DISERTASI - Universitas Brawijaya

158
KARAKTERISTIK SAMBUNGAN LAS HOT ROLL QUENCH TEMPERED STEEL (QTS) AKIBAT PENAMBAHAN FLUKS MAGNET EKSTERNAL DISERTASI PROGRAM DOKTOR TEKNIK MESIN MINAT MATERIAL MANUFAKTUR Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh gelar Doktor Teknik SUGIARTO, ST. MT NIM. 127060200111032 UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK MALANG 2018

Transcript of DISERTASI - Universitas Brawijaya

KARAKTERISTIK SAMBUNGAN LAS HOT ROLL QUENCH

TEMPERED STEEL (QTS) AKIBAT PENAMBAHAN FLUKS

MAGNET EKSTERNAL

DISERTASI

PROGRAM DOKTOR TEKNIK MESIN

MINAT MATERIAL MANUFAKTUR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Memperoleh gelar Doktor Teknik

SUGIARTO, ST. MT

NIM. 127060200111032

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS TEKNIK

MALANG

2018

DISERTASI

KARAKTERISTIK SAMBUNGAN LAS HOT ROLL QUENCH

TEMPERED STEEL (QTS) AKIBAT PENAMBAHAN FLUKS

MAGNET EKSTERNAL

SUGIARTO, ST. MT

NIM. 127060200111032

Telah dipertahankan di depan komisi penguji

Pada tanggal 2018

Dinyatakan telah memenuhi syarat

Untuk memperoleh gelar Doktor Teknik

Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama

Prof. Dr. Ir. Rudy Soenoko, M. Eng. Sc.

Pembimbing Pendamping I

Dr. Eng. Anindito Purnowidodo, ST.M.Eng.

Pembimbing Pendamping 2

Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST. M. Eng.

Malang, 2018

Universitas Brawijaya

Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin

Ketua Program Doktor Teknik Mesin

Prof. Ir. ING. Wardana, M. Eng., PhD.

NIP. 19590731 198303 1 002

PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya,

dan berdasarkan hasil penelusuran berbagai karya ilmiah, gagasan dan masalah ilmiah

yang diteliti dan diulas di dalam Naskah Disertasi ini adalah asli dari pemikiran saya, tidak

terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar

akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernahditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam

naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-

unsur jiplakan, saya bersedia Disertasi dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (UU no. 20 tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)

Malang, 23 April 2018

Mahasiswa

SUGIARTO, ST, MT.

127060200111032

RIWAYAT HIDUP

Sugiarto, Ponorogo, 17 April 1969 anak dari ayah yang bernama Kedi dan Ibu Tukiyem,

Menyelesaikan pendidikan SD sampai SMA di kota Ponorogo dan lulus SMA tahun 1988,

lulus Program Sarjana Teknik Mesin di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang

tahun 1995. Menyelesaikan program Magister Teknik Mesin di Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2003. Pengalaman kerja sebagai Dosen

Teknik Mesin Universitas Brawijaya tahun 1995 hingga sekarang. Pernah menjabat

sebagai Kepala Laboratorium Pengujian Bahan dari tahun 1997 sampai tahun 2000,

menjabat sebagai Ketua Program Non Reguler Jurusan Teknik Mesin tahun 2004 sampai

2006, menjabat sebagai Kepala Laboratorium Proses Produksi dari tahun 2007 sampai

2012. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Jurusan Teknik Mesin

Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.

Malang, 23 April 2018

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar

besarnya kepada:

1. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah

memberikan bantuan beasiswa BPDN untuk program Doktor.

2. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan bantuan dana pengembangan

sumberdaya manusia dalam mendukung studi program Doktor.

3. Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya yang telah memberikan ijin studi

program Doktor kepada penulis.

4. Ketua Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya yang banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan studi program Doktor.

5. Ketua Program Doktor Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya yang telah

memfasilitasi penulis selama menempuh studi program Doktor.

6. Prof. Dr. Ir. Rudy Soenoko, M. Eng. Sc. Selaku Pembimbing Utama.

7. Dr. Eng. Anindito Purnowidodo, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 1.

8. Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 2.

9. Para Ketua Laboratorium beserta staf dan assisten Laboratorium tempat penulis

melakukan penelitian.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi.

Sujud dan terima kasih yang dalam penulis persembahkan kepada Ibunda dan

Ayahanda tercinta, atas dorongan yang kuat, kebijaksanaan dan do’a.

Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri dan anak-

anakku yang selalu memberikan support dan dorongan semangat.

Malang, 23 April 2018

Penulis

RINGKASAN

Sugiarto, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Maret 2018,

Karakteristik Sambungan Las Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS) Akibat

Penambahan Fluks Magnet Eksternal, Pembimbing Disertasi: Rudy Soenoko, Anindito

Purnowidodo dan Yudy Surya Irawan

Hot Roll Steel Plate (HRSP) merupakan baja konstruksi umum dengan kadar

karbon 0,29% dan beberapa unsur paduan. Baja ini memiliki potensi untuk dijadikan

material bodi kendaraan tempur dalam mendukung program kemandirian material dalam

mengembangkan ALUTSISTA. Agar memenuhi syarat sebagai material kendaraan tempur

dengan kekerasan berkisar 500 BHN, maka HRSP harus diberi perlakuan panas quench

temper agar memiliki sifat keras dan tahan terhadap tumbukan peluru. HRSP yang telah

mengalami perlakuan panas quench temper ini selanjutnya diberi istilah Hot roll quench

tempered steel (QTS). Dari hasil perlakuan panas quench temper tersebut didapatkan

kekerasan rata-rata 544,6 VHN. QTS didominasi oleh mikrostruktur martensit yang

memiliki sifat keras, umumnya memiliki weldability rendah dan rentan mengalami retak

merambat pasca pengelasan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan

rekayasa proses pengelasan terhadap QTS.

Dalam pengelasan logam yang menggunakan sumber energi listrik akan bekerja

gaya elektromagnetik (gaya Lorenz) yang berpengaruh terhadap laju konveksi atau

sirkulasi logam cair pada kolam las. Laju sirkulasi logam cair pada kolam las juga

dipengaruhi oleh gaya angkat permukaan (gaya buoyancy) dan gaya akibat tegangan

permukaan (gaya marangoni). Gaya elektromagnetik memiliki pengaruh paling dominan

terhadap sirkulasi kolam las pada las yang menggunkaan arus listrik (Herrera, 2003). Laju

konveksi logam cair pada kolam las dapat ditingkatkan dengan memperbesar gaya-gaya

yang bekerja pada kolam las utamanya gaya elektromaknetik (FL). Arus konveksi akibat

gaya elektromagnetik dipengaruhi oleh rapat arus (J) dan fluks magnet (B) yang

dirumuskan FL = J x B. Gaya elektromagnetik di tengah kolam las akan mendorong logam

las cair yang panas ke bawah sampai ke dasar kolam, sehingga perpindahan panas yang

terjadi mengakibatkan sebagian dasar kolam las mencair dan penetrasi logam cair di

kolam las semakin dalam. Laju sirkulasi berperan dalam proses pencampuran (mixing)

logam cair dalam kolam las. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat homogenitas komposisi

struktur dalam kolam las, menurunkan laju pendinginan pasca pengelasan dan

meningkatkan ketangguhan las (Kou, 1987).

Beberapa penelitian terkait penambahan magnet eksternal pada proses pengelasan

telah dilakukan untuk material logam atau baja yang belum mengalami perlakuan panas

dan belum mengalami perubahan mikrostruktur. QTS merupakan baja konstruksi yang

telah mengalami perlakuan panas quench temper dan perubahan mikrostruktur dari

Ferrite+Pearlite menjadi Martensite. Gaya elektromagnetik umumnya dilakukan dengan

menaikan arus las. Memperbesar arus las akan meningkatkan masukan panas las,

menaikan tegangan termal yang berdampak pada distorsi dan retak las. Penelitian ini

menggunakan baja konstruksi yang telah mengalami perlakuan panas quench temper dan

perubahan mikrostruktur. Gaya elektromagnetik diperbesar dengan menambahkan fluks

magnet eksternal secara transversal dari dua arah menggunakan solenoida yang dialiri arus

listrik DC. Tujuannya adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan fluks magnet

eksternal secara transversal dari dua arah terhadap perubahan karakteristik fisik berupa

temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, perubahan

mikrostruktur HAZ dan daerah las serta karakteristik mekanik berupa kekuatan impak dan

laju perambatan retak fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).

Dalam penelitian ini, fluks magnet eksternal ditambahkan dengan mengalirkan

arus DC sebesar 3; 6; 9, 12 dan 15 Ampere dan tegangan 12 volt ke solenoida. Jumlah

lilitan solenoida adalah 150 lilitan. Solenoida dibuat dari kawat tembaga diameter 0,7 mm

yang dililitkan ke plat baja lunak berdimensi (100 x 100 x 10 mm3). Selama pengelasan

solenoida ditempelkan ke benda kerja secara transversal dari dua arah. Jenis las yang

digunakan adalah GMAW dengan arus pengelasan sebesar 140 A dan tegangan 20 V.

Posisi pengelasan adalah flat position welding 3 layer untuk benda kerja tebal 10 mm dan

1 layer untuk benda kerja tebal 5 mm dengan kecepatan pengelasan rata-rata 15 cm/menit.

Elektrode las yang digunakan adalah AWS ER 70S-6 diameter 1 mm. Gas pelindung yang

digunakan adalah CO2 dengan kecepatan pengumpanan 12 L/min. Pada layer ke 3

dilakukan pengukuran temperature pengelasan pada jarak 10 mm dari pusat las

menggunakan termokopel tipe K. Setelah proses pengelasan, benda kerja las diuji

radiografi untuk melihat cacat makro dan selanjutnya dibuat spesimen uji makro dan

mikrostruktur, uji impak, uji tarik dan uji perambatan retak fatik. Spesimen uji makro dan

mikrostruktur serta uji impak dibuat dari benda kerja las tebal 10 mm. Spesimen uji tarik

dan uji perambatan retak fatik dibuat dari benda kerja las tebal 5 mm. Uji cacat las

menggunakan hasil foto radiografi yang diolah menggunakan Software Autodesk Inventor

2012, uji porositas menggunakan program Image J dari hasil foto mikrostruktur las, uji

impak menggunakan tipe charpy test dengan beban pendulum 26,2 kg, panjang pendulum

0,75 m, sudut simpangan awal 120º dan sudut simpangan akhir tanpa beban 117º, uji tarik

menggunakan metode tension test dan uji perambatan retak fatik menggunakan Servo

hydraulic fatigue test dengan Pmax = 0,3 x σu x A dan Pmin = 0 serta frekwensi

pembebanan fatik = 11 Hz. Panjang retak awal (a0) = 2 mm dan lebar retak awal 0,2 mm.

Data jumlah siklus pembebanan fatik pertama diukur setelah pertambahan retak awal (Δa1)

= 0,2 mm.

Hasilnya adalah menambahkan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua

arah pada pengelasan QTS dapat menurunkan temperatur puncak dan laju pendinginan

pasca pengelasan HAZ, menurunkan prosentase cacat las dan porositas las, meningkatkan

ketangguhan las terhadap beban impak dan memperlambat perambatan retak fatik daerah

las. Semakin besar fluks magnet yang ditambahkan menyebabkan temperatur puncak HAZ

semakin turun, laju pendinginan pasca pengelasan semakin lambat, mikrostruktur HAZ

semakin didominasi oleh upper bainite (UB). Sedangkan mikrostruktur logam las semakin

didominasi oleh grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF). prosentase

cacat las dan porositas daerah las semakin kecil dan daerah las semakin tahan terhadap

beban impak. Penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah sebesar

1,7 mT sampai 2,3 mT menghasilkan jumlah siklus pembebanan retak fatik semakin

meningkat yang mengindikasikan perambatan retak fatik semakin lambat. Hal ini

didukung oleh nilai n yang semakin kecil dan nilai C yang semakin besar. Sedangkan

penambahan fluks magnet dari 2,3 mT ke 3,1 mT menyebabkan jumlah siklus

pembebanan retak fatik turun kembali.

Kata Kunci: HRSP, QTS, fluks magnet eksternal, weldability, retak merambat.

SUMMARY

Sugiarto, Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, Brawijaya

University, March 2018, Characteristics of Hot Quench Tempered Steel (QTS) Welded

Connections due to the addition of External Magnetic Flux, Dissertation Counselor:

Rudy Soenoko, Anindito Purnowidodo and Yudy Surya Irawan

Hot Roll Steel Plate (HRSP) is a common construction steel with a carbon

content of 0.29% and some alloying elements. This steel has the potential to be used as

material of combat vehicle body in support of material independence program in

developing ALUTSISTA. In order to qualify as combat vehicle material with hardness

ranging from 500 BHN, HRSP should be quench tempered heat treatment in order to have

hard and resistant properties against bullet collision. HRSP that has been subjected to

heat treatment quench temper is then given the term Hot roll quench tempered steel (QTS).

From the result of heat treatment of quench temper is obtained mean hardness 544,6

VHN. QTS is dominated by microstructures of martensite that have a hard nature,

generally have low weldability and susceptible to crack propagating post-welding. To

overcome these problems need to be welded engineering process to QTS.

In metal welding using electrical energy sources will work electromagnetic force

(Lorenz force) which affect the rate of convection or circulation of liquid metal in welding

pool. The rate of liquid metal circulation in the weld pool is also affected by the surface

lifting force (buoyancy force) and the force due to surface tension (marangoni force).

Electromagnetic forces have the most dominant influence on weld pool circulation in

welding that uses electric current (Herrera, 2003). The rate of convection of molten metal

in the weld pool can be increased by enlarging forces acting on the main welding pool of

the electromagnetic force (FL). Convection current due to electromagnetic force is

influenced by current density (J) and magnetic flux (B) formulated FL = J x B.

Electromagnetic force in the center of the weld pool will push the hot welding metal down

to the bottom of the pool, resulting in heat transfer occurs resulting in a part of the bottom

of the melt weld pool and the penetration of molten metal in the weld pool deeper. The

circulation rate plays a role in the mixing process of molten metal in a weld pool. This

affects the homogeneity of the structure composition in the weld pool, decreases the post-

welding cooling rate and increases the weld toughness (Kou, 1987). Several studies

related to the addition of external magnets to the welding process have been done for

metallic or steel materials that have not been heat treated and have not undergone

microstructural changes. QTS is a construction steel that has been subjected to heat

treatment of quench temper and microstructure changes from Ferrite + Pearlite to

Martensite. Electromagnetic force is generally done by raising the welding current.

Increasing the welding current will increase the weld heat input, raising the thermal stress

affecting the distortion and the weld crack. This study uses steel construction that has been

subjected to heat treatment of quench temper and microstructural changes. The

electromagnetic force is magnified by adding external transverse magnetic flux from two

directions using a DC-doped solenoid. The objective is to analyze the effect of the addition

of external magnetic flux transversally from two directions to the change of physical

characteristics such as HAZ peak temperature, post-welding cooling rate, welding defect,

HAZ microstructure change and welding area and mechanical characteristics such as

impact strength and rate of fatigue crack propagation of weld area hot roll quench

tempered steel (QTS).

In this study, external magnetic flux is added by passing a DC current of 3; 6; 9,

12 and 15 Ampere and 12 volt to solenoid. The number of solenoid windings is 150 loops.

The solenoid is made of 0.7 mm diameter copper wire wrapped onto a dimensionless steel

steel plate (100 x 100 x 10 mm3). During the welding the solenoid is attached to the

workpiece transversely from two directions. The type of welding used is GMAW with

welding current of 140 A and 20 V voltage. Welding position is flat position welding 3

layers for 10 mm thick workpiece and 1 layer for 5 mm thick workpiece with average

welding speed 15 cm / min . The welding electrode used is AWS ER 70S-6 diameter 1 mm.

The protective gas used is CO2 with a feed rate of 12 L / min. On the 3rd layer, the

welding temperature measurement was measured at 10 mm from the welding center using

K type thermocouple. After welding process, the welding workpiece was tested by

radiography to see macro defect and then made macro and microstructure test specimen,

impact test, tensile test and propagation test fatigue cracks. Specimens of macro and

microstructure tests and impact tests were made from 10 mm thick welding workpieces.

Tensile test specimens and fatigue crack propagation tests were prepared from 5 mm thick

welding workpieces. Test welded defects using the results of radiographic images are

processed using Autodesk Inventor Software 2012, porosity test using Image J program

from the weld microstructure photo, impact test using charpy test type with pendulum load

26.2 kg, pendulum length 0.75 m, the beginning of 120º and the endless nozzle endpoint

117º, the tensile test using the tension test and the fatigue crack propagation test using the

Servo hydraulic fatigue test with Pmax = 0.3 x σu x A and Pmin = 0 and the fatigue

loading frequency = 11 Hz. The initial crack length (a0) = 2 mm and the initial crack

width of 0.2 mm. Data on the number of first fatigue loading cycles was measured after

the initial crack increase (Δa1) = 0.2 mm.

The result is adding external transverse magnetic flux from two directions to QTS

welding can reduce peak temperature and cooling rate after welding HAZ, decrease

percentage of weld defect and weld porosity, increase weld toughness to impact load and

slow propagation of fatty crack propagation of weld area. The greater the added magnetic

flux causing the peak temperature of HAZ to decrease, the post-welding cooling rate is

slower, the HAZ microstructure increasingly dominated by upper bainite (UB). While the

weld metal microstructure is increasingly dominated by the grain boundary ferrite (GF)

and widmanstatten ferrite (WF). the percentage of welding defects and porosity of the

weld area is getting smaller and the weld area is more resistant to the impact load. The

addition of external magnetic flux transversally from two directions of 1.7 mT to 2.3 mT

resulted in an increasing number of fatigue crack loading cycles indicating a slower of

fatigue crack propagation. This is supported by the smaller value of n and the larger C

value. While the addition of magnetic flux from 2.3 mT to 3.1 mT causes the number of

fatigue crack loading cycle to fall back.

Keywords: HRSP, QTS, external magnetic flux, weldability, crack propagate.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT., karena atas limpahan rahmat dan

hidayah-Nya, akhirnya disertasi yang berjudul ” Karakteristik Sambungan Las Hot Roll

Quench Tempered Steel (QTS) Akibat Penambahan Fluks Magnet Eksternal” ini dapat

kami selesaikan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah

memberikan bantuan beasiswa BPDN untuk program Doktor kepada penulis.

2. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan bantuan dana pengembangan

sumberdaya manusia dalam mendukung studi program Doktor.

3. Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya yang telah memberikan ijin studi

program Doktor kepada penulis.

4. Ir. Djarot B. Darmadi, MT. PhD., selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin Universitas

Brawijaya Malang.

5. Prof. Ir. ING. Wardhana PhD., selaku Ketua Program Doktor Teknik Mesin

Universitas Brawijaya Malang.

6. Prof. Dr. Ir. Rudy Soenoko, M. Eng. Sc. Selaku Pembimbing Utama.

7. Dr. Eng. Anindito Purnowidodo, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 1.

8. Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 2.

9. Para Ketua Laboratorium beserta staf dan assisten Laboratorium tempat penelitian

penulis, yang telah memfasilitasi dan banyak membantu penulis dalam melakukan

penelitian.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi yang tidak

bisa disebutkan satu per satu.

Semoga amal baik Bapak dan ibu sekalian mendapat balasan yang setimpal dari

Alloh SWT. Tentu tulisan ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan sehingga perlu

koreksi dan masukan demi kesempurnaannya. Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi

penulis khususnya dan semua pihak yang menyempatkan diri untuk membacanya.

Malang, Mei 2018

Penulis.

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ....................................................................

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................

LEMBAR SERTIFIKAT BEBAS PLAGIASI.....................

LEMBAR RIWAYAT HIDUP.................................................

LEMBAR UCAPAN TERIMA KASIH ..................................

LEMBAR RINGKASAN ..........................................................

LEMBAR SUMMARY ...........................................................

KATA PENGANTAR ............................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................. ii

DAFTAR TABEL .................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................... ... v

DAFTAR PUBLIKASI ........................................................ vi

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang Masalah 1

1.2. Rumusan Masalah 5

1.3. Tujuan Penelitian 5

1.4. Manfaat Penelitian 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Beberapa Penelitian Terdahulu 7

2.2. Aliran Panas Pengelasan 11

2.3. Siklus Termal dan Laju Pendinginan Las 12

2.4. Hubungan Laju Pendinginan Pasca Pengelasan Dengan

Pembentukan Mikrostruktur Las 14

2.5. Konveksi Kolam Las 18

2.6. Pengaruh Konveksi pada Kolam Las 20

2.7. Pembagian Daerah Lasan 23

2.8. Cacat Las 25

2.8.1. Retak las (weld cracking) 27

2.8.2. Absorbsi hydrogen selama proses pengelasan busur 28

2.8.3. Cacat porositas 29

2.9. Medan Magnet Solenoida 31

2.10. Laju Perambatan Retak Fatik 33

BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 36

3.1 Kerangka Konseptual 36

3.2 Alur Kerangka Konseptual Penelitian 39

3.3. Hipotesis 40

BAB IV. METODE PENELITIAN 41

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian 41

4.2. Alat dan Bahan Penelitian 41

4.2.1. Alat yang digunakan dalam penelitian 41

4.2.2. Bahan yang digunakan 42

4.2.3. Bentuk spesimen pengelasan 43

4.3. Variabel Penelitian 45

4.4. Rancangan Penelitian 45

4.5. Prosedur Penelitian 47

4.6. Diagram Alir 51

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 52

5.1. Hasil Pengujian Hot Roll Steel Plate (HRSP) 52

5.2. Hasil Pengujian Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS) 53

5.3. Hasil pengujian Fluks Magnet 55

5.4. Hasil Pengukuran Temperatur 57

5.5. Hasil Pengujian Cacat Las 63

5.6. Hasil Pengujian Impak 67

5.7. Hasil Pengujian Tarik Spesimen QTS 72

5.8. Hasil Pengujian Laju Perambatan Retak Fatik Spesimen QTS 74

5.8.1. Pengaruh penambahan fluks magnet eksternal terhadap

jumlah siklus pembebanan fatik 75

5.8.2. Hubungan panjang retak terhadap jumlah siklus pembebanan

Akibat penambahan fluks magnet eksternal 77

5.8.3. Hubungan laju perambatan retak fatik (da/dN) terhadap

Factor intensitas tegangan (ΔK) 78

5.8.4. Analisa struktur makro permukaan patahan hasil pengujian retak 80

5.8.5. Analisa struktur mikro permukaan patahan menggunakan

Scanning Electron Microscope (SEM) 81

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 83

6.1. Kesimpulan 83

6.2. Saran 83

DAFTAR PUSTAKA 85

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 4.1. Unsur yang terkandung dalam Hot Roll Steel Plate (HRSP) 42

Tabel 4.2 Besar fluks magnet (mT) tiap perubahan kuat arus untuk benda

kerja tebal 10 mm 45

Tabel 4.3 Besar fluks magnet (mT) tiap perubahan kuat arus untuk benda

kerja tebal 5 mm 46

Tabel 4.4. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal

terhadap beberapa variabel terikat pada spesimen tebal 10 mm 46

Tabel 4.5. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal

terhadap beberapa variabel terikat pada spesimen tebal 5 mm 47

Tabel 5.1. Data hasil pengujian kekerasan HRSP 52

Tabel 5.2. Energi impak dari hasil pengujian HRSP 53

Tabel 5.3. Data hasil uji kekerasan QTS 54

Tabel 5.4 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada

solenoida terhadap benda kerja tebal 10 mm 55

Tabel 5.5 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada

solenoida terhadap benda kerja tebal 5 mm 56

Tabel 5.6 Data hasil pengujian cacat las menggunakan uji radiografi dan

Software Autodesk Inventor 2012 64

Tabel 5.7 Data hasil pengujian cacat porositas menggunakan foto SEM

(pembesaran 5000 x) dan Software Image J 65

Tabel 5.8 Data hasil pengujian impak 70

Tabel 5.9 Data hasil pengujian tarik spesimen QTS 73

Tabel 5.10 Nilai C dan n dari grafik trenline tiap spesimen dari gambar 5.26 80

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

Gambar 2.1. Siklus termal sebagai fungsi jarak dari pusat lasan 13

Gambar 2.2. Diagram CCT pada pengelasan Baja Kekuatan BJ55 15

Gambar 2.3. Mikrostruktur daerah las yang terbentuk pada laju pendinginan

sedang dan rendah untuk baja paduan rendah 17

Gambar 2.4. Mikrostruktur HAZ yang terbentuk dari pendinginan cepat

untuk baja paduan rendah 18

Gambar 2.5. Pola aliran logam las cair akibat: (a) dan (b) gaya elektromagnetik,

(c) gaya angkat permukaan (buoyancy force) dan

(d) gaya tegangan permukaan (marangoni force) 19

Gambar 2.6. Efek konveksi terhadap porositas (a) pola konveksi yang dapat

melepas gelembung gas. (b) pola konveksi yang dapat

menjebak gelembung gas 22

Gambar 2.7. Pengaruh peningkatan konveksi terhadap nilai efektif

konduktifitas termal logam las cair 22

Gambar 2.8. Pembagian daerah lasan 23

Gambar 2.9. Pembagian daerah lasan pada sambungan SS 310

dengan Inkonel 657 25

Gambar 2.10 Pengaruh porositas terhadap kekuatan tarik hasil pengelasan

Aluminium 29

Gambar 2.11 Perubahan kadar hidrogen sebelum dan sesudah pembentukan

inti dari pori 30

Gambar 2.12. Arah garis medan magnet dalam solenoida 32

Gambar 2.13. Mode bukaan retak 33

Gambar 2.14. Kurva laju pertumbuhan retak 34

Gambar 2.15. Siklus embebanan pengujian laju perambatan retak fatik 35

Gambar 3.1. Alur kerangka konseptual 39

Gambar 4.1. Bentuk dan dimensi benda kerja pengelasan 43

Gambar 4.2 Dimensi spesimen uji impak 44

Gambar 4.3. Dimensi spesimen uji tarik (satuan: mm) 44

Gambar 4.4. Dimensi spesimen uji perambatan retak fatik (satuan: mm) 44

Gambar 4.5. Gambar posisi pengambilan data temperature benda kerja

Las (satuan: mm) 48

Gambar 4.6. Pembagian area spesimen uji mikrostruktur dan uji impak

(satuan: mm) 49

Gambar 4.7. Pembagian area spesimen uji tarik dan uji perambatan retak

(satuan: mm) 49

Gambar 4.8. Rancangan instalasi penelitian 50

Gambar 4.9. Diagram alir penelitian 51

Gambar 5.1. Foto mikrostruktur HRSP 52

Gambar 5.2. Bentuk patahan spesimen uji impak material HRSP 53

Gambar 5.3. Mikrostruktur QTS 54

Gambar 5.4. Instalasi pengujian besar fluks magnet eksternal. 55

Gambar 5.5. Arah medan magnet (B) dan gaya Lorenz (FL) akibat arus listrik 56

Gambar 5.6. Arah medan magnet (B), Gaya Lorenz (FL) dan arus konveksi logam

cair pada kolam las akibat arus DC yang dialirkan ke solenoida 57

Gambar 5.7. Grafik siklus termal pada jarak 10 mm dari pusat las 58

Gambar 5.8. Grafik laju pendinginan pada Jarak 10 mm dari pusat las 59

Gambar 5.9. Mikrostruktur HAZ dengan dengan perbesaran 400x (a) 0 mT;

(b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT 60

Gambar 5.10. Mikrostruktur logam las QTS dengan perbesaran 400x (a) 0 mT;

(b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT 62

Gambar 5.11. Foto daerah las dan HAZ dari film negatif hasil uji radiografi 63

Gambar 5.12. Luasan cacat las (2 dimensi) dengan Software Autodesk

Inventor 2012. 63

Gambar 5.13. Grafik perubahan prosentase cacat las akibat penambahan

fluks magnet eksternal 64

Gambar 5.14. Cacat porositas pada penampang melintang logam las akibat

penambahan fluks magnet eksternal dengan pembesaran 5000 x 65

Gambar 5.15. Grafik perubahan prosentase cacat porositas akibat penambahan

fluks magnet eksternal 66

Gambar 5.16. Pola konveksi logam las pada weld pool dengan pembesaran 20 x

(a) Tanpa fluks magnet eksternal (0 mT),

(b) dengan fluks magnet eksternal 9,03 mT. 67

Gambar 5.17. Grafik kekuatan impak daerah las QTS 70

Gambar 5.18. Permukaan patahan spesimen uji impak (a) 0 mT; (b) 2,4 mT;

(c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT 71

Gambar 5.19. Permukaan patahan hasil SEM a) 0 mT, b) 9,03 mT 72

Gambar 5.20. Grafik hasil pengujian tarik masing-masing spesimen 73

Gambar 5.21. Hasil pengamatan perambatan retak fatik menggunakan digital

microscope untuk spesimen dengan penambahan fluks magnet

2,3 mT (perbesaran 200x). 75

Gambar 5.22. Perubahan jumlah siklus pembebanan (N) pada Δa1 = 0,2 mm 76

Gambar 5.23. Jumlah siklus pembebanan fatik (N) sampai spesimen uji patah

akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT) 77

Gambar 5.24. Grafik perubahan siklus pembebanan fatik (N) terhadap panjang

retak (mm) akibat penambahan fluks magnet eksternal(mT). 78

Gambar 5.25. Grafik da/dN vs ΔK akibat penambahan fluks magnet

eksternal (mT) 79

Gambar 5.26. Trenline dari grafik hubungan da/dN vs ΔK 79

Gambar 5.27. Permukaan patahan spesimen tanpa penambahan

fluks magnet (0 mT) 80

Gambar 5.28. Permukaan patahan spesimen dengan penambahan

fluks magnet 2,3 mT 81

Gambar 5.29 . Permukaan patahan spesimen dengan penambahan

fluks magnet 3,1 mT 81

Gambar 5.30. Foto SEM patahan spesimen 0 mT dengan perbesaran 2700x 81

Gambar 5.31. Foto SEM patahan spesimen 2,3 mT dengan perbesaran 2300x 82

Gambar 5.32. Patahan spesimen 3,1 mT dengan perbesaran 2100x 82

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1 Foto Mikrostruktur HRSP dan QTS

Lampiran 2 Data Temperatur Pada Jarak 10 mm Dari Pusat Las

Lampiran 3 Data Temperature Pendinginan dari 400 oC ke 200

oC

Lampiran 4 Foto Benda Kerja Hasil Pengelasan QTS

Lampiran 5 Pengolahan Data Cacat Las Dari Negatip Film

Menggunakan Software Autodesk Inventor 2012

Lampiran 6 Pengolahan Data Cacat Porositas Mikro

Menggunakan Software Image J

Lampiran 7 Foto Spesimen Uji Tarik

Lampiran 8 Foto Spesimen Uji Perambatan Retak Fatik

Lampiran 9 Data Hasil Pengujian Perambatan Retak Fatik

Spesimen QTS

Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian

DAFTAR PUBLIKASI

No. Judul, Nama Jurnal, Tahun Terbit, Publisher dan Negara Penerbit

1. The Use Of Magnetic Flux To The Welding Of Hot Roll Quench Tempered Steel,

Journal of engineering and Applied Sciences, January 2016, Vol. 11, No. 2, pp.

1061-1064, , ISSN 1819-6608, Asian Research Publishing Network (ARPN),

Pakistan.

