ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI ...
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
35
ANALISIS ANOMALI IONOSFER SEBELUM GEMPABUMI BESAR DI
JAWA DENGAN MENGGUNAKAN DATA GPS TEC
Hendri Subakti1,
Aldilla Damayanti Purnama Ratri2 , Buldan Muslim
3
1)Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tangerang Selatan
2)Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar
3)Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN,Jl.Dr Junjungan 133 Bandung 40173
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Anomali ionosfer sebagai akibat dari aktivitas gempabumi merupakan suatu fenomena yang kini banyak diteliti
dalam penelitian seismo-ionospheric coupling. Umumnya,variasi ionosfer akibat gempabumi lebih lemah
daripada gangguan yang dihasilkan oleh sumber yang berbeda, misalnya badai geomagnetik. Namun, gangguan
badai geomagnetik menunjukkan perilaku yang lebih global, sedangkan anomali seismo-ionosfer hanya terjadi
secara lokal. Ini menunjukkan bahwa aktivitas gempabumi merupakan suatu hal yang unik sehingga banyak
penelitian yang dilakukan agar bisa memberikan peringatan dini sebelum terjadi gempabumi. Salah satu
penelitian yang banyak dikembangkan saat ini adalah pendekatan seismo-ionospheric-copuling. Penelitian ini
menghubungkan antara keadaan di lithosfer-atmosfer dan ionosfer sebelum dan saat gempabumi terjadi. Tulisan
ini memilih total electron content dalam arah vertikal (VTEC) di ionosfer sebagai parameternya. Total Electron
Content (TEC) adalah kandungan elektron total dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2
sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari LAPAN dengan mengidentifikasi sinyal abnormal melalui metode
statistika, diperoleh adanya anomali di ionosfer yang ditandai dengan penurunan kandungan elektron sebesar 1
TECU di ionosfer sebelum gempabumi terjadi. Penurunan nilai VTEC ini tidak berasosiasi dengan badai
magnetik sehingga diindikasikan sebagai prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan Dst Index yang tidak
menunjukkan adanya gangguan magnetik.
Kata kunci : Gempabumi, Ionosfer, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index.
ABSTRACT
Ionosphere’s anomalies as an effect of earthquake activity is a phenomenon that is now being studied in seismo-
ionospheric coupling. Generally, variation in the ionosphere caused by earthquake activity is weaker than the
interference generated by different source, such as geomagnetic storms. However, disturbances of geomagnetic
storms show a more global behavior, while the seismo-ionospheric anomalies occur only locally in the area which
is largely determined by magnitude of the earthquake. It show that the earthquake activity is unique and because
of its uniqueness it has been much research done thus expected to give clues as early warning before earthquake.
One of the research that has been developed at this time is the approach of seismo-ionospheric-coupling. This
study related the state in the lithosphere-atmosphere and ionosphere before and when earthquake occur. This
paper choose the total electron content in a vertical (VTEC) in the ionosphere as a parameter. Total Electron
Content (TEC) is defined as the amount of electron in vertical column (cylinder) with cross-section of 1m2
along
GPS signal trajectory in ionosphere at around 350 km of height. Based on the analysis of data obtained from the
LAPAN agency to identify abnormal signals by statistical methods, obtained that there are an anomaly in the
ionosphere is characterized by decreasing of electron content of the ionosphere at 1 TECU before the earthquake
occurred. Decreasing of VTEC is not associated with magnetic storm that is indicated as an earthquake
precursor. This is supported by the Dst index showed no magnetic interference.
Keywords : Earthquake, Ionosphere, VTEC, seismo-ionospheric coupling, Dst Index.
