kajian interaksi obat antihipertensi pada pasien hemodialisis ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of kajian interaksi obat antihipertensi pada pasien hemodialisis ...
KAJIAN INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN
HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM
YARSI PONTIANAK TAHUN 2017
Salfitri
*1, Nurmainah
1, Muhammad Akib Yuswar
1
1Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak
Jl Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
ABSTRAK
Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit ginjal stadium akhir. Pasien GGK
memerlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis. Selain hemodialisis, pasien GGK juga
diberikan terapi obat secara polifarmasi yang terdiri dari obat antihipertensi dan golongan obat
lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis obat antihipertensi yang sering
berinteraksi dan mengkaji interaksi obat berdasarkan mekanisme kerja serta tingkat keparahan pada
pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini merupakan penelitian observasional
dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional) yang bersifat deskriptif, pengumpulan data
dilakukan secara retrospektif berdasarkan catatan rekam medik pasien. Data peresepan yang didapat
pasien GGK sebelum menjalani hemodialisis di analisis menggunakan software drugs.com. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 32 sampel terdapat kejadian interaksi obat sebesar 37,50%.
Obat yang paling sering berinteraksi adalah golongan CCB yaitu amlodipin sebesar 45,83% dan
golongan ACEI yaitu kaptopril sebesar 33,33%. Interaksi obat yang terjadi berdasarkan mekanisme
kerja obat yaitu farmakodinamik sebesar 79,17%, farmakokinetik sebesar 8,33% dan yang tidak
diketahui mekanisme interaksinya sebesar 12,50%. Sedangkan berdasarkan tingkat keparahannya
yaitu minor sebesar 29,17%, moderat sebesar 62,50% dan mayor sebesar 8,33%. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah obat antihipertensi yang paling banyak digunakan yaitu CCB, sedangkan
interaksi obat yang sering terjadi yaitu mekanisme kerja farmakodinamik dan tingkat keparahannya
moderat.
Kata kunci: Gagal ginjal kronik, Hemodialisis, Interaksi obat.
Penulis :
Salfitri
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak
Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Email: [email protected]
STUDY OF ANTIHYPERTENSIVE DRUG INTERACTIONS IN
HEMODIALYSIS PATIENTS AT YARSI HOSPITAL
PONTIANAK IN 2017
Salfitri, Nurmainah, Muhammad Akib Yuswar
Department of Pharmacy, Faculty of Medicine, Tanjungpura University
Address on Jalam Prof. Dr. H. Hadari Nawawi
Pontianak City, West Kalimantan, Indonesia
ABSTRACT
Chronic Kidney Disease (CKD) is end-stage kidney disease. CKD patients require renal replacement
therapy such as hemodialysis. In addition to hemodialysis, CKD patients are also given polypharmaceutical
drug therapy consisting of antihypertensive drugs and other classes of drugs. This study aims to describe the
types of antihypertensive drugs that often interact and assess drug interactions based on the mechanism of
action and the severity of CKD patients undergoing hemodialysis. This study was an observational study
with a cross sectional study design that was descriptive. Data collection was carried out retrospectively
based on the patient's medical record. Analyzed of drug interaction using drugs.com software. The results
showed that out of 32 samples there were 37.50% drug interactions. The most frequently interacting drugs
are the CCB group, namely amlodipine by 45.83% and the ACEI group by captopril by 33.33%. Drug
interactions that occur based on the mechanism of action of the drug are pharmacodynamics of 79.17%,
pharmacokinetics of 8.33% and the unknown interaction mechanism of 12.50%. Whereas based on the
severity level that is minor at 29.17%, moderate at 62.50% and major at 8.33%. The conclusion of this study
is the most widely used CCB, while frequent drug interactions are pharmacodynamic mechanisms and
moderate severity.
Keywords: Chronic kidney disease, Hemodialysis, Drug Interaction.
PENDAHULUAN
Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit ginjal stadium akhir. Gagal ginjal kronik
adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik
uremik) di dalam darah. Pasien dengan penyakit ini memerlukan terapi pengganti ginjal berupa transplantasi
ginjal atau dialisis yang terdiri dari dialisis peritonial dan hemodialisis. Terapi pengganti ginjal yang paling
banyak digunakan saat ini adalah hemodialisis dengan jumlahnya yang terus meningkat dari tahun ke tahun
(Smeltzer, 2010).
Jumlah pasien GGK di Indonesia yang menjalani hemodialisis mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Peningkatan yang cukup tajam terlihat pada rentang tahun 2007 sampai 2015. Jumlah pasien GGK
yang aktif menjalani hemodialisis pada tahun 2007 sebanyak 1.885 pasien, sedangkan di tahun 2015 pasien
GGK yang aktif menjalani hemodialisis mencapai jumlah yang cukup banyak yaitu 30.554 pasien (Pernefri,
2015).
Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasien gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis.
Pasien GGK yang menjalani hemodialisis umumnya mendapatkan obat lebih dari satu yang dikenal
dengan polifarmasi. Penggunaan polifarmasi berpotensi menimbulkan permasalahan obat-obat terutama
interaksi obat. Obat antihipertensi pada pasien GGK yang diketahui sering mengalami interaksi adalah
furosemid dan kaptopril (Rahmiati, 2012; Fiqrianty, 2014; Suwantika, 2016). Interaksi dari kedua obat ini
termasuk dalam mekanisme farmakodinamik, karena keduanya bekerja pada sistem yang sama yaitu
kardiovaskular. Efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan kedua obat ini adalah hipotensi dan
hipovolemia. Jika ditinjau dari tingkat keparahan, kedua obat tersebut menimbulkan keparahan yang
moderat/ sedang. Namun demikian jika digunakan dalam jangka waktu yang lama penggunaan kedua obat
tersebut dapat mengakibatkan kematian jaringan (Baxter, 2008).
Informasi tentang interaksi obat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi agar sesuai dengan
tujuan utama pasien. Keberadaan farmasis sangat penting agar bisa mengawasi dan mengkaji interaksi obat
yang diresepkan pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai kajian interaksi obat antihipertensi pada pasien GGK yang menjalani
hemodialisis di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak Tahun 2017.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpul data, laptop yang
dilengkapi dengan software Microsoft Excel serta aplikasi Drug Interaction yang dapat di akses di
drugs.com, dan buku Stockley’s Drug Interaction. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa rekam
medik, resep dan data elektronik pasien GGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Yarsi
Pontianak pada tahun 2017.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dirancang menggunakan rancangan studi
potong lintang (cross sectional) yang bersifat deskriptif. Data dikumpulkan secara retrospektif berdasarkan
data rekam medik dan resep yang didapatkan oleh subyek penelitian. Subyek yang dilihat dalam penelitian
ini adalah pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan mendapatkan resep di Rumah Sakit Umum Yarsi
Pontianak pada tahun 2017. Adapun aspek penelitian yang ditinjau adalah mengkaji interaksi obat dengan
obat pada resep yang didapatkan oleh pasien GGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum
Yarsi tahun 2017.
Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah pasien GGK yang menjalani hemodialisis, berusia
≥ 18 tahun, memiliki komorbid penyakit kardiovaskular dan Pasien yang menggunakan kombinasi obat
sedikitnya 2 obat, yang terdiri dari kombinasi OAH dengan OAH atau OAH dengan golongan obat
lain.
Kriteria Eksklusi
Kriteria Eksklusi sampel pada penelitian ini adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak
lengkap.
Definisi Operasional
1. Data rekam medik adalah data rekam medik yang mencantumkan nama pasien, jenis
kelamin dan lain-lain.
2. Pasien hemodialisis adalah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak pada tahun 2017.
3. Interaksi obat dengan obat adalah efek samping yang terjadi setelah dilakukan analisis
menggunakan aplikasi drugs.com
4. Tingkat Keparahan adalah tingkat interaksi obat yang terdiri dari minor, moderate dan
mayor.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak. Data berasal dari rekam
medik dan resep obat yang didapatkan oleh pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Data yang diperoleh
disalin pada lembar pengumpulan data . Data yang dikumpulkan berupa data karakteristik pasien berupa
usia, jenis kelamin serta data peresepan berupa resep yang didapatkan pasien GGK sebelum menjalani
hemodialisis. Resep yang didapatkan berupa obat antihipertensi dan obat lainnya.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara mengolah data penggunaan obat yang diperoleh dari rekam
medik dan resep pasien GGK kemudian dilakukan analisis interaksi obat dari obat-obat yang diresepkan
menggunakan perangkat lunak Drug Interaction Checker yang dapat diakses di drugs.com. Analisis data
dilakukan secara kuantitatif, berdasarkan hasil analisis tersebut ditentukan persentase obat yang paling sering
berinteraksi, kejadian interaksi obat berdasarkan mekanisme kerja obat (farmakokinetik dan
farmakodinamik) serta tingkat keparahan. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan software
Microsoft Excel. Hasil analisis data akan disajikan dalam bentuk uraian dan tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, pasien GGK yang aktif melakukan prosedur hemodialisis di Rumah
Sakit Umum Yarsi Pontianak tahun 2017 sebanyak 70 pasien. Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan 38 pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi. Adapun 38 pasien yang tidak memenuhi kriteria
inklusi ini dikarenakan data rekam medik tidak mencantumkan resep yang diterima pasien sebelum
melakukan hemodialisis untuk pertama kalinya.
A. Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik pasien GGK yang menjalani hemodialisis di RSU Yarsi Pontianak tahun 2017 pada
penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 1, kelompok usia dewasa (18-59 tahun)
merupakan usia yang rentan untuk mengalami GGK dengan persentase 78,13%. Jenis kelamin yang
mempunyai risiko tinggi untuk mengalami GGK adalah laki-laki dengan persentase 40,63%.
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian (N=32)
No Karakteristik Jumlah Persentase (%)
1 Usia
a. Dewasa (18-59) 25 78,13
b. Lanjut Usia (≥ 60) 7 21,88
2 Jenis Kelamin
a. Laki-laki 19 59,38
b. Perempuan 13 40,63
Total 32 100
B. Gambaran Penggunaan Obat pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis 1. Gambaran Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis
Pasien GGK biasanya diberikan obat antihipertensi (OAH) secara tunggal maupun kombinasi.
Penggunaan OAH secara tunggal yang terbanyak adalah golongan ARB dengan persentase 15,63%. Hal ini
dikarenakan ARB memiliki sifat renoprotektif dan merupakan salah satu antihipertensi yang digunakan
sebagai lini pertama pengobatan GGK (Depkes RI, 2006). Penggunaan kombinasi OAH yang terbanyak
adalah golongan CCB dengan persentase 21,88%. CCB cukup efektif pada pasien dengan gangguan ginjal
khususnya pada obat CCB golongan dihidropiridin long acting. Obat ini memiliki efek renoprotektif dengan
menurunkan resistensi vaskular ginjal dan meningkatkan aliran darah ke ginjal tanpa mengubah LFG (Laju
Filtrasi Glomerulus) dan sedikit dieliminasi pada ginjal (Putra, 2008).
Tabel. 2 Gambaran Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK yang Menjalani
Hemodialisis (N= 32)
No Regimen Terapi Jumlah
Persentase
(%)
1 Monoterapi
a. Diuretik loop 1 3,13
b. ACEI 1 3,13
c. ARB 5 15,63
d. CCB 1 3,13
2 Kombinasi
a. Diuretik loop+ Kombinasi (ARB/ CCB) 6 18,75
b. Diuretik Thiazid+ Kombinasi (diuretik loop/ CCB/ ARB/ BB) 2 6,25
c. ACEI+ Kombinasi (CCB/ diuretik loop/ diuretik thiazid) 3 9,38
d. ARB+ Kombinasi (CCB/ diuretik loop) 6 18,75
e. CCB+ Kombinasi (ARB/ diuretik loop, ACEI, BB) 7 21,88
Total 32 100
Keterangan:
ACEI = Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB= Angiotensin Reseptor Blocker
CCB= Calcium Channal Blocker
BB= Beta Blocker
2. Gambaran Penggunaan Obat Non- Antihipertensi pada Pasien GGK yang Menjalani
Hemodialisis
Tampak pada Tabel 3 gambaran pengggunaan obat non- antihipertensi pada pasien GGK yang
menjalani hemodialisis. Asam folat, CaCO3, dan ranitidin merupakan obat yang cukup banyak digunakan.
Asam folat merupakan obat untuk mengatasi defisiensi folat yang disebabkan oleh pengambilan folat dari
plasma setiap kali pasien GGK menjalani prosedur hemodialisis. Kalsium karbonat (CaCO3) digunakan
sebagai buffer dalam penanganan kondisi asidosis metabolik yang terjadi pada hampir seluruh pasien GGK
karena kesulitan dalam proses eliminasi buangan asam hasil dari metabolisme tubuh. Ranitidin diberikan
kepada pasien GGK untuk mengurangi sekresi asam lambung 90% di malam hari dan 60-80% di siang
hari.(17,38)
Golongan obat lainnya yang juga digunakan oleh pasien GGK seperti antigout (alopurinol), nutrisi
elektrolit (aminefron, aminosol, kalsium laktat, prorenal), antiplatelet (klopidogrel), antipsikotik
(klonazepam), antiaritmia (kuinidin), antiinflamasi (meloksikam), antibiotik (novamox, sefiksim)
neuroprotektan (sitikolin), penghambat pompa proton (omeprazol, pantoprazol), antiemetik (ondansentron),
mukoprotektor (sukralfat), dan pengganti plasma (vitamin albumin).
