Draft Proposal

65
1 Tugas : Draft Proposal MK : Riset Keperawatan PENGARUH PENERAPAN MODEL TEORI DAN KONSEPTUAL SELF CARE DENGAN PENDEKATAN SUPORTIF EDUKATIF TERHADAP KEMANDIRIAN KELUARGA MELAKSANAKAN TINDAKAN PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA X, MAKASSAR OLEH: Sri Haryati B P4200214029

Transcript of Draft Proposal

1

Tugas : Draft Proposal

MK : Riset Keperawatan

PENGARUH PENERAPAN MODEL TEORI DAN KONSEPTUALSELF CARE DENGAN PENDEKATAN SUPORTIF EDUKATIFTERHADAP KEMANDIRIAN KELUARGA MELAKSANAKANTINDAKAN PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT

TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA X, MAKASSAR

OLEH:

Sri Haryati BP4200214029

2

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2014

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah

kesehatan global utama. Pada tahun 2012, diperkirakan

8,6 juta orang menderita TB dan 1,3 juta meninggal

(termasuk 320.000 kematian dengan HIV positif).

Hampir 20 tahun setelah deklarasi WHO (World Health

Organization) TB sebagai darurat kesehatan masyarakat

global, kemajuan besar telah dibuat terhadap 2.015

target global yang ditetapkan dalam konteks dari

Millenium Development Goals (MDGs). Tingkat kasus TB baru

telah menurun di seluruh dunia untuk sekitar satu

dekade, mencapai target global MDGs. Secara global

pada tahun 2012, angka kematian TB telah berkurang

45% sejak tahun 1990. Target untuk mengurangi

3

kematian sebesar 50% pada tahun 2015 masih berada

dalam target pencapaian (WHO, 2013).

Tjandra Yoga Aditama, selaku Dirjen Pengawasan

Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan (P2PL) Kemenkes

RI, dalam Kompas.com menyatakan bahwa Indonesia

berada di peringkat empat untuk penderita TB

terbanyak setelah Cina, India, dan Afrika Selatan.

Tapi, menurut beliau hal itu sesuai dengan jumlah

penduduk Indonesia yang juga banyak. Lebih lanjut

oleh Tjandra bahwa prevalensi TB di Indonesia sendiri

pada 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus

baru mencapai 460.000 kasus setiap tahunnya. Sehingga

total kasus yang tercatat hingga 2013 mencapai

sekitar 800.000 – 900.000 kasus (Kartika, 2014).

Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh

dari Bidang Bina Pencegahan Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah

kasus TB Paru klinis di Puskesmas dan RS sebanyak 900

kasus dan kasus baru TB BTA (+) yang ditemukan pada

tahun 2012 sebanyak 1.819 kasus (puskesmas dan rumah

sakit). Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2011

4

dimana dilaporkan jumlah penderita TB Paru Klinis di

Puskesmas dan Rumah Sakit sebanyak 511 penderita TB

Paru Klinis dan TB BTA+ sebanyak 1.608 penderita

(puskesmas dan rumah sakit) (Dinkes Kota Makassar,

2012).

Hasil baik dari peran keluarga dalam upaya

mencegah penularan tuberkulosis juga ditunjukkan oleh

Asyari (2011) dalam penelitian kualitatifnya. Meski

peranan keluarga tersebut sudah bisa dikatakan baik,

namun belum optimal. Hal tersebut dikarenakan masih

ada beberapa upaya pencegahan penularan TB yang tidak

dilakukan oleh keluarga, seperti pengawasan aktivitas

penderita TB sehari-hari di rumah, serta pemantauan

pada komunikasi yang terjadi antara penderita TB

dengan anggota keluarga yang lain.

Handhayani (2011) melakukan penelitian dengan

tujuan mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga

dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB,

memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara

kedua variabel tersebut.

5

Pada penelitian yang dilakukan Ratnasari (2004)

diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna

antara dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga

dan teman dengan kualitas hidup penderita TB

(r=0,675; p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa

semakin besar dukungan sosial yang diterima oleh

penderita, maka kualitas hidupnya pun akan semakin

meningkat.

Media (2010) dalam penelitiannya mendapatkan

bahwa sikap keluarga dan masyarakat terhadap

penderita TB di sekitar mereka biasa-biasa saja, di

mana mereka menunjukkan sikap yang wajar dalam

berinteraksi sehari-hari. Meskipun demikian,

terdapat sebagian keluarga penderita yang melakukan

pemisahan pemakaian alat-alat makan dan minum.

Begitu pula pada lingkungan masyarakat atau

pergaulan penderita dimana sebagian masyarakat masih

bersikap menghindar dari penderita saat

berkomunikasi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rapiadi

(2009) memperlihatkan bahwa ada hubungan yang

6

signifikan antara pengetahuan tentang penyakit TB

Paru dengan perilaku keluarga penderita TB Paru.

Kuatnya hubungan antara pengetahuan dan perilaku ini

terjadi karena pengetahuan merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang. Pengetahuan menimbulkan kesadaran dan

sikap positif, sehingga terbentuk perilaku yang

mendukung upaya pencegahan penyebaran penyakit TB

Paru.

Dari data-data dan penelitian-penelitian

tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa keluarga

dengan anggota keluarga yang menderita TB sangat

berperan dalam pencegahan dan pengobatan penyakit TB,

namun mereka sangat membutuhkan dukungan berupa

pendidikan kesehatan dalam melakukan tindakan

tersebut.

Dari beberapa model konsep keperawatan yang ada,

teori yang membahas tentang pemberian dukungan berupa

pendidikan kesehatan kepada klien ialah model “self

care” yang diperkenalkan oleh  Dorothea E. Orem. Teori

self care Orem membantu perawat dalam memfasilitasi

7

kebutuhan keluarga dengan penderita TB sesuai tingkat

ketergantungan dan diharapkan dengan bantuan tersebut

klien secara bertahap akan mampu mencapai fungsi

pemenuhan perawatan diri kembali sesuai dengan

tingkat kemampuan klien.

Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh model teori dan

konseptual self care terhadap kemandirian keluarga

melaksanakan tindakan pencegahan penularan penyakit

TB di Wilayah Kerja X, Kota Makassar”

B. Rumusan Masalah

Uraian singkat dalam latar belakang masalah di

atas memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

“Apakah model teori dan konseptual self care

berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam

melaksanakan tindakan pencegahan penularan penyakit

TB di Wilayah Kerja X, Kota Makassar”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

8

Untuk mengetahui pengaruh model teori dan

konseptual self care terhadap kemandirian keluarga

melaksanakan tindakan pencegahan penularan

penyakit TB di Wilayah Kerja X, Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat kemandirian keluarga dalam

melakukan tindakan pencegahan penularan

penyakit TB sebelum penerapan model teori dan

konseptual self care pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

b. Mengetahui tingkat kemandirian keluarga dalam

melakukan tindakan pencegahan penularan

penyakit TB setelah penerapan model teori dan

konseptual self care pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

c. Mengetahui pengaruh penerapan model teori dan

konseptual self care dalam meningkatkan

kemandirian keluarga dalam mencegah penularan

penyakit TB pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

9

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi keluarga dengan anggota keluarga yang

menderita TB

Dapat menjadi bahan masukan bagi keluarga dalam

melakukan tindakan pencegahan penularan TB dan

merawat anggota keluarganya yang menderita TB

secara mandiri.

