DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA DI INDONESIA Oleh

46
DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA DI INDONESIA (Studi Kasus Opini Mahasiswa, Dosen dan Karyawan IISIP Jakarta, 2007) Oleh: Syafuan Rozi Soebhan, SIP, M.Si Dra. Lelita Yunia, M.Si Jurusan Ilmu Politik FISIP IISIP Jakarta 2007 1

Transcript of DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA DI INDONESIA Oleh

DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA DI INDONESIA

(Studi Kasus Opini Mahasiswa, Dosen dan Karyawan IISIP Jakarta, 2007)

Oleh:

Syafuan Rozi Soebhan, SIP, M.SiDra. Lelita Yunia, M.Si

Jurusan Ilmu PolitikFISIP IISIP Jakarta

2007

1

DISKURSUS PEMINDAHAN IBU KOTA DI INDONESIA(Studi Kasus Opini Mahasiswa, Dosen dan Karyawan IISIP Jakarta, 2007)

Oleh: Dra. Lelita Yunia, M.SiSyafuan Rozi Soebhan, SIP, M.Si1

AbstrakPenelitian ini menggunakan analisis kuantitatif sederhanaterhadap 200 responden di IISIP Jakarta dengan bantuan SPSS.Diskursus atau wacana adalah beradunya suatu pendapatberdasarkan sejumlah argumentasi dan sudut pandang tertentu,untuk menemukan suatu posisi atau jalan keluar terhadap suatupersoalan bersama. Persoalan Jakarta sebagai ibu kota negaraatau pusat pemerintahan, merangkap sebagai pusat perekonomian,pendidikan dan pariwisata diduga telah menimbulkan kepadatanyang tinggi akibat arus migran urbanisasi. Selain itu,kerawanan banjir dan polusi yang cenderung bertambah. Opiniuntuk memindahkan ibu kota negara diduga kembali munculseiring gagasan pemerataan keadilan antardaerah. Telahberpuluh tahun Jakarta mengelola kekayaan yang disumbangkandari daerah, namun apa yang dikembalikan ke daerah belumproporsional. Jika daerah dipergilirkan menjadi ibu kota, makakesempatan pergiliran pengelolaan keuangan untuk memajukankawasan daerah diduga akan menjadi lebih nyata. Penelitianmenemukan bahwa sebagian besar responden memandang pemindahanibukota baru hanya sekedar wacana yang perlu dikaji lebihmendalam. Ada potensi bahwa lewat pemindahan ibukota bisadicapai pengurangan beban kota Jakarta, pemerataan pembangunandan pengembangan wilayah nasional secara bertahap danbergilir.

Bab I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

1 Penulis Dra. Lelita Yunia, M.Si adalah Staf Pengajar tetap di Jurusan IlmuPolitik IISIP Jakarta dan Syafuan Rozi, SIP, M.Si pengajar tamu IISIPJakarta/Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (LIPI).

2

Pemindahan ibu kota negara telah dilakukan oleh banyak negaradengan alasan yang berbeda-beda. Contoh berikut memberikan gambaranbahwa pemindahan ibu kota negara itu tidak tabu. Terlebih lagi jikadilakukan dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan menuju keperbaikan dan kemajuan bangsa dan negara. 1. Ibu kota Brasilterletak di pedalaman karena ibu kota lama Rio de Jenairo sudahterlalu padat. 2. Pada tahun 2004, pemerintah Korea Selatanmemindahkan ibu kotanya dari Seoul ke Sejong, meskipun Seoul (dalambahasa Korea) berarti ibu kota. 3. Ibu kota tradisional secaraekonomi memudar oleh kota pesaingnya, seperti yang terjadi diNanjing oleh pesaingnya yaitu Shanghai. 4. Menurunnya suatu dinastiatau budaya dapat juga karena ibu kota yang telah ada mati ataupudar atau kalah pamor seperti di Babilon dan Cahokia.

Selain pemindahan ibu kota negara, terdapat juga pemindahansebagian dari kekuasaan pemerintah. Berikut ini beberapa contohalternatif pemecahan masalah yang terkait dengan ibu kota negara.1.Bolivia, meskipun kota Succre masih tetap menjadi ibu kotakonstitusional, namun pusat pemerintahan nasional telahditinggalkan dan beralih ke La Paz. 2. Chili, kota Santiago masihdianggap sebagai ibu kota, meskipun Kongres Nasionalnya diadakan diValparaiso. 3. Belanda, kota Amsterdam tetaplah ibu kota nasionalkonsitusional, meskipun pemerintahan Belanda, parlemen, dan istanaratu semuanya terletak di Den Haag. 4. Afrika Selatan, beribu kotaadministratif di Pretoria, ibu kota legislatifnya di Cape Town,sedangkan ibu kota judisialnya di Bloemfontein.2

Pemindahan ibu kota di NKRI sangat dimungkinkan karena didalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya,tidak atau belum diatur secara tegas. Dalam Bab II ayat (2) UUDNKRI tertulis: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnyasekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam UUD tersebuttidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan bagaimana ibu kotanegara diatur. Dengan demikian, terdapat fleksibilitas yang tinggidalam mengatur termasuk memindah ibu kota negara. Dalam pemindahanibu kota negara, tentu saja diperlukan alasan yang kuat danmendasar tentang efektifitas fungsinya.3

2 Lihat Wikipedia, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Capital

3

Ada wacana alternatif pertama pemindahan dan pergiliran ibukota, bahwa kondisi Jakarta sebagai ibu kota negara yang terlalulama sampai saat ini sangat tidak ideal buat pemerataan pembangunannasional. Seperti halnya hukum besi kekuasaan yang absolut ditangan satu orang, tanpa pergiliran.4 Kalau kita perhatikansemuanya ada di Jakarta, mulai dari ibukota negara, kantor-kantorpemerintahan, kantor-kantor pusat BUMN, pusat perdagangan,konsentrasi populasi, pusat perindustrian dan lain-lain. Kondisiini tentu tidak ideal, fungsi yang satu seringkali menghambatfungsi yang lain yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia. Idealnya, beberapa fungsi tersebut perlu dipindahkan kekota lain. Memindahkan aktivitas perekonomian akan sangat sulit,tapi bukan tidak mungkin fungsi sebagai ibukota dipindahkan ke kotalain demi memperbesar daua dukung kota lama untuk nyaman dihuni danmemberi kesempatan kota baru dan kawasannya juga ikut berkembang.

Ada alternatif kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta denganpemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan ekonomi danpembangunan ke luar Jakarta, dengan tujuan  mengurangi bebanJakarta. Alternatif ini tampaknya lebih banyak menghadapi kesulitandibandingkan dengan alternatif pertama. Beban Jakarta memangberkurang, tetapi tidak berarti sudah meniadakan permasalahankarena banjir tetaplah menjadi ancaman. Apalagi jika pemindahanpusat kegiatan diarahkan ke selatan Jakarta. Banjir akan semakinmeningkat bila tidak diikuti dengan usaha konservasi lahan dibagian atas. Melalui "momentum" banjir di Jakarta pada awalFebruari 2007 (dan masih terasa efeknya hingga kini) ada baiknyakita merenung dan berpikir: "Bagaimana seandainya ibukota negaraIndonesia benar-benar dipindah saja?" Sebagai ibukota, Jakarta

3 Selama ini Ibukota Jakarta mengemban banyak fungsi, selain sebagai pusatpemerintahan juga sebagai pusat bisnis. Dengan pemindahan ibukota negaradiharapkan fungsi administrasi pemerintahan akan lebih efektif. Selain itupemindahan ini juga diikuti penyebaran penduduk sehingga tidak terkonsentrasi diJakarta. Fungsi-fungsi di ibukota negara terganggu, karena Jakarta sudah sangatpadat yang dihuni oleh lebih dari 11 juta penduduk dan mungkin merupakan ibukotanegara terpadat di dunia karena di kelurahan Tambora, Jakbar, 80.000 orang/m2,menurut Dinas Kependudukan DKI hasil pencatatan tahun 2007.

4 Lihat Syafuan Rozi, ”Memindahkan Ibukota Negara”, Republika, tgl. 4 Maret2006.

4

terbukti kelebihan beban dan cenderung sudah kurang layak lagimenjadi kota lokomotif bagi bangsa nusantara ini.

Ada pro dan kontra seputar kejadian banjir di Jakarta,sebagai alasan pemindahan ibukota. Alasannya, banjir tidak meliputiseluruh wilayahnya, masih ada sebagian yang tidak terkena. Bagipenduduk yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir tentunyatidak  sependapat apabila ibu kota negara dipindahkan, danmenghendaki tetap dipertahankan. Apabila dasar pemikirannya sempitdan jangka pendek maka alternatif ke dua yang dipilih. Namun dalampemikiran yang lebih luas dan jangka panjang bahwa Indonesia denganpotensi sumberdaya alamnya yang melimpah dan sumberdaya manusiayang cukup besar  akan menjadi negara yang besar dan kuat, makaalternatif pemindahan ibu kota ke dua  menjadi lemah.

Sebelum menentukan alternatif untuk menentukan pilihan lokasipemindahan ibu kota negara, terlebih dahulu perlu dicari rumusanibu kota negara yang ideal. Penelusuran pustaka tentang syarat ibukota negara yang ideal cenderung belum optimal ditemukan.Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara  yang ideal harusmempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan; makaperlu  antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman,nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana,aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untukperwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih,fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusifdan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkanrumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografisIndonesia untuk menentukan alternatif  lokasi sebagai calon ibukota negara.

