Perjuangan Agraria_Pelajaran dari Batang, Jawa Tengah

15
Kiprah PEWARTA dalam Perjuangan Agraria Pelajaran dari Batang, Jawa Tengah Sofian Munawar Asgart Pendahuluan Persoalan agraria merupakan salah satu masalah fundamental bagi suatu bangsa. Mochammad Tauchid (2007) menggambarkan urgensi persoalan ini dengan menyebutkan bahwa soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya. 1 Namun sayangnya, sepanjang sejarah kekuasaan formal Orde Baru, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang secara hakiki bertujuan mewujudkan keseimbangan distribusi penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia justru seringkali didiskreditkan dan didelegitimasikan sebagai produk PKI. Padahal, jika ditelusuri secara jernih ide-ide pokok yang mendasarinya, dan sejarah pembentukkannya, UUPA 1960 merupakan kebijakan nasional yang lahir dari kesepakatan semua unsur kekuatan politik yang hidup waktu itu, baik itu golongan nasionalis, Islam, sosialis maupun komunis. Menurut Sadikin Gani (2006) masalah ketimpangan dan konflik agraria yang terus mengemuka hingga kini merupakan warisan dari serangkaian politik agraria yang pernah diterapkan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga Indonesia merdeka di bawah Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, rezim yang mengklaim dirinya sebagai antitesis Orde Lama ini menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, di mana investasi modal menjadi motor penggerak utamanya. 2 Karena berbagai stigmatisasi itulah maka gerakan-gerakan advokasi atas tanah seringkali menghadapi sejumlah kendala dan bahkan menjadi tidak begitu populis di tengah masyarakat. Namun demikian, bukan berarti gerakan-gerakan semacam ini tidak ada. Pasca runtuhnya otoritarianisme Orde Baru bahkan gerakan-gerakan advokasi agraria mulai bangkit kembali di sejumlah tempat. Tulisan ini ingin memotret salah satu gerakan agraria yang dilakukan oleh Persaudaraan Warga Tani (PEWARTA), sebuah lembaga dimana penulis melakukan kegiatan magang akademik sebagai bagian dari salah satu tugas kuliah pada Program Konsentrasi HAM dan Demokrasi, Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Kelahiran PEWARTA dalam Konteks Sejarah Agraria Cerita-cerita adiluhung tentang masa keemasan kerajaan di Nusantara ternyata menyimpan banyak ironi. Salah satu ironi itu adalah persoalan agraria dimana hukum 1 Tauchid, Mochammad (2007). Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, PEWARTA, Yogyakarta. 2 Sadikin Gani, ―Tantangan Reforma Agraria‖ dalam situs http://rumakiri.net dengan link berikut: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

Transcript of Perjuangan Agraria_Pelajaran dari Batang, Jawa Tengah

Kiprah PEWARTA dalam Perjuangan Agraria

Pelajaran dari Batang, Jawa Tengah

Sofian Munawar Asgart

Pendahuluan

Persoalan agraria merupakan salah satu masalah fundamental bagi suatu bangsa.

Mochammad Tauchid (2007) menggambarkan urgensi persoalan ini dengan

menyebutkan bahwa soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan

manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup,

soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti perebutan

makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah,

mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya.1

Namun sayangnya, sepanjang sejarah kekuasaan formal Orde Baru, Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang secara hakiki bertujuan mewujudkan keseimbangan

distribusi penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria untuk mencapai keadilan

dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia justru seringkali didiskreditkan dan

didelegitimasikan sebagai produk PKI. Padahal, jika ditelusuri secara jernih ide-ide

pokok yang mendasarinya, dan sejarah pembentukkannya, UUPA 1960 merupakan

kebijakan nasional yang lahir dari kesepakatan semua unsur kekuatan politik yang

hidup waktu itu, baik itu golongan nasionalis, Islam, sosialis maupun

komunis. Menurut Sadikin Gani (2006) masalah ketimpangan dan konflik agraria yang

terus mengemuka hingga kini merupakan warisan dari serangkaian politik agraria yang

pernah diterapkan di Indonesia sejak jaman penjajahan hingga Indonesia merdeka di

bawah Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, rezim yang mengklaim dirinya sebagai

antitesis Orde Lama ini menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi, di mana investasi modal menjadi motor penggerak utamanya.2

Karena berbagai stigmatisasi itulah maka gerakan-gerakan advokasi atas tanah

seringkali menghadapi sejumlah kendala dan bahkan menjadi tidak begitu populis di

tengah masyarakat. Namun demikian, bukan berarti gerakan-gerakan semacam ini tidak

ada. Pasca runtuhnya otoritarianisme Orde Baru bahkan gerakan-gerakan advokasi

agraria mulai bangkit kembali di sejumlah tempat. Tulisan ini ingin memotret salah

satu gerakan agraria yang dilakukan oleh Persaudaraan Warga Tani (PEWARTA),

sebuah lembaga dimana penulis melakukan kegiatan magang akademik sebagai bagian

dari salah satu tugas kuliah pada Program Konsentrasi HAM dan Demokrasi,

Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Kelahiran PEWARTA dalam Konteks Sejarah Agraria

Cerita-cerita adiluhung tentang masa keemasan kerajaan di Nusantara ternyata

menyimpan banyak ironi. Salah satu ironi itu adalah persoalan agraria dimana hukum

1 Tauchid, Mochammad (2007). Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran

Rakyat Indonesia, PEWARTA, Yogyakarta. 2 Sadikin Gani, ―Tantangan Reforma Agraria‖ dalam situs http://rumakiri.net dengan link berikut:

http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

1

pertanahan saat itu sepenuhnya didasarkan atas feodalisme yang begitu memberatkan

rakyat. Dalam sistem feodalisme yang nyaris berlaku di seluruh Nusantara saat itu

tanah adalah milik raja secara mutlak. Bahkan bukan hanya tanah saja, rakyat adalah

milik raja juga. Rakyat laksana benda sehingga ia menjadi hamba yang dapat

digunakan untuk apa saja demi kepentingan dan kehormatan raja.

Sebagai illustrasi, misalnya, di Kerajaan Mataram baik di Yogyakarta maupun di

Surakarta dulu dinyatakan bahwa tanah itu ‖kagungan dalem‖. Artinya, tanah adalah

milik Sultan dan Sunan. Rakyat hanya sebagai deelbouwer (pemaro) dan hanya berhak

meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah. Hal serupa juga terjadi di Gorontalo.

Pada hari penobatan raja, para kepala adat (bete-bete) menyerukan ucapan di hadapan

raja, yang artinya kira-kira: ‖Angin, api, air, tanah, dan semua orang yang ada di sini

adalah kepunyaan seri paduka‖. Begitu juga di daerah-daerah lainnya hampir di

seantero Nusantara dimana raja memerintah, menganggap bahwa segala isi negerinya

–termasuk dan terutama tanah– adalah hak mutlak dari raja.

