bagi

keluarganya, juga tanaman nilam untuk menghasilkan minyak nilam. Untuk mendapatkan uang tunai

mereka menjual hasil sayur-sayuran dan minyak nilam. Areal hutan yang baru dibuka ditanami padi,

cabe, jagung, bawang, kacang-kacangan dan sayur-sayuran lain yang akan memberikan hasil berupa

bahan pangan bagi mereka dalam masa satu tahun. Tanaman cabe bisa memberikan hasil lebih lama

dan pada umumnya dijual ke pasar. Setelah itu mereka pindah ke petak lahan lainnya sementara

lahan sebelumnya diberakan.

Beberapa tahun belakangan ini migran Nias sudah mulai menanam tanaman tua seperti coklat,

kemiri dan karet, dan sebagian sudah menghasilkan. Ada tiga faktor yang tampaknya mendorong

mereka mulai beralih dari pola perladangan ke pola pertanian menetap. Pertama, pengalaman

mengikuti pelatihan pola tani menetap yang diselenggarakan pemerintah daerah seiring dengan

imbauan agar mereka turun gunung pada tahun 1989. Kedua, dengan diterimanya migran Nias

menjadi warga desa-desa sekitar, mereka menjadi lebih nyaman dengan status keberadaan di

kawasan ini. Pada tahun 1993 migran Nias di Tor Pulo diterima menjadi bagian dari Desa Tangga Bosi

II. Ketiga, peristiwa gempa besar Nias pada tahun 2005 membuat minat mereka untuk kembali ke

Pulau Nias menurun, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk hidup di perantauan.

Salah seorang informan di Aek Tombang, yang menjadi simpul ekonomi bagi migran Nias di kawasan

ini, menyebutkan bahwa setelah gempa tersebut migran Nias di Tor Pulo dan sekitarnya mulai

ramai-ramai menanam tanaman karet. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka sudah akan menetap

di daerah Sihayo.

Dari hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa migran Nias di kawasan Tor Pulo mengikuti tiga

modus pengelolaan lahan. Pertama, mereka membuka hutan, semak belukar atau lahan yang sudah

diberakan (gasgas) untuk menanam padi sebagai tanaman utama. Padi ladang biasanya berusia 5-6

bulan baru bisa dipanen. Di dalam areal tanaman padi tersebut juga disisipi tanaman jagung, cabe

atau bawang. Hasil padi dan jagung untuk kebutuhan konsumsi, sedangkan hasil cabe selain untuk

konsumsi sebagian dijual ke pasar. Di bagian pinggir lahan ditanami dengan beragam jenis tanaman

seperti ubi jalar, ubi kayu, talas, labu, pisang, tebu yang hasilnya juga dimanfaatkan untuk

mendukung kebutuhan karbohidrat rumah tangga. Pola kedua, mereka menanam tanaman muda

untuk tujuan komersial, seperti cabe, kacang tanah, kacang kedelai, kacang panjang dan kacang

merah. Ada juga yang fokus pada tanaman nilam ketika harga minyak nilam tinggi. Hasil tanaman

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-9

pada pola kedua ini umumnya dijual ke pasar pada hari-hari pekan. Pola ketiga, lahan bekas tanaman

ladang tidak diberakan lagi melainkan ditanami dengan tanaman tua seperti karet, kakao, kemiri

untuk mendapatkan hasil jangka panjang. Mereka yang melakukan pola penanaman seperti ini

biasanya adalah pemilik lahan yang memadai luasnya, baik yang terdapat di suatu hamparan

maupun di tempat lain. Migran Nias yang datang pada masa-masa tahun 1980-an dan 1990-an

sudah memperoleh hasil dari tanaman tua yang mereka budidayakan.

Gambaran lebih detil mengenai kehidupan migran Nias di kawasan Tor Sihayo, khususnya dari hasil

studi lapangan di dusun Tor Pulo, disajikan terpisah dalam Lampiran 1.

2.4. Kontribusi Ekonomi

Komoditas pertanian

Hasil pertanian migran Nias dari kawasan Tor Sihayo yang sudah berlangsung lebih seperempat abad

terakhir ini telah memberikan kontribusi ekonomi bukan hanya bagi mereka sendiri tetapi juga bagi

perekonomian desa-desa sekitarnya. Hasil pertanian yang bisa dijual mereka bawa ke pasar atau

dijual melalui toke yang ada di Desa Muara Batang Angkola. Warga desa Muara Batang Angkola,

sebagai desa yang menjadi “pintu masuk” ke kawasan Tor Sihayo, adalah pihak pertama yang

mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas pertanian migran Nias di kawasan ini. Sekarang ini

paling sedikit ada lima orang warga desa Muara Batang Angkola yang berperan sebagai “toke” atau

pedagang pengumpul hasil bumi dari kawasan Tor Sihayo, sekaligus juga penyuplai bahan-bahan

kebutuhan pokok bagi migran Nias yang bermukim di gunung.

Cabe, kacang-kacangan, coklat dan kemiri adalah sebagian dari hasil pertanian yang rutin dijual oleh

migran Nias kepada para pedagang pengumpul tersebut. Volume hasilnya bervariasi dari waktu ke

waktu sesuai dengan keadaan musim. Pada saat penelitian di lapangan berlangsung salah seorang

toke yang memiliki warung di Aek Tombang menyebutkan bahwa empat toke yang ada bisa

menampung sekitar 1500 kg cabe per minggu, dengan harga beli Rp 7000/kg atau setara dengan Rp

10.500.000. Pada musim panen besar tiga tahun lalu ia menyebutkan bahwa mengumpul 1 ton cabe

perhari pernah dia lakukan, sehingga nilai ekonominya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta

per minggu. Informan mengaku bahwa dia memiliki sekitar 30 KK migran Nias yang menjadi

pelanggannya dari kluster Tor Pulo, Aek Tombang dan Tor Dairi. Penduduk migran Nias lainnya

menjual hasil bumi ke beberapa toke lain.

Hasil-hasil pertanian lainnya seperti coklat dibeli dengan harga Rp 17.000 dari petani; kemiri seharga

Rp 1500/kg (kering), Rp 1400/kg (basah) dan Rp 8000/kg (kupas). Hasil kacang-kacangan bervariasi

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-10

harga sesuai jenis, sedangkan karet dibeli seharga Rp 5000/kg. Namun saat ini migran Nias belum

mempunyai hasil dari tanaman karet mereka.

Gambar 3 dan 4. Aktivitas perladangan tanaman padi dan palawija

Perdagangan

Sebagai konsekwensi dari semakin banyaknya migran Nias yang masuk ke kawasan Tor Sihayo,

kebutuhan mereka untuk barang-barang keperluan rumah tangga berupa bahan pangan, peralatan,

sandang dan juga alat-alat serta bahan pendukung pertanian dari waktu ke waktu semakin

meningkat pula. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh warga Muara Batang Angkola untuk membuka

usaha-usaha dagang yang bisa menyuplai kebutuhan para migran Nias. Salah seorang toke bermarga

Pulungan yang membuka warung di Aek Tombang menyebutkan bahwa ia mulai membuka usaha

dagang hasil bumi, warung kelontong dan warung kopi di tempat itu sejak tahun 2001, meneruskan

usaha mertuanya yang sudah dirintis sejak tahun 1970-an5. Adik iparnya juga membuka usaha yang

sama di sekitar Aek Simate-mate, yang menampung hasil bumi dan menyuplai kebutuhan rumah

tangga migran Nias dari daerah sekitarnya.

Migran Nias yang datang berbelanja pada hari-hari pekan ke Pasar Sinonoan juga disebut-sebut telah

menghidupkan aktivitas perdagangan di pasar tersebut. Paling sedikit pada hari pekan Rabu mereka

biasanya turun ke pasar untuk berbelanja beragam kebutuhan selain yang bisa mereka dapatkan di

warung toke-toke yang ada di Aek Tombang. Harga jual hasil pertanian lebih mahal di Pasar

Sinonoan, dan sebaliknya harga beli kebutuhan rumah tangga lebih murah ketimbang di Aek

Tombang. Namun sebagian besar migran Nias tidak lagi membawa hasil pertanian mereka langsung

ke Pasar Sinonoan, selain karena sudah ada toke yang menampung dengan selisih harga yang wajar,

mereka juga bepergian ke pasar tanpa harus dibebani lagi dengan urusan membawa barang-barang

hasil pertanian.

5 Mertuanya adalah ayah kandung dari kepala desa Muara Batang Angkola, yang disebut-sebut warga sebagai keturunan dari

seseorang yang berasal usul dari seorang bermarga Zebua yang merantau ke Siulang-aling. Orang-orang Nias yang bermukim

di kawasan Tor Sihayo sangat menghormati keluarga tersebut, juga Pak Pulungan yang menjadi toke mereka sekarang.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-11

Pengangkutan

Kegiatan pengumpulan hasil bumi dan perdagangan yang berlangsung di Aek Tombang dan Aek

Simate-mate, keduanya berada di jalur lintasan dari Muara Batang Angkola menuju Tor Pulo, hanya

satu titik dari mata rantai perdagangan hasil bumi dari migran Nias. Semua hasil bumi yang dibeli

oleh para toke dari migran Nias di kedua tempat tersebut harus diangkut terlebih dahulu ke Desa

Muara Batang Angkola, berjarak sekitar 4 kilometer. Demikian pula barang-barang kebutuhan rumah

tangga yang akan dijual di warung mereka di Aek Simate-mate dan Aek Tombang harus diangkut dari

desa ke tempat tersebut. Untuk urusan ini telah tersedia jasa pengangkutan menggunakan ojek atau

kenderaan bermotor roda dua, yang melayani beberapa toke yang berusaha di tempat tersebut

maupun bagi orang-orang yang membutuhkan jasa mereka untuk mengangkut barang atau orang.

Ongkos angkutan barang dari Aek Tombang ke Muara Batang Angkola adalah Rp 250/kg. Peluang

usaha ini dimanfaatkan oleh sejumlah warga Muara Batang Angkola yang memiliki kenderan

bermotor roda dua, dan biasanya sudah bekerjasama dengan para toke di Aek Tombang dan Aek

Simate-mate.

Gambar 5. Angkutan penyeberangan di Muara Batang Angkola

Kehadiran migran Nias juga telah membawa berkah ekonomi bagi warga Muara Batang Angkola

yang menyediakan jasa penyeberangan Sungai Batang Gadis menggunakan getek atau perahu motor

tempel. Jasa penyeberangan menggunakan rakit atau getek berharga Rp 1000/orang, untuk

menyeberangi sungai dengan lebar sekitar 40-50 meter. Perahu motor tempel juga bisa digunakan

untuk mengangkut orang dari Muara Batang Angkola ke sekitar Aek Simate-mate, dengan tawar-

menawar harga, sebelum melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke Aek Tombang maupun Tor

Pulo dan sekitarnya.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-12

Penarik beca bermotor merupakan aktor lain dalam jaringan ekonomi migran Nias yang juga

berperan penting. Mereka biasanya menyediakan jasa angkutan bagi migran Nias yang turun dari Tor

Sihayo menuju Pasar Sinonoan di perlintasan jalan negara lintas Sumatera. Pada hari-hari pekan

warga Nias turun dari gunung untuk berbelanja ke Pasar Sinonoan (hari Rabu) atau pasar-pasar lain

di sekitarnya. Ongkos angkutan beca dari Pasar Sinonoan sampai ke Muara Batang Angkola adalah

Rp 8000/orang, dan biasanya mereka mengangkut lebih dari 3 orang sekaligus sehingga biaya

angkutan bisa mencapai Rp 50000/beca.

Jaringan pasar

Toke yang menampung hasil bumi dari migran Nias di Aek Tombang kemudian akan mengirim

komoditas tersebut ke toke-toke besar lainnya yang ada di Bonan Dolok Kecamatan Siabu, ke kota

Panyabungan atau Padang Sidimpuan, untuk dijual ke konsumen. Kadang-kadang toke besar di

tempat-tempat tersebut di atas mengirim barang hasil pertanian ke daerah lain termasuk ke Padang.

Fenomena seperti ini juga ditemukan dalam jaringan perdagangan hasil bumi dari migran Nias di

Batang Toru, dimana hasil pertanian seperti cabe bahkan kadangkala dijual oleh para toke sampai ke

Gunung Sitoli (lihat Zulkifli Lubis, 2007).

2.5. Profil desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo

Dari penelitian lapangan ditemukan fakta bahwa ada tiga desa di Kecamatan Siabu yang memiliki

kaitan sangat dekat dengan keberadaan kawasan Tor Sihayo dan terkait kepentingan dengan migran

Nias yang bermukim di kawasan itu. Ketiga desa itu adalah Muara Batang Angkola, Hutagodang

Muda dan Tangga Bosi II. Desa yang disebut terakhir merupakan pemekaran dari Desa Tangga Bosi

beberapa tahun lalu. Sebelum dimekarkan Desa Tangga Bosi II bersama-sama dengan Desa Tangga

Bosi I dan Desa Tangga Bosi III adalah satu kesatuan komunitas dan administrasi bernama Desa

Tangga Bosi. Secara tradisional Desa Tangga Bosi merupakan bagian dari wilayah Kekuriaan atau

Kerajaan Panyabungan Tonga. Gambaran mengenai desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo dalam

bagian ini akan mencakup ketiga desa tersebut sebelum dimekarkan, karena klaim tanah ulayat atas

kawasan Tor Sihayo merupakan bagian dari klaim masyarakat adat Tangga Bosi.

Pada masa sebelum Kabupaten Mandailing Natal dimekarkan dari kabupaten induk Tapanuli Selatan,

Kecamatan Siabu adalah salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan pegunungan Bukit

Barisan dimana kawasan Tor Sihayo berada. Kecamatan Siabu kemudian dimekarkan menjadi dua

kecamatan, yaitu Siabu dan Bukit Malintang. Kecamatan Bukit Malintang baru-baru ini telah pula

dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu Bukit Malintang dan Naga Juang. Kecamatan Naga Juang

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-13

mencakup desa-desa yang ada di seberang Sungai Batang Gadis yang terdiri dari tujuh desa yaitu

Banua Rakyat, Humbang I, Sayur Matua, Tarutung Panjang, Tambiski, Simanosor dan Tambiski Nauli.

Semua desa ini berada di wilayah sempadan Sungai Batang Gadis dan di bagian lembah sebelah

timur perbukitan Tor Sihayo. Kecamatan Naga Juang berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan

Siabu, tepatnya di sekitar Desa Aek Garut (di seberang sebelah barat sungai) dan Tanjung Sialang

(sisi seberang sebelah timur sungai) yang bertetangga langsung dengan Desa Hutagodang Muda.

Beberapa desa tersebut di atas memanfaatkan sumber air dari aliran anak sungai di kawasan Tor

Sihayo, seperti aliran anak sungai Aek Gajah yang dimanfaatkan oleh penduduk Desa Humbang I

(lihat Edy Ikhsan dkk,2005), aliran anak sungai Aek Sidua-dua dan Aek Garut di wilayah Desa Tanjung

Sialang dan Hutagodang Muda (bagian desa di seberang sebelah barat Sungai Batang Gadis).

Berikut adalah gambaran ringkas dari desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo di wilayah Kecamatan

Siabu, khususnya yang memiliki hubungan atau kaitan kepentingan dengan wilayah dan migran Nias

di kawasan Tor Sihayo. Desa-desa dimaksud adalah Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan

Tangga Bosi (I,II dan III). Lima desa tersebut (sebelum pemekaran hanya tiga desa) merupakan

bagian dari 24 desa yang ada di Kecamatan Siabu. Dari data statistik kecamatan (2008) diketahui

bahwa luas wilayah kelima desa itu mencapai 11.315,86 Ha atau 32,77 % total luas kecamatan

(34.536,48 Ha). Jumlah penduduk dari kelima desa berdasarkan sumber yang sama adalah 6.117 jiwa

atau 11,77 % dari total penduduk kecamatan (51.958 jiwa). Gambaran lebih rinci disajikan dalam

tabel berikut.

Tabel 2.3. Luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah RT di desa-desa sekitar Tor Sihayo

No DESA Luas

(Ha)

Rasio thd

total kec.

(%)

Jlh Pddk

(jiwa)

Jlh

RT

Rata-

rata

per

RT

Kepadata

n pddk

(jiwa/km

2)

1

Muara Batang Angkola 8.575,36(*) 0,45 945 189 5 11

2 Hutagodang Muda 973,32 2,82 1.530 306 5 157

3 Tangga Bosi I 155,37 0,45 609 203 3 392

4 Tangga Bosi II 333,73 0,97 1.393 258 5 417

5 Tangga Bosi III 1.278,08 3,70 1.640 380 4 128

Total 5 desa 11.315,86 32,7 6.117 1.336 4,4 221

Total kecamatan 34.536,48 100 51.958 10.543 5 150

Sumber : Kecamatan Siabu Dalam Angka 2008, BPS Kabupaten Mandailing Natal

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-14

Dari tabel di atas terlihat bahwa Desa Muara Batang Angkola memiliki wilayah terluas yaitu 8.575,36

Ha dengan kepadatan penduduk hanya 11 jiwa/Km2, jauh dari rata-rata kepadatan penduduk

kecamatan (150 jiwa/km2) dan kepadatan di lima desa sekitar Tor Sihayo (221 jiwa/Km2). Namun

mengingat letak desa yang berada di bagian paling ujung menuju kawasan Tor Sihayo dapat diduga

bahwa wilayah seluas itu sudah termasuk kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Batang Gadis

yang secara administratif digabungkan dengan wilayah desa terdekat. Patut disebutkan pula disini

bahwa dalam data statistik Kecamatan Siabu Dalam Angka (2003 dan 2005) luas desa Muara Batang

Angkola tercatat 1.330 Ha. Desa Tangga Bosi II adalah desa terpadat penduduknya dari lima desa

yang ada, yaitu 417 jiwa/km2 dengan luas wilayah 333,73 Ha atau hanya 0,92 % dari total luas

kecamatan. Total luas ketiga desa jika digabung mencapai 1.767,18 Ha atau 5,12 % total luas

kecamatan dengan jumlah penduduk 3.642 jiwa dan kepadatan penduduk 312 jiwa/km2. Tangga

Bosi II adalah desa induk dari ketiga desa tersebut, dan sejauh ini memiliki klaim yang lebih dominan

dalam isu tanah ulayat Tor Sihayo.

Tidak diperoleh data yang akurat berdasarkan statistik kecamatan untuk menggambarkan distribusi

penggunaan lahan di Kecamatan Siabu, sehingga tidak diketahui secara pasti gambaran yang ada di

kelima desa sekitar kawasan Tor Sihayo tersebut di atas. Dalam statistik kecamatan Siabu (2008)

hanya terdapat satu aspek pengelolaan lahan, yaitu luas panen tanaman padi dan palawija tahun

2007, yaitu 11.254 Ha padi sawah, namun tidak diketahui sebarannya di tingkat desa. Dari data

statistik Kabupaten Mandailing Natal Dalam Angka 2008 diperoleh gambaran luas lahan baku lahan

kering yang terdapat di Kecamatan Siabu sebagai berikut : (a) pekarangan/bangunan 335 Ha; (b)

tegal/kebun 425 Ha; (c) ladang/huma 37 Ha; (d) penggembalaan 27 Ha; (e) rawa tidak ditanami

2.600 Ha; (f) tambak/kolam/tebat 102 Ha; sementara tidak diusahakan 169 Ha; (g) hutan rakyat

13.209 Ha; (h) hutan negara 16.035 Ha; (i) perkebunan 3.250 Ha; (j) lain-lain 220 Ha; dan total lahan

seluruh kecamatan 36.400 Ha6.

Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari data yang disajikan di atas, khususnya jika

dikaitkan dengan keberadaan kawasan hutan Tor Sihayo. Pertama, luas ladang/huma yang hanya 37

Ha, sementara jika dikaitkan dengan luas areal bukaan hutan yang dilakukan migran Nias di kawasan

Tor Sihayo sudah mencapai 504,25 Ha. Hal ini dapat diartikan bahwa data BPS belum mencerminkan

kondisi sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Kedua, hutan negara seluas 16.035 Ha dikaitkan

dengan kawasan hutan lindung dan taman nasional yang termasuk ke dalam wilayah administratif

lima desa di atas. Jika data luas hutan negara hanya mencakup hutan negara yang ada di kawasan

6 Patut dicatat bahwa angka total luas lahan baku ini berbeda dengan total luas wilayah Kecamatan Siabu berdasarkan

sumber yang sama, yaitu 34.536,48 Ha, sehingga terdapat selisih sekitar 1.864 Ha.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-15

Tor Sihayo (seberang Sungai Batang Gadis), maka areal hutan negara tersebut secara fisik akan

berada di wilayah administrasi Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda, Tangga Bosi (I,II dan

III) dan Tanjung Sialang. Berdasarkan keterangan sejumlah informan di desa, garis batas kawasan

hutan lindung di desa mereka hanya berjarak beberapa ratus meter dari pinggir Sungai Batang Gadis

ke arah barat dan selatan; sehingga dapat diduga bahwa luas wilayah desa-desa sebagaimana

tertera dalam data BPS sebagian sudah termasuk lahan hutan negara. Sebagian besar luas wilayah

Desa Muara Batang Angkola yang berjumlah 8.575,36 Ha tersebut termasuk kawasan hutan negara,

termasuk di dalamnya adalah kawasan Tor Sihayo yang menjadi fokus penelitian ini.

Jika luas wilayah desa seperti disajikan dalam Tabel 2.3. di atas dibagikan dengan jumlah KK yang ada

di masing-masing desa, maka akan terlihat bahwa rata-rata kemungkinan penguasaan lahan desa

untuk kelima desa mencapai 8,46 Ha per KK, dan jika dilihat per satuan desa yang terbesar adalah

Muara Batang Angkola (45,37 Ha/KK) sedangkan yang terkecil adalah Tangga Bosi I (0,76 Ha/KK).

Namun sekali lagi patut dicatat bahwa kasus Desa Muara Batang Angkola memiliki luas wilayah desa

yang sebagian besar terdiri dari hutan negara. Dari wawancara yang dilakukan terhadap warga desa

tersebut terungkap bahwa penduduk desa ini justru sudah kesulitan untuk mendapatkan lahan

pertanian, karena mereka sudah terbentur dengan wilayah hutan negara di seberang desanya.

Secara rinci, rata-rata kemungkinan penguasaan lahan desa di kelima desa berdasarkan data tersaji

pada Tabel 2.3 di atas adalah sebagai berikut: (i) Muara Batang Angkola 45,37 Ha/KK; (ii) Hutagodang

Muda 3,18 Ha/KK; (iii) Tangga Bosi I 0,76 Ha/KK; (iv) Tangga Bosi II 1,29 Ha/KK; dan (v) Tangga Bosi III

3,36 Ha/KK. Secara umum dapat ditarik inferensi bahwa terdapat persoalan keterbatasan lahan yang

bisa diakses oleh setiap KK di kelima desa yang kehidupannya tergantung kepada sektor pertanian.

Mata pencaharian hidup

Catatan statistik resmi Kecamatan Siabu tidak menyajikan data yang bisa memperlihatkan sebaran

kuantitatif mata pencaharian penduduk di desa-desa yang ada di kawasan Tor Sihayo. Namun

demikian, jika mengacu kepada data-data di tingkat kabupaten (Kabupaten Mandailing Natal Dalam

Angka 2008), terlihat bahwa pada tahun 2007 terdapat 176.590 penduduk berusia 15 tahun ke atas

yang bekerja, sebanyak 130.587 orang atau sebesar 74 % diantaranya bekerja pada lapangan usaha

pertanian, peternakan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Sisanya sebanyak 13 % bekerja di

lapangan usaha perdagangan besar, eceran, rumah makan dan akomodasi; serta dalam proporsi

yang lebih kecil bekerja di sektor industri pengolahan, angkutan dan komunikasi, pertambangan dan

penggalian, konstruksi dan jasa.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-16

Dapat diasumsikan bahwa desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo juga memiliki karakteristik yang

kurang lebih sama seperti gambaran di atas. Karena itu, jika diasumsikan 74 % dari total penduduk

berusia 15 tahun ke atas di desa-desa tersebut bertumpu pada lapangan usaha pertanian, maka

angka rata-rata peluang penguasaan lahan di desa seperti disajikan di atas menggambarkan adanya

gejala kelangkaan lahan (land scarcity) pertanian hampir di semua desa. Perlu dicatat bahwa angka

rata-rata peluang penguasaan lahan desa belum memperhitungkan fakta adanya pola-pola

penggunaan lahan lain di desa, seperti lahan untuk bangunan rumah/pekarangan, areal untuk

fasilitas sosial/publik, areal marginal, dan lain sebagainya. Dari angka yang ada terlihat bahwa secara

berturut-turut desa yang paling potensial mengalami gejala kelangkaan lahan adalah Tangga Bosi I

(0,76 Ha/KK), Tangga Bosi II (1,29 Ha/KK), Hutagodang Muda (3,18 Ha/KK), Tangga Bosi III (3,36

Ha/KK) dan Muara Batang Angkola (45,37 Ha/KK)---dengan catatan bahwa angka untuk desa yang

disebut terakhir ini diduga tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena sebagian lahan

yang ada di wilayah desa Muara Batang Angkola termasuk hutan negara yang tidak boleh diakses

untuk aktivitas pertanian.

Gambaran lapangan usaha pertanian di Kecamatan Siabu didominasi oleh persawahan (luas panen

pada 2007 adalah 11.254 Ha), yang menjadikan daerah ini sebagai lumbung beras untuk Kabupaten

Mandailing Natal (31,5 % total kabupaten). Selain itu, penduduk juga mengusahakan beberapa jenis

tanaman komersial dengan luasan dan proporsi dari total kabupaten sebagai berikut : tanaman

kemiri 94,5 Ha (16 %), tanaman kelapa seluas 315,97 Ha (12 %), tanaman coklat 216,00 Ha (5 %),

kopi robusta 146 Ha (5 %), kebun karet rakyat seluas 2.238,00 Ha (3 %), dan tanaman kelapa sawit

113 Ha (0,8 %). Sayang sekali bahwa tidak ditemukan data resmi yang menggambarkan sebaran jenis

lapangan usaha pertanian untuk tiap-tiap desa di sekitar kawasan Tor Sihayo.

Namun demikian, dari wawancara dan pengamatan yang dilakukan di lapangan terlihat bahwa

pengolahan sawah menjadi usaha yang cukup dominan bagi penduduk desa Tangga Bosi (I,II,III) dan

Hutagodang Muda. Hampir di semua desa juga ditemukan tanaman kelapa, kakao yang ditanam di

sekitar permukiman. Kemiri banyak ditanam warga di areal pertanian seberang Sungai Batang Gadis,

demikian juga tanaman karet. Diduga Desa Hutagodang Muda merupakan penghasil terbanyak

untuk komoditi pertanian seperti kakao, kelapa dan kemiri jika dibandingkan dengan empat desa

lainnya. Hasil tanaman padi cukup menonjol dari Tangga Bosi III yang memiliki areal persawahan

cukup luas, sedangkan hasil tangkapan ikan di sungai dan rawa cukup menonjol dari desa Muara

Batang Angkola. Jenis-jenis komoditi pertanian terdapat dalam proporsi yang kecil di semua desa

lainnya, dan memberikan kontribusi minor bagi perekonomian penduduk setempat.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

II:

Po

tret

Ala

m d

an S

osi

al E

kon

om

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

II-17

Gambar 6. Seorang pencari ikan sungai (produk ian sale) dari Muara Batang Angkola

Gambar 7. Hasil kelapa yang diolah menjadi kopra di Tangga Bosi dan Hutagodang Muda

Gambar 8. Hasil tanaman kakao, kemiri dan pinang di Hutagodang Muda

Gambar 9. Areal padi sawah di Tangga Bosi

Gambar 10. Pengrajin tikar pandan di Tangga Bosi

Gambar 11. Salah satu warung pedagang pengumpul hasil pertanian di Aek Tombang

6 7 8

9 10

11

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-1

BAB III

KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN TOR SIHAYO

Istilah tenur berasal dari kata tenure (Bahasa Inggeris) yang dapat diartikan sebagai seperangkat

aturan dan praktik yang menentukan siapa yang bisa memperoleh akses terhadap sumberdaya pada

suatu tempat dan waktu tertentu (van Dijk, 1996). Konsep tenur atau lebih spesifik land tenure

mencakup aspek kontinuitas dan fleksibilitas. Aspek kontinuitas mengandung pengertian bahwa

penguasaan atas sumberdaya adalah sebuah proses historis dimana orang-orang dan para

pendahulu mereka telah menginvestasikan tenaga dan kekuatan politik untuk penguasaan atas

sumberdaya tersebut; sedangkan aspek fleksibilitas dalam ‘land tenure’ mengandung pengertian

bahwa akses terhadap sumberdaya harus dikaji ulang secara berkelanjutan. Konflik tenurial yang

dimaksudkan di sini mengandung pengertian adanya suatu keadaan yang bersifat konflik atau

sengketa antara beberapa pihak atas penguasaan terhadap suatu sumberdaya yang sama. Uraian

dalam bab ini akan memberikan gambaran tentang nuansa konflik atau sengketa atas sumberdaya

hutan di kawasan Tor Sihayo, baik antar komunitas lokal, antara komunitas lokal dengan penduduk

pendatang, maupun antara komunitas lokal dan pendatang dengan otoritas pemerintah.

