AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1

32
AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Moh. Saleh, SH., MH. 2 Abstract The dissolution of political parties is an authority of the Constitutional Court as the quardian and the interpreter of the constitution. The dissolution of political parties is based on inconstitutional problems, namely ideology, principles, purposes, and activities of political parties that contrary to UUD NRI 1945. The dissolution of political parties by Constitutional Court has a legal implication for member of MPR, DPR, and DPRD from political party which was dissolved and for members and management in their political rights and for every privat relationship that has been become the liabilities of political party which was dissolved. The fundamental legal implication of dissolution of political parties is not regulated by Act of Constitutional Court and Act of Political Parties. Whereas, legal implication of dissolution of political parties is very vulnerable polical conflict that can be dangerous the safety of nation and state. key words : Authority of the Constitutional Court, Dissolution of Political Party, Legal Implication of Dissolution of Political Party. PENDAHULUAN Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi konstitusional 3 . Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain 4 . Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk 1 Artikel ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Konstitusi kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, Volume I No. 1, November

Transcript of AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIKOLEH MAHKAMAH KONSTITUSI1

Moh. Saleh, SH., MH.2

Abstract The dissolution of political parties is anauthority of the Constitutional Court as the quardian and the interpreter of theconstitution. The dissolution of political parties is based on inconstitutionalproblems, namely ideology, principles, purposes, and activities of political partiesthat contrary to UUD NRI 1945. The dissolution of political parties by ConstitutionalCourt has a legal implication for member of MPR, DPR, and DPRD from politicalparty which was dissolved and for members and management in their political rightsand for every privat relationship that has been become the liabilities of politicalparty which was dissolved. The fundamental legal implication of dissolution ofpolitical parties is not regulated by Act of Constitutional Court and Act of PoliticalParties. Whereas, legal implication of dissolution of political parties is veryvulnerable polical conflict that can be dangerous the safety of nation and state.

key words : Authority of the Constitutional Court, Dissolution of Political Party, Legal Implication of Dissolution of Political Party.

PENDAHULUAN

Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat

(freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai

wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of thought) serta

kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu

kebebasan berserikat dalam bentuk partai politik sangat

dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi

konstitusional3. Meskipun demikian, kebebasan berserikat

memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis

demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk mencegah

kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta

untuk melindungi hak dan kebebasan lain4. Pembatasan tersebut

harus ditafsirkan secara ketat bahwa pembatasan harus diatur

dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk

1 Artikel ini telah dipublikasikan melalui JurnalKonstitusi kerjasama antara Mahkamah Konstitusidengan Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum UniversitasNarotama Surabaya, Volume I No. 1, November

2011, hal. 7-26.2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta :

PT. RajaGrafindo Persada, 2010),hlm. 272.

4 Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law, (London-Sydney-Portland, Oregon: CavendishPublishing Limited, Fifth Edition, 2004), hal. 589.

1

mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus benar-

benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan

kebutuhan sosial.5

Sebagai bentuk pelaksanaan dari demokrasi konstitusional

inilah, sejak lahirnya era reformasi Negara Indonensia telah

mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal 24C

ayat (1) bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final (legally binding). MK

dapat membubarkan partai politik yang telah terfadtar dan

berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM

apabila terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk

pelanggaran konstitusional. Beberapa bentuk pelanggaran

konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai

politik diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo. Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU

Partai Politik).

Dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa MK dapat

membubarkan suatu partai politik yang didasarkan pada alasan

dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, dan

kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 40 ayat (2)

dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai

Politik.

Berdasarkan UU Partai Politik bahwa Partai Politik

berbentuk badan hukum (rechtspersoon) melalui proses pendaftaran

dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM RI6, sehingga dalam

lalu lintas hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik

sama dengan subjek hukum manusia (natuurlijkepersoon) yang

mengemban hak dan kewajiban. Jika manusia dapat digugat

dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan,

maka

5Janusz Symonides, Human Rights: Concept and Standards, (Aldershot-Burlington USASingapore-Sydney: UNESCO Publishing, 2000), hal. 91-92.

