Kajian Genealogi-Arkeologis Terhadap Candi Borobudur

60
MAKALAH KELOMPOK HYBRID FILSAFAT DAN METODOLOGI DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL “Kajian Genealogi-Arkeologis Terhadap Candi BorobudurKetua Kelompok: Fahrul Firmansyah 170210100023 Anggota: Floranesia lantang 170210100007 Annisa Handayani 170210100095 Putri Gita Ansani 170210100041 Nike Ariesti 170210100062 Luh Putu Raditya 170210100009 Anike Pratiwi 170210100051 Tamia Tirta A. 170210100057 Annisa Sanna Nikita 170210100065 Aghnia Chasya 170210100097 Denna Estianti 170210100063 Rian Hernamawan 170210100019 Yoga Restu Nugraha 170210100091 Bobby Muhammad Ihsan 170210100089 Moehammad Khahfi 170210100036 Deden Habibi 170210100122 Sulthan Fajri Majid 170210100072 Dimas Rimo Triadji 170210100100 Anissa Chandradiva 170210100014 Mufti Aditya 170210100080 M. Rangga Bisma 170210100061 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2013

Transcript of Kajian Genealogi-Arkeologis Terhadap Candi Borobudur

MAKALAH KELOMPOK HYBRID

FILSAFAT DAN METODOLOGI DALAM HUBUNGAN

INTERNASIONAL

“Kajian Genealogi-Arkeologis Terhadap Candi Borobudur”

Ketua Kelompok:

Fahrul Firmansyah 170210100023

Anggota:

Floranesia lantang 170210100007

Annisa Handayani 170210100095

Putri Gita Ansani 170210100041

Nike Ariesti 170210100062

Luh Putu Raditya 170210100009

Anike Pratiwi 170210100051

Tamia Tirta A. 170210100057

Annisa Sanna Nikita 170210100065

Aghnia Chasya 170210100097

Denna Estianti 170210100063

Rian Hernamawan 170210100019

Yoga Restu Nugraha 170210100091

Bobby Muhammad Ihsan 170210100089

Moehammad Khahfi 170210100036

Deden Habibi 170210100122

Sulthan Fajri Majid 170210100072

Dimas Rimo Triadji 170210100100

Anissa Chandradiva 170210100014

Mufti Aditya 170210100080

M. Rangga Bisma 170210100061

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2013

- 1 -

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai kekayaan budaya yang beragam dan salah satunya adalah

candi. Terdapat kurang lebih 38 candi yang telah diketahui dan candi lainnya yang

sampai saat ini belum mempunyai nama. Candi mempunyai nilai-nilai filosofis tinggi

yang tersurat maupun tersirat melalui relief-relief yang terukir di batu-batu candi.Candi

membuktikan sebuah peradaban agung yang pernah ada pada masa kerajaan yang

berkuasa di Indonesia terutama saat berjaya serta menyebarnya agama Hindu dan

Budha.

Candi Pendharmaan adalah suatu istilah dalam arkeologi Hindu-Buddha

Indonesia untuk menyebutkan suatu bangunan suci --umumnya candi-- yang didirikan

untuk memuliakan seorang tokoh yang telah meninggal.Kata dharma berasal dari

bahasa Sansekerta yang artinya cukup luas, seperti hukum, aturan hidup dan tingkah

laku yang ditentukan oleh agama dan adat, keadilan, kabajikan, ajaran agama,

kebenaran, kewajiban, kesucian, dan lain-lain.Salah satu pengertian kata dharma dalam

bahasa Jawa kuna adalah lembaga keagamaan, candi, biara, pertapaan, dan bangunan

suci lainnya.

Dalam beberapa karya sastra Jawa Kuna seperti Wirataparwa, Nagarakrtagama

dan Siwaratrikalpa begitupun dalam karya sastra lainnya seperti Pararaton dan Kidung

- 2 -

Harsyawijaya banyak disebutkan kata dharma atau dhinarma yang artinya membangun

candi untuk tokoh tertentu. Dengan demikian kata pendharmaan adalah bentukan kata

dalam Bahasa Indonesia dengan awalan pe dan akhiran an dengan kata dasar kata Jawa

Kuna dharma, maka artinya dapat menunjukkan lokasi atau tempat suatu bangunan suci

tertentu atau bangunan suci itu sendiri. Selanjutnya yang akan ditinjau dalam bahasan

ini adalah beberapa nama pendharmaan di wilayah Jawa bagian timur yang berhasil

disesuaikan dengan berita dalam karya sastra, serta akan diungkap pula beberapa

pendharmaan bagi tokoh-tokoh penting yang masih belum dapat diketahui

keberadaannya hingga sekarang.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa

hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga,

yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya.

Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti

persembahan candi tersebut.Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha

umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan

ganjaran.Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah

Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini.

Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand (PNRI,

2013).

Karena ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan

candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik

bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh

kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia

- 3 -

mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun

corak dekorasinya

Salah satu candi yang terkenal di Indonesia bahkan di dunia adalah candi

borobudur. Candi ini merupakan monumen Budha terbesar di dunia.Dibangun pada

masa Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra pada tahun 824. Candi Borobudur

dibangun 300 tahun sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 400 tahun sebelum katedral-

katedral agung di Eropa (Indonesia Travel, 2013). Arkeologi sangat membantu dalam

menelusuri lebih lanjut karya-karya sastra yang dimaknai oleh candi sehingga

menghidupkan seni yang bukan hanya material atau tumpukan batu tetapi nilai-nilai

sakral serta makna ketika peradaban tersebut pernah ada.Hubungan antara masyarakat

dengan Tuhan ataupun Dewa, pengelompokkan kelas manusia, serta sesuatu yang

dianggap suci yang dipahat di batu-batu candi.

Arkeologi dalam hal ini, yaitu Arkeologi pengetahuan yang melihat sisi tangible

dan intangible dari candi sebagai peninggalan. Sebuah kejayaan masa peradaban

lampau yang masih eksis hingga saat ini dalam bentuk peninggalan yaitu candi,

memberikan ruang leluasa untuk diteliti tidak hanya dari sisi kebudayaan, tetapi makna-

makna tersirat saat peradaban tersebut ada, dan keterkaitan antara eksistensi peradaban

tersebut dengan masa sekarang sehingga memunculkan jawaban atas relasi antara kedua

bagian ini. Ide-ide yang dimunculkan dalam proses mendokumentasikan candi hingga

pergantian dokumentasi dari zaman saat peradaban tersebut eksis hingga masa sekarang.

Lebih lanjut melihat bagaimana peradaban tersebut dianggap ada dan menjadi wacana

internasional yang dimunculkan melalui konsep ―power-knowledge‖ dimana

- 4 -

pengetahuan yang menjadi suatu realitas sosial berasal dari kekuasaan dan tidak pernah

lepas dari kekuasaan.

1.2 Identifikasi Masalah

Apa Ide dibalik pembuatan candi Borobudur?

Bagaimana cara mendokumentasikan candi Borobudur?

Apa saja ide-ide masa lalu dari pembangunan Borobudur dan keterkaitannya

dengan masa sekarang?

Mengapa Candi Bodobudur sebagai sebuah artefak yang menyimpan banyak

sejarah masa lalu dianggap dalam HI?

1.3 Tujuan

Makalah penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menerapkan arkeologis

sebagai sebuah metode dalam kaitannya dengan pengetahuan yang berkaitan dengan

nusantara khususnya dalam konteks keagamaan melalui candi Borobudur.

1.4 Manfaat

Makalah penelitian ini diharapkan dapat memberikan bertambahnya

pengetahuan dan pemahaman mengenai arkeologis itu sendiri serta kaitannya dengan

genealogi secara umum melalui studi kasus yakni candi Borobudur. Makalah ini juga

mencoba menyajikan pemahaman Geneaologi Arkeologi yang dikemukakan Foucault

melalui Candi Borobudur sebagai objek penelitiannya.

- 5 -

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arkeologi

Foucault secara eksplisit mengenalkan istilah ―arkeologi‖ dalam karyanya The

Order of Things. Tiga tahun kemudian, pada 1969, ia menerbitkan The Archaeology of

Knowledge yang mengenalkan arkeologi sebagai suatu metode. Premis dari metode

arkeologi adalah bahwa sistem pemikiran dan pengetahuan (epistemes atau formasi

diskursif, dalam terminologi Foucault) tersebut diatur oleh aturan, yang di luar tata

bahasa dan logika, yang beroperasi di bawah kesadaran subyek individu dan

menetapkan sistem kemungkinan konseptual yang menentukan batas-batas pemikiran

dalam domain yang diberikan pada periode tertentu (Gutting, 2013).

Penggunaan istilah arkeologi membantu untuk membedakan karya historis dari

sejarah mainstream. Singkatnya, sejarah mainstream membujur (longitudinal): mereka

mempelajari perkembangan sesuatu selama satu periode waktu. Sebaliknya, arkeologi

adalah cross-sectional: ia mempelajari banyak hal yang berbeda yang terjadi pada

waktu yang sama (Museum of Knowledge, 2012).

Arkeologi mempelajari artefak dari satu waktu: tembikar, bahan, buku,

instrumen, dan karya seni bangunan dari strata tertentu. Arkeologi mencoba untuk

memahami bagaimana semua orang berbagai artefak cocok bersama. Pendekatan

arkeologi Foucault terhadap sejarah juga serupa. Dia menelaah beberapa hal yang

berbeda yang terjadi pada waktu yang sama. Sebagai contoh, ia mempelajari artefak

- 6 -

linguistik abad kedelapan belas Eropa, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Kemudian ia

mencoba untuk mencari tahu bagaimana artefak-artefak tersebut saling berhubungan

secara rasional (Museum of Knowledge, 2012).

Arkeologi mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam satu waktu

sejarah tertentu. Ketika ia melakukan penelitian arkeologi, Foucault terutama tertarik

pada pengetahuan, dan ia menggunakan episteme sebagai istilah untuk mengacu ke

sistem pengetahuan pada waktu tertentu. Episteme adalah pola yang dapat dilihat di

berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi , linguistik , dan ilmu pengetahuan . Sebuah

episteme membentuk dasar untuk membedakan pengetahuan sejati dari pengetahuan

palsu. Dengan kata lain, episteme adalah cara spesifik yang bersifat historis dalam

proses ―mengetahui‖ (Museum of Knowledge, 2012).

Singkatnya, arkeologi adalah studi cross-section artefak dalam waktu tertentu.

Hal ini tidak seperti sejarah mainstream karena itu menganalisis berbagai artefak dalam

periode satu waktu daripada melacak perkembangan satu hal selama bertahun-tahun

(Museum of Knowledge, 2012).

2.2 Genealogi-Arkeologis

Pencetus pendekatan Genealogi-Arkeologi adalah Michel Foucault. Dalam

memperkuat pendekatan arkeologi, Foucault menggunakan salah satu metodologi

penelitian Genealogi, yang secara umum dapat diartikan sebagai silisilah. Melalui

silsilah ini kita dapat mengetahui alur sejarah suatu fenomena, ilmu pengetahuan, benda

peninggalan yang ada saat ini. Pendekatan genealogi ini mirip dengan dengan

pendekatan sejarah karena menelusuri suatu sejarah untuk dapat mengetahui. Genealogi

- 7 -

juga bisa dikatakan sebagai ways of knowing, cara mengetahui yang dimaksudkan disini

adalah mengatahui sesuatu melalui mediasi sejarah dan peradaban untuk sampai ke

akarnya.

Foucault menulis mengenai fase arkeologi dalam pendekatan genealoginya.

Dalam tulisannya yang berjudul Archeology of Knowledge, Foucault lebih menekankan

pada suatu peristiwa diskursif dalam analisisnya, dia mendefinisikan Arkeologi sebagai

"yang menggambarkan wacana sebagai praktik‖. Istilah 'Arkeologi' digunakan oleh

Foucault selama tahun 1960 untuk menggambarkan pendekatan untuk menulis sejarah.

Arkeologi adalah tentang memeriksa jejak diskursif dan pesan yang ditinggalkan oleh

masa lalu untuk menulis sejarah masa kini. Dengan kata lain arkeologi adalah tentang

melihat sejarah sebagai cara untuk memahami proses yang telah menyebabkan apa yang

ada hari ini.

