CONTOH PROPOSAL PENELITIAN DESKRIPTIF

43
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk dikuasai oleh peserta didik. Bahkan sering kali muncul anggapan dari kebanyakan orang tua dan guru bahwa keberhasilan seseorang dalam proses belajar sedikit banyak dapat dilihat dari keberhasilannya dalam belajar matematika. Dengan kata lain, jika seorang peserta didik pandai dalam matematika, maka ia diprediksikan akan mudah menguasai mata pelajaran yang lain. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan National Research Council (NRC, 1981) dari Amerika Serikat telah menyatakan: “Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Bagi seorang siswa, keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Hal ini dapat dipahami bahwa hampir semua pekerjaan sekarang ini pasti akan melibatkan Matematika. Bagi seorang ekonom dan manager sekalipun, ketika merumuskan kebijakan ekonomi selalu berdasarkan pada perhitungan matematika. Bahkan bagi seorang imam sholat pun ketika tidak tahu matematika, maka ia tidak akan tahu hitungan rekaat sholat sehingga pasti akan merepotkan makmumnya. Hal yang lebih aneh lagi adalah kejadian pada orang yang huta huruf, mereka tidak bisa membaca, namun dalam masalah perhitungan ia pasti bisa. Inilah beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Matematika merupakan pengetahuan 1

Transcript of CONTOH PROPOSAL PENELITIAN DESKRIPTIF

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang

sangat penting untuk dikuasai oleh peserta didik. Bahkan sering kali muncul

anggapan dari kebanyakan orang tua dan guru bahwa keberhasilan seseorang

dalam proses belajar sedikit banyak dapat dilihat dari keberhasilannya dalam

belajar matematika. Dengan kata lain, jika seorang peserta didik pandai dalam

matematika, maka ia diprediksikan akan mudah menguasai mata pelajaran yang

lain. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting bagi kehidupan

sehari-hari. Hal ini sejalan dengan National Research Council (NRC, 1981) dari

Amerika Serikat telah menyatakan: “Mathematics is the key to opportunity.”

Matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Bagi seorang siswa,

keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Hal ini

dapat dipahami bahwa hampir semua pekerjaan sekarang ini pasti akan

melibatkan Matematika. Bagi seorang ekonom dan manager sekalipun, ketika

merumuskan kebijakan ekonomi selalu berdasarkan pada perhitungan matematika.

Bahkan bagi seorang imam sholat pun ketika tidak tahu matematika, maka ia tidak

akan tahu hitungan rekaat sholat sehingga pasti akan merepotkan makmumnya.

Hal yang lebih aneh lagi adalah kejadian pada orang yang huta huruf, mereka

tidak bisa membaca, namun dalam masalah perhitungan ia pasti bisa. Inilah

beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Matematika merupakan pengetahuan

1

2

dasar yang harus dikuasai oleh seseorang untuk menunjang kehidupannya nanti.

Maka benar jika Cockcoft dalam Shadiq (2007: 3) mengatakan “ Akan sangat sulit

atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bahian bumi ini pada abad

ke-20 ini tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika.

Kenyataan yang terjadi di kelas-kelas, Matematika sekarang ini masih

dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional,

matematika selalu menjadi mata pelajaran dengan nilai rata-rata terendah

dibanding dengan mata pelajaran lainnya. Kasus ketidak lulusan seorang siswa

juga banyak disebabkan karena nilai matematika yang jauh dari nilai minimal

kelulusan . Oleh karena itu menjadi tugas bagi semua guru matematika untuk

menyajika matematika dengan lebih menarik dan memudahkan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) menyatakan bahwa SKL matematika bagi

SD/ MI diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan

kreatif.

2. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, dengan

bimbingan guru/pendidik .

3. Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya.

4. Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam

kehidupan sehari-hari.

5. Berkomunikasi secara jelas dan santun .

1

3

6. Bekerja sama dalam kelompok, tolong-menolong, dan menjaga diri sendiri

dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya .

7. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis.

8. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan

berhitung.

Ditegaskan lagi dalam Depdiknas (2006) melalui Permendiknas No 22

tentang Standar Isi telah menyatakan bahwa tujuan pertama pelajaran matematika

di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK adalah agar peserta didik:

“Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,

dalam pemecahan masalah”. Dengan adanya perkembangan zaman, tentunya juga

akan terjadi perubahan dalam hal tujuan pembelajaran matematika.

Kecenderungan di zaman ini mengarahkan bahwa tujuan matematika lebih

dikaitkan dengan kemampuan berpikir yang digunakan para matematikawan.

Karenanya para siswa harus belajar bernalar, memecahkan masalah dan

berkomunikasi. Karena kemampuan seperti itu jauh lebih dibutuhkan pada masa

kini.

Jadi, untuk masa kini dan untuk masa-masa yang akan datang,

kemampuan berpikir dan bernalar jauh lebih dibutuhkan sebagaimana dinyatakan

NRC (1989:1) berikut: “Communication has created a world economy in which

working smarter is more important …. Jobs that contribute to this world economy

require workers who are mentally fit—workers who are prepared to absorb new

ideas, to adapt to change, to cope with ambiguity, to perceive patterns, and to

4

solve unconventional problems”. Di masa kini dan di masa yang akan datang, di

era komunikasi dan teknologi canggih, dibutuhkan para pekerja yang lebih cerdas

(smarter) daripada pekerja yang lebih keras (harder). Dibutuhkkan para pekerja

yang telah disiapkan untuk mampu mencerna ide-ide baru (absorb new ideas),

mampu menyesuaikan terhadap perubahan (to adapt to change), mampu

menangani ketidakpastian (cope with ambiguity), mampu menemukan keteraturan

(perceive patterns), dan mampu memecahkan masalah yang tidak lazim (solve

unconventional problems).

