Ekonomi Pada Masa Nabi SAW dan Khulafa Rasidin Ekonomi Pada Masa Daullah Umayah dan Pada masa...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of Ekonomi Pada Masa Nabi SAW dan Khulafa Rasidin Ekonomi Pada Masa Daullah Umayah dan Pada masa...
Abu Yusuf
Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Karena
kertertarikan beliau dalam bidang fikih, beliaupun belajar pada
Imam Abu Hanifah. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf
menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian
fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan
dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai
oleh Mazhab Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke
berbagai negeri seiring dengan perkembangan Mazhab Hanafi.
Sejak awal, pemikiran ekonomi Islam terfokus pada penekanan
terhadap tanggung jawab penguasa. Tema ini pula yang ditekankan
Abu Yusuf dalam surat yang panjang yang dikirimkannya kepada
khalifah Harun ar-Rasyid. Abu Yusuf menyatakan bahwa :
Anda tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak akan dibiarkan
tanpa pertanggungjawaban. Allah akan menanyakan Anda mengenai
segala sesuatu yang Anda miliki dan apa yang Anda lakukan
terhadapnya.
Atas permintaan khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf menyusun
Kitab al-Kharaj untuk digunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan sistem perpajakan yaitu menghimpun pemasukan atau
pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kharaj
adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan
terhadap wilayah yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena
pemilikan mengadakan perjanjian damai dengan pasukan
muslim.Ushr adalah zakat atas hasil pertanian dan bea cukai
yang dikenakan kepada pedagang muslim maupun non muslim yang
melintasi wilayah Daulah Islamiyah, yang dibayar hanya sekali
dalam setahun. Untuk pengelolaan zakat pertanian ditentukan
sebagai berikut, jika pengelolaan tanah menggunakan teknik
irigasi ditentukan 5 persen dan jika pengelolaan tanah
menggunakan teknik irigasi tadah hujan ditentukan 10 persen.
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim yang
hidup di negara dan pemerintahan Islam sebagai imbalan atas
perlindungan hukum, kemerdekaan, keselamatan jiwa dan harta
mereka.
Karya-karya
Bebarapa karya Abu Yusuf antara lain :
1. Kitab al-asar
2. Kitab ikhtilaf Abi Hanifah wa Abi Laila
3. Kitab bar-radd ‘ala siyar al-auza’i
4. Kitab al-kharaj
Imam As
Syaibani
Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, as Syaibani
mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta
melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas
demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini
mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam
ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam
ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas
yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas
produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan
halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya.
Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal
saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan
dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai
utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa
mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang
diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai
dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa,
akal dan harta.
Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
As Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi
empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan
perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian tersebut, Asy-
Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya
pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang
sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.
Dari segi hukum As Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian
menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ain.
Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
As Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah
menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya
tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan,
minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan
bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat
hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan
masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa
keempat hal tersebut.
Abu Ubaid
Abu ’Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang
menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik.
Ia juga banyak menangani kasus pertanahan dan perpajakan selama
di Tarsus, disana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal
administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang
dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa persi ke bahasa
arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut.
Menurut Gottschalk, pemikiran Abu ubaid ada kemungkinan sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr ’Abdurrahman ibn Amr al-
Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ’Amr dalam al-
Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah
lainnya selam ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitab al-Amwal dapat
ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap
militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi
administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada
masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf , Abu ’Ubaid tidak
menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya.
Namun, kitab al-’Amwal dapat dikatan lebih kaya dari kitab al-
Kharaj dari sisi kelengkapan hadits serta kesepakatan-
kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi ahli) dari
para sahabat, tabi’in, serta atba’ at-tabi’in. Abu Ubaid
tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa
(rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan
manejerial penguasa. Filosofi Abu Ubaid lebih kepada pendekatan
teknis dan profesional berdasarkan aspek daripada penyelesaian
permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari
nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/ abad IX M, yang
berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah
melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta
institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
keunggulan Abu Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik
terhadap hadits sehingga ia mampu untuk memilih hadits-hadits
yang relevan, bahkan beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan lebih
banyak haditsnya daripada pembahasannya.
Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang ¬yang tidak
mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran
(standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran
(medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini
menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai
yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang
lain.
Imam Yahya bin Umar
Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim
kepada Allah Swt. Berkaitan dengan hal ini,Yahya bin Umar
berpendapat bahwa al-tasir (penetapan harga) tidak boleh
dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad
Saw. Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta
Rasulullah dengan alasan Allah-lah yang menguasai harga. Jika
kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak jelas bahwa
Yahya ibn Umar melarang kebijakan penetapan harga jika kenaikan
harga yang terjadi adalah samata-mata hasil interaksi penawaran
dan permintaan yang alami. Namun jika harga melonjak karena
human error maka pemerintah mempunyai hak intervensi untuk
kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, yahya bin
umar mengijinkan pemerintah melakukan intervensi harga
apabila :
1. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang
dibutuhkan masyarakat sehingga dapat mencetak mekanisme pasar.
2. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau
banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan tidak
sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.
Wawasan Ekonomi Modern
Berikut adalah wawasan modern Yahya bin Umar yang dikemukakan
pada masanya:
a. Ikhtikar (Monopolys Rent-Seeking)
Islam secara tegas melarang ikhtikar yaitu mengambil keuntungan
di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit
barang untuk harga yang lebih tinggi. Ikhtikar akan merusak
mekanisme pasar dan akan memberhentikan keuntungan yang akan
diperoleh orang lain serta menghambat proses ditribusi kekayaan
diantara masnusia. Maka dapat disimpulkanbahwa cirri-ciri
ikhtikar adalah pertama, objek penimbuan merupakan barang-
barang kebutuhan masyarakat, kedua tujuan penimbuan adalah
untuk meraih keuntungan diatas keuntungan normal.
b. Siyasah-Il-Ighraq (Dumping Policy).
Berbanding terbalik dengan ikhtikar, dumping bertujuan untuk
meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga
lebih rendah daripada yang berlaku dipasar. Hal ini dilarang
dengan keras karena dapat menimbulkan kemudharatan di tengah
masyarakat.
Imam al-Ghazali
Pemikiran Eonomi
Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi
kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas
individu dan sosial yang tripartite, yakni kebutuhan,
kesenangan atau kenyamanan, dan kemewahan. Kunci pemeliharaan
dari kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan tingkatan
pertama, yaitu kebutuhan terhadapmakanan, pakaian, dan
perumahan.
Pemikiran ekonomi Al-Ghazali setidaknya mencakup
konsep dasar tentang perilaku individu sebagai economic agent,
konsep tentang harta, konsep kesejahteraan sosial (maslahah),
market evolution, demand dan supply, harga dan keuntungan,
nilai dan etika pasar, aktivitas produksi dan hirarkinya,
sistem barter dan fungsi uang, dan fungsi negara dalam sebuah
perekonomian.
Pemikran Ekonomi Al- Ghazali adalah:
Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Al-Ghazali menyuguhkan pembahsan terperinci tentang
peranan dan signifikasi aktivitas perdagangan yang dilakukan
dengan sukarela serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan
laba. Selain itu Al Ghazali juga berpendapat bahwa mutualisme
dalam pertukaran ekonomi, yang mengahruskan spesialisai
pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya.Al Ghazali juga
mengemukakan mengenai etika pasar. Ia melarang keras aktivitas
dan iklan palsu.
Aktivitas Produksi
Dalam pemikiran mengenai aktivitas produksi, Al
Ghazali membagi aktivitas produksi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a. Industri dasar yaitu industri yang menjaga kelangsungan
hidup manusia. Kelompok ini terdiri dari empat jenis
aktivitas yaitu agrikultur, tekstil, konstruksi dan aktivitas
Negara.
b. Aktivitas Penyokong, yaitu aktivitas yang bersifat tambahan
bagi industri dasar seperti industri baja dan eksplorasi
c. Aktivitas komplementer, yaitu yang berkaitan dengan industri
besar seperti penggilingan dan pembakaran produk-produk
agrikultur.