Beberapa pandangan tentang alternatif pemindahan ibu kotanegara yang muncul pada  periode Mei 1998 (gerakan reformasi)adalah Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, dan KalimantanTengah.5 Beberapa alternatif lokasi tersebut mempunyai keunggulandan kelemahan. Yogyakarta memiliki keunggulan pernah menjadi ibukota negara dan berfungsi dengan baik. Fasilitas transportasi sudahtersedia, yaitu Bandara Adi Sutjipto dan  Stasiun Kereta Api Tugu).

5Lihat Baiquni, M. Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran.(Yogyakarta: Ideas, 2004).

5

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, dan kota budaya; sehinggaberpenduduk padat dan jalanan sempit menyebabkan kurang memungkinkan untuk ditambahi beban, kecuali dengan pembenahanaksesibilitas, pemilihan lokasi yang tepat, dan tidak menempatilokasi bangunan tinggalan Belanda.

Alternatif lain, jika Magelang, pertimbangannya letaknya ditengah pulau Jawa, sering dikenal dengan pakuning tanah Jawa berartidaerahnya mantap. Namun demikian, lokasinya berdekatan denganGunungapi Merapi yang masih aktif, sehingga bahaya vulkanikmerupakan ancaman. Aksesibilitas dapat didukung dari Yogyakarta danSemarang. Purwokerto mempunyai kelebihan ketersediaan ruang (lahan)yang masih dimungkinkan untuk pembangunan ibu kota. Aksesibilitaslaut dapat terdukung dari pelabuhan Cilacap, sedangkan akses daratdapat dicapai dari Yogyakarta dan Bandung. Transportasi udara perludibangun. Gunungapi Slamet mungkin merupakan bahaya, tetapiberdasarkan sejarahnya kurang aktif. Selain itu, terdapat Baturadensebagai tempat peristirahatan yang layak. Malang mempunyailingkungan pegunungan yang sejuk, didukung oleh aksesibilitas daratdan udara yang memadai, dan dekat dengan Surabaya. Namun demikian,Malang termasuk kota pelajar dan padat penduduk, jalan di dalamkota umumnya sempit.6

Alternatif pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa, pilihannyaadalah Kalimantan (Palangkaraya, jika dijadikan Ibu Kota negara,maka diperkirakan bisa bertahan hingga 200-300 tahun ke depan. Halitu disebabkan masih banyak lahan kosong di sana) dan Sumatra(Bukittinggi –alasannya karena sejuk dan bersejarah-, Batam –perbatasan dengan Singapura, agar kemakmurannya menular ke ibu kotabaru, sudah ada sekitar 6 jembatan antar pulau sekitarnya ).Kelebihan dari Kalimantan adalah lokasinya  merupakan pusat dariwilayah Nusantara. Lahan masih sangat luas, sehingga dapat menyusuntata ruang ibu kota negara yang sangat ideal. Kelemahannya adalahprasarana dan sarana belum memadai, sebagian besar harus membangunyang baru, berarti biaya mahal. Kelemahan lainnya adalah penyediaanair bersih; kebakaran hutan, banjir dan longsor merupakan bahayayang perlu dijadikan dasar  pertimbangan.  Sumatra merupakanalternatif lain, ketersediaan lahan memadai; sebelah barat Bukit

6 Ibid,-

6

Barisan rawan terhadap bencana gempa, sehingga daerah yang sesuaitentunya di sebelah timur Bukit Barisan.7  

Wilayah bumi cendrawasih pun bisa dijadikan wacana sebagai ibukota negara kita. Jika mempertimbangkan luas dan lapangnya lahansebagai lokasi. Begitu pula kemungkinan Sulawesi Utara, NTT danNTB untuk menjadi ibu kota, atau semuanya akan mendapat giliransecara berkala. Presiden SBY mempersilakan wacana pemindahanibukota dari Jakarta. Menurut SBY, dalam berdemokrasi setiap orangbebas berpendapat.8

Pemindahan ibu kota seharusnya menjadi studi yang sudahdilakukan Bappenas. Menteri Pekerjaan Umum kabinet SBY, DjokoKirmanto pernah mengatakan, rencana pemindahan itu mungkindilaksanakan, selama pembahasannya dilakukan secara cermat berupahitung-hitungan ekonomi, dan sektor lain, seperti manfaat jangkapanjang proyek membangun keindonesiaan yang lebih adil dan majubersama. Ada pula pandangan ketua AIPI Ryaas Rasyid bahwa Ibu kotanegara RI harus dipindahkan dari Jakarta selambat-lambatnya 10tahun lagi atau Tahun 2016. Sebab, saat ini Jakarta sudah sangatpadat sehingga sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota negara.

Berdasarkan hal itu, negara dan masyarakat hendaknya segeramenyusun konsep strategis kebijakan publik menyangkut politikperkotaan di Indonesia mulai sekarang. Kalau pemerintah berpikirancerdas dan mau sungguh-sungguh demi kebaikan dan kesejahteraan

7 Dielaborasi dari analisis Prof. Sutikno. “Perpindahan Ibu Kota, SuatuKeharusan atau Wacana?”, Sabtu, 14 April 2007, http://www.sutikno.org. Makalahtersebut dipresentasikan penulis dalam: Diskusi Sejarah, Kota dan perubahanSosial dalam Perspektif Sejarah, yang diselenggarakan oleh Balai PelestarianSejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Hotel Matahari, 11-12 April 2007.

8 Berkaitan dengan gagasan pemindahan ibu kota, Presiden SBY di IstanaKepresidenan, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat tgl. 9/2/2007mengatakan“Silakan kalau punya pendapat a,b c d. Ini demokrasi, ini tempat untukmenyatukan pemikiran, gagasan dan intelektualitas”. SBY menjelaskan pemindahanibukota dari Jakarta bisa dilihat dari berbagai sisi seperti menghindari masalahstrukural dan fundamental maupun dana. “Tapi sebagai kepala negara tidak akanterlalu cepat untuk memberikan statement, tepat atau tidak tepat. Dulu adarencana dipindahkan ke Jonggol, tapi apakah masih disable atau tidak. Tapi yangpenting adalah dalam demokrasi kita bisa berkomunikasi lebih lanjut lagi”.

7

untuk masa depan, maka perlu mengkaji dan merancang model pemindahanibu kota dari sekarang. 9

9 Ada hiptesa kerja bahwa bagaimanapun 10 tahun dari sekarang ibukotanegara Indonesia sudah harus pindah atau dipisahkan anatara pusat poltik danpusat ekonomi. Artinya dalam lima tahun ke depan sejak 2007 mesti sudahditindaklanjuti oleh negara. Persiapannya harus memindahkan kantor-kantorpemerintahan, kantor-kantor kedutaan besar dan fasilitas lainnya, sepertilapangan terbang atau jangka panjang perlunya membangun jembatan antar pulauuntuk menyatukan Indonesia. Jika tidak dilakukan nasib penduduk kota Jakartadiduga akan semakin payah dan tragis. Perbandingan politik dengan negara lainakan merupakan keniscayaan untuk dilakukan agar ada akurasi dan pembelajaranyang berguna.

8

2. Permasalahan Seringkali sebuah gagasan pembangunan yang rasional dan

objektif terhalang oleh adanya benturan kepentingan, baik itukepentingan ekonomi maupun kepentingan politik. Wacana pemindahanibukota belakangan ramai diperbincangkan di televisi dan koran.Hal itu sudah melibatkan opini di kalangan DPR RI, DPD, dan analispolitik perkotaan, namun rupanya sengaja untuk pewacanaan saja,semacam bahan obrolan yang menarik. Studi lebih lanjut maupun upayaserius meneruskan wacana pemindahan ibukota tak pernah digagas,apalagi benar-benar dijalankan.

Namun gagasan tampaknya akan tinggal gagasan tanpa kerjakongkret di lapangan. Ide tersebut dinilai tampak berlebihan,mustahil dan memerlukan biaya superbesar, menurut pihak yangantipemindahan ibu kota. Hal ini dibantah oleh pihak yang pro,kalau mau dibuat berhemat, juga bisa asal tidak ada yang dikorupsi.Pandangan yang lain lagi, tidak apa mahal, tapi jangka panjangnyaIndonesia akan lebih maju dan adil. Pemindahan Ibu Kota idealnyatidak hanya menjadi wacana, tetapi harus menjadi kajian melaluistudi mendalam dan simultan ke kalangan yang lebih luas.

Secara historis, negara Indonesia pernah memindahkanibukotanya selama dua kali, yakni di Bukittinggi dan Yogyakarta.Jejak historis ini memberi makna bahwa dalam konteks tertentu,pemindahan ibukota bukanlah hal yang terlalu mustahil. Hanya saja,permasalahnya memang ada banyak pihak yang merasa diuntungkan olehkeberadaan ibukota di Jakarta. Banyak pihak itu, sayangnya beradadi posisi menentukan. Namun begitu banyak pula yang berjuangmelakukan pemisahan (separatisme) karena tidak diperlakukan secaraadil oleh Jakarta selama ini.

Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara sebagai lokasipusat pemerintahan. Seiring berjalannya waktu, fungsinya pun tidaklagi tunggal, Jakarta telah pula mejadi pusat perburuan lapangankerja kelas menengah bawah dari desa yang tidak lagi mau bertani,pemukiman dengan harga jual dan sewa yang mahal, berkumpulnyasentra pendidikan, tujuan pariwisata dan perdagangan internasional.Kepadatan penduduk yang tinggi, kemacetan lalu lintas yang parah,polusi, kejahatan jalanan, banjir adalah kondisi umum yangmencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara dengan indikasisulitnya melakukan penataan tata ruangnya. Gejala tingginya

9

ketimpangan sosial ekonomi, berkorelasi terhadap meningkatnya angkakriminalitas di Jakarta memerlukan jalan keluar yang sistemik.

