Jurnal PendarPena Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008 (Tema: Kiri Indonesia)

20

Transcript of Jurnal PendarPena Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008 (Tema: Kiri Indonesia)

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

2

1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012

1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012Pembuka Kalam

Kolom KamiPembuka Kalam:

Kiri Indonesiaιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 2Kata Pembaca ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 3Tulisan Utama :

Kiri dan Politik

Indonesia ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 4Kiri dalam Perundang-

undangan Indonesia ιιιιιιιιιιιιιι 6Warta:

Jalan Wertheim υυυυυυυυυυυυυυ 9OmongOmong:

Benahi Kerangka Berpikir

Bangsa ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 10Artikel:

Se-Tan Malaka; Sang

Penghasut Revolusi ιιιιιιιιιιιιι 12Mencongkel Selilit

Ingatan ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 14BukuBuku:

Sorot Merah Mata Kaum

Muda ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 16CoratCoret:

Yang Murtad Dari

Kiri ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 18Karya:

Puisi-puisi Gema

Mawardi ιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιιι 19

Pendar Pena adalah media populer alternatifyang diterbitkan Kelompok Belajar Pendar P e n a .Media ini mengangkat masalah-masalahbudaya kontemporer. Dilengkapi pembahasanseputar filsafat, sejarah, kajian budaya, dansastra.

Pendar Pena berusaha memajukankehidupan budaya dan intelektual di negeri ini.Maka, sumbangan tulisan, pemikiran, ilustrasi,puisi dan foto sangat diharapkan demikeberlangsungan terbitan ini. Tanpa peran aktifpembaca, terbitan ini pun tak mungkin berjalansebagaimana mestinya. Kami menanti kritik dansaran anda.

Redaksi Pendar Pena berhak merubah juduldan menyunting setiap tulisan yang masuk,tanpa merubah esensi isinya.

*Cover edisi ini karya Nanda Rahmadiya

“Sama Rata Sama Rasa”(Mas Marco Kartodikromo, Sinar Djawa, 10 April 1918)

Genap sembilan dekade usia judul syair di atas,pada masanya telah meresahkan JamanNormal di Hindia. Bersama populernya syair

tersebut, khasanah ideologi Kiri, Sosialis, Komunis,dan keluarga dekatnya makin meluas dan menjadisalah satu sumbu semangat Pergerakan di Hindia.Buktinya, tak lama setelah Revolusi Bolseviek, Oktober1917 di Rusia berlalu, gerak-gerik kaum Kiri HindiaBelanda tengah menyusun kekuatannya secaraorganisasional, yaitu Partai Komunis Hindia(kemudian diganti Indonesia) pada 1920. Bersamapartai ini dan beberapa partai lainnya yang searoma,sejarah Kiri Indonesia ditorehkan.

Jalur Kiri Indonesia yang selama hampirseparuh abad 20 menjadi wacana seksis, aktor utamaperdebatan ideologi bangsa, kini seakan hilang arah.Kiri Indonesia kini menjadi hantu dalam botol.Siapakah yang berani dan sanggup membuka katupbotol dan mengeluarkannya? Entahlah, mungkinjaman telah menutup segala kemungkinan jalankeluarnya atau memang Kiri telah kehabisan umat danmodal. Ya sudahlah, biarkan waktu yang menjawab.

Berangkat dari wacana di atas, kali ini PendarPena menyajikan tema Kiri dalam alur sejarah bangsa.Kami berusaha memberikan perspektif berbeda dalambeberapa tulisan yang dimuat pada edisi ini. Harapankami, wawasan Kiri Indonesia jangan sampai hanyaberkutat di lingkaran Peristiwa 1926, 1948, dan apalagi1965 saja. Sungguh masih banyak lahan Kiri Indonesiayang belum dikaji secara utuh dengan menggunakankacamata multidimensi. Namun apabila tulisan-tulisanPendar Pena kali ini pun belum memenuhi tujuantersebut, setidaknya telah menambah sedikitsumbangan bagi wacana Kiri Indonesia.

Pada kolom utama, bertengger tulisan DanielHutagalung yang memaparkan kemempelaian Kiri danPolitik Indonesia. Disambung Yustisia Rahman denganKiri dalam Perndang-undangan Indonesia, bagaimanaparadigma sosialistik merasuki rangka konstitusi RI.Sedangkan, pada kolom artikel, ada Se-Tan Malaka: SangPenghasut Revolusi karya Indro Bagus Satrio Utomo. Disini Tan Malaka dianalogikan seperti Setan (ikonperubahan) dalam alur Revolusi Indonesia dan dihiasikisah-kisah Kenabian. Lalu, Berto Tukan punmenyuguhkan tulisan tentang beberapa cerpenmemoria pasionis pasca 1998 dengan judul MencongkelSelilit Ingatan.

Lanjut, pada kolom Omong-omong, Buku-buku,Warta, dan Corat-coret, berturut-turut bertajuk, BenahiKerangka Berpikir Bangsa, Sorot Merah Mata Kaum Muda,(resensi buku Dibawah Lentera Merah oleh Tia Septian),Jalan Wertheim, dan Yang Murtad Dari Kiri, renunganringkas Mufti-Ali-Sholih akan Kiri hari ini. Kemudian,sebagai penutup edisi ini, anda boleh berefleksi lewatpuisi-puisi Gema Mawardi. Akhirul kalam, semogaPendar Pena kali ini berfaedah dan selamat membaca.

Sulaiman Harahap

Kiri Indonesia

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

3

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

Kata Pembaca

λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλ λλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλλPenanggung Jawab: Rapat Dewan Redaksi. Pemimpin Redaksi: Berto Tukan. Redaksi:Sulaiman Harahap, Mufti Ali. S, Tia Septian, Hendra Kaprisma, Oscar Ferry, FirlyAfwika. Alamat: Jl. M. Kahfi 2 No. 20, Kel. Jagakarsa, Kec. Jagakarsa, JakartaSelatan, 12620. Tlp: 0813 200 12821, 0856 111 2954. E-Mail:[email protected]. No. Rek: BNI KCU-UI Depok: 0006197716.

Media yang diklaim oleh yang buat (Pendar Pena) sebagai media populer alternatif ini menyajikan tulisan-tulisan yang menarik, kreatif , imaginatif, serta kritis. Kesan pertama saya saat membaca Pendar Pena adalah;karya ini merupakan sesuatu yang terlahir dari orang-orang yang tidak tergerus oleh rutinitas hidup yangmenjemukan, sesuatu yang lahir dari orang-orang yang punya semangat dan kemauan kuat, orang-orangyang tidak bodoh dan terbodohi, dan manusia-manusia dinamis yang menikmati indahnya hidup mereka.

Tapi sayangnya Pendar Pena kurang terkemas baik sebagai suatu produk, layout-nya kurang menarik,pemilihan font terkesan kaku, foto-foto yangg ditampilkan juga kurang berbicara atau tidak memberi nilaitambah pada tulisan-tulisan yang dimuat. Agak teknis memang, tapi ini mengurangi daya tarik Pendar Pena.Seandainya pemilihan font serta display perhalaman diperbaiki, Pendar Pena pasti semakin digandrungi.Tampilkanlah design-design yang punya semangat “popular alternative” Sehingga sesuai dengan isi tulisanyang dimuat.

Semoga Pendar Pena semakin bertambah pembaca setianya !! Teruslah hidup Intelektual Muda yangberjiwa muda!!

Aditia Pandu Pradana, Alumni JIP 2002, Pustakawan

Email dari Rahman C. Mukhlas (Asep)

Alumni Filsafat 2002, FIB-UI.

Mengenai pencantuman referensi di Pendar Pena, saya rasa patut dipertahankan. Sebab, hal tersebut akan

sangat membantu para pembaca yang tertarik untuk menelusuri lebih jauh jalinan simpul intertekstualitas. Ada

pandangan yang memperlakukan referensi dan catatan kaki dalam Pendar Pena seolah tidak perlu. Mungkin

dengan alasan sok ilmiah lalu dari penalaran itu muncul penilaian bahwa Pendar Pena tidak ramah terhadap

sebagian pembaca-nya. Akan tetapi, jika direnungkan lebih jauh, pembaca macam apa yang menerima begitu

saja semua yang penulis katakan? Bukankah pembaca yang demikian adalah pembaca yang tidak kritis dan

pemalas? Urgensi akan dicantumkannya referensi dibutuhkan agar para penulis dapat mempertanggung-

jawabkan argumennya di depan publik dan pembaca memperoleh kesempatan untuk dapat melampaui

pengetahuan yang dimiliki oleh para pencipta teks.

Saat pemikiran baru dan ide-ide segar terhambat oleh media mainstream, maka hanya ada satujawabannya: Make Your Own Media!!Pendar Pena telah melakukannya dengan baik.Support your local media!!!

(Dimas Aryana, Alumnus Program Studi Indonesia 2004, FIB UI)

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

4

1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Dalam (ilmu) politik, Sayap-Kiri atau Leftist ada dalamistilah-isitilah yang

merujuk pada spektrum politikyang umumnya diasosiasikandengan berbagai macam bentukyang ada dalam Sosialisme,Demokrasi-Sosial, Komunisme,ataupun filsafat Marxisme yangbanyak berbasiskan pada politikSayap-Kiri, atau juga dalam halbentuk oposisi terhadap politikS a y a p - K a n a n . A n a r k i s m e(Anarchism) juga dipertimbangkansebagai bentuk radikal dari politikSayap-Kiri.

Istilah Kiri (Left) pertama kalidigunakan pada masa awalRevolusi Perancis (1789). Padasaat National Assembly (SidangN a s i o n a l ) p e r t a m a k a l idilangsungkan, kaum Reformisduduk di sisi kiri di dalam gedungSidang Nasional, sementara parapendukung Monarki (royalist) dankaum bangsawan duduk di sisisebelah kanan. Pada mulanya, halitu tidak ditujukan untuk menjadisebuah kategorisasi politis, tetapiterbentuknya faksionalisasidalam Sidang Nasional, membuatlabel itu kemudian ditempelkan.1

Sekalipun,dalam penggunaanistilah tersebut sekarang inimenjadi kelihatan ironis, karenamereka-mereka yang asal-muasalnya berada di “Sisi Kiri”

selama Revolusi Perancis adalahpara kaum Borjuis yang mendukunglaissez-faire capitalism dan pasar bebas(free markets). “Kaum Kiri” Perancis ditahun 1789, pada hari ini bisa jadimenjadi bagian dari apa yang disebut“Kanan”,liberal, yang mengutamakanhak atas kepemilikan (property rights)dan hak karya intelektual, tetapi tidakmemeluk ide-ide/gagasan keadilandistributif (distributive justice), hakburuh untuk berorganisasi, dll.

