Inovasi Pendataan Disabilitas - PATTIRO

142

Transcript of Inovasi Pendataan Disabilitas - PATTIRO

Inovasi Pendataan Disabilitas

Inovasi dan Praktik Baik Mitra Program Peduli Disabilitas Fase 1

di Enam Provinsi

ii

Inovasi Pendataan DisabilitasKajian dan Praktik Baik Mitra Program Peduli Disabilitas Fase 1 di Enam Provinsi

Tim PenulisRohidin SudarnoSad Dian Utomo

EditorMaya RostantyNovita Anggraeni

Kontributor1. Bejo Untung2. Diah Mardhotillah3. Henny Warsilah4. Nurjanah5. Rohidin Sudarno6. Sumyati7. Wawanudin

Pengulas1. Ade Siti Barokah2. Rani Hapsari

Layout:Agus Wiyono

Penerbit:PATTIROPusat Telaah dan Informasi RegionalJl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35Pasar Minggu Jakarta SelatanTelp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800Email: [email protected]: www.pattiro.org

Inovasi Pendataan Disabilitas iii

Kata Pengantar

ThE Asia Foundation

Saat bertanya pada pimpinan masyarakat, tidak jarang kita dengar bahwa di lingkungan mereka tidak ada anggota masyarakat penyandang disabilitas. Hal itu dialami mitra The Asia Foundation beberapa tahun lalu, saat mereka

mengumpulkan data awal tentang masyarakat penyandang disabilitas. Pemimpin masyarakat itu mungkin menyatakan yang sebenarnya – karena dia memang tak memiliki data. Banyak penyebab mengapa data tak tersedia, namun di antara yang paling menyedihkan adalah bahwa keluarga tidak melaporkan; mereka malu, takut distigma dan lain sebagainya. Mereka juga kerap merasa tidak perlu melaporkan. Lingkaran masalahpun menjadi langgeng: tanpa data, tidak ada layanan; tanpa layanan, masyarakat tak merasa perlu melaporkan. Data dan layanan publik adalah dua hal yang saling terkait. Maka, di sinilah langkah kita mulai. Dari pendataan.

Hingga saat ini data yang tersedia belum terintegrasi sehingga tidak mudah bagi penyedia layanan untuk menjadikannya sebagai rujukan untuk penjangkauan dan pelayanan. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan 8,56 persen penduduk Indonesia memiliki disabilitas; Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas 2015) menyebut 12.15%, atau setara dengan 30 juta jiwa; dan World Health Organization (WHO) menyebut 15%.

Lepas dari angka penyandang disabilitas pada umumnya adalah korban dari miskonsepsi, stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi, eksklusi, treatment yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan layanan yang setara (Azra, 2017). Stigma negatif yang menganggap penyandang disabilitas tidak produktif juga menyebabkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara belum diprioritaskan pemenuhannya. Stigma lain ditimpakan pada orang tua: anak terlahir dengan disabilitas karena kesalahan orang tua. Lahirnya UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ternyata belum menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, informasi, prasarana yang aksesibel dan hak-hak lainnya. Studi kolaborasi Pemerintah Australia dengan Indonesia menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, akses kesehatan yang lebih buruk, akses permodalan/ekonomi yang

iv

sangat kurang dan keterjangkauan terhadap layanan publik yang lebih terbatas dibandingkan dengan orang tanpa disabilitas (AIPEG, 2017).

Namun demikian, gerakan persamaan hak untuk menuntut akses yang lebih baik, fisik maupun nonfisik, untuk penyandang disabilitas mulai bermunculan. PATTIRO adalah bagian dari gerakan itu, dan The Asia Foundation bangga mendukung kerja-kerja penting ini. The Asia Foundation juga mendukung pemerintah mengembangkan model pembangunan inklusif mulai dari advokasi kebijakan hingga fasilitasi layanan dasar untuk penyandang disabilitas. Program Peduli melalui upaya kolaboratif multipihak mendorong peningkatan pelayanan dasar, penerimaan sosial dan perbaikan kebijakan di lokasi program.

Buku “Praktik Baik Pendataan Disabilitas” dan “Praktik Baik Pelayanan Publik bagi Disabilitas” yang diterbitkan oleh PATTIRO ini adalah hasil dokumentasi berbagai upaya perbaikan dan praktik-praktik baik yang selama beberapa tahun ini dilakukan mellaui Program Peduli. Kami berharap dokumentasi ini dapat menjadi inspirasi dan sumbangan berharga bagi perbaikan pendataan dan pelayanan publik bagi disabilitas di Indonesia.

Dr Sandra HamidCountry Representative, The Asia Foundation

Inovasi Pendataan Disabilitas v

Kata Pengantar

Pusat REHABILITASI Yakkum

Sejak berdiri tahun 1982, Pusat Rehabilitasi YAKKUM bermitra dengan berbagai pihak, baik badan pemerintah maupun non pemerintah di tingkat global sampai lokal untuk mewujudkan visi YAKKUM yaitu orang dengan disabilitas

yang mandiri terpenuhi hak dasarnya dalam masyarakat yang inklusif. Berbagai upaya mulai rehabilitasi fisik, edukasi dan kampanye publik, penguatan organisasi DPO sampai advokasi kebijakan publik dilakukan dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Lebih dari 15,000 penyandang disabilitas dan keluarganya dari berbagai wilayah di Indonesia telah difasilitasi dalam upaya mereka meraih kemandirian dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Salah satu peluang yang sangat bermakna bagi perjuangan pemenuhan hak disabilitas adalah dikeluarkannya UU Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016 yang menjadi kerangka kerja legal untuk memastikan komitmen negara dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dasar disabilitas tersebut.

Tetapi legal framework saja tidak cukup, apalagi jika kita semua mengharapkan lebih luas wilayah dan lebih banyak kelompok masyarakat yang terjangkau dan memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak dalam wujud layanan publik yang lebih inklusif, yang di dalamnya termaktub prinsip-prinsip peningkatan kesadaran (awareness), aksesibilitas, yang menyeluruh, partisipasi dan pendekatan khusus dan umum (twin track approach). Dalam Program Peduli dimana 78 organisasi masyarakat sipil (baik yang berperan sebagai organisasi mitra payung maupun mitra pelaksana) di 75 kota/kabupaten dalam 21 provinsi terlibat, YAKKUM melakukan pelatihan pengarusutamaan pembangunan yang inklusif disabilitas kepada mereka (khususnya yang tidak spesifik/secara khusus bekerja dalam untuk isu disabilitas) agar semakin banyak pihak yang mempunyai kesadaran terhadap isu disabilitas dan sepakat mewujudkan inklusi sosial dalam berbagai aspek pembangunan. Selain itu dirasakan urgensi penyusunan kajian dan pendokumentasian praktik baik dalam hal layanan disabilitas dan pendataan agar tersedia referensi yang dapat diandalkan dan dapat menginspirasi pihak-pihak lain dalam mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak dasar disabilitas dalam bentuk layanan publik dan mereplikasikannya ke wilayah-wilayah lain.

vi

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berpengalaman dalam kajian kebijakan dan penelitian secara luas, PATTIRO dipercaya memfasilitasi kebutuhan strategis tersebut. Buku “Pelayanan Publik Bagi Disabilitas Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik” dan “Praktik Baik Pendataan” yang disusun oleh Tim PATTIRO dengan konsultasi luas dengan berbagai stakeholder termasuk organisasi penyandang disabilitas (difable people organization) dan Pemerintah diharapkan mampu menginspirasi sekaligus “memprovokasi” agar semakin banyak pihak-pihak terdorong mewujudkan penyediaan data disabilitas dan layanan publik yang berkualitas bagi pemenuhan dan perlindungan hak disabilitas. Harapan kita bersama, hal ini akan menjadi batu titian dalam perjalanan ke depan menuju Indonesia yang semakin inklusif.

Terima kasih untuk kerja keras Ibu Maya Rostanty dan Ibu Novita Anggraeni beserta seluruh tim PATTIRO, hasil tidak akan mencederai proses!

Salam inklusi ArshintaDirektur Pusat Rehabilitasi YAKKUM

Inovasi Pendataan Disabilitas vii

Pengantar

PATTIRO

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga PATTIRO bisa mempersembahkan Buku “Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas”. Buku ini diangkat dari praktik baik yang telah dilakukan oleh Mitra Program Peduli Fase 1

dari Pilar Disabilitas, yaitu YASMIB (Bone), SAPDA (Banjarmasin), SIGAB (Kulon Progo), KARINAKAS (Sukoharjo), BAHTERA (Sumba Barat) dan PATTIRO (Lombok Barat). Dalam perjalanannya, Program Peduli Pilar Disabilitas telah banyak menghasilkan praktik baik yang tentu saja membawa perubahan dan manfaat yang besar untuk Penyandang Disabilitas.

Pada fase 2 Program Peduli Pilar Disabilitas ini PATTIRO berkesempatan melakukan kajian dan menyusun pembelajaran dari dokumentasi hasil serta proses praktik baik pendataan disabilitas yang sudah dilakukan di enam wilayah tersebut. Hasil analisis ini dituangkan ke dalam sebuah buku yang harapannya bisa menjadi sumber rujukan atau pembelajaran terkait pendataan disabilitas bagi semua pihak yang berkepentingan. Harapannya pengalaman dan pembelajaran ini yang bisa direplikasi oleh Pemerintah Pusat/Daerah di tempat lain. Selain itu, buku ini diharapkan menjadi sumbangsih PATIRO dalam upaya perbaikan kebijakan terkait pendataan disabilitas sebagai salah satu langkah penting dalam pemenuhan hak dasar disabilitas sesuai dengan amanat UU. Dengan demikian, pengalaman berharga ini dapat menjadi bukti bahwa disabilitas mampu berkarya dan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah dan sosial kemasyarakatan.

Kami berharap, buku ini menjadi bacaan yang menarik dan dapat dinikmati oleh para pembaca yang budiman, dapat menginspirasi, dan memberikan manfaat. Pada akhirnya, kebutuhan terhadap hak-hak disabilitas dapat tersosialisasi kepada seluruh masyarakat.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi terhadap penerbitan buku ini, terutama kepada tim pelaksana program di Jakarta, Tim Peduli Fase 1 Pilar Disabilitas, dan terima kasih sebesar-besarnya kepada tim penulis.

Jakarta, Mei 2018

Direktur PATTIROMaya Rostanty

viii

Daftar Isi

Kata Pengantar The Asia Foundation ...................................................................................... iii

Kata Pengantar YAKKUM .............................................................................................................. v

Kata Pengantar PATTIRO .............................................................................................................. vii

Daftar Isi ......................................................................................................................................... viii

Daftar Singkatan ............................................................................................................................. xi

Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel ............................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

1.1 Konteks .................................................................................................................... 1

1.1.1 Pembangunan Inklusif dan Kepedulian Terhadap Disabilitas 1

1.1.2 Pembangunan Berkelanjutan ........................................................... 3

1.2 Kerangka Konseptual ......................................................................................... 7

1.2.1 Inovasi dan Praktik Baik ....................................................................... 7

1.2.2 Konsep Pembangunan Inklusif ......................................................... 11

1.2.3 Partisipasi Disabilitas ............................................................................ 13

1.3 Metodologi Kajian ............................................................................................... 16

1.4 Profil Program Peduli Pilar Disabilitas .......................................................... 17

1.5 Profil Mitra dan Lokasi Pendataan ................................................................. 19

1.5.1 SAPDA di Banjarmasin .......................................................................... 19

1.5.2 SIGAB di Kulon Progo............................................................................ 19

1.5.3 KARINAKAS di Sukoharjo ..................................................................... 20

1.5.4 YASMIB di Bone ....................................................................................... 21

1.5.5 BAHTERA di Sumba Barat .................................................................... 21

1.5.6 PATTIRO di Lombok Barat .................................................................... 22

1.6 Keterbatasan Kajian ............................................................................................ 23

BAB II INOVASI PENDATAAN DISABILITAS ....................................................................... 24

2.1 Konteks Inovasi dalam Pendataan................................................................. 24

2.2 Praktik Inovasi Pendataan ................................................................................. 25

Inovasi Pendataan Disabilitas ix

2.2.1 SAPDA: Mendorong Penguatan DPO dalam Pendataan Disabilitas di Kota Banjarmasin ......................................................... 25

2.2.2 SIGAB: Integrasi Pendataan Disabilitas dalam Sistem Informasi Desa di Kulon Progo .......................................................... 35

2.2.3 KARINAKAS: Pendataan Kolaboratif dan Efisien di Sukoharjo .................................................................................................. 45

2.2.4 YASMIB: Peran Pemerintah Desa dalam Pendataan Disabilitas di Bone ....................................................................................................... 58

2.2.5 BAHTERA: SAID dan Partisipasi berbagai Pihak dalam Pendataan Disabilitas di 11 Desa di Kabupaten Sumba Barat ............................................................................................................ 66

2.2.6 PATTIRO: Aksi Kolektif Pendataan Disabilitas di Kabupaten Lombok Barat .......................................................................................... 76

BAB III ANALISIS DAN MODEL INOVASI PENDATAAN DISABILITAS ............... 86

3.1 Analisis Proses dan Hasil ................................................................................... 86

3.1.1 Proses Pendataan ................................................................................... 86

3.1.2 Dampak Pendataan di Masyarakat .................................................. 87

31.3 Peran Aktor dalam Kohesi Sosial ...................................................... 89

3.1.4 Faktor Pendukung Pendataan ........................................................... 89

3.1.5 Tantangan Pendataan .......................................................................... 90

3.1.6 Perspektif Gender dalam Pendataan .............................................. 92

3.2 Model Inovasi Pendataan Disabilitas ............................................................ 92

3.2.1 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Daerah (Model 1) ................................................................................................... 94

3.2.2 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Desa (Model 2) ................................................................................................... 96

3.2.3 Model Pendataan Antara DPO dengan NGO (Model 3) ........... 97

3.3 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas .................................................... 98

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................. 101

4.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 101

4.2 Rekomendasi .............................................................................................................. 102

4.2.1 Rekomendasi Umum ............................................................................ 102

4.2.2 Rekomendasi Khusus ............................................................................ 102

4.2.2.1 Rekomendasi Untuk Kemensos ......................................... 102

x

4.2.2.2 Rekomendasi Untuk Bappenas .......................................... 102

4.2.2.3 Rekomendasi Untuk Kemendagri ..................................... 102

4.2.2.4 Rekomendasi Untuk Kementerian Desa dan PDTT ..... 103

4.2.2.5 Rekomendasi Untuk BPS ...................................................... 103

4.2.2.6 Rekomendasi Untuk Kominfo ............................................. 103

4.2.2.7 Rekomendasi Untuk Pemda ................................................ 103

4.2.2.8 Rekomendasi Untuk Pemerintah Desa ............................ 104

4.2.2.9 Rekomendasi Untuk CSO dan DPO................................... 104

Daftar Pustaka ................................................................................................................................. 105

Lampiran:

1. Form Pendataan SAPDA-Kota Banjarmasin ............................................................ 108

2. Form Pendataan SIGAB – Kulon Progo ..................................................................... 110

3. Form Pendataan YASMIB - BONE ................................................................................. 112

4. Form Pendataan PATTIRO – LOMBOK BARAT ......................................................... 114

5. Form Pendataan BAHTERA – SUMBA BARAT .......................................................... 116

6. Formulir Pendataan Difabel Kabupaten Sukoharjo Tahun 2016 ..................... 118

Inovasi Pendataan Disabilitas xi

Daftar Singkatan

Adminduk : Administrasi dan Kependudukan

APBDes : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

BAHTERA : Bahtera – Nama Yayasan

Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

BDT : Basis Data Terpadu

BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BPD : Badan Permusyawaratan Desa

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPMDES : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

BPS : Badan Pusat Statistik

Capil : Catatan Sipil- Dinas

CRPD : Convention on the Rights of Person with Disabilities

CSO : Civil Society Organization

CSR : Corporate Social Responsibility

Dinsos : Dinas Sosial

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

Dkk : Dan kawan kawan

DPO : Disabled/Disability People’s Organization

FGD : Focus Group Discussion

FKKADK : Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan

FKPI : Forum Komunikasi Pendidikan Inklusif

GDP : Gross Domestic Product

Gemar Lidi : Gerakan Masyarakat Peduli Disabilitas

Gerkatin : Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia

HAM : Hak Asasi Manusia

xii

HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia

ICF : International Classification of Functioning

IDI : Inclusive Development Index

ILO : International Labour Organization

IT : Information Technology

Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah

Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat

Jamkesus : Jaminan Kesehatan Khusus

JKD : Jaminan Kesehatan Difabel

JKN : Jaminan Kesehatan Nasional

KARINAKAS : Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang

Kasi : Kepala Seksi

KDD : Kelompok Disabilitas Daerah

KDLB : Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak

Kemensos : Kementerian Sosial

KIS : Kartu Indonesia Sehat

KK : Kartu Keluarga

Kominfo/Infokom : Komunikasi dan Informasi/ Informasi dan Komunikasi

Komnas : Komisi Nasional

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

LPP Bone : Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bone

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MDGs : Millenium Development Goals

Mou : Memorandum of Understanding

MoV : Mean of Verification

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

NGO : Non Government Organization

NTT : Nusa Tenggara Timur

Inovasi Pendataan Disabilitas xiii

ODKB : Orang Dengan Kecacatan Berat

ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa

P3D : Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas

PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa

PBI : Penerima Bantuan Iuran

PD : Penyandang Disabilitas

Pemda : Pemerintah Daerah

Pemdes : Pemerintah Desa

Pemkab : Pemerintah Kabupaten

Perda : Peraturan Daerah

Permendikbud : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

PHL : Pekerja Harian Lepas

PKH : Program Keluarga Harapan

PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

PMKS : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

PMM : Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu

PPDI : Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia

PRB : Pengurangan Risiko Bencana

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

PwD : People with Disability

RBM : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat

RKPDes : Rencana Kerja Pemerintah Desa

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

RT : Rukun Tetangga

SAID : Sistem Administrasi dan Informasi Desa

SAIK : Sistem Administrasi dan Informasi Kelurahan

xiv

SAPDA : Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak

SDDK : Sistem Data Desa dan Kelurahan

SDGs : Sustainable Development Goals

SDM : Sumber Daya Manusia

SHG : Self Help Group

SID : Sistem Informasi Desa

SIGAB : Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel

SK : Surat Keputusan

SKPD/OPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Organisasi Perangkat Daerah

SLB : Sekolah Luar Biasa

TKSK : Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan

UKM : Usaha Kecil Menengah

UNDP : United Nations Development Programme

UU : Undang-Undang

UUD : Undang - Undang Dasar

WECD : World Commisson on Environtment and Development

WEF : World Economic Forum

WHO : World Health Organization

YASMIB : Swadaya Mitra Bangsa

Inovasi Pendataan Disabilitas xv

Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel

Bagan 1.1 Pembangunan Sosial Disabilitas ...................................................................... 11

Bagan 2.1 Tahapan Pendataan Disabilitas yang dilakukan SAPDA di Banjarmasin ...................................................................................................................... 27

Bagan 2.2 Inovasi Pendataan di Kota Banjarmasin ........................................................ 33

Bagan 2.3 Perbandingan pendataan SIGAB dan Pemerintah .................................... 37

Bagan 2.4 Tahapan Inovasi Pendataan oleh SIGAB di Kabupaten Kulon Progo .. 39

Bagan 2.5 Partisipasi Disabilitas dalam Tahapan Pendataan ...................................... 44

Bagan 2.6 Kegiatan Peran Aktor dalam Pendataan Tahap Pertama KARINAKAS 47

Bagan 2.7 Tahapan Perluasan dan Pengembangan Pendataan di Sukoharjo...... 50

Bagan 2.8 Tahapan Pendataan YASMIB di Kabupaten Bone ....................................... 59

Bagan 2.9 Alur Pendataan di Mallari Setelah Melakukan Rapid Assessment ......... 61

Bagan 2.10 Alur Proses Pendataan di Sumba Barat ....................................................... 68

Bagan 2.11 Proses Pembentukan Tim Pendataan di Desa .......................................... 69

Bagan 2.12 Alur Pemakaian Data oleh Dinas Sosial dalam Penyaluran Bantuan Sosial ................................................................................................................................... 79

Bagan 2.13 Tahapan Pendataan PATTIRO di Lombok Barat ........................................ 80

Bagan 2.14 Partisipasi Disabilitas dalam Pendataan PATTIRO di Lombok Barat 84

Bagan 3.1 Proses, Pendekatan, dan Strategi ..................................................................... 87

Bagan 3.2 Dampak Pendataan Disabilitas ......................................................................... 88

Bagan 3.3 Peran Aktor Pendataan Disabilitas .................................................................. 89

Bagan 3.4 Faktor Pendukung Inovasi Pendataan Disabilitas ...................................... 90

Bagan 3.5 Tantangan Pendataan Disabilitas..................................................................... 91

Bagan 3.6 Model 1...................................................................................................................... 95

Bagan 3.7 Model 2...................................................................................................................... 96

Bagan 3.8 Model 3...................................................................................................................... 98

Bagan 3.9 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas dalam Pendataan .................. 100

xvi

Gambar 1.1 Model Kerangka Kerja Koalisi Perubahan Kebijakan ............................. 10

Gambar 2.1 Ilustrasi Pelaksanaan Pendataan Disabilitas di Banjarmasin .............. 30

Gambar 2.2 Form Pendataan yang sudah Terisi .............................................................. 34

Gambar 2.3 Proses Pendataan Anak Disabilitas .............................................................. 34

Gambar 2.4 Keputusan Bupati Sukoharjo tentang Penerima Kartu Disabilitas... 46

Gambar 2.5 Pemeriksaan Disabilitas ................................................................................... 54

Gambar 2.6 Penyerahan Kartu DISABILITAS oleh Bupati Sukoharjo kepada Perwakilan Disabilitas yang Sudah Didata ............................................................ 55

Gambar 2.7 Surat Pemberitahuan kepada Tim RBM Kabupaten Sukoharjo terkait Pendatan Disabilitas ........................................................................................ 55

Gambar 2.8 Pembekalan Pendataan disabilitas di Kabupaten Sukoharjo ............ 57

Gambar 2.9 Salah Satu Bantuan bagi Disabilitas yang Berasal dari Desa Sebagai Hasil dari Pendataan Disabilitas di Desa Ngreco, Sukoharjo .......................... 57

Gambar 2.10 Alat Bantu Dengar ........................................................................................... 62

Gambar 2.11 Bedah Rumah Disabilitas Netra di Desa Mallari (Sebelum) .............. 63

Gambar 2.12 Bedah Rumah Disabilitas Netra di Desa Mallari (Sesudah) ............... 63

Gambar 2.13 Kartu BPJS Untuk disabilitas yang baru terdata di Lombok Barat .. 77

Gambar 2.14 Daftar Penerima Kartu BPJS PBI untuk disabilitas yang baru terdata ................................................................................................................................ 78

Gambar 2.15.1Pertemuan Koordinasi Komunitas Disabilitas di Kecamatan Lingsar dan Labuapi, Lombok Barat. .......................................................................

Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Inklusif ............................................................................ 2

Tabel 2.1 Peran Aktor di Banjarmasin .................................................................................. 28

Tabel 2.2 Peran Aktor di Kabupaten Kulon Progo .......................................................... 40

Tabel 2.3 Peran Aktor di Kabupaten Sukoharjo ............................................................... 51

Tabel 2.4 Daftar dan Peran Stakeholder pada Inovasi Pendataan ............................. 61

Tabel 2.5 Desa Dampingan Pendataan Disabilitas ......................................................... 70

Tabel 2.6 Jumlah Penyandang Disabilitas Hasil Pendataan ........................................ 70

Tabel 2.7 Peran Para Aktor dalam Pendataan di Lombok Barat ................................. 80

Inovasi Pendataan Disabilitas 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks 1.1.1 Pembangunan Inklusif dan Kepedulian Terhadap Disabilitas

Pembangunan di Indonesia yang selama ini bertumpu pada paradigma pertumbuhan memang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi membawa berbagai akibat negatif, antara lain eksklusivitas, kerusakan lingkungan, penyusutan sumber daya alam, dan kesenjangan sosial. Pembangunan lebih banyak didedikasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dengan Produk Domestik Bruto (GDP) sebagai ukuran utama, sementara kesejahteraan dan keadilan sosial belum menjadi prioritas utama. Eksklusif dalam arti pertumbuhan ekonomi di tangan sebagian kecil pihak, yaitu pengusaha besar/konglomerat dan birokrat. Menurut Badan Pusat Statistik (2018) tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada September 2017 yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,391. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yaitu 0,393.

Paradigma pertumbuhan juga ternyata menciptakan eksklusi sosial, relatif sulit bagi kelompok rentan untuk terlibat di dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan perubahan paradigma dari pembangunan yang berorientasi pada ekonomi dengan output mengejar pertumbuhan ekonomi (pembangunan eksklusif ), kepada paradigma pembangunan inklusif yang bertujuan untuk menyejahterakan semua lapisan masyarakat. Pembangunan inklusif ini merupakan konsep pembangunan yang mengupayakan pemberian hak bagi kelompok yang terpinggirkan (disabilitas, miskin, dan minoritas) di dalam proses pembangunan.

Pembangunan inklusif sendiri dapat diartikan sebagai proses untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di dalam proses pembangunan (International Disability and Development Consortium). Pengertian lain adalah pembangunan yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan kesempatan ekonomi yang sama bagi semua orang (Rauniyar & Kanbur, 2009), atau pembangunan untuk semua orang, tidak peduli latar belakang dan perbedaan-perbedaannya (Prasetyantoko dkk, 2009). Bila

2

dikaitkan dengan kepentingan penyandang disabilitas maka pembangunan inklusif dapat didefinisikan sebagai pembangunan yang melibatkan peran serta seluruh lapisan masyarakat, segala golongan: kaya-miskin, laki-laki - perempuan, masyarakat rentan, indigenous people, dan penyandang disabilitas.

Bagi Indonesia, pembangunan inklusif tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini setidaknya terlihat dari peringkat Indonesia pada Laporan Pembangunan dan Pertumbuhan Inklusif 2017 (The Inclusive Growth and Development Index 2017) yang dirilis oleh World Economic Forum pada awal tahun 2017. Negara kita berada pada peringkat 22 dari 79 negara berkembang dengan nilai 4,29. Peringkat ini masih di bawah Thailand (12), Tiongkok (15), dan Malaysia (16). Indeks Pembangunan Inklusif (Inclusive Development Index/IDI) adalah sebuah indikator ekonomi yang berusaha memberikan gambaran lebih luas tentang pemerataan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di suatu negara. Indeks ini menggunakan tiga kelompok indikator yaitu growth and development (pertumbuhan dan pembangunan), inclusion (inklusi) dan intergenerational equity and sustainability (keadilan antargenerasi dan keberlanjutan). Skor IDI menggunakan skala 1 sampai 7, dengan nilai 1 berarti terburuk dan nilai terbaik adalah 7. Dari ketiga kelompok indikator IDI itu, indikator di kelompok “inclusion” relatif sangat buruk, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Inklusif

Value Rank TrendInclusion 1-7 (best) 3.57 43/79 - 1.6%

Net Income Inequality Gini 42.3 54/79 + 3.7

Poverty Rate % 36.4 49/79 - 9.9

Wealth inequality Gini 84 68/79 + 1.7

Median income $/day (PPP) per capita N/A - -

Sumber: World Economic Forum, The Inclusive Growth and Development Report 2017

Indikator di atas memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki masalah ketimpangan yang serius. Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia masih jauh untuk dikatakan sebagai pembangunan yang inklusif. Padahal pembangunan nasional sendiri bertujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, yaitu pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai wilayah, dan dapat mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.

Inovasi Pendataan Disabilitas 3

Konsep pembangunan inklusif ini dipandang tepat bagi Indonesia karena sejalan dengan konsep keadilan sosial yang tercakup dalam sila Kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai negara yang berkeadilan sosial maka negara berkewajiban melindungi hak asasi warganya termasuk hak penyandang disabilitas, yang dapat dikatakan sebagai “kelompok yang tidak diuntungkan” karena keterbatasan yang dimilikinya, dan memastikan pembangunan yang dijalankan dapat dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat, termasuk penyandang disabilitas.

Pembangunan inklusif ini juga kerapkali dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan dalam laporan World Commission on Environment and Development (WECD) atau dikenal dengan Laporan Komisi Brundtland yang dibentuk PBB pada tahun 1987 yang mendeskripsikan “Sustainable development is development that meets the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs“ (Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya). Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, menurut WECD ini, pencapaian tujuan ekonomi harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain itu, kepentingan antarkelompok masyarakat dan antargenerasi juga mendapat perhatian besar. Menurut Heal (1998), konsep keberlanjutan ini mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena menyangkut apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Definisi tentang pembangunan berkelanjutan lainnya disampaikan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (1980) yang menyatakan bahwa untuk menjadi sebuah pembangunan berkelanjutan, pelaksanaan pembangunan harus mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial maupun ekonomi yang berbasis pada sumberdaya kehidupan dan mempertimbangkan keuntungan ataupun kerugian jangka panjang maupun jangka pendek dari tindakan-tindakan yang dilakukan.

1.1.2 Pembangunan Berkelanjutan Memperhatikan pengertian pembangunan berkelanjutan yang telah

4

disampaikan maka setidaknya ada tiga dimensi dari pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi sosial, yang mencakup keadilan sosial, kesetaraan gender atau pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas; dimensi ekonomi, yang dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau ekonomi kesejahteraan; dan dimensi lingkungan, yang mencakup keseimbangan lingkungan dan lingkungan untuk generasi sekarang dan yang akan datang (Gondokusumo dalam Budhy, 2005).

Pentingnya pembangunan berkelanjutan ini direspon secara global dengan dideklarasikannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang akan dilaksanakan hingga tahun 2030. SDGs sendiri merupakan kelanjutan dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang telah dilaksanakan selama 15 tahun (2000-2015).

Terdapat 17 tujuan (goals) dalam SDGs. Beberapa di antaranya terkait erat dengan penyandang disabilitas, yaitu: a) Goal 3 yaitu “Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia”; b) Goal 4 yaitu “Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif dan Merata Serta Meningkatkan Kesempatan Belajar Sepanjang Hayat Untuk Semua”; c) Goal 5 yaitu “Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan”; d) Goal 8 yaitu “Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan, Kesempatan Kerja yang Produktif dan Menyeluruh, serta Pekerjaan yang Layak untuk Semua”; e) Goal 9 yaitu “Membangun Infrastruktur yang Tangguh, Meningkatkan Industri Inklusif dan Berkelanjutan, serta Mendorong Inovasi”; f ) Goal 10 yaitu “Mengurangi Kesenjangan di dalam Negara dan antarnegara”; g) Goal 11 yaitu “Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan”; h) Goal 16 yaitu “Menguatkan Masyarakat yang Inklusif dan Damai untuk Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses Keadilan untuk Semua, dan Membangun Kelembagaan yang Efektif, Akuntabel, dan Inklusif di semua Tingkatan”.

Berbeda dengan MDGs yang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penyandang disabilitas maka SDGs justru memberi perhatian yang relatif besar kepada penyandang disabilitas, seperti tercantum pada beberapa goals yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, implementasi SDGs harus menjadi momentum untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam pembangunan. Partisipasi penyandang disabilitas dalam implementasi SDGs sangat menentukan dan menjadi alat uji apakah SDGs akan mengalami hal yang sama dengan MDGs bagi penyandang disabilitas. Partisipasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk bekerja sama dengan pemerintah dalam berbagai aktivitas terkait implementasi SDGs

Inovasi Pendataan Disabilitas 5

sekaligus melakukan monitoring atas pencapaian SDGs. Partisipasi akan lebih kuat dan bermakna besar, bila Organisasi Penyandang Disabilitas dapat bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya sehingga dapat memperkuat pesan yang disampaikan dan memperkuat dukungan bagi penyandang disabilitas.

Memperhatikan pemaparan di atas maka pembangunan inklusif dan pembangunan berkelanjutan merupakan pendekatan pembangunan yang tepat bagi Indonesia dalam rangka memastikan proses dan hasil pembangunan dapat dirasakan oleh semua, termasuk penyandang disabilitas, baik di generasi sekarang maupun yang akan datang. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan. Secara global, penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15% dari jumlah penduduk di dunia atau lebih dari satu miliar jiwa. Dari jumlah penyandang disabilitas dunia tersebut, 82% hidup di negara-negara berkembang dan berada di bawah garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Sementara di Indonesia, berdasarkan data dari WHO, diperkirakan 10% dari jumlah penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas atau lebih dari 24 juta jiwa. Para penyandang disabilitas ini merupakan masyarakat yang termarjinalkan dan rentan. Penyandang disabilitas juga kerapkali terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam akses atas kesehatan, pendidikan dan pekerjaan (ILO, tanpa tahun).

Masalah dan kebutuhan khusus yang dihadapi oleh penyandang disabilitas ini memerlukan perhatian dari berbagai pihak melalui upaya-upaya inovatif untuk mengatasinya. Mengapa diperlukan upaya inovatif? Karena permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini relatif kurang mendapat perhatian yang memadai, terutama terkait akses pelayanan publik dan akses mereka pada hasil pembangunan lain. Jumlah dan kondisi disabilitas yang belum masuk dalam target spesifik pembangunan menyebabkan berbagai hambatan tambahan pada aspek mendasar kehidupan mereka. Pelayanan yang diberikan sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam arti tidak memperhatikan keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Misalnya, tidak tersedia petugas pelayanan yang memahami bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas rungu dan wicara.

Dalam konteks besar pembangunan inklusif dan berkelanjutan, terutama dalam proses dan hasil pembangunan, dipandang penting adanya upaya inovasi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi penyandang disabilitas dan memastikan penyandang disabilitas dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan dan

6

menikmati hasil-hasil pembangunan secara optimal. Salah satu aspek yang harus dipenuhi jika ingin memastikan masuknya kebutuhan khusus disabilitas dalam proes dan hasil pembangunan adalah tersedianya data disabilitas yang menyeluruh dan terus diperbaharui maka memunculkan satu inovasi yang diperlukan yaitu pendataan disabilitas yang bisa menjangkau seluruh penyandang disabilitas di suatu wilayah. Mengapa pendataan? Karena data memiliki peran dan manfaat yang signifikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud bila data penerima manfaat pembangunan juga tersusun dengan baik dan terbangun melalui mekanisme pemutakhiran secara teratur. Bagi kelompok rentan, termasuk masyarakat miskin dan penyandang disabilitas, tidak tersedianya data yang akurat akan menambah kerentanan dan berpotensi menghambat terpenuhinya hak dan pelayanan dasar.