2. The Effect of External Magnetic Flux Field in The QTS Weldment to The Change

of Fatigue Crack Propagation Behaviors, Eastern-European Journal Of Enterprise

Technologies, Materials Science, April 2018, Vol. 2/12 (92), pp.4-11., ISSN 1729-

3774, PC. TECHNOLOGY CENTER, Ukraina

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kemandirian bahan baku merupakan salah satu syarat penting dalam membangun

kemandirian bangsa di bidang teknologi. Indonesia terus berupaya mengembangkan produk

manufaktur berbasis bahan baku lokal namun tetap mampu bersaing di pasar internasional.

Produk manufaktur Indonesia utamanya produk kesenjataan banyak mengandalkan bahan

baku lokal. Dan produk kesenjataan tersebut telah mampu memenuhi sebagian kebutuhan

dalam negeri bahkan diekspor ke negara lain.

Saat ini bangsa Indonesia sedang berupaya memodernisasi alutsista untuk mendukung

kemampuan personil TNI dan POLRI dalam menjaga keamanan dan keutuhan NKRI. PT

PINDAT terus mengembangkan kesenjataan yang handal bagi TNI dan POLRI untuk

mengurangi ketergantungan terhadap produk kesenjataan dari impor. Kendaraan tempur

umumnya didesain menggunakan material yang tahan peluru dengan berbagai keunggulan

lainnya seperti memiliki kekerasan yang tinggi (lebih dari 500 BHN), kuat, tahan benturan

dan tahan korosi. Material untuk kendaraan tempur seperti tank dan panser umumnya

menggunakan material lapis baja yang dikenal dengan baja armour. Untuk mendukung upaya

kemandirian dalam pengembangan alutsista khususnya kendaraan taktis militer, perlu

dikembangkan material sekelas armour. Hal ini juga dimaksudkan untuk meminimalkan

impor bahan baku industri kendaraan perang (ranpur) sekaligus untuk mengurangi

ketergantungan terhadap negara lain.

PT. Krakatau Steel telah lama memproduksi plat baja melalui proses rol panas yang

dikenal dengan produk Hot Roll Steel Plate (HRSP). Plat baja rol panas yang diproduksi PT.

Krakatau Steel adalah baja konstruksi umum dengan kadar karbon 0,29 %C dan beberapa

kandungan unsur lain. HRSP selama ini digunakan untuk mendukung aktifitas konstruksi dan

industri manufaktur di Indonesia. HRSP tergolong baja lunak dan tembus peluru sehingga

tidak dapat digunakan secara langsung untuk body kendaraan perang. Agar memenuhi

persyaratan sebagai material kendaraan tempur (ranpur), maka perlu dilakukan rekayasa

proses terhadap HRSP agar bahan tersebut memiliki kekerasan sekitar 500 BHN, tangguh dan

tahan peluru.

Untuk memenuhi syarat kekerasan 500 BHN tersebut HRSP diberi proses pengerasan

(hardening). Dan untuk menjaga ketangguhannya, diberikan proses perlakuan panas

tempering. Sehingga produk plat ini mengalami proses rol panas, quenching dan diakhiri

2

dengan proses tempering. Plat baja rol panas (HRSP) yang diberi perlakuan panas tersebut,

dalam penelitian ini diberi istilah Hot roll quench tempered steel (QTS). HRSP diberi

perlakuan panas hardening dengan memanaskan sampai 900ºC ditahan 10 menit dan

dicelupkan ke air sampai suhu ruang. Selanjutnya benda kerja diberi perlakuan panas

tempering dengan memanaskan kembali sampai suhu 300 ºC ditahan 10 menit dan

didinginkan di udara dan didapatkan kekerasan rata-rata 544,6 VHN. Dengan memberikan

perlakuan quenching yang dilanjutkan dengan proses tempering tersebut, struktur QTS

didominasi oleh struktur martensit temper yang memiliki sifat keras. Menurut beberapa teori

dan hasil penelitian, baja dengan struktur martensit memiliki sifat mampu las (weldability)

yang rendah dan rentan mengalami retak yang merambat pasca pengelasan.

Menurut Béres, et.al. (2001), pengelasan baja dengan struktur martensit sangat rentan

terjadi retak dingin sehingga disarankan untuk dilakukan pemanasan mula (preheating) dan

pemanasan pasca pengelasan (PWHT) terhadap baja martensitic. Preheating dilakukan

dengan memanaskan pada temperatur di bawah Martensite start (Ms) sebelum dilakukan

pengelasan. Demikian pula dari hasil penelitian Vuherer, et.al., (2013), bahwa siklus thermal

pengelasan berpengaruh negatip terhadap sifat mekanik HAZ martensitic stainless steel (P91)

dengan kadar Cr 8,81 %, karena menjadi penyebab terjadinya retak dingin pada HAZ.

Sehingga disarankan untuk memberikan preheating sebelum pengelasan terhadap material.

Karena mikrostruktur QTS didominasi oleh martensite maka pengelasan terhadap

QTS rentan terhadap cacat las dan retak yang merambat pasca pengelasan. QTS dibuat dari

proses perlakuan panas quench temper terhadap HRSP. Proses rol panas selama proses

produksi HRSP menyebabkan struktur baja tereduksi dengan bentuk butiran logam yang

rapat dan pipih. Dengan proses quenching struktur butiran yang terbentuk menjadi kecil dan

rapat yang didominasi oleh struktur martensit. Dengan memberikan proses tempering struktur

akhirnya tetap didominasi oleh struktur martensit temper. Kondisi struktur butiran yang rapat

dan didominasi oleh struktur martensit temper inilah yang menyebabkan hasil lasan QTS

rentan mengalami retak yang merambat pasca pengelasan.

Menurut Chatterjee et.al. (2014), retak pada logam adalah cacat pada struktur

material akibat proses manufaktur atau yang terbentuk saat solidifikasi. Iyer A.H.S., et.al,

2017 menyatakan bahwa logam las merupakan bagian yang lemah dalam konstruksi las yang

disebabkan oleh cacat manufaktur yang mempengaruhi umur fatik dan perilaku perambatan

retak dari komponen yang dilas. Menurut Kou, (1987), retak las secara umum dibagi menjadi

dua kategori, yaitu retak panas yang terjadi selama proses solidifikasi dan retak dingin yang

terjadi selama perubahan struktur. Retak panas hanya terjadi pada daerah las, sedangkan retak

3

dingin dapat terjadi pada daerah las dan HAZ. Menurut Zhang Y. et.al. 2017, mekanisme

pembentukan retak panas terkait dengan factor metalurgi, tegangan dan laju regangan. Retak

las bermula dari adanya hydrogen difusi dan gas-gas terlarut, endapan unsur pengotor

(impurities) dan adanya perbedaan antara pemuaian dan penyusutan pada logam las dan

logam induk selama proses pencairan dan pembekuan logam. Laju pendinginan yang tinggi

pasca pengelasan juga dapat memicu terbentuknya retak mikro yang menjadi awal dari retak

yang merambar. Cacat las berupa retak mikro akan menjadi pemicu perambatan retak saat

struktur las mengalami pembebanan (Messler, 1999).

Upaya untuk meminimalkan retak las dan meningkatkan ketangguhan las terhadap

perambatan retak telah banyak dilakukan. Abdulhamid, et. al. (2002), melakukan penelitian

dalam upaya meminimalkan terjadinya retak panas dengan memberikan preheating 100°C,

200°C dan 300°C. Kemudian Seo, et. al. (2008), melakukan upaya meminimalkan timbulnya

retak dingin dengan menggunakan inti fluks yang mengandung 1,5% Ni. Tahun 2008, Zhang,

et. al., melakukan upaya meminimalkan retak solidifikasi atau retak selama pembekuan pada

lasan Aluminium 6061-T6 menggunakan metode Pulse shaping laser beam welding dengan

memvariasikan ramp down pulse gradient 137 kW/s, 52 kW/s, 32 kW/s. Beberapa penelitian

tersebut mendapatkan hasil positif namun baru diterapkan pada pengelasan logam dasar yang

belum mengalami perubahan mikrostruktur sebagaimana yang terjadi pada QTS. Oleh

karenanya untuk pengelasan QTS yang rentan terjadi retak mikro saat solidifikasi lasan

maupun retak lanjut (delay cracking) saat pembebanan terhadap konstruksi las masih perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut.

Dalam pengelasan logam yang menggunakan sumber energi listrik akan bekerja gaya

elektromagnetik (Lorenz forces) yang berpengaruh terhadap laju konveksi logam cair pada

kolam las. Konveksi logam cair pada kolam las juga dipengaruhi oleh gaya angkat

permukaan (buoyancy force) dan gaya akibat tegangan permukaan (marangoni force). Dari

ketiga gaya yang bekerja, gaya elektromagnetik memberi pengaruh paling dominan terhadap

sirkulasi logam cair pada kolam las (Herrera, 2003).

Konveksi logam cair dalam kolam las adalah perilaku sirkulasi atau gerakan logam

cair akibat gaya yang bekerja pada kolam las. Konveksi pada kolam las dapat ditingkatkan

dengan cara memperbesar gaya-gaya yang bekerja pada kolam las utamanya gaya

elektromaknetik (FL). Arus konveksi akibat gaya elektromagnetik dipengaruhi oleh rapat arus

(J) dan vektor fluks magnet (B) yang dirumuskan FL = J x B. Gaya elektromagnetik di tengah

kolam las akan mendorong logam las cair yang panas ke bawah sampai ke dasar kolam,

sehingga perpindahan panas yang terjadi mengakibatkan sebagian dasar kolam las mencair

4

dan penetrasi logam cair di kolam las semakin dalam. Laju sirkulasi berperan dalam proses

pencampuran (mixing) logam cair dalam kolam las. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat

homogenitas komposisi struktur dalam kolam las, menurunkan laju pendinginan pasca

pengelasan dan meningkatkan ketangguhan las (Kou, 1987).

Meningkatnya gaya elektromagnetik juga akan menaikkan nilai efektif konduktifitas

termal dari logam las cair (kL) sehingga proses transfer panas pada kolam las menjadi lebih

efektif. Akibatnya temperatur puncak logam las dan HAZ menjadi lebih rendah (Kostov, et.

al. 2005). Jika temperatur kolam las turun maka laju pendinginan pasca pengelasan juga akan

turun dan ketangguhan las meningkat.

Beberapa penelitian terkait pengaruh medan magnet terhadap kualitas hasil

pengelasan antara lain dilakukan oleh Kern, et. al. tahun 2000, yang menyatakan bahwa

menambahkan mekanisme magneto-fluid dynamics pada laser beam welding dapat merubah

kondisi aliran logam cair dan meningkatkan laju sirkulasi logam cair pada kolam las. Kolam

las yang dihasilkan oleh mekanisme magneto-fluid dynamics lebih dalam. Pada tahun 2001,

Curiel, et. al. dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan intensitas magnetik

yang rendah selama pengelasan GMA pada baja stainless steel tipe 304 dapat meningkatkan

ketahanan korosi HAZ, meningkatkan redistribusi Cr ke dalam austenite selama siklus

termal, menurunkan endapan dan pertumbuhan carbida crom, redistribusi Cr terjadi secara

terus menerus dan akan terbentuk film yang meningkatkan ketahanan korosi HAZ.

Selanjutnya dari hasil penelitian Qi Shen et. al., (2011) menyatakan bahwa menambahkan

medan magnet dari luar selama proses pengelasan resistance spot welding (EMS-RSW)

menghasilkan struktur butiran didaerah fusi yang lebih seragam, ketahanan tarik dan elongasi

yang lebih tinggi dan umur kelelahan yang lebih lama di bawah beban geser dinamis,

terutama dalam kondisi siklus tinggi dibandingkan RSW tanpa EMS. Jadi EMS-RSW mampu

meningkatkan kinerja pengelasan baja fase ganda DP780 dengan meningkatkan kekuatan las

dan plastisitasnya.

Senapati A. tahun 2014 menambahkan magnet dari satu arah benda kerja secara

transversal dan dari belakang arah pengelasan secara longitudinal selama proses pengelasan.

Magnet eksternal dibangkitkan dari solenoida. Pengaruh penambahan medan magnet

eksternal dari satu arah tersebut adalah, bahwa medan magnet eksternal yang ditambahkan

secara longitudinal selama pengelasan mempengaruhi gerakan elektron dan ion dalam busur

las, yang menyebabkan busur las dibelokkan dari arah busur normal. Busur pengelasan bisa

dibelokkan ke depan, ke belakang, atau samping tergantung arah perpindahan elektroda dan

arah pengelasan akibat pengaruh arah medan magnet eksternal. Akibatnya terjadi defleksi

5

pada busur pengelasan yang dapat mengubah sifat manik las. Dampaknya cacat las berkurang

dan ketangguhan las meningkat. Sedangkan medan magnet eksternal diarahkan melintang

menyebabkan kekerasan, kekuatan tarik dan ketangguhan logam las menurun.

Beberapa penelitian terkait penambahan magnet eksternal baru dilakukan pada

materal logam atau baja yang belum diberi perlakuan panas sebelum dilakukan pengelasan

atau belum mengalami perubahan mikrostruktur logam. QTS merupakan baja konstruksi

yang telah mengalami perubahan mikrostruktur dari Ferrite + Pearlite menjadi Martensite.

Memperbesar gaya elektromagnetik pada penelitian sebelumnya, umumnya dilakukan dengan

menaikan arus pengelasan. Padahal memperbesar arus las akan meningkatkan masukan panas

las, yang tentu bukan solusi yang tepat karena akan menghasilkan tegangan termal yang bisa

berdampak pada distorsi dan retak las.

Dalam penelitian ini fluks magnet eksternal ditambahkan secara transversal dari dua

arah menggunakan solenoida yang dialiri arus listrik DC dengan besar arus pembangkit fluks

magnet divariasikan. Penelitian ini menggunakan baja konstruksi yang telah mengalami

perubahan mikrostruktur dari proses perlakuan panas quench temper yaitu material QTS.

Tujuannya adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan fluks magnet eksternal secara

transversal dari dua arah terhadap karakteristik fisik berupa perubahan temperatur puncak

HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, perubahan mikrostruktur HAZ dan

daerah las, dan karakteristik mekanik berupa perubahan kekuatan impak dan laju perambatan

retak fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dapat dirumuskan beberapa

hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah pengaruh penambahan

fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah terhadap karakteristik fisik berupa

temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, mikrostruktur HAZ

dan daerah las serta karakteristik mekanik berupa kekuatan impak dan laju perambatan retak

fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan fluks magnet

eksternal secara transversal dari dua arah terhadap karakteristik fisik berupa perubahan

temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, perubahan

mikrostruktur HAZ dan daerah las dan karakteristik mekanakik berupa kekuatan impak dan

laju perambatan retak fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).

6

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Dihasilkannya data dan grafik yang menggambarkan perubahan sifat fisik hasil lasan

QTS berupa temperatur puncak HAZ, perubahan siklus termal HAZ, laju pendinginan

pasca pengelasan, perubahan mikrostruktur HAZ dan daerah las dan cacat las akibat

penambahan fluks magnet eksternal.

2. Dihasilkannya data dan grafik yang menggambarkan perubahan sifat mekanik hasil lasan

QTS berupa perubahan kekuatan impak daerah las dan laju perambatan retak fatik daerah

las akibat penambahan fluks magnet eksternal.

3. Menjadi salah satu prasarat kelulusan pada Program Doktor Teknik Mesin di Fakultas

Teknik Universitas Brawijaya.

4. Dapat menjadi alternatif dalam rekayasa proses pengelasan plat baja rol panas (HRSP)

yang telah diberi perlakuan panas quench temper sehingga mampu memenuhi prasarat

sebagai material untuk kendaraan tempur.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Beberapa Penelitian Terdahulu

Baja dengan mikrostruktur martensit memiliki sifat mampu las yang rendah.

Pengelasan baja dengan struktur martensite sangat rentan terjadinya retak dingin sehingga

disarankan untuk dilakukan pemanasan mula (preheating) dan pemanasan pasca pengelasan

(PWHT) terhadap baja tersebut. Beres, et. al., (2001), menyarankan untuk memberikan

preheating dengan temperature di bawah Martensite start (Ms) sebelum dilakukan

pengelasan. Hal ini dikuatkan oleh Vuherer, et. al., (2013) yang menyatakan bahwa siklus

thermal pengelasan berpengaruh negative terhadap sifat mekanik HAZ martensitic stainless

steel (P91) dengan kadar Cr 8,81 %, karena menjadi penyebab terjadinya retak dingin pada

HAZ. Sehingga disarankan untuk memberikan preheating sebelum pengelasan terhadap

material tersebut. Menurut Chatterjee, et. al., (2014), retak pada logam adalah cacat pada

struktur material akibat proses manufaktur ataupun yang terbentuk saat pembentukan

mikrostruktur logam.

Penelitian sebagai upaya untuk meminimalkan retak las dan meningkatkan

ketangguhan las terhadap retak yang merambat telah dilakukan oleh Abdulhamid, et. al.,

tahun 2002. Tujuan penelitiannya untuk meminimalkan terjadinya retak panas dengan

memberikan preheating 100°C, 200°C dan 300°C. Hasilnya adalah temperature preheating

berpengaruh terhadap hot cracking pada logam las dan HAZ. Semakin tinggi temperature

preheating dari temperature ruang, 100°C, sampai 200°C menyebabkan jemlah retak panas

semakin turun dan meningkat lagi dengan menaikkan temperatur preheating ke 300°C.

Penelitian lain untuk meminimalkan retak las dilakukan oleh Seo, et. al., tahun 2008.

Dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa, proporsi batas butir ferrit berpengaruh

terhadap timbulnya retak dingin pada logam las. Mikrostruktur grand boundary ferrite (GF)

dan struktur ferrite with second phase (FS) rentan terhadap hydrogen difusi pada batas

butirnya. Sedangkan difusi hydrogen ke batas butir acicular ferrite (AF) sulit terjadi karena

struktur butir AF lebih rapat. Hidrogen difusi yang menyebabkan retak dingin yang dikenal

dengan hydrogen induced cold cracking (HICC) terjadi pada batas butir GF. Dengan

berkurangnya proporsi GF pada logam las menyebabkan hydrogen difusi juga menurun dan

retak dingin juga berkurang. Untuk menurunkan proporsi GF dan FS digunakan inti fluks

yang mengandung 1,5 % Ni. Dampak lainnya penggunaan fluk dengan inti mengandung 1,5

8

% Ni adalah kekerasa logam las, kekuatan tarik dan ketangguhan ipak charpy pada

temperatur ruang meningkat.

Selanjutnya Zhang, et. al., tahun 2008 melakukan upaya meminimalkan retak

solidifikasi atau retak selama pembekuan pada lasan Aluminium 6061-T6 menggunakan

Laser beam welding menggunakan metode Pulse shaping dengan memvariasikan ramp down

pulse gradient 137 kW/s, 52 kW/s, 32 kW/s. Hasilnya adalah pulse shaping berpengaruh

terhadap retak solidifikasi. Retak solidifikasi Al 6061 –T6 menurun dengan menurunya

ramp-down gradient.

Sedangkan penelitian yang terkait dengan pengaruh gaya elektromagnetik terhadap

karakteristik sambungan las antara lain dilakukan oleh Oreper tahun 1983. Dalam penelitian

tersebut dinyatakan bahwa konveksi dan distribusi temperatur pada kolam las dipengaruhi

oleh gaya angkat permukaan, gaya marangoni dan gaya elektromagnetik. Gaya-gaya tersebut

dapat mempengaruhi bentuk kolam las. Perilaku laju aliran logam cair selama pengelasan

didominasi oleh gaya elektromagnetik dan gaya marangoni. Dalam beberapa kasus gaya

konveksi ini menghasilkan loop sirkulasi ganda yang dapat mempengaruhi homogenitas

struktur, menyebabkan segregasi dan sekaligus efektif dalam menguapkan gas dari kolam las.

Selanjutnya Kou (1987) dalam tulisannya menyatakan bahwa peningkatan konveksi

pada kolam las dengan menambahkan medan magnet dari luar akan meningkatkan nilai

efektif konduktivitas termal logam cair (kL), sehingga perpindahan panas pada kolam las

menjadi lebih efektif, dan akibatnya temperatur kolam las menjadi lebih rendah.

Penelitian Tse, et. al., tahun 1999 berjudul Effect of magneticfield on plasma control

during CO2 laser welding. Dalam penelitian tersebut dicari pengaruh kuat medan magnet

terhadap, daya laser, kecepatan las, arah medan dan gas pelindung (helium dan argon)

terhadap kedalaman penetrasi pada kolam. Hasilnya adalah kuat medan magnet berpengaruh

terhadap efek gas pelindung, kuat medan magnet menyebabkan kedalaman penetrasi kolam

las meningkat 7 % sedangkan lebar kolam las perubahannya tidak signifikan.

Kern tahun 2000, melakukan penelitian dengan judul “Magneto-Fluid Dynamics

Control of Seam Quality in CO2 Laser Beam Welding”. Penelitian dilakukan dengan

menggunakan las sinar laser dan selama proses pengelasan dibangkitkan medan magnet

eksternal dengan 3 arah orientasi yang berbeda dan diteliti pengaruhnya terhadap kolam las.

Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan penambahan mekanisme magneto-fluid

dynamics pada laser beam welding didapatkan pengaruh yang sangat berarti dan efektif,

karena dapat merubah kondisi aliran logam cair dan meningkatkan laju sirkulasi logam cair

pada kolam las.

9

Hughes tahun 2000, melakukan pemodelan 2 dimensi terhadap efek gaya marangoni

(gaya akibat tegangan permukaan) dan gaya elektromagnetik (Lorentz forces) pada kolam las.

Dari hasil pemodelannya diketahui bahwa arus konveksi akibat gaya elektromaknetik

cenderung menghasilkan penetrasi kolam las yang lebih curam dibandingkan pengaruh arus

konveksi akibat gaya marangoni. Arus konveksi akibat gaya marangoni negatif menyebabkan

arah arus konveksi majauhi pusat las sehingga menghasilkan penetrasi yang dangkal dan

melebar. Dengan memberikan unsur merubah arah arus konveksi menjadi positif, dimana

arah arus menuju pusat las dapat menyebabkan penetrasi kolam las menjadi agak curam dan

dalam. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Herrera tahun 2003, yang membuat pemodelan

dua dimensi tentang bentuk aliran logam cair dan perpindahan panas yang terjadi pada kolam

las selama pengelasan. Dalam pemodelannya digunakan las laser dan las busur. Hasilnya

adalah gaya buoyancy (gaya angkat permukaan akibat gravitasi yang disebabkan perbedaan

temperature logam cair) memberikan efek yang tidak signifikan terhadap arus konveksi dan

bentuk geometri kolam las. Gaya marangoni negativ menyebabkan arah arus konveksi

keluar/menjauhi pusat las yang mengakibatkan bentuk kolam las lebar dan dangkal. Dengan

memberikan elemen pengaktif pada permukaan seperti oksigen dan sulfur menyebabkan

tegangan permukaan menjadi positif. Akibatnya arus konveksi akan mengarah ke pusat las

yang menghasilkan bentuk kolam las yang curam dan dalam. Arus konveksi akibat gaya

elektromagnetik menyebabkan bentuk kolam las curam dan dalam. Dan dari ketiga gaya yang

bekerja, ternyata gaya elektromagnetik memberi pengaruh paling dominan terhadap sirkulasi

kolam las.

Penelitian eksperimental berkaitan dengan pembangkitan medan magnet selama

pengelasan pernah dilakukan oleh Sugiarto dan Denny tahun 2005. Penelitian yang dilakukan

bertema “pengaruh penambahan arus pembangkit medan magnet terhadap laju korosi hasil

lasan baja SS400 menggunakan las SMAW”. Dalam penelitian tersebut ditambahkan arus DC

pembangkit medan magnet sebesar 3, 5, 10 dan 15 Ampere dengan jumlah lilitan kawat

solenoida 124 lilitan. Sedangkan untuk proses korosi digunakan larutan HCL 20 % dengan

arus DC pengaktif media korosi 0,6 Ampere selama 40 menit. Hasilnya adalah laju korosi

SS400 menurun dengan menambahkan medan magnet dibandingkan tanpa penambahan

medan magnet. Laju korosi terendah terjadi pada penambahan arus pembangkit 10 Ampere

dan korosi lebih banyak menyerang daerah batas las dengan HAZ (daerah unmixed).

Sugiarto dan Denny W. (2007) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh

penambahan magnet eksternal terhadap perubahan siklus thermal dan struktur butiran HAZ”.

Dalam penelitian tersebut, baja JIS G 3131 SPHC dilas SMAW dengan menambahkan fluks

10

magnet sebesar 0,864 mT; 1,529 mT; 1,871 mT; 2,093 mT. Hasilnya adalah dengan

menambahkan fluks magnet dari luar selama proses berpengaruh terhadap siklus termal,

temperatur puncak las dan struktur butiran las. Semakin besar fluks magnet yang

ditambahkan dari luar selama pengelasan menyebabkan temperatur puncak dan laju

pendinginan semakin menurun. Temperatur puncak dan laju pendinginan yang semakin turun

menyebabkan struktur butiran las semakin besar.

Pada tahun 2009 juga, Young, et. al., melakukan penelitian berjudul Electromagnetic

Phenomena in Resistance Spot Welding and Its Effects on Weld Nugged Formation. Bahwa

selama proses Resistance Spot Welding (RWS) arus dan fluks magnet yang mengalir ke benda

kerja sangat besar dan akan menghasilkan gaya elektromagnetik yang besar. Penelitian

menggunakan model multi fisik finit elemen, model elektrik dua dimensi, model magnetic

tiga dimensi dan model dinamika fluida dua dimensi. Hasilnya adalah gaya elektromagnetik

pada nugget menghasilkan aliran simetrik dan perubahan besar terhadap perpindahan panas

pada nugget.

Curiel, et. al. tahun 2011 melakukan penelitian berjudul Effect of magneticfield

applied during gas metal arc welding on the resistance to localised corrosion of the heat

affected zone in AISI 304 stainless steel. Hasil penelitiannya adalah penggunan intensitas

magnetik yang rendah selama pengelasan GMA pada baja stainless steel tipe 304 dapat

meningkatkan ketahanan korosi HAZ, medan magnet dapat meningkatkan distribusi Cr ke

dalam austenite selama siklus termal, endapan dan pertumbuhan carbide crom menurun

akibat penggunaan intensitas medan magnet, distribusi kembali Cr terjadi secara terus

menerus dan terbentuk film yang meningkatkan ketahanan korosi HAZ.

Selanjutnya penelitian tentang penggunaan magnet eksternal dilakukan oleh Qi Shen,

et. al, tahun 2011 yang berjudul impact of external magnetic field on weld quality of

resistance spot welding. Dalam penelitian tersebud dikatakan bahwa medan magnet

berpengaruh nyata terhadap orientasi Kristal, pembentukan butir dan struktur padatan yang

diakibatkan oleh gaya Lorenz. Material yang digunakan adalah baja dual phase DP780

dengan dan tanpa medan magnet eksternal. Hasilnya adalah medan magnet eksternal

membuat nugget yang terbentuk lebih lebar dan tipis, mikrostruktur HAZ lebih halus,

mikrostruktur daerah las lebih homogeny, kekuatan geser dan plastisitasnya meningkat,

kerusakan antar muka menurun dan umur fatik lebih lama.

11

2.2. Aliran Panas Pengelasan

Aliran panas pada pengelasan akan menentukan kualitas hasil lasan, karena aliran

panas dapat mempengaruhi pembentukan mikrostruktur, reaksi oksidasi/reduksi, tegangan

sisa dan distorsi. Perpindahan panas las sebagian besar terjadi secara konduksi dan sebagian

kecil terjadi secara konveksi dan radiasi sehingga kedua bentuk perpindahan panas ini dapat

diabaikan (Kou, 1987: 47). Persamaan umum untuk aliran fluida inkompresibel dan

perpindahan panas pada kolam las adalah (Hughes, 2000: 3).

Persamaan dalam hukum kekekalan massa :

u 0 (2-1)

Persamaan dalam konservasi momentum :

ρ(∂u/∂t) + ρ.( uu) = -p+ .μu + Su (2-2)

Persamaan dalam konservasi perpindahan panas :

ρ.Cp(∂T/∂t) + ρ.Cp..( uT) = .(k. + ST (2-3)

dengan : ρ = densitas logam cair ( kg. m-3

)

t = komponen waktu (detik)

= ( ∂2/∂x +∂

2/∂y +∂

2/∂z ) untuk perpindahan panas tiga dimensi

u = komponen kecepatan arah x, y dan z (m. det-1

)

μ = viskositas logam cair (kg. m-1

. s-1

)

k = konduktifitas termal logam cair (J/m.s.Cº)

Su = gaya bodi (kg·m·s−2

)

ST = energi panas yang ditimbulkan (Joule)

Dalam persamaan 2-2 tersebut, Su adalah body force yang merupakan penjumlahan dari gaya

elektromagnetik (Lorenz foce) dan gaya angkat permukaan (buoyancy force) yang besarnya :

Su = - )()( JxBToTgouK

(2-4)

dengan : K = didapat dari persamaan Kozeny-Carman

ρo = densitas mula-mula ( kg. m-3

)

α = koefisien ekspansi termal (10-4

C-1

)

g = percepatan gravitasi (m. s-2

)

J = densitas arus (Ampere/ m2)

B = densitas fluk magnet (Tesla)

Sumber energi karena perubahan fase dan energy panas mengikuti persamaan 2-3 sebagai

berikut :

ST = -

2

11 )(

)(

JLuf

t

Lf

(2-5)

dengan : f1 = fraksi logam cair

L = panas laten spesifik (kJ/kg)

σ = konduktifitas listrik (ohm-1

)

12

Dari persaman konservasi momentum tersebut diketahui bahwa, kenaikan gaya

elektromagnetik akan memperbesar nilai gaya bodi (body force) dan selanjutnya dapat

meningkatkan laju aliran fluida inkompresibel (dalam hal ini logam cair). Artinya dengan

memperbesar gaya elektromagnetik pada kolam las akan meningkatkan laju

pergerakan/sirkulasi logam cair.

2.3. Siklus Termal dan Laju Pendinginan Las

Siklus termal las adalah siklus perubahan temperatur selama proses pemanasan dan

pendinginan di daerah lasan. Dengan menginputkan panas las pada suatu logam, logam mula-

mula berada pada temperatur ruang, kemudian temperaturnya akan naik sampai mencapai

temperatur puncak dan kemudian turun kembali ke temperatur semula. Karena proses ini

maka logam disekitar pusat panas baik di daerah las maupun HAZ akan mengalami siklus

termal cepat yang menyebabkan terjadinya perubahan metalurgi yang rumit, tegangan termal

dan deformasi. Siklus termal ini berhubungan erat dengan pembentukan mikrostruktur,

ketangguhan, cacat las, retak dan sifat-sifat lainnya.

Jika diplot hubungan antara data perubahan temperatur dengan data perubahan waktu

maka akan dihasilkan grafik siklus termal. Untuk mengetahui siklus termal pengelasan pada

koordinat tertentu dari pusat termal, perlu diketahui temperatur puncak (temperatur tertinggi)

yang dimiliki koordinat tersebut. Untuk mencari temperatur puncak pada koordinat tertentu

secara matematika dua dimensi (untuk plat tipis dimana z = 0) telah diturunkan melalui

persamaan Adam berikut ini (Kou, 1987: 51) :

ToTmQ

CVyg

ToTp

113,41 (2-6)

dengan : - To = temperature awal benda kerja (ºC)

- g = ketebalan benda kerja (m)

- Q = heat input yang besarnya =(E.I / V) η

- E dan I = tegangan las (volt) dan arus las (Ampere) pada las busur.