Tabel. 3 Gambaran Penggunaan Obat Non- Anttihipertensi pada Pasien GGK yang Menjalani
Hemodialisis (N=36)
3. Kajian Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis
1. Kejadian Interaksi Obat pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis
Tabel 4. Kejadian Interaksi Obat pada Pasien GGK yang Menjalani
Hemodialisis (N=32)*
No Kejadian Interaksi Obat Jumlah Pasien Persentase (%)
1 Terjadi interaksi obat 12 37,50
2 Tidak terjadi interaksi obat 20 62,50
Total 32 100
*Berdasarkan analisis menggunakan software drugs.com
Tampak pada Tabel 4, bahwa dari 32 pasien GGK yang menjalani hemodialisis terdapat 37,50 %
pasien mengalami interaksi obat dari resep obat yang diterimanya. Interaksi obat yang terjadi berdasarkan
hasil analisis dengan mengggunakan perangkat lunak drugs interaction checker pada aplikasi drugs.com.
Resep yang digunakan untuk analisis interaksi obat adalah resep yang diterima pasien sebelum melakukan
hemodialisis untuk pertama kalinya. Resep-resep pasien GGK yang menjalani hemodialisis cenderung
mengalami interaksi obat (Ramatillah, 2014). Hal ini dikarenakan pasien GGK umumnya memiliki
komplikasi penyakit sehingga menerima terapi pengobatan secara polifarmasi.
2. Kejadian Interaksi Obat pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis berdasarkan
Mekanisme Interaksi Tampak pada Tabel 5, didapatkan 24 kasus interaksi obat dari 12 pasien GGK yang resepnya
mengalami interaksi. Mekanisme interaksi obat secara farmakodinamik diketahui sebesar 79,17%,
farmakokinetik sebesar 8,33% dan unknown (tidak diketahui) sebesar 12,50%. Interaksi obat secara
farmakodinamik adalah interaksi obat yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis
atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini biasanya terjadi karena kompetisi pada reseptor atau
terjadi pada obat-obat bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi obat secara farmakokinetik adalah
No Nama Obat Jumlah Persentase (%)
1 Alopurinol 1 2,78
2 Aminefron 1 2,78
3 Aminosol 1 2,78
4 Asam Folat 12 33,33
5 Glibenklamid 1 2,78
6 Kalsium Karbonat (CaCO3) 3 8,33
7 Kalsium Laktat 1 2,78
8 Klopidogrel 1 2,78
9 Klonazepam 1 2,78
10 Kuinidin 1 2,78
11 Meloksikam 1 2,78
12 Novamox 1 2,78
13 Omeprazol 1 2,78
14 Ondansentron 1 2,78
15 Pantoprazol 1 2,78
16 Prorenal 1 2,78
17 Ranitidin 3 8,33
18 Sefiksim 1 2,78
19 Sitikolin 1 2,78
20 Sukralfat 1 2,78
21 Vitamin Albumin 1 2,78
Total 36 100
interaksi obat yang bisa mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi salah satu dari obat
yang berinteraksi (BNF, 2009).
Tabel 5. Kejadian Interaksi Obat pada Pasien GGK yang Menjalani
Hemodialisis berdasarkan Mekanisme Interaksi*
No Tipe Interaksi Jumlah Persentase (%)
1 Farmakokinetik 2 8,33
2 Farmakodinamik 19 79,17
3 Tidak diketahui 3 12,50
Total 24 100
*Berdasarkan analisis menggunakan software drugs.com
3. Kejadian Interaksi Obat pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis berdasarkan Tingkat
Keparahan
Tampak pada tabel 6, terdapat 24 kasus interaksi obat yang diperoleh dari 12 pasien GGK yang
resepnya mengalami interaksi. Setelah dianalisis menggunakan perangkat lunak drugs interaction checker
pada aplikasi drugs.com dari setiap resep yang didapatkan oleh pasien maka bisa diketahui tingkat keparahan
dari interaksi obat-obat tersebut. Persentase tingkat keparahan interaksi obat yang paling banyak adalah
tingkat keparahan moderate dengan persentase sebanyak 62,50%, selanjutnya diikuti oleh tingkat keparahan
minor sebanyak 29,17% dan yang paling sedikit adalah tingkat keparahan mayor dengan persentase
sebanyak 8,33%.
Interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan dibagi menjadi 3 yaitu minor, moderate dan mayor.
