ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI ...

10
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017 35 ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI BESAR DI JAWA DENGAN MENGGUNAKAN DATA GPS TEC Hendri Subakti 1, Aldilla Damayanti Purnama Ratri 2 , Buldan Muslim 3 1) Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tangerang Selatan 2) Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar 3) Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN,Jl.Dr Junjungan 133 Bandung 40173 *Email : [email protected] ABSTRAK Anomali ionosfer sebagai akibat dari aktivitas gempabumi merupakan suatu fenomena yang kini banyak diteliti dalam penelitian seismo-ionospheric coupling. Umumnya,variasi ionosfer akibat gempabumi lebih lemah daripada gangguan yang dihasilkan oleh sumber yang berbeda, misalnya badai geomagnetik. Namun, gangguan badai geomagnetik menunjukkan perilaku yang lebih global, sedangkan anomali seismo-ionosfer hanya terjadi secara lokal. Ini menunjukkan bahwa aktivitas gempabumi merupakan suatu hal yang unik sehingga banyak penelitian yang dilakukan agar bisa memberikan peringatan dini sebelum terjadi gempabumi. Salah satu penelitian yang banyak dikembangkan saat ini adalah pendekatan seismo-ionospheric-copuling. Penelitian ini menghubungkan antara keadaan di lithosfer-atmosfer dan ionosfer sebelum dan saat gempabumi terjadi. Tulisan ini memilih total electron content dalam arah vertikal (VTEC) di ionosfer sebagai parameternya. Total Electron Content (TEC) adalah kandungan elektron total dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m 2 sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km. Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari LAPAN dengan mengidentifikasi sinyal abnormal melalui metode statistika, diperoleh adanya anomali di ionosfer yang ditandai dengan penurunan kandungan elektron sebesar 1 TECU di ionosfer sebelum gempabumi terjadi. Penurunan nilai VTEC ini tidak berasosiasi dengan badai magnetik sehingga diindikasikan sebagai prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan Dst Index yang tidak menunjukkan adanya gangguan magnetik. Kata kunci : Gempabumi, Ionosfer, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index. ABSTRACT Ionosphere’s anomalies as an effect of earthquake activity is a phenomenon that is now being studied in seismo - ionospheric coupling. Generally, variation in the ionosphere caused by earthquake activity is weaker than the interference generated by different source, such as geomagnetic storms. However, disturbances of geomagnetic storms show a more global behavior, while the seismo-ionospheric anomalies occur only locally in the area which is largely determined by magnitude of the earthquake. It show that the earthquake activity is unique and because of its uniqueness it has been much research done thus expected to give clues as early warning before earthquake. One of the research that has been developed at this time is the approach of seismo-ionospheric-coupling. This study related the state in the lithosphere-atmosphere and ionosphere before and when earthquake occur. This paper choose the total electron content in a vertical (VTEC) in the ionosphere as a parameter. Total Electron Content (TEC) is defined as the amount of electron in vertical column (cylinder) with cross-section of 1m 2 along GPS signal trajectory in ionosphere at around 350 km of height. Based on the analysis of data obtained from the LAPAN agency to identify abnormal signals by statistical methods, obtained that there are an anomaly in the ionosphere is characterized by decreasing of electron content of the ionosphere at 1 TECU before the earthquake occurred. Decreasing of VTEC is not associated with magnetic storm that is indicated as an earthquake precursor. This is supported by the Dst index showed no magnetic interference. Keywords : Earthquake, Ionosphere, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index.

Transcript of ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI ...

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

35

ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI BESAR DI

JAWA DENGAN MENGGUNAKAN DATA GPS TEC

Hendri Subakti1,

Aldilla Damayanti Purnama Ratri2 , Buldan Muslim

3

1)Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tangerang Selatan

2)Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar

3)Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN,Jl.Dr Junjungan 133 Bandung 40173