6Pasal 3 dan Pasal 4 UU Partai Politik

2

badan hukumpun juga demikian7. Dengan mendasari pada konsep

hukum perdata inilah, maka pembubaran partai politik melalui

putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada ketidakikutan

partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum8, tetapi

lebih jauh lagi adalah pembatalan terhadap status badan hukum

partai politik tersebut dan harus diumumkan dalam Berita

Negara Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI9.

Pembatalan atas status badan hukum partai politik

tersebut berakibat hukum bahwa partai politik tersebut tidak

lagi bisa melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum

dan hubungan hukum yang telah dilakukan baik yang bersifat

public maupun yang bersifat privat. Tindakan hukum yang

bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah

dibubarkan tersebut tidak bisa lagi mencalonkan anggotanya

untuk duduk di lembaga DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden,

maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pertanyaan yang

sangat mendasar adalah bagaimana dengan partai politik yang

telah dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan duduk di

kursi DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah untuk

tetap duduk di lembaga Negara tersebut, mengingat mereka

dicalonkan oleh Partai politik yang telah dibubarkan atau

“mati”. Sedangkan tindakan hukum partai politik yang bersifat

privat misalnya adanya berbagai perjanjian maupun kontrak

maupun jual beli yang dilakukan oleh partai politik tersebut

atau adanya kewajiban partai politik tersebut untuk membayar

utang pajaknya.

Bererapa akibat hukum yang sangat mendasar ini tidak

diatur secara jelas di dalam UU MK maupun UU Partai Politik,

sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang akan

menimbulkan beberapa persoalan hukum baru yang lebih banyak.

7Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30 (Jakarta : PT. Intermasa, 2002), hlm. 20-21.8 Baik dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dewanPerwakilan Rakyat Daerah serta tidak dapat mengusung calonPresiden dan Wakil Presiden maupun calonKepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah .

9Pasal 45 UU Partai Politik

3

PEMBAHASAN

A. WEWENANG PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH

KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat

(2) UUD NRI 1945. Pembentukan MK atas dasar pemikiran bahwa

UUD NRI 1945 yang merupakan dasar negara (stategroundgesetz)

harus dijaga dan dikawal secara konsisten, sehingga keberadaan

MK di dalam struktur kekuasaan kehakiman adalah dimaksudkan

sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the quardian of the

constitution atau waakhond van de grondwet dan the interpreter of the

constitution)10. Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan oleh

UUD NRI 1945 kepada MK adalah untuk menyelesaikan terjadinya

pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional11.

Beberapa kewenangan MK yang diberikan oleh UUD NRI 1945

untuk menyelasaikan berbagai pelanggaran konstitusional

adalah12 :

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (termasuk

Perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah)13.

Selain keempat kewenangan tersebut, MK juga mempunyai

satu kewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus terhadap

pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden14.

10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : PT.RadjaGrafindo Persada, 2010), hlm. 99

11Pasal 51 ayat (1) UU MK12Pasal 24C UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 UU MK13Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah.

4

Pembubaran partai politik sebelum amandemen UUD NRI 1945

masih diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai partai

politik, tetapi setelah amademen UUD NRI 1945, pembubaran

partai politik diatur dalam UUD NRI karena beberapa alasan

yang menjadi dasar untuk dapat membubarkan partai politik

termasuk pelanggaran konstitusional. Oleh karena inilah, maka

wewenang untuk mengadili dan membubarkan partai politik inilah

menjadi wewenag dari MK.

Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk

membubarkan partai politik oleh MK adalah sebagaimana diatur

dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan

ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik,

di antaranya :

a.Mempunyai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari

partai politik yang

bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945;

b.Menganut dan mengembangkan serta menyebarkan

ajaran atau paham

komunisme/Marxisme-Leninisme.

c.Melakukan kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan

dengan UUD NRI 1945

dan peraturan perundang-undangan; atau

d.Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan

keselamatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Sejak lahirnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 95 dikatakan bahwa masyarakat

aceh diperbolehkan untuk membentuk partai politik local di

Aceh sebagai perserta dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini berarti di

Indonesia terdapat dua macam partai politik, yaitu partai

politik nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Sedangkan macam

partai kedua adalah Partai Lokal di Aceh

14 Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945

5

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan yang diatur lebih

lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007

tentang Partai Lokal di Aceh.

