Karakteristik Pektin Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Candi ...

73
i Karakteristik Pektin Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Candi dari Berbagai Tingkat Kematangan yang Diekstrak dengan Metode Maserasi Menggunakan Asam Klorida dan Asam Sitrat SKRIPSI Oleh: CHESARIA MEIDINA 145100101111015 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of Karakteristik Pektin Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Candi ...

i

Karakteristik Pektin Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Candi dari Berbagai Tingkat Kematangan yang Diekstrak dengan

Metode Maserasi Menggunakan Asam Klorida dan Asam Sitrat

SKRIPSI

Oleh:

CHESARIA MEIDINA

145100101111015

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

ii

Karakteristik Pektin Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Candi dari Berbagai Tingkat Kematangan yang Diekstrak dengan

Metode Maserasi Menggunakan Asam Klorida dan Asam Sitrat

SKRIPSI

Oleh:

CHESARIA MEIDINA

145100101111015

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

iii

iv

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Chesaria Meidina

dilahirkan di Denpasar pada tanggal 1 Mei 1996

merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis

lahir dari ayah yang bernama Iswanto dan Ibu yang

bernama Ni Luh Putu Indriyani. Penulis sekarang

bertempat tinggal di Perumahan BPTP Karangploso,

Kabupaten Malang.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di

SD N 05 Kampung Jawa, Kota Solok. Kemudian

melanjutkan pendidikan di SMP N 1 Kota Solok hingga tahun 2011. Penulis

melanjutkan sekolah menengah atas di SMA N 1 Kota Solok dan lulus pada

tahun 2014. Penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi Universitas Brawijaya

Malang pada tahun 2014 sebagai mahasiswi di Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah penulis tercatat aktif

dalam berbagai kegiatan sebagai anggota divisi pendamping OPJH 2015 dan

ketua pelaksana English for Specific Purposes Orientation 2016.

vi

Alhamdulillah berkat Allah SWT karya ini mampu diselesaikan.

Karya ini kupersembahkan kepada keluargaku, terutama Bapak. Mama dan Rio.

Kakak sayang Bapak sama Mama.

vii

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Chesaria Meidina

NIM : 145100101111015

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Judul : Karakteristik Pektin Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Candi dari

Berbagai Tingkat Kematangan yang Diekstrak dengan Metode

Maserasi Menggunakan Asam Klorida dan Asam Sitrat

Menyatakan bahwa,

Tugas Akhir dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut diatas.

Apablia di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia

dituntut sesuai hokum yang berlaku.

Malang, 1 Oktober 2018

Pembuat Pernyataan,

Chesaria Meidina

NIM. 145100101111015

viii

CHESARIA MEIDINA . 145100101111015. Karakteristik Pektin Kulit Pisang

(Musa paradisiaca) Candi dari Berbagai Tingkat Kematangan yang

Diekstrak dengan Metode Maserasi Menggunakan Asam Klorida dan Asam

Sitrat. Tugas Akhir. Pembimbing: Prof. Dr. Teti Estiasih, STP. MP dan

Rosalina Ariesta Laeliocattleya, S.Si., M.Si

RINGKASAN

Pisang merupakan salah satu buah tropis yang banyak dihasilkan serta dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Pisang candi memiliki genom AAB dan bentuk buahnya mirip dengan pisang tanduk. Ukuran buah pisang candi lebih kecil dan jumlah sisir per tandan lebih banyak jika dibandingkan dengan pisang tanduk. Produksi pisang pada tahun 2016 mencapai 7.008 ton. Tingginya angka pemanfaatan buah pisang akan menghasilkan limbah yang besar pula. Salah satu limbah hasil pemanfaatan buah pisang adalah kulit pisang, dimana kulit pisang ini sendiri memiliki bobot sekitar 40% dari buahnya. Limbah kulit pisang yang dihasilkan hingga saat ini belum banyak dimanfaatkan, oleh karena itu jika kulit pisang diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat, maka akan memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satu kandungan yang terdapat pada kulit pisang adalah pektin. Pektin merupakan suatu komponen serat yang terdapat pada lapisan lamella tengah dan dinding sel primer pada tanaman. Dalam industri pangan, pektin digunakan dalam pembentukan gel bahan penstabil pada sari buah, selai, jelly dan marmalade.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 faktor. Faktor I adalah tingkat kematangan pisang (mentah, setengah matang dan matang), faktor II adalah jenis asam (asam klorida dan asam sitrat) dan faktor III adalah konsentrasi asam (0,1 N, 0,2 N dan 0,3 N). Data yang diperoleh akan dilanjutkan dengan analisa menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji DMRT dengan selang kepercayaan 95%. Tingkat kematangan pada proses ekstraksi pektin berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap rendemen pektin, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi dan kadar abu. Jenis asam pada proses ekstraksi pektin berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap rendemen pektin, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi dan kadar abu. Konsentrasi asam pada proses ekstraksi pektin berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap rendemen pektin, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi dan kadar abu

Kata kunci: Kulit Pisang Candi, Pektin, Ekstraksi

ix

CHESARIA MEIDINA . 145100101111015. The Characteristics of Pectin from

Banana (Musa paradisiaca) Candi Peel from Various Levels of Maturity

Extracted with Maceration Method Using Hydrochloric Acid and Citric Acid.

Undergraduate Report. Supervisor: Prof. Dr. Teti Estiasih, STP. MP and

Rosalina Ariesta Laeliocattleya, S.Si., M.Si

SUMMARY

Bananas are one of the tropical fruits that produced and utilized by the people of Indonesia. Banana (Musa paradisiaca) Candi have the AAB genome and their shapes are similar to Banana (Musa paradisiaca) Tanduk. The size of Banana (Musa paradisiaca) Candi is smaller and the number of combs per bunch is more than Banana (Musa paradisiaca) Tanduk. Banana production in 2016 reached 7,008 tons. The high rate of bananas’ used will also produce large amounts of waste. One of the wastes is banana peel, where the banana peel itself weighs about 40% of the fruit. Banana peel has not been widely used, therefore if the banana peel is processed into something useful, it will have a high selling value. One of the ingredients found in banana peel is pectin. Pectin is a component of fiber found in the middle lamella layer and primary cell wall in plants. In the food industry, pectin is used in the formation of stabilizing gels in fruit juice, jams, jelly and marmalade.

The research was conducted by using Completely Randomized Design with 3 factors. Factor I is the banana maturity level (raw, half-mature, mature), factor II is type of acid (hydrochloric acid and citric acid) and factor III is acid concentration (0,1 N, 0,2 N and 0,3 N). The data obtained was analyzed by ANOVA (Analysis of Variance) and continued by DMRT (Duncan's Multiple Range Test) with 95% confidence interval. Maturity level has influence significantly (α = 0,05) on pectin yield, ekivalen weight, metoxhyl content, galacturonit content, degree of esterification and ash content. Type of acid has influence significantly (α = 0,05) on pectin yield, ekivalen weight, metoxhyl content, galacturonit content, degree of esterification and ash content. Acid concentration has influence significantly (α = 0,05) on pectin yield, ekivalen weight, metoxhyl content, galacturonit content, degree of esterification and ash content.

Keyword : Banana (Musa paradisiaca) Candi Peel, Pectin, Extraction

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga Tugas Akhir dengan judul Karakteristik Pektin Kulit

Pisang (Musa paradisiaca) Candi dari Berbagai Tingkat Kematangan yang

Diekstrak dengan Metode Maserasi Menggunakan Asam Klorida dan Asam Sitrat

dapat diselesaikan. Tersusunnya naskah ini, tidak lepas dari bantuan dari

beberapa pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan baik

dari segi mental dan materi kepada penulis.

2. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP. MP dan Ibu Rosalina Ariesta

Laeliocattleya, S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dan memberi masukan selama proses penyusunan dan

penyelesaian tugas akhir ini.

3. Civitas akademik Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.

4. Teman-teman yang selalu mendukung dan memberikan semangat

kepada penulis. Terutama Meds (Dzur, Cil, Inyan, Tir, Bebgi, Beta).

5. Lieb yang telah mendampingi penulis selama ini dalam senang maupun

susah walaupun kita LDR-an. Eheh

Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Malang, Oktober 2018

Penulis,

Chesaria Meidina

xi

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ v PERUNTUKAN................................................................................................... vi PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR ..................................................... vii RINGKASAN .................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3 1.3 Tujuan ........................................................................................................... 3 1.4 Manfaat ......................................................................................................... 3 1.5 Hipotesis ....................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 4

2.1 Pisang ........................................................................................................... 4 2.1.1 Pisang Candi ......................................................................................... 5 2.1.2 Kulit Pisang .......................................................................................... 6

2.2 Pektin............................................................................................................ 7 2.2.1 Pengertian Pektin .................................................................................. 7 2.2.2 Sifat Pektin ............................................................................................ 9 2.2.3 Kegunaan Pektin ................................................................................. 10 2.2.4 Ekstraksi ............................................................................................ 11 2.2.5 Karakterisasi Pektin ............................................................................ 14

2.3 Jenis Asam .................................................................................................. 18 2.3.1 Asam Klorida ....................................................................................... 18 2.3.2 Asam Sitrat ......................................................................................... 19

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................ 20

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ................................................................. 20 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................ 20

3.2.1 Alat...................................................................................................... 20 3.2.2 Bahan ................................................................................................. 20

3.3 Metode Penelitian ........................................................................................ 20 3.4 Pelaksanaan Penelitian................................................................................ 22

3.4.1 Pembuatan Tepung Kulit Pisang ......................................................... 22 3.4.2 Ekstraksi Pektin................................................................................... 22 3.4.3 Analisa ................................................................................................ 23

3.5 Analisa Data ................................................................................................ 24 3.6 Diagram Alir ................................................................................................. 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 27

4.1 Karakteristik Bahan Baku ............................................................................. 27

xii

4.2 Karakteristik Pektin Kulit Pisang Candi ........................................................ 27 4.2.1 Rendemen Pektin ................................................................................ 27 4.2.2 Berat Ekivalen ...................................................................................... 31 4.2.3 Kadar Metoksil ..................................................................................... 34 4.2.4 Kadar Galakturonat .............................................................................. 37 4.2.5 Derajat Esterifikasi ............................................................................... 41 4.2.6 Kadar Air .............................................................................................. 44 4.2.7 Kadar Abu ............................................................................................ 46 V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 51

5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 51 5.2 Saran ........................................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 52 LAMPIRAN ........................................................................................................ 59

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kandungan dalam kulit pisang per 100 gram ....................................... 6

Tabel 2.2 Standar mutu pektin ....................................................................... …14

Tabel 2.3 Karakteristik Pektin Kulit Pisang Uli ............................................... …18

Tabel 2.4 Karakteristik Pektin Kulit Pisang Saba ........................................... …19

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Rancangan Percobaan .................................... 21

Tabel 4.1 Karakteristik Kulit Pisang Candi Segar ............................................... 27

Tabel 4.2 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Rendemen Pektin Kulit Pisang Candi.................................................. 28

Tabel 4.3 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Berat Ekivalen Pektin Kulit Pisang Candi ............................................ 32

Tabel 4.4 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Kadar Metoksil Pektin Kulit Pisang Candi ........................................... 35

Tabel 4.5 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Kadar Galakturonat Pektin Kulit Pisang Candi .................................... 38

Tabel 4.6 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Derajat Esterifikasi Pektin Kulit Pisang Candi ..................................... 42

Tabel 4.7 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Kadar Air Pektin Kulit Pisang Candi .................................................... 45

Tabel 4.8 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam

terhadap Berat Ekivalen Pektin Kulit Pisang Candi ............................................ 47

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tingkat kematangan pisang ............................................................. 5

Gambar 2.2 Pisang candi .................................................................................... 5

Gambar 2.3 Struktur molekul asam pektinat ............................................................ 8

Gambar 2.4 Struktur molekul asam pektat .......................................................... 8

Gambar 2.5 Skema perubahan protopektin ............................................................. 8

Gambar 2.6 Struktur pektin ................................................................................. 9

Gambar 2.7 Struktur pektin bermetoksil tinggi........................................................ 10

Gambar 2.8 Struktur pektin bermetoksil rendah ..................................................... 10

Gambar 2.9 Struktur asam sitrat ....................................................................... 19

Gambar 3.1 Diagram alir persiapan bahan ........................................................ 25

Gambar 3.2 Diagram alir ekstraksi pektin .......................................................... 26

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Rendemen Pektin Kulit Pisang Candi........................................ 29 Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Berat Ekivalen Kulit Pisang Candi ............................................. 33 Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Kadar Metoksil Pektin Kulit Pisang Candi.................................. 36 Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Kadar Galakturonat Pektin Kulit Pisang Candi .......................... 39 Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Derajat Esterifikasi Pektin Kulit Pisang Candi ........................... 43 Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap Kadar Air Pektin Kulit Pisang Candi .......................................... 46 Gambar 4.7 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap Derajat Esterifikasi Pektin Kulit Pisang Candi ........................... 48

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Analisa ............................................................................ 60

Lampiran 2 Color Chart Pisang……………..………………………………………64

Lampiran 3 Hasil Analisa Rendemen Pektin ………………………………………65

Lampiran 4 Analisa Keragaman Rendemen Pektin ........................................... 66

Lampiran 5 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan

Konsentrasi Asam terhadap Rendemen Pektin .................................................. 67

Lampiran 6 Hasil Analisa Berat Ekivalen .......................................................... 68

Lampiran 7 Analisa Keragaman Berat Ekivalen ................................................ 69

Lampiran 8 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan

Konsentrasi Asam terhadap Berat Ekivalen ....................................................... 70

Lampiran 9 Hasil Analisa Kadar Metoksil .......................................................... 71

Lampiran 10 Analisa Keragaman Kadar Metoksil ............................................. 72

Lampiran 11 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam

dan Konsentrasi Asam terhadap Kadar Metoksil................................................ 73

Lampiran 12 Hasil Analisa Kadar Galakturonat................................................. 74

Lampiran 13 Analisa Keragaman Kadar Galakturonat ...................................... 75

Lampiran 14 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam

dan Konsentrasi Asam terhadap Kadar Galakturonat ........................................ 76

Lampiran 15 Hasil Analisa Derajat Esterifikasi .................................................. 77

Lampiran 16 Keragaman Derajat Esterifikasi ................................................... 78

Lampiran 17 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam

dan Konsentrasi Asam terhadap Derajat Esterifikasi.......................................... 79

Lampiran 18 Hasil Analisa Kadar Air ................................................................ 80

Lampiran 19 Analisa Keragaman Kadar Air ...................................................... 81

Lampiran 20 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam

dan Konsentrasi Asam terhadap Kadar Air ....................................................... 82

Lampiran 21 Hasil Analisa Kadar Abu .............................................................. 83

Lampiran 22 Analisa Keragaman Kadar Abu .................................................... 84

Lampiran 23 Uji Lanjut DMRT 5% Interaksi Tingkat Kematangan, Jenis Asam

dan Konsentrasi Asam terhadap Kadar Abu ...................................................... 85

Lampiran 24 Dokumentasi Selama Penelitian................................................... 86

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pisang atau buah yang memiliki nama latin Musa paradisiaca adalah

salah satu buah tropis yang banyak dihasilkan serta dimanfaatkan oleh

masyarakat Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik produksi pisang mencapai

7.008 ton pada tahun 2016. Pemanfaatan buah pisang dalam jumlah besar akan

menghasilkan limbah berupa kulit pisang yang besar pula, dimana kulit pisang ini

sendiri memiliki bobot sekitar 40% dari buahnya (Tchobanoglous, 2003).

