Candi Borobudur - BorobudurPedia

82
Relief Jataka Cerita Bergambar Candi Borobudur

Transcript of Candi Borobudur - BorobudurPedia

Relief JatakaCerita Bergambar

Candi Borobudur

Sambutan untuk buku cerita bergambar

Relief JatakaCerita Bergambar

Candi BorobudurPuji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya

sehingga penyusunan buku ini dapat terlaksana. Generasi muda merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam melestarikan kebudayaan di Indonesia. Keberadaan mereka memberikan

kontribusi yang besar dalam pembangunan karakter bangsa dan negara Indonesia.

Salah satu upaya meningkatkan pemahaman nilai kebudayaan bangsa Indonesia terutama yang terdapat di relief Candi Borobudur kepada anak-anak, maka disusunlah naskah buku cerita

bergambar “Jataka”. Buku cerita bergambar ini dipilih sebagai media penyampaian pesan kepada anak-anak karena dianggap sesuai dengan usia anak sekolah dasar yang mudah diterima dan

dicerna. Cerita Jataka yang diterjemahkan dalam bentuk cerita bergambar berisi cerita binatang yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan budi pekerti.

Buku ini dapat terwujud berkat kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu maka penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kami berikan kepada semua pihak yang

telah berkontribusi pada buku ini.

Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam rangka mendukung pembangunan kebudayaan Indonesia.

Salam Budaya, Borobudur, Oktober 2014

Drs. Marsis Sutopo, M.Si Kepala Balai Konservasi Borobudur

yang Sabar Kerbau

& Kerayang Nakal

DENAH BOROBUDUR

Kerbau yang Sabar & Kera yang Nakal

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang J di panil ke 2, 3, 4, dan 5.

Tinggallah seekor kerbau dan seekor kera

di sebuah tepi hutan. Setiap hari mereka

selalu bersama-sama.

Tapi si Kera ini sungguh nakal. Setiap

hari kerjanya hanya menganggu dan

menggoda sang Kerbau.

Saat sang Kerbau tidur, si Kera

menaiki punggungnya sambil

menarik-narik kupingnya. Saat sang Kerbau minum

di sungai, si Kera senang

menarik-narik ekornya.

Saat sang Kerbau merumput,

si Kera mengambil ranting dan

menusuk-nusuk lobang hidung

dan telinganya.

Tapi meski selalu diganggu, sang

Kerbau tetap sabar dan tak

pernah marah atau membalas

kelakuan si Kera Nakal.Hingga akhirnya

Yaksa datang dan

bertanya kepada sang

Kerbau kenapa ia tak

membalas kelakuan si

Kera yang nakal.

Yaksa, kera kecil ini

adalah sahabatku.

Meski ia nakal aku

harus melindunginya

karena ia binatang

yang lebih lemah.

Yaksa lalu menurunkan si Kera

dari punggung sang Kerbau...

...lalu menganugerahi sang Kerbau

sebuah mantra. Mantra yang akan

menjaga keselamatan sang Kerbau

dari segala bahaya dan bencana yang

mengancam.

Ruru, Kijang Emasyang Berhati

Emas

DENAH BOROBUDUR

Ruru, Kijang Emas yang Berhati Emas

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/

lorong 1, pagar langkan bagian atas,bidang F di panil ke 3, 4, dan 5.

Di sebuah hutan, di antara semak-semak pohon sal dan pohon mangga, tinggallah

Kijang Ruru. Kulitnya bersih dan mengkilat laksana piring emas yang baru saja dibilas. Dan tanduknya seperti lingkaran perak yang

bercahaya di atas kepalanya. Ia hidup dengan tenang di sana. Menyendiri dan menikmati

kesunyian hutan yang begitu damai.

Sampai suatu ketika terdengar sebuah teriakan minta tolong. Kijang Ruru memasang telinganya

tajam-tajam. Teriakan itu berasal dari sungai yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Kijang Ruru dengan cekatan segera melompat dan menolong lelaki malang itu. Ia meletakkan

lelaki itu di punggungnya lalu membawanya ke tepi sungai.