2. Bagi Keperawatan (Ilmu pengetahuan)

Menjadi suatu referensi dalam meningkatkan

pengaplikasian asuhan keperawatan bagi keluarga.

3. Bagi Institusi (Puskesmas)

Menjadi masukan bagi petugas perkesmas Puskesmas

dalam rangka meningkatkan pelayanan pada keluarga

dengan penderita TB.

4. Bagi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi

pendahuluan, pembanding bagi peneliti yang akan

melakukan penelitian dengan topik yang sama

5. Bagi Peneliti

10

Penelitian ini diharapkan menjadi pengalaman yang

berharga bagi peneliti dalam mengembangkan

pengetahuan dalam bidang penelitian.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah membahas

model teori dan konseptual Self Care Deficit Nursing Theory

oleh Dorothea Orem. Dimana sesuai dengan tujuan

penelitian, yaitu untuk dapat mengetahui pengaruh

pendekatan suportif edukatif dari teori Orem

terhadap kemandirian keluarga mencegah penularan

penyakit TB dari anggota keluarganya. Dimana

variabel-variabel yang terkait selain dua hal

diatas, yaitu Self care agency keluarga; dukungan

keluarga, jenis kelamin, sosial budaya, gaya hidup,

lingkungan, usia, pendidikan dan pekerjaan.

11

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Model Teori dan Konseptual Self

Care Deficit Dorothea Orem

The Self Care Deficit Nursing Theory juga dikenal sebagai

Model Keperawatan Orem yang dikembangkan oleh

Dorothea Orem antara 1959 dan 2001. Teori ini

dianggap sebagai grand theory keperawatan, yang

berarti teori mencakup ruang lingkup yang luas

dengan konsep-konsep umum yang dapat diterapkan

untuk semua kasus keperawatan (Nursing Theory,

2013).

12

Filosofi utama dari Self Care Deficit Nursing Theory

(Nursing Theory, 2013) adalah bahwa semua pasien

ingin merawat dirinya, dan mereka dapat pulih lebih

cepat secara holistik dengan melakukan perawatan

diri mereka sendiri sesuai kemampuannya. Teori ini

terutama digunakan dalam rehabilitasi dan perawatan

primer atau pengaturan lain dimana pasien didorong

untuk mandiri.

Salah satu manfaat dari Self Care Deficit Nursing Theory

Dorothea Orem adalah bahwa hal ini dapat dengan

mudah diterapkan pada berbagai situasi keperawatan

dan pasien. Keumuman prinsip-prinsip dan konsep

membuatnya mudah beradaptasi dengan pengaturan yang

berbeda, sehingga perawat dan pasien dapat bekerja

sama untuk memastikan bahwa pasien menerima

perawatan terbaik, tetapi juga mampu merawat diri

mereka sendiri.

Teori defisit perawatan diri dikembangkan menuju

pencapaian tujuannya, yaitu untuk meningkatkan

kualitas keperawatan di rumah sakit. Teori ini

relatif sederhana, namun digeneralisasikan untuk

13

diterapkan ke berbagai kondisi pasien. Hal ini dapat

digunakan oleh perawat untuk memandu dan

meningkatkan praktek, tetapi harus konsisten dengan

teori, hukum dan prinsip-prinsip.

Asumsi utama dari Teori defisit perawatan diri

Orem adalah: (1) Pasien seharusnya bisa mandiri, dan

bertanggung jawab untuk perawatan mereka, serta

anggota lain dalam keluarga mereka yang membutuhkan

perawatan; (2) Tiap individu adalah berbeda-berbeda;

(3) Keperawatan berbentuk tindakan, yaitu interaksi

antara dua orang atau lebih; (4) Keberhasilan

memenuhi syarat perawatan diri menyeluruh dan

pengembangan merupakan komponen penting dari

pencegahan perawatan primer dan kesehatan yang

buruk; (5) Pengetahuan seseorang tentang potensial

masalah kesehatan yang diperlukan untuk

mempromosikan perilaku perawatan diri; (6) Self-care

dan perawatan ketergantungan adalah perilaku yang

dipelajari dalam konteks sosio-kultural (Nursing

Theory, 2013).

14

Tujuan kepewatan pada model Orem yang diterapkan

ke dalam praktek keperawatan keluarga/komunitas

adalah : (1) Menolong klien dalam hal ini keluarga

untuk keperawatan mandiri secara terapeutik; (2)

Menolong klien menuju kearah tindakan-tindakan

asuhan mandiri; (3) Membantu anggota keluarga untuk

merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan

secara kompeten.

Dengan demikian maka fokus asuhan keperawatan

pada Model Orem yang diterapkan pada praktek

keperawatan keluarga/komunitas adalah : (1) Aspek

Interpersonal, yaitu hubungan di dalam keluarga; (2)

Aspek Sosial merupakan hubungan keluarga dengan

masyarakat di sekitarnya; dan (3) Aspek Prosedural,

yaitu melatih ketrampilan dasar keluarga sehingga

mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi.

Orem menamakan teori self-care deficit sebagai

teori umum dalam keperawatan (General Theory of

Nursing). Ada 3 teori terkait di dalamnya, yaitu:

1. Teori Self Care

15

Syarat perawatan diri diidentifikasi oleh

Dorothea Orem terdiri dari tiga kategori (Nursing

Theory, 2013). Pertama adalah syarat perawatan

diri universal (universal self care requisites), yang

merupakan kebutuhan yang dimiliki oleh semua

orang. Ini termasuk hal-hal seperti udara, air,

makanan, aktivitas dan istirahat, dan pencegahan

bahaya. Kedua adalah syarat perkembangan perawatan

diri (developmental self care requisites), yang memiliki

dua sub-kategori: pengembangan, yaitu kemajuan

pasien ke tingkat yang lebih tinggi dari

pengembangan dan situasional, yang mencegah

terhadap efek berbahaya dalam penyembuhan.

Kategori ketiga adalah syarat penyimpangan

kesehatan (health deviation requisites) menggambarkan

dan menjelaskan hubungan yang harus dibawa dan

dipelihara untuk keperawatan. Kebutuhan perawatan

diri terkait penyimpangan kesehatan dibutuhkan

dalam kondisi sakit, cedera, atau penyakit,

meliputi: (1) Mencari dan mengamankan bantuan

medis yang tepat; (2) Menyadari dan menghadiri

16

efek dan hasil kondisi patologis; (3) Efektif

melaksanakan langkah-langkah yang ditentukan

medis; (4) Memodifikasi konsep diri untuk menerima

keadaan tertentu dari kesehatannya dan bentuk-

bentuk khusus dari pelayanan kesehatan; (4)

Belajar untuk hidup dengan efek dari kondisi

patologis.