Pada kurun berikutnya, kedatangan VOC dan kolonialisme Belanda telah mengubah

pola pemilikan tanah. Penaklukan raja-raja Nusantara oleh Belanda sekaligus juga

berarti perampasan atas kekuasaan raja. Hak raja atas tanah dan tenaga rakyat dengan

beragam pengaturannya secara otomatis juga berpindah ke tangan pemerintah kolonial

Belanda. Pada tahun 1811, Raffles, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda berkata:

‖Raja-raja sudah hilang. Gubernurmen yang menggantikannya. Karena itulah

Gubernurmenlah yang menerima hak-hak yang dulu ada pada raja, yaitu hak memiliki

semua tanah, juga tenaga rakyat bilamana diperlukan‖. Pada saat itulah muncul

beragam pengaturan atas tanah yang didasarkan atas Ordonansi Belanda, seperti: Hak

Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht, serta Hak Pakai dengan segala implikasi dan

beban sosial-politik yang menyertainya.

Arah politik agraria kolonial dapat dilihat dari aneka produk hukum yang

dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian

sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh

perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia

Belanda. Agrarische Wet telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan

pertanian yang sekalgus menggusur areal pertanian rakyat. Sementara itu, hak-hak adat

masyarakat atas tanah diletakkan sedemikian rupa kepada kelompok feodal melalui

azas domeinverklaring. Kondisi ini menjadikan rakyat hidup dalam dua kewajiban yang

menghisap dan memberatkan.

Secara detil, Tauchid mendeskripsikan bahwa selama masa kolonialisme Belanda tanah

dan rakyat Indonesia diperas-habis untuk kepentingan Belanda. Produksi tani Indonesia

menurutnya merupakan andalan pemerintah Belanda dalam perdagangan dunia saat itu.

Bagi Belanda dan kaum modal asing lainnya, Indonesia merupakan sumber kekayaan,

hingga 15% dari penghasilan nasional negeri Belanda saat itu. Indonesia sungguh

menjadi gantungan hidup negeri Belanda sebagaimana diakui sendiri oleh Baud, salah

seorang menteri Belanda yang mengatakan bahwa ‖Java was de kruk, waarop

Nederland dreef‖.3 Di mata kolonialisme Belanda, Indonesia merupakan negeri agraris

yang penting. Namun justru karena itulah Indonesia menjadi menarik untuk dikuasai

dan diperebutkan. Kekayaan Indonesia dari beragam produk pertaniannya tidak

3 Ibid.

2

menjadi sumber kekayaan rakyat, karena politik pertanahan dipegang oleh kaum

penjajah.

Kehadiran Jepang di Indonesia juga telah menambah malapetaka dan penderitaan

rakyat. Obsesi Jepang menjadikan Indonesia sebagai benteng pertahanan menghadapi

Sekutu memaksa rakyat Indonesia untuk melipatgandakan hasil bumi agar Indonesia

–terutama Jawa– menjadi gudang dan sumber perbekalan perang. Untuk itu penanaman

bahan makanan digiatkan dengan mengerahkan rakyat secara massif. Rakyat bukan

hanya dipaksa menjadi romusha, tapi juga diwajibkan menyerahkan bakti berupa hasil

bumi dengan pungutan yang besar.

Riwayat kekejaman culturstelsel terulang kembali saat masa Jepang. Bahkan, tanah-

tanah partikelir oleh pemerintah Jepang dimasukkan dalam urusan pemerintah dengan

mengadakan Syiichi Kanri Kosha (Kantor Urusan Tanah Partikelir). Uang kumpenian

saat itu memang dihapuskan. Seolah-olah tanah partikelir itu semuanya dikuasai oleh

pemerintah dan tuan tanah seolah tak berkuasa lagi. Namun ternyata semua itu hanya

siasat untuk mengambil hati rakyat. Upaya ini ternyata hanya akal bulus Jepang untuk

memudahkan pengumpulan padi bagi keperluan cadangan perang menghadapi sekutu.

Kungkungan penjajahan fasis Jepang sebagai pengganti penjajahan Belanda

meninggalkan bekas-bekas kehancuran dan kelaparan serta malapetaka yang tiada tara.

Namun, di satu sisi, kehadiran Jepang telah memberi inspirasi tersendiri bagi bangsa

Indonesia. Belanda yang pada mulanya dianggap rakyat tidak dapat diganggu

kedaulatannya, ternyata bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jepang. Hal ini telah

membuka pikiran dan menimbulkan perasaan harga diri bahwa Belanda bisa dikalahkan

dan begitu juga Jepang hingga bangsa Indonesia mampu melucuti Jepang beberapa

tahun kemudian.

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria

tidak serta-merta terselesaikan secara menggembirakan. Kemerdekaan politik itu tidak

membawa dampak riil bagi masyarakat dalam mengakses tanah secara adil. Dalam

salah satu klausul perjanjian Konferensi Meja Mundar (KMB) Belanda bahkan

meminta jaminan atas tanah-tanah perkebunan (onderneming) yang masih dikuasainya

sebagai salah satu ‖kompensasi‖ penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Tanah-

tanah onderneming itu sebagian telah dinasionalisasi dan diberikan hak penguasaannya

kepada perusahaan-perusahaan besar. Sebagian lagi ada yang masih terlantar dan tidak

jelas penguasaannya meski telah dikapling-kapling oleh negara, kapital, maupun

masyarakat. Karena itulah pasca kemerdekaan Indonesia, tanah-tanah onderneming ini

banyak melahirkan persoalan sengketa tanah yang hingga kini belum kunjung jua

penyelesaiannya.

Direktur CSDS, Imam Yudotomo, menyebutkan bahwa rangkaian sejarah pertanahan di

Indonesia tersebut menunjukkan bahwa tanah sejatinya pada awalnya adalah milik

rakyat. Karena itu menurutnya penting untuk ‘memprovokasi‘ rakyat agar mereka

punya kepercayaan diri untuk melakukan perjuangan mendapatkan hak atas tanah.

Menurut Imam, melalui informasi seperti inilah CSDS bersama PEWARTA

memberikan bekal informasi agar para petani memiliki argumen dalam melakukan

perjuangan menuntut hak atas tanah. ‖Dengan informasi itu, petani bisa lebih

bersemangat dan punya argumen untuk melakukan tuntutan klaim tanah. Ini antara lain

dasar-dasar yang kita sampaikan ke kelompok petani,‖ ujarnya.4

4 Wawancara dengan Imam Yudotomo, Yogyakarta: 22 Mei 2010.

3

Senada dengan itu, Manajer Program PEWARTA, Rudi Casrudi menyebutkan bahwa

perjuangan gerakan reforma agraria semakin berat tantangannya. Oleh karena itu para

petani menyadari bahwa perjuangan untuk itu tidak bisa dilakukan secara sendirian.

