CONTOH PROPOSAL PENELITIAN DESKRIPTIF
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of CONTOH PROPOSAL PENELITIAN DESKRIPTIF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang
sangat penting untuk dikuasai oleh peserta didik. Bahkan sering kali muncul
anggapan dari kebanyakan orang tua dan guru bahwa keberhasilan seseorang
dalam proses belajar sedikit banyak dapat dilihat dari keberhasilannya dalam
belajar matematika. Dengan kata lain, jika seorang peserta didik pandai dalam
matematika, maka ia diprediksikan akan mudah menguasai mata pelajaran yang
lain. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting bagi kehidupan
sehari-hari. Hal ini sejalan dengan National Research Council (NRC, 1981) dari
Amerika Serikat telah menyatakan: “Mathematics is the key to opportunity.”
Matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Bagi seorang siswa,
keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Hal ini
dapat dipahami bahwa hampir semua pekerjaan sekarang ini pasti akan
melibatkan Matematika. Bagi seorang ekonom dan manager sekalipun, ketika
merumuskan kebijakan ekonomi selalu berdasarkan pada perhitungan matematika.
Bahkan bagi seorang imam sholat pun ketika tidak tahu matematika, maka ia tidak
akan tahu hitungan rekaat sholat sehingga pasti akan merepotkan makmumnya.
Hal yang lebih aneh lagi adalah kejadian pada orang yang huta huruf, mereka
tidak bisa membaca, namun dalam masalah perhitungan ia pasti bisa. Inilah
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Matematika merupakan pengetahuan
1
2
dasar yang harus dikuasai oleh seseorang untuk menunjang kehidupannya nanti.
Maka benar jika Cockcoft dalam Shadiq (2007: 3) mengatakan “ Akan sangat sulit
atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bahian bumi ini pada abad
ke-20 ini tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika.
Kenyataan yang terjadi di kelas-kelas, Matematika sekarang ini masih
dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional,
matematika selalu menjadi mata pelajaran dengan nilai rata-rata terendah
dibanding dengan mata pelajaran lainnya. Kasus ketidak lulusan seorang siswa
juga banyak disebabkan karena nilai matematika yang jauh dari nilai minimal
kelulusan . Oleh karena itu menjadi tugas bagi semua guru matematika untuk
menyajika matematika dengan lebih menarik dan memudahkan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) menyatakan bahwa SKL matematika bagi
SD/ MI diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan
kreatif.
2. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, dengan
bimbingan guru/pendidik .
3. Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya.
4. Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Berkomunikasi secara jelas dan santun .
1
3
6. Bekerja sama dalam kelompok, tolong-menolong, dan menjaga diri sendiri
dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya .
7. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis.
8. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan
berhitung.
Ditegaskan lagi dalam Depdiknas (2006) melalui Permendiknas No 22
tentang Standar Isi telah menyatakan bahwa tujuan pertama pelajaran matematika
di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK adalah agar peserta didik:
“Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah”. Dengan adanya perkembangan zaman, tentunya juga
akan terjadi perubahan dalam hal tujuan pembelajaran matematika.
Kecenderungan di zaman ini mengarahkan bahwa tujuan matematika lebih
dikaitkan dengan kemampuan berpikir yang digunakan para matematikawan.
Karenanya para siswa harus belajar bernalar, memecahkan masalah dan
berkomunikasi. Karena kemampuan seperti itu jauh lebih dibutuhkan pada masa
kini.
Jadi, untuk masa kini dan untuk masa-masa yang akan datang,
kemampuan berpikir dan bernalar jauh lebih dibutuhkan sebagaimana dinyatakan
NRC (1989:1) berikut: “Communication has created a world economy in which
working smarter is more important …. Jobs that contribute to this world economy
require workers who are mentally fit—workers who are prepared to absorb new
ideas, to adapt to change, to cope with ambiguity, to perceive patterns, and to
4
solve unconventional problems”. Di masa kini dan di masa yang akan datang, di
era komunikasi dan teknologi canggih, dibutuhkan para pekerja yang lebih cerdas
(smarter) daripada pekerja yang lebih keras (harder). Dibutuhkkan para pekerja
yang telah disiapkan untuk mampu mencerna ide-ide baru (absorb new ideas),
mampu menyesuaikan terhadap perubahan (to adapt to change), mampu
menangani ketidakpastian (cope with ambiguity), mampu menemukan keteraturan
(perceive patterns), dan mampu memecahkan masalah yang tidak lazim (solve
unconventional problems).
Dari tujuan pembelajaran matematika di atas dapat digaris bawahi bahwa
hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh guru dalam penyajian
pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan bernalar, pemecahan
masalah, dan kemampuan komunikasi. Namun, ketiga komponen di atas sangat
jarang direalisasikan oleh para guru. Guru lebih banyak mendominasi
pembelajaran sehingga kemampuan siswa dalam mengkonstruksi dan
memecahkan masalah tidak terjadi di kelas. Bahkan seringkali muncul kejadian,
ketika seorang anak meminta bantuan kepada kepada orang yang bukan gurunya,
jawaban yang diberikan oleh orang tersebut sudah benar, namun karena caranya
tidak sesuai dengan cara yang diberikan oleh guru maka si anak tersebut akan
menangis atau marah-marah. Hal yang lebih parah lagi adalah ketika jawaban
yang benar tersebut disalahkan oleh gurunya juga. Kejadian ini tentunya tidak
sesuai dengan prinsip konstruktivisme dan pemecahan masalah.