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
36
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia
dengan aktivitas tektonik yang sangat aktif
karena berada pada pertemuan 3 lempeng
utama dunia, yaitu lempeng Indo-Australia,
Eurasia dan Pasifik serta 1 lempeng kecil yaitu
Filipina. Akibatnya, Indonesia menjadi
kawasan seismik yang aktif dengan aktivitas
gempabumi yang sangat tinggi. Pulau Jawa
merupakan salah satu Pulau yang terdapat di
Indonesia dengan tingkat seismisitas yang
sangat aktif, baik di daratan oleh sesar-sesar
lokalnya maupun di laut oleh subduksinya.
Gempabumi merupakan peristiwa bergetar atau
bergoncangnya bumi karena
pergerakan/pergeseran lapisan batuan kulit
bumi secara tiba-tiba akibat pergerakan
lempeng-lempeng tektonik. Untuk
mengantisipasi adanya gempabumi dan
meminimalisasi banyaknya korban jiwa,maka
muncullah gagasan-gagasan untuk mengamati,
meneliti,mempelajari hingga memprediksi
kapan gempabumi terjadi.
Berawal dari sebuah pemikiran bahwa semua
yang ada di langit dan bumi ini selalu
berhubungan satu sama lain, maka penulis
mencoba menghubungkan kejadian yang ada di
bumi yakni gempabumi dengan yang ada di
langit yaitu kandungan elektron pada ionosfer
dengan memanfaatkan pengukuran total
electron content arah vertikal menggunakan
GPS.
Beberapa tahun terakhir, telah banyak
dikembangkan metode yang menitikberatkan
pada hubungan antara pengaruh gempabumi
terhadap kandungan ionosfer dengan
memanfaatkan pengukuran GPS-TEC. Hal ini
dikarenakan banyaknya fenomena
elektromagnetik yang mungkin terkait dengan
kegiatan seismik dan telah banyak dibahas pula
dalam beberapa literatur (misalnya Hayakawa
dan Fujinawa, 1994, Hayakawa, 1999;
Hayakawa, 2000; Hayakawa dan Molchanov,
2002). Liu dkk. (2000) meneliti frekuensi
plasma ionosfer (atau kerapatan elektron) yang
direkam oleh ionosonda lokal dan menemukan
bahwa frekuensi kritis puncak F2, foF2,
menurun secara signifikan beberapa hari
menjelang terjadinya gempabumi untuk
gempabumi besar dengan magnitudo 6.0 SR
di wilayah Taiwan antara 1994-1999.
Ionosfer sendiri merupakan bagian dari daerah
terionosasi oleh atmosfer atas bumi yang
ketinggiannya mencapai 50 km hingga 1000
km dimana ia akan mempengaruhi gelombang
elektromagnetik yang menjalar berupa
tambahan waktu tunda propagasi. Besarnya
pengaruh tersebut ditentukan oleh kandungan
elektron total (total electron content, TEC) dan
frekuensi gelombang elektromagnetik yang
digunakan.
TEC arah vertikal (VTEC) sangat peka
terhadap perubahan kerapatan elektron foF2.
Konsentrasi elektron maksimum F2 pada
lapisan ionosfer adalah salah satu dari
parameter yang paling peka berkaitan dengan
aktivitas seismik, kita dapat menggunakan data
TEC untuk memperkirakan ukuran spasial dan
perubahan temporal dari dampak ionosfer
sebelum gempabumi pada beberapa kawasan
seismo-aktif. Sebelum terjadi gempabumi,
konsentrasi elektron-elekron tersebut akan
terganggu. Gangguan ini akan dijelaskan dalam
model fisis mekanisme Seismo-Ionosperic
Coupling. Tulisan ini menitikberatkan pada
identifikasi anomali ionosfer dari kerapatan
elektron sebelum dan saat terjadinya
gempabumi.
II. Landasan Teori
2.1 Teori Gempabumi
Gempabumi merupakan getaran bumi yang
dihasilkan oleh pelepasan energi yang cepat
dari energi strain yang terakumulasi dalam
periode waktu tertentu karena pelepasan energi
elastis yang terkumpul oleh pergeseran sesar.