Dengan adanya dua macam partai politik di Indonesia ini,

apakah MK sama-sama mempunyai wewenang untuk membubarkan baik

partai politik nasional maupun partai politik local?

UU MK ternyata tidak memberikan pembedaan dan pengertian

mengenai partai

politik yang dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

Dalam UU MK hanya

mengatur mengenai beberapa alas an yang dapat dijadikan dasar

untuk membubarkan partai

politik beserta hukum acaranya. Sekarang bagaimanakah dengan

UU Partai Politik? Dalam

UU Partai Politik ternyata juga tidak memberikan pembedaan

mengenai partai nasional dan

partai local, bahkan sebenarnya UU Partai Politik itu hanya

mengatur mengenai partai

nasional. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1

UU Partai Politik yang

berbunyi :

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dandibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secarasukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untukmemperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhanNegara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasiladan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Apabila melihat ketentuan dalam UU MK dan UU Partai

Politik sebagai paraturan

organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, maka secara

normative-legalistic dapat

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik yang

dapat dibubarkan oleh

sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945

hanyalah terhadap partai

poltik nasional. Hal ini berarti MK hanya berwenang

membubarkan partai politik nasional.

Akan tetapi benakah demikian? mengingat MK adalah sebagai

pengawal konstitusi ((the

quardian of the constitution) dan partai lokal pun mempunyai

kecenderungan yang sama

dengan partai politik nasional untuk melakukan pelanggaran

konstitusional sebagaimana

6

dijelaskan dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40

ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU

Partai Politik.

Secara teoritis konsepual, argumentasi hukum di atas

dapat diterima. Oleh karena itu seharusnya pembedaan partai

politik nasional dan partai politik local diatur secara jelas

dalam UU MK dan UU Partai Politik sehingga akan memperjelas

apa yang dimaksud dengan partai politik dalam Pasal 24C ayat

(1) UUD NRI 1945 dan memperjelas juga bahwa pembubaran partai

politik nasional dan partai politik local sama-sama wewenang

MK .

Ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan partai poltik

dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan apakah MK berwenang

untuk membubarkan partai politik local rupanya menjadi

perhatian khusus dalam pembentukan PP Nomor 20 Tahun 2011

tentang Partai Politik Lokal di Aceh dan pembentukan PMK Nomor

12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran

Partai Politik.

Dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c PP Nomor 20 Tahun 2011

tentang Partai Politik Lokal di Aceh dikatakan bahwa

“Pemberitahuan pembubaran dan penggabungan partai politik

lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara

tertulis dengan menyertakan putusan Mahkamah Konstitusi

apabila partai politik lokal tersebut dibubarkan oleh Mahkamah

Konstitusi. Pengaturan bahwa MK juga berwenang membubarkan

partai local adalah terdapat dalam Pasal 1 angka 3, 4, dan 5

PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam

Pembubaran Partai Politik, yang memberikan definisi mengenai

partai politik dan membagi partai politik atas partai politik

nasional dan partai politik local.

Seharusnya pengaturan mengenai lembaga yang berwenang

melakukan pembubaran terhadap partai politik itu tidak diatur

dalam norma yang setingkat Peraturan Pemerintah maupun

Peraturan Mahkamah Konstitusi, karena hal itu merupakan sumber

wewenang yang bersifat atributif yang harus diatur dalam norma

yang setingkat Undang-Undang. Apalagi Pertauran Pemerintah itu

merupakan peraturan teknis yang sudah dinormakan dalam sebuah

7

Undang-Undang, bukan kemudian memperluas wewenang yang

bersifat atributif. Lebih parah lagi, MK yang hanya diberi

wewenang untuk mengatur lebih lenjut mengenai pelaksanaan

tugas dan wewenangnya15 justru memperluas wewenangnya

B. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

Pembubaran partai politik terjadi pada era pemerintahan

Soekarno, yaitu terhadap Partai Masyumi dan PSI (Partai

Sosialis Indonesia) melalui Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang

membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang

membubarkan PSI pada 17 Agustus 196016. Pembubaran partai

politik juga pernah terjadi pada era orde baru yaitu terhadap

PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui Keppres Nomor 1/3/1966

oleh Letjend Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 karena

keterliban PKI dalam gerekan 30 September 196517. Sedangkan

pada era feformasi tidak terjadi pembubaran partai politik,

tetapi terdapat beberapa gugatan kepada MA agar membekukan

atau membubarkan Partai Golkar18. Sebagai akibat perseteruan

politik antara Presiden dan DPR, Presiden Abdurrahkan Wahid

pernah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 28 Mei 2001

tentang Pembekuan Partai Golkar.

