BAB II DISKURSUS MASYARAKAT MADANI DAN PARTAI POLITIK

35
BAB II DISKURSUS MASYARAKAT MADANI DAN PARTAI POLITIK Masyarakat madani dan partai politik merupakan wadah dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping keduanya, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi lain seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya. 1 Namun, dalam perkembangannya, semua 1 Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,” http://jimly.com/pemikiran/makalah? page=7> pada 15 Desember 2013, diakses tanggal 23 Januari 2014; L. David Brown dan Archana Kalegaonkar, ”Addressing Civil Society’s Challenges: Support Organizations as Emerging Institutions,” Institute for Development Report (IDR) Reports, Volume 15, Number 2, (1999), 1-2; Carlo Ruzza, “The International Protection Regime for Minorities, the Aftermath of the 2008 Financial Crisis and the EU: New Challenges for Non-State Actors,” dalam International Journal on Minority and Group Rights 18 (2011), 219–220; Marvin B. Becker, “An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to Scotland in the Eighteenth Century,” dalam Indiana Law Journal, Volume 72, Issue 2 Article 8 (1997), 462; Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil society? A proposed methodology for international comparative research,” dalam Development in Practice, Volume

Transcript of BAB II DISKURSUS MASYARAKAT MADANI DAN PARTAI POLITIK

BAB IIDISKURSUS MASYARAKAT MADANI

DAN PARTAI POLITIK

Masyarakat madani dan partai politikmerupakan wadah dari bentuk pelembagaan sebagaiwujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran,pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakatdemokratis. Di samping keduanya, bentuk ekspresilainnya terjelma juga dalam wujud kebebasanpers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasanberserikat melalui organisasi-organisasi lainseperti lembaga swadaya masyarakat (LSM),organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas),organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lainsebagainya.1 Namun, dalam perkembangannya, semua

1Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik danDemokrasi,” http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses tanggal 23Januari 2014; L. David Brown dan Archana Kalegaonkar,”Addressing Civil Society’s Challenges: SupportOrganizations as Emerging Institutions,” Institute forDevelopment Report (IDR) Reports, Volume 15, Number 2,(1999), 1-2; Carlo Ruzza, “The International ProtectionRegime for Minorities, the Aftermath of the 2008Financial Crisis and the EU: New Challenges for Non-StateActors,” dalam International Journal on Minority and Group Rights 18(2011), 219–220; Marvin B. Becker, “An Essay on theVicissitudes of Civil Society with Special Reference toScotland in the Eighteenth Century,” dalam Indiana LawJournal, Volume 72, Issue 2 Article 8 (1997), 462; CarmenMalena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civilsociety? A proposed methodology for internationalcomparative research,” dalam Development in Practice, Volume

bentuk ekspresi tersebut, kecuali partaipolitik, digolongkan dalam masyarakat madani(civil society). Sedangkan partai politik bukanmerupakan bagian dari masyarakat madani, karenaia merupakan bagian dari masyarakat politik(political society).2 Kalau masyarakat madani diyakinisebagai agen-agen perubahan menuju kehidupanyang sejahtera dan berperadaban, tidak demikianhalnya dengan partai politik. Partai politikdianggap tidak lebih daripada kendaraan politikbagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniatmemuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri.Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alatbagi segelintir orang yang kebetulan beruntungyang berhasil memenangkan suara rakyat yangmudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunyakebijakan-kebijakan publik tertentu ketimbangmensejahterakan rakyat semesta.

Pertanyaan yang muncul atas penjelasan diatas, bagaimanakah sebenarnya watak dasarmasyarakat madani dan partai politik? Mengapameskipun sama-sama ‘anak kandung’ demokrasi,namun keduanya dikonsepsikan bertentangan bahkanbermusuhan? Atau apakah malah justru merekasebenarnya saling bekerja-sama mewujudkanharmoni mengabdi pada ‘ibu’ demokratisasi?Menjawab pertanyaan tersebut, penulis bersandarpada pendekatan sosiologi-politik yang

17, Number 3, June (2007), 339; Civicus, “State ofCivil Society 2013: Creating an enabling environment,”dalam Civicus: World Alliance for Citizen Participation (2013), 10.

2Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can wemeasure civil society?....,” 340; Civicus, “State ofCivil Society 2013....,” 10.

dikembangkan oleh Lipset dan Rokkan (1987).3

Mereka berpendapat bahwa munculnya organisasimasyarakat dengan beragam bentuknya mendahuluimunculnya partai politik dan sistem kepartaian.Dengan demikian, kajian tentang masyarakatmadani mendahalui kajian tentang partai politik.

A. Masyarakat Madani dalam Peradaban DuniaDalam perkembangan awal genealogi politik,

konsep masyarakat madani, meminjam istilahBahtiar Effendy, “dengan enak,” disejajarkansama dengan civil society.4 Dalam tradisi Eropasebelum abad ke-18, terdapat berbagai macamistilah yang berpadanan dengan civil society.Menurut World Health Organization (WHO), katacivil society berakar pada kata 'civics', yang berasaldari kata Latin 'civis', yang berarti warga negara.Peradaban ketatabahasaan Romawi dan Yunanimengenalnya dengan kalimat political society,'Masyarakat politik.' Tradisi politik Yunanijuga mengenal istilah ‘politike koinona” yang

3Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan, Cleavage Structures,Party System, and Voter Alignments (New York: Free Press, 1987).Lihat juga Jacob Beilasiak, “Substance and Process in theDevelopment of Party Systems in East Central Europe,”dalam Communist and Post-Communist Studies, 30, No. 1 (1997),23-44; Herbert Kitschelt, dkk., “Citizen, Politicans, andParty Certilization: Political Representation, and State-Failure in Post-Industrial Democracies,” dalam EuropeJournal of Political Research 37 (2000), 149; KuskridhoAmbardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian diIndonesia Era Reformasi (Jakarta: Gramedia, 2009), 23.

4Bahtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang MasyarakatMadani,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2,(1999), 76; Bahtiar Effendy, Agama Publik dan Privat: PengalamanIslam Indonesia (Jakarta: UIN Press, 2009), 83-85.

dipopulerkan oleh Aristoteles (384 SM–322 SM).5

Turunannya, dalam bahasa Latin disebut ‘societascivilis,’ yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106SM-43 SM), seorang orator, politisi, dan filosofRoma. Kebudayaan Prancis mengistilahkannyadengan societe civile, dan burgerliche Gesellchaft dalambahasa Jerman. Bahkan di Nusantara-pun, menurutDa’i dan Antropolog Indonesia Bambang Pranowo,embrio dari masyarakat madani telah ada denganistilah manunggaling kawula ing gusti.6

Britannica Online Encyclopedia mendefinisikan civilsociety dengan, “dense network of groups, communities,networks, and ties that stand between the individual and themodern state,” suatu jaringan yang erat antarkelompok, komunitas, jejaring, dan hubungan yangberdiri antara individu dan negara modern.”7

Cohen dan Arato lebih rinci mendefinisikannyasebagai suatu kondisi kehidupan masyarakatmodern yang berlandaskan di atas prinsip-prinsipegaliterisme dan inklusivisme universal. Iamerupakan sebuah bentuk pengalaman dalammengartikulasikan kepentingan politik dan dalampengambilan keputusan kolektif. Hal tersebutsangat penting dalam pembentukan danpengembangan demokrasi, “modern civil-society is basedon egalitarian principles and universal inclution, experience in

5WHO, “Understanding Civil Society: Issues for WHO,”dalam Discussion Paper Civil Society Initiative: External Relations andGoverning Bodies, No. 2, CSI/2002/DP2, February (2002), 4.

