gambaran densitas larva aedes aegypti - perpustakaan ...

66
SKRIPSI GAMBARAN DENSITAS LARVA AEDES AEGYPTI BERDASARKAN PENGETAHUAN DAN TINDAKAN PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS DBD KECAMATAN RAPPOCINI KOTA MAKASSAR NURUL MUTMAINNA K11113051 Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of gambaran densitas larva aedes aegypti - perpustakaan ...

SKRIPSI

GAMBARAN DENSITAS LARVA AEDES AEGYPTI

BERDASARKAN PENGETAHUAN DAN TINDAKAN

PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN)

DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS

DBD KECAMATAN RAPPOCINI

KOTA MAKASSAR

NURUL MUTMAINNA

K11113051

Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii

iii

iv

RINGKASAN Universitas Hasanuddin

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Kesehatan Lingkungan

Nurul Mutmainna (K11113051)

Gambaran Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan

Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Daerah Endemis dan Non

Endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar (xix + 137 Halaman + 23 Tabel + 23 Gambar + 30 Lampiran)

Penyakit DBD di Indonesia telah menyebar luas ke seluruh kawasan dengan

jumlah kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat hingga ke wilayah pedalaman.

Faktor perilaku merupakan faktor yang penting dalam persoalan kesehatan maupun

dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran densitas larva Aedes aegypti berdasarkan pengetahuan dan

tindakan PSN di daerah endemis dan non endemis DBD Kota Makassar.

Jenis penelitian ini adalah survei observasional dengan pendekatan deskriptif

menggunakan kuesioner dan melalui pengamatan langsung dengan menggunakan

lembar observasi. Populasinya adalah seluruh rumah yang berada di RW 09

Kelurahan Gunung Sari sebagai daerah endemis DBD dan RW 01 Kelurahan

Karunrung sebagai daerah non endemis DBD. Penentuan sampel dilakukan dengan

metode systematic random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 97 rumah

pada Kelurahan Gunung Sari dan 110 pada Kelurahan Karunrung sedangkan titik

koordinat dituangkan dalam peta dengan menggunakan Arcgis 10.3.

Hasil penelitian ini menunjukkan densitas larva Aedes aegypti pada daerah

endemis DBD maupun non endemis DBD masih di rendah yang diukur dengan

Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu 75,26%, House Index (HI) 24,74%, Container Index

(CI)10% sedangkan pada daerah non endemis DBD yaitu ABJ 80%, HI 20%, CI

7,8%. Tingkat pengetahun pada daerah endemis dan non endemis DBD yaitu

mayoritas cukup yaitu 89,7% dan 76,4%. Adapun tindakan PSN yang dilakukan di

daerah endemis DBD mayoritas baik yaitu 51,5% sedangkan pada daerah non

endemis DBD mayoritas buruk yaitu 63,6%.

Hasil pemetaan menunjukkan densitas larva pada daerah endemis dan non

endemis DBD berdasarkan density figure menunjukkan kepadatan rendah yaitu <5.

pengetahuan dan tindakan tidak berkorelasi dengan stratifikasi endemisitas DBD.

Peran serta jumantik dalam pengendalian penyakit DBD di daerah endemis dan non

endemis DBD belum terlaksana secara maksimal. Disarankan kepada masyarakat

agar lebih memperhatikan pelaksanaan PSN sehingga perkembangbiakan larva Aedes

aegypti dan transmisi DBD dapat dicegah.

Daftar Pustaka : 92 (2003-2017)

Kata Kunci : Densitas, pengetahuan, tindakan, jumantik

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji, puja dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT.,

karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah yang selalu senantiasa memberikan

kesehatan, kekuatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Akhir ini dengan judul “Gambaran Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan

pengetahuan dan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Daerah Endemis

dan Non Endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar ” sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam menyelesaikan

pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Skripsi ini

penulis persembahkan buat kedua orang tua tersayang Sofyan Zubair, SP. dan

Nuraeni yang telah memberikan dukungan penuh, pengorbanan dan kesabaran hati

memberikan doa, cinta dan kasih sayang, serta semangat selama penulis menempuh

pendidikan di FKM Unhas, untuk kakak – kakak saya Muh. Faizal Sofyan Zubair,

Muh. Rizal Sofyan Zubair, Muh. Yasin Sofyan Zubair, SP dan Muh. Hadrawi

Hady Sofyan Zubair, SE. yang selalu memberikan motivasi dalam penyusunan

skripsi ini sampai tahap akhir.

Ucapan rasa terima kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada

Ibu Dr.Erniwati Ibrahim SKM.,M.Kes selaku pembimbing I dan bapak Muh.

Fajaruddin natsir SKM.,M.kes selaku pembimbing II yang dengan penuh

kesabaran telah meluangkan waktu dan pemikirannya untuk memberikan arahan

vi

dorongan dan motivasi kepada penulis mulai dari awal hingga selesainya penulisan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang tak

terhingga kepada:

1. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli Abdullah, M.Kes selaku dekan FKM Unhas dan

wakil dekan serta seluruh staf tata usaha FKM Unhas atas kerja sama dan

bantuannya penulis mengikuti pendidikan di FKM Unhas serta dosen FKM

Unhas yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama

penulis mengikuti pendidikan di FKM Unhas.

2. Bapak Dr. dr. Arifin Seweng, MPH selaku Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis selama menempuh pendidikan di FKM Unhas.

3. Bapak Anwar Mallongi SKM., M.Sc., Ph.D selaku Ketua Departemen

Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

beserta seluruh staf.

4. Bapak Dr. Agus Bintara Birawida, S.Kel.,M.kes, Bapak Dian Sidik, SKM,

M.KM dan Bapak Muhammad Rachmat SKM., M.Kes. selaku dosen penguji

yang telah banyak memberikan masukan serta arahan guna penyempurnaan

skripsi ini.

vii

5. Kepada kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar beserta stafnya yang telah

membantu selama proses penelitian ini.

6. Kepada Kepala Camat Kecamatan Rappocini beserta stafnya yang telah

membantu selama proses penelitian ini. Terkhususnya bapak Ayyub Salahuddin

yang telah memberikan banyak informasi dalam membantu selama proses

penelitian.

7. Kepada Kepala Kelurahan Minasa Upa, Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan

Karunrung beserta stafnya yang telah membantu selama proses penelitian ini.

8. Kepada pak RW dan semua Kepala RT yang berada di Kelurahan Minasa Upa

dan Kelurahan Karunrung yang telah memberikan arahan dan bantuan selama

proses penelitian ini.

9. Terkhusus kepada Kakanda Marhamah Yudin, SKM. dan Amar Ma’ruf

Zarkawi, ST. yang memberikan saya banyak pelajaran mengenai pemetaan dan

memberikan banyak arahan dan bantuan dalam proses penelitian ini.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 (REMPONG) dan KESMAS B

terima kasih atas segala kebersamaan dan kebahagiaan selama ini.

11. Teman-teman Departemen Kesehatan Lingkungan angkatan 2013 yang selalu

memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman PBL “Desa Loka Kecamatan Rumbia” dan UPTD Pengolahan Air

Limbah Kota Makassar yang telah menerima kami magang kurang lebih selama

sebulan lamanya, serta teman-teman KKN Profesi angkatan 53, yang selalu

memberikan kebahagiaan dan keceriannya.

viii

13. Terkhusus teman kerja saya selama di Rektor Institute (Mentor

Pendamping“Anak Ajaib” yang memberikan kebahagiaan, keceriaan, dan

memberikan motivasi yang tiada habisnya serta selalu mengajarkan dalam

kekompakan dan managemen waktu.

14. Sahabat – sahabat saya (Afriyogi, Nur Hardiyanti Zamad, dan Sari Puspa

Bachtiar) yang selalu memberikan solusi, bantuannya serta motivasi apabila

penulis mendapatkan masalah dalam penyusunan skripsi ini dan partner

penelitian saya Ribka Lubato yang menjadi teman seperjuangan saya dalam

menyusun penelitian ini.

15. Terhusus buat Imam Setiawan yang tak henti-hentinya memberikan saya

dukungan dan selalu ada buat saya dalam membantu saya mengerjakan skripsi

dalam keadaan apapun selama proses penyusunan ini.