Pembelajaran matematika di kelas banyak bertumpu pada Buku Lembar
Kegiatan Siswa (LKS) dan buku Diktat yang jarang sekali memunculkan soal-soal
5
mengenai pemecahan masalah. Kebiasaan mengerjakan soal-soal yang hanya
tinggal memasukkan angka-angka ke dalam rumus saja, hanya akan membuat
siswa tidak dapat berpikir kritis, logis, dan kreatif. Jika siswa dihadapkan pada
soal (masalah) yang tidak biasa dihadapi, maka siswa akan mengalami kesulitan.
Oleh karena itu penting kiranya bagi guru untuk lebih mendalami
kembali ketiga komponen di atas dalam penyajian pembelajaran matematika di
kelas. Selain itu guru wajib melaksanakan pembelajaran dengan mengedepankan
kontek kehidupan nyata dalam penyajian pembelajaran.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut.
1. Siswa masih menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit.
Hal ini terbukti dengan masih rendahnya nilai rata-rata matematika
dibandingkan dengan mata pelajaran lain dalam Ujian Nasional.
2. Tidak dilakukannnya pembelajaran yang mengacu pada Tujuan Pembelajaran
Matematika sebagaimana telah digariskan dalam Permendiknas, yaitu:
meningkatkan kemampuan bernalar, berpikir logis dan kreatif, serta
pemecahan masalah.
3. Kebanyakan siswa belajar sesuai dengan instruksi guru dan tidak difasilitasi
untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.
6
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitin berjalan dengan lebih terarah, maka perlu dilakukan
pembatasan sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru terkait
dengan tujuan pembelajaran matematika sesuai dengan Permendiknas.
2. Penelitian melibatkan guru Sekolah Dasar (SD) se-gugus di Kecamatan
Purworejo Kabupaten purworejo.
3. Penelitian dilakukan pada Tahun Ajaran 2012/2013.
Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti mengambil judul
“Identifikasi Kesulitasn Guru Sekolah Dasar Pada Pembelajaran Matematika
Yang Mengacu Permendiknas No. 22 Tahun 2006”
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam
mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait
dengan penalaran?
2. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam
mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait
dengan pemecahan masalah?
3. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam
mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait
dengan komunikasi?
7
4. Bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SD dalam
mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait
dengan pendekatan kontekstual?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru
matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun
2006 yang berkait dengan penalaran.
2. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru
matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun
2006 yang berkait dengan pemecahan masalah.
3. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru
matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun
2006 yang berkait dengan komunikasi.
4. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pemahaman dan kesulitan guru
matematika SD dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun
2006 yang berkait dengan pendekatan kontekstual.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
8
1. Untuk lebih memberikan pemahaman kepada para guru Sekolah Dasar
mengenai tujuan pembelajaran Matematika berdasarkan Permendiknas
Nomor 22 tahun 2006.
2. Membantu Guru untuk dapat mengimplementasikan tujuan pembelajaran
matematika dalam proses pembelajaran di kelas.
3. Meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di Sekolah Dasar.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
a. Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.
Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan
matematika yang kuat sejak dini.
Visi dan tujuan dari dokumen The National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM), yaitu Princples and Standards for School Mathematics,
semua siswa harus mendapatkan kesempatan untuk mempelajari, mengapresiasi,
dan menerapkan skill-skil, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip matematika baik
didalam ataupun diluar sekolah (Wahyudin, 2008:4). Standar NCTM (Van de
Walle, 2008:4) sebagai standar utama dalam pembelajaran matematika yaitu
kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi
(communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran
(reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Kelima standar
tersebut mempunyai peranan penting dalam kurikulum matematika.
9
10
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah
terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu
dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika,
menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan
pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.
Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
7
11
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
b. Pembelajaran Konstektual
Pembelajaran matematika dengan pendekatan kotekstual atau realistik
memberikan peluang pada siswa untuk aktif mengkonstruksi pengetahuan
matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah yang dimulai dari masalah-
masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, siswa diberi kebebasan menemukan
strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan guru membimbing siswa
menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui matematisasi
horisontal dan vertikal.
Ada istilah kontekstual dan juga ada istilah realistik. Pada pembelajaran
matematika istilah kontekstual dikenal sebagai pendekatan Contextual Teaching
and Learning atau yang lebih dikenal dengan pendekatan CTL dan realistik
dikenal sebagai pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dan di
12
Indonesia dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI).
Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman seseorang itu
dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah
pengetahuan tertanam dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki
seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah
bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang (Ernest dalam Hudoyo,
1998: 4-5).
1. Definisi CTL
CTL merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan untuk
membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan
menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari (Johnson, 2002: 24).
2. Komponen CTL
a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful conections),
adalah membuat hubungan antara subyek dengan pengalaman yang
bermakna dan makna ini akan memberi alasan apa yang dipelajari.
Menghubungkan antara pembelajaran dengan kehidupan nyata siswa
sehingga hasilnya akan bermakna (berarti). Ini akan membuat siswa
merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya (Johnson, 2002:
43-44).