Dari tujuan pembelajaran matematika di atas dapat digaris bawahi bahwa

hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh guru dalam penyajian

pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan bernalar, pemecahan

masalah, dan kemampuan komunikasi. Namun, ketiga komponen di atas sangat

jarang direalisasikan oleh para guru. Guru lebih banyak mendominasi

pembelajaran sehingga kemampuan siswa dalam mengkonstruksi dan

memecahkan masalah tidak terjadi di kelas. Bahkan seringkali muncul kejadian,

ketika seorang anak meminta bantuan kepada kepada orang yang bukan gurunya,

jawaban yang diberikan oleh orang tersebut sudah benar, namun karena caranya

tidak sesuai dengan cara yang diberikan oleh guru maka si anak tersebut akan

menangis atau marah-marah. Hal yang lebih parah lagi adalah ketika jawaban

yang benar tersebut disalahkan oleh gurunya juga. Kejadian ini tentunya tidak

sesuai dengan prinsip konstruktivisme dan pemecahan masalah.

Pembelajaran matematika di kelas banyak bertumpu pada Buku Lembar

Kegiatan Siswa (LKS) dan buku Diktat yang jarang sekali memunculkan soal-soal

5

mengenai pemecahan masalah. Kebiasaan mengerjakan soal-soal yang hanya

tinggal memasukkan angka-angka ke dalam rumus saja, hanya akan membuat

siswa tidak dapat berpikir kritis, logis, dan kreatif. Jika siswa dihadapkan pada

soal (masalah) yang tidak biasa dihadapi, maka siswa akan mengalami kesulitan.

Oleh karena itu penting kiranya bagi guru untuk lebih mendalami

kembali ketiga komponen di atas dalam penyajian pembelajaran matematika di

kelas. Selain itu guru wajib melaksanakan pembelajaran dengan mengedepankan

kontek kehidupan nyata dalam penyajian pembelajaran.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut.

1. Siswa masih menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit.

Hal ini terbukti dengan masih rendahnya nilai rata-rata matematika

dibandingkan dengan mata pelajaran lain dalam Ujian Nasional.

2. Tidak dilakukannnya pembelajaran yang mengacu pada Tujuan Pembelajaran

Matematika sebagaimana telah digariskan dalam Permendiknas, yaitu:

meningkatkan kemampuan bernalar, berpikir logis dan kreatif, serta

pemecahan masalah.

3. Kebanyakan siswa belajar sesuai dengan instruksi guru dan tidak difasilitasi

untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.

6

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitin berjalan dengan lebih terarah, maka perlu dilakukan

pembatasan sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru terkait

dengan tujuan pembelajaran matematika sesuai dengan Permendiknas.

2. Penelitian melibatkan guru Sekolah Dasar (SD) se-gugus di Kecamatan

Purworejo Kabupaten purworejo.

3. Penelitian dilakukan pada Tahun Ajaran 2012/2013.

Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti mengambil judul

“Identifikasi Kesulitasn Guru Sekolah Dasar Pada Pembelajaran Matematika

Yang Mengacu Permendiknas No. 22 Tahun 2006”

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam

mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait

dengan penalaran?

2. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam

mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait

dengan pemecahan masalah?

3. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam

mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait

dengan komunikasi?

7

4. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam

mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait

dengan pendekatan kontekstual?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru

matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun

2006 yang berkait dengan penalaran.

2. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru

matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun

2006 yang berkait dengan pemecahan masalah.

3. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru

matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun

2006 yang berkait dengan komunikasi.

4. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru

matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun

2006 yang berkait dengan pendekatan kontekstual.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

8

1. Untuk lebih memberikan pemahaman kepada para guru Sekolah Dasar

mengenai tujuan pembelajaran Matematika berdasarkan Permendiknas

Nomor 22 tahun 2006.

2. Membantu Guru untuk dapat mengimplementasikan tujuan pembelajaran

matematika dalam proses pembelajaran di kelas.

3. Meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di Sekolah Dasar.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

a. Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi

informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di

bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.

Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan

matematika yang kuat sejak dini.

Visi dan tujuan dari dokumen The National Council of Teachers of

Mathematics (NCTM), yaitu Princples and Standards for School Mathematics,

semua siswa harus mendapatkan kesempatan untuk mempelajari, mengapresiasi,

dan menerapkan skill-skil, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip matematika baik

didalam ataupun diluar sekolah (Wahyudin, 2008:4). Standar NCTM (Van de

Walle, 2008:4) sebagai standar utama dalam pembelajaran matematika yaitu

kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi

(communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran

(reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Kelima standar

tersebut mempunyai peranan penting dalam kurikulum matematika.

9

10

Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran

matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah

terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara

penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu

dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika,

menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.

Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai

dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).

Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing

untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan

pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan

komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.

Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar

Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut.

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika.

7

11

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

b. Pembelajaran Konstektual

Pembelajaran matematika dengan pendekatan kotekstual atau realistik

memberikan peluang pada siswa untuk aktif mengkonstruksi pengetahuan

matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah yang dimulai dari masalah-

masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, siswa diberi kebebasan menemukan

strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan guru membimbing siswa

menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui matematisasi

horisontal dan vertikal.

Ada istilah kontekstual dan juga ada istilah realistik. Pada pembelajaran

matematika istilah kontekstual dikenal sebagai pendekatan Contextual Teaching

and Learning atau yang lebih dikenal dengan pendekatan CTL dan realistik

dikenal sebagai pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dan di

12

Indonesia dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI).

Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman seseorang itu

dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah

pengetahuan tertanam dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki

seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah

bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang (Ernest dalam Hudoyo,

1998: 4-5).

1. Definisi CTL

CTL merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan untuk

membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan

menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan

sehari-hari (Johnson, 2002: 24).

2. Komponen CTL

a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful conections),

adalah membuat hubungan antara subyek dengan pengalaman yang

bermakna dan makna ini akan memberi alasan apa yang dipelajari.

Menghubungkan antara pembelajaran dengan kehidupan nyata siswa

sehingga hasilnya akan bermakna (berarti). Ini akan membuat siswa

merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya (Johnson, 2002:

43-44).

13

b. Melakukan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing

significant work), adalah dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang

sesuai.

c. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), adalah membangun

minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam

rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi

ajar dan konteks kehidupan sehari-hari (Johnson, 2002: 82-84).

d. Bekerja sama (collaborating), adalah proses pembelajaran yang

melibatkan siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk mengerti

bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan

dampak apa yang ditimbulkannya.

e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), siswa

diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifnya dalam

pengumpulan, analisis dan sintesis data, memahami suatu isu atau fakta

dan pemecahan masalah (Johnson, 2002: 100-101).

f. Memelihara atau membina pribadi (nurturing the individual), adalah

menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini menyangkut

pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyemangati, dan

memunculkan gairah belajar siswa. Guru harus memberi stimuli yang

baik terhadap motivasi belajar siswa dalam lingkungan sekolah. Guru

diharap mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar

siswa. Antara guru dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam

mempengaruhi kemampuan siswa. Pencapaian perkembangan siswa

14

tergantung pada lingkungan sekolah juga pada kepedulian perhatian yang

diterima siswa terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan

ini penting dan memberi makna pada pengalaman siswa nantinya didalam

kelompok dan dunia kerja (Johnson, 2002: 127-128).

g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), adalah

menyiapkan siswa mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti

perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan

penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk

menjadi orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan yang

bijaksana dan karyawan yang memuaskan (Johnson, 2002: 149-150).

h. Penilaian yang sesungguhnya (authentic assesment), ditujukan pada

motivasi siswa untuk menjadi unggul di era teknologi, penilaian

sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan,

penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-

ulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan

penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir

dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan

(Johnson, 2002: 165).

3. Implementasi CTL

Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru

dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

15

yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan

melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni sebagai berikut.

a. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika

ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi

sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (constructivism).

b. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning

groups) yaitu agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan

orang lain, maka pembelajaran hendaknya selalu dilaksanakan dalam

kelompok-kelompok belajar atau proses pembe- lajaran yang melibatkan

siswa dalam kelompok.

c. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu agar siswa memperoleh

pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil

mengingat sejumlah fakta).

d. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan

(questioning). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,

membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi

siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa

yang sudah diketahui dan menunjukkan perhatian pada aspek yang belum

diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara

guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang

baru yang didatangkan di kelas.

e. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada

model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang bagaimana cara

16

belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat

dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.

f. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari

atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa

yang lalu kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak

siswa.

g. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), adalah proses pengumpulan

berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.

Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya

membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu,

bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir

periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu

hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya itulah hakekat

penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003:

10-20).

c. Aspek Komunikasi Matematika

Matematika adalah salah satu alat bahasa yang digunakan untuk

berkomunikasi. Matematika merupakan bahasa yang universal dimana untuk satu

simbol dalam matematika dapat dipahami oleh setiap orang di dunia ini, misalnya

dalam matematika menyatakan jumlah menggunakan lambang ∑ (dibaca sigma).

Menurut Barton (2008,152), ide-ide matematika yang akan dikomunikasikan

17

harus sistematis, sehingga matematika dihasilkan. Hal ini yang menyebabkan

mengapa matematika dan bahasa harus berkembang bersama.

Secara umum, bahasa metematika menggunakan empat kategori simbol:

simbol-simbol untuk gagasan (bilangan dan elemen-elemen), simbol-simbol untuk

relasi (yang mengindikasikan bagaimana gagasan-gagasan dihubungkan atau

berkaitan satu sama lain), simbol-simbol untuk operasi (yang mengindikasikan

apa yang dilakukan dengan gagasan-gagasan ), dan simbol-simbol untuk tanda

baca (yang mengindikasikan urutan di mana matematika itu diselesaikan).

Menurut ILOs-The Intended Learning Outcomes (dikutip Armiati, 2009),

komunikasi matematika adalah suatu keterampilan penting dalam matematika

yaitu kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada

teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan.

Komunikasi matematika menurut NCTM adalah kemampuan siswa

dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah,

kemampuan siswa mengkonstruksikan dan menjelaskan sajian fenomena dunia

nyata secara grafis, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau

kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri (dikutip

Jazuli, 2009).

Melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai

perspektif; cara berfikir siswa dapat dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat

diukur; pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan

matematika dan pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan; dan

komunikasi matematika dapat dibentuk. Sesuai dengan tingkatan atau jenjang

18

pendidikan maka tingkat kemampuan komunikasi matematika menjadi beragam.

Komunikasi matematis sangat penting karena matematika tidak hanya menjadi

alat berfikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan

masalah dan menarik kesimpulan tetapi juga sebagai alat untuk

mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara jelas, tepat dan singkat.

Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

The Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics

diterbitkan oleh NCTM (dikutip Brenner, 1998:104) menyatakan:

di kelas 9-12, kurikulum matematika harus mencakup pengembangan lanjutan

dari bahasa dan simbolisme untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika

sehingga semua siswa dapat: merenungkan dan memperjelas pemikiran mereka

tentang ide-ide matematika dan hubungan; merumuskan definisi dan generalisasi

matematika mengekspresikan ditemukan melalui investigasi; mengekspresikan

ide-ide matematika secara lisan dan tertulis; membaca presentasi tertulis dari

matematika dengan pemahaman, meminta klarifikasi dan memperluas pertanyaan

berkaitan dengan matematika mereka telah membaca atau mendengar tentang;

(dan) menghargai ekonomi, kekuasaan, dan keanggunan notasi matematika dan

perannya dalam pengembangan ide-ide matematika.

Menurut Sumarmo (dikutip Kadir, 2008), komunikasi matematis

merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai

kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk :

1. Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide

matematika;

19

2. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis,

konkrit grafik, dan aljabar;

3. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol matematika;

4. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;

5. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematik tertulis;

6. Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi, dan

generalisasi; dan

7. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah

dipelajari.

Sedangkan Wardhani (2008,19) menyatakan bahwa komunikasi

matematis meliputi:

1. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika

banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan.

2. Menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang berupa

diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel.

3. mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

d. Aspek Penalaran

20

Keraf (1982: 5) dalam Fadjar Shadiq mengatakan bahwa “Penalaran

adalah proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau

evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan”. Selanjutnya

dapat dikatakan bahwa penalaran adalah suatu kegiatan, suatu proses atau suatu

eativitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru

yang benar berdasarkan beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan

atau diasumsikan sebelumnya.

Depdiknas (2002: 6) menyatakan bahwa “Materi matematika dan

penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu

materi matematika diperoleh melalaui penalaran dan penalaran dipahami dan

dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Kemampuan bernalar tidak hanya

dibutuhkan dalam belajar matematika atau mata pelajaran lainnya, namun juga

dapat dilakukan dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi sehari-hari.

Sumarmo dalam Kusnandi memberikan indikator kemampuan yang

termasuk dalam kemampuan penalaran matematika, yaitu sebagai berikut.

1. Membuat analogi dan generalisasi

2. Memberikan penjelasan dengan menggunakan model

3. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi

matematika

4. Menyusun dan menguji konjektur

5. Memeriksa validitas argumen

6. Menyusun pembuktian langsung

7. Menyusun pembuktian tidak langsung

21

8. Memberikan contoh penyangkal

9. Mengikuti aturan enferensi

e. Aspek Pemecahan Masalah

Barangkali secara umum orang memahami masalah (problem) sebagai

kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Namun dalam matematika, istilah

“problem” memiliki makna yang lebih khusus. Kata “Problem” terkait erat dengan

suatu pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan problem solving. Dalam hal ini

tidak setiap soal dapat disebut problem atau masalah. Ciri-ciri suatu soal disebut

“problem” dalam perspektif ini paling tidak memuat 2 hal yaitu:

1. soal tersebut menantang pikiran (challenging),

2. soal tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya (nonroutine).

Becker & Shimada (dalam McIntosh, R. & Jarret, D., 2000:5)

menegaskan hal ini sebagai berikut:

Genuine problem solving requires a problem that is just beyond the

tudent’s skill level so that she will not automatically know which

solution method to use. The problem should be nonroutine, in that

the student perceives the problem as challenging and unfamiliar, yet

not insurmountable.

Gardiner (1987:23) menyatakan bahwa “Most of us learn mathematics as

a collection of standard techniques which are used to solve standard problems in

predictable contexts”. Hal ini mengatakan bahwa kebanyakan siswa belajar

22

matematika untuk mengtahui langkah standar untuk menyelesaikan suatu masalah

yang telah diajarkan saja. Namun ketika siswa dihadapkan pada masalah yang

belum pernah dimunculkan, maka siswa akan cenderung mudah menyerah dan

tidak mau melanjutkan pekerjaannya.

Departemen Matematika dan Ilmu Komputer di Saint Louis University

(dalam Department of Mathematics and Computer Science, 1993) mengemukakan

lima tipe soal matematika:

1. Soal-soal yang menguji ingatan (memory).

2. Soal-soal yang menguji keterampilan (skills).

3. Soal-soal yang membutuhkan penerapan keterampilan pada situasi yang

biasa (familiar).

4. Soal-soal yang membutuhkan penerapan keterampilan pada situasi yang

tidak biasa (unfamiliar) – mengembangkan strategi untuk masalah yang

baru.

5. Soal-soal yang membutuhkan ekstensi (perluasan) keterampilan atau teori

yang kita kenal sebelum diterapkan pada situasi yang tidak biasa

(unfamiliar).

Soal jenis 1, 2, dan 3 inilah yang sering diberikan guru kepada siswanya.

Soal-soal tipe ini tidak memberikan kesempatan siswa untuk memecahkan

masalah dan mengeksplor kemampuannya. Namun soal 4 dan 5 inilah yang

merupakan tipe soal yang dapat mendorong siswa meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah. Jika siswa banyak dihadapkan pada soal jenis ini, maka

siswa akan memiliki gagasan yang hebat.

6

23

Istilah problem solving sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan

memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi problem solving dalam

matematika memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis besar terdapat tiga macam

interpretasi istilah Problem Solving dalam pembelajaran matematika, yaitu (1)

problem solving sebagai tujuan (as a goal), (2) problem solving sebagai proses (as

a process), dan (3) problem solving sebagai keterampilan dasar (as a basic skill).

(Branca, N. A. dalam Krulik, S. & Reys, R. E., 1980:3-6).

Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru matematika adalah

mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa

dalam menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama

adalah karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap orang)

setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Karena

itu pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar siswa dapat

menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas maupun sempit.