Foucault terkenal juga dengan konsepnya tentang relasi antara kekuasaan dan

pengetahuan. Kekuasaan berada dimana-mana, termasuk dalam setiap pengetahuan

yang kita ketahui. Lebih lanjut lagi, dalam metode penelitiannya,yaitu arkeologi,

Foucault berusaha untuk melacak elemen-elemen kekuasaan pembentuk sejarah, bukan

pada sejarahnya melainkan lebih kepada cara-cara pendokumentasian sejarah tersebut.

menurut Foucault, kuasa atau kekausaan itu tersebar dimana-mana. Tidak hanya berada

di pihak penguasa atau pemerintah, kekuasaan juga bisa ada di pihak yang dikuasai.

Contohnya seperti demonstrasi yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah yang

berhasil menggulingkan rezim otoriter. Hal itu cukup menunjukkan bahwa kuasa biasa

berpindah seketika dari pemerintah ke tangan rakyatnya. Bagi Foucault, power atau

kuasa ini juga bersifat produktif, maksudnya adalah kekuasaan atau kuasai ini akan

- 8 -

selalu merangsang munculnya pengetahuan baru. Kuasa menemukan bentuknya dalam

pengetahuan, jika suatu pengetahuan itu digunakan dan diakui oleh banyak orang,

berarti pengetahuan tersebut memiliki kuasa akan orang-orang yang mempercayainya.

Selain bersifat produktif, apa yang dibahas Foucault dalam genealogi

arkeologinya mengenai hubungan antara Kuasa Pengetahuan (Power Knowlegde) juga

bersifat menyebar (Spread). Menurut Foucault suatu diskursif atau pengetahuan tidak

akan pernah bisa dibatasi, relasi antara kekausaan dan pengetahuan akan terus berjalan

untuk menguasai dan mengontrol kehendak orang-orang yang mempercayai atau

meyakini suatu pengetahuan yang sebetulnya telah berkuasa atas kehendak seseorang.

melacak elemen pembentuk sejarah dengan menyelidiki peristiwa-peristiwa

(formasi) diskursif, pernyataan-pernyataan yang dibicarakan dan dituliskan dalam

sebuah konteks sejarah. Pada langkah selanjutnya kita perlu membedakan antara

arkeologi pengetahuan dengan sejarah pemikiran. Pada dasarnya ada empat prinsip yang

membedakan kedua hal tersebut, yakni (George Ritzer, 2003:72):

a) Arkeologi tidak mengupas tentang pemikiran, representasi, yang tersembunyi

atau tampak dalam diskursus. Arkeologi lebih membahas diskursus itu sendiri

sebagai praktik yang menuruti kaidah dan aturannya sendiri.

b) Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual antar diskursus

antar diskursus, tapi berusaha mencari dan melihat kekhasan dari diskursus itu

sendiri.

c) Arkeologi tidak membahas kajian tentang individu atau ouveres. Arkeologi

menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktek diskursif yang berkaitan langsung

- 9 -

dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu arkeologi menolak kehadiran

author sebagai bagian dari kesatuan kajian.

d) Arkeologi tidak menyelidiki kelahiran diskursus tapi lebih pada detesis

sistematik sebagai sebuah objek diskursus (George Ritzer, 2003:72).

2.3 Candi Borobudur

Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur,

Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis terletak di 7° 36' 28''

LS dan 110° 12' 13'' BT. Lingkungan geografis Candi Borobudur dikelilingi oleh

Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, Gunung Sindoro dan Sumbing di

sebelah Utara, dan pegunungan Menoreh di sebelah Selatan, serta terletak di antara

Sungai Progo dan Elo. Candi Borobudur didirikan di atas bukit yang telah dimodifikasi,

dengan ketinggian 265 dpl. Pada akhir abad ke VIII, Raja Samaratungga dari Wangsa

Syailendra lantas Candi Borobudur yang dipimpin arsitek bernama Gunadharma

hinggga selesainya tahun 746 Saka atau 824 Masehi (Balai Konservasi Borobudur,

2011).

Mengenai penamaannya juga terdapat beberapa pendapat diantaranya:

Menurut Raffles: Budur yang kuno (Boro= kuno, budur= nama tempat) Sang Budha

yang agung (Boro= agung, budur= Buddha) Budha yang banyak (Boro= banyak, budur=

Buddha). Menurut Moens: Kota para penjunjung tinggi Sang Budha. Menurut Casparis:

Berasal dari kata sang kamulan ibhumisambharabudara, berdasarkan kutipan dari

prasasti Sri Kahulunan 842 M yang artinya bangunan suci yang melambangkan

kumpulan kebaikan dari kesepuluh tingkatan Bodhisattva. Menurut Poerbatjaraka: Biara

di Budur (Budur= nama tempat/desa). Menurut Soekmono dan Stutertheim: Bara dan

- 10 -

budur berarti biara di atas bukit Menurut Soekmono fungsi Candi Borobudur sebagai

tempat ziarah untuk memuliakan agama Budha aliran Mahayana dan pemujaan nenek

moyang (Balai Konservasi Borobudur, 2011).

Pada dasarnya Borobudur merupakan piramid dua tingkat yang menggambarkan

sepuluh tingkatan dari sistem kosmik Budha Mahayana.

Gambar 1.1 Susunan Candi Borobudur

(sumber: http://www.teruskan.com/7172/makna-3-susunan-candi-borobudur.html)

Di bagian paling bawah candi disebut Kamadhatu, salah satu nafsu duniawi.

Selanjutnya ada lima tingkat yang semakin ke atas berukuran semakin kecil, kelima

tingkat ini disebut Rupadhatu. Di atas Rupadhatu terdapat tiga tingkat berbentuk

lingkaran yang membentuk Arupadhatu, yang merupakan tingkatan di mana seseorang

mencapai kehidupan yang lebih baik dan bebas dari ikatan duniawi. Puncak Borobudur

dimahkotai oleh stupa besar tertutup yang dibangun di atas dua kuntum teratai yang

sedang mekar.Dinding-dinding yang terdapat pada tingkat berbentuk persegi dihiasi

ukiran yang indah menggambarkan kisah kehidupan, reinkarnasi dan pencapaian akhir

- 11 -

tentang kebenaran ajaran Budha, ditambah dengan ratusan gambar Budha dalam

berbagai perwujudannya yang menghiasi dinding-dinding. Tingkatan lingkaran yang

paling atas melambangkan keabadian dan keadaan tanpa awal dan akhir.

Di tingkat paling atas ini dijelaskan bahwa tingkat tertinggi ajaran Budha adalah

mengajarkan hukum sebab-akibat yang disebut dengan "karma". Dari sekian banyak

patung, hanya dua di antaranya yang berada dalam stupa terbuka. Satu di antaranya

terlihat hanya sebagian kepalanya, yang lain kelihatan utuh dengan tangan santai

dibelakang sambil menatap lurus gemerlapnya gunung di kejauhan, seolah-olah

mengajarkan bahwa hidup penuh penderitaan. Penderitaan itu disebabkan oleh hawa

nafsu.Hawa nafsu dapat dikendalikan dengan meditasi.Hidup dapat dikendalikan

dengan berbuat baik.Hanya Budha yang dapat menunjukkan jalan menuju keselamatan

yang disebut ―Nirvana‖. ketika Dengan mengunjungi Borobudur dan mengamati 27.000

gambaran dan ukiran mengenai ajaran Budha pada sekeliling candi, seolah-olah kita

sedang melakukan perjalanan religius (Taste of Jogja, 2013).

2.4 Ajaran Buddha

Agama Buddha merupakan agama Kedua yang masuk ke Indonesia, bersamaan

dengan masuknya Agama Hindu yang di bawa oleh pedagang dari india. Dimana

didalam ajarannya agama Buddha ini memiliki Sang Buddha sebagai yang tertinggi dan

maha Penciptanya. Dimana Tentunya di dalam ajaran agama Buddha ini, diketahui akan

adanya ajaran Karma Phalla seperti yang terdapat di dalam ajaran Agama hindu sebab

pada dasarnya agama Buddha berasal dari Agama Hindu sendiri.

- 12 -

Baik di dalam agama Hindu maupun Buddha, keduanya memiliki 3 hal utama

dalam ajarannya, yang mengajarkan diharuskannya adanya keselarasan di dalam

kehidupan. Alam semesta ini terbagi atas, tengah dan bawah dan di dunia ini, dunia itu

terbagi menjadi alam dimana Kesucian atau Nirwana, Alam dimana sudah mulai

terdapat kesucian dan pelepasan terhadap hawa nafsu dan Alam Manusia yang berada di

bawah yakni penuh hawa nafsu. Di dalam hindu terkenal dengan Bhur, Bvah, Svah dan

di dalam Buddha terkenal dengan alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas

3 bagian besar, yaitu:

a) Kamadhatu

Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu (keinginan)

yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti dunia kita ini.

b) Rupadhatu

Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu,

tetapi maish terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan

merupakan ―alam antara‖ yang memisahkan ―alam bawah‖ (kamadhatu) dengan

―alam atas‖ (arupadhatu).

c) Arupadhatu.

Arupadhatu, yaitu ―alam atas‖ atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam,

dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari

ikatan bentuk dan rupa (Karaton Surakarta, 2013).

- 13 -

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Cara Mendokumentasikan Candi Borobudur

3.1.1 Mpu Prapanca

Dalam dokumentasi Borobudur ―Nagarakertagama‖ merupakan Satu-satunya

naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha

yang mungkin merujuk pada Borobudur. Ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365.

Mpu Prapanca dalam Negarakertagama.

Negarakertagama atau Nagarakertagama merupakan satu-satunya litearatur kuno

yang menyebutkan mengenai Candi Borobudur (Moens, 2007). Moens dalam laporan

penelitiannya tersebut menyebutkan bahwa masih terdapat perdebatan antara para

peneliti dan ahli mengenai Candi Borobudur sehingga dalam makalah ini diputuskan

bahwa Negarakertagama yang dikarang oleh Mpu Prapanca sebagai sebuah sumber

artefak metode pendokumentasian di masa kerajaan Hindu-Budha di kawasan sekitar

candi.

Berbagai sumber telah menyebutkan bahwa Candi Borobudur di dirikan pada

masa kerajaan Mataram Kuno di bawah pemerintahan wangsa Syailendra (PBS, 2013).

Dalam sumber yang sama disebutkan pula bahwa arsitek dari Candi Borobudur adalah

Gunadarma. Cukup sulit untuk menemukan bagaimana maharaja dari wangsa syailendra

pada mulanya membangun Candi Borobudur, dalam laporan penelitian oleh Moens

disebutkan bahwa dalam Negarakertagaman muncul nama Borobudur namun bukan

- 14 -

dikaitkan dengan maharaja Syailendra dan penggagas pendiriannya melainkan lebih

kepada deskripsi keberadaan secara fisik.

Penyusun menganalisis dari berbagai sumber yang ada termasuk laporan

penelitian Moens dan menyimpulkan bahwa pendirian Candi Borobudur oleh maharaja

Syailendra di masa itu lebih mengarah kepada pembangunan sebuah tempat ibadah yang

memadai bagi masyarakat yang beragama Budha.

3.1.2 Sir Thomas Stamford Raffles

Setelah keruntuhan kerajaan Hindu-Buddha, Candi Borobudur baru ditemukan

kembali pada tahun 1814, oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Ketika ia datang untuk

memeriksa kemajuan ekspedisinya di Indonesia, ia menemukan sebuah piramida kolosal

dimana ketika naik ke puncak akan berbentuk lonceng besar. Raffles yang suka

mengeksplorasi berbagai daerah pada awalnya berusaha untuk mengeksplorasi daerah

gunung berapi yang ada di daerah Kedu. Namun, ketika Raffles beserta pasukannya

berusaha untuk menemukan gunung legendaris yang ada di sana, justru menemukan

sebuah bangunan yang terpendam di dalam puing-puing (PBS, 2013).