13
b. Melakukan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing
significant work), adalah dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang
sesuai.
c. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), adalah membangun
minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam
rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi
ajar dan konteks kehidupan sehari-hari (Johnson, 2002: 82-84).
d. Bekerja sama (collaborating), adalah proses pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk mengerti
bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan
dampak apa yang ditimbulkannya.
e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), siswa
diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifnya dalam
pengumpulan, analisis dan sintesis data, memahami suatu isu atau fakta
dan pemecahan masalah (Johnson, 2002: 100-101).
f. Memelihara atau membina pribadi (nurturing the individual), adalah
menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini menyangkut
pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyemangati, dan
memunculkan gairah belajar siswa. Guru harus memberi stimuli yang
baik terhadap motivasi belajar siswa dalam lingkungan sekolah. Guru
diharap mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar
siswa. Antara guru dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam
mempengaruhi kemampuan siswa. Pencapaian perkembangan siswa
14
tergantung pada lingkungan sekolah juga pada kepedulian perhatian yang
diterima siswa terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan
ini penting dan memberi makna pada pengalaman siswa nantinya didalam
kelompok dan dunia kerja (Johnson, 2002: 127-128).
g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), adalah
menyiapkan siswa mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti
perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk
menjadi orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan yang
bijaksana dan karyawan yang memuaskan (Johnson, 2002: 149-150).
h. Penilaian yang sesungguhnya (authentic assesment), ditujukan pada
motivasi siswa untuk menjadi unggul di era teknologi, penilaian
sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan,
penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-
ulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan
penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir
dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan
(Johnson, 2002: 165).
3. Implementasi CTL
Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru
dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
15
yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni sebagai berikut.
a. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika
ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (constructivism).
b. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning
groups) yaitu agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan
orang lain, maka pembelajaran hendaknya selalu dilaksanakan dalam
kelompok-kelompok belajar atau proses pembe- lajaran yang melibatkan
siswa dalam kelompok.
c. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu agar siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil
mengingat sejumlah fakta).
d. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan
(questioning). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi
siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa
yang sudah diketahui dan menunjukkan perhatian pada aspek yang belum
diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara
guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang
baru yang didatangkan di kelas.
e. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada
model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang bagaimana cara
16
belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.
f. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari
atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa
yang lalu kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak
siswa.
g. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya
membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu,
bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir
periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu
hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya itulah hakekat
penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003:
10-20).
c. Aspek Komunikasi Matematika
Matematika adalah salah satu alat bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi. Matematika merupakan bahasa yang universal dimana untuk satu
simbol dalam matematika dapat dipahami oleh setiap orang di dunia ini, misalnya
dalam matematika menyatakan jumlah menggunakan lambang ∑ (dibaca sigma).
Menurut Barton (2008,152), ide-ide matematika yang akan dikomunikasikan
17
harus sistematis, sehingga matematika dihasilkan. Hal ini yang menyebabkan
mengapa matematika dan bahasa harus berkembang bersama.
Secara umum, bahasa metematika menggunakan empat kategori simbol:
simbol-simbol untuk gagasan (bilangan dan elemen-elemen), simbol-simbol untuk
relasi (yang mengindikasikan bagaimana gagasan-gagasan dihubungkan atau
berkaitan satu sama lain), simbol-simbol untuk operasi (yang mengindikasikan
apa yang dilakukan dengan gagasan-gagasan ), dan simbol-simbol untuk tanda
baca (yang mengindikasikan urutan di mana matematika itu diselesaikan).
Menurut ILOs-The Intended Learning Outcomes (dikutip Armiati, 2009),
komunikasi matematika adalah suatu keterampilan penting dalam matematika
yaitu kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada
teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan.
Komunikasi matematika menurut NCTM adalah kemampuan siswa
dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah,
kemampuan siswa mengkonstruksikan dan menjelaskan sajian fenomena dunia
nyata secara grafis, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau
kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri (dikutip
Jazuli, 2009).
Melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai
perspektif; cara berfikir siswa dapat dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat
diukur; pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan
matematika dan pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan; dan
komunikasi matematika dapat dibentuk. Sesuai dengan tingkatan atau jenjang
18
pendidikan maka tingkat kemampuan komunikasi matematika menjadi beragam.
Komunikasi matematis sangat penting karena matematika tidak hanya menjadi
alat berfikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan
masalah dan menarik kesimpulan tetapi juga sebagai alat untuk
mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara jelas, tepat dan singkat.
Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
The Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics
diterbitkan oleh NCTM (dikutip Brenner, 1998:104) menyatakan:
di kelas 9-12, kurikulum matematika harus mencakup pengembangan lanjutan
dari bahasa dan simbolisme untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika
sehingga semua siswa dapat: merenungkan dan memperjelas pemikiran mereka
tentang ide-ide matematika dan hubungan; merumuskan definisi dan generalisasi
matematika mengekspresikan ditemukan melalui investigasi; mengekspresikan
ide-ide matematika secara lisan dan tertulis; membaca presentasi tertulis dari
matematika dengan pemahaman, meminta klarifikasi dan memperluas pertanyaan
berkaitan dengan matematika mereka telah membaca atau mendengar tentang;
(dan) menghargai ekonomi, kekuasaan, dan keanggunan notasi matematika dan
perannya dalam pengembangan ide-ide matematika.
Menurut Sumarmo (dikutip Kadir, 2008), komunikasi matematis
merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai
kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk :
1. Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematika;
19
2. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis,
konkrit grafik, dan aljabar;
3. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol matematika;
4. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematik tertulis;
6. Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi, dan
generalisasi; dan
7. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah
dipelajari.