16. Responden yang telah bersedia untuk diwawancarai, serta semua pihak yang

tidak dapat disebukan satu-satu persatu namanya, atas bantuan dalam

pelaksanaan penelitian ini.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih

jauh dari kesempurnaan. Tanpa kalian skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Semoga

penelitian ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 21 Juli 2017

Nurul mutmainna

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii

RINGKASAN ......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN PETA .............................................................................. xvii

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 9

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 10

D. Manfaat Penelitian................................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Umum tentang Vektor DBD ...................................................... 13

B. Tinjauan Umum tentang Kepadatan Vektor DBD .................................. 22

C. Tujuan Umum tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD ..... 26

D. Tinjauan Umum tentang Juru Pemantau Jentik (JUMANTIK) ............... 30

E. Tinjauan Umum tentang Daerah Endemis dan Non Endemis DBD........ 34

F. Tinjauan Umum tentang Pengetahuan dan Tindakan .............................. 37

G. Tinjauan Umum tentang Pemetaan ......................................................... 41

H. Tabel Sintesa ........................................................................................... 44

I. Kerangka Teori ........................................................................................ 47

x

BAB III LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian ...................................................... 48

B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti ............................................................. 49

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ............................................. 50

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ........................................................................................ 56

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 56

C. Populasi dan Sampel ................................................................................ 56

D. Metode Pengambilan Sampel .................................................................. 61

E. Pengumpulan Data ................................................................................... 63

F. Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 65

G. Penyajian Data ......................................................................................... 65

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 66

B. Hasil Penelitian ........................................................................................ 68

C. Pembahasan ............................................................................................. 109

D. Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 134

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 136

B. Saran ........................................................................................................ 137

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Tingkat Kepadatan Larva Aedes aegypti berdasarkan Indikator

Densityfigure………………………………………………………. 26

2.2 Tabel Sintesa………………………………………………………. 44

4.1 Jumlah Sampel Tiap RT di RW 09 Kelurahan Gunung Sari

Kecamatan Rappocini Kota Makassar……………………………... 62

4.2 Jumlah Sampel Tiap RT di RW 01 Kelurahan Karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar……………………………... 63

5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan

Gunung Sari dan Kelurahan karunrung Kecamatan Rappocini Kota

Makassar tahun 2017………………………………………............ 70

5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan

Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini

Kota Makassar tahun2017…………………………………………. 71

5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Kelurahan

Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini

Kota Makassar tahun 2017………………………………………… 72

5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir di

Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan

Rappocini Kota Makassar tahun 2017……………………………... 73

5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Kelurahan

Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini

Kota Makassar tahun 2017…………………………………………

74

5.6 Distribusi Pertanyaan tentang PSN DBD di Kelurahan Gunung

Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini Kota

Makassar tahun 2017………………………………………………. 75

xii

5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar tahun

2017………………………………………………………………... 78

5.8 Distribusi Tiap Tindakan PSN di Kelurahan Gunung Sari dan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar tahun

2017………………………………………………………………... 79

5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kontainer yang di

Periksa di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar tahun 2017………………… 82

5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kontainer di Kelurahan

Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini

Kota Makassar tahun 2017………………………………………… 83

5.11 Distribusi Rumah Responden Berdasarkan Keberadaan Larva

Aedes aegypti di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar tahun

2017………………………………………………………………... 84

5.12 Distribusi Keberadaan Larva Aedes aegypti Berdasarkan

Pengetahuan dan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

di Kelurahan Gunung Sari dan Kelurahan Karunrung Kecamatan

Rappocini Kota Makassar tahun 2017……………………………... 87

5.13 Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) per RT di Kelurahan Gunung

Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………………….. 91

5.14 Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) per RT di Kelurahan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017…………... 94

5.15 Distribusi House Index (HI) per RT di Kelurahan Gunung Sari

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017…………......................

96

xiii

5.16 Distribusi House Index (HI) per RT di Kelurahan Karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017…………....................

98

5.17 Distribusi Container Index (CI) per RT di Kelurahan Gunung Sari

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………….................... 100

5.18 Distribusi Container Index (CI) per RT di Kelurahan karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………….................... 102

5.19 Distribusi Densitas larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan

dan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan

Gunung Sari dan Kelurahan karunrung kecamatan Rappocini Kota

Makassar 2017……………………………………………………... 104

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti…………………………….. 15

2.2 Telur Aedes aegypti……………………………………………..... 16

2.3 Larva Aedes aegypti………………………………………………. 18

2.4 Pupa Aedes aegypti……………………………………………….. 19

2.5 Nyamuk Aedes aegypti……………………………………………. 19

2.6 Kerangka Teori…………………………………………………… 47

3.1 Kerangka Konsep…………………………………………………. 50

5.1 Peta Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di

Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017……………..................................................................... 76

5.2 Peta Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di

Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017………............................................................................ 77

5.3 Peta Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan Gunung

Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017……….................................................................................... 80

5.4 Peta Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan Karunrung

Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017………............................................................................ 81

5.5 Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan

Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………. 85

5.6 Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………… 86

xv

5.7 Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Berdasarkan

Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Gunung Sari

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017……………………...

88

5.8 Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Berdasarkan

Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017……………………... 89

5.9 Peta Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan

Keberadaan Larva Aedes aegypti Pengetahuan dan Tindakan

PSN di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota

Makassar 2017…………………………………………………… 91

5.10 Peta Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan

Keberadaan Larva Aedes aegypti Pengetahuan dan Tindakan

PSN di Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini Kota

Makassar 2017…………………………………………………… 93

5.11 Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Keberadaan Larva

Aedes aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan

Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017………………........................................................................

95

5.12 Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Keberadaan Larva

Aedes aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017……………………………………………………………… 97

5.13 Peta Distribusi Container Index (CI) Berdasarkan Keberadaan

Larva Aedes aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di

Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017………………………………………………………………

99

xvi

5.14 Peta Distribusi Container Index (CI) Berdasarkan Keberadaan

Larva Aedes aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di

Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017………………………………………………………………

101

5.15 Peta Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan

Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan

Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………. 103

5.16 Peta Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan

Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan

Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017………… 104

xvii

LAMPIRAN PETA

1. Peta Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Kelurahan Gunung Sari

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017

2. Peta Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Kelurahan Karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017

3. Peta Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017

4. Peta Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) di Kelurahan Karunrung Sari Kecamatan Rappocini Kota

Makassar 2017

5. Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Gunung Sari

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017

6. Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Karunrung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar 2017

7. Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan

Tindakan PSN di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017

8. Peta Distribusi Keberadaan larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan

Tindakan PSN di Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini Kota Makassar

2017

9. Peta Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes

aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

10. Peta Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes

aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Karunrung Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

xviii

11. Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes aegypti

Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

12. Peta Distribusi House Index (HI) Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes aegypti

Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini

Kota Makassar 2017

13. Peta Distribusi Container Index (CI) Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes

aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

14. Peta Distribusi Container Index (HI) Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes

aegypti Pengetahuan dan Tindakan PSN di Kelurahan Karunrung Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

15. Peta Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan Tindakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan Gunung Sari Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

16. Peta Densitas Larva Aedes aegypti Berdasarkan Pengetahuan dan Tindakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kelurahan Karunrung Kecamatan

Rappocini Kota Makassar 2017

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran :

1. Kuesioner Penelitian

2. Lembar Observasi

3. Panduan Wawancara Jumantik

4. Output Analisis SPSS

5. Surat Izin Penelitian dari Dekan FKM UNHAS

6. Surat Izin Penelitian dari Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Cq. Kepala

UPT P2T, BKPMD Makassar

7. Surat Izin Penelitian dari Walikota Makassar Cq. Badan Kesatuan Bangsa dan

Politik

8. Surat Izin Penelitian dari Kecamatan Rappocini

9. Surat Izin Penelitian dari Kelurahan Minasa Upa Kecamatan Rappocini

10. Surat Izin Penelitian dari Kelurahan Karunrung Kecamatan Rappocini

11. Surat Keterangan telah Melaksanakan Penelitian di Kelurahan Minasa Upa

12. Surat Keterangan telah Melaksanakan Penelitian di Kelurahan Karunrung

13. Dokumentasi Penelitian

14. Daftar Riwayat Hidup

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui

gigitan nyamuk genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus

(Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2015). DBD adalah penyakit akut dengan

manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok yang berujung kematian.

DBD disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus,

famili Flaviviridae (Sukohar, 2014).

DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Epidemi demam

berdarah pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1779 hingga tahun 1780 di

Asia, Afrika, dan Amerika utara. Terjadinya wabah secara smilutan di 3 benua

menunjukkan bahwa virus melalui vektor nyamuk yang mempengaruhi distribusi

penyakit demam dengue di seluruh dunia yang beriklim tropis dalam kurun

waktu 200 tahun (Arsin, 2013).

Pada tahun 2015, Brazil melaporkan lebih dari 1,5 juta kasus yang

diperkirakan tiga kali lebih besar dari tahun 2014 dan di Pulau Hawai, Amerika

Serikat terjadi wabah DBD yang dilaporkan sebanyak 181 kasus dan terjadi

transmisi berkelanjutan ditahun 2016. Penyakit DBD juga dapat menimbulkan

2

wabah di kawasan Asia Tenggara dan merupakan masalah kesehatan yang utama

(WHO, 2016).

