Dinamika Kesusastraan Jepang Modern

13
1 DINAMIKA KESUSASTRAAN JEPANG MODERN Ambiguitas antara Tradisi dan Modernitas Dr. Shobichatul Aminah Pendahuluan Kesusastraan Modern Jepang lahir bersamaan dengan momentum modernisasi Jepang yang terjadi sejak Restorasi Meiji. Restorasi Meiji diawali dengan pembukaan negara setelah Jepang menutup diri dari hubungan dengan dunia luar selama kurang lebih 260 tahun. Kondisi tertutup selama ratusan tahun yang terjadi pada masa Tokugawa membentuk Jepang sebagai bangsa yang mempunyai identitas yang khas. Sejak pemerintahan Meiji mencanangkan program modernisasi, Jepang mengadopsi secara besar-besaran segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dari Barat. Sejak itu pula masyarakat Jepang dihadapkan pada pilihan yang menimbulkan dilema; antara tradisi dan modernitas. Bagi masyarakat Jepang yang selama 260 tahun hidup dalam tradisi yang tertutup, perubahan drastis tersebut merupakan suatu momen kebangkitan yang menyenangkan sekaligus membingungkan. Tradisi yang terus berlanjut dan pengaruh Barat yang gencar memunculkan pertentangan yang berkaitan dengan pencarian jati diri bangsa Jepang. Di satu sisi masyarakat Jepang memiliki rasa nasionalisme yang timbul dari keinginan untuk mempertahankan tradisi. Namun, di sisi lain mereka mempunyai semangat westernisasi sebagai usaha untuk mengembangkan diri. Restorasi Meiji sendiri, sebagai ‘program resmi’ di bawah otoritas Kekaisaran, secara implisit bisa dilihat sebagai gerakan kembali ke masa lalu, yaitu mengembalikan kekuasaan pada Kaisar, sekaligus juga sebagai gerakan westernisasi yang didasarkan pada gagasan pembukaan negara dari pengaruh asing. Jadi dalam hal ini Restorasi Meiji menggabungkan dua gerakan yang saling bertentangan pada saat yang bersamaan. Kontradiksi seperti itu selanjutnya menjadi pola yang terus berulang dalam sejarah Jepang modern baik pada masa sebelum dan sesudah perang maupun pada saat Jepang mencapai puncak kemajuan di bidang ekonomi pada tahun 1970-an dan masa-masa selanjutnya. Dalam pidato nobelnya pada tahun 1994 yang diberi judul いまいな日本の私 (Japan, The Ambiguous, and Myself) Oe Kenzaburo menyinggung masalah aimaisa atau ambiguitas yang membuat Jepang modern seolah terbelah dalam dua kutub yang saling bertentangan; 開国以後、百二十年の近代化に続く現在の日本は、根本的に、あいまいさ アムビギュイテイー 二極に引き裂かれている、と私は観察しています。のみならず、その

Transcript of Dinamika Kesusastraan Jepang Modern

1

DINAMIKA KESUSASTRAAN JEPANG MODERN Ambiguitas antara Tradisi dan Modernitas

Dr. Shobichatul Aminah

Pendahuluan Kesusastraan Modern Jepang lahir bersamaan dengan momentum modernisasi

Jepang yang terjadi sejak Restorasi Meiji. Restorasi Meiji diawali dengan

pembukaan negara setelah Jepang menutup diri dari hubungan dengan dunia luar

selama kurang lebih 260 tahun. Kondisi tertutup selama ratusan tahun yang terjadi

pada masa Tokugawa membentuk Jepang sebagai bangsa yang mempunyai identitas

yang khas. Sejak pemerintahan Meiji mencanangkan program modernisasi, Jepang

mengadopsi secara besar-besaran segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu

pengetahuan dan kebudayaan dari Barat. Sejak itu pula masyarakat Jepang

dihadapkan pada pilihan yang menimbulkan dilema; antara tradisi dan modernitas.

Bagi masyarakat Jepang yang selama 260 tahun hidup dalam tradisi yang

tertutup, perubahan drastis tersebut merupakan suatu momen kebangkitan yang

menyenangkan sekaligus membingungkan. Tradisi yang terus berlanjut dan pengaruh

Barat yang gencar memunculkan pertentangan yang berkaitan dengan pencarian jati

diri bangsa Jepang. Di satu sisi masyarakat Jepang memiliki rasa nasionalisme yang

timbul dari keinginan untuk mempertahankan tradisi. Namun, di sisi lain mereka

mempunyai semangat westernisasi sebagai usaha untuk mengembangkan diri.

Restorasi Meiji sendiri, sebagai ‘program resmi’ di bawah otoritas Kekaisaran, secara

implisit bisa dilihat sebagai gerakan kembali ke masa lalu, yaitu mengembalikan

kekuasaan pada Kaisar, sekaligus juga sebagai gerakan westernisasi yang didasarkan

pada gagasan pembukaan negara dari pengaruh asing. Jadi dalam hal ini Restorasi

Meiji menggabungkan dua gerakan yang saling bertentangan pada saat yang

bersamaan.

Kontradiksi seperti itu selanjutnya menjadi pola yang terus berulang dalam

sejarah Jepang modern baik pada masa sebelum dan sesudah perang maupun pada

saat Jepang mencapai puncak kemajuan di bidang ekonomi pada tahun 1970-an dan

masa-masa selanjutnya. Dalam pidato nobelnya pada tahun 1994 yang diberi judul あ

いまいな日本の私 (Japan, The Ambiguous, and Myself) Oe Kenzaburo menyinggung

masalah aimaisa atau ambiguitas yang membuat Jepang modern seolah terbelah

dalam dua kutub yang saling bertentangan;

開国以後、百二十年の近代化に続く現在の日本は、根本的に、あいまいさアムビギュイテイー

二極に引き裂かれている、と私は観察しています。のみならず、その

2

あいまいさアムビギュイテイー

に傷のような深いしるし、 、 、

をきざまれた小説家として、私自身が生

きているのでもあ ります。1

After a hundred and twenty years of modernization since the opening up of the

country, contemporary Japan is split between two opposite poles of ambiguity.