Karena itu, mereka berupaya membangun kekuatan dengan mendirikan organisasi

petani. Inilah awal berdirinya PEWARTA (Persaudaraan Warga Tani). Menurut Rudi,

tujuan utama didirikannya PEWARTA adalah untuk menyejahterakan petani dengan

membangun organisasi kaum tani yang kuat. Menurutnya, dengan kehadiran organisasi

PEWARTA ini diharapkan dapat ikut mengawal petani dalam rangka memperjuangkan

kepastian hak atas tanah.5

Ihwal kelahiran PEWARTA sebagai organisasi petani yang berorientasi pada

perjuangan agraria ini Rudi Casrudi menjelaskan bahwa kehadiran PEWARTA di

pertengahan tahun 1998 tak lepas dari kiprah gerakan petani dan gerakan mahasiswa

saat itu. Menurut Rudi, selain aksi-aksi di jalan, sejumlah aktivis mahasiswa ada juga

yang live-in di tengah masyarakat petani, sekaligus belajar bersama petani terutama

terkait beberapa persoalan pertanahan yang muncul saat itu, baik di Yogyakarta

maupun di beberapa tempat lain di Jawa Tengah, terutama di Kabupaten Batang.

Berkat dukungan banyak pihak maka organisasi PEWARTA sudah berdiri, tapi

ternyata tidak cukup hanya berdiri. Organisasi harus difungsikan agar benar-benar

berjalan secara efektif. Harus ada pembagian tugas yang jelas, apalagi mengingat

bahwa dampingan saat itu lebih banyak di Batang sementara PEWARTA sendiri

memilih Yogyakarta sebagai basecamp-nya. ‖Yogya menurut pandangan teman-teman

lebih starategis untuk membangun organisasi dan bersolidaritas dengan

kelompok/organisasi lain. Ini penting dilakukan juga dalam rangka konsolidai dan

networing sehingga kita tidak seperti memakai kacamata kuda. Tapi kita juga ada

pembagian tugas, siapa yang bekerja di lapangan (Batang) siapa yang melakukan

kampanye lebih luas (di Yogya) karena di Yogya lebih terbantu dengan adanya LSM,

gerakan mahasiswa, para akademisi yang bisa memberi masukan kepada PEWARTA

sebagai organisasi petani. Ini antara lain keberuntungan bagi PEWARTA yang memilih

tinggal di Yogya,‖ ucap Rudi ketika menjelaskan kenapa PEWARTA memilih

kantornya di Yogyakarta.6

Keadilan Agraria dan Epistemologi Kekuasaan

Harold D Laswell dan Abraham Kaplan (1963) merumuskan kekuasaan sebagai

‖kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,

sehingga tingkat laku pelaku terakhir sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai

kekuasaan”.7 Sementara Van Doorn (1957) melihat kekuasaan sebagai “kemampuan

pelaku untuk menetapkan secara mutlak alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-

alternatif memilih pelaku lain”.8 Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi kekuasaan

memperlihatkan suatu hubungan yang bersifat tidak seimbang, dalam arti bahwa satu

pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari pelaku lain.

5 Wawancara dengan Rudi Casrudi, Yogyakarta: 15 Mei 2010.

6 Ibid.

7 Harold D. Lasswell, Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework for Political Inquiry,

Paperback, Yale University Press. 8 Van Doorn, J.A.A, (1957). ―De laatste eeuw van Indie. Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal

project‖ dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi

Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.

4

Dalam konteks masalah agraria, epistemologi kekuasaan tampak nyata bahwa rakyat

merupakan objek yang tuna-kuasa, baik di hadapan raja maupun di hadapan pemerintah

kolonial Belanda. Potret inilah yang antara lain dilukiskan Tauchid dalam bagian

pertama buku ini. Awalnya, semua tanah dikuasai raja, sementara rakyat yang

mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagian besar hasilnya.

Rakyat dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja karena segala

peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja sebagai pemegang

kuasa. Proses ‘penaklukan‘ rakyat oleh raja bisa dijelaskan dari ragam epistemologi

kekuasaan.

Max Weber, misalnya melihat otoritas kuasa bersumber dari tiga hal, yaitu: tradisional,

kharismatik, dan legal rasional. Sementara Gramsci menitikberatkan pada legitimasi

dan dominasi. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa

wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan

memang sudah sepatutnya. Secara timbal balik, legitimasi juga merupakan produk dari

hegemoni kekuasaan. Dengan mengutip beberapa ahli politik, Haryanto (2005)

membuat kategori teoretik kekuasaan sebagai berikut9:

Tokoh Teori Keterangan

Max Weber Legitimate

Domination Traditional, Charismatik, dan Legal Rational

Charles F.

Andrain

Legitimate

Teory

Traditional Legitimate, Ideologis Legitimate,

Personal Legitimate, Prosedural Legitimate,

Instruental Legitimate

Eksposisi konsep kekuasaan dalam konteks persoalan agrarian memang menempatkan

rakyat sebagai objek yang tuna-kuasa. Dalam ruang politik yang diktator-feodalistik,

misalnya, raja sebagai pihak yang berkuasa seringkali mengendalikan rakyat yang

dikuasainya lewat kekerasan fisik. Namun begitu, pelanggengan kekuasaan juga

dilakukan dengan modal simbolik. Jurgen Habermas salah seorang tokoh teori kritis

mengatakan bahwa bahasa merupakan medium dominasi dan kekuasaan. Artinya,

kekuasaan beroperasi efektif lewat kegiataan berbahasa, yakni lewat proses komunikasi

simbolik.10

Idiom-idiom simbolik seperti ‖manunggaling kawula gusti‖ merupakan

contoh penaklukan rakyat oleh raja. Dalam bahasa lain, Michel Foucault menyebutkan

bahwa arena kuasa tidak berakhir pada represi dari struktur politis, pemerintah, kelas

sosial yang dominan, melainkan menaruh perhatian pada mekanisme dan strategi kuasa,

bagaimana kekuasaan dipraktekkan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran, bahkan

menjadi ritual kebenaran yang terus direproduksi.11

Konsepsi kekuasaan itu pula yang dapat menjelaskan mengapa ―reproduksi‖

penderitaan rakyat begitu mudah dipindahkan dari tangan raja-raja ke pemerintah

kolonial Belanda saat VOC berhasil merebut kedaulatan agrarian dari tangan raja-raja

di seantero Nusantara. Tampaknya, pemerintah kolonial Belanda sangat paham

psikologi rakyat Indonesia dalam konteks penguasaan tanah. Mitologi ‖manunggaling

kawula gusti‖, ―raja tak pernah salah‖, dan idiom-idiom simbolik-mitologis kuasa Jawa

9 Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP UGM, Yogyakarta. 10

Jurgen Habermas (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a

Category of Bourgeois Society. The MIT Press, Germany. 11

Michel Foucault (1982). ―The Subject and Power‖ in Beyond Structuralism and Hermeneutics,

University of Chicago Press.