Wabah DBD di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2015 terjadi di negara

Filipina dan Malaysia. Filipina melaporkan lebih dari 169.000 kasus dan

Malaysia melebihi 111.000 kasus (WHO, 2016). Asia Tenggara berada di daerah

tropis dan zona khatulistiwa sehingga menyebabkan nyamuk Aedes aegypti

tersebar luas di perkotaan hingga pedesaan dengan beberapa serotipe virus yang

beredar (Rahmawati et al., 2016).

DBD bukan hanya menimbulkan wabah namun bisa juga menimbulkan

Kejadian Luar Biasa (KLB) pada satu daerah seperti di Hanoi, Vietnam Utara.

Negara ini terletak di daerah endemis Dengue Fever (DF) Dengue Haemorrhagic

Fever (DHF). Hal tersebut diakui sebagai penyebab utama mortalitas dan

morbiditas di Vietnam dan termasuk sepuluh penyakit menular dalam hal beban

kesehatan secara keseluruhan (TOAN et al., 2014). Penyakit DBD telah

menyebar luas di seluruh dunia dan mengalami fluktuasi kasus di tiap-tiap negara

seperti di Indonesia.

WHO menetapkan Indonesia sebagai salah satu negara hiperendemik

dengan jumlah provinsi yang terkena DBD sebanyak 32 provinsi dari 33 provinsi

di Indonesia dan 355 kabupaten/kota dari 444 kota terkena DBD. Setiap hari

dilaporkan, sebanyak 380 kasus DBD dan 1-2 orang meninggal setiap hari

(Arsin, 2013). Penyakit DBD di Indonesia telah menyebar luas ke seluruh

kawasan dengan jumlah kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat hingga ke

3

wilayah pedalaman. Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan

sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang

(IR/Angka kesakitan= 50,75 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian=

0,83%). Dibandingkan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 100.347 serta IR

39,80 terjadi peningkatan kasus pada tahun 2015. Indikator lain yang digunakan

untuk upaya pengendalian penyakit DBD yaitu angka bebas jentik (ABJ). Pada

tahun 2015 ABJ di Indonesia terlihat peningkatan yang cukup signifikan dari

24,06% pada tahun 2014 menjadi 54,24% pada tahun 2015. Meskipun terjadi

peningkatan, angka tersebut belum mencapai target program yang sebesar ≥95%

(Kemenkes RI, 2016).

Menurut laporan Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan (P2PL), jumlah kasus DBD yang terjadi di Sulawesi Selatan pada

tahun 2010 sebanyak 3.550 kasus, dengan angka kesakitan (IR) DBD sebesar

44,18 per 100.000 penduduk dan angka kematian (CFR) DBD sebesar 0,93%

(Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2011). Pada tahun 2011 jumlah kasus DBD

mengalami penurunan yaitu yang sebanyak 1.876 kasus dengan IR (Incident

Rate) DBD sebesar 22 per 100.000 penduduk dan meninggal sebanyak 15 orang

yang terdiri dari laki-laki 7 orang dan perempuan 8 orang, dengan angka

kematian (CFR) DBD sebesar 15,55% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2012).

Pada tahun 2012 jumlah kasus DBD sebanyak 2.333 kasus, dengan IR

DBD sebesar 28,49 per 100.000 penduduk dan meninggal 23 orang yaitu laki-

laki 12 orang dan perempuan 11 orang, CFR (Case Fatality Rate) DBD sebesar

4

50,34% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2013). Kasus DBD terus mengalami

peningkatan pada tahun 2013 dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak

5.030 kasus, IR DBD sebesar 50,89 per 100.000 penduduk dan meninggal 48

orang yang terdiri dari laki-laki 29 orang dan perempuan 19 orang, dengan

angka kematian (CFR) DBD sebesar 22,46% (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan,

2014).

Kota Makassar sebagai salah satu kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang

endemis DBD. Tahun 2014 jumlah penderita DBD di seluruh wilayah

Puskesmas di Kota Makassar sebanyak 139 kasus dengan Angka Kesakitan/IR =

10,15 per 100.000 penduduk diantaranya terdapat 2 kematian karena DBD.

Kasus di tahun 2014 menurun dibanding tahun 2013 dengan jumlah kasus 265

dengan Angka Kesakitan/IR = 19,6 per 100.000 penduduk diantaranya terdapat

11 kasus kematian karena DBD, jumlah Tahun 2012 sebanyak 86 kasus dengan

Angka Kesakitan/IR = 6,3 per 100.000 penduduk dan terdapat 2 kematian.

Data yang bersumber dari Bidang Bina P2PL Dinas Kesehatan Kota

Makassar, jumlah kasus DBD pada tahun 2015 sebanyak 142 kasus dengan

angka kesakitan 10,08% per 100.000 penduduk dan meninggal sebanyak 5 orang

yang terdiri dari 2 laki-laki dan 3 perempuan (Dinkes Kota Makassar, 2015).

Pada tahun 2016 terdapat sebanyak 250 kasus dan meninggal 2 orang. Jumlah

kasus tertinggi di kota Makassar dari tahun 2014 sampai tahun 2016 berada di

kecamatan Rappocini sebanyak 98 kasus, Kecamatan Tamalanrea 78 kasus, dan

Kecamatan Panakukang 59 kasus (Dinkes Kota Makassar, 2016).

5

Kecamatan Rappocini adalah satu dari empat belas kecamatan yang

berada di Makassar dengan jumlah kasus DBD tertinggi selama tiga tahun

terakhir. Pada tahun 2014 sebanyak 44 kasus, tahun 2015 sebanyak 19 kasus, dan

tahun 2016 sebanyak 35 kasus. Adapun Angka Bebas Jentik (ABJ) di salah satu

puskesmas di kecamatan Rappocini yaitu puskesmas Kassi-kassi tahun 2014

sebesar 86,2%, tahun 2015 sebesar 88,5 %, dan tahun 2016 sebesar 91,5%

(Dinkes Kota Makassar, 2016).

Kecamatan Rappocini memiliki luas wilayah sebesar 9,23 km2, jumlah

penduduk 156.665 jiwa, dengan jumlah kepadatan penduduk 16.973 jiwa/km2

(Dinkes Kota Makassar, 2015). Kecamatan Rappocini terdiri dari 10 kelurahan

dengan kasus DBD tertinggi berada di Kelurahan Gunung Sari. Jumlah kasus

DBD yang tercatat di Kelurahan Gunung Sari tahun 2014 sebanyak 14 kasus,

2015 sebanyak10 kasus dan tahun 2016 sebanyak 5 kasus. Kasus terendah

berada di Kelurahan Karunrung dimana tahun 2014 tidak ditemukan kasus, tahun

2015 1 kasus dan tahun 2016 terdapat 1 kasus (Dinkes Kota Makassar, 2016).

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 6 tahun 2007 tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue

bahwa daerah endemis adalah suatu keadaan dimana ditemukan kasus Demam

Berdarah Dengue secara terus menerus minimal dalam kurun waktu 3 (tiga)

tahun. Menurut Sari dkk (2013) setiap tahunnya terdapat penderita DBD akibat

dari keadaan lingkungannya antara lain karena penduduknya yang padat,

mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah lainnya.

6

Berdasarkan hal tersebut, penentuan jumlah kasus DBD tertinggi dan terendah

maka Kelurahan Gunung Sari dikategorikan sebagai daerah endemis DBD

karena selama tiga tahun terakhir setiap tahunnya terdapat kasus DBD dan

merupakan kelurahan dengan jumlah kasus DBD tertinggi dibandingkan 9

kelurahan lainnya yang ada di Kecamatan Rappocini. Sedangkan berdasarkan

data jumlah kasus DBD terendah selama tiga tahun terakhir, maka Kelurahan

Karunrung dikategorikan sebagai daerah non endemis DBD meskipun bukan

merupakan daerah yang bebas dari kasus DBD.

Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di suatu

wilayah antara lain faktor penderita (host), tersangka vektor, kondisi lingkungan,

tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku serta mobilitas penduduk, yang berbeda

– beda untuk setiap daerah dan berubah – ubah dari waktu ke waktu (Djati et al.,

2012). Kejadian DBD juga sering dikaitkan dengan perilaku masyarakat dalam

upaya pencegahan dan pengendalian vektor DBD. Pengendalian vektor DBD

yang paling efisien dan efektif adalah memutus mata rantai penularan melalui

pengendalian jentik. Pelaksanaannya di masyarakat melalui upaya

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (lestari et al., 2014). PSN adalah kegiatan

memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular berbagai penyakit

seperti Demam Berdarah Dengue, Chikungunya, Malaria, Filariasis (Kaki Gajah)

di tempat-tempat perkembangbiakannya. PSN dapat dilakukan dengan cara 3M

Plus (Menguras, Menutup, Mengubur plus Menghindari gigitan nyamuk)

(Hidayati and Kusumaningrum, 2015).