6Lihat detail tentang pembahasan manunggaling kawulo gusti versi politik dalam Bambang Pranowo, Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2009).

7http://global.britannica.com/EBchecked/topic/1916880/civil-society, diakses tanggal 10 Januari (2013).

articulating the political will and in collective decision making iscrucial to the reproduction of democracy.“8 Lembagaaliansi internasional untuk partisipasimasyarakat sipil, Civicus, mewakili mayoritas pakardalam bidang ini lebih spesifik mendefinisikanmasyarakat madani sebagai, “the arena, outside of thefamily, the state, and the market, which is created by individualand collective actions, organisations and institutions to advanceshared interests,”9 arena di luar keluarga, negara,dan pasar yang dibuat oleh aksi individu dankolektif, berbagai organisasi atau institusiuntuk menyalurkan kepentingannya. Definisiterakhir inilah yang menghadapkan masyarakatmadani merupakan oposisi dari negara, bahkanharus berhadap-hadapan dengan negara.

Konsepsi masyarakat madani Yunani dariAristoteles tentang polis (kota) biasanyadijadikan embrio pertama pembentukan civil society.10

Intinya, menurut Keane (1988)11 terma itu

8Jean L. Kohen, and Andrew Arato, Civil Society and PoliticalTheory (Cambridge: The MIT Press, 1992), 19.

9Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can wemeasure civil society?....,” 340; Civicus, “State ofCivil Society 2013....,” 10; Marvin B. Becker, “An Essayon the Vicissitudes of Civil Society with SpecialReference to Scotland in the Eighteenth Century,” 47;Byaruhanga Julius, “Civil Society Contributions in EU’sDemocratic Governance,” dalam Makalah Konfrensi InternasionalDemocratic Governance and Civil Society, University of Osnabrueck,Germany (2013), 3-4.

10International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, entripembahasan “Civil Society/Public Sphere: History of theConcept,” Elsevier Science Ltd, (2001), 1897.

11J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins andDevelopment of the Distinction between Civil Society andthe State 1750-1850,” dalam J. Keane (ed.) Civil Society and

bermakna warga negara ikut terlibat aktif dalamkehidupan politik negara dengan berpartisipasidalam membentuk lembaga negara dan kebijakan-kebijakannya. Pada masa itu, seorang anggota civilsociety atau masyarakat kota, dengan sendirinyajuga berarti warga dari negara (citizen) setempat.Civil society sebagai ‘anak kandung’ demokrasi12

sampai dengan abad ke-18, disamakan dengannegara (the state), yakni sekelompok masyarakatyang mendominasi seluruh kelompok lain. Konsepsisocieties civilies Cicero merupakan sebuah komunitaswarga yang mendominasi komunitas yang lain.Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebihmenekankan pada konsep negara kota (city-state),yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota, danbentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yangterorganisasi.

Menurut Bambang Pranowo, intelektualMuhammadiyah yang NU, ungkapan Jawa kearifanlokal bagi masyarakat madani yang khas bangsaIndonesia, semakna dengan manunggaling (jumbuhing)kawulo ing gusti. Dalam khazanah tasawuf, konsep ituumum dikenal sebagai bersatunya hamba denganPenciptanya. Namun, lebih luas konsep itu jugabisa dipakai untuk khazanah politik. Adagium itudalam hal ini bermakna bersatunya antara rakyatdengan negara. Gusti, bagi manusia Jawa, tidakhanya bermakna Tuhan, ia juga bermakna kepalapemerintahan atau raja.13 Dalam bahasapedalangan dikatakan “gung binathara bau dhendha

the State (London: Verso, 1988), 35–36. 12Ivan Doherty “Democracy Out of Balance: Civil Society

Can’t Replace Political Parties,” dalam Policy Review, Aprildan Mei (2001), 25

nyakrawati,” pemimpin yang memiliki pribadi agung,suci berwibawa, bijaksana, menjaga keadilan danmenegakkan hukum dianggap sebagai wakil Tuhan dibumi. Dalam konsep kekuasaan Jawa tersebut,pemberian kekuasaan yang besar kepada rajadiimbangi dengan ketentuan bahwa raja harusbijaksana. Seorang raja harus bersifat “berbudibawa leksana, ambeg adil para marta,” meluap budi luhurmulia dan sifat adilnya terhadap sesama. Selainitu, tugas raja adalah “anjaga tata titi tentremingpraja”, yakni menjaga keteraturan dan ketentramanhidup rakyat demi tercapainya suasana “karta tuwinraharja,” aman dan sejahtera.14

Menurut penulis, menariknya lagi, katamadani, dalam bahasa Jawa bermakna menyamai,sepadan, sederajat, selevel atau setingkat.Sehingga, dalam konsep politik, karena domainnyaadalah relasi antara rakyat dan negara, makatentu saja yang dimaksud dengan masyarakatmadani versi jawa adalah masyarakat yangsederajat, sepadan dengan negara dalam mengelolapemerintahan yang baik (good governance). Dalamcerita Dewa Ruci, kesentausaan yang diraih olehsang Bima sebagai gusti bukanlah ketika ia telahmensejahterakan dirinya. Akan tetapi ketika ia

13Bambang Pranowo, “Islam and Social Change,” dalamMata Kuliah SPs UIN Jakarta, 4 November, 2014.

14HAR. Tilaar, “In Search of New Paradigms inEducational anagement and Leadership Based on IndigenousCulture: The Indonesian Case,” dalam HAR. Tilaar, BeberapaAgenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21(Magelang: Tera, 1998), 196.

mampu menyatukan diri dengan rakyatnya bersamamembangun negara yang adil dan makmur.15

Pada perkembangan abad 20 ini, konsepmasyarakat madani digunakan untuk memahamigerakan demokratisasi yang bersifat universal,sebagaimana yang belakangan ini mendominasiwacana politik di berbagai negara.16 Pemahamansemacam itu terutama berkembang setelahkeberhasilan gerakan-gerakan civil society dibeberapa negara Eropa Timur dan Tengah, sepertidi Polandia, Yugoslavia, Hungaria, Cekoslowakia,dan sebagainya. Konsep tersebut kemudiandipahami sebagai suatu wilayah masyarakat yangindependen dan relatif bebas dari intervensikekuasaan negara.17

Setelah era-era tersebut hingga sekarang,konsep dan ragam bentuk civil society mengalamiperkembangan yang kompleks dalam prosesdemokratisasi. Tiada bentuk baku yang tunggaltentang apa dan bagaimana bangunan civil society didunia ini. Namun demikian, umumnya, teori initerbagi menjadi dua bentuk, yaitu civil society vis avis negara, civil society yang berelasi dengan

15Lihat Hamid Nasuhi, Serat Dewa Ruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I(Jakarta: Ushul Press, Lembaga Peningkatan dan JaminanMutu, dan UIN Jakarta Press, 2009).

16Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara,Demokrasi Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentaalisme, danAntikorupsi (Jakarta: Kencana, 2013), 125.

17Muhammad AS. Hikam, “Wacana Intelektual Tentang CivilSociety di Indonesia,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,Vol I, No. 2, (1999), 33; lihat juga M. Dawam Raharjo,“Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,”dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, (1999),10.

negara.18 Teori masyarakat madani, meskisebangun dengan civil society, adalah khas istilahIslam dan juga kearifan lokal (local wisdom)Indonesia. Tauhid dan semangat Pancasila sebagaiplatform berbangsa dan bernegara, terutama silakesatu, menjadi basis utama paradigma relasirakyat dan negara. Oleh karenanya, masyarakatmadani mempunyai keunikan tersendiri yangmembedakannya dengan teori civil society padaumumnya.

John Keane,19 melihat civil society sebagai arenasosial yang mengandung kebebasan (freedom),perserikatan sukarela (voluntary association),keragaman hubungan manusia, jati diri, sertanilai-nilai, yang terpisah dari kekuasaanpolitik negara dan pemerintah. Bagi Keane danpara ahli ilmu sosial lainnya yang berhaluanliberal, berbagai macam kekuasaan dalam civilsociety tidak bersumber dari satu hal, sepertipenguasaan sarana produksi, tetapi dari berbagaimacam faktor yang sangat beragam dan heterogen.Oleh sebab itu, Keane melihat hubungan setara

18Sukron Kamil dengan mengikuti polarisasi MW. Folleydan Bob Edwards membagi tiga konsep masyarakat madani.Formulasi pertama diartikulasikan oleh de Toqueville danAdam Ferguson yang menekankan pada aspek horisontalmasyarakat (budaya). Formulasi kedua diartikulasikan olehJacek Kuron dan Adam Michnik yang menekankan aspekvertikal (struktural). Kamil dan Iwan Gardono Sujatmikomenambahkan formulasi ketiga, yaitu gabungan I dan II.Lihat Pemikiran Politik Islam Tematik, 129-132.

19J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins andDevelopment of the Distinction between Civil Society andthe State 1750-1850,” dalam J. Keane (ed.) Civil Society andthe State (London: Verso, 1998), 35–72.

antara negara dan civil society itu mengandungpenyaluran kekuasaan ke aneka macam wilayahpublik yang terdapat di dalam dan di antaranegara dan civil society.20 Menurut Keane,sebagaimana yang dikutip oleh Azra, demokrasibukanlah musuh bebuyutan ataupun teman-kentalkekuasaan negara. Demokrasi menghendakipemerintah untuk memerintah masyarakat sipilsecara tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit.Sementara itu, tatanan yang lebih demokratistidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara. Iajuga tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaannegara.21

Para pakar politik, ketika menjelaskantentang civil society sebagai sebuah konsep, merekalebih berkecenderungan mengacu pada ranah publik(public sphere) per se, vis a vis ranah negara (statesphere). Meskipun ranah privat (private sphere) danranah pasar (market sphere) juga merupakan pilar-pilar kunci dalam civil society. Thomas Janoski(1998)22 menjelaskan bahwa civil society dapat

20J. Keane (ed.), Democracy and Civil Society (London: Verso,1998), xiii; Bachtiar Alam, “Antropologi dan CivilSociety: Pendekatan Teori Kebudayaan,” 196.

21Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, danTantangan, 6.

22Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework ofRights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12; lihatjuga Andi Faisal Bakti, “Women in the West and inIndonesia: How Can Islam Contribute to SocialDevelopment?” dalam Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1,September, Ternate, Indonesia, (2010), 2-20; Andi FaisalBakti, “Communication and Violence: Communicating HumanIntegrity caharactersitics is necessary for HorizontalConflict resolution In Indonesia,”dalam Identity, Culture, and

dipahami dari diskursus di antara empat ruang,yaitu: negara, publik, pasar, dan privat danpengejawantahannya dalam membangun kemanusiaan,persaudaraan, dan kesejahteraan. Bagi Janoski,civil society merupakan representasi dari sebuahruang publik yang dinamis dan responsif terhadapnegara. Ruang publik terdiri dari berbagaiorganisasi sosial (voluntary organization) dan ruangpasar terdiri atas perusahaan milik pribadiataupun patungan. Meskipun Janoski memasukkanruang privat dan keluarga dlam konsepsinya, iatidak menjelaskan lebih jauh apa dan bagaimanaruang privat tersebut. Meskipun demikian, daripenjelasan Cohen dan Arato bisa diketahuitentangnya. Ruang privat itu ditujukan untukkehidupan secara pribadi, pandangan atau prinsippribadi, dan jejaringnya. Dengan demikian,dibutuhkan untuk mengkombinasikan keempat ruangtersebut. Satu sisi mencakup paradigma teoridari Gramsci dan Habermas yang berkecenderungandengan pembahasan ruang publik.23 Di sisi yang

Politics Vol. 9, No. 1 (July 2008); Andi Faisal Bakti,“Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation ofCivil Society, Pluralism, Secularism and Democracy,”dalam Asian Journal of Social Sciences, Brill, Leiden, Vol 33, No.3 (November, 2005); Andi Faisal Bakti, “Paramadina andits Approach to Culture and Communication: An Engagementin Civil Society,” dalam Archipel, Paris, 68 (December,2004); Andi Faisal Bakti, “Paramadina” dalam Bulletin of theInternational Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden/AmsterdamJune (2004).

23Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan AksiOrnop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), 18; ThaniaPaffenholz dan Christoph Spurk, “Civil Society, CivicEngagement, and Peacebuilding,” dalam Social DevelopmentPapers Conflict Prevention and Reconstruction, Paper The World Bank

lain, dilengkapi dengan paradigma Cohen danArato yang berfokus pada ruang privat.

Dalam skema, pendapat Janoski adalah berikutini,

No. 36/October (2006), 2; Robert W. Cox, “Civil Societyat the Turn of the Millenium: Prospects for anAlternative World Order,” Review of International Studies, Vol.25, No. 1 (Jan., 1999), 3-4; European Commission, “TheRoots of Democracy and Sustainable Development: Europe'sEngagement with Civil Society in External Relations,”dalam Communication from the Commission to the EuropeanParliament, The Council, The European Economic and SocialCommittee and The Committee Of The Regions, Brussels,12.9.2012, COM (2012), 3.