Politik Kiri secara umummendorong kontrol pemerintah(governmental) dan masyarakat(social) atas ekonomi dan redistribusikekayaan, dan menentang/menolakadanya hirarki sosial, menolakadanya otoritas terhadap perilakumoral, secara tegas setia terhadaptradisi, menolak monokulturalisme,menolak hak-hak istimewa terhadaporang-orang kaya, dan menolak nilai-nilai yang secara umum diasosiasikandengan politik Kanan. Kaum Kirimenggambarkan diri mereka“progresif”, yang memperjuangkankeadilan dan kesamaan (temasukdalam hal ekonomi) bagi setiaporang, sebuah istilah yang munculdari identifikasi mereka sebagaisebuah sisi dari kemajuan sosial.

Kiri di IndonesiaKalau menelusuri sejarah Indonesia,maka gagasan-gagasan yang bisadirujukkan pada spekturm politik Kiri

dapat ditemui pada organisasiI n d i s c h e S o c i a a l - D e m o c r a t i s c h eVereeniging (ISDV), sebuah klub debatkaum Sosialis Belanda yang didirikanHenk Sneevliet pada 1915. Ide-ideSosialis kemudian berkembang,terutama sejak Marco Karthodikromomenerbitkan syairnya “Sama RasaSama Rata” yang menjadi kata kuncipaling populer di masa pergerakan,yang membuatnya mendekam dalampenjara di Weltevreden.2

Gagasan-gagasan Sosialiskemudian berkembang lewat aksi-aksi massa dan media penerbitan,dengan tokoh muda ISDV, yakniSemaoen yang kemudian munculmenjadi tokoh Sarekat Islam (SI)Semarang dan serikat buruh keretaapi (VSTP), “Raja Mogok”Soerjopranoto memimpin SarekatIslam Yogyakarta dan PersoneelFabriek Bond (PFB), dan TjiptoMangoenkoesoemo dan HajiMohammad Misbach memimpinInsulinde. Orang-orang inilah yangdiantaranya merupakan pengusungawal gagasan dan spektrum politik“Kiri” di Indonesia. Gagasan yangdiusung mereka adalah merebutkemerdekaan dan membentuk suatutatanan masyarakat “Sama RasaSama Rata”, di mana hirarki sosialakan dihilangkan, dan idenya adalahseluruh kekayaan bumi Hindia untuksemua orang Hindia.

Tulisan UtamaOleh: Daniel Hutagalung

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

5

12345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

Gagasan Kiri terus berkembang dan bisa dirujukkemudian pada orang-orang seperti: Tan Malaka, Musso,Hatta dan Sjahrir (Perhimpoenan Indonesia), AmirSjarifuddin dan Soekarno. Merekalah yang kemudianmenjadi tokoh-tokoh pilar kemerdekaan Indonesia.Contoh, Amir Sjarifuddin dan Soetan Sjahrir, pada masaRevolusi membentuk Partai Sosialis, dan kabinetPemerintahan “Sayap Kiri”3 Generasi-generasikemudian muncul dari kalangan aktivis pemuda danmahasiswa seperti D. N. Aidit, Wikana, dll.

Tipikal dari mereka yang disebut “orang kiri”biasanya muncul dari tradisi intelektual dan umumnyakaum muda. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,diskursus tradisi Kiri menilai pentingnya kontrol negaradan sosial atas ekonomi dan redistribusi kekayaan,memperjuangkan keadilan sosial, menentangFeodalisme (atau bentuk-bentuk hirarki sosial lainnya),menentang Fasisme dan juga menentang otoritas atasperilaku moral, dan selalu mementingkan yang sosial/kolektif di atas yang individual. Tradisi ini bisa dibilangsebagai pandangan ideologis kaum Kiri. Prinsip bahwasemua manusia adalah sama dalam hal ekonomi, sosial,politik, budaya merupakan diskursus politik kaum Kiri.

Pemerintah Orde Baru melakukan redefinisiterhadap istilah Kiri, yakni sebentuk ekstrim yang inginmengacaukan stabilitas negara, mengancam Pancasiladan UUD 1945, karena itu harus dimusnahkan. Istilahyang diciptakan adalah EKI (Ekstrim Kiri). Aktivitasseperti demonstrasi mahasiswa, buruh mogok, aksi

petani, dikategorikan sebagai “Ekstrim Kiri”, dankemudian dikait-kaitkan dengan aktivitas G30S/PKI.Orde Baru melakukan pemberangusan terhadap tradisipolitik Kiri, dengan mengentalkan kultur keluarga dankultur Jawa dalam masyarakat Indonesia. Gagasanfeodal dan fasistis mengental di masa Orde Baru,berupaya menguburkan tradisi intelektualisme yangmenjadi basis bagi politik Kiri. Meskipun demikian,tradisi intelektual masih terus berkembang lewatkelompok-kelompok diskusi yang tumbuh dan meluasdi kampus-kampus, yang kemudian melahirkan aktivis-aktivis radikal yang menentang kekuasaan Orde Baru.

Di ujung kekuasaan Orde Baru, kelompok-kelompok seperti PRD dan Forkot diasosiasikan sebagaiorganisasi Kiri. Isu-isu yang mereka tawarkanmerupakan isu-isu yang ada dalam diskursus politikKiri, demikian juga dengan terminologi dan jargon yangdisampaikan. Kemudian juga muncul kategorisasiterhadap apa yang dinamakan “Kiri Islam” terhadapsejumlah organisasi pemuda dan mahasiswa, yangberasal dari tradisi pemikiran Islam yang mengadopsiide-ide pemikir dari tradisi Kiri.

Catatan Kecil.Apa itu Kiri, siapa gerangan orang Kiri? Terusdidefinisikan dan diredefinisikan. Kiri bukanlahpemaknaan final, melainkan pemaknaan yang terusbergerak dan berubah seiring dengan perkembanganyang-sosial dan yang-politik. Sekarang ini apakah yangdisebut orang-orang Kiri masih ada di Indonesia? Mudahsaja, lihat saja pemikirannya apakah berkesesuaiandengan nilai-nilai politik Kiri. Artinya tendensi Kiri masihada dalam spektrum politik Indonesia, dan inilah yangakan terus menjaga diperjuangkannya prinsip-prinsipkeadilan sosial, yang nyaris diabaikan dalam tradisipemikiran liberal. Dalam sistem ekonomi yangmengagungkan pasar, hak individu dan kebebasanindividu, maka kritisisme dari mereka-mereka yangberliran Kiri menjadi penting. Kritisisme dan perjuangandari para politisi, intelektual dan aktivis Kiribagaimanapun juga merupakan benteng pembendungdari semakin kelamnya dampak kapitalisme neoliberaldi Indonesia***

Catatan akhir:

1.Allan Cameron, “Introduction”, dalam Noberto Bobbio,Left and Right: The Significance of A Political Distinction.Cambridge: Polity Press 1996, hal. X.2.Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa1912-1926, (Terj). Hilmar Farid. Jakarta: Graffiti 1997, hal. 121.3.Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri JalanYogyakarta: Bentang 1997

Daniel Hutagalung adalah seorang peneliti flamboyandi Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) dan InstitutRiset Sosial dan Ekonomi (INRISE).

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

6

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Dalam diskursus critical legal studies, hukum

diyakini tidak berada dalam social vacuum.

Hukum berada dalam interaksi sosial ekonomi

yang kompleks. Perumusan aturan hukum karenanya

sangat dipengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik

yang berkembang di masyarakat. Perumusan Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai norma dasar negara

juga tidak terlepas dari argumen ini. Perdebatan pendiri

bangsa di BPUPKI-PPKI (22 Mei-22 Agustus 1945) yang

melahirkan UUD 1945

menunjukan tarik-

menarik kepentingan

pendiri bangsa yang

mewakili beragam

kelompok dan aliran

pemikiran. Sebagai

sintesa dari dialektika

pemikiran, UUD 1945

menunjukan corak khas

dari ragam pemikiran

yang menjadi

fundamennya. George

McTurnan Kahin dalam

Nationalism And

Revolution in Indonesia

menyebut setidaknya

terdapat empat hal yang

mewarnai UUD 1945,

yaitu semangat anti

k o l o n i a l i s m e ,

k o l e k t i v i s m e

masyarakat hukum adat,

Islam, dan Sosialisme.

P a n d a n g a n

Sosialistis pendiri bangsa

yang mewarnai UUD

1945 (sebelum

amandemen) tercermin

dalam pasal 27 (hak atas

pekerjaan yang layak), pasal 33 (sistem perekonomian

nasional), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial). Studi

perbandingan konstitusi menunjukan bahwa

pengaturan kehidupan sosial ekonomi dalam konstitusi

umumnya ditemukan di negara-negara dengan corak

perekonomian Sosialis. Sebagaimana dikemukakan V.F

Kotok dalam On The System of The Science of Soviet

Constitutionl Law, hukum tata negara (constitutional law)

di negara-negara Sosialis dipandang sebagai suatu

keseluruhan aturan hukum yang mencerminkan dan

mengatur prinsip-prinsip penting, baik mengenai

pemerintahan (aspek politik) maupun mengenai

struktrur sosial masyarakatnya, yaitu aspek sosial-

ekonomi.

Sementara itu di

negara dengan tradisi

individual-liberal, tata

sosial-ekonominya tidak

diatur dalam konstitusi.

Jaminan konstitusional

kepada rakyat

hanyadiberikan dalam

aspek politik saja. Dalam

bidang ekonomi-sosial,

nasib rakyat diserahkan

kepada keuletan

personal, kerja keras,

serta berkompetisi

dengan sesamanya. Hal

ini merupakan warisan

hukum Romawi yang

membedakan antara

dominium (kekuasaan

ekonomi) dengan

imperium (kekuasaan

politik). Montesquie

k e m b a l i

m e m p e r t e g a s n y a

dalam Spirit of Law:

“...dengan hukum publik

(public and political law),

kita memperoleh kebebasan,

sedangkan dengan hukum

perdata (private law) kita

memperoleh hak milik. Keduanya tidak boleh dicampuradukan

satu sama lain...”

Konstitusi dengan pengaturan sosial-ekonomi

didalamnya juga dapat ditemukan di negara-negara

non-Komunis/Sosialis seperti Indonesia. Namun tidak

Tulisan UtamaOleh: Yustisia Rahman

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

7

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

dapat dipungkiri pembentukan UUD

1945, sebagaimana dikemuakakan

Kahin telah diwarnai pemikiran “kiri”.