Ibnu Hazm
Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan
berusaha dalam istimbat hukumnya di bidang ekonomi, sehingga
cenderung kepada prinsip prinsip ekonomi sosial islami yang
mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan
berlandaskan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan
petunjuk al quran dan hadist. Jaminan sosial bagi orang tak
mampu, Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan pokok atau
pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan
kemiskinan dengan memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu
makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan
dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan energy. Pakaian
harus dapat menutupi aurat dan melindungi seseorang dari udara
panas dan dingin serta hujan. Rumah harus dapat melindungi
seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat
kehidupan pribadi yang layak.
Zakat, Ibnu Hazm menekankan pada status zakat
sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam
upaya memberantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagai
pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang
enggan membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik
secara suka rela maupaun terpaksa. Jika ada yang menolak zakat
sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman
dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik
secara tersembunyi maupun terang terangan.
Pajak, Ibnu Hazm sangat konsen terhadap factor
keadilan dalam sistem pajak. Menurutnya, sebelum segala
sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban
pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun
kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan
berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal
ini mengajak kita untuk mendiskusikan teori keuangan public
finance konvensional berkaitan dengan kecenderungan orang untuk
membayar pajak.
Ibnu Hazm konsen terhadap sistem pengumpulan pajak
secara alami. Dalam hal ini menurutnya, sikap kasar dan
eksploitatif dalam pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal
ini menurutnya, sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan
pajak harus dihindari.
Nizham al-Mulk
Prinsip Masalah dalam Adminitrasi
Negarawan yang mampu dan bijak adalah orang yang
secara kritis menimbang-nimbang semua argumentasi dan pikiran
dari semua masalah. Prinsip masalah dalam islam memainkan peran
penting dalam masalah ini. Nizham al-Mulk telah menggunakan
prinsip masalah dalam mengambil keputusan. Nizham al-Mulk
menyadari sepenuhnya mengenai tiga arah
faktor-faktor kemakmuran, produktifitas, dan efisiensi.
Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar
produktifitas yang diharapkan dan tingkat efisiensi.
Pemuas Kebutuhan Pokok dan Stabilitas Nasional
Sabilitas nasional dapat dicapai dengan memastikan
bahwa kebutuhan pokok masyarakat diamankan dan dipenuhi
secukupnya. Lebih lanjut peningkatan selalu dapat dipastikan
mengurangi kemungkinan ratapan rakyat terhadap penguasa.
Kesempatan Kerhja dan Keamanan Nasional
Optimalisasi kesempatan kerja buruh tidak terbatas
pada pertimbangan variabel ekonomi saja. Variabel non ekonomi
juga penting bahkan lebih. Karena itu kebijakan dan upaya harus
dilihat sebagai pertimbangan dalam suatu kerangka kerja yang
konprehensif, salah satunya yaitu keamanan nasional sebagaimana
digambarkan oleh Nizham al-Mulk.
Persamaan Hak dalam Sosio Ekonomi
Nizham al-Mulk menyakini prinsip persamaan hak dalam
islam,dimana semua orang dalam negara, tidak peduli dengan
status dan kekuasaannya, harus menerima kesempatan yang sama.
Persamaan hak dalam kesempatan ekonomi yaitu suatu persyaratan
awal untuk mencapai persamaan sosial.
Sistem Pajak yang Adil
Tidak ada yang dapat menyangkal pada suatu sistem pajak
yang baik dan basis keuangan yang sehat. Walaupun demikian,
Nizham al-Mulk percaya bahwa keuangan yang sehat bukan
segalanya untuk menghindari kesulitan nasional.