Sedangkan Wardhani (2008,19) menyatakan bahwa komunikasi
matematis meliputi:
1. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika
banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan.
2. Menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang berupa
diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel.
3. mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
d. Aspek Penalaran
20
Keraf (1982: 5) dalam Fadjar Shadiq mengatakan bahwa “Penalaran
adalah proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau
evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan”. Selanjutnya
dapat dikatakan bahwa penalaran adalah suatu kegiatan, suatu proses atau suatu
eativitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru
yang benar berdasarkan beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan
atau diasumsikan sebelumnya.
Depdiknas (2002: 6) menyatakan bahwa “Materi matematika dan
penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
materi matematika diperoleh melalaui penalaran dan penalaran dipahami dan
dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Kemampuan bernalar tidak hanya
dibutuhkan dalam belajar matematika atau mata pelajaran lainnya, namun juga
dapat dilakukan dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi sehari-hari.
Sumarmo dalam Kusnandi memberikan indikator kemampuan yang
termasuk dalam kemampuan penalaran matematika, yaitu sebagai berikut.
1. Membuat analogi dan generalisasi
2. Memberikan penjelasan dengan menggunakan model
3. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematika
4. Menyusun dan menguji konjektur
5. Memeriksa validitas argumen
6. Menyusun pembuktian langsung
7. Menyusun pembuktian tidak langsung
21
8. Memberikan contoh penyangkal
9. Mengikuti aturan enferensi
e. Aspek Pemecahan Masalah
Barangkali secara umum orang memahami masalah (problem) sebagai
kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Namun dalam matematika, istilah
“problem” memiliki makna yang lebih khusus. Kata “Problem” terkait erat dengan
suatu pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan problem solving. Dalam hal ini
tidak setiap soal dapat disebut problem atau masalah. Ciri-ciri suatu soal disebut
“problem” dalam perspektif ini paling tidak memuat 2 hal yaitu:
1. soal tersebut menantang pikiran (challenging),
2. soal tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya (nonroutine).
Becker & Shimada (dalam McIntosh, R. & Jarret, D., 2000:5)
menegaskan hal ini sebagai berikut:
Genuine problem solving requires a problem that is just beyond the
tudent’s skill level so that she will not automatically know which
solution method to use. The problem should be nonroutine, in that
the student perceives the problem as challenging and unfamiliar, yet
not insurmountable.
Gardiner (1987:23) menyatakan bahwa “Most of us learn mathematics as
a collection of standard techniques which are used to solve standard problems in
predictable contexts”. Hal ini mengatakan bahwa kebanyakan siswa belajar
22
matematika untuk mengtahui langkah standar untuk menyelesaikan suatu masalah
yang telah diajarkan saja. Namun ketika siswa dihadapkan pada masalah yang
belum pernah dimunculkan, maka siswa akan cenderung mudah menyerah dan
tidak mau melanjutkan pekerjaannya.
Departemen Matematika dan Ilmu Komputer di Saint Louis University
(dalam Department of Mathematics and Computer Science, 1993) mengemukakan
lima tipe soal matematika:
1. Soal-soal yang menguji ingatan (memory).
2. Soal-soal yang menguji keterampilan (skills).
3. Soal-soal yang membutuhkan penerapan keterampilan pada situasi yang
biasa (familiar).
4. Soal-soal yang membutuhkan penerapan keterampilan pada situasi yang
tidak biasa (unfamiliar) – mengembangkan strategi untuk masalah yang
baru.
5. Soal-soal yang membutuhkan ekstensi (perluasan) keterampilan atau teori
yang kita kenal sebelum diterapkan pada situasi yang tidak biasa
(unfamiliar).
Soal jenis 1, 2, dan 3 inilah yang sering diberikan guru kepada siswanya.
Soal-soal tipe ini tidak memberikan kesempatan siswa untuk memecahkan
masalah dan mengeksplor kemampuannya. Namun soal 4 dan 5 inilah yang
merupakan tipe soal yang dapat mendorong siswa meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah. Jika siswa banyak dihadapkan pada soal jenis ini, maka
siswa akan memiliki gagasan yang hebat.
6
23
Istilah problem solving sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan
memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi problem solving dalam
matematika memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis besar terdapat tiga macam
interpretasi istilah Problem Solving dalam pembelajaran matematika, yaitu (1)
problem solving sebagai tujuan (as a goal), (2) problem solving sebagai proses (as
a process), dan (3) problem solving sebagai keterampilan dasar (as a basic skill).
(Branca, N. A. dalam Krulik, S. & Reys, R. E., 1980:3-6).
Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru matematika adalah
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa
dalam menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama
adalah karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap orang)
setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Karena
itu pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar siswa dapat
menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas maupun sempit.
Dalam pembelajaran matematika ini aspek pemecahan masalah menjadi
semakin penting. Mengapa? Ini dikarenakan matematika merupakan pengetahuan
yang logis, sistematis, berpola, artifisial, abstrak, dan yang tak kalah penting
menghendaki justifikasi atau pembuktian. Sifat-sifat matematika ini menuntut
pembelajar menggunakan kemampuan-kemampuan dasar dalam pemecahan
masalah, seperti berpikir logis, berpikir strategik. Selain itu secara timbal balik
maka dengan mempelajari matematika, siswa terasah kemampuan dalam
memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan strategi dalam pemecahan masalah
matematika bersifat “universal” sesuai sifat matematika sebagai bahasa yang
24
universal (artifisial, simbolik). Selain itu, McIntosh, R. & Jarret, D. (2000:6)
menyatakan “The thinking and skills required for mathematical problem solving
transfer to other areas of life”.