3.1. Status Kawasan Hutan

Dalam tataran normatif berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini kawasan

hutan Tor Sihayo yang sudah digambarkan pada bagian terdahulu adalah hutan negara, sebagian

termasuk wilayah Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dan sebagian lainnya termasuk Hutan

Lindung. Sebanyak 430,75 ha dari 504,25 ha areal hutan yang sudah dibuka oleh migran Nias di

kawasan Tor Sihayo berada di kawasan Hutan Lindung sedangkan 173,5 ha berada dalam kawasan

Taman Nasional Batang Gadis (Heru Sutmantoro, 2009). Penetapan kawasan Hutan Lindung sudah

berlaku sejak zaman kolonial, sedangkan penetapan menjadi Taman Nasional Batang Gadis bermula

dari tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. S.K. 126/ Menhut-II/2004.

Sebagian besar penduduk di sekitar kawasan hutan Tor Sihayo, baik komunitas lokal maupun

pendatang dari Nias sebenarnya sudah mengetahui bahwa kawasan tersebut berstatus hutan

lindung, yang mereka ketahui ada patok batasnya berupa pilar di beberapa titik di tengah hutan.

Namun masih banyak warga masyarakat yang mengakui belum mengetahui garis batas Taman

Nasional Batang Gadis di wilayah mereka.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-2

3.2. Klaim Penguasaan oleh Komunitas Lokal

Meskipun disebutkan di atas bahwa masyarakat sekitar kawasan Tor Sihayo sudah mengetahui

status hutan lindung dan taman nasional di satu sisi, namun di sisi lain sampai sekarang warga

masyarakat khususnya penduduk asli di daerah itu masih mengklaim bahwa kawasan tersebut

merupakan bagian dari wilayah desa mereka, baik atas nama tanah ulayat maupun wilayah desa.

Berikut akan diuraikan gambaran klaim dari komunitas penduduk asli, khususnya dari tiga desa

utama yang bersinggungan kepentingan langsung dengan kawasan Tor Sihayo.

3.2.1. Klaim Tanah Ulayat Desa Tangga Bosi

Desa Tangga Bosi II saat ini adalah bahagian masyarakat Tangga Bosi yang mengklaim bahwa

kawasan Tor Sihayo adalah bahagian dari wilayah desanya. Desa ini adalah bagian induk dari Desa

Tangga Bosi sebelum dimekarkan menjadi tiga desa yaitu Tangga Bosi I, II dan III beberapa tahun

lalu. Secara fisik wilayah desa Tangga Bosi sudah terpisah dengan kawasan Tor Sihayo karena

tersekat oleh wilayah desa Hutagodang Muda, Tanjung Sialang dan Muara Batang Angkola. Dengan

kata lain, desa ini tidak berbatasan langsung dengan aliran Sungai Batang Gadis dimana wilayah

daratan di seberangnya merupakan bentang alam langsung yang masuk kawasan Tor Sihayo.

Sebaliknya, tiga desa yang disebutkan di atas berbatasan langsung dengan aliran Sungai Batang

Gadis dan memiliki penduduk yang membuka hutan serta mengusahakan lahan di seberang sungai

tersebut.

Namun demikian, penduduk Desa Tangga Bosi II memandang bahwa kawasan Tor Sihayo di seberang

Sungai Batang Gadis adalah wilayah desa mereka yang diklaim berdasarkan tatanan penguasaan

wilayah secara tradisional melalui hukum adat. Bahkan wilayah desa Hutagodang Muda dan Muara

Batang Angkola juga diklaim sebagai wilayah tradisional Tangga Bosi. Fakta sejarah menunjukkan

bahwa Desa Hutagodang Muda memang adalah sebuah desa yang berdiri setelah kemerdekaan,

yang semula dikenal dengan nama Tano Tiris. Penduduk desa ini banyak berasal dari Desa Huta

Godang di Kecamatan Ulu Pungkut sekarang, yang semula berpindah ke Tangga Bosi dan

mengusahakan tanah sawah di sana. Ketika jumlah pendatang dari Hutagodang semakin banyak,

mereka mendirikan kampung di suatu tempat yang disebut Tano Tiris1, yang pada tahun 1947

1 Nama Tano Tiris (secara harfiah berarti “tanah bocor” ) semula adalah sebutan yang digunakan oleh penduduk setempat

untuk daerah pemukiman Hutagodang Muda sekarang yang merupakan tanah yang sering dilanda banjir namun cepat surut.

Di tempat itulah perkampungan penduduk pendatang asal Huta Godang yang datang langsung dari Mandailing Julu maupun

yang pindah kemudian dari Tangga Bosi dibuka di tengah areal persawahan yang waktu itu termasuk wilayah desa Tangga

Bosi.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-3

diresmikan namanya menjadi Hutagodang Muda oleh Raja Junjungan Lubis2 yang menjabat sebagai

Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan ketika itu. Sementara itu, Muara Batang Angkola adalah desa

yang berkembang dari kampung yang dihuni oleh orang-orang pendatang dari daerah Siulang-aling

(bagian hilir Sungai Batang Gadis), yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan di sungai dan

rawa-rawa di sekitar pertemuan Sungai Batang Angkola dan Sungai Batang Gadis. Sampai sekarang

sebagian besar penduduk desa ini masih bermata pencaharian sebagai pencari ikan yang hasilnya

diasap menjadi ian sale.

Dari sudut pandang masyarakat Tangga Bosi, kedua desa yang disebutkan di atas adalah lokasi

perkampungan penduduk yang berdiri di atas wilayah tradisional mereka, dengan kata lain semula

berada di wilayah tanah adat mereka. Adapun Tangga Bosi sendiri, secara tradisional, adalah anak

kerajaan Panyabungan Tonga yang dipimpin oleh klen Nasution. Dapat dicatat di sini bahwa klen

Nasution yang menguasai sebagian besar wilayah Mandailing Godang, memiliki kawasan yang sangat

luas ke arah timur, utara dan barat Panyabungan. Wilayah tersebut terbagi ke dalam penguasaan

tiga kerajaan besar dari klen Nasution, yaitu Panyabungan Tonga, Huta Siantar dan Pidoli. Dalam

pembagian wilayah tradisional, kerajaan Panyabungan Tonga memiliki wilayah dari Panyabungan

Tonga sekarang ke arah barat berbatasan dengan Kekuriaan Aek Nangali dan ke arah utara

berbatasan dengan Kekuriaan Sayur Matinggi (Angkola). Jika di kerajaan induk Panyabungan Tonga

berkuasa seseorang yang berpredikat sebagai Raja Panusunan Bulung, maka di kerajaan anak

(perluasan) Tangga Bosi berkuasa seorang raja yang berpredikat sebagai Raja Pamusuk. Tangga Bosi,

karena itu, dalam tatanan tradisional adalah bahagian dari Kerajaan Panyabungan Tonga.

Konsepsi inilah yang menjadi dasar bagi penduduk Tangga Bosi untuk mengklaim semua wilayah

yang berada di antara wilayah desa mereka ke arah utara hingga batas Sungai Batang Angkola (batas

alam antara Kerajaan/Kekuriaan Panyabungan Tonga dengan Kekuriaan Sayur Matinggi) sebagai

wilayah desa Tangga Bosi. Demikian pula klaim mereka ke arah selatan dan arah barat, ke arah

seberang Sungai Batang Gadis hingga pegunungan Tor Sihayo sampai ke seberangnya lagi, di daerah

mana terdapat batas kerajaan atau kekuriaan Panyabungan Tonga dengan kerajaan atau kekuriaan

Aek Nangali dan Singkuang. Era kekuasaan kerajaan (otoritas tradisional berbasis Namora Natoras)

dan kekuriaan (birokrasi kolonial yang dilekatkan kepada otoritas tradisional) di daerah Mandailing

memang sudah lama berakhir, namun konsepsi lama tentang penguasaan wilayah masih hidup di

dalam alam pemikiran masyarakat. Bahkan beberapa tahun lalu sejumlah tokoh elit tradisional desa

Tangga Bosi dan Panyabungan Tonga bersekutu kembali untuk menegaskan ulang soal klaim wilayah

2 Raja Junjungan Lubis adalah keluarga bangsawan dan menjadi Raja di Huta Godang, Ulu Pungkut (Mandailing Julu) yang

pernah juga menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-4

tradisional itu. Penegasan klaim itu secara formal dibuat di hadapan notaris Sondang Matiur

Hutagalung, SH di Panyabungan dalam bentuk Akte Yayasan Tanah Ulayat Kekuriaan Panyabungan

Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi, diterbitkan tanggal 22 Januari 20013.

Di dalam akte tersebut dinyatakan bahwa maksud dan tujuan didirikannya yayasan adalah turut

serta berpartisipasi menjaga, mempertahankan serta melestarikan tanah ulayat Kekuriaan

Panyabungan Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi, demi tercapainya cita-cita Bangsa Indonesia dalam

mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spritual. Disebutkan juga bahwa kekayaan

yayasan ini terdiri dari uang sejumlah Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) yang dikumpulkan dari para

pendiri, dan tanah ulayat seluas 60.000 Ha (enam puluh ribu hektar) dengan batas-batas sebelah

utara dengan tanah kuria Sayur Matinggi, sebelah timur dengan tanah kuria Gunung Tua, sebelah

selatan dengan tanah kuria Aek Nangali dan Muara Soma, sebelah barat dengan tanah kuria

Singkuang. Untuk mencapai maksud dan tujuannya yayasan berusaha dengan cara : (a) mengurus

dan menyelenggarakan pengawasan terhadap tanah ulayat Kekuriaan Panyabungan Tonga/Raja

Pamusuk Tangga Bosi sehingga tidak dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berkompeten; (b)

melestarikan tanah ulayat Kekuriaan Panyabungan Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi tersebut

dengan mengadakan penghijauan atau konservasi dan menjaga segala kemungkinan pengrusakan

yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab; (c) mengelola atau membagikan

tanah ulayat Kekuriaan Panyabungan Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi tersebut kepada masyarakat

adat dengan sistem hak guna usaha dengan menetapkan dan menerima uang pago-pago; (d)

mengelola dan menetapkan uang pago-pago yang diterima dari masyarakat adat sehubungan

dengan pemberian hak guna usaha tersebut4.

Jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang tanah yang berlaku saat ini, akte

yayasan tersebut mungkin tidak memiliki kekuatan hukum dalam mengklaim hak penguasaan atas

tanah ulayat yang disebut seluas 60.000 Ha tadi, yang sebagian besar berada di kawasan hutan

lindung dan taman nasional. Namun demikian, berdirinya yayasan tersebut secara implisit

menegaskan bahwa konsepsi tentang penguasaan wilayah yang berbasis pada zaman kerajaan di

masa lampau masih menjadi referensi bagi sebagian penduduk Tangga Bosi dalam mengklaim hak

penguasaan atas wilayah di sekitarnya, termasuk kawasan Tor Sihayo bahkan juga desa-desa yang

sudah eksis secara formal seperti Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola.

3 Pendiri yayasan tersebut adalah Zulkarnain Nasution penduduk Desa Panyabungan Tonga, Sutan Naparas Nasution

penduduk Desa Tangga Bosi, MR Tigor Pulungan Kepala Desa Tangga Bosi, Rajab Nasution penduduk Desa Huta Lombang

Panyabungan, dan Pardamean Lubis bertempat tinggal di Panyabungan. Dua nama yang disebut pertama masing-masing

adalah keturunan dari raja panusunan bulung di kerajaan/kekuriaan Panyabungan Tonga-tonga dan keturunan raja pamusuk

di Tangga Bosi. 4 Informasi ini dikutip dan disalin dari copy akte yayasan tersebut.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-5

Berkaitan dengan klaim penguasaan wilayah oleh Desa Tangga Bosi, patut disebutkan bahwa

terdapat beberapa dokumen lain yang substansinya selaras dengan penegasan terhadap klaim

tersebut, misalnya: (1) dokumen berisi keputusan rapat/pertemuan tokoh masyarakat Desa Tangga

Bosi dengan Kepala Desa Simaninggir TT dan Kepala Desa Kota Tua TT (keduanya dari Kecamatan

Batang Angkola) dan petani penggarap Pasir Bidang Kecamatan Siabu, yang diadakan di Siabu

tanggal 10 Juni 1993. Dari hasil pertemuan yang ketika itu juga diikuti oleh Camat Siabu, Camat

Batang Angkola, serta Dan Ramil Siabu terlihat bahwa kawasan Pasir Bidang yang berada jauh di hilir

Muara Batang Angkola, yang digarap secara ilegal oleh warga dua desa di Kecamatan Batang

Angkola, dinyatakan sebagai bagian dari wilayah Desa Tangga Bosi, dan pengaturan selanjutnya

berada di bawah kewenangan pemimpin dan perangkat desa Tangga Bosi; (2) sebuah dokumen

perdamaian sengketa batas wilayah kuria Sayur Matinggi dan Panyabungan Tonga terkait dengan

pembukaan lahan yang dilakukan oleh ‘anak negeri’ dari kampung Sihepeng, pada tanggal 2 Maret

1929, juga menyebutkan bahwa tanah di sebelah timur dan selatan pilar yang ditetapkan pada tahun

1913 di kawasan itu adalah termasuk wilayah kekuriaan Panyabungan Tonga5. Tangga Bosi adalah

anak kerajaan Panyabungan Tonga yang berbatasan dengan tanah yang disengketakan itu, sehingga

pengakuan atas klaim Panyabungan Tonga secara implisit merupakan pengakuan bahwa kerajaan

Tangga Bosi berhak atas wilayah di sebelah timur dan selatan pilar 1913 yang disebutkan dalam

dokumen perdamaian itu.

Contoh mutakhir klaim penguasaan wilayah Tor Sihayo oleh Desa Tangga Bosi terjadi pada tahun

1997, yaitu ketika Kepala Desa Tangga Bosi dengan dukungan tokoh adat membuat kebijakan untuk

meminta ganti rugi semua tanah adat yang telah dibuka dan diolah oleh migran Nias khususnya di

kawasan Tor Pulo. Migran Nias menyanggupi persyaratan tersebut dengan sistem pembayaran ganti

rugi lepas (Heru Sutmantoro, 2009). Penduduk migran Nias yang ada di kawasan Tor Pulo kemudian

diterima sebagai warga desa Tangga Bosi, dan secara administratif menjadi salah satu dusun dari

desa Tangga Bosi (sekarang Tangga Bosi II). Adanya warga desa Tangga Bosi di dusun terjauh

tersebut (meskipun secara fisik/geografis tidak menyatu dengan wilayah induknya) secara faktual

mengukuhkan “hak penguasaan” Desa Tangga Bosi II atas kawasan Tor Sihayo, yang secara

tradisional memang sudah mereka nyatakan sebagai bagian dari wilayah adat atau tanah ulayatnya.

Beberapa contoh surat ganti rugi lepas antara warga Nias dengan penduduk desa Tangga Bosi II yang

dikukuhkan dengan cap kepala desa memberikan penegasan tentang klaim tersebut.

5 Perdamaian untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah tersebut dilakukan oleh Baginda Gadombang Parlaoengan (Kepala

Kuria Sayur Matinggi), Mangaraja Iskandar Panoesoenan (Kepala Kuria Panyabungan Tonga), Soetan Kamaroedin (kepala

kampung Sihepeng), dihadapan pejabat Kontrolir Angkola Sipirok (W.P.H. Coolhaas), Kontrolir Mandailing (M.C. Voorn),

Demang Angkola Sipirok (Parlindoengan) dan Demang Mandailing (B.I.Sobolaon).

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-6

3.2.2. Klaim wilayah Desa Hutagodang Muda

Sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di Desa Hutagodang Muda berasal dari desa Huta

Godang di Kecamatan Ulu Pungkut (hasil pemekaran wilayah Kecamatan Kotanopan). Kepala-kepala

keluarga yang berusia sekitar 50-an tahun pada umumnya masih kelahiran desa Huta Godang.

Migrasi penduduk dari Ulu Pungkut ini mulai terjadi sebelum atau di masa-masa awal kemerdekaan

RI. Pada awalnya mereka masuk ke Desa Tangga Bosi dan mengusahakan sawah di wilayah desa

tersebut yang memiliki areal persawahan cukup luas, berbatasan dengan areal rawa-rawa (Rodang

Tinapor) di kawasan Muara Batang Angkola. Penduduk asal Huta Godang ini kemudian

terkonsentrasi di daerah Tano Tiris, karena di daerah itulah mereka membangun pondok atau

rumah-rumah tempat tinggal sementara, sampai suatu ketika berubah menjadi perkampungan

resmi. Salah seorang informan di Desa Hutagodang Muda menyebutkan bahwa para pendahulu

mereka datang ke wilayah Siabu dengan meminta tanah kepada kerajaan Panyabungan Tonga

melalui raja pamusuk di Tangga Bosi, ketika itu Raja Mangguyang.

Lazimnya, sesuai adat istiadat Mandailing, izin pemberian tanah untuk membuka perkampungan

baru mencakup sekurangnya tanah pertapakan untuk perkampungan dan lahan tempat warganya

mencari kehidupan. Tanah pertapakan yang dimaksud terletak di daerah Tano Tiris, sedangkan lahan

tempat berusaha adalah areal persawahan yang ada di sekitarnya serta kawasan hutan di seberang

Sungai Batang Gadis untuk areal perladangan. Informan menyebutkan bahwa batas yang disepakati

antara Hutagodang Muda dengan Tangga Bosi adalah alur air yang disebut “parparauan” (tempat

berperahu) di sebelah timur6, dan dengan “dano parapat” di sebelah tenggara yang berbatasan

dengan Tanjung Sialang. Sementara itu, di sisi seberang Sungai Batang Gadis, batas desa Hutagodang

Muda dengan desa Tanjung Sialang menurut informan adalah Aek Sidua-dua yang mengalir dari Tor

Jilok, dan disana ada areal persawahan bernama “Saba Padang Solok” dan “Saba Aek Garut”.

Penduduk yang bermukim di seberang sungai besar tersebut pada umumnya adalah migran asal

Batak Toba, dan Dusun V Aek Garut secara resmi merupakan salah satu dusun dari Desa Hutagodang

Muda.

Areal yang diklaim oleh Desa Hutagodang Muda di seberang Sungai Batang Gadis mencakup anak

sungai Aek Sidua-dua (di bagian hulu, berbatasan dengan Tanjung Sialang), Aek Garut, Aek

Silandorung, Aek Tombang, Aek Simarincor-incor sampai muara Aek Sihayo di sebelah hilir. Di

kawasan yang disebut terakhir inilah terdapat lokasi Pasir Bidang, yang pernah dibuka oleh

6 Informan menyebutkan bahwa alur air tersebut adalah alur yang menghubungkan areal rawa di sebelah timur Desa Muara

Batang Angkola, memanjang ke sebelah selatan dan menyatu dengan anak sungai kecil yang bermuara ke Sungai Batang Gadis

di bagian hulu Tanjung Sialang. Di masa lalu penduduk Hutagodang Muda harus naik perahu di kawasan tersebut untuk

menuju Desa Tangga Bosi.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-7

penduduk migran Batak Toba dari dua desa di sekitar Tano Tombangan Kecamatan Angkola Jae,

tetapi yang pada tahun 1993 diputuskan merupakan bagian wilayah Desa Tangga Bosi sesuai hasil

pertemuan pimpinan dua kecamatan (Siabu dan Batang Angkola) bersama tokoh masyarakat yang

dilangsungkan di Siabu seperti telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, terdapat klaim ganda

antara Desa Tangga Bosi dan Hutagodang Muda atas lahan-lahan di pinggir sungai Batang Gadis,

khususnya di bagian hilir Desa Muara Batang Angkola sampai ke muara Aek Sihayo. Sementara itu,

bagian lereng dan punggung bukit di atas anak-anak sungai yang disebutkan tadi juga sebagian

diklaim oleh Desa Hutagodang Muda, yaitu mulai dari Tor Ledang (hulu anak sungai Aek Garut), Tor

Bulusoma, Tor Jilok dan Tor Bahal Gaja. Perbukitan di atas Aek Tombang dan sekitarnya juga diklaim

sebagai wilayah Desa Hutagodang Muda.

Klaim tenurial Desa Hutagodang Muda atas kawasan perbukitan di Tor Bulusoma, Tor Jilok, Tor Bahal

Gaja dan Aek Tombang sudah berlangsung lama, diperkirakan jauh sebelum migran Nias datang ke

daerah itu. Pada tahun 1982, seperti telah disinggung pada Bab II, tokoh-tokoh masyarakat

Hutagodang Muda mendirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk menyantuni anak-anak yatim.

Usaha yang dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut adalah membuka areal kebun karet di Tor

Bulusoma, namun usaha itu tidak berjalan mulus. Pada kurun waktu yang sama, Desa Hutagodang

Muda juga memanfaatkan program Perkebunan Karet Berbantuan (PKB) yang diberikan oleh

pemerintah dengan membuka areal kebun karet seluas 130 Ha di dua lokasi yaitu Tor Bahal Gaja

arah ke Sihayo (lokasi SMM sekarang) dan Tor Bulusoma, masing-masing 90 Ha dan 40 Ha. Program

tersebut juga berakhir dengan kegagalan, namun klaim atas lahan yang ada kemudian berpindah ke

tangan sejumlah warga desa Hutagodang Muda. Setelah migran Nias memasuki daerah Tor

Bulusoma pada tahun 1980-an, warga Desa Hutagodang Muda kemudian menganeksasi lahan

tersebut kembali pada tahun 1991 sehingga orang-orang Nias di daerah itu keluar dan berpencar-

pencar ke areal sekitarnya. Tahun 2006-2007 muncul pula usulan dari warga Hutagodang Muda

untuk menjadikan areal hutan di perbukitan Tor Bulusoma, Aek Tombang dan sekitarnya diajukan

sebagai lokasi proyek GERHAN. Peristiwa ini merupakan yang ketiga kalinya terjadi konflik tenurial

antara migran Nias dengan penduduk Hutagodang Muda.

3.2.3. Klaim wilayah Desa Muara Batang Angkola

Dalam catatan statistik kecamatan 2005 disebutkan bahwa Desa Muara Batang Angkola memiliki

luas wilayah 1.330 Ha (Edi Ikhsan dkk,2005), tetapi dalam data statistik Kecamatan Siabu 2008

memiliki luas 8.575,36 Ha, yang sebagiannya mencakup wilayah Tor Sihayo di seberang Sungai

Batang Gadis. Secara fisik dan geografis, memang, desa Muara Batang Angkola adalah yang terdekat

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-8

dan berbatasan langsung dengan kawasan Tor Sihayo, juga menjadi pintu masuk menuju kluster-

kluster permukiman migran Nias di sekitar itu. Namun demikian, dalam konsepsi masyarakat Desa

Tangga Bosi dan Hutagodang Muda, warga desa Muara Batang Angkola secara historis tidak berhak

mengklaim lahan di seberang Sungai Batang Gadis. Warga desa ini adalah pendatang yang berasal

dari daerah Siulang-aling yang pada pertengahan abad ke-20 menjadikan lokasi permukiman

sekarang sebagai tempat tinggal bagi para pencari ikan di muara sungai dan rawa-rawa di sekitar itu.

Selama puluhan tahun belakangan ini interaksi mereka dengan kawasan hutan relatif kecil dan

aktivitas pertanian warga lebih banyak terfokus di sekitar permukiman. Mencari ikan di sungai dan

rawa-rawa masih menjadi modus utama ekonomi penduduk desa Muara Batang Angkola sampai

sekarang. Jumlah warga asli desa yang membuka lahan di seberang Sungai Batang Gadis tidak

banyak, beberapa di antaranya adalah keluarga kepala desa yang sekarang, yang membuka kebun

kemiri dan karet di sekitar Aek Tombang sejak akhir 1970-an.

Perhatian warga asli Muara Batang Angkola terhadap aktivitas pertanian ke seberang sungai baru

muncul beberapa tahun terakhir ini, antara lain karena semakin sempitnya lahan pertanian yang bisa

dikelola di sekitar permukiman. Perluasan lahan pertanian ke arah utara dan timur laut desa

terhambat oleh keberadaan rawa-rawa yang diklaim sebagai tanah ulayat Desa Tangga Bosi. Ke arah

tenggara dan selatan sudah berbatasan dengan lahan-lahan milik warga desa Hutagodang Muda. Ke

arah barat daya, barat dan barat laut, adalah kawasan Tor Sihayo yang secara faktual sudah dikelola

oleh migran Nias, secara historis diklaim pula oleh Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. Selain itu,

warga desa Muara Batang Angkola juga mengetahui bahwa di kawasan itu sebenarnya sudah

ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung sejak zaman kolonial. Informan di Muara Batang Angkola

mengatakan bahwa secara fisik dan geografis merekalah yang paling berhak mengklaim lahan di

kawasan Tor Sihayo, karena desa mereka yang berbatasan langsung dengan kawasan itu.

Klaim Desa Muara Batang Angkola atas kawasan Tor Sihayo, khususnya sekitar Aek Tombang, Aek

Simate-mate sampai ke muara Aek Sihayo dikuatkan dengan fakta bahwa sebagian warga penduduk

asli Muara Batang Angkola telah membuka lahan kebun karet, kemiri dan coklat di daerah itu. Lahan

yang mereka kuasai umumnya berada di sempadan Sungai Batang Gadis mulai dari batas desa

Muara Batang Angkola sampai ke hilir di sekitar muara Aek Sihayo. Sumberdaya ikan yang terdapat

di aliran sungai Batang Gadis mulai dari batas desa hingga belasan kilometer ke hilir boleh dikatakan

berada di bawah penguasaan warga Muara Batang Angkola, dan beberapa warga desa juga

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-9

menguasai lahan di sempadan sungai tersebut7. Penduduk migran Nias di bagian sempadan sungai

tersebut juga secara administratif menjadi warga desa Muara Batang Angkola.

3.3. Klaim Penguasaan oleh Komunitas Migran Nias

Komunitas migran Nias di kawasan Tor Sihayo tidak mengklaim penguasaan wilayah selain lahan

yang mereka buka dan kelola untuk pemukiman dan pertanian. Namun demikian, seperti telah

disebutkan di atas, luas hamparan hutan yang mereka buka sejak pertama kali datang ke kawasan ini

sudah mencapai 504,25 Ha sebagaimana ditemukan oleh tim inventarisasi dari Pemerintah

Kabupaten Mandailing Natal (Heru Sutmantoro, 2009). Dari hasil kajian di Batang Toru (Zulkifli Lubis

dkk, 2007) maupun di kawasan Tor Sihayo ditemukan gambaran bahwa migran Nias pada umumnya

tidak menempatkan aspek legalitas penguasaan lahan sebagai hal yang sangat penting. Kesulitan

hidup yang mereka hadapi di kampung halamannya di Pulau Nias sudah menjadi modal yang cukup

bagi mereka untuk menguatkan tekad berjuang mencari tempat mencari nafkah yang lebih baik di

daerah rantau. Pertimbangan utama mereka masuk ke suatu wilayah bukan pada aspek legalitas

lahan yang akan dibuka, melainkan ada tidaknya jaringan kerabat atau kenalan yang bisa menjadi

tumpangan sementara. Karena itu, tidak mengherankan jika ditemukan fakta bahwa warga yang

mendiami suatu kluster permukiman dan perladangan migran Nias di tengah hutan adalah mereka

yang memiliki jaringan kekerabatan atau berasal dari desa yang sama di Pulau Nias.

