KAJIAN KONFLIK KOMUNITAS LOKAL
ATAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
Laporan Penelitian
Bekerjasama dengan
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
2009
Kat
a P
enga
nta
r
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya laporan penelitian tentang
konflik komunitas lokal atas pemanfatan sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Batang Gadis
dapat diselesaikan. Penelitian ini berupaya memotret persoalan pendudukan kawasan hutan negara
yang berada di ujung sebelah utara kawasan Taman Nasional Batang Gadis oleh penduduk migran Nias
dan warga desa-desa sekitarnya yang terus berlangsung hingga sekarang dan mengancam kelestarian
kawasan. Pendudukan tersebut telah terjadi selama puluhan tahun, terutama di kawasan hutan lindung
dan akhir-akhir telah memasuki kawasan konservasi TNBG. Selain berpotensi mengancam kelestarian
sumberdaya alam di dalam kawasan, kehadiran penduduk pendatang Nias dan warga desa-desa sekitar
juga menyimpan potensi konflik horizontal yang perlu ditangani secara bijaksana agar tidak menambah
kerumitan persoalan penanganan kawasan hutan di masa yang akan datang.
Penelitian lapangan difokuskan di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal khususnya di desa-desa
yang berada di kawasan Tor Sihayo, yang mencakup Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda
dan Tangga Bosi II. Dari sejumlah kluster pemukiman Nias yang terdapat di kawasan hutan di sekitar Tor
Sihayo, telah pula dilakukan penelitian mendalam di Dusun Tor Pulo, salah satu kluster permukiman
migran Nias terbesar, untuk mendapatkan gambaran etnografis tentang penduduk migran Nias.
Pengumpulan data lapangan juga dilakukan melalui wawancara mendalam kepada tokoh-tokoh dan
warga masyarakat di desa-desa yang disebutkan di atas untuk mendapatkan gambaran mengenai
konsepsi dan pandangan mereka tentang keberadaan kawasan serta keberadaan migran Nias yang
menduduki kawasan hutan. Temuan lapangan menunjukkan bahwa potensi konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya alam bukan hanya terjadi secara vertikal antara komunitas lokal dan migran Nias dengan
pihak otoritas yang berwenang dalam penegakan hukum atas kawasan hutan, tetapi secara horizontal
juga antara antara komunitas migran Nias dengan penduduk asli, maupun antar warga komunitas desa-
desa yang memiliki klaim dan kaitan kepentingan dengan kawasan Tor Sihayo. Salah satu pilihan
moderat yang diusulkan untuk mengantisipasi konflik terbuka di masa depan adalah pengelolaan
kolaboratif kawasan khususnya hutan lindung melalui mekanisme hutan kemasyarakatan atau hutan
desa.
Kat
a P
enga
nta
r
ii
Penelitian ini dapat terselenggara atas dukungan dana dari Conservation International Indonesia. Pada
kesempatan ini tim peneliti menghaturkan terima kasih banyak atas kepercayaan yang diberikan, dan
juga atas dukungan segenap staf CII yang terkait langsung dengan program pelestarian Taman Nasional
Batang Gadis. Terima kasih juga disampaikan kepada para informan dan narasumber yang sudah
membantu proses pengumpulan data di lapangan, antara lain kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat dan
informan lainnya di Desa Tangga Bosi II, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola, serta tokoh-
tokoh dan warga migran Nias di Dusun Tor Pulo khususnya, serta seluruh informan lainnya yang telah
dengan terbuka memberikan informasi guna melengkapi pemahaman kami mengenai masalah
penelitian. Peneliti menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, dan oleh karena itu kritikan
dan masukan-masukan untuk penyempurnaannnya masih sangat diharapkan dari para pembaca.
Medan, Juni 2009
Tim Peneliti
Exe
cuti
ve S
um
mar
y
vii
EXECUTIVE SUMMARY
It had five years after Batang Gadis National Park which covered 108.000 Ha area in Mandailing Natal
District established through the Minister of Forestry Decree No. 126/Menhut-II/2004. The occupation of
state forest by local people and Nias migrants in and around Batang Gadis National Park is one of some
unresolved important problems up to this moment. The northern part of Batang Gadis National Park
which is known and called Tor Sihayo by the local communities is a case where Nias migrant have been
occupying the state forest since the end of 1970s. They came from Nias Island sporadically and entered
the protected forest near Tor Sihayo where they cultivated food crops and made a slash and burn
cultivation. Some of the local people from the adjacent villages also involved in clearing forest and
converted it into the farm land. However, the number of Nias migrants in this area is growing up year to
year and the state forest which can be converted to farm land by these ‘land hunter’ will be spread up in
the future, and this must be the real threats to the natural resources conservation efforts in national
park. The presence of Nias migrants also be able to raise a new social problems related to the potential
of social conflict between them and the indigenous people.
The research aimed to explore and figure out a comprehensive understandings of the conflicts over the
natural resources in and around the Batang Gadis National Park where Nias migrants and local residents
from the adjacent villages, mainly the village of Tangga Bosi, Hutagodang Muda and Muara Batang
Angkola --- all of them are the part of Siabu Sub-district--- are competing to claim forest resources.
However, the scarcity of land in their villages region that can be accessed by the local people and Nias
migrants is supposed to be the main reason why they entered the state forest. It is hoped that the
research will shows the pathway to resolve the conflict over natural resources in and around the national
park to make sure that the Batang Gadis National Park can be sustained and free from illegal
occupations and forest degradation, while the local people who face the economic problems due to the
shortage of farm land also will have another advantage of the presence of forest conservation and get
the opportunity to improve their economic conditions.
The research was being held in qualitative approach to grasp a deeper understanding about the real
phenomena related to the conflicting situation in the northern part of Batang Gadis National Park.
Fieldwork has done intensively at three villages of Siabu sub-district namely Muara Batang Angkola,
Hutagodang Muda and Tangga Bosi, the closest villages to the protected forest and northern part of the
national park, as well as at Dusun Tor Pulo, the biggest groups of Nias migrant forest dweller in the area
of the protected forest. In-depth interviews with local leaders, the villagers and forest dwellers, and also
participant observations as well as focused group discussions had conducted to collect primary data.
The research findings show that the occupation of the state forest near the Tor Sihayo area had started
since the end of 1970s by the Nias migrant in particular. It is predicted no less than 200 households with
the amount of more or less 1000 individual of Nias occupants now live in the protected region and even
some of them have been occupied some parts of national park. More than 500 hectares of forest land
Exe
cuti
ve S
um
mar
y
viii
had been degraded so far. Nias migrant cutting forest and cultivate some food crops, cacao, candlenut
and other annual crops, and some of them now adopt rubber plant. A few local residents had also
contributed to the process of the forest degradation. However, the presence of Nias migrant in Tor
Sihayo area have made a significant economic contribution in local market, and a patron-client
relationship has established between Nias migrant forest dweller and local merchants, especially in
Muara Batang Angkola village. It has a positive impact on the village level economic growth mainly for
Muara Batang Angkola, but on the other hand, it is also drive a negative effect which can be seen in the
strengthened of anti-Nias migrant sentiment and negative stereotyping on Nias migrant by the local
community. This phenomenon can be found easily between the local resident of Hutagodang Muda who
has a potential latent conflict with Nias migrant, and is predicted easier to be manifested in an overt
violence sometime in the future.
On the other hand, there are also potential conflicts among the villager of the three closest villages who
live in the vicinity of Tor Sihayo region. These three villages have the traditional claim based on their
communal laws over the forest. From the legal perspective, most of the forest areas which they claimed
as their communal property, in fact, are the main part of protected forest based on the national laws.
Most of the local people know the rules, but according to adat laws they believe they still have access to
use forest land, although the community leader of these three villages also have different opinions about
their own village border line. In other words, there are also overlapped claims among these villages over
the same forest land in Tor Sihayo, while the Nias migrant nowadays are the real occupants of the most
part of the protected forest or so-called as the communal forest claimed by the local people. Local
residents hope the government would be able to consider releasing the protected areas to the local
people, in order to give them an access to land as a legal way to deal with their economic problems. They
are involved in a conflicting interest of each other, while at the same time they realize that they should
also face the fact that local authorities will strictly control the state forest from illegal activities.
Based on the result of this research, it has been described there are some alternative actions that able to
be chosen as a pathway to resolve the conflict over natural resources in state forest areas around Tor
Sihayo. However, there is no reason to let the people occupied the conservation forest of Batang Gadis
National Park. In other words, based on the national laws all kinds of illegal activities should be
prohibited in any parts of conservation forests. The only one opportunity to compromise or to mix the
opposing needs for conservation and economic needs of the local people is recommended here through
the implementation of a collaborative management on protected forests surrounding the national park.
There are two legal options that can be chosen from the bundle of forest-related rules available from the
Minister of Forestry Decree, i.e. community forestry schema and the newest policy on village forest
schema. Based on this research, it is recommended to prefer to the village forest schema, based on a few
considerations below. First, in village forest schema the responsibility to manage protected forest
sustainably is relied on the village institution, not individual or group of individual like in community
forestry scheme. This schema has an advantage to strengthen the village institutions rather than give the
advantage to the individuals. Second, by giving the responsibility into the village institutions then the
village communities have a big opportunity to build their consensus on the management of the forest for
the benefits of all people in the village which could drive a stronger community support to participate in
Exe
cuti
ve S
um
mar
y
ix
collaborative management. Third, over thirty years some local communities who live in the river bank in
a few sub-district of Mandailing Natal District, have been developing a local wisdom on natural resources
management so-called “lubuk larangan”, a sustainable social capital-based communal resources
management which performed some benefits to the communities as well as environment. This form of
local wisdom can be replicated into the management of village forest. By doing so, the management of
village forest in state forest will culturally sound and then also hoped as economically equitable and
ecologically sustainable.
Exe
cuti
ve S
um
mar
y
x
RINGKASAN EKSEKUTIF
Taman Nasional Batang Gadis yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal sudah berusia lima tahun
sejak dikukuhkan berdasarkan SK Menhut No. 126/Menhut-II/2004 seluas 108.000 Ha. Salah satu
persoalan yang belum bisa diselesaikan sampai saat ini adalah kasus-kasus perambahan atau
pendudukan kawasan hutan yang terjadi di sejumlah tempat di sekeliling kawasan TNBG, yang dilakukan
oleh penduduk asli maupun pendatang. Kawasan Tor Sihayo yang berada di bagian ujung utara TNBG
merupakan salah satu contoh kasus dimana migran Nias dan penduduk lokal sudah menduduki kawasan
hutan lindung sejak puluhan tahun dan kini sudah mulai merambah masuk ke dalam kawasan hutan
konservasi. Selain menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan, ekspansi yang dilakukan warga membuka
lahan pertanian di dalam kawasan juga mengandung potensi konflik sosial antar komunitas, termasuk
antara komunitas lokal dengan migran Nias.
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dan menemukan gambaran/pemahaman yang komprehensif
mengenai akar permasalahan konflik penguasaan sumberdaya alam yang melibatkan komunitas migran
Nias dan penduduk asli di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, khususnya di sekitar Desa Tangga
Bosi, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola Kecamatan Siabu. Melalui penelitian ini diharapkan
dapat ditemukan alternatif pemecahan masalah yang bisa diterima oleh semua pihak terkait dengan
tujuan jangka panjang yaitu terbebasnya kawasan TNBG dari okupasi ilegal yang mengancam eksistensi
dan kelestariannya, dan pada waktu yang sama tersedia pula pilihan-pilihan pengembangan ekonomi
alternatif yang menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian lapangan dengan melakukan wawancara mendalam dan
pengamatan serta diskusi kelompok terfokus yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan warga dari
desa-desa tersebut di atas serta tokoh masyarakat dan warga dari migran Nias di Dusun Tor Pulo.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa pendudukan kawasan hutan di daerah Tor Sihayo sudah
berlangsung sejak akhir tahun 1970-an, khususnya oleh migran Nias yang masuk secara sporadis ke
daerah ini. Sampai sekarang diperkirakan jumlah mereka yang menghuni kawasan hutan lindung dan
sebagian taman nasional sudah mencapai sekitar 200 KK dengan perkiraan jumlah warga mencapai
kurang lebih 1000 jiwa, dan menduduki kawasan seluas lebih dari 500 Ha. Warga desa-desa sekitar juga
ikut membuka lahan pertanian di dalam kawasan hutan lindung. Migran Nias membuka hutan dan
mengkonversinya menjadi ladang dengan menanami tanaman pangan, dan sebagian menanam kakao,
kemiri dan belakangan ini sudah ada yang menanam karet. Sementara penduduk lokal biasanya
mengusahakan tanaman kakao, kemiri dan karet. Secara ekonomi, kehadiran penduduk migran Nias di
daerah Tor Sihayo telah memberikan kontribusi penting dan membuka lapangan usaha baru bagi
penduduk setempat, khususnya di desa Muara Batang Angkola. Hubungan patron-klien terbangun di
antara warga migran Nias dengan penguasa elit-elit ekonomi lokal, yang di satu sisi menguntungkan
sebagian elit desa tertentu, tetapi di sisi lain mengundang kecemburuan bagi warga dan penduduk dari
desa lain yang merasakan tidak adanya manfaat dari kehadiran orang Nias di daerah ini.
Exe
cuti
ve S
um
mar
y
xi
Di sisi lain, terdapat potensi konflik antara warga dari desa-desa yang ada di sekitar Tor Sihayo yang
sama-sama memiliki klaim historis terhadap kawasan hutan. Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang
Muda dan Tangga Bosi II memiliki klaim penguasaan yang tumpang tindih atas kawasan hutan yang kini
sudah diduduki oleh migran Nias. Penduduk dari ketiga desa ini memiliki kepentingan yang besar
terhadap kawasan hutan karena fakta sempitnya lahan pertanian yang masih bisa mereka akses,
sehingga mereka melihat kawasan hutan lindung merupakan sumberdaya yang bisa mereka kelola, yang
secara tradisional mereka klaim sebagai tanah milik komunal mereka, dan secara formal juga mereka
harapkan bisa dilepaskan pemerintah dari status kawasan hutan untuk dapat dimanfaatkan bagi
perbaikan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, potensi konflik horizontal terdapat di kalangan
migran Nias dengan penduduk lokal maupun antara pernduduk lokal dari desa-desa yang berbeda. Pada
sisi lainnya lagi, semua komunitas yang mengklaim penguasaan atas lahan tersebut harus berhadapan
pula dengan otoritas pemerintah yang berwenang mengelola kawasan hutan.
Berdasarkan hasil kajian ini, telah digambarkan beberapa alternatif penyelesaian masalah yang bisa
dipilih untuk memastikan tidak berlanjutnya praktik pendudukan kawasan hutan oleh penduduk lokal
maupun migran Nias. Solusi jalan tengah yang direkomendasikan adalah melakukan pengelolaan secara
kolaboratif di kawasan hutan lindung, sementara kawasan konservasi TNBG harus dibersihkan dari
tindakan okupasi oleh penduduk dari manapun. Ada dua skema yang bisa dipilih untuk model
pengelolaan kolaboratif tersebut yaitu skema pengelolaan hutan kemasyarakatan atau skema hutan
desa yang sudah memiliki dasar kebijakan dari Menteri Kehutanan. Tim peneliti lebih cenderung untuk
merekomendasikan pengelolaan kolaboratif dengan skema hutan desa, dengan harapan agar di masa
yang akan datang pihak desalah secara institutusional yang bertanggung jawab dalam pelestarian hutan,
bukan kelompok atau individu-individu yang dijadikan fokus. Dengan memberikan tanggung jawab
pelestarian ke desa, masyarakat desa dapat mengembangkan pranata atau aturan-aturan yang menjadi
rujukan bagi perilakukolektif sehingga mekanisme pendayagunaan modal sosial bisa berjalan dan sanksi-
sanksi sosial bisa efektif untuk meminimalisasi pelanggaran. Pilihan ini dinilai strategis mengingat
pengalaman desa-desa di pinggiran sungai besar di Kabupaten Mandailing Natal yang mengelola secara
lestari kawasan sungai dengan model lubuk larangan dapat dimodifikasi dalam bentuk pengelolaan
hutan desa. Kearifan penduduk lokal dalam mengelola sumberdaya alam melalui sistem lubuk larangan
dapat direplikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan dalam pengelolaan kolaboratif kawasan hutan
lindung melalui skema hutan desa.
Daf
tar
Isi
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………………. i
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………………………………… ii
Daftar Tabel ……………………………………………………………………………………………………………………………… v
Daftar Gambar…………………………………………………………………………………………………………………………… v
Daftar Matrik …………………………………………………………………………………………………………………………….. vi
Daftar Skema ……………………………………………………………………………………………………………………………. vi
Executive Summary ……………………………………………………………………………………………………………………. vii
Ringkasan Eksekutif …………………………………………………………………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………………. I-1
1.1. Latar belakang ………………………………………………………………………………………………………… I-1
1.2. Fokus kajian …………………………………………………………………………………………………………. I-2
1.3. Tujuan dan hasil yang diharapkan ………………………………………………………………………….. I-3
1.4. Metode penelitian ………………………………………………………………………………………………….. I-3
1.5. Pelaksana ……………………………………………………………………………………………………………….. I-6
BAB II POTRET ALAM DAN SOSIAL EKONOMI KAWASAN TOR SIHAYO ……………………………………… II-1
2.1. Lokasi dan keadaan alam ……………………………………………………………………………………….. II-1
2.2. Riwayat pembukaan hutan ……………………………………………………………………………………. II-3
2.3. Penduduk dan mata pencaharian hidup …………………………………………………………………. II-5
2.4. Kontribusi ekonomi ………………………………………………………………………………………………… II-9
2.5. Profil desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo ………………………………………………………… II-12
BAB III KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN TOR SIHAYO …………………………………………………………….. III-1
3.1. Status kawasan hutan …………………………………………………………………………………………. III-1
3.2. Klaim penguasaan oleh komunitas lokal ……………………………………………………………….. III-2
3.2.1. Klaim tanah ulayat desa Tangga Bosi ……………………………………………………… III-2
3.2.1. Klaim wilayah desa Hutagodang Muda ………………………………………………….. III-6
3.2.3. Klaim wilayah desa Muara Batang Angkola ……………………………………………. III-7
3.3. Klaim penguasaan oleh komunitas migran Nias ……………………………………………………… III-9
BAB IV ANALISIS KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA …………………………………………………………. IV-1
4.1. Faktor-faktor subjektif dalam konflik penguasaan sumberdaya alam Tor Sihayo….. IV-1
4.1.1. Silang kepentingan antar komunitas lokal …………………………………………….. IV-1
4.1.2. Komunitas lokal versus komunitas migran Nias …………………………….………
IV-5
4.1.3. Komunitas lokal dan migran Nias versus Pemkab dan BP-TNBG ……………. IV-8
Daf
tar
Isi
iv
4.2. Faktor-faktor objektif dalam konflik penguasaan sumberdaya alam Tor Sihayo ……. IV-14
4.2.1. Keterbatasan lahan ……………………………………………………………………………… IV-14
4.2.2. Pertambahan penduduk ………………………………………………………………………. IV-15
4.2.3. Peningkatan kebutuhan ekonomi ………………………………………………………….. IV-16
4.2.4. Proses penegakan aturan terkait pengelolaan hutan Negara …………………. IV-17
BAB V ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH …………………………………………………………………………… V-1
5.1. Tipologi konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan Tor Sihayo ………………………… V-1
5.2. Perspektif penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan TNBG ………. V-4
5.2.1. Konflik berdimensi vertikal ……………………………………………………………………. V-4
5.2.2. Konflik berdimensi horizontal ………………………………………………………………… V-5
5.3. Ragam alternatif penyelesaian konflik ………………………………………………………………….. V-5
5.4. Alternatif mekanisme pengelolaan kolaboratif …………………………………………………….. V-11
5.4.1. Mekanisme pembebasan kawasan konservasi TNBG ……………………………. V-11
5.4.2. Mekanisme penyelesaian melalui pengelolaan kolaboratif HL ……………… V-14
5.4.3. Alternatif model pengelolaan kolaboratif di kawasan Tor Sihayo ………… V-16
5.4.3.1. Skema hutan kemasyarakatan ……………………………………………………………. V-17
5.4.3.2. Skema hutan desa ……………………………………………………………………………. V-18
5.4.4. Mekanisme pengelolaan kolaboratif hutan desa melalui ……………………..
pendayagunaan modal social …………………………………………………………………
V-23
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………………………… 1
LAMPIRAN
Daf
tar
Isi
v
DAFTAR TABEL
2.1. Jumlah migran Nias di Desa Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, 2008 ……………….. II-6
2.2. Komposisi migran Nias usia 0-20 tahun di Tangga Bosi II dan Muara Btg Angkola, 2008… II-7
2.3. Luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah RT di desa-desa sekitar Tor Sihayo …………….. II-13
DAFTAR GAMBAR
1 Kluster pemukiman dan perladangan migran Nias di Dusun Tor Pulo …………………………… II-2
2 Areal hutan yang dibuka oleh migran Nias di dalam kawasan TNBG di hulu DAS Sihayo II-5
3 & 4 Aktivitas perladangan tanaman padi dan palawija ……………………………………………………….. II-10
5 Angkutan penyeberangan di Muara Batang Angkola ……………………………………………………. II-11
6 Seorang pencari ikan sungai dari Muara Batang Angkola …………………………………………….. II-17
7 Hasil kepala yang diolah menjadi kopra di Hutagodang Muda …………………………………….. II-17
8 Hasil tanaman kakao, kemiri dan pinang di Hutagodang Muda ……………………………………. II-17
9 Areal padi sawah di Tangga Bosi …………………………………………………………………………………. II-17
10 Pengrajin tikar pandan di Tangga Bosi ………………………………………………………………………… II-17
11 Salah satu warung pedagang pengumpul hasil pertanian di Aek Tombang …………………. II-17
DAFTAR MATRIK
1 Silang kepentingan antar komunitas local …………………………………………………………………… IV-2
2 Komunitas lokal versus migran Nias ……………………………………………………………………………. IV-7
5.1 Pembebasan kawasan dari aktivitas pertanian …………………………………………………………… V-6
5.2 Pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas pertanian …………………………………………………. V-7
5.3 Pembebasan kawasan TNBG dan pengurangan luasan HL ………………………………………….. V-9
5.4 Pembebasan kawasan TNBG dan pengelolaan kolaborasi HL …………………………………….. V-10
5.5 Karakteristik hutan kemasyarakatan dan hutan desa …………………………………………………. V-15
5.6 Pengelolaan hutan desa di kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi …………………… V-16
5.7 Analisis kelebihan dan kekurangan model HKM dan HD di kawasan Tor Sihayo ………… V-17
5.8 Langkah pengelolaan sumberdaya berbasis modal sosial ………………………………………….. V-26
DAFTAR SKEMA
1 Hubungan siklikal komponen modal sosial ………………………………………………………………….. V-25
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
1:
Pen
dah
ulu
an
I-1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Keberadaan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) secara formal sudah berusia lima tahun, yaitu
sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Menhut-II/2004 tanggal 29
April 20041. Taman nasional seluas 108.000 Ha yang terletak di wilayah Kabupaten Mandailing Natal,
Propinsi Sumatera Utara, itu merupakan satu-satunya taman nasional yang proses pembentukannya
berasal dari inisiatif masyarakat, pemerintah daerah bersama lembaga swadaya masyarakat
internasional. Dari awal pembentukannya taman nasional tersebut diproyeksikan sebagai sebuah
taman nasional yang model pengelolaannya dirancang secara kolaboratif, sehingga warga komunitas
lokal yang ada di dalam dan sekitar kawasan turut serta secara aktif dalam proses-proses yang
terkait dengan pengelolaannya.
Sampai memasuki usianya yang kelima TNBG masih mengalami berbagai kendala faktual di
lapangan, antara lain berkaitan dengan penetapan tata batas, adanya pembukaan hutan di dalam
kawasan dan juga ancaman melemahnya dukungan komunitas sekitar atas keberadaan dan
pelestarian sumberdaya alam di dalam kawasan. Tak bisa dipungkiri bahwa komunitas lokal yang
menghuni hampir 70-an desa di sekeliling TNBG sejak sebelum dibentuknya taman nasional telah
memiliki interaksi yang cukup tinggi dengan kawasan, khususnya dalam rangka menyangga
kebutuhan ekonomi penduduk, baik melalui aktivitas perluasan lahan pertanian maupun
pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu. Selain itu ada juga bentuk kolaborasi negatif yang
terjalin antara aktor luar dengan warga setempat dengan modus pembalakan kayu, meskipun
intensitasnya telah jauh berkurang seiring dengan penegakan hukum yang semakin tegas dari aparat
keamanan nasional.
Salah satu persoalan yang hingga kini belum bisa diselesaikan adalah keberadaan migran Nias yang
secara sporadis sudah mendiami beberapa bagian kawasan TNBG sejak pertengahan 1980-an,
misalnya di sekitar Tor Sihayo Kecamatan Siabu. Pembiaran terhadap keberadaan lebih dari 150-an
KK warga Nias yang berada di dalam kawasan tersebut akan menjadi ancaman yang serius terhadap
1 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.126/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung,
Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara seluas ±
108.000 (Seratus Delapan Ribu) hektar Sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan Fungsi Taman Nasional dengan nama
Taman Nasional Batang Gadis.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
1:
Pen
dah
ulu
an
I-2
keberlanjutan kawasan taman nasional, selain karena tindakan mereka membuka hutan secara
ilegal, juga karena kehadiran mereka telah menimbulkan sengketa penguasaan sumberdaya dengan
komunitas lokal yang juga membutuhkan perluasan lahan pertanian dan memandang bahwa wilayah
itu merupakan tanah ulayatnya. Konflik antara warga asli dan pendatang terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan TNBG sudah pernah terjadi, seperti yang ditemukan di
Desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi Kecamatan Siabu. Jika persoalan demikian tidak ditangani
secara baik dan bijaksana sejak sekarang, maka bisa diperkirakan di masa yang akan datang hal itu
akan menjadi preseden buruk yang akan diikuti oleh komunitas-komunitas tempatan di bagian lain
TNBG, sehingga secara keseluruhan akan menjadi ancaman bagi eksistensi Taman Nasional Batang
Gadis.
1.2. Fokus kajian
Keberadaan migran Nias yang secara sporadis datang sejak tahun 1980-an dan menduduki kawasan
hutan lindung yang berada di seberang Sungai Batang Gadis di wilayah Kecamatan Siabu, merupakan
persoalan pertama yang harus diselesaikan. Karakteristik sosial budaya, modus perantauan serta
pola perekonomian migran Nias yang banyak berdiam di sepanjang punggung Bukit Barisan wilayah
pantai barat Sumatera Utara ini perlu dikenali dan dipahami dengan baik agar alternatif pemecahan
masalah yang akan dipilih bisa memberikan hasil yang optimal, terutama untuk menjamin bahwa
kawasan TNBG bebas dari aktivitas-aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsinya.
Persoalan kedua adalah komunitas lokal atau penduduk asli yang memiliki klaim historis dan kultural
atas kawasan hutan yang kini secara formal telah menjadi kawasan TNBG. Adanya klaim tanah ulayat
di atas kawasan hutan lindung (dulu) dan/atau taman nasional sekarang juga merupakan sebuah issu
yang perlu dikelola secara bijaksana untuk menjamin dukungan komunitas lokal terhadap
keberadaan dan kelestarian TNBG. Terus meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perluasan lahan
pertanian seiring dengan pertumbuhan penduduk adalah sebuah gejala alamiah yang niscaya,
namun ketika hal itu tertuju kepada kawasan TNBG maka ia menjadi sebuah persoalan baru yang
juga memerlukan solusi bijaksana.
Persoalan ketiga, jika dua komunitas yang berbeda latar belakang historis dan kultural (yaitu migran
Nias dan penduduk asli Siabu) terlibat dalam kompetisi pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya
alam di kawasan yang sama, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan
atau konflik sosial yang berbahaya jika tidak dilakukan antisipasi sejak dini. Konflik yang semula
bersifat horizontal antar komunitas yang terlibat kompetisi pemanfaatan dan penguasaan
sumberdaya bisa berkembang menjadi lebih rumit dan berubah menjadi konflik vertikal karena ia
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
1:
Pen
dah
ulu
an
I-3
berlangsung di suatu medan yang di atasnya ada otoritas negara (pemerintah daerah dan pemangku
kawasan TNBG). Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana dari pemegang otoritas negara di
wilayah itu menjadi kunci penting dalam penanganan permasalahan.
Dengan adanya tiga ranah permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, maka kajian ini akan
difokuskan kepada upaya untuk mengeksplorasi dan menemukan gambaran dan pemahaman yang
komprehensif mengenai akar permasalahan yang terjadi. Hasil kajian kemudian diharapkan menjadi
dasar akademik yang kuat dalam menawarkan alternatif pemecahan masalah yang bisa diterima
oleh semua pihak yang terkait dengan permasalahan tersebut. Selain itu, kajian juga diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai mekanisme implementasi penyelesaian masalah.
1.3. Tujuan dan hasil yang diharapkan
1.3.1. Tujuan
Mengeksplorasi dan menemukan gambaran/pemahaman yang komprehensif mengenai akar
permasalahan konflik penguasaan sumberdaya alam yang melibatkan komunitas migran
Nias dan penduduk asli di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, khususnya di sekitar Desa
Tangga Bosi, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola, Kecamatan Siabu.
Menemukan alternatif pemecahan masalah yang diharapkan bisa diterima oleh semua pihak
terkait dengan tujuan jangka panjang, yaitu terbebasnya kawasan Taman Nasional Batang
Gadis dari okupasi ilegal yang mengancam eksistensi dan kelestariannya, dan pada waktu
yang sama tersedia pula pilihan-pilihan pengembangan ekonomi alternatif yang menjamin
terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal.
1.3.2. Hasil yang diharapkan
Adanya sebuah laporan hasil assesmen mengenai akar permasalahan, alternatif-alternatif
pemecahan masalah dan mekanisme penanganan masalah yang bisa menjadi rujukan bagi
otoritas pengambil kebijakan.
1.4. Metode penelitian
Untuk dapat memahami permasalahan kajian dengan baik diperlukan kegiatan pengumpulan data
dan analisis data, baik melalui kunjungan lapangan maupun pemanfaatan sumber-sumber sekunder.
Kajian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif guna menemukan perspektif emik atas
permasalahan yang terjadi di lapangan. Sebuah pendekatan kualitatif menuntut adanya interaksi
intensif antara peneliti dengan warga masyarakat yang diteliti dalam proses pengumpulan data dan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
1:
Pen
dah
ulu
an
I-4
analisisnya. Sehubungan dengan hal itu, tim peneliti telah melakukan kunjungan ke kawasan TNBG
yang diduduki oleh migran Nias serta ke desa-desa sekitarnya, menemui dan mewawancarai pihak-
pihak yang terkait dengan permasalahan kajian.
Kunjungan lapangan difokuskan di dua tempat, yaitu desa-desa sekitar yang memiliki kaitan
langsung dengan konflik penguasaan sumberdaya alam di kawasan TNBG khususnya di sekitar Tor
Sihayo, seperti desa Tangga Bosi, Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola. Di desa-desa
tersebut telah dilakukan serangkaian wawancara dengan pemimpin formal dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk menggali dan mendalami permasalahan dari perspektif komunitas lokal atau
penduduk asli Siabu. Fokus kedua, kunjungan lapangan dilakukan ke kluster-kluster pemukiman
migran Nias di kawasan Tor Sihayo, yang secara intensif telah dilakukan serangkaian wawancara
dengan pemimpin komunitas dan warga migran Nias khususnya di Dusun Tor Pulo.
Semula direncanakan juga kunjungan ke Kecamatan Malintang, yaitu wilayah yang pernah disebut-
sebut disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sebagai lokasi ‘resettlement’ bagi
migran Nias jika alternatif solusi tersebut menjadi pilihan kelak. Penggalian informasi dan data
mengenai perspektif penduduk lokal di wilayah baru dinilai penting untuk menjadi dasar bagi
pengembangan rekayasa sosial budaya yang kondusif bagi kedua komunitas yang berbeda latar
belakang kulturalnya, sehingga pilihan pemindahan pemukiman migran Nias tidak sekedar menjadi
pemindahan permasalahan dari kawasan TNBG ke kawasan lain di luarnya. Namun, mengingat
belum adanya kejelasan atau kepastian mengenai lokasi yang ditetapkan untuk relokasi, maka
kunjungan lapangan untuk keperluan seperti disebutkan di atas dibatalkan dengan sendirinya.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah berupa wawancara mendalam, pengamatan dan
diskusi kelompok terfokus. Wawancara telah dilakukan terhadap informan-informan kunci di
masing-masing komunitas, mencakup pemimpin formal dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka yang
diwawancarai sedapat mungkin telah mewakili keragaman kelompok sosial yang ada seperti tokoh
adat, tokoh agama, tokoh pemuda, pendidik, petani, politisi, perempuan, pedagang dan kelompok-
kelompok interes lainnya yang ada di desa. Diskusi kelompok terfokus dilakukan guna mendapatkan
data dan informasi yang diperlukan dalam menyusun alternatif pemecahan masalah dari perspektif
masyarakat setempat. Namun pelaksanaan diskusi kelompok terfokus di desa dilakukan secara
informal dengan peserta sangat terbatas guna menghindari terbangunnya polarisasi pandangan
warga yang dikhawatirkan bisa mendorong mereka untuk melakukan tindakan sepihak dalam
menyelesaikan masalah yang ada. Pengamatan dilakukan untuk melihat fakta pemanfaatan dan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
1:
Pen
dah
ulu
an
I-5
pengelolaan sumberdaya alam, interaksi sosial dan ekonomi, serta ekspresi-ekspresi kultural yang
terkait dengan permasalahan.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pedoman pengumpulan data (interview
guide) yang disusun khusus untuk keperluan kajian ini. Proses analisis data dilakukan secara kualitatif
dengan teknik-teknik analisis yang lazim dalam pendekatan ini seperti analisis taksonomis, analisis
domain, analisis tema budaya, dan teknik-teknik lain yang relevan. Pemahaman yang diperoleh
melalui analisis kualitatif demikian itulah yang kemudian dijadikan dasar proses rekonstruksi
permasalahan konflik pengelolaan sumberdaya yang melibatkan multipihak.
Dengan pemahaman yang baik mengenai permasalahan konflik pengelolaan sumberdaya yang ada di
sekitar TNBG dan di lokasi kajian pada khususnya, kajian ini diharapkan dapat memberikan kerangka
kebijakan bagi penyelesaian permasalahan. Penyusunan kerangka kebijakan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan alternatif terbaik dari lima model pendekatan manajemen konflik yang
lazim dikenal, yaitu (1) force, (2) withdrawal, (3) accomodation, (4) compromise, dan (5) consensus.
Secara teoritis, model penyelesaian terbaik jika dilihat dari kepentingan pemeliharaan hubungan
antar pihak yang berkonflik ialah akomodasi dan konsensus; sebaliknya jika dilihat dari kepentingan
pencapaian tujuan adalah pemaksaan.
Selanjutnya, dalam memberikan pilihan kerangka penyelesaian permasalahan konflik pengelolaan
sumberdaya yang terkait dengan kasus kajian ini, peneliti sedapat mungkin juga telah
memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan konflik alternatif (principles of alternative conflict
management). Prinsip-prinsip tersebut secara teoritis mencakup hal-hal berikut ini : (a)
terakomodasinya perbedaan budaya, (b) diakuinya keragaman persepsi, (c) adanya komunikasi yang
baik, (d) adanya ranah lapangan untuk bernegosiasi, (e) terbangun dan terpeliharanya hubungan
baik, (f) fokus kepada kebutuhan-kebutuhan yang mendasar, (g) memperlebar pilihan-pilihan, (h)
membingkai kembali kebutuhan-kebutuhan dan pilihan-pilihan, (i) mencapai sesuatu dengan cara
yang saling menguntungkan, dan (j) menguji kelayakan kesepakatan. Dengan memperhitungkan
prinsip-prinsip tersebut diharapkan agar alternatif solusi dan rekayasa sosial budaya yang
ditawarkan sebagai mekanisme penyelesaian konflik sudah berangkat dari hasil analisis yang
mendalam mengenai akar permasalahan serta model dan prinsip-prinsip penyelesaian konflik yang
sudah pernah diterapkan dalam kasus sejenis2.
