esay Permasalahan Lingkungan Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan Oleh: Nama : Fidhy Kurnia...

10
esay Permasalahan Lingkungan Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan Oleh: Nama : Fidhy Kurnia Damopolii NIM : 471 413 035 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2014

Transcript of esay Permasalahan Lingkungan Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan Oleh: Nama : Fidhy Kurnia...

esay

Permasalahan Lingkungan

Kerusakan Lahan Akibat AktivitasPertambangan

Oleh:

Nama : Fidhy Kurnia Damopolii

NIM : 471 413 035

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2014

Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan

Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan

memanfaatkan alam sebagai sumber makanan, pakaian, tempat tinggal,

dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan secara

terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban.

Segala aktivitas manusia dalam mengelola alam memiliki dampak

positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan serta

kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain

yang juga sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul

dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap pemanfaatan alam.

Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam

mengelola alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan

alam. Apalagi kepadatan penduduk yang semakin meningkat, eksploitasi

secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu

contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat

terhadap kerusakan adalah bidang pertambangan.

Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak

negatif. Termasuk sebagai dampak positif adalah sumber devisa

negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan lahan

pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa

bahaya kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan,

kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam

berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Tambang-tambang batubara,

minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara tambang-tambang

mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri.

Bahan-bahan tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga

tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang signifikan sebagai bahan

untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan

jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar

tersebut, lahan-lahan tempat ditemukannya bahan tambang akan

mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak lingkungan yang

signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar,

2008).

Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam

memanfaatkan sumberdaya alam yang telah dimulai sejak dahulu dan

berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas

ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati

demikian kerugian yang akan muncul adalah lebih besar dari

keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang

ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.

Aktivitas Pertambangan

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah

sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,

pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,

penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta

kegiatan pascatambang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan

Pokok Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan

tambang) terdiri dari:

a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti

strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara.

Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.

b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin

hajat hidup orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-

lain.

c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni;

galian C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang

bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu

kali, pasir, tras, dampal dan lain-lain.

Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah

permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya

(Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya

dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan

penambangan bawah tanah (underground mining). Masing-masing jenis

penambangan memiliki metode yang berbeda dalam mengambil bahan

tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya

berbeda.

Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan

pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan

penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian

dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah

pucuk. Setelah itu dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan

penutup (overburden), tergantung pada kedalaman bahan tambang berada.

Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari

suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun

membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya

terjadi pada jenis surface mining.

Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses

pengolahan. Proses pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan

tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil yang

berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah

yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan

oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia pertambangan

tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan

yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-

mineral berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan

karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang dapat

dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai

perolehan (recovery) 100% (Pohan, dkk, 2007).

Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan

pascatambang yang terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang

(mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal

tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri

Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).

Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan

pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan

berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan

teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan

Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi

disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan

yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan

proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan

(Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal

dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan

pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan

kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).

Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas

pertambangan antara lain:

1. Perubahan vegetasi penutup

Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai

menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu

hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang

dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan

berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati

(biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi

lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi

pada saat musim hujan.

Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi

alami

2. Perubahan topografi

Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah

tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang

tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk

dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering

menjadi masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan

lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi,

perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang

curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi.

Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk

terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan

dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.

Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan

3. Perubahan pola hidrologi

Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan

akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam

siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat

beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan

areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang.

Setelah tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan

maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang

mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain

dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya batuan

yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun (Ptacek, et.al,

2001).

Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan

4. Kerusakan tubuh tanah

Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan

penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan

terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil)

secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik,

kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat

tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi

tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya

rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004)

menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai

sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah

potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi

dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan

unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan

tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas

tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang

kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water

infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang

secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan

perkembangan akar.

Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga

akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya.

Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan memindahkan batuan

mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral

sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara

bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air

membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam

yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun

berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.

Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang

yang menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan

pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak lingkungan

karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.

Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang

mempengaruhi daerah di luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing

Grasberg (Landsat 2003).