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Anomali ionosfer sebagai akibat dari aktivitas gempabumi merupakan suatu fenomena yang kini banyak diteliti

dalam penelitian seismo-ionospheric coupling. Umumnya,variasi ionosfer akibat gempabumi lebih lemah

daripada gangguan yang dihasilkan oleh sumber yang berbeda, misalnya badai geomagnetik. Namun, gangguan

badai geomagnetik menunjukkan perilaku yang lebih global, sedangkan anomali seismo-ionosfer hanya terjadi

secara lokal. Ini menunjukkan bahwa aktivitas gempabumi merupakan suatu hal yang unik sehingga banyak

penelitian yang dilakukan agar bisa memberikan peringatan dini sebelum terjadi gempabumi. Salah satu

penelitian yang banyak dikembangkan saat ini adalah pendekatan seismo-ionospheric-copuling. Penelitian ini

menghubungkan antara keadaan di lithosfer-atmosfer dan ionosfer sebelum dan saat gempabumi terjadi. Tulisan

ini memilih total electron content dalam arah vertikal (VTEC) di ionosfer sebagai parameternya. Total Electron

Content (TEC) adalah kandungan elektron total dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2

sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km.

Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari LAPAN dengan mengidentifikasi sinyal abnormal melalui metode

statistika, diperoleh adanya anomali di ionosfer yang ditandai dengan penurunan kandungan elektron sebesar 1

TECU di ionosfer sebelum gempabumi terjadi. Penurunan nilai VTEC ini tidak berasosiasi dengan badai

magnetik sehingga diindikasikan sebagai prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan Dst Index yang tidak

menunjukkan adanya gangguan magnetik.

Kata kunci : Gempabumi, Ionosfer, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index.

ABSTRACT

Ionosphere’s anomalies as an effect of earthquake activity is a phenomenon that is now being studied in seismo-

ionospheric coupling. Generally, variation in the ionosphere caused by earthquake activity is weaker than the

interference generated by different source, such as geomagnetic storms. However, disturbances of geomagnetic

storms show a more global behavior, while the seismo-ionospheric anomalies occur only locally in the area which

is largely determined by magnitude of the earthquake. It show that the earthquake activity is unique and because

of its uniqueness it has been much research done thus expected to give clues as early warning before earthquake.

One of the research that has been developed at this time is the approach of seismo-ionospheric-coupling. This

study related the state in the lithosphere-atmosphere and ionosphere before and when earthquake occur. This

paper choose the total electron content in a vertical (VTEC) in the ionosphere as a parameter. Total Electron

Content (TEC) is defined as the amount of electron in vertical column (cylinder) with cross-section of 1m2

along

GPS signal trajectory in ionosphere at around 350 km of height. Based on the analysis of data obtained from the

LAPAN agency to identify abnormal signals by statistical methods, obtained that there are an anomaly in the

ionosphere is characterized by decreasing of electron content of the ionosphere at 1 TECU before the earthquake

occurred. Decreasing of VTEC is not associated with magnetic storm that is indicated as an earthquake

precursor. This is supported by the Dst index showed no magnetic interference.

Keywords : Earthquake, Ionosphere, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index.

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

36

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia

dengan aktivitas tektonik yang sangat aktif

karena berada pada pertemuan 3 lempeng

utama dunia, yaitu lempeng Indo-Australia,

Eurasia dan Pasifik serta 1 lempeng kecil yaitu

Filipina. Akibatnya, Indonesia menjadi

kawasan seismik yang aktif dengan aktivitas

gempabumi yang sangat tinggi. Pulau Jawa

merupakan salah satu Pulau yang terdapat di

Indonesia dengan tingkat seismisitas yang

sangat aktif, baik di daratan oleh sesar-sesar

lokalnya maupun di laut oleh subduksinya.

Gempabumi merupakan peristiwa bergetar atau

bergoncangnya bumi karena

pergerakan/pergeseran lapisan batuan kulit

bumi secara tiba-tiba akibat pergerakan

lempeng-lempeng tektonik. Untuk

mengantisipasi adanya gempabumi dan

meminimalisasi banyaknya korban jiwa,maka

muncullah gagasan-gagasan untuk mengamati,

meneliti,mempelajari hingga memprediksi

kapan gempabumi terjadi.

Berawal dari sebuah pemikiran bahwa semua

yang ada di langit dan bumi ini selalu

berhubungan satu sama lain, maka penulis

mencoba menghubungkan kejadian yang ada di

bumi yakni gempabumi dengan yang ada di

langit yaitu kandungan elektron pada ionosfer

dengan memanfaatkan pengukuran total

electron content arah vertikal menggunakan

GPS.