2 Diadaptasi dari “A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource Projects in the South
Pacific: Context, Principles, Tools and Training Materials”. London, Overseas Development Institute, 1998.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
1:
Pen
dah
ulu
an
I-6
1.5. Pelaksana
Penelitian dilakukan oleh tim peneliti dari Departemen Antropologi Fisip USU, dengan komposisi
sebagai berikut : Zulkifli B. Lubis sebagai peneliti utama; Andi Gustian Hamonangan dan Mujur
Pandapotan Lubis sebagai peneliti; dibantu oleh tiga asisten lapangan yaitu Selwa Kumar, Ronald
Gea dan Daniel Aros Daeli.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-1
BAB II
POTRET ALAM DAN SOSIAL EKONOMI
KAWASAN TOR SIHAYO
2.1. Lokasi dan Keadaan Alam
Kawasan hutan Tor Sihayo yang menjadi lokus permasalahan dalam penelitian ini berada di ujung
utara dan timur laut kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), termasuk dalam wilayah
administratif Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal. Kawasan tersebut meliputi gugusan
perbukitan di sisi sebelah barat aliran Sungai Batang Gadis setelah menyatu dengan aliran Sungai
Batang Angkola yang mengalir dari sisi timur laut dan bertemu di suatu tempat dalam wilayah Desa
Muara Batang Angkola Kecamatan Siabu. Sebenarnya Tor Sihayo hanya salah satu dari puluhan tor
(bukit) yang terdapat di kawasan ini, namun nama tersebut digunakan di sini untuk merujuk seluruh
kawasan yang di dalamnya terdapat titik-titik lokasi pembukaan hutan oleh migran Nias sejak awal
1980-an.
Penduduk yang bermukim di desa-desa sekitar Tor Sihayo dan sekitarnya mengenal dan memberi
nama tertentu untuk sejumlah bukit dan aliran sungai serta anak sungai yang ada di daerah ini,
antara lain Tor Sihayo, Tor Bulusoma, Tor Ledang, Tor Jilok, Tor Bahal Gaja, Tor Pulo dan Tor Dairi.
Khusus dua bukit yang disebut terakhir adalah nama yang diberikan oleh penduduk setempat untuk
merujuk pada bukit yang dulunya dibuka dan dihuni oleh migran asal Dairi (Tor Dairi) pada 1980-an
dan yang kemudian dijadikan pemukiman oleh migran dari Pulau Nias (Tor Pulo). Selain itu ada pula
tempat-tempat yang diberi nama menurut nama sungai atau anak sungai yang ada di lembah-
lembah perbukitan seperti Aek Sidua-dua, Aek Garut, Aek Sirandorung, Aek Tombang, Aek
Simarincor-incor, Aek Simate-mate, Aek Sibarabe dan Aek Sihayo. Semua anak sungai tersebut
bermuara ke Sungai Batang Gadis dan yang terbesar di antaranya adalah Aek Sihayo.
Sebagian besar kontur lahan di kawasan Tor Sihayo terdiri dari bukit-bukit terjal dengan perkiraan
kemiringan lebih dari 400. Sebagian lereng bukit masih ditutupi oleh vegetasi beragam jenis
tumbuhan kayu, semak dan liana, namun ditaksir sudah lebih banyak yang berganti menjadi
tanaman komersial seperti karet, kemiri dan coklat, selain yang juga dijadikan sebagai tempat
berladang tanaman muda. Punggung dan lereng bukit di kawasan Tor Sihayo ditutupi oleh suatu
mozaik yang tidak indah berupa hamparan hutan sekunder; areal kebun karet, kemiri dan coklat;
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-2
petak-petak perladangan; belukar bekas ladang yang diberakan; dan sebagian hamparan ilalang.
Pemandangan seperti itulah yang mudah ditemukan dalam perjalanan dari Muara Batang Angkola,
yaitu pintu masuk utama ke kawasan Tor Sihayo, menuju ke Tor Pulo pada ketinggian sekitar 800-
1000 meter di atas permukaan laut dimana terdapat kluster permukiman terbesar migran Nias di
kawasan ini.
Gambar 1. Kluster permukiman dan perladangan migran Nias di Dusun Tor Pulo
Jarak tempuh dari Desa Muara Batang Angkola ke lokasi permukiman migran Nias di kawasan Tor
Sihayo bervariasi antara 2-5 jam; menggunakan ‘getek’ atau rakit menyeberangi Sungai Batang
Gadis, kemudian berjalan kaki sejauh sekitar 8 km ke lokasi permukiman terjauh di Tor Pulo. Dari
titik penyeberangan sampai ke suatu tempat yang bernama Aek Tombang sekarang ini sudah bisa
ditempuh menggunakan kenderaan bermotor roda dua, menyusuri pinggiran sungai Batang Gadis,
melalui jalan tanah yang dibangun oleh pemerintah daerah. Aek Tombang adalah sebuah kluster
permukiman migran Nias yang pertama dilalui, dan tempat ini memiliki peranan penting dalam
rantai perekonomian hasil perladangan migran Nias di kawasan Tor Sihayo karena adanya pedagang
pengumpul yang membuka pos penampungan hasil pertanian di tempat ini. Perjalanan dari lokasi
Aek Tombang ke kluster permukiman dan perladangan migran Nias lainnya di sekitar Tor Sihayo
kemudian harus ditempuh melalui jalan setapak, sebagian terbesar harus mendaki dan menyusuri
punggung bukit yang terjal dengan perkiraan kemiringan di atas 40 derajat. Ada sekitar 16 lokasi
perladangan dan permukiman migran Nias di kawasan Tor Sihayo yang sudah teridentifikasi (lihat
Heru Sutmantoro dkk, 2009); dan pada umumnya pola perladangan dan pembukaan hutan yang
dilakukan oleh migran Nias sama seperti yang terjadi di tempat-tempat lain, termasuk di kawasan
hutan Uluala, Kecamatan Batang Toru (lihat Zulkiflli Lubis dkk, 2007).
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-3
2.2. Riwayat Pembukaan Hutan
Dari penuturan sejumlah informan diketahui bahwa pembukaan hutan pertama yang dilakukan oleh
penduduk pendatang di kawasan Tor Sihayo terjadi sejak pertengahan tahun 1970-an di lokasi yang
bernama Tor Bulusoma. Pada tahun 1975 telah masuk sembilan kepala keluarga migran Nias1 yang
membuka ladang di Tor Bulusoma dan mereka inilah generasi pertama migran Nias yang datang
secara berkelompok ke daerah ini, meskipun menurut cerita beberapa orang informan penduduk
lokal disebutkan bahwa orang Nias pertama yang datang ke Muara Batang Angkola adalah seseorang
bermarga Zebua2.
Sejak 1975 hingga 1985 migran Nias yang membuka hutan dan bermukim di Tor Bulusoma sudah
meningkat menjadi 25 kepala keluarga. Meskipun letak pondok atau ladang mereka masih berjauhan
satu sama lain, namun migran Nias biasanya segera membentuk komunitas sosial keagamaan
dengan mendirikan gereja, seperti terbentuknya jemaat HKI (Huria Kristen Indonesia) pada tahun
1975 dan berdirinya Gereja Tuhan pada tahun 1986 di Bulusoma.
Aktor-aktor pembuka hutan di kawasan Tor Sihayo pada tahun 1970-an bukan hanya orang Nias
melainkan juga pendatang dari daerah Kabupaten Dairi, yaitu orang Batak Toba dan Pakpak. Mereka
biasanya membuka hutan untuk menanam tanaman nilam. Lokasi yang mereka buka berada di dekat
Tor Bulusoma, yang di waktu belakangan dinamakan Tor Dairi. Sekarang hanya 7 KK lagi yang masih
bertahan di lokasi ini, dan posisi mereka sudah digantikan oleh migran Nias yang datang kemudian.
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1989 menghimbau agar penduduk pendatang
yang membuka hutan dan bermukim di kawasan Tor Sihayo pindah ke desa. Sekitar 50 KK migran
Nias di Bulusoma turun ke blok hutan Aek Tombang, yang termasuk dalam kawasan Hutan Lindung
dan berdekatan dengan aliran Sungai Batang Gadis. Penduduk migran Nias tersebut diikutkan dalam
Program Porum (Penataran Orientasi Usaha Tani Menetap) yang diberikan oleh pemerintah daerah,
1 Sembilan KK migran Nias tersebut adalah Ama Sudu Gea, Ama Lumo’o Gea, Ama Saya Zega, Ama Siti Waruwu, Ama
Ato Gulo, Ama Gareno Gulo, Ama Wasi Gulo, Ama Ari Zega dan Ama Garosi Zai, semua nama tersebut adalah nama
julukan mengikut nama anak pertama mereka sebagaimana menjadi tradisi dalam penamaan orang Nias yang sudah berkeluarga dan berketurunan. 2 Cerita yang disampaikan oleh informan di desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi menyebutkan bahwa seorang pendatang
Nias bermarga Zebua telah menetap sejak puluhan tahun lalu di Siulang-aling (sebuah desa di hilir Sungai Batang Gadis,
masuk dalam wilayah Kecamatan Muara Batang Gadis sekarang), jauh sebelum migran Nias era 1970-an datang. Orang
tersebut kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat dan masuk ke dalam klen Hasibuan. Keturunannya kemudian
pindah ke Muara Batang Angkola dan menjadi tokoh masyarakat di sana, dan disebutkan bahwa kepala desa yang sekarang
adalah keturunan generasi ketiga dari migran Nias bermarga Zebua tersebut. Namun kesahihan informasi ini belum
dikonfirmasi langsung kepada yang bersangkutan. Cerita tersebut diuraikan di sini karena dipandang menjadi satu aspek
penting yang membentuk dan melanggengkan streotip negatif sebagian penduduk lokal terhadap keberadaan migran Nias di
daerah ini.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-4
yang berisikan materi-materi tentang cara bercocok tanam secara intensif. Namun setelah mengikuti
penataran banyak dari mereka yang kembali lagi ke blok hutan Bulusoma (Heru Sutmantoro, 2009).
Pada awal tahun 1990-an terjadi aneksasi atas lahan-lahan migran Nias oleh penduduk setempat,
khususnya dari Desa Hutagodang Muda. Penduduk desa yang bertetangga dengan Muara Batang
Angkola ini juga mengklaim bahwa daerah Bulusoma adalah wilayah mereka sehingga mereka
merasa punya hak untuk memanfaatkan lahan di tempat tersebut, meskipun sudah ditanami
beragam tanaman seperti karet, kemiri dan coklat oleh migran Nias. Menurut catatan Heru
Sutmantoro dkk (2009) sebanyak 70 KK migran Nias keluar dari blok Bulusoma dan berpencar
mencari lahan-lahan baru di sekitarnya. Seorang informan kunci di Desa Hutagodang Muda
menyebutkan bahwa pada tahun 1982 tokoh-tokoh masyarakat di desa itu telah menjadikan lahan
hutan di blok Bulusoma untuk lokasi perkebunan karet yang akan dikelola oleh sebuah yayasan, dan
hasilnya kelak digunakan untuk menyantuni anak yatim, namun proyek tersebut gagal.
Migran Nias yang keluar dari blok Bulusoma kemudian mencari lahan perladangan baru di daerah
sekitarnya, sehingga areal pembukaan hutan baru semakin melebar, antara lain di blok hutan Tor
Pulo (bagian bawah), Pasir Bidang, Aek Sibarebe, Aek Simate-mate, Aek Sihayo, Tor Pulo (bagian
atas), Tor Dairi, dan lokasi eks PKB (Perkebunan Karet Berbantuan)3. Hasil survey dan inventarisasi
lahan yang dilakukan oleh tim dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal yang laporannya ditulis
oleh Heru Sutmantoro (2009) menunjukkan bahwa luas hutan yang dibuka dan dikelola oleh migran
Nias di kawasan Tor Sihayo saat ini mencapai 504,25 Ha. Seluas 430,75 Ha berada di kawasan Hutan
Lindung dan 173,5 Ha berada di kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Dari 16 blok hutan yang
dibuka oleh migran Nias, yang terluas terdapat di Tor Pulo (272 Ha) dan dikuasai oleh 95 KK;
berikutnya adalah blok Aek Sibarabe (94,25 Ha/26 KK), eks PKB (48 Ha/20 KK), Aek Tombang (43,5
Ha/10 KK), Aek Simate-mate (37 Ha/ 7 KK) dan Sihayo (26,5 Ha/9 KK). Selebihnya dalam luasan
kurang dari 25 Ha terdapat di Bandar Lasiak, Banjar Go’o, Aek Silandorung, Tor Dairi, Lubuk Sihim,
Pasir Bolak, Aek Simarincor-incor, Pasir Bidang, Jambu-jambu dan Bulusoma.
3 Pada tahun 1982 pemerintah memberikan bantuan untuk pengembangan perkebunan karet rakyat dengan pola perkebunan
inti rakyat melalui program yang bernama PKB (Perkebunan Karet Berbantuan). Desa Hutagodang Muda termasuk salah
satu desa yang mengikuti program tersebut, dan memiliki proyek di dua lokasi, yaitu seluas 40 Ha di Tor Bulusoma dan
Bahal Gaja, 90 Ha di Tor Bahal Gaja arak ke Tor Sihayo (lokasi Sorik Mas Mining sekarang). Proyek PKB tersebut juga
kemudian gagal dan lahan yang ada sekarang dikuasai secara privat oleh masing-masing warga.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-5
Gambar 2. Areal hutan yang dibuka oleh migran Nias di dalam kawasan TNBG, di hulu DAS Aek Sihayo
2.3. Penduduk dan Mata Pencaharian Hidup
Penduduk migran Nias
Tidak mudah untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah penduduk migran Nias yang kini
berdiam di kawasan Tor Sihayo. Kesulitan itu terutama terjadi karena migran Nias pada umumnya
tidak mencatatkan diri dan anggota keluarga yang dibawanya ke instansi pemerintah setempat,
bahkan tidak juga ke kepala desa di wilayah domisili mereka. Selain itu, proses kedatangan mereka
yang diam-diam, sporadis, dan langsung masuk ke lingkungan kerabatnya di dalam hutan membuat
sulit untuk mendeteksi perubahan-perubahan komposisi penduduk pendatang ini. Seorang informan
yang merupakan pimpinan komunitas migran Nias di Tor Pulo mengatakan bahwa jumlah penduduk
migran Nias di kawasan ini berkisar 250 KK. Tetapi hasil pendataan yang dilakukan oleh tim dari
Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal pada awal 2009 baru mendapatkan adanya 180 KK dengan
total jumlah individu 843 jiwa, dengan rata-rata jumlah anggota keluarga per KK sebanyak 5 orang.
Jumlah kepala keluarga yang memiliki KTP Mandailing Natal tercatat 113 orang, sisanya sebanyak 67
orang tidak memiliki KTP setempat (Heru Sutmantoro, 2009).
Sebagian penduduk migran Nias tersebut tercatat sebagai warga desa-desa sekitar yang letaknya
paling dekat dan memiliki kaitan historis klaim penguasaan lahan dengan kawasan Tor Sihayo, yaitu
Tangga Bosi II, Tanjung Sialang dan Muara Batang Angkola. Beberapa tahun lalu sebagian mereka
juga tercatat sebagai warga desa Hutagodang Muda, namun pada saat penelitian ini dilakukan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-6
kepala desanya menyatakan bahwa tidak ada lagi warganya yang berasal dari Nias4. Seorang
informan warga Nias mengatakan bahwa sebagian mereka secara administratif pindah ke Desa
Tangga Bosi II dan Desa Muara Batang Angkola, namun sebagian lainnya berstatus tidak jelas.
Sebuah catatan hasil pendataan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Tangga Bosi II dan Desa Muara
Batang Angkola bertarih 15 Oktober 2008 memberikan gambaran tentang keberadaan migran Nias
yang tercatat di dua desa tersebut sebagai berikut :
Tabel 2.1. Jumlah migran Nias di Desa Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, 2008
No DESA Jlh KK Jenis Kelamin Jumlah
Jiwa Laki-laki Perempuan
1 Tangga Bosi II 71 203 197 400
2 Muara Batang Angkola 78 208 213 421
JUMLAH 149 411 410 821
Sumber : Diolah dari dokumen pendataan migran Nias di Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah migran Nias di Desa Tangga Bosi II dan Muara Batang
Angkola saja telah mencapai 821 jiwa dengan 149 KK pada tahun 2008, sementara hasil pendataan
tim Pemkab awal 2009 mencatat 843 jiwa dengan 180 KK. Tidak diperoleh data jumlah migran Nias
di Desa Tanjung Sialang yang disebut juga memiliki penduduk asal Pulau Nias, namun diperkirakan
jumlah mereka pasti melebihi 22 jiwa jika dilihat dari selisih jumlah KK yang ada (31 KK). Dengan
adanya kurun waktu yang berbeda dalam pengumpulan kedua sumber data tersebut maka
diperkirakan juga telah terjadi pertambahan internal (kelahiran) maupun eksternal (kedatangan baru
dari Pulau Nias). Dengan rata-rata jumlah jiwa per KK sebesar 5 jiwa, maka selisih 31 KK tersebut
diasumsikan akan menambah jumlah penduduk 155 jiwa, sehingga perkiraan yang paling dekat
jumlah migran Nias berkisar antara 976 jiwa hingga 998 jiwa. Jika jumlah KK yang dinyatakan oleh
informan diatas dijadikan sebagai patokan, dengan rata-rata 5 jiwa/KK, maka jumlah migran Nias di
kawasan Tor Sihayo mencapi 1.250 jiwa, dan sebagian dari mereka belum tercatat dalam data
kependudukan resmi di desa-desa setempat.
Data kependudukan migran Nias di kedua desa tersebut di atas juga menunjukkan fenomena yang
cukup menarik. Jumlah penduduk berusia 0 – 20 tahun mencakup proporsi yang cukup besar dari
4 Penduduk Desa Hutagodang Muda memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan migran Nias, termasuk karena
persengketaan mereka dalam mengklaim lahan di daerah Tor Bulusoma, yang terjadi pada tahun 1991 dan berulang kembali
pada 2007. Kepala Desa menerapkan aturan bahwa migran Nias yang bisa diterima menjadi penduduk Hutagodang Muda
hanya jika yang bersangkutan bisa menunjukkan surat keterangan pindah resmi dari desanya di Pulau Nias.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-7
total jumlah jiwa migran Nias di kedua desa, masing-masing 43,5 % di Desa Tangga Bosi dan 42,0 %
di Muara Batang Angkola. Bahkan jika dipilah lagi antara penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, maka
proporsi mereka di kedua desa mencakup masing-masing 30,5 % di Tangga Bosi dan 30 % di Muara
Batang Angkola. Angka ini memiliki arti bahwa masing-masing sebanyak sepertiga dari jumlah
migran Nias di kedua desa terdiri dari anak-anak, usia sekolah, belum bekerja, dan menjadi
tanggungan ekonomi bagi kepala keluarga.
Tabel 2.2. Komposisi migran Nias usia 0-20 tahun di Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, 2008
No Desa Kelompok Usia Jlh
0 - 4 5 - 9 10 – 14 15 – 19 >20
1 Tangga Bosi II 30 51 41 41 11 174
2 Muara B. Angkola 37 51 37 32 22 179
Jumlah 67 102 78 72 33 353 Sumber : Dokumen pendataan migran Nias di Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola
Jika jumlah migran Nias berusia 0 – 20 tahun di dua desa tersebut digabung (353 jiwa) dibandingkan
dengan total jumlah jiwa migran Nias (821 jiwa), maka mereka yang berusia di bawah 20 tahun
mencakup 42,9 % dari total penduduk migran Nias. Dilihat dari usia kepala keluarga dan isterinya,
sebagian besar migran Nias yang ada di kedua desa juga masih tergolong pasangan usia subur (PUS)
dengan usia isteri mayoritas di bawah 40 tahun, sehingga tingkat pertumbuhan penduduk migran
Nias di kawasan Tor Sihayo diperkirakan akan tetap tinggi. Dengan kata lain, pertambahan penduduk
yang terjadi secara alamiah di internal komunitas migran Nias di kawasan Tor Sihayo juga menjadi
faktor penting yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya alam untuk mendukung
kehidupan mereka, dan akan menjadi semakin kuat pula tekanan terhadap lingkungan jika
pertambahan penduduk melalui arus perpindahan dari Pulau Nias masih terus berlangsung.
Mata pencaharian hidup
Migran Nias membuka hutan di kawasan Tor Sihayo untuk aktivitas pertanian, karena itulah yang
menjadi mata pencaharian pokok bagi mereka. Mereka datang dari Pulau Nias untuk tujuan mencari
lahan pertanian karena didorong oleh kesulitan ekonomi dan sempitnya lahan pertanian yang
mereka miliki di kampung asal. Data yang diperoleh dari hasil survey dan inventarisasi migran Nias
yang dilakukan tim dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal menunjukkan bahwa luasan hutan
yang sudah dibuka oleh 180 KK migran Nias di kawasan ini mencapai 504,25 Ha, dengan rata-rata 2,8
Ha per KK. Jika jumlah KK yang ada bisa mencapai 250 KK seperti yang disebutkan oleh seorang
informan kunci migran Nias di Tor Pulo, maka dengan rata-rata penguasaan lahan 2,8 Ha tersebut
diperkirakan luas hutan yang mereka buka sudah mencapai 700 Ha.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-8
Pola perladangan berpindah adalah model pengelolaan lahan yang lazim dilakukan oleh migran Nias
khususnya pada tahun-tahun awal mereka datang ke Tor Sihayo. Pola seperti itu dilakukan karena
orientasi utama mereka adalah menanam tanaman muda yang cepat memberikan hasil panen
seperti padi, jagung dan aneka macam sayur-sayuran, yang bisa memenuhi kebutuhan subsisten bagi
keluarganya, juga tanaman nilam untuk menghasilkan minyak nilam. Untuk mendapatkan uang tunai
mereka menjual hasil sayur-sayuran dan minyak nilam. Areal hutan yang baru dibuka ditanami padi,
cabe, jagung, bawang, kacang-kacangan dan sayur-sayuran lain yang akan memberikan hasil berupa
bahan pangan bagi mereka dalam masa satu tahun. Tanaman cabe bisa memberikan hasil lebih lama
dan pada umumnya dijual ke pasar. Setelah itu mereka pindah ke petak lahan lainnya sementara
lahan sebelumnya diberakan.
Beberapa tahun belakangan ini migran Nias sudah mulai menanam tanaman tua seperti coklat,
kemiri dan karet, dan sebagian sudah menghasilkan. Ada tiga faktor yang tampaknya mendorong
mereka mulai beralih dari pola perladangan ke pola pertanian menetap. Pertama, pengalaman
mengikuti pelatihan pola tani menetap yang diselenggarakan pemerintah daerah seiring dengan
imbauan agar mereka turun gunung pada tahun 1989. Kedua, dengan diterimanya migran Nias
menjadi warga desa-desa sekitar, mereka menjadi lebih nyaman dengan status keberadaan di
kawasan ini. Pada tahun 1993 migran Nias di Tor Pulo diterima menjadi bagian dari Desa Tangga Bosi
II. Ketiga, peristiwa gempa besar Nias pada tahun 2005 membuat minat mereka untuk kembali ke
Pulau Nias menurun, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk hidup di perantauan.
Salah seorang informan di Aek Tombang, yang menjadi simpul ekonomi bagi migran Nias di kawasan
ini, menyebutkan bahwa setelah gempa tersebut migran Nias di Tor Pulo dan sekitarnya mulai
ramai-ramai menanam tanaman karet. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka sudah akan menetap
di daerah Sihayo.
Dari hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa migran Nias di kawasan Tor Pulo mengikuti tiga
modus pengelolaan lahan. Pertama, mereka membuka hutan, semak belukar atau lahan yang sudah
diberakan (gasgas) untuk menanam padi sebagai tanaman utama. Padi ladang biasanya berusia 5-6
bulan baru bisa dipanen. Di dalam areal tanaman padi tersebut juga disisipi tanaman jagung, cabe
atau bawang. Hasil padi dan jagung untuk kebutuhan konsumsi, sedangkan hasil cabe selain untuk
konsumsi sebagian dijual ke pasar. Di bagian pinggir lahan ditanami dengan beragam jenis tanaman
seperti ubi jalar, ubi kayu, talas, labu, pisang, tebu yang hasilnya juga dimanfaatkan untuk
mendukung kebutuhan karbohidrat rumah tangga. Pola kedua, mereka menanam tanaman muda
untuk tujuan komersial, seperti cabe, kacang tanah, kacang kedelai, kacang panjang dan kacang
merah. Ada juga yang fokus pada tanaman nilam ketika harga minyak nilam tinggi. Hasil tanaman
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-9
pada pola kedua ini umumnya dijual ke pasar pada hari-hari pekan. Pola ketiga, lahan bekas tanaman
ladang tidak diberakan lagi melainkan ditanami dengan tanaman tua seperti karet, kakao, kemiri
untuk mendapatkan hasil jangka panjang. Mereka yang melakukan pola penanaman seperti ini
biasanya adalah pemilik lahan yang memadai luasnya, baik yang terdapat di suatu hamparan
maupun di tempat lain. Migran Nias yang datang pada masa-masa tahun 1980-an dan 1990-an
sudah memperoleh hasil dari tanaman tua yang mereka budidayakan.
Gambaran lebih detil mengenai kehidupan migran Nias di kawasan Tor Sihayo, khususnya dari hasil
studi lapangan di dusun Tor Pulo, disajikan terpisah dalam Lampiran 1.
2.4. Kontribusi Ekonomi
Komoditas pertanian
Hasil pertanian migran Nias dari kawasan Tor Sihayo yang sudah berlangsung lebih seperempat abad
terakhir ini telah memberikan kontribusi ekonomi bukan hanya bagi mereka sendiri tetapi juga bagi
perekonomian desa-desa sekitarnya. Hasil pertanian yang bisa dijual mereka bawa ke pasar atau
dijual melalui toke yang ada di Desa Muara Batang Angkola. Warga desa Muara Batang Angkola,
sebagai desa yang menjadi “pintu masuk” ke kawasan Tor Sihayo, adalah pihak pertama yang
mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas pertanian migran Nias di kawasan ini. Sekarang ini
paling sedikit ada lima orang warga desa Muara Batang Angkola yang berperan sebagai “toke” atau
pedagang pengumpul hasil bumi dari kawasan Tor Sihayo, sekaligus juga penyuplai bahan-bahan
kebutuhan pokok bagi migran Nias yang bermukim di gunung.
Cabe, kacang-kacangan, coklat dan kemiri adalah sebagian dari hasil pertanian yang rutin dijual oleh
migran Nias kepada para pedagang pengumpul tersebut. Volume hasilnya bervariasi dari waktu ke
waktu sesuai dengan keadaan musim. Pada saat penelitian di lapangan berlangsung salah seorang
toke yang memiliki warung di Aek Tombang menyebutkan bahwa empat toke yang ada bisa
menampung sekitar 1500 kg cabe per minggu, dengan harga beli Rp 7000/kg atau setara dengan Rp
10.500.000. Pada musim panen besar tiga tahun lalu ia menyebutkan bahwa mengumpul 1 ton cabe
perhari pernah dia lakukan, sehingga nilai ekonominya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta
per minggu. Informan mengaku bahwa dia memiliki sekitar 30 KK migran Nias yang menjadi
pelanggannya dari kluster Tor Pulo, Aek Tombang dan Tor Dairi. Penduduk migran Nias lainnya
menjual hasil bumi ke beberapa toke lain.
Hasil-hasil pertanian lainnya seperti coklat dibeli dengan harga Rp 17.000 dari petani; kemiri seharga
Rp 1500/kg (kering), Rp 1400/kg (basah) dan Rp 8000/kg (kupas). Hasil kacang-kacangan bervariasi
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-10
harga sesuai jenis, sedangkan karet dibeli seharga Rp 5000/kg. Namun saat ini migran Nias belum
mempunyai hasil dari tanaman karet mereka.
Gambar 3 dan 4. Aktivitas perladangan tanaman padi dan palawija
Perdagangan
Sebagai konsekwensi dari semakin banyaknya migran Nias yang masuk ke kawasan Tor Sihayo,
kebutuhan mereka untuk barang-barang keperluan rumah tangga berupa bahan pangan, peralatan,
sandang dan juga alat-alat serta bahan pendukung pertanian dari waktu ke waktu semakin
meningkat pula. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh warga Muara Batang Angkola untuk membuka
usaha-usaha dagang yang bisa menyuplai kebutuhan para migran Nias. Salah seorang toke bermarga
Pulungan yang membuka warung di Aek Tombang menyebutkan bahwa ia mulai membuka usaha
dagang hasil bumi, warung kelontong dan warung kopi di tempat itu sejak tahun 2001, meneruskan
usaha mertuanya yang sudah dirintis sejak tahun 1970-an5. Adik iparnya juga membuka usaha yang
sama di sekitar Aek Simate-mate, yang menampung hasil bumi dan menyuplai kebutuhan rumah
tangga migran Nias dari daerah sekitarnya.
Migran Nias yang datang berbelanja pada hari-hari pekan ke Pasar Sinonoan juga disebut-sebut telah
menghidupkan aktivitas perdagangan di pasar tersebut. Paling sedikit pada hari pekan Rabu mereka
biasanya turun ke pasar untuk berbelanja beragam kebutuhan selain yang bisa mereka dapatkan di
warung toke-toke yang ada di Aek Tombang. Harga jual hasil pertanian lebih mahal di Pasar
Sinonoan, dan sebaliknya harga beli kebutuhan rumah tangga lebih murah ketimbang di Aek
Tombang. Namun sebagian besar migran Nias tidak lagi membawa hasil pertanian mereka langsung
ke Pasar Sinonoan, selain karena sudah ada toke yang menampung dengan selisih harga yang wajar,
mereka juga bepergian ke pasar tanpa harus dibebani lagi dengan urusan membawa barang-barang
hasil pertanian.
5 Mertuanya adalah ayah kandung dari kepala desa Muara Batang Angkola, yang disebut-sebut warga sebagai keturunan dari
seseorang yang berasal usul dari seorang bermarga Zebua yang merantau ke Siulang-aling. Orang-orang Nias yang bermukim
di kawasan Tor Sihayo sangat menghormati keluarga tersebut, juga Pak Pulungan yang menjadi toke mereka sekarang.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-11
Pengangkutan
Kegiatan pengumpulan hasil bumi dan perdagangan yang berlangsung di Aek Tombang dan Aek
Simate-mate, keduanya berada di jalur lintasan dari Muara Batang Angkola menuju Tor Pulo, hanya
satu titik dari mata rantai perdagangan hasil bumi dari migran Nias. Semua hasil bumi yang dibeli
oleh para toke dari migran Nias di kedua tempat tersebut harus diangkut terlebih dahulu ke Desa
Muara Batang Angkola, berjarak sekitar 4 kilometer. Demikian pula barang-barang kebutuhan rumah
tangga yang akan dijual di warung mereka di Aek Simate-mate dan Aek Tombang harus diangkut dari
desa ke tempat tersebut. Untuk urusan ini telah tersedia jasa pengangkutan menggunakan ojek atau
kenderaan bermotor roda dua, yang melayani beberapa toke yang berusaha di tempat tersebut
maupun bagi orang-orang yang membutuhkan jasa mereka untuk mengangkut barang atau orang.
Ongkos angkutan barang dari Aek Tombang ke Muara Batang Angkola adalah Rp 250/kg. Peluang
usaha ini dimanfaatkan oleh sejumlah warga Muara Batang Angkola yang memiliki kenderan
bermotor roda dua, dan biasanya sudah bekerjasama dengan para toke di Aek Tombang dan Aek
Simate-mate.
Gambar 5. Angkutan penyeberangan di Muara Batang Angkola
Kehadiran migran Nias juga telah membawa berkah ekonomi bagi warga Muara Batang Angkola
yang menyediakan jasa penyeberangan Sungai Batang Gadis menggunakan getek atau perahu motor
tempel. Jasa penyeberangan menggunakan rakit atau getek berharga Rp 1000/orang, untuk
menyeberangi sungai dengan lebar sekitar 40-50 meter. Perahu motor tempel juga bisa digunakan
untuk mengangkut orang dari Muara Batang Angkola ke sekitar Aek Simate-mate, dengan tawar-
menawar harga, sebelum melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke Aek Tombang maupun Tor
Pulo dan sekitarnya.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-12
Penarik beca bermotor merupakan aktor lain dalam jaringan ekonomi migran Nias yang juga
berperan penting. Mereka biasanya menyediakan jasa angkutan bagi migran Nias yang turun dari Tor
Sihayo menuju Pasar Sinonoan di perlintasan jalan negara lintas Sumatera. Pada hari-hari pekan
warga Nias turun dari gunung untuk berbelanja ke Pasar Sinonoan (hari Rabu) atau pasar-pasar lain
di sekitarnya. Ongkos angkutan beca dari Pasar Sinonoan sampai ke Muara Batang Angkola adalah
Rp 8000/orang, dan biasanya mereka mengangkut lebih dari 3 orang sekaligus sehingga biaya
angkutan bisa mencapai Rp 50000/beca.
Jaringan pasar
Toke yang menampung hasil bumi dari migran Nias di Aek Tombang kemudian akan mengirim
komoditas tersebut ke toke-toke besar lainnya yang ada di Bonan Dolok Kecamatan Siabu, ke kota
Panyabungan atau Padang Sidimpuan, untuk dijual ke konsumen. Kadang-kadang toke besar di
tempat-tempat tersebut di atas mengirim barang hasil pertanian ke daerah lain termasuk ke Padang.
Fenomena seperti ini juga ditemukan dalam jaringan perdagangan hasil bumi dari migran Nias di
Batang Toru, dimana hasil pertanian seperti cabe bahkan kadangkala dijual oleh para toke sampai ke
Gunung Sitoli (lihat Zulkifli Lubis, 2007).
2.5. Profil desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo
Dari penelitian lapangan ditemukan fakta bahwa ada tiga desa di Kecamatan Siabu yang memiliki
kaitan sangat dekat dengan keberadaan kawasan Tor Sihayo dan terkait kepentingan dengan migran
Nias yang bermukim di kawasan itu. Ketiga desa itu adalah Muara Batang Angkola, Hutagodang
Muda dan Tangga Bosi II. Desa yang disebut terakhir merupakan pemekaran dari Desa Tangga Bosi
beberapa tahun lalu. Sebelum dimekarkan Desa Tangga Bosi II bersama-sama dengan Desa Tangga
Bosi I dan Desa Tangga Bosi III adalah satu kesatuan komunitas dan administrasi bernama Desa
Tangga Bosi. Secara tradisional Desa Tangga Bosi merupakan bagian dari wilayah Kekuriaan atau
Kerajaan Panyabungan Tonga. Gambaran mengenai desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo dalam
bagian ini akan mencakup ketiga desa tersebut sebelum dimekarkan, karena klaim tanah ulayat atas
kawasan Tor Sihayo merupakan bagian dari klaim masyarakat adat Tangga Bosi.
Pada masa sebelum Kabupaten Mandailing Natal dimekarkan dari kabupaten induk Tapanuli Selatan,
Kecamatan Siabu adalah salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan pegunungan Bukit
Barisan dimana kawasan Tor Sihayo berada. Kecamatan Siabu kemudian dimekarkan menjadi dua
kecamatan, yaitu Siabu dan Bukit Malintang. Kecamatan Bukit Malintang baru-baru ini telah pula
dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu Bukit Malintang dan Naga Juang. Kecamatan Naga Juang
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-13
mencakup desa-desa yang ada di seberang Sungai Batang Gadis yang terdiri dari tujuh desa yaitu
Banua Rakyat, Humbang I, Sayur Matua, Tarutung Panjang, Tambiski, Simanosor dan Tambiski Nauli.
