DISERTASI - Universitas Brawijaya
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of DISERTASI - Universitas Brawijaya
KARAKTERISTIK SAMBUNGAN LAS HOT ROLL QUENCH
TEMPERED STEEL (QTS) AKIBAT PENAMBAHAN FLUKS
MAGNET EKSTERNAL
DISERTASI
PROGRAM DOKTOR TEKNIK MESIN
MINAT MATERIAL MANUFAKTUR
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Memperoleh gelar Doktor Teknik
SUGIARTO, ST. MT
NIM. 127060200111032
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2018
DISERTASI
KARAKTERISTIK SAMBUNGAN LAS HOT ROLL QUENCH
TEMPERED STEEL (QTS) AKIBAT PENAMBAHAN FLUKS
MAGNET EKSTERNAL
SUGIARTO, ST. MT
NIM. 127060200111032
Telah dipertahankan di depan komisi penguji
Pada tanggal 2018
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Untuk memperoleh gelar Doktor Teknik
Komisi Pembimbing
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Ir. Rudy Soenoko, M. Eng. Sc.
Pembimbing Pendamping I
Dr. Eng. Anindito Purnowidodo, ST.M.Eng.
Pembimbing Pendamping 2
Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST. M. Eng.
Malang, 2018
Universitas Brawijaya
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin
Ketua Program Doktor Teknik Mesin
Prof. Ir. ING. Wardana, M. Eng., PhD.
NIP. 19590731 198303 1 002
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya,
dan berdasarkan hasil penelusuran berbagai karya ilmiah, gagasan dan masalah ilmiah
yang diteliti dan diulas di dalam Naskah Disertasi ini adalah asli dari pemikiran saya, tidak
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernahditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam
naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-
unsur jiplakan, saya bersedia Disertasi dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (UU no. 20 tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)
Malang, 23 April 2018
Mahasiswa
SUGIARTO, ST, MT.
127060200111032
RIWAYAT HIDUP
Sugiarto, Ponorogo, 17 April 1969 anak dari ayah yang bernama Kedi dan Ibu Tukiyem,
Menyelesaikan pendidikan SD sampai SMA di kota Ponorogo dan lulus SMA tahun 1988,
lulus Program Sarjana Teknik Mesin di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang
tahun 1995. Menyelesaikan program Magister Teknik Mesin di Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2003. Pengalaman kerja sebagai Dosen
Teknik Mesin Universitas Brawijaya tahun 1995 hingga sekarang. Pernah menjabat
sebagai Kepala Laboratorium Pengujian Bahan dari tahun 1997 sampai tahun 2000,
menjabat sebagai Ketua Program Non Reguler Jurusan Teknik Mesin tahun 2004 sampai
2006, menjabat sebagai Kepala Laboratorium Proses Produksi dari tahun 2007 sampai
2012. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
Malang, 23 April 2018
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada:
1. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah
memberikan bantuan beasiswa BPDN untuk program Doktor.
2. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan bantuan dana pengembangan
sumberdaya manusia dalam mendukung studi program Doktor.
3. Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya yang telah memberikan ijin studi
program Doktor kepada penulis.
4. Ketua Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya yang banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan studi program Doktor.
5. Ketua Program Doktor Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya yang telah
memfasilitasi penulis selama menempuh studi program Doktor.
6. Prof. Dr. Ir. Rudy Soenoko, M. Eng. Sc. Selaku Pembimbing Utama.
7. Dr. Eng. Anindito Purnowidodo, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 1.
8. Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 2.
9. Para Ketua Laboratorium beserta staf dan assisten Laboratorium tempat penulis
melakukan penelitian.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi.
Sujud dan terima kasih yang dalam penulis persembahkan kepada Ibunda dan
Ayahanda tercinta, atas dorongan yang kuat, kebijaksanaan dan do’a.
Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri dan anak-
anakku yang selalu memberikan support dan dorongan semangat.
Malang, 23 April 2018
Penulis
RINGKASAN
Sugiarto, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Maret 2018,
Karakteristik Sambungan Las Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS) Akibat
Penambahan Fluks Magnet Eksternal, Pembimbing Disertasi: Rudy Soenoko, Anindito
Purnowidodo dan Yudy Surya Irawan
Hot Roll Steel Plate (HRSP) merupakan baja konstruksi umum dengan kadar
karbon 0,29% dan beberapa unsur paduan. Baja ini memiliki potensi untuk dijadikan
material bodi kendaraan tempur dalam mendukung program kemandirian material dalam
mengembangkan ALUTSISTA. Agar memenuhi syarat sebagai material kendaraan tempur
dengan kekerasan berkisar 500 BHN, maka HRSP harus diberi perlakuan panas quench
temper agar memiliki sifat keras dan tahan terhadap tumbukan peluru. HRSP yang telah
mengalami perlakuan panas quench temper ini selanjutnya diberi istilah Hot roll quench
tempered steel (QTS). Dari hasil perlakuan panas quench temper tersebut didapatkan
kekerasan rata-rata 544,6 VHN. QTS didominasi oleh mikrostruktur martensit yang
memiliki sifat keras, umumnya memiliki weldability rendah dan rentan mengalami retak
merambat pasca pengelasan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan
rekayasa proses pengelasan terhadap QTS.
Dalam pengelasan logam yang menggunakan sumber energi listrik akan bekerja
gaya elektromagnetik (gaya Lorenz) yang berpengaruh terhadap laju konveksi atau
sirkulasi logam cair pada kolam las. Laju sirkulasi logam cair pada kolam las juga
dipengaruhi oleh gaya angkat permukaan (gaya buoyancy) dan gaya akibat tegangan
permukaan (gaya marangoni). Gaya elektromagnetik memiliki pengaruh paling dominan
terhadap sirkulasi kolam las pada las yang menggunkaan arus listrik (Herrera, 2003). Laju
konveksi logam cair pada kolam las dapat ditingkatkan dengan memperbesar gaya-gaya
yang bekerja pada kolam las utamanya gaya elektromaknetik (FL). Arus konveksi akibat
gaya elektromagnetik dipengaruhi oleh rapat arus (J) dan fluks magnet (B) yang
dirumuskan FL = J x B. Gaya elektromagnetik di tengah kolam las akan mendorong logam
las cair yang panas ke bawah sampai ke dasar kolam, sehingga perpindahan panas yang
terjadi mengakibatkan sebagian dasar kolam las mencair dan penetrasi logam cair di
kolam las semakin dalam. Laju sirkulasi berperan dalam proses pencampuran (mixing)
logam cair dalam kolam las. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat homogenitas komposisi
struktur dalam kolam las, menurunkan laju pendinginan pasca pengelasan dan
meningkatkan ketangguhan las (Kou, 1987).
Beberapa penelitian terkait penambahan magnet eksternal pada proses pengelasan
telah dilakukan untuk material logam atau baja yang belum mengalami perlakuan panas
dan belum mengalami perubahan mikrostruktur. QTS merupakan baja konstruksi yang
telah mengalami perlakuan panas quench temper dan perubahan mikrostruktur dari
Ferrite+Pearlite menjadi Martensite. Gaya elektromagnetik umumnya dilakukan dengan
menaikan arus las. Memperbesar arus las akan meningkatkan masukan panas las,
menaikan tegangan termal yang berdampak pada distorsi dan retak las. Penelitian ini
menggunakan baja konstruksi yang telah mengalami perlakuan panas quench temper dan
perubahan mikrostruktur. Gaya elektromagnetik diperbesar dengan menambahkan fluks
magnet eksternal secara transversal dari dua arah menggunakan solenoida yang dialiri arus
listrik DC. Tujuannya adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan fluks magnet
eksternal secara transversal dari dua arah terhadap perubahan karakteristik fisik berupa
temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, perubahan
mikrostruktur HAZ dan daerah las serta karakteristik mekanik berupa kekuatan impak dan
laju perambatan retak fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).
Dalam penelitian ini, fluks magnet eksternal ditambahkan dengan mengalirkan
arus DC sebesar 3; 6; 9, 12 dan 15 Ampere dan tegangan 12 volt ke solenoida. Jumlah
lilitan solenoida adalah 150 lilitan. Solenoida dibuat dari kawat tembaga diameter 0,7 mm
yang dililitkan ke plat baja lunak berdimensi (100 x 100 x 10 mm3). Selama pengelasan
solenoida ditempelkan ke benda kerja secara transversal dari dua arah. Jenis las yang
digunakan adalah GMAW dengan arus pengelasan sebesar 140 A dan tegangan 20 V.
Posisi pengelasan adalah flat position welding 3 layer untuk benda kerja tebal 10 mm dan
1 layer untuk benda kerja tebal 5 mm dengan kecepatan pengelasan rata-rata 15 cm/menit.
Elektrode las yang digunakan adalah AWS ER 70S-6 diameter 1 mm. Gas pelindung yang
digunakan adalah CO2 dengan kecepatan pengumpanan 12 L/min. Pada layer ke 3
dilakukan pengukuran temperature pengelasan pada jarak 10 mm dari pusat las
menggunakan termokopel tipe K. Setelah proses pengelasan, benda kerja las diuji
radiografi untuk melihat cacat makro dan selanjutnya dibuat spesimen uji makro dan
mikrostruktur, uji impak, uji tarik dan uji perambatan retak fatik. Spesimen uji makro dan
mikrostruktur serta uji impak dibuat dari benda kerja las tebal 10 mm. Spesimen uji tarik
dan uji perambatan retak fatik dibuat dari benda kerja las tebal 5 mm. Uji cacat las
menggunakan hasil foto radiografi yang diolah menggunakan Software Autodesk Inventor
2012, uji porositas menggunakan program Image J dari hasil foto mikrostruktur las, uji
impak menggunakan tipe charpy test dengan beban pendulum 26,2 kg, panjang pendulum
0,75 m, sudut simpangan awal 120º dan sudut simpangan akhir tanpa beban 117º, uji tarik
menggunakan metode tension test dan uji perambatan retak fatik menggunakan Servo
hydraulic fatigue test dengan Pmax = 0,3 x σu x A dan Pmin = 0 serta frekwensi
pembebanan fatik = 11 Hz. Panjang retak awal (a0) = 2 mm dan lebar retak awal 0,2 mm.
Data jumlah siklus pembebanan fatik pertama diukur setelah pertambahan retak awal (Δa1)
= 0,2 mm.
Hasilnya adalah menambahkan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua
arah pada pengelasan QTS dapat menurunkan temperatur puncak dan laju pendinginan
pasca pengelasan HAZ, menurunkan prosentase cacat las dan porositas las, meningkatkan
ketangguhan las terhadap beban impak dan memperlambat perambatan retak fatik daerah
las. Semakin besar fluks magnet yang ditambahkan menyebabkan temperatur puncak HAZ
semakin turun, laju pendinginan pasca pengelasan semakin lambat, mikrostruktur HAZ
semakin didominasi oleh upper bainite (UB). Sedangkan mikrostruktur logam las semakin
didominasi oleh grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF). prosentase
cacat las dan porositas daerah las semakin kecil dan daerah las semakin tahan terhadap
beban impak. Penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah sebesar
1,7 mT sampai 2,3 mT menghasilkan jumlah siklus pembebanan retak fatik semakin
meningkat yang mengindikasikan perambatan retak fatik semakin lambat. Hal ini
didukung oleh nilai n yang semakin kecil dan nilai C yang semakin besar. Sedangkan
penambahan fluks magnet dari 2,3 mT ke 3,1 mT menyebabkan jumlah siklus
pembebanan retak fatik turun kembali.
Kata Kunci: HRSP, QTS, fluks magnet eksternal, weldability, retak merambat.
SUMMARY
Sugiarto, Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, Brawijaya
University, March 2018, Characteristics of Hot Quench Tempered Steel (QTS) Welded
Connections due to the addition of External Magnetic Flux, Dissertation Counselor:
Rudy Soenoko, Anindito Purnowidodo and Yudy Surya Irawan
Hot Roll Steel Plate (HRSP) is a common construction steel with a carbon
content of 0.29% and some alloying elements. This steel has the potential to be used as
material of combat vehicle body in support of material independence program in
developing ALUTSISTA. In order to qualify as combat vehicle material with hardness
ranging from 500 BHN, HRSP should be quench tempered heat treatment in order to have
hard and resistant properties against bullet collision. HRSP that has been subjected to
heat treatment quench temper is then given the term Hot roll quench tempered steel (QTS).
From the result of heat treatment of quench temper is obtained mean hardness 544,6
VHN. QTS is dominated by microstructures of martensite that have a hard nature,
generally have low weldability and susceptible to crack propagating post-welding. To
overcome these problems need to be welded engineering process to QTS.
In metal welding using electrical energy sources will work electromagnetic force
(Lorenz force) which affect the rate of convection or circulation of liquid metal in welding
pool. The rate of liquid metal circulation in the weld pool is also affected by the surface
lifting force (buoyancy force) and the force due to surface tension (marangoni force).
Electromagnetic forces have the most dominant influence on weld pool circulation in
welding that uses electric current (Herrera, 2003). The rate of convection of molten metal
in the weld pool can be increased by enlarging forces acting on the main welding pool of
the electromagnetic force (FL). Convection current due to electromagnetic force is
influenced by current density (J) and magnetic flux (B) formulated FL = J x B.
Electromagnetic force in the center of the weld pool will push the hot welding metal down
to the bottom of the pool, resulting in heat transfer occurs resulting in a part of the bottom
of the melt weld pool and the penetration of molten metal in the weld pool deeper. The
circulation rate plays a role in the mixing process of molten metal in a weld pool. This
affects the homogeneity of the structure composition in the weld pool, decreases the post-
welding cooling rate and increases the weld toughness (Kou, 1987). Several studies
related to the addition of external magnets to the welding process have been done for
metallic or steel materials that have not been heat treated and have not undergone
microstructural changes. QTS is a construction steel that has been subjected to heat
treatment of quench temper and microstructure changes from Ferrite + Pearlite to
Martensite. Electromagnetic force is generally done by raising the welding current.
Increasing the welding current will increase the weld heat input, raising the thermal stress
affecting the distortion and the weld crack. This study uses steel construction that has been
subjected to heat treatment of quench temper and microstructural changes. The
electromagnetic force is magnified by adding external transverse magnetic flux from two
directions using a DC-doped solenoid. The objective is to analyze the effect of the addition
of external magnetic flux transversally from two directions to the change of physical
characteristics such as HAZ peak temperature, post-welding cooling rate, welding defect,
HAZ microstructure change and welding area and mechanical characteristics such as
impact strength and rate of fatigue crack propagation of weld area hot roll quench
tempered steel (QTS).
In this study, external magnetic flux is added by passing a DC current of 3; 6; 9,
12 and 15 Ampere and 12 volt to solenoid. The number of solenoid windings is 150 loops.
The solenoid is made of 0.7 mm diameter copper wire wrapped onto a dimensionless steel
steel plate (100 x 100 x 10 mm3). During the welding the solenoid is attached to the
workpiece transversely from two directions. The type of welding used is GMAW with
welding current of 140 A and 20 V voltage. Welding position is flat position welding 3
layers for 10 mm thick workpiece and 1 layer for 5 mm thick workpiece with average
welding speed 15 cm / min . The welding electrode used is AWS ER 70S-6 diameter 1 mm.
The protective gas used is CO2 with a feed rate of 12 L / min. On the 3rd layer, the
welding temperature measurement was measured at 10 mm from the welding center using
K type thermocouple. After welding process, the welding workpiece was tested by
radiography to see macro defect and then made macro and microstructure test specimen,
impact test, tensile test and propagation test fatigue cracks. Specimens of macro and
microstructure tests and impact tests were made from 10 mm thick welding workpieces.
Tensile test specimens and fatigue crack propagation tests were prepared from 5 mm thick
welding workpieces. Test welded defects using the results of radiographic images are
processed using Autodesk Inventor Software 2012, porosity test using Image J program
from the weld microstructure photo, impact test using charpy test type with pendulum load
26.2 kg, pendulum length 0.75 m, the beginning of 120º and the endless nozzle endpoint
117º, the tensile test using the tension test and the fatigue crack propagation test using the
Servo hydraulic fatigue test with Pmax = 0.3 x σu x A and Pmin = 0 and the fatigue
loading frequency = 11 Hz. The initial crack length (a0) = 2 mm and the initial crack
width of 0.2 mm. Data on the number of first fatigue loading cycles was measured after
the initial crack increase (Δa1) = 0.2 mm.
The result is adding external transverse magnetic flux from two directions to QTS
welding can reduce peak temperature and cooling rate after welding HAZ, decrease
percentage of weld defect and weld porosity, increase weld toughness to impact load and
slow propagation of fatty crack propagation of weld area. The greater the added magnetic
flux causing the peak temperature of HAZ to decrease, the post-welding cooling rate is
slower, the HAZ microstructure increasingly dominated by upper bainite (UB). While the
weld metal microstructure is increasingly dominated by the grain boundary ferrite (GF)
and widmanstatten ferrite (WF). the percentage of welding defects and porosity of the
weld area is getting smaller and the weld area is more resistant to the impact load. The
addition of external magnetic flux transversally from two directions of 1.7 mT to 2.3 mT
resulted in an increasing number of fatigue crack loading cycles indicating a slower of
fatigue crack propagation. This is supported by the smaller value of n and the larger C
value. While the addition of magnetic flux from 2.3 mT to 3.1 mT causes the number of
fatigue crack loading cycle to fall back.
Keywords: HRSP, QTS, external magnetic flux, weldability, crack propagate.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT., karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, akhirnya disertasi yang berjudul ” Karakteristik Sambungan Las Hot Roll
Quench Tempered Steel (QTS) Akibat Penambahan Fluks Magnet Eksternal” ini dapat
kami selesaikan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah
memberikan bantuan beasiswa BPDN untuk program Doktor kepada penulis.
2. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan bantuan dana pengembangan
sumberdaya manusia dalam mendukung studi program Doktor.
3. Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya yang telah memberikan ijin studi
program Doktor kepada penulis.
4. Ir. Djarot B. Darmadi, MT. PhD., selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin Universitas
Brawijaya Malang.
5. Prof. Ir. ING. Wardhana PhD., selaku Ketua Program Doktor Teknik Mesin
Universitas Brawijaya Malang.
6. Prof. Dr. Ir. Rudy Soenoko, M. Eng. Sc. Selaku Pembimbing Utama.
7. Dr. Eng. Anindito Purnowidodo, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 1.
8. Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST. M. Eng. Selaku Pembimbing Pendamping 2.
9. Para Ketua Laboratorium beserta staf dan assisten Laboratorium tempat penelitian
penulis, yang telah memfasilitasi dan banyak membantu penulis dalam melakukan
penelitian.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi yang tidak
bisa disebutkan satu per satu.
Semoga amal baik Bapak dan ibu sekalian mendapat balasan yang setimpal dari
Alloh SWT. Tentu tulisan ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan sehingga perlu
koreksi dan masukan demi kesempurnaannya. Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi
penulis khususnya dan semua pihak yang menyempatkan diri untuk membacanya.
Malang, Mei 2018
Penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ....................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................
LEMBAR SERTIFIKAT BEBAS PLAGIASI.....................
LEMBAR RIWAYAT HIDUP.................................................
LEMBAR UCAPAN TERIMA KASIH ..................................
LEMBAR RINGKASAN ..........................................................
LEMBAR SUMMARY ...........................................................
KATA PENGANTAR ............................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................. ii
DAFTAR TABEL .................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................... ... v
DAFTAR PUBLIKASI ........................................................ vi
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan Penelitian 5
1.4. Manfaat Penelitian 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1. Beberapa Penelitian Terdahulu 7
2.2. Aliran Panas Pengelasan 11
2.3. Siklus Termal dan Laju Pendinginan Las 12
2.4. Hubungan Laju Pendinginan Pasca Pengelasan Dengan
Pembentukan Mikrostruktur Las 14
2.5. Konveksi Kolam Las 18
2.6. Pengaruh Konveksi pada Kolam Las 20
2.7. Pembagian Daerah Lasan 23
2.8. Cacat Las 25
2.8.1. Retak las (weld cracking) 27
2.8.2. Absorbsi hydrogen selama proses pengelasan busur 28
2.8.3. Cacat porositas 29
2.9. Medan Magnet Solenoida 31
2.10. Laju Perambatan Retak Fatik 33
BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 36
3.1 Kerangka Konseptual 36
3.2 Alur Kerangka Konseptual Penelitian 39
3.3. Hipotesis 40
BAB IV. METODE PENELITIAN 41
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian 41
4.2. Alat dan Bahan Penelitian 41
4.2.1. Alat yang digunakan dalam penelitian 41
4.2.2. Bahan yang digunakan 42
4.2.3. Bentuk spesimen pengelasan 43
4.3. Variabel Penelitian 45
4.4. Rancangan Penelitian 45
4.5. Prosedur Penelitian 47
4.6. Diagram Alir 51
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 52
5.1. Hasil Pengujian Hot Roll Steel Plate (HRSP) 52
5.2. Hasil Pengujian Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS) 53
5.3. Hasil pengujian Fluks Magnet 55
5.4. Hasil Pengukuran Temperatur 57
5.5. Hasil Pengujian Cacat Las 63
5.6. Hasil Pengujian Impak 67
5.7. Hasil Pengujian Tarik Spesimen QTS 72
5.8. Hasil Pengujian Laju Perambatan Retak Fatik Spesimen QTS 74
5.8.1. Pengaruh penambahan fluks magnet eksternal terhadap
jumlah siklus pembebanan fatik 75
5.8.2. Hubungan panjang retak terhadap jumlah siklus pembebanan
Akibat penambahan fluks magnet eksternal 77
5.8.3. Hubungan laju perambatan retak fatik (da/dN) terhadap
Factor intensitas tegangan (ΔK) 78
5.8.4. Analisa struktur makro permukaan patahan hasil pengujian retak 80
5.8.5. Analisa struktur mikro permukaan patahan menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM) 81
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 83
6.1. Kesimpulan 83
6.2. Saran 83
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
Tabel 4.1. Unsur yang terkandung dalam Hot Roll Steel Plate (HRSP) 42
Tabel 4.2 Besar fluks magnet (mT) tiap perubahan kuat arus untuk benda
kerja tebal 10 mm 45
Tabel 4.3 Besar fluks magnet (mT) tiap perubahan kuat arus untuk benda
kerja tebal 5 mm 46
Tabel 4.4. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal
terhadap beberapa variabel terikat pada spesimen tebal 10 mm 46
Tabel 4.5. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal
terhadap beberapa variabel terikat pada spesimen tebal 5 mm 47
Tabel 5.1. Data hasil pengujian kekerasan HRSP 52
Tabel 5.2. Energi impak dari hasil pengujian HRSP 53
Tabel 5.3. Data hasil uji kekerasan QTS 54
Tabel 5.4 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada
solenoida terhadap benda kerja tebal 10 mm 55
Tabel 5.5 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada
solenoida terhadap benda kerja tebal 5 mm 56
Tabel 5.6 Data hasil pengujian cacat las menggunakan uji radiografi dan
Software Autodesk Inventor 2012 64
Tabel 5.7 Data hasil pengujian cacat porositas menggunakan foto SEM
(pembesaran 5000 x) dan Software Image J 65
Tabel 5.8 Data hasil pengujian impak 70
Tabel 5.9 Data hasil pengujian tarik spesimen QTS 73
Tabel 5.10 Nilai C dan n dari grafik trenline tiap spesimen dari gambar 5.26 80
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
Gambar 2.1. Siklus termal sebagai fungsi jarak dari pusat lasan 13
Gambar 2.2. Diagram CCT pada pengelasan Baja Kekuatan BJ55 15
Gambar 2.3. Mikrostruktur daerah las yang terbentuk pada laju pendinginan
sedang dan rendah untuk baja paduan rendah 17
Gambar 2.4. Mikrostruktur HAZ yang terbentuk dari pendinginan cepat
untuk baja paduan rendah 18
Gambar 2.5. Pola aliran logam las cair akibat: (a) dan (b) gaya elektromagnetik,
(c) gaya angkat permukaan (buoyancy force) dan
(d) gaya tegangan permukaan (marangoni force) 19
Gambar 2.6. Efek konveksi terhadap porositas (a) pola konveksi yang dapat
melepas gelembung gas. (b) pola konveksi yang dapat
menjebak gelembung gas 22
Gambar 2.7. Pengaruh peningkatan konveksi terhadap nilai efektif
konduktifitas termal logam las cair 22
Gambar 2.8. Pembagian daerah lasan 23
Gambar 2.9. Pembagian daerah lasan pada sambungan SS 310
dengan Inkonel 657 25
Gambar 2.10 Pengaruh porositas terhadap kekuatan tarik hasil pengelasan
Aluminium 29
Gambar 2.11 Perubahan kadar hidrogen sebelum dan sesudah pembentukan
inti dari pori 30
Gambar 2.12. Arah garis medan magnet dalam solenoida 32
Gambar 2.13. Mode bukaan retak 33
Gambar 2.14. Kurva laju pertumbuhan retak 34
Gambar 2.15. Siklus embebanan pengujian laju perambatan retak fatik 35
Gambar 3.1. Alur kerangka konseptual 39
Gambar 4.1. Bentuk dan dimensi benda kerja pengelasan 43
Gambar 4.2 Dimensi spesimen uji impak 44
Gambar 4.3. Dimensi spesimen uji tarik (satuan: mm) 44
Gambar 4.4. Dimensi spesimen uji perambatan retak fatik (satuan: mm) 44
Gambar 4.5. Gambar posisi pengambilan data temperature benda kerja
Las (satuan: mm) 48
Gambar 4.6. Pembagian area spesimen uji mikrostruktur dan uji impak
(satuan: mm) 49
Gambar 4.7. Pembagian area spesimen uji tarik dan uji perambatan retak
(satuan: mm) 49
Gambar 4.8. Rancangan instalasi penelitian 50
Gambar 4.9. Diagram alir penelitian 51
Gambar 5.1. Foto mikrostruktur HRSP 52
Gambar 5.2. Bentuk patahan spesimen uji impak material HRSP 53
Gambar 5.3. Mikrostruktur QTS 54
Gambar 5.4. Instalasi pengujian besar fluks magnet eksternal. 55
Gambar 5.5. Arah medan magnet (B) dan gaya Lorenz (FL) akibat arus listrik 56
Gambar 5.6. Arah medan magnet (B), Gaya Lorenz (FL) dan arus konveksi logam
cair pada kolam las akibat arus DC yang dialirkan ke solenoida 57
Gambar 5.7. Grafik siklus termal pada jarak 10 mm dari pusat las 58
Gambar 5.8. Grafik laju pendinginan pada Jarak 10 mm dari pusat las 59
Gambar 5.9. Mikrostruktur HAZ dengan dengan perbesaran 400x (a) 0 mT;
(b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT 60
Gambar 5.10. Mikrostruktur logam las QTS dengan perbesaran 400x (a) 0 mT;
(b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT 62
Gambar 5.11. Foto daerah las dan HAZ dari film negatif hasil uji radiografi 63
Gambar 5.12. Luasan cacat las (2 dimensi) dengan Software Autodesk
Inventor 2012. 63
Gambar 5.13. Grafik perubahan prosentase cacat las akibat penambahan
fluks magnet eksternal 64
Gambar 5.14. Cacat porositas pada penampang melintang logam las akibat
penambahan fluks magnet eksternal dengan pembesaran 5000 x 65
Gambar 5.15. Grafik perubahan prosentase cacat porositas akibat penambahan
fluks magnet eksternal 66
Gambar 5.16. Pola konveksi logam las pada weld pool dengan pembesaran 20 x
(a) Tanpa fluks magnet eksternal (0 mT),
(b) dengan fluks magnet eksternal 9,03 mT. 67
Gambar 5.17. Grafik kekuatan impak daerah las QTS 70
Gambar 5.18. Permukaan patahan spesimen uji impak (a) 0 mT; (b) 2,4 mT;
(c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT 71
Gambar 5.19. Permukaan patahan hasil SEM a) 0 mT, b) 9,03 mT 72
Gambar 5.20. Grafik hasil pengujian tarik masing-masing spesimen 73
Gambar 5.21. Hasil pengamatan perambatan retak fatik menggunakan digital
microscope untuk spesimen dengan penambahan fluks magnet
2,3 mT (perbesaran 200x). 75
Gambar 5.22. Perubahan jumlah siklus pembebanan (N) pada Δa1 = 0,2 mm 76
Gambar 5.23. Jumlah siklus pembebanan fatik (N) sampai spesimen uji patah
akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT) 77
Gambar 5.24. Grafik perubahan siklus pembebanan fatik (N) terhadap panjang
retak (mm) akibat penambahan fluks magnet eksternal(mT). 78
Gambar 5.25. Grafik da/dN vs ΔK akibat penambahan fluks magnet
eksternal (mT) 79
Gambar 5.26. Trenline dari grafik hubungan da/dN vs ΔK 79
Gambar 5.27. Permukaan patahan spesimen tanpa penambahan
fluks magnet (0 mT) 80
Gambar 5.28. Permukaan patahan spesimen dengan penambahan
fluks magnet 2,3 mT 81
Gambar 5.29 . Permukaan patahan spesimen dengan penambahan
fluks magnet 3,1 mT 81
Gambar 5.30. Foto SEM patahan spesimen 0 mT dengan perbesaran 2700x 81
Gambar 5.31. Foto SEM patahan spesimen 2,3 mT dengan perbesaran 2300x 82
Gambar 5.32. Patahan spesimen 3,1 mT dengan perbesaran 2100x 82
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
Lampiran 1 Foto Mikrostruktur HRSP dan QTS
Lampiran 2 Data Temperatur Pada Jarak 10 mm Dari Pusat Las
Lampiran 3 Data Temperature Pendinginan dari 400 oC ke 200
oC
Lampiran 4 Foto Benda Kerja Hasil Pengelasan QTS
Lampiran 5 Pengolahan Data Cacat Las Dari Negatip Film
Menggunakan Software Autodesk Inventor 2012
Lampiran 6 Pengolahan Data Cacat Porositas Mikro
Menggunakan Software Image J
Lampiran 7 Foto Spesimen Uji Tarik
Lampiran 8 Foto Spesimen Uji Perambatan Retak Fatik
Lampiran 9 Data Hasil Pengujian Perambatan Retak Fatik
Spesimen QTS
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian
DAFTAR PUBLIKASI
No. Judul, Nama Jurnal, Tahun Terbit, Publisher dan Negara Penerbit
1. The Use Of Magnetic Flux To The Welding Of Hot Roll Quench Tempered Steel,
Journal of engineering and Applied Sciences, January 2016, Vol. 11, No. 2, pp.
1061-1064, , ISSN 1819-6608, Asian Research Publishing Network (ARPN),
Pakistan.
2. The Effect of External Magnetic Flux Field in The QTS Weldment to The Change
of Fatigue Crack Propagation Behaviors, Eastern-European Journal Of Enterprise
Technologies, Materials Science, April 2018, Vol. 2/12 (92), pp.4-11., ISSN 1729-
3774, PC. TECHNOLOGY CENTER, Ukraina
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kemandirian bahan baku merupakan salah satu syarat penting dalam membangun
kemandirian bangsa di bidang teknologi. Indonesia terus berupaya mengembangkan produk
manufaktur berbasis bahan baku lokal namun tetap mampu bersaing di pasar internasional.
Produk manufaktur Indonesia utamanya produk kesenjataan banyak mengandalkan bahan
baku lokal. Dan produk kesenjataan tersebut telah mampu memenuhi sebagian kebutuhan
dalam negeri bahkan diekspor ke negara lain.