2. Teori Self Care Defisit

Tomey & Alligood dikutip dalam Bridge,

Cabell & Herring (2008) merumuskan ruang lingkup

keperawatan Orem yaitu:

a. Self care

Self care adalah tindakan yang bertujuan untuk

mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar

dapat digunakan secara tepat, nyata dan valid

untuk mempertahankan fungsi dan berkembang

dengan stabil dalam perubahan lingkungan. Self

care digunakan untuk mengontrol faktor internal

dan eksternal yang mempengaruhi aktivitas

seseorang untuk menjalankan fungsinya dan

berproses untuk mencapai kesejahteraannya.

17

b. Self care agency

Self care agency adalah kekuatan yang dimiliki

individu yang berhubungan dengan perilaku

untuk melakukab perawatan mandiri. Ada 3 aspek

yakni agen ( orang yang mengambil tindakan),

self care agent (penyedia perawatan mandiri),

dependent care agent (penyelenggara perawatan yang

tidak mandiri). Sejalan yang dikemukakan oleh

Hidayat (2004) bahwa self care agency merupakan

suatu kemampuan individu dalam melakukan

perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi

oleh usia, perkembangan, sosiokultural,

kesehatan, dan lain-lain

c. Therapeutic Self care demands

Tuntutan perawatan diri harus seimbang dengan

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Untuk itu dilakukan upaya-upaya dengan cara

menggunakan metode-metode untuk mengembalikan

kemampuan tersebut.

d. Nursing Agency

18

Merupakan upaya keperawatan untuk dapat

memenuhi kebutuhan perawatan diri individu

dan mencapai kemandirian yang dapat dilakukan

dengan cara mengenali kebutuhannya, memenuhi

kebutuhan, melatih kemampuannya.

e. Conditioning factor

Merupakan kondisi atau situasi di sekitar

individu yang dapat mempengaruhi individu

dalam memenuhi kebutuhan self care-nya.

Gambar 2.1: A conceptual framework for nursing. R,Relationship; <, deficit relationship, current or projected.(Source: Orem, D. (2001). Nursing: concept of practice (6th ed). St.Louis: Mosby) dikutip dalam Tomey, A. M., & Alligood, M. R.(2006). Nursing theorists and their work (6th ed). USA: Mosby Elsevier

3. Teori sistem keperawatan (Nursing Systems Theory)

19

Nursing systems merupakan serangkaian tindakan

praktik keperawatan yang dilakukan pada satu

waktu untuk kordinasi dalam melakukan tindakan

keperawatan pada klien untuk mengetahui dan

memenuhi komponen kebutuhan perawatan diri klien

yang terapeutik dan untuk melindungi serta

mengetahui perkembangan perawatan diri klien.

Sistem pelayanan keperawatan yang didesain untuk

memfasilitasi pemenuhan kebutuhan self care individu

dan memberikan self care secara terapeutik melalui

tiga jenis bantuan yang diklasifikasikan sebagai

berikut (Tomey and Alligood, 2006):

a. Wholly Compensatory system

Suatu situasi dimana individu tidak dapat

melakukan tindakan self care dan perawat

mengambil alih pemenuhan self carenya secara

menyeluruh pada klien. Pemberian bantuan

diberikan kepada klien dalam tiga kondisi

yaitu; tidak dapat melakukan tindakan self care

karena kondisi koma, dapat membuat keputusan,

observasi atau pilihan tentang self care tetapi

20

tidak dapat melakukan ambulasi dan pergerakan

manipulatif, tidak mampu membuat keputusan

yang tepat tentang self carenya tetapi masih

memungkinkan melakukan ambulasi dengan

pengawasan dan bimbingan. Contohnya pada

pasien koma diberikan makanan melalui

nasogastrictube.

b. Partly compensatory nursing system

Suatu siatuasi dimana perawat mengambil

alih beberapa aktivitas yang tidak dapat

dilakukan oleh klien dalam pemenuhan kebutuhan

self care-nya., misalnya pada pasien post operasi

laparatomi dimana pasien dapat melakukan cuci

tangan, dan makan sendiri namun masih dibantu

untuk ambulasi.

c. Supportive educative system (Sistem suportif

edukatif)

Pada sistem ini, perawat memberikan

pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk

memotivasi klien melakukan self care, sehingga

klien dapat belajar membentuk internal atau

21

external self care. Klien diharapkan dapat

mengambil keputusan yang tepat untuk perawatan

dirinya. Contohnya pada ibu hamil, pasien

dengan advanced heart failure, dan anak penderita

kanker.

Ketiga jenis klasifikasi nursing systems

tersebut diuraikan dalam skema Basic nursing

systems berikut (Tomey and Alligood, 2006):

WHOLLY COMPENSATORY

SYSTEM

Menyelesaikan therapeutik self

care klienKompensasi ketidakmampuan klien

dalam memenuhi self care

Mendukung dan melindungi klien

PARTLY COMPENSATORY SYSTEM

Menjalankan beberapa kegiatan

self care

Kompensasi keterbatasan klien

untuk self care

Membantu klien sesuai

kebutuhan Tindakan

Tindakan

22

Perawat

SUPPORTIVE-EDUCATIVE SYSTEM

Mencapai self care

Reguasi latihan dan

perkembangan self care agency

Gambar 2.2: Basic nursing systems

Gambar 2.3. Self-Care Deficit Nursing Theory. (Source: Orem,D. (2001). Nursing: concept of practice (6th ed). St. Louis: Mosby)dikutip dalam McEwen, M., & Wills, E. M. (2011). Theoritical

basis for nursing (3rd ed). China: Lippincott Williams & Wilkins

Tindakan

Tindakan

Tindakan

Menjalankan kegiatan self care

Mengatur kemampuan self care

Menerima asuhan dan bantuan

perawat

23

B. Tinjauan tentang Keluarga

Menurut Friedman (1998) dalam Triyanto (2011)

mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua

orang atau lebih yang hidup bersama dengan

keterikatan aturan dan emosional dan individu

mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian

dari keluarga.

Keluarga sebagai unit pelayanan perawatan,

sebab keluarga sebagai unit utama dari masyarakat

dan merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan

bermasyarakat. Keluarga sebagai kelompok dapat

menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki

masalah-masalah kesehatandalam kelompoknya sendiri.

Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan,

penyakit yang diderita oleh salah satu anggota

keluarga akan mempengeruhi keluarga tersebut, karena

keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah

untuk berbagai usaha-usaha kesehatan masyarakat.