- V = laju pengelasan ( mm. det-1

)

- ρC = panas spesifik volumetrik (J.m-3

.°C-1

)

- Tp = temperature puncak yang dicari (°C)

- y = jarak transversal dari sumber panas (m)

- Tm = Temperatur cair benda kerja (°C)

dan untuk mencari temperatur puncak pada pengelasan plat tebal dapat digunakan persamaan

Adam berdasarkan persamaan matematika tiga dimensi berikut ini (Kou, 1987: 52) :

13

ToTm

Vy

QV

k

ToTp

1

22

44,512

(2-7)

Dengan menghubungkan data perubahan temperatur dan data perubahan waktu maka

akan didapatkan siklus termal untuk tiap-tiap koordinat sebagaimana gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Siklus termal sebagai fungsi jarak dari pusat lasan

Sumber : Messler (1999,p.157)

Dari Gambar 2.1 kita dapat menyimpulkan bahwa temperatur puncak dari masing-

masing siklus termal menurun sebagai fungsi jarak dari pusat lasan. Hal tersebut sesuai

dengan jarak lokasi tersebut ke sumber panas yang berada di tengah lasan. Disamping itu

kecepatan pemanasan dan pendinginan pada suatu siklus termal bekurang dengan semakin

jauhnya jarak lokasi tersebut dari pusat lasan.

Untuk menghitung laju pendinginan pasca pengelasan dari pelat yang tebal

(memerlukan lebih dari 6 layer dalam pengelasannya), dapat digunakan persamaan berikut

(Tsai, 1995: 12):

Hnett

ToTckR

2).(..2

(2-8)

dengan : - R = kecepatan pendinginan pada pusat las (oC.s

-1)

- k = konduktifitas termal logam dasar yang dilas (J.mm-1

.s-1

.oC

-1)

- To = temperatur awal pelat (oC)

-Tc = temperatur dekat temperatur pearlite atau bagian “nose” dari

diagram TTT (oC), untuk baja, Tc = 550

oC

- Hnet = masukan panas persatuan panjang (J.mm-1

),

14

Sedangkan untuk menghitung laju pendinginan pasca pengelasan dari pelat yang tipis

(memerlukan kurang dari 4 layer ) dapat digunakan persamaan berikut (Tsai, 1995: 12):

3

2

)(....2 ToTcHnett

hCskR

(2-9)

dengan : - h = ketebalan logam dasar (mm)

- ρ.Cs = panas spesifik volumetrik, untuk baja = 0,0044 J.mm-3

.oC

-1

Persamaan laju pendinginan pasca pengelasan tersebut berlaku untuk kecepatan pendinginan

pada pusat las (center line weld).

Untuk menentukan apakah pelat yang dilas merupakan pelat tebal atau pelat tipis,

didefinisikan sebuah dimensionless quantity yang disebut dengan the relative plate of

thickness (), sebagaimana persamaan berikut (Tsai, 1995: 12) :

Hnett

ToTcCsh

)(..

(2-10)

Persamaan laju pendinginan untuk pelat tebal digunakan apabila nilai lebih besar

dari 0,75 dan persamaan laju pendinginan untuk pelat tipis digunakan apabila nilai kurang

dari 0,75.

2.4. Hubungan Laju Pendinginan Pasca Pengelasan Dengan Pembentukan

Mikrostruktur Las

Selama pross pendinginan pasca pengelasan akan terjadi proses transformasi

mikrostruktur las dan HAZ sesuai dengan laju pendinginan pasca pengelasan. Struktur mikro

las dan HAZ yang terbentuk dapat diketahui melalui diagram transformasi pendinginan

berlanjut atau dikenal dengan continous cooling transformation diagram (CCT diagram).

Diagram ini juga dapat digunakan untuk membahas pengaruh laju pendinginan pasca

pengelasan terhadap morfologi struktur mikro, retak las, keuletan dan sifat lainnya.

15

Gambar 2.2. Diagram CCT pada pengelasan Baja Kekuatan BJ55

Sumber: Wiryosumarto (1994,p.60)

Gambar 2.2. menunjukkan hubungan antara waktu pendinginan las dari temperatur

800 ºC dengan perubahan struktur mikro yang terjadi. Garis putus-putus menunjukkan

beberapa contoh siklus termal. Dengan menggabungkan grafik laju pendinginan pasca

pengelasan dengan garis transformasi pada diagram CCT tersebut, dapat diketahui tahap-

tahap perubahan mikrostruktur las dan HAZ dan terbentuknya mikrostruktur akhir dari proses

transformasi tersebut. Dengan mengetahui struktur akhir yang terbentuk, maka sifat mekanik

dari hasil lasan dapat diperkirakan.

Proses pendinginan pada las berlangsung secara kontinyu yaitu proses penurunan

suhu berlangsung secara gradual tanpa adanya penurunan suhu secara mendadak (quenching)

sehingga pada proses pengelasan lebih cocok bila menggunakan diagram CCT (continuous

cooling tranformation). Struktur mikro yang terjadi mungkin mengandung campuran dari

fasa-fasa berikut :

1. Ferrit batas butir (Grain Boundary Ferrite-GF) atau Ferit proeuectoid (proeutectoid

ferrite)

2. Ferit Widmanstatten (Widmanstatten side plates-WF)

3. Ferit poligonal (Polygonal Ferrite-PF) atau equiaxed ferrite

4. Ferit acicular (acicular ferrite-AF)

5. Bainit atas (upper bainite-UB)

6. Bainit bawah (lower bainite-LB)

7. Martensit (martensite)

16

Pengaruh kecepatan pendinginan tehadap transformasi fasa pada logam las dari baja karbon

rendah (kandungan C maksimum sekitar 0,3%) dapat diterangkan sebagai berikut :

1. Kecepatan pendinginan rendah

Pada suhu di bawah A3 mikrostruktur ferrite mulai terbentuk sepanjang batas butir

austenite dan tumbuh ke arah dalam butir austenite. Struktur ferrite ini dikenal dengan

ferrite batas butir (Grain boundary Ferrite-GF) atau juga dikenal dengan proeutectoid

ferrite dan proses terbentuknya struktur ferrite ini berlangsung secara difusi karbon.

Selain mikrostruktur Grain boundary Ferrite (GF) juga memungkinkan untuk terbentuk

mikrostruktur ferrite poligonal (Polygonal Ferrite-PF).

2. Kecepatan pendinginan sedang

Pada kecepatan pendinginan sedang, austenite mungkin berubah menjadi ferrite

widmanstatten (Witmanstatten Ferrite-WF) dan ferrite acicular (Acicular Ferrite-AF).

Ferit Widmanstatten tumbuh dari batas butir austenit menuju ke butir-butir austenit

dengan bentuk plat yang memanjang sedangkan ferit acicular tumbuh berbentuk jarum

(needle) dan biasanya tumbuh pada inklusi di dalam butir-butir austenit.

Gambar 2.3 menunjukkan mikrostruktur las yang terbentuk dari proses pendinginan

pasca pengelasan dari baja paduan rendah. Dalam gambar tersebut tampak bahwa

mikrostruktur las umumnya didominasi oleh mikrostruktur ferrite yang antara lain adalah

acicullar ferrite (AF), widmanstatten ferrite (WF), polygonal ferrite (PF) dan grain boundary

ferrite (GF) tergantung pada laju pendinginannya. Laju pendinginan sedang akan membentuk

mikrostruktur las yang didominasi oleh acicullar ferrite (AF) dan widmanstatten ferrite (WF)

yang memiliki sifat lebih keras` dari grain boundary ferrite (GF) dan polygonal ferrite (PF).

Pendinginan pasca pengelasan yang lambat akan cenderung membentuk mikrostruktur las

yang didominasi oleh grain boundary ferrite (GF) atau polygonal ferrite (PF) yang cenderung

lunak.

17

Gambar 2.3. Mikrostruktur daerah las yang terbentuk pada laju pendinginan sedang dan

rendah untuk baja paduan rendah

Sumber: Grong Øystein (1997,p.407)

3. Kecepatan pendinginan tinggi

Jika laju pendinginan pasca pengelasan berlangsung dengan kecepatan tinggi, maka atom-

atom karbon sulit melakukan difusi ke austenite. Ini akan menyebabkan terbentuknya

mikrostruktur bainit yang merupakan agregat dari ferrite dan karbida (cementite). Bainit

terbentuk dalam 2 model yaitu bainit atas (upper bainite-UB) yang terbentuk pada suhu

lebih tinggi dan bainit bawah (lower bainite-LB). Bainit atas (upper bainite-UB)

terbentuk dari ferrite yang tumbuh pada batas butir austenite dan berbentuk plat dengan

cementite (Fe3C) berada diantara plat-plat tersebut. Sedangkan bainit bawah (lower

bainite-LB) terbentuk ketika cementite (Fe3C) berada di dalam ferrite yang berbentuk

plat.

18

Gambar 5.4. Mikrostruktur HAZ yang terbentuk dari pendinginan cepat

untuk baja paduan rendah

Sumber: Grong Øystein (1997,p.407)

4. Kecepatan pendinginan sangat tinggi

Pada kecepatan pendinginan yang sangat tinggi, atom-atom karbon tidak memiliki waktu

untuk berdifusi (diffusionless) sehingga akan membentuk struktur keras dan getas yaitu

mikrostruktur martensite.

2.5. Konveksi Kolam Las

Pada sebuah kolam las (kolam las), terdapat tiga gaya yang bekerja pada logam las

cair, yaitu gaya angkat permukaan (Fb), gaya elektromagnetik (Fem), dan gaya marangoni (F).

Gaya angkat permukaan adalah gaya yang menyebabkan logam las cair di bagian tengah

kolam las yang relatif lebih panas, mengambang ke permukaan. Sementara logam las di

bagian pinggir kolam las yang temperaturnya cenderung lebih rendah tenggelam ke

permukaan. Gaya tegangan permukaan adalah gaya yang bekerja di permukaan logam las cair

akibat terjadinya reaksi tarik menarik antar molekul-molekul dari logam cair. Gaya

elektromagnetik selama pengelasan timbul akibat adanya medan elektromagnetik dari arus

listrik busur las, yang besarnya dapat digambarkan secara matematis sebagai berikut (Kou,

1987: 90):

19

BJFem (2-11)

dengan : Fem = Gaya elektromagnetik.

J = Rapat arus (Ampere/ m2).

B = Fluks magnet (Tesla).

Perilaku aliran logam cair selama pengelasan diilustrasikan oleh Herrera tahun 2003,

dengan membuat permodelan 2 dimensi sebagaimana gambar 2.5 di bawah. Dari gambar

tersebut tampak bahwa gaya elektromagnetik mengarah ke bawah menciptakan pola aliran

lelehan logam las divergen, dimana bagian pinggir lelehan logam yang relatif lebih dingin,

bergerak ke arah tengah las yang lebih tinggi temperaturnya. Pada umumnya, gaya

elektromagnetik yang bekerja pada lelehan logam las cenderung meningkatkan homogenitas

hasil las karena logam pengisi dengan cepat terdistribusikan ke seluruh logam las cair.

Semakin tinggi arus pengelasan, maka semakin besar gaya elektromagnetik yang bekerja

sehingga semakin cepat pula aliran logam las cair, sehingga homogenitas hasil las juga akan

meningkat.

(a)

(b)

(c )

(d)

Gambar 2.5. Pola aliran logam las cair akibat: (a) dan (b) gaya elektromagnetik, (c) gaya

angkat permukaan dan (d) gaya akibat tegangan permukaan

Sumber : Herrera (2003)

Berbeda dengan gaya elektromagnetik, gaya angkat permukaan (buoyancy force) dan

gaya tegangan permukaan (marangoni force) menghasilkan pola aliran yang konvergen

20

dimana logam las di tengah yang lebih panas temperaturnya, bergerak ke arah pinggir yang

relatif lebih rendah temperaturnya. Akan tetapi, seperti juga gaya elektromagnetik, gaya

angkat permukaan dan gaya tegangan permukaan pada umumnya meningkatkan homogenitas

hasil lasan terutama di bagian permukaan hasil las dimana kedua gaya ini bekerja.

Homogenitas hasil lasan cenderung meningkatkan kualitas hasil las akibat

peningkatan homogenitas mikrostruktur pada logam las yang dapat diketahui dari lebar

daerah unmixed pada daerah fusion boundary, adanya lubang-lubang halus (porositas) dan

inklusi. Pola aliran yang timbul akibat gaya elektromagnetik dapat berpengaruh pada

homogenitas struktur maupun porositas daerah las yang dapat menurunkan kualitas

sambungan las. Gaya elektromagnetik menghasilkan pola aliran di mana gelembung-

gelembung gas, seperti hidrogen pada pengelasan aluminium, terperangkap pada logam las

yang membeku. Semakin besar arus pengelasan, maka semakin banyak gelembung gas yang

terperangkap dalam logam las yang membeku, yang selanjutnya menciptakan cacat lubang

halus, inklusi maupun segregasi. Hal yang sama juga berlaku pada gaya angkat permukaan

dan gaya akibat tegangan permukaan. Pola aliran akibat gaya-gaya tersebut jika terlalu besar

cenderung meningkatkan porositas hasil lasan, bahkan lebih hebat dibandingkan oleh

porositas akibat pola aliran dari gaya elektromagnetik. (Kou,1987:102)

2.6. Pengaruh Konveksi pada Kolam Las

Konveksi bisa menimbulkan pengaruh yang merugikan dan menguntungkan.

Pengaruh yang menguntungkan adalah komposisi logam las menjadi homogen karena proses

sirkulasi selama konveksi berlangsung. Sedangkan yang merugikan adalah arus konveksi

akan menyebabkan terjadinya interaksi antara logam cair panas dengan permukaan kolam las

yaitu logam induk, sehingga gas-gas yang terlarut pada logam cair akan bereaksi dengan

logam induk dan menyebabkan lubang-lubang halus dan cacat las.

Secara garis besar konveksi pada kolam las akan berpengaruh terhadap :

a. Pengaruh konveksi terhadap penetrasi kolam las

Aliran logam las cair pada kolam las dapat mempengaruhi penetrasi yang terjadi.

Kecenderungan bentuk penetrasi sangat tergantung pada arah dan kecepatan dari logam

las cair. Konveksi yang terjadi akibat gaya bouyancy dan gaya tekan permukaan (dengan

T

negatif) cenderung akan mengakibatkan kolam las menjadi dangkal dan lebar.

Sedangkan pada arus konveksi yang terjadi akibat gaya elektromagnetik dan gaya tekan

21

permukaan (dengan T

positif) cenderung akan menghasilkan kolam las yang dalam

dan sempit (Kou, 1987: 97).

b. Pengaruh konveksi terhadap segregasi

Pengaruh konveksi terhadap makrosegregasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pada pengelasan kontinyu yang menggunakan logam penambah (filler metal),

terjadinya makrosegregasi sangat dimungkinkan apabila percampuran (mixing) pada

kolam las tidak sempurna dan juga makrosegregasi terjadi pada pengelasan dengan

material yang berbeda. Pada pengelasan listrik (arc welding), gaya elektromagnetik

yang terjadi dapat meningkatkan percampuran pada kolam las. Dengan arus konveksi

yang terjadi, logam pengisi yang ditambahkan akan dapat tercampur dengan

sempurna sebelum mengalami solidifikasi, sehingga komposisi logam las menjadi

lebih homogen. (Kou, 1987: 100).

2. Pada kolam las (kolam las) komposisi logam las yang homogen tidak selalu terjadi

pada seluruh bagian kolam las. Terdapat lapisan logam cair pada daerah dekat batas

las (fusion boundary) yang cenderung diam (stagnan) selama proses sirkulasi logam

las cair berlangsung. Daerah ini dinamakan unmixed zone. Daerah ini memiliki

komposisi yang berbeda dengan daerah lain dari kolam las yang mengalami sirkulasi.

Dengan meningkatnya laju konveksi akibat gaya elektromagnetik, maka inklusi,

impurities dan gelembung gas pada unmixed zone yang terbawa arus konveksi dan

mengalami sirkulasi, sehingga ketebalan lapisan unmixed zone dapat dikurangi dan

dapat dikatakan kolam las semakin homogen. (Kou, 1987 : 100).

c. Pengaruh konveksi terhadap porositas

Porositas terbentuk akibat adanya interaksi antara logam cair panas dengan permukaan

kolam pada logam induk sehingga gas-gas yang terlarut pada logam cair akan bereaksi

dengan logam induk dan menyebabkan gelembung gas pada daerah kolam las yang

dingin. Gelembung gas yang tinggal akan membentuk lubang-lubang halus saat

solidifikasi. Konveksi yang terjadi pada kolam las secara teoritis dapat membantu dalam

melepas gelembung gas yang terbentuk ke atmosfer sebelum tersolidifikasi (Kou, 1987 :

102) sebagaimana gambar 2.6 :.

22

Gambar 2.6. Efek konveksi terhadap porositas (a) pola konveksi yang dapat melepas

gelembung gas. (b) pola konveksi yang dapat menjebak gelembung gas

Sumber: Kou (1987,p.102)

d. Pengaruh konveksi terhadap nilai efektif konduktifitas termal.

Dengan semakin meningkatnya gaya elektromagnetik, maka sirkulasi logam cair pada

kolam las semakin cepat. Hal ini ternyata merubah nilai efektif konduktifitas termal dari

logam las cair (kL) menjadi lebih besar dikarenakan proses transfer panas pada kolam las

menjadi lebih efektif, sehingga temperatur kolam las menjadi lebih rendah (Kou, 1987:

49) sebagaimana gambar 2.7. Jika temperatur puncak pada kolam las semakin rendah ( Tc

turun) maka laju pendinginan pasca pengelasan juga akan turun sebagimana persamaan 2-

8 dan 2-9.

Gambar 2.7. Pengaruh peningkatan konveksi terhadap nilai efektif

konduktifitas termal logam las cair

Sumber: Kou (1987,p.51)

23

2.7. Pembagian Daerah Lasan

Dalam pengelasan cair, konveksi pada kolam las selama pengelasan akan

mempengaruhi homogenitas daerak las dan HAZ. Pada kenyataannya komposisi logam las

tidak pernah homogen pada seluruh bagian kolam las. Tetapi selama pengelasan berlangsung

dapat dilakukan perlakuan pada kolam las sehingga dihasilkan homogenitas yang lebih baik.

Dalam hal ini homogenitas pada kolam las secara umum dapat dibagi berdasarkan

homogenitas kimia dan homogenitas struktur mikro (Messler, 1999: 359). Konveksi pada

kolam las menyebabkan logam las cair bersirkulasi sehingga terjadi pencampuran pada kolam

las. Secara umum daerah lasan dapat dibagi menjadi 3 bagian, antara lain:

a. Logam las atau FZ (Fusion Zone)

Logam las merupakan bagian dari logam yang pada waktu pengelasan berlangsung

mengalami proses pencairan dan saat pendinginan mengalami pembekuan.

b. Daerah pengaruh panas atau HAZ (Heat Affected Zone)

HAZ merupakan logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses

pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan yang cepat.

c. Logam induk tidak terpengaruh panas las atau BM (Base Metal)

Logam induk yang tidak terpengaruh panas las adalah bagian logam dasar, dimana panas

pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan mikrostruktur, sifat fisik dan

mekaniknya.

Selain ketiga daerah tersebut, terdapat daerah yang membatasi logam las dengan daerah

pengaruh panas (HAZ) yang disebut daerah batas las (fusion boundary). Di daerah ini

terdapat unmixed zone (UZ) yaitu lapisan logam cair yang tidak tercampur akibat sirkulasi

logam cair pada kolam las dan cenderung diam (stagnan) selama proses sirkulasi logam las

cair berlangsung. Selanjutnya pembagian daerah lasan dapat dilihat pada gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.8. Pembagian daerah lasan

Sumber: Messler (1999,p.365)

24

Faktor-faktor yang mempengaruhi homogenitas kimia dari kolam las antara lain:

1. Segregation (pemisahan)

Ada tiga jenis pemisahan di dalam logam lasan, yaitu pemisahan makro, pemisahan

gelombang, dan pemisahan mikro. Pemisahan makro adalah perubahan komponen secara

perlahan-lahan yang terjadi mulai dari sekitar garis lebur menuju ke garis sumbu las,

sedangkan pemisahan gelombang merupakan perubahan komponen karena pembekuan

yang terputus, yang terjadi pada proses terbentuknya gelombang manik las. Sedangkan

pemisahan mikro adalah perubahan komponen yang terjadi dalam satu pilar atau bagian

dari satu pilar.

2. Gas porosity dan inklusi

Pada proses pengelasan terjadi reaksi antara logam las cair, logam induk dan udara

sekelilingnya. Hal ini terjadi karena pada kondisi panas umumnya logam sangat reaktif.

Interaksi antara gas dan logam saat pengelasan berlangsung dimana gas terlarut ke dalam

logam las cair atau terjadi reaksi kimia membentuk senyawa. Interaksi ini antara lain:

a. Gas terlarut dalam logam cair dan tetap berada di dalam logam membentuk larutan

padat.

b. Gas terlarut ke dalam logam cair melebihi batas kelarutannya sehingga menghasilkan

lubang-lubang halus (porositas) pada logam las.

c. Gas bersenyawa dengan unsur logam membentuk inklusi seperti Al2O3, MnO, SiO2

dan lain-lain.

Gas seperti N2, H2 dan O2 bisa dengan mudah larut ke dalam logam cair. Batas kelarutan

gas dapat dinyatakan dengan Hukum Sievert sebagai berikut (Messler, 1999 : 317):

2/1

gasP

gasK (2-12)

dimana K adalah konstanta kesetimbangan, [gas] adalah konsentrasi gas dan Pgas adalah

tekanan parsial gas. Porositas dan inklusi yang terbentuk dapat menurunkan sifat fisik,

kimia dan mekanik logam las.

3. Unmixed zone

Unmixed zone (daerah tidak tercampur) pada kolam las adalah daerah yang terbentuk

pada batas las (fusion boundary) yang dikelilingi partially melted zone sebagaimana

gambar 2.9. Logam cair didaerah ini cenderung diam akibat gesekan dengan daerah solid.

Besarnya daerah unmixed yang terbentuk dipengaruhi oleh laju aliran logam cair pada

kolam las. Unmixed zone merupakan daerah yang rentan terhadap kegagalan mekanik

terutama serangan korosi karena komposisi daerah unmixed berbeda dengan daerah

25

lainnya pada kolam las yang mengalami sirkulasi. Daerah ini tidak dapat dihilangkan,

tetapi dapat dikurangi dengan cara mempercepat sirkulasi logam cair. Gambar 2.9 berikut

menggambarkan pembagian daerah Fusion zone (FZ), Unmixed Zone (UZ), HAZ dan

base metal stainless steel 310 SS pada sambungan las antara 310 SS dengan Inconel 657.

Gambar 2.9. Pembagian daerah lasan pada sambungan SS 310 dengan Inkonel 657

Sumber: Naffakh (2008,p.26)

2.8. Cacat Las

Menurut DIN (Deutche Industrie Normen), las merupakan ikatan metalurgi pada

sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair

(Wiryosumarto,1994:1). Pengelasan juga didefinisikan sebagai proses penyambungan bahan

atau logam, sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari

pemakaian panas dan tekanan. Temperatur dalam pengelasan busur listrik sangat tinggi yaitu

di atas temperatur cair logam yang dilas. Karena proses pemanasan yang tinggi ini maka

logam cair dalam kolam las akan mengalami pendinginan dan pembekuan cepat dan logam di

sekitarnya mengalami siklus termal cepat yang menyebabkan terjadinya perubahan

mikrostruktur dan deformasi. Peristiwa ini erat hubunganya dengan terjadinya cacat las yang

secara umum memiliki pengaruh penting terhadap keamanan sambungan las. Cacat las/defect

merupakan keadaan dari hasil penyambungan dengan las, dimana terjadi penurunan kualitas

fisik hasil lasan.

Beberapa macam cacat las yang sering antara lain adalah:

1. Cracking

Cracking dapat terjadi pada hasil lasan akibat dari banyak faktor yang diantaranya adalah

laju pendinginan yang tinggi, jenis logam yang disambung dan lain-lain.

26

2. Porositas

Porositas merupakan cacat las berbentuk lubang-lubang halus atau pori-pori yang

umumnya terbentuk di dalam logam las akibat terperangkapnya gas yang timbul selama

proses pengelasan dan pembekuan logam las. Saat logam las membeku dalam waktu yang

cepat, menyebabkan gas yang ada di kolam las (kolam las) tidak sempat naik ke

permukaan dan terjebak membentuk pori saat pembekuan.

3. Lack of fusion

Lack of fusion adalah cacat yang disebabkan akibat panas masuk tidak terdistribusi

sempurna, akibatnya terdapat sebagian logam yang tidak melebur dan berakibat adanya

bagian yang tidak tersambung. Cacat ini merupakan cacat akibat ”discontinuity” yang

terbentuk akibat adanya bagian yang tidak menyatu antara logam induk dengan logam

pengisi. Cacat las ini juga dapat terjadi pada pengelasan berlapis (multipass welding)

yaitu terjadi antara lapisan las yang satu dengan lapisan las yang lainnya.

4. Inklusi

Inklusi merupakan cacat las yang terjadi akibat adanya slug atau senyawa pengotor yang

terjebak dalam logam las. Cacat ini disebabkan oleh unsur atau senyawa pengotor baik

berupa produk hasil reaksi gas atau yang terbentuk oleh unsur-unsur dari luar, seperti:

terak, oksida, logam wolfram atau lainnya. Cacat ini umumnya terjadi pada logam las.

5. Bentuk yang tidak sempurna (imperfect shape)

Jenis cacat las yang menyebabkan geometri sambungan las tidak sempurna seperti:

undercut, underfill, overlap, excessive reinforcement dan lain-lain. Morfologi geometri

dari cacat ini biasanya bervariasi.

6. Undercut

Undercut merupakan istilah untuk menggambarkan sebuah alur (groove) yang terbentuk

pada tepi/kaki lasan (manik las). Alur benda kerja yang mencair tersebut tidak terisi oleh

logam las cair. Undercut dapat menyebabkan slag terjebak dalam alur yang tidak terisi

oleh logam las cair.

7. Over spatter

Over spatter merupakan percikan las. Jika jumlah percikan las berlebih dan tidak dapat

dibersihkan seluruhnya maka dapat dikategorikan cacat visual.

8. Distorsi

Distorsi adalah perubahan bentuk material yang disebabkan panas berlebih saat proses

pengelasan berlangsung. Saat proses pemanasan berlebih, logam las akan mengalami

pemuaian dan saat pendinginan cepat akan mengakibatkan penyusutan, sehingga akan

27

terjadi proses tarik dan tekan yang didak merata yang menyebabkan sambungan logam

melengkung atau terdistorsi.

2.8.1. Retak las (weld cracking)

Cacat las yang sering terjadi pada hasil pengelasan adalah retak las. Cacat las berupa

retak mikro akan menjadi pemicu perambatan retak saat struktur las mengalami pembebanan

(Messler, 1999). Menurut (Kou, 1987), retak las secara umum dibagi menjadi dua kategori,

yaitu retak panas yang terjadi selama proses solidifikasi dan retak dingin yang terjadi selama

perubahan struktur. Retak panas hanya terjadi pada daerah las, sedangkan retak dingin dapat

terjadi pada daerah las dan HAZ. Retak las bermula dari adanya hydrogen difusi atau gas-gas

terlarut, endapan unsur pengotor (impurities) dan adanya perbedaan antara pemuaian dan

penyusutan pada logam las dan logam induk selama proses pencairan dan pembekuan logam.

Laju pendinginan yang tinggi pasca pengelasan juga dapat memicu terbentuknya retak mikro

yang kemudian memicu perambatan retak lebih lanjut.

Retak dingin

Retak dingin adalah retak yang terjadi pada daerah las pada suhu kurang lebih 300 ºC.

Sedangkan retak panas adalah retak yang terjadi pada suhu diatas 500 ºC. Retak dingin tidak

hanya terjadi pada daerah HAZ (Heat Affected Zone) tetapi juga terjadi pada logam las.Retak

dingin pada HAZ biasanya terjadi antara beberapa menit sampai 48 jam sesudah pengelasan.

Jenis retak dingin adalah retak notch (takik), retak bawah kampuh, retak memanjang

(logitudinal) dan retak melintang (transversal). Semakin tinggi C eq. Semakin mudah terjadi

retak dingin.

C eq = C + Mn/6 + Si/24 + Cr/5 + Ni/40 + Mo/4 + V/14 % (2-13)

atau

C eq = C + Mn/6 + Cr + Mo + V + Ni + Cu (2-14)

5 15

Ce harus ≤ 0,41 %

Retak Panas

Retak panas dibagi menjadi dua kelas yaitu retak karena pembebasan tegangan pada

daerah pengaruh panas yang terjadi pada suhu 500ºC – 700 ºC dan retak yang terjadi pada

suhu diatas 900 ºC yang terjadi pada peristiwa pembekuan logam las. Retak panas sering

teriadi pada logam las karena pembekuan yang cepat, biasanya berbentuk kawah dan retak

memanjang. Retak panas ini terjadi karena pembebasan tegangan pada daerah kaki didalam

daerah pengaruh panas.

28

2.8.2. Absorbsi hidrogen selama proses pengelasan busur

Hidrogen memiliki massa atom 0,00794 dan massa jenis 0.08988 g/L, berada dalam

bentuk diatomik gas H2, memiliki karakteristik konduktivitas termal yang tinggi seperti

helium. Hidrogen berada pada besi atau baja dengan 2 bentuk yang berbeda, yaitu sebagai

molekul dan atom hidrogen. Hidrogen dalam bentuk atom adalah elemen transien, yang

bergerak kontinyu dalam baja pada temperatur kamar. Hidrogen dapat larut dalam logam cair

di kolam las dan menyebabkan penggetasan.

Selama proses pengelasan, kolam las (kolam las) menjadi jenuh dengan adanya gas

dari lingkungan, sehingga dapat merusak kualitas lasan termasuk dengan terbentuknya

porositas pada lasan atau meningkatnya kepekaan terhadap pembentukan retak las. Sifat dari

fusion welding adalah seperti kesetimbangan termodinamika antara cairan logam dari kolam

las (kolam las) dan gas sekitar yang jarang terjadi (Lancaster, 1993:123). Di sini gas-gas

berinteraksi dengan kolom busur plasma, dengan demikian akan mempengaruhi logam induk

dan material filler yang memasuki kolam las yang melebur.

Kelembaban lingkungan sekitar las menyebabkan air yang terserap masuk ke lapisan

elektroda bertambah seiring dengan tingginya temperatur pada busur plasma, dan cenderung

memisahkan kolam las bagian atas yang siap mengurai uap air menjadi atom hidrogen

(Legait, 2005:49) berdasarkan persamaan reaksi :

2 H2O(g) 2 H2(g) + O2(g)

Reaksi ini kemudian menjadi kompleks dengan variasi komposisi gas pelindung yang

berbeda-beda dan sistem formulasi penggunaan fluks. Banyaknya hidrogen yang berdifusi,

HD pada weld metal menjadi :

HD = H – (HR + HE) (2-15)

dengan :

HD = banyaknya hidrogen yang berdifusi (ml/100g)

H = hidrogen yang terlarut (ml/100g)

HR = hidrogen yang tersisa (ml/100g)

HE = hidrogen yang keluar ke lingkungan (ml/100g)

Hukum Sievert’s , mendefinisikan hubungan antara hidrogen yang terlarut dan

hidrogen di lingkungan busur. Hidrogen yang terlarut sebanding dengan akar pangkat dua

dari tekanan gas. Kesetimbangan termodinamika konstan (K1) didefinisikan sebagai berikut :

K1 = PH (2-16)

√ PH2

29

dengan : K1 = konstan

PH = tekanan parsial dari atom hidrogen (Pa)

PH2 = tekanan parsial dari molekul hidrogen (Pa)

Jadi, konsentrasi atom hidrogen sebanding dengan tekanan parsialnya, sehingga hidrogen

yang terlarut diukur pada mL/100 g dari logam las adalah fungsi dari tekanan parsial.

