Buku -Menjadi Pelajar Berkemajuan-

170

Transcript of Buku -Menjadi Pelajar Berkemajuan-

Menjadi Pelajar Berkemajuan

© Fida ‘Afif, dkk., 2013 ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––

Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Cetakan Pertama, Juli 2013

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––– Editor

Azaki Khoirudin Proofreader

Fathur Rochman Lay Out & Design Cover

IlmiPublisher.com ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––

Diterbitkan oleh

PP IPM Gedoeng Moehammadijah Jl. KHA. Dahlan 103 Yogyakarta [email protected] www.ipm.or.id

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––– xix+148 hlm; 13x20 cm

ISBN: 978-602-17779-4-7

P e n g a n t a r

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, akhirnya buah karya

baru Ikatan Pelajar Muhammadiyah di usianya yang ke-52

ini telah terbit. Setelah setengah abad lebih Ikatan Pelajar

Muhammadiyah berkarya untuk negeri ini, dan memer-

oleh berbagai prestasinya, tiada hentinya IPM terus

memaksimalkan dan mengembangkan prestasi-prestasinya.

Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan ini hadir di tengah-

tengah pembaca sekalian tentunya berkat limpahan

rahmat dari Allah Swt.

Buku ini hadir atas kegelisahan dari pelajar

Muhammadiyah akan kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Maha karya berupa gagasan “menjadi pelajar berkema-

juan” merupakan wujud bahwa Ikatan Pelajar

Muhammadiyah terus bergerak dan ikut aktif memberikan

baktinya untuk Indonesia. Gagasan besar tersebut selain

sebagai reorientasi gerakan pelajar juga memacu pelajar

Indonesia agar memasang posisi kuda-kuda yang kuat

untuk menggapai masa depan bangsa Indonesia, karena di

tangan pelajarlah nasib bangsa ini kelak akan ditentukan.

Pelajar itu, ya belajar. Pelajar itu, ya menuntut ilmu.

Berarti, kegiatan seperti membaca, menulis, riset, dan

apapun kegiatan belajar itu baik di ranah akademik

maupun nonakademik sudah menjadi agenda utama

pelajar. Maka dari itu, sebagai sebuah sajian kajian tentang

dunia pelajar kontemporer, sekiranya buku ini menjadi

referensi dan dibaca oleh pelajar-pelajar Indonesia agar

tidak kehilangan arah kemana seharusnya pelajar itu

melangkah.

Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

sangat bangga atas terbitnya buku ini. Maka, rasa syukur

kepada Allah Swt, ucapan terima kasih kepada para

penulis, personalia pimpinan, dan semua pihak yang turut

perperan aktif dalam rangka menerbitkan buku ini.

Selamat Milad ke-52 untuk Ikatan Pelajar

Muhammadiyah. Selalu jaya dan siap menjadi penerus

bangsa.

Yogyakarta, 5 Juli 2013

Fida ‘Afif

D a f t a r I s i

Pengantar ................................................................ i Daftar Isi ................................................................. iii Prolog REAKTUALISASI ISLAM BERKEMAJUAN: Agenda Strategis Gerakan Keilmuan di Era Kontemporer Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah ................................... v Meluruskan Kiblat Pelajar Indonesia Fida ‘Afif ........................................................................ 1 Memaknai Cita-Cita Pergerakan Achmad Rosyidi ............................................................ 7 Sekolah: Poros Gerakan Pelajar Berkemajuan Lesti Kaslati Siregar ....................................................... 15 Road Map Gerakan Keilmuan IPM Hery Wawan .................................................................. 20 Pelajar Berilmu, Manifestasi Manusia Rabbaniyah Aman Nurrahman Kahfi ............................................... 31

Perkaderan Berbasis Seni dan Olahraga Hamdan Nugroho ......................................................... 39 Pelajar Berkemajuan: Pelajar Melek Teknologi dan Informasi Daeng Muhammad Feisal ............................................. 47 Budaya Menulis untuk Pelajar Berkemajuan Lufki Laila Nur Hidayati ............................................... 55 Gerakan Ilmu, untuk Visi Kemanusiaan Kader Azaki Khoirudin ............................................................ 66 Sekilas Lalu Tentang Pelajar Dinil Abrar Sulthani ..................................................... 83 Kesadaran Sejarah, untuk Pelajar Berkemajuan dan Berperadaban Muhammad Hanif ........................................................ 94 Pelajar Indonesia adalah Buruh Bangsa Mustiawan ..................................................................... 99 Ber-IPM Perlu Perencanaan Dinil Abrar Sulthani ..................................................... 107 IPM dan Suara Hati Pelajar (Catatan Hati Pelajar) Labib Ulinnuha ............................................................. 116 Pelajar Setara, Pelajar Berdaulat, Pelajar Bermartabat Imam Ahmad Amin A.R. ............................................. 124 Epilog MENJADI PELAJAR BERKEMAJUAN: Refleksi Milad 52 Tahun IPM................................. 141

P r o l o g

––Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah

“Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan

keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun

perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, anti-

keterbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan

kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan

keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras, golongan dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.”

Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua,

Muktamar ke-46 2010

Istilah “Islam yang Berkemajoean” yang digunakan

oleh Muhammadiyah di awal abad ke 20 (1912) memang

terasa lebih nyaman digunakan dari pada istilah Islam

“modern”. Istilah “modern” yang dilekatkan kepada

Muhammadiyah sebagai timbangan dari Islam “tradisi-

onal” tidak terasa nyaman digunakan, karena dalam

perjalanan waktu apa yang disebut para pengamat dan

peneliti sebagai Islam “tradisional” mengandung elemen-

elemen pikiran keagamaan modern, dan apa yang dikate-

gorikan sebagai Islam “modern”, ternyata mengandung

elemen-elemen pikiran keagamaan tradisional. Dugaan

saya, klasifikasi atau kategorisasi “modern” dan “tradisi-

onal” tersebut berasal dari para pengamat, analis, peneliti

gerakan sosial-keagamaan dan sosial ke-Islaman, tapi

bukan dari kalangan pendiri Persyarikatan sendiri.

Akan menarik dan mungkin akan lebih tajam, jika

istilah “Islam Berkemajoean” awal abad ke 20 disandingkan

dengan istilah “Islam Progressive” (Islam yang Maju atau

Islam Berkemajuan) yang digunakan oleh para ahli studi

keislaman pada akhir abad ke 20, dan lebih-lebih lagi pada

abad ke-21. Pengetahuan keduanya akan berguna untuk

diketahui oleh para pimpinan Persyarikatan Muhammad-

iyah pada setiap jenjangnya dan juga para pimpinan

organisasi Islam yang lain di tanah air. Petikan manifesto

atau Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua di

atas, secara lamat-lamat menginformasikan makna Islam

Progressive yang dirumuskan beberapa pemikir Muslim

kontemporer.

Respons Intelektual Muslim Terhadap Perubahan Sosial

Kontemporer

Tidak ada yang dapat menyangkal jika dikatakan

bahwa dalam 150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat

manusia mengalami perubahan yang luar biasa. Perubahan

yang dahsyat dalam perkembangan ilmu pengetahuan,

tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi, demografi,

hukum, tata kota, lingkungan hidup dan begitu seterus-

nya. Perubah-an dahsyat tersebut, menurut Abdullah

Saeed, antara lain terkait dengan globalisasi, migrasi

penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang

angkasa, penemuan-penemu-an arkeologis, evolusi dan

genetika, pendidikan umum dan tingkat literasi.

Di atas itu semua adalah bertambahnya pemaham-

an dan kesadaran tentang pentingnya harkat dan martabat

manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat

antarumat beragama (greater inter-faith interaction), muncul-

nya konsep negara-bangsa yang berdampak pada keseta-

raan dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara

(equal citizenship), belum lagi kesetaraan gender dan begitu

seterus-nya. Perubahan sosial yang dahsyat tersebut

berdampak luar biasa dan mengubah pola berpikir dan

pandangan keagamaan (religious worldview) baik di ling-

kungan umat Islam maupun umat beragama yang lain.

Perubahan dimaksud tidak mesti bermakna positif, tetapi

juga negatif. Kerusakan ekologi, climate change, dehuman-

isasi, tindak kekerasan (violence) atas nama negara, agama,

etnis, dan begitu seterusnya.

Dalam khazanah pemikiran keagamaan Islam,

khususnya dalam pendekatan Usul al Fiqih, dikenal istilah

al-Tsawabit (hal-hal yang diyakini atau dianggap “tetap”,

tidak berubah) wa al-Mutaghayyirat (hal-hal yang diyakini

atau dianggap “berubah-ubah”, tidak tetap). Belakangan di

ling-kungan khazanah keilmuan antropologi (agama),

khususnya dalam lingkup kajian penomenologi, dikembang-

kan analisis pola pikir yang biasa disebut General Pattern

dan Particular Pattern. Seringkali kedua atau ketiga alat

analisis entitas berpikir dalam dua tradisi khazanah

keilmuan yang berbeda ini, yakni usul al Fiqih (wilayah

agama; wilayah akidah dan ibadah) dan Falsafah

(philosophy) (wilayah sains, sosial dan budaya). Belum lagi

di tambah Antropologi, masih jauh dari upaya ke arah

perkembangan menuju ke dialog dan integrasi.

Namun, pertanyaan yang sulit dijawab adalah bagai-

mana kedua atau ketiga alat logika berpikir dalam berbagai

disiplin keilmuan tersebut, berikut sistem epistemologi

yang menyertainya dioperasionalisasikan di lapangan

ketika umat Islam menghadapi perubahan sosial di era

globalisasi yang begitu dahsyat. Apa yang masih harus

dianggap dan diyakini sebagai yang “tetap” dan apa yang

tidak bisa tidak harus “berubah”? Apakah yang dianggap

dan dipercayai sebagai qat’iy (yang pasti atau tetap) dalam

fiqh dan usul al-fiqh sama dengan apa yang dianggap al-tsabit

(yang tetap) dalam budaya dan ilmu pengetahuan? Begitu

juga dalam hal yang dianggap, diyakini sebagai bersifat

dzanniy? Apakah dalam gerak perubahan tidak ada lagi

menyisakan hal-hal yang tetap?

Dalam praktiknya, tidak mudah mengoperasionali-

sasikannya di lapangan pendidikan, dakwah, komunikasi,

hukum dan begitu seterusnya, karena masing-masing

orang dan kelompok telah terkurung dalam

preunderstanding yang telah dimiliki, membudaya,

mendarah-mendaging dan dalam batas-batas tertentu

bahkan membelenggu. Oleh karenanya, jika persoalan

cara berpikir ini tidak dijelaskan dengan baik, meskipun

tidak memuaskan seluruhnya, akan muncul banyak

keraguan dan benturan di sana-sini. Mengikuti bahasa

populer digunakan dalam dunia maya: saling membid’ah-

kan, murtad-memurtadkan dan bahkan saling kafir-

mengkafirkan, baik pada tingkat person-person atau

individu-individu, lebih-lebih pada tingkat sosial dan

kelompok- kelompok.

Reaktualisasi Islam Berkemajuan di Tengah Arus

Globalisasi

Mengangkat tema “Reaktualisasi Islam Berkemaju-

an” dalam satu keutuhan pembahasan mempersyaratkan

adanya kesediaan para pencetus, pemilik, pendukung dan

penggemarnya untuk mempertemukan dan mendialogkan

antara kedua model entitas berpikir yang sulit di atas.

Tidak bisa membicarakan yang satu dan meninggalkan

yang lain. Tidak bisa hanya membahas yang tetap-tetap

saja (form; general pattern; al-tsawabit; qat’iyyat), tanpa

sekaligus melibatkan pembicaraan tentang yang berubah

(matter; particular pattern; al-mutahawwil; dzanniyyat).

Kecuali, kalau topik pembahasan diubah menjadi hanya

membicarakan salah satu diantara kedua tema tersebut.

Membicarakan (epistemologi) Islam secara parsial, yakni

hanya dalam tradisi Fiqh dan Usul al- Fiqh pada wilayah

Qath’iy dengan menepikan wilayah Dzanny atau hanya

membahas Islam (Berkemajuan) saja, yakni Islam yang

sedang berhadapan dengan isu-isu baru atau al-

Mutaghayyirat, dengan mengetepikan wilayah Al-T sawabit).

Di sini sulitnya mengangkat tema pembahasan di

atas, karena para pelaku atau aktor di lapangan, dengan

kebening-an dan kejernihan hati, dipersyaratkan untuk

bersedia men-dialogkan, mendekatkan dan mempertemu-

kan antara keduanya secara adil, proporsional dan bijak.

Perlu ada kesediaan dan mentalitas untuk saling ‘take’ and

‘give’, saling mendekat, dialog, konsensus, kompromi dan

negosiasi. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak atas

nama apapun. Tidak boleh ada pula ada perasaan

ditinggal. Oleh karenanya, kebutuhan yang tidak dapat

ditinggalkan adalah mempersentuhkan, mempertemukan

dan mendialogkan antara kedua entitas pola pikir

tersebut, yaitu antara struktur bangunan dasar yang melan-

dasi cara berpikir dan pengalaman umat manusia secara

umum (universal) dan struktur bangunan dasar cara

berpikir keagamaan Islam secara khusus (particular).

Dalam bingkai payung besar perspektif seperti itu,

dalam tulisan ini, saya akan membawa peta percaturan

dunia epistemologi Islam dalam menghadapi dunia global

lewat prisma model berpikir dua pemikir Muslim

kontemporer. Yaitu, Abdullah Saeed dari Australia, Jasser

Auda dari London. Pertama, adalah karena mereka hidup

di tengah-tengah era kontemporer, di tengah-tengah arus

deras era perubahan sosial yang mengglobal seperti saat

sekarang ini. Sebutlah era Berkemajuan, menggunakan

terma dokumen persyarikatan yang dikutip diatas. Kedua,

mereka datang dari berbagai belahan dunia dan benua

yang berbeda, yaitu Australia dan Eropa, namun keduanya

menguasai khazanah intelektual Islam klasik-tengah-

modern-posmodern dan mempunyai basis pendidikan

Islam di Timur Tengah (Saudi Arabia dan Mesir).

Ketiga, mereka sengaja dipilih untuk mewakili suara

‘intelektual’ minoritas Muslim yang hidup di dunia baru,

di wilayah mayoritas non-Muslim. Dunia baru tempat

mereka tinggal dan hidup sehari- hari bekerja, berpikir,

melakukan penelitian, berkontemplasi, berkomunitas,

bergaul, berinter-aksi, berperilaku, bertindak, mengambil

keputusan. Mereka hidup di tempat yang sama sekali

berbeda dari tempat mayoritas Muslim dimanapun mereka

berada. Apa arti Berkemajuan bagi mereka? Kedua-duanya

mengalami sendiri bagaimana mereka harus berpikir,

mencari penghidupan, berijtihad, berinteraksi dengan

negara dan warga setempat, bertindak dan berperilaku

dalam dunia global, tanpa harus menunggu petunjuk dan

fatwa-fatwa keagamaan dari dunia mayoritas Muslim.

Keempat, kedua pemikir, penulis, dan peneliti

tersebut dalam kadar yang berbeda-beda, mereka

mempunyai kemampuan untuk mendialogkan dan

mempertautkan antara paradigma Ulum al-Din, al-Fikr al-

Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer dengan baik.

Yakni, Ulum al Din (Kalam, Fiqh, Tafsir, Ulum Al-Qur’an,

Hadits) yang telah didialogkan, dipertemukan dengan

sungguh-sungguh dengan Dirasat Islamiyyah yang meng-

gunakan metode sains modern, social sciences dan

humanities kontemporer sebagai pisau analisis-nya dan

cara berpikir keagamaannya.

Dengan kata lain, Islam yang Berkemajuan adalah

“Islam yang berada ditengah-tengah arus putaran

Globalisasi dalam Praxis, globalisasi dan perubahan sosial

dalam praktik hidup seharihari, dan bukannya globalisasi

dalam Theory, globalisasi yang masih dalam tarap teori,

belum masuk dalam wilayah praktik. Yaitu dunia global

seperti yang benar-benar dialami dan dirasakan sendiri

oleh para pelakunya di lapangan, yang sehari-hari memang

tinggal dan hidup di negara- negara sumber dari globalisasi

itu sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi,

ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan begitu

seterusnya. Bukan globalisasi yang diteoritisasikan dan

dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal

dan hidup di negara-negara berpendu-duk mayoritas

Muslim, dan tidak atau belum merasakan bagaimana

tinggal dan hidup sehari-hari di negara-negara non-

Muslim, pencetus, dan penggerak roda globalisasi.”

Lewat lensa pandang seperti itu, ada hal lain yang

hendak ditegaskan pula di sini bahwa manusia Muslim

yang hidup saat sekarang ini di mana pun mereka berada

adalah warga dunia (global citizenship), untuk tidak menga-

takan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship).

Sudah barang tentu, dalam perjumpaaan antara local dan

global citizenship ini ada pergumulan dan pergulatan

identitas yang tidak mudah, ada dinamika dan dialektika

antara keduanya, antara being a true Muslim dan being a

member of global citizenship sekaligus, yang berujung pada

pencarian sintesis baru yang dapat memayungi dan

menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang hidup dalam

dunia baru dan dalam arus pusaran perubahan sosial yang

global sifatnya.

Menjadi Pelajar (Muslim) Berkemajuan

Sebelum mengetahui, karakteristik pelajar (Muslim)

yang berkemajuan, akan saya sandingkan Islam berkemaju-

an dengan Islam Progressif. Islam progressif adalah

merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi

progressifitas Islam yang dalam kurun waktu yang cukup

lama mati suri ditindas oleh dominasi teks yang dibaca

secara literal ,tanpa pemahaman kontekstual. Dominasi

teks ini oleh Mohammad Abid al-Jabiry disebut sebagai

dominasi epistemologi atau nalar Bayani dalam pemikiran

Islam. Metode berpikir yang digunakan oleh Muslim

Progressif inilah yang disebutnya dengan istilah progressif-

ijtihadi.

Karakteristik pemikiran Muslim progressif-ijtihadis,

dijelaskan oleh Saeed dalam bukunya Islamic Thought

adalah sebagai berikut: (1) mereka mengadopsi pandangan

bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional

memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam

rangka menye-suaikan dengan kebutuhan masyarakat

Muslim saat ini; (2) mereka cenderung mendukung

perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad

untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontem-

porer; (3) beberapa diantara mereka juga mengkombinasi-

kan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan

pendidikan Barat modern; (4) mereka secara teguh

berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah

intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus

direfleksikan dalam hukum Islam; (5) mereka tidak

mengikutkan dirinya pada dogmatism atau madzhab

hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya;

dan (6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada

keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang

harmonis antara Muslim dan non-Muslim.

Sekilas tampak jelas bahwa corak pemikiran yang

berkemajuan, menggunakan nash-nash Al-Qur’an menjadi

titik sentral berangkatnya, tetapi metode penafsirannya

telah didialogkan, dikawinkan dan diintegrasikan dengan

peng-gunaan epistemologi baru, yang melibatkan social

sciences dan humanities kontemporer dan filsafat kritis

(Critical Philosophy). Pertanyaannya sekarang adalah,

bagaimana reaktualisasinya dalam praktik pendidikan di

lingkungan Muhammadiyah? Jika kriteria, prasyarat

keilmuan dan langkah-langkah metodologis yang diguna-

kan oleh Islam Progressive atau Islam yang Maju, yang

dirumuskan oleh Abdullah Saeed tersebut dipersanding-

kan dan didialogkan dengan konsep Islam yang

Berkemajuan menurut Pernyataan Pikiran

Muhammadiyah Abad Kedua, maka kita akan lebih

mudah untuk melakukan benchmarking atau perbandingan

antara keduanya.

Islam yang Berkemajuan Sebagai Paradigma Menafsir

Zaman

Hal-hal yang masih perlu diolah, didiskusikan, dan

dicari titik temu antara konsep Islam Progressive dan Islam

yang Berkemajuan Muhammadiyah adalah sebagai

berikut: Adalah tugas para pakar di lingkungan

Muhammadiyah, baik di lingkungan Pimpinan Pusat,

Wilayah, Daerah dengan berbagai Majelis, Badan, Ortom,

terutama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) untuk

membuat check list sejauh mana kriteria Islam yang

Berkemajuan yang termaktub dalam Pernyataan Pikiran

Muhammadiyah Abad Kedua, produk Muktamar ke-46

(2010) tersebut parallel, sehaluan, berbeda atau berse-

berangan dengan apa yang disebut-sebut sebagai Islam

Progressif dalam dunia akademik kajian ke-Islaman

kontemporer.

Dalam dunia pergerakan keagamaan, sosial, terma-

suk kepelajaran seperti IPM, tidak ada memang yang dapat

dika-takan sama seratus persen, atau berbeda seratus

persen, mi’ah min mi’ah, antara yang satu komunitas dan

lainnya. Tetapi barometer dan kompas petunjuk arah

adalah perlu. Apalagi, jika tidak salah, dokumen

pernyataan atau statement organ-isasi hanyalah dokumen

umum, sebagai petunjuk umum anggotan dan basis

masanya, tetapi belum memerinci bagaimana pendekatan

(approach) dan metode (method), apalagi sampai ke

theoretical framework, atau paradigma yang diguna-kan

untuk membaca dan menafsirkan fenomena sosial jika

ingin diaplikasikan dalam mengubah untuk melakukan

rekayasa sosial menggunakan Al-Qur’an dengan pema-

haman yang berkemajuan dan progresif sebagai paradigma

untuk menafsir zaman.

“Reaktualisasi Islam Berkemajuan” di lapangan

perlu dibarengi dan diikuti cara kerja keilmuan studi ke-

Islaman yang sistimatis, tekun dan berkesinambungan agar

dalam penerapannya di lapangan tidak salah arah. Tanpa

upaya seperti itu, dokumen sejarah yang sangat penting

dalam perguliran Muhammadiyah memasuki abad kedua

dikhawa-tirkan akan berbelok arah, mengambil jalan

sendiri dalam penerapannya, menyalip dalam tikungan

kepentingan para aktor dan aplikator di lapangan. Karena

dalam realitas di lapangan setidaknya memang tidak

menutup kemungkinan aplikator di lapangan malah

mengambil jalan lain, untuk tidak menyebutnya terbalik

arah, tidak seperti yang diharap-kan dalam Pernyataan

Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua yang ‘disepakati’

oleh muktamirin dan Pimpinan Pusat Persyarikatan serta

masuk dalam dokumen resmi Muktamar ke 46 di

Yogyakarta.

Yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa

Persyarikatan Muhammadiyah sudah “gemuk”, baik dari

segi amal usaha maupun pengurusnya, khususnya di

bidang pendi-dikan, dari Bustanul Atfal sampai perguruan

tinggi, layanan kesehatan dan lain-lainnya. Akan sangat

mudah ‘lemak’ menempel di badan, lembaga dan amal

usaha yang telah terlanjur gemuk. Tahu-tahu, dalam

praktik, aplikasi dan reaktualisasinya di lapangan ditemui

kejanggalan dan keanehan-keanehan dalam ber-

Muhammadiyah, dengan cara menyelipkan ‘ideologi’ lain

yang tidak sejalan dengan penyataan di atas. Akibatnya,

sebagian aktivis Muhammadiyah tidak lagi dapat

menyandang predikat “Berkemajuan”, karena istilah

“berkemajoean” memang dulunya pada tahun 1912 sangat

asing (bada’a ghariban) dan istilah itu sekarang pun

kembali menjadi terasa asing (ya’udu ghariban) pada awal

abad ke 21 ini, karena Muhammadiyah tidak hidup dalam

ruang kosong. Semoga dalam buku “Menjadi Pelajar

Berkemajuan” karya Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini,

menjadi pembuka “jalan lurus” Muhammadiyah dalam

usaha mereaktualisasikan Islam yang berkemajuan di

tengah arus globalisasi.

Yogyakarta, 4 Juli 2013

Islam yang Berkemajuan adalah “Islam yang berada di

tengah-tengah arus putaran Globalisasi dalam Praxis,

globalisasi dan perubahan sosial dalam praktik hidup

sehari-hari, dan bukannya globalisasi dalam Theory,

globalisasi yang masih dalam tarap teori, belum masuk

dalam wilayah praktik. Yaitu dunia global seperti yang

benar-benar dialami dan dirasakan sendiri oleh para

pelakunya di lapangan, yang sehari-hari memang tinggal

dan hidup di negara- negara sumber dari globalisasi itu

sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi, ekonomi,

ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan begitu

seterusnya. Bukan globalisasi yang diteoritisasikan dan

dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal

dan hidup di negara-negara berpenduduk mayoritas

Muslim, dan tidak atau belum merasakan bagaimana

tinggal dan hidup sehari-hari di negara-negara non-

Muslim, pencetus dan penggerak roda globalisasi.”

Meluruskan Kiblat Pelajar Indonesia

––Fida ‘Afif1

“Pada abad pertama, Muhammadiyah telah meluruskan kiblat umat Islam dalam shalat. Pada abad kedua, (Muhammadiyah)

harus bertekad untuk meluruskan kiblat bangsa. Yaitu meluruskan penyimpangan terhadap cita-cita nasional yang diletakkan

the founding fathers.”

Prof. Din Syamsudin, M.A. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

1 Ketua Umum PP IPM Periode 2012-2014, Mahasiswa Sastra Arab

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jika kita mengenal ungkapan umum bahwasanya

pelajar adalah tiang negara (baik pelajarnya, baik pula

negaranya), maka potensi pelajar sangat didambakan oleh

suatu negara. Tinggal potensi pelajar hari ini akan

membanggakan bangsa dan negara, atau justru sebaliknya.

Jumlah pelajar Indonesia yang lebih dari 58 juta itulah

potensi harapan Indonesia.

Melihat kondisi pelajar yang beraneka ragam

dengan bebagai macam karakter, harusnya menjadi

catatan tersendiri. Dari pelajar yang berprestasi hingga

pelajar yang belum memiliki arah hidup pada dasarnya

mereka berusia remaja. Artinya potensi pelajar dalam

menentukan arah hidupnya ke depan berada dalam masa

transisi yang tidak luput dari kerentanan.

Di mana pelajar itu tinggal, dengan siapa, bergaul

dengan siapa, bagaimana kondisi lingkungannya, serta

bagaimana kondisi pendidikan hingga ekonominya sangat

berpengaruh pada karakter yang terbentuk dalam diri

pelajar itu sendiri. Memang banyak pelajar Indonesia yang

memiliki segudang prestasi, tapi tidak sedikit pula yang

terjerumus dalam lembah yang lain. Kenakalan pelajar

misalnya, dapat berdampak buruk dalam kehidupan

pelajar tersebut.

Kehidupan para pelajar dimulai dari mengenal

dunia baru di luar lingkungan keluarga, yaitu sekolah.

Sekolah itulah yang menjadikan seorang anak-anak atau

remaja memiliki gelar pelajar, dalam arti yang sederhana

pelajar berarti orang yang belajar.