Saat ini, masih terdapat berbagai hal yang menyebabkan belum tersedianya satu data disabilitas yang komprehensif dan bisa digunakan oleh semua sektor dalam pembangunan. Masalah pendataan disabilitas ini meliputi tiga hal utama, yaitu instrumen pendataan, mekanisme pendataan, dan pemanfaatan data. Dari sisi instrumen misalnya, beberapa sektor di pemerintahan menggunakan instrumen pendataan yang berbeda dan belum sepenuhnya menggunakan pendekatan berdasar hambatan. Dalam hal mekanisme, belum bisa menjangkau semua disabilitas dari semua wilayah, kondisi kedisabilitasan, usia, dan lainnya. Mekanisme yang ada saat ini, antara lain sistem pencatatan dengan menunggu disabilitas atau keluarganya melapor, kelemahannya adalah banyak keluarga disabilitas atau disabilitas enggan mendaftarkan dirinya sebagai disabilitas karena masalah akses atau stigma negatif. Mekanisme kedua adalah sensus atau pendataan langsung, tetapi mekanisme sensus yang ada masih berupa sampling dan belum menyeluruh serta proses pemutakhirannya lama sehingga belum bisa memastikan semua disabilitas didata menyeluruh dan tidak diperbaharui secara cepat.

Perbedaan mekanisme dan instrumen ini tentu saja menghasilkan data yang berbeda-beda. Misalnya, Dinas Sosial hanya mendata disabilitas berat yang mendapat bantuan, Dinas Pendidikan memiliki data disabilitas anak yang bersekolah di SLB, dan sebagainya. Ketiadaan satu data disabilitas yang menyeluruh di berbagai tingkat pemerintah ini menyebabkan banyak disabilitas terus tereksklusi. Beberapa masalah yang memberi dampak langsung pada disabilitas terkait pendataan penyandang disabilitas ini, di antaranya banyaknya penyandang disabilitas yang tidak terdata melalui mekanisme konvensional yang selama ini dilakukan pemerintah menyebabkan perbedaan dan kebutuhan

Inovasi Pendataan Disabilitas 7

mereka tidak masuk dalam rencana pembangunan, tidak memiliki KTP, tidak bisa mengakses pelayanan dasar karena bangunan fasilitas publik seperti puskesmas dan sekolah yang tidak bisa bisa diakses disabilitas, anak berkebutuhan khusus kesulitan mendapat pengobatan gratis, dan sebagainya. Salah satu hal yang menyebabkan berbagai masalah pendataan ini antara lain terkait keterlibatan masyarakat, khususnya penyandang disabilitas dalam proses pendataan.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini berusaha memotret upaya-upaya inovasi dan praktik baik yang telah dilakukan untuk memastikan masalah pendataan yang dihadapi penyandang disabilitas dapat diatasi. Buku ini mengkaji dan menganalisa berbagai praktik dan temuan terkait pendataan disabilitas di berbagai daerah. Hal yang dikaji meliputi instrumen pendataan, pihak-pihak yang terlibat dan sumberdaya dalam pendataan, termasuk keterlibatan masyarakat, keluarga dan penyandang disabilitas itu sendiri, tantangan dan faktor pendukung pendataan disabilitas, serta penerimaan pemerintah dan rencana pengembangan atas inovasi pendataan disabilitas ini. Berbagai inovasi yang dipaparkan di dalamnya merupakan hasil dari pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 yang dilaksanakan pada tahun 2014 sampai dengan 2016 (selanjutnya disebut Program Peduli).

Inovasi-inovasi pendataan penyandang disabilitas yang dikupas dalam buku ini relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan karena di dalamnya memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas; upaya-upaya inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, meliputi proses inovasi yang melibatkan penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku kepentingan; hasil dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi penyandang disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas.

Penyusunan Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas ini merupakan bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang diharapkan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas di tanah air. Hasil kajian ini diharapkan menjadi bahan advokasi dalam upaya perbaikan kebijakan pendataan disabilitas di tingkat nasional sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dan signifikan bagi penyandang disabilitas di seluruh tanah air.

1.2 Kerangka Konseptual1.2.1 Inovasi dan Praktik Baik

Menurut Suryani (2008:304), inovasi dapat berupa ide, cara-cara ataupun obyek yang dipersepsikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru. Inovasi juga sering

8

digunakan untuk merujuk pada perubahan yang dirasakan sebagai hal yang baru oleh masyarakat yang mengalami. Kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses” atau “hasil” pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai yang lebih berarti. Menurut Rosenfeld dalam Sutarno (2012:132), inovasi adalah transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru, atau tindakan menggunakan sesuatu yang baru.

Rogers (1983) inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dipahami sebagai sesuatu yang baru oleh masing-masing atau unit pengguna lainnya. Rogers juga menyatakan bahwa inovasi mempunyai atribut tertentu, yaitu 1) Keuntungan Relatif. Sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain; 2) Kesesuaian. Inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak dibuang begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, juga karena inovasi yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi yang baru. Selain itu, juga dapat memudahkan proses adaptasi dan proses pembelajaran terhadap inovasi itu secara lebih cepat; 3) Kerumitan. Dengan sifatnya yang baru maka inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting; 4) Kemungkinan dicoba. Inovasi hanya bisa diterima apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”, dimana setiap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk menguji kualitas dari sebuah inovasi; dan 5) Kemudahan diamati. Sebuah inovasi harus juga dapat diamati, dari segi bagaimana sebuah inovasi bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Agar inovasi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang atau pihak maka perlu disebarluaskan. Diharapkan melalui penyebarluasan inovasi ini, inovasi dapat ditiru atau direplikasi pihak lain. Dalam konteks penyebarluasan ini, Rogers (1983) mengemukakan konsep difusi inovasi. Menurutnya, difusi adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial. Di samping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses

Inovasi Pendataan Disabilitas 9

perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jadi, difusi inovasi menurut Rogers (1983) adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk mengubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.

Secara terminologi, praktik baik sendiri sebenarnya masih terkait dengan aspek dalam definisi inovasi, yaitu adanya proses implementasi dari suatu gagasan dengan menggunakan cara yang lebih dari biasanya. Misalnya, dilakukan dengan lebih efektif, adanya tambahan nilai dalam praktik baik tersebut, serta berbagai aspek yang menjadikan implementasi tersebut lebih baik dibandingkan pelaksanaan pada umunya. Carusso (2014) menjelaskan bahwa:

“Aktualisasi praktik baik dapat mencakup elaborasi lebih lanjut tentang nilainya, kulaitas penerapan, keefektifan, hasil, dan kemampuan pengaktual. Meskipun penting untuk memperjelas perbedaan-perbedaan ini untuk menghindari kebingungan dalam penyebutan, pelaksanaan, atau mengevaluasi “praktk baik” adalah hanya beberapa orang yang akan melakukannya”.

Meskipun yang dilakukan bukan hal baru, dalam hal ini pendataan adalah sesuatu yang dilakukan oleh berbagai pihak dan agak umum. Namun, berbagai praktik baik pendataan yang akan dibahas dalam buku ini memiliki berbagai aspek khusus dan nilai tambah daripada praktik pendataan yang umum dilakukan yang mencakup pada efektifitas, peningkatan kualitas hasil, serta penambahan nilai yaitu integrasi nilai-nilai inklusivitas dalam proses dan mekanisme pendataan.

Kajian ini akan memotret praktik baik pendataan disabilitas yang dilaksanakan oleh mitra Program Peduli di enam lokasi studi dan menganalisis model pendataan disabilitas ,terutama dengan mengaitkannya kepada pembangunan inklusif, berupa model di tingkat lokal yang dapat direplikasi, dikembangkan dan nantinya dapat diadvokasikan pada tingkat nasional. Analisis model ini akan menggunakan kerangka pikir yang dikemukakan oleh Grindle (dalam Najam A, 1995) seperti dapat dilihat pada gambar berikut ini.

10

Gambar 1.1. Model Kerangka Kerja Koalisi Perubahan Kebijakan

Sumber : Grindle’s dalam Najam A (1995)

Bila dilihat dari gambar di atas, tampak bahwa ada tiga parameter yang relatif stabil dalam model kerangka kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan Kebijakan yang dikemukakan Grindle, yaitu: 1) aksesibilitas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan alam; 2) struktur sosial inklusif dan nilai sosial budaya fundamental; dan 3) struktur konstitusi dasar (UU, peraturan, kebijakan) inklusif. Dari ketiga parameter yang relatif stabil tersebut, inovasi dan kajian ini lebih terfokus pada aspek kedua yaitu struktur sosial inklusif dan nilai sosial budaya fundamental. Hal ini terjadi karena sebagian besar intervensi dan inovasi yang dipotret dalam kajian ini terfokus pada aspek struktur sosial yang terbentuk selama ini, yaitu stigma disabilitas, keluarga dan masyarakat serta struktur konstitusi seperti kebijakan/peraturan terkait hak disabilitas di level desa hingga unit layanan. Parameter spesifik dari struktur sosial inklusif dan nilai sosial budayaa adalah pada perubahan paradigma tentang disabilitas pada masyarakat, keluarga, dan disabilitas sendiri. Sementara pada aspek kebijakan, upaya perubahan dilakukan dengan mempengaruhi atau melakukan advokasi terhadap peraturan dan atau kebijakan di tingkat kabupaten, termasuk kebijakan inklusif di tingkat desa sebagai strategi keberlanjutan. Hasil kajian ini diharapkan mampu memberi kontribusi pada upaya

Inovasi Pendataan Disabilitas 11

mendorong perubahan kebijakan di tingkat daerah (kabupaten dan provinsi) hingga pada kebijakan di tingkat nasional.

1.2.2 Konsep Pembangunan InklusifPraktik baik pendataan disabilitas pada dasarnya merupakan bagian dari upaya

pembangunan inklusif. Salah satu konsep pembangunan inklusif yang berkaitan dengan kebijakan dikemukakan oleh guru besar sosiologi Universitas Indonesia, Prof. Paulus Wirutomo melalui Model Pembangunan Sosial Disabilitas 1980) yang melihat setidaknya ada tiga variabel penting yang dapat dijadikan rujukan, yaitu: variabel struktural, proses sosial (interaksi sosial), dan budaya. Model ini menekankan pada variabel struktur, seperti kebijakan, sistem pengelolaan, sistem anggaran, dan regulasi. Sedangkan variabel proses sosial menghadirkan interaksi sosial dalam bentuk sosialisasi program dan kegiatan, advokasi serta monitoring dan evaluasi. Sementara itu variabel budaya menekankan pada program dan kegiatan yang terkait pendataan disabilitas dapat dimaksimalkan serta mendapat dukungan masyarakat dan dijadikan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Budaya dukungan terhadap perorangan atau kelompok disabilitas ini harus melekat dan menjadi nilai keseharian dalam kehidupan masyarakat, sehingga keberadaan disabilitas bukan dikucilkan tetapi eksistensinya dihargai sebagai bagian setara dengan kelompok masyarakat lainnya (masyarakat inklusif ). Secara ringkas model pembangunan inklusif dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 1.1 Pembangunan Sosial Disabilitas

Struktur

Budaya Masyarakat

Proses Sosial

Sumber: Paulus Wirutomo (1980)

12

Model pembangunan sosial disabilitas ini analisisnya dimulai dari konsep eksklusi sosial yang dialami penyandang disabilitas, yang secara sengaja maupun tidak telah termarjinalkan dari proses pembangunan dan kehidupan sosial. Oleh karena itu, Rene Lenoir (1980) melalui paradigma inklusi sosial mengajak semua orang dari berbagai latar belakang etnis, ras, agama, status sosial, pendidikan, kesehatan, gender, lingkungan yang berbeda untuk masuk dan terlibat dalam pembangunan berbagai bidang kehidupan. Model ini tidak menyangkal bahwa perbedaan-perbedaan individual tertentu mengakibatkan keterbatasan individual, tetapi hal ini tidak boleh menjadi penyebab terjadinya sebuah eksklusi sosial atau marjinalisasi sosial.

Pendekatan pembangunan sosial melalui paradigma inklusif ini mulai dikenalkan tahun 1960-an melalui gerakan hak sipil penyandang disabilitas yang merupakan bagian dari gerakan hak asasi manusia (HAM). Istilah model sosial (social model) itu sendiri muncul di Inggris pada tahun 1980-an. Pada 1976, organisasi Union of the Physically Impaired Against Segregation (UPIAS), Inggris menyatakan bahwa disabilitas merupakan ketidakberuntungan atau keterbatasan kegiatan yang diakibatkan oleh masyarakat yang kurang atau tidak peduli terhadap orang yang menyandang ketunaan fisik dan karena itu mengeksklusikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat umum (Wikipedia, 2009 b). Pada 1983, akademisi penyandang disabilitas Mike Oliver menggunakan istilah ‘social model of disability’ untuk mengacu pada perkembangan ideologi ini. International Classification of Functioning, Health and Disabilities (ICF-WHO, 2001) juga mendefinisikan disabilitas dengan dijiwai oleh model sosial ini. ICF mendefinisikan disabilitas sebagai konsep multi-dimensional, terkait dengan tiga komponen, yaitu struktur dan fungsi tubuh seseorang, bidang kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari, dan faktor-faktor dalam lingkungan yang mempengaruhi pengalaman hidupnya, termasuk faktor sikap.

Model sosial memandang penyandang disabilitas sebagai bagian dari ekonomi, lingkungan dan budaya masyarakat. Jika seorang penyandang disabilitas tidak dapat ambil bagian dalam kegiatan di masyarakat, yang menjadi masalah adalah tantangan-tantangan yang mencegah individu itu memainkan peran di dalam masyarakat yang bersangkutan, bukan karena individu itu sendiri. Tantangan itu meliputi di bidang pendidikan, informasi dan sistem komunikasi, lingkungan kerja, layanan kesehatan dan sosial, transportasi, perumahan, bangunan umum, dan fasilitas layanan umum. Perendahan martabat penyandang disabilitas melalui pencitraan negatif di berbagai media seperti film, televisi dan surat kabar juga merupakan hambatan bagi disabilitas.

Inovasi Pendataan Disabilitas 13

Berbagai tantangan masih ada dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, informasi dan sistem komunikasi, lingkungan kerja, layanan kesehatan dan sosial, transportasi, perumahan, bangunan umum, fasilitas layanan umum, dan lain-lain. Perendahan martabat penyandang disabilitas melalui pencitraan negatif di media – films, televisi, dan surat kabar juga merupakan tantangan.

Model sosial dalam pelayanan disabilitas ini dikembangkan dengan tujuan menghilangkan berbagai hambatan agar para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama seperti semua orang untuk menentukan gaya hidup atau jati dirinya atau mengekspresikan diri melalui gaya hidupnya sendiri. Model sosial ini mensyaratkan terjadinya perubahan-perubahan yang dapat berupa:

1. Sikap, misalnya sikap yang lebih positif terhadap karakteristik mental atau perilaku tertentu, atau tidak meremehkan potensi kualitas hidup seseoranga yang berpotensi menjadi disabilitas.

2. Dukungan sosial, misalnya bantuan untuk mengatasi hambatan yang diakibatkan oleh disabilitas, penyediaan sumber-sumber yang dibutuhkan, penyediaan alat bantu atau melakukan “diskriminasi positif” untuk mengatasi hambatan tersebut.

3. Informasi, misalnya menggunakan format yang cocok, misalnya huruf Braille bagi disabilitas netra atau bahasa isyarat bagi disabilitas rungu atau bahasa yang lebih sederhana bagi disabilitas grahita.

4. Struktur fisik, misalnya bangunan dengan jalan masuk yang landai atau lift untuk pengguna kursi roda.

1.2.3 Partisipasi DisabilitasPemahaman mengenai partisipasi setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yaitu

apa makna dari partisipasi dan siapa yang berpartisipasi. Paul (1987:14) menyatakan partisipasi masyarakat sebagai suatu proses aktif, dimana masyarakat dapat mempengaruhi arah serta pelaksanaan dari pembangunan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam arti penghasilan, perkembangan pribadi, kemandirian, serta berbagai nilai yang diyakini. Bank Dunia menyatakan partisipasi adalah suatu proses dimana berbagai pelaku (stakeholders) dapat mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan dan keputusan serta pengalokasian berbagai sumber (Bank Dunia, 1994).

Hal senada diungkap oleh Soetrisno (1995) yang menyatakan makna partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunannya. Mikkelsen (2001:64) bahkan mengumpulkan berbagai tafsiran mengenai

14

partisipasi. Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah ”pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial. Kelima, partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Keenam, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungannya.

Berbagai pendapat mengenai pengertian partisipasi itu lebih ditujukan pada keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya.

Partisipasi sebagai salah satu indikator penting dari demokrasi juga diungkapkan oleh Ida (2002: 97) yang menyatakan partisipasi menjadi sangat penting karena secara umum pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah diyakini akan terbangun dengan baik jika terjadi secara sinergis dan dinamis. Artinya, posisi masyarakat dan pemerintah berada pada kondisi saling berhubungan, baik dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan keputusan, maupun dalam mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut.

Arnstein (1969: 216-224) menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan pembagian kekuasaan yang memungkinkan masyarakat untuk ikut serta dalam proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam penentuan masa depan dan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan mengontrol masa depan masyarakat sendiri. Dari beberapa definisi tersebut, partisipasi dimaknai sebagai adanya keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan pengambilan keputusan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, dalam kerangka peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya, termasuk menyangkut pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Tjokroamidjojo (1995:207) mengemukakan tiga bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu partisipasi dalam perencanaan pembangunan; partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan; dan partisipasi dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Keith Davis dalam Sastropoetro (1988:16) menyatakan

Inovasi Pendataan Disabilitas 15

bentuk-bentuk partisipasi adalah: a. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu

(dermawan, pihak ketiga);b. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai seluruhnya oleh

komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat desa);c. Aksi massa;d. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendiri; dan e. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonom. Thoha sebagaimana dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002: 6) melihat partisipasi

dari sifatnya, yang dapat dibagi dua jenis, yaitu: partisipasi otonom/mandiri yaitu suatu bentuk partisipasi yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik; dan partisipasi mobilisasi, termasuk di dalamnya partisipasi seremonial yaitu suatu bentuk partisipasi yang digerakkan oleh orang atau kelompok tertentu, umumnya bagi negara berkembang dilakukan oleh kelompok elit tertentu, bukannya berangkat dari kesadaran masyarakat. Partisipasi seremonial adalah bentuk seperti partisipasi dalam pemilu.

Dari penjelasan mengenai makna dari partisipasi itu ternyata partisipasi dalam arti luas mencakup pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan hingga kontrol masyarakat. Partisipasi dapat terjadi dalam iklim demokrasi. Dalam perkembangannya, ada perubahan pandangan mengenai partisipasi. Masyarakat tidak lagi memandang partisipasi sebagai hadiah atas kebaikan hati pemerintah, tetapi partisipasi dianggap sebagai bagian dari pelayanan dasar dan upaya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Partisipasi juga berarti berbagai cara atau bentuk yang dilakukan masyarakat untuk mempengaruhi kualitas kebijakan atau pelayanan dari pemerintah agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan warga masyarakat sendiri.

Pentingnya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002:101) yaitu masyarakat, bukan pemerintah, yang paling mengerti tentang apa yang terbaik buat dirinya, dan masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Pada pelaksanaannya, partisipasi tidaklah sama di satu tempat dengan tempat lainnya. Praktik partisipasi berbeda-beda satu sama lain. Pada artikel Topic Pack on Participatory Planning-Section One (IDS, 2002:4) digambarkan bahwa partisipasi dapat dilakukan melalui konsultasi, kehadiran dan keterwakilan masyarakat dan pengaruh dari masyarakat. Sutrisno (2000:21) menyatakan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui andil informasi, konsultasi, pengambilan keputusan dan

16

inisiatif tindakan. Sementara Wilcox (dalam Dwiyanto, 2005:192) membagi partisipasi dalam

lima tingkatan, yaitu pemberian informasi; konsultasi; pembuatan keputusan bersama; melakukan tindakan bersama; dan mendukung aktivitas yang muncul atas swakarsa masyarakat. Menurut Wilcox, pada level mana partisipasi masyarakat akan dilakukan sangat tergantung pada kepentingan apa yang hendak dicapai. Untuk pengambilan kebijakan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, tentu masyarakat harus dilibatkan secara penuh. Sementara dalam pengambilan keputusan yang lebih bersifat teknis, mungkin pemberian informasi kepada masyarakat sudah memadai.

Dalam kajian ini, partisipasi yang dilihat adalah partisipasi masyarakat, khususnya penyandang disabilitas, dalam proses pendataan disabilitas. Partisipasi penyandang disabilitas ini akan dilihat dari tingkat partisipasinya, dengan menggunakan tingkat partisipasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Wilcox di atas.

1.3 Metodologi KajianKajian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Kajian ini berupaya

mengumpulkan, meneliti dan mendeskripsikan berbagai praktik baik dan inovasi pendataan yang telah dikembangkan oleh Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (selanjutnya disebut Mitra Peduli) dan atau pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam mengembangkan inovasi pendataan penyandang disabilitas, serta analisis terhadap peluang dari inovasi dimaksud untuk diperluas dan dikembangkan ke tingkat nasional dan menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan pelayanan publik yang ramah disabilitas.

Secara umum, dapat dikatakan paradigma yang memayungi kajian ini adalah post positivism. Paradigma post-positivism memiliki karakteristik utama yaitu pencarian makna di balik data (Denzin dan Lincoln: 1994). Dalam kajian inovasi pendataan penyandang disabilitas ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, mengingat secara tradisional, paradigma post-positivism berbasis pendekatan kualitatif (Ricucci, 2010). Oleh karena itu, dalam rangka memotret tahapan, berbagai indikator dalam proses pendataan ditujukan untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan akan dikonfirmasi langsung kepada Mitra Peduli dan atau penyandang atau organisasi penyandang disabilitas.

Ruang lingkup isi kajian inovasi pendataan penyandang disabilitas ini mencakup latar belakang pendataan yang dilakukan oleh Mitra Peduli; instrumen

Inovasi Pendataan Disabilitas 17

yang digunakan dalam pendataan; mekanisme pendataan dan pemutakhirannya (updating); kesesuaian (adaptable) terhadap mekanisme pendataan di tingkat nasional; persepsi para pemangku kepentingan (NGO pendamping, DPO, penyandang disabilitas, dan pemerintah daerah yang didampingi); faktor pendukung dan penghambat inovasi; penerimaan (buy-in) inovasi oleh pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan, anggaran dan lainnya; serta peluang inovasi untuk direplikasi dan atau ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Kajian dilakukan di wilayah kerja Mitra Peduli, yaitu di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bone, Kabupaten Lombok Barat, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Sumba Barat. Kajian dilakukan selama enam bulan, dari bulan September 2017 hingga Januari 2018.

Data dikumpulkan melalui data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer melalui wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari Mitra Peduli, terutama terkait dengan laporan pelaksanaan pendataan dan hasil pendataan. Laporan pendataan dimaksud termasuk form pendataan yang digunakan dan hasil kompilasi pendataan. Kemudian, hasilnya dianalisis dan dituangkan dalam bentuk laporan desk study. Hasil desk study ini didalami melalui wawancara mendalam dan observasi secara langsung ke wilayah kerja Mitra Peduli.

Untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh akurat maka dilakukan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu (Moleong, 2009). Menurut Lather dalam Creswell (2007), triangulasi merupakan salah satu jenis validasi, meliputi beberapa sumber data, metode dan teori. Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan terhadap sumber data, yaitu kepada para pemangku kepentingan isu disabilitas, untuk mengkonfirmasi kebenaran data atau informasi. Hasil wawancara mendalam dan observasi ini dipandang penting untuk dilakukan triangulasi untuk memastikan kecukupan dan kesahihan data yang melibatkan staf atau petugas dari Mitra Peduli yang terlibat secara langsung dalam inovasi pendataan penyandang disabilitas.

Hasil dari seluruh proses pengumpulan data ini kemudian dianalisis dan dituangkan dalam buku yang sedang dibaca ini.

1.4 Profil Program Peduli Pilar DisabilitasProgram Peduli adalah sebuah program prakarsa Pemerintah Indonesia yang

dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan program perlindungan sosial. Enam kelompok sasaran itu adalah: (1) Anak dan

18

remaja rentan; (2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam; (3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama; (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak Asasi Manusia dan Restorasi Sosial, dan (6) Waria.

Pada Maret 2014, The Asia Foundation ditetapkan sebagai  managing partner  dalam Program Peduli Fase II, dengan dana dari Pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.  

Program Peduli Pilar Disabilitas ini merupakan salah satu pilar Program Peduli yang fokus pada upaya transformasi menuju inklusi sosial bagi disabilitas melalui pemenuhan hak dasar. Bersama The Asia Foundation, Yakkum berperan sebagai Mitra Payung, sedangkan PATTIRO sebagai salah satu mitra pelaksana program. Pada implementasi Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, yang berada di bawah koordinasi Kemenko PMK bersama The Asia Foundation, memiliki tiga outcome yang ingin dicapai, yaitu:

1. Peningkatan akses pelayanan publik dan bantuan sosial; 2. Peningkatan penerimaan dan pemberdayaan sosial; dan 3. Perbaikan kebijakan inklusi sosial. Sasaran dari program ini adalah kelompok

disabilitas dan pemerintah. Secara keseluruhan, Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dilaksanakan di 11

kabupaten yang tersebar di tujuh provinsi, dan dilaksanakan oleh enam lembaga mitra pelaksana yaitu PATTIRO, SIGAB, KARINAKAS, BAHTERA, SAPDA dan YASMIB. Program telah berhasil mengembangkan inovasi dan praktik baik bagi disabilitas, salah satunya adalah terkait pendataan penyandang disabilitas. Beberapa mitra pelaksana telah mengembangkan inovasi dalam rangka pendataan penyandang disabilitas. Inovasi-inovasi yang dikaji dalam buku ini dilaksanakan selama Program Peduli Pilar Disabilitas pada pada pertengahan 2015 hingga 2016.

Program ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada Fase 2 dengan YAKKUM sebagai mitra payung dan lebih banyak mitra pelaksana yaitu PATTIRO, BAHTERA, KARINAKAS, SIGAB, SAPDA, YASMIB, PPDI Situbondo, Sehati, dan PSLD Brawijaya. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 2 ini, PATTIRO fokus pada penyusunan kajian dan rekomendasi kebijakan berdasarkan capaian dan inovasi yang lahir selama Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Penyusunan kajian ini yang selanjutnya menjadi bahan utama penyusunan rekomendasi kebijakan pada isu terkait. Melalui kajian dan rekomendasi kebijakan dimaksud, diharapkan dapat berkontribusi pada perbaikan pendataan bagi penyandang disabilitas melalui penyusunan kebijakan di tingkat nasional.

Inovasi Pendataan Disabilitas 19

1.5 Profil Mitra dan Lokasi Pendataan1.5.1 SAPDA di Banjarmasin

Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak yang disingkat SAPDA berdiri pada bulan Juli 2005 dan menjadi badan hukum dengan pengesahan pada 2 Desember 2005 dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, SH. Nomor: 51 tahun 2005. Tujuan didirikannya SAPDA adalah agar tercipta suatu inklusivitas dalam aspek kehidupan sosial yang menjadi hak dasar Perempuan, Difabel dan Anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan Hak Asasi Manusia (HAM).

SAPDA bergerak dalam advokasi kebijakan di tingkat daerah, pendampingan dan pemberdayaan terhadap perempuan, disabilitas dan anak, khususnya di sektor kesehatan dan pendidikan. Saat ini, SAPDA masih fokus pada beberapa aktivitas, yaitu penguatan dan pemberdayaan perempuan disabilitas, pendampingan disabilitas dan penguatan organisasi di tingkat lokal, kajian keilmuan dan riset, advokasi kebijakan kesehatan disabilitas, dan pendampingan kesehatan kepada disabilitas di Propinsi DIY.

Tujuan atau visi SAPDA adalah terciptanya suatu inklusivitas dalam aspek kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, difabel dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan HAM. Misinya adalah: a) melakukan kajian keilmuan dan penelitian ilmiah; b) memperjuangkan terwujudnya kebijakan publik yang menjamin pemenuhan hak-hak dasar perempuan, difabel dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan; c) melakukan pemberdayaan, pendidikan dan advokasi tentang isu-isu perempuan, difabel dan anak di kalangan masyarakat luas; d) menjalin kerjasama dengan stakeholder berkaitan dengan penanganan persoalan perempuan, difabel dan anak; e) membangun SAPDA sebagai crisis center bagi perempuan, difabel dan anak. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, SAPDA melakukan kegiatan pendataan penyandang disabilitas bersama mitra lokal di Kota Banjarmasin.

1.5.2 SIGAB di Kulon ProgoSasana Inklusi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi nonpemerintah

yang bersifat independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003. Organisasi yang mempunyai motto “Bersama Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan memperjuangkan hak-hak disabilitas di seluruh Indonesia hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif.

20

SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga disabilitas masih termarjinalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga disabilitas seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi diskriminasi terhadap warga disabilitas.

SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena keadaan yang berbeda. Program SIGAB dengan jaringannya berusaha menciptakan kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran sehingga tidak ada lagi yang tersisihkan. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, SIGAB melakukan kegiatan pendataan disabilitas bersama mitra lokal di Kabupaten Kulon Progo.

1.5.3 KARINAKAS di SukoharjoKaritas Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KARINAKAS) berdiri pada 12

Juni 2006, dua minggu sesudah gempa 5,9 skala Richter menghantam DIY dan sebagian Jawa Tengah. Pada perjalanannya, KARINAKAS melewati fase emergency, post emergency, dan rehabilitasi. Awal tahun 2008, aktivitas KARINAKAS masih berada dalam lingkup proses pemulihan pasca gempa. Rekonstruksi bangunan (rumah dan bangunan pendidikan), asistensi sosial, dan pemberdayaan kehidupan sosial menjadi pusat perhatian.

Pada 2009, KARINAKAS beranjak dari tema gempa Yogya 2006. Secara partisipatif dirumuskan rencana strategis KARINAKAS 2009 – 2013. Program yang menjadi fokus adalah: 1) Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM); 2) Pengurangan Risiko Bencana (PRB); dan 3) Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PMM). KARINAKAS merupakan anggota keluarga besar Caritas Internationalis yang berpusat di Roma.

Dalam koordinasi dengan Karina KWI, KARINAKAS bersama dengan ratusan anggota Caritas dari berbagai negara seluruh dunia bersama-sama mewujudkan tata dunia yang lebih adil bagi semua orang, terutama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan disabilitas. Iman Gereja pada Allah yang digali dari Tradisi dan Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan semangat dalam melaksanakan mandat KARINAKAS. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, KARINAKAS telah mengembangkan kegiatan pendataan disabilitas. Pada buku

Inovasi Pendataan Disabilitas 21

ini digambarkan kegiatan pendataan yang dilakukan KARINAKAS di Kabupaten Sukoharjo.

1.5.4 YASMIB di BoneYASMIB (Yayasan Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi didirikan pada tahun

1999. Pendirian YASMIB ini dilatarbelakangi oleh realitas bangsa Indonesia yang mengalami kondisi yang memprihatinkan. Berawal dari krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga berujung pada krisis multidimensional.

Berdasarkan realitas dan fakta di atas, YASMIB Sulawesi sebagai organisasi nonpemerintahan (NGO) berupaya menggunakan hak politiknya untuk mendorong lahirnya transformasi sosial, dan berpartisipasi aktif melahirkan solusi nyata untuk penyelesaian persoalan masyarakat, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang mandiri dalam berbangsa dan bernegara berdasarkan prinsip-prinsip yang demokratis menjadi visi dari YASMIB.

Beberapa kegiatan dalam rangka mewujudkan visi dan misinya tersebut di antaranya adalah melakukan riset, kajian, dan pengembangan sumber daya yang berbasis potensi sumberdaya lokal, melakukan analisis dan advokasi anggaran dan kebijakan publik serta memfasilitasi peningkatan dan penguatan kapasitas bagi kelompok basis. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, YASMIB melaksanakan kegiatan pendataan disabilitas di Kabupaten Bone yang dibantu oleh LPP Bone. LPP Bone sendiri adalah Mitra YASMIB dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran di Kabupaten Bone terutama menyangkut masalah perempuan, anak dan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas.

1.5.5 BAHTERA di Sumba BaratYayasan BAHTERA didirikan pada tanggal 8 April 2002 di Katiku Loku,

Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pembentukan lembaga ini dilandasi oleh kegelisahan akan situasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh rakyat di daerah ini.

Keprihatinan utama berkaitan dengan belum terpenuhi kebutuhan dasar masyarakat khususnya dalam hal pangan, pendidikan dan kesehatan. Dalam penilaian penggagas lembaga ini, berbagai persoalan yang membelit masyarakat Sumba Barat disebabkan oleh lemahnya pelayanan pemerintah kepada rakyat, khususnya dalam hal menyediakan pelayanan pendidikan yang memadai. ”Terwujudnya Kehidupan Masyarakat Miskin Dan Perempuan Yang Sejahtera Dalam Iklim Dan Tatanan Sosial Yang Adil, Demokratis Dan Menjunjung Tinggi Hak

22

Asasi Manusia ” merupakan visi dari BAHTERA. Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat maka BAHTERA mendorong

berlangsungnya proses peningkatan kapasitas masyarakat dan pembelajaran berkelanjutan di luar institusi formal (sekolah), yang pada akhirnya diharapkan menunjang daya kritis, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk mendorong perubahan, khususnya dalam terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas, termasuk di dalamnya hak untuk didata. Upaya mendorong kebijakan publik yang mengakomodir kepentingan dan hak-hak dasar serta memberikan kesempatan yang adil bagi kaum miskin dan perempuan merupakan salah satu misi BAHTERA. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 terkait pendataan, BAHTERA melaksanakan kegiatan pendataan disabilitas di Kabupaten Sumba Barat yang dibantu oleh masyarakat desa.

