IDENTIFIKASI ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR KARO PADA GEREJA KHATOLIK INKULTURATIF ST. FRANSISKUS ASISI...

11
1 IDENTIFIKASI ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR KARO PADA GEREJA KHATOLIK INKULTURATIF ST. FRANSISKUS ASISI BERASTAGI 1 Ir. Dwi Lindarto Hadinugroho, MT Philip Prusihean Sembiring Departmen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater, Kampus USU Medan 20155, Indonesia [email protected], [email protected] ABSTRAK Gereja Khatolik Inkulturatif Karo Santo Fransiskus Asisi memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan adanya adaptasi bentuk bangunan terhadap nilai kearifan lokal yang ada di Kota Berastagi. Gereja paroki Berastagi ini didirikan dengan menerapkan elemen-elemen arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini. Inkulturasi adalah sebuah istilah yang mulai didengungkan oleh dan dalam Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan - II (1962- 1964). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa unsur-.unsur tertentu dari suatu budaya boleh dimasukkan dalam kekristenan dan unsur-unsur kekristenan boleh diterjemahkan dalam budaya tertentu tanpa meng-khianati satu sama lain. Tujuan dari inkulturasi antara lain adalah agar iman kristiani diakarkan dalam budaya tertentu demi penghayatan iman yang lebih mantap. Kata kunci: Gereja Khatolik Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi, Arsitektur Karo, Inkulturasi. ABSTRACT Karo Inculturatif Khatolik Church of St. Fransiskus Assisi has its own uniqueness, namely with the adaptations building forms against the value of existing local wisdom in the town of Berastagi. The parish church was founded by applying Berastagi elements of architecture of Karo Karo home considering a unique, sturdy, artistic, religious and communal in nature, and given the fact that Karo now home had started to disappear in the reality of life as a residential home. The Church felt the need to preserve its values the great given the lofty Church task in upholding the values of the culture of all Nations and tribes in the world. Inculturation is a term that started by the Council and in the Catholic Church since Vatican Council II (1962-1964). With the term it is intended that the elements of a particular element. of a culture could be incorporated in the Christianity and Christian elements can be rendered in a particular culture without deceiving one another. The purpose of inculturation among others is to diakarkan the Christian faith in a particular culture for the sake of the faith more steady. Key word: Karo Inculturatif Khatolik Church Of St. Fransiskus Assisi, Architecture of Karo, Inculturation. 1 Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Mata Kuliah Studi Perencanaan Lingkungan Binaan 2, Departement Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

Transcript of IDENTIFIKASI ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR KARO PADA GEREJA KHATOLIK INKULTURATIF ST. FRANSISKUS ASISI...

1

IDENTIFIKASI ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR KARO PADA GEREJA

KHATOLIK INKULTURATIF ST. FRANSISKUS ASISI BERASTAGI1

Ir. Dwi Lindarto Hadinugroho, MT

Philip Prusihean Sembiring

Departmen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Jl. Almamater, Kampus USU Medan 20155, Indonesia

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Gereja Khatolik Inkulturatif Karo Santo Fransiskus Asisi memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan

adanya adaptasi bentuk bangunan terhadap nilai kearifan lokal yang ada di Kota Berastagi. Gereja paroki Berastagi

ini didirikan dengan menerapkan elemen-elemen arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang unik, kokoh, artistik,

bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam

kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat

tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini. Inkulturasi

adalah sebuah istilah yang mulai didengungkan oleh dan dalam Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan - II (1962-

1964). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa unsur-.unsur tertentu dari suatu budaya boleh dimasukkan dalam

kekristenan dan unsur-unsur kekristenan boleh diterjemahkan dalam budaya tertentu tanpa meng-khianati satu sama

lain. Tujuan dari inkulturasi antara lain adalah agar iman kristiani diakarkan dalam budaya tertentu demi

penghayatan iman yang lebih mantap.

Kata kunci: Gereja Khatolik Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi, Arsitektur Karo, Inkulturasi.