This ambiguity, which is so powerful and penetrating that it divides both the

state and its people, and affect me as a writer like a deep-felt scar, is evident

in various ways.2

Di dalam pidatonya, Oe Kenzaburo menyebut bahwa ambiguitas itu menjadi

semacam penyakit kronis yang telah mewabah dalam generasi modern Jepang saat ini.

Ia merujuk pada keadaan Jepang yang berada di persimpangan antara tradisional dan

modernisme. Di satu sisi Jepang adalah negara Asia yang masih mempertahankan

kebudayaannya, di sisi lain modernisme Jepang mengarah pada peniruan terhadap

kebudayaan Barat. Bagi Oe Kenzaburo posisi Jepang yang ambigu ini menempatkan

Jepang pada posisi sebagai invader di Asia. Hal itu mengakibatkan Jepang terkucil

baik secara politik, maupun sosial budaya dari negara-negara Asia lainnya.

Ambiguitas yang dinyatakan oleh Oe Kenzaburo dalam pidato nobelnya

bukan sekedar dimaksudkan sebagai sebuah unsur penting dalam kesusastraan.

Ambiguitas yang dikaitkan dengan dirinya sebagai pengarang, dan orang Jepang yang

berasal dari desa terpencil yang jauh dari pusat kekuasaan tersebut merujuk pada

sesuatu yang lebih besar. Yaitu ambiguitas yang melanda bangsa Jepang sejak negara

Jepang mengalami modernisasi. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan Jepang secara

umum. Karya sastra sebagai salah satu produk budaya tentu juga mencerminkan

kondisi budaya tempat dilahirkannya.

Tulisan ini membahas tentang dinamika kesusastraan Jepang modern yang

dalam konteks sejarahnya lahir dari situasi ambigu antara tradisional dan modernitas.

Sebelum membahas tentang ambiguitas dalam sejarah kesusastraan Jepang modern,

ada baiknya dipahami dulu bagaimana ambiguitas dalam kebudayaan Jepang yang

membentuk struktur sosial dan mental bangsa Jepang. Struktur sosial dan mental

bangsa Jepang itu menjadi latar belakang sosial dan budaya lahirnya karya sastra

Jepang modern. Seperti disebutkan dalam pidato Oe Kenzaburo di atas, bangsa

Jepang modern terbelah dalam dua kutub ambiguitas; antara tradisi dan modernitas,

antara Timur dan Barat. Dua kutub ambiguitas itu bisa ditelusuri jejaknya dalam

sejarah kesusastraan Jepang modern. Arus perubahan besar akibat persentuhan

sastrawan Jepang dengan karya sastra Barat dan tradisi yang terus dipertahankan

menghasilkan dinamika yang khas dalam kesusastraan Jepang modern.

Ambiguitas dalam Kebudayaan Jepang Ambiguitas yang melanda bangsa Jepang modern sampai saat ini sebenarnya

tidak bisa dilepaskan dari proses terbentuknya kebudayaan Jepang pada masa lalu.

1 Oe Kenzaburo. 1995.『あいまいな日本の私』 Tokyo: 岩波新書. Hal. 8

2 -----. 1995. Japan, The Ambiguous, and Myself: The Nobel Prize Speech and Other Lecture. Tokyo:

Kodansha International . Hal. 117.

3

Kebudayaan Jepang yang berkembang sekarang ini memang terkesan homogen.

Namun sebenarnya kebudayaan Jepang terbentuk dari berbagai macam budaya ‘asing’

yang berbeda, mulai dari kebudayaan China, India, Korea, sampai kebudayaan Barat.

Berbagai macam kebudayaan asing tersebut mengalami proses asimilasi dengan

kebudayaan setempat sehingga membentuk kebudayaan Jepang saat ini. Melalui

proses asimilasi terus menerus, unsur budaya asing tersebut kemudian menjadi satu

kesatuan yang utuh dengan budaya setempat. Proses pembentukan budaya yang

asimilatif tersebut, menghasilkan bentuk ‘masyarakat kesatuan yang selalu

berasimilasi’ (junsei tan’itsu shakai). Hal itu berbeda dengan bangsa Barat yang sejak

awal sejarah kebudayaannya berkembang melalui proses perbenturan, penaklukan,

penjajahan dan pemberontakan yang tak henti-hentinya. Masyarakat yang terbentuk

dari proses seperti itu adalah ‘masyarakat majemuk yang selalu mengalienasi’ (isei

fukugo shakai). Dalam sejarah perkembangannya, masyarakat Barat mengalienasi

budaya setempat dengan memaksakan budaya mereka masuk menjadi salah satu

unsur dalam struktur masyarakat yang majemuk. Proses itu membuat budaya

setempat menjadi “asing”. Sedangkan masyarakat Jepang mengembangkan diri

dengan membuat hal-hal yang asing menjadi milik sendiri, dengan cara berasimilasi.

Pengaruh luar yang asing disesuaikan dan diserap, akhirnya lambat laun menjadi

bagian dari budaya setempat yang relatif homogen.3

Asimilasi yang terus menerus itu dapat berlangsung di Jepang karena watak

animisme Jepang yang tidak eksklusif. Dalam sistem Kekaisaran kuno, klan-klan

yang berpengaruh bersumpah setia pada Kaisar tanpa harus mempersembahkan dewa-

dewa nenek moyang mereka. Artinya meskipun mereka menghormati Kaisar, yang

dianggap sebagai keturunan dewa matahari, mereka tetap menyembah dewa-dewa

nenek moyang mereka sendiri. Yanagita Kunio membedakan dua hal tersebut dalam

konsep keishin (hormat atau bakti) dan saishi (ibadat atau kepercayaan). Hormat pada

dewa baru, termasuk Kaisar, tidaklah melanggar atau mengesampingkan kepercayaan

pada dewa setempat yang telah mereka percaya jauh sebelum mengenal dewa

matahari.4

Dalam masyarakat kesatuan yang selalu berasimilasi, kesatuan bukanlah

sesuatu yang diciptakan, melainkan sesuatu yang dianggap wajar. Kesatuan yang

‘terberi’ ini melahirkan tradisi masyarakat yang tanpa negasi. Akibatnya di sana

nyaris tak ada tempat untuk konflik. Kalaupun ada konflik tidak ada mekanisme

untuk memecahkannya, sebab kesatuan yang ‘terberi’ itu akan terbentuk kembali

begitu konflik mereda, terlepas apakah masalah-masalah dasar sudah terpecahkan

atau belum.