Sementara itu, secara konseptual, menurutDawam Rahardjo, yang membawa pertama kaliistilah masyarakat madani di Indonesia adalahAnwar Ibrahim yang saat itu menjabat sebagaiMenteri Keuangan dan Asisten Perdana MenteriMalaysia, menyampaikan pidatonya pada SimposiumNasional pada Festival Istiqlal 1995. Masyarakatmadani adalah masyarakat yang bermoral,masyarakat yang menjamin keseimbangan antarakebebasan perorangan dengan kestabilanmasyarakat, masyarakat yang mampu mendorong dayausaha dan inisiatif individu.24 Lebih lanjut,menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani tidakbisa dipisahkan dengan akar kata din dalamkonsep Madinah dan tamadun. Masyarakat madaniharus berlandaskan kepada masyarakat yangberilmu, yang mendorong pembangunan dan kemajuanberlandaskan akhlak dan nilai etika.Pencapaiannya adalah dengan pelaksanaan ekonomikerakyatan dan budaya masyarakat. Masyarakatmadani sepadan dengan ungkapan mujtama’ madani,yang pernah dipopulerkan oleh ulama dan reformis

24M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia:Sebuah Penjajakan Awal,” 23.

Mesir Sheikh Muhammad Abduh.25 Istilah inipunterbilang baru, Naquib al-Attas, seorang ahlisejarah dan peradaban Islam, yang mula-mulamencetuskannya. Kata “madani” pada masyarakatmadani dipadankan dengan kata hadlari, tsaqafi atautamaddun dalam bahasa Arab yang mana mengacupada hal-hal yang ideal dalam kehidupan.26

Nurcholis Madjid yang menjadi motor utamakonsep ini di Indonesia mengartikan masyarakatmadani sebagai masyarakat yang berperadaban(ber-madaniyyah atau mudun atau civilization) karenatunduk dan patuh (dana-yadīnu) kepada ajarankepatuhan (dīn) yang dinyatakan dalam supremasihukum dan peraturan. Ia pada hakikatnya adalahreformasi total terhadap masyarakat tak kenalhukum (lawless) Arab jahiliyah, dan terhadapsupremasi kekuasaan pribadi seorang penguasaseperti yang selama ini menjadi pengertian umumtentang negara.27 Oleh karena itu, menurutnyaBachtiar Effendy, civil society dengan enakdicarikan padanannya dalam kosa-kata Melayumasyarakat madani.28 Bahkan Effendy menambahkan,justru salah-kaprah jika menterjemahkan civilsociety dengan masyarakat sipil meski secaraverbatin semata hal itu dibenarkan.

25Anwar Ibrahim, “Akhlak, Ilmu & Etika Asas MasyarakatMadani,” dalam http://anwaribrahimblog.com/?s=masyarakat+madani, diakses tanggal 1Februari 2014.

26Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society....., 37. 27Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi

(Jakarta: Paramadina, 1999), 164. 28Bachtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang

Masyarakat Madani,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, VolI, No. 2, (1999), 76.

Rasulullah Muhammad di kota Madinah membangunmasyarakat madani yang keadilan, keterbukaan,dan demokratis, dengan landasan paling pokokyaitu takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Takwa kepada Allah dalam arti semangatKetuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yangmenjiwai Pancasila. Peristilahan tersebut dalamKitab Suci al-Qur’an disebut semangatRabbaniyah,29

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al

Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklahkamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akantetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orangyang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.), karena kamu selalumengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS.Ali Imran/3: 79).

Atau ribbiyah

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama

mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpamereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula)menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yangsabar. (QS. Ali Imran/3: 146).

Menurut Nurcholis Madjid, rabbaniyah dan ribbiyahmerupakan hablun mina Allah, tali hubungan denganAllah, dimensi vertikal hidup manusia, salah

29Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 167.

satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hinadan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu,jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalamsemangat perikemanusiaan, yaitu semangatinsaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontalhidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian padaurutannya, semangat perikemanusiian itu sendirimemancar dalam berbagai bentuk hubunganpergaulan manusia yang penuh budi luhur.Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak muliaitulah, masyarakat berperadaban, masyarakatmadani atau civil society. Masyarakat Madani yangdibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah,sebagaimana dikutip Madjid, disebut sebagaimasyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangatmodern, bahkan terlalu modern, sehingga setelahnabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timurtengah dan umat manusia saat itu belum siapdengan prasarana sosial yang diperlukan untukmenopang suatu tatanan sosial yang modernseperti dirintis Nabi.30

Berdasarkan paparan di atas, menurut penulis,masyarakat madani berbeda corak ideologi dengancivil society. Civil society berdimensi individualisme,sekulerisme, bahkan barbarian. Masyarakat madaniberdimensi komunal, religiusitas, dan humanis.Ia bisa berbentuk organisasi masyarakat dalamberbagai hal, semisal sosial, agama, budaya dantak terkecuali partai politik. Uniknya, FransMagnis Suseno, Romo Katolik, menolak kesekulerancivil society di atas. Ia-pun mendobrak ‘tembok mahasempit,’ pakem dan claim batasan sejarah civil society

30Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 168-169.

tersebut. Beliau tidak keberatan dengan danmemakai istilah masyarakat madani. Ia jugamemperluas batasan cakrawala masyarakat madanidapat dirunut pada tradisi religiusitasIbrahimiyyah, sebagai Bapak Monoteistik. Ibrahimmemproklamirkan kekeliruan laku-praktekkeagamaan dan praktek sosial yang berlaku ditanah kelahirannya, bukan dengan wahyu semata,akan tetapi terdahulu dengan ke-swa-mandiriannyamenjadi oposisi dan mitra negara.31

Menurut Schattscheider, masyarakat madanimenjadi mitra negara dalam puncaknya berbentuksebagai partai politik.32 Partai politikmempunyai posisi (status) dan peranan (role) yangsangat penting dalam setiap sistem demokrasi.Partai memainkan peran penghubung yang sangatstrategis antara proses-proses pemerintahandengan warga negara. Bahkan banyak yangberpendapat bahwa partai politiklah yangsebetulnya menentukan demokrasi, sepertidikatakan oleh Schattscheider, “Political partiescreated democracy.” Karena itu, partai merupakanpilar yang sangat penting untuk diperkuatderajat pelembagaannya (the degree ofinstitutionalization) dalam setiap sistem politik yangdemokratis. Bahkan, oleh Schattscheider

31Frans Magnis Suseno, “Demokrasi: TantanganUniversal,” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher,Agama dan Dialog antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996),129-130. Lihat pula entri “Civilization, Concept andHistory of,” dalam International Encyclopedia of the Social &Behavioral Sciences, (Tp; Elsevier Science Ltd., 2001), 1903.