Kondisi umum menumpuknya berbagai masalah dari hari ke haritersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakartasebagai ibu kota negara? Apakah perpindahan ibu kota telah menjadisuatu keharusan atau baru wacana? Tulisan ini mencoba mendiskusikansolusi pertanyaan tersebut dari sudut pandang anggota masyarakatyang mendiami Jakarta. Untuk mendiskusikan kelayakan Jakartasebagai ibu kota negara digunakan pendekatan keruangan, ekologis,dan kewilayahan.

Jika dari hasil penelitian ini terungkap mayoritas respondenberpandangan bahwa Jakarta kurang layak sebagai ibu kota negaramaka perpindahan ibu kota menjadi suatu keharusan. Begitu pulasebaliknya. Untuk itu masih diperlukan penelitian yang lebih luasdan mendalam untuk menentukan bisa atau tidak dipindahkan. Jika ya,dimana dan kapan sebaiknya realisasi pemindahannya. Setujukahresponden dengan wacana bahwa seandainya kota pemerintahandipisahkan dengan kota niaga itu akan terjadi pemerataanpembangunan di seluruh Indonesia.

Pada masa Bung Karno masih hidup,10 ia pernah menyiapkanPalangkaraya, di Kalimantan tengah sebagai ibu kota negara denganpertimbangan posisinya secara geografis ada di tengah-tengahIndonesia. Selain itu daerahnya relatif masih luas sehingga tidakmenggusur pemukiman penduduk, topografisnya relatif datar danbelakangan diketahui relatif aman karena tidak dilalui jalur gempa.Pada masa Pak Harto, ada pula rencana memindahkan ibu kota keJonggol. Berkaitan dengan pemekaran wilayah, adanya kebon buahMekarsari milik ibu Tien Soeharto dan pengembangan proyek perumahandan perkantoran yang pesat ke selatan Jakarta.11

10 Presiden Sukarno sendiri, yang semula berniat menjadikan Jakarta sebagai"mercusuar" kemajuan Indonesia, sedikit demi sedikit mulai gelisah, negeri inikian Jawasentris. Untuk mengkonter Jawasentrisme itu ia mulai memikirkankemungkinan memindahkan Ibu Kota RI ke Luar Jawa, dan saat diusulkanPalangkaraya sebagai salah satu alternatif, ia tak keberatan. Sayang, sebelumusul itu terwujud Bung Karno telanjur dijatuhkan dari kekuasaan.

11 Analisis Baskara Wardaya, Memindahkan Ibu Kota RI, Perlukah? Kompas,Jumat, 26 Juli 2002, menjelaskan:Pada zaman Orde Baru (Orba), keadaan Jakartamenjadi kian ruwet, bahkan sering paradoksal. Orba ingin menjadikan Jakartasebagai show case sukses pembangunan, tetapi hal ini justru menarik urbanisasidengan akibat tingginya tingkat kemiskinan urban di kota itu dengan segala

10

Pada masa reformasi, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB pernahpula mengatakan, wacana pemindahan Ibukota Negara Indonesia dariJakarta ke Subang Jawa Barat pernah disampaikan Abdurahman Wahid(Gus Dur) mantan Presiden RI sekitar tahun 2005 yang lalu.Malaysia, telah memindahkan kantor perdana menteri, beberapakedutaan ke Putra Jaya, sekitar 50 menit dari Kuala Lumpur bilamelewati jalan bebas hambatan.Pemindahan ibukota di Malaysia inirelatif berjalan lancar. Sebenarnya Indonesia yang punya gagasanlebih awal untuk memindahkan ibukota negara, sejak zaman PresidenSoekarno. Namun kalah cepat dengan Malaysia di bawah perdanamentri Mahatir Muhammad. Belanda memiliki Amsterdam dan Den Haag.Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus yaituPretoria, Cape Town, dan Bloemfontein.

Selanjutnya pertanyaan penelitian yang akan menjadi fokuspenting riset ini adalah:(1). Apakah pemindahan ibu kota sebaiknya cuma sekedar wacanaataukah perlu diwujudkan?(2). Mengapa suatu ibu kota negara harus permanen atau perluberpindah ke tempat baru?(3). Apa alasan yang menjadi pertimbangan pokok untuk suatupemindahan suatu ibukota negara?(4) Jika disetujui, bagaimana sebaiknya pemindahan ibu kotadilakukan untuk kasus Indonesia?

3. Metode Penelitian

konsekuensinya. Kontrol kuat dengan dukungan militer yang dilakukan Orba justrumenghasilkan perlawanan seperti yang terjadi dalam Peristiwa Malari (1974),Peristiwa Tanjung Priok (1984), dan demo-demo di akhir kekuasaan Orba. Padatahun 1977 partai pemerintah Golkar justu kalah terhadap PPP. Dalam bidangekonomi yang terjadi bukan hanya Jawasentrisme, tetapi juga Jakarta-sentrisme,di mana konon 80 persen uang di Indonesia beredar di Jakarta. Sudah bukanrahasia lagi bahwa pada zaman Orde Baru Jakarta justru menjadi pusat korupsi danberbagai masalah lain. Orang pun mulai khawatir jangan-jangan kebiasaan pejabatmaling uang yang dulu pernah mengantar VOC ke liang kuburnya, juga bisamenimbulkan dampak fatal bagi Republik ini. Berhubung kebiasaan mencuri uangmilik umum ini antara lain dimungkinkan karena adanya nepotisme dan kongkalikongantara birokrasi, bisnis, dan militer, orang pun mulai mewacanakan kemungkinanmemindahkan Ibu Kota RI sehingga terjadi pemisahan antara pusat politik nasionaldengan pusat-pusat bisnis sebagaimana dilakukan Kanada, Belanda, dan Australia.

11

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan studipustaka, dengan mengacu pada dokumen yang relevan. Teknikpengumpulan data dengan mengunakan kuesioner dan pengolahan datamenggunakan bantuan SPSS. Sehingga bisa ditemukan kecenderunganprosentasi dan frekuensi jawaban tentang suatu pertanyaan. Kemudianakan disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.

3.1. Kerangka PemikiranIbu kota negara atau capital city atau political capital dalam bahasa

Inggris, asal katanya dari bahasa Latin caput yang berarti kepala(head) dan terkait dengan kata capitol yang terkait dengan bangunandimana pusat pemerintahan utama dilakukan. Kota utama ini intinyadiasosiasikan dengan pusat pentadbiran atau tata kelola suatunegara. Secara fisik difungsikan sebagai kantor pusat dan tempatpertemuan dari pimpinan pemerintahan di eksekutif, yudikatif,legislatif atau parlemen. Begitu pula lokasi bagi kantor perwakilannegara lain akan ditempatkan di ibu kota negara. Ibu kota adalahpusat ekonomi, budaya, dan atau pusat intelektual. Ibu kota menjadisimbol bagi negara dan pemerintahannya, serta sebagai tempatberkembangnya muatan politik. Kota-kota di abad pertengahanmenunjukkan bahwa pemilihan, relokasi, dan pendirian dari suatu ibukota modern dilandasi pertimbangan emosional

Menurut perkembangannya, ibu kota sebagai pusat ekonomi utamadari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatanpolitik, kemudian menjadi suatu ibu kota melalui suatu penaklukanatau penggabungan. Ibu kota secara alamiah mempunyai daya tarikpolitik untuk para perwakilan bangsa-bangsa hadir disana, menjadilokasi kantor pemerintah, parlemen dan yudikatif berada. Karena itupula di ibu kota negara para pengunjuk rasa berekspresi, demonstranmelakukan mogok atau boikot dan teroris melakukan aktifitasnyaterhadap sasaran simboliknya.

Usulan memindahkan ibukota negara dari DKI Jakarta ke tempatlain, merupakan salah satu solusi alternatif yang dapat dimasukkandalam Rancangan UU Penataan Ruang (RUU PR) di Indonesia. Selama iniIbukota Jakarta mengemban banyak fungsi, selain sebagai pusatpemerintahan juga sebagai pusat bisnis. Dengan pemindahan ibukotanegara diharapkan fungsi administrasi pemerintahan akan lebihefektif. Selain itu pemindahan ini juga diikuti penyebaran penduduksehingga tidak terkonsentrasi di Jakarta. Fungsi-fungsi di ibukotanegara terganggu, karena Jakarta sudah sangat padat yang dihuni

12

oleh lebih dari 11 juta penduduk dan mungkin merupakan ibukotanegara terpadat di dunia. Kelurahan Tambora di Jakarta Baratmisalnya, pada tahun 2007 dihuni oleh 80.000 orang perkilometerpersegi.12

Pemikiran Politik Dampak Multi Fungsi kota Jakarta:Multi fungsi kota Jakarta (pusat ekonomi, keuangan, bisnis,

politik, pendidikan) merupakan dampak dari sistem pemerintahansentralistis dan sistem multi fungsi yang terpusat secara terus-menerus di Jakarta. Akibatnya sejumlah efek bernuansa sosial(kepadatan memicu konflik lokal, kejahatan jalanan), politik(monopoli pengelolan keuangan pusat yang terus menerus diatasdisparitas daerah-daerah), ekonomi (disparitas pemerataan ekonomiantar daerah dan intradaerah) dan ekologi (rusaknya tata ruang danlingkungan kaeena kekuatan ”tata uang” para pemodal kuat), menjadipersoalan dan beban Jakarta yang tak mudah diselesaikan tanpa jalankeluar yang inovatif yaitu pemindahan ibukota. Walaupun dengankontestasi konsep manajemen megapolitan (menjadikan beberapapropinsi terdekat di bawah tata kelola pejabat setingkat menteri)sekalipun, yang diduga berdaya hanya memcahkan masalah jangkatengah saja, bukan jangka panjang.