15Pasal 86 UU MK16Dalam Konsideran Keppres No. 200 Tahun 1960 dikatakan

“bahwa untuk kepentingan keselamatanNegara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi,oleh karena organisasi (partai) itu melakukanpemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalampemberontakan apa jang disebut dengan“Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “RepublikPersatuan Indonesia” atau telah djelasmemberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkanorganisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkanperbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut”. Sesuai dengan

Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 1960 anggotaMasjumi dan PSI yang duduk sebagai anggota MPRS, DPR-GR, danDPRD dianggap berhenti dari keanggotaanbadan tersebut sejak 17 Agustus 1960.

17 Dalam konsideran Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 disebutkanbahwa terdapat dua alasanpembubaran PKI, yaitu terkait dengan ideologi atau asas, danterkait dengan kegiatan. Terkait dengan ideologiatau asas, alasannya adalah karena faham atau ajaranKomunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan denganPancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan padatingkat kegiatan, dinyatakan bahwa orang ataugolongan yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya PKI, telah beberapakali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang sahdengan jalan kekerasan.

18 Pelanggaran yang didalilkan dilakukan oleh PartaiGolkar oleh para penggugat adalah telahmenerima sumbangan sebesar 15 milyar rupiah dari dana kasusBank Bali. Selain itu Partai Golkar juga dituduhmelakukan money politic, melakukan tindakan paksaan dan tekananpsikologis untuk mempengaruhi pemilih,menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), mencuristart kampanye, dan pelanggaran lainnya.

8

Sejak MK dibentuk tahun 2003 sampai sekarang, MK belum

pernah menerima permohonan mengenai pembubaran partai

politik19. Tetapi bukan berarti pengaturan mengenai pembubaran

partai politik tidak diperhatikan. Pembubaran partai politik

merupakan konflik politik dan akan berakibat lebih luas dan

besar dari pada kasus hukum biasa dan bahkan dapat merujung

pada Negara dalam keadan darurat. Oleh sebab inilah, maka

pengaturan mengenai pembubaran partai politik harus diatur

secara jelas dan tidak menimbulkan multi tafsir.

Sejak era reformasi berjalan, pengaturan mengenai

pembubaran partai politik tidak lagi hanya diatur melalui

undang-undang partai politik, tetapi telah diatur dalam UUD

NRI 1945. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yang mendasari

pembubaran partai politik merupakan bentuk-bentuk pelanggaran

konstitusional, sehingga dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945

masalah pembubaran partai politik djadikan sebagai salah satu

wewenang MK.

Ketentuan mengenai pembubaran partai politik terdapat UU

MK sebagai aturan organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945

dan UU Partai Politik serta PP Nomor 12 tahun 2008 tentang

Partai Politik Lokal di Aceh. Akan tetapi tidak satupun dari

ketentuan UU MK, UU Partai Politik, dan PP Partai Politik

Lokal di Aceh mengatur mengenai akibat hukum yang akan timbul

manakala suatu partai politik dibubarkan melalui Putusan MK.

Padahal akibat hukum ini sangat urgen untuk menentukan

keputusan politik dan persoalan hukum lainnya yang dapat

dilakukan setelah pembubaran partai politik tersebut.

Pengaturan mengenai pembubaran partai politik dalam UU

MK hanya berhenti pada pelaksanaan dari pada Putusan MK yang

telah dibacakan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.

Jika suatu permohonan pembubaran partai politik dikabulkan

oleh MK, maka MK menyatakan membubarkan partai politik

tersebut. Palaksanaan dari pada putusan ini

19 Mahkamah Konstitusi, Laporan tahunan 2010 : MembangunDemokrasi Substantif, Menguhkan Integritas Institusi (Jakarta : MahkamahKonstitusi Press , 2011), hlm. 11

9

melalui pembatalan pendaftaran partai politik tersebut sebagai

badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM RI serta putusan MK

tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan

para wakil rakyat yang telah terpilih dan duduk dalam lembaga

DPR, DPRD, dan bahkan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dicalonkan berasal dari

partai politik yang telah dibubarkan?