Kemudian Raffles berusaha untuk membersihkan puing-puing bangunan yang

ditemukannya, dan akhirnya menemukan bangunan yang berukir relief-relief. Raffles

yang memiliki ketertarikan akan hal tesebut kemudian berusaha untuk

mendokumentasikan keberadaan Candi Borobudur di dalam buku ―The History of

Java‖. Karena catatan sejarah kurang memadai, Raffles tidak dapat menentukan tanggal

yang tepat mengenai konstruksi Borobudur, tapi ia memang memiliki beberapa

wawasan dalam tujuan struktur: ―Kemiripan gambar yang mengelilingi monumen ini

- 15 -

mengacu pada sosok Buddha, yang telah memperkenalkan pendapat bahwa Borobudur

eksklusif terbatas untuk menyembah Buddha‖.

Raffles berperan besar dalam restorasi candi pada saat itu yang masih tertimbun

oleh tanah dan semak. Ia mengirim seorang arkeologis belanda bernama H.C. Cornelius

untuk meneliti candi. Cornelius dan para pekerja melakukan restorasi dalam jangka

waktu dua bulan. Pekerjaan yang dilakukan oleh Cornelius ini dilaporkan dalam buku

Raffles berjudul "The History of Java" yang diterbitkan pada tahun 1817.

Kemudian, pada tahun 1835, struktur dan dimensi dasar Borobudur pertama kali

diselidiki oleh Hartmann, dan seniman Jerman, A. Shaefer, membuat foto pertama

―Daguerreotype‖ (proses pertama fotografi praktis yang menggunakan kamera obscura

(alat bantu menggambar bagi para seniman yang setelah kelahiran fotografi dikenal

sebagai kamera foto) (Atmadi, 1998).

Di antara buku-buku pada abad ke-19 di Indonesia yang diterbitkan di Inggris,

The History of Java memegang posisi yang unik. Ketika menjabat sebagai Letnan

Gubernur di Indonesia, termotivasi oleh kekagumannya akan sejarah, cerita-cerita

eksotis, bangunan arsitektur dan budaya Indonesia, Raffles melakukan pencarian besar

dalam mendokumentasikan sejarah pulau, budaya, arsitektur dan peradaban

kontemporer Indonesia khusunya Jawa. Sejarah Raffles tentang Jawa sampai hari ini

dianggap sebagai sebuah karya yang sangat penting, terutama karena akurasi yang

dirasakan dalam mendokumentasikannya.

3.1.3 C. Leemans dan JFG Brumund

F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, mempelajari

monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. Peneliti lain J.F.G. Brumund juga

- 16 -

melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada

1859. Saat itu pemerintah belanda berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian

Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk

bekerja sama. Pemerintah kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang

mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873,

monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan dengan judul

The Borobudur Monography (Jacques, 1998).

3.1.4 JW Ijzerman

Pada tahun 1885 Ijzerman melakukan penelitian pada dasar candi dan

menemukan sejumlah relief. Pada tahun-tahun 1890-1891, keseluruhan relief kemudian

dikenal sebagai relief Karmawibhanga dengan sejumlah 160 panel, dan difoto oleh K.

Kefas setelah bagian dasar ini ditutup lagi. Para ahli menyimpulkan bahwa Borobudur

harus telah dibangun oleh raja-raja Sailendra yang memerintah di Jawa Tengah pada

waktu itu (PBS, 2013).

3.1.5 TH. van Erp dan Nicholas J. Krom

Seiring berjalannya waktu setelah penemuan Borobudur tahun 1814 oleh

colonial British, Pada 1907 sampai 1911, Borobudur mengalami restorasi besar-besaran.

Dengan dipimpin oleh Ir. Th. Van Erp, seorang insinyur Belanda dimana ia tertarik akan

falsafah dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Borobudur. Untuk itu, Van Erp

mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India hingga akhirnya ia

bisa menggambar sketsa bentuk Candi Borobudur. Sementara itu, kajian mengenai

landasan falsafah dan agama yang ada di balik Borobudur, yakni Mahayana-Yogacara

- 17 -

yang cenderung bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana, dilakukan oleh

Stutterheim dan NJ. Krom. Setelah rampung dibangun, Borobudur menjadi pusat

spiritual termegah bagi penganut agama Buddha (Krom, 2005) NJ. Krom dan F.D.K

Bosch berhasil mengidentifikasi banyak teks-teks Buddhis bahwa para pembangun

candi telah menggunakan teks-teks Buddha sebagai sumber inspirasi untuk mengukir

narasi relief monumen. pada dinding dinding terdapat kisah tentang Buddha dari

lahirnya sampai meninggal dan kisah kehidupan ajaran Buddha yang dipahatkan pada

reliefnya (Voute, Caesar. E. L, Mark).

Van Erp sendiri menulis artikel lengkap tentang candi Borobudur, yang baru

diterbitkan pada tahun 1927 dan 1931. Kedua artikel inilah yang paling penting untuk

penelitian tentang candi Borobudur. Kemudian pada tahun 1975, Hariani Santiko dan

Siswadhi mengkompilasi “Annotated Bibliography of Borobudur” yang di ambil dari

laporan penemuan pertama di Borobudur, sampai dengan artikel yang dipublikasikan

pada tahun 1975, yang mencapai hasil yang bagus. Tetapi Annotated Bibliography of

Borobudur belum pernah dipublikasikan (Jagad Kejawen, 2013).

3.1.6 W.O.J. Nieuwenkamp

Spekulasi, teori, maupun pernyataan terus berlanjut tentang bagaimana candi ini

dibangun, salah satunya pada tahun 1931, seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha,

W.O.J. Nieuwenkamp (Krom, 2005) mengajukan teori bahwa daratan Kedu — lokasi

Borobudur menurut legenda Jawa, dulunya adalah sebuah danau purba. Borobudur

dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.

Namun ini baru sebuah hipotesa yang lalu menjadi perdebatan hangat di kalangan para

ilmuwan saat itu. Menurut Nieuwenkamp, Borobudur dibangun melambangkan bunga

- 18 -

teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk

padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat

ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh

Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha

atau sebagai lapik stupa.Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai,

dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui

dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian

menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga

melambangkan kelopak bunga teratai.

Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak

menuai bantahan dari para arkeolog, pada daratan di sekitar monumen ini telah

ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur

pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.

Kebenaran dari spekulasi yang diberikan oleh Nieuwenkamp memang belum dapat

dipastikan hingga saat ini, namun ia telah memberikan dokumentasi lain dalam

pendokumentasian Candi Borobudur. Hal ini dikarenakan Nieuwenkamp telah

memberikan visualisasi baru mengenai bentukan awal dari candi tersebut pada sebuah

majalah di Jerman.

3.2 Ide-Ide Masa Lalu yang Tersembunyi dari Candi Borobudur

3.2.1 Masa Kerajaan Syailendra secara singkat

Kerajaan Syailendra merupakan sebah wangsa atau dinasti yang berkuasa di

Sriwijaya pulau Sumatera dan di Jawa Tengah sejak tahun 752 (Rapendik, 2013).

- 19 -

Peninggalan dan manifestasi dari wangsa syailendra ini banyak terdapat di dataran Kedu

tepatnya Jawa Tengah. Terdapat beberapa pemikiran yang mencoba menguasai sejarah

dari adanya kerajaan syailendra di tanah Indonesia, diantaranya adalah pemikiran yang

berlandaskan teori India yang menyebutkan bahwa kerajaan Syailendra ini sebenarnya

berasal dari daratan india yaitu tepatnya di Kalingga (Rapendik, 2013). Terjadi proses

imigrasi yang dilakukan oleh keluarga syailendra karena alasan rasa aman di dataran

India tersebut awalnya keluarga syailendra ini mendiami dataran Palembang yang

kemudian mendiami tanah jawa.

Menurut kuasa teori Funan, kerajaan syailendra yang ada di Indonesia itu berasal

dari Funan (kamboja), dalam bentuk transmigrasi ke pulau jawa dan menjadi penguasa

di Mdam pada abad ke 8, kemudian penguasa Mdam yang ternyata keturunan Funan ini

mengganti namanya menjadi keluarga yang berkembang menjadi sebuah kerajaan yang

berpengaruh di Indonesia. Dan Kuasa lainnya adalah pemikiran dari teori Nusantara

yang melihat bahwa berkembangnya kerajaan syailendra di pulau jawa dan Sumatra itu

berasal asli dari tanah nusantara, yaitu berkembang dari Sumatra kemudian di jawa hal

ini dapat terjadi karena adanya ekspansi kekuasaan sriwijaya melintasi dataran sehingga

Kerajaan Syailendra memiliki kekuasaan di wilayah Sumatra dan Jawa tengah

khususnya.

Di Indonesia nama Syailendra dijumpai di dalam prasasti-prasasti, seperti

prasasti kalasan pada tahun 778 (Rapendik, 2013), pertama kali nama syailendra

muncul, selanjutnya nama syailendra muncul kembali di prasasti kelurak pada tahun

782, dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi

(dharmmatuńgadewasyaśailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi

- 20 -

(selendranamah) dan prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi

(śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari

tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda (Rapendik, 2013).

Terdapat peninggalan kejayaan dari kerajaan Syailenndra di Indonesia sebagai

pendukung dari ketiga pemikiran yang telah membaca proses lahir dan berkembangnya

kerajaan Syailendra, yaitu candi Borobudur. Waktu pembangunan Candi Borobudur

diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup

Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan

abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi

(Soekmono, 1978). Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa

puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah (Soekmono, 1978).

Pada waktu itu wangsa Syailendra sangat dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.

Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75-100 tahun lebih dan

benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825

(Soekmono, 1978).

Mengenai nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang menafsirkannya,

di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari

dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara

atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada kata yang berasal dari Bali Beduhur

yang berarti di atas. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang

berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit. Sedangkan Prof. JG.

De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun

pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka

- 21 -

746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa

Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat

pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Bagaimana pergeseran kata

itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat

setempat.

Kedua hal ini menunjukkan fungsi Candi Borobudur ini sendiri di masa Wangsa

Syailendra yaitu sebagai Bihara atau Biara, yaitu tempat keagamaan, yang disebut juga

dalam nama Bhumusambharabhudhara, dimana Candi Borobudur juga difungsikan

sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang atau leluhur, yang apabila dalam adat

istiadat Jawa dianggap spesial, layaknya Dewa.

Adapun periodisasi pembangunan borobudur pada wangsa Syailendra kurang

lebih seperti pada bagan di bawah ini (Paul Michel, 2006: 171):

775—800 Dharanindra

Mataram,

Jawa

Tengah

Prasasti

Kelurak (782), Prasa

ti Ligor B (sekitar

787)

Jugaberkuasa

di Sriwijaya (Sumatera),

membangun Manjusrigrha,

memulai membangun

Borobudur (sekitar 770), Jawa

menyerang dan menaklukan Ligor

dan Kamboja Selatan (Chenla)

(790)

812—833 Samaratungga

Mataram,

Jawa

Prasasti

Karangtengah (824)

Juga berkuasa di Sriwijaya,

merampungkan Borobudur (825)

- 22 -

Tengah

Tabel 3.1 Periodisasi Pembangunan Borobudur

Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang menganut agama

Buddha, di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Arsitektur candi ini dirancang

berdasarkan tuturan seorang tokoh masyarakat pada kala itu yang bernama

Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti

Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa

(Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari

Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis

Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya

yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan

oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.

Dalam Candi Borobudur terdapat relief yang menunjukkan masa pada Wangsa

Syailendra, dan hal ini menjelaskan bahwa Candi ini dibangun pada masa kejayaan

Wangsa Syailendra.

Gambar 3.1 Relief Candi Bodobudur yang menunjukkan wangsa Syailendra

- 23 -

Bas-relief di Borobudur menampilkan Raja dan Ratu dengan segenap abdi

pengiringnya. Adegan keluarga kerajaan seperti ini kemungkinan besar dibuat

berdasarkan istana wangsa Syailendra sendiri.