Secara sistematis, Taplin menegaskan pentingnya Problem Solving
melalui tiga nilai yaitu fungsional, logikal, dan aestetikal. Secara fungsional,
Problem Solving penting karena melalui Problem Solving maka nilai matematika
sebagai disiplin ilmu yang esensial dapat dikembangkan. “It has already been
pointed out that mathematics is an essential discipline because of its practical
role to the individual and society. Through a problem-solving approach, this
aspect of mathematics can be developed.”, demikian ditegaskan Taplin (2007).
Dengan fokus pada Problem Solving maka matematika sebagai alat dalam
memecahkan masalah dapat diadaptasi pada berbagai konteks dan masalah sehari-
hari. Selain sebagai “alat” untuk meningkatkan pengetahuan matematika dan
membantu memahami masalah sehari-hari, maka Problem Solving juga
merupakan cara berpikir (way of thinking). Dalam perspektif terakhir ini maka
Problem Solving membantu kita meningkatkan kemampuan penalaran logis.
Terakhir, Problem Solving juga memiliki nilai aestetik. Problem Solving
melibatkan emosi/afeksi siswa selama proses pemecahan masalah. Masalah
Problem Solving juga dapat menantang pikiran dan bernuansa teka-teki bagi siswa
sehingga dapat meningkatkan rasa penasaran, motivasi dan kegigihan untuk selalu
terlibat dalam matematika.
Lebih lanjut pentingnya Problem Solving juga dapat dilihat pada
perannya dalam
25
pembelajaran. Stanic & Kilpatrick seperti dikutip McIntosh, R. & Jarret,
D. (2000:8), membagi peran Problem Solving sebagai konteks menjadi beberapa
hal:
a. Untuk pembenaran pengajaran matematika.
b. Untuk menarik minat siswa akan nilai matematika, dengan isi yang
berkaitan dengan masalah kehidupan nyata.
c. Untuk memotivasi siswa, membangkitkan perhatian siswa pada topik atau
prosedur khusus dalam matematika dengan menyediakan kegunaan
kontekstualnya (dalam kehidupan nyata).
d. Untuk rekreasi, sebagai sebuah aktivitas menyenangkan yang memecah
suasana belajar rutin.
e. Sebagai latihan, penguatan keterampilan dan konsep yang telah diajarkan
secara langsung (mungkin ini peran yang paling banyak dilakukan oleh
kita selama ini).
Problem solving sebagai konteks menekankan pada penemuan tugas-
tugas atau masalah yang menarik dan yang dapat membantu siswa memahami
konsep atau prosedur matematika.
Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi
matematika ketika menyinggung pembelajaran pemecahan masalah, namun
sesungguhnya ada dua dimensi atau dua “materi” yaitu: (1) pembelajaran
matematika melalui model atau strategi pemecahan masalah, dan (2)
pembelajaran strategi pemecahan masalah itu sendiri. Yang pertama “pemecahan
26
masalah” sebagai strategi atau model atau pendekatan pembelajaran, sedang yang
kedua “pemecahan masalah” sebagai materi pembelajaran.
Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving
approach), maka berikut ini karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah
(dalam Taplin, 2000).
a. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.
b. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.
c. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa
mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi
penyelesaiannya.
d. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.
e. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-
pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
f. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-
pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
g. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur
membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.
h. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan Problem Solving dapat
menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep,
sebuah proses sentral dalam matematika.
Ada kalanya kita kurang memahami karakteristik seorang pemecah
masalah (problem solver) yang baik, sehingga seringkali identifikasi kita hanya
27
terfokus pada hasil (apa yang ditemukan siswa, jawaban siswa), atau pada
kecocokan proses penyelesaian. Dengan mengenali karakteristik pemecah
masalah, maka kita dapat melihat potensi apa yang dimiliki oleh siswa serta apa
yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah.
Ada banyak literatur dan pendapat mengenai ciri-ciri seorang pemecah
masalah (yang baik). Suydam (1980:36) telah menghimpun dan menyaring ciri-
ciri pemecah masalah yang baik dengan mengacu pada berbagai sumber (Dodson,
Hollander, Krutetskii, Robinson, Talton dan lain-lain) menjadi 10 macam ciri.
Berikut ini kesepuluh macam ciri pemecah masalah tersebut:
a. Mampu memahami istilah dan konsep matematika.
b. Mampu mengenali keserupaan, perbedaan, dan analogi.
c. Mampu mengindentifikasi bagian yang penting serta mampu memilih
prosedur dan data yang tepat.
d. Mampu mengenali detail yang tidak relevan.
e. Mampu memperkirakan dan menganalisis.
f. Mampu memvisualkan dan mengintepretasi fakta dan hubungan yang
kuantitatif.
g. Mampu melakukan generalisasi dari beberapa contoh.
h. Mampu mengaitkan metode-metode dengan mudah.
i. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, dengan tetap
memiliki hubungan baik dengan rekan-rekannya.
j. Tidak cemas terhadap ujian atau tes.