Tradisi yang hampir tidak mengenal adanya konflik tersebut juga

berhubungan dengan konsep ōyake atau kō (publik atau kelompok) dan shi atau

watakushi (pribadi atau individu).5 Sepanjang sejarah Jepang, apa yang publik

(ōyake) selalu lebih didahulukan dari yang pribadi atau individual (shi). Õyake selalu

3 Kamishima, Jirō, ed. 1973. Nihon Kindaika no Tokushitsu. Tokyo: Ajia Keizai Kenyūjō, hlm. 8-13.

4 Ibid., hlm. 20.

5 Aruga, Kizaemon. 1971. Kō to Shi Giri to Ninjō, dalam Aruga Kizaemon Chosakushū vol. 11.

Tokyo: Miraisha, hlm. 131-163.

4

dihubungkan dengan tujuan luhur, ketenangan dan ketertiban umum, keadilan dan

musyawarah. Sedangkan watakushi selalu dikaitkan dengan ketakteraturan, nasib

jelek, egoisme, perasaan-perasaan subjektif dan nafsu pribadi. Meski watakushi

adalah pelengkap penting bagi ōyake, dalam hubungan antar keduanya individu selalu

diingatkan akan kewajiban moral untuk menghilangkan yang pribadi dan menjunjung

yang publik (messi hōkō).

Sesuatu yang paling dasar dari konsep ōyake adalah keluarga, dengan bapak

sebagai pemimpin atau wakil kelompok. Konsep ōyake tersebut kemudian meluas

tidak hanya sebatas keluarga atau kelompok kekerabatan yang lebih luas (uji)

melainkan juga kelompok yang lebih luas lagi dari itu, yaitu bangsa, dengan Kaisar

sebagai pemimpin kelompok. Kedudukan Kaisar di sini sama halnya dengan bapak

dalam kelompok keluarga. Dalam tradisi animisme Jepang yang cenderung

shamanistik, kehidupan kelompok dianggap sakral dan peran khusus pemimpin

kelompok sebagai penghubung simbolik dengan yang ilahiat diwujudkan dalam

kekuasaan politik. Salah satu fungsi pemimpin kelompok tersebut adalah

menghubungkan kelompoknya dengan dengan para dewa nenek moyang dan dewa

pelindung mereka.6 Di sini pemimpin kelompok mempunyai tempat yang sangat

khusus dan penting karena sifat sakral yang dipunyainya. Dalam hal ini yang publik

juga disejajarkan dengan kewenangan yang sakral. Pola kekuasaan semacam itu

membuat seorang individu sulit untuk menentang kelompok atau wakil kelompok

atas nama dewa atau prinsip transeden. Penentangan atau pemberontakan dalam

sistem masyarakat seperti itu mengakibatkan terjadinya pengucilan dari ōyake, yang

merupakan sumber dari kasih sayang kebapakan. Sistem seperti itu pada akhirnya

cenderung mempertahankan harmoni dengan cara membungkam konflik.

Meskipun hampir tidak mengenal tradisi konflik, bukan berarti tak ada tradisi

perlawanan dalam masyarakat Jepang. Tsurumi Kazuko7 menjelaskan dua bentuk

mendasar dari perlawanan orang Jepang terhadap kekuatan yang lebih tinggi

berdasarkan penelitian Yanagita Kunio mengenai cerita-cerita rakyat. Tsurumi

menyebut dua bentuk perlawanan; yaitu retreatisme dan ritualisme. Retreatisme

adalah satu bentuk perlawanan dengan cara memisahkan diri dari komunitas, entah

dengan sukarela ataupun dipaksa, seperti tindakan pengasingan diri yang dilakukan

para rahib di daerah-daerah pegunungan. Pemisahan dari masyarakat yang disebut

dengan istilah yamairi, ’masuk ke gunung’, ini secara tradisional merupakan satu

tindakan yang cukup drastis sehingga dipandang sebagai selangkah menuju maut.

Menurut pendapat Yanagita, bentuk perlawanan seperti ini yang menjadi penyebab

adanya perbedaan budaya antara orang pegunungan (yamabito), yang menurutnya

merupakan penduduk asli, dan rakyat biasa (jōmin), yang datang kemudian dan hidup

dalam komunitas-komunitas pedesaan. Rasa takut dan terpesona kalangan penduduk

pedesaan terhadap gunung ini merupakan sumber dari asosiasi simbolik mereka

tentang maut di satu sisi dan mahluk adi kodrati di sisi lain. Dalam pengertian

6 Bellah, Robert N. 1962. “Value and Social Change in Modern Japan” dalam Asian Cultural Series 3,

Oktober 1962. Tokyo: International Christian University, hlm. 32. Lihat juga Religi Tokugawa, 7 Tsurumi, Kazuko dan Ichii Saburō, ed. 1974. Shisō no Bōken. Tokyo: Chikuma Shobo, hlm. 146-186.

5

simbolik antara Hare dan Ke, penduduk pedesaan berada dalam dunia kerja keras Ke

dan orang pegunungan diasosiasikan dengan Hare.

Sedangkan ritualisme adalah bentuk perlawanan dengan cara menyimpan

dalam batin nilai-nilai dan kepercayaan yang tak dapat dikompromikan, dan secara

lahiriah tetap menyesuaikan diri dengan pola-pola perilaku yang ada. Menurut

Yanagita, bentuk ini merupakan sebab tetap bisa bertahannya secara tersembunyi

kepercayaan-kepercayaan animistik lokal (minkan shinko) di kalangan orang-orang

pedesaan yang secara lahiriah menyesuaikan diri dengan pola-pola ortodoks agama

resmi, Shinto, pada masa sebelum dan ketika perang. Bentuk perlawanan ini

dilakukan di tingkat komunitas maupun individu. Tsurumi mengacu pada gaya hidup

yang dilukiskan dalam tulisan Yanagita, “Tōno Monogatari”, sebagai satu contoh

bagaimana orang-orang pedesaan secara lahiriah menghormati sistem Kekaisaran

tetapi secara batiniah menolaknya. Ritualisme berarti menyimpan dalam batin

kontradiksi-kontradiksi. Ini menggambarkan ditampungnya unsur-unsur yang saling

bertentangan, termasuk nilai, sistem kepercayaan dan reaksi-reaksi emosional, dalam

satu kepribadian.