Warna “kiri” itu terjadi karena

persentuhan pendiri bangsa dengan

pemikiran “kiri” saat menempuh

pendidikan di Negeri Belanda,

perkembangan Partai Komunis

Indonesia serta kecenderungan

diantara tokoh-tokoh pergerakan

tahun 1930-an yang mengecam

Kapitalisme, Kolonialisme, dan

Imperialisme dengan menggunakan

pendekatan Marxisme

sebagai pisau analisis.

Meskipun demikian,

gagasan “kiri” pendiri

bangsa yang dtuangkan

dalam naskah konstitusi

tidak mengadopsi

pemikiran Marxisme-

Leninisme atau Sosialisme

ala Barat secara mutlak.

Hatta misalnya, meskipun

ia dikenal sebagai inisiatior

perumus Pasal 33, kerap

dikecam kalangan

Komunis sebagai tokoh

yang berpura-pura

Sosialis-Proletar dengan

banyak menggunakan

frasa-frasa “kiri”. Hatta

sebagaimana pendiri

bangsa yang lain rupanya

mengintrodusir gagasan

baru yang khas Indonesia.

Dalam menjelaskan

kolektivisme, Hatta

menolak model

kolektivisme Komunis

yang tidak mengakui hak individu.

Kolektivisme yang digagas Hatta

tetap mengakui hak individu, hal ini

pula yang akhirnya melahirkan Pasal

28 tentang hak asasi manusia,

pengaturan yang tak ditemukan

dalam konstitusi di negara-negara

Sosialis pada umumnya.

Kolektivisme Hatta hanya ditujukan

kepada perusahaan-perusahaan

besar, sementara keperluan pribadi

dan rumah tangga dan hal-hal yang

berhubungan dengan penghasilan

keluarga tetap menjadi milik

pribadi. Dengan kata lain,

sebagaiamana ditulis Hatta dalam

Daulat Ra’yat tahun 1933,

kolektivisme yang digagasnya

adalah collectivism van

voortbrengensel yakni kolektivisme

produksi berintikan usaha bersama

sedangkan unsur distribusi

kekayaan tidak diprioritaskan.

Sementara kolektivisme Komunis

adalah collectivism van bezit

(eigendom) yang menekankan

pembagian kekayaan,

menghilangkan hak milik pribadi

dan diselenggarakan secara

sentralistis.

Perumusan Pasal 33 juga

mendapat pengaruh dari

berkembangnya gagasan Negara

Integralistik, yang saat itu

berkembang di Jerman. Pada

sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945,

Soepomo menyampaikan

gagasannya tentang Negara

Integralistik:”…dalam negara

integralistik, yang berdasarkan

persatuan,maka dalam lapangan

ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme

negara”. Perusahaan-perusahaan yang

penting akan diurus oleh negara, negara

akan menentukan di mana dan di masa

apa dan perusahaan apa yang

diselenggarakan pemerintah pusat atau

daerah, yang diselenggarakan oleh

negara atau oleh badan hukum prive

atau orang perorang.” Sintesa

beragam aliran pemikiran

dalam perumusan pasal 33

pada akhirnya melahirkan

sebuah sistem

perekonomian yang khas

Indonesia, yang oleh Ir.

Soekarno pada masa

berkuasanya disebut

sebagai Sosialisme

Indonesia sebagaimana

yang disebutkan dalam

konsiderans Undang-

undang Pokok Agraria No

5 Tahun 1960 (UUPA) dan

TAP MPRS No. II/MPRS/

1960.

UUPA dan PKI

Lahirnya UUPA tak lepas

dari kebutuhan untuk

membentuk tatanan

masyarakat baru pasca

kemerdekaan dengan

pola penguasaan tanah

yang tidak mengandung

semangat feodalisme,

sebagaimana dalam

Agrarische Wet peninggalan

pemerintahan Kolonial. Hatta

mengemukkan bahwa tanah harus

dipandang sebagai alat atau faktor

produksi demi kemakmuran

besama, bukan untuk kepentingan

perorangan. Apabila ini

berlangsung maka akan terjadi

akumulasi penguasaan tanah pada

segelintir kelompok masyarakat.

Segelintir kelompok masyarakat ini

ilustrasi dari Taring Padi

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

8

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

dapat menindas kelompok

masyarakat lainnya. Maka dari itu,

tepatlah konsepsi UUPA, bahwa tanah

harus dikuasai Negara sebagai

penjelmaan rakyat Indonesia yang

memiliki tanah tersebut. Negara pun

hanya memiliki kewenangan publik

sebatas mengatur hubungan hukum

antara tanah dengan orang perorang.

Selain UUPA, pemerintahan Ir.

Soekarno juga mengesahkan UU No 2

Tahun 1960 tentang pokok-pokok Bagi

Hasil dan UU No 56 Prp. Tahun 1960

tentang penetapan luas tanah

pertanian yang kemudian dikenal

dengan UU Reforma Agraria.

Lahirnya tiga undang-undang ini

merupakan milestone dalam

pelaksanaan amanat pasal 33, juga

menjadi tonggak penting dalam

perjalanan Partai Komunis

Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, lahirnya

tiga undang-undang ini sejalan

dengan visi PKI yang sejak

kegagalan pemberontakan Madiun,

1948, mulai melirik kekuatan petani

sebagai aliansi strategis revolusi.

Terlebih setelah D.N Aidit menjadi

pimpinan PKI pada 1951, PKI

mengumumkan program agraria

yang baru serta menekankan

perlunya aliansi buruh-petani. Pada

1953, Aidit mendesak kader PKI untuk

melipatgandakan usahanya

mendapatkan dukungan kaum tani

termasuk mendesak pemerintah

untuk membentuk undang-undang

agraria dasar.

Lahirnya tiga undang-undang

agraria bercorak neo-populis ini tak

pelak menjadikan PKI sebagai

“pahlawan” kaum tani, sebab

pemebentukannya tak mungkin

dipisahkan dari kiprah kader partai di

pemerintahan. Dengan tiga undang-

undang itu pula PKI menggerakkan

massanya melakukan aksi-aksi ofensif

pengambilalihan tanah yang melebihi

batas maksimum menurut UU Refoma

Agraria dari “tujuh setan desa” yakni:

tuan tanah jahat, lintah darat,

tukang ijon, calo, kaum kapitlis

birokrat, manajer dan bandit desa.

PKI bahkan berhasil mendesak

pemerintah tuk membentuk

Komando Penyelesaian Land

Reform dan Pengadilan Land Reform

pada 1964 untuk mempercepat

pelaksanaan reformasi agraria di

Indonesia.

S a y a n g n y a , u p a y a

revolusioner merombak tatanan

pemilikan tanah dan struktur

masyarakat lewat program land

reform tidak berlangsung mulus.

Suhu politik yang memanas di

tingkat elit serta kesalahpahaman

pelaksanaan reforma agraria di

tataran rakyat kecil menyebabkan

terjadinya konflik horisontal yang

memakan korban jiwa tak sedikit.

Pembubaran PKI dan pelarangan

ajaran-ajarannya pada 1966

pasca Gerakan Satu Oktober

(Gestok) tak pelak membuat

pelaksanaan UUPA dan land reform

sebagai amanat Pasal 33 UUD

1945 terhambat, sebab adanya

citra “PKI” yang kuat melekat

pada tiga undang-undang

tersebut. Bahkan MPRS merasa perlu

mereivisi beberapa frasa dalam UUPA

yang dianggap tidak lagi sesuai

dengan tuntuan zaman seperti:

“Masyarakat Sosialis

Indonesia”,“Sosialisme Indonesia”,

dan “Revolusi”.

Pemerintahan Orde Baru bahkan

menafikan keberadaan UUPA dengan

membuat peraturan-peraturan

agraria yang bertentangan dengan

spirit UUPA dan pasal 33 UUD 1945.

Keberadaan UUPA tetap

dipertahankan karena aspek historis

dan corak neo-populis yang dapat

meningkatkan citra pemerintah di

mata masyarakat. Pemerintahan

pasca reformasi melangkah lebih

jauh dengan mengesahkan Undang-

undang Penanaman Modal yang

memberi izin penguasaan tanah

kepada pihak asing selama 95 tahun.

Angin liberalisasi yang

berhembus pasca reformasi bahkan

mengancam keberadaan pasal 33

sebagai landasan UUPA serta

fundamen perekonomian nasional.

Sekelompok ekonom pro-Barat

bahkan mengajukan proposal untuk

menghapuskan pasal 33 dari UUD

1945 karena dianggap sebagai

“beban sejarah” yang

membelenggu. Meskipun upaya itu

gagal, Pasal 33 UUD 1945 pasca

amandemen mendapat dua ayat

tambahan dimana terdapat istilah

“efisiensi” (ayat 4) yang dapat

menjadi legalisasi liberalisai

perekonomian nasional. Sebuah

tantangan yang harus dijawab oleh

intelektual “kiri” Indonesia saat ini***

Yustisia Rahman adalah MahasiswaFakultas Hukum UniversitasIndonesia, Penggiat Community ForFreedom And Social Transfomation(CONFRONT!)

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

9

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

warta

Pada akhir Agustus 2008 lalu,bertempat di Galeri Cipta II,TIM, Institut Studi Arus

Informasi (ISAI) mengadakan bedahbuku “Jalan Sosialisme Dunia Ketiga”.Acara ini pun sekaligus mengenang100 hari kepergian Oey Hay Djoen,sang penerjemah buku ini. Oey HayDjoen dikenal sebagai seorangpenerjemah yang bekerja tanpakenal lelah. Selepas bebas daripenjara Orde Baru, Oeh Hay Djoenmendedikasikan hidupnya untukmenerjemahkan berbagai bukupemikiran progresif refolusioner.Buku Das Kapital sebanyak tiga jiliddan tebal-tebal itu pun bisa dinikmatipembaca bahasa Indonesia berkatkerja keras beliau.

Diskusi buku menghadirkanpembicara Romo I. Wibowo, pakarmasalah Cina, dan Ari A Perdana,pengajar di Fakultas Ekonomi,Universitas Indonesia dengan

moderator IgnatiusH a r y a n t o . “ J a l a nSosialisme DuniaKetiga” karya Wim F.Wertheim ini mendedahperubahan Cina yangSosialis menjadi CinaSang raksasa ekonomidunia sekarang ini. Takpelak, Cina menjadiancaman serius untukpasar ekonomi kapitalis.Melalui buku ini, ProfWim F. Wertheimmenyimpulkan bahwa,sejak Mao Zedong, Cinasudah membangunsektor ekonominyayang dimulai daripenguatan danperhatian terhadapkaum tani.