Dalam memelihara klien sebagai individu keluarga

tetap berperan dalam pengambil keputusan dalam

pemeliharaannya, keluarga merupakan lingkungan yang

24

serasi untuk mengembangkan potensi setiap individu

dalam keluarga (Mubarak, Chayatin dan Santoso, 2009)

Orem memandang bahwa keluarga adalah sarana

memandirikan seseorang dalam memelihara fungsi

kesehatan. Perawat saat melaksanakan perannya

bersama-sama dengan keluarga membantu anggota

keluarga yang sedang sakit menuju perawatan mandiri

(Seniwati & Dermawan, 2008)

Tujuan utama dalam memberikan asuhan

keperawatan kesehatan keluarga adalah untuk

meningkatkan kemampuan keluarga dalam memelihara

kesehatan keluarganya. Tujuan lainnya adalah

meningkatkan kemampuan keluarga dalam

mengidenifikasi masalah kesehatan yang dihadapi oleh

keluarga; meningkatkan kemampuan keluarga dalam

menanggulangi masalah-masalah kesehatan dasar dalam

keluarga; meningkatkan kemampuan keluarga dalam

mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi

masalah kesehatan para anggotanya; meningkatkan

kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan

keperawatan terhadap anggota keluarga yang sakit dan

25

dalam mengatasi masalah kesehatan anggota

keluarganya; meningkatkan produktivitas keluarga

dalam meningkatkan mutu hidupnya (Triyanto, 2011).

Menurut Triyanto (2011) alasan keluarga sebagai

unit pelayan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat.

2. Perilaku keluarga dapat menimbulkan masalah,

tetapi dapat juga mencegah masalah-masalah

kesehatan dan menjadi sumber daya pemecah masalah

kesehatan.

3. Masalah kesehatan dalam keluarga akan saling

mempengaruhi individu dalam keluarga.

4. Keluarga merupakan lingkungan yang strategis untuk

mengembangkan potensi tiap individu.

5. Keluarga merupakan faktor yang berpengaruh dalam

pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah.

6. Keluarga merupakan saluran yang efektif dalam

menyalurkan dan mengembangkan kesehatan pada

masyarakat.

Sedangkan kriteria keluarga mandiri menurut

Departemen Kesehatan (2006) adalah sebagai berikut:

26

1. Keluarga Mandiri I (KM I)

a. Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat

b. Menerima pelayanan kesehatan yang diberikan

sesuai dengan rencana keperawatan

2. Keluarga Mandiri II (KM II)

a. Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat

b. Menerima pelayanan kesehatan yang diberikan

sesuai dengan rencana keperawatan

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan

secara benar

d. Memanfaatkan fasilitas kesehatan secara aktif

e. Melakukan perawatan secara sederhana sesuai

dengan yang dianjurkan

3. Keluarga Mandiri III (KM III)

a. Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat

b. Menerima pelayanan kesehatan yang diberikan

sesuai dengan rencana keperawatan

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan

secara benar

d. Memanfaatkan fasilitas kesehatan secara aktif

27

e. Melakukan perawatan secara sederhana sesuai

dengan yang dianjurkan

f. Melaksanakan pencegahan secara aktif

4. Keluarga Mandiri IV (KM IV)

a. Menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat

b. Menerima pelayanan kesehatan yang diberikan

sesuai dengan rencana keperawatan

c. Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan

secara benar

d. Memanfaatkan fasilitas kesehatan secara aktif

e. Melakukan perawatan secara sederhana sesuai

dengan yang dianjurkan

f. Melaksanakan pencegahan secara aktif

g. Melaksanakan tindakan promotif secara aktif

Tabel 2.1Penilaian Kriterian Keluarga Mandiri

NO KRITERIA KELUARGA MANDIRI KM KM KM KM

28

1 2 3 4PERILAKU

1. Menerima petugas

kesehatan/puskesmas

√ √ √ √

2. Menerima yankes sesuai rencana √ √ √ √3. Menyatakan masalah kesehatan

secara benar

√ √ √

4. Memanfaatkan sarana kesehatan

sesuai anjuran

√ √ √

5. Melaksanakan perawatan sederhana

sesuai anjuran

√ √ √

6. Melaksanakan tindakan pencegahan

secara aktif

√ √

7. Melaksanakan tindakan promotif

secara aktif

Sumber : Panduan penanggulangan TB Departemen Kesehatan Republik Iindonesia

(2007)

International Union Against Tuberkulosis and

Lung Desease (2007) dikutip dalam Hannan dan Hidayat

(2010) menjelaskan bahwa peranan keluarga pada

penderita Tuberkulosis paru sangatlah dibutuhkan

terlebih dalam memberikan perawatan, baik secara

fisik maupun psikososialnya. Cepat dan lamanya

proses penyembuhan pun tergantung dari kualitas

29

perawatan yang diberikan. Apabila kualitas perawatan

yang kurang baik akan beresiko menularkan kepada

anggota keluarga lain. Hal tersebut bisa saja

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: peran,

pengetahuan keluarga dalam memberikan perawatan pada

penderita Tuberkulosis paru. Oleh karena itu

Friedman (2010) dikutip dalam Hannan dan Hidayat

(2010) menjelaskan pentingnya peran keluarga

sebagai motivator, edukator,fasilitator, inisiator,

pemberi perawatan, koordinator dan mediator terhadap

anggota keluarganya yang menderita Tuberkulosis

paru.

C. Tinjauan tentang Pencegahan Penularan Penyakit TB

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit serius yang

disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium

tuberculosis. TB biasanya menginfeksi paru-paru. Namun

TB juga dapat menginfeksi bagian lain dari tubuh,

termasuk ginjal, tulang belakang dan otak (The Lung

Association, 2014).

30

1. Manifestasi Klinis

Gejala penyakit TB tergantung pada di mana

dalam tubuh bakteri TB tumbuh. Menurut Centres for

Disease Control and Prevention [CDC] (2014) gejala

penyakit TBC dapat mencakup : (1) Batuk buruk

yang berlangsung 3 minggu atau lebih; (2) Rasa

sakit di dada; (3) Batuk darah atau sputum (dahak

dari dalam paru-paru); (4) Kelemahan atau

kelelahan berat badan; (5) Tidak nafsu makan; (6)

Panas Dingin; (7) Berkeringat di malam hari.

2. Penularan Tuberkulosis

Lingkungan hidup yang sangat padat dan

pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar

telah mempermudah proses penularan dan berperan

atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses

terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya

secara inhalasi basil yang mengandung droplet,

khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan

batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA

atau basil tahan asam (Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat [BBKPM], 2009).

31

Seperti kita ketahui cara penularan kuman TB

melalui percikan dahak yang mengandung kuman TB

(droplet) yang dikeluarkan lewat batuk, bersin dan

meludah. Untuk mencegah penularan maka dianjurkan

untuk menutup mulut dengan sapu tangan pada waktu

batuk dan bersin. Penderita TB dan PMO (pengawasan

menelan obat) serta keluarga perlu diberikan

konseling TB agar dapat mencegah penularan,

mendeteksi awal jika ada yang mengalami gejala TB

serta mengawasi dan mendorong penderita agar

berobat secara teratur sampai dinyatakan sembuh.

Kesebuhan bukan hanya dengan obat saja, akan

tetapi perubahan perilaku mutlak diperlukan.

Disamping itu penderita TB yang merokok juga perlu

diberi konseling untuk berhenti merokok karena

akan dapat berpengaruh terhadap keberhasilan

pengobatan.

