hadis
Transcript of hadis
Hadis Dalam Tradisi Sunni Dan Syi’ah
(Studi Komparatif)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis
Dosen:
Dr. H. M. Alfatih Suryadilaga, M. Ag
Disusun oleh:
Rouf Tamim
1320411246
KOSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2013
BA
B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini
terdapat dua macam aliran besar dalam Islam.
Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak
dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar
teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan
satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita
saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang
kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah
mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus
mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam
berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali
dalam makalah kali ini.
Sunni adalah golongan umat Islam yang berkiblat
fiqh pada empat Imam (Imam Maliki, Imam Hanafi,
Imam Hanbali, Imam Syafii). Orang di Indonesia
sendiri cenderung memilih mengikuti Imam Syafii
dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqh.
Sehingga, untuk mengenal Sunni, kita hanya perlu
memperhatikan umat Islam “normal” yang ada di
sekeliling kita Emang yang gak normal ada? Ada!
Misalnya umat Islam yang mengaku ada Nabi setelah
Muhammad. Pasti edan! Yang normal itu ber-Islam
secara sunni. Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, Sunni dan
Syi’ah dalam perspektif islam. Semoga karya
sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh,
obyektif, dan valid mengenai sunni dan Syi’ah, yang
pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita
sebagai seorang Muslim.
BAB
II
PEMBAHASAN
B. Hadis menurut pandangan Sunni
1. Hadis menurut Sunni
Hadis menurut Sunni adalah segala sabda,
perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan
demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis,
bentuk-bentuk hadis ialah segala berita
berkenaan dengan; sabda, perbuatan, taqrir, dan
hal-ihwal Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, menurut Sunni hakekat hadis
pada dasarnya adalah wahyu Allah SWT yang
diberikan melalui Nabi Muhammad saw berupa
peneladanan langsung yang melibatkan rumusan-
rumusan verbal (living tradition). Karena
itulah, hadis mempunyai peranan yang sangat
urgen ketika disandingkan dengan Al-qur’an.
Keduanya menjadi sumber hukum yang harus
diyakini oleh umat Islam.
2. Kriteria hadis menurut sunni
Di antara kriteria yang ditetapkan ulama
untuk mendapatkan suatu hadis sahih adalah:
Sanad bersambung, periwayat dalam sanad bersifat
adil, periwayat dalam sanad bersifat dhabit,
Sanad dan matan hadis terhindar dari syuzuz
(kejanggalan), Sanad dan matan hadis terhindar
dari ‘illat (cacat).1
Berdasarkan penelitian para ulama, sebuah
hadis tersebut dianggap shahih oleh Imam al-
bukhari bila dalam persambungan sanad benar-1 M. Al Fatih Suryadilaga dkk, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta:
TERAS), hlm. 47.
benar di tandai dengan pertemuan langsung antara
guru dan murid atau minimalnya ditandai dengan
guru dan murid hidup pada satu masa. 2 Dari
hadis penelitian yang dilakukan oleh dua orang
ulama abad keenam hijriyah yang bernama dan
maqdisi tentang kriteria hadis shahih menurut
Imam bukhari disimpulkan bahwa ia hanya
menuliskan hadis dari periwayatan kelompok
periwayat tingkat pertama dan sedikit dari
tingkat kedua yaitu bersifat adil, kuat hafalan,
teliti jujur dan lama dalam berguru.
Kesimpulan tersebut diperoleh dari penelitian
terhadap murid-murid al-zuhri, bahwa murid al-
zuhri dapat dibagi menjadi lima tingkatan,
tingkat pertama adalah mereka yang memiliki
sifat adil, kuat hafalan, teliti. Jujur dan lama
dalam berguru kepada al-zuhri. Tingkat ketiga
adalah mereka yang berada di tingkat kedua.