Tingkat keparahan minor apabila interaksi mungkin terjadi tetapi dianggap tidak berbahaya untuk
signifikansi potensial. Tingkat keparahan moderate dimana terjadinya interaksi yang dapat mengurangkan
efektifitas obat bahkan meningkatkan efek samping obat. Tingkat keparahan mayor dimana monitoring/
intervensi seringkali diperlukan. Potensi bahaya yang dimaksudkan yaitu jika ada probabilitas tinggi dari
peristiwa yang merugikan pasien, termasuk kegiatan yang terkait dengan kehidupan pasien dan kerusakan
organ yang permanen (Baxter, 2008).
Tabel 6. Kejadian Interaksi Obat pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisis berdasarkan
Tingkat Keparahan*
No Tingkat Keparahan Jumlah Persentase (%)
1 Minor 7 29,17
2 Moderate 15 62,50
3 Mayor 2 8,3
Total 24 100
*Berdasarkan analisis menggunakan software drugs.com
4. Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme Interaksi Farmakodinamik beserta Tingkat
Keparahannya.
Tampak pada Tabel 7, interaksi yang terjadi antara obat-obat yang diresepkan pada pasien GGK
secara farmakodinamik. Interaksi obat secara farmakodinamik yang paling banyak terdapat pada kombinasi
obat golongan CCB dan ACEI yaitu amlodipin dan kaptopril/lisinoril dengan total kejadian sebanyak 5
kasus. Kombinasi kedua golongan OAH ini berpotensi untuk mengalami interaksi obat dengan tingkat
keparahan minor. Efek yang ditimbulkan dari interaksi tersebut berupa peningkatan efek hipotensi (Di
somma S, et al,. 1992). Hal ini terjadi karena kedua golongan OAH ini menurunkan tekanan darah dengan
cara menurunkan resistensi perifer (Phillip, 2010).
Amlodipin berikatan pada kanal tipe L kemudian menghambat masuknya Ca2+ ke dalam sel yang
menyebabkan relaksasi otot polos arteriol sehingga menurunkan resistensi perifer total. Kaptopril dan
lisinopril menurunkan tekanan darah dengan cara memblokade fungsi sistem RAA, dimana obat golongan
ACEI ini menekan efek vasokonstriksi angiotensin II dalam susunan pembuluh darah sehingga mengurangi
resistensi perifer total dalam tekanan darah (Phillip, 2010). Meskipun penggunaan kombinasi kedua obat ini
relatif aman, tetap harus dilakukan pemantauan terhadap tekanan darah sistemik terutama selama satu hingga
tiga minggu pertama terapi (Di Somma S, et al,. 1992).
Tabel 7. Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme Interaksi Farmakodinamik beserta Tingkat
Keparahannya*
No Interaksi Obat
Jumlah
Interaksi
Tingkat
Keparahan Keterangan
1 Amlodipin-Lisinopril 1 Minor Meningkatkan efek hipotensi.
2 Amlodipin- Kaptopril 4 Minor Meningkatkan efek hipotensi.
3 Amlodipin- HCT 1 Minor Meningkatkan efek hipotensi.
4 Amlodipin- Bisoprolol 2 Moderate
Menurunan denyut jantung,
konduksi jantung dan
kontraktilitas jantung.
5 Amlodipin- CaCO3 3 Moderate Menurunkan efek amlodipin.
6 Bisoprolol- HCT 1 Moderate
Meningkatkan risiko
hiperglikemia dan
hipertrigliseridemia pada pasien
diabetes dan meningkatkan risiko
aritmia.
7 Bisoprolol- Klonazepam 1 Moderate
Meningkatkan efek hipotensi dan
hipotensi ortostatik.
8 Kandesartan- Klonazepam 1 Moderate
Meningkatkan efek hipotensi dan
hipotensi ortostatik.
9 Kaptopril- Klonazepam 1 Moderate
Meningkatkan efek hipotensi dan
hipotensi ortostatik.
10 Kaptopril- Furosemid 1 Moderate
Meningkatkan hipotensi dan
hipovolemia.
11 Valsartan- Meloksikam 1 Moderate Menyebabkan retensi cairan.
12 Kandesartan- Kaptopril 1 Mayor
Meningkatkan risiko
hiperkalemia, hipotensi dan
disfungsi ginjal.
13 Kaptopril- Spironolakton 1 Mayor
Meningkatkan risiko
hiperkalemia.
