Chapter 10 Strategic Human Resources Development: Pot of Gold or Chasing Rainbow Mike Millmore,...

40
TUGAS PERTAMA STRATEGIC HUMAN RESOURCES MANAGEMENT Dosen : Tjutju Yuniarsih, Prof. DR. Hj. M.Pd. SE STRATEGIC HUMAN RESOURCES MANAGEMENT Chapter 10 Strategic Human Resources Development: Pot of Gold or Chasing Rainbow Mike Millmore, Philip Lewis, Mark Saunders, Adrian Thornhill, & Trevor Morrow Mahasiswa Arif Partono Prasetio 1303193 Universitas Pendidikan Indonesia Program Doktor Ilmu Manajemen 2014

Transcript of Chapter 10 Strategic Human Resources Development: Pot of Gold or Chasing Rainbow Mike Millmore,...

TUGAS PERTAMA

STRATEGIC HUMAN RESOURCES MANAGEMENT

Dosen : Tjutju Yuniarsih, Prof. DR. Hj. M.Pd. SE

STRATEGIC HUMAN RESOURCES MANAGEMENT

Chapter 10

Strategic Human Resources Development: Pot of Gold or Chasing Rainbow

Mike Millmore, Philip Lewis, Mark Saunders,

Adrian Thornhill, & Trevor Morrow

Mahasiswa

Arif Partono Prasetio – 1303193

Universitas Pendidikan Indonesia

Program Doktor Ilmu Manajemen

2014

Arif Partono - 2014

1

Arif Partono - 2014

2

DAFTAR ISI

1 Pendahuluan ................................................................................................................... 3

1.1 Investasi di bidang SDM merupakan pemborosan ...................................................3

1.2 SDM sebagai keunggulan bersaing .........................................................................4

2 Definisi dan Tema Baru .................................................................................................. 5

2.1 Tema Utama ...........................................................................................................6

3 SHRD kesatuan arti dan kematangan .............................................................................. 6

3.1 Karakteristik SHRD ................................................................................................6

3.2 Menuju kesatuan kematangan SHRD ......................................................................9

3.3 Pelatihan dan SHRD sebagai konsep bipolar (dua sisi).......................................... 11

4 Pendekatan Pelatihan Sistematis sebagai sarana menuju SHRD .................................... 12

4.1 Pendekatan sistematis tradisional terhadap Pelatihan ............................................ 12

4.2 Menuju siklus aktivitas SHRD yang berorientasi strategis..................................... 14

4.3 Rangkaian baru kematangan SHRD ...................................................................... 16

5 Menentukan karakteristik SHRD .................................................................................. 17

5.1 Integrasi Strategis ................................................................................................. 18

5.2 Sentralitas Budaya Belajar .................................................................................... 18

5.3 Perspektif multi stakeholder.................................................................................. 18

6 Organisasi Pembelajaran: Paradox ayam dan telur dalam SHRD ................................... 19

6.1 Organisation learning atau learning organisation ................................................... 19

6.2 Karakteristik learning organisation ....................................................................... 20

6.3 Belajar: konsep problematis .................................................................................. 21

6.4 Menterjemahkan konsep ke dalam praktek: analisis kritis ..................................... 22

7 Manajemen Pengetahuan .............................................................................................. 25

7.1 Manajemen pengetahuan: fokus masa depan SHRD .............................................. 25

7.2 Aspek-aspek dalam KM........................................................................................ 26

7.3 Apa yang dimaksud dengan pengetahuan .............................................................. 28

7.4 Masalah dasar dalam Knowledge Management ..................................................... 30

8 Manajer sebagai stakeholder SHRD: Linchpin (pemersatu) atau Spanner in the work

(kejutan) ....................................................................................................................... 32

8.1 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Sebagai Pemersatu ...................................... 33

8.2 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Suatu Kejutan ............................................. 33

8.3 Kompetensi Manajerial dalam HRD: pandora box ................................................ 35

9 Rangkuman .................................................................................................................. 36

Arif Partono - 2014

3

1 Pendahuluan

SDM strategis bukanlah hal baru akan tetapi merupakan pendekatan dalam

mengembangkan kemampuan SDM suatu organisasi, yang didasarkan pada tradisi

sebelumnya. Istilah pelatihan dan pengembangan tentu sudah dikenal oleh banyak orang

sebagai komponen dasar di dalam SDM. Pelatihan dan pengembangan dapat dijelaskan

sebagopai proses terencana yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan karyawan saat

ini dan di masa depan sehingga mereka bisa bekerja dengan efektif dengan ketrampilan,

pengetahuan, dan sikap yang sudah ditingkatkan. Proses pelatihan dan pengembangan

merupakan suatu siklus yang terdiri dari; analisis kebutuhan, perencanaan dan perancangan

pelatihan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi hasil yang diperoleh.

Istilah pelatihan dan pengembangan akhir-akhir ini sudah digantikan dengan HRD (HR

development). Istilah ini mencerminkan pentingnya pengembangan karyawan. Hanya saja

konsep lama memahami pengembangan adalah sesuatu keputusan dari atas ke bawah,

sedangkan konsep saat ini lebih memberikan penekanan pada kebutuhan karyawan dan

perusahaan yang dapat menghasilkan perubahan positif.

SDM strategis (SHRD) merupakan perpanjangan konsep pelatihan dan pengembangan.

Pelatihan dan pembelajaran harus dilaksanakan secara strategis dan terintegrasi dengan

sasaran perusahaan (vertikal) dan sejalan dengan fungsi SDM lainnya (horizontal). Dengan

demikian pelatihan bukan sekedar merupakan solusi ketika ada masalah, akan tetapi

merupakan tindakan proaktif yang diarahkan pada peningatan efektivitas perusahaan.

1.1 Investasi di bidang SDM merupakan pemborosan

Milner (2004) menyatakan bahwa investasi di bidang pengembangan menjadi sia-sia

karena:

- Karyawan terlalu sibuk untuk mengikuti pelatihan yang sudah direncanakan

- Karyawan mengikuti pelatihan secara menyeluruh, akan tetapi hanya sebagian kecil

yang dibutuhkan dalam pekerjaannya

- Tidak dilakukan evaluasi dan transfer ilmu

Arif Partono - 2014

4

Beberapa pandangan mengenai pelatihan

- Investasi dalam pengembangan merupakan kegiatan hura-hura

- Investasi dalam pengembangan sia-sia

- Investasi dalam pengembangan merupakan keyakinan semu (tidak ada evaluasi

manfaat)

- Investasi dalam pengembangan hanya ditujukan untuk memperbaiki kinerja yang

turun

1.2 SDM sebagai keunggulan bersaing

Meski ada yang berpendapat negatif seperti di atas, ternyata investasi di bidang SDM

berperan di dalam meningkatkan keberhasilan suatu organisasi. Perusahaan Hindle Power

yang terancam kehilangan kotrak senilai 75% dari total pendapatanya berhasil

mempertahankan kontrak tersebut karena melakukan investasi di bidang SDM. Bab ini akan

membahas posisi strategis dari pengembangan SDM dan menegaskan pentingnya budaya

belajar di dalam perusahaan untuk memperoleh keunggulan bersaing.

Pembahasan akan diawali dengan penjelasan mengenai konsep pengembangan SDM

yang ditujukan untuk menghilangkan atau menyaring karakteristiks utama SDM dan

membedakan tingkat kedewasaan strategi SDM. Pembahasan tersebut akan memunculkan

peran budaya belajar sebagai karakteristi sentral diri pegembangan SDM. Selanjutnya

pembahasa akan mengarah pada dua pendekatan terbaru di bidang SDM, organisasi

pembelajaran dan manajemen pengetahuan. Langkah berikut adalah menjelaskan tanggung

jawab manajer di dalam proses pengembangan.

Arif Partono - 2014

5

Gambar 10.1. Wilayah Kajian SHRD

2 Definisi dan Tema Baru

Penjelasan mengenai SHRD akan dijelaskan pada bagian berikut berdasarkan beberapa

denifisi mengenai konsep tersebut. Berdasarkan definisi tersebut akan ditetapkan beberapa

tema utama sebagai dasar pembahasan bab berikut.

Konsep utama; Definisi SHRD

HRD terdiri dari aktivitas dan proses yang bertujuan menghasilkan pengaruh terhadap

pembelajaran individu dan organisasi. Istilah ini mengasumsikan bawah perusahaan dianggap

sebagai suatu wujud pembelajaran dan proses belajar keduanya dapat dipengaruhi dan

diarahkan melalui intervensi yang terencana (Stewart & McGoldrick, 1996)

Pendekatan strategis terhadap pelatihan dan pengembangan dapat dijelaskan bahwa

semua yang terlibat di dalamnya terkait satu sama lain dan memiliki tujuan pengembangan

yang akan membantu pencapaian sasaran belajar individu dan misi perusahaan (Mabey et al

1998).

SHRD didefinisikan sebagai pembentukan budaya belajar yang terdiri dari serangkaian

strategi pelatihan, pengembangan, dan pembelajaran yang sesuai dengan strategi perusahaan.

Di samping itu juga merupakan pencapaian kebutuhan perusahaan saat ini dan sekaligus

membantu organisasi dalam menghadapi perubahan dan perkembangan ketika mengalami

pertumbuhan. Intinya adalah hubungan SHRD dengan strategi perusahaan saling timbal balik

(McCracken and Wallace, 2000).

SHRD dianggap sebagai suatu campur tangan budaya yang terkait secara vertikal

Arif Partono - 2014

6

dengan sasaran perusahaan, terkait secara horizontal terhadap fungsi SDM lain, dan secara

aktif mendorong pembelajaran dan pengembangan karyawan, serta meningkatkan komitmen

dan keterlibatan di dalam perusahaan (Myers dan Kirk, 2005).

2.1 Tema Utama

Salah satu tema SHRD yang menonjol adalah integrasi strategis vertikal atau eksternal.

Pendekatan ini hanya fokus pada satu arah pengaruh saja, kegiatan SDM dirancang untuk

mendukung tercapainya misi perusahaan. Akan tetapi belum mencakup kajian strategi

interaksi vertikal dua arah. Kemampuan SHRD dalam mempengaruhi dan membentuk strategi

perusahaan juga penting. Strategi dua arah ini banyak dibahas di dalam literatur SDM

kontemporer.

Tema lain yang mengemuka adalah adanya fokus terhadap pembelajaran pada tingkat

individu dan organisasi. Temuan ini didasarkan pada kondisi dimana SHRD menjadi

kendaraan untuk membentuk budaya belajar (Stewart dan McGoldrik, 1996; McCrackern &

Wallace, 2000) yang sejalan dengan gagasan learning organisation. Belajar diinterpretasikan

sebagai cara untuk mengembangan individu seoptimal mungkin sehingga tercapai pertumban

individu dan organisasi. Hal in imenjadi dasar berkembangnya tema ketiga, bahwa jika ingin

efektif SHRD harus tanggap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dari berbagai

stakeholders. Tema yang muncul; integrasi strategis, belajar sebagai orientasi organisasi, &

perbedaan persepsi stakeholder merupakan hal penting dalam konsep SHRD.

3 SHRD kesatuan arti dan kematangan

3.1 Karakteristik SHRD

Gambar berikut tmenyajikan 9 karakteristik SHRD dari McCracken dan Wallace (2000)

yang diadaptasi dari konsep Garavan (1991). Konsep yang disampaikan adalah SHRD yang

sudah matang secara strategis dan membandingkan dengan SDM dan pelatihan yang

dipandang sebagai strategi kematangan yang mengalami penurunan. Dalam hal ini gagasan

mereka terhadap pengembangan SHRD dapat disajikan sebagai suatu kesatuan, dari pelatihan

dan SDM hingga strategi kematangan yang lebih jelas di dalam SHRD.