Beberapa tahun terakhir, telah banyak

dikembangkan metode yang menitikberatkan

pada hubungan antara pengaruh gempabumi

terhadap kandungan ionosfer dengan

memanfaatkan pengukuran GPS-TEC. Hal ini

dikarenakan banyaknya fenomena

elektromagnetik yang mungkin terkait dengan

kegiatan seismik dan telah banyak dibahas pula

dalam beberapa literatur (misalnya Hayakawa

dan Fujinawa, 1994, Hayakawa, 1999;

Hayakawa, 2000; Hayakawa dan Molchanov,

2002). Liu dkk. (2000) meneliti frekuensi

plasma ionosfer (atau kerapatan elektron) yang

direkam oleh ionosonda lokal dan menemukan

bahwa frekuensi kritis puncak F2, foF2,

menurun secara signifikan beberapa hari

menjelang terjadinya gempabumi untuk

gempabumi besar dengan magnitudo 6.0 SR

di wilayah Taiwan antara 1994-1999.

Ionosfer sendiri merupakan bagian dari daerah

terionosasi oleh atmosfer atas bumi yang

ketinggiannya mencapai 50 km hingga 1000

km dimana ia akan mempengaruhi gelombang

elektromagnetik yang menjalar berupa

tambahan waktu tunda propagasi. Besarnya

pengaruh tersebut ditentukan oleh kandungan

elektron total (total electron content, TEC) dan

frekuensi gelombang elektromagnetik yang

digunakan.

TEC arah vertikal (VTEC) sangat peka

terhadap perubahan kerapatan elektron foF2.

Konsentrasi elektron maksimum F2 pada

lapisan ionosfer adalah salah satu dari

parameter yang paling peka berkaitan dengan

aktivitas seismik, kita dapat menggunakan data

TEC untuk memperkirakan ukuran spasial dan

perubahan temporal dari dampak ionosfer

sebelum gempabumi pada beberapa kawasan

seismo-aktif. Sebelum terjadi gempabumi,

konsentrasi elektron-elekron tersebut akan

terganggu. Gangguan ini akan dijelaskan dalam

model fisis mekanisme Seismo-Ionosperic

Coupling. Tulisan ini menitikberatkan pada

identifikasi anomali ionosfer dari kerapatan

elektron sebelum dan saat terjadinya

gempabumi.

II. Landasan Teori

2.1 Teori Gempabumi

Gempabumi merupakan getaran bumi yang

dihasilkan oleh pelepasan energi yang cepat

dari energi strain yang terakumulasi dalam

periode waktu tertentu karena pelepasan energi

elastis yang terkumpul oleh pergeseran sesar.

Pelepasan strain yang tiba-tiba ini akan

menimbulkan gelombang gempa. Hal tersebut

mengacu pada Elastis Rebound Theory yang

dikemukakan pertama kali oleh seorang

Profesor Geologi Henry Fielding Reid pada

tahun 1906 setelah terjadinya gempabumi San

Fransisco. Mekanismenya dapat dijelaskan

sebagai berikut :

Gambar 1 : Mekanisme Teori Elastis Rebound

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

37

Apabila terdapat dua buah gaya yang bekerja

berlawanan arah pada batuan kulit bumi maka

batuan tersebut akan terdeformasi karena

batuan mempunyai sifat elastis. Apabila gaya

yang bekerja dengan arah yang berlawanan

pada batuan tersebut berlangsung terus menerus

maka perlahan daya dukung pada batuan akan

mencapai maksimum dan akan terjadi

pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami

patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang sesar.

Setelah itu batuan akan kembali stabil. Namun

setelah mengalami perubahan bentuk atau

posisi, saat batuan mengalami gerakan yang

tiba–tiba akibat pergeseran batuan, energi stress

yang tersimpan akan dilepas dalam bentuk

getaran yang kita kenal sebagai gempabumi.

2.2 Seismo Ionospheric Coupling

Seismo-Ionospheric Coupling adalah ide atau

pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan

fenomena-fenomena anomali di Ionosfer akibat

terjadinya gempabumi.