Umumnya, kulit pisang yang dihasilkan belum banyak dimanfaatkan.

Biasanya kulit pisang dijadikan sebagai makanan ternak ataupun dibuang

sebagai limbah organik. Oleh karena itu jika kulit pisang diolah menjadi sesuatu

yang bermanfaat, maka akan memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satu

kandungan yang terdapat pada kulit pisang adalah pektin. Kandungan pektin

yang terdapat di dalam kulit pisang bervariasi tergantung jenis atau varietasnya.

Biasanya kandungan pektin bervariasi sekitar 1,92 hingga 3,25% dari berat

kering (Hutagalung, 2013). Fitria (2013) menyebutkan bahwa kulit pisang kepok

mengandung senyawa pektin sebanyak 10,78%. Sedangkan menurut Castillo

(2015), kulit pisang saba mengandung pektin sekitar 17,05%.

Pektin merupakan suatu komponen serat yang terdapat pada lapisan

lamella tengah dan dinding sel primer pada tanaman (Sirotek, et.al, 2004). Pektin

berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang

lainnya, oleh karena itu jika seseorang mengupas buah maka akan terasa sifat

“lekat”. Pektin tersusun dari substansi seperti asam poligalakturonat, dimana

gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat teresterifikasi sebagian

dengan methanol (Habullah, 2001).

Penggunaan pektin sudah dilakukan baik pada industri pangan,

kesehatan dan juga pada industri karet. Untuk mencukupi kebutuhan pektin

dalam negeri, saat ini Indonesia masih mengimpor pektin. Indonesia merupakan

negara pengimpor dan pemakai pektin yang cukup besar karena banyaknya

industri di Indonesia yang menggunakan pektin, mulai dari industri makanan dan

minuman hingga industri tekstil (Sulihono, 2012). Menurut Badan Pusat Statistik,

jumlah impor pektin di Indonesia dari tahun 2008-2012 secara berurutan yaitu

147,6 ton; 147,3 ton; 291,9 ton; dan 240,8 ton (Hanum, 2012). Oleh karena itu

2

perlu adanya usaha untuk menghasilkan pektin untuk dapat mengurangi jumlah

pektin yang diimpor sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa

besar kandungan pektin yang ada di dalam kulit pisang candi dan bagaimana

karakteristiknya.

Kandungan pektin pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti tingkat kematangan buah, jenis pelarut serta konsentrasi pelarut. Larutan

pengekstrak yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi pektin adalah air,

alkohol, larutan asam, dan polifosfat. Larutan asam yang umum digunakan

adalah HCl, H2SO4, dan CH3COOH. Larutan asam lain yang dapat digunakan

adalah asam sitrat, asam laktat, dan asam tartrat (Fellows, 2002). Menurut

Tuhuloula (2013) dan Subagyo (2010) hasil terbaik perlakuan didapatkan dari

ekstraksi menggunakan asama klorida (HCl). Sedangkan menurut Febriyanti

(2018) dan Susilowati (2013) hasil terbaik perlakuan didapatkan dari ekstraksi

menggunakan asama sitrat, Ekstraksi pektin dengan menggunakan pelarut asam

merupakan cara ekstraksi yang umum digunakan karena kemungkinan terjadi

kerusakan pektin lebih sedikit. Pada proses ekstraksi, pemilihan jenis pelarut dan

konsentrasi pelarut perlu diperhatikan. Susanti (2015) mengatakan bahwa

semakin besar normalitas larutan maka semakin besar pula rendemen yang

dihasilkan. Konsentrasi serta jumlah pelarut akan berpengaruh terhadap efisiensi

ekstraksi dan dalam jumlah tertentu pelarut dapat bekerja secara optimal, namun

jumlah yang berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak (Susanto, 1999).

Jenis asam yang berbeda akan berhubungan dengan tingkat hidrolisis yang

berbeda. Hal itu disebabkan karena kekuatan asam yang berbeda akan

menghasilkan karakteristik pektin yang berbeda pula (Garna, 2007).

Kandungan dan karakteristik pektin kulit pisang candi pada berbagai

tingkat kematangan belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang

ekstraksi dan karakterisasi pektin dari kulit pisang candi dengan tingkat

kematangan yang berbeda.

3

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Bagaimana pengaruh tingkat kematangan yang berbeda yaitu mentah,

setengah matang dan matang terhadap karakteristik pektin kulit pisang

candi?

1.2.2 Bagaimana pengaruh jenis asam yang berbeda yaitu asam klorida dan

asam sitrat terhadap karakteristik pektin kulit pisang candi?

1.2.3 Bagaimana pengaruh konsentrasi asam yang berbeda 0,1 N, 0,2 N dan

0,3 N terhadap karakteristik pektin kulit pisang candi?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Mengetahui karakteristik pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang candi

dengan variasi tingkat kematangan pisang yang berbeda yakni mentah,

setengah matang dan matang.

1.3.2 Mengetahui karakteristik pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang candi

dengan variasi asam yang berbeda yaitu asam klorida dan asam sitrat.

1.3.3 Mengetahui karakteristik pektin hasil ekstraksi dengan dari kulit pisang

candi dengan variasi konsentrasi pelarut yang berbeda yaitu 0,1 N, 0,2 N

dan 0,3 N.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan mampu memberikan

informasi karakteristik pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang candi dengan variasi

tingkat kematangan pisang yang berbeda yakni mentah, setengah matang dan

matang menggunakan variasi asam klorida dan asam sitrat dengan variasi

konsentrasi 0,1 N, 0,2 N dan 0,3 N.

1.5 Hipotesis

Tingkat kematangan pisang candi, serta jenis dan konsentrasi asam

yang berbeda diduga akan mempengaruhi karakteristik pektin dari kulit pisang

candi yang dihasilkan.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisang

Pisang merupakan buah yang tumbuh di daerah tropis. Menurut Badan

Pusat Statistik produksi pisang mencapai 7.008 ton pada tahun 2016. Tanaman

pisang bisa dikatakan sebagai tanaman serbaguna, mulai dari akar, batang

(bonggol), batang semu (pelepah), daun, bunga, buah hingga kulitnya pun dapat

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Adapun taksonomi tanaman pisang

menurut USDA (2017) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Subkelas : Zingiberidae

Order : Zingiberales

Family : Musaceae

Genus : Musa L.

Spesies : Musa paradisiaca L.

Pada musim kemarau, pisang biasanya sudah bisa dipanen 80 hari

sejak keluarnya jantung. Sedangkan pada musim hujan, pisang bisa dipanen

setelah 120 hari. Ciri-ciri pisang yang sudah bisa dipanen antara lain kulit buah

menjadi lebih cerah, bentuk buah lebih membulat tidak bersiku. Tingkat

kematangan dibagi dalam beberapa tingkat. Tingkat pertama, berwarna hijau.

Selanjutnya, warna hijau tetapi sudah ada bintik kuning. Ketiga, warna kuning

sudah banyak, tetapi hijau masih dominan. Kemudian warna kuning lebih

dominan, sudah merata, dengan sedikit hijau di ujungnya. Pisang sudah

mencapai kematangan optimum ketika seluruh kulitnya berwarna kuning. Proses

sudah selesai dan memasuki pembusukan ketika bercak cokelat muncul.

Terakhir, bila bintik cokelat sudah merata, berarti pisang mulai membusuk

(Prabawati, 2008). Berikut adalah tingkat kematangan pisang berdasarkan

warnanya :

5

2.1.1 Pisang Candi

Pisang candi merupakan salah satu komoditas yang banyak dihasilkan di

daerah Malang, khususnya di desa Kaumrejo. Luas lahan pisang di dusun

tersebut kurang lebih mencapai 20 hektar dengan hasil perharinya kurang lebih

sebanyak 5 ton. Pisang-pisang ini kebanyakan tidak diolah oleh masyarakat dan

langsung dijual mentah kepada pengepul dengan harga rata-rata Rp. 25.000,00

pertandon (Sunandar, 2017). Pisang candi merupakan pisang yang memiliki

genom AAB. Bentuk buah pisang candi ini mirip dengan pisang tanduk. Namun

ukuran buah pisang candi lebih kecil dan jumlah sisir per tandan lebih banyak

jika dibandingkan dengan pisang tanduk. Pisang candi biasanya memiliki 5 sisir

per tandan dengan jumlah buah per sisir kurang lebih 12 buah. Umumnya pisang

candi memiliki panjang sekitar 16-20cm dan memiliki bentuk ujung buah yaitu

runcing memanjang. Pisang candi yang sudah matang akan memiliki warna kulit

dan daging kuning, serta tidak memilliki biji (Sutanto, 2005).

Gambar 2.2 Pisang Candi

Sumber : (Sutanto, 2005)

Gambar 2.1 Tingkat Kematangan Pisang

Sumber : (Aurore, 2009)

Sangat

hijau

2

Lebih hijau

dengan

sedikit kuning

3

Lebih kuning

dengan

sedikit hijau

4

Kuning dengan

ujung berwarna

hijau

5

Sangat

kuning

6

Keseluruhan

kuning dengan

bintik-bintik coklat

7

6

Tingkat ketuaan buah merupakan faktor penting pada mutu buah pisang.

Buah yang dipanen kurang tua, meskipun bisa matang namun kualitasnya akan

kurang baik karena rasa dan aromanya tidak berkembang baik. Namun, bila

dipanen terlalu tua maka rasa manis dan aroma buah kuat tetapi memiliki masa

segar yang pendek. Oleh karena itu tingkat ketuaan pada saat dipanenen sangat

berkaitan dengan jangkauan pemasaran dan tujuan penggunaan buah. Untuk

tingkat kemerahan (*a) semakin tinggi nilainya menuju negatif maka menyatakan

produk semakin hijau, sedangkan semakin positif nilai a* berarti warna produk

semakin merah (Prabawati dkk, 2008).

2.1.2 Kulit pisang

Kulit pisang merupakan limbah (bahan buangan) yang jumlahnya kira-kira

1/3 dari buah pisang yang belum dikupas. Pada umumnya, kulit pisang belum

dimanfaatkan secara maksimal dan hanya dibuang sebagai limbah organik

ataupun dijadikan pakan hewan ternak. Padahal kandungan gizi yang terdapat

pada kulit pisang terbilang cukup lengkap, seperti karbohidrat, protein, lemak,

fosfor, kalsium, vitamin B, vitamin C, zat besi dan air (Munadjim, 1988). Kulit

pisang juga mengandung pigmen karotenoid yang merupakan kelompok pigmen

yang berwarna kuning, oranye, merah oranye, serta larut dalam minyak (lipida)

(Suparmi, 2013). Berikut merupakan kandungan yang terkandung dalam kulit

pisang dapat dilihat pada Tabel 2.1,

Tabel 2.1 Kandungan yang Terkandung dalam Kulit Pisang Kepok Per 100 Gram

No. Zat Gizi Kadar

1 Air (g) 68,90

2 Karbohidrat (g) 18,50

3 Lemak (g) 2,11

4 Protein (g) 0,32

5 Kalsium (mg) 715

6 Fosfor (mg) 117

7 Zat besi (mg) 1,60

8 Vitamin B (mg) 0,12

9 Vitamin C (mg) 17,50

Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Jatim, Surabaya (1982).

7

2.2 Pektin

2.2.1 Pengertian Pektin

Pektin merupakan suatu komponen serat yang terdapat pada lapisan

lamella tengah dan dinding sel primer pada tanaman serta membentuk sekitar

40% (berat kering) dari dinding sel buah dan sayuran (Sirotek, et.al, 2004).

Pektin memiliki bobot molekul tinggi dan merupakan komponen penting dalam

pertumbuhan sel awal serta dalam proses pematangan (Abid, 2016). Bobot

molekul pektin bervariasi antara 30.000-300.000 (Hastuti, 2016). Pektin berfungsi

sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya, oleh

karena itu jika seseorang mengupas buah maka akan terasa sifat “lekat”. Pektin

tersusun dari substansi seperti asam poligalakturonat, dimana gugus karboksil

dari unit asam poligalakturonat dapat teresterifikasi sebagian dengan metanol

(Hasbullah, 2001).

Struktur senyawa pektin merupakan polimer asam D-galakturonat yang

dihubungkan dengan ikatan β-(1,4)-glukosida. Asam D-galakturonat memiliki

struktur yang sama seperti struktur D-galaktosa, dimana perbedannya terletak

pada gugus alkohol primer C6 yang memiliki gugus karboksilat (Hart, 2003).

Polisakarida ini mengandung 300-1000 unit asam galakturonat.

Pektin bisa digunakan sebagai agen pembentuk gel dan pengental, agen

pengemulsi dan juga bisa digunakan sebagai stabilizer pada industri makanan

(Rao and Silva, 2006).

Terdapat beberapa bentuk senyawa pektin, antara lain :

a. Protopektin merupakan substansi pektin yang tidak larut dalam air,

banyak terdapat pada jaringan tanaman yang muda. Jika jaringan ini

dihidrolisis dalam air yang juga mengandung asam maka protopektin

akan berubah menjadi pektin yang mudah terdispersi dalam air

(Winarno, 2004).

b. Asam pektinat merupakan asam poligalakturonat yang memiliki sifat

koloid serta di dalam molekulnya terdapat metil ester pada beberapa

gugus karboksil sepanjang rantai polimernya. Pektin adalah asam

pektinat yang memiliki kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang

berbeda-beda (Hanum, 2012). Berikut adalah struktur molekul senyawa

pektin :

8

c. Asam pektat merupakan senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid

dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester. Asam pektat

dapat membantuk garam seperti asam-asam lain dan terdapat pada

jaringan tanaman sebagai kalsium atau magnesium pektat (Maulana,

2015).

Berikut adalah skema perubahan protopektin :

Meskipun pektin banyak ditemukan pada jaringan tanaman, namun

sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat

terbatas. Hal tersebut dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel

tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi (DE). Pektin yang

berasal dari sumber yang berbeda akan menghasilkan derajat esterifikasi yang

Gambar 2.5 Skema perubahan protopektin

menjadi pektin dan asam pektat

Sumber : (Nurhikmat, 2003)

Gambar 2.3 Struktur molekul asam pektinat

Sumber : (Sulihono, 2012)

Gambar 2.4 Struktur molekul asam pektat

Sumber : (Sulihono, 2012)

9

berbeda pula. Oleh karena itu jumlah rendemen pektin dalam bahan saja tidak

memenuhi syarat bahan sebagai sumber pektin komersial (Hastuti, 2016).

Pektin komersial bisa didapatkan dari berbagai sumber, dimana biasanya

didapatkan dari kulit apel dan kulit jeruk (Maran et al, 2013). Sedangkan sumber

lain yang menghasilkan pektin adalah produk hasil pertanian seperti sekam biji

kakao, persik, kulit pisang, kepala bunga matahari, kulit durian, kulit buah delima

dan kulit buah papaya (Raji et al, 2016)

2.2.2 Sifat Pektin

Sifat-sifat pektin ditentukan oleh struktur molekul pektin. Menurut Muhidin

(2001), sifat fisik dari pektin adalah berbentuk serbuk berwarna putih kekuningan

yang tidak larut dalam pelarut organik, akan tetapi larut dalam air panas pada

suasana asam dan juga akan membentuk gel jika ditambah air dan gula dalam

keadaan asam. Makin tinggi kadar metoksil yang dikandung dalam suatu pektin

maka makin cepat pektin berubah menjadi gel.