32David Adamany, “The Political Science of E. E.Schattschneider: A Review Essay,” dalam The American PoliticalScience Review, Vol. 66, No. 4 (Dec., 1972), 1322.

dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save interms of the parties.”33

B. Dinamika Partai Politik dalam MembangunNegara Partai politik sebagaimana masyarakat madani

merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasanberserikat sebagai salah satu prasyaratberjalannya demokrasi. Kebebasan berserikatlahir dari kecenderungan dasar manusia untukhidup bermasyarakat dan berorganisasi baiksecara formal maupun informal. Kecenderungandemikian itu merupakan suatu keniscayaan(organizational imperatives).34 Kecenderunganbermasyarakat yang pada prinsipnya adalahkehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhikebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang samadari individu-individu serta untuk mencapaitujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran danhati nurani.35 Organisasi partai politik

33SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” 245.Lihat pula Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politikdan Demokrasi,” http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses tanggal 23 Januari2014.

34Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran PartaiPolitik, dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press,2005), 44; Anies R Baswedan, (2004). “Political Islam inIndonesia: Present and Future Trajectory,” dalam AsianSurvey, 44, (2004), 669-670; Michael Buehler dan PaigeTan, “Party-Candidate Relationships in Indonesian LocalPolitics: A Case Study of the 2005 Regional Elections inGowa, South Sulawesi Province,” dalam Indonesia, 84,(2007), 41-42.

35Kecenderungan berorganisasi ini menjadi salah satubagian dari teori perjanjian sosial yang dikemukakan baik

dibentuk oleh warga negara untuk memperjuangkankepentingan politik. Membentuk suatu organisasiadalah salah satu wujud dari adanya kebebasanberserikat. Kebebasan tersebut dipandangmerupakan salah satu hak asasi yang fundamentaldan melekat pada manusia sebagai makhluk sosial.Kebebasan berserikat terkait erat dengan hakatas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, sertakebebasan berekspresi.

Jimly Asshiddiqie dari sisi etimologismenjelaskan bahwa kata partai berasal dari akarkata part yang berarti bagian atau golongan.Kata partai menunjuk pada golongan sebagaipengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaantertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkankepentingan. Pengelompokan itu bentuknya adalahorganisasi secara umum, yang dapat dibedakanmenurut wilayah aktivistasnya, sepertiorganisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan,organisasi kepemudaan, serta organisasi politik.Dalam perkembangannya, kata partai lebih banyakdiasosiasikan untuk organisasi politik, yaitu

oleh John Locke maupun J.J. Rousseu. Lihat, George H.Sabine, A History Of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart AndWinston, 1961), 517-541, 575-596. Sedangkan pentingnyakebebasan nurani (Freedom of Concience) bagi harkat manusiadan kemanusiaan dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dalamtulisan berjudul “Kebebasan Nurani (Freedom of Concience) danKemanusiaan Universal sebagai Pangkal Demokrasi, HakAsasi dan Keadilan,” dalam Elza Peldi Taher (ed.),Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia MasaOrde Baru (Jakarta; Paramadina, 1994), 123-144.

organisasi masyarakat yang bergerak di bidangpolitik.36

Beberapa ahli memberikan konsep tentangpartai politik secara berbeda-beda, namunmemiliki elemen-elemen yang hampir sama. MacIvermenyatakan “We may define a political party as anassociation organized in support of some principle or policywhich by constitutional means it endavour to make thedeterminant of government.”37 Sedangkan MiriamBudiardjo mendefinisikannya sebagai “Suatukelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dancita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialahuntuk memperoleh kekuasaan politik dan merebutkekuasaan politik dengan cara konstutisionaluntuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksananmereka.38 Definisi tersebut senada denganpendapat R.H Soltau yang mendedahkan bahwapartai politik adalah, “A group of citizens more or lesorganized, who act as a political unit and who, by the use oftheir voting power, aim to control the goverment and carry outtheir general policies,”39 sekelompok warga negara yangsedikit banyak terorganisir, yang bertindaksebagai suatu kesatuan politik dan denganmemanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakankebijaksanaan umum mereka.

36Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, 45. 37R.M. MacIver, The Modern State, First Edition (London:

Oxford University Press, 1955), 398. 38Miriam budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:

Gramedia, 2004), 160. 39Miriam budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 160.

Pemerintah Indonesia melalui Undang-undangNo. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politikmenjaskan bahwa “partai politik adalahorganisasi yang bersifat nasional dan dibentukoleh sekelompok warga negara Indonesia secarasukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membelakepentingan politik anggota, masyarakat, bangsadan negara, serta memelihara keutuhan NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.”40

Dengan demikian, partai politik dapatdipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit.Dalam arti luas, partai sama dengan masyarakatmadani merupakan penggolongan masyarakat dalamorganisasi secara umum yang tidak terbatas padaorganisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit,partai adalah partai politik, yaitu organisasimasyarakat yang bergerak di bidang politik(political society).

Perkembangan politik menunjukkan adanya tigakomponen sebagai deskripsi kata ‘partai’, yaitupartai dalam pemerintahan, partai sebagaiorganisasi (politisi profesional), dan partaisebagai kelompok pemilih.41 Namun dalam

40Lihat UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, Pasal 1.

41Mengutip Muchamad Ali Syafa’at, partai terdiri atastiga elemen, yaitu party-in-electorate, the party organization, danthe party-in-government. Lihat Muchamad Ali Syafa’at,“Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (AnalisisPengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik1959 – 2004),” dalam Disertasi, Fakultas Hukum UniversitasIndonesia (2009), 56.

paradigmatik politik, partai politik lebihdititikberatkan berfungsi sebagai sebuahorganisasi atau institusi, khususnya aspekperantara (mediasi) antara kepentingan rakyatdan negara. Keberadaan dan perkembanganorganisasi partai politik didasari oleh duakondisi, yaitu penerimaan terhadap kekuatan yangplural dalam masyarakat dan pentingnyaperwakilan politik dalam penyelenggaraanpemerintahan. Aspirasi rakyat yang berbeda-bedamerupakan legitimasi untuk mengorganisir diriagar semuanya dapat terwakili.42

Dari perspektif sejarah, embrio partaipolitik telah ada dalam kurun masa negara-kotaRomawi pada masa pemerintahan Raja Tarquin (616SM – 509 SM). Dalam kerajaan tersebut, kelompokmasyarakat terbelah menjadi dua kelompok;patricians yang merupakan kaum aristokrat, danplebeians yang merupakan kaum pengusaha dan kelasmenengah, yang selanjutnya menjadi pionir darifraksi-fraksi politik dalam kerajaan tersebut.43

Pada masa itu pula, forum rakyat di balai kota

42Studi tentang perkembangan partai politik dan model-modelnya dibahas secara menyeluruh dari aspek politikdalam Maurice Duverger, Political Parties (London: Metheun &Co., 1964).