Semua desa ini berada di wilayah sempadan Sungai Batang Gadis dan di bagian lembah sebelah
timur perbukitan Tor Sihayo. Kecamatan Naga Juang berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan
Siabu, tepatnya di sekitar Desa Aek Garut (di seberang sebelah barat sungai) dan Tanjung Sialang
(sisi seberang sebelah timur sungai) yang bertetangga langsung dengan Desa Hutagodang Muda.
Beberapa desa tersebut di atas memanfaatkan sumber air dari aliran anak sungai di kawasan Tor
Sihayo, seperti aliran anak sungai Aek Gajah yang dimanfaatkan oleh penduduk Desa Humbang I
(lihat Edy Ikhsan dkk,2005), aliran anak sungai Aek Sidua-dua dan Aek Garut di wilayah Desa Tanjung
Sialang dan Hutagodang Muda (bagian desa di seberang sebelah barat Sungai Batang Gadis).
Berikut adalah gambaran ringkas dari desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo di wilayah Kecamatan
Siabu, khususnya yang memiliki hubungan atau kaitan kepentingan dengan wilayah dan migran Nias
di kawasan Tor Sihayo. Desa-desa dimaksud adalah Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan
Tangga Bosi (I,II dan III). Lima desa tersebut (sebelum pemekaran hanya tiga desa) merupakan
bagian dari 24 desa yang ada di Kecamatan Siabu. Dari data statistik kecamatan (2008) diketahui
bahwa luas wilayah kelima desa itu mencapai 11.315,86 Ha atau 32,77 % total luas kecamatan
(34.536,48 Ha). Jumlah penduduk dari kelima desa berdasarkan sumber yang sama adalah 6.117 jiwa
atau 11,77 % dari total penduduk kecamatan (51.958 jiwa). Gambaran lebih rinci disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel 2.3. Luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah RT di desa-desa sekitar Tor Sihayo
No DESA Luas
(Ha)
Rasio thd
total kec.
(%)
Jlh Pddk
(jiwa)
Jlh
RT
Rata-
rata
per
RT
Kepadata
n pddk
(jiwa/km
2)
1
Muara Batang Angkola 8.575,36(*) 0,45 945 189 5 11
2 Hutagodang Muda 973,32 2,82 1.530 306 5 157
3 Tangga Bosi I 155,37 0,45 609 203 3 392
4 Tangga Bosi II 333,73 0,97 1.393 258 5 417
5 Tangga Bosi III 1.278,08 3,70 1.640 380 4 128
Total 5 desa 11.315,86 32,7 6.117 1.336 4,4 221
Total kecamatan 34.536,48 100 51.958 10.543 5 150
Sumber : Kecamatan Siabu Dalam Angka 2008, BPS Kabupaten Mandailing Natal
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-14
Dari tabel di atas terlihat bahwa Desa Muara Batang Angkola memiliki wilayah terluas yaitu 8.575,36
Ha dengan kepadatan penduduk hanya 11 jiwa/Km2, jauh dari rata-rata kepadatan penduduk
kecamatan (150 jiwa/km2) dan kepadatan di lima desa sekitar Tor Sihayo (221 jiwa/Km2). Namun
mengingat letak desa yang berada di bagian paling ujung menuju kawasan Tor Sihayo dapat diduga
bahwa wilayah seluas itu sudah termasuk kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Batang Gadis
yang secara administratif digabungkan dengan wilayah desa terdekat. Patut disebutkan pula disini
bahwa dalam data statistik Kecamatan Siabu Dalam Angka (2003 dan 2005) luas desa Muara Batang
Angkola tercatat 1.330 Ha. Desa Tangga Bosi II adalah desa terpadat penduduknya dari lima desa
yang ada, yaitu 417 jiwa/km2 dengan luas wilayah 333,73 Ha atau hanya 0,92 % dari total luas
kecamatan. Total luas ketiga desa jika digabung mencapai 1.767,18 Ha atau 5,12 % total luas
kecamatan dengan jumlah penduduk 3.642 jiwa dan kepadatan penduduk 312 jiwa/km2. Tangga
Bosi II adalah desa induk dari ketiga desa tersebut, dan sejauh ini memiliki klaim yang lebih dominan
dalam isu tanah ulayat Tor Sihayo.
Tidak diperoleh data yang akurat berdasarkan statistik kecamatan untuk menggambarkan distribusi
penggunaan lahan di Kecamatan Siabu, sehingga tidak diketahui secara pasti gambaran yang ada di
kelima desa sekitar kawasan Tor Sihayo tersebut di atas. Dalam statistik kecamatan Siabu (2008)
hanya terdapat satu aspek pengelolaan lahan, yaitu luas panen tanaman padi dan palawija tahun
2007, yaitu 11.254 Ha padi sawah, namun tidak diketahui sebarannya di tingkat desa. Dari data
statistik Kabupaten Mandailing Natal Dalam Angka 2008 diperoleh gambaran luas lahan baku lahan
kering yang terdapat di Kecamatan Siabu sebagai berikut : (a) pekarangan/bangunan 335 Ha; (b)
tegal/kebun 425 Ha; (c) ladang/huma 37 Ha; (d) penggembalaan 27 Ha; (e) rawa tidak ditanami
2.600 Ha; (f) tambak/kolam/tebat 102 Ha; sementara tidak diusahakan 169 Ha; (g) hutan rakyat
13.209 Ha; (h) hutan negara 16.035 Ha; (i) perkebunan 3.250 Ha; (j) lain-lain 220 Ha; dan total lahan
seluruh kecamatan 36.400 Ha6.
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari data yang disajikan di atas, khususnya jika
dikaitkan dengan keberadaan kawasan hutan Tor Sihayo. Pertama, luas ladang/huma yang hanya 37
Ha, sementara jika dikaitkan dengan luas areal bukaan hutan yang dilakukan migran Nias di kawasan
Tor Sihayo sudah mencapai 504,25 Ha. Hal ini dapat diartikan bahwa data BPS belum mencerminkan
kondisi sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Kedua, hutan negara seluas 16.035 Ha dikaitkan
dengan kawasan hutan lindung dan taman nasional yang termasuk ke dalam wilayah administratif
lima desa di atas. Jika data luas hutan negara hanya mencakup hutan negara yang ada di kawasan
6 Patut dicatat bahwa angka total luas lahan baku ini berbeda dengan total luas wilayah Kecamatan Siabu berdasarkan
sumber yang sama, yaitu 34.536,48 Ha, sehingga terdapat selisih sekitar 1.864 Ha.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-15
Tor Sihayo (seberang Sungai Batang Gadis), maka areal hutan negara tersebut secara fisik akan
berada di wilayah administrasi Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda, Tangga Bosi (I,II dan
III) dan Tanjung Sialang. Berdasarkan keterangan sejumlah informan di desa, garis batas kawasan
hutan lindung di desa mereka hanya berjarak beberapa ratus meter dari pinggir Sungai Batang Gadis
ke arah barat dan selatan; sehingga dapat diduga bahwa luas wilayah desa-desa sebagaimana
tertera dalam data BPS sebagian sudah termasuk lahan hutan negara. Sebagian besar luas wilayah
Desa Muara Batang Angkola yang berjumlah 8.575,36 Ha tersebut termasuk kawasan hutan negara,
termasuk di dalamnya adalah kawasan Tor Sihayo yang menjadi fokus penelitian ini.
Jika luas wilayah desa seperti disajikan dalam Tabel 2.3. di atas dibagikan dengan jumlah KK yang ada
di masing-masing desa, maka akan terlihat bahwa rata-rata kemungkinan penguasaan lahan desa
untuk kelima desa mencapai 8,46 Ha per KK, dan jika dilihat per satuan desa yang terbesar adalah
Muara Batang Angkola (45,37 Ha/KK) sedangkan yang terkecil adalah Tangga Bosi I (0,76 Ha/KK).
Namun sekali lagi patut dicatat bahwa kasus Desa Muara Batang Angkola memiliki luas wilayah desa
yang sebagian besar terdiri dari hutan negara. Dari wawancara yang dilakukan terhadap warga desa
tersebut terungkap bahwa penduduk desa ini justru sudah kesulitan untuk mendapatkan lahan
pertanian, karena mereka sudah terbentur dengan wilayah hutan negara di seberang desanya.
Secara rinci, rata-rata kemungkinan penguasaan lahan desa di kelima desa berdasarkan data tersaji
pada Tabel 2.3 di atas adalah sebagai berikut: (i) Muara Batang Angkola 45,37 Ha/KK; (ii) Hutagodang
Muda 3,18 Ha/KK; (iii) Tangga Bosi I 0,76 Ha/KK; (iv) Tangga Bosi II 1,29 Ha/KK; dan (v) Tangga Bosi III
3,36 Ha/KK. Secara umum dapat ditarik inferensi bahwa terdapat persoalan keterbatasan lahan yang
bisa diakses oleh setiap KK di kelima desa yang kehidupannya tergantung kepada sektor pertanian.
Mata pencaharian hidup
Catatan statistik resmi Kecamatan Siabu tidak menyajikan data yang bisa memperlihatkan sebaran
kuantitatif mata pencaharian penduduk di desa-desa yang ada di kawasan Tor Sihayo. Namun
demikian, jika mengacu kepada data-data di tingkat kabupaten (Kabupaten Mandailing Natal Dalam
Angka 2008), terlihat bahwa pada tahun 2007 terdapat 176.590 penduduk berusia 15 tahun ke atas
yang bekerja, sebanyak 130.587 orang atau sebesar 74 % diantaranya bekerja pada lapangan usaha
pertanian, peternakan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Sisanya sebanyak 13 % bekerja di
lapangan usaha perdagangan besar, eceran, rumah makan dan akomodasi; serta dalam proporsi
yang lebih kecil bekerja di sektor industri pengolahan, angkutan dan komunikasi, pertambangan dan
penggalian, konstruksi dan jasa.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-16
Dapat diasumsikan bahwa desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo juga memiliki karakteristik yang
kurang lebih sama seperti gambaran di atas. Karena itu, jika diasumsikan 74 % dari total penduduk
berusia 15 tahun ke atas di desa-desa tersebut bertumpu pada lapangan usaha pertanian, maka
angka rata-rata peluang penguasaan lahan di desa seperti disajikan di atas menggambarkan adanya
gejala kelangkaan lahan (land scarcity) pertanian hampir di semua desa. Perlu dicatat bahwa angka
rata-rata peluang penguasaan lahan desa belum memperhitungkan fakta adanya pola-pola
penggunaan lahan lain di desa, seperti lahan untuk bangunan rumah/pekarangan, areal untuk
fasilitas sosial/publik, areal marginal, dan lain sebagainya. Dari angka yang ada terlihat bahwa secara
berturut-turut desa yang paling potensial mengalami gejala kelangkaan lahan adalah Tangga Bosi I
(0,76 Ha/KK), Tangga Bosi II (1,29 Ha/KK), Hutagodang Muda (3,18 Ha/KK), Tangga Bosi III (3,36
Ha/KK) dan Muara Batang Angkola (45,37 Ha/KK)---dengan catatan bahwa angka untuk desa yang
disebut terakhir ini diduga tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena sebagian lahan
yang ada di wilayah desa Muara Batang Angkola termasuk hutan negara yang tidak boleh diakses
untuk aktivitas pertanian.
Gambaran lapangan usaha pertanian di Kecamatan Siabu didominasi oleh persawahan (luas panen
pada 2007 adalah 11.254 Ha), yang menjadikan daerah ini sebagai lumbung beras untuk Kabupaten
Mandailing Natal (31,5 % total kabupaten). Selain itu, penduduk juga mengusahakan beberapa jenis
tanaman komersial dengan luasan dan proporsi dari total kabupaten sebagai berikut : tanaman
kemiri 94,5 Ha (16 %), tanaman kelapa seluas 315,97 Ha (12 %), tanaman coklat 216,00 Ha (5 %),
kopi robusta 146 Ha (5 %), kebun karet rakyat seluas 2.238,00 Ha (3 %), dan tanaman kelapa sawit
113 Ha (0,8 %). Sayang sekali bahwa tidak ditemukan data resmi yang menggambarkan sebaran jenis
lapangan usaha pertanian untuk tiap-tiap desa di sekitar kawasan Tor Sihayo.
Namun demikian, dari wawancara dan pengamatan yang dilakukan di lapangan terlihat bahwa
pengolahan sawah menjadi usaha yang cukup dominan bagi penduduk desa Tangga Bosi (I,II,III) dan
Hutagodang Muda. Hampir di semua desa juga ditemukan tanaman kelapa, kakao yang ditanam di
sekitar permukiman. Kemiri banyak ditanam warga di areal pertanian seberang Sungai Batang Gadis,
demikian juga tanaman karet. Diduga Desa Hutagodang Muda merupakan penghasil terbanyak
untuk komoditi pertanian seperti kakao, kelapa dan kemiri jika dibandingkan dengan empat desa
lainnya. Hasil tanaman padi cukup menonjol dari Tangga Bosi III yang memiliki areal persawahan
cukup luas, sedangkan hasil tangkapan ikan di sungai dan rawa cukup menonjol dari desa Muara
Batang Angkola. Jenis-jenis komoditi pertanian terdapat dalam proporsi yang kecil di semua desa
lainnya, dan memberikan kontribusi minor bagi perekonomian penduduk setempat.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
II:
Po
tret
Ala
m d
an S
osi
al E
kon
om
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
II-17
Gambar 6. Seorang pencari ikan sungai (produk ian sale) dari Muara Batang Angkola
Gambar 7. Hasil kelapa yang diolah menjadi kopra di Tangga Bosi dan Hutagodang Muda
Gambar 8. Hasil tanaman kakao, kemiri dan pinang di Hutagodang Muda
Gambar 9. Areal padi sawah di Tangga Bosi
Gambar 10. Pengrajin tikar pandan di Tangga Bosi
Gambar 11. Salah satu warung pedagang pengumpul hasil pertanian di Aek Tombang
6 7 8
9 10
11
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-1
BAB III
KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN TOR SIHAYO
Istilah tenur berasal dari kata tenure (Bahasa Inggeris) yang dapat diartikan sebagai seperangkat
aturan dan praktik yang menentukan siapa yang bisa memperoleh akses terhadap sumberdaya pada
suatu tempat dan waktu tertentu (van Dijk, 1996). Konsep tenur atau lebih spesifik land tenure
mencakup aspek kontinuitas dan fleksibilitas. Aspek kontinuitas mengandung pengertian bahwa
penguasaan atas sumberdaya adalah sebuah proses historis dimana orang-orang dan para
pendahulu mereka telah menginvestasikan tenaga dan kekuatan politik untuk penguasaan atas
sumberdaya tersebut; sedangkan aspek fleksibilitas dalam ‘land tenure’ mengandung pengertian
bahwa akses terhadap sumberdaya harus dikaji ulang secara berkelanjutan. Konflik tenurial yang
dimaksudkan di sini mengandung pengertian adanya suatu keadaan yang bersifat konflik atau
sengketa antara beberapa pihak atas penguasaan terhadap suatu sumberdaya yang sama. Uraian
dalam bab ini akan memberikan gambaran tentang nuansa konflik atau sengketa atas sumberdaya
hutan di kawasan Tor Sihayo, baik antar komunitas lokal, antara komunitas lokal dengan penduduk
pendatang, maupun antara komunitas lokal dan pendatang dengan otoritas pemerintah.
3.1. Status Kawasan Hutan
Dalam tataran normatif berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini kawasan
hutan Tor Sihayo yang sudah digambarkan pada bagian terdahulu adalah hutan negara, sebagian
termasuk wilayah Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dan sebagian lainnya termasuk Hutan
Lindung. Sebanyak 430,75 ha dari 504,25 ha areal hutan yang sudah dibuka oleh migran Nias di
kawasan Tor Sihayo berada di kawasan Hutan Lindung sedangkan 173,5 ha berada dalam kawasan
Taman Nasional Batang Gadis (Heru Sutmantoro, 2009). Penetapan kawasan Hutan Lindung sudah
berlaku sejak zaman kolonial, sedangkan penetapan menjadi Taman Nasional Batang Gadis bermula
dari tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. S.K. 126/ Menhut-II/2004.
Sebagian besar penduduk di sekitar kawasan hutan Tor Sihayo, baik komunitas lokal maupun
pendatang dari Nias sebenarnya sudah mengetahui bahwa kawasan tersebut berstatus hutan
lindung, yang mereka ketahui ada patok batasnya berupa pilar di beberapa titik di tengah hutan.
Namun masih banyak warga masyarakat yang mengakui belum mengetahui garis batas Taman
Nasional Batang Gadis di wilayah mereka.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-2
3.2. Klaim Penguasaan oleh Komunitas Lokal
Meskipun disebutkan di atas bahwa masyarakat sekitar kawasan Tor Sihayo sudah mengetahui
status hutan lindung dan taman nasional di satu sisi, namun di sisi lain sampai sekarang warga
masyarakat khususnya penduduk asli di daerah itu masih mengklaim bahwa kawasan tersebut
merupakan bagian dari wilayah desa mereka, baik atas nama tanah ulayat maupun wilayah desa.
Berikut akan diuraikan gambaran klaim dari komunitas penduduk asli, khususnya dari tiga desa
utama yang bersinggungan kepentingan langsung dengan kawasan Tor Sihayo.
3.2.1. Klaim Tanah Ulayat Desa Tangga Bosi
Desa Tangga Bosi II saat ini adalah bahagian masyarakat Tangga Bosi yang mengklaim bahwa
kawasan Tor Sihayo adalah bahagian dari wilayah desanya. Desa ini adalah bagian induk dari Desa
Tangga Bosi sebelum dimekarkan menjadi tiga desa yaitu Tangga Bosi I, II dan III beberapa tahun
lalu. Secara fisik wilayah desa Tangga Bosi sudah terpisah dengan kawasan Tor Sihayo karena
tersekat oleh wilayah desa Hutagodang Muda, Tanjung Sialang dan Muara Batang Angkola. Dengan
kata lain, desa ini tidak berbatasan langsung dengan aliran Sungai Batang Gadis dimana wilayah
daratan di seberangnya merupakan bentang alam langsung yang masuk kawasan Tor Sihayo.
Sebaliknya, tiga desa yang disebutkan di atas berbatasan langsung dengan aliran Sungai Batang
Gadis dan memiliki penduduk yang membuka hutan serta mengusahakan lahan di seberang sungai
tersebut.
Namun demikian, penduduk Desa Tangga Bosi II memandang bahwa kawasan Tor Sihayo di seberang
Sungai Batang Gadis adalah wilayah desa mereka yang diklaim berdasarkan tatanan penguasaan
wilayah secara tradisional melalui hukum adat. Bahkan wilayah desa Hutagodang Muda dan Muara
Batang Angkola juga diklaim sebagai wilayah tradisional Tangga Bosi. Fakta sejarah menunjukkan
bahwa Desa Hutagodang Muda memang adalah sebuah desa yang berdiri setelah kemerdekaan,
yang semula dikenal dengan nama Tano Tiris. Penduduk desa ini banyak berasal dari Desa Huta
Godang di Kecamatan Ulu Pungkut sekarang, yang semula berpindah ke Tangga Bosi dan
mengusahakan tanah sawah di sana. Ketika jumlah pendatang dari Hutagodang semakin banyak,
mereka mendirikan kampung di suatu tempat yang disebut Tano Tiris1, yang pada tahun 1947
1 Nama Tano Tiris (secara harfiah berarti “tanah bocor” ) semula adalah sebutan yang digunakan oleh penduduk setempat
untuk daerah pemukiman Hutagodang Muda sekarang yang merupakan tanah yang sering dilanda banjir namun cepat surut.
Di tempat itulah perkampungan penduduk pendatang asal Huta Godang yang datang langsung dari Mandailing Julu maupun
yang pindah kemudian dari Tangga Bosi dibuka di tengah areal persawahan yang waktu itu termasuk wilayah desa Tangga
Bosi.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-3
diresmikan namanya menjadi Hutagodang Muda oleh Raja Junjungan Lubis2 yang menjabat sebagai
Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan ketika itu. Sementara itu, Muara Batang Angkola adalah desa
yang berkembang dari kampung yang dihuni oleh orang-orang pendatang dari daerah Siulang-aling
(bagian hilir Sungai Batang Gadis), yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan di sungai dan
rawa-rawa di sekitar pertemuan Sungai Batang Angkola dan Sungai Batang Gadis. Sampai sekarang
sebagian besar penduduk desa ini masih bermata pencaharian sebagai pencari ikan yang hasilnya
diasap menjadi ian sale.
Dari sudut pandang masyarakat Tangga Bosi, kedua desa yang disebutkan di atas adalah lokasi
perkampungan penduduk yang berdiri di atas wilayah tradisional mereka, dengan kata lain semula
berada di wilayah tanah adat mereka. Adapun Tangga Bosi sendiri, secara tradisional, adalah anak
kerajaan Panyabungan Tonga yang dipimpin oleh klen Nasution. Dapat dicatat di sini bahwa klen
Nasution yang menguasai sebagian besar wilayah Mandailing Godang, memiliki kawasan yang sangat
luas ke arah timur, utara dan barat Panyabungan. Wilayah tersebut terbagi ke dalam penguasaan
tiga kerajaan besar dari klen Nasution, yaitu Panyabungan Tonga, Huta Siantar dan Pidoli. Dalam
pembagian wilayah tradisional, kerajaan Panyabungan Tonga memiliki wilayah dari Panyabungan
Tonga sekarang ke arah barat berbatasan dengan Kekuriaan Aek Nangali dan ke arah utara
berbatasan dengan Kekuriaan Sayur Matinggi (Angkola). Jika di kerajaan induk Panyabungan Tonga
berkuasa seseorang yang berpredikat sebagai Raja Panusunan Bulung, maka di kerajaan anak
(perluasan) Tangga Bosi berkuasa seorang raja yang berpredikat sebagai Raja Pamusuk. Tangga Bosi,
karena itu, dalam tatanan tradisional adalah bahagian dari Kerajaan Panyabungan Tonga.
Konsepsi inilah yang menjadi dasar bagi penduduk Tangga Bosi untuk mengklaim semua wilayah
yang berada di antara wilayah desa mereka ke arah utara hingga batas Sungai Batang Angkola (batas
alam antara Kerajaan/Kekuriaan Panyabungan Tonga dengan Kekuriaan Sayur Matinggi) sebagai
wilayah desa Tangga Bosi. Demikian pula klaim mereka ke arah selatan dan arah barat, ke arah
seberang Sungai Batang Gadis hingga pegunungan Tor Sihayo sampai ke seberangnya lagi, di daerah
mana terdapat batas kerajaan atau kekuriaan Panyabungan Tonga dengan kerajaan atau kekuriaan
Aek Nangali dan Singkuang. Era kekuasaan kerajaan (otoritas tradisional berbasis Namora Natoras)
dan kekuriaan (birokrasi kolonial yang dilekatkan kepada otoritas tradisional) di daerah Mandailing
memang sudah lama berakhir, namun konsepsi lama tentang penguasaan wilayah masih hidup di
dalam alam pemikiran masyarakat. Bahkan beberapa tahun lalu sejumlah tokoh elit tradisional desa
Tangga Bosi dan Panyabungan Tonga bersekutu kembali untuk menegaskan ulang soal klaim wilayah
2 Raja Junjungan Lubis adalah keluarga bangsawan dan menjadi Raja di Huta Godang, Ulu Pungkut (Mandailing Julu) yang
pernah juga menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-4
tradisional itu. Penegasan klaim itu secara formal dibuat di hadapan notaris Sondang Matiur
Hutagalung, SH di Panyabungan dalam bentuk Akte Yayasan Tanah Ulayat Kekuriaan Panyabungan
Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi, diterbitkan tanggal 22 Januari 20013.
Di dalam akte tersebut dinyatakan bahwa maksud dan tujuan didirikannya yayasan adalah turut
serta berpartisipasi menjaga, mempertahankan serta melestarikan tanah ulayat Kekuriaan
Panyabungan Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi, demi tercapainya cita-cita Bangsa Indonesia dalam
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spritual. Disebutkan juga bahwa kekayaan
yayasan ini terdiri dari uang sejumlah Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) yang dikumpulkan dari para
pendiri, dan tanah ulayat seluas 60.000 Ha (enam puluh ribu hektar) dengan batas-batas sebelah
utara dengan tanah kuria Sayur Matinggi, sebelah timur dengan tanah kuria Gunung Tua, sebelah
selatan dengan tanah kuria Aek Nangali dan Muara Soma, sebelah barat dengan tanah kuria
Singkuang. Untuk mencapai maksud dan tujuannya yayasan berusaha dengan cara : (a) mengurus
dan menyelenggarakan pengawasan terhadap tanah ulayat Kekuriaan Panyabungan Tonga/Raja
Pamusuk Tangga Bosi sehingga tidak dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berkompeten; (b)
melestarikan tanah ulayat Kekuriaan Panyabungan Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi tersebut
dengan mengadakan penghijauan atau konservasi dan menjaga segala kemungkinan pengrusakan
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab; (c) mengelola atau membagikan
tanah ulayat Kekuriaan Panyabungan Tonga/Raja Pamusuk Tangga Bosi tersebut kepada masyarakat
adat dengan sistem hak guna usaha dengan menetapkan dan menerima uang pago-pago; (d)
mengelola dan menetapkan uang pago-pago yang diterima dari masyarakat adat sehubungan
dengan pemberian hak guna usaha tersebut4.
Jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang tanah yang berlaku saat ini, akte
yayasan tersebut mungkin tidak memiliki kekuatan hukum dalam mengklaim hak penguasaan atas
tanah ulayat yang disebut seluas 60.000 Ha tadi, yang sebagian besar berada di kawasan hutan
lindung dan taman nasional. Namun demikian, berdirinya yayasan tersebut secara implisit
menegaskan bahwa konsepsi tentang penguasaan wilayah yang berbasis pada zaman kerajaan di
masa lampau masih menjadi referensi bagi sebagian penduduk Tangga Bosi dalam mengklaim hak
penguasaan atas wilayah di sekitarnya, termasuk kawasan Tor Sihayo bahkan juga desa-desa yang
sudah eksis secara formal seperti Hutagodang Muda dan Muara Batang Angkola.
3 Pendiri yayasan tersebut adalah Zulkarnain Nasution penduduk Desa Panyabungan Tonga, Sutan Naparas Nasution
penduduk Desa Tangga Bosi, MR Tigor Pulungan Kepala Desa Tangga Bosi, Rajab Nasution penduduk Desa Huta Lombang
Panyabungan, dan Pardamean Lubis bertempat tinggal di Panyabungan. Dua nama yang disebut pertama masing-masing
adalah keturunan dari raja panusunan bulung di kerajaan/kekuriaan Panyabungan Tonga-tonga dan keturunan raja pamusuk
di Tangga Bosi. 4 Informasi ini dikutip dan disalin dari copy akte yayasan tersebut.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-5
Berkaitan dengan klaim penguasaan wilayah oleh Desa Tangga Bosi, patut disebutkan bahwa
terdapat beberapa dokumen lain yang substansinya selaras dengan penegasan terhadap klaim
tersebut, misalnya: (1) dokumen berisi keputusan rapat/pertemuan tokoh masyarakat Desa Tangga
Bosi dengan Kepala Desa Simaninggir TT dan Kepala Desa Kota Tua TT (keduanya dari Kecamatan
Batang Angkola) dan petani penggarap Pasir Bidang Kecamatan Siabu, yang diadakan di Siabu
tanggal 10 Juni 1993. Dari hasil pertemuan yang ketika itu juga diikuti oleh Camat Siabu, Camat
Batang Angkola, serta Dan Ramil Siabu terlihat bahwa kawasan Pasir Bidang yang berada jauh di hilir
Muara Batang Angkola, yang digarap secara ilegal oleh warga dua desa di Kecamatan Batang
Angkola, dinyatakan sebagai bagian dari wilayah Desa Tangga Bosi, dan pengaturan selanjutnya
berada di bawah kewenangan pemimpin dan perangkat desa Tangga Bosi; (2) sebuah dokumen
perdamaian sengketa batas wilayah kuria Sayur Matinggi dan Panyabungan Tonga terkait dengan
pembukaan lahan yang dilakukan oleh ‘anak negeri’ dari kampung Sihepeng, pada tanggal 2 Maret
1929, juga menyebutkan bahwa tanah di sebelah timur dan selatan pilar yang ditetapkan pada tahun
1913 di kawasan itu adalah termasuk wilayah kekuriaan Panyabungan Tonga5. Tangga Bosi adalah
anak kerajaan Panyabungan Tonga yang berbatasan dengan tanah yang disengketakan itu, sehingga
pengakuan atas klaim Panyabungan Tonga secara implisit merupakan pengakuan bahwa kerajaan
Tangga Bosi berhak atas wilayah di sebelah timur dan selatan pilar 1913 yang disebutkan dalam
dokumen perdamaian itu.
Contoh mutakhir klaim penguasaan wilayah Tor Sihayo oleh Desa Tangga Bosi terjadi pada tahun
1997, yaitu ketika Kepala Desa Tangga Bosi dengan dukungan tokoh adat membuat kebijakan untuk
meminta ganti rugi semua tanah adat yang telah dibuka dan diolah oleh migran Nias khususnya di
kawasan Tor Pulo. Migran Nias menyanggupi persyaratan tersebut dengan sistem pembayaran ganti
rugi lepas (Heru Sutmantoro, 2009). Penduduk migran Nias yang ada di kawasan Tor Pulo kemudian
diterima sebagai warga desa Tangga Bosi, dan secara administratif menjadi salah satu dusun dari
desa Tangga Bosi (sekarang Tangga Bosi II). Adanya warga desa Tangga Bosi di dusun terjauh
tersebut (meskipun secara fisik/geografis tidak menyatu dengan wilayah induknya) secara faktual
mengukuhkan “hak penguasaan” Desa Tangga Bosi II atas kawasan Tor Sihayo, yang secara
tradisional memang sudah mereka nyatakan sebagai bagian dari wilayah adat atau tanah ulayatnya.
Beberapa contoh surat ganti rugi lepas antara warga Nias dengan penduduk desa Tangga Bosi II yang
dikukuhkan dengan cap kepala desa memberikan penegasan tentang klaim tersebut.
5 Perdamaian untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah tersebut dilakukan oleh Baginda Gadombang Parlaoengan (Kepala
Kuria Sayur Matinggi), Mangaraja Iskandar Panoesoenan (Kepala Kuria Panyabungan Tonga), Soetan Kamaroedin (kepala
kampung Sihepeng), dihadapan pejabat Kontrolir Angkola Sipirok (W.P.H. Coolhaas), Kontrolir Mandailing (M.C. Voorn),
Demang Angkola Sipirok (Parlindoengan) dan Demang Mandailing (B.I.Sobolaon).
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-6
3.2.2. Klaim wilayah Desa Hutagodang Muda
Sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di Desa Hutagodang Muda berasal dari desa Huta
Godang di Kecamatan Ulu Pungkut (hasil pemekaran wilayah Kecamatan Kotanopan). Kepala-kepala
keluarga yang berusia sekitar 50-an tahun pada umumnya masih kelahiran desa Huta Godang.
Migrasi penduduk dari Ulu Pungkut ini mulai terjadi sebelum atau di masa-masa awal kemerdekaan
RI. Pada awalnya mereka masuk ke Desa Tangga Bosi dan mengusahakan sawah di wilayah desa
tersebut yang memiliki areal persawahan cukup luas, berbatasan dengan areal rawa-rawa (Rodang
Tinapor) di kawasan Muara Batang Angkola. Penduduk asal Huta Godang ini kemudian
terkonsentrasi di daerah Tano Tiris, karena di daerah itulah mereka membangun pondok atau
rumah-rumah tempat tinggal sementara, sampai suatu ketika berubah menjadi perkampungan
resmi. Salah seorang informan di Desa Hutagodang Muda menyebutkan bahwa para pendahulu
mereka datang ke wilayah Siabu dengan meminta tanah kepada kerajaan Panyabungan Tonga
melalui raja pamusuk di Tangga Bosi, ketika itu Raja Mangguyang.
Lazimnya, sesuai adat istiadat Mandailing, izin pemberian tanah untuk membuka perkampungan
baru mencakup sekurangnya tanah pertapakan untuk perkampungan dan lahan tempat warganya
mencari kehidupan. Tanah pertapakan yang dimaksud terletak di daerah Tano Tiris, sedangkan lahan
tempat berusaha adalah areal persawahan yang ada di sekitarnya serta kawasan hutan di seberang
Sungai Batang Gadis untuk areal perladangan. Informan menyebutkan bahwa batas yang disepakati
antara Hutagodang Muda dengan Tangga Bosi adalah alur air yang disebut “parparauan” (tempat
berperahu) di sebelah timur6, dan dengan “dano parapat” di sebelah tenggara yang berbatasan
dengan Tanjung Sialang. Sementara itu, di sisi seberang Sungai Batang Gadis, batas desa Hutagodang
Muda dengan desa Tanjung Sialang menurut informan adalah Aek Sidua-dua yang mengalir dari Tor
Jilok, dan disana ada areal persawahan bernama “Saba Padang Solok” dan “Saba Aek Garut”.
Penduduk yang bermukim di seberang sungai besar tersebut pada umumnya adalah migran asal
Batak Toba, dan Dusun V Aek Garut secara resmi merupakan salah satu dusun dari Desa Hutagodang
Muda.
Areal yang diklaim oleh Desa Hutagodang Muda di seberang Sungai Batang Gadis mencakup anak
sungai Aek Sidua-dua (di bagian hulu, berbatasan dengan Tanjung Sialang), Aek Garut, Aek
Silandorung, Aek Tombang, Aek Simarincor-incor sampai muara Aek Sihayo di sebelah hilir. Di
kawasan yang disebut terakhir inilah terdapat lokasi Pasir Bidang, yang pernah dibuka oleh
6 Informan menyebutkan bahwa alur air tersebut adalah alur yang menghubungkan areal rawa di sebelah timur Desa Muara
Batang Angkola, memanjang ke sebelah selatan dan menyatu dengan anak sungai kecil yang bermuara ke Sungai Batang Gadis
di bagian hulu Tanjung Sialang. Di masa lalu penduduk Hutagodang Muda harus naik perahu di kawasan tersebut untuk
menuju Desa Tangga Bosi.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-7
penduduk migran Batak Toba dari dua desa di sekitar Tano Tombangan Kecamatan Angkola Jae,
tetapi yang pada tahun 1993 diputuskan merupakan bagian wilayah Desa Tangga Bosi sesuai hasil
pertemuan pimpinan dua kecamatan (Siabu dan Batang Angkola) bersama tokoh masyarakat yang
dilangsungkan di Siabu seperti telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, terdapat klaim ganda
antara Desa Tangga Bosi dan Hutagodang Muda atas lahan-lahan di pinggir sungai Batang Gadis,
khususnya di bagian hilir Desa Muara Batang Angkola sampai ke muara Aek Sihayo. Sementara itu,
bagian lereng dan punggung bukit di atas anak-anak sungai yang disebutkan tadi juga sebagian
diklaim oleh Desa Hutagodang Muda, yaitu mulai dari Tor Ledang (hulu anak sungai Aek Garut), Tor
Bulusoma, Tor Jilok dan Tor Bahal Gaja. Perbukitan di atas Aek Tombang dan sekitarnya juga diklaim
sebagai wilayah Desa Hutagodang Muda.
Klaim tenurial Desa Hutagodang Muda atas kawasan perbukitan di Tor Bulusoma, Tor Jilok, Tor Bahal
Gaja dan Aek Tombang sudah berlangsung lama, diperkirakan jauh sebelum migran Nias datang ke
daerah itu. Pada tahun 1982, seperti telah disinggung pada Bab II, tokoh-tokoh masyarakat
Hutagodang Muda mendirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk menyantuni anak-anak yatim.