Tingkat keempat dan kelima adalah mereka yang
majruh dan lemah.3
Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami
bahwa kriteria hadis sahih menurut Imam bukhari
adalah: dalam hal persambungan sanad ia
menekankan adanya informasi positif tentang
periwayat bahwa mereka benar-benar bertemu atau2 Ibid, hlm. 48.3 Ibid, hlm. 48.
minimal satu zaman dan dalam hal sifat atau
tingkat keilmuan periwayat ia menekankan adanya
kriteria paling tinggi.4
C. Hadis menurut pandangan Syi’ah
1. Hadis menurut Syi’ah
Hadis dalam tradisi Syi’ah yang mempunyai
pengertian segala sesuatu yang sandarkan kepada
yang ma’sum, Nabi saw dan Imam dua belas, baik
itu berupa perkataan, perbuatan, mau pun
ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah
Al-qur’an. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
sumber pertama utama hadis itu tidak hanya dari
Nabi saw namun di perluas kepada Imam-Imam yang
ma’sim terdiri dari 12 Imam. Syi’ah menjadikan
Imam seperti kedudukan Nabi Muhammad dalam
menjelaskan Al-qur’an. Berdasarkan penjelasan
ini maka suatu hadis sangat dipengaruhi oleh
karakter masing-masing periwayat (sanad),
sehingga ketika membahas hadis maka tidak
terlepas dengan pembahasan sanad hadis. 5
Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat
mereka melarang mengamalkan zahir Al-qur’an
karena mereka tidak berpedoman dalam syari’at
kecuali dari para Imam mereka. Mereka mengatakan
4 Ibid, hlm. 48.5 M. Fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis Studi Atas Kitab
Al-Kafi Karya Al-Kulani, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 61- 63.
bahwa Imam mempunyai ilham yang sebanding dengan
wahyu bagiNabi saw. Dengan adanya titik fokus
keyakinan keagamaan kepada Imam (zaman Imamah),
adalah sangat wajar apabila sistem periwayatan
hadis dikalangan syiah sudah mulai digunakan
pada masa-masa ali bin abi thalib. Tidak
mengherankan jika dalam tradisi syi’ah masalah
penulisan hadis bukan menjadi persoalan serius
sejak awal tradisi pewahyuan tidak terhenti
sepeninggalNabi saw. dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa syi’ah sejak bertahun-tahun awal
telah mempunyai kepedulian terhadap isnad.
2. Kriteria hadis menurut syi’ah
a. Sanadnya bersambung dengan yang ma’sum
Syi’ah menetapkan bahwa sanad suatu
hadis, haruslah bersambung kepada yang
ma’sum: ali bin abi thalib, dan Imam 12 (dua
belas). 6
b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
Adil menurut pendapat yang masyhur
adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk
selalu melakukan dosa-dosa kecil, menjauhi
dosa-dosa besar, dan meninggalkan perbuatan-
6 M. Fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis Studi Atas KitabAl-Kafi Karya Al-Kulani, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 63-70.
perbuatan yang menodai keperwiraan (muru’ah),
juga menodai perhatiannya kepada agama.7
1) Beragama islam
2) Berstatus mukallaf (berakal dan bailgh)
3) Beriman (kepercayaan keberadaan 12 Imam)
4) Al- wilayah (pengakuan bahwa adanya kedua
belas Imam sebagai pemimpin umat)
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit
Menurut syi’ah dabit adalah seorang
periwayat yang hafal terhadap hadis yang
didiriwayatkan, jika ia meriwayatkan hadis
dengan hafalannya dan menjaga dengan sungguh-
sungguh hafalan itu dari kesalahan
menerangkan serta menjaga dari ketimpangan
terhadap hadis-haidis yang diriwayatkannya.
Kedhabitan dapat rusak jika terjadi
beberapa keadaan, yaitu: dalam meriwaytakan
hadis lebih banyak salahnya daripada
benarnya, lebih menonjol sifat lupanya dari
pada hafalannya, riwayat yang disampaikan
diduga keras mengandung kekeliruan, yang
tentunya riwayat ini selalu di pantau oleh
ulama hadis dikalangan syi’ah.8
7 Ja’far Al-Subhani, Usul, hlm. 131-133.8 M. Fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis Studi Atas Kitab
Al-Kafi Karya Al-Kulani, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 63-70.
Berdasarkan pada pengertian di atas,
ulama Syi’ah membatasi hadis sahih pada
setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, Ali bin Abi Thalib dan Imam dua
belas. Suatu keterangan yang dapat dipetik
dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat
para Imam sama dengan derajat Nabi saw dan
itu juga berarti dalam periwayatan, segala
yang disandarkan kepada Imam juga sama
terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi saw
dalam hal kehujjahannya.9
D. Perbandingan tradisi Sunni dan Syi’ah
Imam as-syathibi membagi tradisi itu menjadi dua
macam yaitu:10
Tradisi yang berdasarkan syara’, yakni tradisi
yang dikuatkan dalil syar’i atau dinafikannya,
seperti apabila syara’ memrintahkannya, baik dalam
wujud kewajiban atau kesunatan atau melarangnya
dalam wujud keharaman atau kemakruhan. Atau
mengizinkan untuk melakukan atau meninggalkan.
Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
tapi syara’ tidak membuat ketetapan apapun, tidak
melarang dan tidak menyuruh.
9 http://dodiilham.blogspot.com/2013/01/hadis-nabi-dalam-berbagai-perspektif.html, di akses pada Tanggal 24 September 2013.
10 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsidan TradisiNU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Hlm. 211.
Mungkin dapat diberikan contoh yang pertama
berupa “puasa hari asyura”, yang dikuatkan oleh
nabi Muhammad saw. Pada waktu beliau datang ke
madinah, melihat masyarakat disana berpuasa.
1. Studi komparatif tradisi Sunni dan Syi’ah dapat
di jelaskan sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
1) Mut’ah menurut Sunni
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
Sunni sepakat bahwa di awal islam Mut’ah
diperbolehkan. Misalnya, fakhr al-din al-
razi (w.606/1209), mengatakan bahwa Mut’ah
pertama kali adalah diperbolehkan. Nabi
melaksanakan umrah ke Mekah, dan wanita
mekah mempersiapkan diri secara khusus untuk
acara ini. Bebereap sahabat mengeluh karena
berpisah lama dengan istri mereka, dan Nabi
menjawab, kalau begitu nikmatilah (istimta’)
wanita-wanita ini. 11
Kaum Sunni yang berendapat bahwa ayat Al-
qur’an tersebut di atas (4:23) memang
mengacu kepada kebolehan Mut’ah, juga
berpendapat bahwa ayat ini telah digantikan
(naskh) oleh ayat lain.12
11Sachiko Murata, Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni Dan Syi’ah:Penerjemah, Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001), hlm. 96.
12 Ibid, hlm 97.
Mut’ah menurut Al-qur’an, Sunni
berpendapat bahwa hubungan seksual dilarang
kecuali dengan istri dengan dasar ayat
berbahagialah orang yang beriman yang
menjaga kehormatan mereka dengan istri-istri
mereka dan apa yang dimiliki dengan tangan
kanannya (Q.S. 23:1-6). Argumen Sunni
dilanjutkan dengan menunjukkan bahwa jelas
seorang wanita yang dinikmati melalui Mut’ah
bukanlah budak. Dia juga bukan istri, karena
beberepa alasan: jika dia istri, dia dan
suaminya akan saling mewarisi, karena Allah
SWT berfirman: dan untukmu setengah daru apa
yang istrimu tinggalkan. (Q.S. 4:12).
Mut’ah menurut Khotbah Umar, dalam Khutbah
Umar yang terkenal Khalifah Umar melarang
Mut’ah dengan kalimat berikut ini. “Dua
Mut’ah pernah dipraktekkan pada masa Nabi
(yakni pernikahan sementara dan mutat al-
hajj)13, tetapi aku melarang keduannya dan
akan menghukum siapa saja yang
melakukannya.”
13Haji yang datang ke Mekah dari jauh dan ingin melakukanUmrah sebelum Haji diperbolehkan untuk melakukan Ihram untuk Umrahdan kemudian meninggalkan sampai masuk masa Haji. Selama selangwaktu ini mereka dapat “menyenangkan diri sendiri” (tamattu’)dengan kegiatan sehari-hari yang dilarang dalam keadan Ihram.Tamattu’ sebelum Haji ini dikenal dengan Mut’ah Al Hajj.
Mut’ah menurut sahabat, bunyi hadis yang
melarang nikah Mut’ah yaitu: “Sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW, Allah SWT SWT telah
melarang Mut’ah atau pernikahan sementara dan
memakan daging dari kedelai yang
dipelihara”.14
2) Mut’ah menurut Syi’ah
Ayat Al-qur’an yang dijadikan dasar
hukum nikah Mut’ah adalah surah an-nisa ayat
24 yaitu:
. ة� ض� ي� �ر ن� ف� وره� ن� اج�� وه� آ� ت�� هن� ف�� همن� م ب�� عت� مت� ت� ف��مآ اس�Artinya: ……. Maka istri-istri yang telah
kamu nikmati, di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya sebagai suatau
kewajiban…. (An-Nisa: 24).