Sedangkan untuk sifat kimia dari pektin bersifat asam dan koloidnya

bermuatan negatif karena adanya gugus karboksil bebas (Nelson, 1997). Pektin

merupakan senyawa hidrokarbon yang berat molekulnya besar yang di dalamnya

terdapat sisa-sisa asam galakturonat disambung oleh atom atom oksigen

menjadi sebuah rantai. Di samping gugus karboksil dalam rantai ini terdapat juga

gugus COOCH3 (gugus metoksil) (Fitria, 2013). Berikut merupakan gambar

struktur dari pektin :

Berdasarkan jumlah kandungan metoksil, pektin terbagi 2 yaitu :

a. Pektin bermetoksil tinggi (High Methoxyl Pectin)

Memiliki kandungan metoksil lebih dari 7,12%. Bersifat larut dalam air dingin,

mampu membentuk gel dengan adanya penambahan gula dan asam dalam

perbandingan tertentu (Hariyati, 2006).

Gambar 2.6 Struktur pektin

Sumber : (Hastuti, 2016)

10

Mekanisme pembentukan gel pada pektin bermetoksil tinggi (HMP) adalah

rantai pektin yang dihidrasi dengan cara mengganti molekul air oleh molekul

terlarut akan menyebabkan terjadi kontak yang lebih luas antara rantai-rantai

pektin yang menghasilkan jaringan kompleks molekul polisakarida. Sebagian dari

molekul ini berikatan melalui ikatan hidrogen. Disela-sela jaringan ini molekul air

dan molekul terlarut terperangkap. Pektin bermetoksil tinggi umumnya digunakan

dalam industri jus atau sari buah, selai, susu, jeli, buah kalengan dan gula-gula

(Hastuti, 2016).

b. Pektin bermetoksil rendah (Low Methoxyl Pectin)

Memiliki kandungan metoksil 2,5-7,12% dan bersifat larut dalam alkali.

Mampu membentuk gel tanpa adanya penambahan gula tetapi perlu adanya ion

divalen, misalnya ion kalsium (Hariyati, 2006).

Mekanisme yang terjadi adalah hubungan antara molekul-molekul pektin

yang berdekatan oleh kation divalent membentuk struktur tiga dimensi melalui

pembentukan garam dengan gugus karboksil dari pektin (Fitriani, 2003). Pektin

bermetoksil rendah sensitif terhadap kation bivalen sehingga bisa diaplikasikan

sebagai adsorben logam berat (Hastuti, 2016).

2.2.3 Kegunaan Pektin

Pektin digunakan di industri makanan dan minuman sebagai agen

pengental, pembentuk gel dan zat penstabil koloid (Hastuti, 2016). Pada bidang

farmasi pektin biasanya digunakan sebagai campuran obat-obatan untuk

berbagai jenis penyakit seperti obat diare, obat luka, disentri radang usus besar,

pengganti plasma darah dan pektin juga digunakan untuk memperlambat

Gambar 2.7 Struktur pektin bermetoksil tinggi

Sumber : (IPPA, 2002)

Gambar 2.8 Struktur pektin bermetoksil rendah

Sumber : (IPPA, 2002)

11

absorbsi beberapa jenis obat-obatan tertentu di dalam tubuh sehingga dapat

memperpanjang masa kerja suatu obat.

Pada bidang kecantikan biasanya pektin digunakan untuk campuran

berbagai jenis kosmetik seperti pada pembuatan cream dan handbody lotion,

sabun, pasta gigi serta minyak rambut (Nurviani, 2014). Selain dalam bidang

diatas, pektin bisa digunakan untuk pembuatan resin sintesis dan perekat,

sebagai stabilisator pada pembuatan koloid logam serta sebagai bahan baku

peledak dalam bentuk nitro pektin, asetil pektin dan formil pektin. Pektin juga

memiliki beberapa sifat unik yang memungkinkannya digunakan sebagai matriks

penyerap logam di bidang lingkungan hidup. Pektin pun bisa digunakan pada

industri tekstil dan industri karet (Muhidin, 1999).

2.2.4 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika

tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut

dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut

dipisahkan dari sampel dengan penyaringan (Mukhriani, 2014). Berikut

adalah beberapa metode ekstraksi yang biasa digunakan :

a. Maserasi

Maserasi merupakan cara sederhana yang biasanya dilakukan

dengan cara merendam serbuk yang akan diekstrak didalam larutan

pengekstrak. Larutan pengekstrak nantinya akan menembus dinding sel

dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif

yang terdapat dalam serbuk ini nantinya akan larut dan larutan yang

terpekat didesak keluar dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi

antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel. Peristiwa tersebut

terjadi secara berulang sehingga akan terjadilah keseimbangan

konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Pratiwi, 2010).

Proses perendaman ini bisa dilakukan tanpa pemanasan (pada

temperatur kamar), dengan pemanasan atau bahkan pada suhu

pendidihan. Larutan pengekstrak yang biasa digunakan dapat berupa air,

etanol, air-etanol atau pelarut lainnya (Harmita, 2008). Keuntungan dari

maserasi adalah cara pengerjaannya sederhana dan peralatan yang

digunakan mudah ditemukan (Agoes, 2007).

12

b. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dengan cara membasahi serbuk yang akan

diekstrak dan dialiri dengan larutan pengekstrak menggunakan

perkolator. Perkolator adalah alat yang digunakan untuk mengekstrak

terbuat dari bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori.

Larutan pengekstrak akan melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui

hingga mencapai keaadan jenuh kemudian dibiarkan menetes (Ansel,

1989). Keuntungan dari metode perkolasi adalah tidak memerlukan

pemanasan sehingga metode ini tepat digunakan untuk substansi yang

tidak tahan terhadap panas dan juga penarikan zat aktif dari serbuk yang

akan diekstrak lebih sempurna (Agoes, 2007).

c. Sokletasi

Sokletasi merupakan metode ekstraksi yang menggunakan

pelarut yang selalu barudan umumnya dilarutkan dengan alat khusus

sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik. Sampel akan dibalut oleh kertas

saring dan ditempatkan di dalam soklet. Alat soklet kemudian akan

mengosongkan isinya ke dalam labu dasar bulat setelah pelarut

mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati alat ini melalui

pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa dari

bioasa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena konsentrasi awalnya

rendah dalam pelarut (Istiqomah, 2013). Keuntungan dari menggunakan

metode sokletasi ini adalah ekstrak yang dihasilkan lebih banyak, pelarut

yang digunakan lebih sedikit, waktu yang digunakan lebih cepat, dan

sampel diekstraksi secara sempurna karena dilakukan berulang-ulang

(Puspitasari, 2016).

d. Refluks

Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada

temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut

terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya

dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali

sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

Biasanya metode ini digunakan jika pelarut yang digunakan bersifat

volatile (mudah menguap). Prinsip dari metode refluks adalah pelarut

volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan

13

didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam

bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam

wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi

berlangsung. Keuntungan dari metode ini antara lain bisa digunakan

untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan

sampel-sampel yang tahan pemanasan secara langsung (Agoes, 2007).

2.2.4.1 Ekstraksi Pektin

Pemisahan pektin dari jaringan tanaman asalnya bisa dilakukan dengan

cara ekstraksi. Proses ekstraksi pektin terdiri dari 4 tahap yaitu ekstraksi,

pengendapan, pencucian serta pengeringan (Nurviani, 2014). Ekstraksi adalah

suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun bahan cair dengan bantuan

pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang

diinginkan tanpa melarutkan material lain. Ekstraksi menggunakan pelarut

didasarkan pada kelarutan komponen lain dalam campuran (Tuhuloula, 2013).

Beberapa jenis pelarut yang dapat melarutkan pektin adalah air, beberapa

senyawa organik, senyawa alkalis dan asam. Dalam proses ekstraksi pektin

terjadi perubahan senyawa pektin yang diakibatkan oleh proses hidrolisis

protopektin. Adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama waktu

ekstraksi akan menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat (pektin). Jika

proses hidrolisis tersebut dilanjutkan maka senyawa pektin tersebut akan

berubah menjadi asam pektat (Nurhikmat, 2003).

Pengendapan pektin dalam filtrat diendapkan dengan menggunakan

aseton atau etanol 96% (Ranggana, 2000). Menurut Megawati (2016)

pengendapan dilakukan karena pektin terlarut memiliki gangguan terhadap

kestabilan dispersi koloidalnya. Hal ini disebabkan karena pektin termasuk

koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang

terionisasi) dan tidak mempunyai titik isolistrik. Seperti koloid hidrofilik umumnya,

pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya.

Pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan elektrostatik antara muatan

negatif molekul pektin dan muatan positif molekul air. Penambahan zat

pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas dispersi pektin karena

efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air, sehingga pektin akan

menggumpal.

14

Proses pencucian dilakukan agar senyawa pektin yang didapatkan bebas

dari senyawa-senyawa lain. Proses ini dilakukan dengan cara mencuci pektin

sebanyak dua kali dengan menggunakan etanol 96% (Sulihono, 2012).

Pengeringan dilakukan terhadap pektin basah untuk mengurangi kadar air

yang terkandung didalam pektin. Pengeringan dapat dilakukan menggunakan

oven dengan suhu 50oC selama 6 jam hingga pektin yang dihasilkan merupakan

pektin dalam bentuk kering (Perina, 2007).

2.2.5 Karakterisasi Pektin

Berikut adalah standar mutu pektin dan spesifikasi pektin berdasarkan

Standar Mutu International Pectin Producers Association (2002).

Tabel 2.2 Standar mutu pektin

Faktor Mutu Kandungan

Kandungan metoksil :

Pektin metoksil tinggi

Pektin bermetoksil rendah

Kadar asam galakturonat

Kadar abu

Kadar air

Derajat esterifikasi untuk :

Pektin ester tinggi

Pektin ester rendah

Berat Ekivalen

> 7,12%

2,5 - 7,12%

Min 35%

Maks 10%

Maks 12%

Min 50%

Maks 50%

600 – 800 mg

Sumber : Standar Mutu International Pectin Producers Association,

(2001)

2.2.5.1 Rendemen Pektin

Pektin merupakan salah satu kelompok kompleks heteropolisakarida

yang beragam. Pektin memiliki ukuran molekul yang beragam dan komposisi

yang berbeda sehingga struktur kimia dan molekulnya beragam. Komposisi

tersebut tergantung pada jenis bahan yang diekstrak, kondisi ekstraksi, lokasi

asal bahan dan faktor lingkungan yang lain (Chang, Dhurandhar dan Miyamoto

1994).

15

Rendemen pektin adalah jumlah kandungan pektin yang terdapat dalam

kulit pisang. Kandungan pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis bahan

yang digunakan serta metode ekstraksinya (Nurhayati, 2015). Untuk

mendapatkan kadar pektin digunakan rumus berikut ini :

Rendemen Pektin = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑘𝑡𝑖𝑛 (𝑔)

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑘𝑢𝑙𝑖𝑡 𝑝𝑖𝑠𝑎𝑛𝑔 (𝑔) x 100%

2.2.5.2 Berat Ekivalen

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam

galakturonat bebas yang tidak teresterifikasi dalam rantai molekul pektin

(Ranganna, 1977). Asam pektat murni memiliki berat ekivalen 176 dan

seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil

ester atau tidak mengalami esterifikasi. Tingginya derajat esterifikasi antara asam

galakturonat dengan methanol akan menunjukkan semakin rendahnya jumlah

asam bebas yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Rouse, 1977). Untuk

mendapatkan berat ekuivalen digunakan rumus berikut ini :

Berat Ekivalen = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑒𝑘𝑡𝑖𝑛 (𝑚𝑔)

𝑚𝑙 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻

2.2.5.3 Kadar Metoksil

Kadar metoksil dapat diartikan sebagai jumlah metanol yang terdapat di

dalam pektin. Pektin disebut bermetoksil tinggi jika memiliki nilai kadar metoksil

sama dengan 7,12% atau lebih. Jika kadar metoksil berkisar antara 2,5-7,12%

maka pektin disebut bermetoksil rendah (Goycoolea dan Adriana, 2003).

Kandungan metoksil pektin sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel.

Pektin yang mengandung metoksil tinggi dapat membentuk gel dengan adanya

gula dan asam pada perbandingan tertentu sedangan pektin yang mengandung

metoksil rendah dapat membentuk gel tanpa adanya gula namun diperlukan

adanya penambahan kation polivalen seperti ion kalsium (Hastuti, 2016). Untuk

mendapatkan kadar metoksil digunakan rumus berikut ini :

Kadar metoksil (%) = 𝑚𝑙 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 31 𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 100

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

16

2.2.5.4 Kadar Galakturonat

Salah satu faktor yang menentukan mutu pektin adalah kadar

galakturonat yang dikandung di dalam pektin. Kerangka dasar penyusun

senyawa pektin adalah asam poligalakturonat dimana asam poligalakturonat ini

bisa menggambarkan kemurnian pektin. Jika asam poligalakturonat yang

dikandung semakin besar, maka kemurnian pektin tersebut semakin tinggi

karena kandungan organik lainnya seperti arabinosa, galaktosa, rhamnosa dan

jenis gula lainnya semakin kecil. Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan

membentuk gel. Semakin banyak kandungan asam galakturonat yang ada, maka

jaringan tiga dimensi akan terbentuk dengan kokoh dan mampu menjebak

seluruh cairan yang ada di dalamnya sehingga gel yang terbentuk semakin kuat

(Sulihono, 2012). Jika berat ekuivalen dan kadar metoksil dari pektin sudah

diketahui maka kadar galakturonat bisa dihitung menggunakan rumus :

%Kadar galakturonat = 176 𝑥 0,1 𝑧 𝑥 100

𝑤 𝑥 1000 +

176 𝑥0,1 𝑦 𝑥 100

𝑤 𝑥 1000

Keterangan :

1 unit mol AUA = 176 g

Z = ml (titrasi) NaOH dari penentuan berat ekuivalen

Y = ml (titrasi) NaOH dari penentuan kadar metoksil

W = berat sampel

Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting

dalam menentukan sifat fungsional dari larutan pektin. Kadar galakturonat itu

sendiri mampu mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla.

2006). Semakin tinggi kadar galakturonat yang dihasilkan maka mutu pektin juga

akan semakin tinggi (Haryati, 2006).

2.2.5.5 Derajat Esterifikasi

Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-

galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan metanol (Haryati,

2006). Berdasarkan standar mutu pektin yang dikeluarkan oleh IPPA

(International Pectin Producers Assosiation), derajat esterifikasi terbagi atas 2

jenis yaitu pektin ester tinggi untuk yang memiliki nilai derajat esterifikasi minimal

50% dan pektin ester rendah untuk pektin yan memiliki nilai derajat esterifikasi

maksimal 50%. Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil

17

dan kadar asam galakturonat. Untuk mendapatkan nilai derajat esterifikasi

digunakan rumus berikut :

%DE = 176 𝑥 % 𝑀𝑒𝑂

31 𝑥 % 𝐴𝑈𝐴 x 100

2.2.5.6 Kadar Air

Masa simpan dari suatu bahan akan dipengaruhi oleh kadar air yang

terkandung di dalamnya. Tingginya kadar air yang dikandung oleh suatu bahan

akan menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba (Hariyati, 2006).