Usaha yang dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut adalah membuka areal kebun karet di Tor
Bulusoma, namun usaha itu tidak berjalan mulus. Pada kurun waktu yang sama, Desa Hutagodang
Muda juga memanfaatkan program Perkebunan Karet Berbantuan (PKB) yang diberikan oleh
pemerintah dengan membuka areal kebun karet seluas 130 Ha di dua lokasi yaitu Tor Bahal Gaja
arah ke Sihayo (lokasi SMM sekarang) dan Tor Bulusoma, masing-masing 90 Ha dan 40 Ha. Program
tersebut juga berakhir dengan kegagalan, namun klaim atas lahan yang ada kemudian berpindah ke
tangan sejumlah warga desa Hutagodang Muda. Setelah migran Nias memasuki daerah Tor
Bulusoma pada tahun 1980-an, warga Desa Hutagodang Muda kemudian menganeksasi lahan
tersebut kembali pada tahun 1991 sehingga orang-orang Nias di daerah itu keluar dan berpencar-
pencar ke areal sekitarnya. Tahun 2006-2007 muncul pula usulan dari warga Hutagodang Muda
untuk menjadikan areal hutan di perbukitan Tor Bulusoma, Aek Tombang dan sekitarnya diajukan
sebagai lokasi proyek GERHAN. Peristiwa ini merupakan yang ketiga kalinya terjadi konflik tenurial
antara migran Nias dengan penduduk Hutagodang Muda.
3.2.3. Klaim wilayah Desa Muara Batang Angkola
Dalam catatan statistik kecamatan 2005 disebutkan bahwa Desa Muara Batang Angkola memiliki
luas wilayah 1.330 Ha (Edi Ikhsan dkk,2005), tetapi dalam data statistik Kecamatan Siabu 2008
memiliki luas 8.575,36 Ha, yang sebagiannya mencakup wilayah Tor Sihayo di seberang Sungai
Batang Gadis. Secara fisik dan geografis, memang, desa Muara Batang Angkola adalah yang terdekat
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-8
dan berbatasan langsung dengan kawasan Tor Sihayo, juga menjadi pintu masuk menuju kluster-
kluster permukiman migran Nias di sekitar itu. Namun demikian, dalam konsepsi masyarakat Desa
Tangga Bosi dan Hutagodang Muda, warga desa Muara Batang Angkola secara historis tidak berhak
mengklaim lahan di seberang Sungai Batang Gadis. Warga desa ini adalah pendatang yang berasal
dari daerah Siulang-aling yang pada pertengahan abad ke-20 menjadikan lokasi permukiman
sekarang sebagai tempat tinggal bagi para pencari ikan di muara sungai dan rawa-rawa di sekitar itu.
Selama puluhan tahun belakangan ini interaksi mereka dengan kawasan hutan relatif kecil dan
aktivitas pertanian warga lebih banyak terfokus di sekitar permukiman. Mencari ikan di sungai dan
rawa-rawa masih menjadi modus utama ekonomi penduduk desa Muara Batang Angkola sampai
sekarang. Jumlah warga asli desa yang membuka lahan di seberang Sungai Batang Gadis tidak
banyak, beberapa di antaranya adalah keluarga kepala desa yang sekarang, yang membuka kebun
kemiri dan karet di sekitar Aek Tombang sejak akhir 1970-an.
Perhatian warga asli Muara Batang Angkola terhadap aktivitas pertanian ke seberang sungai baru
muncul beberapa tahun terakhir ini, antara lain karena semakin sempitnya lahan pertanian yang bisa
dikelola di sekitar permukiman. Perluasan lahan pertanian ke arah utara dan timur laut desa
terhambat oleh keberadaan rawa-rawa yang diklaim sebagai tanah ulayat Desa Tangga Bosi. Ke arah
tenggara dan selatan sudah berbatasan dengan lahan-lahan milik warga desa Hutagodang Muda. Ke
arah barat daya, barat dan barat laut, adalah kawasan Tor Sihayo yang secara faktual sudah dikelola
oleh migran Nias, secara historis diklaim pula oleh Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. Selain itu,
warga desa Muara Batang Angkola juga mengetahui bahwa di kawasan itu sebenarnya sudah
ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung sejak zaman kolonial. Informan di Muara Batang Angkola
mengatakan bahwa secara fisik dan geografis merekalah yang paling berhak mengklaim lahan di
kawasan Tor Sihayo, karena desa mereka yang berbatasan langsung dengan kawasan itu.
Klaim Desa Muara Batang Angkola atas kawasan Tor Sihayo, khususnya sekitar Aek Tombang, Aek
Simate-mate sampai ke muara Aek Sihayo dikuatkan dengan fakta bahwa sebagian warga penduduk
asli Muara Batang Angkola telah membuka lahan kebun karet, kemiri dan coklat di daerah itu. Lahan
yang mereka kuasai umumnya berada di sempadan Sungai Batang Gadis mulai dari batas desa
Muara Batang Angkola sampai ke hilir di sekitar muara Aek Sihayo. Sumberdaya ikan yang terdapat
di aliran sungai Batang Gadis mulai dari batas desa hingga belasan kilometer ke hilir boleh dikatakan
berada di bawah penguasaan warga Muara Batang Angkola, dan beberapa warga desa juga
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-9
menguasai lahan di sempadan sungai tersebut7. Penduduk migran Nias di bagian sempadan sungai
tersebut juga secara administratif menjadi warga desa Muara Batang Angkola.
3.3. Klaim Penguasaan oleh Komunitas Migran Nias
Komunitas migran Nias di kawasan Tor Sihayo tidak mengklaim penguasaan wilayah selain lahan
yang mereka buka dan kelola untuk pemukiman dan pertanian. Namun demikian, seperti telah
disebutkan di atas, luas hamparan hutan yang mereka buka sejak pertama kali datang ke kawasan ini
sudah mencapai 504,25 Ha sebagaimana ditemukan oleh tim inventarisasi dari Pemerintah
Kabupaten Mandailing Natal (Heru Sutmantoro, 2009). Dari hasil kajian di Batang Toru (Zulkifli Lubis
dkk, 2007) maupun di kawasan Tor Sihayo ditemukan gambaran bahwa migran Nias pada umumnya
tidak menempatkan aspek legalitas penguasaan lahan sebagai hal yang sangat penting. Kesulitan
hidup yang mereka hadapi di kampung halamannya di Pulau Nias sudah menjadi modal yang cukup
bagi mereka untuk menguatkan tekad berjuang mencari tempat mencari nafkah yang lebih baik di
daerah rantau. Pertimbangan utama mereka masuk ke suatu wilayah bukan pada aspek legalitas
lahan yang akan dibuka, melainkan ada tidaknya jaringan kerabat atau kenalan yang bisa menjadi
tumpangan sementara. Karena itu, tidak mengherankan jika ditemukan fakta bahwa warga yang
mendiami suatu kluster permukiman dan perladangan migran Nias di tengah hutan adalah mereka
yang memiliki jaringan kekerabatan atau berasal dari desa yang sama di Pulau Nias.
Berbeda dengan komunitas lokal yang sedikit banyak masih mempertimbangkan status kawasan
hutan yang akan dibuka, migran Nias selalu siap menebas hutan dimana saja sepanjang tidak ada
pihak yang melarang mereka. Faktor jarak, aksesibilitas, kontur lahan dan status legal lokasi yang
akan dibuka tidak menjadi pertimbangan penting bagi mereka. Kenyataan itulah yang bisa
ditemukan dengan mudah di kawasan Tor Sihayo. Kluster permukiman migran Nias di Tor Pulo
misalnya, yang ditaksir berjarak 8 km dari Desa Muara Batang Angkola dan harus melewati medan
yang sulit, bukit terjal dan kemiringan lebih dari 40 derajat, sekarang ini justru telah berubah
menjadi sebuah kampung yang dihuni 95 KK, didukung oleh fasilitas penerangan listrik dari
generator yang mereka usahakan secara swadaya, siaran televisi yang didukung dengan antena
parabola, bangunan gereja sebagai sarana beribadah dan juga bangunan sekolah sebagai sarana
pendidikan untuk anak-anak. Dukungan logistik untuk kebutuhan rumah tangga sebagian bisa
dipenuhi dari hasil tanaman ladang (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas), sebagian lain
7 Warga desa Muara Batang Angkola yang memiliki mata pencaharian utama sebagai penangkap ikan di Sungai Batang Gadis
biasa meninggalkan keluarga mereka selama 3 minggu hingga sebulan. Mereka secara individual menguasai bagian-bagian
tertentu dari aliran sungai, selama berhari-hari menangkap ikan dengan jala dan jaring di tempat itu, menginap sendiri dan
mengasap hasil tangkapan pada malam hari, dan setelah penuh keranjang bawaan (kapasitas 15-20 kg) barulah mereka pulang
ke Muara Batang Angkola. Beragam jenis ikan yang disalai (diasapi) tersebut kemudian dijual ke toke dengan harga sekitar Rp
70.000/kg.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-10
dipenuhi dengan membeli ke pasar dari uang hasil penjualan cabe, sayur-sayuran, kemiri, dan coklat.
Mereka menanam beragam jenis tanaman tadi di lahan yang agak landai di punggung bukit maupun
di lereng yang terjal, dengan menebangi pohon-pohon kayu yang ada meskipun di bawahnya ada
sumber mata air. Di atas semua itu, hamparan lahan pertanian dan permukiman yang mereka
duduki tersebut adalah kawasan hutan berstatus Hutan Lindung.
Migran Nias yang bermukim di kawasan Tor Sihayo akan selalu merasa nyaman untuk berusaha dan
memperluas lahan garapannya sepanjang tidak ada pihak lain yang datang mengusik, baik dari warga
setempat maupun aparat pemerintah. Namun, adanya beberapa kali kasus konflik atau perbenturan
klaim atas lahan di kawasan itu yang memperhadapkan migran Nias dengan warga desa-desa sekitar,
mulai membangunkan kesadaran mereka tentang status dan kekuatan alas hak yang mereka miliki
untuk mengelola lahan di tempat tersebut. Oleh karena itu, mereka berupaya mendapatkan
dokumen apa saja yang bisa menguatkan klaim mereka terhadap lahan yang dikelola maupun atas
status kependudukan mereka di desa-desa terdekat. Surat jual beli atau ganti rugi tanah adalah
secarik dokumen yang mereka pegang sebagai bukti alas hak, kendati surat-surat tersebut sangat
lemah dari sisi hukum formal. Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai identitas domisili dan
kependudukan merupakan dokumen lain yang mereka usahakan untuk bisa dimiliki, minimal oleh
seorang Kepala Keluarga.
Seorang tokoh migran Nias yang saat ini menjabat sebagai kepala dusun di Tor Pulo mengaku
menyimpan hampir semua fotocopy dokumen surat-surat jual beli dan ganti rugi tanah dari warga
Nias yang ada di kawasan Tor Pulo. Pada umumnya surat perjanjian jual beli atau ganti rugi tersebut
dibuat di atas kertas segel dengan cara diketik atau tulis tangan mencakup informasi tentang pihak
pertama dan pihak kedua; luas tanah, letak dan batas-batasnya; harga yang disepakati; tanda tangan
kedua belak pihak berikut saksi-saksi; tanda tangan dan cap kepala desa. Tidak ada penjelasan
tentang jumlah eksemplar surat, juga tidak ada informasi bahwa salinan surat tersimpan di kantor
kepala desa sebagai pejabat yang menyaksikan transaksi tersebut dan sepatutnya mengarsipkannya
untuk kepentingan administrasi desa8.
8 Bahkan terdapat satu contoh surat yang diduga ditulis tangan oleh pembeli (migran Nias) ---terlihat dari penyebutan yang
salah mengenai nama desa mengikuti aksen Nias yang tidak mengenal huruf mati di akhir kata--- kemudian ditandatangani
oleh kedua belah pihak, saksi dan kepala desa. Ada kesan bahwa kepala desa yang membubuhkan tanda tangan di atas surat-
surat tersebut hanya memenuhi formalitas dan kebutuhan migran Nias yang membeli tanah di wilayahnya.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-11
Berikut dikutip beberapa bagian dari empat contoh
surat ganti rugi tanah yang melibatkan migran Nias
dengan warga di Desa Tangga Bosi, Hutagodang Muda
dan Muara Batang Angkola.
1. Surat ganti rugi tanah antara M.R. Tigor
Pulungan dengan Julianto Gea, tertanggal 20 Agustus
1997.
Julianto Gea, sekarang sebagai kepala dusun Tor Pulo,
guru jemaat GPPDI dan guru SD filial Muara Batang
Angkola di dusun Tor Pulo, adalah migran Nias
gelombang kedua yang datang ke Tor Sihayo dan
kemudian “membeli” tanah seluas 10 Ha kepada M.R.
Tigor Pulungan yang saat itu menjabat sebagai Kepala
Desa Tangga Bosi. Dalam surat ganti rugi yang mereka
buat digambarkan sketsa lahan yang dibeli, yaitu
sebelah utara berbatasan dengan hutan pinggiran Aek
Sihayo, sebelah timur berbatasan dengan lahan milik
Onekrezi Zega, sebelah selatan berbatasan dengan
Julius Gea/ masyarakat desa Muara Batang Angkola,
dan sebelah barat berbatasan dengan hutan
Pangidoan Goreng9.
2. Surat ganti rugi tanah antara Sunardi Lubis
(warga desa Hutagodang Muda) dan Marinus Zebua,
tertanggal 3 Oktober 2000.
Sunardi Lubis (29 thn), warga desa Hutagodang Muda
“menjual” sebidang tanah/kebun yang berlokasi di
sekitar Aek Tombang seluas 2 Ha dengan harga Rp
500.000; yang di sebelah timur dan barat berbatasan
9 Dalam sebuah wawancara dengan M.R. Tigor Pulungan disebutkan bahwa kawasan hutan Pangidoan Goreng adalah nama
bukit yang digunakan sebelum berganti menjadi Tor Pulo. Dinamakan Tor Pangidoan Goreng karena di tempat itu, yang
puluhan tahun lalu biasa dijadikan tempat menginap oleh penduduk yang mencari hasil hutan, pernah terdengar suara anak-
anak menangis meminta makanan gorengan di malam hari padahal tidak ada anak-anak ( manusia) di tempat tersebut.
Karena diyakini bahwa suara itu adalah makhluk halus yang menghuni kawasan sekitar, kemudian penduduk Tangga Bosi
menyebutnya sebagai bukit atau Tor Pangidoan Goreng.
Surat Ganti Rugi
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
nama M.R. Tigor Pulungan [dst]. Bahwa
saya sebagai pihak pertama mengaku
dengan sebenarnya telah menyerahkan
sebidang tanah dan tanaman yang ada
di atasnya, kepada nama Julianto Gea
[dst].Tanah dan tanaman yang telah
saya serahkan sebagai pihak pertama
kepada pihak kedua di dalam surat ini
seluas lebih kurang 10 Ha, dengan cara
pihak kedua memberikan ganti rugi
kepada pihak pertama, uang sebesar
Rp.2.500.000 tunai. Tanah seluas
tersebut di atas terletak di Tor Pulo
Gunung Sihayo Desa Tangga Bosi Kec.
Siabu Kabupaten Tapanuli Selatan.
Batas-batas tanah [dst]
[Dst]
Dan sejak surat ganti rugi ini diperbuat
maka hak saya sebagai pihak pertama
gugur menjadi pindah sebagai hak pihak
kedua untuk mengurus dan
mengusahakannya.Dan apabila ternyata
di kemudian hari ada masalah dan
ganggu gugat atas tanah seluas tersebut
dari pihak saya pihak pertama dan juga
dari pihak lain, maka saya pihak pertama
yang bertanggungjawab dan segala
kerugian pihak kedua untuk itu saya
pihak pertama yang membayar dan saya
bersedia ditindak sebagaimana hukum
yang berlaku di Negara RI dan UUD
1945. [dst].
Tangga Bosi, 20 Agustus 1997
Pihak Pertama: M.R. Tigor Pulungan
Pihak Kedua : Julianto Gea
Saksi-saksi :
1. Onekrezi Zega (sebelah timur)
2. Todotoro Zai (sebelah barat)
3. Julius Gea (sebelah selatan)
4. Terezaro Zega (kepala dusun
Torpulo)
5. Sutan Naparas (tokoh adat Tangga
Bosi)
Dibenarkan oleh Kepala Desa Tangga
Bosi:
M.R. Tigor Pulungan
Gambar sketsa tanah tersebut
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-12
dengan areal hutan, sedangkan di sebelah utara berbatas dengan tanah Ama Suko Harefa dan
sebelah selatan dengan tanah Ama Eri, keduanya migran Nias.
Di dalam surat ganti rugi yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak serta saksi-saksi batas dan warga
desa, dan diketahui oleh Kepala Desa Hutagodang
Muda ketika itu (Usuluddin Lubis), dinyatakan tentang
status lahan tidak dalam sengketa, juga kesiapan pihak
penjual untuk digugat jika ada masalah dakwaan di
belakang hari.
3. Surat jual beli tanah/kebun antara Darwis
Nasution dan Taliso Zai, tertanggal 19 April 2002
Dalam surat jual beli di atas segel ini disebutkan
bahwa Darwis Nasution (warga Hutagodang Muda)
menjual sebidang tanah/kebun (5 bunbun) berlokasi
di Aek Tombang kepada Taliso Zai (beralamat di Aek
Tombang desa Muara Batang Angkola) dengan harga Rp. 1.000.000 tunai. Juga dinyatakan dalam
surat tersebut kesediaan pihak penjual untuk dituntut secara hukum jika di belakang hari ada
gugatan dari pihaknya atas tanah tersebut. Surat ditandatangani oleh kedua belah pihak, saksi-saksi
dan kepala desa Hutagodang Muda (Usuluddin Lubis).
4. Surat ganti rugi tanah/kebun antara Asdi Lubis dan Ranizaro Gea, tertanggal 12 Juli 2008
Surat bertulis tangan di atas kertas segel ini menyatakan adanya ganti rugi tanah/kebun antara Asdi
Lubis (warga Desa Hutagodang Muda) sebagai pihak pertama dengan Ranizaro Gea (beralamat di
Aek Tombang, Desa Hutagodang Muda --tertulis salah dua kali Hutagoda Muda), seluas 4 Ha dengan
harga Rp 6.000.000. Juga dinyatakan dalam surat adanya kesediaan pihak kedua untuk dituntut
secara hukum jika ada gugatan kelak; dan surat ditandatangani oleh pihak pertama, tiga orang saksi
(Alimudin Lubis, Arianto Batubara dan Soleh Matondang), dan tanda tangan serta cap Kepala Desa
Hutagodang Muda (Rail Dalimunte) sebagai pihak yang mengetahui. Surat dibuat di Aek Tombang,
tertanggal 12 Juli 2008.
Migran Nias yang memiliki surat-surat ganti rugi tanah seperti yang disebutkan di atas merasa
bahwa mereka telah memiliki alas hak yang sah atas aktivitas yang dilakukannya di atas tanah
tersebut, baik untuk mengusahakan tanaman maupun untuk tempat bermukim, terlepas apakah
…Dapat saya tambahkan bahwa tanah
tersebut tidak dalam keadaan sengketa
atau tidak sedang dalam keadaan
diborohkan kepada pihak lain oleh sebab
sesuatu hutang saya, pendeknya tanah
tersebut tidak ada dakwa-dakwinya di
belakang hari dari saya maupun dari
pihak waris saya.
Apabila tanah tersebut ada gugatan dari
saya maupun dari pihak waris saya,
maka bersedia dituntut sesuai hukum
dan perundang-undangan yang berlaku.
Dikutip dari Surat Ganti Rugi antara
Sunardi dan Marinus Zebua
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
III:
Ko
nfl
ik T
en
uri
al D
i Kaw
asan
To
r Si
hay
o
III-13
surat tersebut memiliki kekuatan atau tidak sama sekali dari perspektif hukum formal. Paling tidak,
ketika mereka berhadapan dengan warga masyarakat lokal yang berusaha mengklaim hak
penguasaan atas lahan-lahan yang sudah dibuka oleh migran Nias di kawasan itu, mereka merasa
memiliki posisi tawar yang kuat karena adanya bukti-bukti transaksi di atas.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-1
BAB IV
ANALISIS KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA
Pada bab terdahulu sudah digambarkan secara ringkas adanya tumpang tindih klaim penguasaan atas
kawasan hutan Tor Sihayo, yang melibatkan migran Nias dan penduduk asli di sekitarnya khususnya
Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. Jika diringkas, yang terlihat adalah
gambaran sebagai berikut : (a) Desa Tangga Bosi mengklaim bahwa seluruh kawasan Tor Sihayo berada
dalam kawasan teritorialiti1 mereka yang didasarkan pada aturan tanah adat terwariskan sebagai
bahagian dari wilayah kerajaan/kekuriaan Panyabungan Tonga, yang meliputi wilayah desa Hutagodang
Muda, Muara Batang Angkola hingga ke batas kekuriaan Sayur Matinggi di seberang Sungai Batang
Angkola; (b) Hutagodang Muda mengklaim sebagian perbukitan di kawasan Tor Sihayo hingga ke
sempadan Sungai Batang Gadis dan ke hilir di muara Aek Sihayo; (c) Muara Batang Angkola mengklaim
wilayah Tor Sihayo karena secara fisik berbatasan langsung dengan desanya hingga sempadan sungai ke
arah hilir Sungai Batang Gadis; dan (d) komunitas Nias mengklaim lahan-lahan yang mereka usahai
berdasarkan jual beli dan ganti rugi dengan penduduk setempat.
Uraian pada bab ini akan menggambarkan lebih detil faktor-faktor yang mendasari konflik penguasaan
sumberdaya alam di kawasan Tor Sihayo, yang akan dipilah dalam dua bagian besar yaitu faktor subjektif
dan faktor objektif. Faktor subjektif mencakup adanya silang kepentingan antar pihak yang mengklaim
penguasaan berdasarkan pengetahuan, persepsi, pandangan atau keyakinan mereka mengenai sejarah
kawasan dan implikasinya terhadap hak penguasaan sumber daya alam. Termasuk dalam faktor
subjektif juga adalah pandangan-pandangan streotifik antar kelompok yang berkait kepentingan dengan
sumberdaya alam kawasan Tor Sihayo. Sementara itu, faktor-faktor objektif mencakup variabel
keterbatasan lahan, pertambahan penduduk dan kebutuhan ekonomi.
4.1. Faktor-faktor Subjektif dalam Konflik Penguasaan Sumberdaya Alam Kawasan Tor Sihayo
4.1.1. Silang Kepentingan antar Komunitas Lokal
Kehadiran sporadis migran Nias di kawasan Tor Sihayo sudah berlangsung lebih seperempat abad.
Sepintas lalu, persoalan klaim penguasaan sumberdaya hutan di kawasan itu hanya terjadi antara
1 Konsep teritorialiti diterjemahkan dari territoriality yang menurut Hans van Dijk berarti klaim penguasaan atas sumberdaya yang
didasarkan bukan pada fakta adanya investasi (tenure) di dalamnya, melainkan klaim yang lebih bersifat kultural terhadap suatu
wilayah, yang dikukuhkan melalui alasan-alasan ideologis, moral, legal ataupun politik; bukan berdasarkan fakta ekologis, tetapi
lebih didasarkan pada persepsi dari orang-orang mengenai kondisi ekologis dan sosio-politik mereka.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-2
komunitas lokal dengan migran Nias, tetapi jika dirunut lebih dalam ternyata bahwa antar komunitas
lokal juga terdapat silang kepentingan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kawasan
Tor Sihayo. Faktor pengetahuan, persepsi dan pandangan warga di ketiga komunitas desa tempatan
yang berdekatan dengan Tor Sihayo, khususnya tentang aspek historis kawasan, membuat mereka
berbeda posisi dalam memandang keberadaan sumberdaya di sana, yang kemudian juga berimplikasi
terhadap cara memandang mereka terhadap keberadaan migran Nias di tempat itu. Berikut
digambarkan bagaimana penduduk ketiga desa (Muara Batang Angkola/MBA, Hutagodang Muda/HGM
dan Tangga Bosi/TBS) memandang satu sama lain, diringkas dalam matrik di bawah ini.
Matrik 1. Silang kepentingan antar komunitas lokal
MBA HGM TBS
MBA
Warga HGM mengklaim kawasan
Aek Tombang sebagai wilayahnya
Ada kesan warga HGM memandang
rendah MBA dan menganggap tidak
berhak untuk sumberdaya di
kawasan Tor Sihayo
MBA terkait kepentingan kpd HGM
karena akses transportasi harus
melewati HGM
Warga MBA memandang TBS
mengklaim hak ulayat atas
desa mereka dan tdk mendapat
akses untuk mengelola rawa di
batas desa MBA
MBA terkait kepentingan kpd
TBS karena akses transportasi
melewati TBS
Penah ada kasus penguasaan
lahan warga MBA oleh warga
TBS di Pasir Bidang
HGM
MBA tidak punya kawasan hutan
karena mereka lebih dikenal
sebagai pencari ikan, dan sejarah
pemukiman berawal dari tempat
singgah sementara warga pencari
ikan di sungai dan rawa
Kawasan Aek Tombang ke
sempadan Sungai Batang Gadis
adalah wilayah HGM, karenanya
warga MBA tdk berhak
menguasai daerah itu
Ada beberapa kasus jual beli/ganti
rugi tanah antara migran Nias
dengan warga HGM di Aek
Tombang
Ada kasus aneksasi lahan migran
Nias di sekitar Aek Tombang
Keberatan dengan klaim tanah
ulayat TBS karena HGM
sudah resmi berdiri sejak 1947
dengan wilayah yang jelas,
termasuk seberang Sungai
Batang Gadis
HGM merasa lebih maju
secara ekonomi, akses jaringan
politik, dan pemanfaatan
peluang-peluang
pembangunan ketimbang TBS
HGM melihat TBS
menjadikan migran Nias di
kawasan Tor Pulo sebagai alas
klaim faktual untuk
menguatkan klaim tradisional
atas kawasan Tor Sihayo
TBS
TBS mengklaim wilayah sampai
ke muara Aek Sihayo, termasuk
wilayah tenure warga MBA di
sana
Melihat MBA lebih akomodatif
terhadap migran Nias karena
kepentingan ekonomi dan bisnis
elit desanya
Memandang HGM tidak membuka
diri untuk bersama-sama
membicarakan akses penguasaan
atas kawasan Tor Sihayo
Tidak mau duduk bersama untuk
membahas keberadaan migran Nias
di Tor Sihayo
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-3
Dari matrik di atas terlihat adanya silang kepentingan antara warga Muara Batang Angkola, Hutagodang
Muda dan Tangga Bosi dalam hal klaim penguasaan atas sumberdaya di daerah mereka. Perbedaan
pengetahuan tentang aspek historis kawasan, pandangan streotifik yang hidup di dalam alam pikiran
warga mengenai penduduk desa lain, serta penilaian hubungan kultural mereka satu terhadap yang lain
merupakan faktor-faktor subjektif yang mendasari adanya silang kepentingan tersebut. Meskipun
bersifat subjektif, hal itu terbukti sangat menentukan orientasi mereka dalam memandang dan menilai
persoalan sengketa yang timbul serta pilihan-pilihan cara menyelesaikannya kelak.
Perspektif warga Muara Batang Angkola
Warga Muara Batang Angkola merasakan adanya klaim penguasaan atas sumberdaya di desa
mereka oleh masyarakat Desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi, antara lain terlihat dari
kasus-kasus penguasaan lahan oleh warga Hutagodang Muda di sekitar Aek Tombang dan
adanya pelarangan dari warga Tangga Bosi terhadap warga Muara Batang Angkola yang hendak
memanfaatkan lahan rawa-rawa di batas desa mereka yang diklaim penguasaannya oleh Tangga
Bosi.
Warga Muara Batang Angkola memiliki kesan bahwa warga Hutagodang Muda cenderung
memandang rendah kepada mereka dan menganggap bahwa warga Muara Batang Angkola
tidak berhak memanfaatkan sumberdaya di kawasan Tor Sihayo, karena dianggap tidak memiliki
kaitan historis dengan kawasan itu.
Warga Muara Batang Angkola cenderung menahan diri dan menghindari perselisihan dengan
warga desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi, karena menyadari bahwa banyak kepentingan
mereka yang terkait dengan kedua desa tersebut, salah satu diantaranya misalnya jalur akses
keluar desa menuju ibukota kecamatan yang harus melintasi kedua desa.
Perspektif warga Hutagodang Muda
Dalam kaitan dengan Muara Batang Angkola, warga Hutagodang Muda cenderung memiliki
pandangan yang sama bahwa warga Muara Batang Angkola bukanlah tipe agraris karena riwayat
perekonomian mereka lebih didominasi aktivitas penangkapan ikan di sungai dan rawa-rawa,
yang masih berlangsung hingga masa sekarang. Oleh karena itu, warga Muara Batang Angkola
dalam pandangan warga Hutagodang Muda tidak memiliki hak dan akses untuk memanfaatkan
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-4
sumberdaya hutan di kawasan Tor Sihayo; dan menganggap bahwa sumberdaya alam milik
Muara Batang Angkola hanya di seputar permukiman penduduk.
Terhadap Tangga Bosi ada pandangan yang kurang setuju dari warga Hutagodang Muda karena
mereka masih menghidupkan klaim-klaim tradisional atas nama tanah ulayat yang notabene
akan menafikan hak-hak warga Hutagodang Muda untuk mengelola sumberdaya di seberang
Sungai Batang Gadis; sementara berdasarkan pengetahuan dan keyakinan warga Hutagodang
Muda hak untuk membuka areal pertanian di daerah itu sudah melekat bersamaan dengan
penyerahan tanah yang diberikan oleh tokoh-tokoh adat waktu itu yaitu “raja pamusuk” di
Tangga Bosi dan “raja panusunan bulung” di Panyabungan Tonga. Faktanya, menurut warga
Hutagodang Muda, sampai sekarang lebih banyak warga desa mereka yang mengelola lahan di
seberang sungai ketimbang warga Tangga Bosi.
Ada kesan di kalangan warga Hutagodang Muda bahwa warga Tangga Bosi agak menaruh
cemburu atas kemajuan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat desa Hutagodang Muda. Tetapi
hal itu menurut warga Hutagodang Muda terjadi karena kesalahan warga Tangga Bosi sendiri
yang terlalu bertumpu kepada usaha persawahan dan tidak suka membuka kebun. Kalaupun
mereka membuka hutan di kawasan Tor Sihayo biasanya akan dijual lagi kepada warga migran
Nias. Mereka lebih suka berkawan dengan warga migran Nias di kawasan hutan karena dengan
begitu Tangga Bosi bisa tetap mengklaim hak penguasaan atas wilayah di seberang Sungai
Batang Gadis.
Perspektif warga Tangga Bosi
Kawasan Tor Sihayo di seberang Sungai Batang Gadis merupakan wilayah tradisional masyarakat
Tangga Bosi, sehingga sumberdaya yang ada di sepanjang aliran Sungai Batang Gadis sampai ke
muara sungai Aek Sihayo di bagian hilir desa Muara Batang Angkola adalah juga di dalam hak
penguasaan masyarakat adat Tangga Bosi. Warga Tangga Bosi memandang bahwa penduduk
desa Muara Batang Angkola sangat akomodatif terhadap kehadiran migran Nias di daerah itu,
karena dinilai sangat banyak memberikan kontribusi ekonomi bagi penduduknya, terutama bagi
elit-elit desa itu.
Terhadap Hutagodang Muda ada anggapan dari warga Tangga Bosi bahwa mereka tidak mau
membuka diri untuk membicarakan soal penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam di
kawasan Tor Sihayo. Menurut pandangan warga Tangga Bosi, sepatutnya penduduk Hutagodang
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-5
Muda dan terutama pemimpin-pemimpin mereka harus membuka diri dan mengajak warga
Tangga Bosi untuk duduk bersama membahas persoalan-persoalan penguasaan dan kehadiran
migran Nias di kawasan Tor Sihayo. Selama ini tidak terbangun rasa kebersamaan di antara
kedua desa, karena masyarakat Hutagodang Muda agak “alergi” dengan persoalan tanah adat.
4.1.2. Komunitas Lokal versus Komunitas Migran Nias
Komunitas lokal penduduk asli Siabu menyikapi berbeda kehadiran migran Nias di kawasan Tor Sihayo.
Perbedaan itu bukan hanya terlihat antara penduduk desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda
dan Tangga Bosi, namun di dalam lingkup masyarakat desa ada juga nuansa perbedaan antara kelompok
elit desa dengan warga kebanyakan. Perbedaan-perbedaan penyikapan tersebut diringkas dalam Matrik
2 di bawah ini. Secara garis besar dapat digambarkan bagaimana ketiga desa yang merepresentasikan
komunitas lokal memandang keberadaan dan hubungan kepentingan mereka dengan migran Nias, dan
sebaliknya bagaimana migran Nias melihat hubungan mereka dengan komunitas lokal sebagai berikut :
Komunitas desa Muara Batang Angkola versus migran Nias
Terdapat hubungan ‘simbiosis mutualisma’ atau saling menguntungkan antara penduduk desa
Muara Batang Angkola dengan keberadaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo. Warga Muara
Batang Angkola mendapatkan peluang-peluang dan manfaat ekonomi dari aktivitas pertanian
yang dilakukan oleh penduduk migran Nias di kawasan Tor Sihayo. Sebaliknya, migran Nias juga
mendapatkan perlindungan ekonomi dari para toke di Muara Batang Angkola, khususnya ketika
mereka menghadapi masa-masa paceklik. Selain itu, migran Nias merasa terbantu karena anak-
anak mereka yang berusia sekolah dan akan mengikuti ujian akhir kelas 6 dapat bergabung
dengan SD negeri yang ada di Muara Batang Angkola.
Selain melihat kehadiran migran Nias sebagai peluang ekonomi bagi penduduk desa, kalangan
warga biasa dari generasi muda juga melihat adanya ancaman yang mereka hadapi di masa
mendatang, yaitu semakin terbatasnya kesempatan bagi warga lokal untuk membuka lahan
pertanian karena sudah digarap oleh migran Nias yang terus bertambah.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-6
Komunitas desa Hutagodang Muda versus migran Nias
Warga Hutagodang Muda pada intinya tidak menerima kehadiran migran Nias di daerah ini,
selain karena tidak memiliki dokumen perpindahan yang sah (pendatang haram), mereka juga
memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan penduduk setempat. Penduduk lokal lebih
berhak dan sepatutnya lebih diutamakan untuk mengelola sumberdaya di daerah ini daripada
migran Nias yang datang dari luar daerah. Tidak ada hubungan bisnis yang terjadi antara warga
Hutagodang Muda dengan migran Nias. Oleh karena itu, menurut penduduk Hutagodang
Muda, baik dari kalangan generasi tua maupun dari generasi muda, warga migran Nias harus
dikeluarkan dari kawasan Tor Sihayo, dan kesempatan untuk mengelola lahan yang ada di sana
diberikan kepada penduduk asli setempat.
Migran Nias memiliki beberapa kali pengalaman berkonflik dengan warga Hutagodang Muda
dalam urusan lahan di kawasan Tor Sihayo, sehingga mereka merasa kurang nyaman dalam
berhubungan dengan warga desa. Sekarang ini tidak ada lagi warga migran Nias yang memiliki
status kependudukan di desa Hutagodang Muda. Dalam urusan penguasan lahan di kawasan
Tor Sihayo, warga migran Nias berpegangan kepada alas hak yang mereka miliki berupa
dokumen surat jual beli atau surat ganti rugi di atas kertas bemeterai yang terjadi antara
mereka dengan warga Hutagodang Muda, yang dikuatkan oleh saksi-saksi dan diketahui oleh
kepala desa.
Komunitas desa Tangga Bosi versus migran Nias
Penyikapan warga desa Tangga Bosi terhadap keberadaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo
lebih moderat. Ada kesan umum di kalangan warga Tangga Bosi bahwa kehadiran migran Nias di
kawasan Tor Sihayo telah dimanfaatkan oleh sebagian elit desa untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi, misalnya melalui transaksi atau jual beli tanah hutan dan juga dari biaya yang
dikenakan kepada migran Nias yang meminta dibuatkan identitas kependudukan di desa. Warga
Tangga Bosi mengklaim bahwa areal hutan yang digarap migran Nias di kawasan Tor Sihayo
adalah bagian dari tanah ulayat mereka, sehingga proses ganti rugi tanah yang berlangsung
antara warga desa Tangga Bosi dengan warga migran Nias yang ada di sana bisa dibenarkan.