Kerajaan Mataram kuno dibawah pemerintah Sri Maharaja Samaratungga maju

pesat, namun disisi lain raja-raja Mataram kuno pada saat pemerintah Samaratungga

seringkali terjadi perang saudara hingga pertumpahan darah antar raja-raja Mataram

kuno disetiap pergantian kekuasaan, dan saat Samaratungga berkuasa Mataram kuno

dikuasai 2 wangsa yakni wangsa Sanjaya berkuasa di timur jawa tengah serta wangsa

Syailendra berkuasa diselatan (Madhori, 1997), wilayah jawa tengah yang berujung

pembunuhan dan tak kalah ironisnya hancurnya istana beserta ibukota kerajaan dampak

dari perang saudara antar raja-raja Mataram kuno yang berkepanjangan.

Latar belakang inilah yang mendorong raja Samaratungga berupaya menyatukan

kembali Wangsa Syailendra, wangsa yang muncul abad ke-8, dan Wangsa Sanjaya

adalah penguasa awal atau pendiri kerajaan Mataram kuno dengan cara mengadakan

perkawinan politik dengan menikahkan putrinya nan cantik Pramodyawardhani

(Wangsa Sailendra) dengan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) (Madhori, 1997).

Pemerintahan Samaratungga berbeda dengan pola pemerintahan sebelumnya, dimana

Samaratungga lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pengembangan

agama maupun budaya yang dimasa pemerintahan Samaratugga yakni menyelesaikan

pembangunan Candi Borobudur dengan arsitek yang cerdas, yang sebelumnya sudah

mulai dibangun oleh raja Mataram kuno sebelumnya. Pembangunan candi Borobudur

yang terus diselesaikan dimasa pemerintahan Samaratungga memiliki sisi menarik,

dimana pembangunan candi Borobudur melibatkan masyarakat Mataram kuno yang

- 24 -

dalam praktik keagamaan terdiri agama hindu dan budha yang tetap memegang

toleransi tinggi serta hidup rukun bergotong royong dalam membangun candi

Borobudur. Dan hal ini terjadi pasca perkawinan Pramodawardhani dengan rakai

Pikatan yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat Mataram kuno ketika itu

(Madhori, 1997).

Sedangkan pada masa tersebut, Candi Borobudur lebih berfungsi sebagai

(Sutanto, 1998):

Sebagai tempat penyimpanan relief (peninggalan – peninggalan yang dianggap suci:

benda – benda, pakaian, tulang – belulang sang Budha arhat dan biksu terkemuka),

dimakamkan juga dhatuganbha (dagoba)

Sebagai tanda peringatan dan penghormatan sang Budha

Sebagai lambang suci umat Budha

Kira-kira kurang lebih selama 150 tahun Candi Borobudur digunakan sebagai

pusat ziarah waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan usianya dihitung dari saat

para pekerja membangun bukit Borobudur dengan batu-batu dibawah pemerintah

Samaratungga, sekitar tahun 800-an. Demikian berakhirnya kerajaan Mataram tahun

930, pusat kehidupan dan kebudayaan Jawa bergeser ke Timur (Sutanto, 1998).

3.2.2 Agama Budha Pada Zaman Kerajaan Sailendra

Informasi mengenai keadaan Agama Buddha pada masa Kerajaan Sailendra

nampaknya lebih jelas dibanding pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dikarenakan

sumber-sumber yang memberi informasi mengenai Agama Buddha lebih banyak,

misalnya dengan keberadaan prasasi-prasasti dan bangunan-bangunan seperti candi.

- 25 -

Sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta, di Jawa

Tengah berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha dan

wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu-Shiva. Inilah jaman keemasan bagi

Mataram dan negara pada saat itu aman dan makmur karena kedua wangsa (dinasti) itu

saling menolong satu sama yang lain dalam mendirikan tempat-tempat suci (candi). (

Bhagavant, 2013)

Di kerajaan SYailendra agama yang dipeluk adalah Agama Buddha Mahayana.

Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini

yang bercorak Mahayana. Walaupun kerajaan Sailendra banyak mendirikan candi

namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh

kerajaan Sanjaya. Selain berdasarkan prasasti-prasasti yang ada, bahwa Agama Buddha

yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan -

yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut.

Candi ini dipergunakan untuk pemujaan kepada Tara, pemujaan kepada

Bodhisattva Avalokitesvara, peresmian rupang (arca) Bodhisattva Manjusri, dan

sebaginya. Nampaknya, pada masa ini kerajaan di Jawa Tengah masih ada hubungan

yang erat dengan India, sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudadwipa

(Bengala) yang memimpin upacara pada waktu peresmian rupang Manjusri. Demikian

juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa

melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India. Raja

Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39 (antara

tahun 856 sampai 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan pemeliharan

- 26 -

sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja dari Suwarnadwipa

(Sumatera), cucu raja di Jawa (Bhagavant, 2013).

Keadaan di Jawa Tengah tidaklah sama dengan keadaan di Sriwijaya yang

menjadi pusat Agama Buddha. Namun, aliran Mahayana yang bagaimanakah yang

berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan ini sukar untuk dijawab. Tapi, yang perlu

diperhatikan adalah apa yang tertera pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya

berhubungan dengan peresmian rupang Manjusri. Disebutkan dalam prasasti itu bahwa

Manjusri selain disamakan dan anggap sebagai salah satu perwujudan dari Triratna

(Buddha, Dhamma, dan Sangha), Ia juga disamakan dan anggap sebagai salah satu

perwujudan dari Trimurti yaitu Brahma, Vishnu dan Mahesvara (Shiva). Hal ini

menimbulkan suatu teori bahwa telah terjadi sinkretisasi (penyerasian, pencampuran)

antara Agama Buddha Mahayana dengan agama Hindu di Jawa Tengah. Bagi para

pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisattva tidak dibedakan dengan

dewa dari agama Hindu (Bhagavant, 2013).

Terdapat candi-candi yang menjadi bukti keberadaan Agama Buddha di Jawa

Tengah. Pada masa itu, ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama

Buddha, sangatlah maju. Kesenian - terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat

tinggi. Seniman-seniman nusantara telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan,

misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu. Dari candi-candi

tersebut memberikan kita penjelasan yang lebih banyak. Selain candi-candi tersebut di

atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja

Sailendra. Tetapi yang paling besar dan paling indah serta terkenal adalah Candi

Borobudur yang dibangun pada masa Raja Samarottungga (Bhagavant.com, 2013).

- 27 -

Dalam memahami filosofi dibalik kemegahan Borobudur, kita harus

memandang bangunan tersebut sebagai suatu satu kesatuan. Borobudur yang

mengandung filosofi Mahayana dan juga Tantrayana (Vajrayana) ini, secara

menyeluruh mengungkapkan gambaran mengenai alam semesta atau kosmos.

Borobudur terbagi atas tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.

Kamadhatu adalah tingkat hawa napsu dan ini digambarkan dengan jelas pada bagian

bawah atau kaki candi. Di sini merupakan kehidupan yang terikat oleh hawa napsu dan

segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah tingkat dunia rupa, atau alam yang

terbentuk, yang digambarkan pada lima teras yang menggambarkan kehidupan Buddha

Gotama. Arupadhatu adalah tingkat alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pada tingkat

teratas terdapat sebuah stupa yang kosong, yang menggambarkan sunyata atau Nirvana.

Borobudur adalah tempat untuk bermeditasi, tempat untuk merenung (Bhagavant,

2013).

Mengingat bahwa Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan

Borobudur itu dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang adanya tempat suci

yang berbentuk teras, yang biasanya dipakai untuk menghormati nenek moyang, dan

terletak diatas bukit. Oleh karena itu maka kiranya pemujaan kepada Bodhisattva sudah

dipandang sebagai alat untuk menghormati nenek moyang mereka yang sudah

meninggal. Jika demikian maka Agama Buddha pada waktu ini sudah dipengaruhi oleh

cita-cita keagamaan Indonesia asli (Bhagavant, 2013).

- 28 -

3.2.3 Sosio Culture masa Syalendra

Masuknya Syailendra ke ketanah jawa sebagai sebuah kerajaan, ditandai dengan

mundurnya wangsa Sanjaya ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah

bagian utara. Menyingkirnya wangsa, ternyata menyebabkan perpecahan budaya di

kalangan rakyat, hal ini disebabkan oleh banyak diantara mereka yang masih setia

kepada wangsa, memutuskan untuk mengikutinya wangsa sanjaya ke wonosobo. Dan

sisanya tergerus budaya Buddha bermazhab Tantrayana yang dibawa oleh syailendra.

Pada masa kepemimpinanya raja syailendra banyak melakukan penyebaran

agama Buddha kepada masyarakat yang berada di jawa tengah, khususnya bagian

selatan. Pada masa penyebaran agama Buddha, Raja raja syailendra menarik perhatian

rakyat dengan membangun tempat tempat suci agama Buddha, dengan sangat indah

seperti yang ada di kamboja dan india (Hafizul, 2013). Selain itu raja syailendra juga

berperilaku sederhana dan tidak membeda bedakan kasta seperti kerajaan hindu lainnya,

sehingga kerjaan ini mudah diterima dan dan dicintai rakyatnya.

Selain menyerbakan ajaran agama Buddha, raja syailendra juga mengajarkan

kepada masyarakat cara bercocok tanam, dan melakukan pengairan, dalam melakukan

aksinya raja syailendra tidak segan segan turun langsung untuk berbaur dengan rakyat

jawa, aksi tersebut banyak diceritakan di beberapa prasasti yang mengukir raja

syailendra berada di tengah masyarakat jelata (Gianaro, 2010). inilah juga yang menjadi

salah satu alasan rakyat sangat mencintai kerajaan syailendra, dengan selalu turut serta

dalam setiap pembangunan yang dilakukan oleh kerajaan, yang salah satunya adalah

pembangunan candi Borobudur.

- 29 -

Dari mulai awal pembangunan kerajaan, sampai proses pembangunan candi,

kerajaan syailendra telah berganti kempempinan sebanyak 3 kali, tetapi struktur

pembangunan bangunan candi, hampir tidak ada yang berubah, hal ini menunjukan

bahwa ilmu pembangunan telah dibawa oleh raja pertama syailendra, dan terus

diturunkan kepada raja raja selanjutnya dan jika dilihat dari pola pembangunanya candi

candi yang dibangunan hampir sama dengan yang ada di india dan kamboja (History

end, 2011).

Dari hasil bangunan candi yang ada saat ini, terlihat bagaimana raja syailendra

telah mampu mengorganisir pekerja bangunan untuk menciptakan struktur bangunan

raksaksa yang belum pernah ada sebelumnya, hal ini mencerminkan bagaimana

masyarakat jawa sangat mencintai agama buddha, sehingga mau melakukan gotong

royong untuk membuat bangunan semegah candi Borobudur. Dengan adanya

pembangunan candi, kehidupan masyarakat jawa saat itu jugapun ikut terpusat pada

kegiatan bangunan candi, yang berada di wilayah jawa tengah bagian selatan, yang

sampai sekarang dikenal dengan nama Yogyakarta pusat Jawa tengah.

3.3 Ide-Ide Masa Lalu dan Pemaknaannya di Masa Sekarang

Banyak nilai-nilai atau ide-ide yang terkandung pada Candi Borobudur, selain

yang ditengarai ada di masa lalu, yang hidup di tengah-tengah masyarakat kita saat ini.

Nilai-nilai masa lalu dan masa kini sendiri tidak terlepas satu sama lain. Untuk

mengetahui nilai-nilai yang ada saat ini, kita bisa meninjau kembali makna bagian-

bagian maupun keseluruhan dari fisik Candi Borobudur serta nilai-nilai yang

menyertainya sekarang.

- 30 -

Berikut penjelasan nilai-nilai yang berkembang saat ini menurut bagian-bagian

fisik Candi Borobudur:

Tingkatan

Pada tahun 1929 Prof. Dr. W.F. Stutterheim telah mengemukakan teorinya, bahwa

Candi Borobudur itu hakekatnya merupakan ―tiruan‖ dari alam semesta yang menurut

ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar, yaitu:

Bagian ―kaki‖ melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh

kama atau nafsu (keinginan) yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti dunia.

Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu,

tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan

―alam antara‖ yang memisahkan ―alam bawah‖ dengan Arupadhatu, yaitu ―alam atas‖

atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah

tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian

Arupadhatu itu digambarkan polos, tidak berbentuk relief pada Patung-patung Dhayani

Buddha

Nilai-nilai ini masih hidup di tengah-tengah masyarakat, terutama disebabkan oleh

masih banyaknya para penganut agama Buddha yang mempergunakan serta memaknai

dengan hal yang sama ketika melaksanakan proses peribadatan.

Stupa

Pada awalnya, stupa didirikan untuk dijadikan lambang dari Buddha itu sendiri

sehingga dahulu banyak dibangun stupa yang menandakan besarnya pengaruh agama

Buddha itu sendiri. Pendirian stupa tersebut merupakan pembuktian bahwa Buddha

benar-benar ada di wilayah tersebut.

- 31 -

Namun hal yang unik dari Candi Borobudur adalah stupa Candi Borobudur

merupakan bagian dari candi. Sedangkan di wilayah lain, stupa merupakan bangunan

tersendiri yang terpisah dari candi. Hal ini menjadi khas bangunan stupa di Indonesia.

Hal inilah yang kemudian menjadikan stupa di Candi Borobudur sebagai simbol

tertinggi Buddha dan juga sebagai representasi alam semesta. Tergambar melalui tiga

tingkatan, antara lain adalah dimana keinginan manusia dipengaruhi oleh dorongan

negatif, ketika manusia itu memiliki kontrol terhadap dorongan negatif serta berusaha

melenyapkannya dengan dorongan positif, dan ketika manusia tidak lagi dibatasi oleh

keinginan duniawi (Buddhanet, 2012). Selain itu pula, bentuk melingkar dalam stupa di

Candi Borobudur mencerminkan keabadian yang tanpa awal dan tanpa akhir, tenang,

dan murni di dalam dunia yang tak memiliki bentuk pasti (Hayes, 2010).

Penempatan stupa yang disatukan dengan bangunan Candi Borobudur

dimaksudkan untuk menjadi karya arsitektur Buddha sebagai karya yang monumental

sebagai kebangkitan arsitektur pada kala itu. Belum lagi dengan bentuknya yang seperti

teratai, yang merupakan bunga suci Buddha, diharapkan bisa muncul refleksi dari

campuran ide antara konsep nirwana milik Buddha dengan pemujaan leluhur adat di

wilayah tersebut (UNESCO, 2013).

Melalui stupa pula, terdapat pemikiran suci Buddha yang menunjukkan jalan

pencerahan. Menjadikan siapapun yang membangun stupa menjadi murni dari hal-hal

negatif dan halangan dalam mengumpulkan pahala sehingga bisa dilancarkan dalam

mencapai tujuan akhir. Adapun sepuluh manfaat membangun stupa, antara lain:

1. Siapa yang membuat 1000 stupa, maka dia akan dibesarkan dan dianggap bisa

memegang ajaran kebijaksanaan.

- 32 -

2. Akan dilahirkan kembali sebagai raja setelah mengalami kematian tanpa harus

ke alam yang lebih rendah.

3. Akan menjadi matahari yang bersinar untuk dunia dan menjadi sempurna.

4. Akan mampu mengingat kehidupan masa lalu dan melihat kehidupan di masa

depan.

5. Akan dapat secara ekstensif mendengarkan Dharma.

6. Menghilangkan semua karma negatif dan halangan-halangan.

7. Para makhluk hidup akan selalu dilindungi oleh Buddha.

8. Mengubah penderitaan menjadi kelahiran kembali ke arah keberuntungan untuk

memenuhi Dharma.

9. Dapat menyembuhkan orang-orang dengan penyakit serius.

10. Mengakumulasi pahala yang luas dan membawa kesuksesan dan kebahagiaan

untuk kehidupan di masa depan (Stupa.org, 2013).

Kepercayaan-kepercayaan ini tidak hanya dimaknai oleh para penganut agama

Buddha saja, melainkan oleh para penganut agama lain yang biasanya berkunjung ke

Candi Borobudur yang timbul dalam berbagai bentuk mitos.

Relief

Dari apa yang terlihat di dalam bangunan candi tersebut ada makna lain selain

candi yang merupakan tempat peribatan agama budha saja, melainkan pesan yang

terkandung dalam relief-relief yang berhubungan dengan ajaran agama Buddha.Hhal ini

dilihat dari ajaran agama buddha yang terkandung di kitab suci agama budha.Selain itu,

- 33 -

nilai-nilai seni relief ini bisa ditelusuri sebagai pengaruh dari berbagai aliran seni India,

Eropa, maupun Nusantara (Munandar, 2009).

Makna yang utama yang tergambar di candi Borobudur salah satunya adalah :

1. Hukum Karmavibangga

Karmawibhangga adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang

mempunyai korelasi sebab akibat (hukum karma).Di zona Kamadhatu, beberapa

relief-relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti

perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan penistaan. Tidak hanya

menggambarkan perbuatan jahat, relief Karmawibhanga yang dipahat di atas 160

panel juga menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik .

Setiap panel bukanlah cerita naratif (berseri) dan berisi kisah-kisah tertentu

yang di antaranya menggambarkan perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu,

antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana,

peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna, dan sebagainya. Secara keseluruhan

itu menggambarkan siklus hidup manusia, yaitu: lahir - hidup - mati (samsara).

Kamadhatu adalah gambaran dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang,

atau dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Karenanya zona

ini berada di tingkat paling bawah Borobudur dan kini tertutup oleh pondasi

penyokong bangunan sehingga tidak terlihat (kecuali pada sisi Selatan terbuka

sedikit). Ada dugaan bahwa tertutupnya zona ini dikarenakan untuk memperkuat

struktur atau pondasi bangunan. Akan tetapi, dugaan lain menyebutkan bahwa hal

tersebut adalah untuk menutupi konten-konten cabul dari relief tersebut. Untuk

melihat relief pada zona ini, Anda dapat mengunjungi Museum Karmawibhangga

- 34 -

yang memajang foto-foto di Kamadhatu yang sengaja diambil agar tetap dapat

dinikmati pengunjung.

Kamma adalah kata bahasa Pali dan Karma adalah kata Sanskerta yang

secara singkat berarti perbuatan, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab

dan kemudian setelah itu dilakukan akan menimbulkan akibat. Relief

Karmawibhangga sejatinya menggambarkan hukum karma yang berada dalam

ajaran Buddha, dimana di dalam kehidupan manusia terdapat yang disebut dengan

hukum sebab-akibat, yang mempengaruhi perjalanan siklus hidup manusia,

kemana dan bagaimana kehidupan tersebut akan berlangsung.

Semua perbuatan menimbulkan akibat dan akibat ini merupakan pula sebab

yang akan menghasilkan akibat lain, dan begitulah seterusnya, sehingga kamma

juga disebut sebagai hukum sebab-akibat. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati

dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa bersifat baik, seperti

menolong makhluk dan membahagiakannya, sehingga perbuatan itu akan

membawa suatu kamma-vipaka (akibat-kamma) yang baik dan memberikan

kepada kita untuk melakukan kamma yang lebih baik lagi. Adapun pembagian

karma :

Menurut waktu:

• Uppajjavedaniya-kamma, adalah karma yang akibatnya dialami dalam

kehidupan setelah hidup sekarang ini.

• Aparaparavedaniya-kamma, adalah karma yang akibatnya akan dialami

dalam kehidupan-kehidupan berikutnya.

• Ahosi-kamma, adalah karma yang tidak member akibat karena jangka

waktunya untuk memberikan akibat telah habis atau karena karma

- 35 -

tersebut telah menghasilkan akibatnya dan secara penuh sehingga

kekuatannya habis sendiri.

Menurut kekuatan:

• Garru kamma, adalah karma yang paling berat diantara semua

karmalainnya karena sifatnya yang amat kuat. Selama karma ini masih

menghasilkan akibatnya, tak ada karma lainnya yang berkesempatan

untuk menghasilkan akibatnya (menjadi masak).

• Bahula-kamma, adalah karma yang sering dan berulang-ulang dilakukan

oleh seseorang melalui saluran badan jasmani, ucapan, dan pikiran,

sehingga tertimbun dalam wataknya.

• Asannamarana-kamma, adalah karma yang diperbuat seseorang pada

saat menjelang kematian, atau dapat pula berupa perbuatan yang dahulu

dilakukan, jadi ingat kembali dengan amat jelas saat diambang

kematiannya.

• Kattata-kamma, adalah suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan

kehendak tertentu, dan perbuatan ini dilakukan hanya sekali saja atau

beberapa kali, namun bukan perbuatan yang dilakukan terus-menerus.

Menurut fungsi:

• Janaka-kamma (karma penghasil), adalah karma yang berfungsi

menghasilkan.karma macam ini dapat dibandingkan dengan seorang

ayah-ibu dalam fungsinya membawa seorang dalam kelahiran baru.

Menurut Budha, apabila janaka-kamma telah menyebabkan suatu

kelahiran, maka tugasnya sebagai karma penghasil berakhir.

- 36 -

• Upattahambhaka-kamma (karma penguat), adalah karma yang berfungsi

membantu memperkuat apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma

sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka-kamma baik,

kamma penguat ini membantu sehingga keadaanya lebih baik; demikian

pula sebaliknya.

• Uppapilika-kamma (karma-pelemah), adalah karena yang berfungsi

menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma,

memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam

menghasilkan akibatnya.

• Upaghataka-kamma (karma penghancur), adalah karma yang mempunyai

kategori sama dengan karma pelemah di atas, karena fungsinya

menentang atau menghancur kekuatan dari janaka-kamma.

Menurut kedudukannya:

• Akusala-Kamma: Perbuatan buruk yang akan masak di alam keindriaan.

Ada sepuluh (10) tindakan jahat yang disebabkan oleh perbuatan badan

jasmani, ucapan dan pikiran yang menghasilkan Kamma jahat. Akar

dari tindakan jahat ini adalah keserakahan (lobha) akan keindriyaan,

kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Sepuluh Tindakan jahat

ini antara lain (Munandar, 2009):

1. Membunuh

2. Mencuri

3. Pelanggaran susila

4. Berbohong

5. Memfitnah

- 37 -

6. Kata-kata kasar

7. Pergunjingan

8. Rasa tamak

9. Keinginan jahat

10. Pandangan salah. (Munandar, 2009)

• Kamavacarakusala-Kamma: Kamma baik yang akan masak di alam

keindriaan. Kamavacarakusala-kamma terbagi menjadi tiga (3) macam ,

yaitu:

1) Kusala-Kaya-Kamma (perbuatan baik melalui jasmani).

2) Kusala-Vaci-Kamma (perbuatan baik melalui perkataan).

3) Kusala-Mano-Kamma (perbuatan baik melalui pikiran). (Munandar,

2009)

Hukum karma merupakan hukum yang sangat populer tidak hanya di

kalangan para penganut Buddha saat ini saja, tetapi juga oleh banyak kalangan

masyarakat non-Buddha.Bahkan, istilah ‗karma‘ sebagai saduran dari kamma ini

sering disandingkan dengan ajaran-ajaran agama Islam, Kristen, dan agama-

agama lain di Indonesia tentang hukum sebab-akibat.Misal, Islam menyebutnya

sebagai qishas (hukuman setimpal) maupun perhitungan pahala-dosa dan surga-

neraka di hari setelah kiamat.

2. Lalitawistara (cerita para Budha)

Lalitavistara mengilhami terciptanya karya besar lain oleh Asvaghosa yaitu

Buddha-caritta yang juga merupakan hikayat kehidupan Buddha Gautama

Shakyamuni, dalam bentuk seloka yang terdiri atas dua puluh delapan kumpulan

syair panjang yang amat indah dan lebih mendetail dari sumbernya yang asli

- 38 -

yakni Lalitavistara. Mengingat Asvaghosa seorang sastrawan besar, banyak yang

mengakui ceritera tentang Buddha di dalam Buddha-Carrita sesungguhnya lebih

hidup dan lebih menawan. Lalu mengapa Borobudur memilih Lalitavistara dan

bukan Buddha-Caritta sebagai relief lanjutan dari Jataka dan Avadhana? Sehingga

pernah suatu saat kami ditanyai oleh seorang guru besar asing, guest lecture dari

sebuah grup tour Borobudur–enthusiast, bahwa mengapa pada Borobudur yang

agung ini tidak tampak bagian akhir dari kehidupan Sang Buddha yakni

Mahaparinirva yang termasyur itu? Disini kita harus mencoba mencari tahu

mengapa yang menjadi pilihan adalah Lalitavistara dan bukan Buddha-Caritta.