ABSTRACT

Karo Inculturatif Khatolik Church of St. Fransiskus Assisi has its own uniqueness, namely with the adaptations

building forms against the value of existing local wisdom in the town of Berastagi. The parish church was founded

by applying Berastagi elements of architecture of Karo Karo home considering a unique, sturdy, artistic, religious

and communal in nature, and given the fact that Karo now home had started to disappear in the reality of life as a

residential home. The Church felt the need to preserve its values the great given the lofty Church task in upholding

the values of the culture of all Nations and tribes in the world. Inculturation is a term that started by the Council

and in the Catholic Church since Vatican Council II (1962-1964). With the term it is intended that the elements of a

particular element. of a culture could be incorporated in the Christianity and Christian elements can be rendered in

a particular culture without deceiving one another. The purpose of inculturation among others is to diakarkan the

Christian faith in a particular culture for the sake of the faith more steady.

Key word: Karo Inculturatif Khatolik Church Of St. Fransiskus Assisi, Architecture of Karo, Inculturation.

1Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Mata Kuliah Studi Perencanaan Lingkungan

Binaan 2, Departement Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

2

I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Gereja Khatolik Inkulturatif Karo Santo

Fransiskus Asisi memiliki keunikan tersendiri,

yaitu dengan adanya adaptasi bentuk bangunan

terhadap nilai kearifan lokal yang ada di Kota

Berastagi. Gereja paroki Berastagi ini

didirikan dengan menerapkan elemen-elemen

arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang

unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan

komunal, dan mengingat kenyataan bahwa

sekarang rumah Karo sudah mulai hilang

dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah

hunian. Gereja merasa perlu melestarikan

nilai-nilainya yang agung mengingat tugas

Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi

nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di

dunia ini.

Arsitektur tidak pernah terlepas dari

adanya tiga aspek utama yaitu fungsi, bentuk

dan makna, dalam hal ini makna dari fungsi

dan bentuk arsitektur gereja Katolik dalam

proses inkulturasi. Gereja ditujukan untuk

mengantarkan kebenaran, keyakinan dan

membawa para penganutnya kepada tindakan

yang diharapkan sesuai hakekat agama

Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu

menjadi simbol kesakralan, ekspresi konsep

teologi, membawa makna atau berperan

langsung dalam pembentukan sebuah makna

bagi komunitas Kristen (Sutrisno 1993; Gavril

2012). Makna-makna ini tertuang baik dalam

wujud arsitekturnya secara keseluruhan,

maupun dalam elemen-elemen simbolik yang

ada pada objek arsitekturnya (Sutrisno 1993).

Masyarakat Indonesia sejak dahulu

terbukti bersikap sangat terbuka terhadap

masuknya gagasan baru dalam kebudayaan,

sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman

budaya yang sangat tinggi. Bagaimana hakekat

agama Katolik yang berasal dari Eropa dapat

disinergikan dengan potensi lokal dalam

bentuk, fungsi dan makna arsitektur Gereja?

Melalui pengkajian ketiga aspek utama

arsitektur tersebut diharapkan dapat diperoleh

pemahaman tentang perkembangan dan

penafsiran kembali arsitektur lokal di

Indonesia.

Hal ini yang melatarbelakangi peneliti

untuk memilih judul “Identifikasi Elemen-

Elemen Arsitektur Karo Pada Gereja

Khatolik Inkulturatif St. Fransiskus Asisi

Berastagi” dengan tujuan untuk

mengidentifikasi elemen-elemen Arsitektur

Karo yang terdapat pada Gereja Khatolik

Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi

Berastagi.

II. TINJAUAN TEORI

a. Pengertian Arsitektur Karo

Masri Singarimbun (1975:55)

menjelaskan, bahwa pengertian rumah adat

Batak Karo tidak hanya terkait dengan

fungsinya, tetapi yang berkaitan dengan proses

pendiriannya, “There are so many adat rules

governing erecting and occupying the house,”

said Pa Sali, are prominent priest, “ deep is

way is this called adat house” (Ada begitu

banyak aturan adat yang mengatur dalam hal

mendirikan dan menempati rumah tersebut’

kata Pa Sali, pemuka agama yang berpengaruh

di tempat tersebut, “itulah mengapa dinamakan

rumah adat). Dengan demikian rumah adat

Batak Karo adalah seni bangunan (arsitektur)

yang mengandung berbagai bentuk dan makna

simbolis, sebagai tempat tinggal menjalankan

3

fungsi-fungsi keluarga berdasarkan sistem

kekerabatan dan sistem kepercayaannya.