Berbeda dengan komunitas lokal yang sedikit banyak masih mempertimbangkan status kawasan

hutan yang akan dibuka, migran Nias selalu siap menebas hutan dimana saja sepanjang tidak ada

pihak yang melarang mereka. Faktor jarak, aksesibilitas, kontur lahan dan status legal lokasi yang

akan dibuka tidak menjadi pertimbangan penting bagi mereka. Kenyataan itulah yang bisa

ditemukan dengan mudah di kawasan Tor Sihayo. Kluster permukiman migran Nias di Tor Pulo

misalnya, yang ditaksir berjarak 8 km dari Desa Muara Batang Angkola dan harus melewati medan

yang sulit, bukit terjal dan kemiringan lebih dari 40 derajat, sekarang ini justru telah berubah

menjadi sebuah kampung yang dihuni 95 KK, didukung oleh fasilitas penerangan listrik dari

generator yang mereka usahakan secara swadaya, siaran televisi yang didukung dengan antena

parabola, bangunan gereja sebagai sarana beribadah dan juga bangunan sekolah sebagai sarana

pendidikan untuk anak-anak. Dukungan logistik untuk kebutuhan rumah tangga sebagian bisa

dipenuhi dari hasil tanaman ladang (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas), sebagian lain

7 Warga desa Muara Batang Angkola yang memiliki mata pencaharian utama sebagai penangkap ikan di Sungai Batang Gadis

biasa meninggalkan keluarga mereka selama 3 minggu hingga sebulan. Mereka secara individual menguasai bagian-bagian

tertentu dari aliran sungai, selama berhari-hari menangkap ikan dengan jala dan jaring di tempat itu, menginap sendiri dan

mengasap hasil tangkapan pada malam hari, dan setelah penuh keranjang bawaan (kapasitas 15-20 kg) barulah mereka pulang

ke Muara Batang Angkola. Beragam jenis ikan yang disalai (diasapi) tersebut kemudian dijual ke toke dengan harga sekitar Rp

70.000/kg.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-10

dipenuhi dengan membeli ke pasar dari uang hasil penjualan cabe, sayur-sayuran, kemiri, dan coklat.

Mereka menanam beragam jenis tanaman tadi di lahan yang agak landai di punggung bukit maupun

di lereng yang terjal, dengan menebangi pohon-pohon kayu yang ada meskipun di bawahnya ada

sumber mata air. Di atas semua itu, hamparan lahan pertanian dan permukiman yang mereka

duduki tersebut adalah kawasan hutan berstatus Hutan Lindung.

Migran Nias yang bermukim di kawasan Tor Sihayo akan selalu merasa nyaman untuk berusaha dan

memperluas lahan garapannya sepanjang tidak ada pihak lain yang datang mengusik, baik dari warga

setempat maupun aparat pemerintah. Namun, adanya beberapa kali kasus konflik atau perbenturan

klaim atas lahan di kawasan itu yang memperhadapkan migran Nias dengan warga desa-desa sekitar,

mulai membangunkan kesadaran mereka tentang status dan kekuatan alas hak yang mereka miliki

untuk mengelola lahan di tempat tersebut. Oleh karena itu, mereka berupaya mendapatkan

dokumen apa saja yang bisa menguatkan klaim mereka terhadap lahan yang dikelola maupun atas

status kependudukan mereka di desa-desa terdekat. Surat jual beli atau ganti rugi tanah adalah

secarik dokumen yang mereka pegang sebagai bukti alas hak, kendati surat-surat tersebut sangat

lemah dari sisi hukum formal. Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai identitas domisili dan

kependudukan merupakan dokumen lain yang mereka usahakan untuk bisa dimiliki, minimal oleh

seorang Kepala Keluarga.

Seorang tokoh migran Nias yang saat ini menjabat sebagai kepala dusun di Tor Pulo mengaku

menyimpan hampir semua fotocopy dokumen surat-surat jual beli dan ganti rugi tanah dari warga

Nias yang ada di kawasan Tor Pulo. Pada umumnya surat perjanjian jual beli atau ganti rugi tersebut

dibuat di atas kertas segel dengan cara diketik atau tulis tangan mencakup informasi tentang pihak

pertama dan pihak kedua; luas tanah, letak dan batas-batasnya; harga yang disepakati; tanda tangan

kedua belak pihak berikut saksi-saksi; tanda tangan dan cap kepala desa. Tidak ada penjelasan

tentang jumlah eksemplar surat, juga tidak ada informasi bahwa salinan surat tersimpan di kantor

kepala desa sebagai pejabat yang menyaksikan transaksi tersebut dan sepatutnya mengarsipkannya

untuk kepentingan administrasi desa8.

8 Bahkan terdapat satu contoh surat yang diduga ditulis tangan oleh pembeli (migran Nias) ---terlihat dari penyebutan yang

salah mengenai nama desa mengikuti aksen Nias yang tidak mengenal huruf mati di akhir kata--- kemudian ditandatangani

oleh kedua belah pihak, saksi dan kepala desa. Ada kesan bahwa kepala desa yang membubuhkan tanda tangan di atas surat-

surat tersebut hanya memenuhi formalitas dan kebutuhan migran Nias yang membeli tanah di wilayahnya.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-11

Berikut dikutip beberapa bagian dari empat contoh

surat ganti rugi tanah yang melibatkan migran Nias

dengan warga di Desa Tangga Bosi, Hutagodang Muda

dan Muara Batang Angkola.

1. Surat ganti rugi tanah antara M.R. Tigor

Pulungan dengan Julianto Gea, tertanggal 20 Agustus

1997.

Julianto Gea, sekarang sebagai kepala dusun Tor Pulo,

guru jemaat GPPDI dan guru SD filial Muara Batang

Angkola di dusun Tor Pulo, adalah migran Nias

gelombang kedua yang datang ke Tor Sihayo dan

kemudian “membeli” tanah seluas 10 Ha kepada M.R.

Tigor Pulungan yang saat itu menjabat sebagai Kepala

Desa Tangga Bosi. Dalam surat ganti rugi yang mereka

buat digambarkan sketsa lahan yang dibeli, yaitu

sebelah utara berbatasan dengan hutan pinggiran Aek

Sihayo, sebelah timur berbatasan dengan lahan milik

Onekrezi Zega, sebelah selatan berbatasan dengan

Julius Gea/ masyarakat desa Muara Batang Angkola,

dan sebelah barat berbatasan dengan hutan

Pangidoan Goreng9.

2. Surat ganti rugi tanah antara Sunardi Lubis

(warga desa Hutagodang Muda) dan Marinus Zebua,

tertanggal 3 Oktober 2000.

Sunardi Lubis (29 thn), warga desa Hutagodang Muda

“menjual” sebidang tanah/kebun yang berlokasi di

sekitar Aek Tombang seluas 2 Ha dengan harga Rp

500.000; yang di sebelah timur dan barat berbatasan

9 Dalam sebuah wawancara dengan M.R. Tigor Pulungan disebutkan bahwa kawasan hutan Pangidoan Goreng adalah nama

bukit yang digunakan sebelum berganti menjadi Tor Pulo. Dinamakan Tor Pangidoan Goreng karena di tempat itu, yang

puluhan tahun lalu biasa dijadikan tempat menginap oleh penduduk yang mencari hasil hutan, pernah terdengar suara anak-

anak menangis meminta makanan gorengan di malam hari padahal tidak ada anak-anak ( manusia) di tempat tersebut.

Karena diyakini bahwa suara itu adalah makhluk halus yang menghuni kawasan sekitar, kemudian penduduk Tangga Bosi

menyebutnya sebagai bukit atau Tor Pangidoan Goreng.

Surat Ganti Rugi

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

nama M.R. Tigor Pulungan [dst]. Bahwa

saya sebagai pihak pertama mengaku

dengan sebenarnya telah menyerahkan

sebidang tanah dan tanaman yang ada

di atasnya, kepada nama Julianto Gea

[dst].Tanah dan tanaman yang telah

saya serahkan sebagai pihak pertama

kepada pihak kedua di dalam surat ini

seluas lebih kurang 10 Ha, dengan cara

pihak kedua memberikan ganti rugi

kepada pihak pertama, uang sebesar

Rp.2.500.000 tunai. Tanah seluas

tersebut di atas terletak di Tor Pulo

Gunung Sihayo Desa Tangga Bosi Kec.

Siabu Kabupaten Tapanuli Selatan.

Batas-batas tanah [dst]

[Dst]

Dan sejak surat ganti rugi ini diperbuat

maka hak saya sebagai pihak pertama

gugur menjadi pindah sebagai hak pihak

kedua untuk mengurus dan

mengusahakannya.Dan apabila ternyata

di kemudian hari ada masalah dan

ganggu gugat atas tanah seluas tersebut

dari pihak saya pihak pertama dan juga

dari pihak lain, maka saya pihak pertama

yang bertanggungjawab dan segala

kerugian pihak kedua untuk itu saya

pihak pertama yang membayar dan saya

bersedia ditindak sebagaimana hukum

yang berlaku di Negara RI dan UUD

1945. [dst].

Tangga Bosi, 20 Agustus 1997

Pihak Pertama: M.R. Tigor Pulungan

Pihak Kedua : Julianto Gea

Saksi-saksi :

1. Onekrezi Zega (sebelah timur)

2. Todotoro Zai (sebelah barat)

3. Julius Gea (sebelah selatan)

4. Terezaro Zega (kepala dusun

Torpulo)

5. Sutan Naparas (tokoh adat Tangga

Bosi)

Dibenarkan oleh Kepala Desa Tangga

Bosi:

M.R. Tigor Pulungan

Gambar sketsa tanah tersebut

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-12

dengan areal hutan, sedangkan di sebelah utara berbatas dengan tanah Ama Suko Harefa dan

sebelah selatan dengan tanah Ama Eri, keduanya migran Nias.

Di dalam surat ganti rugi yang ditandatangani oleh

kedua belah pihak serta saksi-saksi batas dan warga

desa, dan diketahui oleh Kepala Desa Hutagodang

Muda ketika itu (Usuluddin Lubis), dinyatakan tentang

status lahan tidak dalam sengketa, juga kesiapan pihak

penjual untuk digugat jika ada masalah dakwaan di

belakang hari.

3. Surat jual beli tanah/kebun antara Darwis

Nasution dan Taliso Zai, tertanggal 19 April 2002

Dalam surat jual beli di atas segel ini disebutkan

bahwa Darwis Nasution (warga Hutagodang Muda)

menjual sebidang tanah/kebun (5 bunbun) berlokasi

di Aek Tombang kepada Taliso Zai (beralamat di Aek

Tombang desa Muara Batang Angkola) dengan harga Rp. 1.000.000 tunai. Juga dinyatakan dalam

surat tersebut kesediaan pihak penjual untuk dituntut secara hukum jika di belakang hari ada

gugatan dari pihaknya atas tanah tersebut. Surat ditandatangani oleh kedua belah pihak, saksi-saksi

dan kepala desa Hutagodang Muda (Usuluddin Lubis).

4. Surat ganti rugi tanah/kebun antara Asdi Lubis dan Ranizaro Gea, tertanggal 12 Juli 2008

Surat bertulis tangan di atas kertas segel ini menyatakan adanya ganti rugi tanah/kebun antara Asdi

Lubis (warga Desa Hutagodang Muda) sebagai pihak pertama dengan Ranizaro Gea (beralamat di

Aek Tombang, Desa Hutagodang Muda --tertulis salah dua kali Hutagoda Muda), seluas 4 Ha dengan

harga Rp 6.000.000. Juga dinyatakan dalam surat adanya kesediaan pihak kedua untuk dituntut

secara hukum jika ada gugatan kelak; dan surat ditandatangani oleh pihak pertama, tiga orang saksi

(Alimudin Lubis, Arianto Batubara dan Soleh Matondang), dan tanda tangan serta cap Kepala Desa

Hutagodang Muda (Rail Dalimunte) sebagai pihak yang mengetahui. Surat dibuat di Aek Tombang,

tertanggal 12 Juli 2008.

Migran Nias yang memiliki surat-surat ganti rugi tanah seperti yang disebutkan di atas merasa

bahwa mereka telah memiliki alas hak yang sah atas aktivitas yang dilakukannya di atas tanah

tersebut, baik untuk mengusahakan tanaman maupun untuk tempat bermukim, terlepas apakah

…Dapat saya tambahkan bahwa tanah

tersebut tidak dalam keadaan sengketa

atau tidak sedang dalam keadaan

diborohkan kepada pihak lain oleh sebab

sesuatu hutang saya, pendeknya tanah

tersebut tidak ada dakwa-dakwinya di

belakang hari dari saya maupun dari

pihak waris saya.

Apabila tanah tersebut ada gugatan dari

saya maupun dari pihak waris saya,

maka bersedia dituntut sesuai hukum

dan perundang-undangan yang berlaku.

Dikutip dari Surat Ganti Rugi antara

Sunardi dan Marinus Zebua

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

III:

Ko

nfl

ik T

en

uri

al D

i Kaw

asan

To

r Si

hay

o

III-13

surat tersebut memiliki kekuatan atau tidak sama sekali dari perspektif hukum formal. Paling tidak,

ketika mereka berhadapan dengan warga masyarakat lokal yang berusaha mengklaim hak

penguasaan atas lahan-lahan yang sudah dibuka oleh migran Nias di kawasan itu, mereka merasa

memiliki posisi tawar yang kuat karena adanya bukti-bukti transaksi di atas.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-1

BAB IV

ANALISIS KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA

Pada bab terdahulu sudah digambarkan secara ringkas adanya tumpang tindih klaim penguasaan atas

kawasan hutan Tor Sihayo, yang melibatkan migran Nias dan penduduk asli di sekitarnya khususnya

Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. Jika diringkas, yang terlihat adalah

gambaran sebagai berikut : (a) Desa Tangga Bosi mengklaim bahwa seluruh kawasan Tor Sihayo berada

dalam kawasan teritorialiti1 mereka yang didasarkan pada aturan tanah adat terwariskan sebagai

bahagian dari wilayah kerajaan/kekuriaan Panyabungan Tonga, yang meliputi wilayah desa Hutagodang

Muda, Muara Batang Angkola hingga ke batas kekuriaan Sayur Matinggi di seberang Sungai Batang

Angkola; (b) Hutagodang Muda mengklaim sebagian perbukitan di kawasan Tor Sihayo hingga ke

sempadan Sungai Batang Gadis dan ke hilir di muara Aek Sihayo; (c) Muara Batang Angkola mengklaim

wilayah Tor Sihayo karena secara fisik berbatasan langsung dengan desanya hingga sempadan sungai ke

arah hilir Sungai Batang Gadis; dan (d) komunitas Nias mengklaim lahan-lahan yang mereka usahai

berdasarkan jual beli dan ganti rugi dengan penduduk setempat.

Uraian pada bab ini akan menggambarkan lebih detil faktor-faktor yang mendasari konflik penguasaan

sumberdaya alam di kawasan Tor Sihayo, yang akan dipilah dalam dua bagian besar yaitu faktor subjektif

dan faktor objektif. Faktor subjektif mencakup adanya silang kepentingan antar pihak yang mengklaim

penguasaan berdasarkan pengetahuan, persepsi, pandangan atau keyakinan mereka mengenai sejarah

kawasan dan implikasinya terhadap hak penguasaan sumber daya alam. Termasuk dalam faktor

subjektif juga adalah pandangan-pandangan streotifik antar kelompok yang berkait kepentingan dengan

sumberdaya alam kawasan Tor Sihayo. Sementara itu, faktor-faktor objektif mencakup variabel

keterbatasan lahan, pertambahan penduduk dan kebutuhan ekonomi.

4.1. Faktor-faktor Subjektif dalam Konflik Penguasaan Sumberdaya Alam Kawasan Tor Sihayo

4.1.1. Silang Kepentingan antar Komunitas Lokal

Kehadiran sporadis migran Nias di kawasan Tor Sihayo sudah berlangsung lebih seperempat abad.

Sepintas lalu, persoalan klaim penguasaan sumberdaya hutan di kawasan itu hanya terjadi antara

1 Konsep teritorialiti diterjemahkan dari territoriality yang menurut Hans van Dijk berarti klaim penguasaan atas sumberdaya yang

didasarkan bukan pada fakta adanya investasi (tenure) di dalamnya, melainkan klaim yang lebih bersifat kultural terhadap suatu

wilayah, yang dikukuhkan melalui alasan-alasan ideologis, moral, legal ataupun politik; bukan berdasarkan fakta ekologis, tetapi

lebih didasarkan pada persepsi dari orang-orang mengenai kondisi ekologis dan sosio-politik mereka.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-2

komunitas lokal dengan migran Nias, tetapi jika dirunut lebih dalam ternyata bahwa antar komunitas

lokal juga terdapat silang kepentingan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kawasan

Tor Sihayo. Faktor pengetahuan, persepsi dan pandangan warga di ketiga komunitas desa tempatan

yang berdekatan dengan Tor Sihayo, khususnya tentang aspek historis kawasan, membuat mereka

berbeda posisi dalam memandang keberadaan sumberdaya di sana, yang kemudian juga berimplikasi

terhadap cara memandang mereka terhadap keberadaan migran Nias di tempat itu. Berikut

digambarkan bagaimana penduduk ketiga desa (Muara Batang Angkola/MBA, Hutagodang Muda/HGM

dan Tangga Bosi/TBS) memandang satu sama lain, diringkas dalam matrik di bawah ini.

Matrik 1. Silang kepentingan antar komunitas lokal

MBA HGM TBS

MBA

Warga HGM mengklaim kawasan

Aek Tombang sebagai wilayahnya

Ada kesan warga HGM memandang

rendah MBA dan menganggap tidak

berhak untuk sumberdaya di

kawasan Tor Sihayo

MBA terkait kepentingan kpd HGM

karena akses transportasi harus

melewati HGM

Warga MBA memandang TBS

mengklaim hak ulayat atas

desa mereka dan tdk mendapat

akses untuk mengelola rawa di

batas desa MBA

MBA terkait kepentingan kpd

TBS karena akses transportasi

melewati TBS

Penah ada kasus penguasaan

lahan warga MBA oleh warga

TBS di Pasir Bidang

HGM

MBA tidak punya kawasan hutan

karena mereka lebih dikenal

sebagai pencari ikan, dan sejarah

pemukiman berawal dari tempat

singgah sementara warga pencari

ikan di sungai dan rawa

Kawasan Aek Tombang ke

sempadan Sungai Batang Gadis

adalah wilayah HGM, karenanya

warga MBA tdk berhak

menguasai daerah itu

Ada beberapa kasus jual beli/ganti

rugi tanah antara migran Nias

dengan warga HGM di Aek

Tombang

Ada kasus aneksasi lahan migran

Nias di sekitar Aek Tombang

Keberatan dengan klaim tanah

ulayat TBS karena HGM

sudah resmi berdiri sejak 1947

dengan wilayah yang jelas,

termasuk seberang Sungai

Batang Gadis

HGM merasa lebih maju

secara ekonomi, akses jaringan

politik, dan pemanfaatan

peluang-peluang

pembangunan ketimbang TBS

HGM melihat TBS

menjadikan migran Nias di

kawasan Tor Pulo sebagai alas

klaim faktual untuk

menguatkan klaim tradisional

atas kawasan Tor Sihayo

TBS

TBS mengklaim wilayah sampai

ke muara Aek Sihayo, termasuk

wilayah tenure warga MBA di

sana

Melihat MBA lebih akomodatif

terhadap migran Nias karena

kepentingan ekonomi dan bisnis

elit desanya

Memandang HGM tidak membuka

diri untuk bersama-sama

membicarakan akses penguasaan

atas kawasan Tor Sihayo

Tidak mau duduk bersama untuk

membahas keberadaan migran Nias

di Tor Sihayo

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-3

Dari matrik di atas terlihat adanya silang kepentingan antara warga Muara Batang Angkola, Hutagodang

Muda dan Tangga Bosi dalam hal klaim penguasaan atas sumberdaya di daerah mereka. Perbedaan

pengetahuan tentang aspek historis kawasan, pandangan streotifik yang hidup di dalam alam pikiran

warga mengenai penduduk desa lain, serta penilaian hubungan kultural mereka satu terhadap yang lain

merupakan faktor-faktor subjektif yang mendasari adanya silang kepentingan tersebut. Meskipun

bersifat subjektif, hal itu terbukti sangat menentukan orientasi mereka dalam memandang dan menilai

persoalan sengketa yang timbul serta pilihan-pilihan cara menyelesaikannya kelak.

Perspektif warga Muara Batang Angkola

Warga Muara Batang Angkola merasakan adanya klaim penguasaan atas sumberdaya di desa

mereka oleh masyarakat Desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi, antara lain terlihat dari

kasus-kasus penguasaan lahan oleh warga Hutagodang Muda di sekitar Aek Tombang dan

adanya pelarangan dari warga Tangga Bosi terhadap warga Muara Batang Angkola yang hendak

memanfaatkan lahan rawa-rawa di batas desa mereka yang diklaim penguasaannya oleh Tangga

Bosi.

Warga Muara Batang Angkola memiliki kesan bahwa warga Hutagodang Muda cenderung

memandang rendah kepada mereka dan menganggap bahwa warga Muara Batang Angkola

tidak berhak memanfaatkan sumberdaya di kawasan Tor Sihayo, karena dianggap tidak memiliki

kaitan historis dengan kawasan itu.

Warga Muara Batang Angkola cenderung menahan diri dan menghindari perselisihan dengan

warga desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi, karena menyadari bahwa banyak kepentingan

mereka yang terkait dengan kedua desa tersebut, salah satu diantaranya misalnya jalur akses

keluar desa menuju ibukota kecamatan yang harus melintasi kedua desa.

Perspektif warga Hutagodang Muda

Dalam kaitan dengan Muara Batang Angkola, warga Hutagodang Muda cenderung memiliki

pandangan yang sama bahwa warga Muara Batang Angkola bukanlah tipe agraris karena riwayat

perekonomian mereka lebih didominasi aktivitas penangkapan ikan di sungai dan rawa-rawa,

yang masih berlangsung hingga masa sekarang. Oleh karena itu, warga Muara Batang Angkola

dalam pandangan warga Hutagodang Muda tidak memiliki hak dan akses untuk memanfaatkan

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-4

sumberdaya hutan di kawasan Tor Sihayo; dan menganggap bahwa sumberdaya alam milik

Muara Batang Angkola hanya di seputar permukiman penduduk.

Terhadap Tangga Bosi ada pandangan yang kurang setuju dari warga Hutagodang Muda karena

mereka masih menghidupkan klaim-klaim tradisional atas nama tanah ulayat yang notabene

akan menafikan hak-hak warga Hutagodang Muda untuk mengelola sumberdaya di seberang

Sungai Batang Gadis; sementara berdasarkan pengetahuan dan keyakinan warga Hutagodang

Muda hak untuk membuka areal pertanian di daerah itu sudah melekat bersamaan dengan

penyerahan tanah yang diberikan oleh tokoh-tokoh adat waktu itu yaitu “raja pamusuk” di

Tangga Bosi dan “raja panusunan bulung” di Panyabungan Tonga. Faktanya, menurut warga

Hutagodang Muda, sampai sekarang lebih banyak warga desa mereka yang mengelola lahan di

seberang sungai ketimbang warga Tangga Bosi.

Ada kesan di kalangan warga Hutagodang Muda bahwa warga Tangga Bosi agak menaruh

cemburu atas kemajuan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat desa Hutagodang Muda. Tetapi

hal itu menurut warga Hutagodang Muda terjadi karena kesalahan warga Tangga Bosi sendiri

yang terlalu bertumpu kepada usaha persawahan dan tidak suka membuka kebun. Kalaupun

mereka membuka hutan di kawasan Tor Sihayo biasanya akan dijual lagi kepada warga migran

Nias. Mereka lebih suka berkawan dengan warga migran Nias di kawasan hutan karena dengan

begitu Tangga Bosi bisa tetap mengklaim hak penguasaan atas wilayah di seberang Sungai

Batang Gadis.

Perspektif warga Tangga Bosi

Kawasan Tor Sihayo di seberang Sungai Batang Gadis merupakan wilayah tradisional masyarakat

Tangga Bosi, sehingga sumberdaya yang ada di sepanjang aliran Sungai Batang Gadis sampai ke

muara sungai Aek Sihayo di bagian hilir desa Muara Batang Angkola adalah juga di dalam hak

penguasaan masyarakat adat Tangga Bosi. Warga Tangga Bosi memandang bahwa penduduk

desa Muara Batang Angkola sangat akomodatif terhadap kehadiran migran Nias di daerah itu,

karena dinilai sangat banyak memberikan kontribusi ekonomi bagi penduduknya, terutama bagi

elit-elit desa itu.

Terhadap Hutagodang Muda ada anggapan dari warga Tangga Bosi bahwa mereka tidak mau

membuka diri untuk membicarakan soal penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam di

kawasan Tor Sihayo. Menurut pandangan warga Tangga Bosi, sepatutnya penduduk Hutagodang

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-5

Muda dan terutama pemimpin-pemimpin mereka harus membuka diri dan mengajak warga

Tangga Bosi untuk duduk bersama membahas persoalan-persoalan penguasaan dan kehadiran

migran Nias di kawasan Tor Sihayo. Selama ini tidak terbangun rasa kebersamaan di antara

kedua desa, karena masyarakat Hutagodang Muda agak “alergi” dengan persoalan tanah adat.

4.1.2. Komunitas Lokal versus Komunitas Migran Nias

Komunitas lokal penduduk asli Siabu menyikapi berbeda kehadiran migran Nias di kawasan Tor Sihayo.

Perbedaan itu bukan hanya terlihat antara penduduk desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda

dan Tangga Bosi, namun di dalam lingkup masyarakat desa ada juga nuansa perbedaan antara kelompok

elit desa dengan warga kebanyakan. Perbedaan-perbedaan penyikapan tersebut diringkas dalam Matrik

2 di bawah ini. Secara garis besar dapat digambarkan bagaimana ketiga desa yang merepresentasikan

komunitas lokal memandang keberadaan dan hubungan kepentingan mereka dengan migran Nias, dan

sebaliknya bagaimana migran Nias melihat hubungan mereka dengan komunitas lokal sebagai berikut :

Komunitas desa Muara Batang Angkola versus migran Nias

Terdapat hubungan ‘simbiosis mutualisma’ atau saling menguntungkan antara penduduk desa

Muara Batang Angkola dengan keberadaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo. Warga Muara

Batang Angkola mendapatkan peluang-peluang dan manfaat ekonomi dari aktivitas pertanian

yang dilakukan oleh penduduk migran Nias di kawasan Tor Sihayo. Sebaliknya, migran Nias juga

mendapatkan perlindungan ekonomi dari para toke di Muara Batang Angkola, khususnya ketika

mereka menghadapi masa-masa paceklik. Selain itu, migran Nias merasa terbantu karena anak-

anak mereka yang berusia sekolah dan akan mengikuti ujian akhir kelas 6 dapat bergabung

dengan SD negeri yang ada di Muara Batang Angkola.

Selain melihat kehadiran migran Nias sebagai peluang ekonomi bagi penduduk desa, kalangan

warga biasa dari generasi muda juga melihat adanya ancaman yang mereka hadapi di masa

mendatang, yaitu semakin terbatasnya kesempatan bagi warga lokal untuk membuka lahan

pertanian karena sudah digarap oleh migran Nias yang terus bertambah.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-6

Komunitas desa Hutagodang Muda versus migran Nias

Warga Hutagodang Muda pada intinya tidak menerima kehadiran migran Nias di daerah ini,

selain karena tidak memiliki dokumen perpindahan yang sah (pendatang haram), mereka juga

memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan penduduk setempat. Penduduk lokal lebih

berhak dan sepatutnya lebih diutamakan untuk mengelola sumberdaya di daerah ini daripada

migran Nias yang datang dari luar daerah. Tidak ada hubungan bisnis yang terjadi antara warga

Hutagodang Muda dengan migran Nias. Oleh karena itu, menurut penduduk Hutagodang

Muda, baik dari kalangan generasi tua maupun dari generasi muda, warga migran Nias harus

dikeluarkan dari kawasan Tor Sihayo, dan kesempatan untuk mengelola lahan yang ada di sana

diberikan kepada penduduk asli setempat.

Migran Nias memiliki beberapa kali pengalaman berkonflik dengan warga Hutagodang Muda

dalam urusan lahan di kawasan Tor Sihayo, sehingga mereka merasa kurang nyaman dalam

berhubungan dengan warga desa. Sekarang ini tidak ada lagi warga migran Nias yang memiliki

status kependudukan di desa Hutagodang Muda. Dalam urusan penguasan lahan di kawasan

Tor Sihayo, warga migran Nias berpegangan kepada alas hak yang mereka miliki berupa

dokumen surat jual beli atau surat ganti rugi di atas kertas bemeterai yang terjadi antara

mereka dengan warga Hutagodang Muda, yang dikuatkan oleh saksi-saksi dan diketahui oleh

kepala desa.

Komunitas desa Tangga Bosi versus migran Nias

Penyikapan warga desa Tangga Bosi terhadap keberadaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo

lebih moderat. Ada kesan umum di kalangan warga Tangga Bosi bahwa kehadiran migran Nias di

kawasan Tor Sihayo telah dimanfaatkan oleh sebagian elit desa untuk mendapatkan keuntungan

ekonomi, misalnya melalui transaksi atau jual beli tanah hutan dan juga dari biaya yang

dikenakan kepada migran Nias yang meminta dibuatkan identitas kependudukan di desa. Warga

Tangga Bosi mengklaim bahwa areal hutan yang digarap migran Nias di kawasan Tor Sihayo

adalah bagian dari tanah ulayat mereka, sehingga proses ganti rugi tanah yang berlangsung

antara warga desa Tangga Bosi dengan warga migran Nias yang ada di sana bisa dibenarkan.