Nikah Mut’ah menurut Syi’ah adalah
diperbolehkan dan tidak dilarang hal ini
sesuai dengan ketetapan Imam-iman pada
golongan Syi’ah yang memperbolehkan nikah
Mut’ah. Fathullah al-kasyani menukil di dalam
tafsinya sebagai berikut, bahwa rukun akad
Mut’ah ada lima: suami, istri, mahar,
pembatasan waktu (Taukid) dan Shighat Ijab dan
14Sachiko Murata, Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni Dan Syi’ah:Penerjemah, Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001), hlm. 97.
Qabul. Dia menjelaskan bilangan dalam nikah
Mut’ah itu tidak terbatas dan pasangan laki-
laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat
tinggal dan sandang serta tidak saking
mewarisi antara suami-isteri dan dua
pasangan Mut’ah ini.15
b. Masalah ziarah kubur dan talqin meninggal
Imam Al-Ghozali memandang ziarah kubur
itu suatu perbuatan sunah, untuk memberikan
peringatan dan pelajaran kepada kita yang
pasti akan mengalami juga.
Imam Ahmad bin Hambal, menurut keterangan
Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi yang dikutip
oleh Imam Ghozali mengatakan: apabila kamu
sekalian masuk ke kuburan maka bacalah surat
Al-fatihah, Al-ikhlas, Al-falaq, An-nas, dan
berikan pahalanya untuk ahli kubur, karena
hai itu akan sampai kepada mereka.
Imam syafi’I sendiri mengatakan, bahwa
do’a dan Istigfar orang-orang yang masih
hidup yang ditujukan kepada orang yang sudah
meninggal bermanfaat bagi keduanya.
15Mahdud Farhan Al-Buhairi, “Gen Syi’ah Sebuah Tinjuan Sejarah,Penyimpangan Aqidah Dan Konspirasi Yahudi”, (Jakarta: Darul Falah), hlm.199.
Imam at-thobari meriwayatkan hadits dari
abu hurairah ra bahwa nabi Muhammad saw.
bersabda:
ا. ر ب� ب�� ت� ر لة وك� ف� غ�� معة� ج�� ل ى ك� مآ ف� ده� ح� Cو ا Cة ا وي� ت�� Cر ا ب� ار ق� ن� ر� م�Artinya: “barang siapa menziarahi kuburan
kedua orang tuanya, taua salah satu dari
keduanya, pada setiap hari jum’at maka dia
mendapat pengampunan dan dicatat sebagai
orang yang bakti (kepada orang tua).
Menurut bahasa, talqin artinya:
mengajar, memahamkan secara lisan. Sedangkan
menurut istilah, talqin adalah: mengajar dan
mengingatkan kembali kepada orang yang sedang
naza’ atau kepada meninggal yang baru saja
dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
Hukum talqin untuk orang dewasa atau anak
yang sudah mumayyiz yang sedang naza’
(mendekati kematian) itu sunat ditalqin
dengan kalimat syahadat, yakni kalimat laa
ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin
meninggal yang baru dikubur, walaupun orang
itu mati syahid, apabila meninggalnya sudah
baligh, atau orang gila yang sudah pernah
mukallaf sebelum dia gila.
c. Tahlilan
Tahlilan adalah acara ritual
memperingati hari kematian yang biasa
dilakukan oleh umumnya masyarakat Indoneasia.
Acara tersebut diselenggarakan ketika salah
seorang dari anggota keluarga telah meninggal
dunia. Secara bersama-sama, setelah proses
penguburan selesai dilakukan, seluruh
keluarga, handai taulan, serta masyarakat
sekitar berkumpul di rumah keluarga meninggal
hendak menye-lenggarakan acara pembacaan
beberapa ayat al Qur’an, dzikir, dan do’a-
do’a yang ditujukan untuk meninggal di “alam
sana” karena dari sekian materi bacaannya
ter-dapat kalimat tahlil ( ةIIIIIIIIIIIIIIلا ال�ل Nة ا IIIIIIIIIIIIIIل Nلا ا ) yangdiulang-ulang (ratusan kali), maka acara
tersebut biasa dikenal dengan istilah
“Tahlilan”.