Berdasarkan UU Partai Politik bahwa partai politik

berbentuk badan hukum yang disahkan melalui Keputusan Menteri

Hukum dan HAM RI. Oleh karena inilah maka partai politik dapat

melakukan berbagai tindakan hukum baik dalam ranah publik

maupun dalam ranah privat. Pencalonan terhadap sejumlah

anggota DPR, DPRD, dan bahkan pencalonan Presiden dan Wakil

Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena

partai politik tersebut berbadan hukum yang dapat melakukan

segala tindakan hukum layaknya seperti manusia.

Akibat hukum dari pembubaran partai politik ini dapat

dilihat dari beberapa Negara, misalnya di Turki20, Jerman21 dan

Taiwan22 adalah tidak dapat didirikan lagi partai pengganti baik

dengan nama yang sama maupun nama lain tetapi memiliki

ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan yang sama

dengan alasan dibubarkannya partai tersebut. Hal itu berarti

partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Sedangkan

di Pakistan sanksi khusus diberikan kepada anggota

parlemen nasional dan provinsi dari partai yang

20Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “AParty which has been dissolvedpermanently cannot be founded under another name.”

21Article 6 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetzmenyatakan “The declaration shall beaccompanied by the dissolution of the party or the independent section of the partyand the prohibition of theestablishment of substitute organization.”

22Article 30-I of the Procedure Act menyatakan “The politicalparty being dissolved shall cease allactivities and shall not establish any substitute organization to pursue the samegoals;…”

10

dibubarkan23. Keanggotaan lembaga perwakilan juga dilarang

mengikuti pemilihan umum selama empat tahun sejak

pemberhentiannya.

Akibat hukum tethadap partai politik yang telah

dibubarkan tidak hanya terhadap kegiatan politik atau

keterlibatan dalam proses politik, tetapi juga hukum

keperdataan partai politik. Hal ini sebagaimana diterapkan di

Negara Jerman bahwa akibat hukum pembubaran partai politik

yang diatur dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz adalah

harta kekayaan partai politik dapat disita negara untuk

kepentingan publik24. Sedangkan di Bulgaria ditentukan bahwa

terhadap harta kekayaan diatur lebih jelas, bahkan juga

dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas hutang yang

dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan25.

Berdasarkan pengaturan mengenai pembubaran partai

politik di beberapa Negara tersebut di atas, maka dapat

disebutkan bahwa pembubaran partai politik itu berakibat hukum

terhadap :

a. Tidak dapat didirikan lagi partai politik yang mempunyai

idealogi, asas dan tujuan serta

kegiatan yang sama dengan partai politik yang telah

dibubarkan;

b. Partai politik yang dibubarkan dinyatakan sebagai partai

politik terlarang;

c. Anggota Parlemen yang berasal dari partai politik yang

dibubarkan diberhentikan;

d. Pelarangan anggota partai politik yang dibubarkan ikut

dalam pemilu selama 4 (empat)

tahun sejak pembubaran partainya;

e. Kekayaan partai politik yang dibubarkan disita oleh Negara

untuk kepentingan public; dan

23Article 16 Para 2 The Political Parties Order, 2002,menyatakan “A person becoming disqualifiedfrom being a member of the Majlis-e-Shoora or Provincial Assembly under clause (1)shall not participate inelection for any elective office or any legislative body till the expiry of four years fromthe date of hisdisqualification from being member of Majlis-e-Shoora or, as the case may be, theProvincial Assembly.”

24Article 6 Paragrap 3 : The declaration shall be accompanied bythe dissolution of the party or theindependent section of the party and the prohibition of the establisment ofsubstitute organization. Morever, inthis instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of theparty or the independentsection of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for publicbenefit.

25Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria : Whena party is dissolved under Article 22, Para4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for thedebts of the dissolved partyup to the value of the property received.

11

f. Negara bertanggung jawab atas segala hutang maupun

kewajiban yang ditanggung oleh partai politik yang telah

dibubarkan.