Arif Partono - 2014

7

Gambar 10.2. Rangkaian Kematangan SHRD

PELATIHAN

Organisasi belum berpikir

strategis mengenai HRD

HRD

Organisasi mulai berpikir

strategis mengenai HRD

SHRD

Organisasi sudah berpikir

strategis mengenai HRD

Integrasi antara SDM dengan

misi organisasi belum ada

atau masih sangat terbatas

Integrasi SDM dengan misi

organisasi terjadi satu arah

Integrasi SDM dengan misi

dan strategi organisasi terjadi

dua arah

Bagian ini menggunakan istilah kesatuan kematangan strategi SDM sebagai suatu cara

untuk memahami apa yang dimaksud dengan SHRD dan mengembangkan lebih lanjut 3

posisi yang ada di sepanjang kontinum di atas. Pada bagian berikut akan disajikan 9

karakteristik dari Garava terkait praktel SHRD.

Karakteristik SHRD dari Garavan

- Integrasi dengan misi dan sasaran perusahaan

- Ada dukungan dari top manajemen

- Memperhatikan kondisi lingkungan (mengantisipasi peluang dan ancaman)

- Ada kebijakan dan perencanaan SDM

- Komitmen dan keterlibatan manajer lini

- Adanya aktivitas SDM yang sudah berjalan sebelumnya

- Memperluas peran instruktur

- Memahani budaya perusahaan

- Menekankan perlunya evaluasi

Pandangan Garavan mendapat kritik yang menilai:

- Pandangan bahwa spesialis di bidang SDM sebagai stakeholder tidak didukung

kenyataan karena banyak organisasi yang tidak memiliki organisasi SDM

- Penekanan pada spesialis SDM mengurangi peran manajer sebagai salah satu SHRD

stakeholder

- Ada keanehan dengan konsep tersebut karena menekankan pada peran manajer lini

- Potensi konflik antara spesialis SHRD dengan manajer lini belum dibahas

- Integrasi strategis hanya dilihat secara vertikal satu arah

Arif Partono - 2014

8

- Menekankan perspektif manajerial yang mengurangi pentingnya pandangan dari

karyawan

- Beberapa hal penting seperti analisis kebutuhan dan cara penyampaian tidak dibahas.

McCracken dan Wallace menggunakan pemikiran Garavan sebagai dasar untuk

mendefinisikan SHRD. Selanjutnya mereka mengembangkan 9 karakteristik yang lebih

mencerminkan tingkat kematangan strategi yang lebih tinggi.

Karakteristik kematangan strategi SDM – McCracken & Wallace

1. Integrasi strategis yang sebenarnya muncul ketika SHRD mempengaruhi misi dan sasaran

perusahaan dan sekaligus mendukung implementasinya

2. Dukungan manajemen terlalu pasif sehingga yang dibutuhkan adalah kepemimpinan dari

manajemen puncak

3. Terkait dengan peran kepemimpinan tadi dan tanggung jawab analisis lingkungan senior

maanjer bertanggung jawab untuk menganalisis dampak yang dialami SDM dari

lingkungan eksternal dan internal yang berubah

4. Perumusan perencanaan dan kebijakan SDM mencerminkan kepentingan organisasi.

5. Komitmen dan keterlibatan manajer lini tidak cukup untuk mencapai integrasi SDM yang

sebenarnya dengan tanggung jawab manajerial lain. Integrasi ini memerlukan kolaborasi

yang erat dengan spesialis SDM dan pengembangan strategi kemitraan yangbaik.

6. Aktivitas SDM lainnya kurang memadai sehingga menurunkan tingkat kebutuhannya

untuk terintegrasi dibawah payung SHRM. Hal ini menunjukkan makin perlunya integrasi

vertikal dan sekaligu horizontal serta mengantisipasi perkembangan strategi kemitraan

antara spesialis pengembangan SDM dengan praktisi SHRM lainnya.

7. Peran spesialis HRD yang diperluas semakin dibutuhkan sehingga peran tersebut bisa

meningkat dari fungsi sebagai fasilitator perubahan organisasi menjadi peran sebagai

pemimpin perubahan.

8. Fungsi HRD perlu diperluas dalam hal pemahaman mengenai budaya organisasi, dimana

pelatihan dilakukan dalam kaitannya dengan budaya saat ini hingga pada satu kondisi

dimana HRD memberikan pengaruh terhadap budaya tersebut, bahkan jika prlu berperan

dalam perubahan budaya.

9. Penekanan pada evaluasi harus diwujudkan lebih jelas lagi sehingga mencakup hal yang

bisa dikuantifikasi, sehingga aktivitas HRD dapat dievaluasi dari sisi efektivitas biaya.

Arif Partono - 2014

9

Salah satu hal penting dari karya McCracken dan Wallace adalah penekannya pada

hubungan antara SHRD dengan pengembangan budaya belajar. Mereka menegaskan bahwa

keberadaan budaya belajar penting bagi terselenggaranya SHRD dan organisasi yang HRD

nya memiliki peran dalam mempengaruhi budaya, kemungkinan sudah memiliki budaya

pembelajaran. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dua arah antara pembelajaran dan

budaya organisasi. Budaya belajar merupakan sarana untuk mentrasmisi budaya dan

sebaliknya juga merupakan produk dari budaya organisasi. Ketika belajar sudah

dilembagakan dan menjadi komponen integral dari pengembangan organisasi, maka

organisasi dikatakan sudah mengadopsi karakteristik learning organisation.

3.2 Menuju kesatuan kematangan SHRD

Analisis di atas mengenai McCracken dan Wallace memberi pandangan bahwa SHRD

memiliki fungsi proaktif dimana penekanan dilakukan terhadap pembentukan strategi yang

difokuskan pada organisasi dan didukung oleh budaya belajar. SHRD ditandai sebagai

kematangan dalam integrasi strategis. Pandangan ini berbeda dengan Garavan yang

mengganggap HRD dimana hubungan strategisnya dilakukan dari atas ke bawah di dalam

budaya yang lemah. Jika dikaitkan dengan pelatihan, maka pada kondisi ini organisasi masih

dikatakan belum matang dalam pengintegrasian HRD dan belum ada budaya belajar.

Pelatihan, menurut McCracken dan Wallace (2000) merupakan aktivitas yang belum memiliki

hubungan dengan salah satu dari 9 karakteristik yang disajikan Garavan. Pelatihan sebagai

bagian akhir dari kesatuan memperlihatkan bahwa pelaksanaannya hanya merupakan

Arif Partono - 2014

10

merupakan tindakan perbaikan dan dirancang untuk mengurangi kesenjangan kemampuan

karyawan atau mengatasi masalah yang muncul.

Kesatuan kematangan

strategi HRD

Belum Matang Lebih matang Sangat matang

Budaya belajar Tidak ada Lemah Kuat

Fungsi HRD Administrasi, penyaji Konsultan Perubahan strategis

Karakteristik HRD Belum Matang Lebih matang Sangat matang

1. Integrasi dengan

misi organisasi

Sedikit atau hanya

sesekali

Peran pendukung, dari

atas ke bawah

Dua arah

2. Dukungan

manajemen puncak

Sangat terbatas Aktif mendukung dan

terlibat

Menjalankan peran HRD

sebagai pemimpin

3. Analisis lingkungan Kepedulian terbatas dan

hanya merespon

lingkungan

Fungsi HRD melakukan

monitoring rutin

Peran manajemen senior

dlm menganalisis

lingkungan yang

berdampak pada HRD

4. Kebijakan HRD Respon reaktif terhadap

masalah

Secara sistematis

terintegrasi dengan

strategi organisasi

Dikembangkan dalam

strategi HRD

5. Komitmen manajer

lini

Komitmen terbatas Manajer lini menjalankan

peran penting

Kemitraan dengan

spesialis HRD

6. Keberadaan

kegiatan HRM

lainnya

Tidak ada integrasi

horizontal

HRD sbg serangkaian

kegiatan HRM

Integrasi horizontal

dengan aktivitas SHRM

lainnya

7. Perluasan peran

instruktur

Terbatas sebagai

penyedia pelatihan

Peran sebagai konsultan

dan inovator

Peran sebagai

agen/konsultan perubahan

8. Pemahaman

budaya

Tidak

mempertimbangkan

budaya

Kegiatan didasarkan pada

budaya perusahaan

Mempengaruhi budaya

organisasi

9. Penekanan pada

evaluasi

Tidak ada evaluasi Evaluasi thd efektivitas

biaya

Evaluasi thd kontribusi

strategis

Gambar 10.3. Pemetaan Rangkaian Kematangan SHRD

Arif Partono - 2014

11

3.3 Pelatihan dan SHRD sebagai konsep bipolar (dua sisi)

Kajian HRD banyak diinterpretasikan sebagai konsep bipolar dengan pelatihan di satu

sisi dan SHRD pada sisi lain. Dalam gambar berikut disajikan ilustrasi pengenalan teknologi

baru sebagai contoh untuk membedakan dua sisi tersebut. Pelaksanaan pelatihan merupakan

tindakan reaktif dan ditujukan untuk mengatasi masalah tertentu dengan adanya teknologi

baru (berorientasi penyelesaian masalah). Sebaliknya penerapan SHRD merupakan langkah

proaktif untuk membantu proses pengambilan keputusan terkait penerapan teknologi baru

(berorientasi strategis). Dengan SHRD evaluasi terhadap aktivitas HRD merupakan suatu

siklus yang tidak hanya mendukung penerapan teknologi baru tapi juga sebagai input terhadap

proses belajar dalam organisasi yang mungkin akan mempengaruhi proses manajemen proyek

dan perubahan.

Gambar 10.4. Orientasi HRD Strategis VS Berorientasi pada Masalah

Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa dalam penerapan suatu hal baru (teknologi)

sebaiknya dilakukan persiapan yang matang sebelumnya. Hal in bertujuan menghindari

kegagalan atau besarnya tingkat kesalahan ada saat implementasi. Kesenjangan antara kondisi

karyawan saat ini dengan kebutuhan di masa depan perlu diidentifikasi sedini mungkin.

Meski tingkat kepentingannya sudah nampak besar, akan tetapi pada prakteknya ternyata

penerapan keputusan strategis ini masih sangat jarang dilakukan. Praktek yang banyak terjadi

adalah praktek reaktif ketika terjadi masalah. Menurut suatu studi dari Universitas Chemnitz

(1995) hanya ada 18% organisasi yang menjalankan pemikiran strategis dalam hal pelatihan

Arif Partono - 2014

12

dan pengembangan (Muhlemeyer dan Clarke, 1997). Meski demikian sejalan dengan waktu

semakin banyak organisasi yang memahami pentingnya pendekatan strategis dalam SHRD.

4 Pendekatan Pelatihan Sistematis sebagai sarana menuju SHRD

4.1 Pendekatan sistematis tradisional terhadap Pelatihan

Setelah membahas strategi HRD sebagai kesatuan dan konsep bipolar langkah berikut

adalah mengkaji pendekatan sistematis terhadap pelatihan. Pendekatan ini sering dianggap

sebagai siklus kegiatan yang terdiri dari:

- Identifikasi kebutuhan HRD

- Perencanaan dan perancangan kegiatan HRD untuk memenuhi kebutuhan

- Penerapan kegiatan HRD yang sudah direncanakan

- Mengevaluasi hasil dari kegiatan tersebut

Contoh berikut menggambarkan siklus dari kegiatan di atas. Pertama, adanya perubahan

di dalam peraturan mengenai kebijakan usia karyawan akan berdampak pada perilaku

manajemen. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan pelatihan kepada manajer agar dapat

memahami peraturan baru tersebut dan kaitannya dengan praktek SDM. Perlu dirancang

kegiatan HRD untuk mengantisipasi kebutuhan ini. Keberhasilan kegiatan HRD tersebut akan

dievaluasi dengan tolok ukur jumlah keluhan dan kasus kepegawaian yang terjadi terkait

diskriminasi usia.