1.5.6 PATTIRO di Lombok BaratPATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) adalah sebuah organisasi

riset dan advokasi yang resmi berdiri pada 17 April 1999 dan telah bekerja di lebih dari 17 provinsi dan 70 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Selama ini, PATTIRO memusatkan perhatiannya pada isu tata kelola pemerintahan daerah. Melalui berbagai aktivitasnya, PATTIRO berupaya mendorong terciptanya tata kelola pemerintah daerah yang baik, transparan, dan adil demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kegiatan yang dilakukan PATTIRO selain penelitian, juga pendampingan teknis kepada pemerintah, dan membantu masyarakat dalam melakukan advokasi kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mereformasi kebijakan, memperbaiki pelayanan publik dan pengelolaan anggaran publik. Visi PATTIRO adalah “Menjadi pusat keunggulan untuk tata kelola pemerintah daerah yang baik”.

Sementara itu, misi PATTIRO sendiri adalah: 1) Mendorong terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat secara adil dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan alokasi anggaran publik; 2) Memperkuat kapasitas masyarakat, warga, dan aparatur pemerintah dalam pembuatan keputusan publik yang partisipatif dan berkualitas; dan 3) Mengembangkan model tata pemerintahan lokal (local governance) yang baik untuk terwujudnya keadilan sosial. Dari sekian banyak program yang mendukung pencapaian misi, di antaranya adalah Program Peduli. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, selain melakukan pendampingan PATTIRO juga memiliki kegiatan terkait pendataan penyandang disabilitas di Kabupaten Lombok Barat yang bermitra dengan jaringan lokal di sana.

Inovasi Pendataan Disabilitas 23

1.6 Keterbatasan Kajian Kajian pendataan disabilitas ini memiliki keterbatasan penyusunan di antaranya

adalah sebagai berikut; 1. Batasan Waktu. Pembahasan dalam kajian ini dibatasi hanya hingga

berakhirnya Program Peduli Fase 1, yaitu akhir tahun 2016. Situasi yang saat ini terjadi di lokasi inovasi bisa jadi telah mengalami perkembangan. Saat kajian ini disusun, proses pengembangan dan pelaksanaan pendataan disabilitas di beberapa wilayah memiliki perkembangan dan tindak lanjut yang berbeda-beda setelah akhir periode Program Peduli Fase 1.

2. Batasan Lokasi. Kajian ini mengambil sample enam wilayah kerja Program Peduli Fase 1 karena cakupan wilayah yang cukup banyak dengan mempertimbangkan sumberdaya dan lainnya. Selain itu, pemilihan wilayah lokasi yang dipilih dalam kajian ini mempertimbangkan beberapa hal lain, yaitu representasi wilayah di Indonesia dan representasi level serta metode pendataan yang digunakan.

3. Batasan analisis. Kajian ini tidak menganalisi secara khusus kualitas data serta kondisi pendataan disabilitas di masing-masing daerah. Hal ini karena data dasar disabilitas yang ada di pemerintah daerah sebagai pendukung pendataan disabilitas belum terkoordinir antarinstansi dan dimutakhirkan (di-update) secara teratur. Terutama data terkait ragam disabilitas. Kajian ini lebih fokus pada metode pendataan yang dilakukan oleh masing-masing Mitra Peduli yang dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, baik proses, aktor yang terlibat maupun situasi di daerah. Oleh karena itu, hasil pendataan memiliki kekhasan tersendiri yang tidak bisa dibandingkan antara satu dan lainnya.

4. Kajian pendataan ini menggunakan metode stocktaking, wawancara mendalam dan analisis dokumen dengan waktu pengumpulan data yang terbatas (sekitar 3-4 hari per lokasi) sehingga ada keterbatasan pada data pemangku kepentingan yang bisa dijangkau serta analisis yang dihasilkan dan belum tentu dapat menggambarkan keseluruhan aspek pendataan yang dilakukan oleh Mitra Peduli.

5. Metodologi kajian pendataan mengedepankan hal-hal kebaruan yang dilakukan oleh Mitra Peduli sebagai inovasi sehingga pengertian dan aspek-aspek inovasi yang ada, dapat dimaknai berbeda oleh para pihak.

24

BAB II

INOVASI PENDATAAN DISABILITAS

2.1 KONTEKS INOVASI DALAM PENDATAANData memiliki potensi signifikan yang mampu memberikan manfaat bagi

pemerintah dan masyarakat. Salah satunya adalah data sebagai unsur penting dalam perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan berkeadilan dan merata hanya akan terwujud bila data penerima manfaat pembangunan juga tersusun dengan baik dan dimutakhirkan (updating) secara berkala. Data yang tidak sahih dan atau data yang tidak dikelola dengan baik berpotensi merugikan kelompok masyarakat tertentu yang seharusnya berhak menikmati proses dan hasil pembangunan. Bagi kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan disabilitas, masalah pendataan dapat menambah kerentanan dan berimplikasi cukup signifikan dalam pemenuhan hak-hak dasarnya.

Hak penyandang disabilitas untuk didata diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak pendataan (Pasal 5 ayat 1). Hak pendataan untuk penyandang disabilitas meliputi hak: a) Didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; b) Mendapatkan dokumen kependudukan; dan c) Mendapatkan Kartu Penyandang Disabilitas (Pasal 22).

Penyandang disabilitas sendiri mengalami tantangan untuk memperoleh haknya. Hal ini setidaknya terlihat pada pelaksanaan Program Peduli fase 1. Salah satu contohnya adalah temuan PATTIRO bahwa sebagian penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak memiliki dokumen kependudukan seperti KTP dan KK atau mendapat kesulitan saat berupaya mengurus dokumen kependudukan karena sebelumnya tidak terdata. Banyaknya disabilitas yang belum terdata di antaranya karena mekanisme pendataan yang dimiliki pemda belum sampai melakukan penjangkauan pendataan disabilitas dari rumah ke rumah secara menyeluruh. Dinas Sosial hanya memiliki data disabilitas berat yang masuk dalam kategori PMKS dan penerima bantuan sosial. Selain itu, minimnya disabilitas yang mendapat Nomor Induk Kependudukan juga disebabkan akses menuju tempat

Inovasi Pendataan Disabilitas 25

pengurusan yang belum ramah disabilitas dan juga keengganan keluarga untuk mendaftarkan anggota keluarga yang disabilitas karena berbagai persepsi negatif atau ketidaktahuan pentingnya memiliki kartu identitas kependudukan.

Beberapa isu terkait pendataan disabilitas ini antara lain mekanisme pendataan khusus disabilitas, bentuk dokumen pendataan, instrumen pendataan, teknis perekaman (khususnya dokumen KTP elektronik), jenis kartu identitas bagi penyandang disabilitas dan keterlibatan masyarakat pada proses pendataan.

Selain PATTIRO, beberapa lembaga lain juga melakukan advokasi dan mendorong inovasi terkait pendataan disabilitas di beberapa daerah kerja Program Peduli fase 1. Inovasi yang dikembangkan juga beragam dari sisi wilayah dan tingkatannya, mulai dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten/ kota. Daerah-daerah itu adalah Kabupaten Sumba Barat, Bone, Sukoharjo, Kulon Progo, Lombok Barat, dan Kota Banjarmasin.

Kajian Inovasi Pendataan Disabilitas ini akan mengkaji dan menganalisa berbagai inovasi pendataan disabilitas di 6 kabupaten/kota tersebut. Hal yang dikaji meliputi proses dan instrumen pendataan, pihak-pihak yang terlibat dalam pendataan, partisipasi disabilitas, keluarga dan masyarakat, tantangan-tantangan serta pemanfaatan data disabilitas yang dihasilkan. Harapannya, hasil kajian ini bisa menjadi bahan yang komprehensif dalam upaya perbaikan penyusunan dan implementasi kebijakan pendataan disabilitas di tingkat nasional serta menjadi pembelajaran bagi pemangku kepentingan lain.

2.2 PRAKTIK INOVASI PENDATAAN2.2.1 SAPDA: Mendorong Penguatan DPO dalam Pendataan Disabilitas di

Kota Banjarmasin2.2.1.1 Proses dan Peran Aktor

Inovasi pendataan disabilitas di Kota Banjarmasin merupakan salah satu inovasi yang dikembangkan oleh SAPDA dalam rangka mendukung upaya pelayanan bagi penyandang disabilitas. Upaya ini termasuk baru di Kota Banjarmasin karena proses pendataan yang diinisiasi oleh SAPDA ini, melibatkan kelompok disabilitas. Hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Seperti diketahui, proses pendataan disabilitas yang selama ini dilakukan oleh pemerintah daerah berbeda dari aspek tahapan

“Alhamdulillah, setelah dilakukan pendataan disabilitas

dan beberapa kegiatan yang melibatkan disabilitas, mereka merasa bertambah pengalamannya dalam hal

pendataan disabilitas”.

Juharian Syah, Dinas Sosial Kota Banjarmasin

26

dan cara atau prosesnya dengan pendataan disabilitas yang dikembangkan oleh SAPDA. Perbedaan tersebut meliputi instrumen, mekanisme, dan jangkauan pendataan. Dari sisi instrumen, instrumen yang dikembangkan oleh SAPDA selain mendata kondisi kedisabilitasan, juga mendata Kepemilikan Jaminan Sosial (KIS) serta kepemilikan dokumen kependudukan seperti KK dan KTP. Selanjutnya, dari sisi mekanisme adalah pelibatan penyandang disabilitas, baik secara organisasi maupun individu mulai dari proses perumusan instrumen, pelaksanaan pendataan hingga tindak lanjut dari data yang dihasilkan. Dari sisi penjangkauan, perbedaan lainnya adalah proses pendataan dilakukan secara sistematis yang menyasar dari kelurahan, RW dan RT menggunakan metode sensus dengan mendata dan mendatangi sesuai lokasi dan nama. Dengan kata lain, pendataan yang dilakukan menggunakan metode hampir sama dengan proses sensus penduduk tetapi dilakukan secara menyeluruh kepada semua disabilitas di wilayah tersebut. Berbeda dengan pendataan disabilitas oleh Dinas Sosial, pendataan disabilitas menjadi salah satu bagian dari pendataan PMKS sehingga yang disasar terbatas hanya pada disabilitas yang masuk kategori PMKS.

Proses persiapan pendataan dimulai pada Juli 2015. Proses inovasi dimulai dari penilaian cepat (rapid assesment) atas kondisi disabilitas. Tim SAPDA dan mitranya menggunakan tiga lokus kajian yakni inklusivitas layanan publik, kapasitas organisasi penyandang disabilitas (Disability People Organization-DPO), dan Orang dengan Disabilitas (People with Disability-PwD). SAPDA melihat dan menyadari bahwa data yang selama ini ada belum menggambarkan kondisi ideal ataupun minimal atas kondisi penyandang disabilitas yang dibutuhkan. Selain itu, pemerintah daerah juga belum memiliki data tentang inovasi yang dikembangkan.

Setelah melihat kondisi tersebut, Tim SAPDA dan Tim Mitra melakukan diskusi untuk mengembangkan instrumen pendataan. Diskusi dan proses meminta masukan dilakukan baik di internal tim maupun dengan para pihak terutama penyandang disabilitas dan pemerintah daerah.

Penyusunan instrumen pendataan diverifikasi dengan melakukan diskusi lanjutan bersama penyandang disabilitas. Setelah dianggap final, instrumen pendataan diuji coba dan disebar ke beberapa desa di wilayah dampingan.

Inovasi Pendataan Disabilitas 27

Bagan 2.1 Tahapan Pendataan Disabilitas yang Dilakukan SAPDA di Banjarmasin

Di Banjarmasin, pendataan berlangsung sekitar tiga bulan (September-November 2015) dan tersebar di empat kelurahan yakni Kelurahan Kelayan Barat, Kelurahan Kelayan Selatan, Kelurahan Kuin Selatan dan Kelurahan Kuin Cerucuk. Pendataan melibatkan fasilitator lapangan dan DPO (yaitu PPDI dan HWDI Kota Banjarmasin) dan Tim SAPDA. Hasilnya, terdapat 368 penyandang disabilitas di empat kelurahan tersebut. Data juga telah divalidasi lengkap dengan nama dan alamatnya (by name by address) beserta ragam disabilitasnya. Rekap hasil pendataan ini sudah bisa terpilah berdasarkan jenis disabilitas, kepemilikan jaminan sosial, kepemilikan surat administrasi kependudukan, tingkat pendidikan, dan usia.

Selama proses pendataan berjalan, banyak hal positif yang terjadi di antaranya: 1) Terbukanya wawasan bagi penyandang disabilitas tentang haknya sebagai warga negara terutama hak atas administrasi kependudukan (KTP, KK dan akta kelahiran) dan hak warga atas pelayanan kesehatan dan pendidikan; 2) Penyandang disabilitas mulai muncul keyakinan diri dan penerimaan atas kondisi kedisabilitasannya; 3) Muncul kesadaran baru dalam keluarga dan lingkungan sekitar bahwa disabilitas tidak lagi dipandang sebagai aib sehingga perlu diberikan ruang yang sama, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan;

2) Keluarga dan masyarakat tidak lagi menganggap bahwa disabilitas sebagai kutukan dari Tuhan. Proses perubahan persepsi ini terjadi karena pada saat pendataan, terjadi proses diskusi, sosialisasi dan penyampaian informasi tentang disabilitas. Hal ini secara perlahan memunculkan kesadaran baru bahwa penyandang disabilitas juga memiliki kelebihan. Wujud kesadaran bersama tersebut di antaranya pelibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan kemasyarakatan.

Taha

p 1

Taha

p 2

Taha

p 3

Rapid Assessment/Observasi lapangan atas data

Pengembangan Instrumen melalui diskusi internal maupun eksternal

Uji coba, Verifikasi dan pendataan di tingkat kelurahan serta pengolahan data

28

Keluarga dan penyandang disabilitas juga sudah mulai terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan hingga tingkat kota.

Berikut adalah para pihak yang terlibat dalam proses pendataan disabilitas yang dilaksanakan oleh Tim SAPDA dan mitranya di Kota Banjarmasin.

Tabel 2.1 Peran Aktor di Banjarmasin

No AktorNama

Institusi/ organisasi

PeranJumlah yang

terlibat

1 Pemerintah Dinas Sosial, 2 Camat dan 4 Lurah

Dukungan pada kegiatan yang dilaksanakan SAPDA seperti:1. Memberikan izin pada proses pendataan disabilitas di wilayahnya.2. Mengizinkan ketua RT dan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan pendataan.3. Menerima dan merespon baik serta menindaklanjuti hasil pendataan disabilitas.

Kepala Seksi Disabilitas dan jajarannya

Forum Komunikasi Pendidikan Inklusif (FKPI)

Turut mensosialisasikan pendataan dan mendukung tindak lanjut hasil pendataan (berupa program sekolah inklusi).

2 Kelompok/ organisasi disabilitas

PPDI, HWDI dan Gerkatin

Menjadi enumerator 2 orang

3 Masyarakat Ketua RT 07 & 08

Menjadi informan dan sebagian mendampingi pelaksanaan pendataan.

-

4 NGO SAPDA Memfasilitasi pelaksanaan pendataan.

-

Inovasi Pendataan Disabilitas 29

5 Penyandang disabilitas

Nurbaiti dkk Menjadi pendukung kegiatan pendataan:1. Menjadi informan tentang keberadaan disabilitas lain.2. Mensosialisasikan pendataan disabilitas pada masing-masing komunitas disabilitas. 3. Turut meyakinkan keluarga dan disabilitas yang awalnya menolak untuk didata.

3 orang

6 Fasilitator/ pendamping

Tim Pendamping SAPDA

Penanggung jawab pendataan di lapangan

3 orang

7 Keluarga penyandang disabilitas

- Pendukung pelaksanaan pendataan dengan bersedia turut berpartisipasi serta terbuka pada saat pendataan anggota keluarga yang disabilitas.

-

2.2.1.2 Hasil dan Dampak PendataanKegiatan pendataan yang dilakukan SAPDA dan mitranya di Kota Banjarmasin

menghasilkan beberapa hal baik itu hasil langsung berupa data atau dampak yang dihasilkan dalam proses ataupun dari hasil pendataan. Hasil dan dampak tersebut bisa berupa program atau peningkatan pelayanan, dan juga berupa perubahan perilaku atau paradigma dari disabilitas sendiri ataupun pemangku kepentingan lainnya. Berbagai hasil dan dampak tersebut antara lain:

1. Diperolehnya data terbaru sejumlah 368 penyandang disabilitas di empat kelurahan dengan rincian nama, alamat, ragam disabilitas, kepemilikan jaminan sosial, kepemilikan surat administrasi kependudukan, tingkat pendidikan, dan usia. Data ini membantu pemerintah dalam memberikan program pelayanan sosial.

2. Data disabilitas yang dihasilkan oleh SAPDA yang memperlihatkan status kepemilikan dan keterjangkauan disabilitas terhadap berbagai program pelayanan sosial, ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan berbagai program atau respon layanan khusus. Contohnya, pemberian KIS atau Jamkesda bagi disabilitas yang belum memiliki KIS, memasukkan disabilitas

30

sebagai target pada program pemberian modal usaha dan program pelatihan keterampilan khusus, program kesehatan khusus berupa home care untuk penyandang disabilitas, dan pelayanan adminduk khusus bagi disabilitas yang belum memiliki dokumen kependudukan.

3. Data disabilitas ini menjadi salah satu dasar utama munculnya inisiasi sekolah inklusi karena dari data tersebut didapatkan informasi angka anak disabilitas usia sekolah yang ternyata tidak bisa mengakses pendidikan disebabkan oleh berbagai faktor.

4. Meningkatnya rasa percaya diri dari keyakinan penyandang disabilitas sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan yang lain.

5. Meningkatnya pemahaman mengenai pentingnya kebijakan lanjutan pasca pendataan oleh pemerintah daerah, serta upaya-upaya lanjutan dalam mendorong kota yang ramah disabilitas.

6. Pendataan menjadi ruang bersama tempat para pihak berkomunikasi dan berkoordinasi tentang pentingnya data dan target perbaikan data yang terus menerus agar pemerintah lebih peduli kepada warganya.

7. Meningkatnya kepedulian bersama terutama warga kelurahan yang tadinya menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah aib dan kutukan, sekarang mulai terbuka bahwa disabilitas juga memiliki hak yang sama sebagai makhluk sosial.

Gambar 2.1 Ilustrasi Pelaksanaan Pendataan Disabilitas di Banjarmasin

Inovasi Pendataan Disabilitas 31

2.2.1.3 Faktor Pendukung Inovasi pendataan penyandang disabilitas ini dapat terwujud karena adanya

beberapa faktor pendukung, yaitu: a. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 9 Tahun 2013 tentang Perlindungan

dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.b. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 17 Tahun 2013 tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.c. Adanya Forum Komunikasi Pendidikan Inklusif (FKPI) tingkat kota sebagai

tindak lanjut dari komitmen Walikota dalam mengembangkan pendidikan inklusif di Kota Banjarmasin.

d. Dukungan dari SKPD/OPD terkait pendataan terutama dari Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Dukungan ini diberikan mengingat adanya kebutuhan data OPD dalam rangka mewujudkan komitmen untuk peningkatan pemberian pelayanan khususnya bagi disabilitas.

e. Partisipasi aktif dari DPO dan penyandang disabilitas.

2.2.1.4 TantanganTantangan yang muncul saat proses pendataan ini mulai dilakukan muncul

mulai dari berbagai aspek, meliputi aksesibilitas, stigma negatif serta tantang sumberdaya. Secara spesifik, beberapa tantangan dalam inovasi pendataan disabilitas di antaranya adalah:

a. Tantangan dari segi geografis dan sarana prasarana. Kondisi beberapa daerah pendataan di Kota Banjarmasin terdiri dari gang-gang sempit sehingga disabilitas yang melakukan pendataan kesulitan untuk mengaksesnya.

b. Sarana prasarana ramah disabilitas di Kota Banjarmasin juga masih terbatas, misalnya pada trotoar dan sedikitnya sarana prasarana umum (fasum dan fasos) yang telah menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti ramp, pegangan rambat (handrail), akses khusus kursi roda dan sebagainya. Hal tersebut telah membuat disabilitas yang terlibat dalam melakukan pendataan menjadi terhambat.

c. Alamat disabilitas yang berpindah-pindah karena mereka tinggal di rumah kontrakan yang tidak selalu menetap dalam waktu lama.

d. Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai pihak yang akan meminta sumbangan atau bantuan sehingga saat ada disabilitas yang berkeliling dan ikut mendata disangka peminta sumbangan oleh masyarakat dan keluarga.

32

e. Sebagian pihak masih berpandangan bahwa penyandang disabilitas adalah aib dan kutukan sehingga disembunyikan keberadaanya.

f. Respon keluarga beragam, awalnya mayoritas menolak atau menutupi meski akhirnya mau terbuka setelah pendekatan intensif yang dilakukan bersama DPO

g. Keterbatasan waktu dan sumber daya untuk menjangkau wilayah-wilayah padat dengan kerentanan tinggi yang berpotensi terdapat disabilitas, misalnya wilayah pelabuhan dan daerah yang memiliki kepadatan penduduk miskin tinggi (slum area) belum. Kepadatan penduduk miskin tinggi (slum area) belum bisa sepenuhnya dijangkau secara menyeluruh.

h. Pada sebagian wilayah pendataan di area pelabuhan, kultur kerja masyarakat pelabuhan yang saat siang istirahat dan tidak mau diganggu pasca melaut sehingga waktu untuk mendata menjadi sangat terbatas.

i. Partisipasi dari Organisasi Penyandang Disabilitas pada proses pendataan di Kota Banjarmasin masih terbatas, dari 5 Organisasi Penyandang Disabilitas, hanya 2 sampai 3 organisasi yang masih aktif dan bisa terlibat aktif dalam proses pendataan.

2.2.1.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas Partisipasi penyandang disabilitas dimulai sejak perencanaan awal berupa

baseline survey yang dimulai pada bulan Agustus 2015. Penyandang disabilitas dilibatkan sebagai mitra diskusi terkait baseline survey. Keterlibatan lainnya adalah saat penjelasan tentang instrumen wawancara, penyandang disabilitas aktif memberikan masukan pada proses prapendataan ini.

Pada tahap proses pendataan, penyandang disabilitas berpartisipasi melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang kegiatan pendataan sekaligus menjadi enumerator (pengumpul data) dengan cara melakukan pendataan langsung ke lapangan, yaitu di Kelurahan Kuin Selatan. Jumlah penyandang disabilitas yang terlibat dalam proses pendataan berjumlah 8 orang yang terdiri dari 5 orang disabilitas, Gerkatin, PPDI Kota Banjarmasin, HWDI Kalimantan Selatan, dan 1 orang yang tidak berbasis DPO. Meskipun mengalami hambatan kondisi fisik, tak menjadi halangan bagi penyandang disabilitas yang melakukan sosialisasi dan menjadi enumerator. Salah satu strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi tantangan adalah pendataan dilakukan dua orang yang bisa saling membantu (misalnya daksa dan netra), ditemani rekan nondisabilitas atau keluarga dan untuk mobilitas menggunakan motor khusus penyandang disabilitas (roda tiga).

Selain mendatangi dari rumah-ke rumah, pendataan yang dilakukan oleh

Inovasi Pendataan Disabilitas 33

anggota OPD lokal dilakukan dengan memasukkan data anggota organisasinya dahulu. Kemudian, diperluas pada disabilitas yang belum tergabung dengan Organisasi Disabilitas dengan berbagai rentang usia dan jenis kelamin. Setelah proses pendataan, penyandang disabilitas masih dilibatkan dalam proses klarifikasi hasil input data dan menjadi bagian sebagai peserta diskusi. Pada saat advokasi kepada penyedia layanan, penyandang disabilitas juga berpartisipasi sebagai peserta diskusi seperti saat proses Musrenbang.

Pelibatan penyandang disabilitas pada kegiatan pendataan ini adalah sebagai personil yang membawa nama DPO (PPDI dan HWDI). Hal ini memperlihatkan, keberadaan DPO di Kota Banjarmasin masih terbatas aktivitasnya. Partisipasi disabilitas pada inovasi pendataan di Kota Banjarmasin dapat dilihat secara ringkas pada gambar berikut.

Bagan 2.2 Inovasi Pendataan di Kota Banjarmasin

2.2.1.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan Hasil pendataan disabilitas yang dilakukan tim SAPDA dan mitra di lapangan

telah diterima oleh Pemerintah Kota Banjarmasin (terutama Dinas Sosial). Hal ini terbukti dengan digunakannya data tersebut oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin untuk pembagian Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Hasil pendataan disabilitas juga digunakan oleh pemerintah daerah sebagai baseline data bagi perencanaan kebijakan dan anggaran tahun berikutnya.

Pemerintah Kota Banjarmasin juga merespon positif proses dan hasil pendataan disabilitas yang dilakukan SAPDA. Sebagai tidak lanjutnya pemda merencanakan untuk mereplikasi inovasi pendataan ini di 52 Kelurahan se-Kota Banjarmasin, yang akan diampu oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin yang dialokasikan pada APBD

Baseline survey Sosialisasi kegiatan pendataan

Klarifikasi hasil input data

Pembahasaninstrumen

Menjadienumerator

Advokasi kepada penyedia layanan

Perencanaan Proses Pendataan Tindak Lanjut

34

Tahun 2017. Saat ini, Pemda Banjarmasin tertarik dan intensif mendiskusikan potensi dan kemungkinan mengadopsi pendataan disabilitas mulai dari instrumen serta mekanisme pendataan yang lebih partisipatif dan melibatkan kelompok disabilitas pada berbagai tahapannya, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh SAPDA bersama OPD di Banjarmasin.

Sampai pada periode penulisan buku ini, diskusi dan proses bersama Pemerintah Kota Banjarmasin masih berjalan dan belum diputuskan bantuk replikasinya akan bagaimana dan sejauh apa.

Sementara itu, rencana pengembangan inovasi ke tingkat yang lebih tinggi akan dilakukan ke tingkat provinsi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah beberapa kali mendapatkan informasi mengenai pendataan disabilitas melalui berbagai informasi yang disampaikan oleh SAPDA dan mitranya. Upaya perluasan dan pengembangan akan dilakukan bekerja sama dengan Dinas Sosial Kota Banjarmasin melalui audiensi kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam rangka advokasi kebijakan dan anggaran yang ramah bagi penyandang disabilitas di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

Berbagai upaya yang telah dilakukan DPO dan SKPD/OPD terkait upaya pengembangan inovasi pendataan disabilitas di antaranya dengan terus melakukan koordinasi, komunikasi, dan diskusi pengembangan. Upaya pengembangan ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan kebijakan dan anggaran tahun

Gambar 2.2 Form Pendataan yang sudah Terisi

Gambar 2.3. Proses Pendataan Anak Disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 35

berikutnya (2017 dan 2018). Upaya lain adalah melakukan sosialisasi pada OPD lain dan masyarakat tentang pentingnya pendataan disabilitas.

SAPDA dan mitranya juga terus terlibat dalam proses perencanaan pembangunan. Harapannya agar makin banyak dukungan dari para pihak yang peduli situasi disabilitas di Kota Banjarmasin. Hal lain yang dilakukan adalah membangun sinergi dengan penyedia layanan yang terkait langsung dengan tindak lanjut hasil pendataan, misalnya rumah sakit, puskesmas, dan sekolah dasar sehingga dapat membawa manfaat langsung kepada keluarga dan penyandang disabilitas.

Prasyarat yang dibutuhkan saat replikasi di antaranya adalah komitmen dari kepala daerah dan kepala dinas (contoh Dinas Sosial) sebagai pelaksana. Selain komitmen, prasyarat lain yang dibutuhkan adalah kebijakan dan anggaran. Selain dari sisi pemerintah, penting juga keberadaan kelompok penyandang disabilitas yang mendukung upaya pendataan. Tanpa adanya dukungan dari kelompok penyandang disabilitas maka replikasi hanya sekedar proyek saja. Oleh karena itu, penting mendorong partisipasi kelompok penyandang disabilitas di daerah agar turut terlibat dalam proses pendataan. Hal ini penting dilakukan karena proses pendataan memerlukan pendekatan dan upaya menjaga keberlanjutan dengan para penyandang disabilitas. Persepsi dasarnya adalah para penyandang disabilitas-lah yang paling mengetahui kebutuhan dan kepentingan atas kedisabilitasannya. Peran pemerintah lebih kepada memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas tersebut.

2.2.2 SIGAB: Integrasi Pendataan Disabilitas dalam Sistem Informasi Desa di Kulon Progo

2.2.2.1 Proses dan Peran Aktor Inovasi pendataan yang dilakukan oleh SIGAB adalah instrumen pendataan

disabilitas berdasarkan hambatan. Dimulai pada November 2015, inovasi tersebut berawal dari kritik terkait instrumen pendataan disabilitas yang dilakukan oleh beberapa kementerian yang berbeda-beda. Hal itu membuat bingung dan mengakibatkan ketidakkonsistenan terhadap hasil data mengenai penyandang disabilitas. Oleh sebab itu, SIGAB kemudian berusaha menyusun instrumen sendiri yang sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities/CRPD).

CRPD sendiri adalah konvensi tentang Hak-hak Difabel/Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD.

36

CRPD menetapkan hak-hak penyandang secara luas yaitu setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. CRPD juga menetapkan kewajiban umum setiap negara peserta di samping kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan secara eksplisit dan rinci. Negara wajib mengadopsi semua kebijakan legislatif dan administratif sesuai dengan konvensi ini. Artinya, seluruh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia serta peraturan di bawahnya haruslah disesuaikan serta disinkronikasikan sesuai dengan konvensi ini, mulai dari substansi di dalam perundang-undangannya .

Instrumen yang telah disusun oleh beberapa negara di dunia ini selain mengidentifikasi disabilitas dari aspek sakit atau kondisi fisik, juga dari aspek hambatan sosial. Jadi, instrumen ini mengubah paradigma masyarakat dalam memandang disabilitas. Bukan lagi hanya fokus melihat kondisi fisik dan mental disabilitas, juga bagaimana cara mengatasi hambatan sosial dari disabilitas tersebut.

Ketika dilakukan pendataan berdasarkan pendekatan hambatan, ternyata jumlah penyandang disabilitas melonjak. Hal ini terjadi karena pendataan ini bukan hanya melihat disabilitas dari kondisi fisik yang terlihat saja, tetapi juga melihat apakah orang tersebut mengalami hambatan dengan lingkungannya. Misalnya, orang yang mempunyai kekurangan dalam pendengaran tidak disebut sebagai tuna rungu, tetapi hambatan rungu. Atau orang lanjut usia yang mengalami hambatan gerak karena terkena stroke juga termasuk disabilitas. Dari pendataan berdasarkan hambatan tersebut maka dapat diklasifikasi tingkat hambatannya apakah ringan, sedang atau berat.

Hasil pendataan yang dilakukan oleh SIGAB memudahkan pemerintah daerah untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dalam penyaluran bantuan kepada penyandang disabilitas secara lebih spesifik. Instrumen ini dapat memperlihatkan hambatan lingkungan disabilitas yang perlu diperbaiki Pemerintah, baik dalam hal penyaluran bantuan berupa alat-alat bantu, maupun akses terhadap pelayanan publik bagi disabilitas. Berdasarkan penelitian, SIGAB melihat bantuan dari Pemerintah saat ini belum tepat sasaran dalam membantu hak-hak penyandang

“Pendataan ternyata memberi manfaat dalam memperbaiki

layanan yang ramah disabilitas. Jadi memudahkan penyedia layanan dalam pemberian

fasilitas yang sesuai dengan disabilitas”.

Sukahadi, Wakil Ketua KDD, Kec Lendah Wahyuharjo.

Inovasi Pendataan Disabilitas 37

disabilitas. Sebenarnya Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Sosial, juga sedang menginisiasi instrumen pendataan yang sama, tetapi belum dapat dilaksanakan karena masih ada kendala anggaran dan koordinasi.

Meski menggunakan konsep dan instrumen pendataan disabilitas yang sudah ada dan berlaku secara internasional, tetapi SIGAB melakukan penyesuaian berdasarkan kebutuhan disabilitas di desa dan kebutuhan SIGAB sendiri. Dalam instrumen itu, SIGAB menambahkan hambatan hukum dan hambatan politik. Upaya penyesuaian instrumen ini, dilakukan SIGAB dengan melibatkan warga desa, penyandang disabilitas dan tim pendata melalui diskusi penyusunan instrumen pendataan. Tim pendata berasal dari penyandang disabilitas, kader desa, perwakilan perangkat desa, dan pemuda Karang Taruna.

Proses pendataan yang dilakukan tidak memerlukan legitimasi dari pemerintah daerah kabupaten ataupun provinsi karena inisiatifnya berangkat dari desa. Namun, setelah proses pendataan dilakukan, hasil data diserahkan ke pemerintah daerah agar dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok disabilitas. Inovasi pendataan ini juga sudah dikomunikasikan ke pemerintah pusat, melalui diskusi membedah instrumen pendataan bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian Sosial, BPS, dan Kementerian Pendidikan.

Berikut adalah perbedaan pendataan yang dilakukan oleh SIGAB dan

Pemerintah Pusat.

Bagan 2.2. 1 Perbandingan Pendataan SIGAB dan Pemerintah

Pendataan oleh SIGAB Pendataan oleh Pemerintah

Instrumen:Berdasarkan Hambatan Sosial

Instrumen:Berdasarkan Kecacatan Fisik

Proses: Melibatkan Disabilitas Proses: Instruksi yang Sentralistik

Hasil: Akurat dan Sesuai dengan Kebutuhan Disabilitas

Hasil: Kurang detail dalam melihat kekhususan Kebutuhan Disabilitas

38

Kelebihan lain dari pendataan yang dilakukan oleh SIGAB yaitu pendataan dilakukan langsung ke lapangan dengan metode dari rumah ke rumah (door to door) oleh tim pendata yang dilakukan kurang lebih selama lima bulan dari Januari hingga Mei 2016. Sebelum pendataan dilakukan, SIGAB sudah mempunyai data awal dari komunitas disabilitas yang digunakan sebagai basis informasi awal saat melakukan pendataan. Dari sisi kemutakhiran, data disabilitas dalam Sistem Informasi Desa (SID) juga dapat terus diperbaharui oleh Pemerintah Desa berdasarkan data kependudukan. Karena Pemerintah Desa terus mendapatkan laporan terkait kelahiran dan kematian penduduknya. Sementara itu, data yang dimiliki oleh Dinas Sosial belum lengkap dan spesifik serta belum seakurat data yang sudah terkompilasi pada Sistem Informasi Desa dalam hal pembaharuannya.