Ritualisme ini berkaitan dengan tradisi yang membenci konflik dan

menghormati harmoni sosial. Karena terlibat dalam konflik berarti mengacaukan

harmoni sosial yang alamiah maka perbedaan pendapat harus tetap disimpan dalam

batin. Kecenderungan untuk melakukan perlawanan dalam bentuk terselubung

terhadap nilai-nilai yang tidak dapat dikompromikan dan kepercayaan-kepercayaan

itu bisa dikatakan sebagai satu bentuk resistensi. Namun resistensi ini tidak otomatis

menjadikan perlawanan sebagai satu bentuk protes atau ketakpatuhan. Dalam hal ini

perlawanan harus dipahami sebagai bentuk kompromi yang hanya bersifat ritualistik.

Dengan begitu konflik tetap bisa dihindari. Kalaupun terjadi konflik harus diabaikan,

ditutup, dilupakan atau dihanyutkan bersama air (mizu ni nagasu) dengan melakukan

permintaan maaf secara ritual. Karena dengan melupakan atau memaafkan, kesatuan

kelompok akan dapat dipulihkan. Fenomena ini erat kaitannya dengan pengertian

amae yang menonjolkan arti penting ketergantungan dalam hubungan pribadi orang-

orang Jepang.

Tradisi perlawanan ritualistik ini pada akhirnya juga menghasilkan ciri

struktur sosial dan mental bangsa Jepang yang mempunyai banyak lapisan. Ciri

psikologis atau mental yang berkaitan dengan struktur sosial seperti itu ialah

kepribadian yang berlapis-lapis yang mampu menampung berbagai macam pola

inkonsisten atau yang saling berlawanan. Misalnya antara individu (shi) dan publik

(ōyake), sifat kemanusiawian (ninjō) dan kehormatan (giri), substansi (honne) dan

bentuk (tatemae), di dalam kelompok (uchi) dan di luar kelompok (soto), rahasia bagi

orang lain (ura) dan yang terbuka bagi semua orang (omote) dan sebagainya. Struktur

sosial dan mental yang menampung berbagai macam pola inkonsistensi semacam

itulah yang memunculkan ambiguitas dalam banyak aspek kebudayaan Jepang,

termasuk kesusastraan.

6

Ambiguitas dalam Kesusastraan Jepang Modern Seperti telah disebutkan bahwa kesusastraan Jepang modern lahir bersamaan

dengan momentum modernisasi atau westernisasi pada masa Meiji. Pengaruh Barat

masuk dalam kesusastraan Jepang berawal dari penerjemahan secara besar-besaran

karya-karya dari Barat. Penerjemahan karya itu pada mulanya tidak secara khusus

ditujukan untuk memahami kesusastraan Barat, melainkan untuk memahami

kebudayaan serta ilmu pengetahuan Barat. Pengaruh Barat dalam kesusastraan Jepang

pertama kali terlihat dengan munculnya aliran realisme (genjitsushūgi). Realisme

mulai dikenal ketika Tsubouchi Shōyo (1859-1935) menulis buku Shōsetsu Shinzui

(Esensi Novel) pada tahun 1885. Tsubouchi Shōyo adalah sastrawan, penulis naskah

kabuki, kritikus, penerjemah dan editor majalah Waseda Bungaku (Waseda

Literature,1891-1898). Ia menerjemahkan karya lengkap Shakespeare, karya Sir

Walter Scott, The Bride of Lamer dan karya Bulwer Lytton, Riezi, the Last of the

Roman Tribunes. Naskah kabuki karya Shōyo berjudul Kiri Hitoha (A Paulownia

Leaf) dipengaruhi oleh karya Shakespeare dan Chikamatsu Monzaemon. Gagasan

realisme Tsubouchi Shōyo menolak cara berpikir lama yang menganggap bahwa

karya sastra harus menitik beratkan pada tema-tema kanzen chōaku, yang benar pada

akhirnya menang dan yang buruk pada akhirnya kalah. Ia berpendapat bahwa

kesusastraan tidak seharusnya digunakan sebagai alat propaganda politik maupun

moral.8 Karya realis dipahami Tsubouchi Shōyo sebagai karya yang didasarkan pada

observasi objektif dan penggambaran kehidupan manusia, dan menurutnya inti dari

novel adalah penggambaran sifat kemanusiaan dan kondisi sosial. Pemikiran

Tsubouchi Shōyo yang seperti itu adalah sebagai akibat dari pengaruh pemikiran-

pemikiran dalam karya sastra Inggris yang banyak diterjemahkannya. Meskipun

begitu, dalam teknik penulisannya karya realis Tsubouchi Shōyo masih dipengaruhi

oleh unsur-unsur kesusastraan lama seperti dalam haiku karya Masaoka Shiki. Gaya

realis dalam haiku Masaoka Shiki seringkali dimulai dengan penggambaran sawah,

ladang dan tanaman.9 Karya Tsubouchi Shōyo yang dianggap sebagai novel modern

Jepang pertama berjudul Tōsei Shosei Katagi (Semangat Pelajar Masa Kini, 1885),

menceritakan tentang kehidupan mahasiswa pada masa itu yang mencerminkan

kehidupan manusia modern.

Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun modernisasi Jepang sering dipandang

sebagai peniruan kebudayaan Barat, sebenarnya yang terjadi bukan sekedar peniruan,

melainkan asimilasi. Tsubouchi Shōyo tidak sekedar meniru konsep realisme yang

didapatnya dari karya-karya sastrawan Barat begitu saja, melainkan menggabungkan

konsep realisme Barat dengan gagasan dan teknik penulisan gaya realis a la haiku

dari sastrawan tradisonal Jepang. Gagasan realisme Tsubouchi Shōyo yang

merupakan hasil asimilasi itu bisa dikatakan berbeda dari konsep realisme Barat

maupun konsep ’realisme’ tradisional Jepang.