Dalam buku ini kritikdilontarkan Wertheimkepada negara-negara

Barat yang tidak memberikanjalan keluar memuaskan bagikesejahteraan di negara-negaraDunia Ketiga. Setali tiga uang,Revolusi Soviet pun tak berhasilmembangun sebuah kekuatanekonomi yang mampumenyaingi negara-negara barat.Rezim-rezim militer korup dinegara-negara dunia ketiga pundikecamnya sebagai pihak yangbertanggung jawab sangat besarterhadap kemiskinan danpenderitaan berjuta0juta rakyatdi dunia ketiga

Diskusi yang awalnyamembicarakan masalah Cina,merambah ke arah sosialismebaru Amerika Latin. “JalanSosialisme Dunia Ketiga” adalahkarya Wartheim yangmempelajari Cina pada sekitarera 1990-an. Ini pun menjadisalah satu kritikan atas buku ini;apakah Cina yang sekarangtidak berubah dari Cina yangditulis dalam buku ini? Padahal,Cina, bahkan dunia padaumumnya, sudah berubah jauhdari beberapa tahun silam.Kapitalis yang dianggappanglima ekonomi pun mulaikelimpungan, was-was, akibatkrisis ekonomi yangmelandanya. Berita-beritaekonomi termutakhir tak luputdari pemberitaan seputarkebangkrutan perusahaan-perusahaan raksasa di AmerikaSerikat, sang juru kunci kapitalisitu. Di sisi lain, Cina yangdirongrong permasalahandalam negeri dan di tengah-tengah resesi ekonomi globalmampu mengadakan perhe;laanakbar olahraga bernamaOlimpiade itu. (redaksi)

TIM PenPen

Galeri Cipta II TIM

Jalan Wertheim

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

10

1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Pendar Pena: Bagaimana pandangan anda tentang Kiri,Kanan, dan pertentangan Kiri-Kanan?Joesoef Isak: Kiri-Kanan, adalah masalah wawasanberpikir. Dalam sejarah modern Indonesia, ketika masihmenjadi koloni Belanda, sudah terdapat dua alampemikiran yang berseteru, yakni modernisme melawantradisional. Personifikasi kubu modern; Sutan TakdirAlisyahbana, sedangkan tradisional: Sanusi Pane.Dalam debat pujangga baru ini, keduanya salingmempertahankan kelebihannya, walaupun posisi keduakubu tersebut tetap underdog, karena masih dijajah.

Ciri lain perdebatan itu adalah sifatnya yangakademis, tidak antagonistik apalagi berdarah. Tak adausaha untuk saling menghacurkan. Berbeda denganperdebatan ideologiyang meruncingpada Perang Dunia II,yaitu antara Sekutu(Komunis-Kapitalis)m e n g h a n c u r k a nFasis, lalu padaPerang Dingin antaradua pemenangPerang; Komunis danKapitalis (US dan AS).M e r e k ab e r k o n f o r n t a s idengan senjata,sungguh berbedadengan konfrontasiAli Syahbana danSanusi Pane yangsehat.

Dekade 50an,Perang Dingin antaraantikomunis dankomunisme merebakdi dunia, apalagi dinegeri Embahnya Kanan; Amerika Serikat (AS). Semuayang dianggap Kiri dikejar. Waktu itu saya masih mudadan hendak belajar di AS, namun gagal berangkatkarena di passport saya sudah ada cap Moskow danBudaphest. Ini membuktikan betapa besarnya gerakanantikomunis di AS. Anehnya, gerakan antikomunis diAS tak berhasil, malahan di Indonesia hancur leburlahKiri.

Bagi saya, bicara Kiri atau Kanan saat ini, janganlahsaling menjatuhkan atau menumbangkan. Karena padahakekatnya, Kiri-Kanan adalah produk Impor. Kiri adasebagai penyeimbang Kanan, dan begitupunsebaliknya. Jadi, apabila mengeliminir atau meniadakansalah satu darinya, maka proses dialektis ini akanberhenti dan ini tak logis. Biarkanlah keduanya hadirtuk saling mengisi dialektika berbangsa dan bernegara.Saya berharap, cukuplah 32 tahun rezim Soeharto yang

berbuat kesewenang-wenangan terhadap kaum Kiri.Kini, fokus utama permasalahan bangsa yang mestidibenahi adalah perihal kerangka berpikir bangsa, agarIndonesia menjadi lebih maju.PP: Selaku wartawan, bagaimana anda menafsirkanwacana Kiri dan Kanan di Indonesia?JI: Saya dalam berbicara sepenuhnya atas dasarpengalaman. Baik pengalaman sebelum dipenjara,maupun sesudahnya. Pengalaman, memainkan peranpenting di dalam hidup saya. Saat di penjara saya punyawaktu banyak tuk berpikir. Dalam perenungan kala itu,bagi saya Kiri dan Kanan tidak berkonfrontasi, Kiri eksis,Kanan pun eksis. Saya pun menerima pandangankurang senang terhadap golongan Kiri oleh para awam

maupun ilmuwan,serta konsensusyang dicantelkanpada pengertianKiri dan Kanan.Akan hal ini, sayamemilih duduk ditengah, sepertiParlemen Inggris,ketika ketuanyaduduk di tengah,yang dudukdisebelah kananpartai konservatifdan sebelah kiripartai liberal.Intinya, sayaingin menunjukanbahwa Kiri danKanan tidak harusberkonfrontasi .Maka dari itu,s a y amembuktikannya

dalam bentuk buku atau entah dalam bentuk lain kepadanegara ini.PP: Pengalaman anda di penjara telah melahirkan sintesa,yakni memberikan suatu hal untuk negara. Lalu apa kaitanantara anda dengan usaha menerbitkan buku-buku Pram,yang akhirnya di cap sebagai buku-buku Kiri?JI: Menurut saya itu biasa saja. Akan tetapi, orangmemandang ulah saya ini “berani” pada masanya.Penilaian “berani” inilah yang mengantarkan sayamendapatkan empat buah penghargaan dari luar negeri.Saya dinilai “berani” memperjuangkan kebebasandengan menerbitkan buku-buku Pram. Padahal sayasangat ketakutan tatkala akan menerbitkan buku-bukuPram. Apalagi saya baru keluar dari tahanan Orde Baru,dimana hak-hak sipil saya belum dipulihkan, bahkansampai sekarang. Saya tak mau dijebloskan ke penjaralagi karena menerbitkan buku yang dicap Kiri oleh

Bersama Joesoef IshakOmongOmong

Benahi Kerangka Berpikir Bangsa

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

11

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

Penguasa. Lalu apa yang membuatsaya “berani”? bukan karenapenghargaan, akan tetapi karenakebodohan Soeharto.

Sesudah Soeharto jatuh dimana-mana bisa dibeli buku-bukuPram. Sedangkan pada masa OrdeBaru, ketika saya bolak-balik keKejaksaan Agung karenamenerbitkan buku-buku Pram,pemerintah beralasan, buku Prammengandung Marxisme-Leninisme,apabila dibiarkan PKI bisa bangkitlagi dan masyarakat akan gelisah.Jadi sebenarnya yang membuatsaya kelihatan seperti beraniadalah kebodohan orang lain(pemerintah Orba). Dan ini bukansoal berani atau tidak membelakebenaran. Sebenarnya sayapuntakut, tetapi jangan perlihatkanketakutan itu di depan penguasa,karena itu yang dibutuhkan merekauntuk mengekang.

Pada dasarnya Hasta Mitradidirikan tidak jauh dari rasa takut,namun saya tidak menunjukan rasatakut itu. Apabila saya menunjukanrasa takut itu, maka buku-buku HastaMitra tak akan terbit. Apabila takut,pemerintah telah menang dengantanpa mengeluarkan laranganpenerbitan buku. Penguasa sangatmenghendaki hal itu terjadi. Namuntak saya biarkan rasa takut itukeluar, saya terus berusahabertahan. Selain itu, alasan lainyang mengapa saya mendirikanpenerbit Hasta Mitra adalah selepasdi penjara profesi sebagai wartawanyang sebelumnya saya tekuni takdapat diraih lagi. Maka paling dekatdengan kemampuan saya adalahmembuat badan penerbitanberbentuk PT.PP: Bagaimana pahit getir andaselama mengawal perjalanan Hasta

Mita?

JI: Sesungguhnya, ketika bicaraHasta Mitra, hanya Bumi Manusiayang memberikan banyak untungpada kami. Setelah novel tersebut,karya-karya lain yang diterbitkanHasta Mitra tidak cukupmemberikan keuntungan finansial.Bahkan kami harus berjuang mati-matian agar tetap menghidupiHasta Mitra yang berbentuk PT.Malahan, ada salah satu kawankami sampai rela menggadaikanmobil dan rumahnya agar tetapmemberikan modal bagi Hasta

Mitra. Keluarga kami pun demikian,turut membantu keberlangsunganhidup Hasta Mitra.

Di antara pahit getir tersebut,hal paling menarik dari lika-likuperjalanan saya bersama kawan-kawan mengawal Hasta Mitra adalahsemakin bertambah kerasnya pikirandan semangat bertahan hidup kami.Pikiran dan semangat ini lahir setelahsaya mendekam 10 tahun di penjaraOrde Baru, yang mengajarkan danmengarahkan saya agar tetapbertahan pada iklim rezim otoriterini. Jika saya terus membicarakanperihal kesedihan selama mengawalHasta Mitra tentunya akan membuatkami tidak bisa bertahan. Karenaperjuangan mengawal Hasta Mitraseperti perjuangan mengawaldemokrasi; banyak menghabiskanbiaya.PP: Bersama buku-buku terbitanHasta Mitra, terutama karyaPramoedya yang dilabeli “kiri”,sepertinya anda tengah berbicara soalide-ide kebenaran yang ingin andaperjuangkan. Lantas bagaimanamenurut anda prospek buku-buku“kiri” yang ada sekarang, apabiladikaitkan dengan kontribusinya bagikemajuan intelektual bangsa?JI: Saat ini, saya sedang membacabuku Reinventing Indonesia, sebuahbuku kumpulan tulisan yang ditulisoleh berbagai ilmuan terkemuka.Buku tersebut coba membongkarpermasalahan yang sedang terjadidi Indonesia, seperti KKN, krisisintelektual, pemberontakan, dll. Akantetapi menurut saya, sekarang iniyang menjadi masalah pelik bangsakita adalah bagaimana caramembangun kembali kerangkaberpikir kita atau Reinventing Mindsetof Indonesia, setelah dibentuk selama32 tahun oleh rezim pemerintahanSoeharto.