(HPI Jogja, 2010)

Disini kita menemukan bahwa sutra-sutra yang akan dimuat dipilih dengan

pertimbangan yang hati hati, agar dari sutra yang berdiri sendiri, sanggup terjalin

dalam satu rangkaian dengan sutra berikutnya dalam relief, berdasarkan nilai nilai

filosofis ajaran Buddha dari berbagai aliran. Hal ini dimungkinkan karena seperti

yang telah disinggung terdahulu, bahwa kebanyakan Sutra ditulis kedalam bahasa

Sansekerta, sementara Sansekerta memungkinan penafsiran ganda yang , maka

ada kebebasan interpretasi yang terkondisikan oleh kebutuhan merangkaikan kan

beberapa sutra menjadi satu bagian yang utuh untuk tujuan visi dan misi

borobudur.

Contoh yang sangat jelas tampak pada bagian awal panil relief yang

menggambarkan surga Tusita dengan Bodhisattva, disini dapat diibaratkan

perjuangan Buddha lewat ratusan kali kelahiran kembali akhirnya telah mencapai

tingkat yang amat mulia di surga Tusita. Namun belum mencapai puncak

- 39 -

kebebasan sehingga harus dilahirkan kembali sebagai seorang Pangeran di

Kapilavastu (HPI Jogja, 2010).

3. Jataka / Avadana

Kondisi Relief Candi Borobudur memprihatinkan karena sebagian relief

tidak dapat dibaca dengan sempurna, sebagian relief hilang, keropos atau susunan

batu berelief tertutup batu polos karena batu aslinya tidak ditemukan.Kondisi ini

menyulitkan peneliti untuk dapat membaca, kemudian mengidentifikasi cerita

pada relief tersebut. Pada tingkat I Candi Borobudur bagian dinding b dan bagian

langkan, serta tingkat II bagian langkan terdapat pahatan relief cerita

Jātaka/avadana yaitu perjalanan Bodhisattva untuk menyempurnakan sifat-sifat

luhur (Pāramita). Relief pada dinding b tingkat I berjumlah 120 pigura, pada

langkan a berjumlah 372 pigura, langkan b berjumlah 128 pigura, jumlah relief

pada langkan tingkat I adalah 500 pigura. Relief Jātaka/avadana pada tingkat II

pada bagian langkan berjumlah 100 relief, sehingga relief Jātaka/avadana pada

Candi Borobudur secara keseluruhan berjumlah 720 pigura/panel.

Cerita-cerita Jātaka/avadana bersumber pada Kitab Jātakamala atau

untaian (cerita) Jātaka karya penyair Aryasura yang hidup pada abad IV Masehi

dan lainnya kemungkinan bersumber pada Kitab Jātaka, serta Avadana yang

ceritanya dihimpun dalam Kitab Divyavadāna yaitu perbuatan-perbuatan mulia

kedewaan dan Kitab Avadanasalaka atau seratus kitab Avadana. Perbedaan antara

Jātaka dan avadana adalah bahwa dalam avadana pelaku utamanya bukan

Bodhisattva sendiri melainkan orang lain, tetapi secara esensial Jātaka merupakan

tak lain dari avadana dengan Buddha, calon Buddha Sakyamuni yang ditampilkan

dalam cerita sebagai tokoh utama. Jātaka dan avadana diperlakukan dalam satu

- 40 -

seri dan sama tanpa perbedaan jelas, tidak ada sistem tertentu dan jelas dalam

pergantian relief. Pada baris bawah relief dinding galeri pertama sebagian besar

menggamabrkan avadana, sedangkan beberapa Jātaka sebagai variasi.Sistem pada

baris atasnya pada langkan sangat berbeda yaitu semua relief merupakan Jātaka

dan hanya ada beberapa avadana (Soekmono, 1976: 26).

Jumlah tertentu dari cerita-cerita Avadana digambarkan secara rinci dalam

ukuran besar secara berurutan pada seri Ib, sedangkan beberapa lainnya terdapat

di pagar galeri pertama (Kempers, 1967: 107). Pada bagian dalam pagar langkan

tingkat 1 terdapat dua tingkat relief yang menggambarkan kehidupan Buddha,

pada bagian atas bersumber pada Jātakamala yang dikumpulkan pada abad

keempat, tetapi di sudut timur laut panel tingkat atas menggambarkan lain teks,

Awadana (Dumarcy, 1978: 33). Panel pertama berjumlah 135 di barisan atas

galeri pertama, khusus berisi 34 cerita Jātakamala. Sisa 237 panel

menggambarkan cerita dari sumber lain, seperti halnya seri bawah pada pagar

langkan galeri kedua (Soekmono, 1976: 29). Panel relief berjumlah 135tersebut

telah teridentifikasi sebagai penggambaran 34 buah cerita saduran dari Jātakamala

atau untaian (cerita) Jātaka karya penyair Aryasura, selebihnya yang berjumlah

237 buah menggambarkan cerita-cerita dari sumber lain. Sisa relief

Jātaka/Avadana berjumlah 348 juga berasal dari sumber lain atau mungkin Kitab

Jātaka. Deretan relief yang di bawah dan deretan relief pada langkan lorong

tingkat ke dua tidak semuanya Jātaka (Soekmono, 1976: 28-29; Joesoef, 2004:

118; Kempers, 1976: 107). Kesesuaian 34 cerita saduran Jātakamala atau untaian

(cerita) Jātaka karya penyair Aryasura dengan relief Candi Borobudur Jātaka telah

diidentifikasi masing-masing ceritanya dari cerita ke-1 sampai cerita ke-23 oleh

- 41 -

John Miksic, Marcello Tranchini, dan Anita Tranchini dalam buku ―Borobudur:

Golden Tales of the Buddhas‖ (Borobudur.tv, 2013).

4. Gandavyuha Sutra

Relief yang terdapat pada dinding canding sebenarnya merupakan refleksi

dari kitab suci Agama Buddha . Dalam kitab suci Mahayana terdapat Sembilan

Dharma yaitu (1) Astasahasrika-Prajnaparamita, (2) Gandavyuha, (3)

Dasabhumisvara, (4) Samadhi-raga, (5) Lankavatara, (6) Saddharma-Pundarika,

(7) Tathagata-guhyaka, (8) Lalitavistara, (9) Suvarna-Prabhasa . Kesembilan teks

daharma teresebut kemudian digunakan untuk menghiasi setiap dinding bangunan

candi. Dan pada bagian teratas candi , merupakan refleksi dari sutra Gandavyuha.

Sutra gandavyuha sendiri, merupakan teks sutra yang paling banyak dijadikan

inspirasi dalam bangunan candi, hal ini disebabkan dengan makna dari

gandavyuha sendiri yang berarti ―memasuki dharmadhutu‖ , yang diharapkan

kepada siapa saja yang memasuki candi ini, sama dengan mamasuki kehidupan

darma.

Teks Gandavyuha pernah ditemukan di nepal, dan sampai saat ini teks

gandavyuha masih tersimpan rapih di kuil Maitreya di nepal .Dari bentuknya sutra

gandavyuha disusun dalam bentuk narasi yang sangat imaginatif dan penuh

dengan simbol simbol.Secara keseluruhan teks gandavyuha menceritakan

perjalanan seorang anak saudagar kaya raya yang bernama Sudhana. Sudhana

mendapat nasehat sang bodhisatva manjustri untuk mencari kalyana (guru) yang

akan membimbing kehidupan kebodhisatvaannya hingga akhirnya dapat

menemukan bodhisatva maitreya di pagoda nanti. Dari nasihan bodhisatva

tersebutlah, Sudhana akhirnya mengembara ke sana ke sini untuk berguru guna

- 42 -

mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Cerita perjalanan

Sudhana dalam menemukan arti kehidupan semakin menarik, yang mana dalam

teks ini juga menceritakan berbagai alat transportasi yang digunakam Sadhana

seperti kereta kuda dan gajah, kemudian kehidupan di setiap kota kata yang ia

singgahi. hingga sampai pada adegan terakhir di puncak gunung semeru, dimana

ia berlutut di hadapan para gurunya, dan kisah ini beraakir di istana maitreya

seperti yang telah di ramahalkan oleh bodhisatva Manjustri dahulu .

Dalam bangunan candi, Rangkaian terakhir relief yang terdapat di teras

bagian atas diambil dari lanjutan teks ini, yang disebut Bhadracari, dimana

Sudhana bersumpah untuk menjadi Bodhisattva, dan mengikuti contoh

Bodhisattva tertentu bernama Samantabhadra Bhadracari; ―Dan kemudian

selanjutnya, Raja Buddha akan datang, yang akan menerima pencerahan di masa

depan, seperti Raja Maitreya yang mulia dan seterusnya, dan akhirnya

Samantabhadra, Sang Buddha Masa Depan‖. Penempatan rangkaian relief pada

tingkat paling tinggi dari candi menunjukkan bahwa ini merupakan teks yang

paling dihormati oleh pendiri Borobudur.Adegan-adegan relief kelihatannya

didesain untuk mendorong para pejiarah agar mengikuti contoh Sudhana ketika

memanjat gunung, yang melambangkan tujuan dan sumber kebijaksanaan

tertinggi.

Setelah mendapati nilai-nilai yang masih berkembang saat ini dari bagian-bagian

Candi Borobudur, kita bisa mendapati nilai-nilai dari Candi Borobudur secara

keseluruhan. Fakta Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata saat ini tidak dapat

dipungkiri lagi telah memberikan muatan nilai-nilai kekinian yang baru. Berikut nilai-

- 43 -

nilai kekinian yang masih hidup atau bahkan baru muncul dari keseluruhan Candi

Borobudur:

Politik/Kekuasaan

Praktik-praktik kekuasaan politik maupun, secara khusus, ekonomi-politik banyak

terinspirasi secara langsung maupun tidak langsung oleh Candi Borobudur. Pada tahun

1960an, Presiden RI pertama Soekarno membangun beberapa monumen mahabesar

dalam rangka politik mercusuar seperti Monas (Monumen Nasional) dan Gedung

Canefo (Conference ofthe New Emerging Force) (jakarta.go.id, 2013).Inspirasi

kebesaran Dinasti Syailendra yang direpresentasikan lewat Candi Borobudur nampak

nyata juga direka ulang oleh Soekarno lewat karya-karya besar tersebut. Hanya saja

Syaielandra menonjolkan ilai-nilai Buddha, sedangkan Soekarno menonjolkan nilai-

nilai kemerdekaan, persatuan, dan anti-penjajahan atau imperialisme Barat yang saat itu

menyelimuti kondisi politik Indonesia maupun dunia.

Menurut Purnawan Andra, efek utama dari objektifikasi-wisata Candi Borobudur

adalah reduksi nilai-nilai keagungan budaya kuno masyarakat setempat serta

subordinasi ajaran Buddhauntuk kepentingan komersial serta mempertahankan

hegemoni kekuasaan yang ada (Kompas, 2010). Kepentingan komersial jelas hanya

berorientasi pada keuntungan ekonomis sehingga mengorbankan keaslian dari kearifan

lokal dan kesungguhan dalam penghormatan nilai-nilai setempat.Kemudian, aktivitas-

aktivitas ke-budnha-an tidak luput dari isu komersialisasi, namun lebih jauh lagi, juga

telah memosisikan Buddha sebagai unsur budaya nasional yang bukan utama.Hal ini

terkait dengan hegemoni kekuasaan atau pemerintahan Indonesia saat ini yang

didominasi oleh pemikiran-pemikiran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas.