Pelepasan strain yang tiba-tiba ini akan
menimbulkan gelombang gempa. Hal tersebut
mengacu pada Elastis Rebound Theory yang
dikemukakan pertama kali oleh seorang
Profesor Geologi Henry Fielding Reid pada
tahun 1906 setelah terjadinya gempabumi San
Fransisco. Mekanismenya dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Gambar 1 : Mekanisme Teori Elastis Rebound
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
37
Apabila terdapat dua buah gaya yang bekerja
berlawanan arah pada batuan kulit bumi maka
batuan tersebut akan terdeformasi karena
batuan mempunyai sifat elastis. Apabila gaya
yang bekerja dengan arah yang berlawanan
pada batuan tersebut berlangsung terus menerus
maka perlahan daya dukung pada batuan akan
mencapai maksimum dan akan terjadi
pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami
patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang sesar.
Setelah itu batuan akan kembali stabil. Namun
setelah mengalami perubahan bentuk atau
posisi, saat batuan mengalami gerakan yang
tiba–tiba akibat pergeseran batuan, energi stress
yang tersimpan akan dilepas dalam bentuk
getaran yang kita kenal sebagai gempabumi.
2.2 Seismo Ionospheric Coupling
Seismo-Ionospheric Coupling adalah ide atau
pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan
fenomena-fenomena anomali di Ionosfer akibat
terjadinya gempabumi.
Gambar 2. Diagram Mekanisme Fisis Seismo
Ionospheric Coupling
Menurut Kamogawa (2004), terdapat empat
pendapat penyebab adanya anomali di Ionosfer
sebelum terjadi gempabumi. Pendapat pertama
diduga karena adanya emisi gas radon. Gas
radon umumnya muncul di wilayah yang
banyak mengandung air bawah tanah yang
reservoirnya berupa batuan beku asam, seperti
granit. Emisi gas radon yang mengandung ion-
ion positif ke ionosfer menyebabkan
berkurangnya elektron di sana. Pendapat kedua
menduga fenomena bernama Positive Hole
Diffusion yang mengeluarkan ion-ion positif
sebagai penyebab turunnya jumlah elektron.
Pendapat kedua ini digolongkan sebagai
“electric field effect”. Pendapat ketiga karena
adanya proses panas (heating) yang muncul di
dekat bumi sebagai akibat pelepasan energi
gelombang gempa. Pendapat keempat karena
adanya pergerakan tanah (ground motion) yang
menghasilkan ion-ion positif. Kedua pendapat
terakhir digolongkan sebagai ”mechanical
effect”.
2.2.1 Positive Hole Diffusion
Sebelum gempabumi terjadi, ionosfer
menunjukkan anomali yang signifikan
(Molchanov et al.1993).Gangguan ini meluas di
sepanjang area, dari 500 hingga 1000 km, dan
membutuhkan perubahan medan listrik di dekat
permukaan tanah, dimana cukup kuat untuk
menimbulkan reaksi di ionosfer.
Permukaan bumi dan ionosfer bisa dianggap
sebagai dua lempeng kapasitor. Lempeng di
permukaan bumi tetap, sementara di ionosfer
bergerak dan bisa mengakibatkan perubahan
medan listrik pada permukaan tanah. Data
ditunjukkan oleh Liu et al.(2000,2001)
menyatakan bahwa potensial bumi sering
menjadi positif sebelum terjadi gempabumi
utama. Akibatnya didominasi elektron, plasma
negatif dari atas ionosfer tertarik ke bawah,
sementara lapisan ionosfer yang lebih rendah
didominasi ion positif.yang terdorong ke
samping. Sorokin et al.2001; Pullinets and
Boyarchuk 2004) mengusulkan bahwa medan
listrik dihasilkan di permukaan tanah karena
emisi radon sebelum gempabumi.
Gambar 3. Pemodelan channel elektrostastis
gangguan di ionosfer.