8 Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N. Tjandra dkk.

Jakarta: UI Press. Hlm. 159-160 9 Ibid., hlm. 205

7

Selanjutnya Futabatei Shimei (1864-1909), seorang pengikut Tsubouchi

Shōyō, memperbaiki teori Tsubouchi Shōyō dan mengkritik karyanya, Tōsei Shosei

Katagi dengan menulis buku berjudul Shōsetsu Sōron (Pedoman Umum Novel,

1885). Shōsetsu Sōron berisi pandangan Futabatei Shimei tentang novel, bahwa

novel seharusnya merefleksikan fenomena kehidupan dalam kondisinya yang paling

natural. Jadi, untuk menyampaikan makna dari fenomena kehidupan yang

sesungguhnya, novel harus menggunakan metode langsung. Artinya

penggambarannya harus langsung, akurat dan realistik. Realisme dalam hal ini

dipahami oleh Futabatei sebagai cara untuk mengekspresikan kejadian sesungguhnya

dalam kehidupan. Teori yang diungkapkan dalam Shōsetsu Sōron mengambil

dasar pemikiran dari kesusastraan Rusia. Futabatei Shimei sendiri adalah sastrawan

realis yang banyak menerjemahkan karya sastrawan Rusia Ivan Turgenev dan

beberapa sastrawan Rusia yang lain. Teori ini dipergunakan oleh Futabatei Shimei

dalam menulis novelnya yang berjudul Ukigumo (Awan Mengapung, diterbitkan

secara berseri dari tahun 1887 sampai tahun 1889). Dalam novelnya itu Futabatei

Shimei memperkenalkan gaya bahasa baru dalam menulis karya sastra dalam bahasa

tulis yang digabungkan dengan bahasa lisan, gembun icchi. 10

Gerakan gembun icchi yang diprakarsai oleh Futabatei Shimei ini dianggap

sebagai tonggak awal revolusi dalam kesusastraan Jepang. Gerakan ini juga

memperkenalkan gaya baru dalam teknik penulisan karya sastra dengan model

penulisan kanjikana majiribun yang menggabungkan karakter kanji dengan hirakana

dan katakana. Sebelumnya, sejak jaman Heian ada dua macam cara penulisan karya

sastra; yaitu kanbun; ditulis dengan huruf kanji dan dengan gaya bahasa China, dan

wabun atau kokubun; ditulis dengan huruf hiragana dan dengan gaya bahasa Jepang.

Kanbun digunakan untuk menulis karya serius atau resmi, dan buku-buku filsafat

serta ilmu pengetahuan. Kanbun lazimnya digunakan oleh sastrawan laki-laki.

Sedangkan wabun digunakan untuk menulis karya yang lebih bersifat sastra tak resmi

semisal nikki (buku harian) atau monogatari (cerita), dan lazimnya dipakai oleh

sastrawan perempuan.11

Gerakan gembun icchi yang digagas oleh Futabatei Shimei

membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan Jepang dan memunculkan

tokoh-tokoh baru dalam kesusastraan Jepang modern yang menulis dengan bahasa

dan susunan kalimat yang lebih segar.

Penggabungan konsep Barat dengan konsep tradisional dalam kesusastraan

Jepang terus berlanjut dalam aliran-aliran sastra yang muncul belakangan dalam

perkembangan kesusastraan modern Jepang. Meskipun lahir dari persentuhan antara

sastrawan Jepang dengan karya-karya sastra Barat, aliran-aliran sastra dalam

kesusastraan modern Jepang mempunyai karakteristik yang tidak selalu sama, dan

bahkan relatif berbeda dengan aliran yang sama di Barat. Aliran romantisme

(rōmanshūgi) pertama kali dikenal dalam kesusastraan modern Jepang saat

10

Homma, Kenshiro. 1980. A History of Modern Japanese Literature. Tokyo: Japan Science Press.

Hlm. 26-27

11

Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N. Tjandra dkk.

Jakarta: UI Press. Hlm. 54

8

diterbitkannya buku kumpulan puisi berjudul Omokage (Bayangan, 1889) karya Mori

Ōgai (1862-1922). Omokage berisi terjemahan puisi karya Goethe, Heine,

Shakespeare, Byron dan pengarang lain.12

Selain kumpulan puisi Mori Ōgai juga

menulis novel Maihime yang ditulisnya berdasarkan pengalaman hidupnya di Jerman.

Gaya bahasa yang dipakainya sangat indah, dengan kalimat singkat dan mengikuti

kaidah-kaidah bahasa.

Selanjutnya aliran naturalisme (shizenshūgi) muncul di Jepang antara lain

melalui karya-karya Kosugi Tengai (1865-1952) dan Nagai Kafu (1879-1959) yang

sangat dipengaruhi oleh pemikiran sastrawan Perancis seperti Zola dan Maupassant.

Naturalisme yang muncul pada awal tahun 1910-an itu mendorong lahirnya genre

sastra shinkyōshōsetsu atau novel psikologis dan shishōsetsu atau ’I-novel’.13

Shinkyōshōsetsu adalah novel yang menggambarkan pergulatan psikologis tokoh

dalam kehidupannya untuk mencapai kesempurnaan yang berakhir dengan baik

(happy ending). Sedangkan shishōsetsu yang dikenal juga sebagai novel otobiografi

dan novel pengakuan ini merupakan fiksi yang memotret secara jujur kehidupan

pengarangnya dan mempunyai kecenderungan nyata. Biasanya shishōsetsu

menceritakan pengalaman pahit penulis yang berakhir dengan tragedi. Ada yang

menganggap bahwa genre sastra shishōsetsu ini adalah hasil dari kegagalan sastrawan

Jepang memaknai fiksionalitas Barat. Namun kalau kita melihat tradisi dalam

kesusatraan Jepang yang memasukkan nikki (buku harian) sebagai satu genre sastra,

maka bukan hal yang aneh jika dalam karya sastra modern Jepang muncul genre

shishōsetsu. Karya yang dianggap mewakili kemunculan shishōsetsu adalah Futon

(Selimut, 1907) karya Tayama Katai (1871-1930). Novel bergenre shishōsetsu ini

masih dijumpai dalam kesusastraan Jepang sampai sekarang.