Adapun analisis tentang dampak multifungsi kota yang dimaksudadalah akibat dari kondisi-kondisi berikut:

1. Pemerintahan sentralitis yang dikendalikan secara otoriter danserba seragam telah mengabaikan alokasi bagi hasil yang timpang buatdaerah-daerah sub-nasionalnya. Sistem kekuasaan yang memusat dan permanendi suatu tempat, membuat sistem pemerintahan daerah kehilangan kesempatanmemanfaatkan kekayaan alamnya secara maksimal. Daerah yang kaya minyakdan mineral, bisa mengalami kelangkaan minyak dan kemiskinan yangmenyedihkan. Padahal kalau gula disebar secara adil, maka semut tidaklagi menumpuk di satu tempat.

2. Kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yangmengerucut pada elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secarakonstitusional maupun publik menyebabkan mewabahnya korupsi, kolusi, dannepotisme. Sehingga berapapun pajak yang terkumpul dan bagi hasil sumberdaya alam masuk ke pas pusat, untuk disalurkan ke daerah-daerah sepertipipa dan keran yang sengaja tersumbat untuk mengalir balik.

12 Sumber penjelasan dari Hari Susanto, Staf Dinas Kependudukan DKIJakarta, pada acara Padamu Negeri, Metro TV, Kamis malam, 8 November 2007.

13

3. Pemusatan fungsi tersebut akhirnya membawa beban bagi Jakarta,menjadi magnit yang menarik arus orang yang ditandai dengan ledakanjumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, kerawanansosial, kekerasan, dan kejahatan akibat sulitnya mencari pekerjaan yanghalal dan memakmurkan.

4. Permasalahan tersebut diikuti krisis ekologi, yang berupapencemaran udara, pencemaran airtanah, air bersih, banjir rutin, tataruang yang semrawut, munculnya kawasan kumuh, dan lingkungan hidup yangkurang nyaman. Wacana pemindahan Ibukota Indonesia ini muncul karenaJakarta selalu direndam banjir setiap tahunnya.

5. Konflik mudah terjadi antara kepentingan ekonomi dan ekologi,kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit dan masyarakat.Kepadatan adalah akar pergesakan dan perebutan yang tidak memanusiakanmanusia.13 

Berdasarkan kondisi Jakarta dan berbagai  dampak tersebutperlu dipertanyakan, masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negaradan apakah pemindahan ibu kota sebagai suatu keharusan atau sekedarwacana. Secara hipotesis kerja, penataan ibu kota yang mengalamimultifungsi, solusinya memerlukan pemisahan yang tegas antarafungsi politik dan fungsi ekonomi dan ikutannya. Namun untukmemindahkan ibukota negara diperlukan kesiapan yang sangat baikdalam hal mengatasi ketimpangan pembangunan Jawa dan luar Jawa,termasuk dalam hal biaya yang besar pada awalnya (membangun kantorpresiden, parlemen, dan kedutaan asing) namun memiliki manfaatbesar pula dalam jangka tengah dan panjang di kemudian hari. Adapula ide, agar posisi kantor kementrian teknis, perlu ditempatkanjangan diibu kota negara tapi terkait dengan bidangnya, sepertikementerian kelautan, daerah tertinggal, kehutanan, sesuai dengankonteksnya.

Gagasan penegasan pemisahan fungsi ibukota Negara denganfungsi lainnya juga memperhitungkan aspek daya dukung kota Jakarta

13 Lihat juga analisis Baiquni, M. Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran.(Yogyakarta: Ideas, 2004). Baiquni, M.& Susilowardani, Pembangunan yang TidakBerkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Transmedia GlobalWacana, 2002) dan Jayadinata, Johara T, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan danPerkotaan dan Wilayah (Bandung: Penerbit ITB, 1999). 

14

yang semakin menurun. Banyak sekali permasalahan yang harusditangani berkaitan dengan kemacetan lalu lintas, pedagang kakilima yang semakin semrawut, tingkat keamanan yang mengkhawatirkandan yang sekarang menjadi sorotan masyarakat tidak adanya upayapencegahan dari Gubernur DKI untuk mengatasi banjir. Semua itukalau tidak segera diatasi akan menambah tingkat kerawanan,sehingga penduduk Jakarta ini tidak aman dan nyaman lagi.

Pengembangan perkotaan di Indonesia saat ini dihadapkan padatantangan dan permasalahan seperti, tantangan global berupapersaingan bebas antar kota tingkat internasional sebagai tujuanwisata, investasi dan perdagangan. Global paradoks dan mega-trend2000 John Naisbitt, mengingatkan kita akan gejala adanya revolusiperjalanan manusia yang berpotensi pada memuncaknya masalahperkotaan bila tidak diantisipasi sejak dini.

Permasalahan internal perkotaan berupa disparitas kelas sosialakibat kerakusan dalam industrialisasi, terjadinya tranformasispasial dari pertanian menjadi manufaktur dan jasa, menimbulkanproblem kemiskinan struktural di perkotaan, migrasi penduduk kekota, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung dan eksploitasisumber daya alam di desa-desa yang berakibat menurunnya kualitaslingkungan dari waktu ke waktu. Selain itu, krisis ekonomi, sosialdan politik telah memperburuk kondisi perkotaan dengan rusaknyaberbagai fasililtas dan sarana ekonomi. Adapun masalah utamalainnya adalah meningkatnya pengangguran, menurunnya daya belimasyarakat meningkatnya kemiskinan perkotaan serta terbatasnyaruang untuk membenahi kemacetan suatu ibu kota yang tidak pernahmengalami perpindahan.14

Perubahan politik, ekonomi dan sosial di Indonesia, darispektrum pendulum zig-zag otoritarian dan demokratis, industrialisasiyang terpusat di Jawa, masih lemahnya prgram negara kesejahteraan,telah berdampak terhadap proses dan arah perkembangan politikperkotaan diabaikan atau akan dikelola secara serius. Selain itu,krisis akibat otoritarianisme dan pembangunan yang terpusat diJawa, yang hingga kini belum teratasi telah berdampak pula pada

14 Lihat analisis kelas sosial dalam Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori SosialModern, terj. Soeheba Kramadibrata (Jakarta : UI Press, 1986).

15

penurunan kualitas dari pelayanan publik di luar Jawa. Permasalahaninternal yang terjadi di ibu kota negara kita kian hari kiankompleks, semakin sulit untuk diatasi dengan cara tambal sulam(kebijakan berciri inkremental). Kondisi demikian itulah, yangmenciptakan beban kota Jakarta menjadi sangat berat ketimbangkapasitas optimumnya untuk terus dibiarkan tanpa jalan keluar yangsistematik dan komprehensif.15

Identifikasi apa yang diinginkan pemangku kepentingan yangberagam di masyarakat diperlukan untuk menghindari tumpang tindihdalam kategorisasi persoalan formulasi kebijakan, dan menyelamatkanproses politik yang elitis menuju proses deliberatif atau dialogsetara yang partisipatif. Kerangka, model dan solusi kebijakanperlu dilakukan dalam konteks dekonstruksi dan rekonstruksi sosialyang menyeluruh. Akomodasi kepentingan menuju win-win solution.16

3.2.Sifat Penelitian dan Teknik Pengumpulan DataPenelitian ini bersifat kuantitatif, lewat pengumpulan data

lapangan (field-research) dengan membuat kuesioner dengan kategorijawaban berdasarkan skala dan indeks yang memungkinkan tidak adaduplikasi antar katagori jawaban yang ada. Sementara itu datasekunder digali melalui penelusuran terhadap literatur atau studipustaka. Adapaun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalahsebagai berikut:

Sampling : Systematic Sampling dan Purposive Sampling Lokasi penelitian ini akan dilakukan di IISIP Jakarta.

Responden yang mengisi kuesioner ditentukan berdasarkan systematicsampling, dalam hal ini berdasarkan komposisi jurusan yang ada, jeniskelamin dan asal daerah (Jawa dan luar Jawa, IBB dan IBT).Pengambilan sampel secara sistematis merupakan metode dimanahanya unsur pertama saja yang dipilih dari sampel yang dilakukansecara acak. Sedangkan unsur-unsur selanjutnya dipilih secarasistematis menurut suatu pola tertentu (Singarimbun dan Sofian

15 Lebih jauh tentang model kebijakan inkremental dan rasional komprehensiflihat Solichin Abd. Wahab, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi KebijaksananNegara (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

16 Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan lihat Irfan Islamy,Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

16

Effendi, 1989:60). Adapun responden penelitian kuantitatif inidipilih sebanyak 200 orang secara purposive sampling. Masing-masingjurusan (Komunikasi, Administrasi, Politik, HI, Kesos), dosem dankaryawan di IISIP Jakarta, sebanyak sekitar 50% laki-laki dan 50%perempuan untuk masing-masing kategori. Kegiatan desk review ataulibrary research juga dilakukan untuk menggali berbagai informasi yangberhubungan dengan topik penelitian, antara lain: isu tentangpemindahan kota di dunia. Untuk itu, kajian akan difokuskan padaeksplorasi berbagai data kepustakaan dan dokumen terkait.