Ada dua tipe penghantar muatan listrik, yaitu
elektron dan elektron yang rusak. Elektron
yang rusak ini muncul ketika elektron terkunci
di suatu tempat tertentu dalam struktur kristal.
Elektron yang rusak ini adalah penghantar
bermuatan listrik positif yang disebut hole,
sehingga sering disebut positive hole.
Sebelum gempabumi terjadi, terlebih dahulu
ada beberapa batuan yang tertekan lebih
dahulu, karena pada dasarnya batuan itu terdiri
atas beberapa material, material sendiri terdiri
atas beberapa molekul dan molekul terdiri atas
beberapa atom, dimana atom merupakan bagian
terkecil yang terdiri atas proton, elektron, dan
neutron.
Akibatnya, ketika batuan itu tertekan, maka
secara tidak langsung, positive hole (P-hole
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
38
“h”) juga diaktiifkan di zona sesar yang
tertekan dan menyebar ke tanah di sekitarnya.
Beberapa dari P-hole tersebut mencapai
permukaan tanah dan membentuk potensial
permukaan positif di daerah yang luas di sekitar
pusat gempabumi. Potensial ini menyebabkan
medan listrik vertikal ke atas yang menembus
ionosfer melalui atmosfer. Elektron "e" di
ionosfer tertarik ke bawah dan bergabung
kembali dengan partikel netral "n" atau positif
ion "e" di atmosfer sehingga mempengaruhi
kepadatan elektron (plasma) di ionosfer.
Karena muatan listrik tersebut mengalir, maka
disebut positive hole diffusion. Keduanya
berperan penting dalam semikonduktor.
2.2 TEC
Menurut Abidin (2000), TEC adalah
kandungan elektron total dalam kolom vertikal
(silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang
lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di
lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350
km. Propagasi gelombang radio melalui
ionosfer akan mengalami delay time sebagai
akibat dari keterkaitannya dengan elektron
bebas di ionosfer. Delay time ini
dikarakteristikan oleh total electron content
(TEC) ionosfer yang merupakan fungsi dari
variabel-variabel seperti lokasi geografis,
waktu lokal, musim, radiasi eksrim UV (Ultra
Violet) dan aktivitas medan magnet. Jumlah ini
merepresentasikan kerapatan atau densitas dari
elektron di Ionosfer (electron density). Nilai
TEC dinyatakan dalam TEC Unit (TECU)
dimana 1 TEC Unit sama dengan 1016
elektron/m2.
Gambar 4. Definisi Total Electron Content
III. Data dan Metode
3.1 Data
3.1.1 Data Gempabumi
Data gempabumi pulau Jawa yang digunakan
didapatkan dari data sekunder Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tahun
2009.
Berikut data gempabumi yang terjadi pada
tahun 2009 dengan magnitudo 6 SR.
Tabel 1. Data Gempabumi M 6 SR di Pulau
Jawa.
3.1.2 Data Total Electron Content (TEC).
Penelitian ini menggunakan data sekunder
Total electron Content yang didapatkan dari
Pusat Sains Antariksa (Pusatsainsa) LAPAN
Bandung pada koordinat 6.894 LS dan 107.586
BT.
3.2 Metodologi Penelitian
3.2.1 Prinsip Perhitungan Data TEC
Gambar 5.Geometri Total Electron Content
Prinsip perhitungan TEC adalah sebagai
berikut:
STEC =
. (
) Tion …. (1)
Dimana
fL1 = 1575.42 MHz
fL2 = 1227.6 MHz
Tion = Selisih waktu perlambatan untuk
frekuensi L1 dan L2.