Dalam pembelajaran matematika ini aspek pemecahan masalah menjadi

semakin penting. Mengapa? Ini dikarenakan matematika merupakan pengetahuan

yang logis, sistematis, berpola, artifisial, abstrak, dan yang tak kalah penting

menghendaki justifikasi atau pembuktian. Sifat-sifat matematika ini menuntut

pembelajar menggunakan kemampuan-kemampuan dasar dalam pemecahan

masalah, seperti berpikir logis, berpikir strategik. Selain itu secara timbal balik

maka dengan mempelajari matematika, siswa terasah kemampuan dalam

memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan strategi dalam pemecahan masalah

matematika bersifat “universal” sesuai sifat matematika sebagai bahasa yang

24

universal (artifisial, simbolik). Selain itu, McIntosh, R. & Jarret, D. (2000:6)

menyatakan “The thinking and skills required for mathematical problem solving

transfer to other areas of life”.

Secara sistematis, Taplin menegaskan pentingnya Problem Solving

melalui tiga nilai yaitu fungsional, logikal, dan aestetikal. Secara fungsional,

Problem Solving penting karena melalui Problem Solving maka nilai matematika

sebagai disiplin ilmu yang esensial dapat dikembangkan. “It has already been

pointed out that mathematics is an essential discipline because of its practical

role to the individual and society. Through a problem-solving approach, this

aspect of mathematics can be developed.”, demikian ditegaskan Taplin (2007).

Dengan fokus pada Problem Solving maka matematika sebagai alat dalam

memecahkan masalah dapat diadaptasi pada berbagai konteks dan masalah sehari-

hari. Selain sebagai “alat” untuk meningkatkan pengetahuan matematika dan

membantu memahami masalah sehari-hari, maka Problem Solving juga

merupakan cara berpikir (way of thinking). Dalam perspektif terakhir ini maka

Problem Solving membantu kita meningkatkan kemampuan penalaran logis.

Terakhir, Problem Solving juga memiliki nilai aestetik. Problem Solving

melibatkan emosi/afeksi siswa selama proses pemecahan masalah. Masalah

Problem Solving juga dapat menantang pikiran dan bernuansa teka-teki bagi siswa

sehingga dapat meningkatkan rasa penasaran, motivasi dan kegigihan untuk selalu

terlibat dalam matematika.

Lebih lanjut pentingnya Problem Solving juga dapat dilihat pada

perannya dalam

25

pembelajaran. Stanic & Kilpatrick seperti dikutip McIntosh, R. & Jarret,

D. (2000:8), membagi peran Problem Solving sebagai konteks menjadi beberapa

hal:

a. Untuk pembenaran pengajaran matematika.

b. Untuk menarik minat siswa akan nilai matematika, dengan isi yang

berkaitan dengan masalah kehidupan nyata.

c. Untuk memotivasi siswa, membangkitkan perhatian siswa pada topik atau

prosedur khusus dalam matematika dengan menyediakan kegunaan

kontekstualnya (dalam kehidupan nyata).

d. Untuk rekreasi, sebagai sebuah aktivitas menyenangkan yang memecah

suasana belajar rutin.

e. Sebagai latihan, penguatan keterampilan dan konsep yang telah diajarkan

secara langsung (mungkin ini peran yang paling banyak dilakukan oleh

kita selama ini).

Problem solving sebagai konteks menekankan pada penemuan tugas-

tugas atau masalah yang menarik dan yang dapat membantu siswa memahami

konsep atau prosedur matematika.

Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi

matematika ketika menyinggung pembelajaran pemecahan masalah, namun

sesungguhnya ada dua dimensi atau dua “materi” yaitu: (1) pembelajaran

matematika melalui model atau strategi pemecahan masalah, dan (2)

pembelajaran strategi pemecahan masalah itu sendiri. Yang pertama “pemecahan

26

masalah” sebagai strategi atau model atau pendekatan pembelajaran, sedang yang

kedua “pemecahan masalah” sebagai materi pembelajaran.

Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving

approach), maka berikut ini karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah

(dalam Taplin, 2000).

a. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.

b. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.

c. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa

mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi

penyelesaiannya.

d. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.

e. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-

pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.

f. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-

pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.

g. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur

membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.

h. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan Problem Solving dapat

menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep,

sebuah proses sentral dalam matematika.

Ada kalanya kita kurang memahami karakteristik seorang pemecah

masalah (problem solver) yang baik, sehingga seringkali identifikasi kita hanya

27

terfokus pada hasil (apa yang ditemukan siswa, jawaban siswa), atau pada

kecocokan proses penyelesaian. Dengan mengenali karakteristik pemecah

masalah, maka kita dapat melihat potensi apa yang dimiliki oleh siswa serta apa

yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam

memecahkan masalah.

Ada banyak literatur dan pendapat mengenai ciri-ciri seorang pemecah

masalah (yang baik). Suydam (1980:36) telah menghimpun dan menyaring ciri-

ciri pemecah masalah yang baik dengan mengacu pada berbagai sumber (Dodson,

Hollander, Krutetskii, Robinson, Talton dan lain-lain) menjadi 10 macam ciri.

Berikut ini kesepuluh macam ciri pemecah masalah tersebut:

a. Mampu memahami istilah dan konsep matematika.

b. Mampu mengenali keserupaan, perbedaan, dan analogi.

c. Mampu mengindentifikasi bagian yang penting serta mampu memilih

prosedur dan data yang tepat.

d. Mampu mengenali detail yang tidak relevan.

e. Mampu memperkirakan dan menganalisis.

f. Mampu memvisualkan dan mengintepretasi fakta dan hubungan yang

kuantitatif.

g. Mampu melakukan generalisasi dari beberapa contoh.

h. Mampu mengaitkan metode-metode dengan mudah.

i. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, dengan tetap

memiliki hubungan baik dengan rekan-rekannya.

j. Tidak cemas terhadap ujian atau tes.