Adanya pemberontakan dandisintegrasi bangsa memang benarmenjadi masalah bangsa juga. Akantetapi, kita mesti jeli melihat bahwakonflik yang dahulu ada dan yangkita pelajari sekarang melaluisejarah, harus tetap dipelajari danjangan sampai konflik itu tetapdibawa hadir sekarang ini dan tetapaktual dalam kehidupan kita.

Namun, tetaplah problem pokokmasyarakat Indonesia adalah padakerangka berpikirnya yang sudahrusak. Sehingga keberadaan buku-

buku yang mencoba membangunkembali kerangka berpikir kitatentang Indonesia yangdidentumkan lewat buku Kiri sangatdiperlukan, dengan demikiankesalahan pada cara berpikir kitabisa segera dibenahi.PP: Berkaca pada realitas,sesungguhnya Kiri di Indonesia telahusang, namun tidak demikian di luarnegeri. Contohnya di Amerika Latin,gerakan Kiri tengah naik daun. Apakahkita perlu menilik gerakan Kiri diAmerika Latin tersebut, sebagaisebuah jawaban akan kekosongangerakan Kiri dan solusi alternatif bagiIndonesia untuk keluar dari problemyang sedang dihadapinya?JI: Sangat perlu kita menilik kesana.Akan tetapi, tentunya kita takmungkin mengalami proses yangsama. Fenomena yang ada diAmerika latin tidak lantas harusdicontek mentah-mentah danditerapkan di sini. Kita harus punyacara sendiri, karena Gerakan Kiri diAmerika Latin dibantu kekuatanMiliter yang berjuang untuk rakyat.Sementara di Indonesia lain halnya,format otak kita telah cemar olehrezim otoriter Orde Baru selama 32tahun dan kelompok militer punberlawanan dengan kekuatanprogresif Kiri.

Saya pernah ditanya seseorangtentang kondisi Indonesia yangmakin buruk dibawah kendaliMegawati, lalu Susilo BambangYudoyono. Lantas saya jawab,bahwa sesungguhnya kita tak perluribut mengatakan kepemimpinanmereka buruk. Karena yangterpenting bagi bangsa kita kiniadalah bagaimana kita lantasmembenahi kondisi buruk yangtengah berlangsung ini.

Perubahan ini mesti dimulai daridalam diri kita masing-masingterlebih dahulu sebagai manusiaIndonesia. Caranya dengan mauuntuk membenahi kerangka berpikirkita yang telah lama dirusak. Makayang menjadi pertanyaan besar bagikita adalah apakah kita maumenghimpun kekuatan baru untukmembuat jalan baru agar kita bisakeluar dari kondisi keterpurukan ini?

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

12

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Artikel

“Setan adalah kekuatantandingan yang mendorongmunculnya pembaharuan,”

(Anton Szandor Lavey,sang pendiri Gereja Setan dalam

The Satanic Bible).

LaVey menyuratkanrumusan yang senadadengan Hegel, guru dari

Karl Marx yang kesohor itu.“Sintesa adalah hasil Antitesaterhadap Tesa,” demikian duafilosof Mason dari ordo GrandOrient Temple itu berujar. Nun jauhdi seberang pilar Hercules, sabdatersebut hidup. Tidak hanya dalamhati, tetapi juga dalam pikiran dantindakannya. Tan Malaka, sangpenghasut revolusi itu, sepanjanghidupnya selalu berusahamengabarkan berita gembira ini.Hanya untuk satu tujuan,memberikan kemerdekaan dankebebasan bagi masyarakattempat ia hidup; Hindia Belanda.

Seperti Isa, kelahiranpemikiran Ibrahim Datuk TanMalaka tak lepas daripertemuannya dengan tigapendeta Majusi bernamaTradisionalisme, gerakanpembaharuan di Hindia Belanda,dan solusi pemikiran yangberkembang di Barat. Tiga elemeninilah yang menurut Harry APoeze, si penguntil Tan Malakaselama lebih dari 30 tahun,memberikan pengaruh besar padaseluruh pemikirannya; takterkecuali Madilog.

Layaknya seorang alkemiszaman Renaissance, Tan Malakamenggodok ramuan-ramuanuntuk mengubah besi menjadiemas, mengubah terjajah menjaditidak terjajah. Selama masapembuangannya (1922-1945), iaberkelana sembari mencariramuan yang tepat untuk HindiaBelanda.

Hikayat pengelanaan Ibrahimmirip dengan kisah nabi yang

bernama sama. Nabi Ibrahim yangkabarnya berasal dari peradaban Uritu melakukan perjalanan kontemplatifdemi menemukan Tuhan yang sejati.Di sela perjalanannya, Ibrahim sempatbertemu Matahari, Bulan dan Bintang.Ia kemudian bertanya, “InikahTuhanku?”

Namun rupanya, Ibrahimmenemukan bahwa untuk mewujudkanmisi utamanya menghancurkanperadaban berhala, ia tidak bisamenggantungkan semuanya padaMatahari, Bulan maupun Bintang. “Adayang lebih Agung dari mereka,” pikirIbrahim.”Tuhan dan kebenaran yangsejati adalah Dia yang mengatur semuapergerakan semesta,” Ibrahimmenyimpulkan. Sayangnya, nabiIbrahim harus menerima hukumanbakar hidup-hidup atas pemikirannyaitu. Meski begitu, harumnya tetapmenjadi inspirasi bagi tiap penganutagama-agama samawi.

Sama seperti Ibrahim Sumatera.Dalam perjalanannya ke lebih dari 12negara dalam periode 1922-1945, iaselalu mempelajari danmempertanyakan, “Apa yang bisa sayapelajari untuk bangsaku?”. Berbekalgejolak pertentangan Tradisionalismeversus Pembaharuan Hindia Belanda,Ibrahim Sumatera mencobamembenturkannya dengan pemikiranBarat. Kesimpulan yang diperolehsenada dengan Sutan TakdirAlishahbana. Ibrahim Sumateramenemukan bahwa keilmiahan Baratadalah satu-satunya cara membawamasyarakat Hindia Belanda menujupencerahan.

Ia tidak bisa menyangkal bahwasatu-satunya cara menjatuhkanKolonialisme adalah denganberpegang pada filosofi danstrategi ilmiah, fleksibel namunterukur. Nantinya terangkumdalam tiga hukum utamaIbrahim Sumatera dalambukunya Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog).

Seperti Muhammad,nabi besar umat Islam

namun biang kerok dan ancamanbagi Imperium Romawi Suci,bersabda: “Kafirlah orang-orangyang mengatakan 1+1+1=1,” Pesantersirat Muhammad adalah orang-orang yang tidak berpegang padahal-hal yang ilmiah, tidak akanpernah menemukan jalankeselamatan (Islam). IbrahimSumatera yang berlatar belakangIslam tak sanggup menyangkalbahwa jalan keselamatan yangsejati hanya bisa diusung denganmetode-metode yang ilmiah. Tidakada satu pun dari seluruh karyaIbrahim Sumatera yang tidakdidasarkan pada perhitungan yanglogis.

Hasil ramuannya selamakelana ke negeri-negeri lain ituselalu menghasilkan ancaman-ancaman, baik bagi kekuasaansetempat, maupun kekuasaanRatu di wilayah jajahan HindiaBelanda. Bahkan ketika ia mencobamelawan berhala diplomasi danparlementarisme Sjahrir-Hattadengan menyuarakan kembaligema revolusi, kekuasaan

Se-Tan Malaka

Sang Penghasut Revo lus iSang Penghasut Revo lus iSang Penghasut Revo lus iSang Penghasut Revo lus iSang Penghasut Revo lus i

Oleh: Indro B. S. Utomo

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

13

Indro Bagus Satrio Utomo adalah alumni ProgramStudi Sejarah, FIB, UI 2001 dan wartawan di situsberita detik.com.

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

Indonesia yang masih balita itu menghukumnya denganperintah tembak mati. Sungguh tragis dan ironis; seorangbayi membunuh ayahnya sendiri.

Pepatah kuno berbunyi, “Jika seorang laki-laki danperempuan berdua saja dalam sebuah ruangan, makaorang ketiga di tempat itu adalah setan.“ Dalam konteksrevolusi di Hindia Belanda, sosok yang berada diantarapenjajah dan tokoh-tokoh revolusioner itu adalah Se-TanMalaka. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi parapendiri negara Indonesia sekaligus menjadi ancaman bagikolonialisme Belanda, Jepang dan bahkan bagiKomunisme PKI-Sovyet.

Sebut saja, Naar de Republiek Indonesia (1925) terbit diCanton dan Massa Actie (1926) diterbitkan di Singapura.Dua karya monumental yang ditulis di tanah pelarian iniditujukan sebagai buku panduan menggalang revolusi.Nantinya dua buku ini menjadi pegangan tokoh-tokohpejuang revolusi pasca pemberontakan PKI 1926/1927.Kegagalan pemberontakan tersebut telah menempatkanperjuangan menggulingkan kekuasaan kolonial ke dalamzaman kegelapan. Aktifitas organisasi melawan Ratukebanyakan bergerak diam-diam dan terselubung.

Pada masa-masa inilah sosok Tan Malaka semakinmenjadi mitos sekaligus ancaman. Sedikit sekali tokohpejuang Hindia Belanda yang benar-benar mengenaliwajah sang penghasut. Ketika kemerdekaan 1945, hanyaAhmad Subadjo yang mengenali wajah Tan Malaka.Kebanyakan hanya mengenali Tan Malaka melalui karyadan aktifitas-aktifitas rahasianya, termasuk Soekarno.Ketika Soekarno diadili Belanda di Landrat, Bandung pada1931, salah satu tuduhan yang memberatkannya adalahlantaran ia menyimpan buku Massa Actie yang telahditetapkan sebagai buku terlarang. Buku berjudul MenujuIndonesia Merdeka karya Soekarno pun ditulis denganacuan dua karya Tan Malaka di atas.

Pengaruh Tan Malaka dalam aktifitas terselubung diHindia Belanda cukup kuat, terutama di kalangan pemuda-pemuda yang nantinya dikenal sebagai kelompokMenteng 31. Tokoh-tokoh penculik Soekarno-Hatta sepertiChaerul Saleh, Adam Malik, dan Sukarni adalah mantanaktifis Partai Republik Indonesia (Pari).