Bagaimana seorang pelajar itu belajar, menjadi titik

awal gerbang pengetahuan maupun pemikiran yang masuk

ke dalam wahana pembelajaran pelajar itu. Guru, teman-

teman, buku-buku yang dibaca, maupun lingkungan

sangat erat dalam membentuk karakter pelajar. Pelajar

yang memiliki tekat kuat belajar serta memiliki cita-cita

dan berkomitmen menggapai cita-cita tersebut, merupakan

harapan dari orang tua agar berproses menuju prestasi.

Dari permasalahan pelajar yang ada di tanah air ini,

seperti: tawuran, seks bebas, narkoba, kekerasan, dan lain

sebagainya merupakan salah satu wujud dari aktualisasi

dalam pencarian jati dirinya dalam fase usia remaja. Inilah

yang perlu diadvokasi atau didampingi agar dalam fase

remaja ini, para pelajar dapat sadar, kritis, dan terbuka

akan peran penting yang sedang mereka jalani.

Wujud penanaman nilai maupun norma bukanlah

tanggungjawab guru di sekolah saja. Orang tua, lingkung-

an, mapun aktivis pelajar juga memiliki peran yang sama

dalam membentuk karakter pelajar Indonesia.

Maka dari itu, waktu luang dari pelajar di sela-sela

jam sekolah maupun di luar jam sekolah mesti terisi

dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Sehingga tidak ada

pelajar yang gemar dengan jam kosong, membolos, atau

melakukan tindakan-tindakan negatif yang mengarah pada

kenakalan pelajar.

Memaksimalkan Potensi Pelajar

Kaum pelajar sampai saat ini sebagian besar masih

termarginalkan. Belum ada kepercayaan penuh bagi

pelajar itu sendiri dalam mengambil langkah-langkah yang

akan mereka jalani. Orang tua, guru, maupun elemen

masyarakat beranggapan bahwa kaum pelajar tidak

memiliki peran yang berarti selain mesti belajar, menimba

ilmu, serta melakukan aktivitas-aktivitas dalam hal

kegiatan pelajar.

Komunitas pelajar yang ada di sekitar kita, seperti:

komunitas menulis, olah raga, sains, fotografi, komunitas

berbasis hobi, bahkan komunitas di dunia maya, serta

komunitas-komunitas yang lain adalah wujud dari

aksistensi pelajar itu sendiri agar mereka merasa

“dianggap” ada di dunia ini, minimal dalam komunitas-

nya. Potensi pelajar yang demikianlah yang patut

mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Dan pemerin-

tah idealnya wajib memfasilitasi keberadaan mereka dalam

komunitas-komunitas tersebut.

Di lain sisi, pelajar juga dituntut sadar akan

perannya di saat masa-masa mereka menyandang gelar

pelajar. Orientasi yang utama bagi pelajar, mereka mesti

peka, kritis, dan kreatif dengan kondisi dan peran mereka

sehingga tidak disorientasi akan perannya yang lebih besar

di masa yang akan datang.

Potensi yang ada dalam pelajar-pelajar itu baiknya

tidak hanya dimaksimalkan oleh kaum pelajar saja, tetapi

semua pihak bertanggung jawab untuk turut ambil bagian

mendampingi segala potensi yang ada dalam pelajar,

karena pelajar adalah aset sumber daya manusia yang jauh

lebih besar potensinya bagi bangsa ke depan.

Reorientasi Gerakan Pelajar

Dunia hari ini tentu jauh berbeda dengan dunia di

masa lalu. Begitupun dunia pelajar. Teknologi canggih,

informasi yang cepat, serta pergaulan global menjadikan

konteks keduniaan yang baru berada di tengah-tengah

kita. Dunia tersebut yang juga dihadapai kaum pelajar hari

ini.

Meluruskan arah kiblat dunia pelajar, tidak akan

mudah dan berhasil tanpa dimulai dari langkah-langkah

strategis menuju gerakan pelajar yang bermartabat dan

berkarakter. Nilai yang dijunjung oleh bangsa kita,

idealnya tertanam jauh di sanubari setiap jiwa pelajar; sifat

jujur, nasionalisme, patriotisme, berakhlak mulia, dan

berbagai nilai yang ada di bangsa kita. Nilai-nilai inilah

yang menjadi pondasi awal yang harus dimiliki setiap

pelajar dalam menjalankan segala aktivitasnya. Dengan

demikian, apapun gerakan pelajar yang diusung akan tetap

memegang teguh nilai dan norma yang ada.

Selain itu, pelajar sebagai basis kaum berilmu

harusnya memiliki gagasan, karya, serta aktualisasi

keilmuan. Budaya membaca, menulis, penelitian, survey,

maupun budaya keintelektualan yang lain benar-benar

diusung dan dibudayakan. Harapan besar bangsa ini dari

pelajar Indonesia adalah bisa menawarkan gagasan,

mengeluarkan keterpurukan bangsa dan menempatkan

bangsa ini setara dengan bangsa-bangsa yang memiliki

peradaban tinggi.

Melihat keterpurukan bangsa kita, peran pelajar

sangat dieluh-eluhkan. Munculnya kaum terpelajar baru

untuk menawarkan solusi dan mengangkat bangsa ini dari

sakit yang sedang dilanda menjadi harapan baru. Sudah

saatnya arah berpikir kaum pelajar lurus ke depan dan

tidak hanya sekedar menatap kondisi bangsa di hari esok.

Akan tetapi, jauh dari itu memberikan baktinya untuk

negeri ini dengan kegiatan-kegiatan nyata sesuai levelnya-

lah yang segera diagendakan oleh pelajar-pelajar Indonesia.

Bangkit terus pelajar Indonesia, dan persiapkan diri setiap

pelajar menjadi pemimpin amanah bagi bangsa.

Memaknai Cita-Cita Pergerakan

––Achmad Rosyidi2

“Melangkah ke depan dalam perjalanan bangsa, umat Islam haruslah menjadi jama’ah yang membentuk konvoi. Berjalan bersama dan maju bersama. Jika ada sebagian yang berjalan terlalu cepat, atau sebagian lain terlalu lamban, maka konvoi itu akan berantakan. Maka, sangat penting bagi umat Islam untuk saling mendorong supaya maju bersama, dan tidak ada

yang tertinggal dan menjadi beban sejarah.”

Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A.

2 Ketua PP IPM bidang Organisasi periode 2012-2014, Sarjana Hukum

Islam, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Cita-cita, sesuatu yang tidak nyata dan tempatnya

sangat jauh. Jauh karena tidak ada yang tahu kapan bisa

bertemu. Cita-cita selalu indah karena ia adalah gambaran

masa datang yang diinginkan setiap orang, indah bagi satu

orang, sang pembawa cita-cita, belum tentu indah pula

bagi yang lain.

Cita-cita bukan hanya untuk dimiliki, ia ingin kita

kejar, bagaimanapun caranya harus tertangkap. Pertaruhan

bukan hanya dalam gengsi tetapi hidup itu sendiri.

Manusia yang tidak sampai pada cita-citanya akan tiba

pada dua pilihan: berhasil dengan cita-cita lain, atau larut

dalam penyesalan yang berkepanjangan. Kemungkinan

kedua ini bisa saja berujung maut, tentu bila cadangan

iman sudah kalah wibawa dengan beratnya beban hidup.

Iman itu mundur dengan sendirinya bila mencapai taraf

klimaks manusia tidak lagi merasa ada yang pantas

diperjuangkan. Tidak ada yang pantas diambil selain

mengakhiri hidup yang sudah tidak ada gunanya.

Sedikit kita berefleksi kedalam tubuh Ikatan yang

kita cintai ini, apa cita-cita IPM itu? Atau apa yang

diperjuangkan? Mungkin kita atau sebagian dari kita

belum bisa memahami tujuan ber-IPM. Ada yang ber-IPM

mungkin karena ada orang yang disukainya disana, atau

ada kepentingan jangka pendek – misalnya mau jadi dosen

di Universitas Muhammadiyah atau ingin beasiswa kuliah,

atau ingin jadi pegawai di Amal Usaha Muhammadiyah,

atau ada yang dipaksa gurunya masuk IPM, supaya tidak

dapat nilai bagus untuk mata pelajaran Al-Islam Ke-

Muhammadiyahan-nya, atau macam-macamlah. Baik,

memang pada titik tertentu adakalanya terpaksa, lalu

dalam keterpaksaan itu, ia mencari hakekat. Lalu ia

menemukannya. Tidak jadi persoalan, jika seperti ini

kasusnya.

Jadi ber-IPM pun harus memiliki cita-cita, yang

mampu mendorong kita bergerak melaksanakan dakwah

dan pencerahan di masyarakat. Tanpa ada cita-cita, kita

akan stagnan. Atau karena merasa cita-cita sudah tergapai,

sehingga kita tidak lagi memiliki motivasi, boleh jadi

karena kita abai dalam memberikan makna terhadap cita-

cita Ikatan yaitu: terbentuknya pelajar Muslim yang berilmu,

berahlaq mulia dan terampil dalam rangka menegakkan dan

menjunjung tinggi nilai-nilai Islam sehingga terwujud

masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Momentum transformasi IPM, harus menjadi

pelatuk bagi revitalisasi cita-cita itu. Kader IPM harus

memaknai dan menafsirkan cita-citanya. Bermimpilah.

Seperti ketika anak-anak itu ditanya mengenai cita-citanya.

Bila kita melihat pada kenyataan hidup kita selalu

diiring dengan adanya suatu perubahan, perubahan ini

merupakan salah satu proses alami yang akan dialami oleh

semua elemen kehidupan termasuk didalamnya manusia.

Cita-cita manusia sendiri hidup dengan penuh perubahan,

dahulu kala kehidupan manusia identik dengan zaman

prasejarah dimana semuanya penuh dengan sangkaan-

sangkaan yang penuh di kepala kita. bagaimana kehidupan

manusia dulu pada zaman purba. mulai dari zaman

paleolitikum, mesolitukum bahkan sampai megalitikum yang

penuh dengan pergerakan-peregakan yang mengiringi

setiap zaman.

Begitu juga kehidupan manusia pada zaman sejarah

mulai ditemukan suatu tulisan dan bahasa selalu menga-

lami perubahan dan pergerakan. Pergerakan yang paling

dirasakan oleh kehidupan manusia adalah ditemukannya

mesin uap oleh seorang ilmuan dari Inggris bernama

James Watt, selain itu pergerakan di penjara Bastille di

Perancis dan masih banyak lagi suatu pergerakan yang

merubah kehidupan manusia.

Bila kita lihat bahwa IPM sebagai pergerakan adalah

langkah awal dari sebuah perjuangan misi kenabian yang

akan menuju suatu keadaan yang lebih baik. Gerakan IPM

merupakan suatu arti usaha terus menerus untuk pindah

atau merubah sesuatu dari tempat ke tempat dan dari

masa ke masa yang lain yang berulang-ulang. Artinya

pergerakan IPM akan memberikan suatu perubahan ketika

dilakukan dalam suatu kegiatan yang continue bukan

kegiatan yang dilakukan sekali dalam seumur hidup.

Dari OKP Terbaik, Menuju Gerakan Terbaik

Bila kita kembali membuka memori kita bagaimana

seorang ilmuwan melakukan pergerakan dalam bidang

ilmu dan pengetahuan dilakukan dalam waktu yang begitu

lama mulai dari suatu penelitian yang menghabiskan

waktu berhari-hari dan bahkan sampai bertahun-tahun.

Para ilmuawan melakukan suatu pergerakan untuk

masyarkat luas dengan penuh kesabaran dan keihlasan

sehingga hasil yang dilakukan begitu memuaskan dan

sangat bermanfaat bagi manusia. kita lihat bagaimana

suatu ilmuan melakukan pergerakan agar manusia bisa

terbang keangkasa seperti burung butuh waktu bertahun-

tahun bahkan puluhan tahun untuk menemukan hasil

yang maksimal bahkan tidak sedikit pengorbanan yang

mereka berikan.

Akan tetapi pergerakan IPM saat ini adalah

sangatlah bertentangan dengan kehidupan masa lalu, saat

ini pergerakan IPM seakan-akan hanya dilakukan ketika

memberikan suatu manfaat bagi internal, bahkan saat ini

pergerakan IPM yang dilakukan hanya sebatas pergerakan

yang insidental dan hanya dilakukan sesaat saja. Sehingga

hasil yang dirasakan kurang maksimal dan bahkan

hasilnya tidak ada, yang ada hanyalah seremonial semata.

Pergerakan IPM bisa dirasakan oleh masyarakat

banyak adalah bila pergerakan tersebut dilakukan dengan

penuh hati-hati, terarah, penuh semangat dan bahkan

dilakukan dengan cara continue. Pergerakan dilakukan

tidak hanya dengan menggunakan kekuatan fisik, politik,

tetapi harus juga dengan menggunakan pengorbanan, baik

itu harta benda, fisik dan bahkan nyawa pun harus

dikorbankan. kita lihat bagaimana suatu pahlawan

melakukan pergerakan kemerdekaan untuk membebaskan

suatu penjajah dari tanah Indonesia ini dengan penuh

keyakinan, penuh pengorbanan bahkan sampai nyawapun

rela dikorbankan. itu merupakan suatu contoh pergerakan

yang begitu mahal dan begitu berharga untuk melakukan

perubahan-perubahan dalam kehidupan.

Kini, IPM sudah menjadi Organisasi Kepemudaan

(OKP) terbaik, kini saatnya menjadi pergerakan terbaik.

Begitu juga dengan pergerakan-pergerakan yang dilakukan

oleh pelajar lain haruslah continue tidak hanya sebatas

waktu saja, melainkan harus terus dan terus menerus

untuk mencapai hasil yang diingkan dan dilakukan

dengan penuh keyakinan, kerjasama dan bahkan dengan

penuh pengorbanan. Itulah makna dari suatu cita-cita

pergerakan. Sebuah gerakan pelajar masa kini harus

memiliki kesadaran untuk memilih ideologinya sendiri

agar dapat memperjelas makna dan tujuan perjuangan

dari eksistensinya.

Ali Syariati (1995: 157) mengatakan bahwa ideologi

selalu dihubungkan dengan pelajar dan keduanya saling

memerlukan. Ideologi menuntut bahwa gerakan pelajar

haruslah memihak. Oleh karena itu, IPM dituntut untuk

memiliki pemahaman yang mendalam mengenai ideologi

yang dapat membantu mengembangkan suatu pola

pemikiran khas Muhammadiyah, yakni ideologi Islam

berkemajuan.

Kini IPM berada dalam tantangan perjuangan yang

luar biasa kompleks. Di lingkungan sendiri berhadapan

dengan masalah dan agenda Muhammadiyah yang tidak

ringan, ketika gerakan Islam berkemajuan terbesar ini

memasuki abad kedua pasca Muktamar Satu Abad

Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2010 yang lalu, IPM

dituntut untuk menjadi bagian dari gerakan dakwah dan

tajdid Muhammadiyah. Seiring dengan perubahan sosial

yang menyertai masyarakat yang melahirkannya, tengah

dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan

seperti ancaman tawuran, narkoba, dan virus-virus lainnya

yang dapat merusak potensi dan martabat pelajar selaku

pewaris peradaban bangsa. Pada posisi demikian

menantang untuk menjadi kekuatan pencerah (problem

solver).

Menjadi Aksentuator Gerakan

Di samping filosofi kelahiran IPM yang memiliki

makna kelahiran yang syarat dengan gerakan ide, atau visi

kemajuan. Kelahiran IPM memiliki dua nilai strategis.

Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar

makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar

(bermuatan pada membangun kekuatan pelajar meng-

hadapi tantangan eksternal). Kedua, IPM sebagai lembaga

kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi

Muhammadiyah di masa yang akan datang. (Tanfidz

Mutamar XVII IPM: 18). Jelas sekali peran dan fungsi IPM

yakni sebagai aksentuator gerakan Muhammadiyah. Hal

ini memiliki peran aksiologis bagi Muhammadiyah.

Sebagai aksentuator gerakan Muhammadiyah, IPM bertang-

gung jawab mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya. IPM memiliki tugas sebagai penggerak, penekan

atau pemukul bunyi irama dakwah dan tajdid

Muhammadiyah, artinya ketika gerakan Muhammadiyah

kurang terdengar di telinga masyarakat, maka tugas IPM

ialah membantu Muhammadiyah supaya terdengar untuk

umat, bangsa, dan kemanusiaan.

Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai-

mana menjadi proyeksi dari visi ideal Muhammadiyah.

Kini Muhammadiyah yang tengah memasuki abad kedua

di tengah dinamika kehidupan modern dan pasca-modern

yang kompleks dan sarat perubahan itu, tentu dituntut

untuk mampu menjadi pengemban misi dakwah dan

tajdid sehingga gerakan Muhammadiyah ini mampu

mewujudkan tatanan peradaban utama sebagaimana yang

dicita-citakannya.

Sekolah: Poros Gerakan Pelajar Berkemajuan

––Lesti Kaslati Siregar3

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru,

maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”

Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer

3 Ketua PP IPM bidang Perkaderan periode 2012-2014, Mahasiswi

Pascasarjana Bahasa Inggris UHAMKA

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah mencatat

banyak kisah. Salah satunya sejarah tentang perjuangan

seluruh elemen bangsa ini dalam menegakan hak merde-

ka, hak berbangsa, dan hak berkemajuan. Sebuah perju-

angan yang tidak ringan, perjuangan untuk merdeka dari

penjajahan, perjuangan untuk berdiri sebagai bangsa, dan

perjuangan untuk maju, yang lebih baik dan lebih

bermartabat. Perjuangan yang keras dan panjang tersebut,

telah dilakukan dengan berbagai macam jalan, baik

perjuangan dengan jalan perang senjata, perang intelek-

tual, maupun perang diplomasi.

Kaum pelajar pada masa perjuangan tersebut

memberikan angina segar dalam perjalanan perjuangan

kala itu, rata-rata kaum pelajar ini merupakan kaum muda

Indonesia yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di

sekolah-sekolah yang didirikan di Indonesia oleh negara-

negara penjajah maupun sekolah-sekolah di negara-negara

lain pada masa itu.

Kemajuan berpikir yang mereka dapat kandari hasil

bersekolah, menjadi titik tolak dalam memulai gerakan.

Gerakan intelektual yang diantaranya dengan propaganda

isu, penerbitan media cetak, kelompok-kelompok diskusi,

hingga mendirikan sekolah bagi kaum jelata. Hal itu juga

yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, kemajuan

berpikirnya yang didapat dari sekolahnya, mendorongnya

untuk melakukan gerakan sosial.

Sisi lain sekolah menjadi laboratorium sosial,

dimana sekolah digunakan untuk melihat dan mengamati

sebuah gejala dan fenomena sosial yang terjadi.

Komponen-komponen sosial di dalamnya bias diamati

secara jelas adanya gejala sosial yang mungkin ditimbul-

kan. Fenomena pelajar, gejala sosial dan segala dunianya

dapat diamati melalui sekolah, maka tidak lain sekolah

menjadi poros dari gerakan pelajar.

Berkemajuan dari Sekolah

“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin

menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal

batas.” (Bumi Manusia, h. 138) ―Pramoedya Ananta

Toer. IPM yang saat ini mencoba mengusung Gerakan

Pelajar Berkemajuan (GPB), sesungguhnya adalah sebuah

keniscayaan, sudah menjadi keharusan ketika IPM

memang bergerak di ranah pelajar, di ranah-ranah kaum

terpelajar (intelektual) untuk menjadi roda gerakan

berkemajuan. Maka IPM tidak bisa tidak, harus memulai

gerakan pelajar berkemajuan melalui poros sekolah,

kembali merespon gejala-gejala sosial yang terjadi dengan

pelajar dan dunianya di sekolah-sekolah.

Mengapa Gerakan Pelajar Berkemajuan harus

berporos dari sekolah? Hal ini dikarenakan, sekolah tidak

hanya sebagai laboratorium sosial yang mengamati

fenomena gejala sosial, sekolah juga harus menjadi sebuah

lembaga sosial yang memiliki manfaat tidak hanya bagi

kelompok sosial yang ada di dalam sekolah tersebut, tetapi

juga bagi kelompok sosial di luar sekolah yang ada di

sekitarnya.

Sekolah memiliki fungsisosial, sekolah menjadi

wahana sosialisasi dan transmisi nilai, budaya, pola, ide

sosial yang ada di masyarakat melalui sebuah proses yang

disebut dengan belajar. Akan tetapi sekolah tidak hanya

berfungsi sebagai sosialisasi dan transmisi nilai, budaya

dan ide saja, akan tetapi sekolah harus menjadi transfor-

masi nilai, budaya, dan ide. Artinya sekolah mampu

melakukan perubahan yang maju sesuai dengan perkem-

bangan zaman yang ada, agar kehidupan masyarakat tidak

asing dan tertinggal.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah harus mampu

memanfaatkan peran dan fungsi sekolah ini sebagai poros

gerakan pelajar berkemajuan-nya. Secara institusi, IPM

harus memerankan sekolah sebagai mitra dalam gerakan-

nya, mensinergikan ide dalam melakukan gerakan

perubahan, gerakan berkemajuan, melahirkan pelajar-

pelajar yang tidak hanya berilmu secara individu, namun

memiliki karakter (akhlak mulia) serta membawa manfaat

sosial. Secara individu, Kader-kader IPM (pelajar) harus

berperan sebagai subyek perubahan, melakukan transmisi

ide dan budaya bagi pelajar sekolah, dan transformasi

sosial bagi komponen di luar sekolah.

Gerakan-gerakan Keislaman, Keilmuan, dan

Advokasi yang dilakukan IPM, sudah menjadi modal yang

cukup bagi Gerakan Pelajar Berkemajuan yang saat ini

dijalani oleh IPM. Tetapi akan menjadi jauh lebih tajam,

jika gerakan-gerakan tersebut mampu disenergikan secara

baik dengan sekolah. Sekolah sebagai labotarorium sosial,

IPM sebagai gerakan sosial masyarakat dan pelajar, sebagai

kaum intelektual agen perubahan, merupakan komposisi

yang sempurna dalam Gerakan Pelajar Berkemajuan.

Salam perubahan untuk pelajar Indonesia!

Road Map Gerakan Keilmuan IPM

––Hery Wawan4

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pramoedya Ananta Toer

4 Ketua PP IPM bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) periode

2012-2014

Gerakan ilmu. Istilah ini kembali populer setelah

Buya Syafi’i Maarif melontarkannya dalam Pengajian

Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 2009/1430 Hijriyah

di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Buya Syafi’i

berpesan agar Muhammadiyah perlu mendeklarasikan diri

sebagai sebuah gerakan ilmu dan gagasan peradaban untuk

membentuk masyarakat Islam. Dengan kesediaan

Muhammadiyah tampil sebagai gerakan ilmu, diharapkan

muncul kelompok yang dapat diandalkan sebagai rujukan

dalam memahami masalah besar yang menyangkut

pemahaman agama, ilmu pengetahuan sosial dan alam,

kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban.

Buya Syafi’i mengatakan dengan jumlah umat Islam

pada 2009 sebanyak 1,82 miliar orang yang tersebar di 183

negara, dari sisi kuantitas memang tidak ada yang perlu

dirisaukan. Namun, jumlah besar tersebut dinilai masih

minus kualitas yang tidak mempunyai banyak makna

strategis secara global. Buya Syafi’i menyatakan bahwa

umat Islam masih belum berdaya dalam untuk mengawal

gerak peradaban karena persyaratan untuk itu belum

dimiliki. Umat Islam masih kurang ilmu dan wawasannya

terbatas.

Oleh karena itu, lanjut Buya, saat kita takut kepada

gesekan dan benturan pemikiran, sebenarnya itu adalah

pertanda dari keruntuhan dan pembusukan kreativitas

intelektual. Jika itu terjadi, berarti kita sedang menggali

kuburan kemerdekaan berpikir yang sangat diperlukan

dalam upaya kemajuan.

Belajar dari Sejarah

Kondisi umat Islam hari ini sangat kontras dengan

sejarah puncak peradaban yang pernah dicapai umat Islam

adalah ketika pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid

(786-809) dan putranya al-Makmun (813-833). Dalam

ulasan Tafsir5, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa

Tengah, kunci pencapaian masa keemasan itu diraih

dengan menguasai ilmu pengetahuan. Khalifah Harun al-

Rasyid dan al-Makmun adalah dua pemimpin yang sangat

gandrung ilmu pengetahuan. Dengan kekuasaan yang

dimilikinya mereka gunakan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan. Dunia kedokteran, filsafat, arsitektur,

astronomi, dan seni berkembang dengan sangat pesat.

Tafsir melanjutkan bahwa kejayaan itu diraih salah

satunya melalui sebuah lembaga Bait al-Hikmah yang tidak

hanya berfungsi sebagai pusat penerjemahan buku-buku

asing, khususnya Yunani, tetapi juga sebagai pusat

pengembangan ilmu pengetahuan yang setara dengan

lembaga perguruan tinggi. Kehebatan inilah yang telah

5 Tafsir “Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu”, Mungkinkah?

http://maarifinstitute.org/id /berita/berita-media/79/muhammadiyah-sebagai-gerakan-ilmu-mung-kinkah-tanggapan-atas-tulisan-buya-syafii-maarif. (Diakses pada tanggal 02 Juli 2013 Pukul 00:08)

membawa Baghdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah

menjadi ’kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia’

kala itu. Lembaran sejarah dunia abad ke-9 ini

menampilkan dua nama besar dalam percaturan dunia,

Harun al-Rasyid di Timur dan Charlemagne di Barat. Dari

dua nama itu, Harun al-Rasyid jelas lebih berkuasa dan

menampilkan budaya yang lebih tinggi.

Kegemilangan peradaban yang diraih pada masa ini

dilatarbelakangi, sambung tafsir, disebabkan oleh

beberapa faktor. Pertama, keterbukaan menerima ilmu

pengetahuan dari manapun datangnya tanpa melihat latar

belakang nara sumber pengetahuan. Sadar bahwa

Abbasiyah yang Arab belum memiliki pengetahuan yang

memadai untuk membangun peradaban, dengan lapang

dada belajar ke negeri “kafir” Yunani yang Kristen.

Bahkan juga dari India yang Hindu dan Persia yang

Majusi. Kedua, penerjemahan buku asing yang dapat

dipakai untuk mendukung pembangunan peradaban. Di

sini, penguasaan bahasa sebagai sumber pengetahuan

menjadi sangat mutlak dikuasai.