28

Kemampuan siswa memecahkan masalah berkembang secara perlahan

dan kontinu. Menurut Van De Walle (1994) terdapat beberapa aspek dalam diri

siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam

memecahkan masalah, yaitu:

a. strategi pemecahan masalah

b. proses metakognitif

c. keyakinan dan perilaku siswa terhadap matematika, yaitu mencakup

kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam

mencari pemecahan masalah.

Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa

dan guru. Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana

keyakinan guru tentang matematika tentu berpengaruh terhadap proses

pembelajaran itu sendiri. Keyakinan siswa tentang hakikat matematika antara lain:

masalah matematika hanya memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara

yang benar untuk menyelesaikan masalah matematika. Cara itu biasanya adalah

cara yang sering diajarkan guru di kelas. Siswa umumnya juga berkeyakinan

bahwa belajar matematika merupakan aktivitas terisolir dan individu, matematika

yang dipelajarinya di sekolah hanya memiliki sedikit keterkaitan atau tidak terkait

sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan rata-rata tidak dapat

diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka merasa lebih

mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis tanpa

pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika

29

lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih

baik dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut. Oleh karena itu,

penemuan dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran

matematika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika

adalah mengembangkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan

masalah. Guru harus merancang dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat

terbuka dan informal agar siswa memiliki kebebasan untuk bertanya dan

mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk

membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri daripada

menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru

seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu

materi agar menjadikannya lebih bermakna.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang

diperoleh siswa dari belajar matematika. Sehingga latihan merupakan hal yang

penting agar siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam

memecahkan beragam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan

masalahnya. Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk menggunakan

satu strategi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi kebebasan

untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-konsep

matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk

memilih sendiri strategi apa yang tepat untuk masalah yang dihadapinya tersebut,

siswa juga hendaknya dapat menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah

yang melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika.

30

Menurut Resnick dan Ford (1981), terdapat tiga aspek yang

mempengaruhi kemampuan siswa dalam merancang strategi pemecahan masalah,

yaitu:

a. keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah

b. keterampilan siswa dalam memahami ruang lingkup masalah, dan

c. struktur pengetahuan siswa.

Representasi matematis dapat berupa: grafik, diagram, sketsa, persamaan,

tabel, formasi bilangan, simbol/lambang, kata-kata, gambar, manipulatif objek,

dan berpikir tentang ide-ide matematika. Representasi matematis ini berfungsi

sebagai sarana bagi siswa mengkomunikasikan gagasannya ketika menghadapi

masalah matematika. Semakin baik siswa mengkomunikasikan gagasannya,

semakin baik pula siswa memahami hakikat masalah yang dihadapinya. Dan

sejalan dengan itu, semakin bermakna pemahaman konsep atau pengetahuan

matematika siswa, maka semakin baik pula kemampuan siswa untuk merancang

strategi pemecahan masalah.

Posamentier dan Stepelman (1999) memaparkan faktor-faktor yang dapat

meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek

lingkungan belajar dan guru, antara lain: menyediakan lingkungan belajar yang

mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi, menghargai pertanyaan siswa dan

ide-idenya, memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan

solusi dengan caranya sendiri, memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa

dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas

pemecahan masalah siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, bentuk kegiatan

31

pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih efisien daripada dilakukan

secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap siswa seperti

memberikan toleransi dan pengertian.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian di atas adalah penelitian dari

Fadjar Shadiq dengan judul ”Identifikasi Kesulitan Guru Matematika SMK Pada

Pembelajaran Matematika Yang Mengacu Pada Permendiknas No. 22 Tahun

2006”. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa para guru matematika

SMK mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22

tahun 2006 di kelasnya, terutama pengimplementasian yang berkait dengan

pembelajaran kontekstual (pembelajaran realistik atau PAKEM); dan penerapan

pencapaian tujuan pembelajaran yang berkait dengan aspek penalaran,

komunikasi, dan pemecahan masalah secara konkret di kelasnya masing-masing.

Karenanya, secara umum, Permendiknas nomor 22 tahun 2006 belum dapat

mengubah pola pembelajaran dan penilaian di kelas.

32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat, Subyek, dan Waktu Penelitian

1. Tempat dan Subyek Penelitian

Penelitian ini direncanakan di SD se-Gugus Ahmad Yani

Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo. Subyek penelitian adalah

para Guru SD yang mengajar Matematika.

2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember

2012.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk mengumpulkan data dan

kemudian mengolah data sehingga menghasilkan data yang dapat

memecahkan permasalah penelitian. Pada dasarnya, metode yang digunakan

dalam penelitian pendidikan jika ditinjau dari segi tujuannya dapat

dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: metode deskriptif, metode

historic, dan metode eksperimentasi.

Pada penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif digunakan untuk mengumpulkan, merangkum serta

menginterpretasikan data-data yang diperoleh, yang selanjutnya diolah

kembali sehingga dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan gambaran

32

33

yang jelas, terarah dan menyeluruh dari masalah yang menjadi objek

penelitian.

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari penelitian akan

disajikan secara apa adanya dan sama sekali tidak menarik kesimpulan yang

lebih jauh atau bahkan meramalkan ke depan dari data yang ada tersebut.