Kedua, tindakan terhadap SHRM mengantisipasi perkembangan tanggung jawab HR

kepada manajer lini. Penilaian kinerja mereka mungkin mengandung kekurangan dalam

mengantisipasi kompetensi baru tersebut. Berdasarkan kondisi demikian maka perlu

dikembangkan kegiatan HRD yang mengantisipasi kebutuhan tersebut. Selanjutnya

efektivitas dari kegiatan itu dianalisis melalui siklus penilaian kinerja berikutnya.

Model sederhana yang dikemukakan di atas memiliki banyak kompleksitas, beberapa di

antaranya:

- Pada tingkat dasar, identifikasi kelemahan karyawan hanya dikaitkan dengan kinerja

dalam pekerjaannya saja. Padahal jika diinterpretasikan lebih luas, identifikasi

kebutuhan HRD mungkin saja mencakup orientasi strategis. Dalam hal ini sasaran

bisnis harus menjadi titik awal dalam pendekatan analisis kebutuhan HRD.

Selanjutnya diturunkan ke bawah untuk integrasi antara kebutuhan dan unit bisnis,

kelompok, dan individu terpenuhi. H0lden (2004) mengemukakan tiga tahap dalam

Arif Partono - 2014

13

siklus pelatihan; penentuan strategi perusahaan, penentuan strategi HRM, dan

penentuan strategi pelatihan dan pengembangan.

- Penerapan teori pembelajaran dibutuhkan untuk menginformasikan perancangan

kegiatan HRD dan memastikan metode yang digunakan sesuai dengan gaya belajar

peserta.

- Tahapan evaluasi di dalam siklus tersebut masih terbatas pada hirarki evaluasi tingkat

awal. Artinya evaluasi hanya mengukur reaksi peserta terhadap kegiatan pelatihan atau

tentang apa yang dipelajari dalam pelatihan tersebut. Padahal evaluasi bisa terdiri dari

tingkat awal seperti di atas hingga tingkat tinggi yang berusaha mencari bukti sejauh

mana aktivitas HRD menghasilkan manfaat bagi perusahaan.

- Ketika dilakukan sebagai suatu siklus berkesinambungan, model sistematis HRD

menunjukkan karakteristik pendekatan riset dalam mengevaluasi. Ini juga

diperlihatkan pada gambar berikut yang menunjukkan kepentingan strategis terkait

evaluasi.

Arif Partono - 2014

14

Gambar 10.7. Pembelajaran dan pengembangan karyawan sebagai proses strategis

4.2 Menuju siklus aktivitas SHRD yang berorientasi strategis

Muhlemeyer dan Clarke (1997) menjelaskan kematangan SHRD dengan cara

mengkritisi penerapan siklus HRD yang didasarkan pada penanganan masalah, yang menurut

mereka saat ini banyak digunakan oleh organisasi. Banyak perusahaan yang belum

nenerapkan HRD berbasis strategis. Kritik keduanya menunjukkan potensi terjadinya situasi

dimana kegagalan untuk mentransfer pengetahuan yang diperoleh dari berbagai kegiatan

pelatihan akan diterjemahkan dalam pandangan bahwa seluruh investasi dalam pelatihan

hanya merupakan pemborosan. Gambar siklus HRD di atas dapat menjadi dasar penerapan

HRD yang strategis dimana siklus tersebut diawali dengan adanya kebutuhan organisasi, serta

adanya aktivitas untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan dan tindakan evaluasi yang

diperlukan. Salah satu titik kritisnya adalah pda transfer pengetahuan yang diharapkan dapat

mencegah output kegiatan pelatihan tersimpan tanpa pernah diaplikasikan atau digunakan.

Dengan adanya transfer pengetahuan tersebut diharapkan pengetahuan yang sudah pernah

diperoleh karyawan tertentu dapat disebarkan dan digunakan oleh yang lain.

Muhlemeyer dan Clarke (1997) menjelaskan pentingnya transfer pengetahuan melalui

kesimpulan ‘transfer pengetahuan ini merupakan kunci keberhasilan bagi suatu kegiatan

pelatihan’. Pandangan ini sesuai dengan budaya belajar dan manajemen pengetahuan. Melalui

keduanya, pengembangan pengetahuan dan ketrampilan (know-how) di dalam organisasi bisa

berlangsung, hasil dari pelatihan dan pengembangan disebarluaskan dan diserap oleh anggota

organisasi lainnya. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut dibutuhkan adanya tindakan aktif

Arif Partono - 2014

15

dari organisasi untuk meminimalkan resistensi (penolakan) dalam upaya perubahan menjadi

budaya belajar. Mesi dinilai positif, langkah untuk memasukkan siklus HRD ke dalam model

strategis memiliki potensi hambatan. Pertama, hubungan strategis merupakan hubungan satu

arah dari atas ke bawah dimana HRD memiliki peran sebagai pendukung. Kedua, bagian

terakhir dari empat tahap, pengendalian HRD, mencerminkan pendekatan terhadap evaluasi

yang melibatkan analsis biaya-manfaat, tetapi kurang memperhatikan evaluasi terkait

kontribusi kegiatan terhadap perusahaan.

Siklus HRD dari Harrison (1993) sudah memiliki pandangan lebih maju dalam

kematangan strategis dengan sasarannya untuk mengubah pembelajaran dan pengembangan

karyawan menjadi suatu kegiatan yang diarahkan oleh bisnis/perusahaan. Konsep ini

didasarkan pada gagasan kolaborasi antara pemeran kunci dalam menghasilkan informasi,

menyepakati proses perencanaan dan evaluasi terhadap strateginya, mengevaluasi dan

bertindak dengan melihat hasil yang diperoleh. Gambar mengenai Pembelajaran dan

Pengembangan Karyawan sebagai Proses Strategis di atas mencakup kondisi SHRD yang

dicerminkan oleh karya McCracken dan Wallace (2000). Beberapa di antaranya adalah:

- Memiliki perspektif jangka panjang

- Sangat menekankan pada pembelajaran

- Menempakan langkah evaluasi sebagai hal yang penting dalam pembelajaran

organisasi

- Menempatkan rencana dan kegiatan pengembangan HRD dalam kerangka

pembelajaran strategis

- Mengkaitkan visi, misi, dan sasaran perusahaan ke dalam strategi bisnis dan proses

bisnis yang penting yang menjadi dasar bagi strategi pengembangan dan identifikasi

kebutuhan karyawan

- Responsif terhadap perubahan kondisi dengan cara mengakomodasi kebutuhan yang

muncul

- Membahas potensi konflik antara pihak yang berkepentingan dalam HRD dengan cara

memaksakan adanya kesepakatan dan pembagian tanggung jawab

- Responsif terhadap lingkungan eksternal dan internal

Suatu organisasi perlu mengembangkan strategi untuk mencapai keunggulan bersaing

dalam hal inovasi dan pemahaman terhadap kebutuhan pengembangan karyawan.

Arif Partono - 2014

16

4.3 Rangkaian baru kematangan SHRD

Ketiga gambaran mengenai silus sistematik dari aktivitas HRD dikaitkan dengan tingkat

kematangan strategis yang ditunjukkan melalui pelatihan, HRD, dan SHRD. Meski konsep

tersebut banyak dijumpai dalam praktek organisasi tetapi masih belum mencakup seluruh

tanggung jawab yang ada. Kajian lebih jauh terhadap literatur HRD akan lebih menjelaskan

konsep lebih jauh mengenai rangkaian kematangan strategis seperti yang disampiakan oleh

Burgoyne (199), Lee (1996), dan Walton (1999) di bawah ini:

Tingkat Kematangan Strategis dalam praktek HRD

1. Tidak ada model pelatihan yang tersistematisasi ketika pengembangan karyawan hanya

didasarkan pada kondisi ad hoc dan sesekali

2. Pelatihan hanya didasarkan pada kondisi taktis (Muhlemeyer dan Clarke)

3. Pelatihan terintegrasi dengan manajemen operasional sebagai bagian dari perencanaan

pengembangan ketrampilan dan karier

4. Pelatihan sebagai sarana untuk menerapkan strategi perusahaan dan melakukan

perubahan, dengan berperan sebagai pendukung dari atas ke bawah

5. Pelatihan dan pembelajaran sebagai sarana untuk merancang strategi melalui integrasi dua

arah

6. Pelatihan dan pembelajaran sebagai proses untuk merumuskan steategi

7. Proses pembelajaran dan pengembangan secara strategis diarahkan untuk membangun

dan meningkatkan kompetensi kunci organisasi sebagai sumber keunggulan bersaing

Gagasan bahwa SHRD dapat mewakili proses untuk merumuskan strategi

dikembangkan oleh Luma (2000). Luma mendefinisikan tiga konsep HRD. Pertama, HRD

yang didorong oleh kebutuhan – mengadopsi konsepsi dari atas ke bawah dimana integrasi

strategi HRD dinyatakan melalui kemampuannya untuk melengkapi karyawan dengan

ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran perusahaan.

Dalam kondisi ini peran HRD adalah mengidentifikasi kesenjangan ketrampilan yang dapat

menghambat pencapaian sasaran perusahaan, untuk kemudian mempersempit atau menutup

kesenjangan tersebut dengan tindakan yang tepat.

Kedua, HRD yang didorong oleh adanya kesempatan. Pada model ini pendekatan

internal dari konsep sebelumnya digantikan dengan pandangan terhadap kondisi di luar.

Perubahan yang terjadi di dunia luar dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan mental

organisasi. (Luoma, 2000). Beberapa contoh diantaranya; HRD dikaitkan dengan analisis

Arif Partono - 2014

17

proses bisnis, kerja tim, dan total quality management. Penerapannya bukan saja ditujukan

untuk mendukung penerapan stratei perusahaan saat ini tetapi juga meyiapkan kemampuan

untuk menghadapi perubahan di masa depan.

Ketiga, HRD yang didorong oleh kapabilitas. Fokus pada konsep ini adalah mengenai

kemampuan karyawan sebagai sumber dan cara untuk mencapai keunggulan bersaing.

Pandangan ini sesuai dengan teori sumberdaya dan kompetensi yang pernh dibahas pada bab

sebelumnya. Kemampuan organisasi inilah yang harus menjadi objek utama dari strategi dan

perhatian manajemen harus difokuskan pada faktor yang mendukung tercapainya kemampuan

tersebut. Pendekatan ini akan membantu kondisi strategi yang sudah berlangsung dan juga

memberikan dasar bagi adanya pembaharuan terhadap pemikiran strategis atau membentuk

dasar keunggulan strategis itu sendiri.

Dengan mempertimbangkan perspektif tersebut, maka dimungkinkan untuk merevisi

rangkaian kematangan strategis HRD dan mengidentifikasi karakteristik yangdibutuhkan,

seperti tergambar sebagai berikut;

5 Menentukan karakteristik SHRD

Pada bagian sebelumnya diketahui ada tiga hal yang terkait dengan konsep SHRD;

integrasi strategis, pentingnya budaya belajar, dan perbedaan perspektif stakeholders. Analisis

SHRD yang didasarkan pada perbedaan kematangan strategis dan model sistematis siklus

HRD menekankan pentingnya tiga hal tersebut dan sekaligus merupakan dasar untuk

menentukan karakteristik SHRD.