Ibnu Taimiyah
Ibnu timiyah adalah seorang fuqaha yang mempunyai karya
pemikiran dalam berbagai bidang ilmu yang luas, trmasuk dalam
bidang ekonomi.Ibnu Timiyah telah membahas pentingnya suatu
persaingan dalam pasar bebas (free marked). Negara harus
mengimplementasikan aturan maen yang islami sehingga produsen,
pedagang, dan para agen ekonomi lainnya dapat melakukan
transaksi secara jujur dan fair. Banyak aspek mikro ekonomi
yang dikaji oleh Ibnu timiyah, misalnya tentang beban pejak
tidak langung yang dapat digeserkan oleh penjual kepada pembeli
dalam bentuk harga beli yang lebih tinggi. Dalam hal uang, ia
telah mengingatkan resiko yang dimungkinan timbul jika
menggunakan standar logam ganda.
Dalam kitabnya al fatwa, al hisbah dijelaskan
mengenai konsep harga yang fair dan adil sesuai landasan moral
masyarakat. Pemikiran ekonomi dari Ibnu Taimiyyah yang cukup
dikenal adalah bahwa masyarakat disusun berdasarkan kebebasan
dalam pemilikan perusahaan dan property dengan batas batas
yang mengacu pada pertimbangan moral dan peluang bagi para
produsen untuk mengambil peluang guna memasarkan produknya.
Apakah ia akan memasarkan untuk kalangan masyarakat bawah atau
untuk kalangan menengah keatas.
Mekanisme Pasar
Ibnu taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar
bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan. Ia mengatakan;
“naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan
oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam
produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika
kebutuhan terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan
menyediakannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika
kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan
turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang.
Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali
bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan
kemauan pada hati manusia”.
Mekanisme Harga
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas
dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari
pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi).
Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan
nilai tukar suatu unit benda tertentu.
Ibnu Khaldun
Teori Produksi
faktor yang utama adalah tenaga kerja manusia. Karena
itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan
hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia.
Setiap makanan memerlukan sejumlah kegiatan dan setiap kegiatan
memerlukan sejumlah peralatan dan keahlian. Hanya melalui
spesialisasi dan pengulangan operasi-operasi sederhanalah orang
menjadi terampil dan dapat memproduksi barang dan jasa yang
bermutu baik dengan kecepatan yang baik.
Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menganjurkan
organisasi sosial dan produksi dalam bentuk suatu spesialisasi
kerja. Hanya spesialisasi saja yang memberikan produktivitas
yang tinggi; hal ini perlu untuk penghasilan dari suatu
penghidupan yang layak. Hanya pembagian kerja yang memungkinkan
terjadinya suatu surplus dan perdagangan antara para produsen.
Teori Nilai
Bagi Ibnu Khaldun , nilai suatu produk sama dengan
jumlah tenaga kerja yang dikandungnya. Begitu juga kekayaan
bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki
bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan
jasanya dan oleh neraca pembayaran yang sehat. Neraca
pembayaran yang sehat adalah konsekuensi alamiah dari tingkat
produksi yang tinggi.
Teori Uang
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa uang tidak perlu
mengandung emas dan perak, tetapi emas dan perak menjadi
standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak
merupakan jaminan pemerintah menetapkan nilainya dan pemerintah
tidak boleh mengubahnya. Katakanlah, pemerintah mengeluarkan
uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan setengah gram emas.
Bila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000
seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan seperempat gram
emas, uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai.
Teori Harga
Ibnu Khaldun membagi jenis barang menjadi barang
kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia, bila suatu kota
berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak, harga-
harga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas
pengadaannya.
Abu Ishak as Syatibi
A. Beberapa Pandangan as Syatibi Bidang Ekonomi
1. Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, As Syatibi mengakui halk milik
individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap
setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang
banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaannya tidak bias dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal
ini, ia membedakan dua macam seperti air sungai dan air yang
dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli
atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu.
2. Pajak
Dalam pandangan As Syatibi, pemungutan pajak dharus
dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan
mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan
Ibnu Al-Faraia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum
secara esensial adalah tanggung jawab kmasyarakat. Dalam
kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat
bias mengalihkannya kepada Baitul Mal serdta menyumbangkan
sebagian kekayaan mereka s endiri untuk tujduan ktersebut. Oleh
karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru
terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah
dikenal dalam sejarah Islam.