5

lainnya yang lebih memposisikan rakyat sebagai abdi telah mendorong langgengnya

cengkeraman pemerintah kolonial Belanda hingga ratusan tahun lamanya. Konsolidasi

kekuasaan kolonial bahkan dikuatkan lagi dengan dibuatnya ragam aturan (staatsblad)

agraria yang ‗komprehensif‘. Pada masa kolonial Belanda itulah kita menyaksikan

ragam peraturan agraria yang komplit, namun tentu saja semuanya menguntungkan

pemerintah kolonial Belanda sebagai pembuat kebijakan tunggal.12

Fenomena itu seolah menjustifikasi ―model strukturasi‖ sebagaimana diungkapkan

Anthony Giddens. Menurut Giddens, hubungan antara pelaku dan struktur berupa relasi

dualitas terjadi pada praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan

waktu yang mengarahkan kontinuitas dan transmutasi dari struktur untuk mereproduksi

sistem sosial. Dalam konteks ini, Giddens melihat tiga gugus besar struktur, yaitu:

1. Signifikansi menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana.

2. Struktur dominasi yang menyangkut skema penguasaan atas orang (politik) dan

barang (ekonomi).

3. Struktur legitimasi menyangkut skema peraturan normatif yang terungkap

dalam tata aturan hukum positif.

Eksposisi konsep strukturasi akan tampak dalam dimensi struktur sosial yang

mempertalikan struktur dengan domain teoretik dan implementasinya dalam tata aturan

yang terinstitusionalisasi. Secara sederhana, hal ini dapat disimak pada tabel berikut:

Struktur Domain Teoretik Aturan Institusi

Signifikansi Teori interpretasi nilai Peraturan simbolik

Dominasi Teori kekuasaan otoritatif Institusi politik dan ekonomi

Legitimasi Teori legitimasi normative Institusi legal/aturan hokum

Secara illustratif, Giddens membuat visualisasi diagram konsep strukturasi sebagai

berikut:

Kuatnya struktur dominasi yang dibangun pemerintah kolonial Belanda antara lain

tampak pada sejumlah aturan agraria yang masih langgeng.13

Bahkan, ketika Indonesia

memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak serta-merta

terselesaikan secara signifikan Kemerdekaan politik itu tampaknya tidak membawa

dampak nyata bagi masyarakat dalam penuntasan kasus-kasus pertanahan. Malahan

yang terjadi justru makin banyaknya sengketa tanah yang belum terselesaikan dari

12

Penjelasan lebih detil mengenai hal ini dapat disimak dalam Wignjosoebroto, Soetandjo (1994). Dari

Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di

Indonesia (1840-1870). Rajawali Press, Jakarta. 13

Peraturan Agraria pertama di Indonesia adalah Undang-Undang Nr.6 tahun 1952. Undang-undang ini

hanya menetapkan peraturan kolonial Belanda, yaitu ―Undang-undang Darurat Nr.6 tahun 1951 yang

berasal dari ―Grondhuur Ordonnantie‖ (Stbl.1981 Nr88) sebagai Undang-undang.

6

waktu ke waktu. Warisan kolonial dalam persoalan agraria bukan saja tampak dari

peraturan agraria yang masih berbau hukum kolonial, tapi juga dalam cara-cara

kolonial yang sudah terlanjur terstrukturasi dalam penanganan persoalan pertanahan

hingga kini.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat bahwa pendekatan

kekerasan dan teror masih sering dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik

agraria.14

Untuk tahun ini saja, misalnya, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik

agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini

tidak kurang dari 7.585 KK. Ini tetap saja angka minimal, sebab metode yang dipakai

dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada KPA

dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.15

Menyeruaknya beragam kasus dan konflik agraria memang perlu segera diantisipasi

dan diselesaikan secara serius. Ahli hukum pertanahan UGM, Maria SW Sumardjono

menilai bahwa permasalahan tanah selalu saja timbul karena kompleksitasnya

persoalan tanah selalu terkait banyak aspek. Tanah sebagai sarana pemenuhan

kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan serta merupakan sumber daya alam

yang langka itu menjadi rentan diperebutkan oleh banyak pihak.16

Menurut Maria,

persoalan ini selalu timbul karena kita belum memiliki disain reforma agraria yang baik

yang bisa menuntun kita menemukan jalan keluar yang adil bagi para pihak. Lalu

bagaimana persoalan agraria yang terjadi di Batang, Jawa Tengah dan bagaimana

PEWARTA memerankan dirinya sebagai organisasi petani yang punya konsen

terhadap persoalan agraria. Ulasan berikutnya akan membahas peran PEWARTA

dalam melakukan advokasi dan perjuangan hak atas tanah.

Kiprah PEWARTA dan Petani Batang

Batang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah terletak di jalur pantura 84

km sebelah barat kota Semarang. Terletak antara 6º 51' 46" dan 7º 11' 47" Lintang

Selatan dan antara 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Luas wilayah 78.864,16

Ha berpenduduk sekitar 694.453 jiwa atau dengan kepadatan 879 jiwa per km persegi.

Kabupaten Batang mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya karena memiliki

wilayah pantai, dataran rendah maupun pegunungan dengan ketinggian 0-2000m dpl,

menghasilkan komoditi perikanan, perkebunan seperti teh dan karet serta komoditi

perhutanan, terutama berupa kayu jati dan gondorukem.17

Meskipun petani menjadi mayoritas mata pencaharian penduduk, namun hal ini tidak

diikuti dengan baiknya kualitas hidup para petani. Ini antara lain ditunjukkan oleh

timpangnya kepemilikan tanah di Kabupaten Batang. Rizza Kamajaya (2007) misalnya

14

Dalam laporan tahunannya, misalnya KPA mencatat tertembaknya 12 petani di Kab. Ogan Ilir,

Sumatera Selatan oleh pihakkepolisian Desember 2009, sebelumnya 10 petani Takalar di Sulawesi

Selatan juga dilaporkan tertembak pada Agustus 2009, dan dua orang Petani Ujung Kulon, Banten pada

Mei 2009. Tahun ini dilaporkan 3 orang petani Bangun Purba, Rokan Hulu, tewas akibat penganiayaan

security (pamswakarsa) PT.SSL. Ini adalah bukti masih dipakainya cara-cara primitif oleh pemerintah

seperti penembakan, pembakaran, penganiayaan, penculikan dan bentuk intimidasi lainnya untuk

menakut-nakuti rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya dalam menyelesaikan sengketa agraria 15

Laporan Akhir Tahun 2009, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dapat disimak pada link berikut: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1 16

Maria SW Sumardjono (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit

Buku Kompas, Jakarta. 17

http://www.batangkab.go.id/index.php?nav=com_menu&id=2

7

mengungkapkan bahwa peta pertanahan diKabupaten Batang lebih merupakan warisan

kepemilikan dari paea land lord dengan tradisi feodal yang masih kuat. Ironisnya,

meskipun Indonesia telah merdeka, penguasaan tanah itu bukan kembali kepada rakyat,

namun justru jatuh ke tangan pemilik modal serta korporasi negara yang dibackup oleh

aparat militer.18

Tak heran jika kemudian persoalan agraria di Kabupaten Batang sejak

lama telah memunculkan perlawanan petani yang cukup massif.