Arif Partono - 2014

18

5.1 Integrasi Strategis

Faktor utama di dalam SHRD adalah menyusun strategi yang memiliki integrasi

horizontal dan vertikal. Hal ini menjelaskan;

- Pentingnya strategi dua arah yang terintegrasi dimana SHRD memiliki peran ganda

dalam mendukung pencapaian strategi perusahaan dan juga berkontribusi dalam

penyusunan strategi tersebut

- Peran SHRD dalam mendukung kegiatan HRD lainnya dan juga dalam keperuannya

untuk mendapatkan dukungan dari fungsi HRD lainnya dilakukan secra terkoordinir

- Kontribusi SHRD bagi perubahan strategis melalui penekannya pada budaya belajar

Gambar 10.8 di atas menggambarkan SHRD sebagai suatu proses yang digunakan

dalam perumusan strategi dan juga pendorong bagi kapabilitas organisasi yang mencerminkan

jalur menuju keunggulan bersaing yang bertahan lama. Gagasan ini semakin menemukan

perwujudannya mealui istilah modal intelektual dan manajemen pengetahuan, yang

membutuhkan esksplorasi lebih lanjut pada tema kedua pentingnya budaya belajar.

5.2 Sentralitas Budaya Belajar

Sentralitas dan pentingnya pembelajaran organisasi dan SHRD dijelaskan oleh Harrison

(1993) melalui skema pelatihan dan pengembangan sebagai suatu proses strategis.

McCracken juga menjelaskan hal tersebut dalam pernyataannya bahwa proses belajar terjadi

pada tingkat individu, kelompok, dan organisasi, dan kunci utama SHRD adalah bagaimana

menciptakan lingkungan yang mendukung semangat belajar, yang pada akhirnya akan

mendorong terjadinya proses belajar dan pengembangan yang mendukung peningkatan

kinerja. Pernyataan ini menempatkan pembelajaran sebagai suatu kapabilitas organisasi yang

menyebabkan organisasi tersebut bisa belajar lebih cepat dibandingkan pesaing. Sehingga hal

tersebut bisa menjadi keunggulan bersaingnya.

5.3 Perspektif multi stakeholder

Tema ketiga terkait perspektif dari beragam stakeholder mengalami perubahan dalam

penekanannya sejalan dengan langkah HRD di sepanjang rangkaian kematangan strategis.

Pada tahap pelatihan, fokus ditekankan pada kebutuhan karyawan dan bagaimana HRD

memenuhi kebutuhan tersebut. Disini peran manajer lini terbatas pada identifikasi kebutuhan

karyawan. Pada tahapan SHRD, fokus organisasi berubah pada kebutuhan organisasi,

kepemimpinan manajemen senior, dan strategi kemitraan antara manajer lini dengan tim

Arif Partono - 2014

19

HRD. Hal ini menempatkan manajer lini dan senior untuk memiliki peran penting dalam

pelaksanaan SHRD yang efektif. Mabey (1998) mengatakan dukungan manajer senior dan

keterlibatan aktif dari manajer lini merupakan komponen penting dalam model SHRD karena

keduanya membentuk koalisi kepentingan dan mewakili budaya organisasi yang dharapkan.

Hal penting yang perlu diperhatikan sejalan dengan meningkatnya peran para manajer

tersebut adalah kemampuan mereka untuk menjalankan peran barunya. Di samping itu juga

perku ditekankan bahwa setelah kemampuan tersebut diperoleh, apakah peran tersebut benar-

benar dijalankan. Karakteristik SHRD ini tercermin dalam pandangan Harrison dan Kessel

(2004) mengenai empat tantangan utama bagi fungsi HRD di masa depan;

- Mencapai integrasi strategis dan merealisasikannya

- Memfasilitasi perubahan budaya dan membangun budaya belajar

- Mendorong proses pembelajaran di tempat kerja yang bisa membangun modal sosial

dan manusia

- Mengembangkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan agar bisa mengantisipasi

perubahan dalam organisasi.

6 Organisasi Pembelajaran: Paradox ayam dan telur dalam SHRD

Tema yang sama di dalam berbagi literatur dan kembali dibahas dalam buku ini adalah

pandangan bahwa organisasi perlu belajar mengenai bagaimana mereka beradaptasi dengan

perubahan sehingga pada akhirnya mereka bisa bertahan. Tidak ada hal baru dalam

pandangan bahwa cara organisasi belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan berpengaruh

terhadap keberhasilannya. Belajar telah menjadi dasar bagi berbagai kondisi perubahan

manajemen (TQM, perubahan budaya, srestrukturisasi bisnis). Di samping itu juga menjadi

dasar bagi SHRD. Proses pembelajaran individu dan organisasi merupakan tema utama dalam

penjelasan mengenai SHRD.

6.1 Organisation learning atau learning organisation

Terdapat dua argumen yang muncul akbat berkembangnya konsep belajar. Pertama

adalah gagasan bahwa untuk memelihara keunggulan bersaing, organisasi melalui berbagai

interaksi dengan karyawan harus belajar dengan cepat dibandingkan dengan pesaing dan

tingkat perubahan yang akan dihadapi (Ashton dan Felstead, 2001; Greer, 2001). Kedua

konsisten dengan prinsip kompetensi kunci dan teori sumberdaya muncul gagasan bahwa

belajar itu sendiri merupakan salah satu sumber utama (jika bukan satu-satunya sumber) bagi

Arif Partono - 2014

20

terwujudnya keunggulan bersaing. Oleh karena itu, belajar juga dapat dipandang sebagai cara

untuk mencapai sasaran sekaligus sebagai sasaran itu sendiri. Dua persepsi ini tercermin

dalam perbedaan yang ditemukan dalam literatur mengenai organisational learning dan

learning organisation. Kajian pada tabel berikut menjelaskan upaya yang dilakukan untuk

membandingkan karakterstik dari dua konsep tersebut.

Organisational Learning dan Learning Organisation

Proses belajar

(Organisational Learning)

Proses untuk belajar mempelajari

(Learning Organisation)

Fokus pada pembelajaran yang

menghasilkan perubahan perilku

karyawan secara individu dan kelompok

Fokus pada pembelajaran yang

menghasilkan perubahan perilaku

organisasi untuk merespon secara

proaktif terhadap perubahan lingkungan

Membahas bagaimana individu belajar.

Menganalisis proses yang dijalankan oleh

individu dan kelompok untuk belajar

untuk meningkatkan pemahaman dalam

berkontribusi bagi HRD

Mempelajari cara belajar. Menganalisis

metode yang dapat meningkatkan proses

belajar yang berkesinambungan untuk

meningkatkan kemampuan organisasi

untuk belajar

Memperhatikan pengembangan

pengetahuan untuk memperoleh wawasan

baru yang mungkin berpengaruh terhadap

perilaku karyawan di masa depan

Mengoptimalkan pembelajaran karyawan

untuk menghasilkan hasil yang

bermanfaat seperti inovasi, mengelola

perubahan, dan pengembangan

kompetensi kunci

Dipandang sebagai cara untuk mencapai

sasaran dimana perubahan perilaku

diarahkan untuk mendukung tercapainya

sasaran organisasi

Dipandang sebagai sasaran yang hendak

dicapai dimana pengembangan organisasi

yang belajar menjadi sasaran strategis

perusahaan.

Organisasi yang belajar (learning organisastion) memiliki cakupan yang lebih luas

karena memfasilitasi prinsip yang mendukung pembelajaran di dalam organisasi.

6.2 Karakteristik learning organisation

Definisi mengenai learning organisation yag banyak digunakan menjelaskannya sebagai

satu cara untuk memfasilitasi proses pembelajaran bagi semua anggotanya dan secara

kontinyu melakukan perbaikan (Pedler, 1991). Definisi ini didukung oleh pandangan bahwa

terciptanya iklim belajar yang mengakomodasi dan mendorong semua orang untuk belajar

dan organisasi tersebut terus mengembangkan kemampuannya untuk belajar. Berikut

disajikan beberapa hal yang bisa mengindikasikan bahwa organisasi tersebut memiliki budaya

belajar;

Arif Partono - 2014

21

Karakteristik Learning Organisation

1. Belajar dapat dilakukan berdasarkan semua pengalaman, baik yang terencana maupun

yang tidak, dan akan membentuk perilaku di masa depan

2. Belajar pada dasarnya penting dan belajar untuk bisa mempelajari adalah bagian penting

dari belajar itu sendiri

3. Belajar dari lingkungan eksternal dan internal dapat dilakukan pada semua tingkatan

organsasi dan oleh karena itu ada manfaatnya jika ada tindakan untuk berbagi

pengetahuan lintas organisasi

4. Belajar merupakan proses kontinyu dan akan optimal manfaatnya jika sudah menjadi

kebiasaan dan terinternalisasi

5. Unlearning dan rekonstruksi serta adaptasi terhadap dasar pengetahuan organisasi

merupakan tugas utama manajerial

6. Belajar digunakan sebagai sarana mekanisme perubahan organisasi

7. Inisiatif organisasi diperlukan untuk mengubah pembelajaran, dari berbagai sumber,

menjadi kekuatan strategis

8. Sesuai dengan filosofi organisasi, budaya dan struktur yang mendukung diperlukan untuk

membangun lingkungan yang tepat bagi proses belajar berdasarkan pengalaman dan

penerapannya dalam kondisi operasional

9. Menggunakan sudut pandang multi stakeholder dengan mengurangi penekanan pada

tindakan HRD yang formal dan lebih menekankan pada tanggung jawab karyawan untuk

belajar dan tanggung jawab manajer dalam memfasilitasi proses belajar tersebut

6.3 Belajar: konsep problematis

Belajar merupakan konsep yang sulit dipahami. Demikian juga upaya untuk

mengevaluasinya yang hanya bisa diukur dari perubahan perilaku. Kondisi ini diperburuk

dengan interaksi antara proses belajar dan hasil yang dapat terjadi pada sejumlah tingkatan.

Pada tingkatan pertama, adalah pembelajaran single-loop, yang memperhatikan

perbaikan pada pekerjaan saat ini (melakukan sesuatu dengan lebih baik). Pembelajaran ini

meliputi silus pendeteksian kesalahan secara kontinyu pada pekerjaan saat ini,

mengidentifikasi are yang dapat diperbaiki, dan melakukan peningkatan dalam aktivitas

operasional. Pembelajaran single-loop akan mengantisipasi penyesuaian terhadap kegiatan

Arif Partono - 2014

22

rekrutmen yang diarahkan pada keputusan untuk menyesuaikan kebutuhan dan penawaran.

Perubahan kebijakan tersebut antara lain terkait dengan media yang digunakan, penentuan

klasifikasi, dan pengisian karyawan dari luar negeri.

Pembelajaran tahap kedua adalah double-loop yang memfokuskan perhatian pada

pembahasan mengenai praktek-praktek yang dijalankan saat ini (mempertanyakan apa yang

sudah dikerjakan). Pembelajaran model ini mencakup kajian yang mempertanyakan sasaran

yang sudah ditetapkan, menentukan keyakinan dan nilai yang diarahkan pada rekonstruksi

sistem dan proses dalam organisasi sejalan dengan perubahan yang dihadapi organisasi

tersebut dan kondisi dimana organisasi harus beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan

internal. Apabila langkah evaluasi memperlihatkan bahwa perubahan yang dihasilkan dari

pembelajaran single-loop tidak terwujud. Melihat contoh di atas, pembelajaran single-loop

yang berulang dan tetap tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan mengundang

pertanyaan mengenai praktek bisnis yag dijalankan organisasi tersebut. Apakah perlu

dilakukan perbaikan kembali atau sebaiknya melakukan kebijakan alih-daya ke negara lain.