2.8.3. Cacat porositas

Porositas adalah timbulnya sekelompok gas yang membentuk pori-pori pada logam

las akibat terperangkapnya gas selama proses solidifikasi yang cepat (Khan, 2007:182).

Hampir setiap proses pengelasan, porositas akan selalu terjadi dan menyebabkan masalah.

Bagaimanapun, sebuah proses pengelasan yang memiliki cacat porositas tidak secara

langsung mengalami kegagalan. Namun cacat porositas dapat memicu timbulnya retak mikro

(micro crack) yang berkembang menjadi retak permanen. Porositas dapat terjadi dari banyak

sumber, contohnya reaksi kimia di dalam kolam las yang dapat melepaskan gelembung gas.

Gambar 2.10. Pengaruh porositas terhadap kekuatan tarik hasil pengelasan aluminium.

Sumber: Kou (1987,p.81)

Karena daya larut dalam keadaan padat lebih rendah daripada keadaan cair, atom

hidrogen akan meninggalkan kedudukan mereka selama proses solidifikasi dan bersama-

sama membentuk molekul hidrogen, dengan perbandingan dari bertambahnya bidang

pemisah pada keadaan padat-cair.

Untuk lebih detail, dapat dilihat pada gambar 2.11. Selama proses solidifikasi banyak

hidrogen yang tertolak pada bidang pemisah padat-cair, interdendrit dalam keadaan cair

30

berangsur-angsur kaya akan hidrogen sebagai akibat meningkatnya fraksi dari logam padat

(langkah 1). Selama solidifikasi berlangsung, kadar hidrogen dalam cairan meningkat dan

akhirnya melewati batas kelarutannya dan sebuah pori membentuk inti pada titik ini.

Bagaimanapun, pertumbuhan dari pori baru membutuhkan adanya permukaan yang baru

pula. Karena permukaan tersebut menjadi penghalang, konsentrasi hidrogen pada keadaan

cair secara kontinyu meningkat di bawah batas kelarutannya sampai ke titik dimana sebuah

pori dapat terbentuk (langkah II). Pada titik tersebut, pori mulai membentuk inti dan yang

paling menonjol adalah pada akar dendrit atau pada letak yang berbeda, seperti sebuah

inklusi. Selanjutnya gelembung-gelembung kecil (diameter < 20 mikron) tumbuh dan kadar

hidrogen dari cairan menurun dengan cepat (langkah III dan IV) dan pori dapat bergabung

satu sama lain.

Gambar 2.11 Perubahan kadar hidrogen sebelum dan sesudah pembentukan inti dari pori.

Sumber : Legait (2005,p.23)

Kelarutan hidrogen dari sistem paduan menunjukkan perbedaan dengan sistem non-

paduan. Sistem paduan yang memiliki daya larut lebih rendah, jika memiliki konsentrasi

hidrogen dengan nilai di ambang batas terbentuknya porositas akan menyebabkan

pembentukan porositas menjadi lebih mudah.

Keberadaan hidrogen selama pengelasan baja dapat menyebabkan porositas dan retak

hidrogen. Porositas hidrogen pada daerah lasan dapat berasal dari beberapa sumber yang

berbeda, antara lain: hasil pembakaran pada pengelasan oxyfuel, hasil pengelasan

menggunakan elektroda dengan fluks jenis selulosa pada pengelasan SMAW, minyak dan

kelembaban pada permukaan benda kerja atau elektroda, dan fluks, pembungkus elektroda,

gas pelindung, dan lingkungan yang lembab, arus yang terlalu rendah atau busur yang terlalu

panjang, serta pembekuan cepat pada lapisan lasan.

31

2.9. Medan Magnet Solenoida

Medan magnet (magnetic field) didefinisikan sebagai area di sekitar magnet atau di

sekitar penghantar yang mengangkut arus. Vektor magnet disebut dengan fluks magnet yang

dinyatakan sebagai garis-garis fluks (line of induction). Jika medan magnet berada dalam

suatu ruang maka akan terjadi perubahan energi yang menghasilkan gaya. Hal ini dapat

dideteksi dengan adanya percepatan pada muatan listrik yang bergerak di dalamnya. Jika

sebuah muatan (q) ditempatkan dalam keadaan diam dalam medan magnet maka tidak akan

ada gaya yang bekerja pada muatan (q) tersebut. Namun muatan (q) diempatkan dalam

medan magnet dengan kecepatan (v) maka muatan tersebut akan didorong oleh gaya magnet,

yang besarnya (Sears 1994: 718) :

F = q.v.B.sinα (2-17)

dengan : - F = gaya magnet (Newton)

- q = muatan (Coulomb)

- v = kecepatan (m/ s)

- B = fluks magnet (N./C. m.s)

Gaya yang paling besar terjadi ketika partikel bergerak tegak lurus terhadap B (α =

90º). Dari rumusan tersebut diketahui bahwa atom yang mempunyai elektron bebas (tidak

berpasangan) akan ditarik oleh medan magnet dan sebaliknya. Semakin banyak elektron

bebas maka gaya tarik medan magnet semakin kuat.

Pada tahun 1920, Hans Christian Oersted menemukan bahwa arus listrik dapat

menghasilkan medan magnet. Medan magnet B didefinisikan sebagai muatan bergerak

dalam hukum gaya Lorentz. Interaksi medan magnet dengan muatan menyebabkan banyak

aplikasi praktis. Satuan medan magnet adalah Tesla, yang dapat dilihat dari hukum gaya

Lorentz FL = qvB pada medan magnet yang dalam satuan lain (Newton x second) /

(Coulomb x meter). Unit medan magnet yang lebih kecil adalah Gauss (1 Tesla = 10.000

Gauss). Ada beberapa macam magnet yang dapat dibuat dengan mengalirkan arus listrik;

misalnya medan magnet solenoida. Solenoida merupakan lilitan kawat yang membungkus

inti logam dan dapat menghasilkan medan magnet apabila arus listrik dialirkan pada

solenoida tersebut. Solenoida dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya dapat

dikontrol. Arah garis medan magnet tergantung pada arah aliran arus listrik dalam kumparan

(solenoida) sebagaimana gambar 2.12. berikut:

32

Gambar 2.12. Arah garis medan magnet dalam solenoida

Sumber: hyperphysics.phy-astr.gsu.edu

Apabila ke dalam solenoida dimasukkan bahan ferromagnetik seperti besi, baja,

silikon, maka medan magnet yang dihasilkan akan bertambah besar. Peningkatan medan

magnet yang terjadi pada solenoida pada dasarnya merupakan penjumlahan antara medan

magnat yang dihasilkan solenoida itu sendiri dan medan magnet eksternal yang dihasilkan

inti solenoida yang berubah menjadi magnet. Peningkatan medan magnet yang terjadi

tersebut dinamakan fluks magnetik atau rapat fluks magnetik dan diberi simbol B. Besarnya

peningkatan medan magnet yang terjadi diukur dengan menggunakan besaran yang

dinamakan permeabilitas magnetik yang merupakan perbandingan antara fluks magnet yang

dihasilkan (B) dengan kuat medan magnet yang terjadi (H) atau dapat dirumuskan sebagai

berikut (Smith, 2004: 831) :

H

B (2-18)

Apabila dalam solenoida tidak terdapat inti logam maka permeabilitas magnetik

merupakan permeabilitas ruang kosong (μ0), dengan μ0 = 4.π.k = 4π.10-7

Wb(Am)-1

.

Peningkatan medan magnet yang terjadi dapat dinyatakan dalam besaran permeabilitas

relatif, μr yang merupakan perbandingan antara μ dan μ0. (Smith, 2004: 832) :

0

r (2-19)

Adapun nilai permeabilitas relatif dari beberapa material besarnya berbeda-beda

tergantung kemampuannya dilewati garis-garis gaya magnet. Besarnya fluks magnet yang

dibangkitkan solenoida yang dialiri arus listrik dapat dirumuskan sebagai berikut:

Fluks magnet di tengah panjang solenoida: l

NIB

.. (2-20)

Fluks magnet diujung panjang solenoida: l

NIB

2

.. (2-21)

33

2.10. Laju Perambatan Retak Fatik

Ada tiga macam retak yang terjadi pada logam yang diakibatkan adanya tiga macam

pola pembebanan sebagaimana gambar 2.13.

Gambar 2.13. Mode bukaan retak

Sumber: Broek (1986,p.8)

Gambar 2.13. dapat dijelaskan bahwa opening mode atau mode I diakibatkan oleh pola

pembebanan normal terhadap retak, sliding mode atau mode II akibat dari pola pembebanan

geser terhadap retak dan tearing mode atau mode III akibat dari pola pembebanan menyobek

retak. (Broek 1986 : 8)

Faktor intensitas tegangan (∆K) pada pembebanan normal (mode I) untuk specimen

CT (Compact Tension), digunakan persamaan sebagai berikut,

432

23

21

6.572.1432.1364.4886.01

2

BW

PK (2-22)

dengan,

K = faktor intensitas tegangan (MPa.m1/2

)

P = gaya luar (gaya tarik) (Pa)

B = tebal plat (mm)

W = lebar plat (mm)

= a/W dimana a/W ≥ 0.2

(stardard test method for measurement of fatigue crack growth rates1)

34

Secara umum karakteristik perambatan retak fatik untuk bahan logam dapat dibagi menjadi

tiga daerah seperti diperlihatkan pada gambar 2.14.

Gambar 2.14. Kurva laju pertumbuhan retak

Sumber: Bannantine (1990,p.291)

Daerah I (Region I) disebut daerah ambang fatik (fatigue treshold) yang terjadi pada

laju perambatan retak sekitar 10-10

m/siklus. Di bawah laju ini tidak terjadi perambatan retak.

Daerah II menunjukkan adanya hubungan linier antara perambatan retak (log da/dN) dan log

∆K. Untuk daerah III laju perambatan retak terjadi sangat cepat sementara sedikit sekali

terjadi perambatan fatik, daerah III umumnya tidak dipertimbangakan dalam perancangan

struktur. Daerah ini terutama dikendalikan oleh parameter ketangguhan bahan terhadap retak.

Paris menguraikan bahwa pertumbuhan retak akan dihasilkan ketika pembebanan

yang diterapkan bervariasi, walaupun tegangan maksimum lebih rendah dari pada teganan

kritis. Paris merumuskan bahwa pertumbuhan retak setiap siklus pembebanan adalah suatu

fungsi dari intensitas tegangan (∆K), yang dirumuskan secara sederhana sebagai berikut

(Broek, 1986: 261),

nKC

dN

da (mm/siklus) (2-23)

dengan,

n = koefisien exponensial

C = konstanta bahan

a = panjang retak (mm)

N = jumlah siklus pembebanan (siklus)

Region I : Crack initation Region II : Stable crack-growth Region III : Unstable crack-growth (fracture)

Region II

Region I

Kth

Kc is reached

Region III log

dN

da

log ( K) (Kg/mm3/2

)

(mm/siklus)

35

∆K = fluktuasi faktor intensitas tegangan (MPa.m1/2

)

da/dN = laju perambatan retak fatik (mm/siklus)

Dengan C dan n merupakan kostanta yang ditentukan secara eksperimen, dan ∆K

merupakan selisih faktor tegangan maksimum (Kmaks) dan faktor tegangan minimum (Kmin)

yang dapat ditulis sebagai berikut (Fuchs, 1980: 82),

minKKK masks (MPa.m1/2

) (2-24)

Pola pembebanan yang digunakan adalah sinusoidal sebagaimana gambar 2.15. dengan beban

siklis amplitudo konstan berupa Pmask dan Pmin. Sehingga tegangan yang ada berupa maks dan

min dan daerah tegangannya adalah (Fuchs, 1980: 82),

min maks (2-25)

Gambar 2.15 Siklus Pembebanan Pengujian Laju Perambatan Retak Fatik

Sumber : Fuchs (1980,p.82)

Tegangan maksimum yang diberikan pada waktu pengujian diambil 0,3 – 0,5 dari

tegangan ultimate-nya. Dalam pengujian perambatan retak fatik ini digunakan variable

perbandingan tegangan. Dengan adanya perbandingan tegangan, maka dalam suatu pengujian

hanya diperlukan variabel tegangan atau beban maksimum. Perbandingan atau rasio tegangan

dapat dihitung dengan persamaan (Broek, 1986: 27),

maksmaksmaks P

P

K

KR minminmin

(2-26)

t(secon)

maxP

aP

+

-

Lo

ad

(N

)

minP

1 Siclic

36

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Hot roll steel plate (HRSP) yang diproduksi PT. Krakatau Steel merupakan baja

konstruksi umum dengan kadar karbon 0,29 %C. Agar memenuhi persyaratan sebagai

material kendaraan taktis militer (rantis) maka dilakukan rekayasa proses produksi dengan

memberikan perlakuan panas quench temper berupa pemanasan baja HRSP sampai

temperatur 900 ºC ditahan 10 menit dan dilanjutkan pendinginan air sampai temperatur

ruang. Selanjutnya benda kerja dipanaskan kembali pada temperatur 300 ºC ditahan 10 menit

dan didinginkan di udara sampai temperatur ruang. Dengan perlakuan panas quench temper

tersebut diharapkan kekerasannya mencapai 500 BHN, tangguh dan tahan peluru. Baja rol

panas (HRSP) yang telah diberi perlakuan panas tersebut selanjutnya diberi istilah Hot roll

quench tempered steel (QTS). Proses rol panas selama proses produksi HRSP menyebabkan

struktur baja tereduksi dengan bentuk butiran logam yang rapat dan pipih. Dengan proses

quenching struktur butiran yang terbentuk menjadi kecil dan rapat yang didominasi oleh

struktur martensite. Dengan memberikan proses tempering struktur martensit tidak banyak

berubah. Kondisi struktur yang rapat dan didominasi oleh struktur martensite inilah yang

menyebabkan QTS rentan mengalami retak las saat dilakukan pengelasan atau dengan kata

lain sifat mampu lasnya (weldability) rendah. Hal ini mengacu dari pernyataan dan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Kou tahun 1987; oleh Messler tahun 1999; oleh Béres, et.al

tahun 2001 dan oleh Vuherer, et. al. tahun 2013; yang menyatakan bahwa baja dengan

mikrostruktur martensite memiliki sifat mampu las (weldability) yang rendah sehingga perlu

mendapatkan perlakuan tertentu sebelum, selama atau pasca pengelasan. Dengan demikian

maka QTS termasuk baja dalam kategori ini. Dengan mikrostruktur martensite yang keras

dan struktur butian yang kecil dan rapat memungkinkan QTS rentan mengalami cacat retak

baik dalam skala mikro maupun makro.

Menurut Khan, 2007: 182, retak mikro umumnya dibentuk oleh gabungan voids atau

porositas. Retak mikro ini dalam beberapa waktu akan memicu retak yang merambat (delay

cracking). Retak las dan retak yang merambat (delay cracking) bermula dari hydrogen difusi

atau gas-gas terlarut yang membentuk porositas, endapan unsur pengotor (impurities) yang

terlarut dan adanya perbedaan perilaku pemuaian dan penyusutan pada logam las dan HAZ

selama proses pencairan dan pembekuan logam yang dipengaruhi oleh laju pendinginan

pasca pengelasan.

37

Beberapa penelitian dengan tujuan meminimalkan retak las dan meningkatkan

ketangguhan las telah dilakukan oleh Abdulhamid, et. al., (2002), terkait upaya

meminimalkan terjadinya retak panas dengan memberikan preheating 100°C, 200°C dan

300°C. Kemudian Seo, et. al., (2008), melakukan upaya meminimalkan timbulnya retak

dingin dengan menggunakan inti fluks yang mengandung 1,5% Ni. Dan Zhang, et. al.,

(2008), melakukan upaya meminimalkan retak solidifikasi atau retak selama pembekuan pada

lasan Aluminium 6061-T6 menggunakan metode Pulse shaping laser beam welding dengan

memvariasikan ramp down pulse gradient 137 kW/s, 52 kW/s, 32 kW/s. Beberapa penelitian

tersebut mendapatkan hasil positif namun baru diterapkan pada pengelasan logam dasar yang

belum mengalami perubahan struktur akibat perlakuan panas pra welding sebagaimana yang

dialami oleh QTS. Sehingga untuk kasus retak merambat pasca pengelasan QTS perlu

dicarikan metode lain.

Metode yang dapat dijadikan alternative dalam meningkatkan kualitas hasil lasan

QTS misalnya dengan meningkatkan sirkulasi logam cair pada kolam las. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa laju sirkulasi logam cair yang tinggi mempermudah pelepasan

gas, inklusi dan oksida ke permukaan kolam las sehingga cacat las seperti cacat porositas,

slag inklusi dan retak las dapat diminimalkan, pencampuran logam las dan logam pengisi

lebih homogen, dan ketangguhan las dapat ditingkatkan. Dalam penelitian lainnya

menunjukkan bahwa laju sirkulasi logam cair yang tinggi mampu menurunkan laju

pendinginan pasca las.

Secara teoritis laju sirkulasi logam cair dipengaruhi oleh gaya angkat permukaan

(buoyancy force), gaya akibat tegangan permukaan (marangoni force) dan gaya

elektromagnetik (Lorenz forces). Menurut Herrera tahun 2003, dari ketiga gaya yang bekerja,

gaya elektromagnetik memberi pengaruh paling dominan terhadap sirkulasi kolam las. Arus

konveksi akibat gaya elektromagnetik dipengaruhi oleh rapat arus (J) dan vektor fluks magnet

(B) yang dirumuskan F=JxB. Dan menurut Kou, (1987: 49), gaya elektromagnetik yang

semakin besar selain dapat meningkatkan laju konveksi logam cair, juga akan menaikkan

nilai efektif konduktifitas termal dari logam las cair (kL) sehingga proses transfer panas pada

kolam las menjadi lebih efektif. Akibatnya temperatur puncak daerah las dan HAZ menjadi

lebih rendah. Jika temperatur puncak pada kolam las dan HAZ turun maka laju pendinginan

pasca pengelasan juga akan turun.

Penelitian terhadap pengaruh medan magnet terhadap kualitas hasil pengelasan telah

dilakukan oleh beberapa orang seperti Tse, et al., (1999) yang menyatakan kuat medan

magnet berpengaruh terhadap efek gas pelindung dan menyebabkan kedalaman penetrasi

38

kolam las meningkat 7 % sedangkan lebar kolam las perubahannya tidak signifikan. Hasil

penelitian Curiel, et. al., (2001) menyatakan bahwa penggunaan intensitas magnetik yang

rendah selama pengelasan GMA pada baja stainless steel tipe 304 dapat meningkatkan

ketahanan korosi HAZ, meningkatkan redistribusi Cr ke dalam austenite selama siklus

termal, menurunkan endapan dan pertumbuhan carbida crom, redistribusi Cr terjadi secara

terus menerus dan akan terbentuk film yang meningkatkan ketahanan korosi HAZ. Beberapa

penelitian tersebut menggunakan material las yang belum mengalami perlakuan panas

sebagaimana material QTS dan peningkatan gaya elektromagnetik dilakukan dengan

menaikkan arus las atau rapat arus las (J).

Memperbesar gaya elektromagnetik dengan menaikkan arus las dapat menyebabkan

temperatur puncak dan laju pendinginan pasca pengelasan tinggi sehingga akan menaikan

tegangan termal, tegangan sisa dan distorsi. Oleh karenya menaikan arus las atau rapat arus

(J) selama pengelasan bisa berdampak kurang baik terhadap konstruksi las. Memperbesar

gaya elektromagnetik dengan menambahkan fluks magnet dari luar (B) dapat menjadi

alternatif dalam menaikkan laju sirkulasi logam cair dan memperbaiki kualitas hasil lasan.

Dapat diduga bahwa, menambah fluks magnet (B) selama proses pengelasan akan

memperbesar gaya elektromagnetik (FL) yang bekerja pada kolam las dan meningkatkan laju

sirkulasi logam cair. Dengan meningkatnya laju sirkulasi logam cair maka kualitas hasil

pengelasan akan lebih baik, sehingga dapat dijadikan alternatif dalam memperbaiki kualitas

hasil lasan hot roll quench tempered steel (QTS). Selanjutnya alur kerangka konseptual

penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1.

39

3.2. Alur Kerangka Konseptual Penelitian

Gambar 3.1. Alur kerangka konseptual

HOT ROLL STEEL

PLATE (HRSP)

Pernyataan tentang

sifat mampu las

martensit:

1. Kou S. 1987

2. Messler 1999

3. Beres et.al. 2001

4. Khan 2007

5. Vuherer et. al. 2013

6. Chatterjee et.al.

(2014)

Hipotesis : Diduga dengan menambah B secara

transversal dari dua arah selama pengelasan

menyebabkan temperatur puncak turun, laju

pendinginan pasca pengelasan turun, cacat las

turun, ketangguhan las terhadap beban impak

meningkat dan perambatan retak lebih lambat.

Diberi perlakuan panas quench

temper menjadi QTS.

Terjadi perubahan struktur dari

Ferrite-Pearlite menjadi Martensit:

- Kekerasan tinggi

- Weldability rendah

- Rawan terjadi retak las dan retak

merambat

Penyebab :

1. Laju pendinginan pasca las

tinggi

2. Cacat las dan porositas tinggi

3. Porositas memicu retak mikro

dan retak merambat

Dasar teori konveksi pada

kolam las:

- Oreper G.M.,1983

- Kou S. 1987

- Hughes M., 2000

- Herrera N. D. 2003

- Kostov, et. al. 2005

-

Penyelesaian masalah:

Memperbesar FL dapat

menaikkan sirkulasi logam cair

pada kolam las dan memperbaiki

hasil lasan. FL = J x B

J = I / A (rapat arus)

B = Fluks magnet

Penelitian: menaikan FL dengan

memperbesar arus las (I) atau rapat

arus (J) pada material tanpa

perlakuan panas: Tse, H. C. 1999 ; Kern M., 2000;

Young Bin Li 2009; Tyagi, R.K .,

2011; Curiel F.F., 2011; Qi Shen ,

2011, Senapati A., 2014

Memperbesar FL dengan menaikkan arus las (I) menyebabkan heat input tinggi, tegangan thermal tinggi dan rawan terjadi distorsi dan retak las. (tidak

direkomendasikan)

Penelitian tentang retak

las:

Abdulhamid S. et.al.,

(2002)

Seo, J.S. et.al., (2008),

Zhang, J. et.al., (2008),

Iyer A.H.S., et.al, 2017

Zhang Y. et.al. 2017

Penelitian yang dilakukan:

Memperbesar FL dengan

menambah fluks magnet

eksternal (B) menggunakan

solenoida secara transversal

dari dua arah dan arus las

dijaga konstan

40

3.3. Hipotesis

Menambahkan fluks magnet eksternal selama proses pengelasan akan menaikan gaya

elektromagnetik (FL). Gaya elektromagnetik yang semakin besar akan menaikan laju sirkulasi

logam cair dalam kolam las. Laju sirkulasi logam cair yang semakin tinggi akan

memperbesar nilai efektif konduktifitas termal (kL) logam las cair dan menyebabkan proses

transfer panas pada kolam las menjadi lebih efektif, sehingga temperatur puncak kolam las

menjadi lebih rendah (Kou, 1987: 49). Dapat diduga bahwa, menambahkan fluks magnet

eksternal secara transversal dari dua arah selama pengelasan akan merubah karakteristik fisik

hot roll quench tempered steel (QTS) berupa temperatur puncak HAZ dan laju pendinginan

pasca pengelasan turun, prosentase cacat las turun, serta akan merubah karakteristik mekanik

hasil lasan QTS berupa ketangguhan las terhadap beban impak meningkat dan perambatan

retak fatik daerah las melambat. Mikrostruktur HAZ`dan daerah las juga akan mengalami

perubahan. Semakin besar fluks magnet eksternal yang ditambahkan secara transversal dari

dua arah selama pengelasan, menyebabkan temperatur puncak HAZ dan laju pendinginan

pasca pengelasan semakin turun, prosentase cacat las semakin turun, ketangguhan daerah las

terhadap beban impak semakin meningkat dan perambatan retak fatik daerah las semakin

lambat. Mikrostruktur HAZ dan daerah las akan cenderung berubahan ke arah mikrostruktur

yang memiliki sifat ulet.

41

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental skala laboratorium untuk

melakukan analisis terhadap hasil sambungan las hot roll quench tempered steel (QTS) yang

diberi penambahan fluks magnet selama proses pengelasan. Rancangan penelitian yang akan

dilakukan adalah rancangan model klasifikasi satu arah. Variabel yang akan dipecahkan

adalah pengaruh penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah

terhadap perubahan temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las,

perubahan mikrostruktur las, ketangguhan las terhadap beban impak dan perubahan laju

perambatan retak las akibat beban fatik. Dalam penelitian ini fluks magnet eksternal

dibangkitkan dengan mengalirkan arus listrik DC sebesar 3, 6, 9, 12 dan 15 Ampere dan

tegangan 12 volt ke kawat solenoida yang dililitkan pada plat baja dengan dimensi (100 mm

x 100 mm x 10 mm) dan diarahkan ke pusat las selama proses pengelasan. Jumlah lilitan

kawat solenoida sebanyak 150 lilitan. Selama proses pengelasan parameter las dijaga

konstan. Kajian literatur dari berbagai sumber, baik dari buku maupun dari jurnal ilmiah yang

terkait digunakan untuk menambah informasi dan memperkuat analisis hasil penelitian.

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Produksi I, Laboratorium

Metalurgi Fisik dan Laboratorium Sentral Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya

Malang. Penelitian dilaksanakan pada pertengahan tahun 2015 sampai akhit tahun 2016.

4.2 Alat dan Bahan Penelitian

4.2.1. Alat yang digunakan dalam penelitian

Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Mesin las GMAW beserta kelengkapannya

2. Alat pembangkit medan magnet (dibuat sendiri)

3. Perangkat akuisisi data (data loger) untuk mendapatkan dan mengolah data temperatur

dan siklus termal las.

4. Kawat termokopel tipe K untuk sensor temperatur

5. Seperangkat komputer lengkap untuk mengolah data.

6. Mesin bubut, mesin miling dan mesin wire cutting untuk membuat spesimen uji.

7. Kamera digital untuk dokumentasi penelitian

8. Mesin polis untuk menghaluskan permukaan specimen uji foto mikro dan makrostruktur.

42

9. Alat uji foto mikrostruktur dan scanning electron microscopy (SEM) untuk melihat

struktur mikro dan makro spesimen tanpa dan dengan penambahan fluks magnet.

10. Teslameter untuk menguji besar fluks magnet di daerah pusat las yang dihasilkan oleh

solenoida yang dialiri arus DC dan ditempelkan ke benda kerja las.

11. Alat uji radiografi untuk menguji cacat las secara makro.

12. Alat uji kekerasan untuk menguji kekerasan baja hot roll steel plate (HRSP) dan QTS

13. Mesin uji impak untuk menguji kekuatan impak spesimen.

14. Mesin uji tarik untuk melihat kekuatan tarik spesimen tanpa dan dengan penambahan

fluks magnet sebagai dasar untuk menentukan besar pembebanan pada uji perambatan

retak fatik.

15. Alat uji laju perambatan retak fatik dengan Servo hydraulic fatigue test.

4.2.2. Bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain :

1. Material yang diteliti adalah hot roll steel plate (HRSP) tebal 10 mm dan 5 mm yang

diberi perlakuan panas quench temper dengan pemanasan 900 ºC di holding 10 menit dan

di quencing dengan air sampai suhu ruang, dilanjutkan dengan pemanasan 300 ºC

diholding 10 menit dan didinginkan di udara sehingga dinamai hot roll quench tempered

steel (QTS). Hasil uji komposisi kimia material HRSP sebagaimana tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Unsur yang terkandung dalam Hot Rolled Steel Plate (HRSP)

Keterangan % Berat Keterangan % Berat

Al (aluminum) 0,03785 Pb (plumbum) 0,00825

C (carbon) 0,29342 S (sulphur) 0,00810

Cr (chromium) 0,55029 Si (silicon) 0,32985

Cu (cuprum) 0,08337 Sn (stannum) 0,00339

Fe (ferro) 96,7625 Ti (titanium) 0,00439

Mn (mangan) 1,41218 V (vanadium) 0,01473

Mo (Molibdenum) 0,19303 W (wolfram) 0,00951

Ni (nickel) 0,27877 Zn (zinc) 0,00378

P (posphor) 0,01425 Zr (zirconium) 0,00116

Catatan:

- Material hot roll steel palte dibuat oleh PT. Krakatau Steel.

- Hasil uji dilakukan dengan menggunakan Optical emission

spectrometer-spectromaxx.

2. Kawat tembaga diameter 0,7 mm untuk membuat lilitan solenoida.

3. Inti solenoida dari plat baja karbon rendah berdimensi (100 mm x 100 mm x 10 mm).

43

4. Kawat las (elektrode las) GMAW yang digunakan adalah AWS ER 70S-6

berdiameter 1 mm.

Spesifikasi elektrode las yang digunakan adalah :

Klasifikasi : CO2 Shield Welding Wire AWS ER 70S-6

Komposisi : C : 0,07 % , Mn : 1,6 %, Si : 0,88 %, S : 0,012 % , P : 0,025 %.

5. Gas CO2 sebagai pelindung las saat proses pengelasan dengan kecepatan

pengumpanan 12 L/min.

6. Kertas gosok dan autosol untuk menghaluskan permukaan spesimen uji mikrostruktur.

7. Bahan etsa (nital 5 %).

Bahan hot roll quench tempered steel (QTS) adalah hot roll steel plate (HRSP) tebal 10

mm dan 5 mm dengan kandungan karbon 0,29 % yang diberi perlakuan quench temper

sebelum proses pengelasan.

4.2.3. Bentuk spesimen pengelasan

Bentuk dan dimensi benda kerja QTS yang akan digunakan dalam pengelasan

sebagaimana gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1 Bentuk dan dimensi benda kerja pengelasan

Dimensi benda kerja yang akan di las adalah 100 x 80 x 10 mm dan 100 x 80 x 5 mm.. Proses

pengelasan adalah 3 (tiga) layer untuk benda kerja dengan dimensi 100 x 80 x 10 mm dan 1

(satu) layer untuk benda kerja dengan dimensi 100 x 80 x 5 mm. Pada layer ke 3 (tiga)

44

dilakukan pengukuran temperatur las dengan penempatan termokopel tipe K pada jarak 10

mm dari pusat las.

Untuk dimensi spesimen uji impak sebagaimana gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.2 Dimensi spesimen uji impak

Untuk spesimen uji impak mengikuti standar ASTM-E23 untuk standar uji impak pada baja.

Selanjutnya untuk dimensi spesimen uji tarik dan uji perambatan retak sebagaimana

gambar 4.3 dan gambar 4.4 berikut.