BBKPM (2009) menguraikan cara pencegahan

penularan penyakit TB, antara lain:

1) Bagi penderita, agar tidak menularkan kepada

anggota keluarga lain:

32

a) Apabila batuk, menutup mulut, agar keluarga

dan orang lain tidak tertular.

b) Jangan meludah disembarang tempat.

c) Gunakan tempat seperti kaleng yang tertutup

dan berisi air sabun atau lysol, untuk

menampung dahak.

d) Buang dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam

tanah ditempat yang jauh dari keramaian.

2) Bagi masyarakat umum

a) Menghindari percikan ludah atau percikan

dahak melalui ventilasi yang efektif di

kendaraan umum, ruang di tempat umum

(sekolah, tempat ibadah, ruang kerja), ruang-

ruang di rumah dengan mengurangi konsentrasi

partikulat melayang

b) Pencahayaan di dalam rumah, pencahayaan

matahari langsung ke dalam rumah/ruang

mematikan kuman TB karena terkena sinar ultra

violet atau panas sinar matahari. Pencahayaan

yang cukup juga mencegah kelembaban dalam

ruang.

33

c) Menghindari kepadatan hunian, kepadatan

hunian bersama penderita TB aktif dalam rumah

memungkinkan kontak efektif untuk terjadinya

infeksi baru pada penghuni rumah

d) Mencegah kepadatan penduduk/permukiman untuk

menjamin ventilasi yang efektif.

e) Mencegah pencemaran udara yang bersumber dari

dalam rumah seperti pemakaian bahan bakar

hayati tanpa ventilasi efektif, merokok.

f) Menghindari adanya lantai tanah dalam rumah,

karena lantai tanah dapat menambah kelembaban

dan memungkinkan perkembangbiakan parasit.

3) Bagi balita: (a) Pemberian ASI eklusif, untuk

menjamin status gizi balita; dan (b) Pemberian

imunisasi BCG.

3. Faktor Resiko Penyakit TB

Faktor Resiko Penyakit TB, pada dasarnya

saling berkaitan satu sama lainnya. Dinas

Kesehatan Kota Salatiga (2006) mengelompokkan

berbagai faktor resiko kedalam 3 kelompok faktor

resiko yaitu faktor kependudukan, faktor

34

lingkungan dan faktor perilaku. Ketiga faktor

tersebut adalah:

a. Faktor Kependudukan

Variabel kependudukan yang memiliki peran dalam

timbulnya atau kejadian penyakit TB, yaitu:

1) Status Gizi

Keadaan kesehatan berhubungan dengan

penggunaan makanan oleh tubuh. Faktor-faktor

yang mempengaruhi status gizi: (a) Faktor

langsung, dipengaruhi oleh asupan makanan dan

penyakit, khususnya penyakit infeksi; (b)

Faktor ekonomi, penghasilan keluarga yang

mempengaruhi status gizi; (c) Faktor

pertanian, kemampuan produksi pangan; (d)

Faktor budaya, masih ada kepercayaan untuk

memantang makanan tertentu, yang dipandang

dari segi gizi mengandung zat gizi yang baik;

(e) Faktor pendidikan dan pekerjaan, faktor

pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan

menyerap pengetahuan yang diperoleh. Faktor

35

pekerjaan juga dianggap mempunyai peranan

penting; (f) Faktor kebersihan lingkungan,

kebersihan lingkungan yang jelek akan

memudahkan menderita penyakit tertentu (TB);

(g) Faktor fasilitas pelayanan kesehatan,

fasilitas kesehatan sangat penting untuk

menyokong status kesehatan dan gizi.

2) Kondisi sosial ekonomi

Sebagian besar penderita TB di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi

lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan

dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan

penyebab kemiskinan dan karena miskin maka

manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi

itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan

secara langsung, namun dapat merupakan

penyebab tidak langsung seperti adanya

kondisi gizi buruk, serta perumahan yang

tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan

kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut

perhitungan, rata-rata penderita TB

36

kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam

setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan

setahun secara total mencapai 30% dari

pendapatan rumah tangga.

3) Umur

Klinis terjadinya penularan tidak ada

perbedaan karena perbedaan usia, akan tetapi

pengalaman menunjukkan bahwa median umur

penderita TB didominasi kelompok usia

produktif (15-50 tahun/75%). Fakta ini

mungkin dikarenakan pada kelompok umur

tersebut mempunyai riwayat kontak disuatu

tempat dalam waktu yang lama.`

4) Jenis kelamin

Dari catatan statistik meski tidak selamanya

konsisten, mayoritas penderita TB adalah

wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan

dan penelitian lebih lanjut, baik pada

tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem

pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler.

37

b. Faktor resiko lingkungan

Faktor lingkungan ini diantaranya :

1) Kepadatan

Kepadatan merupakan salah satu faktor yang

mempercepat proses penularan penyakit.

Semakin padat, maka perpindahan penyakit,

khususnya penyakit melalui udara, akan

semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu,

kepadatan dalam rumah maupun kepadatan hunian

tempat tinggal merupakan variabel yang

berperan dalam kejadian TB.

2) Lantai rumah

Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki

peran terhadap proses kejadian TB, melalui

kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah,

cenderung menimbulkan kelembaban, dengan

demikian viabilitas kuman TB di lingkungan

juga sangat dipengaruhi oleh kelembaban

tersebut.

38

3) Ventilasi

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi

pergantian udara dalam rumah serta mengurangi

kelembaban. Ventilasi mempengaruhi proses

dilusi udara, dengan kata lain mengencerkan

konsentrasi basil TB dan kuman lain, terbawa

keluar dan mati terkena sinar ultra violet.

4) Pencahayaan

Rumah sehat memerlukan cahaya cukup,

khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari

yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya

matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat

tidak menyilaukan. Semua cahaya pada dasarnya

dapat mematikan kuman, namun tentu tergantung

jenis dan lamanya cahaya tersebut.

c. Faktor resiko perilaku

Faktor risiko perilaku adalah kebiasaan

yang dilakukan sehari-hari yang dapat

mempengaruhi terjadinya penularan/penyebaran

penyakit. Yang termasuk faktor risiko perilaku

dalam terjadinya penularan TB adalah sebagai

39

berikut: (1) Kebiasaan tidur penderita TB

bersama-sama dengan dengan anggota keluarga;

(2) Tidak menjemur kasur secara berkala; (3)

Kebiasaan membuang ludah/dahak sembarangan; (4)

Kebiasaan tidak pernah membuka jendela ruangan;

(5) Kebiasaan tidak membuka jendela kamar

tidur; (6) Kebiasaan tidak pernah membersihkan

lantai rumah; (7) Kebiasaan merokok.

Adapun menurut CDC (2014) umumnya orang yang

berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit TB

terbagi dalam dua kategori, yaitu orang-orang yang

telah baru-baru terinfeksi bakteri TB dan orang

dengan kondisi medis yang melemahkan sistem

kekebalan tubuh.