Kadar air (%) = 𝑊𝑎−𝑊𝑏

𝑊 x 100%

Keterangan :

Wa = berat sebelum dikeringkan

Wb = berat akhir setelah dikeringkan

W = berat sampel awal

2.2.5.7 Kadar Abu

Abu adalah bahan anorganik yang didapatkan dari residu atau sisa

pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu akan mempengaruhi tingkat

kemurnian pektin. Jika kadar abu dalam pektin semakin besar, maka persentase

kandungan pektin dan tingkat kemurnian yang terdapat di dalamnya akan

semakin rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar abu pektin dalam

suatu bahan adalah residu bahan anorganik yang terdapat pada bahan baku,

metode ekstraksi dan isolasi pektin (Kalapathy dan Proctor, 2001).

Prinsip penentuan kadar abu adalah bahan atau sampel akan dipanaskan

pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan

kemudian menguap, sehingga hanya unsur mineral dan anorganik yang akan

tertinggal (Departemen Kesehatan, 2000). Untuk mendapat kadar abu dalam

suatu bahan maka dapat digunakan rumus berikut ini :

Kadar Abu (%) = 𝑊1−𝑊2

𝑊 x 100%

Keterangan :

W = bobot sampel awal (g)

W1 = bobot wadah + sampel setelah pemanasan (g)

W2 = bobot wadah kosong (g)

18

2.3 Jenis Asam

Pemilihan jenis pelarut dalam proses ekstraksi perlu diperhatikan. Jenis

pelarut asam yang berbeda akan berhubungan dengan tingkat hidrolisis yang

berbeda. Hal itu disebabkan karena kekuatan asam yang berbeda akan

menghasilkan karakteristik pektin yang berbeda pula (Garna, 2007). Konsentrasi

serta jumlah pelarut juga akan berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi dan

dalam jumlah tertentu pelarut dapat bekerja secara optimal, namun jumlah yang

berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak (Susanto, 1999).

2.3.1 Asam Klorida (HCl)

Asam klorida yang memiliki rumus kimia HCl merupakan salah satu asam

kuat yang banyak digunakan dalam industri. Larutan asam klorida (HCl) adalah

cairan kimia yang sangat korosif, bersifat volatil (mudah menguap), berbau

menyengat dan sangat iritatif, beracun dan termasuk bahan kimia berbahaya

atau B3. Asam klorida merupakan larutan gas hidrogen klorida (HCl) dalam air.

Warnanya bervariasi dari tidak berwarna hingga kuning muda. Perbedaan warna

ini tergantung pada kemurniannya. Asam klorida memiliki berat molekul 36,5

gr/mol, densitas 1,19 gr/ml, titik didih 50,50oC (1atm), titik lebur : -250C (1 atm),

serta dapat teroksidasi oleh oksidator kuat seperti MnO2, KmnO4, atau K2Cr2O7.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Syukron, 2015 didapatkan karakteristik

pektin dari kulit pisang Uli yang diekstrak menggunakan HCl sebagai berikut :

Tabel 2.3 Karakteristik Pektin Kulit Pisang Uli

No. Karakterisasi Waktu ekstraksi

70 menit 80 menit

1 Bobot pektin (gram) 2,05 2,45

2 Kadar air (%) 9,97 9,58

3 Kadar abu (%) 0,36 0,38

4 Berat ekivalen 5.260,942 3.642,191

5 Kadar metoksil (%) 3,07 3,20

6 Kadar galakturonat (%) 69,95 72,95

7 Derajat esterifikasi (%) 24,97 24,96

Sumber : (Syukron, 2015)

19

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Castillo, 2015 didapatkan

karakteristik pektin dari kulit pisang Saba yang diekstrak menggunakan HCl

sebagai berikut :

Tabel 2.4 Karakteristik Pektin Kulit Pisang Saba

Karakteristik Tingkat kematangan

Matang Mentah

Rendemen pektin % 11.87 16.54 Kadar air % 10.00 14.13 Kadar abu % 11.15 13.83 Berat ekivalen 953.89 1503.16 Kadar metoksil % 6.40 5.25 Kadar galakturonat % 57.32 39.68 Derajat esterifikasi % 63.37 75.03

Sumber : (Castillo, 2015).

2.3.2 Asam Sitrat

Asam sitrat yang memiliki rumus kimia C6H8O7 adalah salah satu asam

organik yang sifatnya polar, mudah dicerna, tidak beracun, bersifat asam dan

mudah larut dalam air, spiritus dan etanol. Asam sitrat merupakan asam organik

yang berbentuk kristal atau serbuk putih serta memiliki nama IUPAC asam 2-

hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat (Febrianty, 2007). Umumnya asam sitrat

digunakan sebagai bahan tambahan pangan ataupun sebagai bahan pengawet

dan merupakan bahan yang mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau.

Asam sitrat dapat mengikat logam-logam divalent seperti Mn2+. Fe2+. Cu2+

dan Mg2+. Asam sitrat dapat menghambat terjadinya pencoklatan karena

kemampuannya yang dapat membentuk kompleks dengan ion tembaga yang

berperan sebagai katalisator dalam reaksi pencoklatan. Selain itu asam sitrat

dapat mencegah terjadinya pencoklatan dengan cara menurunkan pH sehingga

enzim fenolase menjadi inaktif (Winarno, 2004). Berikut adalah gambar struktur

asam sitrat :

Gambar 2.9 Struktur asam sitrat

Sumber : (Febrianty, 2007)

20

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Teknologi

Pengolahan Pangan dan Laboratorium Bioteknologi Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang, mulai

bulan Agustus 2017 hingga April 2018.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gelas beker,

erlenmeyer, gelas ukur, corong kaca, cawan petri, pengaduk kaca, bulb, pipet

ukur, pipet tetes, cabinet dryer, shaker water bath, sentrifuge, oven, desikator,

tanur, timbangan analitik, saringan kain, serta kertas saring halus.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung kulit

pisang mentah, tepung kulit pisang setengah matang, tepung kulit pisang

matang, asam klorida (HCl), asam sitrat (C6H8O7), etanol 96% (teknis), aquades,

indikator fenol merah dan sodium hidroksida (NaOH).

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan

tiga faktor. Faktor 1 (tingkat kematangan pisang yang terdiri dari 3 level), faktor 2

(jenis pelarut yang terdiri dari 2 level) dan faktor 3 (konsentrasi pelarut yang

terdiri dari 3 level) dengan 2 kali ulangan sehingga diperoleh 36 satuan

percobaan.

(a) Tingkat kematangan pisang yaitu :

M1 = Mentah

M2 = Setengah matang

M3 = Matang

(b) Jenis pelarut yaitu :

A1 = HCl

A2 = Asam sitrat

(c) Konsentrasi pelarut yaitu :

K1 = 0,1 N

21

K2 = 0,2 N

K3 = 0,3 N

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Rancangan Percobaan:

Perlakuan HCl Asam sitrat

0,1 N 0,2 N 0,3 N 0,1 N 0,2 N 0,3 N

Mentah

M1A1K1 M1A1K2 M1A1K3 M1A2K1 M1A2K2 M1A2K3

Setengah

matang

M2A1K1 M2A1K2 M2A1K3 M2A2K1 M2A2K2 M2A2K3

Matang

M3A1K1 M3A1K2 M3A1K3 M3A2K1 M3A2K2 M3A2K3

Keterangan :

M1A1K1 = Mentah, HCl, 0,1 N

M1A1K2 = Mentah, HCl, 0,2 N

M1A1K3 = Mentah, HCl, 0,3 N

M1A2K1 = Mentah, Asam sitrat, 0,1 N

M1A2K2 = Mentah, Asam sitrat, 0,2 N

M1A2K3 = Mentah, Asam sitrat, 0,3 N

M2A1K1 = Setengah matang, HCl, 0,1 N

M2A1K2 = Setengah matang, HCl, 0,2 N

M2A1K3 = Setengah matang, HCl, 0,3 N

M2A2K1 = Setengah matang, Asam sitrat, 0,1 N

M2A2K2 = Setengah matang, Asam sitrat, 0,2 N

M2A2K3 = Setengah matang, Asam sitrat, 0,3 N

M3A1K1 = Matang, HCl, 0,1 N

M3A1K2 = Matang, HCl, 0,2 N

M3A1K3 = Matang, HCl, 0,3 N

M3A2K1 = Matang, Asam sitrat, 0,1 N

M3A2K2 = Matang, Asam sitrat, 0,2 N

M3A2K3 = Matang, Asam sitrat, 0,3 N

22

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Tepung Kulit Pisang :

a. Kulit pisang yang digunakan dibedakan 3 tingkat kematangan yaitu kulit

pisang mentah, setengah matang dan matang. Kriteria kematangan

pisang ditentukan secara visual berdasarkan color chart yang terdapat

pada Lampiran 2.

b. Kulit pisang yang digunakan terlebih dahulu dipilih dan disortir dari kulit

pisang yang busuk atau rusak lalu dipotong kedua ujungnya.

c. Kulit pisang direndam di dalam sodium metabisulfit 100 ppm selama 15

menit untuk memperlambat terjadinya proses browning.

d. Kulit pisang di potong kecil-kecil yang bertujuan untuk memperbesar luas

permukaan sehingga ketika dikeringkan di cabinet dryer waktu yang

diperlukan tidak terlalu lama dan pengeringan dapat terjadi secara

merata.

e. Kulit pisang yang sudah dipotong-potong tersebut dikeringkan di cabinet

dryer pada suhu 45oC selama lebih kurang 11 jam.

f. Kulit pisang kemudian diblender dan diayak ukuran 80 mesh.

g. Setelah itu tepung kulit pisang ditimbang untuk mendapatkan rendemen

tepung kulit pisang.

3.4.2 Ekstraksi pektin :

a. Tepung kulit pisang ditimbang sebanyak 8 g kemudian ditambahkan

dengan pelarut asam dengan rasio 1:30 dan kemudian diekstrak

menggunakan hot water bath suhu 90oC selama 90 menit.

b. Ekstrak kemudian disaring dengan 2 lapis kain saring untuk memisahkan

filtrat dan residu.

Gambar 3.4.1.2 Pisang Candi Berdasarkan Tingkat Kematangan

Mentah Setengah Matang Matang

23

c. Kemudian filtrat di sentrifus dengan kecepatan 5000 xg selama 30 menit

untuk benar-benar memisahkan filtrat dari residu yang tersisa.

d. Selanjutnya filtrat yang didapatkan ditambahkan etanol teknis 96%

dengan perbandingan 1:2.

e. Pengendapan dilakukan pada suhu 4oC selama 24 jam.

f. Pektin yang menggumpal kemudian disaring dan dicuci dengan etanol

sebanyak 2 kali. Pencucian ini bertujuan untuk memurnikan pektin dari

residu-residu yang tersisa.

g. Kemudian pektin dikeringkan pada suhu 50oC selama 6 jam.

3.4.3 Analisa :

3.4.3.1 Analisa Bahan Baku

a. Kadar Protein (AOAC, 1995)

b. Kadar Air (AOAC, 1995)

c. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

d. Kadar Abu (AOAC, 1995)

e. Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)

3.4.3.2 Karakterisasi Pektin

a. Persen rendemen (Raji, 2016)

b. Berat ekuivalen (Ranganna, 1995)

c. Kadar metoksil (Ranganna, 1995)

d. Kadar galakturonat (Ranganna, 1995)

e. Derajat esterifikasi (Ranganna, 1995)

f. Kadar air (AOAC, 1995)

g. Kadar abu (AOAC, 1955)

24

3.5 Analisa Data

Data yang sudah didapatkan akan dianalisa menggunakan ANOVA (Analysis of

Variance) dengan program Minitab 17 dan Excel 2010 dengan menggunakan

selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Dari hasil uji ANOVA yang didapatkan akan

diketahui ada atau tidaknya pengaruh nyata dari faktor perlakuan yang diuji. Jika

hasil uji menunjukkan bahwa faktor tersebut beda nyata dan terjadi interaksi

antar faktor maka akan dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range

Test).

25

3.6 Diagram Alir

3.6.1 Persiapan Bahan

Penyortiran

Perendaman dalam sodium metabisulfit 100 ppm selama 15 menit

Pemotongan kecil-kecil

Pengeringan di cabinet dryer pada suhu 45oC selama 11 jam

Penghalusan dengan blender

Pengayakan dengan ayakan ukuran 80 mesh

Kulit pisang

Tepung kulit pisang

Gambar 3.1 Diagram Alir Persiapan Bahan (Modifikasi Emaga, 2007)

Analisa :

-Kadar Air

-Kadar Abu

-Protein

-Lemak

-Karbohidrat

-Rendemen pektin

26

3.6.2 Ekstraksi Pektin

Penimbangan sebanyak 8 gram

Dimasukkan kedalam hot water bath suhu 90oC selama 90 menit

Ekstrak

Penyaringan dengan 2 lapis kain saring

Filtrat

Pemisahan dengan sentrifuge dengan kecepatan 5000 xg selama 30 menit

Filtrat

Pengendapan pada suhu 40C selama 24 jam

Penyaringan

Pektin basah

Pencucian dengan etanol 96% 100ml sebanyak dua kali

Pektin basah

Pengeringan pada suhu 50oC

selama 6 jam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung kulit pisang

Larutan asam 1:30

Residu

Residu

Pektin kering

Gambar 3.2 Diagram Alir Ekstraksi Pektin (Raji, 2016)

Etanol 96% dengan

perbandingan 1:2

Filtrat

Analisa :

-Rendemen Pektin

-Berat Ekivalen

-Kadar Metoksil

-Kadar Galakturonat

-Derajat Esterifikasi

-Kadar Air

-Kadar Abu

Analisa :

-Kadar Air

-Kadar Abu

-Warna

27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa kulit pisang

candi segar yang kemudian dilakukan analisa proksimat yakni pengujian kadar

protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar air serta kadar abu. Hasil analisa

dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.1 Karakteristik Kulit Pisang Candi Segar

Zat gizi Mentah Setengah matang Matang

Berat kulit tiap 100

gram buah (g)

43,49 39,63 44,46

Kadar air (%) 71,1±0,24 66,74±1,31 72,31±0,83

Kadar abu (%) 3,92±0,15 3,83±0,45 2,42±0,12

Protein (%) 7,12±0,07 7,59±0,29 5,71±0,12

Lemak (%) 4,34±0,07 6,82±0,09 5,58±0,63

Karbohidrat (%) 13,52±0,53 15,02±2,16 13,98±1,21

Rendemen pektin (%) 0,40±0,06 4,26±0,32 1,37±0,16

Dari Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa limbah kulit pisang candi jumlahnya

mencapai kadar kurang lebih 40%. Hal ini menandakan bahwa limbah kulit

pisang candi memiliki jumlah yang cukup besar. Kandungan tertinggi dari kulit

pisang candi baik yang mentah, setengah matang maupun matang adalah air

dan karbohidrat. Kadar air yang dikandung oleh kulit pisang candi mencapai

kadar hingga 72% sedangkan kadar karbohidrat tertinggi dimiliki oleh kulit pisang

candi setengah matang dengan jumlah 15,02%. Menurut Linawati (2016) kulit

pisang mengandung kadar air sebesar 68,90%, karbohidrat sebesar 18,50%,

protein kasar sebesar 6-9% dan lemak kasar 3,8-11%.

4.2 Karakteristik Pektin Kulit Pisang Candi

4.2.1 Rendemen Pektin

Rendemen pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara

0,12% hingga 21,77%. Rendemen tertinggi didapatkan dengan ekstraksi pektin

dari kulit pisang mentah menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0,2 N

28

sedangkan rendemen terendah didapatkan dengan ekstraksi pektin dari kulit

pisang matang menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,3 N.