Aliran-aliran kesusastraan Barat yang diadopsi dalam kesusastraan Jepang

modern berkembang sesuai dinamika sosial, budaya dan politik yang terjadi di Jepang

pada masa-masa awal Meiji. Aliran neo-romantisme (shinromanshūgi) muncul

sebagai gerakan yang menentang naturalisme. Gerakan yang dimotori oleh Kitahara

Hakushū (1885-1942) dan Takamura Kōtarō (1883-1956) tersebut menekankan

unsur-unsur keindahan dalam kehidupan dan mempertentangkannya dengan ilmu

pengetahuan atau rasionalitas yang menjadi ukuran para naturalis dalam memandang

dunia. Sastrawan yang bergabung dalam gerakan neo-romantisme tersebut melakukan

pencarian keindahan melalui emosi dan menganut pandangan seni untuk seni. Pada

tahun 1910 juga muncul kelompok Shirakaba14

yang dimotori oleh Mushanokōji

Saneatsu (1885-1976) dan Shiga Naoya (1883-1971). Neo-romantisme muncul

12

Homma, Kenshiro. 1980. A History of Modern Japanese Literature. Tokyo: Japan Science Press.

Hlm. 41. 13

Ibid., hlm. 76-77 14

Shirakaba atau Shirakabaha (1910-1923) adalah aliran dalam kesusastraan modern Jepang yang

dimotori oleh sekelompok sastrawan antara lain; Mushano Kōji Saneatsu (1885-1976), Shiga Naoya

(1883-1971), Arishima Takeo (1878-1923), Satomi Ton (1888-1983), dan Nagoya Yoshirō (1888-

1961). Kelompok sastrawan tersebut menerbitkan majalah sastra Shirakaba pada bulan April 1910.

Karya dari para sastrawan anggota Shirakaba sangat dipengarui oleh humanisme Perancis. Gerakan

kelompok ini meletakkan nilai tertinggi pada ego individual

9

sebagai gerakan yang menerima dan menggabungkan semua pandangan yang muncul

sebelumnya. 15

Gerakan yang muncul selanjutnya adalah neo-realisme (shingenjitsushūgi).

Gerakan ini beranggapan bahwa tidak ada lagi pilihan baru dalam cara pandang

terhadap dunia atau kehidupan manusia karena semua sisi telah dimunculkan oleh

gerakan sastra sebelumnya. Namun kelompok gerakan neo-realisme berusaha

mencari teknik dan gaya baru dalam penulisan karya sastra. Sastrawan aliran neo-

realisme yang paling menonjol adalah Akutagawa Ryūnosuke (1892-1927). K arya-

karya Akutagawa yang sering kali mengambil bahan dari karya klasik Ujishui

Monogatari dan Konjaku Monogatari mempunyai gaya yang unik. Akutagawa

mengolah cerita sejarah dalam karya klasik tersebut dengan membuat penafsiran baru

sehingga melahirkan novel baru bergaya satire. Karya-karya Akutagawa yang seperti

itu menandai babak baru gaya penulisan cerita pendek dalam kesusastraan Jepang

modern.16

Kesusastraan Jepang mengalami dinamika yang pesat dalam

perkembangannya setelah Perang Dunia I. Perang Dunia I yang terjadi pada akhir

masa Taisho sampai awal masa Showa membawa perubahan sosial, ekonomi dan

politik di Jepang. Kecenderungan demokrasi yang bertambah kuat, dan golongan

proletar yang bertambah besar menciptakan pertentangan kelas dalam masyarakat.

Perubahan masyarakat yang terjadi itu memicu lahirnya kesusastraan proletar yang

banyak mengangkat tema tentang pertentangan kelas dalam masyarakat. Di sisi lain,

kelompok sastrawan individualis menikmati sastra dalam lingkungannya sendiri

dengan melakukan pembaruan-pembaruan terhadap kesusastraan tradisional sehingga

muncul aliran pembaharuan dalam kesusastraan Jepang. Meskipun bertolak belakang,

kedua aliran sastra ini tumbuh bersamaan dan masing-masing menunjukkan dinamika

yang menggembirakan. Di samping kesusastraan proletar dan kesusastraan aliran

pembaruan, kesusastraan tradisional yang sudah ada sejak jaman sebelum Meiji juga

berkembang bersama-sama. Namun sejak peristiwa kebakaran besar akibat gempa

bumi Kanto pada tahun 1923 (Taishō 12) pemerintah untuk sementara melarang

kesusastraan proletar. Kemudian sejak terjadi peristiwa Manchuria tahun 1931

(Showa 6) dan Jepang menganut paham fasisme, semua yang berbau pemikiran kiri

dikikis habis dan kelompok sastrawan beraliran proletar dibubarkan. Aliran

pembaruan juga tidak berumur panjang karena lemahnya semangat sastra. 17

Pada masa fasisme, sejak Jepang berperang dengan Manchuria sampai Jepang

terlibat dalam Perang Dunia II melawan Amerika, muncul kesusastraan perang.

Kesusastraan perang yang ditulis berdasarkan pengalaman perang pengarangnya ini

bersifat sangat politis. Pemerintahan fasis Jepang pada masa itu banyak mengirim

sastrawan ke medan perang dan menganjurkan penulisan karya sastra untuk

kepentingan perang. Akibatnya perkembangan kesusastraan Jepang agak terhambat.

Kemunduran dalam perkembangan kesusastraan modern Jepang saat itu ditandai

15

Ibid., hlm. 80-103. 16

Ibid., hlm. 107. 17

Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N. Tjandra dkk.

Jakarta: UI Press. Hlm. 156

10

dengan munculnya kembali aliran romantik dan banyaknya sastrawan yang berusaha

kembali pada kesusastraan lama dan menulis cerita-cerita sejarah. Tapi ada beberapa

sastrawan yang menentang anjuran itu dan menulis karya mereka secara diam-diam.