Saat ini bangsa Indonesia sedang berupaya memodernisasi alutsista untuk mendukung
kemampuan personil TNI dan POLRI dalam menjaga keamanan dan keutuhan NKRI. PT
PINDAT terus mengembangkan kesenjataan yang handal bagi TNI dan POLRI untuk
mengurangi ketergantungan terhadap produk kesenjataan dari impor. Kendaraan tempur
umumnya didesain menggunakan material yang tahan peluru dengan berbagai keunggulan
lainnya seperti memiliki kekerasan yang tinggi (lebih dari 500 BHN), kuat, tahan benturan
dan tahan korosi. Material untuk kendaraan tempur seperti tank dan panser umumnya
menggunakan material lapis baja yang dikenal dengan baja armour. Untuk mendukung upaya
kemandirian dalam pengembangan alutsista khususnya kendaraan taktis militer, perlu
dikembangkan material sekelas armour. Hal ini juga dimaksudkan untuk meminimalkan
impor bahan baku industri kendaraan perang (ranpur) sekaligus untuk mengurangi
ketergantungan terhadap negara lain.
PT. Krakatau Steel telah lama memproduksi plat baja melalui proses rol panas yang
dikenal dengan produk Hot Roll Steel Plate (HRSP). Plat baja rol panas yang diproduksi PT.
Krakatau Steel adalah baja konstruksi umum dengan kadar karbon 0,29 %C dan beberapa
kandungan unsur lain. HRSP selama ini digunakan untuk mendukung aktifitas konstruksi dan
industri manufaktur di Indonesia. HRSP tergolong baja lunak dan tembus peluru sehingga
tidak dapat digunakan secara langsung untuk body kendaraan perang. Agar memenuhi
persyaratan sebagai material kendaraan tempur (ranpur), maka perlu dilakukan rekayasa
proses terhadap HRSP agar bahan tersebut memiliki kekerasan sekitar 500 BHN, tangguh dan
tahan peluru.
Untuk memenuhi syarat kekerasan 500 BHN tersebut HRSP diberi proses pengerasan
(hardening). Dan untuk menjaga ketangguhannya, diberikan proses perlakuan panas
tempering. Sehingga produk plat ini mengalami proses rol panas, quenching dan diakhiri
2
dengan proses tempering. Plat baja rol panas (HRSP) yang diberi perlakuan panas tersebut,
dalam penelitian ini diberi istilah Hot roll quench tempered steel (QTS). HRSP diberi
perlakuan panas hardening dengan memanaskan sampai 900ºC ditahan 10 menit dan
dicelupkan ke air sampai suhu ruang. Selanjutnya benda kerja diberi perlakuan panas
tempering dengan memanaskan kembali sampai suhu 300 ºC ditahan 10 menit dan
didinginkan di udara dan didapatkan kekerasan rata-rata 544,6 VHN. Dengan memberikan
perlakuan quenching yang dilanjutkan dengan proses tempering tersebut, struktur QTS
didominasi oleh struktur martensit temper yang memiliki sifat keras. Menurut beberapa teori
dan hasil penelitian, baja dengan struktur martensit memiliki sifat mampu las (weldability)
yang rendah dan rentan mengalami retak yang merambat pasca pengelasan.
Menurut Béres, et.al. (2001), pengelasan baja dengan struktur martensit sangat rentan
terjadi retak dingin sehingga disarankan untuk dilakukan pemanasan mula (preheating) dan
pemanasan pasca pengelasan (PWHT) terhadap baja martensitic. Preheating dilakukan
dengan memanaskan pada temperatur di bawah Martensite start (Ms) sebelum dilakukan
pengelasan. Demikian pula dari hasil penelitian Vuherer, et.al., (2013), bahwa siklus thermal
pengelasan berpengaruh negatip terhadap sifat mekanik HAZ martensitic stainless steel (P91)
dengan kadar Cr 8,81 %, karena menjadi penyebab terjadinya retak dingin pada HAZ.
Sehingga disarankan untuk memberikan preheating sebelum pengelasan terhadap material.
Karena mikrostruktur QTS didominasi oleh martensite maka pengelasan terhadap
QTS rentan terhadap cacat las dan retak yang merambat pasca pengelasan. QTS dibuat dari
proses perlakuan panas quench temper terhadap HRSP. Proses rol panas selama proses
produksi HRSP menyebabkan struktur baja tereduksi dengan bentuk butiran logam yang
rapat dan pipih. Dengan proses quenching struktur butiran yang terbentuk menjadi kecil dan
rapat yang didominasi oleh struktur martensit. Dengan memberikan proses tempering struktur
akhirnya tetap didominasi oleh struktur martensit temper. Kondisi struktur butiran yang rapat
dan didominasi oleh struktur martensit temper inilah yang menyebabkan hasil lasan QTS
rentan mengalami retak yang merambat pasca pengelasan.
Menurut Chatterjee et.al. (2014), retak pada logam adalah cacat pada struktur
material akibat proses manufaktur atau yang terbentuk saat solidifikasi. Iyer A.H.S., et.al,
2017 menyatakan bahwa logam las merupakan bagian yang lemah dalam konstruksi las yang
disebabkan oleh cacat manufaktur yang mempengaruhi umur fatik dan perilaku perambatan
retak dari komponen yang dilas. Menurut Kou, (1987), retak las secara umum dibagi menjadi
dua kategori, yaitu retak panas yang terjadi selama proses solidifikasi dan retak dingin yang
terjadi selama perubahan struktur. Retak panas hanya terjadi pada daerah las, sedangkan retak
3
dingin dapat terjadi pada daerah las dan HAZ. Menurut Zhang Y. et.al. 2017, mekanisme
pembentukan retak panas terkait dengan factor metalurgi, tegangan dan laju regangan. Retak
las bermula dari adanya hydrogen difusi dan gas-gas terlarut, endapan unsur pengotor
(impurities) dan adanya perbedaan antara pemuaian dan penyusutan pada logam las dan
logam induk selama proses pencairan dan pembekuan logam. Laju pendinginan yang tinggi
pasca pengelasan juga dapat memicu terbentuknya retak mikro yang menjadi awal dari retak
yang merambar. Cacat las berupa retak mikro akan menjadi pemicu perambatan retak saat
struktur las mengalami pembebanan (Messler, 1999).
Upaya untuk meminimalkan retak las dan meningkatkan ketangguhan las terhadap
perambatan retak telah banyak dilakukan. Abdulhamid, et. al. (2002), melakukan penelitian
dalam upaya meminimalkan terjadinya retak panas dengan memberikan preheating 100°C,
200°C dan 300°C. Kemudian Seo, et. al. (2008), melakukan upaya meminimalkan timbulnya
retak dingin dengan menggunakan inti fluks yang mengandung 1,5% Ni. Tahun 2008, Zhang,
et. al., melakukan upaya meminimalkan retak solidifikasi atau retak selama pembekuan pada
lasan Aluminium 6061-T6 menggunakan metode Pulse shaping laser beam welding dengan
memvariasikan ramp down pulse gradient 137 kW/s, 52 kW/s, 32 kW/s. Beberapa penelitian
tersebut mendapatkan hasil positif namun baru diterapkan pada pengelasan logam dasar yang
belum mengalami perubahan mikrostruktur sebagaimana yang terjadi pada QTS. Oleh
karenanya untuk pengelasan QTS yang rentan terjadi retak mikro saat solidifikasi lasan
maupun retak lanjut (delay cracking) saat pembebanan terhadap konstruksi las masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut.
Dalam pengelasan logam yang menggunakan sumber energi listrik akan bekerja gaya
elektromagnetik (Lorenz forces) yang berpengaruh terhadap laju konveksi logam cair pada
kolam las. Konveksi logam cair pada kolam las juga dipengaruhi oleh gaya angkat
permukaan (buoyancy force) dan gaya akibat tegangan permukaan (marangoni force). Dari
ketiga gaya yang bekerja, gaya elektromagnetik memberi pengaruh paling dominan terhadap
sirkulasi logam cair pada kolam las (Herrera, 2003).
Konveksi logam cair dalam kolam las adalah perilaku sirkulasi atau gerakan logam
cair akibat gaya yang bekerja pada kolam las. Konveksi pada kolam las dapat ditingkatkan
dengan cara memperbesar gaya-gaya yang bekerja pada kolam las utamanya gaya
elektromaknetik (FL). Arus konveksi akibat gaya elektromagnetik dipengaruhi oleh rapat arus
(J) dan vektor fluks magnet (B) yang dirumuskan FL = J x B. Gaya elektromagnetik di tengah
kolam las akan mendorong logam las cair yang panas ke bawah sampai ke dasar kolam,
sehingga perpindahan panas yang terjadi mengakibatkan sebagian dasar kolam las mencair
4
dan penetrasi logam cair di kolam las semakin dalam. Laju sirkulasi berperan dalam proses
pencampuran (mixing) logam cair dalam kolam las. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat
homogenitas komposisi struktur dalam kolam las, menurunkan laju pendinginan pasca
pengelasan dan meningkatkan ketangguhan las (Kou, 1987).
Meningkatnya gaya elektromagnetik juga akan menaikkan nilai efektif konduktifitas
termal dari logam las cair (kL) sehingga proses transfer panas pada kolam las menjadi lebih
efektif. Akibatnya temperatur puncak logam las dan HAZ menjadi lebih rendah (Kostov, et.
al. 2005). Jika temperatur kolam las turun maka laju pendinginan pasca pengelasan juga akan
turun dan ketangguhan las meningkat.
Beberapa penelitian terkait pengaruh medan magnet terhadap kualitas hasil
pengelasan antara lain dilakukan oleh Kern, et. al. tahun 2000, yang menyatakan bahwa
menambahkan mekanisme magneto-fluid dynamics pada laser beam welding dapat merubah
kondisi aliran logam cair dan meningkatkan laju sirkulasi logam cair pada kolam las. Kolam
las yang dihasilkan oleh mekanisme magneto-fluid dynamics lebih dalam. Pada tahun 2001,
Curiel, et. al. dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan intensitas magnetik
yang rendah selama pengelasan GMA pada baja stainless steel tipe 304 dapat meningkatkan
ketahanan korosi HAZ, meningkatkan redistribusi Cr ke dalam austenite selama siklus
termal, menurunkan endapan dan pertumbuhan carbida crom, redistribusi Cr terjadi secara
terus menerus dan akan terbentuk film yang meningkatkan ketahanan korosi HAZ.
Selanjutnya dari hasil penelitian Qi Shen et. al., (2011) menyatakan bahwa menambahkan
medan magnet dari luar selama proses pengelasan resistance spot welding (EMS-RSW)
menghasilkan struktur butiran didaerah fusi yang lebih seragam, ketahanan tarik dan elongasi
yang lebih tinggi dan umur kelelahan yang lebih lama di bawah beban geser dinamis,
terutama dalam kondisi siklus tinggi dibandingkan RSW tanpa EMS. Jadi EMS-RSW mampu
meningkatkan kinerja pengelasan baja fase ganda DP780 dengan meningkatkan kekuatan las
dan plastisitasnya.
Senapati A. tahun 2014 menambahkan magnet dari satu arah benda kerja secara
transversal dan dari belakang arah pengelasan secara longitudinal selama proses pengelasan.
Magnet eksternal dibangkitkan dari solenoida. Pengaruh penambahan medan magnet
eksternal dari satu arah tersebut adalah, bahwa medan magnet eksternal yang ditambahkan
secara longitudinal selama pengelasan mempengaruhi gerakan elektron dan ion dalam busur
las, yang menyebabkan busur las dibelokkan dari arah busur normal. Busur pengelasan bisa
dibelokkan ke depan, ke belakang, atau samping tergantung arah perpindahan elektroda dan
arah pengelasan akibat pengaruh arah medan magnet eksternal. Akibatnya terjadi defleksi
5
pada busur pengelasan yang dapat mengubah sifat manik las. Dampaknya cacat las berkurang
dan ketangguhan las meningkat. Sedangkan medan magnet eksternal diarahkan melintang
menyebabkan kekerasan, kekuatan tarik dan ketangguhan logam las menurun.
Beberapa penelitian terkait penambahan magnet eksternal baru dilakukan pada
materal logam atau baja yang belum diberi perlakuan panas sebelum dilakukan pengelasan
atau belum mengalami perubahan mikrostruktur logam. QTS merupakan baja konstruksi
yang telah mengalami perubahan mikrostruktur dari Ferrite + Pearlite menjadi Martensite.
Memperbesar gaya elektromagnetik pada penelitian sebelumnya, umumnya dilakukan dengan
menaikan arus pengelasan. Padahal memperbesar arus las akan meningkatkan masukan panas
las, yang tentu bukan solusi yang tepat karena akan menghasilkan tegangan termal yang bisa
berdampak pada distorsi dan retak las.
Dalam penelitian ini fluks magnet eksternal ditambahkan secara transversal dari dua
arah menggunakan solenoida yang dialiri arus listrik DC dengan besar arus pembangkit fluks
magnet divariasikan. Penelitian ini menggunakan baja konstruksi yang telah mengalami
perubahan mikrostruktur dari proses perlakuan panas quench temper yaitu material QTS.
Tujuannya adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan fluks magnet eksternal secara
transversal dari dua arah terhadap karakteristik fisik berupa perubahan temperatur puncak
HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, perubahan mikrostruktur HAZ dan
daerah las, dan karakteristik mekanik berupa perubahan kekuatan impak dan laju perambatan
retak fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dapat dirumuskan beberapa
hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah pengaruh penambahan
fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah terhadap karakteristik fisik berupa
temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, mikrostruktur HAZ
dan daerah las serta karakteristik mekanik berupa kekuatan impak dan laju perambatan retak
fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penambahan fluks magnet
eksternal secara transversal dari dua arah terhadap karakteristik fisik berupa perubahan
temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las, perubahan
mikrostruktur HAZ dan daerah las dan karakteristik mekanakik berupa kekuatan impak dan
laju perambatan retak fatik daerah las hot roll quench tempered steel (QTS).
6
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dihasilkannya data dan grafik yang menggambarkan perubahan sifat fisik hasil lasan
QTS berupa temperatur puncak HAZ, perubahan siklus termal HAZ, laju pendinginan
pasca pengelasan, perubahan mikrostruktur HAZ dan daerah las dan cacat las akibat
penambahan fluks magnet eksternal.
2. Dihasilkannya data dan grafik yang menggambarkan perubahan sifat mekanik hasil lasan
QTS berupa perubahan kekuatan impak daerah las dan laju perambatan retak fatik daerah
las akibat penambahan fluks magnet eksternal.
3. Menjadi salah satu prasarat kelulusan pada Program Doktor Teknik Mesin di Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya.
4. Dapat menjadi alternatif dalam rekayasa proses pengelasan plat baja rol panas (HRSP)
yang telah diberi perlakuan panas quench temper sehingga mampu memenuhi prasarat
sebagai material untuk kendaraan tempur.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Beberapa Penelitian Terdahulu
Baja dengan mikrostruktur martensit memiliki sifat mampu las yang rendah.
Pengelasan baja dengan struktur martensite sangat rentan terjadinya retak dingin sehingga
disarankan untuk dilakukan pemanasan mula (preheating) dan pemanasan pasca pengelasan
(PWHT) terhadap baja tersebut. Beres, et. al., (2001), menyarankan untuk memberikan
preheating dengan temperature di bawah Martensite start (Ms) sebelum dilakukan
pengelasan. Hal ini dikuatkan oleh Vuherer, et. al., (2013) yang menyatakan bahwa siklus
thermal pengelasan berpengaruh negative terhadap sifat mekanik HAZ martensitic stainless
steel (P91) dengan kadar Cr 8,81 %, karena menjadi penyebab terjadinya retak dingin pada
HAZ. Sehingga disarankan untuk memberikan preheating sebelum pengelasan terhadap
material tersebut. Menurut Chatterjee, et. al., (2014), retak pada logam adalah cacat pada
struktur material akibat proses manufaktur ataupun yang terbentuk saat pembentukan
mikrostruktur logam.
Penelitian sebagai upaya untuk meminimalkan retak las dan meningkatkan
ketangguhan las terhadap retak yang merambat telah dilakukan oleh Abdulhamid, et. al.,
tahun 2002. Tujuan penelitiannya untuk meminimalkan terjadinya retak panas dengan
memberikan preheating 100°C, 200°C dan 300°C. Hasilnya adalah temperature preheating
berpengaruh terhadap hot cracking pada logam las dan HAZ. Semakin tinggi temperature
preheating dari temperature ruang, 100°C, sampai 200°C menyebabkan jemlah retak panas
semakin turun dan meningkat lagi dengan menaikkan temperatur preheating ke 300°C.
Penelitian lain untuk meminimalkan retak las dilakukan oleh Seo, et. al., tahun 2008.
Dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa, proporsi batas butir ferrit berpengaruh
terhadap timbulnya retak dingin pada logam las. Mikrostruktur grand boundary ferrite (GF)
dan struktur ferrite with second phase (FS) rentan terhadap hydrogen difusi pada batas
butirnya. Sedangkan difusi hydrogen ke batas butir acicular ferrite (AF) sulit terjadi karena
struktur butir AF lebih rapat. Hidrogen difusi yang menyebabkan retak dingin yang dikenal
dengan hydrogen induced cold cracking (HICC) terjadi pada batas butir GF. Dengan
berkurangnya proporsi GF pada logam las menyebabkan hydrogen difusi juga menurun dan
retak dingin juga berkurang. Untuk menurunkan proporsi GF dan FS digunakan inti fluks
yang mengandung 1,5 % Ni. Dampak lainnya penggunaan fluk dengan inti mengandung 1,5
8
% Ni adalah kekerasa logam las, kekuatan tarik dan ketangguhan ipak charpy pada
temperatur ruang meningkat.
Selanjutnya Zhang, et. al., tahun 2008 melakukan upaya meminimalkan retak
solidifikasi atau retak selama pembekuan pada lasan Aluminium 6061-T6 menggunakan
Laser beam welding menggunakan metode Pulse shaping dengan memvariasikan ramp down
pulse gradient 137 kW/s, 52 kW/s, 32 kW/s. Hasilnya adalah pulse shaping berpengaruh
terhadap retak solidifikasi. Retak solidifikasi Al 6061 –T6 menurun dengan menurunya
ramp-down gradient.
Sedangkan penelitian yang terkait dengan pengaruh gaya elektromagnetik terhadap
karakteristik sambungan las antara lain dilakukan oleh Oreper tahun 1983. Dalam penelitian
tersebut dinyatakan bahwa konveksi dan distribusi temperatur pada kolam las dipengaruhi
oleh gaya angkat permukaan, gaya marangoni dan gaya elektromagnetik. Gaya-gaya tersebut
dapat mempengaruhi bentuk kolam las. Perilaku laju aliran logam cair selama pengelasan
didominasi oleh gaya elektromagnetik dan gaya marangoni. Dalam beberapa kasus gaya
konveksi ini menghasilkan loop sirkulasi ganda yang dapat mempengaruhi homogenitas
struktur, menyebabkan segregasi dan sekaligus efektif dalam menguapkan gas dari kolam las.
Selanjutnya Kou (1987) dalam tulisannya menyatakan bahwa peningkatan konveksi
pada kolam las dengan menambahkan medan magnet dari luar akan meningkatkan nilai
efektif konduktivitas termal logam cair (kL), sehingga perpindahan panas pada kolam las
menjadi lebih efektif, dan akibatnya temperatur kolam las menjadi lebih rendah.
Penelitian Tse, et. al., tahun 1999 berjudul Effect of magneticfield on plasma control
during CO2 laser welding. Dalam penelitian tersebut dicari pengaruh kuat medan magnet
terhadap, daya laser, kecepatan las, arah medan dan gas pelindung (helium dan argon)
terhadap kedalaman penetrasi pada kolam. Hasilnya adalah kuat medan magnet berpengaruh
terhadap efek gas pelindung, kuat medan magnet menyebabkan kedalaman penetrasi kolam
las meningkat 7 % sedangkan lebar kolam las perubahannya tidak signifikan.
Kern tahun 2000, melakukan penelitian dengan judul “Magneto-Fluid Dynamics
Control of Seam Quality in CO2 Laser Beam Welding”. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan las sinar laser dan selama proses pengelasan dibangkitkan medan magnet
eksternal dengan 3 arah orientasi yang berbeda dan diteliti pengaruhnya terhadap kolam las.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan penambahan mekanisme magneto-fluid
dynamics pada laser beam welding didapatkan pengaruh yang sangat berarti dan efektif,
karena dapat merubah kondisi aliran logam cair dan meningkatkan laju sirkulasi logam cair
pada kolam las.
9
Hughes tahun 2000, melakukan pemodelan 2 dimensi terhadap efek gaya marangoni
(gaya akibat tegangan permukaan) dan gaya elektromagnetik (Lorentz forces) pada kolam las.
Dari hasil pemodelannya diketahui bahwa arus konveksi akibat gaya elektromaknetik
cenderung menghasilkan penetrasi kolam las yang lebih curam dibandingkan pengaruh arus
konveksi akibat gaya marangoni. Arus konveksi akibat gaya marangoni negatif menyebabkan
arah arus konveksi majauhi pusat las sehingga menghasilkan penetrasi yang dangkal dan
melebar. Dengan memberikan unsur merubah arah arus konveksi menjadi positif, dimana
arah arus menuju pusat las dapat menyebabkan penetrasi kolam las menjadi agak curam dan
dalam. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Herrera tahun 2003, yang membuat pemodelan
dua dimensi tentang bentuk aliran logam cair dan perpindahan panas yang terjadi pada kolam
las selama pengelasan. Dalam pemodelannya digunakan las laser dan las busur. Hasilnya
adalah gaya buoyancy (gaya angkat permukaan akibat gravitasi yang disebabkan perbedaan
temperature logam cair) memberikan efek yang tidak signifikan terhadap arus konveksi dan
bentuk geometri kolam las. Gaya marangoni negativ menyebabkan arah arus konveksi
keluar/menjauhi pusat las yang mengakibatkan bentuk kolam las lebar dan dangkal. Dengan
memberikan elemen pengaktif pada permukaan seperti oksigen dan sulfur menyebabkan
tegangan permukaan menjadi positif. Akibatnya arus konveksi akan mengarah ke pusat las
yang menghasilkan bentuk kolam las yang curam dan dalam. Arus konveksi akibat gaya
elektromagnetik menyebabkan bentuk kolam las curam dan dalam. Dan dari ketiga gaya yang
bekerja, ternyata gaya elektromagnetik memberi pengaruh paling dominan terhadap sirkulasi
kolam las.
Penelitian eksperimental berkaitan dengan pembangkitan medan magnet selama
pengelasan pernah dilakukan oleh Sugiarto dan Denny tahun 2005. Penelitian yang dilakukan
bertema “pengaruh penambahan arus pembangkit medan magnet terhadap laju korosi hasil
lasan baja SS400 menggunakan las SMAW”. Dalam penelitian tersebut ditambahkan arus DC
pembangkit medan magnet sebesar 3, 5, 10 dan 15 Ampere dengan jumlah lilitan kawat
solenoida 124 lilitan. Sedangkan untuk proses korosi digunakan larutan HCL 20 % dengan
arus DC pengaktif media korosi 0,6 Ampere selama 40 menit. Hasilnya adalah laju korosi
SS400 menurun dengan menambahkan medan magnet dibandingkan tanpa penambahan
medan magnet. Laju korosi terendah terjadi pada penambahan arus pembangkit 10 Ampere
dan korosi lebih banyak menyerang daerah batas las dengan HAZ (daerah unmixed).
Sugiarto dan Denny W. (2007) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh
penambahan magnet eksternal terhadap perubahan siklus thermal dan struktur butiran HAZ”.
Dalam penelitian tersebut, baja JIS G 3131 SPHC dilas SMAW dengan menambahkan fluks
10
magnet sebesar 0,864 mT; 1,529 mT; 1,871 mT; 2,093 mT. Hasilnya adalah dengan
menambahkan fluks magnet dari luar selama proses berpengaruh terhadap siklus termal,
temperatur puncak las dan struktur butiran las. Semakin besar fluks magnet yang
ditambahkan dari luar selama pengelasan menyebabkan temperatur puncak dan laju
pendinginan semakin menurun. Temperatur puncak dan laju pendinginan yang semakin turun
menyebabkan struktur butiran las semakin besar.
Pada tahun 2009 juga, Young, et. al., melakukan penelitian berjudul Electromagnetic
Phenomena in Resistance Spot Welding and Its Effects on Weld Nugged Formation. Bahwa
selama proses Resistance Spot Welding (RWS) arus dan fluks magnet yang mengalir ke benda
kerja sangat besar dan akan menghasilkan gaya elektromagnetik yang besar. Penelitian
menggunakan model multi fisik finit elemen, model elektrik dua dimensi, model magnetic
tiga dimensi dan model dinamika fluida dua dimensi. Hasilnya adalah gaya elektromagnetik
pada nugget menghasilkan aliran simetrik dan perubahan besar terhadap perpindahan panas
pada nugget.
Curiel, et. al. tahun 2011 melakukan penelitian berjudul Effect of magneticfield
applied during gas metal arc welding on the resistance to localised corrosion of the heat
affected zone in AISI 304 stainless steel. Hasil penelitiannya adalah penggunan intensitas
magnetik yang rendah selama pengelasan GMA pada baja stainless steel tipe 304 dapat
meningkatkan ketahanan korosi HAZ, medan magnet dapat meningkatkan distribusi Cr ke
dalam austenite selama siklus termal, endapan dan pertumbuhan carbide crom menurun
akibat penggunaan intensitas medan magnet, distribusi kembali Cr terjadi secara terus
menerus dan terbentuk film yang meningkatkan ketahanan korosi HAZ.
Selanjutnya penelitian tentang penggunaan magnet eksternal dilakukan oleh Qi Shen,
et. al, tahun 2011 yang berjudul impact of external magnetic field on weld quality of
resistance spot welding. Dalam penelitian tersebud dikatakan bahwa medan magnet
berpengaruh nyata terhadap orientasi Kristal, pembentukan butir dan struktur padatan yang
diakibatkan oleh gaya Lorenz. Material yang digunakan adalah baja dual phase DP780
dengan dan tanpa medan magnet eksternal. Hasilnya adalah medan magnet eksternal
membuat nugget yang terbentuk lebih lebar dan tipis, mikrostruktur HAZ lebih halus,
mikrostruktur daerah las lebih homogeny, kekuatan geser dan plastisitasnya meningkat,
kerusakan antar muka menurun dan umur fatik lebih lama.
11
2.2. Aliran Panas Pengelasan
Aliran panas pada pengelasan akan menentukan kualitas hasil lasan, karena aliran
panas dapat mempengaruhi pembentukan mikrostruktur, reaksi oksidasi/reduksi, tegangan
sisa dan distorsi. Perpindahan panas las sebagian besar terjadi secara konduksi dan sebagian
kecil terjadi secara konveksi dan radiasi sehingga kedua bentuk perpindahan panas ini dapat
diabaikan (Kou, 1987: 47). Persamaan umum untuk aliran fluida inkompresibel dan
perpindahan panas pada kolam las adalah (Hughes, 2000: 3).
Persamaan dalam hukum kekekalan massa :
u 0 (2-1)
Persamaan dalam konservasi momentum :
ρ(∂u/∂t) + ρ.( uu) = -p+ .μu + Su (2-2)
Persamaan dalam konservasi perpindahan panas :
ρ.Cp(∂T/∂t) + ρ.Cp..( uT) = .(k. + ST (2-3)
dengan : ρ = densitas logam cair ( kg. m-3
)
t = komponen waktu (detik)
= ( ∂2/∂x +∂
2/∂y +∂
2/∂z ) untuk perpindahan panas tiga dimensi
u = komponen kecepatan arah x, y dan z (m. det-1
)
μ = viskositas logam cair (kg. m-1
. s-1
)
k = konduktifitas termal logam cair (J/m.s.Cº)
Su = gaya bodi (kg·m·s−2
)
ST = energi panas yang ditimbulkan (Joule)
Dalam persamaan 2-2 tersebut, Su adalah body force yang merupakan penjumlahan dari gaya
elektromagnetik (Lorenz foce) dan gaya angkat permukaan (buoyancy force) yang besarnya :
Su = - )()( JxBToTgouK
(2-4)
dengan : K = didapat dari persamaan Kozeny-Carman
ρo = densitas mula-mula ( kg. m-3
)
α = koefisien ekspansi termal (10-4
C-1
)
g = percepatan gravitasi (m. s-2
)
J = densitas arus (Ampere/ m2)
B = densitas fluk magnet (Tesla)
Sumber energi karena perubahan fase dan energy panas mengikuti persamaan 2-3 sebagai
berikut :
ST = -
2
11 )(
)(
JLuf
t
Lf
(2-5)
dengan : f1 = fraksi logam cair
L = panas laten spesifik (kJ/kg)
σ = konduktifitas listrik (ohm-1
)
12
Dari persaman konservasi momentum tersebut diketahui bahwa, kenaikan gaya
elektromagnetik akan memperbesar nilai gaya bodi (body force) dan selanjutnya dapat
meningkatkan laju aliran fluida inkompresibel (dalam hal ini logam cair). Artinya dengan
memperbesar gaya elektromagnetik pada kolam las akan meningkatkan laju
pergerakan/sirkulasi logam cair.
2.3. Siklus Termal dan Laju Pendinginan Las
Siklus termal las adalah siklus perubahan temperatur selama proses pemanasan dan
pendinginan di daerah lasan. Dengan menginputkan panas las pada suatu logam, logam mula-
mula berada pada temperatur ruang, kemudian temperaturnya akan naik sampai mencapai
temperatur puncak dan kemudian turun kembali ke temperatur semula. Karena proses ini
maka logam disekitar pusat panas baik di daerah las maupun HAZ akan mengalami siklus
termal cepat yang menyebabkan terjadinya perubahan metalurgi yang rumit, tegangan termal
dan deformasi. Siklus termal ini berhubungan erat dengan pembentukan mikrostruktur,
ketangguhan, cacat las, retak dan sifat-sifat lainnya.
Jika diplot hubungan antara data perubahan temperatur dengan data perubahan waktu
maka akan dihasilkan grafik siklus termal. Untuk mengetahui siklus termal pengelasan pada
koordinat tertentu dari pusat termal, perlu diketahui temperatur puncak (temperatur tertinggi)
yang dimiliki koordinat tersebut. Untuk mencari temperatur puncak pada koordinat tertentu
secara matematika dua dimensi (untuk plat tipis dimana z = 0) telah diturunkan melalui
persamaan Adam berikut ini (Kou, 1987: 51) :
ToTmQ
CVyg
ToTp
113,41 (2-6)
dengan : - To = temperature awal benda kerja (ºC)
- g = ketebalan benda kerja (m)
- Q = heat input yang besarnya =(E.I / V) η
- E dan I = tegangan las (volt) dan arus las (Ampere) pada las busur.