Total 19
*Berdasarkan analisis menggunakan software drugs.com
Interaksi obat secara farmakodinamik dengan tingkat keparahan moderate yang paling banyak terjadi
pada kombinasi OAH golongan CCB dengan sumber kalsium yaitu amlodipin dan CaCO3. Interaksi kedua
obat ini ditemukan sebanyak 3 kasus. Efek dari kombinasi tersebut berupa penurunan efek amlodipin oleh
CaCO3. amlodipin pada awalnya berfungsi untuk memperlambat pergerakan kalsium untuk masuk ke dalam
sel jantung dan dinding arteri kemudian arteri menjadi rileks sehingga tekanan darah ke jantung dapat
diturunkan, namun adanya asupan CaCO3 dapat menurunkan efektivitas CCB karena terjadi penjenuhan
saluran kalsium oleh adanya penumpukan kalsium. Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi efek dari
interaksi dari kedua obat ini adalah tidak memberikan kedua obat secara bersamaan. Penggunaan amlodipin
dan CaCO3 harus diberikan jeda waktu sekitar 3-4 jam. Selain itu harus dilakukan pemantauan agar tidak
terjadi efek samping yang merugikan (Oszko, 1987).
Interaksi obat secara farmakodinamik dengan tingkat keparahan mayor ditemukan pada kombinasi
OAH golongan ARB dan ACE yaitu kandesartan dan kaptopril sebanyak 1 kasus. Efek yang ditimbulkan
berupa peningkatan risiko hiperkalemia, hipotensi dan disfungsi ginjal (Nakao, 2003). Hal ini terjadi karena
kedua golongan obat ini (ARB dan ACEI) sama- sama bekerja dengan cara menghambat fungsi sistem RAA,
dimana sistem ini berfungsi dalam mengatur keseimbangan natrium dan kalium dalam tubuh. Apabila
digunakan kombinasi obat dengan efek aditif, maka efek yang ditimbulkan semakin kuat dan akan membuat
fungsi sistem RAA menjadi abnormal. Hal ini mengakibatkan keadaan natrium dan kalium tidak seimbang,
tekanan darah lebih rendah dan aliran darah tidak mampu mencapai ginjal sehingga terjadi efek seperti
hiperkalemia, hipotensi dan disfungsi ginjal (Phillip, 2010; Neal, 2006). Pemberian kombinasi ARB dan
ACEI tidak dianjurkan, terutama pada pasien dengan nefropati diabetik. Kebanyakan pasien yang menerima
kombinasi tidak memperoleh manfaat tambahan dibandingkan dengan monoterapi. Namun, jika kombinasi
dianggap perlu secara medis, serum elektrolit, tekanan darah, dan fungsi ginjal harus dipantau secara ketat.
Pemantauan rutin elektrolit dan fungsi ginjal dapat diindikasikan pada orang tua atau pasien dengan gagal
jantung yang memburuk atau risiko dehidrasi. Suplemen kalium umumnya harus dihindari kecuali dipantau
secara ketat, dan pasien disarankan untuk memberitahukan dokter jika mengalami tanda dan gejala
hiperkalemia seperti kelemahan, kelesuan, kebingungan, kesemutan ekstremitas, dan detak jantung tidak
teratur (Nakao, 2003).
Kombinasi OAH lainnya yang mengalami interaksi obat secara farmakodinamik dengan tingkat
keparahan mayor adalah kombinasi antara ACEI dan diuretik hemat kalium, yaitu kaptopril dan
spironolakton. Efek yang ditimbulkan dari interaksi keduanya berupa peningkatan risiko hiperkalemia. Hal
ini terjadi karena kedua obat ini sama- sama bekerja dengan cara menurunkan sekresi aldosteron sehingga
terjadi ekskresi pada ion K+
yang dapat menyebabkan hiperkalemia (Phillip, 2010; Neal, 2006; Murphy,
1984). Pemantauan harus dilakukan jika ACE inhibitor dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium,
terutama pada pasien dengan gangguan ginjal, diabetes, usia lanjut, gagal jantung yang memburuk, atau
berisiko untuk dehidrasi. Fungsi serum potasium dan ginjal harus diperiksa secara teratur, dan suplementasi
kalium umumnya harus dihindari kecuali diawasi secara ketat. Pasien harus diberikan konseling diet dan
disarankan untuk memberitahukan dokter jika mengalami tanda dan gejala hiperkalemia seperti kelemahan,
kelesuan, kebingungan, kesemutan ekstremitas, dan detak jantung tidak teratur. Jika spironolakton
diresepkan dengan ACEI, beberapa peneliti merekomendasikan bahwa dosisnya tidak melebihi 25 mg / hari
(Murphy, 1984).
5. Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme Interaksi Farmakokinetik beserta Tingkat
Keparahannya.
Tampak pada Tabel 8, interaksi yang terjadi antara obat-obat yang diresepkan pada pasien GGK
secara farmakokinetik. Interaksi obat secara farmakokinetik ditemukan dalam kombinasi antara OAH
golongan ACEI dan sumber kalsium yaitu kaptopril dan CaCO3. Interaksi kedua obat ini berada pada tingkat
keparahan mayor dengan efek berupa penurunan bioavaibilitas kaptopril. Hal ini terjadi karena CaCO3 dapat
memperlambat waktu pengosongan lambung sehingga bisa mempengaruhi bioavaibilitas kaptopril.