Gambar 2. Diagram Mekanisme Fisis Seismo

Ionospheric Coupling

Menurut Kamogawa (2004), terdapat empat

pendapat penyebab adanya anomali di Ionosfer

sebelum terjadi gempabumi. Pendapat pertama

diduga karena adanya emisi gas radon. Gas

radon umumnya muncul di wilayah yang

banyak mengandung air bawah tanah yang

reservoirnya berupa batuan beku asam, seperti

granit. Emisi gas radon yang mengandung ion-

ion positif ke ionosfer menyebabkan

berkurangnya elektron di sana. Pendapat kedua

menduga fenomena bernama Positive Hole

Diffusion yang mengeluarkan ion-ion positif

sebagai penyebab turunnya jumlah elektron.

Pendapat kedua ini digolongkan sebagai

“electric field effect”. Pendapat ketiga karena

adanya proses panas (heating) yang muncul di

dekat bumi sebagai akibat pelepasan energi

gelombang gempa. Pendapat keempat karena

adanya pergerakan tanah (ground motion) yang

menghasilkan ion-ion positif. Kedua pendapat

terakhir digolongkan sebagai ”mechanical

effect”.

2.2.1 Positive Hole Diffusion

Sebelum gempabumi terjadi, ionosfer

menunjukkan anomali yang signifikan

(Molchanov et al.1993).Gangguan ini meluas di

sepanjang area, dari 500 hingga 1000 km, dan

membutuhkan perubahan medan listrik di dekat

permukaan tanah, dimana cukup kuat untuk

menimbulkan reaksi di ionosfer.

Permukaan bumi dan ionosfer bisa dianggap

sebagai dua lempeng kapasitor. Lempeng di

permukaan bumi tetap, sementara di ionosfer

bergerak dan bisa mengakibatkan perubahan

medan listrik pada permukaan tanah. Data

ditunjukkan oleh Liu et al.(2000,2001)

menyatakan bahwa potensial bumi sering

menjadi positif sebelum terjadi gempabumi

utama. Akibatnya didominasi elektron, plasma

negatif dari atas ionosfer tertarik ke bawah,

sementara lapisan ionosfer yang lebih rendah

didominasi ion positif.yang terdorong ke

samping. Sorokin et al.2001; Pullinets and

Boyarchuk 2004) mengusulkan bahwa medan

listrik dihasilkan di permukaan tanah karena

emisi radon sebelum gempabumi.

Gambar 3. Pemodelan channel elektrostastis

gangguan di ionosfer.

Ada dua tipe penghantar muatan listrik, yaitu

elektron dan elektron yang rusak. Elektron

yang rusak ini muncul ketika elektron terkunci

di suatu tempat tertentu dalam struktur kristal.

Elektron yang rusak ini adalah penghantar

bermuatan listrik positif yang disebut hole,

sehingga sering disebut positive hole.

Sebelum gempabumi terjadi, terlebih dahulu

ada beberapa batuan yang tertekan lebih

dahulu, karena pada dasarnya batuan itu terdiri

atas beberapa material, material sendiri terdiri

atas beberapa molekul dan molekul terdiri atas

beberapa atom, dimana atom merupakan bagian

terkecil yang terdiri atas proton, elektron, dan

neutron.

Akibatnya, ketika batuan itu tertekan, maka

secara tidak langsung, positive hole (P-hole

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

38

“h”) juga diaktiifkan di zona sesar yang

tertekan dan menyebar ke tanah di sekitarnya.

Beberapa dari P-hole tersebut mencapai

permukaan tanah dan membentuk potensial

permukaan positif di daerah yang luas di sekitar

pusat gempabumi. Potensial ini menyebabkan

medan listrik vertikal ke atas yang menembus

ionosfer melalui atmosfer. Elektron "e" di

ionosfer tertarik ke bawah dan bergabung

kembali dengan partikel netral "n" atau positif

ion "e" di atmosfer sehingga mempengaruhi

kepadatan elektron (plasma) di ionosfer.

Karena muatan listrik tersebut mengalir, maka

disebut positive hole diffusion. Keduanya

berperan penting dalam semikonduktor.