Bab IIKARAKTERISTIK RESPONDEN

A.1. Jenis Kelamin RespondenPenelitian ini dilakukan antara bulan Agustus 2007-Januari

2008. Secara acak kuesioner penelitian disebarkan. Dari 200responden mahasiswa, dosen dan karyawan IISIP Jakarta, terkumpul51% atau 101 responden perempuan dan 50% atau 99 responden laki-laki.

A.2. Status Responden

Jurusan Responden Frekuensi Prosentase1 Ilmu Komunikasi 65 32.5

2 Ilmu Politik 26 13.0 3 Ilmu HI 54 27.0 4 Ilmu Kessos 12 6.0 5 Ilmu Administrasi 32 16.0 6 Non Jurusan 11 5.5 Total 200 100.0

A.3. Asal Pulau/Tempat Kelahiran Responden

Asal Pulau Kelahiran Responden Frekuensi Prosentase

1 Sumatera 25 12.5 2 Jawa-Madura-Bali 165 82.5 3 Kalimantan 1 .5

17

4 NTB-NTT 4 2.0 5 Sulawesi 1 .5 6 Maluku -Malut 2 1.0 7 Papua 1 .5 8 Tdk mnjwb 1 .5 Total 200 100.0

18

A.4. Status Pekerjaan RespondenStatus Pekerjaan

Responden Frekuensi Prosentase1 Mahasiswa 166 83.0

2 Dosen 27 13.5 3 Staf administrasi 5 2.5 4 Karyawan 2 1.0 Total 200 100.0

Bab IIISIKAP TERHADAP KEADAAN JAKARTA

3.1. Pemindahan Ibukota dan Persoalan Jakarta

Gagasan pemindahan ibu kota cenderung telah menjadi objekpenting bagi studi analisis kebijakan publik, politik perkotaan danpembangunan politik di Jurusan Ilmu Politik IISIP Jakarta. Haltersebut diindikasikan lewat proyek penelitian akademis iniwalaupun dowalai dari skala kecil sample di lembaga pendidikanalmamater tercinta. Namun sebenarnya, menumpuknya persoalan Jakartadan ide pemindahan ibukota sudah mendapat respon ditingkat empirisdari DPR RI, walau pun DPR RI belum meminta LIPI, Bappenas daninstitusi resmi negara lainnya untuk melakukan upaya tindak lanjutyang lebih kongkret. Menteri Pekerjaan Umum kabinet SBY, DjokoKirmanto memang pernah menanggapi bahwa rencana pemindahan itumungkin dilaksanakan, selama pembahasannya dilakukan secara cermatberupa hitung-hitungan ekonomi, dan sektor lain, seperti manfaatjangka panjang proyek membangun keindonesiaan yang lebih adil dancita-cita kemajuan bersama.

Sementara itu mantan meneteri Otoda kabinet Abdurahman Wahiddan ketua AIPI, Prof. Dr. Ryaas Rasyid berpandanan bahwa Ibu kotanegara RI harus dipindahkan dari Jakarta selambat-lambatnya 10tahun lagi atau Tahun 2016. Hal itu dengan pertimbangan semakinbertumpuknya berbagai persoalan di Jakarta, dengan tata ruang yangsudah jenih untuk bisa dikembangkan lebih optimal. Saat ini ibukota Jakarta sudah sangat padat, macet dan dilanda persoalan banjirdan sampah yang parah. Sehingga posisinya dinilai cenderung sudahtidak layak lagi menjadi ibu kota negara.

19

Berdasarkan hal itu, bagi kalangan yang pro dengan pemindahanmendorong pihak terkait hendaknya segera menyusun konsep mulaisekarang. Kalau pemerintah berpikiran cerdas dan mau berkorbanuntuk kebaikan untuk masa depan, ada pandangan bahwa negara harussudah merancang pemindahan ibu kota dari sekarang sebelum Jakartalumpuh total. Bagaimana pun kondisinya dalam waktu 10 tahun darisekarang (tahun 2007), ibukota negara sudah harus pindah. Pandanganini artinya menginginkan dalam waktu lima tahun ke depan mestisudah ditindaklanjuti oleh pihak terkait dengan serius.Persiapannya harus memindahkan kantor-kantor pemerintahan, kantor-kantor kedutaan besar dan fasilitas lainnya, seperti lapanganterbang, pelabuhan dan dalam jangka panjang membangun jembatanantar pulau untuk menyatukan Indonesia.

Kelompok yang pro pemindahan dan pro integrasi nasional didugaada dalam kerangka yang melihat persoalan kepadatan penduduk diJawa, kesenjangan pembangunan Indonesia Timur dan barat (IBT-IBB)dan bertumpuknya masalah perkotaan di Jakarta, bisa diurai denganpemindahan atau pemisahan ibukota negara dan sistem penyatuan fisiklewat jembatan guna menunjang transportasi antar pulau-pulau besardi Indonesia. Namun bagaimana sebenarnya pandangan sebagianmasyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota, baru sebatas wacanaatau memang real perlu diwujudkan. Berikut ini temuan penelitianini untuk menjawab pertanyaan terkait:

Tabel 3.1.Sikap Responden tentang Pemindahan Ibukota Baru Sekedar Wacana

atau Perlu Serius Dirancang Negara (n=200)

20

Secara umum menunjukkan 34% dari 200 responden IISIP Jakartamelihat gagasan tentang pemindahan ibukota negara baru sekedarwacana. Suatuhal yang masih perlu diperdebatkan dan dipelajarilebih dalam. Namun ada 25% yang berpandangan optimis, pemindahanibukota harus segera diwujudkan dalam waktu 10 tahun ke depan(sejak 2007, saat penelitian ini dilakukan). Ada 23% yang menilaipemindahan ibu kota baru bisa dilakukan dalam waktu 20 tahun lagi.Pihak yang menyatakan ibukota negara tidakperlu dipindahkan dariJakarta ada sebanyak 5%. Namun ada pula 5% yang tidak sabar inginsecepat mungkin ibukota dipindah karena Jakarta telah mengalamikemacetan yang parah dan berulang kali dilanda banjir kiriman danpasang air laut.Selebihnya, 2% berpandangan pemindahan baru bisaterjadi 30 tahun lagi dan setuju ibukota pindah asal dapatmeratakan pembangunan di Indonesa. Ada 8% responden yang abstain,tidak tahu atau tidak mau menjawab pertanyaan ini.

Selanjutnya, ada gejala bahwa Ibu kota negara Jakarta adalahsimbol dan tempat yang sangat vital bagi negara Orde Baru. Tempatitu telah menjadi lokasi pemerintahan pusat melakukan ekstraktifincome daerah dan melakukan redistribusi kembali kedaerah-daerah.Ada perdebatan soal perimbangan keuangan pusat daerah, berapabanyak uang yang beredar di Jakarta selama puluhan tahun ketimbangkewilayah lain di Indonesia. Sebagai ibukota negara atau pusatpolitik Jakarta menjadi tempat domisili pemuncak eksekutif,

21

legislatif, yudikatif, kedutaan asing, kantor pusat MNC, perusahaanmanufaktur dan jasa. Seiring berjalannya waktu, fungsinya pun tidaklagi tunggal, Jakarta telah pula menjadi pusat perburuan lapangankerja kelas menengah bawah dari desa yang tidak lagi mau bertani,pemukiman dengan harga jual dan sewa yang mahal, berkumpulnyasentra pendidikan, tujuan pariwisata dan perdagangan internasional.Kepadatan penduduk yang tinggi, kemacetan lalu lintas yang parah,polusi, kejahatan jalanan, banjir adalah kondisi umum yangmencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara dengan indikasisulitnya melakukan penataan tata ruangnya. Gejala tingginyaketimpangan sosial ekonomi, berkorelasi terhadap meningkatnya angkakriminalitas di Jakarta memerlukan jalan keluar yang sistemik.Kondisi umum menumpuknya berbagai masalah dari hari ke haritersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakartasebagai ibu kota negara?. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwamayoritas responden (78%) dari 200 orang sample cenderungmenyatakan setuju bahwa perangkapan fungsi Jakarta sebagai pusatekonomi sekaligus pusat politik telah menimbulkan bertumpuknyapersoalan di Jakarta. Hanya ada 15% responden yang tidak setuju dantidak melihat ada kaitannya.

Tabel 3.2.Sikap Responden tentang Alasan Bertumpuknya Persoalan Jakartadisebabkan karena perangkapan Fungsi kota atau bukan? (n=200)

22

23

3.2. Sikap terhadap Pemindahan Ibukota Negara:

Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara  yang idealharus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan;maka perlu  antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman,nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana,aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untukperwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih,fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusifdan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkanrumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografisIndonesia untuk menentukan alternatif  lokasi sebagai calon ibukota negara. Sebanyak 200 orang responden IISIP dari latar belakangjurusan ditanya tentang bagaimana sikap mereka terhadap ide/rencanapemindahan ibu kota negara. Berikut ini gambaran opini mereka:

Tabel 3.3.Sikap Responden Berdasarkan Latar Belakang Jurusan/Non Jurusan terhadap Rencana Pergiliran Ibukota (n=200)

24

Ada kecenderungan sebanyak 25 orang mahasiswa ilmu komunikasiIISIP untuk setuju terhadap ide pergiliran ibukota secara berkaladiantara 33 propinsi di nusantara. 23 orang menyatakan tidak setujudan 18 orang ragu-ragu. Pola yang hampir sama juga terdapat padamahasiswa jurusan lain seperti ilmu politik, HI dan Kessos. Polayang berbeda ada pada mahasiswa ilmu administrasi, mayoritas setujunamun pada peringkat kedua menyatakan ragu. Hal yang berbeda padakalangan nin jurusan, yaitu para dosen dan staf administrasi,mayoritas mereka menyatakan tidak setuju pergiliran ibu kotanegara.