Pari adalah partai revolusioner yang didirikan TanMalaka bersama teman-teman seperjuangannya;Djamaludin Tamin dan Subakat pada 2 Juni 1927 diBangkok, Thailand. Aktifitas Pari sangat rahasia. Partaiini memberi pengaruh tidak hanya di Hindia Belanda, tapipada pergerakan revolusioner di kawasan Asia Tenggara.Intelijen berbagai negara seperti Inggris, Belanda,Amerika Serikat sampai Uni Sovyet memburu anggota-anggota Pari.

Aktifitas Pari meredup di tahun 1933, namunpartisipan Pari di Hindia Belanda seperti Adam Malik,Sukarni maupun Chairul Saleh melanjutkan gerakan-gerakan tersebut secara terpisah dan terputus denganTan Malaka yang hilang di negeri antah berantah. Banyakyang mengira sang penghasut ini sudah mati entah dimana.

Hubungan rahasia antara Tan Malaka dengan murid-murid yang tidak pernah dikenalnya secara langsung inibaru terjadi kembali menjelang kemerdekaan. Ketika itu,Tan Malaka menyamar menjadi romusha di daerah Bayah,Banten dengan nama Ilyas Hussein. Dalam suatu

kesempatan, Ilyas Hussein diutus ke Jakarta untukmenyampaikan usulan-usulan mengenaikemerdekaan pada kelompok Menteng 31. Pada saatitu, kelompok Menteng 31 masih mencari jalan terbaikperihal kemerdekaan Indonesia. SementaraSoekarno-Hatta lebih memilih menerimakemerdekaan dari Jepang yang dijadwalkan pada 24Agustus 1945.

Usulan Hussein mengenai pentingya mengambilalih kemerdekaan sesegera mungkin mendapatsambutan baik dari Sukarni, Adam Malik, ChaerulSaleh dan anggota kelompok Menteng 31 lainnya.Kelompok Menteng 31 kemudian merancang rencanapenculikan Soekarno-Hatta dengan tujuan memaksadua tokoh tersebut segera memproklamirkankemerdekaan. Aksi itu berjalan dengan lancar.

Sayangya, saat itu Ilyas Hussein belum sempatmembuka samarannya pada kelompok Menteng 31,sehingga ia tidak diikutsertakan dalam peristiwabesar tersebut. Hal ini sangat disesali Tan Malaka.Baru dalam kesempatan selanjutnya, ia dapatmemperkenalkan dirinya sebagai Tan Malaka. Melaluiakses yang dimiliki murid-murid mantan Pari inilah,Tan Malaka kemudian dapat muncul kembali dalamgema revolusi di Indonesia.

Meski akhirnya ia harus mati ditembakkekuasaan Indonesia, namun hasutan-hasutannyatetap mempengaruhi kebijakan-kebijakan Indonesiaselanjutnya. Hal itu terbukti dari dihapuskannyasistem parlementarisme, tidak diakuinya hutang-hutang Belanda dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan Soekarno, garisyang diusulkan Tan Malaka semasa hidupnya.

Sayangnya, ia mati terlalu dini. Ramuanpamungkas Madilog belum sempat ia tanamkandalam benak manusia-manusia yang mendambakankebebasan. Manusia sekarang yang katanya modern,dan bebas, rupanya masih diselimuti mitos-mitos yangtidak ilmiah. Mungkin perlu dikobarkan lagi sabdaMuhammad, “Hai orang-orang yang berselimut,keluarlah.” Seperti juga hasutan Jim Morrison, “Breakon through!”

“Revolusi bukanlah sesuatu yang bisadicapai dengan lelamunan,

kaum revolusioner harus menyiapkan diriuntuk mencapainya,”

(Tan Malaka, 1925)

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

14

s e l i l it

ingatan

MENCONGKEL

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Sudah lebih dari empat dekade berlalu semenjakterjadinya G30S. Inilah peristiwa yang menurutbanyak pengamat dan sejarawan Indonesia

adalah tonggak penting perjalanan bangsa ini pascakemerdekaan. Wacana 1965 sampai saat ini terkesanterus digarap, tak putus-putusnya dibincangkan, dibacaulang, ditulis ulang, seperti yang terjadi dengan tulisanini. Sehingga terkesan membosankan dan menjenuhkanuntuk segelintir orang.

Peristiwa yang “menekuk-lututkan” partai komunisterbesar dunia di luar Uni Soviet dan RRC waktu itu padahematnya harus dilihat sebagai trilogi; peristiwa G30Sdengan segala versinya, pembantaian 1965, danpembuangan Pulau Buruh serta para eksil di luar negeri(Warman Adam, 2004). Sejak itulah, di bawah kaki OrdeBaru, “kiri” menjadi sesuatu yang diharamkan di negeriini sekaligus menjadi ‘pembunuh’ menakutkan baik bagipara pemeluknya mau pun bukan.

“Kiri” versi rezimpenguasa, “kiri”yangmembunuh para jenderal danberusaha mengkudeta lamanian bercokol di ingatankolektif bangsa sebagaisebuah kebenaran. Ingatankolektif yang terseleksisesuai keinginan penguasadan parsial ini melupakan,menutup mata atau menutuppintu rapat-rapat untuk versi-versi berbeda, entah versipara korban mau pun versisaksi mata kala itu. Rakyatnegeri ini pun begitu lamanyamengidap amnesia sejarah.Goebbels, seorang Nazi Jerman,pernah berujar; ceritakan sebuahtipuan berkali-kali, niscaya akanmenjadi kebenaran. Mungkin sepertiitu yang terjadi di negeri ini.

Demi melawan penyakit amnesiasejarah, tidak bisa tidak, versi sejarahyang dahulunya dibungkam harusdiberi tempat, terus diperbincangkan,dibaca ulang, dan ditulis ulang. Dia tidak bolehmembosankan bila belum semua kita terbebas daripenyakit itu, bila belum semua kita mengakui kesalahanmasa lalu. Dalam usaha itu, sastra pun turut andil,memberi arti berbeda pada amnesia sejarah ini. Sastradalam perbincangan ini menjadi penting bukan hanyakarena keterlibatan pengarang pada perubahan atauperistiwa sosial tertentu, melainkan juga karena sebuah

karya berkolerasi dan saling melengkapi dengansituasi sosial di luar dirinya. Inilah yang ditanggapicerpen-cerpen karya Linda Christanty, AgusDermawan T, dan Imam Muhatron (untuk menyebutbeberapa nama). Karya mereka yang mengangkatihwal peristiwa 1965 dalam seliweran kegairahanprosa Indonesia sejak 1998 menjadi menarik untukdiamati.

Memorabilia 1965Beberapa cerpen yang menyinggung peristiwa 1965yang sempat singgah di pembacaan saya menonjolkansisi ingatan korban orang kedua (mereka yang tidakmenjadi obyek dalam penangkap mau punpembantaian). Tamu (Kompas, 20 Juni 2004) karyaRatna Indraswari Ibrahim, Kami Bongkar Rumah Kami(Suara Merdeka, 15 Juli 2007) karya Imam Muhtaromdan Candik Ala (Kompas, 30 September 2007) karya

GM Sudarta misalnyamengungkit perihal korban

tak langsung prahara itu.Ayah dari Dara dalamTamu dibawa pergibeberapa orang pada 7November 1967 tanpaalasan yang jelas dan takpernah kembali lagi.Sebagai seorang Kabag,Papa Dara tidak terlibat

partai apa pun. Ia punbukan orang yang fasih

dan penganut kiri. Buku-buku berhaluan kiri titipan

Om Daryo di rumah punsudah dibakar. Tamu

memperlihatkan bahwa siapasaja, kiri mau pun bukan, bisa

dibawa pergi dan tak pernahkembali pada fase pembantaian

1965. Kenangan akan ayah yangdibawa pergi dan tak pernah kembalimenjadi kenangan teramatmenggetirkan bagi Dara dan dara-dara yang lain.

Dalam Kami Bongkar Rumah Kami yang mengangkattokoh generasi ketiga dari sebuah keluarga, rumahmenjadi saksi kesengsaraan keluarga besar sangalgojo di pembantaian 1965. Semenjak salah satuanggotanya menjadi Sang Pembelih, rumah itu takurung dirundung malang. Betapa tidak. Selain seluruhpenghuni rumah, kecuali Sang Pembeli atau Pak Min,menanggung beban moril, mereka pun harusmenghadapi kesintingan Pak Min. Ketika suara-suara

ArtikelOleh: Berto Tukan

*Ilustrasi CerpenKami Bongkar Rumah KamiSumber: Suara Merdeka Online

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

15

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

sayatan 1965 menghantui lagi Pak Min di tahun 1980-an, ia akan mencari apa saja, membuat kegaduhanbagaimana saja, sampai ada suara-suara teriakan yangmendiamkan suara sayatan yang menghantuinya. Pada2006, generasi yang mendiami rumah itu pun berinisiatifmerenofasi rumah itu. Mereka pun berencanamembangun sebuah taman dengan pohon-pohoncemara untuk menggantikan pekarangan yang takterurus dengan sepuluh pohon kelapanya agar…mengingatkan kami bahwa kami hidup pada tahun 2006dan bukan berada di tahun 1967…

Rupanya peristiwa di 1967 bukan saja menyisahkankegetiran bagi Dara yang ayahnya dibawa pergi dantak pernah kembali, tetapi juga menyesakan danmenghantui keluarga besar Pak Min sang eksekutor.Keduanya mencandrakan bagaimana peristiwaseputar 1967 tidak memberikan keuntungan apa-apauntuk siapa pun. Yang mengeksekusi dan yangdieksekusi sama-sama menderita. Tetapi, tentu saja adayang memancing dan mendapat untung di air keruh.