43E. P. Thompson, “Patrician Society, PlebeianCulture,” dalam Journal of Social History, Vol. 7, No. 4(summer, 1974), 382-405; CD. Barnett, “The Roman gens’influence on loci of power in the Early Republic,” dalamMacquarie Matrix: Vol.2.1, Agustus (2012), 2-3; Karl-J.Hölkeskamp, “Conquest, Competition and Consensus: RomanExpansion in Italy and the Rise of the "Nobilitas," dalamHistoria: Zeitschrift für Alte Geschichte, Vol. 42, No. 1 (1993), 12-39.

diadakan untuk mendengarkan tanggapan rakyatterhadap kinerja pemerintah kerajaan. Dengankata lain, hal ini merupakan suatu representasidari partisipasi politik secara langsung dannyata oleh rakyat yang disebut demokrasilangsung. Namun dalam perkembangannya, wilayahnegara yang luas dan banyaknya penduduk didalamnya, membuat demokrasi secara langsungtidak mungkin dipraktekkan. Isu yang timbuldalam dunia politik pun makin luas dan kompleks,sehingga mustahil bagi tiap warga negara untukselalu berkecimpung di dalamnya dan turutmenyelesaikan masalah yang ada. Untuk itu,diperlukan pembagian kerja yang meliputiberbagai bidang. Rakyat memberi wewenang padaperwakilan mereka untuk membuat kebijakan yangnantinya berdampak pada diri mereka sendiri.Pada perkembangannya, politisi cenderungbergabung dengan partai politik. Partai politikmuncul sebagai organisasi yang mampuberkoordinasi dengan anggotanya, melintasi batasdaerah, di dalam majelis maupun lembagaeksekutif. Inilah demokrasi representatif.

Dalam perkembangan partai politik berikutnya,di Inggris sejak akhir abad 17 telah terdapatdua faksi utama embrio dari partai politikmodern, yaitu yang disebut Whigs dan Tories.44

44David Stasavage, “Partisan politics and public debt:The importance of the ‘Whig Supremacy’ for Britain’sfinancial revolution,” dalam European Review of Economic History,XX (2007), 123-126; Wesley Allen Riddle, “Culture andPolitics: The American Whig Review, 1845-1852,” dalamHumanitas, Volume VIII, No. 1, (1995), 46-48. Uniknya,menurut Robert B. Baowollo kata Whig adalah suatu ungkapan dari dialek Skotalandia yang berarti

Kaum Whigs dari awalnya adalah kelompok yanganti-monarki tetapi sekaligus mendukung rajaGeorg I, sementara kaum Tories adalah penganutmonarki murni tapi sangat keras menolak rajayang berkuasa saat itu, karena sang raja sangattergantung pada parlemen.45 Partai Whig adalahpendukung Revolusi yang menyokong protestanismedengan menghalangi seorang Katholik menjadi rajaatau ratu Inggris. Oleh sebab itu Partai Whigmendukung sepenuhnya Dinasti Hanover yangberasal dari Jerman karena beragama Protestan.Sebaliknya Partai Tory pada masa awal DinastiHanover terpecah menjadi dua golongan, yaitugolongan yang bersedia menerima Dinasti Hanoverdan golongan yang menginginkan kelanjutanDinasti Stuart. Namun nama Tories dan Whigs dalamperpolitikan Inggris berkembang sehingga tidaklagi mewakili arti awal dari istilah tersebut.Tories dan Whigs juga pernah dipakai untuk

penggiring ternak (Dover), sementara tory adalah ungkapan di kalanganmasyarakat Irlandia yang artinya maling atau pencuri. Kristalisasi whig dantory sebagai political oponents mempunya rujukan pada konflik agama saatitu. Kaum Whigs dan pendukung mereka adalah para pengikutPresbiterian yang fanatik dari Skotlandia yang merangkulkelompok protestan. Sementara para pembangkang yang setia pada Paus, yang kemudian diIrlandia dikenal dengan nama Whiteboys, adalah kaum Tories. Lihat Robert B.Baowollo “Robinocracy: Demokrasi dan Korupsi,” dalamhttp://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/08/0006.html, diakses tanggal 10 Maret 2014.

45Wirjono Prodjodikoro Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik,(Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981), 104-105.

membedakan dua kelompok yang memiliki orientasiberbeda dalam hal kebijakan terhadap wilayah-wilayah koloni Inggris. Kelompok yang mendukungcampur tangan yang besar dalam politik dikoloni-koloni Inggris menyebut diri sebagai theWhigs. Sedangkan yang mempertahankan otoritasdan pretensi kerajaan serta hak-hak GubernurJenderal, terpaksa menerima sebutan Tories.’46

Dalam perkembangannya, anggota Tories biasanyaadalah kaum pemilik tanah (bangsawan pemiliktanah), sedangkan pedagang dan pengusaha kaya(kaum kapitalis) biasanya berafiliasi denganpolitisi Whigs. Pada awal abad 19 kedua faksiini menjadi partai politik massa yangdiorganisasikan di semua level struktur sosial.Tories menjadi Partai Konservatif dan Whigsmenjadi Partai Liberal. Kedua partai ini menjadipartai utama hingga pascaperang dunia I.47

Sedangkan Partai Buruh pada awalnya merupakansuatu faksi dalam Partai Liberal yangmemperjuangkan kepentingan kelas buruh. PartaiBuruh menjadi partai utama (major party) pada saatmendekati perang dunia I. Partai ini menjadikansosialisme sebagai prinsip umum organisasinya.48

Amerika Serikat sebagai negara ‘anak kandung’Inggris, dalam sejarahnya partai politik samasekali tidak terpikirkan pada saat pembuatankonstitusi. Bahkan, para pendiri bangsa itu

46Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik DiIndonesia,” 56.

47Wirjono Prodjodikoro Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, 104-105.

48Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia....,” 57.

memandang partai politik dengan penuhkecurigaan. Salah satu prinsip argumentasi JamesMadison menerima konstitusi adalah bahwa sistemfederalisme dan pemisahan kekuasaan akanmencegah setiap faksi dapat mengontrol aparatdan pemerintahan nasional. Faksi dalam hal iniadalah partai politik dan kelompokkepentingan.49 Namun demikian, keberadaan faksi-faksi itu sendiri telah ada pada saatpembentukan konstitusi dan diakui sebagai halyang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensikebebasan yang esensial bagi kehidupan politik.Untuk alasan ini, para pemimpin nasionalmengecam faksi politik dan oleh karena itu tidakmembuat ketentuan mengenai partai-partaipolitik. Perdebatan mengenai aspek-aspektersebut mewarnai pemerintahan awal negara barutersebut.50

Sekitar tahun 1790-an, timbul konflik antarabeberapa partai pertama Amerika. PartaiFederalis yang dipimpin Alexander Hamilton danpartai Republik (juga disebut Demokrat-Republik)yang dipimpin Thomas Jefferson, merupakan partai

49MacIver, the Modern State, 397. Madison mendefinisikanfaksi sebagai “a number of citizens, whether amounting to majority orminority of the whole, who are united and actuated by some commonimpulse of passion, or of interest, adverse to the rights of other citizens, or tothe permanent and aggregate interest of the community.” LihatMuchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik DiIndonesia....,” 57.