Ketiga, profesionalitas adalah jauh lebih penting

daripada hubungan emosional kelompok. Hal dapat

dilihat bagaimana megaproyek penerjemahan buku-buku

asing pada masa Abbasiyah ini banyak meminta tenaga

profesional non-Muslim mengingat belum atau memang

tidak ada kalangan internal Abbasiyah yang mampu

melakukannya. Salah satu nama penerjemah pada waktu

itu adalah seorang Suriah Kristen yang bernama Yuhanna

ibn Masawayh (w. 857) yang banyak menterjemahkan

manuskrip kedokteran untuk Harun al-Rasyid. Tokoh

terpenting dan sering disebut sebagai ’Ketua Para

Penerjemah’ adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873), seorang

penganut Kristen Nestor dari Hirah yang dalam

melaksanakan tugasnya dibantu oleh anaknya yang

bernama Ishaq. Hunayn ibn Ishaq menterjemahkan karya-

karya Yunani ke dalam bahasa Suriah, kemudian anaknya-

lah yang menterjemahkan dari bahasa Suriah ke Bahasa

Arab. Al-ma’mun membayar Hunayn dengan emas sebesar

buku yang diterjemahkannya.

IPM Sebagai Gerakan Ilmu

Sebenarnya istilah ini bukan terma baru di Ikatan

Pelajar Muhammadiyah (IPM), dalam istilah Paradigma

Gerakan IPM––Hasil Muktamar 2000––ditegaskan bahwa

IPM (saat itu masih IRM) adalah gerakan yang memiliki

“visi keilmuan”. Visi tersebut dijelaskan sebagai berikut:6

“Visi keilmuan IRM didasari pada pandangan

mendasar Ikatan Remaja Muhammadiyah terhadap

Ilmu Pengetahuan. Pandangan tersebut berakar

pada keyakinan bahwa pada hakikatnya sumber

ilmu di dunia ini adalah Allah Swt. Konsekuensinya

6 Pimpinan Pusat IRM, Tanfidz Muktamar IRM Tahun 2000, (Jakarta:

PP IRM, 2000).

adalah perkembangan ilmu pengetahuan harus

berawal dan mendapat kontrol dari sikap pasrah

dan tunduk kepada Allah Swt.”

Visi di atas lalu diterjemahkan kedalam Misi

“Membangun Tradisi Keilmuan”. Dalam Dasar-dasar

Gerakan IPM tersebut dijelaskan bahwa IPM membawa

misi keilmuannya kepada tatanan kehidupan yang

manusiawi dan beradab serta jauh dari tatanan kehidupan

yang sekularistik, hedonistik dan mekanistik (merupakan

implikasi serius dari perkembangan IPTEK sekarang ini).

Remaja muslim sebagai objek dan subjek dalam gerakan

IPM dalam mengembangkan potensi keilmuannya harus

selalu berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat,

bangsa dan negara. Dan potensi keilmuan remaja dapat

dikembangkan dalam komunitas yang memiliki tradisi

keilmuan.

Dalam membangun tradisi keilmuan tersebut, IPM

berangkat dari asumsi dan prinsip antara lain:

1. Ilmu pengetahuan harus dikuasai untuk mendapatkan

kedudukan sebagai manusia terhormat dan berkualitas

dihadapan Allah Swt.

2. Semangat menggali khazanah keilmuan harus

dibarengi dengan eksplorasi spritualitas, sehingga

tidak melahirkan karakter manusia berilmu yang

sekular.

3. Dengan ilmu pengetahuan perspektif remaja tentang

realitas sosial menyatu dengan perspektifnya tentang

Tuhan/agama.

Gambaran visi dan misi keilmuan IPM di atas

senada dengan ulasan Buya Syafii Ma’arif tentang The

Unity of Knowledge.7 Dalam konsep ini, apa yang dikenal

dengan konsep pendidikan sekuler dan konsep pendi-

dikan agama, telah kehilangan relevansinya. Seluruh

cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan

membawa manusia mendekati Allah, sebagai sumber

tertinggi dari segala-galanya.

Jika seluruh kegiatan ilmu pengetahuan adalah

untuk mencari dan mendekati Allah dengan membaca

tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya, lanjut Syafi’i

Maarif, maka atribut-atribut serba-Islam yang ditempelkan

kepada berbagai ilmu pengetahuan tidak diperlukan lagi,

seperti kedokteran Islam, psikologi Islam, dan sebagainya.

Jika kita masih juga mau berbicara tentang Islamisasi,

maka yang perlu diislamisasi adalah pusat kesadaran

manusia yang terdapat di otak dan hati. Seyogyanya

demikian pulalah IPM memandang tradisi keilmuan, tidak

terjebak pada sekat ilmu agama atau ilmu sekuler. Ilmu

Islam atau Ilmu Barat.

7 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan

Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 2009), hlm. 220.

Road Map Gerakan Keilmuan IPM

Menurut saya, setidaknya ada

beberapa langkah untuk memperkuat

gerakan ilmu di IPM. Pertama,

“revitalisasi perkaderan”. Artinya,

fasilitator yang akan mengelola

perkaderan IPM harus memiliki

kompetensi dan kualifikasi keilmuan.

Bahkan, jika diperlukan, diadakan

“refreshing fasilitator secara massif”.

Konten refreshingnya diarahkan pada

penguatan kapasitas intelektual para

fasilitator ini. Tak kalah pentingnya,

tentu saja adalah meninjau kembali

Sistem Perkaderan IPM (SPI).

Apakah SPI ini telah menghantarkan

kader-kader IPM memiliki etos

keilmuan? Atau menumbuhkan

kader-kader yang hanya berorientasi

kepemimpinan dan keorganisa-sian semata? Revitalisasi

etos kelimuan pada ranah kaderisasi ini menjadi penting,

sebab saat ini, inilah ruang tarbiyah yang paling massif di

seluruh jenjang pimpinan IPM se-nusantara.

Kedua, mengembangkan tradisi mem-baca. Kita

tidak boleh sekadar menyerukan pentingnya membaca,

namun tidak menyediakan wahana seperti buku atau akses

Kita tidak boleh sekadar

menyerukan pentingnya

membaca, namun tidak

menyediakan wahana

seperti buku atau akses

internet. Minimal setiap

jenjang Pimpinan

menyediakan wadah

berupa taman baca.

Disamping itu, IPM juga

harus proaktif mendesak

pemerintah atau

pimpinan persyarikatan

agar mau menyediakan

fasilitas perpustakaan

atau taman baca ini.

Potensi internal

persyarikatan

sebenarnya luar biasa

jika dapat dimobilisasi

mendukung gerakan ini.

internet. Minimal setiap jenjang pimpinan menyediakan

wadah berupa taman baca. Disamping itu, IPM juga harus

proaktif mendesak pemerintah atau pimpinan

persyarikatan agar mau menyediakan fasilitas perpus-

takaan atau taman baca ini. Potensi internal persyarikatan

sebenarnya luar biasa jika dapat dimobilisasi mendukung

gerakan ini. Bisa kita bayangkan, kalau di setiap amal

usaha Muhammadiyah tersedia “Taman Bacaan

Masyarakat”. Berapa banyak sekolah dan masjid yang kita

miliki? Muhammadiyah akan menjadi lokomotif gerakan

ilmu bagi bangsa ini.

Ketiga, membangun tradisi menulis. Demikian pula

halnya dengan tradisi menulis. Kita tak boleh berhenti

sekadar pada tataran slogan, “Mari Menulis!” Tapi, IPM

harus menyediakan wadah bagi para pelajar untuk

menempa kemampuan menulisnya, ruang seperti

Kelompok Ilmiah Pelajar (KIP), komunitas sastra, dan

semacamnya perlu digencarkan kembali. Tak lupa, ruang

untuk menulis pun perlu dipikirkan, misalnya menerbit-

kan majalah, jurnal, atau buletin. Demikian pula

menyediakan ruang-ruang virtual, seperti web atau blog di

setiap jenjang pimpinan.

Keempat, mengembangkan tradisi diskusi ilmiah.

Wahana seperti seminar, simposium, bedah buku,

ataupun diskusi terbuka perlu diintensifkan. Melalui

ruang inilah kita mempercakapkan hasil bacaan, melalui

wadah inilah kita mempertanggungjawabkan tulisan.

Bahkan kalau perlu, dibuatkan regulasi agar dalam setiap

ceremonial organisasi, aktivitas semacam ini selalu

menyertainya. Tradisi ini harus ditopang oleh dua tradisi

sebelumnya, yaitu tradisi membaca dan menulis, jika tidak

maka tradisi ini akan menjadi ring debat kusir, tidak

bernuansa ilmiah. “Tong kosong nyaring bunyinya”, kata

pepatah.

Kelima, penguasaan teknologi informasi. Teknologi

informasi, khususnya internet, dengan jumlah pengguna

yang semakin besar di Indonesia bisa menjadi satu

alternatif teknologi pendukung pergerakan IPM. Gerakan

kita di era dunia datar harus lebih cerdas, lebih efektif,

sehingga energi dan biaya yang kita miliki tidak mubadzir

dan bisa dialokasikan untuk berbagai kegiatan lain yang

lebih bermanfaat. Kemampuan teknologi informasi adalah

kemampuan tak terelakkan bagi kader-kader IPM.

Keenam, strategi yang tak kalah pentingnya adalah

penguasaan bahasa asing. Idealnya, minimal kemampuan

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, dimiliki oleh kader IPM.

Pimpinan di setiap jenjang seyogyanya memfasilitasi

kursus untuk meningkatkan kapasitas penguasaan bahasa

asing ini. Kemampuan ini diperlukan agar kader-kader

IPM memiliki akses untuk menyelami khazanah kelilmuan

klasik maupun kontemporer.

Tulisan ini tidak menawarkan gagasan baru. Tulisan

ini hanya mengumpulkan mozaik-mozaik yang terserak

dalam dokumen-dokumen organisasi yang telah sering kita

kumandangkan, namun belum menjadi tradisi yang hidup

dalam gerakan kita. Pertanyaan yang sampai saat ini masih

menggelisahkan, kalau memang benar kita adalah

“Gerakan Pelajar” Berkemajuan, tradisi keunggulan apa

yang kita tawarkan kepada pelajar Indonesia? Mari kita

menjawabnya dengan bukti!

Pelajar Berilmu, Manifestasi Manusia Rabbaniyah

––Aman Nurrahman Kahfi8

Pertama-tama, kita beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Katuhanan Yang Maha Esa (Rabbaniyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh

kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (innaa lillaah wa innaa ilayhi raaji’un, sesungguhnya kita

berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya). Maka, Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) “hurip” (hidup), “dumadi” (bahkan seluruh makhluk).

Nurcholish Madjid

8 Ketua PP IPM bidang Kajian Dakwah Islam (KDI) periode 2012-2014

Manusia diciptakan oleh Allah dengan konstruksi

fisik dan psikis (mental) yang sempurna, yang dengannya

memungkinkan untuk menjadi makhluk yang bertang-

gung jawab (khalifah) di dunia ini (QS. 2:30) atau

sebaliknya, akan menjadi perusak (QS. 30:42). Manusia

juga dibekali akal yang berfungsi untuk merenungkan dan

memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah secara objektif

setelah melalui proses melihat, mendengar, dan lain-lain.

Akal juga yang memungkinkan manusia untuk

menganalisis dan memahami antara benar dan salah atau

baik dan buruk, sehingga dengan fungsi akal Allah pun

membebankan kewajiban-kewajiban syariat kepada

manusia. Orang yang belum baligh, tidak waras, pingsan,

atau tidur, bagi mereka tidak dibebankan hukum taklifi.

Apabila manusia menggunakan akalnya dengan optimal,

maka derajat manusia melebihi malaikat karena ketaatan-

nya melalui proses kesadaran (QS. 2:33). Sebaliknya, Allah

Swt mengumpamakan manusia akan sama halnya dengan

binatang atau lebih buruk dari itu kala dominasi nafsunya

mengalahkan akal (QS. 7:179).

Modal fisik, psikis, dan akal telah Allah berikan

kepada manusia untuk menjadi pemimpin (khalifah) di

bumi ini dengan tidak mengurangi tugas wajib bagi semua

makhluk-Nya yaitu beribadah. Manusia tidak mungkin

menjadi khalifah ketika pandangannya sempit dan pengua-

saannya terbatas. Hanya manusia yang menggunakan

potensi akalnya untuk berpikirlah yang akan menguasai

segala.

Dalam beribadah, Allah menggariskan agar apa

yang kita lakukan sebagai wujud dari implementasi

penghambaan kita pada Allah harus dibarengi dengan

kesadaran dan mengetahui dasar hukum pelaksanaannya.

Orang yang menjalankan amalan tanpa disertai dengan

ilmu, maka dia termasuk muqallid (the real follower), sedang-

kan bentuk ibadahnya ini termasuk golongan yang paling

bawah.

Pandangan Islam Tentang Ilmu

Islam satu-satunya agama samawi yang sesuai

dengan fitrah manusia (QS. 30:30). Maka semua yang ada

di dalam ajaran Islam ini pasti sejalan dengan fitrah

manusia. Termasuk ilmu yang menjadi bagian dalam

perkembangan Islam. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an

yang berakhiran dengan kalimat Allah untuk mengajak

manusia berpikir dan mengedepankan logika dalam

mengambil pelajaran (ibrah).

Proses berpikirnya manusia pasti didasarkan pada

akal yang logis dan saintifik, sehingga dari proses berpikir

itulah muncul pengetahuan yang mungkin menjadi

penemuan baru. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah

1450-an tahun lalu mengilami banyak ilmu yang baru

tersibak di abad pembaruan ini. Proses kejadian manusia

(QS. 23:14), perhitungan tahun (QS. 9:36), proses

terbentuknya hujan (QS. 24:43), dan masih banyak lagi.

Ini adalah tanda modernitas Al-Qur’an yang semakin

digali, semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita

dapatkan (QS. 31:27), karena teks Al-Qur’an universal

yang sesuai di manapun dan kapanpun (ash-shahihu fiy kulli

makan wa fiy kulli zaman).

Semua orang yang beriman kepada Allah dengan

dibekali ilmu sudah dijamin oleh Allah mendapatkan

kedudukan yang tinggi (QS. 58:11). Sebagaimana

Rasulullah Saw juga memberikan isyarat kepada kita

apabila kita ingin sukses dunia dan akhirat, maka jalan

satu-satunya adalah dengan ilmu, bukan dengan harta atau

tahta. Hal ini dibuktikan dengan majunya peradaban

Islam sampai ke negara-negara Asia, Eropa, dan Afrika.

Corak Islam terasa pada semua aspek kehidupan, baik

perdagangan, pengobatan, arsitektur, serta berbagai

keilmuan yang lainnya.

Penjajahan Itu Bernama Modernisme

Pada saat banyak orang Islam hanya menyelesaikan

ritual agama dan mengesampingkan ilmu, peradaban

Islam mengalami kondisi stagnan (status quo) dan

kejumudan. Pada saat yang sama, Barat banyak belajar

tentang ilmu pengetahuan yang dimiliki Islam, sehingga

akhirnya keadaan terbalik. Islam diusir dan dibumihangus-

kan dari Eropa. Dalam perkembangannya, ilmu (sains)

dalam peradaban Barat menjadi dominan dan mengalah-

kan otoritas gereja (agama). Dinamika yang terjadi adalah

karena agama Kristen tidak bisa menjawab pertanyaan-

pertanyaan saintis dan filosof berkaitan dengan logika

agama.

Kita tahu, ajaran dalam Kristen satu dengan yang

lainnya tidak sinkron. Akhirnya terbangunlah nalar Barat

yang berkembang dengan meninggalkan otoritas Tuhan

(Kristen). Akal (logika) yang kehilangan dimensi humanis

dan dimensi ketuhanan dan telah berubah menjadi

dimensi individual yang berujung pada hegemoni,

dominasi, dan penindasan. Akal bukan lagi menjadi

motivasi untuk pengembangan sains tetapi sains dijadikan

alat untuk menguasai subjek lain di luar dirinya. Inilah

kondisi Barat memasuki Era Renaissance, Barat Modern di

abad ke-16.

Jurgen Habermas menjelaskan bahwa modern

adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu era

baru (new age) yang berfungsi untuk membedakan dengan

masa lalu (the ancient), sedangkan Bertrand Russel

mengungkapkan ada dua hal penting yang menandai

sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan

menguatnya otoritas sains.

Akal atau rasio menjadi basis epistemologi yang

digunakan oleh Barat, sehingga tidak sedikit ilmu

pengetahuan mereka tidak ditopang dengan prinsip

humanisme atau ketuhanan. Mereka membedakan antara

sains dan agama. Akhirnya samai saat ini, Barat

berkembang pesat meninggalkan peradaban Islam.

Dalam perkembangan yang cepat, Barat menjelma

menjadi kekuatan yang mampu mendominasi di semua

pelosok dunia dengan menggaungkan semangat pencerah-

an (aufklarung). Namun, jauh dari apa yang kita harapkan,

ternyata secara tidak sadar kita menjadi robot-robot yang

menghamba pada arus modernisme Barat yang sejatinya

untuk kepentingan mereka. Semua aspek epistemologis,

onttologis dan aksiologis dipengaruhi oleh Barat.

Tidak sedikit, pelajar dan mahasiswa yang ikut-

ikutan selalu update mengganti barang yang dikenakannya

hanya karena menyesuaikan dengan peralihan model.

Banyak orang yang bekerja, sebagai guru, PNS, pejabat

pemerintah, karyawan swasta hanya mampu memenuhi

tuntutan lapangan kerja yang tidak lain hanyalah sebagai

manusia berotak administrasi total. Atau sebutan

Immanuel Kant adalah manusia yang berrasio perkakas.

Semua hanya mengejar kesenangan pragmatis. Ini semua

karena nalar modernisme yang berawal dari paradigma

ilmu positivistik, dan rasionalitas instrumental.

Manifestasi Manusia Rabbaniyah

Kekuatan pelajar sebagai orang yang belajar atau

sedang dalam proses pembelajaran (formal) terletak pada

kesadarannya untuk mencari ilmu yang sebanyak-

banyaknya. Kesadaran akan kebutuhan dirinya terhadap

ilmu tidak hanya sebatas pada pengguguran kewajiban

atau meninggikan status sosial di masyarakat, akan tetapi

kebutuhan untuk melakukan transformasi sosial ke arah

yang lebih baik.

Allah Swt menegaskan di dalam QS. Al-Hujurat: 11,

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu

diantara kalian beberapa derajat”. Orang-orang yang beriman

sebagai dasar pengakuan terhadap eksistensi Tuhan,

bahwa Allah Swt sebagai supreme being yang kita kenal

dalam konsep tauhid. Keilmuan adalah alat untuk

mengetahui eksistensi Allah Swt dengan akal dan

pengetahuan. Maka semakin tinggi ilmu seseorang maka

semakin kuatlah keimanan dia terhadap eksistensi Allah.

Murtadha Muthahari menjelaskan bahwa pandang-

an dunia tauhid adalah alam semesta ini bersifat unipolar

dan uniaxial. Kerangka teologi yang ada dalam Islam tidak

hanya selesai pada keyakinan (iman) saja, melainkan juga

bagaimana keimanan itu berimplikasi pada munculnya

kesadaran yang ada dalam dirinya untuk melakukan

perubahan dalam lingkungannya. Maka, tidak akan

mungkin seseorang yang dalam dan kuat imannya kepada

Allah Swt hanya beribadah saja dan mencari keuntungan

dunia untuk dirinya sendiri dengan mengabaikan kondisi

lingkungan sekitarnya. Yang ada adalah sebaliknya, the

more someone believe in Allah, the more someone for others.

Ketika keimanan dan keilmuan berpadu menjadi

satu, tidak lagi ada paradigma kosong. Dengan demikian

pelajar kita bukan lagi menjadi pelajar yang ikut-ikutan

hanya karena kepuasan sesaat. Akan tetapi pelajar yang

mempunyai prinsip hidup dan visioner.

Pelajar dalam semboyan yang

diperkenalkan oleh IPM adalah tiang

negara. Tiang adalah pilar penyangga yang

berfungsi menjaga eksistensi, kekuatan dan

penghidupan. Lalu IPM melanjutkan istilah

itu “apabila kuat dan kokoh pelajarnya

maka kuat pula negaranya, apabila lemah

dan rapuh pelajarnya maka lemah pula

negaranya.”

Perkaderan Berbasis Seni dan Olahraga

––Hamdan Nugroho9

Dalam menjalankan tugas yang diemban di manapun dan dalam suasana apapun, setiap kader dan sumber daya insani

Muhammadiyah hendaknya mempunyai cara berpikir, keahlian, dan keikhlasan.

Dr. Syamsul Hidayat M.Ag.,

Tafsir Dakwah Muhammadiyah

9 Ketua PP IPM bidang Apresisasi Seni Budaya dan Olahraga (ASBO)

periode 2012-2014

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) harus mempu-

nyai konsep dan aksi yang jelas, terencana, dan sistematis

dalam menyiapkan dan mengembangkan satu sistem yang

menjamin keberlangsungan transformasi dan regenerasi

kader. Ada banyak teori perkaderan yang kesemuanya

merupakan proses, cara, perbuatan mendidik atau

membentuk seseorang menjadi kader. Dalam proses

pembinaan kader itulah ada dua cara yang harus

dilakukan dan ditekuni.

Pertama pelatihan. Tidaklah disebut pelatihan bila

hanya pemberian teori atau informasi. Memberikan ketela-

danan dan melibatkan (mengikutsertakan atau menugas-

kan) adalah bagian dari pelatihan. Kasus Hasan dan

Hussein berdakwah amaliyah ketika melihat seorang kakek

tua salah dalam berwudlu adalah contoh bentuk pelatih-

an.

Kedua supervisi. Kader-kader yang sudah diberi

pengarahan dan diikutsertakan dalam pelatihan (berupa

pembiasaan dan penugasan) kemudian diikuti perkem-

bangannya lewat pemantauan dan evaluasi. Ada pelatihan

khusus, yaitu Taruna Melati yang dikelola melalui jenjang

struktural yang sudah menerapkan konsep monitoring,

tetapi selama ini masih belum menjadi dasar analisis kader

untuk pengembangan selanjutnya.

Supervisi akan sangat bermanfaat untuk tercapainya

pembentukan kader yang berkualitas tinggi. Memasuki era

globalisasi, kader-kader kita harus dibiasakan dengan

dinamika kelompok agar mereka lebih dewasa dalam

menyikapi berbagai qadhaya (tidak over reaktif = kaget-

kagetan, ora gumunan). Menjadi tugas para tim fasilitator-

pendampinglah untuk memantau sepak terjang mereka,

menegur, meluruskan dan memberi penilaian (kritik,

masukan juga penghargaan) atas aktivitas sehari-hari

mereka.

Dalam proses kaderisasi itu merupakan upaya

untuk menumbuhkan kesadaran berorganisasi, mengakui

bahwa IPM sebagai organisasi adalah merupakan wadah

dan alat perjuangan semata untuk mengamalkan dan

memperjuangan tegaknya nilai-nilai ajaran Islam, dan

bukan merupakan tujuan dari perjuangan itu sendiri. Lalu

menumbuhkan keahlian atau berkemampuan sebagai

subyek dakwah, yang memiliki wawasan luas, menguasai

teknologi informasi sebagai media dan bagian dari strategi

dakwah. Hingga akhirnya terbentuk kader IPM yang

memiliki ruh (spirit) serta mempunyai integritas dan

kompetensi untuk berperan di Ikatan, dalam kehidupan

pelajar dan dinamika bangsa serta konteks global. Namun,

memiliki benteng kokoh, dan skill.

Pengembangan Seni untuk Pencitraan

Di dalam IPM saat ini belumlah memiliki ruh jelas

tentang konsep seni yang akan diusung, atau setidaknya

ada yang menjadi isu massal pelajar Muhammadiyah se-

Indonesia yang itu bersifat sederhana namun bisa booming.

Untuk itu sepertinya perlu pengkajian dan pengembangan

konsep seni budaya menurut visi misi IPM untuk mengha-

silkan langkah-langkah strategis pengembangan dakwah

seni yang lebih diterima.

Perlu ditekankan, keberadaan seni di lingkungan

Muhammadiyah bukanlah suatu hal yang kosong tetapi,

kurang sentuhan manajemen dan promosi. Hal ini

mengakibatkan keberadaannya lebih sering ditelan waktu

daripada ditelan pasar seni. Banyak sekali potensi yang

dimiliki, namun hal itu belumlah milik IPM karena IPM

belum mampu memberikan apa-apa di sana. Wajar saja

kemudian para pelaku seni di lingkungan Muhammadiyah

tidak kenal dan mengenalkan IPM padahal mereka sudah

terkenal.

Untuk itu, sangat dibutuhkan optimalisasi kegiatan

yang bertujuan untuk mengapresiasikan kreatifitas para

kader dalam bidang seni dan budaya sehingga terwujud

kader kreatif. IPM di tingkatan daerah dan wilayah

tidaklah harus mengembangkan seni pada taraf mikro,

sudah luar biasa jika sudah bisa mengkoordinasikan

potensi dalam daerah masing-masing. Jadi, dari potensi

yang tersebar itu kemudian IPM daerah bersama dengan

ranting setempat memberikan kontribusi aktif dalam

pengelolaan dan pengembangannya. Akhirnya, akan

muncul grup teater besar menghasilkan Rendra

Muhammadiyah, komunitas pelukis handal melahirkan

Affandi yang Muhammadiyah, satrawan Chairil Anwar

Muhammadiyah, dan tak lupa Andrea Hirata muda dari

amal usaha Muhammadiyah yang terbatas pula?!

Pengembangan Olahraga sebagai Penguatan Emosional

Ada satu hal lagi yang juga menyedot perhatian,

minat, dan bakat pelajar Muhammadiyah: olah raga.

Padahal, potensi yang kita miliki sangatlah banyak dengan

kemampuan yang kadang mencapai profesional. Kita

tidaklah terlalu berharap sampai seberapa profesional

pelajar kita. Namun, kita cukup memaksimalkan pengem-

bangan olah raga ini sebagai wahana pengenalan IPM dan

proses interaksi pimpinan dengan anggota saja, itu suda

syukur.

Walau tidak boleh dikesampingkan, pengoptimalan

kegiatan yang diarahkan pada penyaluran dan pembinaan

minat dan bakat remaja di bidang olah raga haruslah

diprioritaskan. Remaja sebagai masa peralihan tentunya

membutuhkan pilihan yang tak cukup hanya tiga untuk

menentukan sampai seberapa tepatkah minat yang

dimiliki dengan apa yang ditekuni. Makanya itu,

pemberian wadah minat inilah yang bisa menampung

segala rupa minat kader yang tentunya tidak semuanya

memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang mengem-

bangkan IPM. Sekali lagi, itu tidak masalah. Yang penting

para peminat bakat-bakat tertentu ini mengenal labih

dekat IPM melalui pencitraan generasi pelajar cinta seni

dan olah raga.

Yang paling disukai dari peminat olah raga sampai

olahragawan adalah kompetisi yang di dalamnya ada

bentuk apresiasi terhadap prestasi-prestasi. Karena selain

termotivasi untuk lebih mengembangkan kemampuan,

peningkatan kualitas mental bertanding, tentunya

apresiasi juga sangat penting bagi penumbuhan minat

pelajar yang aktif dalam bidang olh raga.