7

Faktor perilaku merupakan faktor yang penting dalam persoalan

kesehatan maupun dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya. Perhatian

terhadap faktor perilaku sama halnya dengan faktor lingkungan, terutama dalam

upaya pencegahan penyakit. Faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu sikap,

usia, nilai, dan faktor kepercayaan. Dan faktor yang mempengaruhi tindakan

yaitu pengetahuan, emosi, persepsi, dan lainnya (Sidabutar et al., 2016).

Pengetahuan merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang terhadap

suatu objek, sehingga pembahasan tentang pengetahuan dalam konteks

kemampuan pengendalian demam berdarah tidak bisa lepas dari proses

terbentuknya perilaku (Bahtiar 2012).

Hasil penelitian Monintja (2015) yang menyatakan ada hubungan yang

bermakna antara pengetahuan dengan tindakan PSN DBD masyarakat Kelurahan

Malalayang I Kecamatan Malalayang Kota Manado. Hal ini didukung dengan

penelitian Nahumarury dkk (2012) adanya hubungan pengetahuan, sikap, dan

tindakan tentang pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti terhadap

keberadaan larva di Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makassar dimana tingkat

pengetahuan responden berkaitan dengan tingkat pendidikan. Masyarakat yang

berpendidikan rendah kurang memahami tentang pemberantasan sarang nyamuk

Aedes aegypti sehingga menyebabkan adanya larva di pemukimannya.

Pelaksanaan kegiatan 3M sangat berpengaruh dengan densitas larva

Aedes aegypti pada tempat penampungan air. Karena apabila masyarakat kurang

atau sama sekali tidak melakukan kegiatan 3M tersebut, maka diduga adanya

8

kepadatan larva Aedes aegypti (Alupaty, 2013). Ukuran yang dipakai untuk

mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti adalah ABJ, House Indeks (HI),

Container Index (CI), dan Breteau Index (BI) (lestari et al., 2014). Hasil

perhitungan House Index (HI), Container Index (CI) , Breteau Index (BI) di

tempat-tempat umum di Kecamatan Tanantovea masing-masing sebesar 28,26

%, 25,35 % dan 39,13. Berdasarkan container index didapatkan density figure 6.

Angka Bebas Jentik (ABJ) 71,4% berada jauh di bawah standar nasional ABJ

yaitu 95%. Analisis resiko penularan Dengue berdasarkan index jentik dengan

nilai densitiy figure >1, HI >1; BI >5 menunjukkan tempat-tempat umum di

kecamatan Tanantovea beresiko terjadinya penularan (Maksud et al., 2015).

Distribusi demam dengue dalam hal waktu dan ruang adalah penting

untuk mengembangkan database spasial, menerapkan statistik spasial dan untuk

menghubungkan informasi ini dengan lingkungan, faktor iklim, entomologis dan

sosial ekonomi untuk daerah tertentu. Geographic Information System (GIS) dan

citra satelit resolusi tinggi yang berguna untuk mengumpulkan data untuk studi

faktor yang mempengaruhi demam dengue dan distribusi vektor di daerah di

mana jutaan orang beresiko tertular demam dengue (Pongsilurang et al., 2015).

Penelitian Murdani et al. (2016) mengatakan Saat ini yang sedang

dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi adalah pengolahan

register kasus DBD dalam bentuk tabuler, grafik, dan pemetaan sebaran kasus

berdasarkan wilayah endemis, sporadic, dan bebas menurut kelurahan atau desa.

Pengolahan register kasus DBD akan menjadi lebih bermanfaat apabila

9

dipetakan menurut tempat tinggal penderita untuk mengetahui distribusi penyakit

secara kewilayahan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai pemeetaan densitas larva Aedes aegypti berdasarkan

pengetahuan dan tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di daerah

endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Kota Makassar merupakan salah satu kota di Sulawesi selatan yang

hampir setiap tahunnya mengalami peningkatan kasus DBD. Salah satu

kecamatan di kota Makassar yang juga setiap tahunnya mengalami peningkatan

kasus adalah Kecamatan Rappocini. Peningkatan kasus diakibatkan oleh

beberapa faktor salah satunya tingkat pengetahuan dan tindakan dalam

pengendalian vektor DBD itu sendiri. Kejadian DBD juga sering dikaitkan

dengan perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian vektor

DBD. Pengendalian vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah memutus

mata rantai penularan melalui pengendalian jentik. Pelaksanaannya di

masyarakat melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). PSN sangat

berpengaruh dengan densitas larva seperti ABJ, HI, dan CI. Untuk

mengakomodir wilayah Makassar yang begitu luas, diperlukan sebuah alat bantu

yang bisa membantu dan mempermudah mengetahui penyebaran penyakit yaitu

dengan pemetaan. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimana gambaran densitas larva Aedes aegypti

10

berdasarkan pengetahuan dan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di

daerah endemis dan non endemis DBD di Kecamatan Rappocini Kota Makassar.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran densitas larva Aedes aegypti berdasarkan

pengetahuan dan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di daerah

endemis dan non endemis DBD di Kecamatan Rappocini Kota Makassar.

2. Tujuan khusus

a. Untuk memperoleh gambaran mengenai pengetahuan Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) di daerah endemis dan non endemis DBD

Kecamatan Rappocini Kota Makassar.

b. Untuk memperoleh gambaran mengenai tindakan Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan

Rappocini Kota Makassar.

c. Untuk memperoleh gambaran Angka Bebas Jentik (ABJ) berdasarkan

pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di daerah endemis

dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini Kota Makassar.

d. Untuk memperoleh gambaran nilai House Index (HI) berdasarkan

pelaksanaan PSN di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan

Rappocini Kota Makassar.

11

e. Untuk memperoleh nilai Container Index (CI) berdasarkan pelaksanaan

PSN di daerah endemis dan non endemis DBD Kecamatan Rappocini

Kota Makassar.

f. Untuk menggali informasi tentang peran serta dari kader Jumantik dalam

pengendalian penyakit DBD di daerah endemis dan non endemis DBD

Kecamatan Rappocini kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat institusi

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan/referensi

oleh Dinas Kesehatan Kota Makassar maupun instansi kesehatan lain dalam

upaya penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), sehingga

secara signifikan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat

DBD di kota tersebut.

2. Manfaat ilmiah

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan tentang upaya pengendalian terhadap kejadian luar biasa

Demam Berdarah Dengue (DBD) dan diharapkan dapat dijadikan sebagai

referensi bagi penelitian berikutnya.

3. Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini merupakan sebuah pengalaman yang berharga bagi

peneliti serta sebagai tambahan pengalaman ilmiah dan pengetahuan bagi

12

peneliti sendiri dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan kesehatan yang

dimiliki.

4. Manfaat bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi

masyarakat untuk memprediksi lokasi potensial adanya larva Aedes aegypti

sehingga dapat mengambil tindakan untuk mencegah larva tersebut berubah

menjadi nyamuk dewasa yang berpotensi menyebabkan DBD.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Vektor DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue

yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus dengue sampai

sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3, Dengue-4)

termasuk dalam kelompok Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Ke-empat

serotipe virus ini telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Hasil

penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan

kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul

oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4 (Mubarokah, 2013).

Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang

ditemukan di bumi, biasanya antara garis lintang 35°U dan 35°S, kira-kira

berpengaruh dengan musim dingin isotherm 10°C. Meski Aedes aegypti telah

ditemukan sampai sejauh 45°U, invasi ini telah terjadi selama musim hangat, dan

nyamuk tidak hidup pada musim dingin. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi

oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan diatas ketinggian 1000 m tetapi

telah dilaporkan pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di Kolombia,

dimana suhu rerata tahunan adalah 17°C, dan pada ketinggian 2400 di Eritrea.

Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk

14

arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan

sering hidup di dalam rumah (Sitio, 2008).

Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa

spesies lainnya dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang

kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada

saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang

berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic

incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat

gigitan berikutnya (Arsin, 2013).

Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah

akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan

berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam

kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita

(extrinsic incubation period), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada

orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang

hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus

dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (Arsin, 2013).

1. Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes mengalami metamorfosis sempurna (holometabola).

Empat tahapan dalam siklus hidupnya, yaitu telur, jentik, kepompong, dan

nyamuk. Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga

15

Sumber : Dirjen P2PL, 2011

Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12 hari dan umur nyamuk Aedes

aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1,5

bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara sekelilingnya. Nyamuk A.

aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada permukaan air

bersih secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah

satu dengan yang lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva

(Saragih,2015).

Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut

instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 5

hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa di mana larva

memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya

nyamuk dewasa keluar dari pupa (Saragih, 2015).