Migran Nias merasa nyaman dalam berhubungan dengan penduduk desa Tangga Bosi karena
telah memiliki surat ganti rugi lepas atas lahan-lahan yang mereka kelola, khususnya di dusun
Tor Pulo, dan mereka telah diterima menjadi warga resmi sebagai penduduk desa Tangga Bosi
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-7
(II) yang ditandai dengan pemilikan KTP. Bahkan dusun Tor Pulo telah dijadikan sebagai salah
satu dusun dalam administrasi pemerintahan Desa Tangga Bosi II.
Penduduk kebanyakan dan generasi muda di Tangga Bosi berpandangan bahwa sebaiknya
migran Nias dikeluarkan dari kawasan Tor Sihayo, jika pemerintah ingin agar kawasan Taman
Nasional Batang Gadis dan Hutan Lindung bisa diamankan dan terpelihara dengan baik. Namun
demikian, disadari oleh warga desa bahwa lahan pertanian yang bisa dikelola saat ini semakin
sempit sehingga kalau tidak ada substitusi lahan yang bisa dimanfaatkan oleh warga lokal, tidak
menjadi jaminan juga bahwa kawasan hutan negara akan bisa diamankan di masa yang akan
datang.
Matrik 2. Komunitas lokal versus migran Nias
Komunitas Lokal Migran Nias
MBA Kalangan elit desa memandang positif terhadap
keberadaan migran Nias karena memberikan
kontribusi ekonomi bagi warga desa, dan menyatakan
keberatan jika ada komunitas lokal yang berniat
mengusir migran Nias, terkecuali jika sudah menjadi
keputusan pemerintah akan didukung
Warga biasa MBA melihat kehadiran migran Nias
memberikan peluang ekonomi, namun di sisi lain juga
menjadi ancaman karena membatasi akses mereka
untuk membuka lahan pertanian di kawasan Tor
Sihayo
Warga MBA banyak membantu migran Nias, termasuk
secara ekonomi berupa pinjaman dan kesempatan
berhutang di warung-warung milik warga MBA jika
sedang kesulitan ekonomi
Anak-anak Nias yang bersekolah di Tor Pulo
menyelesaikan pendidikan SD di MBA (kelas 1-5 di
Tor Pulo, kelas 6 di MBA)
Merasa “berkerabat” dengan warga MBA karena
keluarga Kades MBA dikonsepsikan oleh migran Nias
sebagai berasal-usul/keturunan orang Nias
HGM Warga dan elit desa keberatan dengan kehadiran
migran Nias di Tor Sihayo karena mereka adalah
pendatang haram
Migran Nias menduduki lahan-lahan di kawasan Tor
Sihayo yang semestinya lebih berhak dikelola oleh
masyarakat setempat
Migran Nias memiliki kebiasaan/budaya yang
bertentangan dengan adat-istiadat setempat sehingga
tidak sesuai untuk hidup berdampingan dengan
mereka
Tidak ada hubungan bisnis langsung antara warga
HGM dengan migran Nias di kawasan Tor Sihayo
Orang Nias harus keluar dari kawasan, digantikan
oleh warga setempat
Migran Nias memiliki beberapa kali pengalaman
berkonflik dengan warga HGM di kawasan Tor
Bulusoma dan Aek Tombang
Belakangan ini HGM tidak mau lagi mengakui migran
Nias menjadi warganya, sehingga warga Nias yang
sebelumnya berstatus sebagai penduduk HGM harus
mengganti domisilinya
Tidak ada hubungan bisnis antara migran Nias dengan
HGM kecuali dalam kasus jual beli/ganti rugi tanah
TBS Ada anggapan bahwa elit desa memanfaatkan migran
Nias untuk kepentingan ekonomi, termasuk jual
beli/ganti rugi tanah di Tor Pulo, dan juga manfaat
ekonomi dalam urusan KTP bagi migran Nias
Warga biasa mengharapkan agar migran Nias
dikeluarkan dari kawasan Tor Sihayo kalau memang
pemerintah mau mengamankan TNBG dan hutan
lindung
Klaim TBS terhadap Tor Pulo sudah ada sebelum
migran Nias masuk ke sana, dan keberadaan dusun
Tor Pulo sebagai bagian dari wilayah TBS hanya
mengukuhkan klaim tersebut
Warga migran Nias di Tor Pulo khususnya merasa lebih
nyaman untuk bermukim dan berusaha di tempat
tersebut karena sudah ada kesepakatan ganti rugi atas
tanah-tanah yang digarap migran Nias di sana.
Migran Nias di Tor Pulo juga merasa lebih nyaman
karena sebagian dari mereka memiliki identitas
kependudukan resmi di desa TBS
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-8
4.1.3. Komunitas Lokal dan Migran Nias versus Pemerintah Daerah dan BP-TNBG
Warga komunitas lokal atau penduduk pribumi di tiga desa sekitar kawasan Tor Sihayo berbeda posisi
dan kepentingan ketika berhadapan dengan fakta keberadaan migran Nias yang sudah membuka hutan
di kawasan itu sejak lebih dari dua dasawarsa yang lalu. Namun, mereka memiliki posisi dan kepentingan
yang sama ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa status kawasan hutan di Tor Sihayo adalah
hutan negara yang berfungsi lindung dan konservasi. Dalam kaitan ini, penduduk lokal dan migran Nias
sama-sama harus berhadapan dengan institusi dan aparat yang memiliki kewenangan mengurus hutan
negara, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan Balai
Pengelola Taman Nasional Batang Gadis (BP-TNBG). Warga masyarakat tidak mengetahui dengan jelas
bahwa kedua institusi pemerintah tersebut memiliki batas kewenangan yang berbeda dalam mengurus
hutan negara di kawasan Tor Sihayo, yaitu kawasan Hutan Lindung menjadi kewenangan Pemerintah
Kabupaten Mandailing Natal melalui Dinas Kehutanan setempat, sedangkan Taman Nasional Batang
Gadis menjadi kewenangan langsung Departemen Kehutanan melalui BP-TNBG. Dalam pemahaman
warga cukup sederhana yaitu hutan negara diurus oleh pemerintah, dan secara substantif tidak ada
yang keliru dengan pemahaman demikian.
Persepsi umum tentang keberadaan hutan negara di kawasan Tor Sihayo
Penduduk lokal dari desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo secara umum sudah mengetahui sejak lama
tentang keberadaan hutan negara di wilayah mereka, namun tidak mengetahui jelas mengenai fungsi
kawasan menurut kategori resmi sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Warga lokal biasanya
hanya menyebut adanya penanda batas antara wilayah kelola masyarakat dengan wilayah terlarang
untuk dikelola seperti ‘pilar’ dan juga ‘boswesen’. Pengetahuan mengenai hal itu diperoleh warga desa
dari generasi tua atau warga lainnya, meskipun tidak semua orang mengetahui persis atau pernah
melihat langsung dimana patok-patok batas itu berada. Karena ketidakjelasan itu, sebagian warga
mengatakan bahwa batas hutan negara hanya berjarak beberapa meter dari pinggiran Sungai Batang
Gadis, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa batasnya berada sejauh 500 meter dari pinggiran sungai.
Penduduk lokal juga sudah mengetahui bahwa larangan untuk membuka hutan negara tersebut sudah
ada sejak zaman kolonial. Dalam batas-batas tertentu warga lokal dari desa-desa sekitar di masa lampau
mengaku tidak mau melampaui garis batas itu ketika mereka hendak membuka lahan pertanian. Namun
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-9
ketika warga migran Nias datang, masuk ke dalam hutan dan membuka perladangan di sana tanpa
mempersoalkan status hukum hutan yang dibukanya, maka pemeliharaan terhadap batas-batas itu
menjadi hilang. Sebagian warga lokal juga ikut membuka lahan di kawasan hutan yang berstatus sebagai
hutan lindung. Ketika pengawasan dari otoritas pemerintah yang berwenang berkurang, ketika itu pula
proses perambahan dan pendudukan kawasan hutan negara terus terjadi secara berangsur-angsur oleh
penduduk lokal maupun pendatang, sehingga memunculkan keadaan seperti yang terjadi sekarang di
kawasan Tor Sihayo.
Persepsi warga lokal dan migran Nias terhadap kawasan Taman Nasional Batang Gadis secara umum
dapat dikatakan positif, terlebih karena keberadaannya berasal dari usulan pemerintah daerah dan
kemudian sudah ditetapkan secara resmi melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Namun demikian,
warga masyarakat di desa-desa sekitar menyadari bahwa keberadaan TNBG secara langsung atau tidak
langsung akan membatasi peluang mereka untuk memperluas lahan pertanian. Sedikit banyak hal itu
juga telah menimbulkan kekhawatiran sebagian warga mengenai masa depan anak-anak mereka yang
kelak masih bertumpu kepada sektor pertanian.
Ekspektasi warga terhadap Pemkab Mandailing Natal dan BP-TNBG
(a) Komunitas desa Muara Batang Angkola
Selama ini sebagian besar warga Muara Batang Angkola bertumpu kepada sektor perikanan sebagai
mata pencaharian utama. Aktivitas pertanian pada umumnya dilakukan dengan memanfaatkan lahan-
lahan yang ada di sekitar permukiman, misalnya menanami tanaman karet, kakao, kemiri dan tanaman
palawija. Pertambahan penduduk di desa telah mendorong sebagian warga untuk beralih ke sektor
pertanian, sehingga mereka memerlukan adanya perluasan lahan. Masalahnya, lahan pertanian yang
dapat dibuka sudah terbatas, karena areal yang ada di seberang Sungai Batang Gadis diketahui oleh
warga sebagai kawasan hutan lindung. Mereka merasa tidak nyaman untuk berinvestasi di areal yang
berstatus hutan negara karena khawatir suatu ketika akan dipaksa keluar oleh pemerintah.
Keberadaan Taman Nasional Batang Gadis tidak ditolak oleh warga desa Muara Batang Gadis. Namun
mereka berharap agar pemerintah daerah juga memperhatikan kebutuhan warga masyarakat di desa-
desa yang masih miskin dan bergantung kepada lapangan usaha pertanian. Salah seorang informan di
Muara Batang Gadis mengatakan sebaiknya pemerintah daerah menggeser patok batas hutan lindung
yang ada sekarang ini lebih jauh ke dalam, misalnya sekitar satu kilometer dari batas yang ada sekarang,
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-10
agar warga desa-desa sekitar memiliki kesempatan untuk membuka lahan pertanian. Argumentasi yang
ia sampaikan antara lain: (i) pemerintah baik pusat maupun daerah telah bertekad untuk mengentaskan
kemiskinan, tetapi bagaimana rakyat yang ada di desa-desa seperti di Muara Batang Angkola misalnya,
bisa keluar dari kemiskinan jika lapangan usaha mereka terbatas; (ii) batas-batas hutan lindung yang ada
sekarang ini ditetapkan sejak zaman kolonial, sehingga tidak sepatutnya lagi kita harus mengikuti produk
hukum yang dibuat oleh pihak kolonial, karena situasi dan kebutuhan masyarakat juga sudah berubah;
(iii) usulan untuk mengubah batas hutan lindung sudah disampaikan kepada pemerintah daerah
sebelum pemekaran Kabupaten Mandailing Natal, namun hingga sekarang tidak pernah dilaksanakan.
Terkait dengan keberadaan migran Nias di kawasan hutan negara di Tor Sihayo, warga Muara Batang
Angkola menyatakan memilih untuk mengikuti keputusan yang akan diambil oleh pemerintah daerah.
Jika pemerintah daerah memutuskan untuk mengeluarkan warga migran Nias dari daerah itu maka
warga Muara Batang Angkola akan mendukungnya. Namun mereka secara tegas akan menolak jika ada
warga masyarakat lokal dari desa-desa lain yang berniat memaksa migran Nias keluar dari kawasan Tor
Sihayo di luar dari kebijaksanaan pemerintah.
(b) Komunitas desa Hutagodang Muda
Warga desa Hutagodang Muda setuju dan mendukung keberadaan Taman Nasional Batang Gadis. Sama
seperti warga desa Muara Batang Angkola, mereka juga merasakan adanya kebutuhan warga untuk
perluasan lahan pertanian seiring dengan pertambahan penduduk. Oleh karena itu, kesempatan untuk
mengelola lahan di seberang Sungai Batang Gadis sepatutnya diprioritaskan kepada penduduk lokal
karena merekalah yang lebih berhak dan membutuhkan. Warga migran Nias adalah pendatang haram di
daerah ini sehingga tidak berhak untuk mendapatkan akses membuka lahan di sini.
Dalam pandangan warga Hutagodang Muda keberadaan Taman Nasional Batang Gadis tidak akan bisa
dijamin kelestariannya jika warga migran Nias tetap dibiarkan membuka hutan di kawasan itu. Bagi
mereka, pemerintah daerah harus mengeluarkan penduduk migran Nias dari kawasan Tor Sihayo, dan
pilihan itu adalah harga mati untuk menjamin keberlanjutan taman nasional. Kalau pemerintah daerah
akan mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan mereka, sepatutnya juga tidak memberikan suatu
keistimewaan kepada migran Nias dalam bentuk kompensasi atau relokasi yang dibiayai dari keuangan
pemerintah daerah, kecuali jika pemerintah juga akan memberikan hak yang sama bagi warga lokal di
desa-desa yang ada di sekitar Tor Sihayo. Sebaliknya, kalau pemerintah tetap membiarkan warga migran
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-11
Nias meneruskan usaha mereka di kawasan Tor Sihayo, sepatutnya juga tidak ada larangan bagi warga
dari desa-desa sekitar untuk melakukan hal yang sama.
(c ) Komunitas desa Tangga Bosi
Warga Tangga Bosi juga setuju dan mendukung keberadaan taman nasional. Seorang informan di sana
menyebutkan bahwa masyarakat Tangga Bosi pada mulanya kurang responsif terhadap rencana
membentuk taman nasional di Kabupaten Mandailing Natal, karena merasa tidak dilibatkan dalam
proses pengajuannya melalui mekanisme partisipasi masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat adat
yang memiliki klaim tradisional bersama-sama dengan eks-Kekuriaan Panyabungan Tonga, masyarakat
Tangga Bosi merasa bahwa sebagian wilayah yang akan dijadikan lokasi taman nasional di wilayah
Kecamatan Siabu merupakan tanah ulayat mereka. Oleh karena itu mereka berpandangan bahwa
sepatutnya Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal melibatkan masyarakat Tangga Bosi dalam proses
pengambilan keputusan dan rencana pengelolaannya. Hal kedua yang membuat masyarakat Tangga Bosi
kurang responsif pada awalnya adalah adanya kesan diskriminatif dari pengelola taman nasional yang
tidak mengikutkan desa Tangga Bosi sebagai bagian dari desa-desa yang berbatasan langsung dengan
taman nasional. Dalam perspektif mereka, secara tradisional masyarakat Tangga Bosi lebih berhak atas
klaim wilayah seberang Sungai Batang Gadis dibandingkan dengan desa-desa lain seperti Hutagodang
Muda dan Muara Batang Angkola.
Untuk keadaan sekarang disebutkan oleh informan bahwa masyarakat Tangga Bosi sangat mendukung
atas keberadaan taman nasional, sepanjang pemerintah daerah dan pengelola taman nasional tetap
konsisten untuk pemeliharaannya serta tetap memperhatikan nasib warga desa-desa sekitar yang masih
miskin dan membutuhkan perluasan areal pertanian. Salah satu usulan yang disampaikan untuk menjadi
jalan tengah bagi pemenuhan kebutuhan warga masyarakat adalah menggeser patok batas kawasan
hutan lindung lebih jauh ke tengah, yaitu sekitar 3-5 Km dari garis sempadan Sungai Batang Gadis.
Dengan cara demikian akan tersedia kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan oleh warga desa sekitar
kawasan. Meskipun pada kenyataannya sudah ada warga desa-desa sekitar yang mengusahakan lahan
pertanian di dalam kawasan hutan, menurut penjelasan informan, hal itu tetap menempatkan mereka
sebagai penggarap karena secara hukum pemerintahlah yang memiliki hak penguasaan atas kawasan
hutan.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-12
Terkait dengan keberadaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo, pandangan umum dari warga desa
Tangga Bosi adalah menyerahkan masalah itu kepada kebijakan pemerintah daerah. Kalau pemerintah
daerah memandang migran Nias harus dikeluarkan dari kawasan hutan, maka warga Tangga Bosi akan
mendukung kebijakan itu. Namun menurut informan, kalau ditanya hati kecil warga masyarakat, mereka
sebenarnya lebih menginginkan agar orang Nias angkat kaki dari daerah Siabu. Masyarakat Tangga Bosi
tidak mau melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan demikian, karena tidak ingin mengulangi kasus
pembakaran pondok-pondok migran Nias di Tor Pulo pada tahun 1994, yang membawa konsekwensi
hukum bagi para pelakunya, termasuk melibatkan kepala desa Tangga Bosi ketika itu sebagai pihak yang
dinyatakan ikut bertanggung-jawab atas tindakan kekerasan warganya.
Salah seorang informan di Tangga Bosi mengatakan bahwa jika pemerintah daerah memutuskan untuk
memindahkan orang Nias dari kawasan TNBG, salah satu alternatif lokasi perpindahan yang sesuai
adalah di daerah Siulang-aling. Di sana ada suatu kawasan yang dikenal masyarakat bernama Pasir
Jabungo, berdekatan dengan aliran Sungai Batang Gadis, dengan status kawasan hutan produksi
terbatas (HPT). Informan memperkirakan bahwa perpindahan orang-orang Nias dari kawasan Tor Sihayo
ke daerah itu tidak akan menimbulkan banyak permasalahan baru, karena daerah itu belum banyak
penduduknya. Lokasi tersebut secara tradisional masih termasuk dalam wilayah eks-Kekuriaan
Panyabungan Tonga, yang secara lebih khusus lagi termasuk ke dalam wilayah masyarakat adat Tangga
Bosi.
(d) Komunitas migran Nias
Warga migran Nias yang masuk ke kawasan Tor Sihayo pada gelombang awal tahun 1970-1980an belum
menghadapi persoalan pelik terkait dengan status hukum kawasan hutan yang mereka kelola. Meskipun
pada tahun 1989 ada kebijakan Pemerintah Daerah Tk II Kabupaten Tapanuli Selatan ketika itu untuk
mengeluarkan penduduk yang membuka hutan di kawasan hutan lindung (sekitar Tor Bulusoma), fakta
yang terjadi kemudian hingga sekarang ini adalah pertambahan terus-menerus jumlah migran Nias yang
berada di dalam kawasan. Pada kasus lain, ketika warga desa Hutagodang Muda melakukan aneksasi
atas lahan-lahan garapan migran Nias di sekitar Tor Bulusoma pada tahun 1991, juga upaya yang hampir
serupa pada tahun 2006-2007, kenyataannya tak menyurutkan niat dan upaya migran Nias untuk tetap
bisa bertahan di kawasan Tor Sihayo. Bahkan adanya himbauan dari pihak-pihak tertentu agar mereka
mengubah pola pertaniannya dari perladangan berpindah menjadi petani yang membudidayakan
tanaman tua seperti karet dan coklat, juga telah menjadi alasan bagi mereka untuk tetap bisa bertahan
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-13
di lokasi yang mereka usahakan sekarang. Peristiwa gempa bumi besar yang mengguncang Pulau Nias
pada tahun 2005 juga menjadi satu faktor yang mendorong migran Nias untuk tetap bertahan di daerah
rantau ketimbang kembali ke Pulau Nias. Dengan demikian, dapat ditarik suatu inferensi bahwa migran
Nias tidak mudah untuk disuruh keluar dari suatu kawasan yang mereka sudah buka jika mereka sudah
terlanjur melakukan investasi di sana. Fenomena yang ditemukan di Batang Toru juga menunjukkan
bahwa migran Nias yang sudah masuk suatu kawasan lebih memilih untuk mencari tempat lain di daerah
yang sama atau daerah sekitarnya jika terpaksa harus keluar, ketimbang harus kembali ke Pulau Nias
(lihat Zulkifli Lubis dkk, 2007).
Terkait dengan upaya penegakan hukum yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah dan balai
pengelola taman nasional untuk mengosongkan kawasan hutan dari aktivitas pertanian, warga migran
Nias di kawasan Tor Sihayo mengaku pasrah. Dalam berhubungan dengan masyarakat lokal seperti
warga dari desa-desa sekitar, mereka memiliki ketegaran untuk mempertahankan haknya, namun jika
berhubungan dengan institusi dan aparat pemerintah yang berwenang, mereka menyatakan akan
mengikuti bagaimana kebijakan yang akan diambil nantinya. Pada hakikatnya mereka berharap agar
upaya pengosongan kawasan itu tidak dilaksanakan, atau paling tidak hanya akan berlaku di dalam
batas-batas resmi Taman Nasional Batang Gadis.
Untuk kawasan taman nasional, pemimpin-pemimpin komunitas mereka siap menjamin warganya tidak
akan membuka areal perladangan lagi dan bahkan akan meninggalkan lahan-lahan yang sudah terlanjur
dibuka. Namun untuk kawasan hutan lindung, yang secara de facto menjadi wilayah garapan terluas
mereka saat ini, mereka memiliki aspirasi yang sama dengan warga-warga desa sekitar seperti Muara
Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi, yaitu mengharapkan agar dilakukan perubahan
tata batas hutan lindung sehingga lokasi yang mereka garap sekarang dapat dikeluarkan dari batas
kawasan hutan. Tetapi untuk lokasi-lokasi bukaan migran Nias di kawasan Tor Sihayo yang sudah hampir
berbatasan dengan taman nasional, mengeluarkan lokasi mereka dari kawasan hutan lindung sama
artinya dengan menghapuskan seluruh kawasan hutan lindung yang ada di kawasan Tor Sihayo.
Jika pada akhirnya pemerintah daerah memutuskan untuk mengeluarkan migran Nias dari kawasan Tor
Sihayo, mereka berharap agar pemerintah daerah memberikan alternatif pengganti untuk migran Nias,
baik berupa penggantian lokasi baru yang dapat mereka usahakan di tempat lain maupun berupa
pembayaran kompensasi atas investasi yang mereka sudah tanam di kawasan Tor Sihayo selama ini.
Karena sebagian dari mereka saat ini juga sudah memiliki status domisili dan kependudukan yang resmi
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-14
di Kecamatan Siabu, mereka mengharapkan tidak akan ada diskriminasi dari pemerintah daerah dalam
rencana penegakan hukum untuk mengosongkan aktivitas pertanian dari dalam kawasan hutan. Dengan
kata lain, mereka mengharapkan jika migran Nias harus dikeluarkan dari kawasan hutan lindung maupun
taman nasional, maka warga lain yang melakukan penggarapan di kawasan yang sama juga harus
diperlakukan sama, yaitu semuanya sama-sama keluar dari kawasan hutan.
4.2.Faktor-faktor Objektif dalam Konflik Penguasaan Sumberdaya Alam Kawasan Tor Sihayo
Ada beberapa faktor objektif yang menjadi penyebab munculnya konflik penguasaan sumberdaya alam
di kawasan Tor Sihayo, antara lain fakta keterbatasan lahan yang dapat diakses oleh warga masyarakat
di sekitar lingkungan mereka, pertambahan penduduk yang terjadi secara alamiah maupun akibat
kejadian migrasi, peningkatan kebutuhan ekonomi, dan proses penegakan hukum terkait pengelolaan
kawasan hutan. Uraian berikut akan menggambarkan masing-masing faktor tersebut dalam kaitannya
dengan perkembangan konflik penguasaan sumberdaya alam di kawasan TNBG khususnya di sekitar Tor
Sihayo, Kecamatan Siabu.
4.2.1. Keterbatasan lahan
Dengan mengacu kepada data-data statistik kecamatan sebagaimana telah diuraikan pada Bab 2 di atas,
terlihat bahwa desa-desa yang ada di kawasan Tor Sihayo memiliki wilayah yang relatif terbatas
proporsinya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada saat ini. Dengan membagi luas
wilayah desa dengan jumlah rumah tangga di tiap-tiap desa dari lima desa sekitar kawasan Tor Sihayo
yang dikaji dalam penelitian ini, diperoleh angka rata-rata kemungkinan peluang penguasaan lahan di
lima desa yang cukup kecil, dan memberikan ruang gerak yang sangat terbatas untuk pengembangannya
di kemudian hari. Kecuali Desa Muara Batang Angkola yang memiliki angka rata-rata 45,37 Ha/KK
(dengan catatan bahwa sebagian wilayah desanya adalah kawasan hutan negara)2, empat desa lainnya
memiliki peluang penguasaan di bawah 3 Ha/KK, yaitu Hutagodang Muda 3,18 Ha/KK; Tangga Bosi I 0,76
Ha/KK; Tangga Bosi II 1,29 Ha/KK; dan Tangga Bosi III 3,36 Ha/KK.
2 Jika mengacu kepada data statistik Kecamatan Siabu Dalam Angka Tahun 2003 dan 2005, luas wilayah Desa Muara Batang
Angkola adalah 1.330 Ha, sementara data tahun 2008 tercatat 8.575,36 Ha. Dengan jumlah KK yang ada pada Kecamatan Siabu
Dalam Angka Tahun 2008 sebesar 189, maka rata-rata peluang penguasaan lahan di desa adalah 7,0 Ha/KK, bukan 45,37 Ha/KK.
Luas wilayah desa sebesar 1.330 Ha tersebut juga diduga sudah termasuk sebagian kawasan hutan negara.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-15
Dalam kenyataan sesungguhnya di lapangan, proporsi penguasaan lahan tersebut masih harus dikurangi
dengan penggunaan-penggunaan lain di luar lahan pertanian. Oleh karena itu, adanya keluhan warga
desa-desa sekitar Tor Sihayo mengenai kekurangan atau keterbatasan lahan yang dapat mereka
usahakan, adalah sebuah fakta objektif yang patut dicermati. Kelangkaan sumberdaya berupa tanah
atau lahan pertanian yang dihadapi oleh warga di pedesaan sulit diatasi dengan mengandalkan
sumberdaya yang ada di lingkungannya sendiri, terlebih karena batas-batas penguasaan antar desa
sudah jelas di satu sisi dan di sisi lain batas-batas dengan kawasan hutan negara yang menjadi domain
pemerintah juga sudah ditetapkan dan akan ditegakkan pengawasannya.
Alasan yang paling menonjol dari kalangan migran Nias yang datang dari Pulau Nias ke kawasan Tor
Sihayo juga terkait dengan keterbatasan lahan pertanian yang dapat mereka usahakan di kampung
asalnya. Studi yang pernah dilakukan terhadap migran Nias di Batang Toru (lihat Zulkifli Lubis dkk, 2007)
juga menemukan penjelasan yang sama tentang faktor pendorong mereka meninggalkan kampung
halaman. Warga Nias yang merantau dan memburu lahan pertanian di pegunungan Bukit Barisan di
sepanjang wilayah Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan hingga Mandailing Natal, pada umumnya adalah
kelompok marjinal yang tidak memiliki tanah atau hanya memiliki lahan dalam jumlah sangat terbatas di
daerah asalnya. Kehadiran mereka ke wilayah-wilayah desa di sekitar Tor Sihayo secara langsung atau
tidak langsung juga telah memperkecil akses warga lokal untuk mendapatkan lahan pertanian baru guna
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
4.2.2. Pertambahan penduduk
Kecenderungan perubahan yang terjadi secara kontinyu dalam variabel demografi adalah pertambahan
penduduk, baik akibat kelahiran maupun perpindahan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten
Mandailing Natal pada tahun 2007 tercatat sebesar 0,93 %, dan jika diasumsikan bahwa angka tersebut
kurang lebih juga berlaku untuk Kecamatan Siabu atau untuk desa-desa yang diteliti di kawasan Tor
Sihayo, fakta yang akan ditemukan adalah pertambahan penduduk yang terus terjadi dari tahun ke
tahun, yaitu sebesar 483 jiwa untuk tingkat kecamatan dan sebesar 57 jiwa untuk lima desa yang diteliti
di kawasan Tor Sihayo. Melihat fakta bahwa perpindahan penduduk asal Nias ke kawasan ini tidak
tercatat dengan baik di dalam statistik kependudukan desa maupun kecamatan, bisa diduga bahwa
dalam kenyataannya jumlah pertambahan penduduk di kelima desa akan lebih besar. Pertambahan
penduduk seberapapun jumlahnya tentu akan mengurangi proporsi peluang penguasaan lahan yang
dapat dikelola untuk menunjang kehidupan keluarga di desa.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-16
Data statistik kependudukan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2008 juga mencatat bahwa struktur
penduduk tergambarkan sebagai berikut: kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencakup 54,77 % dari
total penduduk; sedangkan usia ketergantungan terdiri dari kelompok usia 0-14 tahun sebesar 42,37 %
dan kelompok lanjut usia sebesar 2,86 %. Jika angka-angka tersebut diproyeksikan ke tingkat kecamatan
atau desa-desa sekitar kawasan Tor Sihayo, maka dapat digambarkan bahwa sekitar 45,23 % penduduk
desa akan menjadi beban tanggungan dari 54,77 % jumlah warga usia produktif yang ada di desa. Jika
proporsi penduduk yang memiliki ketergantungan kepada sektor pertanian di Kabupaten Mandailing
Natal mencapai 74 % dari penduduk berusia 15 tahun ke atas, diproyeksikan ke tingkat kecamatan atau
desa-desa kawasan Tor Sihayo, maka dapat pula dijelaskan bahwa kebutuhan akan perluasan lahan
merupakan faktor objektif yang tidak bisa dinafikan. Keadaan itu jelas mendukung faktor subjektif
berdasarkan keluhan-keluhan yang disampaikan oleh warga mengapa mereka sangat berkepentingan
agar bisa memiliki akses untuk mengelola lahan di kawasan hutan lindung seberang Sungai Batang
Gadis.
4.2.3. Peningkatan kebutuhan ekonomi
Jumlah, bentuk dan ragam kebutuhan ekonomi warga di daerah pedesaan diperkirakan terus meningkat
dari waktu ke waktu. Pola konsumtif yang sudah menjalar ke pedesaan juga menambah beratnya beban
ekonomi rumah tangga. Pemenuhan kebutuhan primer anggota keluarga seperti untuk pangan tidak
bisa lagi dilakukan secara subsisten, sehingga harus dicukupi dengan membeli di pasar. Demikian juga
untuk kebutuhan primer lain seperti biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan jumlah dan harganya
semakin bertambah dari waktu ke waktu. Kehadiran uang tunai untuk mencukupi segala macam
kebutuhan rumah tangga menjadi suatu hal yang niscaya saat ini di pedesaan, sehingga tiap keluarga
harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya.
Dari data-data statistik kecamatan dan kabupaten seperti digambarkan pada bab 2 telah diketahui
bahwa lapangan usaha yang paling dominan bagi penduduk di pedesaan Kabupaten Mandailing Natal
masih bertumpu pada sektor pertanian. Dengan kata lain, penduduk desa harus meningkatkan produksi
di bidang pertanian yang menjadi andalan sumber nafkah keluarga untuk bisa memenuhi segala
keperluan rumah tangga. Di luar faktor jumlah produksi dan harga jual komoditas pertanian, maka satu
faktor lain yang menentukan kemampuan warga untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari sektor
usaha tani adalah kecukupan lahan sebagai modal primer. Harga hasil komoditi pertanian seperti kakao,
kemiri, karet, sekedar untuk menyebutkan beberapa contoh produksi penting di desa-desa sekitar
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-17
kawasan Tor Sihayo, sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu. Ketika penelitian ini dilakukan harga-harga
komoditi tersebut sedang mengalami penurunan, sehingga perolehan uang tunai dari penjualan hasil
pertanian juga semakin berkurang. Dengan keterbatasan lahan pertanian yang masih bisa dikelola di
sekitar desa, tak bisa dihindari bahwa banyak warga desa yang kemudian berpaling ke lahan-lahan hutan
yang ada di wilayahnya. Masalahnya, lahan hutan yang tersedia saat ini hanya di kawasan hutan negara
yaitu hutan lindung dan taman nasional. Bertambahnya warga yang memperebutkan sumberdaya yang
ada, yang secara faktual semakin terbatas, akan mendorong terjadinya konflik penguasaan sumberdaya
seperti yang sudah pernah terjadi di kawasan Tor Sihayo.
4.2.4. Proses penegakan aturan terkait pengelolaan hutan negara
Selama bertahun-tahun yang lalu masyarakat desa merasa aman-aman saja untuk membuka hutan dan
mengusahakannya menjadi lahan pertanian, walaupun ternyata sebagian hutan yang mereka usahakan
sudah masuk dalam kawasan lindung. Relatif lemahnya tindakan penegakan hukum di masa lalu
membuat warga yang membuka hutan di kawasan lindung bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu.
Celah ini justru lebih banyak dimanfaatkan oleh migran Nias yang datang ke Tor Sihayo secara sporadis
sejak akhir tahun 1970-an. Pola perladangan migran Nias yang “merayap secara diam-diam” tidak terlalu
menyita perhatian warga dan juga aparat pemerintah yang seharusnya bertugas melakukan tindakan
pengawasan. Awal tahun 2009 baru diketahui bahwa luas areal hutan yang dibuka migran Nias di
kawasan Tor Sihayo sudah mencapai 502 Ha, baik di kawasan lindung maupun kawasan konservasi.
Upaya penegakan hukum yang sedang dan akan dilakukan untuk mengamankan hutan negara, baik
kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi, secara langsung akan memperhadapkan warga yang
sudah membuka hutan dan mengusahakannya di lahan hutan negara dengan aparat pemerintah yang
memiliki kewenangan menjaga hutan negara. Minimal yang sudah terjadi saat ini adalah konflik
kepentingan antara warga penggarap kawasan hutan dengan otoritas pemerintah yang akan mengelola
kawasan hutan negara sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Peluang konflik vertikal antara warga
masyarakat dengan aparat pemerintah akan melibatkan migran Nias dan warga desa-desa sekitarnya.
Konflik horizontal untuk memperebutkan lahan sudah pernah terjadi antara migran Nias dengan warga
Hutagodang Muda, dan diperkirakan bisa meluas melibatkan warga desa-desa lainnya jika faktor-faktor
subjektif dan obejktif seperti diuraikan di atas semakin menyatu.
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-18
Proses penegakan hukum di kawasan Tor Sihayo diperkirakan akan menghadapi beberapa dilema.
Sebuah contoh kasus yang pernah terjadi antara warga Muara Batang Angkola dengan warga Tangga
Bosi terkait perebutan lahan di sekitar Pasir Bidang menarik untuk dikemukakan di sini. Pada tahun
1990-an beberapa warga dari desa Tano Tombangan Kecamatan Batang Angkola membuka lahan di
seberang Sungai Batang Gadis, tepatnya di sekitar Pasir Bidang. Lokasi ini diklaim oleh tiga desa sebagai
bagian dari wilayah desanya, yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. Salah
seorang warga Muara Batang Angkola kemudian membeli lahan kebun kakao yang dibangun oleh
penduduk dari Tano Tombangan tadi. Suatu ketika, persoalan sengketa penguasaan lahan di Pasir
Bidang ini mencuat sehingga harus diselesaikan di tingkat kecamatan, dan akhirnya diputuskan sebagai
bagian wilayah Tangga Bosi. Beberapa orang warga desa Tangga Bosi kemudian mengambil alih lahan
kebun kakao yang ada di Pasir Bidang, termasuk yang sudah dibeli oleh warga Muara Batang Angkola
tadi. Hal yang menarik, warga Muara Batang Angkola tadi justru mengalah ketika warga desa Tangga
Bosi mengambil lahan kebun yang sudah ia beli. Salah seorang tokoh masyarakat di Muara Batang
Angkola ketika ditanyakan mengenai hal ini menjawab sangat sederhana: “kalau kita persoalkan pun
akan terjadi ibarat pepatah arang habis besi binasa”, katanya.