Muhammad Qodari (2003) menyebutkan bahwa gerakan reclaiming tanah petani di

Kabupaten Batang semula bersifat sporadis, dalam artian tidak atau belum terorganisir

dan berlangsung secara terpisah di sejumlah desa atau kumpulan desa. Namun

selanjutnya gerakan ini menjadi terorganisir dengan dibentuknya Organisasi Tani Lokal

(OTL) sebagai wahana perjuangan petani. Satu OTL dapat terdiri dari satu desa atau

gabungan beberapa desa sekaligus. Untuk memperkuat gerakan bersama, pada 2 Juni

2000 empat OTL bersepakat membentuk sebuah organisasi payung yang dinamakan

Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB). Kini, anggota FPPB berjumlah 7 OTL.19

Nama OTL Jumlah Anggota Lawan

Pesedeluran Petani Penggarap

Perkebunan Tratak (P4T)

521 KK PT. Tratak

Paguyuban Patani Sido Dadi

(P2SD)

1.113 KK PT.Segayung

Petani Kebumen dan Simbang

(Kembang Tani)

853 KK PT. Ambarawa Maju

Paguyuban Petani Korban PT.

Pagilaran (P2KPP)

1.516 KK PT. Pagilaran

Petani Sido Makmur (PSM) 437 KK PT. Estu Subur

Petani Maju Kurang Tanah

(PMKT)

435 KK PT. Estu Subur

Paguyuban Patani Sido Mulyo

(P2SM)

475 KK Haji Suwardjo

Sumber: diolah dari data dokumen FPPB

Seiring bertambah kompleksnya persoalan petani di Kabupaten Batang, jumlah OTL

pun terus bertambah. Selain ketujuh OTL di atas, belakangan juga muncul OTL baru

yang juga memiliki persoalan agraria. Beberapa OTL yang muncul kemudian adalah

Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan (PMGK), Paguyuban Petani Jati Rejo

(P2JR) di Kecamatan Tulis Kabupaten Batang, dan Paguyuban Petani Gringging Sari

Maju (P2GSM). Sebagaimana OTL yang lahir sebelumya, OTL ini pun memiliki

persoalan tanah, baik dengan pihak perusahaan perkebunan maupun dengan Perhutani

Kabupaten Batang. Dalam konteks perjuangan agraria itu pula, selain FPPB sebagai

organisasi payung OTL hadir pula organisasi Persaudaraan Warga Tani (PEWARTA)

yang juga turut membantu perjuangan petani di Kabupaten Batang.

Kehadiran PEWARTA –yang secara formal berdomisili di Yogyakarta— awalnya

diinisiasi oleh para aktifis mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang

bernama KAM dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang tergabung dalam

SEKAM. Para aktifis mahasiswa ini sering tinggal (live-in) di Batang terutama di

18 Kamajaya, Rizza (2007). Transformasi Strategi Gerakan Petani: Dari Gerakan Bawah Tanah

Menuju Gerakan Politik Formal Studi Kasus Gerakan Petani Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah,

Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

19 Qodari, Muhammad (2003). ―Sebuah Figur dalam Gerakan Petani Batang: Pengalaman dari Jawa

Tengah‖ dalam AE. Priyono et all (2003) Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto, Demos,

Jakarta.

8

rumah para warga yang ada OTL-nya. Dari persinggungan aktifisme inilah kemudian

PEWARTA lahir dan hadir bersama para petani dengan OTL-nya dan turut mengawal

perjuangan petani dengan segala persoalannya.

Ketua Badan Pelaksana PEWARTA, Dodi Uji Haryono, mengungkapkan bahwa

persoalan petani sejatinya sangat klasik. Persoalannya dari dulu hingga kini sebetulnya

tidak jauh bergeser yaitu soal lahan garapan. Persoalannya adalah keterbatasan lahan

bagi yang mempunyai lahan. Bahkan ada juga yang benar-benar tidak memiliki lahan.

Persoalan kedua, menurutnya adalah soal produksi tani mulai dari pengolahan tanah,

pupuk, hama, dan lain-lain. Dalam konteks ini petani sekarang menjadi sangat

tergantung pada obat-obat kimia yang bahkan dapat mengundang persoalan lain yaitu

kondisi tanah yang rusak. Persoalan kemudian soal distribusi hasil, karena akses

transportasi yang minim sehingga petani kesulitan menjual produksi hasil taninya

karena terkendala transportasi yang sulit. Karena itu, menurut Dodi, dari sisi harga

produk tani mereka tidak punya posisi tawar karena kalau lama menahan barang

akhirnya akan rugi. Persoalan lain soal budaya organisasi dimana petani belum terbiasa

berorganisasi, kalupun ada organisasi tani itu pun sangat monolitik seperti HKTI.

‖Iklim demokrasi belum sepenuhnya membuka cakrawala petani untuk berpikir keluar

dari tantangannya,‖ ujarnya.20

Senada dengan itu, Ketua Divisi Organisasi PEWARTA, M. Asari menyebutkan dua

tantangan utama yang dihadapi petani di kabupaten batang. Pertama, di level intern,

kurun waktu perjuangan pasca reformasi, gerakan petani mengalami kelelahan. Karena

kasus-kasus tanah tidak serta merta selesai pasca reformasi. Gerakan mereka lebih

reaksioner tanpa didasari pemahaman yang baik mengenai reorma agraria. Mereka

berharap setelah berhasil melakukan reklaiming persoalan tanah selesai, tapi ternyata

tidak. Dalam hal inilah kita harus memberi penyadaran kepda petani untuk memahami

persoalan reforma agraria secara lebih tepat. Kedua, di level ekstern, tidak ada

dukungan dari pemerintah terhadap gerakan petani, baik dari para eksekutif maupun

dari kalangan legislatif.21

Ketua OTL Subah, Batang Samsudin mengungkapkan bahwa selama menjadi petani

dirinya belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah, entah dari bupati maupun dari

DPRD. Ia bahkan menuturkan bahwa hingga kini pemerintah tidak punya perhatian

sama sekali terhadap penderitaan petani. Dalam banyak kasus pertanahan, pemerintah

baik di level eksekutif maupun legislatif tidak berpihak kepada petani, tapi lebih

berpihak kepada pemodal. Menurut samsudin, bukan saja dalam soal koflik pertanahan,

tapi dalam soal pendidikan untuk petani pun lembaga-lembaga pemerintah seperti

departemen pertanian, bahkan, tidak pernah memberikan penyuluhan bagi petani.