16

a. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk oval yang

mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel

pada dinding tempat penampung air. Telur dapat bertahan sampai ± 6

bulan di tempat kering (Dirjen P2PL, 2011).

Telur itu akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari

setelah terendam air. Telur diletakkan satu persatu pada permukaan yang

basah tepat diatas batas permukaan air. Sebagian besar nyamuk Aedes

aegypti betina meletakkan telurnya di beberapa sarang selama satu kali

siklus gonotropik. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam

di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu proses embrionasi selesai,

telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun).

Telur akan menetas pada saat penampungan air penuh, tetapi tidak semua

telur akan menetas pada waktu yang sama. Kapasitas telur untuk

menjalani masa pengeringan akan membantu mempertahankan

kelangsungan spesies ini selama kondisi iklim buruk (Purnama, 2010).

Sumber : Dirjen P2PL, 2012

Gambar 2.2. Telur Aedes aegypti.

17

b. Jentik (larva)

Telur menetas menjadi larva instar I dalam waktu 2 hari, setelah itu

larva akan mengalami 3 kali pergantian kulit (ecdysis) berturut-turut

menjadi larva instar II, III, dan larva instar IV. Proses dari larva instar I

sampai ke instar IV membutuhkan waktu sekitar 10 hari. Variasi waktu

tergantung pada suhu dan diet larva. Setiap mengakhiri instar dengan cara

moult atau ecdysis. Salah satu tanda dari ecdysis adalah munculnya pita-

pita hitam di dadanya yang terbungkus sirkular dan muncul rambut

secara lateral di sepanjang kutikula (Rosmayanti, 2014). Menurut Dirjen

P2PL (2011), Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan

pertumbuhan larva tersebut, yaitu:

1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

2) Instar II : 2,5-3,8 mm

3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II

4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Larva bergerak terutama dengan dua cara yakni dengan tersentak oleh

tubuhnya dan dengan mouth brushes. Larva ini selalu bergerak aktif di

dalam air. Gerakannya berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air

untuk bernapas, kemudian turun kembali dan seterusnya. Pada waktu

istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. biasanya

berada disekitar dinding tempat penampungan air. Setelah 6-8 hari larva

atau jentik akan menjadi pupa (Rosmayanti, 2014).

18

c. Pupa

Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih

ramping dibanding larva (jentik) nya. Pupa Aedes aegypti berukuran

lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Dirjen

P2PL, 2011).

Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok dengan bagian

kepala-dada (cephalotoraks) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian

perutnya. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas

seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh

tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8

tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya

lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa

sejajar dengan bidang permukaan air (Boekoesoe, 2013).

Sumber : Dirjen P2PL, 2011

Gambar 2.3. Larva Aedes aegypti.

19

d. Nyamuk Dewasa

Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam kecoklatan bercorak putih

pada bagian kepala, torak, abdomen, dan kaki. Yang membedakan jenis

Aedes aegypti dengan Aedes albopictus, pada bagian toraks Aedes

aegypti terdapat warna putih bentuk bulan sabit sedangkan Aedes

albopictus bentuk garis lurus (Dirjen P2PL, 2013).

Sumber : Dirjen P2PL, 2011

Gambar 2.4. Pupa Aedes aegypti

Sumber : Dirjen P2PL, 2013

Gambar 2.5. Nyamuk Aedes aegypti

20

Nyamuk Aedes Aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu

kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata

majemuk dan antenna yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe

penusuk-pengisap (Piercingsucking) dan termasuk lebih menyukai

manusia (anthropophagus). Sedangkan nyamuk jantan bagian mulut

lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu

tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk

betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe

plumose. Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, porothorax, mesothorax,

dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari

femur (paha), tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada

gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada

gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-

noda hitam (Purnama, 2010).

2. Tempat Perkembangbiakan (Breeding Place) Nyamuk Aedes aegypti

Tempat perkembangbiakan nyamuk disebut tempat perindukan,

tempat ini merupakan bagian paling penting dalam siklus hidup nyamuk,

karena melalui tempat perindukan ini kelangsungan siklus hidup nyamuk

dapat berlangsung dengan normal (Nadifah et al. 2016). Tempat

perkembang-biakan utama ialah tempat-tempat penampungan air berupa

genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau

21

sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500

meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di

genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Dirjen P2PL, 2008).

Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan nyamuk adalah suhu,

nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur 20-30°C. Nyamuk dapat

bertahan hidup pada suhu rendah (10°C) (Lakoro et al. 2015).

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

lingkungan (P2PL) (2008), Jenis tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes

aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti:

drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti:

tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang

bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu,

pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, dan potongan bambu.

Menurut Penelitian Jacob dkk (2014), nyamuk Aedes spp tidak hanya

mampu hidup pada perindukan air jernih saja, tapi dapat juga bertahan hidup

dan tumbuh normal pada air got yang didiamkan dan menjadi jernih. Pada air

sumur gali dan PAM ketahanan hidup nyamuk Aedes spp sangat rendah dan

tidak dapat tumbuh normal, sedangkan air limbah sabun mandi tidak

memungkinkan untuk hidup nyamuk Aedes spp. Sehingga masyarakat perlu

22

lebih waspada terhadap genangan air got yang jernih karena dapat menjadi

habitat per-indukan nyamuk Aedes spp.

Hal tersebut didukung oleh penelitian Sayono dkk (2011), larva Aedes

aegypti dapat bertahan hidup pada media perindukan dari air got, sumur gali,

dan PAM, dan mati pada air limbah sabun mandi. Larva Aedes aegypti dapat

hidup dan tumbuh normal dengan masa stadium larva dan pupa yang wajar,

hanya pada perindukan berisi air got, bahkan tumbuh sedikit lebih cepat,

sedangkan pada air sumur gali dan PAM hanya sedikit larva yang bertahan

hidup dan akhirnya mati setelah melalui masa larva yang panjang dan

menjadi pupa yang tidak normal. Artinya, dayadukung air got terhadap

ketahanan hidup dan pertumbuhan larva Ae. aegypti cukup baik, dan

sebaliknya pada air sumur gali dan PAM. Air limbah sabun mandi bahkan

tidak memungkinkan larva Ae aegypti untuk bertahan hidup.

B. Tinjauan Umum tentang Kepadatan Vektor DBD

Kepadatan vektor nyamuk Aedes yang diukur dengan menggunakan

parameter ABJ yang di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota. Hal ini nampak

peran kepadatan vektor nyamuk Aedes terhadap daerah yang terjadi kasus KLB.

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya

yang menyatakan bahwa semakin tinggi angka kepadatan vektor akan

meningkatkan risiko penularan (Wati, 2009). Suatu metode yang digunakan

untuk mendeteksi dan memonitoring populasi larva nyamuk yaitu dengan

melakukan metode survei larva atau jentik. Metode ini paling sering digunakan

23

dibandingkan dengan metode survei telur maupun nyamuk dewasa karena lebih

praktif dibandingkan metode lainnya (Rendy, 2013).

Menurut Dirjen P2PL (2008), Untuk mengetahui kepadatan populasi

nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di rumah

yaitu :

1. Survei Nyamuk

Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan

orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah

dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang sama.

Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.

a. Landing Rate

Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap umpan orang

Jumlah Penangkap ×jumlah jam penangkap

b. Resting per rumah

Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap

pada penangkap nyamuk hinggap

Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan

2. Survei Jentik

a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang-

biakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk

mengetahui ada tidaknya jentik.

b. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti:

24

bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Jika pada

pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-

kira ½ -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.

c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti:

vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya

perlu dipindahkan ke tempat lain.

d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh,

biasanya digunakan senter.

Metode yang digunakan untuk survey jentik yaitu :

a. Single larva

Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat

genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

b. Visual

Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di

setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam

program DBD mengunakan cara visual.

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes

aegypti:

a. Angka Bebas Jentik (ABJ)

jumlah rumah bangunan⁄ yang tidak ditemukan jentik

jumlah rumah bangunan⁄ yang diperiksa×100%

25

b. House Index (HI)

jumlah rumah bangunan⁄ yang ditemukan jentik

jumlah rumah bangunan⁄ yang diperiksa×100%

c. Container Index (CI)

jumlah kontainer dengan jentik

jumlah kontainer diperiksa×100%

d. Breteu Index (BI)

Jumlah kontainer dengan jentik dalam 100 rumah/bangunan

ABJ dan HI mengambarkan luas penyebaran vektor, CI

menggambarkan kepadatan vektor sedangkan BI menunjukkan kepadatan

dan penyebaran vektor di suatu wilayah. Berdasarkan standar dari WHO,

risiko tinggi penularan DBD jika nilai CI ≥ 5%, HI ≥ 10%, dan BI ≥ 50%.