Gambar 4.3. Dimensi spesimen uji tarik (satuan: mm)

Gambar 4.4. Dimensi spesimen uji perambatan retak fatik (satuan: mm)

45

4.3 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas yaitu :

Fluks magnet ditambahkan dari luar dengan mengalirkan arus listrik DC ke kawat

solenoida sebesar 3, 6, 9, 12 dan 15 Ampere untuk benda kerja tebal 10 mm dan 3, 6, 9

dan 15 Ampere untuk benda kerja tebal 5 mm. Jumlah lilitan kawat solenoida adalah 150

lilitan.

2. Variabel terikat berupa temperatur puncak, laju pendinginan pasca pengelasan, perubahan

mikrostruktur, prosentase cacat las, ketahanan impak dan laju perambatan retak fatik.

3. Variabel terkendali, meliputi: masukan panas las dengan arus las 140 Ampere dan

tegangan 20 volt, tipe dan jenis las adalah GMAW, gas pelindung CO2 dengan kecepatan

pengumpanan 12 liter/ menit, jarak ukur temperature 10 mm dari pusat las, posisi las

(flat) dan kecepatan las rata-rata 15 cm/menit.

4.4 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah model klasifikasi satu arah dengan

perulangan sebanyak 3 kali. Penelitian dilakukan menggunakan 1 variabel bebas berupa kuat

arus pembangkit fluks magnet eksternal. Variabel terikat berupa temperatur puncak, laju

pendinginan pasca pengelasan, perubahan mikrostruktur, prosentase cacat las dan laju

perambatan retak fatik. Sebelum dilakukan proses pengelasan, dilakukan pengukuran besar

fluks magnet yang akan diflukskan pada daerah las sesuai variabel bebas menggunakan

teslameter. Data pengujian kuat medan magnet dimasukkan dalam tabel 4.2 dan tabel 4.3

berikut:

Tabel 4.2 Besar fluks magnet (mili Tesla/ mT) tiap perubahan arus untuk benda kerja 10 mm

VARIABEL

BEBAS

Fluks Magnet (mT)

Tanpa Dengan

KU

AT

AR

US

(Am

per

e)

0 Y0

3 Y3

6 Y6

9 Y9

12 Y12

15 Y15

46

Tabel 4.3 Besar fluks magnet (mT) tiap perubahan arus untuk benda kerja 5 mm

VARIABEL

BEBAS

Fluks Magnet (mT)

Tanpa Tanpa K

UA

T A

RU

S

(Am

per

e)

0 Y0

3

Y3

6 Y6

9 Y9

15 Y15

Selanjutnya pengaruh perubahan besar fluks magnet eksternal terhadap variable

terikat ditampilkan sebagaimana tabel 4.4 dan tabel 4.5 berikut :

Tabel 4.4. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal

terhadap variabel terikat pada spesimen tebal 10 mm

VARIABEL

BEBAS

VARIABEL TERIKAT

Tanpa Penambahan

Fluks Magnet

Dengan Penambahan

Fluks Magnet

KU

AT

A

RU

S (

Am

per

e)

0 Y01

Y02

Y03

3

Y31

Y32

Y33

6

Y61

Y62

Y63

9

Y91

Y92

Y93

12

Y121

Y122

Y123

15

Y151

Y152

Y153

dengan :

Y = data temperatur puncak (ºC), laju pendinginan pasca pengelasan (ºC/ det), prosentase

cacat las dan kekuatan impak daerah las

47

Tabel 4.5. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal

beberapa variabel terikat pada spesimen tebal 5 mm

VARIABEL

BEBAS

VARIABEL TERIKAT

Tanpa Penambahan

Fluks Magnet

Dengan Penambahan

Fluks Magnet

KU

AT

A

RU

S (

Am

per

e)

0 Y01

Y02

Y03

3

Y31

Y32

Y33

6

Y61

Y62

Y63

9

Y91

Y92

Y93

15

Y151

Y152

Y153

dengan : Y = kekuatan tarik daerah las, laju perambatan retak fatik daerah las.

Hasilnya dibandingkan dengan data spesimen tanpa penambahan fluks magnet

eksternal. Data temperatur puncak HAZ dan laju pendinginan pasca pengelasan dicari dari

grafik siklus termal pengelasan. Prosentase cacat las diuji dari foto makro dan foto

mikrostruktur. Sedangkan data kekuatan impak, kekuatan tarik dan laju perambatan retak

fatik daerah las dihasilkan dari pengujian terhadap spesimen berdasarkan perubahan fluks

magnet yang ditambahkan selama pengelasan.

4.5 Prosedur Penelitian

Langkah penelitian yang akan dilakukan adalah :

1. Melakukan studi pustaka.

2. Mempersiapkan bahan pendukung penelitian.

3. Mempersiapkan peralatan las dan material hot roll steel plate (HRSP).

4. Mempersiapkan peralatan pembangkit fluks magnet eksternal.

5. Mempersiapkan perangkat akuisisi data (data loger), sensor temperatur (kawat

termokopel tipe K) dan komputer pengolah data

6. Melakukan foto mikrostruktur, uji kekerasan dan uji impak material HRSP.

7. Melakukan proses perlakuan panas quench temper terhadap material hot roll steel plate

(HRSP) dengan memanaskan benda kerja (HRSP) pada temperatur 900 ºC diholding 10

menit dan dilanjutkan dengan pendinginan air sampai suhu ruang. Selanjutnya benda

48

kerja dipanaskan kembali pada temperatur 300 ºC, diholding 10 menit dan didinginkan

sampai suhu ruang sehingga dihasilkan material QTS..

8. Melakukan pengujian kekerasan terhadap material HRSP dan material QTS

menggunakan Vickers Hardness Tester.

9. Melakukan pengujian impak terhadap material HRSP.

10. Melakukan pengujian besar fluks magnet menggunakan teslameter pada benda kerja

yang ditempeli solenoida dari 2 (dua) arah secara transversal, yang dialiri arus DC 0, 3,

6, 9, 12 dan 15 Ampere pada benda kerja tebal 10 mm dan 0, 3, 6, 9 dan 15 Ampere

pada benda kerja tebal 5 mm. Jumlah lilitan kawat solenoida 150 lilitan. Pengambilan

data besar fluks magnet dilakukan di daerah pusat las pada jarak 25 mm, 50 mm dan 75

mm dari awal pengelasan.

11. Melakukan pengelasan dengan berbagai variasai fluks magnet berdasarkan variabel

bebas. Parameter las seperti arus las, tegangan las, kecepatan aliran CO2 dijaga konstan.

Kecepatan las dianggap konstan dengan mengukur kecepatan las rata-rata dari operator

las (welder).

12. Mengambil data perubahan temperatur pengelasan dengan bantuan kawat termokopel

tipe K yang dihubungkan ke data loger dan komputer untuk ditampilkan dalam bentuk

grafik siklus termal las. Data temperatur las diambil pada jarak 10 mm dari pusat las

dan jarak 50 mm dari pinggir/ awal pengelasan. Data temperatur dibaca tiap detik.

Gambar 4.5. Gambar titik pengambilan data temperatur pada benda kerja (satuan: mm)

13. Melakukan uji radiografi untuk melihat cacat las secara makro.

49

14. Membuat spesimen uji foto makro dan foto mikro, uji cacat las dan uji impak dari

benda kerja tebal 10 mm.

Gambar 4.6. Pembagian area spesimen uji mikrostruktur dan uji impak (satuan: mm)

15. Membuat spesimen uji tarik dan uji perambatan retak fatik menggunakan wire cutting

dari benda kerja tebal 5 mm.

Gambar 4.7. Pembagian area spesimen uji tarik dan uji perambatan retak (satuan: mm)

16. Menghaluskan permukaan (penampang lintang) spesimen dengan mesin polis untuk

spesimen foto makro dan foto mikro.

17. Melakukan foto makro dan mikrostruktur HAZ dan daerah las.

18. Menguji dan menghitung prosentase cacat las menggunakan Software Autodesk

Inventor 2012 dan program Image J.

19. Melakukan pengujian impak tipe Charpy test di daerah pusat las dengan spesifikasi

beban pendulum 26, 2 kg, panjang lengan pendulum 0,75 m, sudut simpangan awal

120º dan susdut simpangan akhir tanpa beban 117º.

50

20. Melakukan foto makro dan foto mikro permukaan patahan uji impak.

21. Melakukan analisa patahan hasil uji impak daerah pusat las.

22. Melakukan pengujian tarik menggunakan tension test pada spesimen tebal 5 mm

sebagai dasar untuk menentukan pembebanan uji perambatan retak fatik.

23. Melakukan uji perambatan retak fatik daerah las untuk spesimen tebal 5 mm. Pengujian

retak fatik dilakukan dengan Pmax = 0,3 x σu x A dan Pmin = 0. Frekwensi

pembebanan fatik = 11 Hz. Panjang retak awal (a0) = 2 mm dan lebar retak awal 0,2

mm. Data jumlah siklus pembebanan fatik pertama diukur setelah pertambahan retak

awal (Δa1) = 0,2 mm.

24. Melakukan foto makro dan foto mikro permukaan patahan uji perambatan retak fatik.

25. Melakukan pengolahan data, menganalisis dan selanjutnya mengambil kesimpulan.

Instalasi penelitian dilustrasikan sebagaimana gambar 4.8 berikut ini.

Gambar 4.8. Rancangan instalasi penelitian

Keterangan gambar:

1. Benda kerja las 2. Solenoida

3. Mesin las GMAW. 4. Ampere meter

5. Adaptor 15 Ampere. 6. Indikator tegangan

7. Kawat termokopel tipe K 8. Data loger

9. Komputer

51

4.6 Diagram Alir

Diagram alir penelitian mengikuti alur sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.9.

Gambar 4.9. Diagram alir penelitian

MULAI

- Studi Pustaka dan penyiapan bahan uji - Pembuatan dan persiapan alat bantu penelitian - Persiapan benda kerja las dari HRSP

- Mengambil data kekerasan, mikrostruktur dan impak HRSP

Melakukan pengelasan dengan variasi sesuai variabel bebas sekaligus mengambil data temperatur

Selanjutnya membuat grafik siklus termal las dan grafik laju pendinginan

Foto makro dan mikrostruktur Menguji cacat las dan melakukan uji

impak daerah las

Melakukan uji tarik Melakukan pengujian laju

perambatan retak fatik daerah las

SELESAI

Kesimpulan

Membuat spesimen uji

Analisis data dan

pembahasan

Melakukan uji besar fluks magnet berdasarkan perubahan kuat

arus pembangkit sebesar 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 Ampere

- Memberikan perlakuan quench temper

- Mengambil data kekerasan dan mikrostruktur QTS

52

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Pengujian Hot Roll Steel Plate (HRSP)

Materal hot roll steel plate (HRSP) merupakan plat baja lunak yang diproduksi

melalui proses pengerolan panas oleh PT. Krakatau Steel. Dari data komposisi kimia

diketahui bahwa HRSP termasuk dalam golongan baja karbon rendah dengan prosentase

karbon sekitar 0,29 %. Untuk mengetahui karakteristik sifat fisik dan mikriostruktur HRSP

dilakukan pengujian kekerasan, mikrostruktur dan pengujian impak dengan data hasil sebagai

berikut.

Tabel 5.1. Data hasil pengujian kekerasan HRSP

Kode Benda Uji VHN1 VHN2 VHN3

HRSPHV 248,60 278,33 298,73 275,220

Dari hasil pengujian kekerasan pada tabel 5.1 nampak bahwa HRSP masuk kategori mild

steel dengan kekerasan rata-rata angka Vickers sebesar 275,22 VHN. Selanjutnya dilakukan

pengambilan foto mikrostruktur HRSP dengan pembesaran 300 x dan hasilnya sebagaimana

gambar 5.1.

Gambar 5.1. Foto mikrostruktur HRSP

53

Dari hasil foto mikrostruktur nampak bahwa struktur hot roll steel plate (HRSP)

didominasi oleh struktur ferrit dan pearlite. Struktur ferrit dan pearlite merupakan

mikrostruktur yang umum dari baja karbon rendah. Sifat mikrostruktur ini adalah lunak.

Tahap berikutnya adalah pengujian impak terhadap material HRSP dan hasilnya

sebagaimana tabel 5.2.

Tabel 5.2. Energi impak dari hasil pengujian HRSP

No. Kode

Benda Uji

Luas Patahan

(mm2)

IE (J) IErata-rata

(J)

IV

(J/mm2)

IVrata-rata

(J/mm2)

1 EHRSP (1) 8 x 9,85 = 78,8 68 0,863

2 EHRSP (2) 8 x 9,85 = 78,8 63 69,67 0,799 0,8841

3 EHRSP (3) 8 x 9,85 = 78,8 78 0,990

Dari hasil pengujian impak terhadap HRSP diketahui bahwa energy impak rata-rata sebesar

69,67 Joule dan kekuatan impak rata-rata sebesar 0,8841 joule/ mm2. Dan berdasarkan hasil

pengamatan bentuk patahan hasil uji impak terhadap spesimen HRSP menunjukkan bentuk

patahan ulet sebagaimana gambar 5.2.

Gambar 5.2. Bentuk patahan spesimen uji impak material HRSP

5.2. Hasil Pengujian Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS)

Untuk mengubah material HRSP menjadi QTS telah dilakukan proses perlakuan

panas quench temper. Material hot roll steel plate (HRSP) tebal 10 mm dan 5 mm diberi

perlakuan panas quench temper dengan memanaskan sampai 900 ºC di holding 10 menit dan

di quencing dengan air sampai suhu ruang. Selanjutnya dipanaskan lagi sampai 300 ºC di

holding 10 menit dan didinginkan di udara sampai suhu ruang. Material ini selanjutnya diberi

istilah atau dinamai hot roll quench tempered steel (QTS). Data hasil pengujian kekerasan

QTS rata-rata sebesar 544,60 VHN sebagaimana tabel 5.3. berikut.

54

Tabel 5.3. Data hasil uji kekerasan QTS

Kode Benda Uji VHN1 VHN2 VHN3 VHN4 VHN5

QTSHV 551 561 547 522 542 544,60

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa material HRPS yang telah mendapatkan

perlakuan panas quench temper menjadi QTS mengalami kenaikan kekerasan dari semula

275,220 VHN menjadi 544,60 VHN atau meningkat 97,88 %. Dengan kekerasan tersebut

diprediksikan QTS menjadi material yang tahan peluru dan dapat digunakan sebagai

alternatef material dasar untuk membuat bodi kendaraan tempur.

Selanjutnya terhadap material QTS dilakukan pengujian mikrostruktur logam dan

hasilnya ditampilkan dalam gambar 5.3 berikut.

Gambar 5.3. Mikrostruktur QTS

Dari gambar 5.3 tersebut diketahui bahwa mikrostruktur QTS didominasi oleh struktur

martensite yang memiliki sifat keras, sulit dibentuk dan memiliki weldability yang rendah.

Dengan komposisi unsur material HRSP sesuai tabel 4.1 dan berdasarkan persamaan 2-12

dan persamaan 2-13 bahwa Carbon equivalen HRSP (Ceq) sebesar 0,70866 % atau lebih dari

0,41 % yang berarti rentan mengalami retak dingin dalam proses pengelasan. Dari sisi

kekerasan material QTS mampu memenuhi syarat sebagai material bodi kendaraan tempur

karena kekerasannya sekitar 544,6 VHN, namun dari sisi manufaktur terkait sifat mampu las

tergolong rendah karena mikrostrukturnya martensite. Oleh karenanya penambahan fluks

magnet eksternal selama proses pengelasan QTS merupakan upaya rekayasa manufaktur yang

diharapkan mampu mengatasi permasalahan pengelasan QTS.

55

5.3. Hasil Pengujian Fluks Magnet

Proses pengujian besar fluks magnet dilakukan sebelum proses pengelasan terhadap

QTS. Arus listrik DC dialirkan ke solenoida berupa lilitan kawat tembaga pada plat baja

karbon rendah berdimensi (100 mm x 100 mm x 10 mm) dan ditempelkan pada benda kerja

las dari dua arah secara tranversal sebagaimana gambar 4.2 dan gambar 5.4. Pengujian besar

fluks magnet dilakukan pada posisi pusat las (daerah kampuh las) dengan menggunakan

teslameter digital. Pengujian fluks magnet dilakukan dengan 3 kali pengulangan untuk

masing-masing variasi arus DC yang dialirkan dan diambil rata-ratanya. Instalasi pengujian

disusun seperti pada gambar 5.4 berikut.

Gambar 5.4 Instalasi pengujian besar fluks magnet eksternal.

Dari variasi arus DC yang dialirkan pada solenoida dari dua arah dihasilkan data besar

fluks magnet berdasarkan data indikator pada teslameter digital, sebagaimana yang

ditunjukkan pada tabel 5.4. Dan hasil pengujian fluks magnet untuk benda kerja QTS tebal 10

mm dan 5 mm segagaimana ditampilkan dalam tabel 5.4 dan 5.5 berikut ini.

Tabel 5.4 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada

solenoida terhadap benda kerja tebal 10 mm

ARUS (A) BESAR FLUKS MAGNET (mT) RATA-RATA (mT)

Tanpa (0) 0 0

3 2,4 2,3 2,5 2,40

6 3,4 3,4 3,4 3,40

9 4,6 4,4 4,3 4,43

12 6,5 6,5 6,3 6,43

15 9,1 9 9 9,03

56

Tabel 5.5 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada

solenoida terhadap benda kerja tebal 5 mm

ARUS DC

(Ampere) BESAR FLUKS MAGNET (mT) RATA-RATA (mT)

Tanpa (0) 0 0

3 0.85 0.95 0.9 0,9

6 1.55 1.8 1.75 1,7

9 2.1 2.4 2.4 2,3

15 2.95 3.1 3.25 3,1

Dari tabel 5.4 dan tabel 5.5 diketahui bahwa arus listrik DC yang dialirkan ke

solenoida dari 2 (dua) arah secara transversal akan menghasilkan fluks magnet (B) yang

menuju ke pusat las. Semakin besar arus listrik DC yang dialirkan ke solenoida akan

memperbesar nilai fluks magnet (B) yang mengalir ke pusat las. Dengan meningkatnya fluks

magnet (B) menuju ke pusat las akan memperbesar gaya Lorenz (FL) yang bekerja pada

kolam las. Arah arus listrik (I), fluks magnet (B) dan gaya Lorenz (FL) dalam teori dasar

elektromagnetik mengikuti hukum tangan kanan sebagaimana gambar 5.5 berikut ini.

Gambar 5.5. Arah medan magnet (B) dan gaya Lorenz (FL) akibat arus listrik

Sedangkan arah medan magnet eksternal (B) dan gaya Lorenz (FL) pada arus yang

dialirkan ke solenoida sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini diilustrasikan dalam

gambar 5.6 berikut ini.

57

Gambar 5.6. Arah arus las (I), medan magnet eksternal (B) dan arah arus konveksi logam cair

pada kolam las akibat gaya Lorenz (FL) akibat I eksternal

Dengan mengalirkan arus DC ( I eksternal) ke solenoida yang ditempelkan ke benda kerja las

dari dua arah secara transversal akan menambahkan fluks magnet (B) ke arah pusat las. Agar

fluks magnet (B) dari dua arah mengarah ke pusat las maka lilitan solenoida diatur dengan

menggunakan hukum tangan kanan. Fluks magnet (B) ini akan memperbesar gaya Lorenz

(FL) di pusat las yang menekan logam cair ke bawah sehingga menghasilkan sirkulasi logam

cair yang membentuk fluks ganda sebagaimana gambar 5.6 (bawah). Dengan kenaikan gaya

elektromagnetik pada kolam las menyebabkan laju sirkulasi logam cair pada kolam las juga

meningkat.

5.4. Hasil Pengukuran Temperatur

Pengambilan data temperatur dilakukan dengan menempelkan kawat termokopel tipe

K pada jarak 10 mm dari pusat las dan jarak 50 mm dari ujung pengelasan. Titik pemasangan

kawat termokopel berada pada daerah HAZ. Kawat termokopel dihubungkan ke data loger

untuk membaca temperatur dengan kecepatan pembacaan 1 data tiap detik. Selanjutnya data

tersebut di transfer ke perangkat computer/ laptop dan dapat ditampilkan dalam bentuk grafik

siklus termal. Data temperatur las pada jarak 10 mm dari pusat las berdasarkan perubahan

besar fluks magnet yang ditambahkan dari luar dapat dilihat pada Lampiran.

58

Selanjutnya data temperature tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik siklus termal

sebagaimana gambar 5.7. berikut.

Gambar 5.7 Grafik siklus termal pada jarak 10 mm dari pusat las

Dari gambar 5.7. diketahui bahwa semakin besar fluks magnet yang ditambahkan dari luar

menyebabkan temperatur puncak pada jarak 10 mm dari pusat las semakin turun. Penuruan

temperatur puncak las sebanding dengan penurunan temperatur puncak pada logam cair yang

disebabkan oleh meningkatnya gaya elektromagnetik pada kolam las. Peningkatan gaya

elektromagnetik ini menyebabkan sirkulasi logam cair pada kolam las semakin cepat selama

pengelasan. Sirkulasi logam cair yang semakin cepat menyebabkan koefisien konduktifitas

termal (kL) meningkat sehingga pelepasan panas secara konduksi pada logam cair semakin

besar yang mengakibatkan temperatur puncak las turun. Hal ini tentu juga berdampak pada

penurunan temperatur pucak HAZ (jarak 10 mm dari pusat las). Temperatur puncak pada

jarak 10 mm dari pusat las diketahui sebesar 658,7 oC pada spesimen tanpa penambahan fluks

magnet, kemudian menurun dengan penambahan fluks magnet sebesar 2,4 mT menjadi 536

oC sampai dengan penambahan fluks magnet 9,03 mT menjadi 453

o C.

Sedangkan dari gambar 5.8 diketahui bahwa penambahan fluks magnet dari luar

secara transversal dari dua arah menyebabkan laju pendinginan pasca pengelasan turun.

Semakin besar fluks magnet yang ditambahkan menyebabkan laju pendinginan pasca

pengelasan semakin turun. Grafik pendinginan yang curam menandakan bahwa logam

mengalami pendinginan yang cepat dan sebaliknya grafik laju pendinginan yang semakin

landai menandakan laju pendinginan yang semakin lambat. Dengan mengambil data

59

pendinginan antara 4000

C sampai 200o

C tampak bahwa grafik yang paling curam dihasilkan

dari spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Selanjutnya grafik pendinginan semakin

landai dari spesimen yang diberi penambahan fluks magnet sebesar 2,4 mT sampai 9,03 mT.

Hal ini disebabkan karena penurunan temperatur puncak telah menyebabkan gradien

temperatur (temperatur per satuan waktu) semakin kecil yang menunjukkan bahwa laju

pendinginannya semakin turun. Hal ini sesuai dengan persamaan laju pendinginan untuk pelat

tipis (memerlukan kurang dari 4 layer ), yaitu: Tsai, (1995, p.12)

3

2

)(....2 ToTcHnett

hCskR

,

dengan R (laju pendinginan) sebanding dengan gradien temperatur.

Gambar 5.8 Grafik laju pendinginan pada Jarak 10 mm dari pusat las

Perilaku siklus termal dan laju pendingian tersebut tentunya juga identik dengan yang

terjadi pada pusat las sebagaimana gambar 2.1. Pendinginan pasca pengelasan yang semakin

lambat pada HAZ karena pengaruh penambahan fluks magnet eksternal menyebabkan

perubahan mikrostruktur yang terbentuk juga tidak sama. Mikrostruktur QTS sebagaimana

gambar 5.3 didominasi oleh mikrostruktur martensit yang rapat. Karena pengaruh distribusi

panas las yang tinggi, maka mikrostruktur HAZ akan berubah menjadi austenit. Selanjutnya

laju pendinginan las yang termasuk kategori pendinginan cepat kemungkinan akan terbentuk

mikrostruktur akhir martensite (M), bainite bawah (lower bainite - LB) atau bainite atas

(upper bainite - UB) sebagaimana gambar 2.4. tergantung laju pendinginannya.

60

(a)

(b)

( c )

(d)

( e )

(f)

Gambar 5.9. Mikrostruktur HAZ dengan perbesaran 400x

(a) 0 mT; (b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT

Gambar 5.9 (a) menunjukkan mikrostruktur HAZ pada logam QTS tanpa penambahan

fluks magnet eksternal. Mikrostruktur yang terbentuk menunjukkan struktur yang masih rapat

yang didominasi oleh mikrostruktur martensite dan bainit bawah (lower bainite-LB) serta

hanya sebagian kecil terbentuk bainit atas (upper bainite-UB). Mikrostruktur HAZ pada

M

LB

UB

M

LB

UB

UB

UB

UB

LB

LB

LB

M

LB

UB

M

M

61

gambar 5.9 (b) sampai 5.9 (f) menunjukkan bentuk mikrostruktur akhir yang cenderung

membentuk bainit bawah (lower bainite-LB) dan bainit atas (upper bainite-UB), sedangkan

mikrostruktur martensit (M) semakin hilang. Laju pendinginan lambat pada HAZ

menyebabkan mikrostruktur austenit berdekomposisi membentuk sruktur bainit atas (upper

bainite-UB) dan laju pendinginan pasca pengelasan yang lebih cepat menyebabkan

mikrostruktur HAZ yang terbentuk adalah bainit bawah (lower bainite-LB) dan jika lebih

cepat lagi akan terbentuk struktur martensite (M). Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 5.9.

berikut.

Gambar 5.10 menunjukkan mikrostruktur logam las QTS yang terbentuk akibat

penambahan fluks magnet eksternal. Pada gambar 5.10 (a) tampak bahwa logam las QTS

tanpa menambahan fluks magnet didominasi oleh mikrostruktur acicular ferrite (AF) dan

widmanstatten ferrite (WF) serta sedikit grain boundary ferrite (GF). Pada gambar 5.10 (a)

juga nampak tingkat porositas yang tinggi dibanding spesimen dengan penambahan fluks

magnet. Mikrostruktur acicular ferrite (AF) terbentuk dari laju pendinginan yang tinggi.

Sedangkan porositas yang tinggi pada logam las terbentuk akibat gas yang larut dalam kolam

las tidak mampu dilepaskan ke permukaan las dan terjebak di dalam kolam las selama

solidifikasi. Hal ini diakibatkan oleh laju sirkulasi logam cair yang tidak terlalu tinggi pada

kolam las. Jika laju sirkulasi logam cair dalam kolam tinggi tinggi, maka gas yang terlarut

dalam kolam las akan mampu diangkat ke permukaan dengan cepat. Pada gambar 5.10 (b)

dan 5.10 (c) menunjukkan mikrostruktur acicular ferrite (AF) semakin berkurang dan mulai

banyak terbentuk grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF). Hal ini terjadi

karena laju pendinginan pasca pengelasan semakin turun.

62

(a)

(b)

( c )

(d)

( e )

(f)

Gambar 5.10. Mikrostruktur logam las QTS dengan perbesaran 400x

(a) 0 mT; (b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT

Sedangkan pada gambar 5.10 (d) sampai 5.10 (f) acicular ferrite (AF) semakin hilang

dan mikrostruktur grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) semakin

dominan. Mikrostruktur grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) juga

AF

GF

WF

Porositas GF

WF

GF WF

GF

WF

GF

WF

GF

WF

AF

AF

PF

63

tersusun memiliki pola yang lebih homogen dibanding pada gambar 5.10 (a) sampai 5.10 (c).

Pola dan susunan yang semakin homogen diakibatkan oleh sirkulasi logam cair pada kolam

las yang semakin cepat sehingga proses mixing lebih efektif. Laju pendinginan pasca

pengelasan yang semakin lambat juga memungkinkan pembentukan mikrostruktur acicular

ferrite (AF) semakin sulit.

5.5. Hasil Pengujian Cacat Las

Pengujian cacat hasil pengelasan dilakukan dengan menggunakan uji radiografi. Dari

hasil pengamatan film negatif menggunakan viewer dengan lampu, didapatkan hasil foto

daerah sambungan las seperti pada gambar 5.11.

Gambar 5.11. Foto daerah las dan HAZ dari film negatif hasil uji radiografi

Pada gambar 5.11 tampak daerah lasan berwana putih. Dengan menggunakan

Software Autodesk Inventor 2012, didapatkan data luasan cacat las secara makro dibanding

luasan sambungan las dari spesimen uji. Selanjutnya prosentase cacat las didapatkan dari

hasil perbandingan luasan cacat las dengan luasan sambungan las. Metode dan hasil

pengukuran ditunjukkan pada gambar 5.12. berikut.

Gambar 5.12. luasan cacat las (2 dimensi) dengan Software Autodesk Inventor 2012.

64

Selanjutnya data hasil pengujian prosentase cacat las dari keseluruhan spesimen

ditampilkan dalam tabel 5.6. dan grafik pada gambar 5.13.

Tabel 5.6 Data hasil pengujian cacat las menggunakan uji radiografi dan Software

Autodesk Inventor 2012

FLUKS MAGNET

(mT)

CACAT LAS (%) RATA-RATA (%) I II

0 2,145 2,145

2,4 1,072 0,534 0,803

3,4 0,506 0,142 0,324

4,43 0,135 0,283 0,211

6,43 0,027 0,309 0,168

9,03 0,049 0,13 0,0895

Gambar 5.13. Grafik perubahan prosentase cacat las akibat penambahan

fluks magnet eksternal

Berdasarkan gambar 5.13 terjadi penurunan prosentase cacat las (%) secara makro

akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT) selama proses pengelasan. Semakin besar

fluks magnet eksternal yang ditambahkan menghasilkan prosentase cacat las semakin kecil.

Untuk mendukung hasil pengujian cacat las menggunakan uji radiografi, dilakukan

pengamatan porositas pada penampang melintang daerah las pada spesimen menggunakan

Scanning Electron Microscope (SEM). Dari gambar SEM spesimen dengan pembesaran

5000x tersebut dilakukan pengujian porositas las menggunakan program Image J

sebagaimana gambar 5.14. Selanjutnya dari data uji cacat porositas menggunakan program

image J tersebut, hasilnya ditampilkan dalam tabel 5.7.

65

0 mT

2.4 mT

3.4 mT

4.43 mT

6.43 mT

9.03 mT

Gambar 5.14. Cacat porositas pada penampang melintang logam las akibat penambahan fluks

magnet eksternal dengan pembesaran 5000x

Tabel 5.7 Data hasil pengujian cacat porositas menggunakan foto SEM

(pembesaran 5000x) dan Software Image J

FLUKS MAGNET

(mT)

CACAT

POROSITAS (%)

0 9,656 %

2,4 1,742 %

3,4 1,529 %

4,43 1,550 %

6,43 1,337 %

9,03 1,101 %

66

Gambar 5.15. Grafik perubahan prosentase cacat porositas akibat penambahan

fluks magnet eksternal

Dari gambar 5.14, tabel 5.7 dan gambar 5.15 diketahui bahwa semakin besar fluks

magnet eksternal yang ditambahkan selama proses pengelasan menyebabkan prosentase cacat

las dan porositas pada logam las semakin berkurang. Penambahan fluks magnet selama

pengelasan menyebabkan gaya elektromagnetik yang bekerja pada kolam las semakin besar.

Gaya elektromagnetik yang semakin besar menyebabkan laju sirkulasi dan pengadukan

logam cair pada kolam las semakin cepat. Laju sirkulasi logam cair yang semakin cepat akan

mempermudah pelepasan gas dan oksida dari dalam kolam las ke permukaan sehingga cacat

las dan porositas pada logam las semakin rendah.

Untuk melihat perilaku arus konveksi logam cair pada kolam las, dilakukan

pengamatan pada penampang melintang logam las dengan foto makro. Foto makro

penampang melintang las digunakan untuk membandingkan perubahan pola konveksi kolam

las antara spesimen tanpa penambahan fluks magnet eksternal dengan spesimen yang diberi

penambahan fluks magnet eksternal. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.16.