Tahap ketiga adalah pembelajaran triple-loop yang memperhatikan proses pembelajaran

yang dilakukan (mempelajari apa yang diperoleh dari dua pembelajaran sebelumnya).

Pembelajaran model ini mencakup pengkajian dan diskusi mengenai pengalaman belajar

sebelumnya dan menggunakan pengalaman tersebut sebagai dasar untuk membentuk

pengetahuan dan wawasan baru (Walton, 1999). Hal tersebut senada dengan belajar untuk

mempelajari (learning to learn-LO) dan diarahkan pada perbaikan proses pembelajaran dalam

organisasi. Pembelajaran sistem dua dan tiga putaran dapat diidentifikasikan dengan konsep

learning organisation.

6.4 Menterjemahkan konsep ke dalam praktek: analisis kritis

Tuntutan dasar dan kompleksitas terkait pembelajaran dan evaluasinya mengakibatkan

munculnya hambatan bagi organisasi yang ingin mencapai tahapan LO. Kesulitan dalam

praktek dan pemahaman terhadp konsepsinya mengarah pada dilema ayam-telur. Apakah

dibutuhkan LO untuk menghasilkan LO. Belajar untuk belajar lebihbaik atau cukup denga

belajar saja. Kondisi ini diantisipasi dengan digunakannya istilah visi aspirasional untuk

menggambarkan LO. Visi aspirasional bisa diterjemahkan sebagai perjalanan yang tidak

mencapai akhir dan bahkan tidak akan terselesaikan. (Walton, 1999; Tjepkema, 2002).

Pandangan ini diperkuat oleh Garravan (1997) yang menyatakan bahwa ‘adalah sesuatu yag

Arif Partono - 2014

23

tepat untuk mengatakan bahwa organisasi dapat berkembangsecara progresif menuju LO

tetapi nampaknya LO adalah idealisme yang sulit dicapai.’

Oleh karena itu, banyak literatur dalam LO cenderung untuk membahas praktek

organisasi dan mekanisme support yang dapat digunakan untuk membangun LO. Beberapa

contoh di antaranya;

- Pembentukan budaya belajar dimana pembelajaran dan eksperimen secara aktif

dianjurkan, melalui alokasi sumberdaya pada bidang pelatihan dan pengembangan

serta penghargaan bagi karyawan yang mau mengambil risiko

- Mekanisme struktural untuk mendukung pembelajaran organisasi, seperti

pengumpulan, analisis, penyebaran, dan penggunaan informasi serta identifikasi dan

pemenuhan kebutuhan pengembangan

- Pentingnya evaluasi sebagai proses berkesinambungan yang tidak hanya mendukung

prinsip LO dan manajemen pengetahuan tetapi juga menginformasikan investasi di

bidang SHRD

- Kematangan psikologis dari SDM suatu organisasi, misalnya, karyawan di semua

level mau menerima tanggung jawab dan otionomi yang lebih besar akan mendorong

pembentukan LO.

Berdasar analisis di atas, tidak sulit untuk menjelaskan pandangan bahwa LO lebih tepat

jika dianggap sebagai istilah jangka pendek untuk menggambarkan keseluruhan filosofi

pembelajaran terus menerus di dalam organisasi. (Walton, 1999). Hal ini mengarah pada

pernyataan meski LO sulit terwujud dalam bentuk idealnya, beberapa organisasi telah

menunjukakan beberapa karakteristik yang mengarah pada LO (Griego, 2000). Bagi orang

yang menggunakan acuan visi aspirasional, hal ini mungkin kurang dilihat. Akan tetapi ini

merupakan suatu kondisi yang didukung oleh bukti empiris. Berdasarkan analisis pada studi

kasus dan temuan survei, dapat disimpulkan bahwa hanya ada sedikit bukti mengenai

keberadaan suatu LO atau bahkan, lebih sedikit lagi bentuk mekanisme dukungan yang ada

bagi pembentukan LO tersebut.

Dalam konteks SHRD, seluruh filosofi LO kurang menarik. Hipotesis yang mendasari

bahwa dimana pembelajaran terjadi di dalam organisasi , maka organisasi akan lebih baik

dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian, dan juga mampu memperoleh keunggulan

bersaing jangka panjang (Lundy & Cowling, 1996). Ketika pengembangan karyawan yang

berkesinambungan dikaitkan dengan proses manajemen strategis, maka akan menjadi sumber

Arif Partono - 2014

24

bagi keunggulan bersaing, bisa digunakan untuk mengoptimalkan setiap potensi, dan siap

dalam menghadapi persaingan (Harrison, 1993). Beberapa pakar memiliki pandangan lebih

jauh dengan mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya sumber bagi keungulan bersaing

(Wes, 1994) dan organisasi yang belajar mungkin akan menjadi keunggulan bersaing bagi

organisasi di masa depan (Stata, 1989). Sebaai contoh, Avon yang dikenal sebaga produsen

kosmetik mencoba melebarkan bisnis ke bidang keuangan dengan memanfaatkan kekuatan

sales door to door mereka. Dalam hal ini Avon mulai menyadari bahwa sumberdaya mereka

di bidang sales merupakan sesuatu kekuatan yang belum dioptimalkan yang memiliki akses

ke pelanggan dan mamu menjual dengan baik.

Dilihat dari sudut pandang demikian LO nampaknya menawarkan banyak peluang dari

sumberdaya yang ada atau bisa dikatakan menjanjikan. Penerapan akan prinsip-prinsip LO

banyak dikaitkan dengan keberhasilan manajemen (Pettigrew & Whipp, 1999). Meski

demikian, konsep LO juga bisa mencerminkan tidak lebih dari sekedar idealisme yag jauh

dari bayangan kondisi praktis keseharian (Storey & Sisson, 1993). Saah satu kesulitannya

adalah kondisi yang dikatakan kondusif untuk terjadinya LO mungkin belum bisa ditemukan

dalam realitas. Kondisi tersebut antara lain; karyawan yang berkomitmen dan mampu

mengelola pengembangan diri mereka, adanya mekanisme yang mendukung pembelajaran

dan bisa menangkap, mendistribusikan, dan berbagi pengetahuan, budaya yang sesuai yang

mendukung eksperimen, pengambilan risiko, pemikiran independen, danlain-lain.

Karakteristik organisasi banyak ditandai dengan birokrasi, kontrol, dan kesatuan pandangan.

Meski banyak manajer mengungkapkan perlunya keterbukaan dan inovasi, kenyatan adanya

budaya menyalahkan akan membuat karyawan menghindari risiko dan belajar untuk menutup

mulut daripada mengajukan usulan yang berisiko.

Kesulitan lain adalah konsep transformasi yang ada di dalam LO. Konsep tersebut

rawan dengan kritik. Pada kenyataannya transformasi organisasi jarang terjadi dan menurut

Mumford (1998) proses belajar harus terjadi secara bertahap, tidak secara drastis. Mumford

mempertanyakan apakah karyawan sudah diberi bekal pengetahuan untuk pembelajran dua

putaran, ketika infrastruktur HRD belum memiliki kapasitas memadai untuk pembelajaran

satu putaran.

Apakah ini merupakan petunjuk bahwa suatu konsep yang nampak menjanjikan dalam

literatur ternyata sulit diterapkan dalam kondisi nyata? Perjalanan untuk meraih sasaran akhir,

LO, merupakan sesuatu yang juga menghasilkan manfaat. Meski kondisi LO tidak atau beum

Arif Partono - 2014

25

tercapai, akan tetapi proses yang dilalui sudah memberikan wawasan baru dan arah yang

benar untuk meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia.

7 Manajemen Pengetahuan

7.1 Manajemen pengetahuan: fokus masa depan SHRD

Fokus pendekatan HRD akhir-akhir ini beralih dari LO menuju manajemen

pengetahuan (KM-Knowledge Management). Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan

fokus kajian dalam HRD di bawah ini;

Perkembangan kajian HRD

1960-an Pendekatan sistematis terhadap HRD

1980-an Orientasi bisnis dengan fokus pada pendekatan sistematis

yang berkonsentrasi untuk mencapai sasaran organisasi

sesuai dengan kerangka manajemen kinerja

Pertengahan 80-an Kerangka bagi pendekatan bisnis dari HRD dibangun terkait

kompetensi

Akhir 80-an Menekankan pada pengembangan mandiri dimana karyawan

diberikan tambahan otonomi dan tanggung jawab untuk

belajar yang ditunjukkan dengan adanya program

pengembangan karyawan

Awal 90-an LO dengan perubahan fokus dari individu ke arah holistik,

sistematis, dan persepektif organisasi secara keseluruhan

Pertengahan 90-an KM dengan fokus pada pengembangan manusia, modal

intelektual dan sosial.

Perubahan ini sejalan dengan perkembangan ekonomi dari industri yang sebelumnya

berbasis pada teknologi rendah dan padat karya dengan menggunakan sumberdaya terbatas

serta berketrampilan rendah ke arah industri berbasis teknologi tinggi dan menggunakan

pekerja yang berpengetahuan (knowledge worker). Karyawan semacam ini sulit diperoleh

sehingga dapat menjadi sumberdaya utama untuk menjaga keunggulan bersaing. Dengan

kondisi ini tidak mengherankan jika manajemen sekarang mulai mengarahkan HRD untuk

membangun dan membantu menanamkan pengetahuan dan ketrampilan kepada karyawan,

sehingga pada akhirnya pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat bermanfaat bagi

organisasi (Blackler, 1995; Walton, 1999).

Arif Partono - 2014

26

Pentingnya KM dapat dijelaskan melalui dua perkembangan terakhir; kemunculan

ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy) dan perhatian terhadap pengetahuan

sebagai jalur untuk memperoleh keunggulan bersaing. Berbeda dari kondisi ekonomi

tradisional yang menganggap nilai tambah dicapai melalui optimalisasi faktor produksi

(mesin, buruh, dan bahan baku), ekonomi berbasis pengetahuan menganggap nilai tambah

akan diperoleh dari pengembangan dan pemanfaatan atas pengetahuan yang dimiliki dan akan

dimiliki dalam meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan tingkat ke inovasian organisasi. Jika

aset tidak nyata dalam hal pengetahuan menjadi sarana paling penting dalam ekonomi

berbasis pengetahuan (KE-Knowledge Economy) maka diperlukan proses HRD yang tepat

untuk mengoptimalkan aset tersebut (Harrison & Kessel, 2004). Lebih lanjut Spinker (2002)

juga menegaskan bahwa karyawan di semua level sudah memiliki pengetahuan mengenai apa

yang diinginkan pelanggan, mengenai proses dan desain produk yang baik, mengenai apa

yang berhasil di masa lalu dan yang tidak. Perusahaan yang dapat mengoptimalkan

pengetahuan ini dan melakukan strategi berbagi yang tepat di antara para karyawannya akan

memiliki keunggulan bersaing yang besar, dibandingkan dengan perusahaan yang tidak

mengoptimalkan karyawannya.

Meski nampak menjanjikan, ada setidaknya dua hal yang perlu dicermati sebelum

melakukannya. Pertama adalah aspek-aspek terkait pengetahuan yang akan dikelola. Kedua,

terkait dengan kesulitan dalam memahami arti pengetahuan itu sendiri.

7.2 Aspek-aspek dalam KM

Terkait dengan masalah pertama dalam KM, penulis akan membagi KM menjadi

beberapa bagian. Pendekatan paling sederhana adalah dengan membedakan pengetahuan yang

dimiliki saat ini dan pengetahuan baru. Kesimpulan Skapinker berkaitan dengan pengetahuan

yang sudah ada dalam organisasi, sedangkan pada bagian lain buku ini dibahas mengenai

pentingnya pengetahuan baru bagi organisasi (Harrison & Kessel, 2004).