Kondisi atau kegiatan yang menempatkan pada

peningkatan risiko: (1) Menghabiskan waktu dengan

orang yang diketahui memiliki penyakit TBC atau

diduga memiliki penyakit TB; (2) Memiliki infeksi

HIV; (3) Memiliki tanda-tanda dan gejala penyakit

TB; (3) Berasal dari negara di mana penyakit TBC

sangat umum; (4) Tinggal atau bekerja di mana

40

penyakit TBC lebih umum, seperti tempat

penampungan tunawisma, penjara, dan beberapa panti

jompo; (5) Menggunakan obat-obatan terlarang; (6)

Pengobatan yang tidak tuntas untuk infeksi TB atau

penyakit TB di masa lalu.

D. Kerangka Teori

Model teori dan konseptual Self Care Deficit Dorothea Orem:

Self Care Self Care Deficit Nursing Systems Theory

Tujuan Keperawatan pada model Orem ke dalam praktek keperawatan keluarga/

Teori sistem keperawatan Orem:

Wholly Compensatory system Partly compensatory nursing

system

Kriteriakeluargamandiri KM I KM II KM III

Cara pencegahanpenularan penyakit TB

Faktor risiko penyakit TB:

Jenis Kelamin Sosial Budaya Gaya hidup Lingkungan Usia Pendidikan

Pengetahuan Carapenularan penyakit TB

41

BAB IIIKERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan

pada tinjauan pustaka, maka dapat dibuat bagan

kerangka konsep sebagai berikut :

PerubahanPengetahuan

VariableIndependenModel teoriOrem (self care)

denganpendekatan

VariableDependen

Kemandiriankeluarga

melaksanakantindakan

pencegahan

Self care agency Dukungan keluarga

Jenis Kelamin Sosial Budaya Gaya hidup Lingkungan Usia Pendidikan

Variable Perancu

Kemandirian Keluargadalam

melaksanakan

42

Keterangan:

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

B. Variabel Penelitian

1. Identifikasi variabel

a. Variabel Independen (Bebas)

Variabel independen merupakan variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya

atau timbulnya variabel dependen (terikat).

(Sugiyono, 2012). Variabel independent dalam

43

penelitian ini adalah model teori dan konseptual

self care dengan pendekatan suportif edukatif.

b. Variabel Dependen (Tergantung/ Terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang

dipengaruhi. Disebut juga kejadian, luaran,

manfaat, efek atau dampak (Saryono dan

Anggraeni, 2013). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah kemandirian keluarga

melaksanakan tindakan pencegahan penularan

penyakit TB.

c. Variabel perancu

Variabel perancu adalah variabel yang nilainya

ikut menentukan variabel baik secara langsung

maupun tidak langsung, dimana variabel ini

berhubungan dengan variabel bebas dan

berhubungan dengan variabel terikat tetapi bukan

merupakan variabel antara. Variabel perancu

dalam penelitian ini adalah kepercayaan &

dukungan keluarga, jenis kelamin, sosial budaya,

gaya hidup, lingkungan, usia, pendidikan,

44

pekerjaan, kebutuhan udara, kebutuhan nutrisi,

dan kebutuhan aktivitas.

d. Variabel Antara

Variabel antara adalah variabel yang

menjembatani pengaruh antara variabel bebas dan

terikat (Saryono dan Anggraeni, 2013). Variabel

antara dalam penelitian ini adalah perubahan

pengetahuan.

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Model teori dan konseptual self care dengan

pendekatan suportif edukatif.

Suatu bentuk pemberian pendidikan kesehatan kepada

keluarga tentang pencegahan TB untuk mendorong dan

meningkatkan kemandirian keluarga dengan

menggunakan metode ceramah dan diskusi dengan

media buku pedoman, leaflet dan flip chart yang

dilakukan oleh peneliti.

45

2. Kemandirian keluarga melaksanakan tindakan

pencegahan penularan penyakit TB. Kemampuan

keluarga dalam memenuhi lima tugas kesehatan

keluarga dalam melakukan tindakan pencegahan

penyakit TB yang dinilai dengan kriteria

kemandirian keluarga menurut Departemen Kesehatan

RI.

Kriteria Objektif:

Keluarga Mandiri I

Keluarga Mandiri II

Keluarga Mandiri III

Keluarga Mandiri IV

3. Perubahan pengetahuan

Perubahan pengetahuan keluarga dalam pencegahan

penyakit TB paru sebelum penerapan teori model

dan konseptual self care.

Kriteria objektif:

Pengetahuan kurang

Pengetahuan baik

4. Dukungan keluarga

46

Dukungan keluarga dalam melakukan pencegahan

penularan penyakit TB dan merawat Pasien TB Paru.

Kriteria objektif :

Tidak mendukung

Mendukung

5. Jenis kelamin

Jenis kelamin penderita TB dan keluarga

Kriteria Objektif:

Laki-laki

Perempuan

6. Sosial Budaya

Nilai, norma atau pandangan keluarga tentang

penyakit TB dan pencegahannya.

Kriteria objektif:

Mempengaruhi : Apabila nilai, norma atau

pandangan keluarga berpengaruh terhadap sikap

keluarga dalam melakukan tindakan pencegahan

penyakit TB.

Tidak mempengaruhi : Apabila nilai, norma atau

pandangan keluarga berpengaruh terhadap sikap

47

keluarga dalam melakukan tindakan pencegahan

penyakit TB

7. Gaya hidup

Gaya hidup menggambarkan kebiasaan keluarga dengan

penderita TB dalam merokok, mengkonsumsi minuman

keras dan narkoba

Kriteria Objektif:

Baik : Keluarga tidak merokok, mengkonsumsi

minuman keras dan narkoba

Tidak baik : Keluarga merokok, mengkonsumsi

minuman keras dan narkoba.

8. Lingkungan

Data yang mencakup keadaan lingkungan tempat

tinggal klien seperti kebersihan, pencahayaan, ada

tidaknya pertukaran udara, dan keadaan toilet.

Kriteria objektif:

Tidak baik : Jika keadaan lingkungan kotor,

tidak ada pertukaran udara (ventilasi), cahaya

matahari tidak masuk ke dalam rumah, tidak

48

memiliki jamban, dan membuang sampah di sembarang

tempat.

Baik : Jika keadaan lingkungan bersih, ada

pertukaran udara (ventilasi), cahaya matahari yang

masuk ke dalam rumah dan membuang sampah pada

tempatnya.

9. Usia

Usia keluarga atau Pengawas Minum Obat (PMO).

Kriteria Objektif:

Non-produktif

Produktif

10. Pendidikan

Tingkat pendidikan terakhir keluarga atau PMO.

Kriteria objektif:

Rendah : Tidak pernah sekolah - SMP

Tinggi : Minimal tamatan SMA dan sederajat

11. Pekerjaan

Pekerjaan keluarga atau PMO dan penderita TB.