Setelah didapatkan nilai STEC, VTEC
dihitung dengan rumus :
√ ...(2)
3.2.2 Pemilihan Parameter TEC
Dalam data TEC setiap satelit akan
menampilkan informasi sebagai berikut:
Week, menunjukkan pekan dalam
waktu gps,
Time (UT), menunjukkan waktu
penerimaan sinyal,
PRN, menunjukkan nomor satelit yang
memancarkan sinyal,
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
39
Elevation, elevasi dari receiver di
bumi,
Azimuth, azimuth dari receiver di
bumi,
TEC30, Nilai TEC setiap 30 detik.(Sri
Ekawati,2008)
Selanjutnya dipilih parameter Elevasi diatas 45 karena penulis menggunakan asumsi single
layer model.
Disini dilakukan analisa data TEC selama enam
belas hari dari hari kejadian gempa bumi
hingga 15 hari sebelum gempa bumi terjadi.
3.2.3 Deteksi Sinyal Abnormal
Untuk mengidentifikasi sinyal abnormal,
digunakan perhitungan Running median X pada
setiap epoch data yang dihubungkan dengan
Interquartile Range IQR (jangkauan
interkuartil).
Median (Me) = Q2 =
Jika n ganjil
=
Jika n genap . ..(3)
Dalam statistik, kuartil adalah metoda statistik
yang membagi data menjadi empat bagian,
yaitu Kuartil Pertama (Q1), Kuartil Kedua (Q2)
dan Kuartil Ketiga (Q3). Jangkauan interkuartil
(IQR) adalah selisih dari kuartil ketiga dengan
kuartil pertama.
IQR=Q3 - Q1 …………(4)
Batas atas (Upper Bound) adalah nilai rata-rata
TEC normal ditambah jangkauan interkuartil
pada setiap epoch data (Liu, dkk., 2004). Untuk
membentuk batasan atas (upper bound)
digunakan rumus:
Upper Bound (UB)=X + IQR ….(5)
Batas bawah (Lower Bound) adalah nilai rata-
rata TEC normal dikurangi jangkauan
interkuartil pada setiap epoch data (Liu, dkk.,
2004). Untuk membentuk batasan bawah
(lower bound) digunakan rumus :
Lower Bound (LB) = X – IQR …..(6)
3.2.4 Dst Index
Dst adalah indeks geomagnet yang digunakan
untuk menunjukkan level badai magnet di
seluruh dunia. Dst indeks didapatkan dari nilai
rata-rata komponen horizontal medan
geomagnet pada lintang-lintang tengah dan
lintang ekuatorial di seluruh dunia yang
mengukur intensitas dari equatorial elektrojet
global. Komponen horizontal,H dari medan
geomagnetik besar dan memerlukan waktu
yang cukup lama untuk kembali ke tingkat rata-
ratanya. (Bround, 1861; Adam 1892 ; Moos
,1910).
Dst Index yang bernilai negatif
mengindikasikan sebuah proses badai
magnetik, semakin negatif nilai Dst index
tersebut menunjukkan intensitas sebuah badai
magnetik yang semakin kuat.
Dst Index digunakan untuk melihat
apakah anomali dari VTEC tersebut disebabkan
oleh badai magnetic atau disebabkan oleh
aktivitas gempabumi.
3.2.5 Flowchart Pengolahan dan Analisa
Gambar 6. Diagram alir pengolahan dan
analisa
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gempabumi 28 Agustus 2009.
Pada tanggal 28 Agustus 2009 terjadi
gempabumi dengan kekuatan 6.2 SR,
kedalaman 10 km dan episenter gempabumi
terletak pada 6.06 LS – 114.95 BT pusat
gempabumi di laut. Berdasarkan hasil
pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah
grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper
Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna
merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari
sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar
8).
Berdasarkan teori dan pengolahan data yang
sudah dilakukan, diperoleh adanya penurunan
yang cukup signifikan satu hari menjelang
gempabumi 28 Agustus 2009, tepatnya pada 27
Agustus 2009 sebesar 1 TECU (Gambar
8).Adanya penurunan ini diindikasikan sebagai
prekursor gempabumi. Hal ini diperkuat dengan
Dst Index bulan Agustus 2009 (Gambar 7)
yang tidak menunjukkan indikasi badai
magnetik, sehingga penurunan nilai VTEC
pada 27 Agustus tersebut diindikasikan sebagai
prekursor gempabumi 28 Agustus 2009 dimana
terjadi penurunan nilai VTEC serta tidak
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
40
didapatkan gangguan magnetik pada waktu
tersebut.