Migran Nias merasa nyaman dalam berhubungan dengan penduduk desa Tangga Bosi karena

telah memiliki surat ganti rugi lepas atas lahan-lahan yang mereka kelola, khususnya di dusun

Tor Pulo, dan mereka telah diterima menjadi warga resmi sebagai penduduk desa Tangga Bosi

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-7

(II) yang ditandai dengan pemilikan KTP. Bahkan dusun Tor Pulo telah dijadikan sebagai salah

satu dusun dalam administrasi pemerintahan Desa Tangga Bosi II.

Penduduk kebanyakan dan generasi muda di Tangga Bosi berpandangan bahwa sebaiknya

migran Nias dikeluarkan dari kawasan Tor Sihayo, jika pemerintah ingin agar kawasan Taman

Nasional Batang Gadis dan Hutan Lindung bisa diamankan dan terpelihara dengan baik. Namun

demikian, disadari oleh warga desa bahwa lahan pertanian yang bisa dikelola saat ini semakin

sempit sehingga kalau tidak ada substitusi lahan yang bisa dimanfaatkan oleh warga lokal, tidak

menjadi jaminan juga bahwa kawasan hutan negara akan bisa diamankan di masa yang akan

datang.

Matrik 2. Komunitas lokal versus migran Nias

Komunitas Lokal Migran Nias

MBA Kalangan elit desa memandang positif terhadap

keberadaan migran Nias karena memberikan

kontribusi ekonomi bagi warga desa, dan menyatakan

keberatan jika ada komunitas lokal yang berniat

mengusir migran Nias, terkecuali jika sudah menjadi

keputusan pemerintah akan didukung

Warga biasa MBA melihat kehadiran migran Nias

memberikan peluang ekonomi, namun di sisi lain juga

menjadi ancaman karena membatasi akses mereka

untuk membuka lahan pertanian di kawasan Tor

Sihayo

Warga MBA banyak membantu migran Nias, termasuk

secara ekonomi berupa pinjaman dan kesempatan

berhutang di warung-warung milik warga MBA jika

sedang kesulitan ekonomi

Anak-anak Nias yang bersekolah di Tor Pulo

menyelesaikan pendidikan SD di MBA (kelas 1-5 di

Tor Pulo, kelas 6 di MBA)

Merasa “berkerabat” dengan warga MBA karena

keluarga Kades MBA dikonsepsikan oleh migran Nias

sebagai berasal-usul/keturunan orang Nias

HGM Warga dan elit desa keberatan dengan kehadiran

migran Nias di Tor Sihayo karena mereka adalah

pendatang haram

Migran Nias menduduki lahan-lahan di kawasan Tor

Sihayo yang semestinya lebih berhak dikelola oleh

masyarakat setempat

Migran Nias memiliki kebiasaan/budaya yang

bertentangan dengan adat-istiadat setempat sehingga

tidak sesuai untuk hidup berdampingan dengan

mereka

Tidak ada hubungan bisnis langsung antara warga

HGM dengan migran Nias di kawasan Tor Sihayo

Orang Nias harus keluar dari kawasan, digantikan

oleh warga setempat

Migran Nias memiliki beberapa kali pengalaman

berkonflik dengan warga HGM di kawasan Tor

Bulusoma dan Aek Tombang

Belakangan ini HGM tidak mau lagi mengakui migran

Nias menjadi warganya, sehingga warga Nias yang

sebelumnya berstatus sebagai penduduk HGM harus

mengganti domisilinya

Tidak ada hubungan bisnis antara migran Nias dengan

HGM kecuali dalam kasus jual beli/ganti rugi tanah

TBS Ada anggapan bahwa elit desa memanfaatkan migran

Nias untuk kepentingan ekonomi, termasuk jual

beli/ganti rugi tanah di Tor Pulo, dan juga manfaat

ekonomi dalam urusan KTP bagi migran Nias

Warga biasa mengharapkan agar migran Nias

dikeluarkan dari kawasan Tor Sihayo kalau memang

pemerintah mau mengamankan TNBG dan hutan

lindung

Klaim TBS terhadap Tor Pulo sudah ada sebelum

migran Nias masuk ke sana, dan keberadaan dusun

Tor Pulo sebagai bagian dari wilayah TBS hanya

mengukuhkan klaim tersebut

Warga migran Nias di Tor Pulo khususnya merasa lebih

nyaman untuk bermukim dan berusaha di tempat

tersebut karena sudah ada kesepakatan ganti rugi atas

tanah-tanah yang digarap migran Nias di sana.

Migran Nias di Tor Pulo juga merasa lebih nyaman

karena sebagian dari mereka memiliki identitas

kependudukan resmi di desa TBS

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-8

4.1.3. Komunitas Lokal dan Migran Nias versus Pemerintah Daerah dan BP-TNBG

Warga komunitas lokal atau penduduk pribumi di tiga desa sekitar kawasan Tor Sihayo berbeda posisi

dan kepentingan ketika berhadapan dengan fakta keberadaan migran Nias yang sudah membuka hutan

di kawasan itu sejak lebih dari dua dasawarsa yang lalu. Namun, mereka memiliki posisi dan kepentingan

yang sama ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa status kawasan hutan di Tor Sihayo adalah

hutan negara yang berfungsi lindung dan konservasi. Dalam kaitan ini, penduduk lokal dan migran Nias

sama-sama harus berhadapan dengan institusi dan aparat yang memiliki kewenangan mengurus hutan

negara, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan Balai

Pengelola Taman Nasional Batang Gadis (BP-TNBG). Warga masyarakat tidak mengetahui dengan jelas

bahwa kedua institusi pemerintah tersebut memiliki batas kewenangan yang berbeda dalam mengurus

hutan negara di kawasan Tor Sihayo, yaitu kawasan Hutan Lindung menjadi kewenangan Pemerintah

Kabupaten Mandailing Natal melalui Dinas Kehutanan setempat, sedangkan Taman Nasional Batang

Gadis menjadi kewenangan langsung Departemen Kehutanan melalui BP-TNBG. Dalam pemahaman

warga cukup sederhana yaitu hutan negara diurus oleh pemerintah, dan secara substantif tidak ada

yang keliru dengan pemahaman demikian.

Persepsi umum tentang keberadaan hutan negara di kawasan Tor Sihayo

Penduduk lokal dari desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo secara umum sudah mengetahui sejak lama

tentang keberadaan hutan negara di wilayah mereka, namun tidak mengetahui jelas mengenai fungsi

kawasan menurut kategori resmi sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Warga lokal biasanya

hanya menyebut adanya penanda batas antara wilayah kelola masyarakat dengan wilayah terlarang

untuk dikelola seperti ‘pilar’ dan juga ‘boswesen’. Pengetahuan mengenai hal itu diperoleh warga desa

dari generasi tua atau warga lainnya, meskipun tidak semua orang mengetahui persis atau pernah

melihat langsung dimana patok-patok batas itu berada. Karena ketidakjelasan itu, sebagian warga

mengatakan bahwa batas hutan negara hanya berjarak beberapa meter dari pinggiran Sungai Batang

Gadis, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa batasnya berada sejauh 500 meter dari pinggiran sungai.

Penduduk lokal juga sudah mengetahui bahwa larangan untuk membuka hutan negara tersebut sudah

ada sejak zaman kolonial. Dalam batas-batas tertentu warga lokal dari desa-desa sekitar di masa lampau

mengaku tidak mau melampaui garis batas itu ketika mereka hendak membuka lahan pertanian. Namun

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-9

ketika warga migran Nias datang, masuk ke dalam hutan dan membuka perladangan di sana tanpa

mempersoalkan status hukum hutan yang dibukanya, maka pemeliharaan terhadap batas-batas itu

menjadi hilang. Sebagian warga lokal juga ikut membuka lahan di kawasan hutan yang berstatus sebagai

hutan lindung. Ketika pengawasan dari otoritas pemerintah yang berwenang berkurang, ketika itu pula

proses perambahan dan pendudukan kawasan hutan negara terus terjadi secara berangsur-angsur oleh

penduduk lokal maupun pendatang, sehingga memunculkan keadaan seperti yang terjadi sekarang di

kawasan Tor Sihayo.

Persepsi warga lokal dan migran Nias terhadap kawasan Taman Nasional Batang Gadis secara umum

dapat dikatakan positif, terlebih karena keberadaannya berasal dari usulan pemerintah daerah dan

kemudian sudah ditetapkan secara resmi melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Namun demikian,

warga masyarakat di desa-desa sekitar menyadari bahwa keberadaan TNBG secara langsung atau tidak

langsung akan membatasi peluang mereka untuk memperluas lahan pertanian. Sedikit banyak hal itu

juga telah menimbulkan kekhawatiran sebagian warga mengenai masa depan anak-anak mereka yang

kelak masih bertumpu kepada sektor pertanian.

Ekspektasi warga terhadap Pemkab Mandailing Natal dan BP-TNBG

(a) Komunitas desa Muara Batang Angkola

Selama ini sebagian besar warga Muara Batang Angkola bertumpu kepada sektor perikanan sebagai

mata pencaharian utama. Aktivitas pertanian pada umumnya dilakukan dengan memanfaatkan lahan-

lahan yang ada di sekitar permukiman, misalnya menanami tanaman karet, kakao, kemiri dan tanaman

palawija. Pertambahan penduduk di desa telah mendorong sebagian warga untuk beralih ke sektor

pertanian, sehingga mereka memerlukan adanya perluasan lahan. Masalahnya, lahan pertanian yang

dapat dibuka sudah terbatas, karena areal yang ada di seberang Sungai Batang Gadis diketahui oleh

warga sebagai kawasan hutan lindung. Mereka merasa tidak nyaman untuk berinvestasi di areal yang

berstatus hutan negara karena khawatir suatu ketika akan dipaksa keluar oleh pemerintah.

Keberadaan Taman Nasional Batang Gadis tidak ditolak oleh warga desa Muara Batang Gadis. Namun

mereka berharap agar pemerintah daerah juga memperhatikan kebutuhan warga masyarakat di desa-

desa yang masih miskin dan bergantung kepada lapangan usaha pertanian. Salah seorang informan di

Muara Batang Gadis mengatakan sebaiknya pemerintah daerah menggeser patok batas hutan lindung

yang ada sekarang ini lebih jauh ke dalam, misalnya sekitar satu kilometer dari batas yang ada sekarang,

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-10

agar warga desa-desa sekitar memiliki kesempatan untuk membuka lahan pertanian. Argumentasi yang

ia sampaikan antara lain: (i) pemerintah baik pusat maupun daerah telah bertekad untuk mengentaskan

kemiskinan, tetapi bagaimana rakyat yang ada di desa-desa seperti di Muara Batang Angkola misalnya,

bisa keluar dari kemiskinan jika lapangan usaha mereka terbatas; (ii) batas-batas hutan lindung yang ada

sekarang ini ditetapkan sejak zaman kolonial, sehingga tidak sepatutnya lagi kita harus mengikuti produk

hukum yang dibuat oleh pihak kolonial, karena situasi dan kebutuhan masyarakat juga sudah berubah;

(iii) usulan untuk mengubah batas hutan lindung sudah disampaikan kepada pemerintah daerah

sebelum pemekaran Kabupaten Mandailing Natal, namun hingga sekarang tidak pernah dilaksanakan.

Terkait dengan keberadaan migran Nias di kawasan hutan negara di Tor Sihayo, warga Muara Batang

Angkola menyatakan memilih untuk mengikuti keputusan yang akan diambil oleh pemerintah daerah.

Jika pemerintah daerah memutuskan untuk mengeluarkan warga migran Nias dari daerah itu maka

warga Muara Batang Angkola akan mendukungnya. Namun mereka secara tegas akan menolak jika ada

warga masyarakat lokal dari desa-desa lain yang berniat memaksa migran Nias keluar dari kawasan Tor

Sihayo di luar dari kebijaksanaan pemerintah.

(b) Komunitas desa Hutagodang Muda

Warga desa Hutagodang Muda setuju dan mendukung keberadaan Taman Nasional Batang Gadis. Sama

seperti warga desa Muara Batang Angkola, mereka juga merasakan adanya kebutuhan warga untuk

perluasan lahan pertanian seiring dengan pertambahan penduduk. Oleh karena itu, kesempatan untuk

mengelola lahan di seberang Sungai Batang Gadis sepatutnya diprioritaskan kepada penduduk lokal

karena merekalah yang lebih berhak dan membutuhkan. Warga migran Nias adalah pendatang haram di

daerah ini sehingga tidak berhak untuk mendapatkan akses membuka lahan di sini.

Dalam pandangan warga Hutagodang Muda keberadaan Taman Nasional Batang Gadis tidak akan bisa

dijamin kelestariannya jika warga migran Nias tetap dibiarkan membuka hutan di kawasan itu. Bagi

mereka, pemerintah daerah harus mengeluarkan penduduk migran Nias dari kawasan Tor Sihayo, dan

pilihan itu adalah harga mati untuk menjamin keberlanjutan taman nasional. Kalau pemerintah daerah

akan mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan mereka, sepatutnya juga tidak memberikan suatu

keistimewaan kepada migran Nias dalam bentuk kompensasi atau relokasi yang dibiayai dari keuangan

pemerintah daerah, kecuali jika pemerintah juga akan memberikan hak yang sama bagi warga lokal di

desa-desa yang ada di sekitar Tor Sihayo. Sebaliknya, kalau pemerintah tetap membiarkan warga migran

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-11

Nias meneruskan usaha mereka di kawasan Tor Sihayo, sepatutnya juga tidak ada larangan bagi warga

dari desa-desa sekitar untuk melakukan hal yang sama.

(c ) Komunitas desa Tangga Bosi

Warga Tangga Bosi juga setuju dan mendukung keberadaan taman nasional. Seorang informan di sana

menyebutkan bahwa masyarakat Tangga Bosi pada mulanya kurang responsif terhadap rencana

membentuk taman nasional di Kabupaten Mandailing Natal, karena merasa tidak dilibatkan dalam

proses pengajuannya melalui mekanisme partisipasi masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat adat

yang memiliki klaim tradisional bersama-sama dengan eks-Kekuriaan Panyabungan Tonga, masyarakat

Tangga Bosi merasa bahwa sebagian wilayah yang akan dijadikan lokasi taman nasional di wilayah

Kecamatan Siabu merupakan tanah ulayat mereka. Oleh karena itu mereka berpandangan bahwa

sepatutnya Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal melibatkan masyarakat Tangga Bosi dalam proses

pengambilan keputusan dan rencana pengelolaannya. Hal kedua yang membuat masyarakat Tangga Bosi

kurang responsif pada awalnya adalah adanya kesan diskriminatif dari pengelola taman nasional yang

tidak mengikutkan desa Tangga Bosi sebagai bagian dari desa-desa yang berbatasan langsung dengan

taman nasional. Dalam perspektif mereka, secara tradisional masyarakat Tangga Bosi lebih berhak atas

klaim wilayah seberang Sungai Batang Gadis dibandingkan dengan desa-desa lain seperti Hutagodang

Muda dan Muara Batang Angkola.

Untuk keadaan sekarang disebutkan oleh informan bahwa masyarakat Tangga Bosi sangat mendukung

atas keberadaan taman nasional, sepanjang pemerintah daerah dan pengelola taman nasional tetap

konsisten untuk pemeliharaannya serta tetap memperhatikan nasib warga desa-desa sekitar yang masih

miskin dan membutuhkan perluasan areal pertanian. Salah satu usulan yang disampaikan untuk menjadi

jalan tengah bagi pemenuhan kebutuhan warga masyarakat adalah menggeser patok batas kawasan

hutan lindung lebih jauh ke tengah, yaitu sekitar 3-5 Km dari garis sempadan Sungai Batang Gadis.

Dengan cara demikian akan tersedia kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan oleh warga desa sekitar

kawasan. Meskipun pada kenyataannya sudah ada warga desa-desa sekitar yang mengusahakan lahan

pertanian di dalam kawasan hutan, menurut penjelasan informan, hal itu tetap menempatkan mereka

sebagai penggarap karena secara hukum pemerintahlah yang memiliki hak penguasaan atas kawasan

hutan.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-12

Terkait dengan keberadaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo, pandangan umum dari warga desa

Tangga Bosi adalah menyerahkan masalah itu kepada kebijakan pemerintah daerah. Kalau pemerintah

daerah memandang migran Nias harus dikeluarkan dari kawasan hutan, maka warga Tangga Bosi akan

mendukung kebijakan itu. Namun menurut informan, kalau ditanya hati kecil warga masyarakat, mereka

sebenarnya lebih menginginkan agar orang Nias angkat kaki dari daerah Siabu. Masyarakat Tangga Bosi

tidak mau melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan demikian, karena tidak ingin mengulangi kasus

pembakaran pondok-pondok migran Nias di Tor Pulo pada tahun 1994, yang membawa konsekwensi

hukum bagi para pelakunya, termasuk melibatkan kepala desa Tangga Bosi ketika itu sebagai pihak yang

dinyatakan ikut bertanggung-jawab atas tindakan kekerasan warganya.

Salah seorang informan di Tangga Bosi mengatakan bahwa jika pemerintah daerah memutuskan untuk

memindahkan orang Nias dari kawasan TNBG, salah satu alternatif lokasi perpindahan yang sesuai

adalah di daerah Siulang-aling. Di sana ada suatu kawasan yang dikenal masyarakat bernama Pasir

Jabungo, berdekatan dengan aliran Sungai Batang Gadis, dengan status kawasan hutan produksi

terbatas (HPT). Informan memperkirakan bahwa perpindahan orang-orang Nias dari kawasan Tor Sihayo

ke daerah itu tidak akan menimbulkan banyak permasalahan baru, karena daerah itu belum banyak

penduduknya. Lokasi tersebut secara tradisional masih termasuk dalam wilayah eks-Kekuriaan

Panyabungan Tonga, yang secara lebih khusus lagi termasuk ke dalam wilayah masyarakat adat Tangga

Bosi.

(d) Komunitas migran Nias

Warga migran Nias yang masuk ke kawasan Tor Sihayo pada gelombang awal tahun 1970-1980an belum

menghadapi persoalan pelik terkait dengan status hukum kawasan hutan yang mereka kelola. Meskipun

pada tahun 1989 ada kebijakan Pemerintah Daerah Tk II Kabupaten Tapanuli Selatan ketika itu untuk

mengeluarkan penduduk yang membuka hutan di kawasan hutan lindung (sekitar Tor Bulusoma), fakta

yang terjadi kemudian hingga sekarang ini adalah pertambahan terus-menerus jumlah migran Nias yang

berada di dalam kawasan. Pada kasus lain, ketika warga desa Hutagodang Muda melakukan aneksasi

atas lahan-lahan garapan migran Nias di sekitar Tor Bulusoma pada tahun 1991, juga upaya yang hampir

serupa pada tahun 2006-2007, kenyataannya tak menyurutkan niat dan upaya migran Nias untuk tetap

bisa bertahan di kawasan Tor Sihayo. Bahkan adanya himbauan dari pihak-pihak tertentu agar mereka

mengubah pola pertaniannya dari perladangan berpindah menjadi petani yang membudidayakan

tanaman tua seperti karet dan coklat, juga telah menjadi alasan bagi mereka untuk tetap bisa bertahan

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-13

di lokasi yang mereka usahakan sekarang. Peristiwa gempa bumi besar yang mengguncang Pulau Nias

pada tahun 2005 juga menjadi satu faktor yang mendorong migran Nias untuk tetap bertahan di daerah

rantau ketimbang kembali ke Pulau Nias. Dengan demikian, dapat ditarik suatu inferensi bahwa migran

Nias tidak mudah untuk disuruh keluar dari suatu kawasan yang mereka sudah buka jika mereka sudah

terlanjur melakukan investasi di sana. Fenomena yang ditemukan di Batang Toru juga menunjukkan

bahwa migran Nias yang sudah masuk suatu kawasan lebih memilih untuk mencari tempat lain di daerah

yang sama atau daerah sekitarnya jika terpaksa harus keluar, ketimbang harus kembali ke Pulau Nias

(lihat Zulkifli Lubis dkk, 2007).

Terkait dengan upaya penegakan hukum yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah dan balai

pengelola taman nasional untuk mengosongkan kawasan hutan dari aktivitas pertanian, warga migran

Nias di kawasan Tor Sihayo mengaku pasrah. Dalam berhubungan dengan masyarakat lokal seperti

warga dari desa-desa sekitar, mereka memiliki ketegaran untuk mempertahankan haknya, namun jika

berhubungan dengan institusi dan aparat pemerintah yang berwenang, mereka menyatakan akan

mengikuti bagaimana kebijakan yang akan diambil nantinya. Pada hakikatnya mereka berharap agar

upaya pengosongan kawasan itu tidak dilaksanakan, atau paling tidak hanya akan berlaku di dalam

batas-batas resmi Taman Nasional Batang Gadis.

Untuk kawasan taman nasional, pemimpin-pemimpin komunitas mereka siap menjamin warganya tidak

akan membuka areal perladangan lagi dan bahkan akan meninggalkan lahan-lahan yang sudah terlanjur

dibuka. Namun untuk kawasan hutan lindung, yang secara de facto menjadi wilayah garapan terluas

mereka saat ini, mereka memiliki aspirasi yang sama dengan warga-warga desa sekitar seperti Muara

Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi, yaitu mengharapkan agar dilakukan perubahan

tata batas hutan lindung sehingga lokasi yang mereka garap sekarang dapat dikeluarkan dari batas

kawasan hutan. Tetapi untuk lokasi-lokasi bukaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo yang sudah hampir

berbatasan dengan taman nasional, mengeluarkan lokasi mereka dari kawasan hutan lindung sama

artinya dengan menghapuskan seluruh kawasan hutan lindung yang ada di kawasan Tor Sihayo.

Jika pada akhirnya pemerintah daerah memutuskan untuk mengeluarkan migran Nias dari kawasan Tor

Sihayo, mereka berharap agar pemerintah daerah memberikan alternatif pengganti untuk migran Nias,

baik berupa penggantian lokasi baru yang dapat mereka usahakan di tempat lain maupun berupa

pembayaran kompensasi atas investasi yang mereka sudah tanam di kawasan Tor Sihayo selama ini.

Karena sebagian dari mereka saat ini juga sudah memiliki status domisili dan kependudukan yang resmi

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-14

di Kecamatan Siabu, mereka mengharapkan tidak akan ada diskriminasi dari pemerintah daerah dalam

rencana penegakan hukum untuk mengosongkan aktivitas pertanian dari dalam kawasan hutan. Dengan

kata lain, mereka mengharapkan jika migran Nias harus dikeluarkan dari kawasan hutan lindung maupun

taman nasional, maka warga lain yang melakukan penggarapan di kawasan yang sama juga harus

diperlakukan sama, yaitu semuanya sama-sama keluar dari kawasan hutan.

4.2.Faktor-faktor Objektif dalam Konflik Penguasaan Sumberdaya Alam Kawasan Tor Sihayo

Ada beberapa faktor objektif yang menjadi penyebab munculnya konflik penguasaan sumberdaya alam

di kawasan Tor Sihayo, antara lain fakta keterbatasan lahan yang dapat diakses oleh warga masyarakat

di sekitar lingkungan mereka, pertambahan penduduk yang terjadi secara alamiah maupun akibat

kejadian migrasi, peningkatan kebutuhan ekonomi, dan proses penegakan hukum terkait pengelolaan

kawasan hutan. Uraian berikut akan menggambarkan masing-masing faktor tersebut dalam kaitannya

dengan perkembangan konflik penguasaan sumberdaya alam di kawasan TNBG khususnya di sekitar Tor

Sihayo, Kecamatan Siabu.

4.2.1. Keterbatasan lahan

Dengan mengacu kepada data-data statistik kecamatan sebagaimana telah diuraikan pada Bab 2 di atas,

terlihat bahwa desa-desa yang ada di kawasan Tor Sihayo memiliki wilayah yang relatif terbatas

proporsinya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada saat ini. Dengan membagi luas

wilayah desa dengan jumlah rumah tangga di tiap-tiap desa dari lima desa sekitar kawasan Tor Sihayo

yang dikaji dalam penelitian ini, diperoleh angka rata-rata kemungkinan peluang penguasaan lahan di

lima desa yang cukup kecil, dan memberikan ruang gerak yang sangat terbatas untuk pengembangannya

di kemudian hari. Kecuali Desa Muara Batang Angkola yang memiliki angka rata-rata 45,37 Ha/KK

(dengan catatan bahwa sebagian wilayah desanya adalah kawasan hutan negara)2, empat desa lainnya

memiliki peluang penguasaan di bawah 3 Ha/KK, yaitu Hutagodang Muda 3,18 Ha/KK; Tangga Bosi I 0,76

Ha/KK; Tangga Bosi II 1,29 Ha/KK; dan Tangga Bosi III 3,36 Ha/KK.

2 Jika mengacu kepada data statistik Kecamatan Siabu Dalam Angka Tahun 2003 dan 2005, luas wilayah Desa Muara Batang

Angkola adalah 1.330 Ha, sementara data tahun 2008 tercatat 8.575,36 Ha. Dengan jumlah KK yang ada pada Kecamatan Siabu

Dalam Angka Tahun 2008 sebesar 189, maka rata-rata peluang penguasaan lahan di desa adalah 7,0 Ha/KK, bukan 45,37 Ha/KK.

Luas wilayah desa sebesar 1.330 Ha tersebut juga diduga sudah termasuk sebagian kawasan hutan negara.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-15

Dalam kenyataan sesungguhnya di lapangan, proporsi penguasaan lahan tersebut masih harus dikurangi

dengan penggunaan-penggunaan lain di luar lahan pertanian. Oleh karena itu, adanya keluhan warga

desa-desa sekitar Tor Sihayo mengenai kekurangan atau keterbatasan lahan yang dapat mereka

usahakan, adalah sebuah fakta objektif yang patut dicermati. Kelangkaan sumberdaya berupa tanah

atau lahan pertanian yang dihadapi oleh warga di pedesaan sulit diatasi dengan mengandalkan

sumberdaya yang ada di lingkungannya sendiri, terlebih karena batas-batas penguasaan antar desa

sudah jelas di satu sisi dan di sisi lain batas-batas dengan kawasan hutan negara yang menjadi domain

pemerintah juga sudah ditetapkan dan akan ditegakkan pengawasannya.

Alasan yang paling menonjol dari kalangan migran Nias yang datang dari Pulau Nias ke kawasan Tor

Sihayo juga terkait dengan keterbatasan lahan pertanian yang dapat mereka usahakan di kampung

asalnya. Studi yang pernah dilakukan terhadap migran Nias di Batang Toru (lihat Zulkifli Lubis dkk, 2007)

juga menemukan penjelasan yang sama tentang faktor pendorong mereka meninggalkan kampung

halaman. Warga Nias yang merantau dan memburu lahan pertanian di pegunungan Bukit Barisan di

sepanjang wilayah Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan hingga Mandailing Natal, pada umumnya adalah

kelompok marjinal yang tidak memiliki tanah atau hanya memiliki lahan dalam jumlah sangat terbatas di

daerah asalnya. Kehadiran mereka ke wilayah-wilayah desa di sekitar Tor Sihayo secara langsung atau

tidak langsung juga telah memperkecil akses warga lokal untuk mendapatkan lahan pertanian baru guna

memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

4.2.2. Pertambahan penduduk

Kecenderungan perubahan yang terjadi secara kontinyu dalam variabel demografi adalah pertambahan

penduduk, baik akibat kelahiran maupun perpindahan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten

Mandailing Natal pada tahun 2007 tercatat sebesar 0,93 %, dan jika diasumsikan bahwa angka tersebut

kurang lebih juga berlaku untuk Kecamatan Siabu atau untuk desa-desa yang diteliti di kawasan Tor

Sihayo, fakta yang akan ditemukan adalah pertambahan penduduk yang terus terjadi dari tahun ke

tahun, yaitu sebesar 483 jiwa untuk tingkat kecamatan dan sebesar 57 jiwa untuk lima desa yang diteliti

di kawasan Tor Sihayo. Melihat fakta bahwa perpindahan penduduk asal Nias ke kawasan ini tidak

tercatat dengan baik di dalam statistik kependudukan desa maupun kecamatan, bisa diduga bahwa

dalam kenyataannya jumlah pertambahan penduduk di kelima desa akan lebih besar. Pertambahan

penduduk seberapapun jumlahnya tentu akan mengurangi proporsi peluang penguasaan lahan yang

dapat dikelola untuk menunjang kehidupan keluarga di desa.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-16

Data statistik kependudukan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2008 juga mencatat bahwa struktur

penduduk tergambarkan sebagai berikut: kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencakup 54,77 % dari

total penduduk; sedangkan usia ketergantungan terdiri dari kelompok usia 0-14 tahun sebesar 42,37 %

dan kelompok lanjut usia sebesar 2,86 %. Jika angka-angka tersebut diproyeksikan ke tingkat kecamatan

atau desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo, maka dapat digambarkan bahwa sekitar 45,23 % penduduk

desa akan menjadi beban tanggungan dari 54,77 % jumlah warga usia produktif yang ada di desa. Jika

proporsi penduduk yang memiliki ketergantungan kepada sektor pertanian di Kabupaten Mandailing

Natal mencapai 74 % dari penduduk berusia 15 tahun ke atas, diproyeksikan ke tingkat kecamatan atau

desa-desa kawasan Tor Sihayo, maka dapat pula dijelaskan bahwa kebutuhan akan perluasan lahan

merupakan faktor objektif yang tidak bisa dinafikan. Keadaan itu jelas mendukung faktor subjektif

berdasarkan keluhan-keluhan yang disampaikan oleh warga mengapa mereka sangat berkepentingan

agar bisa memiliki akses untuk mengelola lahan di kawasan hutan lindung seberang Sungai Batang

Gadis.