Arsitektur rumah adat Batak Karo

berdasarkan anatomi konstruksinya dapat

dibagi kedalam tiga susunan, Achim Sibeth

menjelaskan:

The space for animals below the living level

simbolizes the underworld. The living level,

raised on pillars above the underworld, Is

where humans dwell. Above this is the high

roof, which corresponds to the abode of the

gods and also sometimes of the ancestors

(Achim Sibeth, 1991:115). (Ruang untuk

binatang di bawah lantai ruang keluarga

melambangkan dunia bawah. Lantai keluarga,

yang berdiri di atas pilar-pilar di atas dunia

bawah, adalah tempat tinggal manusia. Di

atasnya ada atap tinggi, yang sesuai dengan

tempat kediaman dewa (Tuhan) dan juga

kadang-kadang nenek moyang.)

b. Jenis Rumah Adat Karo

Masri Singarimbun (1975) menjelaskan,

bahwa Rumah Adat Karo dapat dibedakan

menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari dua

hal, yaitu :

a. Bentuk Atapnya

b. Binangunnya (rangka)

Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah

adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu :

a. Rumah sianjung-anjung

Rumah sianjung-anjung adalah rumah

bermuka empat atau lebih, yang dapat juga

terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi

bertanduk.

Gambar 1. Jenis Atap Rumah Sianjung-anjung

b. Rumah Mecu.

Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya

sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang

tanduk.

Gambar 2 Jenis Atap Rumah Mecu

Sementara menurut binangun, rumah adat

Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:

1). Rumah Sangka Manuk.

Rumah sangka manuk yaitu rumah yang

binangunnya dibuat dari balok tindih-

menindih.

4

Gambar 3 Rumah Sangka Manuk

2). Rumah Sendi

Rumah sendi adalah rumah yang tiang

rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain

dihubungkan dengan balok-balok sehingga

bangunan menjadi sendi dan kokoh.

Gambar 4 Rumah Sendi

Gambar 5 Detail Struktur Rumah Sendi

b. Definisi Fasad

Fasad (facade) berasal dari kata Latin

facies yang berarti face (wajah) dan

appearance (penampilan). Oleh karena itu,

fasad identik dengan bagian depan suatu

bangunan yang menghadap ke jalan. Menurut

Krier (2001), fasad merupakan elemen

arsitektur terpenting yang dapat

mengekspresikan fungsi serta makna suatu

bangunan. Fasad menyampaikan fenomena

budaya pada masa bangunan itu dibangun

(Krier, 2001). Fasad suatu bangunan dapat

mencerminkan penghuni bangunannya, fasad

juga menjadi identitas bagi suatu komunitas,

dan pada akhirnya fasad menjadi representasi

suatu komunitas kepada publik (Krier, 2001).

Komposisi suatu fasad harus

mempertimbangkan semua aspek fungsional

misalnya jendela, dinding, pelindung matahari,

bidang atap, hal ini berhubungan dengan

penciptaan kesatuan yang harmonis antara

proporsi yang baik, penyusunan struktur

vertikal dan horisontal, bahan, warna, dan

elemen dekoratif. Salah satu aspek penting

dalam pembuatan fasad adalah untuk membuat

perbedaan antara elemen vertikal dan

horisontal, yang masing-masingnya dapat

menciptakan efek tersendiri. Proporsi elemen

tersebut harus sesuai terhadap keseluruhan

fasadnya.

Sebagai suatu kesatuan, fasad tersusun

dari elemen-elemen tunggal. Elemen-elemen

tunggal ini merupakan suatu kesatuan

tersendiri yang mampu mengekspresikan diri

mereka sendiri. Elemen-elemen tersebut antara

lain atap, jendela, dan sebagainya merupakan

benda-benda yang berbeda yang memiliki

bentuk, warna, dan bahan yang berbeda. Setiap

bagian ini harus tetap menonjol secara

5

individual meskipun mereka juga satu

kesatuan.

Elemen-elemen Pembentuk Fasad.

Menurut Krier (2001) elemen-elemen

pembentuk fasad bangunan, antara lain adalah

sebagai berikut:

a) Entrance

Pintu masuk bangunan merupakan

area peralihan dari luar bangunan yang bersifat

publik menuju ke dalam bangunan yang

bersifat lebih privat. Pada umumnya pintu

masuk utama bangunan terlihat menonjol.

Gambar 6 Contoh Main Entrance pada Hotel

Bumi Minang Padang-Sumbar

b) Pintu dan jendela

Pintu memiliki peranan yang penting

dalam menentukan arah dan makna yang tepat

pada suatu ruang. Pintu memiliki makna yang

bermacam-macam , tergantung dari tujuannya.