Gambar 7. Dst Index Bulan Agustus 2009
Gambar 8. Variasi VTEC pada 13 – 28 Agustus
2009
4.2 Gempabumi 02 September 2009
Pada tanggal 02 September 2009 terjadi dua
kali gempabumi, gempabumi pertama
berkekuatan 7.5 SR, kedalaman 57 km dan
episenter gempabumi terletak pada 8.07 LS –
107.28 BT pusat gempabumi di laut dan
gempabumi kedua berkekuatan 6 SR,
kedalaman 40 km dan episenter gempabumi
terletak pada 8.04 LS – 107.34 BT pusat
gempabumi di laut. Berdasarkan hasil
pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah
grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper
Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna
merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari
sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar
10).
Berdasarkan teori dan pengolahan data yang
sudah dilakukan, diperoleh adanya penurunan
yang cukup signifikan enam hari menjelang
gempabumi 02 September 2009, tepatnya pada
27 Agustus 2009 sebesar 1 TECU (Gambar
10).Adanya penurunan ini diindikasikan
sebagai prekursor gempabumi. Hal ini
diperkuat dengan Dst Index bulan Agustus dan
September 2009 (Gambar 9) yang tidak
menunjukkan indikasi badai magnetik,
sehingga penurunan nilai VTEC pada 27
Agustus tersebut diindikasikan sebagai
prekursor gempabumi 02 September 2009
dimana terjadi penurunan nilai VTEC serta
tidak didapatkan gangguan magnetik pada
waktu tersebut.
Gambar 9. Dst Index Bulan Agustus dan
September 2009
Gambar 10. Variasi VTEC pada 18 Agustus – 2
September 2009
4.3 Gempabumi 13 September 2009
Pada tanggal 13 September 2009 terjadi
gempabumi dengan kekuatan 6.6 SR,
kedalaman 252 km dan episenter gempabumi
terletak pada 7.96 LS – 107.22 BT pusat
gempabumi di laut. Berdasarkan hasil
pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah
grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper
Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna
merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari
sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar
12).
Berdasarkan teori dan pengolahan data yang
sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan
VTEC pada gempabumi 13 September 2009
(Gambar 12). Tidak adanya penurunan ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di
sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya
data TEC yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 11. Dst Index Bulan Agustus dan
September 2009
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
41
Gambar 12. Variasi VTEC pada 29 Agustus – 13
September 2009
4.4 Gempabumi 16 Oktober 2009
Pada tanggal 16 Oktober 2009 terjadi
gempabumi dengan kekuatan 6.4 SR,
kedalaman 10 km dan episenter gempabumi
terletak pada 6.79 LS – 105.11 BT pusat
gempabumi di laut. Berdasarkan hasil
pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah
grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper
Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna
merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari
sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar
14).
Berdasarkan teori dan pengolahan data yang
sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan
VTEC pada gempabumi 16 Oktober 2009
(Gambar 14). Tidak adanya penurunan ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di
sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya
data TEC yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 13. Dst Index Bulan Oktober 2009
Gambar 14. Variasi VTEC pada 1 – 16
Oktober 2009
4.5 Gempabumi 09 Desember 2009
Pada tanggal 09 Desember 2009 terjadi
gempabumi dengan kekuatan 6.1 SR,
kedalaman 186 km dan episenter gempabumi
terletak pada 9.47 LS – 104.33 BT pusat
gempabumi di laut. Berdasarkan hasil
pengolahan data TEC, diperoleh tiga buah
grafik, yaitu grafik VTEC (warna hijau), Upper
Bound (warna biru) dan Lower Bound (warna
merah) yang berosilasi selama 16 hari,15 hari
sebelum dan saat terjadi gempabumi (Gambar
16).