Secara lebih detail, Gibb & Megginson (2001) membagi Knowledge Management

menjadi tiga bagian. Pertama berkaitan dengan cara untuk menangkap, menyimpan, mencari,

dan membagi pengetahuan. Perspektif sistem informasi ini memertimbangkan penggunaan IT

untuk memfasilitasi proses tersebut. Meski nampak sederhana, akan tetapi model ini juga

memiliki kekurangan, khususnya terkait pengetahuan apa yang dibutuhkan dan pengetahuan

yang sudah dimiliki. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan audit terhadap karyawan yang

ada untuk menggali pengetahuan yang sudah dimiliki.

Arif Partono - 2014

27

Bagian kedua membahas pengembangan budaya belajar sebagai suatu fasilitator yang

mengarah pada Knowledge Management. Dilihat dari sudut pandang ini akan nampak bahwa

Gibb dan Megginson menganggap belajar sebagai satu subjek dari Knowledge Management.

Meski demikian, masih dimungkinkan untuk menggunakan perspektif berlawanan dimana

Knowledge Management dilihat sebagai satu tahap yang mengarah pada LO dengan

perubahan fokus dari belajar secara umum menjadi belajar untuk menjadikan pengetahuan

sebagai keunggulan bersaing (storey & Quintas, 2001). Terlepas dari pandangan tersebut,

kedua pandangan tersebut menekankan pentingnya pembelajaran bagi keberhasilan

organisasi, khususnya di bidang pengetahuan pekerjaan. Ini mengarah pada bagian ketiga

yang memfokuskan perhatian pada perspektif strategis dengan penekanan pada nilai modal

intelektual. Perlu untuk dipahami bahwa bagian kedua ini merupakan bagian yang

menjelaskan potensi untuk mengembangkan dan menggunakan pengetahuan baru.

Perspektif strategis, pada bagian ketiga, secara konstan menggali SHRD dan

meningkatkan Knowledge Management dalam hirarki pemikiran manajemen. Prusack (1997)

menyatakan bahwa keunggulan bersaing suatu perusahaan terletak pada pengetahuan yang

dimilikinya, atau lebih tepatnya pada apa yang diketahui, bagaimanan menggunakannya, dan

seberapa cepat perusahaan itu memperoleh pengetahuan baru.

Cara lain untuk menggambarkan berbagai bagian dari Knowledge Management

dilakukan untuk membedakan antara modal manusia, modal intelektual, dan modal sosial.

Modal manusia mengacu pada pegetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan kompetensi yang

dimiliki karyawan dan merupakan aset tidak nyata yang memiliki nilai bagi organisasi.

Kemampuan individu dan kolektif ini diperoleh melalui suatu proses pembelajaran jangka

panjang dan merupakan fokus dari praktek HRD. Selanjutnya, semakin dipahami bahwa

dalam konteks pekerjaan, pengalaman di dalam bekerja sehari-hari, profesionalitas, dan

jaringan sosial juga berkontribusi bagi peningkatan modal manusia. Ketika organisasi dapat

memanfaatkan modal manusia ini bagi keuntungan bisnis maka modal manusia tersebut

menjadi modal intelektual. Dilihat dari sudut pandang sistem, modal manusia merupakan

input kunci bagi Knowledge Management. Ketika input ini diubah menjadi hasil nyata bagi

organisasi seperti paten, merek, reputasi, solusi, dan hasil riset, maka output tersebut menjadi

modal intelektual. Modal sosial dilain pihak mencerminkan keeratan hubungan interpersonal

yang memfasilitasi kerja sama antar bagian dan membentuk jaringan sosial serta nilai

bersama, norma, dan pemahaman. Dalam pengertian sistem, modal sosial, adalah proses yang

Arif Partono - 2014

28

memfasilitasi perubahan modal manusia menjadi modal intelektual melalui penyediaan sarana

belajar dan pendorong kemunculan pengetahuan unik dan bernilai.

Dari gambar di atas nampak bahwa modal sosial membangun dan mempertahankan

pengetahuan di kalanga pekerja. Oleh karenanya, sejalan dengan pengembangan modal

manusia, SHRD juga berperan penting untuk membangun, memfasilitasi, dan menjaga

kelangsungan komunitas pembelajaran. Selanjutnya, konsisten dengan sifat SHRD yang

memiliki banyak stakeholder, untuk melaksanakan peran ini dibutuhkan dukungan dari pihak

lain. Manajemen berperan tidak hanya melalui campur tangan langsungnya akan tetapi jua

melalui perancangan pekerjaan dan struktur organisasi (Harrison & Kessel, 2004; Hedlund,

1994; MacNeil, 2004).

7.3 Apa yang dimaksud dengan pengetahuan

Kesulitan kedua dari kesimpulan Skapinker (2002) adalah pernyatan bahwa

pengetahuan adalah konsep yang sulit dipahami. Dalam hal ini rasanya banyak pihak yang

sepakat bahwa secara prinsip membedakan jenis pekerjaan berdasarkan intensitas

pengetahuan, misalnya sejauhmana pengaruh pengetahuan dan kemampuan kognitif lainnya

terhadap kinerja. Sebagai contoh; pekerjaan dokter, pengacara, dosen dapat dikelompokkan

sebagai pekerjaan yang membutuhkan banyak pengetahuan jika dibandingkan dengan petugas

kebersihan, kasir, dan pemain sepakbola. Lebih jauh lagi, bukan merupakan langkah sulit

untuk memahami bahwa pekerjaan yang memerlukan banyak pengetahuan dapat dibedakan

berdasarkan tingkat kelengkapan dan kepastian penggunaan pengetahuan tersebut.

Contohnya; pengetahuan yang mendukung pekerjaan apoteker atau dosen memiliki tingkat

kepastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan seorang ekolog atau astronom.

Sejauhmana pekerjaan yang berbasis pengetahuan tersebut dilakukan dalam kondisi

lingkungan yang rentan terhadap perubahan akan meningkatkan risiko ketidakpastian dan

ketidaklengkapan tersebut dalam mencapai kinerja yang baik. Pemisahan sederhana

berdasarkan intensitas dan kepastian pengetahuan ini tidak cukup untuk menggambarkan

Arif Partono - 2014

29

berbagai kondisi. Akan tetapi untuk kajian dalam buku ini, konsepsi tersebut dapat menjadi

panduan yang bermanfaat untuk menjelaskan perbedaan antara pengetahuan tacit dan eksplisit

(Hedlund, 1994).

Pengetahuan yang terwujud dinyatakan sebagai pengetahuan yang pasti dan lengkap.

Pengetahuan tersebut sudah diketahui dan dapat dinyatakan melalu bentuk komunikasi verbal

dan tertulis. Pengetahuan tacit sebagai suatu konsep lebih merupakan sesuatu yang tidak

berbentuk. Merupakan pengetahuan yang sulit atau tidak mudah diwujudkan karena

mencakup intuisi, nilai, dan lain-lain yang sangat personal dan terkait dengan kondisi tertentu

(Hedlund, 1994; Garavan et al, 2001). Coba bayangkan untuk menjelaskan bagaimana cara

mengendarai sepeda dengan baik atau bagaimana rasanya jatuh cinta, anda akan mengalami

kesulitan dalam menjelaskan dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itu, Knowledge

Management diarahkan pada pengetahuan yang berwujud (eksplisit) dan pada pengembangan

pengetahuan baru Baumard (1999) menjelaskan bahwa sejalan dengan waktu apa yang

tadinya merupakan pengetahuan tacit bisa berubah menjadi pengetahuan yang berwujud.

Bauard menjelaskan konsep ini sebagai pengetahuan implisit dan membedakannya dengan

pengetahuan tacit yang masih tetap berada dalam pikiran pemiliki pengetahuan dan masih

sulit diwujudkan. Dari sudut pandang organisasi hal ini mengandung potensi bahwa adanya

tim kecil dapat berpotensi sebagai forum untuk menghasilkan dan berbagi pengetahuan tacit

melalui interaksi berkesinambungan (MacNeil, 2004). Hal ini mendorong peran dan nilai dari

modal sosial dalam Knowledge Management.

Jika retorika Knowledge Management diterima, maka dimungkinkan untuk mengajukan

beberapa premis di dalam kajian SHRD. Premis-premis tersebut dapat dilihat pada bagian di

bawah ini;

Peran Strategis Knowledge Management

1. Didalam konstruk SHRD sumberdaya manusia yang superior, pengetahuan dan

ketrampilan yang ada pada diri karyawan, merupakan kunci sukses untuk mendapatkan

keunggulan bersaing

2. Pengetahuan sebagai komponen kecakapan dan modal sosial, merupakan dimensi penting

dalam kompetensi HRD dan berperan sebagai kontributor terhadap modal manusia

3. Kemunculan ekonomi berbasis pengetahuan jiika terkait dengan perubahan,

menempatkan Knowledge Management sebagai hal penting, dimana pemanfaatan atas

pengetahuan yang ada dan pembentukan pengetahuan baru digunakan untuk membentuk

Arif Partono - 2014

30

modal intelektual yang akan menjadi dasar bagi organisasi untuk memperoleh laba

4. Dalam ekonomi yang maju, penekanan diarahkan pada pengembangan pengetahuan

karyawan untuk menguasai kemampuan berubah dan penyesuaian yang cepat sebagai

respon terhadap kondisi yang berfluktuasi (Walton, 1999)

5. Kondisi tersebut mengharuskan karyawan untuk memiliki pengetahuan tngkat tinggi dan

sesuai dengan pekerjaannya; menunjukkan komitmen dan keterlibatan yag tinggi dalam

hal pengembangan pribadi; serta memperlihatkan fleksibilitas dan kecerdasan untuk

merespon tuntutan beragam dan tantangan yang tidak terantisipasi

6. Infrastruktur HRD dapat menjadi kontributor penting yang bisa mendukung

pengembangan modal manusia dan sosial. Ini berarti kebutuhan untuk mengubah

pembelajaran dan pengembangan dari sisi kegiatan struktural menjadi bagian dari

infrstruktur yang mendukung proses belajar jangka panjang sebagai jalur menuju

akumulasi modal manusia dan sosial

7. Ketika transformasi tersebut berlangsung, maka HRD akan mencapai kedudukan

kematangan strategis

7.4 Masalah dasar dalam Knowledge Management

Seperti LO, Knowledge Management nampaknya menawarkan suatu jalur menuju

kondisi yang menjanjikan tetapi masih mengandung pertanyaa mengenai kemampuannya.

Beberapa kondis yang melatar belakangi keraguan tersebut adalah; pertanyaan mengenai

sejauh mana ekonomi berbasis pegetahuan dan besarnya pekerja berpengetahuan. Keputusan

ekonomi banyak dipegang oleh pemerintah dan seringkali terjadi ketidak konsistenan.

Selanjutnya, perkembangan teknologi sebalikny amalah bisa mempengruhi tingkat

pengetahuan yang dibutuhkan. Misalnya perkembangan piranti lunak dapat mengurangi

kebutuhan karyawan akan pengetahuan karena sudah tergantikan oleh piranti lunak tersebut.