Pendataan yang dilakukan oleh SIGAB cukup terperinci. Pendataan dilakukan di Kecamatan Lendah yang mencakup enam desa, yaitu Desa Ngentakrejo, Gulurejo, Sidorejo, Jatirejo, Bumirejo, Wahyuharjo. Selama ini, pendataan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Kulon Progo dan pemerintah pusat masih terbatas pada disabilitas yang terlihat dari fisik atau biasa disebut dengan kecacatan, sedangkan pendataan yang dilakukan oleh SIGAB lebih komprehensif sampai pada hambatan sosial yang dialami disabilitas sehingga dapat mengidentifikasi layanan atau bantuan yang dibutuhkan. Selain itu, pembekalan tim pendataan yang dilakukan oleh Dinas Sosial juga masih minim ditambah dengan belum ada keterpaduan data antara nasional dan daerah sehingga instrumennya masih berbeda-beda. Dari cara pengumpulan datanya, pendataan yang dilakukan Dinas Sosial berdasarkan informasi dari perangkat desa, dan belum melakukan upaya door to door seperti yang dilakukan oleh SIGAB.

Berikut ini adalah tahapan inovasi pendataan yang dilakukan oleh SIGAB di Kabupaten Kulon Progo.

Inovasi Pendataan Disabilitas 39

Bagan 2.4 Tahapan Inovasi Pendataan oleh SIGAB di Kabupaten Kulon Progo

Tindak lanjut setelah pendataan dilakukan adalah melakukan advokasi ke pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi). Harapannya, pendataan yang dilakukan oleh SIGAB dapat menginspirasi kabupaten/kota lain di Provinsi DI Yogyakarta untuk melakukan replikasi inovasi pendataan tersebut.

Dana untuk proses pendataan sepenuhnya dari SIGAB tanpa bantuan dana dari pemerintah daerah. Walaupun demikian, pemerintah desa tetap membantu menyediakan tempat untuk forum-forum pertemuan, ikut mengkampanyekan program pendataan disabilitas, serta menyiapkan Sistem Informasi Desa untuk memasukkan (input) hasil pendataan.

Dalam proses pendataan ini, Dinas Sosial tidak mengetahui secara rinci karena tidak terlibat secara langsung. Peran Dinas Sosial lebih ke memberi perizinan dan mengetahui proses pendataan disabilitas ini dan merespon baik inisiatif inovasi ini karena memang pendataan disabilitas secara menyeluruh dan menggunakan pendekatan hambatan seperti ini belum pernah di lakukan di kabupaten Kulon Progo. Selain itu, karena pengembangan mekanisme pendataan berbasis di tingkat desa. Jadi Dinas Sosial merasa jika dalam pelaksanaannya cukup dengan pemerintah desa dan kecamatan. Personil untuk melakukan pendataan berasal dari perangkat desa, pendamping desa dan DPO. Pendamping desa merupakan perpanjangan tangan dari Dinas Sosial untuk membantu proses pendataan.

Inovasi pendataan ini terwujud berkat pembagian peran antar aktor. Berikut adalah para aktor yang terlibat dalam pendataan dan perannya masing-masing.

Penyusunan Instrumen

Input Data

Pendataan

Pembahasan Instrumen

Update Data

Mengumpulkan Data Awal

Uji coba Instrumen

Advokasi ke Pemerintah

Pelatihan Tim Pendata

40

Tabel 2.2 Peran Aktor di Kabupaten Kulon Progo

No Aktor Nama institusi/organisasi/ orang

Peran Jumlah yang terlibat

1 Pemerintah Kecamatan, Dinas Sosial, Dinas Kominfo, dan SKPD Provinsi

Melakukan sosialisasi tentang kegiatan pendataan.

-

2 Pemerintah Desa Melakukan sosialisasi, menyediakan Sistem Informasi Desa (SID), menyediakan tempat pertemuan, dan personil untuk melakukan pendataan

-

3 Kelompok/organisasi disabilitas

Kelompok Disabilitas Desa (KDD)

Melakukan sosialisasi, proses pendataan door to door, dan melakukan input data ke SID

-

4 Masyarakat - Memberikan informasi mengenai lokasi rumah disabilitas

-

5 NGO Combine Mengembangkan SID -

6 Penyandang disabilitas -

Terlibat dalam proses pendataan dengan terbuka menjadi objek pendataan serta menjadi informan keberadaan penyandang disabilitas yang lain.

-

7 Fasilitator/pendamping -

Mengkoordinasi tim pen-data, mengawal proses pendataan dan hasil pen-dataan agar dapat diinput ke dalam SID

-

8 Keluarga penyandang disabilitas

-Memberi informasi data diri penyandang disabilitas

-

Inovasi Pendataan Disabilitas 41

2.2.2.2 Hasil dan Dampak PendataanPada awalnya, masyarakat masih merespon negatif terhadap program-program

untuk disabilitas. Sebagian warga masyarakat menganggap bahwa penyesuaian layanan tidak perlu dilakukan bila hanya untuk menoleransi minoritas yang mempunyai kelainan (disabilitas). Sementara itu, keluarga penyandang disabilitas kurang merespon program-program tersebut karena menganggap bahwa itu bukan solusi bagi disabilitas. Namun, setelah pendataan dilakukan maka ada dampak yang positif pada perilaku disabilitas, keluarga disabilitas, dan masyarakat. Misalnya, dahulu pernah ada kegiatan pameran lapangan kerja yang dikhususkan untuk kelompok disabilitas (job fair). Kegiatan tersebut mendapat respon kurang baik, banyak dari keluarga disabilitas yang tidak menanggapi dan menganggap itu bukan solusi bagi disabilitas. Namun, saat ini sudah terlihat perubahan sikap dan persepsi mereka yang secara perlahan mulai memperlihatkan dukungannya.

Berikut ini adalah beberapa hasil dan dampak langsung bagi disabilitas dari inovasi pendataan disabilitas yang dilakukan di Kabupaten Kulon Progo:

1. Data 360 penyandang disabilitas yang sudah terpilah berdasarkan nama dan alamat lengkap, usia, pendidikan terakhir, status kepemilikan identitas, jenis disabilitas dan tingkat hambatan, serta penyebab hambatan.

2. Hasil data serta sistem pendataan inklusif yang dikembangkan yaitu Sistem Informasi Desa (SID) diterapkan dalam program Rintisan Desa Inklusi (RINDI) sebagai bagian dari upaya untuk membangun sistem perencanaan dan pembangunan desa yang berperspektif inklusi dengan data dan informasi yang akurat.

3. Data yang diperoleh menjadi rujukan data penerima Jamkesus dan Jamkesda serta data penerimaan bantuan lainnya bagi disabilitas.

4. Pemerintah desa telah menjadikan hasil dari pendataan sebagai dasar dalam penyusunan perencanaan program desa.

5. Dialokasikannya Dana Desa untuk disabilitas. Dana tersebut untuk pengadaan alat bantu bagi disabilitas serta perbaikan sarana prasarana pelayanan publik di desa (seperti kantor desa dan sebagainya) agar dapat diakses oleh penyandang disabilitas.

6. Data digunakan untuk mendorong pemerintah desa dalam membuat kebijakan yang lebih ramah disabilitas.

7. Pemerintah desa mengalokasikan anggaran untuk pertemuan rutin Kelompok Disabilitas Desa sebagai dukungan untuk kelompok disabilitas

8. Salah satu Camat merespon hasil data dengan hasil data dengan menginstruksikan puskesmas yang ada di kecamatan tersebut agar

42

didesain menjadi puskesmas yang ramah disabilitas serta mendorong pemerintah desa agar mengalokasikan anggaran untuk mendukung kelompok disabilitas di desanya.

9. Penyandang disabilitas mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan di desa.10. Proses pendataan yang juga menjadi sarana mensosialisasikan hak

disabilitas ke masyarakat dan keluarga disabilitas telah turut mengubah stigma dan pemikiran negatif tentang disabilitas. Salah satu yang paling mencolok adalah tentang bagaimana melihat disabilitas jiwa. Sebagian besar masyarakat tidak lagi melihat disabilitas sebagai orang yang cacat menjadi beban dan tidak bisa produktif atau hanya pencari bantuan saja.

2.2.2.3 Faktor Pendukung Keberhasilan proses pendataan ini tidak terlepas dari dukungan tim pendata

dan para stakeholder. Beberapa faktor pendukung yang dapat diidentifikasi adalah:1. Adanya nota kesepahaman (MoU) antara SIGAB dengan pemerintah desa,

kecamatan, dan pemerintah kabupaten. 2. Terbitnya Perda Kabupaten Kulon Progo No. 3 Tahun 2016 tentang

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas serta Perda Provinsi DI Yogyakarta No.4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas.

3. Kuatnya komitmen aparatur kunci di pemerintah mulai dari tingkat dusun, desa (Kepala Desa) dan kecamatan (Camat) serta dukungan langsung dari Wakil Bupati Kulon Progo yang menyambut baik pendataan disabilitas karena sesuai dengan kinerja Pemda. Dalam banyak kesempatan, bahkan salah satu Camat menyampaikan berbagai hak disabilitas terhadap beberapa Kepala Dinas saat pemerintah kabupaten melakukan pertemuan.

4. Dukungan yang signifikan juga datang dari keluarga disabilitas dan masyarakat yang sangat kooperatif dalam memberikan informasi mengenai penyandang disabilitas.

5. Keterlibatan dan komitmen yang konsisten dari kelompok masyarakat lain seperti kader kesehatan, karang taruna, serta organisasi lain di desa. Dukungan mereka turut memberi pengaruh pada penerimaan dan keterbukaan masyarakat dan keluarga disabilitas yang akan didata.

2.2.2.4 TantanganSebuah keberhasilan tidak selalu melewati jalan yang mulus, pasti tetap ada

tantangan yang muncul di tengah proses. Tantangan pertama yang dihadapi

Inovasi Pendataan Disabilitas 43

pada proses pendataan ini berasal dari keluarga penyandang disabilitas. Sebagian keluarga penyandang disabilitas tidak peduli terhadap pendataan. Sebagian lagi tidak mau mengakui bahwa anggota keluarganya tergolong disabilitas karena persepsi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat disabilitas merupakan kecacatan fisik, bukan dilihat dari aspek hambatan. Oleh karena itu, pada saat proses pendataan butuh pendamping untuk meyakinkan dan membantu pengisian kuesioner data yang tidak diisi dengan lengkap. Cara ini mengubah paradigma masyarakat dalam memandang disabilitas

Tantangan kedua adalah pada saat mengintegrasikan data hasil pendataan SIGAB ke dalam Sistem Informasi Desa (SID). Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan masih menyebut kata tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa dan sejenisnya yang berdasarkan kecacatan. Hasil pendataan SIGAB berdasarkan hambatan bukan kecacatan. Sementara itu, Sistem Informasi Desa masih berpedoman pada UU Administrasi Kependudukan. Akibatnya, data yang ada pada Sistem Informasi Desa belum sesuai dengan pendekatan SIGAB. Dalam hal ini, Combine (mitra pengembang Sistem Informasi Desa) belum bersedia mengubah pendekatannya karena yang menjadi rujukan Combine adalah regulasi yang ada, yaitu UU Administrasi Kependudukan. Dengan kata lain, UU Administrasi Kependudukan merupakan hambatan terbesar karena masih menggunakan pendekatan fisik atau kecacatan. Perbedaan pendekatan ini menjadi hambatan tersendiri saat tahap integrasi ke sistem pendataan dan informasi pemerintah serta tantangan untuk rencana perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi. Harapannya, Undang-Undang Kependudukan dapat mengadopsi nilai-nilai yang ada pada CRPD dan Undang-Undang Disabilitas. Meski demikian, DPO terus berupaya mengembangkan praktik baik pendataan disabilitas dengan terus melakukan diskusi untuk perbaikan-perbaikan pelayanan publik bagi disabilitas.

Tantangan yang ketiga adalah rendahnya pemahaman aparatur pemerintah terkait kedisabilitasan. Perlu diupayakan melakukan peningkatan kapasitas serta pengkaderan SDM aparat desa terkait kedisabilitasan karena saat ini baru orang-orang tertentu yang paham dan bisa berkontribusi langsung pada proses pendataan, updating dan pengelolaan data disabilitas di desa.

2.2.2.5 Partisipasi Kelompok Penyandang disabilitas terlibat mulai dari proses dan diskusi

akhir pengembangan instrumen dan pendataan sampai pada tindak lanjut pascapendataan. Sementara pada perencanaan awalnya belum terlibat karena

44

perencanaan pendataan ini dilakukan oleh tim SIGAB secara langsung. Keterlibatan disabilitas ini diawali dari ajakan SIGAB, kemudian muncullah inisiatif untuk terlibat dalam proses pendataan secara kelompok, yaitu melalui Kelompok Disabilitas Desa, DPO Cahaya Mandiri.

Penyandang disabilitas berpartisipasi pada proses pendataan dengan cara membantu mensosialisasikan kegiatan pendataan ke komunitas-komunitas yang ada di masyarakat desa, ikut serta melakukan pendataan dan melakukan input data hasil pendataan. Pada tahap tidak lanjut, disabilitas ikut serta dalam advokasi ke pemerintah desa dan unit layanan (Puskesmas). Partisipasi disabilitas ini sangat penting bagi pemerintah desa dan unit layanan agar dapat mendengar secara langsung bantuan atau akses yang dibutuhkan oleh disabilitas. Berikut adalah partisipasi disabilitas berdasarkan tahapan pendataan.

Bagan 2.5 Partisipasi Disabilitas dalam Tahapan Pendataan

2.2.2.6 Penerimaan dan Rencana PengembanganHasil pendataan disabilitas yang dilakukan SIGAB telah diterima dan diakui

oleh pemerintah desa dan kecamatan. Pemerintah desa menjadikan hasil dari pendataan itu sebagai dasar dalam penyusunan perencanaan program desa dan telah mengalokasikan dana khusus untuk disabilitas. Dana khusus itu digunakan untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan kelompok disabilitas, pengadaan bantuan alat untuk disabilitas, serta perbaikan sarana prasarana pelayanan publik agar dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Demikian pula dengan Camat. Inovasi pendataan ini telah diterima dengan baik dan Camat mengimbau puskesmas setempat untuk didesain menjadi puskesmas yang ramah disabilitas. Hal ini sejalan dengan adanya desa inklusi di kecamatan tersebut.

Finalisasi Instrumen

Sosialisasi kegiatan pendataan

Advokasi ke pemerintah desa dan unit layanan

Menjadienumerator

Perencanaan Proses Pendataan Tindak Lanjut

Inovasi Pendataan Disabilitas 45

Namun, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo belum sepenuhnya menerima inovasi, terutama instrumen pendataan yang digunakan oleh SIGAB karena dianggap belum ada dasar hukumnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sementara UU Administrasi Kependudukan, yang selama ini menjadi pedoman pendataan penduduk masih menggunakan pendekatan berdasarkan kecacatan fisik, bukan hambatan seperti yang digunakan SIGAB.

SIGAB sendiri pernah menawarkan inovasi pendataan ini untuk diadopsi oleh Dinas Sosial Kabupaten Kulonprogro, tetapi belum diterima. Argumentasinya karena pada tahun 2018, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta berencana menyusun instrumen pendataan disabilitas. Oleh karena itu, Dinas Sosial memutuskan untuk menunggu instrumen pendataan dari Pemerintah Provinsi tersebut.

Inovasi pendataan ini sebenarnya dapat direplikasi dan dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu adanya upaya advokasi ke pemerintahan yang lebih tinggi, yaitu kabupaten, provinsi, dan nasional.

Inovasi pendataan ini sejatinya dapat mengubah paradigma masyarakat dalam memandang disabilitas bahwa fokus dalam melihat disabilitas bukan kecacatannya, melainkan bagaimana cara mengatasi hambatan sosial dari disabilitas tersebut.

2.2.3 KARINAKAS: Pendataan Kolaboratif dan Efisien di Sukoharjo2.2.3.1 Proses dan Peran Aktor

Inovasi pendataan penyandang disabilitas di Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi dua tahapan. Pertama adalah pendataan yang dilakukan oleh KARINAKAS bersama komunitas disabilitas di wilayah dampingan KARINAKAS. Kedua adalah pendataan disabilitas yang sudah dikembangkan lebih lanjut dan diadopsi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo ke seluruh wilayah Kabupaten Sukoharjo (total 165 desa) dengan pendampingan dari KARINAKAS. Dua tahapan ini seluruhnya terjadi pada pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1.

Pendataan tahap pertama ini dilatar belakangi kebutuhan akan data dan pemetaan jumlah serta kondisi disabilitas di wilayah intervensi KARINAKAS di Kabupaten Sukoharjo. Data ini di perlukan sebagai langkah awal advokasi pemenuhan hak dan peningkatan kualitas hidup kelompok disabilitas. Pada pendataan tahap pertama ini, KARINAKAS menggunakan instrumen pendataan dengan mengadopsi pertanyaan yang direkomendasikan oleh Washington Group on Disabilities Statistic versi pendek. Washington Group Dissability Statistic sendiri adalah semua instrumen yang dikembangkan oleh beberapa negara, Organisasi Disabilitas International, dan pemangku kepentingan lain yang berkoordinasi di bawah keanggotaan PBB yang ditujukan untuk mengukur tingkat hambatan dan

46

kondisi kedisabilitasan di berbagai negara dari berbagai aspek. Instrumen ini juga terus dikembangkan sejak awal inisiasi di tahun 2002 dengan beberapa versi yang disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pendataan disabilitas Internasional. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian disusun lagi dan disederhanakan sesuai kebutuhan KARINAKAS. Misalnya, adanya tambahan informasi terkait kesehatan, ekonomi dan lainnya sesuai dengan kebutuhan advokasi KARINAKAS. Proses pendataan pun masih terbatas melibatkan KARINAKAS, Tim Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) tingkat desa dan kelompok disabilitas dampingan KARINAKAS, dengan dukungan dana dari program yang dikelola

KARINAKAS.

Gambar 2.4. Keputusan Bupati Sukoharjo tentang Penerima Kartu Disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 47

Kegiatan-kegiatan dan peran aktor pada pendataan tahap pertama ini yang dilakukan KARINAKAS dapat dilihat pada bagan berikut:

Bagan 2.5. 1 Kegiatan Peran Aktor dalam Pendataan Tahap Pertama KARINAKAS

Hasil pendataan tahap pertama kemudian ditindaklanjuti dengan usulan program kepada pemerintah daerah sesuai dengan bidangnya. Misalnya, di bidang kesehatan diajukan ke Dinas Kesehatan yang kemudian direspon sehingga penyandang disabilitas mendapat Jaminan Kesehatan Difabel. Selain itu, diajukan pula ke Dinas Koperasi dan UKM, yang direspon dengan rencana pelatihan dan bantuan modal bagi penyandang disabilitas yang memiliki ketertarikan usaha.

Meski pendataan ini ditindak lanjuti dengan diperolehnya Jaminan Kesehatan Difabel bagi penyandang disabilitas, tetapi penerimanya masih terbatas pada disabilitas yang menjadi dampingan KARINAKAS. Hal ini kemudian menjadi pembahasan antara KARINAKAS dan SKPD/OPD Kabupaten Sukoharjo agar semua penyandang disabilitas dapat memperoleh haknya, sementara kesulitannya adalah tidak ada data yang dapat dijadikan pedoman untuk itu. Oleh karena itu, muncul gagasan untuk mengembangkan inovasi pendataan tahap pertama ini ke seluruh wilayah Kabupaten Sukoharjo dan melibatkan instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo.

Berikut adalah kronologi perluasan dan pengembangan pendataan disabilitas dari pendataan yang terbatas di wilayah dampingan KARINAKAS menjadi pendataan menyeluruh di Kabupaten Sukoharjo:

1. Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo telah menerbitkan Jaminan Kesehatan Difabel (JKD) sebagai respon atas hasil pendataan disabilitas yang dilakukan KARINAKAS, tetapi penerimanya masih terbatas pada disabilitas di wilayah dampingan KARINAKAS yang sudah didata.

2. Proses penambahan pendaftaran penerimaan JKD cukup menyulitkan

Penyusunan Instrumen

Proses Pendataan

Tindak LanjutKarinakas

• Karinakas• SHG• Kader

Posyandu• Aparat Desa

(RBM)

• Karinakas• Dinas-dinas

terkait• Dinas

Kesehatan• Dinas Sosial

48

penyandang disabilitas lainnya, karena membutuhkan surat rekomendasi dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, pemerintah desa dan atau kecamatan.

3. KARINAKAS mendiskusikan mekanisme pengajuan JKD yang lebih sederhana, kemudian diusulkan agar disabilitas diberi kartu khusus untuk mempermudah pengurusan dan akses kesehatan.

4. Pemerintah Daerah setuju membuat Kartu DISABILITAS bagi penyandang disabilitas, tetapi karena tidak ada data lengkap tentang penyandang disabilitas di Kabupaten Sukoharjo yang akan menerima kartu tersebut maka disepakati perlu adanya pendataan menyeluruh bagi disabilitas di Kabupaten Sukoharjo.

5. Proses diskusi dan koordinasi rencana kebutuhan pendataan serta perumusan instrumen ini terjadi antara KARINAKAS, Dinas Kesehatan (sebagai penanggung jawab JKD), dan Dinas Sosial (penanggungjawab pendataan disabilitas) dan Tim RBM Kabupaten.

6. Sampai pada buku ini ditulis, sekitar 5.000 kartu DISABILITAS sudah dibagikan.

Bila pada pendataan tahap pertama hanya melibatkan beberapa pihak saja maka pada tahap kedua perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi, terjadi kolaborasi yang relatif besar, baik dari pihak yang terlibat maupun pendanaannya. Sebagian besar kegiatan pendataan dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo, dan menggunakan relawan

untuk melakukan pendataan langsung kepada disabilitas. KARINAKAS terlibat memfasilitasi diskusi penyusunan instrumen pendataan serta menjadi fasilitator dan narasumber pada saat sosialisasi kegiatan pendataan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo. Proses diskusi dan koordinasi perumusan instrumen pendataan kedua ini terjadi antara KARINAKAS, Dinas Kesehatan (sebagai penanggung jawab penerbit Jaminan Kesehatan Difabel), dan Dinas Sosial (yang bertanggung jawab pada pendataan disabilitas) dan tim RBM Kabupaten.

Dari proses perluasan dan pengembangan pendataan ke yang lebih tinggi, tampak bahwa pola kolaborasi telah berjalan dan relatif efisien dalam pelaksanaannya. Kolaborasi yang muncul melibatkan banyak pihak melalui tim

“Supaya difabel itu tidak minder, tidak di rumah terus

dan bisa berbaur dengan teman-temannya, sehingga

tidak disingkirkan maka mereka didata dan diajak berkumpul,

bersosialisasi”.

Latmini, Sekretaris SHG/Kelompok Disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 49

RBM yang sudah menjalankan pekerjaannya dari kabupaten hingga desa. Biaya yang dibutuhkan untuk pendataan meliputi satu kabupaten di Sukoharjo sekitar Rp10 juta. Biaya ini terutama untuk untuk penggandaan instrumen pendataan dan biaya transportasi enumerator/pendata.

Di lokasi dampingan KARINAKAS, pendataan dilakukan oleh kader posyandu dan anggota SHG. Sementara di desa lain, pendataan pada perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi dilakukan oleh kader Posyandu dan dikoordinasikan oleh TKSK di tingkat kecamatan. Dengan kata lain, seluruh proses perluasan dan pengembangan pendataan, dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, sedangkan KARINAKAS tidak lagi terlibat secara langsung. KARINAKAS relatif hanya terlibat pada beberapa kegiatan pendukung, seperti diskusi reformulasi instrumen, diskusi strategi serta pembagian peran dalam rencana pendataan disabilitas yang dipimpin oleh istri Bupati Sukoharjo sebagai Ketua PKK dan Ketua Tim RBM Kabupaten dan difasilitasi oleh KARINAKAS. Diskusi menyepakati agar pendataan dapat dijalankan dengan biaya murah dan efektif, digunakan tenaga yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, sebagai dua motor utama pendataan. Tenaga yang dimaksud adalah Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang terkoordinasi oleh Dinas Sosial dan kader Posyandu yang berada di bawah koordinasi Dinas Kesehatan.

Proses pendataan awal ini berjalan cukup lancar karena dilakukan oleh kader yang sudah mengenal lokasi dan warganya. Pada proses pemutakhiran, memang ada beberapa hambatan terutama di desa-desa luar wilayah dampingan KARINAKAS. Sebagai catatan, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo (khususnya Bupati) sebelumnya sudah pernah mengeluarkan anggaran yang relatif besar yaitu sekitar Rp700 juta untuk melakukan pendataan disabilitas yang dilakukan oleh pihak ketiga. Namun, hasilnya tidak dapat digunakan.

Pengumpulan data disabilitas dilakukan melalui proses input data di tingkat desa, semua data mentah dikumpulkan dan dikoordinir oleh Tim RBM Desa. Hasilnya kemudian diinput di Dinas Sosial. Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo sendiri telah mengembangkan mekanisme dan kompilasi data disabilitas yang dikembangkan dari resource center yang diinisiasi oleh KARINAKAS pada program sebelumnya. Saat itu juga sudah ada SDM yang dilatih dan memiliki kemampuan mengolah data sekaligus IT yang adalah penyandang disabilitas yang sudah dilatih dan diberdayakan dengan status sebagai PHL (Pekerja Harian Lepas) Dinas Sosial.

Saat ini hasil data disabilitas masih dikelola oleh Dinas Sosial, tetapi terbuka untuk disampaikan kepada SKPD/OPD lain yang membutuhkan. Berikut adalah tahapan pada perluasan dan pengembangan pendataan yang dilakukan:

50

Bagan 2.7 Tahapan Perluasan dan Pengembangan Pendataan ke yang Lebih Tinggi di Sukoharjo

Pendataan disabilitas yang dilakukan KARINAKAS memiliki beberapa tujuan khusus dalam rangka menjawab permasalahan penyandang disabilitas di lapangan yakni:

1. Memudahkan atau memastikan semua penyandang disabilitas dapat mengakses layanan kesehatan secara mudah melalui Kartu DISABILITAS.

2. Memudahkan Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo dalam memperluas jangkauan dan pemerataan bantuan sosial.

3. Sebagai bahan dalam perencanaan dan penganggaran Dinas Sosial agar mampu merespon dan sesuai dengan kondisi disabilitas yang sudah didata.

4. Menjadi dasar perencanaan dan penganggaran program dinas lain seperti Dinas UKM untuk menyusun program yang berhubungan dan sesuai dengan kondisi disabilitas.

Pada pendataan disabilitas yang diadopsi dari KARINAKAS ini selain memberi data yang akurat, juga sudah membangun mekanisme pemutakhiran (updating). Sejak awal, pendataan ini melibatkan kader yang ada di desa dan pendataannya berjenjang dari desa maka ketika ada kejadian seperti temuan ada disabilitas baru

Perumusan instrumen dan strategi pendataan dipimpin

oleh Dinsos dan difasilitasi Karinakas

Relawan dari Kader Posyandu dan SLS (Satuan Lintas Sektor) di tingkat RT melakukan pendataan dari

rumah ke rumah

Tim RBM desa/atau bidan desa atau TKSK mengumpulkan form

pendataan di Dinas Sosial (di center bases Dinas Sosial)

Sosialisasi ke seluruh Kecamatan dan Kepala Desa

(tim RBM Kec dan Desa) oleh Dinas Sosial, Karinakas

sebagai narasumber

Desa memfasilitasi koordinasi di level desa

Input data dilakukan oleh Dinas Sosial, data dikelola dan dikembangkan oleh

Dinas Sosial

Tim RBM Kecamatan diwakili TKSK dan Bidan

desa menjadi koordinator pendataan

Hasil pendataan relawan di kumpulkan di bidan desa, atau di tim RBM Desa, atau

ke TKSK Kecamatan

Hasil olah data diserahkan ke OPD, Pemdes dalam bentuk rekap hard copy

dan CD

Inovasi Pendataan Disabilitas 51

atau kematian akan otomatis termutakhirkan (updated). Berikut adalah aktor-aktor yang berperan dalam pendataan disabilitas di Kabupaten Sukoharjo.

Tabel 2.3. 1 Peran Aktor di Kabupaten Sukoharjo

No AktorNama Institusi/organisasi/nama orang

Peran

1 Pemerintah Dinas Sosial Melakukan perencanaan pendataan; menjadi koordinator pelaksanaan pendataan; mereformulasi instrumen pendataan; mengerahkan SDM yang berada di bawah koordinasinya, yaitu Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).

Dinas Kesehatan Melakukan perencanaan pendataan; menjadi koordinator pelaksanaan pendataan; mereformulasi instrumen pendataan; mengerahkan SDM di bawah koordinasinya yang ada di desa (termasuk bidan desa, dan kader posyandu)

Pemerintah Desa Memfasilitasi tempat dan konsumsi koordinasi saat pendataan; mensosialisasikan kegiatan pendataan ke warga; dan memberi dukungan dengan melibatkan Tim RBM Desa untuk pendataan.

2 BAPPEDA Terlibat dalam diskusi sebagai bagian dari Tim RBM Kabupaten

3 Kelompok/organisasi disabilitas

SHG Anggota SHG yang juga menjadi kader ikut melakukan pendataan; menjadi informan tentang keberadaan penyandang disabilitas; dan menerima laporan dari Tim RBM.

4 Masyarakat - Menjadi informan keberadaan disabilitas.

52

5 Penyandang Disabilitas (diluar kelompok)

-Menjadi ahli IT/ pengelola data di bawah koordinasi Dinas Sosial

6 Fasilitator/ pendamping

- Mendampingi kelompok disabilitas; mengkoordinasi pendataan (pada pendataan awal); dan memfasilitasi diskusi di tingkat perencanaan (saat perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi)

7 Keluarga penyandang disabilitas

-Mengikut proses pendataan mewakili RBM; dan melakukan sosialisasi kepada sesama orang tua penyandang disabilitas.

8 Kader posyandu - Ikut mendata dan mensosialisasikan kegiatan pendataan.

2.2.3.2 Hasil dan Dampak Pendataan Pendataan disabilitas mengawali berbagai advokasi dan upaya perbaikan

pelayanan bagi disabilitas di Kabupaten Sukoharjo menghasilkan beberapa hal dan memberi dampak baik. Beberapa hasil dan dampak tersebut di antaranya:

1. Pada pendataan pertama (yang dilakukan murni oleh KARINAKAS) telah terdata 394 disabilitas yang mencakup 4 desa di Kabupaten Sukoharjo.

2. Pada pendataan kedua, yang sudah diadopsi dan dilakukan oleh Dinas Sosial dengan dukungan KARINAKAS dan RBM, cakupan pendataan diperluas menjadi satu Kabupaten Sukoharjo telah terdata sejumlah 3.275 disabilitas (per akhir Program Peduli Fase 1 tahun 2016, data ini terus bertambah dengan proses pembaruan data yang terus-menerus oleh Dinas Sosial).

3. Data hasil pendataan disabilitas digunakan untuk menyusun penerima Kartu DISABILITAS. Melalui penggunaan Kartu DISABILITAS, penyandang disabilitas memperoleh kemudahan akses dan prioritas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, bahkan pada beberapa kasus mendapat prioritas untuk layanan publik lain. Pada tahap pertama 394 Kartu DISABILITAS dan tahap berikutnya 3.275 Kartu DISABILITAS bagi semua disabilitas yang terdata. Pemberian Kartu DISABILITAS ini tertuang dalam SK Bupati Sukoharjo.

4. Meningkatnya kesadaran dan pemahaman mengenai kebutuhan pendataan pada keluarga dan disabilitas sendiri. Disabilitas, keluarga dan

Inovasi Pendataan Disabilitas 53

masyarakat saat ini menjadi lebih proaktif melapor ke TKSK atau aparat desa jika ada perubahan kondisi atau bila ada penyandang disabilitas yang belum terdata. Di sini terjadi perubahan mindset menjadi lebih positif terhadap pendataan disabilitas.

5. Hasil pendataan awal (pendataan mandiri) memperkuat keinginan pemerintah daerah untuk melakukan pendataan disabilitas secara menyeluruh karena sudah merasakan manfaat data disabilitas yang dihasilkan.

6. Bagi pemerintah daerah, data disabilitas yang ada memudahkan untuk distribusi bantuan sosial (contoh PKH).

7. Penerimaan bantuan sosial lebih merata, tidak hanya penyandang disabilitas berat tetapi juga meluas bagi masyarakat miskin dan penyandang disabilitas lain yang sebelumnya belum masuk database dan tidak memperoleh bantuan sosial.

8. OPD/Dinas lintas sektor memiliki data untuk menyusun anggaran kebutuhan disabilitas dan perencanaan program dan kegiatan terkait lainnya.

9. Penganggaran dan pemberian bantuan untuk disabilitas menjadi lebih spesifik, khususnya bantuan alat bantu atau dukungan spesifik lainnya sesuai dengan kedisabilitasannya. Bantuan dan penganggaran alat bantu ini khususnya bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah desa.

10. Realokasi anggaran oleh beberapa SKPD, misalnya Dinas UKM dan Perdagangan merealokasi anggaran kegiatan bimbingan teknis/peningkatan kapasitas bagi warga menjadi program peningkatan kapasitas/skill usaha bagi disabilitas.

11. Pendataan disabilitas memberi dampak pada perubahan pendekatan pemenuhan hak dan pengurangan hambatan bagi kelompok disabilitas bagi pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten.