4.2.3. Peningkatan kebutuhan ekonomi

Jumlah, bentuk dan ragam kebutuhan ekonomi warga di daerah pedesaan diperkirakan terus meningkat

dari waktu ke waktu. Pola konsumtif yang sudah menjalar ke pedesaan juga menambah beratnya beban

ekonomi rumah tangga. Pemenuhan kebutuhan primer anggota keluarga seperti untuk pangan tidak

bisa lagi dilakukan secara subsisten, sehingga harus dicukupi dengan membeli di pasar. Demikian juga

untuk kebutuhan primer lain seperti biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan jumlah dan harganya

semakin bertambah dari waktu ke waktu. Kehadiran uang tunai untuk mencukupi segala macam

kebutuhan rumah tangga menjadi suatu hal yang niscaya saat ini di pedesaan, sehingga tiap keluarga

harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya.

Dari data-data statistik kecamatan dan kabupaten seperti digambarkan pada bab 2 telah diketahui

bahwa lapangan usaha yang paling dominan bagi penduduk di pedesaan Kabupaten Mandailing Natal

masih bertumpu pada sektor pertanian. Dengan kata lain, penduduk desa harus meningkatkan produksi

di bidang pertanian yang menjadi andalan sumber nafkah keluarga untuk bisa memenuhi segala

keperluan rumah tangga. Di luar faktor jumlah produksi dan harga jual komoditas pertanian, maka satu

faktor lain yang menentukan kemampuan warga untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari sektor

usaha tani adalah kecukupan lahan sebagai modal primer. Harga hasil komoditi pertanian seperti kakao,

kemiri, karet, sekedar untuk menyebutkan beberapa contoh produksi penting di desa-desa sekitar

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-17

kawasan Tor Sihayo, sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu. Ketika penelitian ini dilakukan harga-harga

komoditi tersebut sedang mengalami penurunan, sehingga perolehan uang tunai dari penjualan hasil

pertanian juga semakin berkurang. Dengan keterbatasan lahan pertanian yang masih bisa dikelola di

sekitar desa, tak bisa dihindari bahwa banyak warga desa yang kemudian berpaling ke lahan-lahan hutan

yang ada di wilayahnya. Masalahnya, lahan hutan yang tersedia saat ini hanya di kawasan hutan negara

yaitu hutan lindung dan taman nasional. Bertambahnya warga yang memperebutkan sumberdaya yang

ada, yang secara faktual semakin terbatas, akan mendorong terjadinya konflik penguasaan sumberdaya

seperti yang sudah pernah terjadi di kawasan Tor Sihayo.

4.2.4. Proses penegakan aturan terkait pengelolaan hutan negara

Selama bertahun-tahun yang lalu masyarakat desa merasa aman-aman saja untuk membuka hutan dan

mengusahakannya menjadi lahan pertanian, walaupun ternyata sebagian hutan yang mereka usahakan

sudah masuk dalam kawasan lindung. Relatif lemahnya tindakan penegakan hukum di masa lalu

membuat warga yang membuka hutan di kawasan lindung bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu.

Celah ini justru lebih banyak dimanfaatkan oleh migran Nias yang datang ke Tor Sihayo secara sporadis

sejak akhir tahun 1970-an. Pola perladangan migran Nias yang “merayap secara diam-diam” tidak terlalu

menyita perhatian warga dan juga aparat pemerintah yang seharusnya bertugas melakukan tindakan

pengawasan. Awal tahun 2009 baru diketahui bahwa luas areal hutan yang dibuka migran Nias di

kawasan Tor Sihayo sudah mencapai 502 Ha, baik di kawasan lindung maupun kawasan konservasi.

Upaya penegakan hukum yang sedang dan akan dilakukan untuk mengamankan hutan negara, baik

kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi, secara langsung akan memperhadapkan warga yang

sudah membuka hutan dan mengusahakannya di lahan hutan negara dengan aparat pemerintah yang

memiliki kewenangan menjaga hutan negara. Minimal yang sudah terjadi saat ini adalah konflik

kepentingan antara warga penggarap kawasan hutan dengan otoritas pemerintah yang akan mengelola

kawasan hutan negara sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Peluang konflik vertikal antara warga

masyarakat dengan aparat pemerintah akan melibatkan migran Nias dan warga desa-desa sekitarnya.

Konflik horizontal untuk memperebutkan lahan sudah pernah terjadi antara migran Nias dengan warga

Hutagodang Muda, dan diperkirakan bisa meluas melibatkan warga desa-desa lainnya jika faktor-faktor

subjektif dan obejktif seperti diuraikan di atas semakin menyatu.

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-18

Proses penegakan hukum di kawasan Tor Sihayo diperkirakan akan menghadapi beberapa dilema.

Sebuah contoh kasus yang pernah terjadi antara warga Muara Batang Angkola dengan warga Tangga

Bosi terkait perebutan lahan di sekitar Pasir Bidang menarik untuk dikemukakan di sini. Pada tahun

1990-an beberapa warga dari desa Tano Tombangan Kecamatan Batang Angkola membuka lahan di

seberang Sungai Batang Gadis, tepatnya di sekitar Pasir Bidang. Lokasi ini diklaim oleh tiga desa sebagai

bagian dari wilayah desanya, yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. Salah

seorang warga Muara Batang Angkola kemudian membeli lahan kebun kakao yang dibangun oleh

penduduk dari Tano Tombangan tadi. Suatu ketika, persoalan sengketa penguasaan lahan di Pasir

Bidang ini mencuat sehingga harus diselesaikan di tingkat kecamatan, dan akhirnya diputuskan sebagai

bagian wilayah Tangga Bosi. Beberapa orang warga desa Tangga Bosi kemudian mengambil alih lahan

kebun kakao yang ada di Pasir Bidang, termasuk yang sudah dibeli oleh warga Muara Batang Angkola

tadi. Hal yang menarik, warga Muara Batang Angkola tadi justru mengalah ketika warga desa Tangga

Bosi mengambil lahan kebun yang sudah ia beli. Salah seorang tokoh masyarakat di Muara Batang

Angkola ketika ditanyakan mengenai hal ini menjawab sangat sederhana: “kalau kita persoalkan pun

akan terjadi ibarat pepatah arang habis besi binasa”, katanya.

Penjelasan yang disampaikan oleh informan terhadap kasus tersebut mengisyaratkan adanya dilema itu,

jika dilihat dari sudut pandang warga masyarakat. Jika warga Muara Batang Angkola tadi memprotes

pengambilan lahan kebun oleh warga Tangga Bosi, yang akan timbul adalah konflik atau perkelahian.

Jika masalah itu dibawa ke aparat penegak hukum, maka kedua pihak juga akan menguras biaya dalam

pengurusannya, dan hasil akhirnya diperkirakan akan sama-sama merugi, karena dari sudut pandang

pemerintah, lokasi kebun yang dipersengketakan itu adalah kawasan hutan lindung. Artinya, baik warga

Tano Tombangan yang pertama membuka hutan dan menanami kakao, juga warga Muara Batang

Angkola yang membeli lahan tersebut kemudian, serta warga Tangga Bosi yang mengambil paksa lahan

kebun tersebut dari si pembeli, semuanya adalah pihak yang melakukan pelanggaran hukum karena

mengklaim penguasaan sumberdaya di kawasan hutan negara.

Demikian juga kasus jual beli, ganti rugi, atau bentuk transaksi lain yang terjadi selama ini antara migran

Nias di kawasan Tor Sihayo dengan penduduk setempat, semuanya sesungguhnya mengandung dilema

hukum. Pihak pembeli (migran Nias) merasa bahwa dia sudah memiliki hak atas lahan yang dibelinya,

sementara jika dihadapkan dengan hukum formal berkaitan dengan status kawasan, maka jual beli

tersebut tidak memiliki kekuatan hukum meskipun kepala desa sudah membubuhkan tanda tangan dan

LAPORAN FINAL

Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia

Bab

IV: A

nal

isis

Ko

nfl

ik P

engu

asan

Su

mb

erd

aya

IIV-19

stempel. Pihak penjual biasanya sudah menyiapkan jurus selamat dalam naskah jual beli atau ganti rugi

yang dibuatkan di atas segel, dengan menyatakan bahwa ia bersedia dituntut jika ada pihak keluarganya

yang di kemudian hari melakukan dakwa-dakwi atas penjualan tanah tersebut. Meskipun bagi pihak

pembeli hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk pengamanan atas penguasaannya terhadap tanah yang

dibeli atau diganti rugi, tetapi sesungguhnya jual beli atau ganti rugi itu sendiri tidak mempunyai

kekuatan hukum karena dilaksanakan atas lahan atau sumberdaya milik negara.

Proses-proses transaksi lahan atau tanah di kawasan Tor Sihayo yang terjadi seperti pola-pola tersebut

di atas dimungkinkan terjadi karena lemahnya penegakan hukum atas keberadaan hutan negara yang

ada di kawasan itu. Oleh karena itu, proses pembersihan kembali kawasan hutan negara di Tor Sihayo

dari aktivitas penggarapan baik oleh warga migran Nias maupun penduduk desa-desa sekitar, akan

menghadapi banyak persoalan yang perlu didekati dan ditangani secara bijaksana.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-1

BAB V

ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH

5.1. Tipologi konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan Tor Sihayo

Dari uraian yang sudah digambarkan pada bab-bab terdahulu perlu kiranya dikategorikan termasuk tipe

seperti apa konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di kawasan Tor Sihayo. Dengan penetapan

tipologi itu kemudian akan dimungkinkan untuk menyusun pilihan-pilihan cara penyelesaian yang

diperkirakan lebih sesuai dengan keadaan di lapangan. Pertama, perlu pembatasan pengertian konflik

yang dimaksud dalam kajian ini. Istilah konflik adalah sebuah istilah yang sangat cair, terus berubah dan

bersifat ambigu. Ia dapat bermakna sebuah debat atau kontes; sebuah ketidaksetujuan, bantahan,

sengketa atau perselisihan; bisa juga berarti perjuangan, pertempuran atau konfrontasi; atau bisa juga

bermakna suatu keadaan tidak aman, instabilitas, kekacauan atau keos. Kedua, konflik sebaiknya dilihat

sebagai proses-proses interaksi sosial yang bersifat dinamis, tidak tunggal, bukan pula sebuah peristiwa

yang berdiri sendiri. Memang tidak ada konflik yang persis sama, tetapi cara bagaimana suatu konflik

muncul dan berkembang seringkali memiliki kemiripan.

Secara teoritik setidaknya ada empat karaktersitik dari eskalasi konflik, jika diiurutkan dari level paling

rendah ke paling tinggi sebagai berikut : (1) sengketa/disputes; (2) konfrontasi tanpa kekerasan/non-

violent confrontation; (3) konfrontasi dengan kekerasan/escalation towards violence; dan (4) kekerasan

terbuka/overt violence. Matrik berikut memberikan uraian karakteristik masing-masing tahapan eskalasi

konflik tersebut.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-2

Dispute Non-violent confrontation Escalation towards violence Overt violence

Ketegangan, kecemburuan di

dalam komunitas

Konflik laten muncul ke

permukaan

Bagian-bagian penduduk

dimobilisasi sebagai faktor

penyebab

Kekeran dimulai dengan aksi-

aksi penyerangan yang

bersifat sporadis dan terbatas

terhadap individu dan/atau

sabotase terhadap properti

Meningkatnya kelangkaan

sumberdaya milik bersama

Garis pemisah sudah menguat

(kami vs mereka)

Pendekatan adat,

kelembagaan dan hukum

formal gagal untuk

mengendalikan sengketa

Penyerangan menjadi lebih

terkordinasi

Keluhan-keluhan telah

muncul dalam percakapan

sehari-hari

Pemimpin-pemimpin politik

mulai muncul

Ekspresi terbuka berupa

kebencian dan kemarahan

Tindakan kekerasan selalu

dituduhkan kepada pihak

lawan

Mekanisme adat setempat

masih bisa digunakan untuk

meredam sengketa

Percakapan sehari-hari sudah

ditandai dengan pengambilan

posisi

Percakapan sehari-hari sudah

mencakup tuntutan dan

ancaman

Macetnya proses untuk

kemajuan

Kekuatan ekonomi dan

politik digunakan untuk

mendorong tuntutan

personal

Penggunaan bahasa-bahasa

negatif oleh pemimpin-

pemimpin politik

Kelompok yang bertikai

sudah kehilangan kepercayaan

satu sama lain dalam

memafaatkan institusi adat,

dan lebih memilih mekanisme

hukum dari luar/legal

Kelompok-kelompok yang

bersengketa menggerakkan

tuntutan-tuntutan mereka

dan memperluas tujuan-

tujuan mereka

Kelompok-kelompok yang

bersengketa membangun

aliansi dengan penduduk luar

yang berdekatan dengan

mereka

Selanjutnya, berdasarkan karakteristik dari eskalasi konflik seperti disebutkan di atas, secara teoritik

dapat pula disusun pilihan-pilihan pengelolaan konflik. Untuk fase 1 dan 2 dapat dilakukan pencegahan

konflik, sedangkan untuk fase 3 dan 4 diperlukan upaya mediasi dan mitigasi konflik. Pencegahan konflik

untuk fase 1 dan 2 dapat dilakukan dengan beberapa pilihan seperti diuraikan dalam matrik di bawah

ini.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-3

Pencegahan konflik

Sengketa Konfrontasi non-kekerasan

Mengintegrasikan strategi pencegahan konflik ke dalam

perencanaan proyek

Memperkuat lembaga dan mekanisme legal dari luar

untuk mengatasi konflik

Memperkuat pendekatan-pendekatan adat untuk

penyelesaian konflik pada tingkat komunitas

Membangun sebuah sistem pengelolaan konflik berbasis

komunitas yang bersifat independen

Membuat proyek-proyek pembangunan komunitas yang

bertarget khusus

Bantuan hukum bagi kelompok yang mengalami tekanan

Membuat proyek rehabilitasi lingkungan yang bertarget

khusus

Demonstrasi dan boikot terhadap kelompok yang

menekan

Mempromosikan proses dialog dan negosiasi antar

stakeholder

Arbitrasi

Pelatihan-pelatihan terhadap pemimpin komunitas dalam

hal keterampilan fasilitasi dan mediasi

Mediasi yang difasilitasi pihak ketiga

Memperkuat komunitas madani Tindakan-tindakan non kekerasan lainnnya

Mengembangkan program pengentasan kemiskinan Meningkatkan kredibilitas hukum

Mempromosikan hak-hak asasi manusia dan

kepemerintahan yang baik

Jika kerangka teoritik di atas digunakan untuk mengidentifikasi persoalan sengketa dalam pemanfaatan

sumberdaya alam di kawasan Tor Sihayo sebagaimana telah digambarkan dalam bab-bab terdahulu,

tampaknya keadaan yang terjadi di sana masih tergolong sebagai sengketa biasa (disputes) yang punya

potensi berkembang ke arah konfrontasi non-kekerasan. Konflik yang terjadi di kawasan Tor Sihayo juga

perlu dipilah dalam dua ranah, yaitu (a) bersifat horizontal atau antar komunitas, dan (b) bersifat

vertikal atau antara komunitas dengan pihak pemerintah atau pemeganng otoritas terhadap

sumberdaya hutan negara di kawasan itu.

Konflik yang berdimensi horizontal atau antar komunitas antara lain ditandai oleh adanya ciri-ciri seperti

yang diuraikan pada matrik 5.1. di atas, misalnya adanya ketegangan antar komunitas (misalnya antara

migran Nias dengan warga Hutagodang Muda), juga antara individu-individu migran Nias dengan

individu-individu tertentu warga desa-desa sekitar yang menunjukkan sikap permusuhan. Selain itu juga

telah terjadi gejala meningkatnya kelangkaan sumberdaya yang bisa diakses bersama; dan dalam

percakapan sehari-hari sudah sering muncul keluhan dari satu kelompok kepada kelompok lain; dan

sejauh ini mekanisme adat belum difungsikan untuk meredam potensi sengketa. Gejala-gejala tersebut

juga sudah mengemuka dalam konteks sengketa berdimensi vertikal, antara komunitas dengan pihak

pemerintah, khususnya setelah adanya upaya penegakan hukum terhadap kawasan hutan negara di

kawasan Tor Sihayo.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-4

Dengan demikian, upaya penanganan konflik yang perlu dilakukan pada tahapan sekarang adalah yang

bersifat pencegahan (conflict prevention), seperti yang dikemukakan pada matrik 5.2. di atas.

5.2. Perspektif penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan TNBG

5.2.1. Konflik berdimensi vertikal

Persoalan utama yang dihadapi saat ini adalah fakta adanya aktivitas pembukaan hutan dan pengelolaan

lahan pertanian di kawasan hutan negara, baik di dalam kawasan hutan lindung maupun kawasan TNBG.

Aktivitas itu sebagian sudah berlangsung sejak lama, puluhan tahun, dan sebagian masih tergolong baru.

Persentasi terbesar dari aktivitas tersebut terdapat di kawasan hutan lindung, namun di beberapa

tempat sudah merambah masuk ke kawasan taman nasional. Pelaku utama dari aktivitas tersebut

mayoritas adalah migran Nias yang datang dari luar kawasan atau luar kabupaten, sementara sebagian

lainnya adalah warga-warga desa sekitar.

Target paling tinggi yang ingin dicapai dari penyelesaian sengketa pemanfaatan hutan negara, sudah

barang tentu, adalah terbebaskannya kawasan hutan dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi merusak

fungsi hutan, baik fungsi lindung maupun konservasi. Namun di sisi lain, proses yang akan ditempuh

untuk mencapai tujuan tersebut harus pula memperhatikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya

masyarakat atau hak-hak tradisional masyarakat untuk bisa berusaha menyambung nafas kehidupan

bagi keluarganya. Dengan demikian, ada dua kepentingan yang saling bertentangan di sini, yang jika

tidak dikelola dengan baik akan mendorong terjadinya perluasan konflik ke tahap yang lebih buruk. Jika

faktor kebutuhan aktual masyarakat dalam hal hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut tidak masuk

dalam pertimbangan proses penyelesaian, bisa diperkirakan bahwa masalah sesungguhnya tidak akan

selesai. Dengan kata lain, potensi untuk berulangnya muncul masalah yang sama sangat besar.

Oleh karena itu, penyelesaian yang ideal adalah terbebasnya kawasan hutan negara dari aktivitas yang

dapat merusak fungsinya di satu sisi, dan terjaminnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat

dan hak-hak tradisional mereka untuk berusaha. Persoalannya, apakah kedua hal itu bisa dijalankan di

tempat yang sama atau harus ada pilihan tempat lain sebagai substitusi bagi warga masyarakat. Soal ini

nantinya akan menjadi bagian dari pihak pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengatur

pengelolaan sumberdaya dan memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari ancaman kelaparan

dan kemiskinan.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-5

5.2.2. Konflik berdimensi horizontal

Persoalan utama terkait dengan hal ini adalah adanya kesempatan yang berbeda di antara komunitas-

komunitas lokal dan pendatang dalam pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan hutan negara.

Meskipun secara ilegal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa migran Nias yang datang dari luar

kabupaten sudah terlebih dahulu menancapkan kaki dan menguasai lahan-lahan di kawasan hutan

negara. Hal ini menimbulkan rasa kecemburuan di kalangan warga komunitas tempatan, mengapa

warga migran Nias dibiarkan bebas membuka hutan sementara komunitas lokal tidak diperbolehkan lagi

untuk melakukan hal yang sama. Potensi konflik terbuka antara kedua komunitas tersebut sangat besar,

mengingat bahwa temuan lapangan dalam studi ini menunjukkan adanya konflik laten antara migran

Nias dan penduduk setempat.

Penyelesaian yang ideal untuk konflik horizontal adalah kemenangan untuk semua pihak, artinya

masing-masing pihak dapat memperoleh haknya untuk beraktivitas dalam rangka ekonomi, sosial dan

budaya serta hak-hak tradisional mereka untuk berusaha. Persoalannya, di tengah fakta kelangkaan

sumberdaya yang tersedia, bagaimana sebaiknya pengaturan mengenai hal ini harus dilakukan.

Meskipun migran Nias adalah pendatang di tempat ini, sebuah pilihan kebijakan untuk memaksa mereka

“pulang kampung” barangkali bukan sebuah pilihan yang bijaksana, karena proses itu akan potensial

memunculkan isu-isu pelanggaran hak asasi manusia dan beriksiko secara hukum dan politik. Oleh

karena itu, diperlukan sebuah mekanisme yang bisa menjembatani perbedaan kepentingan antar kedua

kelompok komunitas, dan juga bisa meminimalisasi risiko-risiko sosial, ekonomi, politik dan HAM yang

bisa muncul.

5.3. Ragam alternatif penyelesaian konflik

Kajian ini tidak merekomendasikan satu pilihan tunggal dalam rangka penyelesaian konflik pemanfaatan

sumberdaya alam di kawasan Tor Sihayo. Beberapa kemungkinan pilihan penyelesaian akan diuaraikan

di bawah ini, sebagai bahan untuk didiskusikan lebih lanjut dengan pihak-pihak yang memiliki otoritas

untuk mengambil keputusan. Pilihan-pilihan yang disajikan di sini lebih dimaksudkan sebagai upaya

membuka pandangan dan pemikiran para pihak terkait untuk melihat sisi-sisi persoalan dan risiko-risiko

yang mungkin akan muncul dari setiap pilihan.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-6

ALTERNATIF 1. Kawasan TNBG dan Hutan Lindung (HL) bersih dari aktivitas pertanian

Pilihan ini berfokus pada kepentingan konservasi yaitu dengan target utama kawasan hutan baik TNBG

maupun Hutan Lindung bebas dari aktivitas pertanian. Areal kawasan hutan seluas kurang lebih 500 Ha

yang sudah dibuka oleh warga dikosongkan dari aktivitas pertanian, sehingga semua warga yang sudah

menanam investasinya di dalam kawasan diminta keluar. Secara konseptual hal ini terlihat baik dan

mudah, namun dalam pelaksanaannya akan sangat sulit dan membuka peluang munculnya risiko-risiko

sosial dan politik yang bisa kontraproduktif terhadap tujuan konservasi, seperti digambarkan dalam

Matrik 5.1. di bawah ini.

Matrik 5.1. Pembebasan kawasan dari aktivitas pertanian

Target pokok Kawasan TNBG dan Hutan Lindung bersih dari aktivitas pertanian

Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan dan pengelolaan lahan pertanian yang

dilakukan warga migran Nias dan warga lokal di kawasan hutan (TNBG dan

HL).

Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap kawasan TNBG tanpa kompensasi tanam

tumbuh.

Mengeluarkan warga yang menggarap di kawasan HL dengan diberikan

kompensasi tanam tumbuh

Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG dan HL bersih dari aktivitas penggarapan, dan bebas dari

kerusakan akibat tindakan manusia

Risiko-risiko yang akan muncul Diperlukan biaya besar untuk memindahkan pendududk dari kawasan hutan

Ada peluang resistensi dari pelaku dan warga luar

Ada risiko politik tingkat lokal, khususnya terkait dengan isu HAM

Antisipasi dampak negatif Diperlukan program substitutif bagi petani yang dikeluarkan dari kawasan hutan,

misalnya relokasi atau pembayaran kompensasi, atau pelibatan dalam proyek

lain

Meminta warga secara sukarela meninggalkan kawasan hutan hanya mungkin dilakukan jika warga

masyarakat sudah memiliki kesadaran konservasi dan kesadaran hukum yang tinggi, yang dalam situasi

sekarang keduanya belum atau tidak ditemukan dalam kenyataan di lapangan. Memilih cara pemaksaan

agar mereka meninggalkan kawasan hutan akan mengundang risiko yang besar dari segi sosial, politik

dan keuangan, dan cara demikian sangat rentan dengan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.

Cara-cara pemaksaan juga akan mencederai proses demokratisasi dan prinsip-prinsip kepemerintahan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-7

yang baik yang sedang diperjuangkan untuk bisa tegak, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Oleh karena itu, alternatif 1 dengan metode pemaksaan (forcible) seperti digambarkan di atas tidak

dianjurkan untuk dipilih dalam proses penyelesaian sengketa pemanfaatan sumberdaya alam di

kawasan Tor Sihayo.

ALTERNATIF 2. Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian

Pilihan yang sedikit lebih moderat adalah fokus kepada kawasan hutan dengan fungsi konservasi yaitu

pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan adalah meminta

warga agar menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di dalam kawasan TNBG tanpa

diberikan kompensasi atas tanam tumbuh yang ada di atasnya. Risiko sosial, ekonomi dan politik yang

diperkirakan muncul akan lebih kecil karena jumlah warga yang berada dalam kawasan TNBG belum

banyak meskipun luasan lahan yang telah dibuka ditaksir sudah mencapai lebih 100 Ha. Jika warga yang

menduduki kawasan TNBG adalah migran Nias yang belum memiliki status domisili tetap di desa-desa

sekitar (yang dibuktikan dengan pemilikan KTP misalnya), diperkirakan upaya “paksa” agar mereka

meninggalkan lokasi masih bisa dilakukan. Pendekatan lain yang lebih lunak adalah cara persuasif

melalui tokoh-tokoh panutan atau pimpinan komunitas migran Nias.

Matrik 5.2. Pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas pertanian

Target pokok Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian

Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di kawasan TNBG

Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap di TNBG tanpa kompensasi

Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG bersih dari aktivitas penggarapan dan bebas dari kerusakan

akibat tindakan manusia, namun kawasan HL tetap dikelola

Risiko-risiko yang akan muncul Resistensi dari para pelaku, namun diperkirakan lebih kecil

Tetap ada ancaman kerusakan kawasan hutan di HL

Ada persoalan hukum dengan membiarkan warga mengelola swadaya HL

Ada preseden buruk pengelolaan HL yang bisa ditiru komunitas lain

Antisipasi dampak negatif Melibatkan tokoh-tokoh panutan atau pimpinan komunitas migran Nias di

kawasan Tor Sihayo dalam pelaksanaan penarikan warga dari kawasan TNBG

Pilihan pembebasan kawasan TNBG sebagai fokus utama di satu sisi memiliki kekuatan strategis karena

fungsi konservasi dari kawasan bisa diselamatkan dengan risiko-risiko sosial dan politik yang lebih kecil.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan pilihan tersebut juga diperkirakan lebih sedikit

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-8

sehingga tidak terlalu membebani anggaran pihak otoritas pemerintah yang akan melaksanakannya.

Namun demikian, dengan hanya fokus kepada TNBG di satu sisi dan tetap membiarkan pendudukan

kawasan hutan lindung di sisi lain, akan menimbulkan persoalan inkonsistensi dalam penegakan hukum.

Pembiaran terhadap pendudukan hutan lindung tanpa alas hukum dan kebijakan yang diperbaharui jelas

akan menjadi faktor disinsentif untuk penegakan hukum berikutnya. Warga masyarakat sepatutnya

tidak boleh tahu atau menduga-duga bahwa otoritas pengelola kawasan hutan memiliki pilihan-pilihan

prioritas dalam penegakan hukum lingkungan.

Alternatif kedua seperti digambarkan di atas bisa menjadi pilihan jika diletakkan dalam kerangka sebuah

penyelesaian bertahap. Artinya, fokus pertama diletakkan pada pembebasan kawasan hutan konservasi

dari segala aktivitas manusia yang bisa merusak dan menghilangkan fungsinya. Tahap berikutnya akan

difokuskan kepada penyelesaian masalah di kawasan Hutan Lindung, baik melalui pembebasan serupa

seperti di kawasan hutan konservasi atau dengan menggunakan pendekatan baru yang lebih kolaboratif

dengan memanfaatkan peluang melalui peraturan-peraturan atau kebijakan yang ada terkait dengan

pengelolaan hutan lindung.