Menurut Pan American Health Organization (PAHO) dalam Dengue and

Dengue Hemorrhagic Fever in the Americas; Guidelines for Prevention and

Control 1994, terbagi menjadi tiga klasifikasi tingkat transmisi dengue yaitu

rendah (HI < 0,1%), sedang (HI = 0,1 – 5%), dan tinggi (HI > 5%)

(Kumayah, 2011).

WHO (1973) dalam Taviv (2009) dalam Yudin (2016) telah

mengembangkan suatu parameter kepadatan larva yang merupakan gabungan

antara HI, CI, dan BI. Kepadatan larva dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

a. DF = 1 – 5 menunjukkan kepadatan rendah.

b. DF = 6 – 9 menunjukkan kepadatan tinggi.

26

Tabel 2.1

Tingkat kepadatan Larva Aedes aegypti berdasarkan Indikator Density

Figure

3. Survei Perangkap Telur (ovitrap)

Survei ini dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa

bejana, misalnya potongan bambu, kaleng (seperti bekas kaleng susu atau

gelas plastik) yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi

air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan padel berupa

potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna gelap

sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk.

C. Tinjauan Umum tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD

Sampai saat ini obat dan vaksin untuk mencegah penyakit demam

berdarah belum ditemukan. Cara yang paling tepat untuk pengendaliannya

adalah dengan memberantas tempat-tempat perindukan nyamuk A. aegypti.

Mengetahui tempat-tempat perindukan ini sangat penting, untuk mengkaji,

menganalisa, memilih, dan menentukan bentuk dan jenis upaya pengendalian

WHO Density Figure House Index Container Index Breteu Index

1 1 – 3 1 – 2 1 – 4

2 4 – 7 3 – 5 5 – 9

3 8 – 17 6 – 9 10 – 19

4 18 – 28 10 – 14 20 – 34

5 29 – 37 15 – 20 35 – 49

6 38 – 49 21 – 27 50 – 74

7 50 – 59 28 – 31 75 – 99

8 60 – 76 32 – 40 100 – 199

9 77 41 200

Sumber : WHO, 1973, dalam Taviv, 2009, dalam Yudin, 2016

27

jentik nyamuk dengan tujuan akhir adalah untuk menurunkan angka kesakitan

penyakit demam berdarah (Agustina, 2013).

Tindakan pencegahan meluasnya penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD) dilakukan dengan pengendalian terhadap vektor. Pengendalian vektor

adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan

meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan

umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus

rantai penularan penyakit (Dirjen P2PL, 2012).

Berbagai pengendalian vektor DBD yang dikeluarkan pemerintah melalui

Dirjen P2PL (2012) salah satunya adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk(PSN).

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah kegiatan memberantas telur,

jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat

perkembang biakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk,

sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD

diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan

95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (DKGM, 2006).

PSN adalah Pengendalian Vektor yang paling efisien dan efektif dengan

memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di

masyarakat dilakukan dalam bentuk kegiatan 3M plus. 3M yang dimaksud yaitu:

a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak

mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).

b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan,

28

dan lain-lain (M2).

c. Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat

menampung air hujan (M3).

Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:

a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya

yang sejenis seminggu sekali.

b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan

tanah, dan lain-lain).

d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras

atau di daerah yang sulit air.

e. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air.

f. Memasang kawat kasa.

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.

i. Menggunakan kelambu.

j. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

k. Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.

Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan

3M Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak,

sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah

perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup

29

nyamuk Aedes aegypti. Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti

Gerakan Disiplin Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota

Sehat, dan gerakan – gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk

membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Keberhasilan Jenderal

WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti untuk memberantas demam

kuning (Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang lalu di Kuba dapat kita ulangi

di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh Jenderal Gorgas adalah gerakan

PSN yang dilaksanakan serentak dan secara besar – besaran di seluruh negeri.

Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal Gorgas bisa dilakukan di Indonesia

diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran struktur pemerintahan

bersama –sama masyarakat dan swasta (DKGM, 2006).

Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia

menggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lain

Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masayarakat

yang rumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar

denda. Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan

yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat

kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan

menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan

dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan

3 kali untuk membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan

maka orang tersebut dipanggil dan didenda (DKGM, 2006).

30

D. Tinjauan Umum tentang Juru Pemantau Jentik (JUMANTIK)

Juru pemantau jentik atau Jumantik adalah orang yang melakukan

pemeriksaan, pemantauan, dan pemberantasan jentik nyamuk khususnya Aedes

aegypti dan Aedes albopictus (Dirjen P2PL, 2016). Menurut Komara (2012),

Jumantik adalah istilah yang digunakan oleh para petugas khusus yang berasal

dari lingkungan sekitar yang secara sukarela mau bertanggung jawab untuk

melakukan jentik nyamuk demam berdarah Aedes aegypti dan Aedes albopictus

di wilayahnya. Pemantauan jentik dilakukan satu kali dalam seminggu (biasanya

hari jumat) pada pagi hari. Jumantik yang bertugas di daerah-daerah ini,

sebelumnya telah mendapat pelatihan dari dinas terkait. Mereka juga dalam

tugasnya dilengkapi dengan tanda pengenal, dan perlengkapan berupa alat

pemeriksa jentik seperti cidukan, senter, pipet, wadah-wadah plastik, dan alat

tulis (Komara, 2012).

Konsep terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI

dalam memberantas DBD adalah gerakan 1 rumah 1 jumantik. Gerakan 1 rumah

1 jumantik yaitu peran serta dan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan

setiap keluarga dalam pemeriksaan, pemantauan, dan pemberantasan jentik

nyamuk untuk pengendalian penyakit tular vektor khususnya DBD melalui

pembudayaan PSN 3M PLUS (Dirjen P2PL, 2016).

Adapun tugas dan tanggung jawab jumantik menurut Dirjen P2PL

(2016) adalah sebagai berikut :

31

1. Jumantik Rumah

a. Mensosialisasikan PSN 3M Plus kepada seluruh anggota

keluarga/penghuni rumah.

b. Memeriksa/memantau tempat perindukan nyamuk di dalam dan di luar

rumah seminggu sekali.

c. Menggerakkan anggota keluarga/penghuni rumah untuk melakukan PSN

3M Plus seminggu sekali.

d. Hasil pemantauan jentik dan pelaksanaan PSN 3 M Plus dicatat pada

kartu jentik.

Catatan:

Untuk rumah kost/asrama, pemilik/penanggung jawab/pengelola

tempat-tempat tersebut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan

pemantauan jentik dan PSN 3M Plus.

Untuk rumah-rumah tidak berpenghuni, ketua RT bertanggung jawab

terhadap pelaksanaan pemantauan jentik dan PSN 3M Plus di tempat

tersebut.

2. Jumantik Lingkungan

a. Mensosialisasikan PSN 3M Plus di lingkungan tempat – tempat institusi

(TTI) dan tempat – tempat umu (TTU).

b. Memeriksa tempat perindukan nyamuk dan melaksanakan PSN 3M Plus

di lingkungan TTI dan TTU seminggu sekali.

c. Hasil pemantauan jentik dan pelaksanaan PSN 3 M Plus dicatat pada

32

kartu jentik.

3. Koordinator Jumantik

a. Melakukan sosialisasi PSN 3M Plus secara kelompok kepada

masyarakat. Satu Koordinator Jumantik bertanggungjawab membina 20

hingga 25 orang Jumantik rumah/lingkungan.

b. Menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan PSN 3M Plus di

lingkungan tempat tinggalnya.

c. Membuat rencana/jadwal kunjungan ke seluruh bangunan baik rumah

maupun TTU/TTI di wilayah kerjanya.

d. Melakukan kunjungan dan pembinaan ke rumah/tempat tinggal, TTU dan

TTI setiap 2 minggu.

e. Melakukan pemantauan jentik di rumah dan bangunan yang tidak

berpenghuni seminggu sekali.

f. Membuat catatan/rekapitulasi hasil pemantauan jentik rumah, TTU dan

TTI sebulan sekali.

g. Melaporkan hasil pemantauan jentik kepada Supervisor Jumantik sebulan

sekali

4. Supervisor Jumantik

a. Memeriksa dan mengarahkan rencana kerja Koordinator Jumantik.

b. Memberikan bimbingan teknis kepada Koordinator Jumantik.

c. Melakukan pembinaan dan peningkatan keterampilan kegiatan

pemantauan jentik dan PSN 3M Plus kepada Koordinator Jumantik.

33

d. Melakukan pengolahan data pemantauan jentik menjadi data Angka

Bebas Jentik (ABJ).

e. Melaporkan ABJ ke puskesmas setiap bulan sekali.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai jumantik, ada beberapa

langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pelaksanaan pemantauan jentik

nyamuk oleh jumantik yaitu (Depkes RI 2006, dalam Firmadani, 2015) yaitu :

1. Persiapan

a. Pemetaan dan pengumpulan data penduduk, rumah/bangunan, dan

lingkungan oleh puskesmas.

b. Pertemuan atau pendekatan.