2.2 TEC

Menurut Abidin (2000), TEC adalah

kandungan elektron total dalam kolom vertikal

(silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang

lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di

lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350

km. Propagasi gelombang radio melalui

ionosfer akan mengalami delay time sebagai

akibat dari keterkaitannya dengan elektron

bebas di ionosfer. Delay time ini

dikarakteristikan oleh total electron content

(TEC) ionosfer yang merupakan fungsi dari

variabel-variabel seperti lokasi geografis,

waktu lokal, musim, radiasi eksrim UV (Ultra

Violet) dan aktivitas medan magnet. Jumlah ini

merepresentasikan kerapatan atau densitas dari

elektron di Ionosfer (electron density). Nilai

TEC dinyatakan dalam TEC Unit (TECU)

dimana 1 TEC Unit sama dengan 1016

elektron/m2.

Gambar 4. Definisi Total Electron Content

III. Data dan Metode

3.1 Data

3.1.1 Data Gempabumi

Data gempabumi pulau Jawa yang digunakan

didapatkan dari data sekunder Badan

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tahun

2009.

Berikut data gempabumi yang terjadi pada

tahun 2009 dengan magnitudo 6 SR.

Tabel 1. Data Gempabumi M 6 SR di Pulau

Jawa.

3.1.2 Data Total Electron Content (TEC).

Penelitian ini menggunakan data sekunder

Total electron Content yang didapatkan dari

Pusat Sains Antariksa (Pusatsainsa) LAPAN

Bandung pada koordinat 6.894 LS dan 107.586

BT.

3.2 Metodologi Penelitian

3.2.1 Prinsip Perhitungan Data TEC

Gambar 5.Geometri Total Electron Content

Prinsip perhitungan TEC adalah sebagai

berikut:

STEC =

. (

) Tion …. (1)

Dimana

fL1 = 1575.42 MHz

fL2 = 1227.6 MHz

Tion = Selisih waktu perlambatan untuk

frekuensi L1 dan L2.

Setelah didapatkan nilai STEC, VTEC

dihitung dengan rumus :

√ ...(2)

3.2.2 Pemilihan Parameter TEC

Dalam data TEC setiap satelit akan

menampilkan informasi sebagai berikut:

Week, menunjukkan pekan dalam

waktu gps,

Time (UT), menunjukkan waktu

penerimaan sinyal,

PRN, menunjukkan nomor satelit yang

memancarkan sinyal,

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

39

Elevation, elevasi dari receiver di

bumi,

Azimuth, azimuth dari receiver di

bumi,

TEC30, Nilai TEC setiap 30 detik.(Sri

Ekawati,2008)

Selanjutnya dipilih parameter Elevasi diatas 45 karena penulis menggunakan asumsi single

layer model.

Disini dilakukan analisa data TEC selama enam

belas hari dari hari kejadian gempa bumi

hingga 15 hari sebelum gempa bumi terjadi.

3.2.3 Deteksi Sinyal Abnormal

Untuk mengidentifikasi sinyal abnormal,

digunakan perhitungan Running median X pada

setiap epoch data yang dihubungkan dengan

Interquartile Range IQR (jangkauan

interkuartil).

Median (Me) = Q2 =

Jika n ganjil

=

Jika n genap . ..(3)

Dalam statistik, kuartil adalah metoda statistik

yang membagi data menjadi empat bagian,

yaitu Kuartil Pertama (Q1), Kuartil Kedua (Q2)

dan Kuartil Ketiga (Q3). Jangkauan interkuartil

(IQR) adalah selisih dari kuartil ketiga dengan

kuartil pertama.

IQR=Q3 - Q1 …………(4)

Batas atas (Upper Bound) adalah nilai rata-rata

TEC normal ditambah jangkauan interkuartil

pada setiap epoch data (Liu, dkk., 2004). Untuk

membentuk batasan atas (upper bound)

digunakan rumus:

Upper Bound (UB)=X + IQR ….(5)

Batas bawah (Lower Bound) adalah nilai rata-

rata TEC normal dikurangi jangkauan

interkuartil pada setiap epoch data (Liu, dkk.,

2004). Untuk membentuk batasan bawah

(lower bound) digunakan rumus :

Lower Bound (LB) = X – IQR …..(6)

3.2.4 Dst Index

Dst adalah indeks geomagnet yang digunakan

untuk menunjukkan level badai magnet di

seluruh dunia. Dst indeks didapatkan dari nilai

rata-rata komponen horizontal medan

geomagnet pada lintang-lintang tengah dan

lintang ekuatorial di seluruh dunia yang

mengukur intensitas dari equatorial elektrojet

global. Komponen horizontal,H dari medan

geomagnetik besar dan memerlukan waktu

yang cukup lama untuk kembali ke tingkat rata-

ratanya. (Bround, 1861; Adam 1892 ; Moos

,1910).