ALTERNATIF 3. Kawasan TNBG bersih, luasan Hutan Lindung dikurangi

Pilihan lain adalah membebaskan kawasan hutan konservasi TNBG dari pendudukan liar oleh warga yang

memanfaatkannya untuk lahan pertanian dan mengalihkan fungsi sebagian kawasan hutan lindung yang

sudah dikelola oleh masyarakat. Aspirasi sebagian besar warga masyarakat dari desa-desa di sekitar

TNBG yang membutuhkan perluasan lahan pertanian selama ini tertuju kepada pengurangan kawasan

hutan lindung dengan menggeser tapal batas sekitar 1-3 kilometer dari batas yang ada sekarang. Fakta

lapangan yang mudah ditemukan saat ini adalah penggarapan kawasan hutan lindung hampir di semua

desa-desa sekitar kawasan TNBG yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Hal seperti itu juga

ditemukan di kawasan Tor Sihayo yang menjadi lokus penelitian ini.

Dalam skenario pada alternatif 3 ini, warga yang sudah menduduki kawasan konservasi TNBG tetap

harus dikeluarkan tanpa konpensasi atas tanam tumbuh yang ada di atasnya. Selain itu, areal hutan

lindung yang sudah dikelola menjadi lahan pertanian dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan dan

pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat sekitar. Di satu sisi, pilihan ini memberikan ruang bagi

warga masyarakat dari desa-desa sekitar yang menghadapi kelangkaan lahan untuk memperoleh lahan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-9

baru atau mempertahankan lahan sebelumnya yang telah diolah di kawasan hutan lindung. Tetapi di sisi

lain, akan ada risiko yang besar di belakang hari jika pelepasan kawasan hutan lindung dilakukan. Proses

dan prosedur hukum untuk pelepasan status kawasan hutan juga tidak mudah dan akan membutuhkan

waktu lama, sehingga pilihan ini kurang strategis. Seandainya alternatif pelepasan kawasan hutan

lindung tersebut dipilih dan disetujui untuk kasus Tor Sihayo, hal ini diduga akan menjadi preseden

buruk untuk kawasan hutan lindung di tempat-tempat lain, karena masyarakat akat berlomba-lomba

menguasai dan mengusahakan lahan di kawasan hutan. Selain itu, akan muncul risiko sosial baru berupa

konflik horizontal yang kemungkinan besar terjadi di antara komponen masyarakat yang saling bersilang

kepentingan.

Matrik 5.3. Pembebasan kawasan TNBG dan pengurangan luasan HL

Target pokok Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian, sebagian HL terselamatkan

Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di kawasan TNBG

Mengizinkan kawasan HL yang sudah dikelola menjadi lahan pertanian dan

dikeluarkan dari HL, dikukuhkan dengan produk kebijakan

Membuat patok batas baru untuk kawasan HL

Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap di dalam kawasan TNBG tanpa

kompensasi

Membuat kesepakatan dengan penggarap HL tentang batasan dan aturan-aturan

pengelolaan yang dibolehkan

Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG bersih dari aktivitas penggarapan dan bebas dari kerusakan

akibat tindakan manusia, namun sebagian kawasan HL dilepaskan dari status

hutan

Risiko-risiko yang akan muncul Ada preseden buruk pengelolaan HL yang bisa ditiru komunitas lain

Antisipasi dampak negatif Dirancang sebuah program pengelolaan kolaboratif di kawasan hutan lindung,

dengan persyaratan dan mekanisme yang menjamin keberlanjutan ekosistem

dan memberikan keadilan dalam akses pemanfaatan sumberdaya

Alternatif 3 tidak dianjurkan untuk dipilih karena proses dan prosedur untuk pelepasan kawasan hutan

tidak mudah dan akan membutuhkan waktu lama, dan seandainya hal itu bisa dilakukan juga akan

mengundang risiko baru yang akan menambah persoalan-persoalan baru di masa depan. Tuntutan

masyarakat untuk pelepasan kawasan hutan lindung akan semakin menguat, potensi konflik horizontal

dalam pengelolaan lahan yang dilepaskan dari status kawasan hutan juga diperkirakan akan muncul ke

permukaan. Dengan kondisi adanya konflik laten antara warga asli dengan migran Nias seperti sekarang

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-10

ini, maka pilihan seperti diuraikan di atas diperkirakan bukan menghasilkan penyelesaian yang terbaik,

bahkan sebaliknya akan mengundang persoalan sosial yang lebih besar di kemudian hari.

ALTERNATIF 4. Kawasan TNBG bersih, Hutan Lindung dikelola secara kolaboratif

Pilihan yang lebih realistis dan bertumpu pada kemauan saling mengakomodasi dan mengkompromikan

kepentingan yang berbeda adalah seperti dikemukakan dalam Alternatif 4 ini. Kawasan TNBG tetap

harus bersih dari aktivitas penggarapan dan aktivitas-aktivitas ilegal lain yang tidak sesuai dengan aturan

pengelolaan hutan konservasi. Sementara itu, kawasan hutan lindung diberikan izin untuk dikelola

secara kolaboratif oleh warga masyarakat yang hidup di sekitarnya. Dengan alternatif ini diharapkan

kawasan TNBG tetap bersih dari aktivitas penggarapan, sementara kawasan hutan lindung yang sudah

digarap oleh warga selama ini dikendalikan melalui implementasi program-program pengelolaan secara

kolaboratif, sesuai dengan perangkat aturan yang tersedia sebagai payung hukumnya.

Matrik 5.4. Pembebasan kawasan TNBG dan pengelolaan kolaboratif kawasan HL

Target pokok Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian, HL dikelola secara kolaboratif

Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di kawasan TNBG

Membuat rancangan pengelolaan HL secara kolaboratif

Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap di dalam TNBG tanpa kompensasi

Membuat kesepakatan dengan komunitas desa untuk pengelolaan kolaboratif

dengan pola agroforest

Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG bersih dari aktivitas penggarapan dan bebas dari kerusakan

akibat tindakan manusia, kawasan HL dipertahankan namun diizinkan untuk pola

pengelolaan kolaboratif

Risiko-risiko yang akan muncul Distribusi hak atau akses bagi warga masyarakat diatur dengan cara baru,

sehingga lahan yang ada sebelumnya harus diperlakukan dengan cara baru

Antisipasi dampak negatif Dirancang sebuah program pengelolaan kolaboratif di kawasan hutan lindung,

dengan persyaratan dan mekanisme yang menjamin keberlanjutan ekosistem

dan memberikan keadilan dalam akses pemanfaatan sumberdaya

Pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas-aktivitas yang bisa merusak fungsinya merupakan pilihan yang

tetap harus dijalankan. Ruang yang bisa diberikan untuk pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat

sekitar dalam rangka mengatasi problem kelangkaan lahan pertanian adalah kawasan hutan lindung.

Namun, untuk tetap menjaga terpeliharanya fungsi-fungsi lindung yang melekat dalam kawasan hutan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-11

lindung, perlu dirancang sebuah program pengelolaan kolaboratif dengan persyaratan dan mekanisme

yang bisa menjamin keberlanjutan ekosistem. Rancangan program itu juga harus bisa menjamin adanya

keadilan bagi warga masyarakat dalam memperoleh akses pemanfaatan sumberdaya.

Alternatif 4 memberikan pilihan akomodatif dan kompromi. Dengan model pengelolaan kolaboratif

maka hak-hak normatif atas kawasan hutan lindung tetap berada di tangan otoritas pemerintah yang

memiliki kewenangan untuk itu. Persoalan proses dan prosedur hukum yang rumit dan panjang untuk

pelepasan kawasan hutan tidak perlu lagi dihadapi, baik oleh masyarakat yang memerlukan lahan

maupun oleh perangkat institusi birokrasi yang memiliki kewenangan untuk mengurus itu. Di sisi lain,

warga masyarakat yang membutuhkan perluasan akses untuk mendapatkan manfaat ekonomi guna

menyangga kehidupan keluarga mereka dapat memperoleh akses berupa hak pemanfaatan yang legal,

sehingga tidak harus berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum karena masalah legalitas. Manfaat

ekonomi yang bisa diraih dari pola pengelolaan kolaboratif tersebut sepatutnya memiliki nilai lebih

karena tujuan utama mereka mencari lahan pertanian baru adalah untuk mengatasi problem ekonomi.

Oleh karena itu, persoalan status lahan yang dikelola tetap merupakan lahan milik negara yang masih

dibebani alas hukum kawasan hutan lindung, seyogiyanya tidak menjadi hambatan kultural bagi warga

masyarakat untuk menerima pilihan pengelolaan kolaboratif tersebut.

5.4. Alternatif mekanisme pengelolaan kolaboratif

Pengelolaan kolaboratif difokuskan di dalam kawasan hutan lindung, sementara kawasan konservasi

TNBG sebaiknya diupayakan untuk tetap bebas dari aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan aturan-

aturan pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian, warga masyarakat yang telah membuka dan

menggarap areal hutan konservasi TNBG dikeluarkan dari kawasan konservasi. Sedangkan warga yang

membuka dan menggarap areal hutan lindung dimungkinkan untuk bisa melanjutkan aktivitas mereka

setelah adanya izin pengelolaan kolaboratif dari pemerintah.

5.4.1. Mekanisme pembebasan kawasan konservasi TNBG

Sejauh ini warga yang diketahui membuka dan menggarap hutan di dalam kawasan konservasi TNBG

adalah migran Nias. Upaya untuk mengeluarkan mereka dari kawasan TNBG dapat dilakukan dengan

pendekatan persuasif, administratif dan pemaksaan sebagai alternatif terakhir. Kesepakatan yang telah

dibangun antara pemerintah daerah (melalui kegiatan inventarisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-12

daerah dan BP-TNBG pada Januari 2009) dengan warga migran Nias di kawasan Tor Sihayo untuk tidak

menerima kedatangan migran baru di kawasan itu serta ketentuan tidak boleh mendirikan pondok di

areal hutan konservasi yang sudah terlanjur dibuka, adalah sebuah pendekatan persuasif yang cukup

bijaksana. Pelibatan tokoh-tokoh panutan bagi migran Nias untuk menjamin terlaksananya kesepakatan

tersebut sangat penting mengingat dari hasil kajian ini diketahui bahwa migran Nias yang ada di daerah

Tor Sihayo masih sangat menghormati dan patuh kepada pemimpin-pemimpin mereka. Hal serupa juga

ditemukan dalam kasus migran Nias yang diteliti pada tahun 2007 di blok hutan Batang Toru (Zulkifli

Lubis dkk, 2007).

Hasil kajian di kawasan Tor Sihayo menunjukkan bahwa referensi ketokohan bagi warga migran Nias

biasanya terkait dengan adanya ikatan hubungan kekerabatan, kesatuan dalam komunitas agama, dan

kecakapan dalam memperjuangkan kepentingan warga komunitas ketika berhadapan dengan warga

komunitas lain. Dari penuturan sejumlah informan diketahui bahwa hampir semua warga migran Nias di

kawasan Tor Sihayo memiliki jalinan ikatan kekerabatan dan kampung asal. Kehadiran mereka ke tempat

ini juga tidak terlepas dari referensi kerabat-kerabatnya yang sudah lebih dulu menetap. Oleh karena

itu, pendekatan persuasif melalui simpul-simpul jaringan kekerabatan tersebut merupakan sebuah

pilihan strategis dalam rangka mengeluarkan warga migran Nias dari kawasan konservasi TNBG.

Jalur kedua adalah pemimpin komunitas agama. Setiap keluarga migran Nias di kawasan Tor Sihayo

memiliki afiliasi dengan gereja, baik gereja BNKP maupun GKPPDI. Pemimpin jemaat gereja adalah figur

sentral bagi jemaat dan memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi jemaatnya. Pemanfaatan figur

seperti ini diperkirakan sangat efektif untuk memperlancar proses eksklusi migran Nias dari kawasan

konservasi. Meminta dukungan dan tanggung jawab dari pemimpin jemaat untuk menertibkan para

jemaatnya yang menggarap kawasan konservasi adalah sebuah pilihan yang baik, sehingga dengan

demikian pihak gereja bisa mengatasi problem ikutan yang akan dihadapi oleh warganya setelah mereka

keluar dari kawasan. Mengingat jalur kekerabatan dan ikatan keimanan dan kesatuan dalam sebuah

komunitas keagamaan merupakan elemen kultural yang sangat signifikan dalam kehidupan migran Nias

di daerah ini, maka pilihan pendekatan persuasif melalui pengaruh tokoh-tokoh mereka diharapkan bisa

mengurangi resistensi warga penggarap TNBG jika batas waktu pembebasan kawasan telah ditetapkan.

Keberadaan perkumpulan untuk urusan-urusan sosial yang dikelola melalui jemaat gereja dan asosiasi

sukarela yang ada di kalangan migran Nias sepatutnya dapat didayagunakan oleh mereka untuk

menanggulangi masalah ekonomi yang akan dihadapi oleh kerabat atau warga jemaat mereka yang akan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-13

dikeluarkan dari kawasan konservasi. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan

biaya kompensasi bagi mereka yang harus meninggalkan kawasan konservasi.

Pendekatan persuasif melalui jalur pemimpin informal seperti diuraikan di atas bisa diperkuat dengan

menggunakan pendekatan administratif. Pemerintah daerah melalui aparat pemerintah di kecamatan

dan aparat desa bisa memanfaatkan kewenangan yang ada pada mereka untuk memastikan siapa saja

warga migran Nias, khususnya yang menggarap di dalam areal TNBG, yang secara administratif telah

terdaftar sebagai penduduk resmi di desa-desa yang ada di sekitar kawasan Tor Sihayo. Mereka yang

memiliki status domisili resmi dan tercatat dalam buku induk kependudukan dapat diperlakukan dengan

memperhatikan hak-hak mereka sebagai warga desa, dimana pemerintah desa, kecamatan sampai

pemerintah kabupaten sepatutnya memiliki tanggung jawab untuk mengatur relokasi mereka. Namun

bagi warga yang tidak memiliki status kependudukan legal, dapat diserahkan tanggung-jawabnya kepada

pemimpin komunitas mereka yaitu pemimpin jemaat gereja dimana yang bersangkutan tergabung dan

kepada kelompok kerabat yang memberikan referensi kepada yang bersangkutan untuk datang ke Tor

Sihayo.

Pendekatan dengan cara pemaksaan dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir, jika dua pendekatan

sebelumnya tidak bisa berjalan secara efektif. Tindakan pemaksaan tentu dilakukan dengan mengacu

kepada aturan perundang-undangan yang ada. Namun dalam kaitan ini, direkomendasikan untuk tidak

melakukan pemaksaan badan atau dalam bentuk fisik mengusir manusianya, sebagai upaya preventif

agar proses dan prosedur penyelesaian tidak menimbulkan persoalan baru terkait dengan pelanggaran

HAM. Cara lain yang lebih baik adalah memastikan bahwa tidak terjadi aktivitas budidaya dan

pemanfaatan hasil budidaya dan tumbuhan lain dari dalam areal konservasi, sehingga yang ditangani

adalah produk dari aktivitas-aktivitas tersebut (misalnya dalam bentuk tanaman yang dibudidayakan),

bukan pelaku yang mengelolanya. Kunci utama kebertahanan mereka di dalam kawasan adalah akses

pemanfaatan ekonomi, dan jika hal ini ditutup maka secara otomatis mereka akan keluar dari dalam

kawasan. Pendekatan melalui pemaksaan mungkin untuk dilakukan setelah memastikan bahwa proses-

proses persuasif dan administratif tidak bisa memberikan hasil maksimal.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-14

5.4.2. Mekanisme penyelesaian melalui pengelolaan kolaboratif di kawasan Hutan Lindung

Setidaknya ada dua produk kebijakan pemerintah yang bisa dijadikan sebagai payung bagi pengelolaan

kolaborarif di kawasan hutan lindung, yaitu aturan tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan

melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001, dan Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Kedua kebijakan tersebut menempatkan aspek

pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan sebagai bagian dari pertimbangan penting. Produk

kebijakan tentang hutan kemasyarakatan menyebutkan bahwa “praktek pengelolaan hutan harus

diupayakan selalu berorientasi kepada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis kepada

pemberdayaan masyarakat melalui peluang pemberian usaha kepada masyarakat setempat”. Sedangkan

dalam produk kebijakan hutan desa disebutkan bahwa “dalam rangka pemberdayaan masyarakat di

dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan

negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa”. Kedua produk hukum tersebut

menyajikan skenario jalan tengah untuk mengatasi dilema silang kepentingan antara pelestarian hutan

dengan kebutuhan perluasan lahan pertanian untuk menyangga kehidupan masyarakat di sekitar hutan.

Kebijakan tentang hutan kemasyarakatan dan hutan desa memiliki beberapa persamaan, namun produk

hukum tentang hutan desa memiliki pengaturan yang lebih rinci sebagai panduan dalam pelaksanaan.

Matrik di bawah ini menyajikan beberapa aspek yang terkandung dalam kedua produk hukum tersebut

yang memperlihatkan aspek persamaan dan perbedaan dari keduanya. Salah satu aspek penting yang

membedakan keduanya adalah pada unit pengelola yang berhak mendapatkan izin. Pengelolaan hutan

kemasyarakatan dapat diberikan kepada kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan pengelolaan hutan

desa diberikan kepada lembaga desa. Meskipun secara prosedur permohonan pengelolaan hutan

kemasyarakatan tetap melalui lembaga administrasi desa, namun hak pengelolaan dan pemanfaatan

hasilnya bertumpu kepada kelompok masyarakat yang memegang izin, sehingga tidak langsung terikat

kepada lembaga pemerintahan desa. Sementara itu, hak pengelolaan hutan desa berada langsung di

bawah kewenangan pemerintahan desa, sehingga rasa tanggung jawab dan rasa memiliki dari

komunitas desa diperkirakan lebih kuat.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-15

Matrik 5.5. Karakteristik hutan kemasyarakatan dan hutan desa

HUTAN KEMASYARAKATAN HUTAN DESA

Dasar Hukum SK Menhut No. 31/Kpts- II/2001 Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008

Dasar

pertimbangan

Pemberdayaan masyarakat setempat di

sekitar hutan

Pemberdayaan masyarakat di dalam dan

sekitar kawasan hutan

Definisi Hutan Negara dengan sistem pengelolaan

hutan yang bertujuan untuk memberdayakan

masyarakat setempat tanpa menggangu fungsi

pokoknya

Hutan Negara yang dikelola oleh desa dan

dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta

belum dibebani izin/hak

Pengelola Kelompok masyarakat setempat yang

mendapat pengakuan dari masyarakat melalui

Kepala Desa/Lurah

Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa,

ditetapkan melalui peraturan desa yang

bertugas mengelola Hutan Desa yang secara

fungsional berada dalam organisasi desa dan

bertanggungjawab kepada kepala desa

Areal Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang

belum dibebani hak/izin

Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang

belum dibebani hak/izin dan berada di wilayah

administrasi desa

Jangka waktu 25 tahun, dapat diperpanjang 35 tahun, dapat diperpanjang

Wilayah

pengelolaan

Kawasan hutan yang menjadi sumber

penghidupan masyarakat setempat, dan

memiliki potensi untuk diolah masyarakat

setempat

Hak-hak dan

Kegiatan

pengelolaan

Penataan areal kerja, penyusunan rencana

pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan

perlindungan. Areal kerja dikategorikan ke

dalam blok perlindungan dan blok budidaya

Pada hutan lindung berhak untuk

memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan,

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; pada

hutan produksi berhak untuk memanfaatkan

kawasan, jasa lingkungan, pedmanfaatan hasil

hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil

hutan kayu dan bukan kayu

Izin hutan kemasyarakatan bukan merupakan

hak kepemilikan atas kawasan hutan dan

tidak dapat diagunkan atau

dipindahtangankan

Hak pengelolaan hutan desa bukan merupakan

hak kepemilikan atas kawasan hutan, dan

dilarang memindahtangankan atau

mengagunkan serta mengubah status dan

fungsi kawasan hutan

Prosedur izin Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah

tentang aturan-aturan internal Pokmas dan

aturan-aturan pengelolaan hutan; pengakuan

dari masyarakat melalui Kades/Lurah;

rencana lokasi dan luas areal kerja, serta

rencana jangka waktu pengelolaan yang

disepakati

Adanya Peraturan Desa tentang penetapan

lembaga desa; surat pernyataan Kades tentang

wilayah administrasi desa ybs yang diketahui

camat; luas areal kerja yang dimohon; rencana

kerja dan bidang usaha lembaga desa

Kewenangan

memberi izin

Izin dari Bupati Menteri/Gubernur/pelimpahan kpd Bupati

Provisi hasil

hutan

Dikenakan terhadap hasil hutan yang

diperdagangkan sesuai dengan peraturan

yang berlaku; provisi hasil hutan komoditas

non-kehutanan merupakan PAD

Tidak diatur khusus

Sumber : disarikan dari referensi produk hukum terkait

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-16

Meskipun penyelenggaraan pengelolaan hutan desa dapat dilakukan di kawasan hutan lindung dan

hutan produksi, namun perlu dicatat bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam perlakuan pengelolaan

pada keduanya seperti terlihat dalam matrik di bawah ini.

Matrik 5.6. Pengelolaan hutan desa di kawasan hutan lindung dan hutan produksi

HUTAN LINDUNG HUTAN PRODUKSI

Pemanfaatan

kawasan

Kegiatan usaha budidaya tanaman obat,

tanaman hias, jamur, hijauan makanan

ternak, budidaya lebah dan penangkaran

satwa liar

Kegiatan usaha budidaya tanaman obat,

tanaman hias, jamur, penangkaran satwa,

budidaya sarang burung walet

Pemanfaatan jasa

lingkungan

Kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air,

pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan

keanekaragaman hayati, penyelamatan dan

perlindungan lingkungan, penyerapan

dan/atau penyimpanan karbon

Kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air,

pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan

keanekaragaman hayati, penyelamatan dan

perlindungan lingkungan, penyerapan

dan/atau penyimpanan karbon

Pemungutan hasil

hutan bukan kayu

Kegiatan usaha rotan, madu, getah, buah,

jamur, atau sarang walet

Pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, yang

meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,

pemanenan, pengamanan dan pemasaran

hasil; getah, kulit kayu, daun, buah atau biji,

gaharu, yang meliputi penanaman,

pemeliharaan, pemanenan, pengamanan dan

pemasaran hasil ; paling banyak 20 ton per

lembaga desa

Pemanfaatan hasil

hutan kayu

Tidak dibenarkan Dibenarkan sesuai aturan yang berlaku dan

dengan IUPHHK; dan paling banyak 50 m3

per lembaga desa per tahun.

Pembiayaan Untuk pelaksanaan pengelolaan dari Kas

Desa; untuk fasilitasi, pembinaan dan

pengendalian dari anggaran pemerintah

Untuk pelaksanaan pengelolaan dari Kas

Desa; untuk fasilitasi, pembinaan dan

pengendalian dari anggaran pemerintah

Sumber : Disarikan dari referensi produk hukum terkait

5.4.3. Alternatif model pengelolaan kolaboratif di kawasan Tor Sihayo

Berdasarkan uraian di atas terdapat dua pilihan model pengelolaan kolaboratif kawasan hutan lindung di

sekitar Tor Sihayo, yaitu skema hutan kemasyarakatan atau skema hutan desa. Dengan menimbang

berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya dari komunitas-komunitas yang hidup di dalam dan sekitar

kawasan Tor Sihayo, kedua pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sebagaimana diuraikan

di bawah ini.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-17

Matrik 5.7. Analisis kelebihan dan kekurangan model HKM dan HD di kawasan Tor Sihayo

KELEBIHAN KEKURANGAN

Skema Hutan Kemasyarakatan

Lebih fokus kepada kelompok

masyarakat yang memiliki kemauan

dan atau telah mengelola hutan di

dalam kawasan hutan

Tidak memberikan manfaat lebih

bagi desa karena sudah terfokus

kepada kelompok masyarakat sbg

pengelola

Akses migran Nias lebih

terakomodasi melalui satuan

pengelolaan berupa kelompok

masyarakat (pokmas)

Ada preseden kegagalan kelompok

masyarakat sebagai pengelola,

misalnya kasus yayasan, PKB dan

Gerhan di Desa Hutagodang Muda

Skema Hutan Desa

Pertanggung-jawaban pengelolaan

lebih kuat karena langsung di bawah

kepala desa dan lembaga desa

Kebutuhan dan kepentingan

personal/keluarga kurang

terakomodasi

Dimungkinkan untuk mengadopsi

pendayagunaan modal sosial seperti

model pengelolaan “lubuk larangan”

yang bertumpu kepada komunitas

desa, bukan personal atau kelompok

Akses migran Nias yang sudah lebih

dulu mengelola kawasan berpotensi

berkurang karena pengambilan

keputusan mengenai rencana

pengelolaan harus melalui lembaga

desa

Dapat memberikan pengalaman

positif bagi masyarakat desa hutan

dalam mengelola sumberdaya secara

bersama dan memanfaatkan hasilnya

untuk kemakmuran desa

Pada awalnya berpotensi

menimbulkan masalah antar desa

dalam penetapan batas wilayah

adiminstrasi desa yang akan

diusulkan menjadi wilayah

pengelolaan hutan desa

Dapat mengurangi potensi konflik di

kalangan warga desa yang memiliki

beragam kepentingan atas nama

individu/keluarga

5.4.3.1. Skema hutan kemasyarakatan

Sejumlah individu yang berhimpun dalam satuan kelompok masyarakat (pokmas) dapat menjadi unit

kelembagaan yang mengajukan izin untuk pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKM). Jika dilihat dari

aspek keragaman latar sosial budaya dan batas administrasi desa yang ada di kawasan Tor Sihayo, maka

pilihan untuk mengusulkan skema HKM diperkirakan memiliki beberapa keunggulan. Komunitas migran

Nias yang sudah membuka areal kawasan hutan dapat menghimpun diri menjadi satu unit pengelolaan,

dan warga setempat dapat pula mengajukan diri dalam satu unit lainnya. Kesamaan latar belakang sosial

budaya dapat menjadi insentif untuk tumbuhnya sebuah unit pengelolaan yang kompak. Dengan

membuat kelompok masyarakat sebagai unit pengelola juga dapat mengakomodasi keberadaan migran

Nias yang sudah lebih dahulu mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung, sehingga implementasi

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-18

HKM menjadi sebuah mekanisme legalisasi yang terkendali atas pengelolaan kawasan hutan yang sudah

mereka jalankan selama ini.

Namun, peluang untuk menjalankan skema hutan kemasyarakatan hanya dimungkinkan jika dua hal

berikut berlangsung secara simultan, yaitu (1) adanya akses yang sama bagi warga komunitas lokal (tiga

desa sekitar Tor Sihayo) untuk membentuk kelompok masyarakat sendiri sebagai unit pengelola dengan

areal yang ditentukan; (b) adanya persetujuan dari lembaga pemerintahan desa terhadap keberadaan

kelompok masyarakat yang akan diusulkan sebagai unit pengelola HKM. Dalam kaitan ini, warga migran

Nias yang berpeluang untuk membentuk kelompok adalah mereka yang sudah memiliki status domisili

resmi di salah satu dari tiga desa sekitar Tor Sihayo yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan

Tangga Bosi II. Dengan demikian, proses penataan administrasi kependudukan bagi migran Nias yang

ingin terlibat harus dilakukan lebih dahulu sebelum pembentukan kelompok masyarakat yang akan

diusulkan untuk mendapatkan izin.

Pilihan skema hutan kemasyarakatan mengandung kelemahan dari segi kemanfaatan untuk desa.

Dengan skema HKM maka pihak yang paling banyak mengambil manfaat adalah anggota HKM sehingga

desa sebagai unit masyarakat terkecil tidak memperoleh manfaat yang besar dalam penyelenggaraan

HKM. Rasa memiliki dan tanggung jawab untuk pengelolaan kawasan hutan juga diperkirakan akan lebih

rendah karena masyarakat desa kurang mendukung mengingat mereka tidak memiliki insentif dari

keberadaan HKM. Peluang bagi warga desa di luar pokmas dalam memanfaatkan hutan juga terbatas

sehingga persoalan kelangkaan lahan dan perluasan lapangan usaha yang terjadi di desa diperkirakan

tidak akan terselesaikan dengan mekanisme hutan kemasyarakatan. Dengan kata lain, potensi

ketimpangan akses dalam pemanfaatan kawasan masih tetap bertahan. Kelemahan lainnya adalah

kemungkinan terjadinya konflik antara kelompok masyarakat (pokmas) dengan warga lain yang tidak

tergabung dalam kelompok. Selain itu, adanya preseden kegagalan dari beberapa eksperimen

pengelolaan hutan oleh unit pokmas seperti yang pernah terjadi di Hutagodang Muda, juga menjadi hal

penting yang perlu dicermati dalam memilih dan menentukan skema pengelolaan kolaboratif di

kawasan Tor Sihayo.