Tak ayal lagi, even olah raga harus ada dalam setiap

level! Dari ranting sampai pusat, karena perlombaan

seperti ini juga mengenal penjenjangan sehingga akan

muncul the real choosen people dari pelajar Muhammadiyah

di Indonesia ini. Pelaksanaan evennya pun haruslah

periodik, misalnya setiap tahun sekali, dimulai dari

ranting hingga pusat secara berurutan dan berjenjang

tentunya. Sehingga pencitraan yang dilakukan lebih massif

dan pembinannya pun lebih tertata karena adanya

kontinyuitas program baik itu dari ranting sampai pusat

dan dilaksanakan setiap tahun.

Nah, aktifitas seni dan olahraga merupakan aktifitas

”luar ruangan” yang penuh dengan tawa dan canda dalam

pelaksanaannya, menjadikan pelakunya sehat dan segar

baik badan maupun pikirannya. Tak perlulah mengernyit-

kan dahi hanya untuk mengingat-ingat rumus nada lagu,

tak perlu hafalan semalam untuk pertandingan final futsal

beok pagi, dan yang pasti hemat biaya namun sangat

menguntungkan.

Perlu diingat dan ditekankan, aktifitas-aktifitas

kaderisasi banyak sekali di ruangan. Misalnya Taruna

Melati miliknya perkaderan, penelitian maupun jurnalistik

miliknya PIP, apalagi kajian miliknya bidang KDI. Hal ini

cukup menjadikan momok paling menybalkan dan

penolak minat paling efektif bagi para penikmat pemula

IPM. Apalagi saat ini Taruna Melati lebih bayak dijadikan

sebagai gerbang welcome, padalah seharusnya Taruna

Melati menjadi gerbang ”selamat berjuang”. Kegiatan

”dalam ruangan” ini ya wajar jika kekurangan peserta.

Makanya, untuk meningkatkan minat dan julah peserta

sebaiknya IPM lebih mendekatkan terlebih dahulu

aktifitas ”luar ruangan” untuk memikt labih anyak dan

lebih baik.

Mungkin sekali ikut aktifitas seni maupun olah

raga, biasanya muncul keinginan mencoba lagi kemudian

lama-lama kenal dekat dengan IPM baik secara struktural

maupun personalia pimpinan IPM. Sehingga akan lebih

mudah mengajak mengikuti aktifitas-aktifitas ”ruangan”

yang notebene menjemukan. Kondisi ini menunjukkan

perbedaan, dimana kondisi pertama lebih menitik

beratkan pada ideologisasi kemudian pemberian keahlian

berorganisasi khususnya dalam bidang seni dan olah raga,

sedangkan posisi satunya lagi lebih mengedepankan

tingkat kebernyaman dalam beraktifitas berorganisasi

dengan meningkatkan ikatan emosional dengan aktifitas-

aktifitas seni dan olah raga, sehingga memunculnya rasa

cinta IPM, siap menerima ilmu

dan pengalaman dari IPM serta

siap mengajarkan apa-apa yang

didapat di IPM.

Hal inilah yang sering

IPM lupakan, lebih sering

ideologisasi tanpa memaslahat-

kan keberadaannya dengan

menampung aktifitas dakwah

dari minat dan bakat yang

sebegitu luasnya, yaitu seni dan

olahraga.

[Perlu diingat dan ditekankan,

aktifitas-aktifitas kaderisasi

banyak sekali di ruangan.

Misalnya Taruna Melati

miliknya perkaderan,

penelitian maupun jurnalistik

miliknya PIP, apalagi Kajian

miliknya bidang KDI. Hal ini

cukup menjadikan momok

paling menybalkan dan

penolak minat paling efektif

bagi para penikmat pemula

IPM. Apalagi saat ini Taruna

Melati lebih bayak dijadikan

sebagai gerbang welcome,

padalah seharusnya Taruna

Melati menjadi gerbang

”selamat berjuang”.]

Pelajar Berkemajuan: Pelajar Melek Teknologi

dan Informasi

––Daeng Muhammad Feisal10

Peristiwa “Future Shock” (Kejutan Masa Depan) memberikan informasi pada kita akan adanya akselerasi (percepatan) perubahan social dan tehnologi yang semakin sulit dihadapi baik oleh individu maupun organisasi. Kita harus kreatif dan proaktif menyesuaikan

diri tidak hanya kepada perubahan-perubahan, tetapi juga terhadap akselerasi tersebut.

Alvin Tofler

10

Ketua PP IPM bidang Hubungan Luar Negeri dan Antar-Lembaga (HUBLA) periode 2012-2014

Pada awal tulisan ini, saya akan mengutarakan

beberapa poin ‘kajian’ yang akan akan saya bahas pada

tulisan ini. Yang pertama adalah terkait Rekonstruksi

Gerakan IPM yang sampai saat ini ada 2 paradigma, yaitu

3T dan GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) ditambah arah

strategi gerakan yaitu GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) dan

Gerakan Pelajar Berkemajuan. Lalu poin kedua adalah

terkait tema esai, yaitu Membumikan Gerakan Ilmu untuk

Pelajar Berkemajuan, akan saya bahas secara lateral. Lalu

poin terakhir saya akan meramunya menjadi rangkaian

‘racikan’ yang saya sebut sebagai ‘embrio solutif’ Gerakan

IPM di masa yang akan datang, yaitu penjabaran dari

judul esai ini sendiri, “Pelajar Berkemajuan; Pelajar yang

Melek Teknologi dan Informasi”.

Seluruh aspek kehidupan mengalami akselerasi

(percepatan) dan kompresi (pemadatan); Zaman ini bisa

disebut saman serba-berkecukupan dan zaman serba-

berkelebihan. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, Guru

Besar FSRD ITB yang menaruh perhatan pada Cultural

Studies dan Posmodernisme, dunia ini adalah dunia yang

dilipat, dalam artan saat ini kita mengalami perubahan

yang drastis, anggap saja terhitung semenjak sejarah

dimulai (zaman nirleka/pra-sejarah berakhir setelah

ditemukannya tulisan), bahkan sekalipun kita hitung

semenjak zaman revolusi industri atau zaman revolusi

Indonesia sekalipun.

Ambil contoh dalam aspek transportasi, perjalanan

dari tanah air menuju tanah suci (Arab Saudi) sekarang

bisa ditempuh hanya dalam hitungan jam menggunakan

pesawat terbang, zaman nenek-buyut kita dulu membutuh-

kan perjalanan rata-rata 1 bulan perjalanan laut meng-

gunakan kapal. Atau kita ambil contoh, dulu kita

membutuhkan waktu yang sangat lama ketka berkores-

pondensi antarpimpinan organisasi (termasuk di IPM),

mengirim surat menggunakan perangko paling cepat 3

hari kalau dalam satu kota, kalau sekarang? Kita bisa

berkorespondensi menggunakan fasilitas surel (surat

elektronik/e-mail), hitungan detk sudah terkirim walau

berbeda benua sekalipun.

Pada paragraf di atas saya mengemukakan fakta

yang telah kita alami (selaku manusia dan selaku anggota

IPM) bahwa zaman ini sudah sangat maju, dikarenakan

teknologi berkembang pesat. Adanya moda transportasi

massal yang makin sini makin cepat waktu tempuhnya,

penggunaan telepon (tele, jauh) dan handphone yang

meniadakan jarak dalam menyampaikan informasi secara

real time, juga dengan keberadaannya internet dengan

berbagai lini-topiknya sepertinya surel, instant messaging dan

media sosial. Idealnya IPM sekarang tdak hanya sebagai

konsumen dari dari produk teknologi-peradaban zaman

sekarang, tapi harus ‘menguasai’-nya. Gerakan Ikatan

Pelajar Muhammadiyah?

Jika kita membuka kembali lembaran sejarah

Ikatan Pelajar Muhammadiyah, kita acap kali mengernyit-

kan dahi ketka mendengar dan membaca istlah-istilah

aneh tentang gerakan IPM, bukan karena bobotnya saja

yang dirasa sangat ‘berat’, bahkan jika ditinjau dari aspek

sejarah IPM, wajarlah IPM memiliki paradigma gerakan,

falsafah gerakan dan arah strategi gerakan yang

(senantasa) mengalami perubahan-penyempurnaan dari

masa ke masa. Bahasa kerennya, IPM mengalami proses

rekonstruksi gerakan yang berkepanjangan, sehingga ada

muncul kategorisasi masa IPM, yang, katanya sekarang

(tahun 2013––IPM periode Muktamar 18 Palembang)

dikategorikan “Masa Anomali” (masa yang tdak jelas;

aneh) oleh Masmulyadi, alumni PP IPM periode 2008-

2010.

Kita tahu bahwa di IPM ada istilah paradigma

gerakan, falsafah gerakan , dan arah strategi gerakan

(dan sebagainya), yang pada masa-masa tertentu muncul

istilah keren seperti 3T (Tertib Ibadah, Tertib Belajar dan

Tertib Organisasi), GKT (Gerakan Krits Transformatf)

dan GPK (Gerakan Pelajar Kreatif) dan sampai sekarang

muncul wacana Gerakan Pelajar Berkemajuan. Saya ingin

mengistilahkan beberapa istilah di atas sebagai “Bahasa(n)

Tinggi IPM” agar mempermudah penyebutan. Bukan

dalam arti saya tidak paham, tapi istilah-istilah tersebut

memang terasa tinggi––melangit, toh basis massa terbesar

IPM adalah pelajar SMP-SMA yang notabene tidak semua

paham dan mau paham terkait defnisi, alur, dan penjabar-

an tentang bahasa tinggi IPM itu.

Saya menarik kesimpulan bahwa kenapa bahasa

tinggi IPM ini terus mengalami rekonstruksi dari masa ke

masa, karena para penggagas, para pemikirnya tidak (atau

belum) ber-role-play sebagai pelajar dan remaja, mereka

malah secara sporadis memaksakan pengetahuan (yang

terkontaminasi oleh gaya ayahanda-Muhammadiyah dan

dunia ke-mahasiswa-annya) serta pengalaman mereka

sebagai orang yang berumur. Dan rekonstruksi gerakan

keniscayaan, karena waktu dan zaman pun berubah.

Membumikan Gerakan Ilmu untuk Pelajar

Berkemajuan

Berangkat dari tema besar Muktamar IPM ke-18 di

Palembang, saya (sedikit) setuju terkait diksinya.

Menggunakan istilah ‘membumikan’ lalu ‘gerakan ilmu’

dan ‘pelajar berkemajuan’. Ada 3 frase yang menjadi poin

of interest bagi saya pribadi. Membumikan, berarti

menyederhanakan-membuat mudah segala hal yang

berkaitan dengan gerakan IPM kita. Bisa juga berarti

mengedepankan take easy dan take acton (langsung

aplikasi/melaksanakan) dibanding berlarut-larut dalam

tataran ide dan konsep. Gerakan ilmu, frase yang ini

sudah tidak asing bagi anggota dan pimpinan di IPM.

Ilmu merupakan hal fundamental yang mendasari

berdirinya IPM, hal ini dibuktikan oleh semboyan IPM Al-

Qur’an surat Al-Qalam ayat 1 dan logo IPM yang memiliki

makna filosof pengejawantahan ilmu.

Lalu ada frase bawahan (kata) ‘gerakan’ yang

memiliki kesan dan makna setelah membumikan

(menyederhanakan-mengaplikasikan) kita harus senanti-

asa bergerak-berproses-tidak diam dalam artian konsisten-

istqamah dalam ber-IPM.

Penggunaan diksi ‘Pelajar Berkemajuan’ menurut

saya terkesan latah, dan menyadur istilah yang digunakan

pada buku Muhammadiyah Progresif: Manifesto Pemikiran

Kaum Muda yang ditulis oleh JIMM (Jaringan Intelektual

Muda Muhammadiyah) pada tahun 2007 silam. Berkema-

juan, menurut saya merupakan penyederhanaan bahasa

dari progresif. Sebenarnya tdak masalah jika orientasinya

benar ke arah kemajuan-lebih baik, yaitu dengan memberi-

kan penekanan pada pengembangan ilmu pengetahuan,

diskursus keadilan, keterbukaan, sikap toleransi, dan

pelajar yang berintegritas. Dan semoga tidak dimaksudkan

progresif dalam artian berpikir dan bertindak secara liberal

tanpa arahan.

Secara lateral sebenarnya bisa kita bangun satu

konsepsi bahwa istilah berkemajuan itu mewakili sifat

kreatif pada GPK, sifat Krits dan Tranformatif (berubah-

membuat perubah-an) pada GKT dan mengakomodasi

sifat tertb di ibadah, belajar, organisasi pada 3T. Sehingga

terciptalah silogisme gerakan yang premi-preminya terdiri

dari bahasa tinggi IPM sebelumnya.

Pelajar yang Melek Teknologi dan Informasi

Tema ini, saya buat tidak semata-mata karena

sekarang (tahun 2013) sedang happening-trending yang

namanya arus informasi yang ditandai perkembangan

pesat internet. Bermunculan berbagai macam gadget,

ratusan sosial media (seperti facebook, twitter) dan aplikasi

mobile yang makin memudahkan kehidupan manusia.

Tapi, saya berangkat dari maksud dan tujuan IPM itu

sendiri. Pelajar yang Melek Teknologi dan Informasi

berarti menandakan berakhlak-mulia (melek-sadar),

terampil (teknis, teknologi, menyelesaikan/membantu

pekerjaan manusia) dan berilmu (memiliki dan menguasai

informasi).

Sehingga sebenarnya Pelajar yang Melek Teknologi

dan Informasi itu sangat koheren dengan terwujudnya

pelajar (Muslim) yang berakhlak mulia, berilmu dan

terampil.

Pada bagian akhir ini saya menawarkan solusi/

alternatif dan rangkuman dari rangkaian tulisan esai ini di

atas, yang semoga menjadi ‘embrio solutf’ bagi gerakan

IPM kita. Saya menyebutnya sebagai ‘embrio’ karena ini

masih ada di tataran konsep/ideal di benak dan pikiran

saya. Sehingga belum tentu bisa terlahir menjadi produk

dan aksi nyata yang diadopsi oleh semua kalangan anggota

dan pimpinan IPM di seluruh lapisan.

Pelajar yang Melek Teknologi dan Informasi

berarti menandakan berakhlak-mulia (melek-

sadar), terampil (teknis, teknologi ,

menyelesaikan/membantu pekerjaan manusia)

dan berilmu (memiliki dan menguasai informasi).

Sehingga sebenarnya Pelajar yang Melek

Teknologi dan Informasi itu sangat koheren

dengan terwujudnya Pelajar (Muslim) yang

berakhlak mulia, berilmu dan terampil.

Budaya Menulis untuk Pelajar Berkemajuan

––Lufki Laila Nur Hidayati11

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta, ditambahkannya tujuh lautan lagi

setelah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa,

Mahabijaksana.”

QS. Luqman: 27

11

Bendahara I PP IPM, periode 2012-2014

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai salah

satu Organisasi Kepemudaan (OKP) terbaik di nusantara

dan terbaik se-ASEAN ini telah lahir pada 18 Juli 1961 M.

Yang jika dihitung dalam hitungan kasar saja, umur IPM

saat ini adalah 52 tahun. Lebih dari setengah abad

organisasi yang merupakan sebuah pergerakan pelajar ini

melewati masa-masa perjuangannya.

IPM yang bertujuan untuk “terbentuknya pelajar

Muslim yang berakhlak mulia, berilmu, dan terampil

dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-

nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang

sebenar-benarnya” ini telah memiliki konsep perkaderan

dari masa ke masa yang di dalamnya ada model-model

gerakan yang disusun guna menyelaraskan gerak

perjuangan IPM. Melihat realita dari konsep atau model

gerakan yang dihasilkan sebelumnya, IPM telah bisa

dikatakan setengah berhasil mencetak kader kreatif,

dengan landasan GPK-nya, mencetak kader yang kritis dan

transformatif dengan GKT-nya, dan mencetak kadernya

yang tertib dalam hal ibadah,tertib belajar dan tertib

berorganisasi, dengan 3T-nya. Namun, apakah semua itu

telah dapat menjawab pertanyaan: Apakah tujuan IPM

telah terwujud?

Jika jawabannya belum, hal ini sangat dimaklumi

karena proses pencapaian tujuan tidak akan begitu saja

mudah untuk diraih. Namun sedikit mengambil evaluasi

proses yang telah dilakukan oleh IPM yaitu gerakan Iqra’

(Membaca). Gerakan iqra’ yang telah dimassifkan sejak

dulu ternyata belum bisa menjadi gerakan pembaharuan

(tajdid) di dalam gerakan IPM. Goal yang dicapai adalah

bagaimana kader-kader IPM banyak membaca dan

melakukan perubahan, baik dalam dirinya, masyarakat

sekitar, maupun sistem yang lebih luas dari itu. Belum ada

langkah gerakan secara selaras dan massif yang diarahkan

IPM untuk menjadi seorang pelajar yang berkemajuan.

Dalam essai ini, akan ditawarkan sebuah konsep

sederhana untuk mencoba member masukan terhadap

gerak perjuangan IPM yaitu dengan budaya menulis.

Mengapa budaya menulis? Karena hemat penulis, menulis

adalah satu langkah lebih maju dari budaya membaca. Jika

goal yang kita inginkan adalah suatu bentuk karya nyata

(tulisan), maka proses sebelumnya pasti akan terlalui

secara otomatis.

IPM sebagai organisasi yang telah tersebar diseluruh

nusantara. IPM merupakan organisasi pelopor pelajar

kritis yang mencoba melakukan penyadaran, pemberdaya-

an terhadap kader, dan melakukan pembelaan atas

ketidakadilan di kalangan pelajar. Potensi yang besar ini

dirasa kurang digunakan secara maksimal. Selaras dengan

tema Muktamar Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah

ingin membangun peradaban baru. Di zaman modern

pada ini peradaban modern, artinya manusia yang ada

adalah manusia yang cerdas, maju dan berbudaya. Dimana

setiap manusia mampu berpartisipasi dalam semua

kegiatan kebudayaan, adat istiadat, seni, kebiasaan,

perilaku yang ada sehingga dengan peradaban modern,

manusia dapat memakmurkan dirinya, kehidupannya dan

negaranya. Peradaban berkembang atau maju apabila

sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan ilmu

pengetahuan dan teknologinya maju dan berkembang.

Dan dalam peradaban modern ini sangat menjungjung

tinggi budaya berpikir dan menulis.

Zaman dan peradaban memang modern, namun

belum di Negara kita ini, peradaban kita masih terbilang

kuno. Penerapan atau pelaksanaan yang ada masih kuno

atau tidak hidup layaknya manusia modern. Sudah

dijelaskan di atas bahwa peradaban sangat menjunjung

tinggi budaya berfikir dan menulis, sedangkan kita cukup

jauh dari realita itu. Manusia Indonesia banyak yang

hanya mengandalkan tenaga atau ototnya, jarang yang

mengedepankan pikirannya yang jernih seperti apabila ada

masalah sedikit saja langsung berkelahi, saling memukul

layaknya hokum rimba, yang paling kuat yang menang dan

berkuasa. Seharusnya manusia sadar akan perannya dalam

membentuk negara dan peradaban, bahwa peran mereka

sangat penting untuk mendukung sebuah peradaban yang

maju. Hal ini juga masih banyak terjadi pada kader IPM.

Menulis belum menjadi budaya, kesukaan, dan

hobi bersama. Banyak manusia yang menganggap menulis

adalah sebuah momok besar yang menakutkan dan

merupakan kegiatan yang sia-sia atau menulis adalah

kegiatan iseng-iseng saja. Mereka tidak mengetahui bahwa

menulis adalah kegiatan yang sangat mempengaruhi

jalannya peradaban.

Menulis bisa menghasilkan sebuah buku yang dapat

dipelajari generasi ke generasi berikutnya untuk menjadi

sebuah pelajaran berharga bagi generasi penerus agar tidak

jatuh ke lubang yang sama, yang telah dialami oleh

generasi sebelumnya. Dan dengan mengembangkan

budaya menulislah kita bisa menghela pemikiran-

pemikiran negatif, lewat tulisanlah kita bisa melihat

keadaan dunia, menciptakan karya-karya brilian, dan

berinovasi yang akan menciptakan sebuah peradaban

modern yang telah didambakan oleh semua manusia. Kita

harus menciptakan tulisan-tulisan yang menakjubkan agar

peradaban modern dapat cepat tercapai.

Ketika seseorang menulis, maka produk yang

dihasilkan adalah tulisan. Tulisan, setidaknya mempunyai

dua manfaat, yaitu: (1) dapat mengubah seseorang dan

masyarakat, dan (2) sifatnya abadi sehingga dapat

diwariskan kepada generasi berikutnya.

Pertama, tulisan dapat mengubah seseorang dan

masyarakat. Berbagai karya tulis para ulama adalah salah

satu bukti konkritnya. Karya-karya tulis mereka secara

tidak langsung telah mengantarkan umat Islam pada

kejayaannya. Dengan kata lain, karya tulis mereka mampu

mengubah dan menggerakkan masyarakat kepada kehi-

dupan yang lebih baik. Seorang perawi hadits misalnya, ia

adalah penulis yang sangat berjasa. Kegigihannya dalam

mencari sanad dari sahabat yang paling terakhir mendapat

hadits tersebut hingga langsung dari Nabi Muhammad

Saw.

Tokoh-tokoh lainnya dalam hal tulis menulis yang

dapat mengubah tatanan sosial misalnya: R.A. Kartini apa

yang ia perbuat sehingga hari kelahirannya diperingati

sebagai hari nasional, beliau merupakan satu-satunya

penulis perempuan pertama saat itu dengan karyanya

“Habis Gelap Terbitlah Terang”. Yang berbeda beliau

dengan wanita lain pada saat itu adalah seorang Kartini

menulis dan tulisannya itu dibaca oleh kalangan tertentu

kemudian dapat merubah paradigma masyarakat saat itu.

Karl Marx dan Adolf Hitler, melalui tulisannya

mereka mengubah sebagian dunia dan menimbulkan satu

polemik yang mengguncangkan dunia (Komunis dan

Naziisme). Satu lagi tokoh dari Prancis, seorang novelis

terkenal bermana Emile Zoula, dia menulis dan mengirim-

kan tulisannya kemudian dimuat di halaman utama surat

kabar saat itu atas tindak protesnya kepada pengadilan

yang telah member keputusan yang sewenang-wenang

kepada Kapten Alferd Dreyfus dengan tuduhan pengin-

taian.

Dengan tulisan dari Emile ini ternyata menghasil-

kan polimik di kalangan penulis di masa itu. Ada yang

pro-Dreyfus dan ada yang anti-Dreyfus. Sehingga dengan

peristiwa inilah dikenalnya kata “Intelektual”. Dan disim-

pulkan bahwa kaum intelektual adalah mereka yang sadar

secara realitas kemudian melakukan tindakan kritis-nyata.

Sebagai kaum intelektual kita memiliki peran

sebagai pewaris nabi yaitu memiliki ilmu kemudian

menebarkan kebaian menggunakan ilmu yang telah kita

miliki.Nabi bersabda, “Ulama adalah pewaris para Nabi”.

Dari sabda Nabi ini secara tidak langsung mengingatkan

bahwa kita (sebagai ulama; ilmuwan/cendekiawan) harus

meneruskan tradisi para Nabi, yaitu membawa misi

kebaikan kepada dunia ini. Hal itu bisa dilakukan salah

satunya adalah melalui tulis menulis (ad-dakwah bil qalam).

Di sisi lain, karya tulis (tulisan) mampu mengubah

penulisnya sendiri. Beberapa penelitian dan pengalaman

orang-orang telah membuktikannya, bahwa menulis benar-

benar memberikan efek sugesti yang baik bagi diri kita,

dari berbagai sisi, misalnya kesehatan dan melejitkan

potensi.

Kedua, tulisan mempunyai sifat yang abadi dan

dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Bukti

konkrit dalam hal ini adalah Al-Qur’an. Bisa kita

bayangkan bagaimana jadinya jika Al-Qur’an tidak ditulis,

dengan jarak yang yang terbentang begitu jauh baik ruang

dan waktu, apakah bisa sampai kepada kita saat ini?

Begitu juga dengan karya-karya tulis para ulama

terdahulu, jika saja mereka tidak menulis dapatkah

mereka mewariskan sesuatu yang abadi kepada generasi

mereka berikutnya, yaitu kita? Pun dengan tokoh-tokoh

Indonesia, mereka tetap dikenang lantaran terrekam

dalam buku-buku sejarah, apalagi mereka yang menulis

karya tulis (baik fiksi, non-fiksi, maupun memoar/diary).

Mengapa moyang kita dan para pendahulu kita

menuliskan sesuatu antara lain pasti adalah untuk menga-

barkan apa yang terjadi, apa yang mereka alami, dan apa

yang mereka ingini pada jamannya. Dengan membaca apa

yang telah mereka tulis kita mengetahui tutur cerita dari

jaman yang bahkan tak terbayangkan oleh khayalan kita

yang paling tinggi sekalipun.

Dengan tulisan maka sesuatu pada sekali waktu bisa

terbaca pada waktu yang lain. Seperti perkembangan

proses peradaban dapat diukur melalui tulisan dari mulai

pesan yang disampaikan melalui tulisan gambar, tulisan

rumus, tulisan potongan, tulisan bunyi, hingga alphabetis.

Hal ini merupakan gambaran dari perkembangan dari

setiap peradaban manusia. Peradaban dapat diukur pula

dengan tulisan-tulisan yang ada pada jamannya.

Menulis untuk meninggalkan jejak peradaban yang

akan diwariskan bagi anak-cucu kita. Anak cucu kita dapat

mengetahui semua perjuangan nenek moyangnya yang

patut di hormati dan di ikuti dari segi positifnya. Maka

tongkat estafet pun akan terus berlanjut, sehingga

peradaban pun akan semakin berkembang dan tak akan

berhenti pada satu generasi saja. Menulis juga bermanfaat

untuk melintasi zaman dan mengenali zamannya sendiri.

Melintasi zaman moyang yang begitu jauh dan dapat

mengenali zamannya sendiri yang telah ditulisakan.

Oleh karena itu, kita harus budayakan menulis.

Dalam membudayakan menulis, kita perlu berlatih

berinteraksi dengan ide dan harus terlatih menggali dan

menggagas ide. Budaya menulis harus dipupuk terus

menerus agar menjadi sebuah tradisi. Sebab, tradisi pada

hakikatnya lahir karena dikerjakan secara konsisten dan

mengalami proses panjang. Budaya menulis tidak akan

terlaksana dengan baik tanpa adanya semangat dari

kitanya sendiri dan tidak adanya konsisten untuk menulis

setiap saat.

Maka dari itu setetes tinta pena yang jatuh pada

sebuah kertas maupun batu akan memberi dampak yang

luar biasa bagi sebuah peradaban. Setetes pena itu akan

memberikan pencerahan pembelajaran bagi peradaban

baru yang lebih baik. Dikatakan juga oleh seseorang bahwa

“Sebuah pedang yang paling tajam hanya mampu untuk

memenggal berapa ratus kepala, namun setetes tinta

mampu mengubah segala yang ada” begitupun setetes

pena dapat mengubah peradaban.