25

Tabel 3.4.Sikap Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tentang Urgensi Pemindahan Ibu Kota

(n=200)

Ada kecenderungan mayoritas responden baik laki-laki (33%)maupun perempuan (35%) mengganggap rencana pemendahan itu baruhanya sekedar wacana. Pada peringkat kedua, ada 23% perempuandan 26% laki-laki, setuju rencana pemindahan perlu dipersiapkanuntuk dilaksanakan dalam waktu 10 tahun ke depan. Ada 27%perempuan dan 18% laki-laki yang menginginkan pemindahandilakukan 20 tahun lagi. Ada 3% perempuan dan 6% laki-laki yangmenginginkan ibu kota dipindahkan secaptnya dari Jakarta karenaJakarta pernah lumpuh karena banjir dan kemacetan lalu-lintasyang kian parah.

26

Tabel 3.5.Sikap Responden Yang Setuju Pemindahan Ibukota Berdasarkan Asal Kelahiran

(n=200)

Berdasarkan pengolahan data tabel silang asal kelahiran dansikap setuju responden terhadap pemindahan ibukota menunjukkan adasekitar 58% responden kelahiran Jawa-Madura-Bali yang berpendapathal tersebut baru sekedar wacana. Ada 39% yang mengharapkanpemindahan ibukota bisa terlaksana dalam waktu 20 tahun mendatang(sejak tahun 2007). Ada 37% yang menghendaki hal itu terlaksanadalam waktu 10 tahun mendatang. Ada 9% responden asal kelahiranJawa-Madura-Bali yang tidak menginginkan pemindahan ibukota.Sementara itu, responden kelahiran Sumatera, mayoritas (12%)meninginkan pemindahan itu dilakukan dalam waktu 10 tahun ke depan.Selebihnya 6% menyatan itu baru wacana. Ada 5% yang menginginkanbisa dilakukan dalam waktu 20 tahun mendatang. Responden, daripulau lain yang jumlahnya kurang dari 5%, dari NTB-NTT secara

27

merata menginginkan 20 tahun lagi, secepatnya, tidak perludipindahkan dan sekedar wacana.

28

3.3. Alasan Kesetujuan Pemindahan Ibukota:Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara sebagai lokasi

pusat pemerintahan. Seiring berjalannya waktu, DKI Jakarta telahpula mejadi pusat perburuan lapangan kerja kelas menengah bawahdari desa yang tidak lagi mau bertani, pemukiman dengan harga jualdan sewa yang mahal, berkumpulnya sentra pendidikan, tujuanpariwisata dan perdagangan internasional. Kepadatan penduduk yangtinggi, kemacetan lalu lintas yang parah, polusi, kejahatanjalanan, banjir adalah kondisi umum yang mencitrakan Jakartasebagai ibu kota negara dengan indikasi sulitnya melakukan penataantata ruangnya. Gejala tingginya ketimpangan sosial ekonomi,berkorelasi terhadap meningkatnya angka kriminalitas di Jakartamemerlukan jalan keluar yang sistemik. Kondisi umum menumpuknyaberbagai masalah dari hari ke hari tersebut memunculkan beberapapertanyaan: masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara.

Ketika ditanyakan kepada 200 responden, jika setuju terhadaprencana pemindahan ibu kota, hal apa yang merupakan alasan pokokuntuk menjadi argumentasi atau alasan pemindahan ibukota dilakukan.Temuan penelitian ini memperoleh datas sebagai berikut:

Tabel 3.6. Sikap Responden Menurut Jenis Kelamin terhadapAlasan Pemindahan Ibukota (n=200)

29

Mayoritas responden perempuan, yaitu 33% berpendapat setujuuntuk dilakukannya pemindahan ibukota dengan alasan pokok karenaJakarta telah berubah menjadi magnet besar bagi WNI di daerah untukberamai-ramai mencari kehidupan di Jakarta. Sementara itu, sebanyak38% responden laki-laki, beranggapan hal itu terjadi karena peranibu kota Jakarta yang multifungsi sehingga menimbulkan persoalanperkotaan yang kompleks.

Tabel 3.7 Sikap Responden Menurut Latar Belakang Asal Kelahiran terhadap Alasan Pemindahan Ibu Kota (n=200)

30

Mayoritas responden asal kelahiran Sumatera, yaitu 11%berpendapat setuju dilakukannya pemindahan ibukota dengan alasanJakarta sudah terlalu padat dan telah menjadi magnet yang menarikdatangnya penduduk daerah. Ada 8% yang setuju pemindahan karenaJakarta telah mengambil peran multifungsi kota yang berdampakterhadap ketidaknyamanan terhadap kota itu sendiri yang dengansendirinya telam memunculkan problematika. Ada kurang dari 5% yangberpendapat Jakarta selama ini telah menguasai aspek distribusi danretribusi keuangan nasional. Sudah waktunya untuk dipergilirkan keibu kota yang baru.

Mayoritas responden asal kelahiran Jawa-Madura-Bali, yaitusebanyaj 58% berpendapat setuju dilakukannya pemindahan ibukotadengan alasan Jakarta telah menjadi begitu kompleks karena berperanmenjadi kota yang multifungsi. Untuk itu perlu pemindahan pusatpemerintahan ke tempat yang baru, agar persoalan Jakarta dankeindonesiaan bisa dipecahkan. Ada 48% yang memberikan alasankepindahan ibu kota karena Jakarta telah menjadi magnet yangmenarik urbanisasi. Ada 10% yang berpendapat Jakarta selama inikarena posisinya sebagai ibukota telah menguasai aspek distribusidan retribusi keuangan nasional. Sudah waktunya untuk dipergilirkanke daerah lain atau pulau lain. Namun ada sekitar 38% responden

31

kelahiran Jawa dan sekitarnya yang tidak mau menjawab pertanyaanini. Responden kelahiran luar Jawa dan Sumatera, sepertiKalimantan, Sulawesi, NTB-NTT, Maluku, Papua, yang dari segi jumlahadalah minoritas cenderung dari jawabannya tampai mengakui Jakartatelah menjadi magnet urbanisasi dan kota dengan peruntukanmultifungsi: pemerintahan, ekonomi, industri, jasa, pendidikan,dll.

32

3.4. Alasan Ketidaksetujuan Pemindahan Ibukota: Untuk mengetahui pihak yang kontra dengan pemindahan ibukota,

tim peneliti mengajukan pertanyaan berikut: Jika anda tidak setujupemindahan ibu kota negara sebagai pusat politik dari Jakarta kedaerah lain, pilih satu saja alasan utamanya. Berikut ini datayang berhasil diperoleh:

Tabel 3.8. Sikap Responden Menurut Latar Belakang Jenis Kelamin terhadap Alasan Tidak Setuju ada Pemindahan Ibukota (n=200)

Mayoritas responden perempuan, yaitu sebanyak 15% tidak ataubelum setuju dilakukannya pemindahan ibukota ke daerah lain karenaalasan waktunya yang belum tepat dilakukan dalam waktu dekat.Selanjutnya ada 14% yang menolak kepindahan ibukota dari Jakartakarena alasan historis masa lalu yang perlu dipertahankan. Ada 12%responden perempuan yang menolak kepndihan karena alasan keuangannegara sekarang yang belum baik. Untuk pemindahan ibukota ke tempatyang baru menurut mereka memerlukan dana yang besar. Ada 4%responden yang menolak pemindahan karena kesalahan bukan terletak

33

pada lokasi tapi pada orang yang mengelolanya. Perilaku parapemimpin dan masyarakatlah yang menjadi penyebab Jakarta mengalamigudang masalah.

Mayoritas responden laki-laki, yaitu sebanyak 10% tidak ataubelum setuju dilakukannya pemindahan ibukota ke daerah lain karenaalasan historis Jakarta yang penting untuk dipertahankan. Ada 8%persen yang menolak pemindahan karean alasan waktunya yang belumtepat. Ada 6 % responden laki-laki yang menolak pemindahan karenaalasan keuangan negara belum memungkinkan. Ada 4% yang menilaikesalah pada perilaku orang, bukan lokasi. Ada 2% yang mengusulkanposisi jakarta sebagai pusat politik tetap dipertahankan, posisiatau fungsinya sebagai kota ekonomi yang perlu dipindahkan kedaerah atau pulau lain. Ada 1% responden laki-laki yang menolakpemindahan ibukota karena menurutnya pendirian ibu kota baru akanmerusak lingkungan hidup daerah yang akan dikembangkan sebagaiibukota negara yang baru tersebut.

Bab IV PRIORITAS MASA DEPAN

B.1. Pemindahan Ibukota dan Pemerataan PembangunanOpini memindahkan ibu kota negara belakangan cenderung muncul

mengemuka seiring adanya tuntutan pemerataan pembangunan danredistribusi keadilan sumber daya antardaerah. Ada kecenderungantelah berpuluh tahun ibu kota negara yaitu Jakarta mengelolakekayaan yang disumbangkan berbagai daerah. Namun redistribusi yangdikembalikan ke daerah lewat APBN dinilai oleh rakyat di daerahcenderung belum lah proporsional. Hal itu tampak dengan adanyatuntutan otonomi khusus oleh Riau, Kaltim dan Bali. Setelah olehpusat otoomi khusus diberikan kepada NAD dan Papua.