Penanganan untuk efek yang ditimbulkan dari interaksi antara kedua obat ini adalah mempertimbangkan
untuk memisahkan waktu pemberian inhibitor ACE dan antasid atau obat oral yang mengandung antasida
(misalnya, tablet buffer dan dandine atau larutan oral pediatrik) selama 1 hingga 2 jam (Mantylla, 1984).
Interaksi obat secara farmakokinetik dengan tingkat keparahan minor juga ditemukan pada
kombinasi OAH golongan diuretik kuat dengan antitukak, yaitu furosemid dan sukralfat. Efek yang
ditimbulkan dari kombinasi tersebut berupa penurunan absorbsi dan efek teraupetik dari furosemid. Hal ini
terjadi karena sukralfat dapat berikatan dengan obat lain sehingga mengganggu absorbsi obat tersebut.
Penanganan untuk efek yang ditimbulkan dari interaksi kedua obat ini adalah dengan memberikan jeda pada
waktu pemberian obat. Sukralfat sebagai obat mukoprotektor harus diberikan terlebih dahulu, setelah 2 jam
kemudian baru diberikan furosemid. Hal ini dilakukan agar absorbsi dan efek terapeutik furosemid tidak
terganggu oleh keberadaan sukralfat (Tatro, 2015).
Tabel 8. Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme Interaksi Farmakokinetik*
No Interaksi Obat
Jumlah
Interaksi
Tingkat
Keparahan Keterangan
1 Kaptopril- CaCO3 1 Moderate
Menurunkan bioavaibilitas
captopril
2 Furosemid- Sukralfat 1 Moderate
Menurunkan absorbsi dan efek
terapeutik furosemid
Total 2
*Berdasarkan analisis menggunakan software drugs.com
6. Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme Interaksi Farmakokinetik
Tabel 9. Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme Interaksi Yang Tidak
Diketahui*
No Interaksi Obat
Jumlah
Interaksi
Tingkat
Keparahan Keterangan
1
Furosemid- Aminosol
(aminofilin) 1 Minor
Meningkatkan, menurunkan
atau tidak mempengaruhi
aminofilin
2 Furosemid- Glibenklamid 1 Moderate Menyebabkan hiperglikemia
3 Bisoprolol- Valsartan 1 Moderate
Mempengaruhi morbiditas dan
mortilitas jantung
Total 3
*Berdasarkan analisis menggunakan software drugs.com
Tampak pada tabel 9, interaksi yang terjadi pada obat-obatan dalam resep pasien GGK yang
menjalani hemodialisis. Obat-obat ini mengalami interaksi saat diberikan secara kombinasi, namun
mekanisme interaksi antara obat tersebut belum diketahui secara jelas dan tidak tertera pada literatur yang
digunakan. Hanya saja potensi interaksi pada obat- obat ini tetap harus diperhatikan karena efek yang
ditimbulkan bisa mempengaruhi kondisi pasien. Furosemid dan aminosol merupakan kombinasi obat yang
mengalami interaksi dengan mekanisme yang belum jelas. Penggunaan dari kombinasi tersebut berpotensi
untuk terjadinya interaksi minor. Interaksi yang terjadi dari kedua obat ini dikatakan bisa mempengaruhi
peningkatan, penurunan, atau bahkan tidak mempengaruhi aminofilin (Conlon, 1981).
Kombinasi obat selanjutnya yang patut diperhatikan adalah kombinasi antara furosemid dan
glibenklamid. Penggunaan dari kombinasi tersebut berpotensi untuk terjadinya interaksi moderate. Interaksi
yang terjadi dari kedua obat ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Hal ini disebabkan oleh keberadaan
diuretik yang dikatakan dapat menyebabkan toleransi glukosa dan kontrol glukosa darah menjadi
terganggu.Pasien harus memberi tahu dokter jika glukosa darah konsisten tinggi atau mengalami gejala
hiperglikemia berat seperti rasa haus yang berlebihan dan peningkatan volume atau frekuensi buang air kecil
(Murphy, 1982)
Penggunaan bisoprolol dan valsartan juga harus mendapat perhatian khusus. Kombinasi kedua obat
ini berpotensi untuk terjadinya interaksi moderate. Interaksi obat tersebut menimbulkan efek yang
mempengaruhi morbiditas dan mortilitas jantung. Mekanisme interaksi kedua obat ini tidak diketahui secara
jelas, namun untuk mencegah terjadinya efek yang merugikan bagi jantung pemberian kedua obat ini secara
kombinasi harus dihindari (Tatro, 2015).