28
Kemampuan siswa memecahkan masalah berkembang secara perlahan
dan kontinu. Menurut Van De Walle (1994) terdapat beberapa aspek dalam diri
siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam
memecahkan masalah, yaitu:
a. strategi pemecahan masalah
b. proses metakognitif
c. keyakinan dan perilaku siswa terhadap matematika, yaitu mencakup
kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam
mencari pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa
dan guru. Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana
keyakinan guru tentang matematika tentu berpengaruh terhadap proses
pembelajaran itu sendiri. Keyakinan siswa tentang hakikat matematika antara lain:
masalah matematika hanya memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara
yang benar untuk menyelesaikan masalah matematika. Cara itu biasanya adalah
cara yang sering diajarkan guru di kelas. Siswa umumnya juga berkeyakinan
bahwa belajar matematika merupakan aktivitas terisolir dan individu, matematika
yang dipelajarinya di sekolah hanya memiliki sedikit keterkaitan atau tidak terkait
sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan rata-rata tidak dapat
diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka merasa lebih
mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis tanpa
pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika
29
lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih
baik dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut. Oleh karena itu,
penemuan dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran
matematika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika
adalah mengembangkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan
masalah. Guru harus merancang dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat
terbuka dan informal agar siswa memiliki kebebasan untuk bertanya dan
mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk
membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri daripada
menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru
seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu
materi agar menjadikannya lebih bermakna.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang
diperoleh siswa dari belajar matematika. Sehingga latihan merupakan hal yang
penting agar siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam
memecahkan beragam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan
masalahnya. Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk menggunakan
satu strategi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi kebebasan
untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-konsep
matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk
memilih sendiri strategi apa yang tepat untuk masalah yang dihadapinya tersebut,
siswa juga hendaknya dapat menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah
yang melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika.
30
Menurut Resnick dan Ford (1981), terdapat tiga aspek yang
mempengaruhi kemampuan siswa dalam merancang strategi pemecahan masalah,
yaitu:
a. keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah
b. keterampilan siswa dalam memahami ruang lingkup masalah, dan
c. struktur pengetahuan siswa.
Representasi matematis dapat berupa: grafik, diagram, sketsa, persamaan,
tabel, formasi bilangan, simbol/lambang, kata-kata, gambar, manipulatif objek,
dan berpikir tentang ide-ide matematika. Representasi matematis ini berfungsi
sebagai sarana bagi siswa mengkomunikasikan gagasannya ketika menghadapi
masalah matematika. Semakin baik siswa mengkomunikasikan gagasannya,
semakin baik pula siswa memahami hakikat masalah yang dihadapinya. Dan
sejalan dengan itu, semakin bermakna pemahaman konsep atau pengetahuan
matematika siswa, maka semakin baik pula kemampuan siswa untuk merancang
strategi pemecahan masalah.
Posamentier dan Stepelman (1999) memaparkan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek
lingkungan belajar dan guru, antara lain: menyediakan lingkungan belajar yang
mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi, menghargai pertanyaan siswa dan
ide-idenya, memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan
solusi dengan caranya sendiri, memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa
dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas
pemecahan masalah siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, bentuk kegiatan
31
pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih efisien daripada dilakukan
secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap siswa seperti
memberikan toleransi dan pengertian.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian di atas adalah penelitian dari
Fadjar Shadiq dengan judul ”Identifikasi Kesulitan Guru Matematika SMK Pada
Pembelajaran Matematika Yang Mengacu Pada Permendiknas No. 22 Tahun
2006”. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa para guru matematika
SMK mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22
tahun 2006 di kelasnya, terutama pengimplementasian yang berkait dengan
pembelajaran kontekstual (pembelajaran realistik atau PAKEM); dan penerapan
pencapaian tujuan pembelajaran yang berkait dengan aspek penalaran,
komunikasi, dan pemecahan masalah secara konkret di kelasnya masing-masing.
Karenanya, secara umum, Permendiknas nomor 22 tahun 2006 belum dapat
mengubah pola pembelajaran dan penilaian di kelas.
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat, Subyek, dan Waktu Penelitian
1. Tempat dan Subyek Penelitian
Penelitian ini direncanakan di SD se-Gugus Ahmad Yani
Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo. Subyek penelitian adalah
para Guru SD yang mengajar Matematika.
2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember
2012.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk mengumpulkan data dan
kemudian mengolah data sehingga menghasilkan data yang dapat
memecahkan permasalah penelitian. Pada dasarnya, metode yang digunakan
dalam penelitian pendidikan jika ditinjau dari segi tujuannya dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: metode deskriptif, metode
historic, dan metode eksperimentasi.
Pada penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif digunakan untuk mengumpulkan, merangkum serta
menginterpretasikan data-data yang diperoleh, yang selanjutnya diolah
kembali sehingga dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan gambaran
32
33
yang jelas, terarah dan menyeluruh dari masalah yang menjadi objek
penelitian.
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari penelitian akan
disajikan secara apa adanya dan sama sekali tidak menarik kesimpulan yang
lebih jauh atau bahkan meramalkan ke depan dari data yang ada tersebut.
Selanjutnya peneliti ingin mendeskripsikan gejala yang terjadi dari data yang
diperoleh dan menganalisis untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat
pemahaman dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan standar isi
mata pelajaran matematika sebagaimana tertuang dalam Permendiknas No 22
Tahun 2006.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas;
objek/subjek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 55).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Matematika
SD Se-Gugus Ahmad Yani Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo
yang berjumlah 8 Sekolah Dasar.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diteliti yang
dapat dianggap dapat mengambarkan karakteristik populasinya.