Penjelasan yang disampaikan oleh informan terhadap kasus tersebut mengisyaratkan adanya dilema itu,
jika dilihat dari sudut pandang warga masyarakat. Jika warga Muara Batang Angkola tadi memprotes
pengambilan lahan kebun oleh warga Tangga Bosi, yang akan timbul adalah konflik atau perkelahian.
Jika masalah itu dibawa ke aparat penegak hukum, maka kedua pihak juga akan menguras biaya dalam
pengurusannya, dan hasil akhirnya diperkirakan akan sama-sama merugi, karena dari sudut pandang
pemerintah, lokasi kebun yang dipersengketakan itu adalah kawasan hutan lindung. Artinya, baik warga
Tano Tombangan yang pertama membuka hutan dan menanami kakao, juga warga Muara Batang
Angkola yang membeli lahan tersebut kemudian, serta warga Tangga Bosi yang mengambil paksa lahan
kebun tersebut dari si pembeli, semuanya adalah pihak yang melakukan pelanggaran hukum karena
mengklaim penguasaan sumberdaya di kawasan hutan negara.
Demikian juga kasus jual beli, ganti rugi, atau bentuk transaksi lain yang terjadi selama ini antara migran
Nias di kawasan Tor Sihayo dengan penduduk setempat, semuanya sesungguhnya mengandung dilema
hukum. Pihak pembeli (migran Nias) merasa bahwa dia sudah memiliki hak atas lahan yang dibelinya,
sementara jika dihadapkan dengan hukum formal berkaitan dengan status kawasan, maka jual beli
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum meskipun kepala desa sudah membubuhkan tanda tangan dan
LAPORAN FINAL
Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG Conservation International Indonesia
Bab
IV: A
nal
isis
Ko
nfl
ik P
engu
asan
Su
mb
erd
aya
IIV-19
stempel. Pihak penjual biasanya sudah menyiapkan jurus selamat dalam naskah jual beli atau ganti rugi
yang dibuatkan di atas segel, dengan menyatakan bahwa ia bersedia dituntut jika ada pihak keluarganya
yang di kemudian hari melakukan dakwa-dakwi atas penjualan tanah tersebut. Meskipun bagi pihak
pembeli hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk pengamanan atas penguasaannya terhadap tanah yang
dibeli atau diganti rugi, tetapi sesungguhnya jual beli atau ganti rugi itu sendiri tidak mempunyai
kekuatan hukum karena dilaksanakan atas lahan atau sumberdaya milik negara.
Proses-proses transaksi lahan atau tanah di kawasan Tor Sihayo yang terjadi seperti pola-pola tersebut
di atas dimungkinkan terjadi karena lemahnya penegakan hukum atas keberadaan hutan negara yang
ada di kawasan itu. Oleh karena itu, proses pembersihan kembali kawasan hutan negara di Tor Sihayo
dari aktivitas penggarapan baik oleh warga migran Nias maupun penduduk desa-desa sekitar, akan
menghadapi banyak persoalan yang perlu didekati dan ditangani secara bijaksana.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-1
BAB V
ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH
5.1. Tipologi konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan Tor Sihayo
Dari uraian yang sudah digambarkan pada bab-bab terdahulu perlu kiranya dikategorikan termasuk tipe
seperti apa konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di kawasan Tor Sihayo. Dengan penetapan
tipologi itu kemudian akan dimungkinkan untuk menyusun pilihan-pilihan cara penyelesaian yang
diperkirakan lebih sesuai dengan keadaan di lapangan. Pertama, perlu pembatasan pengertian konflik
yang dimaksud dalam kajian ini. Istilah konflik adalah sebuah istilah yang sangat cair, terus berubah dan
bersifat ambigu. Ia dapat bermakna sebuah debat atau kontes; sebuah ketidaksetujuan, bantahan,
sengketa atau perselisihan; bisa juga berarti perjuangan, pertempuran atau konfrontasi; atau bisa juga
bermakna suatu keadaan tidak aman, instabilitas, kekacauan atau keos. Kedua, konflik sebaiknya dilihat
sebagai proses-proses interaksi sosial yang bersifat dinamis, tidak tunggal, bukan pula sebuah peristiwa
yang berdiri sendiri. Memang tidak ada konflik yang persis sama, tetapi cara bagaimana suatu konflik
muncul dan berkembang seringkali memiliki kemiripan.
Secara teoritik setidaknya ada empat karaktersitik dari eskalasi konflik, jika diiurutkan dari level paling
rendah ke paling tinggi sebagai berikut : (1) sengketa/disputes; (2) konfrontasi tanpa kekerasan/non-
violent confrontation; (3) konfrontasi dengan kekerasan/escalation towards violence; dan (4) kekerasan
terbuka/overt violence. Matrik berikut memberikan uraian karakteristik masing-masing tahapan eskalasi
konflik tersebut.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-2
Dispute Non-violent confrontation Escalation towards violence Overt violence
Ketegangan, kecemburuan di
dalam komunitas
Konflik laten muncul ke
permukaan
Bagian-bagian penduduk
dimobilisasi sebagai faktor
penyebab
Kekeran dimulai dengan aksi-
aksi penyerangan yang
bersifat sporadis dan terbatas
terhadap individu dan/atau
sabotase terhadap properti
Meningkatnya kelangkaan
sumberdaya milik bersama
Garis pemisah sudah menguat
(kami vs mereka)
Pendekatan adat,
kelembagaan dan hukum
formal gagal untuk
mengendalikan sengketa
Penyerangan menjadi lebih
terkordinasi
Keluhan-keluhan telah
muncul dalam percakapan
sehari-hari
Pemimpin-pemimpin politik
mulai muncul
Ekspresi terbuka berupa
kebencian dan kemarahan
Tindakan kekerasan selalu
dituduhkan kepada pihak
lawan
Mekanisme adat setempat
masih bisa digunakan untuk
meredam sengketa
Percakapan sehari-hari sudah
ditandai dengan pengambilan
posisi
Percakapan sehari-hari sudah
mencakup tuntutan dan
ancaman
Macetnya proses untuk
kemajuan
Kekuatan ekonomi dan
politik digunakan untuk
mendorong tuntutan
personal
Penggunaan bahasa-bahasa
negatif oleh pemimpin-
pemimpin politik
Kelompok yang bertikai
sudah kehilangan kepercayaan
satu sama lain dalam
memafaatkan institusi adat,
dan lebih memilih mekanisme
hukum dari luar/legal
Kelompok-kelompok yang
bersengketa menggerakkan
tuntutan-tuntutan mereka
dan memperluas tujuan-
tujuan mereka
Kelompok-kelompok yang
bersengketa membangun
aliansi dengan penduduk luar
yang berdekatan dengan
mereka
Selanjutnya, berdasarkan karakteristik dari eskalasi konflik seperti disebutkan di atas, secara teoritik
dapat pula disusun pilihan-pilihan pengelolaan konflik. Untuk fase 1 dan 2 dapat dilakukan pencegahan
konflik, sedangkan untuk fase 3 dan 4 diperlukan upaya mediasi dan mitigasi konflik. Pencegahan konflik
untuk fase 1 dan 2 dapat dilakukan dengan beberapa pilihan seperti diuraikan dalam matrik di bawah
ini.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-3
Pencegahan konflik
Sengketa Konfrontasi non-kekerasan
Mengintegrasikan strategi pencegahan konflik ke dalam
perencanaan proyek
Memperkuat lembaga dan mekanisme legal dari luar
untuk mengatasi konflik
Memperkuat pendekatan-pendekatan adat untuk
penyelesaian konflik pada tingkat komunitas
Membangun sebuah sistem pengelolaan konflik berbasis
komunitas yang bersifat independen
Membuat proyek-proyek pembangunan komunitas yang
bertarget khusus
Bantuan hukum bagi kelompok yang mengalami tekanan
Membuat proyek rehabilitasi lingkungan yang bertarget
khusus
Demonstrasi dan boikot terhadap kelompok yang
menekan
Mempromosikan proses dialog dan negosiasi antar
stakeholder
Arbitrasi
Pelatihan-pelatihan terhadap pemimpin komunitas dalam
hal keterampilan fasilitasi dan mediasi
Mediasi yang difasilitasi pihak ketiga
Memperkuat komunitas madani Tindakan-tindakan non kekerasan lainnnya
Mengembangkan program pengentasan kemiskinan Meningkatkan kredibilitas hukum
Mempromosikan hak-hak asasi manusia dan
kepemerintahan yang baik
Jika kerangka teoritik di atas digunakan untuk mengidentifikasi persoalan sengketa dalam pemanfaatan
sumberdaya alam di kawasan Tor Sihayo sebagaimana telah digambarkan dalam bab-bab terdahulu,
tampaknya keadaan yang terjadi di sana masih tergolong sebagai sengketa biasa (disputes) yang punya
potensi berkembang ke arah konfrontasi non-kekerasan. Konflik yang terjadi di kawasan Tor Sihayo juga
perlu dipilah dalam dua ranah, yaitu (a) bersifat horizontal atau antar komunitas, dan (b) bersifat
vertikal atau antara komunitas dengan pihak pemerintah atau pemeganng otoritas terhadap
sumberdaya hutan negara di kawasan itu.
Konflik yang berdimensi horizontal atau antar komunitas antara lain ditandai oleh adanya ciri-ciri seperti
yang diuraikan pada matrik 5.1. di atas, misalnya adanya ketegangan antar komunitas (misalnya antara
migran Nias dengan warga Hutagodang Muda), juga antara individu-individu migran Nias dengan
individu-individu tertentu warga desa-desa sekitar yang menunjukkan sikap permusuhan. Selain itu juga
telah terjadi gejala meningkatnya kelangkaan sumberdaya yang bisa diakses bersama; dan dalam
percakapan sehari-hari sudah sering muncul keluhan dari satu kelompok kepada kelompok lain; dan
sejauh ini mekanisme adat belum difungsikan untuk meredam potensi sengketa. Gejala-gejala tersebut
juga sudah mengemuka dalam konteks sengketa berdimensi vertikal, antara komunitas dengan pihak
pemerintah, khususnya setelah adanya upaya penegakan hukum terhadap kawasan hutan negara di
kawasan Tor Sihayo.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-4
Dengan demikian, upaya penanganan konflik yang perlu dilakukan pada tahapan sekarang adalah yang
bersifat pencegahan (conflict prevention), seperti yang dikemukakan pada matrik 5.2. di atas.
5.2. Perspektif penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya di kawasan TNBG
5.2.1. Konflik berdimensi vertikal
Persoalan utama yang dihadapi saat ini adalah fakta adanya aktivitas pembukaan hutan dan pengelolaan
lahan pertanian di kawasan hutan negara, baik di dalam kawasan hutan lindung maupun kawasan TNBG.
Aktivitas itu sebagian sudah berlangsung sejak lama, puluhan tahun, dan sebagian masih tergolong baru.
Persentasi terbesar dari aktivitas tersebut terdapat di kawasan hutan lindung, namun di beberapa
tempat sudah merambah masuk ke kawasan taman nasional. Pelaku utama dari aktivitas tersebut
mayoritas adalah migran Nias yang datang dari luar kawasan atau luar kabupaten, sementara sebagian
lainnya adalah warga-warga desa sekitar.
Target paling tinggi yang ingin dicapai dari penyelesaian sengketa pemanfaatan hutan negara, sudah
barang tentu, adalah terbebaskannya kawasan hutan dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi merusak
fungsi hutan, baik fungsi lindung maupun konservasi. Namun di sisi lain, proses yang akan ditempuh
untuk mencapai tujuan tersebut harus pula memperhatikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat atau hak-hak tradisional masyarakat untuk bisa berusaha menyambung nafas kehidupan
bagi keluarganya. Dengan demikian, ada dua kepentingan yang saling bertentangan di sini, yang jika
tidak dikelola dengan baik akan mendorong terjadinya perluasan konflik ke tahap yang lebih buruk. Jika
faktor kebutuhan aktual masyarakat dalam hal hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut tidak masuk
dalam pertimbangan proses penyelesaian, bisa diperkirakan bahwa masalah sesungguhnya tidak akan
selesai. Dengan kata lain, potensi untuk berulangnya muncul masalah yang sama sangat besar.
Oleh karena itu, penyelesaian yang ideal adalah terbebasnya kawasan hutan negara dari aktivitas yang
dapat merusak fungsinya di satu sisi, dan terjaminnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
dan hak-hak tradisional mereka untuk berusaha. Persoalannya, apakah kedua hal itu bisa dijalankan di
tempat yang sama atau harus ada pilihan tempat lain sebagai substitusi bagi warga masyarakat. Soal ini
nantinya akan menjadi bagian dari pihak pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengatur
pengelolaan sumberdaya dan memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari ancaman kelaparan
dan kemiskinan.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-5
5.2.2. Konflik berdimensi horizontal
Persoalan utama terkait dengan hal ini adalah adanya kesempatan yang berbeda di antara komunitas-
komunitas lokal dan pendatang dalam pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan hutan negara.
Meskipun secara ilegal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa migran Nias yang datang dari luar
kabupaten sudah terlebih dahulu menancapkan kaki dan menguasai lahan-lahan di kawasan hutan
negara. Hal ini menimbulkan rasa kecemburuan di kalangan warga komunitas tempatan, mengapa
warga migran Nias dibiarkan bebas membuka hutan sementara komunitas lokal tidak diperbolehkan lagi
untuk melakukan hal yang sama. Potensi konflik terbuka antara kedua komunitas tersebut sangat besar,
mengingat bahwa temuan lapangan dalam studi ini menunjukkan adanya konflik laten antara migran
Nias dan penduduk setempat.
Penyelesaian yang ideal untuk konflik horizontal adalah kemenangan untuk semua pihak, artinya
masing-masing pihak dapat memperoleh haknya untuk beraktivitas dalam rangka ekonomi, sosial dan
budaya serta hak-hak tradisional mereka untuk berusaha. Persoalannya, di tengah fakta kelangkaan
sumberdaya yang tersedia, bagaimana sebaiknya pengaturan mengenai hal ini harus dilakukan.
Meskipun migran Nias adalah pendatang di tempat ini, sebuah pilihan kebijakan untuk memaksa mereka
“pulang kampung” barangkali bukan sebuah pilihan yang bijaksana, karena proses itu akan potensial
memunculkan isu-isu pelanggaran hak asasi manusia dan beriksiko secara hukum dan politik. Oleh
karena itu, diperlukan sebuah mekanisme yang bisa menjembatani perbedaan kepentingan antar kedua
kelompok komunitas, dan juga bisa meminimalisasi risiko-risiko sosial, ekonomi, politik dan HAM yang
bisa muncul.
5.3. Ragam alternatif penyelesaian konflik
Kajian ini tidak merekomendasikan satu pilihan tunggal dalam rangka penyelesaian konflik pemanfaatan
sumberdaya alam di kawasan Tor Sihayo. Beberapa kemungkinan pilihan penyelesaian akan diuaraikan
di bawah ini, sebagai bahan untuk didiskusikan lebih lanjut dengan pihak-pihak yang memiliki otoritas
untuk mengambil keputusan. Pilihan-pilihan yang disajikan di sini lebih dimaksudkan sebagai upaya
membuka pandangan dan pemikiran para pihak terkait untuk melihat sisi-sisi persoalan dan risiko-risiko
yang mungkin akan muncul dari setiap pilihan.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-6
ALTERNATIF 1. Kawasan TNBG dan Hutan Lindung (HL) bersih dari aktivitas pertanian
Pilihan ini berfokus pada kepentingan konservasi yaitu dengan target utama kawasan hutan baik TNBG
maupun Hutan Lindung bebas dari aktivitas pertanian. Areal kawasan hutan seluas kurang lebih 500 Ha
yang sudah dibuka oleh warga dikosongkan dari aktivitas pertanian, sehingga semua warga yang sudah
menanam investasinya di dalam kawasan diminta keluar. Secara konseptual hal ini terlihat baik dan
mudah, namun dalam pelaksanaannya akan sangat sulit dan membuka peluang munculnya risiko-risiko
sosial dan politik yang bisa kontraproduktif terhadap tujuan konservasi, seperti digambarkan dalam
Matrik 5.1. di bawah ini.
Matrik 5.1. Pembebasan kawasan dari aktivitas pertanian
Target pokok Kawasan TNBG dan Hutan Lindung bersih dari aktivitas pertanian
Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan dan pengelolaan lahan pertanian yang
dilakukan warga migran Nias dan warga lokal di kawasan hutan (TNBG dan
HL).
Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap kawasan TNBG tanpa kompensasi tanam
tumbuh.
Mengeluarkan warga yang menggarap di kawasan HL dengan diberikan
kompensasi tanam tumbuh
Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG dan HL bersih dari aktivitas penggarapan, dan bebas dari
kerusakan akibat tindakan manusia
Risiko-risiko yang akan muncul Diperlukan biaya besar untuk memindahkan pendududk dari kawasan hutan
Ada peluang resistensi dari pelaku dan warga luar
Ada risiko politik tingkat lokal, khususnya terkait dengan isu HAM
Antisipasi dampak negatif Diperlukan program substitutif bagi petani yang dikeluarkan dari kawasan hutan,
misalnya relokasi atau pembayaran kompensasi, atau pelibatan dalam proyek
lain
Meminta warga secara sukarela meninggalkan kawasan hutan hanya mungkin dilakukan jika warga
masyarakat sudah memiliki kesadaran konservasi dan kesadaran hukum yang tinggi, yang dalam situasi
sekarang keduanya belum atau tidak ditemukan dalam kenyataan di lapangan. Memilih cara pemaksaan
agar mereka meninggalkan kawasan hutan akan mengundang risiko yang besar dari segi sosial, politik
dan keuangan, dan cara demikian sangat rentan dengan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.
Cara-cara pemaksaan juga akan mencederai proses demokratisasi dan prinsip-prinsip kepemerintahan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-7
yang baik yang sedang diperjuangkan untuk bisa tegak, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, alternatif 1 dengan metode pemaksaan (forcible) seperti digambarkan di atas tidak
dianjurkan untuk dipilih dalam proses penyelesaian sengketa pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Tor Sihayo.
ALTERNATIF 2. Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian
Pilihan yang sedikit lebih moderat adalah fokus kepada kawasan hutan dengan fungsi konservasi yaitu
pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan adalah meminta
warga agar menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di dalam kawasan TNBG tanpa
diberikan kompensasi atas tanam tumbuh yang ada di atasnya. Risiko sosial, ekonomi dan politik yang
diperkirakan muncul akan lebih kecil karena jumlah warga yang berada dalam kawasan TNBG belum
banyak meskipun luasan lahan yang telah dibuka ditaksir sudah mencapai lebih 100 Ha. Jika warga yang
menduduki kawasan TNBG adalah migran Nias yang belum memiliki status domisili tetap di desa-desa
sekitar (yang dibuktikan dengan pemilikan KTP misalnya), diperkirakan upaya “paksa” agar mereka
meninggalkan lokasi masih bisa dilakukan. Pendekatan lain yang lebih lunak adalah cara persuasif
melalui tokoh-tokoh panutan atau pimpinan komunitas migran Nias.
Matrik 5.2. Pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas pertanian
Target pokok Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian
Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di kawasan TNBG
Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap di TNBG tanpa kompensasi
Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG bersih dari aktivitas penggarapan dan bebas dari kerusakan
akibat tindakan manusia, namun kawasan HL tetap dikelola
Risiko-risiko yang akan muncul Resistensi dari para pelaku, namun diperkirakan lebih kecil
Tetap ada ancaman kerusakan kawasan hutan di HL
Ada persoalan hukum dengan membiarkan warga mengelola swadaya HL
Ada preseden buruk pengelolaan HL yang bisa ditiru komunitas lain
Antisipasi dampak negatif Melibatkan tokoh-tokoh panutan atau pimpinan komunitas migran Nias di
kawasan Tor Sihayo dalam pelaksanaan penarikan warga dari kawasan TNBG
Pilihan pembebasan kawasan TNBG sebagai fokus utama di satu sisi memiliki kekuatan strategis karena
fungsi konservasi dari kawasan bisa diselamatkan dengan risiko-risiko sosial dan politik yang lebih kecil.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan pilihan tersebut juga diperkirakan lebih sedikit
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-8
sehingga tidak terlalu membebani anggaran pihak otoritas pemerintah yang akan melaksanakannya.
Namun demikian, dengan hanya fokus kepada TNBG di satu sisi dan tetap membiarkan pendudukan
kawasan hutan lindung di sisi lain, akan menimbulkan persoalan inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Pembiaran terhadap pendudukan hutan lindung tanpa alas hukum dan kebijakan yang diperbaharui jelas
akan menjadi faktor disinsentif untuk penegakan hukum berikutnya. Warga masyarakat sepatutnya
tidak boleh tahu atau menduga-duga bahwa otoritas pengelola kawasan hutan memiliki pilihan-pilihan
prioritas dalam penegakan hukum lingkungan.
Alternatif kedua seperti digambarkan di atas bisa menjadi pilihan jika diletakkan dalam kerangka sebuah
penyelesaian bertahap. Artinya, fokus pertama diletakkan pada pembebasan kawasan hutan konservasi
dari segala aktivitas manusia yang bisa merusak dan menghilangkan fungsinya. Tahap berikutnya akan
difokuskan kepada penyelesaian masalah di kawasan Hutan Lindung, baik melalui pembebasan serupa
seperti di kawasan hutan konservasi atau dengan menggunakan pendekatan baru yang lebih kolaboratif
dengan memanfaatkan peluang melalui peraturan-peraturan atau kebijakan yang ada terkait dengan
pengelolaan hutan lindung.
ALTERNATIF 3. Kawasan TNBG bersih, luasan Hutan Lindung dikurangi
Pilihan lain adalah membebaskan kawasan hutan konservasi TNBG dari pendudukan liar oleh warga yang
memanfaatkannya untuk lahan pertanian dan mengalihkan fungsi sebagian kawasan hutan lindung yang
sudah dikelola oleh masyarakat. Aspirasi sebagian besar warga masyarakat dari desa-desa di sekitar
TNBG yang membutuhkan perluasan lahan pertanian selama ini tertuju kepada pengurangan kawasan
hutan lindung dengan menggeser tapal batas sekitar 1-3 kilometer dari batas yang ada sekarang. Fakta
lapangan yang mudah ditemukan saat ini adalah penggarapan kawasan hutan lindung hampir di semua
desa-desa sekitar kawasan TNBG yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Hal seperti itu juga
ditemukan di kawasan Tor Sihayo yang menjadi lokus penelitian ini.
Dalam skenario pada alternatif 3 ini, warga yang sudah menduduki kawasan konservasi TNBG tetap
harus dikeluarkan tanpa konpensasi atas tanam tumbuh yang ada di atasnya. Selain itu, areal hutan
lindung yang sudah dikelola menjadi lahan pertanian dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan dan
pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat sekitar. Di satu sisi, pilihan ini memberikan ruang bagi
warga masyarakat dari desa-desa sekitar yang menghadapi kelangkaan lahan untuk memperoleh lahan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-9
baru atau mempertahankan lahan sebelumnya yang telah diolah di kawasan hutan lindung. Tetapi di sisi
lain, akan ada risiko yang besar di belakang hari jika pelepasan kawasan hutan lindung dilakukan. Proses
dan prosedur hukum untuk pelepasan status kawasan hutan juga tidak mudah dan akan membutuhkan
waktu lama, sehingga pilihan ini kurang strategis. Seandainya alternatif pelepasan kawasan hutan
lindung tersebut dipilih dan disetujui untuk kasus Tor Sihayo, hal ini diduga akan menjadi preseden
buruk untuk kawasan hutan lindung di tempat-tempat lain, karena masyarakat akat berlomba-lomba
menguasai dan mengusahakan lahan di kawasan hutan. Selain itu, akan muncul risiko sosial baru berupa
konflik horizontal yang kemungkinan besar terjadi di antara komponen masyarakat yang saling bersilang
kepentingan.
Matrik 5.3. Pembebasan kawasan TNBG dan pengurangan luasan HL
Target pokok Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian, sebagian HL terselamatkan
Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di kawasan TNBG
Mengizinkan kawasan HL yang sudah dikelola menjadi lahan pertanian dan
dikeluarkan dari HL, dikukuhkan dengan produk kebijakan
Membuat patok batas baru untuk kawasan HL
Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap di dalam kawasan TNBG tanpa
kompensasi
Membuat kesepakatan dengan penggarap HL tentang batasan dan aturan-aturan
pengelolaan yang dibolehkan
Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG bersih dari aktivitas penggarapan dan bebas dari kerusakan
akibat tindakan manusia, namun sebagian kawasan HL dilepaskan dari status
hutan
Risiko-risiko yang akan muncul Ada preseden buruk pengelolaan HL yang bisa ditiru komunitas lain
Antisipasi dampak negatif Dirancang sebuah program pengelolaan kolaboratif di kawasan hutan lindung,
dengan persyaratan dan mekanisme yang menjamin keberlanjutan ekosistem
dan memberikan keadilan dalam akses pemanfaatan sumberdaya
Alternatif 3 tidak dianjurkan untuk dipilih karena proses dan prosedur untuk pelepasan kawasan hutan
tidak mudah dan akan membutuhkan waktu lama, dan seandainya hal itu bisa dilakukan juga akan
mengundang risiko baru yang akan menambah persoalan-persoalan baru di masa depan. Tuntutan
masyarakat untuk pelepasan kawasan hutan lindung akan semakin menguat, potensi konflik horizontal
dalam pengelolaan lahan yang dilepaskan dari status kawasan hutan juga diperkirakan akan muncul ke
permukaan. Dengan kondisi adanya konflik laten antara warga asli dengan migran Nias seperti sekarang
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-10
ini, maka pilihan seperti diuraikan di atas diperkirakan bukan menghasilkan penyelesaian yang terbaik,
bahkan sebaliknya akan mengundang persoalan sosial yang lebih besar di kemudian hari.
ALTERNATIF 4. Kawasan TNBG bersih, Hutan Lindung dikelola secara kolaboratif
Pilihan yang lebih realistis dan bertumpu pada kemauan saling mengakomodasi dan mengkompromikan
kepentingan yang berbeda adalah seperti dikemukakan dalam Alternatif 4 ini. Kawasan TNBG tetap
harus bersih dari aktivitas penggarapan dan aktivitas-aktivitas ilegal lain yang tidak sesuai dengan aturan
pengelolaan hutan konservasi. Sementara itu, kawasan hutan lindung diberikan izin untuk dikelola
secara kolaboratif oleh warga masyarakat yang hidup di sekitarnya. Dengan alternatif ini diharapkan
kawasan TNBG tetap bersih dari aktivitas penggarapan, sementara kawasan hutan lindung yang sudah
digarap oleh warga selama ini dikendalikan melalui implementasi program-program pengelolaan secara
kolaboratif, sesuai dengan perangkat aturan yang tersedia sebagai payung hukumnya.
Matrik 5.4. Pembebasan kawasan TNBG dan pengelolaan kolaboratif kawasan HL
Target pokok Kawasan TNBG bersih dari aktivitas pertanian, HL dikelola secara kolaboratif
Tindakan yang akan dilakukan Menghentikan aktivitas pembukaan/pengelolaan lahan di kawasan TNBG
Membuat rancangan pengelolaan HL secara kolaboratif
Metode/cara Mengeluarkan warga yang menggarap di dalam TNBG tanpa kompensasi
Membuat kesepakatan dengan komunitas desa untuk pengelolaan kolaboratif
dengan pola agroforest
Hasil yang akan dicapai Kawasan TNBG bersih dari aktivitas penggarapan dan bebas dari kerusakan
akibat tindakan manusia, kawasan HL dipertahankan namun diizinkan untuk pola
pengelolaan kolaboratif
Risiko-risiko yang akan muncul Distribusi hak atau akses bagi warga masyarakat diatur dengan cara baru,
sehingga lahan yang ada sebelumnya harus diperlakukan dengan cara baru
Antisipasi dampak negatif Dirancang sebuah program pengelolaan kolaboratif di kawasan hutan lindung,
dengan persyaratan dan mekanisme yang menjamin keberlanjutan ekosistem
dan memberikan keadilan dalam akses pemanfaatan sumberdaya
Pembebasan kawasan TNBG dari aktivitas-aktivitas yang bisa merusak fungsinya merupakan pilihan yang
tetap harus dijalankan. Ruang yang bisa diberikan untuk pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat
sekitar dalam rangka mengatasi problem kelangkaan lahan pertanian adalah kawasan hutan lindung.
Namun, untuk tetap menjaga terpeliharanya fungsi-fungsi lindung yang melekat dalam kawasan hutan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-11
lindung, perlu dirancang sebuah program pengelolaan kolaboratif dengan persyaratan dan mekanisme
yang bisa menjamin keberlanjutan ekosistem. Rancangan program itu juga harus bisa menjamin adanya
keadilan bagi warga masyarakat dalam memperoleh akses pemanfaatan sumberdaya.
Alternatif 4 memberikan pilihan akomodatif dan kompromi. Dengan model pengelolaan kolaboratif
maka hak-hak normatif atas kawasan hutan lindung tetap berada di tangan otoritas pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk itu. Persoalan proses dan prosedur hukum yang rumit dan panjang untuk
pelepasan kawasan hutan tidak perlu lagi dihadapi, baik oleh masyarakat yang memerlukan lahan
maupun oleh perangkat institusi birokrasi yang memiliki kewenangan untuk mengurus itu. Di sisi lain,
warga masyarakat yang membutuhkan perluasan akses untuk mendapatkan manfaat ekonomi guna
menyangga kehidupan keluarga mereka dapat memperoleh akses berupa hak pemanfaatan yang legal,
sehingga tidak harus berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum karena masalah legalitas. Manfaat
ekonomi yang bisa diraih dari pola pengelolaan kolaboratif tersebut sepatutnya memiliki nilai lebih
karena tujuan utama mereka mencari lahan pertanian baru adalah untuk mengatasi problem ekonomi.
Oleh karena itu, persoalan status lahan yang dikelola tetap merupakan lahan milik negara yang masih
dibebani alas hukum kawasan hutan lindung, seyogiyanya tidak menjadi hambatan kultural bagi warga
masyarakat untuk menerima pilihan pengelolaan kolaboratif tersebut.
5.4. Alternatif mekanisme pengelolaan kolaboratif
Pengelolaan kolaboratif difokuskan di dalam kawasan hutan lindung, sementara kawasan konservasi
TNBG sebaiknya diupayakan untuk tetap bebas dari aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan aturan-
aturan pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian, warga masyarakat yang telah membuka dan
menggarap areal hutan konservasi TNBG dikeluarkan dari kawasan konservasi. Sedangkan warga yang
membuka dan menggarap areal hutan lindung dimungkinkan untuk bisa melanjutkan aktivitas mereka
setelah adanya izin pengelolaan kolaboratif dari pemerintah.
5.4.1. Mekanisme pembebasan kawasan konservasi TNBG
Sejauh ini warga yang diketahui membuka dan menggarap hutan di dalam kawasan konservasi TNBG
adalah migran Nias. Upaya untuk mengeluarkan mereka dari kawasan TNBG dapat dilakukan dengan
pendekatan persuasif, administratif dan pemaksaan sebagai alternatif terakhir. Kesepakatan yang telah
dibangun antara pemerintah daerah (melalui kegiatan inventarisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-12
daerah dan BP-TNBG pada Januari 2009) dengan warga migran Nias di kawasan Tor Sihayo untuk tidak
menerima kedatangan migran baru di kawasan itu serta ketentuan tidak boleh mendirikan pondok di
areal hutan konservasi yang sudah terlanjur dibuka, adalah sebuah pendekatan persuasif yang cukup
bijaksana. Pelibatan tokoh-tokoh panutan bagi migran Nias untuk menjamin terlaksananya kesepakatan
tersebut sangat penting mengingat dari hasil kajian ini diketahui bahwa migran Nias yang ada di daerah
Tor Sihayo masih sangat menghormati dan patuh kepada pemimpin-pemimpin mereka. Hal serupa juga
ditemukan dalam kasus migran Nias yang diteliti pada tahun 2007 di blok hutan Batang Toru (Zulkifli
Lubis dkk, 2007).
Hasil kajian di kawasan Tor Sihayo menunjukkan bahwa referensi ketokohan bagi warga migran Nias
biasanya terkait dengan adanya ikatan hubungan kekerabatan, kesatuan dalam komunitas agama, dan
kecakapan dalam memperjuangkan kepentingan warga komunitas ketika berhadapan dengan warga
komunitas lain. Dari penuturan sejumlah informan diketahui bahwa hampir semua warga migran Nias di
kawasan Tor Sihayo memiliki jalinan ikatan kekerabatan dan kampung asal. Kehadiran mereka ke tempat
ini juga tidak terlepas dari referensi kerabat-kerabatnya yang sudah lebih dulu menetap. Oleh karena
itu, pendekatan persuasif melalui simpul-simpul jaringan kekerabatan tersebut merupakan sebuah
pilihan strategis dalam rangka mengeluarkan warga migran Nias dari kawasan konservasi TNBG.
Jalur kedua adalah pemimpin komunitas agama. Setiap keluarga migran Nias di kawasan Tor Sihayo
memiliki afiliasi dengan gereja, baik gereja BNKP maupun GKPPDI. Pemimpin jemaat gereja adalah figur
sentral bagi jemaat dan memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi jemaatnya. Pemanfaatan figur
seperti ini diperkirakan sangat efektif untuk memperlancar proses eksklusi migran Nias dari kawasan
konservasi. Meminta dukungan dan tanggung jawab dari pemimpin jemaat untuk menertibkan para
jemaatnya yang menggarap kawasan konservasi adalah sebuah pilihan yang baik, sehingga dengan
demikian pihak gereja bisa mengatasi problem ikutan yang akan dihadapi oleh warganya setelah mereka
keluar dari kawasan. Mengingat jalur kekerabatan dan ikatan keimanan dan kesatuan dalam sebuah
komunitas keagamaan merupakan elemen kultural yang sangat signifikan dalam kehidupan migran Nias
di daerah ini, maka pilihan pendekatan persuasif melalui pengaruh tokoh-tokoh mereka diharapkan bisa
mengurangi resistensi warga penggarap TNBG jika batas waktu pembebasan kawasan telah ditetapkan.
Keberadaan perkumpulan untuk urusan-urusan sosial yang dikelola melalui jemaat gereja dan asosiasi
sukarela yang ada di kalangan migran Nias sepatutnya dapat didayagunakan oleh mereka untuk
menanggulangi masalah ekonomi yang akan dihadapi oleh kerabat atau warga jemaat mereka yang akan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-13
dikeluarkan dari kawasan konservasi. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan
biaya kompensasi bagi mereka yang harus meninggalkan kawasan konservasi.
Pendekatan persuasif melalui jalur pemimpin informal seperti diuraikan di atas bisa diperkuat dengan
menggunakan pendekatan administratif. Pemerintah daerah melalui aparat pemerintah di kecamatan
dan aparat desa bisa memanfaatkan kewenangan yang ada pada mereka untuk memastikan siapa saja
warga migran Nias, khususnya yang menggarap di dalam areal TNBG, yang secara administratif telah
terdaftar sebagai penduduk resmi di desa-desa yang ada di sekitar kawasan Tor Sihayo. Mereka yang
memiliki status domisili resmi dan tercatat dalam buku induk kependudukan dapat diperlakukan dengan
memperhatikan hak-hak mereka sebagai warga desa, dimana pemerintah desa, kecamatan sampai
pemerintah kabupaten sepatutnya memiliki tanggung jawab untuk mengatur relokasi mereka. Namun
bagi warga yang tidak memiliki status kependudukan legal, dapat diserahkan tanggung-jawabnya kepada
pemimpin komunitas mereka yaitu pemimpin jemaat gereja dimana yang bersangkutan tergabung dan
kepada kelompok kerabat yang memberikan referensi kepada yang bersangkutan untuk datang ke Tor
Sihayo.