Pembubaran terhadap partai politik di beberapa Negara

tidak berakibat hukum terhadap kedudukan Presiden dan Wakil

Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang

dicalonkan melalui partai politik yang dibubarkan. Hal ini

disebabkan bahwa peserta pemilu dalam Pemilihan Umum Presiden

dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah itu bukan partai politik yang mengusungnya, hal ini

berdengan pemilu parlemen dimana yang menjadi peserta pemilu

adalah partai politik.

Pengaturan mengenai akibat hukum atas pembubaran partai

politik di Indonesia hanya pernah diatur melalui Penpres Nomor

13 Tahun 1960 yang menentukan bahwa sebagai akibat pembubaran

atau pelarangan suatu partai politik, anggota partai yang

duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti

sebagai anggota badan-badan tersebut. Meskipun Penpres ini

dikritik oleh Partai Masyumi dan PSI karena tidak punya

landasan konstitusional sebagai sumber hukum, akan tetapi

dengan Penpres inilah Partai Masyumi dan PSI dibubarkan.

Pengaturan mengenai akibat hukum dalam Penpres Nomor 13 tahun

1960 hanya sebatas pada status keanggotan dalam MPR, DPR, dan

DPRD yang berasal dari partai politik yang telah dibubarkan,

tidak mengatur mengenai akibat hukum terhadap anggota partai

politik yang dibubarkan dalam berbagai kegiatan politik maupun

terhadap hubungan keperdataan yang menjadi tanggungan partai

politik yang telah dibubarkan.

UU MK dan UU Partai politik yang sedang berlaku

sekarang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 jo. UU Nomor 2 tahun

2011 sama sekali tidak mengatur mengenai akibat hukum dari

pembubaran partai politik ini. Adanya kokosongan hukum dalam

pengaturan mengenai akibat hukum pembubaran partai politik

ini, kemudian MK melakukan terobosan dengan mengaturnya dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik. Dalam Pasal

10 ayat (2) PMK Nomor 12 Tahun

12

2008 tersebut disebutkan bahwa “Terhadap akibat hukum putusan

Mahkamah yang mengabulkan permohonan pembubaran partai

politik adalah berkaitan dengan :

a. Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan

simbol-simbol partai tersebut di

seluruh Indonesia;

b. pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;

c. pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang

dibubarkan untuk melakukan

kegiatan politik;

d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik

yang dibubarkan.

Akibat hukum pembubaran partai politik ini terkait

dengan persoalan politik dalam pengambilan keputusan oleh

pimpinan MPR, DPR, dan DPRD sehingga pengaturannya haruslah

melalui kesepakatan politik. Di samping itu pula, akibat

hukumnya terhadap penghalihan tanggungjawab keperdataan dari

partai politik kepada pemerintah. Sehingga pengaturan mengenai

pembubaran partai politik melalui PMK dapat dipertanyakan

legitimasi politis dan yuridisnya. Padahal Pasal 86 UU MK

hanya memberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut mengenai

pelaksanaan tekins dari pada tugas dan wewenang MK, bukan

berarti MK seakan-akan diberi kekuasaan legislasi melalui UU

MK layaknya DPR.

Kekosongan hukum mengenai pengaturan akibat hukum atas

pembubaran partai politik ini seharusnya diatur melalui

undang-undang yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga politik dan

mewakili aspirasi rakyat secara keseluruhan. Jika DPR tidak

dapat mengaturnya karena perdebatan politik yang tidak

terselesaikan, maka hal ini dapat dibiarkan saja sampai ada

permohonan yang diajukan oleh Pemerintah mengenai pembubaran

partai politik. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh MK

karena beralasan dan terbukti melakukan pelanggaran

konstitusional, maka dalam Putusan MK dapat mengaturnya lebih

lanjut mengenai kekosongan hukum tersebut. Singkat kata,

rumusan Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor

13

12 Tahun 2008 itu dapat dimasukkan dalam Putusan MK, sehingga

hal ini akan menjadi yurisprudensi dan akan mengakhiri

kekosongan hukum mengenai akibat hukum dari pembubaran partai

politik di Indonesia.