Pada saat itu pula, keluarga yang
meninggal menghidangkan makanan serta minuman
untuk menjamu orang-orang yang sedang
berkumpul di rumahnya tersebut. Biasanya
acara seperti itu terus berlangsung setiap
hari dari hari pertama hingga hari ketujuh,
kemudian dilanjutkan pada hari ke-40, hari
ke-100, hingga menginjak tempo setahun serta
tiga tahun dari waktu kematian, dengan
hidangan yang disajikan disetiap acaranya
biasanya akan lebih istimewa, dengan model
hidangan yang berbeda-beda sesuai dengan adat
kebiasaan yang biasa berjalan di tempat
tersebut. Sehingga akhirnya muncul opini
publik yang memberikan kesimpulan bahwa acara
tersebut adalah merupakan salah satu bagian
dari ciri khas penganut mazhab Syafi’i.
d. Sholawatan
Sholawat menurut arti bahasa adalah :‘'
Do‘a‘', Menurut istilah adalah: Sholawat
Alloh SWT kepada Rosululloh SAW berupa Rohmat
dan Kemuliaan (Rahmat Tadhim) Sholawat dari
malaikat yang kepada Kanjeng Nabi SAW berupa
permohonan rahmat dan kemuliaan kepada Allah
SWT untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW sedangkan
selain Kanjeng Nabi berupa permohonan rahmat
dan ampunan
Sholawat orang–orang yang beriman
(manusia dan jin) ialah permohonan rohmat dan
kemuliaan kepada Allah SWT. untuk Nabi SAW,
seperti : “Allohumma Sholli ‘Alaa Sayyidinaa
Muhammad”. Dasar membaca Sholawat kepada
Kanjeng Nabi SAW adalah: Firman Alloh SWT
dalam surat Al Ahzab ayat. 56: Artinya:
‘‘sesungguhnya Allah beserta para malaikatnya senantiasa
bersholawat untuk Nabi SAW. Hai orang-orang yang
beriman bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkan
salam penghormatan padanya (Nabi SAW.).
Mengenai hukum membaca Sholawat, ada
beberapa pendapat dari Ulama ada yang Wajib
Bil Ijmal, wajib satu kali semasa hidup,
adapula yang berpendapat Sunnah, pendapat
yang paling masyhur adalah Sunnah mu'akkad
akan tetapi membaca Sholawat pada akhir
Tasyahhud akhir dari sholat adalah Wajib,
oleh karena itu sudah menjadi rukunnya
sholat.
Adapun adab–adab dalam membaca Sholawat
antara lain :
- Niat ikhlas beribadah kepada Alloh SWT
tanpa pamrih.
- Tadhim dan mahabbah kepada Rosululloh
SAW.
- Istihdlor ( merasa berada di hadapan
Rosululloh SAW)
- Tawaddu' (merendahkan diri), merasa butuh
sekali kepada pertolongan Alloh SWT,
butuh sekali Syafa‘at Rosululloh SAW.
Manfa'at dan faedah membaca Sholawat
antara lain: Membaca Sholawat satu kali,
balas Alloh SWT rohmat dan maghfiroh sepuluh
kali, membaca sepuluh kali dibalas 100 X dan
seratus kali membaca Sholawat dicatat dan
dijamin bebas dari munafik dan bebas dari
neraka, digolongkan dengan para Syuhada.
e. Melukai diri di hari asyura’
Hari Asyura’ merupakan hari dimana
dahulunya Allah Ta’ala telah menyelamatkan
nabi Musa as dari kejaran Fir’aun beserta
bala tentaranya. Sebagai rasa syukurnya, nabi
Musa as melakukan shaum pada tanggal
tersebut, yaitu 10 Muharram. Mengenai perihal
ini, terdapat satu hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Abbas ra,
Bentuk kebid’ahan yang paling pamor di
bulan Muharram ini, yang menyesatkan dan
sudah berlangsung lama diantaranya adalah
perayaan hari Asyura’ yang diadakan oleh
pemeluk agama Syi’ah (dimana mereka selalu
menisbatkan-diri termasuk ke dalam golongan
muslim). Mereka menganggap bahwa hari Asyura’
adalah hari berkabung atas kematian Husain
ra. Di saat itu mereka akan mengungkapkan
kesedihannya dengan menangis seraya menampar-
nampar wajah mereka sendiri, merobek-robek
pakaiannya, hingga mereka tak segan-segan
melukai diri mereka sendiri dengan berbagai
alat yang bisa melukai, seperti cambuk,
rantai besi, pedang, dan sebagainya. Mereka
menganggap dengan berprilaku begitu akan bisa
turut merasakan penderitaan dan kesakitan
yang dialami cucuNabi tersebut.16
Syaikhul Islam rahimahullah telah membagi
tiga kelompok manusia dalam kaitannya
menyikapi tragedi Karbala, yaitu:
1. Kelompok yang menyatakan secara terang-
terangan bahwa tragedi pembunuhan itu
layak diterima Husein ra karena adanya
anggapan bahwa Husein ra telah memberontak
kepada Yazid bin Muawwiyah yang tengah
berkuasa saat itu. Begitu juga dengan
tuduhan kelompok ini bahwa Husein ra
berniat memecah-belah umat.