Selama aku masih hidup tak siapa pun boleh mati!

Benarlah dugaannya.Di sungai yang deras arusnya,

seorang lelaki sedang berjuang menyelamatkan dirinya. Tubuhnya timbul

tenggelam dalam derasnya aliran sungai.

Lelaki itu sangat berterimakasih karena Kijang Ruru telah menyelamatkannya.

Lelaki itu berjanji akan menuruti seluruh perkataan Kijang Ruru. Dan pergilah

Kijang Ruru mengantar lelaki itu keluar dari hutan menuju

perkampungan di mana lelaki itu tinggal.

Hai, Manusia, kini aku akan membawamu keluar dari hutan ini hingga kamu bisa

kembali dengan selamat ke Benares. Tapi aku

mohon, janganlah kamu serakah dan mengatakan kepada raja atau siapa pun bahwa di sini tinggal

seekor kijang emas.

Gambar Kijang Ruru itu tak bisa hilang. Jika ia tak ada maka ia tak akan pernah bisa masuk ke dalam mimpiku, begitulah pikirnya. Maka

berkatalah ia kepada suaminya

Sementara itu di saat yang bersamaan di istana kerajaan, Khema, sang Permaisuri, bermimpi melihat seekor kijang

emas. Bayangan kijang yang begitu cantik itu terus berdiam di dalam kepalanya.

Sang Raja, saya mendengar adanya kijang emas di sebuah tempat

di negeri ini. Jika ia benar ada saya akan bisa

bertahan hidup. Jika ia tak ada maka lebih baik

saya mati!

Memenuhi permintaan istrinya sang Raja membuat pengumuman:

Mendengar pengumuman itu lelaki yang dulu pernah ditolong oleh Kijang Ruru segera bergegas ke istana. Ia tergoda oleh hadiah yang dijanjikan

oleh Raja Benares. Ia menghadap raja dan sanggup menunjukkan tempat

Kijang Ruru berada.

Di dalam semak-semakantara pohon sal dan mangga di sana, di

mana tanahnya semua berwarna merah, dapat

ditemukan kijang itu.

Kijang Ruru yang tengah berbaring segera bangkit begitu mendengar banyak langkah kaki mendekat. Ia

segera mengintip dari sela sesemak. Dilihatnya sang Raja dan serombongan

prajurit telah mengepungnya.

Sang Raja segera berangkat bersama para pengawalnya. Lelaki itu turut serta sebagai

penunjuk jalan.

Lalu dengan berani Kijang Ruru segera melompat dari persembunyiannya. Ia berlari dengan cepat ke arah sang Raja. Sang Raja segera mementang busurnya dan mengarahkan anak panahnya ke Kijang Ruru.

Mendengar suara Kijang Ruru yang merdu, sang Raja segera meletakkan senjatanya. Hatinya tergetar mendengar suara yang

bagaikan denting lonceng emas itu. Sang Raja menunjuk jarinya kepada lelaki yang telah

mengkhianati Kijang Ruru.

Oh, Pemimpin yang Menunggang Kereta,

Raja Agung, tenanglah! Jangan melukaiku

Siapa yang memberitahu Anda bahwa saya dapat ditemukan di tempat ini?

Maka marahlah Kijang Ruru pada lelaki yang pernah diselamatkannya itu, lelaki yang telah dianggapnya

sebagai seorang sahabat.

Raja pun ikut marah begitu mendengar cerita Kijang Ruru. Ia berniat menghukum lelaki itu. Tapi Kijang Ruru tak berkenan. Ia malah memerintahkan sang Raja untuk memberikan lelaki itu hadiah seperti yang

sudah dijanjikan. Janji mesti ditepati.

Di dunia terdapat banyak manusia, yang dari mereka terbukti bahwa

pepatah itu benar:Lebih baik menyelamatkan sebatang

balok kayu yang tenggelamdaripada manusia seperti kamu!