PENUTUP

Kesimpula

n

a. Bahwa pembubaran partai politik di Indonesia didasarkan

atas adanya pelanggaran

konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2)

UU MK dan Pasal 40 ayat

(2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU

Partai Politik. Adanya pelanggaran

konstitusional yang menjadi dasar bahwa pembubaran partai

politik marupakan wewenang

MK, karena MK adalah lembaga penjaga dan penafsir konstitusi

(the quardian of the

constitution and the interpreter of the constitution) yang bersifat final

dan mengikat. UU

MK sebagai norma organik dari Pasal 24C UUD NRI 1945 memang

masih tidak bisa

memberikan kejelasan mengenai maksud dari pada partai

politik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945. Maksud dari pada

partai politik seharusnya

diperjeles dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang,

yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008

jo. UU Nomor 2 Tahun 2011. Dalam UU Partai Politik itu

seharusnya tidak hanya

mengatur mengenai partai politik nasional, tetapi juga

mengatur mengenai partai lokal.

Sehingga hal ini memperjelas wewenang MK terkait dengan

perkara pembubaran partai

politik, bahwa pembubaran terhadap partai politik local juga

menjadi wewenang MK.

b. Bahwa pembubaran partai politik itu pernah terjadi

terhadap Partai Masyumi dan PSI

tahun 1960 pada era orde lama dan terhadap PKI tahun 1966

pada era orde baru. Pada era

orde lama, pembubaran mengenai partai politik diatur melalui

Penpres Nomor 13 Tahun

1960 yang menentukan bahwa akibat hukum pembubaran atau

pelarangan partai politik,

anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau

DPRD dianggap berhenti.

Dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang ternyata tidak

mengatur mengenai akibat

14

hukum dari pembubaran partai politik. Hal ini menyebabkan

kekosongan hukum ketika nantinya terdapat partai politik

yang dibubarkan melalui putusan MK. Bagaimana kedudukan dari

anggota MPR, DPR, dan DPRD yang diusung oleh partai politik

yang telah dibubarkan dan bagaimana pula terhadap utang

maupun semua kewajiban perdata yang menjadi tanggungan

partai politik tersebut. Kokosongan hukum ini tidak bisa

diatur melalui PMK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10

ayat (2) PMK Nomor 12 tahun 2008, karena MK tidak punya

kekusaan legislasi. Kekosongan hukum ini seharusnya diatur

dalam UU Partai Politik atau dapat juga diatur nanti dalam

Putusan MK jika terdapat permohonan pembubaran partai

politik yang dikabulkan oleh MK.

Saran

a. Untuk memperjelas wewenang MK terhadap perkara pembubaran

partai politik local,

maka dalam perubahan UU MK semestinya memberikan definisi

bahwa yang dimaksud

dengan partai politik adalah terdiri dari partai politik

nasional dan partai politik lokal. Di

samping itu juga, UU Partai Politik semestinya tidak hanya

mengatur mengenai partai

politik nasional, tetapi mengatur juga terhadap partai

politik lokal.

b. Pembubaran partai politik akan berakibat pada lahirnya

konflik politik yang

berkepanjangan dan akan berakibat bagi keselamatan dan

kesatuan berbangsa dan

bernegara. Oleh karena itulah, seharusnya hal-hal yang

terkait dengan akibat hukum dari

pembubaran partai politik itu diatur dalam UU MK atau UU

Partai Politik oleh DPR

bersama Presiden sebagai lembaga representasi rakyat.

15

DAFTAR PUSTAKA

Hilaire Barnett, 2004, Constitutional & Administrative Law, Fifth

Edition, London-Sydney-Portland, Oregon: Cavendish

Publishing Limited.

Janusz Symonides, 2000, Human Rights: Concept and Standards,

Aldershot-Burlington USASingapore-Sydney: UNESCO

Publishing.

Jimly Asshiddiqie, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta :

PT. RajaGrafindo Persada.

Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada.

Mahkamah Konstitusi, 2011, Laporan tahunan 2010 : Membangun

Demokrasi Substantif, Menguhkan Integritas Institusi , Jakarta :

Mahkamah Konstitusi Press .

Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30, Jakarta :

PT. Intermasa.

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945.

Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah

Indonesia, Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal

di Aceh.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12 Tahun 2008 tentang Prosedur

Beracara Dalam pembubaran Partai Politik.

16