12. Adanya data memudahkan Dinas Sosial kabupaten untuk memilih perwakilan atau representasi disabilitas yang akan dilatih menjadi lebih merata saat ada tawaran program pelatihan atau program peningkatan kapasitas lain dari Dinas Sosial provinsi.

13. Sejak ada program data disabilitas di Kabupaten Sukoharjo, banyak kegiatan dari Dinas Sosial provinsi yang menyasar atau mengambil sasaran disabilitas di Sukoharjo.

14. Selain digunakan oleh Dinas Sosial, data juga digunakan oleh 4 desa dampingan KARINAKAS.

54

Gambar 2.5. Pemeriksaan Disabilitas

Selain dampak dan manfaat langsung di atas, terdapat beberapa perubahan yang terjadi secara tidak langsung sebagai dampak dari pendataan disabilitas ini antara lain:

1. Mekanisme dan proses pelibatan kader posyandu diimplementasikan di desa. Disabilitas dan keluarga merasa tidak lagi terkucil karena saat proses pendataan dan pascapendataan terjadi perubahan sikap dan perhatian dari masyarakat sekitar dan aparat pemerintah.

2. Pelibatan dan penyadaran semua pihak tentang disabilitas. Tim RBM desa yang terdiri lebih dari 10 orang dan berasal dari berbagai unsur masyarakat serta berketua istri kepala desa. Tim RBM tersebut ikut serta dalam mempercepat sosialisasi.

3. Mengubah persepsi serta pemahaman terkait disabilitas di masyarakat dan aparat desa.

4. Dengan tersedianya data yang memadai dan perencanaan mewujudkan dan pemenuhan hak disabilitas di desa maka dua desa yaitu desa Ngreco dan Krajan di Kecamatan Weru mendeklarasikan sebagai desa inklusi berbasis hak.

2.2.3.3 Faktor Pendukung Beberapa faktor yang mendukung pelaksanaan pendataan disabilitas adalah: a. Komitmen politik yang kuat dari pembuat kebijakan, dalam hal ini Bupati

Sukoharjo.b. Kesesuaian pendataan disabilitas dengan program Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo menjadi faktor pendukung yang cukup signifikan dalam mempercepat penerimaan pemerintah daerah terhadap pendataan

Inovasi Pendataan Disabilitas 55

disabilitas dan tindak lanjut dari pendataan disabilitas tersebut.

c. Adanya Tim RBM dari mulai kabupaten hingga desa termasuk adanya Gerakan menuju Sukoharjo sebagai Kabupaten Inklusi.

d. Terbitnya beberapa regulasi yang mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas, seperti Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo No. 7 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sukoharjo dan Peraturan Bupati tentang Jaminan Kesehatan Difabel.

2.2.3.4 Tantangan Faktor yang menjadi tantangan inovasi pendataan yang dilakukan oleh

KARINAKAS adalah tertutupnya informasi dari keluarga disabilitas sehingga memerlukan kerja keras untuk meyakinkannya. Dari sisi penyandang disabilitas, keterbatasan kapasitas mengakibatkan penyandang disabilitas belum bisa banyak berkontribusi pada proses pendataan dan advokasi pascapendataan, khususnya saat upaya advokasi ke aparatur pemerintah daerah.

Gambar 2.6 Penyerahan Kartu DISABILITAS oleh Bupati

Sukoharjo kepada Perwakilan Disabilitas yang Sudah Didata

Gambar 2.7 Surat Pemberitahuan kepada Tim RBM Kabupaten Sukoharjo terkait Pendataan Disabilitas

56

Sementara itu, tantangan yang dihadapi pada pendataan yang dikembangkan dan diperluas di antaranya adalah pemahaman pendata di lapangan yang beragam. Hal ini terjadi karena pembekalan khusus tentang proses dan mekanisme pendataan hanya dilakukan di tingkat koordinator sehingga banyak pendata yang belum benar-benar memahami kedisabilitasan. Hasil pendataan yang dikembangkan dan diperluas ini pun masih memerlukan perbaikan. Contohnya, data yang masuk tidak seragam sehingga proses perbaikan data dan pemutakhiran masih perlu terus dilakukan. Hal ini terutama terjadi di wilayah yang bukan dampingan KARINAKAS.

2.2.3.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas Keterlibatan disabilitas pada pendataan berbeda antara kegiatan pendataan

yang dilakukan KARINAKAS dengan perluasan dan pengembangan pendataan ke yang lebih tinggi dilakukan Pemda. Pada perluasan dan pengembangan pendataan ke yang lebih tinggi, keterlibatan disabilitas tidak merata karena tidak semua desa Tim RBM-nya aktif, dan ada pendampingan bagi disabilitas dan keluarganya.

Kelompok penyandang disabilitas berpartisipasi mulai pada tahap perencanaan, keterlibatan ini sudah terjadi sejak pada tahap pendataan pertama hingga pada pendataan tahap dua (kecuali pada proses perumusan instrumen). Hal ini karena di awal program, kapasitas kelompok disabilitas baru mulai dibangun. Berbagai bentuk partisipasi tersebut antara lain:

1. Terlibat pada proses diskusi perumusan instrumen (khusus saat perluasan dan pengembangan pendataan)

2. Menyampaikan kebutuhan pendataan agar cakupannya diperlebar dan menyampaikan kebutuhannya agar dapat ditindak lanjuti pascapendataan.

3. Membantu mensosialisasikan ke sesama disabilitas atau ke keluarga disabilitas tentang pendataan dan tujuan dari pendataan, khususnya bagi disabilitas atau keluarga disabilitas yang menolak atau kurang mau terbuka.

Pada proses pendataan, penyandang disabilitas menjadi narasumber sekaligus informan bagi keberadaan disabilitas lainnya. Awalnya, hampir semua disabilitas pasif dan bahkan tidak pernah terlibat dalam kegiatan di desanya. Namun, setelah pendekatan dan peningkatan kapasitas, disabilitas mulai aktif dalam proses pendataan ataupun perencanaan desa. Keikutsertaan disabilitas muncul setelah mendapat pendampingan dari fasilitator desa KARINAKAS.

Pada tahap monitoring dan evaluasi, penyandang disabilitas berperan menerima pengaduan atau laporan kemajuan, terutama pada saat pertemuan SHG yang diselenggarakan dua minggu sekali.

Keterlibatan disabilitas dalam tahapan pendataan ini karena penyandang

Inovasi Pendataan Disabilitas 57

disabilitas menjadi bagian dari Tim RBM baik itu desa, kecamatan atau kabupaten yang merupakan penggerak utama pendataan, terutama pada fase perluasan dan pengembangan pendataan.

Gambar 2.8 Pembekalan Pendataan Disabilitas di Kabupaten Sukoharjo

2.2.3.6 Penerimaan dan Rencana PengembanganHasil Pendataan disabilitas yang dilakukan KARINAKAS sejak awal langsung

disampaikan ke OPD terkait. Penerimaan dari OPD relatif baik. Hal ini terlihat dari hasil pendataan yang digunakan sebagai data awal atau masukan penting OPD dalam menyusun program khususnya yang terkait disabilitas. Sebagai contoh, Dinas UKM dan Perdagangan yang sebelumnya sudah memiliki anggaran untuk kegiatan bimbingan teknis usaha bagi warga masyarakat, kemudian memfokuskan kegiatannya untuk peningkatan kapasitas berupa keahlian usaha bagi penyandang disabilitas.

Penerimaan dari OPD juga terlihat dari respon Dinas Sosial ketika mendapatkan tawaran dari Dinas Sosial Provinsi untuk mengirim peserta pelatihan bagi disabilitas

Gambar 2.9 Salah Satu Bantuan bagi Disabilitas

yang Berasal dari Desa Sebagai Hasil dari

Pendataan Disabilitas di Desa Ngreco, Sukoharjo

58

maka Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo merujuk pada hasil pendataan yang dilakukan KARINAKAS.

Inovasi pendataan yang telah dilakukan KARINAKAS dan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo melalui Tim RBM ini telah menarik perhatian Kementerian Sosial, yang telah menghubungi KARINAKAS untuk berdiskusi, yang berencana mereplikasi program RBM di daerah lainnya.

Replikasi pendataan ini sendiri realistis untuk dilakukan di kabupaten/kota lain dengan syarat Tim RBM juga dibentuk sebagai ruang kolaborasi. Selain itu, replikasi membutuhkan dukungan masyarakat dalam proses pendataan karena masyarakatlah yang tahu kondisi wilayahnya, serta perlunya penyesuaian instrumen pendataan dengan konteks dan kebutuhan wilayah masing-masing. Hasil pendataan juga harus disusun dalam bentuk satu database kabupaten/kota yang dapat diakses serta digunakan oleh semua OPD yang membutuhkan.

Salah satu gaung kesuksesan di Sukoharjo ini, Kementerian Sosial menghubungi KARINAKAS untuk berdiskusi tentang rencana mereka ingin melaksanakan program RBM di lokasi lain. Perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi untuk inovasi pendataan di Sukoharjo dapat dilakukan melalui proses replikasi di daerah lain.

Di Sukoharjo, pemerintah dapat melakukan program apa saja, termasuk pendataan karena adanya tim forum RBM Kabupaten. Dalam hal ini, pemerintah sebatas menjadi fasilitator dan penyedia anggaran. Jadi, jika ini akan direplikasi, forum semacam RBM juga harus dibentuk di kabupaten lain sebagai ruang kolaborasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pentingnya keterlibatan masyarakat setempat dalam proses pendataan karena masyarakatlah yang tahu kondisi wilayahnya masing-masing sehingga tidak memerlukan biaya ekstra. Ini juga harus diterapkan jika nanti akan direplikasi. Instrumen pendataan yang digunakan tidak boleh seragam tetapi harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan wilayah masing-masing. Hasil data dimasukkan dalam data base data kabupaten sehingga menjadi sistem satu data dan bisa diakses serta digunakan semua OPD yang membutuhkan.

2.2.4 YASMIB: Peran Pemerintah Desa dalam Pendataan Disabilitas di Bone2.2.4.1 Proses dan Peran Aktor

Inovasi pendataan yang dilakukan oleh YASMIB adalah pengembangan aplikasi database pendataan sebagai instrumen untuk merekap pendataan yang dilakukan secara langsung dari rumah ke rumah (door to door) penyandang disabilitas.

Langkah-langkah kegiatan pendataan yang dilakukan YASMIB dapat dilihat

Inovasi Pendataan Disabilitas 59

pada bagan berikut.

Bagan 2.8 Tahapan Pendataan YASMIB di Kabupaten Bone

Langkah pertama yang dilakukan YASMIB adalah melakukan penilaian secara cepat (rapid assessment) selama 2 bulan. Penilaian cepat ini dilakukan untuk mengetahui kondisi data yang sudah tersedia tentang disabilitas yang dimiliki Dinas Sosial. Proses ini juga melibatkan pihak lain, yaitu Pemerintah Desa Carigading dan Mallari serta Bappeda untuk memastikan ketersediaan data disabilitas. Hasil penilaian menunjukkan belum tersedianya data tentang disabilitas di kedua desa tersebut.

Berdasarkan hasil penilaian cepat itu, kemudian YASMIB mengembangkan formulir atau blanko pengisian data. Dalam rangka mengembangkan kuesioner tersebut, YASMIB berupaya menjaring input dari berbagai pihak, terutama dari instansi pemerintah yang selama ini dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan pendataan. Hal ini dilakukan melalui serial workshop dengan Badan Pusat Statistik, BKKBN, Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Kemudian, YASMIB memilih untuk mengadopsi instrumen milik BKKBN dan mengembangkannya menjadi kuesioner yang selanjutnya dipergunakan untuk melakukan pendataan.

Berdasarkan kuesioner sudah dirumuskan tersebut, YASMIB kemudian mengembangkan aplikasi database. Melalui aplikasi itu, data yang diperoleh selanjutnya diinput dan menghasilkan rekapitulasi data secara lengkap. Aplikasi database ini masih bersifat offline, dan otoritas inputnya masih dipegang oleh YASMIB. Setelah pengembangan aplikasi, langkah berikutnya adalah proses pendataan.

Pendataan dilakukan di dua desa, yaitu Desa Carigading dan Mallari. Dalam melakukan pendataan ini, YASMIB bekerja sama dengan LPP Bone yang bertugas melakukan koordinasi dengan Pemerintah Desa, merekrut relawan dan mendampingi dalam proses pendataan. Relawan pendataan masing-masing desa terdiri dari dua orang yang dilatih oleh YASMIB dan LPP Bone, terutama untuk mengisi formulir pendataan. Organisasi penyandang disabilitas, yaitu PPDI juga

Rapid Assessment

Pengembangan Instrumen

Aplikasi Database

Publikasi Data

Pendataan Input Data

60

terlibat dalam pelatihan dengan memberikan materi tentang kedisabilitasan, termasuk menjelaskan tentang ragam disabilitas dan cara melakukan pendekatan kepada para penyandang disabilitas.

Relawan yang telah dilatih kemudian melakukan pendataan dengan cara menyambangi dari rumah ke rumah (door to door), bekerjasama dengan perangkat desa, terutama kepala dusun yang mendampingi dan mengantarkan mereka pada proses pendataan ke rumah penyandang disabilitas. Pada proses pendataan ini seringkali menghadapi kendala untuk mendata penyandang disabilitas karena penyandang disabilitas merasa malu atau disembunyikan oleh keluarganya sehingga tidak bisa ditemukan oleh pendata. Kendala lainya adalah jauhnya rumah penyandang disabilitas, yang menyulitkan enumerator/pendata.

Setelah pendataan dilakukan, data mentah yang diperoleh kemudian dituangkan dalam kuesioner untuk disampaikan ke YASMIB. Berdasarkan data tersebut, kemudian YASMIB melakukan input ke aplikasi database. Sembari melakukan input data, YASMIB juga melakukan verifikasi jika ada data yang dianggap kurang tepat atau terdapat pertanyaan pada kuesioner yang belum diisi, atau salah pengisian. Proses verifikasi ini dilakukan dengan cara mengkonfirmasi pada pendata melalui telepon dengan relawan. Bila dianggap belum memadai, YASMIB dan LPP Bone secara langsung melakukan verifikasi ke lapangan. Hasil verifikasi ini kemudian diinput ulang ke dalam aplikasi. Setelah semua proses input data selesai maka dilakukan finalisasi database. Data yang telah final itu kemudian dikirim ke Pemerintah Desa Carigading dan Mallari untuk dijadikan sebagai data desa. Alur pendataan setelah melakukan rapid assessment adalah sebagai berikut:

“Saya sadar setelah ada pendataan bahwa warga desa saya banyak yang disabilitas.

Karena itulah, saya memikirkan bagaimana agar mereka dapat

merasakan pembangunan yang dilakukan di desa ini”

Andi Wahyuli, S.Pd, Kepala Desa Mallari.

Inovasi Pendataan Disabilitas 61

Bagan 2.9 Alur Pendataan di Mallari Setelah Melakukan Rapid Assessment

Tabel 2.4 Daftar dan Peran Stakeholder pada Inovasi Pendataan

Unsur Stakeholder

Nama Lembaga/Organisasi/ Personal

Peran

Pemerintah Badan Pemberdayaan Masyarakat & Pemerintah DesaBKKBNDinas Catatan SipilBPS ProvinsiDinas SosialBappeda

Memberikan input untuk pengembangan instrumen/kuesioner pendataan dan pengembangan aplikasi.

Pemdes/BPD Koordinasi dalam rangka merekrut relawan dan membantu menyampaikan informasi pendataan ke Kadus, RW dan RT agar dapat menyiapkan diri ketika relawan pendataan sampai di lokasi.

Penyusunan Instrumen

Pengem-bangan Aplikasi

Database

Rekrutmen dan

Pelatihan Relawan

Pendataan dan Input

Verifikasi, Finalisasi,

dan Deliveri Data

Adopsi dan pengembangan dari instrumen yang telah ada,

seperti dari BKKBN, BPS, dan OPD lain seperti

Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas

Pendidikan.

Mengembangkan aplikasi database.

Berkoordinasi dengan Pemdes untuk merekrut

relawan pendata (enumerator)

yang berasal dari desa setempat.

Melatih enumerator cara mengisi

form/instrumen pendataan. PPDI Kabupaten turut

melatih, terutama memberikan pemahaman

tentang ragam disabilitas.

Pendataan oleh enumerator door to door dengan menggunakan

form yang telah disusun. Hasil

pendataan dikirim ke Yasmib dan diinput oleh

Yasmib.

Sembari meng-input, data juga

melakukan verifikasi ke

enumerator jika ada data yang kurang jelas.

Setelah diverifkasi, data difinalisasi.

Rekap data disam-paikan ke Pemdes.

62

Kelompok/organisasi disabilitas

Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Bone. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan

Pelatihan enumerator, memberikan materi tentang perspektif disabilitas.

Masyarakat Gerakan Masyarakat Peduli Disabilitas (Gemar Lidi)

Membantu pendata menunjukkan lokasi atau rumah penyandang disabilitas.

NGO LPP BoneKoalisi Perempuan Indonesia SulselFKKADK

Mitra YASMIB untuk pelaksanaan di lapangan, dan menjadi relawan pendataan.

Fasilitator/pendamping

MegawatiJuhuriMartiasariNurhayat

Mendata langsung ke tiap desa

Pihak lain Anwar (Programer aplikasi) Mengembangkan aplikasi database dan melakukan pelatihan cara input data.

2.2.4.2 Hasil dan Dampak Pendataan Pendataan yang dilakukan oleh YASMIB ini menghasilkan data yang berbeda

dengan data yang selama ini dimiliki oleh Pemerintah. Misalnya, saat sebelum pendataan, jumlah disabilitas di desa Mallari hanya 14 orang. Akan tetapi, setelah dilakukan pendataan oleh YASMIB, jumlahnya mencapai 62 orang. Perbedaan lainnnya adalah dalam ragam disabilitas. Data yang ada di pemerintah hanya

Gambar 2.10 Bantuan Alat Bantu Dengar bagi Disabilitas Rungu di Desa Mallari

Inovasi Pendataan Disabilitas 63

menyebut disabilitas tanpa menguraikan lebih lanjut jenis disabilitasnya. Oleh karena itu, tidak bisa jelas kebutuhan yang harus dipenuhinya sebagai penyandang disabilitas.

Pendataan yang dilakukan YASMIB telah menarik perhatian pemerintah, baik pemerintah kabupaten melalui beberapa OPD-nya maupun pemerintah desa. Bagi pemerintah desa, pendataan ini menjadi hal yang sangat penting karena membantu dalam mengelola pembangunan di desa. Data disabilitas dari YASMIB dijadikan sebagai rujukan dalam perencanaan dan penganggaran oleh pemerintah desa.

Di Desa Mallari, berdasarkan penuturan Kepala Urusan Keuangan yang juga relawan pendataan, Pemdes menjadikan data ini sebagai rujukan dalam proses perencanaan dan penganggaran desa, dan bahan untuk melakukan revisi RPJMDes. Revisi RPJMDes ini menjadi panduan penting dalam penyusunan RKPDes dan APBDes (di tahun 2016 dan 2017) dalam rangka mengakomodir kebutuhan para penyandang. Beberapa program bagi penyandang disabilitas yang sudah dialokasikan di APBDes adalah: a) Alokasi anggaran untuk membiayai transportasi bagi penyandang disabilitas ke sekolah. Ini dilakukan karena banyak para penyandang yang tidak bisa meneruskan sekolah karena kendala transportasi; b) Program bedah rumah untuk penyandang disabilitas; c) Bantuan binatang ternak bagi disabilitas; dan d) Pembangunan dua pos pelayanan kesehatan khusus untuk

Gambar 2.11 Bedah Rumah Disabilitas Netra di Desa Mallari (Sebelum)

Gambar 2.12 Bedah Rumah Disabilitas Netra di Desa Mallari

(Sesudah)

64

penyandang disabilitas. Pos ini setiap bulannya menyelenggarakan pelayanan khusus bagi disabilitas pada setiap tanggal 14. Setiap bulannya, sekitar 20 orang disabilitas mengunjungi pos pelayanan kesehatan tersebut.

Data yang diperoleh kemudian disampaikan ke OPD-OPD di Kabupaten Bone. Dampak dari penyampaian data disabilitas ini antara lain: a) Dinas Catatan Sipil, setelah mengetahui sebagian besar penyandang disabilitas tidak memiliki identitas kependudukan seperti KTP dan KK, kemudian berinisiatif melakukan pelayanan pembuatan KTP dan KK dengan cara turun langsung melakukan perekaman ke desa; b) Dinas Kesehatan menggunakan data itu untuk membantu penyandang disabilitas memperoleh bantuan pembayaran premi gratis (PBI, penerima bantuan iuran) Peserta BPJS Kesehatan; dan c) Dinas Peternakan memberikan bantuan hewan ternak berupa sapi kepada beberapa penyandang disabilitas yang telah didata.

2.2.4.3 Faktor Pendukung Beberapa faktor yang mendukung terwujudnya inovasi pendataan ini adalah:a. Adanya kesediaan dan dukungan dari berbagai instansi pemerintah

daerah seperti BPS, BKKBN, Dinas Sosial, Dinas Catatan Sipil, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan untuk berbagi dan berdiskusi instrumen pendataan yang dikembangkan oleh YASMIB melalui kegiatan serial workshop pendataan dalam rangka mengelaborasi instrumen pendataan yang paling tepat untuk digunakan.

b. Kuatnya dukungan dari Pemerintah Desa yang menyediakan desanya sebagai lokasi percontohan pendataan dan mengirimkan relawan untuk menjadi enumerator/pendata.

Komitmen dan kerja keras dari mitra lokal, yaitu LPP Bone dalam melaksanakan proses pendataan disabilitas.

2.2.4.4 Tantangan Relatif tidak ada tantangan yang signifikan sejak awal melaksanakan

pendataan, kecuali sebagian keluarga penyandang disabilitas enggan didata dan tidak mengakui atau cenderrung menutupi bahwa memiliki anak atau anggota keluarga yang disabilitas karena malu atau menganggap itu sebagai aib.

Akibatnya, sebagian penyandang disabilitas tidak terdata. Hambatan lain adalah lokasi rumah penyandang disabilitas yang jauh dari jangkauan relawan sehingga memerlukan waktu untuk melakukan pendataan.

Selain itu, tantangan lain adalah relatif lamanya proses verifikasi data lapangan.

Inovasi Pendataan Disabilitas 65

Misalnya, karena kesalahan isi kuesioner dari relawan pendata sendiri, atau ada beberapa kuesioner yang belum diisi lengkap.

2.2.4.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas Penyandang disabilitas relatif belum terlibat dalam semua tahapan pendataan

yang dikembangkan oleh YASMIB ini. Penyandang disabilitas secara perorangan berperan sebagai pihak yang didata dan penerima manfaat. Sementara itu, organisasi penyandang disabilitas dalam hal ini Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Bone masih berperan sebagai pelatih untuk menyampaikan perspektif dan pemahaman tentang kedisabilitasan pada pelatihan enumerator/relawan pendataan, tetapi tidak terlibat dalam melakukan pendataan.

2.2.4.6 Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan

Respon pemerintah terhadap proses dan hasil pendataan yang dilakukan oleh YASMIB relatif positif, terutama dari pemerintah desa. Bagi Pemerintah Desa Mallari, pendataan disabilitas membantu untuk mengetahui jumlah pasti penyandang disabilitas dan menjadi acuan untuk menyusun perencanaan dan penganggaran desa berbasis data dan kebutuhan disabilitas secara lebih spesifik dan serius. Pemerintah desa juga menganggap ini sebagai bentuk perhatian khusus dan upaya untuk menghilangkan diskriminasi bagi disabilitas yang selama ini secara tidak sengaja terjadi dalam proses pembangunan desa. Sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Selain itu, Puskesmas juga menggunakan data disabilitas ini untuk merencanakan perawatan ke rumah penyandang disabilitas (home care) secara tepat sasaran.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Bone melalui Bappeda juga telah melakukan koordinasi dengan YASMIB dalam rangka mensinergikan pendataan disabilitas. Dalam rangka rencana perluasan dan pengembangan ke yang lebih tinggi, mekanisme dan sistem pendataan disabilitas YASMIB ini akan disinergikan dengan Sistem Data Desa dan Kelurahan (SDDK) yang selama ini telah dikembangkan oleh Bappeda, dan dikelola oleh Dinas Infokom. Rencananya, form/instrumen yang dimuat dalam SDDK akan disesuaikan dengan kuesioner yang dikembangkan oleh YASMIB. Dengan demikian, diharapkan SDDK akan memuat data disabilitas secara lengkap, baik dari segi ragam disabilitas maupun kebutuhan-kebutuhannya. Melalui sinergi ini, diharapkan pendataan disabilitas akan dilakukan di seluruh desa dan kelurahan di Kabupaten Bone.

Bila dicermati lebih lanjut, upaya pengembangan pendataan ini berpeluang besar untuk diwujudkan karena adanya payung hukum berupa Peraturan Daerah

66

(Perda) Kabupaten Bone No. 5 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, yang menyatakan bahwa salah satu hak penyandang disabilitas adalah hak pendataan. Dengan demikian, mengacu pada Perda ini maka menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pendataan secara komprehensif yang menyertakan penduduk lokal.

2.2.5 BAHTERA: SAID dan Partisipasi berbagai Pihak dalam Pendataan Disabilitas di 11 Desa di Kabupaten Sumba Barat

2.2.5.1 Proses dan Peran Aktor Pendataan disabilitas yang dikembangkan BAHTERA adalah bentuk

mainstreaming pendataan disabilitas terhadap mekanisme pendataan di tingkat desa yang telah dikembangkan sebelumnya. Sebelumnya, BAHTERA telah mengembangkan model pendataan di tingkat desa, kemudian sejak pelaksanaan Program Peduli Fase 1 BAHTERA mengintegrasikan isu dan kebutuhan disabilitas dalam model, instrumen serta metode pendataan yang sebelumnya telah mulai dikembangkan di 11 desa wilayah dampingannya. Tahapan pendataan dimulai dari proses pra pendataan, implementasi pendataan dan pasca pendataan. Proses pra pendataan dimulai BAHTERA dengan menyusun format pendataan yang kemudian didiskusikan di internal BAHTERA. Hasilnya adalah berupa format pendataan yang siap digunakan. Selanjutnya, dilakukan pembekalan kepada tim pelaksana pendataan, yang terdiri dari unsur organisasi penyandang disabilitas/DPO dan perangkat desa, termasuk di dalamnya adalah pelatihan mengenai Sistem Adminstrasi dan Informasi Desa (SAID).

Proses berikutnya adalah melaksanakan pendataan di 11 desa target. Sebelum itu, dilakukan uji coba instrumen pendataan terlebih dahulu. Hasil pendataan (Tahap I) ini kemudian ditabulasi oleh Tim Pendataan (perangkat desa, kader desa dan penyandang disabilitas) dalam format dokumen Excel dengan didampingi oleh BAHTERA. Hasil pendataan ini kemudian disampaikan ke Pemda untuk memperoleh masukan baik terkait dengan instrumen maupun tindak lanjut hasil dan temuan pendataan. Selanjutnya, dilakukan pendataan tahap II (update) yang hasilnya kemudian ditabulasi dan diintegrasikan ke dalam aplikasi Sistem Administrasi dan Informasi Desa (SAID).

Aplikasi SAID ini pada awalnya bernama Sistem Informasi Desa yang dikembangkan pada tahun 2013 dengan dukungan Program Access. Pada tahun 2015, dilakukan pengembangan dengan mengintegrasikan beberapa fitur administrasi desa sehingga namanya kemudian diubah menjadi Sistem Administrasi dan Informasi Desa (SAID). Aplikasi SAID ini juga sudah mengintegrasikan data

Inovasi Pendataan Disabilitas 67

disabilitas. Pada tahun 2015 itu juga, dikembangkan Sistem Administrasi dan Informasi Kelurahan (SAIK) dengan dukungan Program Peduli dan Lembaga Combine Institute sebagai pengembang (developer) aplikasi SAID & SAIK.

Pada saat penyusunan instrumen awal, pihak Pemda tidak terlibat. Namun, setelah Tim Pendataan melakukan ekspos ke Pemda, barulah OPD memberikan masukan terhadap instrumen yang disusun dan melakukan konfirmasi dan klarifikasi hasil pendataan yang disampaikan oleh BAHTERA.

Setelah pendataan dilakukan, data ini kemudian diadvokasi sebagai bahan pembuatan kebijakan. Data juga diadopsi oleh pemerintah daerah dalam bentuk program. Selanjutnya, model pendataan dilakukan perluasan dan pengembangan lebih lanjut.

Dalam proses pendataan disabilitas yang dilakukan oleh BAHTERA, pihak Dinas Sosial tidak begitu mengetahui detailnya. Demikian juga halnya dengan kelompok disabilitas karena pendataan dilakukan oleh tim desa. Perumusannya instrument pendataan, dilakukan dengan memadukan instrumen milik BAHTERA dan pemerintah. Instrumen pendataan yang dibuat oleh BAHTERA sudah memperhatikan kebutuhan lokal Sumba Barat. Sudah ada 6 kecamatan di 11 Desa kurang lebih untuk keseluruhan tahapannya membutuhkan waktu 5 bulan dari mulai persiapan, pelatihan SID, implementasi dan launching. Gambaran alur proses pendataan dapat dilihat pada gambar berikut.

68

Bagan 2.10 Alur Proses Pendataan di Sumba Barat

Tim pendataan memainkan peranan penting dalam inovasi pendataan ini. Tim ini terbentuk melalui proses membangun kesepahaman bersama pada saat acara sosialisasi tentang pendataan disabilitas. Peserta yang hadir pada acara sosialisasi itu kemudian berkomitmen dan bergabung untuk bersama-sama melaksanakan pendataan disabilitas dengan cara mengajukan diri untuk menjadi bagian dari tim. Peserta yang hadir terdiri dari unsur warga termasuk penyandang disabilitas. Kemudian, tahun 2016 membentuk dan berhimpun dalam forum disabilitas tingkat desa, kader desa yang direkrut oleh pemerintah desa untuk membantu program kerja desa, memiliki surat penugasan dari Kepala Desa, aparatur desa serta pegiat BAHTERA. Keterlibatan unsur pemerintah desa sebagai tim pendataan dimaksudkan agar tumbuh rasa memiliki dan perhatian dari desa terhadap proses pendataan dan hasilnya.

Proses pendataan juga diharapkan menjadi bagian dari desa dan dapat

Pra pendataan Implementasi Pasca pendataan

Mendesain Instrumen Pendataan

Uji coba Instrumen Pendataan

Data dimanfaatkan untuk kebijakan

(buy-in)

Mendiskusikan instrumen Pendataan

di internal

Tabulasi data bentuk file exel

Adopsi data oleh pemerintah daerah

berupa program

Pembekalan Tim Pendataan

Workshop Penyampaian Hasil Pendataan Tahap I

Update pendataan Tahap II

Perluasan dan Pengembangan

model Pendataan (scaling up)

Pelatihan SAID bagi Tim Pendataan

Perbaikan Instrumen (masukan dari

Pemda)

Data diintegrasikan ke dalam SAID

Inovasi Pendataan Disabilitas 69

berkelanjutan. Selain itu, pemahaman tentang pentingnya pendataan disabilitas yang dilakukan oleh warga setempat secara sungguh-sungguh akan menentukan kualitas data yang akan dihasilkan. Jika pendataan dilakukan bukan oleh warga setempat belum tentu dapat menggali data yang valid dan mendalam karena tidak mengetahui situasi penyandang disabilitas yang akan didata serta belum tentu mau mengungkap fakta kondisi sosial dan ekonomi penyandang disabilitas setempat. Sebaliknya, jika pendataan dilakukan oleh warga setempat kualitas data yang diperoleh lebih valid karena adanya kepercayaan (trust) kepada tim pendata yang merupakan warga setempat.

Gambaran proses pembentukan tim pendataan di tingkat desa dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 2.10 Proses Pembentukan Tim Pendataan di Desa

Pendataan awal dilakukan pada bulan Juni-Juli 2015 yang menyasar seluruh rumah tangga di desa. Pendataan berikutnya yang merupakan update dilakukan pada bulan Oktober-November 2016 dan bulan Juli-Agustus 2017 yang dilakukan khusus pada keluarga penyandang disabilitas. Ada penambahan dan pengurangan hasil dari update pendataan yang dilakukan. Penambahan jumlah disabilitas karena ada anggota keluarga yang mengalami kecelakaan sehingga menjadi disabilitas, atau karena tidak terdata pada pendataan sebelumnya. Sementara pengurangan jumlah disabilitas karena meninggal.

Pendataan dilakukan di 11 desa dampingan yang berlokasi di enam kecamatan, yaitu sebagai berikut.

Kegiatan sosialisasi program disabilitas

oleh Bahtera

Terbentuk Tim Pendataan Disabilitas

Mengundang Peserta Sosialisasi dari unsur SKPD, desa dan Warga

Implementasi proses pendataan

oleh tim pendataan

Secara sukarela peserta menyampaikan

komitmennya untuk terlibat dalam pendataan

Input ke dalam program aplikasi SAID (offline/

online) oleh Tim Pendataan di level desa

70

Tabel 2.5 Desa Dampingan Pendataan Disabilitas

No Nama Desa Kecamatan Kabupaten

1 Desa Taramanu Wanukaka Sumba Barat

2 Desa Weihura Wanukaka Sumba Barat

3 Desa Laboya Bawa Lamboya Sumba Barat

4 Desa Watukarere Lamboya Sumba Barat

5 Desa Harona kalla Laboya Barat Sumba Barat

6 Desa Bali Ledo Loli Sumba Barat

7 Desa Tanarara Loli Sumba Barat

8 Desa Tebara Kota Waikabubak Sumba Barat

9 Desa Kodaka Kota Waikabubaka Sumba Barat

10 Desa Elu loda Tanarighu Sumba Barat

11 Desa Kareka Nduku Utara Tanarighu Sumba Barat

Sumber: Yayasan BAHTERA NTT, 2017

Hasil pendataan memperlihatkan adanya peningkatan jumlah penyandang disabilitas dibanding data baseline yang dimiliki Dinas Sosial. Sebagai contoh, di Desa Haronakalla Kecamatan Lamboya, tahun 2015 jumlah disabilitas 8 orang. Setelah dilakukan update pendataan melalui SID tahun 2017 meningkat menjadi 26 orang.