Pendekatan dengan cara pemaksaan dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir, jika dua pendekatan
sebelumnya tidak bisa berjalan secara efektif. Tindakan pemaksaan tentu dilakukan dengan mengacu
kepada aturan perundang-undangan yang ada. Namun dalam kaitan ini, direkomendasikan untuk tidak
melakukan pemaksaan badan atau dalam bentuk fisik mengusir manusianya, sebagai upaya preventif
agar proses dan prosedur penyelesaian tidak menimbulkan persoalan baru terkait dengan pelanggaran
HAM. Cara lain yang lebih baik adalah memastikan bahwa tidak terjadi aktivitas budidaya dan
pemanfaatan hasil budidaya dan tumbuhan lain dari dalam areal konservasi, sehingga yang ditangani
adalah produk dari aktivitas-aktivitas tersebut (misalnya dalam bentuk tanaman yang dibudidayakan),
bukan pelaku yang mengelolanya. Kunci utama kebertahanan mereka di dalam kawasan adalah akses
pemanfaatan ekonomi, dan jika hal ini ditutup maka secara otomatis mereka akan keluar dari dalam
kawasan. Pendekatan melalui pemaksaan mungkin untuk dilakukan setelah memastikan bahwa proses-
proses persuasif dan administratif tidak bisa memberikan hasil maksimal.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-14
5.4.2. Mekanisme penyelesaian melalui pengelolaan kolaboratif di kawasan Hutan Lindung
Setidaknya ada dua produk kebijakan pemerintah yang bisa dijadikan sebagai payung bagi pengelolaan
kolaborarif di kawasan hutan lindung, yaitu aturan tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan
melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001, dan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Kedua kebijakan tersebut menempatkan aspek
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan sebagai bagian dari pertimbangan penting. Produk
kebijakan tentang hutan kemasyarakatan menyebutkan bahwa “praktek pengelolaan hutan harus
diupayakan selalu berorientasi kepada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis kepada
pemberdayaan masyarakat melalui peluang pemberian usaha kepada masyarakat setempat”. Sedangkan
dalam produk kebijakan hutan desa disebutkan bahwa “dalam rangka pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan
negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa”. Kedua produk hukum tersebut
menyajikan skenario jalan tengah untuk mengatasi dilema silang kepentingan antara pelestarian hutan
dengan kebutuhan perluasan lahan pertanian untuk menyangga kehidupan masyarakat di sekitar hutan.
Kebijakan tentang hutan kemasyarakatan dan hutan desa memiliki beberapa persamaan, namun produk
hukum tentang hutan desa memiliki pengaturan yang lebih rinci sebagai panduan dalam pelaksanaan.
Matrik di bawah ini menyajikan beberapa aspek yang terkandung dalam kedua produk hukum tersebut
yang memperlihatkan aspek persamaan dan perbedaan dari keduanya. Salah satu aspek penting yang
membedakan keduanya adalah pada unit pengelola yang berhak mendapatkan izin. Pengelolaan hutan
kemasyarakatan dapat diberikan kepada kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan pengelolaan hutan
desa diberikan kepada lembaga desa. Meskipun secara prosedur permohonan pengelolaan hutan
kemasyarakatan tetap melalui lembaga administrasi desa, namun hak pengelolaan dan pemanfaatan
hasilnya bertumpu kepada kelompok masyarakat yang memegang izin, sehingga tidak langsung terikat
kepada lembaga pemerintahan desa. Sementara itu, hak pengelolaan hutan desa berada langsung di
bawah kewenangan pemerintahan desa, sehingga rasa tanggung jawab dan rasa memiliki dari
komunitas desa diperkirakan lebih kuat.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-15
Matrik 5.5. Karakteristik hutan kemasyarakatan dan hutan desa
HUTAN KEMASYARAKATAN HUTAN DESA
Dasar Hukum SK Menhut No. 31/Kpts- II/2001 Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008
Dasar
pertimbangan
Pemberdayaan masyarakat setempat di
sekitar hutan
Pemberdayaan masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan hutan
Definisi Hutan Negara dengan sistem pengelolaan
hutan yang bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat setempat tanpa menggangu fungsi
pokoknya
Hutan Negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta
belum dibebani izin/hak
Pengelola Kelompok masyarakat setempat yang
mendapat pengakuan dari masyarakat melalui
Kepala Desa/Lurah
Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa,
ditetapkan melalui peraturan desa yang
bertugas mengelola Hutan Desa yang secara
fungsional berada dalam organisasi desa dan
bertanggungjawab kepada kepala desa
Areal Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang
belum dibebani hak/izin
Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang
belum dibebani hak/izin dan berada di wilayah
administrasi desa
Jangka waktu 25 tahun, dapat diperpanjang 35 tahun, dapat diperpanjang
Wilayah
pengelolaan
Kawasan hutan yang menjadi sumber
penghidupan masyarakat setempat, dan
memiliki potensi untuk diolah masyarakat
setempat
Hak-hak dan
Kegiatan
pengelolaan
Penataan areal kerja, penyusunan rencana
pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan
perlindungan. Areal kerja dikategorikan ke
dalam blok perlindungan dan blok budidaya
Pada hutan lindung berhak untuk
memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; pada
hutan produksi berhak untuk memanfaatkan
kawasan, jasa lingkungan, pedmanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu
Izin hutan kemasyarakatan bukan merupakan
hak kepemilikan atas kawasan hutan dan
tidak dapat diagunkan atau
dipindahtangankan
Hak pengelolaan hutan desa bukan merupakan
hak kepemilikan atas kawasan hutan, dan
dilarang memindahtangankan atau
mengagunkan serta mengubah status dan
fungsi kawasan hutan
Prosedur izin Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah
tentang aturan-aturan internal Pokmas dan
aturan-aturan pengelolaan hutan; pengakuan
dari masyarakat melalui Kades/Lurah;
rencana lokasi dan luas areal kerja, serta
rencana jangka waktu pengelolaan yang
disepakati
Adanya Peraturan Desa tentang penetapan
lembaga desa; surat pernyataan Kades tentang
wilayah administrasi desa ybs yang diketahui
camat; luas areal kerja yang dimohon; rencana
kerja dan bidang usaha lembaga desa
Kewenangan
memberi izin
Izin dari Bupati Menteri/Gubernur/pelimpahan kpd Bupati
Provisi hasil
hutan
Dikenakan terhadap hasil hutan yang
diperdagangkan sesuai dengan peraturan
yang berlaku; provisi hasil hutan komoditas
non-kehutanan merupakan PAD
Tidak diatur khusus
Sumber : disarikan dari referensi produk hukum terkait
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-16
Meskipun penyelenggaraan pengelolaan hutan desa dapat dilakukan di kawasan hutan lindung dan
hutan produksi, namun perlu dicatat bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam perlakuan pengelolaan
pada keduanya seperti terlihat dalam matrik di bawah ini.
Matrik 5.6. Pengelolaan hutan desa di kawasan hutan lindung dan hutan produksi
HUTAN LINDUNG HUTAN PRODUKSI
Pemanfaatan
kawasan
Kegiatan usaha budidaya tanaman obat,
tanaman hias, jamur, hijauan makanan
ternak, budidaya lebah dan penangkaran
satwa liar
Kegiatan usaha budidaya tanaman obat,
tanaman hias, jamur, penangkaran satwa,
budidaya sarang burung walet
Pemanfaatan jasa
lingkungan
Kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air,
pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan
perlindungan lingkungan, penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon
Kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air,
pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan
perlindungan lingkungan, penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon
Pemungutan hasil
hutan bukan kayu
Kegiatan usaha rotan, madu, getah, buah,
jamur, atau sarang walet
Pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, yang
meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengamanan dan pemasaran
hasil; getah, kulit kayu, daun, buah atau biji,
gaharu, yang meliputi penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengamanan dan
pemasaran hasil ; paling banyak 20 ton per
lembaga desa
Pemanfaatan hasil
hutan kayu
Tidak dibenarkan Dibenarkan sesuai aturan yang berlaku dan
dengan IUPHHK; dan paling banyak 50 m3
per lembaga desa per tahun.
Pembiayaan Untuk pelaksanaan pengelolaan dari Kas
Desa; untuk fasilitasi, pembinaan dan
pengendalian dari anggaran pemerintah
Untuk pelaksanaan pengelolaan dari Kas
Desa; untuk fasilitasi, pembinaan dan
pengendalian dari anggaran pemerintah
Sumber : Disarikan dari referensi produk hukum terkait
5.4.3. Alternatif model pengelolaan kolaboratif di kawasan Tor Sihayo
Berdasarkan uraian di atas terdapat dua pilihan model pengelolaan kolaboratif kawasan hutan lindung di
sekitar Tor Sihayo, yaitu skema hutan kemasyarakatan atau skema hutan desa. Dengan menimbang
berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya dari komunitas-komunitas yang hidup di dalam dan sekitar
kawasan Tor Sihayo, kedua pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sebagaimana diuraikan
di bawah ini.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-17
Matrik 5.7. Analisis kelebihan dan kekurangan model HKM dan HD di kawasan Tor Sihayo
KELEBIHAN KEKURANGAN
Skema Hutan Kemasyarakatan
Lebih fokus kepada kelompok
masyarakat yang memiliki kemauan
dan atau telah mengelola hutan di
dalam kawasan hutan
Tidak memberikan manfaat lebih
bagi desa karena sudah terfokus
kepada kelompok masyarakat sbg
pengelola
Akses migran Nias lebih
terakomodasi melalui satuan
pengelolaan berupa kelompok
masyarakat (pokmas)
Ada preseden kegagalan kelompok
masyarakat sebagai pengelola,
misalnya kasus yayasan, PKB dan
Gerhan di Desa Hutagodang Muda
Skema Hutan Desa
Pertanggung-jawaban pengelolaan
lebih kuat karena langsung di bawah
kepala desa dan lembaga desa
Kebutuhan dan kepentingan
personal/keluarga kurang
terakomodasi
Dimungkinkan untuk mengadopsi
pendayagunaan modal sosial seperti
model pengelolaan “lubuk larangan”
yang bertumpu kepada komunitas
desa, bukan personal atau kelompok
Akses migran Nias yang sudah lebih
dulu mengelola kawasan berpotensi
berkurang karena pengambilan
keputusan mengenai rencana
pengelolaan harus melalui lembaga
desa
Dapat memberikan pengalaman
positif bagi masyarakat desa hutan
dalam mengelola sumberdaya secara
bersama dan memanfaatkan hasilnya
untuk kemakmuran desa
Pada awalnya berpotensi
menimbulkan masalah antar desa
dalam penetapan batas wilayah
adiminstrasi desa yang akan
diusulkan menjadi wilayah
pengelolaan hutan desa
Dapat mengurangi potensi konflik di
kalangan warga desa yang memiliki
beragam kepentingan atas nama
individu/keluarga
5.4.3.1. Skema hutan kemasyarakatan
Sejumlah individu yang berhimpun dalam satuan kelompok masyarakat (pokmas) dapat menjadi unit
kelembagaan yang mengajukan izin untuk pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKM). Jika dilihat dari
aspek keragaman latar sosial budaya dan batas administrasi desa yang ada di kawasan Tor Sihayo, maka
pilihan untuk mengusulkan skema HKM diperkirakan memiliki beberapa keunggulan. Komunitas migran
Nias yang sudah membuka areal kawasan hutan dapat menghimpun diri menjadi satu unit pengelolaan,
dan warga setempat dapat pula mengajukan diri dalam satu unit lainnya. Kesamaan latar belakang sosial
budaya dapat menjadi insentif untuk tumbuhnya sebuah unit pengelolaan yang kompak. Dengan
membuat kelompok masyarakat sebagai unit pengelola juga dapat mengakomodasi keberadaan migran
Nias yang sudah lebih dahulu mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung, sehingga implementasi
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-18
HKM menjadi sebuah mekanisme legalisasi yang terkendali atas pengelolaan kawasan hutan yang sudah
mereka jalankan selama ini.
Namun, peluang untuk menjalankan skema hutan kemasyarakatan hanya dimungkinkan jika dua hal
berikut berlangsung secara simultan, yaitu (1) adanya akses yang sama bagi warga komunitas lokal (tiga
desa sekitar Tor Sihayo) untuk membentuk kelompok masyarakat sendiri sebagai unit pengelola dengan
areal yang ditentukan; (b) adanya persetujuan dari lembaga pemerintahan desa terhadap keberadaan
kelompok masyarakat yang akan diusulkan sebagai unit pengelola HKM. Dalam kaitan ini, warga migran
Nias yang berpeluang untuk membentuk kelompok adalah mereka yang sudah memiliki status domisili
resmi di salah satu dari tiga desa sekitar Tor Sihayo yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan
Tangga Bosi II. Dengan demikian, proses penataan administrasi kependudukan bagi migran Nias yang
ingin terlibat harus dilakukan lebih dahulu sebelum pembentukan kelompok masyarakat yang akan
diusulkan untuk mendapatkan izin.
Pilihan skema hutan kemasyarakatan mengandung kelemahan dari segi kemanfaatan untuk desa.
Dengan skema HKM maka pihak yang paling banyak mengambil manfaat adalah anggota HKM sehingga
desa sebagai unit masyarakat terkecil tidak memperoleh manfaat yang besar dalam penyelenggaraan
HKM. Rasa memiliki dan tanggung jawab untuk pengelolaan kawasan hutan juga diperkirakan akan lebih
rendah karena masyarakat desa kurang mendukung mengingat mereka tidak memiliki insentif dari
keberadaan HKM. Peluang bagi warga desa di luar pokmas dalam memanfaatkan hutan juga terbatas
sehingga persoalan kelangkaan lahan dan perluasan lapangan usaha yang terjadi di desa diperkirakan
tidak akan terselesaikan dengan mekanisme hutan kemasyarakatan. Dengan kata lain, potensi
ketimpangan akses dalam pemanfaatan kawasan masih tetap bertahan. Kelemahan lainnya adalah
kemungkinan terjadinya konflik antara kelompok masyarakat (pokmas) dengan warga lain yang tidak
tergabung dalam kelompok. Selain itu, adanya preseden kegagalan dari beberapa eksperimen
pengelolaan hutan oleh unit pokmas seperti yang pernah terjadi di Hutagodang Muda, juga menjadi hal
penting yang perlu dicermati dalam memilih dan menentukan skema pengelolaan kolaboratif di
kawasan Tor Sihayo.
5.4.3.2. Skema hutan desa
Dengan skema hutan desa (HD) posisi kunci pengelolaan hutan berada di tangan pemerintahan desa
yang secara operasional akan dijalankan oleh Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa, didukung dengan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-19
keberadaan peraturan desa yang khusus tentang pengelolaan hutan desa. Skema hutan desa sangat
strategis karena pemerintahan desa memiliki ‘otoritas’ untuk mengelola kawasan hutan di wilayah
desanya, sehingga kehadiran warga pendatang haram (ilegal) yang akan memanfaatkan sumberdaya
alam dari kawasan hutan di dalam wilayah administrasi desa dapat dicegah dan dikendalikan dengan
lebih baik. Keberadaan migran Nias yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan TNBG secara ilegal
dan tanpa dilengkapi dokumen mutasi kependudukan, selama ini tidak bisa dikendalikan oleh aparat
pemerintahan desa karena berada di luar kewenangan mereka. Melalui skema hutan desa dimana
lembaga desa memiliki otoritas dalam pengelolaan hutan, diharapkan kasus-kasus migrasi masuk tanpa
izin tidak terulang lagi sehingga pertanggung-jawaban atas pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-
prinsip keberlanjutan dapat diminta kepada otoritas desa di wilayah mana suatu hamparan hutan desa
berada.
Manfaat utama yang diperoleh dari pengelolaan hutan desa akan mengalir dulu ke kas desa mengingat
pengelolaannya menurut ketentuan yang ada dijalankan dengan pembiayaan melalui kas desa. Lembaga
pengelola dapat membuat aturan mengenai pembiayaan dan pembagian hasil pengelolaan hutan desa.
Dalam menjalankan sistem pengelolaan hutan desa, dimungkinkan pula bagi lembaga pengelola hutan
desa untuk mengakomodasi atau melakukan replikasi model pengelolaan lubuk larangan yang sudah
populer di sejumlah desa pinggiran sungai di Kabupaten Mandailing Natal (lihat Zulkifli Lubis, 2002).
Model pengelolaan lubuk larangan yang cukup berhasil di sejumlah desa di sepanjang DAS Batang Gadis
dan DAS Batang Natal dilakukan dengan pendayagunaan modal sosial (social capital). Modifikasi dari
model pengelolaan tersebut (yang semula berbasis sumberdaya milik komunal berupa aliran sungai)
dapat dilakukan untuk disesuaikan dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Kreativitas dan kearifan
komunitas lokal dalam mendayagunakan modal sosial sesuai dengan kebutuhan khusus sangat mungkin
dikembangkan dalam pengelolaan hutan desa.
Skema hutan desa juga memiliki kelebihan karena dapat meminimalisasi peluang konflik kepentingan
antar warga desa yang ingin terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan. Pengaturan melalui peraturan
desa maupun pengembangan institusi atau pranata yang dikembangkan melalui lembaga desa pengelola
hutan desa dapat menjadi rujukan utama bagi warga desa dalam menentukan hak dan kewajibannya
atas keberadaan, pengelolaan dan pemanfaatan hasil dari hutan desa. Pengaturan pembagian hasil
secara proporsional dan berasaskan keadilan, yang menjadi salah satu elemen kunci dari keberhasilan
implementasi modal sosial, mutlak harus dikembangkan dan dilembagakan oleh lembaga desa pengelola
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-20
hutan desa, sehingga pilihan skema pengelolaan hutan desa menjadi wahana rekayasa sosial bagi
masyarakat desa dalam mengembangkan dan melaksanakan prinsip-prinsip kepenataan yang baik (good
governance) dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan berbasis komunitas desa
(community-based resources management).
Namun demikian, harus dipahami bahwa masih ada sisi lemah dari alternatif skema hutan desa.
Kelemahan pertama adalah tidak terakomodasinya kebutuhan dan kepentingan personal/keluarga. Hak
pengelolaan hutan desa ada pada level komunitas desa, bukan kelompok dan bukan pula individu atau
keluarga. Sementara itu, dalam kenyataan di lapangan, kebutuhan utama atas perluasan lahan dan
lapangan usaha berada pada level individu atau keluarga. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan
terjadinya kesenjangan antara kebutuhan dan aspirasi warga pada tingkat inidividu/keluarga dengan
kebutuhan dan aspirasi warga pada level komunitas desa. Kesenjangan ini bisa diantisipasi dengan
membangun konsensus di tingkat desa, agar persoalan silang kepentingan tersebut bisa dikelola sejak
awal. Salah satu alternatif jalan tengah yang bisa dikembangkan menjadi konsensus desa, misalnya,
adalah pengaturan proporsi pembagian hak dan kewajiban warga yang terlibat aktif dalam pengelolaan
di lapangan dengan warga yang tidak terlibat aktif di lapangan. Warga yang tidak aktif di lapangan
mendapat hak atas hasil pemanfaatan yang dialokasikan melalui Kas Desa, bisa berupa materi maupun
fasilitas publik atau fasilitas sosial yang didanai dari hasil pengelolaan hutan desa. Sedangkan warga
yang aktif dalam pengelolaan di lapangan berhak mendapatkan manfaat dalam proporsi tertentu
langsung dari hasil transaksi komoditi pengelolaan hutan desa. Proporsi pembagian hasil tersebut harus
disepakati atau dijadikan konsensus bersama yang diformalkan melalui Peraturan Desa sejak awal
pengelolaan dimulai.
Kelemahan kedua, terkait dengan hak dan akses warga migran Nias yang sudah mengelola kawasan
lebih dulu. Dengan skema hutan desa yang memberikan kewenangan pokok kepada pemerintahan desa
atau lembaga yang dibentuk di tingkat desa, maka lahan-lahan warga yang ada sepatutnya “melebur”
menjadi areal pengelolaan hutan desa, sehingga status pemilikan atau penguasaan individu atau
keluarga atas tanaman yang ada di atas lahan hutan desa menjadi hilang. Nah, persoalannya bagaimana
dengan status dan akses migran Nias yang sudah mengusahakan sebagian areal tersebut selanjutnya ?.
Tentu saja hal ini akan sangat tergantung kepada kesepakatan atau konsensus warga desa sebagai
pijakan awal dalam penyusunan rancangan pengelolaan hutan desa. Pilihan yang paling moderat adalah
membuat kesepakatan pada lingkup internal desa antara warga migran Nias dengan pemerintahan desa
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-21
dengan menetapkan areal-areal yang sedang diusahakan oleh migran Nias sebagai semacam ‘enclave’
yang diberi status khusus di dalam kawasan hutan desa. Status khusus tersebut berupa hak untuk tetap
mengelola areal ‘enclave’ tersebut oleh migran Nias yang sedang mengusahakannya, namun dengan
kompensasi membayar semacam ‘bungo ni padang1’ ke Kas Desa. Meskipun diberikan status ‘enclave’,
warga migran Nias yang mengusahakan areal tersebut harus mematuhi dan mengikuti ketentuan-
ketentuan pengelolaan hutan desa yang akan dirancang oleh lembaga desa pengelola hutan desa.
Masih terkait dengan keberadaan migran Nias di dalam kawasan hutan lindung yang akan diusulkan
sebagai areal pengelolaan hutan desa, proses pengintegrasian mereka ke dalam skema hutan desa harus
didahului oleh penetapan status mereka sebagai warga desa. Proses penetapan status ini tentu tidak
menjadi masalah lagi bagi migran Nias yang sudah memiliki status domisili resmi di suatu desa yang akan
mengajukan usulan skema hutan desa, tetapi bagi mereka yang belum terdaftar resmi sebagai warga
desa perlu diselesaikan urusan administrasi kependudukan ini. Pemerintahan desa, kecamatan bahkan
dinas kependudukan kabupaten mungkin perlu turut terlibat dalam membuat keputusan mengenai
penetapan status mereka sesuai dengan ketentuan perpindahan penduduk antar daerah. Kejelasan
status kependudukan ini penting diselesaikan sebelum usulan pengelolaan hutan desa dimajukan ke
pemerintah.
Kelemahan ketiga, sesuai ketentuan yang ada skema hutan desa memerlukan syarat pengakuan dari
kepala desa dan dikuatkan oleh camat atas kawasan hutan yang berada di dalam wilayah administrasi
suatu desa yang akan mengajukan usulan pengelolaan hutan desa. Dalam konteks kawasan hutan
lindung di sekitar Tor Sihayo, khususnya di desa-desa yang menjadi lokus penelitian ini, masalah batas
administrasi desa bisa menjadi sebuah batu sandungan. Sejauh yang diketahui dari fakta di lapangan,
tidak ada batas-batas administrasi desa yang sudah terpetakan dengan jelas khususnya yang langsung
berbatasan dengan kawasan hutan lindung. Menurut data BPS Kabupaten Mandailing Natal, kawasan
hutan lindung yang ada di sekitar Tor Sihayo diperkirakan masuk dalam wilayah administrasi desa Muara
Batang Angkola. Sedangkan fakta lain menunjukkan bahwa migran Nias yang ada di dalam kawasan
hutan lindung terbagi ke dalam administrasi kependudukan Desa Muara Batang Angkola dan Tangga
Bosi II. Desa Tangga Bosi II mengklaim bahwa migran Nias di Tor Pulo adalah penduduk desa mereka
1 Istilah ‘bungo ni padang’ diambil dari khasanah kebudayaan tradisional Mandailing dalam hal pengaturan hak
pemanfaatan sumberdaya di dalam wilayah sebuah ‘harajaon’ atau kerajaan. Warga di sebuah kerajaan berhak memanfaatkan hasil hutan dengan memberikan semacam pajak atau retribusi ke kas kerajaan dengan jumlah tertentu yang ditetapkan sebelumnya.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-22
yang berdiam di Dusun Tor Pulo, bagian dari wilayah administrasi Desa Tangga Bosi. Fakta lain
menunjukkan bahwa warga desa Hutagodang Muda juga sudah membuka lahan pertanian di kawasan
Tor Sihayo, meskipun menurut data BPS Kabupaten Madina luas desa mereka tidak mencakup kawasan
hutan lindung sebagaimana halnya Desa Tangga Bosi II juga. Jika mengikuti klaim-klaim tradisional, maka
Desa Tangga Bosi mengaku bahwa kawasan hutan lindung tersebut berada di dalam wilayah desa
mereka.
Persoalan batas-batas wilayah administrasi desa yang mencakupi kawasan hutan lindung yang akan
diusulkan melalui pengelolaan hutan desa harus diklarifikasi dengan cara yang bijaksana, khususnya oleh
pemerintah kecamatan bersama-sama dengan pemerintahan desa dan Dinas Kehutanan. Pendekatan
formalistik semata diperkirakan tidak akan menyelesaikan masalah, karena dengan cara tersebut
diperkirakan hanya Desa Muara Batang Angkola yang berhak untuk mengajukan usulan skema hutan
desa mengingat bahwa kawasan hutan lindung di daerah ini dimasukkan dalam batas wilayah
administrasi desa tersebut. Jika skenario ini yang dipilih, hampir bisa dipastikan akan menimbulkan
konflik horizontal antar komunitas desa yang berkepentingan dengan kawasan Tor Sihayo, minimal
antara tiga desa yang sama-sama memiliki klaim atas kawasan yaitu Desa Muara Batang Angkola,
Hutagodang Muda dan Tangga Bosi II.
Pilihan paling moderat adalah membagi kawasan hutan lindung di sekitar Tor Sihayo menjadi tiga blok
pengelolaan, yang nantinya akan didistribusikan kepada tiga desa tersebut di atas. Pembagian ini
dilakukan dengan asumsi bahwa ketiga desa dimaksud sama-sama menerima skema hutan desa sebagai
pilihan yang memungkinkan mereka mendapatkan akses pengelolaan kawasan hutan secara legal
melalui mekanisme hukum yang ada, yaitu Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Desa. Jika
misalnya tidak semua desa tadi bersedia terlibat dalam usulan skema hutan desa, maka cukup desa yang
bersedia saja yang akan difasilitasi sehingga pembagian kawasan hutan lindung juga disesuaikan dengan
jumlah desa yang menyetujui. Namun, mengingat bahwa selama ini klaim-klaim penguasaan lahan di
atas kawasan hutan lindung sangat kuat dari ketiga desa tersebut di atas, maka pernyataan resmi dari
aparat pemerintahan desa atas ketidaksetujuan mengikuti usulan skema hutan desa menjadi faktor yang
penting untuk mengantisipasi problem konflik yang mungkin timbul di kemudian hari.
Peluang munculnya silang kepentingan ke permukaan diperkirakan akan timbul di awal proses sosialisasi
skema hutan desa. Karena itu, jalan tengah yang paling baik adalah melakukan proses sosialisasi secara
bertahap yaitu dimulai dengan mengundang pemimpin formal dari ketiga desa (kepala desa dan aparat
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-23
pemerintahan desa) untuk mendiskusikan peluang-peluang pengelolaan kolaboratif di kawasan hutan
lindung. Tahap berikutnya bisa dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan
pengaruh strategis di desa, baik mewakili kelembagaan informal seperti lembaga adat, lembaga
keagamaan, asosiasi sukarela, cendekiawan di desa, serta individu-individu yang memiliki pengaruh di
desa. Target utama dari kedua tahap sosialisasi tersebut adalah tercapainya pemahaman di kalangan
para pemimpin dari ketiga desa tentang peluang-peluang yang ada serta bagaimana cara atau strategi
yang baik dalam menyusun langkah bersama untuk mewujudkannya. Hasil dari proses dialogis tersebut
akan sangat menentukan dalam perencanaan format usulan skema hutan desa pada tahap-tahap
berikutnya.
5.4.4. Mekanisme pengelolaan kolaboratif hutan desa melalui pendayagunaan modal sosial
Dengan asumsi bahwa ketiga desa tersebut di atas menyepakati usulan skema hutan desa guna
mendapatkan akses legal pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung di kawasan Tor Sihayo, dengan
membagi areal pengelolaan menjadi tiga blok kawasan hutan, maka tahap yang paling krusial adalah
membangun kesepahaman dan kesepakatan serta konsensus di dalam satuan komunitas desa tentang
perencanaan format pengelolaan kolaboratif tersebut. Hasil-hasil kajian di berbagai negara berkenaan
dengan pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas (community-based natural resources
management) menunjukkan bahwa pendayagunaan modal sosial menjadi bagian yang sangat penting
selain dukungan modal fisik, material dan finansial. Modal sosial merupakan unsur pelumas yang
memungkinkan bekerjanya ‘mesin’ struktur sosial dengan baik. Elemen-elemen pokok dari modal sosial
paling sedikit mencakup hubungan saling percaya (trust), jaringan sosial (social network) dan pranata
(institutions). Proses pengembangan skema pengelolaan hutan desa di kawasan Tor Sihayo ke depan
perlu diselenggarakan dengan menumbuhkan dan memperkuat potensi modal sosial yang ada di
masyarakat, sehingga seluruh komponen sosial yang terlibat dalam pengelolaan (social network) dapat
bekerjasama berdasarkan asas saling percaya satu sama lain (trust) yang terjamin melalui kepatuhan
terhadap aturan main atau pranata (institutions) yang disepakati bersama.
Kajian Zulkifli Lubis dkk (2002) tentang pengelolaan lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal
menunjukkan bahwa komunitas-komunitas lokal mampu menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya
milik bersama dengan mendayagunakan dan melembagakan potensi modal sosial yang mereka miliki.
Model pengelolaan berbasis modal sosial tersebut tentu bukan sesuatu yang tercipta dengan sendirinya,
melainkan terbangun melalui proses eksperimentasi yang terus-menerus (dalam rentang satuan hingga
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-24
belasan tahun) di kalangan komunitas desa sehingga pada
titik tertentu mereka sudah mempunyai format pengelolaan
yang bisa menjadi rujukan perilaku kolektif bagi seluruh
warga, bahkan berlaku juga bagi warga lain yang akan
terlibat kepentingan dengan sumberdaya yang dikelola
bersama. Kasus-kasus sejenis dari belahan dunia lain juga
memberi petunjuk tentang pentingnya pelembagaan modal
sosial, seperti yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom (1992)
dan Mary Hobley & Kishore Shah (1996), seperti dirangkum
dalam Kotak 5.1.
Rentang waktu pengelolaan kolaboratif melalui skema hutan
desa yang menurut peraturan bisa mencapai 35 tahun dan
dapat diperpanjang, sesungguhnya memberikan ruang yang
cukup lapang bagi para pihak yang terkait untuk melakukan
eksperimentasi rekayasa modal sosial dalam pengelolaan
kawasan hutan lindung di sekitar Tor Sihayo. Ketiga desa
yang memiliki kepentingan langsung dengan kawasan
tersebut, yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda
dan Tangga Bosi II, bersama dengan elemen masyarakat asli
maupun penduduk pendatang (migran Nias) dan bekerja
sama dengan pihak-pihak lainnya baik dari pemerintah
daerah, BPTNBG dan NGO, serta unsur akademisi, dapat
dijadikan sebagai ‘laboratorium’ dimana proses eksperimen
rekaya modal sosial itu bisa dijalankan. Hasil pembelajaran
yang diperoleh dari kasus-kasus tersebut nantinya akan bermanfaat sebagai pedoman dalam mengelola
kawasan hutan lindung lainnya di sekeliling Taman Nasional Batang Gadis, khususnya di kawasan-
kawasan yang memiliki potensi konflik tinggi karena persoalan tekanan penduduk.
Delapan prinsip dasar yang menentukan
keberhasilan pengembangan desain
kelembagaan lokal dalam kasus pengelolaan
irigasi (Elinor Ostrom, 1992) : (1) batas-
batas area pelayanan yang ditentukan
secara jelas; (2) perimbangan yang
proporsional antara biaya dan manfaat; (3)
penyusunan pilihan-pilihan kolektif yang
memberi ruang partisipasi individu-individu;
(4) proses pemantauan yang akuntabel; (5)
penerapan sanksi yang berjenjang; (6)
adanya mekanisme penyelesaian sengketa;
(7) pengakuan atas hak untuk
mengorganisasi diri; (8) adanya jaringan
usaha bersama.
Beberapa prinsip pokok pengembangan
kelembagaan lokal yang kuat dalam kasus
pengelolaan sumberdaya milik bersama di
Nepal (Hobley & Syah, 1996) : (1) batas-
batas areal pengelolaan yang ditetapkan
secara jelas baik secara formal administratif
maupun secara kultural; (2) adanya ukuran
dan konstituensi, yaitu penetapan kelompok
sosial yang menjadi subjek berdasarkan
konsensus; (3) penguatan kelembagaan
lokal yang sudah eksis; (4) pengakuan
tentang hak-hak hukum kelompok yang
mengelola; (5) penerapan sanksi berjenjang;
(6) adanya relasi antara sumberdaya dan
kebutuhan kelompok; (7) adanya insentif
untuk perolehan manfaat sebagai buah dari
investasi; (8) partisipasi dalam formulasi dan
penetapan aturan main
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-25
Kasus-kasus pengelolaan lubuk larangan yang berhasil dan bertahan lama (persisten) di Kabupaten
Mandailing Natal berdasarkan kajian Zulkifli Lubis dkk (2002) didukung oleh proses siklikal implementasi
modal sosial yang dijalankan melalui delapan langkah pengelolaan seperti diuraikan di bawah ini.
Skema 1. Hubungan siklikal komponen modal sosial
Sumber : Zulkifli Lubis dkk (2002)
Dengan mengacu kepada hubungan siklikal modal sosial seperti tergambar dalam skema di atas, maka
proses perancangan program Hutan Desa di desa-desa sekitar Tor Sihayo idealnya bisa berjalan melalui
upaya pengembangan hubungan saling percaya yang akan melahirkan sebuah jaringan sosial yang padu
sebagai unit pengelolaan, kemudian dengan basis jaringan sosial tersebut dikembangkan pula aturan-
aturan main (pranata) yang jika diimplementasikan secara berkeadilan akan memperkuat hubungan
saling percaya di antara elemen-elemen yang terhimpun dalam jaringan sosial tadi, dan demikian
seterusnya. Hubungan saling percaya bisa tumbuh jika dilandasi oleh adanya kejujuran, kewajaran
(fairness), sikap egaliter, toleransi dan kemurahan hati dari para individu atau unsur stakeholder yang
terlibat dalam perencanaan program. Dengan adanya rasa saling percaya di antara stakeholder yang
akan terlibat, maka dimungkin pula untuk mengembangkan partisipasi, hubungan resiprositas, juga
solidaritas untuk bisa terwujudnya kolaborasi/kerjasama. Bekerjanya elemen-elemen dasar jaringan
PRANATA
* nilai-nilai bersama
* norma & sanksi
* aturan-aturan
Kemurahan hati * * Keadilan
Toleransi* * Kolaborasi/Kerjasama
Sikap egaliter * * Solidaritas
* Kewajaran Resiprositas*
Kejujuran * * Partisipasi
KEPERCAYAAN JARINGAN SOSIAL
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-26
sosial tersebut menjadi modal penting bagi upaya bersama dalam menyusun aturan main atau pranata
yang berintikan nilai-nilai bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi serta aturan-aturan teknis yang
menjadi rujukan perilaku kolektif segenap unsur dalam jaringan sosial yang menjadi unit pengelolaan.
Aturan main (pranata) yang ditegakkan secara adil akan menumbuhkan dan menguatkan rasa percaya
antara sesama, yang pada giliran selanjutnya akan meneguhkan pula kekompakan dalam jaringan sosial.
Matrik 5.8. Langkah pengelolaan sumberdaya berbasis modal sosial
L-1 Untuk memulai proses pengelolaan sumberdaya alam berbasis modal sosial harus dipastikan terlebih
dahulu adanya objek sumberdaya alam yang kongkrit untuk dikelola. Sumberdaya alam tersebut tentu
haruslah yang bersifat aksesibel bagi suatu komunitas (baik secara fisik, kultural dan legal).
L-2 Mengembangkan ide atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya tersebut. Sebuah gagasan kadangkala
memerlukan proses panjang dalam pembahasan dan pematangannya, dengan memperhitungkan berbagai
aspek, kemudian ditetapkan sebagai sebuah pilihan cara dalam mengatasi suatu masalah
L-3 Menemukan konsensus atau kesepakatan di antara para pihak yang berkepentingan dengan keberadaan
sumberdaya tersebut, untuk mendapatkan komitmen dukungan atas pengelolaan sumberdaya sesuai
dengan sistem pengelolaan yang sudah dipilih.