Dalam Pesta Terakhir (Koran Tempo, 21 Desember2003) karya Linda Christanty, ‘yang mengeksekusi’ dan‘yang dieksekusi’ menjelma satu tubuh; dalam tokohLelaki Tua. Dari tahanan politik peristiwa 1965 di PenjaraSalemba, ia menjelma seorang juru catat yangmenjebloskan teman-temannya ke penderitaan yanglebih parah. Dari menderita di penjara, hidupnyaberubah menjadi begitu penuh materi karena kerjaspionasenya itu. Namun di hari tuanya, Pak Tuamerenungkan kembali perjalanannya dan menyesalidiri. Ia hendak membuat pengakuan ketika padaMursid, sesama aktifis Lekra yang dijebloskan kepenjara waktu itu. Namun sayang, sebelum hal itutercapai, cucunya mengalami kecelakaan. Lelaki Tuapun berlari menyelamatkan cucunya dan tak sempatmembuat pengakuan. Betapa peristiwa 1965menyimpan begitu banyak teka teki kecil dan misteri-misteri kecilnya yang bisa saja tak akan pernahterungkapkan

Cerpen Sejumlah Konon di Rumah Loteng (SuaraPembaruan, 15 Juli 2007) karya Agus Dermawan Tbagaikan puzzle kenangan dengan bongkar pasangkisah yang berganti-ganti. Setiap kisah dihiasi konon.Misalna … konon pada bulan Agustus tahun 1942, atausampai akhirnya datang ke telingaku sebuah konon yang lain.Dengan menggunakan kata konon, kisah-kisah kecilakibat gejolak sosial politik negeri ini menjadi ‘isapanjempol’ semata, bukan sebuah realitas sejarah yangharus serius digarap. Begitu juga konon lain yangmengisahkan … Pada bulan Desember 1965 rumah itu tiba-tiba digedor-gedor sekelompok orang. Dikatakan oleh orang-orang tersebut bahwa si penghuni rumah menyembunyikanseorang buron di atas loteng. Maka, bisa saja begitu lamacerita getir tentang para korban peristiwa-peristiwaberdarah di negeri ini, seperti para penghuni RumahLoteng yang berganti-ganti itu, hanya menjadi sebuah‘konon’, semacam dongeng pengisi waktu senggang.

Berat Hidup di Barat (Kompas, 9 Mei 2004) karyasastrawan eksil Soeprijadi Tomodihardjo menceritakankisah Eric Sullivan, seorang eksil dari Addis Ababa,Ethiopia. Eric Lewat tokoh aku diceritakan, Sullivanmengalami adaptasi yang setengah-setengah dilingkungan barunya, sebuah flat di Jerman(?).

Akibatnya, gaya hidupnya dan kebiasaannya yangberbeda dengan orang-orang sekitar membuatkeluarganya dikucilkan. Eric Sullivan sebenarnya adalahproyeksi kehidupan tokoh aku sendiri yang adalahseorang eksil Indonesia. Sesuai judulnya, Berat Hidup diBarat menggambarkan bagaimana sulitnya para eksildi luar negeri memluai hidup baru di tanah baru, jauhdari lingkungan asalnya. Namun mereka tetap bertahan,seperti Eric Sullivan yang sampai kini masih tinggal diflat itu dengan anaknya yang kini sudah lima orang.

***Karya sastra selalu mengiringi setiap perubahan sosialdan masyarakat. Walau pun jarang menjadi narasibesar dalam kehidupan, sastra selalu turut mewarnai,merefleksikan, memberi nilai pada kehidupan danperubahan kehidupan itu sendiri.

Cerpen-cerpen yang disebutkan di atas tidakmengangkat tokoh-tokoh besar, para pelaku sejarahyang menjadi kanon. Seorang pegawai negeri kecil(Tamu), seorang pengkhianat yang resah di masa tua(Pesta Terakhir), para penghuni rumah loteng (SejumlahKonon di Rumah Loteng), seorang penjagal dan keluargayang menanggung malu (Kami Bongkar Rumah Kami)adalah mungkin tokoh-tokoh kecil yang cepat terlupakankehidupan. Namun melalui cerpen-cerpen ini, kitadiingatkan bahwa perjalanan bangsa pernahmengorbankan mereka. Karena pada dasarnya, sastrayang fiksi itu merefleksikan dan menyiratkan sertamenyuratkan apa yang pernah, sedang dan akan terjadi.

Peristiwa-peristiwa kecil yang menghiasi prahara1965 di pelosok-pelosok desa dan kampung sering hanyamenjadi ‘konon’. Melalui karya-karya sastra, sadar ataupun tak sadar, peristiwa-peristiwa kecil itu masuk kebenak kita dan menyadarkan kita akan kerja renovasiyang belum dilakukan, yang belum dirampungkan.Arkian, kesalahan-kesalahan masa lampau harusnyatak pernah lagi ada, amnesia sejarah mestinyadisembuhkan secepatnya.***

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

16

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Judul : Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang1917 -1920

Penulis : Soe Hok GiePenerbit : BentangTahun Terbit : Cetakan kedua, juni 2005Tebal Buku : ix+110 hlm

“Bangoenlah bangsa jang tertindas. Bangoenlah kaoemjang lapar. Kehendak jang moelia dalam doenia. Linyaplahadat fikiran toea. Hamba ra’jat sadar, sadar Doenia telah

berganti roepa Bafsoelah soedah tersebar…”

Penggalan lirik mars internasionale versi Melayu-Indonesia terjemahan Pemuda SuwardiSuryaningrat diatas menjadi penutup buku ini.

Bersama Lirik ini atmosfir dunia Pergerakan periode1917-1920 tersaji hangat di kepala kita. Pada periodetersebut, buah pikir sosialistik (kiri) tengah bangkit danmenjadi arus pemikiran utama yang dianut sebagiantokoh-tokoh Pergerakan Nasional.

Kaum Kiri kala itu, dengan semangat radikalnyaselalu mengedepankan aksi-aksi menentangperbudakan dan penindasan terhadap buruh tani yangdilakukan penguasa. Aksi kaum Kiri ini sungguh

membuat repot pemerintahan Kolonial. Bahkan,perlawanan mereka pun tak pandang bulu, para pribumiyang dianggap kacung kapitalisme pun turut ditentang.

Tulisan-tulisan bernada perlawanan menjadiandalan tuk diedarkan demi mendorong suksesnyaberbagai aksi, seperti pemogokan sampai yang palingekstrim; pemberontakan. Tujuannya untuk menunjukandiri bahwa tanpa buruh para pemilik modal tidak dapatberbuat apa-apa. Meskipun pada akhirnya aksi itudapat diredam, ditumpas dan tidak menghasilkanperubahan signifikan terhadap nasib rakyat jelata. Akantetapi setidaknya gerakan tersebut memberi inspirasipada orang yang mengetahuinya bahwa berjuang itubisa juga dengan melawan.

SI Semarang.Sarekat Islam Semarang adalah cikal-bakal PerserikatanKomunis di (H)india. SI Semarang juga dikenal dengannama SI Merah, karena begitu kentalnya muatanpemikiran Marxis bermukim didalamnya. Sebelumnya,SI Semarang dipandang Semaoen, Darsono dansekawannya terlalu lembek melawan pemerintahKolonial. Para pemuda Kiri ini menilai gaya perjuanganSI salah, sebab lebih mengedepankan jalan“evolusioner” yang tak mungkin berhasil. Mereka lebihyakin pada jalan “revolusioner” tuk berjuang.

Pertentangan pemikiran ini terus memanasdidalam tubuh SI. Puncaknya pada Kongres NasionalCentraal Sarekat Islam (CSI), dimana pertikaian pemikiranitu semakin meruncing. Sampai akhirnya menjaditampak nyata, yaitu terjadinya perpecahan dalam tubuhorganisasi pada Kongres Nasional CSI ke-4 pada 1919. Dibawah Lentera Merah, bukan ditulis untukmemaparkan aksi-aksi PKI (Partai Komunis Indonesia)melawan kebijakan pemerintah Kolonial. Seperti sub-judulnya, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, bukuini disusun untuk menjelaskan sepak-terjang dankeadaan internal SI periode 1917-1920, yang merupakanmasa tiga tahun paling radikal melawan kapitalismedari Sarekat Islam (SI) Semarang. Buku ini pun tak lupamengangkat latar belakang sosial masyarakat Hindiakala itu (mayoritas buruh-tani) yang memungkinkanberseminya pemikiran Sosialis.

Perpektif Seorang Aktivis MahasiswaSebagai buku sejarah, rekonstruksi masa lampau yangdisajikan sang penulis begitu apik. Sang Penulis denganketajaman analisis, imajinasi, dan basis sumber tulisandan lisan sejarah yang memadai, mampu menceritakankembali sebuah organisasi berlabel Islam (SarekatIslam, Semarang) yang bermetamorfosa menjadiorganisasi berpaham Marxsis yang sepenuhnyaberanggotakan pribumi pertama di Indonesia.

Sorot Merah

Mata Kaum Muda

BukuBukuOleh: Tia Septian

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

17

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

Awalnya, buku ini merupakan karya ilmiah (skripsisarjana muda) mahasiswa sejarah, Fakultas Sastra,Universitas Indonesia, sekaligus tokoh kunci Angkatan’66, yakni Soe Hok Gie. Dalam menyusun karyatulisnya, latar belakang Soe Hok Gie yang tajammenggurat tulisan tuk jamannya, tak bisadikesampingkan begitu saja. Soe Hok Gie tentu punyaalasan-alasan tertentu mengapa ia tertarik menulistentang kelahiran sebuah organisasi pergerakanradikal yang menganut paham Sosialis-Komunis diIndonesia ini. Serta, mengapa ia cenderung yakinbahwa pergerakan radikal di pulau jawa periode 1920-1926 itu lebih dipengaruhi faktor internal, yaitukemelaratan yang menjerat rakyat jelata di Indonesiakala itu. Ia justru ragu dengan anggapan yang berlakuumum bahwa pergerakan zaman itu dipengaruhifaktor eksternal seperti Revolusi Bolseviek, Oktober1917 di Rusia.

Sisi sensitif Soe Hok Gie sebagai seorang aktifismahasiswa terpancing oleh berita-berita di koran awaltahun 30-an, yang isinya seputar penderitaan rakyatakibat kemiskinan yang melanda Hindia Belanda,ditambah cerita-cerita dari orang buangan di Digul(pelaku Pemberontakan Komunis 1926). Hal itulahyang membuatnya tertarik melakukan penelitian lebihlanjut. Ia berusaha menelusuri kembali akar aktivitaskaum Kiri di Indonesia. Ini berarti lebih jauh kebelakang sebelum Peristiwa 1926, yaitu awalberseminya pemikiran dan pergerakan Marxis diIndonesia.

Wawancara autentik dengan tokoh-tokoh pendiriPKI yang berhasil ia lakukan pun semakin menambahrasa tendensius Gie terhadap kaum Kiri. Sebab tokoh

yang ia wawancara adalah Semaoen dan Darsonoyang jelas-jelas merupakan tokoh sentral PKI padamasa awal. Mungkin juga sisi pemberontak dariseorang Gie-lah yang membuatnya lebih tertarik padacara-cara radikal untuk menuntut suatu perubahan.Oleh karena itu, pilihan penelitiannya jatuh ke sisi “kiri”dari sejarah Indonesia.

Semaoen SentrisDalam buku ini, sosok Semaoen paling banyakporsinya dalam penceritaan, dibanding dengan tokoh-tokoh lain, seperti Darsono, Mas Marco dan lainnya.Pada kenyataannya, Semaoen memang memilikiperan penting dalam sepak-terjang SI Semarangperiode 1917-1920. Akan tetapi, buku ini pun berceritabagaimana Semaoen menanggapi miring tokoh-tokohpolitik dari golongan Bumiputera. Sepertinya Semaoentengah disentralkan, ada apa dengan penulis?