Berdasarkan teori dan pengolahan data yang
sudah dilakukan, tidak diperoleh penurunan
VTEC pada gempabumi 09 Desember 2009
(Gambar 16). Tidak adanya penurunan ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
magnitudo, kedalaman, dan keadaan geologi di
sekitar gempabumi, serta banyak sedikitnya
data TEC yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 15. Dst Index Bulan Nopember dan
Desember 2009
Gambar 16. Variasi VTEC pada 24 Nopember
– 9 Desember 2009
4.6 Korelasi Magnitudo Dengan Periode
Prekursor Gempabumi
Gambar 17. Korelasi magnitudo dengan periode
prekursor gempabumi
Dari grafik di atas, terlihat bahwa semakin
besar magnitudo gempabumi yang terjadi di
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
42
suatu tempat, maka dibutuhkan waktu yang
relatif lama untuk melepaskan energi. Hal ini
dikarenakan semakin besar energi yang
dikeluarkan maka daerah yang tertekan pun
semakin luas, mengingat bumi ini tidaklah
homogen maka daerah yang terkena stress pun
akan memberikan respon yang berbeda. Ada
batuan/daerah yang ketika dikenai stress ia
akan langsung patah dan ada pula yang
memerlukan waktu relatif lama untuk batuan
tersebut patah.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisa,
dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Ditemukan adanya anomali di ionosfer
dengan ditandai penurunan kandungan
elektron di ionosfer beberapa hari sebelum
gempabumi 28 Agustus 2009 dan
gempabumi 02 September 2009.
2. Terjadi penurunan jumlah kandungan
elektron arah vertikal (VTEC) di ionosfer
pada tanggal 27 Agustus 2009 yakni 1 hari
sebelum gempabumi 28 Agustus 2009 dan 6
hari sebelum gempabumi 02 September
2009 sebesar 1 TECU.
3. Adanya anomali di ionosfer dengan ditandai
penurunan kandungan elektron di ionosfer
beberapa hari menjelang terjadinya
gempabumi tersebut tidak berasosiasi
dengan gangguan badai magnetik.
Penurunan ini bisa diindikasikan sebagai
akibat dari proses fisis Seismo-Ionospheric
Coupling sebelum gempabumi terjadi.
4. Anomali nilai VTEC sebelum gempabumi
28 Agustus 2009 dan 02 September 2009 ini
bisa digunakan sebagai prediksi sebelum
terjadinya gempabumi.
5. Gempabumi besar umumnya dihubungkan
dengan daerah yang lebih luas dan
didahului dengan waktu yang lebih lama
selama periode persiapan gempabumi
(memiliki waktu pendahulu yang lebih
cepat).
DAFTAR PUSTAKA
A Takeuchi,B.W.S Lau F.T Freund., 2005.
Current and Surface induced by
stress-activated positive holes in
igneous rocks. Special Issue “Recent
Progress in Seismo electromagnetics”
in Physics and Chemistry of the
Earth.
Abidin, H.Z., 2000. Penentuan Posisi dengan
GPS dan Aplikasinya: Pradnya
Paramita.
Justicea. A. A., 2014. Mendeteksi Tsunami
menggunakan GPS-TEC (Total
Electron Content). Skripsi Sekolah
Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika
Chapman, S., The Electric current System of
magnetic storm, Terr.Mag.Atomos.
Phys.,40,349,1935
Chapman,S.,The morphology of magnetic
storms : an extension of the analysis
of Ds, the disturbance local-time
inequality, Annali in Geofisica,
5,481,1952
Davies, K.,1990. Ionospheric Radio,Peter
Peregrinus Ltd.,580 pp.