Setetes tinta yang terjatuh dari pena memiliki

kekuatan yang sangat unik, dia diam tapi menghentakkan

pikiran dan menggerakkan perubahan, hingga opini bisa

tergulingkan di tengah masayarakat. Efek kekuatan setetes

tinta sangat terasa hingga berabad abad lamanya. Maka

tidak salah jika setetes tinta akan menjadi setitik

perubahan dalam sebuah peradaban. Setetes tinta bisa

menggerakan sejuta manusia untuk berpikir. Apalagi bila

banyak tetesan tinta jatuh dari pena maka bukan hanya

sebuah perubahan peradaban tetapi berbagai perubahan

peradaban muncul dengan cepat dan dengan baik sesuai

yang di inginkan.

Dengan penjelasan manfaat menulis di atas, maka

tak menjadi soal bahwa IPM akan lebih menjadi gerakan

yang kritis transformatif dengan tulisan-tulisan yang

dihasilkan oleh para kader IPM. Jika Muhammadiyah

dalam tema Muktamar kemarin adalah “Gerak Melintasi

Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama”,

maka IPM sebagai ortom dengan budaya menulisnya siap

menjadi pelopor dalam membangun peradaban utama

seperti yang diinginkan.

Setetes tinta pena yang jatuh pada sebuah kertas

maupun batu akan memberi dampak yang luar

biasa bagi sebuah peradaban. Setetes pena itu

akan memberikan pencerahan pembelajaran

bagi peradaban baru yang lebih baik.

Dikatakan juga oleh seseorang bahwa “sebuah

pedang yang paling tajam hanya mampu untuk

memenggal berapa ratus kepala, namun setetes

tinta mampu mengubah segala yang ada,”

begitupun setetes pena dapat mengubah

peradaban.

Setetes tinta yang terjatuh dari pena memiliki

kekuatan yg sangat unik, dia diam tapi

menghentakkan fikiran dan menggerakkan

perubahan, hingga opini bisa tergulingkan

di tengah masyarakat.

Gerakan Ilmu, untuk Visi Kemanusiaan Kader

––Azaki Khoirudin12

“Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukan-lah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdo’a setiap saat hingga saat-saat terahir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi.

Aku juga berdo’a berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa

memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”

K.H. Ahmad Dahlan

12

Sekretaris PP IPM bidang Perkaderan periode 2012-2014, Mahasntri Shabran Program Pendidikan Kader Ulama’ PP Muhammadiyah

Muhammadiyah itu untuk semua. Muhammadiyah

dalam melintasi zaman dari abad kesatu ke abad kedua

menegaskan pandangan tentang wawasan kebangsaan dan

kemanusiaan universal sebagai komitmen yang menyatu

dalam gerakannya. Bahwa, bangsa Indonesia dan dunia

kemanusiaan universal merupakan ranah sosio-historis

bagi Muhammadiyah dalam menyebarkan misi dakwah

dan tajdid. Misi dakwah dan tajdid dalam konteks

kebangsaan dan kemanusiaan merupakan aktualisasi dari

fungsi kerisalahan dan kerahmatan Islam untuk pencerah-

an peradaban.13

Dalam menghadapi perkembangan kemanusiaan

universal Muhammadiyah mengembangkan wawasan

keislaman yang bersifat kosmopilitan. Kosmopolitanisme

merupakan kesadaran tentang kesatuan masyarakat

seluruh dunia dan umat manusia yang melampaui sekat-

sekat etnik, golongan, kebangsaan, dan agama yang secara

moral mengimplikasikan adanya rasa solidaritas kemanusi-

aan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada

sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemi-

sahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional.14

Hal ini senada dengan Kalamullah“Sesungguhnya (apa yang

disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan

bagi kaum yang menyembah (Allah). Dan tiadalah Kami

13

Tanfidz. Muhammadiyah Satu Abad, h.17 14

Ibid, h.18

mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi

semesta alam” (QS. al-Anbiya: 106-107).

Muhammadiyah memandang bahwa bangsa

Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi

yang penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau

kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan

menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah

korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme

perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial,

separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah

nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara

sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental akan

semakin memperparah krisis nasional. Muhamadiyah

menjadikan Islam sebagai acuan moral individu dan

public harus diberi posisi utama dalam pergaulan antar

manusia, baik lokal, nasional, dan global.

Khusus untuk menghadapi tantangan global yang

semakin dasyat, menurut Buya Syafi’i Islam Indonesia

perlu melahirkan pasukan inti (kader) kelas satu. Kader ini

di samping memahami warisan pemikiran klasik Islam

dengan baik, kedua kakinya juga berdiri mantap di dunia

modern dengan segala hiruk-pikuknya. Kader yang hanya

kenal khasanah klasik, tetapi buta dengan situasi kekinian,

akan sangat sulit diajak berbicara berbicara perkembangan

peradaban atau kebiadaban kontemporer umat manusia.15

Syarat menjadi kader pasukan inti para pemikir hanya

satu, yaitu tidak terkontaminasi politik kekuasaan yang

sangat menguras energy dan menghabiskan waktu merebut

jabatan.

Namun, dalam kenyataan, tidak banyak politisi di

muka bumi yang benar-benar dipandu oleh idealisme

untuk memperjuangkan kepentingan public. Perlu adanya

pembagian tugas yang baik antara kader intelektual dan

kader politisi. Politisi memerlukan kaum intelektual untuk

diajak berunding tentang masalah akurat masyarakat,

bangsa, dan negara. Karena itu, kader kemanusiaan

memerlukan kerja intelektual dengan penuh kesabaran,

ketekunan, kecerdasan, pengabdian, dan waktu untuk

Indonesia. Kader intelektual tidak boleh miskin, karena

berpikir serius memerlukan biaya. Bangsa ini sungguh

memerlukan barisan barisan kader pamikir yang handal

untuk menjaga kelangsungan hari depan.

Visi Kemanusiaan Kader

Berbicara mengenai kader, (Perancis: cadre) atau les

cadres (Latin: quadrum), maksudnya adalah anggota inti

yang menjadi bagian terpilih, berarti pula sebagai jantung

suatu organisasi. Kader berarti pula pasukan inti Jadi, jelas

15

Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009, h. 197-198

bahwa orang-orang yang berkualitas itulah yang terpilih

yang dapat disebut sebagai kader. Tujuan perkaderan

Muhammadiyah dalam Sistem Perkaderan Muhammad-

iyah (SPM) dirumuskan yakni “Terbentuknya kader

Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai

integritas dan kompetensi untuk berperan di Persyarikatan,

dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks

global.16

Dari rumusan tersebut terdapat kata kunci arah

tujuan perkaderan Muhammadiyah, yakni membentuk,

“kader peryarikatan, kader umat, dan kader bangsa”. Sebuah

rumusan tersebut merupakan hasil pemikiran manusia

pasti terikat ruang dan waktu. Situasi dan tantangan masa

lampau pasti berbeda dengan situasi dan tantangan saat

ini, seperti halnya pemikiran tentang konsep kader

persyarikatan, umat, dan bangsa. Pemikiran ini adalah

terdahulu yang bukan untuk diberhalakan, tetapi untuk

dikritik, sehingga kita yang datang belakangan harus

punya tekad untuk lebih baik dari pendahulu kita. Tanpa

kebaranian berpikir semacam ini, Muhammadiyah dan

umat islam akan sulit bangkit dari buritan peradaban yang

menyesakkan nafas, menuju peradaban utama yang dicita-

citakan oleh Muhammadiyah menuju kebudayaan utama.

Kebudayaan sebuah bangsa akan jatuh menjadi

“kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau”, jika

kader inti pemikirnya tidak mampu menjawab beraneka 16

Sistem Perkaderan Muhammadiyah. 2007. Edisi 2, h. 43-50

ragam tantangan yang silih berganti. Kebudayaan hanyalah

mungkin bergerak maju, jika selalu dikawal oleh kekuatan

pelajar yang intelek-kreatif.

Menurut Buya Syafi’i Ma’arif,17 dengan pemikiran-

nya bahwa di kalangan Muhammadiyah sering terdengar

slogan bahwa kader yang hendak dibentuk adalah kader

peryarikatan, kader umat, dan kader bangsa. Urutan ini

harus dibalik secara radikal menjadi, “kader kemanusiaan,

keder bangsa, kader ummat, dan kader persyarikatan.

Kader kemanusiaan harus menjadi perioritas. Mengapa

harus dibalik? Posisi kemanusiaan ditempatkan sebagai

yang pertama dengan beberapa pertimbangan, yaitu:

Pertama, misi Islam adalah “rahmat bagi alam

semesta”, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai pintu

masuk pertama, pasukan intelektual akan didorong untuk

berpikir mondial, artinya seluruh umat manusia, siapapun

mereka, pada hakikatnya ialah bersahabat dalam bingkai

kemanusiaan. Gerak roda peradaban harus mengarah

kepada terciptanya sebuah persaudaraan universal umat

manusia.

Kedua, posisi kader kemanusiaan, kita turunkan

setapak menjadi kader bangsa, karena kita hidup dalam

teritorial Negara-bangsa Indonesia. Pelajar Muslim dan

ummat secara keseluruhan tidak boleh mengurung diri

dalam lingkungan keumatan dalam makna terbatas.

17

Ahmad Syafii Maarif , Islam dalam Bingkai Kemanusiaan, h.199

Namun konsep keumatan ditempatkan dalam bingkai

kemanusiaan universal. Perumahan kebangsaan adalah

pelabuhan awal umat Islam untuk tampil sebagai gerda

depan membela dan merawat kepnetingan bangsa bersama

umat lain.

Ketiga, kebaragamam sosio-kultural dengan ciri khas

masing-masing adalah pertanda bahwa Allah Maha

Pencipta, anti-keseragaman, sebab keseragama akan

membuat manusia miskin wawasan dan kaku pergaulan.

Keimanan kepada Allah tidak menghalani untuk

meluaskan radius pergaulan (lita’arofu), saling menyapa

dan bertukar peradaban. Oleh karena itu, biarkan masing-

masing umat untuk mencetak kader-kadernya untuk

kepentingan berbeda, namun dibawah tenda kebangsaan

dan di atasnya terrbentang tenda kemanusiaan.

Keempat, Muhammadiyah membutuhkan kader

persyariikatan untuk melangsungkan gerakan dan misinya

secara kreatif. Yakni kader Muhammadiyah wajib memi-

liki wawasan dan jangkuan pemikiran yang melampaui

radius kemuhammadiyahan. Itu semua adalah bagian yang

menyatu dengan tiga ranah pergaulan, “kemanusiaan,

kebangsaan, dan keummatan”. Semua ini memerlukan

mindset dan sikap mental secara berani dan radikal.

Titik tekan Perjuangan kemanusiaan dikatakan

mendesak dalam menghadapi era globalisasi zaman

modern kali ini. Yaitu, zaman yang menyaksikan proses

semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia

berkat kemajuan pengetahuan dan tehnologi, menjadi

peradaban global. Kiyai Dahlan kerap berkata: “Manusia

semua mati, kacuali para ulama (kaum terpelajar yang selalu

memikirkan kondisi sekitar dan takut kepada Allah). Dan para

ulama itu semuanya bingung (takut disiksa kalau nanti masuk

neraka), kecuali orang yang beramal (kemanusiaan). Tetapi

orang telah beramal (masih takut), kecuali orang berramal

dengan niat ihlas karana Allah Swt.18 Dalam pesan ini dapat

dipetik bahwa gerakan amal kemanusiaan harus dibimbing

atau dilandasi dengan pondasi ketuhanan yang kokoh.

Dalam bahasa Kuntowijoyo, “Humanisme-Teosentris”19,

dan Amien Rais menyebutnya dengan istilah “Tauhid-

Sosial”.

Pemahaman ini penting bahwa Manusia harus

menyatupadukan “keimanan” dalam pandangan hidup

dengan “kemanusaan” dalam kehidupan. Sebagai mana

dalam pemikiran Nurcholis Madjid,20 buah atau hasil dari

ibadah itu bukan untuk Tuhan, tetapi untuk kemanu-

siaan. Karena itu, iman kepada Allah Swt membawa akibat

emansipasi kemanusiaan pribadi sendiri, juga membawa

akibat pola hidup saling menghormati sesama manusia.

Jika tuhan memuliyaan manusia, maka apalagi manusia

18

Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat al-Qur‟an, Malang, LPI PPM, 2008, h. 97 19

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, h. 20

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 101-102

sendiri harus memuliakan sesamanya. Dengan cara

berbuat baik (amal shaleh) kepada sesama dengan rasa

kemanusiaan dan harus berlandaskan keimanan. Dampak

paling nyata dari emansipasi kemanusiaan karena iman

kepada Allah s.w.t ialah terwujudnya pola hubungan antar

manusia dengan semangat egalitarian, dan mondial

(persamaan dan persaudaraan).

Sebagaimana pandangan Syaria’ti tentang tauhid

adalah kesatuan antara Allah, alam, dan manusia. Ia

mengatakan “Jadi, tauhid tidak terbagi-bagi atas dunia kini

dan akhirat nanti, atas yang alamiah dengan supra-alamiah,

atas substansi dan arti, atas jiwa dan raga. Jasi kita memandang

seluruh eksistensi sebagai suatu bentuk tunggal, suatu oaganisme

tunggal, yang hidup memiliki kesadaran cipta rasa dan karsa”

tauhid harus ditafsirkan sebagai kesatuan antara alam

dengan meta-alam, antara manusia dengan alam, antara

manusia dengan manusia, atara Allah, manusia dan dunia.

Kesemuanya terpadu dalam totalitas ajaran tauhid.21 Inilah

bentuk penafsiran tauhid yang memiliki fungsi rahmatan

lil alamin atau kemanusiaan universal.

Transformasi Gerakan Ideologis menuju Gerakan Ilmu

Tema gerakan ilmu, telah disinggung oleh Din

Syamsuddin dalam sambutannya pada Rapat Kerja

21

Eko Supriadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.165.

Nasional (Rakernas), 29-31 Maret 2013. IPM, menurut-

nya, perlu segera mendeklarasikan sebuah gerakan ilmu

dan gagasan peradaban. Gerakan itu, adalah gerakan

pencerahan (tanwir, enlightment) atau pencerdasan, sebagai

manifestasi agen pencerahan. Hakikat dan esensi gerakan

Muhammadiyah adalah gerakan pencerahan (al-harakah at-

tanwiriyah) yang sangat dekat dengan ilmu dan upaya

pencerdasan. Salah satu sumbangsih Muhammadiyah

terhadap bangsa adalah selain Muhammadiyah menghi-

langkan ‘tujuh kata’ pada sila pertama pancasila,

Muhammadiyah juga memiliki sumbangsih pada rumusan

falsafah bangsa Indonesia pada kalimat ‘mencerdaskan

kehidupan bangsa’.

Dengan kesediaan IPM tampil sebagai gerakan

ilmu, diharapkan muncul kelompok yang dapat diandal-

kan sebagai rujukan dalam memahami masalah besar, yang

menyangkut pemahaman agama, ilmu pengetahuan,

kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban di masa yang

akan datang. Sebagaimana Buya Syafi’i mengingatkan, kini

zaman sedang bergulir dan berubah dengan cepat karena

ditopang perkembangan teknologi informasi. Semua itu

tak dapat dielakkan. Menurutnya, dalam melintasi zaman

tersebut, diperlukan sebuah fondasi ilmu yang kokoh dan

iman yang tulus. Dengan begitu, IPM bersama

Muhammadiyah bisa membangun sebuah tonggak sejarah

yang bergerak lebih jauh secara strategis dalam memasuki

abad selanjutnya.

Meminjam pendapat Buya Syafi’i, “umat Islam

masih belum berdaya ntuk mengawal gerak peradaban

karena persyaratan untuk itu belum dimiliki, umat Islam

masih kurang ilmu dan wawasannya terbatas,” Begitu juga,

IPM tidak sekedar menjadi pelopor, pelangsung, penyem-

purna AUM, tatapi lebih dari sekedar itu, yakni menjadi

pengawal gerakan pencerahan (tajdid, tanwir) atau gerakan

ilmu menuju peradaban utama (masyarakat utama).

Dengan demikian, IPM tak sekedar menjadi ‘laskar

pelangi’ maupun ‘laskar matahari’, namun menjadi ‘laskar

zaman’ dengan gerakan Ilmu. Karena, hanya dengan

gerakan ilmu lah peradaban unggul (utama) akan

terwujud.

Gerakan Pelajar Berkemajuan

Ikhtiar gerakan IPM mewujudkan pelajar yang kritis

dan progresif harus dilakukan dengan dengan memahami

dan mengamalkan Islam yang berkemajuan. Islam berke-

majuan memiliki tiga paradigma, yaitu membebaskan,

memberdayakan, dan memajukan kehidupan umat

manusia. Pertama, membebaskan manusia dari belenggu

yang tidak manusiawi, dari thoghut (segala yang tidak

memanusiakan dan menjauhkan manusia dari fitrah

kemanusiaan). Kedua, memberdayakan potensi manusia,

sehingga mambantu menjadi manusia unggul. Ketiga,

memajukan kehidupan manusia, dengan ilmu, menjadi

manusia yang berkemajuan dan berperadaban unggul.

Pasca IPM menjadi organisasi terbaik Nasional dan

ASEAN, sudah seharusnya IPM berikhtiar bagaimana

menuju gerakan terbaik (khairu ‘ummah). “faidza faraghta

fanshab, wa ilaa rabbika farghab”.

Dalam hal ini, dapat dilihat pada muktamar ke

XVIII di Palembang 2013 ini, dihasilkan falsafah dan

paradigma gerakan IPM baru yang benar-benar menjadi

ciri khas gerakan pelajar dalam naungan Muhammadiyah,

yaitu “Gerakan Pelajar Berkemajuan” (GPB). Hakikat

pergerakan GPB ialah sebagai gerakan ilmu atau gerakan

dakwah pencerahan/pencerdasan kehidupan pelajar

dengan membawa misi Islam yang berkemajuan. Islam

yang berkemajuan ialah Islam yang membebaskan,

memberdayakan, dan memajukan kehidupan manusia.

Atas dasar itu, paradigma GPB menemukan 3P, yaitu

pencerdasan, pemberdayaan, dan pembebasan. Konsep

GPB sebagai gerakan ilmu harus segera dibumikan di

kalangan pelajar.

Dari IPM untuk Semua

Jika baru-baru ini Muhammadiyah melaunching

buku “Dari Muhammadiyah untuk Indonesia”, maka visi

kader IPM melebihi dan melampaui dari itu. IPM tidak

hanya memiliki visi kebangsaan dan keindonesiaan.

Tetapi, IPM memiliki visi kader kemanusiaan. Selama ini

IPM terlalu lama bergelut diinternal, visi IPM hanya

menjadi kader ideologis yang orientasinya hanya menjadi

pelopor, pelangsung, dan penyempurna Amal Usaha

Muhammadiyah (AUM). Maka tidak jarang, terjadi

perebutan AUM di seluru bidang dan tingkatan. Kini IPM

harus menjadi kader ilmu, ideologi IPM harus menjadikan

Islam sebagai ilmu. Muhammadiyah untuk semua.

Empati kemanusiaan dan pemihakan profetik

kenabian merupakan misi suci terpenting dari gerakan

IPM. Dengan membuka ruang bagi kesediaan untuk

mengakui kebaikan bagi kehidupan manusia walaupun

dilakukan oleh orang yang berbeda keyakinan.22 Etos

kemanusiaan tampak pada pendiri Muhammadiyah, KHA

dahlan yang mudah belajar dari pemeluk agama lain.

Sehingga muncul rumah sakit, sekolah, panti asuhan

yatim piatu, rumah miskin, dan kepanduan. gagasan ini

dapat dikaji dalam “Kesatuan Hidup Manusia”23

Jejak kemanusiaan tersebut telah melintasi batas-

batas keagamaan dan kebangsaan yang terus bergulir

dalam peradaban global. Batas lokalitas, ethnis, dan

kebangsaan, semakin cair, seluruh manusia berkomunikasi

dan bertukar informasi. Hal semacam ini harus mencip-

takan ruang empati kemanusiaan dengan menjadikan

agama Islam pemberi solusi untuk kesejahteraan umat

manusia di bumi.

22

A. Munir Mulkhan. Pesan & Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010, h. 47 23

A. Munir Mulkhan. Op, Cit. 2010, h. 43

Mewujudkan kader dengan visi kemanusiaan

universal harus dilakukan dengan dialog kreatif antar

organisasi, baik seiman maupun lintas iman. Pengalaman

mereka akan memperkaya persepsi kita tentang kema-

nusiaan dan kecintaan terhadap bangsa ini. Mereka adalah

sahabat kita dalam bingkai keindonesiaan dan bingkai

kemanusiaan yang adil dan beradab. Gesekan-gesekan

kecil ditingkat akar rumput harus segera diselesaikan.

Seperti dalam rumusan “Langkah 12 Muhammadiyah”

langkah ke-12, yaitu “mempersambung gerakan luar” atas

dasar tolong menolong. Kemudian dalam “Kepribadian

Muhammadiyah” terdapat 10 Sifat Muhammadiyah” poin

dan ke-9 “membantu pemerintah serta bekerjasama dengan

golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk

mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridlai Allah

Swt”.

Cikal bakal kader penerus dan gerakan dakwah

harus mengumandangkan kepada dunia bahwa Islam

adalah agama perdamaian. Menjadi kader elite, namun

tidak elitis, dan berjiwa kemanusiaan universal. Bukan

kader perebut amal usaha, perebut jabatan politik, namun

kader yang muflih dan muslih dimana saja dalam bingkai

kemanusiaan yang dilandasi keimanan yang kokoh kepada

Allah. Bukankah “Muhammadiyah itu Untuk Semua”?

Sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan “Menjaga dan

memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang

mudah. Karena itu aku senantiasa berdo’a setiap saat hingga

saat-saat terahir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi. Aku

juga berdo’a berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat

karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa

memberikan manfaat bagi seluruh ummat manusia sepanjang

sejarah sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”

Secara jelas rumusan “Kepribadian IPM”, IPM

adalah lembaga kaderisasi yang salah satu fungsinya adalah

melakukan proses penyiapan kader-kader untuk terlibat dalam

aktifitas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang lebih luas dari

lingkup IPM.24 Tetapi dalam penjelasan orientasinya masih

sempit, hanya terbatas pada fungsi kader persyarikatan,

umat, dan bangsa. Seharusnya, fungsi kemanusiaan

tersebut harus diletakkan pada posisi yang pertama atau

memayungi ketiga-tiganya. Sehingga IPM dapat menjadi

gerakan pelajar yang orientasinya untuk perjuangan hak-

hak kemanusiaan pelajar Indonesia yang plural dan

majemuk di Indonesia. Menjadi gerakan pelajar elite

(terpilih, terbaik), namun tidak elitis, dan berjiwa

kemanusiaan universal. Bukan kader perebut amal usaha,

perebut jabatan politik, namun kader yang bisa muflih dan

muslih dimana saja dalam bingkai kemanusiaan yang

dilandasi keimanan yang kokoh kepada Allah.

Masa depan negara kesatuan republik Indonesia

tercinta ini tentunya sangat bergantung kepada kemam-

puan pemimpin dan rakyatnya. Disinilah pentingnya

kader Muhammadiyah melihat umat Islam sebagai 24

PP IPM, Tanfidz Muktamar XVII IPM, Yogyakarta, 2010, h. 28-29

penghuni terbanyak di Indonesia jangan lagi hidup dalam

kabanggaan semu. Dalam wawasan dan alam pikiran kader

harus tampil sebagai kader kemanusiaan, kader bangsa,

kader, umat, baru kemudian sebagai kader organisasi

peryarikatan Muhammadiyah. Sebagai kader, harus

mampu mengawinkan antara iman dan ilmu sebagai syarat

mewujudkan peradaban yang unggul. Khususnya

Indonesia harus menjadi contoh sebuah Islam yang damai,

terbuka, dan moderat.

Keamanan masa depan Indonesia juga tidak dapat

dilepaskan dari umat Islam sebagai golongan mayoritas,

“jikapun banyak, tidak akan melanda, jikapun besar,

justru untuk memayungi”. Doktrin ini penting dimiliki

oleh kader berwawasan kemanusiaan. Indonesia dengan

semboyan bhinneka tunggal ika adalah sebuah bangsa multi-

etnis, multi-iman, multi-eksprasi kultural dan politik. Ini

harus dikelola dengan baik, cerdas, dan jujur oleh kader

kemanusiaan sehingga akan mampu menjadi Negara yang

dasyat. Dan inilah masa depan Indonesia yang harus kita

bela dan perjuangkan dengan sungguh-sungguh, sabar,

dan lapang dada.25

Dampak positif sebagai bentuk emansipasi harkat

dan martabat kemanusiaan karena iman kepada Allah

adalah terwujudnya pola hubungan antar manusia dalam

semangat egalitarianism. Karena setiap pribadi manusia

25

Ahmad Syafii Maarif , Op. Cit., h. 245

adalah berharga bagi Tuhan yang bertanggungjawab

langsung secara pribadi kepada-N

Pribadi yang berjiwa kader bervisi kemanusiaan

harus dipupuk sejak dini, melihat kondisi bangsa

dan umat yang membutuhkan pemimpin-

pemimpin yang adil. Namun yang perlu digaris

bawahi adalah bahwa rasa kemanusiaan

harus berlandaskan rasa keimanan.

Kader kemanusiaan sejati hanya terwujud jika

dilandasi dan dibimbing rasa keimanan.

Sekilas Lalu Tentang Pelajar

––Dinil Abrar Sulthani26

Organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu

tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

Stephen P. Robbins

26

Sekretaris PP IPM Kajian dan Dakwah Islam (KDI) periode 2012-2014

Di dalam era globalisasi ini semua serbaada, semua

serbamodern, informasi dengan mudah didapatkan, apa

yang terjadi di pelosok dunia dalam hitungan detik telah

bisa diketahui informasi tersebut dengan mudah. Sungguh

majunya era globalisasi ini belum sepenuhnya terasa bagi

masyarakat terkhusus Pelajar yang berada dipelosok

pedalaman kampung, yang jauh dari media informasi

seperti radio, televisi dan juga internet. Bagi pelajar yang

berada dipelosok kampung tersebut, bisa sekolah saja

sudah bersyukur apatah lagi bisa mendapatkan fasilitas

yang begitu “mewah” dalam pandangannya. Bagi pelajar

yang berdomisili di Ibukota atau pedesaan yang telah

maju, media informasi itu sudah hal yang wajar dirasakan,

tetapi tidak untuk mereka yang belum pernah mengenal-

nya.

Ada dampak yang ditimbulkan dari media infor-

masi tersebut, ada yang berdampak positif dan ada pula

yang berdampak negatif. Media informasi seperti internet,

tak ubahnya seperti pisau, pisau dapat difungsikan sebagai

alat bantu masak-memasak didapur, mengupas buah, atau

yang lain, tetapi pisau juga bisa dipakai untuk hal yang

tidak baik, menakut-nakuti, membunuh atau yang lain.