50Biro Program Informasi Internasional, Departemen LuarNegeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, Edisi BahasaIndonesia (terj.) Michelle Anugrah (ttp: Biro ProgramInformasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS,2005), 87.

politik pertama di dunia Barat. Tidak sepertikelompok politik longgar dalam Dewan RakyatInggris atau di koloni Amerika sebelum revolusi,kedua partai ini memiliki program partai yangmasuk akal serta mendasar, pengikut yang relatifstabil dan organisasi yang berkesinambungan.51

Federalis terutama mewakili kepentinganperdagangan dan manufaktur, yang mereka pandangsebagai kekuatan kemajuan di dunia. Merekapercaya hal ini dapat ditingkatkan hanya denganpemerintahan pusat yang kuat yang mampumenghasilkan reputasi kepercayaan publik yangmapan dan mata uang yang stabil. Walau terang-terangan tidak mempercayai radikalisme latenorang kebanyakan, mereka tetap memiliki dayatarik bagi para pekerja dan produsen. Dukunganterkuat politik mereka terletak di negara bagianNew England. Mereka memandang Inggris sebagaicontoh yang perlu ditiru Amerika Serikat dalamsegala hal. Oleh karena itu, mereka mendukunghubungan baik dengan negara induk.52

Partai Republik yang dipimpin ThomasJefferson lebih mengutamakan kepentingan dannilai pertanian. Mereka tidak mempercayai parabankir, hampir tidak memedulikan bidang niagadan manufaktur, serta percaya bahwa kebebasandan demokrasi dapat berkembang dengan sangatbaik di masyarakat pedesaan yang terdiri ataspara petani swasembada. Mereka nyaris tidakmembutuhkan pemerintah pusat yang kuat.

51Biro Program Informasi Internasional, Departemen LuarNegeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.

52Biro Program Informasi Internasional, Departemen LuarNegeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.

Sesungguhnya, mereka cenderung menganggappemerintah sebagai sumber tekanan potensial.Oleh karena itu, mereka lebih menyukai haknegara bagian. Posisi mereka paling kuat diwilayah Selatan.53

Dalam perkembangannya, partai politik diAmerika Serikat telah menjalankan peran besardalam agregasi kepentingan politik di semuawilayah. Partai-partai tersebut telahmenyediakan kendaraan bagi pilihan publik danperubahan politik secara damai. Rakyat Amerikatelah belajar menggunakan partai politik sebagaipengganti revolusi untuk melakukan perubahan danmengontrol pemerintah. Sistem yang dibangunmemungkinkan partai politik yang sedang berkuasakeluar dari pemerintahan dan partai politik yangberada di luar kekuasaan (the outs) mengambilgiliran menjadi partai politik yang berkuasa(the ins).

Jika partai politik di Inggris dan Amerikaterbentuk bersamaan dengan perkembangan danpertumbuhan sistem demokrasi, maka di negara-negara jajahan partai politik dibentuk padaawalnya sebagai sarana pergerakan nasional.Partai-partai tersebut dapat duduk dalam dewanperwakilan ataupun menolaknya seperti yangterjadi di India dan Indonesia sebelumkemerdekaan.54

53Biro Program Informasi Internasional, Departemen LuarNegeri AS, Garis Besar Sejarah Amerika Serikat, 89.

54Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 160; Partaipergerakan kemerdekaan di India misalnya adalah PartaiKongres. Sedangkan di Indonesia, banyak partai telahdidirikan sebelum kemerdekaan sebagai alat pergerakan

Keberadaan partai politik di Indonesia dapatdilacak sejak masa penjajahan Belanda. Pada masaitu sudah mulai berkembang kekuatan-kekuatanpolitik dalam tahap pengelompokan yang diikutidengan polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan.Partai politik di Indonesia lahir bersamaandengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yangmenandai era kebangkitan nasional. Berbagaiorganisasi modern muncul sebagai wadahpergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan.Walaupun pada awalnya berbagai organisasi tidaksecara tegas menamakan diri sebagai partaipolitik, namun memiliki program-program danaktivitas politik.55

Bahkan menurut Yusril Ihza Mahendra,berdasarkan fakta-fakta historis, munculnyapartai-partai politik masa pascakemerdekaanjelas bahwa beberapa partai telah berdiri jauhsebelum dikeluarkannya Maklumat Pemerintah yangditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta,atas saran Badan Pekerja Komite NasionalIndonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 3November 1945. Maklumat itu menegaskan bahwapemerintah “menyukai timbulnya partai-partaipolitik, karena dengan adanya partai-partaiitulah dapat dipimpin kejalan yang teratursegala aliran paham yang ada di masyarakat.”Namun, Maklumat Pemerintah itu bukanlah penyebabberdirinya partai-partai. Maklumat itu adalah

nasional mencapai kemerdekaan seperti SI, PNI, PSI,Partindo, dan lain-lain. Lihat juga Deliar Noer, GerakanModern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta: LP3ES), 114-115.

55Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia.....,” 57.

‘pengesahan’ terhadap partai-partai yang telahberdiri.56

Kehadiran partai politik dalam sejarahpolitik Indonesia modern dimulai pada permulaanabad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakanbaru pemerintah Hindia-Belanda yang banyakdipengaruhi oleh politik etis, berbagai asosiasiyang bercorak etnis, kebudayaan, dan keagamaanbermunculan sejak tahun 1905. Partai-partaipolitik bermunculan setelah Gubernur JenderalIdenburg memberikan keleluasaan kepada SarekatIslam bergerak secara lokal, karena ia mengiraorganisasi ini tidak akan terlibat dalamaktivitas politik praktis. Partai-partai lainjuga bermunculan dalam kurun 1910 sampai dengan1930, seperti Indische Partij, ISDV, PartaiNasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan olehSoekarno pada tahun 1927.57

Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai politik memberikan kontribusi yang besardalam menumbuhkan semangat nasionalismeIndonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuhdan berkembang berdasarkan ideologi politik yangberbeda-beda. Sarekat Islam, PergerakanPenyadar, dan Partai Islam Indonesia adalahpartai-partai dengan ideologi politik Islam. PNIdan Partai Indonesia Raya (Parindra) berideologinasionalisme. Sedangkan Partij Komunis Hindia(PKI) berideologi sosialisme. Perbedaan ideologi

56Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia:Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan SistemKepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 181.

57Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 177-178.

antarpartai kerap menjadi pangkal pertikaian diantara pemimpin pergerakan politik pada masapenjajahan Belanda. Perbedaan strategi dalamberjuang mencapai kemerdekaan, seperti antarakelompok kooperasi dan non-kooperasi jugamenjadi sumber pertikaian. Meskipun memilikivisi politik yang berbeda-beda, partai-partaiitu sama-sama berjuang untuk kemerdekaanIndonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga agarrakyat mengerti politik dan memiliki kesadaranbahwa mereka sebagai bangsa yang terjajah harusberjuang mencapai kemerdekaan.58

Partai-partai itu juga telah mendorongtumbuhnya perdebatan-perdebatan intelektualdikalangan para pemimpinnya. Rakyat belajar dariperdebatan-perdebatan intelektual dan pidato-pidato rapat umum partai-partai politik masaitu. Partai-partai yang menghimpun massa dalamjumlah banyak itu telah melahirkan pemimpin-pemimpin politik dan masyarakat dari bawah.Hubungan antara pemimpin dan pengikut menjadierat. Pemimpin-pemimpin partai tersebut, bersamapemimpin-pemimpin organisasi sosial dankeagamaan membawa Indonesia pada kemerdekaanpada tahun 1945.