34
Sampel diperoleh dengan cara mengambil 2 orang guru
matematika pada tiap SD. Guru Matematika yang digunakan sebagai
sampel penelitian adalah guru Matematika yang mengajar di kelas 5 dan
6 saja. Sehingga secara keseluruhan akan terdapat 2 × 8 = 16 guru.
D. Metode Pengumpulan Data Penelitian
Instrumen penelitian digunakan untuk mengetahui pemahaman guru
mengenai empat aspek penelitian yang terdiri dari pembelajaran konstektual,
komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Metode Dokumentasi
Data yang ingin diperoleh dari dokumentasi ini adalah sebagai berikut:
a. RPP. RPP digunakan untuk mengetahui kegiatan pembelajaran yang
akan dilakukan oleh guru selama proses belajar mengajar berlangsung.
Dari RPP tersebut akan diketahui apaah guru menerapkan
pembelajaran berbasis realistic atau tidak.
b. Soal ulangan siswa. Soal ulangan akan digunakan untuk melihat sejauh
mana soal yang diberikan oleh guru. Apakah soal yang diberikan telah
memenuhi tujuan pemevahan masalah, penalaran, dan komunikasi
matematika.
2. Metode Angket
Angket digunakan untuk mengumpulkan data pemahaman guru terkait
dengan pembelajaran realistik, pemecahan masalah, penalaran, dan
35
komunikasi matematika. Angket yang digunakan berupa isian singkat dan
pilihan ganda.
E. Teknik Pengolahan Data
Analisis data adalah memperkirakan atau dengan menentukan
besarnya pengaruh secara kuantitatif dari suatu (beberapa) kejadian
terhadap suatu (beberapa) kejadian lainnya, serta
memperkirakan/meramalkan kejadian lainnya. Kejadian dapat dinyatakan
sebagai perubahan nilai variabel. Proses analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang diperoleh baik melalui hasil kuesioner dan
bantuan wawancara.
Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pengumpulan informasi melalui kuisioner dan penelaahan dokumen.
2. Langkah Reduksi yang bertujuan untuk memilih informasi mana
yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian.
3. Penyajian data melalaui table dan analisis persentase.
Analisis persentase dilakukan dengan rumus
� ��
�� 100%
4. Memberikan penafsiran atas penyajian data yang diperoleh.
36
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas
Department of Mathematics and Computer Science. 1993. Success in
Mathematics. Saint Louis University dalam http://euler.slu.edu/Dept/SuccessinMath.html #problemsolving diakses 26 Maret 2007
Fadjar Shadiq. 2004. Penalaran, Pemecahan Masalah, dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika. Jogjakarta: PPPG Matematika
Fadjar Shadiq. 2010. Identifikasi Kesulitan Guru Matematika SMK Pada
Pembelajaran Matematika Yang Mengacu Pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006. Jurnal EDUMAT Nomor 1 Volume 1 Tahun 2010 Hal 49 – 60
Keraf, G. 1982. Argumen dan Narasi. Komposisi Lanjutan III. Jakarta : Gramedia McIntosh, R. & Jarret, D. 2000. Teaching mathematical problem solving:
Implementing the vision. New York: NWREL, Mathematics and Science Education Center.
NCTM. 2000. Principles and Standartfor School Mathematics. Reston : NTCM NRC (1989). Everybody Counts. A Report to The Nations on The Future of
Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press Polya, G. 1973. How to Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press Posamentier, A. S. & Stepelman, J. (1999). Teaching secondary school
mathematics: Techniques and enrichment units (5th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Van Gundy, Arthur B. 2005. 101 Activities for Teaching Creativity and Problem Solving. San Fransisco: Jhon Wiley and Son,Inc. Reproduced by permission of Pfeiffer, an Imprint of Wiley.www.pfeiffer.com
39
Instrumen Angket
1. Apakah Anda mengetahui tujuan pembelajaran matematika yang
tercantum dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah Anda pernah mendengar/ mengetahui tentang pendekatan
pembelajaran konstektual atau realistik?
a. Sudah
b. Belum pernah
3. Proses pembelajaran matematika yang banyak dilakukan oleh guru di kelas
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
� Membuka pelajaran dengan salam.
� Membahas PR.
� Menyajikan materi ajar.
� Memberikan contoh soal.
� Meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan.
� Membahas soasl-soal tadi.
� Memberikan PR.
� Menutup pelajaran.
Apakah Anda ketika mengajar dengan urutan/ langkah-langkah yang
kurang lebih sama seperti di atas?
a. Ya
b. Tidak
4. Perhatikan soal di bawah ini!
Gambar berikut menunjukkan suatu ruangan. Seekor semut berjalan dari A
ke B. Semut dapat berjalan melali dinding dan atap ruangan tersebut.
Berapakah jarak terpendek yang dapat dilalui oleh semut?
40
Menurut Anda, soal di atas dapat mengungkapkan kemampuan siswa pada
aspek?
a. Komunikasi
b. Penalaran
c. Pemecahan Masalah
Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut!
5. Perhatikan soal berikut ini!
Seekor siput berada di dasar sebuah sumur dengan kedalaman 12 meter.