Dst Index yang bernilai negatif

mengindikasikan sebuah proses badai

magnetik, semakin negatif nilai Dst index

tersebut menunjukkan intensitas sebuah badai

magnetik yang semakin kuat.

Dst Index digunakan untuk melihat

apakah anomali dari VTEC tersebut disebabkan

oleh badai magnetic atau disebabkan oleh

aktivitas gempabumi.

3.2.5 Flowchart Pengolahan dan Analisa

Gambar 6. Diagram alir pengolahan dan

analisa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gempabumi 28 Agustus 2009.

Pada tanggal 28 Agustus 2009 terjadi

gempabumi dengan kekuatan 6.2 SR,

kedalaman 10 km dan episenter gempabumi

terletak pada 6.06 LS – 114.95 BT pusat

gempabumi di laut. Berdasarkan hasil

pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah

grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper

Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna

merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari

sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar

8).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang

sudah dilakukan, diperoleh adanya penurunan

yang cukup signifikan satu hari menjelang

gempabumi 28 Agustus 2009, tepatnya pada 27

Agustus 2009 sebesar 1 TECU (Gambar

8).Adanya penurunan ini diindikasikan sebagai

prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan

Dst Index bulan Agustus 2009 (Gambar 7)

yang tidak menunjukkan indikasi badai

magnetik, sehingga penurunan nilai VTEC

pada 27 Agustus tersebut diindikasikan sebagai

prekursor gempabumi 28 Agustus 2009 dimana

terjadi penurunan nilai VTEC serta tidak

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

40

didapatkan gangguan magnetik pada waktu

tersebut.

Gambar 7. Dst Index Bulan Agustus 2009

Gambar 8. Variasi VTEC pada 13 – 28 Agustus

2009

4.2 Gempabumi 02 September 2009

Pada tanggal 02 September 2009 terjadi dua

kali gempabumi, gempabumi pertama

berkekuatan 7.5 SR, kedalaman 57 km dan

episenter gempabumi terletak pada 8.07 LS –

107.28 BT pusat gempabumi di laut dan

gempabumi kedua berkekuatan 6 SR,

kedalaman 40 km dan episenter gempabumi

terletak pada 8.04 LS – 107.34 BT pusat

gempabumi di laut. Berdasarkan hasil

pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah

grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper

Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna

merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari

sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar

10).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang

sudah dilakukan, diperoleh adanya penurunan

yang cukup signifikan enam hari menjelang

gempabumi 02 September 2009, tepatnya pada

27 Agustus 2009 sebesar 1 TECU (Gambar

10).Adanya penurunan ini diindikasikan

sebagai prekursor gempabumi. Hal ini

diperkuat dengan Dst Index bulan Agustus dan

September 2009 (Gambar 9) yang tidak

menunjukkan indikasi badai magnetik,

sehingga penurunan nilai VTEC pada 27

Agustus tersebut diindikasikan sebagai

prekursor gempabumi 02 September 2009

dimana terjadi penurunan nilai VTEC serta

tidak didapatkan gangguan magnetik pada

waktu tersebut.

Gambar 9. Dst Index Bulan Agustus dan

September 2009

Gambar 10. Variasi VTEC pada 18 Agustus – 2

September 2009

4.3 Gempabumi 13 September 2009

Pada tanggal 13 September 2009 terjadi

gempabumi dengan kekuatan 6.6 SR,

kedalaman 252 km dan episenter gempabumi

terletak pada 7.96 LS – 107.22 BT pusat

gempabumi di laut. Berdasarkan hasil

pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah

grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper

Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna

merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari

sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar

12).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang

sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan

VTEC pada gempabumi 13 September 2009

(Gambar 12). Tidak adanya penurunan ini bisa

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti

magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di

sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya

data TEC yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 11. Dst Index Bulan Agustus dan