‖BPN, Departemen Pertanian, Perhutani, dan lain-lain itu tak ada gunanya bagi petani.

Justru organisasi seperti PEWARTA inilah yang seringkali membantu kami,‖ ujarnya.22

Ketua FPPB, Sugandhi, mengamini pernyataan itu. Menurut Sugandhi, pemerintah

bahkan seakan membiarkan para petani dikriminalisasi entah oleh pihak pengusaha

maupun oleh aparat pemerintah seperti kepolisian. Berbagai pelanggaran HAM,

menurutnya, sering dilakukan aparat pemerintah terhadap petani. ‖Kita sering dituduh

sebagai PKI, dirampas dan diusir dari tanah garapan, pengambilan tanah masyarakat

20

Wawancara dengan Dodi Uji Haryono, Batang: 5 Juni 2010. 21

Wawancara dengan M.Asari, Batang: 5 Juni 2010. 22

Wawancara dengan Samsudin, Batang: 6 Juni 2010.

9

oleh petani, dan lain-lain,‖ ujarnya.23

Dalam menghadapi berbagai persoalan seperti

itulah menurut Sugandhi, PEWARTA banyak membantu perjuangan petani. Oleh

karena itu, kiprah PEWARTA memang sangat banyak diharapkan oleh para petani di

Kabupaten Batang.

Ketua Badan Pengurus PEWARTA, Dodi Uji Haryono menyadari bahwa harapan

masyarakat, terutama kelompok petani di Kabupaten Batang berharap begitu banyak

atas kiprah PEWARTA. Mulai dari pendataan kasus, pelatihan pendidikan politik bagi

para petani, hingga pendampingan kasus-kasus atas pelanggaran HAM24

terhadap

petani menjadi rentetan agenda PEWARTA. Namun demikian, para pengurus

PEWARTA juga menyadari berbagai keterbatasan yang dimilikinya.‖Terus terang,

kami merasa berat untuk melakukan semua hal, karena itu PEWARTA mencoba

melakukan apa yang mampu kita lakukan, terutama menyangkut pendidikan petani,

baik formal maupun informal,‖ ujarnya.

Dodi kemudian menguraikan bahwa pendidikan formal yang dimaksudkan adalah

bentuk traning-traning advokatif soal keorganisasian, kepemimpinan. Model

pendidikan ini diberikan kepada petani dengan harapan agar ke depan para petani

mampu melakukan advokasi secara mandiri. Sementara pendidikan informal biasanya

dilakukan dalam pertemuan-pertemuan sosial yang intinya memberikan penyadaran.

Kegiatan ini biasanya dilakukan melalui pertemuan pertemuan informal seperti

selapanan, yasinan yang sekaligus dimanfaatkan untuk menyusun agenda atau paling

tidak informasi seputar kasus maupun problem produksi petani. ‖Kenyataannya,

pendidikan formal itu kalau tidak ditinjklanjuti dengan yang informal agak sia-sia. Para

petani justru lebih banyak memahami pada saat acara-acara yang bersifat informal.

Karena itu perlu disinegikan,‖ tambah Dodi.25

Dari berbagai upaya yang dilakukan PEWARTA, secara umum kiprah yang diperankan

PEWARTA bersama para petani di Kabupaten Batang dapat dikategorkan dalam empat

agenda utama, yaitu: 1) beragam pendampingan kasus, 2) upaya penyebaran informasi,

3) pendidikan para legal bagi para aktifis petani, dan 4) inisiasi transformasi gerakan

petani dari gerakan sosial ke gerakan politik formal.26

1. Pendampingan Kasus

Hingga saat ini sudah ada belasan kasus tanah yang terjadi di wilayah Kabupaten

Batang di mana PEWARTA turut ambil bagian dalam upaya penyelesaiannya.

Langkah pertama yang dilakukan PEWARTA dalam membantu upaya ini adalah

dengan melakukan identifikasi terhadap sumber konflik. Mulai dengan memetakan

posisi kasus, siapa saja pihak-pihak yang bersengketa, memantau perkembangan

atau progres yang dihasilkan hingga solusi yang dikehendaki para pihak. Kemudian,

PEWARTA juga berupaya menentukan bentuk pilihan advokasinya, apakah

misalnya melalui litigasi ke pengadilan atau pendampingan di luar hukum acara

pengadilan (non-litigasi). Ketua Divisi Organisasi, M. Asari mengungkapkan

bahwa pola pendampingan yang dilakukan PEWARTA biasanya bersifat dua arah.

‖Artinya, pengurus PEWARTA bisa proaktif turun ke bawah melakukan

anjangsana ke petani untuk menanyakan kasus atau bisa juga sebaliknya, petani

23

Wawancara dengan Sugandhi, Batang: 5 Juni 2010. 24

Beberapa kasus pelanggaran HAM terhadap petani di Kabupaten Batang yang mendapat pengawalan

PEWARTA dapat disimak pada table di bagian lampiran. 25

Ibid. 26

Dokumentasi berbagai kegiatan PEWARTA dapat disimak dalam lampiran.

10

yang datang biasanya ke Ketua PEWARTA untuk melaporkan kasus yang menimpa

dirinya atau kelompoknya,‖ ujar Asari.27

Asari juga menyebutkan bahwa berbagai upaya pendampingan kasus yang telah

dilakukan PEWARTA di satu sisi memang masih jauh dari harapan karena masih

banyaknya kasus yang belum tertangani secara tuntas. Namun demikian,

menurutnya, ada pula kasus-kasus yang pencapaian targetnya sudah lumayan sesuai

dengan yang diharapkan. ‖Dari segi pengetahuan, sudah mulai muncul pemahaman

mengenai reforma agraria terutama dari para pegiat dan pengurus organisasi tani.

Kedua, dari segi penguasaan tanah, ada beberapa keberhasilan misalnya di

Kecamatan Tulis dan Subah dimana sebagian petani sudah berhasil mendapatkan

hak atas tanah bahkan dengan sertifikasinya,‖ tambahnya.

2. Penyebaran Informasi

Dalam abad teknologi informasi sekarang ini, informasi menjadi senjata paling

penting yang dapat dimanfaatkan oleh siapa pun, termasuk juga oleh gerakan tani.

Oleh karena itu, dalam mengawal perjuangan petani, PEWARTA juga menjadikan

informasi sebagai salah satu andalan kekuatannya. Pemilihan Kota Yogyakarta

sebagai basis kantornya merupakan salah satu pilihan sadar PEWARTA bahwa

Kota Pendidikan ini dapat menjadi andalan tersendiri dalam menjaring informasi

dalam rangka membuat dan memperkuat strategi kegiatan untuk penguatan petani.