- 44 -

Inspirasi

Menurut Daud Aris Tanudirjo, Candi Borobudur memiliki nilai-nilai tak terikat

yang bisa menginspirasi (Tanudirjo, 2013). Kebebasan dalam menginterpretasikan

sangat dianjurkan dan bahkan memang sudah sangat banyak terjadi. Daud memaparkan

bahwa inspirasi-inspirasi dari Candi Borobudur berkenaan dengan Candi Borobudur

sebagai monumen sejarah penting tentang kejayaan masyarakat masa lalu, sebagai

ilham bagi para seniman maupun ilmuan, sebagai buku evolusi manusia, dan sebagai

penginspirasi masyarakat saat ini dengan penekanan aspek pendidikan.

Hubungan Internasional

Candi Borobudur merupakan representasi interaksi antarbangsa yang telah terjadi

bertahun-tahun disertai pertukaran-pertukaran ide di antara para pelakunya, tidak hanya

antara bangsa India dengan masyarakat nusantara, tetapi hingga Eropa (Munandar,

2009). Melalui Candi Borobudur, masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi akan

toleransi dan interaksi antarbudaya yang ternyata mampu mewujudkan suatu

mahakarya. Mahakarya ini dianggap sebuah kemajuan peradaban manusia secara

universal.

Melalui salah satu badan PBB yaitu UNESCO, Candi Borobudur menjadi eksis

dan menjadi peninggalan masa lalu dunia yang tetap hidup di masa kini.Pengakuan

badan PBB ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Candi Borobudur

diakui keberadaannya dan menjadi bukti sejarah kemajuan peradaban manusia pada

masa lalu.Pemikiran-pemikiran Barat yang tertuang dalam organisasi internasional yang

nilai-nilainya diakui secara universal dapat dilihat dari pengakuan UNESCO terhadap

Candi Borobudur pada tahun 1991 sebagai situs warisan budaya dunia. Meski begitu,

- 45 -

keperluan akan pengakuan badan internasional bagi Candi Borobudur memunculkan

pertanyaan baru tentang dominasi-dominasi yang ada pada tatanan dunia saat ini dan

bagaimana posisi Indonesia saat ini.

Secara keseluruhan, nilai-nilai yang ada dan muncul saat ini yang berkaitan

dengan Candi Borobudur bisa dilihat pada tabel berikut:

Bagian-bagian Keseluruhan

Tingkatan Ajaran

Buddha tentang

Kamadhatu,

Rupadhatu, dan

Arupadhatu.

Politik/Kekuasan ―Politik

Mercusuar‖ Soekarno,

Komersialisasi,

Hegemoni

Stupa

Ajaran Buddha

tentang kesemestaan,

kesucian, dan

keabadian serta mitos-

mitos yang

berkembang di

seputarnya.

Inspirasi Bebas

Sejarah, ilham seni

dan ilmiah, buku

evolusi manusia,

inspirasi kekinian

(pendidikan).

Relief Ajaran Buddha

tentang

Karmavibangga,

Lalitawistara, Jataka

Hubungan Internasional Universalisme,

Antarbudaya

- 46 -

/ Avadana, dan

Gandavyuha Sutra

serta akulturasi aliran

seni India, Eropa, dan

Nusantara.

Tabel 3.2 Nilai-nilai Pada Candi Borobudur

3.4 Genealogi Arkeologi Candi Borobudur

ARKEOLOGI

BOROBUDUR

Cara mendokumentasikan

- Mpu Prapanca

- Sir Thomas Stamford

Raffles

- C. Leemans dan JFG

Brumund

- JW Ijzerman

- TH. van Erp dan

Nicholas J. Krom

- W.O.J. Nieuwenkamp

Ide-ide masa lalu

- Kerajaan

- Agama

- Sosio-kultur

masyarakat dalam

masa kerajaan

mataram

(syailendra)

Keterkaitan ide-

ide masa lalu-

sekarang

- Buddha

- Mitos

- Sosio

kultur

masyaraka

t masa kini

ARKEOLOGI-GENEALOGI FOUCAULT

TERHADAP ARSITEK CANDI BOROBUDUR

- 47 -

Arkeologi akan melihat sebuah pola pengetahuan yang dimunculkan dari

peradaban yang eksis saat arsitek tersebut dibuat dan kemudian didokumentasikan

menjadi episteme-episteme yang diskontinuitas atau terpisah dan tidak memiliki

keterkaitan. Terdapat periode sejarah masing-masing saat arsitek tersebut

didokumentasikan dan menjelaskan masa sekarang.

Borobudur merupakan artefak peninggalan kerajaan mataram kuno, peradaban

syailendra, yang kemudian didokumentasikan oleh beberapa pengarang seperti Mpu

Prapanca, Sir Thomas Stamford Raffles, C. Leemans dan JFG Brumund, JW Ijzerman,

Arkeologi

- Objek

- Diskursus (positivitas, apriori

historis, arsip)

- Pola pengetahuan lama – baru

- Periode sejarah –

diskontinuitas

- -Penyebaran wacana – rezim

kebenaran

Genealogi

- Penyelidikan sejarah

- - kekhasan

- Mendiagnosis masa kini

- -konsep power-knowledge

DOKUMENTASI, IDE MASA LALU, IDE

MASA SEKARANG

- BUDDHA

- REZIM KEBENARAN – MITOS, SOSIO

KULTUR

- KEUNIKAN/KEKHASAN (TIDAK HANYA 1

AUTHOR)

- KONSEPSI POWER-KNOWLEDGE

- 48 -

TH. van Erp dan Nicholas J. Krom, W.O.J. Nieuwenkamp. Ketujuh pengarang ini

memberikan deskripsi mengenai Borobudur dari sudut pandang yang berbeda tetapi

terdapat satu kesatuan yaitu didasari oleh agama Buddha dimana arsitek borobudur

menggambarkan arsitek budaya Indonesia, landasan filsafah dan agama, dan sebagai

tempat ibadah agama buddha. Sebagai artefak peninggalan kerajaan mataram kuno,

borobudur merupakan dokumentasi peradaban yang berlangsung saat itu dimana

syailendra mendokumentasikan kehidupan umat buddha saat itu serta nilai-nilai

keagamaan yang dipahat di tiga tingkatan candi borobudur. Dokumentasi pertama

berupa benda yaitu candi, dan kemudian didokumentasikan lagi oleh pengarang

berikutnya dalam buku-buku atau teks-teks yang memuat serangkaian pemaknaan akan

candi borobudur ini. Arsip-arsip tersebut tertuang dalam The History of Java, foto

pertama ―Daguerreotype, monograf, penemuan relief Karmawibhanga, “Annotated

Bibliography of Borobudur”, serta teori teratai di atas danau purba.

Ide pembuatan borobudur pada masa kerajaan mataram kuno, peradaban

syailendra ini mengandung tiga unsur utama, yaitu kerajaan mataram itu sendiri, agama

buddha yang ingin diangkat dan diabadikan oleh syailendra, serta sosio-kultur

masyarakat dalam peradaban tersebut. Pada tahun pembangunan borobudur, bertepatan

dengan kemajuan wangsa syailendra di jawa tengah yang dipengaruhi oleh

kemaharajaan sriwijaya. Pembagunan borobudur ini memakan waktu yang diperkirakan

yaitu 75-100 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban saat itu sangatlah maju dan

merupakan masa-masa kejayaan. Dalam pahatan di relief-relief candi borobudur juga

terdapat penggambaran bagaimana syailendra hidup dan memerintah serta hingga akhir

keruntuhannya yaitu akibat perang saudara yang terjadi di kerajaan mataram kuno.

Sedangkan dari sisi agama, borobudur saat itu merupakan penyimpanan relief

- 49 -

(peninggalan – peninggalan yang dianggap suci: benda – benda, pakaian, tulang –

belulang sang Budha arhat dan biksu terkemuka), dimakamkan juga dhatuganbha

(dagoba), tanda peringatan dan penghormatan sang Budha, dan sebagai lambang suci

umat Budha. Konteks sosio-kultur masyarakat terdokumentasikan dalam tiga tingkatan

candi borobudur yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Dimana masyarakat

percaya akan adanya kehidupan duniawi yang penuh dengan dosa, terikat dengan hawa

nafsu duniawi, lalu pada tingkat kedua yaitu tingkatan diantara alam dunia dan nirvana,

sedangkan tingkatan terakhir mendokumentasikan nirvana atau surga yang menjadi

tempat para dewa, meditasi, dan tempat perenungan.

Borobudur sebagai artefak dalam arkeologi hingga saat ini masih tetap eksis di

Jawa tengah, indonesia, bahkan dalam dunia internasional. Ide-ide pendokumentasian

borobudur oleh wangsa syailendra ini menyebar dan menjadi wacana atas penyebaran

kekuatan agama buddha sebagai peradaban yang hebat saat itu dan juga melambangkan

tiga tingkatan dalam agama budha itu sendiri. Pada masa sekarang, nilai-nilai buddha

masih dimaknai oleh penganut agama buddha dan borobudur memperkuat nilai-nilai

tersebut. Bahkan memberikan sebuah konstruksi bagi masyarakat akan agama buddha

itu sendiri yang dipandang dari mereka yang memang bragama buddha dan mereka

yang beragama lain, memunculkan mitos-mitos yang dipercayai oleh masyarakat yang

ada di jawa tengah, indonesia, dan dunia internasional, serta membentuk sosio-kultural

masyarakat tersebut yang berkaitan dengan candi Borobudur.

- 50 -

BAB IV

KESIMPULAN

Arkeologi melihat bahwa objek merupakan hal penting yaitu artefak dalam hal

ini adalah borobudur , pengkajian arkeologi diperdalam dengan melihat diskursus atau

wacana yang dibicarakan atau dituliskan tersebut melalui positivitas, apriori historis dan

arsip-arsip. Agama buddha merupakan positivitas dimana ada sebuah keterkaitan baik

kesamaan dan perbedaan bagaimana para pengarang mendokumentasikan borobudur

tersebut melalui arsip yaitu candi dan buku-buku teks.

Candi borobudur juga mempunyai keterkaitan dari pola pengetahuan yang lama

dengan pola pengetahuan yang baru yaitu sebagai peradaban zaman wangsa syailendra

yang hanya sekedar tempat ibadah dan kemudian menjadi tempat suci dunia bagi

seluruh umat buddha di dunia. Hal ini melihatkan ada sebuah perluasan dan

perkembangan yang signifikan atas eksistensi candi borobudur ini. Arkeologi juga

menjelaskan bahwa periode sejarah itu diskontinuitas atau terputus-putus sehingga

adalah wajar jika terdapat perbedaan pemahaman atau dokumentasi borobudur tersebut

oleh para pencipta atau pengarangnya. Hal ini terlihat melalui perbedaan pemaknaan

dan pendokumentasian borobudur misalnya dianggap sebagai tempat ibadah dan bahkan

sebagai teratai di atas danau purba.

Lebih lanjut, arkeologi melihat bahwa terdapat sebuah penyebaran wacana untuk

menciptakan rezim kebenaran melalui pendokumentasian artefak tersebut. Borobudur

sendiri secara jelas terlihat menyebarkan wacana atau teks-teks mengenai Buddha

- 51 -

sebagai agama yang hebat pada zama tersebut, dan kemudian memunculkan lagi

kepercayaan masyarakat atas tiga tingkatan kehidupan manusia sehingga rezim

kebenaran yang muncul adalah apa yang dianggap baik dan salah, juga apa yang

dianggap penting dan tidak penting. Bahkan terdapat mitos-mitos yang dimunculkan

serta dibenarkan oleh masyarakat mengenai borobudur tersebut.

Geneaologi menjelaskan bahwa perlu ada penyelidikan sejarah , melihat

kekhasan yang ada, mendiagnosis masa kini dan mempertunjukkan bahwa akhirnya

semuanya adalah sebuah power- knowledge. Genealogi berkaitan dengan arkeologi dan

yang terkait dalam konteks candi borobudur ini adalah penyelidikan sejarah ide-ide

pembuatan candi borobudur serta narasi-narasi kehidupan peradaban tersebut dalam

relief-relief candi. Kekhasan dalam candi borobudur adalah bagaimana pencipta atau

pengarang memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam memaknai hasil dokumentasi

mereka. Diagnosis masa kini berkaitan dengan pola perilaku masyarakat yang ada pada

perdaban terbentuknya borobudur dan masyakarat zaman kini. Dan pada akhirnya

menunjukkan bahwa ada sebuah kekuasaan yang berada di balik wacana yang

dimunculkan.