67

(a) (b)

Gambar 5.16. Pola konveksi logam las pada kolam las dengan pembesaran 20 x

(a) Tanpa fluks magnet eksternal (0 mT), (b) dengan fluks magnet eksternal 9,03 mT.

Dari gambar 5.16 nampak bahwa terdapat perbedaan pola konveksi logam cair pada

kolam las antara spesimen tanpa penambahan fluks magnet eksternal (0 mT) dengan

spesimen yang diberi penambahan fluks magnet eksternal 9,03 mT. Pada spesimen tanpa

fluks magnet eksternal menunjukkan bentuk sirkulasi logam cair yang lambat dengan

morfologi garis sirkulasi yang kurang jelas karena gaya elektromagnetik yang bekerja pada

kolam las hanya bersumber dari arus listrik las. Gaya elektromagnetik yang dihasilkan dari

arus listrik las tanpa penambahan fluks magnet menghasilkan garis-garis guratan dari pola

sirkulasi logam cair yang kurang nampak, yang menandakan laju sirkulasi logam cair yang

rendah sebagaimana gambar 5.16 (a). Sedangkan pada spesimen dengan penambahan fluks

magnet eksernal 9,03 mT mampu menghasilkan guratan garis dari pola konveksi logam cair

yang lebih jelas. Fluks magnet yang ditambahkan dari luar mampu menaikkan gaya

elektromagnetik yang bekerja pada kolam las, sehingga laju sirkulasi logam cair pada kolam

las juga meningkat. Pada saat pengelasan, gaya elektromagnetik menyebabkan aliran logam

cair pada pusat kolam las membentuk loop ganda yang mengarah ke pusat las, kemudian

mengarah ke bawah dan cenderung menghasilkan penetrasi yang dalam dan sempit

sebagaimana gambar 5.16(b).

5.6. Hasil Pengujian Kekuatan Impak

Untuk mengetahui pengaruh penambahan fluks magnet terhadap keuletan hasil lasan

QTS dilakukan dengan melakukan uji impak hasil lasan. Pengujian impak dilakukan dengan

metode impact charpy test. Takikan spesimen impak dibuat di bagian pusat las. Data hasil

68

pengujian impak selanjutnya digunakan untuk menghitung kekuatan hasil lasan QTS terhadap

beban impak.

Spesifikasi pendulum pada alat uji impak adalah :

Panjang lengan pendulum ( R ) : 750 mm

Massa dari pendulum (m) : 26,2 kg

Sudut simpangan akhir tanpa beban (α0) : 117 o

Perhitungan energi impak

Energi ideal

Energi atau usaha untuk mematahkan specimen tanpa penambahan fluks magnet dapat

dicari dari persamaan :

E’ = WH1-WH2

= W (H1 – H2)

= W ((R – R Cos α) – (R – R Cos β))

= WR (1 - Cos β) – (1- Cos α)

= WR ( Cos β – Cos α)

Dengan : E’ = Energi untuk mematahkan spesimen [J]

m = Massa dari pendulum [kg]

g = Percepatan gravitas = 10 [m/s2]

W = Berat pendulum [N] = m.g

H1 = Tinggi Kedudukan awal Pendulum [m]

H2 = Tinggi pendulum setelah mematahkan [m]

R = Panjang lengan pendulum [m]

α = Sudut simpangan awal [o]

β = Sudut simpangan akhir dengan beban [o]

Perhitungan energi untuk mematahkan spesimen :

E’ = WH1-WH2

= W (H1 – H2)

= WR (1 - Cos β) – (1- Cos α)

= WR ( Cos β – Cos α)

= 26,2 . 0,75. 10 ( Cos 88 o - Cos 120

o)

= 105,11 Joule

69

Perhitungan kerugian energi

Energi gesekan dapat kita hitung melalui besarnya energi ayunan sebelum specimen

diletakkan di dudukan.

f = WR (Cos α0 – Cos α)

Dengan : f = energi gesekan [J]

α0 = Sudut simpangan akhir tanpa beban [o]

f = WR (Cos α0 – Cos α)

f = 26,2 . 0,75 . 10 (Cos 117 o – Cos 120

o)

f = 9,04 Joule

Perhitungan energi aktual

Untuk menghitung energi aktual maka di dapatkan rumus sebagai berikut:

E = E’ – f

E = 105.11 Joule – 9.04 Joule

E = 96,07 Joule

Hasil perhitungan kekuatan impak

Bila energi ini kita bagi dengan luas penampang melintang dari patahan di bawah

takikan maka kita akan dapatkan besarnya kekuatan impak .

dengan : Ak = Kekuatan impak atau nilai pukul takik [J. mm-2

]

E = Energi patahan secara ak tual [J]

A0 = Luas penampang batang lintang dibawah takikan [mm2]

Perhitungan kekuatan impak

= 1,2 J/mm2

Selanjutnya hasil pengolahan data hasil uji impak ditampilkan secara lengkap sebagaimana

tabel 5.8. Data kekuatan impak spesimen uji akibat penambahan fluks magnet dari luar

selanjutnya ditampilkan dalam grafik pada gambar 5.17.

70

Tabel 5.8 Data hasil pengujian impak

Gambar 5.17. Grafik kekuatan impak daerah las QTS

Dari gambar 5.17 diketahui bahwa penambahan fluks magnet eksternal mampu

menaikkan kekuatan impak QTS. Spesimen tanpa penambahan fluks magnet memiliki

kekuatan impak paling rendah yaitu 1,2 J/mm2. Kekuatan impak semakin meningkat dengan

penambahan fluks magnet eksternal yang semakin besar. Berturut-turut pada penambahan

fluks magnet 2,4 mT menghasilkan kekuatan impak 1,32 J/mm2, dan meningkat terus sampai

pada penambahan fluks magnet 9,03 mT yang menghasilkan kekuatan impak 1,95 J/mm2.

Meningkatnya kekuatan impak akibat pengaruh penambahan fluks magnet eksternal terkait

dengan penurunan laju pendingan pasca pengelasan pada gambar 5.8 dan gambar 5.10, yaitu

laju pendinginan pasca pengelasan yang semakin rendah dan sirkulasi logam cair yang

semakin cepat menyebabkan mikrostruktur logam las yang terbentuk memiliki pola dan

71

susunan yang semakin homogen dengan mikrostruktur yang didominasi oleh grain boundary

ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF). Mikrostruktur dengan pola dan susunan yang

semakin homogen menghasilkan kekuatan impak yang semakin besar.

Untuk mendukung pernyataan tersebut dilakukan analisa bentuk permukaan patahan

impak. Dari analisa morfology patahan impak diketahui bahwa patahan spesimen tanpa

penambahan fluks magnet menunjukkan bentuk patahan campuran antara patahan getas dan

patahan ulet dengan dominasi patahan getas. Sedangkan bentuk patahan spesimen dengan

penambahan fluks magnet menunjukkan bentuk patahan yang didominasi oleh patahan ulet.

Bentuk patahan spesimen uji impak akibat penambahan fluks magnet eksternal ditampilkan

dalam gambar 5.20 berikut.

(a) (b)

(b) (d)

(e) (f)

Gambar 5.18 Permukaan patahan spesimen uji impak (a) 0 mT; (b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT;

(d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT.

Dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) perbesaran 2000x pada

spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0 mT) dan spesimen dengan penambahan fluks

magnet 9,03 mT semakin terlihat jelas perbedaan bentuk penampang patahannya.

72

(a) (b)

Gambar 5.19. Permukaan patahan hasil SEM a) 0 mT, b) 9,03 mT

Dari gambar 5.19.(a) terlihat bentuk pola patahan cleavage. Patahan cleavage terjadi

pada material yang mengalami perpatahan akibat membelah butiran logam/kristalin, yang

dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari logam yang rapuh

(brittle). Patahan jenis ini ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu

memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat). Sedangkan gambar 5.19.(b)

memperlihatkan bentuk pola patahan dimple. Patahan dimple terjadi akibat beban yang

overload, mengakibatkan terbentuknya kekosongan butiran yang kemudian bergabung pada

struktur paduan. Kekosongan butiran yang bergabung ini mengakibatkan regangan

discontinuity, ketika regangan meningkat menyebabkan kekosongan butiran ini tumbuh

kemudian membentuk permukaan patahan yang menampilkan cekungan-cekungan yang

semakin membesar. Kekosongan butiran yang bergabung dan menumpuk inilah yang

membentuk patahan dimple. Pola patahan dimple sering dijumpai pada material yang ulet.

5.7. Hasil Pengujian Tarik Spesimen QTS

Untuk mengetahui besarnya tegangan luluh dan tegangan ultimate pada masing-

masing benda kerja akibat penambahan fluks magnet dari luar selama pengelasan maka

dilakukan pengujian tarik. Pengujian tarik dilakukan pada spesimen tanpa penambahan fluks

magnet (0 mT) maupun spesimen dengan penambahan fluks magnet mulai dari 0,9 mT, 1,7

mT, 2,3 mT dan 3,1 mT. Data hasil uji tarik spesimen QTS ditampilkan dalam tabel 5.9.

73

Tabel 5.9 Data hasil uji tarik spesimen QTS dengan penambahan fluks magnet

Fluks Magnet (mT) Yield Strength (N/mm 2) Ultimate Tensile Strength (N/mm

2)

Logam dasar (QTS) 648,148 1555,556

Tanpa penambahan ( 0 ) 644,081 653,385

0,9 153.314 532,484

1,7 119.748 357,554

2,3 448.657 490,522

3,1 219.470 260,046

Dari data pengujian tarik dihasilkan data tertinggi pada spesimen tanpa penambahan fluks

magnet yaitu sebesar 653,385 N/mm2. Semakin besar fluks magnet eksternal yang

ditambahkan menyebabkan nilai ultimate tensile strength cenderung semakin menurun.

Gambar 5.20. Grafik hasil pengujian tarik masing-masing spesimen

Gambar 5.20. menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet eksternal secara

transversal dari dua arah menyebabkan kekuatan tarik spesimen uji lebih rendah dibanding

spesimen tanpa penambahan fluks magnet eksternal. Kekuatan tarik semakin turun dari

spesimen tanpa penambahan fluks magnet ke spesimen dengan penambahan fluks magnet 0,9

mT dan 1,7 mT. Ketika fluks magnet yang ditambahkan dinaikan menjadi 2,3 mT kekuatan

tariknya meningkat sedikit, namun ketikan fluks magnetnya dinaikkan lagi menjadi 3.1 mT

kekuatan tariknya turun kembali. Penurunnan kekuatan tarik ini diakibatkan oleh proses

pelunakan akibat laju pendinginan pasca pengelasan yang semakin lambat. Penambahan fluks

magnet yang semakin besar selama pengelasan menyebabkan gaya elektromagnetik yang

bekerja pada kolam las juga semakin besar. Gaya elektromagnetik yang semakin besar akan

74

meningkatkan laju sirkulasi logam cair pada kolam las dan menurunkan laju pendinginan

pasca pengelasan (gambar 5.8). Laju pendinginan yang semakin lambat menyebabkan

mikrostruktur las cenderung membentuk grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten

ferrite (WF) sedangkan mikrostruktur acicular ferrite (AC) semakin hilang (gambar 5.10).

Mikrostruktur las yang didominasi oleh grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten

ferrite (WF) inilah yang menyebabkan kekuatan tariknya semakin rendah. Meningkatnya

kekuatan tarik spesimen dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT dibanding spesimen

dengan penambahan fluks magnet 1,7 mT dan 3,1 mT karena mikrostrukturnya memiliki

bentuk dan pola yang lebih homogen (gambar 5.10).

Nilai ultimate tensile strength yang didapatkan dari hasil pengujian tarik selanjutnya

digunakan untuk menentukan besarnya beban maksimum yang akan diberikan pada spesimen

uji perambatan retak fatik. Beban maksimum yang diberikan pada pengujian perambatan

retak fatik diambil 0,3 dari tegangan ultimate-nya dengan dikalikan luas penampang benda

uji. Berikut contoh perhitungan untuk menentukan tegangan maksimum pada pembebanan uji

perambatan retak fatik untuk spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0 mT).

Diketahui : (N/ mm2)

(mm2)

Penyelesaian :

kN

5.8. Hasil Pengujian Laju Perambatan Retak Fatik Spesimen QTS

Dalam pengujian laju perambatan retak fatik, pertama harus ditentukan besarnya

pembebanan dengan mengacu pada hasil uji tarik tiap-tiap spesimen. Beban maksimum yang

diberikan saat pengujian perambatan retak fatik diambil 0,3 dari tegangan ultimate-nya

dikalikan luas penampang spesimen uji. Dalam penelitian ini beban minimumnya diambil 0

(nol) sehingga siklus pembebanannya (+ dan 0). Dalam pengujian laju perambatan retak fatik

perlu juga ditentukan besar siklus yang akan digunakan selama pengujian. Selama mesin uji

melakukan proses pengujian juga dilakukan pengamatan terhadap penambahan panjang retak

pada spesimen uji menggunakan digital microscope. Proses ini dilakukan berulang sampai

75

spesimen uji patah. Gambar 5.21. menunjukkan salah satu contoh hasil uji perambatan retak

fatik yang diamati menggunakan digital microscope dengan pembesaran 200x.

Gambar 5.21. Hasil pengamatan perambatan retak fatik menggunakan digital microscope

untuk spesimen dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT (perbesaran 200x)

Selanjutnya data hasil pengujian perambatan retak fatik dari masing-masing spesimen uji

dapat dilihat pada lampiran.

5.8.1. Pengaruh penambahan fluks magnet eksternal terhadap jumlah siklus

pembebanan fatik

Jumlah siklus pembebanan fatik pada awal pertumbuhan retak ternyata berbeda untuk

tiap spesimen sebagaimana gambar 5.22. Perbedaan jumlah siklus pembebanan pada awal

pertumbuhan retak menunjukkan perbedaan tingkat kekakuan (elastisitas) spesimen sampai

muncul awal pertumbuhan retak (Δa1). Dalam hal ini Δa1 diukur mulai 10 % dari panjang

retak awal spesimen uji (a0) yaitu sekitar 0,1 x 2 mm = 0.2 mm. Spesimen dengan jumlah

siklus pembebanan fatik yang tinggi pada awal pertumbuhan retak (Δa1) menunjukkan tingkat

kekakuan atau elastisitas yang tinggi di ujung retak awal (a0).

Dari gambar 5.22 nampak bahwa penambahan fluks magnet eksternal secara

transversal dari dua arah sebesar 0,7 mT dan 1,7 mT menyebabkan jumlah siklus

pembebanan fatik pada awal pertumbuhan retak (Δa1) = 0,2 mm turun dibanding tanpa

penambahan fluks magnet (0 mT). Ini menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet 0,9 mT

dan 1,7 mT selama pengelasan menyebabkan spesimen QTS mengalami penurunan sifat

kekakuan atau elastisitas di ujung retakan awal (a0). Hal ini mengindikasikan ada proses

pelunakan yang diakibatkan oleh penurunan laju pendinginan. Pelunakan ini disebabkan oleh

semakin hilangnya mikrostruktur acicular ferrite (AF) dan semakin dominannya

mikrostruktur grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) sebagaimana

gambar 5.10. Selanjutnya pada penambahan fluks magnet sebesar 2,3 mT dan 3,1 mT

menghasilkan jumlah siklus pembebanan pada awal pertumbuhan retak (Δa1) lebih tinggi dari

76

spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan

fluks magnet sebesar 2,3 mT dan 3,1 mT menyebabkan elastisitas di ujung retak pada retakan

awal (a0) meningkat yang ditunjukkan dengan sulitnya terjadi pertumbuhan retak awal (Δa1).

Peningkatan sifat elastisitas di ujung retakan awal (a0) ini diindikasikan karena pengaruh

peningkatan sirkulasi logam cair di kolam las yang menyebabkan proses pencampuran logam

dasar dan logam pengisi dari electrode semakin efektif sehingga mikrostruktur yang

terbentuk lebih homogen (gambar 5.10).

Gambar 5.22. Perubahan jumlah siklus pembebanan (N) pada Δa1 = 0,2 mm

Gambar 5.23 menunjukkan perubahan jumlah siklus pembebanan fatik pada spesimen

QTS akibat penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah. Penambahan

fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah menyebabkan jumlah siklus

pembebanan fatik sampai spesimen uji patah semakin meningkat. Artinya penambahan fluks

magnet eksternal menyebabkan spesimen QTS semakin tahan terhadap perambatan retak.

Jumlah siklus pembebanan fatik meningkat dengan menambahkan fluks magnet dari 0,9 mT

sampai 2,3 mT, kemudian turun kembali pada penambahan fluks magnet 3,1 mT.

Penambahan fluks magnet dari luar sebesar 0,9 mT sampai 2,3 mT menyebabkan

gaya elektromagnetik yang bekerja pada kolam las meningkat sehingga laju sirkulasi logam

cair pada kolam las semakin cepat. Dampaknya adalah logam induk dan logam pengisi lebih

mudah tercampur dan gas yang larut di kolam las semakin mudah terangkat ke permukaan.

Jumlah siklus pembebanan fatik yang semakin meningkat menunjukkan ketahanan terhadap

perambatan retak fatik semakin meningkat. Namun ketika fluks magnet yang ditambahkan

ditingkatkan dari 2,3 mT ke 3,1 mT jumlah siklus pembebanan fatik justru turun kembali. Hal

ini disebabkan karena gaya elektromagnetik yang semakin besar menyebabkan laju

pendinginan yang semakin lambat sebagaimana gambar 5.8. Laju pendinginan yang lambat

77

menghasilkan mikrostruktur logam las yang didominasi oleh mikrostruktur grain boundary

ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) yang memiliki kekerasan rendah dan bersifat

lunak sehingga laju perambatan retak fatiknya turun lagi. Gaya elektromagnetik yang terlalu

besar juga menyebabkan sirkulasi logam cair yang terlalu cepat tidak mampu diimbangi oleh

kecepatan pengumpanan elektrode yang dijaga konstan. Hal ini berakibat pencampurannya

kurang efektif.

Gambar 5.23. Jumlah siklus pembebanan fatik (N) sampai spesimen uji patah akibat

penambahan fluks magnet eksternal (mT)

5.8.2. Hubungan panjang retak terhadap jumlah siklus pembebanan akibat

penambahan fluks magnet eksternal

Gambar 5.24 menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet menyebabkan laju

perambatan retak fatik spesimen uji lebih lambat. Pada panjang retak yang sama,

penambahan fluks magnet sebesar 0,9 mT sampai 2,3 mT menghasilkan jumlah siklus

pembebanan fatik semakin meningkat dan menurun kembali pada penambahan fluks magnet

3,1 mT.

Hal tersebut disebabkan karena dengan menambahkan fluks magnet eksternal selama

pengelasan sebesar 0,9 mT sampai 2,3 mT akan meningkatkan gaya elektromagnetik yang

berdampak pada peningkatan laju sirkulasi logam cair pada kolam las. Dengan meningkatnya

laju sirkulasi logam cair pada kolam las menyebabkan gas-gas dan inklusi dapat terangkat ke

permukaan lasan sebelum solidifikasi sehingga dapat mengurangi cacat porositas dan inklusi

pada logam las. Cacat las yang semakin rendah dan struktur lasan yang semakin homogen

menyebabkan spesimen lebih tangguh terhadap perambatan retak yang ditunjukkan dengan

jumlah siklus pembebanan fatik yang semakin meningkat dan perambatan retak yang

semakin melambat.

78

Gambar 5.24. Grafik perubahan siklus pembebanan fatik (N) terhadap panjang retak (mm)

akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT).

Dengan penambahan fluks magnet eksternal dari 2,3 mT ke 3,1 mT mengakibatkan

laju konveksi pada kolam las terlalu cepat. Laju konveksi yang terlalu cepat memungkinkan

pencampuran logam induk dengan logam pengisi dari elektrode kurang efektif. gaya

elektromagnetik yang semakin besar juga menyebabkan laju pendinginan yang semakin

lambat yang menghasilkan mikrostruktur logam las yang didominasi oleh mikrostruktur grain

boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) yang bersifat lunak sehingga jumlah

siklus pembebanan fatiknya turun lagi. Selain itu penambahan fluks magnet yang terlalu

besar selama pengelasan menyebabkan welder kesulitan dalam mengendalikan kestabilan

pengumpanan elektrode selama pengelasan.

5.8.3. Hubungan laju perambatan retak fatik (da/dN) terhadap faktor intensitas

tegangan (ΔK).

Laju perambatan retak (da/dN) dihitung dengan menggunakan rumus :

Sedangkan faktor intensitas tegangan fatik disimbolkan dengan ΔK (MPa (m)1/2

). Pada

gambar 5.25. dan 5.26 tampak bahwa penambahan fluks magnet 1,7 mT dan 2,3 mT

menghasilkan grafik yang cenderung rebah atau slopnya kecil. Hal ini menunjukkan laju

perambatan retak yang semakin rendah dan ketahanan terhadap perambatan retak semakin

tinggi. Sebaliknya untuk grafik yang cenderung tegak menunjukkan laju perambatan retak

yang tinggi dengan ketahanan retak yang rendah.

79

Gambar 5.25. Grafik da/dN vs ΔK akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT)

Gambar 5.26. Trenline dari grafik hubungan da/dN vs ΔK

Menurut Paris, pertumbuhan retak akan dihasilkan ketika pembebanan yang

diterapkan bervariasi, walaupun tegangan maksimum lebih rendah dari pada teganan kritis.

Paris merumuskan bahwa pertumbuhan retak setiap siklus pembebanan adalah fungsi dari

intensitas tegangan (∆K), dengan rumus :

nKC

dN

da (mm/siklus)

Dalam hal ini C dan n adalah konstanta dalam persamaan Paris. Harga n yang semakin kecil

menunjukkan laju perambatan retak yang semakin rendah dan harga C yang semakin besar

menunjukan ketahanan material terhadap retak yang merambat semakin besar pula.

80

Tabel 5.10 Nilai C dan n dari grafik trenline tiap spesimen dari gambar 5.26

Fluks Magnet

(mT)

C N Persamaan Trenline

0 7E-13 6.5858 Y0 = 7E-13 X6.5858

0.9 5E-13 6.1498 Y0,9 = 5E-13 X6.1498

1.7 1E-11 4.3957 Y1,7 = 1E-11 X4.3957

2.3 3E-10 3.2692 Y2,3 = 3E-10 X3.2692

3.1 7E-13 6.5192 Y3,1 = 7E-13 X6.5192

Dari gambar 5.26 dan tabel 5.10 menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet

selama pengelasan QTS menghasilkan nilai konstanta n yang lebih kecil dan nilai C yang

lebih besar dibanding spesimen QTS tanpa penambahan fluks magnet (0 mT). Hal ini

menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet 0,9 mT; 1,7 mT; 2,3 mT dan 3,1 mT

menyebabkan laju perambatan retak spesimen QTS lebih lambat dan ketangguhan terhadap

perambatan retak lebih tinggi dibandingkan spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0

mT). Spesimen QTS dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT menghasilkan laju

perambatan retak yang paling rendah dan ketangguhan terhadap perambatan retak paling

tinggi dibanding spesimen lain yang ditujukkan dengan nilai n paling kecil dan nilai C paling

besar.

5.8.4. Analisa struktur makro permukaan patahan hasil pengujian retak

Bentuk permukaan patahan hasil pengujian retak fatik secara makro menunjukkan

bentuk patahan campuran antara patah getas dan patah ulet. Patahan getas terjadi di awal

retakan dan pada gambar 5.27; 5.28 dan 5.29 ditunjukkan oleh lingkaran A dengan bentuk

permukaan patahan halus. Sedangkan pada daerah pertengahan patahan sampai akhir patahan

yang ditunjukkan oleh lingkaran B merupakan patahan ulet, yang ditandai dengan bentuk

permukaan patahan yang kasar dan terbentuk necking atau pengecilan penampang spesimen.

Gambar 5.27. Permukaan patahan spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0 mT)

A B

81

Gambar 5.28. Permukaan patahan spesimen dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT

Gambar 5.29 . Permukaan patahan spesimen dengan penambahan fluks magnet 3,1 mT

5.8.5. Analisa struktur mikro permukaan patahan menggunakan Scanning Electron

Microscope (SEM)

Gambar 5.30 menunjukkan adanya celah atau rongga yang masih terjadi dan banyak

cacat inklusi pada logam las spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Cacat

rongga/porositas dan inklusi pada spesimen ini sebesar 3,311 % dan lebih banyak

dibandingkan pada spesimen dengan penambahan fluks magnet. Prosentase cacat yang paling

besar inilah yang menyebabkan jumlah siklus pembebanan yang dimiliki oleh spesimen tanpa

penambahan fluks magnet paling rendah yaitu 65246 siklus.

Gambar 5.30. Foto SEM patahan spesimen 0 mT dengan perbesaran 2700x

Gambar 5.31 menunjukkan hasil foto SEM dari mikrostruktur logam las spesimen

dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT. Nampak bahwa pada gambar tersebut masih

terlihat sedikit celah atau rongga yang merupakan cacat porositas dan cacat inklusi dengan

prosentase sebesar 1,200 %. Namun dibandingkan dengan spesimen lain, cacat yang timbul

lebih sedikit. Jumlah siklus pembebanan pada spesimen dengan penambahan fluks magnet

A B

A B

82

2,3 mT adalah yang paling tinggi yaitu 205988 siklus. Dari gambar 5.31 tersebut juga terlihat

fatigue striation yang menandakan patahan pada spesimen merupakan patahan yang

diakibatkan oleh beban dinamik yang berfluktuasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama

dan berulang-ulang yang dialami oleh spesimen.

Gambar 5.31. Foto SEM patahan spesimen 2,3 mT dengan perbesaran 2300x

Gambar 5.32 menunjukkan foto SEM dari mikrostruktur logam las spesimen dengan

penambahan fluks magnet 3.1 mT. Dari gambar tersebut nampak masih ada celah atau rongga

yang merupakan cacat porositas dan cacat inklusi dengan prosentase sebesar 1,997 % yang

masih lebih rendah dibanding spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Siklus pembebanan

fatiknya mencapai 131875 dan lebih rendah dibanding spesimen dengan penambahan fluks

magnet 2,3 mT.

Gambar 5.32. Patahan spesimen 3,1 mT dengan perbesaran 2100x

83

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari pengolahan data hasil pengujian, analisa dan pembahasan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa :

Menambahkan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah selama pengelasan

dapat merubah karakteristik fisik QTS berupa temperatur puncak dan laju pendinginan

pasca pengelasan HAZ turun, prosentase cacat las dan porositas las turun, mikrostruktur

HAZ lebih didominasi oleh upper bainite (UB) dan mikrostruktur las lebih didominasi

oleh grain boundary ferrite (GF). Menambahkan fluks magnet eksternal secara

transversal dari dua arah selama pengelasan juga dapat merubah karakteristik mekanik

QTS berupa ketangguhan las terhadap beban impak meningkat dan perambatan retak fatik

daerah las melambat.

Semakin besar fluks magnet yang ditambahkan secara transversal dari dua arah selama

proses pengelasan QTS menyebabkan temperatur puncak HAZ semakin turun, laju

pendinginan pasca pengelasan semakin lambat, prosentase cacat las dan porositas daerah

las semakin kecil dan daerah las semakin tahan terhadap beban impak.

Semakin besar fluks magnet eksternal yang ditambahkan menyebabkan mikrostruktur

HAZ semakin didominasi oleh mikrostruktur upper bainite (UB). Sedangkan

mikrostruktur logam las semakin didominasi oleh mikrostruktur grain boundary ferrite

(GF) dan widmanstatten ferrite (WF).

Penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah selama proses

pengelasan QTS sebesar 1,7 mT sampai 2,3 mT menghasilkan jumlah siklus pembebanan

retak fatik semakin meningkat yang mengindikasikan perambatan retak fatik semakin

lambat. Hal ini didukung oleh nilai n yang semakin kecil dan nilai C yang semakin besar.

Sedangkan penambahan fluks magnet dari 2,3 mT ke 3,1 mT menyebabkan jumlah siklus

pembebanan retak fatik turun kembali yang mengindikasikan laju perambatan retak fatik

meningkat kembali.

6.2. Saran

Untuk melengkapi hasil kajian terkait upaya penyelesaian permasalahan kualitas hasil

pengelasan QTS maka di akhir tulisan perlu disaran beberapa hal, antara lain:

84

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada karakteristik fisik, mekanik dan mikrostruktur

HAZ dan daerah batas las dengan HAZ, karena kedua daerah ini umumnya juga rentan

terhadap kegagalan sambungan las.

2. Penambahan fluks magnet selama pengelasan berdampak pada perubahan sifat fisik,

mekanik dan mikrostruktur logam las dan HAZ sehingga perlu dilakukan uji balistik

terhadap daerah sambungan las karena ada indikasi penurunan kekerasan pada daerah

tersebut.

3. Karena ada indikasi terjadi penurunan kekerasan dan pelunakan pada logam las, maka

perlu dikaji pemilihan elektrode yang sesuai untuk material QTS yang dengan

mikrostruktur martensite.

4. Jika daerah sambungan las QTS ternyata masih tertembus peluru saat uji balistik, maka

perlu dilakukan proses pengerasan kembali utamanya pada daerah sambungan.

5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap arah orientasi pengumpanan fluks magnet

ke pusat las dari arah longitudinal maupun vertical.

85

DAFTAR PUSTAKA

Aidun, K. 1999. Effect of Enhanced Convection on the Microstructure of Al-Cu-Li Welds.

Welding Journal : 349(s) – 354(s).

Abdulhamid S. Al-Akel; A. K. Abdelatif; F. Abo Gharbia., 2002. Effect of Preheating on Hot

Cracking Susceptibility of Welded Austenitic Stainless Steels. The 6th

Saudi

Engineering Conference. KFUPM. Dahran.

ASM Handbook, 1995, Welding, Brazing & Soldering, Vol 6

Bannantine, J. A. 1990. Fundamental of Metal Fatigue Analysis. New Jersey: Prentice Hall

Englewood Cliffs.

Béres, L.; Balogh,A.; Irmer.; W. 2001. Welding of Martensitic Creep-Resistant Steels. Weld.

Res. Supl.1: 191-s-195-s.

Broek David. 1987. Elementary Engineering Fracture Mechanics. Netherlands: Martinus

Nijhoff Publisher.

Chatterjee, S.; Doley. B. 2014. Crack Propagation and Fracture Analysis In Engineering

Structure By Generative Part Structural Analysis. Int. J. of Curr. Res. 6. pp: 7032-

7037.

Curiel F. F.; García R.; López V. H. and J. González-Sánchez, 2011, Effect of magneticfield

applied during gas metal arc welding on the resistance to localised corrosion of the

heat affected zone in AISI 304 stainless steel, Corrosion Science Journal on Elsevier,

Volume 53, Issue 7. pp: 2393–2399

Dar, Y.A.; Singh, C.; Farooq,Y. 2014. Effects of External Magnetic Field on Welding Arc of

Shielded Metal Arc Welding. Ind. J.l of App. Res. 4 . pp: 297-303.

Fuchs H. O and Stephens R. I.. 1980. Metal Fatigue in Engineering. USA: John Wiley &

Sons. Incorporated, John

Herrera Noemi D., 2003, Computer Calculation of Fusion Zone Geometry Considering Fluid

Flow and Heat Transfer During Fusion Welding, Welding Journal, USA: The

University of Texas at El Paso.