Berdasarkan analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran 3 dapat

diketahui bahwa tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang dan

matang, jenis asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi asam

0,1 N, 0,2 N dan 0,3 N berpengaruh nyata terhadap rendemen pektin yang

dihasilkan dari kulit pisang candi. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga faktor

tersebut pun menunjukkan perbedaan yang nyata.

Tabel 4.2 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Rendemen Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata

Rendemen (%)

DMRT

5% Jenis Asam Konsentrasi Tingkat Kematangan

Asam

Klorida (A1)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 17,88± 1,06 h 1,27

Setengah matang (M2) 14,48 ± 1,33 g 1,27

Matang (M3) 8,99 ± 0,61 f 1,26

0,2 N (K2) Mentah (M1) 7,22 ± 0,00 e 1,25

Setengah matang (M2) 3,99 ± 0,20 cd 1,22

Matang (M3) 2,80 ± 0,04 b 1,18

0,3 N (K3) Mentah (M1) 2,94 ± 0,10 bc 1,20

Setengah matang (M2) 0,40 ± 0,01 a 1,14

Matang (M3) 0,12 ± 0,00 a 1,09

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 9,09 ± 0,53 f 1,27

Setengah matang (M2) 6,85 ± 0,61 e 1,24

Matang (M3) 4,61 ± 0,24 d 1,2

0,2 N (K2) Mentah (M1) 21,77 ± 0,36 i -

Setengah matang (M2) 14,52 ± 0,38 g 1,27

Matang (M3) 7,99 ± 0,55 ef 1,26

0,3 N (K3) Mentah (M1) 17,19 ± 0,12 h 1,27

Setengah matang (M2) 14,40 ± 0,45 g 1,27

Matang (M3) 6,98 ± 0,14 e 1,25

Sedangkan uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 4

menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pektin dart kulit pisang matang

dengan asam klorida 0,3 N dan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan

asam klorida 0,3 N tidak berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan

rendemen pektin yang terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

29

Sedangkan kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang mentah dengan asam

klorida 0,1 dan pektin dari kulit pisang mentah dengan asam sitrat 0,2 N berbeda

nyata (α=0,05) dan kedua perlakuan ini menunjukkan rendemen pektin yang

tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan

bahwa telah tercapainya kondisi optimum pada proses ekstraksi.

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan rendemen pektin

diatas didapatkan bahwa untuk perlakuan menggunakan asam klorida, semakin

besar konsentrasi yang digunakan maka rendemen yang didapatkan cenderung

semakin menurun. Sedangkan untuk perlakuan yang menggunakan asam sitrat,

rendemen tertinggi dihasilkan pada konsentrasi 0,2 N dan selanjutnya cenderung

menurun ketika menggunakan konsentrasi 0,3 N.

Sedangkan semakin tinggi derajat keasaman suatu pelarut maka

rendemen pektin yang dihasilkan akan semakin besar (Sulihono, 2012). Menurut

Ningsih (2009) asam kuat akan melepaskan ion H+ lebih tinggi (atau terdisosiasi

sempurna) sehingga mampu mengekstrak lebih tinggi dibandingkan dengan

asam lemah. Prinsip ekstraksi pektin adalah perombakan protopektin yang tidak

larut menjadi pektin yang mudah larut yang dapat dilakukan dengan hidrolisis

asam atau enzimatis (Hanum, 2012). Pelarut asam klorida dan asam sitrat

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Rendemen Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Rendem

en E

kstr

ak P

ektin (

%)

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCl)

mentah (asam sitrat)

setengah matang(asam sitrat)

matang (asam sitrat)

30

merupakan asam yang berperan sebagai katalis untuk mempercepat reaksi

hidroliss protopektin menjadi pektin.

Semakin tinggi konsentrasi asam, maka semakin banyak kadar pektin

yang dihasilkan. Konsentrasi asam yang tinggi akan meningkatkan pelepasan

protopektin dari kulit pisang sehingga kadar pektin yang didapatkan semakin

besar pula (Fakhrizal, 2015). Semakin besarnya konsentrasi asam yang

ditambahkan, maka kemungkinan ion hidrogen untuk memutuskan ikatan

selulosa dengan asam pektinat akan semakin tinggi sehingga pektin yang larut

juga semakin besar. Konsentrasi serta jumlah pelarut akan berpengaruh

terhadap efisiensi ekstraksi dan dalam jumlah tertentu pelarut dapat bekerja

secara optimal, namun jumlah yang berlebihan tidak akan mengekstrak lebih

banyak (Susanto, 1999). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikatakan jika

kondisi optimal untuk mengekstrak pektin menggunakan asam klorida adalah

menggunakan konsentrasi 0,1 N sedangkan konsentrasi optimal untuk asam

sitrat adalah 0,2 N.

Dari grafik pada Gambar 4.1 juga dapat dilihat jika rendemen pektin yang

dihasilkan cenderung menurun seiring dengan meningkatnya tingkat

kematangan. Hasil rendemen pektin tertinggi didapatkan dari kulit pisang

mentah, yakni sebesar 21,77 ± 0,36% dan hasil rendemen pektin terendah

didapatkan dari kulit pisang matang sebesar 0,12 ± 0,00%. Rendemen ekstrak

pektin akan menurun secara nyata dengan meningkatnya tingkat kematangan.

Menurut Kader (2002) rendahnya rendemen ekstrak pektin pada kulit pisang

yang lebih matang disebabkan karena pada umumnya buah-buahan mengalami

serangkaian perubahan komposisi kimia maupun fisiknya, diantaranya

perubahan kandungan asam-asam organik, gula dan karbohidrat lainnya.

Rendemen pektin pada kulit pisang yang sudah matang atau berwarna

kuning akan menurun jumlahnya karena proses degradasi pektin oleh enzim. Hal

ini sesuai dengan pendapat Winarno (2002) bahwa proses degradasi pektin,

banyak enzim yang dapat aktif, yaitu PE (pectin methyl esterase) yang aktif

dalam pemecahan metil dari metil ester, PG (polygalacturonase) yang membantu

memecahkan ikatan 1.4 dan PTE (pectin trans eliminase) yaitu enzim yang

bekerja pada ikatan 1.4 sama dengan PG tapi PTE bekerja pada hasil

hidrolisisnya. Hal ini didukung oleh penelitian Akili (2012) yang menemukan

jumlah pektin di dalam kulit pisang mentah dan matang berturut-turut 8,42%, dan

31

7.09%. Biasanya rendemen pektin juga dipengaruhi oleh sumber dan metode

ekstraksi yang digunakan (Rha, et. al, 2011).

4.2.2 Berat Ekivalen

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam

galakturonat bebas yang tidak teresterifikasi dalam rantai molekul pektin. Berat

ekivalen pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 787,45 hingga

10000 mg (milligram/ekivalen). Berat ekivalen tertinggi didapatkan dengan

ekstraksi pektin pada kulit pisang setengah matang menggunakan asam klorida

dengan konsentrasi 0,1 N sedangkan berat ekivalen terendah didapatkan

dengan ekstraksi pektin pada kulit pisang mentah menggunakan asam klorida

dengan konsentrasi 0,2 N.

Hasil dari analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran 6

adalah tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang dan matang, jenis

asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi asam 0,1 N, 0,2 N dan

0,3 N berpengaruh nyata terhadap berat ekivalen pektin yang dihasilkan dari kulit

pisang candi. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga faktor tersebut pun

menunjukkan perbedaan yang nyata.

Sedangkan uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 7

menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang mentah dengan

asam klorida 0,2 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam klorida 0,2

N tidak berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan berat ekivalen

pektin yang terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan

kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam

sitrat 0,1 N dan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam klorida

0,1 N berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan berat ekivalen pektin

yang tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

32

Tabel 4.3 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Berat Ekivalen Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata Berat

Ekivalen

DMRT 5%

Jenis

Asam

Konsentrasi Tingkat

Kematangan

Asam Klorida

(A1)

0,1 N (K1)

Mentah (M1) 5902,78 ± 491,05 e 800,27

Setengah matang (M2) 10000,00 ± 0,00 f -

Matang (M3) 4356,06 ± 267,84 d 791,25

0,2 N (K2)

Mentah (M1) 787,45 ± 8,77 a 687,17

Setengah matang (M2) 1695,40 ± 40,64 b 767,89

Matang (M3) 1099,03 ± 17,08 ab 720,94

0,3 N (K3)

Mentah (M1) 4772,73 ± 321,41 d 796,80

Setengah matang (M2) 4356,06 ± 267,84 d 794,49

Matang (M3) 2704,68 ± 103,38 c 776,22

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1)

Mentah (M1) 6696,43 ± 631, 35 e 803,05

Setengah matang (M2) 6696,43 ± 631, 35 e 803,28

Matang (M3) 3229,17 ± 147,31 c 787,32

0,2 N (K2)

Mentah (M1) 4772,73 ± 321,41 d 798,89

Setengah matang (M2) 2859,48 ± 115,54 c 782,46

Matang (M3) 1352,34 ± 51,69 ab 742,45

0,3 N (K3)

Mentah (M1) 5902,78 ± 491,05 e 801,43

Setengah matang (M2) 5902,78 ± 491,05 e 802,36

Matang (M3) 1564,03 ± 69,12 b 757,25

Berat ekivalen pektin merupakan ukuran terhadap kandungan asam

galakturonat bebas yang tidak terestirifikasi di dalam rantai molekul pektin. Nilai

berat ekivalen ini ditentukan berdasarkan reaksi penyabunan gugus karboksil

oleh NaOH. Banyaknya volume NaOH yang digunakan dalam analisa

berbanding terbalik dengan nilai berat ekivalen. Semakin besar volume NaOH

yang digunakan maka semakin kecil berat ekivalen yang akan didapat sehingga

jumlah gugus karboksil yang tak teresterifikasi semakin banyak (Sulihono, 2012).

33

Nilai berat ekivalen berdasarkan standar mutu pektin adalah 600-800 mg.

Namun berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan berat ekivalen pektin

pada Gambar 4.2 didapatkan bahwa untuk semua perlakuan baik menggunakan

asam klorida ataupun asam sitrat, cenderung memiliki nilai diatas 800 mg. Hanya

ada satu perlakuan yang memiliki berat ekivalen diantara rentang 600-800 mg

yaitu pektin dari kulit pisang mentah dengan menggunakan asam klorida 0,2 N

dengan nilai berat ekivalen 787,45 ± 8,77 mg.

Rendahnya berat ekivalen pada pektin menunjukkan kandungan asam

pektat yang ada pada pektin semakin tinggi. Asam pektat merupakan asam

galakturonat yang tidak teresterifikasi. Asam pektat banyak ditemukan pada buah

yang sudah terlalu matang sehingga berat ekivalen seharusnya menurun seiring

dengan meningkatnya tingkat kematangan. Roikah (2016) di dalam jurnalnya

yang berjudul Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Dari Belimbing Wuluh (Averrhoa

Bilimbi,L) mengatakan bahwa nilai berat ekivalen mengalami penurunan

kemungkinan karena belimbing wuluh sampel tercampur dengan belimbing wuluh

yang sudah matang yang mengandung banyak pektin yang kemudian mengalami

hidrolisis dari senyawa pektin menjadi asam pektat. Asam pektat murni tidak

Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Berat Ekivalen Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Bera

t E

kiv

ale

n (

mg)

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCl)

mentah (asamsitrat)

setengah matang(asam sitrat)

matang (asamsitrat)

34

mengalami esterifikasi sehingga merupakan gugus asam tanpa gugus metil

ester. Senyawa pektin yang tinggi gugus asam bebasnya dapat menurunkan

berat ekivalennya (Nurhikmat, 2003). Dapat dilihat pada grafik Gambar 4.2

bahwa pektin dari kulit pisang yang matang rata-rata memiliki nilai berat ekivalen

yang rendah. Esterifikasi akan menghasilkan gugus metil ester atau metoksil.

Maka tingkat kematangan, jenis asam dan konsentrasi asam akan berpengaruh

terhadap perbedaan kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi.

Pada grafik yang terdapat di Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa berat

ekivalen pektin yang diekstrak menggunakan asam klorida (asam kuat)

cenderung memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan pektin yang diekstrak

menggunakan asam sitrat (asam lemah). Menurut Erawati (2009) menyatakan

bahwa tingkat kekuatan asam yang lebih tinggi diduga menyebabkan probabilitas

reaksi depolimerisasi pektin meningkat. Dengan meningkatnya reaksi

depolimerisasi maka berat ekivalen pektin menjadi turun. Rendahnya berat

ekivalen pektin yang diekstrak menggunakan asam klorida disebabkan karena

asam klorida kekuatan asamnya lebih tinggi dibanding asam sitrat sehingga

pektin mengalami lebih banyak depolimerisasi.

Konsentrasi pelarut juga mempengaruhi berat ekivalen pektin yang

dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi asam pelarut, maka berat ekivalen

semakin rendah. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi asam yang

digunakan memungkinkan terjadinya reaksi depolimerisasi pektin. Dengan

meningkatnya reaksi depolimerisasi maka berat ekivalen menjadi turun (Erawati,

2009). Selain itu konsentrasi asam yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya

deesterifikasi pektin menjadi asam pektat, dimana jumlah gugus asam bebas

akan semakin banyak sehingga berat ekivalen semakin rendah (Wijaksono,

2009). Hal lain yang mempengaruhi nilai berat ekivalen adalah sifat pektin hasil

ekstraksi itu sendiri, serta proses titrasi yang dilakukan (Fitria, 2013).

4.2.3 Kadar Metoksil

Kadar metoksil pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara

2,57% hingga 7,01%. Kadar metoksil tertinggi didapatkan dengan ekstraksi

pektin pada kulit pisang setengah matang menggunakan asam klorida dengan

konsentrasi 0,1 N sedangkan kadar metoksil terendah didapatkan dengan

ekstraksi pektin pada kulit pisang matang menggunakan asam sitrat dengan

konsentrasi 0,3 N.

35

Tabel 4.4 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Kadar Metoksil Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata Kadar

Metoksil (%)

DMRT

5% Jenis Asam Konsentrasi Tingkat Kematangan

Asam

Klorida (A1)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 5,77 ± 0,09 f 0,39

Setengah matang (M2) 7,01 ± 0,26 h -

Matang (M3) 5,05 ± 0,13 de 0,39

0,2 N (K2) Mentah (M1) 5,89 ± 0,09 f 0,39

Setengah matang (M2) 6,94 ± 0,18 h 0,40

Matang (M3) 4,00 ± 0,22 b 0,37

0,3 N (K3) Mentah (M1) 4,37 ± 0,04 c 0,38

Setengah matang (M2) 5,92 ± 0,13 fg 0,40

Matang (M3) 2,73 ± 0,18 a 0,36

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 6,01 ± 0,09 fg 0,40

Setengah matang (M2) 6,29 ± 0,13 gh 0,40

Matang (M3) 5,27 ± 0,09 e 0,39

0,2 N (K2) Mentah (M1) 6,11 ± 0,13 fgh 0,40

Setengah matang (M2) 6,42 ± 0,31 h 0,40

Matang (M3) 4,81 ± 0,13 d 0,38

0,3 N (K3) Mentah (M1) 6,05 ± 0,13 fgh 0,40

Setengah matang (M2) 5,74 ± 0,22 f 0,39

Matang (M3) 2,57 ± 0,13 a 0,34

Berdasarkan analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran

9 dapat diketahui bahwa tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang

dan matang, jenis asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi

asam 0,1 N, 0,2 N dan 0,3 N berpengaruh nyata terhadap kadar metoksil pektin

yang dihasilkan dari kulit pisang candi. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga

faktor tersebut pun menunjukkan perbedaan yang nyata.