Kesadaran belajar yang tinggi yang ditandai dengan banyaknya orang yang bersekolah dan

jumlah lulusan ternyata belum menjawab kebutuhan karyawan bagi industri. Hal ini

disebabkan kenyataan bahwa kebutuhan tersebut adalah bagi pekerja yang memiliki

ketrampilan, bukan pengetahuan tinggi. Hal ini tentu menjadikan suatu pertimbangan apakah

memang perlu mencapai pendidikan tinggi atau lebih baik tidak terlalu tinggi tetapi kemudian

memiliki ketrampilan tertentu. Konsep Knowledge Management juga bertentangan dengan

kesatuan. Perusahaan dapat mencari pengetahuan yang terletak di dalam pekerja mereka dan

Arif Partono - 2014

31

pada saat yang sama mendukung kontrak psikologisnya. Ini memunculkan masalah

kepemiilikan dan kekuasaan berkaitan dengan pengetahuan, dan karyawan mungkin tidak

mau menyerahkan pengetahuan intelektualnya di luar dari yang sudah disepakati dalam

kontrak.

Potensi HRD untuk berkontribusi dalam pengembanga modal manusia dan sosial sudah

cukup jelas, meski fokus dari Knowledge Management masih diarahkan pada tingkatan

internal organisasi, meski belajar dan perolehan pengetahuan juga dihasilkan dari sumber

eksternal sebagai bagian dari pembelajaran jangka panjang serta menjadi sumber bagi

perusahaan dalam memperoleh modal intelektual. In iberarti bahwa infrastruktur HRD

sebagai bagian dari pengembangan modal sosial perlu memiliki fokus eksternal juga. Bagi

organisasi yang ingin mencapai potensi maksimum dari sumber pengetahuan ini, tidak cukup

dengan perlu memperluas jaringan eksternal melalui penyertaan karyawannya pada

keanggotaan profesional. Perlu lebih dari sekedar itu untuk mengeksploitasi pengetahuan dari

luar organisasi. Contoh berikut dapat menjelaskan hubungan antara pengetahuan yang berasal

dari eksternal dengan prinsip Knowledge Management.

Masalah khas yang dihadapi dalam pengembangan Knowledge Management di Inggris

adalah rendahnya investasi di bidang HRD pada tingkat nasional dan perusahaan.

Sumberdaya yang dibutuhkan untuk mendukung akuisisi pengetahuan msih tidak jelas dan

sulit terealisir di sebagian besar perusahaan. Walaupun HRD yang menjadi bagian penting

dari SHRM menunjukkan peningkatan akan tetai masih pada tahap yang kurang

menggembirakan. Meski terdapat komitmen tinggi mengenai Knowledge Management pada

tingkat organisasi, akan tetapi kurang didukung dengan infrastruktur yang memadai.

Perubahan menuju SHRD membutuhkan perubahan signifikan pada strateg, peran, dan

perilaku fungsi HRD. Ini akan melibatkan proses perubahan pada sistem penyampaian HRD

dari yang didasarkan pada paket pelatihan yang standar ke arah fokus pada pembelajaran di

tempat kerja dengan penekanan pada pengembangan mandiri karyawan yang difasilitasi oleh

manajer yang berperan sebagai coach dan mentor. Disinilah dibutuhkan peran penanggung

jawab HRD yang bagus untuk bermitra dengan manajer lini dan senior, sert aberperan sebagai

fasilitator yang secara aktif mengembangkan dan mendorong mekanisme untuk mendukung

proses belajar dan pengembangan pengetahuan dalam rangka mencapai perbaikan

berkesinambungan dan inovasi (Walton, 1999; McCracken & Wallace, 2000; Harrison &

Kessel, 2004). Analisis ini mengarah pada pertanyaan penting di antaraya;

- Apakah spesialis HRD mau melakukan transformasi?

Arif Partono - 2014

32

- Apakah mereka memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan perubahan?

Seperti kegiatan HRD lainnya, akan selalu ada kemungkinan Knowledge Management

untuk gagal kecuali jika terapkan dalam kondisi integrasi strategis. Meskipun integrasi

vertikal dengan strategi organisasi sudah tercapai, akan tetapi belum tentu bisa berhasil jika

tidak terintegrasi dengan fung si HRD lainnya. Beberapa contoh berikut dapat menjelaskan

pandangan tersebut. Dengan adanya tuntutan kompetensi yang baru dibutuhkan adanya

penyesuaian dalam hal rekrutmen dan seleksi (dibahas pada Bab 8). Struktur penghargaan

juga perlu dirancang agar bisa mengakomodasi kinerja di bidang pengembangan pengetahuan

baru dan penerapan pengetahuan yang sudah ada untuk menghasikan modal intelektual (Bab

11). Audit dan penyebaran pengetahuan perlu disatukan dalam perencanaan SDM sebagai

aktivitas kunci (Bab 7). Budaya pembelajaran (Bab 6) diperlukan untuk mendukung

semangat pengambilan risiko, inovasi, dan kewirausahaan, yang perlu didukung oleh struktur

organisasi yang sesuai (Bab 5). Struktur hirarkis yang didasarkan pada alur perintah dan

pengendalian harus diubah menjadi struktur yang mengakomodasi dan mendorong terjadinya

koalisi temporer antar karyawan atau bagian, menekankan pada komunikasi lateral,

pendelegasian tanggung jawab, dan desain pekerjaan yang menerapkan prinsip tim mandiri

(Hedlund, 1994; Harrison & Kessel, 2004).

Selanjutnya kapasitas dan kompetensi manajer dalam memenuhi tuntutan dari SHRD

pada umumnya dan menjalankan Knowledge Management pada khususnya dipertanyakan.

Dimensi inti dari SHRM adalah mengembangkan tanggung jawab HR dari spesialis HR

jepada manajer lini dan senior. Pemahaman akan peran ini dapat dilihat sebagai komponen

integrasi strategis (Guest 1987). Dalam hal modal sosial, manajer lini diidentifikasi sebagai

pemain utama dalam menumbuhkan semangat akuisisi, transfer, dan eksplorasi pengetahuan

di dalam kelompok kerja. Meski demikian, sebagai tambahan pada perhatian secara umum

terhadap kemampuan manajer untuk menjalankan peran sebagai SHRD, MacNeil (2004)

menyatakan bahwa potensi atasan langsung dalam mengisi kesenjangan komunikasi untuk

menterjemahkan pengetahuan tacit individu menjadi pengetahuan tacit kelompok masih perlu

ditingkatkan.

8 Manajer sebagai stakeholder SHRD: Linchpin (pemersatu) atau

Spanner in the work (kejutan)

Jika dilihat dari kajian sebelumnya, maka penerapan Knowledge Management dapat

dilihat dari dua perspektif yang saling terkait. Hubungan antara kinerja perusahaan dengan

Arif Partono - 2014

33

kualitas manajer, dan tanggung jawab manajer dalam mengembangkan karyawannya. Dua hal

ini menjadi topik utama dalam komponen SHRD.

8.1 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Sebagai Pemersatu

Kepentingan strategis terkait pengembangan manajemen terlihat dengan diterimanya

pandangan bahwa kemampuan organisasi untuk mempertahankan keunggulan bersaing saat

ini dan di masa depan ditentukan oleh kualitas manajer lininya (Muhlemeyer & Clark, 1997;

Sloman, 1992). Kepentingan yang terkait pada pengembangan manajer akan meningkatkan

ketika lingkungan bisnis suatu perusahaan semakin dinamis. Bukan hal yang aneh jika dalam

suatu survei terhadap perusahaan di Eropa ditemukan kenyataan bahwa mengelola perubahan

organisasi menjadi prioritas dalam pengembangan manajer (Lundy & Cowling, 1996).

Keberhasilan dalam mengelola pengembangan manajer erat kaitannya dengan kemampuan

manajer untuk mendorong kinerja efektif dari tim yang dikelolanya. Kondisi ini tentu

mencakup sejumlah dimensi sumbrdaya manusia termasuk HRD.

Pengembangan karyawan dilihat sebagai salah satu peran utama SHRM bagi manajer.

Sebagai pembuat rencana operasional strategis, manajer lini menjadi orang yang tepat untuk

menilai kebutuhan HRD bagi karyawannya pada sekarang dan di masa depan (Garavan, 1991;

Horwits, 1999). Manajer lini juga dapat berperan dalam membangun dan menerapkan stragei

HRD yang dirancang untuk mengembangkan ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang

diperlukan karyawan. Khusus untuk HRD yang terkait dengan pekerjaan, dibutuhkan manajer

lini yang dapat menjadi coach dan melakukan mentoring kepada karyawannya sehingga bisa

menjalankan proses pembelajaran melalui aktivitas berbagi pengalaman tersebut (Garavan,

1991).

8.2 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Suatu Kejutan

Sayangnya, jika dibandingkan dengan Jepang, gambaran mengenai peran dan tanggung

jawab manajer dalam HRD di perusahaan Inggris masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai

faktor mempengaruhi kualitas manajer di Inggris dan mengurangi peran mereka untuk

mengembangkan anak buahnya. Manajer dapat menganggap bahwa HRD bukan menjadi

tanggung jawabnya karena mereka tidak terkait dengan tanggung HR atau karena mereka

merasa bahwa masalah sumberdaya manusia menjadi tanggung jawab spesialis HRD. Kondisi

ini diperkuat dengan praktek yang dijalankan ketika kebutuhan HRD teridentifikasi maka

karyawan dikirim untuk mengikuti pelatihan. Sebagai contoh; dalam pengembangan

kompetensi manajer untuk mengelola kinerja yang jelek, organisasi dapat mengirimkan

Arif Partono - 2014

34

mereka untuk mengikuti kursus atau menganalisis kesempatan belajar yang muncul dari

kejadian nyata adanya karyawan yang berkinerja buruk di bagian mereka. Pendekatan

pertama (kursus) dapat dijalankan oleh spesialis HRD, sedangkan pendekatan kedua

membutuhkan komitmen dari manajer dalam menjalankan peran mereka dalam bidang HRD.

Meski demikian, walapun tanggung jawab ganda dalam hal HRD ini diterima, masih

ada potensi masalah yang bertentangan. Twig & Albon (1992) melaporkan bahwa manajer

dan spesialis HRD sering melakukan saling kritik terkait dengan kurangnya fokus pada bisnis

dan mental yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek yang mengabaikan investasi di

bidang pengembangan karyawan. Teridentifikasi bahwa hubungan ini dapat menjadi sangat

bias ketika dua pha ini berjalan seolah-olah di dunia yang berbeda. Pembentukan ulang dalam

SHRD oleh McCracken dan Wallace (2000) menyajikan perkembangan menarik dan dengan

penekanan pada kolaborasi antara spesialis HRD dan manajer, tidak hanya menghindarkan

adanya bias tapi juga akan menghasilkan pola kemitraan yang konstruktif (Horwitz, 1999).

Kesulitan lain adalah ketika manajer yang memahami bahwa HRD merupakan bagian

integral dari tanggung jawab mereka gagal untuk menjalankan peran ini. Pada satu tingkatan

mungkin ini terjadi karena kurang motivasi. Ini bukan hal yang aneh, karena hasil yang

biasanya diperoleh dalam jangka panjang di bidang HRD sering tidak konsisten dengan fokus

pencapaian jangka pendek yang bayak dipraktekkan oleh organisasi. Sebagai contoh; manajer

penjualan yang dinilai berdasarkan penjualan dalam waktu 6 bulan yang dicapai oleh tim nya

akan enggan melepaskan karyawannya untuk mengikuti program pengembangan atau tidak

mau mengorbankan waktunya untuk mengembangkan kemampuan karyawannya. Lebih lanjut

lagi, pandagan sinis bahwa manajer hanya akan mendapatkan perilaku yang diukur dan dinilai

melalui sistem penilaian. Storey & Sisson (1993) menyatakan bahwa jarang sekali perusahaan

di Inggris yang menghargai manajernya karena mereka berhasil mngembangkan

karyawannya. Kembali pada contoh manajer penjualan di atas, jika perusahaan serius dalam

mendorong manajernya untuk menjalankan peran HRD maka seharusnya kinerja mereka juga

dikaitkan dan dukur berdasarkan hal tersebut.