Hughes M.; Taylor G.A. and Pericleous K. 2000, Thermocapillary and

Magnetohydrodynamic Affects in Modelling the Thermodynamics of Stationary

Welding Processes, Welding Journal, Centre for Numerical Modelling and Process

Analysis, London, UK: University of Greenwich.

Iyer A. H. S., Stiller K., Leijon G., Andersson-Östling H. C. M., Hörnqvist Colliander M.

2017. Influence of dwell time on fatigue crack propagation in Alloy 718 laser welds,

Materials Science and Engineering. Vol. 704. P. 440–447. doi: 10.1016.

j.msea.2017.08.049

Grong Øystein, 1997, Metallurgical modelling of welding, 2nd edition, London England:

Institute of Materials

Kern, M., 2000, Magneto-Fluid Dynamics Control of Seam Quality in CO2 Laser Beam

Welding. www.aws.org.

Khan, Md. Ibrahim. 2007. Welding Science and Technology. New Delhi: New Age

International (P) Ltd.

86

Kostov, I,; Andonov, A. 2005. Modelling of Magnetic Fields Generated by Cone Shape

Coils for Welding with Electromagnetic Mixing. Univ. of Chem.Tech. & Met. Vol.

40, pp: 261-264.

Kou Sindo, 1987. Welding Metallurgy. Singapore: John Wiley & Sons, Inc.

Lancaster, J. F. 1993. Metallurgy of Welding, Fifth Edition. Cambride: Chapman & Hall

Legait, Piere Alexander. 2005. Formation and Distribution of Porosity in Al-Si Welds.

Material Science and Engineering Journal. http://www.swan.ac.uk/mateng/

DaiEurocorr.pdf .(Diakses 9 September 2013)

Messler, R.W. 1999, Principles of Welding. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Naffakh H.; Shamanian M. and Ashrafizadeh F. 2008, Interface and Heat-affected Zone

Features of Dissimilar Welds between AISI 310 Austenitic Stainless Steel and Inconel

657, International Journal of ISSI. Vol. 5. No. 1. Pp: 22-30

Nave, C. R. 2017. About Hyperphysics. Department of Physics and Astronomi. Georgia State

University. Atalanta. Georgia. USA. dalam http://hyperphysics.phy-

astr.gsu.edu/hbase/magnetic/magfie.html#c. (Diakses 2 Januari 2013)

Oreper G.M.; Eagar TW. and Szekely J. 1983. Convection in Arc Kolam las, Welding

Research Supplement, Department of Materials Science and Engineering. MMIT.

Cambridge. Mass.

Qi Shen; Yong Bing Li; Zhong Qin Lin and, Guan Long Chen. 2011. Impact of external

magnetic field on weld quality of resistence spot welding. Journal of Manufacturing

Science and Engineering. Vol. 133. pp: 1-7

Sears Zemansky. 1994. Fisika Untuk Universitas 2. Terjemahan, Bandung: Binacipta.

Senapati, A. and Mohanty, S. 2014. Effects of External Magnetic Field on Mechanical

properties of a welded M.S metal through Metal Shield Arc Welding. Int. J. of Eng.

Trends & Tech. Vol. 10. Pp: 200-203

Seo. J. S.; Kim, H. J.; Ryoo, H. S. 2008. Microstructural parameter controlling weld metal

cold cracking. Journal of Achievement in Materials and Manufacturing Engineering.

Smith, William F. 2004. Foundation of Material Science and Engineering. Third Edition.,

New York: Mc Graw Hill.

Sugiarto dan Denny W., 2005, Meningkatkan ketahanan korosi hasil lasan SMAW baja

karbon rendah dengan pembangkitan medan magnet : Laporan Penelitian tidak

dipublikasikan, Teknik Mesin Unibraw, Malang.

Sugiarto dan Denny W., 2007, Pengaruh penambahan magnet eksternal terhadap perubahan

siklus thermal dan struktur butiran HAZ, Proceeding Seminar Nasional UII,

Yogyakarta.

Tsai, Chon L and Chin M. Tso. 1995. Heat Flow in Fusion Welding ASM Hand Book Volume

6 : Welding, Brazing, and Soldering. Pp: 7-18. ASM International: Colorado

Tse H. C.; Man H. C. and Yue T. M., 1999, Effect of magneticfield on plasma control during

CO2 laser welding, Optics & Laser Technology Jornal on Elsevier, Volume 31, Issue

5, pp: 363–368

Vuherer, T.; Dunđer, M.; Milović, Lj.; Zrilić, M.; Samardžić, I. 2013. Microstructural

Investigation of the Heat-Affected Zone of Simulated Welded Joint of P91 Steel. J.

Metalurgija. Vol. 52. pp: 317-320.

87

Wiryosumarto, Harsono dan Toshie Okumura. 1994. Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta:

PT. Pradnya Paramita.

Yang Y.P., Dong P., Zhang J., and Tian X. 2000. A Hot Cracking Mitigation Technique for

Welding High-Strength Aluminum Alloy. The Center for Welded Structure Research

Battelle: Columbus.

Young Bin Li; Zhong Qin Lin; Xin Min Lai and Guan Long Chen. 2009. Electromagnetic

phenomena in resistence spot welding and its effect on weld nugget formation. PIERS

Proceeding. Moscow. Rusia. Pp: 18-21.

Zhang, J.; Weckman, D. C.; and Zhou, Y. 2008, Effects of Temporal Pulse Shaping on

Cracking Susceptibility of 6061-T6 Aluminum Nd: YAG Laser Welds, Journal of

Welding Research. Vol. 87.

Zhang Y., Chen G., Chen B., Wang J., Zhou C. 2017, Experimental study of hot cracking at

circular welding joints of 42CrMo steel. Optics & Laser Technology. Vol. 97. P. 327–

334. doi: 10.1016. j.optlastec.2017.07.018

Zhou W., Long T.Z., and Mark C.K. 2007. Hot Cracking in Tungsten Inert Gas Welding of

Magnesium Alloy AZ91D. School of Mechanical and Aerospace Engineering,

Nanyang Technological University: Singapore.

LAMPIRAN

Lampiran 1

Foto Mikrostruktur HRSP dan QTS

Gambar L1-1. Foto mikrostruktur hot roll steel plate (HRSP)

Gambar L1-2. Foto mikrostruktur hot roll quench tempered steel (QTS)

Lampiran 2

Data Temperatur Pada Jarak 10 mm Dari Pusat Las

Waktu

(detik)

0 mT

(oC)

2,4 Mt

(oC)

3,4 mT

(oC)

4,43

mT

(oC)

6,43

mT

(oC)

9,03 Mt

(oC)