Kriteria objektif:

Bekerja : Apabila mempunyai pekerjaan yang

menghasilkan

49

penghasilan

Tidak Bekerja : Apabila mempunyai pekerjaan yang

tidak

menghasilkan penghasilan

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep yang diajukan, hipotesis

dari penelitian ini adalah “Model teori Orem (Self

care) dengan pendekatan suportif edukatif berpengaruh

terhadap kemandirian keluarga melaksanakan tindakan

pencegahan penularan penyakit TB”

BAB IVMETODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

50

Jenis penelitian yang digunakan adalah quasy

experimental design dengan pendekatan non-equivalent control

group design, tetapi teknik pengumpulan datanya

dilakukan penggabungan metode secara kuantitatif dan

kualitatif (wawancara). Mekanisme pengumpulan

datanya, yaitu pengumpulan data utama adalah dengan

menggunakan kuesioner. Selanjutnya dilengkapi dengan

observasi dan wawancara untuk memperkuat dan

mengecek validitas data dari kuesioner tersebut

(Sugiyono, 2012).

Mekanisme penelitiannya, yaitu dengan melakukan

Pre test berupa pemberian kuesioner, observasi,

wawancara untuk menilai tingkat kemandirian keluarga

tentang pencegahan TB, pengetahuan, gaya hidup,

lingkungan, dukungan keluarga dan sosial budaya

keluarga pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol. Selanjutnya dilakukan intervensi (penerapan

model teori dan konseptual self care dengan pendekatan

suportif edukatif) pada kelompok intervensi,

sedangkan pada kelompok kontrol hanya diberikan

leaflet. Setelah itu, dilakukan post test dengan

51

memberikan kuesioner dan melakukan observasi serta

wawancara pada kedua kelompok tersebut. Hal ini

memungkinkan agar peneliti dapat mengetahui

perubahan-perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah

intervensi pada kelompok intervensi berupa tingkat

kemandirian, pengetahuan keluarga tentang TB dan

pencegahannya, gaya hidup, lingkungan, dukungan

keluarga dan sosial budaya keluarga, kemudian

membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol.

Secara skematis dapat dituliskan sebagai berikut:

O1 ( X ) O2

Pretest IntervensiPosttest (Pendidikan kesehatan) O3

(-) O 4

Pretest Kontrol Posttest

Keterangan :

O1 : Pretest pada kelompok perlakuan sebelum diberikan

intervensi

O2 : Posttest pada kelompok perlakuan setelah diberikan

intervensi

O3 : Pretest pada kelompok kontrol

O4 : Posttest pada kelompok kontrol

52

X : Intervensi kelompok dengan pendekatan suportif

edukatif

Gambar 3.1: Skema rancangan penelitian

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah

warga yang mempunyai dan merawat anggota keluarga

yang menderita penyakit tuberkulosis di wilayah

kerja X, Kota Makassar pada tahun 2015

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah warga yang

mempunyai anggota keluarga yang menderita penyakit

tuberkulosis dan telah melakukan pengobatan TB di

wilayah kerja X.

2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah warga yang

mempunyai anggota keluarga yang menderita penyakit

tuberkulosis dan telah melakukan pengobatan TB

yang merupakan bagian dari populasi yang telah

ditetapkan (purposive sampling) yaitu :

a. Kriteria inklusi

53

1) Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang

menderita TB usia dewasa

2) Merawat sendiri anggota keluarga yang

menderita TB

3) Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

menderita TB paru dan telah mendapatkan

pengobatan ≤ 4 bulan

4) Penderita TB paru yang mendapatkan pelayanan

kesehatan di wilayah kerja X

5) Keluarga dengan tingkat kemandirian 1, 2 dan

3

6) Penderita TB yang bertempat tinggal di

wilayah kerja X

7) Penderita TB paru dengan BTA (+)

b. Kriteria Eksklusi

1) Responden pindah alamat dan tidak berobat di

wilayah kerja X

2) Anggota keluarga yang menderita TB paru dan

telah mendapatkan pengobatan > 4 bulan

3) Keluarga dengan tingkat kemandirian 4

3. Estimasi Besar Sampel

54

Cara pengambilan sample adalah menggunakan

metode purposive sampling. Pengambilan sample ini

didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang

dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau

sifat-sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya.

Adapun rumus perhitungan sampel untuk

menentukan besar sampel dengan populasi yang tidak

diketahui dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut : (Dahlan, 2010)

n = {Z∝√2PQ+Zβ√ (P1Q1+P2Q2)P1−P2

Keterangan :

Zα = deviat baku alfa

Zβ = deviat baku beta

P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui

nilainya

Q2 = 1 – P2

P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya

merupakan judgement peneliti

Q1 = 1 – P1

55

P1 – P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap

bermakna

P = proporsi total = (P1 + P2) 2∕

Q = 1 – P

4. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh model teori dan

konseptual self care dengan pendekatan suportif

edukatif terhadap kemandirian keluarga

melaksanakan tindakan pencegahan penularan

penyakit TB, maka instrument yang akan digunakan

peneliti, yaitu kuesioner, observasi dan wawancara

tersruktur.

2. Cara Pengumpulan Data

Data pada penelitian ini terdiri dari data primer

dan data sekunder. Pengambilan data sekunder dilakukan

dengan mengambil data dari pihak terkait dengan

wilayah kerja X untuk mendapatkan data awal penderita

TB. Sedangkan pengambilan data primer dilakukan

dengan:

56

a. Kuesioner

Peneliti mengumpulkan data primer yang

dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan

sebagai subjek penelitian adalah keluarga

penderita TB paru dan penderita TB paru.

b. Wawancara

Peneliti menggunakan teknik wawancara yang

dilakukan dengan tanya jawab langsung secara

berhadapan. Untuk memudahkan jalannya

wawancara, maka perlu adanya pedoman wawancara

yang tersistematis (Saryono dan Anggraeni,

2013).

c. Observasi

Peneliti menggunakan observasi non partisipan

yakni peneliti tidak terlibat langsung dengan

aktivitas orang-orang yang sedang diobservasi

dan hanya sebagai pengamat independen.

Data yang diperoleh kemudian diolah,

sedangkan penyajian datanya dilakukan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi dengan presentasi dan

pengolahan tabel. Sebelum data diolah secara

57

sistematik terlebih dahulu dinyatakan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Seleksi

Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasi data yang

telah masuk menurut kategori.

b. Editing

Merupakan langkah pengecekan kembali terhadap

data yang telah masuk dalam usaha melengkapi data

yang masih kurang

c. Koding

Pemberian nilai pada opsi-opsi yang telah lengkap

kemudian data ditabulasi atau diolah dalam tabel

selanjutnya diuraikan dari presentasi dan hasil

perhitungan tersebut

E. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Untuk mengatahui dan memperlihatkan distribusi

frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik

serta persentase dari tiap variabel yang diteliti.

2. Analisa Bivariat

58

Analisis yang digunakan untuk menguji kemaknaan

perbedaan mean variabel penelitian antara sebelum

dan sesudah intervensi, jika sebaran data

berdistribusi normal digunakan uji parametrik paired t-

test berdasarkan kelompok, sedangkan jika distribusi

tidak normal digunakan uji non parametrik Wilcoxon.

Uji statistik dengan menggunakan bantuan program

SPSS for windows versi 20.

F. Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian, peneliti

mengajukan permohonan izin kepada posisi tertinggi

dari lokasi penelitian atau pihak yang terkait dalam

pemberian ijin untuk mendapatkan persetujuan

penelitian. Kemudian dilakukan penelitian kepada

subjek yang akan diteliti dengan menekankan pada

masalah etika meliputi:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for

human dignity) Peneliti mempertimbangkan hak-hak

subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka

berkaitan dengan jalannya penelitian serta

memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas

59

dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan

penelitian (autonomy). Peneliti memberikan

formulir persetujuan subyek (informed consent) yang

terdiri dari penjelasan manfaat penelitian,

penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan

yang dapat ditimbulkan.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek

penelitian (respect for privacy and confidentiality). Setiap

manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk

privasi dan kebebasan individu. Peneliti menjaga

anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek dengan

cara menggunakan koding (inisial atau identification

number) sebagai pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and

inclusiveness)

Prinsip keadilan memiliki makna keterbukaan dan

adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, peneliti

berlaku jujur, hati-hati, profesional,

berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-

faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan,

intimitas, psikologis serta perasaan religius

60

subyek penelitian. Selama penelitian kelompok

kontrol diberikan leaflet pedoman pencegahan

penularan TB. Seusai penelitian, kelompok kontrol

pun diberikan pendidikan kesehatan dan buku

pedoman pencegahan penularan TB, seperti halnya

dengan kelompok perlakuan

d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang

ditimbulkan (balancing harms and benefits). Peneliti

melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur

penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat

semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan

dapat digeneralisasikan di tingkat populasi

(beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang

dapat merugikan bagi subyek (nonmaleficence).

61

DAFTAR PUSTAKA

Asyari, I., S. (2011). Peran Keluarga dalam Upaya PencegahanPenularan Tuberkulosis (TB) di Wilayah Kerja Puskesmas PatrangKabupaten Jember (Skripsi). Jember: UniversitasJember.

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat. (2009).Kesembuhan Dan Pencegahan Bukan Hanya Dengan Obat.Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

62

Bridge, J., Cabell, S. & Herring, B. (2008) DorotheaOrem’s self care deficit theory. Troy University digitallibrary. Diakses tanggal 7 Desember, 2014 dariwebsite: http://prism.troy.edu/~scabell/Orem.pdf

Centres for Disease Control and Prevention. (2014).Tuberculosis. Diakses tanggal 27 Desember, 2014 dariwebsite: http://www.cdc.gov/features/TBsymptoms/

Dahlan, S. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampeldalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Ed. 3. Jakarta:Salemba Medika.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2006).

Pedoman nasional Penanggulangan Tuberkulosis, ed 2 cetakanI. Jakarta: Depkes RI.

Dinkes Kota Makassar. (2012). Profil Kesehatan Kota MakassarDiakses tanggal 6 Desember, 2014 dari website:http://health.kompas.com/read/2014/03/03/1415171/Indonesia.Peringkat.4.Pasien.TB.Terbanyak.di.Dunia

Dinas Kesehatan Kota Salatiga. (2006). Gambaran PerilakuKeluarga dalam Pencegahan Penyakit TB. Salatiga: DinkesKota Salatiga.

Hannan, M. & Hidayat, S. (2013). Peran Keluarga dalamPerawatan Penderita Tuberkulosis Paru di Kecamatan GapuraKabupaten Sumenep (Skripsi). UNIJA Sumenep. Diaksestanggal 27 Desember, 2014 dari website:http://download.portalgaruda.org/article.php?article=253490&val=6831&title=PERAN%20KELUARGA%20DALAM%20PERAWATAN%20PENDERITA%20TUBERKULOSIS%20PARU%20DI%20KECAMATAN%20GAPURA%20KABUPATEN%20SUMENEP

Handhayani, M. (2011). Hubungan Dukungan Sosial Keluargadengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Parudi Poli Klinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang (Skripsi).Padang: Universitas Andalas

63

Hidayat, A.A. (2004). Pengantar konsep dasar keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.

Kartika, U. (2014). Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak diDunia. Diakses tanggal 6 Desember, 2014 dariwebsite:http://health.kompas.com/read/2014/03/03/1415171/Indonesia.Peringkat.4.Pasien.TB.Terbanyak.di.Dunia

Media, Y. (2011). Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakattentang Penyakit Tuberkulosis (TB) paru di Kec. Sungai Tarab, Kab.Tanah Datar, prov. Sumatera Barat 2010. Media LitbangKesehatan, 21(2), 82-88.

Mubarak, W. I., Chayatin, N., & Santoso, B. A. (2009).Ilmu Keperawatan Komunitas: Konsep dan Aplikasi, buku 2.Jakarta: Salemba Medika.

McEwen, M., & Wills, E. M. (2011). Theoritical basis fornursing (3rd ed). China: Lippincott Williams &Wilkins.

Nursing Theory. (2013). Self Care Deficit Theory. Diaksestanggal 27 Desember, 2014 dari website:http://www.nursing-theory.org/theories-and-models/orem-self-care-deficit-theory.php

Rapiadi (2009). Hubungan antara pengetahuan tentang penyakit TBparu dengan perilaku keluarga dan penderita TB paru (Skripsi).Graha cendekia. Diakses tanggal 7 Desember, 2014dari website:http://grahacendikia.com/2009/04/27/hubungan-antara-pengetahuan-tentang-penyakit-tb-paru-dengan-perilaku-keluarga-dan-penderita-tb-paru.

Ratnasari, N. Y. (2004). Hubungan Dukungan Sosial denganKualitas Hidup pada Penderita Tuberkulosis Paru di BalaiPengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta Unut Minggiran.Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 8, 7-11.

64

Saryono & Anggraeni, M. D. (2013). Metodologi PeneletianKualitatif dan Kuantitatid dalam Bidang Kesehatan.Yogyakarta: Nuha Medika.

Seniwati, S. & Dermawan, C. (2008). Penuntun praktis: Asuhankeperawatan keluarga. Jakarta: Trans Info Media.

Sugiyono (2012). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R &B. Bandung: Alfabeta.

Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2006). Nursing theoristsand their work (6th ed). USA: Mosby Elsevier.

Tuberkulosis. (2014). Tuberkulosis. Diakses tanggal 27Desember, 2014 dari website:http://tuberkulosis.org/.

The Lung Association (2014). Tuberculosis. Diaksestanggal 27 Desember, 2014 dari website:http://www.lung.ca/lung-health/lung-disease/tuberculosis.

Triyanto, E. (2011). Keperawatan Keluarga 1. Purwokerto:UPT Percetakan dan Penerbitan Unsoed.

Widiastuti. (2009). Pendidikan kesehatan. UniversitasIndonesia. Diakses tanggal 7 Desember, 2014 dariwebsite:http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/89a14cfa-20b1b83f41bef6aedf2166da8532fad4.pdf

World Health Organization. (2013). Global Tuberculosis Report2013. Diakses tanggal 6 Desember, 2014 dariwebsite:http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.pdf?ua=1

65