- V = laju pengelasan ( mm. det-1
)
- ρC = panas spesifik volumetrik (J.m-3
.°C-1
)
- Tp = temperature puncak yang dicari (°C)
- y = jarak transversal dari sumber panas (m)
- Tm = Temperatur cair benda kerja (°C)
dan untuk mencari temperatur puncak pada pengelasan plat tebal dapat digunakan persamaan
Adam berdasarkan persamaan matematika tiga dimensi berikut ini (Kou, 1987: 52) :
13
ToTm
Vy
QV
k
ToTp
1
22
44,512
(2-7)
Dengan menghubungkan data perubahan temperatur dan data perubahan waktu maka
akan didapatkan siklus termal untuk tiap-tiap koordinat sebagaimana gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Siklus termal sebagai fungsi jarak dari pusat lasan
Sumber : Messler (1999,p.157)
Dari Gambar 2.1 kita dapat menyimpulkan bahwa temperatur puncak dari masing-
masing siklus termal menurun sebagai fungsi jarak dari pusat lasan. Hal tersebut sesuai
dengan jarak lokasi tersebut ke sumber panas yang berada di tengah lasan. Disamping itu
kecepatan pemanasan dan pendinginan pada suatu siklus termal bekurang dengan semakin
jauhnya jarak lokasi tersebut dari pusat lasan.
Untuk menghitung laju pendinginan pasca pengelasan dari pelat yang tebal
(memerlukan lebih dari 6 layer dalam pengelasannya), dapat digunakan persamaan berikut
(Tsai, 1995: 12):
Hnett
ToTckR
2).(..2
(2-8)
dengan : - R = kecepatan pendinginan pada pusat las (oC.s
-1)
- k = konduktifitas termal logam dasar yang dilas (J.mm-1
.s-1
.oC
-1)
- To = temperatur awal pelat (oC)
-Tc = temperatur dekat temperatur pearlite atau bagian “nose” dari
diagram TTT (oC), untuk baja, Tc = 550
oC
- Hnet = masukan panas persatuan panjang (J.mm-1
),
14
Sedangkan untuk menghitung laju pendinginan pasca pengelasan dari pelat yang tipis
(memerlukan kurang dari 4 layer ) dapat digunakan persamaan berikut (Tsai, 1995: 12):
3
2
)(....2 ToTcHnett
hCskR
(2-9)
dengan : - h = ketebalan logam dasar (mm)
- ρ.Cs = panas spesifik volumetrik, untuk baja = 0,0044 J.mm-3
.oC
-1
Persamaan laju pendinginan pasca pengelasan tersebut berlaku untuk kecepatan pendinginan
pada pusat las (center line weld).
Untuk menentukan apakah pelat yang dilas merupakan pelat tebal atau pelat tipis,
didefinisikan sebuah dimensionless quantity yang disebut dengan the relative plate of
thickness (), sebagaimana persamaan berikut (Tsai, 1995: 12) :
Hnett
ToTcCsh
)(..
(2-10)
Persamaan laju pendinginan untuk pelat tebal digunakan apabila nilai lebih besar
dari 0,75 dan persamaan laju pendinginan untuk pelat tipis digunakan apabila nilai kurang
dari 0,75.
2.4. Hubungan Laju Pendinginan Pasca Pengelasan Dengan Pembentukan
Mikrostruktur Las
Selama pross pendinginan pasca pengelasan akan terjadi proses transformasi
mikrostruktur las dan HAZ sesuai dengan laju pendinginan pasca pengelasan. Struktur mikro
las dan HAZ yang terbentuk dapat diketahui melalui diagram transformasi pendinginan
berlanjut atau dikenal dengan continous cooling transformation diagram (CCT diagram).
Diagram ini juga dapat digunakan untuk membahas pengaruh laju pendinginan pasca
pengelasan terhadap morfologi struktur mikro, retak las, keuletan dan sifat lainnya.
15
Gambar 2.2. Diagram CCT pada pengelasan Baja Kekuatan BJ55
Sumber: Wiryosumarto (1994,p.60)
Gambar 2.2. menunjukkan hubungan antara waktu pendinginan las dari temperatur
800 ºC dengan perubahan struktur mikro yang terjadi. Garis putus-putus menunjukkan
beberapa contoh siklus termal. Dengan menggabungkan grafik laju pendinginan pasca
pengelasan dengan garis transformasi pada diagram CCT tersebut, dapat diketahui tahap-
tahap perubahan mikrostruktur las dan HAZ dan terbentuknya mikrostruktur akhir dari proses
transformasi tersebut. Dengan mengetahui struktur akhir yang terbentuk, maka sifat mekanik
dari hasil lasan dapat diperkirakan.
Proses pendinginan pada las berlangsung secara kontinyu yaitu proses penurunan
suhu berlangsung secara gradual tanpa adanya penurunan suhu secara mendadak (quenching)
sehingga pada proses pengelasan lebih cocok bila menggunakan diagram CCT (continuous
cooling tranformation). Struktur mikro yang terjadi mungkin mengandung campuran dari
fasa-fasa berikut :
1. Ferrit batas butir (Grain Boundary Ferrite-GF) atau Ferit proeuectoid (proeutectoid
ferrite)
2. Ferit Widmanstatten (Widmanstatten side plates-WF)
3. Ferit poligonal (Polygonal Ferrite-PF) atau equiaxed ferrite
4. Ferit acicular (acicular ferrite-AF)
5. Bainit atas (upper bainite-UB)
6. Bainit bawah (lower bainite-LB)
7. Martensit (martensite)
16
Pengaruh kecepatan pendinginan tehadap transformasi fasa pada logam las dari baja karbon
rendah (kandungan C maksimum sekitar 0,3%) dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Kecepatan pendinginan rendah
Pada suhu di bawah A3 mikrostruktur ferrite mulai terbentuk sepanjang batas butir
austenite dan tumbuh ke arah dalam butir austenite. Struktur ferrite ini dikenal dengan
ferrite batas butir (Grain boundary Ferrite-GF) atau juga dikenal dengan proeutectoid
ferrite dan proses terbentuknya struktur ferrite ini berlangsung secara difusi karbon.
Selain mikrostruktur Grain boundary Ferrite (GF) juga memungkinkan untuk terbentuk
mikrostruktur ferrite poligonal (Polygonal Ferrite-PF).
2. Kecepatan pendinginan sedang
Pada kecepatan pendinginan sedang, austenite mungkin berubah menjadi ferrite
widmanstatten (Witmanstatten Ferrite-WF) dan ferrite acicular (Acicular Ferrite-AF).
Ferit Widmanstatten tumbuh dari batas butir austenit menuju ke butir-butir austenit
dengan bentuk plat yang memanjang sedangkan ferit acicular tumbuh berbentuk jarum
(needle) dan biasanya tumbuh pada inklusi di dalam butir-butir austenit.
Gambar 2.3 menunjukkan mikrostruktur las yang terbentuk dari proses pendinginan
pasca pengelasan dari baja paduan rendah. Dalam gambar tersebut tampak bahwa
mikrostruktur las umumnya didominasi oleh mikrostruktur ferrite yang antara lain adalah
acicullar ferrite (AF), widmanstatten ferrite (WF), polygonal ferrite (PF) dan grain boundary
ferrite (GF) tergantung pada laju pendinginannya. Laju pendinginan sedang akan membentuk
mikrostruktur las yang didominasi oleh acicullar ferrite (AF) dan widmanstatten ferrite (WF)
yang memiliki sifat lebih keras` dari grain boundary ferrite (GF) dan polygonal ferrite (PF).
Pendinginan pasca pengelasan yang lambat akan cenderung membentuk mikrostruktur las
yang didominasi oleh grain boundary ferrite (GF) atau polygonal ferrite (PF) yang cenderung
lunak.
17
Gambar 2.3. Mikrostruktur daerah las yang terbentuk pada laju pendinginan sedang dan
rendah untuk baja paduan rendah
Sumber: Grong Øystein (1997,p.407)
3. Kecepatan pendinginan tinggi
Jika laju pendinginan pasca pengelasan berlangsung dengan kecepatan tinggi, maka atom-
atom karbon sulit melakukan difusi ke austenite. Ini akan menyebabkan terbentuknya
mikrostruktur bainit yang merupakan agregat dari ferrite dan karbida (cementite). Bainit
terbentuk dalam 2 model yaitu bainit atas (upper bainite-UB) yang terbentuk pada suhu
lebih tinggi dan bainit bawah (lower bainite-LB). Bainit atas (upper bainite-UB)
terbentuk dari ferrite yang tumbuh pada batas butir austenite dan berbentuk plat dengan
cementite (Fe3C) berada diantara plat-plat tersebut. Sedangkan bainit bawah (lower
bainite-LB) terbentuk ketika cementite (Fe3C) berada di dalam ferrite yang berbentuk
plat.
18
Gambar 5.4. Mikrostruktur HAZ yang terbentuk dari pendinginan cepat
untuk baja paduan rendah
Sumber: Grong Øystein (1997,p.407)
4. Kecepatan pendinginan sangat tinggi
Pada kecepatan pendinginan yang sangat tinggi, atom-atom karbon tidak memiliki waktu
untuk berdifusi (diffusionless) sehingga akan membentuk struktur keras dan getas yaitu
mikrostruktur martensite.
2.5. Konveksi Kolam Las
Pada sebuah kolam las (kolam las), terdapat tiga gaya yang bekerja pada logam las
cair, yaitu gaya angkat permukaan (Fb), gaya elektromagnetik (Fem), dan gaya marangoni (F).
Gaya angkat permukaan adalah gaya yang menyebabkan logam las cair di bagian tengah
kolam las yang relatif lebih panas, mengambang ke permukaan. Sementara logam las di
bagian pinggir kolam las yang temperaturnya cenderung lebih rendah tenggelam ke
permukaan. Gaya tegangan permukaan adalah gaya yang bekerja di permukaan logam las cair
akibat terjadinya reaksi tarik menarik antar molekul-molekul dari logam cair. Gaya
elektromagnetik selama pengelasan timbul akibat adanya medan elektromagnetik dari arus
listrik busur las, yang besarnya dapat digambarkan secara matematis sebagai berikut (Kou,
1987: 90):
19
BJFem (2-11)
dengan : Fem = Gaya elektromagnetik.
J = Rapat arus (Ampere/ m2).
B = Fluks magnet (Tesla).
Perilaku aliran logam cair selama pengelasan diilustrasikan oleh Herrera tahun 2003,
dengan membuat permodelan 2 dimensi sebagaimana gambar 2.5 di bawah. Dari gambar
tersebut tampak bahwa gaya elektromagnetik mengarah ke bawah menciptakan pola aliran
lelehan logam las divergen, dimana bagian pinggir lelehan logam yang relatif lebih dingin,
bergerak ke arah tengah las yang lebih tinggi temperaturnya. Pada umumnya, gaya
elektromagnetik yang bekerja pada lelehan logam las cenderung meningkatkan homogenitas
hasil las karena logam pengisi dengan cepat terdistribusikan ke seluruh logam las cair.
Semakin tinggi arus pengelasan, maka semakin besar gaya elektromagnetik yang bekerja
sehingga semakin cepat pula aliran logam las cair, sehingga homogenitas hasil las juga akan
meningkat.
(a)
(b)
(c )
(d)
Gambar 2.5. Pola aliran logam las cair akibat: (a) dan (b) gaya elektromagnetik, (c) gaya
angkat permukaan dan (d) gaya akibat tegangan permukaan
Sumber : Herrera (2003)
Berbeda dengan gaya elektromagnetik, gaya angkat permukaan (buoyancy force) dan
gaya tegangan permukaan (marangoni force) menghasilkan pola aliran yang konvergen
20
dimana logam las di tengah yang lebih panas temperaturnya, bergerak ke arah pinggir yang
relatif lebih rendah temperaturnya. Akan tetapi, seperti juga gaya elektromagnetik, gaya
angkat permukaan dan gaya tegangan permukaan pada umumnya meningkatkan homogenitas
hasil lasan terutama di bagian permukaan hasil las dimana kedua gaya ini bekerja.
Homogenitas hasil lasan cenderung meningkatkan kualitas hasil las akibat
peningkatan homogenitas mikrostruktur pada logam las yang dapat diketahui dari lebar
daerah unmixed pada daerah fusion boundary, adanya lubang-lubang halus (porositas) dan
inklusi. Pola aliran yang timbul akibat gaya elektromagnetik dapat berpengaruh pada
homogenitas struktur maupun porositas daerah las yang dapat menurunkan kualitas
sambungan las. Gaya elektromagnetik menghasilkan pola aliran di mana gelembung-
gelembung gas, seperti hidrogen pada pengelasan aluminium, terperangkap pada logam las
yang membeku. Semakin besar arus pengelasan, maka semakin banyak gelembung gas yang
terperangkap dalam logam las yang membeku, yang selanjutnya menciptakan cacat lubang
halus, inklusi maupun segregasi. Hal yang sama juga berlaku pada gaya angkat permukaan
dan gaya akibat tegangan permukaan. Pola aliran akibat gaya-gaya tersebut jika terlalu besar
cenderung meningkatkan porositas hasil lasan, bahkan lebih hebat dibandingkan oleh
porositas akibat pola aliran dari gaya elektromagnetik. (Kou,1987:102)
2.6. Pengaruh Konveksi pada Kolam Las
Konveksi bisa menimbulkan pengaruh yang merugikan dan menguntungkan.
Pengaruh yang menguntungkan adalah komposisi logam las menjadi homogen karena proses
sirkulasi selama konveksi berlangsung. Sedangkan yang merugikan adalah arus konveksi
akan menyebabkan terjadinya interaksi antara logam cair panas dengan permukaan kolam las
yaitu logam induk, sehingga gas-gas yang terlarut pada logam cair akan bereaksi dengan
logam induk dan menyebabkan lubang-lubang halus dan cacat las.
Secara garis besar konveksi pada kolam las akan berpengaruh terhadap :
a. Pengaruh konveksi terhadap penetrasi kolam las
Aliran logam las cair pada kolam las dapat mempengaruhi penetrasi yang terjadi.
Kecenderungan bentuk penetrasi sangat tergantung pada arah dan kecepatan dari logam
las cair. Konveksi yang terjadi akibat gaya bouyancy dan gaya tekan permukaan (dengan
T
negatif) cenderung akan mengakibatkan kolam las menjadi dangkal dan lebar.
Sedangkan pada arus konveksi yang terjadi akibat gaya elektromagnetik dan gaya tekan
21
permukaan (dengan T
positif) cenderung akan menghasilkan kolam las yang dalam
dan sempit (Kou, 1987: 97).
b. Pengaruh konveksi terhadap segregasi
Pengaruh konveksi terhadap makrosegregasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada pengelasan kontinyu yang menggunakan logam penambah (filler metal),
terjadinya makrosegregasi sangat dimungkinkan apabila percampuran (mixing) pada
kolam las tidak sempurna dan juga makrosegregasi terjadi pada pengelasan dengan
material yang berbeda. Pada pengelasan listrik (arc welding), gaya elektromagnetik
yang terjadi dapat meningkatkan percampuran pada kolam las. Dengan arus konveksi
yang terjadi, logam pengisi yang ditambahkan akan dapat tercampur dengan
sempurna sebelum mengalami solidifikasi, sehingga komposisi logam las menjadi
lebih homogen. (Kou, 1987: 100).
2. Pada kolam las (kolam las) komposisi logam las yang homogen tidak selalu terjadi
pada seluruh bagian kolam las. Terdapat lapisan logam cair pada daerah dekat batas
las (fusion boundary) yang cenderung diam (stagnan) selama proses sirkulasi logam
las cair berlangsung. Daerah ini dinamakan unmixed zone. Daerah ini memiliki
komposisi yang berbeda dengan daerah lain dari kolam las yang mengalami sirkulasi.
Dengan meningkatnya laju konveksi akibat gaya elektromagnetik, maka inklusi,
impurities dan gelembung gas pada unmixed zone yang terbawa arus konveksi dan
mengalami sirkulasi, sehingga ketebalan lapisan unmixed zone dapat dikurangi dan
dapat dikatakan kolam las semakin homogen. (Kou, 1987 : 100).
c. Pengaruh konveksi terhadap porositas
Porositas terbentuk akibat adanya interaksi antara logam cair panas dengan permukaan
kolam pada logam induk sehingga gas-gas yang terlarut pada logam cair akan bereaksi
dengan logam induk dan menyebabkan gelembung gas pada daerah kolam las yang
dingin. Gelembung gas yang tinggal akan membentuk lubang-lubang halus saat
solidifikasi. Konveksi yang terjadi pada kolam las secara teoritis dapat membantu dalam
melepas gelembung gas yang terbentuk ke atmosfer sebelum tersolidifikasi (Kou, 1987 :
102) sebagaimana gambar 2.6 :.
22
Gambar 2.6. Efek konveksi terhadap porositas (a) pola konveksi yang dapat melepas
gelembung gas. (b) pola konveksi yang dapat menjebak gelembung gas
Sumber: Kou (1987,p.102)
d. Pengaruh konveksi terhadap nilai efektif konduktifitas termal.
Dengan semakin meningkatnya gaya elektromagnetik, maka sirkulasi logam cair pada
kolam las semakin cepat. Hal ini ternyata merubah nilai efektif konduktifitas termal dari
logam las cair (kL) menjadi lebih besar dikarenakan proses transfer panas pada kolam las
menjadi lebih efektif, sehingga temperatur kolam las menjadi lebih rendah (Kou, 1987:
49) sebagaimana gambar 2.7. Jika temperatur puncak pada kolam las semakin rendah ( Tc
turun) maka laju pendinginan pasca pengelasan juga akan turun sebagimana persamaan 2-
8 dan 2-9.
Gambar 2.7. Pengaruh peningkatan konveksi terhadap nilai efektif
konduktifitas termal logam las cair
Sumber: Kou (1987,p.51)
23
2.7. Pembagian Daerah Lasan
Dalam pengelasan cair, konveksi pada kolam las selama pengelasan akan
mempengaruhi homogenitas daerak las dan HAZ. Pada kenyataannya komposisi logam las
tidak pernah homogen pada seluruh bagian kolam las. Tetapi selama pengelasan berlangsung
dapat dilakukan perlakuan pada kolam las sehingga dihasilkan homogenitas yang lebih baik.
Dalam hal ini homogenitas pada kolam las secara umum dapat dibagi berdasarkan
homogenitas kimia dan homogenitas struktur mikro (Messler, 1999: 359). Konveksi pada
kolam las menyebabkan logam las cair bersirkulasi sehingga terjadi pencampuran pada kolam
las. Secara umum daerah lasan dapat dibagi menjadi 3 bagian, antara lain:
a. Logam las atau FZ (Fusion Zone)
Logam las merupakan bagian dari logam yang pada waktu pengelasan berlangsung
mengalami proses pencairan dan saat pendinginan mengalami pembekuan.
b. Daerah pengaruh panas atau HAZ (Heat Affected Zone)
HAZ merupakan logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses
pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan yang cepat.
c. Logam induk tidak terpengaruh panas las atau BM (Base Metal)
Logam induk yang tidak terpengaruh panas las adalah bagian logam dasar, dimana panas
pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan mikrostruktur, sifat fisik dan
mekaniknya.
Selain ketiga daerah tersebut, terdapat daerah yang membatasi logam las dengan daerah
pengaruh panas (HAZ) yang disebut daerah batas las (fusion boundary). Di daerah ini
terdapat unmixed zone (UZ) yaitu lapisan logam cair yang tidak tercampur akibat sirkulasi
logam cair pada kolam las dan cenderung diam (stagnan) selama proses sirkulasi logam las
cair berlangsung. Selanjutnya pembagian daerah lasan dapat dilihat pada gambar 2.8 berikut:
Gambar 2.8. Pembagian daerah lasan
Sumber: Messler (1999,p.365)
24
Faktor-faktor yang mempengaruhi homogenitas kimia dari kolam las antara lain:
1. Segregation (pemisahan)
Ada tiga jenis pemisahan di dalam logam lasan, yaitu pemisahan makro, pemisahan
gelombang, dan pemisahan mikro. Pemisahan makro adalah perubahan komponen secara
perlahan-lahan yang terjadi mulai dari sekitar garis lebur menuju ke garis sumbu las,
sedangkan pemisahan gelombang merupakan perubahan komponen karena pembekuan
yang terputus, yang terjadi pada proses terbentuknya gelombang manik las. Sedangkan
pemisahan mikro adalah perubahan komponen yang terjadi dalam satu pilar atau bagian
dari satu pilar.
2. Gas porosity dan inklusi
Pada proses pengelasan terjadi reaksi antara logam las cair, logam induk dan udara
sekelilingnya. Hal ini terjadi karena pada kondisi panas umumnya logam sangat reaktif.
Interaksi antara gas dan logam saat pengelasan berlangsung dimana gas terlarut ke dalam
logam las cair atau terjadi reaksi kimia membentuk senyawa. Interaksi ini antara lain:
a. Gas terlarut dalam logam cair dan tetap berada di dalam logam membentuk larutan
padat.
b. Gas terlarut ke dalam logam cair melebihi batas kelarutannya sehingga menghasilkan
lubang-lubang halus (porositas) pada logam las.
c. Gas bersenyawa dengan unsur logam membentuk inklusi seperti Al2O3, MnO, SiO2
dan lain-lain.
Gas seperti N2, H2 dan O2 bisa dengan mudah larut ke dalam logam cair. Batas kelarutan
gas dapat dinyatakan dengan Hukum Sievert sebagai berikut (Messler, 1999 : 317):
2/1
gasP
gasK (2-12)
dimana K adalah konstanta kesetimbangan, [gas] adalah konsentrasi gas dan Pgas adalah
tekanan parsial gas. Porositas dan inklusi yang terbentuk dapat menurunkan sifat fisik,
kimia dan mekanik logam las.
3. Unmixed zone
Unmixed zone (daerah tidak tercampur) pada kolam las adalah daerah yang terbentuk
pada batas las (fusion boundary) yang dikelilingi partially melted zone sebagaimana
gambar 2.9. Logam cair didaerah ini cenderung diam akibat gesekan dengan daerah solid.
Besarnya daerah unmixed yang terbentuk dipengaruhi oleh laju aliran logam cair pada
kolam las. Unmixed zone merupakan daerah yang rentan terhadap kegagalan mekanik
terutama serangan korosi karena komposisi daerah unmixed berbeda dengan daerah
25
lainnya pada kolam las yang mengalami sirkulasi. Daerah ini tidak dapat dihilangkan,
tetapi dapat dikurangi dengan cara mempercepat sirkulasi logam cair. Gambar 2.9 berikut
menggambarkan pembagian daerah Fusion zone (FZ), Unmixed Zone (UZ), HAZ dan
base metal stainless steel 310 SS pada sambungan las antara 310 SS dengan Inconel 657.
Gambar 2.9. Pembagian daerah lasan pada sambungan SS 310 dengan Inkonel 657
Sumber: Naffakh (2008,p.26)
2.8. Cacat Las
Menurut DIN (Deutche Industrie Normen), las merupakan ikatan metalurgi pada
sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair
(Wiryosumarto,1994:1). Pengelasan juga didefinisikan sebagai proses penyambungan bahan
atau logam, sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari
pemakaian panas dan tekanan. Temperatur dalam pengelasan busur listrik sangat tinggi yaitu
di atas temperatur cair logam yang dilas. Karena proses pemanasan yang tinggi ini maka
logam cair dalam kolam las akan mengalami pendinginan dan pembekuan cepat dan logam di
sekitarnya mengalami siklus termal cepat yang menyebabkan terjadinya perubahan
mikrostruktur dan deformasi. Peristiwa ini erat hubunganya dengan terjadinya cacat las yang
secara umum memiliki pengaruh penting terhadap keamanan sambungan las. Cacat las/defect
merupakan keadaan dari hasil penyambungan dengan las, dimana terjadi penurunan kualitas
fisik hasil lasan.
Beberapa macam cacat las yang sering antara lain adalah:
1. Cracking
Cracking dapat terjadi pada hasil lasan akibat dari banyak faktor yang diantaranya adalah
laju pendinginan yang tinggi, jenis logam yang disambung dan lain-lain.
26
2. Porositas
Porositas merupakan cacat las berbentuk lubang-lubang halus atau pori-pori yang
umumnya terbentuk di dalam logam las akibat terperangkapnya gas yang timbul selama
proses pengelasan dan pembekuan logam las. Saat logam las membeku dalam waktu yang
cepat, menyebabkan gas yang ada di kolam las (kolam las) tidak sempat naik ke
permukaan dan terjebak membentuk pori saat pembekuan.
3. Lack of fusion
Lack of fusion adalah cacat yang disebabkan akibat panas masuk tidak terdistribusi
sempurna, akibatnya terdapat sebagian logam yang tidak melebur dan berakibat adanya
bagian yang tidak tersambung. Cacat ini merupakan cacat akibat ”discontinuity” yang
terbentuk akibat adanya bagian yang tidak menyatu antara logam induk dengan logam
pengisi. Cacat las ini juga dapat terjadi pada pengelasan berlapis (multipass welding)
yaitu terjadi antara lapisan las yang satu dengan lapisan las yang lainnya.
4. Inklusi
Inklusi merupakan cacat las yang terjadi akibat adanya slug atau senyawa pengotor yang
terjebak dalam logam las. Cacat ini disebabkan oleh unsur atau senyawa pengotor baik
berupa produk hasil reaksi gas atau yang terbentuk oleh unsur-unsur dari luar, seperti:
terak, oksida, logam wolfram atau lainnya. Cacat ini umumnya terjadi pada logam las.
5. Bentuk yang tidak sempurna (imperfect shape)
Jenis cacat las yang menyebabkan geometri sambungan las tidak sempurna seperti:
undercut, underfill, overlap, excessive reinforcement dan lain-lain. Morfologi geometri
dari cacat ini biasanya bervariasi.
6. Undercut
Undercut merupakan istilah untuk menggambarkan sebuah alur (groove) yang terbentuk
pada tepi/kaki lasan (manik las). Alur benda kerja yang mencair tersebut tidak terisi oleh
logam las cair. Undercut dapat menyebabkan slag terjebak dalam alur yang tidak terisi
oleh logam las cair.
7. Over spatter
Over spatter merupakan percikan las. Jika jumlah percikan las berlebih dan tidak dapat
dibersihkan seluruhnya maka dapat dikategorikan cacat visual.
8. Distorsi
Distorsi adalah perubahan bentuk material yang disebabkan panas berlebih saat proses
pengelasan berlangsung. Saat proses pemanasan berlebih, logam las akan mengalami
pemuaian dan saat pendinginan cepat akan mengakibatkan penyusutan, sehingga akan
27
terjadi proses tarik dan tekan yang didak merata yang menyebabkan sambungan logam
melengkung atau terdistorsi.
2.8.1. Retak las (weld cracking)
Cacat las yang sering terjadi pada hasil pengelasan adalah retak las. Cacat las berupa
retak mikro akan menjadi pemicu perambatan retak saat struktur las mengalami pembebanan
(Messler, 1999). Menurut (Kou, 1987), retak las secara umum dibagi menjadi dua kategori,
yaitu retak panas yang terjadi selama proses solidifikasi dan retak dingin yang terjadi selama
perubahan struktur. Retak panas hanya terjadi pada daerah las, sedangkan retak dingin dapat
terjadi pada daerah las dan HAZ. Retak las bermula dari adanya hydrogen difusi atau gas-gas
terlarut, endapan unsur pengotor (impurities) dan adanya perbedaan antara pemuaian dan
penyusutan pada logam las dan logam induk selama proses pencairan dan pembekuan logam.
Laju pendinginan yang tinggi pasca pengelasan juga dapat memicu terbentuknya retak mikro
yang kemudian memicu perambatan retak lebih lanjut.
Retak dingin
Retak dingin adalah retak yang terjadi pada daerah las pada suhu kurang lebih 300 ºC.
Sedangkan retak panas adalah retak yang terjadi pada suhu diatas 500 ºC. Retak dingin tidak
hanya terjadi pada daerah HAZ (Heat Affected Zone) tetapi juga terjadi pada logam las.Retak
dingin pada HAZ biasanya terjadi antara beberapa menit sampai 48 jam sesudah pengelasan.
Jenis retak dingin adalah retak notch (takik), retak bawah kampuh, retak memanjang
(logitudinal) dan retak melintang (transversal). Semakin tinggi C eq. Semakin mudah terjadi
retak dingin.
C eq = C + Mn/6 + Si/24 + Cr/5 + Ni/40 + Mo/4 + V/14 % (2-13)
atau
C eq = C + Mn/6 + Cr + Mo + V + Ni + Cu (2-14)
5 15
Ce harus ≤ 0,41 %
Retak Panas
Retak panas dibagi menjadi dua kelas yaitu retak karena pembebasan tegangan pada
daerah pengaruh panas yang terjadi pada suhu 500ºC – 700 ºC dan retak yang terjadi pada
suhu diatas 900 ºC yang terjadi pada peristiwa pembekuan logam las. Retak panas sering
teriadi pada logam las karena pembekuan yang cepat, biasanya berbentuk kawah dan retak
memanjang. Retak panas ini terjadi karena pembebasan tegangan pada daerah kaki didalam
daerah pengaruh panas.
28
2.8.2. Absorbsi hidrogen selama proses pengelasan busur
Hidrogen memiliki massa atom 0,00794 dan massa jenis 0.08988 g/L, berada dalam
bentuk diatomik gas H2, memiliki karakteristik konduktivitas termal yang tinggi seperti
helium. Hidrogen berada pada besi atau baja dengan 2 bentuk yang berbeda, yaitu sebagai
molekul dan atom hidrogen. Hidrogen dalam bentuk atom adalah elemen transien, yang
bergerak kontinyu dalam baja pada temperatur kamar. Hidrogen dapat larut dalam logam cair
di kolam las dan menyebabkan penggetasan.
Selama proses pengelasan, kolam las (kolam las) menjadi jenuh dengan adanya gas
dari lingkungan, sehingga dapat merusak kualitas lasan termasuk dengan terbentuknya
porositas pada lasan atau meningkatnya kepekaan terhadap pembentukan retak las. Sifat dari
fusion welding adalah seperti kesetimbangan termodinamika antara cairan logam dari kolam
las (kolam las) dan gas sekitar yang jarang terjadi (Lancaster, 1993:123). Di sini gas-gas
berinteraksi dengan kolom busur plasma, dengan demikian akan mempengaruhi logam induk
dan material filler yang memasuki kolam las yang melebur.
Kelembaban lingkungan sekitar las menyebabkan air yang terserap masuk ke lapisan
elektroda bertambah seiring dengan tingginya temperatur pada busur plasma, dan cenderung
memisahkan kolam las bagian atas yang siap mengurai uap air menjadi atom hidrogen
(Legait, 2005:49) berdasarkan persamaan reaksi :
2 H2O(g) 2 H2(g) + O2(g)
Reaksi ini kemudian menjadi kompleks dengan variasi komposisi gas pelindung yang
berbeda-beda dan sistem formulasi penggunaan fluks. Banyaknya hidrogen yang berdifusi,
HD pada weld metal menjadi :
HD = H – (HR + HE) (2-15)
dengan :
HD = banyaknya hidrogen yang berdifusi (ml/100g)
H = hidrogen yang terlarut (ml/100g)
HR = hidrogen yang tersisa (ml/100g)
HE = hidrogen yang keluar ke lingkungan (ml/100g)
Hukum Sievert’s , mendefinisikan hubungan antara hidrogen yang terlarut dan
hidrogen di lingkungan busur. Hidrogen yang terlarut sebanding dengan akar pangkat dua
dari tekanan gas. Kesetimbangan termodinamika konstan (K1) didefinisikan sebagai berikut :
K1 = PH (2-16)
√ PH2
29
dengan : K1 = konstan
PH = tekanan parsial dari atom hidrogen (Pa)
PH2 = tekanan parsial dari molekul hidrogen (Pa)
Jadi, konsentrasi atom hidrogen sebanding dengan tekanan parsialnya, sehingga hidrogen
yang terlarut diukur pada mL/100 g dari logam las adalah fungsi dari tekanan parsial.