L-4 Merumuskan tujuan pengelolaan. Tujuan pengelolaan harus jelas dan memungkinkan untuk dicapai
(attainable) dan dapat memenuhi kebutuhan bersama warga komunitas.
L-5 Menetapkan satuan sosial atau jaringan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan, yaitu mereka yang
akan menjadi partisipan aktif dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya.
L-6 Merajut pranata (institutions), baik berupa sistem nilai bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi maupun
aturan-aturan yang lebih teknis. Pranata atau sistem pengelolaan tersebut haruslah mendapat persetujuan
dari satuan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan. Juga harus terbangun suatu mekanisme penegakan
aturan dan sanksi (denda, sanksi sosial, dsb) atas tindakan pelanggaran.
L-7 Membangun hubungan saling percaya (tust). Hubungan saling percaya akan tumbuh ketika proses-proses
pengelolaan memberikan jaminan keadilan bagi semua pihak, dan dilakukan secara transparan.
L-8 Melakukan siklus pendayagunaan modal sosial dengan membangun kekompakan atau kesatupaduan
(cohesiveness) di kalangan jaringan sosial yang menjadi konstituen, meneguhkan pelaksanaan institusi,
memupuk kepercayaan, dan seterusnya secara berulang-ulang.
Sumber : Zulkifli Lubis (2002, 2006)
Terkait dengan tata cara permohonan hak pengelolaan hutan desa, dalam Pasal 13 Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa disebutkan bahwa permohonan hak
pengelolaan hutan desa diajukan oleh lembaga desa kepada gubernur melalui bupati/walikota dengan
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-27
melampirkan persyaratan : (a) peraturan desa tentang penetapan lembaga desa; (b) surat pernyataan
dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat;
(c) luas areal kerja yang dimohon; dan (d) rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa. Prosedur
administrasi selanjutnya untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan desa telah diatur dengan rinci
dalam Permenhut tersebut. Berdasarkan hasil kajian lapangan tentang konflik pemanfaatan sumberdaya
alam di kawasan Tor Sihayo, sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka proses
penyusunan rancangan program hutan desa di desa-desa sekitar Tor Sihayo perlu dilakukan dengan cara
mengkombinasikan langkah-langkah pengelolaan sumberdaya berbasis modal sosial seperti terurai
dalam Matrik 5.8. dengan prosedur yang ditetapkan sesuai Permenhut P.49/Menhut-II/2008.
Langkah 1. Penetapan sumberdaya alam sebagai objek pengelolaan
Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal melalui Dinas Kehutanan diharapkan berperan sebagai kunci
pembuka dalam soal ini, karena kewenangan dalam menetapkan kawasan hutan lindung yang bisa
dijadikan objek pengelolaan melalui skema Hutan Desa berada di tangan mereka. Dinas Kehutanan
dapat menentukan rancangan awal batasan kawasan hutan lindung di sekitar Tor Sihayo yang dapat
diusulkan menjadi objek pengelolaan hutan desa. Berikutnya adalah proses membangun kesepakatan
antara Dinas Kehutanan dengan aparat pemerintah Kecamatan Siabu dan pemerintah desa dari tiga
desa sasaran yaitu Desa Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi II. Kesepakatan yang
dimaksud adalah berkenaan dengan kawasan hutan lindung yang termasuk dalam batas wilayah
administrasi desa, sebagai salah satu syarat administratif dalam pengajuan usulan program Hutan Desa.
Secara formal, seperti sudah disinggung di bagian terdahulu, kawasan hutan lindung di sekitar Tor
Sihayo hanya tercakup dalam wilayah administrasi desa Muara Batang Angkola. Namun berdasarkan
hasil kajian di lapangan diketahui bahwa ada tiga desa yang mengklaim hak-hak tradisional atas kawasan
tersebut, yaitu Muara Batang Angkola, Hutagodang Muda dan Tangga Bosi II. Oleh karena itu, dalam
penetapan objek pengelolaan hutan desa di sini perlu mempertimbangkan aspek fisik, legal dan kultural,
sehingga pihak pemerintahan desa, camat dan dinas kehutanan kabupaten dapat membuat diskresi atas
implementasi Permenhut sebagai upaya antisipatif terhadap kemungkinan timbulnya konflik di masa
yang akan datang. Langkah ini diperlukan untuk memenuhi syarat administrasi sesuai Pasal 13 poin b
Permenhut 49/2008.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-28
Langkah 2. Menyusun pilihan-pilihan pola pengelolaan hutan desa
Proses ini mencakup penggalian ide-ide atau gagasan dan pengkajian terhadap sejumlah alternatif pola
pengelolaan hutan desa. Hal ini terkait dengan kebutuhan untuk menyusun rencana kegiatan dan bidang
usaha lembaga desa sebagai salah satu persyaratan dalam mengajukan hak pengelolaan hutan desa.
Permenhut 49/2008 telah memberikan batasan-batasan bentuk pemanfaatan kawasan hutan lindung
yang dikelola dengan skema hutan desa, yaitu mencakup pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Untuk pemanfaatan kawasan, jenis-jenis kegiatan
usaha yang dibolehkan antara lain budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, hijauan makanan
ternak, budidaya lebah, dan penangkaran satwa liar. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat
dilakukan melalui kegiatan usaha rotan, madu, getah, buah, jamur atau sarang walet. Sedangkan
pemanfaatan jasa lingkungan dapat dilakukan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air,
wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan,
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Penggalian ide dan kreativitas diperlukan dalam kaitan ini, mengingat pola pemanfaatan sumberdaya di
kawasan hutan lindung sekitar Tor Sihayo yang berlangsung selama ini sangat sedikit persamaannya
dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang diatur dalam Permenhut 49/2008. Seperti telah diuraikan
pada Bab II, domain utama pengelolaan lahan yang dilakukan oleh migran Nias di kawasan Tor Sihayo
adalah perladangan dan kebun campuran. Perladangan dilakukan pada tahap-tahap awal pembukaan
hutan dengan tanaman utama padi, jagung dan beragam jenis palawija yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan subsistensi dan sebagian untuk mendapatkan uang tunai. Kebun campuran dikelola sebagai
tahap lanjutan dengan tanaman utama berupa kemiri, kakao dan karet yang hasilnya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan uang tunai. Sejauh ini tidak ditemukan misalnya budidaya lebah, penangkaran
satwa liar, pemeliharaan burung walet, atau budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur dan hijauan
makanan ternak. Fakta ini akan menuntun semua pihak untuk secara kreatif dan inovatif mencari
pilihan-pilihan usaha yang selaras dengan ketentuan Permenhut 49/2008 maupun kultur agraris yang
dikenal oleh warga komunitas yang akan terlibat dalam pengelolaan hutan desa kelak.
Sedikit pilihan yang relatif selaras dengan Permenhut adalah budidaya kemiri, kakao dan karet yang
sudah berjalan selama ini, yang dapat dipanen hasilnya berupa buah dan getah. Sedangkan jenis
budidaya lainnya seperti tanaman hias, tanaman obat dan jamur, selain memerlukan sosialisasi di
kalangan warga petani juga tentu harus disesuaikan dengan permintaan pasar yang bisa dijangkau.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-29
Rekayasa sosial dan reorientasi kultur agraria petani yang ada di kawasan Tor Sihayo juga diperlukan
untuk bisa menyelaraskan kebutuhan material (ekonomi) yang menjadi alasan utama mereka datang ke
kawasan ini dengan kebutuhan pemeliharaan fungsi hutan yang dituntut oleh Permenhut 49/2008. Satu
hal yang perlu dijadikan poin penting dalam proses ini adalah fakta bahwa warga yang membuka dan
melakukan aktivitas budidaya di dalam kawasan hutan lindung tidak berfikir dalam kerangka konservasi,
tetapi sebaliknya berfikir dalam kerangka pemenuhan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, pilihan yang
paling ideal adalah rekayasa kultur agraris yang dimata petani tetap bernilai ekonomi namun di sisi lain
ia juga bernilai konservasi. Proses penggalian ide dan gagasan untuk menemukan pilihan yang paling
tepat sebagai cara pemecahan masalah, baik masalah petani warga lokal dan migran Nias maupun
masalah penggiat konservasi, mungkin akan membutuhkan waktu relatif panjang, dan membutuhkan
kontribusi dari ahli-ahli pertanian dan kehutanan.
Langkah 3. Membangun konsensus tentang pola pengelolaan hutan desa
Penggalian ide-ide/gagasan dan pengkajian komprehensif terhadap pilihan-pilihan yang ada dan layak
untuk dikembangkan, sejatinya akan berujung pada pencapaian suatu konsensus atau kesepakatan di
antara para pihak mengenai pilihan bentuk pengelolaan yang akan diimplementasikan. Konsensus
tersebut juga mencakup format kelembagaan pengelola yang akan menjadi motor penggerak
pengelolaan hutan desa. Konsensus mengenai pola pengelolaan hutan desa maupun format lembaga
pengelola hutan desa menjadi bagian kesepakatan yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa.
Langkah 4. Merumuskan tujuan pengelolaan
Tahapan ini merupakan simpul dari Langkah 2, yaitu bagaimana para pihak yang terlibat dalam skema
pengelolaan hutan desa dapat merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari model pengelolaan yang akan
dilakukan. Tujuan yang ingin dicapai adalah terkelolanya kawasan hutan lindung yang tetap dapat
memenuhi fungsi pokoknya di satu sisi dan pada sisi yang lain dapat pula memberikan kontribusi bagi
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitarnya.
Langkah 5. Menetapkan satuan sosial yang menjadi unit pengelola dan konstituen hutan desa
Permenhut 49/2008 menyebutkan bahwa pengelolaan hutan desa dilaksanakan oleh sebuah lembaga
pengelola hutan desa yang dibentuk dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa, merupakan organ
fungsional di dalam pemerintahan desa yang bertanggung jawab kepada kepala desa. Dalam tradisi
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-30
pengelolaan lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal lembaga demikian biasa dikenal dengan
Panitia Pengelola Lubuk Larangan, sebuah lembaga yang fungsional menjalankan sistem pengelolaan
lubuk larangan. Orang-orang yang duduk dalam kepanitiaan adalah mereka yang mendapat amanah dari
masyarakat desa melalui musyawarah, dan dalam kasus-kasus pengelolaan yang berhasil dan persisten,
selalu ditemukan fakta bahwa mereka ini adalah orang-orang yang amanah dan menjalankan tugasnya
secara adil dan transparan. Prinsip-prinsip pemilihan orang yang duduk dalam panitia lubuk larangan
dapat diadopsi dalam menyusun personalia lembaga desa pengelola hutan desa.
Hutan desa adalah ruang pengelolaan yang diberikan kepada masyarakat desa. Dengan demikian, satuan
sosial yang menjadi unit pengelolaan hutan desa adalah masyarakat desa yang bersangkutan. Warga
dari desa lain tidak dimungkinkan untuk menjadi bagian dari jaringan sosial pengelolaan hutan desa
kecuali setelah mendapatkan persetujuan dari hasil musyawarah desa. Dalam kaitan dengan kawasan
hutan lindung di sekitar Tor Sihayo yang kelak akan diusulkan melalui skema hutan desa, keberadaan
migran Nias yang tidak jelas status kependudukannya harus diselesaikan terlebih dahulu. Mereka dapat
diberikan pilihan untuk ikut dalam mekanisme pengelolaan hutan desa, yaitu dengan memenuhi syarat-
syarat mutasi kependudukan yang ditentukan atau dengan cara lain yang ditetapkan berdasarkan
kebijakan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, atau meninggalkan kawasan jika memilih untuk
tidak ikut dalam skema pengelolaan hutan desa.
Hak dan kewajiban warga masyarakat desa yang menjadi satuan sosial atau jaringan sosial pengelola
hutan desa harus dirumuskan dengan jelas dan dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa. Kejelasan
mengenai hal ini sangat penting untuk menjadi pedoman perilaku kolektif warga, sehingga masing-
masing pihak dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka dalam kaitan pengelolaan
hutan desa. Hak dan kewajiban warga bisa dikategorikan berdasarkan peran dan fungsinya dalam
pengelolaan hutan desa. Sebagai contoh, hak mereka yang aktif dalam lembaga desa pengelola hutan
desa diatur khusus, demikian juga hak mereka yang langsung terlibat dalam pengelolaan dan investasi di
lapangan, yang tentu akan berbeda dengan hak dari orang-orang yang hanya berlaku pasif atau tidak
terlibat langsung dalam pengelolaan hutan desa. Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban
dibuat aturan yang jelas agar setiap orang dapat mengetahui apa yang harus dilakukakannya sebagai
bagian dari satuan sosial atau konstituen pengelola hutan desa.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Bab
5: A
lte
rnat
if P
enye
lesa
ian
Mas
alah
V-31
Langkah 6. Merajut pranata atau aturan main
Tahapan ini sangat penting karena hasilnya akan menjadi pedoman perilaku kolektif warga dalam kaitan
pengelolaan hutan desa. Beberapa tahapan di atas secara simultan juga memerlukan adanya aturan
yang jelas, dan semua aturan yang diperlukan untuk menjamin terlaksananya pengelolaan yang adil dan
transparan merupakan bahagian dari proses merajut pranata. Hal paling pokok yang ingin ditekankan di
sini adalah bahwa proses merajut pranata atau aturan-aturan main tersebut harus dilakukan secara
partisipatif dan dikukuhkan melalui sebuah mekanisme permusyawaratan desa, dan hasilnya kemudian
dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa yang mengikat semua pihak terkait.
Langkah 7. Membangun hubungan saling percaya
Proses membangun hubungan saling percaya tersebut sesungguhnya berjalan secara simultan dari
tahap perencanaan sampai dengan implementasinya. Poin penting di sini adalah terciptanya suasana
dimana seluruh proses dan mekanisme yang dijalankan dalam skema hutan desa dapat menumbuhkan
rasa percaya di kalangan warga yang menjamin berlakunya pengelolaan yang adil dan transparan bagi
semua pihak. Hubungan saling percaya tersebut tidak hanya berlaku antara warga dengan lembaga
pengelola hutan desa, tetapi juga antara warga desa dan lembaga pengelola hutan desa dengan pihak
pemerintah yang memiliki otoritas atas kawasan hutan lindung. Adanya kekhawatiran sebagian warga
desa sekitar Tor Sihayo yang selama ini mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung bahwa
sewaktu-waktu pemerintah dapat mengusir mereka karena aktivitas ilegal yang mereka lakukan di
dalam kawasan hutan, adalah contoh tidak terbangunnya hubungan saling percaya. Dengan mekanisme
hutan desa, kekhawatiran demikian bisa hilang karena antara pemerintah daerah dan masyarakat desa
akan tebangun kesepakatan tentang pengelolaan kawasan, dan hal ini menjadi bagian penting dalam
proses membangun hubungan saling percaya.
Langkah 8. Melakukan siklus pendayagunaan modal sosial
Langkah ini merupakan tahapan penguatan atas proses atau mekanisme pengelolaan yang sudah
dijalankan sebelumnya. Dalam kasus pengelolaan lubuk larangan yang pesisten ditemukan bahwa siklus
pendayagunaan modal sosial tersebut merupakan kunci penting untuk keberhasilan. Sebuah kasus
pengelolaan yang semula berhasil bisa runtuh seketika apabila proses penguatan yang bersifat siklikal
itu berhenti. Masa kelola 35 tahun yang diberikan oleh Permenhut 49/2008 untuk skema hutan desa
merupakan masa yang cukup panjang untuk pengelolaan hutan desa berbasis modal sosial.
LAPORAN FINAL Kajian Konflik Komunitas Lokal Atas Pemanfaatan Sumberdaya Alam Kawasan TNBG
Conservation International Indonesia
Daf
tar
Pu
stak
a
1
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource
Projects in the South Pacific: Context, Principles, Tools and Training Materials, Overseas
Development Institute, London, 1998.
Anonimus, Taman Nasional Batang Gadis; Upaya Mewarisi Hutan bagi Anak Cucu, booklet, Pemkab
Mandailing Natal, Pemprov Sumut, BKSDA SU II, Gemmpar, CEPF dan CI-Indonesia, 2003.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Mandailing Natal Dalam Angka 2008
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu Dalam Angka 2008
Dijks, Hans van, “Land Tenure, Territoriality, and Ecological Instability: A Sahelian Case Study”, dalam
Spiertz & Wiber (eds) The Role of Law in Natural Resource Management; VUGA, 1996.
Edi Ikhsan dkk, Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional, Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman
Nasional Batang Gadis, Penerbit Bitra Konsorsium dan USU Press, 2005.
Heru Sutmantoro dkk, Laporan Inventarisasi Pendudukan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Etnis Nias di
Blok Hutan Sihayo dan Sekitarnya, laporan tidak diterbitkan, 2009.
Hobley, Mary & Kishore Shah, What Makes A Local Organization Robust ? Evidence From India and
Nepal, Paper disajikan oleh Overseas Development Institute, 1996.
Lubis, Zulkifli dkk, Komunitas Migran Nias & Strategi Konservasi Habitat Orangutan Sumatera di DAS
Batang Toru, laporan penelitian untuk Conservation International Indonesia, tidak diterbitkan,
2007.
Lubis, Zulkifli, Menyusun Peraturan Desa sebagai Investasi Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan
Mangrove, Kertas kerja disampaikan pada “Diskusi Mekanisme dan Langkah-langkah
Penyusunan Peraturan Desa” di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Langkat tgl 23
Januari 2006; diselenggarakan oleh JALA, 2006.
Lubis, Zulkifli dkk, Resistensi, Persistensi dan Model Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Milik Bersama: Kajian Antropologis Terhadap Pengelolaan Lubuk Larangan di
Sumatera Utara, Laporan penelitian Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK),
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi RI, 2002.
Ostrom, Elinor, Crafting Institution,Self-Governing Irrigation Systems. San Fransisco: ICS Press,1992.
Lampiran 1.
Deskripsi etnografis komunitas migran Nias di kawasan Tor Sihayo,
Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal
Kluster permukiman
Diperkirakan terdapat 180 -250 KK migran Nias dengan jumlah penduduk sekitar 843 -1250 jiwa kini bermukim di
dalam kawasan hutan di sekitar Tor Sihayo. Mereka tersebar di sedikitnya 16 titik lokasi pembukaan hutan di lereng
maupun punggung bukit-bukit yang ada kawasan Tor Sihayo. Di sana mereka membuka hutan, berladang dan
mengusahakan tanaman pangan maupun tanaman komersial, juga bermukim dengan mendirikan pondok atau rumah-
rumah sederhana di sekitar petak bukaan hutan yang mereka kelola. Jarak antara pondok bisa berjauhan satu sama
lain, dan biasanya dihubungkan dengan jalan-jalan setapak melintasi hutan atau areal pertanian. Sebagian dari titik-
titik lokasi pembukaan hutan tersebut sudah berubah menjadi kluster permukiman, seperti di Aek Tombang, Banjar
Go‟o, Aek Simate-mate, Aek Sibarebe, PKB dan Tor Pulo. Kluster permukiman Tor Pulo adalah yang terbesar dan
relatif menumpuk di satu lokasi dan dihuni paling sedikit 95 KK.
Kluster permukiman Tor Pulo berada di gugusan bukit yang dulu bernama Tor Pangidoan Goreng, di sebelah atas
Tor Bulusoma yang menjadi tempat awal migran Nias di kawasan ini, dan letak permukiman ini diperkirakan berada
pada ketinggian sekitar 800-1000 meter di atas permukaan laut. Tor Pulo pada awalnya adalah nama yang diberikan
oleh penduduk setempat khususnya dari Tangga Bosi untuk menyebut permukiman orang-orang pendatang dari
Pulau Nias (biasa disebut penduduk setempat dengan julukan “alak Pulo” karena berasal dari Pulau Nias). Sebagian
besar penduduk migran Nias di lokasi ini secara administratif tercatat sebagai penduduk Desa Tangga Bosi II,
meskipun lokasinya terpisah jauh dan sudah tersekat oleh wilayah desa lain yaitu Muara Batang Angkola dan
Hutagodang Muda.
Lokasi kluster permukiman Tor Pulo berada di lereng bukit dengan kemiringan di atas 40 derajat. Di lokasi ini
terdapat rumah-rumah warga dalam beragam ukuran, yang paling sederhana biasanya terdiri dari dua ruangan yaitu
ruang keluarga dan dapur. Variasi lain ada rumah-rumah yang memiliki ruang tamu, kamar serta dapur. Ada juga
rumah yang merangkap sebagai warung yang menyediakan beberapa barang konsumsi sehari-hari seperti gula, kopi,
mi instan, jajanan anak-anak, rokok, dan lain-lain. Rumah yang merangkap sebagai warung biasanya menjadi tempat
berkumpul warga di waktu-waktu senggang, sambil minum kopi dan menonton televisi pada malam hari. Rumah
pada umumnya berlantai tanah, sebagian menggunakan lantai kayu, berdinding papan dan beratap seng. Beberapa
rumah yang menjadi hunian warga masih menggunakan atap terpal, yang digunakan sebagai atap sementara
menunggu mereka mampu membeli seng. Bahan-bahan kayu bangunan rumah diambil dari hutan di sekitarnya.
Selain bangunan rumah, di kluster permukiman Tor Pulo terdapat dua jenis sarana publik yaitu bangunan sekolah
dasar dan gereja. Bangunan sekolah dasar terdiri dari dua ruangan kelas, dibangun secara swadaya oleh warga.
Bangunan tersebut sudah beratap seng, berdinding papan pada sepertiga bagian bawah, dan menggunakan bangku
dan meja panjang sebagai tempat belajar. Di sebelah bangunan sekolah terdapat lapangan bola volley yang biasa
digunakan oleh remaja dan pemuda pada sore hari. Bangunan publik lainnya adalah gereja, yaitu gereja GKPPDI dan
BNKP. Kedua bangunan gereja ini berdinding papan, beratap seng dan berlantai tanah.
Sarana penerangan yang ada adalah lampu minyak tanah dan listrik menggunakan genset. Beberapa warga membeli
generator listrik secara berkelompok, dan pada malam hari dihidupkan dan didistribusikan ke rumah-rumah anggota
kelompok. Bahan bakar dibeli oleh anggota secara bergantian, dan secara bergiliran mereka bertugas mengurus
genset masing-masing kelompok. Arus listrik digunakan untuk menyalakan lampu, televisi dan tape recorder, juga
untuk pelayanan kebaktian di gereja pada waktu-waktu tertentu. Karena lokasi permukiman ini dapat terjangkau
oleh sinyal telepon seluler, keberadaan listrik juga membantu penggunaan telepon genggam yang dimiliki oleh
sebagian warga. Dengan keberadaan televisi dan jaringan telepon selular tersebut, warga Nias yang bermukim di
Tor Pulo tidak terisolasi dari arus informasi dan komunikasi meskipun jarak permukiman mereka lebih 8 km dari
Muara Batang Angkola dan harus ditempuh melalui medan yang sulit.
Asal-usul migran Nias
Sebagian besar warga Nias yang ada di Tor Pulo masih kelahiran Pulau Nias, dan pada umumnya datang dari daerah
Nias Utara, seperti Ombolata Langi, Dima, Alasa, Makaru Esiwa,Iraono Lase, Hiliduria, Simalu Banua, Idano
Ndrawa, Lolo‟mboli, dan sebagainya . Di antara mereka ada yang langsung merantau dari Pulau Nias, tetapi ada juga
sebagian kecil yang pindah dari daerah perantauan awal di Tapanuli Selatan maupun dari luar Sumatera Utara. Sama
seperti pola perpindahan yang diteliti Zulkifli Lubis dkk di daerah Batang Toru (2007), migran Nias di Tor Pulo juga
terikat satu sama lain oleh hubungan kekerabatan atau sekampung asal di Pulau Nias. Jaringan kekerabatan inilah
yang menjadi jalur informasi utama yang memungkinkan terjadinya perpindahan mereka ke daerah ini. Pola-pola
pemukiman di Pulau Nias pada umumnya juga terikat historis dengan kelompok-kelompok kekerabatan tertentu,
dan pola-pola seperti itu pula yang kemudian diadopsi di daerah permukiman baru di luar Pulau Nias, termasuk di
kawasan Tor Sihayo.
Hubungan kekerabatan
Dalam kebudayaan Nias garis keturunan dirunut mengikuti garis bapak atau patrilineal yang ditandai oleh pewarisan
„mado‟ (marga) sebagai identitas klen patrilineal. Faktor hubungan kekerabatan karena kesamaan klen (hubungan
darah) menjadi alur utama bagi warga migran Nias yang mencari daerah perantauan. Selain itu, mereka juga
menggunakan jalur kekerabatan berdasarkan perkawinan sebagai rujukan. Berdasarkan kedua hal itu, hampir semua
warga migran Nias yang ada di kawasan Tor Sihayo, menurut keterangan dari salah seorang informan, dapat
ditelusuri hubungan kekerabatan di antara mereka. Sebagai contoh berikut ini digambarkan hubungan kekerabatan
dari beberapa keluarga yang ada di Tor Pulo.
Kelompok keluarga bermarga Zalukhu yang ada di dusun ini terkait kekerabatan satu sama lain, mereka
berasal dari Ombolata Langi, Dima dan Alasa. Ama Ga‟ari bersaudara kandung dengan Ama Heri dan Ina
Gauco. Mereka berkerabat dekat dengan Ama Fili, Ama Rius dan Ama Sedi; serta kelompok keluarga Ama
Supri dan Ina Bute.
Kelompok keluarga lain yang bermarga Gea yang berasal dari Makaru Esiwa, Iraono Lase yang terdiri dari
Ama Ari dan Ama Untung yang bersaudara kandung, yang lebih dulu datang ke Tor Pulo kemudian disusul
oleh Ama Harapan, anak dari saudara mereka di Nias. Ama Suka Gea dan anak-anaknya yaitu Ama Dewi,
Ama Iruti dan Ama Fandi adalah kerabat dari keluarga Gea yang disebutkan di atas; juga bertalian kerabat
dengan Ama Sabar.
Kelompok keluarga bermarga Zega yang berasal dari Hilinduria, terdiri dari: Ama Pian, Ama Neti dan Ama
Robert dan Yeris Zega yang bersaudara kandung; juga Ama Teti dan Ama Ramala yang bersaudara
kandung, serta Ama Weni yang merupakan anak dari Ama Ramala. Ada keluarga Zega lainnya yang berasal
dari Lolomboli, yaitu Ama Mare dan anak-anaknya Ama Dewi dan Ama Eru.
Ada kelompok keluarga bermarga Harefa yang seluruhnya bersaudara kandung berasal dari Siwalu Banua,
terdiri dari Ama Heri, Ama Iman, Ama Keri dan Ama Remi.
Dengan fasilitas telepon seluler yang dapat menjangkau kluster permukiman Nias di Tor Pulo, proses komunikasi
mereka dengan sesama kerabat di kampung halaman maupun di daerah lain menjadi semakin mudah. Salah seorang
keluarga bermarga Gea yang masih relatif baru menetap di Tor Pulo mengaku datang ke daerah ini setelah
menghubungi kerabatnya di sini yang memberikan informasi tentang peluang usaha yang masih bisa dilakukan.
Sebelumnya ia bekerja di daerah Riau, dan kemudian memutuskan untuk datang ke Tor Pulo setelah berhenti dari
pekerjaannya.
Pertalian kekerabatan itu pula yang memungkinkan bagi keluarga pendatang baru untuk bertahan selama ia belum
mendapatkan hasil dari ladang yang dibukanya, karena saling tolong-menolong antar kerabat masih kuat di kalangan
warga migran Nias. Kerabat yang menjadi rujukan di Tor Pulo menjadi tumpangan sementara bagi pendatang baru,
demikian seterusnya ia juga kelak akan membantu kerabat lainnya yang ingin datang menyusul.
Jaringan sosial dan keagamaan
Migran Nias yang bermukim di Tor Pulo menghabiskan banyak waktu mereka untuk mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan rutin di ladang, karena itulah sumber ekonomi satu-satunya bagi mereka untuk menyambung nafas
keluarganya. Pola pengelolaan ladang pada umumnya dikerjakan sendiri-sendiri oleh anggota keluarga dan hanya
sedikit arena dan tahapan pekerjaan di ladang yang masih mereka kerjakan secara gotong royong. Waktu yang
mereka curahkan untuk bekerja di ladang berlangsung hampir sepanjang siang hari, karena itu pada masa-masa itu
rumah-rumah penduduk di dusun Tor Pulo biasanya sepi dan ditinggali hanya oleh anak-anak.
Namun demikian, warga Nias di sini cukup aktif dalam kegiatan keagamaan, dan semua keluarga Nias pasti terikat
secara keanggotaan dengan salah satu gereja yang ada. Semua warga Nias di dusun Tor Pulo beragama Kristen, dan
mereka terbagi ke dalam dua kelompok jemaat yaitu gereja BNKP dan GKPPDI. Kegiatan-kegiatan kebaktian rutin
maupun pada hari-hari besar tertentu selalu diikuti oleh warga jemaat. Keterikatan kepada gereja bukan hanya
untuk memenuhi tugas peribadatan mereka sebagai ummat Kristiani, tetapi karena di sana juga terbangun jaringan-
jaringan sosial yang memfasilitasi aneka kebutuhan mereka dalam kehidupan sosial, misalnya terkait dengan
peristiwa perkawinan dan kemalangan. Perkumpulan tolong-menolong dalam peristiwa gembira maupun suka
dikelola juga melalui lembaga gereja, dimana setiap keluarga jemaat dipungut iuran-iuran tertentu secara berkala.
Selain melalui jaringan keagamaan, sebagian warga Nias yang ada di Tor Pulo juga bergabung dalam asosiasi sukarela
yang dibentuk oleh para perantau Nias di daerah Mandailing Natal. Ada dua asosiasi sukarela yang menghimpun
perantau Nias yaitu IKMN (Ikatan Kekerabatan Masyarakat Nias) dan SPPN (Sarikat Persaudaraan Putra Nias).
Hanya beberapa orang yang aktif dalam asosiasi tersebut dan sebagian besar lainnya hanya menjadi anggota pasif.
Asosiasi berbasis etnis tersebut juga bertujuan memfasilitasi warganya dalam urusan-urusan sosial, seperti
kemalangan.
Pendidikan
Sebagian besar warga migran Nias yang ada di Tor Pulo tidak memiliki pendidikan formal yang melebih pendidikan
dasar. Mereka datang dari keluarga yang sederhana di Pulau Nias dan tidak sempat mengenyam secara memadai
pendidikan formal, lalu merantau ke Tor Pulo dengan fokus utama berladang. Anak-anak yang mereka bawa maupun
yang lahir di daerah ini juga tidak memiliki pendidikan yang memadai. Dari data yang dihimpun oleh kepala desa
Tangga Bosi II dan Muara Batang Angkola, terlihat bahwa pada tahun 2008 terdapat sekitar 353 warga migran Nias
di kedua desa itu yang berusia di bawah 20 tahun; 102 orang diantaranya berusia di antara 5-9 tahun, 78 orang
berusia 10-14 tahun, 72 orang berusia 15-19 tahun. Mereka ini adalah penduduk yang sepatutnya berada di bangku
sekolah.
Persoalan pendidikan anak-anak migran Nias di Tor Pulo menjadi keprihatinan bagi beberapa orang pimpinan
komunitas migran Nias di sini. Secara swadaya mereka telah mendirikan bangunan sekolah dasar darurat di dusun
Tor Pulo, yang diasuh oleh 2 orang guru tamatan SMA dan bukan berlatar belakang kependidikan. Saat penelitian
lapangan dilakukan terdapat 82 orang anak yang belajar di sekolah ini. Tidak ada catatan berapa jumlah anak yang
sedang bersekolah di tingkat SLTP maupun SLTA, dan kalaupun ada mereka harus keluar dari dusun Tor Pulo.
Sekolah yang ada di Tor Pulo secara administratif dijadikan sebagai sekolah filial dari SDN 17442 Desa Muara
Batang Angkola. Murid kelas 6 yang akan mengikuti ujian akhir diwajibkan mengikutinya di Muara Batang Angkola,
sehingga anak-anak tersebut harus tinggal sementara di luar Tor Pulo.
Kepemimpinan
Komunitas migran Nias di Tor Pulo secara formal dipimpin oleh seorang kepala dusun, yang menjadi penghubung
warga dengan pemerintahan desa di Tangga Bosi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, sosok yang menjadi figur
sentral bagi migran Nias adalah pemimpin jemaat gereja, dan pemimpin dari kelompok-kelompok klen yang ada di
dusun ini. Mereka itulah yang menjadi pemimpin informal di dalam komunitas migran. Tidak jarang pula bahwa
kategori tersebut melekat pada diri seseorang, seperti Ama Untung (Julianto Gea), yang selain menjadi kepala dusun
di Tor Pulo, juga menjadi pemimpin jemaat di gereja GKPPDI, dan sekaligus juga menjadi orang yang dituakan dalam
keluarga berasal dari klen Gea di Tor Pulo, meskipun dari segi usia bukan dia yang tertua.
Orang yang dijadikan pemimpin dalam komunitas migran Nias tidak terkait lagi dengan senioritas berdasarkan usia
maupun berdasarkan dasar keturunan sebagaimana halnya menjadi tradisi bagi masyarakat Nias di Pulau Nias. Di
daerah perantauan seperti halnya di Tor Pulo, tokoh itu muncul ketika ia mampu menjadi orang terdepan yang
membela kepentingan warga komunitasnya, baik dalam urusan sosial di lingkungan komunitas, urusan keagamaan,
maupun urusan-urusan politik dan administrasi yang berhubungan dengan pihak-pihak lain di luar komunitas.
Beberapa nama lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh berpengaruh di kalangan migran Nias di Tor Pulo adalah
Ama Teti Zega, Ama Zilia Harefa, Ama Heri Zalukhu, Ama Fenima Zai dan Ama Wiwi Lase, semuanya berada di
Dusun I. Selain itu ada pula Ama Rius Zalukhu (kepala dusun II), Ama Filima Zai, Ama Vito Zega, Ama Gamawa
Zega, dan Ama Saba Gea, semuanya ada di Dusun II.
Orang-orang yang suka menolong warga dalam kesusahan, baik secara materi amupun pemikiran, termasuk dalam
barisan tokoh yang disegani oleh warga komunitas migran Nias. Beberapa diantaranya adalah Ama Albert Zendrato,
Ama Fili Zai dari kalangan migran Nias; juga ada nama Naja (Nazaruddin Pulungan) dan Tolib Hasibuan dari kalangan
warga Muara Batang Angkola. Dua nama yang disebut terakhir adalah pedagang pengumpul yang memiliki hubungan
ekonomi dan patron-klien dengan migran Nias di Tor Pulo. Warga Nias biasa berhutang keperluan sehari-hari
kepada kedua toke tersebut pada masa-masa paceklik. Selain itu ada juga nama Ama heri Harefa yang biasa menjadi
tempat meminjam barang emas atau uang di kalangan warga Tor Pulo. Pinjaman dalam bentuk uang maupun emas
harus dikembalikan dengan uang atau emas.
Adat istiadat
Meskipun berada di daerah perantauan, migran Nias di Tor Pulo masih berupaya untuk menjalankan adat-istiadat
yang mereka miliki dari tradisi di Pulau Nias. Pengaturan hubungan kekerabatan dan perkawinan masih merujuk
kepada aturan adat yang berlaku di Pulau Nias, demikian juga adat sopan-santun kekerabatan. Upacara perkawinan
juga dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku di Pulau Nias, meskipun dari segi nilai barang atau mas
kawin sudah disesuaikan dengan kondisi setempat.
Perkawinan pada umumnya masih berlaku antara sesama orang Nias, baik yang ada di kawasan sama maupun
dengan mengambil pasangan dari kampung halaman atau daerah lain. Pada saat penelitian ini dilakukan, akan segera
berlangsung sebuah upacara perkawinan antara seorang gadis dari Tor Pulo dengan jejaka yang bermukim di Riau.
Proses perkawinan tersebut akan diselenggarakan sesuai dengan adat Nias di Tor Pulo.
Top Related