Konsep pemindahan ibukota secara bergilir ke berbagai kawasandi Indonesia adalah semacam wacana alternatif, ketimbang tuntutanfederasi atau pemisahan diri. Selain itu pemindahan ibukotadipandang sebagai upaya ‘memindahkan gula, agar semut ikut’, gunapemerataan pembangunan di Indonesia. Bagaimana sikap respondenterhadap gagasan pemindahan ibukota secara bergilir sebagaiberikut:

34

Tabel 4.1. Sikap Responden Terhadap Rencana Pergiliran Ibukota(n=200)

Mayoritas sikap responden (46%) setuju terhadap gagasanpemindahan periodik ibukota secara bergilir di antara propinsi diIndonesia atau diantara tiga daerah waktu. Hal ini terkait denganharapan adanya pemerataan pembangunan dan kesempatan yang sama bagisetiap propinsi di masa yang akan datang untuk mengelola keuanganpusat dan memajukan wilayahnya. Sementara itu ada 32% yang tidaksetuju terhadap gagasan pergiliran ibukota. Berbagai alasanketidaksetujuan diungkupkan dalam jawaban terbuka antara lainkarena nilai historis kota Jakarta sebagai tempat proklamasi,alasan tempat pekerjaan sekarang di Jakarta akan terganggu bilatempat kerja ikut pindah, keuangan negara belum memungkinkan.Sementara itu ada 22% yang ragu terhadap konsep tersebut bisamemecahkan persoalan nasional. Ada 1% yang tidak menjawab.

B.2. Perpindahan atau Pergiliran IbukotaJika propinsi-propinsi di daerah dipergilirkan menjadi ibu

kota, maka kesempatan pergiliran pengelolaan keuangan oleh ibukotayang baru akan bisa memajukan kawasan tertinggal di Indonesiamenjadi lebih nyata.

35

Tabel 4.2. Sikap Responden terhadap Rencana PergiliranIbukota(n=200)

Mayoritas responden (46%) setuju dengan ide dilakukannya pemindahan ibukota negara sebaiknya dilakukan secara begilir, bukanpermanen disuatu tempat atau baru pindah jika bertumpuknya masalah atau terkena bencana alam. Pergiliran ibukota terkait dengan pemerataan kesempatan pengelolaan keuangan pusat secara adil ke setiap daerah di Indonesia. Khususnya akan membuka kemungkinan memajukan kawasan tengah dan timur Indonesia. Sementara itu ada 32%responden yang tidak setuju ibukota dipindah secar bergilir. Alasannya karena akan begitu repot bagi pihak departemen dan kedutaan asing untuk berpindah-pindah. Sementara itu ada 22% yang masih ragu-ragu terhadap pergiliran ibukota. Keraguan itu muncul dantara harapan dan kekhawatiran tentang mekanisme dan manfaat pemindahan ibukota secara bergilir bisa jadi harus diteliti lebih mendalam dan kongkret.

B.3. Teknis Pemindahan Ibukota Peneliti mencoba mencari tahu tentang apa yang anda fikirkan

responden tentang teknis pemindahan ibukota negara. Hal iniberkaitan dengan apa dan bagaimana sesungguhnya pemindahan ibukotatersebut. Hasilnya adalah sebagai berikut:

36

Tabel 4.3. Sikap Responden terhadap Teknis PemindahanIbukota(n=200)

Mayoritas (33%) berpandangan pemindahan ibukota dilakukandengan langkah teknisi pemindahan kantor kepresidenan, departemen,parlemen dan kedutaan asing secara bertahap. Ada 33% yangmembayangkan pemindahan ibukota di Indonesia dengan meniru polaAustralia yang memisahkan cukup jauh pusat politik dari pusatekonomi (dari Sydney, ke Malbourn, lalu ke Canberra). Ada 18% yangmembayangkan ibukota Indonesia yang baru pindah ke sekitar JawaBarat meniru pola Malaysia. Ada 3% yang membayangkan pusat politiktetap di Jakarta, namun pusat industri dan ekonomi dipindahkan keluar Jakarta. Ada 1% yang membayangkan teknisnya dipergilirkanantar propinsi/daerah waktu. Ada sekitar 1% yang menginginkanJakarta tetap sebagai ibukota negara. Selebihnya, skitar 11% tidakmenjawab.

37

B.4. Pemindahan Permanen atau Priodik

Peneliti menanyakan kepada responden yang setuju denganpemindahan ibukota apakah pemindahan ibu kota negara sebaiknyadilakukan secara permanen atau dipergilirkan. Data yang diperolehmenunjukkan mayoritas responden (51%) membayangkan pemindahanibukota baru dilakukan permanen ke suatu tempat. Sementara itu ada20% yang setuju pemindahan ibukota yang baru diundi random sepertiarisan diantara daerah berdasarkan wilayah waktu Barat-Tengah-Timurdan kembali lagi ke Barat dan seterusnya. Ada 14% yang setujukesempatan menjadi ibukota negara diundi secara random ke setiap 33propinsi di Indonesia. Daerah yang pernah terpilih, pada periodeberikutnya tidak diiukut sertakan loagi. Sampai pada suatu waktuketika semua wilayah propinsi pernah menjadi ibukota. Selebihnyaada 17% yang tidak menjawab. Gambaran tabelnya adalah sebagaiberikut:

Tabel 4.4.Sikap Responden terhadap Usulan Letak Ibukota Baru Bersifat Permanen atau Dipergilirkan(n=200)

38

B.5. Jika Ya, Ke Mana Ibukota Pindah? Jika anda diberi kewenangan untuk memilih pemindahan ibu kota

negara sebagai pusat pemerintahan, dalam waktu 10 tahun ke depan,ke mana akan memindahkannya:

Tabel 4.5. Pilihan Responden yang setuju Pemindahan Ibukota tentangUsulan Letak Ibukota Baru (n=200)

Dari 200 responden penelitian dari kalangan mahasiswa, dosendan karyawan IISIP Jakarta yang setuju dengan rencana pemindahanibukota, mayoritas responden (19%) menginginkan agar Bali dipilihmenjadi pusat pemerintahan yang baru setelah Jakarta. Alasan merekaantara lain Bali sudah menjadi kota dunia yang terkenal dimancanegara. Selain berada di Indonesia bagian tengah, yang adadiantara IBB dan IBT. Ada 18% responden yang menginginkan pusatpolitik dipindahkan ke Ciluengsi dan sekitarnya. Alasannya, masihtersedia lahan yang cukup luas untuk perkantoran pemerintahan danbisa diakses melalui jalan bebas hambatan dari Jakarta. Letaknya

39

mirip ibukota baru Malaysia yang dipindahkan dari Kualalumpur kePutrajaya.

Selanjutnya ada 12% responden yang memilih ibukota barudipindahkan ke salah satu tempat di Sumatera Barat. Ada yangmenginginkan Bukittinggi yang sejuk atau Pariaman di pesisir pantaibarat Sumatera. Ada 9% yang menginginkan Batam sebagai ibukota yangbaru. Letaknya dekat dengan Singapura, yang sudah menjadi kotakosmopolitian di tingkat dunia. Ada 8% yang setuju dengan kotaPalangkaraya, seperti yang pernah dirancang oleh Ir. Soekarno,dimasa jayanya. Ada 6% yang setuju dipindah ke Subang, Jawa Barat.Usulan kota Subang sebagai lokasi ibukota yang baru sempat jugamenjadi wacana dikalangan sebgaian anggota DPR RI tahun 2007. Ada5% responden yang mengusulkan Magelang sebagai ibukota yang baru.Lokasinya persis di jantung pulau Jawa. Sementara ada masing-masing4% responden yang menominasikan Mataram dan Makasar sebagai ibukotamendatang. Ada 3% responden yang tetap menginginkan Jakarta sebagaiibukota negara. Bandung juga mendapat nominasi dari 3% responden.Akhirnya, Yogyakarta dan salah satu kota di Papua, mendapatkan 2%dukungan responden.

B.6. Mengapa Ibukota Pindah ke Tempat Baru?Apa alasan pilihan ibu kota perlu dipindahkan ke tempat yang

baru menjadi pertanyaan penting penelitian ini. Setelah dilakukan pengolahan data 200 responden IISIP lewat SPSS, hasilnya bisa diperingkat kecenderungan alasan yang menjadi pertimbangan dipilihnya suatu daerah atau tempat menjadi ibukota yang baru sebagai berikut:

Suara terbanyak (17%) responden mensyaratkan lokasi tersebutbelum padat. Ada 16% mensyaratkan lokasinya kondusif dan strategis.Ada 14% yang mensyaratkan efisien ditempuh dari ibukota yang lama.Ada 12% yang mengusulkan syarat kota tersebut terkenal dimancanegar. Ada 11% yang menginginkan setiap propinsi diIndonesia dipergilirkan menjadi ibukota Negara untuk mendorongpemerataan pembangunan lebih kongkret. Ada 7% yang mensyaratkandaerah itu perlu kaya sumber daya, baik kualitas manusianya jugapotesi alam lingkungannya. Akhirnya ada rata-rata 2% responden yangmemberi alasan pemindahan ibukota akan mendorong pertumbuhan

40

kawasan, menghindari kelumpuhan ekonomi bila ada aksi politik,memanfaatkan lahan yang kurang produktif di suatu pulau.