2. Kelompok yang sangat taklid kepada Husein ra
sehingga mengatakan bahwa keta’atan adalah
dibawah perintah Husein ra. Kelompok yang
sangat mendewakan Husein ra ini dipimpin
oleh Muchtar bin Abi ‘Ubaid yang kemudian
menugaskan pasukannya untuk membunuh dan
memenggal kepala Ubaidullah bin Ziyad.
16http://www.arrahmah.com/read/2012/11/27/25075-pesta- kematian-padang-karbala.html, di akses pada tanggal 28 september2013.
3. Kelompok yang menghormati Husein ra
sebagai seorang ahli bait yang sholih dan
menepis tudingan kelompok pertama yang
menghujat Husein ra sebagai pemberontak.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa Husein ra
tewas dalam keadaan dizhalimi dan mendapat
kesyahidan. Syaikhul Islam rahimahullah
dalam Minhajus Sunnah (IV/550) mengatakan bahwa
tidak diragukan lagi bahwa Husein ra
terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan
syahid. Pembunuhan terhadapnya merupakan
bentuk kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan
rasul-Nya dari para pelaku pembunuhan dan
orang-orang yang membantunya. Selain itu,
ini merupakan musibah yang menimpa kaum
muslimin, keluarga Nabi, dan yang lainnya.
Husein ra berhak mendapatkan gelar asy-
syahid, kedudukan, serta derajat yang
tinggi. Kelompok ketiga inilah yang
merupakan golongan ahlussunnah wal jama’ah.
BAB III
KESIMPULAN DAN
SARAN
A. Kesimpulan
Hadis dalam tradisi Sunni ialah segala sabda,
perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, menurut
umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadis
ialah segala berita berkenaan dengan: Sabda,
Perbuatan, Taqrir, dan Hal-Ihwal Nabi Muhammad saw.
Hadis dalam tradisi Syi’ah yang mempunyai
pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada
yang Ma’sum, Nabi saw dan Imam dua belas, baik itu
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-qur’an.
Syi’ah menjadikan Imam seperti kedudukan Nabi
Muhammad dalam menjelaskan Al-qur’an. Mereka
mengatakan bahwa Imam mempunyai ilham yang
sebanding dengan wahyu bagi Nabi saw.
Tradisi Sunni dan Syi’ah yang saling
bertentangan adalah nikah Mut’ah, masalah ziarah
kubur dan talqin meninggal, tahlilan dan melukai
diri di hari asyura’.
Daftar Pustaka
Al-Aziz Abdul A. Sachedina, “Signifikansi Rijal Karya Al-KasysyiDalam Memahami Peran Awal Para Faqih (Fuqaha) Syi’ah”dalamAal-hikmah, no. 16, vol. VII, 1996.
Al-Buhairi Mahdud Farhan, “Gen Syi’ah Sebuah Tinjuan Sejarah,Penyimpangan Aqidah Dan Konspirasi Yahudi”, (Jakarta:Darul Falah).
Al Nadwi, Abdul Hasan Ali Al Hasan, “Dua Wajah SalingMenentang Antara Ahlu Sunnah Dan Syi’ah”, (Jakarta: BinaIlmu, 1988).
Hasan M. Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam PersepsidanTradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005)
http://ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.com/2011/08/talqin-meninggal.html,
http://www.arrahmah.com/read/2012/11/27/25075-pesta-kematian-padang-karbala.html,
http://dodiilham.blogspot.com/2013/01/hadis-nabi-dalam-berbagai-perspektif.html.
Suryadilaga, M. Fatih, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis Studi AtasKitab Al-Kafi Karya Al-Kulani, (Yogyakarta: Teras, 2009),hlm. 61- 63.
Suryadilaga, M. Fatih, dkk, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta:TERAS),
M. Blanchard, Christopher, Wikipedia, "Islam: Sunni And Syi’ah,Conggressional Research Service, 2010.
Murata, Sachiko, Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni DanSyi’ah: Penerjemah, Tri Wibowo Budi Santoso,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).