Jadi jelas kiranya media informasi tergantung dari

memfungsikannya dengan tepat, kalau digunakan kepada

yang baik maka baik pula hasilnya begitu pula sebaliknya.

Terlebih yaitu user yang menjalankan itu semua, yang

selalu bersinggungan dengan media tersebut, sehingga

tidak sedikit pula banyak pelajar sekarang yang terjerumus

menjadi korban bahkan pelaku dari akibat salah memak-

nai dan memfungsikan media informasi pada tepat fungsi-

nya.

Di samping, budaya style sebut saja gaya berpakaian

dan gaya hidup konsumtif, pelajar terlena mengikuti tren

yang dianggap modern, kalau dulu mengikut gaya kebarat-

baratan dan sekarang beranjak ke gaya Korean, esok entah

gaya apa lagi yang harus diikuti masyarakat Indonesia

khususnya Pelajar. Boleh-boleh saja ikut bergaya namun

hendaklah mempertimbangkan norma-norma dimana kita

berdomisili dan norma-norma agama, terlebih Pelajar yang

tergabung dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah baik yang

berada dalam susunan struktural maupun lembaga pendi-

dikan Muhammadiyah hendakanya harus bisa menjadi

contoh dan teladan bagi pelajar lain.

Dua contoh di atas merupakan secuil bagian tan-

tangan yang harus dihadapi masyarakat khususnya pelajar,

maka bagi Pelajar hendakalah membenahi diri, memper-

banyak ilmu dan menyiapkan bekal dalam menjawab dan

bersikap dikala menghadapi tantangan ujian keimanan.

Pelajar mendapat posisi yang sangat dipentingkan karena

pelajar adalah orang yang sedang mencari ilmu, yang mana

mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu.

Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya,

terlebih dahulu mengetahui apa sebenarnya pengertian

dari pelajar ini; pelajar adalah anggota masyarakat yang

berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran dalam jalur pendidikan baik pendidikan

formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang dan

jenis pendidikan tertentu. Pelajar juga adalah bagian dari

masyarakat yang berusaha mencari ilmu pengetahuan guna

dikembangkan bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyara-

kat sekitar. Jadi jelaslah, bahwa pelajar adalah proses yang

sangat rentan karena sedang mengalami proses transisi

mencari jati diri yang mencoba bertarung dalam lembaga

pendidikan. Tentu mengingat tantangan era globalisasi

dewasa kini, tidak tepat kiranya membiarkan mereka

berjuang sendirian mendapatkan apa yang mereka cari

dengan mengeskplor dirinya. Maka di sini perlu beberapa

tambahan peran penting yaitu orang tua, kelurga dan

teman sebaya serta organisasi.

Orang tua memiliki peran besar bagi pelajar, yaitu

dalam konteks si anak, anak adalah umpama 2 jati diri

yang bergabung jadi satu, dengan maksud seorang anak

adalah memiliki pembawaan dan simbol dari ayah dan

ibu, maka yang terlebih dahulu bertanggung jawab atas

lalainya seorang anak adalah orang tuanya. Apakah orang

tuanya mengajarinya ataukah tidak! Dan orang tua pulalah

yang membentuk karakter anak yang mulai dari lahir

sampai akil baliq, maka sangat rentan sekali dikala kedua

orang tua berbeda persepsi sehingga menimbulkan

perceraian maka akan mengakibatkan gangguan pertum-

buhan psikis seorang anak dalam tumbuh besar menjalani

menemukan potensi dirinya. Orang tua adalah teldan

utama bagi anak dalam kehidupan ini, pada diri orang

tualah para anak-anak meniru apa yang dilakukan dan

diperbuat oleh orang tuanya.

“Puisi yang paling indah adalah keluarga” munkin

nyanyian ini tepat betapa pentingnya keharmonisan

sebuah keluarga, keluarga merupakan bentuk pemerin-

tahan kecil yang terdiri dari ketua yaitu ayah, sekretaris

dan bendahara dirangkap jabatan oleh ibu serta anggota-

anggota yaitu anak-anak. Dalam bentuk pemerintahan

kecil ini harus berjalan sesuai dengan kesepakatan

bersama, Ketua menjalankan tugas dan tanggung jawabnya

dengan baik, sekretaris dan bendahara mengatur dan

menejemen pemerintahan tersebut, para anggotanya

mendapatkan bimbingan dan teladan dari pimpinannya.

Maka output dari keluarga seperti inilah boleh

penulis katakan bisa lahir Pemimpin-pemimpin bangsa

atau dalam skup kecilnya pelajar yang membawa kemajuan

yaitu dengan nama pelajar berkemajuan. Di keluargalah

lembaga pendidikan no.1 di dunia, karena dapat menyiap-

kan kader yang memiliki bekal mengarungi lautan cinta

dunia dan mengumpulkan harta sebagai bekal di akhirat

kelak. Dari keluarga yang baik akan menghasilkan anak-

anak yang baik. Namun tidak tertutup kemungkinan,

banyak juga Pemimpin bangsa, orang sukses yang beranjak

dari keluarga yang broken home, mukin di sinilah letak

bijaksananya Allah menentukan takdir setiap hamba-

hamba-Nya. Tugas manusia hanya berbuat dan berdo’a

serta finishing nya kembali kepada Allah Swt.

Teman sebaya, jargon ini sangat menjadi kutipan

faforit yang selalu didengungkan dalam organisasi Ikatan

Pelajar Muhammadiyah yang lebih dikenal dengan Peduli

Teman Sebaya. Yup, tepat kiranya. Pelajar tidak selamanya

selalu berbahagia dan tersenyum terkadang mereka

mengalami gundah gulana yang sering orang bilang

sekarang galau. Tentu para pelajar mencari solusi

bagaimana bisa keluar dari masalah yang tengah

dihadapinya sebut saja masalah; berbeda pendapat dengan

teman, bertengkar dengan teman, putus pacaran,

mendapat nilai buruk, tidak lulus ujian nasional, kena

marah orang tua, dan lain sebagainya. Terkadang ada

pelajar yang memilih jalan pintas dengan mengikuti gaya

teman-teman yang salah, merokok, minum-minuman

keras, berganja, bahkan ada yang rela mengakhiri

hidupnya karena tidak sanggup lagi menanggung masalah

yang diderita, Astaghfirullah, Nauzubillahiminzalik.

Pada posisi seperti inilah disamping orang tua maka

Teman sebaya harus peduli dengan temannya yang sedang

mengalami masalah, mendengar curahan hatinya, mem-

bantu memotifasi dan memberikan solusi yang terbaik.

Ada sebuah kisah menarik yang harus kita coba simak.

Bagian Penting Tubuhmu

Ibuku selalu bertanya kepadaku, apa bagian

tubuhmu yang paling penting. Bertahun-tahun, aku selalu

menebak dengan menebak dengan jawaban yang aku

anggap benar. Ketika aku beranjak besar, aku berpikir

suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai

manusia, jadi aku jawab, “Telinga, bu.” Tapi, ternyata itu

bukan jawabannya.

“Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi teruslah

memikirkannya dan aku menanyakannya lagi nanti.”

Beberpa tahun kemudian, aku mencoba menjawab,

sebelum Ibu bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama,

kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini

aku memberitahukannya. “Bu, penglihatan sangat penting

bagi semua orang, jadi pastilah mata kita.”

Dia memandangku dan berkata, “Kamu belajar

dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak

orang yang buta.”

Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari

jawaban baru dan dari tahun ke tahun, Ibu terus bertanya

kepadaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, “Bukan.

Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku.”

Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua

keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan, ayahku mena-

ngis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya

aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika

tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada

kakek.

Ibu bertnya padaku, “Apakah kamu sudah tahu apa

bagian tubuh yang paling penting, sayang?”

Aku terkejut ketika ibu bertanya pada saat seperti

ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara

ibu dan aku.

Ibu melihat kebingungan di wajahku dan

memberitahuku, “Pertanyaan ini penting. Ini akan

menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar

“hidup”. Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu

padaku dulu, aku selalu berkata kamu salah dan aku telah

memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari

dimana kamu harus mendapatkan pelajaran yang sangat

penting.”

Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku

melihat matanya penuh dengan air. Dia berkata.

“Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu.”

Aku bertanya, “Apakah karena fungsinya untuk

menahan kepala?”

Ibu menjawab, “Bukan, tapi karena bahu dapat

menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangi

ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini,

semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma berharap,

kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu

selalu punya bahu untuk menangis kapanpun kamu

membutuhkannya.”

Akhirnya, aku tahu, bagian tubuh yang paling

penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan

diri sendiri. Tapi, simpati terhadap penderitaan yang

dialami oleh orang lain. Orang akan melupakan apa yang

kamu katakan. Orang akan melupakan apa yang kamu

lakukan. Tapi orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana

kamu membuat mereka berarti.

Jadi dari kisah diatas sangat menginspirasi kita

untuk peduli sesama teman sebaya. Yaitu sesama Pelajar.

Pelajar yang selalu bergaul dan bercengkerama haruslah

bisa saling memberikan manfaat, saling menasehati pada

kebenaran dan saling menasehati pada kesabaran.

Organisasi adalah sebuah wadah untuk menam-

pung potensi-potensi dari pelajar untuk dibantu, dibim-

bing guna dikembangkan dan dioptimalkan sehingga

menjadi keahlian priabadi yang mampu menjadi ciri khas

dan bekal bersaing di era globalisasi ini. Stephen P.

Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan

sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah

batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas

dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu

tujuan bersama atau sekelompok tujuan.27 Berorganisasi

adalah ikut aktif dan berpartisipasi dalam menjalankan

kegiatan administrasi organisasi, dengan mengikuti aturan

(baca: AD/ART) dan komitmen bersama serta agenda aksi

guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara

bersama.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah merupakan

oraganisasi besar tempat berkumpulnya seluruh pelajar

baik yang telah mengikuti Pelatihan Kader Taruna Melati

maupun pelajar yang berstatus sebagai siswa yang berse-

kolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Hendak-

nya bagi seluruh anggota dan kader IPM mulai beranjak

memulai wacana baru melakukan gebrakan pembaharuan

dan pencerahan di ruang lingkup sekolah, apa saja yang

penting kreatif dan baik tentu itu merupakan apresiasi

besar bagi yang telah menorehkannya. Demi mewujudkan

pelajar Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang baik, sering

menamakan menjadi pelajar yang kritis, pelajar kreatif dan

sekarang diupayakan menjadi pelajar yang berkemajuan.

Untuk menyongsong mencapai predikat pelajar

yang berkemajuan, banyak hal yang harus dilakukan

seperti halnya, penggagas utama, Azaki Khorudin menilik

dari sudut gerakan ilmu yang menjadi landasan berpijak

mewujudkan pelajar berkemajuan tersebut. Bolehlah

penulis menambahkan langkah yang harus ditempuh yaitu

27

Stephen P.Robbins. Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi, (Jakarta: Arcan: 1994), hlm.4

pelajar harus memaknai agama adalah perbuatan, maka

hidup perlu berbuat. Memperdalam ilmu sangatlah

penting, dan setelah medapat ilmu tersebut paling penting

untuk diamalkan dengan sungguh-sungguh. Karena hidup

adalah membawa bekal untuk hidup yang kekal, maka

bekal yang paling ampuh adalah perbuatan (sebut: amal

shalih).

Dan sebagai pelajar yang berkemajuan sudah

saatnya memiliki ilmu yang mumpuni dan amalan yang

mendalam demi berlangsungnya leader-leader pencerahan

bagi Muhammadiyah, bangsa, dan dunia. Maka tataran

konsep gerakan ilmu harus dijewantahkan lebih mendasar

dalam hal pengamalan yang lebih mendalam. Itulah

sekelumit kajian pelajar berkemajuan perspektif Islam.

Kesadaran Sejarah, untuk Pelajar Berkemajuan

dan Berperadaban

––Muhammad Hanif28

Wat verschijne, Wat verdwijne ‘T hangt niet aan een los geval In het verleden ligt het heden

In het nu wat lonen zal

De Genestest

28

Anggota PP IPM bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) 2012-2014, Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Bandung.

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang memba-

has kepada peristiwa masa lampau yang benar-benar

terjadi pada manusia sebagai aktor utamanya yang

meliputi ruang dan waktu. Menurut Yusuf Al-Qaradhawi

mengatakan bahwa sejarah adalah memori umat. Apabila

ada seseorang yang ingin menghapus memori tersebut

maka umat tersebut akan melupakan kegemilangan, dan

harus memulai lagi dari nol seperti umat yang tidak

memiliki sejarah. Namun, apabila mereka tidak bisa

menghapusnya, mereka berusaha untuk merusak serta

mendistorsinya dengan informasi-informasi yang salah,

terbalik, dan palsu.29 Selaras dengan pendapat Yusuf,

George Santayana, filsuf besar dari Spanyol mengatakan,

“Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk

untuk mengulanginya”.30

Pada dasarnya masa lalu mempunyai tiga fungsi,

yaitu (a) untuk melestarikan identitas kelompok dan

memperkuat daya tahan kelompok bagi kelangsungan

hidup. (b) Untuk mengambil pelajaran dan teladan dari

peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dan (c)

sejarah dapat berfungsi sebagai sarana pemahaman

mengenai makna hidup dan mati atau mengetai tempat

manusia diatas muka bumi ini.

29

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2005. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 30

Dienaputra, Reiza D. 2012. Sunda: Sejarah, Budaya, dan Politik. Bandung: Sastra Unpad Press

Kendati sejarah pada hakikatnya tidak dapat

diubah, namun pelbagai tafsiran dapat diberikan yang

akhirnya memberikan warna yang berbeda dalam

melukiskan sejarah. Dengan demikian kita perlu dapat

membedakan antara objektivitas kenyataan dan

subjektivitas interpretasi untuk bisa mengurangi kesalah-

pahaman sejarah.

Sejarah bukanlah hanya sebatas pembelajaran masa

lalu belaka, dan juga bukan hanya sebatas mengingat masa

lalu tanpa merencanakan masa depannya. Kita tidak hanya

menganggap bahwa masa lalu adalah masa yang hanya

dinikmati saja, masa yang hanya diperingati tiap tahunnya,

dan masa merindukan kedigjayaan sebuah bangsa saja

melainkan ada sebuah pemikiran untuk merencanakan

masa depan dari masa lalunya, atau yang lebih dikenal

dengan planning of history. Dalam kitab suci umat Islam, Al-

Qur’an, disebutkan bahwa sejarah merupakan landasan

untuk merencanakan masa depan, wal tandzur nafsun maa

qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18).

Sebagai umat Islam, kita tidak bisa menutup mata,

telinga dan hati kita atas perintah Allah Swt yang

memerintahkan hambanya untuk melihat hari esok

dengan tidak lupa melihat masa lalunya. Mengutip sajak

dari salah seorang penyair yang terkemuka, De Genestest,

yang menyebutkan bahwa apa yang datang dan apa yang

hilang, pada hakikatnya tidak terlepas satu dari yang

lainnya (Yusuf Muhammad, 1963: 9). Dari sajak ini, dapat

diambil simpulan bahwa pada dasarnya masa lalu adalah

untuk dilihat pada masa kini sebagai perencanaan masa

depan.

Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang

berani melihat masa lalunya. Presiden pertama Republik

Indonesia, Soekarno, telah mencontohkan bahwa kita

harus berdamai dengan masa lalu. Karena masa lalu

bukanlah seekor makhluk yang hanya dihapalkan bahwa

dia memiliki ekor, belalai, kuping, kumis, gading, dan

taring, yang apabila digambarkan menjadi makhluk yang

begitu menakutkan, sehingga tidak ada satupun orang

yang berani memeluk makhluk ini, mendekatinya saja

sudah enggan. Tapi, sejarah adalah makhluk yang begitu

indah dan elok dipandang yang setiap orang sangatlah

menginginkan menyentuh dan memeluk makhluk ini.

Kesadaran Sejarah, Karakter Pelajar Berkemajuan

Pada kesempatan ini, penulis hanya mencoba meng-

ingatkan kembali atas kesadaran sejarah pada aktivis

gerakan Ikatan pelajar Muhammadiyah (IPM) dewasa ini.

Sering kita jumpai perkataan yang begitu menyakitkan,

yang lalu biarlah berlalu, memang hal ini tidak sepenuhnya

salah namun alangkah lebih eloknya jika IPM bisa melihat

masa lalu untuk membantu menatap masa depan. Penulis

berharap agar pelajar Indonesia umumnya, dan pelajar

Muhammadiyah pada khususnya untuk tidak menjadi

generasi “MATA MERAH”, mari kita melupakan sejarah,

tapi tetaplah kita menjadi generasi yang selalu memakai

“JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Karena walaupun kita semua mempelajari sejarah, namun

hanya sedikit dari kita untuk belajar dari sejarah.

Mengetahui dan memahami sejarah bagi pemuda

Islam sangatlah penting. Bukankah kita sudah mengetahui

bersama pernyataan yang sudah sering didengar, “jika

ingin menghancurkan sebuah bangsa maka hancurkan

dulu ingatan masa lalunya”. Sudah banyak bangsa yang

mengalami kehancuran karena tidak bisa melihat sejarah-

nya. Bahkan akhir-akhir ini negara yang berpenduduk

mayoritas muslim (Timur Tengah) sedang mengalami

diambang kehancuran, sesama saudara saling bertikai.

Salah satu faktornya adalah kesadaran sejarah yang

dimilikinya sudah mulai berkurang.

Dengan spirit gerakan al-Qalam, Nuun Walqalami

Wamaa Yasthuruun harus dipahami sebagai perintah

imperatif tentang “kesadaran sejarah”, yaitu bagaimana

IPM mampu menuliskan sejarah dan mewarnai peradaban

di muka bumi.

Sebelum terlambat, IPM sebagai organisasi pelajar dengan

“Gerakan Pelajar Berkemajuan”, tentunya tidak ingin hal ini

terjadi terhadap bangsa kita, bangsa yang berdiri atas

lembaran- lembaran sejarah yang gemilang. Oleh karena itu,

tugas IPM sekarang ialah untuk menyusun lembaran-lembaran

yang berserakan ini untuk menjadi sebuah buku yang enak

dibaca dan diceritakan kembali kepada generasi selanjutnya.

Pelajar Indonesia adalah Buruh Bangsa

––Mustiawan31

“Entrepenuer bukan sekedar diajarkan, tetapi harus ada kegiatan yang konkret di sekolah-sekolah sebagai bentuk penanaman jiwa

entrepenuer di kalangan pelajar.”

Carl J. Schramm

31

Bendahara II PP IPM periode 2012-2014

Pelajar merupakan salah satu komponen yang

paling terpenting dalam sebuah negara karena pelajar saat

ini menentukan masa depan bangsa yang akan datang.

Pelajar merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki

tingkat produktivitas dan kreatifitas yang cukup tinggi.

Namun, sayangnya kurang dimanfaatkan dengan baik, hal

tersebut karena masih banyaknya dari segelintir pelajar

melakukan ataupun terlibat tindak kejahatan seperti

pemalakan, narkoba, tawuran, sampai sex bebas yang

“dikalim” sebagai bentuk aktulaisasi pelajar modern masa

kini.

Kreativitas Pelajar dan Kepopuleran Semu

Pelajar saat ini masih terlalu asik dengan

eksperimen-eksperimen kreatifitasnya yang berkiblat pada

sebuah “kepopuleran semu” hingga melupakan sisi ekono-

mis dibalik kreatifitasnya. Kreatifitas-kreatifitas pribadi

yang dimiliki pelajar harusnya menjadi sebuah pijakan

untuk menjadi pelajar yang mandiri sehingga memacu

pelajar untuk mengeksplor diri di dunia bisnis menjadi

entrepenuer muda dan tidak hanya berkiblat pada sebuah

popularitas semata.

Membentuk jiwa entrepreneur pada siswa memang

bukan pekerjaan mudah. Menurut CEO Kauffman

Foudation dari Amerika Serikat Carl J. Schramm berkata

entrepenuer bukan sekedar diajarkan tetapi harus ada

kegiatan yang konkret di sekolah-sekolah sebagai bentuk

penanaman jiwa entrepenuer dikalangan pelajar.

Menjawab tantangan zaman tersebut sistem pendi-

dikan nasional membentuk SMK dengan dalih sebagai

bekal berbagai keahlian khusus tetapi belum sepenuhnya

fokus kepada penanaman nilai entrepreneur secara praktis

di setiap sekolah. Realitas ini terbukti banyaknya SMK

yang diharapkan dapat melahirkan entrepenuer mudah

membelot dari ranah yang seharusnya. Sekolah hanya

menyediakan jaringan untuk lulusan yang siap bekerja,

mirisnya lulusan SMK hanya menjadi sebuah buruh dalam

sebuah pabrik.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena selama proses

pendidikan proses penanaman nilai-nilai entrepreneurship

sangat kurang, sebatas penguasaan materi dikarenakan

kurangnya kegiatan konkret dilapangan. Dogma-dogma

yang ditanamkan di SMK hanya berkisar pada bagaimana

siswa bisa mendapatkan kerja bukan menghasilkan lapang-

an pekerjaan atau usaha baru setelah lulus.

Lingkungan kita menjadi salah satu penghambatnya

bangkitnya jiwa entrepenuer. Iklan provider tree “3” adalah

cerminan bagaimana mimpi anak-anak bangsa, yang

merupakan hasil dogma-dogma yang ditamankan ling-

kungan disekitarnya. Kita kerap bangga melihat saudara-

saudara kita atau bahkan diri kita sendiri bekerja di

perusahaan multinasional ketibang kita berjualan goring-

an di pinggir jalan atau kita terbiasa dengan mendapatkan

rupiah dengan cara yang hanya bermodalkan proposal dan

nama besar sebuah organisasi atau perseorangan. Keter-

gantungan pada zona nyaman inilah tanpa kita sadari,

secara halus sedang mematikan jiwa entrepreneur. Tak

jarang, banyak orang yang mematikan jiwa wirausaha

dalam dirinya. Alasannya klise dan kurang tepat yakni

tidak berbakat menjadi wirausaha atau takut gagal.

Amerika Serikat atau yang akrab dikenal Negeri

Paman Sam ini secara fakta merupakan salah satu negara

adidaya di dunia. Bila kita berkaca pada Amerika Serikat

mereka memiliki tidak kurang 37 juta orang entrepreneur,

pengusaha. Jumlah ini bila dibandingkan dengan jumlah

penduduk yang mencapai 309 juta jiwa mencapai tingkat

12%, Malaysia yang telah memiliki pengusaha sebesar 3%,

Singapura 7%, China 10%, cukup jauh di atas level

minimal capaian negara maju, 2%. Sementara suatu

negara akan memiliki pondasi perekonomian yang kuat

dan akan memenuhi persyaratan awal untuk menjadi

negara maju, jika memiliki jumlah pengusaha sebanyak

minimal 2% dari jumlah penduduknya.

Bagaimana Amerika Serikat dapat memiliki sekian

banyak pengusaha dan entrepreneur? Fakta mengatakan

bahwa hampir 50% dari pengusaha tersebut mengalami

kegagalan pada langkah awal mereka. Namun, mereka

pantang menyerah dan senantiasa mencoba lagi. Mental

inilah mungkin yang membedakan semangat

entrepreneurship dalam masyarakat negara berkembang

seperti Indonesia dengan masyarakat negara maju seperti

Amerika Serikat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),

jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas

pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang, atau 5,04%

dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang ini

dikarenakan salah satu bukti bahwa bahwa Bangsa

Indonesia masih kurang memiliki aktor-aktor entrepeneur

yang mewarnai blantika bisnis Indonesia. Aktor-aktor

entrepenuer ini nanti memiliki peran untuk menggerakan

generator kemandirian bangsa pada sektor ekonomi dan

memiliki kontribusi mengikis angka pengangguran.

Entrepeneur Sebagai Generator Kemandirian Bangsa

Kemandirian bangsa Indonesia hingga dewasa ini

sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Hal ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan

kemudian terjerat dalam skenario ekonomi “kapitalis yang

monopolistik”, melainkan telah sangat pandai ikut

“bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi

asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain.

untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia.

Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia yang

dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan,

kemiskinan dan kehancuran masyarakat lokal yang

menjadi bagian integral dari masyarakat nasional (bangsa

Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai

bangsa tidak lagi cukup kuat memiliki kemandirian. Ini

adalah fakta aktual yang harus kita hadapi dan sikapi

secara kritis sebagai anak bangsa khusus pelajar Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui Freeport adalah korporasi

milik Amerika Serikat yang telah mengangkangi tambang

emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur

lebih dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan

10 ribu ton perak. Selama 30 tahun lebih dan belum lama

diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi kekayaan

itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun.

Sebagai kompensasinya Freeport hanya memberi bagi hasil

(profit sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat

bersih di luar pajak.

Oleh karena itu kita dapat menyaksikan apa yang

terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki akses

pendidikan, 35,5 % tidak memiliki akses fasilitas

kesehatan, dan lebih dari 70 % hidup tanpa air bersih.

Data HDI (Human Development Index) 2004 menunjukkan,

Papua menempati urutan ke-212 (terutama mereka yang

tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari

300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi

kerusakan ekologi yang sangat parah yang tidak mungkin

dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.

Meluruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Soekarno, dalam salah satu ucapanya berkata “We

Are Cooli Nations And Cooli Among Nations”. Kita akan

menjadi bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa.

Sungguh ini kata-kata yang sangat pedas. Entah apa yang

sedang ada di benak Bung Karno waktu itu. Apakah ini

berkaitan dengan sikap mental beberapa orang di

seklilingnya waktu itu. Apakah ini berhubungan dengan

pandangan jauh kedepan mengenai kondisi bangsanya

sendiri di masa yang akan datang.

Kekulian ini akibat jerat kemiskinan yang berkepan-

jangan di dalam negrinya sendiri. Akibat menjual tenaga

terlalu murah dengan maksud menarik investor asing

menjadikan kemiskinan semakin akrab dan melilit kuat

kehidupan rakyat.

Inilah realitas yang terjadi dikalangan rakyat jelata

dengan kehidupan ekonomi yang serba kekurangan alias

melarat dan miskin, hal ditandai dengan banyaknya

mereka yang bekerja menjadi buruh yang di bayar dengan

harga murah. Tenaganya di hargai dengan rupiah yang

hanya pas-pasan untuk hidup anak dan istrinya. Tidak

pernah tersisa uang di setiap ahkhir bulanya. Menjadi

buruh di Negeri sendiri, miskin dengan kekayaan negeri,

dan memandang penuh bangga investor asing menikmati

kekayaan bangsa.

Inilah sebuah pilihan, mau jadi buruh di negeri

sendiri, atau akan tampil menjadi aktor di belantikan

bisnis Indonesia. Berpacu dengan investor-investor asing

untuk menguasai Indonesia dari sektor ekomoni.