Dalam tataran lebih praksis lagi, upaya konkret yang dilakukan PEWARTA dalam

rangka penyebaran informasi ke petani adalah dengan membangun ‖Radio Puspita‖

bersama para aktifis petani di Kabupaten Batang. Nama ‖Puspita‖ sendiri dipilih

secara sengaja yang merupakan kepanjangan dari ‖pusat penyebaran informasi

tani‖. Ketua Radio Puspita, Sujono mengungkapkan bahwa pertimbangan

dibangunnya radio ini adalah adanya kebutuhan para petani atas informasi yang

cepat dan murah. ‖Kami para petani juga perlu informasi, karena itu ketika

PEWARTA menawarkan untuk membantu membuat radio kami sangat tertarik

karena kami anggap ini akan sangat membantu,‖ ujarnya.28

Mengenai bentuk acara radionya, Sujono mengakui bahwa Puspita tidak punya

acara yang muluk-muluk. Namun begitu ia yakin informasi yang disampaikan radio

Puspita yang on-air delapan jam sehari mulai pukul 14.00 – 22.00 itu sangat

bermanfaat bagi para petani. ‖Ada dialog dan tanya jawab soal kasus-kasus petani

yang biasanya diisi orang PEWARTA. Ada juga informasi lainnya soal pertanian,

seperti soal musim, pupuk, soal penanganan hama, dan lain-lain. Acara pokoknya

sebetulnya cuman hiburan, seperti wayangan dan musik, namun informasi-

informasi pertanian seringkali diselipkan dalam acara itu,‖ tambah Sujono.

3. Pendidikan Paralegal

Pendidikan paralegal yang dicanangkan PEWARTA berangkat dari suatu kesadaran

bahwa persoalan agraria yang dihadapi petani seringkali muncul dalam konteks

ranah hukum yang pelik. Paralegal kemudian diasumsikan sebagai pekerjaan

semilegal untuk membantu pekerja hukum (pengacara atau advokat) dalam

melakukan tindakan legal. Menurut Gunawan (2010) dalam medan perjuangan

kaum tani di lapangan agraria, paralegal diperlukan untuk menjawab minimnya

27

Wawancara dengan M.Asari, Batang: 5 Juni 2010. 28

Wawancara dengan Sujono, Batang: 6 Juni 2010.

11

tenaga advokat guna membela petani dalam konflik agraria.Oleh karenanya,

petugas paralegal yang dilahirkan dari kalangan petani sendiri diharapkan tidak saja

mumpuni menjadi asisten pengacara, tetapi juga mampu memberikan pendidikan

hukum kepada dampingannya (dalam hal ini petani) tentang apa saja hak-haknya,

baik hak konstitusional, hak asasi manusia, maupun hal legal.29

Dalam ulasannya, Riando Tambunan, menyebutkan bahwa pendidikan hukum

dengan tema ―Pendidikan dan Pelatihan Para Legal Untuk Petani‖ ini bertujuan

untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga tani terhadap hak-hak

mereka secara hukum atas tanah, dengan harapan bahwa peserta pelatihan akan

dapat melakukan kerja-kerja paralegal dalam rangka memperjuangkan hak atas

tanah sekaligus membela diri mereka dalam hal terjadi kriminalisasi terhadap

anggota organisasi. Meski demikian patut disadari bahwa pelatihan ini hanyalah

merupakan salah satu bekal tambahan bagi petani, karena utamanya perjuangan hak

atas tanah membutuhkan semangat, keberanian dan militansi dari kawan-kawan

petani itu sendiri. ―Materi-materi yang diberikan cukup bervariasi mulai dari materi

hukum sampai dengan politik agraria yang akhirnya ditutup dengan simulasi dan

praktek (mootcourt) seperti simulasi penangkapan, tehnik menjawab interogasi

pihak kepolisian serta proses pengadilan,‖ ujar Riando Tambunan.30

4. Transformasi Gerakan

Meskipun OTL baru terus bermunculan di Kabupaten Batang dengan beragam

tuntutannya, namun tidak serta persoalan agraria yang dihadapi para petani kunjung

berhasil. Malahan beberapa kasus yang telah ditangani dalam waktu yang cukup

lama mengalami kemunduran. Muisin, anggota FPPB di Desa Sengon, Kecamatan

Subah, Kabupaten Batang, misalnya menceritakan bahwa tanah garapannya yang

semula merupakan hasil reklaiming kini harus ia lepaskan kembali karena ia kerap

menghadapi teror. ―Kita sering diancam preman untuk meninggalkan lahan, ya …

akhirnya kita mundur,‖ ucapnya.31

Dalam banyak kasus di beberpa tempat di Kabupaten Batang, para petani yang

awalnya telah berhasil melakukan reklaiming masih harus menghadapi teror dari

preman, mandor, tokoh masyarakat, aparat desa, polisi bahkan tentara. Artinya

petani menggarap lahan dengan tidak tenang dan sewaktu-waktu bisa diusir tanpa

ganti kerugian. Karena itulah para aktifis PEWARTA memandang perlunya

melakukan terobosan cara melalui transformasi gerakan. Bahwa perjuangan

merebut hak atas tanah tidaklah cukup sebatas reklaiming, tapi juga membutuhkan

sebuah saluran/kanalisasi kebijakan politik sebagai penyelesaiaan lainnya. Salah

seorang inisiator PEWARTA, Seno Sudarsono memberi contoh bahwa dalam

penyelesaian konflik agraria perlu dukungan dan tekanan dari pihak legislatif dan

eksekutif.

Menurut Seno, gerakan sosial yang kuat dalam melakukan aksi-aksi massa

membutuhkan penyelesaian yang bersifat politik, mengingat sumber agraria adalah

bagian dari kekuasaan politik. Ia menambahkan bahwa konflik agraria di

Kabupaten Batang sebagai perebutan sumber daya alam akan mengalami kebuntuan

29

Gunawan (2010). Panduan Pendidikan Paralegal untuk Perjuangan Kaum Tani, Penerbitan bersama

CSDS, PEWARTA, IHCS, dan FES, Jakarta. 30

Simak: http://ihcs.or.id/s2/index.php?option=com_content&view=article&id=34:pelatihan-parelegal-

bagi-perjuangan-petani&catid=10:berita-ihcs&Itemid=6 31

Wawancara dengan Muisin, Batang: 6 Juni 2010.