Selanjutnya peneliti ingin mendeskripsikan gejala yang terjadi dari data yang

diperoleh dan menganalisis untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat

pemahaman dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan standar isi

mata pelajaran matematika sebagaimana tertuang dalam Permendiknas No 22

Tahun 2006.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas;

objek/subjek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 55).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Matematika

SD Se-Gugus Ahmad Yani Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo

yang berjumlah 8 Sekolah Dasar.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diteliti yang

dapat dianggap dapat mengambarkan karakteristik populasinya.

34

Sampel diperoleh dengan cara mengambil 2 orang guru

matematika pada tiap SD. Guru Matematika yang digunakan sebagai

sampel penelitian adalah guru Matematika yang mengajar di kelas 5 dan

6 saja. Sehingga secara keseluruhan akan terdapat 2 × 8 = 16 guru.

D. Metode Pengumpulan Data Penelitian

Instrumen penelitian digunakan untuk mengetahui pemahaman guru

mengenai empat aspek penelitian yang terdiri dari pembelajaran konstektual,

komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah sebagai berikut:

1. Metode Dokumentasi

Data yang ingin diperoleh dari dokumentasi ini adalah sebagai berikut:

a. RPP. RPP digunakan untuk mengetahui kegiatan pembelajaran yang

akan dilakukan oleh guru selama proses belajar mengajar berlangsung.

Dari RPP tersebut akan diketahui apaah guru menerapkan

pembelajaran berbasis realistic atau tidak.

b. Soal ulangan siswa. Soal ulangan akan digunakan untuk melihat sejauh

mana soal yang diberikan oleh guru. Apakah soal yang diberikan telah

memenuhi tujuan pemevahan masalah, penalaran, dan komunikasi

matematika.

2. Metode Angket

Angket digunakan untuk mengumpulkan data pemahaman guru terkait

dengan pembelajaran realistik, pemecahan masalah, penalaran, dan

35

komunikasi matematika. Angket yang digunakan berupa isian singkat dan

pilihan ganda.

E. Teknik Pengolahan Data

Analisis data adalah memperkirakan atau dengan menentukan

besarnya pengaruh secara kuantitatif dari suatu (beberapa) kejadian

terhadap suatu (beberapa) kejadian lainnya, serta

memperkirakan/meramalkan kejadian lainnya. Kejadian dapat dinyatakan

sebagai perubahan nilai variabel. Proses analisis data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang diperoleh baik melalui hasil kuesioner dan

bantuan wawancara.

Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut.

1. Pengumpulan informasi melalui kuisioner dan penelaahan dokumen.

2. Langkah Reduksi yang bertujuan untuk memilih informasi mana

yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian.

3. Penyajian data melalaui table dan analisis persentase.

Analisis persentase dilakukan dengan rumus

� ��

�� 100%

4. Memberikan penafsiran atas penyajian data yang diperoleh.

36

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas

Department of Mathematics and Computer Science. 1993. Success in

Mathematics. Saint Louis University dalam http://euler.slu.edu/Dept/SuccessinMath.html #problemsolving diakses 26 Maret 2007

Fadjar Shadiq. 2004. Penalaran, Pemecahan Masalah, dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika. Jogjakarta: PPPG Matematika

Fadjar Shadiq. 2010. Identifikasi Kesulitan Guru Matematika SMK Pada

Pembelajaran Matematika Yang Mengacu Pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006. Jurnal EDUMAT Nomor 1 Volume 1 Tahun 2010 Hal 49 – 60

Keraf, G. 1982. Argumen dan Narasi. Komposisi Lanjutan III. Jakarta : Gramedia McIntosh, R. & Jarret, D. 2000. Teaching mathematical problem solving:

Implementing the vision. New York: NWREL, Mathematics and Science Education Center.

NCTM. 2000. Principles and Standartfor School Mathematics. Reston : NTCM NRC (1989). Everybody Counts. A Report to The Nations on The Future of

Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press Polya, G. 1973. How to Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press Posamentier, A. S. & Stepelman, J. (1999). Teaching secondary school

mathematics: Techniques and enrichment units (5th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Van Gundy, Arthur B. 2005. 101 Activities for Teaching Creativity and Problem Solving. San Fransisco: Jhon Wiley and Son,Inc. Reproduced by permission of Pfeiffer, an Imprint of Wiley.www.pfeiffer.com

37

38

LAMPIRAN

39

Instrumen Angket

1. Apakah Anda mengetahui tujuan pembelajaran matematika yang

tercantum dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006?

a. Ya

b. Tidak

2. Apakah Anda pernah mendengar/ mengetahui tentang pendekatan

pembelajaran konstektual atau realistik?

a. Sudah

b. Belum pernah

3. Proses pembelajaran matematika yang banyak dilakukan oleh guru di kelas

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

� Membuka pelajaran dengan salam.

� Membahas PR.

� Menyajikan materi ajar.

� Memberikan contoh soal.

� Meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan.

� Membahas soasl-soal tadi.

� Memberikan PR.

� Menutup pelajaran.

Apakah Anda ketika mengajar dengan urutan/ langkah-langkah yang

kurang lebih sama seperti di atas?

a. Ya

b. Tidak

4. Perhatikan soal di bawah ini!

Gambar berikut menunjukkan suatu ruangan. Seekor semut berjalan dari A

ke B. Semut dapat berjalan melali dinding dan atap ruangan tersebut.

Berapakah jarak terpendek yang dapat dilalui oleh semut?

40

Menurut Anda, soal di atas dapat mengungkapkan kemampuan siswa pada

aspek?

a. Komunikasi

b. Penalaran

c. Pemecahan Masalah

Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut!

5. Perhatikan soal berikut ini!

Seekor siput berada di dasar sebuah sumur dengan kedalaman 12 meter.