2.8.3. Cacat porositas
Porositas adalah timbulnya sekelompok gas yang membentuk pori-pori pada logam
las akibat terperangkapnya gas selama proses solidifikasi yang cepat (Khan, 2007:182).
Hampir setiap proses pengelasan, porositas akan selalu terjadi dan menyebabkan masalah.
Bagaimanapun, sebuah proses pengelasan yang memiliki cacat porositas tidak secara
langsung mengalami kegagalan. Namun cacat porositas dapat memicu timbulnya retak mikro
(micro crack) yang berkembang menjadi retak permanen. Porositas dapat terjadi dari banyak
sumber, contohnya reaksi kimia di dalam kolam las yang dapat melepaskan gelembung gas.
Gambar 2.10. Pengaruh porositas terhadap kekuatan tarik hasil pengelasan aluminium.
Sumber: Kou (1987,p.81)
Karena daya larut dalam keadaan padat lebih rendah daripada keadaan cair, atom
hidrogen akan meninggalkan kedudukan mereka selama proses solidifikasi dan bersama-
sama membentuk molekul hidrogen, dengan perbandingan dari bertambahnya bidang
pemisah pada keadaan padat-cair.
Untuk lebih detail, dapat dilihat pada gambar 2.11. Selama proses solidifikasi banyak
hidrogen yang tertolak pada bidang pemisah padat-cair, interdendrit dalam keadaan cair
30
berangsur-angsur kaya akan hidrogen sebagai akibat meningkatnya fraksi dari logam padat
(langkah 1). Selama solidifikasi berlangsung, kadar hidrogen dalam cairan meningkat dan
akhirnya melewati batas kelarutannya dan sebuah pori membentuk inti pada titik ini.
Bagaimanapun, pertumbuhan dari pori baru membutuhkan adanya permukaan yang baru
pula. Karena permukaan tersebut menjadi penghalang, konsentrasi hidrogen pada keadaan
cair secara kontinyu meningkat di bawah batas kelarutannya sampai ke titik dimana sebuah
pori dapat terbentuk (langkah II). Pada titik tersebut, pori mulai membentuk inti dan yang
paling menonjol adalah pada akar dendrit atau pada letak yang berbeda, seperti sebuah
inklusi. Selanjutnya gelembung-gelembung kecil (diameter < 20 mikron) tumbuh dan kadar
hidrogen dari cairan menurun dengan cepat (langkah III dan IV) dan pori dapat bergabung
satu sama lain.
Gambar 2.11 Perubahan kadar hidrogen sebelum dan sesudah pembentukan inti dari pori.
Sumber : Legait (2005,p.23)
Kelarutan hidrogen dari sistem paduan menunjukkan perbedaan dengan sistem non-
paduan. Sistem paduan yang memiliki daya larut lebih rendah, jika memiliki konsentrasi
hidrogen dengan nilai di ambang batas terbentuknya porositas akan menyebabkan
pembentukan porositas menjadi lebih mudah.
Keberadaan hidrogen selama pengelasan baja dapat menyebabkan porositas dan retak
hidrogen. Porositas hidrogen pada daerah lasan dapat berasal dari beberapa sumber yang
berbeda, antara lain: hasil pembakaran pada pengelasan oxyfuel, hasil pengelasan
menggunakan elektroda dengan fluks jenis selulosa pada pengelasan SMAW, minyak dan
kelembaban pada permukaan benda kerja atau elektroda, dan fluks, pembungkus elektroda,
gas pelindung, dan lingkungan yang lembab, arus yang terlalu rendah atau busur yang terlalu
panjang, serta pembekuan cepat pada lapisan lasan.
31
2.9. Medan Magnet Solenoida
Medan magnet (magnetic field) didefinisikan sebagai area di sekitar magnet atau di
sekitar penghantar yang mengangkut arus. Vektor magnet disebut dengan fluks magnet yang
dinyatakan sebagai garis-garis fluks (line of induction). Jika medan magnet berada dalam
suatu ruang maka akan terjadi perubahan energi yang menghasilkan gaya. Hal ini dapat
dideteksi dengan adanya percepatan pada muatan listrik yang bergerak di dalamnya. Jika
sebuah muatan (q) ditempatkan dalam keadaan diam dalam medan magnet maka tidak akan
ada gaya yang bekerja pada muatan (q) tersebut. Namun muatan (q) diempatkan dalam
medan magnet dengan kecepatan (v) maka muatan tersebut akan didorong oleh gaya magnet,
yang besarnya (Sears 1994: 718) :
F = q.v.B.sinα (2-17)
dengan : - F = gaya magnet (Newton)
- q = muatan (Coulomb)
- v = kecepatan (m/ s)
- B = fluks magnet (N./C. m.s)
Gaya yang paling besar terjadi ketika partikel bergerak tegak lurus terhadap B (α =
90º). Dari rumusan tersebut diketahui bahwa atom yang mempunyai elektron bebas (tidak
berpasangan) akan ditarik oleh medan magnet dan sebaliknya. Semakin banyak elektron
bebas maka gaya tarik medan magnet semakin kuat.
Pada tahun 1920, Hans Christian Oersted menemukan bahwa arus listrik dapat
menghasilkan medan magnet. Medan magnet B didefinisikan sebagai muatan bergerak
dalam hukum gaya Lorentz. Interaksi medan magnet dengan muatan menyebabkan banyak
aplikasi praktis. Satuan medan magnet adalah Tesla, yang dapat dilihat dari hukum gaya
Lorentz FL = qvB pada medan magnet yang dalam satuan lain (Newton x second) /
(Coulomb x meter). Unit medan magnet yang lebih kecil adalah Gauss (1 Tesla = 10.000
Gauss). Ada beberapa macam magnet yang dapat dibuat dengan mengalirkan arus listrik;
misalnya medan magnet solenoida. Solenoida merupakan lilitan kawat yang membungkus
inti logam dan dapat menghasilkan medan magnet apabila arus listrik dialirkan pada
solenoida tersebut. Solenoida dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya dapat
dikontrol. Arah garis medan magnet tergantung pada arah aliran arus listrik dalam kumparan
(solenoida) sebagaimana gambar 2.12. berikut:
32
Gambar 2.12. Arah garis medan magnet dalam solenoida
Sumber: hyperphysics.phy-astr.gsu.edu
Apabila ke dalam solenoida dimasukkan bahan ferromagnetik seperti besi, baja,
silikon, maka medan magnet yang dihasilkan akan bertambah besar. Peningkatan medan
magnet yang terjadi pada solenoida pada dasarnya merupakan penjumlahan antara medan
magnat yang dihasilkan solenoida itu sendiri dan medan magnet eksternal yang dihasilkan
inti solenoida yang berubah menjadi magnet. Peningkatan medan magnet yang terjadi
tersebut dinamakan fluks magnetik atau rapat fluks magnetik dan diberi simbol B. Besarnya
peningkatan medan magnet yang terjadi diukur dengan menggunakan besaran yang
dinamakan permeabilitas magnetik yang merupakan perbandingan antara fluks magnet yang
dihasilkan (B) dengan kuat medan magnet yang terjadi (H) atau dapat dirumuskan sebagai
berikut (Smith, 2004: 831) :
H
B (2-18)
Apabila dalam solenoida tidak terdapat inti logam maka permeabilitas magnetik
merupakan permeabilitas ruang kosong (μ0), dengan μ0 = 4.π.k = 4π.10-7
Wb(Am)-1
.
Peningkatan medan magnet yang terjadi dapat dinyatakan dalam besaran permeabilitas
relatif, μr yang merupakan perbandingan antara μ dan μ0. (Smith, 2004: 832) :
0
r (2-19)
Adapun nilai permeabilitas relatif dari beberapa material besarnya berbeda-beda
tergantung kemampuannya dilewati garis-garis gaya magnet. Besarnya fluks magnet yang
dibangkitkan solenoida yang dialiri arus listrik dapat dirumuskan sebagai berikut:
Fluks magnet di tengah panjang solenoida: l
NIB
.. (2-20)
Fluks magnet diujung panjang solenoida: l
NIB
2
.. (2-21)
33
2.10. Laju Perambatan Retak Fatik
Ada tiga macam retak yang terjadi pada logam yang diakibatkan adanya tiga macam
pola pembebanan sebagaimana gambar 2.13.
Gambar 2.13. Mode bukaan retak
Sumber: Broek (1986,p.8)
Gambar 2.13. dapat dijelaskan bahwa opening mode atau mode I diakibatkan oleh pola
pembebanan normal terhadap retak, sliding mode atau mode II akibat dari pola pembebanan
geser terhadap retak dan tearing mode atau mode III akibat dari pola pembebanan menyobek
retak. (Broek 1986 : 8)
Faktor intensitas tegangan (∆K) pada pembebanan normal (mode I) untuk specimen
CT (Compact Tension), digunakan persamaan sebagai berikut,
432
23
21
6.572.1432.1364.4886.01
2
BW
PK (2-22)
dengan,
K = faktor intensitas tegangan (MPa.m1/2
)
P = gaya luar (gaya tarik) (Pa)
B = tebal plat (mm)
W = lebar plat (mm)
= a/W dimana a/W ≥ 0.2
(stardard test method for measurement of fatigue crack growth rates1)
34
Secara umum karakteristik perambatan retak fatik untuk bahan logam dapat dibagi menjadi
tiga daerah seperti diperlihatkan pada gambar 2.14.
Gambar 2.14. Kurva laju pertumbuhan retak
Sumber: Bannantine (1990,p.291)
Daerah I (Region I) disebut daerah ambang fatik (fatigue treshold) yang terjadi pada
laju perambatan retak sekitar 10-10
m/siklus. Di bawah laju ini tidak terjadi perambatan retak.
Daerah II menunjukkan adanya hubungan linier antara perambatan retak (log da/dN) dan log
∆K. Untuk daerah III laju perambatan retak terjadi sangat cepat sementara sedikit sekali
terjadi perambatan fatik, daerah III umumnya tidak dipertimbangakan dalam perancangan
struktur. Daerah ini terutama dikendalikan oleh parameter ketangguhan bahan terhadap retak.
Paris menguraikan bahwa pertumbuhan retak akan dihasilkan ketika pembebanan
yang diterapkan bervariasi, walaupun tegangan maksimum lebih rendah dari pada teganan
kritis. Paris merumuskan bahwa pertumbuhan retak setiap siklus pembebanan adalah suatu
fungsi dari intensitas tegangan (∆K), yang dirumuskan secara sederhana sebagai berikut
(Broek, 1986: 261),
nKC
dN
da (mm/siklus) (2-23)
dengan,
n = koefisien exponensial
C = konstanta bahan
a = panjang retak (mm)
N = jumlah siklus pembebanan (siklus)
Region I : Crack initation Region II : Stable crack-growth Region III : Unstable crack-growth (fracture)
Region II
Region I
Kth
Kc is reached
Region III log
dN
da
log ( K) (Kg/mm3/2
)
(mm/siklus)
35
∆K = fluktuasi faktor intensitas tegangan (MPa.m1/2
)
da/dN = laju perambatan retak fatik (mm/siklus)
Dengan C dan n merupakan kostanta yang ditentukan secara eksperimen, dan ∆K
merupakan selisih faktor tegangan maksimum (Kmaks) dan faktor tegangan minimum (Kmin)
yang dapat ditulis sebagai berikut (Fuchs, 1980: 82),
minKKK masks (MPa.m1/2
) (2-24)
Pola pembebanan yang digunakan adalah sinusoidal sebagaimana gambar 2.15. dengan beban
siklis amplitudo konstan berupa Pmask dan Pmin. Sehingga tegangan yang ada berupa maks dan
min dan daerah tegangannya adalah (Fuchs, 1980: 82),
min maks (2-25)
Gambar 2.15 Siklus Pembebanan Pengujian Laju Perambatan Retak Fatik
Sumber : Fuchs (1980,p.82)
Tegangan maksimum yang diberikan pada waktu pengujian diambil 0,3 – 0,5 dari
tegangan ultimate-nya. Dalam pengujian perambatan retak fatik ini digunakan variable
perbandingan tegangan. Dengan adanya perbandingan tegangan, maka dalam suatu pengujian
hanya diperlukan variabel tegangan atau beban maksimum. Perbandingan atau rasio tegangan
dapat dihitung dengan persamaan (Broek, 1986: 27),
maksmaksmaks P
P
K
KR minminmin
(2-26)
t(secon)
maxP
aP
+
-
Lo
ad
(N
)
minP
1 Siclic
36
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
Hot roll steel plate (HRSP) yang diproduksi PT. Krakatau Steel merupakan baja
konstruksi umum dengan kadar karbon 0,29 %C. Agar memenuhi persyaratan sebagai
material kendaraan taktis militer (rantis) maka dilakukan rekayasa proses produksi dengan
memberikan perlakuan panas quench temper berupa pemanasan baja HRSP sampai
temperatur 900 ºC ditahan 10 menit dan dilanjutkan pendinginan air sampai temperatur
ruang. Selanjutnya benda kerja dipanaskan kembali pada temperatur 300 ºC ditahan 10 menit
dan didinginkan di udara sampai temperatur ruang. Dengan perlakuan panas quench temper
tersebut diharapkan kekerasannya mencapai 500 BHN, tangguh dan tahan peluru. Baja rol
panas (HRSP) yang telah diberi perlakuan panas tersebut selanjutnya diberi istilah Hot roll
quench tempered steel (QTS). Proses rol panas selama proses produksi HRSP menyebabkan
struktur baja tereduksi dengan bentuk butiran logam yang rapat dan pipih. Dengan proses
quenching struktur butiran yang terbentuk menjadi kecil dan rapat yang didominasi oleh
struktur martensite. Dengan memberikan proses tempering struktur martensit tidak banyak
berubah. Kondisi struktur yang rapat dan didominasi oleh struktur martensite inilah yang
menyebabkan QTS rentan mengalami retak las saat dilakukan pengelasan atau dengan kata
lain sifat mampu lasnya (weldability) rendah. Hal ini mengacu dari pernyataan dan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kou tahun 1987; oleh Messler tahun 1999; oleh Béres, et.al
tahun 2001 dan oleh Vuherer, et. al. tahun 2013; yang menyatakan bahwa baja dengan
mikrostruktur martensite memiliki sifat mampu las (weldability) yang rendah sehingga perlu
mendapatkan perlakuan tertentu sebelum, selama atau pasca pengelasan. Dengan demikian
maka QTS termasuk baja dalam kategori ini. Dengan mikrostruktur martensite yang keras
dan struktur butian yang kecil dan rapat memungkinkan QTS rentan mengalami cacat retak
baik dalam skala mikro maupun makro.
Menurut Khan, 2007: 182, retak mikro umumnya dibentuk oleh gabungan voids atau
porositas. Retak mikro ini dalam beberapa waktu akan memicu retak yang merambat (delay
cracking). Retak las dan retak yang merambat (delay cracking) bermula dari hydrogen difusi
atau gas-gas terlarut yang membentuk porositas, endapan unsur pengotor (impurities) yang
terlarut dan adanya perbedaan perilaku pemuaian dan penyusutan pada logam las dan HAZ
selama proses pencairan dan pembekuan logam yang dipengaruhi oleh laju pendinginan
pasca pengelasan.
37
Beberapa penelitian dengan tujuan meminimalkan retak las dan meningkatkan
ketangguhan las telah dilakukan oleh Abdulhamid, et. al., (2002), terkait upaya
meminimalkan terjadinya retak panas dengan memberikan preheating 100°C, 200°C dan
300°C. Kemudian Seo, et. al., (2008), melakukan upaya meminimalkan timbulnya retak
dingin dengan menggunakan inti fluks yang mengandung 1,5% Ni. Dan Zhang, et. al.,
(2008), melakukan upaya meminimalkan retak solidifikasi atau retak selama pembekuan pada
lasan Aluminium 6061-T6 menggunakan metode Pulse shaping laser beam welding dengan
memvariasikan ramp down pulse gradient 137 kW/s, 52 kW/s, 32 kW/s. Beberapa penelitian
tersebut mendapatkan hasil positif namun baru diterapkan pada pengelasan logam dasar yang
belum mengalami perubahan struktur akibat perlakuan panas pra welding sebagaimana yang
dialami oleh QTS. Sehingga untuk kasus retak merambat pasca pengelasan QTS perlu
dicarikan metode lain.
Metode yang dapat dijadikan alternative dalam meningkatkan kualitas hasil lasan
QTS misalnya dengan meningkatkan sirkulasi logam cair pada kolam las. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa laju sirkulasi logam cair yang tinggi mempermudah pelepasan
gas, inklusi dan oksida ke permukaan kolam las sehingga cacat las seperti cacat porositas,
slag inklusi dan retak las dapat diminimalkan, pencampuran logam las dan logam pengisi
lebih homogen, dan ketangguhan las dapat ditingkatkan. Dalam penelitian lainnya
menunjukkan bahwa laju sirkulasi logam cair yang tinggi mampu menurunkan laju
pendinginan pasca las.
Secara teoritis laju sirkulasi logam cair dipengaruhi oleh gaya angkat permukaan
(buoyancy force), gaya akibat tegangan permukaan (marangoni force) dan gaya
elektromagnetik (Lorenz forces). Menurut Herrera tahun 2003, dari ketiga gaya yang bekerja,
gaya elektromagnetik memberi pengaruh paling dominan terhadap sirkulasi kolam las. Arus
konveksi akibat gaya elektromagnetik dipengaruhi oleh rapat arus (J) dan vektor fluks magnet
(B) yang dirumuskan F=JxB. Dan menurut Kou, (1987: 49), gaya elektromagnetik yang
semakin besar selain dapat meningkatkan laju konveksi logam cair, juga akan menaikkan
nilai efektif konduktifitas termal dari logam las cair (kL) sehingga proses transfer panas pada
kolam las menjadi lebih efektif. Akibatnya temperatur puncak daerah las dan HAZ menjadi
lebih rendah. Jika temperatur puncak pada kolam las dan HAZ turun maka laju pendinginan
pasca pengelasan juga akan turun.
Penelitian terhadap pengaruh medan magnet terhadap kualitas hasil pengelasan telah
dilakukan oleh beberapa orang seperti Tse, et al., (1999) yang menyatakan kuat medan
magnet berpengaruh terhadap efek gas pelindung dan menyebabkan kedalaman penetrasi
38
kolam las meningkat 7 % sedangkan lebar kolam las perubahannya tidak signifikan. Hasil
penelitian Curiel, et. al., (2001) menyatakan bahwa penggunaan intensitas magnetik yang
rendah selama pengelasan GMA pada baja stainless steel tipe 304 dapat meningkatkan
ketahanan korosi HAZ, meningkatkan redistribusi Cr ke dalam austenite selama siklus
termal, menurunkan endapan dan pertumbuhan carbida crom, redistribusi Cr terjadi secara
terus menerus dan akan terbentuk film yang meningkatkan ketahanan korosi HAZ. Beberapa
penelitian tersebut menggunakan material las yang belum mengalami perlakuan panas
sebagaimana material QTS dan peningkatan gaya elektromagnetik dilakukan dengan
menaikkan arus las atau rapat arus las (J).
Memperbesar gaya elektromagnetik dengan menaikkan arus las dapat menyebabkan
temperatur puncak dan laju pendinginan pasca pengelasan tinggi sehingga akan menaikan
tegangan termal, tegangan sisa dan distorsi. Oleh karenya menaikan arus las atau rapat arus
(J) selama pengelasan bisa berdampak kurang baik terhadap konstruksi las. Memperbesar
gaya elektromagnetik dengan menambahkan fluks magnet dari luar (B) dapat menjadi
alternatif dalam menaikkan laju sirkulasi logam cair dan memperbaiki kualitas hasil lasan.
Dapat diduga bahwa, menambah fluks magnet (B) selama proses pengelasan akan
memperbesar gaya elektromagnetik (FL) yang bekerja pada kolam las dan meningkatkan laju
sirkulasi logam cair. Dengan meningkatnya laju sirkulasi logam cair maka kualitas hasil
pengelasan akan lebih baik, sehingga dapat dijadikan alternatif dalam memperbaiki kualitas
hasil lasan hot roll quench tempered steel (QTS). Selanjutnya alur kerangka konseptual
penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1.
39
3.2. Alur Kerangka Konseptual Penelitian
Gambar 3.1. Alur kerangka konseptual
HOT ROLL STEEL
PLATE (HRSP)
Pernyataan tentang
sifat mampu las
martensit:
1. Kou S. 1987
2. Messler 1999
3. Beres et.al. 2001
4. Khan 2007
5. Vuherer et. al. 2013
6. Chatterjee et.al.
(2014)
Hipotesis : Diduga dengan menambah B secara
transversal dari dua arah selama pengelasan
menyebabkan temperatur puncak turun, laju
pendinginan pasca pengelasan turun, cacat las
turun, ketangguhan las terhadap beban impak
meningkat dan perambatan retak lebih lambat.
Diberi perlakuan panas quench
temper menjadi QTS.
Terjadi perubahan struktur dari
Ferrite-Pearlite menjadi Martensit:
- Kekerasan tinggi
- Weldability rendah
- Rawan terjadi retak las dan retak
merambat
Penyebab :
1. Laju pendinginan pasca las
tinggi
2. Cacat las dan porositas tinggi
3. Porositas memicu retak mikro
dan retak merambat
Dasar teori konveksi pada
kolam las:
- Oreper G.M.,1983
- Kou S. 1987
- Hughes M., 2000
- Herrera N. D. 2003
- Kostov, et. al. 2005
-
Penyelesaian masalah:
Memperbesar FL dapat
menaikkan sirkulasi logam cair
pada kolam las dan memperbaiki
hasil lasan. FL = J x B
J = I / A (rapat arus)
B = Fluks magnet
Penelitian: menaikan FL dengan
memperbesar arus las (I) atau rapat
arus (J) pada material tanpa
perlakuan panas: Tse, H. C. 1999 ; Kern M., 2000;
Young Bin Li 2009; Tyagi, R.K .,
2011; Curiel F.F., 2011; Qi Shen ,
2011, Senapati A., 2014
Memperbesar FL dengan menaikkan arus las (I) menyebabkan heat input tinggi, tegangan thermal tinggi dan rawan terjadi distorsi dan retak las. (tidak
direkomendasikan)
Penelitian tentang retak
las:
Abdulhamid S. et.al.,
(2002)
Seo, J.S. et.al., (2008),
Zhang, J. et.al., (2008),
Iyer A.H.S., et.al, 2017
Zhang Y. et.al. 2017
Penelitian yang dilakukan:
Memperbesar FL dengan
menambah fluks magnet
eksternal (B) menggunakan
solenoida secara transversal
dari dua arah dan arus las
dijaga konstan
40
3.3. Hipotesis
Menambahkan fluks magnet eksternal selama proses pengelasan akan menaikan gaya
elektromagnetik (FL). Gaya elektromagnetik yang semakin besar akan menaikan laju sirkulasi
logam cair dalam kolam las. Laju sirkulasi logam cair yang semakin tinggi akan
memperbesar nilai efektif konduktifitas termal (kL) logam las cair dan menyebabkan proses
transfer panas pada kolam las menjadi lebih efektif, sehingga temperatur puncak kolam las
menjadi lebih rendah (Kou, 1987: 49). Dapat diduga bahwa, menambahkan fluks magnet
eksternal secara transversal dari dua arah selama pengelasan akan merubah karakteristik fisik
hot roll quench tempered steel (QTS) berupa temperatur puncak HAZ dan laju pendinginan
pasca pengelasan turun, prosentase cacat las turun, serta akan merubah karakteristik mekanik
hasil lasan QTS berupa ketangguhan las terhadap beban impak meningkat dan perambatan
retak fatik daerah las melambat. Mikrostruktur HAZ`dan daerah las juga akan mengalami
perubahan. Semakin besar fluks magnet eksternal yang ditambahkan secara transversal dari
dua arah selama pengelasan, menyebabkan temperatur puncak HAZ dan laju pendinginan
pasca pengelasan semakin turun, prosentase cacat las semakin turun, ketangguhan daerah las
terhadap beban impak semakin meningkat dan perambatan retak fatik daerah las semakin
lambat. Mikrostruktur HAZ dan daerah las akan cenderung berubahan ke arah mikrostruktur
yang memiliki sifat ulet.
41
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental skala laboratorium untuk
melakukan analisis terhadap hasil sambungan las hot roll quench tempered steel (QTS) yang
diberi penambahan fluks magnet selama proses pengelasan. Rancangan penelitian yang akan
dilakukan adalah rancangan model klasifikasi satu arah. Variabel yang akan dipecahkan
adalah pengaruh penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah
terhadap perubahan temperatur puncak HAZ, laju pendinginan pasca pengelasan, cacat las,
perubahan mikrostruktur las, ketangguhan las terhadap beban impak dan perubahan laju
perambatan retak las akibat beban fatik. Dalam penelitian ini fluks magnet eksternal
dibangkitkan dengan mengalirkan arus listrik DC sebesar 3, 6, 9, 12 dan 15 Ampere dan
tegangan 12 volt ke kawat solenoida yang dililitkan pada plat baja dengan dimensi (100 mm
x 100 mm x 10 mm) dan diarahkan ke pusat las selama proses pengelasan. Jumlah lilitan
kawat solenoida sebanyak 150 lilitan. Selama proses pengelasan parameter las dijaga
konstan. Kajian literatur dari berbagai sumber, baik dari buku maupun dari jurnal ilmiah yang
terkait digunakan untuk menambah informasi dan memperkuat analisis hasil penelitian.
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Produksi I, Laboratorium
Metalurgi Fisik dan Laboratorium Sentral Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya
Malang. Penelitian dilaksanakan pada pertengahan tahun 2015 sampai akhit tahun 2016.
4.2 Alat dan Bahan Penelitian
4.2.1. Alat yang digunakan dalam penelitian
Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Mesin las GMAW beserta kelengkapannya
2. Alat pembangkit medan magnet (dibuat sendiri)
3. Perangkat akuisisi data (data loger) untuk mendapatkan dan mengolah data temperatur
dan siklus termal las.
4. Kawat termokopel tipe K untuk sensor temperatur
5. Seperangkat komputer lengkap untuk mengolah data.
6. Mesin bubut, mesin miling dan mesin wire cutting untuk membuat spesimen uji.
7. Kamera digital untuk dokumentasi penelitian
8. Mesin polis untuk menghaluskan permukaan specimen uji foto mikro dan makrostruktur.
42
9. Alat uji foto mikrostruktur dan scanning electron microscopy (SEM) untuk melihat
struktur mikro dan makro spesimen tanpa dan dengan penambahan fluks magnet.
10. Teslameter untuk menguji besar fluks magnet di daerah pusat las yang dihasilkan oleh
solenoida yang dialiri arus DC dan ditempelkan ke benda kerja las.
11. Alat uji radiografi untuk menguji cacat las secara makro.
12. Alat uji kekerasan untuk menguji kekerasan baja hot roll steel plate (HRSP) dan QTS
13. Mesin uji impak untuk menguji kekuatan impak spesimen.
14. Mesin uji tarik untuk melihat kekuatan tarik spesimen tanpa dan dengan penambahan
fluks magnet sebagai dasar untuk menentukan besar pembebanan pada uji perambatan
retak fatik.
15. Alat uji laju perambatan retak fatik dengan Servo hydraulic fatigue test.
4.2.2. Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1. Material yang diteliti adalah hot roll steel plate (HRSP) tebal 10 mm dan 5 mm yang
diberi perlakuan panas quench temper dengan pemanasan 900 ºC di holding 10 menit dan
di quencing dengan air sampai suhu ruang, dilanjutkan dengan pemanasan 300 ºC
diholding 10 menit dan didinginkan di udara sehingga dinamai hot roll quench tempered
steel (QTS). Hasil uji komposisi kimia material HRSP sebagaimana tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Unsur yang terkandung dalam Hot Rolled Steel Plate (HRSP)
Keterangan % Berat Keterangan % Berat
Al (aluminum) 0,03785 Pb (plumbum) 0,00825
C (carbon) 0,29342 S (sulphur) 0,00810
Cr (chromium) 0,55029 Si (silicon) 0,32985
Cu (cuprum) 0,08337 Sn (stannum) 0,00339
Fe (ferro) 96,7625 Ti (titanium) 0,00439
Mn (mangan) 1,41218 V (vanadium) 0,01473
Mo (Molibdenum) 0,19303 W (wolfram) 0,00951
Ni (nickel) 0,27877 Zn (zinc) 0,00378
P (posphor) 0,01425 Zr (zirconium) 0,00116
Catatan:
- Material hot roll steel palte dibuat oleh PT. Krakatau Steel.
- Hasil uji dilakukan dengan menggunakan Optical emission
spectrometer-spectromaxx.
2. Kawat tembaga diameter 0,7 mm untuk membuat lilitan solenoida.
3. Inti solenoida dari plat baja karbon rendah berdimensi (100 mm x 100 mm x 10 mm).
43
4. Kawat las (elektrode las) GMAW yang digunakan adalah AWS ER 70S-6
berdiameter 1 mm.
Spesifikasi elektrode las yang digunakan adalah :
Klasifikasi : CO2 Shield Welding Wire AWS ER 70S-6
Komposisi : C : 0,07 % , Mn : 1,6 %, Si : 0,88 %, S : 0,012 % , P : 0,025 %.
5. Gas CO2 sebagai pelindung las saat proses pengelasan dengan kecepatan
pengumpanan 12 L/min.
6. Kertas gosok dan autosol untuk menghaluskan permukaan spesimen uji mikrostruktur.
7. Bahan etsa (nital 5 %).
Bahan hot roll quench tempered steel (QTS) adalah hot roll steel plate (HRSP) tebal 10
mm dan 5 mm dengan kandungan karbon 0,29 % yang diberi perlakuan quench temper
sebelum proses pengelasan.
4.2.3. Bentuk spesimen pengelasan
Bentuk dan dimensi benda kerja QTS yang akan digunakan dalam pengelasan
sebagaimana gambar 4.1 berikut:
Gambar 4.1 Bentuk dan dimensi benda kerja pengelasan
Dimensi benda kerja yang akan di las adalah 100 x 80 x 10 mm dan 100 x 80 x 5 mm.. Proses
pengelasan adalah 3 (tiga) layer untuk benda kerja dengan dimensi 100 x 80 x 10 mm dan 1
(satu) layer untuk benda kerja dengan dimensi 100 x 80 x 5 mm. Pada layer ke 3 (tiga)
44
dilakukan pengukuran temperatur las dengan penempatan termokopel tipe K pada jarak 10
mm dari pusat las.
Untuk dimensi spesimen uji impak sebagaimana gambar 4.2 berikut.
Gambar 4.2 Dimensi spesimen uji impak
Untuk spesimen uji impak mengikuti standar ASTM-E23 untuk standar uji impak pada baja.
Selanjutnya untuk dimensi spesimen uji tarik dan uji perambatan retak sebagaimana
gambar 4.3 dan gambar 4.4 berikut.
Gambar 4.3. Dimensi spesimen uji tarik (satuan: mm)
Gambar 4.4. Dimensi spesimen uji perambatan retak fatik (satuan: mm)
45
4.3 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas yaitu :
Fluks magnet ditambahkan dari luar dengan mengalirkan arus listrik DC ke kawat
solenoida sebesar 3, 6, 9, 12 dan 15 Ampere untuk benda kerja tebal 10 mm dan 3, 6, 9
dan 15 Ampere untuk benda kerja tebal 5 mm. Jumlah lilitan kawat solenoida adalah 150
lilitan.