12

jika hanya mengandalkan pada penyelesaiaan kasus lewat proses hukum legal

formal. Untuk itulah dibutuhkan perubahan pola gerakan dengan inisiasi

transformasi gerakan petani dari gerakan sosial ke gerakan politik formal. ‖Artinya,

organisasi tani tidak sebatas melakukan perluasan pendudukan/reklaiming tapi juga

melakukan lobby, negoisasi dan membuka komunikasi politik dengan para

pengambil kebijakan, seperti dengan kepala desa, anggota DPRD dan Kepala

Daerah/Bupati, dan bahkan kalau mampu mendudukkan kader-kadernya di jabatan

tersebut,‖ ujarnya.32

Tak heran jika pada perkembangan berikutnya para aktifis

organisasi petani di Kabupaten Batang kemudian terlibat dalam kontestasi politik

formal-elektoral, baik dalam perebutan Kepala Desa maupun turut terlibat dalam

pemenangan Pilkada.

Berbagai agenda dan ragam kegiatan yang telah dilakukan PEWARTA tentu tidak

serta-merta menuntaskan segenap persoalan yang dihadapi petani di Kabupaten Batang.

Ketua Badan Pengurus PEWARTA, Dodi Uji Haryono bahkan mengakui bahwa upaya

kiprah yang diperankan PEWARTA hanyalah satu segmen awal bagi upaya perjuangan

petani yang sesungguhnya. Menurutnya, kalaulah upaya seperti reklaiming itu mau

dianggap suatu ‘keberhasilan‘, maka itu sebenarnya adalah keberhasilan yang masih

bersifat sementara, karena kenyataannya masih banyak petani yang belum mampu

memanfaatkan tanahnnya. Mereka berpikir yang penting sudah dapat tanah tapi lalu

kemudian bagaimana. ‖Kita terus berupaya menyadarkan petani bahwa perjuangan

reforma agraria itu bukan hanya sekadar bagaimana mendapatkan hak atas tanah, tapi

bagaimana mendapatkan akses-akses yang lebih luas,‖ ujarnya.33

Dodi juga menyebutkan pentingnya menanamkan sikap-sikap yang lebih ‘politis‘

kepada para petani, karena sebenarnya muara persoalan tanah itu ada di situ. Pekerjaan

rumah lainnya yang harus menjadi agenda gerakan petani di Kabupaten Batang,

menurut Dodi adalah membangun kebersamaan diantara semua gerakan petani yang

ada sehingga kekuatannya tidak terpecah-pecah. ‖ini persoalan bagaimana membangun

dan membina organisasi tani agar kuat dan fungsional,‖ tambahnya.

Senada dengan itu, Imam Yudotomo, Direktur CSDS yang juga pendiri PEWARTA

memberikan otokriktiknya terhadap gerakan petani. Menurutnya, budaya organisasi

dalam gerakan petani masih masih lemah, termasuk di PEWARTA. Kelemahan

lainnya, menurut Imam adalah organisasi tani mudah terpecah-pecah karena rapuhnya

persatuan diantara mereka, termasuk kurangnya persatuan dalam kerja-kerja kolektif.

Padahal, menurut Iman hal ini penting untuk dimiliki petani. ‖Ini terbukti, misalnya

mekanisme kerja kolektif bisa menjadi jawaban. Contoh, transmigran Bali lebih banyak

berhasil karena mereka terbiasa dengan model kerja kolektif,‖ ujarnya.34

Selain itu,

kekurangan lainnya menurut Imam adalah petani kita cenderung cepat puas. ‖Setelah

mendapatkan tanah, mereka lupa tujuan dan ia malah menjual tanahnya. Beberapa hal

ini perlu menjadi bahan refleksi sekaligus dijadikan bahan koreksi untuk perbaikan

gerakan petani ke depan ‖ tambah Imam.

32

Wawancara dengan Seno Sudarsono, Yogyakarta: 10 Juni 2010. 33

Wawancara dengan Dodi Uji Haryono, Batang: 5 Juni 2010. 34

Wawancara dengan Imam Yudotomo, Yogyakarta: 22 Mei 2010.

13

Daftar Pustaka

Foucault, Michel (1982). ―The Subject and Power‖ in Beyond Structuralism and

Hermeneutics, University of Chicago Press.

Gani, Sadikin (2006) ―Tantangan Reforma Agraria‖ dalam situs: http://rumakiri.net

Gunawan (2010). Panduan Pendidikan Paralegal untuk Perjuangan Kaum Tani,

Penerbitan bersama CSDS, PEWARTA, IHCS, dan FES, Jakarta.

Habermas, Jurgen (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An

Inquiry into a Category of Bourgeois Society. The MIT Press, Germany.

Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP

UGM, Yogyakarta.

Kamajaya, Rizza (2007). Transformasi Strategi Gerakan Petani: Dari Gerakan Bawah

Tanah Menuju Gerakan Politik Formal Studi Kasus Gerakan Petani Kabupaten

Batang, Provinsi Jawa Tengah, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu

Sosial Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Konsorsium Pembaruan Agraria (2009). Laporan Akhir Tahun 2009, KPA, Jakarta.

dalam situs: http://www.kpa.or.id/

Lasswell, Harold D. and Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework

for Political Inquiry, Paperback, Yale University Press.

Qodari, Muhammad (2003). ―Sebuah Figur dalam Gerakan Petani Batang: Pengalaman

dari Jawa Tengah‖ dalam AE. Priyono et all (2003) Gerakan Demokrasi di Indonesia

Pasca-Soeharto, Demos, Jakarta.

Setiawan, Usep ―Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria‖, dalam Kompas: Edisi

17 November 2003.

Sumardjono, Maria SW (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan

Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

---------------- (1982). Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Jurusan Hukum

Agraria, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tauchid, Mochammad (2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan

Kemakmuran Rakyat Indonesia, PEWARTA, Yogyakarta.

Wignjosoebroto, Soetandjo (1994). Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:

Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (1840-1870).

Rajawali Press, Jakarta.

Wiradi, Gunawan (2009). Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa, IPB Press,

Bogor.

Wiradiputra, RA (1952). Agraria (Hukum Tanah), Penerbit Jambatan, Jakarta.

14

http://ihcs.or.id/s2/index.php?option=com_content&view=article&id=34:pelatihan-

parelegal-bagi-perjuangan-petani&catid=10:berita-ihcs&Itemid=6

http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

http://www.batangkab.go.id/index.php?nav=com_menu&id=2

http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1

Undang-undang Darurat Nr.6 tahun 1951

Undang-Undang Nr.6 tahun 1952

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960

Wawancara

Wawancara dengan Rudi Casrudi, Yogyakarta: 15 Mei 2010.

Wawancara dengan Imam Yudotomo, Yogyakarta: 22 Mei 2010.

Wawancara dengan Dodi Uji Haryono, Batang: 5 Juni 2010.

Wawancara dengan M.Asari, Batang: 5 Juni 2010.

Wawancara dengan Sugandhi, Batang: 5 Juni 2010.

Wawancara dengan Samsudin, Batang: 6 Juni 2010.

Wawancara dengan Muisin, Batang: 6 Juni 2010.

Wawancara dengan Sujono, Batang: 6 Juni 2010.

Wawancara dengan Seno Sudarsono, Yogyakarta: 10 Juni 2010.