Borobudur dimunculkan atas sebuah kekuasaan yaitu Wangsa Syailendra yang

ingin menyebarkan agama buddha ke generasi berikutnya walaupun hanya melalui

sebuah candi. Begitu pula dengan pemahaman atau pengetahuan yang dimiliki oleh

masyarakat buddha dan non-buddha mengenai borobudur, dimana ketika mengingat

borobudur, akan mengingat buddha, dan beberapa konsep atau mitos lainnya yang

mengglobal dan dianggap ada bahkan dipercayai lebih lanjut lagi dilakukan.

- 52 -

DAFTAR PUSTAKA

Aldicke (2012) Kerajaan syailendra [WWW] Available from:

http://rapendik.com/program/halo-pendidikan/budaya-sejarah/182-kerajaan-

sailendra [Accessed 21/10/2013]

Archipeddy. Candi Budha Borobudur.[WWW] Available From:

http://archipeddy.com/histo/nusantara/borobudur.html [Accessed 08/10/2013]

Asia Society Museum (2013) Sculpture of a Seated Buddha [WWW] Available from:

http://www.asiasocietymuseum.org/himalayan/seatedBuddha.htm [Accessed

03/10/2013]

Bhagavant.com (2013) Sejarah Buddhisme Indonesia [WWW] Available from:

http://bhagavant.com/home.php?link=sejarah&tipe=sejarah_buddhisme_Indones

ia_2 [Accessed 21/10/2013]

Balai Konservasi Borobudur (2011) Candi Borobudur Available from:

http://konservasiborobudur.org/v3/candi-borobudur.html [Accessed

10/10/2013].

BBC (2013). A History of the World: Borobudur Buddha Head. [WWW] Available

from:

http://www.bbc.co.uk/ahistoryoftheworld/objects/CPbWMMoFSnmUlSHF3dk

5A [Accessed 15/10/2013]

Blog.sribu.com (2012) makna di balik kemegahan candi Borobudur. [WWW]

Available from http://blog.sribu.com/2012/05/04/makna-di-balik-kemegahan-

arsitektur-candi-borobudur/ [Accessed 08/10/2013]

- 53 -

Borobudur.tv (2013) Relief Candi Borobudur [WWW] Available from:

http://www.borobudur.tv [Accessed 10/10/2013]

Buddish Art & Architecture (2012) The Temple of Borobudur [WWW] Availeble from:

http://www.buddhanet.net/boro.htm [Accessed 22/10/2013]

Daisetz hoito (1949) The gandavyuha sutra [WWW] Available from:

http://prajnaquest.fr/downloads/BookofDzyan/Sanskrit%20Buddhist%20Texts/

andavyuha_sutra_1949_corrections.pdf tokyo [Accessed 14/0/2013]

Dhiravamsa (2012) Nirvana Upside Down [WWW] Wisdom Moon Publishing LLC,

San Diego. Available from:

http://books.google.co.id/books?id=d9WKrLmJUuYC&printsec=frontcover&h=

id#v=onepage&q&f=fa lse [Accessed 10/10/2013]

Dumarcay, Jacques (1978) Borobudur. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

During, Simon (1992) Foucault and Literature: Towards a Genealogy of Writing

Towards a Genealogy of Writing. London and New York: Routledge.

Fatimah, Titin et al. (2005) BOROBUDUR – RECENT HISTORY OF ITS CULTURAL

LANDSCAPE; Toward the Sustainable Rural Development as the Landscape

Rehabilitation‖ Represented in Forum UNESCO University and Heritage 10th

International Seminar ―Cultural Landscapes in the 21st Century‖ Newcastle

upon Tyne, 1116 April 2005.

Gutting, Gary (2013) ―Michel Foucault", The Stanford Encyclopedia of Philosophy

(Summer 2013 Edition), Edward N. Zalta (ed.) [WWW] Available from:

- 54 -

http://plato.stanford.edu/archives/sum2013/entries/foucault/ [Accessed

03/10/2013]

Hafizul hamzi (2013) Sejarah Mataram Kuno [Accessed WWW] Available from:

http://www.sibarasok.com/2013/07/sejarah-kerajaan-mataram-kuno-dinasti.html

[Accessed 21/10/2013]

Hariawang, Irma. (2012) Mengulik Teka Teki Candi Borobudur [WWW] Available

from: http://langitselatan.com/2012/08/02/mengulik-teka-teki-candi-borobudur/

[Accessed 14/10/2013]

Haryono, Timbul ( - ) Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa

Borobudur [WWW] Available from:

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved

=0CEMQFjAC&url=http%3A%2F%2Fkonservasiborobudur.org%2Fdownload

%2Fbuku%2FTrilogi%25201%2520100%2520Tahun%2520Pemugaran%2520B

orobudur%2F6_Masyarakat%2520Jawa%2520Kuno_Timbul%2520Haryono.pd

f&ei=wGleUqmZMsLorQfo4YHoBg&usg=AFQjCNFrjDHCs1dFifrDyUJkfga

QTxO4A&sig2=4vvTwrrRHJG3upkZPXj5Qg&bvm=bv.54176721,d.bmk&cad

=rja [Accessed 16/10/2013].

Hayes, Holly (2010) Borobudur [WWW] Available from http://www.sacred

destinations.com/indonesia/borobudur [Accessed 22/10/2013]

HPI Jogja (2013) Lalitavistara [WWW] HPI Jogja (blog) Available from:

http://www.hpijogja.wordpress.com/2010/01/02/lalitavistara/ [Accessed

10/10/2013]

- 55 -

Indonesia Heritage Culture (2012) Ancient Buildings Art: Borobudur Temple [WWW]

Available from: http://natural-heritage-indonesia.blogspot.com/2012/10/the

borobudur-temple.html [Accessed 10/10/2013]

Indonesia Travel (2013) Keajaiban Candi Borobudur [WWW] Available from :

http://www.indonesia.travel/id/destination/233/borobudur [Accessed

29/09/2013]

Indonesia Travel ( - ) Wonderful Indonesia, ‗Membaca Ribuan Panil Relief pada Candi

Borobudur [WWW] Indonesia‘s official tourism website. Available from:

http://www.indonesia.travel/id/destination/233/borobudur/article/202/membaca-

ribuan-panil-relief-pada-candi-borobudur [Accessed 10/10/2013]

Jagad Kejawen ( - ) Candi Borobudur: Temple Discovery And Restoration [WWW]

Available from:

http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&i

d=22&Itemid=42&lang=en [Accessed 10/10/2013]

Jakarta.go.id (2013) Mercusuar, Politik [WWW] Portal Resmi Pemprov DKI Jakarta.

Available from:

http://www.jakarta.go.id/v2/encyclopedia/detail/1927/Mercusuar-Politik

[Accessed 22/10/2013]

Jan Wisseman, Christie (1982) Patterns of Tradein Western Indonesia: Ninth Through

- 56 -

Kebudayaanindonesia.net ( - ) Candi Borobudur [WWW] Available from:

http://blog.sribu.com/2012/05/04/makna-di-balik-kemegahan-arsitektur-candi-

borobudur/ [Accessed 08/10/2013]

Krom , N.J (2005) Borobudur: An Archaeological Description [WWW] Available from:

http://www.borobudur.tv/mendut_borobudur.htm [Accessed 15/10/2013].

Löffler , Petra (2013) Necsus - Towards a new media archaeology? A report on some

books and tendencies [WWW] Available from:

http://www.necsusejms.org/towards-a-new-media-archaeology-a-report-on -

some-books-and-tendencies/ [Accessed 15/10/2013]

Munandar, Aris Agus (2009) PENGARUH HELLENISME DALAM GAYA SENI ARCA

MASA KLASIK TUA DI JAWA (abad ke-8—10 M) [WWW] Departemen

Arkeologi FIB UI. Acvalable from:

http://www.fib.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=158:p

engaruh-hellenisme-dalam-gaya-seni-arca-masa-klasik-tua-di-jawa-abad-ke-8-

10-m&catid=39:artikel-ilmiah&Itemid=122&lang=in-ID [Accessed 22/10/2013]

Museum Indonesia (2013) Candi Borobudur [WWW] Available from:

http://www.museumindonesia.org/candi-borobudur.html [Accessed 14/10/2013]

Museum of Knowledge (2012) "FOUCAULT‘S HISTORY, ARCHAEOLOGY, AND

GENEALOGY (blog)

http://educationmuseum.wordpress.com/2012/06/01/history-archaeology-and

genealogy/ [Accessed 03/10/2013]

- 57 -

Moens, J.L. (2007) Barabudur, Mendut, Pawon and their mutual relationship [PDF]

[Accesed 20/10/13]

O‘Farrell, Clare (2010) Key Concepts of Michel Foucault [WWW] Available from

http://www.michel-foucault.com/concepts/ [Accessed 09/10/2013]

Pbs.org , nd.( - ) Historical Records Borobudur [WWW]

http://www.pbs.org/treasuresoftheworld/a_nav/boro_nav/bnav_level_1/1historic

al_borofrm.html [Accessed 20/10/13]

Parmono, Atmadi, 1988, Some Architectural Design Principles of Temples in Java: A

study through the buildings projection on the reliefs of Borobudur temple.

Yogyakarta: Gajah Mada University.

PBS (2013) Borobudur-Borobudur: Pathway to Enlightenment [WWW] Available

from: http://www.pbs.org/treasuresoftheworld/borobudur/boro_main.html Press.

[Accessed 15/10/2013]

PNRI (2013) Candi di Indonesia [WWW] Available from:

http://candi.pnri.go.id/pengantar/ [Accessed 27/09/2013]

P S. Bambang (2000) Studi Isu Arkeologi pada candi Borobudur: Perpustakaan Balai

Konversi Borobudur [WWW] Available from:

http://lib.konservasiborobudur.org/index.php?p=show_detail&id=470 [Accessed

15/10/2013]

Root Institute (2013) Bodhgaya Stupa History [WWW] Available

http://www.rootinstitute.com/bodhgaya-stupa/bodhgaya-stupa-history.html

[Accessed 01/10/2013].

- 58 -

Root Institute (2013) The Mahabodhi Temple of Bodhgaya [WWW] Available from:

http://www.rootinstitute.com/bodhgaya-stupa/bodhgaya-stupa.html [Accessed

01/10/2013]

Rouse, Joseph (2005) Power/Knowledge in Gary Gutting, ed., The Cambridge

Companion to Foucault, 2nd edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Stupa.org (2013) Mahabodhi Temple [WWW] Available from:

http://www.stupa.org.nz/stupa/mahabodhi/mahabodhi.htm [Accessed

03/10/2013]

Sharp, Daniel (2011) Foucault‘s Genealogical Method [WWW] Available from:

http://philforum.berkeley.edu/blog/2011/10/17/foucaults-genealogical-method/

[Accessed 09/10/2013]

Tanudirjo, Daud Aris ( - ) ―BOROBUDUR YANG INSPIRATIONAL― [WWW] Jurusan

Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Available from:

http://arkeologi.fib.ugm.ac.id/old/download/1179813599JOGGAL_Diskusi_Dad

paper.pdf [Accessed 22/10/2013]

Thirteenth centuries AD.Disertasi, London: School of Oriental and African Studies.

UNECSO (2013) Unesco - World Haritage List: Borobudur Temple Compounds

[WWW] Available from: http://whc.unesco.org/en/list/592 [Accessed

5/10/2013].

- 59 -

Voute, Caesar. E. L, Mark (2008).Borobudur Prymaid of the Cosmic Buddha [WWW]

Available from: http://www.borobudur.tv/book_promo.htm [Accessed

15/10/2013]

Wihara.com ( - ) Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra [WWW]

Available from: http://www.wihara.com/forum/mahayana/15092-bodhisattva-

avalokitesvara-dalam-gandavyuha-sutra.html [Accessed 14/0/2013]