Semut berusaha untuk keluar dari sumur tersebut. Pada siang hari ia

memanjat dinding sumur dan mampu mencapai 5 meter. Pada malam hari

ia istirahat sehingga menyebabkannya turun 3 meter dari posisi yang ia

peroleh di siang harinya. Jika siput mulai memanjat dinding sumur pada

minggu pagi, maka kapankah siput tersebut dapat keluar dari sumur

tersebut?

Menurut Anda, soal di atas dapat mengungkapkan kemampuan siswa pada

aspek?

a. Komunikasi

b. Penalaran

c. Pemecahan Masalah

Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut!

6. Perhatikan berikut ini!

1 + 3 = 4 = 2 × 2

1 + 3 + 5 = 9 = 3 × 3

1 + 3 + 5 + 7 = 16 = 4 × 4

41

Maka, 1 + 3 + 5 + 7 + … + 19 = ….. ?

Menurut Anda, soal di atas mengungkapkan kemampuan siswa pada

aspek?

a. Komunikasi

b. Penalaran

c. Pemecahan masalah

Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut!

7. Dalam membelajarkan konsep penjumlahan dua bilangan bulat, langkah-

langkah apa yang Anda lakukan di dalam kelas? Jelaskan dan berikan

contoh!

8. Dapatkah Anda memberikan ciri-ciri soal yang digunakan untuk mengukur

aspek penalaran pada siswa?

a. Ya, sebutkan __________________________

b. Tidak

Selanjutnya berikan contoh soalnya!

9. Dapatkah Anda memberikan ciri-ciri soal yang digunakan untuk mengukur

aspek komunikasi pada siswa?

a. Ya, sebutkan __________________________

b. Tidak

Selanjutnya berikan contoh soalnya!

10. Dapatkah Anda memberikan ciri-ciri soal yang digunakan untuk mengukur

aspek pemecahan masalah pada siswa?

a. Ya, sebutkan __________________________

b. Tidak

Selanjutnya berikan contoh soalnya!

42

Pedoman Penskoran

Pedoman penskoran diperlukan agar penentuan skor bersifat obyektif.

Pedoman penskoran juga digunakan untuk melihat sejauh mana implementasi

empat aspek penelitian telah diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran

matematika di kelas.

Pedoman penskoran dilakukan sebagai berikut.

Soal nomor 1

Jawaban a mendapat skor 1 dan jawaban b mendapat skor 0.

Soal nomor 2

Jawaban a mendapat skor 1 dan jawaban b mendapat skor 0.

Soal nomor 3

Jawaban a mendapat skor 0 dan jawaban b mendapat skor 1. Jawaban a

menunjukkan bahwa guru masih menerapkan pembelajaran tradisional.

Soal nomor 4

Aspek komunikasi ditunjukkan pada soal nomor 4. Pada soal ini, guru diminta

memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan soal yang

berkait dengan komunikasi. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua

kelompok. Guru yang menjawab benar soal nomor 4a dan 4b. Setiap jawaban

benar diberi skor 1. Sedangkan guru yang menjawab salah soal nomor 4a dan 4b.

Setiap jawaban salah diberi skor 0.

Soal nomor 5

Aspek pemecahan masalah ditunjukkan pada soal nomor 5. Pada soal ini, guru

diminta memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan

soal yang berkait dengan pemecahan masalah. Setiap jawaban guru akan

dikategorikan menjadi dua kelompok. Guru yang menjawab benar soal nomor 5a

dan 5b. Setiap jawaban benar diberi skor 1. Sedangkan guru yang menjawab salah

soal nomor 5a dan 5b. Setiap jawaban salah diberi skor 0.

Soal nomor 6

Aspek penalaran ditunjukkan pada soal nomor 6. Pada soal ini, guru diminta

memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan soal yang

berkait dengan penalaran. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua

43

kelompok. Guru yang menjawab benar soal nomor 6a dan 6b. Setiap jawaban

benar diberi skor 1. Sedangkan guru yang menjawab salah soal nomor 6a dan 6b.

Setiap jawaban salah diberi skor 0.

Soal nomor 7

Aspek pembelajaran kontekstual atau realistik ditunjukkan pada tes nomor 1 di

atas. Pada soal tersebut, guru diminta menceriterakan cara (langkah-langkah)

mengajarkan suatu materi. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi tiga

kelompok, yaitu:

a. Guru yang masih mengguna-kan cara-cara tradisional, dimana guru masih

menggunakan paradigma untuk memindahkan pengetahuan yang dimiliki guru ke

dalam otak atau pikiran siswa. Skor yang diberikan adalah 1.

b. Guru yang sudah bergerak dari cara-cara tradisional ke arah cara-cara yang

mengarah ke pendekatan kontekstual atau realistik. Contohnya, guru yang sudah

menggunakan alat peraga untuk memberi kesempatan para siswa berpikir dan

menemukan sendiri pengetahuan. Skor yang diberikan adalah 2.

c. Guru yang sudah menggunakan pendekatan kontekstual atau realistik cara-cara

tradisional, di mana guru sudah menggunakan paradigma siswa sendiri yang

akan membangun sendiri pengetahuan, misalnya dengan mengajukan masalah

kontekstual di awal kegiatan. Skor yang diberikan adalah 3.

Soal nomor 8, 9, dan 10

Jika guru dapat memberikan ciri-ciri soal sesuai dengan aspek yang diminta,

maka akann mendapat skor 1. Jika tidak maka akan mendapat skor 0. Selanjutnya

jika guru dapat memberikan contoh soal dengan benar sesuai dengan aspek yang

diminta, maka akan mendapat skor 1.