Sejak hari itu Kijang Ruru tinggal di dalam istana. Menjadi penasehat raja yang bijaksana.

Kera Raksasa& Kera-Kera Kecil

Sahabatnya

DENAH BOROBUDUR

Kera Raksasa & Kera-Kera Kecil

Sahabatnya

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang F di panil ke 9.

Dahulu kala tinggallah

serombongan kera kecil di sebuah

pohon jambu di tepi sebuah sungai.

Bersama mereka juga tinggal

seekor kera raksasa yang menjadi

sahabat dan penjaga.

Dikisahkan sungai kecil yang bening

dan indah itu melintasi sebuah taman

kerajaan di mana para putri sering

bermain-main di sana. Putri-putri

yang cantik itu senang berenang dan

berendam di sungai itu.

Suatu hari sebutir buah

jambu jatuh ke sungai

dan hanyut hingga

taman kerajaan.

Raja dengan senang hati

menerima persembahan

dari para putri. Melihat

wujudnya yang tampak

segar dan manis

sang Raja segera

memakannya.

Para putri yang tengah berendam menemukan

buah jambu itu. Karena kelihatan segar dan enak

dipersembahkanlah buah itu kepada sang Raja.

Dan ternyata buah jambu itu sangat

enak. Raja benar-benar suka. Sang

Raja kemudian memerintahkan para

prajuritnya untuk mencari pohon buah

jambu yang sangat lezat itu.

Para prajurit akhirnya

berhasil menemukan

pohon jambu itu. Tapi

mereka ketakutan

karena banyak kera

yang tinggal di sana.

Sang Raja marah dan menganggap

kera-kera itu telah mencuri jambu

miliknya. Ia menyuruh para prajurit

untuk menyerang dan mengusir

kera-kera itu.

Mendengar kabar bahwa pohon jambu itu akan diserang, sang Kera

Raksasa berusaha menyelamatkan kera-kera kecil sahabatnya.

Dengan tubuhnya yang besar ia menjadi

jembatan yang membuat kera-kera kecil

bisa berlari menyeberangi sungai.

Dengan tubuhnya yang besar pula sang

Kera Raksasa bisa menahan serangan

para prajurit kerajaan.

Tapi lama-kelamaan jumlah prajurit kerajaan

bertambah. Mereka tanpa henti menyerang

sang Kera Raksasa dengan bermacam-macam

senjata.

Sang Kera Raksasa semakin terdesak. Tapi ia terus

bertahan agar seluruh kera kecil bisa melarikan diri.

Sang Raja semakin marah. Ia melipatgandakan jumlah

prajuritnya. Hatinya telah dipenuhi nafsu untuk menguasai

pohon jambu yang buahnya sangat enak itu.

Akhirnya sang Kera Raksasa pun

tumbang. Ia jatuh ke tanah tak kuat

lagi menahan serangan para prajurit

kerajaan.

Tapi seluruh kera kecil telah berhasil

menyeberang sungai dan selamat.

Tak satu pun jatuh menjadi korban

keserakahan sang Raja.

Pengorbanan

di Padang Pasir

DENAH BOROBUDUR

Pengorbanan Seekor Gajah di Padang Pasir

Relief yang menggambarkan kisah ini ada

di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai

3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang H di panil ke 6, 7, dan 8.

Seekor Gajah

Di sebuah hutan, di antara semak-semak pohon sal dan pohon mangga, tinggallah Kijang Ruru. Kulitnya bersih dan mengkilat laksana piring emas yang baru saja dibilas. Dan tanduknya seperti lingkaran perak yang bercahaya di atas kepalanya. Ia hidup dengan tenang di sana. Menyendiri dan menikmati kesunyian hutan yang begitu damai.

Di padang pasir yang panas dan tandus melintaslah serombongan narapidana. Mereka telah melakukan banyak kejahatan. Maka dibuanglah mereka dari

kerajaan ke padang pasir yang kering kerontang itu.

Rombongan yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak itu terus berjalan untuk menyelamatkan

diri. Mereka berusaha keluar dari padang kering tanpa air setetes pun itu.

Rasa haus dan lapar mulai menyerang mereka. Beberapa mulai jatuh karena

lemas dan kekurangan air.

Pada saat yang bersamaan seekor gajah besar juga tengah berjalan

melintasi gurun pasir itu.Ia berpapasan dengan rombongan

narapidana itu.

Sang Gajah jatuh kasihan pada rombongan itu.

Wahai, Gajah, kami adalah orang-orang

hukuman. Katakanlah di mana kami bisa

mendapatkan makanan dan air. Kami sangat

lapar dan haus.

Lalu sang Gajah pergi meninggalkan

rombongan itu.

Teruslah kalian berjalan. Di depan nanti kalian akan

menemukan sebuah jurang. Di dasar jurang itu ada sebuah mata air. Kebetulan tadi aku

lihat ada bangkai seekor gajah yang baru saja mati. Kalian bisa makan dagingnya. Lalu gunakan

ususnya untuk menyimpan perbekalan air.

Tanpa diketahui siapa pun sang Gajah berlari menuju jurang itu melewati jalan yang berbeda dengan rombongan narapidana yang baru saja

ditemuinya.

Sesampainya di tepi jurang sang Gajah menjatuhkan dirinya. Dan akhirnya mati

di tepi mata air.

Rombongan narapidana dengan susah payah berhasil sampai ke jurang yang

ditunjukkan oleh sang Gajah.

Betapa gembiranya mereka melihat mata air dan bangkai gajah yang

masih segar.

Mereka kemudian memotong-motong daging gajah itu dan memakannya. Tak lupa mereka pun menyimpan air menggunakan usus gajah.

Rombongan narapidana melanjutkan kembali perjalanan. Tubuh mereka telah kembali segar dan kuat.

Mereka sama sekali tak tahu bahwa bangkai gajah yang mereka makan adalah bangkai dari gajah yang mereka temui di tengah perjalanan. Gajah yang telah

mengorbankan dirinya untuk menolong mereka.

Kesombongan Raja& Pertolongan

Kijang Sarabha

DENAH BOROBUDUR

Kesombongan Raja & Pertolongan

Kijang Sarabha

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas, bidang E di panil ke 8, 9, 10, dan 11.

Di sebuah hutan, di antara semak-semak pohon sal dan pohon

mangga, tinggallah Kijang Ruru. Kulitnya bersih dan mengkilat laksana

piring emas yang baru saja dibilas. Dan tanduknya seperti lingkaran

perak yang bercahaya di atas kepalanya. Ia hidup dengan tenang di

sana. Menyendiri dan menikmati kesunyian hutan yang begitu damai.

Dahulu hiduplah seorang raja yang

gemar berburu. Hampir tiap hari

ia berburu dan pulang dengan

memamerkan hasil buruannya di

alun-alun. Ya, kemampuan berburu

dan memanah telah membuatnya

menjadi seorang raja yang

sombong.

Suatu hari ia kembali

berangkat ke hutan

untuk berburu.

Hari ini aku akan

berburu Kijang Sarabha

yang terkenal sangat

lincah itu. Tapi panahku

akan dengan mudah

menghentikan larinya.

Lihat saja nanti!

Di dalam hutan dengan sabar sang

Raja Pemburu menunggu sang Kijang

Sarabha keluar dari persembunyiannya.

Dan muncullah yang ditunggu, kijang yang

indah dan memiliki delapan kaki. Ada enpat

kaki tambahan yang tumbuh di punggungnya.

Sang Raja Pemburu

memasang panahnya dan

membidik sasaran yang telah

lama ditunggunya itu.

Panah sang Raja Pemburu pun melesat.

Tapi Kijang Sarabha memang sangat

lincah. Dengan cepat ia menjatuhkan

tubuhnya ke samping. Lalu bangkit berlari

dengan kaki di punggungnya.

Sebuah lubang besar menganga

di dalam hutan. Lubang bekas sebuah

pohon besar yang telah mati. Kijang

Sarabha dengan lincah melompati

lubang besar itu.

Tapi sang Raja Pemburu jatuh terperosok

ke dalam lubang yang sangat dalam. Saking

bernafsunya memburu Kijang Sarabha ia tak

melihat lubang besar yang sangat berbahaya itu.

Kijang Sarabha menghentikan

larinya. Ia berbalik menuju

lubang besar di mana sang

Raja Pemburu terperosok.

Dengan cekatan ia turun dan

berusaha menolong raja yang baru

saja mengincar nyawanya itu.

Akhirnya dengan berpegangan pada

empat kaki di punggung Kijang Sarabha,

sang Raja Pemburu berhasil selamat.

Sang Raja Pemburu

mengucapkan

terimakasih dan ingin

membalas kebaikan sang

Kijang Sarabha.

Ikutlah aku kembali

ke kerajaan. Mulai

hari ini seluruh

kerajaaanku adalah

milikmu, wahai,

Kijang Sarabha sang

Penolongku! Tapi Kijang Sarabha dengan

halus menolak hadiah dari

sang Raja Pemburu

Biarlah saya tinggal di sini.

Sebab di sinilah rumah

saya. Cukup ajarkanlah

kepada semua orang

pelajaran yang telah Anda

dapat hari ini.

Dan sang Raja Pemburu pun pulang kembali

ke kerajaannya. Ia tak pernah berburu lagi.

Tak pernah menyombongkan apa-apa lagi.

Dan memerintah kerajaan dengan bijak dan

penuh kasih.

Burung Puyuh & Kebakarandi Hutan

DENAH BOROBUDUR

Burung Puyuh & Kebakaran di Hutan

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang A di panil ke 12.vv

Burung puyuh kecil itu, karena belum bisa terbang, hanya bisa berbaring sambil menunggu orangtuanya datang memberinya makan. Dan ia hanya memakan

biji-bijian saja. Sementara makanan berupa serangga-serangga kecil tak pernah disentuhnya. Mungkin

karena itu ia tak bisa besar dengan cepat.Bulu-bulu sayapnya tak bisa tumbuh. Tapi meski

demikian ia tak pernah bersedih. Ia bahagia tinggal di sarangnya.

Di negeri Magadha pernah terlahir seekor burung puyuh yang luar biasa.

Tapi kebahagian itu tak berlangsung lama. Kebakaran hebat melanda hutan yang semula

begitu teduh dan hijau itu. Api melalap apa saja yang menghalangi jalannya. Seluruh makhluk penghuni

hutan kalang kabut. Tak terkecuali bangsa burung. Mereka berusaha terbang setinggi-tingginya,

sejauh-jauhnya dari jilatan sang Api.

Sungguh malang nasib si Burung Puyuh yang tak bisa terbang itu. Ia hanya bisa berdiam di sarangnya.

Melihat api yang makin lama makin dekat, tak tampak sedikit pun rasa takut di wajahnya. Ia tetap

terbaring dengan tenang di dalam sarang.Sepasang matanya menatap kobaran api

yang mengganas.

Jika aku bisa menggerakkan sayapku dan terbang,

aku akan terbang sejauh-jauhnya.Kedua orangtuaku, yang

mengasihiku, karena begitu takut dengan kematian telah pergi meninggalkanku sendirian.Apa yang bisa kulakukan?

Api telah mengepungnya. Beberapa saat lagi mereka akan melalap pohon di mana sarang si Burung Puyuh

berada. Udara di sekitarnya terasa sesak dan panas. Tapi si Burung Puyuh hanya menatap sang Raja Api dengan

ketenangan yang luar biasa.

Dengan sayap yang belumbisa terbang, dengan kaki yang belum

bisa berjalan, ditinggalkan olehorangtua, di sinilah saya terbaring! Oleh karena itu saya memohon kepadamu, 5DMD�$SL�\DQJ�PHQDNXWNDQ��-ÁWDYHGD��

untuk berbalik dan pergi!

Dan sang Raja Api pun berbalik meninggalkan si Burung Puyuh.Keyakinan dan kebenaran dalam diri si Burung Puyuh telah menyelamatkan

dirinya dan juga penghuni hutan yang lain.

DENAH BOROBUDUR

Persembahan yang Mulia Seekor Kelinci

Relief yang menggambarkan kisah ini

ada di sisi Timur Candi Borobudur, lantai

3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang H di panil ke 10, 11, dan 12.

Seekor Kelinci

Persembahanyang Mulia

Dahulu hiduplah seekor

kelinci yang baik hati.

Karena kebaikan

hatinya itu ia mempunyai

banyak teman dan

sahabat.

Mereka berempat bersahabat, hidup

saling tolong-menolong di hutan yang

dilingkari oleh gunung, sungai, dan sebuah

perkampungan kecil.

Persembahkanlah apa

yang terbaik bisa kamu

persembahkan kepada

tamumu. Apalagi besok

adalah Hari untuk

Memberi!

Dewa Cakra

mendengarnya.

Dan ia ingin

menguji kebaikan

dan ketulusan si

Kelinci.

Dewa Cakra menyamar

menjadi seorang pendeta yang

kelaparan. Ia berjalan mendekati

keempat sekawan yang tengah

bercengkrama di atas sebatang

pohon yang tumbang.

Keempat sahabat

itu pun segera

menyambut

tamu mereka

dengan sebaik-

baiknya. Mereka

menyediakan

tempat istirahat

yang nyaman.

Tujuh ekor ikan merah yang kubawa

pulang ke daratan dari Sungai Gangga,

wahai Brahmana, makanlah ini sepuasnya,

dan tinggallah di hutan ini.

Seekor kadal dan satu periuk bubur

susu, makan malam si penjaga, dua

besi pemanggang untuk memanggang

daging yang kudapatkan ini. Akan

kuberikan kepadamu.

Wahai Brahmana, makanlah

ini sepuasnya, dan tinggallah di

hutan ini.

Aliran sungai yang dingin, buah

mangga yang ranum, tempat teduh

yang menyenangkan di hutan, wahai

Brahmana, makanlah ini sepuasnya, dan

tinggallah di hutan ini.

Sedangkan kelinci tak membawa apa-apa. Makanan

yang bisa didapatnya, rumput kusa, terasa tak

pantas dipersembahkannya. Ia hanya minta kepada

sang Pendeta untuk segera menyalakan api.

melainkan kukorbankan dagingku

sendiri untuk dipanggang dalam api,

jika Anda ingin tinggal di hutan ini

bersama kami.

Bukan wijen, bukan kacang-kacangan,

bukan pula beras yang kumiliki sebagai

makanan untuk didermakan,

Melompatlah sang

Kelinci ke dalam kobaran

api di depannya. Ia

mempersembahkan

dirinya sendiri.

Tapi api tak

sanggup membakar

kelinci yang baik dan

tulus itu. Tak sehelai

bulunya terbakar.

Dewa Cakra pun mengakui

kebaikan dan ketulusan sang

Kelinci. Sebagai hadiahnya

Sang Dewa menggambar

kelinci di bulan agar di setiap

purnama kita bisa mengingat

kebaikan sang Kelinci.

Penyu Raksasa& Para Saudagar

DENAH BOROBUDUR

Penyu Raksasa & Para Saudagar

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Barat Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang F di panil ke 6, 7, 8, dan 9.

Dikisahkan 500 saudagar berangkat berlayar menggunakan

sebuah kapal besar. Mereka mengarungi samudra luas dan

ganas. Menempuh perjalanan panjang untuk berdagang.

Suatu hari langit mendadak gelap.

Hujan turun dengan deras.

Kilat menyambar-nyambar. Dan

ombak bertambah besar.

Badai

dataaaang!

Para saudagar ketakutan.

Belum pernah mereka menyaksikan badai yang begitu

dahsyat dan mengerikan. Kapal itu hancur dan pecah

berkeping-keping. 500 saudagar itu pun tercerai-berai.

tercebur ke samudra.