Ukuran pintu tidak selalu bergantung pada

skala tubuh manusia. Peletakan pintu

ditentukan sesuai dengan fungsinya.

Gambar 7 Ragam Jenis Pintu

Jendela berfungsi sebagai salah satu

sumber cahaya alami. Dari jendela, cahaya

matahari dari luar menembus ke dalam

ruangan. Penempatan jendela tidak hanya

penting dalam menerangi ruang dalam, jendela

juga menghadirkan pemandangan pada suatu

ruang. Jendela membingkai pemandangan

tertentu dan membentuk ruang riil.

Gambar 8 Berbagai Jenis Jendela

c) Dinding

Dinding memiliki peranan yang

penting dalam pembentukan fasad bangunan

seperti halnya jendela. Bagian khusus dari

suatu bangunan dapat ditonjolkan melalui

pengolahan dinding yang menarik, yang bisa

didapatkan dari pemilihan material, ataupun

cara finishing dari dinding itu sendiri, seperti

warna cat, tekstur, dan juga tekniknya.

Permainan kedalaman dinding juga dapat

digunakan sebagai salah satu cara untuk

menonjolkan fasad bangunan.

d) Lantai dasar

Lantai dasar adalah alas dari suatu

bangunan. Lantai dasar merupakan elemen

yang penting dalam perkotaan karena

berhubungan langsung dengan tanah. Lantai

dasar memilii makna tertentu dalam perkotaan

karena menjadi bagian penerima manusia, dan

biasanya dijadikan fungsi komersial.

6

e) Atap

Atap merupakan kepala atau mahkota

bangunan, atap adalah perwujudan kebanggan

dan martabat dari bangunan itu sendiri. Secara

visual atap merupakan akhiran dari fasad

bangunan, dan merupakan titik terakhir yang

dilihat pada suatu bangunan. Perlunya bagian

atap ini diperlakukan dari segi fungsi dan

bentuknya, atap adalah bagian atas bangunan

yang menjadi batas akhir bangunan dalam

konteks vertikal.

Gambar 9 Berbagai Model Bentuk Atap

f) Ornamen

Ornamen adalah seni dekoratif yang

biasanya dimanfaatkan untuk menambah

keindahan suatu benda. Dalam suatu bangunan

ornamen menjadi pelengkap unsur visual pada

fasad. Ornamen menambah nilai estetika suatu

bangunan.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian awal yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Metode ini digunakan memperoleh

data-data fisik di lapangan, dengan variabel

berikut ini.

Tabel 1. Variabel penelitian

Data-data yang telah terkumpul dari

metode deskriptif kualitatif dan metode survey

kemudian akan dianalisa sesuai dengan

karakter Gereja Khatolik Inkulturatif Karo St.

Fransiskus Asisi Berastagi dengan bangunan

Rumah Adat Karo. Setelah melakukan metode

analisa tersebut, maka akan ditarik kesimpulan

dari infomasi yang telah diolah.

IV. DESKRIPSI KAWASAN

a. Peta Kawasan

Lokasi penelitian berada pada kota

Berastagi tepatnya terletak di desa Sempa Jaya

dan dan diresmikan dan diberkati oleh Uskup

Agung Medan Mgr. Pius Datubara Medan

OFMCap pada Februari 2005. Berikut adalah

Gambar bangunan Gereja Khatolik Inkulturatif

7

Karo Berastagi yang bisa dilihat pada gambar

berikut.

Gambar 10 Gereja Khatolik Inkulturatif Karo

Berastagi

Sejarah Singkat Gereja Inkulturatif Karo

Pada bulan April 1998 Uskup Agung

Medan Mgr. A.G.P Datubara memindakan

Pastor Leo Joosten (Samosir) ke Kabanjahe

dan memohon supaya pastor Leo itu

membangun gereja Inkulturatif Batak Toba di

Pangururan. Dewan Pastoral di Pangururan.

Dewan Pastoral Paroki Kabanjahe bersama

pastor memilih Berastagi sebagai tempat yang

paling cocok untuk pembangunan gereja

inkulturatif Karo ini. Dengan bantuan dari Nd.

Anita br Surbakti (Ketua WKRI Berastagi),

Merdeka Sembiring, Pastor Paulinus Simbolon

(Vikjen KAM) Pastor Leo berhasil membeli

sebidang tanah (8000 m2) atas nama

Keuskupan Agung Medan dari Hota Bukit

Kubu (keluarga Nelang Sembiring).

Pada tanggal 9-10 Agustus 1999 di

Maranatha Berastagi (pusat retret suste FSE)

dilaksanakan suatu Loka Karya tentang

budaya Karo yang berhubungan dengan

rencana pembangunan gereja inkulturatif

Karo. Loka Karya ini dibuka di kantor Bupati

oleh Bapak Bupati D.D. Sinulingga yang

sangat mendukung gereja inkulturatif Karo ini.

Yang member bahan masukan antara lain Bp

Adrianus Ganjangen Sitepu (Sukanalu) dan

Nempel Tarigan (Seberaya) sebagai pakar adat

Karo, Pastor Immanuel S. Kembaren dan

Pastor Ivo Simanullang sebagai penceramah

tentang gereja dan inkulturasi. Seterusnya

beberapa tokoh-tokoh adat dan arsitek dari

Unika Medan dan Pusat Teknik Katolik

Pematang Siantar (Bruder Anianus Snik

OFMCap).

Dari semua gambar yang dibuat dalam

Loka Karya itu dipilih gambar bangunan dari

Unika (Ir. Henry Lumban Gaol). Gambar ini

diperbaiki lagi oleh Bruder Anianus dan

akhirnya diterima oleh semua peserta Loka

Karya. Setelah itu, gambar gereja itu

disampaikan kepada Uskup Agung Medan

Mgr. Pius menyetujui bahwa gereja akan

dibangun oleh kepala Pusat Teknik Katolik

Keuskupan Agung Medan yaitu Bruder

Anianus OFMCap.

Pesta pemberkatan Gereja dan

peresmian stasi Berastagi menjadi paroki

tersendiri (dengan 20 stasi) diadakan pada

tanggal 20 Februari 2005. Bersama Sembiring

dipilih menjadi Ketua Umum Panitia

pemberkatan/peresmian gereja itu. Misa

Agung dipimpin oleh Mgr. Pius Datubara,

Uskup Agung Medan, Uskup Padang, Mgr.

Martinus D. Situmorang bersama 50 imam

dari dalam dan luar negeri.

V. ANALISIS BANGUNAN GEREJA

KHATOLIK INKULTURATIF KARO

BERASTAGI

Pengertian Inkulturasi

Inkulturasi adalah sebuah istilah yang

mulai didengungkan oleh dan dalam Gereja

Katolik sejak Konsili Vatikan - II (1962-

1964). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa

unsur-.unsur tertentu dari suatu budaya boleh

dimasukkan dalam kekristenan dan unsur-

8

unsur kekristenan boleh diterjemahkan dalam

budaya tertentu tanpa meng-khianati satu

sama lain. Tujuan dari inkulturasi antara lain

adalah agar iman kristiani diakarkan dalam

budaya tertentu demi penghayatan iman yang

lebih mantap.

Nubuat Yesaya: "Rumahku akan

disebut rumah doa bagi segala bangsa"

menjadi kenyataan baik bagi umat katolik

Berastagi dan para wisatawan dari manca

negara yang telah mengunjungi gereja

inkulturatif karo ini.

Gereja Katolik di Berastagi yang telah

dibangun dengan tuangan inkulturatif, secara

khusus mau mengangkat budaya karo yang

dibaurkan dengan kekristenan, tidak

mengandung pengertian ekslusif (dalam hal ini

suku karo). Gereja Berastagi itu tetap bersifat

Katolik (umum, mau merangkul segala suku

dan bangsa).

Analisa Rumah Adat Karo

Rumah adat Karo dikenal cukup indah

dan unik, apalagi kalau diukir mukanya (ayo).

Memang dulu mendirikan rumah adat

dianggap sebagai pekerjaan besar yang

memakan waktu satu tahun. Dipakai sistem

bertahap-tahap dan selalu dilakukan secara

gotong royong seluruh kampung. Kegiatan

gotong-royong tersebut dihubungkan pula

dengan system kekeluargaan (sangkep sitelu).

Pemasangan tanduk kerbau pada ramah adat

adalah keharasan dan tidak boleh diabaikan.

Pada umunya ramah adat Karo terdiri dari

delapan "jabu". Susunan jabu tersebut diatur

sesuai dengan kedudukan keluarga yang

tinggal di ramah adat itu. Jabu artinya satu

bagian ruangan yang ada di dalam ramah besar

itu. Jabu itu sebagai tempat tinggal satu

keluarga. Semua keluarga yang menghuni

ramah adat itu memiliki pertalian keluarga satu

sama lain. Rumah adat Karo mempunyai

"ayo".

Gambar 11 Rumah Adat Karo

"Ayo" dimaksudkan ialah muka bagian

atas ramah Karo yang dibuat dari anyaman

bambu diberi corak dengan cat, bentuknya

segitiga. Di puncak atap dipasang tanduk

kerbau yang menjauhkan segala kejahatan dari

ramah itu, dan menjadi pelindung isi ramah

itu. Sekarang orang Karo tidak begitu suka lagi

tinggal di rumah adat mereka dan tidak

memelihara lagi rumah traditional nenek

moyang mereka. Tinggal hanya 19 rumah

traditional di Tanah Karo dan rumah-rumah ini

pun sudah dalam keadaan rusak. Tiang-tiang

sudah patah dan ijuk terletak dalam air dan

lumpur. Patung malaikat pelindung.

9

Gambar 12 Atap Gereja St. Fransiskus Asisi

Berastagi

Di bagian bawah gereja inkulturatif

tanduk kerbau diganti dengan patung malaikat

pelindung. Dalan Gereja Katolik dikenal

malaikat-malaikat yang melindungi manusia

dari segala mara bahaya dan kejahatan. Gereja

percaya bahwa Tuhan Allah memberikan

kepada setiap orang beriman seorang malaikat

pelindung. Dalam Buku Keluaran 23:22

tertulis: "Sesungguhnya Aku mengutus

seorang malaikat berjalan di depanmu untuk

melindungi engkau di jalan dan untuk

membawa engkau ke tempat yang telah

Kusediakan".

kaitan Elemen-elemen Arsitektur Karo

pada Bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi

Berastagi dengan Bangunan Rumah Adat

Karo.

Bagian Atap

Gambar 11 Perbandingan Atap Gereja

St.Fransiskus Asisi Berastagi dan Rumah Adat

Karo

Bentuk Atap

Dapat di lihat pada gambar diatas,

bahwa dari bentuk atap Gereja St. Fransiskus

Asisi Berastagi menyerupai bentuk atap pada

Rumah Adat Karo.

Material

Dapat di lihat pada gambar diatas,

bahwa material atap pada Gereja St.

Fransiskus Asisi adalah menggunakan atap

genteng sedangkan material pada bangunan

Rumah Adat Karo adalah ijuk. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa bangunan Gereja St.

Fransiskus Asisi di bangunan pada masa

modern, sehingga bahan material yang berada

pada bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi

lebih modern, sedangkan material yang berada

di Rumah Adat Karo masih menggunakan

material yang bersifat tradisional.

Bagian Dinding

Gambar 12 Perbandingan dinding Gereja

St.Fransiskus Asisi Berastagi dan Rumah Adat

Karo

Bentuk Dinding

Dapat dilihat bahwa pada dinding

Gereja St. Fransiskus Asisi mengalami

perubahan bentuk, jika di bandingkan dengan

bentuk dinding pada bangunan Rumah Adat

Karo. Dinding pada bangunan Rumah Adat

Karo memiliki sudut kemiringan sekitar 40°

keluar. Pada bangunan Gereja St. Fransiskus

Asisi, dindingnya juga memiliki sudut

kemiringan sekitar 40° keluar, namun

memiliki tambahan dinding yaitu pada bagian

10

kolong yang biasanya berada pada bangunan

Rumah Adat Karo ada kolong rumahnya, yang

berfungsi sebagai tempat kandang hewan

ternak yang dimiliki oleh pemilik rumah,

tetapi pada bangunan Gereja St. Fransiskus

Asisi dibuat untuk jadi ruang, sehingga

bentukan struktur kolong pada Rumah Adat

Karo diterapkan pada bagian dinding dari

bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi.

Sehingga pada bagian ruang dalam dari Gereja

St. Fransiskus Asisi menjadi luas dengan

adanya perubahan tersebut. Perubahan ini

memiliki keunikan tersendiri bagi bangunan-

bangunan Gereja lain pada umumnya.

Material

Dapat dilihat pada gambar diatas bahan

material pada bangunan Gereja St. Fransiskus

Asisi adalah berbahan batu dan juga beton

bertulang, jika dibandingkan dengan material

dinding pada bangunan Rumah Adat Karo

yang berbahan material kayu. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa perubahan bahan material

dipengaruhi oleh zaman dimana bangunan itu

didirikan, akan tetapi keberlanjutan dari model

bangunan Rumah Adat Karo tidak terhenti

dikarenakan perbedaan zaman, meskipun

bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi berbahan

modern tetapi kesan Rumah Adat Karo masih

bisa dirasakan sampai pada saat ini bahkan

pada bangunan Ibadah.

Sudut Dinding

Gambar 13 Perbandingan Sudut dinding

Gereja St.Fransiskus Asisi Berastagi dan

Rumah Adat Karo

Bentuk

Dapat dilihat bahwa pada sudut

dinding dari bangunan Gereja St. Fransiskus

Asisi masih menerapkan model bentuk sudut

dinding dari Rumah Adat Karo yang biasa

disebut dengan istilah cuping-cuping. Jika

pada bangunan Rumah Adat Karo, cuping-

cuping adalah terbuat dari kayu yang sudah

tua, yang berupa lembar papan yang berukuran

4x30cm. Posisinya terletak pada sudut-sudut

dinding yang berfungsi untuk menahan dan

memikul dinding. Pemasangannya dengan

menggunakan sambungan pen. Cuping ini

dibentuk dengan pola ukiran. Perbedaan yang

dimiliki oleh cuping-cuping pada Gereja St.

Fransiskus Asisi adalah pada bahan

materialnya dan juga ukuran, bahan

materialnya adalah dengan batu kemudian

ukurannya juga lebih besar 2 x lipat dari

cuping-cuping di Rumah Adat Karo.

Dinding dan kolong dinding

Gambar 14 Perbandingan kolong dinding

Gereja St.Fransiskus Asisi Berastagi dan

Rumah Adat Karo

Bentuk

Dapat dilihat pada Gambar diatas

bahwa pada bangunan Gereja St. Fransiskus

Asisi masih menerapkan bentuk struktur

panggung yang biasanya terletak di bagian

kolong Rumah Adat Karo.

Material

Dapat di lihat pada gambar diatas

bahwa bagian struktur panggung Rumah Adat

Karo yang berada di bagian kolong berbahan

11

material kayu. Berbeda dengan yang berada

pada bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi

yang berbahan material beton, kemudian

fungsinya juga sudah mengalami perubahan,

pada bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi

dibagian kolong panggung dijadikan dinding

dan juga ruangan ibadah. Sebenarnya ini lebih

kepada bentuk tampilan struktur yang

menyerupai struktur Rumah Adat Karo, bukan

kepada fungsionalnya.

VI. KESIMPULAN

1). Gereja St. Fransiskus Asisi Berastagi

menerapkan elemen-elemen Arsitektur

Karo pada bangunannya, tetapi

perbedaan yang mendasar adalah bahan

materialnya lebih kepada bahan

material yang sudah modern tidak

sama dengan bahan material

bangunan yang berada di Rumah Adat

Karo yang masih menggunakan

bahan material tradisional.

2). Penerapan elemen-elemen Arsitektur

Karo pada bangunan Gereja St.

Fransiskus Asisi Berastagi

mencerminkan bahwa gereja juga ikut

menjadi bangunan yang bisa

menambah identitas diri dari sebuah

Kota dimana bangunan Gereja itu

dibangun.

3). Elemen-elemen Arsitektur Karo yang

diterapkan pada bangunan Gereja St.

Fransiskus Asisi Berastagi bisa

menjadi suatu usaha keberlanjutan atau

pelestarian model bangunan Rumah

Adat Karo.

DAFTAR PUSTAKA

Krier, Rob. (2001). Compotition Architecture.

Loebis, Nawawiy, 2004.” Raibnya Para

Dewa”.

Prinst, Darwan. 2004, “Adat Karo”. Medan:

Bina Media Printis.

Prinst, Darwan. 2002, “Kamus Karo

Indonesia. Medan: Bina Media Printis.

Said, Abdul Azis. (2004). Simbolisme Unsur-

unsur Visual pada Rumah Tradisonal

Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sibeth, Achim. 1991. The Batak. New York:

Thames and Hudson, Inc.

Singarimbun, Masri. 1975. “The Adat House,

Kinship, Descent and Alliance Among

theKaroBatak”. Berkley, Los Angeles,

London

Soeroto, Myrtha. 2003.” Dari Arsitektur

Tradisional Menuju Arsitektur

Indonesia”.