BAB II LANDASAN TEORI - repositori
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - repositori
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Gambaran Umum Teori
1. Transfer Pricing
Menurut Anang Mury Kurniawan (2015, 17) mengatakan
bahwa:
a. Hubungan istimewa menurut Undang-Undang PPh :
Hubungan istimewa menurut Undang-Undang PPh dapat
terjadi karena faktor kepemilikan/penyertaan modal,
penguasaan maupun hubungan keluarga.
Kepemilikan/penyertaan modal mengakibatkan hubungan
istimewa jika wajib pajak mempunyai pernyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada wajib
pajak lain, atau antara hubungan antara wajib pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih,
demikian pula dengan hubungan antara dua wajib pajak atau
lebih yang disebut terakhir.
b. Hubungan istimewa menurut persetujuan penghindaran pajak
berganda :
Dalam hal suatu Negara mempunyai persetujuan penghindaran pajak
berganda (P3B) dengan Negara lain, maka pengertian
10
hubungan istimewa (associated enterprises) mengacu pada
definisi hubungan istimewa yang diatur dalam P3B tersebut.
OECD model dan UN Model, sebagai model yang sering
dijadikan acuan Negara-negara di dunia dalam membuat P3B
mengatur mengenai hubungan istimewa di pasal 9. Contoh
penyalahgunaan P3B diantaranya, transaksi yang tidak
mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur atau skema sedemikian rupa dengan
maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B.
c. Hubungan istimewa menurut standar akutansi keuangan :
Menurut Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK)
No.7, pihak-pihak yang dianggap mempunyai kemampuan
untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh
signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan
keuangan dan operasional.
Menurut Suandy Erly (2016, 78) mengatakan bahwa :
Dengan globalisasi bisnis, aspek internasional dari harga transfer
menjadi suatu perhatian yang lebih kritis, terutama dengan adanya isu-
isu pajak. Tujuan internasional yang lain mencakup meminimalkan
beban-beban pajak, pengendalian devisa, dan berkenaan dengan risiko
pengambil alihan oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan
multinasional dalam ekspansinya cenderung mengoperasikan usahanya
secara desentralisasi dan melaksanakan konsep cost revenue profit atau
11
corporate profit centre concept yang dapat mengukur dan menilai
kinerja dan motivasi setiap divisi/unit yang bersangkutan dalam rangka
mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut antara
lain digunakan sistem harga transfer.
Menurut Suandy Erly (2016, 78) mengatakan bahwa :
a. Penentuan harga transfer berdasarkan biaya (cost basis transfer
pricing). Transfer pricing yang didasarkan pada biaya,
dikenakan berdasarkan biaya produksi (standard cost). Cost
basis biasanya dilakukan antar divisi pada tingkat yang sama
pada aktivitas produksi dan distribusi (transfer horizontal).
Basis ini digunakan apabila harga pasar tidak tersedia atau
kurang tepat.
b. Penentuan harga transfer berdasarkan harga pasar (market
based transfer pricing) variasi dari basis ini dapat berkisar
antara harga pasar yang berlaku (current market price) dan
harga pasar dikurangi diskon (market price minus discount).
Basis ini dipakai bila pasar perantara cukup bersaing dan
saling ketergantungan antar unit.
c. Penentuan harga transfer berdasarkan negosiasi (the negotiated
price) pendekatan ini mengasumsikan bahwa kedua divisi
mempunyai posisi tawar menawar (bargaining position) yang
sama. Penentuan harga didasarkan pada pemberian otoritas
salah satu pihak untuk menentukan harga transfer, berdasarkan
12
persetujuan kedua divisi. Namun hal ini akan memakan waktu
negosiasi, mengulang pemeriksaan serta revisi harga transfer.
d. Penentuan harga transfer berdasarkan arbitrase (arbitration
transfer pricing) harga yang digunakan berdasarkan interaksi
kedua divisi pada tingkat yang dianggap baik bagi kepentingan
perusahaan, tanpa adanya paksaan dari salah satu divisi
mengenai keputusan akhir penentuan harga.
Menurut Anang Mury Kurniawan (2015, 34) mengatakan
bahwa:
a. Comparable Uncontrolled Price Method (CUP)
Comparable Uncontrolled Price (CUP) atau metode
perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa adalah metode penentuan harga transfer, yang dilakukan
dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
harga barang atau jasa dalam transaksi, yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam
kondisi atau keadaan yang sebanding, yang dihitung :
Harga wajar = harga pihak indenpenden sebanding
Atau
Normal Price = independent price comparable
b. Resale Price Method (RPM)
13
Resale Price Method (RPM) atau metode harga penjualan
kembali adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan
dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk.
Dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah
dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan
risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain
yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali
produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
Resale Price method menentukan kewajaran harga/laba pada
tingkat laba kotor. Indikator (profit level indicator) yang digunakan
adalah presentase laba kotor (gross return on sales), yang dihitung
:
c. Cost Plus Method (CPM)
Cost Plus Method (CPM) atau metode biaya-plus adalah
metode penentuan harga transfer, yang dilakukan dengan
menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan
yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai
Presentase Laba Kotor = Laba Kotor / Penjualan bersih
Atau
Gross return on sales = gross profit / net sales
14
hubungan istimewa, atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang
telah disesuaikan dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Cost Plus Method menentukan kewajaran harga atau laba
pada tingkat laba kotor. Indikator (profit level indicator) yang
digunakan adalah rasio mark-up (mark-up ratio), yang dihitung :
Rasio mark-up = laba kotor / harga pokok penjualan
Atau
Mark-up ratio = gross profit / cost of good sold
d. Transactional Net Margin Method (TNMM)
Transactional Net Margin Method (TNMM) atau metode
laba bersih transaksional adalah metode penentuan harga transfer
yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih
operasi terhadap biaya, penjualan, aktiva, atau terhadap dasar
lainnya atas transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, dengan presentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak
mempunyai hubungan istimewa, atau presentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya, yang dihitung :
ROS = laba bersih usaha / penjualan x 100%
15
Atau
Return On Sales = net income / sales x 100%
Dalam penelitian ini menggunakan rumus Metode Harga
Penjualan Kembali (Resales Price Method). Kelebihan RPM
diantaranya sebagai berikut :
1. Dapat digunakan walaupun terdapat perbedaan produk.
2. Metode ini didasarkan pada harga jual kembali, yaitu harga pasar
sehingga mencerminkan permintaan (demand).
3. Dapat digunakan tanpa harus memaksa distributor untuk
menghasilkan keuntungan yang tidak realistis.
4. Lebih realistis karena hasil pengujian tidak berupa rentang laba.
Disamping itu RPM juga memiliki kelemahan diantaranya
sebagai berikut :
1. Merupakan analisis satu sisi saja (one sided analysis),
menggunakan benchmark dari perusahaan pembanding.
2. Kesulitan dalam penerapan terutama tentang mencari pembanding
yang mempunyai kemiripan fungsi dan risiko.
3. Data tidak akan sebanding jika ada perbedaan akutansi, terutama
dalam pencatatan harga pokok persediaan.
16
2. Pajak
Pajak merupakan salah satu sumber dana terpenting bagi
kesinambungan gerak roda pembangun nasional yang antara lain
terwujud dengan tersedianya sarana-sarana pelayanan umum yang telah
kita nikmati bersama.
Pajak mempunyai peranan yang penting dalam melanjutkan
pembangunan di Indonesia. Hal ini juga terdapat dalam Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan bahwa : “Pajak sebagai
sumber pendapatan Negara yang penting ditingkatkan peranan terutama
pajak langsung, secara bertahap sesuai dengan kemampuan masyarakat
dan diarasakan adil agar mampu meningkatkan kesadaran masyarakat
untuk memenuhi kewajiban dan mampu menunjang kegiatan ekonomi.”
(Setelah era reformasi, GBHN dihapus dan diganti dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta Rencana
Kerja Pemeritntah (RKP) yang dibuat oleh pemerintah).
Menurut Chairil Anwar Pohan (2017, 5) mengatakan bahwa :
a. definisi Pajak adalah sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
17
b. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro menyatakan :
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus” nya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.”
Berdasarkan definisi diatas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa pajak bersifat memaksa, tidak mendapat prestasi
kembali, dan akan berguna untuk membayar pengeluaran umum yang
hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat.
Ada beberapa manfaat yang biasa diperoleh dari perencanaan
pajak yang dilakukan secara cermat, menurut Chairil Anwar Pohan
(2013, 20) mengatakan bahwa :
a. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan
unsur biaya dapat dikurangi.
b. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (Cash Flow), karena
dengan perencanaan pajak yang matang dapat diperkirakan
kebutuhan kas untuk pajak, dan menentukan saat pembayaran
sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara
lebih akurat.
Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari perencanaan
yang baik, menurut Chairil Anwar Pohan (2013, 21) mengatakan
bahwa:
1. Meminimalisasi beban pajak yang terutang.
18
Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak
tersebut berupa usaha-usaha mengefesiensikan beban pajak yang
masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar
peraturan perpajakan.
2. Memaksimalkan laba setelah pajak.
3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (Tax Surprise) jika terjadi
pemerikasaan pajak oleh fiskus.
4. Memenuhi kewajiban perpajakan secara benar, efesien, dan efektif,
sesuai dengan ketentuan perpajakan, yang antara lain meliputi :
a. Mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar
dari pengenaan sanksi, baik sanksi administratif maupun
pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukum kurungan,
atau penjara.
b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan undang-undang
perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran,
pembelian, dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan
pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22, dan pasal 23).
Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan
pajak yang dilakukan secara cermat :
a. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan
unsur biaya dapat dikurangi.
b. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena
dengan perencaan pajak yang matang dapat diperkirakan
19
kebutuhan kas untuk pajak, dan menentukan saat pembayaran
sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih
akurat.
Pajak memiliki unsur-unsur yaitu iuran dari rakyat kepada
negara, berdasarkan pada undang-undang. Menurut Irham Fahmi
(2012,1) mengatakan bahwa :
a. Fungsi budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya. Sebagai contoh : dimasukannya
pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh : dikenakan pajak yang lebih tinggi terhadap
minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang
mewah.
Menurut Mardiasmo (2016, 4) mengatakan bahwa syarat-syarat
pemungutan pajak agar pemungutan tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan,
undang-undang maupun pelaksanaan pemungutan pajak
20
harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil
dalam pelaksaannya yakni dengan memberikan hak bagi
wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam
pembayaran dan mengajukan banding kepada pengadilan
pajak.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat
Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2.
Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan
keadilan, baik Negara maupun warganya.
c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh menggaggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan
kelesuan perekonomian masyarakat.
d. Pemungutan pajak harus efesien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus lebih
rendah dari hasil pemungutannya.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
21
perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-
undang perpajakan yang baru.
Menurut Erly Suandy (2016, 7) mengatakan bahwa :
“Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis penghematan pajak yang dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak.”
Tujuan pokok dari tax planning adalah untuk mengurangi
jumlah atau total pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Tapi secara
legal bukan ilegal. Tax planning adalah tindakan legal karena
penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal
yang tidak diatur oleh undang-undang. Tujuannya bukan untuk
mengelak membayar pajak, tetapi mengatur sehingga pajak yang
dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Tahapan dalam perencanaan pajak sebagai berikut :
a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data
base).
b. Membuat satu kesatuan lebih model kemungkinan jumlah pajak
(designing one or more possible tax plans).
c. Mengevaluasi pelaksaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan).
d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak
(debugging the tax plans).
e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan).
Strategi umum dari perencanaan pajak adalah sebagai berikut :
22
a. Tax saving merupakan upaya efesiensi beban pajak melalui
pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tariff yang lebih
rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan
pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam
bentuk uang.
b. Tax avoidance merupakan upaya efesiensi beban pajak dengan
menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan
merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih
mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam
bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan
merupakan objek pajak pph pasal 21.
c. Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan yang berlaku,
dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat
menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa sanksi
adminitrasi dan sanksi pidana.
d. Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan
yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN.
Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak
keluaran hingga batas waktu yang diperkenakan, khususnya untuk
penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur
pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
barang.
23
e. Wajib pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai
pembayaran yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar
dimuka. Misalnya, pph pasal 22 atas impor, pph pasal 23 atas
penghasilan jasa atau sewa.
CETR diharapkan dapat mengidentifikasikan keagresifan
perencanaan pajak suatu perusahaan yang dilakukan dengan
menggunakan perbedaan tetap maupun perbedaan temporer (Chen,
2008).
Rasio ini dihitung dengan rumus :
CETR = Cash Tax Paid
Pre Tax Income
3. Ukuran Perusahaan
Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukan bahwa
perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam
tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki
prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga
mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu
menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total asset yang kecil.
Ukuran perusahaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu
perbandingan besar atau kecilnya suatu objek. Dengan demikian ukuran
24
perusahaan merupakan sesuatu yang dapat mengukur atau menentukan
nilai dari besar atau kecilnya perusahaan.
Suatu perusahaan yang besar yang sahamnya tersebar sangat
luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh
yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya
pengendalian dari pihak yang dominan terhadap perusahaan
bersangkutan. Sebaliknya, perusahaan yang kecil, dimana sahamnya
tersebar hanya di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya
kontrol pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, maka perusahaan yang besar akan lebih
berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhan untuk
membiayai pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan
yang kecil.
Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses
yang lebih besar untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai
sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman dari kreditur pun akan
lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki
probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan
dalam industri. Pada sisi lain, perusahaan dengan skala kecil lebih
fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil
lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena
25
itu, memungkinkan perusahaan besar tingkat leverage nya akan lebih
besar dari perusahaan yang berukuran kecil.
Menurut Said Kelana & Chandra Wijaya (2015, 274)
mengatakan bahwa : Ukuran perusahaan merupakan variabel control
yang dipertimbangkan dalam banyak penelitian (makalah) keuangan.
Hal ini disebabkan dugaan banyaknya keputusan atau hasil keuangan
dipengaruhi oleh ukuran perusahaan. Secara umum biasanya size
diproksi dengan total asset. Karena nilai total asset biasanya sangat
besar dibandingkan variabel keuangan lainnya, maka dengan maksud
untuk mengurangi peluang heteroskedasti, variabel asset ‘diperhalus’
menjadi Log (asset) atau Ln (asset).
a. Size Adjusted Return :
Teknik untuk menghitung abnormal return, yakni melalui :
excess return dari suatu portofolio diatas rata-rata pasarnya
untuk size yang sama.
b. Skala (Scale)
Merupakan salah satu teknik lazim dilakukan untuk
mengurangi heteroskedasti. Hal ini dilakukan dengan
membagi variabel dengan suatu besaran tertentu, biasanya
asset.
26
4. Leverage
Menurut Brigham & Houston (2013, 140) mengatakan bahwa :
leverage keuangan adalah tingkat penggunaan hutang sebagai sumber
pembiayaan perusahaan, dimana memiliki tiga dampak penting :
a. Menghimpun dana melalui utang membuat pemegang saham
dapat mengendalikan perusahaan dengan jumlah investasi
ekuitas yang terbatas.
b. Kreditur melihat ekuitas atau dana yang diberikan pemilik
sebagai batas pengaman. Jadi, semakin tinggi proporsi total
modal yang diberikan oleh pemegang saham, makin kecil risiko
yang dihadapi kreditor.
c. Jika hasil yang diperoleh dari asset perusahaan lebih tinggi dari
tingkat bunga yang dibayarkan, maka penggunaan utang akan
“mengungkit” (leverage) atau memperbesar pengembalian atas
ekuitas.
Konsep leverage menurut Mamduh (2016, 327) mengatakan
bahwa :
Arti leverage secara harfiah (literal) adalah pengukit. Pengukit biasanya
digunakan untuk membantu mengangkat beban yang berat. Dalam
keuangan, leverage juga mempunyai maksud yang serupa. Lebih
spesifik lagi, leverage bias digunakan untuk meningkatkan tingkat
keuntungan yang diharapkan. Dua jenis leverage akan dibicarakan :
Operating leverage dan Financial leverage.
27
a. Operating Leverage
Operating leverage bias diartikan sebagai seberapa besar
perusahaan menggunakan beban tetapm operasional. Beban
tetap operasional biasanya berasal dari biaya depresiasi, biaya
produksi dan pemasaran yang bersifat tetap (misal gaji bulanan
karyawan). Sebagai kebalikannya adalah beban (biaya) variabel
operasional. Contoh biaya variabel operasional adalah biaya
tenaga kerja yang dibayar berdasarkan produk yang dihasilkan
(misal karyawan harian perusahaan rokok, dibayar Rp 100.000
untuk setiap rokok yang dilinting). Komposisi biaya tetap atau
variabel yang berbeda mempunyai implikasi yang berbeda
terhadap risiko dan keuntungan yang diharapkan perusahaan.
Perusahaan yang menggunakan biaya tetap dalam proporsi
yang tinggi (relatif terhadap biaya variabel) dikatakan
menggunakan operating leverage yang tinggi. Dengan kata lain,
degree of operating leverage (DOL) untuk perusahaan tersebut
tinggi. Perubahan penjualan yang kecil akan mengakibatkan
perubahan pendapatan yang tinggi (lebih sensitif). Jika
perusahaan mempunyai degree of operating leverage (DOL)
yang tinggi, tingkat penjualan tinggi akan menghasilkan
pendapatan yang tinggi. Tetapi sebaliknya, jika tingkat
penjualan turun secara signifikan, perusahaan tersebut akan
mengalami kerugian. Dengan demikian DOL seperti pisau
28
dengan dua mata : bisa membawa manfaat, sebaliknya bisa
merugikan.
b. Leverage keuangan (Financial Leverage)
Leverage keuangan bisa diartikan sebagai besarnya beban tetap
keuangan (finansial) yang digunakan oleh perusahaan. Beban
tetap keuangan tersebut biasanya berasal dari pembayaran bunga
untuk hutang yang digunakan oleh perusahaan. Karena itu
pembicaraan leverage keuangan berkaitan dengan struktur
modal perusahaan. Perusahaan yang menggunakan beban tetap
(bunga) yang tinggi berarti menggunakan utang yang tinggi.
Perusahaan tersebut dikatakan mempunyai leverage keuangan
yang tinggi, yang berarti degree of financial leverage (DFL)
untuk perusahaan tersebut juga tinggi.
Degree of financial leverage mempunyai implikasi
terhadap earning per-share perusahaan. Untuk perusahaan yang
mempunyai DFL yang tinggi, perubahan EBIT (earning before
interest and taxes) akan menyebabkan perubahan EPS yang
tinggi. Sama seperti degree of operating leverage (DOL), DFL
seperti pisau bermata dua : jika EBIT meningkat, EPS akan
meningkat secara signifikan, sebaliknya, jika EBIT turun, EPS
juga akan turun secara signifikan.
Menurut Dwi Prastowo (2015, 70) mengatakan bahwa :
29
“Suatu ratio akan menjadi bermanfaat, bila ratio tersebut memang
memperlihatkan suatu hubungan yang mempunyai makna. Ratio
merupakan teknik analisis laporan keuangan yang dapat memberikan
jalan keluar dan menggambarkan symponi (gejala-gejala yang
tampak) suatu keadaan. Analisis ratio dapat menyikap hubungan dan
sekaligus menjadi dasar perbandingan yang menunjukan kondisi atau
kecenderungan yang tidak dapat diditeksi bila kita hanya melihat
komponen-komponen ratioitu sendiri.”
Menurut Kasmir (2012, 156-162) mengatakan bahwa biasanya
penggunaan leverage disesuaikan dengan tujuan perusahaan. Terdapat 4
jenis pengukuran rasio leverage yang sering digunakan yaitu :
a. Debt to asset ratio (debt ratio)
b. Debt to equity ratio
c. Long term debt to equity ratio (LTRDtER)
d. Times interst earned
Berikut rumus yang digunakan dalam metode leverage adalah :
Debt to Asset Ratio merupakan rasio utang yang digunakan
untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva.
Dengan kata lain, seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang
atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap
pengelolaan aktiva. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus :
Debt to asset ratio = Total utang
Total asset
30
Dalam penelitian ini menggunakan rumus Deb to Asset Ratio (DAR)
yang berguna untuk mengetahui jumlah dana yang dipinjamkan
(kreditor) dengan pemilik perusahaan, dan rasio ini berfungsi untuk
mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan
utang.
B. Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel II.1 Penelitian Sebelumnya
No Nama Peneliti Judul Peneliti Hasil Peneliti
1. Elsa Kisari
putri (2016)
Pengaruh
Kepememilikan Asing,
Ukuran Perusahaan, dan
Leverage terhadap
Keputusan Perusahaan
untuk Melakukan
Transfer Pricing
Ukuran perusahaan
berpengaruh positif terhadap
keputusan perusahaan untuk
melakukan transfer pricing,
sedangkan kepemilikan
asing dan leverage tidak
berpengaruh terhadap
keputusan perusahaan untuk
melakukan transfer pricing.
2. Nancy
Kiswanto dan
Anna
Purwaningsih
Pengaruh Pajak,
Kepemilikan Asing, dan
Ukuran Perusahaan
terhadap Transfer
Variabel pajak dan
kepemilikan asing
berpengaruh positif terhadap
Transfer Pricing, dan
31
(2014) Pricing Pada Perusahaan
Manufaktur di BEI
Tahun 2010 – 2013
Ukuran Perusahaan
berpengaruh negative
terhadap transfer pricing
3. Anisa Sheirina
Cahyadi dan
Naniek Noviari
(2018)
Pengaruh Pajak,
Exchange Rate,
Profitabilitas, dan
Leverage Pada
Keputusan Melakukan
Transfer Pricing
Variabel pajak, profitabilitas
dan leverage berpengaruh
positif pada keputusan
perusahaan dalam
melakukan transfer pricing,
sedangkan variabel
exchange rate tidak
berpengaruh terhadap
keputusan perusahaan dalam
melakukan transfer pricing.
4. Dwi Noviastika
F., Yuniadi
Mayowan, dan
Suhartini Karjo
(2016)
Pengaruh Pajak,
Tunneling Incentive, dan
Good Corporate (GCG)
terhadap Indikasi
Melakukan Transfer
Pricing Pada Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar diBursa Efek
Indonesia (Studi Pada
Bursa Efek Indonesia
Pajak dan tunneling
incentive berpengaruh
signifikan terhadap indikasi
melakukan transfer pricing,
dan GCG tidak berpengaruh
signifikan terhadap transfer
pricing.
32
yang Berkaitan dengan
Perusahaan Asing).
5. Saifudin, dan
Lucky Septiani
Putri (2018)
Determinasi Pajak,
Mekanisme Bonus, dan
Tunneling Incentif
terhadap Keputusan
Transfer Pricing Pada
Emiten BEI
Variabel pajak dan
tunneling incentive tidak
berpengaruh terhadap
keputusan transfer pricing,
sedangkan variabel
mekanisme bonus
berpengaruh terhadap
keputusan transfer pricing.
C. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, penulis dapat
menggambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :
(X₁)
Pajak
(X₂) Ukuran Perusahaan
(X₃) Leverage
(Y) Transfer Pricing
33
Keterangan : X₁ = Pajak
X₂ = Ukuran Perusahaan
X₃ = Leverage
Y = Transfer Pricing
D. Perumusan Hipotesa
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang selanjutnya diuji
kebenarannya sesuai dengan model dan analisis yang cocok. Hipotesis
menjelaskan hubungan antara dua variabel atau lebih. Hipotesis-hipotesis
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengaruh Pajak Terhadap Transfer Pricing
Pajak merupakan salah satu alasan perusahaan memutuskan untuk
melakukan transfer pricing. Pajak yang tinggi harus ditanggung
perusahaan untuk menjadikan suatu alasan perusahaan melakukan
transaksi transfer pricing agar dapat memperkecil pajak yang
seharusnya dapat dibayarkan. Dalam transfer pricing, perusahaan
cenderung menggeser kewajiban perpajakan dari negara-negara yang
memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak rendah
yang dilakukan dengan cara memperkecil harga jual antar perusahaan
dalam satu group.
Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah :
34
H1 = Pajak (Cash Effective Tax Rate) berpengaruh terhadap
Transfer Pricing.
2. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Transfer Pricing
Ukuran perusahaan dapat didefinisikan sebagai penilaian besar atau
kecilnya sebuah perusahaan. Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
transfer pricing menunjukkan bahwa perusahaan yang besar
pemiliknya akan cenderung menginginkan profit yang besar dengan
pajak yang kecil sehingga pemilik perusahaan yang besar akan
membuat cabang-cabang perusahaan untuk membagi labanya agar
jumlah pajaknya kecil, bahkan pemilik perusahaan besar dapat
membangun cabang-cabang perusahaan di Negara bertarif pajak
rendah untuk melakukan transfer pricing untuk menghindari pajak di
Negaranya (Choutrou 2001 dalam Pujiningsih, 2011).
Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah :
H2 = Ukuran Perusahaan (Size) berpengaruh terhadap Transfer
Pricing.
3. Pengaruh Leverage Terhadap Transfer Pricing
Utang merupakan salah satu tindakan perusahaan dalam
memenuhi sumber pendanaan yang bertujuan untuk menjalankan
bisnisnya. Menurut Elsa (2016) Leverage berpengaruh terhadap
35
transfer pricing. Semakin besar utang maka laba kena pajak akan
menjadi lebih kecil karena incentife pajak atas bunga utang menjadi
semakin besar.
H3 = Leverage (Debt to asset ratio) berpengaruh terhadap
Trasnsfer Pricing.
4. Pengaruh Pajak, Ukuran Perusahaan, dan Leverage Terhadap
Transfer Pricing
Transfer Pricing pada dasarnya digunakan untuk
meminimalisirkan beban pajak perusahaan yang dapat dipengaruhi
oleh pajak, ukuran perusahaan, dan leverage.
Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah :
H4 = Pajak (Cash Effective Tax Rate), Ukuran Perusahaan
(Size), Leverage (Debt to asset ratio) berpengaruh terhadap
Transfer Pricing.