Sedangkan uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 10

menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang matang dengan

asam sitrat 0,3 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam klorida 0,3 N

tidak berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar metoksil pektin

yang terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan kombinasi

perlakuan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam klorida 0,2 N

dan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam klorida 0,1 N tidak

36

berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar metoksil pektin yang

tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan kadar metoksil pektin

pada Gambar 4.3 didapatkan bahwa semua perlakuan cenderung memiliki kadar

metoksil dibawah 7,12%. Dimana menurut standar mutu pektin, jika pektin

memiliki kadar metoksil 2,5% - 7,12% maka pektin tersebut termasuk kedalam

pektin bermetoksil rendah. Hal ini dapat menjadi keuntungan karena pektin

bermetoksil rendah dapat langsung diproduksi tanpa melalui proses demetilasi

(Hanum, 2012).

Hasil dari grafik menunjukkan bahwa kandungan metoksil cenderung

menurun seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan dari setengah

matang menjadi matang. Hal tersebut dapat terjadi karena ketika terjadi proses

pematangan, kadar gula buah meningkat dan kandungan metoksil menurun

(Sirisakulwat et al., 2008).

Ardiansyah (2014) mengatakan bahwa kadar metoksil meningkat

disebabkan karena pada tingkat keasaman yang rendah, reaksi hidrolisis tidak

efektif dan menyebabkan sedikit gugus ester yang hilang. Pemberian asam pada

ekstraksi pektin menyebabkan hidrolisis protopektin dan mengakibatkan

terjadinya pemutusan gugus ester dan pemutusan gugus metil. Sehingga dapat

Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Kadar Metoksil Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Kadar

Meto

ksil

(%)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCl)

mentah (asamsitrat)

setengah matang(asam sitrat)

matang (asamsitrat)

37

dilihat pada Gambar 4.3 bahwa pektin yang diekstrak menggunakan asam

klorida (asam kuat) cenderung memiiliki kadar metoksil yang lebih rendah

dibandingkan pektin yang diekstrak menggunakan asam lemah (asam sitrat).

Asam kuat akan melepaskan ion H+ lebih tinggi (atau terdisosiasi sempurna)

dibandingkan dengan asam lemah (Ningsih, 2009).

Grafik yang terdapat pada Gambar 4.3 didapatkan hasil bahwa kadar

metoksil tertinggi diperoleh dari ekstraksi dengan menggunakan asam klorida

dan kadar metoksil terendah diperoleh dari ekstraksi menggunakan asam sitrat.

Hal ini juga berkaitan dengan semakin besar konsentrasi asam yang digunakan

maka kadar metoksil cenderung semakin menurun. Hal itu disebabkan karena

semakin tingginya kekuatan asam maka pektin akan semakin cenderung

mengalami demetilasi. Penggunaan asam akan memberikan ion H+. Adanya ion

H+ pada larutan akan menyebabkan suasana asam yang akan mengakibatkan

terjadinya demetilasi. Ion H+ mampu mensubstitusi ikatan -CH3 pada gugus

metoksil dan mengubah gugus metoksil menjadi karboksil (Piknik, 1992).

Pektin bermetoksil rendah biasa digunakan dalam pembuatan saus salad,

puding, gel buah-buahan dalam es krim, selai, dan jeli. Pektin berkadar metoksil

rendah efektif digunakan dalam pembentukan gel saus buah-buahan beku

karena stabilitasnya yang tinggi pada proses pembekuan, thawing dan

pemanasan. Pektin bermetoksil rendah dapat membentuk gel dengan adanya

ion-ion logam bivalen, misalnya Ca2+, dimana ion bivalen ini dapat bereaksi

dengan gugus-gugus karboksil bebas dan membentuk jembatan. Pada

pembentukan gel ini tidak diperlukan kadar gula yang tinggi, oleh karena itu

pektin metoksil rendah biasanya digunakan untuk pembuatan jeli dan puding

berkalori rendah yang dimaksudkan untuk orang yang menghindari gula

(Daniarsari, 2005).

4.2.4 Kadar Galakturonat

Salah satu faktor yang menentukan mutu pektin adalah kadar

galakturonat yang dikandung di dalam pektin. Kerangka dasar penyusun

senyawa pektin adalah asam poligalakturonat dimana asam poligalakturonat ini

bisa menggambarkan kemurnian pektin. Jika asam poligalakturonat yang

dikandung semakin besar, maka kemurnian pektin tersebut semakin tinggi

karena kandungan organik lainnya seperti arabinosa, galaktosa, rhamnosa dan

jenis gula lainnya semakin kecil. Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan

38

membentuk gel. Semakin banyak kandungan asam galakturonat yang ada, maka

jaringan tiga dimensi akan terbentuk dengan kokoh dan mampu menjebak

seluruh cairan yang ada didalamnya sehingga gel yang terbentuk semakin kuat

(Sulihono, 2012). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Nurviani, (2014)

yaitu semakin tinggi kadar galakturonat, maka mutu pektin akan semakin tinggi

pula. Kadar galakturonat pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara

22% hingga 55,79%. Kadar galakturonat tertinggi didapatkan dengan ekstraksi

pektin pada kulit pisang mentah menggunakan asam klorida dengan konsentrasi

0,2 N sedangkan kadar metoksil terendah didapatkan dengan ekstraksi pektin

pada kulit pisang matang menggunakan asam klorida (HCl) dengan konsentrasi

0,3 N.

Tabel 4.5 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Kadar Galakturonat Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata Kadar

Galakturonat (%)

DMRT

5% Jenis Asam Konsentrasi Tingkat Kematangan

Asam

Klorida (A1)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 35,73 ± 0,25 cde 2,06

Setengah matang (M2) 41,54 ± 1,49 fg 2,11

Matang (M3) 32,74 ± 0,50 c 2,00

0,2 N (K2) Mentah (M1) 55,79 ± 0,25 i -

Setengah matang (M2) 49,81 ± 0,75 h 2,12

Matang (M3) 38,72 ± 1,00 ef 2,11

0,3 N (K3) Mentah (M1) 28,51 ± 0,50 c 1,96

Setengah matang (M2) 37,66 ± 0,50 def 2,09

Matang (M3) 22,00 ± 1,24 a 1,81

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 36,78 ± 0,25 cdef 2,07

Setengah matang (M2) 38,37 ± 1,00 def 2,10

Matang (M3) 35,38 ± 0,75 cd 2,02

0,2 N (K2) Mentah (M1) 38,37 ± 0,50 def 2,11

Setengah matang (M2) 42,59 ± 1,99 g 2,12

Matang (M3) 40,30 ± 0,25 ef 2,11

0,3 N (K3) Mentah (M1) 37,31 ± 0,50 def 2,09

Setengah matang (M2) 35,55 ± 1,00 cd 2,05

Matang (M3) 25,87 ± 0,25 b 1,90

Hasil dari analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran 12

adalah tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang dan matang, jenis

39

asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi asam 0,1 N, 0,2 N dan

0,3 N berpengaruh nyata terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan dari

kulit pisang candi. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga faktor tersebut pun

menunjukkan perbedaan yang nyata.

Sedangkan uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 13

menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang matang dengan

asam klorida 0,3 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam sitrat 0,3 N

berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar galakturonat pektin

yang terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan kombinasi

perlakuan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam klorida 0,2 N

dan pektin dari kulit pisang mentah dengan asam klorida 0,2 N berbeda nyata

dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar galakturonat pektin yang tertinggi

jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan kadar galakturonat

pektin pada Gambar 4.4 didapatkan bahwa hampir semua perlakuan cenderung

memiliki kadar galakturonat diatas 35%. Dimana menurut standar mutu pektin,

seharusnya memiliki kadar galakturonat minimal 35%. Namun ada beberapa

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Kadar Galakturonat Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Kadar

Gala

ktu

ronat

(%)

0

10

20

30

40

50

60

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCL)

mentah (sitrat)

setengah matang(sitrat)

matang (sitrat)

40

perlakuan yang memiliki nilai kadar galakturonat dibawah 35%, yaitu pektin dari

kulit pisang matang dengan asam klorida 0,3 N, pektin dari kulit pisang matang

dengan asam sitrat 0,3 N, pektin dari kulit pisang mentah dengan asam klorida

0,3 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam klorida 0,1 N. Rendahnya

nilai kadar galakturonat yang dikandung oleh pektin tersebut kemungkinan

disebabkan karena pektin yang diekstrak memiliki kadar protein, pati dan gula

yang tinggi (Ismail et al., 2012). Metode ekstraksi yang digunakan juga

mempengaruhi kadar galakturonat yang dikandung oleh pektin (Meilina, 2003).

Dari grafik dapat dilihat juga bahwa kadar galakturonat meningkat seiring

dengan meningkatnya konsentrasi asam dari 0,1 N ke 0,2 N. Namun cenderung

mengalami penurunan ketika menggunakan konsentrasi 0,3 N. Hal ini bisa

disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi maka semakin banyak ion H+

dimana ion H+ ini berfungsi memecahkan ikatan protopektin dengan senyawa-

senyawa dalam dinding sel kulit pisang dan menyatukan satu molekul pektin

dengan molekul pektin yang lain, sehingga terbentuk sebuah jaringan yang dapat

memerangkap air sehingga tekstur pektin yang dihasilkan saling terikat

(Constenla dan Lozano, 2003). Jika konsentrasi asam yang digunakan tinggi,

maka dalam proses ekstraksi ada kemungkinan senyawa lain yang ikut

terekstrak. Didalam jaringan, dinding sel terdiri dari 60% air dan 40% polimer. 20-

35% dari total polimer adalah pektin dimana asam galakturonat adalah

komponen penyusun utamanya. Senyawa lain yang terendapkan ini bisa saja

berupa senyawa non pektat atau merupakan bagian dari fraksi pektin seperti

gula. Komponen lain yang mungkin ikut terendapkan adalah protein (Garna,

2007).

Hasil yang didapatkan pada grafik di Gambar 4.4 menunjukkan bahwa

kadar galakturonat yang dihasilkan dari ekstraksi menggunakan asam klorida

(asam kuat) cenderung lebih besar daripada pektin yang diekstraksi

menggunakan asam sitrat (asam lemah). Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Meilina (2003) yang mendapatkan hasil bahwa kadar galakturonat

untuk ekstraksi menggunakan asam klorida cenderung lebih tingi dibandingkan

dengan ekstraksi menggunakan asam sitrat. Menurut Wijaksono (2009),

meningkatnya kadar galakturonat ini dapat terjadi karena putusnya ikatan

komponen galakturonat pektin dengan senyawa-senyawa lain seperti

hemiselulosa. Dengan putusnya ikatan tersebut, maka senyawa lain tidak ikut

terendapkan pada proses pengendapan pektin. Semakin besar kekuatan asam,

41

maka semakin banyak ikatan yang dapat diputuskan sehingga hal ini dapat

meningkatkan persentase asam galakturonat.

Dari grafik yang terdapat pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa kadar

galakturonat pektin yang terendah cenderung didapatkan dari kulit pisang yang

matang. Hal ini sesuai dengan penelitian Azad (2014) yang mendapatkan kadar

galakturonat tertinggi pada pektin dari kulit jeruk lemon yang setengah matang

dan kadar galakturonat yang paling rendah didapatkan dari pektin kulit jeruk

lemon matang. Rendahnya nilai kadar galakturonat yang dikandung oleh pektin

tersebut kemungkinan disebabkan karena pektin yang diekstrak memiliki kadar

protein, pati dan gula yang tinggi (Ismail et al., 2012).

Perbedaan kadar galakturonat disebabkan oleh adanya senyawa-

senyawa lain seperti gula yang dapat terikut pada saat penggumpalan pektin

dengan alkohol. Hal ini didukung oleh pernyataan Nelson et al (1977) bahwa

pektin mengandung senyawa-senyawa lain yaitu gula netral seperti D-galaktosa,

L-arabinosa dan L-ramnosa. Senyawa tersebut dapat terikut pada waktu proses

penggumpalan pektin oleh alkohol.

4.2.5 Derajat Esterifikasi

Menurut standar mutu pektin, jika pektin memiliki derajat esterifikasi

diatas 50% maka pektin tersebut termasuk kedalam pektin ester tinggi. Jika

derajat esterifikasi yang dikandung oleh pektin berada dibawah 50% maka pektin

tersebut termasuk kedalam pektin ester rendah. Derajat esterifikasi pektin yang

dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 56,45% hingga 95,76%. Derajat

esterifikasi tertinggi didapatkan dengan ekstraksi pektin pada kulit pisang

setengah matang menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,1 N

sedangkan kadar metoksil terendah didapatkan dengan ekstraksi pektin pada

kulit pisang matang menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0,3 N.

Berdasarkan analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran

15 dapat diketahui tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang dan

matang, jenis asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi asam

0,1 N, 0,2 N dan 0,3 N berpengaruh nyata terhadap derajat esterifikasi pektin

yang dihasilkan dari kulit pisang candi. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga

faktor tersebut pun menunjukkan perbedaan yang nyata.

42

Tabel 4.6 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Derajat Esterifikasi Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata Derajat

Esterifikasi (%)

DMRT

5% Jenis Asam Konsentrasi Tingkat Kematangan

Asam

Klorida (A1)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 91,62 ± 0,76 hij 2,40

Setengah matang (M2) 95,76 ± 0,15 k -

Matang (M3) 87,63 ± 0,95 fg 2,38

0,2 N (K2) Mentah (M1) 59,94 ± 0,62 b 2,22

Setengah matang (M2) 79,15 ± 0,81 d 2,33

Matang (M3) 58,61 ± 1,71 b 2,16

0,3 N (K3) Mentah (M1) 87,04 ± 0,65 fg 2,37

Setengah matang (M2) 89,25 ± 0,80 gh 2,39

Matang (M3) 70,39 ± 0,54 d 2,30

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 92,82 ± 0,73 j 2,41

Setengah matang (M2) 93,13 ± 0,47 j 2,41

Matang (M3) 84,58 ± 0,38 e 2,34

0,2 N (K2) Mentah (M1) 90,36 ± 0,77 hi 2,39

Setengah matang (M2) 85,54 ± 0,09 ef 2,36

Matang (M3) 67,68 ± 1,43 c 2,27

0,3 N (K3) Mentah (M1) 91,98 ± 0,77 hij 2,40

Setengah matang (M2) 91,57 ± 0,94 hij 2,40

Matang (M3) 56,45 ± 2,34 a 2,06

Sedangkan uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 16

menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang matang dengan

asam sitrat 0,3 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam klorida 0,2 N

berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan derajat esterifikasi pektin

yang terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan kombinasi

perlakuan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam sitrat 0,1 N dan

pektin dari kulit pisang setengah matang dengan asam klorida 0,1 N berbeda

nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan derajat esterifikasi pektin yang

tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

43

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan derajat esterifikasi

pektin pada Gambar 4.5 yang didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan

rumus :

%DE = 176 𝑥 % 𝑀𝑒𝑂

31 𝑥 % 𝐴𝑈𝐴 x 100

didapatkan bahwa semua perlakuan cenderung memiliki derajat esterifikasi

diatas 50%. Pektin yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan pektin

bermetoksil rendah dengan rentang kadar metoksil 2,57% hingga 7,01%. Karena

derajat esterifikasi didapatkan dari hasil kadar metoksil yang dibagi dengan kadar

galakturonat, maka kadar metoksil dan kadar galakturonat akan mempengaruhi

hasil dari derajat esterifikasi. Hasil derajat esterifikasi yang diinginkan adalah

dibawah 50% karena kaitannya dengan kadar metoksil yang dihasilkan. Namun

yang didapatkan pada penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Karena

menurut teori yang ada, derajat esterifikasi yang dihasilkan dari pektin

bermetoksil rendah memiliki derajat esterifikasi yang rendah pula yakni memiliki

nilai dibawah 50%, namun pada hasil penelitian ini semua perlakuan memiliki

derajat esterifikasi diatas 50%. Hal ini dapat terjadi karena kadar galakturonat

yang dihasilkan oleh pektin dalam penelitian ini memiliki nilai yang rendah yang

berarti masih banyak komponen lain yang ikut terlarut di dalam proses ekstraksi

Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Derajat Esterifikasi Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Dera

jat

Este

rifikasi (%

)

0

20

40

60

80

100

120

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCL)

mentah (sitrat)

setengah matang(sitrat)

matang (sitrat)

44

pektin seperti senyawa non pektat atau merupakan bagian dari fraksi pektin

seperti gula. Komponen lain yang mungkin ikut terendapkan adalah protein

(Garna, 2007). Secara umum, perubahan derajat esterifikasi di pektin pada

proses pematangan buah biasanya dipengaruhi juga oleh jenis tanaman, tipe

pektin dan aktivitas pektin metilesterase (Ding, et.al, 2017).