Hasil pendataan memperlihatkan jumlah penyandang disabilitas bertambah pada tahun 2017 dibanding tahun 2016, yaitu:

Tabel 2.6 Jumlah Penyandang Disabilitas Hasil Pendataan

Tahun Jumlah Disabilitas Proporsi

2016 420 Orang laki-laki 232 dan perempuan 188

2017 498 Orang laki-laki 275 dan perempuan 223

2.2.5.2 Hasil dan Dampak PendataanBeberapa hasil, dampak, dan manfaat yang terjadi dari pendataan disabilitas ini

adalah sebagai berikut: 1. Terdatanya 420 disabilitas di 11 desa di Kabupaten Sumba, data dikelola

Inovasi Pendataan Disabilitas 71

dan berpusat di masing-masing desa dengan sistem SAID.2. Dinas Kesehatan berkomitmen dalam pemberian KIS untuk disabilitas

lebih diutamakan. Data yang dihasilkan menunjukkan 355 orang sudah mendapatkan KIS, sedangkan sejumlah 113 disabilitas masih belum mendapatkan (tahun 2016).

3. Teridentifikasinya warga, khususnya penyandang disabilitas yang tidak memiliki kelengkapan kartu identitas (seperti KTP, KK, dan Akta Kelahiran) sehingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melakukan intervensi untuk penyandang disabilitas agar memiliki dokumen kependudukan.

4. Data digunakan oleh Bappeda sebagai acuan bagi SKPD dalam merumuskan program/kegiatan, khususnya memperjelas indikator sasaran disabilitas yang menjadi tugas pokok fungsinya.

5. Hasil pendataan digunakan oleh KPU untuk validasi data yang ada di desa, terutama untuk menghindari pemilih ganda, dan dimanfaatkan oleh panitia pemilihan kepala desa sebagai data pendamping dari data pemilih yang ada.

6. Ditetapkannya Peraturan Desa tentang Disabilitas di 11 desa lokasi pendataan dan dialokasikannya Dana Desa untuk program dan sasaran penyandang disabilitas yang telah tervalidasi.

7. Diperolehnya data jumlah dan kondisi disabilitas di desa yang nyata dan mutakhir.

8. Pihak desa turut serta menjadi bagian dari proses pendataan disabilitas sehingga dapat memastikan keberlanjutan pendataan menjadi bagian dari program desa.

9. Penyandang disabilitas mulai terlibat dalam musrenbang desa dan ikut memberikan suara pada pemilihan kepala daerah dan kepala desa.

10. Hasil pendataan digunakan oleh Dinas Sosial sebagai data pendamping dari data yang dimilikinya, khususnya untuk memastikan sasaran penerima manfaat dari program/kegiatan yang ada di Dinas Sosial sehingga penyandang disabilitas mendapatkan manfaat langsung berupa bantuan sosial, pendidikan, dan pelatihan. Pelatihan yang pernah diterima oleh warga penyandang disabilitas adalah pelatihan perbengkelan, pelatihan menenun, pelatihan pengolahan makanan, dan lain-lain. Sementara pada kegiatan sosial, warga

“Kalau ingin desa kita maju, kita harus membangun dari

kita sendiri, termasuk dengan cara menyumbangkan data”

Daud Katago, Ketua Forum Ayi Ate.

72

disabilitas menerima bantuan paket sembako dari pemerintah daerah. Selain itu, ada pemberian kusi roda bagi disabilitas, termasuk disabilitas dampingan BAHTERA (11 desa).

11. Dinas Sosial bekerja sama dengan Dinas Kesehatan provinsi, menyelenggarakan pelayanan kesehatan sekaligus memberikan bantuan kursi roda bagi disabilitas (berlokasi di Kabupaten SBD, 3 desa). Kemudian, bekerja sama dengan koperasi melalui Dinas Sosial Kabupaten Sumba Barat karena koperasi memiliki progam CSR.

12. Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk memberikan alat-alat bagi penyandang disabilitas. Kemudian, Dinas Kesehatan Kabupaten melakukan pemeriksaan kesehatan gratis. Selain itu, Dinas Sosial mengalokasikan anggaran bagi disabilitas untuk beternak, pembangunan rumah dan peningkatan kapasitas disabilitas.

13. Tumbuhnya kepercayaan diri, kepedulian, dan motivasi dari penyandang disabilitas dalam bentuk interaksi dan berpartisipasi dalam proses pendataan serta meningkatnya dukungan dari keluarga terhadap penyandang disabilitas untuk terlibat dalam proses pendataan.

14. Data disabilitas yang ada pada SAID dapat diintegrasikan menjadi sistem satu data di tingkat Kabupaten Sumba Barat yang dapat diakses baik secara offline maupun online.

2.2.5.3 Faktor Pendukung Beberapa faktor pendukung terwujudnya inovasi pendataan ini adalah adanya

dukungan dari pemerintah daerah yaitu Bupati yang diperlihatkan pada saat peluncuran pendataan berbasis SID. Dukungan Bupati ini diperoleh sebagai hasil hubungan yang telah lama dijalin antara BAHTERA dengan Pemda. Dukungan juga datang dari pemerintah desa melalui penetapan regulasi desa tentang disabilitas.

Faktor lainnya adalah kerja keras tim pendataan yang berasal dari warga setempat dan kesediaan warga masyarakat untuk memberikan data yang dibutuhkan. Meski awalnya enggan karena banyak pihak yang telah meminta data kepada masyarakat tanpa menjelaskan manfaat dan tindak lanjutnya. Dukungan dari pengembang aplikasi yaitu Combine juga menentukan kesuksesan inovasi pendataan ini.

Inovasi Pendataan Disabilitas 73

Pihak Pendukung Bentuk Dukungan

Pemerintah (Kepala Daerah)

Bappeda

Dinas

Kesehatan

Dinas Sosial

• Komitmen dari Kepala Daerah untuk penyandang disabilitas.

• Mendukung perlindungan bagi disabilitas dengan memasukkannya dalam RPJMD, yakni pembangunan kesejahteraan sosial.

• Menunjukkan komitmen dengan rencana menerbitkan Peraturan Bupati tentang Perlindungan bagi Penyandang Disabilitas

• Menyusun program dan kegiatan bagi disabilitas di masing-masing OPD dan melakukan perbaikan layanan bagi penyandang disabilitas

NGO Bahtera Melakukan pendampingan dan pemberdayaan kepada penyandang disabilitas melalui program yang dilaksanakan dan pegiatnya yang bekerja secara sungguh-sungguh untuk mendampingi penyandang disabilitas.

Keluarga Mulai terbuka dan mendukung, meski awalnya enggan terlibat.

2.2.5.4 TantanganPada awalnya sempat muncul keraguan dari warga masyarakat tentang

pendataan karena adanya persepsi bahwa data-data yang dikumpulkan tentang kondisi warga miskin dan penyandang disabilitas hanya komoditas semata. Selain itu, selama ini pendataan dipersepsikan untuk mendapatkan bantuan materi/karitatif dari pemerintah. Namun, setelah dijelaskan maksud dan tujuan dilakukannya pendataan oleh BAHTERA, persepsi masyarakat mulai berubah dan relatif terbuka terhadap tim pendataan.

Tantangan berikutnya adalah terbatasnya kapasitas, pengetahuan dan keterampilan Tim Pendata mengenai proses pendataan dan aplikasi SAID. Tidak semua anggota tim pendataan memiliki pemahaman dan kecakapan yang sama dalam melaksanakan proses pendataan, tetapi di setiap desa memiliki anggota tim yang memiliki kapasitas untuk mendata. Hal ini mengakibatkan konsolidasi data memerlukan waktu yang lebih panjang. Transfer pengetahuan antarwarga yang pernah dilatih juga belum merata. Terkadang BAHTERA harus mengulang hal-hal yang pernah dilatihkan karena desa yang awalnya memiliki SDM yang mampu mengoperasikan SAID, kemudian pindah dan belum ada personil lain yang mampu melakukan updating data. Selain itu, sarana dan prasarana (perangkat keras dan lunak) untuk mendukung sistem SAID ini masih terbatas, terutama ketersediaan komputer dan supply listrik, khususnya di beberapa desa belum dialiri listrik.

74

Tantangan lainnya adalah adanya persepsi dari beberapa OPD/SKPD bahwa data disabilitas adalah urusan Dinas Sosial semata sehingga kegiatan pendataan disabiltas relatif kurang mendapat perhatian dari OPD lainnya.

2.2.5.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas Secara umum, penyandang disabilitas terlibat dalam hampir semua proses

pendataan yang dilakukan BAHTERA di Kabupaten Sumba Barat. Berbagai bentuk partisipasi disabilitas ini dimulai dari awal perencanaan pendataan yang kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi mengenai kegiatan pendataan disabilitas ini kepada masyarakat. Pada sosialisasi pendataan disabilitas, di saat yang sama pula masyarakat mendapat informasi dan pemahaman tentang ke disabilitasan.

Keterlibatan penyandang disabilitas berlanjut pada tahap pembekalan bagi tim pendataan, pelatihan pendataan, pelaksanaan pendataan, mengusulkan dan mengawal usulan program bagi penyandang disabilitas, dan terlibat aktif dalam diskusi hasil pendataan dengan para pemangku kepentingan.

Hal menarik dari keterlibatan disabilitas tersebut adalah disabilitas yang tadinya pasif sudah mau dan mampu berpartisipasi langsung pada proses pendataan, tidak lagi malu berhimpun dengan warga masyarakat lainnya dan terlibat dalam pengawalan usulan program kepada pemerintah.

2.2.5.6 Penerimaan dan Rencana Pengembangan Pemerintah kabupaten dan desa menyambut positif hasil pendataan disabilitas

yang dilakukan BAHTERA. Hal ini terlihat dari tindak lanjut yang dilakukan setelah kegiatan pendataan dilakukan, yaitu Dinas Sosial Kabupaten menggunakan data disabilitas untuk menentukan sasaran penerima manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan, seperti menjadi peserta pelatihan perbengkelan, menenun, dan pengolahan makanan. Untuk penerima bantuan sosial berupa sembako dari pemerintah daerah, dan bantuan kursi roda (bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan koperasi). Bappeda menggunakan data disabilitas sebagai panduan perencanaan bagi desa dan Dinas Kesehatan menggunakan data tersebut untuk bahan pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sementara itu, pemerintah desa mengalokasikan bantuan bagi masyarakat disabilitas melalui anggaran desanya, terutama 11 desa dampingan program BAHTERA.

Pada pertengahan tahun 2017, penerimaan pemerintah daerah juga terlihat dari respon Bappeda dan Dinas Sosial yang meminta BAHTERA untuk mengembangkan SAID menjadi instrumen pendataan satu pintu di tingkat kabupaten agar diperoleh data yang riil dan akurat. BAHTERA menyiapkan SDM untuk pengembangannya

Inovasi Pendataan Disabilitas 75

dan Pemerintah Kabupaten menyediakan anggarannya. Sebenarnya Dinas Sosial telah menerapkan sistem Basis Data Terpadu (BDT) yang berlaku secara nasional. Namun, karena melihat SAID bermanfaat maka kedua sistem itu akan diintegrasikan. Melalui integrasi ini diharapkan 63 desa akan memiliki SAID yang terhubung langsung dengan basis data yang ada di kabupaten dan memiliki hubungan (link) dengan OPD-OPD Kabupaten yang bermanfaat ketika OPD hendak mengembangkan program atau kegiatan. Upaya ini juga didukung oleh Bupati pada acara sosialisasi Program Peduli dan workshop stakeholder. Bupati meminta secara langsung kepada pemerintah desa mengalokasikan dana desa untuk kebutuhan penyandang disabilitas, termasuk keberlanjutan pendataan disabilitas.

Pada 2017 juga dilaksanakan pelatihan SAID di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Loli dan Waikabubak yang biayanya dianggarkan melalui APBD Perubahan 2017. Kemudian, tahun berikutnya akan diimplementasikan SAID di seluruh desa di dua kecamatan tersebut. Sebelumnya, Kecamatan Waikabubak juga telah melakukan pelatihan SAID bagi desa-desa di wilayahnya dengan pembiayaan dari alokasi anggaran kecamatan.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMDES) Kabupaten pada tahun 2018 juga turut ambil bagian dengan merencanakan pelatihan bagi pendamping desa di tingkat kecamatan agar memiliki kemampuan mengoperasikan SAID bagi desa yang telah menerapkannya. Desa yang belum menerapkan SAID, BPMDES menginstruksikan kepada pendamping desa untuk mendorong Pemerintah desa setempat melakukan pendataan, dan mengimplementasikan SAID. Melalui penggunaan SAID, diharapkan semua desa memiliki basis data dan informasi administrasi desa yang lengkap. Pendampingan oleh pendamping desa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perangkat desa, yang saat ini dianggap masih kurang mampu dalam mengoperasikan komputer. Jadi, selain membangun sistem administrasi dan informasi, sekaligus membangun kapasitas perangkat desa dalam menjalankan sistem tersebut.

Namun demikian, komitmen pemerintah dalam mengembangkan inovasi SAID perlu didukung dengan regulasi yang lebih kuat. Saat ini, telah terbit Peraturan Desa tentang penyandang disabilitas di sebelas desa yang telah menerapkan SAID, tetapi di tingkat kabupaten belum ada regulasi yang memayunginya. Peraturan Bupati tentang penyandang disabilitas baru akan ditetapkan pada November 2017. Regulasi ini akan semakin memperkuat komitmen tersebut, selain juga dapat memperkuat justifikasi bagi Pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya.

Pihak desa akan terus didorong oleh forum disabilitas di tingkat desa untuk terus

76

mengimplentasikan dan mengembangkan SID karena aliran listrik akan sudah sudah merata di tahun 2018. Desa juga bisa melakukan pengadaan komputer dan perangkat lainnya yang dibutuhkan karena saat ini SID masih berupa data mentah dan offline.

Ide pengembangan dan penerapan pendataan ini sangat baik jika semua desa yang ada di Sumba Barat sudah melakukan SID dengan sendirinya akan beranjak ke kecamatan, begitu juga akan sampai ke level Kabupaten. SAID ini sebaiknya diterapkan di semua desa, atau bisa dibuat kompetisi implementasi SAID, sedangkan desa dengan inplementasi SAID terbaik akan dijadikan desa percontohan dan mendapat dukungan tambahan dari pemerintah kabupaten. Apalagi Pemerintah khususnya beberapa SKPD mendorong implementasi SAID dilakukan juga oleh pihak kecamatan karena SKPD melihat manfaat langsung dari program ini.

2.2.6 PATTIRO: Aksi Kolektif Pendataan Disabilitas di Kabupaten Lombok Barat

2.2.6.1 Proses dan Peran Aktor Pada awalnya, intervensi yang dilakukan oleh PATTIRO terfokus pada isu

pelayanan kesehatan. Namun, hasil baseline survey yang selama 3 bulan dan ditemukan sangat banyak warga disabilitas yang tidak memiliki identitas kependudukan. Selain itu, isu ini juga muncul dalam diskusi-diskusi rutin yang dilakukan komunitas disabilitas bahwa warga disabilitas tidak dapat mengakses layanan kesehatan dikarenakan tidak memiliki identitas kependudukan. Untuk menindak lanjuti berbagai masalah tersebut diperlukan data lebih pasti tentang jumlah dan situasi disabilitas. Di sisi lain, saat tim PATTIRO meminta data mengenai penyandang disabilitas ke Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat, data yang diterima tidak lengkap. Data disabilitas yang dimiliki hanya berisi data disabilitas penerima bantuan saja, yaitu data Orang Dengan Kecacatan Berat (ODKB). Informasi mengenai kondisi keragaman disabilitas atau jumlah atau kondisi keseluruhan disabilitas tidak ada. Kategori yang digunakan lebih menyasar kepada kriteria kemiskinan dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan jumlah yang terdata sesuai dengan kuota penerima bantuan sebagai PMKS saja.

Keterbatasan sumber daya menjadi salah satu faktor tidak adanya pendataan yang menyeluruh terhadap penyandang disabilitas. Akhirnya, muncul inisiasi Aksi kolektif pendataan sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. Inisiasi inilah awal mula dilakukannya inovasi pendataan disabilitas secara menyeluruh dan partisipasi di dua kecamatan wilayah intervensi PATTIRO di Lombok Barat.

Inovasi Pendataan Disabilitas 77

Gambar 2.13 Kartu BPJS Untuk disabilitas yang baru terdata di Lombok Barat

Dalam teknis pelaksanaannya dan meningkatkan validitas data, pendataan dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur dari kelompok disabilitas, TKSK dan kader. Pendataan kolektif ini dimulai dengan menggunakan data dari Dinas Sosial tersebut sebagai data awal.

Melalui beberapa diskusi dengan penyandang disabilitas, disepakati untuk memodifikasi kuesioner pendataan dari Dinas Sosial dalam rangka mengakomodasi penyandang disabilitas secara menyeluruh dan tidak hanya ODKB (Orang Dengan Disabilitas Berat) dengan nama dan alamat penyandang disabilitas (by name by address), ragam disabilitas, hobi, olahraga yang diminati, keahlian dan keterampilan yang dimiliki, serta kebutuhan khusus penyandang disabilitas, sesuai usulan para peserta diskusi. Informasi ini perlu masuk ke pendataan agar ada data yang lengkap karena hal ini diperlukan supaya disabilitas dapat diarahkan kepada pelatihan atau pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.

Pada diskusi-diskusi tersebut juga muncul lagi keluhan dan harapan tentang sebagian penyandang disabilitas tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan karena tidak memiliki identitas kependudukan. Pendataan ini diharapkan dapat memberi jalan keluar dari masalah tersebut. Setelah melalui beberapa kali diskusi dengan dua organisasi kelompok disabilitas dampingan, yaitu Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak (KDLB) dan P3D (Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas), disepakatilah alur dan siapa saja yang akan dilibatkan untuk melakukan aksi pendataan.

Pihak yang akan terlibat langsung antara lain penyandang disabilitas sendiri, kader posyandu dan TKSK. Setelah mendapatkan pembekalan terutama terkait

78

i n s t r u m e n / k u e s i o n e r pendataan maka pendata/surveyor langsung terjun ke tiap desa sembari menunjukkan rekomendasi dari Dinas Sosial untuk

melakukan pendataan disabilitas. Kepala desa kemudian menunjuk kepala dusun untuk menemani surveyor ke rumah-rumah penyandang disabilitas di desa tersebut. Metode pendataan dengan cara langsung mendatangi rumah para penyandang disabilitas dilakukan agar data yang diperoleh valid. Informasi tentang keberadaan disabilitas di beberapa dusun sebagian besar diperoleh dari informasi warga, kemudian ditelusuri dan didatangi oleh surveyor.

Hasil pendataan disabilitas ini kemudian disampaikan kepada pemerintah kabupaten terutama OPD-OPD terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan dilanjutkan dengan audiensi kepada OPD-OPD terkait. Hasil pendataan mengidentifikasi jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.073 orang yang terdiri dari 616 laki-laki dan 457 perempuan.

Proses yang dilakukan adalah modifikasi dari kuesioner pendataan Dinas Sosial yang sudah ada, kemudian direvisi sesuai kebutuhan. Metode pendataannya yaitu langsung mencari dari rumah ke rumah disabilitas sehingga data yang terima cukup valid. Keterlibatan semua unsur membuat pendataan lebih mudah dilakukan. Salah satunya adalah pemerintah desa, ketika kelompok disabilitas mendata, pemerintah desa turut membantu menunjukkan rumah disabilitas. Selain itu, strategi yang digunakan untuk melakukan pendataan adalah dibuat 8 titik simpul dan di masing-masing titik ada 4 desa sehingga pendataan bertambah

Gambar 2.14 Daftar Penerima Kartu BPJS PBI untuk disabilitas yang baru terdata

Inovasi Pendataan Disabilitas 79

di 2 kecamatan Sigerongan dan Parampuan yang berada di luar wilayah intervensi PATTIRO.

Data yang dihasilkan dari pendataan ini dipakai Dinas Sosial untuk menyalurkan bantuan sosial bagi penyandang disabilitas dan masalah PMKS pada umumnya. Hal ini dilakukan dalam rangka mengefektifkan bantuan sosial ke penyandang disabilitas sehingga semua bantuan yang diberikan menyeluruh dan menyentuh semua lapisan masyarakat.

Bagan 2.12 Alur Pemakaian Data oleh Dinas Sosial dalam Penyaluran Bantuan Sosial

Inovasi ini dilakukan dalam rangka memecahkan masalah data disabilitas yang selama tidak lengkap, jumlah mereka berapa banyak belum jelas karena statusnya hanya angka bukan by name by adress, apa kebutuhan mereka, dan keahlian apa yang mereka miliki untuk menunjang pekerjaannya.

Sumber dana dari PATTIRO (bagian dari Program Peduli), sumber daya manusia dari relawan, kader posyandu, kelompok disabilitas

• Pengumpulan data awal dari beberapa sumber

• Verifikasi data• Validasi data

Terkumpul data disabiltas dengan valid sebanyak 1.073 yang terdiri dari 616 laki-laki dan 457 perempuan.

Setelah adanya data, Dinsos, Dinkes, dan Dindik dapat menganggarkan untuk bantuan sosial, dan untuk program penyandang disabilitas.

Dinas sudah menganggarkan untuk program Peduli Disabilitas. Contohnya, pelatihan keterampilan, pemberian dan alokasi BPJS bagi disabilitas yang terdata, Disabilitas mendapat kartu indentitas, dasar untuk pengembangan RPRD.

1. Input 2. Tahapan 3. Output 4. Tindak Lanjut 5. Dampak

80

Bagan 2.13 Tahapan Pendataan PATTIRO di Kabupaten Lombok Barat

Kerja sama para pihak dalam pendataan ini terbukti bermanfaat, seperti ketika dilakukan pendataan, pemerintah desa turut membantu dengan menunjukkan rumah-rumah penyandang disabilitas. Selain pemerintah desa, berikut adalah beberapa aktor yang berperan dalam inovasi pendataan disabilitas di Kabupaten Lombok Barat.

Tabel 2.7 Peran Para Aktor dalam Pendataan di Lombok Barat

No Aktor Nama Institusi/organisasi

/nama orang

Peran

1 Pemerintah Desa

Puskesmas

Memfasilitasi mitra kerja/pendata dalam pelaksanaan pendataan.Mengolah data yang diperoleh dalam rangka menyusun program di bidang kesehatan bagi penyandang disabilitas.

PATTIRO dan kelompok disabilitas melakukan rapat

untuk menyusun strategi inovasi

Koordinasi dengan Dinas Sosial

Meminta data dari Dinas Sosial

Kompilasi data dari masing-masing

surveyorAdvokasi pendataan

Analisa data Dinas Sosial, karena tidak lengkap. Dilakukan pertemuan

dengan stakeholder untuk merumuskan instrumen

Workshop surveyor, dilanjutkan dengan

pentaan yang dilakukan secara kolektif

Input data

Memberikan hasil final data ke Dinas Sosial, Dinkes dan Dukcapil

Inovasi Pendataan Disabilitas 81

2 Kelompok/organisasi disabilitas

Kelompok disabilitasPPDI

Mendata disabilitas secara langsung, sehingga data yang diperoleh lebih valid.Memfasilitasi penyandang disabilitas untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya.

3 Penyandang disabilitas

FauzanAzis

Mendata disabilitas secara langsung sehingga data yang diperoleh lebih valid

4 Keluarga penyandang disabilitas

- Mendukung proses pendataan dengan memberikan data yang diminta surveyor/pendata dan mendampingi penyandang disabilitas yang didata.

- Mendukung dan turut memotivasi keluarga disabilitas lain pada proses pendataan

3 Masyarakat Mendukung proses pendataan

5 NGO PATTIRO Memfasilitasi pembentukan inovasi pendataan dengan memodifikasi instrumen pendataan dan pembekalan surveyor dan analisis data.

6 Masyarakat Mendukung proses pendataan, dengan menunjukkan rumah penyandang disabilitas.

7 Fasilitator/pendamping

Pendamping untuk ODKBDinkes

Memberikan arahan dari mulai sistem pendataan dan kebutuhan dari penyandang disabilitas.

2.2.6.2 Hasil dan Dampak PendataanDampak dari pendataan yang dilakukan adalah meningkatkan rasa percaya diri

penyandang disabilitas karena ternyata mampu bekerja sama dengan stakeholder lain dalam kegiatan pendataan dan hasilnya dapat dinikmati oleh disabilitas lainnya.

Dampak lainnya adalah masyarakat menjadi lebih memahami dan menerima keberadaan disabilitas. Pendataan ini juga menjadi proses sosialisasi sekaligus pembelajaran bagi kelurga disabilitas yang sebelumnya relatif sangat protektif

82

terhadap anak atau anggota keluarganya yang disabilitas. Hasil dan dampak pendataan di antaranya:

1. Terkumpul data disabilitas terpilah usia, jenis kelamin, kepemilikan jaminan sosial, pendidikan, jenis kedisabilitasan, dan hobi serta keterampilan yang dimiliki sebanyak 1.073 yang terdiri dari 616 laki-laki dan 457 perempuan dengan ruang lingkup Kecamatan Lingsar dan Labuapi di Kabupaten Lombok Barat.

2. Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil memfasilitasi penerbitan kartu identitas (Kartu Keluarga atau KTP) bagi disabilitas yang terdata tetapi belum memiliki Kartu Identitas Kependudukan.

3. Dinas Kesehatan menindaklanjuti hasil pendataan dengan menerbitkan Kartu JKN PBI bagi 280 penyandang disabilitas.

4. Dinas Sosial menggunakan data disabilitas sebagai dasar dalam memberikan bantuan berupa 5 kursi roda, 10 kruk, dan 10 alat bantu dengar.

5. Dinas Sosial memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi kelompok disabilitas dengan membiayai beberapa penyandang disabilitas yang mengikuti pelatihan keterampilan di Kota Solo.

6. Pemerintah Kabupaten menyusun Rancangan Peraturan Bupati tentang pendidikan dan kesehatan inklusi sebagai komitmen untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.

7. Keluarga disabilitas yang tadinya menyembunyikan anggota keluarganya menjadi lebih terbuka karena melihat dan merasakan langsung pendataan disabilitas.

8. Berbagai proses dalam pendataan disabilitas memberikan pemahaman tentang isu disabilitas kepada semua pihak yang terlibat, termasuk disabilitas sendiri dan perwakilan tokoh masyarakat seperti kepala desa dan aparat pemerintah lain.

9. Terjadi peningkatan kapasitas dan pemahaman terkait isu disabilitas pada keluarga disabilitas dan disabilitas sendiri.

10. Tumbuhnya kepercayaan diri dan kesadaran untuk berorganisasi pada disabilitas yang ikut terlibat dalam proses pendataan karena komunikasi yang intens dengan tim dan sesama disabilitas menjadikan mereka saling bisa memberi dukungan.

11. Proses pendataan yang dilakukan dengan pendekatan khusus turut melahirkan beberapa champion baru dari disabilitas yang pada kelanjutannya aktif dalam memperjuangkan hak disabilitas. Misalnya,

Inovasi Pendataan Disabilitas 83

seorang disabilitas netra bernama Juhairiyah dari Kecamatan Labuapi, sebelum didata dan diajak kelompok disabilitas untuk beraktivitas dalam kelompok, dia hampir tidak pernah keluar rumah dan sempat mengalami depresi. Namun, kemudian menjadi salah satu anggota yang aktif menidak lanjuti temuan pendataan.

2.2.6.3 Faktor Pendukung Beberapa faktor pendukung terwujudnya

inovasi pendataan disabilitas antara lain:• Pendataan disabilitas ini sesuai dengan

program Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Sosial.

• Kuatnya komitmen, motivasi dan semangat dari kelompok disabilitas di dua kecamatan dampingan.

• Adanya aparatur yang reformis di OPD-OPD. • Dukungan dari keluarga disabilitas yang membantu dan memfasilitasi

keluarganya yang terlibat dalam kegiatan pendataan.

2.2.6.4 TantanganBeberapa tantangan yang dihadapi dalam pendataan disabilitas ini antara lain:a. Jumlah dan kemampuan enumerator yang terbatas, termasuk sebagian

enumerator yang belum memiliki pengalaman di lapangan sehingga memerlukan pendampingan aktif selama melaksanakan tugas pendataan dan mengakibatkan waktu yang lebih panjang dalam melaksanakan pendataan.

b. Adanya prioritas yang ditetapkan dalam pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 untuk melibatkan penyandang disabilitas, terutama disabilitas perempuan. Sementara itu, ada tantangan kondisi geografis yang menyulitkan surveyor, terutama bagi surveyor yang merupakan penyandang disabilitas.

c. Mutasi pejabat atau peralihan jabatan di pemerintahan daerah mengakibatkan upaya untuk mendorong kebijakan mengenai pemenuhan hak disabilitas terhambat.

“Data disabilitas digunakan sebagai dasar untuk memberikan

pelayanan kepada penyandang disabilitas. Salah satunya adalah

pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS)”

Kholid, Ketua Pusat Pengembangan Potensi

Disabilitas (P3D) Lombok Barat.

84

2.2.6.5 Partisipasi Penyandang Disabilitas Keterlibatan disabilitas dalam inovasi pendataan yang dilakukan PATTIRO

dimulai dari tahap perencanaan, perumusan, implementasi dan advokasi. Partisipasi disabilitas ini banyak diwakili oleh Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D) dan Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak (KDLB) yang merupakan dampingan PATTIRO.

Pendataan dilakukan secara kolektif dan partisipatif dengan melibatkan semua unsur, yaitu kelompok disabilitas, kader posyandu, TKSK, dan organisasi penyandang disabilitas.

Berikut adalah gambaran partisipasi disabilitas dalam pendataan.

Bagan 2.14 Partisipasi Disabilitas dalam Pendataan PATTIRO di Lombok Barat

2.2.6.6 Penerimaan dan Rencana PengembanganPenerimaan pemerintah daerah relatif positif karena dari awal inovasi ini sudah

melibatkan aparatur pemda pada hampir semua tahapan, dan saat hasil pendataan ini sudah didapatkan bisa dengan cukup mudah diterima (buy in). Penerimaan hasil pendataan ini terlihat dari digunakannya hasil pendataan disabilitas oleh

Perencanaan

Advokasi

Implementasi

Tindak Lanjut

Melakukan pendataan secara kolektif

1. Audiensi dengan Dinkes

2. Advokasi jaminan kesehatan

1. Koordinasi dan meminta

data oleh Dinsos2. Mengusulkan

pendataan disabilitas3. Perumusan instrumen

1. Rekapitulasi data2. Input data

3. Menyerahkan data kepada OPD

terkait

Inovasi Pendataan Disabilitas 85

beberapa OPD sebagai acuan untuk menentukan kebijakan. Implikasinya, hak-hak penyandang disabilitas dapat terpenuhi.

Meskipun sudah terbit UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang di dalamnya memuat ketentuan tentang hak pendataan bagi disabilitas membuka peluang mekanisme pendataan disabilitas ini untuk dikembangkan secara nasional, tetapi hingga saat ini belum ada rencana spesifik untuk perluasan dan mengembangkan inovasi pendataan ini baik oleh pemerintah maupun PATTIRO.

Apabila inovasi pendataan yang dilakukan ini ingin dikembangkan ke skala nasional maka dapat dikembangkan dengan menyertakan kelompok penyandang disabilitas. Hal itu terbukti karena kelompok penyandang disabilitas dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan pendataan. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan wadah bagi para penyandang disabilitas sehingga komunikasi dengan Pemerintah menjadi mudah.

86

BAB III

ANALISIS DAN MODEL INOVASI PENDATAAN DISABILITAS

3.1 Analisis Proses dan Hasil Pendataan disabilitas yang dilakukan oleh mitra Program Peduli di enam lokasi

dapat dianalisis dari beberapa aspek, yaitu proses yang dijalani, dampak yang terjadi, peran aktor, faktor pendukung, tantangan yang dihadapi serta perspektif gender dalam pendataan. Berbagai aspek tersebut akan diuraikan satu persatu berikut ini.

3.1.1 Proses PendataanPraktik pendataan disabilitas yang dilakukan Mitra Program Peduli Pilar

Disabilitas Fase 1 memperlihatkan beberapa proses yang mengarah pada hal baru atau pembaruan proses yang mengarah pada inovasi. Beberapa hal baru itu antara lain terkait mekanisme pendataan khusus disabilitas, bentuk dokumen, instrumen pendataan, teknis pendataan, kartu identitas bagi penyandang disabilitas dan partisipasi masyarakat. Hal ini kemudian dikelompokkan dalam beberapa unsur inovasi, yaitu inovasi proses dan peran aktor pendataan, dampak pendataan, faktor pendukung dan penghambat pendataan, serta partisipasi penyandang disabilitas. Inovasi yang dikembangkan dari setiap lembaga Mitra Peduli memiliki kekhasan baik pendekatan dan strategi yang dikembangkan. Pendekatan dan strategi tersebut meskipun berbeda tetapi memiliki alur dan proses yang hampir sama. Ada benang merah yang saling berhubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.

Praktik pendataan disabilitas yang dilakukan enam Mitra Peduli ini dikaji dengan tujuan terjadinya perubahan dari para pihak dalam rangka pemenuhan hak dan perbaikan layanan bagi penyandang disabilitas. Upaya pemenuhan dan perbaikan layanan tersebut diharapkan bisa berkorelasi positif pada perbaikan kebijakan pendataan disabilitas di tingkat nasional. Gambaran umum dari tujuan atas pendekatan dan strategi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Inovasi Pendataan Disabilitas 87

Bagan 3.1 Proses, Pendekatan, dan Strategi

3.1.2 Dampak Pendataan di MasyarakatHasil pendataan dan proses yang dilakukan Mitra Peduli memberikan dampak

baik langsung maupun tidak langsung kepada pemberian pelayanan publik yang dirasakan oleh penyandang disabilitas. Dampak ini makin terasa ketika hasil temuan ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah baik melalui program pendataan lanjutan, program bantuan secara langsung, program afirmasi, maupun perencanaan program yang akan dilaksanakan pada periode berikutnya.

Dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas, pendataan disabilitas adalah salah satu pintu masuk menyelesaikan dan menyelaraskan berbagai macam persoalan data dan pelayanan publik yang belum tepat sasaran. Terdapat korelasi positif antara pendataan dan pelayanan publik. Semakin baik data yang dihasilkan dari pendataan disabilitas maka semakin baik pula perencanaan pelayanan publik dengan sasaran penyandang disabilitas. Begitupun sebaliknya, jika data yang dihasilkan tidak melalui pendataan yang baik maka sasaran pelayanan publik yang direncanakan sulit untuk diwujudkan secara tepat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pendataan disabilitas juga membawa dampak berupa dilakukannya pengarusutamaan (mainstreaming) pemenuhan hak disabilitas pada beberapa program dan kegiatan pemerintah daerah dan unit pelayanan. Dampak lainnya adalah adanya upaya pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi dan penyelarasan data yang selama ini dimilikinya.

Bagaimana Pengaruh

Pendataan?

Data yang Kredibel

Peningkatan Kualitas

Layanan Publik

1. Kesehatan2. Pendidikan3. Kesejahteraan

Sosial4. Adminduk

Peningkatan Proses

Perencanaan dan

Penganggaran

Program/kegiatan yang terencana dan teranggarkan

88

Bagan 3.2 Dampak Pendataan Disabilitas

Inovasi pendataan ini juga telah membuka mata para pemangku kepentingan bahwa pendataan disabilitas bukan sekadar kegiatan mengumpulkan data, tetapi lebih dari itu memperlihatkan adanya sekelompok warga (penyandang disabilitas) yang tidak memperoleh pelayanan publik karena data yang ada selama ini tidak memperlihatkan keberadaannya, serta menekankan pentingnya pelibatan para pihak dan pembagian peran antar pihak tersebut dalam rangka menindaklanjuti data yang dihasilkan untuk memastikan warga penyandang disabilitas dapat terpenuhi hak-haknya.

Secara umum, kegiatan pendataan disabilitas yang dilakukan oleh Mitra Peduli dapat dikatakan memberikan kontribusi terhadap pembangunan inklusif di wilayahnya masing-masing. Hal ini setidaknya terlihat dari digunakannya data yang dihasilkan sebagai bahan dalam penyusunan rencana program, kegiatan dan anggaran dari pemerintah kabupaten/kota (dalam hal ini OPD terkait, seperti Dinas Sosial) dan perencanaan dan penganggaran pemerintah desa.

Selain itu, data disabilitas juga digunakan secara langsung oleh OPD dan unit layanan untuk memastikan pelayanan publik dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas melalui perbaikan sarana dan prasarana fisik, seperti handrail, ramp, dan perbaikan sikap petugas pelayanan dalam melayani penyandang disabilitas. Secara khusus, praktik pendataan yang dilakukan oleh Mitra Peduli memiliki mekanisme, konteks sosial, dan pemerintahan yang relatif berbeda satu sama lain sehingga tingkat kontribusi yang diberikan terhadap pembangunan inklusif juga beragam.

Inovasi Pendataan

Langsung

Dampak ManfaatMainstreaming

Tidak Langsung

Pemenuhan Hak Disabilitas

secara Langsung

1. Kartu Disabilitas2. Layanan Afirmasi3. Program/Kegiatan4. Disabilitas Terlibat dlm

proses pembangunan

1. Data dimanfaatkan dan ditindaklanjuti oleh OPD dan stakeholder lain.

2. Kebijakan dan anggaran bagi disabilitas

Sinkronisasi dan Penyela-

rasan Data

Inovasi Pendataan Disabilitas 89

3.1.3 Peran Aktor dalam Kohesi SosialPeran aktor dalam pendataan memperlihatkan siapa melakukan apa. Peran

aktor ini menunjukkan pentingnya kepedulian dan berbagi tanggung jawab antaraktor. Peran aktor dan besarnya peran digambarkan pada diagram berikut ini.

Bagan 3.3 Peran Aktor Pendataan Disabilitas

Gambar peran aktor di atas memperlihatkan para aktor yang terlibat dalam kegiatan pendataan memiliki hubungan satu sama lain. Pemerintah dan DPO pada diagram di atas memiliki peran besar dalam proses pendataan. Aktor lain yang memiliki peran besar adalah CSO dan pendamping. Inisiatif pendataan disabilitas dipengaruhi oleh CSO yang memiliki kepedulian pada aspek pendataan disabilitas maupun upaya melakukan pemenuhan hak disabilitas. Sementara peran yang dijalankan oleh masyarakat, lembaga donor, dan individu penyandang disabilitas menjadi pendukung penting dalam inovasi pendataan disabilitas ini.

3.1.4 Faktor Pendukung PendataanSecara umum, faktor pendukung keberhasilan pendataan disabilitas di berbagai

daerah kajian relatif sama, yaitu adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat, baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah desa. Meskipun tingkat dukungan yang diberikan oleh pemerintah bervariasi, tetapi secara umum pemerintah daerah terbuka dan merespon positif pendataan disabilitas yang dilakukan oleh Mitra Peduli.

Faktor lainnya adalah besarnya dukungan dari masyarakat dan DPO setempat

PemerintahCSO/

Pendamping

Masyarakat

DonorIndividu

Peran Aktor Pendataan Disabilitas

DPO/Disabilitas

90

serta dukungan dari CSO dan pendamping. Proses pendataan menjadi lancar ketika para pihak melakukan kerja nyata dalam mendukung proses pendataan. Pada awalnya, di beberapa daerah, dukungan yang diberikan relatif kecil dan cukup beragam. Namun, seiring perkembangan praktik pendataan yang dilakukan, kepercayaan para pihak semakin kuat, sehingga dukungan yang diberikan juga semakin besar. Pada tingkat desa/kelurahan, dukungan dari masyarakat berperan penting untuk keberhasilan proses pendataan. Masyarakat cukup kooperatif dan terbuka dalam menerima dan membantu proses pendataan.

Dukungan penting lainnya adalah adanya forum di tingkat kabupaten/kota yang menjembatani proses komunikasi dan koordinasi dalam proses pendataan. Berikut gambaran faktor pendukung dalam inovasi pendataan disabilitas.

Bagan 3.4 Faktor Pendukung Inovasi Pendataan Disabilitas

3.1.5 Tantangan PendataanPada proses awal pendataan, faktor penghambat yang sering ditemui adalah

tertutupnya informasi dari keluarga disabilitas sehingga memerlukan kerja keras untuk menemukan dan meyakinkan keluarga. Hal ini terkait dengan masih kuatnya persepsi di masyarakat bahwa disabilitas adalah aib atau kutukan sehingga keluarga penyandang disabilitas berusaha menutupi keberadaan penyandang disabilitas. Hal ini hampir merata di semua wilayah.

Sementara dari sisi penyandang disabilitas sendiri, keterbatasan kapasitas

1. Adanya Kebijakan & Anggaran Daerah2. Dukungan OPD/SKPD3. Kepedulian pejabat setempat (Camat,

Kepala desa, Lurah)

1. Partisipasi Aktif DPO/ Pendamping2. Dukungan CSO/ Mitra3. Partisipasi Penyandang Disabilitas4. Dukungan Keluarga dan

Lingkungan (Masyarakat)

Forum Komunikasi yang Aktif

Pendukung

Inovasi Pendataan Disabilitas 91

menjadi hambatan tersendiri untuk pelibatan disabilitas dalam proses pendataan. Aksesibilitas saat melakukan pendataan, Apalagi hampir semua pendataan dilakukan di wilayah pedesaan. Insfrastruktur dan aksesibilitas jalan termasuk hambatan yang cukup berat khususnya pada wilayah yang pendataannya sudah melibatkan disabilitas secara langsung seperti di Lombok Barat.

Stigma negatif saat penyandang disabilitas melakukan pendataan dilapangan disangka sebagai peminta sumbangan sehingga apabila kelompok disabilitas yang mulai aktif terlibat tidak dikuatkan akan melemahkan kepercayaan diri disabilitas tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan proses pendataan dan upaya peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh CSO pendamping maka hambatan ini mulai dapat teratasi.

Tantangan lainnya adalah terbatasnya sosialisasi atas kebijakan dan afirmasi kebijakan bagi penyandang disabilitas sehingga sebagian besar penyandang disabilitas di wilayah kepadatan penduduk miskin tinggi tidak memahami hak-haknya, termasuk hak pendataan (hak ini harus dipenuhi oleh pemerintah). Berikut adalah tantangan dalam proses pendataan disabilitas.

Bagan 3.5 Tantangan Pendataan Disabilitas

1. Paradigma bahwa disabilitas adalah aib/kutukan

2. Kapasitas disabilitas yang rendah3. Informasi dari keluarga yang tertutup4. DPO yg belum terlalu aktif

1. Kebijakan dan anggaran belum tepat2. Sosialisasi program/kegiatan yang

sangat terbatas3. Sarana dan prasarana belum

memadahi4. Akses pelayanan publik sangat

terbatas5. OPD tidak menindaklanjuti

Akses InformasiTantangan

Internal

Eksternal

92

3.1.6 Perspektif Gender dalam PendataanPerspektif gender dalam pendataan bagi kalangan tertentu mungkin jarang

terdengar, tetapi bagi kalangan perencana lebih dikenal sebagai data terpilah gender. Data terpilah hakikatnya adalah data yang dipilah menurut jenis kelamin dan umur. Gender sendiri dimaknai sebagai konsep yang mengacu ada pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.

Bila dikaitkan dengan pendataan maka dalam perspektif gender, penyediaan data, analisis dan pelaporan lebih banyak dibedakan menurut jenis kelamin. Pembedaan ini ditujukan dalam rangka menghasilkan data dan informasi tentang pengalaman khusus dalam kehidupan sebagai perempuan dan laki-laki. Hasil data terpilah ini memberikan kontribusi pada data statistik gender yang dikelola oleh pemerintah.

Pada kajian pendataan ini, perspektif gender telah mewarnai rangkaian tahapan pendataan. Data yang dihasilkan bukan data agregat yang bias gender karena mengabaikan kenyataan masyarakat yang beragam, tetapi sudah mengakomodir ragam disabilitas. Data disabilitas juga sudah terpilah laki-laki dan perempuan, berdasarkan umur serta tambahan variabel lain seperti pendidikan dan layanan publik yang diterima (seperti kesehatan, pendidikan, dan adminduk). Begitupun dari sisi informan/sampel responden, sedari awal instrumen wawancara sudah merencanakan kebutuhan data terpilah dari jenis kelamin dan umur yang merupakan keharusan dalam perspektif gender. Apalagi pendataan yang dilakukan oleh Mitra Peduli dilakukan melalui metode sensus atau pencacahan. Meskipun menggunakan sampel di beberapa desa (minimal 2 desa/kelurahan), tetapi metode pencacahan yang dilakukan oleh Mitra Peduli dapat menggambarkan pengintegrasian isu gender dalam perumusan tujuan dan penyusunan kuesioner.

3.2 Model Inovasi Pendataan DisabilitasPraktik pendataan disabilitas oleh mitra Program Peduli di enam lokasi, bila

dicermati lebih dalam, memperlihatkan adanya hubungan berbagai pihak (aktor) dalam implementasinya. Para pihak itu terutama pemerintah, masyarakat dan DPO. Bila merujuk pada model pembangunan inklusif yang dikemukakan oleh Wirutomo (1980), maka dari tiga variabel pembangunan inklusif yaitu struktural, proses sosial (interaksi sosial) dan budaya, pendataan disabilitas menekankan pada variabel proses sosial. Hal ini terlihat dari interaksi antar pihak dalam implementasi pendataan disabilitas di enam lokasi studi. Bila dikaitkan dengan pemikiran Grindle (dalam Najam A, 1995), pendataan disabilitas merupakan

Inovasi Pendataan Disabilitas 93

upaya dari struktur sosial yang inklusif dimana para aktor saling berinteraksi untuk melakukan tindakan bersama (melakukan pendataan). Proses interaksi para aktor itu dapat terwujud, karena adanya sejumlah faktor pendukung, meski pada sisi lain ada pula hambatan dalam implementasinya. Tindakan bersama ini merupakan salah satu tingkatan partisipasi yang relatif tinggi menurut Wilcox (1994). Wilcox membagi tingkatan partisipasi dalam lima tingkat, yaitu 1) pemberian informasi; 2) konsultasi; 3) pembuatan keputusan bersama; 4) melakukan tindakan bersama; dan 5) mendukung aktivitas yang muncul atas swakarsa masyarakat.

Berdasarkan tingkatan partisipasi tersebut, maka praktik baik pendataan disabilitas yang dilakukan di enam lokasi dapat digambarkan sebagai berikut;

NoTingkatan Partisipasi DPO/ Disabilitas

Banjar-masin

(SAPDA)

Kulon Progo

(SIGAB)

Sukoharjo (KARINA-

KAS)

Bone (YASMIB)

Sumba Barat

(BAHTERA)

Lombok Barat

(PATTIRO)

1 Pemberian Informasi √ √ √ √ √ √

2 Konsultasi √ √ √ √ √ √

3 Pembuatan Keputusan Bersama

√ √ √ χ √ √

4 Melakukan Tindakan Bersama

√ √ √ √ √ √

5 Mendukung Aktifitas yang Muncul/ Swakarsa Masyarakat

χ χ √ χ Χ χ

Sumber: diolah, 2018.

Secara umum, praktik baik pendataan disabilitas di enam lokasi telah melewati tingkat pemberian informasi dan konsultasi kepada pemerintah daerah (tingkat pertama dan kedua), serta tingkat ketiga dan keempat yaitu partisipasi dalam pembuatan keputusan bersama dan melakukan tindakan bersama. Khusus untuk praktik pendataan disabilitas di Bone yang dilakukan YASMIB bersama LPP Bone belum dapat melewati tingkatan partisipasi ketiga (pembuatan keputusan bersama) mengingat pembuatan keputusan bersama tersebut tidak langsung dilakukan oleh DPO/Disabilitas tetapi dilakukan oleh LPP Bone (yang bukan merupakan DPO) dengan Pemerintah Daerah. Hasil keputusan di tingkat kabupaten ini kemudian dilanjutkan di tingkat Pemerintah Desa, yang juga tidak melibatkan DPO. Namun pada pelaksanaan pendataan pendataan dilakukan secara bersama antara masyarakat, DPO dan Pemerintah Desa. Pelaksanaan pendataan ini

94

merupakan tingkatan partisipasi keempat (melakukan tindakan bersama). Bila dicermati, praktik pendataan yang dilakukan mitra Program Peduli belum

mencapai tingkatan partisipasi yang tertinggi (tingkat kelima) yaitu mendukung aktifitas yang muncul/ swakarsa masyarakat. Kecuali yang dilakukan oleh KARINAKAS di Sukoharjo. KARINAKAS berhasil mendukung aktifitas yang muncul secara swakarsa. Hal ini ditandai dengan sudah adanya sumberdaya, sistem dan jaringan pendataan dari desa hingga kabupaten. Sumberdaya dan jaringan dimaksud adalah Tim RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat) yang telah ada sejak 2009. Sistem pendataan juga dilakukan secara efektif dan efisien ditandai dengan banyaknya partisipasi relawan KARINAKAS dengan biaya yang sangat ekonomis (hanya sekitar Rp 10 juta) untuk melakukan pendataan di seluruh wilayah Kabupaten Sukoharjo. Praktik baik partisipasi pendataan ini telah menjadi model dan sudah digunakan oleh pemerintah daerah, bahkan menjadi rujukan bagi pemerintah pusat.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa praktik baik pendataan disabilitas telah mencapai tingkat keempat partisipasi yakni melakukan tindakan pendataan secara bersama. Partisipasi DPO/Disabilitas turut mewarnai keragaman pendataan disabilitas yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan DPO/Disabilitas. Selain manfaat langsung hasil pendataan bagi pemerintah dan masyarakat, partisipasi DPO/Disabilitas juga terbukti meningkatkan kapasitas kelembagaan/individu serta lahirnya beberapa upaya pemenuhan hak disabilitas lainnya di daerah.

Mengacu pada konsep Wirutomo, Grindle dan Wilcox di atas, tampak bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pembangunan sosial dengan model pendataan disabilitas yang telah dilakukan, terutama terkait dengan konsep partisipasi dan interaksi. Kedua hal itu (partisipasi dan interaksi) melahirkan proses sosial yang menciptakan perubahan berupa sikap positif, dukungan sosial, informasi yang dihasilkan serta infrastruktur pendukung disabilitas. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka terdapat beberapa model inovasi pendataan disabilitas yang telah dilakukan di enam lokasi studi yang berpotensi untuk direplikasi di tempat lain dan dikembangkan lebih lanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Berikut adalah model-model pendataan disabilitas dimaksud.

3.2.1 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Daerah (Model 1)Model ini dijumpai di Banjarmasin dan Lombok Barat, dimana SAPDA dan

PATTIRO melakukan interaksi yang intensif dengan Pemerintah Daerah dalam menginisiasi pendataan disabilitas. Dimulai dari rapid assesment, pengembangan

Inovasi Pendataan Disabilitas 95

Model 1:Model ini menekankan

interaksi intens dari DPO kepada pemerintah

dalam membangun komitmen pendataan. Dari komitmen yang dibangun

dilanjutkan rangkaian/tahapan pendataan dari assesment, membangun

instrumen sampai pelaksanaan pendataan

dan tindaklanjut dari pelaksanaan pendataan.

Model 1

Forum Komunikasi

DPO/Disabilitas

Pemerintah Daerah

instrumen sampai melakukan pendataan bahkan melakukan kegiatan tindak lanjut hasil pendataan (advokasi). Model 1 ini menggambarkan interaksi yang intens antara DPO dan Pemerintah daerah dalam tahapan pendataan.

Bagan 3.6 Model 1

Model ini memerlukan kondisi pendukung yakni adanya jaminan kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Daerah yang mengamanatkan pentingnya pemenuhan hak disabilitas, dimana didalamnya juga mengisyaratkan pentingnya pendataan disabilitas dalam rangka mendukung pemenuhan hak disabilitas. Selain peraturan yang mendukung, ada kondisi lain yang turut memperkuat pendataan yakni adanya forum komunikasi. Forum ini merupakan wadah dalam menjamin interaksi antara Pemerintah Daerah dengan DPO dan para pihak terkait lainnya. Dari forum komunikasi melahirkan komitmen lain dari OPD dalam memberikan dukungan pendataan termasuk memperkuat partisipasi dari penyandang disabilitas lainnya.

Model 1:

Model ini menekankan interaksi intens dari DPO kepada

pemerintah dalam membangun komitmen pendataan. Dari komitmen yang dibangun

dilanjutkan rangkaian/tahapan pendataan dari assesment,

membangun instrumen sampai pelaksanaan pendataan dan

tindaklanjut dari pelaksanaan pendataan.

96

3.2.2 Model Pendataan Antara DPO dengan Pemerintah Desa (Model 2)Model 2 ini dijumpai di Sumba Barat, Kulon Progo dan Bone. Model ini

menjadikan desa sebagai model praktik kajian pendataan yang menekankan keterlibatan DPO dan Pemerintah Desa. Ada aspek penting dalam menerapkan model ini yakni adanya desa dampingan yang telah menjalin kerjasama dengan DPO pendamping. Aspek penting lain adalah bahwa pendamping lapangan/fasilitator memiliki intensitas kegiatan berkaitan dengan desa yang bersangkutan. Interaksi yang dibangun antara DPO/NGO pendamping dengan pemerintah desa telah melahirkan semangat dalam memperbaiki tata kelola data, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desanya. Model ini memiliki kecenderungan replikasi yang cepat karena skala yang dikembangkan relatif kecil, terkontrol dan tidak memerlukan proses perencanaan dan penganggaran yang panjang. Kepala Desa dan perangkatnya menjadi penentu terselenggaranya proses pendataan yang dikembangkan. Hubungan interaksi antara pemerintah desa dan DPO terfasilitasi oleh isu yang sama yang dikomunikasikan intensif melalui pendamping/fasilitator desa.

Bagan 3.7 Model 2

Faktor pendukung utama model 2 ini adalah telah terbangunnya kepercayaan bersama antara DPO dan Pemerintah Desa dalam waktu yang relatif lama. Hubungan yang dibangun bukan hanya pada masalah pendataan saja tetapi beberapa isu termasuk isu perencanaan, pemberdayaan dan pembangunan di

Model 1:Model ini cenderung mudah diapdosi dan dikembangkan karena skala yang kecil dan tidak memerlukan proses

yang panjang. Pemerintah desa dengan kewenangannya dapat melakukan pendataan partisipatif. Peran DPO lebih

banyak pada awal inisiasi namun setelah tahap pendataan selesai.

Pemerintah desa dapat setiap saat melakukan update kondisi

disabilitas di desanya. Desa dampingan DPO menjadi model yang dikembangkan bersama.

Model 2

Pendamping Desa

DPO/Disabilitas

Pemerintah Desa

Inovasi Pendataan Disabilitas 97

desa. Faktor pendukung lainnya adalah adanya pendamping/fasilitator Desa. Pendamping Desa memiliki peran penting dalam memfasilitasi berbagai dinamika lapangan, proses pemberdayaan dan upaya mendorong pemahaman pentingnya pendataan disabilitas dilakukan di desa. Sebagai model pembelajaran, model 2 ini relatif mudah dilakukan dan tidak memerlukan proses yang panjang. Disamping karena skala yang kecil, Desa juga telah memiliki kewenangan skala lokal dalam melakukan perencanaan dan pembangunan.

3.2.3 Model Pendataan Antara DPO dengan NGO (Model 3)Model 2 ini dijumpai di Sukoharjo. Model ini menjadi perintis peran DPO dalam

mengembangkan jaringan pemberdayaan secara berjenjang dari kabupaten sampai ke desa, bahkan bisa antar kabupaten dalam proses pendampingan termasuk dalam pendataan. Pengembangan jaringan pemberdayaan dilakukan melalui pemberdayaan forum dan kelompok relawan. Model di Sukoharjo menggunakan jaringan kader SHG (Self Help Group), kader Posyandu, tim RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) dan kader-kader sosial lainnya. DPO memiliki peran signifikan dalam mengoptimalkan jaringan relawan dan kader pemberdayaan. Optimalisasi dari pemberdayaan jaringan relawan dan kader pemberdayaan menjadikan proses pendataan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Model ini dianggap memiliki banyak kelebihan terutama pada aspek pembiayaan pendataan. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah dibandingkan dengan pendataan pada umumnya. KARINAKAS menyampaikan hanya sekitar Rp10.000.000 untuk melakukan pendataan disabilitas. Terkait waktu pendataan juga relatif lebih cepat karena sistem input data telah tersedia.

Model 3:

Model ini cenderung mudah diadopsi dan dikembangkan karena skala yang kecil dan tidak memerlukan proses yang panjang. Pemerintah

desa dengan kewenangannya dapat melakukan pendataan partisipatif. Peran DPO lebih

banyak pada awal inisiasi namun setelah tahap pendataan selesai.

Pemerintah desa dapat setiap saat melakukan update kondisi

disabilitas di desanya. Desa dampingan DPO menjadi model yang dikembangkan bersama.

98

Bagan 3.8 Model 3

Model 3 mengisyaratkan peran DPO yang telah memiliki banyak pengalaman dan jaringan kader/relawan. DPO juga telah memiliki bargaining kuat dan kepercayaan untuk menyakinkan pemerintah bahwa model pendataan disabilitas yang diselenggarakan memiliki banyak kelebihan dan memberikan manfaat baik kepada pemerintah maupun kepada penerima manfaat (disabilitas) secara langsung. Kerja-kerja yang dibangun oleh DPO tidak dibangun dalam 1-2 tahun, tetapi telah dibangun dalam jangka waktu lama sehingga pemerintah daerah telah memiliki rekam jejak DPO yang bersangkutan. Pemerintah telah memiliki kepercayaan besar pada DPO ini sehingga hasil pendataan disabilitas juga langsung dapat dipergunakan atau dimanfaatkan secara langsung. Peran besar yang tidak kalah penting adalah adanya forum relawan/ kader yang telah memiliki komitmen tinggi dalam melakukan pemberdayaan dan pendampingan masyarakat.

Berdasarkan ketiga model hasil kajian pendataan yang tersebut di atas, maka berikut ini adalah gambaran tentang inovasi pendataan bila dilihat dari proses pendataan, dampaknya di masyarakat, peran aktor sebagai kohesi sosial, faktor pendukung dan penghambat pendataan.

3.3 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas Strategi untuk meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas pada pendataan

ini dimulai dari melakukan survey dan mapping untuk mengidentifikasi program,

Model 3:Model ini cenderung mudah diadopsi dan dikembangkan karena skala yang kecil dan tidak memerlukan proses

yang panjang. Pemerintah desa dengan kewenangannya dapat melakukan pendataan partisipatif. Peran DPO lebih

banyak pada awal inisiasi namun setelah tahap pendataan selesai.

Pemerintah desa dapat setiap saat melakukan update kondisi

disabilitas di desanya. Desa dampingan DPO menjadi model yang dikembangkan bersama.

Model 3

Forum relawan/kader

DPO/Disabilitas

NGO/Kelompok

Masyarakat lain

Inovasi Pendataan Disabilitas 99

sarana dan prasarana yang tersedia atau dibutuhkan para penyandang disabilitas. Selanjutnya, dilakukan analisis dan diagnosis melalui konsultasi dengan para stakeholders melalui workshop, diskusi terfokus (FGD) dengan para informan kunci, organisasi disabilitas, pemerintah daerah dan desa, Puskesmas, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dalam bentuk konsultasi dan menyamakan data serta informasi. Setelah semua informasi dan data tersedia, kemudian disusun rencana tindakan (action plan) untuk penguatan kapasitas masyarakat dan pelaksanaan pendataan disabilitas.

Setelah dilakukan pendataan disabilitas, para pihak dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap proses penguatan masyarakat peduli penyandang disabilitas sehingga diperoleh output berupa terdatanya penyandang disabilitas mulai tingkat desa/kelurahan beserta ragam disabilitasnya. Data disabilitas ini kemudian disampaikan kepada pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti/ advokasi.

Tantangan dalam mendorong keberlanjutan proses pendataan disabilitas selain fasilitasi dan proses pendampingan adalah kelembagaan. Pembentukan kelembagaan diharapkan mampu menguatkan peran dan fungsi para pihak yang terkait dengan pendataan. Dukungan atas kelembagaan mengisyaratkan juga aspek lain yakni informasi, pelayanan, mediasi dan proses pendataan sendiri. Kelembagaan pendataan disabilitas bisa dibentuk dalam unit tersendiri atau menambahkan tugas fungsi dari unit/kelembagaan yang sudah ada. Pendalaman atas peran, tugas dan fungsi dari kelembagaan yang sudah ada harus diperjelas dalam kebijakan atau standar prosedur operasi agar menjadi bahan pijakan dalam membuat perencanaan maupun pelaksanaan pendataan disabilitas.

Dalam konteks pendataan disabilitas, penting untuk mengoptimalkan kelembagaan yang sudah ada dari sisi pemerintah. Misalnya, di tingkat nasional Kementerian Sosial, Bappenas dan BPS dapat melakukan sinergi perencanaan dan pelaksanaan pendataan, sedangkan di tingkat daerah dapat dilakukan sinergi melalui Bappeda, Dinas Sosial, BPS dan OPD sektoral yang akan menggunakan hasil pendataan tersebut. Dari sisi masyarakat sipil seperti DPO, NGO dan kelompok masyarakat sipil yang lain dapat menginisiasi upaya inovasi dan penguatan partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam melakukan pendataan disabilitas di daerahnya.

Bagian akhir dalam rangka memperkuat pemanfaatan data hasil pendataan disabilitas adalah pembaruan data (updating). Kebaruan dalam metode dan hasil pendataan (yang biasanya relatif berbeda dari yang dimiliki pemerintah) menjadikan kegiatan pendataan ini sebagai inovasi yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan unit layanan untuk menyusun perencanaan dan penganggaran

100

yang mencakup semua kalangan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas. Secara garis besar, strategi penguatan kapasitas penyandang disabilitas dalam pendataan dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 3.9 Strategi Penguatan Kapasitas Disabilitas dalam Pendataan

Tahap I

Tahap II

Tahap III

Perencanaan / dan Pengembangan

Instrumen Pendataan

Rapid Assesment/ Survey/ Mapping dan Identifikasi

Program dan Sarana Prasarana

Konsultasi Stakeholder, Workshop, FGD antara

Key Informan, DPO/LSM Disabilitas, Pemda dan

Penyedia Layanan

DIAGNOSIS dan ANALISIS

Action PlanPenguatan Kapasitas Masyarakat &

Recofusing Pelayanan dan Pendataan Disabilitas

Konsultasi/Fasilitasi Pendampingan& Pembentukan Kelembagaan

Monitoring & EvaluasiProses Penguatan Masyarakat Peduli

Penyandang Disabilitas

Output: Terlayaninya Pasien DisabilitasBerkurangnya Kambuhan OGJ

Teranggarkannya Perawatan Disabilitas dan Kepemilikan Kursi Roda

Terdatanya Penyandang DisabilitasInovasi-inovasi (sesuaikan dengan temuan)

Outcome:Digunakannya/Terlengkapinya data

DisabilitasDimanfaatkannya Inovasi-inovasi.

Teranggarkannya Kebutuhan Disabilitas dalam Bidang kesehatan & Pendidikan

Inovasi Pendataan Disabilitas 101

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KESIMPULANPraktik baik dan inovasi pendataan yang telah dilakukan oleh Mitra Peduli dapat

disimpulkan sebagai berikut:1. Keragaman data disabilitas di setiap lokasi pendataan mengisyaratkan

pentingnya standarisasi data dan model pendataan yang sesuai dengan kondisi daerah. Proses dan model pendataan yang lebih standar akan mendorong partisipasi masyarakat dan pemerintah.

2. Model pendataan partisipatif akan berjalan bila dari awal perencanaan telah melibatkan penyandang disabilitas atau organisasi disabilitas (DPO). Pelibatan sedari awal ini akan membantu proses pendataan lebih lanjut. Pelibatan disabilitas dapat dimulai dari perencanaan dan atau pengembangan instrumen pendataan (kuesioner), diskusi pendahuluan dan rapid assesment/mapping. Perencanaan dan atau pengembangan instrumen adalah pilihan untuk mengembangkan cakupan dan keterbatasan pendataan.

3. Proses dan aktor pendataan menunjukkan tahapan dan para pihak yang dapat membantu agar pendataan berjalan baik. Pemerintah daerah dan DPO dapat merencanakan terlebih dahulu tahapan yang akan dilalui dalam proses pendataan. Ketidakjelian dalam melihat proses dan aktor pendataan dapat menyebabkan pembengkakan biaya, proses berlarut, dan hasil pendataan yang tidak valid.

4. Kebijakan dan anggaran menjadi faktor pendukung utama dan acuan yang dapat memperkuat proses dan tahapan pelaksanaan pendataan. Kebijakan dimaksud antara lain berupa peraturan daerah, peraturan bupati, dan surat keputusan kepala OPD.

5. Hasil pendataan disabilitas membantu pemerintah daerah dalam merencanakan kebijakan, anggaran dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Hasil pendataan itu terutama menyangkut data terpilah penyandang disabilitas, merevisi sasaran program/kegiatan sosial, penyediaan layanan publik dan pemenuhan sarana prasana pendukung

102

bagi pembangunan inklusif.6. Pendampingan dan fasilitasi adalah wujud nyata dari para pihak dalam

mewujudkan pembangunan inklusif. Pendampingan dan fasilitasi dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, DPO dan unsur masyarakat lainnya. Pendampingan juga dapat menjadi bagian dalam kerangka advokasi dan mengawal kebijakan, program dan upaya nyata lain yang mendukung penyandang disabilitas dalam berpartisipasi, mendapatkan akses dan pemenuhan haknya dalam pelayanan publik.

4.2 REKOMENDASI4.2.1 Rekomendasi Umum

1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan OPD terkait hendaknya dapat mengembangkan dan mereplikasi model pendataan partisipatif yang melibatkan penyandang disabilitas/DPO dari awal perencanaan kegiatan pendataan.

2. Penyelenggara pendataan (Pemerintah Daerah bersama DPO terutama Dinas Sosial dan Bappeda) menyusun rencana pendataan dengan memperhatikan proses dan aktor pendataan secara lebih komprehensif.

4.2.2 Rekomendasi Khusus4.2.2.1 Rekomendasi Untuk Kemensos

1. Melakukan koordinasi dan sosialisasi pendataan partisipatif yang melibatkan penyandang disabilitas sampai ke daerah, termasuk mengembangkan model pendataan partisipatif seperti di Kabupaten Sukoharjo.

2. Membangun dan mengembangkan sistem pendataan yang terpadu berbasis NIK.

3. Melakukan sosialisasi atas manfaat kartu penyandang disabilitas.

4.2.2.2 Rekomendasi Untuk Bappenas1. Menguatkan koordinasi perencanaan dan pembangunan pada isu

pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas. 2. Mengembangkan dan memanfaatkan data terpadu penyandang disabilitas

dalam proses perencanaan dan penganggaran.

4.2.2.3 Rekomendasi Untuk Kemendagri1. Melakukan pembinaan, koordinasi dan pengembangan sistem pendataan

berbasis NIK, termasuk memasukkan kondisi dan ragam disabilitas.

Inovasi Pendataan Disabilitas 103

2. Mendorong Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil/Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau nama lain dari OPD yang melayani administrasi kependudukan di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk terus menerus melakukan upaya pendataan dan pelayanan administrasi bagi penyandang disabilitas.

4.2.2.4 Rekomendasi Untuk Kementerian Desa dan PDTT1. Meningkatkan kapasitas kader dan masyarakat desa untuk terlibat dalam

proses pendataan partisipatif dan pemanfaatan data disabilitas.2. Mendorong Dana Desa dapat dipergunakan dalam pembangunan dan

pemberdayaan penyandang disabilitas di desa.

4.2.2.5 Rekomendasi Untuk BPS1. Mengembangkan Survey Khusus Disabilitas dengan tidak

menggabungkannya dengan survei lain (Sensus Penduduk, Supas dan Susenas). Salah satu pilihannya adalah melalui survei sosial ekonomi daerah atau SUSEDA. Suseda ini dapat dilakukan melalui jaringan BPS, dimana BPS dapat mendorong pengembangan Susenas yang dikembangkan sesuai kondisi daerah.