Ayo naik!

Cepaaaat!

Tak lama kemudian badai reda, tinggal

puing-puing kapal, dan para saudagar yang

terapung di lautan.

Entah datang dari mana tiba-tiba seekor

Penyu Raksasa muncul dari

dalam samudra.

500 saudagar dengan susah payah

berhasil naik di atas punggung Penyu Raksasa,

merapat ke pantai dan melanjutkan perjalanan.

Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah

pulau. Sang Penyu segera merapat ke pantai dan

menurunkan para saudagar itu.

Dengan segera para saudagar itu turun dan

mencari makanan di pulau yang tak mereka

kenal itu. sementara sang Penyu jatuh

tertidur karena kelelahan setelah menempuh

perjalanan panjang.

Ternyata tak ada apa pun yang bisa

dimakan. Pulau itu kosong. Bahkan tak

ada sebatang pohon pun yang tumbuh.

Beberapa dari mereka kemudian

pingsan kehabisan tenaga.

Kepanikan pun melanda. Para saudagar itu

mulai bertengkar satu sama lain. Bahkan

beberapa mulai berkelahi.

Sang Penyu terbangun dari

tidurnya. Dan kaget melihat

kekacauan yang terjadi.

Berhenti!

Para saudagar itu tak mampu

berkata apa-apa. Mereka

terharu dengan kebaikan dan

kerelaan Sang Penyu. Mereka

memeluk Sang Penyu Raksasa

yang telah mengorbankan

dirinya demi menyelamatkan

hidup mereka.

Aku tahu kalian kelaparan.

Tanpa makanan, sebentar lagi tentu

kalian akan mati. Tapi janganlah

kalian saling bunuh. Bunuh saja aku

dan makanlah dagingku. Kalian akan

bisa bertahan beberapa lama untuk

menunggu bantuan datang.

DENAH BOROBUDUR

Pelatuk yang Baik & Singa yang

Tak Tahu Balas Budi

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang J di panil ke 6, 7, 8, dan 9.

DENAH BOROBUDUR

Pelatuk yang Baik & Singa yang

Tak Tahu Balas Budi

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang J di panil ke 6, 7, 8, dan 9.

Pelatuk yang Baik& Singa yang Tak

Tahu Balas Budi

Tinggallah seekor burung pelatuk yang baik

hati. Ia disayangi semua binatang karena

kebaikannya. Seluruh binatang di hutan

dianggapnya sebagai sahabat.

Suatu hari saat terbang ia

melihat seekor singa sedang

berguling-guling kesakitan.

Ia segera turun mendekati

sahabatnya itu.

Ada apa, Singa

Sahabatku? Kenapa kamu

berguling-guling begitu?

Aaaadaaa..

Tu..tu..laaang..

Nyangkuuuttt

Si Pelatuk segera mengambil sebatang

ranting. Dengan ranting itu ia mengganjal

mulut si Singa hingga terbuka lebar.

Lalu dengan pelatuknya ia mengambil tulang

yang menyangkut di tenggorokan si Singa.

Dan terbebaslah si Singa dari

penderitaannya. Sang Pelatuk kembali

terbang.Suatu hari sang Pelatuk

kembali terbang mencari

makan. Perutnya sangat

lapar.

Dilihatnya si Singa yang

kemarin ditolongnya

tengah makan seekor

kijang buruannya.

Turunlah sang

Pelatuk mendekat

sahabatnya yang

tengah makan itu.

Wahai, Singa

Sahabatku. Perutku

lapar. Apakah

aku boleh minta

secuil daging kijang

buruanmu?

Enak saja! Aku juga

lapar! Dan satu ekor

kijang tak akan bisa

mengenyangkanku!

Pergi sana! Cari sendiri

makananmu!

Hamba tak akan

membalas kelakuannya.

Hamba hanya ingin

berbuat baik kepada

siapa pun. Tanpa pamrih

apa pun.