Hasil dari grafik menunjukkan bahwa derajat esterifikasi menurun seiring

dengan meningkatnya tingkat kematangan. Semakin rendah derajat esterifikasi

kemungkinan disebabkan karena perubahan protopektin menjadi pektin yang

akan meningkatkan gula dan membuat buah lebih lunak selama pematangan

(Redgwell et al., 1997). Namun Sundar et al. (2012) mengatakan bahwa derajat

esterifikasi dalam pektin sebenarnya tergantung pada spesies, jaringan dan

tingkat kematangan.

4.2.6 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya

tahan produk karena kaitannya dengan aktivitas mikroorganisme selama

penyimpanan. Produk yang memiliki kadar air tinggi akan lebih kondusif untuk

pertumbuhan mikroorganisme akan menyebabkan produk tersebut lebih cepat

rusak (Ningsih, 2009).

Kadar air pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 6,98%

hingga 9,81%. Kadar air tertinggi didapatkan dengan ekstraksi pektin pada kulit

pisang mentah menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,2 N sedangkan

kadar metoksil terendah didapatkan dengan ekstraksi pektin pada kulit pisang

setengah matang menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,3 N.

Hasil dari analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran 18

adalah tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang dan matang, jenis

asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi asam 0,1 N, 0,2 N dan

0,3 N tidak berpengaruh terhadap kadar air pektin yang dihasilkan dari kulit

pisang candi. Namun interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga faktor tersebut

menunjukkan perbedaan yang nyata.

45

Tabel 4.7 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Kadar Air Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata Kadar Air

(%)

DMRT

5% Jenis Asam Konsentrasi Tingkat Kematangan

Asam

Klorida (A1)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 8,84 ± 0,39 efg 0,94

Setengah matang (M2) 7,57 ± 0,19 abcd 0,90

Matang (M3) 7,13 ± 0,16 ab 0,85

0,2 N (K2) Mentah (M1) 9,81 ± 0,07 h -

Setengah matang (M2) 8,83 ± 0,61 efg 0,94

Matang (M3) 8,06 ± 0,62 cde 0,93

0,3 N (K3) Mentah (M1) 8,79 ± 0,39 efg 0,94

Setengah matang (M2) 6,98 ± 0,66 a 0,81

Matang (M3) 9,19 ± 0,22 fgh 0,94

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 7,81 ± 0,27 bcd 0,93

Setengah matang (M2) 9,66 ± 0,17 h 0,94

Matang (M3) 9,15 ± 0,17 fgh 0,94

0,2 N (K2) Mentah (M1) 7,40 ± 0,04 abc 0,87

Setengah matang (M2) 7,43 ± 0,00 abc 0,89

Matang (M3) 8,36 ± 0,36 def 0,94

0,3 N (K3) Mentah (M1) 7,71 ± 0,20 abcd 0,92

Setengah matang (M2) 7,69 ± 0,77 abcd 0,91

Matang (M3) 8,20 ± 0,40 cde 0,93

Sedangkan uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 19 menunjukkan

bahwa kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang setengah matang dengan

asam klorida 0,3 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam klorida 0,1

N tidak berbeda nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar air pektin

yang terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan kombinasi

perlakuan pektin dari kulit pisang setengan matang dengan asam sitrat 0,1 N dan

pektin dari kulit pisang mentah dengan asam klorida 0,2 N tidak berbeda nyata

dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar air pektin yang tertinggi jika

dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

46

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan kadar air pektin pada

Gambar 4.6 didapatkan bahwa semua perlakuan cenderung memiliki kadar air

dibawah 12%. Dimana hasil tersebut sesuai dengan standar mutu pektin yang

menyebutkan bahwa kadar air pektin maksimal adalah 12%.

Tingginya kadar air pada suatu bahan akan menyebabkan kerentanan

terhadap aktivitas mikroba serta berpengaruh terhadap umur simpan dari bahan

tersebut. Produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam penyimpan

jangka panjang daripada produk yang berkadar air tinggi (Nurviani, 2014). Kadar

air yang tinggi juga bisa memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroorganisme

dan produksi enzim pektinase yang nantinya akan berdampak pada kualitas

pektin (Muhammadzadeh, 2010). Kadar air pektin lebih banyak dipengaruhi oleh

derajat pengeringan endapan pektin dan kondisi penyimpanannya (Meilina,

2003).

4.2.7 Kadar Abu

Abu adalah bahan anorganik yang didapatkan dari sisa atau residu

pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat diketahui

dari kadar abu yang dimiliki oleh bahan tersebut. Faktor-faktor yang

Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Kadar Air Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Kadar

Air (

%)

0

2

4

6

8

10

12

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCL)

mentah (sitrat)

setengah matang(sitrat)

matang (sitrat)

47

mempengaruhi kadar abu dalam pektin adalah residu bahan anorganik yang

terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi serta isolasi pektin (Kalapathy,

2001).

Kadar abu pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 0,13%

hingga 8,88%. Kadar abu tertinggi didapatkan dengan ekstraksi pektin pada kulit

pisang matang menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,3 N

sedangkan kadar abu terendah didapatkan dengan ekstraksi pektin pada kulit

pisang mentah menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0,1 N. Menurut

IPPA (2002) batas dari kadar abu di dalam pektin adalah 10%. Hal ini

menunjukkan bahwa kadar abu pektin dari hasil penelitian ini masih termasuk ke

dalam batas yang diperbolehkan oleh IPPA (International Pectin Producers

Association).

Tabel 4.8 Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi Asam terhadap

Kadar Abu Pektin Kulit Pisang Candi

Perlakuan Rerata Kadar Abu

(%)

DMRT

5% Jenis Asam Konsentrasi Tingkat Kematangan

Asam

Klorida (A1)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 3,19 ± 0,05 g 0,37

Setengah matang (M2) 2,72 ± 0,14 f 0,37

Matang (M3) 5,56 ± 0,22 j 0,37

0,2 N (K2) Mentah (M1) 4,26 ± 0,13 i 0,37

Setengah matang (M2) 3,79 ± 0,18 h 0,37

Matang (M3) 6,87 ± 0,07 k 0,37

0,3 N (K3) Mentah (M1) 5,48 ± 0,27 j 0,37

Setengah matang (M2) 4,37 ± 0,30 i 0,37

Matang (M3) 8,88 ± 0,14 l -

Asam Sitrat

(A2)

0,1 N (K1) Mentah (M1) 0,13 ± 0,00 a 0,32

Setengah matang (M2) 0,78 ± 0,04 cd 0,35

Matang (M3) 0,34 ± 0,00 ab 0,33

0,2 N (K2) Mentah (M1) 0,48 ± 0,04 bc 0,34

Setengah matang (M2) 0,92 ± 0,02 de 0,36

Matang (M3) 2,36 ± 0,16 f 0,36

0,3 N (K3) Mentah (M1) 1,11 ± 0,09 e 0,36

Setengah matang (M2) 5,64 ± 0,15 j 0,37

Matang (M3) 2,63 ± 0,22 f 0,37

48

Berdasarkan analisa sidik ragam (α=0,05) yang terdapat pada Lampiran

21 dapat diketahui bahwa tingkat kematangan yaitu mentah, setengah matang

dan matang, jenis asam yaitu asam klorida dan asam sitrat serta konsentrasi

asam 0,1 N, 0,2 N dan 0,3 N berpengaruh nyata terhadap kadar abu pektin yang

dihasilkan dari kulit pisang candi. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketiga faktor

tersebut pun menunjukkan perbedaan yang nyata.

Uji lanjut Duncan 5% yang terdapat pada Lampiran 22 menunjukkan

bahwa kombinasi perlakuan pektin dari kulit pisang mentah dengan asam sitrat

0,1 N dan pektin dari kulit pisang matang dengan asam sitrat 0,1 N tidak berbeda

nyata dan kedua perlakuan ini menunjukkan kadar abu pektin yang terendah

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan kombinasi perlakuan pektin

dari kulit pisang matang dengan asam klorida 0,2 N dan pektin dari kulit pisang

matang dengan asam klorida 0,3 N berbeda nyata dan kedua perlakuan ini

menunjukkan kadar abu pektin yang tertinggi jika dibandingkan dengan

perlakuan lainnya.

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan dan kadar abu pektin

pada Gambar 4.7 didapatkan bahwa untuk semua perlakuan baik menggunakan

asam klorida ataupun asam sitrat, jika konsentrasi asam semakin besar maka

Gambar 4.7 Grafik Pengaruh Tingkat Kematangan, Jenis Asam dan Konsentrasi

Asam terhadap Derajat Esterifikasi Pektin Kulit Pisang Candi

Konsentrasi Asam (N)

Kadar

Abu (

%)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0.10 0.20 0.30

mentah (HCl)

setengah matang(HCl)

matang (HCL)

mentah (sitrat)

setengah matang(sitrat)

matang (sitrat)

49

kadar abu pun semakin besar. Namun dapat dilihat pada grafik bahwa semua

perlakuan cenderung memiliki kadar abu dibawah 10% dimana hal itu sesuai

dengan standar mutu pektin yang menyebutkan bahwa kadar abu maksimal

pada pektin adalah 10%.

Grafik juga menunjukkan bahwa kadar abu dalam pektin tertinggi

didapatkan dari sampel kulit pisang matang yaitu sebesar 8,88 ± 0,14%

sedangkan kadar abu dalam pektin terendah didapatkan dari sampel mentah

yaitu sebesar 0,13 ± 0,00%. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan

bahwa kadar abu yang dikandung oleh pektin akan meningkat seiring dengan

menurunnya rendemen pektin yang dihasilkan, hal ini menunjukkan bahwa

kandungan gula dan kompenen lainnya meningkat seiring dengan terjadinya

proses pematangan pada buah.

Grafik yang terdapat pada Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa kadar abu

cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan. Kadar

abu tertinggi didapatkan pada pektin dari kulit pisang matang yakni sebesar 8,88

± 0,14% dan kadar abu terendah didapatkan dari pektin yang dihasilkan dari kulit

pisang mentah yakni sebesar 0,13 ± 0,00%. Hal ini disebabkan karena

kandungan gula dan komponen lainnya juga meningkat secara signifikan proses

karena pematangan buah (Azad, 2014).

Jenis asam yang digunakan berpengaruh terhadap kadar abu pektin yang

dihasilkan. Asam klorida yang termasuk asam kuat cenderung memiliki kadar

abu yang lebih besar dari pektin yang diekstrak menggunakan asam sitrat. Hal ini

terjadi karena adanya reaksi hidrolisis protopektin. Hidrolisis protopektin

menyebabkan bertambahnya kandungan kalsium dan magnesium. Kalsium dan

magnesium merupakan mineral sebagai komponen abu. Dengan demikian

semakin banyaknya mineral berupa kalsium dan magnesium akan semakin

banyak kadar abu pektin tersebut (Budiyanto, 2008). Menurut Ningsih (2009)

asam kuat akan melepaskan ion H+ lebih tinggi (atau terdisosiasi sempurna)

sehingga mampu mengekstrak lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemah.

Kadar abu didalam pektin akan semakin meningkat jumlahnya seiring

dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu dan waktu ekstraksi. Hal itu

dikarenakan kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang

diekstrak akan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi asam, suhu dan

waktu ekstraksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap bercampur dengan

pektin pada saat pengendapan dengan alkohol (Kalapathy, 2001). Hasil yang

50

didapatkan dari penelitian ini sesuai dengan pernyataan diatas dimana

konsentrasi asam tertinggi menghasilkan kadar abu yang tertinggi.

51

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan :

1. Tingkat kematangan pada proses ekstraksi pektin berpengaruh nyata (α =

0,05) terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Semakin matang

pisang maka cenderung menurunkan rendemen ektstrak pektin,

menurunkan berat ekivalen, menurunkan kadar metoksil, menurunkan

kadar galakturonat, menurunkan derajat esterifikasi dan meningkatkan

kadar abu.

2. Jenis asam pada proses ekstraksi pektin berpengaruh nyata (α = 0,05)

terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Asam yang lebih kuat

cenderung menurunkan rendemen ekstrak pektin, menurunkan berat

ekivalen, menurunkan kadar metoksil, meningkatkan kadar galakturonat,

menurunkan derajat esterifikasi dan meningkatkan kadar abu.

3. Konsentrasi asam pada proses ekstraksi pektin berpengaruh nyata (α =

0,05) terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Semakin besar

konsentrasi yang digunakan cenderung meningkatkan rendemen ekstrak

pektin, menurukan berat ekivalen, menurunkan kadar metoksil,

menurunkan kadar galakturonat, menurunkan derajat esterifikasi dan

meningkatkan kadar abu.

4. Berdasarkan analisa sidik ragam (α=0,05) terjadi interaksi antara tingkat

kematangan, jenis asam dan konsentrasi asam yang digunakan pada

rendemen pektin, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat,

derajat esterifikasi, kadar air dan kadar abu.

5. Pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang candi termasuk kedalam jenis

pektin bermetoksil rendah.

5.2 Saran

Saran dari penelitian ini adalah :

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang metode ekstraksi dan kondisi

ekstraksi yang optimal sehingga menghasilkan karakteristik pektin yang

lebih baik.

2. Perlu adanya penelitian tentang cara memurnikan pektin lebih lanjut

sehingga pektin yang dihasilkan lebih baik.

52

DAFTAR PUSTAKA

Abid, M., Cheikhrouhou, S., Renard, C.M., Bureau, S., Cuvelier, G., Attia, H., and

Ayadi, M. 2016. Characterization of Pectins Extracted from

Pomegranate Peel and Their Gelling Properties. Food Chemistry 215

(2017) 318–325.

Agoes, G. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung : ITB Press.

Akili, M.S., Ahmad, U., dan Suyatma, N.E. 2012. Karakteristik Edible Film dari

Pektin Hasil Ekstraksi Kulit Pisang. Jurnal Keteknikan Pertanian Vol.