C. Masyarakat Madani dan Partai Politik dalamPancasila

Berdasarkan sila-sila Pancasila, terutamasila ke-2 dan ke-4, maka Sumber Hukum NegaraIndonesia secara tersurat dan tersirat

58Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 178.

mengakomodasi terbentuknya masyarakat madani danpartai politik. Pancasila mendorong pemerintahanyang demokratis dan melindungi hak-hak asasimanusia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia dapat diwujudkan bila negara berhasilmencerdaskan kehidupan bangsa sertamengembangkan pemerintahan yang demokratis danmelindungi hak hak asasi manusia. Sungguhpundemikian, sila pertama “Ketuhanan Yang MahaEsa,” merupakan asas yang paling fundamentalbagi segenap cita bangsa Indonesia. Masyarakatmadani dan partai politik yang tidakmengindahkan kaidah berketuhanan, secaraprinsipil bertentangan dengan konstitusi bangsa.

Dalam konteks Indonesia, tidak hanyademokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakatmadani saja yang menjadi syarat untukterwujudnya Indonesia berkeadaban, tetapi jugapancasila yang merupakan dasar negara Indonesia,ideologi Indonesia, identitas Indonesia, dancita-cita Indonesia. Sehingga dengan demikian,perwujudan nilai-nilai Pancasila merupakansyarat mutlak untuk memajukan Indonesia yangberkeadaban. Pancasila secara alami lahir darikepribadian bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam tiap butir silaPancasila merupakan cerminan jati diri bangsayang sudah melekat pada tiap sanubari wargaNegara Kesatuan Republik Indonesia. Namun,seiring berjalannya waktu, Pancasila belum dapatditerapkan secara maksimal, baik oleh kalanganmasyarakat madani maupun partai politik. Padahaljika dikaji lebih lanjut, Pancasila dapatmembawa negara Indonesia menjadi negara yang

jauh lebih maju dari kondisinya sekarang. Bahkanmenurut Azra, seharusnya, Pancasila yang menjadicivil religion dalam sistem demokrasi di Indonesia.59

Pancasila sebagai civil religion rakyat indonesia,meski belum sepenuhnya dihayati dan diamalkan,telah terbukti dalam meredam berbagai kemelutintoleransi politik dan demokrasi yang terjadidi Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia. Azyumardi membandingkan kondisiIndonesia dengan kondisi di negara lainnya,terutama Timur Tengah. Menurutnya, sektarianismeyang terjadi di Timur Tengah cenderung meningkatsetiap akhir pekan. Kondisi ini terlihat lebihburuk daripada Indonesia, padahal Indonesiamemiliki realitas kemajemukan yang jauh lebihkompleks dibandingkan dengan negara apa pun.Sehingga menurut Azra, “Indonesia menjadi satu-satunya harapan dunia atas kompabilitas ataukesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi.Sebelumnya, dunia berharap pada Turki. Namunberita tentang Turki beberapa waktu belakanganjustru menggambarkan otoritarianisme pemerintahTurki.” Ia-pun menambahkan, “Indonesia masihbisa menjadi contoh kemajemukan agama baginegara-negara lainnya,” di seluruh penjuru mukabumi ini.

59Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan KapokJadi Orang Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikanAzyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam KehidupanPolitik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakansatuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih,Jakarta Timur. Lihat versi online dihttp://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2Mei 2014.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesiayang memiliki kesesuaian antara agama dandemokrasi berdasarkan Pancasila, ada empat halyang menurut Azyumardi perlu dilakukan,sebagaimana dikutip oleh satuharapan.com, yaitu:

“Pertama, perlu memperkuat multikulturalisme.Kedua, harus memperkuat religious based civil society(masyarakat madani berbasis agama) karena civil societysemacam ini sudah ada bahkan sejak sebelum kemerdekaanIndonesia, dan sifatnya cukup inklusif,” MenurutAzyumardi, religious based civil society di Indonesia memilikiperan yang penting dalam menjaga kohesivitas dimasyarakat. Sebab itu, setiap religious based societysepatutnya bersikap kritis, vokal, dan tidak mudahterprovokasi pada kepentingan politik tertentu. Halketiga yang menurutnya perlu dilakukan adalahpenegakan public civility atau keadaban publik. “Sekarangmakin banyak orang yang tidak malu untuk melakukan halyang salah. Dan ini jelas berbahaya.” Azyumardimelanjutkan, “hal keempat yang juga vital untukdilakukan adalah penegakan hukum. Melihat longgarnyapelaksanaan hukum di negeri kita ini, saya curiga,jangan-jangan kita justru terlalu toleran padapelanggar hukum.” “Oleh karena itu, pemulihankredibilitas aparat penegak hukum adalah hal yangsangat penting!”.60

60Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan KapokJadi Orang Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikanAzyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam KehidupanPolitik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakansatuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih,Jakarta Timur. Lihat versi online dihttp://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2Mei 2014.

Masyarakat madani dan partai politik memilikiperan sebagai sambungan paling penting antararakyat dan negara dengan proses pembentukanperadaban pemerintahan yang baik dan bersih.Keberadaan masyarakat madani diperlukan sebagaikekuatan pengawas dan penyeimbang (chek andbalances) kekuatan negara dalam hal menjalankanroda pemerintahan. Masyarakat madani Pancasilaisyang bermoral, sadar hukum dan beradab mampumewakili masyarakat umum atau rakyat dalammemperjuangkan kepentingan bersama kepadapemerintahan. Disamping itu, masyarakat madaniakan mampu menekan pemerintah bila kebijakannyabertentangan dengan masyarakat umum. Sebaliknya,masyarakat madani akan menyokong pemerintahanyang berupaya memenuhi kebutuhan masyarakatumum. Di samping itu, keberadaan partaidiharapkan mampu mengagregasi beraneka macamkepentingan rakyat menjadi suatu input bagipembutan kebijakan publik. Maka dari itu,demokrasi yang berdasarkan Pancasilamengindikasikan mekanisme kompetisi antar partaidi dalam proses politik melalui parlemen agarfungsi agregasi kepentingan dapat berjalan.Kompetisi antar partai di sisi lain juga bergunauntuk mengawasi akuntabilitas pemerintahan yangberjalan. Namun, kompetisi yang dimaksud tetapberada pada satu kerangka kerjasama untukmembentuk sistem pemerintahan yang kuat.