5.4.3.2. Skema hutan desa

Dengan skema hutan desa (HD) posisi kunci pengelolaan hutan berada di tangan pemerintahan desa

yang secara operasional akan dijalankan oleh Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa, didukung dengan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-19

keberadaan peraturan desa yang khusus tentang pengelolaan hutan desa. Skema hutan desa sangat

strategis karena pemerintahan desa memiliki ‘otoritas’ untuk mengelola kawasan hutan di wilayah

desanya, sehingga kehadiran warga pendatang haram (ilegal) yang akan memanfaatkan sumberdaya

alam dari kawasan hutan di dalam wilayah administrasi desa dapat dicegah dan dikendalikan dengan

lebih baik. Keberadaan migran Nias yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan TNBG secara ilegal

dan tanpa dilengkapi dokumen mutasi kependudukan, selama ini tidak bisa dikendalikan oleh aparat

pemerintahan desa karena berada di luar kewenangan mereka. Melalui skema hutan desa dimana

lembaga desa memiliki otoritas dalam pengelolaan hutan, diharapkan kasus-kasus migrasi masuk tanpa

izin tidak terulang lagi sehingga pertanggung-jawaban atas pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-

prinsip keberlanjutan dapat diminta kepada otoritas desa di wilayah mana suatu hamparan hutan desa

berada.

Manfaat utama yang diperoleh dari pengelolaan hutan desa akan mengalir dulu ke kas desa mengingat

pengelolaannya menurut ketentuan yang ada dijalankan dengan pembiayaan melalui kas desa. Lembaga

pengelola dapat membuat aturan mengenai pembiayaan dan pembagian hasil pengelolaan hutan desa.

Dalam menjalankan sistem pengelolaan hutan desa, dimungkinkan pula bagi lembaga pengelola hutan

desa untuk mengakomodasi atau melakukan replikasi model pengelolaan lubuk larangan yang sudah

populer di sejumlah desa pinggiran sungai di Kabupaten Mandailing Natal (lihat Zulkifli Lubis, 2002).

Model pengelolaan lubuk larangan yang cukup berhasil di sejumlah desa di sepanjang DAS Batang Gadis

dan DAS Batang Natal dilakukan dengan pendayagunaan modal sosial (social capital). Modifikasi dari

model pengelolaan tersebut (yang semula berbasis sumberdaya milik komunal berupa aliran sungai)

dapat dilakukan untuk disesuaikan dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Kreativitas dan kearifan

komunitas lokal dalam mendayagunakan modal sosial sesuai dengan kebutuhan khusus sangat mungkin

dikembangkan dalam pengelolaan hutan desa.

Skema hutan desa juga memiliki kelebihan karena dapat meminimalisasi peluang konflik kepentingan

antar warga desa yang ingin terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan. Pengaturan melalui peraturan

desa maupun pengembangan institusi atau pranata yang dikembangkan melalui lembaga desa pengelola

hutan desa dapat menjadi rujukan utama bagi warga desa dalam menentukan hak dan kewajibannya

atas keberadaan, pengelolaan dan pemanfaatan hasil dari hutan desa. Pengaturan pembagian hasil

secara proporsional dan berasaskan keadilan, yang menjadi salah satu elemen kunci dari keberhasilan

implementasi modal sosial, mutlak harus dikembangkan dan dilembagakan oleh lembaga desa pengelola

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-20

hutan desa, sehingga pilihan skema pengelolaan hutan desa menjadi wahana rekayasa sosial bagi

masyarakat desa dalam mengembangkan dan melaksanakan prinsip-prinsip kepenataan yang baik (good

governance) dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan berbasis komunitas desa

(community-based resources management).

Namun demikian, harus dipahami bahwa masih ada sisi lemah dari alternatif skema hutan desa.

Kelemahan pertama adalah tidak terakomodasinya kebutuhan dan kepentingan personal/keluarga. Hak

pengelolaan hutan desa ada pada level komunitas desa, bukan kelompok dan bukan pula individu atau

keluarga. Sementara itu, dalam kenyataan di lapangan, kebutuhan utama atas perluasan lahan dan

lapangan usaha berada pada level individu atau keluarga. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan

terjadinya kesenjangan antara kebutuhan dan aspirasi warga pada tingkat inidividu/keluarga dengan

kebutuhan dan aspirasi warga pada level komunitas desa. Kesenjangan ini bisa diantisipasi dengan

membangun konsensus di tingkat desa, agar persoalan silang kepentingan tersebut bisa dikelola sejak

awal. Salah satu alternatif jalan tengah yang bisa dikembangkan menjadi konsensus desa, misalnya,

adalah pengaturan proporsi pembagian hak dan kewajiban warga yang terlibat aktif dalam pengelolaan

di lapangan dengan warga yang tidak terlibat aktif di lapangan. Warga yang tidak aktif di lapangan

mendapat hak atas hasil pemanfaatan yang dialokasikan melalui Kas Desa, bisa berupa materi maupun

fasilitas publik atau fasilitas sosial yang didanai dari hasil pengelolaan hutan desa. Sedangkan warga

yang aktif dalam pengelolaan di lapangan berhak mendapatkan manfaat dalam proporsi tertentu

langsung dari hasil transaksi komoditi pengelolaan hutan desa. Proporsi pembagian hasil tersebut harus

disepakati atau dijadikan konsensus bersama yang diformalkan melalui Peraturan Desa sejak awal

pengelolaan dimulai.

Kelemahan kedua, terkait dengan hak dan akses warga migran Nias yang sudah mengelola kawasan

lebih dulu. Dengan skema hutan desa yang memberikan kewenangan pokok kepada pemerintahan desa

atau lembaga yang dibentuk di tingkat desa, maka lahan-lahan warga yang ada sepatutnya “melebur”

menjadi areal pengelolaan hutan desa, sehingga status pemilikan atau penguasaan individu atau

keluarga atas tanaman yang ada di atas lahan hutan desa menjadi hilang. Nah, persoalannya bagaimana

dengan status dan akses migran Nias yang sudah mengusahakan sebagian areal tersebut selanjutnya ?.

Tentu saja hal ini akan sangat tergantung kepada kesepakatan atau konsensus warga desa sebagai

pijakan awal dalam penyusunan rancangan pengelolaan hutan desa. Pilihan yang paling moderat adalah

membuat kesepakatan pada lingkup internal desa antara warga migran Nias dengan pemerintahan desa

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-21

dengan menetapkan areal-areal yang sedang diusahakan oleh migran Nias sebagai semacam ‘enclave’

yang diberi status khusus di dalam kawasan hutan desa. Status khusus tersebut berupa hak untuk tetap

mengelola areal ‘enclave’ tersebut oleh migran Nias yang sedang mengusahakannya, namun dengan

kompensasi membayar semacam ‘bungo ni padang1’ ke Kas Desa. Meskipun diberikan status ‘enclave’,

warga migran Nias yang mengusahakan areal tersebut harus mematuhi dan mengikuti ketentuan-

ketentuan pengelolaan hutan desa yang akan dirancang oleh lembaga desa pengelola hutan desa.

Masih terkait dengan keberadaan migran Nias di dalam kawasan hutan lindung yang akan diusulkan

sebagai areal pengelolaan hutan desa, proses pengintegrasian mereka ke dalam skema hutan desa harus

didahului oleh penetapan status mereka sebagai warga desa. Proses penetapan status ini tentu tidak

menjadi masalah lagi bagi migran Nias yang sudah memiliki status domisili resmi di suatu desa yang akan

mengajukan usulan skema hutan desa, tetapi bagi mereka yang belum terdaftar resmi sebagai warga

desa perlu diselesaikan urusan administrasi kependudukan ini. Pemerintahan desa, kecamatan bahkan

dinas kependudukan kabupaten mungkin perlu turut terlibat dalam membuat keputusan mengenai

penetapan status mereka sesuai dengan ketentuan perpindahan penduduk antar daerah. Kejelasan

status kependudukan ini penting diselesaikan sebelum usulan pengelolaan hutan desa dimajukan ke

pemerintah.

Kelemahan ketiga, sesuai ketentuan yang ada skema hutan desa memerlukan syarat pengakuan dari

kepala desa dan dikuatkan oleh camat atas kawasan hutan yang berada di dalam wilayah administrasi

suatu desa yang akan mengajukan usulan pengelolaan hutan desa. Dalam konteks kawasan hutan

lindung di sekitar Tor Sihayo, khususnya di desa-desa yang menjadi lokus penelitian ini, masalah batas

administrasi desa bisa menjadi sebuah batu sandungan. Sejauh yang diketahui dari fakta di lapangan,

tidak ada batas-batas administrasi desa yang sudah terpetakan dengan jelas khususnya yang langsung

berbatasan dengan kawasan hutan lindung. Menurut data BPS Kabupaten Mandailing Natal, kawasan

hutan lindung yang ada di sekitar Tor Sihayo diperkirakan masuk dalam wilayah administrasi desa Muara

Batang Angkola. Sedangkan fakta lain menunjukkan bahwa migran Nias yang ada di dalam kawasan

hutan lindung terbagi ke dalam administrasi kependudukan Desa Muara Batang Angkola dan Tangga

Bosi II. Desa Tangga Bosi II mengklaim bahwa migran Nias di Tor Pulo adalah penduduk desa mereka

1 Istilah ‘bungo ni padang’ diambil dari khasanah kebudayaan tradisional Mandailing dalam hal pengaturan hak

pemanfaatan sumberdaya di dalam wilayah sebuah ‘harajaon’ atau kerajaan. Warga di sebuah kerajaan berhak memanfaatkan hasil hutan dengan memberikan semacam pajak atau retribusi ke kas kerajaan dengan jumlah tertentu yang ditetapkan sebelumnya.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-22

yang berdiam di Dusun Tor Pulo, bagian dari wilayah administrasi Desa Tangga Bosi. Fakta lain

menunjukkan bahwa warga desa Hutagodang Muda juga sudah membuka lahan pertanian di kawasan

Tor Sihayo, meskipun menurut data BPS Kabupaten Madina luas desa mereka tidak mencakup kawasan

hutan lindung sebagaimana halnya Desa Tangga Bosi II juga. Jika mengikuti klaim-klaim tradisional, maka

Desa Tangga Bosi mengaku bahwa kawasan hutan lindung tersebut berada di dalam wilayah desa

mereka.

Persoalan batas-batas wilayah administrasi desa yang mencakupi kawasan hutan lindung yang akan

diusulkan melalui pengelolaan hutan desa harus diklarifikasi dengan cara yang bijaksana, khususnya oleh

pemerintah kecamatan bersama-sama dengan pemerintahan desa dan Dinas Kehutanan. Pendekatan

formalistik semata diperkirakan tidak akan menyelesaikan masalah, karena dengan cara tersebut

diperkirakan hanya Desa Muara Batang Angkola yang berhak untuk mengajukan usulan skema hutan

desa mengingat bahwa kawasan hutan lindung di daerah ini dimasukkan dalam batas wilayah

administrasi desa tersebut. Jika skenario ini yang dipilih, hampir bisa dipastikan akan menimbulkan

konflik horizontal antar komunitas desa yang berkepentingan dengan kawasan Tor Sihayo, minimal

antara tiga desa yang sama-sama memiliki klaim atas kawasan yaitu Desa Muara Batang Angkola,

Hutagodang Muda dan Tangga Bosi II.

Pilihan paling moderat adalah membagi kawasan hutan lindung di sekitar Tor Sihayo menjadi tiga blok

pengelolaan, yang nantinya akan didistribusikan kepada tiga desa tersebut di atas. Pembagian ini

dilakukan dengan asumsi bahwa ketiga desa dimaksud sama-sama menerima skema hutan desa sebagai

pilihan yang memungkinkan mereka mendapatkan akses pengelolaan kawasan hutan secara legal

melalui mekanisme hukum yang ada, yaitu Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Desa. Jika

misalnya tidak semua desa tadi bersedia terlibat dalam usulan skema hutan desa, maka cukup desa yang

bersedia saja yang akan difasilitasi sehingga pembagian kawasan hutan lindung juga disesuaikan dengan

jumlah desa yang menyetujui. Namun, mengingat bahwa selama ini klaim-klaim penguasaan lahan di

atas kawasan hutan lindung sangat kuat dari ketiga desa tersebut di atas, maka pernyataan resmi dari

aparat pemerintahan desa atas ketidaksetujuan mengikuti usulan skema hutan desa menjadi faktor yang

penting untuk mengantisipasi problem konflik yang mungkin timbul di kemudian hari.

Peluang munculnya silang kepentingan ke permukaan diperkirakan akan timbul di awal proses sosialisasi

skema hutan desa. Karena itu, jalan tengah yang paling baik adalah melakukan proses sosialisasi secara

bertahap yaitu dimulai dengan mengundang pemimpin formal dari ketiga desa (kepala desa dan aparat

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-23

pemerintahan desa) untuk mendiskusikan peluang-peluang pengelolaan kolaboratif di kawasan hutan

lindung. Tahap berikutnya bisa dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan

pengaruh strategis di desa, baik mewakili kelembagaan informal seperti lembaga adat, lembaga

keagamaan, asosiasi sukarela, cendekiawan di desa, serta individu-individu yang memiliki pengaruh di

desa. Target utama dari kedua tahap sosialisasi tersebut adalah tercapainya pemahaman di kalangan

para pemimpin dari ketiga desa tentang peluang-peluang yang ada serta bagaimana cara atau strategi

yang baik dalam menyusun langkah bersama untuk mewujudkannya. Hasil dari proses dialogis tersebut

akan sangat menentukan dalam perencanaan format usulan skema hutan desa pada tahap-tahap

berikutnya.

5.4.4. Mekanisme pengelolaan kolaboratif hutan desa melalui pendayagunaan modal sosial

Dengan asumsi bahwa ketiga desa tersebut di atas menyepakati usulan skema hutan desa guna

mendapatkan akses legal pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung di kawasan Tor Sihayo, dengan

membagi areal pengelolaan menjadi tiga blok kawasan hutan, maka tahap yang paling krusial adalah

membangun kesepahaman dan kesepakatan serta konsensus di dalam satuan komunitas desa tentang

perencanaan format pengelolaan kolaboratif tersebut. Hasil-hasil kajian di berbagai negara berkenaan

dengan pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas (community-based natural resources

management) menunjukkan bahwa pendayagunaan modal sosial menjadi bagian yang sangat penting

selain dukungan modal fisik, material dan finansial. Modal sosial merupakan unsur pelumas yang

memungkinkan bekerjanya ‘mesin’ struktur sosial dengan baik. Elemen-elemen pokok dari modal sosial

paling sedikit mencakup hubungan saling percaya (trust), jaringan sosial (social network) dan pranata

(institutions). Proses pengembangan skema pengelolaan hutan desa di kawasan Tor Sihayo ke depan

perlu diselenggarakan dengan menumbuhkan dan memperkuat potensi modal sosial yang ada di

masyarakat, sehingga seluruh komponen sosial yang terlibat dalam pengelolaan (social network) dapat

bekerjasama berdasarkan asas saling percaya satu sama lain (trust) yang terjamin melalui kepatuhan

terhadap aturan main atau pranata (institutions) yang disepakati bersama.

Kajian Zulkifli Lubis dkk (2002) tentang pengelolaan lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal

menunjukkan bahwa komunitas-komunitas lokal mampu menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya

milik bersama dengan mendayagunakan dan melembagakan potensi modal sosial yang mereka miliki.

Model pengelolaan berbasis modal sosial tersebut tentu bukan sesuatu yang tercipta dengan sendirinya,

melainkan terbangun melalui proses eksperimentasi yang terus-menerus (dalam rentang satuan hingga

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-24

belasan tahun) di kalangan komunitas desa sehingga pada

titik tertentu mereka sudah mempunyai format pengelolaan

yang bisa menjadi rujukan perilaku kolektif bagi seluruh

warga, bahkan berlaku juga bagi warga lain yang akan

terlibat kepentingan dengan sumberdaya yang dikelola

bersama. Kasus-kasus sejenis dari belahan dunia lain juga

memberi petunjuk tentang pentingnya pelembagaan modal

sosial, seperti yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom (1992)

dan Mary Hobley & Kishore Shah (1996), seperti dirangkum

dalam Kotak 5.1.

Rentang waktu pengelolaan kolaboratif melalui skema hutan

desa yang menurut peraturan bisa mencapai 35 tahun dan

dapat diperpanjang, sesungguhnya memberikan ruang yang

cukup lapang bagi para pihak yang terkait untuk melakukan

eksperimentasi rekayasa modal sosial dalam pengelolaan

kawasan hutan lindung di sekitar Tor Sihayo. Ketiga desa

yang memiliki kepentingan langsung dengan kawasan

tersebut, yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda

dan Tangga Bosi II, bersama dengan elemen masyarakat asli

maupun penduduk pendatang (migran Nias) dan bekerja

sama dengan pihak-pihak lainnya baik dari pemerintah

daerah, BPTNBG dan NGO, serta unsur akademisi, dapat

dijadikan sebagai ‘laboratorium’ dimana proses eksperimen

rekaya modal sosial itu bisa dijalankan. Hasil pembelajaran

yang diperoleh dari kasus-kasus tersebut nantinya akan bermanfaat sebagai pedoman dalam mengelola

kawasan hutan lindung lainnya di sekeliling Taman Nasional Batang Gadis, khususnya di kawasan-

kawasan yang memiliki potensi konflik tinggi karena persoalan tekanan penduduk.

Delapan prinsip dasar yang menentukan

keberhasilan pengembangan desain

kelembagaan lokal dalam kasus pengelolaan

irigasi (Elinor Ostrom, 1992) : (1) batas-

batas area pelayanan yang ditentukan

secara jelas; (2) perimbangan yang

proporsional antara biaya dan manfaat; (3)

penyusunan pilihan-pilihan kolektif yang

memberi ruang partisipasi individu-individu;

(4) proses pemantauan yang akuntabel; (5)

penerapan sanksi yang berjenjang; (6)

adanya mekanisme penyelesaian sengketa;

(7) pengakuan atas hak untuk

mengorganisasi diri; (8) adanya jaringan

usaha bersama.

Beberapa prinsip pokok pengembangan

kelembagaan lokal yang kuat dalam kasus

pengelolaan sumberdaya milik bersama di

Nepal (Hobley & Syah, 1996) : (1) batas-

batas areal pengelolaan yang ditetapkan

secara jelas baik secara formal administratif

maupun secara kultural; (2) adanya ukuran

dan konstituensi, yaitu penetapan kelompok

sosial yang menjadi subjek berdasarkan

konsensus; (3) penguatan kelembagaan

lokal yang sudah eksis; (4) pengakuan

tentang hak-hak hukum kelompok yang

mengelola; (5) penerapan sanksi berjenjang;

(6) adanya relasi antara sumberdaya dan

kebutuhan kelompok; (7) adanya insentif

untuk perolehan manfaat sebagai buah dari

investasi; (8) partisipasi dalam formulasi dan

penetapan aturan main

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-25

Kasus-kasus pengelolaan lubuk larangan yang berhasil dan bertahan lama (persisten) di Kabupaten

Mandailing Natal berdasarkan kajian Zulkifli Lubis dkk (2002) didukung oleh proses siklikal implementasi

modal sosial yang dijalankan melalui delapan langkah pengelolaan seperti diuraikan di bawah ini.

Skema 1. Hubungan siklikal komponen modal sosial

Sumber : Zulkifli Lubis dkk (2002)

Dengan mengacu kepada hubungan siklikal modal sosial seperti tergambar dalam skema di atas, maka

proses perancangan program Hutan Desa di desa-desa sekitar Tor Sihayo idealnya bisa berjalan melalui

upaya pengembangan hubungan saling percaya yang akan melahirkan sebuah jaringan sosial yang padu

sebagai unit pengelolaan, kemudian dengan basis jaringan sosial tersebut dikembangkan pula aturan-

aturan main (pranata) yang jika diimplementasikan secara berkeadilan akan memperkuat hubungan

saling percaya di antara elemen-elemen yang terhimpun dalam jaringan sosial tadi, dan demikian

seterusnya. Hubungan saling percaya bisa tumbuh jika dilandasi oleh adanya kejujuran, kewajaran

(fairness), sikap egaliter, toleransi dan kemurahan hati dari para individu atau unsur stakeholder yang

terlibat dalam perencanaan program. Dengan adanya rasa saling percaya di antara stakeholder yang

akan terlibat, maka dimungkin pula untuk mengembangkan partisipasi, hubungan resiprositas, juga

solidaritas untuk bisa terwujudnya kolaborasi/kerjasama. Bekerjanya elemen-elemen dasar jaringan

PRANATA

* nilai-nilai bersama

* norma & sanksi

* aturan-aturan

Kemurahan hati * * Keadilan

Toleransi* * Kolaborasi/Kerjasama

Sikap egaliter * * Solidaritas

* Kewajaran Resiprositas*

Kejujuran * * Partisipasi

KEPERCAYAAN JARINGAN SOSIAL

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-26

sosial tersebut menjadi modal penting bagi upaya bersama dalam menyusun aturan main atau pranata

yang berintikan nilai-nilai bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi serta aturan-aturan teknis yang

menjadi rujukan perilaku kolektif segenap unsur dalam jaringan sosial yang menjadi unit pengelolaan.

Aturan main (pranata) yang ditegakkan secara adil akan menumbuhkan dan menguatkan rasa percaya

antara sesama, yang pada giliran selanjutnya akan meneguhkan pula kekompakan dalam jaringan sosial.

Matrik 5.8. Langkah pengelolaan sumberdaya berbasis modal sosial

L-1 Untuk memulai proses pengelolaan sumberdaya alam berbasis modal sosial harus dipastikan terlebih

dahulu adanya objek sumberdaya alam yang kongkrit untuk dikelola. Sumberdaya alam tersebut tentu

haruslah yang bersifat aksesibel bagi suatu komunitas (baik secara fisik, kultural dan legal).

L-2 Mengembangkan ide atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya tersebut. Sebuah gagasan kadangkala

memerlukan proses panjang dalam pembahasan dan pematangannya, dengan memperhitungkan berbagai

aspek, kemudian ditetapkan sebagai sebuah pilihan cara dalam mengatasi suatu masalah

L-3 Menemukan konsensus atau kesepakatan di antara para pihak yang berkepentingan dengan keberadaan

sumberdaya tersebut, untuk mendapatkan komitmen dukungan atas pengelolaan sumberdaya sesuai

dengan sistem pengelolaan yang sudah dipilih.

L-4 Merumuskan tujuan pengelolaan. Tujuan pengelolaan harus jelas dan memungkinkan untuk dicapai

(attainable) dan dapat memenuhi kebutuhan bersama warga komunitas.

L-5 Menetapkan satuan sosial atau jaringan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan, yaitu mereka yang

akan menjadi partisipan aktif dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya.

L-6 Merajut pranata (institutions), baik berupa sistem nilai bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi maupun

aturan-aturan yang lebih teknis. Pranata atau sistem pengelolaan tersebut haruslah mendapat persetujuan

dari satuan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan. Juga harus terbangun suatu mekanisme penegakan

aturan dan sanksi (denda, sanksi sosial, dsb) atas tindakan pelanggaran.

L-7 Membangun hubungan saling percaya (tust). Hubungan saling percaya akan tumbuh ketika proses-proses

pengelolaan memberikan jaminan keadilan bagi semua pihak, dan dilakukan secara transparan.

L-8 Melakukan siklus pendayagunaan modal sosial dengan membangun kekompakan atau kesatupaduan

(cohesiveness) di kalangan jaringan sosial yang menjadi konstituen, meneguhkan pelaksanaan institusi,

memupuk kepercayaan, dan seterusnya secara berulang-ulang.

Sumber : Zulkifli Lubis (2002, 2006)

Terkait dengan tata cara permohonan hak pengelolaan hutan desa, dalam Pasal 13 Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa disebutkan bahwa permohonan hak

pengelolaan hutan desa diajukan oleh lembaga desa kepada gubernur melalui bupati/walikota dengan

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-27

melampirkan persyaratan : (a) peraturan desa tentang penetapan lembaga desa; (b) surat pernyataan

dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat;

(c) luas areal kerja yang dimohon; dan (d) rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa. Prosedur

administrasi selanjutnya untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan desa telah diatur dengan rinci

dalam Permenhut tersebut. Berdasarkan hasil kajian lapangan tentang konflik pemanfaatan sumberdaya

alam di kawasan Tor Sihayo, sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka proses

penyusunan rancangan program hutan desa di desa-desa sekitar Tor Sihayo perlu dilakukan dengan cara

mengkombinasikan langkah-langkah pengelolaan sumberdaya berbasis modal sosial seperti terurai

dalam Matrik 5.8. dengan prosedur yang ditetapkan sesuai Permenhut P.49/Menhut-II/2008.

Langkah 1. Penetapan sumberdaya alam sebagai objek pengelolaan

Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal melalui Dinas Kehutanan diharapkan berperan sebagai kunci

pembuka dalam soal ini, karena kewenangan dalam menetapkan kawasan hutan lindung yang bisa

dijadikan objek pengelolaan melalui skema Hutan Desa berada di tangan mereka. Dinas Kehutanan

dapat menentukan rancangan awal batasan kawasan hutan lindung di sekitar Tor Sihayo yang dapat

diusulkan menjadi objek pengelolaan hutan desa. Berikutnya adalah proses membangun kesepakatan

antara Dinas Kehutanan dengan aparat pemerintah Kecamatan Siabu dan pemerintah desa dari tiga

desa sasaran yaitu Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi II. Kesepakatan yang

dimaksud adalah berkenaan dengan kawasan hutan lindung yang termasuk dalam batas wilayah

administrasi desa, sebagai salah satu syarat administratif dalam pengajuan usulan program Hutan Desa.

Secara formal, seperti sudah disinggung di bagian terdahulu, kawasan hutan lindung di sekitar Tor

Sihayo hanya tercakup dalam wilayah administrasi desa Muara Batang Angkola. Namun berdasarkan

hasil kajian di lapangan diketahui bahwa ada tiga desa yang mengklaim hak-hak tradisional atas kawasan

tersebut, yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi II. Oleh karena itu, dalam

penetapan objek pengelolaan hutan desa di sini perlu mempertimbangkan aspek fisik, legal dan kultural,

sehingga pihak pemerintahan desa, camat dan dinas kehutanan kabupaten dapat membuat diskresi atas

implementasi Permenhut sebagai upaya antisipatif terhadap kemungkinan timbulnya konflik di masa

yang akan datang. Langkah ini diperlukan untuk memenuhi syarat administrasi sesuai Pasal 13 poin b

Permenhut 49/2008.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-28

Langkah 2. Menyusun pilihan-pilihan pola pengelolaan hutan desa

Proses ini mencakup penggalian ide-ide atau gagasan dan pengkajian terhadap sejumlah alternatif pola

pengelolaan hutan desa. Hal ini terkait dengan kebutuhan untuk menyusun rencana kegiatan dan bidang

usaha lembaga desa sebagai salah satu persyaratan dalam mengajukan hak pengelolaan hutan desa.

Permenhut 49/2008 telah memberikan batasan-batasan bentuk pemanfaatan kawasan hutan lindung

yang dikelola dengan skema hutan desa, yaitu mencakup pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa

lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Untuk pemanfaatan kawasan, jenis-jenis kegiatan

usaha yang dibolehkan antara lain budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, hijauan makanan

ternak, budidaya lebah, dan penangkaran satwa liar. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat

dilakukan melalui kegiatan usaha rotan, madu, getah, buah, jamur atau sarang walet. Sedangkan

pemanfaatan jasa lingkungan dapat dilakukan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air,

wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan,

penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

Penggalian ide dan kreativitas diperlukan dalam kaitan ini, mengingat pola pemanfaatan sumberdaya di

kawasan hutan lindung sekitar Tor Sihayo yang berlangsung selama ini sangat sedikit persamaannya

dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang diatur dalam Permenhut 49/2008. Seperti telah diuraikan

pada Bab II, domain utama pengelolaan lahan yang dilakukan oleh migran Nias di kawasan Tor Sihayo

adalah perladangan dan kebun campuran. Perladangan dilakukan pada tahap-tahap awal pembukaan

hutan dengan tanaman utama padi, jagung dan beragam jenis palawija yang ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan subsistensi dan sebagian untuk mendapatkan uang tunai. Kebun campuran dikelola sebagai

tahap lanjutan dengan tanaman utama berupa kemiri, kakao dan karet yang hasilnya ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan uang tunai. Sejauh ini tidak ditemukan misalnya budidaya lebah, penangkaran

satwa liar, pemeliharaan burung walet, atau budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur dan hijauan

makanan ternak. Fakta ini akan menuntun semua pihak untuk secara kreatif dan inovatif mencari

pilihan-pilihan usaha yang selaras dengan ketentuan Permenhut 49/2008 maupun kultur agraris yang

dikenal oleh warga komunitas yang akan terlibat dalam pengelolaan hutan desa kelak.