2. Menguatkan petugas pendataan (PPLS)/pencacah pada isu-isu disabilitas.

4.2.2.6 Rekomendasi Untuk Kominfo1. Melakukan sosialisasi pentingnya data, informasi dan keterlibatan

penyandang disabilitas.2. Menguatkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dalam

mendukung informasi dan pendataan terkait disabilitas di Desa.

4.2.2.7 Rekomendasi Untuk Pemda1. Kebijakan dan anggaran (pemerintah daerah) hendaknya disusun

berdasarkan kondisi nyata yang mengakomodir proses dan tahapan pelaksanaan pendataan. Bagi daerah baru, adanya kebijakan dimaksud dapat berupa peraturan daerah, peraturan bupati, atau surat keputusan dapat membantu proses pendataan berjalan baik.

2. Pemerintah daerah (dalam hal ini OPD-OPD) hendaknya dapat melakukan koordinasi dan menjadikan hasil pendataan disabilitas sebagai basis data dalam pembuatan kebijakan, program dan kegiatan secara terencana dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan inklusif.

104

3. Hendaknya pendampingan dan fasilitasi pasca pendataan tidak berhenti setelah hasil pendataan disabilitas keluar, tetapi dapat dikembangkan dalam wujud lain berupa tindak lanjut pendataan sampai penyandang disabilitas mandiri dan tetap membuka akses sebesar-besarnya bagi penyandang disabilitas.

4.2.2.8 Rekomendasi Untuk Pemerintah Desa1. Responsif pada data disabilitas di wilayahnya.2. Mendorong penguatan dan tidak melakukan pembiaran pada warga

penyandang disabilitas di desanya.

4.2.2.9 Rekomendasi Untuk CSO dan DPO1. Mengembangkan dan memperkuat jaringan CSO peduli disabilitas di

daerah.2. Advokasi proses pendataan dan mendorong pemanfaatan data disabilitas

bagi pemenuhan hak disabilitas.3. Menguatkan DPO pada proses pendataan dan advokasi kebijakan/

anggaran di daerah.

Inovasi Pendataan Disabilitas 105

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di Indonesia. Kajian Indikator Lintas Sektor. Jakarta.

International Labour Organization. Tanpa tahun. Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta.

Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2011. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak Pendidikan dan Kesehatan bagi Anak-anak Penyandang Cacat (Difabel). Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2012. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak Penyandang Disabilitas di Wilayah Bencana Alam. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation. Program Peduli: Program Snapshot April 2016.

Propiona, Jane Kartika, dkk. 2013. Implementasi HAM di Indonesia: Hak Kesehatan dan Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Daerah Tertinggal di Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Propiona, Jane Kartika, dkk. 2014. Implementasi Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia: Analilis Pemenuhan Hak Warga Negara Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Re ne lenar. 1974. Les Exius: Un Francais Sur Dix. Paris: Seuil Publication.

Salim, Ishak, M. Syafi’ie, dan Nunung Elkisabeth. 2015. Indonesia Dalam Desa Inklusi: Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014. Yogyakarta: SIGAB.

Salim, Ishak, dkk. 2015. Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.

Sawinggih, Raden, ddk. 2016. Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif. Nusa Tenggara Barat: Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (SOMASI).

Warsilah, Henny. 2017. Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa Tengah. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.

106

Artikel, Jurnal, Laporan, dan Makalah

Badan Pusat Statistik. 2018. Berita Resmi Statistik “Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2017”. No. 06/01/Th. XXI.

Haryanto. Tanpa tahun. “Analisis Pertumbuhan Inklusif”. Makalah.

Klasen, Stephen. 2010. “Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals”. ADB Sustainable Development Working Paper Series.

Rosalina, Ega dan Nurjanah. 2016. “Cerita dari Lapangan: Kesuksesan Aktivis Difabel Tingkatkan Akses Difabel dan Masyarakat Miskin di Lombok Barat Terhadap Kepesertaan BPJS Kesehatan”. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusaia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation, dan PATTIRO.

Syafi’ie, M, dkk. 2015. Kumpulan Jurnal Difabel Volume 2 No.2 2015. “Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas”. Yogyakarta: SIGAB.

Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.

Tanpa Penulis. September 2011. “Article in International Journal of Disability Development and Education”.

Tanpa Penulis. Tanpa Tahun. The Concept of “Best Practice”: A Brief Overview of its Meaning, Scope, Uses, and Shortcomings. Artikel.

Wirutomo, Paulus. 2013. “Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor Informal di Kota Solo”. Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18, No.1 Januari 2013.

World Economic Forum. 2017. “The Inclusive Growth and Development Report 2017”.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Inovasi Pendataan Disabilitas 107

Policy Brief:

Anggraeni, Novita dan Fajri Nursyamsi. 2016. “Policy Brief: Pemenuhan Hak atas Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil bagi Penyandang Disabilitas”. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation, dan PATTIRO.

108

LAMPIRAN

1. Form Pendataan SAPDA-Kota Banjarmasin

NO NAM

A

JK

ALAMAT

TEM

PAT L

AHIR

TANG

GAL L

AHIR

UMUR

JENI

S DIS

ABIL

ITAS

Kete

rang

an

KEPEMILIKAN

NIK No. KK

TING

KAT

PEND

IDIK

AN

JAMINAN SOSIALRT RW

KELU

RHAN

KECM

ATAN

AKTE

KTP

KK

BPJS

PBI

KIS

KPS

PKH

RASK

IN

1

M. R

uslan

Imuk

. H

L 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Banj

arm

asin

02/0

1/19

47

69 Stro

ke

  Ada

Ada

6371

0101

0247

0003

 

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

2

M. N

asru

din Ad

ha. S

H

L 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Banj

arm

asin

26/0

9/19

83

33 Daks

a

Tang

an Ka

nan

Bunt

ung

  Ada

Ada

6371

0126

0983

0004

 

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

3

Rabia

tul A

dawi

yah

P 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Banj

arm

asin

30 th 30 Ruwi

Ibu R

umah

Tang

ga

(Bisu

& Tu

li)

         

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

4

Rajen

ah

P 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Blita

r

14/0

9/19

53

63

Grah

ita

Caca

t Men

tal k

uran

g wa

ras

  Ada

Ada

6371

0154

0953

0001

6371

0122

0808

0024

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Inovasi Pendataan Disabilitas 109

LAMPIRAN

1. Form Pendataan SAPDA-Kota Banjarmasin

NO NAM

A

JK

ALAMAT

TEM

PAT L

AHIR

TANG

GAL L

AHIR

UMUR

JENI

S DIS

ABIL

ITAS

Kete

rang

an

KEPEMILIKAN

NIK No. KK

TING

KAT

PEND

IDIK

AN

JAMINAN SOSIAL

RT RW

KELU

RHAN

KECM

ATAN

AKTE

KTP

KK

BPJS

PBI

KIS

KPS

PKH

RASK

IN

1

M. R

uslan

Imuk

. H

L 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Banj

arm

asin

02/0

1/19

47

69 Stro

ke

  Ada

Ada

6371

0101

0247

0003

 

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

2

M. N

asru

din Ad

ha. S

H

L 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Banj

arm

asin

26/0

9/19

83

33 Daks

a

Tang

an Ka

nan

Bunt

ung

  Ada

Ada

6371

0126

0983

0004

 

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

3

Rabia

tul A

dawi

yah

P 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Banj

arm

asin

30 th 30 Ruwi

Ibu R

umah

Tang

ga

(Bisu

& Tu

li)

         

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

4

Rajen

ah

P 1 1

Kel.S

elata

n

BanS

el

Blita

r

14/0

9/19

53

63

Grah

ita

Caca

t Men

tal k

uran

g wa

ras

  Ada

Ada

6371

0154

0953

0001

6371

0122

0808

0024

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

Tidak

Ada

110

2. Form Pendataan SIGAB – Kulon Progo

No Nama NIK L/P Tgl Lahir Usia Status Perkawinan Ijazah Terakhir Masuk di KK Akta Kelahiran Ibu Kandung

1 Hasanudin 340106.XXXXXX.XXXX L 27/5/1988 28 Belum Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya

2 R Susanto/R Cokrowiharjo 340105.XXXXXX.XXXX L 31/12/1945 71 Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya

3 Muhammad 340105.XXXXXX.XXXX L 04/09/1954 62 Kawin SM/SMLB/M.Aliyah/SMK/Paket C Ya

Nama Ibu Kandung

Serumah dengan

Ibu Kandung

No.KK Nama Kepala Keluarga

Status di KK

Jml A

nggt

a RT

ART 2

-17 T

h

ART >

18 Th

ART D

ifabe

l

Biaya Tambahan Difabilitas

Rata

-Rat

a BTB

Pend

apat

an

Bula

nan

Kleu

arga

Pend

apat

an/

Peng

elua

ran

Pem

enuh

an

Ketid

akcu

ku-

pan

Prov

insi

Kab/

Kota

Keca

mat

an

Desa

/ Ka

lura

han

Dusu

n, R

T/RW

340105.XXXXXX.XXXX Muhammad Anak 3 3 2 Ya <500rb <500rb cukup DIY Kulon Progo

Lendah Wahyuharjo Maesan 2

340105.XXXXXX.XXXX R Susanto/R Cokrowiharjo

Kepala Rumah tangga

4 4 1 Ya <500rb 500rb-1jt cukup DIY Kulon Progo

Lendah Wahyuharjo Maesan 2

340105.XXXXXX.XXXX Muhammad Kepala Rumah tangga

3 3 2 Ya <500rb <500rb cukup DIY Kulon Progo

Lendah Wahyuharjo Maesan 2

A. MODUL PENGLIHATAN B. MODUL PENDENGARAN

A.1 A.2 A.3 A.4 A.5A.6

A.7 A.8 A.9 B.1 B.2 B.3 B.4 B.5 B.6B.7

B.8B.9

B.10a b C d a b c a b c d a b c

4 4

4 3th 4

2 60th 10 1 2 1 4

Inovasi Pendataan Disabilitas 111

2. Form Pendataan SIGAB – Kulon Progo

No Nama NIK L/P Tgl Lahir Usia Status Perkawinan Ijazah Terakhir Masuk di KK Akta Kelahiran Ibu Kandung

1 Hasanudin 340106.XXXXXX.XXXX L 27/5/1988 28 Belum Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya

2 R Susanto/R Cokrowiharjo 340105.XXXXXX.XXXX L 31/12/1945 71 Kawin SD/SDBL/M.Tsanawiyah/Paket B Ya

3 Muhammad 340105.XXXXXX.XXXX L 04/09/1954 62 Kawin SM/SMLB/M.Aliyah/SMK/Paket C Ya

Nama Ibu Kandung

Serumah dengan

Ibu Kandung

No.KK Nama Kepala Keluarga

Status di KK

Jml A

nggt

a RT

ART 2

-17 T

h

ART >

18 Th

ART D

ifabe

l

Biaya Tambahan Difabilitas

Rata

-Rat

a BTB

Pend

apat

an

Bula

nan

Kleu

arga

Pend

apat

an/

Peng

elua

ran

Pem

enuh

an

Ketid

akcu

ku-

pan

Prov

insi

Kab/

Kota

Keca

mat

an

Desa

/ Ka

lura

han

Dusu

n, R

T/RW

340105.XXXXXX.XXXX Muhammad Anak 3 3 2 Ya <500rb <500rb cukup DIY Kulon Progo

Lendah Wahyuharjo Maesan 2

340105.XXXXXX.XXXX R Susanto/R Cokrowiharjo

Kepala Rumah tangga

4 4 1 Ya <500rb 500rb-1jt cukup DIY Kulon Progo

Lendah Wahyuharjo Maesan 2

340105.XXXXXX.XXXX Muhammad Kepala Rumah tangga

3 3 2 Ya <500rb <500rb cukup DIY Kulon Progo

Lendah Wahyuharjo Maesan 2

A. MODUL PENGLIHATAN B. MODUL PENDENGARAN

A.1 A.2 A.3 A.4 A.5A.6

A.7 A.8 A.9 B.1 B.2 B.3 B.4 B.5 B.6B.7

B.8B.9

B.10a b C d a b c a b c d a b c

4 4

4 3th 4

2 60th 10 1 2 1 4

112

3. Form Pendataan YASMIB - BONE

NO LOKASI/PERSENTASE JUMLAH DISABILITAS/PERSENTASE JUMLAH BERDASARKAN UMUR/PERSENTASE JUMLAH KK/PERSENTASE

  KABUPATEN DESA LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL 0-< 7 7-12 13 - 15 16-18 19 - 22 23 - 54 55 th ke atas

  BONE MALLARI 35/56% 27/44% 62/100% 39 3 3 2 4 10 1 59

    CARIGADING 16 19 35 14 3 0 0 1 10 7 33

  GOWA PAKKATTO 35 27 62 43 6 1 2 1 6 3 59

    BAREMBENG 33 33 66 33 4 2 0 4 18 5 63

JUMLAH BERDASARKAN PEKERJAAN (KELOMPOKKAN BERDASARKAN DATA)

PNS WIRASWASTA PETANI NELAYAN PENGANYAM KARYAWAN SATPAN PENGUSAHA BURUH/KULI SUPIR DUKUN BERANAK

WIRASWAS-TAWAN TUKANG OJEK LAINNYA

0 0 12 6 4 0 0 0 0 0 0 0 1 39

0 0 1 0 0 1 0 2 0 0 0 2 0 29

0 0 5 0 0 0 0 0 7 1 1 4 1 43

0 0 9 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 54

JUMLAH BERDASARKAN RAGAM/JENIS DISABILITAS/PERSENTASE JUMLAH BERDASARKAN TINGKAT PENDAPATAN/PERSENTASEJUMLAH YANG SUDAH MEMILIKI IDENTITAS HUKUM/PERSENTASE

JUMLAH BERDASARKAN JAMINAN SOSIAL/PERSENTASE–≠≠

NETRA RUNGU WICARA DAKSA LARAS

MENTAL GRAHITA GANDA < Rp 500.000 Rp. 500 rb-1 jt

Rp.1 jt-1,5 jt

Rp. 1,5-jt-3 jt Rp. > 3 jt AKTE

NIKAHAKTE

LAHIRKESEHA-

TANPENDI-DIKAN RASKIN BLT ACD

21 8 22 6 4 1 23 3 1 0 0 19 19 19 19 19 19 19

8 7 14 5 1 0 4 1 0 1 0 4 4 4 4 4 4 4

25 3 20 6 2 6 7 1 7 4 1 30 30 30 30 30 30 30

19 12 31 3 0 1 8 8 1 2 0 21 21 21 21 21 21 21

Inovasi Pendataan Disabilitas 113

3. Form Pendataan YASMIB - BONE

NO LOKASI/PERSENTASE JUMLAH DISABILITAS/PERSENTASE JUMLAH BERDASARKAN UMUR/PERSENTASE JUMLAH KK/PERSENTASE

  KABUPATEN DESA LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL 0-< 7 7-12 13 - 15 16-18 19 - 22 23 - 54 55 th ke atas

  BONE MALLARI 35/56% 27/44% 62/100% 39 3 3 2 4 10 1 59

    CARIGADING 16 19 35 14 3 0 0 1 10 7 33

  GOWA PAKKATTO 35 27 62 43 6 1 2 1 6 3 59

    BAREMBENG 33 33 66 33 4 2 0 4 18 5 63

JUMLAH BERDASARKAN PEKERJAAN (KELOMPOKKAN BERDASARKAN DATA)

PNS WIRASWASTA PETANI NELAYAN PENGANYAM KARYAWAN SATPAN PENGUSAHA BURUH/KULI SUPIR DUKUN BERANAK

WIRASWAS-TAWAN TUKANG OJEK LAINNYA

0 0 12 6 4 0 0 0 0 0 0 0 1 39

0 0 1 0 0 1 0 2 0 0 0 2 0 29

0 0 5 0 0 0 0 0 7 1 1 4 1 43

0 0 9 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 54

JUMLAH BERDASARKAN RAGAM/JENIS DISABILITAS/PERSENTASE JUMLAH BERDASARKAN TINGKAT PENDAPATAN/PERSENTASEJUMLAH YANG SUDAH MEMILIKI IDENTITAS HUKUM/PERSENTASE

JUMLAH BERDASARKAN JAMINAN SOSIAL/PERSENTASE–≠≠

NETRA RUNGU WICARA DAKSA LARAS

MENTAL GRAHITA GANDA < Rp 500.000 Rp. 500 rb-1 jt

Rp.1 jt-1,5 jt

Rp. 1,5-jt-3 jt Rp. > 3 jt AKTE

NIKAHAKTE

LAHIRKESEHA-

TANPENDI-DIKAN RASKIN BLT ACD

21 8 22 6 4 1 23 3 1 0 0 19 19 19 19 19 19 19

8 7 14 5 1 0 4 1 0 1 0 4 4 4 4 4 4 4

25 3 20 6 2 6 7 1 7 4 1 30 30 30 30 30 30 30

19 12 31 3 0 1 8 8 1 2 0 21 21 21 21 21 21 21

114

4. Form Pendataan PATTIRO – LOMBOK BARAT

KABUPATEN 

LOMBOK BARAT

KECAMATAN 

NARMADA

NO   DESA

NAM

A PE

NDAT

A

NAMA ALAMAT

TELP

ON/H

P

JENIS KELAMIN

TANG

GAL,

BUL

AN D

AN TA

HUN

LAHI

R

PEND

IDIK

AN TE

RAKH

IR

PEKE

RJAA

N

JENI

S DIF

ABEL

SETA

TUS P

ERKA

WIN

AN

STAT

US D

ALAM

KEL

UARG

A KEPENDUDUKAN PROGRAM SOSIAL

L P

KTP KK Akta

Ke

lahi

ran

Akta

Nik

ah

KKS KIS / BPJS KIP RASKIN

1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya

2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak

        1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1

1

NYUR

LEM

BANG

JUNA

IDI E

DY SA

NTIK

A

A MARNIAH TATAR   L   31/12/1956 Tidak Tamat SD

- Tuna Daksa Kawin kk2 1 2 2 2 1 2 1

2SANI TATAR     P 01/07/1980 Tidak Tamat

SD- Tuna Daksa Cerai Mati kk

1 2 2 2 1 1 2 1

3AJIS TATAR   L   31/12/1989 Tamat SD - Tuna Netra Belum

KawinAnak

1 1 2 2 2 1 2 1

4ZAFIRA SWARA PUTRI TELAGE

NGEMBENG    P 19/10/2012 Tidak Tamat

SD- Down

SyndromBelum Kawin

Anak2 2 2 2 2 2 2 1

5DIAN INDAH LESTARI TELAGE

NGEMBENG    P 31/01/2000 Tamat SD - Down

SyndromBelum Kawin

Anak2 1 1 2 1 1 2 1

6INKA YASYA SUYANA TELAGE

NGEMBENG    P 23/07/2012 Tidak Tamat

SD- Tuna Daksa Belum

Kawinkk

2 1 1 2 2 2 2 1

7MUHAMAD MAYRANDA LIKA

TELAGE NGEMBENG

  L   02/05/2010 Tidak Tamat SD

- Down Syndrom

Belum Kawin

Anak2 1 1 2 1 1 2 1

8YUNITA ADELIA NYURLEMBANG

BARAT    P 19/06/2007 Tidak Tamat

SD- Tuna Netra Belum

KawinAnak

2 1 1 2 1 1 1 1

Inovasi Pendataan Disabilitas 115

4. Form Pendataan PATTIRO – LOMBOK BARAT

KABUPATEN 

LOMBOK BARAT

KECAMATAN 

NARMADA

NO   DESA

NAM

A PE

NDAT

A

NAMA ALAMAT

TELP

ON/H

P

JENIS KELAMIN

TANG

GAL,

BUL

AN D

AN TA

HUN

LAHI

R

PEND

IDIK

AN TE

RAKH

IR

PEKE

RJAA

N

JENI

S DIF

ABEL

SETA

TUS P

ERKA

WIN

AN

STAT

US D

ALAM

KEL

UARG

A KEPENDUDUKAN PROGRAM SOSIAL

L P

KTP KK Akta

Ke

lahi

ran

Akta

Nik

ah

KKS KIS / BPJS KIP RASKIN

1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya 1. Ya

2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak 2.Tidak

        1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1

1

NYUR

LEM

BANG

JUNA

IDI E

DY SA

NTIK

A

A MARNIAH TATAR   L   31/12/1956 Tidak Tamat SD

- Tuna Daksa Kawin kk2 1 2 2 2 1 2 1

2SANI TATAR     P 01/07/1980 Tidak Tamat

SD- Tuna Daksa Cerai Mati kk

1 2 2 2 1 1 2 1

3AJIS TATAR   L   31/12/1989 Tamat SD - Tuna Netra Belum

KawinAnak

1 1 2 2 2 1 2 1

4ZAFIRA SWARA PUTRI TELAGE

NGEMBENG    P 19/10/2012 Tidak Tamat

SD- Down

SyndromBelum Kawin

Anak2 2 2 2 2 2 2 1

5DIAN INDAH LESTARI TELAGE

NGEMBENG    P 31/01/2000 Tamat SD - Down

SyndromBelum Kawin

Anak2 1 1 2 1 1 2 1

6INKA YASYA SUYANA TELAGE

NGEMBENG    P 23/07/2012 Tidak Tamat

SD- Tuna Daksa Belum

Kawinkk

2 1 1 2 2 2 2 1

7MUHAMAD MAYRANDA LIKA

TELAGE NGEMBENG

  L   02/05/2010 Tidak Tamat SD

- Down Syndrom

Belum Kawin

Anak2 1 1 2 1 1 2 1

8YUNITA ADELIA NYURLEMBANG

BARAT    P 19/06/2007 Tidak Tamat

SD- Tuna Netra Belum

KawinAnak

2 1 1 2 1 1 1 1

116

5. Form Pendataan BAHTERA – SUMBA BARAT

Kabupaten Desa Nama

JK

Tem

pat T

anga

l Lah

ir

Usia

Alam

at

Jenis Difabel

L P

Disabilitas Netra Disabilitas Rungu Wicara Disabilitas Daksa Disabili-tas Laras

Disabili-tas

Grahita

Buta

Tota

l

Buta

Sebe

lah

Rabu

n

Julin

g

Kata

rak

Bisu

Gaga

p

Sum

bing

Tuli T

otal

Tuli

Sebe

lah

Lum

puh

Tota

l

Lum

puh

Layu

Pinc

ang

Polio

Kak

i

Polio

Tang

an

Ampu

ti Ka

ki

Ampu

ti Ta

ngan

Mat

i Seb

elah

Kerd

il

Bong

kok

Epile

psi

Albi

no

Parp

hele

gi

Lingl

ung

Gang

guan

Jiw

a

Men

tal

Autis

Sumba Barat Kodaka

Sandrianta B. Tera

1   Tadeisa, 1-7-1990

27 Tadeisa                                                   1  

   

Marabi Jala 1   Tawasang, 31-12-1949

68 Tawajang 1                   1                                

   

Maraden L.Ora 1   Waikabubak 18-4-1996

21 Ubu soga           1                                          

   Yohanis Lado Bani

1   Bodowitu, 9-7-1995

22 Bodu Witu           1     1                                    

   

Soli Ledi   1 Togoletena, 10-7-1964

53 Togoletena                           1                          

   

Bela Dama   1 Bodowitu, 1-7-1977

40 Kadogana                           1                          

Inovasi Pendataan Disabilitas 117

5. Form Pendataan BAHTERA – SUMBA BARAT

Kabupaten Desa Nama

JK

Tem

pat T

anga

l Lah

ir

Usia

Alam

at

Jenis Difabel

L P

Disabilitas Netra Disabilitas Rungu Wicara Disabilitas Daksa Disabili-tas Laras

Disabili-tas

Grahita

Buta

Tota

l

Buta

Sebe

lah

Rabu

n

Julin

g

Kata

rak

Bisu

Gaga

p

Sum

bing

Tuli T

otal

Tuli

Sebe

lah

Lum

puh

Tota

l

Lum

puh

Layu

Pinc

ang

Polio

Kak

i

Polio

Tang

an

Ampu

ti Ka

ki

Ampu

ti Ta

ngan

Mat

i Seb

elah

Kerd

il

Bong

kok

Epile

psi

Albi

no

Parp

hele

gi

Lingl

ung

Gang

guan

Jiw

a

Men

tal

Autis

Sumba Barat Kodaka

Sandrianta B. Tera

1   Tadeisa, 1-7-1990

27 Tadeisa                                                   1  

   

Marabi Jala 1   Tawasang, 31-12-1949

68 Tawajang 1                   1                                

   

Maraden L.Ora 1   Waikabubak 18-4-1996

21 Ubu soga           1                                          

   Yohanis Lado Bani

1   Bodowitu, 9-7-1995

22 Bodu Witu           1     1                                    

   

Soli Ledi   1 Togoletena, 10-7-1964

53 Togoletena                           1                          

   

Bela Dama   1 Bodowitu, 1-7-1977

40 Kadogana                           1                          

118

FORMULIR PENDATAAN DIFABELKABUPATEN SUKOHARJO

TAHUN 2016

Nomor FormulirKecamatanTanggalPendataan

: .........................................: .........................................: .........................................

PetugasPendataInstansi/LembagaNomor HP/Telp

: .........................................: .........................................: .........................................

A. DATA PERSONAL DIFABEL

Nama lengkap : .................................................................................... (L/P )*

Tempat/Tanggal Lahir : ............................., ............................/ Umur : ..........................

Status : a. Menikah b. Tidak menikah c. Janda / Duda *

Dokumen : a. KTP (Ada/Tidak) c. SIM (Ada/Tidak)

Kewarganegaraan b. KK (Ada/Tidak) d. Akta Kelahiran (Ada/Tidak)

Nomor KK : ..................................................................................................................

N I K : ..................................................................................................................

Alamat Lengkap :...........................................................................RT ........../RW ..............

Desa/Kelurahan............................ Kecamatan ...............................

Nomor HP / Telp. : ..................................................................................................................

Pendidikan Terakhir : Tidak sekolah / PAUD / TK/ SD / SMP /SMU(SMK)/ PT*

Nama Sekolah / PT : .....................................................( Lulus / Tidak lulus )*

B. JENIS DISABILITAS DAN KESEHATAN

Jenis Disabilitas :

a. Daksa (Fisik/Tubuh) d. Rungu Wicara g. Mental/Gangguan jiwa j. Ganda b. Intelektual/Retardasi e. Rungu h. Sensorik (Autis,dll) k. Lainnya...............c. Eks Kronis (Kusta, dll) f. Wicara i. Netra .............................

Keterangan disabilitas : ( Berat / Ringan )*....................................................................................................................................................

Penyebab Kedisabilitasan : ( Sejak lahir / Sakit / Kecelakaan )*Lainnya, sebutkan ........................................................................................................................

Inovasi Pendataan Disabilitas 119

Diagnosa medis yang masih membutuhkan perawatan/pengobatan : ........................................

....................................................................................................................................................

Penyakit lain yang pernah/sedang diderita : (Jantung, Kanker, Gagal ginjal, Kelainan darah,Gangguan jiwa)* Lainnya ....................................................................................................................

Tempat melakukan pengobatan atau perawatan:

a. Rumah c. Rumah Sakit e. Alternatif

b. Puskesmas d. Dokter Praktik f. Lainnya, ...................................................

1. Bila di rumah, siapa yang melakukan pengobatan atau perawatan:

a. Sendiri b. Keluarga c. Petugas Kesehatan d. Lainnya………….

2. Kemampuan difabel melakukan aktivitas sehari-hari : ( Berdiri / Berjalan / Mandi / BAB/ BAK Berpakaian /Makan / Berpindah tempat / Pengendalian diri ) *

a. Mandiri b. Dibantu

3. Jika (no. 7) masih dibantu dalam hal apa ..................................................................................................................................... dan siapa yang membantu .............................................

4. Membutuhkan alat bantu : a. Ya b. Tidak

5. Alat bantu yang dibutuhkan :

a. Kursi roda c. Kruk e. Canadian/Kencreng g. Tongkat putih

b. Walker d. Kaki Palsu f. Alat bantu dengar h. Lainnya.........................

6. Alat bantu yang dimiliki : .........................................................................................................

7. Kondisi alat bantu : a. Baik b. Tidak bisa digunakan c. Rusak, perlu perbaikan

8. Jaminan kesehatan : (Punya / Tidak punya ) *

a. PBI b. Non PBI c. Mandiri d. Jamkesda

9. Cara menggunakan Jaminan kesehatan :

a. Tahu b. Tidak tahu

10. Jaminan Sosial : ( Punya / Tidak Punya )*

a. Kartu Perlindungan Sosial c. Kartu Keluarga Sejahtera

b. Kartu Indonesia Pintar d. Lainya (asuransi dll)............................................

120

C. DATA ANGGOTA KELUARGA

No Nama NIK L/P Tanggal lahir PekerjaanPenghasilan/

BulanHubungan

dengan Difabel1

2

3

4

5

( Harap dilampiri Foto Copy KK )Jumlah Anggota keluarga yang disabilitas berapa: .........................................................................................Keterangan (orangtua/kakak/adik/lainnya): ...................................................................................................

D. EKONOMI DAN KETRAMPILAN

1. Pekerjaan : ( Bekerja/ Tidak)*

Jika bekerja : Wiraswasta/PNS/Karyawan * jika Karyawan dimana ........................................................ Jika tidak kenapa......................................................................................................................................

2. Pendapatan /bln Rp........................................... Pengeluaran/bln. Rp .................................................

3. Sumber pendapatan lainnya: ........................................Jumlah / bln. Rp ..............................................

4. Jumlah pengeluaran perbulan: Rp .......................................................................................................

5. Minat kerja difabel : ................................................................................................................................

6. Ketrampilan yang dimiliki: ......................................................................................................................

7. Pelatihan yang pernah diikuti: ...............................................................................................................

Dimana ....................................................... Lama pelatihan .............................. (hari/bulan/tahun).

8. Pelatihan yang diminati ...........................................................................................................................

Inovasi Pendataan Disabilitas 121

E. KONDISI RUMAH

1. Status rumah : a. Sendiri b.Orang tua c. Kontrak/Kost d. .............................

2. Lantai : a. Tanah b.Semen c. Keramik d. .............................

3. Kamar Mandi : a. Ada b. Tidak

4. WC : a. Ada b. Tidak

5. Aksesibiltas di rumah dan lingkungan sekitarnya : ( Akses / Tidak Akses )*

Jelaskan ……………………………………………………………………………………

6. Dinding rumah : a. Tembok b. Gedhek c. Lainnya ....................................................

7. Sarana air bersih : a. Sumur b. PDAM c. Lainnya ....................................................

8. Penerangan : a. Listrik b. Lampu minyak c. Lainnya ....................................................

F. LINGKUNGAN SOSIAL

1. PAUD di Desa : ( Ada / Tidak ada ) * Sebutkan ....................................................................................

PAUD memiliki murid difabel : a. Ada, ................ anak b. Tidak ada

2. TK di Desa/Kelurahan : ( Ada / Tidak ada ) * Sebutkan .....................................................................

TK memiliki murid difabel : a. Ada, ................ anak b. Tidak ada

3. SLB di wilayah kecamatan: ( Ada / Tidak ada ) *

Sebutkan .................................................................................................................................................

4. SD (Sekolah Dasar) di Desa/Kelurahan yang menerima ABK :

a. Ada, Sebutkan ........................................................................ b. Tidak ada

5. SMP di wilayah Kecamatan yang menerima ABK :

a. Ada, Sebutkan ........................................................................ b. Tidak ada

6. SMA/SMK di wilayah Kecamatan yang menerima ABK :

a. Ada, Sebutkan ....................................................................... b. Tidak ada

7. Jumlah Posyandu di Desa/Kelurahan: ......................... buah

8. Kader Posyandu bertemu secara rutin :

a. Ya b. Tidak

9. Layanan kesehatan di desa:

a. Ada, Sebutkan ...................................................................... b. Tidak ada

122

G. PARTISIPASI SOSIAL

1. Sosialisasi ke tetangga :

a. Setiap hari b. Jika ada perlu c.Tidak pernah d. .............................

2. Keterlibatan dalam organisasi masyarakat: .........................................................................................

3. Kegiatan di masyarakat yang paling sering diikuti: ..........................................................................

4. Keterlibatan dalam Musrenbang : a.Pernah, kapan ................................. b. Tidak pernah

H. BANTUAN SOSIAL YANG PERNAH DITERIMA

1. Alat bantu berupa ......................................................Dari ..............................................Tahun .............

2. Bantuan UEP ( Usaha Ekonomi Produktif ) :

a. Modal Usaha, nominal Rp .....................................Dari ..........................................Tahun .............b. Peralatan UEP, berupa ..........................................Dari ..............................................Tahun .............

3. Lainnya, Sebutkan ...................................................................................................................................

I. LAIN-LAIN

1. Rehabilitasi : ( Pernah / Belum ) *

a. Pernah, dimana..............................................................Tahun/berapa lama................................b. Belum, alasan ..........................................................................................................................................

2. Keahlian khusus yang dimiliki :

a. Bidang Olahraga : ..................................................................................................................b. Bidang Seni : ..................................................................................................................c. Bidang teknik : .......................... .......................................................................................d. Lainnya : ..................................................................................................................

3. Prestasi yang pernah diraih :

a. Bidang Pendidikan : ..................................................................................................................b. Bidang Kesenian : ..................................................................................................................c. Bidang Olahraga : ..................................................................................................................d. Lainnya : ..................................................................................................................

4. Kontak yang bisa dihubungi :

a. Nama : ..............................................................................................................b. Hubungan dengan Difabel : ..............................................................................................................c. Nomor HP/Telp. : ..............................................................................................................

J. CATATAN

..........................................................................................................................................................................

..........................................................................................................................................................................

..........................................................................................................................................................................

..........................................................................................................................................................................

..........................................................................................................................................................................

..............................................................................................................................................................*Coret yang tidak perlu

K. PHOTO

Petugas VerifikasiDinas Sosial Kab. Sukoharjo

( ..............................................)

Sukoharjo, ....................................... 2016Petugas Pendata

( ...............................................)