B. Wawasan Modern Teori As Syatibi
Dari pemaparan konsep Maqashid Al-Syariah di atas,
terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu
memperhatidkan kesejhahteraan mereka. Al-Syatibi menggunakan
istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan
kata lain, manusia s enantiasa dituntut untuk mencari
kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan
pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinis
yariah harus harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk
memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dendgan demikian bagi
umat manusia disebut s ebagai kebutudhan (needs). Kebutuhan
(fulfillment) dengan sumber daya alam yang tersedia. Bila
ditelaah dari sudut pandang ilmui manajemen kontemporer konsep
Maqashid Al-Syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan
konsep motivasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi
lahir seiring dengan munculnya persoalan mengapa seseorang
berperilaku.
Imam Al-Maqrizi
Berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran
ekonomi islam. Yaitu sebuah fase yang mulai terlihat tanda-
tanda melambatkanya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif
dalam dunia Islam. Latar be lakang kehidupan al-maqrizi yang
bukan seorang sufi atau filosof dan relative didominasi oleh
aktiovitas sebagai sejarahwan Muslim sangat mempengaruhi corak
pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa melihat setiap
persoalan dengan flash back dan mencoba memotret apa adanya
mengenai fenomena ekonomi suatu Negara memfokuskan
perhatiannya pada beberapa hal yang mempengaruhi naik turunnya
suatu pemerintahan. Hal ini berarti bahwa pemikiran-pemikiran
ekonomi al-Maqrizi cenderung positif, satu hal yang unik dan
menarik pada fase kedua yang notabene didomina si oleh menarik
yang normative.
Pada masa hidupnya, Al-Maqizi dikenal sebagai
seorang pengeritik keras kebijakan-kebijakan moneter yang
diberlakukan pemerintahan Bani Mamluk Burji yang dianggap
sebagai sumber malapetaka dan menghancurkan perekonomian Negara
dan masyarakat Mesir. Perilaku para penguasa Mamluk Burji yang
menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan moral telah
mengakibatkan kritis ekonomi yang sangat parah yang
diidominasi oleh kecenderungan inflasioner yang semakin
diperburuk dengan merebaknya wabah penyakit menular yang
melanda Mesir selama beberapa waktu. Situasi tersebut
menginspirasikan al-Maqrizi untuk mempresentasikan berbagai
pandangannya terhadap sebab-sebab krisis dalam sebuah karyanya,
Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al- Ghummah.
Dengan bekal pengalaman yang memadaio sebagai
seorang muhtasib (pengawas pasar al-Maqrizi membahas
permasalahan inflask dan peranan uang didalamnya. Sebuah
pembahasan yang sangat menakjubkan di masa itu karena
mengkorelasikan dua hal yang snagat jarang dilakukan para
pemikir Muslim maupun Barat. Dalam karyanya tersebut, al-
Maqrizi ingin membuktikan bahwa inflasi yang terjkadi pada
periode 806-808 H adalah berbeda dengan inflasi yang terjadi
pada periode periode sebelunya sepanjang sejarah Mesir.
pemikiran terhadap uang merupakan fenomena yang jarang diamati
para cendekiaw an Muslim, baik pada periode klasik maupun
pertengahan. Menurut survey Islahi, selain al-Maqrizi, diantara
sedikit pemikir Muslim yang memiliki perhatian terhadap uang
pada masa ini adalah al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim
al-jauziyah, d an Ibnu Khaldun. Dengan demikian, secara
kronologis, dapat dikatakan bahwa al-Maqrizi merupakan
cendekiawan Muslim abad pertengahan yang yang etrakhir
mengamati permasalahan tersebut, sekaligus mengkorelasikannya
dengan peristiwa inflasi yang melanda suatu Negara.
Abu A’la al Maghribi