26, No. 1.

Ansel, H.C. 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh

Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608,

700. Jakarta : UI Press.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical

Chemists. Washington D.C

Ardiansyah, G., Hamzah, F dan Efendi, R. 2014. Variasi Tingkat Keasaman

dalam Ekstraksi Pektin Kulit Buah Durian. JOM FAPERTA Vol. 1 No

2 Oktober 2014

Azad, A. K. M., Ali,M. A., Akter, M.S., Rahman, M.J., Ahmed, M. 2014. Isolation

and Characterization of Pectin Extracted from Lemon Pomace

During Ripening. Journal of Food and Nutrition Sciences 2014; 2(2):

30-35.

Badan Pusat Statistik.2016. http ://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiATAP20

16/Produksi%20Pisang.pdf . Diakses pada 13 Februari 2018.

Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Jatim. 1982. Laporan Hasil

Penelitian. Laboratorium Dinas Perindustrian. Surabaya.

Budiyanto, A., dan Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi

terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L).

Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian 5(2).

Castillo, I.K.A.T., Baguio, S.F., Diasanta, M.D.B., Lizardo, R.C.M., Dizon, E.I. and

Mejico, M.I.F. 2015. Extraction and Characterization of Pectin from

Saba Banana [Musa ‘saba’(Musa acuminata x Musa balbisiana)]

Peel Wastes: A Preliminary Study. International Food Research

Journal 22(1): 202-207.

53

Chang, K. C., Dhurandhar, N., You, X. dan Miyamoto, A. 1994. Cultivar/

Location and Processing Methods Affect The Quality of Sun Flower

Pectin. J. Food Sci., 59: 602-612.

Constenla, D., Ponce, A.G., and Lozano, J.E. 2002. Effect of Pomace Drying

on Apple Pectin. Lebensmittel Wissenschaft und Technology. 35(3):

216-221.

Ding, S., Wang, R., Dan, Yang., Li, Gaoyang., and Ou, S. 2017. Changes in

Pectin Characteristics During The Ripening of Jujube Fruit. China :

Hunan Agricultural Product Processing Institute

Daryono, E.D. 2012. Ekstraksi Pektin dari Labu Siam. Jurnal Teknik Kimia

Vol.7, No.1, September 2012.

Daniarsari, I., dan Hidajati, N. 2005. Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap

Rendement dan Kadar Metoksil Pektin dari Eceng Gondo

(Eichornia crassipes (Mart Solms). Indo. J. Chem., 2005, 5 (3), 232 –

235.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum

Ekstrak Tumbuhan Obat, Edisi I. Jakarta : Direktorat Jendral POM.

Erawati, F. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Pisang Kajian

Jenis Pelarut Asam dan Rasio Bahan : Pelarut Asam. Skripsi.

Malang : Universitas Brawijaya

Fakhrizal., Fauzi. R., dan Ristianingsih, Y. 2015. Pengaruh Konsentrasi Pelarut

HCl pada Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang Ambon. Konversi,

Volume 4 No. 2, Oktober 2015

Febrianty, A dan Suryadi. 2007. Fermentasi Limbah Jeruk Menjadi Asam

Sitrat. Inderalaya : Universitas Sriwijaya.

Febriyanti, Y., Razak, A.R., dan Sumarni, N.K. 2018. Ekstraksi dan

Karakterisasi Pektin dari Kulit Buah Kluwih (Artocarpus camansi

Blanco). KOVALEN, 4(1): 60-73

Fellows, P. 2002. Food Processing Technology Edisi 2. London : Woodhead

Publishing Limited.

Fitria, V. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang

Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. Jakarta : UIN Syarif

Hidayatullah

Fitriani, V. 2003. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon

(Citrus medica var Lemon). Skripsi. Bogor : IPB.

Garna, H., Mabon, N., Robert, C., Cornet, C., Nott, K., Legros, H., Wathelet, B.,

and Paquot, M. 2007. Effect of Extraction Conditions on The Yield

54

and Purity of Apple Pomace Pectin Precipitated but Not Washed by

Alcohol. J Food Sci. 2007 Jan; 72(1):C001-9.

Goycoolea, F.M. dan Adriana, C. 2003. Pectins from Opuntia Spp. : A Short

Review. J.PACD. 17-29.

Hanum, F., Kaban, I.M.D dan Tarigan, M.A. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit

Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia USU,

Sumatera Utara.

Hariyati, M. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Proses

Pengolahan Jeruk Pontianak. Skripsi. Bogor : IPB.

Hart, H., Craine, L. E dan Hart, D.J.. 2003. Kimia Organik. Edisi Kesebelas.

Jakarta : Erlangga.

Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat –

Pektin Jeruk. Jakarta : Dewan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan

Industri Sumatera Barat.

Hastuti, B. 2016. Pektin dan Modifikasinya untuk Meningkatkan Karakteristik

Sebagai Adsorben. Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia VIII.

Program Studi Pendidikan FKIP UNS.

Hutagalung, D.P. 2013. Ekstraksi dan Evaluasi Sifat-Sifat Prebiotik Pektin

Kulit Pisang. Skripsi. Jember : Universitas Jember.

IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin.

http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm. Diakses pada 14 Agustus

2017.

Ismail, NSM., Ramli, N., Hani, NM., and Meon, Z. 2012. Extraction and

Characterization of Pectin from Dragon Fruit (Hylocereus

Polyrhizus) Using Various Extraction Conditions. Sains Malaysiana,

41: 41-45.

Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi Dan Sokletasi

Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrofracti

fructus). Skripsi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.

Kader, A. A. 2002. Postharvest Technology Of Horticultura Crops. 3rd ed.

Pub.No. 3311. Oakland : University of California.

Kalapathy, U. dan Proctor, A. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol

Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin.

Food Chemistry 73 : 393 – 396.

Linawati, N.N. 2016. Karakteristik Kimia Pektin Kulit Pisang Embug (Musa

accuminate) dari Hasil Presipitasi Etanol Menggunakan Metode

Sonikasi dan Sentrifugasi. Skripsi. Jember : Universitas Jember

55

Maran, J.P., Sivakumar, V., Thirugnanasambandham, K., and Sridhar, R. 2013.

Optimization of Microwave Assisted Extraction of Pectin From

Orange Peel. Carbohydrate Polymer. 97:703–709.

Maulana, S. 2015. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Kulit

Pisang Uli. Skripsi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.

Megawati dan Machsunah, E.L. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang

Kepok (Musa paradisiaca) Menggunakan Pelarut HCl sebagai

Edible Film. JBAT 5 (1) (2016) 14-21.

Meilina, H., dan Sailah, I. 2003. Produksi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon

(Citrus medica). Prosidium Simposium Nasional Polimer V

Muhamadzadeh, J., Sadghi-Mahoonak, A.R., Yaghbani, M., Aalam, M. 2010.

Extraction of Pectin from Sunflower Head Residues of Selected

Iranian Caltivers. World Applied Science Journal, 8: 21-24.

Muhidin, D. 1999. Agroindustri Papain dan Pektin. Jakarta : Penebar

Swadaya.

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa

Aktif. Jurnal Kesehatan Volume VII No. 2/2014

Munadjim. 1988. Teknologi Pengolahan Pisang. Jakarta : Gramedia

Nelson, D.B dan Wiles, R.L. 1977. Comercially Important Pectic Subtances.

Didalam H.D. Graham (ed) Food Colloids. AVI Publishing Inc.,

Westport

Ningsih, D.M. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Kulit

Buah Pepaya (Carica papaya L.). Skripsi. Malang : Universitas

Brawijaya

Nurhayati, N., Maryanto, M., dan Tafrikhah, R. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit

dan Tandan Pisang dengan Variasi Suhu dan Metode. Agritech, Vol.

36, No. 3, Agustus 2016.

Nurhikmat, A. 2003. Ekstraksi Pektin dari Apel Lokal : Optimalisasi pH dan

Waktu Hidrolisis. Yogyakarta : Balai Pengembangan Proses dan

Teknologi Kimia – LIPI

Nurviani., Bahri, S., dan Sumarni, N.K. 2014. Ekstraksi dan Karakterisasi

Pektin Kulit Buah Pepaya Varietas Cibinong, Jinggo dan

Semangka. Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(3): 322 – 330.

Patil, A.G., Patil, D.A., Phatak, A.V. and Chandra, N. 2010.. Physical And

Chemical Characteristics Of Carambola (Averrhoa carambola L)

Fruit at Three Stages Of Maturity. International Journal of Applied

Biology and Pharmaceutical Technology, 1(2), 624-629

56

Perina, I., Satiruiani., Soetaredjo, F.E., dan Hindarso, H. 2007. Ekstraksi Pektin

dari Berbagai Macam Kulit Jeruk. WIDYA TEKNIK Vol. 6 No. 1, 2007

(1-10).

Piknik, W., and Voragen A.G.J. 1992. Pectin Substances and Other Uronides.

The Biochemistry of Fruits and Their Product, Volume I, 53-87

Prabawati, S., Suyanti., dan Setyabudi, D. A. 2008. Teknologi Pascapanen dan

Teknik Pengolahan Buah Pisang. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Pratiwi, E. 2010. Perbandingan Metode Maserasi, Remaserasi, Perkolasi dan

Reperkolasi dalam Ekstraksi Senyawa Aktif Andrographolide dari

Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees). Skripsi.

Bogor : IPB.

Promosiana, A dan Atmojo, H.D. 2014. Statistik Produksi Holtikultura Tahun

2014. Jakarta. http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-

content/uploads/2016/02/Statistik-Produksi-2014.pdf . Diakses pada 14

Agustus 2017.

Puspitasari, A.D., dan Proyogo, L.S. 2016. Perbandingan Metode Ekstraksi

Maserasi dan Sokletasi terhadap Kadar Fenolik Total Ekstrak

Etanol Daun Kersen (Muntingia calabura). Semarang : Universitas

Wahid Hasyim

Raji, Z., Khodaiyan, F., Rezaei, K., Kiani, H., and Hosseini, S.S.. 2016.

Extraction Optimization and Physicochemical Properties of Pectin

from Melon Peel. International Journal of Biological Macromolecules

http://dx.doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2017.01.146

Ramli, N., dan Asmawati. 2011. Effect of ammonium oxalateand acetic acid

at several extraction time and pH on some physicochemical

properties of pectin from cocoa husk (Theobroma cacao). African

journal of Food Science, 5:790-798.

Ranggana, S. 2000. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and

Vegetable Product, Second Edition.

Rao, M., & Silva, J. L. 2006. Pectins: Structure, Functionality, and Uses. In A.

M. Stephen, G. O. Phillips, & P. A. Williams (Eds.), Food

Polysaccharides and Their Applications. Boca Raton, Florida: CRC

Press.

Redgwell, RJ., MacRae, E., Hallett, I., Fischer, M., Perry, J., and Harker, R.

1997. In Vivo and In Vitro Swelling of Cell Walls During Fruit

Ripening Planta. 203: 162-173.

57

Rha, H.J., Bae, I.Y., Lee, S., Yoo, S.H., Chang, P.S., Lee, H.G. 2011.

Enhancement of Anti-Radical Activity of Pectin from Apple Pomace

by Hydroxamation. Food Hydrocolloids, 25: 545–548.

Ristianingsih, Y., Nata, I.F., Anshori, D.S., dan Putra I.P.A. 2014. Pengaruh

Konsentrasi HCl Dan Ph pada Ekstraksi Pektin dari Albedo Durian

dan Aplikasinya pada Proses Pengentalan Karet. Konversi, Volume 3

No. 1, April 2014.

Roikah, S., Rengga, W.D.P., Latifah dan Kusumastuti, E. 2016. Ekstraksi dan

Karakterisasi Pektin dari Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi,L).

JBAT 5 (1) (2016) 29-36.

Rouse, A.H., 1977. Pectin : Distribution, Significance didalam S. Nagy, P.E

Shaw dan V.E Velhdhuis (eds) Citrus Science and Technology Vol I.

AVI Publ. Co., Connecticut

Sirisakulwat, S., Nagel, A., Sruamsiri, P., Carle, R., and Neidhart, S. 2008. Yield

and Quality of Pectins Extractable From The Peels of Thai Mango

Cultivars Depending on Fruit Ripeness. Journal of Agricultural Food

Chemistry, 56: 10727–10738

Sirotek, K., Slovakova, L., Kopecny, J., and Marounek, M. 2004. Fermentation

of Pectin and Glucose, and Activity of Pectindegrading Enzymes in

The Rabbit Caecal Bacterium Bacteroides Caccae. Letters in Applied

Microbiology(38), 327–332.

Soltani, M., Alimardani, R., and Omid, M. 2010. Prediction of Banana Quality

During Ripening Stage Using Capacitance Sensing System. AJCS

4(6):443-447

Subagyo, P., dan Achmad, Z. 2010. Pemungutan Pektin dari Kulit dan Ampas

Apel Secara Ekstraksi. EKSERGI Volume X, Nomor 2

Sulihono, A., Tarihoran, B. dan Agustina, T.E. 2012. Pengaruh Waktu,

Temperatur, dan Jenis Pelarut Terhadap Ekstraksi Pektin dari Kulit

Jeruk Bali (Citrus maxima). Jurnal Teknik Kimia No. 4, Vol. 18,

Desember 2012.

Sunandar, A., Sumarsono, R.B., Benty, D.D.N., dan Nurjanah, N. 2017. Aneka

Olahan Pisang Sebagai Upaya Meningkatkan Nilai Jual Pisang dan

Pendapatan Masyarakat. ABDIMAS PEDAGOGI, VOLUME 1 NOMOR

1: 8-15

Sundar, RAA., Rubila, S., Jayabalan, R., and Ranganathan TV. 2012. A Review

on Pectin: Chemistry Due to General Properties of Pectin and

Pharmaceutical Uses. Scientific eports, 1: 2, 1-4.

58

Suparmi dan Prasetya, H. 2013. Aktifitas Antioksidan Ekstrak Kasar Pigmen

Karotenoid pada Kulit Pisang Ambon Kuning (Musa parasidiaca

sapientum): Potensi sebagai Suplemen Vitamin A. Jurnal Sains

Media Vol 4, No 1.

Susanto, W. H. 1999. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Malang :

Universitas Brawijaya.

Susilowati., Munandar, S., Edahwati, L., dan Harsini, T. 2013. Ekstraksi Pektin

dari Kulit Buah Coklat dengan Pelarut Asam Sitrat. Volume 11,

Nomor 1

Sutanto, A dan Edison, H.S,. 2005. Diskripsi Pisang Indonesia. Balai Penelitian

Tanaman Buah

Tchobanoglous, G., Theisen, H and Vigil, S. 2003. Integrated Solid Waste

Management: Engineering Principles and Management Issues. New

York : McGraw-Hill.

Tuhuloula, A., Budiyarti, L.dan Fitriana, E.N. 2013. Karakterisasi Pektin

dengan Memanfaatkan Limbah Kulit Pisang Menggunakan Metode

Ekstraksi. Konversi, Volume 2 No. 1. Universitas Lambung Mangkurat.

Wijaksono, P.A. 2016. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi Kulit Buah Jeruk

Manis (Citrum aurantium L) dengan Variasi Pelarut. Akademi Analis

Farmasi dan Makanan.

Willat, W.G.T., Knox, J.P. dan Mikkelsen, J.D. 2006. Pectin : New Insights Into

on Old Polymer are Starting to Gel. Trends in Food Science and

Technology 17: 97-1004.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia