1
IDENTIFIKASI ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR KARO PADA GEREJA
KHATOLIK INKULTURATIF ST. FRANSISKUS ASISI BERASTAGI1
Ir. Dwi Lindarto Hadinugroho, MT
Philip Prusihean Sembiring
Departmen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
Jl. Almamater, Kampus USU Medan 20155, Indonesia
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Gereja Khatolik Inkulturatif Karo Santo Fransiskus Asisi memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan
adanya adaptasi bentuk bangunan terhadap nilai kearifan lokal yang ada di Kota Berastagi. Gereja paroki Berastagi
ini didirikan dengan menerapkan elemen-elemen arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang unik, kokoh, artistik,
bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam
kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat
tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini. Inkulturasi
adalah sebuah istilah yang mulai didengungkan oleh dan dalam Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan - II (1962-
1964). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa unsur-.unsur tertentu dari suatu budaya boleh dimasukkan dalam
kekristenan dan unsur-unsur kekristenan boleh diterjemahkan dalam budaya tertentu tanpa meng-khianati satu sama
lain. Tujuan dari inkulturasi antara lain adalah agar iman kristiani diakarkan dalam budaya tertentu demi
penghayatan iman yang lebih mantap.
Kata kunci: Gereja Khatolik Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi, Arsitektur Karo, Inkulturasi.
ABSTRACT
Karo Inculturatif Khatolik Church of St. Fransiskus Assisi has its own uniqueness, namely with the adaptations
building forms against the value of existing local wisdom in the town of Berastagi. The parish church was founded
by applying Berastagi elements of architecture of Karo Karo home considering a unique, sturdy, artistic, religious
and communal in nature, and given the fact that Karo now home had started to disappear in the reality of life as a
residential home. The Church felt the need to preserve its values the great given the lofty Church task in upholding
the values of the culture of all Nations and tribes in the world. Inculturation is a term that started by the Council
and in the Catholic Church since Vatican Council II (1962-1964). With the term it is intended that the elements of a
particular element. of a culture could be incorporated in the Christianity and Christian elements can be rendered in
a particular culture without deceiving one another. The purpose of inculturation among others is to diakarkan the
Christian faith in a particular culture for the sake of the faith more steady.
Key word: Karo Inculturatif Khatolik Church Of St. Fransiskus Assisi, Architecture of Karo, Inculturation.
1Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Mata Kuliah Studi Perencanaan Lingkungan
Binaan 2, Departement Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Tahun 2015
2
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Gereja Khatolik Inkulturatif Karo Santo
Fransiskus Asisi memiliki keunikan tersendiri,
yaitu dengan adanya adaptasi bentuk bangunan
terhadap nilai kearifan lokal yang ada di Kota
Berastagi. Gereja paroki Berastagi ini
didirikan dengan menerapkan elemen-elemen
arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang
unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan
komunal, dan mengingat kenyataan bahwa
sekarang rumah Karo sudah mulai hilang
dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah
hunian. Gereja merasa perlu melestarikan
nilai-nilainya yang agung mengingat tugas
Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di
dunia ini.
Arsitektur tidak pernah terlepas dari
adanya tiga aspek utama yaitu fungsi, bentuk
dan makna, dalam hal ini makna dari fungsi
dan bentuk arsitektur gereja Katolik dalam
proses inkulturasi. Gereja ditujukan untuk
mengantarkan kebenaran, keyakinan dan
membawa para penganutnya kepada tindakan
yang diharapkan sesuai hakekat agama
Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu
menjadi simbol kesakralan, ekspresi konsep
teologi, membawa makna atau berperan
langsung dalam pembentukan sebuah makna
bagi komunitas Kristen (Sutrisno 1993; Gavril
2012). Makna-makna ini tertuang baik dalam
wujud arsitekturnya secara keseluruhan,
maupun dalam elemen-elemen simbolik yang
ada pada objek arsitekturnya (Sutrisno 1993).
Masyarakat Indonesia sejak dahulu
terbukti bersikap sangat terbuka terhadap
masuknya gagasan baru dalam kebudayaan,
sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman
budaya yang sangat tinggi. Bagaimana hakekat
agama Katolik yang berasal dari Eropa dapat
disinergikan dengan potensi lokal dalam
bentuk, fungsi dan makna arsitektur Gereja?
Melalui pengkajian ketiga aspek utama
arsitektur tersebut diharapkan dapat diperoleh
pemahaman tentang perkembangan dan
penafsiran kembali arsitektur lokal di
Indonesia.
Hal ini yang melatarbelakangi peneliti
untuk memilih judul “Identifikasi Elemen-
Elemen Arsitektur Karo Pada Gereja
Khatolik Inkulturatif St. Fransiskus Asisi
Berastagi” dengan tujuan untuk
mengidentifikasi elemen-elemen Arsitektur
Karo yang terdapat pada Gereja Khatolik
Inkulturatif Karo St. Fransiskus Asisi
Berastagi.
II. TINJAUAN TEORI
a. Pengertian Arsitektur Karo
Masri Singarimbun (1975:55)
menjelaskan, bahwa pengertian rumah adat
Batak Karo tidak hanya terkait dengan
fungsinya, tetapi yang berkaitan dengan proses
pendiriannya, “There are so many adat rules
governing erecting and occupying the house,”
said Pa Sali, are prominent priest, “ deep is
way is this called adat house” (Ada begitu
banyak aturan adat yang mengatur dalam hal
mendirikan dan menempati rumah tersebut’
kata Pa Sali, pemuka agama yang berpengaruh
di tempat tersebut, “itulah mengapa dinamakan
rumah adat). Dengan demikian rumah adat
Batak Karo adalah seni bangunan (arsitektur)
yang mengandung berbagai bentuk dan makna
simbolis, sebagai tempat tinggal menjalankan
3
fungsi-fungsi keluarga berdasarkan sistem
kekerabatan dan sistem kepercayaannya.
Arsitektur rumah adat Batak Karo
berdasarkan anatomi konstruksinya dapat
dibagi kedalam tiga susunan, Achim Sibeth
menjelaskan:
The space for animals below the living level
simbolizes the underworld. The living level,
raised on pillars above the underworld, Is
where humans dwell. Above this is the high
roof, which corresponds to the abode of the
gods and also sometimes of the ancestors
(Achim Sibeth, 1991:115). (Ruang untuk
binatang di bawah lantai ruang keluarga
melambangkan dunia bawah. Lantai keluarga,
yang berdiri di atas pilar-pilar di atas dunia
bawah, adalah tempat tinggal manusia. Di
atasnya ada atap tinggi, yang sesuai dengan
tempat kediaman dewa (Tuhan) dan juga
kadang-kadang nenek moyang.)
b. Jenis Rumah Adat Karo
Masri Singarimbun (1975) menjelaskan,
bahwa Rumah Adat Karo dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari dua
hal, yaitu :
a. Bentuk Atapnya
b. Binangunnya (rangka)
Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah
adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu :
a. Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah rumah
bermuka empat atau lebih, yang dapat juga
terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi
bertanduk.
Gambar 1. Jenis Atap Rumah Sianjung-anjung
b. Rumah Mecu.
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya
sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang
tanduk.
Gambar 2 Jenis Atap Rumah Mecu
Sementara menurut binangun, rumah adat
Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
1). Rumah Sangka Manuk.
Rumah sangka manuk yaitu rumah yang
binangunnya dibuat dari balok tindih-
menindih.
4
Gambar 3 Rumah Sangka Manuk
2). Rumah Sendi
Rumah sendi adalah rumah yang tiang
rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain
dihubungkan dengan balok-balok sehingga
bangunan menjadi sendi dan kokoh.
Gambar 4 Rumah Sendi
Gambar 5 Detail Struktur Rumah Sendi
b. Definisi Fasad
Fasad (facade) berasal dari kata Latin
facies yang berarti face (wajah) dan
appearance (penampilan). Oleh karena itu,
fasad identik dengan bagian depan suatu
bangunan yang menghadap ke jalan. Menurut
Krier (2001), fasad merupakan elemen
arsitektur terpenting yang dapat
mengekspresikan fungsi serta makna suatu
bangunan. Fasad menyampaikan fenomena
budaya pada masa bangunan itu dibangun
(Krier, 2001). Fasad suatu bangunan dapat
mencerminkan penghuni bangunannya, fasad
juga menjadi identitas bagi suatu komunitas,
dan pada akhirnya fasad menjadi representasi
suatu komunitas kepada publik (Krier, 2001).
Komposisi suatu fasad harus
mempertimbangkan semua aspek fungsional
misalnya jendela, dinding, pelindung matahari,
bidang atap, hal ini berhubungan dengan
penciptaan kesatuan yang harmonis antara
proporsi yang baik, penyusunan struktur
vertikal dan horisontal, bahan, warna, dan
elemen dekoratif. Salah satu aspek penting
dalam pembuatan fasad adalah untuk membuat
perbedaan antara elemen vertikal dan
horisontal, yang masing-masingnya dapat
menciptakan efek tersendiri. Proporsi elemen
tersebut harus sesuai terhadap keseluruhan
fasadnya.
Sebagai suatu kesatuan, fasad tersusun
dari elemen-elemen tunggal. Elemen-elemen
tunggal ini merupakan suatu kesatuan
tersendiri yang mampu mengekspresikan diri
mereka sendiri. Elemen-elemen tersebut antara
lain atap, jendela, dan sebagainya merupakan
benda-benda yang berbeda yang memiliki
bentuk, warna, dan bahan yang berbeda. Setiap
bagian ini harus tetap menonjol secara
5
individual meskipun mereka juga satu
kesatuan.
Elemen-elemen Pembentuk Fasad.
Menurut Krier (2001) elemen-elemen
pembentuk fasad bangunan, antara lain adalah
sebagai berikut:
a) Entrance
Pintu masuk bangunan merupakan
area peralihan dari luar bangunan yang bersifat
publik menuju ke dalam bangunan yang
bersifat lebih privat. Pada umumnya pintu
masuk utama bangunan terlihat menonjol.
Gambar 6 Contoh Main Entrance pada Hotel
Bumi Minang Padang-Sumbar
b) Pintu dan jendela
Pintu memiliki peranan yang penting
dalam menentukan arah dan makna yang tepat
pada suatu ruang. Pintu memiliki makna yang
bermacam-macam , tergantung dari tujuannya.
Ukuran pintu tidak selalu bergantung pada
skala tubuh manusia. Peletakan pintu
ditentukan sesuai dengan fungsinya.
Gambar 7 Ragam Jenis Pintu
Jendela berfungsi sebagai salah satu
sumber cahaya alami. Dari jendela, cahaya
matahari dari luar menembus ke dalam
ruangan. Penempatan jendela tidak hanya
penting dalam menerangi ruang dalam, jendela
juga menghadirkan pemandangan pada suatu
ruang. Jendela membingkai pemandangan
tertentu dan membentuk ruang riil.
Gambar 8 Berbagai Jenis Jendela
c) Dinding
Dinding memiliki peranan yang
penting dalam pembentukan fasad bangunan
seperti halnya jendela. Bagian khusus dari
suatu bangunan dapat ditonjolkan melalui
pengolahan dinding yang menarik, yang bisa
didapatkan dari pemilihan material, ataupun
cara finishing dari dinding itu sendiri, seperti
warna cat, tekstur, dan juga tekniknya.
Permainan kedalaman dinding juga dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk
menonjolkan fasad bangunan.
d) Lantai dasar
Lantai dasar adalah alas dari suatu
bangunan. Lantai dasar merupakan elemen
yang penting dalam perkotaan karena
berhubungan langsung dengan tanah. Lantai
dasar memilii makna tertentu dalam perkotaan
karena menjadi bagian penerima manusia, dan
biasanya dijadikan fungsi komersial.
6
e) Atap
Atap merupakan kepala atau mahkota
bangunan, atap adalah perwujudan kebanggan
dan martabat dari bangunan itu sendiri. Secara
visual atap merupakan akhiran dari fasad
bangunan, dan merupakan titik terakhir yang
dilihat pada suatu bangunan. Perlunya bagian
atap ini diperlakukan dari segi fungsi dan
bentuknya, atap adalah bagian atas bangunan
yang menjadi batas akhir bangunan dalam
konteks vertikal.
Gambar 9 Berbagai Model Bentuk Atap
f) Ornamen
Ornamen adalah seni dekoratif yang
biasanya dimanfaatkan untuk menambah
keindahan suatu benda. Dalam suatu bangunan
ornamen menjadi pelengkap unsur visual pada
fasad. Ornamen menambah nilai estetika suatu
bangunan.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian awal yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode ini digunakan memperoleh
data-data fisik di lapangan, dengan variabel
berikut ini.
Tabel 1. Variabel penelitian
Data-data yang telah terkumpul dari
metode deskriptif kualitatif dan metode survey
kemudian akan dianalisa sesuai dengan
karakter Gereja Khatolik Inkulturatif Karo St.
Fransiskus Asisi Berastagi dengan bangunan
Rumah Adat Karo. Setelah melakukan metode
analisa tersebut, maka akan ditarik kesimpulan
dari infomasi yang telah diolah.
IV. DESKRIPSI KAWASAN
a. Peta Kawasan
Lokasi penelitian berada pada kota
Berastagi tepatnya terletak di desa Sempa Jaya
dan dan diresmikan dan diberkati oleh Uskup
Agung Medan Mgr. Pius Datubara Medan
OFMCap pada Februari 2005. Berikut adalah
Gambar bangunan Gereja Khatolik Inkulturatif
7
Karo Berastagi yang bisa dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 10 Gereja Khatolik Inkulturatif Karo
Berastagi
Sejarah Singkat Gereja Inkulturatif Karo
Pada bulan April 1998 Uskup Agung
Medan Mgr. A.G.P Datubara memindakan
Pastor Leo Joosten (Samosir) ke Kabanjahe
dan memohon supaya pastor Leo itu
membangun gereja Inkulturatif Batak Toba di
Pangururan. Dewan Pastoral di Pangururan.
Dewan Pastoral Paroki Kabanjahe bersama
pastor memilih Berastagi sebagai tempat yang
paling cocok untuk pembangunan gereja
inkulturatif Karo ini. Dengan bantuan dari Nd.
Anita br Surbakti (Ketua WKRI Berastagi),
Merdeka Sembiring, Pastor Paulinus Simbolon
(Vikjen KAM) Pastor Leo berhasil membeli
sebidang tanah (8000 m2) atas nama
Keuskupan Agung Medan dari Hota Bukit
Kubu (keluarga Nelang Sembiring).
Pada tanggal 9-10 Agustus 1999 di
Maranatha Berastagi (pusat retret suste FSE)
dilaksanakan suatu Loka Karya tentang
budaya Karo yang berhubungan dengan
rencana pembangunan gereja inkulturatif
Karo. Loka Karya ini dibuka di kantor Bupati
oleh Bapak Bupati D.D. Sinulingga yang
sangat mendukung gereja inkulturatif Karo ini.
Yang member bahan masukan antara lain Bp
Adrianus Ganjangen Sitepu (Sukanalu) dan
Nempel Tarigan (Seberaya) sebagai pakar adat
Karo, Pastor Immanuel S. Kembaren dan
Pastor Ivo Simanullang sebagai penceramah
tentang gereja dan inkulturasi. Seterusnya
beberapa tokoh-tokoh adat dan arsitek dari
Unika Medan dan Pusat Teknik Katolik
Pematang Siantar (Bruder Anianus Snik
OFMCap).
Dari semua gambar yang dibuat dalam
Loka Karya itu dipilih gambar bangunan dari
Unika (Ir. Henry Lumban Gaol). Gambar ini
diperbaiki lagi oleh Bruder Anianus dan
akhirnya diterima oleh semua peserta Loka
Karya. Setelah itu, gambar gereja itu
disampaikan kepada Uskup Agung Medan
Mgr. Pius menyetujui bahwa gereja akan
dibangun oleh kepala Pusat Teknik Katolik
Keuskupan Agung Medan yaitu Bruder
Anianus OFMCap.
Pesta pemberkatan Gereja dan
peresmian stasi Berastagi menjadi paroki
tersendiri (dengan 20 stasi) diadakan pada
tanggal 20 Februari 2005. Bersama Sembiring
dipilih menjadi Ketua Umum Panitia
pemberkatan/peresmian gereja itu. Misa
Agung dipimpin oleh Mgr. Pius Datubara,
Uskup Agung Medan, Uskup Padang, Mgr.
Martinus D. Situmorang bersama 50 imam
dari dalam dan luar negeri.
V. ANALISIS BANGUNAN GEREJA
KHATOLIK INKULTURATIF KARO
BERASTAGI
Pengertian Inkulturasi
Inkulturasi adalah sebuah istilah yang
mulai didengungkan oleh dan dalam Gereja
Katolik sejak Konsili Vatikan - II (1962-
1964). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa
unsur-.unsur tertentu dari suatu budaya boleh
dimasukkan dalam kekristenan dan unsur-
8
unsur kekristenan boleh diterjemahkan dalam
budaya tertentu tanpa meng-khianati satu
sama lain. Tujuan dari inkulturasi antara lain
adalah agar iman kristiani diakarkan dalam
budaya tertentu demi penghayatan iman yang
lebih mantap.
Nubuat Yesaya: "Rumahku akan
disebut rumah doa bagi segala bangsa"
menjadi kenyataan baik bagi umat katolik
Berastagi dan para wisatawan dari manca
negara yang telah mengunjungi gereja
inkulturatif karo ini.
Gereja Katolik di Berastagi yang telah
dibangun dengan tuangan inkulturatif, secara
khusus mau mengangkat budaya karo yang
dibaurkan dengan kekristenan, tidak
mengandung pengertian ekslusif (dalam hal ini
suku karo). Gereja Berastagi itu tetap bersifat
Katolik (umum, mau merangkul segala suku
dan bangsa).
Analisa Rumah Adat Karo
Rumah adat Karo dikenal cukup indah
dan unik, apalagi kalau diukir mukanya (ayo).
Memang dulu mendirikan rumah adat
dianggap sebagai pekerjaan besar yang
memakan waktu satu tahun. Dipakai sistem
bertahap-tahap dan selalu dilakukan secara
gotong royong seluruh kampung. Kegiatan
gotong-royong tersebut dihubungkan pula
dengan system kekeluargaan (sangkep sitelu).
Pemasangan tanduk kerbau pada ramah adat
adalah keharasan dan tidak boleh diabaikan.
Pada umunya ramah adat Karo terdiri dari
delapan "jabu". Susunan jabu tersebut diatur
sesuai dengan kedudukan keluarga yang
tinggal di ramah adat itu. Jabu artinya satu
bagian ruangan yang ada di dalam ramah besar
itu. Jabu itu sebagai tempat tinggal satu
keluarga. Semua keluarga yang menghuni
ramah adat itu memiliki pertalian keluarga satu
sama lain. Rumah adat Karo mempunyai
"ayo".
Gambar 11 Rumah Adat Karo
"Ayo" dimaksudkan ialah muka bagian
atas ramah Karo yang dibuat dari anyaman
bambu diberi corak dengan cat, bentuknya
segitiga. Di puncak atap dipasang tanduk
kerbau yang menjauhkan segala kejahatan dari
ramah itu, dan menjadi pelindung isi ramah
itu. Sekarang orang Karo tidak begitu suka lagi
tinggal di rumah adat mereka dan tidak
memelihara lagi rumah traditional nenek
moyang mereka. Tinggal hanya 19 rumah
traditional di Tanah Karo dan rumah-rumah ini
pun sudah dalam keadaan rusak. Tiang-tiang
sudah patah dan ijuk terletak dalam air dan
lumpur. Patung malaikat pelindung.
9
Gambar 12 Atap Gereja St. Fransiskus Asisi
Berastagi
Di bagian bawah gereja inkulturatif
tanduk kerbau diganti dengan patung malaikat
pelindung. Dalan Gereja Katolik dikenal
malaikat-malaikat yang melindungi manusia
dari segala mara bahaya dan kejahatan. Gereja
percaya bahwa Tuhan Allah memberikan
kepada setiap orang beriman seorang malaikat
pelindung. Dalam Buku Keluaran 23:22
tertulis: "Sesungguhnya Aku mengutus
seorang malaikat berjalan di depanmu untuk
melindungi engkau di jalan dan untuk
membawa engkau ke tempat yang telah
Kusediakan".
kaitan Elemen-elemen Arsitektur Karo
pada Bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi
Berastagi dengan Bangunan Rumah Adat
Karo.
Bagian Atap
Gambar 11 Perbandingan Atap Gereja
St.Fransiskus Asisi Berastagi dan Rumah Adat
Karo
Bentuk Atap
Dapat di lihat pada gambar diatas,
bahwa dari bentuk atap Gereja St. Fransiskus
Asisi Berastagi menyerupai bentuk atap pada
Rumah Adat Karo.
Material
Dapat di lihat pada gambar diatas,
bahwa material atap pada Gereja St.
Fransiskus Asisi adalah menggunakan atap
genteng sedangkan material pada bangunan
Rumah Adat Karo adalah ijuk. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa bangunan Gereja St.
Fransiskus Asisi di bangunan pada masa
modern, sehingga bahan material yang berada
pada bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi
lebih modern, sedangkan material yang berada
di Rumah Adat Karo masih menggunakan
material yang bersifat tradisional.
Bagian Dinding
Gambar 12 Perbandingan dinding Gereja
St.Fransiskus Asisi Berastagi dan Rumah Adat
Karo
Bentuk Dinding
Dapat dilihat bahwa pada dinding
Gereja St. Fransiskus Asisi mengalami
perubahan bentuk, jika di bandingkan dengan
bentuk dinding pada bangunan Rumah Adat
Karo. Dinding pada bangunan Rumah Adat
Karo memiliki sudut kemiringan sekitar 40°
keluar. Pada bangunan Gereja St. Fransiskus
Asisi, dindingnya juga memiliki sudut
kemiringan sekitar 40° keluar, namun
memiliki tambahan dinding yaitu pada bagian
10
kolong yang biasanya berada pada bangunan
Rumah Adat Karo ada kolong rumahnya, yang
berfungsi sebagai tempat kandang hewan
ternak yang dimiliki oleh pemilik rumah,
tetapi pada bangunan Gereja St. Fransiskus
Asisi dibuat untuk jadi ruang, sehingga
bentukan struktur kolong pada Rumah Adat
Karo diterapkan pada bagian dinding dari
bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi.
Sehingga pada bagian ruang dalam dari Gereja
St. Fransiskus Asisi menjadi luas dengan
adanya perubahan tersebut. Perubahan ini
memiliki keunikan tersendiri bagi bangunan-
bangunan Gereja lain pada umumnya.
Material
Dapat dilihat pada gambar diatas bahan
material pada bangunan Gereja St. Fransiskus
Asisi adalah berbahan batu dan juga beton
bertulang, jika dibandingkan dengan material
dinding pada bangunan Rumah Adat Karo
yang berbahan material kayu. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa perubahan bahan material
dipengaruhi oleh zaman dimana bangunan itu
didirikan, akan tetapi keberlanjutan dari model
bangunan Rumah Adat Karo tidak terhenti
dikarenakan perbedaan zaman, meskipun
bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi berbahan
modern tetapi kesan Rumah Adat Karo masih
bisa dirasakan sampai pada saat ini bahkan
pada bangunan Ibadah.
Sudut Dinding
Gambar 13 Perbandingan Sudut dinding
Gereja St.Fransiskus Asisi Berastagi dan
Rumah Adat Karo
Bentuk
Dapat dilihat bahwa pada sudut
dinding dari bangunan Gereja St. Fransiskus
Asisi masih menerapkan model bentuk sudut
dinding dari Rumah Adat Karo yang biasa
disebut dengan istilah cuping-cuping. Jika
pada bangunan Rumah Adat Karo, cuping-
cuping adalah terbuat dari kayu yang sudah
tua, yang berupa lembar papan yang berukuran
4x30cm. Posisinya terletak pada sudut-sudut
dinding yang berfungsi untuk menahan dan
memikul dinding. Pemasangannya dengan
menggunakan sambungan pen. Cuping ini
dibentuk dengan pola ukiran. Perbedaan yang
dimiliki oleh cuping-cuping pada Gereja St.
Fransiskus Asisi adalah pada bahan
materialnya dan juga ukuran, bahan
materialnya adalah dengan batu kemudian
ukurannya juga lebih besar 2 x lipat dari
cuping-cuping di Rumah Adat Karo.
Dinding dan kolong dinding
Gambar 14 Perbandingan kolong dinding
Gereja St.Fransiskus Asisi Berastagi dan
Rumah Adat Karo
Bentuk
Dapat dilihat pada Gambar diatas
bahwa pada bangunan Gereja St. Fransiskus
Asisi masih menerapkan bentuk struktur
panggung yang biasanya terletak di bagian
kolong Rumah Adat Karo.
Material
Dapat di lihat pada gambar diatas
bahwa bagian struktur panggung Rumah Adat
Karo yang berada di bagian kolong berbahan
11
material kayu. Berbeda dengan yang berada
pada bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi
yang berbahan material beton, kemudian
fungsinya juga sudah mengalami perubahan,
pada bangunan Gereja St. Fransiskus Asisi
dibagian kolong panggung dijadikan dinding
dan juga ruangan ibadah. Sebenarnya ini lebih
kepada bentuk tampilan struktur yang
menyerupai struktur Rumah Adat Karo, bukan
kepada fungsionalnya.
VI. KESIMPULAN
1). Gereja St. Fransiskus Asisi Berastagi
menerapkan elemen-elemen Arsitektur
Karo pada bangunannya, tetapi
perbedaan yang mendasar adalah bahan
materialnya lebih kepada bahan
material yang sudah modern tidak
sama dengan bahan material
bangunan yang berada di Rumah Adat
Karo yang masih menggunakan
bahan material tradisional.
2). Penerapan elemen-elemen Arsitektur
Karo pada bangunan Gereja St.
Fransiskus Asisi Berastagi
mencerminkan bahwa gereja juga ikut
menjadi bangunan yang bisa
menambah identitas diri dari sebuah
Kota dimana bangunan Gereja itu
dibangun.
3). Elemen-elemen Arsitektur Karo yang
diterapkan pada bangunan Gereja St.
Fransiskus Asisi Berastagi bisa
menjadi suatu usaha keberlanjutan atau
pelestarian model bangunan Rumah
Adat Karo.
DAFTAR PUSTAKA
Krier, Rob. (2001). Compotition Architecture.
Loebis, Nawawiy, 2004.” Raibnya Para
Dewa”.
Prinst, Darwan. 2004, “Adat Karo”. Medan:
Bina Media Printis.
Prinst, Darwan. 2002, “Kamus Karo
Indonesia. Medan: Bina Media Printis.
Said, Abdul Azis. (2004). Simbolisme Unsur-
unsur Visual pada Rumah Tradisonal
Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sibeth, Achim. 1991. The Batak. New York:
Thames and Hudson, Inc.
Singarimbun, Masri. 1975. “The Adat House,
Kinship, Descent and Alliance Among
theKaroBatak”. Berkley, Los Angeles,
London
Soeroto, Myrtha. 2003.” Dari Arsitektur
Tradisional Menuju Arsitektur
Indonesia”.
Top Related