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Obat yang paling sering berinteraksi dalam resep yang diberikan pada pasien GGK yang menjalani
hemodialisis di Rumah Sakit Umum Yarsi Pontianak tahun 2017 adalah obat antihipertensi golongan
CCB yaitu amlodipin dengan total 11 kejadian interaksi serta persentase kejadiannya sebesar 45,83%
dan golongan ACEI dengan total 8 kejadian interaksi serta persentase kejadiannya sebesar 33,33%.
2. Persentase interaksi obat yang terjadi pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit
Umum Yarsi Pontianak Tahun 2017 berdasarkan mekanisme kerja obat yaitu secara farmakodinamik
sebesar 79,17%, farmakokinetik sebesar 12,50% dan yang tidak diketahui mekanisme interaksinya
sebesar 8,33%.
3. Persentase interaksi obat yang terjadi pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit
Umum Yarsi Pontianak Tahun 2017 berdasarkan tingkat keparahannya yaitu moderate sebesar
62,50%, minor sebesar 29,17% dan mayor dengan persentase sebanyak 8,33%.
DAFTAR PUSTAKA
Baxter, K. 2008. Stockley’sDrug Interaction, Eighth Edition. London: Pharmaceutical Press.
BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57. England: British Medical Association Royal
Pharmacetical of Great Britain.
Conlon PF, Grambau GR, Johnson CE, Weg JG. 1981. Effect of Intravenous Furosemide On Serum
Theophylline Concentration. Am J Hosp Pharm 38.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical Care untuk Hipertensi. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Di Somma S, et al. 1992. Antihypertensive Effects Of Verapamil, Captopril And Their Combination At Rest
And During Dynamic Exercise. Arzneimittelforschung 42.
Fiqrianty.,A, Srikartika.,VM, Nurlely. 2014. Kajian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien
Penderita Gagal Ginjal Kronik Stadium V Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Ulin
Banjarmasin Periode Januari 2013 – Juni 2014. Jurnal Pharmascience. Vol 1, No. 2; ISSN: 2355–
5386.
Mantyla R, Mannisto PT, Vuorela A, Sundberg S, Ottoila P. 1984. Impairment of captopril bioavailability by
concomitant food and antacid intake. Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol 22.
Murphy BF, Whitworth JA, Kincaid-Smith P. 1984. Renal insufficiency with combinations of angiotensin
converting enzyme inhibitors and diuretics. Br Med J 288.
Murphy MB, Kohner E, Lewis PJ, Schumer B, Dollery CT. 1982. Glucose Intolerance In Hypertensive
Patients Treated With Diuretics: A Fourteen-Year Follow-Up. Lancet 2.
Nakao N, Yoshimura A, Morita H, Takada M, Kayano T, Ideura T. 2003. Combination treatment of
angiotensin-II receptor blocker and angiotensin-converting-enzyme inhibitor in non-diabetic renal
disease (COOPERATE): a randomised controlled trial. Lancet 361.
Neal, MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Oszko MA, Klutman NE. 1987. Use of calcium salts during cardiopulmonary resuscitation for reversing
verapamil-associated hypotension. Clin Pharm 6.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2015. Eighth Report Of Indonesian Renal Registry. Jakarta: Indonesian
Renal Registry.
Philip I. Araronson dan Jeremy P.T. Ward. 2010. At a Glance Sistem Kardiovaskular, Edisi Ketiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Putra,N.P., Raka,K., dan Swastini,D.A. 2008. Kajian Interaksi Obat pada Pengobatan Pasien Gagal Ginjal
Kronis Hipertensi di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2007. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
Rahmiati, S dan Supadmi, W. 2012. Kajian Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hemodialisis di
Bangsal Rawat Inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Tahun 2010. Jurnal Ilmiah
Kefarmasian. Vol. 2, No. 1.
Ramatillah DL, Lukas S, dan Hastuti T. 2014. Analisis Interaksi Obat pada Penyakit Ginjal Tahap V (On
Hemodialisa) Berdasarkan Resep di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Selama
Januari-Juni 2013. Jurnal Farmasi Higea. Vol 6 No. 1.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., dan Cheever, K. H. 2010. Brunner and Suddarth’s Textbook Of
Medical Surgical Nursing (21th Edition Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Suwantika, M. 2016. Kajian Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dirawat
Inap Di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak Tahun 2016. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak.
Tatro DS. 2015. Drug interaction facts 1stEdition. Facts & Comparisons. St. Louis: Wolters Kluwer
Health.