Semaoen disentralkan posisinya sebagai seorangPemuda yang berani menetang apa yang ia anggapsebagai ketidakadilan dengan jalannya sendiri yangradikal. Jalannya inipun bukan tanpa perlawanan daripihak lawan. Ia bahkan berani merubah suatuorganisasi yang tadinya hanya bergerak untukgolongan menengah menjadi menjadi organisasipembela buruh tani; suatu perubahan drastis. Sungguhtokoh yang “keras” dan cerdas Semaoen disajikandalam buku ini. Seperti halnya sosok Gie yang kitaketahui (penulis buku ini) dalam menghadapi situasidan kondisi jamannya, ia begitu keras melawanketidakadilan dan cerdas serta tajam menulis di mediakampus dan surat kabar nasional. Apa bedanyaSemaoen dan Soe Hok Gie dalam batas ini, sekarang?.

*Pendar Pena edisi Oktober akan membahas temaseputar Maritim. Bagi yang berminat menyumbangkanartikel dan karya, harap dikirimkan ke e-mail redaksisebelum 10 Oktober 2008. Khusus artikel, berkisar antara6.000-7.000 karakter, nir-spasi.##############################################################################################**Pendar Pena tersebar (dalam jumlah terbatas) di:Bengkel Deklamasi TIM, Toko Buku Kalam-Utan Kayu,Toko Buku Cak Tarno-Depok, FIB UI, Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatulah, STFK Driyarkara, danUniversitas Paramadina.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Ko l o m I k l a n S i n g k a t

*Bagi yang hendakmengisi kolom ini, silahkanmenghubungi redaksi.

Nomor 10, Tahun Pertama, September 2008PENDAR PENA

18

1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890

Oleh: Mufti Ali Sholih

Kiri, apa itu Kiri? Mungkin secara spontan kitaakan menyebutkan, Kiri adalah lawandari Kanan. Atau secara akademis, Kiri adalah

istilah yang digunakan dalam terminologi politik yangselalu bersifat melawan sebuah rezim despotik-tiran.Tapi, apa makna Kiri dalam konteks Indonesia?Pertanyaan tersebut mungkin membawa kita padasebuah makna pemikiran ataupun gerakan sosial yangselalu melakukan sebuah pembacaan ulang terhadapsituasi yang dimapankan Penguasa. Atau yang lebihpopuler (tepatnya dipopulerkan), Kiri bermakna sebagaihantu Sosialisme, Marxisme, maupun Komunisme yangmerupakan sumber ketakutan dalam ingatan kolektifmanusia Indonesia.

Yah, itulah Kiri. Sebuah terminologi yang kerapdijunjung di satu sisi, tapi di cemooh pada sisi lainnya.Kiri mungkin merupakan sebuah stigma dalamkesadaran kita, karena ia mengandung semacammagnet yang membuat kita teringat dengan peristiwa1926, 1948, dan paling dekat, 1965. Tapi nanti dulu. Akhirdekade 90-an yang melahirkan era Reformasi diIndonesia tak bisa dilepaspisahkan dengan kelompokKiri. Kelompok Kiri terbesar saat itu yang dikomandoipria kurus berkacamata dengan gaya sangat necis danklimis telah “berjasa” membina dan menghimpunbanyak kekuatan progresif membawa Indonesia lepasdari cengkraman “The Smiling General” dan melangkahmenuju era Reformasi dengan kalimat saktinya,“Revolusi sampai mati”.

Ingatan kita tentang “kiri” pun mungkin tak lantassurut hari ini. Setelah 10 tahun pasca kejatuhan Soehartodan lahirnya reformasi, kata Kiri masih saja berdentumdalam ingatan kita. Kiri yang dahulu diasosiasikandengan Komunisme, kini mungkin sudah bergantimakna menjadi satu hal yang seksi, garang, pemberani,maupun keren. Ide-ide yang diusung kelompok ini punmasih saja terngiang-ngiang di telinga. Tapi yangmenjadi pertanyaan saat ini adalah dimanakah tokoh-tokoh yang dahulu menjadi orang-orang garda depanpembela semangat dan pikiran-pikiran Kiri ini? Parapendakwah Kiri yang dahulu banyak berkoar di mediamaupun jalanan, seolah sudah tak terdengar lagi hariini.

Kemanakah para punggawanya kini? Padahal padapenghujung dekade 90-an, Goenawan Muhamadmemberikan kesaksian pandangan mata yangmenggetarkan hati dalam Catatan Pinggir-nya. Ketikaitu, ia tengah duduk bersampingan dengan PramoedyaAnanta Toer dalam sebuah ruangan di LBH, Jakarta.Saat itu, ia melihat ada banyak pemuda kumuh nankucel tapi berhati keras duduk menyandar di dindingtembok LBH. Mereka hadir untuk mendeklarasikansebuah kendaraan politik yang nantinya akan

digunakan sebagai mesin perjuangan mereka. CeritaGoenawan Muhamad ini jelas mengingatkan kita akanperistiwa panas masa itu, di mana banyak pemudatergabung dalam sebuah gerakan yang dicap Kiri olehpemerintah Orde Baru. Kelompok ini mencuat naik kepermukaan karena keberanian mereka melawan rezimtiranik kala itu.

Rupa-rupanya, kini sang komando organisasi politikKiri terkenal di akhir dekade 90-an tersebut sudah“membelot” dan bergabung dengan sebuah partai besaryang katanya menjadi oposisi pemerintah. Pun demikianjuga dengan seorang intelektual yang cerdas yangdahulu menjadi ketua organisasi mahasiswa Kiri danjuga bertugas sebagai penyokong bahan baku intelektualorganisasi politik Kiri, kini telah berdamai dan dudukberdampingan dengan pemerintah. Mungkin pula, paraanggota organisasi Kiri yang dahulu menjadi ujungtombak kini telah duduk kembali di pekaranganrumahnya sambil sesekali memberi komentar tentangsituasi nasional.

Yah entahlah. Kiri mungkin juga seperti agamaataupun pakaian. Ia bisa diimani dan dipakai tapimungkin juga bisa ditinggalkan dan diganti dengan yangbaru. Kiri seolah telah menjadi sebuah ruang yangmemungkinkan orang masuk-keluar bak sebuah tokobaju ataupun toilet. Kiri mungkin hanyalah sebuah alatyang digunakan oleh para tokohnya saat itu sebagaisebuah magnet untuk menarik orang agar mengikutijalannya. Atau mungkinkah Kiri sudah tak laku lagimenjadi sebuah harapan? Karena mungkin Kiri sudahtak lagi bisa berdialektika dengan realitas yang semakinkompleks, yang tak seperti dahulu saat Marx pertamakali mengemukakan argumennya tentang SosialismeIlmiah. Tentunya kita akan kebingungan, karenaternyata buku-buku tentang ajaran dan ide-ide Kiri masihsaja banyak bertengger di rak-rak buku, di kios maupuntoko buku mahal.

Kiri kini mungkin tinggal kenangan, kenangan akansituasi yang memungkinkannya untuk kembali hadir danbergerak sambil sesekali mengkhotbahkan sebuahsemangat tentang harapan di masa datang yang lebihbaik. Kiri pun kini telah banyak ditinggalkan oleh parapunggawanya. Mereka pergi meninggalkan Kiri tapidengan alasan yang mengatasnamakan Kiri pula.Sebuah paradoks yang membingungkan.

Yah, demikianlah Kiri. Kelompok yang selalumembaca ulang situasi yang telah mapan tapi terkadangmenjerumuskan pengikutnya lari dari harapan yangdicita-citakannya. Sekarang dimanakah Kiri itu berada?Satu pertanyaan yang kembali harus diajukan sebagaisebuah harapan yang dahulu pernah dikhotbahkantetapi lapuk di makan zaman yang mulai bergerakmeninggalkannya***

Yang Murtad Dari

Kiri

CoratCoret

Nomor 10, Tahun Pertama, September2008 PENDAR PENA

19

123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678912345678901234567890123456789012123456789012345678901234567891234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789

BUKA BERSAMA (DERITA MASING-MASING)

haram jadah!!orang-orang dalam tv berkaparanbayi-bayi membusung menggeragap menggapai-gapaimencari-cari ibu yang bertanggalan puting-puting susudalam bilik-bilik busuk penuh lendir penuh kutu

haram jadah!!orang-orang dalam tv berkaparanmegap-megap menarik-narik nyawa yang tinggal seutas tipishabis diguncang gempa ditimbun lumpur dimakan gelombangdi tenda-tenda buruk tanpa celana tanpa baju

haram jadah!!orang-orang dalam tv berkaparanberdarah-darah menjerit-jerit bersumpalan masuk liangdigebuk diludahi dikesot serdadu-serdadu tuhandi kolong-kolong gerobak di sela gubuk-gubuk

haram jadah!!orang-orang dalam tv berkaparansungguh mengganggu selera makanganti! segera ganti saluran!aku mau nonton sinetron, orang bersorban mengusir setan.

JAKARTA, Ramadhan 2007

MUSIM ANJING

ah, taik! padahal sudah sesempit ini dunia, sudah sesesak ini tapi masih aja ada cukup ruang untukanjing-anjing berebut bangkai, berebut saling gigit, berebut menggigit unuk menjadikan bangkai-bangkai. anjing-anjing buduk yang sama tiap tahunnya. anjing-anjing di medan-medan perang yangmembunuhi anak-anak kecil, anjing-anjing di belakang mimbar-mimbar yang berleleran mulutnyapenuh air tai karena terlalu bersemangat menjual tuhan, anjing-anjing dalam seragam, anjing-anjing yang mengatasnamakan seni membunuh seni, anjing-anjing yang mencakar-cakar tiaptahun ajaran baru, anjing-anjing sok tahu, anjing-anjing mengaku pelindung, anjing-anjingmengaku sahabat, anjiiiiiiiiing!!

aaaaaahh, ngepeeeeet!! ngehe sama kalian, anjing! jangan lengah suatu saat akan kami jadikankalian tongseng dan kami santap panas-panas dengan sambal dan perasan jeruk nipis,hahahahaha

Jakarta, August 12th, 2006

Puisi-puisi Gema Mawardikarya

*Gema Mawardi adalah seorang pekerja sastra, pemain teater, dan sutradara.

Telah mengamenkan puisinya di berbagai kesempatan dan berpentas teater dibeberapa kota.