1 180.5 171.8 168.2 158.6 166.7 178.6

2 180.2 171.6 167.6 158.4 166.5 177.4

3 179.8 171.6 167.2 158.1 166.3 177.3

4 179.8 171.2 167.0 158.0 166.3 177.1

5 179.4 170.7 166.9 157.7 166.1 178.7

6 179.1 170.5 166.8 157.5 167.7 178.4

7 178.6 170.3 166.7 157.3 167.5 177.1

8 178.4 170.0 166.5 157.2 167.3 176.8

9 177.3 170.2 166.4 157.1 167.3 176.1

10 178.1 170.5 166.3 156.8 167.1 177.2

11 178.7 170.6 166.2 156.6 167.0 177.0

12 177.5 170.9 166.0 156.4 167.2 177.5

13 177.2 171.2 167.5 156.4 167.4 176.9

14 177.7 171.6 167.2 157.3 167.9 177.9

15 176.3 173.3 168.6 157.4 168.3 177.3

16 176.9 175.2 170.8 158.5 170.8 177.6

17 177.0 178.6 172.3 158.3 172.7 176.5

18 176.2 184.9 174.3 158.2 174.3 179.0

19 176.4 194.3 178.5 162.6 178.2 186.7

20 175.5 211.1 185.9 169.6 185.6 194.6

21 176.2 235.4 194.2 179.7 194.8 209.0

22 178.6 254.6 208.6 197.3 275.2 229.4

23 186.8 302.5 228.5 226.2 307.1 258.0

24 191.3 353.7 257.7 264.5 336.8 292.2

25 224.3 403.2 291.4 305.5 365.9 331.2

26 253.5 446.1 330.5 333.3 389.8 368.6

27 425.9 482.2 368.3 379.2 410.2 398.4

28 566.2 522.4 398.2 414.4 421.3 404.0

29 658.3 533.7 446.2 452.5 427.5 406.7

30 599.4 536.2 482.4 461.8 453.8 406.3

31 538.5 534.1 501.5 465.4 452.8 406.0

32 524.4 531.5 503.8 465.4 446.9 404.3

33 508.8 527.2 500.4 461.6 441.3 401.5

34 498.7 524.6 497.4 456.8 438.8 398.6

35 486.9 520.8 493.9 451.3 434.7 395.2

36 479.5 516.3 489.3 446.3 431.3 392.4

37 473.3 513.3 486.9 441.5 427.2 391.0

38 468.6 510.5 479.5 438.9 424.6 389.0

39 464.7 508.3 475.3 434.2 421.2 385.0

40 460.5 504.2 469.2 431.6 417.6 383.6

41 456.6 501.4 464.7 427.5 413.8 381.8

42 452.5 497.2 460.5 424.7 409.3 379.4

43 450.7 492.4 456.6 421.3 406.3 376.6

44 446.9 488.5 452.5 417.8 403.5 375.0

45 443.7 484.8 450.7 413.7 401.9 372.0

46 441.0 481.3 446.9 409.3 398.3 369.8

47 437.9 477.4 443.7 406.2 396.8 368.4

48 432.8 473.9 440.6 403.6 393.1 366.3

49 429.8 469.5 437.0 400.9 390.4 365.3

50 426.5 465.4 432.5 398.0 388.6 363.1

51 422.7 461.1 429.0 394.4 386.2 360.3

52 418.6 458.4 425.8 391.5 383.6 358.7

53 415.4 454.6 422.4 389.8 381.9 357.0

54 411.7 450.5 418.4 388.0 379.3 355.2

55 407.8 447.7 414.8 384.5 377.1 352.2

56 403.8 443.2 410.9 383.0 374.4 349.1

57 401.4 440.1 407.5 380.5 372.6 347.7

58 398.2 436.2 403.5 378.4 370.5 346.7

59 394.6 433.4 400.8 375.6 368.7 344.7

60 391.9 430.7 397.3 374.1 366.2 343.1

61 390.3 427.2 394.3 371.4 364.1 341.5

62 388.8 423.2 391.3 369.4 362.2 338.7

63 384.9 420.3 388.2 367.4 360.5 338.8

64 383.4 417.2 386.4 365.6 358.2 336.9

65 381.4 415.4 383.5 363.9 356.7 334.9

66 378.7 412.5 380.7 361.9 355.3 333.4

67 376.4 409.8 377.2 359.8 353.9 331.1

68 374.8 406.4 373.1 358.1 351.0 330.0

69 371.7 403.4 371.2 356.9 349.6 328.1

70 369.6 400.9 369.4 353.7 348.5 327.9

71 368.0 397.2 367.7 352.0 346.7 325.7

72 365.8 394.4 365.2 348.5 344.2 324.8

73 364.5 391.5 363.2 347.0 343.1 323.4

74 362.7 388.8 361.3 346.4 341.2 321.8

75 359.9 386.4 359.2 343.9 339.5 320.5

76 357.8 383.8 357.4 341.5 338.2 319.5

77 356.7 380.3 355.5 341.2 336.7 317.8

78 354.4 378.3 353.8 338.5 334.3 316.6

79 352.1 375.5 351.5 338.4 333.1 314.0

80 348.7 373.9 348.9 335.9 332.4 312.7

81 347.1 371.2 346.2 334.5 330.6 312.2

82 346.5 369.3 345.3 332.6 329.5 310.6

83 344.1 367.2 343.2 331.1 327.7 309.3

84 342.2 365.4 341.4 329.9 326.2 308.5

85 341.2 363.5 340.5 328.3 324.2 307.6

86 338.6 360.8 338.8 326.9 323.6 304.7

87 338.4 357.4 337.4 325.9 322.3 304.6

88 336.3 355.4 335.4 324.4 320.2 304.1

89 334.4 353.9 333.9 322.5 319.3 302.2

90 332.7 351.3 332.3 320.8 318.4 301.2

91 330.9 348.8 330.8 320.2 316.5 301.0

92 329.9 346.1 329.1 319.7 315.3 299.6

93 327.9 345.4 327.9 317.1 314.2 299.0

94 327.4 343.6 326.2 315.6 313.6 298.2

95 325.5 341.5 324.6 313.5 311.6 296.5

96 324.1 340.2 323.3 312.8 310.7 296.1

97 323.1 338.5 322.2 312.0 309.3 295.1

98 320.9 337.2 320.6 310.7 308.2 293.8

99 320.5 335.7 319.9 308.8 307.5 292.5

100 318.9 333.3 318.3 307.9 306.5 291.8

101 317.3 332.9 316.1 307.3 304.3 290.8

102 315.9 330.2 315.4 305.3 303.2 289.9

103 313.8 329.6 313.6 303.6 302.4 288.5

104 312.6 327.7 312.5 303.0 301.5 287.0

105 312.0 326.2 311.7 301.9 300.8 285.5

106 310.1 324.1 309.2 300.9 299.4 284.7

107 309.1 323.2 308.8 300.0 298.4 284.1

108 307.8 322.4 307.1 298.2 297.9 282.5

109 307.3 320.7 306.4 297.8 296.3 281.6

110 304.6 319.2 304.6 295.8 295.8 280.9

111 304.2 318.1 303.2 295.0 294.7 280.3

112 303.5 316.3 302.6 294.6 293.3 279.2

113 301.7 315.2 301.9 293.3 292.2 278.2

114 300.5 313.5 300.3 293.2 291.6 276.7

115 300.8 312.5 298.1 292.2 290.2 276.2

116 299.4 311.3 297.4 291.6 289.3 274.6

117 298.4 309.2 296.6 289.8 287.8 274.0

118 297.9 308.4 295.5 289.3 286.7 273.1

119 296.3 307.4 293.7 288.5 285.3 272.8

120 295.8 306.9 292.2 287.0 284.2 271.5

121 294.7 304.3 291.1 286.1 283.6 271.0

122 293.3 303.8 290.2 285.3 282.2 270.4

123 292.2 302.7 289.3 284.5 281.4 270.4

124 291.6 301.3 287.8 282.6 280.5 268.9

125 290.2 300.2 286.7 282.3 279.8 268.0

126 289.3 299.5 285.3 280.5 278.4 268.0

127 287.8 298.9 284.2 277.8 277.8 265.8

128 286.7 297.2 283.6 277.2 276.3 266.8

129 285.3 296.3 282.2 275.9 275.3 264.2

130 284.2 293.2 281.4 275.9 274.3 263.8

131 283.6 291.4 280.5 274.4 273.2 263.2

132 282.2 289.5 279.8 274.5 272.4 262.1

133 281.4 288.8 278.4 272.5 272.5 261.6

134 280.5 287.4 277.8 273.1 271.3 261.3

135 279.8 286.4 276.3 271.9 270.4 259.6

136 278.4 285.9 275.3 271.1 269.6 258.5

137 277.8 284.9 274.5 270.3 270.1 258.3

138 276.3 283.0 273.9 270.3 268.6 257.8

139 275.3 282.2 272.2 268.8 267.5 257.0

140 274.3 281.4 271.3 268.1 267.1 255.6

141 273.2 280.5 270.2 267.4 265.5 255.4

142 272.4 279.2 269.4 265.7 265.9 253.9

143 272.5 277.6 268.5 266.2 264.2 253.4

144 271.3 276.8 267.8 264.6 263.6 254.0

145 270.4 276.3 266.4 264.1 262.8 252.2

146 269.6 275.3 265.6 263.1 261.6 251.0

147 270.1 274.5 264.3 261.8 261.4 251.3

148 268.6 272.9 263.2 262.0 260.7 251.4

149 267.5 272.2 262.3 261.3 259.6 250.4

150 267.1 271.3 262.4 260.3 258.8 251.3

151 265.5 270.2 261.5 259.1 258.5 249.6

152 265.9 269.4 260.3 258.7 258.0 248.0

153 264.2 268.5 259.2 258.5 256.5 248.1

154 263.6 267.3 258.6 257.0 255.8 247.3

155 262.8 266.6 258.6 256.1 255.4 247.0

156 261.6 265.6 256.7 255.6 254.4 246.6

157 261.4 264.7 254.3 254.8 253.8 244.7

158 260.7 264.3 253.3 254.3 254.0 245.0

159 258.8 263.2 252.2 254.8 252.4 244.7

160 258.2 261.5 251.4 252.8 251.3 243.1

161 258.0 261.5 251.5 251.7 251.6 243.9

162 257.3 260.3 250.8 252.5 251.7 242.2

163 256.1 259.2 249.4 252.0 250.7 242.0

164 255.4 258.4 248.4 251.5 250.9 241.4

165 255.1 257.5 248.9 251.6 249.6 241.7

166 253.7 257.8 247.3 249.9 248.2 240.3

167 253.0 256.4 247.8 248.4 248.4 240.3

168 253.5 255.1 247.7 249.0 247.5 239.2

169 251.9 254.4 247.3 248.3 247.0 238.2

170 250.6 254.6 246.2 247.3 246.4 238.7

171 250.8 253.5 245.6 246.7 245.2 237.0

172 251.1 252.7 244.8 245.7 245.6 236.9

173 250.2 252.2 244.3 246.5 244.7 236.3

174 250.7 251.2 243.3 245.0 243.3 236.5

175 249.0 250.6 242.5 244.2 243.9 235.3

176 247.3 250.3 241.9 243.9 242.5 235.2

177 247.8 250.2 241.2 242.7 242.5 234.0

178 247.1 249.3 240.4 242.9 241.5 235.3

179 246.5 249.4 240.5 242.0 241.8 233.8

180 246.1 248.5 239.8 242.0 240.6 233.9

181 244.4 247.3 239.4 241.2 240.0 232.7

182 244.8 247.2 238.8 240.8 239.4 231.9

183 244.3 246.6 238.3 239.7 238.3 231.9

184 242.6 245.6 237.3 238.6 238.8 231.9

185 243.1 245.7 237.5 239.3 237.5 230.1

186 241.8 244.3 236.9 237.8 237.2 230.0

187 241.9 244.2 236.2 237.6 236.5 229.5

188 241.0 243.5 236.3 237.0 236.8 230.0

189 241.1 242.5 235.2 237.1 235.6 229.0

190 239.8 242.3 235.4 235.8 235.5 228.4

191 239.6 241.2 235.5 236.1 234.3 227.5

192 239.0 241.4 234.8 234.9 234.9 228.9

193 238.0 241.5 234.4 235.6 233.8 226.3

194 238.1 238.8 233.4 234.1 233.8 227.6

195 236.7 238.4 233.9 234.0 232.5 226.6

196 236.7 237.4 232.3 233.0 232.4 224.9

197 236.0 236.9 232.8 232.9 231.6 225.1

198 236.1 236.3 231.1 231.9 231.7 224.9

199 234.8 235.8 231.4 231.9 230.5 224.9

200 234.9 235.7 231.6 230.9 230.6 224.4

201 233.8 234.3 230.5 231.1 229.5 223.6

202 234.7 234.2 230.2 230.3 229.7 223.4

203 233.2 234.6 229.5 230.1 228.9 223.3

204 233.2 233.8 229.2 229.3 228.7 222.3

205 232.4 233.3 229.7 229.6 227.6 222.5

206 231.7 232.3 228.3 228.4 228.1 220.5

207 231.4 232.5 228.9 228.5 226.7 221.1

208 231.4 232.9 227.2 227.1 226.9 220.2

209 229.8 231.3 227.6 227.8 226.9 220.5

210 229.8 231.9 226.3 227.2 225.4 220.2

211 229.1 230.0 226.2 226.2 225.5 219.8

212 229.5 230.2 225.6 226.2 224.8 220.3

213 228.2 230.4 225.9 225.1 224.9 217.9

214 228.0 229.5 224.3 225.1 224.5 217.8

215 227.1 229.2 224.2 225.1 223.5 218.5

216 228.0 228.6 223.6 224.3 223.6 218.3

217 226.0 228.8 223.3 223.9 223.1 216.7

218 226.8 227.3 222.2 223.4 222.5 215.8

219 225.9 227.3 222.3 223.0 222.3 215.8

220 224.6 226.5 221.4 223.2 221.1 216.3

221 224.9 226.3 221.5 221.3 221.4 215.8

222 224.3 225.4 220.3 221.8 220.5 215.0

223 224.1 225.5 220.2 221.0 220.8 214.2

224 224.1 224.3 219.6 221.6 220.4 214.9

225 223.3 224.2 219.6 220.7 219.6 214.4

226 222.9 223.6 218.7 219.8 219.8 212.8

227 222.4 223.6 218.3 220.4 218.3 213.6

228 222.0 222.7 218.2 218.9 218.3 214.1

229 221.6 222.3 217.5 219.0 218.5 212.7

230 220.5 221.2 217.5 218.8 217.9 212.4

231 220.9 221.5 217.3 218.1 217.2 211.1

232 219.8 220.5 216.2 217.7 216.3 211.3

233 220.0 220.3 216.4 216.8 216.2 211.2

234 220.0 219.2 216.5 216.5 216.4 210.2

235 219.2 219.4 215.8 216.6 215.5 210.2

236 219.5 219.5 215.4 215.8 215.3 209.1

237 217.6 218.8 215.4 215.5 214.4 209.3

238 217.5 218.4 214.9 215.0 214.5 209.1

239 218.0 218.4 214.3 214.5 214.3 208.7

240 217.4 217.9 213.8 214.3 213.2 207.0

241 216.5 217.8 213.7 213.2 213.6 207.3

242 215.5 217.4 213.3 213.6 213.6 206.8

243 215.6 216.4 212.2 213.6 212.7 206.3

244 215.9 216.9 212.6 212.7 212.3 206.5

245 215.3 216.3 212.8 212.3 211.2 206.9

246 214.7 215.8 211.3 211.2 211.5 206.2

247 213.8 215.7 211.3 211.5 211.5 205.3

248 214.4 214.3 211.5 211.5 210.3 205.2

249 214.1 214.2 210.9 210.3 210.2 205.4

250 212.6 214.6 210.3 210.2 209.4 204.5

251 213.0 213.8 210.9 209.4 209.5 204.3

252 213.5 213.3 209.0 209.5 208.8 204.4

253 212.0 213.3 209.2 208.8 208.4 204.5

254 212.1 212.5 208.4 208.4 207.4 203.3

255 210.9 212.9 208.5 207.4 207.9 203.2

256 210.8 212.2 208.2 207.9 207.3 203.6

257 210.7 211.4 207.6 207.3 206.8 202.6

258 209.9 211.5 207.8 206.8 205.8 202.7

259 210.0 211.8 207.3 205.8 205.3 202.3

260 208.7 210.3 206.3 205.3 205.2 202.2

261 208.8 210.2 206.5 205.2 205.6 201.5

262 208.3 209.6 206.9 205.6 204.6 201.3

263 208.3 209.6 206.2 204.6 204.7 201.1

264 206.6 209.7 205.3 204.7 204.3 201.0

265 207.3 208.3 205.2 204.3 203.2 200.7

266 206.8 208.2 205.4 203.2 203.5 200.8

267 205.8 208.5 204.5 203.5 203.5 199.6

268 205.3 207.5 204.3 203.5 202.3 199.2

269 205.2 207.3 204.4 202.3 202.2 199.1

270 205.6 207.2 204.5 202.2 202.3 198.9

271 204.6 207.3 203.3 202.3 201.6 198.6

272 204.7 206.2 203.2 201.2 201.2 198.3

273 204.3 206.6 203.6 201.6 201.6 198.1

274 203.2 206.6 202.6 201.6 201.7 197.8

275 203.5 205.7 202.7 201.7 200.7 197.5

276 203.5 205.3 202.3 200.7 200.8 197.1

277 202.3 205.3 202.2 200.8 199.6 196.3

278 202.2 205.1 201.5 199.6 199.2 196.1

279 202.3 204.0 201.3 199.2 199.1 196.0

280 201.2 204.7 201.1 199.1 198.9 195.7

281 201.6 204.8 201.0 198.9 198.6 195.8

282 201.6 203.6 200.7 198.6 198.3 194.6

283 201.7 203.2 200.8 198.3 198.1 194.2

284 200.7 203.1 199.6 198.1 197.8 194.1

285 200.8 203.9 199.2 197.8 197.5 193.9

286 199.6 202.6 199.1 197.5 197.1 193.6

287 199.2 202.3 198.9 197.1 196.3 193.3

288 199.1 202.1 198.6 196.3 196.1 193.1

289 198.9 202.8 198.3 196.1 196.0 192.8

290 198.6 201.5 198.1 196.0 195.7 192.5

291 198.3 201.1 197.8 195.7 195.8 192.1

292 198.1 200.9 197.5 195.8 194.6 193.6

293 197.8 200.5 197.1 194.6 194.2 193.2

294 197.5 200.2 196.3 194.2 194.1 192.6

295 197.1 199.6 196.1 194.1 193.9 192.4

296 196.3 199.6 196.0 193.9 193.6 192.2

297 196.1 199.3 195.7 193.6 193.3 192.2

298 196.0 199.1 195.8 193.3 193.1 192.0

299 195.7 198.7 194.6 193.1 192.8 191.0

300 195.8 198.3 194.2 192.8 192.5 191.0

Lampiran 3

Data Temperature Pendinginan dari 400 oC ke 200

oC

Data ke 0 mT 2,4 mT 3,4 mT 4,43 mT 6,43 mT 9,03 mT

1 401.4 400.9 400.8 400.9 401.9 401.5

2 398.2 397.2 397.3 398 398.3 398.6

3 394.6 394.4 394.3 394.4 396.8 395.2

4 391.9 391.5 391.3 391.5 393.1 392.4

5 390.3 388.8 388.2 389.8 390.4 391

6 388.8 386.4 386.4 388 388.6 389

7 384.9 383.8 383.5 384.5 386.2 385

8 383.4 380.3 380.7 383 383.6 383.6

9 381.4 378.3 377.2 380.5 381.9 381.8

10 378.7 375.5 373.1 378.4 379.3 379.4

11 376.4 373.9 371.2 375.6 377.1 376.6

12 374.8 371.2 369.4 374.1 374.4 375

13 371.7 369.3 367.7 371.4 372.6 372

14 369.6 367.2 365.2 369.4 370.5 369.8

15 368 365.4 363.2 367.4 368.7 368.4

16 365.8 363.5 361.3 365.6 366.2 366.3

17 364.5 360.8 359.2 363.9 364.1 365.3

18 362.7 357.4 357.4 361.9 362.2 363.1

19 359.9 355.4 355.5 359.8 360.5 360.3

20 357.8 353.9 353.8 358.1 358.2 358.7

21 356.7 351.3 351.5 356.9 356.7 357

22 354.4 348.8 348.9 353.7 355.3 355.2

23 352.1 346.1 346.2 352 353.9 352.2

24 348.7 345.4 345.3 348.5 351 349.1

25 347.1 343.6 343.2 347 349.6 347.7

26 346.5 341.5 341.4 346.4 348.5 346.7

27 344.1 340.2 340.5 343.9 346.7 344.7

28 342.2 338.5 338.8 341.5 344.2 343.1

29 341.2 337.2 337.4 341.2 343.1 341.5

30 338.6 335.7 335.4 338.5 341.2 338.7

31 338.4 333.3 333.9 338.4 339.5 338.8

32 336.3 332.9 332.3 335.9 338.2 336.9

33 334.4 330.2 330.8 334.5 336.7 334.9

34 332.7 329.6 329.1 332.6 334.3 333.4

35 330.9 327.7 327.9 331.1 333.1 331.1

36 329.9 326.2 326.2 329.9 332.4 330

37 327.9 324.1 324.6 328.3 330.6 328.1

38 327.4 323.2 323.3 326.9 329.5 327.9

39 325.5 322.4 322.2 325.9 327.7 325.7

40 324.1 320.7 320.6 324.4 326.2 324.8

41 323.1 319.2 319.9 322.5 324.2 323.4

42 320.9 318.1 318.3 320.8 323.6 321.8

43 320.5 316.3 316.1 320.2 322.3 320.5

44 318.9 315.2 315.4 319.7 320.2 319.5

45 317.3 313.5 313.6 317.1 319.3 317.8

46 315.9 312.5 312.5 315.6 318.4 316.6

47 313.8 311.3 311.7 313.5 316.5 314

48 312.6 309.2 309.2 312.8 315.3 312.7

49 312 308.4 308.8 312 314.2 312.2

50 310.1 307.4 307.1 310.7 313.6 310.6

51 309.1 306.9 306.4 308.8 311.6 309.3

52 307.8 304.3 304.6 307.9 310.7 308.5

53 307.3 303.8 303.2 307.3 309.3 307.6

54 304.6 302.7 302.6 305.3 308.2 304.7

55 304.2 301.3 301.9 303.6 307.5 304.6

56 303.5 300.2 300.3 303 306.5 304.1

57 301.7 299.5 298.1 301.9 304.3 302.2

58 300.5 298.9 297.4 300.9 303.2 301.2

59 300.8 297.2 296.6 300 302.4 301

60 299.4 296.3 295.5 298.2 301.5 299.6

61 298.4 293.2 293.7 297.8 300.8 299

62 297.9 291.4 292.2 295.8 299.4 298.2

63 296.3 289.5 291.1 295 298.4 296.5

64 295.8 288.8 290.2 294.6 297.9 296.1

65 294.7 287.4 289.3 293.3 296.3 295.1

66 293.3 286.4 287.8 293.2 295.8 293.8

67 292.2 285.9 286.7 292.2 294.7 292.5

68 291.6 284.9 285.3 291.6 293.3 291.8

69 290.2 283 284.2 289.8 292.2 290.8

70 289.3 282.2 283.6 289.3 291.6 289.9

71 287.8 281.4 282.2 288.5 290.2 288.5

72 286.7 280.5 281.4 287 289.3 287

73 285.3 279.2 280.5 286.1 287.8 285.5

74 284.2 277.6 279.8 285.3 286.7 284.7

75 283.6 276.8 278.4 284.5 285.3 284.1

76 282.2 276.3 277.8 282.6 284.2 282.5

77 281.4 275.3 276.3 282.3 283.6 281.6

78 280.5 274.5 275.3 280.5 282.2 280.9

79 279.8 272.9 274.5 277.8 281.4 280.3

80 278.4 272.2 273.9 277.2 280.5 279.2

81 277.8 271.3 272.2 275.9 279.8 278.2

82 276.3 270.2 271.3 275.9 278.4 276.7

83 275.3 269.4 270.2 274.4 277.8 276.2

84 274.3 268.5 269.4 274.5 276.3 274.6

85 273.2 267.3 268.5 272.5 275.3 274

86 272.4 266.6 267.8 273.1 274.3 273.1

87 272.5 265.6 266.4 271.9 273.2 272.8

88 271.3 264.7 265.6 271.1 272.4 271.5

89 270.4 264.3 264.3 270.3 272.5 271

90 269.6 263.2 263.2 270.3 271.3 270.4

91 270.1 261.5 262.3 268.8 270.4 270.4

92 268.6 261.5 262.4 268.1 269.6 268.9

93 267.5 260.3 261.5 267.4 270.1 268

94 267.1 259.2 260.3 265.7 268.6 268

95 265.5 258.4 259.2 266.2 267.5 265.8

96 265.9 257.5 258.6 264.6 267.1 266.8

97 264.2 257.8 258.6 264.1 265.5 264.2

98 263.6 256.4 256.7 263.1 265.9 263.8

99 262.8 255.1 254.3 261.8 264.2 263.2

100 261.6 254.4 253.3 262 263.6 262.1

101 261.4 254.6 252.2 261.3 262.8 261.6

102 260.7 253.5 251.4 260.3 261.6 261.3

103 258.8 252.7 251.5 259.1 261.4 259.6

104 258.2 252.2 250.8 258.7 260.7 258.5

105 258 251.2 249.4 258.5 259.6 258.3

106 257.3 250.6 248.4 257 258.8 257.8

107 256.1 250.3 248.9 256.1 258.5 257

108 255.4 250.2 247.3 255.6 258 255.6

109 255.1 249.3 247.8 254.8 256.5 255.4

110 253.7 249.4 247.7 254.3 255.8 253.9

111 253 248.5 247.3 254.8 255.4 253.4

112 253.5 247.3 246.2 252.8 254.4 254

113 251.9 247.2 245.6 251.7 253.8 252.2

114 250.6 246.6 244.8 252.5 254 251

115 250.8 245.6 244.3 252 252.4 251.3

116 251.1 245.7 243.3 251.5 251.3 251.4

117 250.2 244.3 242.5 251.6 251.6 250.4

118 250.7 244.2 241.9 249.9 251.7 251.3

119 249 243.5 241.2 248.4 250.7 249.6

120 247.3 242.5 240.4 249 250.9 248

121 247.8 242.3 240.5 248.3 249.6 248.1

122 247.1 241.2 239.8 247.3 248.2 247.3

123 246.5 241.4 239.4 246.7 248.4 247

124 246.1 241.5 238.8 245.7 247.5 246.6

125 244.4 238.8 238.3 246.5 247 244.7

126 244.8 238.4 237.3 245 246.4 245

127 244.3 237.4 237.5 244.2 245.2 244.7

128 242.6 236.9 236.9 243.9 245.6 243.1

129 243.1 236.3 236.2 242.7 244.7 243.9

130 241.8 235.8 236.3 242.9 243.3 242.2

131 241.9 235.7 235.2 242 243.9 242

132 241 234.3 235.4 242 242.5 241.4

133 241.1 234.2 235.5 241.2 242.5 241.7

134 239.8 234.6 234.8 240.8 241.5 240.3

135 239.6 233.8 234.4 239.7 241.8 240.3

136 239 233.3 233.4 238.6 240.6 239.2

137 238 232.3 233.9 239.3 240 238.2

138 238.1 232.5 232.3 237.8 239.4 238.7

139 236.7 232.9 232.8 237.6 238.3 237

140 236.7 231.3 231.1 237 238.8 236.9

141 236 231.9 231.4 237.1 237.5 236.3

142 236.1 230 231.6 235.8 237.2 236.5

143 234.8 230.2 230.5 236.1 236.5 235.3

144 234.9 230.4 230.2 234.9 236.8 235.2

145 233.8 229.5 229.5 235.6 235.6 234

146 234.7 229.2 229.2 234.1 235.5 235.3

147 233.2 228.6 229.7 234 234.3 233.8

148 233.2 228.8 228.3 233 234.9 233.9

149 232.4 227.3 228.9 232.9 233.8 232.7

150 231.7 227.3 227.2 231.9 233.8 231.9

151 231.4 226.5 227.6 231.9 232.5 231.9

152 231.4 226.3 226.3 230.9 232.4 231.9

153 229.8 225.4 226.2 231.1 231.6 230.1

154 229.8 225.5 225.6 230.3 231.7 230

155 229.1 224.3 225.9 230.1 230.5 229.5

156 229.5 224.2 224.3 229.3 230.6 230

157 228.2 223.6 224.2 229.6 229.5 229

158 228 223.6 223.6 228.4 229.7 228.4

159 227.1 222.7 223.3 228.5 228.9 227.5

160 228 222.3 222.2 227.1 228.7 228.9

161 226 221.2 222.3 227.8 227.6 226.3

162 226.8 221.5 221.4 227.2 228.1 227.6

163 225.9 220.5 221.5 226.2 226.7 226.6

164 224.6 220.3 220.3 226.2 226.9 224.9

165 224.9 219.2 220.2 225.1 226.9 225.1

166 224.3 219.4 219.6 225.1 225.4 224.9

167 224.1 219.5 219.6 225.1 225.5 224.9

168 224.1 218.8 218.7 224.3 224.8 224.4

169 223.3 218.4 218.3 223.9 224.9 223.6

170 222.9 218.4 218.2 223.4 224.5 223.4

171 222.4 217.9 217.5 223 223.5 223.3

172 222 217.8 217.5 223.2 223.6 222.3

173 221.6 217.4 217.3 221.3 223.1 222.5

174 220.5 216.4 216.2 221.8 222.5 220.5

175 220.9 216.9 216.4 221 222.3 221.1

176 219.8 216.3 216.5 221.6 221.1 220.2

177 220 215.8 215.8 220.7 221.4 220.5

178 220 215.7 215.4 219.8 220.5 220.2

179 219.2 214.3 215.4 220.4 220.8 219.8

180 219.5 214.2 214.9 218.9 220.4 220.3

181 217.6 214.6 214.3 219 219.6 217.9

182 217.5 213.8 213.8 218.8 219.8 217.8

183 218 213.3 213.7 218.1 218.3 218.5

184 217.4 213.3 213.3 217.7 218.3 218.3

185 216.5 212.5 212.2 216.8 218.5 216.7

186 215.5 212.9 212.6 216.5 217.9 215.8

187 215.6 212.2 212.8 216.6 217.2 215.8

188 215.9 211.4 211.3 215.8 216.3 216.3

189 215.3 211.5 211.3 215.5 216.2 215.8

190 214.7 211.8 211.5 215 216.4 215

191 213.8 210.3 210.9 214.5 215.5 214.2

192 214.4 210.2 210.3 214.3 215.3 214.9

193 214.1 209.6 210.9 213.2 214.4 214.4

194 212.6 209.6 209.0 213.6 214.5 212.8

195 213 209.7 209.2 213.6 214.3 213.6

196 213.5 208.3 208.4 212.7 213.2 214.1

197 212 208.2 208.5 212.3 213.6 212.7

198 212.1 208.5 208.2 211.2 213.6 212.4

199 210.9 207.5 207.6 211.5 212.7 211.1

200 210.8 207.3 207.8 211.5 212.3 211.3

201 210.7 207.2 207.3 210.3 211.2 211.2

202 209.9 207.3 206.3 210.2 211.5 210.2

203 210 206.2 206.5 209.4 211.5 210.2

204 208.7 206.6 206.9 209.5 210.3 209.1

205 208.8 206.6 206.2 208.8 210.2 209.3

206 208.3 205.7 205.3 208.4 209.4 209.1

207 208.3 205.3 205.2 207.4 209.5 208.7

208 206.6 205.3 205.4 207.9 208.8 207

209 207.3 205.1 204.5 207.3 208.4 207.3

210 206.8 204 204.3 206.8 207.4 206.8

211 205.8 204.7 204.4 205.8 207.9 206.3

212 205.3 204.8 204.5 205.3 207.3 206.5

213 205.2 203.6 203.3 205.2 206.8 206.9

214 205.6 203.2 203.2 205.6 205.8 206.2

215 204.6 203.1 203.6 204.6 205.3 205.3

216 204.7 203.9 202.6 204.7 205.2 205.2

217 204.3 202.6 202.7 204.3 205.6 205.4

218 203.2 202.3 202.3 203.2 204.6 204.5

219 203.5 202.1 202.2 203.5 204.7 204.3

220 203.5 202.8 201.5 203.5 204.3 204.4

221 202.3 201.5 201.3 202.3 203.2 204.5

222 202.2 201.1 201.1 202.2 203.5 203.3

223 202.3 200.9 201.0 202.3 203.5 203.2

224 201.2 200.5 200.7 201.2 202.3 203.6

225 201.6 200.2 200.8 201.6 202.2 202.6

226 201.6 200.6 201.6 202.3 202.7

227 201.7 201.7 201.6 202.3

228 200.7 200.7 201.2 202.2

229 200.8 200.8 201.6 201.5

230 201.7 201.3

231 200.7 201.1

232 201

233 200.7

234

WAKTU

(detik) 229 225 226 227 229 233

Lampiran 4

Foto Benda Kerja Hasil Pengelasan QTS

0 mT

3 A = 2,4 mT

6 A = 3,4 mT

9 A = 4,43 mT

12 A = 6,43 mT

15 A = 9,03 mT

Lampiran 5

Pengolahan Data Cacat Las dari Negatif Film Hasil Uji Radiografi Menggunakan

Software Autodesk Inventor 2012

2,4 mT

3,4 mT

4,43 mT

6,43 mT

9,03 mT

0 mT

Lampiran 6

Pengolahan Data Cacat Porositas Mikro Menggunakan Software Image J

0 mT

9,656 % P

2,4 mT

1,742 % P

3,4 mT

1,529 % P

4,43 mT

1,558 % P

6,43 mT

1,337 % P

9,03 mT

1,101 % P

Lampiran 7

Foto Spesimen Uji Tarik

Lampiran 8

Foto Spesimen Uji Perambatan Retak Fatik

0 mT

0,9 mT

1,7 mT

2,3 mT

3,1 mT

Lampiran 9

Data Hasil Pengujian Perambatan Retak Fatik Spesimen QTS

Nama Spesimen : Spesimen Tanpa Penambahan

Fluks Maknet (0 mT)

Pmax : 15,4 kN

Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN

Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2

No. N A ∆K da/dN

(siklus) (mm) (Mpa.m1/2

) (m/siklus)

1 46990 2.2

2 51660 2.643

3 52160 2.72616

4 52660 2.80932 6.149349266 1.60666E-07

5 53160 2.89248 6.247203218 1.6632E-07

6 53660 2.97564 6.337136855 1.6632E-07

7 54160 3.0588 6.425876417 1.6632E-07

8 54660 3.14196 6.513472531 1.6632E-07

9 55160 3.22512 6.599972529 1.6632E-07

10 55660 3.30828 6.681375005 1.7523E-07

11 56160 3.39144 6.767859767 1.9008E-07

12 56660 3.4746 6.865172414 2.079E-07

13 57160 3.59934 6.974841248 2.2572E-07

14 57660 3.72408 7.09443047 2.4057E-07

15 58160 3.84882 7.217848168 2.4948E-07

16 58660 3.97356 7.335655366 2.4948E-07

17 59160 4.0983 7.451768985 2.4948E-07

18 59660 4.22304 7.566272449 2.4948E-07

19 60160 4.34778 7.679243179 2.4948E-07

20 60660 4.47252 7.619422151 6.79228E-07

21 61160 4.59726 7.816688457 1.39547E-06

22 61660 4.722 8.493836117 2.25497E-06

23 62160 6.852228667 9.637186139 3.11446E-06

24 62660 8.982457334 11.08084402 3.83071E-06

25 63160 11.112686

26 63660 13.24291467

27 64160 15.37314334

28 64660 17.503372

29 65246 Patah

Nama Spesimen : Spesimen 0,9 mT Pmax : 11,5 kN

Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN

Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2

No. N A ∆K da/dN

(siklus) (mm) (Mpa.m1/2

) (m/siklus)

1 25625 2.2

2 40000 2.706

3 41000 2.7412

4 42000 2.7764 6.119568034 3.52E-08

5 43000 2.8116 6.157718337 3.60357E-08

6 44000 2.8468 6.194421554 3.99357E-08

7 45000 2.882 6.240237131 4.24429E-08

8 46000 2.925 6.290959861 4.35571E-08

9 47000 2.9914 6.342493276 4.32786E-08

10 48000 3.0266 6.387776877 4.48643E-08

11 49000 3.0618 6.430670513 4.72286E-08

12 50000 3.097 6.475400716 5.04E-08

13 51000 3.1626 6.533531379 5.69143E-08

14 52000 3.2282 6.600163525 6.23429E-08

15 53000 3.2938 6.670323655 6.59214E-08

16 54000 3.3594 6.73729859 6.64571E-08

17 55000 3.425 6.804518556 6.71E-08

18 56000 3.4936 6.87212118 6.77429E-08

19 57000 3.5622 6.939957335 6.82786E-08

20 58000 3.6308 7.005331846 7.12143E-08

21 59000 3.6994 7.073250227 7.55714E-08

22 60000 3.768 7.147269458 8.08E-08

23 61000 3.861 7.22832435 8.60286E-08

24 62000 3.954 7.315112773 9.03857E-08

25 63000 4.047 7.401169905 9.66857E-08

26 64000 4.14 7.48871498 1.02829E-07

27 65000 4.233 7.584294332 1.102E-07

28 66000 4.3604 7.689117966 1.17571E-07

29 67000 4.4878 7.801409338 1.23714E-07

30 68000 4.6152 7.456611847 7.03016E-07

31 69000 4.7426

32 70000 4.87

33 71000 10.36981825

34 72000 15.8696365

35 72751 Patah

Nama Spesimen : Spesimen 1,7 mT Pmax : 9,0 kN

Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN

Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2

No. N A ∆K da/dN

(siklus) (mm) (Mpa.m1/2

) (m/siklus)

1 41630 2.139

2 42000 2.21375

3 44000 2.2885

4 46000 2.36325 5.645185612 4.13205E-08

5 48000 2.438 5.73201197 3.7375E-08

6 50000 2.51275 5.81975383 3.7375E-08

7 52000 2.5875 5.906240048 3.7375E-08

8 54000 2.66225 5.991526425 3.7375E-08

9 56000 2.737 6.075664895 3.7375E-08

10 58000 2.81175 6.158703895 3.7375E-08

11 60000 2.8865 6.240688688 3.7375E-08

12 62000 2.96125 6.321661649 3.7375E-08

13 64000 3.036 6.401662517 3.7375E-08

14 66000 3.11075 6.480728622 3.7375E-08

15 68000 3.1855 6.558895086 3.7375E-08

16 70000 3.26025 6.636195003 3.7375E-08

17 72000 3.335 6.7126596 3.7375E-08

18 74000 3.40975 6.788318385 3.7375E-08

19 76000 3.4845 6.846355375 4.68705E-08

20 78000 3.55925 6.928995147 6.26964E-08

21 80000 3.634 7.060061492 8.16875E-08

22 82000 3.886 7.245145151 1.00679E-07

23 84000 4.138 7.47283341 1.16504E-07

24 86000 4.39 7.711752024 1.29386E-07

25 88000 4.642 7.937407866 1.35029E-07

26 90000 4.894 8.172976593 1.418E-07

27 92000 5.2092 8.420351203 1.48571E-07

28 94000 5.5244 8.67637332 1.54214E-07

29 96000 5.8396 8.917678003 1.68807E-07

30 98000 6.1548 9.172325718 1.87486E-07

31 100000 6.47 9.455130247 2.18579E-07

32 102000 6.9944 9.78886798 2.64136E-07

33 104000 7.5188 10.20729275 3.14636E-07

34 106000 8.2052 10.28453391 6.97009E-07

35 108000 9.0536

36 110000 9.902

37 112000 17.03083869

38 112833 Patah

Nama Spesimen : Spesimen 2,3 mT Pmax : 11,7 kN

Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN

Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2

No. N A ∆K da/dN

(siklus) (mm) (Mpa.m1/2

) (m/siklus)

1 173620 2.2

2 180000 3.063

3 181000 3.1984

4 182000 3.3338 6.711411423 1.35386E-07

5 183000 3.4692 6.84338648 1.40521E-07

6 184000 3.6046 6.979713509 1.49057E-07

7 185000 3.74 7.126779895 1.593E-07

8 186000 3.9232 7.28615618 1.69543E-07

9 187000 4.1064 7.455047341 1.78079E-07

10 188000 4.2896 7.620770575 1.90614E-07

11 189000 4.4728 7.788074448 2.02971E-07

12 190000 4.656 7.96949074 2.178E-07

13 191000 4.9084 8.16705201 2.32629E-07

14 192000 5.1608 8.3770863 2.44986E-07

15 193000 5.4132 8.579776845 2.67614E-07

16 194000 5.6656 8.789537133 2.92971E-07

17 195000 5.918 9.027152592 3.234E-07

18 196000 6.3124 9.29621328 3.53829E-07

19 197000 6.7068 9.589777365 3.79186E-07

20 198000 7.1012 9.862813529 4.3865E-07

21 199000 7.4956 10.16319565 5.124E-07

22 200000 7.89 10.54047735 6.009E-07

23 201000 8.6974 11.0034058 6.894E-07

24 202000 9.5048 11.53372093 7.6315E-07

25 203000 10.3122

26 204000 11.1196

27 205000 11.927

28 205988 Patah

Nama Spesimen : Spesimen 3,1 mT Pmax : 6,6 kN

Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN

Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2

No. N A ∆K da/dN

(siklus) (mm) (Mpa.m1/2

) (m/siklus)

1 115300 2.2

2 120000 2.822

3 121100 2.9672

4 121200 2.9804 6.342273757 1.32E-07

5 121300 2.9936 6.356401172 0.000000132

6 121900 3.0728 6.440701953 0.000000132

7 122300 3.1256 6.496327873 1.32E-07

8 122700 3.1784 6.551508329 0.000000132

9 123100 3.2312 6.606254944 0.000000132

10 123500 3.284 6.660578875 0.000000132

11 123900 3.3368 6.714490838 0.000000132

12 124300 3.3896 6.768001128 0.000000132

13 124700 3.4424 6.821119649 0.000000132

14 125100 3.4952 6.873855931 0.000000132

15 125500 3.548 6.926219147 0.000000132

16 125900 3.6008 6.978218138 0.000000132

17 126300 3.6536 7.081157227 0.000000132

18 126700 3.7064 7.182737828 0.000000132

19 127100 3.7592 7.283020191 0.000000132

20 127500 3.812 7.182737828 0.000000132

21 127900 3.8648 7.081157227 0.000000132

22 128300 3.9176 7.182737828 0.000000132

23 128700 3.9704 7.281240488 1.35536E-07

24 129100 4.0232 7.159011537 8.03379E-07

25 129500 4.076 8.318404439 2.14024E-06

26 129900 4.142 11.69398146 3.84879E-06

27 130300 6.67928

28 130700 10.06232

29 131100 13.44536

30 131500 16.8284

31 131875 Patah

Lampiran 10

DOKUMENTASI PENELITIAN

1. Pengujian Fluks Magnet

2. Seting Benda Kerja Las

3. Instalasi Penelitian

4. Proses Pengelasan Benda Kerja

5. Pembacaan negative film dari uji

radiografi

6. Pengujian Impak

DOKUMENTASI PENELITIAN

1. Pengujian Tarik Spesimen QTS

2. Pemotongan spesimen menggunakan

wire cutting

3. Mesin Uji Perambatan Retak Fatik

4. Pegujian Perambatan Retak Fatik

5. Pengambilan Foto Mikrostruktur

6.Pengambilan Foto Makro dan Mikro

menggunakan SEM

LAMPIRAN PUBLIKASI

Archive | Feedback | Contact Us | Links | Site Map

ARPN Journal of Engineering and Applied

Sciences ISSN 1819-6608 (Online)

Search

Custom Search

Home

Archive

Submit Paper

Author Guideli

nes

Editoria

l Board

Publicat

ion Fee

ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences January 2016 | Vol.

11 No. 2

Title: The use of magnetic flux to the welding of Hot Roll Quench Tempered Steel

Author (s): Sugiarto, Anindito Purnowidodo, Rudy Soenoko, Yudy Surya Irawan and Achmad As’ad Sonief

Abstract: Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS) is term of hot roll steel which produced by PT. Krakatau Steel with carbon content 0.29 %C that given by martempering treatment. Martempering treatment meant to increase the steel hardness for about 500 BHN, thus it cannot be penetrated by bullet. QTS designed as alternative material for industrial supporting of military tactical vehicles. Martempering treatment has been changed metal microstructure from tough ferrite-pearlite to the hard martensite. The weakness of martensite structure in welding field is low weldability and prone to the delay cracking for post welding. Delay cracking also resulted in defect or initial crack which occur by the rapid cooling in the post welding and the dissolved of inclusion and gas in the welding area during solidification in weld metal. In many researches, high circulation rate of weld pool could improve weld metal structure and HAZ, decrease welding defect and improve the other properties. Circulation rate of weld pool can be increased by enlarging electromagnetic force or Lorenz force (FL). Electromagnetic force can be enlarged by increasing welding current density (J) or increasing magnetic flux (B) as with the equation FL = J x B. In this research, it was conducted by QTS plate welding used MIG welding with gas protector CO2. Welding electric current 140 A was flowed to the electrode wire AWS ER 70-S6 with the average welding speed 15 cm/minute. Magnetic flux was added from outside during the welding by flowing DC current to the solenoid 100 x 100 x 10 mm. The DC current that flowed to solenoid was 0, 3, 6, 9, 12 and 15 Ampere. Those current variations resulted in magnetic flux for 0 mT, 2,4 mT; 3,4 mT; 4,43 mT; 6,43 mT and 9,03 mT. Thermocouple of K type was carbon welded in the distance of 10 mm from welding core to measure HAZ temperature. The result was peak temperature in the distance of 10 mm from welding core getting lower because of outside magnetic flux addition from 0 mT to the 9.03 mT. By taking temperature range of post welding comparison from 400°C to 200°C, it was known that without magnetic flux addition which results the highest post welding cooling rate and getting lower to the magnetic flux addition of 9.03 mT. From the radiography test, it was known that magnetic flux addition could decrease welding defect percentage. The bigger magnetic flux addition resulted in smaller welding defect percentage. The bigger magnetic flux addition also resulted in bigger impact strength of welding area with more ductile fracture.

Full Text

OPEN JOURNAL SYSTEMS

FONT S I ZE Home > Archives > Vol 2, No 12 (92) (2018)

VOL 2, NO 12 (92) (2018)

MATERIALS SCIENCE FULL ISSUE

View or download the full issue ABSTRACT AND

REFERENCES

TABLE OF CONTENTS

MATERIALS SCIENCE

The effect of external magnetic flux field in the QTS weldment on

the change of fatigue crack propagation behaviors

PDF

Sugiarto Sugiarto, Rudy Soenoko, Anindito Purnowidodo, Yudy Surya Irawan

4-11

Study of the influence of oxidizing parameters on the

composition and morphology of Al2O3•CoOx coatings on AL25

alloy

PDF

Ann Karakurkchi, Mykola Sakhnenko, Maryna Ved' 11-19

Effect of heat treatment and cryogenics on hardness of ductile

cast iron microstructure (FCD50)

PDF

Suriasnyah Sabarudin, Pratikto Pratikto, Agus Suprapto, Yudy Surya Irawan

20-26

Determining the patterns of phase and structural transformations at

carbonthermal reduction of molybdenum concentrate

PDF

Stanislav Hryhoriev, Artem Petryshchev, Ganna Shyshkanova, Tetyana Zaytseva, Oleksandr Frydman, Yuliya Petrusha, Andrey Andreev, Alexander

Katschan, Mykola Lazutkin, Nina Sinyaeva

27-32

Simulation of structure formation in the Fe–C–Cr–Ni–Si

surfacing materials

PDF

Bohdan Efremenko, Alexander Belik, Yuliia Chabak, Hossam Halfa

33-38

Influence of the thermal factor on the composition of electronbeam

highentropy ALTiVCrNbMo coatings

PDF

Oleg Sobol’, Alexander Barmin, Svitlana Hryhorieva, Viktor Gorban’, Alexander Vuets, Alexander Subbotin

39-46

Prediction of specific electrical resistivity of polymeric

composites based on carbon fabrics

PDF

Vadym Stavychenko, Svitlana Purhina, Pavlo Shestakov 46-53

Definition of the aging process parameters for nickel

hydroxide in the alkaline medium

PDF

Valerii Kotok, Vadym Kovalenko 54-60

ISSN (print) 1729-3774, ISSN (on-line) 1729-4061

OPEN JOURNAL SYSTEMS

ABO UT T HE AUT HORS Sugiarto Sugiarto

ORCID iD Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145

Indonesia Associate Professor

Department of Mechanical Engineering Rudy Soenoko

ORCID iD Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145

Indonesia Professor

Department of Mechanical Engineering Anindito Purnowidodo Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145 Indonesia Associate Professor

Department of Mechanical Engineering Yudy Surya Irawan

ORCID iD Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145

Indonesia Doctorate Department of Mechanical Engineering

Home > Vol 2, No 12 (92) (2018) > Sugiarto

THE EFFECT OF EXTERNAL MAGNETIC FLUX FIELD IN THE QTS WELDMENT ON THE CHANGE OF FATIGUE

CRACK PROPAGATION BEHAVIORS

Sugiarto Sugiarto, Rudy Soenoko, Anindito Purnowidodo, Yudy Surya Irawan

ABSTRACT

This investigation discusses fatigue crack propagation behaviors on the welded joint of Hot Rolled

Quench Tempered Steel (QTS) in which during welding process the fusion zone of the joint was

subjected to magnetic flux field. The QTS weldability is not really excellent due to the change of

microstructure into tempered martensite, and the possibility of microcrack defect on the welding

area is still high. The purpose of the investigation is to know the effect of External Magnetic Flux

(EMF) field during welding process on fatigue crack propagation behaviors. The external magnetic

flux is applied transversely from two sides of the workpiece using a DC powered solenoid of 0, 3,

6, 9 and 15 Amperes. The effect of EMF is more sensitive to decrease the tensile strength and the

fatigue crack propagation rate of the weld area. The result shows that the electromagnetic force on

the weld pool increases. It causes the liquid metal circulation rate to increase and welding defects

to decrease. This indicates that the liquid metal and filler metal are easily mixed, the release of

gas from liquid metal to surface before solidification easily happens. The finding shows that the

effect of EMF is more efficient.

KEYWORDS

crack propagation rate; crack resistance; external magnetic flux; martempering; martensite; QTS;

weldability

REFERENCES

Kou, S. (2002). Welding Metalurgy. Wiley-interscience, New Jersey.

Messler, R. W. (2004). Principles of Welding. John Wiley & Sons. doi: 10.1002/9783527617487

Béres, L., Balogh, A., Irmer, W. (2001). Welding of Martensitic Creep-Resistant Steels. Welding

Research, 191-s–195-s.

Vuherer, T., Dunđer, M., Milović, L., Zrilić, M., Samardžić, I. (2013). Microstructural Investigation

of the Heat-Affected Zone of Simulated Welded Joint of P91 Steel. Metalurgija, 52 (3), 317–320.

Khan, Md. I. (2007). Welding Science and Technology. New Delhi: New Age International (P) Ltd.,

278.

Chatterjee, S., Doley, B. (2014). Crack Propagation and Fracture Analysis In Engineering Structure

By Generative Part Structural Analysis. International Journal Of Current Research, 6 (06), 7032–

7037.

Iyer, A. H. S., Stiller, K., Leijon, G., Andersson-Östling, H. C. M., Hörnqvist Colliander, M. (2017).

Influence of dwell time on fatigue crack propagation in Alloy 718 laser welds. Materials Science

and Engineering: A, 704, 440–447. doi: 10.1016/j.msea.2017.08.049

Zhang, Y., Chen, G., Chen, B., Wang, J., Zhou, C. (2017). Experimental study of hot cracking at

circular welding joints of 42CrMo steel. Optics & Laser Technology, 97, 327–334.

doi: 10.1016/j.optlastec.2017.07.018

Marya, M., Gayden, X. (2005). Development of Requirements For Resistance Spot Welding Dual-

Phase (DP600) Steels Part 1: The Causes Of Interfacial Fracture. Welding Research, 172s–182s.

Joaquin, A., Adrian, N. A. E., Jiang, C. (2007). Reducing shrinkage voids in resistance spot welds.

Welding Research, 24–27.

De Herreran, N. (2003). Computer Calculation of Fusion Zone Geometry Considering Fluid Flow

and heat Transfer During Fusion Welding. Welding J. The Univ. of Texas at El Paso.

Shen, Q., Li, Y., Lin, Z., Chen, G. (2011). Impact of External Magnetic Field on Weld Quality of

Resistance Spot Welding. Journal of Manufacturing Science and Engineering, 133 (5), 051001.

doi: 10.1115/1.4004794

Li, P. (2008). The Present Situation And Development Trend Of The Automobile Engine Piston

Design. Autom. Tech. Mat., 1, 5–8.

Sugiarto, Purnowidodo, A., Sonief, A., Soenoko, R., Irawan, Y. S. (2016). The Use of Magnetic Flux

to The Welding of Hot Roll Quench Tempered Steel. ARPN Journal of Engineering and Applied

Sciences, 11, 1061–1064.

Kostov, I., Andonov, A. (2005). Modelling of Magnetic Fields Generated by Cone Shape Coils for

Welding with Electromagnetic Mixing. Journal of the University of Chemical Technology and

Metallurgy, 40 (3), 261–264.

Wang, Z., Nakamura, T. (2004). Simulations of crack propagation in elastic–plastic graded

materials. Mechanics of Materials, 36 (7), 601–622. doi: 10.1016/s0167-6636(03)00079-6

Sadananda, K., Solanki, K. N., Vasudevan, A. K. (2017). Subcritical crack growth and crack tip

driving forces in relation to material resistance. Corrosion Reviews, 35 (4-5).

doi: 10.1515/corrrev-2017-0034

Gürses, E., Miehe, C. (2009). A computational framework of three-dimensional configurational-

force-driven brittle crack propagation. Computer Methods in Applied Mechanics and Engineering,

198 (15-16), 1413–1428. doi: 10.1016/j.cma.2008.12.028

Curtin, W. A., Deshpande, V. S., Needleman, A., Van der Giessen, E., Wallin, M. (2010). Hybrid

discrete dislocation models for fatigue crack growth. International Journal of Fatigue, 32 (9),

1511–1520. doi: 10.1016/j.ijfatigue.2009.10.015

Albedah, A., Khan, S. M. A., Benyahia, F., Bachir Bouiadjra, B. (2016). Effect of load amplitude

change on the fatigue life of cracked Al plate repaired with composite patch. International Journal

of Fatigue, 88, 1–9. doi: 10.1016/j.ijfatigue.2016.03.002

Broek, D. (1982). Elementary Engineering Fracture Mechanic. Springer, 540.

Kern, M., Berger, P., Hügel, H. (2000). Magneto-Fluid Dynamics Control Of Seam Quality In CO2

Laser Beam Welding. Welding Research Supplement, 72s–78s.

Tse, H. C., Man, H. C., Yue, T. M. (1999). Effect of electric and magnetic fields on plasma control

during CO2 laser welding. Optics and Lasers in Engineering, 32 (1), 55–63. doi: 10.1016/s0143-

8166(99)00045-7

Dar, Y. A., Singh, C., Farooq, Y. (2011). Effects of External Magnetic Field on Welding Arc of

Shielded Metal Arc Welding. Indian Journal of Applied Research, 4 (4), 200–203.

doi: 10.15373/2249555x/apr2014/60

Senapati, A., Mohanty, S. brata. (2014). Effects of External Magnetic Field on Mechanical

properties of a welded M.S metal through Metal Shield Arc Welding. International Journal of

Engineering Trends and Technology, 10 (6), 297–303. doi: 10.14445/22315381/ijett-v10p258

Natividad, C., García, R., López, V. H., Contreras, A., Salazar, M. (2017). Metallurgical

Characterization of API X65 Steel Joint Welded by MIG Welding Process with Axial Magnetic Field.

Materials Research, 20 (5), 1174–1178. doi: 10.1590/1980-5373-mr-2016-0182

DOI: https://doi.org/10.15587/1729-4061.2018.122919

ISSN (print) 1729-3774, ISSN (on-line) 1729-4061