September 2009

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

41

Gambar 12. Variasi VTEC pada 29 Agustus – 13

September 2009

4.4 Gempabumi 16 Oktober 2009

Pada tanggal 16 Oktober 2009 terjadi

gempabumi dengan kekuatan 6.4 SR,

kedalaman 10 km dan episenter gempabumi

terletak pada 6.79 LS – 105.11 BT pusat

gempabumi di laut. Berdasarkan hasil

pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah

grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper

Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna

merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari

sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar

14).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang

sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan

VTEC pada gempabumi 16 Oktober 2009

(Gambar 14). Tidak adanya penurunan ini bisa

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti

magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di

sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya

data TEC yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 13. Dst Index Bulan Oktober 2009

Gambar 14. Variasi VTEC pada 1 – 16

Oktober 2009

4.5 Gempabumi 09 Desember 2009

Pada tanggal 09 Desember 2009 terjadi

gempabumi dengan kekuatan 6.1 SR,

kedalaman 186 km dan episenter gempabumi

terletak pada 9.47 LS – 104.33 BT pusat

gempabumi di laut. Berdasarkan hasil

pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah

grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper

Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna

merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari

sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar

16).

Berdasarkan teori dan pengolahan data yang

sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan

VTEC pada gempabumi 09 Desember 2009

(Gambar 16). Tidak adanya penurunan ini bisa

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti

magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di

sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya

data TEC yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 15. Dst Index Bulan Nopember dan

Desember 2009

Gambar 16. Variasi VTEC pada 24 Nopember

– 9 Desember 2009

4.6 Korelasi Magnitudo Dengan Periode

Prekursor Gempabumi

Gambar 17. Korelasi magnitudo dengan periode

prekursor gempabumi

Dari grafik di atas, terlihat bahwa semakin

besar magnitudo gempabumi yang terjadi di

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

42

suatu tempat, maka dibutuhkan waktu yang

relatif lama untuk melepaskan energi. Hal ini

dikarenakan semakin besar energi yang

dikeluarkan maka daerah yang tertekan pun

semakin luas, mengingat bumi ini tidaklah

homogen maka daerah yang terkena stress pun

akan memberikan respon yang berbeda. Ada

batuan/daerah yang ketika dikenai stress ia

akan langsung patah dan ada pula yang

memerlukan waktu relatif lama untuk batuan

tersebut patah.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisa,

dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Ditemukan adanya anomali di ionosfer

dengan ditandai penurunan kandungan

elektron di ionosfer beberapa hari sebelum

gempabumi 28 Agustus 2009 dan

gempabumi 02 September 2009.

2. Terjadi penurunan jumlah kandungan

elektron arah vertikal (VTEC) di ionosfer

pada tanggal 27 Agustus 2009 yakni 1 hari

sebelum gempabumi 28 Agustus 2009 dan 6

hari sebelum gempabumi 02 September

2009 sebesar 1 TECU.

3. Adanya anomali di ionosfer dengan ditandai

penurunan kandungan elektron di ionosfer

beberapa hari menjelang terjadinya

gempabumi tersebut tidak berasosiasi

dengan gangguan badai magnetik.

Penurunan ini bisa diindikasikan sebagai

akibat dari proses fisis Seismo-Ionospheric

Coupling sebelum gempabumi terjadi.

4. Anomali nilai VTEC sebelum gempabumi

28 Agustus 2009 dan 02 September 2009 ini

bisa digunakan sebagai prediksi sebelum

terjadinya gempabumi.

5. Gempabumi besar umumnya dihubungkan

dengan daerah yang lebih luas dan

didahului dengan waktu yang lebih lama

selama periode persiapan gempabumi

(memiliki waktu pendahulu yang lebih

cepat).

DAFTAR PUSTAKA

A Takeuchi,B.W.S Lau F.T Freund., 2005.

Current and Surface induced by

stress-activated positive holes in

igneous rocks. Special Issue “Recent

Progress in Seismo electromagnetics”

in Physics and Chemistry of the

Earth.

Abidin, H.Z., 2000. Penentuan Posisi dengan

GPS dan Aplikasinya: Pradnya

Paramita.

Justicea. A. A., 2014. Mendeteksi Tsunami

menggunakan GPS-TEC (Total

Electron Content). Skripsi Sekolah

Tinggi Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika

Chapman, S., The Electric current System of

magnetic storm, Terr.Mag.Atomos.