Semut berusaha untuk keluar dari sumur tersebut. Pada siang hari ia
memanjat dinding sumur dan mampu mencapai 5 meter. Pada malam hari
ia istirahat sehingga menyebabkannya turun 3 meter dari posisi yang ia
peroleh di siang harinya. Jika siput mulai memanjat dinding sumur pada
minggu pagi, maka kapankah siput tersebut dapat keluar dari sumur
tersebut?
Menurut Anda, soal di atas dapat mengungkapkan kemampuan siswa pada
aspek?
a. Komunikasi
b. Penalaran
c. Pemecahan Masalah
Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut!
6. Perhatikan berikut ini!
1 + 3 = 4 = 2 × 2
1 + 3 + 5 = 9 = 3 × 3
1 + 3 + 5 + 7 = 16 = 4 × 4
41
Maka, 1 + 3 + 5 + 7 + … + 19 = ….. ?
Menurut Anda, soal di atas mengungkapkan kemampuan siswa pada
aspek?
a. Komunikasi
b. Penalaran
c. Pemecahan masalah
Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut!
7. Dalam membelajarkan konsep penjumlahan dua bilangan bulat, langkah-
langkah apa yang Anda lakukan di dalam kelas? Jelaskan dan berikan
contoh!
8. Dapatkah Anda memberikan ciri-ciri soal yang digunakan untuk mengukur
aspek penalaran pada siswa?
a. Ya, sebutkan __________________________
b. Tidak
Selanjutnya berikan contoh soalnya!
9. Dapatkah Anda memberikan ciri-ciri soal yang digunakan untuk mengukur
aspek komunikasi pada siswa?
a. Ya, sebutkan __________________________
b. Tidak
Selanjutnya berikan contoh soalnya!
10. Dapatkah Anda memberikan ciri-ciri soal yang digunakan untuk mengukur
aspek pemecahan masalah pada siswa?
a. Ya, sebutkan __________________________
b. Tidak
Selanjutnya berikan contoh soalnya!
42
Pedoman Penskoran
Pedoman penskoran diperlukan agar penentuan skor bersifat obyektif.
Pedoman penskoran juga digunakan untuk melihat sejauh mana implementasi
empat aspek penelitian telah diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran
matematika di kelas.
Pedoman penskoran dilakukan sebagai berikut.
Soal nomor 1
Jawaban a mendapat skor 1 dan jawaban b mendapat skor 0.
Soal nomor 2
Jawaban a mendapat skor 1 dan jawaban b mendapat skor 0.
Soal nomor 3
Jawaban a mendapat skor 0 dan jawaban b mendapat skor 1. Jawaban a
menunjukkan bahwa guru masih menerapkan pembelajaran tradisional.
Soal nomor 4
Aspek komunikasi ditunjukkan pada soal nomor 4. Pada soal ini, guru diminta
memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan soal yang
berkait dengan komunikasi. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua
kelompok. Guru yang menjawab benar soal nomor 4a dan 4b. Setiap jawaban
benar diberi skor 1. Sedangkan guru yang menjawab salah soal nomor 4a dan 4b.
Setiap jawaban salah diberi skor 0.
Soal nomor 5
Aspek pemecahan masalah ditunjukkan pada soal nomor 5. Pada soal ini, guru
diminta memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan
soal yang berkait dengan pemecahan masalah. Setiap jawaban guru akan
dikategorikan menjadi dua kelompok. Guru yang menjawab benar soal nomor 5a
dan 5b. Setiap jawaban benar diberi skor 1. Sedangkan guru yang menjawab salah
soal nomor 5a dan 5b. Setiap jawaban salah diberi skor 0.
Soal nomor 6
Aspek penalaran ditunjukkan pada soal nomor 6. Pada soal ini, guru diminta
memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan soal yang
berkait dengan penalaran. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua
43
kelompok. Guru yang menjawab benar soal nomor 6a dan 6b. Setiap jawaban
benar diberi skor 1. Sedangkan guru yang menjawab salah soal nomor 6a dan 6b.
Setiap jawaban salah diberi skor 0.
Soal nomor 7
Aspek pembelajaran kontekstual atau realistik ditunjukkan pada tes nomor 1 di
atas. Pada soal tersebut, guru diminta menceriterakan cara (langkah-langkah)
mengajarkan suatu materi. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a. Guru yang masih mengguna-kan cara-cara tradisional, dimana guru masih
menggunakan paradigma untuk memindahkan pengetahuan yang dimiliki guru ke
dalam otak atau pikiran siswa. Skor yang diberikan adalah 1.
b. Guru yang sudah bergerak dari cara-cara tradisional ke arah cara-cara yang
mengarah ke pendekatan kontekstual atau realistik. Contohnya, guru yang sudah
menggunakan alat peraga untuk memberi kesempatan para siswa berpikir dan
menemukan sendiri pengetahuan. Skor yang diberikan adalah 2.
c. Guru yang sudah menggunakan pendekatan kontekstual atau realistik cara-cara
tradisional, di mana guru sudah menggunakan paradigma siswa sendiri yang
akan membangun sendiri pengetahuan, misalnya dengan mengajukan masalah
kontekstual di awal kegiatan. Skor yang diberikan adalah 3.
Soal nomor 8, 9, dan 10
Jika guru dapat memberikan ciri-ciri soal sesuai dengan aspek yang diminta,
maka akann mendapat skor 1. Jika tidak maka akan mendapat skor 0. Selanjutnya
jika guru dapat memberikan contoh soal dengan benar sesuai dengan aspek yang
diminta, maka akan mendapat skor 1.