Meluruskan kiblat ekonomi bangsa untuk membangun

kemandirian bangsa demi mewujudkan cita-cita kemede-

kaan yang sebenarnya, yaitu bangsa yang merdeka,

berdaulat, adil, dan makmur.

Ber-IPM Perlu Perencanaan

––Dinil Abrar Sulthani

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah

diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

apa yang kamu kerjakan.”

QS. Al-Hasyr: 18

“Lain lalang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”

kalau boleh saya tambahkan, “lain zaman lain tantangan”.

Munkin inilah kata yang tepat menggambarkan pergerak-

an dan perjuangan Ikatan Pelajar Muhammadiyah dewasa

kini yang menghadapi tantangan-tantangan yang tentu

berbeda dengan tantangan yang dihadapi kepemimpinan

yang lalu. Untuk menghadapi tantangan tersebut tentulah

IPM harus memiliki perencanaan matang yang disusun

secara bersama guna mencapai tujuan yang ditargetkan.

Perencanaan ini tentu harus dilakukan di semua jenjang

kepemimpinan mulai dari ranting hingga pusat, menyusun

agenda program kerja yang akan dilaksanakan dengan

mempertimbangkan program yang paling prioritas dan

efisiensi sesuai periode kepemimpinan.

Perencanaan merupakan suatu proses yang memba-

has goal atau tujuan organisasi, menyusun strategi secara

menyeluruh untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan

secara bersama, dan mengembangkan rencana dengan

mengintegrasikan dan saling mengkoordinasikan dengan

kegiatan yang akan dilaksanakan. Maksud dari perencana-

an adalah guna memberikan arah, mengurangi dampak

perubahan yang signifikan, memperkecil resiko, dan

menentukan standar yang akan menjadi barometer dalam

evaluasi.

Ada sebuah ungkapan yang menarik untuk kita

renungkan “kegagalan merencanakan sama halnya meren-

canakan kegagalan”, setidaknya ungkapan ini layak bagi

kader dan anggota IPM untuk merenungkan ungkapan

itu, agar mencapai tujuan yang dicita-citakan atau menuju

kepemimpinan yang eksis dan baik haruslah meren-

canakan segala sesuatunya dengan penuh pertimbangan

yang matang. Tentu dalam perencanaan haruslah

didiskusikan dan dirumuskan secara bersama, memilih

perencanaan yang ideal untuk dilakukan. Setidaknya ada 3

(hal) perencanaan yang ideal yang harus menjadi

pertimbangan bagi terlaksananya kepemimpinan yang

baik.

Perencanaan Partisipatif

Perencanaan partisipatif adalah keikutsertaan

anggota organisasi dalam proses perencanaan pengemang-

an organisasi, mulai dari melakukan analisis tantangan

zaman dan program kerja, berpikir cara mengatasi

tantangan dan menjalankan program kerja, memiliki rasa

percaya diri untuk mengatasi setiap masalah yang akan

dihadapi dan siap menerima dan bertanggung jawab

dengan agenda yang telah dilaksanakan, mengambil

keputusan secara kolektif dan koligeal tentang rencana

dan alternatif rencana mengenai pemecahan masalah apa

yang akan terjadi dalam organisasi kemudian hari.

Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan

di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantara-

nya:32

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat

dalam suatu proyek (pembangunan), tetapi tanpa

mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan

keputusan.

2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi

lebih peka dalam rangka menerima dan merespons

berbagai proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna

bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanya-

kan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi

untuk melakukan hal itu.

4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara

komunitas lokal dan pihak penyelenggara proyek

dalam rangka persiapan, pengimplenetasian, peman-

tauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh

informasi tentang konteks sosial maupun dampak

sosial proyek terhadap masyarakat.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara

sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri

oleh masyarakat.

32

Mikkelsen, Britha. (2005) Methods for Development Work and Research, hal 53-54

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya

pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka

sendiri.

Dari keterangan Mikkelsen dapat diterjemahkan ke

konteks pengamalan dalam batang tubuh Ikatan Pelajar

Muhammadiyah; Dengan perencanaan partisipatif hen-

daknya para kader dan anggota IPM; Pertama, memberikan

kontribusi dengan sukarela untuk kemajuan organisasai

seperti memberikan kontribusi pemikiran baik lisan

maupun tulisan, tenaga, meluangkan waktu dan

mengeluarkan anggaran demi terlaksananya dan keber-

langsungan periode kepemimpinan. Kedua, menciptakan

suasana harmonis yang menimbulkan kepekaan, mene-

rima masukan baik saran maupun kritikan yang dapat

membangun kesadaran dan arah kebijakan yang akan

dilakukan. Ketiga, memiliki keaktifan dalam berorganisasi

dan mampu melahirkan inisiatif yang tinggi guna

mengeluarkan ide-ide kreatif untuk menampilkan potensi-

potensi yang dimiliki masing-masing anggota, Keempat,

menciptakan suasana proses komunikasi yang baik dan

memfasilitasi proses dialog yang intens antara sesama

pimpinan, sesama lembaga baik kepada Pimpinan

Muhammadiyah dan Ortom ditingkat kepemimpinan.

Perencanaan Berkesinambungan

Masa bakti periode Ikatan Pelajar Muhammadiyah

terhitung singkat yaitu 2 tahun dibanding organisasi

pelajar tingkat nasional lainnya. Dalam waktu 2 tahun

bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah terkhusus pimpinan

di tingkat pusat sampai cabang, karena di pimpinan

ranting 1 tahun, maka perencanaan harus diupayakan

disusun dengan sistematik dan tujuan yang jelas. Disini

dapat pula disebutkan bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah

membuat rencana jangka pendek dan rencana jangka

panjang.

Menurut saya, dalam menentukan rencana jangka

pendek, yaitu menyusun komitmen kepemimpinan,

menentukan agenda aksi yang prioritas selama 1 periode

(2 tahun), menentukan tujuan yang jelas dan spektakuler

yang lebih superior dari kepemimpinan sebelumnya.

Namun terkadang, tidak sedikit pula Pimpinan di

organisasi kebanggaan ini lupa menentukan rencana atau

sudah menentukan rencana selama 1 periode tetapi tidak

dilaksanakan dengan maksimal, alasan yang selalu muncul

adalah karena banyaknya tantangan baik dari internal

maupun eksternal, atau kekurangan biaya dalam

pelaksanaan kegiatan. Tiap periode ke periode hampir bisa

dikategorikan permasalahan itulah yang sering muncul,

apakah tidak ada usaha mencari solusi dari permasalahan

yang sama? ,bak umpama “setiap melalui suatu jalan tanpa

sengaja masuk lobang, tetapi anehnya kita tetap melaui

jalan itu walaupun masuk lobang yang sama berkali-kali,

apakah tidak ada jalan yang lain?”

Menentukan rencana jangka panjang, yaitu menen-

tukan agenda aksi berorientasi tetap dilaksanakan selama

3–5 tahun lebih yang dilaksanakan secara kesinambungan.

Memang kembali lagi, sering teringat sebuah beberapa

ungkapan beberapa orang musyawirin muktamar: “kan

periode kepemimpinan kita singkat, dan juga setiap selesai

kepemimpinan tentu berbeda tantangan kepemimpinan

selanjutnya maka program juga harus berganti menyesuai-

kan perkembangan masa dan dunia global pelajar.”

Memang benar, sekali lagi benar ungkapan tersebut,

dengan Kepemimpinan yang singkat, bukankah setiap

jenjang kepemimpinan menyesuaikan program kerja yang

prioritas selama 1 periode dengan menganalisa program

apa yang sangat dibutuhkan pelajar sesuai daerah

pimpinan masing-masing, disamping itu apakah Ikatan

Pelajar Muhammadiyah tidak mampu menyusun program

jangka panjang, saya rasa itu perlu kajian!! Coba lihatlah

di dunia pendidikan sering ada anekdot “setiap ganti

menteri ganti pula kurikulum” , belum selesai kurikulum

tersosialisasi ke bawah sudah muncul lagi kurikulum baru.

Sebahagian guru dan pakar pendidikan menolak

hal seperti ini karena merugikan siswa dan guru harus

mengulang kaji dan memakai teknik baru. Hendaknya

kurikulum itu tersosialisasi dulu kebawah, apa yang

kurang segera diperbaiki atau diupdate guna melihat

efektifitas disusunnya sebuah kurikulum.

Begitu juga hendaknya, IPM membentuk suatu

program jangka panjang yang bisa tersosialisai selama lebih

dari 2 tahun, walaupun kepemimpinan berganti (baca:

seperti pimpinan pusat) program jangka panjang itu tetap

berlanjut sepanjang tahun, tinggal tugas kepemimpinan

berikutnya untuk selalu meng-update program tersebut

agar sesuai dengan kebutuhan pelajar. Contoh yang telah

terlaksana seperti Penerbitan majalah Kuntum. Nah,

untuk di setiap jenjang Kepemimpinan agar lebih

berinisiatif membuat agenda yang bisa dilaksanakan secara

terus-menerus dan berkesinambungan dari setiap masa ke

masa kepemimpinan. Jadi jelaslah kiranya, sangat penting

perencanaan berkesinambungan bagi Ikatan Pelajar

Muhammadiyah agar tetap eksis memberikan manfaat bagi

pelajar, Muhammadiyah dan Tanah air.

Perencanaan Holistik

Perencanaan holistik adalah perencanaan yang

mengandung secara menyeluruh dan detail dalam

pencapain gol yang telah dirumuskan secara bersama.

Menurut Renee E. Cabourne mendefinisikan dalam

artikelnya “Holistic planning is the term used to describe the

ultimate meshing of the two planning practices”.33 Dari

33

http://www.cabourneandassoc.com/news/ holistic_planning.html

pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

perencanaan adalah menyusun langkah-langkah strategi

mulai dari awal sampai akhir dalam mencapai tujuan yang

telah ditetapkan.

Jadi, Ikatan Pelajar Muhammadiyah haruslah mem-

punyai perencanaan yang memiliki langkah-langkah

strategis dalam menjawab kebutuhan pelajar dewasa kini.

Dan hendaklah setiap Pimpinan di Struktural memahami

apa dan kemana arah dari perencanaan secara menyeluruh

dalam kepemimpinan yang menjadi amanah tanggung

jawab organsasi. Boleh lah saya simpulkan, dari 3

perencanaan ini memang belum lengkaplah dalam

menjawab tantangan dalam ber-IPM, minimal mengurangi

stagnanisasi organisasi di level jenjang kepemimpinan.

Setelah mengetahaui bahwa pentingnya Perencanaan

dalam berorganisasi, maka selanjutnya adalah mulai

mengamalkannya; mulai sekarang, mulai saat membaca

tulisan ini.

IPM dan Suara Hati Pelajar (Catatan Hati Pelajar)

––Labib Ulinnuha34

“...perhatikan sungguh-sungguh ide-ide yang datang dari rakyat, yang masih terpenggal dan belum sistematis, dan coba perhatikan

lagi ide-ide tersebut, pelajari bersama rakyat sehingga menjadi ide-ide yang lebih sistematis, kemudian menyatulah dengan rakyat,

ajak dan jelaskan ide-ide yang datang dari mereka itu, sehingga rakyat benar-benar paham bahwa ide-ide itu

adalah milik mereka, terjemahkan ide-ide tersebut menjadi aksi, dan uji kebenaran ide-ide tadi melalui aksi.”

Mao Tsetung

34

Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LaPSI) PP IPM periode 2012-2014

Pelajar adalah sosok “dewa” yang tergambar di

setiap kerangka dan dinding-dinding mimpi “orang

dewasa”, yang dipersiapkan untuk menjadi “mentari”,

memberikan sinar perubahan dari keadaan sekarang dan

menjadikannya lebih baik dimasa yang akan datang.

Bukan sebuah kesalahan memang, dan itu menjadi sebuah

hal yang wajar, saat generasi sekarang (orang-orang tua)

telah rapuh dimakan usia, dan mengecil diterpa waktu,

pelajar (generasi muda) merupakan sosok yang ideal untuk

diproyeksikan menjadi generasi penerus atau agen of

change. Terpandang menjadi sebuah kodrat yang melekat

dalam diri pelajar untuk mampu menjadi sosok generasi

penerus.

Segala macam agenda disusun untuk membentuk

dan menciptakan generasi penerus yang berkompeten,

yang handal dan mampu berdaya saing tinggi, sehingga

mimpi-mimpi orang terdahulu untuk melihat keadaan

lebih baik dari sekarang tercipta dan tercapai lewat pelajar

(generasi muda), entah seperti apa kompetensi pelajarnya,

setiap orang pasti akan beranggapan bahwa dia (pelajar/

generasi muda) adalah orang yang tepat untuk menerus-

kan estafet pembangunan dalam konteks menjadikan

keadaan lebih baik (makmur).

Tapi mimpi-mimpi dan harapan generasi tua dalam

diri pelajar (generasi muda), seakan hangus terbakar oleh

realita yang ada, bagaimana tidak hal yang terjadi dalam

dunia nyata tidak berjalan sesuai harapan mereka, sosok

pelajar (generasi muda) ternyata belum mampu untuk

menjadi figure penerus perjuangan mereka. Budaya

tawuran, mabuk-mabukan, dan segala aktifitas negatif lain

yang melekat dalam kenyataan kehidupan pelajar

sekarang, dipandang oleh sebagian masyarakat menjadi

sebuah aib yang patut diberhanguskan. Karena

kompetensi semacam itu bukan kompetensi ideal untuk

generasi muda (pelajar) mempu menciptakaan peradaban

menjadi lebih baik, dalam pandangan generasi tua.

IPM dan Pendampingan Pelajar

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), merupakan

salah satu dari beribu organisasi yang secara khusus

menjadi tempat pelajar (generasi muda) bercokol. Tidak

berlebihan pula mungkin bila IPM sebagai organisasi

otonom di lingkungan organisasi terbesar kedua di

Indonesia, Muhammadiyah, para kadernya diproyeksikan

untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita persyarikatan.

Namun apakah keadaan kader IPM saat ini sudah

memiliki kompetensi yang dianggap mumpuni oleh para

orang tua (generasi sekarang), untuk melanjutkan estafet

kepemimpinan di masa yang akan datang, ataukah proyek

besar juga sedang disiapkan untuk menciptakan para

kader di lingkungan IPM untuk mampu dan menjadi

generasi penerus yang memiliki daya saing tinggi, ataukah

sama saja, bahwa hal-hal negatif, yang luput dalam

kompetensi generasi muda yang handal ada dalam tubuh

IPM, sehingga perlu diadakan semacam agenda strategis

untuk memberhanguskan hal-hal tersebut dari tubuh

generasi muda (pelajar).

Banyak pertanyaan yang kemudian patut kita

munculkan, terkait keadaan generasi muda (pelajar)

sekarang yang dikatakan ambruladul dan tidak bisa

menjadi generasi penerus yang ideal, apakah sebenarnya

yang menjadi penyebab terjadinya hal semacam itu?

Bagaimanakah seharusnya kita menyiapkan generasi tadi?

Mungkin sesekali kita perlu melakukan pendekatan

terhadap mereka (pelajar) dan kemudian memberikan

ruang yang sedikit bebas, dengan memberdayakan potensi

mereka, sehingga tidak ada anggapan bahwa hal-hal negatif

yang terjadi dalam diri pelajar bukan merupakan sebuah

kegagalan generasi penurus bangsa. Bukankah kita terlahir

berbeda, dan memiliki kemampuan yang berbeda pula?

Mendampingi dan mengarahkan mereka (pelajar) seperti-

nya menjadi sebuah langkah yang strategis, ketimbang

memaksakan mereka untuk menjadi sesuatu yang kita

inginkan.

Tugas IPM-lah untuk menjadi hal semacam itu,

untuk menjadi pengayom pelajar (generasi muda), seperti

apapun mereka, kita harus mampu memahami dan

mengarahkan mereka, budaya saling menyalahkan harus

segera diakhiri sampai sini, bila mimpi menciptakan

generasi muda yang handal ingin tetap dilanjutkan.

Mungkin Ini Cara Kami Berkreasi

Permasalahan mungkin muncul saat sosok pelajar

(generasi muda) yang diharapkan tidak nampak pada

sebagian besar pelajar yang ada, terlebih perilaku negatif

yang sering mereka lakukan menambah argumentatif

permasalahan itu muncul. Sosok ideal pelajar yang cerdas,

berdaya saing tinggi, berilmu dan segudang kompetensi

positif lain adalah indikator yang kemudian menjadi titik

tolak penilaiannya.

IPM yang memiliki basis masa pelajar, sangat tepat

menjadi ruang mediasi permasalahan ini. Yaitu keadaan

dimana terjadi kesenjangan antara generasi muda yang

ideal, dan generasi muda yang awut-awutan, permasalahan

inti terfokus pada generasi muda yang awut-awutan dimana

mereka tidak memiliki tempat untuk menunjukan eksis-

tensi mereka, karena secara akademik dan pandangan

wawasan memiliki perbedaan dengan generasi muda yang

ideal (cerdas, berprestasi, dll).

Hal negatif dalam pandangan kita dan sebagian

besar masyarakat atas apa yang dilakukan generasi muda

yang awut-awutan tadi, semakin menyudutkan dan mem-

batasi ruang gerak mereka, karena mereka dipandang

sebagai generasi yang gagal dan bukan menjadi kandidat

sebagai generasi penerus bangsa, bahkan keberadaan

mereka harus diberhanguskan karena akan menjadi aib.

Akan tetapi penanganan semacam ini tidak lagi menjadi

solusi yang ideal, malah akan semakin memperkeruh

suasana.

IPM dewasa ini harus mampu menjadi oraganisasi

yang memfasilitasi permasalahan ini, mencari akar dari

permasalahan yang ada dan kemudian memberikan solusi

yang strategis mengakhri sengketa yang ada. Pengembang-

an potensi berdasarkan kemampuan masing-masing yang

kemudian diarahkan kedalam hal yang kreatif merupakan

pekerjaan rumah besar kita semua.

Coba bayangkan seandainya, mereka (pelajar) yang

suka coret-coret di dinding (mural) tidak dipandang

sebagai sosok hama yang perlu dibasmi, apakh tidak bisa

secara cerdas kita memanfaatkan poyensi mereka, dengan

memberikan fasilitas tempat berkreasi sesuai dengan yang

mereka inginkan, kemudian kita suarakan mimpi-mimpi

gerakan kemajuan lewat tulisan dinding-dinding mereka.

Coba sejenak renungkan, seandainya mereka

(pelajar) yang suka membolos, kita dengar alasan mereka

mengambil tindakan itu, apakah benar karena mereka

malas, mereka bodoh?ataukah sistem pendidikan yang

mengekang mereka, tidak memberikan ruang berkreasi

terhadap potensi berbeda yang mereka miliki. Dan masih

banyak lagi hal-hal yang perlu kita renungkan tentang

steorotipe kita terhadap mereka, yang berujung kepada

penggolongan dan pengelompokan terhadap pelajar.

IPM, Peran Humanis untuk Pelajar

IPM yang telah menginjak tahun ke 52-nya,

diharapkan mampu menyusun kegiatan yang menaungi

mereka semua, minimal menjadi tempat untuk membuat

mereka merasa mempunyai rumah, bukan malah menjadi

organisasi eksklusif yang secara tidak langsung mencipta-

kan sekat, karena IPM hanya menampung kader-kader

yang handal, tangguh, berwawasan. Harapannya IPM

mampu menjadi organisasi yang inklusif, menerima semua

dengan keadaan apapun, dan mengakhiri budaya penin-

dasan akibat penggolongan potensi ini.

Rasa kesensitifan mulai harus ditingkatkan, menja-

murnya komunitas-komunitas yang unik dikalangan

pelajar, yang dalam pandangan masyarakat merupakan

sebuah kelompok negatif, genk, dll, bisa menjadi ruang

IPM menyuarakan ideologi gerakannya. Mendampingi

mereka, memberikan ruang berekspresi, dan memberikan

fasilitas bisa menjadi alat komunikasi yang humanis

ketimbang memberhanguskan mereka.

Contoh real yang bisa dilakukan adalah, bila dalam

suatu wilayah (PD,PW) ada pelajar yang suka membolos

misalnya, kita bisa membimbing mereka dengan mem-

berikan tugas, menuliskan apa saja yang dia lakukan saat

membolos, dan hal-hal lain yang mereka lakukan saat

membolos, dari situ kita bisa melihat aktifitas mereka, bisa

sedikit demi sedikit memberikan muatan pengembangan

kepada mereka, menjadi tugas utama guru memang bila

kita berbicara tentang memberikan sangsi dilingkungan

sekolah, tapi setidaknya kita bersama baik guru, siswa, dll

bisa mendorong mereka (para pembolos) dengan sesekali

menyampaikan ide semacam ini kepada mereka.

Contoh lain misalnya, pelajar yang suka mencoret-

coret tembok, menuangkan ekspresi didinding-dinding

kota, kita bisa saja mendampingi mereka, memberikan

masukan tentang tulisan-tulisan yang harus meraka

gambaskan dalam dinding. Tidak sulit bukan bila sesekali

kita menyediakan ruang secara khusus untuk mereka

membuat itu, dan kemudian kita arahkan untuk

menuliskan sesuatu (misal kaligrafi, poster gerakan

membaca, dll).

Banyak cara lain lagi kiranya yang bisa kita ambil

dan lakukan, asalkan tidak mengandung budaya kekerasan

dan saling menyalahkan, IPM harus segera menjadi palu

yang menghancurkan sekat dikalangan pelajar, melihat

mereka semua sebagai sebuah aset besar yang tidak harus

digiring menuju sebuah kompetensi, namun mengarahkan

sesuai dengan kompetensinya. Tugas IPM adalah tugas

kita semua.

Pelajar Setara, Pelajar Berdaulat,

Pelajar Bermartabat

––Imam Ahmad Amin A.R.35

Bangsa yang bermartabat (prestigeous nation) menandai tingkat keberadaban suatu bangsa (civilized nation)

yang tergambar dalam sikap dan perilaku sebagai individu dan masyarakat yang beragama dan berbudaya.

Prof. Dr. Fashbir Noor Sidin

35

Ketua PP IPM bidang Ipmawati periode 2012-2014

Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia

telah mencatat jasa para pendahulu negeri ini yang

berjuang demi kemerdekaan negara Republik Indonesia,

dan diantara mereka yang telah berjuang merebut

kemerdekaan itu ialah pelajar putra maupun pelajar putri,

semua bergerak serentak menghentakkan kaki dan menga-

yunkan senjata dan pemikiran untuk satu kata: merdeka.

Merdeka dari penjajahan, merdeka dari kebodohan,

merdeka dari kemiskinan, merdeka dari penindasan dan

kekerasan. Alhasil kita hari ini telah merasakan nikmatnya

merdeka dari penjajahan, lalu bagaimana dengan nasib

yang bernama kebodohan,kemiskinan, penindasan dan

kekerasan?

Tentu jika kita sadari hal tersebut sungguhlah tidak

akan mampu kita merdeka kan dengan cara instan apalagi

dengan permainan sulap. Butuh kerja keras dan kerja

cerdas dari semua pihak yang merasa terpanggil jiwanya

untuk mewujudkan kemerdekaan yang seutuhnya, terlebih

lagi peran pelajar dan kaum muda negeri ini harus lebih

peka, kritis dan peduli terhadap persoalan bangsa hari ini

melalui ide, gagasan dan aksi nyata, tentunya hal tersebut

tidak akan terwujud jika kita hanya melakukannya sendiri

dan sembunyi melainkan melalui semangat kedaulatan

dan gotong royong, kemerdekaan sesungguhnya akan bisa

kita raih dan dapat dinikmati seluruh elemen bangsa ini.

Membicarakan persoalan yang di derita bangsa ini

memang tidak akan ada habisnya, mulai dari pendidikan,

kemiskinan, pengangguran, kekerasan, konflik antar

kelompok masyarakat hingga hingar bingar pertikaian

politik yang sungguh sangat disayangkan lagi-lagi yang

menjadi korban adalah rakyat indonesia, ironi memang di

negara yang katanya “besar” dan “kaya” dengan ribuan

“orang pintar” , jutaan kaum”pelajar” dan punya banyak

“budaya” lho.

Menjadi pelajar yang dapat memberikan solusi atau

bahkan menjadi tabib terhadap penderitaan bangsa ini

tentu sangat di nanti-nanti oleh masyarakat luas, tapi lagi-

lagi ironi kembali menusuk jantung kita, membuka mata

kita menjadi terbelalak ketika kita melihat, telinga kita

mendengar secara langsung maupun media bahwa ada

banyak kejadian yang menyiutkan dahi dan membuat kita

pesimis terhadap pelajar di negeri yang kita cintai ini,

mulai dari tawuran pelajar antar sekolah, genk motor

pelajar sekolah, pelecehan seksual, perkosaan hingga

kekerasan terhadap pacar,dan masih banyak persoalan

pelajar yang lai tentunya. Terlepas dari itu semua masih

ada pula berita yang disodorkan kepada kita tentang

sistem pendidikan yang dipenuhi carut marut serta

korupsi yang masih mewabah di lingkungan pendidikan

negeri ini.

Persoalan-persoalan yang hinggap dan menghinggap

di kalangan pelajar kita hari ini, penulis menilai tidak

terlepas dari sistem pendidikan dan budaya yang mulai

bergeser dalam masyarakat yang terus berubah, salah satu

contoh tawuran pelajar antar sekolah, jika kita telisik pada

masa yang lampau, kekerasan berupa tawuran ini hanya

dilakukan oleh sekelompok elite separatis yang memiliki

kepentingan politis itupun bukan menjadikan kekerasan

massal ini menjadi “hobi” seperti yang dilakukan

kelompok pelajar saat ini.

Contoh kekerasan yang lain marak terjadi bela-

kangan ini adalah kekerasan terhadap pacar,pasangan

bahkan terhadap teman sebaya-nya, kekerasan ini bisa

bentuknya kekerasan fisik berupa memukul, menendang,

menampar, mencengkeram dengan keras tubuh pasangan,

serta tindakan fisik lainnya; kekerasan psikologis berupa

mengancam, menghina, mempermalukan, mengejek-ejek,

dll; kekerasan ekonomi seperti memeras,memaksa untuk

membayarkan atau memenuhi kebutuhan ekonomi

pasangan atau teman; kekerasan stalking seperti

mengikuti, mengintip, dan aktivitas lain yang mengganggu

privasi dan membatasi kehidupan sehari-hari teman atau

pasangannya; hingga kekerasan seksual berupa memaksa

pasangan/teman untuk melakukan perilaku seksual

seperti juga meraba, mencium, memeluk, serta mengan-

cam melakukan hubungan seksual lainnya.

Fakta menunjukkan hasil penilitian pada 120

pelajar perempuan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengan

2011 menemukan bahwa 31% pernah dipukul oleh

pasangan, 18% mendapat hinaan dan kata-kata kasar dan

26% di paksa untuk membayar kebutuhan ekonomi

pasangannya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka

Annisa menemukan sebanyak 385 kasus KDP (kekerasan

terhadap pacar) dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani

sejak tahun 1994-2011. Selain itu, selama bulan januari

hingga juni 2011 PKBI Yogyakarta juga menemukan 27

kasus kekerasan dalam pacaran yang 15% diantaranya

kekerasan fisik, 57% kekerasan psikologis, 8% kekerasan

ekonomi dan 20% kekerasan seksual.