Phys.,40,349,1935

Chapman,S.,The morphology of magnetic

storms : an extension of the analysis

of Ds, the disturbance local-time

inequality, Annali in Geofisica,

5,481,1952

Davies, K.,1990. Ionospheric Radio,Peter

Peregrinus Ltd.,580 pp.

Freund,F. Stress-activated positive hole change

carriers in rocks and the generator of

pre-earthquake signals. 2009. In

Electromagnetic Phenomena

Associated with Earthquakes;

Hayakawa, M., Ed.; Transworld

Research Netwirk : Trivandrum,

India, pp.41-96

Hayakawa, M dan Molchanov, O.A (Eds),

2002. Seismo Electromagnetics:

Lithosphere-Atmosphere-Ionosphere

Coupling, Terra Scientific Publishing

Company, Tokyo, Terrapub.

Hayakawa,M. dan Fujinawa,Y.(Eds), 1994.

Electromagnetics Phenomena Related

to Earthquake Prediction, Terra

Scientific Publishing Company,

Tokyo,Terrapub..

Subakti, H. 2008: Analisis Variasi GPS – TEC

Yang Berhubungan Dengan

Gempabumi Besar Di Sumatera.

Bidang Sistem Jaringan Observasi

Geofisika. Pusat Sistem Jaringan.

Badan Meteorologi & Geofisika,

Jakarta

Made I, K.A. S., 2009. Analisa Vertical Total

Electron Content Di Ionosfer Daerah

Jawa Dan Sekitarnya Yang

Berasosiasi Dengan Gempabumi

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

43

Yogyakarta 26 Mei 2006 UTC.

Skripsi Akademi Meteorologi dan

Geofisika.

J.Y. Liu, Y.J. Chuo, S.J. Shan, Y.B. Tsai,Y.I.

Chen, S.A. Pulinets, S.B. Yu, 2004:

Pre-earthquake Ionospheric

Anomalies Registered by Continuous

GPS TEC Measurements. Annales

Geophysicae, European Geosciences

Union, 22: 1585-1593

Jhuang, H.K., Liu, J.Y., Chen, Y.I., dan Lin,

Y.H., 2005. Ionospheric foF2 and

TEC anomalies during M≥5.0 Taiwan

Earthquakes, IWSE, National Central

Untiversity.

Kamogawa ., M., 2004. Atmospheric Field

Variations before the March 31, 2002

M6.8 Earthquake in Taiwan. TAO,

15, no.3, 397-412.

Liperovsky, V.A., Pokhotelov, O.A., Meister,

C.V., Liverovskaya, E.V., 2007. On

Recent Physical Model of

Lithosphere-Atmosphere Coupling

Before Earthquakes.Natural Hazard

And Earth System Sciences, nhess

June.

Liu,J.Y.,Chen,Y.I., Chuo, Y.J., dan Tsai,Y.B. :

Variation of ionospheric Total

Electron Content during Chi-Chi

Earthquake, Geophys. Res.Lett.,

28,1383-1386,2001

Liu,J.Y.,Chen,Y.I., Pullinet.S.A., dan Tsai,YB

and Chuo,Y.J.,2000. Seismo

ionospheric signatures prior to M

6.0 Taiwan Earthquake,

Geoph.Res.Lett.,27(19).3113-3116.

Pamela A. B., 2006. Observasi Anomali Total

Electron Content (TEC) di Ionosfer

Sumatera dan Hubungannya dengan

Gempa Besar Aceh 26 Desember

2004. Skripsi Institut Teknologi

Bandung.

Pulinets, S.A.;Boyarchuk,K. 2004. Ionospheric

Precursors of Earthquakes; Springer:

Berlin, Germany.

Scholtz C.H.,Syke L.R.,Aggarwal Y.P.(1973),

Earthquake Prediction: a physical

basis,Science, 181, 803-809.

Sri Ekawati, Personal Communication, Pusat

Pemanfaatan Sains Antariksa,

LAPAN-Bandung

Widarto, D.S., 2004. Eksperimentasi Metoda

Baru Berdasarkan Variasi Sinyal

Seismo-Elektrik: LIPI.

http://geophysics.ou.edu/ geol1114/

notes/earthquakes/ earthquakes.html

diakses pada tanggal 23 September

2014

http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_final/

200908/index.html diakses tanggal 01

April 2014.

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

44