Freund,F. Stress-activated positive hole change
carriers in rocks and the generator of
pre-earthquake signals. 2009. In
Electromagnetic Phenomena
Associated with Earthquakes;
Hayakawa, M., Ed.; Transworld
Research Netwirk : Trivandrum,
India, pp.41-96
Hayakawa, M dan Molchanov, O.A (Eds),
2002. Seismo Electromagnetics:
Lithosphere-Atmosphere-Ionosphere
Coupling, Terra Scientific Publishing
Company, Tokyo, Terrapub.
Hayakawa,M. dan Fujinawa,Y.(Eds), 1994.
Electromagnetics Phenomena Related
to Earthquake Prediction, Terra
Scientific Publishing Company,
Tokyo,Terrapub..
Subakti, H. 2008: Analisis Variasi GPS – TEC
Yang Berhubungan Dengan
Gempabumi Besar Di Sumatera.
Bidang Sistem Jaringan Observasi
Geofisika. Pusat Sistem Jaringan.
Badan Meteorologi & Geofisika,
Jakarta
Made I, K.A. S., 2009. Analisa Vertical Total
Electron Content Di Ionosfer Daerah
Jawa Dan Sekitarnya Yang
Berasosiasi Dengan Gempabumi
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017
43
Yogyakarta 26 Mei 2006 UTC.
Skripsi Akademi Meteorologi dan
Geofisika.
J.Y. Liu, Y.J. Chuo, S.J. Shan, Y.B. Tsai,Y.I.
Chen, S.A. Pulinets, S.B. Yu, 2004:
Pre-earthquake Ionospheric
Anomalies Registered by Continuous
GPS TEC Measurements. Annales
Geophysicae, European Geosciences
Union, 22: 1585-1593
Jhuang, H.K., Liu, J.Y., Chen, Y.I., dan Lin,
Y.H., 2005. Ionospheric foF2 and
TEC anomalies during M≥5.0 Taiwan
Earthquakes, IWSE, National Central
Untiversity.
Kamogawa ., M., 2004. Atmospheric Field
Variations before the March 31, 2002
M6.8 Earthquake in Taiwan. TAO,
15, no.3, 397-412.
Liperovsky, V.A., Pokhotelov, O.A., Meister,
C.V., Liverovskaya, E.V., 2007. On
Recent Physical Model of
Lithosphere-Atmosphere Coupling
Before Earthquakes.Natural Hazard
And Earth System Sciences, nhess
June.
Liu,J.Y.,Chen,Y.I., Chuo, Y.J., dan Tsai,Y.B. :
Variation of ionospheric Total
Electron Content during Chi-Chi
Earthquake, Geophys. Res.Lett.,
28,1383-1386,2001
Liu,J.Y.,Chen,Y.I., Pullinet.S.A., dan Tsai,YB
and Chuo,Y.J.,2000. Seismo
ionospheric signatures prior to M
6.0 Taiwan Earthquake,
Geoph.Res.Lett.,27(19).3113-3116.
Pamela A. B., 2006. Observasi Anomali Total
Electron Content (TEC) di Ionosfer
Sumatera dan Hubungannya dengan
Gempa Besar Aceh 26 Desember
2004. Skripsi Institut Teknologi
Bandung.
Pulinets, S.A.;Boyarchuk,K. 2004. Ionospheric
Precursors of Earthquakes; Springer:
Berlin, Germany.
Scholtz C.H.,Syke L.R.,Aggarwal Y.P.(1973),
Earthquake Prediction: a physical
basis,Science, 181, 803-809.
Sri Ekawati, Personal Communication, Pusat
Pemanfaatan Sains Antariksa,
LAPAN-Bandung
Widarto, D.S., 2004. Eksperimentasi Metoda
Baru Berdasarkan Variasi Sinyal
Seismo-Elektrik: LIPI.
http://geophysics.ou.edu/ geol1114/
notes/earthquakes/ earthquakes.html
diakses pada tanggal 23 September
2014
http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_final/
200908/index.html diakses tanggal 01
April 2014.