Tanizaki Junichirō termasuk sastrawan yang menulis secara diam-diam karya yang

tidak sesuai dengan anjuran pemerintah Jepang saat itu dan segera mengedarkannya

begitu perang berakhir.18

Novel Sasameyuki (diterjemahkan dalam bahasa Inggris

dengan judul Makioka Sisters) karya Tanizaki Junichirō yang berlatar perang Jepang

Machuria diterbitkan dalam bentuk serial pada bulan Januari 1943. Namun setelah

dua seri, novel serial ini dilarang dengan dalih bahwa isinya tidak sesuai dengan

situasi nasional saat itu.19

Baru pada masa setelah Perang Dunia II kesusastraan Jepang mulai bangkit

lagi seiring dengan situasi sosial politik Jepang yang membaik dan adanya kebebasan

pers. Pada masa itu kesusastraan proletar dan aliran tradisional muncul kembali,

dengan nama dan gaya yang berbeda. Yaitu kesusastraan aliran demokrasi

(minshūshūgi bungaku) dan kesusastraan aliran pasca perang (sengoha bungaku).

Kesusastraan aliran pasca perang merupakan perkembangan dari kesusastraan aliran

tradisional. Kelompok sastrawan angkatan pasca perang yang muncul setelah Jepang

mengalami kekalahan dalam perang Dunia II ini menandai awal periode kesusastraan

Jepang kontemporer. Dunia kesusastraan angkatan pasca perang sangat dipengaruhi

oleh eksistensialisme. Selain itu kesusastraan angkatan pasca perang sering kali

memadukan masalah politik dan seksual dengan sastra, serta cenderung menolak

tradisi shishōsetsu.20

Kecenderungan eksistensialisme terutama sangat terlihat pada generasi

pertama angkatan pasca perang (1940-an), seperti Shiina Rinzo (1911-1973) dan

Haniya Yutaka (1909-1997). Generasi kedua angkatan pasca perang (1950-an) seperti

Abe Kōbō (1924-1993) dan Hotta Yoshie (1918-1998) mengangkat masalah

eksistensi melalui tema sehari-hari dalam kebanyakan karya mereka sehingga

memunculkan warna baru yang berbeda dari generasi sebelumnya. Selanjutnya

generasi ketiga angkatan pasca perang (1960-an) meski tetap mempertanyakan

eksistensi manusia, mulai memadukan unsur politik ke dalam karya sastra. Sastrawan

yang termasuk dalam generasi ini antara lain Mishima Yukio (1925-1971) dan Oe

Kenzaburo (1935- ), peraih hadiah nobel di bidang sastra pada tahun 1994.21

Karya-

karya eksistensialis yang mewarnai kesusastraan Jepang masa itu kebanyakan ditulis

dengan gaya realis yang merefleksikan fenomena kehidupan manusia melalui karya-

karya yang bertemakan kehidupan sehari-hari atau kondisi sosial dan politik saat itu.

Kesusastraan Jepang kontemporer tumbuh bersama bangkitnya Jepang setelah

kalah dalam Perang Dunia II. Jepang yang sering digambarkan seperti phonix yang

terlahir dari abu tak membutuhkan waktu lama untuk bangkit dari kekalahannya pada

18

Ibid., hlm. 230. 19

Tsukimura, Reiko. 1976. “The Sense of Loss in The Makioka Sisters”. Dalam Approaches to the

Modern Japanese Novel. Edited by KinyaTsuruta & Thomas E. Swann. Tokyo: Sophia University. 20

Ichiko, Teiji, et.al. 1995. 『日本文学全史6:現代』 2nd

ed. Tokyo: Gakutosha. Hlm. 420. 21

Ibid., hlm. 422-436. Lihat juga Koono, Toshiroo, et.al. 1972. 『昭和の文学』. Tokyo: 有斐閣. Hlm.

230-232.

11

Perang Dunia II. Tak sampai 30 tahun, pada dekade 1960-an sampai 1970-an

pertumbuhan ekonomi Jepang mencapai tingkat yang luar biasa tinggi. Sastrawan

kontemporer Jepang adalah mereka yang tumbuh dewasa ketika Jepang mengalami

pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini

selain dipandang sebagai kisah sukses Jepang di mata dunia ternyata juga menyimpan

sisi gelap.

Pada masa Meiji, sisi gelap dari kesuksesan modernisasi Jepang diangkat oleh

Natsume Sōseki dalam novelnya Yume Jūya yang menggambarkan seolah bangsa

Jepang modern terperangkap dalam dunia tanpa dewa pelindung. Sisi gelap dari

modernisasi itu dalam karya-karya Natsume Sōseki digambarkan dalam wujud

penindasan teknologi, keterasingan individu, dan krisis identitas. 22

Modernisasi

Jepang pada abad ke-20 juga menyimpan harapan sekaligus mimpi buruk yang penuh

kegelisahan dan ketakutan akan masa depan. Kemajuan Jepang di bidang ekonomi

dan teknologi adalah sesuatu yang menggiurkan, namun sewaktu-waktu bisa meledak.

Murakami Haruki menangkap kegelisahan itu dalam karyanya 『世界を終りとハード

ボイルド.ワンダーランド』 (1985, diterjemahkan dengan judul Hard Boiled

Wonderland and the End of the World) yang menceritakan tentang bangsa Jepang

dari masa depan. Dunia masa depan itu merefleksikan asimilasi antara pengaruh

Barat dalam dunia modern Jepang yang telah ditinggalkan oleh dewa pelindungnya.