2. Variabel terikat berupa temperatur puncak, laju pendinginan pasca pengelasan, perubahan
mikrostruktur, prosentase cacat las, ketahanan impak dan laju perambatan retak fatik.
3. Variabel terkendali, meliputi: masukan panas las dengan arus las 140 Ampere dan
tegangan 20 volt, tipe dan jenis las adalah GMAW, gas pelindung CO2 dengan kecepatan
pengumpanan 12 liter/ menit, jarak ukur temperature 10 mm dari pusat las, posisi las
(flat) dan kecepatan las rata-rata 15 cm/menit.
4.4 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah model klasifikasi satu arah dengan
perulangan sebanyak 3 kali. Penelitian dilakukan menggunakan 1 variabel bebas berupa kuat
arus pembangkit fluks magnet eksternal. Variabel terikat berupa temperatur puncak, laju
pendinginan pasca pengelasan, perubahan mikrostruktur, prosentase cacat las dan laju
perambatan retak fatik. Sebelum dilakukan proses pengelasan, dilakukan pengukuran besar
fluks magnet yang akan diflukskan pada daerah las sesuai variabel bebas menggunakan
teslameter. Data pengujian kuat medan magnet dimasukkan dalam tabel 4.2 dan tabel 4.3
berikut:
Tabel 4.2 Besar fluks magnet (mili Tesla/ mT) tiap perubahan arus untuk benda kerja 10 mm
VARIABEL
BEBAS
Fluks Magnet (mT)
Tanpa Dengan
KU
AT
AR
US
(Am
per
e)
0 Y0
3 Y3
6 Y6
9 Y9
12 Y12
15 Y15
46
Tabel 4.3 Besar fluks magnet (mT) tiap perubahan arus untuk benda kerja 5 mm
VARIABEL
BEBAS
Fluks Magnet (mT)
Tanpa Tanpa K
UA
T A
RU
S
(Am
per
e)
0 Y0
3
Y3
6 Y6
9 Y9
15 Y15
Selanjutnya pengaruh perubahan besar fluks magnet eksternal terhadap variable
terikat ditampilkan sebagaimana tabel 4.4 dan tabel 4.5 berikut :
Tabel 4.4. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal
terhadap variabel terikat pada spesimen tebal 10 mm
VARIABEL
BEBAS
VARIABEL TERIKAT
Tanpa Penambahan
Fluks Magnet
Dengan Penambahan
Fluks Magnet
KU
AT
A
RU
S (
Am
per
e)
0 Y01
Y02
Y03
3
Y31
Y32
Y33
6
Y61
Y62
Y63
9
Y91
Y92
Y93
12
Y121
Y122
Y123
15
Y151
Y152
Y153
dengan :
Y = data temperatur puncak (ºC), laju pendinginan pasca pengelasan (ºC/ det), prosentase
cacat las dan kekuatan impak daerah las
47
Tabel 4.5. Rancangan percobaan untuk variasi besar fluks magnet eksternal
beberapa variabel terikat pada spesimen tebal 5 mm
VARIABEL
BEBAS
VARIABEL TERIKAT
Tanpa Penambahan
Fluks Magnet
Dengan Penambahan
Fluks Magnet
KU
AT
A
RU
S (
Am
per
e)
0 Y01
Y02
Y03
3
Y31
Y32
Y33
6
Y61
Y62
Y63
9
Y91
Y92
Y93
15
Y151
Y152
Y153
dengan : Y = kekuatan tarik daerah las, laju perambatan retak fatik daerah las.
Hasilnya dibandingkan dengan data spesimen tanpa penambahan fluks magnet
eksternal. Data temperatur puncak HAZ dan laju pendinginan pasca pengelasan dicari dari
grafik siklus termal pengelasan. Prosentase cacat las diuji dari foto makro dan foto
mikrostruktur. Sedangkan data kekuatan impak, kekuatan tarik dan laju perambatan retak
fatik daerah las dihasilkan dari pengujian terhadap spesimen berdasarkan perubahan fluks
magnet yang ditambahkan selama pengelasan.
4.5 Prosedur Penelitian
Langkah penelitian yang akan dilakukan adalah :
1. Melakukan studi pustaka.
2. Mempersiapkan bahan pendukung penelitian.
3. Mempersiapkan peralatan las dan material hot roll steel plate (HRSP).
4. Mempersiapkan peralatan pembangkit fluks magnet eksternal.
5. Mempersiapkan perangkat akuisisi data (data loger), sensor temperatur (kawat
termokopel tipe K) dan komputer pengolah data
6. Melakukan foto mikrostruktur, uji kekerasan dan uji impak material HRSP.
7. Melakukan proses perlakuan panas quench temper terhadap material hot roll steel plate
(HRSP) dengan memanaskan benda kerja (HRSP) pada temperatur 900 ºC diholding 10
menit dan dilanjutkan dengan pendinginan air sampai suhu ruang. Selanjutnya benda
48
kerja dipanaskan kembali pada temperatur 300 ºC, diholding 10 menit dan didinginkan
sampai suhu ruang sehingga dihasilkan material QTS..
8. Melakukan pengujian kekerasan terhadap material HRSP dan material QTS
menggunakan Vickers Hardness Tester.
9. Melakukan pengujian impak terhadap material HRSP.
10. Melakukan pengujian besar fluks magnet menggunakan teslameter pada benda kerja
yang ditempeli solenoida dari 2 (dua) arah secara transversal, yang dialiri arus DC 0, 3,
6, 9, 12 dan 15 Ampere pada benda kerja tebal 10 mm dan 0, 3, 6, 9 dan 15 Ampere
pada benda kerja tebal 5 mm. Jumlah lilitan kawat solenoida 150 lilitan. Pengambilan
data besar fluks magnet dilakukan di daerah pusat las pada jarak 25 mm, 50 mm dan 75
mm dari awal pengelasan.
11. Melakukan pengelasan dengan berbagai variasai fluks magnet berdasarkan variabel
bebas. Parameter las seperti arus las, tegangan las, kecepatan aliran CO2 dijaga konstan.
Kecepatan las dianggap konstan dengan mengukur kecepatan las rata-rata dari operator
las (welder).
12. Mengambil data perubahan temperatur pengelasan dengan bantuan kawat termokopel
tipe K yang dihubungkan ke data loger dan komputer untuk ditampilkan dalam bentuk
grafik siklus termal las. Data temperatur las diambil pada jarak 10 mm dari pusat las
dan jarak 50 mm dari pinggir/ awal pengelasan. Data temperatur dibaca tiap detik.
Gambar 4.5. Gambar titik pengambilan data temperatur pada benda kerja (satuan: mm)
13. Melakukan uji radiografi untuk melihat cacat las secara makro.
49
14. Membuat spesimen uji foto makro dan foto mikro, uji cacat las dan uji impak dari
benda kerja tebal 10 mm.
Gambar 4.6. Pembagian area spesimen uji mikrostruktur dan uji impak (satuan: mm)
15. Membuat spesimen uji tarik dan uji perambatan retak fatik menggunakan wire cutting
dari benda kerja tebal 5 mm.
Gambar 4.7. Pembagian area spesimen uji tarik dan uji perambatan retak (satuan: mm)
16. Menghaluskan permukaan (penampang lintang) spesimen dengan mesin polis untuk
spesimen foto makro dan foto mikro.
17. Melakukan foto makro dan mikrostruktur HAZ dan daerah las.
18. Menguji dan menghitung prosentase cacat las menggunakan Software Autodesk
Inventor 2012 dan program Image J.
19. Melakukan pengujian impak tipe Charpy test di daerah pusat las dengan spesifikasi
beban pendulum 26, 2 kg, panjang lengan pendulum 0,75 m, sudut simpangan awal
120º dan susdut simpangan akhir tanpa beban 117º.
50
20. Melakukan foto makro dan foto mikro permukaan patahan uji impak.
21. Melakukan analisa patahan hasil uji impak daerah pusat las.
22. Melakukan pengujian tarik menggunakan tension test pada spesimen tebal 5 mm
sebagai dasar untuk menentukan pembebanan uji perambatan retak fatik.
23. Melakukan uji perambatan retak fatik daerah las untuk spesimen tebal 5 mm. Pengujian
retak fatik dilakukan dengan Pmax = 0,3 x σu x A dan Pmin = 0. Frekwensi
pembebanan fatik = 11 Hz. Panjang retak awal (a0) = 2 mm dan lebar retak awal 0,2
mm. Data jumlah siklus pembebanan fatik pertama diukur setelah pertambahan retak
awal (Δa1) = 0,2 mm.
24. Melakukan foto makro dan foto mikro permukaan patahan uji perambatan retak fatik.
25. Melakukan pengolahan data, menganalisis dan selanjutnya mengambil kesimpulan.
Instalasi penelitian dilustrasikan sebagaimana gambar 4.8 berikut ini.
Gambar 4.8. Rancangan instalasi penelitian
Keterangan gambar:
1. Benda kerja las 2. Solenoida
3. Mesin las GMAW. 4. Ampere meter
5. Adaptor 15 Ampere. 6. Indikator tegangan
7. Kawat termokopel tipe K 8. Data loger
9. Komputer
51
4.6 Diagram Alir
Diagram alir penelitian mengikuti alur sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.9.
Gambar 4.9. Diagram alir penelitian
MULAI
- Studi Pustaka dan penyiapan bahan uji - Pembuatan dan persiapan alat bantu penelitian - Persiapan benda kerja las dari HRSP
- Mengambil data kekerasan, mikrostruktur dan impak HRSP
Melakukan pengelasan dengan variasi sesuai variabel bebas sekaligus mengambil data temperatur
Selanjutnya membuat grafik siklus termal las dan grafik laju pendinginan
Foto makro dan mikrostruktur Menguji cacat las dan melakukan uji
impak daerah las
Melakukan uji tarik Melakukan pengujian laju
perambatan retak fatik daerah las
SELESAI
Kesimpulan
Membuat spesimen uji
Analisis data dan
pembahasan
Melakukan uji besar fluks magnet berdasarkan perubahan kuat
arus pembangkit sebesar 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 Ampere
- Memberikan perlakuan quench temper
- Mengambil data kekerasan dan mikrostruktur QTS
52
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Pengujian Hot Roll Steel Plate (HRSP)
Materal hot roll steel plate (HRSP) merupakan plat baja lunak yang diproduksi
melalui proses pengerolan panas oleh PT. Krakatau Steel. Dari data komposisi kimia
diketahui bahwa HRSP termasuk dalam golongan baja karbon rendah dengan prosentase
karbon sekitar 0,29 %. Untuk mengetahui karakteristik sifat fisik dan mikriostruktur HRSP
dilakukan pengujian kekerasan, mikrostruktur dan pengujian impak dengan data hasil sebagai
berikut.
Tabel 5.1. Data hasil pengujian kekerasan HRSP
Kode Benda Uji VHN1 VHN2 VHN3
HRSPHV 248,60 278,33 298,73 275,220
Dari hasil pengujian kekerasan pada tabel 5.1 nampak bahwa HRSP masuk kategori mild
steel dengan kekerasan rata-rata angka Vickers sebesar 275,22 VHN. Selanjutnya dilakukan
pengambilan foto mikrostruktur HRSP dengan pembesaran 300 x dan hasilnya sebagaimana
gambar 5.1.
Gambar 5.1. Foto mikrostruktur HRSP
53
Dari hasil foto mikrostruktur nampak bahwa struktur hot roll steel plate (HRSP)
didominasi oleh struktur ferrit dan pearlite. Struktur ferrit dan pearlite merupakan
mikrostruktur yang umum dari baja karbon rendah. Sifat mikrostruktur ini adalah lunak.
Tahap berikutnya adalah pengujian impak terhadap material HRSP dan hasilnya
sebagaimana tabel 5.2.
Tabel 5.2. Energi impak dari hasil pengujian HRSP
No. Kode
Benda Uji
Luas Patahan
(mm2)
IE (J) IErata-rata
(J)
IV
(J/mm2)
IVrata-rata
(J/mm2)
1 EHRSP (1) 8 x 9,85 = 78,8 68 0,863
2 EHRSP (2) 8 x 9,85 = 78,8 63 69,67 0,799 0,8841
3 EHRSP (3) 8 x 9,85 = 78,8 78 0,990
Dari hasil pengujian impak terhadap HRSP diketahui bahwa energy impak rata-rata sebesar
69,67 Joule dan kekuatan impak rata-rata sebesar 0,8841 joule/ mm2. Dan berdasarkan hasil
pengamatan bentuk patahan hasil uji impak terhadap spesimen HRSP menunjukkan bentuk
patahan ulet sebagaimana gambar 5.2.
Gambar 5.2. Bentuk patahan spesimen uji impak material HRSP
5.2. Hasil Pengujian Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS)
Untuk mengubah material HRSP menjadi QTS telah dilakukan proses perlakuan
panas quench temper. Material hot roll steel plate (HRSP) tebal 10 mm dan 5 mm diberi
perlakuan panas quench temper dengan memanaskan sampai 900 ºC di holding 10 menit dan
di quencing dengan air sampai suhu ruang. Selanjutnya dipanaskan lagi sampai 300 ºC di
holding 10 menit dan didinginkan di udara sampai suhu ruang. Material ini selanjutnya diberi
istilah atau dinamai hot roll quench tempered steel (QTS). Data hasil pengujian kekerasan
QTS rata-rata sebesar 544,60 VHN sebagaimana tabel 5.3. berikut.
54
Tabel 5.3. Data hasil uji kekerasan QTS
Kode Benda Uji VHN1 VHN2 VHN3 VHN4 VHN5
QTSHV 551 561 547 522 542 544,60
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa material HRPS yang telah mendapatkan
perlakuan panas quench temper menjadi QTS mengalami kenaikan kekerasan dari semula
275,220 VHN menjadi 544,60 VHN atau meningkat 97,88 %. Dengan kekerasan tersebut
diprediksikan QTS menjadi material yang tahan peluru dan dapat digunakan sebagai
alternatef material dasar untuk membuat bodi kendaraan tempur.
Selanjutnya terhadap material QTS dilakukan pengujian mikrostruktur logam dan
hasilnya ditampilkan dalam gambar 5.3 berikut.
Gambar 5.3. Mikrostruktur QTS
Dari gambar 5.3 tersebut diketahui bahwa mikrostruktur QTS didominasi oleh struktur
martensite yang memiliki sifat keras, sulit dibentuk dan memiliki weldability yang rendah.
Dengan komposisi unsur material HRSP sesuai tabel 4.1 dan berdasarkan persamaan 2-12
dan persamaan 2-13 bahwa Carbon equivalen HRSP (Ceq) sebesar 0,70866 % atau lebih dari
0,41 % yang berarti rentan mengalami retak dingin dalam proses pengelasan. Dari sisi
kekerasan material QTS mampu memenuhi syarat sebagai material bodi kendaraan tempur
karena kekerasannya sekitar 544,6 VHN, namun dari sisi manufaktur terkait sifat mampu las
tergolong rendah karena mikrostrukturnya martensite. Oleh karenanya penambahan fluks
magnet eksternal selama proses pengelasan QTS merupakan upaya rekayasa manufaktur yang
diharapkan mampu mengatasi permasalahan pengelasan QTS.
55
5.3. Hasil Pengujian Fluks Magnet
Proses pengujian besar fluks magnet dilakukan sebelum proses pengelasan terhadap
QTS. Arus listrik DC dialirkan ke solenoida berupa lilitan kawat tembaga pada plat baja
karbon rendah berdimensi (100 mm x 100 mm x 10 mm) dan ditempelkan pada benda kerja
las dari dua arah secara tranversal sebagaimana gambar 4.2 dan gambar 5.4. Pengujian besar
fluks magnet dilakukan pada posisi pusat las (daerah kampuh las) dengan menggunakan
teslameter digital. Pengujian fluks magnet dilakukan dengan 3 kali pengulangan untuk
masing-masing variasi arus DC yang dialirkan dan diambil rata-ratanya. Instalasi pengujian
disusun seperti pada gambar 5.4 berikut.
Gambar 5.4 Instalasi pengujian besar fluks magnet eksternal.
Dari variasi arus DC yang dialirkan pada solenoida dari dua arah dihasilkan data besar
fluks magnet berdasarkan data indikator pada teslameter digital, sebagaimana yang
ditunjukkan pada tabel 5.4. Dan hasil pengujian fluks magnet untuk benda kerja QTS tebal 10
mm dan 5 mm segagaimana ditampilkan dalam tabel 5.4 dan 5.5 berikut ini.
Tabel 5.4 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada
solenoida terhadap benda kerja tebal 10 mm
ARUS (A) BESAR FLUKS MAGNET (mT) RATA-RATA (mT)
Tanpa (0) 0 0
3 2,4 2,3 2,5 2,40
6 3,4 3,4 3,4 3,40
9 4,6 4,4 4,3 4,43
12 6,5 6,5 6,3 6,43
15 9,1 9 9 9,03
56
Tabel 5.5 Data besar fluks magnet (mT) berdasarkan perubahan arus DC pada
solenoida terhadap benda kerja tebal 5 mm
ARUS DC
(Ampere) BESAR FLUKS MAGNET (mT) RATA-RATA (mT)
Tanpa (0) 0 0
3 0.85 0.95 0.9 0,9
6 1.55 1.8 1.75 1,7
9 2.1 2.4 2.4 2,3
15 2.95 3.1 3.25 3,1
Dari tabel 5.4 dan tabel 5.5 diketahui bahwa arus listrik DC yang dialirkan ke
solenoida dari 2 (dua) arah secara transversal akan menghasilkan fluks magnet (B) yang
menuju ke pusat las. Semakin besar arus listrik DC yang dialirkan ke solenoida akan
memperbesar nilai fluks magnet (B) yang mengalir ke pusat las. Dengan meningkatnya fluks
magnet (B) menuju ke pusat las akan memperbesar gaya Lorenz (FL) yang bekerja pada
kolam las. Arah arus listrik (I), fluks magnet (B) dan gaya Lorenz (FL) dalam teori dasar
elektromagnetik mengikuti hukum tangan kanan sebagaimana gambar 5.5 berikut ini.
Gambar 5.5. Arah medan magnet (B) dan gaya Lorenz (FL) akibat arus listrik
Sedangkan arah medan magnet eksternal (B) dan gaya Lorenz (FL) pada arus yang
dialirkan ke solenoida sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini diilustrasikan dalam
gambar 5.6 berikut ini.
57
Gambar 5.6. Arah arus las (I), medan magnet eksternal (B) dan arah arus konveksi logam cair
pada kolam las akibat gaya Lorenz (FL) akibat I eksternal
Dengan mengalirkan arus DC ( I eksternal) ke solenoida yang ditempelkan ke benda kerja las
dari dua arah secara transversal akan menambahkan fluks magnet (B) ke arah pusat las. Agar
fluks magnet (B) dari dua arah mengarah ke pusat las maka lilitan solenoida diatur dengan
menggunakan hukum tangan kanan. Fluks magnet (B) ini akan memperbesar gaya Lorenz
(FL) di pusat las yang menekan logam cair ke bawah sehingga menghasilkan sirkulasi logam
cair yang membentuk fluks ganda sebagaimana gambar 5.6 (bawah). Dengan kenaikan gaya
elektromagnetik pada kolam las menyebabkan laju sirkulasi logam cair pada kolam las juga
meningkat.
5.4. Hasil Pengukuran Temperatur
Pengambilan data temperatur dilakukan dengan menempelkan kawat termokopel tipe
K pada jarak 10 mm dari pusat las dan jarak 50 mm dari ujung pengelasan. Titik pemasangan
kawat termokopel berada pada daerah HAZ. Kawat termokopel dihubungkan ke data loger
untuk membaca temperatur dengan kecepatan pembacaan 1 data tiap detik. Selanjutnya data
tersebut di transfer ke perangkat computer/ laptop dan dapat ditampilkan dalam bentuk grafik
siklus termal. Data temperatur las pada jarak 10 mm dari pusat las berdasarkan perubahan
besar fluks magnet yang ditambahkan dari luar dapat dilihat pada Lampiran.
58
Selanjutnya data temperature tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik siklus termal
sebagaimana gambar 5.7. berikut.
Gambar 5.7 Grafik siklus termal pada jarak 10 mm dari pusat las
Dari gambar 5.7. diketahui bahwa semakin besar fluks magnet yang ditambahkan dari luar
menyebabkan temperatur puncak pada jarak 10 mm dari pusat las semakin turun. Penuruan
temperatur puncak las sebanding dengan penurunan temperatur puncak pada logam cair yang
disebabkan oleh meningkatnya gaya elektromagnetik pada kolam las. Peningkatan gaya
elektromagnetik ini menyebabkan sirkulasi logam cair pada kolam las semakin cepat selama
pengelasan. Sirkulasi logam cair yang semakin cepat menyebabkan koefisien konduktifitas
termal (kL) meningkat sehingga pelepasan panas secara konduksi pada logam cair semakin
besar yang mengakibatkan temperatur puncak las turun. Hal ini tentu juga berdampak pada
penurunan temperatur pucak HAZ (jarak 10 mm dari pusat las). Temperatur puncak pada
jarak 10 mm dari pusat las diketahui sebesar 658,7 oC pada spesimen tanpa penambahan fluks
magnet, kemudian menurun dengan penambahan fluks magnet sebesar 2,4 mT menjadi 536
oC sampai dengan penambahan fluks magnet 9,03 mT menjadi 453
o C.
Sedangkan dari gambar 5.8 diketahui bahwa penambahan fluks magnet dari luar
secara transversal dari dua arah menyebabkan laju pendinginan pasca pengelasan turun.
Semakin besar fluks magnet yang ditambahkan menyebabkan laju pendinginan pasca
pengelasan semakin turun. Grafik pendinginan yang curam menandakan bahwa logam
mengalami pendinginan yang cepat dan sebaliknya grafik laju pendinginan yang semakin
landai menandakan laju pendinginan yang semakin lambat. Dengan mengambil data
59
pendinginan antara 4000
C sampai 200o
C tampak bahwa grafik yang paling curam dihasilkan
dari spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Selanjutnya grafik pendinginan semakin
landai dari spesimen yang diberi penambahan fluks magnet sebesar 2,4 mT sampai 9,03 mT.
Hal ini disebabkan karena penurunan temperatur puncak telah menyebabkan gradien
temperatur (temperatur per satuan waktu) semakin kecil yang menunjukkan bahwa laju
pendinginannya semakin turun. Hal ini sesuai dengan persamaan laju pendinginan untuk pelat
tipis (memerlukan kurang dari 4 layer ), yaitu: Tsai, (1995, p.12)
3
2
)(....2 ToTcHnett
hCskR
,
dengan R (laju pendinginan) sebanding dengan gradien temperatur.
Gambar 5.8 Grafik laju pendinginan pada Jarak 10 mm dari pusat las
Perilaku siklus termal dan laju pendingian tersebut tentunya juga identik dengan yang
terjadi pada pusat las sebagaimana gambar 2.1. Pendinginan pasca pengelasan yang semakin
lambat pada HAZ karena pengaruh penambahan fluks magnet eksternal menyebabkan
perubahan mikrostruktur yang terbentuk juga tidak sama. Mikrostruktur QTS sebagaimana
gambar 5.3 didominasi oleh mikrostruktur martensit yang rapat. Karena pengaruh distribusi
panas las yang tinggi, maka mikrostruktur HAZ akan berubah menjadi austenit. Selanjutnya
laju pendinginan las yang termasuk kategori pendinginan cepat kemungkinan akan terbentuk
mikrostruktur akhir martensite (M), bainite bawah (lower bainite - LB) atau bainite atas
(upper bainite - UB) sebagaimana gambar 2.4. tergantung laju pendinginannya.
60
(a)
(b)
( c )
(d)
( e )
(f)
Gambar 5.9. Mikrostruktur HAZ dengan perbesaran 400x
(a) 0 mT; (b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT
Gambar 5.9 (a) menunjukkan mikrostruktur HAZ pada logam QTS tanpa penambahan
fluks magnet eksternal. Mikrostruktur yang terbentuk menunjukkan struktur yang masih rapat
yang didominasi oleh mikrostruktur martensite dan bainit bawah (lower bainite-LB) serta
hanya sebagian kecil terbentuk bainit atas (upper bainite-UB). Mikrostruktur HAZ pada
M
LB
UB
M
LB
UB
UB
UB
UB
LB
LB
LB
M
LB
UB
M
M
61
gambar 5.9 (b) sampai 5.9 (f) menunjukkan bentuk mikrostruktur akhir yang cenderung
membentuk bainit bawah (lower bainite-LB) dan bainit atas (upper bainite-UB), sedangkan
mikrostruktur martensit (M) semakin hilang. Laju pendinginan lambat pada HAZ
menyebabkan mikrostruktur austenit berdekomposisi membentuk sruktur bainit atas (upper
bainite-UB) dan laju pendinginan pasca pengelasan yang lebih cepat menyebabkan
mikrostruktur HAZ yang terbentuk adalah bainit bawah (lower bainite-LB) dan jika lebih
cepat lagi akan terbentuk struktur martensite (M). Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 5.9.
berikut.
Gambar 5.10 menunjukkan mikrostruktur logam las QTS yang terbentuk akibat
penambahan fluks magnet eksternal. Pada gambar 5.10 (a) tampak bahwa logam las QTS
tanpa menambahan fluks magnet didominasi oleh mikrostruktur acicular ferrite (AF) dan
widmanstatten ferrite (WF) serta sedikit grain boundary ferrite (GF). Pada gambar 5.10 (a)
juga nampak tingkat porositas yang tinggi dibanding spesimen dengan penambahan fluks
magnet. Mikrostruktur acicular ferrite (AF) terbentuk dari laju pendinginan yang tinggi.
Sedangkan porositas yang tinggi pada logam las terbentuk akibat gas yang larut dalam kolam
las tidak mampu dilepaskan ke permukaan las dan terjebak di dalam kolam las selama
solidifikasi. Hal ini diakibatkan oleh laju sirkulasi logam cair yang tidak terlalu tinggi pada
kolam las. Jika laju sirkulasi logam cair dalam kolam tinggi tinggi, maka gas yang terlarut
dalam kolam las akan mampu diangkat ke permukaan dengan cepat. Pada gambar 5.10 (b)
dan 5.10 (c) menunjukkan mikrostruktur acicular ferrite (AF) semakin berkurang dan mulai
banyak terbentuk grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF). Hal ini terjadi
karena laju pendinginan pasca pengelasan semakin turun.
62
(a)
(b)
( c )
(d)
( e )
(f)
Gambar 5.10. Mikrostruktur logam las QTS dengan perbesaran 400x
(a) 0 mT; (b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT; (d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT
Sedangkan pada gambar 5.10 (d) sampai 5.10 (f) acicular ferrite (AF) semakin hilang
dan mikrostruktur grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) semakin
dominan. Mikrostruktur grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) juga
AF
GF
WF
Porositas GF
WF
GF WF
GF
WF
GF
WF
GF
WF
AF
AF
PF
63
tersusun memiliki pola yang lebih homogen dibanding pada gambar 5.10 (a) sampai 5.10 (c).
Pola dan susunan yang semakin homogen diakibatkan oleh sirkulasi logam cair pada kolam
las yang semakin cepat sehingga proses mixing lebih efektif. Laju pendinginan pasca
pengelasan yang semakin lambat juga memungkinkan pembentukan mikrostruktur acicular
ferrite (AF) semakin sulit.
5.5. Hasil Pengujian Cacat Las
Pengujian cacat hasil pengelasan dilakukan dengan menggunakan uji radiografi. Dari
hasil pengamatan film negatif menggunakan viewer dengan lampu, didapatkan hasil foto
daerah sambungan las seperti pada gambar 5.11.
Gambar 5.11. Foto daerah las dan HAZ dari film negatif hasil uji radiografi
Pada gambar 5.11 tampak daerah lasan berwana putih. Dengan menggunakan
Software Autodesk Inventor 2012, didapatkan data luasan cacat las secara makro dibanding
luasan sambungan las dari spesimen uji. Selanjutnya prosentase cacat las didapatkan dari
hasil perbandingan luasan cacat las dengan luasan sambungan las. Metode dan hasil
pengukuran ditunjukkan pada gambar 5.12. berikut.
Gambar 5.12. luasan cacat las (2 dimensi) dengan Software Autodesk Inventor 2012.
64
Selanjutnya data hasil pengujian prosentase cacat las dari keseluruhan spesimen
ditampilkan dalam tabel 5.6. dan grafik pada gambar 5.13.
Tabel 5.6 Data hasil pengujian cacat las menggunakan uji radiografi dan Software
Autodesk Inventor 2012
FLUKS MAGNET
(mT)
CACAT LAS (%) RATA-RATA (%) I II
0 2,145 2,145
2,4 1,072 0,534 0,803
3,4 0,506 0,142 0,324
4,43 0,135 0,283 0,211
6,43 0,027 0,309 0,168
9,03 0,049 0,13 0,0895
Gambar 5.13. Grafik perubahan prosentase cacat las akibat penambahan
fluks magnet eksternal
Berdasarkan gambar 5.13 terjadi penurunan prosentase cacat las (%) secara makro
akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT) selama proses pengelasan. Semakin besar
fluks magnet eksternal yang ditambahkan menghasilkan prosentase cacat las semakin kecil.
Untuk mendukung hasil pengujian cacat las menggunakan uji radiografi, dilakukan
pengamatan porositas pada penampang melintang daerah las pada spesimen menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM). Dari gambar SEM spesimen dengan pembesaran
5000x tersebut dilakukan pengujian porositas las menggunakan program Image J
sebagaimana gambar 5.14. Selanjutnya dari data uji cacat porositas menggunakan program
image J tersebut, hasilnya ditampilkan dalam tabel 5.7.
65
0 mT
2.4 mT
3.4 mT
4.43 mT
6.43 mT
9.03 mT
Gambar 5.14. Cacat porositas pada penampang melintang logam las akibat penambahan fluks
magnet eksternal dengan pembesaran 5000x
Tabel 5.7 Data hasil pengujian cacat porositas menggunakan foto SEM
(pembesaran 5000x) dan Software Image J
FLUKS MAGNET
(mT)
CACAT
POROSITAS (%)
0 9,656 %
2,4 1,742 %
3,4 1,529 %
4,43 1,550 %
6,43 1,337 %
9,03 1,101 %
66
Gambar 5.15. Grafik perubahan prosentase cacat porositas akibat penambahan
fluks magnet eksternal
Dari gambar 5.14, tabel 5.7 dan gambar 5.15 diketahui bahwa semakin besar fluks
magnet eksternal yang ditambahkan selama proses pengelasan menyebabkan prosentase cacat
las dan porositas pada logam las semakin berkurang. Penambahan fluks magnet selama
pengelasan menyebabkan gaya elektromagnetik yang bekerja pada kolam las semakin besar.
Gaya elektromagnetik yang semakin besar menyebabkan laju sirkulasi dan pengadukan
logam cair pada kolam las semakin cepat. Laju sirkulasi logam cair yang semakin cepat akan
mempermudah pelepasan gas dan oksida dari dalam kolam las ke permukaan sehingga cacat
las dan porositas pada logam las semakin rendah.
Untuk melihat perilaku arus konveksi logam cair pada kolam las, dilakukan
pengamatan pada penampang melintang logam las dengan foto makro. Foto makro
penampang melintang las digunakan untuk membandingkan perubahan pola konveksi kolam
las antara spesimen tanpa penambahan fluks magnet eksternal dengan spesimen yang diberi
penambahan fluks magnet eksternal. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.16.