Sedikit pilihan yang relatif selaras dengan Permenhut adalah budidaya kemiri, kakao dan karet yang

sudah berjalan selama ini, yang dapat dipanen hasilnya berupa buah dan getah. Sedangkan jenis

budidaya lainnya seperti tanaman hias, tanaman obat dan jamur, selain memerlukan sosialisasi di

kalangan warga petani juga tentu harus disesuaikan dengan permintaan pasar yang bisa dijangkau.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-29

Rekayasa sosial dan reorientasi kultur agraria petani yang ada di kawasan Tor Sihayo juga diperlukan

untuk bisa menyelaraskan kebutuhan material (ekonomi) yang menjadi alasan utama mereka datang ke

kawasan ini dengan kebutuhan pemeliharaan fungsi hutan yang dituntut oleh Permenhut 49/2008. Satu

hal yang perlu dijadikan poin penting dalam proses ini adalah fakta bahwa warga yang membuka dan

melakukan aktivitas budidaya di dalam kawasan hutan lindung tidak berfikir dalam kerangka konservasi,

tetapi sebaliknya berfikir dalam kerangka pemenuhan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, pilihan yang

paling ideal adalah rekayasa kultur agraris yang dimata petani tetap bernilai ekonomi namun di sisi lain

ia juga bernilai konservasi. Proses penggalian ide dan gagasan untuk menemukan pilihan yang paling

tepat sebagai cara pemecahan masalah, baik masalah petani warga lokal dan migran Nias maupun

masalah penggiat konservasi, mungkin akan membutuhkan waktu relatif panjang, dan membutuhkan

kontribusi dari ahli-ahli pertanian dan kehutanan.

Langkah 3. Membangun konsensus tentang pola pengelolaan hutan desa

Penggalian ide-ide/gagasan dan pengkajian komprehensif terhadap pilihan-pilihan yang ada dan layak

untuk dikembangkan, sejatinya akan berujung pada pencapaian suatu konsensus atau kesepakatan di

antara para pihak mengenai pilihan bentuk pengelolaan yang akan diimplementasikan. Konsensus

tersebut juga mencakup format kelembagaan pengelola yang akan menjadi motor penggerak

pengelolaan hutan desa. Konsensus mengenai pola pengelolaan hutan desa maupun format lembaga

pengelola hutan desa menjadi bagian kesepakatan yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa.

Langkah 4. Merumuskan tujuan pengelolaan

Tahapan ini merupakan simpul dari Langkah 2, yaitu bagaimana para pihak yang terlibat dalam skema

pengelolaan hutan desa dapat merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari model pengelolaan yang akan

dilakukan. Tujuan yang ingin dicapai adalah terkelolanya kawasan hutan lindung yang tetap dapat

memenuhi fungsi pokoknya di satu sisi dan pada sisi yang lain dapat pula memberikan kontribusi bagi

pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitarnya.

Langkah 5. Menetapkan satuan sosial yang menjadi unit pengelola dan konstituen hutan desa

Permenhut 49/2008 menyebutkan bahwa pengelolaan hutan desa dilaksanakan oleh sebuah lembaga

pengelola hutan desa yang dibentuk dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa, merupakan organ

fungsional di dalam pemerintahan desa yang bertanggung jawab kepada kepala desa. Dalam tradisi

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-30

pengelolaan lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal lembaga demikian biasa dikenal dengan

Panitia Pengelola Lubuk Larangan, sebuah lembaga yang fungsional menjalankan sistem pengelolaan

lubuk larangan. Orang-orang yang duduk dalam kepanitiaan adalah mereka yang mendapat amanah dari

masyarakat desa melalui musyawarah, dan dalam kasus-kasus pengelolaan yang berhasil dan persisten,

selalu ditemukan fakta bahwa mereka ini adalah orang-orang yang amanah dan menjalankan tugasnya

secara adil dan transparan. Prinsip-prinsip pemilihan orang yang duduk dalam panitia lubuk larangan

dapat diadopsi dalam menyusun personalia lembaga desa pengelola hutan desa.

Hutan desa adalah ruang pengelolaan yang diberikan kepada masyarakat desa. Dengan demikian, satuan

sosial yang menjadi unit pengelolaan hutan desa adalah masyarakat desa yang bersangkutan. Warga

dari desa lain tidak dimungkinkan untuk menjadi bagian dari jaringan sosial pengelolaan hutan desa

kecuali setelah mendapatkan persetujuan dari hasil musyawarah desa. Dalam kaitan dengan kawasan

hutan lindung di sekitar Tor Sihayo yang kelak akan diusulkan melalui skema hutan desa, keberadaan

migran Nias yang tidak jelas status kependudukannya harus diselesaikan terlebih dahulu. Mereka dapat

diberikan pilihan untuk ikut dalam mekanisme pengelolaan hutan desa, yaitu dengan memenuhi syarat-

syarat mutasi kependudukan yang ditentukan atau dengan cara lain yang ditetapkan berdasarkan

kebijakan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, atau meninggalkan kawasan jika memilih untuk

tidak ikut dalam skema pengelolaan hutan desa.

Hak dan kewajiban warga masyarakat desa yang menjadi satuan sosial atau jaringan sosial pengelola

hutan desa harus dirumuskan dengan jelas dan dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa. Kejelasan

mengenai hal ini sangat penting untuk menjadi pedoman perilaku kolektif warga, sehingga masing-

masing pihak dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka dalam kaitan pengelolaan

hutan desa. Hak dan kewajiban warga bisa dikategorikan berdasarkan peran dan fungsinya dalam

pengelolaan hutan desa. Sebagai contoh, hak mereka yang aktif dalam lembaga desa pengelola hutan

desa diatur khusus, demikian juga hak mereka yang langsung terlibat dalam pengelolaan dan investasi di

lapangan, yang tentu akan berbeda dengan hak dari orang-orang yang hanya berlaku pasif atau tidak

terlibat langsung dalam pengelolaan hutan desa. Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban

dibuat aturan yang jelas agar setiap orang dapat mengetahui apa yang harus dilakukakannya sebagai

bagian dari satuan sosial atau konstituen pengelola hutan desa.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Bab

5: A

lte

rnat

if P

enye

lesa

ian

Mas

alah

V-31

Langkah 6. Merajut pranata atau aturan main

Tahapan ini sangat penting karena hasilnya akan menjadi pedoman perilaku kolektif warga dalam kaitan

pengelolaan hutan desa. Beberapa tahapan di atas secara simultan juga memerlukan adanya aturan

yang jelas, dan semua aturan yang diperlukan untuk menjamin terlaksananya pengelolaan yang adil dan

transparan merupakan bahagian dari proses merajut pranata. Hal paling pokok yang ingin ditekankan di

sini adalah bahwa proses merajut pranata atau aturan-aturan main tersebut harus dilakukan secara

partisipatif dan dikukuhkan melalui sebuah mekanisme permusyawaratan desa, dan hasilnya kemudian

dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa yang mengikat semua pihak terkait.

Langkah 7. Membangun hubungan saling percaya

Proses membangun hubungan saling percaya tersebut sesungguhnya berjalan secara simultan dari

tahap perencanaan sampai dengan implementasinya. Poin penting di sini adalah terciptanya suasana

dimana seluruh proses dan mekanisme yang dijalankan dalam skema hutan desa dapat menumbuhkan

rasa percaya di kalangan warga yang menjamin berlakunya pengelolaan yang adil dan transparan bagi

semua pihak. Hubungan saling percaya tersebut tidak hanya berlaku antara warga dengan lembaga

pengelola hutan desa, tetapi juga antara warga desa dan lembaga pengelola hutan desa dengan pihak

pemerintah yang memiliki otoritas atas kawasan hutan lindung. Adanya kekhawatiran sebagian warga

desa sekitar Tor Sihayo yang selama ini mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung bahwa

sewaktu-waktu pemerintah dapat mengusir mereka karena aktivitas ilegal yang mereka lakukan di

dalam kawasan hutan, adalah contoh tidak terbangunnya hubungan saling percaya. Dengan mekanisme

hutan desa, kekhawatiran demikian bisa hilang karena antara pemerintah daerah dan masyarakat desa

akan tebangun kesepakatan tentang pengelolaan kawasan, dan hal ini menjadi bagian penting dalam

proses membangun hubungan saling percaya.

Langkah 8. Melakukan siklus pendayagunaan modal sosial

Langkah ini merupakan tahapan penguatan atas proses atau mekanisme pengelolaan yang sudah

dijalankan sebelumnya. Dalam kasus pengelolaan lubuk larangan yang pesisten ditemukan bahwa siklus

pendayagunaan modal sosial tersebut merupakan kunci penting untuk keberhasilan. Sebuah kasus

pengelolaan yang semula berhasil bisa runtuh seketika apabila proses penguatan yang bersifat siklikal

itu berhenti. Masa kelola 35 tahun yang diberikan oleh Permenhut 49/2008 untuk skema hutan desa

merupakan masa yang cukup panjang untuk pengelolaan hutan desa berbasis modal sosial.

LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG

Conservation International Indonesia

Daf

tar

Pu

stak

a

1

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource

Projects in the South Pacific: Context, Principles, Tools and Training Materials, Overseas

Development Institute, London, 1998.

Anonimus, Taman Nasional Batang Gadis; Upaya Mewarisi Hutan bagi Anak Cucu, booklet, Pemkab

Mandailing Natal, Pemprov Sumut, BKSDA SU II, Gemmpar, CEPF dan CI-Indonesia, 2003.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Mandailing Natal Dalam Angka 2008

Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu Dalam Angka 2008

Dijks, Hans van, “Land Tenure, Territoriality, and Ecological Instability: A Sahelian Case Study”, dalam

Spiertz & Wiber (eds) The Role of Law in Natural Resource Management; VUGA, 1996.

Edi Ikhsan dkk, Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional, Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman

Nasional Batang Gadis, Penerbit Bitra Konsorsium dan USU Press, 2005.

Heru Sutmantoro dkk, Laporan Inventarisasi Pendudukan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Etnis Nias di

Blok Hutan Sihayo dan Sekitarnya, laporan tidak diterbitkan, 2009.

Hobley, Mary & Kishore Shah, What Makes A Local Organization Robust ? Evidence From India and

Nepal, Paper disajikan oleh Overseas Development Institute, 1996.

Lubis, Zulkifli dkk, Komunitas Migran Nias & Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatera di DAS

Batang Toru, laporan penelitian untuk Conservation International Indonesia, tidak diterbitkan,

2007.

Lubis, Zulkifli, Menyusun Peraturan Desa sebagai Investasi Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan

Mangrove, Kertas kerja disampaikan pada “Diskusi Mekanisme dan Langkah-langkah

Penyusunan Peraturan Desa” di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Langkat tgl 23

Januari 2006; diselenggarakan oleh JALA, 2006.

Lubis, Zulkifli dkk, Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk Larangan di

Sumatera Utara, Laporan penelitian Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK),

Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI, 2002.

Ostrom, Elinor, Crafting Institution,Self-Governing Irrigation Systems. San Fransisco: ICS Press,1992.

Lampiran 1.

Deskripsi etnografis komunitas migran Nias di kawasan Tor Sihayo,

Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal

Kluster permukiman

Diperkirakan terdapat 180 -250 KK migran Nias dengan jumlah penduduk sekitar 843 -1250 jiwa kini bermukim di

dalam kawasan hutan di sekitar Tor Sihayo. Mereka tersebar di sedikitnya 16 titik lokasi pembukaan hutan di lereng

maupun punggung bukit-bukit yang ada kawasan Tor Sihayo. Di sana mereka membuka hutan, berladang dan

mengusahakan tanaman pangan maupun tanaman komersial, juga bermukim dengan mendirikan pondok atau rumah-

rumah sederhana di sekitar petak bukaan hutan yang mereka kelola. Jarak antara pondok bisa berjauhan satu sama

lain, dan biasanya dihubungkan dengan jalan-jalan setapak melintasi hutan atau areal pertanian. Sebagian dari titik-

titik lokasi pembukaan hutan tersebut sudah berubah menjadi kluster permukiman, seperti di Aek Tombang, Banjar

Go‟o, Aek Simate-mate, Aek Sibarebe, PKB dan Tor Pulo. Kluster permukiman Tor Pulo adalah yang terbesar dan

relatif menumpuk di satu lokasi dan dihuni paling sedikit 95 KK.

Kluster permukiman Tor Pulo berada di gugusan bukit yang dulu bernama Tor Pangidoan Goreng, di sebelah atas

Tor Bulusoma yang menjadi tempat awal migran Nias di kawasan ini, dan letak permukiman ini diperkirakan berada

pada ketinggian sekitar 800-1000 meter di atas permukaan laut. Tor Pulo pada awalnya adalah nama yang diberikan

oleh penduduk setempat khususnya dari Tangga Bosi untuk menyebut permukiman orang-orang pendatang dari

Pulau Nias (biasa disebut penduduk setempat dengan julukan “alak Pulo” karena berasal dari Pulau Nias). Sebagian

besar penduduk migran Nias di lokasi ini secara administratif tercatat sebagai penduduk Desa Tangga Bosi II,

meskipun lokasinya terpisah jauh dan sudah tersekat oleh wilayah desa lain yaitu Muara Batang Angkola dan

Hutagodang Muda.

Lokasi kluster permukiman Tor Pulo berada di lereng bukit dengan kemiringan di atas 40 derajat. Di lokasi ini

terdapat rumah-rumah warga dalam beragam ukuran, yang paling sederhana biasanya terdiri dari dua ruangan yaitu

ruang keluarga dan dapur. Variasi lain ada rumah-rumah yang memiliki ruang tamu, kamar serta dapur. Ada juga

rumah yang merangkap sebagai warung yang menyediakan beberapa barang konsumsi sehari-hari seperti gula, kopi,

mi instan, jajanan anak-anak, rokok, dan lain-lain. Rumah yang merangkap sebagai warung biasanya menjadi tempat

berkumpul warga di waktu-waktu senggang, sambil minum kopi dan menonton televisi pada malam hari. Rumah

pada umumnya berlantai tanah, sebagian menggunakan lantai kayu, berdinding papan dan beratap seng. Beberapa

rumah yang menjadi hunian warga masih menggunakan atap terpal, yang digunakan sebagai atap sementara

menunggu mereka mampu membeli seng. Bahan-bahan kayu bangunan rumah diambil dari hutan di sekitarnya.

Selain bangunan rumah, di kluster permukiman Tor Pulo terdapat dua jenis sarana publik yaitu bangunan sekolah

dasar dan gereja. Bangunan sekolah dasar terdiri dari dua ruangan kelas, dibangun secara swadaya oleh warga.

Bangunan tersebut sudah beratap seng, berdinding papan pada sepertiga bagian bawah, dan menggunakan bangku

dan meja panjang sebagai tempat belajar. Di sebelah bangunan sekolah terdapat lapangan bola volley yang biasa

digunakan oleh remaja dan pemuda pada sore hari. Bangunan publik lainnya adalah gereja, yaitu gereja GKPPDI dan

BNKP. Kedua bangunan gereja ini berdinding papan, beratap seng dan berlantai tanah.

Sarana penerangan yang ada adalah lampu minyak tanah dan listrik menggunakan genset. Beberapa warga membeli

generator listrik secara berkelompok, dan pada malam hari dihidupkan dan didistribusikan ke rumah-rumah anggota

kelompok. Bahan bakar dibeli oleh anggota secara bergantian, dan secara bergiliran mereka bertugas mengurus

genset masing-masing kelompok. Arus listrik digunakan untuk menyalakan lampu, televisi dan tape recorder, juga

untuk pelayanan kebaktian di gereja pada waktu-waktu tertentu. Karena lokasi permukiman ini dapat terjangkau

oleh sinyal telepon seluler, keberadaan listrik juga membantu penggunaan telepon genggam yang dimiliki oleh

sebagian warga. Dengan keberadaan televisi dan jaringan telepon selular tersebut, warga Nias yang bermukim di

Tor Pulo tidak terisolasi dari arus informasi dan komunikasi meskipun jarak permukiman mereka lebih 8 km dari

Muara Batang Angkola dan harus ditempuh melalui medan yang sulit.

Asal-usul migran Nias

Sebagian besar warga Nias yang ada di Tor Pulo masih kelahiran Pulau Nias, dan pada umumnya datang dari daerah

Nias Utara, seperti Ombolata Langi, Dima, Alasa, Makaru Esiwa,Iraono Lase, Hiliduria, Simalu Banua, Idano

Ndrawa, Lolo‟mboli, dan sebagainya . Di antara mereka ada yang langsung merantau dari Pulau Nias, tetapi ada juga

sebagian kecil yang pindah dari daerah perantauan awal di Tapanuli Selatan maupun dari luar Sumatera Utara. Sama

seperti pola perpindahan yang diteliti Zulkifli Lubis dkk di daerah Batang Toru (2007), migran Nias di Tor Pulo juga

terikat satu sama lain oleh hubungan kekerabatan atau sekampung asal di Pulau Nias. Jaringan kekerabatan inilah

yang menjadi jalur informasi utama yang memungkinkan terjadinya perpindahan mereka ke daerah ini. Pola-pola

pemukiman di Pulau Nias pada umumnya juga terikat historis dengan kelompok-kelompok kekerabatan tertentu,

dan pola-pola seperti itu pula yang kemudian diadopsi di daerah permukiman baru di luar Pulau Nias, termasuk di

kawasan Tor Sihayo.

Hubungan kekerabatan

Dalam kebudayaan Nias garis keturunan dirunut mengikuti garis bapak atau patrilineal yang ditandai oleh pewarisan

„mado‟ (marga) sebagai identitas klen patrilineal. Faktor hubungan kekerabatan karena kesamaan klen (hubungan

darah) menjadi alur utama bagi warga migran Nias yang mencari daerah perantauan. Selain itu, mereka juga

menggunakan jalur kekerabatan berdasarkan perkawinan sebagai rujukan. Berdasarkan kedua hal itu, hampir semua

warga migran Nias yang ada di kawasan Tor Sihayo, menurut keterangan dari salah seorang informan, dapat

ditelusuri hubungan kekerabatan di antara mereka. Sebagai contoh berikut ini digambarkan hubungan kekerabatan

dari beberapa keluarga yang ada di Tor Pulo.

Kelompok keluarga bermarga Zalukhu yang ada di dusun ini terkait kekerabatan satu sama lain, mereka

berasal dari Ombolata Langi, Dima dan Alasa. Ama Ga‟ari bersaudara kandung dengan Ama Heri dan Ina

Gauco. Mereka berkerabat dekat dengan Ama Fili, Ama Rius dan Ama Sedi; serta kelompok keluarga Ama

Supri dan Ina Bute.

Kelompok keluarga lain yang bermarga Gea yang berasal dari Makaru Esiwa, Iraono Lase yang terdiri dari

Ama Ari dan Ama Untung yang bersaudara kandung, yang lebih dulu datang ke Tor Pulo kemudian disusul

oleh Ama Harapan, anak dari saudara mereka di Nias. Ama Suka Gea dan anak-anaknya yaitu Ama Dewi,

Ama Iruti dan Ama Fandi adalah kerabat dari keluarga Gea yang disebutkan di atas; juga bertalian kerabat

dengan Ama Sabar.

Kelompok keluarga bermarga Zega yang berasal dari Hilinduria, terdiri dari: Ama Pian, Ama Neti dan Ama

Robert dan Yeris Zega yang bersaudara kandung; juga Ama Teti dan Ama Ramala yang bersaudara

kandung, serta Ama Weni yang merupakan anak dari Ama Ramala. Ada keluarga Zega lainnya yang berasal

dari Lolomboli, yaitu Ama Mare dan anak-anaknya Ama Dewi dan Ama Eru.

Ada kelompok keluarga bermarga Harefa yang seluruhnya bersaudara kandung berasal dari Siwalu Banua,

terdiri dari Ama Heri, Ama Iman, Ama Keri dan Ama Remi.

Dengan fasilitas telepon seluler yang dapat menjangkau kluster permukiman Nias di Tor Pulo, proses komunikasi

mereka dengan sesama kerabat di kampung halaman maupun di daerah lain menjadi semakin mudah. Salah seorang

keluarga bermarga Gea yang masih relatif baru menetap di Tor Pulo mengaku datang ke daerah ini setelah

menghubungi kerabatnya di sini yang memberikan informasi tentang peluang usaha yang masih bisa dilakukan.

Sebelumnya ia bekerja di daerah Riau, dan kemudian memutuskan untuk datang ke Tor Pulo setelah berhenti dari

pekerjaannya.

Pertalian kekerabatan itu pula yang memungkinkan bagi keluarga pendatang baru untuk bertahan selama ia belum

mendapatkan hasil dari ladang yang dibukanya, karena saling tolong-menolong antar kerabat masih kuat di kalangan

warga migran Nias. Kerabat yang menjadi rujukan di Tor Pulo menjadi tumpangan sementara bagi pendatang baru,

demikian seterusnya ia juga kelak akan membantu kerabat lainnya yang ingin datang menyusul.

Jaringan sosial dan keagamaan

Migran Nias yang bermukim di Tor Pulo menghabiskan banyak waktu mereka untuk mengerjakan pekerjaan-

pekerjaan rutin di ladang, karena itulah sumber ekonomi satu-satunya bagi mereka untuk menyambung nafas

keluarganya. Pola pengelolaan ladang pada umumnya dikerjakan sendiri-sendiri oleh anggota keluarga dan hanya

sedikit arena dan tahapan pekerjaan di ladang yang masih mereka kerjakan secara gotong royong. Waktu yang

mereka curahkan untuk bekerja di ladang berlangsung hampir sepanjang siang hari, karena itu pada masa-masa itu

rumah-rumah penduduk di dusun Tor Pulo biasanya sepi dan ditinggali hanya oleh anak-anak.

Namun demikian, warga Nias di sini cukup aktif dalam kegiatan keagamaan, dan semua keluarga Nias pasti terikat

secara keanggotaan dengan salah satu gereja yang ada. Semua warga Nias di dusun Tor Pulo beragama Kristen, dan

mereka terbagi ke dalam dua kelompok jemaat yaitu gereja BNKP dan GKPPDI. Kegiatan-kegiatan kebaktian rutin

maupun pada hari-hari besar tertentu selalu diikuti oleh warga jemaat. Keterikatan kepada gereja bukan hanya

untuk memenuhi tugas peribadatan mereka sebagai ummat Kristiani, tetapi karena di sana juga terbangun jaringan-

jaringan sosial yang memfasilitasi aneka kebutuhan mereka dalam kehidupan sosial, misalnya terkait dengan

peristiwa perkawinan dan kemalangan. Perkumpulan tolong-menolong dalam peristiwa gembira maupun suka

dikelola juga melalui lembaga gereja, dimana setiap keluarga jemaat dipungut iuran-iuran tertentu secara berkala.

Selain melalui jaringan keagamaan, sebagian warga Nias yang ada di Tor Pulo juga bergabung dalam asosiasi sukarela

yang dibentuk oleh para perantau Nias di daerah Mandailing Natal. Ada dua asosiasi sukarela yang menghimpun

perantau Nias yaitu IKMN (Ikatan Kekerabatan Masyarakat Nias) dan SPPN (Sarikat Persaudaraan Putra Nias).

Hanya beberapa orang yang aktif dalam asosiasi tersebut dan sebagian besar lainnya hanya menjadi anggota pasif.

Asosiasi berbasis etnis tersebut juga bertujuan memfasilitasi warganya dalam urusan-urusan sosial, seperti

kemalangan.

Pendidikan

Sebagian besar warga migran Nias yang ada di Tor Pulo tidak memiliki pendidikan formal yang melebih pendidikan

dasar. Mereka datang dari keluarga yang sederhana di Pulau Nias dan tidak sempat mengenyam secara memadai

pendidikan formal, lalu merantau ke Tor Pulo dengan fokus utama berladang. Anak-anak yang mereka bawa maupun

yang lahir di daerah ini juga tidak memiliki pendidikan yang memadai. Dari data yang dihimpun oleh kepala desa

Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, terlihat bahwa pada tahun 2008 terdapat sekitar 353 warga migran Nias

di kedua desa itu yang berusia di bawah 20 tahun; 102 orang diantaranya berusia di antara 5-9 tahun, 78 orang

berusia 10-14 tahun, 72 orang berusia 15-19 tahun. Mereka ini adalah penduduk yang sepatutnya berada di bangku

sekolah.

Persoalan pendidikan anak-anak migran Nias di Tor Pulo menjadi keprihatinan bagi beberapa orang pimpinan

komunitas migran Nias di sini. Secara swadaya mereka telah mendirikan bangunan sekolah dasar darurat di dusun

Tor Pulo, yang diasuh oleh 2 orang guru tamatan SMA dan bukan berlatar belakang kependidikan. Saat penelitian

lapangan dilakukan terdapat 82 orang anak yang belajar di sekolah ini. Tidak ada catatan berapa jumlah anak yang

sedang bersekolah di tingkat SLTP maupun SLTA, dan kalaupun ada mereka harus keluar dari dusun Tor Pulo.

Sekolah yang ada di Tor Pulo secara administratif dijadikan sebagai sekolah filial dari SDN 17442 Desa Muara

Batang Angkola. Murid kelas 6 yang akan mengikuti ujian akhir diwajibkan mengikutinya di Muara Batang Angkola,

sehingga anak-anak tersebut harus tinggal sementara di luar Tor Pulo.

Kepemimpinan

Komunitas migran Nias di Tor Pulo secara formal dipimpin oleh seorang kepala dusun, yang menjadi penghubung

warga dengan pemerintahan desa di Tangga Bosi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, sosok yang menjadi figur

sentral bagi migran Nias adalah pemimpin jemaat gereja, dan pemimpin dari kelompok-kelompok klen yang ada di

dusun ini. Mereka itulah yang menjadi pemimpin informal di dalam komunitas migran. Tidak jarang pula bahwa

kategori tersebut melekat pada diri seseorang, seperti Ama Untung (Julianto Gea), yang selain menjadi kepala dusun

di Tor Pulo, juga menjadi pemimpin jemaat di gereja GKPPDI, dan sekaligus juga menjadi orang yang dituakan dalam

keluarga berasal dari klen Gea di Tor Pulo, meskipun dari segi usia bukan dia yang tertua.

Orang yang dijadikan pemimpin dalam komunitas migran Nias tidak terkait lagi dengan senioritas berdasarkan usia

maupun berdasarkan dasar keturunan sebagaimana halnya menjadi tradisi bagi masyarakat Nias di Pulau Nias. Di

daerah perantauan seperti halnya di Tor Pulo, tokoh itu muncul ketika ia mampu menjadi orang terdepan yang

membela kepentingan warga komunitasnya, baik dalam urusan sosial di lingkungan komunitas, urusan keagamaan,

maupun urusan-urusan politik dan administrasi yang berhubungan dengan pihak-pihak lain di luar komunitas.

Beberapa nama lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh berpengaruh di kalangan migran Nias di Tor Pulo adalah

Ama Teti Zega, Ama Zilia Harefa, Ama Heri Zalukhu, Ama Fenima Zai dan Ama Wiwi Lase, semuanya berada di

Dusun I. Selain itu ada pula Ama Rius Zalukhu (kepala dusun II), Ama Filima Zai, Ama Vito Zega, Ama Gamawa

Zega, dan Ama Saba Gea, semuanya ada di Dusun II.

Orang-orang yang suka menolong warga dalam kesusahan, baik secara materi amupun pemikiran, termasuk dalam

barisan tokoh yang disegani oleh warga komunitas migran Nias. Beberapa diantaranya adalah Ama Albert Zendrato,

Ama Fili Zai dari kalangan migran Nias; juga ada nama Naja (Nazaruddin Pulungan) dan Tolib Hasibuan dari kalangan

warga Muara Batang Angkola. Dua nama yang disebut terakhir adalah pedagang pengumpul yang memiliki hubungan

ekonomi dan patron-klien dengan migran Nias di Tor Pulo. Warga Nias biasa berhutang keperluan sehari-hari

kepada kedua toke tersebut pada masa-masa paceklik. Selain itu ada juga nama Ama heri Harefa yang biasa menjadi

tempat meminjam barang emas atau uang di kalangan warga Tor Pulo. Pinjaman dalam bentuk uang maupun emas

harus dikembalikan dengan uang atau emas.

Adat istiadat

Meskipun berada di daerah perantauan, migran Nias di Tor Pulo masih berupaya untuk menjalankan adat-istiadat

yang mereka miliki dari tradisi di Pulau Nias. Pengaturan hubungan kekerabatan dan perkawinan masih merujuk

kepada aturan adat yang berlaku di Pulau Nias, demikian juga adat sopan-santun kekerabatan. Upacara perkawinan

juga dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku di Pulau Nias, meskipun dari segi nilai barang atau mas

kawin sudah disesuaikan dengan kondisi setempat.

Perkawinan pada umumnya masih berlaku antara sesama orang Nias, baik yang ada di kawasan sama maupun

dengan mengambil pasangan dari kampung halaman atau daerah lain. Pada saat penelitian ini dilakukan, akan segera

berlangsung sebuah upacara perkawinan antara seorang gadis dari Tor Pulo dengan jejaka yang bermukim di Riau.

Proses perkawinan tersebut akan diselenggarakan sesuai dengan adat Nias di Tor Pulo.