Tetapi berbeda dengan tokoh ‘aku’ dalam Yume Jūya yang tetap melanjutkan

hidupnya dalam dunia modern yang ditolaknya, tokoh ‘aku’ dalam novel Haruki

Murakami di atas memutuskan untuk meninggalkan dunia modern di akhir abad ke-

20 yang didominasi oleh high-tech untuk mengasingkan diri ke dalam fantasi utopia

pikirannya sendiri.23

Dalam perkembangan kesusastraan Jepang kontemporer, perbedaan antara

kesusastraan murni (junbungaku), kesusastraan picisan (taishūbungaku), dan

kesusastraan populer (tsūzokubungaku) tidak begitu jelas lagi. Genre-genre sastra

baru mulai bermunculan. Karya populer tidak terbatas pada karya fiksi berbentuk

novel atau puisi saja, melainkan juga manga (komik) dan film animasi. Tema-tema

tentang ambiguitas antara tradisi dan modernitas muncul dalam karya sastra dalam

bentuk alienasi, kehilangan atau pencarian identitas, benturan antara masa lalu dan

masa kini, sampai tema-tema tentang postkolonial yang menempatkan Jepang pada

posisi antara Barat dan Timur. Dalam karya populer tema ambiguitas antara harapan

dan kegelisahan atau ketakutan itu muncul dalam bentuk kisah-kisah tentang utopia,

distopia, seksualitas, homo seksualitas, alien atau monster. Film animasi (anime)

berjudul Akira adalah satu contoh animasi yang menggambarkan sisi gelap

modernitas. Film yang dirilis pada tahun 1988 ini menceritakan versi distopia dari

kota Tokyo di tahun 2019 setelah luluh lantak akibat perang Dunia III tiga puluh

tahun sebelumnya. Animasi yang bernada cyberpunk ini melihat masa depan sebagai

mimpi buruk.

22

Napier, Susan J. 1996. The Fantastic in Modern Japanese Literature: the subversion of modernity.

London & New York: Routledge, hlm. 2. 23

Ibid., hlm.4

12

Simpulan Kelahiran kesusastraan Jepang modern yang bersamaan dengan momen

modernisasi Jepang sejak restorasi Meiji membuat dinamika perkembangannya tak

dapat dipisahkan dengan proses modernisasi yang dialami oleh bangsa Jepang.

Seperti diketahui, dalam sejarahnya Jepang mengalami dua kali momen kebangkitan,

yaitu pertama restorasi Meiji, momen kebangkitan dari ketertutupan negara selama

260 tahun. Kedua, momen kebangkitan setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Dalam kedua momen kebangkitan itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat

Jepang terbilang drastis. Perubahan drastis seperti itu tentunya menbawa dampak

terhadap kondisi mental dan sosial bangsa Jepang. Dengan karakter sosial dan mental

yang mempunyai banyak lapisan dan mampu menampung berbagai macam pola

inkonsisten atau yang saling berlawanan yang dimiliki oleh bangsa Jepang, dampak

dari perubahan drastis itu memang tidak selalu muncul dengan jelas di permukaan.

Namun seperti yang disinyalir oleh Oe Kenzaburo dalam pidato nobelnya, dua kutub

ambiguitas antara tradisi dan modernitas itu telah membelah bangsa Jepang modern

sejak jaman Meiji sampai sekarang, membekas seperti luka yang sangat dalam.

Pada awal perkembangan kesusastraan Jepang modern, kebudayaan Barat

yang begitu deras masuk ke Jepang melahirkan aliran-aliran sastra baru yang

merupakan asimilasi antara kesusastraan Barat dan kesusastraan tradisional Jepang.

Konsep-konsep dalam kesusastraan Barat diadopsi dan dimaknai sesuai dengan

kondisi sosial dan budaya Jepang saat itu. Kondisi menjadi modern secara drastis di

satu sisi, dan tradisi yang masih bertahan di sisi yang lain, memicu lahirnya banyak

karya sastra yang mengangkat tema tentang kehilangan atau pencarian identitas,

dilema antara tradisi dan modernitas, atau benturan antara masa lalu dan masa kini.

Kesusastraan Jepang kontemporer lahir bersamaan dengan momen kebangkitan kedua,

yaitu periode setelah perang. Kondisi Jepang yang terpuruk setelah jatuhnya bom

atom di Hiroshima dan Nagasaki yang diikuti kebangkitan ekonomi dan teknologi

yang begitu mencengangkan dalam waktu yang tak begitu lama melahirkan satu

bentuk ambiguitas yang lain. Antara harapan dan ketakutan. Sastrawan Jepang

kontemporer yang lahir pada masa perang dan tumbuh dewasa saat pertumbuhan

ekonomi Jepang mencapai puncaknya menangkap kegelisahan dan ketakutan itu.

Mereka memotret sisi gelap modernisasi dan kemajuan Jepang melalui karya sastra

murni (serius), karya sastra picisan maupun karya populer semacam manga atau

anime dengan menggambarkan Jepang masa depan sebagai dunia yang penuh utopia,

distopia dan alienasi.

~~~

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Aruga, Kizaemon. 1971. 「公と私 義理と人情」 , dalam Aruga Kizaemon

Chosakushū vol. 11. Tokyo: Miraisha.

2. Bellah, Robert N. 1962. “Value and Social Change in Modern Japan” dalam Asian

Cultural Series 3, Oktober 1962. Tokyo: International Christian University.

3. Homma, Kenshiro. 1980. A History of Modern Japanese Literature. Tokyo: Japan

Science Press.

4. Isoji, Asoo, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang. Diterjemahkan oleh Sheddy N.

Tjandra dkk. Jakarta: UI Press

5. Ichiko, Teiji, et.al. 1995. 『日本文学全史6:現代』 2nd

. ed. Tokyo: Gakutosha.

6. Kamishima, Jirō, ed. 1973. 『日本近代化の特質』. Tokyo: Ajia Keizai Kenyūjō

7. Koono, Toshiroo, et.al. 1972. 『昭和の文学』. Tokyo: 有斐閣.

8. Napier, Susan J. 1996. The Fantastic in Modern Japanese Literature: The subversion

of modernity. London and Newyork: Routledge

9. Oe Kenzaburo. 1995.『あいまいな日本の私』 Tokyo: 岩波新書.

10. -----. 1995. Japan, The Ambiguous, and Myself: The Nobel Prize Speech and Other

Lecture. Tokyo: Kodansha International .

11. Tsurumi, Kazuko dan Ichii Saburō, ed. 1974. 『 思想の冒険』. Tokyo: Chikuma

Shobo.

12. Tsuruta, Kinya & Thomas E. Swann (ed). 1976. Approaches to the Modern Japanese

Novel. Tokyo: Sophia University.