67
(a) (b)
Gambar 5.16. Pola konveksi logam las pada kolam las dengan pembesaran 20 x
(a) Tanpa fluks magnet eksternal (0 mT), (b) dengan fluks magnet eksternal 9,03 mT.
Dari gambar 5.16 nampak bahwa terdapat perbedaan pola konveksi logam cair pada
kolam las antara spesimen tanpa penambahan fluks magnet eksternal (0 mT) dengan
spesimen yang diberi penambahan fluks magnet eksternal 9,03 mT. Pada spesimen tanpa
fluks magnet eksternal menunjukkan bentuk sirkulasi logam cair yang lambat dengan
morfologi garis sirkulasi yang kurang jelas karena gaya elektromagnetik yang bekerja pada
kolam las hanya bersumber dari arus listrik las. Gaya elektromagnetik yang dihasilkan dari
arus listrik las tanpa penambahan fluks magnet menghasilkan garis-garis guratan dari pola
sirkulasi logam cair yang kurang nampak, yang menandakan laju sirkulasi logam cair yang
rendah sebagaimana gambar 5.16 (a). Sedangkan pada spesimen dengan penambahan fluks
magnet eksernal 9,03 mT mampu menghasilkan guratan garis dari pola konveksi logam cair
yang lebih jelas. Fluks magnet yang ditambahkan dari luar mampu menaikkan gaya
elektromagnetik yang bekerja pada kolam las, sehingga laju sirkulasi logam cair pada kolam
las juga meningkat. Pada saat pengelasan, gaya elektromagnetik menyebabkan aliran logam
cair pada pusat kolam las membentuk loop ganda yang mengarah ke pusat las, kemudian
mengarah ke bawah dan cenderung menghasilkan penetrasi yang dalam dan sempit
sebagaimana gambar 5.16(b).
5.6. Hasil Pengujian Kekuatan Impak
Untuk mengetahui pengaruh penambahan fluks magnet terhadap keuletan hasil lasan
QTS dilakukan dengan melakukan uji impak hasil lasan. Pengujian impak dilakukan dengan
metode impact charpy test. Takikan spesimen impak dibuat di bagian pusat las. Data hasil
68
pengujian impak selanjutnya digunakan untuk menghitung kekuatan hasil lasan QTS terhadap
beban impak.
Spesifikasi pendulum pada alat uji impak adalah :
Panjang lengan pendulum ( R ) : 750 mm
Massa dari pendulum (m) : 26,2 kg
Sudut simpangan akhir tanpa beban (α0) : 117 o
Perhitungan energi impak
Energi ideal
Energi atau usaha untuk mematahkan specimen tanpa penambahan fluks magnet dapat
dicari dari persamaan :
E’ = WH1-WH2
= W (H1 – H2)
= W ((R – R Cos α) – (R – R Cos β))
= WR (1 - Cos β) – (1- Cos α)
= WR ( Cos β – Cos α)
Dengan : E’ = Energi untuk mematahkan spesimen [J]
m = Massa dari pendulum [kg]
g = Percepatan gravitas = 10 [m/s2]
W = Berat pendulum [N] = m.g
H1 = Tinggi Kedudukan awal Pendulum [m]
H2 = Tinggi pendulum setelah mematahkan [m]
R = Panjang lengan pendulum [m]
α = Sudut simpangan awal [o]
β = Sudut simpangan akhir dengan beban [o]
Perhitungan energi untuk mematahkan spesimen :
E’ = WH1-WH2
= W (H1 – H2)
= WR (1 - Cos β) – (1- Cos α)
= WR ( Cos β – Cos α)
= 26,2 . 0,75. 10 ( Cos 88 o - Cos 120
o)
= 105,11 Joule
69
Perhitungan kerugian energi
Energi gesekan dapat kita hitung melalui besarnya energi ayunan sebelum specimen
diletakkan di dudukan.
f = WR (Cos α0 – Cos α)
Dengan : f = energi gesekan [J]
α0 = Sudut simpangan akhir tanpa beban [o]
f = WR (Cos α0 – Cos α)
f = 26,2 . 0,75 . 10 (Cos 117 o – Cos 120
o)
f = 9,04 Joule
Perhitungan energi aktual
Untuk menghitung energi aktual maka di dapatkan rumus sebagai berikut:
E = E’ – f
E = 105.11 Joule – 9.04 Joule
E = 96,07 Joule
Hasil perhitungan kekuatan impak
Bila energi ini kita bagi dengan luas penampang melintang dari patahan di bawah
takikan maka kita akan dapatkan besarnya kekuatan impak .
dengan : Ak = Kekuatan impak atau nilai pukul takik [J. mm-2
]
E = Energi patahan secara ak tual [J]
A0 = Luas penampang batang lintang dibawah takikan [mm2]
Perhitungan kekuatan impak
= 1,2 J/mm2
Selanjutnya hasil pengolahan data hasil uji impak ditampilkan secara lengkap sebagaimana
tabel 5.8. Data kekuatan impak spesimen uji akibat penambahan fluks magnet dari luar
selanjutnya ditampilkan dalam grafik pada gambar 5.17.
70
Tabel 5.8 Data hasil pengujian impak
Gambar 5.17. Grafik kekuatan impak daerah las QTS
Dari gambar 5.17 diketahui bahwa penambahan fluks magnet eksternal mampu
menaikkan kekuatan impak QTS. Spesimen tanpa penambahan fluks magnet memiliki
kekuatan impak paling rendah yaitu 1,2 J/mm2. Kekuatan impak semakin meningkat dengan
penambahan fluks magnet eksternal yang semakin besar. Berturut-turut pada penambahan
fluks magnet 2,4 mT menghasilkan kekuatan impak 1,32 J/mm2, dan meningkat terus sampai
pada penambahan fluks magnet 9,03 mT yang menghasilkan kekuatan impak 1,95 J/mm2.
Meningkatnya kekuatan impak akibat pengaruh penambahan fluks magnet eksternal terkait
dengan penurunan laju pendingan pasca pengelasan pada gambar 5.8 dan gambar 5.10, yaitu
laju pendinginan pasca pengelasan yang semakin rendah dan sirkulasi logam cair yang
semakin cepat menyebabkan mikrostruktur logam las yang terbentuk memiliki pola dan
71
susunan yang semakin homogen dengan mikrostruktur yang didominasi oleh grain boundary
ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF). Mikrostruktur dengan pola dan susunan yang
semakin homogen menghasilkan kekuatan impak yang semakin besar.
Untuk mendukung pernyataan tersebut dilakukan analisa bentuk permukaan patahan
impak. Dari analisa morfology patahan impak diketahui bahwa patahan spesimen tanpa
penambahan fluks magnet menunjukkan bentuk patahan campuran antara patahan getas dan
patahan ulet dengan dominasi patahan getas. Sedangkan bentuk patahan spesimen dengan
penambahan fluks magnet menunjukkan bentuk patahan yang didominasi oleh patahan ulet.
Bentuk patahan spesimen uji impak akibat penambahan fluks magnet eksternal ditampilkan
dalam gambar 5.20 berikut.
(a) (b)
(b) (d)
(e) (f)
Gambar 5.18 Permukaan patahan spesimen uji impak (a) 0 mT; (b) 2,4 mT; (c) 3,4 mT;
(d) 4,43 mT; (e) 6,43 mT (f) 9,03 mT.
Dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) perbesaran 2000x pada
spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0 mT) dan spesimen dengan penambahan fluks
magnet 9,03 mT semakin terlihat jelas perbedaan bentuk penampang patahannya.
72
(a) (b)
Gambar 5.19. Permukaan patahan hasil SEM a) 0 mT, b) 9,03 mT
Dari gambar 5.19.(a) terlihat bentuk pola patahan cleavage. Patahan cleavage terjadi
pada material yang mengalami perpatahan akibat membelah butiran logam/kristalin, yang
dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari logam yang rapuh
(brittle). Patahan jenis ini ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu
memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat). Sedangkan gambar 5.19.(b)
memperlihatkan bentuk pola patahan dimple. Patahan dimple terjadi akibat beban yang
overload, mengakibatkan terbentuknya kekosongan butiran yang kemudian bergabung pada
struktur paduan. Kekosongan butiran yang bergabung ini mengakibatkan regangan
discontinuity, ketika regangan meningkat menyebabkan kekosongan butiran ini tumbuh
kemudian membentuk permukaan patahan yang menampilkan cekungan-cekungan yang
semakin membesar. Kekosongan butiran yang bergabung dan menumpuk inilah yang
membentuk patahan dimple. Pola patahan dimple sering dijumpai pada material yang ulet.
5.7. Hasil Pengujian Tarik Spesimen QTS
Untuk mengetahui besarnya tegangan luluh dan tegangan ultimate pada masing-
masing benda kerja akibat penambahan fluks magnet dari luar selama pengelasan maka
dilakukan pengujian tarik. Pengujian tarik dilakukan pada spesimen tanpa penambahan fluks
magnet (0 mT) maupun spesimen dengan penambahan fluks magnet mulai dari 0,9 mT, 1,7
mT, 2,3 mT dan 3,1 mT. Data hasil uji tarik spesimen QTS ditampilkan dalam tabel 5.9.
73
Tabel 5.9 Data hasil uji tarik spesimen QTS dengan penambahan fluks magnet
Fluks Magnet (mT) Yield Strength (N/mm 2) Ultimate Tensile Strength (N/mm
2)
Logam dasar (QTS) 648,148 1555,556
Tanpa penambahan ( 0 ) 644,081 653,385
0,9 153.314 532,484
1,7 119.748 357,554
2,3 448.657 490,522
3,1 219.470 260,046
Dari data pengujian tarik dihasilkan data tertinggi pada spesimen tanpa penambahan fluks
magnet yaitu sebesar 653,385 N/mm2. Semakin besar fluks magnet eksternal yang
ditambahkan menyebabkan nilai ultimate tensile strength cenderung semakin menurun.
Gambar 5.20. Grafik hasil pengujian tarik masing-masing spesimen
Gambar 5.20. menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet eksternal secara
transversal dari dua arah menyebabkan kekuatan tarik spesimen uji lebih rendah dibanding
spesimen tanpa penambahan fluks magnet eksternal. Kekuatan tarik semakin turun dari
spesimen tanpa penambahan fluks magnet ke spesimen dengan penambahan fluks magnet 0,9
mT dan 1,7 mT. Ketika fluks magnet yang ditambahkan dinaikan menjadi 2,3 mT kekuatan
tariknya meningkat sedikit, namun ketikan fluks magnetnya dinaikkan lagi menjadi 3.1 mT
kekuatan tariknya turun kembali. Penurunnan kekuatan tarik ini diakibatkan oleh proses
pelunakan akibat laju pendinginan pasca pengelasan yang semakin lambat. Penambahan fluks
magnet yang semakin besar selama pengelasan menyebabkan gaya elektromagnetik yang
bekerja pada kolam las juga semakin besar. Gaya elektromagnetik yang semakin besar akan
74
meningkatkan laju sirkulasi logam cair pada kolam las dan menurunkan laju pendinginan
pasca pengelasan (gambar 5.8). Laju pendinginan yang semakin lambat menyebabkan
mikrostruktur las cenderung membentuk grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten
ferrite (WF) sedangkan mikrostruktur acicular ferrite (AC) semakin hilang (gambar 5.10).
Mikrostruktur las yang didominasi oleh grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten
ferrite (WF) inilah yang menyebabkan kekuatan tariknya semakin rendah. Meningkatnya
kekuatan tarik spesimen dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT dibanding spesimen
dengan penambahan fluks magnet 1,7 mT dan 3,1 mT karena mikrostrukturnya memiliki
bentuk dan pola yang lebih homogen (gambar 5.10).
Nilai ultimate tensile strength yang didapatkan dari hasil pengujian tarik selanjutnya
digunakan untuk menentukan besarnya beban maksimum yang akan diberikan pada spesimen
uji perambatan retak fatik. Beban maksimum yang diberikan pada pengujian perambatan
retak fatik diambil 0,3 dari tegangan ultimate-nya dengan dikalikan luas penampang benda
uji. Berikut contoh perhitungan untuk menentukan tegangan maksimum pada pembebanan uji
perambatan retak fatik untuk spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0 mT).
Diketahui : (N/ mm2)
(mm2)
Penyelesaian :
kN
5.8. Hasil Pengujian Laju Perambatan Retak Fatik Spesimen QTS
Dalam pengujian laju perambatan retak fatik, pertama harus ditentukan besarnya
pembebanan dengan mengacu pada hasil uji tarik tiap-tiap spesimen. Beban maksimum yang
diberikan saat pengujian perambatan retak fatik diambil 0,3 dari tegangan ultimate-nya
dikalikan luas penampang spesimen uji. Dalam penelitian ini beban minimumnya diambil 0
(nol) sehingga siklus pembebanannya (+ dan 0). Dalam pengujian laju perambatan retak fatik
perlu juga ditentukan besar siklus yang akan digunakan selama pengujian. Selama mesin uji
melakukan proses pengujian juga dilakukan pengamatan terhadap penambahan panjang retak
pada spesimen uji menggunakan digital microscope. Proses ini dilakukan berulang sampai
75
spesimen uji patah. Gambar 5.21. menunjukkan salah satu contoh hasil uji perambatan retak
fatik yang diamati menggunakan digital microscope dengan pembesaran 200x.
Gambar 5.21. Hasil pengamatan perambatan retak fatik menggunakan digital microscope
untuk spesimen dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT (perbesaran 200x)
Selanjutnya data hasil pengujian perambatan retak fatik dari masing-masing spesimen uji
dapat dilihat pada lampiran.
5.8.1. Pengaruh penambahan fluks magnet eksternal terhadap jumlah siklus
pembebanan fatik
Jumlah siklus pembebanan fatik pada awal pertumbuhan retak ternyata berbeda untuk
tiap spesimen sebagaimana gambar 5.22. Perbedaan jumlah siklus pembebanan pada awal
pertumbuhan retak menunjukkan perbedaan tingkat kekakuan (elastisitas) spesimen sampai
muncul awal pertumbuhan retak (Δa1). Dalam hal ini Δa1 diukur mulai 10 % dari panjang
retak awal spesimen uji (a0) yaitu sekitar 0,1 x 2 mm = 0.2 mm. Spesimen dengan jumlah
siklus pembebanan fatik yang tinggi pada awal pertumbuhan retak (Δa1) menunjukkan tingkat
kekakuan atau elastisitas yang tinggi di ujung retak awal (a0).
Dari gambar 5.22 nampak bahwa penambahan fluks magnet eksternal secara
transversal dari dua arah sebesar 0,7 mT dan 1,7 mT menyebabkan jumlah siklus
pembebanan fatik pada awal pertumbuhan retak (Δa1) = 0,2 mm turun dibanding tanpa
penambahan fluks magnet (0 mT). Ini menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet 0,9 mT
dan 1,7 mT selama pengelasan menyebabkan spesimen QTS mengalami penurunan sifat
kekakuan atau elastisitas di ujung retakan awal (a0). Hal ini mengindikasikan ada proses
pelunakan yang diakibatkan oleh penurunan laju pendinginan. Pelunakan ini disebabkan oleh
semakin hilangnya mikrostruktur acicular ferrite (AF) dan semakin dominannya
mikrostruktur grain boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) sebagaimana
gambar 5.10. Selanjutnya pada penambahan fluks magnet sebesar 2,3 mT dan 3,1 mT
menghasilkan jumlah siklus pembebanan pada awal pertumbuhan retak (Δa1) lebih tinggi dari
76
spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan
fluks magnet sebesar 2,3 mT dan 3,1 mT menyebabkan elastisitas di ujung retak pada retakan
awal (a0) meningkat yang ditunjukkan dengan sulitnya terjadi pertumbuhan retak awal (Δa1).
Peningkatan sifat elastisitas di ujung retakan awal (a0) ini diindikasikan karena pengaruh
peningkatan sirkulasi logam cair di kolam las yang menyebabkan proses pencampuran logam
dasar dan logam pengisi dari electrode semakin efektif sehingga mikrostruktur yang
terbentuk lebih homogen (gambar 5.10).
Gambar 5.22. Perubahan jumlah siklus pembebanan (N) pada Δa1 = 0,2 mm
Gambar 5.23 menunjukkan perubahan jumlah siklus pembebanan fatik pada spesimen
QTS akibat penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah. Penambahan
fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah menyebabkan jumlah siklus
pembebanan fatik sampai spesimen uji patah semakin meningkat. Artinya penambahan fluks
magnet eksternal menyebabkan spesimen QTS semakin tahan terhadap perambatan retak.
Jumlah siklus pembebanan fatik meningkat dengan menambahkan fluks magnet dari 0,9 mT
sampai 2,3 mT, kemudian turun kembali pada penambahan fluks magnet 3,1 mT.
Penambahan fluks magnet dari luar sebesar 0,9 mT sampai 2,3 mT menyebabkan
gaya elektromagnetik yang bekerja pada kolam las meningkat sehingga laju sirkulasi logam
cair pada kolam las semakin cepat. Dampaknya adalah logam induk dan logam pengisi lebih
mudah tercampur dan gas yang larut di kolam las semakin mudah terangkat ke permukaan.
Jumlah siklus pembebanan fatik yang semakin meningkat menunjukkan ketahanan terhadap
perambatan retak fatik semakin meningkat. Namun ketika fluks magnet yang ditambahkan
ditingkatkan dari 2,3 mT ke 3,1 mT jumlah siklus pembebanan fatik justru turun kembali. Hal
ini disebabkan karena gaya elektromagnetik yang semakin besar menyebabkan laju
pendinginan yang semakin lambat sebagaimana gambar 5.8. Laju pendinginan yang lambat
77
menghasilkan mikrostruktur logam las yang didominasi oleh mikrostruktur grain boundary
ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) yang memiliki kekerasan rendah dan bersifat
lunak sehingga laju perambatan retak fatiknya turun lagi. Gaya elektromagnetik yang terlalu
besar juga menyebabkan sirkulasi logam cair yang terlalu cepat tidak mampu diimbangi oleh
kecepatan pengumpanan elektrode yang dijaga konstan. Hal ini berakibat pencampurannya
kurang efektif.
Gambar 5.23. Jumlah siklus pembebanan fatik (N) sampai spesimen uji patah akibat
penambahan fluks magnet eksternal (mT)
5.8.2. Hubungan panjang retak terhadap jumlah siklus pembebanan akibat
penambahan fluks magnet eksternal
Gambar 5.24 menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet menyebabkan laju
perambatan retak fatik spesimen uji lebih lambat. Pada panjang retak yang sama,
penambahan fluks magnet sebesar 0,9 mT sampai 2,3 mT menghasilkan jumlah siklus
pembebanan fatik semakin meningkat dan menurun kembali pada penambahan fluks magnet
3,1 mT.
Hal tersebut disebabkan karena dengan menambahkan fluks magnet eksternal selama
pengelasan sebesar 0,9 mT sampai 2,3 mT akan meningkatkan gaya elektromagnetik yang
berdampak pada peningkatan laju sirkulasi logam cair pada kolam las. Dengan meningkatnya
laju sirkulasi logam cair pada kolam las menyebabkan gas-gas dan inklusi dapat terangkat ke
permukaan lasan sebelum solidifikasi sehingga dapat mengurangi cacat porositas dan inklusi
pada logam las. Cacat las yang semakin rendah dan struktur lasan yang semakin homogen
menyebabkan spesimen lebih tangguh terhadap perambatan retak yang ditunjukkan dengan
jumlah siklus pembebanan fatik yang semakin meningkat dan perambatan retak yang
semakin melambat.
78
Gambar 5.24. Grafik perubahan siklus pembebanan fatik (N) terhadap panjang retak (mm)
akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT).
Dengan penambahan fluks magnet eksternal dari 2,3 mT ke 3,1 mT mengakibatkan
laju konveksi pada kolam las terlalu cepat. Laju konveksi yang terlalu cepat memungkinkan
pencampuran logam induk dengan logam pengisi dari elektrode kurang efektif. gaya
elektromagnetik yang semakin besar juga menyebabkan laju pendinginan yang semakin
lambat yang menghasilkan mikrostruktur logam las yang didominasi oleh mikrostruktur grain
boundary ferrite (GF) dan widmanstatten ferrite (WF) yang bersifat lunak sehingga jumlah
siklus pembebanan fatiknya turun lagi. Selain itu penambahan fluks magnet yang terlalu
besar selama pengelasan menyebabkan welder kesulitan dalam mengendalikan kestabilan
pengumpanan elektrode selama pengelasan.
5.8.3. Hubungan laju perambatan retak fatik (da/dN) terhadap faktor intensitas
tegangan (ΔK).
Laju perambatan retak (da/dN) dihitung dengan menggunakan rumus :
Sedangkan faktor intensitas tegangan fatik disimbolkan dengan ΔK (MPa (m)1/2
). Pada
gambar 5.25. dan 5.26 tampak bahwa penambahan fluks magnet 1,7 mT dan 2,3 mT
menghasilkan grafik yang cenderung rebah atau slopnya kecil. Hal ini menunjukkan laju
perambatan retak yang semakin rendah dan ketahanan terhadap perambatan retak semakin
tinggi. Sebaliknya untuk grafik yang cenderung tegak menunjukkan laju perambatan retak
yang tinggi dengan ketahanan retak yang rendah.
79
Gambar 5.25. Grafik da/dN vs ΔK akibat penambahan fluks magnet eksternal (mT)
Gambar 5.26. Trenline dari grafik hubungan da/dN vs ΔK
Menurut Paris, pertumbuhan retak akan dihasilkan ketika pembebanan yang
diterapkan bervariasi, walaupun tegangan maksimum lebih rendah dari pada teganan kritis.
Paris merumuskan bahwa pertumbuhan retak setiap siklus pembebanan adalah fungsi dari
intensitas tegangan (∆K), dengan rumus :
nKC
dN
da (mm/siklus)
Dalam hal ini C dan n adalah konstanta dalam persamaan Paris. Harga n yang semakin kecil
menunjukkan laju perambatan retak yang semakin rendah dan harga C yang semakin besar
menunjukan ketahanan material terhadap retak yang merambat semakin besar pula.
80
Tabel 5.10 Nilai C dan n dari grafik trenline tiap spesimen dari gambar 5.26
Fluks Magnet
(mT)
C N Persamaan Trenline
0 7E-13 6.5858 Y0 = 7E-13 X6.5858
0.9 5E-13 6.1498 Y0,9 = 5E-13 X6.1498
1.7 1E-11 4.3957 Y1,7 = 1E-11 X4.3957
2.3 3E-10 3.2692 Y2,3 = 3E-10 X3.2692
3.1 7E-13 6.5192 Y3,1 = 7E-13 X6.5192
Dari gambar 5.26 dan tabel 5.10 menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet
selama pengelasan QTS menghasilkan nilai konstanta n yang lebih kecil dan nilai C yang
lebih besar dibanding spesimen QTS tanpa penambahan fluks magnet (0 mT). Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan fluks magnet 0,9 mT; 1,7 mT; 2,3 mT dan 3,1 mT
menyebabkan laju perambatan retak spesimen QTS lebih lambat dan ketangguhan terhadap
perambatan retak lebih tinggi dibandingkan spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0
mT). Spesimen QTS dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT menghasilkan laju
perambatan retak yang paling rendah dan ketangguhan terhadap perambatan retak paling
tinggi dibanding spesimen lain yang ditujukkan dengan nilai n paling kecil dan nilai C paling
besar.
5.8.4. Analisa struktur makro permukaan patahan hasil pengujian retak
Bentuk permukaan patahan hasil pengujian retak fatik secara makro menunjukkan
bentuk patahan campuran antara patah getas dan patah ulet. Patahan getas terjadi di awal
retakan dan pada gambar 5.27; 5.28 dan 5.29 ditunjukkan oleh lingkaran A dengan bentuk
permukaan patahan halus. Sedangkan pada daerah pertengahan patahan sampai akhir patahan
yang ditunjukkan oleh lingkaran B merupakan patahan ulet, yang ditandai dengan bentuk
permukaan patahan yang kasar dan terbentuk necking atau pengecilan penampang spesimen.
Gambar 5.27. Permukaan patahan spesimen tanpa penambahan fluks magnet (0 mT)
A B
81
Gambar 5.28. Permukaan patahan spesimen dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT
Gambar 5.29 . Permukaan patahan spesimen dengan penambahan fluks magnet 3,1 mT
5.8.5. Analisa struktur mikro permukaan patahan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM)
Gambar 5.30 menunjukkan adanya celah atau rongga yang masih terjadi dan banyak
cacat inklusi pada logam las spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Cacat
rongga/porositas dan inklusi pada spesimen ini sebesar 3,311 % dan lebih banyak
dibandingkan pada spesimen dengan penambahan fluks magnet. Prosentase cacat yang paling
besar inilah yang menyebabkan jumlah siklus pembebanan yang dimiliki oleh spesimen tanpa
penambahan fluks magnet paling rendah yaitu 65246 siklus.
Gambar 5.30. Foto SEM patahan spesimen 0 mT dengan perbesaran 2700x
Gambar 5.31 menunjukkan hasil foto SEM dari mikrostruktur logam las spesimen
dengan penambahan fluks magnet 2,3 mT. Nampak bahwa pada gambar tersebut masih
terlihat sedikit celah atau rongga yang merupakan cacat porositas dan cacat inklusi dengan
prosentase sebesar 1,200 %. Namun dibandingkan dengan spesimen lain, cacat yang timbul
lebih sedikit. Jumlah siklus pembebanan pada spesimen dengan penambahan fluks magnet
A B
A B
82
2,3 mT adalah yang paling tinggi yaitu 205988 siklus. Dari gambar 5.31 tersebut juga terlihat
fatigue striation yang menandakan patahan pada spesimen merupakan patahan yang
diakibatkan oleh beban dinamik yang berfluktuasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama
dan berulang-ulang yang dialami oleh spesimen.
Gambar 5.31. Foto SEM patahan spesimen 2,3 mT dengan perbesaran 2300x
Gambar 5.32 menunjukkan foto SEM dari mikrostruktur logam las spesimen dengan
penambahan fluks magnet 3.1 mT. Dari gambar tersebut nampak masih ada celah atau rongga
yang merupakan cacat porositas dan cacat inklusi dengan prosentase sebesar 1,997 % yang
masih lebih rendah dibanding spesimen tanpa penambahan fluks magnet. Siklus pembebanan
fatiknya mencapai 131875 dan lebih rendah dibanding spesimen dengan penambahan fluks
magnet 2,3 mT.
Gambar 5.32. Patahan spesimen 3,1 mT dengan perbesaran 2100x
83
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari pengolahan data hasil pengujian, analisa dan pembahasan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa :
Menambahkan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah selama pengelasan
dapat merubah karakteristik fisik QTS berupa temperatur puncak dan laju pendinginan
pasca pengelasan HAZ turun, prosentase cacat las dan porositas las turun, mikrostruktur
HAZ lebih didominasi oleh upper bainite (UB) dan mikrostruktur las lebih didominasi
oleh grain boundary ferrite (GF). Menambahkan fluks magnet eksternal secara
transversal dari dua arah selama pengelasan juga dapat merubah karakteristik mekanik
QTS berupa ketangguhan las terhadap beban impak meningkat dan perambatan retak fatik
daerah las melambat.
Semakin besar fluks magnet yang ditambahkan secara transversal dari dua arah selama
proses pengelasan QTS menyebabkan temperatur puncak HAZ semakin turun, laju
pendinginan pasca pengelasan semakin lambat, prosentase cacat las dan porositas daerah
las semakin kecil dan daerah las semakin tahan terhadap beban impak.
Semakin besar fluks magnet eksternal yang ditambahkan menyebabkan mikrostruktur
HAZ semakin didominasi oleh mikrostruktur upper bainite (UB). Sedangkan
mikrostruktur logam las semakin didominasi oleh mikrostruktur grain boundary ferrite
(GF) dan widmanstatten ferrite (WF).
Penambahan fluks magnet eksternal secara transversal dari dua arah selama proses
pengelasan QTS sebesar 1,7 mT sampai 2,3 mT menghasilkan jumlah siklus pembebanan
retak fatik semakin meningkat yang mengindikasikan perambatan retak fatik semakin
lambat. Hal ini didukung oleh nilai n yang semakin kecil dan nilai C yang semakin besar.
Sedangkan penambahan fluks magnet dari 2,3 mT ke 3,1 mT menyebabkan jumlah siklus
pembebanan retak fatik turun kembali yang mengindikasikan laju perambatan retak fatik
meningkat kembali.
6.2. Saran
Untuk melengkapi hasil kajian terkait upaya penyelesaian permasalahan kualitas hasil
pengelasan QTS maka di akhir tulisan perlu disaran beberapa hal, antara lain:
84
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada karakteristik fisik, mekanik dan mikrostruktur
HAZ dan daerah batas las dengan HAZ, karena kedua daerah ini umumnya juga rentan
terhadap kegagalan sambungan las.
2. Penambahan fluks magnet selama pengelasan berdampak pada perubahan sifat fisik,
mekanik dan mikrostruktur logam las dan HAZ sehingga perlu dilakukan uji balistik
terhadap daerah sambungan las karena ada indikasi penurunan kekerasan pada daerah
tersebut.
3. Karena ada indikasi terjadi penurunan kekerasan dan pelunakan pada logam las, maka
perlu dikaji pemilihan elektrode yang sesuai untuk material QTS yang dengan
mikrostruktur martensite.
4. Jika daerah sambungan las QTS ternyata masih tertembus peluru saat uji balistik, maka
perlu dilakukan proses pengerasan kembali utamanya pada daerah sambungan.
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap arah orientasi pengumpanan fluks magnet
ke pusat las dari arah longitudinal maupun vertical.
85
DAFTAR PUSTAKA
Aidun, K. 1999. Effect of Enhanced Convection on the Microstructure of Al-Cu-Li Welds.
Welding Journal : 349(s) – 354(s).
Abdulhamid S. Al-Akel; A. K. Abdelatif; F. Abo Gharbia., 2002. Effect of Preheating on Hot
Cracking Susceptibility of Welded Austenitic Stainless Steels. The 6th
Saudi
Engineering Conference. KFUPM. Dahran.
ASM Handbook, 1995, Welding, Brazing & Soldering, Vol 6
Bannantine, J. A. 1990. Fundamental of Metal Fatigue Analysis. New Jersey: Prentice Hall
Englewood Cliffs.
Béres, L.; Balogh,A.; Irmer.; W. 2001. Welding of Martensitic Creep-Resistant Steels. Weld.
Res. Supl.1: 191-s-195-s.
Broek David. 1987. Elementary Engineering Fracture Mechanics. Netherlands: Martinus
Nijhoff Publisher.
Chatterjee, S.; Doley. B. 2014. Crack Propagation and Fracture Analysis In Engineering
Structure By Generative Part Structural Analysis. Int. J. of Curr. Res. 6. pp: 7032-
7037.
Curiel F. F.; García R.; López V. H. and J. González-Sánchez, 2011, Effect of magneticfield
applied during gas metal arc welding on the resistance to localised corrosion of the
heat affected zone in AISI 304 stainless steel, Corrosion Science Journal on Elsevier,
Volume 53, Issue 7. pp: 2393–2399
Dar, Y.A.; Singh, C.; Farooq,Y. 2014. Effects of External Magnetic Field on Welding Arc of
Shielded Metal Arc Welding. Ind. J.l of App. Res. 4 . pp: 297-303.