Singa itu telah bekerja

keras mencari makanan.

Terserah dia mau

membagi makanannya

atau tidak.

Kenapa kamu tak

membalas kelakuannya?

Kamu berhak membutakan

matanya dengan pelatukmu.

Ia seekor singa yang jahat

dan tak tahu membalas

budi!

Sang Dewa yang melihat

kejadian itu segera

menemui sang Pelatuk.

PenggembalaSapi & Kera

Raksasa

DENAH BOROBUDUR

Penggembala Sapi & Kera Raksasa

Relief yang menggambarkan kisah ini ada di sisi Selatan Candi Borobudur, lantai 3/lorong 1, pagar langkan bagian atas,

bidang E di panil ke 4, 5, dan 6.

Di sebuah hutan seorang lelaki tengah kebingungan

mencari sapinya yang hilang. Penggembala Sapi itu terus mencari hingga jauh masuk

ke dalam hutan.

Tapi sapinya benar-benar lenyap tanpa jejak.

Dengan putus asa ia berhenti di bawah sebuah

pohon mangga di tepi sebuah jurang.

Harum buah mangga menggoda perutnya yang

sejak siang belum kemasukan apa-apa. Maka ia pun

segera memanjat pohon itu bermaksud mengambil

beberapa buah mangga untuk mengisi perutnya.

Tubuhnya menghantam

tanah dan berguling masuk ke

dalam jurang.

Tapi sungguh malang. Pada saat si Gembala Sapi hendak meraih sebuah mangga yang

matang di ujung dahan ia malah terjatuh.

Tubuhnya meluncur deras ke dasar jurang. Tapi, Ah!

Beruntunglah tubuhnya tertahan oleh sebuah dahan pohon yang

tumbuh di punggung jurang. Ia selamat. Setidaknya untuk

sementara.

Tangannya berpegangan dengan erat di dahan pohon itu. Ia berteriak

sekeras-kerasnya

TOLONG! TOLONG!

Tapi hanya gema yang

menyahutnya.

Hingga kemudian terdengarlah teriakan si Gembala Sapi lamat-lamat di telinganya.

Adalah seekor kera raksasa tengah

bersamadi di bawah sebuah pohon tak jauh dari jurang. Ia duduk bersila dengan tenang

menghayati nafas, tubuh dan tempatdi mana ia berada.

Sang Kera Raksasa pun segera bangun dari samadinya dan

mendatangi sumber suara. Ia ingin menolong manusia yang

tengah menderita itu.

Dengan tangannya yang besar dan kuat sang Kera Raksasa berhasil mengangkat tubuh si

Gembala Sapi yang tersangkut di dinding jurang itu.

Gembala Sapi mengucapkan terimakasih kepada penolongnya itu. Dan keduanya pun menjadi sahabat. Mereka berjanji untuk saling menolong satu sama lain.

Sahabatku, aku mengantuk sekali. Tolong

berjagalah. Aku ingin tidur sebentar. Jika ada binatang buas mendekat

bangunkanlah aku.

Melihat sahabat barunya itu sudah tertidur pulas, tiba-tiba terlintas

pikiran jahat di di kepala si Gembala Sapi. Ia ingin membunuh

sang Kera Raksasa.

Dagingnya bisa kubawa pulang dan

kujual untuk mengganti sapiku yang hilang.

Ia pun segera menghunus belati

dan bersiap menusuk sang Kera Raksasa.

Tapi saat belati itu hendak menusuk dadanya, sang Kera

Raksasa bangun dan menangkis serangan itu.

Tapi tidak. Kera Raksasa itu sama

sekali tak marah. Ia malah mengantar si

Gembala Sapi pulang ke rumahnya.

Si Gembala Sapi gemetar ketakutan. Ia takut sang

Kera Raksasa akan balas menyerangnya.

Tidak lama setelah kejadian itu,si Gembala Sapi terserang penyakit

lepra. Dan ia pun diusir dari kampungnya. Diasingkan ke tengah hutan. Dan menderita

hingga akhir hidupnya.