Pada tingkatan yang lain, manajer mungkin kurang kompeten untuk menjalankan peran

HRD dengan efektif. Garavan (1991) menyatakan bahwa kurangnya kemampuan untuk

melakukan penilaian, mengidentifikasi kebutuhan HRD, empati pada bawahan, dan

ketrampilan mendengar serta membimbing merupakan penyebab pelaksanaan peran HRD

tidak terlaksana. Kurangnya kompetensi ini tercermin dari rendahnya pendidikan dan

pelatihan yang diterima oleh manajer tersebut (Storey & Sisson, 1993). Kondisi ini sejalan

Arif Partono - 2014

35

dengan pandangan bahwa manajemen pengembangan dipandang sebagai perkiraan biaya yang

dapat dihindari sehingga mendapat prioritas rendah di dalam perusahaan (Greer, 2001).

Berdasarkan bukti empiris, dapat dijelaskan bahwa hanya ada sebagian kecil perusahaan

yang menyiapkan manajer mereka untk menjalankan peran HRD. Hal ini dilakukan melalui

kepemimpinan mereka dalam menjalankan HRD dan menggunakannya sebagai aktivitas

strategis (Mabey, 1998; Cunningham & Hyman, 1999; Harrison & Kessel, 2004). Kesulitan

utama adalah bahwa aktivitas HRD apa yang cenderung dipusatkan pada hirarki manajemen

terendah. Saat ini muncul pandangan adanya kekurangan perhatian dari manajer senior untuk

mengembangkan diri, meski tanggung jawab mereka dalam hal ini cukup besar terhadap

kinerja perusahaan (Mumford, 1998). Ketika manajer senior mengabaikan pengembangan diri

mereka hal tersebut dapat menjadi contoh buruk bagi manajer di bawah mereka. Sebaliknya

jika manajer senior menunjukkan komitmen kuta dalam hal HRD, misalnya dalam penerapan

kegiatan yang mengarah pada pembentukan strategi, transfer pengetahuan dan komitmen

tinggi terhadap HRD di seluruh organisasi dapat ditemukan (Horwits, 1999; Ashton &

Felstead, 2001).

Sayangnya muncul dilema bahwa manajer bisa menjalankan sikap anti HRD meski

menyadari manfaatnya dalam memfasilitasi perubahan. Keep (1992) menyatakan skenario

bahwa manajer yang berpendidikan rendah dan kurang mendapat pelatihan serta dihasilkan

dari pola pengendalian otoriter tradisional dan struktur perintah sepakat untuk menghambat

kesempatan bagi anak buahnya untuk mengikuti pelatihan karena program pengembangan

tersebut dapat mengancam hak prerogatif mereka atau pososi mereka sebagai manajer.

8.3 Kompetensi Manajerial dalam HRD: pandora box

Dalam pandangan optimis, tuntutan akan manajemen strategis akan bertindak sebagai

pendorong bagi terbentuknya sikap manajer mengenai HRD dan mendoorng mereka untuk

melakukan tindakan terkait pengembangan mereka dan bawahannya. Riset yang dilakukan

terhadap 91 perusahaan di Inggris menemukan bahwa pengeluaran untuk bidang

pengembangan manajemen tinggi jika kegiatan tersbeut menjadi bagian integral dari

perencanaan perusahaan, dikaitkan dengan kebutuhan untuk mengantisipasi perubahan

lingkungan, dan pasar berada pada kondisi tidak menentu (Parkinson 1997). Pada umumnya

pengembangan manajemen nampak mendapat perhatian lebih besar di Inggris dan

diperkirakan akan meningkat. Peningkatan perhatian ini dikaitkan dengan program perubahan

budaya yang diidentifikasi sebagai sarana penting untuk perubahan restrukturisasi (Storey &

Arif Partono - 2014

36

Sisson, 1993; IRS, 1997). Fenomena di Eropa menunjukkan peningkatan manajer lini dalam

menerima peran mereka dalam HRD, baik dalam hal mengidentifikasi kebutuhan dan pada

perumusan kebijakan HRD (Mabey & Salaman, 1995).

Meski banyak tantangan dalam keterlibatan manajemen pada HRD, kepentingan

strategis memberikan harapan bahwa manajemen akan mengubah perilakunya. Diharapkan

akan ada tingkat keterlibatan lebih tinggi dan manajer mengadopsi sikap positif untuk

mengembangkan anak buahnya. Untuk menjembatani dua bidang yang dipegang oleh manajer

dan spesialisi HRD Twigg & Albon (1992) menyarankan bahwa kegiatan HRD harus berubah

dari sifat generik menjadi aktivitas yang berbasis pada pekerjaan yang dirancang secara

kolaborasi oleh spesialis HRD dan manajer sesuai dengan kebutuhan bisnis. Keduanya

menegaskan bahwa peran organisasi pembelajaran untuk menyatukan kedua pihak. Dengan

pendekatan ini kebutuhan bisnis akan dikaitkan dengan pengelolaan perubahan dan

persyaratan bagi manajer untuk berinovasi dan mengambil risiko. Hal ini akan lebih mudah

terjadi dalam iklim belajar dimana pengalaman, baik yang berhasil maupun gagal, dengan

cepat dipelajari oleh yang lain dan menjadi dasar pembelajaran dalam menyesuaikan diri

dengan perubahan (Twigg & Albon, 1992).

9 Rangkuman

- Membentuk rangkaian konsep kematangan strategis HRD dapat dilakukan sehingga

berbagai pendekatan terhadap HRD dapat dipelajari. Pada tingkat kematangan yang

rendah HRD dilakukan pada kondisi terbatas dan terisolasi dari strategi organisasi. Pada

tahap ini hubungan HRD dengan strategi organisasi hanya insidental dan kebetulan serta

hanya merupakan respond terhadap kondisi perubahan yang dihadapi. Pada tingkat

kemetangan tinggi, pendekatan HRD dan tindakannya mencerminkan langkah integrasi

strategis melalui pola dua arah, integrasi vertikal dan horizontal.

- SHRD yang berjalan sesuai dengan strategi organisasi ditandai dengan; dukungan

manajemen, komitmen dan keterlibatan aktif dari semua tingkatan manajemen, kolaborasi

kemitraan antara spesialis HRD dengan manajer lini, dilakukan pengamatan menyelurh

terhadap lingkungan untuk memaksimalkan pengembangan HRD, dilakukan transformasi

peran spesialis HRD dari sekedar pelatihan menjadi agen perubahan, ada budaya belajar,

dab ada tindakan evaluasi yang komprehensif.

Arif Partono - 2014

37

- Meski ditempatkan pada bagian yang kurang strategis pada rangkaian kematangan

strategi, siklus HRD yang sistematis dapat menjadi model yang mendukung karakteristik

SHRD.

- Learning organisation dan Knowledge Management muncul sebagai dua pendekatan baru

di bidang HRD dan memiliki saling keterkaitan. LO mempelajari proses belajar untuk

mempelajari sesuatu dan mendorong perilaku belajar dalam organisasi yang dapat

meningkatkan kecepatan tingkat perubahan. Sedangkan Knowledge Management

memiliki fokus lebih terbatas untuk mencari, mempelajari, meyebarkan, dan

menggunakan pengetahuan yang ada dan mengembangkan pengetahuan baru. Semuanya

itu dilakukan untuk mendukung pencapaian keunggulan bersaing perusahaan dan

mempelopori perilaku inovatif. Kedua konsep menempatkan manusia sebagai faktor

penting sebagai sarana untuk mencapai keunggualn bersaing. Pengetahuan dan budaya

belajar dapat menjadi kompetensi kunci organisasi.

- Dalam pespektif multi stakeholder, manajer dianggap sebagai pemersatu bagi

keberhasilan pelaksanaan SHRD. Meski demikian, untuk berbagai alasan, kesediaan dan

kemampuan mereka untuk menjalankan peran SHRD masih dipertanyakan.

LO, fokus pada individu/organisasi yang belajar. Menjadi media untuk mengembangkan

budaya belajar (belajar secara individu, menyesuaikan dengan kepentingan yang lebih

besar)

OL, individu mempelajari lingkup belajar didasarkan kepentingan organiasi. Bagaimana

seseorang mengembangkan diri untuk kept organisasi mutualisme (hasil belajar)

Arif Partono - 2014

38

10 Perbandingan dengan karya ilmiah lain

The strategic role of Human Resource Development in managing core competencies. Human

Resource Development International Vol. 11, No. 2, April 2008, 183–197

Alan Clardy

Pembahasan di dalam Bab 10 di atas menekankan pada perlunya perusahaan untuk

mengembangkan karyawannya sehingga keahlian, pengetahuan, ketrampilan yang mereka

miliki nantinya bisa menjadi keunggulan bersaing dari organisasi tersebut. Untuk

mengembangkan karyawan yang berpengatahuan (knowledge worker), konsep lama mengenai

pelatihan sudah tidak bisa digunakan lagi. Organisasi harus menerapkan konsep yang lebih

proaktif. Tidak menunggu munculnya masalah, akan tetapi mengantisipasi kebutuhan di masa

depan. Oleh sebab itu, organisasi perlu menyelaraskan strategi pengembangan SDM dengan

strategi bisnisnya.

Karya ilmiah yang dijadikan pembanding membahas mengenai strategi berbasis

sumberdaya internal organisasi (resource based view) yang menjadi faktor keunggulan

bersaing dalam jangka panjang. Sumberdaya internal ini diharapkan bisa menjadi kompetensi

kunci. Untuk mewujudkannya perlu dilakukan perencanaan strategis, penembangan

kompetensi kunci, dan bagaimana cara mengelolanya. Di iklim persaingan yang ketat,

organisasi harus memiliki keunggulan khas dibanding pesaing lain. Peran SHRD disini adalah

dalam mengembangkan kompetensi kunci bagi organisasi. Di dalam menjalankan peran

tersebut SHRD dapat menggunakan dua cara; pemetaan kometensi dan melakukan analisis

terhadap proses bagaimana kometensi tersebut dipelajari. Sebagai contoh misalnya

kompetensi keunggulan intelijen untuk mendiagnosis pesaing. Teknik apa yang tepat untuk

digunakan, bagaimana informasi yang diperoleh bisa bermanfaat bagi organisasi, atau

bagaimana cara mengatasi keunggulan pesaing tersebut. Kesemuanya harus dipertimbangkan

dan diolah oleh individu di dalam organisasi. Agar karyawan mampu atau memiliki

kemampuan tersebut, SHRD perlu merancang program strategis yang fokus pada

pengembangan kapabilitas yang dibutuhkan.

Dengan kapabilitas yang unggul diharapkan karyawan dapat berkontribusi terhadap

kinerja perusahaan. Kontribusi ini dapat diukur melalui pengukuran seberapa mudah

karyawan mengantisipasi keunggulan bersaing dari kompetitor, atau dari sisi seberapa lama

mereka mempertahankan kinerja superiornya.

Arif Partono - 2014

39

Di dalam kajian ini jelas terungkap bagaimana peran SHRD dalam membangun

komtpetensi organisasi, yang pada akhirnya akan menghasilkan aktivitas intelijen yang

memiliki keunggulan, pencatatan ketrampilan yang dimiliki, mengembangkan social capital

di antara karyawan, dan mendorong munculnya budaya belajar. Meski demikian, perlu

disadari bahwa pengembangan kompetensi kunci saja bukan satu-satunya faktor penentu

keberhasilan perusahaan. Tindakan ini harus selalu di evaluasi dan lebih penting lagi

disinergikan dengan fungsi HRM lainnya.