Fuchs H. O and Stephens R. I.. 1980. Metal Fatigue in Engineering. USA: John Wiley &
Sons. Incorporated, John
Herrera Noemi D., 2003, Computer Calculation of Fusion Zone Geometry Considering Fluid
Flow and Heat Transfer During Fusion Welding, Welding Journal, USA: The
University of Texas at El Paso.
Hughes M.; Taylor G.A. and Pericleous K. 2000, Thermocapillary and
Magnetohydrodynamic Affects in Modelling the Thermodynamics of Stationary
Welding Processes, Welding Journal, Centre for Numerical Modelling and Process
Analysis, London, UK: University of Greenwich.
Iyer A. H. S., Stiller K., Leijon G., Andersson-Östling H. C. M., Hörnqvist Colliander M.
2017. Influence of dwell time on fatigue crack propagation in Alloy 718 laser welds,
Materials Science and Engineering. Vol. 704. P. 440–447. doi: 10.1016.
j.msea.2017.08.049
Grong Øystein, 1997, Metallurgical modelling of welding, 2nd edition, London England:
Institute of Materials
Kern, M., 2000, Magneto-Fluid Dynamics Control of Seam Quality in CO2 Laser Beam
Welding. www.aws.org.
Khan, Md. Ibrahim. 2007. Welding Science and Technology. New Delhi: New Age
International (P) Ltd.
86
Kostov, I,; Andonov, A. 2005. Modelling of Magnetic Fields Generated by Cone Shape
Coils for Welding with Electromagnetic Mixing. Univ. of Chem.Tech. & Met. Vol.
40, pp: 261-264.
Kou Sindo, 1987. Welding Metallurgy. Singapore: John Wiley & Sons, Inc.
Lancaster, J. F. 1993. Metallurgy of Welding, Fifth Edition. Cambride: Chapman & Hall
Legait, Piere Alexander. 2005. Formation and Distribution of Porosity in Al-Si Welds.
Material Science and Engineering Journal. http://www.swan.ac.uk/mateng/
DaiEurocorr.pdf .(Diakses 9 September 2013)
Messler, R.W. 1999, Principles of Welding. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Naffakh H.; Shamanian M. and Ashrafizadeh F. 2008, Interface and Heat-affected Zone
Features of Dissimilar Welds between AISI 310 Austenitic Stainless Steel and Inconel
657, International Journal of ISSI. Vol. 5. No. 1. Pp: 22-30
Nave, C. R. 2017. About Hyperphysics. Department of Physics and Astronomi. Georgia State
University. Atalanta. Georgia. USA. dalam http://hyperphysics.phy-
astr.gsu.edu/hbase/magnetic/magfie.html#c. (Diakses 2 Januari 2013)
Oreper G.M.; Eagar TW. and Szekely J. 1983. Convection in Arc Kolam las, Welding
Research Supplement, Department of Materials Science and Engineering. MMIT.
Cambridge. Mass.
Qi Shen; Yong Bing Li; Zhong Qin Lin and, Guan Long Chen. 2011. Impact of external
magnetic field on weld quality of resistence spot welding. Journal of Manufacturing
Science and Engineering. Vol. 133. pp: 1-7
Sears Zemansky. 1994. Fisika Untuk Universitas 2. Terjemahan, Bandung: Binacipta.
Senapati, A. and Mohanty, S. 2014. Effects of External Magnetic Field on Mechanical
properties of a welded M.S metal through Metal Shield Arc Welding. Int. J. of Eng.
Trends & Tech. Vol. 10. Pp: 200-203
Seo. J. S.; Kim, H. J.; Ryoo, H. S. 2008. Microstructural parameter controlling weld metal
cold cracking. Journal of Achievement in Materials and Manufacturing Engineering.
Smith, William F. 2004. Foundation of Material Science and Engineering. Third Edition.,
New York: Mc Graw Hill.
Sugiarto dan Denny W., 2005, Meningkatkan ketahanan korosi hasil lasan SMAW baja
karbon rendah dengan pembangkitan medan magnet : Laporan Penelitian tidak
dipublikasikan, Teknik Mesin Unibraw, Malang.
Sugiarto dan Denny W., 2007, Pengaruh penambahan magnet eksternal terhadap perubahan
siklus thermal dan struktur butiran HAZ, Proceeding Seminar Nasional UII,
Yogyakarta.
Tsai, Chon L and Chin M. Tso. 1995. Heat Flow in Fusion Welding ASM Hand Book Volume
6 : Welding, Brazing, and Soldering. Pp: 7-18. ASM International: Colorado
Tse H. C.; Man H. C. and Yue T. M., 1999, Effect of magneticfield on plasma control during
CO2 laser welding, Optics & Laser Technology Jornal on Elsevier, Volume 31, Issue
5, pp: 363–368
Vuherer, T.; Dunđer, M.; Milović, Lj.; Zrilić, M.; Samardžić, I. 2013. Microstructural
Investigation of the Heat-Affected Zone of Simulated Welded Joint of P91 Steel. J.
Metalurgija. Vol. 52. pp: 317-320.
87
Wiryosumarto, Harsono dan Toshie Okumura. 1994. Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita.
Yang Y.P., Dong P., Zhang J., and Tian X. 2000. A Hot Cracking Mitigation Technique for
Welding High-Strength Aluminum Alloy. The Center for Welded Structure Research
Battelle: Columbus.
Young Bin Li; Zhong Qin Lin; Xin Min Lai and Guan Long Chen. 2009. Electromagnetic
phenomena in resistence spot welding and its effect on weld nugget formation. PIERS
Proceeding. Moscow. Rusia. Pp: 18-21.
Zhang, J.; Weckman, D. C.; and Zhou, Y. 2008, Effects of Temporal Pulse Shaping on
Cracking Susceptibility of 6061-T6 Aluminum Nd: YAG Laser Welds, Journal of
Welding Research. Vol. 87.
Zhang Y., Chen G., Chen B., Wang J., Zhou C. 2017, Experimental study of hot cracking at
circular welding joints of 42CrMo steel. Optics & Laser Technology. Vol. 97. P. 327–
334. doi: 10.1016. j.optlastec.2017.07.018
Zhou W., Long T.Z., and Mark C.K. 2007. Hot Cracking in Tungsten Inert Gas Welding of
Magnesium Alloy AZ91D. School of Mechanical and Aerospace Engineering,
Nanyang Technological University: Singapore.
Lampiran 1
Foto Mikrostruktur HRSP dan QTS
Gambar L1-1. Foto mikrostruktur hot roll steel plate (HRSP)
Gambar L1-2. Foto mikrostruktur hot roll quench tempered steel (QTS)
Lampiran 2
Data Temperatur Pada Jarak 10 mm Dari Pusat Las
Waktu
(detik)
0 mT
(oC)
2,4 Mt
(oC)
3,4 mT
(oC)
4,43
mT
(oC)
6,43
mT
(oC)
9,03 Mt
(oC)
1 180.5 171.8 168.2 158.6 166.7 178.6
2 180.2 171.6 167.6 158.4 166.5 177.4
3 179.8 171.6 167.2 158.1 166.3 177.3
4 179.8 171.2 167.0 158.0 166.3 177.1
5 179.4 170.7 166.9 157.7 166.1 178.7
6 179.1 170.5 166.8 157.5 167.7 178.4
7 178.6 170.3 166.7 157.3 167.5 177.1
8 178.4 170.0 166.5 157.2 167.3 176.8
9 177.3 170.2 166.4 157.1 167.3 176.1
10 178.1 170.5 166.3 156.8 167.1 177.2
11 178.7 170.6 166.2 156.6 167.0 177.0
12 177.5 170.9 166.0 156.4 167.2 177.5
13 177.2 171.2 167.5 156.4 167.4 176.9
14 177.7 171.6 167.2 157.3 167.9 177.9
15 176.3 173.3 168.6 157.4 168.3 177.3
16 176.9 175.2 170.8 158.5 170.8 177.6
17 177.0 178.6 172.3 158.3 172.7 176.5
18 176.2 184.9 174.3 158.2 174.3 179.0
19 176.4 194.3 178.5 162.6 178.2 186.7
20 175.5 211.1 185.9 169.6 185.6 194.6
21 176.2 235.4 194.2 179.7 194.8 209.0
22 178.6 254.6 208.6 197.3 275.2 229.4
23 186.8 302.5 228.5 226.2 307.1 258.0
24 191.3 353.7 257.7 264.5 336.8 292.2
25 224.3 403.2 291.4 305.5 365.9 331.2
26 253.5 446.1 330.5 333.3 389.8 368.6
27 425.9 482.2 368.3 379.2 410.2 398.4
28 566.2 522.4 398.2 414.4 421.3 404.0
29 658.3 533.7 446.2 452.5 427.5 406.7
30 599.4 536.2 482.4 461.8 453.8 406.3
31 538.5 534.1 501.5 465.4 452.8 406.0
32 524.4 531.5 503.8 465.4 446.9 404.3
33 508.8 527.2 500.4 461.6 441.3 401.5
34 498.7 524.6 497.4 456.8 438.8 398.6
35 486.9 520.8 493.9 451.3 434.7 395.2
36 479.5 516.3 489.3 446.3 431.3 392.4
37 473.3 513.3 486.9 441.5 427.2 391.0
38 468.6 510.5 479.5 438.9 424.6 389.0
39 464.7 508.3 475.3 434.2 421.2 385.0
40 460.5 504.2 469.2 431.6 417.6 383.6
41 456.6 501.4 464.7 427.5 413.8 381.8
42 452.5 497.2 460.5 424.7 409.3 379.4
43 450.7 492.4 456.6 421.3 406.3 376.6
44 446.9 488.5 452.5 417.8 403.5 375.0
45 443.7 484.8 450.7 413.7 401.9 372.0
46 441.0 481.3 446.9 409.3 398.3 369.8
47 437.9 477.4 443.7 406.2 396.8 368.4
48 432.8 473.9 440.6 403.6 393.1 366.3
49 429.8 469.5 437.0 400.9 390.4 365.3
50 426.5 465.4 432.5 398.0 388.6 363.1
51 422.7 461.1 429.0 394.4 386.2 360.3
52 418.6 458.4 425.8 391.5 383.6 358.7
53 415.4 454.6 422.4 389.8 381.9 357.0
54 411.7 450.5 418.4 388.0 379.3 355.2
55 407.8 447.7 414.8 384.5 377.1 352.2
56 403.8 443.2 410.9 383.0 374.4 349.1
57 401.4 440.1 407.5 380.5 372.6 347.7
58 398.2 436.2 403.5 378.4 370.5 346.7
59 394.6 433.4 400.8 375.6 368.7 344.7
60 391.9 430.7 397.3 374.1 366.2 343.1
61 390.3 427.2 394.3 371.4 364.1 341.5
62 388.8 423.2 391.3 369.4 362.2 338.7
63 384.9 420.3 388.2 367.4 360.5 338.8
64 383.4 417.2 386.4 365.6 358.2 336.9
65 381.4 415.4 383.5 363.9 356.7 334.9
66 378.7 412.5 380.7 361.9 355.3 333.4
67 376.4 409.8 377.2 359.8 353.9 331.1
68 374.8 406.4 373.1 358.1 351.0 330.0
69 371.7 403.4 371.2 356.9 349.6 328.1
70 369.6 400.9 369.4 353.7 348.5 327.9
71 368.0 397.2 367.7 352.0 346.7 325.7
72 365.8 394.4 365.2 348.5 344.2 324.8
73 364.5 391.5 363.2 347.0 343.1 323.4
74 362.7 388.8 361.3 346.4 341.2 321.8
75 359.9 386.4 359.2 343.9 339.5 320.5
76 357.8 383.8 357.4 341.5 338.2 319.5
77 356.7 380.3 355.5 341.2 336.7 317.8
78 354.4 378.3 353.8 338.5 334.3 316.6
79 352.1 375.5 351.5 338.4 333.1 314.0
80 348.7 373.9 348.9 335.9 332.4 312.7
81 347.1 371.2 346.2 334.5 330.6 312.2
82 346.5 369.3 345.3 332.6 329.5 310.6
83 344.1 367.2 343.2 331.1 327.7 309.3
84 342.2 365.4 341.4 329.9 326.2 308.5
85 341.2 363.5 340.5 328.3 324.2 307.6
86 338.6 360.8 338.8 326.9 323.6 304.7
87 338.4 357.4 337.4 325.9 322.3 304.6
88 336.3 355.4 335.4 324.4 320.2 304.1
89 334.4 353.9 333.9 322.5 319.3 302.2
90 332.7 351.3 332.3 320.8 318.4 301.2
91 330.9 348.8 330.8 320.2 316.5 301.0
92 329.9 346.1 329.1 319.7 315.3 299.6
93 327.9 345.4 327.9 317.1 314.2 299.0
94 327.4 343.6 326.2 315.6 313.6 298.2
95 325.5 341.5 324.6 313.5 311.6 296.5
96 324.1 340.2 323.3 312.8 310.7 296.1
97 323.1 338.5 322.2 312.0 309.3 295.1
98 320.9 337.2 320.6 310.7 308.2 293.8
99 320.5 335.7 319.9 308.8 307.5 292.5
100 318.9 333.3 318.3 307.9 306.5 291.8
101 317.3 332.9 316.1 307.3 304.3 290.8
102 315.9 330.2 315.4 305.3 303.2 289.9
103 313.8 329.6 313.6 303.6 302.4 288.5
104 312.6 327.7 312.5 303.0 301.5 287.0
105 312.0 326.2 311.7 301.9 300.8 285.5
106 310.1 324.1 309.2 300.9 299.4 284.7
107 309.1 323.2 308.8 300.0 298.4 284.1
108 307.8 322.4 307.1 298.2 297.9 282.5
109 307.3 320.7 306.4 297.8 296.3 281.6
110 304.6 319.2 304.6 295.8 295.8 280.9
111 304.2 318.1 303.2 295.0 294.7 280.3
112 303.5 316.3 302.6 294.6 293.3 279.2
113 301.7 315.2 301.9 293.3 292.2 278.2
114 300.5 313.5 300.3 293.2 291.6 276.7
115 300.8 312.5 298.1 292.2 290.2 276.2
116 299.4 311.3 297.4 291.6 289.3 274.6
117 298.4 309.2 296.6 289.8 287.8 274.0
118 297.9 308.4 295.5 289.3 286.7 273.1
119 296.3 307.4 293.7 288.5 285.3 272.8
120 295.8 306.9 292.2 287.0 284.2 271.5
121 294.7 304.3 291.1 286.1 283.6 271.0
122 293.3 303.8 290.2 285.3 282.2 270.4
123 292.2 302.7 289.3 284.5 281.4 270.4
124 291.6 301.3 287.8 282.6 280.5 268.9
125 290.2 300.2 286.7 282.3 279.8 268.0
126 289.3 299.5 285.3 280.5 278.4 268.0
127 287.8 298.9 284.2 277.8 277.8 265.8
128 286.7 297.2 283.6 277.2 276.3 266.8
129 285.3 296.3 282.2 275.9 275.3 264.2
130 284.2 293.2 281.4 275.9 274.3 263.8
131 283.6 291.4 280.5 274.4 273.2 263.2
132 282.2 289.5 279.8 274.5 272.4 262.1
133 281.4 288.8 278.4 272.5 272.5 261.6
134 280.5 287.4 277.8 273.1 271.3 261.3
135 279.8 286.4 276.3 271.9 270.4 259.6
136 278.4 285.9 275.3 271.1 269.6 258.5
137 277.8 284.9 274.5 270.3 270.1 258.3
138 276.3 283.0 273.9 270.3 268.6 257.8
139 275.3 282.2 272.2 268.8 267.5 257.0
140 274.3 281.4 271.3 268.1 267.1 255.6
141 273.2 280.5 270.2 267.4 265.5 255.4
142 272.4 279.2 269.4 265.7 265.9 253.9
143 272.5 277.6 268.5 266.2 264.2 253.4
144 271.3 276.8 267.8 264.6 263.6 254.0
145 270.4 276.3 266.4 264.1 262.8 252.2
146 269.6 275.3 265.6 263.1 261.6 251.0
147 270.1 274.5 264.3 261.8 261.4 251.3
148 268.6 272.9 263.2 262.0 260.7 251.4
149 267.5 272.2 262.3 261.3 259.6 250.4
150 267.1 271.3 262.4 260.3 258.8 251.3
151 265.5 270.2 261.5 259.1 258.5 249.6
152 265.9 269.4 260.3 258.7 258.0 248.0
153 264.2 268.5 259.2 258.5 256.5 248.1
154 263.6 267.3 258.6 257.0 255.8 247.3
155 262.8 266.6 258.6 256.1 255.4 247.0
156 261.6 265.6 256.7 255.6 254.4 246.6
157 261.4 264.7 254.3 254.8 253.8 244.7
158 260.7 264.3 253.3 254.3 254.0 245.0
159 258.8 263.2 252.2 254.8 252.4 244.7
160 258.2 261.5 251.4 252.8 251.3 243.1
161 258.0 261.5 251.5 251.7 251.6 243.9
162 257.3 260.3 250.8 252.5 251.7 242.2
163 256.1 259.2 249.4 252.0 250.7 242.0
164 255.4 258.4 248.4 251.5 250.9 241.4
165 255.1 257.5 248.9 251.6 249.6 241.7
166 253.7 257.8 247.3 249.9 248.2 240.3
167 253.0 256.4 247.8 248.4 248.4 240.3
168 253.5 255.1 247.7 249.0 247.5 239.2
169 251.9 254.4 247.3 248.3 247.0 238.2
170 250.6 254.6 246.2 247.3 246.4 238.7
171 250.8 253.5 245.6 246.7 245.2 237.0
172 251.1 252.7 244.8 245.7 245.6 236.9
173 250.2 252.2 244.3 246.5 244.7 236.3
174 250.7 251.2 243.3 245.0 243.3 236.5
175 249.0 250.6 242.5 244.2 243.9 235.3
176 247.3 250.3 241.9 243.9 242.5 235.2
177 247.8 250.2 241.2 242.7 242.5 234.0
178 247.1 249.3 240.4 242.9 241.5 235.3
179 246.5 249.4 240.5 242.0 241.8 233.8
180 246.1 248.5 239.8 242.0 240.6 233.9
181 244.4 247.3 239.4 241.2 240.0 232.7
182 244.8 247.2 238.8 240.8 239.4 231.9
183 244.3 246.6 238.3 239.7 238.3 231.9
184 242.6 245.6 237.3 238.6 238.8 231.9
185 243.1 245.7 237.5 239.3 237.5 230.1
186 241.8 244.3 236.9 237.8 237.2 230.0
187 241.9 244.2 236.2 237.6 236.5 229.5
188 241.0 243.5 236.3 237.0 236.8 230.0
189 241.1 242.5 235.2 237.1 235.6 229.0
190 239.8 242.3 235.4 235.8 235.5 228.4
191 239.6 241.2 235.5 236.1 234.3 227.5
192 239.0 241.4 234.8 234.9 234.9 228.9
193 238.0 241.5 234.4 235.6 233.8 226.3
194 238.1 238.8 233.4 234.1 233.8 227.6
195 236.7 238.4 233.9 234.0 232.5 226.6
196 236.7 237.4 232.3 233.0 232.4 224.9
197 236.0 236.9 232.8 232.9 231.6 225.1
198 236.1 236.3 231.1 231.9 231.7 224.9
199 234.8 235.8 231.4 231.9 230.5 224.9
200 234.9 235.7 231.6 230.9 230.6 224.4
201 233.8 234.3 230.5 231.1 229.5 223.6
202 234.7 234.2 230.2 230.3 229.7 223.4
203 233.2 234.6 229.5 230.1 228.9 223.3
204 233.2 233.8 229.2 229.3 228.7 222.3
205 232.4 233.3 229.7 229.6 227.6 222.5
206 231.7 232.3 228.3 228.4 228.1 220.5
207 231.4 232.5 228.9 228.5 226.7 221.1
208 231.4 232.9 227.2 227.1 226.9 220.2
209 229.8 231.3 227.6 227.8 226.9 220.5
210 229.8 231.9 226.3 227.2 225.4 220.2
211 229.1 230.0 226.2 226.2 225.5 219.8
212 229.5 230.2 225.6 226.2 224.8 220.3
213 228.2 230.4 225.9 225.1 224.9 217.9
214 228.0 229.5 224.3 225.1 224.5 217.8
215 227.1 229.2 224.2 225.1 223.5 218.5
216 228.0 228.6 223.6 224.3 223.6 218.3
217 226.0 228.8 223.3 223.9 223.1 216.7
218 226.8 227.3 222.2 223.4 222.5 215.8
219 225.9 227.3 222.3 223.0 222.3 215.8
220 224.6 226.5 221.4 223.2 221.1 216.3
221 224.9 226.3 221.5 221.3 221.4 215.8
222 224.3 225.4 220.3 221.8 220.5 215.0
223 224.1 225.5 220.2 221.0 220.8 214.2
224 224.1 224.3 219.6 221.6 220.4 214.9
225 223.3 224.2 219.6 220.7 219.6 214.4
226 222.9 223.6 218.7 219.8 219.8 212.8
227 222.4 223.6 218.3 220.4 218.3 213.6
228 222.0 222.7 218.2 218.9 218.3 214.1
229 221.6 222.3 217.5 219.0 218.5 212.7
230 220.5 221.2 217.5 218.8 217.9 212.4
231 220.9 221.5 217.3 218.1 217.2 211.1
232 219.8 220.5 216.2 217.7 216.3 211.3
233 220.0 220.3 216.4 216.8 216.2 211.2
234 220.0 219.2 216.5 216.5 216.4 210.2
235 219.2 219.4 215.8 216.6 215.5 210.2
236 219.5 219.5 215.4 215.8 215.3 209.1
237 217.6 218.8 215.4 215.5 214.4 209.3
238 217.5 218.4 214.9 215.0 214.5 209.1
239 218.0 218.4 214.3 214.5 214.3 208.7
240 217.4 217.9 213.8 214.3 213.2 207.0
241 216.5 217.8 213.7 213.2 213.6 207.3
242 215.5 217.4 213.3 213.6 213.6 206.8
243 215.6 216.4 212.2 213.6 212.7 206.3
244 215.9 216.9 212.6 212.7 212.3 206.5
245 215.3 216.3 212.8 212.3 211.2 206.9
246 214.7 215.8 211.3 211.2 211.5 206.2
247 213.8 215.7 211.3 211.5 211.5 205.3
248 214.4 214.3 211.5 211.5 210.3 205.2
249 214.1 214.2 210.9 210.3 210.2 205.4
250 212.6 214.6 210.3 210.2 209.4 204.5
251 213.0 213.8 210.9 209.4 209.5 204.3
252 213.5 213.3 209.0 209.5 208.8 204.4
253 212.0 213.3 209.2 208.8 208.4 204.5
254 212.1 212.5 208.4 208.4 207.4 203.3
255 210.9 212.9 208.5 207.4 207.9 203.2
256 210.8 212.2 208.2 207.9 207.3 203.6
257 210.7 211.4 207.6 207.3 206.8 202.6
258 209.9 211.5 207.8 206.8 205.8 202.7
259 210.0 211.8 207.3 205.8 205.3 202.3
260 208.7 210.3 206.3 205.3 205.2 202.2
261 208.8 210.2 206.5 205.2 205.6 201.5
262 208.3 209.6 206.9 205.6 204.6 201.3
263 208.3 209.6 206.2 204.6 204.7 201.1
264 206.6 209.7 205.3 204.7 204.3 201.0
265 207.3 208.3 205.2 204.3 203.2 200.7
266 206.8 208.2 205.4 203.2 203.5 200.8
267 205.8 208.5 204.5 203.5 203.5 199.6
268 205.3 207.5 204.3 203.5 202.3 199.2
269 205.2 207.3 204.4 202.3 202.2 199.1
270 205.6 207.2 204.5 202.2 202.3 198.9
271 204.6 207.3 203.3 202.3 201.6 198.6
272 204.7 206.2 203.2 201.2 201.2 198.3
273 204.3 206.6 203.6 201.6 201.6 198.1
274 203.2 206.6 202.6 201.6 201.7 197.8
275 203.5 205.7 202.7 201.7 200.7 197.5
276 203.5 205.3 202.3 200.7 200.8 197.1
277 202.3 205.3 202.2 200.8 199.6 196.3
278 202.2 205.1 201.5 199.6 199.2 196.1
279 202.3 204.0 201.3 199.2 199.1 196.0
280 201.2 204.7 201.1 199.1 198.9 195.7
281 201.6 204.8 201.0 198.9 198.6 195.8
282 201.6 203.6 200.7 198.6 198.3 194.6
283 201.7 203.2 200.8 198.3 198.1 194.2
284 200.7 203.1 199.6 198.1 197.8 194.1
285 200.8 203.9 199.2 197.8 197.5 193.9
286 199.6 202.6 199.1 197.5 197.1 193.6
287 199.2 202.3 198.9 197.1 196.3 193.3
288 199.1 202.1 198.6 196.3 196.1 193.1
289 198.9 202.8 198.3 196.1 196.0 192.8
290 198.6 201.5 198.1 196.0 195.7 192.5
291 198.3 201.1 197.8 195.7 195.8 192.1
292 198.1 200.9 197.5 195.8 194.6 193.6
293 197.8 200.5 197.1 194.6 194.2 193.2
294 197.5 200.2 196.3 194.2 194.1 192.6
295 197.1 199.6 196.1 194.1 193.9 192.4
296 196.3 199.6 196.0 193.9 193.6 192.2
297 196.1 199.3 195.7 193.6 193.3 192.2
298 196.0 199.1 195.8 193.3 193.1 192.0
299 195.7 198.7 194.6 193.1 192.8 191.0
300 195.8 198.3 194.2 192.8 192.5 191.0
Lampiran 3
Data Temperature Pendinginan dari 400 oC ke 200
oC
Data ke 0 mT 2,4 mT 3,4 mT 4,43 mT 6,43 mT 9,03 mT
1 401.4 400.9 400.8 400.9 401.9 401.5
2 398.2 397.2 397.3 398 398.3 398.6
3 394.6 394.4 394.3 394.4 396.8 395.2
4 391.9 391.5 391.3 391.5 393.1 392.4
5 390.3 388.8 388.2 389.8 390.4 391
6 388.8 386.4 386.4 388 388.6 389
7 384.9 383.8 383.5 384.5 386.2 385
8 383.4 380.3 380.7 383 383.6 383.6
9 381.4 378.3 377.2 380.5 381.9 381.8
10 378.7 375.5 373.1 378.4 379.3 379.4
11 376.4 373.9 371.2 375.6 377.1 376.6
12 374.8 371.2 369.4 374.1 374.4 375
13 371.7 369.3 367.7 371.4 372.6 372
14 369.6 367.2 365.2 369.4 370.5 369.8
15 368 365.4 363.2 367.4 368.7 368.4
16 365.8 363.5 361.3 365.6 366.2 366.3
17 364.5 360.8 359.2 363.9 364.1 365.3
18 362.7 357.4 357.4 361.9 362.2 363.1
19 359.9 355.4 355.5 359.8 360.5 360.3
20 357.8 353.9 353.8 358.1 358.2 358.7
21 356.7 351.3 351.5 356.9 356.7 357
22 354.4 348.8 348.9 353.7 355.3 355.2
23 352.1 346.1 346.2 352 353.9 352.2
24 348.7 345.4 345.3 348.5 351 349.1
25 347.1 343.6 343.2 347 349.6 347.7
26 346.5 341.5 341.4 346.4 348.5 346.7
27 344.1 340.2 340.5 343.9 346.7 344.7
28 342.2 338.5 338.8 341.5 344.2 343.1
29 341.2 337.2 337.4 341.2 343.1 341.5
30 338.6 335.7 335.4 338.5 341.2 338.7
31 338.4 333.3 333.9 338.4 339.5 338.8
32 336.3 332.9 332.3 335.9 338.2 336.9
33 334.4 330.2 330.8 334.5 336.7 334.9
34 332.7 329.6 329.1 332.6 334.3 333.4
35 330.9 327.7 327.9 331.1 333.1 331.1
36 329.9 326.2 326.2 329.9 332.4 330
37 327.9 324.1 324.6 328.3 330.6 328.1
38 327.4 323.2 323.3 326.9 329.5 327.9
39 325.5 322.4 322.2 325.9 327.7 325.7
40 324.1 320.7 320.6 324.4 326.2 324.8
41 323.1 319.2 319.9 322.5 324.2 323.4
42 320.9 318.1 318.3 320.8 323.6 321.8
43 320.5 316.3 316.1 320.2 322.3 320.5
44 318.9 315.2 315.4 319.7 320.2 319.5
45 317.3 313.5 313.6 317.1 319.3 317.8
46 315.9 312.5 312.5 315.6 318.4 316.6
47 313.8 311.3 311.7 313.5 316.5 314
48 312.6 309.2 309.2 312.8 315.3 312.7
49 312 308.4 308.8 312 314.2 312.2
50 310.1 307.4 307.1 310.7 313.6 310.6
51 309.1 306.9 306.4 308.8 311.6 309.3
52 307.8 304.3 304.6 307.9 310.7 308.5
53 307.3 303.8 303.2 307.3 309.3 307.6
54 304.6 302.7 302.6 305.3 308.2 304.7
55 304.2 301.3 301.9 303.6 307.5 304.6
56 303.5 300.2 300.3 303 306.5 304.1
57 301.7 299.5 298.1 301.9 304.3 302.2
58 300.5 298.9 297.4 300.9 303.2 301.2
59 300.8 297.2 296.6 300 302.4 301
60 299.4 296.3 295.5 298.2 301.5 299.6
61 298.4 293.2 293.7 297.8 300.8 299
62 297.9 291.4 292.2 295.8 299.4 298.2
63 296.3 289.5 291.1 295 298.4 296.5
64 295.8 288.8 290.2 294.6 297.9 296.1
65 294.7 287.4 289.3 293.3 296.3 295.1
66 293.3 286.4 287.8 293.2 295.8 293.8
67 292.2 285.9 286.7 292.2 294.7 292.5
68 291.6 284.9 285.3 291.6 293.3 291.8
69 290.2 283 284.2 289.8 292.2 290.8
70 289.3 282.2 283.6 289.3 291.6 289.9
71 287.8 281.4 282.2 288.5 290.2 288.5
72 286.7 280.5 281.4 287 289.3 287
73 285.3 279.2 280.5 286.1 287.8 285.5
74 284.2 277.6 279.8 285.3 286.7 284.7
75 283.6 276.8 278.4 284.5 285.3 284.1
76 282.2 276.3 277.8 282.6 284.2 282.5
77 281.4 275.3 276.3 282.3 283.6 281.6
78 280.5 274.5 275.3 280.5 282.2 280.9
79 279.8 272.9 274.5 277.8 281.4 280.3
80 278.4 272.2 273.9 277.2 280.5 279.2
81 277.8 271.3 272.2 275.9 279.8 278.2
82 276.3 270.2 271.3 275.9 278.4 276.7
83 275.3 269.4 270.2 274.4 277.8 276.2
84 274.3 268.5 269.4 274.5 276.3 274.6
85 273.2 267.3 268.5 272.5 275.3 274
86 272.4 266.6 267.8 273.1 274.3 273.1
87 272.5 265.6 266.4 271.9 273.2 272.8
88 271.3 264.7 265.6 271.1 272.4 271.5
89 270.4 264.3 264.3 270.3 272.5 271
90 269.6 263.2 263.2 270.3 271.3 270.4
91 270.1 261.5 262.3 268.8 270.4 270.4
92 268.6 261.5 262.4 268.1 269.6 268.9
93 267.5 260.3 261.5 267.4 270.1 268
94 267.1 259.2 260.3 265.7 268.6 268
95 265.5 258.4 259.2 266.2 267.5 265.8
96 265.9 257.5 258.6 264.6 267.1 266.8
97 264.2 257.8 258.6 264.1 265.5 264.2
98 263.6 256.4 256.7 263.1 265.9 263.8
99 262.8 255.1 254.3 261.8 264.2 263.2
100 261.6 254.4 253.3 262 263.6 262.1
101 261.4 254.6 252.2 261.3 262.8 261.6
102 260.7 253.5 251.4 260.3 261.6 261.3
103 258.8 252.7 251.5 259.1 261.4 259.6
104 258.2 252.2 250.8 258.7 260.7 258.5
105 258 251.2 249.4 258.5 259.6 258.3
106 257.3 250.6 248.4 257 258.8 257.8
107 256.1 250.3 248.9 256.1 258.5 257
108 255.4 250.2 247.3 255.6 258 255.6
109 255.1 249.3 247.8 254.8 256.5 255.4
110 253.7 249.4 247.7 254.3 255.8 253.9
111 253 248.5 247.3 254.8 255.4 253.4
112 253.5 247.3 246.2 252.8 254.4 254
113 251.9 247.2 245.6 251.7 253.8 252.2
114 250.6 246.6 244.8 252.5 254 251
115 250.8 245.6 244.3 252 252.4 251.3
116 251.1 245.7 243.3 251.5 251.3 251.4
117 250.2 244.3 242.5 251.6 251.6 250.4
118 250.7 244.2 241.9 249.9 251.7 251.3
119 249 243.5 241.2 248.4 250.7 249.6
120 247.3 242.5 240.4 249 250.9 248
121 247.8 242.3 240.5 248.3 249.6 248.1
122 247.1 241.2 239.8 247.3 248.2 247.3
123 246.5 241.4 239.4 246.7 248.4 247
124 246.1 241.5 238.8 245.7 247.5 246.6
125 244.4 238.8 238.3 246.5 247 244.7
126 244.8 238.4 237.3 245 246.4 245
127 244.3 237.4 237.5 244.2 245.2 244.7
128 242.6 236.9 236.9 243.9 245.6 243.1
129 243.1 236.3 236.2 242.7 244.7 243.9
130 241.8 235.8 236.3 242.9 243.3 242.2
131 241.9 235.7 235.2 242 243.9 242
132 241 234.3 235.4 242 242.5 241.4
133 241.1 234.2 235.5 241.2 242.5 241.7
134 239.8 234.6 234.8 240.8 241.5 240.3
135 239.6 233.8 234.4 239.7 241.8 240.3
136 239 233.3 233.4 238.6 240.6 239.2
137 238 232.3 233.9 239.3 240 238.2
138 238.1 232.5 232.3 237.8 239.4 238.7
139 236.7 232.9 232.8 237.6 238.3 237