Tabel 4.6. AlasanResponden yang Setuju Pemindahan Tentang Mengapa dan Bagaimana Perlunya Suatu Ibukota Baru (n=200)

Bab V PENUTUP

5.A. KESIMPULANKondisi menumpuknya berbagai masalah dari hari ke hari

(meningkatnya kepadatan populasi penduduk, kemacetan, pengangguran,banjir, sampah, kejahatan jalanan) di Jakarta telah memunculkanpertanyaan penelitian in tentang masih layakkah Jakarta sebagai ibukota negara. Apakah perpindahan ibu kota telah menjadi suatukeharusan atau baru wacana. Berikut ini kesimpulan temuan yangberhasil diperoleh dari responden 200 orang mahasiswa, dosen dankaryawan IISIP Jakarta, yang merupakan representasi atau samplekecil warga ibukota dan elemen bangsa Indonesia:

Pertama, secara umum responden (34%) memberikan respon bahwagagasan pemindahan ibu kota di Indonesia baru sekedar wacana. Suatuhal yang masih perlu diperdebatkan dan dipelajari lebih dalam.Namun ada 25% yang berpandangan optimis, pemindahan ibukota harus

41

segera diwujudkan dalam waktu 10 tahun ke depan (sejak 2007). Ada23% yang menilai pemindahan ibu kota baru bisa dilakukan dalamwaktu 20 tahun lagi. Pihak yang menyatakan ibukota negaratidakperlu dipindahkan dari Jakarta ada sebanyak 5%. Namun ada pula5% yang tidak sabar ingin secepat mungkin ibukota dipindah karenaJakarta telah mengalami kemacetan yang parah dan berulang kalidilanda banjir kiriman dan pasang air laut.Selebihnya, 2%berpandangan pemindahan baru bisa terjadi 30 tahun lagi dan setujuibukota pindah asal dapat meratakan pembangunan di Indonesa. Ada 8%responden yang abstain, tidak tahu atau tidak mau menjawab.

Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritasresponden (78%) dari 200 orang sample cenderung menyatakan setujubahwa perangkapan fungsi Jakarta sebagai pusat ekonomi sekaliguspusat politik telah menimbulkan bertumpuknya persoalan di Jakarta.Hanya ada 15% responden yang tidak setuju dan tidak melihat adakaitannya. Hal ini menujukan adanya kecenderungan umum bahwamenurut mayoritas responden ada kaitannya antara perangkapan fungsikota Jakarta sebagai pusat politik sekaligus pusat ekonomi telahmenimbulkan bertumpuknya persoalan Jakarta dan sedikit banyakmenjadi akar persoalan belum meratanya pembangunan nasional.Pengelolaan keuangan negara dan konsentrasi pembangunan cenderungterfokus hanya di Jakarta dan pulau Jawa.

Kedua, mayoritas sikap responden (46%) setuju terhadapgagasan pemindahan periodik ibukota secara bergilir di antarapropinsi di Indonesia atau di antara tiga daerah waktu. Hal initerkait dengan harapan adanya pemerataan pembangunan dan kesempatanyang sama bagi setiap propinsi di masa yang akan datang untukmengelola keuangan pusat dan memajukan wilayahnya. Sementara ituada 32% yang tidak setuju terhadap gagasan pergiliran ibukota.Berbagai alasan ketidaksetujuan diungkupkan dalam jawaban terbukaantara lain karena nilai historis kota Jakarta sebagai tempatproklamasi, alasan tempat pekerjaan sekarang di Jakarta akanterganggu bila tempat kerja ikut pindah, keuangan negara belummemungkinkan. Sementara itu ada 22% yang ragu terhadap konseptersebut bisa memecahkan persoalan nasional. Ada 1% yang tidakmenjawab.

Ketiga, alasan yang menjadi pertimbangan pokok untuk suatupemindahan suatu ibukota negara. Suara terbanyak (17%) responden

42

mensyaratkan lokasi tersebut belum padat. Ada 16% mensyaratkanlokasinya kondusif dan strategis. Ada 14% yang mensyaratkanefisien ditempuh dari ibukota yang lama. Ada 12% yang mengusulkansyarat kota tersebut terkenal di mancanegara seperti Bali. Ada 11%yang menginginkan setiap propinsi di Indonesia dipergilirkanmenjadi ibukota Negara untuk mendorong pemerataan pembangunan lebihkongkret. Ada 7% yang mensyaratkan daerah itu perlu kaya sumberdaya, baik kualitas manusianya juga potesi alam lingkungannya.Akhirnya ada rata-rata 2% responden yang memberi alasan pemindahanibukota akan mendorong pertumbuhan kawasan, menghindari kelumpuhanekonomi bila ada aksi politik, memanfaatkan lahan yang kurangproduktif di suatu pulau.

Keempat, bagaimana sebaiknya pemindahan ibu kota dilakukan.Mayoritas (33%) berpandangan pemindahan ibukota dilakukan denganlangkah teknisi pemindahan kantor kepresidenan, departemen,parlemen dan kedutaan asing secara bertahap. Ada 33% yangmembayangkan pemindahan ibukota di Indonesia dengan meniru polaAustralia yang memisahkan cukup jauh pusat politik dari pusatekonomi (dari Sydney, ke Malbourn, lalu ke Canberra). Ada 18% yangmembayangkan ibukota Indonesia yang baru pindah ke sekitar JawaBarat meniru pola Malaysia. Ada 3% yang membayangkan pusat politiktetap di Jakarta, namun pusat industri dan ekonomi dipindahkan keluar Jakarta. Ada 1% yang membayangkan teknisnya dipergilirkanantar propinsi/daerah waktu. Ada sekitar 1% yang menginginkanJakarta tetap sebagai ibukota negara. Selebihnya, sekitar 11% tidakmenjawab.

5.B. SARAN-SARAN

Ada sejumlah rekomendasi berkaitan dengan wacana pemindahanibukota negara dan prioritas ke depan yaitu pemerataan pembangunandan integrasi nasional:

1. Menumpuknya persoalan Jakarta dan ide pemindahan ibukota sudahmendapat respon di tingkat empiris dari DPR RI. Untuk itudisarankan tindaklanjutnya agar DPR RI dan lembagaKeperesidenan dalam hal ini kantor Sekretariat Negara perluberkoordinasi dengan LIPI, Bappenas dan institusi resmi negaralainnya untuk melakukan upaya tindak lanjut mempelajari danmembuat simulasi yang lebih kongkret tentang model-modelpemindahan ibukota untuk Indonesia.

43

2. Jika setuju dengan jalan keluar pemindahan ibukota, pemindahanibukota mulai dilakukan dengan langkah teknis pemindahan duainstitusi pokok yaitu kantor kepresidenan dan parlemen.Sementara itu. departemen terkait dan kedutaan asing barubelakangan secara bertahap dipindah ke lokasi yang baru,sesuai dengan kondisi keuangan dan kesiapan institusitersebut.

3. Jika yang dianggap menjadi akar persoalan di Indonesia adalahbelum meratanya pembangunan nasional. Begitu pula pengelolaankeuangan negara dan konsentrasi pembangunan cenderung terfokushanya di Jakarta dan pulau Jawa maka alternatif solusinyaadalah pemindahan ibukota sebaiknya dipergilirkan diantaratiga daerah waktu di Indonesia.

4. Langkah teknisnya antara lain: (a) Membuat pertimbangan berapalama suatu daerah atau kota bisa menjadi ibukota negara,misalnya 10 tahun (2 kali pemilu). (b) Melakukan penarikanundian secara random terhadap sejumlah ibukota propinsipropinsi atau lokasi strategis yang ada dalam daerah waktu(Barat, Tengah, Timur) untuk terpilih menjadi ibukota.Layaknya penarikan arisan. (c) Pergiliran pemindahan ibukotamerupakan siklus rutin periodik untuk tujuan pemerataanpembangunan dan kesamaan hak setiap daerah untuk mengelolakeuangan pusat. Hal ini terkait dengan mekanisme perimbangankeuangan pusat dan daerah, yang selama ini sangat lama dimonopli oleh Jakarta dan berlokasi hanya di Jawa. Padahalnusantara dan penduduknya sesuai konstitusi harus diperlakukansama di depan hukum dan keadilan. Pergiliran ibukota sangatsesuai dengan semangat berkonstitusi UUD 1945 danamandemennya.

44

Daftar Pustaka

Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, terj.Soeheba Kramadibrata. Jakarta : UI Press, 1986.

Islamy, Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Johara T. Jayadinata. Tata Guna Tanah dalam PerencanaanPedesaan dan Perkotaan dan Wilayah.Bandung: Penerbit ITB,1999. 

M.Baiquni.Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran. Yogyakarta:Ideas, 2004.

M.Baiquni dan Susilowardani. Pembangunan yang TidakBerkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. ogyakarta:Penerbit Transmedia Global Wacana, 2002.

Rozi, Syafuan. Memindahkan Ibukota Negara. Republika, 4Maret 2006.

Solichin Abd. Wahab, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi keImplementasi Kebijaksanan Negara.Jakarta: Bumi Aksara,1991.

Survey Padamu Negeri, Metro TV. Kamis malam, 8 November2007.

Sutikno. “Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atauWacana?”, Sabtu, 14 April 2007,http://www.sutikno.org. Diskusi Sejarah, Kota danperubahan Sosial dalam Perspektif Sejarah, yang

45

diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah danNilai Tradisional Yogyakarta, Hotel Matahari, 11-12April 2007.

Wardaya,Baskara. Memindahkan Ibu Kota RI, Perlukah?. Kompas,Jumat, 26 Juli 2002.

Wikipedia, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Capital

46