1) Pendekatan lintas sektor di tingkat desa.

2) Petemuan tingkat kelurahan.

3) Pertemuan tingkat RT yang dihadiri oleh warga setempat.

c. Temukan rumah/keluarga yang akan dikunjungi/diperiksa dengan cara

melakukan kunjungan rumah. Kunjungan rumah dilakukan secara

langsung oleh jumantik untuk memeriksa rumah apakah terdapat jentik

nyamuk atau tidak. Berikut ini adalah langkah yang harus dilakukan

dalam melakukan kunjungan rumah:

1) Membuat rencana kapan masing-masing rumah/keluarga akan

dikunjungi misalnya untuk jangka waktu satu bulan.

2) Memilih waktu yang tepat untuk berkunjung.

3) Memulai pembicaraan dengan sesuatu yang sifatnya menunjukan

34

perhatian kepada keluarga itu.

4) Membicarakan tentang penyakit demam berdarah.

5) Mengajak untuk bersama memeriksa tempat penampung air dan

barang – barang yang dapat menjadi tempat berkembang biak

nyamuk Aedes aegypti. Jika ditemukan jentik, maka kepada tuan

rumah pengelola bangunan diberi penjelasan tentang cara yang dapat

menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti baik di

dalam maupun di luar ruangan. Jika tidak ditemukan jentik, maka

rumah disampaikan pujian dan memberikan saran untuk terus

menjaga agar selalu bebas jentik nyamuk.

2. Melakukan Pemeriksaan Jentik

a. Memeriksa bak mandi/WC, tempayan, drum, dan tempat-tempat

penampun air lainnya.

b. Jika tidak tampak, ditunggu kurang lebih 0,5 – 1 menit. Jika ada jentik, ia

akan muncul ke permukaan air untuk bernafas.

c. Di tempat yang gelap menggunakan senter.

d. Memeriksa juga vas bunga, tempat minum burung, kaleng-kaleng, ban

bekas, dan lainnya.

E. Tinjauan Umum tentang Daerah Endemis dan Non Endemis DBD

Nyamuk Ae. aegypti adalah vektor penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD), termasuk di Indonesia. Spesies nyamuk ini memiliki peran penting

terkait kesehatan lingkungan pemukiman, khususnya perkotaan. Keberadaan dan

35

kepadatan populasinya sering dikaitkan dengan penularan, endemisitas, dan

kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD. Kepadatan populasi Aedes yang diukur

dengan indeks rumah (House Index disingkat HI) di daerah – daerah endemis

DBD dilaporkan selalu tinggi (Sayono et al. 2011). Demam Berdarah Dengue

(DBD) merupakan kasus endemik yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia

dan sekarang endemik hampir di 300 kabupaten yang ada. Seluruh wilayah

Indonesia memiliki risiko untuk terjangkit penyakit DBD kecuali daerah dengan

ketinggian di atas 1000 m di atas permukaan laut (Rahayu et al. 2010).

Daerah endemis DBD adalah daerah dimana penyakit DBD menetap

yang berada dalam masyarakat pada suatu tempat/populasi tertentu sedangkan

Daerah non endemis DBD adalah daerah dimana penyakit DBD tidak menetap

yang berada dalam masyarakat pada suatu tempat/populasi tertentu (Wardoyo,

2016). Strata endemisitas DBD adalah tingkatan untuk mengetahui apakah suatu

daerah tersebut endemis tinggi, sedang atau rendah di suatu daerah. Dalam

menentukan tingkat endemisitas berdasarkan IR yaitu: untuk endemis tinggi bila

IR>5 per 10.000 penduduk; endemis sedang, dengan IR 3-5 per 10.000

penduduk; dan endemis rendah, IR < 3 per 10.000 penduduk (Dinkes Tegal,

2009).

Adapun Stratifikasi desa kelurahan DBD adalah sebagai berikut

(Dirjen P2PL, 2013) :

1. Desa/kelurahan endemis yaitu desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir,

36

terdapat kasus ataupun kematian karena demam berdarah dengue secara

berurutan, meskipun jumlahnya hanya satu.

2. Desa/kelurahan sporadis yaitu desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir

terdapat penderita DBD tetapi tidak setiap tahunnya.

3. Desa/kelurahan potensial yaitu desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir

tidak pernah ada penderita DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai

hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentase

rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5%.

4. Desa/kelurahan bebas yaitu kelurahan atau desa yang dalam tiga tahun

terakhir tidak pernah ada penderita DBD dan persentase rumah yang

ditemukan jentik kurang dari 5%.

Di negara yang mempunyai 4 musim, epidemi DBD berlangsung pada

musim panas meskipun ditemukan kasus-kasus sporadis pada musim dingin. Di

negara Asia Tenggara, epidemi DBD terjadi pada musim penghujan. Pada

Umumnya perubahan kasus DBD disebabkan karena adanya beberapa faktor

seperti kondisi geografi yang memungkinkan tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti secara cepat pada ketinggian kurang dari 1000 meter di atas

permukaan laut, mobilitas penduduk yang tinggi, masalah sanitasi lingkungan

yang buruk, dan mutasi gen virus dengue (Dinata & Dhewantara 2012).

37

F. Tinjauan Umum tentang Pengetahuan dan Tindakan

1. Pengetahuan

Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, dalam memahami

alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai

hasil dari tahu manusia), ilmu, dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah

hasil tahu dari manusia, yang sekadar menjawab pertanyaan “what”,

misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya. Sedangkan ilmu

(science) bukan sekedar menjawab “what”, melainkan akan menjawab

pertanyaan “why” dan “how”, misalnya mengapa air mendidih bila

dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernafas dan

sebagainya. Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran yang tertentu,

mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga

memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara

universal, maka terbentuklah ilmu, atau lebih sering disebut ilmu

pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).

Adapun cara-cara penemuan pengetahuan menurut Notoatmodjo

(2012), adalah sebagai berikut :

a. Cara coba salah (Trial and error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayan,bahkan

mungkin menggunakan beberapa kemungkinan dalam memecahkan

masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba

kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut terpecahkan.

38

b. Secara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja

oleh orang yang bersangkutan.

c. Cara kekuasaan atau otoritas

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan

tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah

yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasan – kebiasaan ini

biasanya diwariskan turun – temurun dari generasi ke genarasi

berikutnya. Misalnya, upacara selapanan dan turun tanah.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh

pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi pada masa lalu. Apabila dengan cara yang digunakan orang

tersebut dapat memecahkan masalah yang dihadapi, maka untuk

memecahkan masalah lain yang sama, orang dapat pula menggunakan

atau merujuk cara tersebut. Tetapi bila gagal, ia tidak akan mengulangi

cara itu dan berusaha untuk mencari cara yang lain, sehingga berhasil

memecahkannya.

e. Cara akal sehat (common sense)

Akal sehat atau common sense kadang – kadang dapat menemukan

teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini berkembang, para

39

orang tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasihat orang

tuanya, atau agar anak disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila

anaknya berbuat salah, misalnya dijewer telinga atau dicubit.

f. Kebenaran melalui wahyu

Ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan

dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini diterima dan diyakini oleh

pengikut – pengikut agama yang bersangkutan.

g. Kebenaran secara intuititif

Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali

melalui proses diluar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau

berpikir. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi

atau suara hati atau bisikan hati saja.

h. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara

berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu

menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan

kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah

menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi.

i. Induksi

Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari

pernyataan – pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal

ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut

40

berdasarkan pengalaman – pengalaman empiris yang ditangkap oleh

indra.

j. Deduksi

Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan – pernyataan

umum ke khusus.

2. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan

(overtbehaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (efendi

and makhfudli, 2009).

Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai praktek tingkat tiga.

41

d. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik ( Notoatmodjo, 2003 dalam efendi and makhfuldi, 2009).

G. Tinjauan Umum tentang Pemetaan

Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan, dan penggambaran

permukaan bumi (terminologi geodesi) dengan menggunakan cara dan atau

metode tertentu sehingga di dapatkan hasil berupa softcopy dan hardcopy peta

yang berbentuk vektor dan rastes (Gunawan et al., 2007). Output dari kegiatan

pemetaan adalah gambar, tulisan, peta, dan grafik yang menunjukkan hubungan

antar elemen pengetahuan (Wahyuni, 2012). Menurut Mubarroq (2015)

pemetaan merupakan usaha untuk mengumpulkan data yang nantinya

dipergunakan sebagai data di peta meliputi data potensi, sumber daya alam, dan

penduduk. Ada 3 tahap Pemetaan , antara lain (Mubarroq, 2015) :

1. Tahap pengumpulan data

Langkah awal dalam proses pemetaan dimulai dari pengumpulan data.

Data merupakan suatu bahan yang diperlukan dalam proses pemetaan.

Keberadaan data sangat penting artinya, dengan data seseorang dapat

melakukan analisis evaluasi tentang suatu data wilayah tertentu. Data yang

dipetakan dapat berupa data primer atau data skunder. Data yang dapat

dipetakan adalah data yang bersifat spesial, artinya data tersebut terdistribusi

atau tersebar secara keruangan pada wilayah tertentu. Pada tahapan ini data

42

yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dahulu menurut jenisnya

seperti kelompok kualitatif atau kuantitatif.

Pengenalan sifat data sangat penting untuk simbolis atau penentuan

dan pemilihan bentuk simbol, sehingga simbol tersebut akan mudah dibaca

dan dimengerti. Setelah data dikelompokkan dalam tabel – tabel, sebelum

diolah ditentukan dulu jenis simbol yang akan digunakan. Untuk data

kualitatif dapat menggunakan simbol batang, lingkaran, arsir bertingkat, dan

sebagainya, melakukan perhitungan –perhitungan untuk memperoleh bentuk

simbol yang sesuai.

2. Tahap penyajian data

Langkah pemetaan kedua berupa penyajian data. Tahap ini merupakan

upaya melukiskan atau menggambarkan data dalam bentuk simbol, supaya

data tersebut menarik, mudah dibaca, dan dimengerti oleh pengguna.

Penyajian data pada sebuah peta harus dirancang secara baik dan benar

supaya tujuan pemetaan dapat tercapai.

3. Tahap penggunaan peta

Tahap penggunaan peta merupakan tahapan yang sangat penting

karena menentukan keberhasilan pembuatan suatu peta. Peta yang riancang

dengan baik akan dapat digunakan dan dibaca dengan mudah. Peta

merupakan alat untuk melakukan komunikasi, sehingga pada peta harus

terjalin interaksi antara pembuat peta dengan pengguna peta. Pembuat peta

harus dapat merancang peta sedemikian rupa sehingga peta muda dibaca,

43

diinterpretasi, dan dianalisis oleh pengguna peta. Pengguna harus dapat

membaca peta dan memperoleh gambaran informasi sebenarnya dilapangan.

Agar data yang dibutuhkan tersebut menjadi lebih efektif dan efisien,

salah satunya pemanfaatan dalam sistem informasi geografis (SIG). SIG

adalah suatu sistem berbasis komputer untuk menangkap, menyimpan,

mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, dan men-display data dengan

peta digital (Rastuti et al., 2015). Sistem Informasi Geografis (SIG) atau juga

dikenal sebagai Geographic Information System (GIS) pertama pada tahun

1960 yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan geografis. 40 tahun

kemudian GIS berkembang tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan

permasalahan geografi saja tetapi sudah merambah ke berbagai bidang

seperti analisis penyakit epidemik (demam berdarah) dan analisis kejahatan

(kerusuhan) termasuk analisis kepariwisataan. Kemampuan dasar dari SIG

adalah mengintegrasikan berbagai operasi basis data seperti query,

menganalisisnya serta menampilkannya dalam bentuk pemetaan berdasarkan

letak geografisnya (Swastikayana, 2011).

SIG kemudian digunakan sebagai alat bantu untuk memantau atau

monitoring sejauh mana penyebaran penyakit tersebut melalui media vektor,

kondisi lingkungan, sosial, pelayanan kesehatan, serta analisis lain yang lebih

kompleks seperti faktor kebijakan, perencanaan kesehatan, sampai digunakan

juga untuk menyimpulkan serta membuat hipotesis bagi penyelesaian

masalah kesehatan. Selain itu, SIG mampu membantu para peneliti kesehatan

44

dalam menentukan area dan kelompok masyarakat yang rentan terjangkit,

serta sebagai alat identifikasi alokasi sumber daya alam dalam rangka

penyelesaian masalah penyakit menular (Dwinata, 2015).

H. Tabel Sintesa

Tabel 2.2

Tabel sintesa

No Peneliti

(Tahun)

Jurnal dan Nama

Jurnal

Desan

Penelitian Sampel Temuan

1 (Nahumaru

ry et al.

2012)

http://repos

itory.unhas.

ac.id/handl

e/12345678

9/5668

Hubungan

Pengetahuan, sikap,

dan tindakan

Pemberantasan

Sarang Nyamuk

Aedes aegypti

dengan Keberadaan

Larva di Kelurahan

Kassi-kassi Kota

Makassar.

Repository Unhas

Observasio

nal dengan

pendekatan

Cross

Sectional

100 rumah

yang berada

di

Kelurahan

Kassi-kassi

terdapat

hubungan

antara

pengetahuan,

sikap dan

tindakan

dengan

keberadaan

larva.

2 (Pongsilura

ng et al.,

2015)

http://ejour

nal.unsrat.a

c.id/index.

php/JKKT/

article/vie

w/774

Pemetaan Kasus

Demam Berdarah

Dengue di Kota

Manado

Jurnal Kedokteran

Komunitas dan

Tropik

deskriptif

analitik

170 orang

yang

menderita

DBD di

Kota

Manado

Sebaran

penderita DBD

terbanyak di

Kota Manado

berada di

kecamatan

Wanea (71

penderita).

Sebaran

penderita DBD

terendah di

kota Manado

berada di

kecamatan

45

Bunaken (7

penderita)

3 (Oktivani,

2011)

http://repos

itory.unair.

ac.id/22990

/1/gdlhub-

gdl-s1-

2011-

oktivanimu

-20593-

fkm152-

k.pdf

Perbedaan

Kepadatan Jentik

Aedes aegypti pada

daerah Endemis,

Sporadis dan

Potensial Demam

Berdarah Dengue

di Wilayah Kerja

Puskesmas

Demangan Kota

Madiun

Skripsi Universitas

Airlangga

Observasio

nal dengan

pendekatan

Cross

Sectional

400 rumah

yang dipilih

secara acak.

Tidak ada

perbedaan

kepadatan

jentik antara

daerah

endemis,

sporadis, dan

potensial di

wilayah

puskesmas

Demangan

4 (Hadi et al.,

2011)

Poltekes

denpasar.ac

.id

Peran Jumantik

dalam Menurunkan

Insidens Rate DBD

di Denpasar

Jurnal Poltekes

Denpasar

Metode

penelitian

mengguna

kan survey

120 orang

Jumantik

dan 20

orang

supervisor/k

oordinator

Masih ada

Jumantik yang

melakukan

kunjungan ke

rumah-rumah

di bawah target

yang

ditetapkan.

Rata-rata hasil

pemantauan

jentik di Kota

Denpasar telah

mampu

mendekati

standar yang

ditetapkan oleh

Kementerian

Kesehatan,

yakni ABJ

sebesar 94,85.

ABJ tertinggi

sebesar 97,8%

46

di Denpasar

Timur, dan

terendah

91,3% di

Denpasar

Selatan.

5 (Yudin

2016)

Pemetaan Densitas

Larva Aedes

Berdasarkan 3M

Daerah Endemis

Dan Non Endemis

DBD Kecamatan

Rappocini Kota

Makassar

Skripsi Universitas

Hasanuddin

survey

observasion

al dengan

pendekatan

deskriptif

115 rumah

pada daerah

endemis dan

106 rumah

pada daerah

non

endemis

densitas larva

pada daerah

endemis DBD

diukur dengan

ABJ = 84,35%,

HI = 15,65%,

CI rendah =

87%

sedangkan

pada daerah

non endemis

DBD ABJ =

80,19%, HI =

19,81%, CI

rendah= 83%.

Pelaksanaan

3M lengkap

pada daerah

endemis DBD

sebesar 14,8%

dan 13,2%

pada daerah

non endemis

DBD.

47

I. Kerangka Teori

Agent

Virus Dengue

vektor

Nyamuk

Aedes

aegypti

Kasus

DBD Faktor Perilaku

Pengetahuan

Sikap

Tindakan PSN

1. Fisik

2. Kimia

3. Biologi

Kader Jumantik

Faktor Lingkungan

Fisik

1. Jarak antar rumah

2. Macam container

3. Ketinggian tempat

4. Kelembapan

5. Suhu

6. Curah hujan

Sosial

1. Kepadatan penduduk

2. Kepadatan hunian rumah

Biologi

1. Densitas Larva :

a. Angka Bebas Jentik

(ABJ)

b. House Index (HI)

c. Countainer Index

(CI)

d. Breteau Index (BI)

Gambar 2.6. Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Pambudi (2009), Kurniawati (2015), Yudin (2016)