Jika kita melongok melihat data di atas yang

mungkin masih sebagai fenomena gunung es saja karena

masih banyak kasus-kasus yang tidak dilaporkan dibanyak

daerah, mungkin bisa karena malu atau juga karena

budaya yang tidak mendukung untuk melaporkan kasus-

kasus tersebut diatas baik yang dialami diri sendiri

maupun kasus yang kita lihat dan dengar disekitar kita.

Pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan

terhadap pelajar maupun anak muda sangatlah penting,

karena biasanya korban kekerasan dalam rumah tangga

juga mengalami kekerasan disaat remaja/muda. Sehingga

sejak dini informasi terhadap pencegahan dan penangan-

an kekerasan maupun pengetahuan tentang hidup dengan

adil dan setara perlu diberikan, sehingga dapat lebih

menghargai orang lain yang berbeda.

Belum lagi kita membicarakan persoalan yang

begitu kompleks dan itu menjadi tanggung jawab kaum

pelajar di kemudian hari nantinya, untuk itu pelajar dan

kaum muda hari ini harus mampu memulai hidup dengan

adil dan setara, hal ini sejalan dengan perintah agama

Islam yang hadir sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin,

diantara bukti bahwa Allah menciptakan lak-laki dan

perempuan dengan setara bahwa Allah Swt telah

menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan

dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukanyang paling

terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan

memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.

Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak mengenal pembe-

daan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah

SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan

kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara

lelaki dan perempuan hanya-lah dari segi biologisnya.

Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang

kesetaraan gender adalah:

Hakikat Penciptaan Laki-laki dan Perempuan

Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat

Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah

SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan

yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang

dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta

kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki

dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -

ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling

timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada

satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu

jenis atas jenis lainnya.

Kedudukan Antara Perempuan dan Laki-Laki

Surat Ali Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124,

surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-

ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah Swt

secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun

lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman,

bertaqwa dan beramal. Allah Swt juga memberikan peran

dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perem-

puan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan

Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap

perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang

dilakukannya.

Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara

lelaki dan perempuan dimata Allah Swt adalah sama, dan

yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan

ketaqwaannya.

Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan prinsip-

prinsip kesetaran antara perempuan dan laki, menurut

Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam “Jurnal Pemikiran

Islam tentang Pemberdayaan Perempuan” (2000) ada

beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip

kesetaraan gender ada di dalam Al-Qur’an, yakni:

Pertama, perempuan dan laki-laki sama-sama

sebagai hamba. Menurut QS. Al-Zariyat: 56 Dalam

kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-

laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan

peluang yangsama untuk menjadi hamba ideal. Hamba

ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-

orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai

derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis

kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu,

sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13.

Kedua, perempuan dan laki-laki sebagai khalifah

di bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka

bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam QS. Al-An’am:

165, dan dalam QS. Al-Baqarah: 30. Dalam kedua ayat

tersebut, kata “khalifah” tidak menunjuk pada salah satu

jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun

laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,

yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhali-

fahannya di bumi.

Ketiga, perempuan dan laki-laki menerima perjan-

jian awal dengan tuhan. Perempuan dan laki-laki sama-

sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal

dengan Tuhan, seperti dalam QS. Al-A’raf: 172, yakni

ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para

malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak

dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan

perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang

sama. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memulia-

kan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis

kelamin (QS. Al-Isra’: 70).

Keempat, Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif

Dalam Drama Kosmis. Semua ayat yang menceritakan

tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam

dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu mene-

kankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan

penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni

kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam

beberapa kasus berikut: 1) Keduanya diciptakan di surga

dan memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-Baqarah: 35); 2)

Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan

(QS. Al-A’raf: 20; 3) Sama-sama memohon ampun dan

sama-sama diampuni Tuhan (QS. Al-A’raf: 23); 4). Setelah

di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling

melengkapi dan saling membutuhkan (QS. Al-Baqarah:

187.

Kelima, perempuan dan laki-laki sama-sama

berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih prestasi

maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan

laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat,

yakni: QS. Ali Imran: 195; QS. An-Nisa: 124; QS. An-

Nahl: 97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan

gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa

prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun

karier profesional, tidak mesti di dominasi oleh satu jenis

kelamin saja.

Jika Islam sudah sedemikian gamblang menjelaskan,

dalam kitab suci pun jelas tertera maknanya, maka selan-

jutnya sungguh sangat disayangkan jika umat Islam hari

ini masih terhanyut dalam tradisi yang tidak memihak

kepada salah satu identitas makhluk yang sama di

ciptakatan oleh Allah Swt, ini menjadi “PR” bagi pelajar

maupun kaum muda yang katanya berfikir maju dan

memiliki visi “reformis”.

Indonesia yang hadir sebagai bangsa yang berdaulat

dan kaya akan budaya sampai dengan sumberdaya tentu

memiliki peran penting dalam menentukan tradisi dan

aktifitas setiap individu didalamnya, sebagai Negara,

Indonesia telah menandatangani Konvensi CEDAW pada

tahun 1979, dan kemudian baru pada tahun 1984

meratifikasinya dan mengadopsinya menjadi hukum

nasional melalui UU No.7 tahun 1984 dengan

mereservasi Pasal 29 ayat (1)33. Salah satu alasan mengapa

pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW

adalah bahwa ketentuan dalam Konvensi CEDAW tidak

bertentangan dengan Pancasila, UUD’45, dan peraturan

perundang-undangan RI (Mukadimah UU No.7 tahun

1984).

Tindakan ini dilakukan pemerintah sebagai

perwujudan dari tanggung jawab negara dalam usaha

penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan

Hak Asasi Perempuan, sesuai dengan amanat Undang-

Undang Dasar 1945 dan UU No 39 tahun 1999 tentang

HAM.

Apa itu CEDAW? CEDAW merupakan singkatan

dari Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women yang berarti Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan. Konvensi ini dibuat dan diatur oleh PBB

untuk kemudian disepakati oleh negara-negara dalam

naungan PBB dan di ratifikasi dalam peraturan maupun

undangan-undang yang berlaku disetiap negara. Adapun

isi dari konvensi ini secara substantif berisikan bahwa: 1).

CEDAW merupakan satu-satunya Konvensi yang secara

khusus/spesifik dibuat untuk mempromosikan dan

melindungi hak asasi perempuan secara menyeluruh di

bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya baik di

ruang publik maupun di ruang privat; 2). CEDAW

menetapkan prinsip-prinsip dan ketentuan untuk

menghapus kesenjangan, subordinasi, dan tindakan

diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang merugikan

perempuan dalam hukum, keluarga, dan masyarakat; 3).

CEDAW tidak hanya menyentuh pelaku negara (state

actor) tetapi juga non negara (non state actor/private actor)

termasuk individu dan pihak swasta.

Jika konvensi ini dipahami dan dipraktekkan dalam

kehidupan para pelajar maupun kaum muda di keseharian

dalam pergaulan baik itu di lingkungan sekolah, kerja,

bermain hingga di lingkungan rumah (keluarga), maka

sudah bisa kita prediksi dan pastikan bahwa Bangsa ini ke

depan akan memiliki pemimpin-pemimpin yang kuat, adil,

tangguh dan bermartabat yang siap mengantarkan

Indonesia ini menjadi negara berdaulat.

Negara Bermartabat dan Berdaulat dimulai dari Pelajar

Menurut Prof. Sofyan Effendi, bangsa yang

bermartabat adalah bangsa yang memiliki kebebasan

menentukan sikap dan tindakannya (self determination),

memiliki kesadaran sosial tentang pemerataan (equity),

dan kesamaan (equality), keduanya dalam totalita atau

keutuhannya.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Fashbir Noor Sidin,

bangsa yang bermartabat (prestigeous nation) menandai

tingkat keberadaban suatu bangsa (civilized nation) yang

tergambar dalam sikap dan perilaku sebagai individu dan

masyarakat yang beragama dan berbudaya. Bangsa yang

beragama ditunjukkan oleh pengamalan ajaran agama

sebagai umat yang bertaqwa dan beramal shaleh serta

berakhlak mulia. Bangsa yang berbudaya tergambar dari

karakter sebagai insan yang berbudi luhur, toleran, peduli,

gotong royong, dinamis, disiplin dan patriotis.

Bangsa yang beragama dan berbudaya sesuai dengan

nilai-nilai luhur Pancasila yang diawali dari nilai

ketuhanan seterusnya nilai kebudayaan dan diakhiri

dengan nilai keadilan sosial. Nilai ketuhanan sebagai

landasan utama bagi pembentukan insan yang berakhlak

mulia sedangkan nilai kebudayaan menjadikan insan yang

berbudi luhur dan nilai keadilan sosial membentuk

masyarakat dengan kesadaran bersama sebagai bangsa yang

senasib dan sepenanggungan.

Upaya untuk menjadikan manusia Indonesia

seutuhnya dilakukan melalui proses pendidikan dan

pengajaran tentang karakter bangsa yang beradab sejak

dari institusi keluarga dan sekolah serta komunitas sampai

kepada institusi negara. Keempat pilar bagi pengembangan

karakter bangsa secara komprehensif dan terintegrasi serta

berkelanjutan dalam setiap langkah dan strategi serta

program kerja untuk mewujudkan bangsa yang bermar-

tabat.

Keyakinan (believe) sebagai bangsa yang terlahir suci

harus dimulai dari pengajaran dan percontohan dari

orangtua kepada anggota keluarga di rumah dan proses

pendidikan yang menyangkut aspek afektif dan kognitif

serta psikomotorik dari guru sebagai orangtua asuh.

Seterusnya keteladanan dari tokoh masyarakat dan

kenegarawan para pemimpin sebagai panutan bagi warga

negara dalam rangka mewujudkan visi pembangunan

bangsa yang bermartabat seperti tercantum dalam RPJP RI

tahun 2006-2025.

Kenyataan menunjukkan bahwa proses pembentuk-

an karakter bangsa yang bermartabat belum sepenuhnya

berhasil sebagai akibat lemahnya pemahaman dan

pengamalan agama oleh orangtua dan anggota keluarga

termasuk mekanisme kontrol dari masyarakat secara

melembaga. Proses pembelajaran di sekolah sangat

bertumpu kepada kapasitas guru dan sistem pendidikan

yang lebih menekankan aspek kognitif sebaliknya lemah

dalam afektif dan psikomotorik sehingga belum terbangun

kesadaran bersama tentang toleransi, kepedulian,

kegotongroyongan, kedisiplinan dan patriotisme. Ary

Ginanjar Agustian, tokoh ESQ the Way 165 menyatakan

bahwa Pancasila sebagai dasar bagi pembentukan

Wawasan Kebangsaan lebih pada wacana dalam dimensi

intelektual namun kurang menyentuh dimensi emosional

dan spiritual.

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh tokoh

motivasi seperti Mario Teguh dan pakar perubahan seperti

Prof. Dr. Rhenald Khasali yang menekankan proses

pembentukan karakter harus dimulai dari rumah tangga

seterusnya di sekolah. Mekanisme kontrol oleh masyarakat

selain wujud kesadaran dan kepeulian harus berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang mengatur dan

mengendalikan serta menindak dan menghukum sebagai

proses pembelajaran yang tidak pernah berhenti sepanjang

hayat.

Pendidikan yang memberdayakan dalam kerangka

pembentukan wawasan kebangsaan sebagai bangsa yang

senasib dan setujuan serta seperuntungan dalam suka dan

duka dapat dikembangkan dengan menempatkan peserta

didik sebagai subjek sekaligus objek dalam laboratorium

sosial di masyarakat. Proses pembentukan jatidiri bangsa

melalui pendidikan berlangsung di sekolah dan luar

sekolah sehingga perlu pengembangan kurikulum dengan

materi dan metodologi pembelajaran yang berorientasi

penguatan kapasitas kepemudaan sebagai generasi pemba-

haru yang cenderung kepada perubahan berkesinam-

bungan. Tiga nilai dasar dalam ketahanan nasional

memberi tekanan kepada pembentukan identitas dan

integritas serta kapabalitas bagi perwujudan cita-cita

nasional dalam mencapai tujuan nasional sebagai

pengejawantahan tentang hakikat kemerdekaan dan

perdamaian abadi.

Karakter bangsa sebagai bagian pokok dari wawasan

kebangsaan dibentuk melalui proses pembelajaran secara

inklusif dan berkelanjutan dimulai dari institusi keluarga

dan sekolah sampai kepada komunitas dan masyarakat.

Proses tersebut melibatkan keseluruhan warga negara

dengan falsafah saling asah, saling asih, saling asuh

sehingga terbangun suatu kesadaran tentang hakikat

berbangsa dan bernegara. Konsepsi tentang pembelajaran

sepanjang hayat (life long education) adalah dasar bagi

pembentukan karakter bangsa karena nilai-nilai luhur

tersebut harus wujud sepanjang hayat sebab menjadi

identitas atau jatidiri bangsa.

Konsekuensi dari kesadaran tersebut maka peratur-

an dan perundangan-undangan harus disertai penegakan

hukum melalui lembaga peradilan yang bebas dari

berbagai intervensi. Selain itu dukungan masyarakat untuk

membentuk rasa bangga sebagai bangsa yang bermartabat

sebaliknya rasa malu sebagai bangsa yang kurang beradab

dalam rangka mewujudkan bangsa yang sejahtera dalam

negeri yang makmur.

Proses pembelajaran tersebut melibatkan kanak-

kanak dan remaja serta pemuda dalam usia sekolah antara

5-30 tahun melalui proses pencerahan (enlightment) tentang

hakikat hidup dan kehidupan. Pencerahan itu menyang-

kut hak dan kewajiban sebagai individu dan anggota

masyarakat serta tanggungjawabnya sebagai warga negara.

Proses pencerahan diupayakan melalui pengajaran tentang

konsep dan teori serta metodologi seterusnya praktik sosial

untuk mengaplikasikannya melalui pola keterlibatkan

(involvement) dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasya-

rakatan. Mekanisme tentang keterlibatan ini menjadikan

setiap individu akan dihargai karena diakui keberadaan

dan karyanya dalam rangka pemberdayaan (empowerment).

Pembangunan sosial yang memberdayakan dalam

konsepsi gotong royong melibatkan peran sosial dan

fungsi ekonomi yaitu individu memberi sumbangan

berupa tenaga, uang, material, makanan dan pemikiran

sesuai kemampuannya dalam membangun lingkungan

kehidupan yang lebih baik.

Pembelajaran dengan metode interaktif untuk

mengembangkan kapasitas sekaligus kepedulian sosial

dapat diselenggarakan di luar kelas dengan media

masyarakat bertujuan meningkatkan pemahaman tentang

hakikat kebersamaan.

Upaya untuk menegakkan bangsa yang bermartabat

atau membangun bangsa bermartabat adalah tugas pokok

pemerintah dan pemimpin tapi perlu diingat bahwa

kewajiban menjaganya terletak pada setiap warga negara,

semua komponen masyarakat harus terlibat dan mengam-

bil peran masing masing.

Pelajar memiliki peran penting dalam upaya untuk

menjaga martabat dan kedaulatan Bangsa ini dalam

bidang keadilan dan kesetaraan dalam pergaulan sehari-

hari kepada teman sebaya, tidak melakukan diskriminasi,

tidak melakukan kekerasan terhadap teman/pacar, tidak

tawuran, dan mulai dengan memulai dari diri sendiri dan

rekan sebaya karna dengan tercipta kesadatan bersama

untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender,

masyarakat akan sadar, pemerintah akan sadar, bangsa ini

pun akan bangkit. Dimulai dari pelajar untuk negeriku

Indonesia yang adil, setara, bermartabat, dan berdaulat.

E p i l o g

Kesyukuran dan Refleksi 52 Tahun IPM

Rentang panjang perjalanan Ikatan Pelajar

Muhammadiyah (IPM) selama ini berada di tengah liku-

liku kehidupan kebangsaan dan keumatan yang menga-

lami proses deviasi-deviasi dari arus utamanya, untuk

membangun kehidupan kebangsaan yang damai, adil, dan

sejahtera. Eksistensi IPM pun, mengalami dinamika yang

hampir serupa. Tentu tidak bisa dinafikkan, bahwa perja-

lanan IPM telah memberikan warna bagi entitas-entitas

yang lain. Paling tidak IPM telah memberikan warna bagi

dirinya, sehingga menampilkan sosok yang tampil membe-

rikan warna dinamis-progresif dalam melakukan perubah-

an cara pandang (word-view), prilaku, ideologi gerakan dan

lain-lain, yang telah memberikan artikulasi-reflektif-

transformatif bagi pengembangan IPM.

Di usianya yang sudah 52 tahun sejak kelahiran 18

Juli 1961, bukanlah waktu yang cukup untuk menunjuk-

kan sebuah eksistensi yang established. Namun juga, bukan

waktu yang singkat untuk mengukir sejarah pergerakan

yang dinamis mengikuti arus besar perubahan yang

memang cepat dan serba uncertainty ini. Lantas di usia

sedemikian itu, apa yang sudah diperbuat IPM? Apa pula

yang hendak dilakukan (what next)? Tentu jawabannya

dikembalikan kepada pasukan inti IPM. Lantas, siapa stake

holder itu? Jawabannya adalah kita semua, yang senantiasa

harus bercermin dari realitas yang ada, untuk meyakini

bahwa diri kita bukan entitas yang paling eksistensial,

bahkan mungkin kalau mau jujur kita mungkin masih

tertinggal dari yang lain.

Kita tidak mesti khawatir, justru kita bisa optimis

bahwa IPM telah menjadi OKP terbaik tingkat nasional,

bahkan ASEAN. Paling tidak, IPM telah melahirkan

kader-kader excellent, clean, yang tidak terkontaminasi oleh

arus pembusukan moral bangsa, tetapi kita harus yakin

untuk menjadi organisasi pergerakan keilmuan dan

moralitas. Walaupun, ada warna lain IPM yang menampil-

kan dirinya dalam wujud organisasi “kanak-kanak”, ia

lebih sering menampilkan kehidupan organisasi yang tidak

sehat, penuh dengan konflik internal, kegiatan yang ritual-

seremonial, sehingga menjadi tidak jelas apa yang

dipersoalkan bahkan diperjuangkan. Oleh karena itu, yang

muncul kemudian adalah sikap-sikap arogansi-primitif dan

tidak mencerminkan sebagai kader IPM.

Tentu itu semua memerlukan evaluasi secara

kontinyu, bahkan kalau perlu melakukan kajian ulang

secara cerdas terhadap teks-teks suci yang kita miliki, demi

kesinambungan dalam membangun spirit gerakan IPM,

sehingga tidak lapuk terkena hujan dan tidak lekang

terkena panas. Peran strategis kader-kader IPM dalam

mengambil alih posisi, atau bahkan harus merebut peran

intelektual disemua sektor lapisan society (masyarakat)

sehingga bangunan civil society akan empowering terhadap

dominasi dan hegemonik state, atau entitas-entitas yang

menghegemonik lainnya. Oleh karena itu tidak bisa

ditolak bangun dasarnya adalah lahirnya kader-kader

intelektual strategik, yang tidak malu-malu menampilkan

keanggunan moralitas (akhlakul karimah), maka dibutuh-

kan instrumen-instrumen untuk mendukung kearah

terciptanya kader-kader tersebut, paling tidak yang paling

sederhana tetapi urgen adalah lingkaran-lingkaran diskusi

(membangun lingkar inti), membangun aliansi strategik

dengan kelompok-kelompok yang lainnya.

Evaluasi ini harus kita lakukan sebagai usaha

korektif atas program-program yang sudah, lebih dari itu

harus berani memunculkan pilihan-pilihan baru sesuai

dengan perkembangan dan kebutuhan zamannya. Dari

dialektika yang ada, memunculkan satu temuan

bahwasanya IPM sudah kehilangan ruhul gerakannya.

Oleh karena itu, tugas kita untuk menemukan ruh

gerakan itu. Sehingga, IPM tidak gamang lagi menghadapi

tantangan dan persaingan yang menghadap dihadapannya.

Tetapi yang terpenting, adalah keberanian untuk

memunculkan wacana pilihan ideologi gerakan, seperti

mengelaborasi konsep Rancang Bangunnya PP IPM: Visi

2012-2014, yaitu kritis-progresif.

Revitalisasi ideologi keilmuan atau ideologi pence-

rahan kader IPM menjadi keniscayaan yang tidak bisa

ditolak. Format dan sistem pergerakan diarahklan pada

pembentukan elit pencerah bangsa, moral-spiritualis dan

memiliki kompetensi profesional dengan sensitifitas sosial

yang tangguh. Hal ini harus diwujudkan dengan berbagai

perubahan mendasar atas sistem dan format yang ada

selama ini. Demikianlah, IPM telah menemukan semangat

yang hilang selama ini. Masa renaissance IPM telah datang.

Sudah saatnya IPM menjadi bagian terpenting dalam

usaha “reaktualisasi Islam yang berkemajuan” dalam

konteks pergerakan pelajar. Gerakan ilmu tidak boleh

ditunda, karena misi Muhammadiyah adalah peradaban

yang wajib dengan ilmu.

Islam Berkemajuan Sebagai Paradigma

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) adalah ortom

Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam, dakwah amar

makruf nahi munkar di kalangan pelajar, berakidah Islam

dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. (AD IPM:

Pasal 3). Ketika berbicara IPM secara ideologis, filosofis,

dan paradigmatik, tentu tidak bisa lepas Muhammadiyah.

Maksud dan tujuan Muhammadiyah harus dijadikan

sebagai rujukan bagi IPM ketika bergerak, setiap kader

IPM harus benar-benar meresapi ideologi gerakan

Muhammadiyah, yaitu pandangan Islam berkemajuan.

Islam yang berkemajuan memancarkan pencerahan

bagi kehidupan. Islam yang berkemajuan dan melahirkan

pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-

nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi

(Qs. Ali Imran ayat 104 dan 110) yang menjadi inspirasi

kelahiran Muhammadiyah. Sebagai sayap gerakan

Muhammadiyah, gerakan IPM sudah seharusnya ber-

komitmen untuk terus mengembangkan pandangan dan

misi Islam yang berkemajuan sebagaimana spirit awal

kelahiran Muhammadiyah tahun 1912. Pandangan Islam

yang berkemajuan yang diperkenalkan oleh K.H. Ahmad

Dahlan melahirkan ideologi kemajuan, yang dikenal luas

sebagai ideologi yang muaranya melahirkan pencerahan

bagi kehidupan. Pencerahan (tanwir) sebagai wujud dari

Islam yang berkemajuan adalah jalan Islam yang

membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidup-

an dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan,

kejumudan, dan ketidakadilan hidup umat manusia.

Dengan pandangan Islam yang berkemajuan dan

menyebarluaskan pencerahan, maka gerakan IPM tidak

hanya berhasil melakukan peneguhan dan pengayaan

makna tentang ajaran akidah, ibadah, dan akhlak pelajar

muslim, tetapi sekaligus melakukan pencerdasan dengan

ilmu dalam bidang mu’amalat dunyawiyah yang membawa

perkembangan hidup sepanjang kemauan ajaran Islam.

Pencerdasan IPM sebagai manifestasi tajdidyang mengan-

dung makna pemurnian (purifikasi) dan pengembangan

(dinamisasi), yang seluruhnya berpangkal dari gerakan

kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-ruju’ ila al-

Quran wa al-Sunnah) untuk menghadapi perkembangan

zaman.

Menjadi Pelajar Berkemajuan

Karakter Islam berkemajuan untuk pencerahan

peradaban mampu memberikan kekuatan yang dinamis

dalam menghadapkan pelajar Islam dengan perkembangan

zaman. Dalam penghadapan Islam atas realitas zaman,

IPM harus mengembangkan gerakan ilmu, gerakan

pencerahan, dan gerakan pemberuan sebagai alat

kemajuan, sehingga Islam benar-benar menjadi agama bagi

kehidupan yang bersifat kontekstual tanpa kehilangan

pijakannya yang autentik pada sumber ajaran. Gerakan

ilmu telah dipelopori oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan

dalam bingkai yang kokoh sebagaimana disebut sebagai

“akal pikiran yang yang suci”, sedangkan dalam Matan

Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah

(MKCHM) disebut “akal pikiran yang sesuai dengan jiwa

ajaran Islam”.

Menurut Kang Mukti, ada lima pondasi utama

Islam berkemajuan, yang dapat dijadikan karakter untuk

“menjadi pelajar Muhammadiyah” yaitu: Pertama,

Memiliki Tauhid yang Murni. Tauhid yaitu doktrin

sentral dalam Islam. Misi IPM adalah tiada Tuhan yang

berhak disembah kecuali hanya Allah swt. Islam puritan

yang selalu mengajak kepada aqidah yang murni, bersih,

lurus, dari berhala (klasik atau modern) yang merusak.

Kedua, Memahami Al-Qur’an dan Sunnah Secara

Mendalam. Bagi IPM, beragama Islam harus berdasarkan

pada Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbullah. Tidak

bersifat taqlid (ikut-ikutan) trend, budaya pop, dan lain-

lain, tanpa pengetahuan tentangnya. Dalam beribadah dan

ber-muamalah wajib menjadikan Al-Qur’an dan sunnah

sebagai titik pijak.

Ketiga, Melembagakan Amal Shalih yang

Fungsional dan Solutif. Iman tidak sempurna tanpa amal

shalih. Bagi IPM, amal shalih tidak semata-mata berupa

ibadah mahdhah. Amal shalih adalah karya-karya kreatif

dan bermanfaat, merefleksikan kerahmatan Islam dan

kasih sayang Allah. Hidup untuk masyarakat dan semesta

alam.

Keempat, Berorientasi Kekinian dan Masa Depan.

Pelajar Muhammadiyah tidak terjebak pada romantisme

kejayaan masa lalu. Dalam melakukan program, berpikir

dan bertindak baik secara individu maupun kolektif harus

menjadikan masa lalu sebagai titik pijak untuk begerak

kekinian dan merancang masa depan.

Kelima, Bersikap Toleran, Moderat, dan Suka

Bekerja Sama. Pelajar Muhammadiyah tidak boleh

bersikap elitis dan ekslusif. Fanatisme Islam, golongan ber-

IPM secara berlebihan dan over-reaktif tidak dibenarkan.

Kader IPM tidak boleh menjadikan perbedaan masalah-

masalah sepele, (khilafiah), teknis, dan ecek-ecek sebagai

sumber konflik. Namun, pelajar, Muhammadiyah (kader,

anggota) IPM harus memiliki sikap yang toleran

(menghargai dan memahami perbedaan), moderat

(sederhana, adil, dan bijaksana), serta suka bekarja sama.

Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 18 Juli 2013

Editor

Azaki Khoirudin