140 236.7 231.3 231.1 237 238.8 236.9
141 236 231.9 231.4 237.1 237.5 236.3
142 236.1 230 231.6 235.8 237.2 236.5
143 234.8 230.2 230.5 236.1 236.5 235.3
144 234.9 230.4 230.2 234.9 236.8 235.2
145 233.8 229.5 229.5 235.6 235.6 234
146 234.7 229.2 229.2 234.1 235.5 235.3
147 233.2 228.6 229.7 234 234.3 233.8
148 233.2 228.8 228.3 233 234.9 233.9
149 232.4 227.3 228.9 232.9 233.8 232.7
150 231.7 227.3 227.2 231.9 233.8 231.9
151 231.4 226.5 227.6 231.9 232.5 231.9
152 231.4 226.3 226.3 230.9 232.4 231.9
153 229.8 225.4 226.2 231.1 231.6 230.1
154 229.8 225.5 225.6 230.3 231.7 230
155 229.1 224.3 225.9 230.1 230.5 229.5
156 229.5 224.2 224.3 229.3 230.6 230
157 228.2 223.6 224.2 229.6 229.5 229
158 228 223.6 223.6 228.4 229.7 228.4
159 227.1 222.7 223.3 228.5 228.9 227.5
160 228 222.3 222.2 227.1 228.7 228.9
161 226 221.2 222.3 227.8 227.6 226.3
162 226.8 221.5 221.4 227.2 228.1 227.6
163 225.9 220.5 221.5 226.2 226.7 226.6
164 224.6 220.3 220.3 226.2 226.9 224.9
165 224.9 219.2 220.2 225.1 226.9 225.1
166 224.3 219.4 219.6 225.1 225.4 224.9
167 224.1 219.5 219.6 225.1 225.5 224.9
168 224.1 218.8 218.7 224.3 224.8 224.4
169 223.3 218.4 218.3 223.9 224.9 223.6
170 222.9 218.4 218.2 223.4 224.5 223.4
171 222.4 217.9 217.5 223 223.5 223.3
172 222 217.8 217.5 223.2 223.6 222.3
173 221.6 217.4 217.3 221.3 223.1 222.5
174 220.5 216.4 216.2 221.8 222.5 220.5
175 220.9 216.9 216.4 221 222.3 221.1
176 219.8 216.3 216.5 221.6 221.1 220.2
177 220 215.8 215.8 220.7 221.4 220.5
178 220 215.7 215.4 219.8 220.5 220.2
179 219.2 214.3 215.4 220.4 220.8 219.8
180 219.5 214.2 214.9 218.9 220.4 220.3
181 217.6 214.6 214.3 219 219.6 217.9
182 217.5 213.8 213.8 218.8 219.8 217.8
183 218 213.3 213.7 218.1 218.3 218.5
184 217.4 213.3 213.3 217.7 218.3 218.3
185 216.5 212.5 212.2 216.8 218.5 216.7
186 215.5 212.9 212.6 216.5 217.9 215.8
187 215.6 212.2 212.8 216.6 217.2 215.8
188 215.9 211.4 211.3 215.8 216.3 216.3
189 215.3 211.5 211.3 215.5 216.2 215.8
190 214.7 211.8 211.5 215 216.4 215
191 213.8 210.3 210.9 214.5 215.5 214.2
192 214.4 210.2 210.3 214.3 215.3 214.9
193 214.1 209.6 210.9 213.2 214.4 214.4
194 212.6 209.6 209.0 213.6 214.5 212.8
195 213 209.7 209.2 213.6 214.3 213.6
196 213.5 208.3 208.4 212.7 213.2 214.1
197 212 208.2 208.5 212.3 213.6 212.7
198 212.1 208.5 208.2 211.2 213.6 212.4
199 210.9 207.5 207.6 211.5 212.7 211.1
200 210.8 207.3 207.8 211.5 212.3 211.3
201 210.7 207.2 207.3 210.3 211.2 211.2
202 209.9 207.3 206.3 210.2 211.5 210.2
203 210 206.2 206.5 209.4 211.5 210.2
204 208.7 206.6 206.9 209.5 210.3 209.1
205 208.8 206.6 206.2 208.8 210.2 209.3
206 208.3 205.7 205.3 208.4 209.4 209.1
207 208.3 205.3 205.2 207.4 209.5 208.7
208 206.6 205.3 205.4 207.9 208.8 207
209 207.3 205.1 204.5 207.3 208.4 207.3
210 206.8 204 204.3 206.8 207.4 206.8
211 205.8 204.7 204.4 205.8 207.9 206.3
212 205.3 204.8 204.5 205.3 207.3 206.5
213 205.2 203.6 203.3 205.2 206.8 206.9
214 205.6 203.2 203.2 205.6 205.8 206.2
215 204.6 203.1 203.6 204.6 205.3 205.3
216 204.7 203.9 202.6 204.7 205.2 205.2
217 204.3 202.6 202.7 204.3 205.6 205.4
218 203.2 202.3 202.3 203.2 204.6 204.5
219 203.5 202.1 202.2 203.5 204.7 204.3
220 203.5 202.8 201.5 203.5 204.3 204.4
221 202.3 201.5 201.3 202.3 203.2 204.5
222 202.2 201.1 201.1 202.2 203.5 203.3
223 202.3 200.9 201.0 202.3 203.5 203.2
224 201.2 200.5 200.7 201.2 202.3 203.6
225 201.6 200.2 200.8 201.6 202.2 202.6
226 201.6 200.6 201.6 202.3 202.7
227 201.7 201.7 201.6 202.3
228 200.7 200.7 201.2 202.2
229 200.8 200.8 201.6 201.5
230 201.7 201.3
231 200.7 201.1
232 201
233 200.7
234
WAKTU
(detik) 229 225 226 227 229 233
Lampiran 5
Pengolahan Data Cacat Las dari Negatif Film Hasil Uji Radiografi Menggunakan
Software Autodesk Inventor 2012
2,4 mT
Lampiran 6
Pengolahan Data Cacat Porositas Mikro Menggunakan Software Image J
0 mT
9,656 % P
2,4 mT
1,742 % P
Lampiran 9
Data Hasil Pengujian Perambatan Retak Fatik Spesimen QTS
Nama Spesimen : Spesimen Tanpa Penambahan
Fluks Maknet (0 mT)
Pmax : 15,4 kN
Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN
Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2
No. N A ∆K da/dN
(siklus) (mm) (Mpa.m1/2
) (m/siklus)
1 46990 2.2
2 51660 2.643
3 52160 2.72616
4 52660 2.80932 6.149349266 1.60666E-07
5 53160 2.89248 6.247203218 1.6632E-07
6 53660 2.97564 6.337136855 1.6632E-07
7 54160 3.0588 6.425876417 1.6632E-07
8 54660 3.14196 6.513472531 1.6632E-07
9 55160 3.22512 6.599972529 1.6632E-07
10 55660 3.30828 6.681375005 1.7523E-07
11 56160 3.39144 6.767859767 1.9008E-07
12 56660 3.4746 6.865172414 2.079E-07
13 57160 3.59934 6.974841248 2.2572E-07
14 57660 3.72408 7.09443047 2.4057E-07
15 58160 3.84882 7.217848168 2.4948E-07
16 58660 3.97356 7.335655366 2.4948E-07
17 59160 4.0983 7.451768985 2.4948E-07
18 59660 4.22304 7.566272449 2.4948E-07
19 60160 4.34778 7.679243179 2.4948E-07
20 60660 4.47252 7.619422151 6.79228E-07
21 61160 4.59726 7.816688457 1.39547E-06
22 61660 4.722 8.493836117 2.25497E-06
23 62160 6.852228667 9.637186139 3.11446E-06
24 62660 8.982457334 11.08084402 3.83071E-06
25 63160 11.112686
26 63660 13.24291467
27 64160 15.37314334
28 64660 17.503372
29 65246 Patah
Nama Spesimen : Spesimen 0,9 mT Pmax : 11,5 kN
Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN
Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2
No. N A ∆K da/dN
(siklus) (mm) (Mpa.m1/2
) (m/siklus)
1 25625 2.2
2 40000 2.706
3 41000 2.7412
4 42000 2.7764 6.119568034 3.52E-08
5 43000 2.8116 6.157718337 3.60357E-08
6 44000 2.8468 6.194421554 3.99357E-08
7 45000 2.882 6.240237131 4.24429E-08
8 46000 2.925 6.290959861 4.35571E-08
9 47000 2.9914 6.342493276 4.32786E-08
10 48000 3.0266 6.387776877 4.48643E-08
11 49000 3.0618 6.430670513 4.72286E-08
12 50000 3.097 6.475400716 5.04E-08
13 51000 3.1626 6.533531379 5.69143E-08
14 52000 3.2282 6.600163525 6.23429E-08
15 53000 3.2938 6.670323655 6.59214E-08
16 54000 3.3594 6.73729859 6.64571E-08
17 55000 3.425 6.804518556 6.71E-08
18 56000 3.4936 6.87212118 6.77429E-08
19 57000 3.5622 6.939957335 6.82786E-08
20 58000 3.6308 7.005331846 7.12143E-08
21 59000 3.6994 7.073250227 7.55714E-08
22 60000 3.768 7.147269458 8.08E-08
23 61000 3.861 7.22832435 8.60286E-08
24 62000 3.954 7.315112773 9.03857E-08
25 63000 4.047 7.401169905 9.66857E-08
26 64000 4.14 7.48871498 1.02829E-07
27 65000 4.233 7.584294332 1.102E-07
28 66000 4.3604 7.689117966 1.17571E-07
29 67000 4.4878 7.801409338 1.23714E-07
30 68000 4.6152 7.456611847 7.03016E-07
31 69000 4.7426
32 70000 4.87
33 71000 10.36981825
34 72000 15.8696365
35 72751 Patah
Nama Spesimen : Spesimen 1,7 mT Pmax : 9,0 kN
Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN
Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2
No. N A ∆K da/dN
(siklus) (mm) (Mpa.m1/2
) (m/siklus)
1 41630 2.139
2 42000 2.21375
3 44000 2.2885
4 46000 2.36325 5.645185612 4.13205E-08
5 48000 2.438 5.73201197 3.7375E-08
6 50000 2.51275 5.81975383 3.7375E-08
7 52000 2.5875 5.906240048 3.7375E-08
8 54000 2.66225 5.991526425 3.7375E-08
9 56000 2.737 6.075664895 3.7375E-08
10 58000 2.81175 6.158703895 3.7375E-08
11 60000 2.8865 6.240688688 3.7375E-08
12 62000 2.96125 6.321661649 3.7375E-08
13 64000 3.036 6.401662517 3.7375E-08
14 66000 3.11075 6.480728622 3.7375E-08
15 68000 3.1855 6.558895086 3.7375E-08
16 70000 3.26025 6.636195003 3.7375E-08
17 72000 3.335 6.7126596 3.7375E-08
18 74000 3.40975 6.788318385 3.7375E-08
19 76000 3.4845 6.846355375 4.68705E-08
20 78000 3.55925 6.928995147 6.26964E-08
21 80000 3.634 7.060061492 8.16875E-08
22 82000 3.886 7.245145151 1.00679E-07
23 84000 4.138 7.47283341 1.16504E-07
24 86000 4.39 7.711752024 1.29386E-07
25 88000 4.642 7.937407866 1.35029E-07
26 90000 4.894 8.172976593 1.418E-07
27 92000 5.2092 8.420351203 1.48571E-07
28 94000 5.5244 8.67637332 1.54214E-07
29 96000 5.8396 8.917678003 1.68807E-07
30 98000 6.1548 9.172325718 1.87486E-07
31 100000 6.47 9.455130247 2.18579E-07
32 102000 6.9944 9.78886798 2.64136E-07
33 104000 7.5188 10.20729275 3.14636E-07
34 106000 8.2052 10.28453391 6.97009E-07
35 108000 9.0536
36 110000 9.902
37 112000 17.03083869
38 112833 Patah
Nama Spesimen : Spesimen 2,3 mT Pmax : 11,7 kN
Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN
Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2
No. N A ∆K da/dN
(siklus) (mm) (Mpa.m1/2
) (m/siklus)
1 173620 2.2
2 180000 3.063
3 181000 3.1984
4 182000 3.3338 6.711411423 1.35386E-07
5 183000 3.4692 6.84338648 1.40521E-07
6 184000 3.6046 6.979713509 1.49057E-07
7 185000 3.74 7.126779895 1.593E-07
8 186000 3.9232 7.28615618 1.69543E-07
9 187000 4.1064 7.455047341 1.78079E-07
10 188000 4.2896 7.620770575 1.90614E-07
11 189000 4.4728 7.788074448 2.02971E-07
12 190000 4.656 7.96949074 2.178E-07
13 191000 4.9084 8.16705201 2.32629E-07
14 192000 5.1608 8.3770863 2.44986E-07
15 193000 5.4132 8.579776845 2.67614E-07
16 194000 5.6656 8.789537133 2.92971E-07
17 195000 5.918 9.027152592 3.234E-07
18 196000 6.3124 9.29621328 3.53829E-07
19 197000 6.7068 9.589777365 3.79186E-07
20 198000 7.1012 9.862813529 4.3865E-07
21 199000 7.4956 10.16319565 5.124E-07
22 200000 7.89 10.54047735 6.009E-07
23 201000 8.6974 11.0034058 6.894E-07
24 202000 9.5048 11.53372093 7.6315E-07
25 203000 10.3122
26 204000 11.1196
27 205000 11.927
28 205988 Patah
Nama Spesimen : Spesimen 3,1 mT Pmax : 6,6 kN
Initial Crack : 2 mm Pmin : 0 kN
Frekuensi : 11 Hz Luas Penampang : 85,25 mm2
No. N A ∆K da/dN
(siklus) (mm) (Mpa.m1/2
) (m/siklus)
1 115300 2.2
2 120000 2.822
3 121100 2.9672
4 121200 2.9804 6.342273757 1.32E-07
5 121300 2.9936 6.356401172 0.000000132
6 121900 3.0728 6.440701953 0.000000132
7 122300 3.1256 6.496327873 1.32E-07
8 122700 3.1784 6.551508329 0.000000132
9 123100 3.2312 6.606254944 0.000000132
10 123500 3.284 6.660578875 0.000000132
11 123900 3.3368 6.714490838 0.000000132
12 124300 3.3896 6.768001128 0.000000132
13 124700 3.4424 6.821119649 0.000000132
14 125100 3.4952 6.873855931 0.000000132
15 125500 3.548 6.926219147 0.000000132
16 125900 3.6008 6.978218138 0.000000132
17 126300 3.6536 7.081157227 0.000000132
18 126700 3.7064 7.182737828 0.000000132
19 127100 3.7592 7.283020191 0.000000132
20 127500 3.812 7.182737828 0.000000132
21 127900 3.8648 7.081157227 0.000000132
22 128300 3.9176 7.182737828 0.000000132
23 128700 3.9704 7.281240488 1.35536E-07
24 129100 4.0232 7.159011537 8.03379E-07
25 129500 4.076 8.318404439 2.14024E-06
26 129900 4.142 11.69398146 3.84879E-06
27 130300 6.67928
28 130700 10.06232
29 131100 13.44536
30 131500 16.8284
31 131875 Patah
Lampiran 10
DOKUMENTASI PENELITIAN
1. Pengujian Fluks Magnet
2. Seting Benda Kerja Las
3. Instalasi Penelitian
4. Proses Pengelasan Benda Kerja
5. Pembacaan negative film dari uji
radiografi
6. Pengujian Impak
DOKUMENTASI PENELITIAN
1. Pengujian Tarik Spesimen QTS
2. Pemotongan spesimen menggunakan
wire cutting
3. Mesin Uji Perambatan Retak Fatik
4. Pegujian Perambatan Retak Fatik
5. Pengambilan Foto Mikrostruktur
6.Pengambilan Foto Makro dan Mikro
menggunakan SEM
LAMPIRAN PUBLIKASI
Archive | Feedback | Contact Us | Links | Site Map
ARPN Journal of Engineering and Applied
Sciences ISSN 1819-6608 (Online)
Search
Custom Search
Home
Archive
Submit Paper
Author Guideli
nes
Editoria
l Board
Publicat
ion Fee
ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences January 2016 | Vol.
11 No. 2
Title: The use of magnetic flux to the welding of Hot Roll Quench Tempered Steel
Author (s): Sugiarto, Anindito Purnowidodo, Rudy Soenoko, Yudy Surya Irawan and Achmad As’ad Sonief
Abstract: Hot Roll Quench Tempered Steel (QTS) is term of hot roll steel which produced by PT. Krakatau Steel with carbon content 0.29 %C that given by martempering treatment. Martempering treatment meant to increase the steel hardness for about 500 BHN, thus it cannot be penetrated by bullet. QTS designed as alternative material for industrial supporting of military tactical vehicles. Martempering treatment has been changed metal microstructure from tough ferrite-pearlite to the hard martensite. The weakness of martensite structure in welding field is low weldability and prone to the delay cracking for post welding. Delay cracking also resulted in defect or initial crack which occur by the rapid cooling in the post welding and the dissolved of inclusion and gas in the welding area during solidification in weld metal. In many researches, high circulation rate of weld pool could improve weld metal structure and HAZ, decrease welding defect and improve the other properties. Circulation rate of weld pool can be increased by enlarging electromagnetic force or Lorenz force (FL). Electromagnetic force can be enlarged by increasing welding current density (J) or increasing magnetic flux (B) as with the equation FL = J x B. In this research, it was conducted by QTS plate welding used MIG welding with gas protector CO2. Welding electric current 140 A was flowed to the electrode wire AWS ER 70-S6 with the average welding speed 15 cm/minute. Magnetic flux was added from outside during the welding by flowing DC current to the solenoid 100 x 100 x 10 mm. The DC current that flowed to solenoid was 0, 3, 6, 9, 12 and 15 Ampere. Those current variations resulted in magnetic flux for 0 mT, 2,4 mT; 3,4 mT; 4,43 mT; 6,43 mT and 9,03 mT. Thermocouple of K type was carbon welded in the distance of 10 mm from welding core to measure HAZ temperature. The result was peak temperature in the distance of 10 mm from welding core getting lower because of outside magnetic flux addition from 0 mT to the 9.03 mT. By taking temperature range of post welding comparison from 400°C to 200°C, it was known that without magnetic flux addition which results the highest post welding cooling rate and getting lower to the magnetic flux addition of 9.03 mT. From the radiography test, it was known that magnetic flux addition could decrease welding defect percentage. The bigger magnetic flux addition resulted in smaller welding defect percentage. The bigger magnetic flux addition also resulted in bigger impact strength of welding area with more ductile fracture.
Full Text
OPEN JOURNAL SYSTEMS
FONT S I ZE Home > Archives > Vol 2, No 12 (92) (2018)
VOL 2, NO 12 (92) (2018)
MATERIALS SCIENCE FULL ISSUE
View or download the full issue ABSTRACT AND
REFERENCES
TABLE OF CONTENTS
MATERIALS SCIENCE
The effect of external magnetic flux field in the QTS weldment on
the change of fatigue crack propagation behaviors
Sugiarto Sugiarto, Rudy Soenoko, Anindito Purnowidodo, Yudy Surya Irawan
4-11
Study of the influence of oxidizing parameters on the
composition and morphology of Al2O3•CoOx coatings on AL25
alloy
Ann Karakurkchi, Mykola Sakhnenko, Maryna Ved' 11-19
Effect of heat treatment and cryogenics on hardness of ductile
cast iron microstructure (FCD50)
Suriasnyah Sabarudin, Pratikto Pratikto, Agus Suprapto, Yudy Surya Irawan
20-26
Determining the patterns of phase and structural transformations at
carbonthermal reduction of molybdenum concentrate
Stanislav Hryhoriev, Artem Petryshchev, Ganna Shyshkanova, Tetyana Zaytseva, Oleksandr Frydman, Yuliya Petrusha, Andrey Andreev, Alexander
Katschan, Mykola Lazutkin, Nina Sinyaeva
27-32
Simulation of structure formation in the Fe–C–Cr–Ni–Si
surfacing materials
Bohdan Efremenko, Alexander Belik, Yuliia Chabak, Hossam Halfa
33-38
Influence of the thermal factor on the composition of electronbeam
highentropy ALTiVCrNbMo coatings
Oleg Sobol’, Alexander Barmin, Svitlana Hryhorieva, Viktor Gorban’, Alexander Vuets, Alexander Subbotin
39-46
Prediction of specific electrical resistivity of polymeric
composites based on carbon fabrics
Vadym Stavychenko, Svitlana Purhina, Pavlo Shestakov 46-53
Definition of the aging process parameters for nickel
hydroxide in the alkaline medium
Valerii Kotok, Vadym Kovalenko 54-60
ISSN (print) 1729-3774, ISSN (on-line) 1729-4061
OPEN JOURNAL SYSTEMS
ABO UT T HE AUT HORS Sugiarto Sugiarto
ORCID iD Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145
Indonesia Associate Professor
Department of Mechanical Engineering Rudy Soenoko
ORCID iD Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145
Indonesia Professor
Department of Mechanical Engineering Anindito Purnowidodo Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145 Indonesia Associate Professor
Department of Mechanical Engineering Yudy Surya Irawan
ORCID iD Brawijaya University Malang Jalan. Mayjend Haryono, 167, Malang, Indonesia, 65145
Indonesia Doctorate Department of Mechanical Engineering
Home > Vol 2, No 12 (92) (2018) > Sugiarto
THE EFFECT OF EXTERNAL MAGNETIC FLUX FIELD IN THE QTS WELDMENT ON THE CHANGE OF FATIGUE
CRACK PROPAGATION BEHAVIORS
Sugiarto Sugiarto, Rudy Soenoko, Anindito Purnowidodo, Yudy Surya Irawan
ABSTRACT
This investigation discusses fatigue crack propagation behaviors on the welded joint of Hot Rolled
Quench Tempered Steel (QTS) in which during welding process the fusion zone of the joint was
subjected to magnetic flux field. The QTS weldability is not really excellent due to the change of
microstructure into tempered martensite, and the possibility of microcrack defect on the welding
area is still high. The purpose of the investigation is to know the effect of External Magnetic Flux
(EMF) field during welding process on fatigue crack propagation behaviors. The external magnetic
flux is applied transversely from two sides of the workpiece using a DC powered solenoid of 0, 3,
6, 9 and 15 Amperes. The effect of EMF is more sensitive to decrease the tensile strength and the
fatigue crack propagation rate of the weld area. The result shows that the electromagnetic force on
the weld pool increases. It causes the liquid metal circulation rate to increase and welding defects
to decrease. This indicates that the liquid metal and filler metal are easily mixed, the release of
gas from liquid metal to surface before solidification easily happens. The finding shows that the
effect of EMF is more efficient.
KEYWORDS
crack propagation rate; crack resistance; external magnetic flux; martempering; martensite; QTS;
weldability
REFERENCES
Kou, S. (2002). Welding Metalurgy. Wiley-interscience, New Jersey.
Messler, R. W. (2004). Principles of Welding. John Wiley & Sons. doi: 10.1002/9783527617487
Béres, L., Balogh, A., Irmer, W. (2001). Welding of Martensitic Creep-Resistant Steels. Welding
Research, 191-s–195-s.
Vuherer, T., Dunđer, M., Milović, L., Zrilić, M., Samardžić, I. (2013). Microstructural Investigation
of the Heat-Affected Zone of Simulated Welded Joint of P91 Steel. Metalurgija, 52 (3), 317–320.
Khan, Md. I. (2007). Welding Science and Technology. New Delhi: New Age International (P) Ltd.,
278.
Chatterjee, S., Doley, B. (2014). Crack Propagation and Fracture Analysis In Engineering Structure
By Generative Part Structural Analysis. International Journal Of Current Research, 6 (06), 7032–
7037.
Iyer, A. H. S., Stiller, K., Leijon, G., Andersson-Östling, H. C. M., Hörnqvist Colliander, M. (2017).
Influence of dwell time on fatigue crack propagation in Alloy 718 laser welds. Materials Science
and Engineering: A, 704, 440–447. doi: 10.1016/j.msea.2017.08.049
Zhang, Y., Chen, G., Chen, B., Wang, J., Zhou, C. (2017). Experimental study of hot cracking at
circular welding joints of 42CrMo steel. Optics & Laser Technology, 97, 327–334.
doi: 10.1016/j.optlastec.2017.07.018
Marya, M., Gayden, X. (2005). Development of Requirements For Resistance Spot Welding Dual-
Phase (DP600) Steels Part 1: The Causes Of Interfacial Fracture. Welding Research, 172s–182s.
Joaquin, A., Adrian, N. A. E., Jiang, C. (2007). Reducing shrinkage voids in resistance spot welds.
Welding Research, 24–27.
De Herreran, N. (2003). Computer Calculation of Fusion Zone Geometry Considering Fluid Flow
and heat Transfer During Fusion Welding. Welding J. The Univ. of Texas at El Paso.
Shen, Q., Li, Y., Lin, Z., Chen, G. (2011). Impact of External Magnetic Field on Weld Quality of
Resistance Spot Welding. Journal of Manufacturing Science and Engineering, 133 (5), 051001.
doi: 10.1115/1.4004794
Li, P. (2008). The Present Situation And Development Trend Of The Automobile Engine Piston
Design. Autom. Tech. Mat., 1, 5–8.
Sugiarto, Purnowidodo, A., Sonief, A., Soenoko, R., Irawan, Y. S. (2016). The Use of Magnetic Flux
to The Welding of Hot Roll Quench Tempered Steel. ARPN Journal of Engineering and Applied
Sciences, 11, 1061–1064.
Kostov, I., Andonov, A. (2005). Modelling of Magnetic Fields Generated by Cone Shape Coils for
Welding with Electromagnetic Mixing. Journal of the University of Chemical Technology and
Metallurgy, 40 (3), 261–264.
Wang, Z., Nakamura, T. (2004). Simulations of crack propagation in elastic–plastic graded
materials. Mechanics of Materials, 36 (7), 601–622. doi: 10.1016/s0167-6636(03)00079-6
Sadananda, K., Solanki, K. N., Vasudevan, A. K. (2017). Subcritical crack growth and crack tip
driving forces in relation to material resistance. Corrosion Reviews, 35 (4-5).
doi: 10.1515/corrrev-2017-0034
Gürses, E., Miehe, C. (2009). A computational framework of three-dimensional configurational-
force-driven brittle crack propagation. Computer Methods in Applied Mechanics and Engineering,
198 (15-16), 1413–1428. doi: 10.1016/j.cma.2008.12.028
Curtin, W. A., Deshpande, V. S., Needleman, A., Van der Giessen, E., Wallin, M. (2010). Hybrid
discrete dislocation models for fatigue crack growth. International Journal of Fatigue, 32 (9),
1511–1520. doi: 10.1016/j.ijfatigue.2009.10.015
Albedah, A., Khan, S. M. A., Benyahia, F., Bachir Bouiadjra, B. (2016). Effect of load amplitude
change on the fatigue life of cracked Al plate repaired with composite patch. International Journal
of Fatigue, 88, 1–9. doi: 10.1016/j.ijfatigue.2016.03.002
Broek, D. (1982). Elementary Engineering Fracture Mechanic. Springer, 540.
Kern, M., Berger, P., Hügel, H. (2000). Magneto-Fluid Dynamics Control Of Seam Quality In CO2
Laser Beam Welding. Welding Research Supplement, 72s–78s.
Tse, H. C., Man, H. C., Yue, T. M. (1999). Effect of electric and magnetic fields on plasma control
during CO2 laser welding. Optics and Lasers in Engineering, 32 (1), 55–63. doi: 10.1016/s0143-
8166(99)00045-7
Dar, Y. A., Singh, C., Farooq, Y. (2011). Effects of External Magnetic Field on Welding Arc of
Shielded Metal Arc Welding. Indian Journal of Applied Research, 4 (4), 200–203.
doi: 10.15373/2249555x/apr2014/60
Senapati, A., Mohanty, S. brata. (2014). Effects of External Magnetic Field on Mechanical
properties of a welded M.S metal through Metal Shield Arc Welding. International Journal of
Engineering Trends and Technology, 10 (6), 297–303. doi: 10.14445/22315381/ijett-v10p258
Natividad, C., García, R., López, V. H., Contreras, A., Salazar, M. (2017). Metallurgical
Characterization of API X65 Steel Joint Welded by MIG Welding Process with Axial Magnetic Field.
Materials Research, 20 (5), 1174–1178. doi: 10.1590/1980-5373-mr-2016-0182
DOI: https://doi.org/10.15587/1729-4061.2018.122919
ISSN (print) 1729-3774, ISSN (on-line) 1729-4061